Pencarian

Kencan Pertama 2

Fear Street Kencan Pertama First Date Bagian 2


semakin santai, semakin percaya diri.
"Ah, itu ada tempat kosong," ujar Will. Dengan cekatan ia
memarkir mobilnya dalam posisi mundur. Setelah mematikan lampu
dan mesin, ia mencabut kunci kontak, dan membuka pintu.
Ketika lampu di langit-langit menyala, Chelsea melihat bahwa
dompet Will jatuh dan tertinggal di kursi. "Will..." panggilnya sambil
meraih dompet itu. Tapi tanpa disangka-sangka, Will langsung merebut dompetnya
dari tangan Chelsea. Gadis itu sampai tercengang-cengang. "Sori,"
kata Will sambil mengerutkan kening. "Aku tidak bermaksud
membuatmu kaget." Ia menyelipkan dompetnya ke kantong belakang
celana jinsnya, lalu menutup pintu.
Kenapa sih dia? pikir Chelsea. Sambil terheran-heran ia
membuka pintu dan ikut turun.
Masa sih ia menyangka bahwa aku mau mengambil
dompetnya? Yang benar saja!
Tapi kemudian Will menghampirinya sambil tersenyum hangat.
Sambil merangkul pundak Chelsea, ia mengajak gadis itu menuju ke
bioskop, dan Chelsea pun melupakan kejadian tadi.
Film yang mereka tonton?sebuah film komedi yang dibintangi
John Candy dan paling tidak dua Quaid Bersaudara?sebenarnya
cukup lucu. Biasanya Chelsea tidak suka film seperti itu, tapi di
samping Will?pada kencan mereka yang pertama?ia ternyata
banyak tertawa. Ia bahkan menyesal ketika adegan kejar-kejaran
terakhir disudahi dengan tabrakan yang menggemparkan, dan lampulampu menyala kembali.
Udara terasa nyaman ketika mereka meninggalkan gedung
bioskop. Bulan sabit tampak melayang di angkasa, terbelah dua oleh
awan hitam yang panjang. "Filmnya konyol sekali," komentar Will sambil tersenyum.
Tangannya berada di pundak Chelsea sewaktu mereka menuju ke
mobil. "Yeah, tapi lucu, kok," sahut gadis itu.
"Lapar?" tanya Will.
Chelsea angkat bahu. "Aku punya ide bagus." Will berhenti di samping mobilnya, dan
berpaling kepada Chelsea. Matanya yang gelap tampak berbinarbinar.
"Apa?" "Bagaimana kalau kita putar-putar naik mobil dulu, terus cari
tempat yang enak untuk berhenti, dan mengobrol di sana?" pemuda itu
mengusulkan. Ia menatap mata Chelsea sambil memasukkan kedua
tangannya ke kantong jaket.
"Boleh juga," balas Chelsea.
"Kau tahu tempat yang enak?" tanya Will.
Ia memandang berkeliling di pelataran parkir yang sudah mulai
sepi. "Kau bukannya sudah biasa mengajak cewek ke tempat-tempat
sepi?" Chelsea menggodanya.
Will terkekeh-kekeh. "Jangan lupa, aku masih baru di sini,"
katanya. "Aku juga," ujar Chelsea. "Tapi mungkin kita bisa ke River
Ridge. Tempatnya di atas tebing di tepi sungai. Kata Nina, anak-anak
Shadyside sering pergi ke sana."
"Nina? Siapa itu?" Will bertanya dengan curiga.
"Temanku," Chelsea menjelaskan. "Sampai sekarang dia satusatunya temanku di Shadyside." Lalu ia menambahkan malu-malu,
"Kecuali kau." Will bukannya senang karena disanjung, melainkan malah
mengerutkan kening. "Kauberitahu Nina tentang kencan kita?"
"Tentu saja tidak," balas Chelsea. Ia membuka pintu mobil. "Ini
kan rahasia kita." Ia menatap Will sambil tersenyum, dan roman muka pemuda itu
segera mengendur. "Yeah, rahasia kita."
Will mengelilingi mobilnya, membuka pintu, lalu menyelinap
ke balik kemudi. Satu menit kemudian mereka sudah dalam perjalanan
pulang ke Shadyside. Suasananya santai, nyaman, diisi lagu yang
mengalun lembut dari pengeras suara di belakang.
"Kau tahu jalan ke River Ridge?" Will bertanya ketika mereka
mendekati Shadyside. Kemudian dijawabnya sendiri, "Mestinya sih
lewat River Road." "Sepertinya begitu," ujar Chelsea. "Oh, ini salah satu lagu
kesukaanku, The Temptations." Ia ikut menyanyikan syair "My Girl"
selama beberapa detik. "Kau selalu mendengarkan lagu lama, Will?"
Pemuda itu diam saja. Pandangannya tertuju lurus ke depan,
namun pikirannya seakan-akan berada di tempat yang jauh sekali.
"Will?" Chelsea menggamit lengan pemuda itu.
"Oh." Will menggelengkan kepala. "Sori. Aku lagi memikirkan
sesuatu. Lagu ini enak sekali, ya?"
Di musim panas, River Ridge memang tempat nongkrong anakanak Shadyside High. Namun di malam bulan Oktober itu, tak seorang
pun terlihat di sana. Will menghentikan mobilnya di bibir jurang, lalu memadamkan
lampu depan. Di bawah mereka, Sungai Conononka tampak bagaikan
pita hitam yang bergerak tanpa suara. Kota Shadyside membentang di
seberang sungai. Selain cahaya lampu rumah di sana-sini, kota itu
tampak gelap gulita. Jantung Chelsea berdebar-debar. Ia bahagia sekali. Rasanya ia
ingin bernyanyi, atau membuka pintu dan terjun dari puncak tebing
dan melayang-layang di angkasa yang bertaburan bintang, jauh di atas
kota. Will melepaskan tangan dari kemudi. Sambil tersenyum ia
berpaling kepada Chelsea, lalu merangkul gadis itu.
Ia mau menciumku, pikir Chelsea.
Aku ada di River Rido, bersama cowok yang menyukaiku.
Kencanku yang pertama, pikirnya, sambil membalas senyum
pemuda itu. Ia tidak melawan ketika Will menariknya mendekat.
Kencan rahasiaku yang pertama.
Ia hendak menjilat bibir. Bibirnya terasa begitu kering. Tapi
sebelum ia sempat berbuat apa-apa, bibir mereka sudah beradu.
Will menciumnya?sebentar saja, penuh kecanggungan.
Tapi ia tersenyum ketika menjauhkan kepalanya. "Malam yang
indah," komentarnya.
Chelsea mengangguk. Ia agak menyesal bahwa ciuman tadi
begitu singkat. Ia mengharapkan Will menciumnya sekali lagi dan
memeluknya dengan erat. Entah sudah berapa kali ia membayangkan malam seperti ini.
Dan ia berharap bahwa segala sesuatu akan sesuai dengan
angan-angannya. Tapi Will malah menarik lengannya dan kembali menggenggam
kemudi. "Kita jalan-jalan, yuk," ajaknya. "Tidak usah jauh-jauh. Di
sekitar sini saja. Suasananya begitu menyenangkan. Aku suka
pemandangan kota dari atas begini."
Ia membuka pintu tanpa menunggu tanggapan Chelsea.
Chelsea juga membuka pintu. Ia begitu romantis, gadis itu
berkata dalam hati. Padahal di sekolah Will begitu pemalu. Di atas
sini, ia kelihatan jauh lebih percaya diri.
Mungkin karena ia mulai merasa cocok denganku, Chelsea
menduga-duga. Ia memaksakan diri untuk tetap tenang. Lampu di dalam mobil
langsung padam ketika ia menutup pintu. Seketika ia diselubungi
kegelapan. "Will?" Sejenak Chelsea tidak tahu di mana pemuda itu. Lalu,
ketika matanya mulai terbiasa dengan kegelapan, ia melihatnya berdiri
di bibir jurang, memandang kota sambil memasukkan tangan ke
kantong jaket. "Coba lihat, tuh," Will berkata. Ia membalik dan memberi
isyarat agar Chelsea menghampirinya. "Dari atas sini Shadyside
kelihatan seperti kota mainan."
Chelsea maju beberapa langkah, namun akhirnya berhenti di
belakang Will. "Sini, dong," pemuda itu memanggil.
Chelsea maju selangkah lagi, lalu kembali berhenti. "Aku tidak
berani," katanya. "Aku takut ketinggian."
Will tampak kecewa?sekilas saja. Tapi kesan itu segera lenyap
ketika ia menghampiri Chelsea dan merangkulnya.
"Sori. Aku tidak tahu," dia minta maaf. Chelsea dituntunnya
menjauhi bibir jurang, ke arah hutan di seberang jalan. "Kita lewat sini
saja," katanya dengan lembut. "Aku paling suka berjalan-jalan di
hutan setelah gelap."
"Udaranya agak dingin," kata Chelsea sambil menggigil.
Embusan napasnya mengembun, menyerupai kabut putih di tengah
kegelapan malam. "Tapi aku suka di sini," ia cepat-cepat
menambahkan. "Suasananya begitu tenteram. Rasanya seperti kita
berada berjuta-juta mil dari rumah."
Mereka menyusuri jalan tanah yang masuk ke hutan. Keadaan
di bawah pohon-pohon ternyata gelap gulita. Cahaya bulan tak
sanggup menerobos ke situ.
Will memperlambat langkahnya, dan membiarkan Chelsea
berjalan mendahuluinya. Kemudian ia mengeluarkan segulung tali
dari kantong jaket, membukanya tanpa bersuara, lalu menggenggam
kedua ujung tali itu dan menariknya sampai kencang.
11 KETIKA Will menyiapkan tali di tangannya, dan bergegas
untuk mengejar Chelsea, ia teringat pada adiknya.
Chelsea mirip sekali dengan Jennifer.
Paling tidak, mirip bayangan Jennifer yang terukir dalam
benaknya. Kau beruntung, Jennifer, Will berkata dalam hati. Kau pergi
dengan Mom. Kau tidak dipukuli malam demi malam, setiap kali Dad pulang
dalam keadaan mabuk. Kau tidak hidup dalam mimpi buruk tanpa
akhir. Kau dan Mom memilih jalan keluar yang gampang. Kalian lari.
Kalian lari dan meninggalkan aku. Aku tidak pernah tahu ke mana
kalian pergi. Kau tidak pernah kirim surat. Menelepon pun tidak.
Kau dan Mom hidup enak. Dan kalian tidak pernah memikirkan aku.
Hmm, tapi aku sering memikirkan kau, Jennifer. Aku sering
memikirkan kau dan Mom. Banyak cewek yang pantas mati gara-gara kau.
Banyak cewek yang bakal mati.
Dan kemudian, suatu hari, aku akan menemukan kalian.
Dan kalian berdua akan mati.
Kalian akan bernasib sama seperti aku. Setiap malam aku mati.
Setiap malam. Setiap malam rasanya aku ingin mati saja.
Ia membuka mulut dan menghirup udara yang dingin.
Sambil menahan napas, ia lalu menghampiri Chelsea dari
belakang sambil mengangkat tali, siap mencekik gadis itu.
12 SOROT lampu itu mengejutkan keduanya.
Will masih sempat memasukkan talinya ke dalam kantong jaket
sebelum Chelsea membalik. "Apa itu?" seru gadis itu tertahan.
Lampu mobil. Mobil lain berhenti di samping mobil mereka.
"Lampunya... aku kaget," Chelsea berkata sambil
menggenggam lengan Will. "Aku pikir kita sendirian di sini."
"Tempat ini mulai ramai," balas Will, agak terlalu keras. "Ayo,
kita pergi saja." Ia meraih tangan Chelsea, dan mengajaknya kembali
ke mobil. Jantungnya berdebar-debar. Ketika melihat sorot lampu tadi, ia
langsung waswas karena menyangka ada mobil patroli polisi yang
mencari Pontiac tua yang dicurinya sore itu.
Tapi yang datang ternyata bukan polisi. Yang datang hanya
sepasang remaja yang mencari tempat untuk berpacaran.
Mereka telah merusak seluruh rencananya.
Kini ia harus mengantar Chelsea pulang, lalu membuang mobil
curiannya. Ia harus mencari kesempatan lain untuk membunuh gadis itu.
Sabarlah, katanya dalam hati. Ia membukakan pintu sambil
memaksakan senyum yang hangat.
Sabarlah. Pasti bakal ada kesempatan lagi.
Cewek ini takkan lolos. Ia bakal mati.
Tidak lama lagi ia bakal mati.
Ia menyalakan mesin, lalu mengarahkan mobilnya kembali ke
jalan. Kemudian ia menghidupkan lampu. Sorot lampunya menerangi
hutan lebat di hadapan mereka.
Chelsea menggigil, dan menyelipkan tangannya ke kantong
jaket. "Aku senang tadi," ia berkata sambil melamun. Ia merosot di
kursinya dan menyandarkan kepala. "Tempat ini begitu indah."
"Yeah," balas Will singkat. Ia tidak menoleh. Pandangannya
tertuju lurus ke depan. Chelsea menyadari bahwa ia belum pernah sebahagia saat itu.
Di sekolahnya yang lama pun ia selalu menyendiri. Ia selalu
menghabiskan malam Minggu di rumah sambil nonton TV, sementara
teman-temannya sibuk berpesta atau berkencan.
"Coba, deh, gaya rambutmu diubah sedikit," teman-temannya
sering menyarankan. Atau: "Coba, deh, kau diet supaya bisa lebih kurus."
Atau: "Coba, deh, kau pakai baju yang lebih seksi, yang lebih
berani." Semua orang selalu punya saran untuk Chelsea.
Tapi kini ia tidak butuh nasihat-nasihat mereka. Kini ia sedang
berkencan dengan seorang cowok yang betul-betul menyukainya.
Seorang cowok yang menciumnya dan mengajaknya berjalan-jalan di
tempat yang romantis, jauh di atas sungai, jauh di atas kota.
Chelsea merasa bahagia dan nyaman ketika menempelkan
kepalanya ke pundak Will dan berbisik, "Bagaimana kalau kita ke
rumahku saja?" Will tidak segera menyahut. Ia sedang termenung-menung,
seakan-akan sibuk memikirkan sesuatu.
Sejenak Chelsea menyangka bahwa Will tidak mendengarnya.
Tapi akhirnya pemuda itu berkata, "Ke rumahmu?"
"Yeah," jawab Chelsea sambil tersenyum. "Rumahku lagi
kosong. Ibuku sedang bekerja, dan ayahku di rumah sakit."
Pandangan Will tetap tertuju ke jalan, tapi Chelsea melihatnya
mengembangkan senyum. Senyum itu membuat hatinya berbunga-bunga.
Ia suka usulku, pikirnya.
Ia suka padaku. Aku akan berduaan saja di rumah, berduaan dengan cowok
yang kusukai. Ia merasa senang dan gugup dan bahagia dan cemas, semuanya
secara bersamaan. Chelsea memejamkan mata selama beberapa detik, dan
membiarkan dirinya dikelilingi kegelapan yang hening. Ketika
membuka mata lagi, perasaannya sudah lebih tenang.
Ia memberitahukan jalan untuk mencapai rumahnya di Fear
Street kepada Will. Pemuda itu tidak berkomentar atau bergurau tentang Fear
Street, seperti yang dilakukan anak-anak Shadyside ketika mendengar


Fear Street Kencan Pertama First Date di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

alamat Chelsea. Mungkin ia tidak tahu-menahu jalan ini, pikir
Chelsea. Will masih baru di Shadyside. Mungkin ia belum mendengar
hal-hal mengerikan yang?kata orang?terjadi di sini.
Chelsea melompat turun ketika Will menghentikan mobilnya. Ia
senang tinggal di Fear Street. Jalan itu adalah jalan paling
menyenangkan yang pernah didiaminya. Dan ini adalah malam paling
membahagiakan seumur hidupnya!
Will mengikutinya. Teras depan ternyata gelap gulita. Chelsea
lupa menyalakan lampu sebelum pergi tadi.
Ia merogoh-rogoh tas untuk mencari kunci rumah, tapi
kuncinya malah jatuh ke tangga. Mereka sama-sama membungkuk
untuk memungutnya. Tangan Will lebih cepat. Chelsea hanya bisa berharap bahwa
Will tidak melihat tangannya gemetaran ketika ia berusaha membuka
pintu depan. Ada-ada saja, kata gadis itu dalam hati. Aku tidak punya alasan
untuk gugup seperti ini. Ia menyalakan lampu ruang depan, dan melemparkan jasnya ke
tangga. Will mengambil sesuatu dari kantong jaket, lalu melemparkan
jaketnya ke samping jaket Chelsea. Kemudian Chelsea mengajaknya
ke ruang duduk yang gelap.
Ketika Chelsea hendak menyalakan lampu di samping sofa,
Will segera meraih tangan Chelsea dan menariknya dengan lembut.
Sebelum gadis itu sempat menarik napas, Will sudah
memeluknya dan menciumnya. Ciumannya begitu keras sehingga
Chelsea nyaris tak dapat menarik napas.
"Will..." bisiknya sambil memalingkan wajah. Jantungnya
berdegup kencang, dan kepalanya serasa berputar-putar.
Tapi Will tidak melepaskannya.
Chelsea tetap dipeluknya dengan lembut, lalu digiring ke sofa.
Sekali lagi ia menciumnya.
Chelsea menggigil. Gadis itu memejamkan mata, lalu membuka mata lagi. Ia ingin
melihat Will, melihat segala sesuatu. Ia ingin melihat semuanya
dengan jelas agar bisa mengenangnya. Mengenangnya untuk selamalamanya.
Ia kembali menggigil. Dan menyadari bahwa ia kedinginan. Ia masih kedinginan
karena jalan-jalan di hutan tadi. Ia masih kedinginan karena perjalanan
naik mobil. Aduh, kenapa aku harus memikirkan soal kedinginan? Ia
menegur dirinya sendiri. Kenapa aku harus berpikir? Ini bukan saatnya berpikir!
Sekali lagi Will menciumnya. Mereka berciuman sampai
keduanya terengah-engah. Cahaya dari ruang depan seolah-olah berkelap-kelip. Seluruh
ruangan terasa miring dan berputar-putar, seakan-akan mereka naik
karpet terbang, jauh di atas tanah.
Chelsea melepaskan diri dari pelukan Will, dan berusaha
mengatur napas. Ketika ia memejamkan mata dan menyandarkan
kepala dengan manja pada bahu teman kencannya itu, Will diam-diam
mengeluarkan tali dari kantong belakang celana jinsnya.
Tanpa bersuara, ia merentangkan tali itu dan bersiap-siap untuk
mencekik gadis itu. 13 CHELSEA mendadak berdiri.
Will tersentak kaget, dan talinya jatuh ke sofa.
"Aku kedinginan sekali," Chelsea berkata sambil merangkul
dirinya sendiri dan menggosok-gosok lengan sweternya. "Bagaimana
kalau kubuatkan cokelat panas?"
Ia terkejut ketika melihat ekspresi kecewa pada wajah Will. Pipi
pemuda itu tampak merah. "Hah?"
"Cokelat panas," Chelsea mengulangi. "Aku mau bikin cokelat
panas dulu, oke?" Kenapa Will kelihatan bingung? Apakah karena ia begitu
pemalu? Apakah ia juga tegang bercampur gembira seperti Chelsea?
Mungkin saja, sebab ia telah mengakui bahwa ia pun baru sekali ini
berkencan. "Yeah, boleh," katanya, dan tampangnya bertambah cerah.
"Tunggu, biar kubantu saja."
"Tidak perlu," ujar Chelsea. Ia melintasi ruang duduk yang
gelap ke ruang masuk yang terang. "Tapi kau bisa menemaniku di
dapur." Will ikut berdiri. "Ehm, kamar mandinya di mana?" ia tiba-tiba
bertanya. Chelsea menunjuk, lalu bergegas ke dapur. Ia menyalakan
lampu, mengisi teko, dan menghidupkan kompor. Setelah itu ia
menaruh dua cangkir di meja, lalu menghampiri lemari, membuka
pintunya, dan mencari-cari kemasan bubuk cokelat panas instan.
Kencanku berjalan lancar Sekali, pikirnya dengan gembira.
Ia melirik jam di atas lemari. Pukul 23.45. Sayang malam sudah
begitu larut. Sebenarnya ia masih ingin berlama-lama bersama Will.
Chelsea masih sibuk mencari-cari ketika Will diam-diam
mendekatinya dari belakang. Pemuda itu telah memegang tali di
tangan. Setelah menjerat Chelsea, ia akan menarik talinya sekencang
mungkin, lalu menunggu sampai gadis itu mati karena kehabisan
napas. Pasti takkan lama. Prosesnya begitu mudah. Namun sebenarnya bisa lebih mudah lagi, seandainya Chelsea
membiarkan Will mendorongnya dari puncak tebing.
Will sebenarnya sudah siap mendorong Chelsea dari tebing di
River Ridge. Satu kali dorong saja. Begitu cepat, begitu rapi.
Tapi Chelsea ternyata tidak mau bekerja sama.
Hal-hal tertentu patut diperjuangkan, pikir Will sambil
menghampiri Chelsea dari belakang.
Kalau kita sudah berniat melakukan sesuatu, lakukanlah dengan
baik. Will mengangkat talinya sambil menatap rambut Chelsea yang
berwarna cokelat. Tangannya tidak gemetar sama sekali.
Soalnya ini bukan kencanku yang pertama, Will berkata dalam
hati. Ia mengangkat tangannya sampai ke atas kepala.
Wangi parfum yang dipakai Chelsea tercium dengan jelas. Will
juga melihat label yang menyembul dari bagian leher sweter gadis itu.
Ia paling benci pada gadis-gadis yang tidak rapi.
Adiknya juga tidak memedulikan kerapian.
Ia membaca label itu: Ukuran L.
Selamat jalan, Chelsea, ia berkata dalam hati.
Selamat tidur. Tangannya mulai bergerak ke depan.
Sekonyong-konyong bel pintu berdering.
"Oh!" Chelsea memekik.
Will cepat-cepat menurunkan tali, dan berusaha memasang
tampang tak berdosa. "Will... aku tidak tahu kau menyusul ke sini!" Chelsea berseru
tertahan. Ia menyerahkan dua bungkus bubuk cokelat kepada pemuda
itu. "Nih. Tolong masukkan ke dalam cangkir. Aku mau lihat dulu
siapa yang datang." Will memperhatikan gadis itu bergegas meninggalkan dapur.
Kemudian, sambil menggertakkan gigi dengan geram, ia memungut
talinya dari lantai. Gagal lagi. Gagal lagi. Ia melirik jam di atas lemari. Siapa yang datang malam-malam
begini? Siapa yang mengganggu kencan pertama?dan terakhir?
mereka? Ibu Chelsea? Pasti bukan. Ibu Chelsea takkan menekan bel.
Lagi pula, Chelsea sempat bercerita bahwa ibunya bekerja lembur
sampai pagi. Setelah menaruh kedua bungkus bubuk cokelat di samping
cangkir-cangkir di meja, ia mengendap-endap ke pintu dapur untuk
menguping. Talinya dililit ke sebelah tangan.
Chelsea membuka pintu depan. Ia masih terheran-heran siapa
yang berkunjung selarut ini. "Nina!"
"Oh, Chelsea!" Nina meratap. "Maaf aku datang malam-malam
begini." Matanya tampak merah. Rambutnya, yang biasanya rapi,
kelihatan acak-acakan. "Nina, ada apa?" seru Chelsea.
Nina langsung masuk. Ia mengedip-ngedipkan mata karena
cahaya lampu yang terang. "Si Doug. Kami habis bertengkar.
Sepertinya dia mau memutuskan hubungan kami, Chelsea. Dan kali
ini kurasa dia serius."
"Masuk dulu, deh," ujar Chelsea. Ia menoleh ke dapur untuk
melihat apakah Will keluar.
Dasar Nina, gerutu Chelsea dalam hati. Seenaknya saja ia
datang malam-malam begini. Dan ia bahkan tidak tanya dulu apakah
aku ada kencan atau sedang sibuk. Ia begitu sibuk memikirkan Doug,
sehingga sama sekali tidak memikirkan orang lain.
Nina menyadari pandangan Chelsea. "Oh, sori, Chelsea. Kau
lagi ada tamu? Kau tidak sendirian?" Ia mengikuti Chelsea ke dapur.
"Aku ada kencan," bisik Chelsea, tanpa sanggup menahan
senyum. "Kencan?" balas Nina, juga sambil berbisik. Ia berhenti sejenak
untuk memperhatikan bayangannya di cermin yang dipasang di
dinding ruang masuk. "Dengan cowok?"
Chelsea meringis. "Aduh, maaf," ujar Nina sambil menempelkan kedua tangannya
ke pipi. "Aku lagi bingung. Aku tidak tahu lagi dengan siapa aku bisa
bicara. Aku habis keliling-keliling naik mobil dan sepanjang jalan aku
menangis terus dan aku pikir..."
"Duduklah," Chelsea memotong sambil menunjuk ke sofa.
"Tunggu sebentar, ya. Aku mau memperkenalkan teman kencanku
padamu." Nina mengerutkan kening, namun kemudian ia menuruti
keinginan temannya itu. Chelsea bergegas ke dapur.
"Will, maaf atas gangguan ini," katanya sambil merendahkan
suara agar Nina tidak mendengarnya. "Kelihatannya kencan rahasia
kita tidak bisa dirahasiakan lagi. Nina datang dan..."
Chelsea mendadak terdiam. Ia terbengong-bengong.
Sambil melongo ia menatap pintu dapur yang menuju ke
pekarangan belakang. Will telah pergi. 14 "ADUH, apa kau memang harus berlatih keras-keras begitu?"
tanya Mrs. Richards sambil mengintip dari balik koran Minggu.
"Mom mau baca koran, nih!"
"Mom," Chelsea menyahut dengan ketus, "tidak ada sejarahnya
orang berlatih saksofon pelan-pelan." Ia membalik halaman buku
musik di hadapannya. "Bagaimana kalau ujung saksofonnya dicopot?" tanya ibunya.
Wajahnya kembali menghilang di balik koran.
"Kenapa sih Mom selalu mengejek kalau aku sedang latihan?"
Chelsea balik bertanya. Ia menekan-nekan tombol saksofon sambil
menatap ibunya, yang duduk menghadapi koran di meja makan.
"Mom takut kepalamu jadi bengkak karena terlalu banyak
meniup," balas Mrs. Richards tanpa menoleh.
"Kenapa sih Mom tidak pernah mendukung hobiku?" Chelsea
bertanya dengan suara meninggi.
"Mom tidak mau mendukungmu," ujar ibunya. "Mom benci
suara saksofon!" Serta-merta Chelsea menempelkan alat musik itu ke bibirnya,
dan sengaja membuat bunyi sumbang yang keras.
Ibunya tersentak kaget, dan koran di tangannya nyaris terlepas.
Ia menurunkan korannya untuk memelototi Chelsea. Tapi kemudian
keduanya tertawa. "Oke, kita berdamai saja," kata Mrs. Richards.
"Damai," sahut Chelsea. Ia baru saja hendak berlatih lagi, ketika
pesawat telepon berdering.
Chelsea menaruh saksofonnya di kursi, dan menghampiri
pesawat telepon. "Uih, selamat," ibunya bergumam pelan-pelan.
"Hei, katanya mau damai!" Chelsea berseru sambil mengangkat
gagang. "Hai, Chelsea. Apakah sekarang masih terlalu pagi untuk
menelepon?" Gadis itu sempat mengerutkan kening sebelum mengenali suara
Will. "Hai. Tidak. Aku sudah bangun dari tadi, kok."
"Siapa itu?" ibunya bertanya dari seberang ruangan.
"Untuk aku," jawab Chelsea. Kemudian dia menghadap ke
dinding agar pembicaraannya tidak terdengar oleh ibunya. "Hei, ke
mana kau semalam?" ia bertanya kepada Will.
"Hah?" Sepertinya pemuda itu terkejut mendengar pertanyaan
Chelsea. "Jangan berlagak bodoh, Will," kata Chelsea gusar. "Waktu aku
kembali ke dapur, kau sudah pergi. Ada apa, sih?"
"Lho? Kau tidak dengar waktu aku pamitan?"
"Tidak," ujar Chelsea.
"Aku memanggilmu dari dapur. Aku bilang aku harus pulang.
Rasanya kau sempat menyahut, kok. Kau tidak ingat? Aku bilang, aku
akan menelepon pagi ini."
Chelsea tidak ingat apa-apa. Mungkinkah Will memang
berpamitan, tapi Chelsea tidak mendengarnya? "Ehm..." Chelsea tak
tahu harus berkata apa. Ia terpukul sekali ketika sadar bahwa Will telah pergi secara
diam-diam. Ia sakit hati, dan bingung. Akhirnya ia sampai pada
kesimpulan bahwa Will terlalu pemalu, sehingga tak berani
berkenalan dengan Nina. Atau mungkin juga ia begitu romantis,
sehingga tetap ingin menjaga kerahasiaan kencan rahasia mereka.
"Ehm, aku senang kau menelepon," Chelsea berkata.
"Siapa itu?" ibunya bertanya dari balik koran. "Anak laki-laki?"
"Mom jangan begitu, dong!" Chelsea merengek sambil menutup
gagang telepon dengan sebelah tangan.
"Wah, anak Mom jadi pemarah," ibunya menyahut, cukup keras
sehingga Chelsea tidak mendengar ucapan Will berikutnya.
"Sori, Will," ia berkata. "Kau bilang apa tadi?"
"Aku tanya apa kau berminat pergi nanti malam? Maksudnya,
untuk menyambung kencan pertama kita yang terputus semalam."
Oh, Will begitu manis, pikir Chelsea. Ia sudah mau menerima
ajakan pemuda itu, tapi tiba-tiba ia teringat bahwa ia berhalangan.
"Aduh, sori, Will. Aku tidak bisa. Aku harus menengok ayahku di
rumah sakit, dan selain itu masih ada setumpuk PR yang mesti
kuselesaikan. Aku sama sekali belum menyentuh tugas yang diberikan
Pak Lash." "Oh. Sayang sekali." Sepertinya Will sangat kecewa.
Reaksi Chelsea justru sebaliknya. Nada kecewa dalam suara
Will malah membuatnya merasa senang.
"Ehm... bagaimana kalau kau menjemputku di tempat kerjaku
besok malam?" Chelsea mengusulkan. Ia sendiri tak menyangka
bahwa dia ternyata berani mengajukan usul seperti itu.
"Yeah. Oke," ujar Will. "Boleh juga."


Fear Street Kencan Pertama First Date di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Chelsea lalu menyebutkan alamat restoran mereka, dan bahwa
mereka tutup pukul tujuh. Kemudian memperingatkan Will bahwa ia
akan berbau kentang goreng saat dijemput. Ia selalu berbau kentang
goreng sehabis bekerja. Sepertinya bau minyak itu melekat di
rambutnya. "Tidak apa-apa. Aku suka kentang goreng," balas Will.
Mereka masih mengobrol agak lama, tentang film yang mereka
tonton semalam, tentang acara jalan-jalan di atas tebing, tentang
sekolah. Sepertinya Will enggan mengakhiri percakapan mereka, dan
ini membuat hati Chelsea berbunga-bunga.
Ketika ia akhirnya meletakkan telepon dan berbalik, ia baru
sadar bahwa ibunya telah meletakkan koran di meja dan sedang
menatapnya dari seberang ruangan.
"Kau sudah punya pacar?" tanya Mrs. Richards.
"Mom jangan heran begitu, dong!" seru Chelsea jengkel.
"Memangnya Mom pikir tidak mungkin ada anak laki-laki yang suka
padaku?" "Sori," ujar Mrs. Richards cepat-cepat. "Apakah anak ini yang
mengajakmu berkencan? Siapa namanya?"
"Ya. Namanya Will," jawab Chelsea. "Dia juga masih baru di
Shadyside High." "Oh, bagus," ibunya berkata dengan tulus. "Kapan Mom bisa
berkenalan dengan dia?" Tiba-tiba ia melirik jam tangannya, dan
langsung berdiri. "Oh, ya ampun. Mom harus berangkat, nih. Mom
ambil shift tambahan pagi ini," katanya sebelum Chelsea sempat
menyahut. Beberapa menit kemudian ia sudah berangkat ke tempat
kerjanya. Sambil mendengarkan suara mobil ibunya menjauh, Chelsea
membungkuk untuk meraih saksofonnya. Secara kebetulan saja dia
memandang keluar jendela, lalu menyadari bahwa di luar ternyata
sedang turun salju. Wah, cuacanya memang lagi ajaib, ujarnya dalam hati.
Ia tak jadi mengambil saksofon, dan langsung menuju ke
jendela besar yang menghadap ke pekarangan depan. Butir-butir salju
putih tampak melayang-layang dari langit yang tak berangin.
Betapa indahnya, pikir Chelsea. Begitu lembut dan cantik.
Rasanya seperti dalam mimpi saja.
Agar dapat melihat lebih jelas lagi, ia bergegas ke pintu depan
dan membukanya. "Oh!" Ia tersentak kaget ketika melihat pria berperawakan tinggi besar
yang berdiri di teras. Orang itu mengenakan mantel panjang.
Wajahnya nyaris menempel di pintu kasa, dan ia menatap Chelsea
dengan sepasang mata yang menyorot dingin.
15 CHELSEA melompat mundur dan hendak membanting pintu.
Pria di teras itu memicingkan matanya yang biru. Butir-butir
salju menempel pada rambutnya yang pendek dan berwarna pirang,
pada alisnya yang tebal, pada pundaknya yang lebar. Ia mengangkat
sebelah tangannya. Chelsea mengerutkan kening.
Apa itu yang ada di tangan pria tersebut? Apa itu yang
diperlihatkannya? Sepertinya sebuah lencana. Kartu pengenal di atas lencana itu
bertulisan FBI. Pria itu mundur selangkah, lalu selangkah lagi, seakan-akan
ingin menunjukkan bahwa ia tidak bermaksud jahat.
Chelsea menatapnya dengan ragu. Jantungnya masih berdebardebar ketika ia membuka pintu. Udara di luar ternyata dingin dan
lembap. Langit tampak mendung dan kelabu.
"Ada perlu apa?" Chelsea bertanya dengan nada melengking.
"Maaf kalau saya membuatmu kaget," pria itu menyahut.
Suaranya kecil dan parau, padahal Chelsea menyangka bahwa orang
sebesar itu pasti bersuara berat. "Nama saya Martin. Saya agen FBI.
Apakah orangtuamu ada di rumah?"
Chelsea melihat sebuah sedan Plymouth berwarna hitam di tepi
jalan, kemungkinan besar mobil pria itu. Agen Martin tetap
memperlihatkan lencana dan kartu pengenalnya.
"Ehm, mereka sedang pergi," Chelsea menjawab dengan hatihati, sambil menatap pria yang bermata sebening kaca itu.
"Ada beberapa hal yang perlu saya tanyakan padamu. Apakah
kau punya waktu sebentar?"
Chelsea mengangguk, dan membuka pintu lebih lebar. Agen
Martin menyelipkan lencananya ke dalam kantong mantel. "Maaf
kalau saya mengganggu. Hanya ada beberapa pertanyaan yang perlu
kaujawab," katanya. Ia menundukkan kepala ketika melangkah masuk.
Kemudian ia mengikuti Chelsea ke ruang tamu.
"Siapa namamu?" ia bertanya. Chelsea memberitahunya.
Agen Martin menggesek-gesek sepatunya yang hitam mengilap
pada keset, lalu mengangkat sebelah tangan untuk menepis butir-butir
salju yang menempel di rambutnya.
"Ada apa sebenarnya? Apakah saya berbuat salah?" tanya
Chelsea. Ia menatap air yang mulai menggenang di sekeliling sepatu
Agen Martin. Pria itu tersenyum tipis, namun sekilas sorot matanya menjadi
hidup. Ia menggelengkan kepala. "Bukan begitu. Saya dan rekan saya
mendatangi semua rumah di daerah ini," ia menjelaskan. "Kami
ditugaskan mencari seorang pemuda."
"Seorang pemuda?" Chelsea bersedekap.
"Kami berharap bisa menemukan seseorang yang sempat
melihatnya," ujar Martin. Pandangannya beralih ke pintu dapur di
belakang Chelsea. "Kau murid Shadyside High?"
"Ya," jawab Chelsea. "Tapi baru sejak bulan lalu. Kami baru
pindah ke sini." "Kota yang menyenangkan," Martin berkomentar. Chelsea tidak
tahu pasti apakah ia bermaksud menyindir atau memang bersungguhsungguh. Pria itu kembali berpaling kepada Chelsea. "Barangkali kau
pernah melihat pemuda ini. Berat dan tinggi badannya sedang-sedang
saja, tapi sepertinya dia berlatih angkat besi. Lengannya kekar dan
dadanya bidang. Rambutnya gelap dan ikal. Matanya berwarna
cokelat tua sekali, hampir hitam. Terakhir kali kelihatan, dia
mengenakan celana jins dan jaket kulit berwarna hitam."
"Entahlah," balas Chelsea. "Banyak sekali anak muda yang
berpenampilan seperti itu."
"Coba ingat-ingat," kata Martin. "Barangkali ada seseorang di
sekolahmu yang cocok dengan ciri-ciri itu? Kau bekerja? Barangkali
seseorang di tempat kerjamu?"
Tiba-tiba saja sebuah wajah terbayang di depan mata Chelsea.
Tim Sparks! ia berseru dalam hati.
Oh, ya ampun! Ciri-cirinya persis seperti Sparks!
"Apakah... apakah pemuda ini berbahaya?" tanya Chelsea
dengan suara bergetar. Agen Martin mengangguk. Roman mukanya menjadi serius,
dan ia mengamati reaksi Chelsea sambil memicingkan matanya yang
biru. "Yeah, dia memang berbahaya," katanya. "Dan ada
kemungkinan bahwa dia berada di daerah Shadyside."
Chelsea hendak mengatakan sesuatu, tapi kemudian
membatalkan niatnya. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Apakah ia perlu
memberitahu Martin tentang Sparks?
"Kalau kau sempat bertemu seseorang dengan ciri-ciri seperti
itu, sebaiknya kauceritakan kepada saya," ujar Martin, seakan-akan
membaca pikiran Chelsea. Sambil menunggu jawaban gadis itu, ia
memasukkan tangannya ke dalam kantong mantel.
"Rambut orang itu hitam dan ikal?" Chelsea bertanya untuk
mengulur-ulur waktu. Otaknya bekerja keras. "Dan sepertinya dia
berlatih angkat besi?"
Agen Martin mengangguk. Sparks berkesan berbahaya, pikir Chelsea. Rupanya ia memang
berbahaya. "Ada satu pemuda yang sudah beberapa kali mampir di restoran
tempat saya bekerja," kata Chelsea pelan-pelan. "Dia mirip dengan
ciri-ciri yang Anda sebutkan tadi." Ia menurunkan tangan, tapi
kemudian langsung menyilangkannya lagi. Dengan gugup ia
bersandar pada pagar tangga.
Martin mengeluarkan buku notes dan bolpoin dari kantong
kemeja, lalu mencatat sesuatu.
Persis seperti detektif di TV, pikir Chelsea.
"Apakah pemuda itu sempat menyebutkan namanya?" tanya
Martin, tanpa mengalihkan pandangan dari buku notes.
"Ya. Sparks. Tim Sparks," ujar Chelsea. "Katanya dia biasa
dipanggil Sparks saja."
"Sparks," Martin mengulangi, sambil mencatat nama itu.
"Apakah sebelum ini dia pernah berurusan dengan hukum?"
tanya Chelsea. Ia teringat bagaimana Sparks mendadak marah tanpa
sebab yang jelas. Martin tidak menjawab. "Kau sempat berkencan dengan
pemuda itu?" "Tidak!" balas Chelsea, lebih ketus dari yang dimaksudkannya.
"Tidak," ia mengulangi. "Saya cuma mengobrol dengan dia. Di
restoran. Hanya dua kali dia ke sana."
"Apakah dia bercerita di mana dia tinggal?"
Chelsea menggelengkan kepala. "Saya tidak ingat. Tapi rasanya
tidak. Dia bilang dia sedang mencari pekerjaan."
Martin segera mencatat informasi itu. Ia menatap Chelsea.
"Apakah dia satu sekolah denganmu?" ia bertanya sambil menurunkan
buku notes. "Hah?" "Sekolahmu. Shadyside High. Apakah kau pernah melihat
Sparks di sekolahmu? Kadang-kadang dia mendaftarkan diri di high
school setempat. Umurnya dua puluh, tapi tampangnya seperti anak
umur tujuh belas." Dengan sabar Martin menunggu jawaban Chelsea.
"Tidak," ujar gadis itu. "Saya belum pernah melihat dia di
sekolah. Hanya di restoran."
Martin menanyakan nama dan alamat restorannya, dan Chelsea
memberitahunya. "Terima kasih atas keteranganmu," kata Martin sambil
menyelipkan buku notes dan bolpoin ke kantong kemeja. Kemudian ia
menyerahkan kartu namanya. "Kalau kau teringat sesuatu yang
mungkin bisa membantu, silakan telepon saya atau rekan saya.
Nomornya ada di kartu nama saya."
Agen FBI itu membalik dan menuju ke pintu, meninggalkan
genangan air berwarna keruh di tempat ia berdiri sebelumnya. "Kalau
kau ketemu lagi dengan anak itu, hubungi saya... oke?"
"Oke," jawab Chelsea. Kartu nama tadi dipegangnya erat-erat.
"Dan jangan ambil risiko," Martin memperingatkan. Ia
memandang keluar. Hujan salju telah berhenti, dan di tanah tak ada
bekas sama sekali. Rekannya, yang mengenakan mantel panjang
berwarna gelap, sudah menunggu di samping mobil mereka.
"Risiko?" tanya Chelsea.
"Untuk sementara kau harus lebih berhati-hati, oke?"
"Oke," ujar Chelsea, tanpa beranjak dari pagar tangga.
"Dan kartu nama saya jangan sampai hilang," kata Martin. Ia
membuka pintu. "Kalau kau melihat si Sparks ini, segera telepon
saya." Pintu rumah Chelsea ditutupnya dengan keras.
Chelsea memperhatikannya melintasi pekarangan dengan
langkah panjang. Mantel agen FBI itu tampak melambai-lambai.
Kemudian Chelsea mengunci pintu, membalik, dan menyandarkan
punggung. Ia memejamkan mata. Dari pertama ia sudah tahu bahwa Sparks mudah naik pitam,
tapi ia tidak menyangka bahwa pemuda itu memang berbahaya. Ia
tidak menyangka bahwa Sparks ternyata dicari oleh FBI.
Chelsea merinding ketika teringat bahwa Sparks sempat
mengajaknya berkencan. Ia tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi
seandainya ia menerima ajakan itu. Apa yang bakal dilakukan Sparks
terhadapnya? Sekonyong-konyong sebuah pikiran menakutkan muncul dalam
benaknya: Bagaimana kalau Sparks datang lagi ke restoran?
Apa yang harus dilakukannya kalau begitu?
16 "MANA nih, si cowok misterius?" tanya Nina. Kaki kursi yang
didudukinya bergesekan di lantai ketika ia merapatkannya ke meja. Ia
mengeluarkan makan siangnya dari kantong kertas berwarna cokelat.
Apel dan yoghurt rasa vanili.
"Dia tidak masuk tadi pagi," ujar Chelsea dengan sedih. Ia pun
duduk menghadapi makan siangnya. Sandwich ham, sebungkus
keripik kentang, semangkuk puding cokelat, dan sekaleng Coke.
Nina pasti menyangka aku rakus sekali, pikir Chelsea. Tapi
kalau makan siangku cuma yoghurt dan apel, aku bakal kelaparan
sepanjang sore! "Mau kubagi yoghurt?" tanya Nina. "Porsinya kebanyakan,
nih." "Tidak, terima kasih," jawab Chelsea. Cepat-cepat dia
menggigit sandwich-nya. Nina mengulurkan tangan dan mengambil segenggam keripik
kentang. "Cerita dong tentang Will," katanya sambil memandang ke
pintu kantin. "Anaknya pemalu," ujar Chelsea. "Dan tampan. Pipinya selalu
jadi merah." "Oh, ya?" sahut Nina, tanpa benar-benar menaruh perhatian.
"Siapa sih yang kaucari?" tanya Chelsea dengan jengkel. Ia
meraih kaleng Coke dan meminumnya seteguk.
"Doug," jawab Nina. Ia kembali mengambil segenggam keripik
kentang. "Semalam dia dan aku sudah berbaikan lagi."
"Oh, bagus!" seru Chelsea dengan gembira. "Bagaimana kalau
Sabtu besok kita berempat pergi ramai-ramai?"
"He-eh," Nina bergumam dengan acuh tak acuh. "Omongomong, ke mana si Will waktu aku datang ke rumahmu malam
Minggu kemarin? Kenapa dia tiba-tiba menghilang?"
Chelsea tidak segera menjawab. Akhirnya ia bercerita bahwa
kencan malam Minggu lalu merupakan kencan pertama bagi dia dan
Will, dan bahwa Will hendak menjadikannya sebagai kencan rahasia
yang istimewa. "Aneh," komentar Nina singkat. Kemudian ia mendadak berdiri
karena melihat Doug di pintu kantin. Langsung saja ia menghampiri
pacarnya itu. Chelsea mengunyah rotinya. Ia menatap yoghurt Nina sambil
melamun tentang Will. Dalam hati Chelsea bertanya-tanya kenapa
Will tidak masuk sekolah. Jangan-jangan ia sakit. Jangan-jangan ia
tidak bisa menjemputnya seusai bekerja nanti.
Chelsea ingih sekali bertemu dengan pemuda itu, dan
mengobrol dengannya. Ia sudah tak sabar bercerita bahwa ia bertemu
agen FBI. Ia sudah tak sabar bercerita tentang Sparks, betapa
berbahaya anak itu dan bahwa ia dicari FBI. Chelsea merinding ketika
teringat bahwa ia nyaris berkencan dengan Sparks, bukannya dengan
Will. Chelsea yakin bahwa Will pasti menyukai cerita itu.
Mereka berdua memiliki banyak kesamaan.
Malam itu, restoran tempat Chelsea bekerja ramai dikunjungi
tamu. Chelsea agak kewalahan melayani orang-orang yang
berdatangan. Ia terus melirik ke arah jam, dan bertanya-tanya apakah


Fear Street Kencan Pertama First Date di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Will akan muncul pukul tujuh.
"Pesanan berikut sudah siap!" Ernie berseru dari dapur. Ia
menggedor ambang jendela di mana piring-piring tampak berderetderet. "Hei, Chelsea, kau mendadak tuli, ya?"
"Sori." Chelsea bergegas untuk mengambil piring-piring itu.
"Tingkahmu agak aneh malam ini," Ernie berkomentar sambil
menggigit tusuk gigi. "Kau lagi jatuh cinta, ya?"
Chelsea tertawa. Tapi telinganya terasa panas. Ia kembali
melirik jam dinding. Baru pukul 18.30.
Ketika ia kembali ke meja layan sambil membawa setumpuk
piring kotor, seseorang menepuk pundaknya dari belakang.
Sparks! Chelsea memekik. Piring-piring yang dibawanya berjatuhan ke
lantai. Ia membalik dan melihat pria setengah baya yang menatapnya
dengan bingung. Ternyata bukan Sparks.
"Oh, sori, Nona," pria itu minta maaf. "Saya tidak bermaksud
mengagetkan Anda. Saya hanya mau minta saus tomat."
Chelsea menarik napas dengan lega. "Maaf. Saya juga tidak
bermaksud menjerit seperti itu. Saya cuma..."
Pria itu membungkuk dan mulai memungut pecahan-pecahan
yang berserakan di lantai.
"Jangan," ujar Chelsea. "Biar saya saja. Ini sudah tugas saya."
Setelah mendesak-desak, ia berhasil memaksa pria itu kembali
ke mejanya. Kemudian ia memungut pecahan piring yang besar-besar,
menyapu sisanya berikut makanan yang tumpah, dan membuang
semuanya ke tempat sampah.
Setengah jam terakhir itu terasa lama sekali. Ernie terus
menggoda Chelsea dari balik panggangan di dapur. Ia terus
berkomentar tentang cinta monyet sambil terkekeh-kekeh dan
mengedipkan mata. Tenang saja, Chelsea. Tenang saja. Kata-kata itu diulangulanginya dalam hati, tapi ternyata tidak banyak gunanya.
Pukul 19.10, pengunjung terakhir meninggalkan restoran.
Chelsea meredupkan lampu-lampu dengan memutar dimmer, lalu
mengosongkan kasa. "Will, di mana kau?" ia bertanya sambil memindahkan uang
yang diperoleh sore itu ke meja kecil berlaci satu di ruang belakang.
Barangkali ia sakit, Chelsea berkata dalam hati. Mungkin
karena itu ia tidak masuk sekolah hari ini.
Diputuskannya untuk menelepon Will begitu ia sampai di
rumah. Kalau Will tidak muncul di restoran sebelumnya.
Ia mulai menghitung uang, tapi kemudian pikirannya kembali
beralih kepada Will. Akibatnya ia salah hitung, dan terpaksa mulai
lagi dari awal. Chelsea melihat bahwa panggangan belum dibersihkan maupun
dimatikan. Sisa-sisa minyak masih berdesis-desis. Selain itu hanya ada
suara berdengung dari lemari es, serta bunyi tes, tes, tes di tempat cuci
piring yang penuh piring kotor.
Lho, mana si Ernie? Chelsea terheran-heran.
Hmm, mungkin ia sedang membuang sampah di gang belakang.
Sekali lagi Chelsea salah hitung.
Oke, dari awal lagi, katanya dalam hati.
Tiba-tiba ia mendengar pintu depan membuka.
Lonceng di atas pintu berdenting pelan.
Chelsea langsung waswas. Biasanya ia mengunci pintu dulu sebelum menghitung uang.
Tapi malam ini ia sengaja tidak menguncinya, kalau-kalau Will jadi
datang. Pintu depan ditutup pelan-pelan.
Chelsea mendengar suara langkah. Suara langkah yang semakin
dekat. Suara langkah satu orang.
"Will?" serunya tertahan, tapi cukup keras sehingga terdengar
di luar dapur. Suara langkah itu berhenti.
"Will?" ia mengulangi, sedikit lebih keras.
Orang di luar itu kembali melangkah.
"Will?" Kenapa ia tidak menyahut?
Tiba-tiba Chelsea mulai dicekam ketakutan. Terburu-buru ia
menumpuk lembaran-lembaran uang, memasukkan semuanya ke
dalam laci, lalu menutup lacinya.
Ia berdiri. Jantungnya berdentum-dentum.
Ke mana si Ernie? Mungkin ia lagi merokok di gang belakang.
Kenapa ia selalu menghilang kalau Chelsea terancam bahaya?
"Will, tunggu sebentar, ya!" seru gadis itu.
Ia membungkuk dan memandang lewat jendela dapur. Tak
seorang pun kelihatan. "Will?" Orang itu pasti Will. Semoga ia memang Will. 17 CHELSEA menarik napas panjang, lalu keluar dari dapur dan
melangkah ke belakang meja layan yang panjang. "Siapa itu?" ia
bertanya, sambil memaksakan suaranya tetap tenang. "Will?"
Ternyata Sparks yang muncul dari bayang-bayang. Ia
menyeringai. Sebelah tangannya menggenggam sandaran punggung
bangku di meja pertama. Chelsea tersentak kaget. Ia pun berpegangan pada tepi meja
layan. Kenapa Sparks cengar-cengir seperti itu?
Wajah pemuda itu tidak tampak jelas, namun Chelsea bisa
melihat matanya bersinar-sinar.
"Sparks... kau mau apa?" Chelsea berseru. Tenggorokannya
serasa tersekat karena ngeri.
Sparks maju selangkah. Ia kelihatan begitu besar. Begitu
berbahaya. Ia maju pelan-pelan, selangkah demi selangkah. Matanya yang
gelap tampak berair. Wajahnya yang biasanya pucat kini kemerahmerahan.
Ia tertawa cekikikan. Masa sih ia mau menakut-nakuti aku? pikir Chelsea.
Ia merogoh saku celana jinsnya untuk mengambil kartu nama
Agen Martin. "Sparks? Kenapa kau?"
Pemuda itu kembali terkekeh-kekeh. Suaranya janggal, hampir
seperti suara binatang. Sambil sempoyongan ia menghampiri meja
layan. "Sini kau," katanya. Ia menatap Chelsea, namun pandangannya
tidak terfokus. "Sparks... kau mabuk," Chelsea menuduh. Ia mundur sampai
menabrak dinding. "Aku habis minum bir, cuma beberapa gelas," sahut pemuda itu
sambil angkat bahu. "Ayo, sini. Ramah sedikit, dong."
"Aku minta kau pergi. Jangan ganggu aku," ujar Chelsea. "Aku
serius, Sparks." Pemuda itu menggelengkan kepala. Roman mukanya berubah.
Ia kelihatan marah. "Hei, kenapa kau mengusirku?" ia bertanya sambil
bersandar pada sebuah kursi. "Aku tahu kau suka padaku."
Chelsea menatap Sparks. Apa yang akan dilakukannya? Ia
bertanya dalam hati. Ia teringat pada pesan Agen Martin. Ia teringat
roman muka agen FBI itu ketika menegaskan bahwa Sparks
berbahaya. Ya, ia berbahaya. Sangat berbahaya.
Apa kesalahannya? Kejahatan apa yang telah dilakukannya?
Pasti sesuatu yang sangat mengerikan. Kalau tidak, ia takkan dicari
oleh FBI. "Hei... sini kau!" Sparks mengulangi dengan nada memaksa.
Ketika pemuda itu mencondongkan badan ke meja layan, Chelsea
melihat bahwa keningnya dibasahi keringat.
"Sparks, jangan..." katanya.
Pemuda itu mengembangkan senyum. Ia berusaha menangkap
Chelsea, tapi malah menabrak meja layan.
"Ernie!" Chelsea memekik. Tapi si juru masak belum kembali.
Chelsea panik. Serta-merta ia membalik dan berlari ke dapur.
Begitu melewati pintu, ia berhenti dan membalik lagi.
Sparks sedang menggeleng-gelengkan kepala, seakan-akan
merasa bingung, seakan-akan berusaha menjernihkan pikirannya.
"Hei... aku cuma main-main!" serunya. "Cuma bercanda. Sini, dong!"
Chelsea tidak menggubris permintaannya. Tanpa berpikir
panjang, ia berlari ke pintu belakang. Setelah keluar ke gang, ia bisa
berlari mengelilingi gedung dan mencari bantuan. Saat itu baru pukul
19.30. Mestinya masih ada orang yang lalu-lalang di Old Village.
"Hei, jangan kabur!" Sparks berseru. Ia berhenti di pintu dapur
dan mengangkat tangannya yang kekar untuk menghalangi Chelsea.
Pandangannya menyapu seluruh ruangan.
"Pergi! Jangan ganggu aku!" teriak Chelsea.
Ia meraih pegangan pintu belakang dan menariknya dengan
sekuat tenaga. Pintu itu tidak bergerak sedikit pun.
Pandangan Chelsea beralih pada gerendel besar yang terbuat
dari logam. Gerendelnya dikunci. Dia terperangkap.
"Hei, aku tidak bermaksud jahat," ujar Sparks. Ia menghampiri
gadis itu dengan langkah gontai. "Aku cuma main-main. Kau tidak
mau main-main?" "Sparks... jangan ganggu aku!" Chelsea memohon. Ia
melepaskan celemek dan mencampakkannya ke lantai. Satu-satunya
jalan keluar adalah dengan melewati dia, gadis itu menyadari. Sparks
sempoyongan, barangkali aku bisa menerobos keluar.
Ia menarik napas panjang, lalu menerjang ke arah pemuda itu.
Sparks membelalakkan mata. Senyumnya semakin lebar. Ia
merentangkan tangan untuk menangkap gadis itu.
Chelsea mengelak. Hampir saja ia menabrak panggangan yang
masih berdesis-desis. Sparks tertawa, dan berusaha menyergapnya.
Tapi dengan tangkas Chelsea berhasil menghindar.
Kemudian ia mendengar suara benturan, diikuti bunyi desis
yang keras. Chelsea membalik dan melihat bahwa tangan Sparks menempel
pada panggangan yang masih panas.
Mulut pemuda itu menganga lebar. Mula-mula tak ada suara,
tapi kemudian ia meraung-raung bagaikan hewan yang terluka.
"Tanganku! Tanganku!" ia menjerit, lalu berlutut karena
kesakitan. Chelsea berhenti di ambang pintu.
"Tanganku! Oh... panasnya! Aduh, aduh!" Sparks mengerang
sambil berguling-guling di lantai.
Aku harus menolong dia, pikir Chelsea, sambil bergegas
kembali ke dapur. Aku harus menolongnya, lalu memanggil FBI.
Ia membantu Sparks berdiri dan menuntunnya ke tempat cuci
piring. "Sini, Sparks," katanya sambil membuka kran. "Air dingin.
Basuh tanganmu dengan air dingin. Aku telepon 911. Aku mau
panggil ambulans." Sparks mengerang tertahan. Sambil memejamkan mata karena
menahan nyeri, ia membiarkan tangannya yang cedera dialiri air
dingin. "Hah? Kau mau apa?" ia masih sempat bertanya.
"Aku mau panggil ambulans. Tunggu di sini saja."
Chelsea berlari ke depan, mengangkat gagang telepon di ujung
meja layan, lalu meraih kartu nama di dalam saku celananya.
Sebaiknya kutelepon Agen Martin dulu, ia memutuskan. Habis
itu baru 911. Dengan tangan gemetar Chelsea memutar nomor yang
tercantum pada kartu nama si agen FBI. Kemudian ia menempelkan
gagang telepon ke telinga, dan menoleh ke pintu dapur.
Sparks masih berdiri di tempat cuci piring. Ia memegang
tangannya yang cedera sambil mengerutkan wajah karena kesakitan.
Pesawat telepon yang dituju Chelsea berdering satu kali. Dua
kali. "Ayo! Angkat, dong!" Chelsea memohon sambil mengawasi
Sparks. "Agen Forrest," sebuah suara berat menyahut.
"Apakah... ehm... apakah saya bisa bicara dengan Agen
Martin?" Chelsea berbisik, agar Sparks tidak mendengarnya.
"Agen Martin sedang bertugas di lapangan," lawan bicaranya
menjawab. "Barangkali saya bisa membantu?"
"Ya. Ini Chelsea Richards. Saya di Ali Star Cafe. Tolong..."
Sparks muncul di belakangnya.
"Oh!" Chelsea berseru kaget.
"Bagaimana? Ambulansnya sudah jalan?" tanya pemuda itu.
Suaranya lemah. Wajahnya berkerut-kerut dan bermandikan keringat.
"Sparks... kembali ke dapur dan basuh tanganmu dengan air
dingin," ujar Chelsea. Ia sengaja bicara keras-keras agar Agen Forrest
mendengar nama Sparks. "Biar aku saja yang mengurus soal
ambulans." Agen Forrest diam sejenak. Kemudian ia berkata, "Kami akan
segera ke sana. Usahakan agar dia tidak meninggalkan tempat. Kami
juga akan membawa ambulans. Apakah Anda dalam bahaya?"
"Rasanya tidak," Chelsea menjawab ragu-ragu.
"Kami akan segera datang."
Klik. Sparks meringkuk di meja terdekat. Ia masih mengerang-erang.
Tangannya yang cedera diletakkannya di atas meja, dengan telapak
menghadap ke atas. Chelsea menyalakan lampu. Ia mengelilingi meja layan dan
menghampiri pemuda itu. "Ambulansnya sudah jalan?" tanya Sparks.
Chelsea mengangguk. "Coba kulihat tanganmu."
Ia membungkuk untuk memeriksa tangan Sparks. Tangan itu
merah dan membengkak. Kulitnya terkelupas di beberapa tempat, dan
Chelsea melihat sejumlah luka bakar yang telah pecah dan berair.
Kulit di bagian-bagian yang terkena minyak panas tampak gosong.
Setelah beberapa detik, Chelsea terpaksa mengalihkan
pandangan. Ia menarik napas panjang untuk menghalau rasa mual
yang menyerangnya. "Gawat juga," komentarnya.
Di luar dugaan, Sparks malah berdiri. "Tidak juga," pemuda itu
bergumam. Ia tak berani beradu mata dengan Chelsea. "Mungkin lebih
baik kalau aku pulang saja."
"Jangan!" Chelsea berseru, lebih keras dari seharusnya.
Sparks membalik dan menatapnya dengan curiga.
"Sebentar lagi ambulansnya akan datang," Chelsea
menjelaskan. "Tanganmu harus dirawat dokter. Luka itu cukup parah."
Sparks tetap menuju ke pintu. Dia terhuyung-huyung. "Tidak
perlu. Aku tidak apa-apa. Aku pulang saja. Lukanya akan kubalut
perban setelah sampai di rumah."
"Jangan. Tunggu saja di sini," Chelsea memohon.
Ia tidak boleh membiarkan Sparks meninggalkan restoran. Ia
harus menahannya sampai para petugas FBI tiba. Pemuda itu
berbahaya. Sangat berbahaya. Chelsea tidak boleh membiarkannya
pergi. "Nih," katanya sambil menuangkan Coca-Cola ke sebuah gelas.


Fear Street Kencan Pertama First Date di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Minum dulu, deh. Ayo, Sparks. Duduklah."
Sparks berhenti sejenak, lalu membalik dan berpaling kepada
Chelsea. Gadis itu menyodorkan gelas. "Nih."
"Wah, minuman gratis," komentar Sparks dengan getir.
"Rupanya ini malam keberuntunganku."
Chelsea mendengar sirene menguing-nguing di luar.
Cepat. Ayo... cepat! ia berkata dalam hati.
"Ini, Sparks." Ia hendak menyerahkan gelas di tangannya.
"Aku harus pergi," ujar Sparks. Ia menyeka keringat yang
menempel di keningnya dengan lengan jaketnya. "Kepalaku agak
pusing. Aku harus berbaring."
"Kau mengalami shock," kata Chelsea. "Duduklah. Ayo,
Sparks." Suara sirene di luar bertambah keras.
"Ayo, Sparks. Minum dulu, deh. Kau akan merasa lebih enak
kalau sudah minum." Sparks meraih gelas yang disodorkan padanya. "Hei, aku cuma
main-main tadi," ia berusaha menjelaskan. "Cuma bercanda."
"Aku tahu," sahut Chelsea sambil memandang ke pintu.
Cepat! Cepat! katanya dalam hati.
"Aku memang habis minum bir tadi, tapi..."
"Tenang saja," Chelsea mencegahnya. "Minum dulu, deh."
Sparks baru minum beberapa teguk, ketika pintu depan
membuka dan dua petugas paramedis berseragam putih bergegas
masuk sambil membawa tandu. "Mana orangnya?" seru petugas yang
masuk lebih dulu. Kemudian ia menunjuk Sparks. "Kau?"
Sparks menaruh gelasnya di atas meja layan, lalu berpaling
kepada petugas itu. "Tanganku terbakar," ia berkata pelan-pelan.
"Oooh... ya ampun," ujar petugas yang satu lagi. Ia menatap
tangan Sparks sambil meringis.
"Masih sanggup jalan sendiri?" tanya rekannya.
Sparks mengangguk. "Kami akan membawamu ke Shadyside General."
"Tunggu..." ujar Chelsea. Kenapa agen FBI itu belum muncul
juga? Chelsea tidak bisa membiarkan Sparks pergi sebelum orang itu
datang. Chelsea lega sekali ketika seorang pria dengan mantel panjang
berwarna hitam muncul di pintu. "Saya Agen Forrest," orang itu
memperkenalkan diri dengan lantang, sambil memperlihatkan lencana
dan kartu pengenal. Ia menatap Chelsea. "Kau baik-baik saja?"
Chelsea mengangguk. "Ya, saya baik-baik saja. Tapi saya
senang Anda akhirnya datang."
Sparks mengerang. Ia menoleh ke arah Chelsea sambil meringis
menahan sakit. "Ada apa ini?"
Agen Forrest mengantongi lencananya, lalu menghampiri para
petugas paramedis. "Bawa dia ke rumah sakit. Saya akan ikut."
Kemudian ia berkata kepada Sparks, "Saya Agen Forrest dari FBI.
Ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan padamu."
"Ada apa ini?" Sparks mengulangi. Ia tampak bingung.
Pandangannya beralih kepada Chelsea, tapi gadis itu memalingkan
wajah. Forrest memegang pundak Sparks hati-hati. "Pertama-tama
tanganmu harus diperiksa dulu. Setelah itu kita akan bicara."
"Apa salah saya?" Sparks bertanya. "Ada urusan apa
sebenarnya?" Ia masih memprotes ketika kedua petugas paramedis
menggiringnya keluar. Agen Forrest menyusul, namun masih sempat
menoleh sekali lagi. "Kau betul-betul tidak apa-apa?"
Chelsea mengangguk. "Apakah saya perlu menunggu sebentar, sampai kau mengunci
semuanya?" "Tidak perlu. Saya tidak apa-apa. Sungguh," Chelsea berkeras.
"Saya akan mengunci pintu, lalu langsung pulang."
"Setelah ini kami masih perlu minta keterangan darimu," Agen
Forrest berpesan. Kemudian ia membalik dan pergi.
Chelsea mengembuskan napas keras-keras, lalu menyandarkan
punggung ke dinding. Tiba-tiba ia mendengar suara langkah di dapur. "Siapa itu?"
serunya kaget. Kepala Ernie menyembul dari jendela da-pur. "Ada apa, sih?
Kok ramai betul tadi?" ia bertanya. "Sudah siap pulang?"
"Ernie... ke mana saja kau?" Chelsea balik bertanya.
Ernie menunjuk ke pintu belakang.
"Sudahlah, kita pulang saja," ujar Chelsea sambil mendesah.
Dalam sekejap semuanya sudah selesai dibereskan. Ernie
pulang sambil membawa sekantong ayam panggang sisa.
Chelsea memperhatikannya pergi, lalu mulai memadamkan
lampu-lampu. Ia sadar bahwa jantungnya masih berdegup-degup. Ia
masih dicekam ketakutan, meskipun Sparks sudah tertangkap.
"Oh!" Ia memekik kaget ketika melihat sosok gelap yang berdiri di
ambang pintu. Baru beberapa detik kemudian ia mengenali orang itu.
"Will!" Pemuda itu tersenyum dan menghampirinya. "Maaf aku
terlambat." "Oh, Will... akhirnya kau datang juga!" seru Chelsea.
Tanpa berpikir panjang ia berlari mengelilingi meja layan dan
memeluk pemuda itu. Will sempat terkejut. Namun roman mukanya segera kembali
seperti biasa, dan ia pun mendekap Chelsea dengan erat.
Inilah saat yang kutunggu-tunggu, katanya dalam hati.
Ia memejamkan mata. Bau minyak yang melekat pada rambut
Chelsea tercium jelas. Saatnya sudah tiba, pikirnya.
Malam ini Chelsea akan mati.
18 WILL duduk di sofa, berdampingan dengan Chelsea yang asyik
menceritakan kejadian yang baru saja dialaminya. Pemuda itu harus
berusaha keras agar tidak tertawa.
Rasanya ia ingin berdiri di sofa, mengangkat tangan tinggitinggi, dan bersorak gembira.
Cewek tolol itu telah menyerahkan orang yang salah kepada
FBI. Dan sekarang ia malah sibuk berceloteh tentang betapa ngerinya
dia, betapa menakutkan tampang pemuda malang yang mengejarngejarnya, dan betapa senangnya ia karena bertemu Will.
Menggelikan, kata Will dalam hati.
Tidak ada siapa-siapa di rumah selain mereka. Chelsea sempat
bercerita bahwa ibunya akan bekerja lembur sampai pagi. Dan
ayahnya masih di rumah sakit.
Segala sesuatu serba mendukung rencana Will.
Kesempatan emas seperti itu takkan terulang lagi, ia menyadari.
Sebenarnya sayang juga, pikir Will. Sebenarnya aku suka
cewek yang satu ini. Tapi ia tahu bahwa tak ada gunanya bermanis-manis terhadap
perempuan. Cepat atau lambat mereka akan meninggalkan kita. Seperti
ibunya. Mereka pergi dan melupakan kita.
Tapi aku takkan pernah lupa, ujar Will dalam hati.
Aku akan ingat dan ingat dan ingat terus? sampai aku
menemukanmu, Ma. Aku akan menemukanmu. Suatu hari, aku pasti akan
menemukanmu. Chelsea masih mengoceh tentang pengalamannya yang
menegangkan. Ia. meremas-remas tangan Will.
Will merogoh kantongnya dengan tangan yang satu. Ya, talinya
masih ada. Siap beraksi. Tiba-tiba ada sebuah pikiran yang terasa mengganjal. Ia
memicingkan mata dan mencoba berkonsentrasi.
Soal FBI. Dalam sekejap mereka pasti sudah tahu bahwa orang
yang diserahkan Chelsea bukanlah orang yang mereka cari-cari
selama ini. Dan setelah itu, pencarian pasti akan dilanjutkan lagi.
Sampai sekarang Will selalu berhasil mengecoh mereka. Ia
selalu berada satu langkah di depan orang-orang itu. Tapi kali ini
mereka sudah dekat. Begitu dekat. Salah satu dari mereka bahkan
sempat masuk ke rumah ini.
Will sadar bahwa ia membuang-buang waktu dengan
mendengarkan ocehan Chelsea.
"Kau kelihatan cemas sekali," kata gadis itu, lalu ia kembali
meremas tangan Will. "Sudahlah, Will. Tenang saja. Aku tidak apaapa, kok."
Hah, tahu apa dia? Will menatap Chelsea tanpa melihatnya.
Cewek ini mengira ia sudah aman.
Sudah waktunya untuk mengakhiri sandiwara ini. Sudah
waktunya pindah ke kota berikut.
Chelsea mencium pipinya. "Aku senang kau begitu khawatir
karena aku," ia berbisik dengan manja.
"Aku... aku tidak berani membayangkan apa yang bakal terjadi
seandainya dia berhasil menyergapmu." Will menyahut tanpa
berkedip. Jangan buang-buang waktu lagi, katanya dalam hati. Habisi
saja. Tiba-tiba ia merasa kedinginan.
Dan ia menikmatinya. "Ada sesuatu yang perlu kuceritakan, Will," ujar Chelsea malumalu. Will menyadari bahwa gadis itu menatapnya penuh harap,
seakan-akan menunggunya bertanya apa yang hendak diceritakan.
"Apa?" tanya Will.
"Aku tahu tidak seharusnya aku berbuat begitu," kata Chelsea
dengan kikuk. "Ehm, kita kan sudah berjanji untuk merahasiakan
kencan kita yang pertama. Tapi..." Ia menarik napas panjang. "Aku
cerita pada sahabat karibku, Nina."
Will memaksakan diri untuk tidak bereaksi.
Ia tidak bergerak, tidak mengerutkan kening.
Ia harus berpikir, berpikir, berpikir.
Apa yang harus dilakukannya sekarang?
Sebenarnya ia ingin menampar Chelsea sampai giginya rontok
dan beterbangan ke segala arah.
Berani-beraninya cewek itu bercerita tentang kencan mereka.
Ia telah merusak semuanya. Padahal segala sesuatu sudah
sempurna. Sempurna. Tadinya Will begitu gembira. Pihak FBI telah menangkap orang
yang salah, dan Chelsea akan segera menyadari kekeliruannya.
Gadis itu menatapnya dan menunggu jawabannya, tapi Will
tetap tidak bereaksi. Aku tidak boleh gegabah, ia berkata dalam hati. Aku harus
mengambil langkah yang tepat.
Sekonyong-konyong ia menemukan jalan keluarnya.
Begitu mudah. Ia tidak perlu panik. Ia tinggal membunuh kedua-duanya.
19 WILL begitu penuh perhatian padaku, pikir Chelsea. Ia
langsung ikut cemas waktu aku cerita tentang pengalamanku tadi. Ia
betul-betul khawatir akan keselamatanku.
Ia memang sayang padaku, gadis itu menyimpulkan. Karena itu
Chelsea lalu mengakui bahwa ia telah membuka rahasia mereka
kepada Nina. Dan ternyata Will sama sekali tidak marah.
Pipi pemuda itu memang jadi merah, seperti biasa, tapi sorot
matanya tetap hangat, dan ia menggenggam tangan Chelsea erat-erat.
"Kapan-kapan aku mau berkenalan dengan Nina," ujar Will.
"Rasanya sulit mendapatkan teman baru di Shadyside, ya? Sepertinya
semua orang sudah saling mengenal sejak TK, dan orang baru sukar
masuk ke kelompok mereka."
"Yeah, aku tahu apa yang kaumaksud," Chelsea membenarkan
pendapat pemuda itu. "Sampai sekarang Nina-lah satu-satunya
temanku di sini. Anak-anak lain kelihatan begitu angkuh."
Will melepaskan tangan Chelsea dan mencondongkan badan ke
depan. "Bagaimana kalau sekarang saja kauajak Nina kemari? Aku
sudah tak sabar ingin bertemu dengan dia."
Chelsea tersenyum. "Boleh saja." Ini ide bagus, katanya dalam
hati. Ini kesempatan untuk memamerkan Will kepada Nina, sekaligus
untuk menunjukkan kepada Nina bahwa bukan dia saja yang bisa
menarik cowok. Chelsea berdiri. "Aku telepon dia dari dapur saja, ya? Mau
kuambilkan Coke sekalian?"
"Yeah. Trims," sahut Will sambil membalas senyum gadis itu.
"Suruh dia cepat-cepat,"
Chelsea bergegas ke dapur. Sebenarnya ia agak heran karena
Will sepertinya tidak mau berduaan saja dengannya. Tapi di pihak
lain, ia juga senang karena Will mau berkenalan dengan teman
karibnya. Chelsea tersenyum lebar. Kali ini dialah yang akan ditemani
pacarnya?bukan Nina! Pesawat telepon di rumah Nina baru berdering satu kali ketika
gadis itu mengangkatnya. "Ehm, Nina, kau bisa datang ke sini?" tanya
Chelsea. "Ada seseorang yang mau kuperkenalkan padamu."
"Pasti anak baru itu, ya?" balas Nina.
"Yeah," ujar Chelsea. "Dia mau berkenalan denganmu. Dan aku
punya cerita seru sekali yang harus kaudengar. Kau pasti takkan
percaya. Jadi bagaimana, nih? Kau bisa datang sekarang?"
"Ajakan seperti ini mana mungkin kutolak?" Nina menyahut
sambil tertawa. "Tapi kau baik-baik saja, Chelsea? Suaramu agak
aneh. Tidak seperti biasanya."
"Aku cuma lagi senang," kata Chelsea. "Pokoknya cepat, deh.
Oke?" "Beres. Tenang saja. Aku berangkat sekarang juga." Nina
meletakkan telepon. Chelsea mengambil dua kaleng Coke dari lemari es. Ia baru
hendak kembali ke ruang duduk ketika pesawat telepon berdering.
Ditaruhnya kedua kaleng itu ke meja dapur, dan diangkatnya gagang
telepon. "Halo?"
"Chelsea Richards? Ini Agen FBI Martin."
"Oh. Hai," balas Chelsea. "Saya tidak menyangka bahwa Anda
akan menelepon lagi..."
"Tim Sparks bukan orang yang kami cari," Martin langsung
memotong. "Hah?" Gagang telepon nyaris terlepas dari tangan Chelsea.
"Kami menahan orang yang salah," Martin menegaskan. "Ciricirinya memang cocok. Tapi sebenarnya bukan dia yang kami cari."
"Oh." Chelsea tak tahu harus berkata apa. Tenggorokannya
serasa tersekat. "Untuk sementara Tim Sparks masih harus dirawat di rumah
sakit," Martin melanjutkan. "Luka di tangannya cukup parah, dan
sepertinya dia mengalami shock."
"Oh, begitu," ujar Chelsea. Ia merasa bingung sekali.
Ia telah menarik kabel telepon sejauh mungkin sampai ke ruang
masuk. Ketika melirik ke ruang duduk, ia melihat Will mondarmandir dengan gelisah. Mata pemuda itu berbinar-binar, rambutnya
yang hitam dan ikal tampak berkilauan di bawah cahaya lampu. Ia
memegang seutas tali dengan kedua tangannya.
Chelsea langsung terdiam.
Saat itu juga ia mendadak sadar.
"Oh, ya Tuhan!" bisiknya ke gagang telepon.
20

Fear Street Kencan Pertama First Date di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"CHELSEA, ada apa?" Martin bertanya dengan nada yang tetap
tenang. "Saya... saya sendirian di sini, bersama dia!" bisik Chelsea.
Sekali lagi ia melirik ke arah Will, yang masih mondar-mandir sambil
menggenggam talinya. Tanpa bersuara Chelsea kembali ke dapur.
"Apa? Apa maksudmu?" tanya Martin. Nada suaranya mulai
diwarnai rasa khawatir. "Ada seorang pemuda dari sekolah saya," Chelsea langsung
berbisik. Pandangannya tertuju ke pintu, dan ia hanya bisa berharap
bahwa Will tidak curiga dan menyusulnya ke dapur. "Dia ada di sini.
Di rumah saya. Dia anak baru. Namanya Will Blakely." Ia mulai
menyebutkan ciri-ciri Will.
"Sepertinya dialah orangnya," ujar Martin.
"Oh, ya ampun," Chelsea mendesah. Tiba-tiba kepalanya serasa
berputar-putar. Ia sampai harus berpegangan ke meja dapur agar tidak
kehilangan keseimbangan. "Apa yang harus saya lakukan?"
"Segera keluar dari rumah," Martin memberi instruksi.
"Letakkan telepon, dan keluar dari rumahmu. Pergi sejauh mungkin,
Chelsea. Sepuluh menit lagi kami akan tiba di sana."
"Tapi..." Chelsea hendak memprotes.
Martin kembali menukas. "Keluar dari rumah?sekarang juga!"
Hubungan terputus. Tangan Chelsea gemetaran ketika ia meletakkan telepon.
Kepalanya masih pusing. Kedua kaleng Coke itu seakan-akan mau
jatuh dari meja dapur. Kemudian pandangannya kembali normal.
Chelsea mengendap-endap ke ruang masuk dan pasang telinga.
Ia mendengar bagaimana Will berjalan hilir-mudik.
Apa rencana pemuda itu? Kenapa ia begitu berbahaya?
Kenapa nada suara Agen Martin begitu cemas?
Chelsea menyadari bahwa pertanyaan-pertanyaan tersebut
hanya memperlambat pelariannya.
Ia seperti lumpuh. Kakinya tidak mau bergerak.
Will kelihatan begitu baik, begitu pemalu, begitu penuh
perhatian. Sepertinya ia betul-betul menyayangi Chelsea. Ialah pemuda
pertama yang menyayangi Chelsea.
Paling tidak, itulah yang dirasakan gadis tersebut.
Itulah yang hendak diyakininya.
Padahal semuanya hanya impian.
Bukan. Lebih parah lagi. Semuanya hanya kebohongan.
Chelsea merasa bodoh sekali.
Ia begitu bodoh sehingga mencelakakan orang lain?Sparks?
hanya demi suatu kebohongan yang ingin diyakininya sebagai
kebenaran. Ayo, jalan! katanya dalam hati. Ia masih berdiri di ruang masuk
yang remang-remang, masih mendengarkan suara langkah Will di
ruang duduk. Jalan. Jalan. Jalan! Tahu-tahu ia sudah membuka pintu belakang di dapur, dan
berlari ke tengah kegelapan malam yang dingin dan mencekam.
Aku harus lari ke mana? Apa yang harus kulakukan?
Dan tiba-tiba ia teringat pada Nina.
Nina sedang menuju ke rumahnya.
Sebentar lagi ia akan sampai.
Aku harus memperingatkannya, pikir Chelsea. Ia tidak boleh ke
sini. Tanpa berpikir panjang ia berlari ke depan.
Chelsea berlari sekencang mungkin. Sepatu ketsnya berdebamdebam, dan tangannya berayun-ayun dengan keras.
Sekonyong-konyong ia berhenti dan memekik. Ia menjerit
ketakutan ketika Will muncul dari kegelapan dan menghalangi
jalannya. 21 "CHELSEA... kau mau ke mana?" Will bertanya dengan curiga.
Gadis itu diam saja. Sambil terengah-engah, sambil bertolak
pinggang, ditatapnya wajah Will yang terselubung kegelapan.
Sejenak mereka berpandangan sambil membisu.
Kemudian Chelsea melihat ke jalan, dan berusaha memikirkan
cara untuk meloloskan diri.
"Kau mau ke mana?" Will mengulangi. "Kenapa kau ada di luar
sini?" Aku tidak akan menjawab, Chelsea memutuskan.
Aku tidak akan mencari-cari alasan. Will toh takkan percaya.
Dengan ngeri ia menatap pemuda itu.
"Oke. Kalau kau tidak mau menjawab, silakan," kata Will
sambil angkat bahu. "Bagiku sama saja. Ayo, kita kembali ke dalam
dan bicara." Will melangkah maju. "Kencan kita belum selesai."
"Tidak," balas Chelsea. Ia langsung mundur. "Aku tahu siapa
kau! Jangan ganggu aku!" Suaranya tegang dan melengking.
Aku harus kabur, ia memutuskan.
Aku akan kabur ke rumah sebelah. Aku akan menggedor-gedor
pintu dan berteriak-teriak minta tolong.
Sekali lagi ia melirik ke arah jalan. Dalam hati ia berharap akan
melihat sorot lampu mobil, akan melihat para agen FBI bergegas
untuk menyelamatkan. Fear Street tampak gelap gulita. Satu-satunya suara adalah desir
dedaunan dan suara dahan yang berderak-derak.
"Jangan lari, Chelsea," ujar Will pelan-pelan. "Masuk sajalah.
Nanti kita bicarakan masalahmu.
"Tidak!" teriak Chelsea. Segenap ketakutannya menyembur
melalui satu kata itu. Ia mulai berlari. Will berteriak dengan gusar. Suaranya mirip suara binatang
yang sedang marah, binatang yang hendak menyerang.
Dalam sekejap ia telah mengejar Chelsea dan menerjangnya
dari belakang. "Oh! Jangan!" gadis itu berseru ketika terjerembap ke tanah
yang dingin dan keras. Keningnya membentur tanah, dan kepalanya langsung
berdenyut-denyut. Will tidak membuang-buang waktu.
Sebelum Chelsea sempat bangkit, Will sudah menjerat leher
Chelsea dengan talinya. Chelsea meronta-ronta dan mencoba berguling ke samping.
Akhirnya ia berhasil membalik badan, dan menatap Will dengan mata
terbelalak. Bagus, pikir Will. Ia tidak peduli apakah Chelsea melihatnya atau tidak.
Otot-otot Will mengencang ketika menarik talinya.
Chelsea terbatuk-batuk. Tangannya melambai-lambai tak berdaya. Dengan panik ia
mencoba berguling ke kiri-kanan untuk membebaskan diri.
Tapi tidak lama kemudian perlawanannya telah berakhir.
Ia sudah mati, kata Will dalam hati, sambil memeriksa napas
Chelsea. Semuanya begitu mudah. Tak sampai satu menit, semuanya
sudah beres. Mudah sekali. Bagaikan permainan anak-anak.
Permainan anak-anak. Ungkapan itu terngiang-ngiang di telinga
Will ketika ia menggulung tali dan menyelipkannya ke dalam
kantong. Ia bangkit dan menarik napas dalam-dalam.
Ia telah berhasil meraih kemenangan.
Ia telah berhasil membalas dendam.
Kemudian ia teringat bahwa ia tidak punya banyak waktu. Ia
harus bersiap-siap untuk menghadapi yang berikut.
Nina. Ya, itu namanya. Cewek itu juga harus dibunuh.
Setelah itu ia harus segera kabur.
Pihak FBI belum pernah sedekat ini.
Artinya, ia harus bekerja cepat. Sangat cepat.
Ia akan membunuh Nina, lalu segera kabur untuk
menyelamatkan diri. Aneh juga, Will menyadari. Biasanya ia baru membunuh
korban-korbannya setelah mengenal mereka dengan baik.
Biasanya ia baru membunuh setelah kencan pertama.
Tapi kini ia dalam keadaan terdesak.
Ia tidak punya pilihan. Lain kali ia akan lebih berhati-hati. Lain kali ia akan mencari
seseorang yang bahkan lebih kesepian dibandingkan Chelsea.
Sambil memandang ke arah jalan, ia membungkuk dan meraih
tangan gadis yang sudah tak bernyawa itu. Kemudian ia menyeretnya
ke bagian samping rumah, sehingga tak kelihatan dari depan.
Sebentar lagi Nina akan datang. Jangan sampai Chelsea
merusak acaraku, Will berkata dalam hati.
Napasnya sampai terengah-engah ketika menyeret tubuh
Chelsea melintasi rumput. Kenapa ia tidak mencari korban yang lebih
kurus? Ia menarik gadis itu ke bagian samping rumah,
meninggalkannya di balik semak-semak, lalu memastikan bahwa
mayat itu tak terlihat. Permainan anak-anak, katanya dalam hati. Permainan anakanak.
Will berdiri di depan rumah ketika sorot lampu menerangi
jalanan. Sebuah mobil mulai terlihat.
Cepat-cepat ia bersembunyi di tempat gelap, ketika mobil itu
membelok ke pekarangan rumah Chelsea. Kemudian ia menyusuri sisi
rumah dan masuk melalui pintu belakang, yang ternyata terbuka lebar.
Korban berikut, pikirnya dengan riang.
Kebanyakan orang takkan menikmati perbuatan seperti itu, ia
menyadari. Tapi semuanya begitu mudah. Dan begitu menyenangkan.
Perbuatan itu mampu mencairkan seluruh kebenciannya.
Kebencian yang terasa begitu berat di pundaknya; kebencian yang
menyambutnya saat ia terbangun dan menyertainya sepanjang hari;
kebencian yang membuatnya berguling-guling dengan gelisah di
tempat tidur; kebencian yang menyebabkannya tak bisa memejamkan
mata; kebencian yang menyusup ke dalam mimpi buruknya yang
paling mengerikan dan menyakitkan?seluruh kebencian itu langsung
mencair setelah ia membunuh salah satu dari mereka.
Paling tidak, untuk sementara waktu.
Will meraih ke dalam kantong untuk memastikan bahwa talinya
masih di situ. Ebukulawas.blogspot.com
Kemudian ia merapikan baju, dan menyeka keringat dingin
yang membasahi keningnya.
Begitu ia melangkah ke ruang duduk, seseorang mulai
mengetuk-ngetuk pintu depan dengan keras.
22 "SIAPA itu?" Will berseru sambil menggenggam pegangan
pintu yang terbuat dari kuningan.
"Aku, Nina," seorang gadis menyahut.
Will membuka pintu dan mengembangkan senyum. "Hai,"
katanya. Gadis itu pendek, cantik, dan tegap, dengan rambut lurus yang
sangat pendek dan berwarna pirang menjurus putih.
Bukan tipe Will. Tapi ia tetap harus mati.
Nina membalas senyum Will. "Kau pasti Will."
Pemuda itu mengangguk malu-malu ketika Nina melewatinya
dan melangkah ke ruang masuk. "Chelsea mana?" Nina bertanya
sambil mengintip ke ruang duduk.
"Dia lagi di atas," jawab Will. "Sebentar lagi dia akan turun."
Will menutup pintu depan sambil memandang ke arah jalan.
Tak ada sorot lampu mobil. Tak ada kendaraan lain. Tak ada siapasiapa.
Ia meraih talinya. Ia sadar bahwa ia harus bergerak cepat.
Kenapa ia tidak kucekik di ruang masuk saja? Untuk apa
berlama-lama? Tapi Nina sudah menuju ke ruang duduk. Dilemparkannya jaket
birunya ke lantai, lalu ia duduk bersila di kursi besar di seberang sofa.
Gadis itu mengenakan celana ketat berwarna hitam dan kaus
oblong gombrong. Ia menggelengkan kepala supaya rambutnya jatuh
sesuai kehendaknya, kemudian tersenyum ketika Will menyusul.
"Kau teman sekelas Chelsea?" ia bertanya.
"Yeah." Will mengangguk.
Sebenarnya ia ingin menghampiri gadis itu dari belakang, agar
lebih mudah untuk menjeratnya. Tapi terlambat. Nina memperhatikan
setiap gerakannya. "Chelsea sering bercerita tentang kau," ujar Nina dengan ceria.
Ya, aku tahu, pikir Will.
Karena itulah aku terpaksa membunuhmu.
"Dia juga sering menceritakan kau," Will menyahut malu-malu.
"Ehm... sudah berapa lama kau dan Chelsea berteman?"
Pemuda itu mengulur-ulur waktu. Ia harus mencari akal supaya
bisa mendekati Nina dari belakang.
"Belum lama," jawab Nina. "Chelsea kan baru saja pindah ke
sini." "Oh, ya. Aku juga," ujar Will. Ia yakin bahwa pipinya
memerah. "Kau latihan angkat besi?" Nina bertanya sambil mengamati
lengan pemuda itu. "Kadang-kadang."
"Di fitness center?"
"Kalau kebetulan ada waktu. Aku suka mengangkat beban,"
Will berterus-terang. "Aku suka kalau bermandikan keringat. Paling
enak kalau kita berlatih sampai batas kemampuan kita."
"Aku langsung tahu kau latihan angkat besi," kata Nina, sambil
bergeser sedikit di kursinya. "Kau kelihatan kuat sekali."
Aku memang kuat, Will menanggapinya dalam hati. Sebentar
lagi kau akan tahu seberapa kuatnya aku.
Pandangannya beralih ke jendela ruang tidur. Ia tersentak kaget
ketika seberkas cahaya berwarna putih muncul di jalan.
Cepat-cepat dia menuju ke jendela.
Mobil itu, sebuah station wagon tua, lewat di depan rumah
Chelsea. Will menarik napas dengan lega.
"Ada apa, sih?" tanya Nina.
"Tidak ada apa-apa," sahut Will. "Aku pikir ada orang di
depan." Tiba-tiba disadarinya bahwa ia kini berada di belakang Nina.
Kursi yang diduduki gadis itu membelakangi jendela.
Ia mengeluarkan talinya dari kantong, menggenggam kedua
ujungnya, dan menariknya sampai kencang. Tanpa bersuara ia
melangkah maju. Namun tiba-tiba Nina membalik dan menoleh ke belakang.
Will segera menjatuhkan talinya.
"Kok lama betul, sih? Aku mau menyusul Chelsea dulu, deh,"
ujar Nina. Ia hendak berdiri.
Will membungkuk dan memungut talinya.
"Jangan repot-repot," katanya. "Dia cuma mau ambil sesuatu di
kamarnya. Sebentar lagi dia pasti sudah turun."


Fear Street Kencan Pertama First Date di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nina bangkit dan pindah ke sofa. Ia duduk di ujung dan
menghadap ke arah Will. "Kursi itu benar-benar tidak nyaman,"
komentarnya sambil meringis. "Kelihatannya sih empuk, padahal
tidak." Dengan gusar Will memandang keluar jendela. Tak ada apa-apa
selain kegelapan. Nina mengetuk-ngetuk sandaran tangan sofa. "Duduklah,"
katanya sambil tersenyum kepada Will. "Kau membuatku jadi
gelisah." "Sori," balas pemuda itu. Kemudian ia menduduki sandaran
tangan kursi di seberang sofa.
"Ya, kan?" tanya Nina. "Kursi itu tidak nyaman, kan? Coba deh,
kau duduk bersandar."
Will memenuhi permintaan itu.
Aku buang-buang waktu, pikirnya.
Cewek ini terlalu banyak menyita waktuku.
Aku harus menyudahi urusan ini. Aku harus segera pergi.
"Hei... Chelsea!" seru Nina sambil menangkupkan tangan di
depan mulut sehingga menyerupai corong. "Chelsea... kau sedang apa,
sih?" Tentu saja tak ada jawaban.
Will teringat bagaimana Chelsea membelalakkan mata ketika
maut datang menjemput. Ia teringat bagaimana tubuh Chelsea
mendadak lemas. Ia teringat bagaimana gadis itu tergeletak di balik
semak-semak di samping rumahnya.
Begitu mudah, pemuda itu berkata dalam hati.
Permainan anak-anak. Permainan anak-anak.
Tapi kenapa yang satu ini begitu merepotkan?
"Hei, Chelsea!" Nina kembali memanggil, sambil menoleh ke
tangga di dekat pintu ruang duduk. Kemudian ia berpaling kepada
Will. "Sedang apa sih dia?"
Will menjentikkan jari. "Oh, aku hampir lupa," katanya kepada
Nina. "Dia keluar sebentar."
"Hah?" Nina langsung menatapnya dengan curiga.
"Yeah. Dia lagi pergi," sahut Will tenang. "Dia mau beli es
krim." "Es krim?" Roman muka Nina tetap berkesan curiga. "Tapi
udaranya kan lagi dingin minta ampun. Dan Chelsea tidak suka es
krim," ia menambahkan.
"Mungkin dia pikir kau mau makan es krim," Will berkeras.
Keringat dingin mulai membasahi keningnya.
"Aneh," Nina bergumam. "Di mana dia mau beli es krim?"
"Di toko," ujar Will, lalu cengar-cengir tak jelas.
Cukup, katanya dalam hati.
Sudah terlalu banyak waktu yang terbuang percuma.
Semula ia berharap bisa menghabisi Nina tanpa perlu ributribut. Tapi ternyata tidak mungkin.
Tak ada pilihan lain, pikirnya. Untung saja takkan ada yang
mendengarnya kalau ia berteriak-teriak.
Ia bangkit dan kembali menggenggam talinya.
"Apa itu?" tanya Nina. Tiba-tiba saja ia dicekam ketakutan.
Will tidak menyahut. Ia menerjang Nina, dan mendorongnya ke sandaran sofa.
Nina menjerit dan memberontak. Ia memukul-mukul dan
menggeliat-geliut untuk membebaskan diri.
Tapi Will terlalu kuat. Dalam sekejap saja ia sudah berhasil menjerat leher gadis itu.
23 WILL mengerahkan segenap tenaga untuk menarik tali yang
melilit pada leher korbannya. Tapi Nina tidak mau menyerah begitu
saja. Ditariknya lututnya ke atas dan ditendangnya dada Will keraskeras. Pemuda itu mengerang, dan terhuyung-huyung ke belakang.
Dadanya terasa nyeri, dan ia merasa sulit bernapas.
Talinya. Tali itu terlepas dari tangannya.
Nina menjerit dan melompat dari sofa.
Will paling benci kalau korban-korbannya menjerit.
Ia paling benci kalau mereka melawan dan membuatnya repot.
Ia harus memberi pelajaran pada cewek itu.
Dengan kalang-kabut Nina memanjat lewat meja ruang duduk
yang rendah. Will meraih sebuah vas bunga dari meja dan, sambil
mengayunkannya, ia membalik untuk mengejar gadis itu.
Nina berada di tengah-tengah ruangan. Ia bingung harus berlari
ke mana. Matanya terbelalak lebar karena ngeri.
Ia kembali menjerit. Kemudian, tiba-tiba, ia terdiam dan berpaling kepada Will.
Napasnya terengah-engah. "Kenapa?" ia bertanya, sambil menatap vas
di tangan pemuda itu. "Kenapa?"
"Sori," ujar Will.
Ia tak tahu apalagi yang dapat dikatakannya.
Bagaimana mungkin ia menjelaskan semuanya kepada Nina?
Kalaupun ia sanggup mencari kata-kata yang tepat, ia tidak
punya waktu. "Chelsea mana?" tanya Nina. Ia menahan napas. "Kau... kau
membunuhnya? Kau membunuh Chelsea?"
Will mengangguk. Percuma saja ia berbohong.
"Chelsea!" Nina memekik. "Chelsea!" Ia seakan-akan tidak
percaya bahwa temannya bernasib naas.
Cepat-cepat Will melangkah maju.
Nina telah sampai di selasar. Ia membelok, dan menuju ke
dapur. Kakinya tergelincir di lantai kayu yang licin.
Will tidak bisa membiarkannya lolos. Ia tidak bisa
membiarkannya kabur lewat pintu belakang.
Ia tidak bisa membiarkannya keluar dan berteriak-teriak minta
tolong. Bagaimana kalau seseorang mendengar teriakannya?
Kenapa Nina tidak mau mengerti?
Kenapa ia tidak mau mengerti bahwa Will tidak punya pilihan
lain? "Chelsea!" Nina memekik. "Tolong! Oh, tolong! Tolooong!"
Langkahnya berdebam-debam di selasar yang pendek.
Tapi Will berhasil menangkapnya sebelum ia mencapai pintu
dapur. Pemuda itu meraih pundaknya dari belakang dan
mendorongnya dengan keras. Nina kehilangan keseimbangan, dan
menabrak meja dapur. Benturannya begitu keras, sehingga ia sempat
tidak bisa bernapas. Will tidak menyia-nyiakan kesempatan itu.
Nina baru saja hendak bangkit ketika Will mengayunkan vas
yang berat ke bagian belakang kepala gadis itu.
Nina mengerang tertahan, lalu roboh tanpa bersuara lagi.
Dan Will langsung maju untuk menghabisinya.
24 KETIKA Will membungkuk untuk mencekik Nina, seseorang
menariknya dari belakang.
Will terhuyung-huyung. Ia tampak kaget sekali.
Seseorang mendorongnya dengan keras, dan Will membentur
dinding. Namun ia tidak sampai kehilangan keseimbangan. Secepat kilat
ia membalik untuk menghadapi penyerangnya.
"Chelsea!" serunya.
Pemuda itu membelalakkan mata. Sambil melongo, ia mundur
selangkah dan menempelkan tangannya ke dinding, seakan-akan
memerlukan tempat bersandar.
"Chelsea! Bagaimana mungkin? Kau sudah mati!"
Chelsea berdiri di depan Nina, yang tergeletak pingsan di lantai.
Ia memelototi Will dengan mata yang menyala-nyala. Beberapa helai
daun kering menempel di rambutnya yang acak-acakan. Celana
jinsnya berlumuran lumpur.
"Kau sudah mati! Kau sudah kubunuh!" teriak Will, yang masih
berdiri merapat ke dinding.
Ia menatap garis merah di sekeliling leher Chelsea, suatu bukti
bahwa ia telah membunuhnya, suatu bukti bahwa gadis itu telah
mati?mati, seperti yang lain.
"Aku kembali lagi," Chelsea berkata dengan suara parau.
Matanya mendelik dan memancarkan kebencian.
Roman muka Will berubah pelan-pelan. Ia mulai kelihatan
marah. Tiba-tiba saja ia menyerang.
"Kau sudah mati! Kau sudah mati!" ia menjerit.
Will menerjang pinggang Chelsea. Ternyata yang dihadapinya
bukan hantu. Keduanya jatuh dan bergulat di lantai. Nina sempat bergerak
sedikit, namun matanya tetap terpejam rapat-rapat.
"Kau sudah mati! Kau sudah mati!"
Chelsea berteriak keras-keras, dan berhasil membebaskan diri.
Will berusaha meraihnya, tapi gadis itu sudah berdiri dan bergegas ke
tempat cuci piring. Will bangun dengan susah payah?dan tersentak kaget.
Chelsea telah menggenggam pisau besar.
Matanya menyala-nyala, mulutnya terbuka lebar. Tanpa
mengucapkan sepatah kata pun, ia mengangkat pisaunya tinggi-tinggi
dan menyerang Will. Namun Will tak kalah tangkas. Ketika Chelsea hendak
menghunjamkan pisau, Will mundur selangkah dan menendang
tangan gadis itu. "Aduh!" Chelsea berteriak kesakitan.
Tangannya seperti terbakar. Rasa sakitnya segera menjalar
lewat lengannya, dan menyebar ke seluruh sisi kanan tubuhnya.
Pisaunya terlepas dari tangan, menabrak dinding, lalu jatuh ke
depan kaki Will. Chelsea meremas-remas tangannya, dan berusaha mengusir rasa
sakit yang berdenyut. Will memungut pisau yang tergeletak di lantai.
"Kali ini kau takkan lolos lagi!" ancamnya.
25 SAMBIL menggenggam pisau di tangan kanan, Will
menolakkan badannya dari dinding dan menghampiri Chelsea.
Gadis itu menghadapinya tanpa bersuara, juga tanpa berusaha
melarikan diri. "Kau tidak bisa membunuhku, Will," katanya dengan tenang,
bahkan nyaris mengejek. "Jangan lupa, aku sudah mati. Kau tidak bisa
membunuhku sekali lagi."
"Bohong!" teriak Will. "Tidak benar!"
Kemudian disadarinya bahwa pandangan Chelsea tidak terarah
pada dirinya, melainkan tertuju ke belakangnya.
Will segera membalik ke pintu dan melihat dua pria tegap
dengan mantel panjang berwarna hitam.
Keduanya bergegas menghampirinya. Wajah mereka berkesan
serius dan galak. Apa itu, yang berkilau-kilau di tangan mereka?
Pistol. Keduanya membawa pistol.
"FBI," Agen Martin berkata sambil melangkah ke hadapan
Will. "Lepaskan pisaumu."
Will tidak berani membangkang. "Dia sudah kubunuh,"
katanya, sambil menatap Chelsea.
Martin meremas pundak Will keras-keras. Will mengaduh dan
tidak mengadakan perlawanan.
Agen yang satu lagi membantu Nina berdiri. "Kau tidak apaapa?"
Nina mengangguk pelan-pelan, sambil menggosok-gosok
tengkuknya. Pandangan agen FBI itu beralih kepada Chelsea. "Saya juga
tidak apa-apa," Chelsea memberitahunya.
"Dia sudah kubunuh!" Will mengulangi, seakan-akan hendak
meyakinkan dirinya sendiri. Pandangannya menerawang, dan ia
tampak bingung. Mukanya kelihatan pucat dalam cahaya lampu neon
di dapur. "Dia sudah kubunuh."
"Tenang dulu," ujar Agen Martin sambil memborgol tangan
Will. "Nanti kau bisa menceritakan semuanya kepada kami."
Ia berpaling kepada Chelsea. "Apa yang terjadi?" ia bertanya.
"Kau bisa menjelaskan sedikit?"
"Akan saya coba," balas Chelsea. Ia menarik kursi makan dan
mendudukinya. "Dia mencegat saya di luar. Rupanya dia mendengar
saya bicara melalui telepon dengan Anda. Dia menangkap saya di
pekarangan, dan berusaha mencekik saya. Dengan itu." Chelsea
menunjuk tali yang tergeletak di lantai.
"Kau memang kucekik," Will berkeras. "Kau kucekik sampai
mati. Aku lihat sendiri bahwa kau sudah mati."
"Aku tidak sebodoh yang kausangka," sahut Chelsea dengan
gusar. "Aku pura-pura mati. Aku pikir itu satu-satunya cara untuk
menghentikanmu." "Tapi aku sempat memeriksa mayatmu," kata Will berkeras.
"Kau sudah tak bernapas. Kau sudah mati."
"Aku bermain saksofon," Chelsea memberitahunya. "Karena
bermain saksofon, paru-paruku jadi terlatih. Aku bisa menahan napas
untuk waktu lama. Aku pernah mencoba sampai empat menit.
"Saya takut sekali tadi," lanjutnya sambil kembali berpaling
kepada Agen Martin. "Tapi saya pura-pura mati. Saya memutar bola
mata ke atas, melemaskan badan, dan menahan napas. Ternyata
berhasil. Dia menyangka bahwa saya sudah mati."
"Dan setelah itu?" tanya Nina. Ia menghampiri Chelsea dan
merangkul pinggang sahabatnya itu.
"Aku berusaha bangun. Tapi sepertinya aku malah pingsan
karena ketakutan. Waktu sadar lagi, aku mendengar teriakanmu. Aku
langsung bergegas ke dalam. Aku tahu bahwa aku harus
menyelamatkanmu dari dia."
Nina mendekap Chelsea erat-erat. "Mulai sekarang aku takkan
pernah lagi menertawakanmu kalau kau sedang meniup saksofon. Aku
takkan pernah lagi bilang bahwa kau seharusnya main suling saja.
Sumpah!" Nina berkata penuh rasa terima kasih.
************* "Aku menyesal sekali," ujar Chelsea. Ia tampak kikuk sekali
ketika duduk di kursi lipat itu. Ia menahan napas, agar tidak perlu
mencium bau obat suci hama yang menyengat.
"Aku juga menyesal," sahut Sparks. Ia duduk bersandar pada
kepala tempat tidurnya. Seluruh lengannya terbalut perban tebal.
Dengan canggung mereka bertukar senyum.
"Jadi, kita sama-sama menyesal," komentar Sparks sambil
tertawa kecil. Seorang juru rawat berseragam putih masuk dengan langkah
panjang, memeriksa slang infus di lengan Sparks, lalu pergi lagi tanpa
mengucapkan sepatah kata pun.
"Untuk apa itu?" tanya Chelsea sambil meringis.
"Antibiotik, kalau tidak salah," jawab Sparks. "Luka bakarku
kena infeksi. Karena itu aku belum boleh pulang. Infusnya tidak sakit.
Kelihatannya memang seram, tapi aku tidak merasakan apa-apa."
"Syukurlah," ujar Chelsea. Ia bergeser sedikit di kursinya dan
memandang ke jendela. "Ehm, aku mau minta maaf," ia mengulangi,
karena tidak tahu apa lagi yang dapat dikatakannya.
Ia selalu bingung sendiri kalau harus mengunjungi orang sakit.
Ia sudah sering menengok ayahnya di Shadyside General, tapi ia tetap
merasa gugup setiap kali masuk ke rumah sakit.
"Aku yang harus minta maaf," kata Sparks. Ia menggaruk-garuk


Fear Street Kencan Pertama First Date di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepala dengan tangannya yang sehat. "Aku terlalu banyak minum
waktu itu, padahal aku tidak pernah menyentuh alkohol. Tidak pernah.
Aku sendiri heran kenapa aku minum bir sampai bergelas-gelas.
Mungkin karena aku lagi kesepian."
Sparks memalingkan wajah, lalu melanjutkan, "Aku tidak
mengerti kenapa aku bisa bertingkah seperti malam itu. Barangkali
karena aku ingin tampil macho." Ia menatap tangannya yang terbalut
perban. "Sudah sepantasnya aku terima ganjaran seperti ini," katanya
lirih. "Aku tidak bermaksud menakut-nakutimu. Sungguh."
"Dan aku sebenarnya tidak punya alasan untuk menyangka
bahwa kau pembunuh sinting," ujar Chelsea. "Aku merasa bersalah
sekali." "Ehm, aku memang tidak berterus-terang padamu," Sparks
mengakui. Ia kembali menatap Chelsea. "Aku kabur dari rumah.
Orangtuaku tidak tahu di mana aku berada sekarang. Aku tak tahan
lagi melihat mereka bertengkar terus. Jadi aku datang ke sini dan
berusaha hidup mandiri. Aku mau kembali ke bangku sekolah. Aku
mau masuk sekolah malam. Begitu aku dapat pekerjaan dan
sebagainya. Moga-moga pengalaman ini takkan terulang lagi. Aku
betul-betul kesepian dalam beberapa minggu terakhir ini. Mungkin
itulah sebabnya tingkahku jadi begitu aneh."
"Rasanya sikapku pun sama anehnya," komentar Chelsea.
Sparks duduk tegak, dan mengganjal punggungnya dengan
bantal. "Hei," ia berkata, dan wajahnya mendadak bertambah cerah,
"barangkali kita bisa ketemu lagi setelah ini. Tapi jangan di restoran
ayahmu." Chelsea diam sejenak. "Maksudnya... kau mengajakku
berkencan?" "Yeah." Sparks mengangguk. Kemudian ia menambahkan
dengan malu-malu, "Kalau kau masih berminat."
Chelsea langsung tertawa. "Jangan khawatir. Kencanku kali ini
pasti lebih sukses dari kencanku yang pertama," katanya sambil
tersenyum lebar.END Lembah Kodok Perak 2 Keajaiban Negeri Es Karya Khu Lung Hotel Bertram 1
^