Pencarian

Dendam Kesumat 4

Dendam Kesumat Karya Widi Widayat Bagian 4


"Urusan yang menyangkut kalah dan menangnya pihak padepokan ini. Kalian hendaknya tidak membanggakan diri kakek gurumu sebagai orang sakti mandraguna. Sebab keterangan itu hanya dongeng tidak masuk akal. Apakah kalian belum pernah mendengar cerita raja Alengka yang bernama Dasamuka di dalam cerita wayang?"
Sarini berhenti sejenak untuk memperoleh kesan. Setelah dua orang bocah itu mengangguk, Sarini melanjutkan.
"Dasamuka atau Rahwanaraja terkenal sebagai orang sakti mandraguna dan memiliki aji Pancasona. Karena memiliki aji Pancasona, walaupun mati dapat hidup kembali sebelum sampai pada takdir. Hem, karena memiliki aji Pancasona itu Rahwana tidak takut mati, dan tidak takut kepada siapapun. Akan tetapi kendati demikian, tidak urung kerajaan Alengka dapat dihancurkan oleh prabu Ramawijaya. Dasamuka yang tidak dapat mati, ditimbun dengan gunung oleh Hanoman. Begitulah akhir dari kehidupan raja Alengka."
Sutirto dan Sueitro tertarik juga mendengar cerita Sarini itu. Mereka minta supaya Sarini meneruskan.
"Hem, yang lebih mudah kalian ingat, tentang gunung ini," Sarini melanjutkan.
"Bukankah gunung ini tinggi? Tetapi kendati sudah tinggi, masih ada awan di atasnya. Dan di atas awan masih ada lagi bintang, sedang di atas bintang masih ada lagi angkasa. Betapapun saktinya seseorang, namun tentu masih ada yang lain yang lebih sakti. Tahu?"
Sarini berhenti sejenak, mengambil napas, kemudian melanjutkan,
"Jika seseorang membanggakan diri sebagai manusia tak terkalahkan, dia itu orang gila dan sombong. Pada suatu ketika orang itu akan tertumbuk kenyataan tak terbantah. Nah, ketahuilah pada hari Le-baran ini, Gunung Slamet akan kebanjiran tamu tokoh sakti. Antara lain Ali Ngumar dengan julukan Kilat Buwono, Ladrang Kuning, Kigede Jamus. Jim Cing Cing Goling, dan masih banyak lagi. Apakah kalian hanya akan mengandalkan kesaktian Ki Hajar Sapta Bumi seorang saja? Hem, itu berbahaya! Oleh karena itu aku datang ke mari pada malam ini, tidak lain untuk menyampaikan urusan sepenting ini."
Terpikat oleh obrolan Sarini. akhirnya dua bocah itu percaya bahwa kehadiran mereka merasa terpanggil hatinya untuk memberitahukan rahasia padepokan ini, agar tidak tersesat jalan menuju ke tempat kakek gurunya.
Dua bocah itu lalu mengajak Sarini keluar dari kamar. Sesudah di luar, Sucitro menerangkan,
"mBakyu, apabila engkau sampai pada tiang berwarna kuning, beloklah ke kiri. Sesudah itu engkau akan sampai pada pendapa yang luas. Sedang di samping pendapa, akan tampak olehmu ruangan yang luas. Nah. di situlah kakang Swara Manis tengah menerima pelajaran ilmu pedang Sumber Nyawa dari kakek guru."
Ia berhenti sejenak, setelah mengamati Sarini ia meneruskan,
"mBaky u, kami tidak dapat mengantar engkau ke sana. Karena malam ini kami bertugas berjaga. Tetapi terimalah tanda rahasia ini. Kalau ada orang yang menghadang diperjalanan, tunjukkan tanda rahasia ini tentu beres. Semua orang padepokan tahu, bahwa tanda rahasia ini berarti kehadiran mbakyu di sini memang sudah seijin kakek guru."
Bocah yang masih hijau itu memang belum mengenal tipu muslihat. Mereka merupakan murid Simbar Kemlaka, dan biasanya kalau berdinas jaga selalu teliti. Akan tetapi sekarang dengan gampang dapat ditipu oleh Sarini, bukan karena sudah pernah bertemu. Ketika itu, dua bocah ini memperoleh kesan yang baik terhadap Sarini. Maka kemudian mereka percaya, bahwa kehadirannya di padepokan ini memang mempunyai kepentingan langsung dengan Swara Manis.
Sarini mengangguk sambil tersenyum. Katanya,
"Nan ti sesudah aku ketemu kakang Swara Manis, akan aku laporkan kebaikan kalian kepadaku. Bukankah kalian akan bangga pula jika mempunyai seorang kakak seperguruan yang sakti mandraguna seperti dia?"
"Ya! Sudah amat lama sekali kami mengharapkan memperoleh pelajaran ilmu Jathayu nandang papa yang hebat itu," sahut Sutirto.
Sarini menyanggupkan diri, untuk memintakan kepada Swara Manis tentang keinginan bocah itu. Kemudian ia pamit untuk pergi, dan sambil melangkah Sarini memperhatikan sekeliling. Benar seperti yang sudah diterangkan bocah itu. Setiap tiga buah kamar, tentu terdapat tiang yang warnanya kuning. Dari tiang tersebut ia membelok ke kiri. Tetapi tiba-tiba seseorang telah menegur.
Sarini terperanjat! Ia mendengar suara tetapi tidak melihat orangnya. Sarini tidak mau membuka mulut, lalu menunjukkan tanda rahasia pemberian Sucitro, lalu ia melangkah meneruskan perjalanan. Baru beberapa langkah pergi ia mendengar suara orang dari arah belakang,
"Aneh! Mengapa perempuan?"
Sarini kaget. Untung sekali segera terdengar suara lain yang menyahut,
"Engkau mengapa rewel seperti paling kuasa di sini? Peduli apa perempuan atau laki-laki. Kalau dia sudah membawa tanda rahasia padepokan, merupakan bukti meyakinkan, tak bisa diragukan lagi. Hem, sudahlah! Kita tidak perlu usil. Kakak guru bisa benci kepadamu dan tak mau lagi menurunkan ilmu pedang Samber Nyawa yang termashur itu."
Diam-diam Sarini memperoleh kesan, bahwa Hajar Sapta Bumi memang pilih kasih. Orang tua itu selalu memanjakan Swara Manis, sehingga menimbulkan rasa tidak puas di antara murid dan cucu murid sendiri.
Sarini melangkah terus tanpa gangguan. Karena di tempat orang menegur tadi, sebenarnya merupakan pos penjagaan paling ketat. Yang berjaga bisa melihat orang yang lewat, sebaliknya orang yang lewat tak dapat melihat yang sedang jaga. Walaupun seterusnya sering kali bertemu dengan orang meronda. tetapi pemuda itu tidak mengganggu setelah melihat tanda rahasia.
Akhirnya sampailah di pendapa yang dituju. Pendapa yang luas itu sepi, sedang penerangan tidak begitu terang, sehingga memberi kesan menyeramkan. Karena tidak menghendaki bertemu dengan orang-orang yang tidak diharapkan. Sarini mempercepat langkah masuk pendapa, langsung menuju ke samping. Jantungnya berdebaran, setelah mendengar suara denting pedang.
Menduga Swara Manis di dalam ruangan itu, Sarini berjingkat mendekati agar tidak menimbulkan suara. Tetapi kemudian jantungnya tambah berdebar, ketika melihat semua pintu ruangan tersebut tertutup rapat.Ia mendekati jendela, lalu mengintip ke dalam, akan tetapi baru saja ia mengintip. ia sudah mundur ke belakang seperti dipagut ular.
Jantungnya semakin berdetak keras. Di saat mengintip, belum juga melihat sesuatu, matanya telah tertumbuk sepasang mata yang sinarnya berkemilauan dan berapi menatap dirinya. Menduga dirinya telah diketahui orang, maka cepat-cepat ia surut mundur.
Akan tetapi benarkah dugaannya itu? Tidak!Ia terlalu hati-hati, sehingga sampai keliru duga. Sebenarnya saja, sepasang mata itu tidak memandang dirinya. Kalau ia merasa dipandang, tidak lain memang sepasang mata itu luar biasa. Hingga seluruh ruang seakan-akan dikuasai 0leh pancaran mata yang tajam itu.
Mendadak dari dalam ruangan terdengar suara Swara Manis,
"Kakek! Apakah jurus yang aku gerakkan tadi sudah benar?"
Tidak terdengar suara jawaban. Yang terdengar kemudian hanyalah suara sambaran pedang yang amat cepat.
Sarini tak kuasa menahan sabarnya lagi. Ia mengintip lagi di sela kayu jendela. Yang nampak pertama kali olehnya, lagi-lagi sepasang mata yang luar biasa itu. Tetapi kali ini ia tidak menghiraukan lagi dan terus mengamati keadaan dalam ruang tersebut.
Sekarang ia baru mengerti jelas, Swara Manis sedang bergerak dengan pedang pusaka Nyai Baruni. Ilmu pedang yang dimainkan itu aneh sekali gerakannya. di samping perobahannya sulit diduga. Menurut penilaiannya, ilmu-pedang itu memang luar biasa. Tak heran disebut ilmu pedang "Samber Nyawa". Sebab lawan yang kurang hati-hati, nyawanya akan disambar dan melayang. Kemudian Sarini melihat sebuah kursi besar beralas kulit harimau. Kursi itu diduduki seorang laki-laki tua berwajah buruk. Mulut lebar, hidung melesak, rambut yang tidak tertutup ikat kepala warnanya kemerahan, sedang kulit tubuhnya hitam legam. Orang tua itu mengenakan pakaian dengan warna merah darah. Melihat semua itu Sarini cepat menduga orang tua inilah kiranya yang disebut Ki Hajar Sapta Bumi, dan terkenal sakti mandraguna. Menilik sinar mata yang luar biasa tajamnya itu, memang cukup membuktikan bahwa laki-laki tua itu berilmu tinggi.
"Swara Manis! Di dalam pertemuan di hari Lebaran nanti, engkau harus menang dan tidak boleh kalah. Apakah engkau mengerti?" kata kakek berwajah jelek itu perlahan, tetapi berwibawa,
"Mengerti, guru?" sahut Swara Manis.
Hajar Sapta Bumi menghela napas pendek. Lalu,
"Ketahuilah, sesudah engkau berhasil meyakinkan ilmu pedang Samber Nyawa ini, kepandaianmu lebih tinggi dari semua pamanmu. Dengan begitu aku harapkan, engkau tidak menyia-nyiakan harapan ayahmu almarhum."
Swara Manis menghentikan gerakan pedangnya. Lalu sambil menatap kakek gurunya, ia bertanya,
"Kakek, aku masih ingat kata-kata kakek waktu itu. Bahwa orang yang menggunakan senjata ular hidup, yang dilatih semacam tongkat lemas atau cambuk hebatnya tidak terkira. Apakah ular sakti Gadung Dahana itu, belum memenuhi syarat untuk maksud tersebut?"
Hajar Sapta Bumi ketawa lirih, ia mengangguk sambil berkata,
"Apa yang engkau kemukakan memang tepat. Akan tetapi dalam perkelahian nanti, apabila di pihak lawan terdapat banyak tokoh sakti, sudah tentu aku tak dapat berpeluk tangan."
Kakek itu berhenti sejenak, sesudah mendehem lalu melanjutkan,
"Ilmu teisebut memang belum tiba saatnya aku belikan kepadamu. Tetapi juga belum terlambat aku ajarkan kepadamu, apabila engkau telah berhasil meyakinkan ilmu pedang Samber Nyawa. Tetapi hem, kiranya dari semua ilmu itu yang terlebih penting, adalah mustika dalam batu yang kau laporkan itu. Engkau harus dapat memeproleh mustika dalam batu itu, untuk kepentingan dirimu sendiri."
Swara Manis menatap kakek gurunya, kemudian menjawab mantap,
"Mustika batu itu telah aku lemparkan ke dalam telaga, karena itu tidak mungkin orang dapat menemukannya."
"Di daerah Dieng memang banyak telaga besar maupun kecil," kata Hajar Sapta Bumi.
"Dengan keterangan itu, aku setengah dapat memastikan, bahwa telaga yang menyimpan mustika batu itu, telaga Merdada, merupakan telaga luas dan airnya amat dalam. Telaga itu memang aneh, warna airnya hijau. Dahulu, ketika muda akupun sudah pernah datang ke sana."
Sarini terpikat perhatiannya. Dalam hati ingin sekali mendapat penjelasan lebih lanjut dari Hajar Sapta Bumi. Akan tetapi celakanya, orang tua itu tidak melanjutkan lagi.
Diam-diam Sarini mendongkol. Tiba-tiba teringatlah ia akan nasib Prayoga dan Wasi Jaladara yang hilang secara aneh di Dieng. Teringat pemuda yang dicintai, tibatiba saja hatinya menjadi gundah. Pikirannya melayang, dan ia lupa menguasai pernapasannya.Ia terlupa bahwa saat sekarang sedang di dalam sarang harimau dan tengah pula mengintip tempat berbahaya.
Bagi orang biasa, teriakan napas Sarini itu memang takkan dapat didengar. Akan tetapi bagi telinga Hajar Sapta Bumi yang sakti amat peka sekali. Jangan lagi pernapasan orang, melarangnya daun keringpun dapat didengar jelas.
Hajar Sapta Bumi terkejut merasa diintip orang dari luar. Seketika wajahnya berubah menjadi bengis, tetapi celakanya Sarini tidak menyadari keadaan.
Akan tetapi naluri wanita lebih tajam dibanding lakilaki.Ia seperti mendapat firasat adanya sesuatu yang akan terjadi. Secepat kilat ia melenting ke udara. Tepat di saat dirinya melambung ke udara itu, sebilah benda melayang ke luar jendela dan menyambar bawah telapak kaki, kemudian melesak ke dalam dinding kayu.
Sarini tambah gugup, ia menyadari kehadirannya diketahui orang. Cepat-cepat ia melarikan diri ke luar. Tetapi mendadak ia seperti membentur benda lunak. Ketika mengangkat kepala, celaka... ia telah membentur tubuh Hajar Sapta Bumi.
Sarini gugup berbareng takut. Di luar dugaannya, orang tua itu sudah bergerak gesit dan menghadang dirinya. Buru-buru ia berputar tubuh untuk lari. Tetapi pada saat itu Hajar Sapta Bumi membuka mulut seperti tertawa. Yang aneh, tidak terdengar suara apa-apa. Hanya sesaat kemudian Sarini merasakan telah digempur oleh tenaga dahsyat yang tidak nampak.
Dalam usahanya menyelamatkan diri, Sarini nekat meloncat ke atas. Tetapi ketika tubuhnya di udara, ia seperti dilanda badai dahsyat dan tubuhnya dihempas seperti layang-layang putus talinya. Kalau saja tidak terhalang oleh tembok batu, tentu dirinya telah melayang entah ke mana.
Buk...!! tubuhnya terbentur tembok, sakitnya bukan kepalang. Cepat-cepat ia mengerahkan semangat untuk menahan rasa sakit. Dan tepat pada saat Sarini jatuh ke lantai, terdengarlah suara yang tak asing lagi, suara Swara Manis,
"O... adik Sarinikah, yang berkunjung ke mari?"
Kendati dalam hati benci setengah mati kepada laki laki' itu, aku tak jadi mati digigit ular Gadung Dahana.
Ketika itu Sarini telah berdiri dan bersandar tembok. Hajar Sapta Bumi masuk ke ruangan lagi sambil memerintah.
"Swara Manis. Tangkap dulu budak perempuan itu."
Swara Manis mengiakan, kemudian dengan cepat telah menabaskan pedangnya ke lengan Sarini. Tampaknya Sarini sudah putus-asa dan tak mau melawan. Akan tetapi sebenarnya sedang mencari daya untuk lolos.
Melihat Sarini menyerah tanpa daya, Swara Manis menghentikan gerakannya menabas. Hal itu selaras dengan maksud hatinya, agar gadis itu takut oleh gertakannya.
"Sarini, serahkan tanganmu untuk aku ikat."
Sarini mengulurkan dua tangan lurus ke depan, dan tampaknya benar-benar sudah menyerah.
Berhadapan dengan Sarini yang cantik, tiba-tiba saja kumat penyakit Swara Manis yang suka mempermainkan perempuan. Kendati Sarini kalah cantik dengan Mariam, akan tetapi Sarini seorang gadis yang menyenangkan.
Sebagai laki-laki yang tak malu mempermainkan perempuan, menghadapi Sarini yang tak berdaya ini timbullah nafsu jahatnya. Pedang segera dipindah ke tangan kiri, kemudian tangan kanan terulur untuk memegang dada... .
Sarini hampir pingsan menahan rasa malu dan marah. Tetapi dalam keadaan terpojok, ia belum mau menyerah kalah.Ia menggerakkan tangan ke depan, dan gaya serangannya aneh. Mendorong tidak dan memukulpun tidak. Akan tetapi sebenarnya ilmu tersebut aneh dan berbahaya, ilmu tangan kosong ajaran Kigede Jamus.
Crak! Siku lengan Swara Manis sudah dicengkeram sepenuh tenaga. Saat itu juga Swara Manis merasakan lengannya lemas tak bertenaga lagi. Jari yang semula menggenggam hulu pedang Nyai Baruni terbuka, kemudian pedang itu sudah berpindah ke tangan Sarini.
Gadis itu gembira sekali dan menggerakkan pedang untuk menyerang. Akan tetapi mendadak ia merasakan pergelangan tangan kirinya sakit sekali dan hilang tenaga. Ternyata Swara Manis sudah bergerak tidak kalah sebatnya membalas mencengkeram pergelangan tangan kiri Sarini.
"Awas! Jika tak kau lepaskan tanganku, akan kupapas dengan pedang ini." Sarini membentak.
Swara Manis terkenal penuh tipu daya dan licik. Ancaman Sarini ini tidak membuat Swara Manis menyerah, tetapi makin memperkuat cengkeraman, sambil menggerakkan tangan kiri untuk merebut pedang.
Akan tetapi kali ini Sarini tak dapat ditipu. Pedangnya bergerak untuk menabas lengan Suara Manis, sehingga Suara Manis terpaksa meloncat mundur dengan wajah pucat.
Sarini tak melepaskan kesempatan baik ini.Ia melompat dan menikam kaki. Jaraknya amat dekat, dalam keadaan seperti ini Swara Manis harus memilih satu di antara dua. Ia harus menyerahkan Kaki untuk dibabat, atau selamat tetapi kehilangan pedang. Dua-duanya amat merugikan, tetapi tentu saja swara Manis memilih kehilangan pedang. Dalam hatinya percaya, tidak mungkin Sarini dapat lolos apabila berhadapan dengan kakek gurunya.
Akan tetapi Swara Manis memang licik dan licin. Walaupun harus kehilangan pedang, ia harus dapat melampiaskan kemarahannya. Dalam meloncat ke belakang, ia menggunakan jari tangan untuk menusuk pergelangan tangan Sarini. Akibatnya memang hebat. Sarini merasakan aliran hawa yang keras menyerang aliran darah, sehingga seperti mati rasa.
Untung Sarini bukan gadis penakut.Ia bukan menyerah malah makin menjadi kalap. Dengan sisa tenaga yang masih ada, ia menikamkan pedangnya. Swara Manis terkejut bukan main dan memiringkan tubuh menghindarkan diri. Akan tetapi tidak urung lengan kiri tergores dan mengeluarkan darah.
Dalam keadaan seperti ini Sarini tidak takut mati. Kalau toh mati, harus bersama dengan lawan. Dengan mengerahkan tenaga, ia menabas lengan Swara Manis.
Swara Manis kaget sekali. Kalau menghindar, tentu cengkeramannya ke pergelangan tangan Sarini akan lepas lagi. Tetapi sebagai seorang licin, ia cepat menemukan akal.Ia menarik tangan Sarini, sehingga apabila tetap menabas, pedang itu akan membuntungi lengan sendiri.
Celakanya Sarini tak dapat ditipu. Cepat-cepat ia membalikkan siku menahan pedang, dan secepat kilat pedang bergerak membabat lawan.
Swara Manis terkejut lagi. Tentu saja laki-laki ini tidak sedia tubuhnya menjadi mangsa pedang.Ia menyelinap ke samping sambil menekuk lengan Sarini ke belakang. Bagaimanapun dengan akal ini. Sarini meringis ke belakang.Ia menggerakkan pedang ke belakang, tetapi Suara Manis dengan lincah selalu menghindar.
Sarini tambah kalap, ia memilih mati daripada harus menderita malu.Ia cepat mengangkat pedang ke depan. Maksudnya membabat tubuhnya sendiri, dan dengan bcgitu Swara Manis yang di belakangnya juga akan ikut mati.
Akan tetapi bukan Swara Manis kalau tak dapat menduga maksud Sarini. Cepat-cepat ia melesat ke depan Sarini. kemudian bermaksud meringkus Sarini hidup hidup sesuai perintah kakek gurunya.
Setelah di depan Sarini, dengan gerakan kilat ia berusaha merebut pedang. Akan tetapi tidak kalah cepatnya, Sarini sudah membabatkan pedang.
Swara Manis belum ingin mati.Ia melepaskan cengkeramannya dan meloncat mundur. Namun setelah lepas dari cengkeraman, semangat Sarini menyala. Cepat ia memburu, sedang Swara Manis yang menjadi ketakutan ingin melarikan diri. Akan tetapi belum juga sempat lari, tiba-tiba terdengar suara Hajar Sapta Bumi dari dalam ruangan,
"Anak, apakah engkau sudah selesai?"
Dapat dibayangkan betapa bingung Swara Manis saat ini. Yang terjadi dirinya tak dapat menangkap Sarini, malah kehilangan pedang. Sebagai muridnya, ia mengenal watak Hajar Sapta Bumi. Kendati wajahnya buruk, tetapi pribadinya tinggi dan selalu mengindahkan keperwiraan. Karena itu apabila hal ini diketahui kakek gurunya, tentu akan dipandang tidak berguna.
"Ya, hampir selesai!" sahut Swara Manis.
Sambil menyahut ia menerjang. Untuk menghadapi lawan yang berpedang, ia menggunakan senjata kipas andalannya.
Pada mulanya-Sarini tertegun mendengar suara Hajar Sapta Bumi. Tetapi ketika Suara Manis menyerang lagi, ia cepat menangkis dan akan melarikan diri. Celakanya Swara Manis tak mau kehilangan pedang pusaka Nyai Baruni. Segera digunakan ilmu Jathayu nandang papa. sehingga Sarini menjadi bingung.
Sarini sekarang mati kutu. Berulang kali ia ingin lari, tetapi selalu dibayangi oleh serangan lawan. Kendati ia menggunakan pedang pusaka, namun menjadi sibuk juga menghadapi serangan lawan yang gencar.
Karena sulit lari, Sarini menjadi marah. Cepat ia memindahkan pedang ke tangan kiri. lalu mempemiainkan ilmu pedang Bumi Gonjing, ajaran Ladrang Kuning. Serangan pertama dengan tusukan ke arah tenggorokan.
Ilmu pedang Bumi Gonjing sudah terkenal hebatnya sejak belasan tahun lalu. Begitu digunakan, keadaan cepat berubah. Kalau tadi Swara Manis yang selalu menyerang, sekarang berbalik diserang. Bahkan bukan hanya diserang, tetapi hampir kalah.
Melihat hasil serangannya, Sarini berdebar hati. Ia menyusuli lagi dengan serangan gencar. Swara Manis kelabakan, terpaksa harus mundur sampai setombak lebih. Sungguh sayang, Sarini tetap membayangi. Maju dua langkah ke depan, Sarini mengayunkan pedang untuk membelah tubuh Swara Manis. Untuk menghindarkan diri Swara Manis mundur. Tetapi tiba-tiba Sarini hendak melarikan diri.
Belum juga berhasil, sesosok tubuh telah melayang ke arahny a. kemudian pundaknya sakit akibat cengkeraman tangan yang kuat.
"Aduh !" Sarini memekik tertahan, dan bukan main kagetnya setelah tahu, dirinya dicengkeram oleh Hajar Sapta Bumi.
Kakek itu memang heran, mengapa cukup lama Swara Manis belum juga membawa gadis itu ke dalam ruangan. Karena curiga ia keluar, dan betapa terkejutnya ketika mendengar suara senjata berdencing. Kemudian kagetnya bertambah lagi, ketika melihat murid kesayangannya bukan sedang meringkus Sarini, akan tetapi malah keadaan berbahaya oleh serangan lawan.
Sarini merasakan tenaganya habis, kemudian trang, pedang Nyai Baruni lepas dari tangannya. Begitu Hajar Sapta Bumi mendorong, Sarini terhuyung ke depan. Masih untung kakek itu tak mau mencelakakan orang muda, dan mendorong hanya perlahan. Kalau menggunakan tenaga , tentu nyawa Sarini sudah melayang.
Hajar Sapta Bumi heran mengapa pedang Nyai Baruni sampai jatuh ke tangan Sarini. Ketika Swara Manis memungut pedang itu dengan wajah berseri, ia cepat menegur,
"Hai, Swara Manis! Mengapa pedang itu sampai dapat direbut oleh dia?"
Dalam hati Swara Manis mengeluh. Kalau berterus terang, kakek gurunya akan mencaci-maki. Sebaliknya kalau tidak, bukti sudah berbicara. Namun demikian ia tidak kurang akal, jawabnya,
"Ketika cucu agak lengah, dia sudah menyambar pedang yang aku letakkan di atas tembok."
"Hem, mustahil!" kakek itu tak percaya.
Sarini mempunyai kesan lain terhadap Hajar Sapta Bumi, setelah dirinya tadi tidak dicelakai. Setelah mendengar kakek itu menghela napas, Sarini menggunakan kesempatan untuk mendamprat Swara Manis,
"Hai Swara Manis! Apakah engkau sekarang sudah berobah menjadi manusia tidak tahu malu? Huh, jika tidak aku rebut dari tanganmu, mana mungkin engkau bermurah hati memberikan pedang itu kepadaku?"
Mendadak wajah Swara Manis pucat. Sebaliknya sepasang mata Hajar Sapta Bumi menyala dan beringas. Melihat itu Swara Manis ketakutan setengah mati, dan buru-buru memberi keterangan.
"Kakek, hendaknya tidak mudah percaya keterangan orang lain. Dia memang sengaja membakar hati kakek agar marah. Mungkinkah dia dapat merebut pedang dari tanganku?"
Sarini ketawa mengejek. Hajar Sapta Bumi menatap dengan tajam, lalu bertanya,
"Bocah! Siapa gurumu? Dan mengapa pula malam begini engkau menyelundup masuk ke mari?"
Pertanyaan itu memberi sarini
untuk merangkai siasat. Ia memberi hormat, kemudian menjawab,
"Saya yang rendah ini murid bapa Ali Ngumar dari Muria. Aku dititahkan guru menghadap kakek di sini, dengan untuk memperoleh penjelasan dan ketetapan waktu perkelahian pada hari Lebaran nanti."
Sarini memang cerdik. Ia tahu bahwa dalam tata kesopanan yang lazim di antara para tokoh sakti, kendati dua pihak sedang bermusuhan, tetapi seorang utusan tidak boleh dibunuh dan dihina. Oleh karena itu ia segera mengaku sebagai utusan gurunya.
Hajar Sapta Bumi menghela napas pendek. Diam-diam bersyukur, Swara Manis tidak berhasil menangkap gadis ini. Kalau sampai ditangkap, tentu padepokan ini akan diejek dan direndahkan orang.
Meskipun demikian kakek ini tidak lekas percaya, tanyanya,
"Adakah engkau membawa surat dari gurumu?"
Sarini tertegun sejenak. Tetapi sebagai gadis cerdik, cepat ia menjawab,
"Ucapan para tokoh angkatan tua lebih berharga dari emas. Janji akan selalu ditepati, mengapa masih harus dengan surat?"
Jawaban Sarini ini tepat sekali. Celakanya ia lupa bahwa Swara Manis yang licin saat ini hadir.Ia mengamati gerak-gerik Sarini, kemudian ketawa dingin sambil berkata,
"Kakek, lebih baik tidak cepat percaya ocehan gadis ini. Memang benar dia salah seorang murid Ali Ngumar. Tetapi nyatanya, rombongan Ali Ngumar belum datang, dan mengapa sudah dapat mengirim utusan? Apa pula tentang perkelahian pada hari Lebaran itu sudah jelas, sekalipun perjanjian yang kita buat hanya lisan saja. Tentunya sudah tidak ada lagi masalah yang harus diperbincangkan."
Swara Manis berhenti dan mencari kesan. Karena kakek gurunya tidak membuka mulut, ia melanjutkan,
"Aku menduga tentu ada sesuatu yang terselip di balik peristiwa ini. Aku menduga Ali Ngumar dan sekutunya iri dan
dengki oleh keharuman nama kakek. Karena itu kedatangan mereka ke mari tentu mempunyai maksud yang lain lagi. Kiranya malah tidak mustahil, kalau mereka memang bermaksud untuk merebut padepokan ini."
Ucapan Swara Manis ini kuasa membakar hati Hajar Sapta Bumi. Mendadak alisnya berkerut, dan sepasang matanya berobah membara.
Sarini terkesiap untuk sejenak. Namun gadis yang tabah ini kemudian ketawa dingin, katanya,
"Hai Swara Manis! Sungguh engkau curang. Karena takut ditegur oleh kakek gurumu, engkau telah berdusta. Bukankah begitu? Padahal yang nyata, pedang pusaka tadi aku rebut dari tanganmu, dan bukan aku ambil dari atas tembok."
Ia marah, tetapi tidak dapat berbuat apa-apa, karena Swara Manis telah kenal akan watak kakek gurunya. Ternyata kemudian kekhawatirannya terbukti. Terdengar suaranya yang agak bengis.
"Swara Manis! Tidak perduli dengan maksud apa bocah ini datang ke mari ' malam ini. Akan tetapi ucapannya yang dapat merebut pedang dari tanganmu, sungguh memalukan sekali. Huh, mana mungkin pedangmu bisa direbut? Untuk membuktikan, ingin aku melihat barang sebentar. Buktikan, gadis ini dapat merebut pedangmu atau tidak."
Lega hati Swara Manis mendengar keputusan kakek gurunya. Ia tadi memang lengah, sehingga pedangnya dapat direbut. Akan tetapi sekarang kalau harus berhadapan, manakah mungkin pedangnya dapat direbut?
Ia memang licik. Ia tidak memberi kesempatan kepada Sarini membuka mulut lagi. Secepat kilat ia telah menggunakan pedang menyerang ulu hati, dengan ilmu pedang Samber Nyawa.
Ilmu pedang Samber Nyawa terdiri 49 jurus, dan semuanya merupakan jurus serangan yang saling susul. Dan sebagai seorang ahli urat tubuh manusia, arah sasaran serangan ilmu pedang ini untuk menyerang urat tubuh berbahaya. Dan karena ilmu pedang itu memang hebat, maka Ki Hajar Sapta Bumi baru sedia mengajarkan apabila Swara Manis memiliki pedang pusaka.
Jurus serangan pertama yang dilancarkan Swara Manis kepada Sarini itu, tampaknya memang seperti menikam dada. Tetapi begitu pedang melayang tiba, ujung pedang sudah beralih ke urat tenggorokan lawan. Dengan perubahan yang cepat tak terduga itu, lawan akan menjadi bingung dan kacau pertahanannya.
Sarini sendiri sebenarnya belum jelas akan maksud Hajar Sapta Bumi yang menyuruh Swara Manis berkelahi lagi dengan dirinya. Akan tetapi dalam hati, Sarini sudah dapat menduga, kalamana berhasil merebut pedang Swara Manis, dirinya akan dibebaskan.
Menduga demikian Sarini tidak gentar menghadapi serangan Swara Manis. Ketika ujung pedang mengarah tenggorokan, ia miringkan kepala menghindar. Hingga ujung pedang Swara Manis hanya terpaut sedikit sekali dengan leher.
Swara Manis gembira sekali. Segera ia mengungkitkan ujung pedang untuk menusuk urat leher. Tetapi tidak kalah cepatnya, Sarini sudah merendahkan tubuh sehingga tikaman itu luput. Sebelum Swara Manis sempat menyusuli serangannya, Sarini sudah membalas serangan dengan ilmu pedang Bumi Gonjing.
Swara Manis gugup. Namun hanya sejenak, kemudian ia mentertawakan kebodohannya sendiri. Bukankah sekarang ini dirinya memegang pedang pusaka? Dan mengapa pula harus bingung menghadapi lawan yang hanya menggunakan pedang biasa?
Menyadari kedudukannya lebih kuat, setelah menghindar ia mengangkat pedang untuk mematahkan pedang lawan. Sarini terkejut sekali, akan tetapi sudah terlambat. Trang... patahlah pedang Sarini. Hampir berbareng dengan itu, terdengar Swara Manis berteriak kaget, dua pihak melompat mundur. Tahu-tahu, pedang Nyai Baruni sudah pindah ke tangan Sarini.
Sarini memang cerdik.Ia mengumpankan pedangnya agar dipatahkan. Tetapi kesempatan itu dipergunakan untuk dapat merebut pedang lawan.
"Sekarang jelas bukan, bahwa aku dapat merebut pedangnya?" seru Sarini ditujukan kakek itu.
Swara Manis penasaran dan akan maju menyerang lagi. Akan tetapi ia terpaksa mundur kembali, oleh sabatan pedang Nyai Baruni.
"Swara Manis, berhentilah!" perintah kakek itu.
Dalam menilai apa yang sudah terjadi, kakek ini tahu bahwa kepandaian gadis itu tidak berlebihan. Akan tetapi yang luar biasa kecepatan tangannya dalam merebut pedang.
Sekarang atas hasilnya yang gemilang itu, Sarini menjadi gembira. Ia menyadari, tidak mungkin dapat pergi dengan membawa pedang Nyai Baruni. Karena itu pedang segera diletakkan di lantai, lalu berkata,
"Aku segera mohon diri karena urusan telah selesai."
Hajar Sapta Bumi yang memegang teguh keangkuhannya sebagai tokoh sakti, tak dapat berbuat apa-apa. Kemudian untuk menjaga kedudukannya agar tidak turun di mata orang lain, ia malah memerintahkan Swara Manis agar mengantar Sarini sampai di luar padepokan.
Wajah Swara Manis merah padam saking malu. Namun ia tidak berani membantah perintah kakeknya, lalu mengantarkan Sarini keluar padepokan. Sarini tak ingin melewatkan kesempatan untuk memperolok, ujarnya,
"Swara Manis, maafkan. Malam ini aku telah berbuat kurang sopan kepadamu."
Swara Manis tak dapat berbuat apa-apa, kecuali hanya meringis malu.
Setelah keluar dari pintu gerbang, Sarini cepat-cepat meninggalkan padepokan itu. Bagaimanapun ia khawatir, walaupun Hajar Sapta Bumi takkan mengganggu, tetapi ia khawatir terhadap murid-muridnya.
**** SESUDAH Muria berantakan oleh penyerbuan pasukan Mataram, Ali Ngumar berpisah dengan si Bongkok Baskara maupun Wasi Jaladara dan tokoh yang lain. Akibat dari hancurnya Muria itu, Ali Ngumar amat sedih. Maka sesudah berziarah dan mohon diri ke makam Sunan Muria, cepat-cepat Ali Ngumar meninggalkan gunung itu. ia menuju ke Pati. Harapan satu-satunya, sekalipun Muria hancur, tetapi Pati selamat, dan masih mempunyai kesempatan untuk memupuk kekuatan untuk memukul balas kepada Mataram.
Akan tetapi alangkah kaget dan sedihnya, ketika pada kenyataannya, Pati sudah jatuh ke tangan pasukan Mataram, dan Adipati Pragolaitu telah gugur dalam usaha memeprtahankan bumi Pati.
Ali Ngumar tidak lama di kota Pati.Ia teringat akan kesanggupannya untuk menyampaikan berita kepada Resi Sempati di Tuban, tentang meninggalnya Wirodigdoyo.
Kemudian betapa terkejut Resi Sempati ketika mendengar berita dari Ali Ngumar, bahwa Wirodigdoyo sebagai murid terkasih dan sekaligus anak angkatnya itu, telah meninggal di tangan Swara Manis. Karena marah dan dendam, kemudian Resi Sempati mengajak Ali Ngumar untuk langsung menuju Gunung Slamet, guna membalas dendam matinya Wiradigdoy0.
Tidak seorangpun tahu nama kakek ini sebelum menyebut dirinya dengan nama Resi Sempati. Dan sebabnya orang memberi julukan kepada kakek ini Resi Sempati, karena setiap kali berkelahi, kakek ini seperti tumbuh sayap dan dapat bergerak gesit sekali laksana burung. Apa pula senjatanya berujut sarung tangan berkuku panjang seperti cakar burung, maka nama Resi Sempati paling cocok sebagaijulukan kakek ini.
Dua orang tokoh ini menempuh perjalanan dengan perahu, menyusuri Bengawan Solo. Mereka memilih jalan
air, tidak lain demi kelancaran dan keamanan dalam perjalanan.
Yang dimaksud agar lancar dan aman itu, karena Mataram masih meneruskan perang, memerangi para Bupati di wilayah timur dalam usahanya menegakkan kedaulatan nya. Padahal baik Ali Ngumar maupun Resi Sempati, termasuk musuh Mataram. Karena itu dalam menuju Gunung Slamet ini mereka tidak ingin terlibat perkelahian dengan prajurit Mataram.
Hari sudah sore ketika perahu yang ditumpangi dua tokoh ini sampai di Ngawi. Tiba-tiba dari hulu meluncur sebuah perahu cepat sekali. Tampak seorang laki-laki mengemudikan perahu menggunakan galah. Dan tukang perahu ini tampak galak dan garang. Setiap bertemu dengan perahu yang mengganggu perjalanannya, tentu menggunakan galah tersebut untuk mendorong. Hingga banyak perahu yang pecah dan atau penumpangnya tenggelam di air.
Ali Ngumar dan Resi Sempati marah sekali menyaksikan kesewenangan itu. Seolah-olah tukang perahu itu sendiri saja, yang kuasa atas sungai ini. Sehingga para nelayanpun harus menjadi korban.
Tak lama kemudian perahu itu jaraknya sudah dekat sekali dengan perahu yang ditumpangi Ali Ngumar dan Resi Sempati. Dan karena marah atas perbuatan tukang perahu yang sewenang-wenang itu, Ali Ngumar sengaja melintangkan perahunya menutup jalan.
Sesudah jaraknya menjadi dekat, baru tahulah Ali Ngumar, penumpang perahu yang sewenang-wenang itu.Ia belum lupa kepada tokoh bernama Gondang Jagad, yang pernah berhadapan dengan Darmo Saroyo di atas panggung pertandingan di desa Mayong.
Kalau Ali Ngumar mengenal Gondang Jagad, sebalik nya tokoh ini tidak mengenal Ali Ngumar. Ketika melihat ada sebilah perahu yang melintang menghalangi jalan, tanpa membuka mulut Gondang Jagad sudah menggerakkan galahnya untuk mencongkel perahu orang supaya terbalik.
Sebelum Ali Ngumar bertindak, Resi Sempati sudah tertawa dingin dan sekali bergerak. tubuhnya sudah melayang dan hinggap di atas galah Gondang Jagad. Dengan pengerahan tenaga pada kaki, membuat lengan Gondang Jagad yang memegang galah itupun terkulai.
"Kurangajar!" bentak Resi Sempati.
"Apakah maksud mu mengganas di sungai ini?"
Gondang Jagad yang tidak menyangka itu terbelalak kaget. Orang yang menginjak galahnya hanja seorang laki-laki kurus dan pendek. Akan tetapi mengapa, memiliki tenaga yang begitu hebat? Akan tetapi sebagai tokoh sakti, Gondang Jagad tidak menjadi gentar.Ia mengibaskan tangannya lalu membalas,
"Kunyuk tua bangka tak tahu diri. Apa sebabnya engkau mengganggu kesenanganku di sungai ini?"
Gerakan Gondang Jagad memang hebat juga. Ketika tangan mengibas, galah berikut Resi Sempati yang menginjak sudah terlempar setombak lebih.
Ketika itu perahu Ali Ngumar dan perahu Gondang Jagad sudah merapat. Akan tetapi karena yakin Resi Sempati sanggup mengatasi Gondang Jagad, ia tidak membantu dan hanya menonton, sambil menurunkan jangkar. Hampir berbareng dengan turunnya jangkar, muncul dari rumah perahu dua orang kakek, ternjata Lintang Trenggono dan Sambang Buwono.
Kalau bukan Resi Sempati. mungkin sekali sudah tercebur dalam sungai. Akan tetapi Resi Sempati yang seperti memiliki sayap itu, ketika telapak kakinya menyentuh air dengan gerakan yang sangat indah tubuhnya sudah melenting di udara. Kemudian seperti burung garuda, tahu-tahu kakek itu sudah berdiri di atas rumah perahu.
"Adi Ali Ngumar!" serunya.
"Ternyata mereka itu 0rang-orang jahat."
Sebelum Ali Ngumar sempat membuka mulut, Lintang 'Trenggono sudah berseru mengejek,
"Hai Ali Ngumar! Apakah engkau memang ingin mencari perkara dengan kami?"
Ali Ngumar tidak menjawab. Sebaliknya Resi Sempati menatap tiga orang tersebut dengan mata merah berapi. Serunya,
"Adi Ali Ngumar! Siapakah mereka ini?"
"Tiga tokoh dari Kendeng," jawab Ali Ngumar perlahan.
"Hem, bukankah mereka ini begundal-begundal raja Mataram? Oho, amat kebetulan. Kita tidak boleh membiarkan mereka lolos lagi."
Gondang Jagad ketawa menghina, lalu berteriak.
"Ha-ha-ha, orang macam engkau bisa berbuat apa kepada kami?"
Agaknya tiga tokoh Kendeng ini tidak menghendaki tertahan lama di tempat ini. Gondang Jagad mengangkat tangan untuk menabas rantai jangkar yang mengait perahunya. Akan tetapi dengan ketawa mengejek, Resi Sempati sudah meloncat dan menginjak rantai jangkar dengan sebelah kakinya. Lalu dengan kecepatan kilat, kaki yang lain sudah bergerak menendang tangan lawan.
Gondang Jagad tak membiarkan tangannya ditendang orang, dan cepat menarik tangannya untuk kemudian memukul betis orang. Tetapi dengan menggunakan rantai yang bergoyang itu, Resi Sempati melenting ke udara, dan pukulan Gondang Jagad mendapat angin.
Buru-buru Gondang Jagad surut ke belakang. Tetapi mendadak ia merasakan kepalanya disambar angin keras. Temyata angin keras itu hasil tamparan tangan Resi Sempati.
Lintang Trenggono dan Sambang Buwono kaget. Serentak mereka bergerak menolong dengan menghantam Resi Sempati yang masih di udara.
Dalam keadaan melayang di udara, tampaknya Resi Sempati tentu akan menderita kerugian. Akan tetapi ternyata jago itu benar-benar seperti burung terbang di udara. Nyatanya dapat bergerak maju dan mundur dan melayang. Karena takut kepalanya dihajar, Sambang Buwono dan Lintang Trenggono terpaksa menghindarkan diri.
"Bangsat! Mengapa engkau mencuri senjata sarung tangan milik anakku?" bentak Resi Sempati ketika melihat sarung tangan Wirodigdoyo terselip di pinggang Lintang Trenggono.
"Tanyakan sendiri kepada Ali Ngumar," sahut Lintang Trenggono dingin.
"Apakah senjata itu engkau rampas dari Prayoga? Dan di manakah dia sekarang?" Teriak Ali Ngumar kaget.
Lintang Trenggono tertawa terkekeh,
"Heh-heh-heh, apa sebabnya sebagai guru engkau tak tahu ke mana muridnya berada? kalau gurunya sendiri tidak tahu, mengapa malah bertanya kepada kami? Heh-heh-heh, apakah sekarang bocah itu sudah menjadi orang utan di Dieng sana?"
Sesungguhnya, ucapan Lintang Trenggono itu hanya olok-olok. Karena ia tahu juga. di pegunungan itu berkeliaran orang utan. Namun ternyata bahwa olok-olok itu menjadi kenyataan. karena Prayoga memang berada di sana.
Ali Ngumar yang tidak merasa sedang diejek, bertanya,
"Mengapa dia di sana? Tahukah engkau, apa yang dikerjakan bocah itu?"
Akan tetapi Resi Sempati yang menjadi sedih teringat kepada Wirodigdoyo yang sudah mati, tak dapat bersabar lagi. Dan karena sarung tangan itu di pinggang Lintang Trenggono, ia menjadi marah kepada orang itu.
Sambil meraung seperti harimau, jago Tuban sudah mengenakan sarung tangan berkuku panjang seperti garpu.
Sret-sret-sret dan laksana seekor burung garuda, ia sudah menyerang tiga orang lawan.
Ketiga tokoh Kendeng itu tak pernah mimpi berhadapan dengan lawan yang luar biasa gerakannya. Karena perahu itu kecil, untuk menghindar menjadi sulit. Di samping itu, merekapun menjadi khawatir kalau tugas yang sedang mereka pikul menjadi berantakan untuk kepentingan Mataram.
Tanpa berjanji. mereka segera berusaha lolos.
Plung plung...!! mereka meloncat ke dalam air bengawan Solo.
"Mau lari ke mana kalian?" teriak Resi Sempati sambil menyusul terjun ke dalam air. Dengan gesit kakek ini meluncur di permukaan air, lalu menyambar pinggang Lintang Trenggono, kemudian dilempar ke perahu. Kepalanya terbentur kayu, dan Lintang Trenggono kesakitan.
Resi Sempati tidak puas.Ia masih ingin menangkap yang lain. Namun celakanya dua orang itu sudah menghilang tak keruan. Akhirnya kakek ini harus puas dengan hasil yang diperoleh. Kemudian ia meloncat ke perahu, dan dengan gerakan sebat sudah menyambar sepasang sarung tangan yang terselip di pinggang Lintang Trenggono. Kakinya kemudian terayun. dan tubuh Lintang Trenggono sudah terlempar ke sungai.
Resi Sempati menjadi keheranan ketika melihat Ali Ngumar berdiri seperti patung, dan pandang matanya ke depan seakan kosong. Ia menghampiri, kemudian bertanya,
"Adi. Engkau sedang memikirkan apa?"
Ali Ngumar menghela napas pendek, jawabnya,
"Senjata sarung tangan itu semula di tangan muridku. Akan tetapi mengapa sudah pindah ke tangan mereka? Tadi mereka mengatakan, muridku saat ini di dataran Dieng.
Mendadak saja aku khawatir, jangan-jangan anak itu dalam bahaya."
Resi Sempati dapat menyelami perasaan Ali Ngumar. Karena hari Lebaran masih cukup panjang, akhirnya Resi Sempati memberi saran,
"Sebaiknya kita menuju ke sana, untuk membuktikan benar dan tidaknya ucapan orang."
"Benar. Mari kita ke sana!"
Akhirnya mereka meneruskan perjalanan dengan perahu. Setelah sampai di desa yang banyak tumbuh pohon Sala , mereka mendarat lalu meneruskan perjalanan lewat darat.
Mereka menggunakan ilmu jalan cepat, hingga dalam waktu singkat mereka telah tiba di dataran Dieng. Kehadiran dua orang kakek itu di tempat ini, terpaut beberapa waktu dengan kepergian Sarini. Kalau saja Sarini menunda waktu kepergiannya, tentu bertemu dengan gurunya dan takkan mengalami nasib sial.
Ali Ngumar menghela napas panjang mengetahui keadaan di tempat ini, wilayahnya luas sekali, sulit baginya untuk dapat menemukan Prayoga. Karena bingung ke mana harus mencari, Ali Ngumar menjadi sedih. Akan tetapi kemudian secara kebetulan mereka bertemu dengan pemburu yang pernah ditanya Sarini dan Prayoga.
"Ya benar. Beberapa hari yang lalu, seorang pemuda dan seorang gadis telah datang ke tempat ini," jawab pemburu itu ketika ditanya Ali Ngumar.
"Kemudian masih ada empat orang yang lain datang ke mari, seorang gadis cantik, seorang pemuda, seorang laki-laki tinggi besar dan seorang lagi sudah setengah tua."
Atas keterangan pemburu itu, Ali Ngumar cepat dapat menduga bahwa mereka yang telah disebut tadi, antara lain Prayoga, Sarini dan wasi Jaladara. Kemudian timbul pula dugaannya, bahwa kedatangan mereka ke tempat ini, tentu di tempat ini terjadi peristiwa penting.
Resi Sempati dan Ali Ngumar mengamati dataran yang luas itu penuh selidik. Namun karena dataran ini penuh belantara, mereka sulit juga untuk dapat mengetahui dalam jarak jauh.
Ketika itu matahari sedang cerah dan memancarkan sinarnya yang gemilang. Tiba-tiba mereka melihat berkelebatnya bayangan orang. Oleh bentuk tubuhnya, mereka cepat dapat menduga bahwa orang itu tentu wanita.
"Siapa itu?" teriak Resi Sempati.
Yang amat kaget Ali Ngumar. Melihat bentuk tubuh dan pakaiannya, jelas yang berkelebat tadi anaknya sendiri, Mariam.
"Berhenti!" teriak Ali Ngumar.
Dugaan Ali Ngumar tidak salah. Perempuan yang berkelebat tadi memang Mariam. Ia seorang gadis yang angkuh dan tinggi hati. Kendati dirinya ditolong oleh rombongan Jim Cing Cing Goling dari tangan Surogendilo, namun gadis itu tak sudi ikut mereka. Ia kemudian menerobos belantara menurutkan langkah kaki. Karena tak tahu arah akhirnya tersesat. Akhirnya ia lelah, dan untuk mengisi perut mencari buah yang ada.
Sambil duduk melepaskan lelah itu, yang terbayang dalam benaknya tidak lain laki-laki yang dicintai, Swara Manis.Ia ingat, dirinya diajak ke tempat Surogendilo.Ia dipaksa minum teh, tetapi setelah minum kepalanya pening, lalu tak ingat apa-apa lagi. Ketika dirinya sadar Swara Manis sudah tak ada lagi. Dalam hatinya timbul rasa heran, apakah sebabnya? Apakah Swara Manis sampai hati meninggalkan dirinya?
Kalau saja Mariam mau sadar, tentu segera dapat menduga bahwa dirinya sengaja dijerumuskan oleh Swara Manis, ke jurang celaka. Akan tetapi karena Mariam hanya menurutkan hati dan pendapat sendiri. dalam mencintai orangpun membabi buta. Jelas sudah berkali-kali Swara Manis berbuat jahat kepada dirinya. Akan tetapi menurut anggapannya, Swara Manis seorang laki-laki paling tampan, laki-laki pilihan, dan di dunia ini tak ada yang lain.
Mariam sedang hamil muda. Pengaruhnya bermalasan dan banyak tidur. Oleh hembusan angin yang semilir dan oleh pengaruh pegunungan yang sejuk dan sepi, akhirnya ia tertidur.
Semalam ia tidur lelap sekali sekalipun di alam terbuka. Ia baru terjaga dari tidumya, setelah matahari cukup tinggi. Perutnya merasa lapar, maka cepat-cepat ia mencari apa saja yang dapat digunakan sebagai pengisi perut. Akan tetapi setelah kenyang, ia menjadi malas untuk pergi.
Baru setelah matahari semakin tinggi, timbul niat dalam hatinya untuk meneruskan perjalanan. Namun belum jauh melangkah, ia melihat dua orang laki-laki tengah berjalan. Darahnya tersirap ketika melihat, salah seorang dari laki-laki itu ayahnya sendiri. Cepat-cepat ia menyelinap berusaha menyembunyikan diri. Untung ia menemukan sebuah batu berlobang, kemudian menerobos masuk. Tetapi pada saat itu, tiba-tiba terdengar teriakan ayahnya yang menyuruh berhenti.
Mariam tambah takut. Ia menerobos terus dan makin lama semakin dalam. Kemudian ia baru sadar bahna lobang itu merupakan mulut goa alam. Namun Mariam sendiri tidak menyadari, bahwa dirinya sekarang ini masuk ke dalam goa panjang, yang disebut Gangsiran Aswatama.
Dalam cerita wayang, Aswatama membuat terowongan di bawah tanah ketika berusaha masuk ke dalam keraton Astina, sesudah perang Bratayuda selesai. Dalam usaha membuat terowongan untuk masuk ke dalam keraton Astina itu, Aswatama mendapat bantuan ibunya, seorang bidadari bernama Dewi Wilutama.
Kendati di dalam tanah, Aswatama dapat melihat secara jelas, karena ada sinar terang yang memancar dari arah belakang, ia menjadi heran dari manakah asal pancaran sinar yang terang itu? Karena heran timbullah keinginannya untuk melihat. Ia menjadi lupa akan pesan ibunya, jangan memalingkan muka ke belakang selama membuat terowongan di bawah tanah.
Ahh... Aswatama menjadi kaget. Ternyata Dewi Wilutama dalam keadaan telanjang bugil. Sinar terang yang memancar itu berasal dari buah dada ibunya sendiri. Karena Aswatama melanggar pesan ibunya, Dewi Wilutama menjadi malu dan marah.Ia lenyap tiba-tiba, sehingga Aswatama kegelapan di dalam terowongan. Itulah menurut cerita ki dalang dalam pewayangan.
Di dataran Dieng ini memang banyak diketemukan sesuatu yang dikenal dalam cerita wayang. Di sana terdapat delapan candi. Ialah Candi Dwarawati. Candi Arjuna, Candi Semar, Candi Srikandi, Candi Puntadewa, Candi Sembadra, Candi Gatutkaca dan Candi Bima. Di samping itu terdapat pula sebuah puncak yang disebut dengan nama Bisma, dan ada tempat yang disebut dengan nama Parikesit.
Sesaat setelah Mariam masuk ke dalam gangsiran Asisatama, terdengar suara Ali Ngumar,
"Heran. Kemanakah bocah tadi?"
Lalu terdengar suara orang menyahut, dari mulut Resi Sempati. Dalam usahanya menemukan Mariam, Resi Sempati sudah meloncat ke dahan pohon.
Mariam semakin ketakutan. ia terus merangkak masuk lebih dalam lagi. Yang mengherankan kalau semula goa itu sempit, makin ke dalam semakin menjadi lebar. Karena Mariam masuk terus ke dalam. akhirnya ia tidak mendengar lagi suara orang dari luar, dan ia duduk sambil menghela napas.
"Hemm," Resi Sempati menghela napas pendek.
Aku tadi melihat seorang perempuan dengan rambut terurai dan berlarian."
Ali Ngumar terkesiap.Ia menduga, orang yang dimaksud isterinya sendiri, Ladrang Kuning. Sejak berpisah di Muria. dirinya tak lagi berjumpa. Kiranya kehadiran Mariam di tempat ini disertai ibunya.
"Kakang Resi, marilah kita meneruskan perjalanan," ajaknya kemudian. Ada sebabnya memang, tidak ingin bertemu dengan isterinya di tempat ini.
Kendati Resi Sempati bermukim di Tuban, tetapi ia sudah mendengar pula tentang kepergian isteri Ali Ngumar. Mendengar ajakan Ali Ngumar, kemudian ia bertanya,
"Mungkinkah wanita yang bergerak cepat tadi isterimu?"
Ali Ngumar menghela napas panjang. Sahutnya,
"Dugaanmu benar. Telah lebih 10 tahun dia berhasil meyakinkan ilmu tinggi, hingga kesaktiannya di atas kita. Sayang wataknya sekarang menjadi aneh... ."
Ali Ngumar menghela napas lagi tampak masgul. Kemudian ia menuturkan apa yang telah terjadi dengan anak perempuannya, Mariam. Gadis itu terpikat oleh bujukan swara Manis, dan celakanya malah didukung ibunya.
"Kalau begitu aku harus dapat bertemu dengan bocah kurangajar itu," kata Resi Sempati.
"Tetapi hem, kalau dia sudah menjadi menantumu, tentu saja aku takkan dapat membalaskan sakit hati muridku."
Ali Ngumar tertawa sedih, sahutnya,
"Jangan khawatir! Aku akan membantu."
Kemudian mereka melanjutkan usaha mencari Mariam. Di saat mereka sedang menyelidik, tiba-tiba mereka mendengar suara binatang mengaum. Tetapi mereka 0rang sakti, tak takut kepada binatang buas. Akan tetapi belum jauh mereka melangkah, mereka mendengar pekik yang nyaring dan aneh. Sesaat kemudian muncullah seekor orang utan.


Dendam Kesumat Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ali Ngumar tahu apa yang harus dilakukan, tidak boleh sembrono. Cepat-cepat ia mencabut pedang lalu menyerang binatang itu. Ternyata orang utan itu si Joli, piaraan Sarini. Begitu dirinya disambar pedang, Joli cepat memutar tubuh lalu lari terbirit-birit.
Ali Ngumar dan Resi Sempati mengejar. Belum jauh mereka mengejar mereka terkejut melihat Ndara Menggung dan Jim Cing Cing Goling yang duduk bersila di atas rumput. Peluh bercucuran dari tubuh Ndara Menggung, sedang Jim Cing Cing Goling lebih banyak memejamkan mata, dan di atas kepalanya tampak uap putih.
Ali Ngumar pernah bertemu Jim Cing Cing Goling, ketika kakek ini menolong Sarini. Sebaliknya Resi Sempati yang banyak mengurung diri di rumahnya, belum kenal dengan dua tokoh itu. Kendati begitu, mereka tak dapat berpeluk tangan melihat ancaman maut di depan mata. Jelas sekali Ndara Menggung terluka dan Jim Cing Cing Goling berusaha menolong. Maka tanpa diminta, Ali Ngumar segera mengulurkan tangan, kemudian menempelkan telapak tangan ke punggung Ndara Menggung. Resi Sempati tak mau ketinggalan. Ia segera pula menempelkan telapak tangannya ke dada Ndara Menggung.
Jim Cing Cing Goling membuka mata, dan melihat Ali Ngumar lalu menegur,
"Kilat Buwana! Apa sebabnya watak isterimu berobah ganas?"
"Hemm," Ali Ngumar menghela napas.
"Kiranya kakang Cing Cing Goling sudah tahu sebabnya."
Resi Sempati terbelalak. "Jadi kaukah Jim Cing Cing Goling?"
Jim Cing Cing Goling terkekeh,"Heh-heh-heh. aku sudah lupa namaku sendiri. Sekarang memang lebih tepat aku disebut Jim Cing Cing Goling. Karena heh-heh-heh, aku memang sebangsa Jim dan demit... ."
Resi Sempati terkejut, lalu katanya,
"Aku sudah lama mendengar nama saudara yang termasyhur."
"Bukankah saudara yang disebut orang Resi Sempati?"
Resi Sempati mengangguk. "Hemm, bukankah saudara juga ingin hadir dalam pertempuran di Gunung Slamet? Tetapi hem, yang membuat aku jengkel memang si tua kerdil ini. Karena tidak becus, membuat orang lain menjadi sibuk."
"Cing Cing Goling" hardik Ndara Menggung yang sudah mulai kurang sakitnya.
"Engkau jangan ngoceh seenakmu sendiri. Mungkin engkau sudah berhasil memukul perempuan itu. Akan tetapi aku tidak kalah olehmu, dan juga dapat memukul."
"Ndara Menggung!" damprat Cing Cing Goling.
"Apakah engkau tak dapat menekan mulutmu dahulu?"
Ndara Menggung menurut. Memang sesudah mendapat pertolongan dari tiga orang sakti, hawa dingin yang menyerang tubuhnya banyak berkurang. Tiga orang itu meneruskan pertolonganya . Ketika malam tiba, Ndara Menggung sudah mulai dapat berdiri. Kemudian pada esok pagi, Ndara Menggung sudah sembuh.
Penyaluran tenaga murni, telah menyebabkan separo dari tenaga mereka hilang. Untuk memulihkan memerlukan waktu berhari-hari. Guna mengisi waktu, Jim Cing Cing Goling menuturkan pengalamannya masuk ke sarang gerombolan Surogendilo, kemudian berhasil menolong Mariam yang sudah ditipu oleh Swara Manis. Ali Ngumar menggigit bibir dalam usahanya menahan marah mendengar nasib anaknya.
Ndara Menggung seperti tidak perduli, lalu ngoceh sendiri,
"Tuhan memberi sepasang mata kepada diriku. Jika tak dapat menyaksikan keramaian di padepokan Sapta Bumi, aku akan penasaran."
Sesudah mereka cukup beristirahat, lalu mereka sepakat untuk menuju ke telaga Merdada. Akan tetapi sekalipun lama mereka menyelidik, tak juga dapat menemukan jejak Prayoga dan Wasi Jaladara. Pada akhirnya mereka sampai pada dugaan; bahwa Prayoga dan Wasi jaladam tentu sudah meninggalkan Dieng. Lalu, empat orang inipun meninggalkan Dieng menuju Gunung Slamet.
Di pihak lain, Mariam yang takut kepada ayahnya terus masuk lebih dalam lagi pada gangsiran Aswatama. Setelah beberapa lama di dalam. Mariam menduga. tentu ayahnya sudah pergi, dan ia ingin keluar kembali. Tetapi... ia tak lagi dapat menemukan jalan di mana ia tadi masuk. Ternyata terowongan itu mempunyai lorong yang bercabang-cabang.
Mariam menjadi gelisah. Apabila tak dapat keluar, dirinya akan mati terkubur di tempat ini. Akhirnya ia nekat menurutkan langkah kaki tanpa tujuan. Akan tetapi walaupun kakinya terasa penat, ia tak juga tiba di mulut goa. Malah tak lama lagi terowongan itu keadaannya berobah, kadang sempit dan kadang luas, sedang sekelilingnya penuh batu tajam.
Karena usahanya tak berhasil, akhirnya perempuan ini putus asa, lalu menjatuhkan diri sambil menangis tersedu-sedu.
Entah sudah berapa lama ia menangis. Tiba-tiba ia terkejut karena mendengar suara gema orang menangis di sekitarnya. Ia menjadi ketakutan. Tidak disadari bahwa gema itu berasal dari tangisnya sendiri. Saking takut, tanpa pikir panjang lagi ia melangkah. Ia terus mengambil jalan lurus, tidak mau membelok pada jalan bercabang.
Tak lama kemudian ia mendengar suara air mengalir. Maju beberapa langkah lagi, kakinya terasa dingin. Ternyata kakinya sudah terendam air. Saking haus, tidak perduli lagi air bersih atau kotor, ia sudah minum sepuasnya. Dan sesudah minum, ia merasakan tubuhnya menjadi segar.
Ia melangkah terus, tetapi ternyata tanah menurun dan air semakin dalam. Namun ia tak perduli dan melangkah terus. Tak lama kemudian, secercah sinar terang menerangi kegelapan. Perempuan ini gembira. Secercah sinar itu tentu berasal dari lubang yang menembus keluar. Dengan harap-harap cemas ia melangkah terus. Tetapi tanah semakin licin dan air semakin dalam. Tiba-tiba air membasahi pusarnya. Mariam menjadi ragu, kembali atau terus.
***** "DENDAM KESUMAT"
Karya :Widi Widayat Jilid : IV *** TETAPI akhirnya Ia memutuskan untuk terus, daripada harus mati terkubur di lubang itu.Ia nekat melangkah maju, dan kemudian hatinya lapang. Ternyata air tidak semakin dalam, tetapi malah dangkal. Karena itu hatinya gembira bukan main.
Akan tetapi tiba-tiba ia menjadi kaget dan ketakutan. Di sebelah sana air bergelombang. Lalu Siapakah yang sudah mondar-mandir dalam air disana?
Hampir saja ia menjerit ketika melihat mahluk aneh mirip manusa. Pundaknya terendam di air. Tetapi yang mengerikan, pada dua belah pundak itu tumbuh dua kepala.
"Berkepala tiga?" desis Mariam.
Jantungnya berdetak keras dan tubuh menggigil. Dirinya tak mungkin dapat menyelamatkan diri lagi, berhadapan dengan mahluk aneh berkepala tiga. Dan tiba-tiba saja ia teringat akan dongeng si bongkok. bahwa setan-setan itu berbentuk aneh. ada kalanya seperti manusia. ada kalanya berkepala anjing dan sebagainya.
Teringat dongeng itu.Ia makin bergidik ketakutan. lesulah niatnya untuk kembali ke jalan semula, dari pada harus berhadapan dengan mahluk aneh itu.Ia beringsut perlahan. dengan maksud agar gerakannya tidak diketahui oleh mahluk itu.
Sambil beringsut mundur, Ia memperhatikan setan berkepala tiga yang ditakuti. Satu kepala pada pundak kanan dan yang lain di pundak kiri. Tetapi yang lebih aneh lagi kepala yang dipundak itu dapat berpindah bergantian tempatnya. Mariam terbelalak.
"Mungkinkah itu? Kepala setan dapat berpindah tempat"
Rasa herannya kemudian mengurangi rasa takut Mariam sendiri. Ia kembali beringsut sambil menatap tajam memperhatikan.
Sesungguhnya gerakannya perlahan sekali. Akan tetapi gerak kakinya menimbulkan gelombang. Dan gelombang itu kemudian menyadarkan setan berkepala tiga, kemudian berpaling.
Darah Mariam tersirap mendadak. Sepasang mata setan itu berkilat-kilat dan tajam sekali. Tetapi ketika bertemu pandang, setan berkepala tiga itu kemudian mundur dan hilang.
Berhadapan dengan kenyataan itu, rasa takutnya hilang dan memandang berani. Jelas bahwa setan takut kepada manusia. Buktinya malah mundur dan menghilang. Lalu timbul keinginannya untuk mengejar. Tak lama kemudian tibalah di ujung terowongan. Akan tetapi setiba di tempat itu, ia mengeluh,
"Mati aku... ."
Di tempat ini terdapat terowongan dan sinar matahari menerobos masuk memberi penerangan. Sekarang baru menyadari bahwa terowongan itu dari arah atas, hingga tidak mungkin dirinya dapat mendaki setinggi itu. _
Selama hidup dirinya belum pernah berhadapan dengan kesulitan seperti yang dihadapi sekarang. Ia menjadi amat sedih, putusasa, dan akhirnya tangisnya meledak,.seperti anak kecil.
Tiba tiba terdengar suara benda tercebur dalam air dan tenggelam. Mariam tersentak kaget. Lalu sadarlah ia sekarang di tempat yang terang sedang setan berkepala tiga itu di tempat gelap. Dengan begitu setiap saat setan itu dapat mengganggu dirhnya. Menyadari
keadaan, tanpa pikir panjang lagi ia kembali masuk ke dalam terowongan yang airnya dangkal. Pakaiannya basah kuyup. dan ia mulai merasa kedinginan.
Sambil menyelusuri terowongan.Ia tambah gelisah dan putusasa. Kalau sampai tak dapat memperoleh jalan keluar. berarti dirinya akan mati bersama calon manusia dalam kandungannya.
Mariam menghela napas sedih. Tetapi tarikan napas ini ternyata malah menarik perhatian si setan berkepala tiga. Tetapi ketika itu Mariam bersembunyi di tempat gelap. Akibatnya sekarang berbalik setan berkepala tiga itulah yang takut kepada Mariam.
Setelah beberapa lama hatinya tegang. Tiba-tiba pecahlah ketawa seram yang panjang dan nyaring. seperti geli kepada dirinya sendiri. Mengapa? Ternyata Ia tadi ketakutan oleh bayangan perasaannya sendiri. Mahluk yang disangka setan berkepala tiga itu ternyata seorang manusia biasa. Dan yang semula dikira kepala tumbuh pada pundak itu ternyata hanya sebutir batu. Karena batu itu berpindah dari pundak kiri ke pundak kanan, tampaknya batu itu seperti kepala yang dapat berpindah tempat.
Tetapi walaupun sekarang tahu berhadapan dengan manusia. dalam hatinya masih bertanya. Siapakah orang itu? Jahatkah? Baikkah? Tetapi yang jelas dirinya sekarang memperoleh teman terkurung di tempat ini.Sehingga rasa ketegangan menjadi banyak berkurang.
"Hai, siapa di situ?" tiba-tiba terdengar orang berteriak.
mendengar suara orang. Mariam terkejut berbareng girang. Dampratnya.
"Hai. tolol! Benarkah engkau adik Prayoga? Aku Mariam! Engkau jangan salah duga kepada diriku."
Selama hidup Mariam tidak senang kepada Prayoga. Akan tetapi dalam keadaan seperti ini, semua Itu harus ia kesampingkan dahulu.
Prayoga juga kaget tetapi amat gembira. Serunya,
"MBakyu..-. ah aku tadi agak takut kalau ada orang lain. Tetapi tadi aku memang kenal dengan tarikan napasmu. Hanya saja aku tadi tidak percaya, engkau masuk ke goa ini."
Tentu saja Mariam malu kalau berterus terang, sebabnya masuk goa ini karena takut kepada ayahnya. Karena itu dengan cerdik.Ia cepat bertanya,
"Berceritalah dahulu mengapa engkau di sini? Tahukah engkau nama goa ini? Dan mengapa pula terowongan ini banyak sekali simpangannya? Hayolah kita keluar dari tempat sembunyi. dan kita dapat Saling bercerita."
Prayogo menghela napas. Lalu terdengar pemuda itu bertanya,
"mBakyu, apakah di situ tak ada air, apakah tidak kedinginan?"
"Air di sini dangkal dan berangin. Karena itu dingin juga."
"Angin?" Prayoga kaget tetapi juga gembira.
"Ya angin berhembus. Ah. nampaknya engkau gembira?"
"Ah, mbakyu bisa menduga aku gembira? Lalu Swara... ."
"Ayo... katakan di mana dia sekarang?" tanya Mariam.
"Siapa yang kau tanyakan?"
"Siapa lagi kalau bukan kakang Swara Manus? Apakah sangkamu aku sudah mengalihkan perhatian kepada pria lain?" Mariam mendongkol.
"Ah..." Prayoga menghela napas.
"Aku sendiri tidak tahu di mana dia sekarang."
Mariam mcndongkol. Namun dalam kesulitan sekarang ini, dirinya membutuhkan bantuan Prayoga. Karena itu katanya,
"Prayoga! Sebaiknya kita cepat berusaha dapat keluar dari tempat ini."
Prayoga segera menerobos ke tempat Mariam. Begitu tiba di dekat Mariam, ia merasakan hembusan angin seperti telah disebutkan oleh Mariam.
"mBakyu, jangan terburu. Sekarang ceritakanlah dahulu dari mana engkau tadi masuk ke mari?"
Mariam terkesiap. Ia kenal adik seperguruannya ini, selamanya selalu gugup berhadapan dan bicara dengan dirinya. Tetapi mengapa sekarang tidak?
Karena itu Mariam menjadi ragu dan bertanya,
"Betulkah engkau adik seperguruanku Prayoga?"
"Ha-ha-ha" Prayoga tertawa.
"Sudah tentu! Hem, engkau tentu kedinginan. Sesudah engkau menceritakan dari mana masuk goa ini. kita segera keluar dari tempat ini."
Apa boleh buat. Mariam tak dapat menolak lagi, kemudian bercerita.
"Dan sekian banyak lorong tembusan dalam goa yang kau lalui, mana sajakah terdapat angin berhembus?" desak Prayoga.
Tetapi Mariam tidak dapat menceritakan semuanya. Ia hanya menceritakan apa yang dapat ia ingat saja.
"mBakyu! Tahukah sebabnya aku sampai masuk kesini?" tanya Prayoga.
Mariam menggelengkan kepalanya.
"Bukan lain gara-gara bangsat Swara" .!
"Prayoga!" tukas Mariam keras.
Biasanya Prayoga takut sesudah dibentak Mariam.
Tetapi sekarang tidak. Pemuda ini malah terkekeh, lalu,
"Tahukah engkau, karena dia merampas mustika dalam batu dan disembunyikan, kemudian paman Cing Cing Goling menyuruh aku mencarinya?"
"Apa itu mustika dalam batu?" tanya Mariam.
"Apakah seperti yang pernah diceritakan ayah'?"
"Benar! Ketika itu aku melihat Swara Manis keluar dari celah batu. Lalu aku menerobos masuk. Sebagai akibatnya. berhari-hari lamanya aku tak dapat keluar lagi dan tempat ini."
"Huh, ternyata engkau sendiri tak dapat keluar dari sini'" Mariam bersungut.
"Apa gunanya banyak mulut dan membuang waktu?"
"Hendaknva mbakyu tidak cepat putusasa." Prayoga menghibur.
"Bukankah ketika engkau masuk ke dalam celah batu di luar tadi, engkau merasakan adanya angin berhembus?"
Mariam tidak perduh lagi. Namun demikian ia mengiyakan sekenanya saja. Menurut pendapatnya apakah gunanya banyak mulut, kalau Prayoga juga tak tahu jalan ke luar"
Akan tetapi Prayoga tidak perduli, lalu berkata lagi,
"Ketika aku kebingungan mencari jalan keluar, secara tak terduga aku malah berhasil menemukan batu mustika itu di dalam goa yang amat kecil. Aku menduga, tentu Swara Manis yang sudah menyembunyikan di situ. Yang aneh, dia bisa keluar dan mengapa aku tidak bisa. Sehari suntuk aku berputaran mencari jalan keluar tetapi tetap tak dapat. Ah, kalau aku sampai terkurung di tempat ini, makin terbukti kalau Swara Manis memang amat cerdik. Ya, kecerdasannya jauh di atas manusia biasa"
"Sudah tentu!" Mariam cepat menyahut dengan bangga.
"Siapapun mengakui, kakang Swara Manis amat cerdik."
"Tetapi sayang sekali, kecerdikannya itu di pergunakan untuk maksud tidak baik."
Mariam penasaran. Namun sejenak kemudian ingat, tak ada gunanya berbantahan dalam kesulitan seperti ini. Tanyanya kemudian,
"Engkau tadi mengatakan sudah dapat memecahkan kesulitan kita. Sekarang coba kau terangkan secara jelas."
"Hem. tetapi aku sendiri belum yakin. mBakyu lebih pintar dibanding aku. Tetapi menurut dugaanku, di mana lorong yang terasa ada hembusan anginnya, kalau diturut tentu menuju jalan keluar."
" Ah. kau benar!"
"Sekarang aku menjadi yakin, bahwa sebelumnya Swara Manis tentu menghadapi kesulitan seperti kita. Tetapi karena otaknya cerdas, dalam waktu Singkat sudah berhaSil menemukan ialan keluar. Sebaliknya aku harus terkurung di sini berhari-hari. Lalu mbakyu berapa lama?"
Mariam agak malu. Wataknya yang tinggi hati tak mau kalah dengan Prayoga. Jawabnya kemudian.
"Tetapi pendapatmu belum tentu benar. Yang penting harus kita coba lebih dahulu."
Prayoga sendiri sudah ingin dapat keluar dari goa ini. Tanpa membuka mulut ia segera mengajak Mariam menyusuri lorong yang dihembus angin. Mariam berjalan di depan. sedang Prayoga mengikuti di belakangnya. Tiba-tiba timbul kesadaran dalam hati pemuda ini. Bahwa cinta Mariam tidak dapat dihalangi oleh apapun.
Mendadak timbul pikiran Prayoga, saat sekaranglah waktu yang tepat untuk mengembalikan benda yang pernah diterima, sebagai tanda pengikat pertunangan waktu itu. Menurut pendapatnya, dengan pengembalian ini berarti janji sudah batal, tetapi bukan dirinya yang mulai.
"mBakyu" katanya,
"Aku akan mengembalikan benda kepadamu."
"Benda apa?" Mariam kaget.
Prayoga segera mengambil kupu-kupu sutera yang disimpan dalam saku bajunya. Langsung diberikan kepada Mariam.
Mariam heran dan bertanya,
"Dari mana engkau memperoleh peniti kupu-kupu milikku ini?"
Prayoga melongo heran. Pikirnya,
"Benarkah mbakyu Mariam tidak tahu menahu tentang benda itu?"
Tanpa malu lagi Prayoga segera menceritakan apa yang sudah terjadi waktu Itu. Kemudian jelasnya.
"mBakyu, waktu Itu sebagai penukar janji, telah aku berikan kepadamu sebutir batu mustika pemberian guru."
Mariam mengejek, "Huh.mungkin yang datang kepadamu waktu itu. kalau bukan peri tentu wewe gombel. Huh, jelas ketika itu aku pergi bersama ayah dan di tengah perjalanan. aku bertemu dengan kakang Swara manis... ." '
"Benarkah pada malam itu engkau tidak berada di Mayong?"
"Apakah perlunya aku bohong kepadamu?"
"Tetapi kalau aku mimpi atau bertemu dengan peri, mengapa peniti kepunyaanmu ini berada di tanganku? Sebaliknya kalau tidak mimpi, lalu siapakah yang sudah mempermainkan diriku ini?"
"Huh, Siapa lagi kalau bukan si Sarini?"
Prayoga terkesiap. Sekarang baru sadar akan kenyataan.
Beberapa saat kemudian sesudah mereka meLeWati banyak jalan persimpangan yang membingungkan. akhirnya tibalah mereka pada lorong sempit yang terdapat banyak angin berhembus.
"Nah, inilah ialan keluar!" Prayoga melonjak-lonjak saking gembira. Tetapi kemudian ia mengaduh kesakitan karena kepalanya terbentur langit goa.
Tak lama kemudian mereka sudah berhasil membebaskan diri dari goa celaka itu. Akan tetapi mereka kepayahan harus berputar. di dalam goa yang panjang itu cukup lama, dan direndam air pula.
Ketika mereka keluar dari goa. hari telah malam. Bintang di langit bertaburan, langit membiru, akan tetapi tiada bulan menghias angkasa. Dahulu, apabila berduaan dengan Mariam. pemuda bernama Prayoga ini tentu berubah mengadi seorang yang gugup dan bingung. Karena sikap Prayoga yang seperti itu, maka Mariam menganggap adik seperguruannya ini seorang pemuda tolol dan banyak kali mentertawakan. Akan tetapi sekarang keadaan sudah lain. Prayogo tidak seperti tikus berhadapan dengan kucing.
"MBakyu." ia membuka percakapan.
"Sekarang engkau. akan ke mana"
Sesungguhnya tujuan Mariam, tidak ada lain kecuali akan mencari Swara Manis. Namun apabila berterus-terang kepada Prayoga, ia merasa malu, di samping khawatir. Bagaimanapun ia tahu akan Sikap Prayoga terhadap Swara manis. Sikap Prayoga tidak berbeda dengan Sikap ayahnva, yang membenci Swara Manis. Teringat akan sikap Prayoga itu. maka Mariam menyahut dengan angkuh.
"Hem. engkau tidak perlu mengurus diriku." _
Setelah menjawab, Mariam lalu bangkit dan melangkah pergi. Tidak perduli. sesungguhnya ia masih payah.
"mBakyu... tunggu!" teriak Prayoga.
"Ada apa lagi?" Mariam memalingkan muka dengan perasaan tak senang.
"Seorang diri melakukan perjalanan. Aku menpaadi khawatir apabila engkau berhadapan dengan orang jahat."
Apa yang diucapkan Prayoga itu keluar dari hati yang tulus, menghawatirkan keselamatan puteri gurunya. Akan tetapi celakanya Mariam salah terima. Ia merasa direndahkan oleh adik seperguruannya, dan takkan mampu mengahadapi orang jahat. Menduga demikian, Mariam ketawa lalu berkata,
"Huh terimakasih atas perhatianmu. Namun aku masih mempunyai tangan dan kaki, tidak membutuhkan pertolonganmu. Apabila ada orang yang berani mengganggu diriku, aku akan sanggup mengataSi seorang diri."
Di damprat seperti itu, Prayoga kaget dan termangu. . Mariam tidak perduli lagi, kemudian berputar tubuh melangkah pergi dengan cepat. Melihat Sikap kakak seperguruannya itu, Prayoga tidak dapat berbuat apa-apa kecuali mengikuti dengan pandang matanya, sampai hilang ditelan oleh rimbun daun. Kemudian dengan hati yang lapang, Prayoga sudah meloncat ke dahan pohon. lalu tidur.
Esok pagi sekali ia telah bangun, lalu bergegas menuju Gunung Slamet. Dalam perjalanan ini, otaknya selalu dipenuhi pertanyaan, bagaimanakah akhir perkelahian antara Jim Cing Cing Goling dengan Ladrang Kuning.
Di tengah belantara seperti sekarang ini, sulit mengenal arah. Karena Gunung Slamet terletak di sebelah barat, ia menjadi nekat menuju ke barat. Tetapi justru perbuatannya ini membuat Prayoga salah arah. ia tidak sadar lewat di samping Gunung Gajahmungkur, kemudian lewat di samping Gunung Pengamun-amun. Sesudah tengah hari, tibalah Prayoga di dekat Gunung Jimat.
"Hai..." Prayoga kaget sendiri.
"Mengapa aku tiba di sarang Surogendilo?" '
Namun diam-dian ia merasa heran juga, karena apa yang terbentang di depannya sekarang ini berbeda dengan apa yang sudah dilihatnya tempo hari. Pada lereng gunung itu sekarang tidak terdapat lagi goa-goa tempat kediaman Surogendilo. Sama sekali tidak disadari oleh Prayoga, bahwa dirinya sudah keliru menduga. Sarang gerombolan Surogendilo itu bukan di lereng gunung sebelah utara, akan tetapi pinggang gunung sebelah selatan.
Tetapi bagaimanapun juga hati Prayoga terhibur. Karena pada pinggang gunung ini terdapat jalan setapak yang dibuat oleh manusia. Cepat-cepat ia melewati jalan tersebut menuruni gunung. Namun belum lama ia melangkah, mendadak sebatang anak panah menyambarnya.
Prayoga terkejut. Kemudian teringatlah ia akan keterangan Jim Cing Cing Goling, bahwa gerombolan Surogendilo itu mahir sekali tentang racun. Teringat itu ia tidak berani menangkis, melainkan hanya menghindar ke samping.
"Hai, apa sebabnya tanpa bertanya sudah akan membunuh orang?" teriaknya.
Empat anak buah Surogendilo muncul dari tempat persembunyiannya, lalu menghadang jalan. Mereka lidak membual mulut, dan hanya mengamati Prayoga penuh selidik dan curiga.
"Minggir! Aku masih mempunyai urusan amat penting!" teriaknya lagi. Dan berkat kemajuannya dalam ilmu tenaga dalam, maka teriakan Prayoga kini terdengar amat nyaring.
Empat orang anakbuah Surogendilo yang menghadang itu terkejut sekali. Mereka merasakan anak telinganya seperti ditusuk-tusuk. Tanpa membuka mulut
lagi mereka segera berpencar diri, lalu melepaskan anak panah lagi.
Prayoga menjadi marah atas tingkah laku gerombolan ini yang ganas dan memusuhi.Ia cepat mematahkan ranting pohon, kemudian diputar sebagai kitiran. Anak panah yang, menebar menyerang dirinya jatuh berhamburan menancap pada pohon di dekatnya. Kemudian secepat kilat ia sudah meloncat lalu menyabet empat orang itu.
Akan tetapi karena anakbuah Surogendilo ini dilindungi oleh rotan, maka mereka tidak menderita. Namun demikian mereka merasakan kulit tubuhnya panas, sehingga mereka menjadi marah. Seperti dikomando mereka telah mencabut golok yang bentuknya aneh. Bentuknya seperti pedang panjang akan tetapi ujungnya bengkok.
Sebenarnya Prayoga tidak ingin melukai dan mencelakakan mereka. Ia hanya bermaksud memberi peringatan saja, karena tanpa bertanya sudah melepaskan anak panah beracun. Sekarang setelah mereka menyerang, ia mengangkat ranting pohon untuk menangkis. Tiba tiba orang itu merubah gerak serangannya. Pedangnya bergerak turun dan secepat kilat membabat kaki. '
Agak gugup juga Prayoga mendapat serangan ini. Cepat-cepat ia menekankan ujung ranting ke tanah lalu melenting ke udara. Kemudian ia baru melayang turun dalam jarak beberapa langkah jauhnya.
Diam-diam Prayoga merasa heran iuga akan ilmu tata kelahi anak buah Surogendilo. Ternyata ilmu pedang Kala Prahara yang sakti tak berdaya menghadapi ilmu mereka. Dari manakah sumber ajaran ilmu mereka itu"
Di saat ia merenung untuk memecahkan rahasia ilmu golok orang tersebut. salah seorang sudah maju
menabasnya lagi. Tetapi kali ini Prayoga sudah siap-siaga. Ia tak mau menghindar, dan hanya memiringkan tubuhnya. Prayoga tidak bergerak lagi dan hanya menunggu apa yang akan dilakukan orang itu. Ternyata setelah babatannya luput, orang itu memekik nyaring dan tiba-tiba menurunkan goloknya sambil membabat kaki lagi dengan gaya gerakan yang pertama.
Prayoga tersenyum.Ia melenting ke atas. Pada saat golok lewat di bawah kakinya, dengan gerakan yang indah ia melayang turun dan menginjak golok lawan ke tanah.
Agaknya anakbuah Surogendilo sudah terlatih disiplin ketat. Bahwa golok itu sama dengan nyawa sendiri. Maka walaupun goloknya diinjak Prayoga dan tak mampu menariknya, orang itu tetap tak mau melepaskan senjatanya.
Melihat kawannya dikalahkan, tiga orang yang lain segera membantu dan menyerang. Tetapi dengan senjata ranting pohon. Prayoga menghadapi mereka tanpa rasa takut. Ia sudah berpengalaman. Tak sudi memukul tubuh, tetapi pergelangan tangan sebagai sasaran.
"Aduh..." salah seorang memekik tertahan, goloknya terlepas, kemudian tubuhnya terhuyung ke belakang.
Secepat kilat Prayoga menyambar golok orang, kemudian melancarkan serangan menurut ajaran Ndara Menggung. Tring-tring-tring, golok mereka berterbangan jatuh ke tanah, ketika mereka mencoba untuk menangkis.
Setelah memperoleh hasil, Prayoga ingin menunjukkan kepandaiannya. mematahkan keberanian mereka. Batu mustika dikepit di bawah ketiak, kemudian menggunakan dua belah tangan, dalam waktu Singkat telah dapat merebut semua golok. Tangan kiri bergerak. dua batang golok terbang cepat sekali, dan menancap ke dalam batang pohon lebih separonya.
Empat orang itu terlongong keheranan melihat apa yang terjadi. Namun sebenarnya yang melongo heran bukan empat orang itu saya. Prayoga sendiripun menjadi heran berbareng kaget. '
Prayoga tidak pernah mimpi kalau sekarang dapat bergerak jauh lebih gesit, dan tenaganyapun bertambah.
Empat orang itu sekarang mati kutu dan tak berani berlagak lagi. Sebaliknya Prayoga yang tidak ingin bermusuhan. lalu berkata,
"Antarkan aku kepada rajamu Surogendilo."
Memang ada maksud mengapa tiba-tiba Prayoga ingin mengunjungi Surogendilo. Soalnya ia amat tertarik kepada ilmu golok yang tadi dipergunakan oleh empat orang itu.
Wajah empat orang itu berobah mendengar ajakan Prayoga. Kemudian salah seorang berkata.
"Ah, kalau tadi tuan memberitahukan kepada kami akan bertemu dengan ki Suro, tentu saja akan kamu sambut dengan baik. Ah, mari, kami antar menghadap ke sana. Akan tetapi sebelum pergi, harap tuan sudi mengembalikan golok kami."
Prayoga tidak membantah. Dua batang golok yang maSih di tangan, diserahkan kepada pemilik masing masing. Sedang dua orang yang lain, cepat menghampiri pohon, dengan maksud untuk mencabut sendiri golok yang menancap di batang pohon itu. Namun, kendati sudah mengerahkan segenap tenaganya, dua orang itu tak mampu menarik goloknya.
"Mari kutolong" ujar Prayoga ramah. Lalu tanpa memperdulikan mereka, ia mengerahkan tenaga. Tanpa kesulitan, dua batang golok itu dapat dicabut secara berbareng.
Empat orang anakbuah Surogendilo itu kagum bukan mam. Sekarang mereka benar-benar tunduk. Lalu dengan sikapnya yang hormat, mereka mengantarkan Prayoga untuk bertemu dengan Surogendilo.
Surogendilo belum lupa kepada Prayoga, pemuda dari rombongan tamu yang sudah membebaskan "mempelai" wanita Mariam. Diam-diam ia mendongkol sekali atas peristiwa itu, justru dirinya sudah kehilangan pedang pusaka. dan perempuan cantik itu tak jadi dimiliki. Dan sekarang pemuda ini berani datang lagi seorang diri. Sungguh kebetulan. Ia akan menghajar pemuda kurangajar ini, agar hatinya menjadi puas.
Segera ia memerintahkan semua anak buahnya mundur. Lalu dengan mata berapi, ia menatap Prayoga. Bentaknya,
"Apa maksudmu datang ke mari?"
Prayoga kaget. Ia tidak mempunyai kepentingan lain, kecuali ingin bertanya tentang ilmu golok yang dipergunakan empat orang tadi. Karena tertarik, lalu timbul niatnya untuk mengetahui sumber ilmu tersebut.
Sambil membungkuk penuh hormat, kemudian Prayoga menjawab,
"Kyai, kedatanganku ke mari tidak mempunyai maksud apa-apa, kecuali hanya ingin minta keterangan tentang ilmu golok yang dipergunakan anak buahmu tadi. Apabila paman tidak berkeberatan. aku ingin mendapat keterangan tentang ilmu tersebut."
Wajah Surogendilo berubah seketika, katanya ramah,
"Maaf, karena tak tahu tuan akan berkunjung, aku tak sempat menyambutmu secara layak. Mari, Silahkan masuk, dan kita minum teh dahulu untuk menghilangkan rasa haus."
Prayoga mengikuti, kemudian menyambut cangkir teh yang diberikan. Tetapi tiba-tiba ia mencium bau harum pada teh tersebut. Harum bukan bau teh tetapi bau yang lain. ia batal minum, lalu melirik kepada tuan rumah.
"Apakah angger curiga kalau teh itu dicampur dengan racun?" katanya ramah, tidak menyebut tuan lagi tetapi "angger". Lalu ia merebut cangkir yang dihidangkan kepada Prayoga, dihirup hampir separo. Sesudah itu dikembalikan kepada Prayoga, lanjutnya,
"Minumlah! Setelah engkau minum, akan aku ceritakan asal-usul ilmu golok itu."
Sebagai pemuda jujur ia menjadi malu. Cangkir diterima dan siap untuk minum, karena memang haus sekali. Akan tetapi pada saat bibirnya melekat pada bibir cangkir, ia sempat melirik ke arah para penyamun itu. Seketika timbul keraguannya, karena wajah Surogendilo tampak berobah menjadi beringas dan sepasang mata itu mendelik kepada dirinya.
Sebagai tamu yang baik, sulit untuk membatalkan minum. Untung ia segera teringat kepada ilmu yang pernah diberikan oleh Ndara Menggung.Ia mengerahkan tenaga murni ajaran kakek Linglung itu. Hawa murni meluap ke tenggorokan. Setelah itu tanpa ragu-ragu lagi, ia meneguk teh tersebut sampai habis. Akan totapi teh tersebut tidak masuk dalam perut, dan berhenti di tenggorokan oleh hambatan tenaga murni.
"Ikutlah aku!" seru Surogendilo gembira, setelah pemuda itu minum teh yang disuguhkan. Akan tetapi anehnya Surogendilo memekik nyaring beberapa kali, dan sejenak kemudian puluhan anakbuahnya sudah hiruk-pikuk sambil menari tak keruan.
Pada kesempatan orang tidak memperhatikan dirinya, Prayoga cepat muntahkan air teh yang tadi diminum. Tetapi sekarang ia merasakan tenggorokannya gatal, dan Prayoga kaget. Jelas bahwa teh tadi telah dicampur dengan racun. Untung dirinya tadi waspada. kalau tidak, dirinya tentu menjadi korban racun.
Tak lama mereka berjalan, mereka sudah mencapai puncak gunung yang ditumbuhi pohon. Yang tumbuh di Situ hanyalah rumput dan batu-batu hitam. Menurut pendapatnya, ada yang istimewa pada puncak gundul ini. Tetapi yang aneh, Surogendilo ber5ikap sangat menghormat, seperti sedang masuk ke tempat keramat dan suci.
Tiba-tiba Surogendilo berlutut di atas tanah. Mulutnya komat-kamit seperti sedang mengucapkan doa. Diam-diam Prayoga heran melihat apa yang dilakukan raja penyamun itu.
Tidak lama kemudian Surogendilo meloncat bangun. Dengan gerakan cepat sekali ia mencabut goloknya, dan gerakan diteruskan untuk menabas, lalu diteruskan dengan gerakan menghantam ke bawah.
Gerakan itu mirip sekali dengan apa yang tadi telah ia lihat, ketika anak buah Surogendilo menyerang dirinya. Karena itu, tiba-tiba Prayoga bertanya,
"Dapatkah paman menerangkan tentang sumber ilmu golok istimewa itu?"
"Angger sanggup bersumpah?"
"Sumpah?" "Ya! Engkau harus bersumpah. Dalam sepuluh hari engkau tak boleh menerangkan dan membocorkan kepada Siapapun, tentang apa yang sudah angger ketahui saat sekarang ini."
Prayoga heran. Apa sajakah maksud Surogendilo mengajukan syarat seperti itu? Untuk sejenak Prayoga terpaku diam. Akan tetapi sebagai seorang pemuda jujur dan berwatak sederhana pula, merasa tidak enak kalau menolak permintaan itu. Menurut pendapatnya, kalau tidak sedia bersumpah. berarti telah tidak menghormati kepercayaan orang. Terpikir demikian, tanpa ragu lagi ia mengucapkan sumpah.
Wajah Surogendilo berseri. Kemudian ngajak Prayoga melangkah maju beberapa langkah lagi, dan kemudian berseru,
"Lihatlah!" Surogendilo menuding ke arah sebuah batu hitam berukuran besar dan licin.
"Ada apakah dengan batu Itu?" tanya Prayoga yang heran sambil memperhatikan batu tersebut.
Mendadak Surogendilo menabas bagian atas batu hitam tersebut. Prayoga kaget. Sekarang baru sadar kalau permukaan batu tersebut ditutup dengan tanah liat. Karena itu hanya sekali tabas semua tanah liat itu rontok.
Setelah mengamati batu tersebut, Prayoga terkesiap. Pada permukaan batu itu terukir gambar sebatang golok yang melengkung. Mirip dengan golok Surogendilo dan anak buahnya. Sedang di bawah lukisan golok tersebut, terukir huruf yang rapi menerangkan tentang ilmu golok tersebut. Antara lain diterangkan, golok menyerang tubuh bagian atas, tetapi pada saat golok menyerang setengahnya. arah gerakan berobah menyabat kaki orang.
"Cepat bersihkan semuanya. Ini ilmu golok yang istimewa," kata Prayoga.
Surogendilo terkekeh, sahutnya,
"Tak ada yang lain. Hanya terdiri satu jurus ini saja."
Prayoga tak percaya.Ia mengamati teliti sekali. Namun kemudian terbukti, keterangan Surogendilo benar. _
"Entah sejak kapan ilmu golok ini dilukis orang," Surogendilo berkata.
"Bagi kami. ilmu golok ini dapat kami pergunakan secara memuaskan, apabila berhadapan dengan binatang buas."
Beberapa saat lamanya Prayoga mengamati deretan huruf itu sambil memutar otak. Tiba-tiba terbayanglah bentuk tulisan yang sama pada batu mustika yang ia bawa. Kalau demikian jelaslah yang menciptakan ilmu golok luar biasa itu, sama pula orangnya dengan yang menulis pada batu mustika. Hanya yang membuat dirinya heran, mengapa hanya terdiri satu jurus?
Tenggorokannya yang semula gatal itu sekarang sudah menghilang.Ia menjadi heran. Sebenarnya teh tadi dicampur racun atau tidak?
Prayoga meneliti lukisan golok pada batu hitam tersebut. Dan diam-diam ia dapat menangkap sari keindahan gaya dan gerak ilmu golok itu. Tetapi sekalipun demikian, ia masih pula ragu.
"Paman, benarkah ilmu golok ini hanya terdiri satu jurus?"
Surogendilo mengangguk. "Ah, tetapi mengapa ilmu golok ini tanpa nama?"
"Ada' Lihatlah di balik batu itu."
Prayoga mengikuti Surogendilo, menuju ke balik batu. Ternyata di permukaan itu terdapat lukisan huruf yang rapi dan berbunyi,
"Ilmu golok tunggal."
Prayoga semakin keheranan. Mengapa hanya terdiri satu jurus?
"Angger, batu bertulis ini hanya aku seorang saja yang tahu. Kalau sekarang kau kuajak ke mari. bukan lain karena aku ingin mendapat bantuanmu untuk memberi penjelasan."
"Sayang Sekali, aku sendiri tidak dapat menerangkan." Prayoga mengakui dengan jujur.
Namun Surogendilo menjadi tak kecewa atas jawaban itu. Ia memperoleh kesan, kalau pemuda yang dihadapi sekarang ini jujur dan dapat dipercaya. Maka diam-diam Surogendilo berobah menjadi suka.
"Tidak apa." katanya.
"Kalau sekarang belum bisa.
renungkanlah beberapa hari lagi. Aku berharap, engkau sudi menginap beberapa hari di sini."
Karena masih mempunyai waktu cukup, Prayoga menerima tawaran itu. Maka selama tiga hari lamanya, Prayoga tinggal di sarang penyamun itu. Setiap saat ia selalu merenungkan rahaSia ilmu golok tunggal itu, namun karena otaknya tidak cerdas, walaupun merenung tiga hari tiga malam tak juga menemukan jawabannya. Dan akhirnya tanpa malu lagi, ia mengakui kegagalannya.
"Paman, maafkan aku. Sesungguhnya aku mempunyai janji kepada seseorang untuk bertanding ilmu pada hari Lebaran di Gunung Slamet. Mengingat waktu amat mendesak. dengan berat hati aku terpaksa minta diri. Akan tetapi paman, percayalah, setelah aku berhasil memecahkan rahaSia ilmu golok itu. aku tentu datang ke mari lagi dan memberitahukan kepadamu."
Surogendilo mengangguk-angguk, kemudian menjawab,
"Baiklah! Akan tetapi engkau harus selalu ingat akan sumpahmu."
"Jangan khawatir."
Akhirnya Prayoga minta diri, lalu meneruskan perjalanan ke Gunung Slamet. Dalam melakukan perjalanan seorang diri ini, tiada hentinya ia selalu merenung, memikirkan tentang rahaSia ilmu golok itu.
Singkatnya, Prayoga telah sampai di padepokan GunungSlamet. Dari jauh ia Sudah melihat di depan pintu gerbang padepokan, banyak orang berkerumun. Di saat ia masih bertanya tanya, tiba tiba ia kenal suara Sarini yang berteriak,
"Paman Saroyo! Engkau jangan mau ditipu!"
Mendengar itu Prayoga segera menduga, bahwa pertandingan sudah diawali, maka cepat-cepat ia mendekati. Akan tetapi tiba-tiba ia menjadi gelagapan, karena Sarini sudah menjemput kemudian memeluk dirinya.
"Sarini, ah, jangan membuat aku malu!" hardiknya lirih. .
"Huh, aku gembira dapat bertemu lagi dengan engkau, tetapi engkau malah mendamprat. Kau ini gimana sih, pergi plesir tidak mau mengajak aku. Mengapa engkau baru datang sekarang" Dan kemana sajakah selama ini"
" Ah, engkau tidak tahu. Semua orang gelisah dan khawatir memikirkan dirimu yang menghilang tanpa berita."
Ucapan Sarini ini bagai burung sedang berkicau, sulit untuk dihentikan, sehingga Prayoga berdiam diri.
Prayoga yang kenal watak adik seperguruannya ini mengalah. kemudian jawabnya,


Dendam Kesumat Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tak usah khawatir, nanti semuanya akan aku ceritakan."
Ia cepat menuju ke tempat kawan-kawannya. Kemudian ia melihat Jim Cing Cing Goling, Darmo Gati, Si Bongkok Baskara, dan seorang lagi yang belum ia kenal. Baru setelah diperkenalkan, ia tahu nama orang itu, ReSi Sempati.
Di sana. di gelanggang yang terdiri dari sepetak tanah datar. Darmo Saroyo dan Swara Manis sedang berkelahi seru sekali. empat orang murid Hajar Sapta Bumi hadir menyakSikan, sedang Hajar Sapta Bumi sendiri tidak tampak. Rupanya tokoh sakti itu tetap memegang teguh keangkuhannya sebagai seorang sakti angkatan tua dan dan merasa tanpa tanding.
Sesudah mengetahui sekeliling, Prayoga segera mengahdap kepada gurunya. Dengan Ali Ngumar, bukan saja sebagai guru tetapi juga sebagai pengganti orang tuanya.
Setelah memberi hormat, Prayoga cepat menyerahkan batu mustika yang dibawanya, sambil berkata,
"Guru, batu mustika ini telah berhasil aku pecah. Sekarang murid mohon petunjuk."
Diluar dugaannya, Ali Ngumar hanya mendengus. Dan betapa kagetnya pula. ketika melihat wajah gurunya yang tampak gelisah, dan demikian pula Jim Cing Cing Goling, Si Bongkok maupun Resi Sempati.
Prayoga heran. Menurut pendapatnya, kepandaian Darmo Saroyo setingkat dengan Swara Manis. Dan kalau toh Darmo Saroyo kalah, masih ada dirinya yang akan maju. Menghadapi Swara Manis. ia yakin tentu dapat mengatasi. Dan andaikata Hajar Sapta Bumi muncul, empat orang tokoh sakti itupun akan dapat menghadapinya.
Karena Ali Ngumar diam tak acuh, Prayoga tidak berani bertanya lebih lanjut. Ia segera menghampiri Sarini, kemudian berbiSik,
"Sarini, tahukah sebabnya mengapa guru tampak resah" Apakah pihak lawan memang lebih kuat?"
"Entahlah!" Sarini mengangkat bahu.
"Kalau aku bicara, engkau mengatakan cerewet. Maka lebih baik aku tutup mulut saja."
"Sarini" Prayoga kaget.
"Ada apa" Agaknya Jim Cmg Cmg Goling menangkap juga kasak-kusuk dua orang muda itu, kemudian tegurnya.
"Jebeng, mana Wasi Jaladara?"
"Paman Jaladara?" Prayoga kaget.
"Aku tahu, tetapi ada apa?"
"Sesaat engkau pergi mencari batu mustika itu, Wasi Jaladara kemudian menyusul. Apakah engkau tidak tahu'?" ular Jim Cing Cing Goling.
Keterangan itu segera mengingatkan Prayoga kepada pengalamannya terkurung dalam penjara air. Jika Wasi Jaladara menyusul jejaknya. tentu dia juga mengalami kesulitan di dalam air itu.
"Celaka!" Prayoga mengeluh.
Jim Cing Cing Goling buru-buru bertanya, sedang Prayoga segera menuturkan pengalamannya selama di dalam goa dan hampir saja tidak dapat keluar lagi.
Ali Ngumar terperanjat juga mendengar pembicaraan itu, demikian pula beberapa tokoh yang lain. Sebagai seorang yang sudah luas pengalaman, Ali Ngumar segera tahu bahwa yang sudah diceritakan muridnya itu. tentu goa berisi air yang disebut GangSiran Aswatama.
"Ah, tentang itu kita rundingkan nanti saja. Sebab saat ini kita sedang menghadapi pertandingan yang belum dapat diduga bagaimana kesudahannya." Jim Cing Cing Goling kemudian mencegah.
Karena terlambat datang, Prayoga memang tidak tahu apa yang sudah terjadi. Baru saia ingin bertanya, tiba-tiba terdengar Sarini 'menjerit. Cepat-cepat ia memalingkan muka ke belakang.
Apa yang sudah terjadi? Ternyata saat itu Swara Manis sedang menusuk ke arah tenggorokan Darmo Saroyo. Karena Sarini tahu bahwa pedang yang digunakan Swara Manis itu pedang pusaka Nyai Baruni, maka gadis itu menjadi khawatir sekali dan menjerit.
Sebenarnya saja dalam beberapa bulan ini. Darmo Saroyo sudah berusaha untuk bisa bertemu dengan gurunya. Tetapi karena Kigede Jamus sulit dicari, usahanya belum berhasil. Dan karena terdesak oleh pertandingan yang sudah dijanjikan, terpaksa ia langsung menuju Gunung Slamet. Ketika tiba di tempat ini, ternyata Ali Ngumar dan beberapa tokoh lain sudah tiba pula di padepokan Hajar Sapta Bumi.
Seperti diketahui, pertandingan secara ksyatria itu akan terjadi antara Swara Manis melawan Darmo Saroyo dan Prayoga. Tetapi karena Prayoga terlambat datang, maka yang maju lebih dahulu Darmo Saroyo.
Darmo Saroyo menyadari bahwa pertempuran ini penting sekali artinya. Karena itu ia berkelahi dengan
hati-hati sekali. Dan apa pula Ia tahu, Swara Manus bersenyata pedang pusaka yang amat tajam. Mengingat itu dalam berkelahi ini Darmo Saroyo tldak berani menggunakan cambuknya untuk menangkis. Setiap tusukan ujung pedang lawan,Ia sambut dengan gerakan membuang diri ke samping atau membalas dengan menyabat leher orang.
Sebaliknya Swara Manus selalu bersikap mengejek, karena yakin tentu dapat mengalahkan lawan. Setelah tusukannya ke arah tenggorokan luput, Ia membalikkan pedang dan membabat pinggang. Berbareng itu ia menggeser kaki ke samping untuk menghindar sambaran cambuk. Gerakan itu tampaknya lambat. Akan tetapi scsungguhnya mengandung pertahanan kokoh dan sulit ditembus lawan.
Mereka yang hadir juga setengah memastikan, sulitlah Darmo Saroyo dapat memperoleh kemenangan. Tetapi bukan hanya yang menonton, Darmo Saroyo sendiri menginsyafi keadaannya. Kelemahan dirinya tidak lain, karena ia bersenjata cambuk, sedang lawan bersenjata pedang pusaka. Masih untung, cambuknya lebih panjang dari senjata lawan. Dan di samping itu Ilmu cambuknya kaya dengan gerak tipu dan perobahan tak terduga. Dengan cambuknya itu,Ia dapat memaksa lawan terpisah jauh. Maka setiap lawan mendesak maju cepat-cepat Ia melesat ke belakang sambil menghujani serangan cambuk.
Akan tetapi Swara Manis bukan pemuda bodoh.Ia cukup cerdik di sampmg licik. Sudah tentu pemuda itu tahu cara lawan berkelahi.
tiba tiba ia melemparkan pedangnya ke udara. Begitu tangannya menyambut pedang itu, sudah ketawa mengejek,
"Darmo Saroyo! Mengapa engkau tak maju dan menyerang lagi?"
Setelah berkata,Ia melangkah maju tetapi saat kemudian mundur lagi. Sikap Swara Manis congkak sekali
di samping merendahkan lawan. Apa yang dilakukan itu memang disengaja untuk memancing kemarahan Darmo Saroyo. Untung sekali Darmo Saroyo dapat menahan diri dan tak terpengaruh gerak-gerik lawan. Tanpa membuka mulut ia menggerakkan cambuknya, dan gerakan itu dibarengi dengan meluncur majunya Darmo Saroyo. Gerakan ini salah satu jurus ilmu cambuknya yang istimewa, bersatunya orang dengan senjatanya.
Akan tetapi sekarang Swara Manis sudah memiliki ilmu pedang Samber Nyawa yang sakti dan ganas. Di tambah lagi menggunakan pedang pusaka Nyai Baruni. Sekarang dirinya seperti seekor harimau tumbuh sayap, dan ia tidak takut kepada siapapun. Begitu cambuk lawan menyerang, ia menyabat kalang-kabut. Sepintas pandang, gerakannya kacau-balau tak keruan, tetapi pada hakekatnya salah satu jurus istimewa ilmu pedang Samber Nyawa yang hebat tidak kepalang.
Karena lawan menyambut dengan pedang pusaka, cepat-cepat Darmo Saroyo menarik kembali serangannya. Kalau pedang lawan itu pedang biasa. tentu ia sanggup menghadapi. Akan tetapi berhadapan dengan pedang pusaka, kalau kurang hati-hati, cambuknya akan terbabat putus.
Darmo Saroyo meloncat ke samping sambil mengancam dengan cambuk. Merupakan satu gerak tipu untuk menggertak musuh agar menghindar pergi.
Akan tetapi celakanya Swara Manis tidak mau melepaskan kesempatan baik ini. Ia memutarkan pedangnya mtuk melindungi kepala, dan di saat lain dengan gerakan tatit, ia menikam dada lawan. Darmo Saroyo kaget. terpaksa meloncat mundur.
Prayoga yang memperhatikan perkelahian itu mengerutkan alis. Sebaliknya gadis ceriwis Sarini mendongkol sekali dan mencaci-maki,
"Hem. hanya mengandalkan pedang tajam saja, mengapa menjadi sombong?"
Namun ia segera menghentikan cacian itu, karena tiba-tiba ia teringat bahwa pedang pusaka itu milik ibu gurunya, Ladrang Kuning.
Swara Manis sudah mengembangkan ilmu pedangnya. Pedang itu berkelebat kian kemari dengan gencar. Makin lama semakin hebat mendesak lawan..
Darmo Saroyo sibuk. Betapapun ia berusaha merobah kedudukan, ia selalu gagal untuk menempatkan diri sebagai pihak penyerang. Saat itu ia hanya dapat bertahan untuk menyelamatkan diri agar lawan jangan sampai dapat menembus pertahanannya.
Tampaknya Swara Manis tidak takut menghadapi senjata lawan. Malah berulang kali ia sengaja hendak mengadu senjata. Siasat itu menyebabkan Darmo Saroyo Sibuk setengah mati. Sebab di samping harus menjaga agar senjatanya tidak tertabas putus, iapun menjaga agar tidak dilukai lawan. Dalam keadaan seperti. itu ia terpaksa harus main mundur.
Perkelahian semakin tambah seru. Yang tampak dalam gelanggang, hanya segulung lingkaran sinar hijau tengah merangsang lingkaran sinar kuning. Dalam sekejap saja, mereka sudah berkelahi ratusan jurus.
Makin lama Swara Manis semakin garang. Mulut tidak putusnya mengeyek. Darmo Saroyo tidak membuka mulut, tetapi pantang menyerah. Akan tetapi kalau kalah, kekalahannya bukan kalah sakti melainkan kalah unggul senjatanya. Hingga kekalahan itu bukanlah kekalahan wajar
Beberapa saat kemudian Darmo Saroyo menjadi nekat. Maju selangkah ia mengulurkan tangan kiri dan berbareng itu menghantamkan cambuknya ke arah lawan. Dengan tindakan itu, Darmo Saroyo sudah tidak memperdulikan lagi pertahanan dirinya..
Diam-diam Swara Manis gembira dalam hati. Kelengahan lawan ini tak dapat dilewatkan Sia-Sia. Tetapi
agar tidak mengingatkan lawan akan kelengahan itu, sengaja ia tak mau menusuk dada, melainkan membabatkan pedang ke cambuk lawan. '
Justru tidak segera menusuk dada ini, merupakan keuntungan Swara Manis. Bagaimanapun Darmo Saroyo bukan tokoh rendah, tetapi perbuatannya mengandung maksud tertentu.
Perhitungan Swara Manis tepat sekali. Darmo Saroyo memang membuka Siasat agar dadanya ditusuk. Karena bersiasat, maka gerakan cambuknya hanya sekedar ancaman kosong. Maka di luar dugaan Darmo Saroyo, bukan Swara Manis yang terpancing, tetapi dirinya sendiri yang menderita rugi. Sebelum ia sempat menarik pulang cambuknya, tring... putuslah cambuknya, terbabat oleh pedang Swara Manis.
Setelah cambuknya putus. Darmo Saroyo kalap. Cambuk yang tinggal separo bagian itu dipergunakan menghantam ubun-ubun lawan. Akan tetapi Swara Manis lebih tangkas. Ia dapat mendahului menusuk paha. Dan seketika Darmo Saroyo merasakan pahanya perih sekali, lalu melompat mundur.
"Adi Saroyo! Mundurlah!" teriak Ali Ngumar.
Sesudah gurunya berteriak, Prayoga melompat ke tengah gelanggang sambil menampar. Seketika Swara Manis merasakan sambaran angin yang dahsyat.Ia ketawa mengejek, kemudian menyabatkan pedangnya.
Prayoga cepat menarik tangannya, kemudian mengganti dengan tendangan keras ke arah siku lengan. Swara Manis terperanjat dan mundur selangkah. Diam-diam ia merasa heran, mengapa hanya beberapa bulan saia, pemuda saingannya ini sudah maju pesat dalam ilmu.
_ Ali Ngumar tidak kalah gembiranya melihat kemayuan muridnya itu. Dalam dua serangan tadi, kendati dengan tangan kosong, tetapi sudah dapat memaksa lawan mundur. Melihat itu Ali Ngumar menjadi mantap.
Sambil berteriak ia mencabut pedang pusaka Kyai Baruna lalu dilemparkan.
"Hai Prayoga. Gunakanlah pedangku ini!"
Prayoga gembira bukan main mendapat kepercayaan menggunakan pedang pusaka milik gurunya. Pedang pusaka itu disambut dengan wajah berseri sambil mengucapkan terimakasih.
"Swara Manis, mari kita mulai lagi!" tantangnya mantap.
Tetapi Swara Manis segera mengejek,
"Kita hanya berjanji bertanding ilmu kesaktian, dan tidak beradu tajamnya mulut. Jika memang mau menyerang Silahkan."
Prayoga tak ingin berbantah. Maju selangkah, ia merangkapkan pedang di depan dada. Kemudian ia menurunkan ke bawah dan secepat kilat teracung ke atas, diimbangi oleh gerakan tangan kiri. Itulah jurus pertama ilmu pedang Kala Prahara yang disebut "Prahara Bayu".
Sinar pedang pusaka Kyai Baruna sedikit berbeda dengan sinar pedang Nyai Baruni. Kalau Nyai Baruni memancarkan sinar hijau bercampur kuning, Kyai Baruna memancarkan sinar hijau bercampur merah.
Serangan jurus pertama itu ditujukan ke tenggorokan lawan. Gerakannya indah dan mantap. Melihat itu Swara Manis terkesiap kaget. Kemudian sambil memiringkan kepalanya, ia menggerakkan pedangnya untuk membalas dan membacok pundak lawan.
Karena tikamannya luput, Prayoga cepat menurunkan pedangnya, tring... sepasang pedang pusaka itu saling bentur. Dering yang nyaring disusul oleh api berpijaran sekitarnya. Dua lawan cepat melompat mundur untuk memeriksa pedang masing masing. Ternyata tidak cedera sedikitpun.
Dua orang muda itu kemudian berhadapan lagi.
Anehnya swara Manis Tidak maju dan malah mundur. Sebaliknya Prayoga tetap berdiri di tempatnya, tegak seperti batu karang.
Semua orang menahan napas dan hati berdebar menunggu perkembangan perkelahian itu. Di antara mereka, yang paling puas Ali Ngumar. Dengan memperhatikan gerak gerik Prayoga, ia tahu bahwa muridnya itu sekarang telah berhaSil menyingkap intisari ilmu pedang Kala Prahara. Dengan gerakan yang mantap dan tenang itu, Ali Ngumar dapat berharap muridnya akan dapat memenangkan pertandingan.
Beberapa saat kemudian tiba-nba Swara Manis menyerang maju. Masih belum dekat, sudah memutarkan pedangnya cepat sekali seolah pedang dan orangnya menjadi satu. Prayoga hanya mengamati gerakan lawan sambil melintangkan pedang di depan dada, Sikapnya tenang sekali.
Kira-kira setombak jauhnya dari Prayoga, tiba-tiba Swara Manis menghentikan putaran pedangnya secara mendadak. Prayoga terkeSiap. Karena tiba-tiba Swara Manis telah melancarkan serangan berantai. Menyerang kepala, dada dan kaki.
Di antara yang menonton, Sarini yang paling tegang dan gelisah.Ia mengikuti perkelahian itu penuh perhatian. Sebab ia menduga, setelah terjadi adu kekerasan, ia menduga dua orang itu akan berkelahi mati matian.
Prayoga menangkis ke atas, tetapi secepat kilat Swara Manis beralih menyerang pinggang sehingga Prayoga harus surut selangkah ke belakang.
Dalam hal keindahan gerak, ilmu pedang Samber Nyawa tidak menang dengan ilmu pedang Kala Prahara . Tetapi yang menguntungkan Swara Manis, ,justru ilmu pedang Samber Nyawa lebih gampang dipelajari. Didukung oleh otaknya yang cerdas, dalam waktu singkat ia sudah dapat memahami.
Dan sesungguhnya. semakin sedikit jumlah jurusnya, lebih banyak gerak perobahannya. Semua ilmu tata kelahi sama saja, baik tangan kosong maupun dengan senjata. Demikian pula ilmu pedang Kala Prahara yang jurusnya hanya sedikit, gerak perubahannya sukar dipelajari. Karena baik serangan tipu maupun sesungguhnya, harus disesuaikan keadaan.
Ketika maSih di Muria, Prayoga memang belum pernah berhadapan dengan lawan tangguh. Baru setelah meninggalkan Muria, ia mengalami perkelahian beberapa kali. namun hanya melawan prajurit Mataram. Pengalamannya berkelahi dengan orang sakti masih belum banyak. Hal ini berbeda dengan Swara Manis yang sudah banyak pengalaman.
Kendati begitu perkelahian ini berlangsung sengit sekali. Sesudah Prayoga mundur ke belakang, Swara Mams menjadi penyerang. Pedang Nyai Baruni bergerak seperti kilat menyambar, dan tahu-tahu dada Prayoga terancam lima bayangan smar pedang. Padahal saat itu Prayoga sedang memperbaiki kedudukan kakinya. Belum sempat membalas menyerang, malah sudah diancam oleh serangan berbahaya. Maka untuk menyelamatkan diri, terpaksa menggunakan pedangnya melindungi dada.
Swara Manis berteriak keras. Serangan berikutnya dilancarkan bertubi-tubi. Akan tetapi sayangnya, Prayoga dapat mempertahankan diri secara rapat sekali.
Karena serangannya gagal, Swara Manis kagum juga dalam hati. Tetapi ia tak mau menunda waktu. Swara Manis melesat ke belakang lawan kemudian menikam. Oleh serangan ini Prayoga tak mau berputar tubuh. Ia hanya mencondongkan tubuh ke depan, kemudian menghantamkan pedangnya ke belakang lewat atas punggung.
Mencari Bende Mataram 13 Matahari Esok Pagi Karya S H Mintardja Penyamaran Raden Sanjaya 2
^