Pencarian

Kencan Pertama 1

Fear Street Kencan Pertama First Date Bagian 1


1 "KITA tidak bisa melihat keluar, dan orang di luar tidak bisa
melihat ke dalam," gadis itu berkata sambil menyandarkan kepala ke
pundak pemuda di sebelahnya. "Kalau begini, dunia serasa milik kita
berdua." Si pemuda tersenyum padanya dan memeluknya dengan erat.
Kemudian lama mereka berciuman. Gadis itu memejamkan mata. Si
pemuda menatap kaca depan mobilnya yang berselubung embun, dan
seakan tertutup selimut putih.
Uh, panasnya, katanya dalam hati. Ia kembali mencium gadis di
sampingnya. Aku tidak bisa bernapas. Aku perlu udara segar. Atau aku bakal mati di sini.
Si gadis melepaskan diri dari pelukan pemuda itu, lalu
menatapnya sambil tersenyum manja. "Joe," ia berbisik.
Pemuda itu tidak menoleh. Pandangannya tetap tertuju lurus ke
depan. Ia membayangkan kegelapan malam di luar, rumput yang
tinggi dan basah, pohon-pohon yang sunyi.
Tidak bisa bernapas. Tidak bisa bernapas.
Gadis itu menempelkan keningnya ke dada si pemuda dan
mendesah perlahan. Rambutnya wangi sekali, seperti jeruk. Aroma
lipstiknya masih terasa pada bibir si pemuda?manis, sekaligus asam.
Oh, aku lupa lagi siapa namanya, pemuda itu berkata dalam
hati. Ia merangkul teman kencannya dengan erat, dan berusaha
mengingat-ingat namanya. Candy. Ya. Candy anu atau siapalah.
Aduh, panas sekali di sini.
Rasanya seperti... seperti terperangkap. Terperangkap di dalam
mobil. "Aku belum pernah diajak ke sini," Candy berkata sambil
menempelkan pipinya ke jaket kulit si pemuda.
Aku bakal mati lemas. Aku bakal mati lemas.
Kenapa udaranya panas begini?
Pemuda itu memindahkan lengannya, dan meraih gagang
jendela. Ia mulai membuka jendela, tapi gadis itu mencegahnya.
"Jangan. Jangan. Nanti kelihatan orang lain."
"Tidak ada siapa-siapa selain kita," si pemuda menyahut. "Kita
beruntung. Malam ini tidak ramai di sini." Ia menghirup udara yang
sejuk sebelum menutup jendela. Sempat dilihatnya bulan melayang
rendah di langit malam. "Aku suka padamu, Joe," ujar Candy, ketika pemuda itu
kembali merangkul pundaknya.
"Aku juga suka padamu," si pemuda menyahut secara otomatis.
Seketika ia menyesal karena tidak mengucapkannya dengan nada yang
lebih meyakinkan. Diciumnya telinga gadis itu.
Aku berkeringat, ia menyadari. Sekarang sudah musim gugur,
tapi aku berkeringat. Dadaku sesak. Aku bakal mati sesak gara-gara cewek ini.
"Aku suka cowok dengan rambut hitam berombak," bisik
Candy. Dengan lembut ia membelai-belai rambut teman kencannya.
Pemuda itu tidak menyukainya.
Ibunya biasa membelai-belai rambutnya seperti itu.
"Ayo, kita jalan-jalan," usulnya sambil membuka pintu.
"Tunggu. Kau yakin tempat ini aman untuk jalan-jalan?" tanya
Candy. Matanya yang gelap tampak berbinar-binar.
Pemuda itu angkat bahu. "Entah. Aku sendiri juga jarang ke
sini." Rainer's Point sudah lama dikenal sebagai tempat pacaran anakanak Central High. Jalan kecil yang menuju ke sana berakhir di
lapangan berumput, yang melandai ke tepi jurang yang curam. Di
seberang jalan ada hutan lebat.
Suasananya hening. Tak ada suara sama sekali, kecuali bunyi
embusan angin yang menggoyang-goyang dedaunan.
"Ayo," pemuda itu mendesak. Ia meremas tangan teman
kencannya. "Kau tak perlu khawatir. Aku akan melindungimu."
Candy tertawa cekikikan. Si pemuda membuka pintu. Seketika lampu di atas pintu
menyala. "Tunggu, Joe," ujar Candy sambil memungut sesuatu dari
lantai. "Dompetmu jatuh."
"Oh. Thanks." Pemuda itu mengulurkan tangan.
Dompetnya membuka. Si gadis mendadak membelalakkan mata
ketika melihat SIM yang terselip di dalam dompet itu.
"Joe...?" Ia menoleh, dan menatap pemuda itu dengan
pandangan bertanya-tanya.
Oh-oh, ini dia, si pemuda menyadari. Jantungnya berdegupdegup.
"Joe Hodge," Candy berkata, sambil kembali mengamati SIM di
tangannya. "Kaubilang namamu Joe Hodge. Tapi di sini tertulis
Lonnie Mayes." "Ehm... itu SIM temanku," ujar pemuda itu.
Tidak bisa napas. Dadaku sesak. Sesak. Pintu mobil sudah kubuka, tapi aku tetap tidak bisa napas.
Jangan bikin aku sesak, Candy. Awas, jangan bikin aku sesak.
Gadis itu menyibakkan rambutnya yang panjang dan berwarna
cokelat. Roman mukanya berkesan curiga. "Tapi ini fotomu," katanya
sambil menunjuk foto pada SIM.
Pemuda itu menghela napas.
Sayang sekali, pikirnya. Kenapa ia mesti membuatku sesak?
Kenapa ia menuduhku? "SIM-ku hilang," ia menjelaskan. Diambilnya dompetnya dari
tangan Candy. "Jadi aku pakai yang ini." Ia menyelipkan dompet ke
dalam kantong jaket. "Jadi kau memang Joe Hodge? Bukan Lonnie Mayes?" Candy
bertanya sambil mengerutkan kening.
Sayang sekali, kata si pemuda dalam hati.
Sayang, sayang, sayang. Pintu mobil dibukanya lebar-lebar. Setelah turun, ia
memasukkan kedua tangannya ke dalam kantong jaket dan
meregangkan otot-ototnya. Kemudian ia menarik napas dalam-dalam,
membungkuk, dan memandang ke dalam mobil sambil tersenyum
menenangkan. "Ayo, Candy. Kita jalan-jalan. Sebentar saja. Suasananya
nyaman sekali di luar. Dan selain kita tidak ada siapa-siapa. Kita
berduaan saja di sini."
Ya, tak ada siapa-siapa, pikirnya. Otot-ototnya mengencang.
Tak ada siapa-siapa selain kita.
Jantungnya berdentum-dentum. Ia merasa siap.
Candy menyusul turun, dan menutup pintu. Lampu di dalam
mobil padam, dan mereka berdiri dalam kegelapan.
Dengan langkah panjang si pemuda melintasi lapangan dan
menghampiri tepi jurang. Embun dari rumput yang panjang
membasahi sepatunya. Jurang itu gelap gulita. Tak ada apa-apa selain
kegelapan yang pekat. Candy berdiri di samping teman kencannya, dan meraih tangan
pemuda itu. Telapak tangannya sendiri terasa panas dan basah karena
keringat. Ia memandang ke jurang yang menganga.
"Mundur sedikit, ya?" bisiknya dengan nada memohon. "Aku
gamang kalau berdiri di tempat tinggi."
"Oke," sahut pemuda itu. Ia mulai menggiring teman kencannya
ke arah pepohonan di seberang jalan. Mereka berjalan pelan-pelan
sambil bergandengan tangan.
Sayang sekali. Sayang sekali.
"Berapa umurmu?" tanya gadis itu tiba-tiba.
Dua puluh, kata si pemuda dalam hati.
"Tujuh belas," jawabnya.
"Berarti SIM-mu masih baru, dong? Kok sudah hilang? Kau
pernah ditilang atau terlibat kecelakaan?"
Kau yang bakal mengalami kecelakaan, pikir si pemuda.
Kecelakaan fatal. Coba kalau kau tidak membuatku sesak.
Coba kalau warna rambutmu tidak sama dengan warna
rambut?dia. "Tidak. SIM-ku jatuh dari dompet," pemuda itu menjawab
pelan-pelan. Gadis itu dirangkulnya erat-erat ketika mereka memasuki hutan.
"Aku suka padamu, Candy," bisiknya.
Sekali lagi ia mencium wangi jeruk dari rambut gadis itu.
Betulkah ia menyukainya? Ataukah ia berbohong? Ia sendiri tidak tahu. Ia sendiri tidak bisa memastikannya.
Ia hanya bisa menyayangkan bahwa gadis itu harus mati.
Sayang sekali. Beberapa menit kemudian ia kembali ke mobilnya. Ia berjalan
dengan tenang, pelan-pelan. Seorang diri. Jantungnya berdegupdegup, tapi selain itu ia merasa baik-baik saja.
Baik-baik saja. Membunuh terasa begitu mudah baginya.
Ia menarik ritsleting jaket kulitnya sampai ke kerah, lalu
menyelinap ke balik kemudi. Mesin mobilnya langsung menyala
ketika ia memutar kunci kontak. Ia menghidupkan defroster dan
menunggu sampai kaca depan bersih dari embun.
Defroster mengembuskan udara yang dingin dan kering.
Pemuda itu tertawa dengan lega.
Embun pada kaca depan mulai menguap.
"Joe Hodge," ia berkata. Aku bilang namaku Joe Hodge.
Kenapa aku harus memberitahukan namaku yang
sesungguhnya? Bagaimanapun juga, ini pertama kali aku berkencan
dengan dia. Kencan pertama. Sebenarnya ia tidak bermaksud membunuhnya malam ini.
Ia menyukainya. Betul-betul menyukainya.
Gadis itu berbeda dari yang lain. Yang mirip cuma rambutnya.
Rambutnya yang cokelat dan panjang.
Sebenarnya ia tidak perlu mati.
Tapi kenapa gadis itu harus membuatnya sesak? Kenapa ia
harus menyibakkan rambutnya seperti itu? Kenapa ia harus melihat
SIM-nya? Kenapa ia harus bertanya macam-macam?
Kenapa ia tidak membiarkannya bernapas?
Sebenarnya ia tidak perlu mati. Sebenarnya pemuda itu tidak
bermaksud membunuhnya. Ia tak pernah membunuh tanpa rencana. Ia selalu membuat
rencana dulu sebelum menghabisi korbannya.
Tapi kini gadis itu sudah mati.
Aku pasti sudah jauh dari sini pada saat mayatnya ditemukan,
kata si pemuda dalam hati.
Aku tidak meninggalkan jejak. Tidak ada siapa-siapa di sini.
Aku pasti lolos. Tapi paling tidak, aku sudah bisa bernapas lagi.
Kaca depan mobilnya sudah bersih. Pemuda itu menyalakan
lampu depan dan mengarahkan mobilnya ke jalanan.
Ia hendak berangkat ke kota berikut.
Cepat atau lambat, ia harus pindah tempat.
Sebenarnya ia tidak menyukai situasi itu, tapi ia tidak punya
pilihan lain. Ia harus bagaimana kalau gadis-gadis berpenampilan seperti
itu? Ia harus bagaimana kalau mereka mencecarnya dengan
pertanyaan, dan tidak membiarkannya bernapas?
Pemuda itu memindahkan tuas persneling otomatisnya ke posisi
Park, lalu meraih ke dalam laci dasbor.
Tangannya tidak gemetaran.
Bagus. Ia bisa bernapas lagi, dan tangannya tidak gemetaran.
Ia menyalakan lampu di atas pintu dan membuka peta jalan.
Pandangannya menelusuri peta, lalu berhenti setelah menemukan kota
berikut. Shadyside. Berkali-kali nama itu diucapkannya dalam hati.
Shadyside. Sepertinya menarik juga. Ia mengembalikan peta tua itu, mematikan lampu di pintu, lalu,
sambil bersenandung pelan, melaju menembus kegelapan yang dingin
dan hening. 2 SAKSOFON yang ditiup Chelsea Richards mengeluarkan bunyi
sumbang. Dengan kesal ia mencabut alat musik itu dari bibirnya. "Aku
bosan begini terus," katanya datar tanpa emosi.
"Jangan mulai lagi," ibunya berkomentar. Mereka berada di
ruang tamu yang kecil. Ibunya menurunkan koran dan melirik tajam
ke arah Chelsea. Gadis itu langsung tahu apa artinya: "Aku sedang
tidak berminat mendengarkan keluhan-keluhanmu."
Chelsea memencet-mencet tombol saksofon sambil duduk
membungkuk di kursi lipat yang digunakannya untuk berlatih.
Kepalanya hampir membentur buku latihan pada standar di
hadapannya. "Kadang-kadang aku merasa bukan bagian dari keluarga
ini," ia menggerutu, tanpa menggubris pandangan ibunya tadi. "Aku
merasa seperti anak angkat, atau sebangsanya."
"Kau bukan anak angkat. Kau bayi tabung," Mrs. Richards
berkelakar dari balik korannya. "Sudah selesai berlatih?" ia bertanya
penuh harap. "Mom tidak suka aku bermain saksofon," Chelsea menuduh
ibunya. "Oh. Rupanya kau bermain saksofon? Kupikir kau menyiksa
alat yang malang itu!" balas Mrs. Richards. Ia tertawa.
Chelsea sudah terbiasa menghadapi lelucon-lelucon ibunya
yang sering membuat merah telinga. Kadang-kadang gurauan ibunya
itu terasa menghibur, tapi kali ini tidak. "Mom kira ini lucu, ya?"
Chelsea berseru dengan gusar.
Aku tidak cantik seperti Mom, dan aku juga tidak punya rasa
humor seperti dia, gadis itu mengeluh dalam hati.
"Kalau aku bukan anak angkat, kenapa aku pendek dan gemuk,
padahal Mom tinggi dan langsing?" tanya Chelsea. Ia mencabut ujung
saksofon-nya, dan membuang air liur yang terkumpul.
"Sudahlah, Chelsea!" ibunya berseru dengan jengkel. Ia
menaruh korannya dan menggelengkan kepala. "Kenapa kau mesti
mempersoalkan hal yang itu-itu juga?"
"Aku cuma berusaha mengobrol dengan Mom," sahut Chelsea
dengan ketus. "Biasanya kita cuma sempat bicara satu-dua kata
sebelum Mom berangkat kerja."
"Aduh, kau ini kok mengomel terus, sih?" ujar ibunya. "Kau
tahu sendiri, kan, bahwa Dad dan Mom harus bekerja keras.
Memangnya kau sudah dapat uang berapa dengan bermain saksofon?"
"Hei, aku juga bekerja di restoran Dad. Aku bisa cari uang
sendiri," balas Chelsea. "Jangan bawa-bawa soal bermain musik. Ini
satu-satunya hiburan bagiku."
Satu-satunya, Chelsea mengulang dalam hati.
Satu-satunya hiburan dalam hidupku yang berengsek ini.


Fear Street Kencan Pertama First Date di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kenapa sih, kau selalu berkeluh-kesah belakangan ini?" tanya
Mrs. Richards. Ia meletakkan korannya di meja dan menghampiri
putrinya. Chelsea angkat bahu. "Aku tidak kerasan di sini. Kenapa sih
kita harus pindah ke Shadyside? Dan kenapa kita harus tinggal di
rumah yang bobrok ini?"
"Jangan mengeluh tentang rumah ini. Nanti akan kita perbaiki,"
ujar Mrs. Richards sambil bersedekap. "Dari dulu Dad sudah
berangan-angan membuka restoran sendiri. Kepindahan kita ke
Shadyside merupakan kesempatan emas bagi Dad. Bagi kita semua."
"Anak-anak di sekolah sering bercerita tentang Fear Street.
Menurut mereka, di jalan kita ini sering terjadi hal-hal yang aneh."
"Hal-hal aneh terjadi di mana-mana," ibunya menandaskan. Ia
memandang keluar. Lapisan awan sudah mulai terkuak. Cahaya
matahari sore masuk lewat jendela.
Chelsea membongkar saksofon-nya. Dengan hati-hati ia
menyimpan masing-masing bagian, lalu menutup kotaknya.
"Kenapa rambutku tidak lurus seperti rambut Mom?" Chelsea
kembali bertanya. Sebenarnya ia sadar bahwa ia seharusnya berhenti
mengomel, namun ia tak sanggup mengalihkan pembicaraan ke lain
topik. "Kenapa rambutku keriting begini? Dan kenapa warnanya harus
cokelat?" "Kau ingin mengubah warna rambutmu?" tanya ibunya. "Itu
mudah sekali." "Dan wajahku? Bagaimana aku bisa mengubah wajahku?"
Chelsea berseru, sambil menatap cermin yang tergantung di dinding di
samping pintu masuk. Hidungku terlalu lebar dan daguku terlalu kecil, pikirnya untuk
kesejuta kali. "Chelsea, mungkin kau tidak sadar, tapi kau gadis yang sangat
menawan," ujar ibunya, masih dengan bersedekap. "Kalau kau bisa
mengurangi berat badanmu, sedikit saja, dan mau memakai lipstik..."
Chelsea bangkit sambil mendengus. Ibunya mundur selangkah
karena terkejut. "Sudahlah, Mom! Jangan bilang aku menawan. Itu yang selalu
dikatakan kepada orang yang tidak menawan. Kenapa Mom tidak
bilang saja bahwa aku punya kepribadian yang menarik? Itulah yang
selalu dikatakan kepada gadis-gadis bertampang jelek. Mereka punya
kepribadian yang menarik."
"Sebenarnya, tak ada masalah dengan tampangmu. Tapi soal
kepribadianmu?hmm, itu soal lain," kata ibunya dengan gaya
pelawak profesional. "Mom...!" Chelsea berseru. Ia mulai tidak bisa mengendalikan
diri. "Kenapa sih, Mom harus selalu bercanda?"
Mrs. Richards maju beberapa langkah, dan memeluk putrinya
dengan kikuk. Chelsea terkejut. Ibunya tidak biasa memperlihatkan
kasih sayangnya dengan cara seperti itu. Chelsea bahkan tidak ingat
kapan ia terakhir dipeluk ibunya.
"Mom... maafkan aku, Mom," ujar Chelsea, tanpa tahu pasti
kenapa ia minta maaf. "Ssst...," Mrs. Richards menempelkan jari telunjuk ke bibir
Chelsea. Tapi kemudian ia mundur selangkah. "Mom mengerti," ia
berkata sambil menatap mata putrinya. "Kau harus pindah ke kota
yang baru, dan harus mencari teman baru di sekolah yang baru juga.
Itulah yang membuatmu begitu?uring-uringan."
Chelsea mengangguk, dan merenungkan ucapan ibunya.
"Dan kau kesal karena Dad selalu sibuk di restoran dan Mom
selalu mengurus pasien di panti jompo, bukannya menemanimu di
rumah. Tapi bagaimana lagi, Chelsea? Ini kesempatan emas bagi kita.
Terutama bagi Dad. Kalau dia berhasil menjalankan restoran ini, dia
akan bahagia sekali. Dan kita bisa melunasi hutang-hutang kita."
Mrs. Richards menyelipkan kedua tangan ke dalam kantong
celana jinsnya, dan mulai berjalan mondar-mandir, "jangan rendah
diri. Itu saja yang Mom minta," katanya kepada Chelsea. "Kau boleh
kesal karena terpaksa pindah kota, tapi jangan sekali-kali kauragukan
dirimu. Chelsea kembali melirik ke cermin. Mom enak saja bicara
begitu, pikirnya dengan sedih. Ia jangkung dan cantik. Tampangku
seperti sapi. Ebukulawas.blogspot.com
"Oke, Mom," katanya dengan nada riang yang dibuat-buat.
"Mom benar. Maafkan aku."
Roman muka ibunya mencerminkan rasa khawatir. "Kau sudah
dapat teman baru di sini, bukan?"
Chelsea mengangguk. "Nina Darwin."
"Kenapa tidak kautelepon saja dia?" Mrs. Richards
mengusulkan. "Anaknya baik. Dan sepertinya dia banyak teman. Dia
pasti bisa memperkenalkanmu kepada anak-anak yang lain."
Ia menatap arlojinya. "Oh. Astaga. Sudah hampir terlambat.
Mom berangkat dulu, ya." Dikecupnya kening Chelsea dan, setelah
meraih gantungan kunci serta dompet dari meja di ruang depan, ia
bergegas keluar. Chelsea menghela napas. Kenapa sih aku ini? ia bertanya dalam hati. Mom benar. Aku
tidak boleh terus-menerus menyesali nasib.
Ia membawa saksofon-nya ke kamar, dan menyimpannya di
dalam lemari. Kemudian ia melepaskan sweter putihnya, yang tibatiba terasa panas dan tidak nyaman, serta mencari baju yang lebih
sejuk. Aku harus keluar dari rumah ini, pikirnya. Ia mengambil kaus
oblong berwarna hijau cerah dari laci. Mungkin aku akan merasa lebih
enak kalau sudah bertemu Nina.
Rumah Nina Darwin berjarak beberapa blok dari rumah
keluarga Richards, kira-kira sepuluh menit berjalan kaki. Chelsea
berkenalan dengannya ketika mengikuti latihan marching band
Shadyside High. Perkenalan mereka terjadi tanpa disengaja.
Betul-betul tanpa disengaja.
Nina bermain suling, dan mereka bertabrakan dalam latihan
pertama seusai sekolah. Saksofon Chelsea penyok, sementara lutut
Nina lecet sedikit. Tapi selain itu, keduanya tidak mengalami cedera.
Kejadian tersebut menjadi awal persahabatan mereka, meskipun
selama latihan Nina tidak mau dekat-dekat dengan Chelsea.
Nina pendek dan tegap. Hidungnya mungil, rambutnya lurus
dan berwarna pirang menjurus putih. Berbeda dengan Chelsea, ia
selalu santai dan riang. Dan sepertinya ia punya sejuta teman.
Tampangnya seperti anak dua belas tahun, Chelsea kadang
berkata dalam hati. Kalau aku jalan bersama dia, orang-orang pasti
menyangka bahwa aku ibunya!
"Jangan rendah diri," Chelsea berkata keras-keras, mengulangi
nasihat ibunya. Nina teman yang baik. Satu-satunya teman yang dimiliki
Chelsea di Shadyside High sampai saat ini.
Jadi jangan cari perkara dengan dia, Chelsea memperingatkan
dirinya sendiri. Perasaan Chelsea mulai lebih enak ketika ia berjalan ke rumah
Nina. Langit tampak cerah, dan udara terasa kering dan nyaman.
Daun-daun di pohon-pohon baru mulai berubah warna. Beberapa
rumah di Fear Street kelihatan tua dan tak terurus, tapi tak ada yang
berkesan menakutkan seperti yang diceritakan anak-anak di sekolah.
Ketika Chelsea membelok ke jalan rumah Nina, ia dilewati
sebuah mobil. Jendela mobil itu terbuka lebar, dan Chelsea mendengar
musik berdentum-dentum. Chelsea mengenali beberapa teman
sekolahnya di dalam mobil tersebut. Mereka tertawa dan bernyanyi,
dan mereka terus melaju tanpa menoleh ke arah Chelsea.
Rumah Nina?sebuah rumah memanjang bergaya ranch?
terletak di ujung pekarangan rumput yang terjal. Meskipun sudah
musim gugur, rumputnya baru dipotong.
Begitu Chelsea sampai di teras depan, pintu rumah itu
membuka. Nina muncul, diikuti pacarnya, Doug Fredericks, pemuda
tampan berambut gondrong dengan senyum yang menyenangkan.
Nina terbengong-bengong ketika melihat Chelsea. "Chelsea!"
serunya. "Kau dari mana?"
"Dari rumah," jawab Chelsea sambil menunjuk.
"Hai," ujar Doug. Ia menyuruh Nina bergeser sedikit, supaya ia
bisa menutup pintu. "Aku tidak tahu kalau..." Nina mulai bicara.
"Mestinya aku telepon dulu," ujar Chelsea cepat-cepat.
"Kami baru saja mau ke rumah sepupu Doug," kata Nina.
''Kenapa kau tidak ikut saja?"
"Yeah. Ikut saja," Doug menambahkan, lalu segera menuju ke
mobilnya, Toyota berwarna merah mengilap. "Kami cuma mau
ngobrol-ngobrol, kok." '
"Ehm, tidak usah," Chelsea menolak. "Trims. Nanti aku telepon
ke sini." "Oke." Nina angkat bahu. "Tapi ikut saja, deh," ia masih
berusaha membujuk. Ikut saja, hati nurani Chelsea berbisik.
Tapi kemudian ia mendengar suara lain: Jangan, kau cuma akan
merusak suasana. "Lain kali saja," ujar Chelsea.
Doug sudah duduk di mobilnya. Ia membunyikan klakson. Nina
segera berlari. Beberapa detik kemudian mereka sudah berangkat.
Chelsea berjalan pulang sambil kembali menyesali nasibnya
yang malang. Doug menekan klakson dan Nina langsung lari, pikirnya dengan
getir. Aku juga bakal lari kalau aku punya pacar.
Punya pacar? Punya teman kencan saja aku sudah bersyukur,
katanya dalam hati. Umurku sudah lima belas tahun, dan aku masih mendambakan
kencan pertama. Tiba-tiba Chelsea mendengar sebuah mobil berhenti di
belakangnya. Ia langsung berhenti dan menoleh ketika mendengar
suara cowok berseru, "Hei, bagaimana kalau kita berkencan?"
3 CHELSEA membalik dan melihat empat pemuda cengar-cengir
di dalam sedan Honda Civic. Rambut pemuda yang duduk di samping
pengemudi dikuncir, dan di sebelah telinganya ada anting berlian. Ia
mengulurkan tangan dari jendela yang terbuka, seakan-akan hendak
meraih Chelsea. "Bagaimana, setuju?"
Chelsea mengerutkan wajah, lalu meninggalkan mereka dengan
langkah yang panjang dan cepat.
Mobil itu terus menguntitnya.
"Bagaimana, nih?" pemuda tadi mengulangi. "Aku lagi cari
teman kencan." "Yeah, di sini masih banyak tempat, kok," temannya
menimpali. Chelsea mendengar mereka tertawa terbahak-bahak.
Ia terus berjalan sambil mempercepat langkah. Honda Civic itu
tetap berada di sampingnya.
Pemuda-pemuda itu kembali tertawa. Salah satu dari mereka
meniru bunyi orang berciuman.
"Ayo, dong. Kami anak baik-baik," si rambut kuncir berkata
sambil menyeringai. Ia masih mengulurkan tangan lewat jendela.
"Ya, kami anak baik-baik," temannya berseru dari bangku
belakang. Tawa mereka meledak-ledak.
Dengan gusar Chelsea berbalik. "Jangan ganggu aku!"
hardiknya sambil memelototi keempat pemuda itu.
"Ah, jangan marah begitu, dong!" kata si pengemudi.
"Kau tidak mau beramah-tamah dengan kami?" salah satu
temannya berseru. Semuanya tertawa. "Jangan macam-macam..." Chelsea mulai berkata.
"Ooh, dia mulai panas," komentar si pengemudi.
Chelsea sadar bahwa jantungnya berdegup kencang. Semula ia
memang kesal, tapi kini ia mulai ngeri.
Mereka cuma anak iseng, katanya dalam hati. Cepat atau lambat
mereka akan pergi kalau tidak kutanggapi.
Chelsea berharap dugaannya benar. Ia tidak berani
membayangkan kemungkinan bahwa mereka memang bermaksud
jahat. Ia menatap ke dalam mobil, dan mengamati wajah keempat
pemuda di dalamnya. Tak satu pun dikenalinya. Chelsea yakin mereka
bukan murid Shadyside High.
"Ayo, kita berkenalan dulu," si rambut kuncir mengajak sambil
berusaha menjangkau tangan Chelsea, sementara temannya yang
duduk di balik kemudi merapatkan mobil ke tepi trotoar.
"Tidak!" Chelsea memekik, dan langsung menghindar.
Keempat pemuda itu kembali terbahak-bahak.
"Jangan ganggu aku!" Chelsea membentak.
Salah satu dari mereka menjentikkan puntung rokok menyala ke
arah Chelsea. Puntung itu mengenai sepatunya. Chelsea mulai berlari.
Tawa mereka terngiang-ngiang di telinganya.
Anak berandal, ia berkata dalam hati. Mereka cuma anak
berandal. Chelsea berlari sekencang mungkin, menyerempet semaksemak dan pagar tanaman yang membatasi pekarangan-pekarangan di
sisi trotoar. Napasnya tersengal-sengal. Ia berlari sambil pasang
telinga, kalau mobil tadi berhenti dan salah satu dari mereka turun dan
mengejarnya. Begitu Honda Civic itu melewatinya sambil membunyikan
klakson, Chelsea berhenti untuk menarik napas. Ia masih dicekam
perasaan ngeri. Lututnya masih gemetaran, dan jantungnya pun masih
berdegup-degup. Mereka sudah pergi, pikirnya sambil memperhatikan mobil itu
membelok di ujung jalan. Ia merasa lega, tapi sekaligus sedih sekali.
Kalau saja keberuntungan datang padaku.
Kalau saja ada cowok yang menyukaiku.
************* Pemuda itu mendapat tempat di samping Chelsea. Ia murid baru
di Shadyside High, dan mengisi satu-satunya tempat kosong di ruang
kelas, di baris paling belakang di samping keranjang sampah.
Chelsea memperhatikan pemuda itu berjalan ke arahnya. Ia
berjalan dengan cepat sambil mendekap ransel, tanpa berani
bertatapan dengan anak-anak yang lain. Dan ia masih mengenakan
jaket kulit. Kelihatannya ia belum kebagian locker, pikir Chelsea.
Tinggi dan berat badannya sedang-sedang saja. Matanya
berwarna gelap, rambutnya hitam ikal. Ia menoleh dan tersenyum
malu-malu kepada Chelsea ketika duduk. Chelsea segera melihat
lengannya yang berotot dan sepertinya tidak seimbang dengan
tubuhnya secara keseluruhan.
Pemuda itu memergoki Chelsea memandang ke arahnya, dan
Chelsea cepat-cepat menoleh ke depan.
Will Blakely. Itulah nama yang disebutkan Mr. Carter tadi, ketika ia
memperkenalkan anak baru itu.
Orangnya keren juga, pikir Chelsea. Sekali lagi ia melirik.
Pemuda itu sedang menundukkan kepala. Pipinya tampak merah.
Chelsea segera menyimpulkan bahwa anak itu pemalu sekali.
Ia ingin mengucapkan halo atau selamat datang atau apa saja.
Tapi lidahnya terasa kaku.


Fear Street Kencan Pertama First Date di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku sendiri juga pemalu, pikir Chelsea. Aku tidak suka jadi
pemalu! Mr. Carter sedang menyampaikan pengumuman demi
pengumuman. Tapi karena bicaranya kelewat cepat, hampir
setengahnya tak dipahami oleh Chelsea. Ketika guru itu akhirnya
menaruh catatannya, ia segera memandang berkeliling untuk mencari
kursi kosong. "Ah, semuanya hadir," ia berkata sambil membubuhkan tanda
tangannya pada lembar absensi. Kacamatanya merosot di hidungnya
yang panjang. "Kalau tidak salah hari ini ada latihan kebakaran.
Mudah-mudahan kalian bukan orang yang mudah gugup."
Rasa humor Mr. Carter juga termasuk aneh. Tapi semua murid
selalu tertawa dan mengobrol jika ia mengajar, sehingga sukar untuk
mendengar apa yang dikatakannya.
Bel pelajaran pertama berdering. Chelsea melirik ke arah Will,
tapi pemuda itu tidak membalas tatapannya. Dengan gugup ia
menyibakkan rambutnya yang hitam, lalu menarik ranselnya dari
bawah kursi. Chelsea bangkit dan hendak mengangkat ranselnya. "Oh,
aduh!" serunya. Semua buku catatan, buku pelajaran, dan tetekbengek lainnya jatuh ke lantai. Ia lupa menutup ranselnya.
Ia memandang ke bawah dan melihat kotak makan siangnya
terbuka. Sandwich-nya tergeletak di dekat sepatunya, dan apelnya
menggelinding di lantai. Ia membungkuk sambil mendesah, dan mulai memungut
barang-barangnya. Di luar dugaan Chelsea, Will berjongkok untuk
membantunya. "Konyol sekali, ya?" Chelsea berkata dengan kaku.
Will tersenyum malu-malu. Pipinya semakin merah. Ia
mengembalikan sandwich Chelsea ke dalam kotak makan siang, lalu
menyerahkannya kepada gadis itu.
Sejenak pandangan mereka beradu. Tapi Will segera
memalingkan wajah. Ia lebih pemalu dari aku, pikir Chelsea.
Tanpa sadar ia menatap otot lengan pemuda itu. Ketika
menyadarinya, ia cepat-cepat menundukkan kepala.
Katakan sesuatu. Katakan sesuatu! Ia mendesak-desak dirinya
sendiri. "Terima kasih atas bantuanmu," katanya.
Cemerlang! Komentar yang cemerlang!
Will angkat bahu dan tersenyum dengan canggung. Kemudian
ia meraih ranselnya dan tanpa menoleh berjalan ke pintu.
Kenapa aku harus begitu pemalu? Chelsea menyesali dalam
hati. Tapi bagaimana lagi, dong?
Anak lain pasti langsung memikirkan komentar yang cocok,
sesuatu yang lucu. Nina pasti akan membuat Will terpingkal-pingkal.
Kalau Nina yang mengalami kejadian tadi, maka ia pasti sudah
mempengaruhi Will untuk mengajaknya berkencan.
Kenapa aku tidak seperti dia?
Besok pagi. Besok pagi aku akan menyapa Will, Chelsea
memutuskan. Ia bergegas ke lorong sekolah yang ramai dan riuh.
Aku punya waktu satu hari penuh untuk memikirkan apa yang
harus kukatakan padanya. Setelah mengambil keputusan itu, Chelsea merasa lebih enak. Ia
bahkan tersenyum ketika masuk ke ruang kelas bahasa Inggris dan
mengambil tempat di baris paling belakang.
*********** Malam itu Chelsea terus memikirkan Will sambil bekerja di
restoran ayahnya. All Star Cafe adalah kedai kopi yang sempit dan
terang benderang di salah satu jalan kecil dan kumuh di Old Village.
Malam itu hanya Chelsea yang bertugas sebagai pelayan. Sebenarnya
yang diperlukan memang hanya satu orang. Ernie, si juru masak,
mendadak jatuh sakit, dan ayah Chelsea terpaksa menggantikannya di
dapur. Hanya segelintir orang yang perlu dilayani. Dua pria tua sedang
minum kopi di ujung meja layan. Sepasang cowok-cewek memesan
sandwich dan Coke, lalu duduk di meja kedua dari belakang.
Chelsea melamun. Ia terus memikirkan Will. Ia sudah tahu apa
yang akan dikatakannya pada pemuda itu. Ia akan bertanya apakah
Will berlatih angkat besi. Kemudian ia akan bertanya kapan keluarga
Will pindah ke Shadyside, dan di mana mereka tinggal.
Seorang pria tua melangkah masuk, dan bergabung dengan
kedua rekannya di meja layan. Ia memanggil Chelsea dan memesan
secangkir kopi. Chelsea mengambil cangkir, membawanya ke teko
kopi, menuangkan kopi, lalu mengantarkannya ke pria tua tadi?
semuanya sambil membayangkan percakapannya dengan Will.
"Oh, aduh!" Cangkir itu meleset dari tangannya, jatuh ke meja layan, lalu
pecah berantakan ketika membentur lantai. Kopinya bercipratan ke
segala arah. Chelsea melihat ayahnya melotot dari dapur. "Aku akan
membersihkannya," ia berseru.
Ia mengambil cangkir lain untuk pria tua itu. Kemudian ia
meraih sapu, lalu membungkuk untuk membersihkan pecahan cangkir
yang berserakan di lantai.
Dengan hati-hati ia memungut pecahan-pecahan yang besar.
Kemudian ia tegak kembali, dan bertabrakan dengan seseorang yang
baru masuk. "Oh! Sori!" serunya kaget.
Pemuda itu menatapnya sambil menyeringai. "Sering-sering
juga tidak apa-apa," ia berkelakar.
Chelsea menaksir usianya sekitar tujuh belas atau delapan belas
tahun. Matanya bersinar-sinar, wajahnya tampan, dan rambutnya
hitam tebal. Penampilannya boleh juga, pikir Chelsea, sambil mengamati
jaket kulit dan celana jins berlubang yang dikenakan pemuda itu.
Jaketnya terbuka sebagian, dan di baliknya Chelsea melihat kaus
oblong Metalica berwarna merah.
"Sori. Aku menghalangi jalanmu," ujar Chelsea sambil mundur
ke balik meja layan. Diperhatikannya pemuda itu menuju ke bagian
belakang ruangan. Ia berjalan dengan angkuh, seakan-akan hendak
menantang siapa pun yang berani mengusiknya. Kalau tidak sedang
tersenyum, tampangnya berkesan keras dan garang.
Chelsea membuang pecahan-pecahan cangkir tadi ke keranjang
sampah, lalu bergegas untuk menyerahkan menu. Tapi pemuda itu
menolak sambil mengangkat tangan. "Aku sudah tahu apa yang mau
kupesan. Satu hamburger dan satu Coke."
"Hamburger yang bagaimana?" tanya Chelsea. Ia menyeka
tangannya pada celemek putih yang ia kenakan atas perintah ayahnya.
"Yang matang," jawab pemuda itu.
Chelsea tersipu-sipu. Dia langsung salah tingkah. Penampilanku
pasti konyol sekali dengan celemek ini.
"Cuma bercanda," ujar pemuda itu. Roman mukanya tidak
berubah. Chelsea memaksakan tawa. "Aku tahu," katanya. Ia membalik
dan menyampaikan pesanan tersebut melalui jendela dapur. Ayahnya
mengangguk, dan Chelsea mendengar bunyi mendesis ketika
dagingnya diletakkan di atas panggangan.
"Jadi apa pekerjaanmu?" pemuda itu bertanya. Matanya tampak
berbinar-binar. Chelsea menatapnya sambil membisu. Ia tidak tahu harus
berkata apa. "Hei, aku bercanda," ujar pemuda itu. "Kau lagi malas
bercanda, ya?" "Aku jarang diajak bercanda di sini," balas Chelsea. Ia meraih
lap dan mulai menggosok-gosok meja layan yang berlapis formika.
"Siapa namamu?" Pemuda itu menatapnya dengan tajam,
seakan-akan menantangnya untuk menjawab.
"Chelsea. Chelsea Richards." Baru kali ini ada pengunjung yang
menanyakan namanya. "Namaku Tim Sparks," pemuda itu memperkenalkan diri. "Tapi
aku biasa dipanggil Sparks." Chelsea terkejut ketika Sparks
mengulurkan tangan untuk bersalaman. Tangannya besar dan
genggamannya kuat sekali. Sepertinya ia tidak menyadari
kekuatannya. "Hai, Sparks," kata Chelsea.
Chelsea kembali menuangkan kopi untuk ketiga pria tua di
ujung meja layan, lalu menanyakan pesanan Sparks. Ternyata belum
siap. Kemudian ia mengisi segelas Coke dari dispenser, dan
menaruhnya di hadapan pemuda itu.
"Aku baru pindah ke sini," kata Sparks. Ia memutar-mutar
gelasnya sambil menatap Chelsea. "Aku tinggal di Old Village."
"Aku baru bulan lalu pindah ke Shadyside," Chelsea
memberitahunya. Kedua remaja di belakang melambaikan tangan untuk minta
bon. "Apakah kota ini memang sesunyi yang kulihat selama ini?"
tanya Sparks sambil mencibir.
"Yeah. Kelihatannya begitu," ujar Chelsea.
Berbicara dengan pemuda itu membuatnya canggung sekali.
Meskipun gemar berkelakar, Sparks berkesan keras, dingin, dan?
berbahaya. "Hei?bagaimana kalau kita pergi nonton film?" tiba-tiba ia
bertanya. 4 "HAH?" "Ayo, kenapa harus ragu-ragu?" Sparks mendesak.
Chelsea menatap pemuda itu sambil melongo. Pertanyaannya
begitu tak terduga, sehingga ia tak sanggup berkata apa-apa.
Sparks menunggu jawabannya.
Tiba-tiba Chelsea merasa pundaknya dipegang. Chelsea
menoleh dan melihat ayahnya berdiri di belakang. Kening ayahnya
penuh keringat, dan wajahnya tampak kesal.
"Anak-anak itu menunggu bon," katanya sambil merendahkan
suara. Ia berbicara perlahan, seperti biasa kalau sedang berusaha
menahan diri. "Sori," ujar Chelsea. Cepat-cepat ia mengeluarkan buku bon
dari kantong celemeknya. Ia melirik kepada Sparks. Di luar dugaannya, wajah pemuda itu
tampak merah padam, dan matanya menyala-nyala karena marah.
Dengan kesal ia menatap Mr. Richards, lalu turun dari kursi dan
menuju ke pintu. "Hei?bagaimana dengan hamburger-mu?" Chelsea
memanggilnya. Tapi pemuda itu sudah melangkah keluar dan membanting
pintu. Aneh. Jangan-jangan ia memang serius waktu mengajakku
nonton film, pikir Chelsea.
Kenapa ia kabur seperti itu? Mungkin ia kesal karena Dad
memotong pembicaraan kami.
Wow. Ia menulis bon dan menaruhnya di atas meja. Tapi pikirannya
masih bersama Sparks. Sekian dan terima kasih untuk kencan pertamaku, katanya
dalam hati. Ia mulai menyesali nasibnya, tapi segera memaksakan diri
untuk memikirkan segi positifnya. Paling tidak, dia sudah mengajakku
pergi, pikirnya. Akhirnya ada cowok yang mengajakku pergi.
Tapi mungkinkah ia menerima ajakan itu? Mungkinkah ia pergi
dengan Sparks? Tampangnya begitu keras. Begitu tua dan keras.
Ia membayangkan wajah Sparks ketika ayahnya memotong
percakapan mereka. Mata Sparks seakan-akan memancarkan?
kebencian. Tidak, Chelsea menjawab pertanyaannya sendiri. Aku tidak
mungkin pergi dengannya. Tidak mungkin. Aku pasti menolak. Seandainya ada kesempatan.
Ia memandang lewat jendela dapur. Ayahnya sedang
membuang daging hamburger yang hangus ke keranjang sampah.
Tampangnya berkerut-kerut.
Dua pengunjung berusia setengah baya masuk?langganan.
Seperti biasa mereka menempati meja di dekat jendela.
Chelsea mengantarkan menu. Sambil memasukkan tangan ke
kantong celemek, ia menunggu sampai mereka siap memesan.
Pikirannya beralih kepada Will Blakely.
Ia menatap suasana temaram di luar, dan kembali
membayangkan percakapannya dengan Will. Ia tahu persis apa yang
akan dikatakannya. Yang menjadi masalah adalah apakah Will akan
mengucapkan kata-kata yang sesuai dengan angan-angan Chelsea.
Chelsea bertanya-tanya apakah Will mau mengajaknya nonton
film. Mungkinkah kau jadi kencan pertamaku, Will?
Ataukah kau akan meninggalkanku seperti Sparks?
Will kelihatan begitu pemalu.
Sama pemalunya dengan Chelsea.
Barangkali lebih baik kalau aku mengajak dia, pikir Chelsea.
Gagasan itu membuatnya bersemangat. Tiba-tiba saja berbagai
kemungkinan terbentang di hadapannya.
Chelsea berubah pikiran. Kata-kata penuh basa-basi yang telah
dipersiapkannya tak jadi dipakai. Ia akan bicara dengan Will, dan
mengajaknya keluar pada malam Minggu, tanpa tedeng aling-aling.
Oh, aku tidak mungkin berbuat senekat itu, ia segera menyadari.
Aku takkan sanggup. Aku bisa mati kaku.
Bagaimana kalau ia menolak?
Aku akan menanggung malu seumur hidup.
Ia terus bekerja sambil memikirkan bagaimana ia bisa mengajak
Will berkencan. Ia membayang-bayangkan bagaimana percakapan
mereka akan berlangsung. Tahu-tahu sudah pukul 19.00, saatnya
untuk menutup restoran. "Ayo, kita pulang," kata ayahnya dengan riang sambil
mengosongkan kasa. Dengan hati-hati ia memasukkan seluruh uang
ke dalam amplop besar, yang lalu disimpannya dalam laci terkunci di
ruang belakang. Besok pagi ia akan menyetorkan uang itu ke bank.
"Mom pasti belum pulang," ujar Chelsea.
"Ya. Dia dapat shift malam," sahut ayahnya sambil mengangkat
bahu. Chelsea melepaskan celemek yang dibencinya, melipatlipatnya, kemudian memasukkannya ke dalam kantong cucian.
Ayahnya mengunci pintu depan.
Tiba-tiba Chelsea mendengar orang ribut-ribut di pintu depan.
Sambil menahan napas, dia menoleh dan melihat tiga pemuda
bertampang garang memaksa masuk, melewati ayahnya. Mereka
mengenakan celana dan jaket jins.
Chelsea hendak memekik, tapi suaranya tersangkut di
tenggorokan. "Restoran sudah tutup!" Mr. Richards berseru. "Kalian tidak
boleh masuk. Kami sudah tutup!"
Salah satu dari mereka, seorang pemuda jangkung dan kekar
berambut pirang dan panjang, mendorong ayah Chelsea ke meja


Fear Street Kencan Pertama First Date di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

layan. "Serahkan uangmu, dan kami akan pergi," katanya dengan nada
mengancam. "Di sini tidak ada uang!" balas Mr. Richards. Matanya
terbelalak karena takut. "Kami tidak punya uang!"
"Betul!" seru Chelsea. Ia meringkuk di ambang pintu dapur.
"Coba lihat," ujar salah satu pemuda. Ia menghampiri kasa.
"Jangan!" teriak ayah Chelsea. "Pergi! Jangan ganggu kami!" Ia
mengejar pemuda itu dan menggenggam pundaknya dari belakang.
Jangan, Dad! Jangan!" Chelsea memekik. "Dad?awas!"
5 MR. RICHARDS membelalakkan mata dan mengerang
kesakitan ketika salah satu dari ketiga perampok itu?seorang pemuda
kurus dan pucat dengan mata kelabu liar?mendekatinya dari
belakang dan memukul kepalanya dengan sepotong pipa.
Chelsea menjerit. Dan menjerit lagi.
Mata ayahnya berputar sampai bagian putihnya kelihatan.
Kepalanya terkulai lemas, dan ia ambruk perlahan-lahan, bagaikan
dalam adegan slow-motion. Mula-mula ia jatuh berlutut, lalu roboh
dengan wajah lebih dulu. Ia tergeletak di lantai, tidak bergerak.
Chelsea langsung panik. Ia menjambak-jambak rambutnya
sendiri dan berusaha menjerit lagi, namun suaranya tak mau keluar.
"Dad...!" akhirnya ia berseru tertahan. "Dad!"
Pemuda jangkung berambut pirang tadi memukul kasa dengan
gusar ketika melihat bahwa memang tak ada uang di dalamnya.
"Ayo, cabut!" ia berkata kepada rekan-rekannya.
"Dad...!" Chelsea berseru sambil menatap ayahnya yang
tergeletak sambil menindih lengannya.
"Apakah dia mati?" tanya pemuda yang memukul Mr. Richards
sambil melepaskan potongan pipa yang digenggamnya.
"Kalau mau tahu pasti, tunggu saja sampai polisi datang,"
hardik rekannya yang berambut pirang.
Ketiganya kabur sambil tertawa. Melalui jendela, Chelsea
memperhatikan mereka menghilang dalam kegelapan malam.
Baru kemudian disadarinya bahwa ia masih menjambak
rambutnya. Ia memaksakan diri untuk menurunkan tangan, lalu
berlutut di samping ayahnya. "Dad...? Dad...?"
Ayahnya tidak bereaksi. Chelsea menahan napas ketika melihat
darah mengalir dari luka menganga di ubun-ubun ayahnya.
"Dad...?" Perlahan-lahan Chelsea membalikkannya.
Moga-moga Dad tidak apa-apa.
Mata ayahnya terpejam rapat. Ia bernapas melalui mulut, dan
setiap tarikan napasnya diiringi bunyi mendesis.
Chelsea lega sekali karena ayahnya ternyata masih hidup,
namun darah yang menggenang di lantai membuatnya cemas. Ia
segera bangkit, menghampiri pesawat telepon di dapur, dan memutar
911?nomor telepon darurat.
*********** Dua jam kemudian Chelsea berada seorang diri di rumahnya.
Sambil ia hilir-mudik di ruang tamu. Lantai di bawah kakinya
berderak-derak. Bunyi jam di atas tempat perapian seakan-akan
bertambah nyaring setiap kali berdetak.
Tenang, Chelsea, tenang, pikirnya. Jangan panik.
Kata-kata itu diucapkannya berulang-ulang dalam hati, sampai
akhirnya kehilangan makna.
Semua akan beres, ia berusaha meyakinkan diri.
Ayahnya dirawat di ICU di R.S. Shadyside General. Dokter
yang menanganinya telah memberitahu Chelsea bahwa kondisi
ayahnya "serius namun stabil".
Chelsea terlalu takut tapi sekaligus terlalu lega untuk
menanyakan arti ungkapan itu.
Serius namun stabil. Kata-kata itu lebih enak di telinga daripada mati.
"Kami tidak menemukan perdarahan dalam," Chelsea
diberitahu oleh dokter, yang berambut merah dan berwajah penuh
bintik. Sepertinya usianya tidak terpaut jauh dengan Chelsea.
"Ayahmu beruntung."
Beruntung? Apanya yang beruntung? Chelsea hampir saja
membentaknya. Tapi ia menahan diri dan memaksakan seulas senyum, lalu
memberi jawaban yang lebih sopan.
Ibunya tiba beberapa menit setelah ayahnya masuk ICU. Ia
masih mengenakan baju seragam berwarna putih. Tampangnya pucat
dan cemas. Si dokter berambut merah mengajaknya menyusuri lorong
panjang yang dicat hijau, dan menjelaskan kondisi Mr. Richards
sambil berbicara dengan lembut.
Kini sudah pukul sepuluh malam, dan Mrs. Richards masih
berada di rumah sakit. Sepertinya ia akan langsung kembali ke tempat
kerjanya tanpa pulang dulu.
Chelsea seorang diri di rumah. Dengan gelisah ia hilir-mudik di
ruang tamu. Setiap kali ia melangkah, papan-papan lantai berderak.
Aku benci rumah ini, pikirnya sambil menjatuhkan diri ke kursi
tua di pojok ruangan. Aku benci rumah ini. Aku benci kota ini.
Aku benci... semuanya. Namun kemarahannya tak sanggup mengusir ketakutan yang ia
rasakan. Ia mulai dicekam panik. Rasanya seperti ada seseorang yang
menyelubunginya dengan selimut tebal.
Bagaimana kalau Dad sampai meninggal?
Bagaimana nasib kami kalau begitu?
Jangan berpikir yang bukan-bukan, Chelsea, ia menegur dirinya
sendiri. Baru kemudian disadarinya bahwa ia sedang menggenggam
gagang telepon. Tanpa berpikir panjang, diputarnya nomor telepon
Nina. Pesawat telepon yang dituju Chelsea berdering tiga kali.
Kemudian Nina terdengar menyahut. "Halo?"
"Nina, ini aku... Chelsea."
"Oh, hai! Telepon dari mana? Aku dan Doug baru mau..."
"Nina, keluargaku kena musibah," Chelsea menukas. Ia dihantui
perasaan panik, dan jantungnya berdegup-degup. "Restoran kami
dirampok. Dan ayahku dipukul dengan pipa."
"Oh, ya ampun!" seru Nina. "Tapi ayahmu tidak apa-apa?"
Chelsea mendengar Doug bertanya ada apa.
"Aku belum tahu. Sekarang dia ada di ICU. Dokternya bilang
keadaannya stabil. Ibuku menemaninya di sana. Aku sendirian di
rumah," ujar Chelsea sambil menatap jam di atas tempat perapian.
"Aku mau minta tolong, Nina. Apakah kau bisa datang ke sini dan
menginap di rumahku?"
"Tentu. Boleh saja," Nina langsung menjawab. "Tapi aku harus
tanya ibuku dulu." Chelsea mendengarnya meletakkan gagang telepon.
Didengarnya beberapa orang berbicara, namun tidak memahami isi
percakapan mereka. Masih sambil menatap jam tadi, ia mengetukngetukkan jari ke sandaran tangan kursi besar di pojok ruang tamu.
"Aku segera ke sana," Nina kemudian memberitahunya.
"Trims," sahut Chelsea dengan lega. Ia meletakkan gagang
telepon. Beberapa menit kemudian Chelsea melihat sorot lampu mobil di
pekarangannya. Cepat-cepat ia membuka pintu depan dan menyalakan
lampu teras. Nina baik sekali, pikir Chelsea sambil memandang melalui
pintu kawat kasa. Ia memang sahabat sejati.
Kemudian ia melihat, bahwa Doug juga ikut.
Nina melangkah masuk, diiringi embusan udara dingin. Ia
langsung merangkul dan memeluk Chelsea erat-erat. Chelsea sempat
terkejut. "Kau tidak apa-apa? Kau pasti kaget sekali."
"Ya. Aku..." Chelsea tidak tahu harus berkata apa.
Doug menyusul masuk sambil menggosok-gosok tangan. "Uh,
dingin sekali di luar," katanya sambil mengintip ke ruang tamu.
"Mau minum cokelat panas?" Chelsea menawarkan.
"Kopi saja, deh," balas Doug. Jaketnya yang tebal
dilemparkannya ke lantai di depan sofa.
"Oke, kopi," ujar Chelsea.
Doug dan Nina mengikutinya ke dapur. "Kopi instan tidak apaapa, kan?"
"Biar aku saja yang bikin," kata Nina. "Lihat, tuh... tanganmu
gemetaran. Kasihan."
"Aku... aku takut sekali tadi," Chelsea mengakui. Ia mundur dan
membiarkan Nina mengisi teko air. "Aku sempat menyangka ayahku...
ehm, darahnya sampai tergenang di lantai."
"Siapa mereka itu?" Doug bertanya sambil menarik kursi
makan. "Entahlah," balas Chelsea. "Mereka bertiga. Aku belum pernah
melihat mereka. Semuanya memakai jaket jins dan bertampang seram.
Sepertinya mereka anggota geng."
"Ayahku bilang daerah Old Village jadi rawan kejahatan
belakangan ini," ujar Nina.
"Tapi ayahmu bakal sembuh, kan?" tanya Doug.
"Aku harap begitu." Chelsea kembali dicekam ketakutan.
Beberapa menit setelah itu, mereka sudah duduk di ruang tamu.
Pesawat TV menyala, dan menampilkan warna-warni video klip
MTV. Chelsea duduk di kursi di pojok sambil melipat kaki dan
memegang cangkir kopi. Nina dan Doug duduk di sofa.
Chelsea menoleh dan melihat Doug menarik Nina mendekat.
Nina menengadah dan mereka berciuman dengan mesra.
Oh, jadi itu sebabnya Nina begitu bersemangat datang ke sini,
pikir Chelsea dengan getir. Ia perlu tempat supaya bebas berpacaran.
Doug dan Nina berciuman lagi, seakan-akan dunia milik
mereka berdua, seakan-akan tidak menyadari kehadiran Chelsea.
Chelsea berusaha memusatkan perhatian pada video klip di TV,
tapi matanya selalu kembali kepada Nina dan Doug.
Chelsea merasa semakin kesepian.
Kenapa bukan aku yang duduk di sofa itu? tanyanya dalam hati.
Kenapa mesti aku yang duduk sendirian di pojok?
Aku sudah bosan kesepian, pikirnya.
Aku bosan tak pernah berkencan, tak pernah pergi bersama
cowok, tak pernah diperhatikan cowok.
Kemudian ia berkata dalam hati, kalau cowok yang datang ke
restoran tadi?Tim Sparks?yeah, kalau Sparks datang lagi dan
mengajakku pergi, aku pasti bilang ya. Aku takkan ragu sedetik pun.
Chelsea memejamkan mata. Ia membayangkan bagaimana kepala ayahnya dipukul pipa. Ia
teringat mimik kaget pada wajah ayahnya, bagaimana mata ayahnya
membalik, bagaimana ayahnya jatuh berlutut, lalu ambruk ke depan.
Tiba-tiba sebuah pikiran menakutkan menyelinap ke dalam
benaknya. Sebuah pikiran mengenai Sparks.
Anak itu pergi begitu tiba-tiba. Tanpa menyentuh hamburger
yang telah dipesannya. Ia pergi begitu melihat ayah Chelsea.
Begitu ia tahu bahwa hanya ada Chelsea dan ayahnya di
restoran. Bagaimana kalau Sparks sengaja ditugaskan memantau
keadaan, lalu melapor kepada ketiga pemuda itu?
Kalau begitu bisa dimengerti kenapa ia begitu terburu-buru, dan
kenapa ketiga anak berandal itu muncul tidak lama kemudian.
Tapi rasanya tidak mungkin, Chelsea berkata dalam hati.
Hmm, kalau Sparks memang bersekongkol dengan mereka,
maka ia takkan muncul lagi.
Ia tahu bahwa ia pasti akan ditangkap kalau berani nongol lagi.
Pikiran Chelsea kacau-balau. Kepalanya serasa hendak pecah.
Ia memejamkan mata, sementara musik dari video klip di TV
berdengung-dengung di telinganya.
Bagaimana kalau Sparks ternyata datang lagi?
Apa yang harus kulakukan kalau begitu?
6 SUASANA di tepi sungai sangat menyenangkan, meskipun
udaranya dingin. Pemuda itu menyukai hawa dingin. Ia menyukai tiupan angin
yang terasa menusuk sampai ke tulang sumsum. Ia menikmati sensasi
yang dirasakannya ketika angin menerpa wajahnya.
Matahari pagi masih bersembunyi di balik pepohonan. Butirbutir air dingin menggelantung pada ujung-ujung rambut di kening
pemuda itu. Sejenak embusan angin bertambah kencang, lalu mereda
kembali. Sungai itu ternyata lebih lebar dari yang dibayangkannya. Ia
menyukai suara gemerecik yang ditimbulkan oleh arus sungai. Ia
tampak seperti patung ketika berdiri di tengah ilalang sambil menatap
air sungai berwarna cokelat yang mengalir di hadapannya. Kedua
tangannya dimasukkan ke dalam kantong celana jins-nya.
Angin berkesiur menerpa hingga rerumputan nyaris rata dengan
tanah dan menyapu pergelangan kakinya.
Pemuda itu berdiri menentang angin. Wajahnya terasa panas
membara. Ia membutuhkan angin untuk mendinginkan wajahnya.
Sungai itu bernama Conononka. Itulah yang tertulis pada tanda
tadi. Kemungkinan besar nama Indian. Apa artinya? Sungai kecil yang
keruh? Si pemuda tertawa sendiri.
Di seberang sungai, ia melihat tebing-tebing menjulang tinggi.
Sebuah jalan kecil tampak berkelok-kelok sampai ke puncak. River
Road, itu nama jalan tersebut. Si pemuda telah mempelajari petanya
dengan saksama. Ia mencopot topi dan memasukkannya ke dalam kantong jaket.
Topi itu membuatnya hangat. Padahal ia ingin merasakan dinginnya
udara. Terutama pada wajahnya. Wajahnya selalu terasa panas,
bagaikan terbakar sinar matahari. Udaranya begitu dingin, begitu
menusuk, namun tetap saja tak sanggup menyejukkan wajahnya.
Ia kembali berjalan menerobos ilalang. Sepatu larsnya
berlepotan lumpur, ujung lengan bajunya basah terkena embun pagi.
Shadyside ternyata lumayan juga, katanya dalam hati.
Ia mensyukuri pilihannya.
Pada umumnya kota itu cukup menyenangkan. Dan sungainya
pun indah. Ia sempat mengagumi rumah-rumah besar di North Hills
dengan pekarangan yang luas, pagar semak yang tinggi, serta tanaman
yang terpangkas rapi. Tapi tentu saja, ia takkan cocok di daerah
pemukiman orang kaya itu. Tempatnya bukan di situ, dan ia pun
menyadarinya. Ia juga menyukai daerah Old Village, kawasan Shadyside yang
lebih ramah, lebih nyaman, dan lebih akrab baginya.
Kota yang menyenangkan, pikirnya sambil memungut batu
pipih di tepi sungai, yang lalu dilemparkannya dengan harapan akan
meloncat-loncat di permukaan air.
Tapi ternyata batunya langsung tenggelam.
Pemuda itu sadar bahwa beberapa gadis di Shadyside akan
terpaksa kehilangan nyawa.
Perempuan-perempuan seperti Mom, pikirnya. Kedua
tangannya kembali dimasukkan ke dalam kantong jaket.
Ia merasakan kemarahannya bangkit kembali.
Perasaan itu selalu berawal di perutnya, lalu merambat naik
melalui punggung sampai otot-otot lehernya menjadi kencang.


Fear Street Kencan Pertama First Date di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kemudian kepalanya mulai berdenyut-denyut?berdenyut-denyut
karena nyeri, karena marah.
Dan wajahnya akan terasa begitu panas, seolah membara.
Air dingin yang bergemerecik, angin sejuk yang berembus
kencang, ilalang lembap yang bergoyang-goyang tertiup angin?tak
ada yang membantu. Tak ada yang sanggup menolong jika kemarahannya sudah
bangkit kembali. Dan kemarahannya timbul setiap kali ia teringat pada
ibunya. Mereka harus mati, Mom, katanya dalam hati. Seperti Mom.
Sudah lama sekali ia merasakan kemarahan itu. Sejak berusia
empat tahun. Sejak orangtuanya bercerai.
Sejak ibunya pindah dengan membawa kakak perempuannya.
Sejak ia ditinggalkan bersama ayahnya.
Mom seharusnya tahu apa yang bakal terjadi, pikirnya. Dengan
geram ia memungut batu lain dan melemparkannya ke sungai. Bukan
agar melompat-lompat, melainkan agar terbenam dalam-dalam di
dasar sungai yang keruh karena lumpur.
Mom seharusnya tahu. Mom seharusnya tahu bahwa Dad mabuk setiap malam. Mom
seharusnya tahu bahwa Dad selalu bertubi-tubi memukuliku kalau
sedang mabuk. Tapi Mom tetap lari dengan kakakku. Aku ditinggal begitu saja.
Aku ditinggal dengan? dia.
Setiap malam aku memikirkan Mom.
Setiap kali dipukuli, aku memikirkan Mom.
Hanya Mom yang kupikirkan. Hanya Mom, dan pembalasan
dendamku. Aku akan membalas dendam, Mom. Aku sudah mulai
membalas dendam. Di setiap kota yang kulewati.
Kalau saja aku bisa menemukan Mom. Kalau saja aku tahu di
mana Mom tinggal. Tiba-tiba seekor anak kucing berbulu putih muncul di antara
pohon-pohon. Kucing kecil itu menatapnya dengan matanya yang
besar dan hitam. "Sini, pus," si pemuda memanggil sambil membungkuk. "Sini,
pus, pus." Kadang-kadang aku berhasil balas dendam, Mom, pikirnya
sambil jongkok dan memanggil makhluk yang malu-malu itu. Dan
perasaanku jadi lebih enak.
Aku merasa lebih enak kalau sudah membunuh.
Untuk sementara. "Sini, pus. Pus." Ia berdecak-decak. "Sini, kucing manis."
Tapi orangnya harus tepat, Mom.
Tidak bisa sembarang cewek. Harus orang yang tepat.
Dan aku menemukan cewek yang tepat di sini, di Shadyside.
Kulitnya kecokelatan, seperti Mom.
Terus terang, aku sudah lupa tampang Mom.
Aku tidak punya foto Mom. Mom tidak pernah kirim foto. Atau
surat. Aku ditinggal begitu saja untuk dipukuli setiap malam.
Tapi rasanya cewek itu mirip Mom. Kulitnya kecokelatan, dan
agak gemuk. Tidak cantik, tapi lumayanlah.
Dan sepertinya ia sangat pemalu.
Cocok sekali. Ia orang yang tepat, Mom. Aku yakin ia orang yang tepat.
Ia pasti bisa mengobati kemarahanku.
"Sini, pus, pus," pemuda itu memanggil.
Anak kucing itu maju selangkah sambil mengeong pelan. Lalu
selangkah lagi. Matanya menatap pemuda itu dengan curiga.
"Sini, pus, pus," dia berkata dengan suara kecil. "Kau takkan
kubiarkan menderita lama-lama."
Dan kemudian ia menangkap tengkuk anak kucing itu, dan
memuntir lehernya. 7 TANPA semangat Chelsea menyeka meja layan dengan lap
basah. Melalui jendela yang terbuka, ia melirik ke dapur. Tak ada
siapa-siapa. Rupanya Ernie, si juru masak yang bertato dan berbadan
tegap, sedang keluar sebentar untuk merokok.
Rasanya tidak enak kalau Dad tidak ada di sini, pikir Chelsea.
Tapi kalau dipikir-pikir, kalau pun ayahnya ada, Chelsea tetap tidak
suka bekerja di restoran itu. Ia menghela napas. Paling tidak, dengan
bekerja sebagai pelayan ia bisa mendapatkan uang untuk membeli
pakaian baru dan kaset. Sudah empat hari Mr. Richards terbaring di ICU di Shadyside
General. Chelsea tidak tahu berapa lama lagi ayahnya harus dirawat,
tapi para dokter tampak puas dengan kemajuan yang dicapainya.
Chelsea menoleh ke arah jam neon berwarna merah jambu-biru. Pukul
18.40. Sebentar lagi restoran akan ditutup.
Mungkin ia masih sempat menengok ayahnya di rumah sakit
sebelum jam kunjungan berakhir pukul 19.30.
Chelsea memandang berkeliling. Sebenarnya ia ngeri seorang
diri di kedai kopi yang kosong. Bagaimana kalau anak-anak berandal
itu kembali lagi? "Hei... Ernie?" Chelsea berseru. Tiba-tiba saja rasa takut
kembali mencengkeramnya. Ernie berbadan kekar dan bertampang
garang. Ernie pasti bisa melindunginya jika terjadi apa-apa. Tapi di
mana dia? "Ernie?" Tak ada jawaban. Rupanya ia masih di gang belakang, pikir
Chelsea. Ia tersentak kaget ketika lemari es besar mendadak menyala dan
mendengung. Untuk mengisi waktu, ia lalu mengalihkan pikirannya
kepada Will, anak baru di sekolahnya itu.
Sejauh ini mereka belum sempat berbincang-bincang agak
lama. Padahal Chelsea sudah menyiapkan kata-kata yang hendak
diucapkannya. Berulang kali sudah ia membayangkan percakapan di
antara mereka. Dalam bayangan Chelsea, percakapannya dengan Will sungguh
menyenangkan. Mereka asyik bercanda dan bersenda gurau dan
tertawa. Tapi setiap kali mereka akhirnya duduk berdampingan di ruang
kelas, ada saja yang menghalangi Chelsea untuk menyapa Will. Atau
ia begitu gugup sehingga tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun.
Atau Mr. Carter menghabiskan waktu dengan membacakan setumpuk
pengumuman. Atau Will terlalu sibuk menulis dalam buku catatan.
Atau Chelsea merasa bahwa waktunya tidak tepat.
Will sudah beberapa kali tersenyum kepadanya, dan bahkan dua
kali mengucapkan selamat pagi dan menanyakan kabar Chelsea. Tapi
setelah itu ia segera kembali menulis atau membaca.
Ia takkan pernah mengajakku pergi, pikir Chelsea. Ia mulai
putus asa. Meskipun hubungan mereka tidak bisa disebut akrab, Chelsea
sering memikirkan Will. Kalau sedang berlatih saksofon pun, ia suka
membayangkan senyumnya yang malu-malu, serta matanya yang
gelap dan bersinar-sinar.
Ia sedang asyik membayangkan percakapannya dengan Will,
ketika pintu depan membuka. Dua pemuda berpenampilan sangar
melangkah masuk dan langsung memandang berkeliling. Keduanya
tampak tegang. Yang satu berperawakan tinggi besar. Rambutnya yang pirang
dipotong pendek sekali, sehingga menyerupai sikat. Temannya
berbadan kerempeng, mukanya bopeng, dan senyumnya menyebalkan.
Keduanya mengenakan jins belel. Meskipun udara musim gugur
cukup dingin, mereka hanya memakai T-shirt bertuliskan nama
sebuah grup heavy metal. Chelsea beringsut-ingsut mundur dari meja layan dan menuju
ke dapur. "Ernie?" ia memanggil dengan seruan tertahan.
Tidak ada jawaban. Ya Tuhan, kita bakal dirampok lagi, pikir Chelsea sambil
merapatkan punggung ke dinding. Ia mengamati kedua pemuda itu
sambil mengira-ngira apakah mereka membawa senjata.
Isi kasa kurang dari lima puluh dolar. Mereka tidak menyakiti
orang demi uang sesedikit itu, bukan?
Ia memutuskan untuk menyerahkan uang itu tanpa banyak
protes. Dalam benaknya kembali terbayang bagaimana ayahnya
berdebat dengan ketiga perampok waktu itu. Ia membayangkan
bagaimana ayahnya berusaha menghalau mereka, berusaha mencegah
mereka menghampiri kasa. Kalau saja ayahnya tidak melawan, kalau saja ayahnya tidak
menghalang-halangi mereka, maka kemungkinan besar mereka pun
takkan memukulnya, kata Chelsea dalam hati.
Aku tidak mau sok jadi pahlawan, Chelsea menentukan
sikapnya. Aku akan menuruti segala permintaan mereka.
Setelah yakin bahwa tidak ada pengunjung lain di dalam kedai
kopi, kedua pemuda itu menghampiri kasa. "Kau sendirian di sini?" si
kerempeng bertanya kepada Chelsea. Ia tetap menyeringai, namun
sorot matanya berkesan tegang.
"Tidak," jawab Chelsea, sambil memaksakan suaranya tetap
tenang. "Aku tidak sendirian."
Kedua anak berandal itu saling berpandangan dan tertawa.
"Kami baru mau tutup," ujar Chelsea. Suaranya gemetar,
meskipun ia telah berusaha menutup-nutupi rasa takutnya. Ia melirik
jam dinding. Pukul 18.50.
"Baru mau?" si kerempeng bertanya.
Mereka tertawa lagi. "Kalian mau pesan apa?" tanya Chelsea.
"Sebenarnya kau manis juga," kata si kekar sambil menggarukgaruk kepala. Senyum rekannya bertambah lebar.
"Kami sudah mau tutup," Chelsea menegaskan.
Tenggorokannya serasa tersekat, dan mulutnya kering sekali.
"Yeah. Kaulah yang paling manis di sini," si kekar berkata
sambil menaruh tangannya yang besar di atas meja layan, hanya
beberapa inci dari kasa. Ia menatap mata Chelsea, dan menunggu
reaksi gadis itu. "Kalian mau pesan apa?" Chelsea mengulangi. Suaranya
bernada memelas. "Ehm..." si kekar bergumam. Kemudian mereka berdua saling
melirik sambil cekikikan.
Jantung Chelsea berdegup kencang. Kalau memang mau
merampok, kenapa mesti berlama-lama begini? pikirnya kesal.
"Hmm, kita mau pesan apa, nih?" si kekar bertanya sambil
cengar-cengir. "Pertanyaan bagus," temannya menimpali.
"Omong-omong, jam berapa kau selesai kerja?" si kekar
bertanya sambil mencondongkan badan ke depan.
Chelsea dicekik panik. Mau apa mereka sebenarnya?
Kenapa mereka bertanya macam-macam? Dan kenapa mereka
cengar-cengir terus? "Jam berapa kau selesai kerja?" si kekar mengulangi.
Chelsea menoleh ke arah jam. Ia membuka mulut untuk
menyuruh mereka pergi, menyuruh mereka berhenti mengganggunya,
menakut-nakutinya. Tapi sebelum dia sempat berkata apa-apa, pintu depan
membuka dan seorang pemuda memasuki restoran yang terang
benderang. Pemuda itu bergegas menyusuri gang di depan meja layan.
Chelsea tidak langsung mengenalinya karena baru satu kali ia bertemu
pemuda tersebut. "Sparks!" serunya.
Kemudian ia langsung membisu lagi.
Jangan-jangan Sparks teman mereka? ia bertanya-tanya dalam
hati. Mustahil. Kedua anak berandal tampak kaget ketika melihat Sparks. Ia
berhenti di ujung meja layan dan menatap tajam ke arah mereka. Otototot lengannya tampak mengencang, dan pandangannya beralih dari si
kekar ke rekannya yang kerempeng.
"Masih buka?" Sparks bertanya pada Chel-sea.
"Kami baru saja mau tutup," gadis itu menyahut pelan-pelan. Ia
tidak berani bergerak. "Aku minta kopi," ujar Sparks, tanpa mengalihkan
pandangannya dari kedua pemuda berandal itu.
"Oke," balas Chelsea. Ia menghampiri mesin penyeduh kopi.
"Sampai nanti," si kekar berkata. Ia dan temannya saling
melirik. Chelsea menyadari bahwa si kerempeng akhirnya berhenti
tersenyum. "Yeah. Nanti," si kerempeng menambahkan sambil
menekankan kata-katanya agar berkesan mengancam.
Keduanya membalik. Pelan-pelan mereka melewati Sparks, dan
meninggalkan restoran. Chelsea baru berani bergerak setelah pintu depan menutup lagi.
Dengan lega ia menarik napas panjang, lalu bersandar pada meja
layan. "Mereka menodongmu?" tanya Sparks. Ia telah mengambil
tempat di ujung meja layan.
"Ya. Maksudnya, mungkin. Aku tidak tahu," ujar Chelsea
dengan bingung. Ia berusaha agar tangannya tidak gemetar ketika
menuangkan kopi ke cangkir.
Sewaktu menaruh cangkir itu di hadapan Sparks, Chelsea
menyadari bahwa pemuda tersebut sedang menatapnya dengan
matanya yang berwarna gelap. Roman mukanya serius.
Chelsea menggeser tempat susu ke depan Sparks. "Sikap
mereka mencurigakan sekali. Aku tidak tahu pasti apa rencana
mereka. Tapi sepertinya mereka mau merampok."
Ia melepaskan celemek dan meremas-remasnya. Sparks minum
seteguk, tanpa melepaskan matanya dari Chelsea.
Gadis itu mencampakkan celemeknya ke pojok. "Kelihatannya
mereka takut padamu," ia berkata sambil memaksakan senyum.
"Memang sudah seharusnya," balas Sparks. Ia menatap kopi di
dalam cangkir. Apa maksudnya? Chelsea bertanya-tanya. Apakah ia cuma
bergurau? Atau ia memang serius?
Roman muka Sparks tidak memberi petunjuk.
Ia kembali menghirup kopinya. "Daerah ini berbahaya,"
katanya sambil memandang lurus ke depan.
Apa sebenarnya maksudnya? Apakah ia sekadar berkomentar?
Ataukah ia hendak memberikan peringatan kepada Chelsea?
Chelsea mendengar suara dari arah dapur. Ia menoleh dan
melihat Ernie sedang membersihkan tempat panggangan sambil
menjepit sebatang rokok dengan giginya. "Sudah waktunya pulang?"
juru masak itu bertanya dengan suara parau.
"Yeah," jawab Chelsea. "Biar aku saja yang kunci semuanya
nanti." Ebukulawas.blogspot.com
Sparks mereguk kopinya. Chelsea menunggu sampai ia angkat
bicara lagi, tapi pemuda itu malah termenung-menung, seakan-akan
sibuk dengan pikirannya sendiri.
Chelsea ingin mengatakan sesuatu. Ia ingin mengucapkan


Fear Street Kencan Pertama First Date di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terima kasih atas bantuan Sparks tadi. Ia ingin menyambung
percakapan mereka. Tapi ia tak kuasa melawan rasa malu. Ia tak tahu
harus berkata apa. Apakah ia akan mengajakku pergi lagi? Chelsea bertanya-tanya.
Dan kalau ia sampai mengajakku, apakah aku akan menerima
ajakannya? Disadarinya bahwa ia takut, namun sekaligus tertarik pada
pemuda itu. Kenapa aku mesti membisu begini? Kenapa aku harus bingung?
Cewek-cewek lain tak pernah mengalami masalah?si Nina,
misalnya?tapi aku selalu bingung sendiri.
Pikiran-pikiran itu berkecamuk dalam benak Chelsea ketika ia
mengamati wajah Sparks dari balik meja layan.
"Mau tambah kopi?" ia menawarkan setelah berdeham lebih
dulu. Sparks menggelengkan kepala. "Tidak. Trims."
Ernie keluar dari dapur sambil menyandang jaket. "Sampai
besok," katanya. Ia mengangguk kepada Chelsea, lalu mengalihkan
pandangannya kepada Sparks.
"Oke, bye," ujar Chelsea. Ia memperhatikan Ernie keluar lewat
pintu depan. Aku sendirian bersama Sparks sekarang, ia menyadari.
Tiba-tiba saja ia merinding.
Sparks menghabiskan kopi, mendorong cangkirnya, lalu
meletakkan satu dolar ke atas meja.
Apakah ia akan mengatakan sesuatu? Chelsea bertanya-tanya.
Apakah ia akan mengajakku pergi lagi?
Aku akan bilang ya, Sparks, ia menambahkan dalam hati sambil
berusaha mempengaruhi pikiran pemuda itu. Aku akan bilang ya.
Sparks berdiri, lalu tersenyum malu-malu. "Trims."
"Sama-sama," sahut Chelsea sambil meraih cangkir yang telah
kosong. "Sampai ketemu," ujar Sparks. Sepatu kets-nya tidak bersuara
ketika melewati lantai vinil. Ia pergi tanpa menoleh.
Chelsea langsung lemas. Sambil mendesah kecewa, ia menaruh
cangkir kopi ke tempat piring kotor.
Pikirannya kacau-balau. Ia merasa bingung sekali. Setelah
memeriksa segala sesuatu dan memadamkan lampu, disadarinya
bahwa ia kecewa. Dan lega.
Beberapa menit kemudian ia meninggalkan restoran. Ia
mengunci pintu depan, lalu menarik pintu terali besi dan memasang
gembok. Kemudian ia bergegas ke rumah sakit untuk menengok
ayahnya. ************* Beberapa blok dari kedai kopi itu, Sparks membuka pintu
apartemennya di gedung berlantai tiga yang kumuh. Tanpa
menyalakan lampu ia masuk ke ruang tamu yang sempit. Pintu depan
ditutupnya dalam keadaan hampir gelap-gulita; satu-satunya
penerangan adalah cahaya kuning pucat dari lampu jalanan di bawah,
yang masuk lewat jendela.
Sambil hilir-mudik di ruangan sempit dan pengap itu, ia
berulang kali memukul telapak tangannya sendiri. Setelah beberapa
menit, ia menggeram dengan kesal dan terus berjalan bolak-balik
seperti binatang buas yang terkurung.
Kenapa aku tidak jadi mengajaknya keluar? ia bertanya dalam
hati. Kenapa tidak jadi? Semuanya sudah kurencanakan matangmatang.
Kenapa aku cuma duduk seperti orang tolol, dan menghirup
kopi pahit sambil membisu?
Padahal cuma ada dia dan aku.
Kenapa aku menyia-nyiakan kesempatan ini?
Ada apa denganku? Ia betul-betul marah pada dirinya sendiri. Dengan kesal ia
menyambar pesawat telepon di meja, dan merenggut kabelnya sampai
copot dari dinding. Dengan sekuat tenaga ia lalu melemparkan
pesawat itu ke jendela. Kacanya pecah berantakan. Namun ia tidak mendengar apa-apa.
Semuanya dikalahkan oleh kemarahan yang bergemuruh dalam
benaknya. 8 SEUSAI jam pelajaran esok harinya, Chelsea membanting pintu
locker-nya, lalu mencari-cari Nina di lorong sekolah yang ramai dan
riuh. Baru setelah beberapa menit, ia menemukan temannya itu.
Rupanya ada anjing herder yang tersesat masuk ke gedung sekolah,
dan langsung menjadi tontonan anak-anak sekolah. Gonggongannya
yang keras memantul pada dinding-dinding lorong.
Kenapa sih jadi ramai begini? Chelsea bertanya dalam hati. Kan
cuma seekor anjing? Kenapa semua orang bersikap seolah-olah ini
peristiwa paling menggemparkan yang pernah terjadi di sini?
Beberapa anak tampak menggiring anjing tersebut ke kantor
kepala sekolah. Tapi itu tidak mudah, karena anjing tersebut tidak
memakai tali pengikat. Akhirnya Chelsea melihat Nina berdiri di depan locker-nya.
Nina pun sedang memandang ke arah Chelsea.
"Hei... Nina!" Chelsea menerobos kerumunan anak-anak yang
masih memadati lorong. Ia ingin minta pendapat temannya itu tentang
Sparks dan Will. Ia ingin bertanya bagaimana caranya agar kedua pemuda itu
mau mengajaknya berkencan.
Tapi di luar dugaan Chelsea, Nina tampak murung. Matanya
merah, seakan-akan habis menangis. "Hei... ada apa?" tanya Chelsea
sambil memindahkan ranselnya dari pundak kanan ke kiri.
"Doug mulai bertingkah," Nina menyahut dengan gusar. Ia
membanting pintu locker keras-keras.
"Ada apa dengan dia?" tanya Chelsea.
"Aku melihat dia waktu makan siang tadi," Nina bercerita
sambil mendongkol. "Dia mengobrol dengan Suki Thomas."
"Siapa itu? Aku tidak kenal dia," ujar Chelsea. Ia menoleh ke
ujung lorong. Anjing tadi terlepas lagi dan sedang dikejar
serombongan anak. "Memangnya kenapa, sih? Masa Doug tidak boleh
mengobrol dengan orang lain?"
"Bukan begitu. Yang membuatku kesal adalah cara mereka
mengobrol," balas Nina.
Chelsea hendak mengatakan sesuatu, tapi anjing herder itu
melesat melewati mereka. Kakinya terus tergelincir di lantai ubin yang licin, dan matanya
tampak liar. "Biarkan dia keluar! Buka pintu dan biarkan dia keluar!"
seseorang berseru. Salah satu murid di ujung lorong membuka pintu, dan anjing
herder itu langsung menghambur keluar dan menghilang.
Anak-anak di lorong bersorak-sorai. Setelah tertawa-tawa
selama beberapa menit lagi, semua mengemasi barang masingmasing, lalu mulai meninggalkan gedung sekolah.
"Ada satu cowok yang mau kuceritakan padamu. Dia sudah dua
kali mampir di restoran kami," ujar Chelsea. Ia didorong-dorong oleh
dua pemuda berseragam kelabu. Mereka membawa tongkat hoki es,
dan berusaha melewati Chelsea.
Nina memutar kunci kombinasi pada pintu locker-nya, dan
memastikan pintunya telah terkunci. Baru kemudian ia teringat bahwa
ada satu buku yang tertinggal di dalam. Sambil menggeram dengan
kesal, kunci kombinasi itu kembali diputarnya.
"Potongannya seperti jagoan," Chelsea melanjutkan. "Namanya
Tim Sparks, tapi dia bilang semua orang memanggilnya Sparks.
Orangnya tertutup, dan sepertinya dia memendam sesuatu. Tapi
mungkin juga dia cuma pemalu. Waktu pertama kali mampir di
restoran kami, dia langsung mengajakku pergi. Tapi aku diam saja
waktu itu. Maksudnya, aku tidak sempat bilang apa-apa. Soalnya
ayahku..." "Doug memang keterlaluan," Nina memotong. Wajahnya
tersembunyi di balik pintu locker. Ia sedang berlutut dan mencari
sebuah buku di lantai lemari itu. "Padahal Suki Thomas jelas-jelas
cewek murahan." "Yang jelas, dia cukup menarik," Chelsea kembali berkata. Tapi
kemudian ia terdiam. Ia sadar kalau ia cuma membuang-buang waktu.
"Nina, kau sama sekali tidak mendengarkan aku," tuduhnya.
Nina berdiri dan menutup pintu locker. "Hmm?" Ia
mengerutkan kening. "Sori, Chelsea. Aku lagi banyak pikiran." Tibatiba ia membelalakkan mata. "Hei, itu dia. Hei... Doug!" panggilnya.
"Doug, tunggu!"
Terburu-buru ia memasukkan semua bukunya ke dalam ransel,
lalu bergegas menyusuri lorong untuk mengejar pacarnya.
Dengan kecewa Chelsea memperhatikan Nina berlari menjauh.
Kemudian ia menutup pintu locker Nina, menguncinya, dan menuju
ke pintu depan. Nina enak diajak berteman, asal Doug tidak ada di sekitarnya,
pikir Chelsea dengan getir. Kalau Doug ada, aku sama sekali tidak
diperhatikan. Chelsea sudah hampir sampai di pintu, ketika sebuah tangan
menyentuh pundaknya. Chelsea terkejut dan langsung membalik.
Ternyata Will Blakely. Pemuda itu tersipu dan tersenyum malu-malu. Rambutnya yang
hitam tertutup topi Dodgers berwarna biru tua. Ia mengenakan jaket
wol berwarna hitam-cokelat, dan mengepit map dan buku pelajaran.
"Hai," ia menyapa Chelsea, dan senyumnya bertambah lebar.
"Oh, hai," balas Chelsea. "Apa kabar?"
Will angkat bahu. "Biasa saja."
"Itu bukan jaket Shadyside," ujar Chelsea sambil menunjuk
jaket Will. Aduh, konyol betul. Semua orang juga tahu kalau itu bukan
jaket Shadyside. "Ini... ini jaket dari sekolahku yang lama."
"Di mana itu?" tanya Chelsea sambil menggeser ranselnya.
"Di daerah Selatan," ujar Will. Ia menghindari tatapan Chelsea.
Dua teman sekelas mereka lewat dan melambaikan tangan.
"Sebentar lagi aku harus mulai kerja."
"Oh." Will tampak kecewa. "Kalau begitu, kau pasti tidak bisa
jalan-jalan dulu." "Oh. Bisa saja. Masih ada waktu, kok," sahut Chelsea penuh
semangat. "Aku suka jalan-jalan. Apalagi kalau cuacanya lagi bagus
seperti hari ini." Ia memandang ke luar melalui pintu kaca.
Matahari telah tertutup awan. Langit mendung dan kelabu.
"Rupanya cuaca lagi tidak mau diajak kompak," katanya sambil
cekikikan. "Oh. Jadi, tidak jadi?" tanya Will.
Ia lebih kikuk dari aku, pikir Chelsea.
"Penemuan" itu agak membesarkan hatinya.
"Ayolah," katanya. "Taman Shadyside persis di belakang
sekolah. Sudah pernah ke sana?"
Will menggelengkan kepala, lalu mengikuti Chelsea ke bagian
belakang gedung sekolah. Sambil membisu mereka menyusuri loronglorong yang panjang.
Udara di luar ternyata lebih dingin daripada dugaan Chelsea.
Akibat angin yang bertiup kencang, rasanya lebih mirip musim dingin
daripada musim gugur. Chelsea berhenti sebentar untuk menarik
ritsleting jaketnya sampai ke kerah. Kemudian mereka berjalan
berdampingan, melintasi pelataran parkir para guru, melewati
lapangan bisbol dan sepak bola, dan masuk ke taman luas penuh
pepohonan yang membentang di belakang sekolah.
Chelsea menarik napas dalam-dalam. "Udaranya segar sekali,"
komentarnya. "Apalagi dibandingkan udara yang harus kita hirup di sekolah,"
Will membenarkan. "Sepertinya sudah sejak tahun 1920 udara di
sekolah tak pernah diganti."
Chelsea tertawa. Hei, ternyata ia bisa melucu, pikirnya.
Will ikut tertawa. Tawanya kering, hampir tak terdengar.
Tampangnya boleh juga, Chelsea menyadari.
Ia mengalihkan pandangannya ke pepohonan. Sebagian besar
daun telah gugur, meninggalkan dahan-dahan dalam keadaan
telanjang. "Hutan di balik taman ini membentang sampai ke sungai,"
ia bercerita. "Aku ingin lihat sungai itu," ujar Will. "Apakah ada jalan
setapak yang menembus hutan?"
Chelsea mengangguk. "Yeah. Mestinya sih ada. Tapi aku tidak
tahu pasti. Soalnya aku sendiri masih baru di sini. Akhir September
lalu kami pindah ke Shadyside."
"Kalian sering berpindah-pindah?" tanya Will. Roman mukanya
mendadak serius. "Tidak juga," balas Chelsea. Mereka sempat bersenggolan
ketika melintasi rumput sambil menginjak daun-daun kering. "Ayahku
mendapat tawaran untuk membeli restoran di sini, jadi kami pindah
kemari." "Orangtuamu kaya?" tanya Will. Namun seketika ia kembali
tersipu-sipu. "Maksudnya..."
Chelsea tertawa. Bukan karena pertanyaan itu, melainkan
karena geli melihat Will salah tingkah. "Cuma kedai kopi kecil di Old
Village, kok. Dan ayahku terpaksa minta kredit bank untuk
membelinya. Dari dulu dia memang bercita-cita punya restoran
sendiri." Selama beberapa saat mereka berjalan sambil membisu.
"Kau sendiri bagaimana?" Chelsea bertanya untuk
menyambung percakapan mereka. "Kau sering pindah kota?"
"Yeah," Will menyahut dengan getir. Chelsea menunggu Will
berbicara lagi, tapi pandangan pemuda itu menerawang jauh, dan ia
terus berjalan tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Mereka menyusuri jalan setapak yang berliku-liku di antara
pepohonan. Langit semakin gelap, dan seakan-akan hendak
menyelubungi mereka. "Uh, dingin sekali. Aku takkan heran kalau tiba-tiba turun
salju," ujar Chelsea.
Oh, jangan bicara tentang cuaca, katanya segera dalam hati.
Cuaca adalah topik paling membosankan di dunia.
"Aku suka salju," Will menyahut. Ia menoleh sambil tersenyum
kepada Chelsea. "Salju begitu murni."
Ia berhenti di depan sebuah pohon besar dan melemparkan buku
dan mapnya ke pangkal pohon itu. "Barang-barang kita tinggal di sini
saja," ia mengusulkan sambil menunjuk ransel Chelsea. "Kelihatannya
berat sekali." "Ide bagus." Chelsea langsung meletakkan ranselnya di
samping barang-barang Will. "Yeah, begini jauh lebih enak."
"Kita lewat sini lagi kalau pulang nanti," ujar Will. Ia berjalan
beberapa langkah di belakang Chelsea, ketika mereka menyusuri jalan
setapak yang berkelok-kelok.
"Hei... sungainya sudah kelihatan!" Chelsea berseru sambil
menunjuk. "Tuh, di depan!"
Ia menunggu sampai Will menyusulnya. "Itu sungai
Conononka," katanya.
Will melangkah ke sampingnya. Ia tersenyum lebar. Napasnya
tampak mengembun. Chelsea menyadari bahwa mata Will berbinarbinar jika sedang tersenyum.
Aku berjalan-jalan di hutan bersama seorang cowok, gadis itu
berkata dalam hati. Bagi cewek-cewek lain, ini mungkin tak ada artinya.


Fear Street Kencan Pertama First Date di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi aku belum pernah berduaan saja dengan seorang cowok di
tengah hutan. Tanpa sebab yang jelas, ia menoleh dan tersenyum kepada Will.
Pemuda itu membalas senyumnya, lalu segera kembali
memperhatikan jalan setapak yang mereka lalui.
Mereka berjalan beberapa saat lagi. Semakin dekat ke tepi
sungai, udara pun semakin dingin. Chelsea mendengar gemerecik air
terbawa angin. "Aku senang kita jalan-jalan ke sini," katanya dengan riang.
"Hei..." Baru sekarang dia sadar bahwa Will tertinggal di belakangnya.
Ia membalik, dan melihat pemuda itu menggenggam sesuatu. Ternyata
seutas tali berwarna kelabu. Sambil berjalan, Will menariknya sampai
kencang, lalu mengendur kaitnya lagi.
Ia mengangkat tali itu ketika melihat Chelsea menatapnya
sambil mengerutkan kening. "Kutemukan tergeletak di tanah sebelah
sana," ia berkata sambil menunjuk semak-semak di belakangnya.
Kemudian ia mengangkat bahu, dan mengantongi tali tersebut.
Dugaan Chelsea terbukti benar. Hujan salju mulai turun. Salju
pertama tahun itu. Chelsea menjulurkan lidah untuk menangkap
sebutir salju. Tapi ia segera menarik lidahnya ketika sadar bahwa Will
menatapnya dengan heran. "Di sini memang biasa turun salju pada bulan Oktober?"
pemuda itu bertanya. "Entahlah," sahut Chelsea. "Bisa jadi." Ia melirik jam
tangannya. "Oh. Aku harus pulang, nih. Aku tidak boleh terlambat
kerja." "Sori," ujar Will. Ia kembali tersipu-sipu. "Aku tidak
bermaksud membuatmu susah."
"Bukan begitu maksudku," protes Chelsea. Ia meraih lengan
Will saat melangkahi pohon tumbang. "Aku suka jalan-jalan ke sini.
Aku sangat menikmatinya." Ia menatap Will sambil tersenyum.
Kali ini Will tidak membalas senyumnya.
Roman mukanya berkesan galau. Dengan langkah panjang ia
berjalan mendahului Chelsea.
Hujan salju berhenti mendadak, dan langit bertambah cerah
sedikit. Ketika mereka kembali ke pohon tempat barang-barang mereka
ditinggalkan, Will tiba-tiba berhenti dan berpaling kepada Chelsea.
Matanya menyorot tajam. Ia tampak gugup. Kemudian ia bertanya, "Kau berminat pergi
ke bioskop malam Minggu depan?"
"Yeah. Asyik!" Chelsea berseru. Dan kemudian ia keceplosan,
"Kencanku yang pertama!"
Seketika ia memejamkan mata karena malu. Ia membungkuk
dan meraih ranselnya, sambil berharap bahwa Will tidak mendengar
ucapannya itu, bahwa Will tidak sadar kalau dia sedang salah tingkah.
Aduh, Chelsea mengeluh dalam hati, kenapa ia bisa keceplosan
seperti itu? Kenapa segala tindak-tandukku mesti norak?
Lebih baik mati saja, pikirnya. Lebih baik aku ditelan bumi dan
tidak muncul-muncul lagi.
Sambil menahan malu ia menoleh ke arah Will. Tapi di luar
dugaannya, Will menatapnya sambil tersenyum.
"Kau bisa simpan rahasia, Chelsea?" Will bertanya sambil
menghampirinya "Aku juga baru kali ini mengajak seseorang
berkencan." "Oh, begitu," Chelsea berkata dengan kikuk. Ia menyesali
bahwa ia tidak sanggup menemukan tanggapan yang lebih tangkas.
Tapi paling tidak, pengakuan Will membantu mengobati rasa
malunya. "Kita jadikan kencan rahasia saja," Will mengusulkan sambil
menatap mata Chelsea. "Jangan beritahu siapa-siapa. Kencan ini bakal
jadi rahasia kita berdua."
Oh, betapa romantisnya, pikir Chelsea.
Rasanya ia ingin melompat tinggi-tinggi dan bersorak-sorai
dengan gembira. Ia telah diajak berkencan oleh cowok keren.
Cowok itu begitu baik. Dan begitu?jujur. Ia sama pemalunya dengan Chelsea. Dan ia menyukai Chelsea.
"Oke," bisik Chelsea. "Ini bakal jadi rahasia kita, Will. Kencan
rahasia kita yang pertama."
9 CHELSEA sedang berlatih main saksofon pada esok sorenya,
ketika pintu depan rumahnya membuka dan ibunya memasuki ruang
duduk. Rambut ibunya basah kuyup, begitu pula jas hujannya.
Chelsea memandang keluar lewat jendela, lalu melihat bahwa
langit gelap gulita dan hujan turun dengan deras. Salju kemarin hanya
turun selama beberapa menit, dan tidak bertahan lama. Seluruh
konsentrasi Chelsea sedang terpusat pada deretan not balok di
hadapannya, sehingga ia tidak sadar bahwa Shadyside diguyur hujan.
"Mom?Mom tidak apa-apa?" ia berseru sambil bergegas
membantu ibunya membuka jas hujan. "Kok sudah pulang jam
segini?" Ia melirik jam di atas tempat perapian. Pukul 16.30.
"Jangan tanya," ibunya menyahut dengan muram. Ia menggigil
dan berpaling kepada Chelsea. "Mom kedinginan sekali."
Chelsea membelalakkan mata ketika melihat seragam putih
ibunya berlumuran darah. "Mom?Mom kenapa?" serunya.
"Ada kecelakaan kecil di tempat kerjaku," jawab Mrs. Richards.
"Salah satu pasien Mom terpeleset di kamar mandi. Tapi lukanya tidak
parah. Masalahnya, seragam yang satu lagi ada di sini. Mom terpaksa
pulang untuk mengambilnya."
"Jadi, Mom harus kembali kerja?" tanya Chelsea, yang masih
memegang jas hujan ibunya.
"Ya. Aku harus menggantikan Alice Brody. Dia kena flu." Mrs.
Richards naik ke kamarnya untuk berganti seragam. "Aduh, sepatuku
juga basah. Padahal Mom tidak punya sepatu lain."
Chelsea mengikuti ibunya naik tangga. "Mom selalu sibuk di
panti jompo. Mom tak pernah punya waktu untukku."
"Jangan mengeluh," kata ibunya dengan tegas. "Aku sedang
tidak berminat mendengarkan keluhanmu." Ia berhenti di depan pintu
kamarnya, lalu membalik. "Malam minggu besok Mom makan di
rumah karena dapat shift malam. Kita bisa makan bersama sambil
mengobrol." "Ehm, tidak bisa, Mom," ujar Chelsea.
Ibunya mengerutkan kening dengan heran.
"Aku ada kencan," Chelsea menjelaskan. "Dengan seorang
cowok." Mrs. Richards membelalakkan mata. "Wah, ini kabar gembira!"
"Tidak ada komentar macam-macam?" tanya Chelsea. Ia agak
kecewa karena ibunya tidak berkelakar seperti biasanya.
"Mom terlalu kedinginan untuk bercanda," ibunya berkata.
"Kecuali itu, Mom juga ikut senang. Mom tahu bahwa kau kesepian
selama ini." Sementara ibunya berganti baju seragam, Chelsea bercerita
mengenai Will, bahwa Will anak baru di sekolahnya, bahwa mereka
sempat jalan-jalan di Shadyside Park, dan bahwa Will pemalu namun
menyenangkan. Mrs. Richards mengenakan rok putihnya. Ia tampak senang
sekali. "Mom sudah tak sabar untuk berkenalan dengan dia," katanya
sambil tersenyum. Ia merapikan roknya. "Oh, Mom hampir lupa. Tadi
Mom sempat menengok Dad."
"Lalu?" "Dad sudah keluar dari ICU, dan sekarang dirawat di kamar
biasa. Menurut dokter, satu atau dua minggu lagi dia sudah boleh
pulang ke rumah." Mrs. Richards menghampiri Chelsea dan
merangkulnya erat-erat. "Oh, syukurlah!" seru Chelsea dengan gembira. "Artinya, kita
bisa menengok Dad pada jam kunjungan biasa." Ia melirik jam pada
meja di samping tempat tidur ibunya. "Ya, ampun! Aku sudah hampir
telat. Aku menggantikan Kristy malam ini, dan dia selalu marahmarah kalau aku terlambat dua detik saja."
"Ayo. Ambil jaketmu," ujar Mrs. Richards. Sambil menatap
cermin, ia mengusap rambutnya dua kali lalu bergegas keluar. "Mom
akan mengantarkanmu ke restoran."
Cuaca yang tidak bersahabat membuat orang-orang enggan
keluar. Hanya segelintir orang mampir di kedai kopi. Semuanya
menggigil dan menggosok-gosok tangan karena kedinginan. Hidangan
yang paling laku adalah sup panas dan kopi yang masih mengepulngepul.
Chelsea menghabiskan sebagian besar waktunya dengan
membuat PR geometri di salah satu meja belakang. Ia sudah hampir
selesai dengan soal terakhir, ketika seseorang duduk di bangku di
hadapannya. "Sparks!" seru Chelsea. Ia tampak terkejut.
Pemuda itu menatap Chelsea sambil tersenyum. Air menetes
dari rambut hitam yang menempel di keningnya. Ia membuka jaket
dan menaruhnya di samping. Ia memakai kemeja biru.
"Bagaimana bisnis hari ini?" Sparks bertanya sambil
menggeleng-gelengkan kepala, sehingga air bercipratan ke meja.
Chelsea menutup buku tulisnya. "Agak sepi." Tatapan Sparks
yang tajam membuatnya merinding. Tenggorokannya serasa tersekat.
Ia melirik ke arah dapur. Ernie sedang duduk di dekat tempat cuci
piring sambil mengisi TTS di koran.
Chelsea berdiri. Ia tidak tahan ditatap seperti itu. "Mau pesan
apa?" dia bertanya. "Kopi," jawab Sparks sambil, mengetuk-ngetukkan jari ke meja.
"Dan donat, kalau belum terlalu keras."
"Donatnya sudah dari tadi pagi, tapi aku rasa masih enak,"
Chelsea memberitahunya. Kenapa aku jadi gugup begini? gadis itu bertanya dalam hati. Ia
menaruh sepotong donat di piring, lalu menghampiri teko kopi.
Apakah karena aku tertarik padanya?
Atau karena ada sesuatu yang janggal pada dirinya, sesuatu
yang janggal dan berbahaya?
Apakah dia menyukaiku? Chelsea bertanya-tanya. Cangkir kopi
diisinya terlalu penuh. Dia memiringkan cangkir itu dan
menumpahkan sebagian isinya.
Tidak, dia tidak menyukaiku. Aku tidak cantik. Barangkali dia
merasa kesepian. Atau dia sekadar main-main. Siapa tahu dalam hati
dia menertawakan aku. Ya, pikir Chelsea dengan getir. Dia pasti menertawakan aku.
Dia memutuskan mengorek keterangan lebih banyak dari
pemuda itu. Setelah mengantarkan donat dan kopi, dia kembali duduk di
tempat semula. Sparks tidak bereaksi. Dia tidak kelihatan terkejut atau
heran. Roman mukanya tidak berubah. Beberapa butir gula tampak
menempel di bibirnya ketika dia menggigit donat.
"Ngomong-ngomong, kau berasal dari mana?" Chelsea
berusaha membuka percakapan.
Sparks mengunyah, lalu menelan, lalu minum seteguk kopi.
"Aku pernah tinggal di sana-sini," dia mengelak. Matanya yang gelap
berbinar-binar. "Maksudnya?" "Aku sering berpindah-pindah," Sparks menyahut sambil
angkat bahu. Dia kembali menggigit donatnya.
"Masih sekolah?" tanya Chelsea. Dia berupaya keras untuk
mendapatkan informasi dari Sparks, informasi apa saja.
"Ya," balas Sparks cepat-cepat.
"Di mana?" tanya Chelsea.
"Ehm, sebenarnya aku sudah berhenti sekolah," ujar Sparks
sambil menghindari tatapan gadis itu. "Aku drop-out." Sekali lagi dia
mereguk kopinya yang mengepul-ngepul. Kemudian dia nyengir
lebar. "Aku drop-out dari high school."
Chelsea memaksakan tawa. "Sekolah sebenarnya lumayan
juga," katanya. "Aku ikut marching band sekolah."
Seketika dia menyesal karena telah mengungkapkan hal
tersebut. Kenapa aku menceritakan itu? dia bertanya-tanya. Telinganya
terasa panas. Kedengarannya norak sekali.
"Kau main apa?" Sparks bertanya dengan serius. "Tuba?"
Sepertinya dia tidak bercanda, tapi Chelsea merasa tersinggung.
Ia pikir cewek gendut seperti aku pasti main tuba. Kenapa ia tidak
bilang suling? Chelsea menggelengkan kepala. "Jangan mengejek," katanya
sambil melirik ke dapur. Ernie ternyata masih asyik dengan TTS-nya.
"Aku tidak bermaksud mengejek!" protes Sparks sambil
mengangkat kedua tangan. "Aku cuma pikir, siapa tahu kau memang
pegang tuba." "Tidak," balas Chelsea dengan ketus. "Aku main saksofon."
Sparks mengangguk-angguk. Ia menatap kopi di dalam cangkir
sambil tersenyum tipis. "Apa saja kegiatanmu? Kau sudah bekerja?" Chelsea
mengalihkan topik pembicaraan.
"Kau selalu bertanya macam-macam?"
Sparks balik bertanya. Senyumnya langsung lenyap.
"Sori." Telinga Chelsea kembali terasa panas. "Aku cuma ingin
tahu. Kalau aku mengganggumu, aku akan..."
Sekonyong-konyong Sparks meraih ke seberang meja dan
menggenggam lengan gadis itu. "Jangan. Aku tidak merasa terganggu,
kok." Rupanya ia tidak menyadari kekuatannya sendiri. Chelsea
kesakitan. Ia baru mau memprotes ketika Sparks melepaskan
tangannya. "Aku sedang mencari pekerjaan," pemuda itu bercerita.
"Orangtuaku, mereka ingin aku bekerja dulu. Maksudnya, sampai aku
tahu apa yang akan kulakukan selanjutnya."
"Ke mana saja kau sudah melamar?" tanya Chelsea.
Sparks mengamati kedai kopi yang kosong. "Hmm, tempat ini
kelihatannya lumayan juga," ujarnya. Ia kembali tersenyum, dan
matanya berbinar-binar lagi. "Sepertinya kalian butuh tenaga
tambahan di sini. Bagaimana?"
Chelsea menghela napas. "Ha-ha-ha," katanya sambil
tersenyum kecut. "Aku serius, nih. Ke mana saja kau sudah melamar?"
"Ehm, aku sempat diwawancara di tempat penggergajian kayu,"
ujar Sparks. "Aku rasa hasilnya cukup baik."
"Tempat itu sudah lama ditutup," balas Chelsea. "Aku pernah
ke sana bersama temanku, Nina."
"Oh. Kalau begitu, wawancaranya tidak begitu baik," Sparks
berkelakar, lalu terkekeh-kekeh karena leluconnya sendiri.
Pemuda itu berbohong, dan ia telah tertangkap basah.
Jangan-jangan semua yang diceritakannya cuma bohong, pikir
Chelsea. Apa sih yang ditutup-tutupinya?
Sekonyong-konyong Sparks kembali meraih lengan Chelsea.
"Ehm, kau sudah ada acara malam Minggu besok?" ia bertanya.
"Kalau belum, bagaimana kalau kita keluar saja?"
Aku tidak mungkin pergi bersama dia, Chelsea berkata dalam
hati. Jantungnya berdebar-debar. Aku tidak tahu apa-apa tentang dia.
Dan aku tidak percaya padanya.
Tiba-tiba ia teringat pada Will.


Fear Street Kencan Pertama First Date di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku sudah punya janji malam Minggu besok," Chelsea
memberitahu Sparks. Pemuda itu menatapnya seakan-akan curiga bahwa Chelsea
membohonginya. "Sayang sekali," ia akhirnya berkata sambil berdiri.
Chelsea menatapnya. Sparks pasang tampang kencang.
Sepertinya ia marah. Ia merogoh saku jins, lalu melemparkan dua lembaran satu
dolar ke hadapan Chelsea.
Wajahnya merah padam. Ia memicingkan mata dan menutup
mulut rapat-rapat. "Sampai ketemu," katanya dengan dingin.
"Yeah. Oke," balas Chelsea pelan-pelan. Ia nyaris tidak
mengenali suaranya sendiri.
Sparks menyambar jaketnya, lalu membalik dan bergegas ke
pintu. Ia mendorong pintu dan melangkah keluar, tanpa menghiraukan
hujan yang menyambutnya. "Wow," ujar Chelsea sambil bangkit.
Ia menggelengkan kepala. Sparks sulit ditebak, katanya dalam hati. Anak itu seperti bom
yang siap meledak. 10 "KITA mau ke mana, sih?" tanya Chelsea.
"Ke bioskop," sahut Will cepat-cepat. Kedua tangannya
menggenggam setir, dan matanya tertuju lurus ke depan.
"Tapi mall-nya ke arah sana," kata Chelsea sambil menunjuk,
"di Division Street."
"Aku tahu," ujar Will. Ia menginjak pedal gas, dan mesin
Pontiac tua yang dikemudikannya langsung meraung-raung. "Film
yang sama juga diputar di Waynesbridge. Aku melihat iklannya di
koran." Chelsea memandang keluar sambil berusaha menyembunyikan
kekecewaannya. Bagaimanapun juga, ini kencannya yang pertama. Ia
ingin pergi ke sinepleks di mall, tempat nongkrong anak-anak
Shadyside High, supaya semua orang bisa melihatnya bersama Will.
Kenapa Will malah mengajaknya nonton di kota lain?
Chelsea mengamati rumah-rumah yang mereka lewati. Stasiun
radio yang dipilih Will memutar lagu-lagu lama, dan sebuah lagu
Beach Boys berkumandang dari pengeras suara.
Beberapa waktu sebelum Chelsea dijemput, hujan akhirnya
berhenti. Udara cerah dan sejuk; rumput dan pohon-pohon tampak
lebih hijau karena baru saja diguyur hujan.
Segala sesuatu kelihatan jauh lebih cerah, gadis itu berkata
dalam hati. Apakah karena hujan tadi? Atau karena ini kencannya
yang pertama? Tiba-tiba Chelsea sadar kenapa Will mengajaknya ke
Waynesbridge. Kencan pertama mereka adalah kencan rahasia. Will bermaksud
merahasiakannya. Rahasia romantis milik mereka berdua.
Chelsea menoleh dan menatap pemuda itu sambil tersenyum. Ia
memperhatikan ekspresi Will yang serius, sementara ia sendiri
terombang-ambing antara rasa senang dan gugup.
"Mobilmu bagus," Chelsea berkata sambil mengelus jok vinil
yang didudukinya. "Model tahun berapa ini?"
"Entahlah," balas Will. "Akhir tahun tujuh puluhan, kalau tidak
salah." "Keluargamu membelinya sejak masih baru?" tanya Chelsea.
"Yeah... he-eh. Ini satu-satunya mobil yang pernah kubawa,"
jawab Will. "Sebaiknya kaunyalakan alat pemanas kaca," ujar Chelsea.
"Kaca depan sudah mulai berembun."
Will mengurangi kecepatan dan membiarkan mobil lain
menyusul. Kemudian ia meraba-raba dasbor untuk menyalakan
defroster. Tapi ternyata Will malah menghidupkan AC.
Chelsea tertawa. Namun tiba-tiba ia terdiam karena ada sesuatu yang terasa
janggal. Kalau keluarga Will sudah begitu lama memakai mobil itu,
kenapa Will tidak tahu cara menyalakan alat pemanas kaca?
"Kenapa kau tidak tahu di mana tombol untuk alat pemanas
kaca?" Pertanyaan tersebut meluncur begitu saja dari mulut Chelsea.
"Tadi kaubilang ini satu-satunya mobil yang pernah kaubawa."
Wajah Will diterangi cahaya lampu jalanan yang mereka lewati.
Chelsea melihatnya tersipu-sipu.
Pemuda itu mengurangi kecepatan. Pandangannya tertuju lurus
ke depan. "Kelihatannya rahasiaku akhirnya terbongkar juga," katanya
dengan serius. Chelsea langsung curiga. "Rahasia apa?"
Will meliriknya sejenak. "Aku sama sekali buta soal teknik."
Ia tertawa dan menepuk kemudi dengan tangan kanannya.
Chelsea ikut tertawa, namun lebih banyak karena merasa lega.
"Tadinya aku harap rahasiaku ini takkan terbongkar," ujar Will.
"Kalau pun harus terbongkar, jangan pada kencan kita yang pertama.
Tapi memang benar, kok. Aku sama sekali buta soal teknik. Aku
bahkan tidak tahu bagaimana cara menyalakan alat pemanas kaca."
"Aku juga begitu," Chelsea mengakui. Ia bercerita bagaimana
kotak saksofonnya terbuka persis sebelum marching band di
sekolahnya yang lama mengadakan konser. Salah satu bagiannya jatuh
dari panggung, dan Chelsea terpaksa turun untuk mengambilnya?di
hadapan para guru dan semua murid.
"Yeah, itu memang konyol," Will berkomentar. "Tapi paling
tidak kau bisa menyalakan alat pemanas."
Sepanjang perjalanan ke bioskop, mereka bertukar cerita
mengenai kekonyolan masing-masing. Percakapan itu merupakan
percakapan paling santai dan menyenangkan yang pernah mereka
jalin. Ia punya rasa humor, pikir Chelsea.
Dalam hati ia bertanya-tanya apakah pemuda itu menyukainya.
Kelihatannya sih, memang begitu. Semakin lama, Will tampak
Misteri Tengkorak Berdarah 1 Fiction Karya Angelia Putri Bu Kek Kang Sinkang 4
^