Pencarian

Kembang Jelita Peruntuh 9

Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p Bagian 9


terhuyung keluar arena dan di-songsongnya
prajurit-prajuritnya yang langsung mengobatinya. Yim Mo semakin congkak sehingga dia pun
berteriak, "Perwira-perwira tolol, tidak ada
pilihan lain buat kalian kecuali seperti yang
kuinginkan, mengajak aku melihat-lihat
pasukan kalian di pegunungan!"
Para perwira tidak menjawab, melainkan
terus bertempur dengan gigih. Dalam diri para
perwira itu terbayang, seandainya Helian Kong
Kembang Jelita 2 / XV 24 sudah kembali ke pasukannya, rasanya tidak
keberatan mengajak Yim Mo ke pasukan di
pegunungan, biar seperti "ular ketemu gebuk".
Tetapi susahnya, sampai saat itu Helian Kong
belum kembali ke pasukannya dan entah di
mana. Kini tanpa Helian Kong, mereka harus
menggabungkan kekuatan menghadapi Yim Mo
yang amat tangguh itu, itu pun seorang teman
mereka sudah menjadi korban Yim Mo.
Tetapi Yim Mo sendiri, baru saja omong
besar, tiba-tiba kembali merasa belakang
lututnya "digigit semut" bahkan kali ini keduaduanya, kiri dan kanan sekaligus. Tiba-tiba saja
ia jatuh berlutut pada kedua lututnya, meskipun
terkejut dan segera melompat kembali, tetapi
Yim Mo mulai curiga ada yang "ikut bermain"
dari luar gelanggang. Untung selagi ia jatuh tadi,
lawan-lawannya sedang tidak siap memanfaatkan kesempatan yang hanya sedetik
itu. la celingukan, sementara Kongsun Koan
telah menyapu dengan pedang besarnya. Yim
Kembang Jelita 2 / XV 25 Mo melompat berjungkir-balik, bersalto
menghindarinya. Tiba di luar gelanggang, ia
menoleh celingukan ke kegelapan di sekitarnya,
dan berteriak, "Jahanam pengecut dari mana
yang mencoba main gila denganku?!"
Sikap Yim Mo itu mengherankan para
lawan-lawannya, mereka tidak tahu apa yang
terjadi. Mereka memang heran melihat Yim Mo
tadi tiba-tiba berlutut sedetik, dan mereka kira
itu adalah salah satu "jurus" Yim Mo. Sekarang
setelah melihat Yim Mo mencak-mencak,
barulah mereka tahu bahwa ternyata Yim Mo
ada yang menjailinya. Para perwira pun menghentikan serangan
dan ikut celingukan, mencoba menembus
kegelapan mata dengan pandangan mereka.
Suatu harapan yang sama mengembang di hati
mereka, tanpa berjanji satu sama lain, mereka
teringat satu orang, Helian Kong.
Kwe Peng-huilah yang pertama bersuara,
"Komandan Heliankah itu?"
Kegelapan di sekitar arena itu tetap
membisu tidak ada jawaban daripadanya.
Kembang Jelita 2 / XV 26 Hanya suara serangga-serangga malam yang
menjawabnya. Hati Yim Mo tergetar. Betapapun
congkaknya dia, nama besar Helian Kong
menggetarkannya juga. Tetapi di hadapan para
perwira, ia tidak menunjukkan ketakutannya
karena malu, bahkan sikapnya bertambah
garang, "Helian Kong! Kalau benar ini
perbuatanmu, sungguh tidak sesuai dengan
nama besarmu, beranimu hanya menyerang
secara gelap!" Tetap tidak ada jawaban. Yim Mo heran kalau benar Helian Kong yang
melakukan "gangguan" tadi, apakah ia rela
diejek tanpa membalas di hadapan anak
buahnya sendiri dengan tetap bersembunyi
tanpa menjawab? Kalau bukan Helian Kong, lalu
siapa yang mampu berbuat demikian? Para
perwira juga tidak kalah herannya. Kalau benar
Helian Kong sudah datang, kenapa tidak
langsung muncul, terjun ke gelanggang dan ikut
meringkus si Manchu yang congkak ini? Atau
Kembang Jelita 2 / XV 27 bahkan Helian Kong akan melakukannya
seorang diri tanpa dibantu siapa-siapa.
Tetapi suasana tetap sunyi saja. Yim Mo
mengawasi setiap gerumbul semak belukar,
setiap batu besar, setiap bagian pohon-pohon
rimbun. Yim Mo menggeram kesal, namun ia benarbenar tidak berani melanjutkan rencananya, la
lalu mengejek, "Baik, aku akan pulang ke Sanhai-koan dan membatalkan rencanaku. Bukan
karena takut, melainkan karena Helian Kong
yang termasyhur itu ternyata cuma pengecut
tukang menyergap orang dari kegelapan. Aku
tidak mau mati konyol. Tetapi kalau Helian
Kong berani keluar dari sarangnya, aku akan
meladeninya sepuluh ribu jurus!"
Besar bicaranya, toh diucapkannya sambil
melangkah pergi. Tidak benar-benar menunggu
"munculnya Helian Kong".
Setelah Yim Mo pergi jauh, Kwe Peng-hui
dan kawan-kawannya pun masih celingukan
sambil memanggil-manggil Helian Kong.
Kembang Jelita 2 / XV 28 Tiba-tiba dari arah sebuah pohon yang tidak
jauh dari arena pertempuran tadi, terdengar
suara gemerasak yang membuat Kwe Peng-hui
dan kawan-kawannya serempak menoleh
dengan kaget. Mereka melihat sesosok bayangan melompat pergi, tadinya agaknya orang itu
bersembunyi di atas pohon di balik dedaunan,
dan sekarang ia tinggalkan tempat persembunyiannya dengan gerak cepat
bagaikan burung terbang. Dalam waktu sekejap
ia sudah lenyap dalam kegelapan malam.
Sekilas Kongsun Koan dan lain-lainnya
hanya sempat melihat kalau orang itu
rambutnya dikuncir panjang. Dandanan rambut
orang Manchu. "Dia bukan Panglima Helian!"
Kongsun Koan jadi teringat seorang perwira
Manchu yang bernama Sek Hong-hua, yang
sikapnya agak lain sendiri. Kongsun Koan ingat
kehebatan perwira itu yang mampu menjepit
pedang besarnya hanya dengan sepasang
telapak tangannya, dan dalam pembicaraan juga
Kembang Jelita 2 / XV 29 disegani oleh siapa pun termasuk Yim Mo yang
angkuh itu. Orang itukah yang baru saja
melompat pergi itu? Kongsun Koan hanya menyimpan dugaannya dalam hati. * ** Jenderal Lau Cong-bin menarik sisa
pasukannya yang tinggal separuh dari ketika
berangkatnya itu, sampai cukup jauh dari Sanhai-koan. Untuk pulang begitu saja ke Ibukota
Pak-khia dan melaporkan kekalahan, Jenderal
Lau malu kepada Kaisar Tiong-ong, lebih-lebih
kepada Tan Wan-wan. Tetapi untuk melanjutkan perlawanan, rasanya gentar juga.
"Keparat benar Bu Sam-kui itu, tidak
kusangka ia tega mengundang tentara asing
untuk menginjak tanah leluhurnya!" gerutu
seperti itu entah sudah berapa kali keluar dari
mulut Jenderal Lau dalam gerakan mundurnya.
Akhirnya, kira-kira seratus li dari San-haikoan, pasukan itu menemukan suatu tempat
Kembang Jelita 2 / XV 30 yang dirasa baik untuk membangun pertahanan. Sebuah selat pegunungan yang
sempit. Atas usul Deng Hu-koan, perwira
andalan Jenderal Lau, Jenderal Lau membangun
pertahanan di situ, pertahanan menghadap ke
timur, arah San-hai-koan. Perkemahan pasukan
dibangun di sebelah barat selat gunung, dan
pasukan ditempatkan bergantian di atas bukit.
Atas usul Deng Hu-koan, Jenderal Lau juga
menempatkan sepuluh ribu prajurit di bawah
pimpinan seorang perwiranya untuk mengawasi lalu-lintas sungai di sebelah utara
tempat itu. Sungai itu kecil, tetapi
dikhawatirkan bisa menjadi jalur penyusupan
pasukan musuh untuk menyergap dari belakang
atau dari lambung. Antara pos-pos pertahanan
yang satu dengan yang lain dihubungkan
dengan regu-regu prajurit berkuda yang saling
bertukar berita setiap enam jam.
Selain itu, ternyata ada juga "rejeki
tambahan" dari pos-pos pertahanan itu.
Ternyata, baik jalan raya yang melalui selat
gunung maupun melalui sungai kecil itu adalah
Kembang Jelita 2 / XV 31 lalu-lintas umum yang cukup ramai. Apalagi
saat itu rombongan-rombongan pengungsi
membanjir dari timur ke barat. Penduduk jelata
banyak yang sudah mendengar tentang
masuknya tentara Manchu, dan mereka tahu itu
artinya badai peperangan yang dahsyat sudah
di ambang pintu. Belum kering air mata
kesedihan di mata rakyat jelata yang berduka
karena anggota keluarga mereka yang mati
dalam pemberontakan kaum Pelangi Kuning
yang lalu, yang baru selesai sebulan yang lalu,
dan sekarang perang baru sudah di ambang
pintu. Buat orang-orang tak berdaya itu, upaya
penyelamatan harta dan nyawa hanyalah
dengan mengungsi, menjauhi arena keserakahan antara manusia. Tetapi ketika
melewati pos penjagaan pasukan Jenderal Lau,
ternyata sisa harta yang dibawa mengungsi pun
susah dipertahankan. Para prajurit dengan dalih
menjaga jangan sampai ada mata-mata Manchu
yang menyusup ke garis belakang, melakukan
pemeriksaan amat ketat dari para pengungsi.
Dan kalau para prajurit itu menginginkan
Kembang Jelita 2 / XV 32 sesuatu, mereka akan cari gara-gara dengan
melancarkan tuduhan yang mengada-ada, yang
membuat para pengungsi ketakutan dan
terpaksa menyerahkan barang-barang agak
berharganya. Begitulah, dalam keadaan terjepit
pun prajurit-prajurit Lau Cong-bin masih
sempat cari keuntungan. Tetapi tidak bisa
terlalu menyalahkan para prajurit itu, sebab
mereka juga hanya meniru pemimpinpemimpin mereka.
Jenderal Lau sendiri tidak berada di
perkemahan bersama prajurit-prajuritnya,
melainkan di sebuah desa yang makmur di
belakang garis pertahanan, jaraknya kira-kira
dua kilometer dari selat gunung. Tempat itu
dijadikan markas besarnya, dengan pasukan


Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pengawal wanitanya yang cantik-cantik tetapi
di desa itu sendiri juga ada pasukan pengawal
lain yang menjaga keselamatannya.
Lau Cong-bin tidak mau mempertaruhkan
keselamatannya. Desa itu sendiri diubah
menjadi sebuah kubu pertahanan, dengan
tembok-temboknya yang dibangun tergesa-gesa
Kembang Jelita 2 / XV 33 menggunakan batu dan tanah liat, tempat
berpijak untuk para pemanah dan pelempar
lembing di belakang tembok, pintu-pintu
gerbang yang berpalang. Untuk Jenderal Lau,
kepala desa harus mengalah meminjamkan
rumahnya, sebab rumah kepala desa itulah yang
terbaik yang ada di desa itu. Untuk perbekalan,
Jenderal Lau juga merasa lega ketika
mendengar laporan si Kepala Desa bahwa di
desa itu tinggal seorang pedagang beras yang
menyimpan puluhan karung beras di
gudangnya. Dengan ringan Jenderal Lau
memerintahkan bahwa beras dari si juragan
beras "bisa dipinjam" sementara.
Begitulah, setelah mendapat "tempat
berteduh" yang cukup aman, meski Jenderal Lau
tahu ini hanya sementara, sang jenderal segera
mengambil tindakan tertentu. Ia kirim seorang
penunggang kuda yang cepat untuk ke Pak-khia
membawa suratnya. Tentu saja yang menulis
surat bukan Jenderal Lau sendiri sebab ia nyaris
buta huruf, melainkan Deng Hu-koan yang
menuliskannya. Isi surat menyebutkan betapa
Kembang Jelita 2 / XV 34 "San-hai-koan hampir bisa direbut" tetapi
kemudian orang-orang Manchu datang "banyaknya bagaikan air laut" membuat
Jenderal Lau harus mundur dan membangun
pertahanan baru. Khusus laporan tentang
jumlah pasukan Manchu ini, Lau Cong-bin
sengaja membesar-besarkannya agar Kaisar
Tiong-ong bisa "memaklumi kekalahannya".
Tentu saja ia malu kalau membeber kenyataan
bahwa pasukan Manchu yang memukulnya
mundur itu jumlahnya hanya sekitar tiga puluh
ribu orang. Separuh pasukan Lau Cong-bin.
Tetapi kegarangan-nyalah yang sulit dilupakan.
Demikianlah, hari itu juga, pembawa surat
itu berpacu menuju Ibukota Pak-khia dengan
membawa surat Jenderal Lau.
Jalanan menuju ke Pak-khia ramai dengan
pengungsi. Sepanjang jalan dilihatnya orangorang lelaki, perempuan, anak-anak, bayi-bayi
yang digendong atau dinaikkan gerobag
bersama barang-barang, kambing, ayam bebek
dalam kurungan. Tidak jarang juga di pinggir
jalan nampak orang-orang menguburkan
Kembang Jelita 2 / XV 35 jenazah manusia secara darurat, yang mati ada-;
lah orang-orang kelaparan.
Si pembawa surat Lau Cong-bin tidak
tersentuh sedikit pun hatinya melihat semuanya
itu. Yang penting, surat itu harus segera sampai
ke Pak-khia. Sepanjang jalan ia terus
membalapkan kudanya, tidak peduli membahayakan anak-anak kecil. Sedikit-sedikit,
ia "memainkan" cambuknya untuk menyuruh
orang-orang minggir. Tetapi setelah dua hari perjalanan,
pembawa surat ini mendadak melihat suatu
rombongan lain di jalanan. Berbeda dengan
rombongan pengungsi yang menuju ke arah
barat, menjauhi daerah kemelut di sebelah
timur, rombongan ini justru berlawanan arah,
menuju ke timur. Perbedaan lain, rombongan
ini dikawal ratusan prajurit berkuda, dan ada
sebuah kereta yang indah di tengah-tengah
barisan. Agaknya rombongan pembesar.
Kalau si pembawa surat ini tadinya bersikap
garang terhadap orang-orang kecil, kali ini
kegarangannya leleh di hadapan rombongan
Kembang Jelita 2 / XV 36 yang megah ini. Ia pinggirkan kudanya, lalu
melompat turun dari kuda dan menunggu di
pinggir jalan. Yang berjalan paling depan dari rombongan
yang megah itu adalah seorang panglima muda
dalam seragamnya yang megah dan kuda
cokelatnya yang tegas. Gagang-gagang sepasang
pedang nampak mencuat dari sepasang
pundaknya yang tegap. Si pembawa surat .agak
tercengang mengenali pimpinan rombongan itu
adalah Yo Kian-hi, seorang perwira bawahan
Jenderal Li Giam yang terkenal. Jenderal Li Giam
"dibuang" alias dijauhkan dari percaturan di
pusat pemerintahan di Pak-khia, dengan cara
diberi tugas di wilayah barat-laut yang jauh.
Kenapa sekarang seorang panglima bawahannya malah muncul di sebelah timur
Ibukota Pak-khia, dalam pasukan yang megah
meskipun jumlahnya tidak mencukupi sebagai
suatu pasukan tempur? Lebih mencengangkan
iagi, ketika si pembawa surat melihat bahwa
prajurit-prajurit pengiring kereta itu bukanlah
Kembang Jelita 2 / XV 37 prajurit-prajurit biasa melainkan prajuritprajurit istana.
"Apakah Yo Kian-hi sekarang sudah menjadi
komandan salah satu pasukan istana?" si
pembawa surat bertanya-tanya dalam hati.
"Tetapi kenapa seragam Yo Kian-hi sendiri
masih seragam prajurit tempur di lapangan,
bukan prajurit istana?"
Si pembawa surat itu sebenarnya agak
waswas juga menempuh perjalanan seorang
diri, takut di tengah jalan ada yang
menghadangnya dan merampas surat pentingnya, meskipun ia sudah menyamar
sebagai pengembara biasa. Tetapi di jaman
penuh kemelut itu, segala sesuatu bisa terjadi.
Kini berpapasan dengan rombongan Yo Kian-hi
ini, timbul pikirannya untuk "membagi beban"
dengan orang-orang ini. Karena itu, begitu Yo Koan-hi dan kudanya
lewat di depannya, dia berlutut dan berkata
dengan keras, "Salam hormatku untuk Panglima
Yo!" Kembang Jelita 2 / XV 38 Yo Kian-hi tercengang dan menghentikan
kudanya. Mengamat-amati orang itu. Rombongan pun mau tidak mau jadi ikut
berhenti. Yo Kian-hi tidak mengendorkan kewaspadaan, ia belum tahu siapa orang itu,
dan ia harus memperhitungkan adanya
kemungkinan perangkap oleh musuh.
"Siapa kamu?" "Saya prajurit sandi dari balatentara
Jenderal Lau yang ikut di garis depan..." ada
nada pamer dalam suaranya, ketika ia sebutkan
itu. "Saya sedang menjalankan tugas penting
dari Jenderal Lau, kebetulan bertemu Panglima
di sini." "Tugas penting apa?"
"Membawa surat Jenderal Lau ke Ibukota
Pak-khia." Si pembawa surat itu bukannya tidak tahu
kalau di antara tiga orang jenderal utamanya
Kaisar Tiong-ong, yaitu Li Giam, Lau Cong-bin
dan Gu Kim-sing, ada persaingan diam-diam
berebut pengaruh. Ia adalah suruhannya
Kembang Jelita 2 / XV 39 Jenderal La u dan Yo Kian-hi adalah
bawahannya Sanderai Li Giam. Ia tidak akan
heran kalau Yo Kian-hi bakal meminta surat
Jenderal Lau itu dan lancang membukanya
untuk mengetahui isinya. Di antara pihak-pihak
yang bersaing, rasanya sah saja melakukan
tindakan seperti'itu. Dan si pembawa surat yang kurang
bertanggung-jawab itu sudah siap menyerahkan
suratnya kalau diminta Yo Kian-hi. Syukur kalau
Yo Kian-hi menyuruh dia kembali dengan
berkata, "Suratnya sudah di tanganku." Ia jadi
bakal tidak usah meneruskan perjalanan ke
Pak-khia yang melelahkan dan penuh bahaya
itu. Benar. Yo Kian-hi tiba-tiba menjulurkan
tangannya dari atas kuda dan bertanya, "Mana
suratnya?" Si pembawa surat menyerahkan suratnya,
dengan harapan Yo Kian-hi akan mengambilalih tugasnya. Ternyata dilihatnya Yo Kian-hi
hanya membolak-balik sampul surat itu untuk
memeriksa keaslian capnya, kemudian tanpa
Kembang Jelita 2 / XV 40 membuka sampulnya ia malah mengembalikan
kepada pembawanya. Si pembawa surat terpaksa menerimannya
kembali, suaranya bernada minta dikasihani,
"Panglima Yo, perjalanan ke Pak-khia sungguh
berbahaya dergar membawa surat sepenting
ini. Banyak musuh yang mengincar nyawaku
kalau sampai mereka tahu apa yang kubawa..."
"Jenderal Lau memang keterlaluan," sahut
Yo Kian-hi dingin. "Surat sepenting itu, kenapa
hanya menyuruh satu orang untuk membawanya? Orang-orangnya yang disuruh
tidak bertanggung-jawab dan penakut pula..."
Si pembawa surat merah wajahnya oleh
sentilan tajam itu. "Kata Jenderal Lau, kalau
yang pergi terlalu banyak malahan akan
menimbulkan kecurigaan orang..."
"Ceritakan, apa yang terjadi di San-haikoan..."
"Si keparat Bu Sam-kui mengundang masuk
balatentara Manchu sehingga kami terpukul
mundur..." Kembang Jelita 2 / XV 41 Kali ini Yo Kian-hi terperanjat sekali,
wajahnya memucat. "Apa katamu?"
"Bu Sam-kui membuka pintu San-hai-koan
lebar-lebar buat balatentara Manchu! Sekarang
orang-orang Manchu sudah berada di atas tanah
Tiong-goan." Yo Kian-hi dengan perasaan
meluap. "Pasti Jenderal Lau menyuruhmu berbohong, bahkan juga kepada Kaisar, supaya
dikirimi bala bantuan yang lebih besar! Betul
tidak?" Si pembawa surat menggeleng-gelengkan
kepala, "Tidak, Panglima. Memang begitu
kejadiannya." Yo Kian-hi merasa tenggelam dalam
kekecewaan dan kemasygulan hebat. Perjalanannya ke San-hai-koan saat itu adalah
untuk mengantar Tan Wan-wan untuk
"meredakan" Bu Sam-kui agar jangan sampai Bu
Sam-kui menyerah kepada Manchu, bahkan ada


Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"bonus" lain yaitu akan melepaskan Helian
Kong sebagai isyarat perdamaian buat sisa-sisa
dinasti Beng lainnya. Ternyata sekarang malah
Kembang Jelita 2 / XV 42 didengarnya kabar kalau Bu Sam-kui sudah
menyerahkan San-hai-koan ke pihak Manchu.
Artinya, segala upaya untuk menyelamatkan
San-hai-koan itu sudah terlambat.
Teriakan Yo Kian-hi tadi terdengar oleh Tan
Wan-wan yang berada dalam kereta. Tan Wanwan yang saat itu berkedudukan sebagai utusan
resmi Kaisar Tiong-ong dengan wewenang
penuh atas nama Kaisar untuk menyelesaikan
benang ruwet, la tidak datang merendahkan
martabat untuk memuaskan keinginan Bu Samkui.
"Ada apa, Saudara Yo?" tanya Tan Wan-wan.
Yo Kian-hi menggerakkan kudanya ke sisi
kereta. Di sisi kereta itu ternyata juga ada
Helian Kong yang menunggang kuda. Saat itu
statusnya adalah tawanan yang baru akan
dilepaskan di San-hai-koan nanti, di depan mata
banyak pihak, untuk menunjukkan "kemurahan
hati" Kaisar Tiong-ong.
Karena luapan perasaannya, Yo Kian-hi
tidak sempat memilih kata-kata lagi, "Tuan
Puteri, percuma saja seandainya kita tiba di
Kembang Jelita 2 / XV 43 San-hai-koan. Bu Sam-kui sudah menyerahkan
San-hai-koan ke tangan orang Manchu!"
Tan Wan-wan dan Helian Kong sama
kagetnya. Tan Wan-wan kaget karena hubungannya
yang unik dengan Bu Sam-kui. Kedudukannya
adalah musuh sekaligus calon isteri Bu Sam-kui.
Musuh, karena Tan Wan-wan adalah orang
golongan Pelangi Kuning sedangkan Bu Sam-kui
setia kepada dinasti Beng. Tetapi juga calon
isteri, sebab dulu ketika Tan Wan-wan
dikeluarkan dari istana oleh Kaisar Cong-ceng,
langsung dianugerahkan untuk menjadi calon
isteri Bu Sam-kui. Meskipun penjodohan itu
sama sekali tidak didasari cinta dari pihak Tan
Wan-wan sebaliknya dari pihak Bu Sam-kui
bukan hanya cinta, bahkan tergila-gila tetapi
Tan Wan-wan waktu itu toh mau saja,
tujuannya sama dengan saat ini, supaya Bu
Sam-kui segera kembali ke San-hai-koan dan
ber-tangung-jawab dengan baik atas keamanan
kota perbatasan itu. Sekarang mendengar Bu
Sam-kui melakukan kebodohan sebesar itu, Tan
Kembang Jelita 2 / XV 44 Wan-wan gentar juga, entah bagaimana kelak
namanya akan ditulis dalam sejarah?
Sedangkan Helian Kong sebagai sahabat Bu
Sam-kui juga tidak kalah kagetnya. Helian Kong
sudah berusaha mati-matian menyelamatkan
San-hai-koan maupun nama baik Bu Sam-kui
dari caci-maki seluruh bangsa Han, sampai
Helian Kong berani menjanjikan kepada Bu
Sam-kui untuk dalam sepuluh hari membawa
Tan Wan-wan ke San-hai-koan. Helian Kong
tahu bahwa yang sepuluh hari itu sudah
terlewati, tetapi sungguh tak terduga kalau Bu
Sam-kui mengambil tindakan seperti itu.
"Darimana kau mendengarnya?" tanya
Helian Kong. Dengan isyarat tangannya, Yo Kian-hi
menyuruh si orang suruhan Jenderal Lau itu
mendekat dan mengulangi ceritanya. Orang itu
melakukan sesuai dengan perintah Yo Kian-hi,
sementara Tan Wan-wan serta Helian Kong
mendengarkannya dengan wajah tegang. Tidak
peduli yang satu dari golongan Pelangi Kuning
dan yang lain dari sisa dinasti Beng, keduanya
Kembang Jelita 2 / XV 45 sama-sama cemas dan geregetan mendengar
orang Manchu sudah memasuki
Tiong-goan. "Bu Sam-kui... di mana kau taruh otakmu?"
desis Helian Kong sambil mengepalkan
tangannya erat-erat. Sementara Yo Kian-hi melampiaskan
kegusarannya terhadap Bu Sam-kui dengan
mengalihkannya kepada Helian Kong, sorot
matanya berapi-api menatap Helian Kong, "Jelas
sekarang! Sisa-sisa dinasti Beng tidak segansegan bersekutu dengan orang Manchu untuk
menegakkan kembali kekuasaan Keluarga Cu!"
Helian Kong tentu saja tidak terima didakwa
mentah-mentah, "Yang melakukan itu adalah Bu
Sam-kui pribadi! Kau sendiri tahu bagaimana
sikapku kepada orang Manchu, dan sudah
kubuktikan dengan tindakanku ketika menyelamatkan jenderalmu Li Giam dari usaha
pembunuhan yang didalangi oleh Penasehat
Militer Manchu itu! Jangan menuduh
sembarangan!" Kembang Jelita 2 / XV 46 Dalam kegusarannya, Yo Kian-hi jadi kurang
bisa berpikir secara dingin. Tangannya sudah
siap meraih gagang pedang di pundaknya,
sambil berkata, "Sekarang aku tahu itu hanya
permainan! Kalian budak-budak Keluarga Cu
pastilah sudah mengikat kesepakatan diamdiam dengan anjing-anjing Manchu itu, kalian
pura-pura bermusuhan, padahal bekerja sama
untuk mengkhianati kami!"
Helian Kong sendiri cuma gemetar bibirnya
tetapi tidak bisa omong apa-apa. Meskipun
kemungkinan Bu Sam-kui menakluk kepada
Manchu itu sudah sering dikhawatirkannya, tak
urung ketika terjadi benar-benar, dia juga
kebingungan cara menghadapinya.
Ditambah tuduhan dan sikap sengit Yo Kianhi yang memojokkannya.
Untung di situ ada Tan Wan-wan, yang
bagaimanapun berkedudukan lebih tinggi dari
Yo Kian-hi. Sebagai utusan resmi Kaisar Tiongong dan sebagai Puteri Kong-hui, Yo Kian-hi
hanya berkedudukan sebagai kepala pengawalnya. Kembang Jelita 2 / XV 47 Ternyata Tan Wan-wan malahan lebih
tenang dan lebih dingin dari kedua lelaki yang
hampir saling gebrak itu.
"Saudara Yo, sarungkan pedangmu!" kata
Tan Wan-wan kepada Yo Kian-hi.
Saat itu memang Yo Kian-hi sudah
menghunus sepasang pedang tebalnya.
Yo Kian-hi masih penasaran dan tidak
segera menuruti perintah itu. "Nona Tan... eh,
maaf, Tuan Puteri, masih kurang jelaskah
persekongkolan antara..."
"Komandan Yo, perintahku, sarungkan
pedang-pedangmu!" suara Tan Wan-wan kali ini
lebih tegas. Sebutan "Saudara Yo" yang
mengingatkan sebagai teman seperjuangan
sejak dulu digantinya dengan "Komandan Yo"
untuk mengingatkan kedudukan Yo Kian-hi
yang saat itu di bawah perintahnya.
Sebagai prajurit yang baik, Yo Kian-hi
menyarungkan kedua pedangnya, meskipun
matanya masih melotot gusar kepada Helian
Kong. Kembang Jelita 2 / XV 48 Tan Wan-wan lalu berkata, "Kalian,
kesatria-kesatria bangsa Han, tidak peduli di
mana pun kalian berpijak, apakah kalian
sekarang akan saling gorok demi menuruti
gejolak jiwa yang sempit? Sedang musuh sejati,
yaitu orang Manchu, tidak lagi di ambang pintu
tetapi sudah memasuki pintu rumah kita? Kalau
kalian mau saling gorok, silakan, biar orangorang Manchu menonton kalian sambil
berpeluk tangan dan tertawa gembira. Tanpa
banyak susah mereka akan mencaplok seluruh
negeri, karena anak negeri seperti kalian tidak
bisa bekerja sama, tidak bisa melupakan
permusuhan dan tetap saja cakar-cakaran
berebut benar sendiri!"
Ajaib juga bahwa lelaki-lelaki gagah macam
Helian Kong dan Yo Kian-hi sekarang dimarahi
Tan Wan-wan tanpa membantah apa-apa,
seperti dua anak kecil yang dimarahi ibunya
karena bermain hujan-hujanan.
Setelah menegur kedua pihak,sekarang Tan
Wan-wan mulai mengarahkan kata-katanya
lebih kepada Yo Kian-hi, "Saudara Yo, jangan
Kembang Jelita 2 / XV 49 terlalu gampang menuduh orang. Kita tahu apa
saja yang sudah dilakukan Helian Kong demi
menyelamatkan San-hai-koan. Suka atau tidak
suka, kau harus mengakuinya sebab kau sendiri
pun melihatnya. Dia bersama kita sejauh ini
tanpa diborgol dan tidak melarikan diri,
tidakkah ini memperlihatkan bagaimana isi
hatinya dan kepeduliannya tentang nasib negeri
ini? Kalau Helian Kong hanya seorang yang
mengagul-agulkan harga dirinya secara sempit,
maukah dia digiring sebagai tawanan sejauh
ini? Apakah selama ini dia kelihatan berusaha
mencari kesempatan melarikan diri, meskipun
terbuka banyak peluang?"
Helian Kong merasa terharu mendengar
pembelaan Tan Wan-wan atas dirinya. Merasa
lega, ada orang yang bisa memahami dirinya.
Sementara Yo Kian-hi menarik napas berulang
kali. Sesaat Tan Wan-wan berpikit, tiba-tiba ia
mengambil sesuatu dari dalam kereta. Itulah
pedang milik Helian Kong, pedang Elang Besi
bersama sarungnya, yang selama ini "ditahan"
Kembang Jelita 2 / XV 50 sebagai simbol bahwa Helian Kong adalah
tahanan. Kini pedang itu diberikannya kepada
Helian Kong melalui jendela.
Yo Kian-hi terkejut, "Tuan Puteri..."
"Aku yang akan bertanggung-jawab kepada
Baginda," Tan Wan-wan menukas. Lalu katanya
kepada Helian Kong, "Saudara Helian, rencana
kita berantakan. Rencana kita hanya bisa
berjalan kalau San-hai-koari masih dikuasai Bu
Sam-kui, tetapi ternyata sekarang sudah
dikuasai musuh. Karena itu, aku atas nama Sri
Baginda Tiong-ong mengambil keputusan untuk
membebaskanmu sekarang, tidak perlu lagi
sampai ke San-hai-koan. Ini pedangmu,
ambillah." Helian Kong menoleh sekejap kepada Yo
Kian-hi sebelum menerima pedang itu. "Terima
kasih, Tuan Puteri..."
Sikap antara Helian Kong dan Tan Wan-wan
memang selalu canggung. Mereka adalah teman
sejak kecil, tumbuh bersama, bahkan pernah
sampai kepada suatu janji bersama untuk
mengarungi kehidupan bersama. Kemudian
Kembang Jelita 2 / XV 51 keadaan memisahkan mereka, dan tahu-tahu
mereka telah berhadapan sebagai musuh
karena Helian Kong adalah panglima dinasti
Beng dan Tan Wan-wan adalah mata-mata
Pelangi Kuning yang menyelundup ke istana.
Bahkan setelah kaum Pelangi Kuning menang
perang pun kecanggungan itu tidak lenyap. Kini,
mereka yang dulu saling memanggil nama
dengan akrab, sekarang harus saling memanggil
dengan sebutan resmi yang membuat tembok di
antara mereka seolah makin tinggi dan tebal.
"Saudara Helian, kau boleh pergi ke mana
saja karena kau orang bebas sekarang. Tetapi
aku hanya ingin menganjurkan satu hal..."
"Aku dengarkan, Tuan Puteri."
"Katakan kepada kawan-kawanmu yang
masih setia kepada dinasti Beng. Situasi
sekarang tidak menguntungkan kalau sesama
bangsa Han terpecah-belah. Ajak temantemanmu melupakan permusuhan, setidaktidaknya untuk sementara, sampai orang
Manchu kita bereskan..."
"Aku juga berpikiran demikian."
Kembang Jelita 2 / XV 52

Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tahu kau berpikiran demikian. Kau
sudah membuktikan kata-katamu dengan
sikapmu. Selamat jalan."
Ternyata meskipun sudah diberi ucapan
selamat jalan, Helian Kong belum juga beranjak
pergi. Ia malah bertanya, "Tuan Puteri hendak
ke mana setelah ini?"
"Tetap menuju ke sebelah timur untuk
bertemu dengan Bu Sam-kui."
Yo Kian-hi terkejut lalu menukas, "Tuan
Puteri, dengan terjunnya orang Manchu ke
arena, situasi tambah berbahaya. Wilayah timur
bukan lagi wilayah yang aman untuk dijalani..."
"Bukankah ada jenderal Lau dan pasukannya?" "Jenderal Lau terpukul mundur oleh
pasukan Manchu yang jauh lebih kuat. Pasukan
Jenderal Lau bukan jaminan keamanan Tuan
Puteri." "Tetapi aku harus menemui Bu Sam-kui."
Helian Kong ikut membujuk Tan Wan-wan,
"Tuan Puteri sebaiknya menuruti saran
Panglima Yo. Tidak ada gunanya menemui Bu
Kembang Jelita 2 / XV 53 Sam-kui saat ini, Bu Sam-kui saat ini bukan lagi
pengambil keputusan penting, ia pasti sudah
dikuasai orang-orang Manchu. Adalah lebih baik
kalau Tuan Puteri tetap di Pak-khia untuk
mendampingi... Sri Baginda dan memberikan
pertimbangan-pertimbangan berharga..."
Alot sekali ketika Helian Kong harus
menyebut Kaisar Tiong-ong dengan sebutan
menghormat "Sri Baginda", sebab itu berarti
mengakui kekuasaan Li Cu-seng yang telah
menumbangkan dinasti Beng. Namun saat itu,
demi tercapainya tujuan kerja sama, biarpun
sementara, antara sisa-sisa dinasti Beng dan
kaum Pelangi Kuning yang harus menghadapi
musuh bersama, balatentara Manchu, terpaksa
Helian Kong menyebut Li Cu-seng dengan "Sri
Baginda". Ternyata sikap Tan Wan-wan tidak
bergeming. Sorot matanya yang tajam
menerawang jauh ke arah timur, ke arah Sanhai-koan seakan-akan ingin melihatnya dari
jendela keretanya. Katanya tegas, "Tidak, aku
tetap harus ke sana. Kalau pun tidak bisa
Kembang Jelita 2 / XV 54 berbicara dengan Bu Sam-kui, aku ingin bicara
dengan Jenderal Lau..."
Yo Kian-hi dan Helian Kong jadi sama-sama
cemas, "Tuan Puteri..."
Namun perkataan mereka dipotong oleh
Tan Wan-wan dengan tegas, "Aku tidak peduli
kalian setuju atau tidak, aku tetap harus pergi
ke garis depan untuk melihat apa yang masih
bisa aku lakukan untuk menyelamatkan
keadaan. Aku sudah jemu mendengar orangorang di luaran menganggapku hanya sebagai
perempuan pembawa bencana bagi negeri..."
Secara bersamaan pula Yo Kian-hi dan
Helian Kong teriris hatinya. Mereka ikut
merasakan pedihnya hati Tan Wan-wan, bahwa
dirinya dijadikan kambing hitam dari pusat
kemelut itu. Tak ada yang mengkritik kenapa
lelaki-lelaki yang menepuk dada sebagai
pemimpin-pemimpin bangsa itu begitu lemah
diombang-ambingkan kecantikan seorang wanita? Kenapa Tan Wan-wan terus yang
disalahkan? Rasa kesal dan penasaran itulah
Kembang Jelita 2 / XV 55 agaknya yang mendorong Tan Wan-wan dalam
niatnya itu. "Tuan Puteri tidak perlu menggubris
omongan orang di luaran..." hibur Yo Kian-hi.
"Biarpun hanya segelintir orang, tetap ada
orang-orang yang memahami perjuangan dan
pribadi Tuan Puteri. Bahkan bukan hanya
orang-orang golongan kita sendiri, tetapi juga
musuh-musuh kita..."
Berkata sampai di sini, Yo Kian-hi melirik ke
arah Helian Kong yang belum pergi-pergi juga,
meskipun sudah dinyatakan bebas.
Helian Kong menyokong, "Betul. Biarpun
perjuanganmu tidak dipahami banyak orang,
tetapi ada juga yang memahaminya. Tidak perlu
mengambil tindakan nekad yang membuat
keadaan tambah keruh..."
"Helian Kong, jadi kau pikir kalau aku ikut
turun tangan menyelesaikan masalah ini,
keadaan tambah ruwet, karena aku perempuan
tidak becus, yang becusnya hanya merayu dan
menggoyahkan iman para lelaki?"
Kembang Jelita 2 / XV 56 Helian Kong terkesiap, ledakan kemarahan
Tan Wan-wan yang ditunjukkan itu menandakan kalau Tan Wan-wan selama ini
memang sudah kesal dan pepat dengan
anggapan kebanyakan orang atas dirinya. Dan ia
ingin melakukan sesuatu yang hebat untuk
menjungkir-balikkan anggapan orang itu.
Helian Kong yang gagah perkasa itu pun
tergagap-gagap di bawah sorot tajam mata Tan
Wan-wan. "Maksudku... maksudku... Lau Congbin itu bukan seorang yang bisa berpikir
panjang, tak ubahnya Bu Sam-kui. Kehadiran
Tuan Puteri di garis depan mungkin sekali akan
mengakibatkan Jenderal Lau mengambil
tindakan tak terduga yang memperkacau
suasana. Bukan Tuan Puteri yang akan
mengacaukan, tetapi Jenderal Lau..."
Begitulah, untuk meredakan hati Tan Wanwan, Helian Kong mencaci baik Bu Sam-kui
maupun Lau Cong-bin yang sama-sama tergilagila kepada Tan Wan-wan. Jadi Helian Kong
secara tersirat tidak menyalahkan Tan Wanwan, melainkan menyalahkan lelaki itu.
Kembang Jelita 2 / XV 57 Namun Tan Wan-wan tak tergoyahkan,
"Panglima Yo, kau mau mengantarku ke garis
depan atau tidak? Kalau kau tidak mau, aku
berangkat sendiri..."
Yo Kian-hi benar-benar tidak punya pilihan
lain, ia tidak tega membiarkan Tan Wan-wan
menuju ke tempat berbahaya tanpa ditemani
orang yang bisa dipercaya. Meski para pengawal
itu pun adalah prajurit-prajurit pilihan yang terpercaya, tentu saja mereka tak bisa diajak
bicara dari hati ke hati. Terpaksalah Yo Kian-hi
berkata, "Aku akan bersama-sama Tuan Puteri."
Sementara Helian Kong pun merasa tidak
sanggup merintangi kehendak Tan Wan-wan
itu. Ia putar kudanya, dan berkata, "Pesanku
untuk Jenderal Lau, aku dan pasukanku
menyediakan diri untuk bekerja sama
membendung pasukan Manchu. Sebagai tanda,
di pasukanku ada tawanan, seorang perwira
bawahan Jenderal Lau yang bernama Ong Lingpo, aku akan melepaskan orang itu."
Habis berkata demikian, berderaplah kuda
Helian Kong meninggalkan rombongan itu.
Kembang Jelita 2 / XV 58 Bagaimanapun Yo Kian-hi belum mempercayai Helian Kong sepercaya Tan Wanwan. Setelah Helian Kong jauh, bertanyalah Yo
Kian-hi kepada Tan Wan-wan, "Tuan Puteri,
bagaimana kalau.. Helian Kong malah
menggabungkan pasukannya dengan pihak Bu
Sam-kui, dan menganggap ini kesempatan
untuk memulihkan kekuasaan Keluarga Cu?"
"Aku kenal dia," sahut Tan Wan-wan
mantap. "Dia tidak mungkin berbuat begitu."
"Tapi dia panglima dinasti Beng yang sangat
gigih dan amat membenci kita," sanggah Yo
Kian-hi. "Dia tahu mana yang paling penting."
Rombongan itu pun melanjutkan perjalanan. Sedang pembawa surat suruhan
Jenderal Lau itu tetap disuruh ke Pak-khia,
ditemani dua orang dari pasukan yang
mengiringi Tan Wan-wan itu.
Pasukan Jenderal Lau yang tinggal separuh
dan menyusun pertahanan di belakang sebuah
bukit itu, terus menerus waspada siang dan
malam mengawasi arah timur. Menurut
Kembang Jelita 2 / XV 59 perhitungan mereka, hanya ada dua jalan dari
arah San-hai-kcan yang bisa dilewati oleh
pasukan besar. Jalan lewat darat hanyalah
melewati selat gunung yang sempit, dan di
tempat itu sudah dijaga kuat oleh pasukan
Jenderal Lau. Jalan kedua ialah jalan air, melalui
sebuah sungai kecil di sebelah utara. Tempat itu
pun sudah dijaga. Di sebelah utaranya lagi
adalah pegunungan yang terjal dan menurut
perhitungan tak mungkin dilalui pasukan besar,
sebab dalam pasukan besar tentu banyak
gerobak-gerobak perbekalan dan lain-lain yang
tidak mungkin dilewatkan jalan pegunungan
yang sempit dan terjal. Sedang di sebelah
selatannya adalah rawa-rawa.
Jenderal Lau sendiri beberapa li di belakang
garis pertahanan, bersama pengawal-pengawal
cantiknya dan seribu pengawal lainnya, ada di
sebuah desa yang dijadikan markas komando.
Setiap saat Jenderal Lau menerima laporan dari
pasukan-pasukannya di garis depan. Dan
semuanya melaporkan kalau dari arah timur
belum kelihatan gerakan tentara Manchu.
Kembang Jelita 2 / XV 60 "Agaknya mereka hanya sekedar ingin
menyelamatkan Bu Sam-kui di San-hai-koan,
tetapi tidak punya nyali untuk maju lebih
lanjut..." kata seorang perwira bawahan
Jenderal Lau yang bernama Tek Un-hap.
Diteruskan dengan jilatannya kepada Jenderal
Lau. "Mereka berhasil sedikit merugikan kita,
karena kita tidak menduga mereka tiba-tiba saja
muncul, di medan pertempuran. Kita tidak
menduga kalau Bu Sam-kui segila itu. Tetapi
sekarang, aku yakin mereka tidak berani
melangkah lebih jauh dari San-hai-koan, mereka
pasti gentar kalau mengetahui di sini ada
Jenderal Penakluk Pak-khia..."
Memang dulu, ketika kaum Pelangi Kuning
merebut Pak-khia dari pemerintahan dinasti
Beng, Jenderal Lau Cong-binlah yang pertama
kali berhasil memasuki Pak-khia, sehingga dia
pun diberi pangkat Panglima Tertinggi oleh
pemerintah yang baru. Jenderal Lau yang
setengah buta huruf itu paling bangga kalau hal
itu diungkit-ungkit, demikian pula saat itu.
Kembang Jelita 2 / XV 61 "Kalau bala bantuan dari Pak-khia sudah
tiba, kita maju kembali ke San-hai-koan dengan
kekuatan penuh, dan kita rebut kota itu!" sahut
Jenderal Lau. "Aku masih belum kehilangan impianku
untuk menunjukkan batok kepala Bu Sam-kui
kepada Tan Wan-wan..."
Perwira yang menjadi tangan kanan Lau
Cong-bin, Deng Hu-koan, memperingatkan Lau
Cong-bin sebagai imbangan perkataan Tek Unhap yang bersifat meninabobokan itu,
"Bagaimanapun, kita tidak boleh mengendorkan
kewaspadaan sedetik pun. Kita sudah belajar
satu hal, bahwa orang Manchu ternyata
bergerak tak terduga, diluar perhitungan..."
Jenderal Lau menguap lebar sambil bangkit
dari kursinya, dan berkata, "Tentu saja kita
harus tetap waspada, tetapi jangan sampai
mengeluarkan kata-kata yang melemahkan
semangat prajurit kita dan terlalu memuji
musuh. Sekarang aku mengantuk dan ingin
beristirahat dulu. Deng Hu-koan, kau terima
Kembang Jelita 2 / XV 62 dulu semua laporan dari garis depan dan


Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

laporkan kepadaku besok pagi."
"Baik, Jenderal."
Kemudian Jenderal Lau meninggalkan
ruangan itu, kedua tangannya merangkul dua
orang pengawal cantik di kiri-kanannya. Deng
Hu-koan maupun Tek Un-hap tidak percaya
kalau Si Jenderal hidung-belang mereka itu
begitu dalam kamar akan langsung beristirahat.
Penjagaan di seluruh sudut desa yang
dijadikan markas komando itu cukup ketat,
mengingat keselamatan Jenderal Lau sendiri.
Tidak ada sudut-sudut desa yang dibiarkan
gelap di malam hari, semua sudut dipasangi
obor sehingga kalau ada gerakan-gerakan apaapa akan segera diketahui. Ketenteraman hidup
penduduk desa itu jadi amat terganggu dengan
kehadiran serdadu-serdadu itu, siang maupun
malam. Tetapi penduduk tak berdaya itu bisa
berbuat apa? (Bersambung jilid XVI) Kembang Jelita 2 / XV 63 Sumber Image : Koh Awie Dermawan
first share in Kolektor E-book
Pringsewu 29/07/2018 14 : 23 PM
Kembang Jelita 2 / XV 64 Kembang Jelita 2 / XVI 1 ( Bagian II ) JILID XVI Karya : STEVANUS S.P. pelukis : WIDODO Percetakan & Penerbit
CV "G E M A" Mertokusuman 761 RT 02 RW VII
Tilpun 35801 - SOLO 57122
Kembang Jelita 2 / XVI 2 Kembang Jelita 2 / XVI 1 KEMBANG JELITA PERUNTUH TAHTA 2 Karya : STEFANUS S.P. Jilid XVI B egitu pula malam itu, penduduk desa
tidurnya tidak senyenyak malam-malam
sebelumnya. Sebentar-sebentar terdengar derap kaki kuda yang hilir mudik, atau derap
langkah prajurit-prajurit yang merondai
jalanan-jalanan desa. Masih lumayan kalau
cuma begitu, kadang-kadang di larut malam
para prajurit tidak segan-segan menggedor
rumah penduduk untuk minta minuman atau
makanan, atau bahkan menggoda perempuanperempuan muda yang cantik sampai
menodainya. Jenderal Lau tidak mengendalikan
orang-orangnya, sebab ia beranggapan bahwa
Kembang Jelita 2 / XVI 2 prajurit-prajuritnya dalam menjalankan tugas
itu membutuhkan "hiburan" sedikit.
Malam itu, penduduk desa bakal mendapat
gangguan tambahan yang tidak kecil.
Ketika tanda waktu tengah malam berbunyi,
maka di semak-semak belukar di luar desa, juga
di ladang-ladang penduduk di luar desa yang
tidak terjangkau obor-obor yang ditancapkan di
pintu gerbang desa, tiba-tiba saja bermunculan
sosok-sosok bayangan yang semula bertiarap di
tanah. Kemudian tanpa suara tetapi tertib,
menurut sasaran yang sudah ditetapkan
masing-masing, mereka bergerak mengendap
mendekati desa dengan senjata-senjata terhunus. Langkah mereka tidak menimbulkan
suara berisik, menyelinap.
Beberapa prajurit Pelangi Kuning yang
berjaga-jaga di pintu gerbang desa pun tiba-tiba
mengaduh ketika luncuran panah-panah dari
balik tirai kegelapan menancap di dada mereka.
Prajurit-prajurit yang lainnya terkejut.
Mereka terlanjur menganggap musuh bakalan
menyerbu dari timur dan harus melewati garis
Kembang Jelita 2 / XVI 3 pertahanan mereka, dan desa yang dijadikan
markas itu aman sebab letaknya di garis
belakang, tiba-tiba malam ini musuh muncul
tanpa suara dari sebelah barat. Keruan prajuritprajurit Lau Cong-bin jadi panik menanggulangi
keadaan. "Awas musuh!" "Bunyikan tanda bahaya!"
"Panggil teman-teman!"
"Tutup pintu gerbang!"
Ada yang berteriak "tutup pintu gerbang"
sebab para prajurit di desa itu terbiasa
membiarkan pintu-pintu gerbang desa terbuka
di malam hari, karena terlalu merasa aman, di
pintu-pintu gerbang itu mereka terbiasa dudukduduk sambil makan kacang atau kuaci dan
menenggak arak. Dan malam itu mereka
mendapat suguhan "yang lain kecuali kuaci dan
arak". Sementara para prajurit itu berteriak teriak,
hujan panah dari kegelapan tidak berhenti dan
terus minta korban. Para pemanah dari
kegelapan itu tidak memanah secara
Kembang Jelita 2 / XVI 4 sembarangan, tetapi agaknya adalah pemanahpemanah mahir, bahkan amat mahir. Anak
panah yang mereka hamburkan tidak terlalu
banyak, tetapi hampir tidak ada anak panah
yang jatuh ke tanah dengan sia-sia. Hampir
semua anak panah menancap ke tubuh
sasarannya, bahkan sasaran yang sedang
berlari. Bahkan kemudian dari kegelapan itu
muncul orang-orang yang langsung menyerbu
ke pintu gerbang desa. Waktu itu, para prajurit
Pelangi Kuning yang masih lolos dari panah
sudah masuk ke sebelah dalam pintu gerbang
dan berusaha menutup pintu gerbang, sepasang
daun pintu itu sudah hampir terkatup
sepenuhnya, namun penyerbu-penyerbu dari
luar itu berusaha menahannya, sehingga
beberapa saat terjadi dorong mendorong.
Dari atas tembok desa yang dibangun dari
tanah liat dan batu-batu serta kayu itu, prajuritprajurit Pelangi Kuning mencoba menghalau
penyerbu-penyerbu dengan memanah dan
menjatuhkan benda-benda berat. Tetapi mereka
Kembang Jelita 2 / XVI 5 lupa pemanah-pemanah mahir yang masih
bersembunyi di kegelapan, di antara pohonpohon kebun penduduk di luar desa. Kalau
prajurit Pelangi Kuning yang muncul di atas
tembok hanya muncul setengah badan, ya
bagian badannya yang muncul itulah yang kena.
Kalau yang muncul jidatnya, ya jidatnyalah yang
kena. Menghadapi musuh sehebat ini, prajuritprajurit Lau Cong-bin ini berkerut nyalinya.
Tetapi demi tugas, mereka bertahan matimatian, apalagi karena di desa itu ada Jenderal
Lau, pimpinan tertinggi seluruh pasukan,
bahkan adalah Panglima Tertinggi dari
pemerintah yang baru. Sementara itu, acara "dorong-mendorong
pintu" sudah berakhir. Sebelah daun pintu
gerbang itu sudah berhasil didorong terbuka
dari luar oleh para penyerbu. Prajurit-prajurit
Pelangi Kuning yang bertahan di belakang daun
pintu yang terbuka itu jatuh telentang
bertumpuk-tumpuk, segera diinjak dan ditikam
dengan ganas oleh penyerbu-penyerbu itu.
Kembang Jelita 2 / XVI 6 Kalau sebelah pintu sudah terbuka, yang
setengah lagi juga percuma dipertahankan matimatian. Prajurit-prajurit Jenderal Lau yang
semula mempertahankan dengan menahan
daun pintu yang sebelah itu pun berlari-larian
mundur, dan kini mereka mempertahankan
desa dengan cara lain. Dengan senjata.
Para penyerbu menyerbu masuk ke dalam
desa melalui pintu yang sudah terbuka itu.
Mereka beringas menerjang prajurit-prajurit
Pelangi Kuning yang bertahan di ujung lorong,
mencoba menahan jangan sampai penyerbupenyerbu memasuki desa. Bala bantuan dari
dalam desa terus berdatangan, tetapi di pihak
penyerbu juga terus kedatangan bala bantuan.
Para prajurit Pelangi Kuning itu dulunya
adalah pejuang-pejuang yang gigih, semasa
mereka masih hidup prihatin sebagai laskar
yang memberontak terhadap dinasti Beng.
Kemudian ketika mereka menang, mereka
memang agak terlena dan mabuk kemenangan,
agak kendor semangatnya. Kini, menghadapi
penyerbu-penyerbu yang ganas ini, semangat
Kembang Jelita 2 / XVI 7 juang prajurit Pelangi Kuning yang sudah
terkubur pun mulai bangkit sedikit demi sedikit.
Dengan teriakan-teriakan saling membangkitkan semangat, semangat mereka
jadi berkobar dan melakukan perlawanan
dengan gigih. Begitulah, terjadi pertempuran sengit di
ujung lorong desa. Tetapi karena kedua belah
pihak kedatangan bala-bantuan, arena yang
sempit itu jadi memadat. Di pihak penyerbu,
barisan belakangnya yang ingin segera
"mencicipi" suasana pertempuran itu tidak
sabar lagi berdesak-desakan antri di belakang.
Mereka mendobrak masuk ke halaman-halaman
rumah di sebelah-menyebelah jalan, lalu
mencari sendiri jalan ke "garis depan". Dengan
demikian pertempuran pun tidak bisa dibatasi
hanya di lorong ujung desa, melainkan
menyebar ke sudut-sudut desa, ke setiap lorong,
setiap halaman rumah. Musuh dan teman bisa
muncul dari arah mana saja di desa itu.
Seorang perwira Pelangi Kuning menjadi
gusar melihat ulah penyerbu-penyerbu itu,
Kembang Jelita 2 / XVI 8 tetapi dalam gusarnya dia seperti diingatkan
akan model pertempuran seperti itu. Dulu,
laskar Pelangi Kuning (yang ketika itu masih
disebut pemberontak)juga sering menggunakan
siasat itu kalau menyerang dan merebut desadesa yang menjadi markas pasukan Kerajaan
Beng. Karena itu, ia meneriaki pasukannya,
"Jangan bingung! Kita tidak asing dengan siasat
ini. Perkuat penjagaan di sekitar sasaran utama
mereka!" Biasanya serangan seperti itu akan
ditujukan ke sasaran utama dalam desa, dan si
perwira menyadari bahwa sasaran utama
malam itu pastilah rumah si Kepala Desa yang
sedang menjadi tempat kediaman Jenderal Lau.
Dengan aba-aba perwira itu, pasukan
Pelangi Kuning di desa itu tidak mau meladeni
munculnya musuh di mana saja, mereka sadar
bahwa musuh hanya ingin memecah-mecah
perhatian kemudian menyerbu langsung ke
sasaran utama. Dalam serbuan model begitu,
biasanya di belakang atau di tengah-tengah
pasukan yang menyerang itu sudah disiapkan
Kembang Jelita 2 / XVI 9 semacam "regu inti" yang kecil tapi tangguh,
yang dikhususkan menggempur sasaran utama.
Kaum Pelangi Kuning sendiri dulu sering
melakukan yang demikian. Pertempuran menghebat di segala sudut.
Pasukan Pelangi Kuning memberi perJawanan
sengit, dan mereka Tidak lagi bertempur tanpa
arah, melainkan memusatkan diri hanya
melindungi tempat-tempat yang sekiranya
menjadi sasaran musuh, seperti kediaman
Jenderal Lau atau rumah si saudagar beras di
mana "calon isi perut" prajurit-prajurit di desa
itu tersimpan. Pihak penyerbu mencoba
memecah-mecah perhatian dengan melakukan
pembakaran di beberapa tempat, namun para
perwira Pelangi Kuning tetap mengendalikan
anakbuah masing-masing agar tidak mudah
terpancing. Bagaimanapun, pertempuran di loronglorong dan di halaman-halaman, di kebunkebun, tetap saja berlangsung. Dalam suasana
hati yang panas dan tidak banyak pertimbangan


Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di kedua pihak, keselamatan penduduk tidak
Kembang Jelita 2 / XVI 10 lagi terlalu digubris oleh kedua pihak. Bahkan
pertempuran tidak lagi sekedar di halamanhalaman, tetapi masuk ke rumah-rumah, di
kamar-kamar, di ruangan-ruangan dalam
rumah. Sehingga sekarang arena itu "dimeriahkan" tidak hanya oleh dentangdenting senjata beradu, teriakan kemarahan,
kesakitan dan kematian, teriak aba-aba para
perwira di kedua pihak, melainkan juga jerit
tangis wanita dan anak-anak yang meratap
dalam ketakutan tanpa harapan, melihat
prajurit-prajurit garang saling sembelih di
depan mata mereka. Tambah ramai lagi ketika
suara ayam, kambing, lembu dan ternak-ternak
lainnya pun terdengar di sana-sini. Entah
karena lepas dari kandang, entah karena
kandangnya terbakar. Maka tidak aneh kalau di
tengah-tengah pertempuran kelihatan ayam
beterbangan panik atau lembu melenguhlenguh berlari-lari kian kemari.
Pihak Pelangi Kuning belum melihat "regu
inti" di pihak musuh yang akan menuju ke
sasaran utama, agaknya pihak musuh masih
Kembang Jelita 2 / XVI 11 ingin mengacau di mana-mana. Namun pihak
Pelangi Kuning tetap waspada.
Keributan itu membangunkan Jenderal Lau
dari tidurnya. Bergegas dia mengenakan
pakaiannya, dan dengan matanya yang masih
setengah tertutup dia keluar dari kamarnya
dengan langkah sempoyongan, tanyanya kepada
seorang penjaganya di luar, "Ada apa? Suara apa
yang ribut-ribut itu?"
Pengawal yang cantik itu menjawab dengan
tegang, "Serbuan musuh, Jenderal..."
"Bangsat! Bagaimana musuh bisa sampai
kemari? Benar-benar kantong nasi semua
prajurit-prajurit kita yang dipasang di selat
gunung dan di tepi sungai itu, sampai bisa
ditembus musuh..." "Kata prajurit yang melaporkan, musuh ini
munculnya dari sebelah barat, bukan dari
timur..." "Dari sebelah barat? Mereka ini pasukan
dari pihak mana?" "Belum diketahui, Jenderal."
"Mana Deng Hu-koan?"
Kembang Jelita 2 / XVI 12 "Sedang melihat keadaan di luar, Jenderal,
dan akan segera kembali untuk melapor..."
Baru selesai kata-kata itu, di halaman luar
sudah terdengar suara derap kuda yang
mendekat dan berhenti di halaman. Kemudian
muncullah Deng Hu-koan dengan wajah yang
tegang dan berkeringat, meskipun malam itu
cukup dingin sebenarnya. "Bagaimana?" sambut Jenderal Lau.
"Jangan khawatir, Jenderal. Prajurit-prajurit
kita kelihatannya bisa mengendalikan situasi,
meskipun sergapan musuh cukup mendadak.
Penjagaan di sekitar tempat ini juga sudah
diperkuat..." "Apakah mereka mengincar tempat ini?"
tanya Lau Cong-bin tergagap, tidak sanggup
menunjukkan "kegagahannya" seperti biasanya.
Bahkan dengkulnya agak gemetar.
Jawaban Deng Hu-koan bernada menghiburkan,"Meskipun seandainya demikian,
Jenderal, mereka akan membentur tembok besi.
Seputar tempat ini sudah dijaga kuat. Jenderal
aman di sini." Kembang Jelita 2 / XVI 13 Lau Cong-bin mengangguk-angguk dan
merasa agak tenang. "Pasukan mana mereka?"
"Sulit dipastikan. Mereka berpakaian biasa,
tidak berseragam. Tetapi ketangkasan dan
keberanian mereka dari kelas prajurit-prajurit
pilihan." "Apakah kau sudah melepas isyarat untuk
minta bantuan dari pasukan di sebelah timur?"
"Sudah, Jenderal."
Nyali Jenderal Lau pulih kembali, suaranya
kembali bernada garang dan tidak gemetar lagi,
"Bagus. Siapa pun mereka, mereka sudah berani
menepuk lalat di atas kepada harimau, dan
mereka akan membayar harga ketololan
mereka dengan nyawa mereka. Perintahku
harus kau sampaikan ke setiap prajurit, bunuh
penyerbu-penyerbu itu sampai orang terakhir!"
"Baik, Jenderal, tetapi... agak susah
membedakan orang-orang itu dengan penduduk desa ini. Pakaian mereka..."
"Tidak peduli! Lebih baik keliru membunuh
orang, daripada membiarkan satu orang musuh
ketinggalan hidup!" Kembang Jelita 2 / XVI 14 Deng Hu-koan menarik napas dan tidak bisa
membantah lagi. Berat hatinya mengingat
penduduk desa ini sudah menyumbangkan
bahan makanan untuk para prajurit. Tetapi
perintah Sang Jenderal tidak dapat diganggugugat.
Ketika Deng Hu-koan hendak berlalu untuk
menyebarkan perintah itu, tiba-tiba Jenderal
Lau berkata, "He, apakah kau tidak lupa
menjaga gudang perbekalan kita?"
Yang dimaksud adalah rumah Si Juragan
Beras yang menyimpan puluhan karung beras
dagangan itu. Sejak Jenderal Lau di desa itu
bersama pengawal-pengawalnya, sebutan untuk
rumah itu adalah "gudang perbekalan kita".
Sahut Deng Hu-koan, "Tentu saja sudah,
Jenderal. Kami menyadari, tempat itu mungkin
sekali menjadi sasaran musuh."
"Bagus." Deng Hu-koan pun meninggalkan ruangan
itu, untuk mengendalikan pasukannya di manamana.
Kembang Jelita 2 / XVI 15 Di bagian lain dari desa, yaitu di rumah Si
Juragan Beras, memang nampak penjagaan yang
ketat, tidak kalah ketatnya dengan penjagaan di
rumah Kepala Desa yang ditempati Jenderal
Lau. Ratusan prajurit dipusatkan di sekitar
tempat itu. Di halaman maupun di luar halaman.
Sekian lama pertempuran di tempat lain
berjalan, dan suaranya terdengar dari tempat
itu, tetapi ternyata pertempuran belum juga
sampai ke tempat itu. Belum satu musuh pun
menongolkan batang hidungnya di tempat itu.
"Kita tetap harus bersiaga," pesan
komandan regu yang bertanggung jawab untuk
pengamanan tempat itu. Di dalam rumah yang penghuninya lima
orang, lelaki semua, adalah Si Juragan Beras
yang mengaku sebagai seorang duda yang
katanya isterinya sudah meninggal sepuluh
tahun yang lalu. Dua anaknya laki-laki semua,
pemuda-pemuda yang tegap dan tangkas, satu
pembantu rumah tangga yang juga laki-laki dan
satu lagi pegawai yang sering diajak-ajak
bepergian, katanya untuk "Berdagang beras".
Kembang Jelita 2 / XVI 16 Kini, selagi seluruh penduduk kampung
menggigil ketakutan mendengar suara keributan, kelima penghuni rumah Si Juragan
Beras itu justru tenang-tenang saja. Mereka
berkumpul di sebuah ruangan tertutup, di
bawah penerangan cahaya hanya sebatang lilin.
Mereka tidak mem-pedulikan derap kaki
prajurit-prajurit di luar rumah.
Si Juragan Beras yang sehari-harinya
dikenal sebagai orang ramah dan suka tertawa
di kampung itu, tetapi sekarang ia nampak
begitu berwibawa. Ia berjalan hilir-mudik di
ruangan itu dengan wajah sungguh-sungguh,
sikapnya lebih mirip seorang perwira tinggi di
hadapan perwira-perwira bawahannya daripada seorang saudagar. Kalau saudagar
berwajah seangker itu, pasti dagangannya tidak
laku, "Semuanya berlangsung sesuai dengan!
rencana, teman-teman kita bergerak pada
waktu yang tepat. Sekarang kita lakukan bagian
kita. Kalian siap?" Kembang Jelita 2 / XVI 17 Kedua orang "anak" si saudagar serta si
"pembantu rumah tangga" dan si "pegawai"
yang satunya lagi, sama-sama mengangguk
mantap. "Karung-karung beras itu sudah kalian
pindahkan ke ruangan bawah tanah?" ! tanya Si
Juragan. Si "pembantu rumah tangga" menjawab
mewakili lain-lainnya, "Sudah. Dan kami
gantikan dengan karung-karung berisi serbuk
gergaji dan apa saja yang tidak berharga. Tetapi
untuk menghapus kecurigaan garong-garong
kelaparan itu, siang tadi aku masih setorkan
satu karung beras untuk dimasak. Dan sore ini
ketika seorang perwira mereka memeriksa
gudang kita, mereka puas melihat karungkarung masih di tempatnya, tidak tahu isinya
sudah bukan beras..."
Si Juragan Beras tersenyum, "Kalau begitu,
kita mulai sekarang."
Lalu mereka berlima mencopot jubah luar
mereka, dan ternyata ai bagian dalam pakaian
mereka sudah memakai pakaian ringkas.
Kembang Jelita 2 / XVI 18 Mereka berlima pun menyelundup keluar
menuju ke gudang beras di halaman belakang.
Di halaman belakang itu tidak ada prajurit
seorang pun, semuanya berjaga hanya di
halaman depan atau di lorong-lorong di sekitar
rumah, di luar tembok yang menjadi batas hak
milik Si Juragan Beras. Mereka tanpa ragu-ragu membuka pintu
gudang beras, lalu melemparkan sebatang obor
ke tumpukan karung-karung itu, lalu
menutupnya kembali. Sebelum api berkobar
menjadi besar dan diketahui semua orang,
mereka berlima menghilang, lewat sebuah
lorong rahasia yang mulut lorongnya ada di
dapur, di bawah sebuah tong kayu yang besar.
Dan apa yang mereka tinggalkan di gudang
itu pun dengan cepat membesar, sebab karungkarung itu memang berisi bahan-bahan yang
mudah terbakar, seperti sekam, jerami, daundaun kering dan sebagainya. Ketika api
berkobar hebat, barulah prajurit yang berjaga
menyadarinya, dan mereka dengan panik
berusaha memadamkan api, karena menyangka
Kembang Jelita 2 / XVI 19 kalau gudang itu masih berisi beras calon
ransum mereka. Untuk mempercepat pemadaman api,
penduduk desa dibangunkan dan disuruh
membantu memadamkan api. Dalam kepanikan dan kekacauan, belum ada
yang sempat bertanya-tanya kenapa si
"saudagar beras" dan seisi rumahnya tidak
kelihatan batang hidungnya.
Karena Si Pedagang Beras sendiri bersama
keempat orang lainnya sudah muncul di bagian
desa yang lainnya, setelah keluar dari lorong
rahasia mereka. Bahkan dengan senjata-senjata
terhunus, mereka memasuki arena

Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pertempuran di jalan utama desa itu. Ternyata
mereka berlima tangkas-tangkas. Si pedagang
beras yang sehari-harinya kelihatan loyo dan
kalau berjalan selalu melangkah perlahanlahan,
sekarang benar-benar berbeda penampilannya, la membuat lompatanlompatan panjang ke sana ke mari bagaikan
seekor belalang, senjatanya yang berujud Liancu-tui (Rantai dengan bola besil), berdesing
Kembang Jelita 2 / XVI 20 kian kemari dan sudah meretakkan beberapa
tulang tengkorak prajurit-prajurit Pelangi
Kuning. Para prajurit Pelangi Kuning banyak yang
mengenalinya sebagai si "saudagar beras" dan
mereka terkejut melihat orang tua ini tiba-tiba
seganas serigala kelaparan di arena pertempuran. Ternyata keempat pengikutnya yang seharihari menyamar sebagai anak-anak dan pegawaipegawainya, juga menunjukkan ketangkasan
luar biasa. Dua pemuda yang berwajah mirip
satu sama lain,, yang dikenal penduduk
kampung itu sebagai "anak-anak si saudagar
beras", masing-masing bersenjata pedang,
mengamuk dengan hebat di antara prajuritprajurit Pelangi Kuning.
Begitu juga dua orang "pegawai" mereka.
Mereka berlima mendesak sampai mendekati pimpinan dari kelompok penyerbu
itu. Pimpinan kelompok penyerbu melihat
kedatangan mereka, lalu berkata, "Kalian sudah
kami tunggu-tunggu! Kembang Jelita 2 / XVI 21 la membuat lompatan-lompatan panjang ke sana ke
mari bagaikan seekor belalang, senjatanya yang
berujud Lian-cu-tui (Rantai dengan bola besil),
berdesing kian kemari dan sudah meretakkan
beberapa tulang tengkorak prajurit-prajurit
Pelangi Kuning. Kembang Jelita 2 / XVI 22 Si Saudagar Beras bergulingan dengan
tangkas karena ada sambaran senjata dari
belakang, dan sambil berguling ia juga
membandringkan Lian-cu-tuinya yang tepat
mengenai wajah penyerangnya sehingga remuk.
Sambil melompat berdiri kembali, ia menjawab
si pemimpin kelompok penyerbu, "Yang lainlainnya apakah sudah siap?"
Si Pemimpin penyerbu melompat mundur
meninggalkan lawannya, yaitu seorang perwira
Pelangi Kuning, dua orang bawahannya
menggantikan menghadapi perwira ini.
Langsung Si "pedagang beras" bermeneriakkan
kata-kata rahasia. Sebagai jawaban dari kode itu, dari barisan
belakang kawanan penyerbu muncul suatu
barisan yang jumlahnya tidak terlalu banyak
dibandingkan dengan keseluruhan yang terlibat
pertempuran di situ. Inilah regu-inti yang akan
ditargetkan menghancurkan sasaran utama.
Keseluruhan pasukan penyerbu itu sudah
menampakkan diri sebagai prajurit-prajurit
berkwalifikasi istimewa, sedangkan kedua ratus
Kembang Jelita 2 / XVI 23 orang ini dipilih dari yang istimewa-istimewa
itu, tentu saja mereka ini orang-orang yang
lebih istimewa lagi. Si "pedagang beras" dan keempat orangnya
segera bergabung dengan regu yang istimewa
dari antara yang istimewa ini. Langsung Si
"pedagang beras" bertindak sebagai penunjuk
jalan untuk regu ini, ke arah rumah yang
ditempati Jenderal Lau. Begitu regu istimewa ini bergerak, s.gera
terasa kalau regu ini memang memiliki daya
dobrak yang hebat. Gerak majunya menimbulkan gelombang tekanan ke pihak
Pelangi Kuning. Selain itu, pe-nyerbu-penyerbu
lain yang tidak termasuk dalam regu istimewa
ini sudah diperintahkan untuk membantu
supaya gerak maju regu istimewa ini selancar
mungkin. Begitulah, di tengah hiruk-pikuknya
pertempuran, regu ini mendobrak maju dengan
langkah pesat ke arah rumah yang ditempati
Jenderal Lau. Sudah gamblang kalau pihak
musuh hendak melakukan siasat "memukul ular
Kembang Jelita 2 / XVI 24 memukul kepalanya dulu" dan Jenderal Lau
Cong-binlah yang dianggap dan diincar sebagai
"kepala ular" itu.
Prajurit-prajurit Pelangi Kuning dalam
kelompok-kelompok yang kurang rapi, dibentuk
seadanya, mencoba membendung gerak maju
pasukan istimewa musuh ini di lorong-lorong
desa. Tetapi selalu saja rintangan-rintangan itu
tidak..dapat bertahan lama dan bobol terceraiberai dalam waktu singkat.
Si "saudagar beras" dengan bandringan-nya
adalah salah satu ujung tombak terdepan regu
istimewa itu. Deng Hu-koan yang sedang meninjau ke
seluruh, sampai ke tempat itu, dan matanya
yang berpengalaman itu langsung melihat
sumber masalahnya. Regu istimewa yang
sedang bergerak maju hampir tanpa hambatan
berarti itulah masalahnya. Deng Hu-koan juga
tercengang melihat si "saudagar beras" yang
biasanya klelar-kleler itu sekarang beringas
seperti serigala kelaparan. Deng Hu-koan
adalah seorang perwira tinggi, bahkan tangan
Kembang Jelita 2 / XVI 25 kanan Jenderal Lau, namun dalam hal
pertarungan pribadi atau perorangan, ia bukan
jagoan. Ia mencapai kedudukannya karena
sumbangan pikirannya dalam taktik militer dan
berhasil menyenangkan hati Lau Cong-bin,
unsur terpenting kenaikan pangkat di antara
orang-orang bawahannya Lau Cong-bin. Maka
melihat keberingasan si "saudagar beras", Deng
Hu-koan tidak berani menghadapinya sendiri.
Ia malahan mundur amblas ke tengahtengah prajurit-prajuritnya, dan memberi
perintah, "Coba tahan mereka dengan senjatasenjata jarak jauh!"
Apa yang diperintahkan itu sudah dicoba
sebelumnya dengan hasil tidak banyak, toh
sekarang dicoba lagi karena perintah Deng Hukoan. Begitulah para pemanah dan pelempar
lembing kembali mencari posisi mereka.
Sementara Deng Hu-koan sendiri malah
mundur menyusup jauh ke garis belakang,
sambil meninggalkan pesan untuk orang-orang
garis depan, "Bertahanlah sekuat tenaga. Aku
akan menyusun pertahanan yang memadai di
Kembang Jelita 2 / XVI 26 belakang. Nanti begitu ada isyarat, baru kalian
boleh mundur, sebelum ada isyarat, jangan
bergeser dari tempat ini..."
Habis memberi perintah, ia menghilang ke
garis belakang. Ternyata bagi orang-orangnya di garis
depan, sunggun sulit menjalankan perintah itu.
Tekanan regu istimewa itu terlalu hebat,
sehingga sedikit demi sedikit mereka bergeser
mundur juga. Si pemimpin dari regu istimewa itu,
memberi aba-aba, "Perlebar arena."
Orang-orangnya yang di bagian belakang
lalu masuk ke halaman rumah-rumah
penduduk, dan terlihat betapa gampangnya
mereka melompati tembok halaman rumah
penduduk yang tingginya dua meter itu. Bahkan
ada yang maju ke depan dengan berlari-lari
menyusuri tembok yang lebarnya hanya
sejengkal itu. Prajurit-prajurit Pelangi Kuning agak
terguncang semangatnya melihat kemampuan
perorangan regu istimewa musuh mereka itu.
Kembang Jelita 2 / XVI 27 Tetapi mereka pun cukup gigih. Dalam keadaan
terjepit, semangat Pelangi Kuning yang dulu
pernah membara ketika mereka masih menjadi
pe-juang-pejuang yang penuh keprihatinan,
sebelum mereka menang perang dan menjadi
prajurit-prajurit "manja", sekarang semangat
itu seakan kembali muncul dari persembunyian
mereka. Apalagi di antara prajurit-prajurit itu
ada yang meneriakkan slogan-slogan perjuangan yang dulu, yang membakar
semangat. Dengan demikian, bagaimanapun tangguhnya regu istimewa dari pihak penyerbu
itu, mereka ternyata tidak menghadapi lawanlawan empuk.
Terhadap penyerbu-penyerbu yang menyusur di atas tembok itu, prajurit-prajurit
Pelangi Kuning mencoba menyerampang kaki
mereka dari bawah tembok dengan menggunakan tombak-tombak mereka. Atau
memanah dan melempari mereka dengan
Jembing. Dua tiga orang penyerbu memang
berhasil dijatuhkan. Kembang Jelita 2 / XVI 28 Tetapi penyerbu yang tidak berhasil
dijatuhkan, segera terjun ke bawah, ke tengahtengah prajurit-prajurit Pelangi Kuning di garis
belakang. Dan makin banyak penyerbu .yang
melakukan hal itu. Ada yang menyelinap ke
halaman rumah penduduk, kemudian muncul
dari lorong yang lain, dan menyerang lambung
pasukan Pelangi Kuning. Ada juga yang
menyusur tembok, tetapi karena tidak bisa
melompat tembok seperti teman-teman
mereka, pnaka untuk naik ke atas tembok
mereka harus menginjak pundak teman-teman
mereka. Demikianlah, makin panas pertempuran itu,
makin panas pula hati orang di kedua pihak, dan
keberanian yang ditunjukkan oleh kedua belah
pihak pun makin tidak masuk akal.
Garis pertempuran menjadi tercerai berai,
tetapi regu istimewa kaum penyerbu itu
agaknya tetap diingatkan akan tugas khusus
mereka. Mereka tidak mau berpencaran. Kalau
pun mereka berpencaran, itu hanya sementara
untuk mengatasi hambatan. Begitu hambatan
Kembang Jelita 2 / XVI 29 berhasil mereka atasi, mereka berkumpul
kembali menjadi satu barisan yang seperti
sebuah perahu yang melaju di tengah-tengah
air, memecah gelombang-gelombang kecil.
Yang menghebat bukan hanya pertempuran
yang dialami regu istimewa itu, melainkan oleh
kedua belah pihak di seluruh sudut desa di
mana pun pertempuran terjadi.
Desa yang di hari-hari sebelumnya tenteram
dan damai, sekarang benar-benar seperti
neraka. Api menyala di mana-mana, menerangi
malam, menerangi sosok-sosok tubuh berlumuran darah yang bertebaran di manamana. Atau sosok tubuh yang masih bisa
merintih, bahkan masih ada yang bisa


Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merangkak atau merayap perlahan menghindari arena sebelum dihabisi sama
sekali. Regu istimewa yang disiapkan musuh untuk
membunuh Jenderal Lau itu maju terus sampai
ke pinggir alun-alun desa yang tidak seberapa
besarnya. Di seberang lapangan itulah rumah
Kepala Desa yang didiami Jenderal Lau dan
Kembang Jelita 2 / XVI 30 pengawal-pengawalnya. Di lapangan di depan
rumah, prajurit-prajurit Pelangi Kuning
berbaris berlapis-lapis. Sebagian berjongkok
dan sebagian berdiri, dengan panah-panah
sudah terpasang di tali busur. Di atas tembok
rumah Kepala Desa juga kelihatan pengawalpengawal wanita Jenderal Lau nongol setengah
badan dengan panah siap ditembakkan pula.
Kali ini agaknya regu istimewa kaum
penyerbu itu akan menghadapi perlawanan
yang agak istimewa. Yang memimpin pasukan yang berlapislapis di depan rumah itu adalah Deng Hu-koan
sendiri. Begitu melihat ujung dari regu penyerbu itu
muncul di pinggir lapangan, Deng Hu-koan
mengibaskan pedangnya, dan serempak ratusan
prajurit melepaskan panah mereka sehingga
seperti air hujan lebatnya.
Namun agaknya regu penyerbu itu sudah
memperhitungkan hal itu, dan mereka sudah
punya persiapan untuk itu. Sebelum mereka
sampai ke muara lorong yang menyambung ke
Kembang Jelita 2 / XVI 31 lapangan, dengan aba-aba singkat, puluhan
orang dari antara regu istimewa itu sudah
mengeluarkan perisai-perisai rotan ringan yang
tadinya digendong di punggung. Perisai-perisai
itu berbentuk persegi dan lebar, sehingga ketika
digendong jadi seperti batok kura-kura. Kini,
pembawa perisai-perisai itu pun membuat
"dinding" di mulut lorong yang menghadap
lapangan. Satu baris berjongkok dan satu baris
lainnya berdiri, menyusun perisai-perisai itu
rapat bagaikan dinding. Semua panah yang
dilontarkan pasukan Deng Hu-koan terdampar
di "tembok" anyaman rotan ini.
Dari belakang "tembok" ini, pihak penyerbu
tidak tinggal diam, melainkan membalas.
Mereka yang bertugas memanah mengambil
busur-busur dari punggung mereka. Sebagaimana perisai-perisai anyaman rotan
mereka berukuran raksasa, ternyata begitu pula
busur-busur dan anak-anak panah mereka.
Busur-busur macam ini di Jepang dikenal dalam
seni memanah. Kyujitsu, panjangnya busur
lebih panjang dari panjang tubuh pemanahnya
Kembang Jelita 2 / XVI 32 sendiri, begitu pula anak-anak panahnya seperti
lembing kecil karena ukurannya yang luar biasa.
Dalam pertempuran di medan yang sempit,
panah-panah gaya Kyujitsu macam itu akan
menyulitkan diri sendiri. Tetapi di medanmedan terbuka, panah itu sangguh menjangkau
hampir dua kali lipat dari panah biasa.
Di belakang "tembok rotan", pemanahpemanah gaya Kyujitsu itu berdiri tenangtenang, penuh konsentrasi menarik tali
busurnya dan kemudian melepaskan panahpanah mereka. Luncuran panah-panah mereka
tidak sederas luncuran panah-panah kecil
perajurit-prajurit Pelangi Kuning, tetapi
jangkauannya yang jauh dan tenaga luncurnya
yang kuat itu mengejutkan lawan-lawan
mereka. Begitulah, di kedua sisi lapangan desa itu
dua kelompok berhadapan dan saling
memanah. Ternyata "tembok rotan" yang dibangun
kaum penyerbu itu tidak sekedar untuk
berlindung dari panah dan untuk melindungi
Kembang Jelita 2 / XVI 33 pemanah-pemanah mereka membalas serangan, melainkan punya maksud lain, yaitu
untuk menyelubungi gerakan lain mereka. Di
bawah perlindungan "tembok rotan" itu,
sebagian besar anggota regu istimewa itu
menyelinap ke samping, mengendap-endap di
lorong-lorong gelap di sela-sela rumah-rumah
penduduk, tanpa terlihat oleh Deng Hu-koan
dan orang-orangnya. Yang memimpin rombongan pecahan ini
adalah Si "saudagar beras" sendiri. Ia akan
memimpin rombongannya untuk menerobos
memasuki rumah tempat kediaman Jenderal
Lau dari arah yang tidak diduga. Sebagai orang
yang sudah lama tinggal di desa itu, Si
"saudagar beras" sudah hapal setiap lika-liku
lorong-lorong di desa itu sampai yang sekecilkecilnya.
Sementara itu, Deng Hu-koan tidak sabar
melihat "acara" saling memanah yang agaknya
tidak akan habis-habis karena kedua pihak
bertahan di posisinya masing-masing. Sambil
mengibaskan pedangnya, menggelegarlah Kembang Jelita 2 / XVI 34 perintahnya, "Musuh hanya sedikit dan kita
berjumlah lebih banyak, kita ambil keuntungan
dari kelebihan jumlah kita. Jangan biarkan
mereka aman di balik perisai-perisai lebar
mereka! Serbu! Regu satu, dua, tiga, empat dan
lima menyerbu ke depan!"
Ada sepuluh regu prajurit yang disiagakan
di sekitar rumah yang didiami Jenderal Lau itu.
Sekarang, dengan menggerakkan lima regu
untuk maju menyeberangi lapangan, berarti
separuh kekuatan diarahkan ke depan. Deng
Hu-koan menganggap, ancaman terberat adalah
regu istimewa musuh yang dilihatnya tadi,
maka kalau regu itu bisa dihabisi secepatnya,
yang lain-lainnya akan lebih mudah ditangani.
Itulah yang membuat Deng Hu-koan berani
mengambil tindakan penuh resiko itu.
Begitulah, sambil bersorak-sorai, lima regu
prajurit menghambur menyeberangi lapangan,
sambil berlindung merunduk di-balik perisaiperisai mereka. Mereka akan memaksakan
suatu pertempuran jarak dekat, yang menurut
Kembang Jelita 2 / XVI 35 perhitungan Deng Hu-koan akan dimenangkan
pihaknya berdasar keunggulan jumlah.
Pemimpin regu istimewa musuh itu
mengambil perhitungan sendiri. Ia tidak
membiarkan orang-orangnya yang jauh lebih
sedikit itu terjebak dalam pertempuran di
tempat yang luas seperti lapangan itu. Selain
akan kurang menguntungkan, juga akan
ketahuan oleh pihak musuh kalau sebagian
besar orang-orangnya sudah menyelinap ke
tempat lain. Tentu pihak musuh akan curiga
kalau melihat orang-orangnya tinggal sedikit,
dan tentu akan bertanya-tanya ke mana yang
lainnya. Karena itu, ia menarik mundur orangorangnya belasan langkah memasuki lorong,
tanpa membongkar "tembok rotannya".
Kemudianpemanah-pemanahnya diperintahkan
untuk mengganti panah-panah mereka dengan
panah-panah kecil agar bisa lebih lincah dan
lebih gencar. Arahnya juga agak dikebawahkan,
mengincar dari celah-celah "tembok perisai
rotan" kawan-kawan mereka. Maka meskipun
Kembang Jelita 2 / XVI 36 prajurit-prajurit Pelangi Kuning itu mengangkat
tinggi perisai-perisai mereka dan berhasil
melindungi kepala dan tubuh mereka, kaki
mereka banyak yang menjadi sasaran sehingga
beberapa orang terdepan jatuh terguling dan
mengaduh-aduh, yang kurang beruntung akan
diinjak-injak teman sendiri, yang beruntung
hanya dilompati saja. Ternyata panah-panah tidak menghambat
sepenuhnya serbuan prajurit Pelangi Kuning
karena jumlah mereka jauh lebih banyak.
Akhirnya pertempuran jarak dekat yang sengit.
Untung bagi para penyerbu itu, sebab
serombongan penyerbu lainnya muncul dari
ujung lorong dan segera bergabung.
Dalam sengitnya pertempuran, pihak
Pelangi Kuning jadi kurang memperhatikan
jumlah yang kurang dari lawan-lawan mereka.
Mereka bertempur saja dengan bersemangat.
Pihak penyerbu berusaha memanfaatkan
lorong yang terbatas lebarnya itu demi
keuntungan mereka, yang lebih sedikit dari
musuh. Kembang Jelita 2 / XVI 37 Sementara Si "saudagar beras" dan
rombongannya sudah menyelinap sampai di
sebelah samping rumah Si Kepala Desa. Mereka
bersembunyi di sebuah kebun sayur yang gelap,
dekat kandang ayam sehingga aroma kotoran
ayam juga tercium tajam. Mereka melihat di
bagian samping rumah Kepala Desa itu pun ada
satu regu yang berjaga-jaga. Agaknya sebagian
besar kekuatan sudah dikerahkan ke arah lain.
Si "saudagar beras" sejenak menghitung
kekuatan penjaga di samping rumah itu
dibandingkan dengan kekuatan pihaknya, dan ia
yakin pihaknya akan berhasil menembus
penjagaan itu asal dilakukan mendadak dengan
unsur kejutan yang tinggi. Maka secara bisikbisik ia lebih dulu menyiapkan orang-orangnya
agar bersiap menunggu aba-abanya. Setelah
petunjuknya merata ke semua orangnya, pekik
Si "saudagar beras" pun mengoyak kesunyian
malam di bagian desa yang itu, "Sergap!"
Orang-orangnya pun berlompatan dari
kegelapan sambil mengelebatkan senjata
masing-masing. Sergapan mendadak itu
Kembang Jelita 2 / XVI 38 langsung makan korban belasan orang prajurit
Pelangi Kuning. Si "saudagar beras" sendiri
sudah tentu "porsinya" berbeda dengan anak
buahnya, sekali ban-dringnya terayun melebar,
tiga orang sekaligus jadi korbannya, tiga jidat
dibuatnya retak. Belum hilang kejut prajurit-prajurit itu, dari
kegelapan berlompatan keluar orang-orang
yang lebih banyak lagi. Sementara penyergappenyergap awal tadi langsung melompat ke atas
tembok halaman samping rumah Kepada Desa
itu. Orang seperti Si "saudagar beras" dan
beberapa orang lainnya dapat melompat dan
hinggap dengan mudah di atas tembok, yang
lainnya harus mencapainya dengan saling
menginjak pundak teman, tetapi mereka
tangkas sekali, agaknya memang sudah
dipersiapkan untuk "acara" malam itu.
Begitulah, sebagian bertempur dengan
penjaga-penjaga yang masih geragapan,
sebagian lagi langsung masuk ke dalam rumah
dengan melompati dinding halaman.
Kembang Jelita 2 / XVI 39 Di bagian dalam dinding itu yang ada
hanyalah pengawal-pengawal wanita cantikcantik Jenderal Lau, tak satu pun lelaki kecuali
Jenderal Lau sendiri, atau perwira-perwiranya
yang datang melapor. Jumlah pengawalpengawal jelita itu ada seratus orang lebih dan
semuanya digembleng untuk berkelahi, selain
untuk "melayani" seperti memijat dan bahkan
menemani tidur. Melihat. wanita-wanita cantik
berseragam pengawal dan bersenjata di
halaman itu, anak buah Si "saudagar beras"
ragu-ragu, haruskah mereka berkelahi dengan
perempuan? Tapi Si "saudagar beras" menghapus
keraguan anak buahnya, "Perempuanperempuan cantik ini pengawal-pengawal yang
tangguh, ia bisa membuat kalian menjadi orang
kebiri kalau kalian ragu-ragu!"


Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lalu Si "saudagar beras" sendiri terjun dari
atas tembok ke bagian dalam tembok itu,
langsung mengoperasikan bandringnya. Para
pengawal wanita melawannya dengan gigih,
dan ternyata benar, mereka tangkas-tangkas
Kembang Jelita 2 / XVI 40 dalam bertempur. Bahkan ada seorang yang
senjatanya persis Si "saudagar beras" yaitu
rantai berujung bola besi, cuma bola besinya
lebih kecil, sebesar jeruk yang belum masak,
namun cukup berbahaya karena kemahirannya
dalam mengincar sasaran. Pengawal wanita bersenjata bandring itu
mengenai Si "saudagar beras" sehingga ia
tercengang, "Hei, Pak tua bukankah kau Si
Pedagang Beras itu?"
Si "saudagar beras" tertawa menunjukkan
gigi-giginya yang coklat karena seringnya ia
mengisap tembakau, sahutnya, "Dagang beras
sepi sekarang, jaman perang, banyak perampok
berseragam mentereng. Aku lalu alih usaha saja,
mengandalkan ketrampilan main senjata,
meniru Bi-lo-sat (Raksasa Cantik) Ai Hui..."
Si pengawal wanita bersenjata bandring itu
terkejut, "kau mengenali aku?"
Pengawal wanita itu dulunya memang
seorang jago wanita golongan hitam yang
berjuluk Raksasa Cantik dan bernama Ai Hui,
entah kenapa dia menjadi salah satu anggota
Kembang Jelita 2 / XVI 41 pengawalnya Jenderal Lau yang tentu saja lebih
menjamin hidupnya. Kini tiba-tiba ia dikenali
oleh seorang "saudagar beras", sudah terang
kalau Si "saudagar beras" ini bukan orang sembarangan.
Si "saudagar beras" terkekeh-kekeh, "Ya,
siapa tidak kenal Bi-lo-sat?"
"Apa maksudmu datang kemari?"
"Sudah kukatakan tadi, aku alih usaha
menjadi 'pengusaha tanpa modal' saja..."
Istilah "pengusaha tanpa modal" sering
digunakan sebagai olok-olok buat orang yang
kerjanya mencuri, merampok atau membegal.
Ai Hui tertawa, "Mungkin alih usaha yang
lebih menguntungkan. Tetapi malam ini, apakah
kau dan orang-orangmu tidak salah sasaran?"
"Tidak. Sebab orang-orangku lebih banyak,
lebih kuat, lebih terlatih, dan sebentar lagi kami
akan menguasai seluruh desa ini dan
menggantung Jenderal hidung-belangmu itu."
"Untuk pihak mana kau bekerja?"
"Untuk itu, tidak usah kau pusingkan.
Kembang Jelita 2 / XVI 42 Sekarang minggir atau mati, hanya itu
pilihanmu." Hati Ai Hui agak tergetar. Orang yang berani
bicara selugas itu setelah tahu berhadapan Bilo-sat Ai Hui, pastilah orang itu punya pegangan
yang diandalkan. Namun keangkuhan Ai Hui
terusik pula, ia tidak sudi kebesaran namanya
direndahkan, maka dengan garangnya ia segera
menyerang dengan bandringnya.
Si "saudagar beras" meladeninya, sambil
meneriakkan suatu isyarat kepada orangorangnya.
Sebagian orang-orangnya berusaha membuka sebuah pintu kecil yang menembus
ke lorong di samping rumah. Mereka tak
terhalangi. Tak lama kemudian membanjirlah
penyerbu-penyerbu dari kelompok regu pilihan
itu ke halaman samping rumah Kepala Desa itu.
Prajurit-prajurit Pelangi Kuning yang diluar
juga ikut menyusul masuk. Namun sekali lagi
mereka dapat dikecoh oleh lawan-lawan
mereka. Dalam jumlah yang lebih banyak,
mereka tidak bisa memanfaatkan kelebihan
Kembang Jelita 2 / XVI 43 jumlah itu sebab arenanya sempit, dibatasi
dinding-dinding halaman. Jumlah yang banyak
itu sebagian besar hanya berdesak-desak di
garis belakang dan tidak berperanan apa-apa
dalam pertempuran. Jenderal Lau menggigil di dalam rumahnya,
mendengar suara pertempuran tidak jauh lagi,
tetapi di halaman rumah yang ditempatinya.
Meskipun puluhan pengawalnya yang cantikcantik itu berjaga-jaga di sekitarnya, namun
jantungnya sudah hampir copot mendengar
suara perkelahian itu. Berulang kali ia
mengutuk, mengutuk apa saja.
"Mana bala bantuan itu? Apakah mereka
berjalan kemari dengan merangkak?"
"Tenanglah, Jenderal, sebentar lagi mereka
tiba di sini?" "Kenapa pengawal-pengawalku tidak mampu menahan pengacau-pengacau itu jauh
dari rumah ini?" "Mereka sudah berusaha sekuatnya,
Jenderal, pengacau-pengacau itu memang
tertahan jauh dari sini..."
Kembang Jelita 2 / XVI 44 "Lalu suara keributan di luar itu suara apa?"
"Sebagian kecil dari para pengacau berhasil
menyelinap mendekat dari arah tak terduga.
Tetapi mereka tidak berbahaya, sebentar lagi
mereka..." Belum selesai kata-kata hiburan itu, pintu
telah ditabrak keras dari luar, oleh semua
pengawal wanita yang terhuyung-huyung dan
menggelosor di lantai. Semuanya terkejut
melihat si penabrak pintu adalah Bi-lo-sat Ai
Hui, orang yang paling tangguh di antara para
pengawal wanita, bahkan merangkap sebagai
komandan dan pelatih. Kini semuanya melihat
Bi-lo-sat Ai Hui merangkak bangun dengan
muka pucat, sudut bibitnya meneteskan darah.
Dua pengawal wanita harus membantunya
untuk bangkit. Menyusul dari pintu yang terdobrak itu Si
"saudagar beras" muncul. Kalau biasanya di
hadapan Jenderal Lau dia bersikap merundukrunduk hormat, kata-katanya menjilat, kali ini
sungguh berbeda. Sikapnya garang, bahkan
Kembang Jelita 2 / XVI 45 langsung membentak Lau Cong-bin, "Lau Congbin, aku inginkan nyawamu!"
Langsung saja bandringannya meluncur ke
wajah Jenderal Lau. Seorang pengawai wanita melompat ke
hadapan Jenderal Lau, menghadangkan
tamengnya untuk melindungi atasannya.
Ternyata luncuran bandring Si "saudagar beras"
terlalu kuat, lengan yang ada di belakang
tameng itu seketika keseleo ketika tamengnya
dibentur bola besi di ujung rantai, si pemegang
tameng sendiri jatuh terjengkang.
Dengan demikian bola besi itu meluncur
terus ke wajah Jenderal Lau.
Agaknya kesetiaan pengawal-pengawal
wanita yang merangkap sebagai kekasihkekasih Jenderal Lau itu cukup teruji. Seorang
pengawal menubruk Jenderal Lau sehingga
jatuh bergulingan dari kursinya, dengan
demikian Jenderal Lau itu diselamatkan.
Sedangkan kursi yang terbuat dari kayu yang
kuat itu pun rinsek berantakan terkena
bandringan Si "saudagar beras".
Kembang Jelita 2 / XVI 46 Si "saudagar beras" agaknya tidak sabar
melihat kegigihan pengawal-pengawal wanita
itu. Ia sentakkan rantainya ke samping, dan bola
besinya terkendali menyapu dua pengawal
wanita di samping tempat duduk Jenderal Lau
tadi, sambil berteriak, "Kalian pelacur-pelacur
tak berharga, agaknya aku harus membasmi
kalian lebih dulu!" Pengawal-pengawal wanita itu melawan
dengan gigih, bahkan nekad. Dan sementara
perempuan-perempuan itu bertarung gagah
berani, Jenderal Launya sendiri tetap saja
tengkurap di lantai dengan ketakutan, mukanya
pucat dan seluruh tubuhnya terasa dingin,
perlahan-lahan ia merayap masuk ke kolong
meja.... Pengikut Si "saudagar beras" juga
berhamburan masuk. Sekarang pertarungan
bukan saja "terdengar dekat" oleh Lau Cong-bin,
bahkan berlangsung di depan hidung Lau Congbin sendiri. Jenderal itu napasnya sudah
tersendat-sendat, merasa nyawanya seolah-olah
sudah ada di ubun-ubun. Kembang Jelita 2 / XVI 47 Ternyata kegigihan pengawal-pengawal itu
tidak berarti banyak di hadapan suatu regu
yang memang sudah disiapkan untuk
membunuh Jenderal Lau itu. Satu demi satu
pengawal-pengawal jelita itu roboh bertumbangan, tewas atau terluka parah. Si
"saudagar beras" benar-benar bertindak keras
tanpa ragu-ragu, meskipun yang dihadapinya
adalah wanita. Sekarang nyawa Jenderal Lau seperti telur
di ujung tanduk. Sang jenderal sendiri sudah
lumpuh oleh ketakutan, tidak mampu
menggerakkan tubuhnya seujung rambut pun
untuk berusaha lari dari situ.
Saat itulah tiba-tiba terdengar suara kayu
penyangga genteng berderak-derak, dan
reruntuk genteng berjatuhan ke bawah.
Genteng berlobang besar karena diinjak kaki
bertenaga raksasa, kemudian si pemilik kaki
yang hebat ini pun meluncur turun ke dalam
ruangan. Orang itu pun seorang pemuda tegap,
berseragam perwira Pelangi Kuning namun
bukan dari pasukannya Jenderal Lau melainkan
Kembang Jelita 2 / XVI 48 dari pasukannya Li Giam, memegang sepasang
pedang tebal. Perwira ini bukan lain adalah Yo Kian-hi.
Ketika sepasang pedangnya berkelebat serempak, beberapa penyerbu tumbang ke
lantai. Menyusul beberapa orang berluncuran
ke bawah, dan seragam mereka berbeda pula,
mereka mengenakan seragam pengawalpengawal istana kaisar. Orang tahu, pengawalpengawal istana Kaisar bukan cuma mentereng
seragamnya, melainkan juga adalah prajuritprajurit pilihan atau jagoan-jagoan tangguh.
Yo Kian-hi serta seribu pengawal istana
sebenarnya sedang mengawal Puteri Kong-hui
alias Tan Wan-wan dalam perjalanan menuju ke
San-hai-koan. Tapi di tengah jalan mereka
mendengar berita kalau San-hai-koan sudah
jatuh ke tangan orang-orang Manchu dan
balatentara Manchu sudah masuk Tiong-goan
serta pasukan Jenderal Lau terpukul kalah dan
mundur puluhan li. Mendengar itu, ternyata Tan
Wan-wan bersikeras untuk tetap melihat
keadaan garis depan. Ketika mereka mendekati
Kembang Jelita 2 / XVI 49 desa tempat Jenderal Lau bermarkas, mereka
melihat nyala api dan suara keributan. Demi
keselamatan Puteri Kong-hui, Yo Kian-hi
menyuruh seluruh pasukan berhenti, kemudian
Yo Kian-hi sendiri bersama belasan perwira
pilihan yang cukup tangguh, mendahului
menuju ke desa itu dan melihat apa yang terjadi.
Itulah asalnya kedatangan Yo Kian-hi dan
kawan-kawannya ke tempat itu. Dan
kedatangan mereka kebetulan menjadi suatu
pertolongan berarti buat nyawa Jenderal Lau
yang sudah "sampai ke ubun-ubun". Tidak
peduli Jenderal Lau ini sudah sering berusaha
mencelakakan Jenderal Li Giam, atasan Yo Kianhi, kali ini Yo Kian-hi melupakan ganjalan itu
dan menolong Lau Cong-bin.
Begitulah, kedatangan Yo Kian-hi dan
kawan-kawannya para jago-jago pengawal
istana itu jadi merubah perimbangan. Giliran
kaum penyerbu yang sekarang "menabrak
tembok besi" di hadapan Yo Kian-hi dan kawankawannya.


Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kembang Jelita 2 / XVI 50 Dengan matanya yang tajam, Yo Kian-hi
langsung melihat yang perlu digebuk dulu
adalah Si "saudagar beras" yang kelihatan
paling tangguh. Seperti seekor elang menyambar dengan sayap-sayap terpentang,
dan kedua pedang di tangannya, ia melompati
kepala orang-orang, baik kawan maupun lawan,
langsung ke arah Si "saudagar beras".
Si "saudagar beras" dengan tangkas
berguling, sambil mengayunkan rantainya
untuk berbelit betis Yo Kian-hi yang sedang
melayang di udara. Rupanya dia melihat juga
kehebatan Yo Kian-hi sehingga ia tidak berani
menghadapinya sendiri. Sambil berguling dan
memban-dring, ia juga mengucapkan isyarat
kepada seorang kawannya untuk membantunya
menghadapi Yo Kian-hi. Yang diberi isyarat
adalah orang yang sehari-harinya menyamar
sebagai "pembantu" rumah tangga yang
bersenjata Ce-bi-kun (Toya Setinggi Alis). Di
antara orang-orang seisi rumahnya, selain
dirinya sendiri adalah Si "pembantu rumah
tangganya" inilah yang paling tangguh. Di ruang
Kembang Jelita 2 / XVI 51 Sambil berguling dan membaradring, ia juga
mengucapkan isyarat kepada seorang kawannya
untuk membantunya menghadapi Yo Kian-hi.
Kembang Jelita 2 / XVI 52 rahasia bawah tanah, Si "pembantu rumah
tangga" inilah pasangan untuk mengasah
ketrampilan ilmu silat dalam bertemour.
Yo Kian-hi berteriak di udara, bersalto
menghindarkan kakinya dari libatan rantai dan
kemudian meluncur dengan iepasang pedang
bersilangan hendak "menggunting" ke leher Si
"saudagar beras".
Tetapi yang tergunting adalah sebuah kursi
yang dilemparkan oleh Si "pembantu rumah
tangga" untuk menyelamatkan rekannya itu.
Menyusul Si "pembantu rumah tangga" sendiri
meluncur maju dan mengemplang Yo Kian-hi ke
arah pelipisnya. Semua ini memberi kesempatan kepada
"saudagar beras" untuk memperbaiki posisinya
yang pontang-panting tadi menghadapi
kecepatan gerak Yo Kian-hi. Tanpa pertolongan
itu, Si "saudagar beras" mungkin sudah berubah
menjadi arwah gentayangan di bawah sepasang
pedang Yo Kian-hi. Begitulah Yo Kian-hi menghadapi dua lawan
tangguh sekaligus. Namun perwira bawahan
Kembang Jelita 2 / XVI 53 Jenderal Li Giam yang sangat diandalkan itu
bertarung seperti seekor gajah yang mengamuk.
Bukan itu saja, kawan-kawan yang datang
bersama-sama Yo Kian-hi, para jagoan
pengawal Kaisar, juga mempersulit kedudukan
para penyerbu yang ingin membunuh Jenderal
Lau itu. Namun sekarang keinginan tinggal
keinginan, niat membunuh itu jelas takkan
tercapai. Jenderal Lau yang menggelosor di kolong
meja itu sudah dibantu oleh pengawalpengawal cantiknya, lalu dipapah ke ruang
dalam yang lebih aman. Ganjil juga melihat
adegan seorang lelaki gagah berpakaian perang
komplit, dengan tubuh gemetar dan muka
pucat, dipapah-papah dua orang wanita muda.
Tetapi ganjil atau tidak ganjil, itulah yang
terjadi. Di seluruh desa, pertempuran antara para
penyerbu dan prajurit-prajurit Pelangi Kuning
masih berlangsung sengit, dengan korban yang
bertambah-tambah di kedua belah pihak. Arena
pertempuran utama ada di lorong utama desa
Kembang Jelita 2 / XVI 54 itu, namun pecahan-pecahan pasukan kedua
belah pihak bertempur di sudut kampung di
mana saja mereka bertemu. Di lorong-lorong
kecil, kebun-kebun sayur, kandang-kandang
ternak, halaman-halaman rumah, bahkan di
dalam rumah. Komandan kedua belah pihak tidak bisa
mengontrol dan mengamati keseluruhan anak
buah mereka. Deng Hu-koan sebagai komandan
di pihak Pelangi Kuning, menerima laporan
yang simpang-siur dari semua bagian medan
pertempuran. Sementara lawannya, pemimpin
dari para penyerbu itu, merasa gelisah karena
dari arah rumah Kepala Desa yang didiami
Jenderal Lau itu belum juga kelihatan isyarat
bahwa "regu istimewa" yang ditugaskan
membunuh Jenderal Lau itu berhasil. Tandanya,
kembang api biru adalah isyarat keberhasilan,
dan kembang api merah adalah isyarat
kegagalan. Kedua jenis kembang api itu belum
nampak semuanya. Dan tiba-tiba saja malahan terjadi laporan
yang kurang menggembirakan. Dari luar desa
Kembang Jelita 2 / XVI 55 terdengar sorak-sorai sebuah pasukan, kemudian seorang kurir melapor kepada Si
Komandan penyerbu bahwa pihak Pelangi
Kuning kedatangan bala-bantuan. Hal seperti
itu sudah diperhitungkan oleh pihak penyerbu,
mereka sudah disiapkan untuk kemungkinan
paling pahit sekalipun toh mempengaruhi juga.
"Edan!" kutuk Si Komandan penyerbu.
"Kenapa lama benar membunuh si jenderal
hidung belang itu? Apakah pengawalpengawalnya demikian tangguh?"
Si pelapor sudah tentu tidak mampu
memberikan pendapat apa-apa. Si komandan
penyerbu masih mencoba bertahan, siapa tahu
regu pembunuhnya tinggal selangkah dari
tercapainya sasaran, perintahnya, "Sampaikan
perintah, bertahan sekuatnya!"
Prajurit-prajurit penghubung pun menyebarkan perintah itu ke segenap bagian. Si
pemimpin penyerbu kemudian mengeluarkan
perintah lain, "Cari beritanya regu kita yang
dikhususkan untuk sasaran utama kita!"
Kembang Jelita 2 / XVI 56 Yang dimaksudkan adalah "regu istimewa"
untuk membunuh Jenderal Lau. Pemimpin para
penyerbu itu agaknya tidak mau lebih lama lagi
terkatung-katung dalam ketidak-tahuan.
Seorang berlari cepat keluar dari pasukan,
menyelinap di antara lorong-lorong desa yang
gelap, hendak mencari kabar tentang regu
pembunuh itu. Sementara itu, pintu-pintu gerbang desa
sudah dibuka dari beberapa arah, dan prajuritprajurit bala bantuan Pelangi Kuning pun
membanjir masuk ke dalam desa.
Pemimpin para penyerbu kembali mengeluarkan perintah agar pecahan-pecahan
pasukannya yang berpencaran itu bergabung
kembali dengan induk pasukan, dan mencoba
bertahan ketat terhadap pasukan Pelangi
Kuning yang sekarang jadi jauh lebih banyak
karena datangnya balabantuan.
Sampai kemudian dari arah rumah Kepala
Desa di seberang lapangan itu meluncur
kembang api berwarna merah di langit malam
Kembang Jelita 2 / XVI 57 yang kelam. Kembang api merah. Isyarat
kegagalan. Si pemimpin penyerbu melihat isyarat itu
dan menarik napas panjang, ternyata pihaknya
gagal dan harus segera mundur sebelum
seluruh desa "ditenggelamkan" pasukan musuh.
Isyarat mundur pun diberikan dengan kembang
api pula, agar bisa dilihat oleh setiap bagian
pasukan yang berpencaran di seluruh desa.
Maka seluruh pasukan penyerbu itu pun
seperti air yang surut, mundur ke arah
darimana mereka datang tadi, yaitu arah barat.
Baik yang dalam pasukan induk maupun yang
belum bergabung di pelosok-pelosok desa.
Tidak terhindari adanya beberapa kelompok
yang terjebak, terkurung oleh prajurit-prajurit
Pelangi Kuning, dan mereka ini bertempur matimatian karena tidak mau menerima tawaran
menyerah oleh prajurit-prajurit Pelangi Kuning.
Di beberapa bagian desa, pertempuran menjadi
sangat berdarah dan habis-habisan. Setiap
orang yang rubuh ke tanah pasti tidak hanya
Kembang Jelita 2 / XVI 58 "berbekal" satu luka namun belasan luka-luka
dari berbagai macam senjata.
Saat itu regu pembunuh berhasil menerobos
ke rumah Kepala Desa, dan hampir berhasil
membunuh Jenderal Lau, justru telah berbalik
ke dalam posisi terancam akan terbantai habis,
karena datangnya Yo Kian-hi dan kawankawannya, yaitu para jagoan pengawal istana.
Sebutan "regu pembunuh" barangkali akan
berubah menjadi "regu terbunuh".
Si "pembantu rumah tangga" dari Si
"saudagar beras" sekarang sudah terkapar tak
berkutik di bawah tembok, entah mati entah
hidup. Si "saudagar beras" sendiri sudah
megap-megap di bawah tekanan sepasang
pedang Yo Kian-hi, tidak ada yang
membantunya sebab orang-orangnya semakin
sedikit jumlahnya, dan orang-orangnya masih
juga harus menghadapi para pengawal wanita
Jenderal Lau serta prajurit-prajurit lain yang
terus berdatangan. Di saat seperti itulah seorang dari para
penyerbu berlari dari halaman, masuk ke
Kembang Jelita 2 / XVI 59 ruangan yang berantakan karena dijadikan
ajang perkelahian itu sambil berkata kepada Si
"saudagar beras" kata-kata sandi yang artinya
adalah, "Isyarat untuk mundur sudah diberikan
oleh Komandan..." Si "saudagar beras" mengerti bahwa
perintah itu berlaku pula buat dirinya dan
regunya. Tetapi dia pun merasakan bahwa ia
dan regunya tidak dapat pergi begitu saja.
Mereka seperti sekelompok ikan yang sudah
terlanjur masuk ke dalam bubu dan semua jalan
keluarnya sudah tertutup. Sudah gagal
mencaplok "umpan" akhirnya bakal gagal pula
untuk keluar selamat dari tempat itu. Itu
menurut pemikiran "biasa".
Tetapi agaknya regu istimewa itu sudah
dibekali cara "luar biasa" yang barangkali tidak
terpikirkan sebelumnya oleh lawan-lawan
mereka. Dan isyarat untuk tindakan "luar biasa" itu
sudah dipekikkan oleh Si "saudagar beras"
dengan lantangnya, "Barisan api!"
Kembang Jelita 2 / XVI 60 Lawan-lawan mereka tidak dapat segera
menebak seperti apa "barisan api" itu, sebab
mereka tidak melihat para penyerbu membawa
obor atau benda-benda lain yang berkaitan
dengan api. Si "saudagar beras" sendiri begitu selesai
memerintah langsung melompat keluar dari
ruangan itu, meninggalkan Yo Kian-hi yang
menjadi lawannya. Ia disusul yang lain-lainnya,
yang bukan saja keluar ruangan melalui pintu
melainkan juga melalui jendela. Agaknya
mereka ingin bergabung dengan kawan-kawan
mereka di halaman luar untuk membentuk
"barisan api" yang entah bagaimana nanti
ujudnya.

Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gerakan mundur ini kelihatannya seperti
tidak teratur, mirip orang-orang di pasar yang
berlari-lari karena pasarnya kebakaran, sama
sekali tidak mirip pasukan yang terlatih. Namun
ada juga suatu unsur yang mencengangkan.
Dalam gerakan mundur ini, satu sama lain tidak
segan-segan saling mengorbankan nyawa
sendiri demi memberi kesempatan teman
Kembang Jelita 2 / XVI 61 mereka mundur dengan selamat. Semuanya
terjadi tanpa diperintah-perintah, tanpa
dianjur-anjurkan. Orang sebanyak itu bergerak
bagaikan satu orang, satu tubuh. Ibarat kalau
mata terancam maka tangan secara otomatis
akan bergerak melindungi.
Melihat ini, Yo Kian-hi kagum dan terkesiap.
Inilah tingkat kekompakan yang tinggi antar
perorangan dalam pasukan. Setiap orang tidak
lagi merasa dirinya sebagai perorangan yang
bebas dengan kehendaknya sendirij melainkan
sebagai bagian yang lain. Pasukan ini terdiri
dari ratusan orang tetapi jiwa mereka sudah
tergembleng dan terlebur jadi satu. Inilah
pasukan yang dahsyat. Yo Kian-hi jadi ingat
pasukannya sendiri, pasukan bawahan Jenderal
Li Giam yang juga dididik seperti itu,
mengesampingkan kepentingan dan bahkan
keselamatan diri sendiri, demi keuntungan
seluruh pasukan. Dan sekarang dilihatnya hal
itu, tetapi dalam tingkatan yang lebih tinggi,
dalam diri pasukan penyerbu yang tidak
diketahui identitasnya ini.
Kembang Jelita 2 / XVI 62 Beberapa orang anggota kelompok penyerbu terbunuh di ruangan itu, terbunuh
dalam usaha memberi kesempatan temantemannya keluar dari ruangan. Kini seluruh
regu pembunuh itu sudah berkumpul di
halaman. Yo Kian-hi ikut memburu keluar bersama
kawan-kawannya, ingin, melihat bagaimana
ujudnya "barisan api" yang diteriakkan Si
"saudagar beras" tadi. Pengawal-pengawal
wanita Jenderal Lau tidak ikut keluar, mereka
harus tetap berjaga di sekitar Jenderal Lau,
menjaga kalau-kalau masih ada pembunuh yang
ketinggalan di dalam. Di luar, sisa regu pembunuh itu membentuk
lingkaran besar yang bertahan terhadap
serangan prajurit-prajurit Pelangi Kuning_ dari
segala arah. Kaum penyerbu yang di dalam
lingkaran itu mencopot baju mereka, dan
kelihatanlah mereka memakai baju dalam
semacam kutang tanpa lengan, yang penuh
dengan kantong-kantong yang berisi entah apa.
Baju kutang berkantong banyak seperti itu,
Kembang Jelita 2 / XVI 63 bentuknya persis dengan rompi para murid
perguruan silat yang berlatih ilmu meringankan
tubuh. Biasanya kantong-kantong rompi itu diisi
dengan pasir sebagai pemberat, lalu dipakai
untuk. berlari-lari. Tetapi sekarang entah apa
isinya kantong-kantong rompi para penyerbu
itu, yang terang pastilah bukan pasir.
Ada tiga puluh orang yang melepas bajunya,
dan ketiga puluh orang itu masing-masing
mengambil botol kecil yang tergantung di
pinggang mereka. Mereka membuka tutup botol
dan menuangkan isinya ke tubuh mereka, dan
seketika itu juga bau minyak bakar memenuhi
tempat itu. "Astaga..." desis Yo Kian-hi. Ia langsung
dapat menghubungkan perintah "barisan api"
tadi dengan rompi-rompi yang dipakai ketiga
puluh orang itu dan bau minyak itu.
Sementara yang terjadi di arena berlangsung begitu cepat. Ketiga puluh orang
itu tanpa ragu sedikit pun menyulut diri mereka
sendiri. Salah seorang mengambil obor, dan
menyalakannya ke tubuh sendiri, dan yang lain
Kembang Jelita 2 / XVI 64 juga menyalakan tubuh mereka sendiri-sendiri
dengan mendekatkan ke tubuh teman mereka.
Segera di arena itu ada tiga puluh "obor hidup".
(Bersambung jilid XVII.) Sumber Image : Koh Awie Dermawan
first share in Kolektor E-book
Pringsewu 29/07/2018 15 : 21 PM
Kembang Jelita 2 / XVI 65 Kembang Jelita 2 / XVII 1 ( Bagian II ) JILID XVII Karya : STEVANUS S.P. pelukis : WIDODO Percetakan & Penerbit
CV "G E M A" Mertokusuman 761 RT 02 RW VII
Tilpun 35801 - SOLO 57122
Kembang Jelita 2 / XVII 2 Kembang Jelita 2 / XVII 1 KEMBANG JELITA PERUNTUH TAHTA 2 Karya : STEFANUS S.P. Jilid XVII Y ang menggetarkan bagi siapa pun yang
melihatnya, tidak terdengar sedikit pun
teriakan kesakitan mereka, bahkan mereka
tetap dengan senjata di tangan mereka
menerjang ke arah prajurit-prajurit Pelangi
Kuning. Mereka pasti kesakitan dan kepanasan,
tetapi mereka menyalurkannya dengan
serangan sengit mereka. Selagi para prajurit Pelangi Kuning dengan
agak jerih menghadapi tiga puluh "manusia api"
itu, maka penyerbu-penyerbu yang lain
menggunakan kesempatan untuk bergerak
mundur melewati sebuah pintu kecil di halaman
samping. Kembang Jelita 2 / XVII 2 Beberapa saat kemudian, para prajurit
Pelangi Kuning di tempat itu mendapat
kesulitan baru. Rompi-rompi yang dikenakan
oleh tiga puluh orang itu ternyata diisi dengan
bubuk yang biasa diisikan ke dalam meriam,
bubuk peledak, dan bubuk itu dicampur dengan
remukan beling tajam. Setelah terkena api
beberapa saat, bubuk-bubuk itu pun meletup
dan menyemburkan beling-beling campurannya. Tidak sedikit prajurit Pelangi
Kuning yang menjadi korban semburan api dari
rompi-rompi itu dan terluka oleh beling-beling
panas itu. Tentu saja yang jadi korban paling dulu
justru adalah ketiga puluh orang yang nekad itu,
mereka yang lebih dulu terbakar dan terkena
beling yang muncrat itu, namun kembali
mereka menggetarkan lawan-lawan mereka
dengan kenekadan mereka. Mereka menekan
rasa sakit mereka dengan mengamuk maju
sehebat-hebatnya. Sebagian berhasil dibunuh
oleh prajurit-prajurit Pelangi Kuning, sebagian
lagi tumbang setelah ledakan di tubuh mereka
Kembang Jelita 2 / XVII 3 sendiri mencerai-beraikan anggota-anggota
tubuh mereka. Namun mereka berhasil
merobohkan prajurit-prajurit Pelangi Kuning
dalam jumlah yang jauh lebih banyak, dan yang
penting, tujuan mereka mengorbankan diri pun
tercapai, yaitu lolosnya teman-teman mereka.
Tempat itu segera penuh bau belerang dan
asap mesiu, juga daging terbakar.
Yo Kian-hi yang bernyali besar dan punya
pasukan bawahan yang juga bernyali besar pun,
kini melongo menyaksikan semuanya itu. "Jadi
ini yang mereka sebut 'barisan api' itu?"
desisnya. "Hebat. Tak terduga. Tetapi juga tidak
berperikemanusiaan. Gagasan ini pasti keluar
dari otak pemimpin yang sama sekali tidak
menghiraukan nyawa anak buahnya, menganggap para bawahan semata-mata hanya
sebagai alat untuk mencapai tujuan belaka..."
Yo Kian-hi tidak Ikut mengejar mereka, ia
segera masuk untuk menemui Jenderal Lau.
Jenderal itu sudah duduk kembali di ruangan
tengah, dengan sikap kembali digagahgagahkan, meski jantungnya masih deg-degan.
Kembang Jelita 2 / XVII 4 Ruangannya sendiri masih berantakan, dan
pengawa lpengawal wanita baru menyingkirkan mayat-mayat. Mayat kawan
maupun lawan. Dengan agak ogah-ogahan Yo Kian-hi
memberi hormat kepada Jenderal Lau.
Ogah-ogahan mengingat bahwa sebenarnya
kedudukan Jenderal Lau sebagai Panglima
Tertinggi Kerajaan itu lebih pantas buat
Jenderal Li Giam, atasan Yo Kian-hi, yang lebih
banyak jasanya dalam perang menumbangkan
dinasti Beng. Namun kini Yo Kian-hi terpaksa
memberi hormat juga, biar bagaimanapun
Jenderal Lau sekarang adalah Panglima
Tertinggi Kerajaan yang ditetapkan sendiri oleh
Kaisar Tiong-ong. Tanya Yo Kian-hi, "Baik-baikkah keadaan
Jenderal?" Lau Cong-bin mengangguk sedikit, mengamat-amati Yo Kian-hi, dan balik bertanya,
"Rasanya pernah melihatmu tetapi lupa di
mana. Nampaknya kau bukan salah seorang dari
panglima bawahanku, siapa kau?"
Kembang Jelita 2 / XVII 5 "Namaku Yo Kian-hi, panglima bawahan
Jenderal Li Giam." "Jenderal Li Giam?"
"Ya." Wajah Jenderal Lau Cong-bin berkerut
mendengar Li Giam yang selalu dianggapnya
duri dalam daging itu, dan sekarang ia
diselamatkan dari maut oleh seorang bawahan
Li Giam. Ia tidak menyukainya, tetapi kenyataan
tidak dapat berubah. "Pekerjaanmu bagus," cuma itu yang
dikatakan Lau Cong-bih, tanpa ucapan terima
kasih. "Terima kasih, Jenderal..." malahan Yo Kianhi yang berterima kasih.
Kemudian Lau Cong-bin mencoba mencaricari, "Kalau kau bawahan L i Giam, tentunya kau
bersama-sama Li Giam dalam perjalanan
menuju ke tempat tugas barunya di wilayah
barat-laut, kenapa kau malah ada di sebelah
timur Pak-khia ini?"
"Karena di tengah jalan tiba-tiba Li Giam
menyuruh aku ke Pak-khia untuk Kembang Jelita 2 / XVII 6 memberitahukan sesuatu kepada Sri Baginda.
Jadi aku tinggalkan barisan dan balik ke Pakkhia untuk menghadap Baginda..."


Kembang Jelita Peruntuh Tahta 2 Karya Stevanus S.p di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa yang ingin Li Giam beritahukan kepada
Baginda?" tanya Lau Cong-bin tegang. Sebagai
seorang yang terbiasa memfitnah orang lain, dia
pun khawatir jangan-jangan ada orang yang
memfitnahnya di hadapan Kaisar selagi ia tidak
berada di Pak-khia. Ia mengukur orang lain
menurut ukurannya sendiri.
Sahut Yo Kian-hi, "Jenderal Li mengalami
percobaan pembunuhan dari kaki tangan orang
Manchu, untung usaha itu gagal..." sengaja Yo
Kian-hi tidak menyebut-nyebut soal Helian
Kong, bukan mau menyembunyikan jasa Helian
Kong, melainkan karena merasa percuma
menceritakan soal Helian Kong kepada seorang
yang berjiwa sempit semacam Lau Cong-bin,
malam bisa menimbulkan masalah yang diadaadakan oleh Lau Cong-bin sendiri. "... kegiatan
orang Manchu itulah yang ingin Jenderal Li
beritahukan kepada Baginda..."
"Hanya itu?" Kembang Jelita 2 / XVII 7 "Maaf, Jenderal, apa yang Jenderal maksud
dengan 'hanya itu'?"
Akhirnya ketahuan juga ketakutan Lau
Cong-bin, "Li Ciam tidak melaporkan aku?"
Yo Kian-hi menahan tertawanya, "Kenapa
harus melaporkan tentang diri Jenderal?
Memangnya Jenderal Lau menyimpan kesalahan yang perlu dilaporkan kepada
Baginda?" Wajah Jenderal Lau memerah-padam,
beberapa pengawalnya sudah berdebar-debar,
khawatir kalau Sang Jenderal tersinggung dan
menjatuhkan hukuman mati kepada Yo Kian-hi,
yang sudah menolong mereka malam itu.
Maklum, jenderal yang satu ini terkenal suka
"mengobral" hukuman mati.
Ternyata tidak. Barangkali karena Jenderal
Lau melihat beberapa jagoan yang berseragam
pasukan istana yang tadi datangnya bersamasama Yo Kian-hi. Meskipun Lau Cong-bin adalah
Panglima Tertinggi, tetapi pasukan istana tidak
di bawahnya, pasukan itu langsung di bawah
perintah Kaisar. Itulah sebabnya Lau Cong-bin
Kembang Jelita 2 / XVII 8 tidak berani bertindak gegabah kepada Yo Kianhi, meskipun Yo Kian-hi sendiri tidak
berseragam pasukan istana.
Kelelawar Hijau 1 Kibot 02 Misteri Kapal Tua Cinta Orang Orang Gagah 1
^