Pencarian

Kencan Ganda 2

Fear Street Kencan Ganda Double Date Bagian 2


tersembunyi dalam kegelapan.
"Melanie... kau...," seru Bobby.
Melanie membuka jendela mobilnya. Seketika terdengar musik
yang mengentak-entak. "Bobby, hai! Ternyata memang kau!"
sahutnya. Sikap Melanie terlalu ceria, Bobby berkata dalam hati. Sejak
kapan dia begitu ramah? Dia kesal padaku sejak aku mulai berkencan
dengan si Kembar Wade. Bobby melompati genangan air, menghampiri mobil Melanie,
lalu menatapnya sambil bersandar pada pintu. Melanie segera
mematikan radio. Suasana mendadak hening.
"Aku baru mau ke rumah Arnie," Melanie menjelaskan tanpa
ditanya. "Tapi aku mampir dulu di sini karena ada sesuatu yang mesti
kubeli untuk ibuku. Lalu aku melihatmu...."
Ia mendadak diam dan memandang ke belakang Bobby.
"Bobby... mobilmu!" ujarnya. "Kenapa banmu?"
Pura-pura, ujar Bobby dalam hati.
Apa dipikirnya aku akan tertipu oleh tampangnya yang tak
berdosa? "Ban mobilku disayat orang," gumamnya sambil mengamati
wajah Melanie. "Hah?" Gadis itu terbengong-bengong. "Maksudmu...?"
"Keempat-empatnya disayat orang," ulang Bobby dengan
geram. "Aku boleh menumpang?"
Melanie mengangguk. "Tentu. Ayo, naik saja." Ia menatap
mobil Bobby yang tampak amat rendah. "Untung saja aku kebetulan
lewat," ujarnya ketika Bobby duduk di sampingnya.
"Yeah, kebetulan sekali," tukas Bobby getir lalu menutup pintu
dengan keras. *********** Seusai sekolah hari Senin, Bobby memasukkan ranselnya ke
locker, kemudian menuju ruang musik untuk berlatih dengan bandnya.
Arnie telah meneleponnya hari Sabtu dan memberitahu Bobby
bahwa ia dan Paul ingin mengganti nama grup mereka menjadi
Desperadoes. Bobby merasa tidak ada gunanya berdebat soal itu.
Penampilan kita di depan seluruh sekolah Jumat besok bakal
memalukan sekali, katanya dalam hati. Tak ada bedanya apakah band
kita bernama Desperadoes atau The Rolling Stones!
Sepanjang hari Minggu Bobby memikirkan Melanie dan banbannya yang tersayat. Mula-mula Bobby benar-benar yakin bahwa
Melanie-lah yang bertanggung jawab.
Dia cemburu pada si Kembar, Bobby berkata dalam hati. Dia
masih berharap agar aku kembali padanya. Anak malang itu begitu
bingung sampai kehilangan akal sehat.
Tapi setelah merenungkan kejadian itu, Bobby menyadari
bahwa ia keliru. Melanie dan Arnie tampak cukup bahagia. Melanie
tak ingin kembali padanya.
Bobby juga tahu bahwa Melanie berteman baik dengan
Samantha dan Bree. Dan Melanie memang marah sekali karena Bobby
diam-diam mengencani kedua-duanya.
Tapi tegakah Melanie menyayat ban mobilku? Bobby bertanyatanya.
Jawabannya tidak. Tidak mungkin.
Cewek mana pun takkan sanggup menyayat ban mobil sedalam
itu, pikir Bobby. Mereka tak tahu bagaimana menggunakan pisau.
Ini pasti ulah orang lain, Bobby menyimpulkan. Tapi siapa?
Ia sama sekali tidak tahu.
Dalam perjalanan ke ruang musik, ia berhenti sebentar untuk
bercanda dengan beberapa anak dari tim basket. Kemudian ia melihat
Bree di ujung lorong. Bobby melambaikan tangan, dan Bree
membalas dengan cara yang sama.
"Tunggu!" panggil Bobby.
Bree masuk ke auditorium. Sepertinya ia hendak mengikuti
latihan kor. Bobby segera menyusul. Ia membelok di ujung lorong dan
nyaris bertabrakan dengan Samantha. "Hei!" ujarnya. "Mau ke mana,
nih?" "Aku melihatmu mengejar Bree," kata Samantha sambil
menatapnya dingin. "Kau tidak jatuh cinta padanya, kan?"
"Hah?" Bobby menggaruk-garuk kepala dan menampilkan
senyumnya yang paling menawan. "Mana mungkin, Sam?"
Roman muka Samantha melunak. Ia meraih lengan Bobby.
"Ayo, ikut aku. Cepat."
Bobby menarik lengannya. "Aku sudah terlambat untuk latihan
band." "Cuma sebentar, kok," bujuk Samantha. Ia menarik tangan
pemuda itu. "Ayo, aku takkan menggigitmu." Kemudian ia tersenyum
penuh arti. "Tapi mungkin juga iya."
Ia menggiring Bobby menaiki tangga, lalu menyusuri lorong
yang hampir kosong ke arah lab IPA. Pintunya tertutup. Samantha
memutar pegangan pintu dan mendorongnya sampai membuka.
"Ini soal proyek IPA-mu, ya?" tanya Bobby. "Kau mau
memperlihatkannya padaku."
Samantha mengangguk. Mereka memasuki ruangan yang luas
itu. Semua lampunya padam.
Bobby hendak meraih sakelar lampu, tapi Samantha langsung
menggenggam tangannya. Lalu memeluk pemuda itu.
"Proyekmu boleh juga," goda Bobby.
Samantha tertawa cekikikan dan meremas tangan Bobby.
Bobby mendengar kedua monyetnya asyik berceloteh. Dalam cahaya
remang-remang yang menerobos lewat celah-celah venetian blind
yang tertutup, ia melihat keduanya melompat-lompat di kandang
mereka di bagian belakang ruangan.
Bobby meraih sakelar lampu, tapi sekali lagi Samantha menepis
tangannya. "Aku ingin memperlihatkan sesuatu padamu," bisik gadis
itu. Sekonyong-konyong terdengar bunyi langkah di lorong, disusul
suara tawa dua guru. Samantha langsung menempelkan tangannya ke
mulut Bobby. Mereka berdiri seperti patung dalam kegelapan,
menunggu kedua guru itu berlalu.
Akhirnya Samantha melepaskan tangannya dan melangkah ke
tengah ruangan. Matanya tampak berkilau dalam cahaya remangremang.
"Apa yang ingin kauperlihatkan padaku?" tanya Bobby ingin
tahu. Samantha tersenyum simpul. "Masih ingat aku pernah bilang
bahwa ada cara untuk membedakan Bree dan aku?" ia berbisik.
"Yeah, aku ingat," balas Bobby. Dalam hati ia berusaha
menebak apa yang akan dikatakan Samantha. Langsung saja ia
merangkul gadis itu. "Coba cium aku. Aku yakin aku bisa
membedakan kalian." Samantha mendorongnya. "Diam, Bobby. Ini yang mau
kuperlihatkan padamu. Nih." Ia menarik T-shirt sehingga pundak
kirinya terbuka. "Kau lihat ini?"
Bobby membungkuk sedikit agar dapat melihat lebih jelas.
Sebuah tato. Tato kupu-kupu berwarna biru di pundak kiri Samantha.
"Wow, cool," bisik Bobby.
"Bree tak mungkin bertato," bisik Samantha. "Tidak mungkin."
Ia merapikan leher T-shirt-nya, kemudian meletakkan kedua
tangannya pada bahu Bobby, dan mendorong pemuda itu sampai
merapat ke dinding. "Aku minta kau memutuskan hubungan dengan
Bree, Bobby," katanya sambil mengertakkan gigi.
"Hah?" Bobby tampak terkejut.
Samantha mendorongnya lebih keras lagi. "Aku sudah muak
dengan sandiwara ini," katanya sengit. "Aku sudah muak memikirkan
perasaan Bree. Aku minta kau menyingkirkan dia."
"Ehm..." Bobby tak tahu apa yang harus dikatakannya.
"Aku serius," Samantha berkeras. "Beritahu Bree bahwa dia tak
dapat berkencan lagi denganmu. Kalau bisa, beritahu dia baik-baik.
Kalau tidak bisa, ya sudah. Aku tak peduli caranya. Pokoknya,
singkirkan dia." "Akan kucoba," Bobby berjanji.
"Tak perlu coba-coba. Lakukan saja," ujar Samantha tegas. "Ini
demi kebaikanmu sendiri. Kau belum mengenalnya. Jangan sampai
kau terlibat lebih jauh. Awas, aku sudah pernah memperingatkanmu."
"Oke," balas Bobby. Sebenarnya ia enggan memutuskan
hubungan dengan Bree. Ia menyukai gadis itu, bahkan sangat
menyukainya. Tapi ia tak mau bertengkar dengan Samantha.
Samantha mencondongkan badan ke depan, mencium Bobby.
Sebuah ciuman singkat, seakan-akan untuk menegaskan janji Bobby.
Kedua monyet masih berceloteh di kandang mereka. Bobby
menyalakan lampu. Dua deret lampu neon di langit-langit segera
menyala. "Sudah pernah melihat Wayne dan Garth?" tanya Bobby sambil
menghampiri mereka. Kedua monyet itu melompat-lompat dengan
gembira. "Lihat. Mereka pikir aku membawakan makanan untuk
mereka." "Oh, mereka lucu sekali!" seru Samantha.
Bobby memasukkan jarinya di antara kisi-kisi kandang, lalu
menggaruk-garuk punggung Garth. "Sebenarnya aku ingin
mengeluarkan mereka supaya kau bisa menggendong salah satu,"
katanya, "tapi Paul dan Arnie sudah menunggu. Aku harus latihan
sekarang." "Tapi aku membawamu ke sini supaya kau bisa melihat
proyekku," balas Samantha. Ia mengajak Bobby ke kotak kaca di atas
meja yang merapat ke dinding. "Lihat, teman-temanku juga luculucu."
Bobby memandang melalui tutup akuarium yang terbuat dari
kaca. Mula-mula ia hanya melihat pasir putih yang melapisi dasarnya.
Kemudian ia melihat serangga-serangga besar berwarna merah
merayap di pasir. "Semut?"
Samantha mengangguk. "Rasanya aku belum pernah melihat semut merah," ujar Bobby.
"Semut-semut ini besar sekali!"
"Ini semut kanibal," Samantha menjelaskan. "Dari Selandia
Baru." "Wow. Menarik," ujar Bobby. Ia membungkuk agar dapat
melihat lebih jelas. "Apa sih yang mereka makan itu?"
"Bangkai tikus," sahut Samantha.
"Sedap!" Bobby menatap Samantha sambil nyengir, lalu
kembali memperhatikan semut-semut di dalam akuarium. "Sepertinya
mereka rakus sekali. Tikus itu tinggal tulang saja."
"Setiap hari mereka makan dua puluh kali berat badan sendiri,"
ujar Samantha. Caranya mengatakannya membuat Bobby merinding. Ia
langsung kembali berdiri tegak. "Wah, aku jadi ikut lapar, nih!"
katanya berkelakar. Samantha tidak tertawa. "Sampai nanti, deh," kata Bobby sambil menuju pintu. "Aku
harus ke bawah lagi. Nanti kau kutelepon."
"Yeah, sampai nanti," balas Samantha.
Bobby menoleh dan melihat gadis itu berdiri di depan akuarium
sambil mengamati gerombolan semut merah di dalamnya.
*********** "Kau gugup?" tanya Arnie sambil menggaruk-garuk bulu-bulu
pirang di atas bibirnya. Bobby menggelengkan kepala. "Gugup? Yang benar saja, man!
Permainan kita takkan bertambah baik dari ini."
Paul tertawa. "Kau memuji atau menghina?"
Bobby juga tertawa, namun tidak mengatakan apa-apa. Mereka
berada di belakang panggung di auditorium, menunggu giliran untuk
tampil dalam show musim semi.
"Sayang kita tidak diberi kesempatan untuk menyetem alat di
panggung," gerutu Bobby.
"Keyboard tidak perlu disetem," ujar Paul.
"Kau tahu yang kumaksud," tukas Bobby. "Bagaimana kalau
balance-nya tidak benar? Bagaimana kalau ampli-ku terlalu keras atau
pelan? Bagaimana kalau salah satu ampli terbakar? Seharusnya kita
diberi waktu beberapa menit untuk memeriksa sound system."
"Yeah, kau gugup," gumam Arnie. Ia mengetuk-ngetukkan stik
drum-nya pada dinding. "Habis ini giliran kita," Paul memberitahu mereka. "Langsung
setelah pertunjukan senam."
"Apakah matras-matrasnya disingkirkan?" tanya Bobby. "Aku
butuh ruang untuk bergerak."
Paul mengerang. "Kau mau berjingkrak-jingkrak lagi. Kupikir,
kita sudah sepakat untuk..."
"Memangnya ini band siapa?" potong Bobby geram. "Sejak
kapan kau diangkat sebagai pemimpin, Paul?"
"Band ini tidak punya pemimpin," Arnie angkat bicara sambil
memisahkan Paul dan Bobby. "Kita sudah sepakat soal itu."
"Kita juga sepakat bahwa Bobby tak perlu tampil seperti cacing
kepanasan," Paul langsung menyambung.
"Bagaimana rambutku? Rapi?" Bobby bertanya pada Arnie,
tanpa menggubris Paul. "Bagaimana kalau begini?" Ia menaikkan kerah kemeja merah
manyala yang dikenakannya.
"Penampilanmu sudah hebat," balas Arnie sambil
mengacungkan ibu jari. Tiba-tiba Bobby melihat Kimmy Bass. Gadis itu bersandar pada
pintu panggung yang terbuka, sedang mendelik ke arah Bobby. "Ada
apa sih dengannya?" Bobby bertanya sambil merendahkan suara.
"Kenapa dia melotot begitu?"
"Kurasa dia sebal padamu," Paul berkomentar sambil nyengir.
"Sudah beberapa hari terakhir ini Kimmy sibuk menjelek-jelekkan
kau." "Aku?" Bobby menoleh ke arah Kimmy. Gadis itu belum
beranjak dari tempatnya. "Kimmy cerita pada semua orang bahwa kau bajingan," ujar
Paul. Bobby tertawa. "Ah, dia cuma cemburu." Ia menggelengkan
kepala. "Sori, Kimmy," gumamnya. "Sebenarnya aku mau memberi
kesempatan padamu. Tapi aku tak punya waktu untuk meladeni semua
pengagumku di sekolah ini!"
Arnie tertawa dan menepuk punggung Bobby. Paul hendak
mengucapkan sesuatu, tapi tidak jadi karena keburu ada suara tepuk
tangan dan sorak-sorai dari auditorium.
Pertunjukan senam telah berakhir. Beberapa anak membereskan
matras-matras di lantai. Mrs. McCuller, penanggung jawab acara itu, menyuruh semua
orang diam agar band bisa naik ke panggung.
"Ini dia," ujar Bobby. Ia menuju panggung sambil merapikan
kerah bajunya. "Desperadoes siap beraksi!" seru Arnie.
Sorak-sorai bercampur cemooh menyambut mereka ketika
mereka naik ke panggung yang terang-benderang. Bobby menoleh ke
arah para penonton. Tapi gedung auditorium terlalu gelap, sehingga
hanya dua baris pertama saja yang kelihatan.
Alat-alat mereka telah disiapkan di bagian belakang panggung.
Bobby meraih Fender Strat putihnya. Ia melihat wajahnya Arnie
gugup ketika mengambil tempat di belakang drum.
Paul mendorong keyboard-nya ke tengah panggung. Bobby
membungkuk untuk menyalakan ampli, yang kemudian mengeluarkan


Fear Street Kencan Ganda Double Date di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suara berdengung. Ia memutar tombol volume sampai hampir
maksimal. Suara keyboard Paul bakal kalah, ia berkata dalam hati,
tapi biar sajalah. Ia melangkah ke depan Paul. "Hei, man! Minggir sedikit, dong!
Kau menghalangi aku!" protes Paul.
Bobby berlagak tidak mendengarnya. Ia berpaling kepada
Arnie. "Siap?" Arnie mengangkat kedua stik drum. "Siap."
Bobby mengeluarkan pick dari kantong, lalu memetik-metik
senar gitarnya. Sebuah sentakan keras?bagaikan pukulan ke perut?
membuatnya terhuyung-huyung ke belakang.
Sambil terheran-heran ia mendengar bunyi meretih yang keras.
Tangannya melambai tak terkendali ketika tubuhnya kembali
tersentak. Aku tak bisa bernapas! ia menyadari sebelum ditelan oleh
kegelapan yang pekat. 17 Maut BOBBY mengedip-ngedipkan mata. Wajah-wajah kelabu
tampak mengambang dalam cahaya berkabut di atasnya.
Wajah-wajah kelabu, dengan mulut menganga dan mata
membelalak karena cemas. Sekali lagi ia mengedipkan mata. Tapi wajah-wajah itu tidak
lenyap. Wajah-wajah kelabu, ia berkata dalam hati. Aku sudah mati.
"Dia membuka mata," seseorang berkata.
"Napasnya sudah teratur lagi," yang lain menimpali.
Kabut di atasnya tampak berputar-putar. Wajah-wajah tadi ikut
bergerak. "Berbaring saja dulu," seseorang menyarankan.
"Jangan," yang lain membantah. "Dia justru harus duduk."
Bobby mulai mengenali beberapa wajah. Wajah Mrs. McCuller,
yang kelihatan tegang. Wajah Melanie, yang menatapnya dengan pandangan kosong.
Wajah Kimmy, juga tanpa ekspresi.
"Apakah aku mati?" tanya Bobby dengan suara tercekik.
Seseorang tertawa. "Kau tidak apa-apa," ujar Mrs. McCuller. "Kau kesetrum. Saya
sudah panggil ambulans. Bagaimana, kau sudah bisa duduk?"
"Tapi apakah saya mati?" ulang Bobby. Wajah-wajah itu
kembali kabur. Ia harus memperoleh jawaban atas pertanyaannya.
"Kau tidak apa-apa," Mrs. McCuller berusaha meyakinkannya.
"Hei?coba lihat ini!" Bobby mendengar suara Paul di
kejauhan. Wajah-wajah yang mengelilingi Bobby menoleh ke arah suara
tersebut. "Kabel listrik ampli-nya dipotong!" Bobby mendengar Paul
berseru. Bobby duduk tegak. Ucapan Paul membawanya kembali ke
alam nyata. Kabut yang menyelubunginya mendadak lenyap. Wajahwajah di sekelilingnya mulai tampak jelas.
"Apa katamu?" tanya Bobby.
Ia melihat Paul di bagian belakang panggung. Temannya itu
sedang mengamati kabel listrik amplifier. "Kabelnya putus," jawab
Paul. "Sepertinya dipotong orang."
"Pantas saja kesetrum!" seru Arnie.
Kenapa dia nyengir begitu? tanya Bobby dalam hati. Apakah
cuma karena senewen? Melanie dan Kimmy memandangnya sambil membisu.
Sekonyong-konyong Bobby teringat pada ban-ban mobilnya
yang tersayat di pelataran parkir di mall. Kemudian ia menatap kabel
listrik di tangan Paul. Ada apa ini? ia bertanya-tanya sambil mengamati semua wajah
di sekelilingnya. Apakah ada yang berusaha membunuhku?
*********** "Jangan-jangan ini ulah Bree."
Bobby melepaskan sepatu ketsnya sambil menjepit telepon
cordless dengan pipi dan pundak. Ia mendengar suara napas Samantha
di ujung saluran. Setelah menendang sepatunya melintasi kamar, ia
duduk di tempat tidur sambil menatap langit-langit.
"Kabel itu dipotong orang," ia memberitahu Samantha. "Orang
itu memang bermaksud mencelakakan aku."
"Tapi mungkin saja ini cuma kecelakaan, ya kan?" balas
Samantha. "Kabel itu dipotong," Bobby menegaskan. Ia terpaksa
merendahkan suara karena ibunya lewat di depan kamarnya.
"Kabelnya masih baru, kok. Mana mungkin putus begitu saja?"
"Wah," didengarnya Samantha bergumam.
"Mungkinkah ini perbuatan Bree?" tanya Bobby sekali lagi.
"Maksudku, jangan-jangan dia sudah tahu tentang kau dan aku."
"Ra... rasanya sih tidak," Samantha tergagap-gagap.
"Maksudku, kurasa dia memang curiga. Tapi sepertinya dia belum..."
Ia tidak meneruskan kalimatnya.
"Hmm, tapi kalau dia sampai tahu bahwa aku berkencan
denganmu," lanjut Bobby, "dia takkan berbuat nekat, bukan?"
"Aku sudah memperingatkanmu," balas Samantha. "Dia... dia
sanggup berbuat apa saja!"
Bobby hendak menjawab, tapi sebuah suara di pintu
membuatnya menoleh. "Bree!" Gadis itu berdiri di ambang pintu kamarnya, dan menatapnya
dengan tajam. Bobby nyaris tersedak. Seberapa banyak yang telah didengar Bree?
18 Bukan Samantha! BREE maju beberapa langkah. Pandangannya tetap tertuju pada
mata Bobby. "Oke, sampai ketemu," Bobby berkata ke gagang telepon. Ia
mematikan telepon dan meletakkannya ke sampingnya di tempat tidur.
Kemudian ia mengayunkan kaki dan duduk tegak. "Bree?hai! Kok
bisa muncul tiba-tiba?"
"Ibumu yang membukakan pintu," sahut Bree. "Kau telepon
siapa, Bobby?" "Arnie," Bobby berbohong. Ia mengamati wajah gadis itu dan
berusaha membaca roman mukanya, berusaha mengira-ngira seberapa
banyak yang didengarnya. "Bagaimana keadaanmu?" tanya Bree.
"Baik-baik saja. Tapi rasanya masih agak lemas."
"Oh, aku betul-betul cemas!" Bree sekonyong-konyong berseru.
Ia duduk di tepi tempat tidur di samping Bobby, dan meraih kedua
tangannya. "Aku cemas sekali, Bobby. Cemas sekali. Waktu aku
melihatmu ambruk di panggung, kupikir... kupikir..."
"Aku tidak apa-apa. Sungguh," ujar Bobby menegaskan.
Apakah Bree benar-benar cemas? Ataukah ia hanya berpurapura?
Ia merangkul Bobby. "Oh, Bobby," bisiknya. "Aku betul-betul
takut kehilangan kau. Betul-betul takut...."
********** Bobby duduk membungkuk di meja layan berwarna kuning
cerah dan minum Coke melalui sedotan. Arnie, yang duduk di
sebelahnya, menepuk punggungnya dengan keras, sehingga isi gelas
Bobby nyaris tumpah. "Penampilanmu hebat sekali, man!" gurau Arnie. "Sayangnya
terlalu singkat." Bobby mendelik ke arah sahabatnya. "Tidak lucu! Sudah deh,
jangan macam-macam. Bagaimana kalau aku sampai mati?"
Arnie menoleh. "Tidak mungkin. Ampli itu kurang kuat untuk
membunuhmu. Wah, mana rasa humormu, Bobby?"
Mereka duduk berdampingan di meja layan The Corner, tempat
nongkrong anak-anak Shadyside High. Semua meja ditempati anakanak yang bergurau dengan bising. Hanya Bobby dan Arnie yang
duduk di meja layan. "Aku mau mengundurkan diri dari band gumam Bobby sambil
menghindari tatapan Arnie.
"Hei, jangan terburu-buru ambil keputusan!" seru Arnie. "Kau
cuma perlu gitar baru dan..."
"Kau tidak mengerti!" hardik Bobby sambil merengut. "Aku
yakin ada orang yang berusaha membunuhku. Orang itu mengincarku.
Mula-mula ban mobilku. Lalu gitarku. Aku harus berhati-hati!"
Sepasang tangan yang kuat meremas bahunya dari belakang.
Bobby memekik. Ia mendengar ledakan tawa. Seketika ia membalik dan melihat
David Metcalf, salah satu anggota tim gulat Shadyside, yang
menatapnya sambil nyengir. "Hei, Bobby, band kalian memang
hebat!." ujar David. "Masih ada atraksi lain lagi?" Ia tertawa keras dan
kembali meremas bahu Bobby.
Bobby langsung melotot. "Aku hampir mati kena setrum, dan
kaupikir itu lucu?" David tidak menanggapi pertanyaan itu. "Apa yang akan kalian
lakukan untuk nomor penutup? Meledakkan sekolah?" Sambil tertawa
dan menggelengkan kepala, David bergegas menyusul sahabatnya,
Cory Brooks, ke salah satu meja di belakang. "Tapi syukur kau tidak
apa-apa!" serunya kepada Bobby.
"Dasar badut," gumam Bobby kesal.
"Kau tidak bisa mengundurkan diri," Arnie berkeras. "Hei?itu
Melanie. Suruh dia duduk di sini, oke? Aku lupa menelepon ke rumah.
Sebentar, ya?" Arnie melambai kepada Melanie, lalu menuju telepon umum di
bagian belakang restoran. Melanie menyusuri meja layan yang
panjang. Ia menurunkan ranselnya, lalu duduk di kursi kosong di
samping Bobby. "Kau tidak apa-apa?"
"Aku baik-baik saja," balas Bobby.
"Barangkali ada orang yang mau memberi peringatan
untukmu," Melanie berkata sambil tersenyum simpul.
Bobby menatapnya tajam, kemudian kembali menghirup Cokenya. "Peringatan apa?"
"Misalnya, jangan berkencan dengan si Kembar Wade?"
Pelayan di balik meja layan membersihkan permukaan meja di
hadapan Melanie. Melanie memesan kentang goreng dan sebotol
Sprite. Bobby memutar-mutar bola mata. "Kenapa sih kau tak bosanbosannya bicara soal ini?" tanyanya sinis.
Melanie mengerutkan kening sambil bersandar pada meja layan.
Pintu di belakang mereka membuka dari udara panas berembus
masuk. "Begini," ujar Melanie lembut, "aku kenal Samantha dan Bree
sejak SD." "Katanya mereka baru pindah ke sini," potong Bobby. Ia
menghirup minumannya melalui sedotan, kemudian meletakkan
sedotan itu di meja dan memiringkan gelas untuk mengunyah es batu
di dalamnya. "Memang," Melanie melanjutkan. "Tapi sejak dulu orangtua
kami sudah berteman. Ibuku dan ibu mereka teman kuliah."
"Kenapa sih kau selalu menggangguku?" tanya Bobby. "Ini
bukan urusanmu." "Aku ingat bagaimana rasanya disakiti olehmu," sahut Melanie
sambil menundukkan kepala. "Aku tak rela kalau mereka juga
disakiti." "Mereka sudah besar," balas Bobby. "Mereka bisa
mengatasinya." "Bobby, kau jangan asal bicara saja," kata Melanie sengit. "Kau
belum sadar juga, ya? Mula-mula ban mobilmu disayat orang, lalu
gitarmu diutak-atik...."
Bobby langsung menggenggam pergelangan tangan Melanie.
"Apa yang kauketahui tentang itu, Melanie?" tanya Bobby dengan
nada menuduh. "Jangan-jangan kau yang bertanggung jawab!"
"Hah? Aku?" Melanie menarik tangannya. "Aku? Aku tak tahu
apa-apa tentang itu. Aku cuma mau memberi nasihat sebagai teman."
"Sebagai teman?" Roman muka Bobby melunak. "Oh. Sekarang
aku mengerti. Kau berharap aku kembali padamu. Begitu kan, babe?"
Ia menggeleng sambil tertawa dalam hati. "Karena itu kan, kau sibuk
memperingatkan aku? Kau masih mengharapkan Bobby the Man,
hmm? Mestinya sudah kuduga!"
Bobby membungkuk ke arah Melanie dan menggelitik tengkuk
gadis itu dengan hidungnya. "Barangkali kau dan aku bisa
membicarakan urusan ini, Mel. Berdua saja."
Melanie mendengus kesal. "Kau memang brengsek,"
gumamnya sambil menjauhi Bobby. "Hah, percaya atau tidak, aku
tidak mengharapkan kau kembali padaku. Mengerti?"
Bobby langsung berdiri dan melemparkan uang satu dolar ke
meja layan. "Aku juga tidak serius. Aku cuma mau menghiburmu.
Tolong beritahu Arnie bahwa aku pulang duluan."
Ia berbalik dan keluar dari restoran tanpa menoleh ke belakang.
*********** Sehabis makan malam Bobby naik mobil ke Fear Street.
Samantha telah menunggu beberapa blok dari rumahnya. Ia segera
naik ke mobil Bobby dan mencium pipi pemuda itu.
"Mau ke mana kita?" tanyanya.
"Kita putar-putar saja, deh," balas Bobby. "Ibumu tidak
keberatan kau keluar pada hari sekolah?"
"Dia sedang keluar," ujar Samantha. Ia menekuk kakinya dan
menyandarkan lututnya pada dasbor. Ia mengenakan kaus biru dan
celana tenis. "Bree juga tidak ada. Sepertinya mereka pergi bersamasama."
Bobby membelok dari Fear Street ke Old Mill Road. "PR-ku
cuma sedikit," ia menjelaskan sambil mengamati lalu lintas di depan
mereka. "Dan aku sedang malas duduk-duduk di rumah. Belakangan
ini aku selalu gelisah."
"Kasihan," gumam Samantha.
"Dan kupikir kau mungkin juga sedang bosan," Bobby
menambahkan. "Betul sekali," sahut Samantha sambil tersenyum.
Bobby menghidupkan AC. Meskipun matahari sudah terbenam,
udara di luar masih panas dan lembap. Tak ada angin sama sekali.
Pohon-pohon yang mereka lewati tampak layu.
"Kau pendiam sekali malam ini," katanya kepada Samantha.
Samantha mendesah. "Aku sedang berpikir."
"Moga-moga tentang aku," goda Bobby. Kemudian
sambungnya, "Aku juga sudah banyak berpikir, Samantha. Tentang
saudara kembarmu." Mata Samantha bertambah lebar. Ia berpaling kepada Bobby.
"Tentang Bree? Ada apa dengannya?"
"Apakah dia cerita apa yang terjadi dengan gitarku? Tentang
kejadian di pesta musim semi di sekolah?"
Samantha menggigit bibir sambil mengerutkan kening. "Tidak.
Dia tidak bilang apa-apa, Bobby. Tapi dia memang tak pernah cerita
tentang kau. Belakangan ini Bree dan aku tidak seakrab dulu. Aku...
kurasa kau tahu sebabnya."
"Hmm, apakah ada kemungkinan bahwa Bree yang..."
Samantha meraih tangan Bobby untuk menghentikannya.
"Jangan bicara soal Bree, deh. Aku sedang tidak berminat bicara
tentang dia." Bobby melirik ke arah gadis itu. "Oke," katanya singkat.
Sikap Samantha aneh sekali malam ini, katanya dalam hati.


Fear Street Kencan Ganda Double Date di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tidak biasanya dia begitu diam dan murung.
"Aku cuma ingin jalan-jalan," Samantha memberitahunya, lalu
memejamkan mata dan menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi. Ia
menggaruk lengannya. Tanpa sengaja kausnya bergeser sedikit, sehingga pundak
kirinya kelihatan. Bobby mengalihkan pandangan dari kaca depan ke pundak
Samantha?lalu menahan napas.
Mana tato kupu-kupunya? Tak ada tato! Pundak gadis itu tampak mulus, tanpa tanda apa pun.
Cepat-cepat ia merapikan kausnya.
Tapi terlambat. Terlambat. Bobby telah melihat pundak yang putih bersih.
Dan dengan ngeri ia menyadari, ini bukan Samantha!
19 Ada yang Tidak Beres JANTUNG Bobby berdebar-debar. Ia terpaksa menggenggam
kemudi erat-erat agar mobilnya jangan sampai pindah jalur.
Kemudian ia melihat gadis di sebelahnya menyalakan radio.
Seketika terdengar entakan musik yang keras sekali. Gadis itu tertawa
dan mengecilkan volume. "Mana tato-mu?" tanya Bobby.
"Apa?" Bobby menyadari bahwa pertanyaannya tak terdengar karena
suara radio yang begitu kencang.
"Radio apa sih ini? Q-One Hundred?" tanya gadis itu. Suaranya
nyaris tak terdengar karena kalah dari lagu reggae-rap yang diputar di
radio. "Kau sudah lihat video klip lagu ini? Asyik, deh!"
"Tato-mu," ulang Bobby. "Samantha, kau..."
Gadis itu tak bisa mendengarnya.
Apakah ia Bree atau Samantha? Bree atau Samantha?
Samantha mempunyai tato kupu-kupu. Berarti gadis di samping
Bobby pasti Bree. Bree telah mengambil tempat Samantha. Bree berlagak jadi
Samantha. Berarti Bree sudah tahu. Bree sudah tahu tentang Bobby dan
Samantha. Selusin pertanyaan sekaligus muncul dalam benak Bobby:
Apakah Samantha tahu bahwa Bree tahu? Apakah Samantha tahu
bahwa Bree menggantikan tempatnya malam ini? Apa rencana Bree?
Kenapa ia melakukan ini? Tanpa sengaja mobil Bobby pergi ke bahu jalan dan menyusuri
ilalang yang tumbuh subur. Bobby segera berusaha mengenyahkan
segala pertanyaan itu dari pikirannya, dan mengarahkan mobilnya
kembali ke jalur aspal. Aku harus mencari jawabannya, katanya dalam hati. Ia
mengurangi kecepatan, menepikan mobil, lalu berhenti. Kemudian ia
mematikan radio. Gadis di sebelahnya menatapnya sambil tersenyum nakal.
"Wah, Bobby, kok berhenti? Apa rencanamu?"
Ia mencondongkan badan sambil memejamkan mata, dan
bersiap-siap menerima ciuman.
"Kau Bree, kan?" ujar Bobby.
Gadis itu langsung membuka mata. "Apa?"
"Kau Bree, kan?" ulang Bobby sambil mendelik.
Gadis itu tertawa. "Bobby, kenapa sih kau ini? Masa sampai
sekarang kau belum juga bisa membedakan kami?"
"Yeah, aku bisa membedakan kalian," sahut Bobby. "Dan aku
tahu bahwa..." "Kau sudah gila?" tanya gadis itu dengan nada melengking.
"Aku sudah bilang, Bree sedang pergi. Kau tahu bahwa Bree tidak
tahu-menahu tentang kita." Ia mendengus dengan kesal. "Kau
keterlaluan, Bobby. Aku betul-betul sakit hati. Bagaimana kau bisa
keliru antara aku dan Bree? Rupanya aku tidak berarti apa-apa
bagimu, ya? Aku cuma salah satu dari si Kembar Wade, dan kau tak
peduli yang mana!" Matanya berkaca-kaca. Bobby sadar bahwa gadis itu sudah
hampir menangis. "Tapi bagaimana dengan tatomu?" tanyanya.
Dengan heran gadis itu mengerutkan ke-ning. "Tato? Tato apa?
Bobby?kenapa kau jadi aneh begini? Jangan-jangan otakmu macet
gara-gara kesetrum?"
"Tato di pundakmu," Bobby berkeras.
"Kau ingin pundakku ditato?" Samantha berseru dengan
bingung. "Ya ampun, bisa-bisa aku digantung orangtuaku! Kenapa
pundakku harus ditato?"
Bobby menatapnya dengan tajam, dan berbagai pikiran
berkecamuk dalam benaknya. "Tapi, Samantha..."
"Kau yakin aku bukan Bree?" potong gadis itu ketus.
Oh-oh, pikir Bobby. Ini gawat. Dia benar-benar marah.
Bagaimana aku bisa menyelamatkan keadaan?
"Sori," ia bergumam. "Mungkin otakku memang macet,
Samantha. Kita lupakan saja semuanya, oke?" Ia hendak memegang
pipinya, tapi gadis itu langsung menjauh dan merapat ke pintu mobil.
"Tolong antar aku pulang, oke?" gadis itu berkata sambil
menahan air mata. "Aku benar-benar sakit hati, Bobby. Benar-benar
sakit hati. Antar aku pulang. Sekarang."
*********** Keesokan paginya Bobby melihat Bree dan Samantha di depan
kelas mereka. Mereka berdiri berhadapan dan berbicara berbarengan
sambil menggerak-gerakkan tangan.
Begitu melihat Bobby, mereka langsung berhenti.
"Hei, selamat pagi!" seru Bobby sambil melambaikan tangan
kepada mereka. "Kalian kelihatan cantik sekali!"
Mereka bergumam tak jelas.
Apakah mereka membicarakan diriku? tanya Bobby dalam hati.
Karena itukah mereka langsung berhenti waktu aku muncul?
Apakah mereka sedang membahas siapa yang mendapat giliran
berikut untuk berkencan denganku? ia bertanya-tanya. Semalam ia
berbaring di tempat tidur sambil berusaha memecahkan misteri tato
itu. Tapi akhirnya ia terlelap, dan pertanyaannya tetap tak terjawab.
Bobby melewati mereka dan menuju ke locker-nya untuk
mengambil beberapa buku. Sebentar lagi bel pertama sudah akan
berdering. Di sepanjang lorong terdengar bunyi pintu locker dibanting,
bercampur-baur dengan suara tawa dan percakapan pagi hari.
Bobby langsung melihat lembaran kertas yang menempel pada
pintu locker-nya. Ketika mendekat, ia menyadari bahwa tulisan di
kertas tersebut merupakan sebuah pesan.
INI KAMU DI DALAM. Kata-kata itu ditulis dalam huruf cetak besar dengan spidol
berwarna merah. Bobby mengamati pesan itu sambil mengerutkan kening. Tibatiba ia mencium bau tak sedap. Wah, apa ini? tanyanya dalam hati.
Seperti bau bangkai. Dari mana asalnya? Dari dalam locker?
Sambil menahan napas, Bobby memutar kunci kombinasi,
membuka pintu locker?dan tersentak kaget.
Ia langsung melihat darah berceceran.
Darah berlumuran pada dinding-dinding locker.
Kemudian ia menengok ke bawah dan saat itulah ia melihat
kepala monyetnya. Kepala itu dipenggal tepat di bawah dagu, dan tergeletak dalam
genangan darah. Matanya yang hitam menatap Bobby. Mulutnya
menganga lebar, seakan-akan berteriak karena ngeri dan kesakitan.
20 "Dia Harus Dibunuh"
SAMBIL memekik Bobby melompat mundur.
Perutnya serasa diaduk-aduk, dan sebelum sempat berbuat apaapa, ia mulai memuntahkan sarapannya.
Ia mendengar beberapa orang berseru dengan cemas.
Ketika selesai, dengan kedua tangan ia bersandar pada locker di
sebelahnya. Napasnya tersengal-sengal.
"Oh, wow. Rupanya kau sarapan telur tadi pagi."
Bobby menoleh dan melihat Arnie, yang menatapnya sambil
menggeleng-geleng. "Hei, jangan bercanda, Arnie," kata Bobby dengan suara
tercekik. Ia menunjuk pintu locker-nya yang terbuka lebar. "Jangan
lihat ke dalam situ," ia memperingatkan. "Bisa-bisa kau juga muntah
nanti." "Hah?" Arnie malah penasaran. Ia melangkah ke depan locker
Bobby. "Wah, berantakan sekali."
Ketika melihat kepala monyet itu, Arnie pun memekik tertahan.
Wajahnya yang pucat bertambah pucat.
Kemudian ia meraih ke bawah dan memungut kepala monyet
itu dari lantai locker. Ia menaruhnya di telapak tangan dan
memperlihatkannya kepada Bobby.
"Jangan macam-macam!" teriak Bobby. "Apa kau sudah gila?"
"Tapi ini bukan kepala sungguhan, Bobby!" seru Arnie. "Lihat,
nih! Ini cuma plastik!"
"Apa?" Bobby menatap kepala monyet di tangan sahabatnya.
"Jadi... itu bukan kepala salah satu monyetku?"
"Bukan, man," balas Arnie, sambil mendekatkan kepala itu
kepada Bobby. "Ini cuma kepala plastik. Cuma mainan."
Bobby kembali menatap kepala monyet di tangan Arnie. Ia
merasakan gelombang amarah timbul di dadanya, lalu menyebar ke
seluruh tubuhnya. Tanpa peringatan, ia meninju kepala plastik itu dengan keras,
sehingga terpental jatuh. Dua gadis melompat sambil memekik kaget,
ketika kepala itu menggelinding di lantai.
"Ulah siapa ini?" seru Bobby. "Siapa yang mau mengerjai aku?"
********** "Kita mau ke mana, nih?" tanya Bobby.
Ia memandang lewat jendela mobil. Pohon-pohon di luar
tampak berayun-ayun akibat tiupan angin yang kencang. Daun-daun
hijau terlihat berkilau bagaikan batu zamrud.
"Ke suatu tempat rahasia," balas Samantha tanpa tersenyum.
Pandangannya tetap tertuju ke jalanan di depan mereka.
Saat itu Sabtu sore. Bobby sebenarnya sudah ada janji untuk
bermalam Minggu dengan Bree. Tapi Samantha meneleponnya
menjelang siang dan berkata bahwa mereka harus bicara.
Bobby menjemput gadis itu beberapa blok dari rumahnya di
Fear Street. Samantha lalu mendesak agar ia diperbolehkan menyetir.
Ia berjanji takkan ngebut, sehingga Bobby pindah ke kursi sebelah dan
membiarkan gadis itu memegang kemudi.
Begitu mereka mulai meluncur, Samantha membuka semua
jendela serta atap. Seketika mereka diterpa angin hangat, dan rambut
Samantha berkibar-kibar. Pakaiannya cocok sekali untuk musim semi, pikir Bobby ketika
ia mengamati kaus putih dan celana pendek bergaris kuning-putih
yang dikenakan Samantha. Tapi sikap gadis itu tidak secerah
penampilannya. Ia nyaris tak mengucapkan sepatah kata pun ketika
mengarahkan mobil Bobby ke luar kota, lalu masuk ke kawasan hutan.
Bobby sadar bahwa ia sendiri juga lebih banyak diam karena
disibukkan oleh berbagai pikiran negatif. Ia memperhatikan pohonpohon di luar, dan merasakan kehangatan sinar matahari yang
mengenai tengkuknya, masuk lewat atap mobil yang terbuka.
Tiba-tiba Samantha membelok ke sebuah jalan tanah yang
sempit. Mobil Bobby sempat terguncang-guncang, lalu berhenti di
bawah naungan dahan-dahan pohon.
"Kenapa kita berhenti?" tanya Bobby. Perlahan-lahan matanya
mulai terbiasa dengan cahaya remang di sekeliling mereka. "Di mana
kita?" "Kita perlu bicara," sahut Samantha tanpa menjawab pertanyaan
Bobby. Ia mematikan mesin dan memandang lurus ke depan.
Rambutnya bergerak-gerak tertiup angin.
"Bicara? Soal apa?"
"Soal waktu itu," balas Samantha. "Soal bagaimana kau
menyangka bahwa aku Bree."
"Hei, aku kan sudah minta maaf," ujar Bobby cepat-cepat.
"Aku..." "Aku sudah minta kau memutuskan hubungan dengannya,"
potong Samantha. "Ya, kan? Sudah sejak beberapa minggu yang lalu."
"Yeah, aku tahu," kata Bobby kikuk.
"Nah, sekarang sudah terlambat," ujar Samantha. Ia tetap
memandang lurus ke depan dan menghindari tatapan Bobby.
"Terlambat? Apa maksudmu?" tanya Bobby.
"Kita sudah terlalu lama bersandiwara," gumam Samantha.
"Aku tak rela membagi dirimu dengan orang lain. Permainan ini
terlalu berat bagiku, Bobby. Terlalu membingungkan. Kita sama-sama
terlalu bingung." "Ehm..." Bobby tak segera menjawab. Ia menatap Samantha
dengan tajam sambil mencoba menebak apa yang akan dikatakannya.
Ia selalu berusaha untuk berada paling tidak selangkah di depan gadisgadis yang dikencaninya. Ia tidak suka tertinggal sepuluh langkah,
seperti dengan Samantha dan Bree.
"Kita harus membunuh Bree," kata Samantha ringan.
Bobby mengedipkan mata. Ia tahu bahwa ia pasti salah dengar.
"Dia harus dibunuh," tukas Samantha. "Kita tak punya pilihan
lain." Bobby tertawa. "Aku tahu kau cuma bergurau, Samantha. Tapi
terus terang, aku tak tahu di mana letak lucunya."
Gadis itu meraih tangan Bobby, dan kedua matanya tampak
menyala-nyala. "Aku serius. Ini bukan lelucon," ia bergumam, lalu
meremas tangan Bobby. "Kita harus membunuh Bree, Bobby. Dia
terlalu merepotkan. Dan kau juga tahu itu."
Bobby terbengong-bengong. Ia terkejut karena Samantha
mendadak begitu bersemangat.
"Kita akan membunuhnya, Bobby," Samantha kembali angkat
bicara. "Setelah itu kita bebas. Bebas berbuat apa saja!"
Bobby mehatap matanya dengan tajam. Apakah dia serius?
Atau ini cuma lelucon? Bukan. Ini bukan lelucon, Bobby sadar.
Samantha memang serius. Ia bersungguh-sungguh. Ia benarbenar ingin membunuh saudara kembarnya.
Ia melepas tangan Bobby dan menggenggam pundaknya.
"Oke?" tanyanya dengan nada memaksa, sambil menarik pemuda itu
mendekat. "Oke, Bobby? Kita akan membunuhnya? Oke?"
Ia mencium kening Bobby, lalu pipinya. "Oke, Bobby? Kita
bunuh dia? Ya?" "Oke," balas Bobby. "Kita akan membunuhnya."
21 Bree Mengaku SAMANTHA tersenyum ketika ia mengangkat tangan untuk
mendorong rambutnya ke belakang. Kerah bajunya bergeser sedikit,
dan Bobby sempat melihat tato kupu-kupu mungil di pundak kiri gadis
itu. Ada yang tidak beres, Bobby berkata dalam hati sambil
menatap tato itu seakan-akan tak percaya pada penglihatannya.
Samantha merapikan kerah bajunya dan kembali menggenggam
kemudi. "Aku tahu kau pasti setuju," bisik Samantha. Ia tetap tersenyum
ketika menyalakan mesin.

Fear Street Kencan Ganda Double Date di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bobby menatapnya tajam. "Tatomu," ia bergumam. "Tato itu
tidak ada waktu kita jalan- jalan. Kau..."
Samantha menoleh. "Apa maksudmu? Kau kan tahu bahwa aku
bertato." "Kalau begitu Bree berlagak jadi kau!" ujar Bobby. "Berarti dia
tahu tentang kau dan aku! Dia menggantikan kau dan..."
"Apa-apaan sih kau, Bobby?" balas Samantha. "Kau kok
semakin bingung saja? Nah, ini satu alasan lagi untuk membunuh
Bree." Samantha memasukkan gigi dan mengarahkan mobil Bobby
kembali ke jalan. "Aku mau menunjukkan tempat yang istimewa
padamu." Dia benar-benar gila, Bobby menyimpulkan. Samantha tidak
waras. Kenapa aku baru sadar? Kenapa tidak dari dulu-dulu aku sadar?
Dia mau membunuh saudaranya sendiri, saudara kembarnya
sendiri. Aku harus melakukan sesuatu. Aku setuju untuk membantunya,
aku mengikuti kemauannya supaya dia diam. Supaya dia tidak ribut
lagi soal membunuh Bree. Dia gila. Betul-betul gila!
Apa yang harus kulakukan? Bobby memeras otak ketika
mobilnya menyusuri jalan tanah yang sempit, meliuk-liuk di antara
pepohonan, semakin dalam memasuki hutan sampai sinar matahari
sepenuhnya terhalang oleh dahan-dahan di atas mereka.
Aku harus memperingatkan Bree, Bobby memutuskan. Ya, itu
yang harus kulakukan. Begitu kembali ke kota, aku akan
memperingatkan Bree. Dan kemudian Bree bisa memberitahu
orangtuanya atau polisi atau siapa saja.
Samantha tertawa renyah ketika mobil Bobby menabrak
gundukan tanah. Sambil bersenandung perlahan, ia membawa mobil
itu semakin jauh memasuki hutan.
Sikapnya berubah 180 derajat setelah aku setuju untuk
membantunya membunuh Bree, Bobby menyadari, dan perutnya
mendadak kejang. Dia betul-betul sinting, ia menambahkan dalam
hati. Tiba-tiba ia curiga bahwa Samantha-lah yang selama ini
menyiksanya dengan menyayat ban mobilnya, mengutak-atik gitarnya,
dan memasukkan kepala monyet itu ke dalam locker-nya.
Dia berbahaya, ia menyadari. Berbahaya dan gila.
Kepala Bobby nyaris membentur dasbor ketika Samantha
mendadak menginjak rem. "Kita sudah sampai." Gadis itu
menampilkan senyum hangat. "Tempat rahasia kita."
Mereka turun dari mobil. Udaranya terasa segar, dan berbau
daun cemara. Bobby melihat pondok mungil yang setengah
tersembunyi di balik pepohonan.
Sebuah tong kayu menempel pada salah satu dinding pondok.
Di sebelahnya ada tempat pemanggangan yang telah berkarat.
"Di mana kita?" tanya Bobby. Perlahan-lahan ia mengikuti
Samantha ke pintu depan. "Ini pondok peristirahatan keluargaku," gadis itu menjelaskan.
"Tempat ini cocok sekali untuk bersembunyi." Ia meraih tangan
Bobby dan menariknya ke pintu. "Kita akan membawa Bree ke sini.
Takkan ada yang menemukannya sampai berminggu-minggu
kemudian." Perut Bobby serasa bertambah kencang. Dia sudah
merencanakan semuanya, ia berkata dalam hati. Dengan dingin dia
akan membunuh saudara kembarnya.
Samantha berhenti di depan pintu dan tersenyum kepada
Bobby. "Dari luar memang kurang mengesankan. Tapi suasana di
dalam nyaman sekali. Ayo, biar kutunjukkan padamu."
Seekor lebah terbang di sekeliling kepala Bobby. Pemuda itu
menunduk dan berusaha mengusirnya.
Samantha tertawa. "Kau tidak takut serangga, kan?"
"Aku? Takut? Tentu saja tidak," balas Bobby.
"Kau terpaksa mendobrak pintu," Samantha memberitahunya.
"Aku lupa membawa kunci."
Bobby tampak enggan. "Mendobrak?"
"Dorong saja keras-keras dengan bahu," Samantha memberi
petunjuk. "Gemboknya ringkih, kok. Mestinya langsung terbuka kalau
didorong sedikit saja." Dengan riang ia mendorong Bobby ke arah
pintu. Kenapa aku bisa berada di sini? Bobby bertanya dalam hati.
Kenapa aku mau ikut dengan cewek sinting ini?
"Ayo, dong!" Samantha mendesaknya.
Bobby menarik napas panjang dan membenturkan bahunya ke
pintu. Pintu itu bergerak sedikit, tapi tidak membuka. Baru pada
benturan kedua Bobby berhasil mendobraknya.
Ia masuk ke pondok mungil itu. Cahaya matahari masuk
melalui jendela-jendela, sehingga papan-papan kayu di lantai tampak
berkilauan. Bobby melihat sebuah sofa vinyl, dua kursi taman, serta
sejumlah meja plastik di salah satu sudut. Sebuah peta berisi namanama Indian tergantung di atas perapian.
"Tempat ini memang tidak mewah," kata Samantha kepadanya,
"tapi cocok sekali untuk tujuan kita. Tak ada siapa-siapa dalam jarak
beberapa mil. Karena itulah ayahku membangun pondok kami di sini.
Biasanya baru bulan Juli kami mulai menggunakan pondok ini untuk
berakhir pekan." Bobby mengendus-endus. "Udaranya agak pengap,"
gumamnya. "Soalnya, sepanjang musim dingin semua jendela dan pintu
tertutup rapat. Tapi nyaman, kan?" Tanpa menunggu jawaban,
Samantha memeluk Bobby. "Jadi kita sudah sepakat? Kau dan aku?" bisiknya. "Kita bawa
Bree ke sini? Kita bunuh dia? Dan setelah itu kita bakal bersama-sama
terus untuk selama-lamanya?"
"Oke," Bobby kembali menyahut.
Aku harus kembali ke kota untuk memperingatkan Bree, ia
berkata dalam hati. Ia memberitahu Samantha bahwa ia harus pulang.
Tapi gadis itu malah tambah erat memeluknya.
********** "Bree?aku perlu bertemu denganmu," ujar Bobby dengan nada
mendesak. Ia berbisik, meskipun pintu kamar tidurnya tertutup rapat.
"Sekarang." "Tapi, Bobby," Bree memprotes. "Beberapa jam lagi kita kan
akan bertemu. Kau bilang kita mau ke klub?"
"Bree, dengarkan aku," Bobby memohon. "Kita harus bicara.
Sekarang juga." "Ada apa, sih?" tanya Bree heran. "Apa kau tak bisa menunggu
dua jam? Keluargaku sedang makan, dan sepupu-sepupuku sedang
berkunjung ke sini."
"Bree?ini penting sekali!"
"Sori. Kau harus bersabar sampai nanti malam, oke? Sampai
nanti, ya." Gadis itu meletakkan gagang telepon. Bobby mematikan
telepon cordless dan melemparkannya ke tempat tidur. "Aku sedang
berusaha menyelamatkan nyawamu, bodoh!" serunya kesal.
Ia mulai berjalan mondar-mandir sambil memutar otak.
Bagaimana ia akan menjelaskan masalah ini kepada Bree? Ia tak mau
membuka rahasia bahwa selama ini ternyata ia berkencan dengan
Samantha. Itu justru akan semakin menyulitkan keadaan.
Tapi bagaimana ia bisa menjelaskan pada Bree bahwa
Samantha hendak membunuhnya? Mana mungkin Bree mempercayai
cerita gila seperti itu? Mana ada orang yang mau percaya?
Selama beberapa saat Bobby terus mondar-mandir di kamarnya.
Kemudian ia merebahkan diri di tempat tidur dan menatap langitlangit sambil memikirkan jalan keluar. Orangtuanya memanggilnya
untuk makan malam, tapi Bobby menyahut bahwa ia tidak lapar.
Akhirnya tiba waktunya untuk pergi ke Fear Street untuk
menjemput Bree. Gadis itu menyambut Bobby di pintu. Ia
mengenakan blus hijau dan rok pendek. "Sampai nanti, semuanya!"
serunya ke ruang duduk. Bobby melihat Samantha di ambang pintu dapur. "Jangan
keasyikan, ya!" serunya ceria.
Dengan muram Bobby menemani Bree ke mobil. "Kita jadi
pergi, nih?" Bree bertanya padanya.
Bobby menatap mata gadis itu. Roman mukanya tetap serius.
"Bree, aku perlu bicara denganmu. Ada sesuatu yang sangat penting
yang harus kuceritakan padamu."
"Aduh, Bobby, aku jadi deg-degan, nih. Aku masih terlalu
muda untuk menikah!" Bree berkelakar. Tapi kemudian ia
mengerutkan kening karena Bobby tidak tertawa. "Wow, serius amat,
sih?" Bobby memundurkan mobilnya, menyusuri Fear Street sejauh
beberapa blok, lalu berhenti di tepi jalan. "Begini," katanya sambil
berpaling kepada Bree, "aku tahu kau pasti akan menyangka aku
sudah gila, tapi kau harus percaya padaku."
Bree melirik ke luar jendela. ''Kenapa berhenti di sini? Di depan
kuburan?" "Dengarkan aku," ujar Bobby dengan nada tak sabar. Ia mulai
menyampaikan cerita yang telah ia hafalkan di kamarnya. "Tadi sore
aku jalan-jalan naik mobil, dan kebetulan melihat Samantha. Dia
memanggil aku, jadi aku berhenti. Lalu dia naik dan bilang bahwa dia
harus bicara denganku."
Bree membelalakkan mata dengan heran. "Samantha perlu
bicara denganmu? Tentang apa?"
"Itulah yang mau kuceritakan sekarang," balas Bobby. "Dia
memaksaku untuk mengantarnya ke pondok peristirahatan
orangtuamu. Kemudian dia bilang... dia bilang..."
Bobby terdiam. Apakah Bree akan mempercayainya?
"Samantha bilang dia akan membawamu ke pondok itu dan...
membunuhmu di sana."
Bree terbengong-bengong. "Aku... aku tidak mengada-ada," Bobby tergagap-gagap. "Aku
cuma ingin memperingatkanmu. Saudaramu sendiri. Saudara
kembarmu?dia mau membunuhmu."
Bree menatap Bobby, mulutnya masih menganga lebar. Sorot
matanya tampak kosong. Dan kemudian ia mulai mengerti. Roman
mukanya mengencang. Ia menganggukkan kepala, seakan-akan baru
saja memutuskan sesuatu. "Aku harus mengakui sesuatu, Bobby," bisik Bree sambil
menghindari tatapan pemuda itu.
"Aku... aku tidak bisa percaya bahwa ada orang yang mau
membunuh saudara kembarnya sendiri!" Bobby menegaskan.
"Ada sesuatu yang ingin kuceritakan padamu," Bree berbisik
dengan serius. "Masalahnya begini, Samantha dan aku?kami bukan
kembar biasa." 22 Jennilynn Kembali Lagi BREE mencondongkan badan ke arah Bobby. Wajahnya
setengah tersembunyi dalam kegelapan. Ia mengunci tangannya
dengan erat di pangkuannya. Suaranya terdengar bergetar ketika ia
mulai memberi penjelasan.
"Kami punya satu saudara lagi," ia mengungkapkan, sambil
memperhatikan ekspresi Bobby yang tampak terkejut. "Samantha dan
aku bukan sekadar kembar dua. Kami kembar tiga."
"Wow," Bobby bergumam. Ia menggeleng-gelengkan kepala.
"Oh, wow." "Saudara kembar kami bernama Jennilynn," Bree melanjutkan
sambil memandang ke pemakaman Fear Street. "Sepertinya kau
bertemu Jennilynn sore tadi, Bobby. Bukan Samantha. Samantha di
rumah bersamaku." "Oh! Ini benar-benar hebat!" gumam Bobby.
Meskipun menyadari bahwa situasinya sangat serius, Bobby tak
dapat meredam pikiran yang berulang kali muncul dalam benaknya:
Aku harus memberitahu Arnie! Dia bisa pingsan kalau tahu
bahwa aku mengencani kembar tiga!
"Jennilynn sangat berbahaya," lanjut Bree. Matanya tetap
tertuju pada batu-batu nisan di balik pagar pemakaman. "Kami tak
pernah membicarakan dirinya. Dia dititipkan di rumah paman dan
bibiku di Pantai Barat."
"Kenapa?" tanya Bobby sambil memegang kemudi. "Apa yang
dilakukannya?" "Sejak kecil dia selalu iri terhadap Samantha dan aku," ungkap
Bree. "Apa pun yang kami miliki pasti direbut?atau dihancurkannya.
Jennilynn tidak mau terima bahwa kami memang bertiga dan harus
saling berbagi." Bree menghela napas. "Dia sampai dibawa ke tempat terapi
oleh orangtuaku. Tapi ternyata tidak membantu. Kemudian, waktu
kami berumur tiga belas, dia akhirnya melewati batas."
Gadis itu berhenti. Bobby melihatnya menggigit-gigit bibir. Ia
sadar, tak mudah bagi Bree untuk membicarakan masalah tersebut
dengan orang lain. "Apa yang terjadi?" tanya Bobby lembut.
Bree menarik napas panjang sebelum melanjutkan, "Jennilynn
mengunci Samantha dan aku di kamar kami. Lalu dia?menyalakan
api. Di bawah." "Ya, Tuhan!" seru Bobby.
"Untung saja ayahku pulang sebelum kami celaka. Tapi setelah
itu keluargaku sadar bahwa Jennilynn harus ditangani dengan
sungguh-sungguh. Dia dikirim ke sebuah rumah sakit selama setahun.
Waktu dia diperbolehkan pulang, para dokter berpesan bahwa lebih
aman bagi kami kalau dia tinggal di tempat lain."
"Jadi dia dikirim ke Pantai Barat?" tanya Bobby sambil
mengusap-usap lengan Bree yang gemetaran.
Bree mengangguk. "Sejak itu Jennilynn tinggal bersama adik
ayahku dan suaminya." Ia mengalihkan pandangnya kepada Bobby.
"Tolong jangan ceritakan ini kepada siapa pun," ia memohon. "Kami
sudah dua kali pindah kota sejak itu. Salah satu alasan kami pindah ke
Shadyside adalah supaya keluarga kami bisa memulai kehidupan
baru." "Aku takkan cerita. Aku janji," kata Bobby, sambil terus
mengusap-usap lengan gadis itu.
"Aku heran paman dan bibiku tidak menelepon," ujar Bree.
"Mungkin mereka tidak sadar bahwa Jennilynn kembali ke sini. Aku
harus segera memberitahu orangtuaku. Aku tak tahu apa yang akan
mereka lakukan. Tapi aku juga mencemaskanmu. Jennilynn begitu
berbahaya." "Aku akan berhati-hati," Bobby berusaha menenangkannya.
"Kalau kau bertemu lagi dengannya, segera hubungi polisi,"
desak Bree. "Aku serius, Bobby. Segera hubungi polisi."
Cukup lama Bobby membisu sambil merenung. "Menurutmu,
mungkinkah Jennilynn yang mengerjai aku selama ini?" tanyanya.
Bree mengangguk dengan geram. "Ya. Aku takkan heran kalau
itu ulahnya." "Tapi kenapa?" tanya Bobby. "Dia bahkan tidak mengenalku."
"Dia mau menghancurkan segala sesuatu yang Samantha atau
aku miliki," jawab Bree sambil merinding. "Dia akan berbuat apa saja
untuk menghancurkan kehidupan kami."
Bobby merasakan bulu kuduknya berdiri.
"Ma... masa sih aku bersama Jennilynn tadi sore," ia tergagapgagap. "Aku benar-benar mengira bahwa aku bersama Samantha."


Fear Street Kencan Ganda Double Date di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bree menatapnya sambil mengerutkan kening. Sebuah erangan
terdengar dari tengah pemakaman. Mereka sama-sama mendengar
suara itu. "Cuma kucing," gumam Bobby.
"Ada satu cara untuk membedakan Jennilynn dari Samantha
dan aku," kata Bree serius.
"Bagaimana caranya?" tanya Bobby.
Bree menarik kerah blusnya. "Dari sini kau bisa mengenali
Jennilynn," ia menjelaskan. Ia menunjuk sebuah titik di pundak
kirinya. "Jennilynn punya tato kupu-kupu kecil berwarna biru di titik
ini." 23 Bree Kumat Lagi BOBBY telah berjanji pada Bree bahwa ia takkan bercerita
kepada siapa pun mengenai Jennilynn. Tapi ia tak peduli. Ia harus
memberi tahu Arnie. Aku menyilangkan jari waktu berjanji tadi, katanya dalam hati.
Jadi janjiku tidak berlaku.
Ia mengantar Bree pulang. Mereka sama-sama tak berminat lagi
untuk pergi. Dan Bree mengatakan bahwa ia terlalu gugup oleh berita
kembalinya Jennilynn. Bobby menghentikan mobilnya di depan rumah gadis itu. Bree
langsung merapatkan tubuh. "Acara kita jadi kacau gara-gara
Jennilynn," bisiknya. Kemudian ia mencium pipi Bobby. "Kau
menyukaiku, ya kan, Bobby?" ia berbisik. "Kau benar-benar suka
padaku, ya kan?" Bree mulai terlalu merepotkan, Bobby berkata dalam hati.
Gadis itu memang cantik, dan Bobby pun senang berkencan
dengannya. Tapi ia terlalu... manja.
Dan sebenarnya Bobby tak ingin terlibat dalam urusan keluarga
mereka. Ia tidak mengerti mengapa ia harus diseret ke dalam masalah
mereka. "Yeah. Aku tergila-gila padamu," balas Bobby. Ketika mereka
hendak berpisah, Bobby membayangkan reaksi Arnie saat diberitahu
bahwa si Kembar Wade ternyata kembar tiga.
Ia langsung mengarahkan mobilnya ke rumah Arnie. Arnie dan
Melanie ternyata berada di depan rumah. Mereka baru mau naik ke
Chevy Geo milik Arnie. Bobby berhenti di belakang mereka, sehingga
menghalangi jalan keluar.
"Hei?ada apa, nih?" seru Arnie sambil nyengir.
Melanie merengut. Kentara sekali bahwa ia tidak berminat
bertemu Bobby. "Kami mau nonton pertunjukan terakhir di Tenplex," Arnie
menjelaskan tanpa ditanya. "Mau ikut?"
Melanie langsung mendelik ke arah pacarnya. Kemudian ia
berpaling kepada Bobby. "Untuk apa kau kemari? Kau kehabisan
cewek kembar?" Bobby tertawa. "Kebetulan sekali kau menyinggung soal itu.
Aku sengaja mampir untuk menceritakan sesuatu kepada Arnie. Tapi
kau boleh ikut mendengar."
Melanie memutar-mutar bola mata. "Terima kasih banyak."
"Kau sudah lama kenal si Kembar Wade, kan?" tanya Bobby
pada gadis itu. Melanie mengangguk. "Aku mengenal mereka sejak kanakkanak."
"Tapi kau tak pernah bercerita bahwa mereka tiga bersaudara,"
ujar Bobby, sambil mengamati reaksi Melanie.
"Wah," seru Arnie. "Tiga bersaudara! Dan yang ketiga juga
sudah kauajak kencan, Bobby? Wow, ini pasti rekor baru!" Langsung
saja ia berhigh-five dengan sahabatnya itu.
Tapi pandangan Bobby tetap terarah pada Melanie, yang sama
sekali tidak bereaksi terhadap berita tersebut.
"Bagaimana, Mel?" tanya Bobby. "Benarkah ini? Apakah
mereka benar-benar kembar tiga?"
"Jangan panggil aku Mel," Melanie menghardiknya. "Kau kan
tahu bahwa aku benci panggilan itu."
"Jawab saja pertanyaanku," desak Bobby.
Melanie tampak ragu-ragu. "Aku tak bisa, Bobby."
Senyum Bobby mendadak lenyap. "Apa maksudmu?"
"Maksudku, aku tak bisa bilang apa-apa," kata Melanie dingin.
"Siapa bilang mereka kembar tiga?"
"Bree. Baru saja," ujar Bobby sambil mengamati wajah
Melanie. "Jadi memang benar?"
"Aku tak bisa bilang," balas Melanie ketus. "Berapa kali aku
harus mengulanginya?"
"Kenapa kau tak bisa bilang?" tanya Bobby dengan nada
memaksa. Melanie diam sejenak. "Sebab aku sudah berjanji," katanya
kemudian. "Jadi benar!" seru Bobby. "Kau berjanji pada Samantha dan
Bree untuk tidak bercerita kepada siapa pun tentang Jennilynn! Ya,
kan? Ya, kan?" "Mungkin," jawab Melanie. Kemudian ia segera menambahkan,
"Mungkin ya, mungkin tidak. Aku sudah berjanji, Bobby. Jadi jangan
tanya-tanya lagi." Ia mendorong Arnie. "Ayo, dong! Nanti kita
terlambat." Arnie menatap Bobby sambil nyengir lebar. "Kembar tiga!
Wow!" Ia berpaling kepada Melanie. "Kenapa sih harus pakai rahasia
segala?" "Ceritanya panjang," ujar Melanie sambil mendesah, lalu
menoleh kepada Bobby. "Sampai ketemu, Bobby," ujarnya.
************ Karena enggan untuk langsung pulang, Bobby mengemudikan
mobilnya berkeliling kota sambil memikirkan si Kembar Wade.
Aku akan berhenti mengencani mereka, ia memutuskan. Sudah
waktunya untuk beralih pada wajah baru. Cewek-cewek lain masih
antre untuk berkencan dengan Bobby the Man.
Tapi kemudian ia mulai ragu. Barangkali lebih baik kalau Bree
saja yang kulepas. Samantha sebenarnya cukup ramai. Dan rasanya
aku belum mau mengorbankan ciumannya yang hangat.
Ia kembali teringat pada kepala monyet yang berlumuran darah.
Ia teringat pada ban mobilnya yang tersayat, dan pada sengatan listrik
yang dialaminya di panggung auditorium.
Ah, si Kembar Wade sudah terlalu banyak menimbulkan
masalah, Bobby berkata dalam hati. Belum kembaran mereka yang
sinting itu! Permainan Jennilynn terlalu kasar. Aku harus mengakhiri
ini sebelum Jennilynn beraksi lagi. Bisa-bisa aku mati konyol nanti!
Besok aku akan memutuskan hubungan dengan kedua-duanya.
Mudah didapat, mudah dilepas, Bobby berusaha meyakinkan diri
sendiri. Namun ketika tiba di rumahnya menjelang tengah malam, ia
terpaksa mengakui bahwa ia benar-benar bingung. Ia tak tahu apa
yang harus dilakukannya dengan si Kembar Wade.
"Dilepas sayang, tapi kalau dipertahankan berarti cari perkara,"
gumamnya kepada dirinya sendiri ketika membuka pintu depan.
Akhirnya ia memutuskan untuk meneruskan permainannya
selama beberapa waktu. *********** Keesokan sorenya, Bobby menemui Samantha di pelataran
parkir di mall. Langit tampak mendung, dan awan badai terlihat
menggumpal di kejauhan. Gadis itu mengenakan pullover biru navy berlengan pendek dan
celana jins belel berpotongan baggy. Rambutnya tertutup topi bisbol
Black Sox. "Ada apa semalam?" Samantha langsung bertanya tanpa
berbasa-basi lebih dulu. "Kenapa kau begitu cepat mengantar Bree
pulang? Dan setelah itu dia langsung naik ke kamarnya. Kau sudah
memberitahu dia bahwa kau takkan berkencan lagi dengannya?"
Bobby menggelengkan kepala. "Belum."
Dengan kecewa Samantha mengerutkan kening. "Kalau begitu,
ada apa?" "Dia... ehm... dia bercerita tentang Jennilynn," Bobby menyahut
pelan-pelan. "Hah?" Samantha terbengong-bengong. Ia menatap Bobby
sambil memicingkan mata. "Dia bilang saudara kembarmu yang satu lagi sudah kembali,"
ujar Bobby. "Jennilynn, maksudnya."
Wajah Samantha menjadi pucat. Matanya mendadak meredup.
"Oh, ya ampun," desahnya, lalu menggelengkan kepala. "Kasihan
Bree. Rupanya dia kumat lagi."
Bobby menelan ludah. "Hah? Apa maksudmu?"
Samantha memegang lengan Bobby, seakan-akan takut jatuh,
dan bersandar pada mobilnya. "Aku tak punya saudara kembar
bernama Jennilynn, Bobby," bisiknya. "Bree dan aku hanya berdua."
24 "Kau Mulai Membuatku Jengkel"
"ANTAR aku pulang. Sekarang juga," Samantha mendesak
sambil menatap Bobby. Matanya tampak menyala-nyala. "Aku harus
memberitahu Mama dan Papa. Kami harus menangani Bree."
"Tapi?aku tidak mengerti," balas Bobby. "Apa maksudmu?"
Samantha tampak kalut. "Sudah bertahun-tahun Bree tidak
berbuat begini. Dulu, setiap kali ada sesuatu yang mengusik
pikirannya, dia mengarang cerita-cerita tentang Jennilynn, bahwa
kami punya satu saudara kembar lagi. Dia suka mengarang ceritacerita menakutkan mengenai Jennilynn, kembaran kami yang
sebenarnya cuma ada dalam khayalannya."
"Khayalan? Semuanya cuma khayalan?" Bobby memandang
Samantha sambil terbengong-bengong.
Samantha mengangguk serius. "Dari situlah kami tahu kalau
Bree punya masalah," katanya pelan-pelan. "Setiap kali dia mulai
bicara tentang Jennilynn, kami tahu Bree kumat lagi."
Bobby menelan ludah dan menggeleng. "Wow," gumamnya.
"Wow. Wow." "Tolong antar aku pulang, Bobby," desak Samantha. "Aku
benar-benar khawatir tentang Bree. Menurutmu, kenapa dia
membohongimu? Jangan-jangan dia tahu soal kau dan aku ?dan itu
lalu mengacaukan pikirannya."
"Aku belum bisa percaya bahwa cerita Jennilynn itu cuma
isapan jempol," ujar Bobby. "Caranya menceritakannya?semuanya
begitu nyata. Aku... aku..." ia terdiam.
"Bobby, kenapa kau menatapku seperti itu?" Samantha
bertanya. "Aku baru teringat sesuatu," jawab Bobby. Ia mencoba meraih
kerah pullover gadis itu.
Samantha terkejut dan langsung menjauh. "Hei!"
"Maukah kau memperlihatkan bahumu, Samantha?" Bobby
bertanya. "Bahuku?" Gadis itu tertawa. "Ada apa sih, Bobby?"
Tangannya memegang kerah bajunya.
"Ayolah, Samantha. Aku perlu melihat pundak kirimu, sebentar
saja." Samantha tampak ragu-ragu. Tapi kemudian ia angkat bahu.
"Kau juga mulai aneh, Bobby." Ia menarik kerah bajunya, sehingga
pundaknya tampak. Tak ada tato. "Mana tatomu, Samantha?" Bobby bertanya sambil
memicingkan mata. Samantha merapikan kembali kerah bajunya. "Tato? Yang
benar saja! Kau kan tahu bahwa aku tidak punya tato."
Bobby menatapnya tajam. "Tapi waktu itu, di lab IPA? Masih
ingat, kan? Waktu kau memperlihatkan tato kupu-kupu padaku? Kau
bilang itu cara terbaik untuk membedakan kau dan Bree?"
Samantha terbengong-bengong. Langsung saja ia menempelkan
telapak tangannya ke kening Bobby. "Kau demam? Kau mengigau,
ya? Aku tak pernah memperlihatkan tato padamu, apalagi di lab IPA."
"Kalau begitu, siapa dong?" tanya Bobby dengan nada
melengking. "Jangan-jangan kau juga sudah mulai tidak waras," balas
Samantha cemas. "Ayo dong, Bobby. Jangan main-main. Aku harus
segera pulang untuk menangani Bree. Kau jangan mulai berkhayal
yang bukan-bukan!" ************ Malam itu Bobby duduk di meja tulisnya. Ia menatap dinding
yang dicat biru pucat sambil mendengarkan suara hujan yang menerpa
jendela kamarnya. Meskipun telah berusaha, ia tak dapat memusatkan
perhatian pada PR-nya. Untung saja besok libur, katanya dalam hati, sambil menatap
kertas kosong di hadapannya. Shadyside High memang diliburkan
karena ada pertemuan guru. Barangkali besok pikiranku sudah tidak
buntu lagi. Besok saja kukerjakan laporan telaah buku yang harus
kubuat. Tapi jangan-jangan aku takkan pernah lagi bisa berpikir dengan
jelas? tanyanya dalam hati.
Bayangan Samantha di lab IPA yang remang-remang selalu
muncul kembali di dalam benaknya. Ia ingat persis bagaimana gadis
itu tersenyum nakal ketika memperlihatkan tato mungil di pundaknya.
Bobby juga membayangkan wajah Bree yang tegang ketika ia
bercerita tentang saudara kembarnya yang satu lagi, Jennilynn.
Salah satu dari mereka sengaja mau membuatku bingung, pikir
Bobby getir. Salah satu dari mereka pembohong. Tapi yang mana?
Betulkah Jennilynn cuma ada dalam khayalan Bree? Apakah
cerita tentang saudara kembar ketiga cuma isapan jempol?
Mungkin juga Samantha berusaha menutup-nutupi rahasia
keluarganya. Siapa sebenarnya yang berbohong? Samantha? Atau Bree?
Di luar, hujan bertambah deras. Petir terlihat sambarmenyambar.
Bobby sedang menunggu gemuruh guntur ketika pesawat
teleponnya berdering. "Oh!" serunya kaget. Ia meraih telepon cordless dan menekan
tombol bicara. "Halo?"
Suara yang didengarnya kasar dan tidak sabar. "Bobby, ini
Jennilynn." "Hah?" "Aku melihatmu bersama Bree di lapangan parkir di mall tadi
sore, Bobby." "Hei, nanti dulu," protes Bobby. Jantungnya berdebar-debar.
"Itu bukan Bree. Itu Samantha."
"Aku bisa membedakan saudaraku sendiri!" suara itu
menghardik dengan ketus. "Itu Bree."
Mana mungkin itu Bree? Bobby bertanya dalam hati. Aku yakin
itu Samantha. Dan siapa ini? Betulkah ini Jennilynn? Apakah Samantha membohongiku sore tadi?
Kenapa dia bilang bahwa dia tidak punya saudara kembar selain
Bree? Suara cewek ini berbeda. Lebih kasar. Lebih rendah. Jennilynn
sama sekali bukan seperti tokoh khayalan.
"Kapan kita akan membunuh dia, Bobby?" suara itu bertanya.
"Kau sudah janji. Kau berjanji bahwa kita akan membunuhnya.
Kapan?" "Hei. Tunggu dulu...," Bobby memohon.


Fear Street Kencan Ganda Double Date di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia harus dibunuh dalam waktu dekat ini," gadis di telepon itu
berkata dengan nada mengancam. "Segera. Kau mulai membuatku
jengkel. Kau mulai membuatku sangat jengkel!"
25 Masuk ke Hutan KEESOKAN paginya ia berusaha menelepon Samantha, namun
hanya memperoleh nada sibuk?telepon gadis itu dipakai selama
berjam-jam. Ketika ia menelepon lagi sehabis makan siang, telepon
Samantha berdering tapi tak ada yang menyahut.
Hujan berhenti menjelang tengah hari dan matahari mulai
menampakkan diri. Orangtua Bobby berada di tempat kerja masingmasing, dan ia seorang diri di rumah. Ia berharap suasana yang tenang
bisa memperlancar penyusunan laporan telaah buku yang harus
dibuatnya. Tapi dalam waktu singkat ia sadar bahwa ia terlalu bingung dan
kalut untuk menulis satu kalimat pun.
Ia mencoba memotong rumput untuk menenangkan diri. Siapa
tahu dengan melakukan sesuatu ia dapat melupakan si Kembar Wade
serta ancaman Jennilynn. Tapi rumputnya masih basah akibat siraman
hujan, terlalu basah untuk dipotong.
Ketika salah satu dari si Kembar Wade muncul pukul 17.00
lewat beberapa menit dengan convertible putih milik orangtua mereka,
Bobby hampir merasa lega. Akhirnya aku bisa mencari jawaban!
katanya dalam hati. Ia bergegas keluar untuk menyambut gadis itu. Atap mobilnya
dibuka. Bobby melihat kaus tanpa lengan berwarna magenta, dan ia
langsung tahu bahwa ia berhadapan dengan Samantha. Bree tak
pernah mengenakan pakaian mencolok seperti itu.
"Hei?kok kau boleh bawa mobil? Kau bilang kau tidak punya
SIM!" seru Bobby. Samantha tertawa. "Orangtuaku sedang keluar," ujarnya
menjelaskan. "Jadi kubawa saja."
Bobby bersandar pada bagian samping mobil. "Sejak pagi tadi
aku mencoba meneleponmu, Sam. Aku harus bicara denganmu.
Aku..." "Aku juga perlu bicara denganmu," Samantha memotong. Ia
memberi isyarat ke sisi penumpang. "Ayo, naik. Aku mau
mengajakmu jalan-jalan."
Bobby berjalan ke sisi seberang dan masuk ke dalam mobil.
"Kau takkan ngebut seperti orang gila lagi, kan?"
Samantha nyengir lebar. "Silakan pasang sabuk pengaman,"
katanya. Beberapa menit kemudian mereka sudah melaju di Old Mill
Road, ke arah luar kota. Angin sejuk menerpa mereka ketika matahari
mulai menghilang di balik pepohonan.
"Semalam Jennilynn meneleponku!" Bobby memberitahu
Samantha. Ia terpaksa setengah berteriak untuk mengalahkan suara
angin. Pandangan Samantha tetap terarah pada jalan di depan mereka.
"Bree, maksudmu," ia balik berseru. "Itu pasti Bree."
"Dia bilang dia Jennilynn. Dia bilang..."
"Aku tidak bisa mendengarmu," seru Samantha. Ia meraih
tangan Bobby dengan tangan kanannya. "Nanti saja kita bicara, kalau
sudah sampai di pondok."
"Kita mau ke pondok?" Bobby menatapnya heran.
"Kita perlu tempat yang tenang," balas Samantha. "Untuk
bicara." Ia semakin dalam menginjak pedal gas ketika rumah-rumah
semakin jarang, dan ladang-ladang tanpa batas mulai terlihat di depan.
Ladang-ladang yang masih basah itu tampak berkilauan.
Angin menderu. Bobby menyandarkan punggung dan melirik
ke arah Samantha. Gadis itu memicingkan mata. Bobby membungkuk
sedikit untuk menyalakan radio.
Kerah baju Samantha bergeser sedikit diterpa angin kencang.
Bobby nyaris terjatuh dari kursinya ketika melihat kupu-kupu mungil
yang ditato di pundak gadis itu.
"Kau bertato!" serunya sambil menggenggam bahu kanan
Samantha. "Kau bertato!"
Gadis itu menoleh sambil mengerutkan kening. "Tentu saja.
Kenapa sih kau?" "Tapi... tapi..." Bobby tergagap-gagap. "Di lapangan parkir di
mall kemarin sore kau tidak punya tato."
"Apa?" Samantha mengangkat sebelah tangan. "Rasanya aku
salah dengar. Aku tidak ke mall kemarin. Aku tidak bertemu
denganmu kemarin, Bobby!"
Ia pindah ke jalur kiri untuk menyusul sebuah truk raksasa.
Sopir truk itu membunyikan klakson ketika mobil Samantha melesat
melewatinya. Bobby segera menutup telinga. "Sejak dulu kau sudah bertato?"
serunya keras. Gadis itu mengangguk. "Ada apa sih denganmu? Kan sudah
kuperlihatkan di lab IPA waktu itu."
Mereka sampai di kawasan hutan. Samantha membelok ke jalan
tanah yang menuju ke pondok peristirahatan keluarganya.
Mobil mereka terguncang-guncang. Bobby mendadak sadar
bahwa ia terengah-engah. Pelipisnya berdenyut-denyut, dan kepalanya
terasa pening. Apakah itu cuma karena angin yang menerpanya?
"Kau sempat menyinggung soal membunuh Bree?ya, kan?" ia
bertanya dengan ragu. Samantha menoleh dan menatapnya sambil tersenyum jahat.
"Semuanya sudah kurencanakan dengan matang," katanya, dan
matanya tampak menyala-nyala. "Bree tak mungkin lolos."
26 Pukulan Pertama BOBBY memejamkan mata. Barangkali aku cuma mimpi,
katanya dalam hati. Mobil Samantha menyusuri jalan tanah di bawah atap dedaunan
yang semakin lebat, lalu mendadak berhenti. Bobby membuka mata.
Ia melihat pondok peristirahatan itu, setengah tersembunyi dalam
bayang-bayang. Akibat pohon-pohon besar yang menghalangi sinar matahari,
suasana di sekeliling mereka hampir seperti malam hari. Bobby sibuk
dengan pikirannya sendiri, dan tidak beranjak dari tempatnya. Tibatiba ia merasakan Samantha meremas lengannya.
Ia menoleh. Rambut gadis itu tampak acak-acakan, sementara
pipinya merah diterpa angin sejuk. "Ayo, kita masuk," katanya. "Kita
harus bicara." Bobby mengangguk. "Yeah. Kita memang perlu bicara."
Ia turun dari mobil dan mulai melintasi rumput basah ke arah
pondok. Sambil berjalan ia menarik napas panjang. Udara terasa segar
dan berbau harum. Ribuan serangga kecil tampak menari dalam sinar
matahari. Bobby mendengar pintu mobil membuka, lalu menutup lagi.
Rupanya ada barang Samantha yang tertinggal di mobil, katanya
dalam hati. Seekor tupai melompat-lompat di sepanjang sebatang
pohon yang tumbang. "Samantha?" Bobby berpaling ke mobil?tepat
ketika gadis itu mengayunkan botol Coca-Cola yang telah kosong.
"Samantha? Hei!"
Bobby tak sempat mengelak.
Samantha memukul kepalanya dengan botol itu.
Suara benturannya tidak begitu keras.
Tapi seketika rasa nyeri menjalar ke seluruh tubuh Bobby,
seolah-olah ada bom meledak di dalam kepalanya.
Semua tampak putih menyilaukan.
Kemudian gelap gulita. 27 Madu CAHAYA merah yang berputar-putar itu akhirnya meredup
menjadi merah muda, lalu putih. Bobby mulai melihat cahaya lain,
samar-samar, berwarna kelabu. Awan ungu tampak melayang di langit
merah. Ia membuka mata. Tapi rasa nyeri yang berdenyut-denyut memaksanya untuk
memejamkan mata lagi. Ia mencoba berdiri. Tapi ada sesuatu yang menahannya.
Ia mencoba mengangkat tangan. Tapi tangannya tak bisa
digerakkan. Aku lumpuh, ia menyadari ketika pikirannya mulai jernih
kembali. Dia membuatku lumpuh. Ia memaksakan diri untuk membuka mata, lalu mengerang
tertahan. Kabut kelabu yang menyelubunginya menghilang perlahanlahan, dan dinding-dinding pondok di sekelilingnya mulai tampak.
Aku sedang duduk, ia menyadari. Sekali lagi ia mencoba
berdiri. Tapi sekali lagi ada sesuatu yang menahannya.
Aku duduk di kursi. Aku diikat. Aku diikat ke kursi.
Ia berusaha menggerakkan kakinya, tapi ternyata kakinya pun
diikat. Tangan dan kakiku. Diikat. Diikat ke kursi kayu ini.
"Hei!" ia berseru parau.
Betulkah itu suaraku? Begitu lemah?
Ia menundukkan kepala. Rasa nyeri yang berdenyut-denyut
sedikit mereda ketika ia menunduk.
"Oh." Ia melihat lututnya yang telanjang. Rupanya celana
jinsnya telah dilepaskan. Begitu pula kaus kaki dan sepatu ketsnya.
Ia terikat ke kursi, hanya mengenakan T-shirt dan celana
pendek bergaris-garis. Lidah api tampak menari-nari di perapian yang sempit. Bobby
memandang ke seberang ruangan. Jinsku? Ya, jinsnya sedang dilalap
api. Samantha berdiri di samping perapian, dengan tangan
menyilang di depan dada. Matanya yang hijau memantulkan cahaya
api. "Samantha?kenapa?" tanya Bobby bingung.
"Aku bukan Samantha," jawab gadis itu. Ia maju beberapa
langkah ke arah Bobby sambil tetap menyilangkan tangan. "Aku
Jennilynn." Bobby menggelengkan kepala. Rasa nyeri yang menjalar ke
seluruh tubuhnya membuatnya mengerang. "Bukan! Kau bukan
Jennilynn. Tak ada yang bernama Jennilynn!" ia berseru. "Jangan
bohongi aku lagi, Samantha!"
"Itu yang mereka ceritakan padamu?" gadis itu bertanya, dan
matanya tampak menyala-nyala karena marah. "Mereka bilang aku
tidak ada?" Ia mendengus kesal. "Hah, saudara-saudara kembarku
yang manis itu pasti senang sekali kalau aku tidak ada," katanya
geram. "Sudahlah, jangan main-main!" Bobby memohon.
"Aku si Jahat!" Jennilynn melanjutkan dengan sengit, tanpa
menggubris permohonan Bobby. "Aku saudara kembar yang
berbahaya, yang diusir. Mereka bersikap seakan-akan aku tidak ada.
Tapi aku ada, Bobby. Aku ada."
"Oke, kau memang ada," ujar Bobby, sambil menatap wajah
Jennilynn. "Aku minta maaf. Aku tidak tahu. Aku..."
"Aku yang bertato!" gadis di hadapan Bobby berseru sambil
memperlihatkan tato kupu-kupu di pundaknya. "Akulah yang bicara
denganmu di lab IPA?bukan Samantha, bukan Bree! Kaupikir
pengecut-pengecut itu berani memakai tato? Hah, mana mungkin!
Hanya Jennilynn, hanya si Jahat yang berani!"
"Oke. Aku mengerti," sahut Bobby. Rasa pening di kepalanya
sudah berkurang. Ia mulai bisa melihat dan berpikir dengan jelas.
Ketika memandang ke seberang ruangan, ia melihat jinsnya
telah hangus di perapian.
"Lepaskan aku," ia memohon sambil menatap gadis di
hadapannya. "Lepaskan aku, Jennilynn. Aku tak pernah berbuat salah
terhadapmu!" Gadis itu merengut dan kembali ke perapian. "Kedua saudara
kembarku yang cantik ?mereka begitu menyukaimu," ia berkata
sambil memutar-mutar bola mata. Ia menyodok-nyodok sisa jins
Bobby dengan batang besi. "Kenapa aku harus membiarkan mereka
bersenang-senang?" "Tapi..." Bobby mulai berkata.
"Kenapa?" bentaknya. "Aku tak rela mereka bersenang-senang.
Jadi..." Jennilynn mengangkat batang besi di tangannya dan
menggunakannya untuk menuding Bobby. "Jadi, mereka terpaksa
kupisahkan darimu." Ia tersenyum jahat. "Selamat jalan," ia bersenandung. "Selamat
jalan, Bobby." "Jennilynn?tunggu!" Bobby memohon. "Aku mau diapakan?"
Jennilynn meletakkan batang besinya tanpa menjawab,
kemudian melangkah ke belakang Bobby.
Pemuda itu berusaha membalikkan badan, agar dapat melihat
apa yang hendak dilakukannya.
Tapi ikatannya terlalu kencang.
Tiba-tiba ia merasa ada sesuatu yang ditumpahkan ke
rambutnya. Sesuatu yang basah dan kental.
Cairan itu mengalir lewat pelipis, lalu turun ke pipi.
Kini ia merasakannya menetes ke bahunya.
"Jennilynn?kau sedang apa? Aku mau diapakan?" Bobby
bertanya dengan nada melengking karena panik.
Gadis itu muncul di depannya. Kedua tangannya memegang
botol besar. "Ini madu, Sayang," bisiknya sambil tersenyum ceria.
Ia memiringkan botol itu, dan membiarkan madu yang kental
tumpah ke pangkuan Bobby.
Bobby mencium baunya yang manis. Cairan yang lengket itu
mengalir ke keningnya. Ia berkedip-kedip agar matanya jangan
sampai terkena. "Jangan, jangan!" Bobby meronta-ronta untuk membebaskan
diri. Tapi talinya terlalu kencang. Ia tidak bisa bergerak.
Sambil bersenandung, Jennilynn menuangkan madu ke kaki
Bobby. "Nah, beres," ujarnya, lalu kembali tersenyum kepada
tawanannya. "Kau kelihatan manis sekali."
Bobby semakin panik. "Apa... apa yang akan kaulakukan?" ia
berseru. Kemudian, di lantai di depan pintu, ia melihat kotak kaca berisi
semut-semut merah. 28 "Silakan Berteriak"
"OH, kau sudah lihat, ya?" ujar Jennilynn sambil berlagak
kecewa. "Sayang sekali. Semut-semut kanibal ini seharusnya jadi
kejutan untukmu." Ebukulawas.blogspot.com
"Bagaimana... bagaimana kau bisa...," Bobby tergagap-gagap.
"Maksudku, kau takkan..."
Jennilynn meletakkan botol madu dan berdiri di depan Bobby.
Sambil tersenyum lebar ia bertolak pinggang dan mengamati hasil
karyanya. "Proyek IPA saudara kembarku ternyata lebih berguna dari
yang disangkanya!" "Jennilynn?jangan!" protes Bobby dengan suara bergetar.
Gadis itu tertawa ketika ia menghampiri pintu dan memungut
kotak kaca di lantai. "Aduh, Bobby, kawan-kawan kecilku ini sudah
kubawa jauh-jauh ke sini. Dan mereka pasti lapar."


Fear Street Kencan Ganda Double Date di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bobby menggeliat-geliut dan meronta-ronta untuk
membebaskan diri. Madu yang lengket mengalir ke mana-mana.
Seluruh tubuhnya gatal-gatal. Tapi ia tidak menggubrisnya. Segenap
perhatiannya tertuju pada Jennilynn, yang semakin mendekat sambil
membawa kotak kaca berisi ratusan semut merah.
"Kalau tidak salah, semut suka madu," kata gadis itu riang.
"Jangan! Kumohon, jangan!"
Jennilynn membuka tutup kotak dan meletakkan kotaknya di
lantai, kemudian berlutut di depan Bobby.
"Kumohon, Jennilynn! Jangan!"
Jennilynn memegang kotak itu dengan kedua tangan, lalu
memiringkannya. Bobby menundukkan kepala sambil menahan napas, ketika
ratusan semut menyerbu kakinya.
Jennilynn mengangkat kotaknya sedikit, dan menumpahkan
semut-semut ke kaki Bobby.
"Jangan! Berhenti!" pekik pemuda.
Tapi Jennilynn malah mengangkat kotaknya tinggi-tinggi dan
mengosongkan isinya ke kepala dan bahu Bobby.
"Bobby, kau penuh semut!" ia berlagak heran. "Wah! Lihat,
tuh! Mereka langsung berpesta pora!"
Ribuan gigitan semut membuat Bobby menggeliat-geliut kalang
kabut. "Aku digigit! Tolong aku, Jennilynn!" ujar Bobby memelas.
"Tolong! Aku digigit!"
Semut-semut itu merayap di seluruh tubuh Bobby yang
berlumur madu. "Tolong aku! Aduh?perihnya!" pekik Bobby.
"Silakan berteriak!" Jennilynn menanggapinya dengan dingin.
Kotak kacanya diletakkan di lantai. "Barangkali kau akan merasa lebih
enak kalau menjerit-jerit."
Ia menuju pintu, membukanya, lalu membalik ke arah Bobby.
"Ayo, jangan malu-malu. Teriak saja. Kau tak perlu takut
mengganggu tetangga. Di sekitar sini tak ada siapa-siapa, kok!"
Dan sambil tertawa riang, ia menghilang lewat pintu.
Bobby tak dapat melakukan apa-apa selain mengikuti sarannya.
Ia membuka mulut dan mulai menjerit-jerit.
29 Jennilynn Kembali "ADUH! Tengkukku! Tengkukku digigit semut!"
Semut-semut merah merayap di mana-mana. Di punggungnya.
Di ketiaknya. Ia menyaksikan serangga-serangga itu meluncur pada madu
yang mengalir pelan, dan ia merasakan ribuan sengatan ketika mereka
menggigit. Karena Bobby menggeliat-geliut kesakitan, ikatan dadanya
semakin kencang. Ia sampai megap-megap untuk menghirup udara.
"Aku... aku tak bisa napas!"
Ia meronta-ronta untuk membebaskan diri. Ia mencondongkan
badannya ke satu sisi, dan mengaduh lebih keras lagi ketika kursinya
terbalik. Dalam posisi tergeletak di tengah genangan madu, Bobby
menendang-nendang. Semut-semut merayap di lehernya. Ia merasakan
kaki mereka di bawah dagunya.
Ia meludah, dan meniup binatang-binatang kecil itu dari
bibirnya. Tapi ketika ia menarik napas, beberapa semut malah masuk
ke mulutnya yang terbuka.
"Ohh, ohhh, ohhh," Bobby mengerang-erang.
Sepertinya ia bisa merasakan setiap gigitan semut, ribuan
sekaligus. Ia digigit di telapak kaki, di belakang lutut, di ketiak.
"Oh, oh!" Dalam posisi terbaring miring, ia terus menendang-nendang dan
meronta-ronta, menarik-narik tali pengikatnya selama berjam-jam.
Paling tidak, rasanya seperti berjam-jam. Semut-semut merayap di
telinganya, di kelopak matanya, masuk ke hidung.
"Ohhh, ohhh." Erangan-erangan tertahan keluar dari mulutnya
yang kering kerontang ketika ia terus menarik-narik. Tapi tali
pengikatnya yang sudah terkena madu tak mau bergeser sedikit pun.
Kemudian, tiba-tiba saja, Bobby berhasil membebaskan sebelah
kakinya. Mula-mula ia sendiri tak percaya. Ia menendang ke depan.
Ya! Ia berbalik badan?dan menarik kakinya yang satu lagi.
Ternyata Jennilynn tidak bisa membuat simpul, ia berkata
dalam hati. Kalau saja talinya tidak berlumuran madu, aku sudah
bebas sejak tadi. Sambil terengah-engah, ia berjuang agar bisa bangkit. Dadanya
serasa meledak. Semut-semut masih merayap di tengkuknya. Ia
merasakan kaki mereka di telinga dan kulit kepalanya.
"Ohh, ohh, ohh!"
Dengan kalang kabut ia melepaskan kedua tangannya dari tali
pengikat. "Ohh. Yes! Yes!"
Dan kemudian ia mulai menepis semut-semut yang menempel
di badannya. Ia menggosok-gosok wajah dan kening, memukulmukul bagian belakang lutut, dan mengusap-usap lengan dan kakinya.
"Aduh, gatalnya minta ampun!"
Ia harus keluar dari situ. Ia harus mencari bantuan.
Bobby mulai mondar-mandir di dalam pondok untuk mencari
kaus kaki dan sepatunya. Tapi sia-sia. Barang-barang itu sudah tidak
ada. "Ah, biarkan saja," ia bergumam. "Aku harus keluar dari sini.
Aku harus ke jalan raya. Mencari bantuan." Jantungnya berdegupdegup ketika ia membalik dan hendak menuju pintu.
"Aduh!" Kakinya tergelincir ketika menginjak genangan madu
yang licin, dan ia jatuh berdebam.
"Aku harus keluar! Aku harus keluar!"
Dengan susah payah ia berdiri dan menghambur keluar.
Di luar ternyata sudah gelap. Gelap dan sejuk.
Berapa lama ia disekap di dalam pondok itu?
Rumput yang lembut menempel pada kakinya yang lengket
ketika ia berlari ke jalan tanah.
"Aku harus mencari bantuan. Mencari tumpangan. Aku harus
pulang." "Aduh!" Sebuah batu tajam melukai kakinya. Tapi Bobby terus
bergegas melintasi rumput, sambil tetap mengusiri semut. Tangannya
basah dan lengket oleh madu yang menempel di kulitnya, serta di Tshirt dan celana pendeknya.
Bobby baru saja mulai menyusuri jalan tanah ketika ia melihat
dua berkas sinar sejajar di depannya. Berkas sinar putih lampu mobil.
Sebuah mobil mendekat ke arahnya.
"Ya, Tuhan!" Seketika Bobby sadar bahwa Jennilynn kembali lagi.
30 Pesta Kejutan APAKAH ia harus lari? Bersembunyi di hutan?
Tak ada waktu lagi. Bobby melindungi matanya dari sorot lampu ketika mobil itu
berhenti di hadapannya. "Hei?Bobby? Itu kau, ya?"
Suara yang memanggilnya?itu bukan suara Jennilynn.
"Bobby? Sedang apa kau di sini?"
Bobby masih melindungi matanya dengan sebelah tangan ketika
sebuah sosok turun dari mobil dan bergegas menghampirinya.
"Bobby? Kau baik-baik saja?"
"Melanie!" seru Bobby. "Ya, ampun! Ba... bagaimana...?"
"Bobby?kenapa kau?" Dalam cahaya lampu mobil, Bobby
melihat Melanie membelalakkan mata. "Apa sih, yang menempel di
badanmu? Dan celanamu?mana celanamu?"
"Jennilynn...," balas Bobby. Suaranya nyaris tak terdengar.
"Jennilynn. Dia..."
"Oh, wow." Melanie menggelengkan kepala sambil menatap
Bobby bingung. "Ayo, naik ke mobil. Cepat. Aku akan mengantarmu
ke rumah sakit." "Jangan. Aku tidak apa-apa, kok," tolak Bobby. "Kita harus ke
polisi. Jennilynn?dia berbahaya."
"Oke," ujar Melanie. "Tunggu. Aku bawa selimut di bagasi.
Biar kugelar dulu di tempat duduk. Jangan duduk dulu." Ia bergegas
ke bagasi dan membukanya. "Apa sih itu, yang menempel di
badanmu?" "Madu," Bobby menjelaskan. "Aku... aku..." Suaranya seakanakan tersangkut di tenggorokannya. Ia tidak sanggup mengatakan apaapa lagi.
Beberapa detik kemudian ia telah menyandarkan punggung
pada selimut yang digunakan Melanie untuk menutupi kursi.
"Bagaimana kau bisa menemukan aku?" ia bertanya.
Pandangan Melanie lurus ke depan ketika ia mengemudikan
mobilnya ke arah jalan raya. "Sebenarnya aku tidak mencarimu," ia
menjelaskan. "Aku sedang membantu Samantha dan Bree. Mereka
sendirian di rumah, dan sore tadi convertible mereka dicuri. Mereka
yakin Jennilynn-lah yang mengambilnya. Mereka minta tolong padaku
untuk mencari mobil mereka. Aku ingat bahwa Jennilynn suka pergi
ke pondok peristirahatan mereka, jadi..."
"Jadi kau akhirnya mengaku bahwa Jennilynn memang ada,"
gumam Bobby getir. "Yeah," balas Melanie pelan. "Aku menyesal, Bobby. Sungguh.
Aku minta maaf. Tapi aku sudah berjanji pada Bree dan Samantha,
takkan memberitahu siapa pun mengenai saudara kembar mereka.
Tapi sekarang sudah tak ada gunanya menjaga rahasia itu."
Bobby diam saja. Sambil termenung-menung ia memperhatikan
ladang-ladang gelap yang mereka lewati.
"Kau benar-benar lengket seluruhnya," kata Melanie tanpa
tersenyum. Bobby menggaruk-garuk kaki. "Gatalnya tidak hilang-hilang."
"Kita langsung saja ke kantor polisi," ujar Melanie sambil
menoleh ke arah Bobby. "Atau menurutmu lebih baik kalau kita
memperingatkan Bree dan Samantha dulu?"
Bobby memikirkannya sejenak. "Mereka mungkin dalam
bahaya," gumamnya. "Jennilynn benar-benar berbahaya. Gila dan
berbahaya." "Barangkali lebih baik kalau kita memperingatkan Bree dan
Samantha dulu, dan setelah itu baru ke polisi," Melanie mengusulkan.
"Yeah. Oke. Ide bagus."
Melanie dan Bobby sama-sama berseru tertahan ketika mereka
melihat convertible putih yang diparkir di tepi jalan di muka rumah
keluarga Wade. "Mo... mobil. mereka sudah kembali. Jangan-jangan Jennilynn
sudah di sini!" ujar Melanie dengan suara gemetar. Ia langsung
membuka pintu mobil. "Cepat, Bobby?jangan sampai terlambat!"
Mereka bergegas ke pintu depan. Gorden-gorden ruang tamu
tertutup rapat. Seluruh rumah tampak gelap. Rumput menempel pada
telapak kaki Bobby. Ia menarik celana pendeknya ke atas. Celana itu
terasa berat dan lengket karena madu yang melekat.
"Bobby?aku takut sekali!" bisik Melanie. Ia membuka pintu
depan tanpa mengetuk dulu, dan mereka langsung menyerbu ke
dalam. Bobby mendengar suara-suara ketika mereka menuju ke ruang
duduk. Langsung saja ia melompat ke ruang duduk. "Jennilynn ada di
sini!" teriaknya memperingatkan Bree dan Samantha. "Awas,
Jennilynn..." Samantha dan Bree tersentak kaget. "Bobby ?apa-apaan sih
kau ini?" seru Samantha sambil membelalakkan mata. "Kau... kau
tidak pakai celana!"
Bobby mendengar suara tawa. Dengan bingung ia memandang
berkeliling. Samantha dan Bree ternyata tidak sendirian. Bobby
melihat Ronnie dan Kimmy duduk di sofa. Beberapa gadis lain duduk
di lantai. Semua menatapnya heran. Mereka menatap badannya yang
berlumur madu, T-shirt dan celana pendeknya yang kotor, dan rumput
yang menempel di kakinya yang telanjang.
Bobby membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tapi
suaranya tidak mau keluar.
"Ada apa ini?" Suara pria memecahkan keheningan. Mr. Wade
melangkah ke ruang duduk. "Bobby?kenapa kau?" ia bertanya.
"Jennilynn! Dia menculik saya!" Bobby cepat-cepat
memberitahunya. "Dia ada di sini sekarang! Di rumah Anda!"
Mr. Wade tampak bingung. "Siapa?"
"Putri Anda yang satu lagi. Jennilynn. Dia kembali!" seru
Bobby. Mr. Wade tetap kelihatan bingung. Ia menatap Bobby dengan
tajam. "Kalau ini semacam lelucon, saya tidak melihat di mana letak
lucunya, Bobby. Kau habis minum, ya?"
"Ini bukan lelucon!" tukas Bobby. "Jennilynn kembali ke sini,
Mr. Wade. Anda tidak perlu berpura-pura bahwa dia tidak ada. Saya
melihatnya. Dia menculik saya!"
"Maaf. Saya tidak punya waktu untuk permainan seperti ini,"
Mr. Wade berkata dengan nada tidak sabar. "Siapa Jennilynn ini?"
"Si kembar ketiga!" Bobby berkeras.
"Anak saya hanya dua," jawab Mr. Wade tegas.
Bobby mendengar suara tawa. Ia kembali memandang
berkeliling, dan mengenali beberapa wajah lagi.
Ada apa ini? ia bertanya dalam hati. Sepertinya semua cewek
yang pernah kukencani berkumpul di ruangan ini!
"Tunggu, Mr. Wade," Bobby memohon. "Dia membawa saya
ke pondok Anda. Jennilynn membawa saya ke sana. Dia
menumpahkan semut kanibal ke tubuh saya! Dia..."
"Hah? Semut apa?" tanya Mr. Wade.
"Semut kanibal!" seru Bobby.
Mr. Wade mengerutkan kening. "Mana ada semut kanibal?"
sahutnya. "Tapi... tapi...," Bobby tergagap-gagap, diiringi suara tawa.
"Silakan periksa pondok peristirahatan Anda kalau Anda tidak
percaya." Mr. Wade memicingkan mata. Kelihatan jelas bahwa ia mulai
marah. "Bobby, kami tidak punya pondok peristirahatan. Dan
Samantha dan Bree bukan kembar tiga! Kau ngawur."
Sekonyong-konyong Bobby teringat bahwa ia harus mendobrak
pintu ketika pertama kali diajak ke pondok itu. Mungkinkah pondok
itu bukan milik keluarga Wade?
"Di mana letak pondok itu?" Mr. Wade bertanya dengan curiga.
"Saya... saya tak tahu," jawab Bobby. "Di tengah hutan. Di
ujung sebuah jalan tanah." Ia berpaling kepada Melanie, yang telah
mengambil tempat di sofa bersama Ronnie dan Kimmy. "Melanie tahu
tempatnya. Tolong jelaskan, Mei," mohon Bobby.
"Sori, Bobby," balas Melanie. "Aku tidak tahu apa yang
kaumaksud." "Hah?" Bobby terbengong-bengong. "Kau bohong! Bohong!"
"Tenang, Bobby," Mr. Wade memperingatkannya. "Kalau kau
habis minum, lebih baik kau pulang saja." Ia menoleh kepada kedua
putrinya. "Kalian tahu apa yang dimaksudkan?"
"Tidak, Daddy," Bree langsung menyahut.
Samantha angkat bahu. "Aku juga tak tahu."
"Mereka bohong!" jerit Bobby. "Anda harus percaya pada saya.
Mungkin Jennilynn itu memang tidak ada. Tapi salah satu dari mereka
membawa saya ke sebuah pondok. Naik mobil."


Fear Street Kencan Ganda Double Date di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nanti dulu," Mr. Wade memotong. "Bree dan Samantha belum
punya SIM." "Salah satu dari mereka membawa saya ke sana," Bobby
berkeras. "Yang bertato. Dia menculik saya dan..."
"Tato?" Suara Mr. Wade terdengar meng gelegar di ruang
duduk yang sempit. "Awas saja kalau salah satu dari mereka bertato!"
"Coba lihat pundak mereka," desak Bobhv sambil menuding
kedua gadis itu. "Yang bertato?dia yang melakukannya!"
"Coba perlihatkan pundak kalian," Mr. Wade berkata dengan
tegas. "Daddy, ini tak masuk akal," ujar Bree. "Bobby sudah gila."
"Saudara kembar ketiga dan semut kanibal, huh," gumam
Samantha. "Dia butuh pertolongan, Dad."
Dengan patuh keduanya menarik kerah T-shirt masing-masing.
Tak ada tato. Pesawat telepon berdering. "Bobby, sebaiknya kau pulang saja
dan mandi dulu," ujar Mr. Wade. Kemudian ia bergegas pergi untuk
mengangkat telepon. "Ini pasti ulah kalian!" jerit Bobby begitu Mr. Wade
menghilang. "Kalian akhirnya tahu bahwa aku berkencan dengan
kalian berdua? dan kalian merencanakan semua ini! Kalian dan
Melanie!" Samantha dan Bree saling berpandangan dengan wajah tak
berdosa. "Sejak sore tadi kami di sini bersama teman-teman kami,
Bobby," kata Samantha. "Kami sama sekali tidak ke luar rumah."
Sekonyong-konyong Melanie berdiri. "Aku sudah
memperingatkan kau," katanya dengan suara direndah-rendahkan.
"Inilah ganjaran untukmu karena mempermainkan Bree dan Samantha
dan kami semua. Kau bukan Bobby the Man, kau Bobby si
Brengsek!" Gadis-gadis di ruangan itu?gadis-gadis yang dikencani lalu
dicampakkan oleh Bobby ?langsung bersorak dan bertepuk tangan.
"Dengan mengencani Samantha dan Bree sekaligus, kau
akhirnya melewati batas," ujar Kimmy geram.
"Karena itulah kami memutuskan untuk membalas
perbuatanmu," Ronnie menimpali.
"Aku senang sekali karena bisa membuatmu kebingungan
dengan bertingkah seperti gadis liar," sahut Samantha sambil nyengir.
"Kau pasti menyangka bahwa sifat Bree dan aku bertolak belakang!"
"Tapi kau agak keterlaluan waktu mencuri di mall," kata Bree
kepada Samantha. "Yeah, memang sih," aku Samantha. "Tapi coba kalau kau
sempat melihat tampang Bobby waktu itu...."
"Semoga kau menyukai pesta kejutanmu," Melanie angkat
bicara, dan ia pun tertawa puas.
"Ini pesta terasyik yang pernah kuhadiri!" salah satu gadis lain
berseru. "Penampilanmu boleh juga, Bobby!" temannya berkomentar.
Dan semuanya kembali tertawa.
"Maksudnya... kalian tidak suka padaku?" seru Bobby seakanakan tidak percaya.
Pertanyaannya disambut dengan tawa cemooh.
Bobby hendak protes. Tapi ia sadar tak ada gunanya. Sambil
menundukkan kepala ia membalik dan meninggalkan ruangan. Tawa
mereka terus terngiang-ngiang di telinganya.
************ Di sekolah beberapa hari kemudian, Bobby berjalan ke arah
ruang musik. Ia sudah hampir tiba di sana ketika teringat bahwa bandnya sudah bubar. Paul rupanya lebih suka bergabung dengan band
lain. Dan Arnie akhirnya sadar bahwa ia tak punya bakat musik,
sehingga ia menjual drum-nya.
Bobby membelok ke pintu keluar, tapi langsung berhenti ketika
Bree dan Samantha menghampirinya. "Nih," ujar Bree. Ia
menyodorkan sebuah amplop kepada Bobby.
Bobby segera membaca pesan yang tertulis di belakang amplop
itu: "Anak kembar selalu berbagi rahasia. Sejak awal kami sudah
tahu semuanya. Bye."
"Bye!" Bree dan Samantha berseru. Mereka melambaikan
tangan dan membelok di ujung lorong.
Sambil mendesah Bobby membuka amplop itu.
Di dalamnya, ia menemukan sebuah gambar tempel. Gambar
tempel itu berbentuk kupu-kupu mungil berwarna biru.END
Petualangan Disirkus Asing 1 Pendekar Rajawali Sakti 29 Mutiara Dari Selatan Petaka Gelang Kencana 1
^