Pencarian

Petualangan Gunung Bencana 3

Lima Sekawan Petualangan Di Gunung Bencana Bagian 3


"Yah ? ternyata tidak ada lorong yang bisa dilewati untuk pergi dari sini," kata Jack kemudian. Ia mendongak, memandang ke atas gua yang tidak beratap. "Satu-satunya jalan cuma ke atas sana. Tapi di dinding sama sekali tidak nampak tempat berpijak. Takkan ada yang mampu memanjat dinding seterjal ini"
"Mungkin jalan keluarnya lewat kolam," kata Dinah iseng.
Jack memandang kolam berair gelap itu.
"Tidak, kelihatannya tidak mungkin di kolam ini ada jalan keluar. Tapi di pihak lain, hanya ini saja satu?satunya tempat yang belum kuperiksa. Sebentar ? aku akan mengarunginya ke seberang. Atau berenang, kalau ternyata terlalu dalam"
Kolam itu dalam. Airnya sudah sampai ke lutut, ketika Jack baru dua langkah mengarunginya. Ia Lantas membuka pakaian, lalu mencebur ke dalam air. Lucy-Ann memandang dengan perasaan cemas, sementara Jack berenang ke seberang lalu kembali lagi.
"Dasarnya tidak bisa kucapai," kata Jack sambil menendang-nendang ke bawah. "Rupanya dalam sekali Kolam tak berdasar, dalam gua tak beratap. Aneh, ya? Aku keluar saja sekarang, karena airnya dingin sekali."
Ia terpeleset ketika hendak keluar dari kolam, sehingga tercebur kembali ke dalam air. Tangannya menggapai-gapai tepi. Tahu-tahu ada sesuatu yang terpegang. Seperti roda kemudi kecil ? kira-kira setengah meter di bawah permukaan kolam
Jack keluar lalu cepat-cepat berpakaian. la menggigil kedinginan. Setelah mengenakan pakai- an, ia berlutut di tepi kolam sambil meraba-raba ke dalam air. Ia mencari benda aneh tadi, yang ketika teraba rasanya seperti roda kemudi.
"Tolong pegangkan senter, Lucy-Ann," katanya. "Ada sesuatu yang aneh di sini." "
Lucy-Ann memegangkan senter. Tangannya gemetar. Apakah yang akan ditemukan Jack nanti?
"Ini dia ? semacam roda, tapi kecil," kata Jack setelah beberapa saat mencari-cari. "Kenapa ada roda di sini? Roda gunanya untuk diputar, jadi kuputar saja sekarang"
Jack memutar roda kecil di bawah air itu ke kanan. Ternyata dapat digerakkan dengan gampang
Ia terlonjak kaget, karena tiba-tiba Dinah dan Lucy-Ann menjerit lalu menubruknya
Bab 16 DI DALAM GUNUNG "ADA APA?" seru Jack sambil meloncat bangun. "Apakah yang terjadi?"
Lucy-Ann begitu takut dan kaget, sehingga senter yang dipegangnya terjatuh dan Iangsung padam. Gua itu kini gelap gulita. Lucy-Ann cepat-cepat berpegangan Iagi pada Jack.
"Ada sesuatu menyentuhku" kata Lucy-Ann sambil menangis ketakutan. "Terasa jari-jari menggerayangi seluruh tubuhku Apa itu, Jack?"
"Ya, aku pun disentuhnya," kata Dinah. Suaranya gemetar. "Mula-mula bahuku yang disentuh, lalu sekujur tubuhku digerayangi sampai ke kaki. Ada sesuatu di gua ini, Jack Kita keluar saja yuk"
"Mana senter kita?" kata Jack dengan kesal. "Kenapa kau jatuhkan tadi, Lucy-Ann Mudah-mudahan saja tidak pecah"
Jack meraba-raba, mencari senter itu. yang kemudian ditemukan. Untung saja tadi tidak terjatuh ke dalam kolam. Senter itu menyala kembali, setelah diguncang-guncangkan sebentar. Semua merasa lega.
"Nah ? apa yang menyentuhmu tadi?" tanya
Jack pada Lucy-Ann. "Aku sama sekali tak
disentuh apa pun juga"
"Aku tidak tahu ? pokoknya, aku ingin lekas-lekas keluar dari sini," kata Lucy-Ann sambil menangis. "Aku ngeri"
Jack menyorotkan senter ke arah belakang Dinah dan Lucy-Ann. la berseru kaget ketika melihat apa yang ada di situ. Dinah dan Lucy-Ann tidak berani ikut memandang, Mereka terus merangkul Jack, sambil gemetar.
"Itu ? lihat apa yang menyentuh kalian tadi Tangga tali, yang turun dari atas" kata Jack tertawa. "Kalian mesti malu ? begitu saja sudah takut"
Dinah langsung lenyap rasa takutnya. Ia memaksa dirinya tertawa.
"Wah ? keterlaluan," katanya. "Tapi aku benar-benar menyangka bahwa ada sesuatu yang menggerayangi diriku. Terasanya begitu sih"
"Rupanya tadi meluncur ke bawah di belakang kalian," kata Jack. Disorotkannya senter, menerangi tangga tali itu sampai di atas. "Aku kaget sekali tadi. ketika kalian tahu-tahu menjerit. Nyaris saja tercebur ke dalam kolam"
"Kejadiannya ketika kau memutar roda yang di bawah itu," kata Lucy-Ann. la masih terisak-isak sedikit.
"Ya ? ide ini memang hebat sekali," kata Jack. "Harus kuakui, ini merupakan jalan masuk ke gunung yang sungguh-sungguh tersembunyi. Gua Ali Baba saja masih kalah, dibandingkan dengannya Pertama-tama, tirai belukar yang menjulur dari atas, menutupi celah pada tebing terjal. Setelah masuk ke dalam, yang nampak hanya gua tak beratap serta kolam yang gelap. Kebanyakan orang yang secara kebetulan bisa masuk kemari pasti hanya akan mengatakan, ?Eh ? aneh lalu keluar lagi"
"Memang, dan takkan ada yang menduga di sini ada tangga tali yang meluncur turun apabila roda yang tersembunyi dalam air itu diputar," kata Dinah. "Segalanya ini benar-benar dirancang dengan matang. Rupanya ada orang pintar diam di dalam gunung ini"
"Ya, betul," kata Jack merenung. "Orang berotak cerdas yang menyebabkan gempa bumi serta kepulan asap merah, begitu pula merancang tempat pendaratan untuk helikopter di puncak ? dan memelihara kawanan anjing herder yang bertugas menyergap siapa pun yang berkeliaran terlalu dekat kemari. Benar-benar hebat Aku ingin tahu, apa sebetulnya yang dicari orang berotak cerdas itu di sini"
Dinah dan Lucy-Ann memandangnya dalam gua yang remang-remang, sementara air kolam yang gelap agak. berkilat memantulkan sinar senter. Kedengarannya Jack serius sekali. Perasaannya saat itu memang sedang serius. Ada sesuatu yang sangat aneh. Sangat cerdik ? bahkan cerdik sekali Apakah yang sedang berlangsung di situ?
Ditatapnya tangga tali yang tergantung di dinding gua. Ia kepingin sekali memanjatnya ke atas, karena ingin melihat apa sebenarnya yang ada di dalam gunung. Di samping itu ia juga ingin mencari Philip.
Ketiga remaja itu kaget setengah mati, ketika tiba-tiba terdengar suara menggema.
"Anak nakali Beee"
Jack langsung laga. "Itu Kiki," katanya. "Burung sialan ? kaget aku tadi mendengar suaramu Bagaimana pendapatmu tentang gua ini, Kiki?"
"Baaa" oceh Kiki, lalu menirukan bunyi mesin pemotong rumput. Kedengaran berisik sekali di dalam gua tak beratap itu, menggema seperti tidak habis-habisnya. Kiki senang mendengar gema suaranya, lalu mengulangi bunyi itu sekali lagi.
"Diam," kata Jack. "Bagaimana jika ada orang di ujung atas tangga, dan ia mendengar suaramu?"
"Kau kan tidak bermaksud hendak naik ke atas, Jack?" tanya Lucy-Ann cemas, karena melihat Jack sudah menaruh kakinya ke jenjang tangga paling bawah.
"Memang, aku hendak naik sebentar ke atas untuk melihat apa yang ada di situ," kata Jack. "Kurasa di sana tidak ada orang yang menjaga, karena takkan ada yang menyangka kita akan bisa mengetahui rahasia menurunkan tangga tali ini kemari. Sementara itu kalian menunggu saja di luar."
"Tidak Kami ikut," kata Lucy-Ann. Philip sudah lenyap dengan tiba-tiba. Jangan sampai Jack pun lenyap pula nanti la ikut memanjat tangga tali bersama Dinah.
Tangga itu teguh, baik buatannya. Ketiga remaja itu terayun-ayun sedikit ketika memanjat ke atas. Tangga itu panjang sekali - seperti tidak berujung
"Aku perlu beristirahat sebentar," kata Jack berbisik ke bawah. "Kalian juga berhenti dulu. Capek rasanya, memanjat terus seperti ini."
Ketiga remaja itu berhenti sebentar memanjat, sambil berpegangan pada anak tangga tali. Napas mereka agak terengah-engah. Lucy-Ann takut membayangkan sudah berapa jauh mereka di atas dasar gua. la juga tidak mau memikirkan, masih berapa jauh Iagi ujung sebelah atas tangga itu.
Kemudian mereka meneruskan panjatan. Mereka bergerak dalam keadaan gelap gulita. Jack memasukkan senter ke dalam kantung, karena ia memerlukan kedua tangannya untuk memanjat. Lucy-Ann mulai merasa seperti sedang bermimpi buruk Dalam mimpi itu ia harus terus memanjat tangga, sampai terbangun waktu pagi
"He ? aku sekarang bisa melihat sinar samar-samar di atas," bisik Jack. "Mestinya kita sudah hampir sampai di ujung tangga ini. Jangan sampai ada yang bersuara"
Mereka sampai di ujung tangga, ketika Lucy-Ann merasa tidak sanggup lebih lama lagi berpegangan ke tangga. Penglihatan Jack tadi ternyata benar ? di atas situ memang ada cahaya remang-remang. Ia merangkak naik ke semacam lantai batu, diikuti oleh Dinah dan Lucy-Ann. Selama beberapa menit mereka terkapar di situ. Napas mereka terengah-engah. Capek sekali rasanya ? melihat ke sekeliling saja pun mereka tidak mampu.
Jack yang paling dulu segar kembali. Ia menegakkan tubuh, memandang berkeliling sambil duduk. Ternyata saat itu mereka berada di semacam ruangan sempit yang diterangi lampu bercahaya redup. Di bagian belakang ruangan itu terdapat sejumlah kendi yang terletak berjejer-jejer, berisi cairan yang kelihatannya air. Di dekat kendi-kendi itu ada beberapa mangkuk untuk minum. Mata Jack Iangsung bersinar-sinar. Memang itulah yang diharapkan, setelah capek memanjat tadi Diambilnya sebuah kendi serta tiga buah mangkuk, lalu dibawa ke tempat Dinah dan Lucy-Ann yang masih rebah di lantai. Air kendi itu dingin, seperti air es. Ketiganya minum dengan perasaan puas.
"Sekarang sudah enak lagi rasanya," kata Jack sambil mendesah. Kendi beserta ketiga mangkuk tadi dikembalikannya ke tempat semula. Selain itu tidak ada apa-apa Iagi dalam ruangan kecil itu. Di ujung belakangnya nampak sebuah lorong yang mengarah ke perut gunung.
Lucy-Ann memanggil dengan suara pelan, ketika dilihatnya Jack melangkah menuju lorong itu.
"Kau tidak hendak kembali. Jack? Katamu tadi, kau hanya hendak melihat sebentar saja kemari"
"Aku kan memang sedang melihat-lihat," jawab Jack. "Di situ ada lorong. Itu ? lihatlah sendiri Aku ingin tahu ke mana arahnya."
Dinah dan Lucy-Ann datang menghampiri. Mereka mengikuti Jack, yang sementara itu sudah memasuki lorong. Mereka tidak mau ditinggal, sendiri di luar.
Mereka sampai di dekat sebuah lampu lagi, yang juga redup sinarnya. Lampu itu diletakkan di atas semacam ambang yang menonjol pada dinding lorong. Jack masih terus saja berjalan menelusuri lorong yang berkelok-kelok. melewati lampu demi lampu yang menerangi jalan.
"Kita kembali saja sekarang," bisik Lucy-Ann sambil" menarik lengan Jack. "Sudah cukup jauh kita memasuki lorong ini."
Tapi Jack tidak mau diajak kembali. karena siapa tahu, mungkin Philip ada di balik tikungan yang berikut ia meneruskan langkah.
Tahu-tahu lorong itu bercabang tiga. Ketiga remaja itu berhenti. karena tidak tahu cabang yang mana harus mereka masuki. Ketiga-tiganya nampak sama saja dalam pandangan mereka.
Tapi kemudian muncul sesuatu dari salah satu percabangan itu. Sesuatu yang mereka kenal baik ? si Putih -
Anak-anak gembira sekali melihat si Putih tahu-tahu muncul. Sedang anak kambing itu juga tidak kalah gembira. Ia menanduk-nanduk mengusap-usapkan hidung ke tangan mereka, sambil mengembik-ngembik senang.
"Kita ikuti saja si Putih," kata Jack dengan lega. "Ia pasti akan membawa kita ke tempat Philip"
Si Putih disuruh berjalan di depan. Anak kambing itu menyusur lorong sambil berjingkrak- jingkrak, memasuki sebuah rongga besar yang kelihatannya seperti serambi rumah. Tapi ia tidak berhenti di situ, melainkan memasuki lorong yang lain lagi- dan sampai di suatu tempat yang sangat menakjubkan.
Ruangan yang mereka masuki itu kelihatannya seperti laboratorium yang besar. Tempat bekerja dalam gunung Anak-anak muncul di sebelah atasnya. Mereka berdiri di atas semacam langkan yang menjorok ke luar di dinding ruangan itu.
"Apa itu?" tanya Lucy-Ann takjub, memandang begitu banyak benda asing yang ada di situ. Di bawah sama sekali tidak ada mesin besar ? melainkan jaringan kawat berkilat yang terentang ke mana-mana, bejana-bejana besar dari kaca yang berjejer-jejer, kotak-kotak kristal yang di bagian dalamnya nampak percikkan api menyambar ke atas dan ke bawah, serta sederetan roda yang berputar tanpa bunyi, tapi memancarkan sinar aneh. Dari roda-roda itu terentang jaringan kawat ke segala arah.
Di tengah ruang kerja itu ada sebuah lampu aneh yang memancarkan sinar. Lampu itu bersegi banyak, sedang warna cahaya yang terpancar berganti-ganti. Kadang-kadang begitu menyilaukan sinarnya, sehingga anak-anak tidak tahan menatapnya. Lalu meredup, tinggal pijarannya saja yang nampak remang-remang, berwarna merah, hijau, atau biru. Lampu itu seolah-olah hidup, seperti mata raksasa yang mengawasi segala- galanya di laboratorium tersembunyi itu.
Jack, Dinah, dan Lucy-Ann memandang dengan takjub. Di tempat itu tidak ada orang. Segala peralatan itu kelihatannya bekerja secara otomatis, tanpa pernah berhenti. Roda-roda berputar terus, kawat-kawat kemilau. Tempat itu sunyi senyap, kecuali bunyi dengungan pelan.
Kemudian ?? Kemudian terdengar bunyi gemuruh yang sudah mereka kenal, bunyi yang seperti datang dari jauh. Jauh di bagian dasar laboratorium itu ada bunyi bergejolak dan mengerang-erang, seperti ada sesuatu yang sedang terjadi di dalam perut gunung. Lalu seperti sebelumnya juga, gunung mulai bergetar. Mula-mula pelan, tapi lama- kelamaan bertambah keras ?? seperti ada kejadian dahsyat, jauh di dalam tanah.
Dengan tiba-tiba saja lampu besar yang terdapat di tengah-tengah laboratorium bersinar terang, Begitu terang, sehingga anak-anak takut lalu cepat-cepat mundur. Sinar lampu itu berubah menjadi merah nyala. Belum pernah mereka melihat warna merah yang begitu menyilaukan. Dari sebelah atasnya keluar asap berwarna merah, mengepul-ngepul.
Jack merasa mulai sukar bernapas. Lehernya seperti tercekik. Dengan cepat didorongnya Dinah dan Lucy-Ann kembali ke dalam lorong. Lega sekali rasanya menghirup udara yang lebih segar di situ. Si Putih meringkuk ketakutan, merapatkan diri pada mereka.
"Itulah asap yang kita lihat mengepul keluar dari lubang di sisi gunung," kata Jack berbisik-bisik. "Rupanya dari lampu itu ada cerobong yang menembus ke atas gunung sampai ke lubang itu, lewat mana asap dapat mengepul ke luar."
"Apa yang sedang dibuat di sini, menurut perkiraanmu?" tanya Dinah dengan kagum. "Untuk apa kawat-kawat itu. kotak-kotak kristal, serta barang-barang lainnya?"
"Entah ?- aku sama sekali tidak tahu," kata Jack. "Tapi jelas bahwa apa yang sedang terjadi di tempat ini sangat dirahasiakan. Sebab kalau tidak, untuk apa ini semua ?? di tempat terpencil yang tidak bisa didatangi ini?"
"Jangan-jangan bom atom, atau yang begitu," kata Lucy-Ann sambil bergidik.
"Wah, tidak mungkin ?- karena untuk itu diperlukan bangunan yang besar sekali," kata Jack. "Tidak ? ini pasti sesuatu yang aneh dan luar biasa, menurut pendapatku. Yuk, kita mengintip sebentar ke bawah."
Tapi semuanya yang di bawah masih tetap seperti tadi. Roda-roda berputar tanpa bunyi. Kotak-kotak kristal nampak gemerlapan karena ada percikkan api menyambar-nyambar di dalamnya, serta lampu besar seperti mata raksasa yang mengawasi segala-galanya dengan warna yang berubah-ubah. Kadang-kadang biru, lalu berganti hijau, dan kemudian oranye.
"Yuk, kita menyusur langkan ini Aku ingin tahu, ke mana kita tiba nanti," bisik Jack. "Saat ini aku merasa seperti berada di dalam semacam Gua Aladin ? dan setiap saat akan muncul Jin Lampu"
Anak?anak menyusur langkan, dan akhirnya tiba di tempat lain yang juga menakjubkan. Tempat itu sebetulnya gua biasa, yang tinggi langit-langitnya. Tapi gua itu sudah berubah wujud, dijadikan semacam balai besar yang nampak mewah, dengan sederet jenjang yang menuju ke sesuatu yang seperti singgasana. Tirai yang indah menutupi dinding batu. Tirai-tirai itu digantungkan ke pinggir langit-langit gua yang nampak gemerlapan karena lampu-lampu yang terpasang di situ, berkilauan seperti bintang.
Di lantai terhampar permadani berwarna keemasan, sedang pada masing-masing sisinya terdapat kursi-kursi indah berderet-deret. Anak-anak memandang semuanya itu sambil melongo.
"Apakah ini?" bisik Dinah. "Kelihatannya seperti tempat tinggal raja. Penguasa gunung"
Bab 17 PHILIP DITEMUKAN "ANEH ? tidak ada seorang pun yang kelihatan," kata Jack sambil memperhatikan ruangan sunyi itu. "Ke mana semuanya? Tadi roda-roda, kawat, serta peralatan lainnya sibuk sendiri, tanpa ada yang mengawasi ? lalu ini, ruangan besar yang kosong ini, dengan singgasana serta tirai yang serba indah"
"Jack" bisik Dinah sambil menarik-narik lengannya. "Bagaimana jika kita sekarang mencari Philip untuk menolongnya? Kita kan tinggal kembali menyusur lorong yang panjang tadi, lalu menuruni tangga tali Si Putih pasti akan membawa kita ke Philip, dan kemudian kita bersama-sama lari ke luar"
"Ya ? setuju," kata Jack. Ia mengelus-elus anak kambing berbulu putih yang ada di sisinya. "Mana Philip, Putih?" bisiknya. Didorongnya anak kambing itu, disuruhnya berjalan. "Tunjukkan tempatnya, Putih"
Si Putih menanduk-nanduk Jack dengan sikap manja. Rupanya anak kambing itu tidak menangkap maksud anak itu. Jack masih mencoba beberapa kali lagi. Tapi sia-sia.
"Kita tunggu saja sampai dia pergi atas Kemauannya sendiri," katanya kemudian. "Dan kalau dia pergi, kita ikuti"
Ketiga remaja itu menunggu. Tidak lama kemudian si Putih mulai gelisah, lalu melintasi ruangan luas itu, lewat singgasana yang besar. Anak-anak membuntutinya. Mereka melakukannya dengan hati?hati, sambil merapatkan diri ke dinding, berlindung dalam bayangan. Si Putih menyusup masuk ke balik tirai tebal berwarna merah. Anak-anak mengintip sebentar. Ternyata di balik tirai itu ada ruangan Iain yang agak kecil. Kelihatannya itu ruang baca, karena nampak buku-buku berjejer sepanjang dinding. Jack, Dinah, dan Lucy-Ann menyimak judul buku-buku itu dengan perasaan ingin tahu.Tapit1dak ada yang mereka pahami, karena kebanyakan berbahasa asing. Semua kelihatannya sangat ilmiah dan sulit dimengerti orang biasa.
"Buku-buku ilmiah," kata Jack. "Yuk, kita menyusul si Putih. Ia tadi lewat lubang itu"
Mereka menyusul anak kambing itu. Si Putih menunggu. karena melihat mereka belum muncul. Anak?anak bergegas, dengan harapan bahwa si Putih akan membawa mereka ke tempat Philip.
Ternyata memang begitu Anak kambing itu mendului berjalan ke arah atas, lewat lorong yang berdinding melengkung seperti terowongan. Pada jarak-jarak tertentu dalam lorong itu ada penerangan, berupa lampu bercahaya redup seperti yang terdapat dalam lorong pertama. Seram rasanya berjalan dalam keremangan, tanpa bisa melihat jauh ke depan atau ke belakang. Si Putih berjalan di depan. Sosok tubuhnya yang putih nampak samar?samar seperti hantu cilik.
Mereka melalui rongga-rongga besar yang penuh berisi berbagai barang. Kotak-kotak, ? peti-peti. begitu pula bermacam-macam bungkusan berserakan di mana-mana.
Jack berhenti sebentar, untuk memperhatikan beberapa di antaranya. Kebanyakan dilengkapi dengan etiket berbahasa asing. Sebuah kotak berada dalam keadaan terbuka. Isinya kaleng? kaleng makanan.
"Kan benar kataku," kata Jack. "Perbekalan makanan mereka diangkut kemari ? kurasa mestinya dengan helikopter. Aku ingin tahu, apa sebetulnya yang mereka lakukan di sini."
Beberapa saat kemudian mereka sampai di suatu tangga yang dipahat pada dinding batu. Tangga itu agak curam ke atas. berputar-putar. Si Putih naik lewat tangga itu. Geraknya lincah. Tapi anak?anak mendaki dengan napas terengah-engah. Makin lama makin tinggi. berputar-putar mengikuti lintasan tangga.
Akhirnya mereka sampai di sebuah pintu yang terdapat di sisi jenjang batu itu. Pintu itu kekar, terbuat dari kayu tebal. Di bagian luarnya ada gerendel besar. Si Putih berhenti di depannya, lalu mengembik-ngembik.
Anak-anak gembira sekali ketika terdengar suara yang mereka kenal baik.
"Aku masih ada di sini, Putih Aku tidak bisa keluar ? tapi kau tak usah takut"
"Itu Philip" kata Jack, lalu mengetuk-ngetuk pintu dengan pelan. "He, Philip Kami ada di sini Sebentar ? akan kubukakan pintu."
Terdengar suara berseru kaget di dalam, disusul bunyi orang berlari menghampiri pintu. Setelah itu terdengar suara Philip Kedengarannya gugup.
"Jack Aduh, betul-betul kaukah itu? Bisakah kau mengeluarkan aku dari sini?"
Jack mencoba menarik gerendel ke belakang. Ternyata gampang saja, karena diminyaki. Begitu pintu sudah terbuka, Philip cepat-cepat menarik Jack ke dalam. Dinah dan Lucy-Ann menyusul, diikuti oleh si Putih.
"Bagaimana kalian bisa tahu-tahu ada di sini?" tanya Philip pada Jack. "Aku dikurung di tempat aneh ini, bersama orang berkulit hitam itu. Itu dia, di sana. Kerjanya tidur terus selama kami ada di sini. Dialah yang dikejar-kejar kawanan anjing herder."
Laki-laki Negro itu menggeletak di lantai, menempel ke dinding. Ia tidur pulas. Jack, Dinah, dan Lucy-Ann memandang berkeliling dengan perasaan heran.
Ruangan itu ternyata sebuah gua yang terdapat di sisi gunung, di sebelah puncak. Gua itu terbuka ke arah luar. Anak-anak memandang lewat lubang yang mengarah ke luar itu, yang berseberangan letaknya dengan pintu. Mulanya hanya langit biru saja yang kelihatan.
"Rupanya gua ini dekat sekali letaknya dengan puncak," kata Jack. "Benar-benar hebat pemandangan dari sini ? kita bisa melayangkan pandangan lewat puncak gunung-gunung yang di sana itu. Belum pernah aku berada di tempat setinggi ini. Gamang rasanya kalau lama-lama memandang ke luar."
Dinah melangkah maju. hendak menghampiri tepi gua. Tapi Philip cepat-cepat menahannya.
"Jangan terlalu dekat. Tebing di luar itu terjal sekali ke bawah. Jika kau memandang ke bawah, nanti pusing ? rasanya seperti mau jatuh saja"
"Kalau begitu pegangi tanganku, sementara aku memandang ke luar," kata Dinah. Jack juga ingin ikut melihat.
"Kalau memang ingin melihat ke bawah, sebaiknya sambil berbaring di lantai," kata Philip. "Dengan begitu kau takkan merasa gamang."
Keempat remaja itu merebahkan diri di lantai, lalu memandang ke bawah dari tepi gua yang letaknya dekat sekali dengan puncak gunung itu. Rasanya memang agak seram Jauh di bawah nampak lereng gunung. Sedang lembah terhampar lebih jauh ke bawah lagi. Lucy-Ann berpegangan pada Philip. Seperti akan terjungkir ke bawah saja rasanya saat itu Tapi tentu saja itu hanya perasaannya saja. Tidak mungkin ia jatuh, karena ia berbaring di lantai gua. Berada di tempat yang sangat tinggi itulah yang menyebabkan ia merasa seperti akan jatuh setiap saat
"Ih, seram" katanya, lalu beringsut-ingsut mundur. Anak-anak yang lain masih terus memandang ke luar, sampai akhirnya merasa seperti mau jatuh pula. Semua mundur. lalu duduk.
"Cepat, kita keluar" kata Jack pada Philip. "Kami tahu jalan ? dan kalau tidak pun, masih ada si Putih yang bisa menunjukkan jalan Kita harus memanfaatkan kesempatan ini, selama masih ada. Di sini kelihatannya sama sekali tidak ada siapa?siapa. Aneh"
?Orang-orang itu tinggalnya di puncak,? kata Philip. "Banyak yang sudah kuketahui sekarang, karena diceritakan orang Negro itu. Gua ini dekat sekali letaknya ke puncak. Begitu dekat, sehingga kadang-kadang terdengar suara orang berbicara dan tertawa-tawa di atas. Rupanya di puncak sana ada dataran ? karena ada helikopter mendarat di sana."
"Wah ? kalau begitu mereka semua sekarang sedang ada di puncak" kata Jack. "Ketika kami kemari tadi, sama sekali tidak berjumpa dengan siapa-siapa. Ayo, Philip ? kita pergi sekarang juga Jangan sampai ada waktu terbuang. Nanti saja bercerita. apabila kita sudah selamat, keluar dari gunung yang luar biasa ini."
Semua berjalan ke arah pintu. Tapi tiba-tiba Jack mendorong, menyuruh anak-anak yang lain mundur. Ia menutup pintu dengan hati-hati, sambil menempelkan telunjuk ke bibir.
"Aku mendengar suara orang"
Anak-anak yang lain juga mendengarnya. Suara beberapa orang yang bercakap-cakap dengan lantang, mengarah ke pintu ruangan itu. Apakah yang datang itu akan melihat bahwa gerendel pintu tertarik ke belakang?
Suara orang-orang itu kian mendekat, lalu ?
lewat Rupanya tidak ada yang memperhatikan
pintu ang sudah tidak digerendel lagi. Anak-anak
menarik napas lega. "Aduh, untung ? mereka lewat" kata Jack. "Bagaimana ? apakah sebaiknya kita tunggu dulu sebentar, lalu cepat-cepat lari?"
"Jangan Tunggu sampai mereka kembali dan naik lagi ke atas," kata Philip. "Kurasa itu tadi para penerjun payung, yang hendak mengambil perbekalan untuk dibawa ke puncak."
Anak-anakanak yang lain menatapnya dengan pandangan bingung.
"Penerjun payung?" kata Jack. Ia heran sekali. "Apa maksudmu? Kenapa ada penerjun payung di sini?"
"Aku mendengarnya dari orang Negro itu," kata Philip menjelaskan, sambil menganggukkan kepala ke arah
?prev | next? Go to[1-11] Home laki-laki berkulit hitam yang masih tetap pulas. "Namanya Sam. Lebih baik kita menunggu dulu, sampai orang-orang tadi sudah kembali. Kurasa mereka nanti takkan memperhatikan pintu ruangan ini. Mereka bahkan sama sekali tidak tahu bahwa aku ada di sini"
"Kalau begitu kau bercerita saja dulu tentang segala-galanya," desak Jack. Ia sudah tidak bisa lagi menahan rasa ingin tahunya. "Pasukan payung Kedengarannya begitu mustahil"
"Kau tahu kan, sewaktu aku tertangkap," kata Philip memulai penuturannya. "Aku dibawa ke tebing terjal itu. Aku disuruh masuk ke balik belukar yang merupakan semacam tirai penutup. Ternyata di belakangnya ada lubang Dalam gelap, aku disuruh menaiki semacam tangga ? kurasa tangga tali. Lama sekali rasanya kami memanjat terus saja ke atas."
Anak?anak yang Iain mengangguk. Itu sudah mereka ketahui.
"Kemudian kami menelusuri lorong yang panjang. Kami sampai ke suatu tempat yang menyeramkan. Di situ ada roda-roda dan macam-macam lagi .... Kalian juga melihatnya?"
"Ya. Luar biasa Tapi tadi sama sekali tidak ada orang di sana.?'
"Tidak banyak yang sempat kulihat," kata Philip. "Kemudian kami berjalan menyusur semacam langkan yang terdapat di pinggir sebelah atas ruangan di mana ada roda-roda, kawat-kawat terentang, serta api yang menyala dan memercik-mercik ? masuk ke suatu ruangan yang megah Kelihatannya seperti ruang istana."
"Ya ? kami pun melihatnya pula. Seperti balai tempat raja bertahta, lengkap dengan singgasana," kata Jack. "Tapi tidak ada siapa?siapa di situ."
"Nah ?? setelah itu aku didorong masuk ke suatu lorong yang arahnya mendaki, lalu lewat tangga berputar sampai ke gua ini," kata Philip. "Pintu Iangsung digerendel dari luar, dan sejak itu aku terkurung terus di sini Negro itu juga ikut didorong masuk ? tapi si Putih ditahan di luar Sejak itu berulang kali kudengar suaranya mengembik-ngembik di balik pintu. Sedih hatiku mendengarnya. Jelas sekali bahwa ia merasa kehilangan"
Tapi saat itu si Putih sudah berbahagia kembali la berbaring di pangkuan Philip. Sekali-sekali ditanduknya anak itu dengan pelan, meminta perhatian.
"Makanan untukku disorongkan ke dalam lewat pintu yang dibuka secelah. Selalu saja makanan kalengan," sambung Philip. "Tapi orang-orang yang muncul semua tetap membisu. Tidak ada yang berbicara padaku ? termasuk laki-laki bertampang asing yang menyergapku. Huh ? tampangnya tidak enak. Apalagi. matanya Dalam cerita-cerita kan sering ditulis tentang orang dengan tatapan menusuk. Nah ? begitulah matanya ? tajam sekali Untung saja ia tidak banyak bertanya-tanya. Coba kalau itu dilakukannya, kurasa ia pasti akan tahu segala-galanya, karena bisa membaca pikiranku."
Anak-anak yang lain mendengarkan dengan penuh minat. Kemudian Jack menganggukkan kepala ke arah orang Negro yang masih tidur.
?Lalu apa saja cerita orang itu?" katanya.
"Wah, macam-macam ? yang aneh-aneh," kata Philip. "Katanya, ia membaca iklan dalam koran, mencari beberapa orang yang pernah menjadi penerjun payung. Kalian tahu kan, orang yang dilatih untuk terjun dengan payung pendarat dari pesawat terbang yang sedang membubung tinggi."
"Ya, ya, kami tahu ? teruskan saja ceritamu," kata Jack dengan sikap tidak sabar.
"Nah, laki-laki bermata elang ? itu, yang menyergap aku ? namanya Meier- ia kemudian mewawancarai orang hitam ini di sebuah kantor, di Meksiko. Ia menawarkan upah besar, jika Sam mau melakukan percobaan terjun payung jenis baru."
"Jenis baru yang bagaimana?" tanya Dinah.
"Kalau tentang itu, aku tidak begitu mengerti Soalnya cara Sam menceritakannya agak kacau ?atau mungkin juga aku yang tidak mengerti," kata Philip. "Pokoknya ada hubungannya dengan terbang memakai sayap ? yang dipasangkan pada lengan. Rupanya dengan sayap itu orang tak mungkin jatuh terbanting ke tanah. Bisa terbang ke segala arah seperti burung."
"Itu kan mustahil." kata Jack dengan segera. "Ide gila-gilaan"
"Memang. Karena itulah aku lantas beranggapan bahwa Sam salah mengerti," kata Philip. "Nah ? ternyata orang yang bernama Meier itu berhasil mengontrak sejumlah orang yang bekas pasukan payung, dengan bayaran tinggi. Mereka kemudian diangkut dengan helikopter ke mari, ke puncak gunung ini. Tugas mereka mencoba sayap-sayap terbang itu. Setidak-tidaknya, begitulah kata Sam."
"la sendiri pernah melakukannya?" tanya Jack.
"Ia sendiri tidak, tapi tiga orang rekannya. Sayap-sayap aneh itu dipasangkan ke lengan mereka, lalu suatu saat mereka disuruh meloncat dari helikopter. Kalau tidak mau, mereka akan didorong ke luar." kata Philip.
"Lalu ? apa yang terjadi kemudian?" tanya Jack.
"Sam mengatakan bahwa ia tidak tahu," jawab Philip. "Soalnya, rekan-rekannya yang disuruh terjun itu. tidak ada yang kembali Sam yakin, mereka pasti tewas dalam penerjunan itu. karena terbanting ke tanah. Ia tidak mau mengalami nasib begitu ? dan karena itu minggat"
Bab 18 PENYELIDIKAN AGAK lama juga anak-anak membisu, setelah kisah aneh itu selesai diceritakan. Kedengarannya begitu mustahil Tapi sesudah mengalami hal-hal yang begitu aneh selama beberapa hari belakangan, mereka beranggapan bahwa apa saja pun bisa terjadi di gunung yang terpencil ini.
"Tapi maunya untuk apa?" tanya Jack beberapa saat kemudian. "Dan apa makna segala roda, kawat, dan peralatan Iainnya itu? Aku tidak bisa mengerti"
"Aku juga tidak. Tapi menurut Sam, jika percobaan ternyata berhasil, jika orang bisa benar-benar terbang dengan sayap tiruan itu, maka ada orang yang akan menjadi kaya raya,? kata Philip. "Tentu saja, karena pasti siapa pun akan ingin memiliki sayap seperti itu. Semua pasti ingin bisa terbang."
"Kedengarannya memang asyik," kata Lucy-Ann. "Aku pun ingin bisa terbang seperti burung Pasti lebih nikmat, dibandingkan dengan naik pesawat udara"
Anak-anak yang lain juga berperasaan begitu. Tapi tidak ada yang benar-benar meyakini kebenaran cerita Sam mengenai hal itu.
"Bagaimana ia sampai bisa minggat dari sini?" tanya Jack sambil menggerakkan kepala ke arah laki-laki berkulit hitam yang berbaring di lantai.
"Dengan jalan nekat. yang sama berbahayanya seperti meloncat dari helikopter untuk menguji kegunaan sayap-sayap itu," kata Philip. "Dengan diam-diam diambilnya payung terjun dari tempat penyimpanan, lalu terjun dengannya dari sini"
Anak-anak yang lain merasa seram mendengarnya.
"Apa? Meloncat ke bawah dari sini? Dari puncak gunung?" kata Jack. "Wah, berani sekali dia?
"Memang Payung terjunnya mengembang, dan ia mengambang ke tanah. Jatuhnya agak keras, tapi untung ia pernah belajar terjun dengan payung. Karenanya ia tidak mengalami cedera. Setelah itu ia mencari tempat persembunyian yang aman."
"Tidak ada tempat yang lebih sunyi dan terpencil daripada daerah pegunungan sini," kata Jack. "Kurasa ia bahkan tidak tahu di mana ia sekarang berada."
"Memang, sama sekali tidak," kata Philip. "Aku mengatakan bahwa ini daerah Wales ? tapi ternyata ia belum pernah mendengar bahwa ada daerah yang namanya begitu."
"Lalu, kemudian ia dikejar-kejar kawanan anjing." kata Jack. "Kasihan"
"Betul Sam tahu tentang anjing-anjing itu, karena mereka juga tinggal di puncak, bersama orang-orang yang ada di atas. Menurut ceritanya, anjing-anjing itu gunanya untuk mengusir siapa saja yang muncul di sekitar gunung ini. Tentu saja juga untuk mengejar orang yang rnelarikan diri, serta mencari penerjun yang jatuh karena sayapnya tidak bekerja."
"Kurasa itu lebih mungkin," kata Jack. ?Huh ? yang mendalangi segalanya ini pasti orang-orang jahat yang tidak berperasaan Seumur hidupku belum pernah kudengar hal seperti ini."
"Kata Sam, ada raja di sini," kata Philip. "Penguasa gunung Luar biasa tidak? Pasti dialah yang menjaring orang-orang yang bekas pasukan payung itu, lalu memaksa mereka menjalankan percobaan-percobaan yang gila-gilaan." "Kami memang sudah menyangka bahwa di balik semuanya ini pasti ada orang yang sangat cerdas," kata Jack. "Tentunya laki-laki bermata elang itu ? Meier, maksudku ? pasti dialah raja itu, ya?" "
"Wah ? bukan Aku tidak tahu pasti, apa nama orang yang pekerjaannya seperti dia -5 begitulah, semacam pengatur. Semua diurus olehnya. Mulai dari perbekalan, urusan lain-lainnya ? sampai pada mengurung para penerjun payung saat helikopter datang. Pokoknya semua Kelihatannya ada dua orang yang mengatur segala-galanya. Sedang yang disebut raja itu hanya sekali-sekali saja tampil, apabila ada urusan penting. Seperti kalau ada sayap baru yang selesai. Saat-saat begitu semua harus turun ke balai besar untuk mendengarkan pidato yang tidak mereka mengerti maknanya, serta menyaksikan salah seorang dari mereka dipilih untuk mencoba sayap yang baru selesai dibuat itu."
"Kedengarannya seperti memilih seseorang untuk dijadikan korban" kata Jack dengan nada getir. "Ini sudah gila-gilaan namanya"
"Sam kebetulan sakit, ketika terakhir kalinya raja menunjuk orang-orang yang akan menjadi kor- ban," kata Philip. "Jadi ia belum pernah melihat raja itu. Orangnya pasti aneh ? kejam dan tak berperasaan ? karena begitu tega menyuruh orang mencoba sayap yang tidak mungkin bisa dipakai terbang"
"Aku sependapat denganmu," kata Jack. "Dan kurasa kita perlu lekas?lekas keluar dari sini, lalu berusaha menghubungi Bill Aku tidak bisa merasa aman, selama masih di gunung ini. Pantas Lucy-Ann waktu itu mengatakan mempunyai perasaan tertentu tentang gunung ini. Aku pun begitu, sekarang"
"Nah ? Sam bangun," kata Lucy-Ann. Anak-anak memandang ke arah laki-laki berkulit hitam itu. la menegakkan tubuh, sambil mengusap-usap mata. Kelihatannya heran, kenapa tahu-tahu ada empat remaja di dalam gua.
Kemudian ia teringat, pernah melihat Lucy-Ann ketika ia bersembunyi di atas pohon. la tersenyum, tapi kemudian menggeleng-gelengkan kepala.
"Kan sudah kubilang padamu, tinggalkan tempat ini." katanya. Tampangnya serius. "Ini gunung jahat. Orang-orang juga jahat"
"Kami memang akan pergi sekarang, Sam," kata Philip. "Begitu di luar sudah aman Kau mau ikut? Kami tahu jalan."
"Aku takut anjing," kata Sam dengan wajah ketakutan. "Di sini aku aman."
"Itu tidak benar. Sam Kurasa nanti pasti kau yang akan ditunjuk untuk mencoba sayap yang kauceritakan itu," kata Philip.
"Mendingan itu, daripada diserang anjing," kata Sam.
Saat itu terdengar orang lewat di luar sambil bercakap-cakap. Anak-anak langsung diam sambil mendengarkan, sampai orang-orang yang di luar itu sudah berlalu.
"Itu tadi Pete dan Jo," kata Sam, yang ikut mendengarkan.
"Mereka sudah naik lagi ke atas gunung," kata Jack. "Yuk ? rasanya ini saat yang tepat bagi kita, untuk pergi dari sini. Sewaktu masuk kita tidak berjumpa siapa-siapa ? jadi kemungkinannya begitu pula sekarang. Wah ? Bill pasti kaget kalau mendengar cerita kita"
Pintu dibuka dengan hati-hati. Dengan segera si Putih lari ke luar. Kiki bertengger di bahu Jack. Ajaib, dari tadi burung iseng itu tidak mengoceh, seperti biasanya. Rupanya ia tidak senang, berada di dalam gunung aneh itu
Mereka menyelinap, menuruni tangga yang berbelit-belit. Rasa lapar timbul melihat makanan berkaleng-kaleng, ketika mereka melewati rongga- rongga tempat menyimpan perbekalan. Tapi saat mereka tidak sempat memikirkan urusan makan, karena harus secepat-cepatnya lari meninggalkan tempat itu.
Si Putih berjalan paling depan, menyusur lorong yang samar-samar penerangannya. Menurut per- kiraan anak-anak, mereka akan sampai ke ruang baca yang penuh dengan buku-buku ilmiah. Tapi kemudian ternyata bahwa si Putih mengambil jalan lain. Anak-anak berhenti, dengan perasaan tidak enak.
"Wah ? ini bukan jalan yang benar Tadi kita tidak lewat gua itu. Aku yakin" kata Jack. Mereka bimbang, tidak tahu mana yang lebih baik terus, atau kembali Kalau sampai tersesat di dalam gunung ? wah, gawat
"Aku mendengar bunyi sesuatu," kata Lucy-Ann sambil memiringkan kepala agar bisa mendengar Iebih jelas. "Yuk, kita terus, untuk melihat apa yang berbunyi itu"
Mereka meneruskan langkah ke dalam lorong lebar yang kadang-kadang curam sekali arahnya ke bawah. Hawa di dalamnya tiba-tiba menjadi panas.
"Aduh," keluh Philip sambil menyeka kening. "Rasanya sulit sekali bernapas di sini"
Mereka sampai di semacam serambi kecil yang menjorok di atas sebuah lubang yang lebar dan dalam. Anak-anak tercengang melihat lubang yang begitu besar. Jauh di bawah, di tengah-tengah lubang itu nampak sejumlah laki-laki yang sedang bekerja. Dari atas serambi tidak bisa dilihat dengan jelas apa yang sedang dilakukan orang-orang itu Jarak yang memisahkan begitu besar, sehingga orang-orang itu kecil sekali kelihatannya.
Lubang itu diterangi seperangkat lampu yang besar?besar. Anak-anak memandang dengan heran. Apakah yang sedang dilakukan orang-orang yang di bawah itu?
Tiba-tiba Jack menyentuh Philip dengan sikunya.
"Itu. lihat ? orang-orang itu menggeserkan lantai lubang ke samping Kaulihat tidak? Ada apa di bawahnya?"
Philip tidak bisa menjawab, karena ia pun tidak tahu Dari dalam lubang yang menganga nampak sinar memancar dengan warna-warna cemerlang Anak-anak belum pernah melihat warna seperti itu. Bukan biru atau hijau ? juga bukan merah atau kuning. Entah apa nama warna seperti yang mereka lihat saat itu. Mereka memandang sambil melongo.
Tahu-tahu mereka mengalami perasaan aneh ? perasaan ringan, seperti sedang bermimpi. Semua berpegangan erat-erat ke sandaran serambi, karena merasa seram. Saat itu orang-orang yang berada di bawah menggeser lantai, sehingga lubang yang menganga tertutup kembali. Begitu sinar yang memancarkan warna-warna asing lenyap, hilang pula perasaan aneh tadi. Mereka merasa biasa kembali.
Semua agak lemas, setelah mengalami kejadian luar biasa itu.
"Yuk, kita pergi dari sini." kata Jack ketakutan. "Perasaanku tidak enak"
Tapi sebelum mereka sempat beranjak dari situ. tahu?tahu terdengar bunyi gemuruh yang sudah sering mereka alami. Bunyinya datang dari bawah ? dari dasar gunung Anak?anak saling berpegangan dengan perasaan cemas. Bunyi gemuruh itu keras sekali. karena kini mereka berada di dalam gunung. Bunyinya Iebih nyaring daripada guntur. Menyeramkan. seakan-akan berasal dari luar bumi. Kemudian serambi kecil tempat mereka berdiri mulai bergetar.
Jack masih sempat sekali lagi melemparkan pandangan ke dalam lubang aneh di bawah. Orang-orang tadi sudah tidak kelihatan lagi sekarang. Rupanya pergi berlindung di balik dinding batu. Jack menyambar tangan Lucy-Ann, lalu cepat-cepat lari dari situ. disusul oleh Philip dan Dinah. Kiki bertengger di bahu Jack. la yang paling takut di antara mereka semua. Sedang si Putih sudah menghilang ? entah ke mana ?
Keempat remaja itu bergegas lari mendaki lorong lebar yang mereka lalui tadi. Lantai lorong terasa bergerak?gerak di bawah kaki. Menurut anak-anak, pasti seluruh gunung bergetar saat itu. Tenaga apakah yang dipergunakan orang-orang itu? Pasti mereka itu berhasil menemukan salah satu rahasia ilmiah yang belum diketahui orang lain
Ketika sudah sampai di ujung lorong yang mendaki itu, barulah anak-anak berhenti berlari. Keringat mereka bercucuran. Napas terengah- engah. Tahu-tahu si Putih muncul di dekat mereka, lalu merapatkan diri ke kaki Philip. Keempat remaja itu ambruk ke lantai. Tidak ada yang mempedulikan si Putih, sementara anak kambing itu dengan seenaknya saja menginjak-injak tubuh mereka.
"Ayo ? kita harus cepat-cepat meninggalkan tempat ini," kata Philip beberapa saat kemudian. "Kalau kita ini ilmuwan, kita takkan merasa takut, tapi malah sangat tertarik. Tapi walau begitu ?yuk, kita cepat-cepat keluar"
Semua setuju saja. Tapi sulitnya ? lewat mana? Mereka berdiri, lalu memasuki suatu lorong sempit yang berbelok-belok. Tidak lama kemudian lorong itu bercabang dua. Anak-anak mengambil jalan lewat cabang sebelah kanan, karena tidak tahu jalan yang menuju ke luar. Ternyata mereka sampai di sebuah gua sempit, yang kelihatannya seperti sel. Di dalamnya ada tempat tidur, sebuah rak dengan kendi berisi air, serta sebuah ember.
Cuma itu saja yang ada di situ. -
"Aneh" kata Jack. "Kurasa ini kamar Meier, atau salah seorang rekannya. Lebih baik kita kembali." Mereka kembali ke percabangan lorong, lalu masuk ke cabang sebelah kiri. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa langkah mereka tertahan oleh tirai sutra berwarna ungu dengan hiasan gambar naga berwarna merah
Anak-anak berhenti. Philip memegang si Putih, agar anak kambing itu tidak Iangsung lari menembus tirai. Jack menghampiri penghalang itu sambil berjingkat-jingkat. Lalu mengintip.
Ternyata di situ ada gua yang dihias indah sekali. Tirai-tirai tebal digantungkan di sepanjang dinding, sedang lantainya dihampari permadani empuk, sehingga tempat itu sama sekali tidak kelihatan seperti gua. Di satu sudut ada semacam dipan yang dilapisi hamparan sutra ungu, dengan hiasan naga merah. Persis seperti yang nampak pada tirai yang menutupi jalan masuk ke gua itu.
Jack memandang dengan heran. Mungkin itu tempat raja tidur. Hawa dalam ruangan itu enak. Sejuk Dari manakah datangnya hembusan angin sejuk itu? Jack melihat batang logam langsing terpasang pada dinding di dekatnya. Batang logam itu bercelah-celah, dari atas sampai ke bawah. Jack mendekatkan tangannya ke celah-celah itu. Terasa ada angin keluar dari situ. Ajaib ? karena batang langsing itu tidak dihubungkan ke mana-mana. Begitu saja ? tergantung di dinding. Kenapa bisa ada angin menghembus keluar dari situ? Timbul lagi dugaan bahwa ada orang yang sangat pintar dalam gunung itu.
Saat itu terdengar suara orang bercakap-cakap. Datangnya dari ruangan yang letaknya agak Iebih jauh ke depan. Lubang masuk ke situ juga ditutup dengan tirai ungu seperti yang menutupi ruangan? ruangan Iainnya. Jack berjingkat-jingkat, kembali ke tempat Philip serta kedua anak perempuan.
"Kita tunggu sebentar. Aku mendengar suara orang bercakap-cakap di ruangan sebelah depan situ. Kurasa yang ini kamar tidur raja."
Mereka menunggu. sambil sekali-sekali mengintip dari balik tirai. Semua sudah lapar sekali saat itu. Mereka lega ketika orang-orang yang ada di dalam kamar sebelah berhenti bercakap-cakap. Anak- anak berjingkat-jingkat, memasuki kamar itu.
Mereka tertegun. Bukan karena keindahan tempat itu, melainkan karena melihat sedapnya makanan yang tersaji di atas meja
Bab 19 RAJA GUNUNG "LIHATLAH" kata Jack. "Rupanya ada yang makan di sini tadi. Tiga orang Dan lihat? apa yang masih tersisa"
"Bagaimana kalau'_ kita makan sedikit," kata Lucy-Ann. Dipandangnya mangkuk besar yang berisi buah arbei segar. serta kendi kaca yang setengahnya masih berisi krem. Di dekatnya ada piring berisi udang rebus, serta selada campur dua basi.
Nampak bahwa tadi ada tiga orang yang makan di situ, kalau melihat jumlah piring dan gelas yang terletak di meja. Peralatan itu bagus sekali.
"Ini namanya pesta ? pesta besar" kata Dinah. Diambilnya sepotong kue yang di atasnya dihiasi dengan krem berbentuk mawar, lalu langsung digigit. "Aku tidak tahu ini makanan siapa ? tapi mau minta izin, tidak ada siapa-siapa di sini Aku tidak sabar Iagi menunggu, karena sudah terlalu lapar"
"Aku juga Nanti kalau ada yang marah, biar Bill saja yang membayar ganti rugi," kata Jack sambil menyambar sepotong udang. Ada beberapa hidangan lain di situ, yang belum pernah dilihat anak-anak. Mereka mencicipnya. Tapi mereka kurang suka, karena bumbunya aneh.
Buah-buahan yang tersaji beraneka macam. Ada persik biasa, persik madu, nenas, prem, dan macam-macam lagi.
"Helikopter itu pasti sibuk mondar-mandir, mengangkut segala makanan ini kemari" kata Philip sambil menghunjamkan giginya, menggigit daging buah persik yang manis sekali. "Raja gunung ini kelihatannya tidak setengah-setengah menjamu dirinya sendiri"
Tidak ada yang datang mengganggu keasyikan anak-anak saat itu. Kiki berpesta pora, menikmati hidangan seperti anak-anak pula. Si Putih menyikat habis selada yang disodorkan padanya. Sekali itu ia diperbolehkan duduk di pangkuan Philip, sementara kedua kaki depannya diletakkan di atas meja.
Anak kambing itu sebenarnya ingin naik ke atas meja, tapi itu tidak diizinkan. Ia heran, kenapa Kiki boleh
"Aduh, rakusnya kau ini, Kiki" kata Jack. "Awas, nanti kau tidak henti-hentinya bersendawa, kalau masih makan terus"
"Polly meletus." oceh Kiki. Ia sudah hendak terkekeh-kekeh, kalau Jack tidak cepat-cepat melarangnya.
"Nah, sekarang bagaimana jika kita lanjutkan lagi mencari jalan keluar," kata Jack kemudian. "Aku tidak tahu apakah ini ada hubungannya dengan perasaan aneh yang timbul ketika lantai lubang besar tadi digeser ke samping lalu nampak sinar kemilau di bawahnya ? tapi aku kini merasa seperti tak peduli. Aku sudah tidak takut lagi Aku bahkan merasa tidak perlu cepat-cepat keluar dari sini ? meski aku sadar bahwa itu perlu sekali"
"Aneh sekali perasaan itu tadi," kata Philip. "Saat itu aku merasa seperti akan melayang ke atas ?sampai aku terpaksa berpegangan erat-erat"
Keempat remaja itu mengalami perasaan yang sama waktu itu. Dan kini perasaan mereka sama seperti Jack ? perasaan tak peduli. Tapi itu berbahaya, karena mereka harus berusaha selekas mungkin meninggalkan tempat itu
Mereka keluar dari ruang makan, memasuki suatu lorong. Penerangan di situ jauh lebih terang, dibandingkan dengan lorong-lorong yang pernah mereka lalui. Di sepanjang dinding batunya bergantungan tirai-tirai besar yang terayun-ayun sedikit kena angin yang berhembus pelan di situ.
"Rupanya tempat ini merupakan kediaman pribadi raja," kata Jack. "Mungkin sebentar lagi kita akan sampai di ruang singgasana."
Dugaannya ternyata tepat. Mereka sampai di ruangan besar itu. Tapi kini ruangan itu tidak kosong. melainkan penuh orang
Orang-orang itu berdiri tanpa berbicara. Tampang mereka galak-galak. Mereka terdiri dari berbagai bangsa. Beberapa di antaranya memakai baret merah yang merupakan bagian dari pakaian seragam pasukan penerjun payung. Anak?anak yang mengintip ke dalam menduga bahwa mereka itu pasti bekas anggota pasukan payung. Jumlah mereka sekitar dua puluh orang. Sam ada di antara mereka. Philip kaget ketika melihat laki-laki berkulit hitam itu ada di sana. Nah ? pasti sekarang sudah diketahui bahwa aku minggat. katanya dalam hati. Orang yang tadi datang ke gua di atas untuk menjemput Sam, pasti saat itu melihat bahwa pintu sudah tidak digerendel dan ia tidak ada lagi di dalam
Sialan Sekarang ia pasti dicari ke mana-mana. Sekarang pasti sulit lari dari situ. Philip menyenggol Jack, lalu menuding ke arah Sam. Jack mengintip sebentar ke arah yang ditunjuk, lalu mengangguk dengan wajah suram. Pikiran seperti Philip tadi melintas dalam otaknya.
la menimbang-nimbang kemungkinan mereka berhasil melarikan diri saat itu juga. Tapi untuk itu mereka harus lewat jalan yang tadi Iagi. Padahal lewat situ, mereka pasti tidak akan bisa sampai ke jalan masuk yang mereka kenal. Mereka bisa juga masuk ke dalam ruang singgasana. Tapi kalau lewat situ, mereka pasti akan ketahuan. Tidak Mereka harus tetap di situ ? di balik tirai ? sampai rapat atau entah apa yang sedang berlangsung dalam ruangan itu selesai.
Di sisi barisan pasukan payung berdiri sederetan laki-laki berbadan kecil. Mereka kelihatannya orang Jepang. Mereka memakai pakaian seragam dengan hiasan macam-macam. Tidak ada orang duduk di singgasana. Sedang orang yang bernama Meier tidak nampak di ruangan itu.
Kemudian terdengar orang-orang yang berkumpul itu berbisik-bisik sesama mereka. Tirai-tirai besar di dekat singgasana disibakkan ke samping oleh dua orang Jepang, membuka jalan untuk ? Raja Gunung?
Orangnya memberikan kesan jangkung, karena ada mahkota besar di atas kepalanya. Mahkota itu penuh hiasan batu permata kemilau. la memakai jubah yang nampak mewah. Pakaiannya seperti kostum pangeran India dalam pasta besar. Mukanya yang kekuning-kuningan sedikit pun tidak menunjukkan gerak perasaan. Rambutnya yang hitam tebal tergerai merangkum mukanya, di bawah mahkota yang besar. la menghampiri singgasana, lalu duduk di situ.
Di kiri kanannya berdiri dua orang laki-laki. Philip merasa yakin bahwa satu di antaranya pasti Meier. Sedang yang satu lagi tidak dikenalnya. Tapi ia tidak suka melihat tampangnya yang seperti gorila. Orang itu berbadan besar dan gempal. Mata Meier yang tajam menyapu seisi ruangan. Kemudian ia berbicara. Suaranya tajam menyayat. Ia bercara dalam bahasa asing, yang tak dikenal anak-anak. Meier berhenti sebentar, lalu menyambung dalam bahasa Inggris.
Anak-anak terpaku mendengarkan ? seperti terpukau. Meier berbicara tentang raja, serta anugerah yang akan dilimpahkannya pada umat manusia ??- yaitu kemungkinan bisa terbang. la berbicara tentang pahlawan-pahlawan yang membantu dalam eksperimen, tentang para penerjun payung yang menyatakan bersedia mencoba 'sayap terbang'. Ia berbicara tentang harta berlimpah ruah yang akan mereka terima, serta kehormatan yang akan dilimpahkan nanti. Setelah itu Meier berbicara lagi dalam dua bahasa lain.
Semua kelihatan seperti tersihir, saat ia sedang berbicara. Dalam hati kecilnya, Jack merasa bahwa segala kata-katanya itu omong kosong belaka. Tapi seakan-akan ada yang memaksanya percaya. Sedang orang-orang yang ada di ruang singgasana nampak meresapkan kata-kata Meier, tak peduli apakah ia berbicara dalam bahasa mereka atau tidak. Bukan main kemampuannya mempesona orang
Setelah itu diminta beberapa sukarelawan, agar maju ke depan. Orang-orang yang menghadap langsung maju dengan serentak. Raja berdiri, lalu menunjuk beberapa orang di antara mereka. Kelihatannya ia asal saja menunjuk. Kemudian ia berbicara. Kata-katanya tak terdengar oleh anak- anak yang masih mengintip di balik tirai. Suara Raja Gunung ternyata lemah dan kering, tak sepadan dengan penampilannya yang begitu anggun.
Setelah itu Meier berbicara lagi. la mengatakan bahwa mereka yang dipilih itu termasuk perintis penerbangan dengan sayap. Setelah menyelesaikan tugas percobaan, mereka akan dikembalikan ke negeri masing-masing, dengan dibekali harta yang pasti cukup untuk seumur hidup. Orang- orang yang sebelum itu telah menguji keandalan sayap terbang, sementara ini sudah kembali ke rumah masing-masing dengan selamat. Mereka kini menikmati kehidupan sebagai orang kaya dan terhormat.


Lima Sekawan Petualangan Di Gunung Bencana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Omong kosong" bisik Jack pada Philip, karena teringat pada cerita Sam mengenai hal itu.
Setelah itu raja meninggalkan ruangan dengan sikap agung, diikuti oleh Meier dan laki-laki yang satu lagi. Para penerjun payung diantar ke luar oleh orang-orang yang berbangsa Jepang. Beberapa saat kemudian tak ada seorang pun lagi di ruangan besar itu.
"Dari sini kami tahu jalan keluar" bisik Jack pada Philip. "Yuk, kita berangkat"
Mereka menuju ke ruang laboratorium yang besar, di mana roda-roda serta kawat-kawat yang terentang nampak masih selalu bekerja dengan misterius. Anak-anak berdiri di serambi sempit yang terdapat di atas ruangan luas itu, sambil menatap lampu aneh yang ada di tengah-tengah. Jack kaget sekali ketika Dinah memegangnya dengan tiba-tiba.
Dinah menuding ke suatu tempat di bawah. Di situ ada sekelompok bejana kaca yang saling dihubungkan oleh pipa?pipa. Ternyata ada orang di situ. Orang itu sudah tua. Keningnya besar dan bulat, melebihi kening siapa pun yang pernah dilihat Jack. Rambut di ubun-ubunnya sudah habis, sehingga kepalanya nampak semakin aneh. Orang itu membungkuk di depan bejana-bejana sambil memperhatikan sesuatu.
"Yuk ? kita pergi dari sini, sebelum ketahuan," bisik Jack sambil menarik anak-anak yang lain ke lorong yang menuju ke luar. Setelah menelusuri lorong itu, akhirnya mereka sampai di rongga sempit di mana terdapat kendi-kendi berisi air. Sekarang tinggal menuruni tangga tali ? lalu cepat-cepat lari ke luar
"Bagaimana dengan si Putih?" bisik Dinah. "Bagaimana cara kita menurunkan dia?"
"Bagaimana ia waktu itu naik, ya?" kata Philip. "Begitu pula anjing-anjing herder itu Selama ini tak sempat kupikirkan hal itu. Waktu itu aku didorong-dorong di dalam gelap, disuruh cepat-cepat naik. Aku takut sekali, sehingga si Putih serta kawanan anjing itu tidak kupikirkan sama sekali. Tidak mungkin mereka naik dengan jalan memanjat tangga tali"
"Mestinya ada lubang, lewat mana mereka masuk," kata Dinah. "Lubang di luar, maksudku Untuk kita terlalu sempit, tapi masih bisa dilewati si Putih serta anjing-anjing itu"
Kemudian ternyata bahwa Dinah benar. Dekat retakan pada dinding tebing di luar ada lubang kecil. Si Putih serta kawanan anjing herder masuk lewat situ, lalu naik lewat lorong sempit. Kawanan anjing sudah sering melalui lorong itu, sehingga tahu jalan. Dengan cara begitulah si Putih bisa masuk ke dalam gunung, tanpa ikut tertawan bersama Philip.
Anak kambing itu masih ada bersama anak-anak. Ia sebenarnya masih ingat jalan yang dilaluinya sewaktu masuk. Tapi ia tidak mau meninggalkan anak-anak.
Jack menyalakan senter, sambil meraba-raba mencari tangga.
"Mana tangga sialan itu?" katanya kesal. "Mestinya kan di sini tempatnya"
Si Putih datang menghampiri sambil mendesak-desak, sehingga nyaris saja Jack terpental ke bawah.
"Pegang si Putih" katanya pada Philip. "Nyaris saja aku terjungkir didesaknya. Aku tidak bisa menemukan tangga tali itu. Mestinya terjulur di sekitar sini."
"Mana ? coba aku yang mencari," kata Philip. Si Putih diserahkannya pada Dinah. Setelah itu ia meraba-raba di tepi rongga. sementara Jack menyorotkan senternya ke berbagai arah. Tapi tangga tali itu memang tidak ada Iagi. Atau kalaupun ada, tidak seorang pun melihatnya Jack menyinari dinding sebelah bawah tebing di mana mereka berdiri. Tapi tangga tali itu tetap tidak kelihatan
"Ke mana dia?" kata Jack kesal.
"Mungkin ada yang memutar roda kecil di dalam kolam itu, sehingga tangga tali itu tergulung kembali ke atas ? masuk ke suatu tempat yang tidak nampak dari sini," kata Dinah.
Ngeri rasanya membayangkan kemungkinan itu. Jack mencari-cari di dalam rongga sempit itu. Barangkali saja tangga itu ditarik ke atas dengan suatu mesin yang digerakkan oleh putaran roda
la meraba-raba dinding rongga. Tiba-tiba tangannya menyentuh suatu benda. Rasanya seperti paku, tertancap di dinding batu. Diarahkannya sorotan senter ke benda. yang mencuat itu.
"Barangkali ini tuas pengungkit," katanya. "Lihat"
Jack menarik dan mendorong-dorong batang itu, yang tiba-tiba tertarik ke bawah. Seketika itu ` juga sebuah Iempengan batu tergeser k? samping. Di belakangnya nampak tangga tali, dalam keadaan tergulung. Bagaimana hubungan antara tangga dengan roda yang ada di dalam kolam di bawah, tidak bisa dibayangkan keempat remaja itu.
Yang jelas tangga itu tergulung di dalam rongga di balik batu tadi. Mereka tidak bisa mengeluarkannya, walau sudah ditarik sekuat tenaga. Rupanya untuk itu harus digerakkan oleh sebuah mesin dulu
Kalau dari bawah, harus diputar dulu roda yang terbenam di dalam kolam.
"Tapi bagaimana cara mengulurnya, jika orang yang hendak mempergunakannya ada di atas sini?" kata Jack untuk kesekian kalinya. Anak-anak menarik-narik lagi. Tapi tangga tali itu tetap tergulung di tempatnya.
"Sudahlah ? percuma saja kita menarik-narik," kata Jack kemudian. Ia merasa lesu. "Kita tidak bisa turun. Huh ? menjengkelkan sekali Padahal kita sudah hampir keluar dari gunung sialan ini"
Bab 20 RAHASIA YANG MENCENGANGKAN
SELAMA beberapa waktu mereka duduk dengan perasaan lesu bercampur bingung di ruangan kecil itu. Berulang kali mereka mencoba lagi agar tangga tali itu bisa diulurkan ke luar, tapi selalu sia-sia. Akhirnya mereka menjadi haus sekali, dan juga lapar. Air yang masih tersisa di kendi-kendi mereka minum sampai habis. Mereka berpikir- pikir, di mana mereka dapat memperoleh makanan.
Satu-satunya tempat yang teringat saat itu hanya ruangan di mana mereka makan dengan nikmat sebelum itu.
"Kita kembali saja ke sana ?? mungkin sisa-sisa makanan tadi masih ada," kata Jack. "Lumayan, jika masih ada beberapa potong udang"
"Kasihan Polly," kata Kiki, yang kelihatannya selalu tahu apabila anak-anak sedang berbicara tentang makanan, "Polly pilek Panggilkan dokter"
"Eh ? kau bisa bicara lagi sekarang, ya?" kata Jack. "Kusangka kau sudah bisu Awas ? jangan berteriak atau terkekeh-kekeh ? nanti kita ketahuan"
Mereka berhasil kembali ke`ruang singgasana yang masih tetap kosong seperti tadi. Dari situ mereka masuk ke ruang di mana ada makanan tersaji di atas meja.
Makanan itu masih ada di situ. Mata keempat remaja itu berbinar?binar. Saat itu juga semangat mereka bangkit kembali.
Mereka duduk menghadapi meja, lalu mulai makan. Tapi tiba-tiba kening Jack berkerut Ia menggapai Philip. Ada bunyi terdengar di kamar sebelah ?? kamar tidur yang terhias indah Anak-anak diam seperti terpaku di tempat masing-masing. Ada orangkah di dalam kamar itu?
Tiba-tiba Kiki melihat si Putih meletakkan kaki depannya ke atas meja. Rupanya anak kambing itu hendak mengambil daun selada. Kiki marah melihat kekurangajaran si Putih, lalu terbang menyambar ke arahnya sambil menjerit-jerit.
"Tamat riwayat kita sekarang," kata Jack. Tepat saat itu tirai pemisah ruangan disibakkan ke samping oleh seseorang yang menyembulkan kepalanya ke dalam.
Anak-anak sudah pernah melihat wajah orang itu. Dialah laki-laki berkening tinggi, yang berada di ruang laboratorium. Matanya melotot, berwarna biru kehijauan. Hidungnya melengkung, sedang pipinya cekung. Warna kulitnya kekuning-kuningan.
Orang itu menatap anak-anak tanpa mengatakan apa-apa. Anak-anak membalas tatapannya sambil membisu pula. Siapakah laki-laki tua berkening tinggi itu?
"Tahukah aku siapa kalian?" tanya orang itu. Tampangnya nampak bingung. "Aduh ? aku sudah lupa Lupa." Tirai pemisah disibakkan Iebih lebar. Laki-laki tua itu memasuki ruang makan. Ia mengenakan semacam jubah longgar yang terbuat dari kain sutra biru. Penampilannya menimbulkan rasa kasihan. Suaranya tinggi dan kering. Kiki Iangsung menirukannya.
Laki-laki itu tercengang, apalagi karena tidak bisa melihat Kiki yang saat itu bertengger .di belakang sebuah jambangan bunga yang besar. Anak-anak diam saja. Mereka menaksir kemungkinan melarikan diri dari situ.
"Apa yang kalian lakukan di sini?" tanya laki-laki tua itu dengan nada heran. "Pernahkah aku melihat kalian sebelum ini? Kenapa kalian ada di sini?"
"Eh ? kami di sini karena hendak mencari seseorang," kata Jack. "Sekarang kami tidak bisa keluar. Bisakah Anda menunjukkan jalan keluar dari sini?"
Laki-laki tua itu kelihatannya seperti sudah linglung, jadi menurut Jack mungkin saja ia bisa ditipu, lalu menunjukkan jalan keluar. Tapi dugaannya ternyata keliru.
"Wah, tidak ? tidak bisa," kata laki-laki tua itu dengan segera. Air mukanya berubah, nampak licik. "Di sini banyak tersimpan rahasia. Rahasiaku Orang yang masuk kemari, tidak satu pun boleh keluar lagi ? sampai percobaanku sudah selesai sama sekali. Aku penguasa tempat ini Otakkulah yang mengatur segala-galanya"
Ia mengakhiri kata-katanya dengan suara melengking tinggi. Anak-anak merasa seram mendengarnya. Gilakah laki-laki tua itu'? Tidak mungkin dia "raja" yang mereka lihat dalam ruang singgasana
"Anda tidak kelihatan seperti raja," kata Lucy-Ann pada orang itu. "Raja yang kami lihat sewaktu di ruang singgasana. Orangnya jangkung, dengan mahkota besar di kepala, sedang rambutnya hitam tergerai di sisi mukanya."
"Ya, memang ? penampilanku diatur supaya kelihatan begitu," kata laki-laki tua itu. "Aku ingin rnenjadi raja dunia Seluruh dunia ? karena otakku yang cerdas. Tidak ada yang bisa menandingi pengetahuanku. Kata Meier, aku akan menjadi penguasa dunia, begitu percobaan- percobaanku sudah selesai. Dan percobaanku itu sudah hampir selesai. Sebentar lagi" _
?Kalau begitu, tentunya Meier yang mendandani Anda seperti raja, saat Anda tampil di ruang singgasana, ya?" tanya Jack. la merasa heran. Kemudian ia berpaling, lalu berbicara dengan suara pelan pada anak-anak yang Iain. "Itu pasti agar para penerjun payung terkesan Dalam keadaannya yang seperti ini, takkan mungkin ada yang kagum melihatnya."
"Aku memang raja ? karena kepandaianku yang luar biasa," kata laki-laki tua itu dengan sikap angkuh. "Aku mempunyai rahasia, dan kini aku mempergunakannya. Kalian tentunya sudah melihat laboratoriumku yang hebat, kan? Ya, Anak- anakku, aku tahu caranya mempergunakan segala kekuatan yang ada di bumi ini Gerak pasang, logam, angin ? dan gravitasi"
"Gravitasi? Apa itu?" tanya Lucy-Ann.
"Itu kekuatan yang menyebabkan kau tetap berada di bumi ? yang menyebabkan kau selalu kembali apabila kau meloncat, dan mengembalikan bola yang dilemparkan tinggi-tinggi ke udara," kata laki-laki tua itu. "Tapi aku ? aku berhasil menaklukkan gravitasi"
Menurut anak-anak, segala kata-katanya itu cmong kosong belaka. Kini mereka yakin bahwa laki-laki tua itu benar-benar gila. Mungkin ia dulu pernah pintar sekali ? tapi kini kepintaran itu sudah tidak banyak lagi gunanya bagi dirinya.
"Kalian tidak percaya?" tukas laki-laki tua itu, ketika melihat air muka keempat remaja yang ada di hadapannya. "Ketahuilah bahwa aku berhasil menemukan sinar yang bisa menolak tarikan bumi. Mengertikah kalian, Anak-anak? Tidak, tidak mungkin kalian mengerti ? karena itu terlalu rumit bagi kalian."
"Tidak," kata Jack penuh minat. "Maksud Anda tadi, Anda merasa berhasil menguasai sinar yang apabila dipakai, bisa
?prev | next? Go to[1-11] Home melawan gravitasi? Jadi apabila sinar itu diarahkan pada ? katakanlah, sebuah bola -? maka bola itu tidak mengalami tarikan bumi lagi? Bola itu akan melambung terus, dan tidak pernah jatuh lagi ke bumi?"
"Ya, betul ? itu maksudku, secara sederhana," kata laki?laki tua itu. "Dan kini aku menciptakan sayap terbang. Sayap itu kukenai sinar temuanku. Sinar itu terkurung dalam sayap. Lalu jika seseorang yang memakai sayapku itu terjun dari pesawat terbang, ia harus menekan sebuah tombol untuk mengerahkan kekuatan cahaya itu ? dan ia tidak akan jatuh terbanting ke bumi la akan bisa melayang dan membubung tinggi sambil mengepak-ngepakkan sayap, ia bisa terbang seperti burung. Kalau sudah bosan terbang, cahaya ditahan lagi dalam sayap dan ia meluncur dengan tenang ke bumi"
Anak-anak mendengarkan penuturannya tanpa mengatakan apa-apa. Belum pernah mereka mendengar hal yang begitu menakjubkan.
"Tapi ? benarkah semuanya itu?" tanya Lucy-Ann kemudian. Asyik rasanya, membayangkan bisa terbang seperti burung
"Kausangka kami mau datang ke gunung terpencil ini untuk melakukan percobaan-percobaan kami, kaukira Meier dan Erlick mau dengan begitu saja mengeluarkan uang mereka, apabila mereka tidak yakin bahwa aku bisa melaksanakan gagasanku itu?" tanya laki-laki tua itu. Kelihatannya ia agak marah.
"Yah ? soalnya, hal itu kedengarannya begitu luar biasa," kata Lucy-Ann. "Tentu saja asyik sekali ? maksudku, aku berkorban apa saja, asal bisa terbang seperti itu. Anda pintar sekali rupanya"
"Otakku paling hebat di dunia," kata laki-laki tua itu bersungguh-sungguh. "Aku ini sarjana yang paling hebat di antara semua sarjana. Segala-galanya bisa kulakukan. Apa saja"
"Bisakah Anda menunjukkan jalan keluar dari sini?" tanya Jack sambil lalu. Laki?laki tua itu kelihatan agak merasa kikuk. "
"Kalian bisa pergi dari sini,jika mempergunakan sayap-sayap ciptaanku," katanya kemudian. "Selama itu kita semua harus tetap berada di sini ? termasuk aku Meier yang mengatur begitu. Katanya aku harus lekas-lekas menyempurnakan sayap-sayapku ? karena waktu sudah mendesak. Kalau semua sudah selesai, aku akan dinobatkan menjadi raja dunia. Semua akan memuliakan diriku."
"Pak Tua yang malang," kata Philip dalam hati. "la percaya saja pada apa yang dikatakan oleh Meier, laki-laki jahat itu. Meier dan Erlick rupanya menggunakan kepintaran orang ini demi kepentingan mereka sendiri."
Kemudian laki-laki tua itu pergi lagi, begitu cepat seperti kedatangannya. Kelihatannya ia sudah tidak tahu lagi bahwa di ruangan itu ada anak-anak. la pergi ke balik tirai, meninggalkan mereka tanpa mengatakan apa-apa Iagi. Keempat remaja itu berpandang-pandangan dengan perasaan gelisah.
"Aku tidak tahu, _sampai seberapa jauh kata- katanya tadi bisa dipercaya," kata Jack. "Benarkah ia berhasil mengetahui cara menaklukkan daya tarik bumi? Masih ingat tidak kalian, perasaan apa yang tiba-tiba timbul ketika kita sedang memandang cahaya kemilau yang muncul di bawah lubang dalam itu? Waktu itu kita kan tiba-tiba merasa tubuh kita menjadi sangat ringan, sehingga kita terpaksa berpegangan ke langkan karena takut melayang Nah ? kurasa saat itu cahaya yang diceritakannya itu ada yang terlepas dari bawah"
"Wah, betul juga katamu. Itu memang aneh" kata Philip sambil berpikir-pikir. "Dan tentu saja semuanya harus dilakukan di bawah tanah ? supaya cahaya itu tidak bertemperasan ke segala arah Perut gunung kelihatannya memang cocok sekali untuk mengadakan percobaan seperti ini- karena dikelilingi dinding batu yang tebal sekali Pantas kita tadi mendengar bunyi gemuruh, serta merasakan tanah bergetar keras. Sarjana tua itu rupanya hebat pengetahuannya Aku takut berurusan dengan segala kekuatan yang diterapkan para sarjana sekarang. Ini malah lebih hebat lagi daripada pembelahan atom" "Aku tidak tahu apa-apa tentang soal-soal seperti itu," kata Lucy-Ann. "Perasaanku sama seperti yang mestinya dialami orang zaman dulu terhadap para dukun. Aku tidak mengerti apa yang mereka lakukan ? tapi segalanya seakan-akan ilmu sihir. Aku takut"
"Tunggu saja sampai aku sudah memakai sayap antigravitasi atau entah apa namanya benda itu," kata Philip sambil meraih buah persik. "Itu baru benar-benar ajaib"
"Meier dan Erlick rupanya meyakini kebenaran gagasan laki-laki tua itu," kata Jack. "Kalau tidak, mana mungkin mereka mau begitu merepotkan diri ? dan sangat merahasiakan segalanya. Kurasa jika gagasan itu nanti ternyata bisa terlaksana, mereka akan bisa mengumpulkan harta begitu banyak sehingga keduanya menjadi hartawan yang paling kaya di dunia ? dan juga yang paling berkuasa."
"Betul Merekalah yang akan menjadi penguasa dunia ? bukan laki-laki tua itu," kata Philip. "la hanya diperalat saja, dijejali dengan segala macam omong kosong. Pak Tua itu polos sekali, tapi sangat pintar. Meier dan Erlick nanti pasti akan mengaku bahwa merekalah pencipta alat penolak daya tarik bumi itu, dan bukan laki-laki tua itu. Bayangkan, mereka mengurungnya seperti itu di sini ? dan juga yang lain-lainnya"
"Termasuk kita," kata Dinah. "Sekarang aku sudah mulai mengerti apa sebenarnya yang sedang terjadi di sini. Tapi sulit sekali rasanya bisa kupercaya Dan kurasa Bill juga akan begitu sikapnya"
Anak?anak itu makan dengan nikmat dan tenang, tanpa ada yang datang mengganggu. Dari kamar laki-laki tua itu sama sekali tak terdengar bunyi apa-apa. Menurut dugaan anak-anak ia pasti sudah tidur, atau mungkin juga kembali ke tempat kerjanya yang aneh itu. Mereka sendiri biar bagaimanapun takkan mau datang lagi ke sana. Itu sudah jelas
"Apa yang akan kita lakukan sekarang?" kata Jack. "Coba bilang, Putih He, Kiki ?? kau sudah cukup banyak makan persik"
"Kasihan Polly," kata Kiki sedih, lalu mengusap- kan paruhnya ke taplak meja.
"Ssst ? ada orang datang" kata Lucy-Ann dengan tiba-tiba. "Cepat, bersembunyi"
"Di balik tirai yang menutupi dinding," bisik Dinah. Dengan cepat keempat remaja itu menyembunyikan diri di belakang tirai-tirai tebal. Mereka berdiri di situ sambil menahan napas.
Dua orang Jepang masuk ke dalam ruangan. Rupanya mereka hendak membereskan meja makan. Keduanya bercakap-cakap. Kedengarannya seperti heran. Mereka memang heran, melihat begitu banyak makanan yang habis.
Anak-anak mendengar kedua orang itu berjalan hilir-mudik. Tiba-tiba seorang di antaranya berseru. Tapi dalam bahasa Jepang, sehingga anak-anak tidak memahami maksudnya. Mereka tetap bersembunyi di belakang tirai, jantung mereka berdebar keras.
Tiba-tiba terdengar suara Lucy-Ann menjerit. Jack dan Philip dengan cepat keluar dari tempat persembunyian. Ternyata salah seorang Jepang itu ? melihat kaki Lucy-Ann tersembul keluar dari balik tirai, lalu menyergap anak itu.
"Jack Philip Cepat, tolong aku" seru Lucy-Ann ketakutan. Dengan segera kedua anak laki-laki itu datang membantunya.
Bab 21 DI PUNCAK GUNUNG Lucy-Ann dicengkeram oleh kedua orang Jepang itu. Ia menjerit-jerit. Tanpa berpikir panjang Iagi, Jack dan Philip langsung menyerang kedua laki-laki itu. Tapi tahu-tahu mereka terpelanting. Dengan gerakan tangan yang kelihatannya sambil lalu saja, kedua orang Jepang itu menyebabkan Jack dan Philip terpental, jatuh terjerembab.
Kedua remaja itu cepat-cepat bangun Iagi. Tapi dengan cepat lawan mereka beraksi. Satu di antaranya memiting Philip ? dan tahu-tahu anak itu sudah terpental Iagi, melayang di atas kepala lawannya itu. la terbanting menubruk meja makan. sehingga piring dan gelas yang ada di situ berserakan ke mana-mana.
Keadaan di situ ribut sekali karena jeritan Lucy-Ann, teriakan Jack dan Philip, serta bunyi piring dan gelas yang berhamburan di lantai. Kiki menambah keramaian dengan jeritan nyaring. Burung kakaktua itu terbang menghunjam, menyerang salah seorang Jepang. Orang itu terpaksa sibuk menangkis.
Kemudian muncul empat orang Jepang lagi. Perlawanan anak-anak langsung berakhir. Keempat-empatnya berhasil diringkus lawan mereka. Kiki terbang melarikan diri, sambil terus menjerit-jerit, Sedang si Putih lenyap, entah ke mana perginya.
Keempat remaja itu digiring meninggalkan ruang makan. Mereka dibawa ke suatu ruangan yang lebih luas. Tempat itu baik perlengkapannya, tapi tidak semewah ruang pribadi raja. Di dinding tergantung tirai. Tirai-tirai itu biasa saja, tanpa hiasan. Langit?langit ruangan tidak ditutupi, sehingga anak-anak bisa melihat permukaan batu yang kasar di atas kepala mereka.
Lucy-Ann menangis. Dinah pucat sekali wajahnya, sedang Jack dan Philip bersikap menantang. Philip meraba-raba kantungnya, untuk melihat apakah Sally Geliat mengalami cedera dalam pergulatan tadi. Cecak ular itu rupanya tidak menyukai kehidupan di gunung. Binatang itu nampak lesu. Tapi ia tidak mau meninggalkan Philip.
Ia tetap meringkuk di dalam kantung. Philip bertanya-tanya di dalam hati, di mana Kiki dan si Putih saat itu. Bukan kebiasaan Kiki, begitu saja terbang melarikan diri. Rupanya burung kakatua itu sangat ketakutan. Atau mungkin juga ia tadi kena benturan piring yang terpelanting dari atas meja makan.
Beberapa menit kemudian Meier dan Erlick memasuki ruangan. Merekalah sebenarnya yang berkuasa di situ, dengan menampilkan ?raja` yang sudah uzur sebagai boneka mereka. Tampang Meier masam sekali. la menatap anak-anak satu per satu dengan matanya yang tajam.
"Ah ? jadi kalian ini berempat Kalian bertiga pasti masuk kemari untuk mencari anak laki-laki ini. Kalian membebaskannya dari gua tempat dia terkurung. Kalian menyangka akan bisa minggat dari sini. Kalian beranggapan bahwa itu pasti gampang, sangat gampang. Dan bagaimana kenyataannya?"
Ia melontarkan pertanyaan itu sambil tersenyum masam.
Anak-anak tetap membisu. "Bagaimana kalian bisa mengetahui cara menurunkan tangga tali itu?" Meier mengajukan pertanyaan itu dengan begitu tiba?tiba, sehingga anak?anak kaget sekali. "Siapa yang mengatakan caranya?"
Anak-anak tetap membungkam. Mata Meier menyempit. Dinah dan Lucy-Ann merasa geram melihat tampang orang itu.
"Aku ini bertanya," tukas Meier. Ia menatap Jack. "He, kau ? ayo jawab"
"Aku memakai otakku," jawab Jack singkat.
"Kecuali kalian, ada Iagi yang mengetahui jalan masuk itu?" tiba-tiba Erlick ikut Berbicara. Anak?anak memandangnya. Mereka tidak suka melihat tampangnya. Hii ? seperti gorila, pikir mereka. Meier saja sudah menakutkan ? apalagi Erlick. Tampangnya sepuluh kali lipat lebih jahat
"Entah," kata Philip. la sudah jengkel sekali, karena cara kedua laki-laki itu berbicara pada mereka. "Kalau ada orang lain yang tahu ? lalu kenapa? Apakah yang kalian lakukan di sini itu begitu memalukan, sehingga kalian merasa perlu menyembunyikan jalan masuk kemari?"
Erlick maju selangkah. Ditempelengnya Philip _ keras-keras. Lucy-Ann berhenti menangis. Ia semakin ketakutan. Philip menatap laki-laki itu dengan sikap menantang. Ditahannya rasa sakit karena ditempeleng itu.
"Jangan, Erlick," kata Meier. "Ada cara lain untuk membuat anak seperti dia mau tunduk tanpa menempelengnya. Tapi sekarang akan kita kerahkan anjing-anjing kita, mencari jejak di luar. Jika ada kawan anak-anak ini di dekat-dekat sini, mereka pasti akan ditemukan anjing-anjing kita, lalu digiring masuk kemari."
Anak-anak merasa gelisah. Jangan-jangan kawanan anjing herder itu nanti menyergap Bill dan Pak David ? kalau mereka sudah ada di situ Kalau itu sampai terjadi, gawat
Saat itu terdengar suara batuk di Iuar ruangan. Meier dan Erlick kaget mendengarnya. Dengan cepat Meier pergi ke ambang ruangan, lalu memandang ke sana dan kemari. Tapi di luar tidak ada siapa-siapa.
"Masih ada lagi teman kalian?" tanya Meier. "Laki-laki atau perempuan?"
"Dua?duanya bukan," kata Jack. Ia mengenali bunyi batuk tadi. Itu Kiki Mudah-mudahan saja burung iseng itu tidak ikut-ikut campur. Kedua laki-laki itu pasti tidak akan segan-segan memuntir lehernya
"Puh Hah" terdengar lagi suara Kiki, yang setelah itu terkekeh-kekeh. Kedua laki-laki itu kelihatan merasa seram mendengarnya. Mereka pergi ke ambang ruangan lalu memandang ke sana dan kemari. Tapi mereka tidak melihat Kiki, yang bertengger dengan- aman pada batu yang mencuat di atas ambang.
"Panggilkan dokter," kata Kiki dengan suara seperti orang yang sudah hampir mati. Meier dan Erlick merinding. _
"Astaga Siapa itu?" kata Erlick bingung. Ditatapnya anak-anak dengan sikap mengancam.
"Jika itu teman kalian yang hendak iseng ? awas Dia akan kukuliti hidup-hidup"
"Kami cuma berempat saja," kata Jack.
"Dan semua ada di sini," kata Philip dengan seenaknya. la tahu, cara berbicara demikian terhadap kedua laki-laki itu bisa menimbulkan bahaya bagi dirinya. Tapi ia tak peduli. Philip sama seperti Dinah -? keduanya kalau sudah marah, tidak memakai perhitungan lagi.
"Begitu ya Kalau begitu kalian semua harus tetap tinggal di sini" kata Meier. "Nanti"kau pasti akan bisa kupaksa agar mau patuh. Mungkin selama ini kau bisa seenaknya saja bersikap kurang ajar ? tapi dengan aku, itu tidak bisa Sekarang jalan di depan kami. Jangan berhenti"
Keempat remaja itu dipaksa berjalan meninggalkan gua itu, di depan Meier dan Erlick. Mereka disuruh mendaki tangga yang berputar-putar ke atas, melewati rongga-rongga tempat penyimpanan perbekalan, terus saja sampai di depan pintu gua tempat Philip dikurung sebelum itu.
"He, kau" bentak Meier. la menujukannya pada Philip. "Ayo, masuk lagi ke situ Kau pasti tidak berani kurang ajar lagi, apabila sudah mengalami kekurangan makan selama beberapa hari. Yang lainnya naik terus ke atas"
Kasihan Philip ? ia dikurung lagi dalam gua yang sisi luarnya terbuka. Tapi tidak ada lagi orang berkulit hitam menemaninya di situ. Philip duduk. Kini ia agak menyesal, kenapa tadi bersikap kurang ajar terhadap kedua laki-laki yang berwajah galak itu. Tapi saat berikut ia malah merasa puas. Ia tidak sudi tunduk pada orang-orang jahat seperti mereka. Walau sayang, kini ia dipisahkan dari anak-anak yang Iain. Tinggal Jack sendiri yang masih bisa melindungi Dinah dan Lucy-Ann.
Ketiga remaja itu dipaksa naik terus ke atas. Akhirnya mereka sampai di jenjang yang lebar, yang dipahat pada batu. Anak-anak terus naik, sampai ke puncak gunung. Mereka tertegun di situ, kagum melihat pemandangan menakjubkan yang nampak di sekeliling. Mereka merasa seperti berada di atap dunia
Sesaat mereka melupakan kesulitan yang dihadapi. Mereka memandang berkeliling dengan kagum. Di mana-mana nampak puncak gunung yang menjulang tinggi. Sedang jauh di bawah terhampar lembah?lembah gelap. Nikmat rasanya berada di atas, di tempat yang terang dan berangin sejuk, setelah begitu lama terkurung di dalam perut gunung yang gelap.
Puncak gunung itu datar sekali. Pada tiga sisinya ada batu menjulang terjal ke atas, seperti gerigi. Jack langsung mengenali tempat itu. Mereka ternyata berada di` atas Gunung Taring yang pernah terlihat sewaktu mereka berangkat mencari Lembah Kupu-kupu. la memandang berkeliling. Puncak gunung itu gundul, sama sekali tidak ada tumbuh-tumbuhan di situ. Dataran itu terdiri dari batu semata-mata, berukuran sebesar pekarangan yang luas. Di satu sisi nampak para penerjun payung sedang bermain kartu di tempat teduh.
Orang-orang itu memandang anak-anak dengan sikap heran. Sam, orang yang berkulit hitam, ada di tengah kelompok penerjun payung. la menuding ke arah Jack, sambil mengatakan sesuatu pada rekan-rekannya. Jack merasa lega, karena tahu bahwa Philip tidak banyak bercerita pada orang itu tentang dirinya serta anak-anak yang lain. Ia tidak menginginkan Meier tahu Iebih banyak lagi tentang mereka.
Di sisi dataran yang letaknya berseberangan dengan tempat para penerjun payung duduk-duduk ada tenda. Meier mendorong ketiga remaja itu, disuruhnya berjalan ke situ.
"Kalian harus di sini terus," tukasnya. "Tidak boleh berbicara dengan orang-orang itu Awas, kalau berani ke sana Kalian sekarang kami tawan. Kalian kemari tanpa diundang ? dan sekarang kami tahan di sini selama kami anggap perlu."
"Tidak bisakah Philip menyertai kami?" pinta Lucy-Ann. "Ia pasti kesepian, kalau dipisahkan sendiri"
"Philip itu anak yang tadi, ya? Tidak bisa ? ia perlu dihukum sebentar," kata Meier. "Biar dia agak menderita kelaparan dulu. Aku ingin tahu, apakah sesudah itu ia bisa berbicara secara sopan."
Setelah itu Erlick dan Meier masuk kembali ke dalam gunung. Jack, Dinah, dan Lucy-Ann duduk di bawah tenda. Perasaan mereka murung, karena tahu bahwa keadaan mereka saat itu sama sekali tidak enak. Mereka juga sedih, memikirkan Philip yang dipisahkan.
Para penerjun rupanya juga sudah diperingatkan agar jangan mendekati anak?anak yang baru datang itu. Tidak seorang pun dari mereka yang berani menyapa. Nampak jelas bahwa orang-orang itu biasa mematuhi perintah Meier dan Erlick.
Di dekat tempat anak-anak duduk ada semacam sandaran alam, berupa dinding batu yang agak tinggi, membatasi pinggiran dataran puncak. Jack pergi ke situ, lalu duduk di atasnya. la memandang berkeliling dengan teropong. Siapa tahu, mungkin ia bisa melihat Bill Tapi sekaligus ia juga khawatir, kalau Bill memang ada di dekat situ, nanti anjing-anjing herder akan disuruh mengejarnya. Mana anjing-anjing itu, tanya Jack dalam hati.
Kemudian sikap duduknya berubah. Diarahkan- nya teropong pada bintik kecil yang nampak bergerak di lereng gunung. Mungkinkah itu Bill dan Pak David, yang datang dengan menunggang keledai?
Ternyata bukan Bill, melainkan kawanan anjing harder Rupanya mereka itu sudah dilepaskan, dan saat itu berkeliaran di luar Jika Bill ada di sekitar situ, mereka pasti akan berhasil mencium jejaknya. Gawat Kalau itu terjadi, tentu Bill akan ikut tertawan. Jack mencari-cari akal untuk mencegah kemungkinan itu. Tapi sia-sia saja.
Kemudian ia teringat pada si Belang. Untung saja keledai itu diikat dengan tali yang cukup panjang, sehingga tidak perlu dikhawatirkan akan kelaparan atau kehausan. Tapi si Belang pasti bingung, kenapa anak-anak tidak muncul-muncul
Tiba-tiba Jack kaget, karena ada yang menyentuh tangannya. Ia menoleh ke bawah. Ah, si Putih Anak kambing itu ternyata berhasil menemukan mereka, dan kini menyundul-nyundul tangan Jack dengan sikap takut-takut.
"Halo, Putih Kau mencari Philip?" kata Jack sambil mengusap-usap hidung anak kambing itu. "la sudah terkurung lagi di dalam gua itu. Kau tidak bisa mendatanginya."
Si Putih sudah mengetahuinya, karena sebelumnya ia sudah berdiri sambil mengembik-ngembik di depan pintu tempat Philip terkurung. Tampangnya begitu memelas, sehingga Jack membawanya ke bawah tenda, di mana ketiga anak itu kemudian membujuk-bujuknya.
"Apa yang terjadi dengan Kiki?" tanya Lucy-Ann beberapa saat kemudian.
?Ah, nanti kan muncul juga," kata Jack. "Kiki bisa menjaga dirinya sendiri. Serahkan saja itu padanya Mungkin saat ini ia sedang mempermainkan kedua laki-laki tadi? batuk-batuk, bersin, terkekeh-kekeh, dan menirukan bunyi kereta api cepat dalam terowongan"
Dugaan Jack itu tepat. Kiki mempermainkan Meier dan Erlick. Keduanya benar-benar bingung dibuatnya, karena tidak tahu bahwa keempat remaja itu datang bersama seekor burung kakaktua. Ada suara tanpa orang ? aneh
Lama juga keadaan di atas tetap tenang. Tapi saat matahari terbenam, terdengar bunyi gonggongan ribut. Dua orang Jepang menggiring kawanan anjing herder ke puncak gunung. Anak-anak memandang dengan cemas. Mereka khawatir, jangan-jangan Bill tertangkap. Ternyata tidak ? kawanan anjing itu muncul tanpa membawa tawanan. Anak-anak menarik napas lega.
Anjing-anjing herder itu dimasukkan ke dalam kandang besar yang terbuka dan berpagar kawat, agak jauh dari tempat anak-anak.
"Hati-hati terhadap mereka," kata salah seorang Jepang itu pada anak-anak. "Mereka galak-galak. Jadi hati-hati saja"
Bab 22 HELIKOPTER TAPI ketiga remaja itu sama sekali tidak takut pada anjing-anjing itu. Bukankah mereka sudah pernah tidur bersama-sama di luar gua, beberapa malam yang lalu? Tapi tentu mereka tidak mengatakannya pada orang Jepang itu. Mereka menunggu sampai keduanya sudah pergi, lalu mendatangi anjing yang besar-besar itu.
Tapi saat itu Philip tidak ada bersama mereka. Dan sikap anjing-anjing itu_ terhadap Jack dan kedua anak perempuan yang menyertainya berlainan dengan terhadap Philip. Mereka menggeram ketika Jack datang menghampiri. Seekor di antaranya menyeringai, menampakkan taring yang panjang dan runcing. Dinah dan Lucy-Ann cepat-cepat mundur.
"Aduh ? galak sekali mereka Rupanya sudah lupa pada kita. Hati-hati, Jack"
Jack tidak merasa takut. Tapi walau begitu ia berhati-hati, ketika melihat kawanan herder itu tidak menampakkan sikap ramah. Anjing-anjing besar yang galak-galak itu rupanya kecewa karena tidak berhasil dalam perburuan hari itu. Mereka juga lapar, serta merasa curiga terhadap Jack. Coba kalau Philip yang saat itu datang menghampiri, pasti tingkah laku mereka akan lain sama sekali?
"Jauhi mereka, Jack,? kata Lucy-Ann, ketika mendengar geraman anjing-anjing itu. "Seram sekali suara mereka ? rasanya seperti suara serigala"
Anak-anak lantas kembali ke tempat mereka.
"Satu sudut untuk anjing-anjing, satu sudut untuk kita, dan satu lagi untuk orang-orang itu," kata Jack. "Aku ingin tahu, berapa lama lagi kita akan ditahan di sini"
Hari itu tidak ada yang datang mengantarkan makanan untuk mereka. Untung saja sebelum itu mereka sudah makan besar di ruang pribadi raja Jack bertanya-tanya dalam hati, apakah mereka nanti harus tidur di atas batu. Jahat sekali orang-orang itu, jika mereka ditahan di situ tanpa diberi selimut dan makanan
Tapi ketika hari sudah mulai gelap, tiga orang Jepang muncul. Mereka membawa beberapa lembar selimut, yang dicampakkan ke depan anak-anak. Seorang dari mereka membawa air dalam kendi, serta beberapa buah mangkuk.
"Mana makanan untuk kami?" tanya Jack.
"Tidak bawa," kata salah seorang Jepang itu dalam bahasa Inggris terpatah-patah. "Kata Tuan, jangan beri makan."
"Tuanmu tidak baik," kata Jack. "Tuanmu jahat sekali"
Orang Jepang itu tidak menjawab. Ia pergi lagi bersama kedua rekannya,dengan langkah menyelinap seperti kucing. Anak-anak meringkuk di bawah selimut sambil memikir- kan nasib Philip yang terkurung dalam gua.
Suasana alam keesokan paginya sangat indah ketika matahari terbit dan menerangi puncak-puncak gunung satu demi satu. Anak-anakanak asyik memandang sambil duduk di atas dinding batu yang rendah. Mereka sudah lapar sekali saat itu. Si Putih ada bersama mereka. Tapi Kiki belum muncul-muncul juga. Jack mulai khawatir memikirkannya.
Si Putih melompat naik ke atas dinding batu, di sisi Jack. Tidak ada yang bisa melarikan diri lewat sisi luar dinding itu karena tebingnya curam sekali. Agak jauh di bawahnya ada semacam langkan sempit yang menjorok ke luar. Orang yang nekat melarikan diri lewat situ pasti akan terpeleset lalu jatuh tergelincir terus sampai ke bawah, Tubuhnya pasti remuk
Si Putih berdiri di atas dinding dengan telinga ditegakkan, seperti sedang mendengarkan sesuatu. Kemudian dengan tiba-tiba ia mengembik. Dari salah satu tempat terdengar suara orang menjawab. Tapi samar sekali, hampir-hampir tak terdengar Jack kaget. Suara Philip-kah itu tadi? Di mana letak gua tempat ia dikurung? Barangkali tidak jauh dari dataran puncak
Dinah dan Lucy-Ann bergegas menggabungkan diri, karena melihat sikap Jack yang tiba-tiba berubah. Saat itu mereka terkejut karena kelakuan si Putih. Anak kambing itu meloncat ke bawah, ke sisi tebing yang curam
"Aduh ? mati dia nanti" teriak Lucy-Ann ketakutan.
Ia tidak berani melihat apa yang terjadi. Tapi Jack dan Dinah menjenguk ke bawah, dengan perasaan ngeri. Ternyata si Putih melompat ke langkan sempit yang mencuat ke luar, di bawah dinding yang rendah la mendarat di situ dengan keempat kaki merapat. Batu yang menonjol itu sempit sekali, sehingga hanya dengan cara begitu saja anak kambing itu bisa mendarat di sana.
Sesaat lamanya si Putih berdiri di situ sambil mengimbangkan tubuh. Ketika kelihatannya hampir jatuh, anak kambing itu meloncat lagi ? ke tonjolan sempit Iainnya di sebelah bawah, merosot di atas permukaan tebing yang kasar ? lalu lenyap dari penglihatan.
"Astaga Nekat sekali dia" kata Dinah sambil menarik napas dalam-dalam. "Jantungku sampai nyaris terhenti tadi"
"Bagaimana si Putih ?? dia tidak apa-apa?" tanya Lucy-Ann, yang masih tetap belum berani melihat.
"Kelihatannya begitu. Ia tidak kelihatan lagi Kurasa mungkin ia sudah menemukan gua tempat Philip ditawan,? kata Jack. "Moga-moga saja ia tidak mencoba naik lagi nanti lewat jalan ini ? karena pasti terjatuh ke bawah, sehingga lehernya patah?"
Tapi setengah jam kemudian anak kambing itu ternyata berhasil kembali lewat jalan yang sama, dengan gerakan lincah seperti bajing.
Di lehernya ada sepucuk surat yang diikatkan dengan tali. Dengan cepat Jack mengambil surat itu lalu membukanya. Ia membacakan isinya pada Dinah dan Lucy-Ann.
"Bagaimana keadaan kalian?/\ku baik?baik saja, cuma aku tidak mendapat makan. Hanya air minum saja. Kurasa orang-orang jahat itu hendak memaksa aku tunduk karena kelaparan Bisakah kalian mengirim si Putih kemari dengan apa saja yang bisa kumakan, jika kalian diberi makanan?
salam, Philip." Saat itu datang seorang Jepang membawakan makanan untuk ketiga remaja itu. Semuanya makanan kalengan. Tapi banyak juga yang diberikan. termasuk sebatang roti segar. Menurut perkiraan Dinah, orang-orang Jepang itu mungkin punya oven di salah satu tempat dalam gunung, untuk membuat roti.
Anak-anak menunggu sampai orang Jepang itu sudah pergi lagi. Kemudian mereka berunding, bagaimana sebaiknya cara mengirimkan makanan pada Philip. Kemudian Jack membuat beberapa rangkap roti sandwich, lalu membungkusnya baik-baik dengan kertas bekas pembungkus roti ketika diantar ke atas. la menyelipkan surat di antara roti?roti itu untuk memberi tahu Philip bahwa si Putih akan dikirim mengantarkan makanan setiap kali ada kesempatan baik. Kemudian bungkusan berisi roti itu diikatkan ke punggung anak kambing itu. Si Putih mencoba mengambil bungkusan itu, karena mencium bau makanan yang ada di dalamnya. Tapi tidak bisa.
"Sekarang kau turun ke tempat Philip Iagi." kata Jack. la menepuk-nepuk sisi atas dinding rendah, untuk menunjukkan pada anak kambing itu bahwa ia harus naik ke situ. Begitu sudah naik, si Putih langsung teringat lagi pada Philip, lalu cepat-cepat meloncat turun, berpindah-pindah dari tonjolan batu yang satu ke tonjolan berikutnya.
Anak-anak yang ada di puncak gunung merasa lega, karena tahu bahwa Philip kini takkan kelaparan lagi. Kemudian mereka mulai makan. Sambil mengunyah, Jack mengamat-amati daerah pegunungan yang terhampar di bawah dengan teropongnya. Ingin sekali diketahuinya, apakah Bill akan datang hari itu. Ia pasti akan muncul dengan segera
Waktu terasa seperti merayap hari itu. Para penerjun dijemput orang-orang Jepang dan dibawa masuk ke dalam gunung. Kawanan anjing herder pun dibawa pergi. Jack merasa yakin bahwa mereka nampak berkeliaran kembali di lereng gunung, beberapa saat setelah itu.
Mereka mengirim si Putih ke tempat Philip dengan membawa makanan. setiap kali ada makanan diantar ke atas untuk mereka. Agak enak juga rasanya bisa saling berkirim surat yang bernada riang ? walau saat itu tak ada yang benar-benar berperasaan begitu. Kiki masih belum muncul, dan sementara itu anak-anak sudah cemas sekali memikirkan nasib burung kakaktua itu.
Sampai saat senja, para penerjun payung belum kembali. Anak-anak merasa heran, karena tidak mengetahui sebabnya. Tapi kawanan anjing herder digiring naik ke atas lagi. Anak-anak kini tidak mau lagi datang ke kandang mereka. Anjing-anjing besar itu ribut berkelahi memperebutkan daging. Mereka kedengarannya galak dan buas.
Malam itu langit berawan. Hawa terasa panas. Anak-anak menyeret selimut mereka dari bawah tenda, lalu dihamparkan di tempat yang dilewati angin. Mereka berbaring beralaskan selimut Tidak lama kemudian Dinah dan Lucy-Ann sudah tertidur. Tapi Jack belum bisa, karena sibuk memikirkan Kiki, Philip, serta kedua anak perempuan itu.
Beberapa saat kemudian ia terduduk, karena mendengar bunyi samar di kejauhan. Jack langsung mengenal bunyi itu. Helikopter Tidak mungkin keliru lagi. Apakah pesawat itu menuju ke puncak gunung?
Jack membangunkan kedua anak perempuan. "Dinah Lucy-Ann Ada helikopter datang. Bangun ? kita akan mengamat-amatinya. Cepat, kita kembali ke bawah tenda, jangan sampai pesawat itu mendarat terlalu dekat ke kita"
Mereka menyeret selimut ke bawah tenda kembali. Setelah itu mereka duduk di atas dinding batu sambil memasang telinga. Mereka ingin tahu, apakah Philip juga mendengar bunyi helikopter yang datang. Ternyata memang begitu Philip berbaring menelungkup di dekat ambang gua. la mendengarkan sambil berusaha melihat. Tidak banyak yang nampak, karena di luar terlalu gelap. Mudah-mudahan saja ia bisa ikut melihat apa yang terjadi kemudian, katanya pada diri sendiri.
Bunyi pesawat itu semakin mendekat dan akhirnya berisik sekali.
"Lihat ? itu dia," kata Jack. Ia tidak bisa tenang lagi. "Kalian lihat tidak ? sekarang terbang memutar, agak di atas kepala kita. Tidak adakah yang menyalakan senter, untuk menunjukkan tempat mendarat pada penerbangnya?"
Saat ia berbicara, dua orang Jepang muncul bergegas-gegas di pelataran, lalu lari ke tengah. Di situ mereka melakukan sesuatu yang tidak bisa dilihat anak-anak. Dengan segera ada sinar terang memancar ke atas, menerangi badan helikopter yang sudah berada di atas kepala.
"Itu dia ? sekarang akan turun" seru Jack. ?Lihatlah geraknya turun, pelan sekali ? hampir- hampir tegak lurus Helikopter memang pesawat yang cocok untuk didaratkan di puncak gunung"
Putaran baling-baling pesawat itu melambat ketika roda-rodanya sudah mencecah pelataran, dan akhirnya berhenti berputar. Terdengar suara beberapa orang sahut-menyahut.
"Besar sekali," kata Jack. "Belum pernah kulihat helikopter sebesar itu. Pasti banyak sekali muatan yang bisa diangkut dengannya."
Anak-anak bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi kemudian, karena sinar yang terang disorotkan ke arah pesawat itu. Peti-peti serta kotak-kotak dilemparkan dari tempat muatan ke pelataran. Beberapa orang Jepang sibuk bekerja, menyeret-nyeret muatan itu. Beberapa peti dibuka, lalu isinya diangkut lewat tangga batu ke tempat penyimpanan perbekalan.
Penerbang pesawat helikopter itu seorang laki-laki yang masih muda, dengan goresan bekas luka di pipi kanan. Ia ditemani seseorang berkulit cokelat, yang jalannya sangat pincang. Dengan ketus mereka berbicara sebentar dengan para pekerja yang berbangsa Jepang. Setelah itu mereka masuk ke dalam gunung.
"Pasti pergi melapor pada Meier dan Erlick," kata Jack menduga. "Yuk ? kita dekati helikopter itu Coba aku bisa menerbangkannya, kita bisa minggat dari sini dengannya"
"Lalu melayang di depan gua Philip, untuk menjemputnya" kata Dinah. Ketiga remaja itu menghampiri pesawat helikopter. Jack menyusup masuk, lalu duduk di kursi penerbang. Kepingin sekali rasanya bisa menerbangkannya
Saat itu beberapa orang keluar dari dalam gunung. Meier, Erlick, penerbang serta temannya yang pincang, dan seorang penerjun payung. Jack hendak cepat-cepat keluar, sebelum ketahuan. Tapi terlambati Meier sudah melihatnya. Jack diseret ke luar dengan kasar, sampai terpelanting ke pelataran.
"Apa yang sedang kaulakukan di sini? Jangan kaudekati pesawat ini" teriak Meier dengan berang. Jack lari ke tempat Dinah dan Lucy-Ann, sambil mengusap-usap bahu.
"Kau cedera, Jack?" tanya Lucy-Ann cemas. Jack membalas sambil berbisik bahwa ia tidak apa-apa. Kemudian ia mengatakan sesuatu, yang rnenyebabkan kedua anak perempuan itu memandang dengan cepat ke arah orang-orang yang berdiri mengelompok di tengah pelataran. Mereka merasa ngeri
"Kurasa penerjun payung itu yang kini akan disuruh mencoba sayap terbang," kata Jack berbisik. "Mereka membawanya kemari karena hendak memperlihatkan helikopter itu, serta menunjukkan dari mana ia harus meloncat nanti."
Dinah dan Lucy-Ann merasa seram, membayangkan harus terjun dari pesawat yang sedang membubung tinggi di udara ? dan mengandalkan keselamatan diri pada sayap aneh ciptaan orang tua yang dikatakan raja. Sudah berapa saja yang mengalami kegagalan, pikir mereka. Takkan ada yang bisa mengetahui apakah sayap itu benar- benar bisa diandalkan, selama belum dicoba pemakaiannya.
Penerjun payung itu meneliti pesawat helikopter dengan seksama. Ia berbicara dengan penerbangnya, yang menjawab dengan kata-kata singkat. Menurut perasaan Jack, penerbang itu kelihatannya tidak begitu bergairah mengenai soal terjun payung. Mungkin ia lebih suka jika tugasnya hanya terbatas pada pengangkutan perbekalan ke gunung saja.
"Kalian berangkat besok malam," terdengar suara Meier yang tajam. "Sekarang makan saja dulu."
Dua orang Jepang ditugaskan menjaga helikopter, supaya anak-anak tidak bisa mendekatinya. Sedang orang-orang yang lain masuk Iagi ke dalam gunung.
Besok malam, pikir Jack. Apakah yang akan terjadi saat itu?
Bab 23 SAYAP AJAIB ANAK-ANAK kembali ke bawah tenda. Mereka tidak berani mendekati helikopter lagi, karena tahu bahwa kedua orang Jepang itu pasti akan bertindak keras. Tidak lama kemudian si Putih muncul dari balik dinding rendah yang membatasi tepi pelataran. Ia lari mendatangi helikopter. Ia ingin tahu, benda apa yang besar itu. Tapi salah seorang penjaga di situ memukulnya.
"Jahat sekali orang itu ? sampai hati memukul si Putih yang begitu kecil" kata Jack. "Sini, Putih Kau harus berhati-hati ? nanti kau dijadikan sup oleh kedua orang itu"
"Aduh, Jack ? jangan suka berbicara begitu," kata Lucy-Ann yang halus sekali perasaannya. "Benar-benarkah mereka tega berbuat begitu? Masa ada yang sampai hati menyakiti si Putih?"
Si Putih cepat-cepat lari menggabungkan diri dengan anak-anak, lalu meloncat-loncat dengan gerakan lincah, naik-turun dinding rendah. Sorotan lampu menerangi helikopter. Tapi pelataran selebihnya terbenam dalam kegelapan.
Kawanan anjing herder melolong-lolong di kandang mereka. Anjing-anjing itu gelisah, karena terganggu bunyi helikopter tadi. Kedua penjaga yang berbangsa Jepang menyerukan sesuatu dengan nada mengancam, tapi anjing-anjing itu tidak mengacuhkan mereka.
"Aku sama sekali tidak suka pada petualangan kita ini," kata Lucy-Ann dengan tiba-tiba. "Bukan cuma tidak suka, tapi bahkan benci Aku ingin pergi dari sini. Aku ingin kembali ke tempat pertanian, berkumpul lagi dengan Bill, Bibi Allie, Pak Effans dan Bu Evans. Kenapa sih, kita harus mengalami petualangan lagi? Padahal rencana kita kan berlibur dengan tenang, menikmati suasana musim panas"
"Kita kan tidak mencarinya, tapi tahu-tahu saja terjadi," kata Jack. "Kurasa ada sesuatu pada diri kita yang menarik petualangan ? seperti Philip yang selalu menarik perhatian binatang Ada orang yang bernasib mujur, ada yang menarik datangnya harta, ada yang menarik binatang. dan ada pula yang menarik petualangan."
"Aku lebih suka menarik hal-hal yang tidak berbahaya ? seperti anjing, atau kucing," keluh Lucy-Ann. "Aduh, si Putih ini seenaknya saja menginjak-nginjak orang"
Akhirnya anak-anak itu tertidur. Paginya, ketika mereka menyuruh si Putih turun untuk mengantar- kan makanan pada Philip, mereka menyertakan pula sepucuk surat yang isinya tentang pengalam? an mereka malam itu. Tidak lama kemudian si Putih kembali, membawa balasan dari Philip.
?Aku kasihan pada penerjun payung itu Aku ingin tahu, sudah berapa saja yang dikorbankan selama ini dalam percobaan yang gila-gilaan itu. Untung bukan aku yang ditunjuk untuk melakukan tugas segila itu Tabahkan hati kalian Aku di sini baik-baik saja. Si Putih hampir selalu ada di sini, menemani aku. Sedang Sally Geliat sudah jinak sekali sekarang. la mau kusuapi. Tidurnya di atas batu di tepi luar guaku ini. Bilang pada si Putih ia harus hati-hati sedikit kalau kemari. Jangan berjingkrak-jingkrak seenaknya, nanti Sally terinjak. Nah, sampai bertemu lagi
Philip." Waktu kembali terasa seperti merayap hari itu. Anjing-anjing tidak disuruh berkeliaran lagi di luar gunung. Mereka diajak lari berkeliling pelataran, digiring oleh beberapa orang Jepang.
"Dengan begini tidak ada bahaya mengancam, jika Bill datang hari ini," kata Jack lega. "Jadi mudah-mudahan saja ia muncul sekarang ? walau sebenarnya tidak banyak yang bisa diperbuatnya di sini. la tidak tahu letak jalan masuk ke dalam gunung Kalau ia berhasil menemukannya, ia tidak tahu bagaimana cara menurunkan tangga tali. Sedang jalan lain tidak ada"
Wajah Lucy-Ann nampak suram.
"Kalau begitu. kita harus tetap di sini seumur hidup?" katanya cemas. Jack dan Dinah tertawa.
"Wah, tentu saja tidak"jawab Jack. "Bill pasti akan melakukan sesuatu untuk menyelamatkan kita ? tapi jangan tanya apa"
Hari itu pun para penerjun payung masih belum muncul Iagi di atas, termasuk yang ditugaskan mencoba sayap terbang malam itu. Helikopter masih tetap ada di tengah pelataran. Baling-balingnya kemilau memantulkan sinar matahari.
Kimya Sang Putri Rumi 1 Pendekar Romantis 02 Hancurnya Samurai Cabul Jurus Tanpa Bentuk 13
^