Pencarian

Dendam Kesumat 5

Dendam Kesumat Karya Widi Widayat Bagian 5


Tetapi kali ini Prayoga harus membayar mahal. Pada saat pedang Prayoga menangkis, sengaja Swara Manis
membenturkan pedangnya. Akibatnya Prayoga kaget sendiri dan cepat-cepat mengerahkan tenaga saktinya. Akan tetaplah, celaka... ternyata benturan Swara Manis itu hanya tipu muslihat. Akibatnya Prayoga tak sempat lagi menarik tenaganya dan hampir tenerembab.
Swara Manis tak mau memberi kesempatan bernapas. Pedang itu ditusukan ke depan, untuk menusuk punggung. Prayoga menjejakkan kaki melesat ke depan. Tetapi belum sempat berbalik tubuh, Swara Manis sudah mengikuti seperti bayangan. Kemanapun Prayoga bergerak, ujung pedang itu tetap mengancam punggung. Dengan begitu, sulitlah bagi Prayoga untuk memutar tubuhnya.
Akibatnya dalam gelanggang berlangsung kejar mengejar berputar gelanggang. Prayoga berloncatan mati-matian, dan Swara 'Manis dengan enaknya membayangi. Kalau saja Prayoga terlambat sedikit, tentu punggungnya akan menjadi mangsa pedang lawan.
Menyaksikan itu Sarini gelisah setengah mati. Diam-diam ia menyiapkan bandringannya dan akan meloncat ke gelanggang. Untung sekali Ali Ngumar dapat mencegah, sehingga Sarini urung maju. Sarini tunduk akan tetapi marah sekali.Ia penasaran terhadap Swara Manis yang licik dan penuh tipu muslihat itu.
Setelah berusaha beberapa kali gagal, Prayoga menyesali diri sendiri mengapa sembrono. Sungguh perbuatan yang bodoh terus berlencatan ke depan. Mengapa tidak meloncat ke samping saia, justru dirinya juga paham akan ilmu Jathayu nandang papa"
Memperoleh pikiran demikian, secepat kilat ia meloncat lagi ke depan, disusuli dengan gerakan membuang diri ke samping. Begitu tangan kiri menekan tanah, sepasang kakinya sudah bergerak menendang kaki Swara Manis.
Lawannva kaget sekali. Buru-buru ia menggerakkan
pedang membabat ke bawah. Tetapi kali ini ia tertipu. Tendangan Prayoga itu hanya ancaman kosong. Ketika pedang lawan membabat ke bawah,Ia menekankan tangan kiri ke tanah,lalu sepasang kakinya melayang ke atas dan berjungkir-balik ke belakang. Hasilnya, Ia sudah berdiri tegak berhadapan dengan lawan.
Semua orang menjadi kagum. Lebih-lebih pihak Ali Ngumar, saking gembira mereka bertepuk tangan. Sedang pihak padepokan Hajar Sapta Bumi, yang diwakili oleh empat orang murid dan disebut Catur Sardula merasa kagum juga.
Setelah lepas dari ancaman lawan, Ia sudah bergerak dengan jurus Prahara Segara. Sebelum lawan sempat menangkis,Ia sudah merobah dengan gurus Prahara Bayu lagu. Sekali bergerak dua macam serangan saling susul, sehingga lawan tak sempat membalas. Sekarang Prayoga tak mau memberi hati. Kemudian Ia menyusuli serangan dengan jurus Udan Prahara lalu Lindu Prahara.
Akibatnya Swara Manis mati kutu!
Keistimewaan Ilmu pedang Kala Prahara itu, jurus yang menyusul selalu lebih hebat dari jurus yang lewat. Sekarang sesudah sempat menyerang, Prayoga benar-benar garang. Dan sesudah menggunakan jurus ke empat, ia menyusuli dengan jurus ke lima Prahara Dahana. Pedang Prayoga membabat kaki Swara Manis, tetapi tiba tiba gerakan itu berhenti setengah jalan.
Swara Manis menduga memperoleh kesempatan baik, untuk membalas menyerang lawan. Pedang pusaka Nyai Baruni digerakkan ke atas untuk menyerang. Celakanya gerakan Prayoga yang terhenti itu hanya sekejap mata. Belum sempat Swara Manis menggerakkan pedang, Prayoga sudah menikam tenggorokan. Saking terkejut dan gugup, Swara Manis merendahkan tubuh. Tetapi cret... ujung pedang Prayoga berhasil menikam ikat kepala Swara Manis, sehingga robek. Kemudian secepat kilat pedang diungkit. sehingga ikat kepala itu lepas, Lalu dilanjutkan dengan serangan menggunakan jurus ke enam bernama Guntur Prahara.
Akan tetapi sayang sekali, kali ini Prayoga melakukan kesalahan besar. Dengan jurus Itu ia bermaksud menusuk rusuk lawan. Dan untuk beralih kepada jurus itu, Prayoga harus berhenti sejenak karena pedangnya membutuhkan waktu untuk dilingkarkan ke bawah.
Mendapat kesempatan Itu. Swara Manis melompat ke belakang. Tetapi andaikata Prayoga tadi menggunakan lurus ke enam Guntur Prahara dengan membabatkan pedangnya ke bawah, tentu kepala Swara Manus sudah terbelah menjadi dua, atau setidak-tidaknya dapat membelah bahu. Maka kendati mengucurkan keringat dingin, tetapi Swara Manis lolos dari maut.
Ketika Swara Manus meloncat mundur, Prayoga tak mau memburu. Sikap itu jelas, sampai di manakah kejujuran dan keperwiraan Prayoga dalam menghadapi lawan. Ia tak mau mendapat kemenangan secara murah.
Sebaliknya Swara Manis menjadi amat gembira karena lawan tak mau mengejar dirinya. Cepat ia meraba ke belakang leher dan mencabut tabung bambu. Melihat Itu Sarini dan Jim Cing Cing Goling tahu maksud orang.
"Awas! teriak Sarini.
"Dia menggunakan ular Gadung Dahana!"
Prayoga terkesiap. Dalam hatinya heran sekali, mengapa ular sakti itu jatuh ke tangan Swara Manis.
Swara Manis tersenyum mengejek, kemudian katanya,
"Prayoga! Ilmu pedangmu memang hebat. Ayo, sekarang majulah!"
"Baik!" sahut Prayoga.
Ketika Itu tiga sosok bayangan berkelebat masuk padepokan. Prayoga memalingkan muka ke arah gurunya dan Jim Cing Cing Goling. Dan tampak dua tokoh itu mengerutkan kening, sedang merenungkan sesuatu. Keti
ka Prayoga memandang Swara Manis, orang itu tersenyum berseri.
Tak lama kemudian tiga sosok bayangan tadi sudah keluar dari padepokan. Kemudian ternyata mereka itu Gondang Jagad, Sambang Jagad, Sambung Buwono dan Lintang Trenggono. Hadirnya tiga tokoh itu disambut oleh Catur Sardulo penuh hormat. Kemudian mereka bertujuh meninggalkan tempat, masuk kembali ke padepokan. Dan tidak lama kemudian tampak Simbar Kemlaka keluar lagi dari pintu gerbang padepokan, sambil berseru kepada Swara Manis,
"Hai Swara Manis! Kakek gurumu memerintahkan supaya pertempuran ini dihentikan dahulu, dan engkau harus menghadap secepatnya."
' Swara Manis mengiakan. Setelah mengembalikan tabung ular ke belakang punggung, ia memberi hormat kepada semua tamu sambil berseru.
"Aku mohon hendaknya kalian tidak pergi dahulu. Percayalah bahwa sebentar kemudian aku kembali, kemudian menyelesaikan perkelahian ini."
Prayoga yang jujur tidak dapat mengejek Swara Manis yang menghentikan perkelahian. Sedang Ali Ngumar dan Resi Sempati tidak mau mengurusi persoalan kecil, dan mereka hanya ketawa dingin. Akan tetapi sebaliknya si Bongkok Baskara dan Jim Cing Cing Goling tidak dapat tinggal diam lalu membalas,
"Sudah tentu kami takkan pergi sebelum memperoleh hasil. Huh, dan engkau jangan mencoba untuk lari!"
Tanpa berjanji, dua tokoh itu sudah melompat ke depan terus mencengkeram. Yang seorang dari sebelah kiri dan yang seorang lagi dari sebelah kanan.
Swara Manis sudah pernah merasakan cengkeraman si Bengkok. Diam~diam ia menyesal mengapa mulutnya lancang, sehingga menyebabkan mereka marah. Sekalipun kakek gurunya keluar. juga takkan keburu menolong dirinya, dan tentu dirinya akan disiksa kalau sampai bisa ditangkap.
Karena ngeri akan bayangan derita itu, Swara Manis cepat memutarkan pedangnya. lalu lari terkencing kencing masuk ke dalam padepokan. Ketika tiba di pintu gerbang, terdengar olehnya suara orang ketawa terpingkal-pingkal. Ia memberanikan diri memalingkan muka ke belakang. Ternyata dua orang tokoh tadi hanya menggertak saja. sebab nyatanya tidak mengejar.
Lebih-lebih Sarini. Gadis ini ketawa cekikikan sambil memegang perutnya yang kaku. Setelah agak reda ketawanya, ia berteriak mengejek,
"Bagus... hi-hi-hik... Swara Manis memang pandai sekali dalam ilmunya bajing kecepit... eh... bajing loncat... ."
Swara Manis tak dapat berbuat apa-apa kecuali geram. Diam-diam dalam hati berjanji, apabila mendapat kesempatan akan menghajar gadis itu setengah mati.
Sesudah mengejek Swara Manis, ia menyongsong kakak seperguruannya, dan menegur,
"Kakang, apa sebabnya engkau tidak mau menghajar dia sampai babak belur? Padahal engkau tadi memperoleh kesempatan untuk menghajar manusia busuk itu."
Sebelum Prayoga sempat menyahut, Jim Cing Cing Goling mendahului,
"Prayoga memang seorang pemuda jujur, tidak seperti engkau. Kendati perempuan, tetapi engkau tidak kenal takut."
Sarini meringis, merasa disindir.
"Hem, persoalan yang terjadi hari ini berkembang menjadi besar, dan ternyata tidak hanya terbatas soal Swara Manis saja!" Si Bongkok berkata.
"Sebagai akibat menolong Ndara Menggung, sekarang ini tenaga adi Ali Ngumar, Cing Cing Goling maupun ReSi Sempati belum pulih. Dan sayangnya Kigede Jamus yang kita harap, sampai sekarang belum juga-muncul. Akan tetapi sebaliknya, tokoh-tokoh yang jelas sebagai begundal Mataram, sekarang sudah berkumpul di smi. Menilik gelagatnya, kita akan berhadapan dengan kesukaran."
Prayoga kaget sekali. Ia belum lupa akan pertempuran melawan pasukan Mataram di Muria. Apakah sekarang Swara Manis sedang mengatur perangkap untuk menjebak tokoh-tokoh sekutu Pati?"
Darmo Saroyo mempunyai kekhawatiran yang sama. Maka kemudian ia minta ijin kepada Ali Ngunar, untuk menCari gurunya. Kemudian lanjutnya,
"Andaikata usahaku gagal mencari guru, sedikitnya aku akan memperoleh kesempatan untuk mengumpulkan sisa anak buahku, kemudian aku gerakkan ke mari."
"Adi Saroyo," ujar Ali Ngumar.
"Menurut pendapatku. usahamu tidak banyak harapan terwujud. Di sana anakbuahmu tentu sudah bubar, dan mungkin malah sudah ada yang takluk kepada Mataram. Yang tidak menyerah kepada mataram, sulit untuk dibangkitkan semangatnya lagi karena sudah patah harapan."
Darmo Saroyo kemudian mengangguk, dapat menyetujui pendapat Ali Ngumar.
Sambung Si Bongkok, "Aku menduga sama sekali, kalau Raja Mataram memperhatikan kita yang hanya terdiri beberapa gelintir manusia tak berguna ini."
"Memang sudah dapat diduga, Mataram akan menghancurkan setiap pihak yang berani menentang kekuasaannya!" sahut Ali Ngumar.
Sesudah menghela napas, sambungnya,
"Yang membuat aku heran apakah sebabnya Hajar Sapta Bumi Sampai hati melibatkan diri dalam persoalan ini. Hem, agaknya karena menurutkan nafsu hati ingin menang, sampai tidak sadar diperalat oleh kaki tangan Mataram.'
Darmo Gati yang sudah cacat dan sejak tadi hanya berdiam diri, memberikan pendapatnya,
"Kakang Ngumar, menurut pikiranku yang picik ini apakah tidak lebih baik kita cepat-cepat meninggalkan tempat ini? Kelak kemudian hari apabila kita sudah dapat menghimpun kekuatan. kita maSih dapat datang ke mari lagi."
Si Bongkok cepat-cepat menyanggah,
"Saudara Darmo Gati. Hendaknya kita jangan menjadi ketakutan dan melarikan diri. Sebab kita tidak tahu, hidup kita ini sampai kapan. karena itu apapun yang tertadi, kita harus sedia berhadapan dengan kenyataan tak terbantah."
Mendengar ucapan si Bongkok yang jantan itu. Darmo Gati yang sudah cacat hanya dapat menghela napas.
Sekarang Prayoga baru mengerti sebabnya, mengapa wajah gurunya dan beberapa tokoh yang lain tampak tegang. Hanya yang membuat dirinya bertanya-tanya, mengapa gurunya dan tokoh-tokoh sakti ini, tampak gentar menghadapi kekuatan Haiar Sapta Bumi?
"Siapakah yang paman maksudkan dengan kaki tangan Mataram yang dikirim ke mari itu?" tanya Prayoga.
"Yang kita maksud, tokoh yang masuk bersama Hajar Sapta Bumi tadi," sahut Jim Cing Cing Goling.
"Tokoh itu suami-isteri sakti mandraguna dari daerah Gunung Kidul. Dan kalau berkelahi, mereka selalu maju bersama-sama."
ReSi Sempati ingat, lalu berkata,
"Apakah bukan sepasang tokoh yang diberi julukan oleh orang Gendruwo Semanu?"
"Benar! Apakah saudara pernah mendengar hal-ihwal suami-isteri itu?" tanya Cing Cing Goling.
Tiba-tiba Resi Sempati menggeram, katanya,
"Paman guruku binasa di Madiun melawan suami-isteri itu. Bagaimanapun dendam ini harus dapat kubalas."
Pada saat mereka sedang sibuk bicara itu, tiba-tiba Sontrang Jiwa muncul dari pintu gerbang. Kemudian dengan hormat, ia berkata.
"Guru memperSilahkan kalian masuk ke dalam padepokan. Kebetulan hari ini kami menerima tamu yang lain, sehingga dengan terpaksa pertandingan kita tunda sampai esok pagi. Maka apabila kalian tidak menolak, kami mengundang kalian sudi
masuk kedalam padepokan."
"Jangan tertipu!" seru Jim Cing Cing Goling cepat.
Semua anggota rombongan Ali Ngumar tahu dan cepat berpaling ke arah Jim Cing Cing Goling, karena heran.
Untuk tidak menimbulkan kecurigaan, Jim Cing Cing Goling cepat menjelaskan,
"Menurut keterangan yang aku peroleh, padepokan Hajar Sapta Bumi penuh dengan alat jebakan. Setiap ruangan merupakan semacam barisan yang sulit dilawan."
"Tetapi kalau tak berani masuk ke goa harimau, bagaimanakah kita bisa mendapatkan anak macan?" bantah Darmo Saroyo.
Jim Cing Cing Goling menatap Darmo saroyo, lalu ujarnya,
"Saudara Saroyo! Menurut pendapatku lebih baik engkau melaksanakan niatmu tadi. Kalau engkau bertemu dengan Kigede Jamus, memang itulah yang kita harapkan. Akan tetapi kalau tidak, cobalah engkau kumpulkan sisa anakbuahmu dan secepatnya gerakanlah ke mari!"
Setelah dipikir. kemudian Ali Ngumar juga setuju. Karena usaha mencari Kigede Jamus itu penting sekali. Demikian pula usaha mengumpulkan Sisa pasukan Pati.
Karena para tamu seperti tidak memperdulikan, Sontrang Jiwa tidak sabar lagi dan mengejek,
"Apakah kalian takut masuk ke dalam padepokan kami?"
Jim Cing-Cing Goling mendongkol sekali dan mendamprat,
"Huh, engkau hanya bocah kemarin sore, berani jual lagak di depanku. Kami masih menunggu beberapa orang sahabat. Mengerti?"
Sontrang Jiwa ketawa bergelak-gelak, dirinya disebut bocah kemarin sore. Bagaimanapun dirinya berusia 50 tahun, dan di padepokan ini, merupakan orang ke dua. Mengapa dirinya direndahkan? Saking mendongkol,
Sontrang Jiwa mengejek, "Oho, kiranya kalian ini hanya manusia gagah palsu alias manusia pengecut! Sudah sampai di sini, tetapi masih juga tak berani masuk! Ha-ha-ha... ." '
Ejekan itu menusuk perasaan Jim Cing Cing Goling, Resi Sempati dan si Bangkok. Tanpa membuka mulut tiga orang ini sudah melesat masuk lewat pintu gerbang. Prayoga dan Sarini mengikuti di belakangnya. Hanya Ali Ngumar dan Darmo Gati yang melangkah seenaknya, sedang Darmo Saroyo sendiri segera pergi untuk mencari gurunya.
Tujuh orang dari pihak Ali Ngumar masuk lewat pintu gerbang. Mendadak dari arah belakang terdengar teriakan nyaring,
"Hai minggir! Mengapa berkerumun di tengah pintu?"
Ali Ngumar memalingkan muka dan kaget berbareng gembira. Tegurnya,
"Diajeng Wulan, engkau juga hadir ke mari?"
Teguran Ali Ngumar itu halus, akan tetapi Ladrang Kuning tak menghiraukan tegur sapa suaminya. Perempuan aneh itu memang tampak marah sekali. Namun karena mereka sudah tahu watak tabiat perempuan ini, tidak seorangpun membuka mulut.
Ladrang Kuning menyapu mereka dengan pandang mata berapi. Kemudian ia menuding Sontrang Jiwa, hardiknya,
"Hai, bukankah engkau penghuni padepokan ini? Hayo, cepat laporkan kepada tua bangka Sapta Bumi dan Swara Manis, bahwa aku datang!"
Sontrang Jiwa yang belum kenal Ladrang Kuning, menjadi marah gurunya dicaci-maki tua bangka. Apapula dirinya merasa sebagai orang ke dua di padepokan ini, tentu tak dapat membiarkan orang menghina seenak sendiri. Sambil mendelik Sontrang Jiwa menuding,
"Perempuan busuk! Jangan ngoceh... ."
Plak...! Belum selesai Sontrang Jiwa mendamprat,
pipinya sudah ditampar. Dan seketika Sontrang Jiwa merasakan pipinya panas seperti dibakar.
Padahal Ladrang Kuning hanya menampar seenaknya. Kalau tadi menggunakan tenaga lebih besar, mungkin Sontrang Jiwa menderita luka parah.
Sontrang Jiwa merasakan sakit, separo mukanya panas dan mulut terasa asin. Ketika meludah ternyata mulutnya berdarah, dan dua buah gigi sudah tanggal. Bukan main marahnya orang ini. Dengan kalap ia mengangkat tangan untuk membalas, tetapi tiba-tiba Swara Manis berhasil mencegahnya,
"Jangan! Ibu ini kawan sendiri!"
Sambil berseru mencegah, Swara Manis sudah menghampiri Ladrang Kuning, kemudian membungkuk dan memberi hormat. Katanya,
"Ibu, anak menghaturkan sembah bekti."
Setelah memberi hormat, ia menghampiri Mariam yang ikut bersama ibunya, lalu menyapa,
"Aih... diajeng Mariam juga datang ke mari. Ah, tentu ibu sendiri yang telah dapat menolong dari sarang penyamun ganas itu. Diajeng, betapa sedihku mengingat peristiwa itu, sehingga aku tak enak makan dan tak enak tidur."
Rasa ragu yang semula menghuni dada Mariam, tiba-tiba menghilang melihat sikap dan kata kata merdu dari Swara Manis. Ia menjadi lupa akan derita yang pernah dialami, selama di sarang Surogendilo. Kemudian tanpa menghiraukan orang lain, Mariam sudah menubruk, kemudian menangis terisak isak sambil memeluk Swara Manis.
"Hai, Mariam! Bukankah engkau mencurigai dia?" tegur ibunya.
Akan tetapi Mariam seperti tidak perduli lagi kepada ibunya. Ia seperti seperti seorang musafir di padang pasar, yang tiba-tiba menemukan sumber air. Maka Mariam merasa aman dalam pelukan Arjuna-nya. dan lupa
akan kecurigaannya kepada Swara Manis yang sudah mencelakakan dirinya. Dan tiba-tiba saja, ia sekarang malah berbalik dan menuduh orang-orang yang tak bersalah. Katanya,
"Ibu! Kecurigaanku tidak lain sebagai akibat hasutan mulut-mulut berbisa dari orang-orang yang membenci kakang Swara Manis! Huh, tetapi buktinya, kakang Swara Manis memang tidak sejahat tuduhan orang orang itu."
Tercekat juga hati Swara Manis mendengar kata-kata Mariam itu.
Akan tetapi Swara Manis seorang julig dan penuh tipu muslihat. Ia tahu belaka kunci kemenangannya, tidak lain terletak pada diri Mariam sendiri. Sebagai scorang yang julig. ia pura-pura terkejut,
"Ah diajeng Mariam, benarkah engkau mencurigai diriku? Dan apakah alasan untuk menuduh diriku berbuat kurang baik? Lalu Siapakah kiranya orang yang sudah memfitnah diriku itu?"
"Kakang," jawab Mariam manja.
"Memang ada 0rang yang mengatakan, engkau telah menjual dan menukarkan aku dengan pedang pusaka milik Surogendilo. Benarkah itu?"
"Benar!" Ladrang Kuning menyambung.
"Aku mendengar engkau telah berbuat seperti itu?" '
Jantung Swara Manis berdebar keras. Tetapi sebagai manusia licik, ia cepat menutupi dengan ketawanya yang bergelak gelak. Katanya kemudian,
"Betapa Cinta dan kasihku kepada Mariam, cuma Tuhan saja yang tahu. Kalau aku sampai berani mengkhianati, biarlah aku binasa seperti bukan manusia, hancur di lembah tidak menginjak bumi!" _
Mendengar pernyataan Swara Manis . Ladrang Kuning menjadi terpengaruh dan percaya. samasekali tidak menyadari bahwa dirinya berhadapan dengan seseorang laki-laki julig dan licin seperti belut. Bagaimana mungkin terjadi, hancur di lembah tidak menginjak bumi '
Jangan lagi Ladrang Kuning yang cara berpikirnya sudah tidak wajar lagi. Sedang mereka yang hadirpun banyak yang tidak menyadan arti ucapan Swara Manis itu.
Akan tetapi Jim Cing Cing Goling, Prayoga dan Sarini menjadi marah sekali. Bukan mendengar sumpah istimewa itu. Akan tetapi karena Swara Manis telah memutar balikkan kenyataan dalam usahanya mempengaruhi Ladrang Kuning. Saking marahnya, tiga orang ini tak dapat membuka mulut. Sedang Ali Ngumar yang tidak disapa oleh isterinya sendiri, hanya berdiam diri dengan wajah keruh.
Swara Manis yang cerdik, cepat menyadari akan bahayanya kalau Ladrang Kuning berkumpul dengan rombongan Ali Ngumar.
"Ibu," bujuknya.
"Anak telah berhasil menemukan pedang Nyai Baruni. Sekarang pedang itu anak Simpan, dan segera akan anak persembahkan kepada ibu. Sayang sekali, saat ini kakek guru sedang menerima dua orang tamu. Karena itu silahkan istirahat di dalam dahulu, agar anak dapat melayani."
Berhadapan dengan Swara Manis yang licik, Ladrang Kuning segera tertipu dan terpikat. Apa pula melihat, Mariam tak mau berpisah lagi dengan Swara Manis. Di samping itu, dalam hati Ladrang Kuning masih mendendam kepada Jim Cing Cing Goling. Padahal suaminya sekarang malah bersekutu dengan orang itu. Maka tanpa menghiraukan lagi suaminya, ia sudah mengikuti Swara Manis masuk ke dalam padepokan.
Ali Ngumar, Jim Cing Cing Goling hanya dapat menghela napas panlang. Dengan hadirnya Ladrang Kuning dalam kelompok Hajar Sapta Bumi, sekarang mereka merasa bertambah berat.
Sebenarnya Sontrang Jiwa masih mendongkol sekali dengan sikap Swara Manis yang tidak menghargai dirinya itu. Namun karena tak berani melanggar perintah
gurunya, ia tidak dapat berbuat apa apa. Kemudian mengajak para tamu masuk ke dalam rumah samping.
"Di sinilah ruang tunggu bagi para tamu," katanya sinis.
"Akan tetapi aku mengharap, kalian jangan berusaha melarikan diri."
Jim Cing Cing Goling cepat membalas,
"Jangan banyak mulut. Lekas kau obati lukamu itu dengan beras kencur."
Merah padam wajah Sontrang Jiwa, kemudian tanpa membuka mulut meninggalkan tempat itu.
Setelah berada di dalam padepokan, Sarini amat memperhatikan setiap ruangan.karena menurut keterangan Jim Cing Cing Goling tadi, setiap ruangan merupakan suatu barisan yang penuh jebakan. Lebih lagi se sudah ia teringat keterangan Sucitro dan Sutirto, bahwa atap bangunan dipasangi jebakan. Di samping itu setelah bertemu dengan tiang bercat kuning lalu membelok ke kiri akan segera sampai di pendapa.
Akan tetapi sekarang ia terkejut. Tiang yang ada sekarang catnya merah dan tidak satupun yang kuning. Melihat ini Sarini khawatir kalau rahaSia yang diceritakan Sucitro dan Sutirto bocor, kemudian cepat-cepat merobah warna tiang.
Rumah samping di mana para tamu itu istirahat, terdiri dari tiga ruangan dengan alat yang serba bagus. Tak lama kemudian datanglah seorang cantrik yang melayani tamu.
Sarini menyambar lengan salah seorang cantrik, ke mudian bertanya tentang Sucitro dan Sutirto.
"Siapa Sucitro dan Sutirto itu?" cantrik itu malah
bertanya. ' _ Dengan demikian cantrik itu belum kenal dengan SUCltro dan Sutirto. Kendati begitu, Sarini menerangkan,
"Ketika aku masuk padepokan ini, aku bertemu dengan mereka."
Prayoga terkeSiap. Logat bicara orang ini bukan Logat Banyumasan, tetapi lebih halus. Jelas mereka bukan cantrik sesungguhnya, tetapi orang lain yang menyamar sebagai cantrik. Untuk memenuhi pesan gurunya, Prayoga cepat mengajak Sarini kembali. Akan tetapi baru akan membuka mulut, Sarini sudah melompat ke depan dan menghantam dengan bandringannya.
Sarini mengira, dua orang cantrik itu hanya cucu murid Ki Hajar Sapta Bumi. Dan ia yakin, sekali bergerak tentu dapat merobohkannya.
Trang... !! tiba-tiba Sarini merasakana lengannya kesemutan, ketika salah seorang cantrik itu menangkis. Bandringan melesat ke atas, sehingga ia harus buru-buru menekan, agar bandringannya kembali turun ke bawah.
"Ha-ha-ha-ha. mau kembali atau tidak?" ejek mereka sambil ketawa dingin. Namun demikian mereka tidak menyerang.
Prayoga yang kenal gelagat segera yakin bahwa. dua cantrik itu memang palsu. Sahutnya,
"Kembali boleh saja. Tetapi mengapa engkau menggunakan kekerasan?"
Prayoga memberi isyarat kedipan mata kepada Sarini. Dan gadis ini terpaksa menurut, kemudian kembali menuju ke arah lain. Namun di ujung jalan lain itupun mereka dihadang oleh cantrik yang lain. Ketika berbelok ke arah lain, mereka kembali dihadang cantrik yang logat bahasanya bikan orang Banyumas.
Akhirnya Sarini sadar, dan tak mau mencoba lagi ke tempat lain. Kemudian mereka menuju kembali ke ruangan yang disediakan. Begitu masuk dan bertemu dengan Ali Ngumar, Sarini sudah melapor,
"Bapa, padepokan ini penuh dengan prajurit Mataram yang menyamar sebagai cantrik."
Prayoga cepat menyambung dan menuturkan apa yang sudah dilihat dan dialami. Mendengar itu Ali Ngumar dan kawan-kawannya saling pandang. Sesaat kemudian Jim Cing Cing Goling berkata,.
"Keadaan semakin menjadi jelas. Mereka telah menyiapkan kekuatan besar untuk menumpas kita. Karena itu kita harus tenang dan bersiap menghadapi segala kemungkinan."
Jim Cing Cing Goling berhenti sejenak mencari kesan. Ketika melihat semua orang memperhatikan, ia melanjutkan,
"Dalam rombongan kita yang maSih lemah hanya Prayoga dan Sarini. Maka aku usulkan agar mustika dalam batu itu diberikan saja kepada mereka berdua. Mudah-mudahan dengan cara itu kekuatan kita akan dapat bertambah dalam waktu Singkat."
Saran Jim Cing Cing Goling itu disetujui semua 0rang. Pada mulanya Prayoga memang menolak. Tetapi sesudah ditegur gurunya, ia tak berani membantah.
Ali Ngumar segera mencabut pedang pusaka Kyai Baruna dari pinggang Prayoga. Setelah menyuruh Sarini memegang batu mustika itu, ia lalu mengupas dengan hati-hati. Sesudah bentuknya menjadi keCil, kemudian batu itu dilubangi. Lalu menebarkan bau semerbak harum, dan cepat-cepat memerintahkan Sarini agar minum separo bagian.
Gadis itu menempelkan bibir ke lubang. Sekali sedot, air harum dalam batu itu meluncUr masuk kekerongkongan. Kemudian Sarini merasakan tulang dan persendiannya nyaman. Lalu cepat-cepat mengerahkan hawa murni dalam tubuhnya, agar daya air itu meresap sekujur tubuh.
Batu itu kemudian diserahkan kepada Prayoga, dan pemuda ini cepat menyedot. Akan tetapi hanya sebentar dan pemuda ini meringis. Ternyata air dalam batu itu sudah habis disedot oleh Sarini, dan ia tinggal mendapat angin. .
Jim Cing Cing Goling cepat menghibur,
"Agaknya memang sudah suratan takdir. engkau tak kebagian air
mustika itu. Tetapi engkau tidak kecewa, bukan? Justru yang sudah menghabiskan adik seperguruanmu sendiri?"
Prayoga tersenyum, lalu jawabnya setulus hati.
"Biarlah. Memang sudah pada tempatnya air mustika itu untuk Sarini, karena dia yang paling lemah di antara kita."
Semua orang kagum dan memuji. Ketika mengamati Sarini, tampak wajah gadis itu kemerah-merahan dan memancarkan Sinar kuning yang gemilang. Tampaknya seperti keringat, tetapi jelas bukan keringat.
Saat itu Sarini merasakan seluruh tubuhnya mengeluarkan hawa panas, hingga dalam waktu beberapa lama tampaknya seperti setengah sadar. Baru sesudah tubuhnya kembali nyaman, ia meloncat bangun dan berseru,
"Ah, benar-benar nyaman sekali. Aku merasa seperti memperoleh kekuatan baru. Kakang Prayoga, apakah engkau tidak merasakan apa-apa?"
Atas pertanyaan itu jelas Sarini tidak menyadari kalau Prayoga tidak memperoleh bagian. Baru sesudah Prayoga memberi penjelasan, Sarini tampak malu dan menyesal,
"Maafkan aku kakang. Aku tidak sengaja menghabiskan air itu. Menurut perkiraanku semula, air itu cukup banyak seperti air kelapa."
"Sudahlah, tak perlu banyak omong. Asal engkau berjanji takkan menghina kakang seperguruanmu lagi seperti yang telah dilakukan oleh mbakyu seperguruannya, itu sudah lebih dari cukup!" Jim Cing Cing Goling mulai menggoda.
Wajah Sarini kemerah-merahan karena malu. Tetapi saat itu ia merasakan tubuhnya ringan sekali. Kalau 'ia menyalurkan darah dan pernapasan, ia merasa lebih lancar tidak seperti biasanya. Agaknya dalam waktu tidak lama, baik tenaga murni maupun tenaga sakti dalam tubuh gadis ini, telah bertambah maju. Di dalam
kegembiraannya, ia tak lupa mengucapkan terimakaSih kepada Prayoga. '
Ketika itu hari sudah sore. Sayup-sayup terdengar suara kentongan dipukul tiga kali. Keadaan dalam padepokan tetap sunyi sepi, dan pihak tuan rumah tidak munCul menemui tamu. Tiba-tiba dari luar ruangan terdengar suara orang berseru lantang,
"Guru mengundang kalian supaya masuk ke dalam ruang besar di bagian belakang"
Benar-benar merupakan sikap tidak sopan. Mengapa mempersilahkan tamu dengan cara seperti itu? Diam diam Jim Cing Cing Goling mengirimkan suara lewat Aji Pameling kepada kawan-kawannya, yang tak dapat didengar orang lain,
"Kita harus waspada menghadapi siasat licik Hajar Sapta Bumi yang sombong dan angkuh itu."
Ali Ngumar mengerti maksud Cing Cing Goling. Lalu menyahut dengan keras,
"Baiklah! Harap saudara menunjukkan Jalan bagi kami."
Kendati tenaga murni Ali Ngumar berkurang banyak sekali akibat menolong Ndara Menggung, tetapi karena sedang marah, suaranya terdengar nyaring sekali.
Ketika membuka pintu Catur Sardula sudah menunggu di luar. Ali Ngumar melangkah paling dulu, disusul yang lain, sedang yang terakhir Jim Cing Cing Goling. Tujuh anggota rombongan Ali Ngumar mengikuti Catur Sardula. Dan selama berjalan itu, mereka selalu memperhatikan dan mengingat-ingat apa yang sudah dilalui. Akan tetapi setelah berbelok dua kali. kaburlah pengetahuan mereka tentang arah. Mereka bingung dan tak ingat lagi jalan yang sudah mereka lalui. Semua yang tampak saat itu, baik lorong, serambi, tiang, perabot dan warna cat, adalah sama dan sulit dibedakan.
Padepokan Hajar Sapta Bumi memang amat luas. Halamannya luas, bangunan rumahpun luas dan kokoh. Sesudah berjalan agak lama, dan entah sudah berbelok berapa kali, mereka melewati ruangan kecil. Tetapi beberapa saat kemudian mereka sudah tiba di ruangan yang luas dengan lantai batu warna hijau. Pada ujung ruang yang mirip dengan paseban atau pendapa itu, terdapat sebuah meja besar dan panjang. Di sekitar meja itu sudah duduk Hajar Sapta Bumi, Ladrang Kuning, Mariam, Swara Manis, Gondang Jagad, Lintang Trenggono dan Sambang Buwono. dan masih ada lagi sebuah kursi yang kosong
Tujuh orang itu menghadapi hidangan yang penuh di atas meja. Walaupun tahu rombongan tamu datang, mereka tak acuh. Ali Ngumar yang memang terlatih sabar, tidak merasa apa-apa atas sambutan dingin itu. Kendati begitu, hatinya merasa heran juga mengapa suami-isteri yang disebut dengan nama Gendruwo Semanu tidak tampak?
Catur Sardulo menghampiri Hajar Sapta Bumi dan bicara. Mungkin sedang memberi laporan kepada gurunya. Akan tetapi setelah mendapat laporan, kakek itu tetap tak perduli dan malah mengangkat cangkir sambil berkata kepada Ladrang Kuning,
"Guna menghormat kedatangan nimas Ladrang Kuning, marilah kita minum bersama."
Semua orang yang duduk mengitari meja itu semua menyambut dengan gembira. Mereka' mengangkat cangkir masing-masing dan meneguk minunan di dalamnya.
Sedang Catur Sardulo masih tetap berdiri tegak di tempatnya. Mereka tidak berani mundur sebelum mendapat ijin guru mereka.
Ali Ngumar dan kawan-kawannya merupakan tokoh ternama. Sudah tentu mereka mendongkol sekali mendapat perlakuan tidak patut seperti ini. Resi Sempati yang paling tidak kuasa menahan perasaan. tiba-tiba tangannya menekan sebuah kursi,
"Krak..." tangan kursi itu patah lalu disambitkan ke _arah meja hidangan.
Jim Cing Cing Goling dan si Bongkok tanpa berjanji, bersama-sama menggerakkan tangan menampar kayu yang disambitkan Resi Sempati. Dengan dorongan tenaga sakti dari tiga tokoh itu. barang tentu kayu tersebut meluncur cepat sekali. Apabila sampai menyentuh meja, seluruh hidangan yang tersedia akan berantakan.
Akan tetapi baik Hajar Sapta Bumi maupun Ladrang Kuning seperti tidak mengacuhkan luncuran kayu itu. Sambil mengangkat cangkir masing masing, mereka Siramkan teh ke udara. Siraman itu secara tepat menyemprot kayu yang meluncur tadi.
Siraman teh dari Ladrang Kuning dan Hajar Sapta Bumi itu dilambari tenaga sakti tingkat tinggi. Sebenarnya kalau menilai soal tenaga sakti, Jim Cing Cing Goling setingkat dengan Ladrang Kuning. Sedang si Bongkok bersama Resi Sempati dapat menghadapi Hayar Sapta Bumi. Akan tetapi sayang sekali pada saat sekarang ini, sebagian besar tenga sakti Jim Cing Cing Goling terkuras habis akibat menolong Ndara Menggung. Karena itu begitu disembur air teh, kayu kursi tersebut segera menyeleweng miring dan kemudian jatuh ke lantai.
Dalam adu tenaga sakti, dengan percobaan ini segera dapat diketahui tentang kekuatan masing-masing. Tetapi hal itu tak mungkin bisa terjadi, kalau Ladrang Kuning tidak muncul secara tiba-tiba, lalu terpikat oleh tipu muslihat Swara Manis, agar berpihak kepada Hajar Sapta Bumi. Dan menghadapi peristiwa tidak terduga ini. yang paling sedih dan menderita tidak lain Ali Ngumar.
"Diajeng Wulan... kau..." Akan tetapi saking sedih dan menderita, ia tak dapat melaniutkan ucapannya. Dan celakanya pula Ladrang Kuning pura-pura tidak mendengar.
Ali Ngumar menyadari bahwa sudah berkembang tidak seperti yang diharapkan. Beberapa waktu lalu ia mondar mandir ke sana ke mari dalam usahanya mengajak sahabat berpihak kepada dirinya menghadapi Hajar Sapta Bumi. Karena itu menghadapi perkembangan buruk seperti sekarang ini, dirinya harus dapat menempat kan diri sebagai Seorang tokoh terhormat. Dan ia malu kalau masih dipengaruhi oleh hubungan suami-isteri, ayah dan anak. Semua itu harus tidak ada lagi.
Setelah sadar akan kedudukkannya, tiba-tiba saja dadanya yang semula terhimpit derita dan duka itu, menjadi longgar. Rasa derita sekarang lenyap, dan sekarang dirinya dalam keadaan wajar.
"Saudara Hajar Sapta Bumi, bukankah engkau mengundang kami kemari?" serunya lantang.
"Akan tetapi mengapa engkau menyambut kehadiran kami macam ini? Aku hampir tidak percaya menyakSikan kejadian hari ini, bahwa Ki Hajar Sapta Bumi yang namanya masyhur. diagungkan sebagai seorang SUCI yang membangun padepokan, maSih dibelenggu oleh sifat sombong dan menyimpang dari adat kesopanan."
Tidak disadari oleh semua tamu ini. bahwa apa yang terjadi sesuai dengan Siasat Swara Manis. Maksud Swara Manis. apabila suasana menjadi panas, dengan mudah tinggal meledakkan.
Akan tetapi Hajar Sapta Bumi bukan Swara Manis. Ia selalu mengagungkan diri sebagai tokoh sakti dan kedudukannya tinggi. Bahkan Raja Mataram sendiripun sering minta pendapat dan bantuannya. Sebagai akibat hubungan yang dekat dengan Rala Mataram itu. ia mabuk kehormatan.
Kendati begitu masih ada sifat yang patut dipuji. Ia malu kalau dicela orang berbudi rendah. Mendengar teguran Ali Ngumar ini' ia menjadi malu. Kemudian bangkit dari kursinya dan berseru,
"Cepat Siapkan sebuah meja perjamuan lagi."
Dalam waktu singkat. perintah itu sudah dilaksanakan. Kemudian ia mempersilahkan tamunya duduk.
Ali Ngumar dan rombongannya lalu duduk. Jarak antara mereka dengan meja tuan rumah hanya terpisah kira-kira satu tombak. Kalau secara tiba-tiba Hagar Sapta Bumi menyerang, sukarlah untuk menghindarkan diri. Namun demikian Ali Ngumar tidak khawatir sedikitpun.
"Sarini, engkau mendongkol tidak?" tanya Cing Cing Goling.
"Huh, hampir meledak!" sahut dara ini bersungut.
"Kakek itu besar kepala dan sombong!"
"Maukah engkau melepaskan rasa mengkalmu itu?"
"Sudah tentu!" "Baiklah! Engkau seorang anak perempuan, dan dia seorang kakek. Aku berani bertaruh, dia takkan mau merendahkan diri membalas perbuatanmu. Apabila gurumu sampai marah, akulah yang bertanggung jawab."
Sarini seorang gadis yang tabah dan berani. Sedang Cing Cing Goling seorang tokoh yang pandai mengganggu dan memperolok orang. Ibarat "tumbu ketemu tutup", alias cocok sama sekali.
Sarini segera mempersiapkan bandringannya, mengikuti Jim Cing Cing Goling menghampiri meja Ali Ngumar. Begitu dekat dengan meja, tiba-tiba memutar tubuh lalu berseru nyaring.
"Kakek Hapar Sapta Bumi, ibu guru dan mbakyu Mariam!"
Ketiga orang itu terkejut dan mengangkat kepala. Mariam yang merasa malu sendiri, cepat-cepat menundukkan kepala lagi. Sedang Ladrang Kuning dan Hajar Sapta Bumi begitu melihat yang memanggil hanya bocah perempuan, hanya mendengus.
Tetapi pada saat dua tokoh itu lengah. tangan sarini bergerak dan bandringan melayang di sisi punggung Gondang jagad dan Lintang Trenggono, hingga ujung bandringan itu menyelonong di bawah meja. Ketika tangan Sarini menarik. bluk... bola bandring an menghantam bawah meja.
Prang... prung... oleh hantaman bola bandringan dari bawah meja, semua cangkir. mangkok, piring, bakul nasi dan tempat sayur sudah berhamburan dan kuah panas tumpah ke sana ke mari.
Huuuuh... huuuuh... buru-buru Hajar Sapta Bumi meniup dengan mulutnya untuk menghalau kuah gulai panas yang menyemprot ke mukanya. Namun tidak urung, rambut dan kepalanya terpercik oleh" kuah gulai panas.
Ladrang Kuning lebih tangkas. Ia melesat ke samping dengan gesit, sambil menarik Mariam, sehingga yang basah hanya pakaiannya saja.
Yang paling runyam Swara Manis, Gindang Jagad, Lintang Trenggono dan Sambang Buwono. Muka dan rambut empat orang ini berlepotan dengan gulai, air teh, nasi dan beberapa macam hidangan yang lain.
Tiba-tiba tiupan mulut Hajar Sapta Bumi itu melanda. Dalam keadaan marah, kakek ini meniup dilambari tenaga sakti tingkat tinggi. Karena itu hamburan ludahnya berbahaya seperti senjata tajam. Dan celakanya Lintang Trenggono, Gondang Jagad dan Sambang Buwono berhadapan dengan Hajar Sapta Bumi. Akibat nya merekalah yang menjadi korban. Sudah berlepotan segala macam hidangan, masih terserang oleh ludah kakek itu, sehingga muka mereka panas.
Aduh-aduh... dan tiga tokoh Kendeng itu roboh bergulingan di lantai, sambil mengaduh kesakitan. Masih untung Swara Manis tangkas. Mendengar suara tiupan mulut, ia cepat meloncat menghindar ke samping, dan selamat.
Sarini mempunyai keberanian, kelincahan dan kecerdasan otak. Apa yang telah terjadi pada meja tuan rumah itu dilakukan cepat sekali sehingga tidak diketahui orang. Cepat melempar bandringan, cepat pula menarik kembali. Dan seperti tidak terjadi sesuatu, gadis ini sudah duduk dengan tenang.
Melihat hasil dari pengacauan Sarini, perut si Bongkok seperti dikilik-kilik. Demikian pula Jim Cing Cing Goling maupun yang lain tak kuasa menahan ketawanya. Malah Ali ngumar yang biasanya tidak suka bergurau itu kali ini tak kuasa menahan rasa gelinya. Ali Ngumar melirik kepada muridnya. Sarini dapat menangkap maksud gurunya. Iapun kemudian ketawa cekikikan agar rombongan tuan rumah tidak menduga kalau yang sudah berbuat tadi dirinya.
Hajar Sapta Bumi dan Ladrang Kuning merupakan tokoh sakti. Dengan cepat mereka dapat menguasai rasa kagetnya. Begitu mendengar gelak ketawa para tamu. mereka segera menduga peristiwa yang baru terjadi, sebagai akibat perbuatan tangan jahil dari mereka. Diam diam mereka menjadi malu, karena sama sekali tidak tahu siapa yang sudah mengacau. Karena malu, maka mereka menahan marah.
Kemudian Hajar Sapta Bumi memerintahkan Swara Manis agar menggotong tiga tokoh Kendeng itu ke dalam. Mereka memang cukup menderita. Tiupan dari mulut kakek itu membuat muka tiga tokoh Kendeng menderita luka melonyoh di samping terluka oleh tulang-tulang ayam yang ikut tertiup. Dengan terjadinya peristiwa Ini jelas, mereka harus dirawat sampai sembuh dan membutuhkan waktu beberapa hari.
Sesudah itu Hajar Sapta Bumi memerintahkan menyiapkan hidangan baru. Tempat duduk tiga tokoh Kendeng yang kosong, sekarang diisi oleh Catur Sardula.
Sesudah keadaan kembali tenang, Jim Cing Cing Goling berseru keras,
"Denok Sarini! Memang hanya cara itu sajalah yang patut untuk memperlakukan orang tak tahu sopan. Sekarang lekas cuci tangan, dan nanti aku akan memberi selamat kepadamu dengan secangkir kopi."
Jelas bahwa dengan teriakannya itu, Jim Cing Cing Goling bermakSud untuk memberitahukan kepada tuan rumah dan rombongannya, bahwa sudah melakukan perbuatan menggegerakan tadi bukanlah rombongan Ali Ngumar tetapi hanya bocah ingusan yang tak ternama. Dan itu merupakan perlambang halus kepada tuan rumah bahwa bocah itu harus dapat dimaafkan, kalau tuan rumah memang tahu akan kedudukannya sebagai angkatan tua.
Hajar Sapta Bumi ketawa bekakakan, lalu sambil mengangkat sebuah cangkir, ia berseru,
"Kisanak Ali Ngumar, aku sudah lama sekali mendengar tentang suami-isteri dari Gunung Muria, terkenal sebagai sepasang pusaka yang tiada tandingan di jagad ini. Sebagai tuan rumah, ijinkanlah aku memberi selamat kepadamu dengan secangkir kopi."
Hayar Sapta Bumi meletakkan cangkir kopi di telapak tangan, lalu seperti menggenggam. Akan tetapi ketika tangan terbuka, wut... tahu-tahu cangkir yang keCll itu sudah melayang ke udara dan bergerak perlahan ke arah Ali Ngumar.
Apa yang dilakukan oleh tuan rumah bukan lain bermaksud, untuk membalas dendam agar Ali Ngumar malu. Karena gerakan cangkir berisi kopi tersebut, didorong oleh tenaga sakti yang hebat keliwat-liwat.
Ali Ngumar menyadari pula akan hal ini. Apabila dirinya menyambut cangkir itu, lengannya bisa patah. karena itu untuk sesaat ia tertegun, ragu untuk menyambut atau tidak. Kalau menyambut jelas kemungkinan lengannya patah oleh dorongan tenaga sakti.'Namun sebaliknya kalau tidak menyambut. tuan rumah tentu
berhasil mengalahkan Ali Ngumar, atau setidaknya menyebabkan malu. Lebih lagi, tempat duduk Ali Ngumar tepat berhadapan dengan kursi tuan rumah.
Sekalipun perlahan, tetapi hanya beberapa kejap cangkir itu sudah datang di depan Ali Ngumar. Melihat itu Ali Ngumar sudah memutuskan untuk menyambut. dan lebih berharga mati daripada harus menderita malu. Akan tetapi di saat akan mengerahkan seluruh sisa tenaganya yang Sudah terperas oleh Ndara Menggung, tiba-tiba terdengar Jim Cing Cing Guling ketawa nyaring dan berkata,
"Akupun akan membalas kebaikan tuan rumah dengan mempersembahkan secangkir kopi."
Selesai berkata, dari tangannya menyentik cangkir kopi. Hebatnya cangkir itu justru membentur cangkir yang dikirim Hajar Sapta Bumi. Akibatnya dua buah cangkir itu berhenti sebentar. Kemudian cangkir Cing Cing Goling melayang ke samping, dan cangkir tuan rumah menuju Ali Ngumar.
Namun karena sudah terbentur oleh cangkir yang dijentik Cing Cing Goling, daya kekuatan cangkir itu tinggal separo.
Ali Ngumar segera menyambut cangkir tersebut. Tetapi begitu jari tangan menyentuh, ia merasakan lengannya kesemutan dan nyeri. Dalam usaha menutup keadaan, ia segera menghirup habis kopi tersebut, kemudian cangkir diletakkan di meja.
Cangkir yang dikirim Jim Cing Cing Goling telah melayang datang ke arah Sapta Bumi. Kakek itu mengulurkan tangan untuk menyambut. Tetapi di saat cangkir itu hampir tersentuh jari tangan, tiba-tiba sudah pecah.
Jim Cing Cing Goling memang cerdik, dalam usaha mengirimkan cangkir. Waktu saling berbenturan, cangkir itu tidak pecah. Tetapi setelah melayang kepada tuan rumah. tiba-tiba pecah. Sudah tentu hal ini
membuat kagum semua orang, karena diam-diam sudah terjadi pertandingan ilmu yang tinggi.
Apa yang dilakukan oleh Jim Cing Cing Goling secara cerdik ini .dapat memperolok tuan rumah. Karena sesungguhnya tenaga sakti Jim Cmg Goling ini sejajar dengan Hajar Sapta Bumi, Ladrang Kunlng maupun Kigede Jamus. Hanya karena beberapa hari yang lalu menolong nyawa Ndara Menggung, ia sudah banyak kehilangan tenaga murni.
" Sebenarnya saja dalam meyakinkan ilmu maupun umur. Hajar Sapta Bumi lebih tua dibanding Jim Cing Cing Goling. Sebab jauh sebelum Sultan Agung menduduki tahta Kerajaan Mataram, kakek ini sudah mempunyai nama harum. Pada jaman Panembahan Senopati, ia pernah mendapat kehormatan diundang ke Mataram. Di kota Plered, Hajar Sapta Bumi telah membuat sekalian orang kagum dan hormat. ketika dilakukan pertandingan ilmu kesaktian di atas panggung pertandingan yang diselenggarakan Panembahan Senopati. Maksud pertandingan waktu itu, dalam usahanya untuk mengumpulkan tokoh-tokoh sakti agar bersedia membantu Mataram. Untuk memperkuat usaha Panembahan Senopati, dalam usaha menaklukan para Bupati dan Adipati yang tidak tunduk kepada Mataram.
Kalau saja waktu itu Hajar Sapta Bumi mau, Panembahan Senopati malah menawarkan kedudukan "senapati" perang". Akan tetapi Hajar Sapta Bumi tak sedia, dan lebih suka menetap di gunung Slamet.
Sebagai tokoh yang mempunyai riwayat besar, sudah tentu Hajar Sapta Bumi tak mau mengalah diperolok orang. Secepat kilat ia menyambar cangkir yang sudah mau pecah tersebut, lalu disedot ke mulut. Sesaat kemudian mulutnya menyembur, pecahan cangkir itu berhamburan menancap pada tiang pendapa.
"Hebat! Bagus sekali!" puji Cing Cing Goling secara tulus, sekalipun tadi ia berolok, Tetapi pujian itu kemudian ditambah dengan kata-kata.


Dendam Kesumat Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hanya sayang, kurang keras dalam mendidik murid, sehingga seorang cucu murid telah berani menodai nama baik padepokan Gunung Slamet." '
Sungguh tajam mulut orang ini, di samping memuji juga mencela.
Prayoga dan Sarini masih merasa dirinya rendah dalam ilmu, melongo kagum melihat semua itu. Kalau tidak menyaksikan sendiri. ia tentu tidak percaya bahwa di jagad ini banyak terdapat ilmu kesaktian yang hampir sulit dipercaya.
Ia hanya ketawa dingin. Lalu memalingkan muka kepada Cing Cing Goling. jawabnya,
"Ha-ha-ha, kisanak telah memberi serangkir kopi kepadaku, dan aku mengucapkan terimakasih. Sekarang akupun membalas kehormatan itu. lewat cucu muridku."
Hapar Sapta Bumi memberi isyarat dengan sudut mata kepada Swara Manis. Pemuda inipun cepat menangkap maksud kakek gurunya. Namun demikian, diam diam timbul rasa heran, mengapa dirinya yang diperintahkan untuk mewakili?Cangkir berisi kopi segera dijentik ke arah Jim Cing Cing Goling. Menyusul Hajar Sapta Bumi batuk-batuk. Serangkum angin meniup dan terhentilah cangkir itu di udara. Sekarang Swara Manis baru menyadari bahwa kakek gurunya secara diam-diam membantu dirinya, untuk mempermalukan Jim Cing Cing Goling.
Kalau cangkir itu diarahkan kepada Ali Ngumar yang jujur, tentu maksud Hajar Sapta Bumi akan berhasil. Akan tetapi karena yang dituju Jim Cing Cing Goling yang cerdik, belum tentu bisa berhasil". Baru mendengar namanya saja, sudah Jim Cing Cing Goling. Nama itu diberikan orang, karena dia memang licin seperti belut. Karena itu ia segera tahu. bahwa sikap Hajar
Sapta Bumi ada udang di balik batu. Hanya sejenak Ia merenung, dan ketika mendengar Sapta Bumi batuk-batuk, ia sudah tahu maksud kakek berambut merah itu.
"Kalau yang memberi hidangan murid angkat ketiga dari padepokan Gunung Slamet, angkatan kedua dari Gunung Muria yang layak menyebutnya." sambil berseru, menggunakan matanya ia memberi isyarat kepada Sarini dengan kedipan mata. Setelah berkata ia menampar, dan cangkir itu segera menyeleweng ke samping lalu melayang ke arah Sarini. .
Sebagai seorang dara yang cerdik, Sarini dapat menangkap maksud Jim Cing Cing Goling. Begitu cawan melayang kepadanya, ia segera menekan sandaran kursi lalu suit... tubuhnya melayang ke atas, menyongsong cangkir yang melayang datang.
Sarini mempunyai dasar latihan yang Cukup baik dari Ali Ngumar. Kemudian mendapat gemblengan lagi dari Kigede Jamus. Ditambah lagi ia sudah beruntung, minum air dan batu mustika yang menyebabkan tubuhnya tambah ringan dan tenaga saktinyapun bertambah. Begitu bergerak. ia seperti tumbuh sayap dan dengan amat ringan melayang ke udara.
Melihat cangkir itu melayang kencang, ia menunggu dulu sampai cangkir itu meluncur ke bawah. Sambil menunggu. tiba tiba terlintas keinginannya untuk mengetahui sampai di mana khasiat air mustika dalam batu yang telah diminum. Pada saat itu juga ia menginjakkan kaki kanan ke atas telapak kiri. Kemudian dengan meminjam tenaga pijakan itu, Ia mengeliat ke atas. Heran! Mendadak saja tubuhnya meluncur ke atas lebih sedepa. Cepat ia menekuk tubuh ke depan menyongsong datangnya cangkir. Seperti burung elang mematuk ayam. mulutnya segera menghirup kopi itu. Kemudian sambil mengulurkan tangan ia menyambut cangkir terus turun ke tempat duduknya.
Gerakan gadis itu tidak menimbulkan suara sedikipun. ia melayang naik turun seperti seekor burung, indah dan sedap dipandang. Walaupun Ladrang Kuning seorang sakti, di luar kesadarannya ia berseru memuji kepandaian dara itu. Sebaliknya Mariam tersipu-sipu dan berbiSik ke telinga ibunya. Melihat itu Swara Manis cepat menduga, tentu kekasihnya iri kepada Sarini. Hiburnya kemudian,
"Diajeng Mariam. itu hanya permainan anak-kanak, dan tak perlu dikagumi. Beberapa bulan lagi kita berduapun akan lebih tinggi dari dia, sesudah nendapat bimbingan ibu dan kakek guru."
Mendengar kata-kata Swara Manis itu, Mariam menjadi puas. Baginya apabila sudah selalu dapat bersanding dengan Swara Manis, dirinya sudah sangat puas. Itulah sebabnya Mariam membuta tuli bagai orang linglung. Sudah jelas dirinya ditukarkan dengan pedang dan diberikan kepada Surogendilo. Dirinya dapat membebaskan diri atas pertolongan Jim Cing Cing Goling dan rombongannya. Namun setelah dipengaruhi Swara Manis, dia malah berbalik menuduh Jim Cing Cing Goling dan teman-temannya sudah berbuat jahat.
Mendadak ada seorang cantrik memberi laporan,
"Ki Marga Dibya dari Lodaya. Ki Lembu Jaler dari Panaraga, Ki Sawer Lanang dari Babad dan Ki Jimbun Seto dengan tiga saudaranya dari Wonogiri, telah tiba di padepokan."
Mendengar ini buru-buru Ali Ngumar bangkit untuk menyambut kehadiran para sahabatnya itu. Memang mereka sangat diharapkan kehadirannya. Dan tokoh-tokoh itu segera diajak duduk pada meja baru, dan tak lama kemudian hidangan sudah disediakan.
Hari mulai malam. Akan tetapi karena Hajar Sapta Bumi masih tetap duduk di tempatnya, Ali Ngumar cepat menduga tentu malam ini tidak seorangpun diberi kesempatan tidur.
Dugaan Ali Ngumar itu memang benar. Perjamuan diselenggarakan tanpa mengenal waktu dan berlangsung
terus-menerus. Akhirnya dua hari dua malam telah lalu, namun perjamuan masih tetap berlangsung terus dan tidak seorangpun meninggalkan tempat.
Akhirnya Mariam dan Catur Sardula padepokan Gunung Slamet tak tahan lagi. Sekarang tinggal mereka yang ilmunya sudah tinggi saja, masih sanggup terus bertahan.
Pada hari ke tiga, sahabat-sahabat Ali Ngumar berdatangan lagi sehingga ruangan yang semula luas itu, kini hampir penuh dengan meja.
Kemudian pada hari ke empat tiba tiba Hajar Sapta Bumi berdiri. Setelah mengamati sekeliling, ia berkata ditujukan kepada Ali Ngumar,
"Kisanak Ali Ngumar. Apakah semua sahabat yang kau undang sudah datang semua?"
"Ya, semua sudah hadir," sahut Ali Ngumar.
"Adakah pesan dari kisanak?"
Hajar Sapta Bumi mendengus. Ratusan pasang mata para tamu terpusat kepada tuan rumah. Setelah batuk-batuk sebentar, Hajar Sapta Bumi berseru,
"Pertandingan pada hari ini, sebenarnya akan berlangsung antara murid anggota ke tiga padepokan melawan Darmo Saroyo dan murid Kisanak Ali Ngumar. Hemm, tantangan secara ksyatria sudah jamaknya terjadi dalam pergaulan. Tetapi anehnya, mengapa kisanak Ali Ngumar begitu getol mengundang sekalian puluh tokoh sakti untuk hadir ke mari? Apakah kisanak Ali ngumar mempunyai tujuan lain untuk menghancurkan padepokan kami?"
Ali Ngumar yang Sudah makan asam garam, tahu akan maksud ucapan itu. Jelas tuan rumah ingin mempengaruhi semua tokoh yang hadir, bahwa dirinya mengandung maksud buruk untuk merebut padepokan Gunung Slamet.
"Kisanak hajar Sapta BUmi," jawabnya mantap.
"Aku berharap agar engkau tidak salah faham. Tidak pernah terlintas dalam benak kami, mempunyai maksud dan tujuan seperti itu. Ketahuilah bahwa kedatangan kami, tidak lain untuk menyelesaikan dendam kesumat para pejuang 'terhadap murid kisanak yang bernama Swara Manis itu. Yang kedua, sesudah urusan ini selesai, kami hendak membangun kesatuan dan persatuan guna membela hak dari ancaman Raja Mataram yang serakah. Hem, tetapi persoalan itu tidak ada hubungan apapun dengan padepokan kisanak."
Ia berhenti mengambil napas. Setelah melihat semua orang memperhatikan, ia meneruskan.
"Sekarang, marilah kita kembali menyelesaikan persoalan pokok ialah tentang diri Swara Manis. Biarlah semua tokoh yang hadir di sini dapat mendengar tentang perbuatan murid kisanak itu: Dengan tipu muslihat yang rendah dan keji, dia sudah melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan kami... ."
Sebenarnya ucapan ini ditujukan kepada Swara Manis. Akan tetapi menurut perasaan dan pendengaran Hajar.'Sapta Bumi, tiap patah kata seperti duri tajam yang menusuk ulu hatinya. Seketika wajahnya berobah, kemudian berseru nyaring,
"Huh, sungguh gagah perwira kisanak rela menjual nyawa kepada Pati. Apakah keuntungan kisanak berbuat begitu?" '
Ali Ngumar menengadah kemudian ketawa nyaring. katanya tandas,
"Menentang kerajaan Mataram yang serakah, merupakan suara hati setiap orang yang menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran. Selama Mataram sewenang-wenang menindas kepada pihak yang tak mau tunduk, selama itu pula kami akan tetap berjuang sampai titik darah penghabisan. Akan tetapi sebaliknya kalau Mataram bertindak adil dan bijaksana, tidak mengandalkan kekuasaan dan kekuatannya, kami bersedia membantu demi perdamaian dan ketenteraman rakyat seluruh Nusantara!"
Kata-kata Ali Ngumar yang tandas. tegas dan lantang itu mendapat sambutan tepuk tangan seluruh kawannya.
Namun Hajar Sapta Bumi menyambut ucapan Ali Ngumar itu dengan ketawa dingin. Lalu jawabnya,
"Kata kata itu tiada gunanya diuraikan di tempat ini. Sekarang marilah kita selesaikan persoalan pokok. Dan bagaimanakah persoalan itu akan kita selesaikan ?"
Ali Ngumar merenung beberapa saat. Ia menyadari bahwa tanpa kekerasan, persoalan itu takkan segera selesai. Sebaliknya apabila menggunakan kekerasan. sekalipun jumlah rombongannya cukup banyak, hanya sedikit saja yang berguna dalam menghadapi musuh sakti.
Kekuatan tuan rumah bertambah kuat lagi karena mendapat tambahan tenaga Gendruwo Semanu. Bahkan bukan hanya itu. Menurut Sarini, tiga hari lalu, dipadepokan ini sudah berkumpul pasukan Mataram pilihan, dan mereka menyamar sebagai cantrik.
Ratusan pasang mata. tertuju kepada Ali Ngumar yang belum mengambil keputusan.Namun bagaimanapun juga ia merasa bertanggung jawab dan menyadari pula, bahwa sekali salah langkah akan hancurlah para pejuang yang terhimpun di tempat ini. Hancurnya Pati dan gugurnya Adipati Pragola, merupakan pukulan hebat bagi nya. Ia tidak ingin peristiwa itu terulang lagi dalam perjuangan melawan Mataram.
Beberapa-saat kemudian sesudah menimbang secara seksama, ia berkata,
"Dalam pertempuran empat hari lalu antara muridku dengan Swara Manis belum selesai. Kiranya dua pemuda itu baik diberi kesempatan untuk menyelesaikan pertandingannya."
Mendengar kata kata gurunya itu, Prayoga segera bangkit. Akan tetapi tiba tiba Hajar Sapta Bumi berseru mencegah,
"Tunggu dulu!" _
Ketika semua hadirin heran, tuan rumah itu melaniutkan dengan garang,
"Bagaimanakah kalau menang
dan bagaimana pula kalau kalah?"
Jim Cing Cing Goling tidak. sabar lagi. Serunya,
"Kalau Swara Manis kalah, engkau jangan berharap kalau bocah itu masih bernyawa lagi. Sebab semua orang membenci setengah mati pemuda jahanam itu."
"Kalau dia yang menang?" balas Sapta Bumi .dengan angkuh.
"Terserah kepadamu!"
"Baiklah! Swara Manis! Keluarlah ke gelanggang!"
Swara Manis segera bangkit. Ketika itu ia mengenakan pakaian indah, terbuat dari bahan sutera. sehingga makin tampan dan ganteng. Wajahnya berseri, akan tetapi sikapnya angkuh.
"Kakang swara Manis," pesan Mariam mesra.
"Engkau harus hati hati."
Sarini segera berteriak nyaring, ditujukan kepada Prayoga,
"Kakang, engkau jangan memberi kesempatan dapat bernapas lagi."
Prayoga sendiri menyadari bahwa saat sekarang ini ia memikul beban amat berat. Keselamatan puluhan orang di tempat ini, semua dalam tangannya. Mengingat itu dirinya harus hati-hati melawan Swara Manis yang licik, dan berjanji tidak mau ditipu.
Dua pemuda yang menjadi satru bebuyutan itu sudah berhadapan di tengah gelanggang. Masing masing sudah menghunus pedang pusaka, Kyai Baruna dan Nyai Baruni.
"Bersiaplah!" teriak Prayoga memperingatkan.
Prayoga memang pemuda tak pandai bicara. Apa pula saat sekarang ini mengemban tugas berat. Setelah memperingatkan, ia meloncat maju dan menikam. Tring, Swara Manis menangkis dengan pedang. Agaknya ia memang meremehkan lawan. karena sikapnya sombong dan angkuh. Akan tetapi Prayega tak ambil pusing, ia harus dapat mengatasi Swara Manis hari ini.
Cepat sekali Prayoga menarik pedangnya, lalu diputar menjadi segumpal Sinar, tahu-tahu ujungnya sudah menikam tenggorokan Swara Manis.
Swara Manis bersiul nyaring. Ia berputar menghindari. tidak tahu bahwa apa yang dimainkan Prayoga itu ilmu pedang Kala Prahara. Maka itu ia sengaja jual aksi di depan puluhan pasang mata.
Tak mengherankan kalau Swara Manis congkak dan bersikap seperti ini. Karena sudah beberapa kali Swara Manis berhadapan dengan Prayoga, sehingga dirinya sudah cukup paham gerak dan perobahan pedang lawan. Ia memperhitungkan bahwa jurus pertama yang disebut Prahara Bayu itu biasa saja dan tidak mempunyai keistimewaan. Dengan berani, ia sengaja menempatkan diri dalam jarak yang dekat sekali dengan pedang lawan. Maksudnya, ia hendak mempamerkan kelincahan dan kegesitannya bergerak.
Tetapi ketika Prayoga membalikkan tangan, Swara Manis menjadi terkejut bukan main. Matanya tiba-tiba Silau oleh gemerlap ribuan bintang berhamburan memenuhi tiap penjuru. Sekarang ia baru gelagapan dan cepat meloncat keluar dari taburan sinar pedang itu.
Sayang ia terlambat, dan terpaksa ia menangkis dengan pedang. Akan tetapi tiba-tiba Prayoga merobah gerakannya. Pedang Kyai Baruna menyambar laksana tatit, tahu-tahu muncul dari belakang punggung. Cret... Karena tidak menduga sama sekali. bahu Swara Manis tertikam. Darah merah menyembur. sakitnya bukan main.
Baru dalam tiga gebrak,. Swara Manis sudah terluka.
Para penonton kagum dan bersorak gembira. Ali Ngumar sendiri terpukau. Ia tidak pernah mimpi bahwa dalam waktu singkat muridnya telah berhasil melukai lawan. '
Sesungguhnya Prayoga sendiri juga gembira sekali memperoleh hasil itu. Namun ia tetap tenang dan tak menunjukkan sikap sombong. Begitu maju ia sudah mengirimkan lagi serangan menggunakan jurus ke tiga disebut Nawa Prahara, atau hujan badai.
Tetapi sekarang Swara Manis sudah berhati hati. Ia tak berani lagi meremehkan lawan. Belum juga lawan datang, ia sudah merendahkan tubuh dan memutar pedang Nyai Baruni. Sebuah lingkaran warna hijau segera menyongsong serangan Prayoga.
Tring tring-tring !! belasan kali terjadi benturan sepasang senjata pusaka itu.
Pcrekelahian berlangsung seru sekali sehingga dalam waktu Singkat puluhan jurus sudah dilewati. Sepintas pandang timbullah kesan dua orang pemuda itu berkelahi mati-matian. Akan tetapi dalam pandangan tokoh-tokoh sakti seperti Jim Cing Cing Goling, Resi Sempati dan lain-lain, diam-diam timbul rasa heran dan curiga. Demikian pula Ali Ngumar, ia memperoleh kesan bahwa di balik perkelahian seru itu terselubung sesuatu tidak wajar.
Ternyata pandangan tokoh-tokoh ini tidak salah. Kira-kira tujuh jurus kemudian, barulah dua orang muda itu mundur dan berpencaran. Wajah Prayoga tampak keheranan. Sebaliknya Swara Manis ketawa menyeringai bagai iblis.
Beberapa saat kemudian. Prayoga memutar pedangnya dan menikam. Tetapi anehnya dalam membela diri, Swara Manis seperti orang sinting. ia menggerakkan pedangnya tanpa mengingat lagi akan permainan ilmu pedang. Ia mengangkat pedang, kemudian menebas ke bawah. Prayoga yang tak menduga sama sekali, tak keburu merobah gerakannya. Tring... dua batang pedang saling berbenturan lagi.
Prayoga menurunkan pedang ke bawah membabat paha, tetapi Swara Manis cepat melintangkan pedang lalu mengungkit ke atas. Tring, kembali dua pedang berbenturan. Rupanya Swara Manis sengaja membenturkan pedangnya itu.
Hal itulah yang membuat semua orang heran. Apa seSungguhnya maksud Swara Manis? Apabila hal itu di maksud untuk menghabiskan tenaga lawan, tentu Swara Manis kecelik. Tenaga dalam dan tenaga sakti Prayoga sudah maju pesat setingkat lebih tinggi dibanding Swara Manis. Akan tetapi kalau tidak bermaksud membuat lawan lelah, apa yang tersembunyi?
Pada saat semua orang masih keheranan dan berusaha memperoleh jawaban, lagi lagi di gelanggang terjadi beberapa kali benturan pedang.
Akhirnya betapa jujur dan sederhana cara berpikir Prayoga, menjadi curiga juga. Ia menduga Swara Manis mempunyai tujuan tertentu,
Hajar Sapta Bumi yang menyaksikan perkelahian itu tersenyum puas. Sedang pihak Ali Ngumar mengerutkan alis berpikir.
Beberapa jurus lagi telah lewat, Prayoga menjadi sadar benar benar maksud lawan yang tampaknya kalap itu. Ia percaya kekuatannya menang dari lawan. Mengapa dirinya harus menurutkan siasat lawan? Mengadu senjata memang baik, tetapi bilamana perlu untuk melindungi keselamatan diri. Kalau sengaja membenturkan pedang untuk mengadu senjata, tentu saja akibatnya merugikan diri sendiri.
Prayoga dalam tenaga sakti dan tenaga dalam menang setingkat. Jika ia mengimbangi siasat lawan menghantamkan senjata kepada senjata lawan, tentu runtuh juga pedang Swara Manis.
Berpikir demikian ia mengambil keputusan, untuk mengadu tenaga keras. Ia tak mau menghindar lagi. sebaliknya malah menghantam pedang lawan. Akibatnya dering benturan senjata makin nyaring. Letikan api berpijaran ke sekeliling.
Prayoga menggerakkan pedangnya dengan jurus Guntur Prahara. Tetapi diserang secepat ini, lagi-lagi Swara Manis melintangkan pedangnya.
"Bagus!" seru Prayoga sambil mengerahkan tenaga ke lengan kanan, dan menggerakkan pedang sekuatnya.
Akan tetapi di luar dugaan. Begitu pedang saling melekat, secepat kilat Swara Manis menarik pedangnya ke bawah sehingga Prayoga terhuyung maju. Kendati begitu tidak gugup, ia masih dapat menindih pedang lawan.
Swara Manis yang cerdik tak menyia-nyiakan kesempatan baik ini. Ia tahu bahwa tenaga lawan sudah terbuang percuma dan sekarang baru berusaha menghimpun kembali. Sebelum lawan sempat mengerahkan tenaga, ia mendahului menangkiskan pedangnya ke atas dengan sekuat tenaga. Berbareng dengan itu, ia menggunakan dua jari kiri untuk menusuk ulu hati.
Prayoga kaget bukan main. Ia ingin menghindar tetapi tak keburu lagi. Untung ia tidak gugup. Pada saat kedua pedang melekat, ia mengerahkan tenaga menindih pedang lawan. Akibatnya Swara Manis merasakan lengannya kesemutan. Karena lengan kanan kesemutan, tangan kiri yang akan menyerang menjadi batal.
Akan tetapi Swara Manis memang seorang licin bagai belut. Secepat kilat .ia mengembangkan lima jari tangan lalu mencengkeram siku tangan kanan Prayoga. Cengkeraman itu luar biasa. Telunjuk, jari tengah dan jari manis sudah menguasai urat pada Siku lawan.
Saat itu Prayoga justru sedang mengerahkan tenaga untuk menindih pedang lawan. Sedikitpun tidak menduga, Swara Manis menggunakan siasat seperti itu. Untuk menolong diri, terpaksa ia mengangkat tangan kiri menabas. Tetapi sebat sekali Swara Manis menarik lengan kiri ke belakang, sehingga tebasan Prayoga mengenai tempat kosong
Karena menggunakan dua tangan sekaligus, perhatian Prayoga terpecah. Kesempatan itu tak disia siakan Swara Manis. Cepat ia mengerahkan seluruh tenaga sakti ke arah pedang dan berbareng itu sudah menendang.
Prayoga menghindar ke samping sambil membalas memukul dada lawan. Tetapi saat itu Swara Manis sudah memperhebat gerakan pedangnya, sehingga Prayoga merasakan tangan kanannya yang menindih tadi menjadi kesemutan. Pada saat ia mengerahkan tekanan pada pedang lawan, tangan kiri Swara Manis sudah menangkis tangan Prayoga yang hendak memukul dada. Tidak berhenti sampai di situ,. Swara Manis melanjutkan gerakan untuk memukul siku lengan.
Prayoga menggerakkan sikunya untuk menghindar, tetapi Swara Manis nekat. Ia tak menghiraukan lagi apakah nanti tubuhnya dipukul lawan. Dengan nekat ia meneruskan pukulan dan berhasil memukul siku Prayoga. Saat itu juga lengan kanan Prayoga kesemutan. Kemudian sekali gentak Swara Manis berhasil mengungkit pedang Prayoga hingga terlempar ke udara.
Prayoga kaget sekali. Cepat-cepat miringkan tubuh lalu lima lari tangannya menyerang untuk mencengkeram dada, sedang tangan kiri menghantam pundak.
Aduh... Swara Manis mengerang kesakitan, dan tahu tahu pedangnya sudah terpental jatuh. Prayoga bergerak geSit, sekali tendang lawan terbang keluar gelanggang.
Tepat pada saat pedang Swara Manis melayang ke udara, sesosok bayangan melesat dan menyambar pedang itu. Ternyata yang berbuat Ladrang Kuning. Melihat pedangnya yang sudah lama hilang itu, ia tampak berseri.
Sebaliknya pedang pusaka Kyai Baruna, dengan sebat sudah disambut oleh Resi Sempati.
Sekarang dua orang muda itu tak bersenjata lagi. Dan agaknya pundak Swara Manis. yang dipukul Prayoga sakit sekali dan sulit digerakkan. Dengan demikian, kalau dinilai secara jujur, Prayoga yang menang. Akan tetapi celakanya Swara Manis tak perduli. Karena menyadari juga perkelahian hari ini, besar sekali artinya bagi diri sendiri.
Tiba-tiba mariam berdiri dan mengambil pedang dari tangan ibunya. Teriaknya,
"Kakang Swara Manis. maukah engkau menerima pedang pusaka ini lagi?"
Sarini tak mau kalah, lalu berteriak,
"Kakang Prayoga, ambil kembali pedang Kyai Baruna. Lukislah luka memanjang pada muka manusia jahanam itu!"
Prayoga belum sempat menyahut. Swara Manis sudah mengawab garang,
"Diajeng Mariam, sudahlah. Aku tak perlu lagi pedang itu. Pedang yang sudah lepas dari tangan, memalukan sekali kalau digunakan."
Mendadak Jim Cing Cing Goling mendesis,
"Celaka" Sarini terkejut dan minta keterangan.
"Jelas bangsat itu mendesak dengan ucapan. agar dua pihak tidak menggunakan pedang lagi. Entah ilmu apa yang masih disimpan bangsat itu, hingga tampak memastikan kemenangannya?"
Tiba tiba jantung Sarini berdetak keras. Wajahnya mendadak pucat dan dada sesak seperti ditindih sesuatu. Jim Cing Cing Goling berbalik heran. Gadis ini sudah ia kenal tabah, berani dan cerdik. Mengapa tiba tiba seperti ketakutan?
Jim Cing Cing Goling mengalihkan pandang matanya ke gelanggang. Dan melihat dua orang muda itu masih bertatap pandang. Nampaknya sedang mencari kesempatan untuk menyerang.
Akan tetapi sebenarnya saat ini Swara Manis sedang menghimpun tenaga sakti ke lengan kanan untuk memulihkan tenaganya. sesudah dipukul Prayoga. Sebaliknya Prayoga juga tidak hentinya menggerakkan siku kanan. _
Kesempatan ini digunakan Cing Cing Goling untuk bertanya,
"Sarini! Apakah sebabnya engkau ketakutan?"
"Aku... aku telah membuat kakang celaka... ."
"Mengapa? Katakan lekas! Masih ada waktu untuk mencari daya."
"Ular... ular Gadung Dahana... ."
Ali Ngumar dan tokoh lainnya terkejut. Ketika mereka memandang ke gelanggang, ternyata Swara Manis sedang mengenakan sarung tangan warna hitam.
''Prayoga! Lekas lepas bajumu!" teriak Jim Cing Cing Goling gugup.
Prayoga heran dan gugup mendengar suara Jim Cing Cing Goling, tetapi dilakukan juga. Tepat pada saat Prayoga menanggalkan baju itu, Swara Manis telah mencabut tabung bambu dari belakang punggung. Sekali sentil, sumbat tabung lepas dan menjulurkan kepala ular Gadung Dahana yang sakti itu.
Swara manis mencengkeram kepala ular dengan jari tangan, sehingga ular itu mengangkat kepala seperti akan menyerang Swara Manis. Tetapi dengan sebat, Swara Manis mengibaskan tangan sambil maju ke depan.
Kibasan itu membuat ular tak dapat menggigit tetapi juga tidak kesakitan. Begitu terkibas ke depan dan melihat Prayoga. mata ular yang ganas itu dapat menghindar tepat dan cepat.
Sadarlah Prayoga mengaapa tadi Jim Cing Cing Goling memerintahkan dirinya membuka baju. Dengan baju itu. Prayoga mendapat senjata hebat. Dengan di
lambari tenaga sakti, ia dapat menghalau ular Gadung Dahana. '
Gelanggang yang semula tenang sekarang menjadi hiruk-pikuk. Orang-orang tak dapat menahan mulut, mencaci-maki Swara manis.
Swara Manis' pura-pura tuli. Serangan pertama gagal, ia maju beberapa langkah, Kemudian terhuyung ke samping, dan tiba-tiba sudah meloncat di belakang Prayoga. Dan berbareng itu ular Gadung Dahana sudah dikibaskan ke punggung lawan, dan serangan itu terjadi tidak terduga.
Karena keburu tak memutar tubuh, Prayoga menggunakan juga tata kelahi Jathayu nendang papa ajaran Hajar Sapta Bumi. Tubuhnya terhuyung ke samping kemudian secepat kilat kakinya menyapu kaki Swara Manis.
Swara Manis ketawa mengejek. Ular sakti itu ditarik ke bawah agar menyerang paha Prayoga. Apabila paha Prayoga dapat tergigit, tidak mungkin dapat ditolong lagi dan nyawa melayang.
Namun usaha Swara Manis belum berhasil. Dia geram sekali. lalu ular dikibaskan lagi ke depan. Rupanya ular itu menjadi buas sekali sesudah beberapa kali dilecutkan. Belum juga tangan Swara Manis mendorong ke depan, ular itu sendiri sudah merangsang Prayoga. Cepat sekali gerakan ular itu hingga Prayoga belum sempat mengebutkan bajunya. Ret... ular itu membenamkan giginya ke celana Prayoga.
Saking kagetnya, Ali Ngumar dan kawan-kawannya berdiri, sedang Sarini sudah menjerit dan tubuhnya melesat maju,
"Kakang Prayoga... ."
"Manusia iblis macam begitu mengapa masih diberi hidup?!" teriak suara parau dan sesosok tubuh gemuk sudah meloncat ke gelanggang sambil menghunus golok.
Yang terjadi sebenarnya tidak separah dugaan orang. Memang celana prayoga bisa tergigit robek. tetapi tidak menyentuh kulit dan daging. Sekalipun kaget dan mandi peluh, tetapi Prayoga maSih selamat.
Laki-laki 'gemuk yang meloncat ke gelanggang. karena muak terhadap Swara Manis, segera mengangkat golok untuk membelah tubuh Swara Manis. Tetapi tepat pada saat itu bayangan merah meluncur cepat sekali.
Prayoga dan Sarini yang mengenal bahaya, cepat berloncatan menghindar. Sebaliknya laki-laki gemuk tadi masih di tempatnya. Entah apa yang terjadi sesungguhnya, tahu-tahu laki-laki itu menjerit. tubuhnya terlempar ke pinggir gelanggang dan tak berkutik.
Peristiwa mengejutkan semua orang. Tetapi kemudian mereka tahu sebabnya, bahwa bayangan merah tadi bukan lain Hajar Sapta Bumi untuk menolong Swara Manis.
Menyusul kemudian seorang laki-laki meloncat ke tengah gelanggang. Kemudian menubruk orang gemuk tadi sambil menangis tersedu-sedu.
Sekarang Ali Ngumar baru tahu bahwa orang gemuk yang menjadi korban Hajar Sapta Bumi tadi, Klantang Mimis dari Semeru. Sedang yang menangis itu adik seperguruannya, bernama Sendang Prahara.
Melihat Sapta Bumi sudah turun ke gelanggang, rombongan Ali-Ngumar sudah berdiri dari tempat duduknya.
Hajar Sapta Bumi ketawa dingin. Serunya,
"Hanya satu lawan satu, tak diperbolehkan seorang tampil membantu. Huh, orang gemuk itu berani melanggar tata tertib pertandingan. Apalagi terus berusaha membunuh. Kalau dia sendiri yang mati, bukan lain kesalahannya sendiri."
Sesungguhnya Sendang Prahara adalah tokoh ternama. Kalau sekarang ia bersama kakak seperguruannya datang ke Gunung Slamet, bukan 'lain terdorong oleh semangat membela Wilayah timur dari penyerbuan Mataram. Karena itu ia marah sekali saudara seperguruannya telah mati. Tanpa kenal takut, ia sudah berteriak,
"Kakek bangsat! Bayarlah jiwa kakangku!"
Ia menutup kata-katanya dengan terjangan, menusuk dengan sepasang pedang pendek. Rombongan Ali Ngumar kaget, tetapi mereka tak dapat mencegah lagi.
Hajar Sapta Bumi tenang berdiri di tempatnya. Ketika sepasang pedang pendek itu menusuk dadanya, ia baru menggerakkan tangan dan sepasang pedang itu sudah pindah ke tangannya.
Kalau Sendang Prahara menyadari dan menghentikan serangannya, tentu tidak mengalami nasib serupa dengan Klantang Mimis. Tetapi ia sudah terlanjur dirangsang kemarahan. Tekatnya tak lain mengadu jiwa.
Ia menggerakkan tinjunya menghantam dada Hajar Sapta Bumi. Tetapi alangkah terkejutnya ketika tinju itu seperti menghantam kapuk dan lengannya terkulai lemas. Akan tetapi pengalaman ini tidak membuat peri. Ia tidak mundur, tetapi malah menampar muka dengan tangan yang lain.
Kali ini Hajar Sapta Bumi tak mau membiarkan orang yang kurangajar terhadap dirinya. Sekali menyambar, Sendang Prahara sudah dilemparkan. Beberapa tokoh berusaha memberi pertolongan, tetapi sudah terlambat. Lemparan Hajar Sapta Bumi'itu bukan lemparan biasa melainkan istimewa. Ketika jatuh di lantai, Sendang Prahara sudah tak bernyawa lagi.
"Siapa lagi yang berani-mati membantu dua orang muda yang sedang berkelahi sekarang ini, akan mengalami naSib seperti dua orang itu. Nah siapa saja yang tak puas dengan langkahku ini, silahkan tampil. Sekalipun sudah tua, aku masih sanggup melayani bermain main beberapa jurus."
Gema suara kakek itu Berkumandang memenuhi seluruh padepokan. Tetapi tiada seorangpun yang menyahut. Mereka agaknya insyaf, bukan tandingan Hajar Sapta Bumi.
Hanya seorang tokoh yang saat sekarang sedang menimbang nimbang, ialah Ali Ngumar. Ia mempertimbangkan, sampai sekarang tenaga saktinya belum pulih. Dan dalam keadaan seperti sekarang ini, sulit dirinya memperoleh kemenangan. Namun kemudian hatinya memutuskan, kalah dan menang itu urusan belakang. Sekarang menghadapi perbuatan sewenang-wenang dari tokoh Gunung Slamet yang angkuh dan sombong. Menghadapi kenyataan ini hatinya memberontak dan tak dapat berdiam diri.
*** "DENDAM KESUMAT"
Karya : Widi Widayat Jilid : V YANG seorang, karena bersalah melanggar peraturan memang sudah patut menerima hukuman. Akan tetapi terhadap orang ke dua, mengapa harus diperlakukan sekejam itu?" protes Ali Ngumar nyaring.
Hajar Sapta Bumi ketawa bergelak-gclak. Sahutnya kemudian,
"Bukan salahku. jika orang itu harus mati Oleh tingkahnya sendiri. Apakah sekarang kisanak tidak puas terhadap tindakanku?"
hajar Sapta Bumi mempunyai perhitungan cukup teliti. Ia tahu walaupun Ali Ngumar bukan tergolong tokoh paling sakti dalam rombongannya, akan tetapi Ali Ngumar mempunyai Wibawa besar sekali. dan semua 0rang menganggap sebagai pemimpin rombongan. Oleh karena itu kalau Ali Ngumar dapat dibunuh. semua 0rang akan menjadi berantakan dan ketakutan. Bukan hanya itu. Kalau dirinya dapat membunuh Ali Ngumar. Raja Mataram akan memuji.
Memang sejak semula Hajar Sapta Bumi bermaksud memancing Ali Ngumar agar maju ke gelanggang. Ternyata sekarang menerima tantangan itu. Maka hal ini amat menggembirakan hati Hajar Sapta Bumi.
Jim Cing Cing Goling dan si Bongkok insyaf akan pentingnya kedudukan Ali Ngumar dalam membangun barisan pejuang menentang Mataram. Mereka terkejut dan gelisah ketika mendengar Ali Ngumar menerima tantangan Hajar Sapta Bumi. Mereka yakin Ali Ngumar pantang mundur, dan ternyata benar. Karena itu mereka bergegas menghadang dengan tangan untuk mencegah. Akan tetapi sayang sekali Ali Ngumar sudah bulat tekatnya. Ia menggunakan pedang Kyai Baruna untuk membabat, dan setelah dua orang itu menghindar. ia sudah meloncat ke gelanggang.
Jim Cing Cing Goling menjadi gugup. Dalam keadaan seperti itu, ia tak mau tunduk lagi kepada segala macam peraturan. karena itu ia cepat meloncat mengikuti Ali Ngumar. Akan tetapi celakanya Ali Ngumar melintangkan pedangnya sambil membentak,
"Berhenti! Siapapun tidak boleh ikut!"
Jim Cing Cing Goling kaget setengah mati.
"Kendati peraturan saat ini bukan lagi sifatnya mengadu kepandaian dan kegagahan, tetapi peraturan dan tata tertib tetap ada,
" kata Ali Ngumar garang. Siapapun tak boleh melanggar. Dan hendaknya saudara saudara tenang dan menonton, jangan berusaha melibatkan diri."
Jim Cing Cing Goling tak dapat berbuat apa-apa lagi, kemudian terpaksa harus kembali ke tempat duduk. Tetapi bagaimanapun juga, setelah ia berbisik dengan si Bongkok, keduanya mempunyai pendapat yang Sama bahwa Ali Ngumar terlalu teguh dalam menduduki sikapnya sebagai ksyatria gagah.
Semua mata terpusat kepada Ali Ngumar dan Hajar Sapta Bumi yang berdiri berhadapan di gelanggang. Swara Manis yang dipaksa berhenti berkelahi sudah menyimpan kembali ularnya, sedang Prayoga juga sudah menyingkir.
Ali Ngumar melintangkan pedang sambil berkata penuh hormat,
"Kisanak. Hajar Sapta Bumi, mari kita mulai!"
"Silahkan saudara mulai lebih dahulu." sahut Hajar Sapta Bumi.
Suasana saat itu tegang sekali. Karena semua orang insyaf, Ali Ngumar takkan sanggup mengataSi kakek berambut merah itu. _
Prayoga seperti cacing kepanasan. gelisah, geram dan marah. ia mengamati Mariam, tetapi hatinya menjadi tambah sedih ketika melihat perhatian Mariam hanya tertuju kepada Swara Manis, dan tidak menghiraukan keadaan ayahnya sendiri.
Berbeda dengan Ladrang Kuning. Kendati mata wanita itu menyinarkan pandang mata tawar kepada suaminya, namun mau tak mau memperhatikan.
"Maaf!" seru Ali Ngumar sambil meloncat maju dan menikam.
Hajar Sapta Bumi merangkap telapak tangan di depan dada, kemudian merendahkan tubuh lalu membalas menyerang untuk menghantam dada. Ali Ngumar menarik kembali pedangnya sambil mundur selangkah. Pedang diputar dalam bentuk lingkaran, kemudian sinar bergulung menggunakan jurus Nawa Prahara, lalu menyerang.
Akan tetapi Hajar Sapta Bumi tidak bergerak dari tempatnya berdiri. Kemudian ketika tangannya bergerak menghantam ke depan, serangkum angin dahsyat membentur. Seketika Ali Ngumar merasakan tangannya kesemutan, sehingga pedangnya hampir lepas. Buru-buru ia mengerahkan tenaga dan memegang hulu pedang erat-erat. Tetapi peristiwa itu menyebabkan ujung pedang menyeleweng.
Hajar Sapta Bumi tidak tahu kalau Ali Ngumar baru saja menghamburkan tenaga saktinya untuk menolong Ndara Menggung. Maka ketika melihat tingkat kepandaian Ali Ngumar hanya seperti itu, ia ketawa bergelak-gelak sambil mengejek,
"Ha-ha-ha-ha, tak pernah aku sangka hanya seperti ini. Dugaanku semula orang yang menamakan dirinya Kilat Buwono itu, benar-benar sakti mandraguna dan dapat bergerak seperti kilat. Oh.
nyatanya hanya sebuah nama kosong melompong!"
Karena pedangnya menyeleweng ke samping, dada Ali ngumar terendam oleh pukulan lawan. Untuk menyelamatkan diri, terpaksa mundur beberapa langkah.
Hajar Sapta Bumi melanjutkan ejekannya lagi,
"Kilat Buwana! Ternyata engkau hanya bernama kosong, sedang kepandaianmu tak melebihi sebuah jariku saja!"
Ejekan itu membuat hatinya panas. Lebih lagi rombongan Ali Ngumar.
Akan tetapi sekalipun panas, tidak seorangpun berani maju membantu. Mereka takut kalau Ali Ngumar sampai marah.
Karena memperoleh angin, Hajar Sapta Bumi tak sungkan lagi. Sekali tubuhnya melesat ke depan, ia sudah menerjang lagi. Untung saat itu Ali Ngumar segera menyambut dengan tiga serangan berantai.
Hajar Sapta Bumi tidak berani sembrono. Ia berhenti sebentar untuk mengirim pukulan jarak jauh. Akan tetapi dengan sebat sekali Ali Ngumar sudah meneruskan serangannya berantai lagi.
Sebagai seorang sakti mandraguna luas pengalaman, berkelahi beberapa saat Hajar Sapta Bumi segera tahu. bahwa tenaga dalam dan tenaga sakti lawannya sekarang ini dalam keadaan lemah. Oleh karena itu ia cepat melesat maju ke samping, kemudian menghantam.
Namun Ali Ngumar sudah bersiap diri. Ketika sambaran pukulan lawan datang, dengan cepat ia menurunkan pedang terus menikam. Hajar sapta Bumi ketawa dingin. Ia membalas memukul dua kali. Pukulan itu dahsyat sekali, bisa menghancurkan batu. Maka tidak mengherankan kalau saat itu Ali Ngumar merasakan dirinya seperti dilanda oleh tenaga gempuran yang maha dahsyat. Sebagai akibatnya kuda-kuda kaki Ali Nguma' tergempur dan terpaksa melesat ke samping.
Hajar Sapta Bumi tak mau memberi hati lagi. Ia memburu maju untuk mencengkeram tangan lawan. Untuk menghindari, Ali Ngumar kembali mundur. Tetapi Hajar Sapta Bumi nekat dan tak mau menarik kembali tangannya. Kakinya malah bergerak maju dan menggerakkan tangan untuk memukul. Diburu oleh tinju lawan, Ali Ngumar terpaksa main mundur sambil memutarkan pedangnya untuk melindungi diri. Berturut-turut sudah belasan langkah mundurnya, hingga hampir separo gelanggang dilewati.
Hajar Sapta Bumi tambah sombong dan tekebur. ejeknya lagi.
"Ha-ha-ha-ha, entah dengan cara bagaimana Kilat Buwana dapat memperoleh nama harum sebagai tokoh sakti. Mungkinkah hanya dengan bualan kosong dan orang percaya?"
Sejak mulai berkelahi tadi, sebenarnya Jim Cing Cing Goling sudah mendongkol atas sikap tuan rumah yang sombong dan merendahkan Ali Ngumar.
Sebagai seorang cerdik, sambil menonton otaknya bekerja mencari akal. Ia melirik ke arah Ladrang Kuning, dan ia melihat bahwa perempuan itu menundukkan kepala tampak tidak puas.
"Semalam menjadi suami-isteri, akan terkenang selama hidup!" pikir Jim Cing Cing Goling.
Apa yang dipikirkan Jim Cing Cing Goling itu ternyata juga mempengaruhi pikiran Ladrang Kuning, sekalipun keadaannya tidak wajar. Berdirinya Ladrang Kuning di pihak tuan rumah tidak lain oleh pengaruh tipu muslihat Swara Manis, karena menyangka Ali ngumar memusuhi anak sendiri. Akan tetapi bagaimanapun juga, kasih cinta antara suarm-isteri, belum terhapus dari lubuk hati perempuan ini. _
Ketika Ali Ngumar semakin menjadi payah dan gerak pedangnya menladi semakin lambat seperti tertindih oleh tenaga yang kuat sekali, Jim Cing Cing Goling tidak sabar lagi.
"Ki Hajar Sapta Bumi," teriaknya.
"Engkau memang benar! Kilat Buwana memang hanya sebuah tong kosong' belaka!"
Tentu saja seluruh kawannya kaget mendengar teriakan itu. Sebaliknya Hajar Sapta Bumi gembira sekali karena merasa mendapat dukungan dari kawan Ali ngumar sendiri. Seketika timbul kesan dalam hati kakek ini, rombongan Ali Ngumar menjadi kecewa melihat kepandaian Ali ngumar yang sebenarnya hanya kosong melompong. Setelah tahu bahwa Ali Ngumar hanya kosong, maka mereka berbalik haluan.
Kakek itu garang, kemudian sahutnya lantang,
"Sudah tentu setiap yang aku ucapkan tidak terbantah."
Jim Cing Cing Goling gembira siasatnya berhasil. Secepatnya ia berteriak lagi,
"Tetapi yang membuat aku tak habis mengerti, mengapa Kigede Jamus pernah dikalahkan?"
Sambil mendesak Ali Ngumar, kakek berambut merah itu menjawab,
"Kalau peristiwa itu terjadi, tentunya Kigede Jamus sendiri juga hanya tong kosong."
"Tetapi kiranya tak mungkin!" teriak Cing Cing Goling.
"Mengapa tidak mungkin?"
"Aku tahu belaka, sepasang pedang Kala Prahara dan Bumi Gonjing itu. telah menggetarkan jagad puluhan tahun lamanya. -Aku tak percaya kalau dianggap tong kosong belaka. Bukankah dahulu pernah menjadi buah bibir, Kilat Buwana dan Ladrang Kuning, merupakan sepasang pedang yang tak ada tandingnya lagi? Hemm, apakah kisanak belum pernah mendengarnya?" '
Ki Hajar Sapta Bumi yang tinggi hati dan menganggap dirinya sendiri paling sakti tanpa lawan, menjadi lupa kalau pada saat ini hadir pula Ladrang Kuning. Maka tanpa sadar orang tua ini sudah mengejek lagi.
"Huh. sebutan impian kiranya. Kilat Buwana dan Ladrang Kuning menguasai jagad? Huh, jagad manakah yang pernah dikuasai? Huh-hu-huh, menurut pendapatku, mereka itu tidak lebih hanya bakul tempat nasi!"
Jim Cing Cing Goling gembira siasatnya termakan. Untuk mematangkan suasana. ia berseru lagi seolah tidak ' percaya,
"Hai kisanak. Engkau jangan bermulut besar! Seluruh tokoh sakti di bawah langit ini, dahulu gemetar apabila mendengar nama Kilat Buwana Ladrang Kuning. Sampai sekarang belum terdapat sepasang suami isteri yang sakti seperti mereka."
Hajar Sapta Bumi makin bernafsu.Menurut pendapat nya kalau tidak dapat menghancurkan nama Ali Ngumar. tentu sulit untuk mempengaruhi sekalian orang agar berbalik membantu Mataram.
"Huh, hanya orang gila saja yang menganggap mereka, Kilat Buwana Ladrang Kuning sakti mandraguna. Huh, hanya manusia berhati tikus saja yang gentar berhadapan dengan mereka. Huh... muak aku."
Agaknya Ladrang Kuning sudah tak kuasa lagi menahan perasaan, mendengar ocehan Hajar Sapta Bumi yang amat merendahkan dan menghina dirinya. Tiba-tiba Ladrang Kuning berdiri, wajahnya berobah menyeramkan dan sepasang matanya mencorong berkilat-kilat.
Jim Cing Cing Goling tidak menyia nyiakan kesempatan baik ini. Ia ketawa terkekeh untuk membangkitkan kemarahan Ladrang Kuning, kemudian teriaknya lagi,
"He-heh-heh, kisanak benar. Memang bukan hanya Kilat Buwana yang tak berguna, tetapi juga Ladrang Kuning!"
Hebat sekali pengaruh tajamnya ucapan Jim Cing Cing Goling ini. Terbukti perasaan wanita itu cepat terbakar, lalu lupa kepada persoalannya dengan suami
yang sudah belasan tahun tanpa penyelesaian.
Tiba-tiba terdengar suara lengking nyaring. Disusul
teriakan Ladrang Kuning, "Tua bangka Sapta Bumi! Coba engkau lihat, siapa yang berdiri ditempat ini?"
"ibu, mau apa?" Mariam terkejut dan berusaha mencegah.
"Ibu, jangan..." Swara Manis ikut mencegah.
Akan tetapi Ladrang Kuning sudah marah. Bentaknya,
"Diam!" Jim Cing Cing Goling yang sudah berhasil membakar kemarahan Ladrang Kuning, cepat berteriak lagi,
"Huwaduh, kisanak benar. Ladrang Kuning tidak bedanya Kilat Buwana. Namanya hanya kosong melompong tak ada harganya!"
"Tutup mulutmu!" bentak Ladrang Kuning marah.
Tetapi Jim Cing Cing Goling yang pandai bersiasat itu, cepat mendekap-kepala sendiri sambil berteriak teriak,
"Huwaduh, mengapa engkau malah marah kepada diriku? Bukan aku yang berkata, tetapi kisanak yang berrambut merah itu. Huh, semua orang mendengar dan dapat dijadikan sakSi. Jika engkau memang bukan kosong, hayo, marahilah kepada 'orang yang sudah menghina dirimu itu. Dan kalau kepadaku, engkau salah alamat."
Api kemarahan Ladrang Kuning seperti ditiup lesus membakar makin hangus. Teriaknya nyaring,
"Hai, tua bangka Sapta Bumi! Mengapa mulutmu berani menuduh yang tidak tidak? Apakah engkau memang sengaja menghina diriku?"
Untuk beberapa jenak Hajar Sapta Bumi tak dapat menjawab, karena serba salah. Kalau diam tak menyahut, berarti harga dirinya akan turun. Kalau menyahut tentu akan berhadapan dengan Ladrang Kuning. Di antara dua pilihan, akhirnya ia memilih memegang kehormatan. Apa yang harus ditakutkan? Dia hanya seorang wanita, tak mungkin melebihi suaminya. Mcnduga demikian, jawabnya,
"Kalau aku memang berkata begitu, apakah engkau akan marah?"
"Bagus!" sambut Ladrang Kuning sambil mempersiapkan pedang Nyai Baruni, lalu melangkah maju dua langkah.
"Sekarang biar matamu terbuka. Bahwa waktu itu kami dapat mengalahkan Kigede Jamus."
Selesai berkata, selingkar sinar hijau melayang dan langsung menyambar punggung Hajar Sapta Bumi. Ternyata Ladrang Kuning dapat bergerak cepat sekali seperti burung menyambar. Begitu meloncat ke gelanggang sudah menyerang dengan ilmu pedang Bumi Gonling, dipilih yang hebat.
Karena perhatiannya terpecah melayani pembicaraan dengan Ladrang Kuning maka tekanan Hajar Sapta Bumi terhadap Ali ngumar menjadi mengendor. Tepat pada saat Ladrang Kuning menyerang, Ali Ngumar juga membalas menyerang dengan jurus berbahaya.
Sudah lebih sepuluh tahun sepasang ilmu pedang Kala Prahara-Bumi Gonjing lenyap dari percaturan masyarakat. Sekarang sekali muncul bersatu padu untuk menggempur tokoh sakti Hajar Sapta Bumi yang telah lancang menghina sepasang pedang suami isteri itu.
Pada saat sekarang ini keadaan sudah jauh berlainan. Kepandaian Ladrang Kuning sudah setingkat lebih tinggi di banding suaminya sendiri. Karena ia telah berhasil mempelaiari ilmu peninggalan nenek Nagagini. Demikian pula Ali Ngumar, setelah berpisah dengan isterinya melatih diri dengan tekun. Tidak mengherankan kiranya kalau serangan suami isteri itu sekarang jauh berlainan jika dibanding belasan tahun lalu.
Ketika itu Hajar Sapta Bumi menghantam ke depan untuk menghalau pedang Ali ngumar. Akan tetapi ia merasa punggungnya disambar angin dingin. Ujung pedang Ladrang Kuning hampir menusuk punggung. Untuk tidak celaka. Hajar Sapta Bumi mengurungkan serangannya, kemudian dengan gesit melenting lurus lebih setombak tingginya
Karena gebrak pertama dirinya hampir celaka, dirinya sekarang tak berani memandang rendah. Ia tak berani menghadapi mereka dengan tangan kosong. Maka di saat dirinya melayang di udara, ia sudah menghunus senjatanya. Warnanya hitam legam, panjangnya hanya setengah depa. Tetapi besarnya selengan orang dewasa.
Kegembiraan Ali ngumar sulit dilukiskan sesudah isterinya maju membantunya. Di saat Ki Hajar Sapta Bumi melayang di udara, Ali ngumar menggunakan kesempatan untuk menyapa isterinya,
"Diajeng Rasa Wulan... ."
Mendengar panggilan yang mesra itu, terkenang Ladrang Kuning akan kebahagiaannya ketika ia masih hidup berdampingan dengan Ali Ngumar, lebih dua belas tahun lalu. Namun kenangan itu hanya sekejap melintas dalam relung hatinya, karena saat itu Hajar Sapta Bumi sudah meluncur turun ke bumi dan langsung menyerang dengan senjata aneh.
Ladrang Kuning alias Rasa Wulan cepat memiringkan tubuh dan secepat kilat sudah membalas serangan dengan tikaman. Tetapi senjata di tangan Hajar Sapta Bumi itu hanya ancaman kosong. Begitu Ladrang Kuning menikam, buru buru kakek ini memutar tubuh lalu menyerang Ali ngumar.


Dendam Kesumat Karya Widi Widayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kakek itu memang cerdik. Ia tahu bahwa kepandaian Ali Ngumar lebih lemah dibanding isterinya. Maka ia memusatkan serangannya kepada Ali ngumar, untuk memperoleh kemenangan.
Perhitungan Hajar Sapta Bumi memang tepat. Andaikata ia tak berbuat begitu, Ali Ngumar akan melancarkan serangannya sesuai dengan jurus pedang yang tengah dimainkan oleh Ladrang Kuning. Karena serangan kakek itu, hampir saja Ali Ngumar termakan senjata lawan. Karena senjata kakek ini dapat menjulur panjang. Untuk menghindarkan diri Ali Ngumar mundur, dan akibatnya gerakan kakinya menjadi kacau.
Perlu diketahui. sepasang ilmu pedang Kala Prahara Bumi Gonjing itu harus dimainkan dengan gerak langkah yang seirama. Karena kedudukan kaki Ali Ngumar kacau. serangan Ladrang Kuning menjadi gagal juga.
Hajar Sapta Bumi menggetarkan tangannya, dan tiba tiba saja senjata yang hanya setengah depa itu berobah dua kali lipat. Karena serangan itu tidak terduga dan mendadak, hampir saja dada Ali Ngumar tertusuk. Untung ia cepat membuang diri ke belakang, sedang kakinya masih tegak di tempat semula. Hingga bentuk tubuhnya menyerupai sebuah jembatan. Hingga senjata Hajar Sapta Bumi di atas dada Ali Ngumar dalam jarak dekat sekali.
Secepatnya Ali Ngumar mengenai ke samping kemudian berdiri tegak. Sesudah itu ia melancarkan serangan dengan jurus ketiga. Sedang Ladrang Kuning segera pula menyesuaikan diri dengan jurus ketiga pula. Guna menghindarkan diri dari serangan suami-isteri tersebut. Hajar Sapta Bumi berputar dan berbareng itu senjatanya sudah menyurut menjadi pendek lagi.
Ali Ngumar dan Ladrang Kuning belum sempat melihat jelas bagaimana sesungguhnya senjata lawan itu. Namun mereka sudah menduga,senjata Hajar Sapta Bumi itu dipasangi semacam pir yang memungkinkan memanjang dan memendek. Sudah tentu senjata seperti itu amat berbahaya.
Suami-isteri itu berkali kali saling curi pandang. Suatu peristiwa yang sudah lama tak pernah terjadi. Pada belasan tahun lalu, ketika mereka mulai berkelana, tak pernah mereka berpisah dan kalau berkelahi selalu bersama. Terdorong oleh darah muda, mereka selalu bernafsu memperoleh kemenangan, dan untuk memperolehnya mereka selalu saling mengerling dan mencuri pandang. Sekarang setelah belasan tahun lamanya terpisah. suami-isteri itu saling mengerling, hingga semangat mereka bertambah.
Melihat berkali-kali suami-isteri tersebut main mata, Hajar Sapta Bumi tersmggung. Tentu tidak ada maksud lain, dalam main mata itu hanya untuk mengejek dirinya. Karena itu ia marah! Sekalipun begitu tidak berani sembrono.
Mendadak ia melenting setombak tingginya. Dan seperti yang telah dilakukan tadi, masih di udara sudah memutarkan tongkatnya sehingga tubuhnya seperti terbungkus oleh lingkaran sinar. Akan tetapi Ladrang Kuning dan Kilat Buwana tidak gentar. Bahkan sinar pedang mereka berkelebatan menyusul ke dalam lingkaran Sinar senjata lawan.
Perkelahian menjadi lebih seru dan gerakannya cepat Sekali. Semua penonton hatinya tegar dan berdebar. Mereka menyadari bahwa pertempuran ini tentu akan berakhir dengan salah satu pihak roboh binasa. Tetapi bagaimanapun banyak orang berharap agar Ali Ngumar menang. Kendati begitu harapan ini sukar terwujud. Sebab beberapa saat kemudian Ali Ngumar terdesak sedang Ladrang Kuning tak berdaya maju mendesak.
Saat itu barulah terbuka mata sekalian hadirin, betapa saktinya Hajar Sapta Bumi ini. Suami-isteri Ladrang Kuning Kilat Buwana yang namanya pernah harum saja, harus memeras tenaga berhadapan dengan kakek itu.
Kalau rombongan tamu menjadi amat prihatin. sebaliknya Swara Manis tampak agak gembira. Bibirnya menyungging senyum, kemudian dengan bangga berkata kepada Mariam,
"Diajeng Mariam, engkau tahu atau tidak? Senjata kakek guru itu disebut Alugora! Entah dari bahan apa senjata itu dibuat, tetapi senjata itu bisa lemas dan bisa pula keras. Di bumi ini, kiranya tidak seorangpun yang akan sanggup menghadapi kakek guru."
Nampaknya kata-kata itu ditujukan kepada Mariam. Tetapi pada hakekatnya Swara Manis sengaja membanggakan kepada semua orang, agar mereka tunduk
dan mengindahkan kakek gurunya.
Mariam hanya berdiam diri. Dalam dadanya sedang timbul pertentangan hebat. Ia selalu berharap ibunya menang. Tetapi apabila hal itu terjadi, berarti ibunya sudah bermusuhan dengan Hajar Sapta Bumi dan murid muridnya. Dan apabila hal ini sampai terjadi, hubungan dengan Swara Manis tentu menjadi putus. Akan tetapi sebaliknya apabila ia mengharapkan ibunya yang kalah, rasa cintanya kepada ibu juga sulit dihapus.
Akibat terjadinya pertentangan batin ini, menyebabkan Mariam hanya berdiam diri dan kebingungan.
Sedang Hajar Sapta Bumi sekarang mempunyai gambaran yang lebih jelas tentang kekuatan suami-isteri ini. Ali Ngumar maSih kalah setingkat dengan isterinya. Karena itu kemudian terpikir oleh kakek ini bahwa yang lemah harus digempur lebih dahulu, agar menjadi mudah tercapainya memperoleh kemenangan. Memperoleh pikiran demikian, Alugora gerakannya dihentikan. tetapi dengan Siku kiri ia menghantam Ladrang Kuning.
"Bagus!" Seru Ladrang Kuning. Ia tak' mau menggunakan pedangnya untuk membalas, tetapi dengan pukulannya.
Senjata Hajar Sapta Bumi memanjang lagi, sedang ujungnya yang tajam melengkung, bergerak seperti kilat menyambar dada dan perut Ali Ngumar.
Serangannya hebat sekali. Selain diserang oleh kekuatannya sendiri. juga mendapat pinjaman tenaga dorongan dari Ladrang Kuning.
Ali Ngumar gugup dan memutar pedangnya untuk melindungi tubuh. Akan tetapi kakek itu sudah memperhitungkan segala kemungkinan. Ketika Ali Ngumar memutarkan pedangnya. ujung Alugora yang tajam melengkung sudah menyambar punggung.
All Ngumar terkejut dan mengeluh. ia merasa tak berdaya lagi untuk membela diri. Untung masih ada Ladrang Kuning. Ketika melihat suaminya diancam bahaya. ia bersuit nyaring lalu mengayunkan tubuhnya ke belakang suami. kemudian membabat kaki lawan dengan pedang.
Hajar Sapta Bumi geram serangannya kandas lagi, malah terpaksa harus meloncat menghindari babatan Ladrang Kuning. Sedang Ali Ngumar yang mendapat kesempatan melancarkan serangan, menyesuaikan diri dengan gerak isterinya. ladrang Kuning yang menyerang bagian bawah, dirinya menyerang bagian atas.
Hajar Sapta Bumi menampar untuk menghalau serangan Ali Ngumar. Kemudian memutar senjatanya memunahkan serangan Ladrang Kuning, dan sesudah itu ia melompat keluar dari kepungan suami-isteri tersebut.
Prayoga mengepal tinju, sedang Sarini terbelalak saking kagum, melihat apa yang telah dilakukan Hajar Sapta Bumi.
Tetapi tiba-tiba Sarini kaget karena bahunya ditepuk orang dari belakang. Akan tetapi karena saat itu ia tengah mencurahkan perhatian terhadap gurunya yang sedang bertukar pandang dengan isterinya, ia menduga .suami-isteri itu akan melancarkan Serangan istimewa. Oleh karena itu tepukan orang dari belakang itu tidak diperhatikan.
Tetapi ketika merasa pahanya dicubit orang, tanpa sadarnya ia menjerit kecil, karena ia menjadi malu. Ce pat-cepat ia memalingkan muka dengan maksud mendamprat orang yang kurang ajar itu. Akan tetapi ah, ketika tahu yang mencubit pahanya seorang bocah berusia sekitar 11 tahun dan mengenakan pakaian cantrik, kemarahannya menghilang. Ia melihat wajah cantrik itu ramah dan bibirnya mengulum senyum.
Ia memberi isyarat agar bocah itu tidak menggangu. Tetapi bocah itu tak mau. malah menyerahkan robekan kain yang dipilih menjadi keCil, dan sesudah itu ia baru pergi. '
Sarini yang cerdas segera tahu bahwa bocah itu mempunyai urusan penting dengan dirinya, akan tetapi takut diketahui orang lain.
Buru-buru pilinan kain itu dibuka. Kemudian tampak olehnya sederet tulisan yang jelek, isinya.
"mBakyu, kami mendapat kesulitan dan minta pertolongan. Aku, Sucitro!"
Membaca secarik kain itu, Sarini segera teringat kepada dua orang bocah cantrik, Sucitro dan Sutirto yang pernah menolong dirinya. Lalu timbul dugaan dalam hati, apakah karena menolong dirinya. sekarang bocah itu mendapat hukuman? Ah, kalau memang begitu dirinya harus cepat bertindak dan menolong. Ia memalingkan muka ke belakang, kemudian tampaklah cantrik Cilik yang memberi surat tadi berdiri tak jauh dari tempatnya, malah melambaikan tangan. Sarini cepat menghampiri, dan bocah,itu senang.
Ketika itu Hajar Sapta Bumi sudah terlibat perkelahian lagi dengan Ali Ngumar dan Ladrang Kuning. Hingga perhatian semua orang terpusat ke gelanggang, dan tidak seorangpun yang memperhatikan Sarini. Oleh sebab itu secepatnya Sarini mengikuti cantrik Cilik tersebut ke barat. Setelah tiba di ujung tembok, cantrik itu berhenti.
"Benarkah yang menyuruh engkau Sucitro?" tanya Sarini dengan hati berdebaran.
"Ya, marilah ikut aku," sahut cantrik itu, kemudian melangkah pergi.
Sesudah beberapa kali berbelok. tibalah mereka pada sebuah ruangan. Cantrik itu masuk ke dalam, ketika keluar sudah membawa satu setel pakaian seragam cantrik. Sarini tahu. dirinya disuruh menyamar sebagai cantrik dan itu diterima dengan senang hati.
Dasar gadis yang sok genit. tabah dan urakan. Ia gembira sekali harus menyamar sebagai cantrik. Pakaian itu segera dipakainya, kemudian rambut disingkap ke atas lalu ditutup dengan ikat kepala. Setelah selesai berpakaian, ia sudah menjilma sebagai seorang cantrik yang wajahnya tampan, bertubuh ramping.
Cantrik kecil itu tertawa geli. Lalu mengajak Sarini melanjutkan perjalanan. Beberapa kali mereka berbelok, tetapi anehnya tidak pernah bertemu dengan orang. Akhirnya tibalah mereka pada sebuah tempat perapian yang terbuat dari tembaga. Tak jauh dari perapian tampak dua cantrik tua yang asyik bercakap-cakap sambil makan ubi rebus.
Cantrik kecil menarik Sarini ke samping. Kemudian ia berbisik,
"mbakyu, engkau melihat atau tidak? Di bawah perapian tembaga yang dijaga dua orang itu. di simpan Sucitro dan sutirto."
"Hah!" Sarini terkejut.
"Mengapa di situ? Apakah di bawahnya ada lubang?"
Cantri kecil mengangguk. "Ya. Memang di bawahnya merupakan terowongan."
Dua cantrik itu masih asyik bicara dan tampaknya tidak melihat kedatangan Sarini. Karena dua cantrik itu menjadi penghalang, ia memutuskan harus dirobohkan. Sungguh kebetulan mereka membelakangi. Untuk merobohkan, ia menyambit dengan dua butir kerikil, dan tengkuk menjadi sasaran. Kendati kerikil, di tangan Sarini yang sekarang sudah maju pesat dalam ilmu, merupakan senjata ampuh pula. Sambarannya cepat sekali, dan sebelum orang itu sadar sudah terpukul tengkuknya lalu roboh pingsan.
Sarini cepat menghampiri perapian tembaga, lalu menarik dengan sekuat tenaga. Akan tetapi sungguh aneh. perapian itu tak bergeming.
Cantrik kecil itu sekarang menutup mukanya dengan secarik kain hitam.Ia lari menuju belakang perapian dan menunjuk sebuah alat, terpasang di telinga perapian. Ketika Sarini memutar ke kiri, mendadak perapian itu bergeser sendiri dan terbukalah lubang ke bawah yang besar. ,
Cantrik kecil mendahului, dan Sarini mengikuti di belakangnya masuk ke dalam lobang. Dan ternyata lubang itu merupakan jalan ke terowongan di bawah tanah. Di situ tidak gelap karena terdapat lampu minyak kelapa. Sesudah berbelok, tibalah mereka pada sebuah pintu besar berterali besi. Ah... Sarini hampir menjerit.
Did alam pintu itu Sucitro dan Sutirto di gantung... .
Namun dua bocah itu masih hidup, karena menggantungnya dibalik, tidak dijerat lehernya melainkan
kakinya. Melihat munculnya Sarini dua bocah itu gembira dan akan berseru. Akan tetapi karena mulut disumbat bola beg, dua bocah itu tak dapat bicara.
' Terali besi itu hanya sebesar jari tangan saja. Dengan mengerahkan tenaga, kemudian tanpa keSulitan ia berhasil membengkokkannya. Kemudian terbukalah lubang yang dapat dipergunakan masuk. Setelah berada di dalam, Sarini cepat-cepat menolong SuCitro dan Sutirto. Saking gembiranya dua bocah itu kemudian menjatuhkan diri berlutut, lalu menyembah.
Pendekar Sakti Suling Pualam 1 Pengemis Binal 08 Tabir Air Sakti Pendekar Lengan Buntung 2
^