Pencarian

Cinta Dan Tipu Muslihat 7

Cinta Dan Tipu Muslihat Karya Widi Widayat Bagian 7


sekarang telah memperoleh penerangan bathin. sehingga menjadi tawar akan segala macam permusuhan maupun rasa benci.
Akibat hal itu di luar dugaan Jim Cing Cing Go-Jing, maka orang tua ini menjadi amat khawatir. Soalnya dirinya sendiri belum sembuh dari lukanya. Dan walaupun sudah minum obat pemberian Kigede Jamus. ia masih memerlukan waktu beberapa hari untuk istirahat. Apabila dirinya sampai memaksa diri. akan mencelakakan diri sendiri. Namun sayangnya. Sarini mengharapkan bantuannya. Prayoga yang tak tahan lagi menyaksikan keadaan Sarini yang gemetar kedinginan dan ketakutan itu. tak kuasa lagi menahan diri. Ia segera menyerang. tetapi hanya dengan kebutan telapak tangan saja, semua serangan Prayoga gagal.
Sarini yang sudah dalam keadaan hampir payah itu, hampir saja tak kuat lagi menahan derita lebih lama. Mendadak gadis ini berteriak, ditujukan kepada Kigede Jamus,
"Aku pernah mendengar, seorang pertapa yang sudah putus semua ilmu. selalu mengagungkan welas asih kepada sesamanya. Akan tetapi hari ini aku menjadi heran karena ada seorang pertapa sakti, yang membiarkan pihak lemah ditindas yang lebih kuat dengan perbuatan semena-mena."
Mendengar ini Kigede Jamus terkejut. Ia menghela napas, kemudian berkata halus.
"Hem... bocah itu benar benar tak kuasa menahan derita. Hai Ladrang Kuning, apakah engkau tidak kasihan dan tak mau mengampuni bocah itu?"
"Kalau aku tak mau mengampuni dan tak mau menerima campur tangan orang lain. mau apa?" tantang Ladrang Kuning.
Saat itu. Sarini sudah semakin menderita hebat sekali. Tubuhnya semakin menggigil dan wajahnya hampir menjadi biru.
Melihat penderitaan Sarini. akhirnya Kigede Jamus tergerak dan tak sampai hati membiarkan. Katanya halus,
"Bocah... peganglah tongkatku ini."
Sarini menurut karena tak dapat berbuat lain. Begitu tangan memegang tongkat. ia merasakan mengalirnya semacam hawa yang hangat ke lengan. dan dengan cepat mengalir ke seluruh tubuh. Sarini terkejut berbareng gembira. ia tahu bahwa kakek sakti itu sekarang telah mcnyalurkan tenaga murni ke dalam tubuhnya, dalam usaha menolong. Oleh sebab itu deritanya menjadi berkurang, dan wajah gadis itu tampak tenang.
Melihat perobahan itu. Jim Cing Cing Goling maupun Prayoga bersyukur. Akan tetapi sebaliknya, Ladrang Kuning menjadi amat marah.
"Kurang ajar!" teriak Ladrang Kuning.
"Ternyata engkau tua bangka yang masih suka usil dan mencampuri urusan orang lain."
Dalam marahnya. Ladrang Kuning menyalurkan hawa dingin lebih hebat lagi ke tubuh Sarini. Dan Sarini yang tak sanggup menahan. berteriak.
"Kakek... aku kedinginan lagi... ."
Kigede Jamus kaget. Bibirnya bergerak-gerak. agaknya sedang mengucapkan mantra. Dan ternyata kemudian Sarini merasakan hawa yang hangat menyalur ke dalam tubuhnya lagi. Namun di lain saat, ia terangsang oleh hawa dingin lagi. Dan sesaat kemudian merasakan kehangatan yang nyaman. Dengan demikian tubuh Sarini saat sekarang ini menjadi semacam ajang perkelahian tenaga sakti dari dua orang tokoh sakTi tersebut.
Kigede Jamus tak pernah menyangka sama sekali, bahwa Ladrang Kuning mempunyai watak dan tabiat sejahat dan sekejam itu. Karena sudah terlibat dalam mengadu tenaga sakti. ia tak dapat berhenti di tengah jalan. Tetapi di balik itu. keselamatan gadis inipun harus dijamin. Sebab apabila tidak, nyawa Sarini terancam maut.
"Ah mengapa engkau sampai hati kepada bocah ini?" tegur Kigede jamus.
Akan tetapi Ladrang Kuning tak mau menggubris, lagi, dan malah menyalurkan hawa dingin ke dalam tubuh Sarini lebih hebat lagi. Merasakan ini Kigede Jamus tambah khawatir, salah-salah Sarini celaka. Jim Cing Cing Goling dan Prayoga mempunyai dugaan sama, Sarini bisa celaka. Tetapi kalau maju dan membantu Kigede Jamus, tentu Ladrang Kuning semakin nekat sehingga derita Sarini akan lebih hebat. Dalam keadaan yang sangat khawatir itu, tiba-tiba terbayang dalam benakuya gadis ayu yang dicintai, Mariam. Teringat kepada gadis itu. tiba-tiba saja ia berteriak,
"mbakyu Mariam. Hai mbakyu Mariam. Sekarang ini Sarini berhadapan dengan bahaya maut. dan sudah tentu aku tak dapat tinggal diam. Sekarang ini sebagai taruhannya nyawaku. Apabila hari ini aku mati, engkau jangan lagi menyalahkan aku ." Sesudah berkata. ia mengambil kupu-kupu sutera diberikan kepada Jim Cing Cing Goling dan berpesan,
"Paman, kupu-kupu sutera ini pemberian mbakyu Mariam kepada diriku. Apabila aku mati. sudilah paman menyerahkan kembali benda ini kepada mbakyu Mariam. Di samping itu aku mohon kesediaan paman untuk menyampaikan pesanku yang terakhir kepada dia, begini. Walaupun di dunia ini antara aku dan mbakyu Mariam gagal sebagai suami isteri. tetapi aku percaya bahwa di akhirat nanti, aku dan dia akan dapat hidup sebagai suami-isteri.." Sesudah memberikan pesan kepada Jim Cing Cing Guling, pemuda itu lalu menerjang maju menyerang Ladrang Kuning. Belum juga pukulannya tiba, angin yang kuat telah menyambar. Serangan Prayoga saat
ini, ditujukan ke pinggang wanita itu.
Ladrang Kuning terkejut mendengar nama Mariam disebut oleh Prayoga. Sebagai seorang ibu, walaupun dalam keadaa tidak waras lagi. masih tetap ingat kepada anak yang dilahirkan. Apa pula pada saat Prayoga menyerahkan kupu-kupu sutera kepada Jim Cing Cing Goling. wanita ini melihat dengan mata kepala sendiri. ia terkesiap. Namun belum sempat ia membuka mulut, prayoga sudah menerjang dan memukul.
"Hai bocah... dari mana engkau memperoleh kupukupu sutera itu?" bentak Ladrang Kuning sambil mengebutkan tangannya sehingga serangan Prayoga gagal lagi.
Prayoga tertegun. Namun tak lama kemudian menyahut,
"mbakyu Mariam sendiri yang memberikan kepadaku."
"Ngacau... apakah kau sudah gila.?" teriaknya sambil mendelik.
"mBakyu Mariam telah berjanji untuk sehidup semati dengan diriku. Kupu-kupu sutera itu sebagai bukti janji. Aku menerangkan sesungguhnya. Akan tetapi mengapa bibi menganggap aku mengacau?"
Tergetar hati Ladrang Kuning mendengar jawaban itu, sehingga tekanannya kepada Sarini mengendor. Kesempatan baik ini tidak disia-siakan oleh Kigede Jamus untuk mendesak tenaga Ladrang Kuning, sehingga tangan itu lepas.
Merasa terlepas, Sarini cepat meloncat lalu berdiri di antara Jim Cing Cing Goling dan Kigede Jamus. Akan tetapi karena beberapa saat lalu tubuhnya telah menjadi ajang mengadu tenaga sakti, Sarini sudah menderita luka dalam. Maka begitu meloncat. gadis ini merasakan bumi bagai berputar. Wajahnya pucat tiba-tiba, dan berbareng dengan jeritannya. Sarini telah roboh pingsan... .
Kigede Jamus menghela napas penuh rasa sesal, bergumam.
"Ya Allah, karena gara-garaku yang masih usil terhadap urusan orang lain, menyebabkan bocah ini menderita luka. Ah aku harus berusaha menolongnya... ."
Ia mengangkat tubuh Sarini. Lalu membuka mulut. kakek sakti ini telah pergi sambil memondong tubuh Sarini yang pingsan.
Ladrang Kuning marah bukan main dan akan mengejar. Namun begitu ia memalingkan muka kepada Prayoga, dan berkata,
"Hemm... anakku Mariam sudah saling cinta dengan pemuda tampan itu. Akan tetapi mengapa engkau mengaku sudah bertunangan dengan anakku? Huh-huh... lekas katakanlah alasanmu."
Prayoga menjadi lega sesudah Sarini terlepas dari bahaya. Ia tidak gentar sedikitpun menghadapi ladrang Kuning, dan kemudian menuturkan apa yang sudah terjadi antara dirinya dengan Mariam. Kemudian ia menceritakan pula sebabnya dirinya dan Sarini terjatuh ke dalam jurang ini, dalam usaha mencegah Mariam membunuh diri.
Marah sekali Ladrang Kuning mendengar penuturan Prayoga. bahwa sudah menyerang dengan senjata rahasia, sehingga dua orang muda ini terjatuh ke dalam jurang. Teriaknya,
"Huh-huh... engkau berani menuduh anakku, sebagai gadis yang ingkar janji dan tak setia."
Prayoga menggelengkan kepalanya, jawabnya,
"Bukan begitu. tetapi maksudku mbakyu Mariam sudah tertipu oleh orang bernama Swara Manis. Pemuda itu yang berusaha memikat mbakyu Mariam. dan bukannya mbakyu Mariam yang ingkar janji dan tak setia."
Sepasang mata ladrang Kuning mengamati Prayoga tak berkedip, seakan sedang menyelidik. Kemudian wanita ini berkata dalam hati,
"Hemm, ketika di dalam
goa waktu itu, aku melihat sendiri bahwa Mariam amat mesra dengan pemuda tampan bernama Swara Manis. Akan tetapi mengapa bocah ini berkata lain? Namun apabila tidak, mengapa bocah ini menyimpan kupukupu sutera milik Mariam? Kemudian sampai pada kesimpulan ladrang Kuning bahwa bocah ini berkata sebenarnya.
"Katakan di mana Mariam sekarang ini?" tanya Ladrang Kuning.
"Kemarin dulu, mBakyu Mariam di atas jurang ini." kata Prayoga sambil menengadah.
"Karena aku khawatir mbakyu Mariam membunuh diri, aku meloncat untuk mencegah. Sungguh di luar dugaan, aku malah diserang oleh mbakyu Mariam dengan senjata rahasia, dan akibatnya aku terjatuh ke jurang ini... ."
"Hemm..." dengus Ladrang Kuning.
Tiba-tiba saja Ladrang Kuning menyambar lengan Prayoga tanpa mengucapkan sesuatu. Seperti terbang, Ladrang Kuning memanjat lurah jurang itu sambil membimbing Prayoga tanpa kesulitan, tanpa memperdulikan Jim Cing Cing Goling lagi.
Beberapa saat kemudian matanya melihat sinar matahari. Dan sesaat kemudian Prayoga merasa dilempar ke atas. Karena takut jatuh kembali ke dasar jurang, Prayoga menggunakan kepandaiannya. Ia berhasil berdiri di tepi jurang. Namun ketika ia berpaling, Ladrang Kuning sudah berdiri di sampingnya tanpa menerbitkan suara. Diam-diam Prayoga kagum sekali akan kesaktian wanita ini.
Namun di tempat itu tidak nampak Mariam. Pemuda ini menjadi amat khawatir kalau Mariam sudah meloncat ke jurang dan binasa.
Prayoga yang cemas dan khawatir segera berteriak,
"mBakyu... mbakyu Mariam... "
Tidak ada jawaban. Namun telinganya yang peka,
menangkap suara orang sedang menangis dari balik sebuah batu besar. Prayoga memandang Ladrang Kuning sejenak, kemudian ia bergegas ke arah suara tangis. Begitu melihal bahwa yang menangis benar-benar Mariam. sulit digambarkan betapa raaa gembira Prayoga.
Teriaknya, "mBakyu mariam aku datang bersama ibumu"
Perlahan-lahan Mariam mengangkat mukanya. Sepasang matanya tampak merah dan membengkak. Jelas bahwa perempuan ini menangis terus-menerus.
"mBakyu Mariam." tegur Prayoga perlahan, sambil berjongkok di dekat gadis itu.
"Mengapa engkau menangis? Apakah Swara Manis telah menghinamu?"
Plak... tahu-tahu Mariam menampar muka Prayoga keras sekali. Oleh tamparan ini Prayoga heran dan melongo, kemudian tangannya mengusap pipinya yang panas.
"Huh-huh, aku sudah melarang engkau datang ke mari. Tetapi apakah sebabnya engkau masih nekat?" hardik Mariam dengan nada yang geram.
"Aku datang ke mari bersama ibu..." Prayoga menerangkan dengan nada sabar.
"Ibu...?" sahut Mariam. Kemudian gadis ini berkata dengan nada sesal.
"Huh kalau mempunyai ibu tentu takkan bernasib semalang ini ."
Saat itu Ladrang Kuning sedang melangkah hendak menghampiri anaknya. Ucapan Mariam itu didengarnya jelas sekali, dan seketika darah ibu ini bergetar.! Bukan tergetar oleh rasa marah. akan tetapi getar kesedihan seorang ibu yang merasa telah menelantarkan anaknya. sehingga tidak menetapi kewajiban sebagai seorang ibu. Saking haru. kemudian Ladrang Kuning berseru,
"Oh... Mariam... anakku... ."
Mariam mengangkat muka dan memandang. Tampak di depannya seorang perempuan yang rambutnya terurai kusut, tengah memandang dirinya. Ia terkesiap, karena ia merasa, pandang mata perempuan itu penuh rasa kasih sayang, sehingga membuat Mariam melongo... .
Tetapi tak lama kemudian gadis ini sudah berteriak,
"Ibu..." Mariam melompat dan langsung menubruk ibunya, kemudian menyembunyikan wajahnya ke dada ladrang Kuning. Sebaliknya, Ladrang Kuning memeluk anaknya erat sekali, sambil sebelah tangannya mengusap-usap rambut Mariam penuh kasih sayang.
"Ibu... anakmu bernasib malang..." ratap Mariam sambil terisak menangis.
Ratapan anaknya ini bagai sebatang jarum yang menusuk ulu hati Ladrang Kuning. ia semakin mempererat pelukannya, dan berkali-kali menghela napas panjang sambil berusaha menahan menitiknya air mata. Betapapun keras dan anehnya watak Ladrang Kuning. tidak urung tergerak juga setelah bertemu dengan anaknya ini.
"Mariam anakku" katanya perlahan,
"Jangan bersedih. Ibumu takkan meninggalkan engkau lagi ."
Mariam terisak-isak. Kerinduannya terhadap ibu, menyebabkan air matanya membanjir. Di sela isaknya. kemudian gadis ini bertanya,
"Ke mana sajakah ibu selama ini? Dan mengapa pula sebabnya ibu sampai hati meninggalkan aku... .?"
"Oh... oh anakku sekarang aku takkan meninggalkan engkau lagi..." sahut Ladrang Kuning tidak lancar.
Prayoga gembira dapat mempertemukan Mariam dengan ibunya. Dalam kegembiraannya ini, kemudian
ia berkata, "Ibu, tentunya bapa masih di sini. Sebab ketika itu bapa Ali Ngumar bersama paman Wasi Jaladara bertahan di kaki Muria, melawan pasukan Mataram. Apakah ibu... tidak bermaksud bertemu dengan bapa?"
Tetapi justru ucapan pemuda ini. malah membangkitkan amarah ladrang Kuning. Demikian pula Mariam yang sudah tidak diakui lagi sebagai anaknya, menjadi marah, ibu dan anak itu kemudian mengamati Prayoga d angan mendelik.
Prayoga terkesiap. Tetapi ketika matanya bertemu dengan pandang mata Mariam yang digandrungi. berkata seperti orang tidak sadar.
"mbakyu aku bersyukur bahwa engkau masih selamat... ."
Tiba-tiba ladrang Kuning bertanya,
"Anakku... si tolol itu mengatakan. bahwa antara engkau dengan dia sudah adanya ikatan pertunangan. Benarkah itu?"
"Bah... siapa bilang? Dia bohong .." Mariam menyahut kemudian meludah.
"'mBakyu Mariam..." protes Prayoga.
"Bukankah pada malam itu engkau sudah setuju?"
Mariam membentak, "Jangan mengingau! Apakah engkau ini sudah berobah menjadi gila? Kapan engkau bertemu pada malam itu?"
"Malam itu malam Jum'at Kliwon..." sahutnya.
"Tanggal... lima... ."
"Gila..." bentak Ladrang Kuning tiba-tiba.
"Tetapi kalau aku berdusta..." Prayoga bersumpah.
"Biarlah aku mati dipanggang api neraka... ."
'Tak sudi aku mendengar sumpah palsumu..." bentak Mariam.
Ladrang Kuning meloncat maju dan menerkam pundak Prayoga yang tidak sempat menghindar. Akibatnya Prayoga kesakitan, karena cengkeraman itu seperti jepitan baja.
"Ibu mengapa kau marah?" Prayoga heran dan menahan sakit.
Sebelum Ladrang Kuning membuka mulut, Mariam bertanya,
"Apakah sebabnya ibu tahu?"
"Huh... aku bertemu dengan engkau, yang bepergian bersama seorang pemuda tampan," sahut ladrang Kuning.
"Malam itu engkau bersama pemuda itu menyusuri sungai Serang. Hemm... dan bukankah pemuda itu murid terkasih dari Hajar Saptabumi, bernama Swara Manis?"
"Akh... ibu benar... Ya... dia kakang Swara Manis... Dan aku... aku ."
"Aku sudah tahu isi hatimu, anakku,
" hiburnya. "Jangan khawatir. Aku tentu akan melindungi dirimu."
"Ibu..." ratap Mariam.
"Oh... celakanya sekarang... dia dalam cengkeraman ayah... Aku khawatir dia celaka"
"Apa? Mengapa bisa terjadi begitu?" Ladrang Kuning kaget.
Namun sebelum Mariam menjawab, Prayoga sudah mendahului,
"mBakyu Mariam... kalau malam itu engkau tidak setuju hidup bersama aku... mengapa engkau memberi kupu-kupu sutera kepadaku... .?"
Mariam kaget dan heran. Namun hanya sejenak, karena pikirannya sedang terpusat kepada Swara Manis. Lalu sambil memandang ibunya, ia berkata,
"Ibu beberapa hari yang lalu aku ikut serta dalam pasukan Mataram. aku mendengar dari mulut Sarini. bahwa kakang Swara Manis sudah ditangkap dan ditahan ayah"
menghela napas sedih. Sejenak kemudian terusnya,
"ibu... beberapa bulan lalu... ketika aku bersama kakang Swara Manis... dan berperahu ayah telah memaksa diriku dan kakang Swara Manis agar membunuh diri... Bukankah waktu itu ibu juga tahu? Mengingat ancaman ayah waktu itu. begitu mendengar kabar kakang Swara Manis ditahan oleh ayah... aku segera bergegas pergi untuk mencari kakang Swara Manis"
Prayoga bingung setengah mati, cintanya ditolak oleh Mariam. Padahal ia sudah merasa pasti. sesudah terjadinya pertukaran kenang-kenangan waktu itu, Mariam bakal menjadi isterinya. Tetapi mengapa sebabnya sekarang, gadis ini hanya bicara tentang Swara Manis?
Sebaliknya Mariam tidak perduli kepada Prayoga. Bertemu dengan ibunya sekarang ini. dirinya merasa mendapat perlindungan dan tempat menumpahkan rasa hatinya. Sesudah membicarakan Swara Manis yang ditahan ayahnya, kemudian Mariam menceritakan hubungannya dengan Swara Manis yang tidak bedanya susanti-isteri. Dan malah... dirinya sekarang sudah hamil... .
Ia kemudian mengaku kepada ibunya, bahwa kehamilannya itu yang menyebabkan dirinya ragu-ragu meloncat ke dalam jurang untuk membunuh diri. Karena timbul rasa tidak tega kepada calon manusia dalam perutnya. Bukankah calon bayi dalam perutnya itu tidak berdosa?
Mendengar Mariam sudah hamil dan secara paksa akan dipisahkan oleh Ali Ngumar, perempuan ini menjadi amat marah. ia tidak menyalahkan anaknya. tetapi malah menyalahkan suaminya. Menurut cara berpikir Ladrang Kuning. dalam masalah ini kesalahan terletak pada Ali Ngumar. Sehingga rasa benci terhadap suami itu semakin menjadi.
Kemudian ia melepaskan cengkeramannya kepada Prayoga, lalu meloncat pada sebuah batu besar.
Prak!! tangannya memukul batu tersebut, dan hancur berkeping-keping.
Prayoga kaget sekali dan ketakutan. Apabila dirinya yang dipukul, tidak urung kepalanya akan berantakan.
Sebaliknya Mariam menjadi bangga dan gembira. Ibunya seorang sakti. Kalau dirinya berlindung kepada ibunya. jelas keselamatan Swara Manis yang dicintai tak perlu lagi dirisaukan. ia percaya, akan dapat merebut kekasihnya dari tangan ayahnya.
"Mari kita pergi!" ajak Ladrang Kuning sambil menyambar tangan anaknya. Kemudian sekali bergerak, Mariam kaget. Rasanya dibimbing oleh ibunya ini. seperti dapat terbang.
Prayoga yang tinggal sendirian. melongo kagum. Tetapi sesudah ibu dan anak itu tidak tampak lagi, dan teringat pengakuan Mariam bahwa sudah hamil, ia menggaruk rambutnya sendiri yang tidak gatal. Mengapa yang terjadi tidak seperti yang diharapkan, dan mengapa pula sebabnya Mariam ingkar akan janji?
Untuk beberapa saat lamanya ia bingung dan tak dapat berpikir. Rasa cintanya kepada Mariam belum juga dapat dihapus, akan tetapi kenyataannya Mariam sudah hamil.
Masih untung Prayoga tidak tenggelam dalam perasaannya sendiri. Setelah tahu keadaan yang sesungguhnya, bahwa Mariam tidak mencintai dirinya. ia menjadi tahu diri. Tiba-tiba saja datanglah kesadaran pemuda ini. 'Timbul rasa khawatir apabila ibu dan anak itu menimbulkan kekacauan dan keonaran, dan terjadi pertengkaran antara Ladrang Kuning dengan gurunya. Bukankah hal itu apabila terjadi. akan merugikan perjuangan gurunya membela Pati?
Teringat akan kewajibannya sebagai seorang murid yang harus membela gurunya, timbul pula niatnya
untuk mencari Ali Ngumar dan kawan-kawan seperjuangannya. Makin cepat semakin baik. dan oleh sebab itu tanpa pikir panjang lagi ia sudah melompati jurang yang lebar itu.
Saat ini Prayoga memang tidak lagi berpikir dapat tidaknya melompati jurang yang lebar itu. Yang terpikir. kalau berhasil akan menyusul dan mencari gurunya, dan kalau tak berhasil hanyalah mati.
Prayoga tidak menyadari perobahan dirinya sendiri, sesudah mendapat gemblengan Jim Cmg Cing Goling selama dua hari. yang membicarakan tenaga sakti dan tenaga dalam. Berkat petunjuk kakek itu. Prayoga memperoleh kemajuan dalam ilmu dan keadaannya jauh berbeda dengan sebelumnya. Karena itu sekali menjejakkan kaki melompat kakinya berhasil mencapai seberang jurang. Dan begitu berhasil. ia sudah berlarian cepat sekali menuju padepokan gurunya.
Akan tetapi belum jauh meninggalkan tempat itu. mendadak telah dihadang oleh si Bongkok Baskara. Kakek itu ketawa kemudian menegur.
"Hai bocah! Ke mana saja engkau pergi beberapa hari ini? Bukankah engkau mendapat tugas menghancurkan meriam?"
"Aku aku aku " Prayoga kesulitan mengucapkan kata-kata. akibat merasa bersalah, tidak dapat melaksanakan tugas dengan baik.
Kasihan juga Baskara melihat Prayoga gelagapan. Ia tahu bahwa pemuda ini jujur, tetapi kurang pengalaman sehingga mungkin dalam tugas berhadapan dengan kegagalan. Karena kasihan, kemudian ia menepuk pundak pemuda itu sambil menghibur.
"Sudalah nak, tidak perlu gelisah. Mari, kita cepat-cepat menuju ke markas kita yang baru."
"Di mana guru?" tanyanya.
"Tak usah khawatir. gurumu selamat."
Prayoga lega mendengar keterangan itu. Ia segera
mengikuti Baskara menuju ke markas yang baru. Begitu tiba di markas. ia segera bertemu dengan Ali Ngumar dan para tokoh yang lain. Di antara mereka yang hadir, hanya Ali Ngumar saja yang tahu mengapa sebabnya Prayoga gelisah. seakan ingin segera mengemukakan sesuatu. Karena itu sambil menatap Prayoga, tokoh Muria ini bertanya.
"Prayoga, di mana Sarini? Dan mengapa tidak bersama engkau? Dan mengapa pula sesudah melaksanakan tugas, engkau tidak cepat kembali ke markas.?"
Prayoga menundukkan kepala sambil menghela napas panjang. Kemudian pemuda ini menceritakan apa yang sudah terjadi. Selesai bercerita, ia menebarkan pandang matanya, lalu bertanya,
"Guru. apakah ibu guru belum datang?"
"Apa?" Ali Ngumar kaget.
Yang mendengar juga kaget. kemudian perhatian semua orang ditujukan kepada Prayoga. Sedang Prayoga, dengan ucapan yang agak gugup. lalu menuturkan semua yang sudah terjadi. Mendengar penuturan muridnya ini, Ali Ngumar menjadi gugup juga. karena Prayoga tidak mungkin berdusta.
Pada saat agak tegang oleh cerita Prayoga itu, mendadak Baskara muncul sambil menyeret Suara Manis. Pemuda itu tidak dapat berkutik lagi. karena sudah ditelikung. Akan tetapi meskipun dalam keadaan tidak berdaya. mata pemuda itu ditebarkan mengamati semua orang dengan pandang mata benci.
Apa sebabnya pemuda yang licin bagai belut ini, tiba-tiba dapat ditelikung oleh Baskara? Semua itu bukan lain gara-gara Mariam juga.
Seperti telah diceritakan di bagian depan. sesudah Mariam memperoleh keterangan dari Kliwon Prawiromantri, maka gadis itu bergegas menyusul. Mariam yang sedang dirundung rasa gandrung itu, tidak dapat
berpisah lagi dengan Swara Manis. Ia sudah bertekat, apapun yang terjadi akan dihadapi asal saja dapat berdampingan dengan pemuda yang digandrungi itu.
Setelah jaraknya tak jauh lagi dengan kubu pertahanan Pati. ternyata kubu tersebut sedang dihujani oleh peluru meriam pasukan Mataram.
Menyaksikan itu tubuh Mariam gemetaran dan wajahnya menjadi pucat. Dalam hati gadis ini timbul rasa khawatir, kalau kekasihnya menjadi korban peluru meriam di dalam kubu pertahanan tersebut.
Semakin dekat jaraknya dengan kubu pertahanan itu, terdengar oleh Mariam suara hiruk-pikuk. Ia tidak perduli. menerobos asap tebal dan sela-sela api. Setiap orang yang menghadang dan menegur, selalu dijawab dirinya anak Ali Ngumar. Pengakuannya ini menyebabkan tidak seorangpun yang berani menganggu.
Tidak lama kemudian, ia melihat si Bongkok Baskara dan beberapa orang yang lain. Ia cepat menghampiri, dan kemudian tampak pula ayahnya. Ia cepat, menghampiri. lalu berteriak,
"Ayah... di manakah Kakang Swara Manis? Ayah... engkau harus bertanggungjawab atas keselamatannya. dan cegahlah orang yang berusaha mengganggu."
Ketika Ali Ngumar sibuk mengatasi kekacauan akibat hantaman peluru meriam. ia kaget mendengar suara anaknya, dan apa pula melihat pakaian dan rambut yang kusut, menjadi kasihan. Dengan sebat Mariam digelandang masuk ke kubu pertahanan yang masih aman, lalu bertanya.
"Engkau dari mana?"
Akan tetapi Mariam yang hanya memikirkan kekasihnya itu. tidak menjawab pertanyaan ayahnya. malah bertanya,
"Ayah... di manakah kakang Swara Manis?"
Belum juga ayahnya menyahut. Mariam sudah berteriak kalang kabut,
"Kakang Swara Manis... Kakang
Swara Manis... di manakah engkau sekarang... .?"
Melihat anakuya yang berteriak tidak keruan itu, bangkitlah kemarahan Ali Ngumar, Bentakuya,
"Anak durhaka! Huh. . apakah engkau sudah gila?"
Akan tetapi Mariam yang sudan gelap pikir tidak takut kepada siapapun. Dengan tangkas. gadis ini menjawab,
"Aku datang ke mari untuk mencari kakang Swara Manis. lekas terangkan di mana dia sekarang?"
Plak...!! tangan Ali Ngumar melayang, menampar pipi Mariam yang halus. Seketika pipi yang kuning itu menjadi bengkak dan biru, sebagai akibat kemarahan Ali Ngumar yang tak dapat ditahan lagi.
Namun gadis yang sudah menjadi buta oleh cintanya itu. tidak takut malah menantang.
"Huh, pukuli, aku sampai mampus. Sangkamu aku takut? Hanya satu permintaanku, janganlah berusaha membuat kakang Swara Manis celaka."
Semua yang menyaksikan tidak berani mencampuri walaupun dalam hati tidak tega. karena mereka takut apabila Ali Ngumar tambah marah. Untung sekali di antara yang hadir terdapat si Bongkok Baskara. lalu menghampiri sambil berkata.
"Cucu Mariam. ketahuilah bahwa Swara Manis sudah berhasil lolos dari tempat ini. Sekarang lebih baik engkau menyingkir dulu untuk istirahat. agar tidak mengganggu kami yang sedang sibuk."
"Syukurlah kalau begitu," kata Mariam yang percaya keterangan Baskara.
Kemarahan Ali Ngumar agak mereda, kemudian berkata halus.
"Sekarang istirahatlah dahulu. Sebab aku masih akan bertanya kepadamu."
Mariam tidak membantah. tetapi ia tidak istirahat malah keluar dengan maksud mengetahui keadaan. Walaupun hubungannya dengan Baskara erat juga di saat
masih sebagai bujang rumah tangganya. namun Mariam belum percaya akan keterangan Baskara. Menurut pikirannya, kalau toh benar kekasihnya telah lolos, mengapa tidak segera kembali ke kubu pertahanan Mataram? Ia memperhatikan semua orang yang sedang sibuk mengatur penahanan.
"Kakang Swara Manis!" teriak Mariam tiba-tiba.
Semua orang kaget dan heran. Akan tetapi berbareng itu, seorang anak buah Wasi Jaladara segera menyelinap di tengah kerumunan orang. dengan gerakannya yang cepat dan gesit.
Gerakan orang itu diketahui pula oleh Wasi Jaladara. Membuat orang tua jujur ini heran dan bertanya tanya, mengapa di antara anak buahnya terdapat seorang muda sakti, dan selama ini tidak pernah mau menonjolkan diri?
Kalau Wasi Jaladara yang jujur hanya merasa heran. sebaliknya si Bongkok Baskara bertindak cepat. Ia sudah melesat dan menerobos kerumunan orang. Namun karena cuaca masih agak gelap, Baskara kehilangan jejak.
"Cucuku Mariam, benarkah engkau tadi melihat Swara Manis?" tanya Baskara setelah menghampiri Mariam.
Sekalipun saat itu pikirannya sedang kalut, namun ia masih ingat bahwa Baskara ketika itu dikenal sebagai kakek gagu. ia menjadi kaget, lalu bertanya,
"Kakek gagu. apakah sebabnya engkau sekarang bisa bicara?"
Baskara tidak menjawab, kemudian bertukar pandang dengan Wasi Jaladara.
Swara Manis memang pemuda licin dan cerdik. Sejak berangkat menunaikan tugas, ia sudah mengenakan pakaian rangkap. Di bagian dalam, pakaiannya mirip dengan pakaian anak buah Wasi Jaladara. Sedang bagian luar, pakaiannya sendiri. Semalam ketika berhasil lolos. Swara Manis sadar bahwa dirinya dikejar oleh Baskara. Cepat-cepat ia menyelinap ketikungan, lalu melepas pakaian sendiri dan menyamar sebagai anak buah Wasi Jaladara. Oleh kelicinannya ini, membuat semua orang tak mengenalnya lagi. dan si Bangkok Baskara tak dapat menemukan.
Penyamaran Swara Manis bisa berhasil, karena Sarini membawa anak buah yang jumlahnya sekitar 200 orang. Akibatnya di antara anak buah itu. apa pula yang tidak saling kenal. Keadaan ini amat menguntungkan Swara Manis. dan kalau mau dengan mudah dapat meninggalkan kubu pertahanan ini. Namun ia tidak mau pergi, dan ingin menyaksikan, apa yang akan terjadi kalau kubu pertahanan ini dihujani oleh peluru meriam. Ia sudah memutuskan, akan mengacau dari dalam.
Ketika pagi tiba dan terdengar dentuman meriam, Swara Manis gembira bukan main. Namun kegembiraannya itu hanya sejenak. berganti dengan rasa kaget ketika melihat Mariam muncul di kubu pertahanan ini. Ia sudah menduga, gadis ini tentu mencari dirinya.
Dugaannya ternyata benar. Mariam yang kenal sccara baik dengan dirinya sudah memanggil. Ia kaget sekali dan menyelinap. Tetapi bagaimanapun juga, kehadirannya sekarang telah diketahui orang.
Dalam keadaan ribut ini, Ali Ngumar telah meloncat ke arah Mariam. Menurut pendirian Ali Ngumar, anaknya ini sekarang merupakan seorang musuh yang berbahaya. Ia tak boleh memberi ampun dan harus menghukum.
"Ayah" teriak Mariam yang kesakitan, karena pundaknya telah dicengkeram oleh ayahnya.
Akan tetapi Ali Ngumar sudah tidak perduli lagi.
Sekalipun anaknya. kalau berkhianat harus dihukum. Sepasang lengan Mariam segera ditekuk ke belakang, lalu perintahnya kepada seseorang yang terdekat,
"Ringkus dan ikat perempuan ini erat-erat, jangan sampai lepas!"
Perintah Ali Ngumar tegas. tanpa keraguan sedikitpun. Ketegasan sikap Ali Ngumar ini membuat semua orang yang mendengar kagum berbareng keder hatinya.
"Api... api... api... ."
Teriakan itu riuh saling susul, menyebabkan orang tambah ribut. Semua orang berserabutan dalam usaha memadamkan api. Celakanya air kurang, sehingga api tak dapat diatasi dalam waktu singkat.
Baskara yang cerdik segera dapat menduga, api kebakaran ini tentu hasil perbuatan Swara Manis. Dengan gesit kakek ini menuju ke tempat api yang sedang berkobar, untuk mengetahui keadaan.
Wasi Jaladara yang selalu siap-siaga. melihat seseorang membawa obor berloncatan di antara api. Melihat ini Wasi Jaladara amat marah. dan dapat menduga tentu orang itulah yang sudah menimbulkan kebakaran.
Pembawa obor itu memang Swara Manis. Merasakan sambaran angin serangan ia ketawa dingin. Dengan sebat ia memutar tubuh. kemudian menyambitkan obor tersebut ke arah Wasi Jaladara. Yang diserang gelagapan karena tidak pernah menduga. Ia miringkan kepala, tetapi celakanya api tidak kenal ampun. Dan sebagai akibatnya, sebagian jenggot dan rambutnya terjilat oleh api.
Wasi Jaladara marah bukan main. Tetapi gangguan api tadi membuat dirinya terlambat bergerak. dan Swara Manis menggunakan kesempatan itu. meloncat ke sampingnya sambil meninju dada. Untung sekali Wasi Jaladara bukan orang sembarangan. Walaupun agak
sakit oleh sambaran api, masih dapat menghindarkan diri dan membalas.
Akan tetapi Swara Manis memang tangkas. Tibatiba tubuhnya melenting ke udara. Di saat tubuh masih di udara ini. kakinya bergerak menendang kepala lawan. Untuk menghindarkan diri. terpaksa Wasi Jaladara melompat mundur.
Untung pada saat itu Baskara muncul. Dengan tangkas tangannya bergerak untuk mengusir asap yang memenuhi tempat itu. dan kemudian menerjang maju. Swara Manis kaget dan khawatir. Tak mungkin dirinya dapat melawan kalau dikeroyok dua. Jalan yang terbaik. dirinya harus segera melarikan diri menerobos masuk ke kerumunan orang yang sedang memadamkan api.
Baskara dan Wasi Jaladara berusaha mengejar, untuk menangkap pemuda itu. Celakanya, pada saat itu peluru meriam meledak di tengah kubu pertahanan. membuat kalut dan ribut semua orang. Akibatnya dua 0rang tokoh ini kehilangan jejak.
Apa yang terjadi justru jasa Swara Manis. Tadi meriam Mataram bungkam karena kehilangan sasaran. Sesudah Swara Manis tidak memberi tanda yang diperlukan. Tetapi atas jasa kobaran api yang dibuat oleh Swara Manis, pihak Mataram segera dapat mengetahui kedudukan musuh secara jelas. Oleh sebab itu pihak Mataram segera menghujani serangan meriam lagi.
Serangan meriam pagi hari ini kuasa membuat semangat dan keberanian pasukan berantakan. Mereka kebingungan. dan mereka ingin menyelamatkan diri.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang. saudara Ali?" teriak Jaladara.
"Mundur!" seru Ali Ngumar.
"Perintahkan semua 0rang secepatnya meninggalkan kubu pertahanan ini dan mundur."
Wasi Jaladara segera memimpin gerak mundur pasukannya. Sebaliknya Ali Ngumar yang masih penasaran kepada Swara Manis. berseru kepada Baskara.
"Hai Saudara Baskara! Kubu ini sulit kita pertahankan lagi. Sebelum terlambat mari kita cari Swara Manis sampai ketemu. Kalau sampai gagal. aku malu kepada Wasi Jaladara."
Baskara mengangguk. Kemudian mereka berpencar lagi untuk mencari Swara Manis.
Pemuda itu memang cerdik. Untuk menghilangkan jejak ia justru bersembunyi di dalam bangunan yang sedang terbakar. Maksudnya apabila kubu ini sudah kosong dengan gampang dirinya dapat pergi lalu menggabungkan diri dengan Mataram.
Sayangnya di tempat ini hadir si Bongkok Baskara yang cerdik. Setelah beberapa lama tak dapat menemukan jejak pemuda itu, timbul dugaan Baskara kalau Swara Manis menyembunyikan diri dalam bangunan yang sudah menjadi mangsa api. Dugaannya ternyata benar. membuat Suara Manis kaget sekali.
Celakanya kali ini Baskara sudah menyerang tan-pa memberi peringatan. Api berkobar di sekitarnya. Ada yang belum menjadi mangsa api bagian di mana Baskara muncul. Karena tak ada jalan lain, Swara Manis tidak menghindar tetapi menangkis.
Plak...!! Swara Manis kaget setengah mati sesudah beradu telapak tangan.
Begitu beradu tangan. Swara Manis merasakan seluruh tubuhnya kesemutan. Cepat-cepat ia melompat ke samping. kemudian menyerang pinggang lawan. Baskara ketawa dingin. Begitu serangan Swara Manis tiba, kakek ini memutar tubuh sehingga jari tangan pemuda itu menyerang secara tepat ke daging punuk. Tetapi setelah jari tangannya menyentuh punuk. pemuda ini kaget setengah mati. Punuk itu lunak seperti kapas. dan ketika berusaha menarik jari tangannya. Baskara sudah ketawa terkekeh sambil menerkam.
"Celaka!" Swara manis mengeluh. Ia sudah menduga, tidak mungkin dirinya dapat menyelamatkan diri lagi.
Bum... mendadak sebutir peluru meriam meledak lagi dan menggetarkan sekitarnya. Letusan itu menyebabkan Baskara terganggu perhatiannya, sehingga Swara Manis dapat menggunakan kesempatan. Secepatnya Swara Manis menarik jarinya yang semula terjepit punuk tapi... aih sakitnya tidak kepalang. Karena jarinya sudah merah dan membengkak. Meskipun demikian ia tidak menghiraukan jarinya yang sakit, yang penting harus menyelamatkan diri. menerobos api berkobar. Dengan kipas bajanya ia dapat menyelamatkan diri dari kobaran api. Akan tetapi baru saja keluar dari api ia kaget oleh teriakan Mariam,
"Kakang Swara Manis"
Matanya masih silau. tak memperdulikan panggilan itu dan meloncat ke depan. Tiba-tiba terdengar suitan nyaring dan tana-tahu Ali Ngunidr sudah menghadang di depannya.
Swara Manis sadar, berhadapan dengan Ali Ngumar, dirinya tak mungkin dapat lolos lagi. Namun sebelum ajal berpantang maut ia harus menggunakan tipu muslihat. Ia sudah dapat melihat jelas. Mariam berdiri mematung dan sepasang matanya sedang mengawasi dirinya. Swara Manis dapat melihat jelas. kalau tangan gadis itu diikat dengan tali sehingga tak dapat bergerak bebas.
"Diajeng Mariam, apakah engkau terluka?" tegurnya halus.
"Aku tak menderita apa-apa," sahut Mariam manis. Sama sekali tidak disadari oleh Mariam, bahwa teguran Swara Manis tadi hanyalah pura-pura.
Swara Manis gembira dan akan berkata lagi. Tetapi mendadak pundaknya sakit, sudah dicengkeram orang dari belakang, dan yang melakukan ternyata Baskara. Ia licin, menyadari tak mungkin dapat lolos, ia tidak melawan. Kemudian sambil menyungging senyum. berkata.
"Paman. aku tak mungkin dapat lolos lagi. Hem, apakah perlunya paman menggunakan tenaga penuh untuk mengalahkan aku?"
"Cuh... " Baskara meludahi muka Swara Manis saking marah atas sindiran itu.
Semburan ludah itu ternyata membuat muka Swara Manis amat sakit. Namun sebagai seorang pemuda licin, ia tersenyum dan berkata,
"Terimakasih atas pengajaran paman .."
"Hus... jangan kurangajar!" bentak Ali Ngumar.
Swara manis, tak berani mengoceh lagi. Kemudian tangannya ditelikung ke belakang, lalu diikat dengan otot kerbau. Sesudah itu Mariam diperlakukan sama, kemudian dua orang muda ini diangkat dengan kayu dan dipikul oleh Ali Ngumar dan Baskara, pergi meninggalkan tempat itu.
Ketika Ali Ngumar dan Baskara pergi. markas itu sudah kosong. Semua anak buah Wasi Jaladara telah lebih dahulu mengundurkan diri ke tempat aman.
Mariam menyadari bahwa dirinya tak mungkin lepas lagi dari tangan ayahnya, dan mungkin dirinya akan dibunuh mati. Akan tetapi walaupun toh harus mati. ia merasa puas asal saja berada di samping pemuda kekasihnya. Justru tiada rasa khawatir ini, maka sepanjang perjalanan Mariam selalu bicara. Sebaliknya, Swara Manis menanggapi segala ucapan Mariam. sebab satu-satunya harapan keselamatannya hanya menggantungkan pengaruh Mariam atas ayahnya.
Sesudah berjalan agak jauh. Ali Ngumar berkata,
"Saudara Baskara. Saat ini aku akan melakukan sesuatu, dan aku minta engkau menjadi saksi. Hemm aku malu dituduh oleh sekalian orang. bahwa aku sebagai ayah sangat lemah terhadap anaknya. Seorang ayah yang dianggap tidak sanggup bertindak tegas kepada anak perempuannya, yang sudah berkhianat dan berbuat hina... ."
"Ya..." sahut Baskara. Ia sudah mengenal watak Ali Ngumar. membantahpun tak ada gunanya, maka yang dilakukan hanyalah mengiakan.
Berbeda dengan Swara Manis. walaupun sudah ditelikung dan tak dapat bebas lagi. masih dapat mengejek,
"Ha-ha, dalam usaha mengejar nama kosong, seorang ayah tega membunuh anak sendiri. Bukankah perbuatan itu namanya sewenang-wenang dari tidak berperi kemanusian?"
Ali Ngumar terperanjat. Diam-diam ia mengakui bahwa ucapan Swara Manis memang tepat. Akan tetapi apabila teringat perbuatan Mariam dan Swara Manis yang berpihak kepada Mataram, sulit untuk dapat memberi ampun.
Tak lama kemudian tibalah mereka pada suatu tempat. Mcreka berhenti. lalu Ali Ngumar bertanya kepada Baskara,
"Aku ingin bertanya kepadamu. Aku ataukah engkau yang harus turun tangan melaksanakan hukuman?"
Baskara mengamati Ali Ngumar sejenak. kemudian menjawab.
"Bolehkah aku bicara barang sedikit?"
Ali Ngumar mengangguk. "Aku berpendapat, bahwa kesalahan Mariam tidak dapat disamakan dengan dosa Swara Manis. Oleh sebab itu menurut pendapatku, antara Mariam dan Swara Manis harus lain."
"Hem... hati bisa memberi maaf, tetapi hukum tidak dapat dilanggar!" sahut Ali Ngumar.
"Hai kakek gagu." teriak Mariam.
"Engkau jangan

Cinta Dan Tipu Muslihat Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

usil mencampuri urusanku. Huh. tahukah engkau bahwa aku sudah bertekat, mati atau hidup akan tetap bersama kakang Swara Manis?"
Sesudah itu Mariam meneruskan. ditujukan kepada Swara Manis,
"Kakang. kini kita berdua sudah di ambang maut. Untuk itu sebaiknya aku berterus terang kepadamu, bahwa aku sekarang sudah hamil... ."
Swara Manis gembira bukan main mendengar pengakuan Mariam yang sudah hamil itu. Kegembiraan ini bukan karena akan memperoleh anak. akan tetapi memperoleh pikiran dan akal untuk menghadapi kesulitan.
Ali Ngumar tambah marah mendengar pengakuan anaknya. sudah hamil sebagai hasil hubungannya dengan Swara Manis. Padahal antara Swara Manis dengan Mariam belum kawin. Tentu saja hamilnya Mariam ini, akan menimbulkan aib dalam keluarganya. Saking tak kuasa menahan marahnya lagi. Ali Ngumar sudah mengangkat tangan untuk memukul kepala Mariam.
"Jangan..." teriak Swara Manis.
"Andaikata diajeng Mariam dosanya besar sekali. dan harus pula ditebus dengan nyawa, akan tetapi calon manusia dalam perutnya tidak ikut berdosa dan suci. Apabila hukuman mati ini dilaksanakan sekarang juga, apakah tidak berarti sewenang-wenang dan kejam... .?"
Ali Ngumar tertegun mendengar ucapan Swara Manis.
"Paman Baskara!" katanya lagi dalam usaha mencari selamat.
"Kalau paman Ali Ngumar tak juga mau memberi ampun kepada calon manusia yang tak berdosa itu. bagaimanakah pendapatmu?"
Sebelum Baskara sempat menyahut. Ali Ngumar ketawa dingin lalu menyambar tubuh Mariam, dipondong dan dibawa lari secepat terbang.. Kemudian Mariam dibawa ke salah satu puncak. yang dipisahkan oleh jurang lebar yang tak mungkin dapat dilewati oleh Mariam. Sesudah memutuskan semua tali yang mengikat, kemudian ia berkata.
"Tempat ini cukup luas sebagai tempat tinggalmu,, menunggu lahirnya anakmu. Setahun kemudian aku akan datang ke mari untuk melaksanakan hukuman itu!"
Setelah berkata Ali Ngumar melompat kembali, menghampiri Baskara. Tanpa menghiraukan Mariam yang kebingungan, ia sudah mengajak Baskara meneruskan perjalanan.
Tak mengherankan. seperti diceritakan di bagian depan, Prayoga dan Sarini menemukan Mariam berdiri mematung pada puncak yang dipisahkan oleh jurang lebar.
"Mengapa bangsat busuk ini tidak segera engkau bunuh?" tanya Baskara di perjalanan.
'Tak perlu khawatir! Sebab dia takkan dapat lolos lagi. Hem... setahun lagi hukuman itu akan aku laksanakan. agar diderita bersama-sama antara dia dengan Mariam. Dan jika hukuman itu aku laksanakan sekarang, tentu akan penasaran!" sahut Ali Ngumar.
Itulah yang terjadi, sehingga Mariam berada di tempat yang dipisahkan oleh jurang lebar. Maksud Ali Ngumar. anaknya ditawan di tempat itu sampai melahirkan anaknya. Akan tetapi manusia bisa berusaha, Tuhanlah yang menentukan segalanya. Tanpa sengaja. Prayoga telah menuntun Ladrang Kuning datang ke tempat Mariam.
Nah, sesudah para pembaca memperoleh gambaran jelas tentang sebabnya Swara Manis dapat ditawan lagi. sudah tiba saatnya kita sekarang kembali ke jalan cerita semula.
*** Swara Manis yang sudah ditelikung itu dihadapkan kepada para tokoh, dengan maksud agar pemuda licin
ini memberi keterangan tentang pasukan Mataram. Namun sayangnya belum juga terlaksana maksud itu di luar terdengar suara ribut dan dilain saat serangkum angin keras meniup ke dalam ruangan. Beberapa orang yang kurang kokoh tenaga dalamnya sudah tergempur dan tubuhnya mengigil. Ketika angin dingin itu mereda. tahu-tahu dalam ruangan ini telah bertambah dua orang wanita. yang bukan lain Ladrang Kuning dan Mariam.
"Kakang... mengapa engkau?" jerit Mariam melihat Swara Manis tak berkutik.
Semangat Swara Manis terbangun mendengar suara Mariam dan pula disertai perempuan aneh yang dulu pernah membela dirinya. Sahutnya mantap.
"Diajeng aku tidak menderita sesuatu."
Ladrang Kuning menyapu sekeliling. Kemudian pandang mata perempuan ini berhenti kepada Ali Ngumar. Di pandanganya suami itu dengan tajam. Baru sesaat kemudian ia ketawa terkekeh nadanya menyeram kan hingga orang bergidik. Sesudah itu dengan langkah perlahan ia menghampiri Swara Manis. Menggunakan ujung jarinya ia mengungkit tubuh Swara Manis. Ketika tubuh Suara Manis terlempar ke atas, tangannya sudah menyambut. Sekali pijat. tali-tali yang mengikat tubuh Swara Manis semuanya sudah putus. dan Suara Manis bebas. Kemudian sesudah lepas. pemuda ini ketawa terkekeh mengejek, lalu menghampiri Mariam.
Ali Ngumar kaget sekali atas kehadiran isteri bersama anaknya ini. Sebenarnya ia ingin memberi penjelasan tentang salah paham yang sudah terjadi duabelas tahun lalu. Akan tetapi demi dilihatnya Ladrang Kuning membebaskan Swara Manis. wajahnya menjadi tegang dan tak jadi membuka mulut. Akibatnya orang lainpun tidak ada yang berani membuka mulut.
"Ibu... anak menghaturkan terimakasih,
" katanya, halus penuh bujukan, sambil mengerling Mariam.
Kerlingan mata yang memancarkan cinta kasih itu. membuat Mariam gembira. Sedang ladrang Kuning karena belum tahu akan kelicikan pemuda itu ikut tersenyum gembira. karena mendapatkan seorang menantu tampan. Dalam keadaan seperti ini Mariam merasa seperti mati hidup kembali. Hingga gadis ini tidak dapat berkata apa-apa.
Di pihak lain, kemudian Ladrang Kuning mondar mandir dalam ruangan itu seakan menjaga, kalau ada orang yang berani mengganggu anak dan menantunya.
Ali Ngumar menyadari bahwa semua peristiwa ini merupakan ekor dari peristiwa duabelas tahun lalu. Karena itu ia terpaksa menahan diri menyaksikan tingkah laku Swara Manis dan Mariam yang menyebalkan dan tak tahu malu itu, berpelukan di depan orang banyak.
Namun semua itu tidak berlangsung lama. Ali Ngumar berkata halus ditujukan kepada isterinya,
"Diajeng Rasa Wulan selama kita berpisah. apakah engkau selalu dalam keadaan sehat walafiat?"
Ladrang Kuning kaget dan heran menyaksikan sikap suaminya. Pada mulanya ia sudah menduga, suaminya akan bersikap dan bertindak keras. Namun sayangnya jiwa perempuan ini sudah diracuni oleh peristiwa duabelas tahun lalu. sehingga tidak dapat menyelami ucapan suaminya yang halus. Malah kemudian ia beranggapan bahwa suaminya hanya berpura-pura saja. Sebagai sikap seorang pengecut tak tahu malu. Akibatnya Ladrang Kuning bersikap angkuh. Kemudian ia ketawa terkekeh dan mengejek.
"Hai Kilat Buwono! Hemm... ternyata engkau masih tetap saja seperti duabelas tahun lalu. Engkau takut mati dan sikapmu sebagai pengecut. Huh-huh... dengan orang semacam engkau aku tidak sudi mengotori tanganku."
Setelah berkata ia memalingkan muka kepada Mariam dan Swara Manis, mengajak pergi. Sebelum pergi,
Ladrang Kuning memandang suaminya dengan pandang mata menghina. Namun Ali Ngumar menyabarkan diri, dan hanya menghela napas untuk melonggarkan dadanya yang seperti tertindih batu besar.
Tetapi Baskara yang sejak tadi berdiam diri, berseru,
"Ladrang Kuning... sudilah berhenti dulu."
"Apa?" bentaknya.
"Engkau hendak menghalangi?"
"Tidak." sahut Baskara.
"Tetapi engkau tadi menyinggung-nyinggung peristiwa duabelas tahun lalu dan engkau menuduh Kilat Buwono seorang suami pengecut dan takut mati. Apakah engkau tahu jelas akan keadaan peristiwa itu terjadi?"
Tanpa menunggu ladrang Kuning sempat membuka mulut, Baskara telah menuturkan peristiwa yang terjadi waktu itu dengan lancar. Ia menceritakan tentang tipu muslihat orang yang menyewa Dasamuka supaya menyamar Ali Ngumar. Tujuan orang itu bukan lain karena hendak mencuri pedang pusaka Ladrang Kuning dan Kilat Buwono.
Semua orang yang hadir di situ segera memberikan dukungan karena Dasamuka secara pandai sekali. belum lama berselang telah menymar sebagai Ali Ngumar di Pulau Bawean.
Mau tak mau tergerak juga hati Ladrang Kuning, walaupun belum percaya seluruhnya.
Ali Ngumar melangkah ke depan dan kemudian berkata halus,
"Diajeng Rasa Wulan. ketika aku menyelam di laut, aku berhasil menemukan kotak emas ini. Jika engkau percaya keterangan saudara Baskara, hendaknya engkau sedia pula menerima kembali kotak emas ini."
Demi melihat kotak emas yang diangsurkan suaminya, terkenanglah Rasa Wulan akan peristiwa duapuluh satu tahun yang lalu, ketika ia menerima kotak emas itu
dari tangan Ali Ngumar, menjelang menjadi suami isteri.
Dalam hembusan angin kenangan, samar-samar ia melihat Ali Ngumar yang berdiri di depannya ini, berobah menjadi Ali Ngumar sebagai pemuda tampan. Maka tanpa ragu lagi, tangannya diulurkan dan menyambut kotak emas itu.
Beberapa saat kemudian ia tersadar dari lamunan. Betapa kaget ketika di tangannya sudah dipegang kotak emas itu. Dan karena disaksikan oleh puluhan pasang mata di ruangan itu, ia menjadi agak kikuk juga.
Untuk mengurangi rasa malunya, buru-buru ia mengalihkan perhatian, mengancam Baskara.
"Hai Bongkok! Jika engkau berani bohong kepadaku. awas. Sekalipun sembunyi ke lubang semut. tidak urung akan aku cabut nyawamu!"
Baskara tidak gentar sedikitpun. malah ia ketawa bergelak gelak.
"Diajeng Wulan, percayakah engkau bahwa aku ini menjadi orang yang pengecut tak tahu malu? Hemm sesudah berhasil mencuri pedang pusakamu entah orang itu menyerahkan kepada siapa. Tetapi engkau dapat menanyakan langsung kepada dia!" Ali Ngumar menunjuk kepada Swara Manis.
Mendengar kata-kata suaminya yang lancar itu. Ladrang Kuning menjadi percaya akan keterangan Baskara. Untuk beberapa jenak perempuan itu terlonggong longgong. Ia tidak tahu apa yang dirasakan sekarang ini.
Belasan tahun lamanya ia mendendam kepada suaminya sendiri. Belasan tahun lamanya ia bercita-cita akan menghukum suaminya. Akan tetapi ternyata. sekarang sesudah bertemu, semua itu sebagai akibat salah paham. Ternyata suaminya bukan seorang laki-laki pengecut. Ah... .ia menjadi masygul sendiri.
Beberapa saat kemudian Ladrang Kuning berteriak,
"Huh. sekalipun disembunyikan di mulut naga. pedang
pusaka itu akan tetap aku cari sampai ketemu. Nah. sampai jumpa lain waktu."
Betapa gembira hati Ali Ngumar setelah tahu. isterinya dapat menerima penjelasan. Katanya,
"Diajeng, apakah engkau akan pergi lagi?"
ladrang Kuning mengangguk.
Yang disebut-sebut pedang pusaka itu sebenarnya merupakan sepasang pedang warisan Sunan Muria, yang kemudian sesudah berpindah tangan beberapa kali dari murid keturunan. jatuh ke tangan Ladrang Kuning dan Kilat Buwono. Pedang pusaka sepasang itu mempunyai nama. Yang dipercayakan kepada Ali Ngumar bernama Kyai Baruna. dan yang diwariskan kepada Ladrang Kuning bernama Nyai Baruni. Tetapi sejak pedang Nyai Baruni hilang dicuri orang. Ali Ngumar menyimpan pedang Kyai Baruna dan tidak dipergunakan lagi.
Sekarang setelah ladrang Kuning tahu duduk perkara yang sesungguhnya, dalam hati sudah memutuskan, akan mencari pedang Nyai Baruni yang telah dicuri orang. Dan sesudah berhasil menemukan pedang pusaka itu, barulah ladrang Kuning sedia mendampingi suaminya lagi sambil, menikmati sisa hidup yang sudah tua.
Ketika melihat Ladrang Kuning akan mengajak Swara Manis. Wasi Jaladara cepat mencegah.
"Ladrang Kuning jika engkau mau pergi, silahkan pergi. Akan tetapi orang yang besar dosanya itu. tinggalkan saja di sini!"
Swara Manis yang licik menjadi khawatir kalau rahasianya diketahui Ladrang Kuning. Katanya mengejek,
"Paman Jaladara. Jika aku tetap tinggal di sini, aku khawatir engkau tidak tahan melihatnya."
Sambil mengejek. Swara Manis dengan sikap mesra segera membimbing Mariam untiuk mengikuti Ladrang Kuning. Dalam saat seperti ini, yang kedudukannya paling sulit Ali Ngumar sendiri. Apabila ia berkeras menahan Swara Manis, kemungkinan besar dirinya harus berhadapan dengan isterinya sendiri. Ia menjadi khawatir kalau isterinya yang baru saja sadar akan kesalah pahaman itu. menjadi salah paham lagi. Oleh sebab itu Ali Ngumar hanya berdiam diri dan mengamati Swara Manis penuh kebencian.
"Hem. siapapun yang berani menghalangi kepergian kami bertiga. silahkan memulai!" ancam Ladrang Kuning.
"Dan siapapun yang yang ingin mati silahkan mencoba!"
Wasi Jaladara yang kasar dan jujur tak dapat pikir panjang lagi. Ia melompat dan menyerang dengan tongkatnya. sambil berteriak.
"Jangan sombong. Terimalah 'Tongkatku ini!"
"Jangan!" teriak Ali Ngumar mencegah.
Akan tetapi terlambat. Tongkat Wasi Jaladara telah menyambar Ladrang Kuning. Dengan gampang Ladrang Kuning menangkap ujung tongkat. lalu ditarik ke belakang, membuat Wasi Jaladara terhuyung hampir jatuh. Ia kaget dan akan melepaskan tongkatnya. tetapi terlambat. Ketika tangan ladrang Kuning mendorong. tubuh Wasi Jaladara terlempar ke belakang.
Celaka! Apabila sampai terbentur tiang, tak urung nyawa Wasi Jaladara melayang.
Tiba-tiba Baskara sudah melesat. kemudian menyambut Wasi Jaladara dengan punggungnya.
Hek... .!! Serangan yang dilancarkan Ladrang Kuning memang hebat luar biasa. Walaupun tokoh sakti seperti Jim Cing Cing Goling. Kigede Jamus dan beberapa tokoh sakti lainnya. sukar untuk menolong dan menyelamatkan Wasi Jaladara dari kematian. Tetapi untung Baskara memiliki keistimewaan. Dengan menggunakan daging punuknya, dapat menerima tubuh Wasi Jaladara. sehingga Wasi Jaladara selamat.
Akan tetapi sekalipun dapat menyelamatkan Wasi Jaladara, si Bongkok Baskara menerima akibatnya. Dorongan tenaga sakti yang hebat sekali dari Ladrang Kuning tadi kuasa membuat Baskara terluka dalam dan huak... muntah darah segar.
Ali Ngumar gugup, menghampiri dan bertanya,
"Engkau terluka... .?"
Baskara seorang jago sakti yang berhati keras. Walaupun terluka dalam cukup parah, ia menyahut tenang,
"Tak apa. Kalau beristirahat empat bulan, aku akan sembuh."
"Hem siapa lagi yang berani menghalangi?" tantang Ladrang Kuning.
Namun Ali Ngumar tidak puas. Katanya halus.
"Diajeng Wulan, engkau bisa melakukan apa saja yang kau ingini. Tetapi sudilah engkau meninggalkan orang bernama Swara Manis itu. Dia seorang laki-laki berwatak serigala. dan dia seorang begundal Mataram."
"Hemm. jika aku tetap akan membawanya engkau mau apa?" tantang Ladrang Kuning dengan wajah berobah beringas. Rupanya penyakit sintingnya kumat lagi. Ali Ngumar terkesiap. Kalau melarang, dirinya harus berhadapan dengan isterinya. Sebaliknya kalau membiarkan, ia malu kepada semua orang yang menyaksikan. Karena bimbang. menyebabkan Ali Ngumar tak dapat membuka mulut.
"Masing-masing manusia mempunyai cita-cita sendiri!" ujar Ladrang Kuning.
"Mengapa engkau akan memaksa dan berarti hendak mengorbankan dua jiwa manusia sekaligus?"
Di antara mereka yang hadir, hanya Baskara yang masih dapat berpikir jauh. Untuk menolong keadaan, ia cepat berkata,
"Ladrang Kuning, jika engkau memang menghendaki. bawalah sekarang juga. Kehadiran orang itu di sini. hanya akan membangkitkan kemarahan orang banyak. Hari ini dia bisa lolos, tetapi lain hari ada saatnya ditangkap lagi."
Ladrang kuning ketawa dingin. Kemudian tanpa bicara lagi. ia mengajak Swara Manis dan Mariam meninggalkan tempat itu.
Demikianlah pada akhirnya, Swara Manis yang licin dapat lolos lagi atas pertolongan ibu mertuanya. Akan tetapi justru Ladrang Kuning yang terlalu percaya kepada "menantunya" ini, kemudian hampir celaka oleh tipu muslihat Swara Manis yang curang.
Sesudah Ladrang Kuning pergi. kubu pertahanan itu menjadi sibuk. Mereka kembali membicarakan perjuangan. Mereka menyesal bahwa perlawanannya kepada musuh selalu gagal. Dalam keadaan seperti itu, timbul kekhawatiran mereka akan keselamatan Pati yang tentu akan diserbu pasukan Mataram di bawah pimpinan Tumenggung Wiroguno.
Ali Ngumar yang sudah tenang kembali. teringat kepada Darmo Saroyo dan Darmo Gati. Lalu ia bertanya kepada Prayoga.
"Apakah selama ini engkau tak pernah bertemu dengan pamanmu Darmo Saroyo dan Darmo Gati?"
"Saya sendiri juga heran mengapa paman berdua tanpa kabar. Mungkinkah mereka sudah di Pati dan mengatur pertahanan dan perlawanan di sana?" sahut Prayoga.
"Ya. mudah-mudahan memang di sana," akhirnya Ali Ngumar menghela napas panjang.
"Apabila di tempat ini kita di tekan oleh musuh. aku juga khawatir kalau Pati mendapat tekanan musuh."
"Lalu apa yang harus kita lakukan?"
Ali Ngumar menghela napas panjang. Dalam hati
sangat ingin mengundurkan musuh lalu bergabung mempertahankan Pati. Akan tetapi celakanya, saat ini musuh sedang mengancam Muria. dan khawatir kalau musuh sampai merusak makam Sunan Muria.
"Prayoga." katanya kemudian.
"Aku memang khawatir akan keselamatan Pati. Sebab sekalipun Gusti Adipati sakti mandraguna. tetapi kalau kekurangan teman seperjuangan yang mempertahankan Pati. aku menjadi khawatir juga. Sediakah engkau aku tugaskan ke Pati mewakili aku?"
Prayoga seorang murid yang setia dan taat kepada gurunya. Kesetiaan dan ketaatannya dapat diukur ketika terjadi penyamaran yang merugikan nama baik Ali Ngumar dan ia tetap membela mati-matian.
"Apapun perintah bapa, akan murid laksanakan. Kapankah murid harus pergi ke Pati?"
"Sekarang juga!"
Wajah Prayoga berseri. Ia segera minta diri kepada sekalian yang hadir. Sebenarnya inginlah Wasi Jaladara mencegah. karena merasa cocok dengan pemuda jujur itu. Akan tetapi karena tidak mempunyai hak. tidak berani menghalangi. Demikianlah pula si Bongkok Baskara yang tahu Prayoga selalu kurang hati-hati, sebenarnya tidak tega. Namun karena mereka antara guru dan murid. iapun tidak berani campur.
Singkatnya Prayoga telah sampai di luar kota Pati. Pemuda ini kemudian kaget sekali. mendengar suara dentuman meriam susul-menyusul. Jelas, Pati dihujani peluru Meriam.
Kalau saja mempunyai sayap. ingin sekali rasanya dapat terbang mencapai Pati. Akan tetapi karena tak mempunyai sayap. apa boleh buat ia terpaksa menggunakan ilmu lari cepat agar dapat mencapai Pati dengan segera.
Akhirnya sampai jugalah pemuda ini tiba di kota Pati. Begitu menginjakkan kaki di bumi Pati, ia mcnyaksikan terjadinya kebakaran di beberapa tempat. di samping lubang-lubang dalam akibat peluru meriam maupun kerusakan yang lain. Ketika dirinya tiba di ladang luas. ia menyaksikan perang campuh seru sekali.
Suara senjata beradu berdencingan. Jerit kesakitan terdengar di sana sini. Dan ringkik kuda menambah seramnya pertempuran. Bumi Pati saat itu tanpa hujan tanpa angin, telah dilanda banjir darah....
Menyaksikan banyakuya korban yang jatuh dan banjir darah itu, hati Prayoga sedih sekali. Prajurit-prajurit itu mengapa harus mati dan meninggalkan anak isterinya, karena membela orang-orang yang serakah berebut daerah. Ah... betapa bahagia manusia di dunia ini kalau hidup tenteram dan damai tanpa peperangan, tanpa adanya usaha bunuh-membunuh.
Tetapi dalam keadaan seperti saat ini, ia tidak bisa tinggal diam sebagai penonton. Kedatangannya ke tempat ini karena melaksanakan tugas dari gurunya, untuk membantu Pati. Namun sebelum terjun ke kancah perang campuh ia sekali lagi menebarkan pandang matanya meneliti. apakah dalam perang campuh itu. Darmo Suroyo ikut bertempur ataukah tidak. Setelah beberapa lama meneliti, dilihatnya dua orang laki-laki yang bertempur dengan gigih. Yang seorang bersenjata cambuk dan lawannya bersenjata tombak serta perisai. Prayoga gembira sekali. Jelas yang sedang bertempur itu Darmo Saroyo. Dan jelas pula Darmo Saroyo sedang berjuang mempertahankan Pati. Tidak jauh dari tempat Darmo Saroyo bertempur tampak pula dua orang yang saling berhadapan seru sekali. Masing-masing naik kuda. Rupanya dua orang itu tentulah panglima dari dua belah pihak.
Dugaan Prayoga memang benar. Mereka itu Adipati Pragola dan Tumenggung Wiroguno. Perang tanding
antara dua panglima itu merupakan babak penentuan menang atau kalah. Begitu salah seorang tewas, pasukannya akan berantakan dan lari..
Prayoga tak dapat bersabar lagi. Cepat-cepat ia melompat ke gelanggang pertempuran. Direbutnya sebatang tombak perajurit Mataram. Dengan tombak itu ia mengamuk. Gemparlah seketika pihak pasukan Mataram. Setiap orang yang berani mendekati, tentu menjadi korban amukan pemuda itu. Sebaliknya pihak Pati mendapat semangat baru dan sambil bersorak mereka terus maju menyerang lebih seru.
Kesempatan itu menarik perhatian Darmo Saroyo. Ia mencari kesempatan untuk meninjau apakah yang terjadi di sayap kanan. Walaupun jaraknya Prayoga cukup jauh. tetapi Darmo Saroyo segera dapat mengenal pemuda itu. Diam-diam ia gembira. Timbul harapannya, pasukan Mataram akan segera dapat disapu. Sebab apabila pemuda itu muncul, Ali Ngumarpun tentu muncul juga.
Hanya beberapa detik ia memecah perhatian hampir saja harus menebus dengan mahal. dan senjata lawan hampir merobek dadanya. Untung ia masih dapat bertindak gesit. sehingga cukup bajunya saja yang robek. Darmo Saroyo marah sekali. ia membalas. Cambuknya berobah bagai ular hidup. Sayang musuhnya bukan jago lemah. Sekalipun menyerang dengan gencar. masih juga dapat menyelamatkan diri. Kalau pertempuran antara Darmo Saroyo dengan perwira Mataram itu seru. dan pertempuran antara Adipati Pragola dan Tumenggung Wiroguno hebat sekali antara hidup dan mati. sebaliknya Prayoga tidak berhadapan dengan musuh berarti. Setiap. tombaknya bergerak. lawan segera roboh tewas.
Perang campuh itu benar-benar dahsyat. Banyak korban jatuh. darah membanjir dan nyawa terbang. Yang luka merintih-rintih. diinjak-injak oleh mereka
yang masih hidup dan sibuk saling membunuh. Ya, sungguh tragis! Bunuh-membunuh sesama saudara setanah air, yang secara diam-diam disaksikan oleh Kumpeni yang gembira sambil bertepuk tangan. Kumpeni berharap agar mereka terus saling bunuh sampai habis sehingga dengan gampang Kumpeni menguasai bumi Pertiwi.
Perang campuh itu merupakan babak penentuan nasib Pati. Apabila Pati bisa menghalau lawan berarti masih dapat bertahan dan berdaulat. Tetapi jika kalah, menjadi wilayah kekuasaan Mataram. Dengan bertaruh kedaulatan Pati itulah Adipati Pragola turun gelanggang. Perang campuh itu berlangsung terus dan amat dahsyat. Jumlah korban semakin bertambah menganak bukit. Darahpun membanjir hampir setinggi betis. Makin sore perang semakin hebat. Adipati Pragola dan Tumenggung Wiroguno masih berhadapan saling mencari kesempatan untuk menang.
Karena sang junjungan masih terus bertempur tak kenal lelah. prajurit dua belah pihak tak berani mengundurkan diri. Mereka memaksa diri berkelahi sekalipun perut sudah keroncongan dan tenaga serasa habis. akibat dari memaksa diri itu, korban semakin banyak berjatuhan.
Untung Prayoga telah memperoleh gemblengan dari Ndara Menggung dan Jim Cing Cing Goling. Kepandaiannya maju jauh sedang tenaga dalam semakin menjadi sakti. Walaupun bertempur lama masih juga segar dan tidak merasa lapar.
Tak lama kemudian cuaca gelap dan malam tiba. Untung bulan segera muncul di angkasa menerangi medan pertempuran. Hingga masing-masing masih tetap mengenal mana lawan dan mana kawan.
Prayoga tetap bertempur dengan semangat berkobar. Kesaktian pemuda itu benar-benar membuat prajurit Mataram ketakutan dan berusaha menghindar. Tetapi pemuda itu tak mau memberi ampun, ia mengamuk dan mengamuk.
Tetapi mendadak Prayoga melihat sesosok tubuh 0rang yang mengejutkan hatinya. Tak jauh dari tempatnya. sesosok tubuh wanita berdiri menyandarkan diri pada batang pohon. Sekalipun membelakangi, Prayoga tak asing lagi. Dialah Mariam, puteri gurunya.
'Tersirap darah Prayoga, dan gerakannya menjadi lambat. Hampir saja pemuda ini menjadi korban tombak seorang musuh yang menusuk perutnya. Untung ia masih dapat melompat cukup tinggi.
Prayoga memang menyadari, bahwa gadis yang digandrungi itu tidak membalas cintanya. Akan tetapi betapapun keadaan Mariam, rasa cinta pemuda ini belum juga padam.
Srat-srat-srat... secepat kilat ia menyapukan tombaknya. Begitu musuh yang mengeroyok mundur, secepat kilat ia menyelinap melompat ke arah Mariam.
Jantungnya berdebar menghampiri gadis ayu itu. Makin dekat jantungnya serasa copot. 'Tetapi diam-diam ia heran mengapa Mariam berdiri bersandar pada pohon, padahal tempat ini ajang pertempuran dan amat berbahaya. Dan mengapa pula Mariam berdiri mematung tak bergerak?
"mBakyu Mariam " panggilnya.
Ketika tangan hampir menyentuh lengan Mariam. tiba-tiba kakinya terperosok ke bawah. Celaka! Baru saja hendak meloncat. angin keras menyambar kepalanya. Ia masih berusaha keras menjejakkan kakinya agar melambung ke atas. Tetapi... celakanya tubuh terperosok ke bawah.
Sekarang baru menyadari dirinya terjebak dalam lubang perangkap. Sambil jungkir balik ia terperosok ke bawah. Untung dasar lubang tidak seberapa dalam.
Dan begitu kaki menyentuh dasar lubang, ia
menjejak tanah untuk dapat melambung. Sesungguhnya usahanya akan berhasil kalau saja pada lubang perangkap itu tidak dipasang belasan kait tajam. Pakaiannya menjadi robek dan kulitpun terluka dan berdarah.
Betapapun pemuda itu berusaha melepaskan diri sambil mengerahkan seluruh kepandaian. akhirnya ia dapat diringkus hidup-hidup oleh prajurit Mataram. Tiba-tiba ia mendengar suara orang tertawa mengejek dan sesaat kemudian menghampiri dirinya. Sebelum tahu siapa orangnya, lambungnya sudah disodok. Sodokan itu keras sekali membuat dirinya tak dapat berkutik lagi. Ketika mengamati. baru tahulah ia orang yang menyerang itu musuh lama.
Swara Manis !! Prayoga marah bukan main. Dan ketika melirik ke samping. ternyata Mariam masih bersandar pada pohon. Melihat itu ia berteriak.
"mBakyu Mariam. Mengapa engkau sanggup berbuat kejam terhadap adik seperguruan sendiri?"
Sambil ketawa terkekeh. Swara Manis menghampiri "Mariam" lalu diangkat dan dilemparkan ke Prayoga.
"Terimalah gadis yang selalu engkau rindukan ini, dan siang malam ciumilah sampai puas."
Sekarang Prayoga baru sadar oleh ketololannya sendiri. Ternyata yang disangka Mariam itu hanya orang orangan. Sekarang baru insaf dirinya telah ditipu mentah-mentah oleh Swara Manis. Lalu ketika memperhatikan Swara Manis. ternyata pemuda licin itu mengenakan pakaian perwira Mataram.
Cuh... Prayoga membuang muka sambil meludah lalu mendamprat,
"Huh, anjing yang penuh tipu muslihat"
Akan tetapi Swara Manis hanya ketawa mengejek, membuat Prayoga semakin kalap. Sayang dirinya sekarang telah diikat erat, tak dapat berbuat apa-apa.
Kemudian terdengar suara perempuan yang merdu,
"Kakang Swara Manis. apa sebabnya engkau ketawa? Dan siapa pula yang engkau tertawakan?"
Swara Manis berpaling. Lalu muncullah seorang wanita cantik, yang bukan lain Mariam. Melihat Mariam, ia berteriak.
"mBakyu Mariam... Kau kau... ."
Maksudnya ingin bertanya mengapa dirinya ditelikung oleh Swara Manis. Tetapi karena gagap tak dapat mengucapkan kata-kata. Celakanya kalau Prayoga tak keruan perasaannya, Mariam acuh tak acuh. Lalu menghampiri Swara Manis. memeluk sambil menyandarkan tubuhnya.
Semula Prayoga memang amat mendongkol. Namun setelah melihat kemesraan Mariam terhadap Swara Manis, sekarang pemuda ini menjadi sadar. Bagaimanapun ia seorang laki-laki. Sekalipun cantik sebagai bidadari. melihat perempuan seperti itu. ia sendiri merasa malu.
Keadaan ini menyadarkan Prayoga sehingga rasa cintanya kepada Mariam terusirjauh. Begitu terusir rasa cintanya kepada gadis itu. tenggorokkannya mendadak longgar, membuat ia heran sendiri oleh perobahan itu. Namun sesuatu yang menyumbat tenggorokkannya tadi. sesudah turun ke dada lalu berputar-an dalam perut. kemudian naik lagi. Ia terkejut, sadar telah berbuat kesalahan. Ia ingat bahwa ilmu tenaga dalam ajaran Ndara Menggung maupun gurunya, pantang marah. Begitu marah, akan bergolak hebat dalam tubuhnya. dan kemungkinan hawa murni itu bisa meluap lalu masuk ke saluran yang salah. Dan apabila hal ini sampai terjadi, dirinya akan celaka.
Teringat pantangan itu. buru-buru ia menenteramkan perasaan dan mengembalikan hawa murni ke tempatnya semula. Namun celaka! Ia mengalami kesulitan,
sebab hawa murni itu sudah terelanjur menebar seluruh tubuh, naik ke kepala dan kemudian turun ke dada.
Namun demikian ia menjadi kaget sendiri. Sebab sesudah itu ia merasa segar kembali dan walaupun seharian bertempur. tidak merasa lelah.
Kalau apa yang sudah terjadi tadi di luar dugaannya. sekarang setelah merasakan semangatnya segar kembali. ia merasakan getaran dalam peredaran darahnya dan... lambung yang tadi disodok Swara Manis sehingga sakit bukan main. menjadi sembuh.
Hasil tidak terduga ini menggembirakan hatinya. Kemudian timbul keinginannya lagi untuk mencoba yang lain. Ia mencoba menyalurkan tenaganya ke tangan yang dibelenggu. Ketika bergerak. ah tali pengikat itu sudah putus. Kemudian ia menyalurkan tenaga sakti ke arah kaki, dan tali pengikat itupun putus.
Saat itu antara Swara Manis dan Mariam sedang bercumbuan. Sepasang merpati itu seperti orang yang sudah tidak mengenal rasa malu lagi. Buktinya di sekeliling banyak orang yang melihat. tetapi mereka anggap sepi. Justru sedang asyik masyuk bercumbuan ini. Swara Manis yang biasanya cerdik dan licin tidak menyadari bahwa Prayoga telah bebas dari ikatan.
Menyaksikan keadaan Mariam dan Swara Manis yang tak kenal malu itu. Prayoga marah sekali. Namun ia masih berusaha menyabarkan diri walaupun dirinya bebas. Ia masih melihat gelagat dan berpikir. apa yang harus dilakukannya sekarang.
Melihat Prayoga tidak berkutik itu. Swara Manis menduga bahwa Prayoga tak mungkin bisa membebaskan diri. Menduga demikian. ia berkata mengejek.
"Hai anak tolol! Sekarang aku ingin bertanya kepadamu. Hehheh-heh. engkau ingin mati dengan cara bagaimana?"
Prayoga yang sudah berhasil membebaskan diri
ketawa dingin. Semula ia berpikir untuk segera menerjang, menyerang Swara Manis. Tetapi kemudian terpikir olehnya. kesempatan ini dapat dipergunakan untuk mencari keterangan lebih dahulu. mengapa pemuda ini secara mendadak telah muncul pula di Pati.
"Swara Manis. Aku bertanya kepadamu, di manakah Kliwon Prawiromantri sekarang?"
"Hem. apakah maksudmu menanyakan dia? Bendara Kliwan Prawiromantri dengan pasukannya, saat ini sedang menggempur Muria. Hemm, karena untuk kesana sudah cukup bendara Prawiromantri dan pasukannya, maka aku ditugaskan membantu ke mari."
"Bangsat! Jadi engkau tadi memang sengaja menjebak aku dengan lubang perangkap?"
Swara Manis ketawa terkekeh mengejek. Jawabnya,
"Hem. kalau bukan aku lalu siapa lagi? Heh-hehheh, kematian sudah diambang pintu, mengapa engkau masih besar mulut? Aku ingin melihat apakah engkau mempunyai nyawa rangkap tujuh?"
Kemudian ia memalingkan muka kepada prajurit dan memerintah,
"Hai prajurit. Cepat siapkan minyak kelapa dan alat penggoreng..."
"Untuk apa alat itu?" potong Prayoga.
"Heh-heh-heh, untuk menggoreng tubuhmu untuk makanan anjing."
Meledaklah kemarahan Prayoga. Kemudian ia melompat ke depan sambil membentak.
"Bangsat! Mengapa engkau berbuat sekejam itu?"
Swara Manis kaget setengah mati, Prayoga dapat membebaskan diri. Dengan gugup ia menarik tubuh Mariam untuk perisai.
Serangan yang dilancarkan Prayoga dengan tenaga penuh. ia menjadi terkesiap berhadapan dengan kelicikan Swara Manis. dan buru-buru menarik kembali serangannya sambil berseru.
"mbakyu Mariam. Bangsat itu telah menggunakan dirimu sebagai perisai. Apakah engkau belum juga mau insyaf?"
Celakanya Mariam sudah menjadi buta oleh cinta, malah mendelik dan mengejek,
"Makin engkau mencaci-maki kakang Swara Manis, semakin aku mencintai dia."
Prayoga tertegun. Ia tahu kakak seperguruannya ini bukan perempuan tolol. Tetapi mengapa sekarang berobah menjadi linglung? Mengapa tidak insyaf atas kelicikan Swara Manis, sebaliknya malah membela?
Kesempatan ini dapat dipergunakan oleh Swara Manis untuk mempersiapkan senjata kipas bajanya. Lalu dengan gerakan gesit, ia sudah langsung menyerang Prayoga pada bagian tenggorokan.
Sejak mengenal Swara Manis, sudah beberapa kali dirinya menerima pil pahit karena ditipu. Tak heran kalau sudah lama sekali Prayoga ingin dapat membalas hinaan itu. dan agar dendamnya himpas. Atas serangan itu ia miringkan tubuh menghindar. Kemudian ia maju selangkah. dan secara tak terduga telah mencengkeram pergelangan tangan Swara Manis. Cara bergerak maupun gaya yang digunakan Prayoga saat ini jauh bedanya dengan gerakannya pada waktu lalu. Akibatnya mau tidak mau. Swara Manis kaget juga.
Swara Manis menarik dan menurunkan tangan. lalu secepat kilat disodokan ke depan untuk menyerang dada.
"Bagus!" seru Prayora memuji. Cepat-cepat ia memutar tubuh sambil merendah, lalu secara tiba-tiba ia menggunakan sepasang tangan mendorong dada lawan. Karena dada Swara Manis memang terbuka, sulit sekali Swara Manis menyelamatkan diri.
Akan tetapi perobahan terjadi mendadak. Secara tiba-tiba serangkum angin menyambar dari arah belakang. Tanpa memalingkan kepala. ia menggunakan sebelah tangan menyambar kebelakang, dan sebelah tangan lain tetap menyerang Swara Manis.
Crat.. ia kaget. Ketika dilihatnya, ternyata benda yang berhasil ditangkap itu. sebatang pisau belati. senjata rahasia Mariam.
Prayoga menjadi tertegun. Dan kesempatan ini dipergunakan oleh Swara Manis untuk melompat dan menyingkir. Wajah pemuda itu tampak pucat dan keringat bercucuran pada dahinya. Jelas bahwa Swara Mania tadi dalam kesulitan, hanya oleh pertolongan kekasihnya, dirinya tertolong.
Prayoga memutar tubuh ke arah Mariam. Dan ia menjadi kaget menyaksikan Mariam sudah menghunus pedang. Melihat itu Prayoga kaget dan menegur
"mBakyu Mariam, engkau mau apa?"
"Hemm... jika engkau berani melukai kakang Swara Manis, aku tak sudi lagi mengakui engkau sebagai sudara seperguruan, dan aku akan mengadu jiwa dengan engkau."
Bukan main jawaban Mariam sekarang ini. Gadis yang sudah dibuat buta oleh cinta ini. bukan saja menentang kepada ayahnya tetapi juga sudah tak ingat lagi kepada saudara seperguruan. Namun demikian Prayoga masih berusaha menyadarkan dan berkata.
"mBakyu Mariam, dosa bangsat itu besar sekali baik kepada guru maupun tokoh sakti lain. Apakah sebabnya engkau tetap membela?"
"Sudah, jangan banyak mulut. Terimalah seranganku!"
Pedang Mariam bergerak cepat sekali menusuk dada. Tetapi karena menggunakan ilmu pedang Kala Prahara yang sudah dipahami. Prayoga menghadapi dengan tenang. Tetapi karena berhadapan dengan Mariam, ia tidak mau membalas dan hanya menghindar ke samping.
Namun celakanya maksud baik Prayoga telah dirusak oleh Swara Manis yang sekonyong-konyong menyerang kaki. Prayoga terjepit di tengah, diserang dari dcpan dan belakang. Untung Prayoga sekarang bukan Prayoga yang dulu. Walaupun menghadapi serangan gawat. dengan melenting tinggi di udara dapat menyelamatkan diri.
Biasanya kalau sudah melenting seperti ini lalu meluncur ke depan. Tetapi karena Mariam di depan. Prayoga tak mau berbuat begitu. Ia membuang tubuh ke belakang. Kemudian jungkir balik di udara dan melayang melalui atas kepala Swara Manis, lalu turun di belakangnya.
Swara Manis yang tak pernah menduga kaget dan cepat berputar tubuh. Akan tetapi kalah cepat. dan sebuah tinju telah menyambutnya. Karena jarak terlalu dekat. tidak ada jalan lain kecuali menangkis.
Prak.!! keduanya mundur tiga langkah. Bedanya. kalau Swara Manis terhuyung-huyung, Prayoga hanya tergetar saja tubuhnya. Malah dalam waktu singkat Prayoga telah menyerang lagi.
Akibat benturan tangan tadi, Swara Manis sudah menderita luka dalam. Untuk menghindari serangan Prayoga. ia menggunakan ilmu "Jathayu Nandang Papa". namun gerakannya agak lambat. Lebih celaka lagi Prayoga paham pula ilmu tersebut. akibatnya ke manapun menghindar diancam oleh serangan. Baru sesudah pontang-panting, Swara Manis dapat menghindarkan diri dari bahaya.
Akan tetapi sekarang ini Prayoga tak mau memberi ampun lagi. Swara Manis berusaha menghindar. tetapi Prayoga selalu membayangi. Akibatnya dalam beberapa gebrakan saja, pakaian indah Swara Manis menjadi compang-camping tak keruan di samping selalu harus mundur.
Tak lama kemudian Prayoga membentak,
"Lepas!" dan tahu-tahu kipas baja Swara Manis telah pindah ke tangan Prayoga.
Dalam ketakutan dan gugup ini, kemudian Swara Manis berteriak.
"Prajurit! Maju dan kroyok bangsat ini!"
Para prajurit Mataram yang sejak tadi hanya menonton. segera menerjang. Prayoga tambah marah, ia mendesak Swara Manis, dan untuk beberapa saat prajurit itu tidak memperoleh kesempatan mengeroyok.
Swara Manis berusaha memberi perlawanan. Tetapi hanya dalam beberapa kejap saja. pahanya sakit oleh tikaman Prayoga, dan kemudian roboh. Prayoga cepat menggerakkan tangan kiri untuk menghantam ubun ubun lawan, tetapi tiba-tiba Swara Manis berteriak.
"Tahan! Hai diajeng Mariam, mengapa engkau hendak berbuat senekat itu?"
Lagi-lagi Prayoga dapat dipedaya oleh kelicikaan Swara Manis. Sebagai seorang saudara seperguruan dan berjiwa ksyatria pula. ia menduga Mariam berusaha bunuh diri. Ia cepat berpaling tetapi Mariam tidak berbuat sesuatu. Prayoga sadar tertipu. dan dengan kemarahan meluap ia memandang Swara Manis kembali. namun pemuda licin itu sudah mendapat kesempatan untuk menyingkir.
Prayoga yang sudah meledak kemarahannya sudah memburu. Namun sayang sekali, dirinya sekarang sudah dikurung oleh barisan tombak prajurit Mataram.
Meskipun demikian Prayoga tidak gentar. Sekali bergerak ia sudah dapat memukul roboh beberapa orang prajurit dan berhasil pula merampas sebatang tombak. Menggunakan tombak rampasan ini kemudian mengamuk seperti banteng ketaton.
Sekalipun jumlahnya banyak. agaknya mereka menjadi jeri juga menghadapi pemuda perkasa itu. Hanya
karena takut kepada Swara Manis. mereka masih tetap menerjang. Akan tetapi apabila Prayoga berhenti bergerak, merekapun tidak menyerang.
Mendadak terdengar suara orang yang garang.
"Hai, menyingkirlah. Biar aku sendiri yang menghancurkan kepalanya."
Seorang laki-laki tinggi besar muncul bersenjata tongkat. Tanpa membuka mulut lagi telah menerjang Prayoga. Menyaksikan gerakan kaki orang itu yang tak teratur, Prayoga ketawa dingin. Sekali pandang ia segera tahu bahwa orang ini hanya garang di luar tetapi sesungguhnya kosong. Sesudah menghindar ke samping. Prayoga maju dan bluk... tangannya menabas pundak si tinggi besar. Tongkat sudah terpental dan tubuh orang itu sendiri roboh tak berkutik.
Prayoga merampas tongkat itu. Ternyata tongkat itu besar dan berat, ia mengamati orang itu dengan mata menyala dan berkata geram.
"Hemm. sejak engkau masuk ke Pati. sudah berapa sajakah rakyat tak berdosa engkau bunuh? Huh. sekarang engkau harus minta maaf kepada mereka yang sudah di akhirat."
Dengan gampang tubuh tinggi besar itu diangkat lalu diputarkan beberapa kali. kemudian dilontarkan ke depan.
"Aduh" pekik kesakitan dari beberapa orang terdengar. kemudian prajurit Mataram itu kacau dan bubar. akibat ditimpa tubuh tinggi besar itu.
Prayoga lalu mengamuk, hingga prajurit Mataram yang mengeroyok kocar-kacir. Setiap tongkat terayun, disusul pekik kesakitan dan tubuh roboh di tanah. Karena para prajurit itu menjadi takut. Prayoga memperoleh kesempatan menghampiri Swara Manis.
Tetapi belum juga mencapai sasarannya. dua sosok tubuh maju menerjang. Mereka berlindung pada perisai besar, kemudian dua buah benda itu menyambar dan
secara serempak sudah menjepit Prayoga. Prayoga mengerahkan tenaga untuk menarik tongkat yang terjepit, akan tetapi tidak mampu.
Prayoga kaget. Ketika memperhatikan. ternyata dua orang itu Lintang Trenggono dan Gondang Jagad, musuh lama. Kemudian muncul pula Sambang Buwono. sehingga lengkaplah tiga orang bersaudara itu. Yang dua sudah menjepit tongkat Prayoga, dan yang seorang lalu menghantam perut.
Sekuat tenaganya ia berusaha menarik tongkat itu.
Krek... !! sekalipun berhasil, tetapi tongkat itu patah menjadi dua. Akibatnya Prayoga terlempar ke belakang mencium tanah dan tiga orang lawan itu cepat menerjang.
Namun Prayoga bukan anak kemarin sore. Ia menggunakan sisa tongkat untuk menekan tanah. dan kemudian tubuhnya dapat melenting tinggi. Namun sekalipun ia melenting, tiga orang lawannya tetap saja merangsang ke atas.
Untung Prayoga tidak cepat menjadi gugup. Potongan tongkat digunakan sebagai pedang dan digerakkan untuk menangkis. Kemudian sambil meluncur turun, ia sudah menggunakan jurus Nawa Prahara. Pengaruh ilmu pedang itu hebat juga. terbukti berhasil mengundurkan tiga orang tokoh sakti itu, sehingga dapat berdiri di tanah dengan selamat. Begitu kaki menginjak tanah. Prayoga segera menyusuli serangan dengan jurus Lindu Prahara. Dan tiga orang tokoh itu tidak berani mendesak.
Perkelahian satu lawan tiga itu berlangsung seru dan menegangkan. Kadang gerak mereka lambat, tetapi kadangjuga cepat sekali.
Tiba-tiba tiga orang itu bersuit nyaring sambil mundur, dan serempak pula melemparkan tikar wasiatnya. Tongkat Prayoga menghantam beberapa kali. tetapi hebatnya tikar pandan itu tidak bisa dirusakkan. Akibatnya Prayoga berang juga, lalu mundur dan bertahan.
Prayoga bersikap hati-hati. Sebab setiap ujung tongkatnya menghantam tikar, rasanya seperti membentur tembok baja.
Perkelahian tak seimbang itu berlangsung terus. Sesudah cukup lama berkelahi. Prayoga menjadi kaget karena lengan dirasakan lemah dan kesemutan.
Keadaan itu cepat di ketahui lawan. Mereka kemudian mengatur siasat, lalu bersikap bertahan tetapi mengurung rapat. Setiap Prayoga menggempur, mereka menangkis dilambari tenaga sakti. Akibatnya lama kelamaan habislah tenaga Prayoga.
Prayoga sadar bahwa tenaganya hampir habis tetapi sudah terlambat. Namun ia mencoba sekali lagi mengerahkan tenaga sambil menggunakan jurus Guntur Prahara, kemudian disusul dengan jurus Prahara Panglebur Jagad. Dengan dua jurus serangan sekaligus, ia memang berhasil memukul mundur lawan. Akan tetapi karena terlalu memaksa diri, napasnya menjadi tersengal-sengal.
"Heh-heh-heh," tiga orang bersaudara itu mengekeh mengejek.
"Bocah, hendaknya engkau sekarang menyerah saja agar tidak menderita lebih jauh."
Sambil mengejek. tiga orang itu maju. Tiga lembar tikar pandan secara serempak menghantam Prayoga. Sesungguhnya Prayoga masih mempunyai sisa tenaga. Tetapi karena merasa usahanya akan sia-sia. ia tidak mau menangkis. Begitu lawan menyerang berbareng, ia lalu menggunakan langkah ajaib "Jathayu Nandang Papa". Hingga serangan lawan tak berhasil menyentuh tubuhnya.
Prayoga sadar maju sulit mundurpun sulit. Karena dipaksa keadaan. akhirnya menjadi kalap. Tangan kiri menghantam dan tangan kanan mengayunkan tongkat.
Tanpa menghiraukan Gondang Jagad dan Lintang Trenggono yang telah menyerbu maju, Prayoga memusatkan serangannya kepada Sambang Buwono. Karena khawatir Sambang Buwono celaka, dua orang saudaranya membatalkan serangannya.
Untung sekali Prayoga! cepat menyadari keadaan. Kalau dirinya nekat berarti mempercepat dirinya ditangkap musuh. Sekarang ia menggunakan otak. Dan dengan serangan ke arah kaki lawan. tiga orang itu menghindar sambil meloncat tinggi ke atas. Namun Prayoga tak mau memberi hati, ia tetap merangsang dengan serangan lanjutan yang berbahaya. Ia menyambitkan potongan tongkat itu sekuat tenaga. Kemudian dengan gerakan yang cepat seperti tatit, ia telah merampas sebatang golok dari prajurit Mataram yang mengurungnya. Ketika ketiga lawan menyerbu, ia menyambitkan golok rampasan itu. Selagi tiga lawan sibuk ia sudah menggunakan tangan kiri menghantam. Akibatnya tiga tokoh sakti itu melongo heran. Selama ini belum pernah mereka berhadapan dengan lawan yang menggunakan cara berkelahi seperti itu. Tetapi Prayoga tak ambil pusing. Secepat kilat tubuh dua orang prajurit disambar, lalu dilemparkan kepada mereka. Sekalipun para prajurit itu sudah terlatih. namun berhadapan dengan Prayoga tidak bedanya dengan kelinci. Akibatnya dalam waktu singkat puluhan orang tanpa dapat menghindar, su-dah dilemparkan Prayoga untuk senjata. Sebagai akibat-nya pula tiga tokoh sakti itu tidak berani gegabah, agar tidak mencelakakan prajurit-prajurit itu. Prajurit Mataram menjadi panik. Tetapi karena takut kepada atasan, mereka maju menyerang. Kalau bagian belakang berdesakan ingin maju. sebalik nya bagian depan berusaha mundur menghindar. Kemudian mereka menjadi kacau, ketika tahu-tahu Prayoga meloncat di atas kepala mereka. sehingga kepala itu menjadi batu loncatan.
Melihat sepak terjang Prayoga yang masih tetap perkasa itu, Gondang Jagad dan saudara seperguruan sadar, jika dibiarkan terus. akhirnya pemuda itu bisa lolos. Maka cepat-cepat tiga orang ini menerobos masuk. lalu menyerang punggung.
Prayoga membalikkan tubuh dan tangannya menangkap senjata lawan. Tetapi karena lemparan tikar pandan tadi disertai tenaga sakti, walaupun berhasil menangkap, cengkeramannya kendor lalu tikar itu jatuh ke tanah.
Lintang Trenggono ketawa mengejek sambil menyusuli serangan dengan dua buah tangannya. Prayoga tak berani menangkis, terpaksa miringkan tubuh menghindar. Tetapi kesempatan ini tidak disia-siakan Gondang Jagad dan Sambang Buwono. lalu ikut menyerbu. Padahal saat itu Prayoga sudah tidak bersenjata. sedang tenaganya dirasakan hampir habis. 'Tak sudi dirinya menyerah, lebih baik mati sebagai ksyatria. Berkat perlawanan Prayoga yang gigih. serangan tiga bersaudara itu kandas lagi. Namun tiba-tiba tiga orang bersaudara itu merubah siasat. Mereka tahu, cara yang lebih baik apabila memeras tenaga pemuda itu sampai habis. Mendapat pikiran demikian. tiga orang itu menghentikan serangannya tetapi tetap siaga.
"Hai, mengapa kamu tak menyerang?" tanya Prayoga dengan napas tersengal.
"Heh-heh-heh." Gondang Jagad terkekeh.
"Sekarang. walaupun Kilat Buwono datang ke mari. tak juga dapat menolong keadaan." Prayoga menghela napas. Hati ingin mendamprat tetapi mulut sulit bicara. Ia menyambar golok yang jatuh di tanah dan bermaksud menerjang. Namun tiba-tiba dari atas dahan pohon terdengar orang mencaci.


Cinta Dan Tipu Muslihat Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Huh. kurangajar! Kamu orang-orang tua tidak tahu malu! Melawan murid Kilat Buwono saja tak mampu mengalahkan. mengapa kamu bermulut besar menantang gurunya? Huh, kalau kilat Buwono benar hadir disini. aku khawatir kalau kamu menjadi setan tanpa kepala."
"Sarini...!" seru Prayoga.
"Hi-hi-hik, engkau benar," sahut Sarini dari atas dahan.
"Aku senang engkau sekarang hebat sekali. Hi-hihik, sudah cukup lama aku di Sini dan menonton."
Prayoga amat mendungkol. Ia tadi mengurus tenaga bertaruh nyawa, tetapi Sarini malah enak-enak menonton.
Dengan gerakan yang lincah. kemudian Sarini melayang turun. Prayoga kaget berbareng kagum. Ternyata Sarini turun tanpa suara. Jelas selama diasuh Kigede Jamus, gadis ini memperoleh kemajuan dalam ilmunya. Kehadiran Sarini membuat semangat Prayoga menyala kembali.
"Sarini. engkau sudah lama di sini?"
"Hem, belum. Tetapi aku melihat sejak lama. Engkau berhasil mengalahkan Swara Manis, kemudian dikeroyok."
Prayoga kaget. Kalau begitu Sarini sudah lama hadir. Yang membuat hatinya mendongkol. mengapa tak membantu? Tegurnya,
"Mengapa kau tak membantu kesulitanku?"
"Hi-hi-hik," Sarini ketawa.
"Ternyata diam-diam engkau sudah memiliki berbagai macam ilmu tata kelahi yang hebat. Kalau aku tak melihat sendiri, aku tentu tak percaya. Bilang terus terang. engkau mau memberi ajaran ilmu itu kepadaku apa tidak?"
"Yang penting kita dapat lolos dahulu dan kita bicara kemudian."
"Kakang. apakah engkau tak membekal pedang? Mari kita coba menghadapi mengeroyok ini dengan Bumi Gonjing dan Kala Prahara."
"Heh-heh-heh." Gondang Jagad terkekeh.
"Neraka tidak mempunyai pintu tembusan. Kamu jangan mimpi dapat lolos dari tangan kami."
Memang tiga orang tadi membiarkan Sarini melayang turun ke gelanggang. Mereka pernah menderita malu dan hajaran gadis itu. Sekarang tiba saatnya membalas semua hinaan, dan secara serempak sudah menerjang.
"Tahan!" teriak Sarini sambil mencabut pedang.
Tiga orang tokoh itu berhenti, mengamati Sarini dengan tajam.
"Dengarkan baik-baik," kata Sarini.
"Kamu bertiga terkenal sebagai tokoh sakti. Huh, mengapa hanya berhadapan dengan bocah ingusan, kamu sudah kelabakan setengah mati dan tak mau memberi kesempatan kepada lawan yang muda menggunakan senjata?"
"Engkau butuh senjata apa?" sahut Sambang Buwono. Mereka memang menjadi malu kalau memaksa. Mereka bertiga hanya menghadapi dua orang yang masih muda, sungguh memalukan kalau tidak memberi kesempatan kapada lawan mendapat senjata.
"Terima kasih. Aku hanya butuh sebatang pedang."
Dengan tangkas Gondang Jagad menyambar sebatang pedang milik prajurit Mataram. Kemudian dijentikkan ke arah Sarini.Jentikan itu dilambari tenaga sakti yang hebat. Maka pedang itu melayang cepat seperti anak panah lepas dari busur.
Prayoga terkesiap. buru-buru akan maju menyambut. Tetapi gerakannya kalah gesit dengan Sarini. Dara nakal ini memutarkan pedang dengan gerak separo lingkaran.
Tring... tenaga sakti yang disalurkan lewat
pedang itu telah punah. Kemudian pedang itu melayang jatuh dan ditangkap dengan tangan kiri, yang seterusnya diserahkan kepada Prayoga.
Prayoga tersenyum bangga. Ia tahu bahwa gerakan Sarini tadi disebut "Sepercik air menampung air laut". Sesudah mengamati pedang itu sesaat. kemudian Prayoga berseru.
"Jurus pertama."
Seruan Prayoga itu sebenarnya memberi tahu kepada Sarini, agar mengimbangi dengan ilmu pedang Bumi Gonjingjurus pertama.
Rupanya tiga orang tokoh itu belum kenal dengan sepasang ilmu pedang ini. Begitu melihat ujung pedang menusuk dada. mereka hanya menangkis dengan tikar. Tetapi celakanya. begitu pedang hampir tersentuh tikar pandan, mendadak menjadi berpencaran. Yang satu menyerang paha dan yang lain memapas betis.
Ketika tangkisannya tak berhasil, Gondang Jagad terperanjat. Masih untung ia tidak sembrono. Ia cepat melompat ke belakang.
Prayoga dan Sarini sekarang menghadapi Sambang Buwono dan Lintang 'Trenggono, yang menyerang dari samping. Begitu musuh mundur, secepat kilat mereka menyerang Gondang Jagad lagi. Serangan kali ini hebat luar biasa. Belum juga Gondang Jagad bersiap diri, dua batang pedang itu sudah menyongsong. Saking gugupnya. Gondang Jagad jungkir balik membuang diri ke belakang, Celakanya kakak beradik ini tidak mau memberi hati. Mereka memburu dan melancarkan jurus ketiga. Dalam gugupnya Gondang Jagad menggunakan senjata untuk menangkis. Tetapi lawannya gesit sekali, sebelum senjata bersentuhan. pedang sudah berpencar dan tiba-tiba Sarini berseru.
"Nih, makanlah!"
Ujung pedang Sarini telah mengancam pundak Gondang Jagad. Untung Lintang Trenggono dan Sambang Buwono sudah datang dan sempat menolong.
"Sarini," bisik Prayoga.
"Secepatnya kita harus pergi."
"Nanti dulu," sahut Sarini.
"Aku takkan puas sebelum dapat memberi tanda mata kepada orang-orang tua yang tak tahu malu itu."
Sret-sret, ia melancarkan serangan lagi. Akibat tidak keburu menghindar, empat jari tangan Lintang Trenggono terpapas kutung. Orang itu mengerang kesakitan dan melompat mundur. Tetapi lawannya tak mau menghentikan serangan, membuat Lintang Trenggono yang ketakutan meloncat tinggi, lewat di atas kepala para prajurit yang mengurung gelanggang itu. Sayangnya prajurit yang mengurung gelanggang ini jumlahnya ratusan orang. Akibatnya beberapa orang prajurit terinjak oleh kaki dan berteriak panik.
Melihat Lintang Trenggono lari. Gondang Jagad dan sambang Buwono kuncup nyali. Secepat kilat dua orang ini sudah menyelinap ke dalam kerumunan prajurit.
"Kakang. hayo kita kejar tiga ekor tikus tua itu!" ajak Sarini yang penasaran.
Belum juga Prayoga sempat menyahut, mendadak terdengar sorak yang gegap gempita bagai gunung roboh dan membelah angkasa. Kemudian disusul oleh teriakan sambung-menayambung,
"Here menang. Adipati Pragola gugur! Hore menang. Adipati Pragola gugur!"
Sulit dilukiskan betapa kagetnya Prayoga dan Sarini, mendengar sorak itu.
Gugurnya Adipati Pragola berarti Pati runtuh. Karena itu cepat-cepat Prayoga dan Sarini menyelinap menyelamatkan diri. Apabila mereka tetap di tempat ini, jiwa mereka terancam maut. Sesudah berlarian agak lama, mereka kemudian berhenti di tempat yang agak tinggi dan sudah jauh dari medan pertempuran.
Sorak-sorai prajurit Mataram yang memperoleh kemenangan belum reda. Untuk beberapa lama mereka tidak membuka mulut. Mereka amat menyesal, akhirnya Pati runtuh dan Mataram menang.
Tiba-tiba Prayoga teringat kepada Darmo Saroyo yang masih bertempur. Kemudian bertanya kepada Sarini,
"Sarini. Apakah engkau tadi melihat paman Saroyo?"
"Tidak," sahut Sarini.
"Ada apa dengan dia?"
"Tadi siang aku melihat paman Saroyo berkelahi seorang lawan seorang dengan perwira Mataram, Aku menjadi khawatir kalau dia mengalami nasib sama dengan Adipati Pragola."
'"Tetapi aku percaya paman Saroyo tidak nekat, dan dapat menyelamatkan diri."
"Ya, harapanku memang demikian. Namun demikian aku khawatirjuga kalau paman Saroyo sengaja bunuh diri, sesudah junjungannya gugur."
"Lalu. apakah maksudmu? Apakah engkau juga akan bela pati kepada Adipati Pragola?"
"Tidak". Hem, aku masih mempunyai akal sehat. Apa sebabnya aku harus bela pati kepada Adipati Pragola?"
"Hi-hi-hik..." tiba-tiba Sarini cekikikan.
"Sudahlah, nasi sudah menjadi bubur, tiada gunanya menyesal. Mari sekarang kita pergi."
Kemudian mereka melangkah perlahan berdampingan. Akan tetapi mereka tak tahu ke mana harus menuju.
Gugurnya Adipati Pragola di medan perang. membuktikan kejantanan dan keperwiraan Adipati itu. Ia hanya sedia menyerahkan bumi Pati, apabila nyawanya
sudah melayang. Oleh keperwiraannya itulah maka Adipati Pragola tidak mengandalkan kekuatan prajuritnya, tetapi dirinya sendiri maju berperang.
Memang pertempuran antara Adipati Pragola dan Tumenggung Wiroguno berlangsung amat seru. Mereka sama sama jantan dan perwira. dan di saat mereka berhadapan melarang semua prajurit memberi bantuan.
Tetapi agaknya sudah menjadi kehendak Tuhan, pada malam ini Adipati Pragola gugur dalam perang. Gugurnya Adipati Pragola, akibat sedikit lengah. Tidak menyadari bahwa Tumenggung Wiroguno dibekali senjata pusaka Mataram yang bernama Kyai Barukuping. Di mana tombak itu dahulu milik Kigede Wonoboyo III, pada jaman Panembahan Senopati.
Mula pertama berhadapan dan bertempur, Tumenggung VViroguno memang menggunakan tombaknya sendiri. Tetapi ketika malam tiba. tombakuya dapat dipentalkan oleh Adipati Pragola. Hati Adipati Pragola menjadi besar dan mengira musuh dapat dibunuh dalam waktu tidak lama lagi. Ia terus melancarkan serangan hebat. Dalam keadaan Adipati Pragola gembira ini menjadi agak lengah. Mendadak Tumenggung Wiroguno mencabut tombak Kyai Barukuping dari sisi pelana kuda, langsung ditikamkan. Adipati Pragola terkesiap ketika melihat ujung mata tombak lawan menyala terang seperti mengeluarkan api. Dengan cekatan Adipati Pragola menghindar. Tetapi walaupun mata tombak tidak mengenai dirinya, ia merasakan tubuhnya seperti dipanggang api. Dalam gugupnya ia masih dapat menyelamatkan diri. akan tetapi kudanya tidak. Kuda itu tak dapat bertahan lagi, kemudian roboh tak bernyawa sesudah meringkik nyaring.
Karena tanpa kuda lagi, Adipati Pragola terpaksa melawan dan mengandalkan kecepatan gerak kaki. Akan tetapi medan perang ini telah banjir oleh darah,
penuh mayat dan senjata yang berserakan. Akibat gelap dan kurang hati-hati, Adipati Pragola tergelincir. Kemudian tombak Barukuping melayang, menembus tubuh Adipati Pragola, lalu nyawa melayang.
Ebook dipersembahkan oleh Group Fb Kolektor E-Book
https://m.facebook.com/groups/1394177657302863
dan Situs Baca Online Cerita Silat dan Novel
http://cerita-silat-novel.blogspot.com
Sampai jumpa di lain kisah ya !!!
Situbondo,17 Agustus 2018
Terimakasih -TAMAT Kota Bengawan, September 1980
Tiga Sandera 1 Pendekar Bayangan Sukma 7 Pendekar Kedok Putih Kisah Para Penggetar Langit 8
^