Pencarian

Perserikatan Naga Api 14

Perserikatan Naga Api Karya Stevanus Sp Bagian 14


Setibanya Tong Wi-hong di lapang?an yang akan digunakan untuk per?temuan, ternyata tempatnya sudah ham?pir penuh dengan para tetamu un?dangan, semuanya adalah tokoh-tokoh terkenal dunia persilatan. Tempat duduk diatur melingkar, sehingga para tetamu bisa saling melihat satu sama lain.
Begitu memasuki lapangan per?temuan itu, Wi-lian segera celingukan mencari rombongan dari Soat-san-pay, agaknya gadis ini sudah sangat rindu ingin bertemu dengan ibunya yang telah berpisah hampir tiga tahun lamanya itu. Dan hati gadis itu melonjak be?gitu melihat rombongan Soat-san-pay duduk di bagian utara. Dilihatnya to?koh-tokoh tua perguruan itu, seperti Yu Hau-seng yang berjuluk Soat-san-kiam-sian (Dewa Pedang Dari Soat-san) serta adik seperguruannya, Oh Yu-thian yang berjuluk Soat-sian-kiam-sih (Ma?laikat Pedang Dari Soat-san). Yang sa?tu berjuluk "Dewa Pedang" yang lain?nya "Malaikat Pedang" itupun menan?dakan bahwa ilmu pedang Soat-san-pay memang memiliki kelebihan. Selain ke?dua orang tokoh tua itu, nampak pula beberapa jagoan Soat-san-pay lainnya, di antaranya adalah Tong Hu-jin, ibu Wi-lian.
Karena begitu meluap perasaannya setelah melihat ibu yang dirindukannya, maka Wi-lian lupa bahwa di tempat itu banyak orang. Tanpa malu-malu lagi dia langsung berlari menyerbu ke arah ibunya sambil berseru, "Ibu!"
Tong Hu-jinpun terkejut melihat anak gadisnya yang sudah hampir tiga tahun tidak dilihatnya itu, bahkan Tong-Hu-jin sudah membayangkan bahwa anak gadisnya itu tentu sudah tidak ada lagi di dunia. Tong Hu-jin pernah mendengar cerita dari Wi-hong, bahwa Wi-lian ditawan oleh gerombolan penjahat upahan Cia To-bun dulu. Namun sekarang, bagaikan bermimpi saja dia melihat anak gadisnya itu tengah ber?lari kepadanya dan hendak memeluknya.
Pertemuan antara ibu dan anak itupun berlangsunglah di bawah ratus?an pasang mata yang menyaksikannya. Kedua perempuan itu saling berpelukan, isak tangis keharuan dan kebahagiaan meledak menjadi satu. Sementara itu, Tong Wi-hong yang lebih dapat menahan diri itu telah mengajak kawan-kawan?nya untuk memberi salam hormat kepada para sesepuh Soat-san-pay yang hadir di situ.
Setelah Tong Hu-jin menumpahkan kerinduannya kepada anaknya itu, baru?lah ia agak tenang. Katanya kepada Wi-hong dengan nada agak menuduh, "A-hong, kenapa kau dulu bercerita kepadaku bahwa A-lian telah dibawa lari penja?hat?"
Sahut Wi-hong, "Akupun tidak men?duga akan bertemu kembali dengannya, ibu. Tapi untuk jelasnya ibu dapat bertanya sendiri kepada A-lian."
Kemudian Tong Hu-jin berkata ke?pada anak gadisnya, "A-lian, aku ham?pir-hampir tidak percaya kepada kenya?taan bahwa hari ini aku berkumpul kembali denganmu. Tetapi kulitmu agak coklat sekarang, agaknya selama ini kau cukup banyak menderita, nak...."
Berbicara sampai di situ, kem?bali wajah perempuan itu sudah berger?ak-gerak hendak menangis lagi, namun Wi-hong cepat memotong perkataan ibu?nya dengan nada bergurau, "Ibu tidak usah bersedih. Biarpun A-lian bertamb?ah hitam, tapi Ting Toako tetap akan"
Namun ucapan itu juga tidak se?lesai, sebab Wi-lian telah mencubit lengan kakaknya dengan gemas, sedang?kan Ting Bun yang berdiri di belakang itupun menjadi merah padam wajahnya. Wi-lian sendiri ternyata tidak ting?gal diam dan balas menggoda kakaknya, "Ibu, kuperkenalkan kepada ibu, ini?lah enci Cian Ping, calon menantu ibu. Enci Ping cepatlah kau memberi hormat kepada ibu mertua!"
Kali ini giliran Wi-hong dan Cian Ping yang terperangah.
Kemudian berturut-turut anak-anak muda itu memberi hormat, sebagai lazimnya yang muda kepada yang tua. Terha?dap dua saudara So yang berjuluk Tiong san-siang-hou (Dua Harimau Pegunungan) itu, Wi-hong memperkenalkan kepada ibunya dengan sebutan "rekan sekerja" dan tidak menyebutnya "bawahan". Hal itu membuat dua saudara So itu semakin kagum kepada kepribadian Cong-piau-thau mereka.
Sementara itu Tong Hu-jinpun te?lah berkata menegur anak-anak muda itu, "Kalian anak-anak muda terlalu banyak bergurau sehingga kadang-ka?dang melupakan adat-istiadat. Sudah?kah kalian memberi hormat kepada Su-cou (kakek guru) dan Su-siok-cou (paman kakek guru) serta para Su-pek (uwa gu?ru) sekalian?"
Mendengar teguran ibunya itu, ba?rulah Wi-lian sadar bahwa di tempat itu bukan hanya ada ibunya seorang diri, tapi hadir pula beberapa tokoh angkatan tua perguruan Soat-san-pay. Maka dengan agak tersipu-sipu ia mem?beri salam pula kepada tokoh-tokoh Soat-san-pay itu. Namun ia tidak me?manggil tokoh-tokoh itu dengan sebut?an "su-cou" atau "su-siok-cou" melain?kan menyebutnya "lo-cian-pwe" (orang-tua yang terhormat), yaitu sebutan seorang angkatan muda kepada angkatan tua yang dihormati tetapi berbeda per?guruannya.
Tong Hu-jin tercengang ketika mendengar sebutan Wi-lian terhadap angkatan tua Soat-san-pay itu. Tegur?nya dengan kening berkerut, "A-lian, janganlah kurang sopan kepada angkatan tua. Masakah cara memanggil yang benar saja kau tidak tahu?"
Sahut Wi-lian dengan kepala ter?tunduk, "Maaf ibu dan para lo-cian-pwe. Karena kelancanganku, maka aku telah berguru kepada Hong-tay Suhu dari Siau lim-pay, sehingga dengan demikian se?karang ini aku secara resmi adalah mu?rid Siau-lim-pay dan bukan Soat-san-pay."
Alis Tong Hu-jin semakin berke?rut ketika mendengar jawaban anak gadisnya itu. Katanya, "Berganti perguruanpun boleh, asal dengan seijin per?guruan semula, kalau tidak, itu berar?ti menganggap enteng perguruannya sen?diri. Kenapa kau sampai melupakan hal ini?"
Tong Wi-lian menjadi serba susah untuk menjawab, maka ia hanya bisa me?nundukkan kepalanya dan membungkam se?ribu bahasa.
Ternyata kemudian Soat-san-kiam sian Yu Hau-seng yang menyahut dengan bijaksana, "Ilmu silat seluruh dunia ini satu sumbernya, tidak jadi soal orang mempelajari cabang yang manapun juga. Yang penting adalah bahwa orang yang belajar silat itu harus punya keyakinan bahwa apa yang dipilihnya itu adalah yang terbaik, dengan demikian dia akan bersungguh-sungguh dalam la?tihan dan akhirnya mencapai kemajuan. Orang tidak dapat dipaksa mempelajari suatu cabang ilmu yang tidak sesuai dengan seleranya, dan andaikata dapat dipaksakan maka dia akan kurang ber?sungguh-sungguh sebab merasa terpaksa. Su-tit (keponakan murid), kau tidak usah memarahi anakmu karena soal ini. Jangan-jangan nanti malah bisa timbul anggapan di luaran bahwa golongan Soat san-pay kita merasa ilmu silat sen?diri yang paling unggul di kolong langit. Hal itu justru akan menjadikan perguruan kita sebagai tertawaan orang sejagad."
Tong Hu-jin mengiakan kata-kata uwa gurunya itu dengan khidmat. Se?dang Wi-lianpun cepat-cepat mengu?capkan terima kasih kepada tokoh tua Soat-san-pay itu, "Terima kasih atas pengertian dan kebijaksanaan lo-cian-pwe."
Yu Hau-seng menganggukkan kepala?nya sambil tersenyum, tangannya membe?lai jenggotnya yang menjuntai putih seperti benang perak itu, dan berkata lebih lanjut, "Kalian anak-anak muda hendaknya berpikiran luas dalam menca?pai kemajuan, berani mendobrak pan?dangan-pandangan picik yang sudah ber?karat dalam kebudayaan kita. Banyak sekali tokoh persilatan saat ini yang berpikiran kolot, mengutamakan pera?turan-peraturan yang dibuat leluhur?nya tanpa menyesuaikan dengan perkembangan jaman, tertutup akal sehatnya, memang tata tertib harus ditegakkan, tapi tidak dengan cara sekaku itu."
Mendadak terdengarlah seseorang menyahut sambil tertawa, "Terima ka?sih banyak atas kebijaksanaanmu itu, tua bangka she Yu. Biarlah aku mewa?kili pihak Siau-lim-pay untuk mengu?capkan terima kasih atas kelapangan dadamu itu."
Ternyata, entah kapan datangnya, tahu-tahu di dekat rombongan orang-orang Soat-san-pay itu telah muncul seorang rahib yang memakai jubah abu abu dekil, bertubuh dekil pula dan nampaknya jarang mandi. Dia bukan lain adalah Siau-lim-hong-ceng (Si Rahib Sinting Dari Siau-lim), Hong-koan Hweshio adanya.
Rahib dekil itu telah berkata le?bih lanjut, "Sebagai tanda terima ka?sih kami, biarlah di waktu-waktu men?datang aku akan sering-sering meng?unjungi kalian di Soat-san-pay, kalau perlu tinggal di sana selama beberapa bulan, agar kalian tidak kesepian di pegunungan bersalju yang terpencil di daerah barat itu. Setuju?"
Yu Hau-seng hanya tersenyum saja mendengarnya, yang menjawab malahan Oh Yu-thian, "Jika kau diam di tempat kami, itu berarti kau akan menghabis?kan persediaan makanan kami untuk ta?karan beberapa orang. Bagaimana hal semacam itu bisa disebut sebagai tan?da terima kasih?"
Demikianlah senda-gurau kedua sa?habat itu.
Sementara itu, rombongan tuan ru?mah, yaitu rahib-rahib Siau-lim-pay telah keluar dari dalam kuil untuk me?nyalami tamu-tamunya. Wi-lian cepat menyongsong maju dan memberi hormat kepada guru dan paman gurunya itu. Dengan keluarnya rahib-rahib tua Siau-lim-si itu, itulah pertanda bahwa pertemuan itu akan segera dimulai.
Meskipun Tong Wi-hong adalah seo?rang murid perguruan Soat-san-pay, namun dia mendapat tempat tersendiri da?lam kedudukannya sebagai pemimpin Tiong-gi Piau-hang. Tong Wi-lian seba?gai murid Siau-lim-pay ternyata lebih suka berada tetap dalam rombongan ka?kaknya. Gadis itu merasa kurang bebas kalau harus berkumpul dengan orang orang Soat-san-pay yang rata-rata ber?wajah angker, pendiam dan berusia tinggi itu. Dan lebih tidak mungkin lagi kalau harus berkumpul dengan rom?bongan Siau-lim-pay yang terdiri dari rahib-rahib melulu itu.
Para tetamu telah menduduki tem?patnya masing-masing, menurut kelom?poknya masing-masing. Rombongan dari Bu-tong-pay nampak dipimpin oleh Imam Kim-hian yang pernah menolong Wi-lian ketika terancam oleh orang-orang Hwe liong-pang di luar kota kiang-leng itu. Juga nampak si sasterawan butut yang sakti, Liu Tay-liong, yang juga pernah menolong Wi-lian itu, serta tokoh-tokoh terkenal lainnya. Perguru?an-perguruan yang mengirimkan wakil wakilnya antara lain adalah Hoa-san-pay, Cong-lam-pay, Ki-lian-pay, Khong-tong-pay, Go-bi-pay, Tiam-jong-pay, Soat san-pay, Jing-sia-pay dan bahkan Kun lun-pay yang terletak jauh di barat, dekat dengan perbatasan India itupun nampak mengirimkan wakilnya yang ter?diri dari empat orang. Juga terlihat wakil dari Kay-pang (Perkumpulan Peng?emis) yang merupakan perkumpulan yang paling luas keanggautaannya di wila?yah Tiong-goan itu, terkenal pula de?ngan cara penyampaian beritanya yang rapi.
Maka pertemuanpun dimulai.
Hong-tay Hweshio mewakili pihak Siau-lim-pay, dan mulai berbicara, "Kami pihak Siau-lim-pay saat ini me?rasa sangat beruntung dan berbahagia sekali, bahwa kaum ksyatria se Tiong-goan sudi memberi muka kepada kami dan meluangkan waktu untuk menghadiri pertemuan ini. Bahkan rekan-rekan da?ri Soat-san-pay dan Kun-lun-pay yang jauhnya laksaan li juga menyempatkan hadir di sini, untuk itu kami mengu?capkan terima kasih. Seperti yang te?lah kami sebutkan dalam surat und?angan kami, pertemuan ini hanya akan punya acara tunggal, yaitu bagaimana kita sekalian akan menyatukan sikap dan langkah kita dalam menghadapi ker?esahan dunia persilatan yang diakibat?kan oleh sebuah perkumpulan yang mena?makan diri Hwe-liong-pang itu. Kami menyadari, bahwa di antara kita tentu nantinya akan muncul perbedaan pendapat, namun sebelumnya kami mohon ke?pada kaum ksyatria agar bersikap dewa?sa dan mencari jalan keluar sebaik-ba?iknya."
Agaknya Hong-tay Hweshio sudah mendengar pula tentang desas-desus pe?cahnya sikap para ksyatria dalam ma?salah Hwe-liong-pang itu, maka Hong-tay Hweshio lebih dulu mengucapkan pe?ringatan halus agar para pendekar mena?han diri.
Setelah itu, mulailah wakil-wakil dari setiap golongan diberi kesempatan untuk berbicara dan mengusulkan jalan keluar bagaimana dalam mengha?dapi ancaman Hwe-liong-pang itu. Dan ternyata mereka terbagi dalam tiga golongan besar. Golongan pertama ada?lah golongan yang bersikap memusuhi Hwe-liong-pang, maka kesempatan bica?ra itu langsung digunakannya untuk mencaci-maki Hwe-liong-pang dan mengutuknya tujuh turunan. Bagi golongan pertama ini, hanya ada satu jalan untuk menghadapi Hwe-liong-pang, yaitu menyatukan kekuatan seluruh ksyatria dan langsung menumpas habis Hwe-liong-pang sampai ke akar-akarnya.
Golongan yang kedua, berpendapat justru bertolak-belakang dengan golong?an yang pertama. Mereka justru menganggap Hwe-liong-pang sebagai suatu perkumpulan yang benar-benar membela kepentingan rakyat dan penentang kesewenang-wenangan para pejabat Kerajaan Beng, meskipun harus diakui pula bahwa gerak-gerik orang-orang Hwe-liong-pang pun "kurang begitu lurus", namun sebegitu jauh belum pantas untuk ditumpas habis dan bahkan sebaiknya dirangkul sebagai teman seperjuangan.
Golongan ketiga mengambil jalan tengah, yaitu menganjurkan agar tin?dakan terhadap Hwe-liong-pang dilakukan kepada orang demi orang, bukan asal pukul rata dan menganggap jahat semua orang Hwe-liong-pang. Mereka berpendapat, bahwa orang Hwe-liong-pang yang berbuat kejahatan harus dihadapi secara keras, tetapi yang berbuat kebajikan tidak ada salahnya dianggap sebagai teman.
Dengan adanya perbedaan pendapat itu, maka suasana pertemuan itupun se?gera meningkat menjadi kian panas. Meskipun belum sampai terdengar ka?ta-kata yang kasar, namun nampaknya golongan-golongan yang berbeda penda?pat itu sangat kukuh dengan pendapatnya masing-masing.
Golongan yang bersikap keras dan menghendaki Hwe-liong-pang ditumpas adalah perguruan-perguruan Hoa-san-pay, Kun-lun-pay dan Go-bi-pay. Ketua Hoa san-pay yang bernama Kiau Bun-han dan berjulukan Pat-hong-kiam-kong (Cahaya Pedang Delapan Penjuru) itu berkata dengan berapi-api penuh semangat, "Ka?mi tidak membantah bahwa mungkin saja di dalam Hwe-liong-pang terdapat orang orang yang tidak jahat, tetapi bagaimana mungkin bisa membedakan siapa ja?hat siapa baik, sedangkan mereka bercampur-aduk jadi satu? Selagi kita se?dang sibuk memilih-milih dan membeda-bedakan yang baik dan yang jahat, tahu tahu mereka telah menggorok leher ki?ta lebih dahulu !"
Namun Ketua Jing-sia-pay, Kong-sun Tiau yang berjulukan Hong-lui-kiam-khek (Pendekar Pedang Angin Ba?dai), segera membantah pendapat Kiau Bun-han itu, "Kalau begitu, menurut saudara Kiau ini kita harus melakukan pembunuhan tanpa melihat-lihat lagi kesalahan orang yang kita bunuh? Pada?hal dengan mata kepalaku sendiri aku pernah melihat bagaiaman ksyatria-ksyatria Hwe-liong-pang itu tanpa rag-ragu menggulung lengan bajunya, turun tangan membantu kesulitan rakyat, tidak segan-segan bentrok dengan kaum kuku garuda dalam mempertahankan pen?diriannya. Tindakan mereka yang se?dikit bicara banyak bekerja itu, jauh lebih mulia daripada orang-orang sema?cam kita, yang mengaku sebagai pend?ekar-pendekar sejati tetapi hanya pandai berdebat tanpa melakukan tin?dakan apapun yang bermanfaat bagi sesa?ma manusia!"
"Tepat sekali ucapan saudara Kongsun!" sambut Thi-sim Tojin (Imam Berhati Besi) dari perguruan Khong tong-pay itu. "Setiap kejahatan yang kita jumpai, haruslah kita tumpas habis. Tetapi kitapun harus dapat membe?dakan siapa baik dan siapa jahat. Bicara soal kejahatan, bukankah ada di antara kita ini yang juga menyele?weng dari garis kebenaran? Penyele?wengan itu bukan milik Hwe-liong-pang saja!"
Ucapan Kongsun Tiau dan Thi-sim Hweshio itu agak melegakan hati Wi hong dan Wi-lian, sebab ada juga ter?nyata kaum ksyatria yang punya kesan baik terhadap Hwe-liong-pang. Mereka nanti dapat diajak bicara lebih menda?lam lagi, untuk bersama-sama meyakin?kan kaum pendekar lainnya yang ber?sikap memusuhi Hwe-liong-pang.
Sementara itu, Ketua Go-bi-pay Thian-goan Hweshio yang tinggi besar dan berewokan itu telah berbicara pu?la dengan suaranya yang menggeledek, "Omitohud. Kuharap tuan-tuan sekalian tidak terbuai oleh kebaikan yang ti?dak seberapa dari orang-orang Hwe-liong pang, kebaikan yang sengaja mereka perbuat untuk menutupi kejahatan mere?ka yang jauh lebih besar dari ke?baikannya. Bagaimana kita bisa melu?pakan akan duaratus jiwa anggauta Sin-hou-bun yang melayang semuanya, di?bantai oleh algojo-algojo Hwe-liong pang hanya karena alasan yang remeh? pantaskah sebuah gerombolan seliar dan sebuas Hwe-liong-pang itu dibiar?kan hidup terus, dan bahkan akan kita jadikan sebagai kawan seperjuangan kita? Aku menyetujui pendapat tuan Kiau dari Hoa-san-pay, bahwa sikap lunak tidak akan cocok untuk menghadapi gerombolan pembunuh haus darah itu! Dan lagipula sudah sepantasnya jika suatu perkumpulan itu bertanggung-jawab terhadap perbuatan anggautanya. Seperti kita juga ikut bersalah jika ada mu?rid-murid kita yang sampai merugikan orang lain, karena hal itu berarti kita tidak sanggup mendidiknya!"
Pat-hong-kiam-kong Kiau Bun-han nampak puas sekali ketika mendengar dukungan suara dari ketua Go-bi-pay itu. Ia lalu menyambung ucapan Thian-goan Hweshio itu, "Dan perlu saudara-saduara sekalian ketahui, bahwa hu?tang duaratus jiwa itu belum terbayar oleh Hwe-liong-pang, malahan Hwe-liong pang kemarin sudah membuat hutang da?rah yang baru pula. Kemarin, seorang keponakan muridku yang memimpin beberapa rekan-rekannya untuk mengawasi keadaan di kota Sin-yang, telah kem?bali ke Siong-san ini dan melaporkan kepadaku bahwa Hwe-liong-pang telah mengganas kembali. Kali ini ada empat-puluh jiwa angkatan muda dari berba?gai-perguruan yang telah tewas di Sin-yang, karena disergap dan diserang se?cara licik dengan kabut beracun!"
Kata-kata Kiau Bun-han yang tera?khir itu seketika membuat pertemuan itu menjadi gempar hebat. Tong Wi-hong dan adiknya terguncang hebat mendengar berita itu seakan-akan mereka tidak percaya lagi terhadap kuping mereka sendiri. Bukankah ketika di lembah Jian-hoa-kok mereka telah mendengar sendiri bagaimana kakak mereka Tong Wi-siang telah berjanji untuk tidak memusuhi kaum pendekar dan bahkan me?ngajak bersahabat? Apakah kini kakak mereka itu telah melanggar janjinya sendiri?
Sementara itu, beberapa wakil da?ri perguruan-perguruan yang membela Hwe-liong-pang, mulai berseru-seru ti?dak percaya.
Thi-sim Tojin cepat berdiri dari tempat duduknya, dan serunya keras, "Saudara Kiau, kita adalah golongan satria yang selalu bertindak jujur dan terbuka, hendaknya jangan sembarangan melontarkan fitnah sehebat itu!"
Kiau Bun-han segera memberi hormat kepada Thi-sim Tojin, dan berkata de?ngan suara yang dibuat sesabar mungkin, "Totiang (bapak imam), buat apa kami merancang fitnah keji? Apa yang aku ka?takan tadi semuanya berdasarkan kenya?taan !"
Lalu ia menoleh ke arah rombong?annya sendiri dari Hoa-san-pay dan ber?seru, "Auyang Seng, majulah ke depan dan ceritakanlah kembali laporan yang telah kau laporkan kepadaku kemarin so?re itu. Selengkap-lengkapnya dan seje?las-jelasnya."
Dari rombongan anak murid Hoa san-pay itupun segera muncul seorang anak muda yang usianya kira-kira sebaya dengan Wi-hong, berwajah tampan dan gagah, serta berpakaian kuning gading. Tong Wi-hong dapat segera mengenali bahwa anak muda itulah yang kemarin so?re berkuda dengan terburu-buru melewati kota Teng-hong. Wi-hong ingat percakapan orang-orang di pinggir jalan wak?tu itu, bahwa anak muda yang bernama Auyang Seng itu punya julukan yang in?dah, yaitu Gin-hoa kiam (Pedang Bunga Perak).
Gerak gerik Auyang Seng yang ka?lem dan tidak gugup berbicara di depan orang banyak itu menandakan bahwa dia sudah berpengalaman dalam pergaulan dunia persilatan. Ia cepat maju ke de?pan dan menjawab panggilan Kiau Bun han itu, "Murid siap menjalankan pe?rintah dari Ciang-bun Susiok (paman guru dan ketua)!"
Setelah itu, lebih dulu ia memberi hormat berkeliling kepada tokoh-tokoh tua lainnya, dan mulailah ia ber?cerita dengan lancar, "Aku adalah murid Hoa-san-pay yang kebetulan ikut terpilih untuk ikut dalam rombongan orang-orang yang bertugas mengawasi keadaan di kota-kota yang mungkin akan dilewati pihak Hwe-liong-pang. Aku kebagian untuk mengawasi kota Sin yang bersama beberapa rekan muda dari Siau-lim-pay, Bu-tong-pay dan Khong-tong pay yang seluruhnya berjumlah 40 orang. Atas kerendahan hati rekan-rekan kami itu, aku diangkatnya sebagai pemimpin kelompok kecil itu. Pada suatu sore, kira kira empat hari yang lalu tiba tiba kami menemukan bahwa semua bu?rung merpati pembawa surat telah mati di kandangnya masing masing karena diracuni oleh orang. Segera kami mening?katkan kewaspadaan dan mengadakan pe?nyelidikan, namun ternyata orang-orang Hwe-liong-pang secara diam diam telah menyusup ke kota Sin-yang dalam jumlah yang besar. Mereka menyergap kami secara mendadak dengan menggunakan senjata senjata beracun. Semua rekan rekan yang ada di Sin-yang telah te?was, hanya aku yang beruntung bisa lolos dengan menunggang kuda, untuk memberitahukan hal ini kepada para ksyatria !"
Berita sehebat itu tentu saja membuat pertemuan menjadi geger. Bahkan orang-orang yang tadinya berkesan baik terhadap Hwe liong pang, kini agaknya mulai goyah pendiriannya.
"Maksud saudara kecil Auyang ini, Hwe liong pang sudah bergerak untuk menyerang kita?" tanya Hong-lui-kiam khek Kongsun Tiau.
Sahut Auyang Seng, "Benar, paman Kongsun. Empat hari yang lalu musuh su?dah berada di kota Sin-yang dan jika mereka maju terus kemari maka diperkirakan hari ini mereka hanya sekitar dua?ratus li jauhnya dari kita, kemungkin?an besar nanti malam atau besok pagi mereka sudah akan mulai menyerang ki?ta."
Kata kata Auyang Seng yang tera?khir ini lebih mengejutkan lagi dan segera menimbulkan keributan di antara para hadirin. Suara suara yang bersimpati kepada Hwe-liong-pang, kini sudah tidak kedengaran lagi, tenggelam karena dikalahkan oleh suara-suara bernada kecemasan yang mendesak untuk segera diambil tindakan bersama sebelum didahului oleh musuh.
Dalam keadaan seribut itu, Tong Wi-hong merasa sudah tiba saatnya untuk berbicara. Ia tidak akan menunggu sampai suasana menjadi semakin buruk sehingga tidak dapat dikuasai lagi. Maka dengan suara keras ia segera ber?seru sambil bangkit dari tempat duduk?nya, "Para lo-cian-pwe yang kuhormati, aku mohon waktu untuk berbicara!"
Suasana ribut itu seketika reda, dan kini semua mata ditujukan ke arah pemimpin Tiong-gi-Piau-hang yang masih muda itu. Meskipun Tong Wi-hong belum lama terjun ke dunia persilatan, na?mun sebagian orang sudah tahu akan ke?beranian Wi-hong ketika menghadapi orang orang Hwe-liong-pang di kota Tay-beng, karena itu tidak ada yang be?rani memandang enteng Tong Wi-hong.
Setelah suasana cukup tenang, maka terlebih dulu Wi-hong memperkenal?kan dirinya, lalu mulai berbicara, "Aku mohon maaf atas kelancangan diriku yang tak berarti ini, karena telah berani ikut campur dalam pembicaraan para sesepuh yang terhormat ini. Tapi aku benar-benar terdorong oleh suara hati nuraniku untuk ikut berbicara, menyumbangkan pikiran dalam pertemuan ini."
Lalu secara singkat dan terang, Tong Wi-hong menceritakan pengalamannya yang bersangkut paut dengan orang orang Hwe-liong-pang kelompok Jing-ki tong (Kelompok Bendera Hijau) di Tay beng, sampai peristiwa besar di lembah Jian-hoa-kok yang menelan korban ratusan jiwa itu. Namun demikian Wi hong masih belum mengutarakan bahwa Ketua Hwe-liong-pang itu adalah kakak?nya sendiri, sebab ia merasakan situasinya kurang menguntungkan untuk meng?utarakan hal itu. Bukan berarti Wi hong tidak perlu atau tidak berani mengakui kakaknya, tapi pertimbangannya adalah bahwa pernyataan itu hanya akan mengeruhkan suasana, padahal ma?sih ada soal penting di depam mata yang harus diselesaikan dulu.
Ketika Wi-hong sampai pada cerita terbunuhnya Cian Sin-wi, para pen?dengar mengira bahwa Wi-hong tentu termasuk golongan yang anti Hwe-liong pang, karena sebagai pengganti Cian Sin-wi tentunya menaruh dendam sakit hati kepada perkumpulan Hwe-liong-pang itu. Namun setelah Wi-hong mencerita?kan pula bahwa di antara orang-orang Hwe-liong-pangpun terdapat tokoh-tokoh berwatak ksyatria seperti Lam-ki-tong-cu In Yong, Thian-liong Biang-cui Siangkoan Hong dan sebagainya, dan juga menceritakan tentang penertiban ke dalam tubuh Hwe-liong-pang di lembah Jian hoa kok, maka pandangan orang orang itu terhadap Hwe-liong-pang mu?lai agak berubah.
Sebagai penutup "cerita"nya, Wi hong berkata, "Ternyata Hwe-liong-pang itu terdiri dari delapan kelompok yang masing-masing punya warna bendera sen?diri sendiri, yaitu Pek (Putih), Ui (Kuning), Jing (Hijau), Lam (Biru), Jai (Coklat), Hek (Hitam), Ci (Ungu) dan Ang (Merah). Yang biasa berbuat kejahatan dan kesewenang-wenangan ada?lah orang-orang dari kelompok kelompok Hek, Ci, Ang dan Jing, dan bahkan ke?lompok-kelompok ini telah berusaha membentuk suatu komplotan yang akan merebut kursi Ketua Hwe-liong-pang, supaya dapat mengendalikan Hwe-liong pang semaunya sendiri. Tapi usaha komplotan itu telah gagal, bahkan di lembah Jiang-hoa-kok telah terjadi penertiban dan penghukuman besar-besar?an terhadap anggauta-anggauta Hwe-liong-pang yang menyeleweng di luaran. Dari situ dapat aku simpulkan bahwa Ketua Hwe-liong-pang agaknya tidak menyetujui tindakan-tindakan jahat anak buahnya itu, bahkan setelah selesainya penertiban itu Ketua Hwe-liong pang mengucapkan keinginannya untuk bersahabat dengan siapapun dan bergan?dengan tangan menegakkan keadilan di muka bumi ini !"
Penuturan Wi-hong itu segera disambut dengan dua macam tanggapan oleh para pendekar. Wakil-wakil dari perguruan perguruan Hoa-san-pay, Kun-lun-pay dan Go-bi-pay tetap bersike?ras bahwa kebaikan kebaikan Hwe-liong-pang itu hanyalah suatu sandiwara untuk mengelabuhi pandangan umum. Sedangkan pihak pihak Jing-sia-pay, Khong tong-pay, Ki-lian-pay, Cong-lam-pay serta Tiam-jong-pay juga tetap bersikeras bahwa Hwe-liong-pang sebenar?nya bukan musuh, dan beranggapan bahwa penyelewengan dari sebagian anggautanya itu adalah hal biasa, sebab pergu?ruan atau perkumpulan yang manapun ju?ga tentu punya anggauta-anggauta yang menyeleweng dari garis kebenaran.
Yang belum berpihak adalah orang-orang dari Siau-lim-pay, Bu Tong-pay, Soat-san-pay dan Kay-pang. Agaknya me?reka ini bersikap cukup hati hati da?lam mengambil keputusan, dan mungkin juga sikap mereka itu untuk menjaga agar perpecahan antara golongan golongan yang berbeda pendapat itu tidak menjadi semakin tajam.
Thian Goan Hweshio yang bersikap anti Hwe-liong-pang itu telah berdiri dari tempat duduknya dan berseru kepa?da Wi-hong, "Tong Cong-piau-thau, tentang maksud baik Hwe-liong-pang un?tuk menjadi sahabat umat manusia se?perti yang kau katakan tadi, adalah hasil kesimpulanmu sendiri ataukah ketua Hwe-liong-pang sendiri yang menga?takannya kepadamu?"
Dasar Thian-goan Hweshio memang lebih tua dan lebih berpengalaman, ma?ka pertanyaannya yang nampak sederha?na itupun mengandung perangkap bagi Wi-hong. Apabila Wi-hong menjawab bahwa pendapatnya tadi hanyalah meru?pakan kesimpulannya sendiri, maka dengan mudah tentu akan didebat kare?na dianggap terlalu lemah. Tapi jika Wi-hong mengatakan bahwa orang Hwe liong-pang yang mengatakannya kepada?nya, maka Wi-hongpun akan mendapat tu?duhan sebagai sahabat dan "jurubicara" Hwe-liong-pang. Kedua pilihan itu sama sama tidak enak dirasakan.
Namun Wi-hong menyahut juga, "Kepandaianku memang masih rendah dan pengalamankupun masih dangkal, tetapi secara kebetulan aku mendengar sendiri ucapan Hwe-liong Pang-cu itu, diu?capkan sepatah demi sepatah kata dan tidak mungkin ditafsirkan lain lagi."
"Kalau begitu, melayangnya empat puluh jiwa di kota Sin-yang yang baru saja dilaporkan itu lalu merupakan perbuatan siapakah?" desak Thian-goan Hweshio dengan gencar.
Sahut Wi-hong, "Perlu Taysu ke?tahui, bahwa dalam pertempuran di lembah Jian-hoa-kok antara unsur-unsur baik dan unsur unsur jahat Hwe-liong pang itu, memang akhirnya unsur-unsur yang jahat dapat dikalahkan. Namun da?lam pertempuran itu, pentolan kelompok yang jahat, yaitu Te-liong Hiang cu, berhasil meloloskan diri dari tangkapan Hwe-liong Pang-cu bahkan sempat menghantam Hwe-liong-pang-cu satu kali, peristiwa yang menimpa rekan rekan di kata Sin yang itu ke?mungkinan besar adalah buah karya Te liong Hiang-cu yang belum tertangkap ini, tujuannya hanyalah mengeruhkan keadaan, mengadu domba antara Hwe liong Pang-cu dengan para pendekar yang sedang berkumpul di sini!"
Tukas Pat-hong-kiam-kong Kiau Bun han dengan suara sinis, "Tong Cong piau-thau, nampaknya pendapatmu itu terlalu direka-reka dan kurang mempunyai bukti yang nyata."
Seketika itu juga muka Tong Wi hong menjadi merah padam. Bibirnya sudah bergerak-gerak hendak mengeluar?kan bantahan, namun karena meluapnya perasaannya, maka dia justru tidak ta?hu dari sudut mana dia harus menyanggah ucapan Kiau Bun han yang tajam itu. Namun di saat Wi-hong tersudut itu, adik perempuannyalah yang berdiri dan berkata dengan suaranya yang nyaring, "Maafkan aku, tuan tuan pendekar yang terhormat, dalam pembicaraan ini tuan tuan telah bertindak kurang adil!"
Tentu saja merupakan hal yang sangat mengejutkan, bahwa seorang gadis berusia duapuluh tahun berani mengucapkan kata-kata setajam itu di hadapan sidang kaum pendekar kawakan dunia persilatan itu. Namun Rahib Hong-tay sudah cukup mengenal akan sikap keras dari muridnya itu, ia hanya tersenyum sambil menggelengkan ke?palanya dan tidak mencegahnya.
Sedangkan Tong Hu-jin juga hampir saja bangkit untuk mencegah anak gadisnya itu agar jangan berbicara kurang sopan. Namun Tong Hu-jin kalah cepat dengan kata-kata yang sudah meluncur dari bibir Wi-lian dengan tajamnya, "kalian yang menamakan diri sebagai pendekar pendekar pembela keadilan, kalian bersikap terlalu angkuh. Kalian hanya menganggap bahwa kata kata yang berasal dari kalian saja yang patut dipertimbangkan, dengan mengan?dalkan ketenaran nama kalian. Sedang?kan kalian menganggap enteng pendapat orang lain! Jika kalian bicara putih, orang lain harus ikut jadi putih pula, jika kalian bicara hitam, orang lainpun harus ikut jadi hitam pula. Huh, pendekar-pendekar macam apa kalian ini?"
Ucapan yang tajam dan berani itu ternyata sanggup membuat tempat ber?kumpulnya para pendekar itu seketika menjadi sunyi bagaikan kuburan. Namun kesunyian itu hanya sesaat, sebab be?berapa detik kemudian gemuruhlah te?puk tangan para pendekar angkatan mu?da yang mendukung ucapan Wi-lian itu. Sesungguhnya ucapan tajam Wi-lian ta?di seolah-olah mewakili cetusan suara hati para pendekar muda itu pula, yang selama ini tunduk tanpa berani membantah kepada keputusan guru guru atau angkatan tua mereka, meskipun kadang kadang keputusan itu tidak se?suai dengan hati nurani mereka.
Namun tepuk tangan riuh itu si?rap begitu guru atau angkatan tua mereka melotot ke arah para pendekar muda itu. Buru buru para pendekar muda itu menundukkan kepalanya dalam dalam.
Sementara itu Kiau Bun han telah bangkit dengan muka yang merah padam dan membentak Wi-lian, "Siapa kau? Kenapa kau berani berbicara begitu tak tahu aturan di hadapan para lo cian pwe ini?"
Sifat Wi-lian memang keras kepala, sangat mirip dengan sifat kakak tertuanya yang sekarang menjadi Hwe liong Pang-cu itu. Pelototan mata dan bentakan Ketua Hoa san pay itu tidak membuatnya gentar, tapi malah membuat sikapnya kian keras. Jawabannya dengan sopan, "Kiau Tayhiap, kau adalah seorang pendekar yang maha besar dan maha bijaksana, tentunya kau akan se?lalu mempertimbangkan masak-masak setiap tindakan sebelum melaksanakannya bukan?"
Sebagai seorang yang cukup ber?pengalaman, Kiau Bun-han tidak mau terjirat oleh kata katanya sendiri, maka dengan licin ia menyahut, "Nona kecil, di dunia ini ada banyak soal yang tidak begitu mendesak sehingga kita punya banyak waktu untuk memikir?kan penyelesaian yang sebaik-baiknya, bahkan mempertimbangkan dan memikir?kan sampai ke hal yang sekecil-kecil?nya. Namun ada pula persoalan persoalan yang begitu mendesaknya, sehingga kita dituntut untuk bertindak secara cepat tanpa ragu-ragu, tanpa sempat memperhitungkan hal-hal yang tetek-bengek lagi. Kau paham?"
Dan disambung pula oleh Thian goan Hweshio, "Ucapan Kiau Tayhiap sangat tepat. Kita di sini bertele tele memperdebatkan apakah Hwe-liong pang itu kawan atau lawan, bahkan berdebat tiga hari tiga malampun barangkali tidak selesai. Tapi selama kita berde?bat itu, suatu kenyataan di depan ma?ta telah terbukti, bahwa Hwe liong pang telah mulai menyerang kita dan bahkan telah menewaskan orang-orang yang kita tempatkan di Sin-yang. Urusan Hwe-liong-pang itu baik atau jahat adalah urusan belakangan, yang penting sekarang harus segera diambil tindakan sebelum musuh lebih dulu menggorok leher kita!"
Karena tidak mampu menjawab lagi, Wi-lian menjadi jengkel. Dengan suara hampir terisak ia berkata, "Tidak! Aku tidak percaya bahwa A...eh, Hwe liong Pang cu menjilat kembali ludah dan menyerang dengan cara serendah itu."
Karena luapan perasaannya, hampir saja Wi-lian menyebutkan nama "A siang" di hadapan umum. Untung saja ia belum terlanjur bicara.
Yang menambah kejengkelan Wi-lian adalah ketika melihat perguruan perguruan yang tadinya begitu bersim?pati kepada Hwe-liong-pang sekarang bungkam semuanya setelah mendengar be?rita dari kota Sin-yang itu. Agaknya golongan ini merasa kurang punya alasan dan bukti bukti yang kuat, ma?ka memilih tutup mulut saja dari pada sembarangan berbicara dan mendapatkan malu.
Dalam pada itu, tiba-tiba seorang rahib muda yang berpakaian seperti murid murid Siau-lim-si, telah memasuki lapangan pertemuan itu dengan sikap tergesa gesa dan muka yang tegang. Ia langsung mendekati ke arah Rahib Hong-tay, memberi hormat dan memberi laporan, "Suhu, beberapa orang rekan kami yang bertugas di kota Bun siau telah datang ke sini dan mohon menghadap untuk melaporkan sesuatu."
Sikap rahib muda yang tidak be?gitu tenang itu dengan cepat telah me?narik perhatian semua orang.
"Suruh mereka datang!" perintah Rahib Hong-tay. Rahib muda itupun mengiakan sambil memberi hormat, lalu bergegas-gegas keluar lapangan kem?bali.
Tidak lama kemudian, rahib muda itu muncul kembali, kali ini dengan diiringi oleh tiga orang lelaki muda. Keadaan tiga orang pemuda itu benar benar mengibakan, sekujur tubuh mereka penuh dengan luka-luka berdarah yang tidak sempat dirawat dengan baik, sedang muka merekapun pucat. Bahkan salah seorang dari tiga pemuda itu bermuka hitam kebiru biruan, me?nandakan bahwa dia telah keracunan cukup hebat !
Begitu melihat rombongan pemuda-pemuda yang luka-luka dan dipapah oleh para rahib itu, dari rombongan Jing-sia-pay terdengar teriakan terke?jut oleh Hong-lui-kiam-khek Kongsun Tiau, "Li Su-tit dan Ciong Sutit !"
Serempak dengan itu, dari pihak Cong-lam-pay juga terdengar seruan, "Han Su-heng (abang seperguruan Han)!"
Ketiga orang pemuda yang luka luka dan keracunan itu memang terdiri dari dua orang Jing-sia-pay dan seo?rang murid Cong-lam-pay. Mereka nam?pak begitu payah keadaannya, sehingga jika tidak dipapah oleh rahib-rahib Siau-lim-pay mereka susah untuk ber?diri sendiri.
Begitu telah berada di tengah tengah sidang, salah seorang dari mereka mulai berkata dengan suara terputus putus, "Hwe-liong..pang. . .sss.... su?dah ma..masuk Bun-siau. Se..semua kawan..te...tewas."
Berita itu datangnya bagaikan halilintar di siang hari bolong. Kaum pendekar segera gempar membicarakan kejadian itu.
Sementara itu Rahib Hong tay telah memerintahkan kepada beberapa orang muridnya untuk membawa orang-orang yang luka-luka itu ke dalam kuil un?tuk mendapatkan perawatan seperlunya.
Thian goan Hweshiolah yang paling dulu menanggapi berita gawat itu. Se?runya sambil menggebrak meja, "Itulah contohnya kalau kita bertindak ragu ragu dalam menghadapi kawanan iblis tak berperikemanusiaan itu! Sementara kita berunding harus begini atau harus begitu, mereka terus maju dan pihak kitapun kehilangan beberapa orang !"
Lalu tokoh Go-bi-pay itu menoleh ke arah rombongan Jing-sia-pay dan Cong-lam-pay secara bergantian, sambil berkata, "Saudara Kongsun dan saudara Cia, apakah kalian masih akan tetap berkukuh pada pendapat kalian setelah melihat bahwa murid-murid kalian sendiri telah menjadi korban kekejaman orang-orang Hwe-liong-pang?"
Jing-sia-pay dan Cong-lam-pay adalah perguruan perguruan yang ta?dinya bersimpati kepada Hwe-liong pang. Namun setelah kini mereka me?lihat bukti yang terpampang di depan mata, maka pendirian merekapun mulai goyah.
Jika pihak Jing-sia-pay masih mengambil sikap hati-hati, maka pihak Cong-lam-pay malahan langsung berubah arah dalam mengambil sikap. Terdengar?lah Ketua Cong-lam-pay berkata dengan geram, "selama ini hubungan antara Hwe liong-pang dengan Cong-lam-pay boleh dikata tidak saling mengganggu, bah?kan kami pernah bahu membahu dalam memberantas kawanan bandit yang merajalela di sekitar pegunungan Cong-lam san. Tapi tak terduga kalau hari ini Hwe-liong-pang tidak mengingat persahabatan dan telah bertindak demikian keji kepada anak murid kami. aku Cia Hok-tong, sebagai Ketua Cong-lam-pay angkatan ke tigabelas memutuskan untuk berubah haluan, dan menghadapi Hwe-liong-pang sebagai musuh utama!"
"Bagus!" sambut ketua Hoa-san-pay Kiau Bun-han dengan penuh semangat. "Saudara Cia, itulah sikap seorang laki laki sejati yang tidak ragu ra?gu mengakui kekeliruan sendiri dan mengambil keputusan penting. Sikapmu ini sangat kupuji !"
Sebaliknya Kongsun Tiau malah bertanya kepada Cia Hong-tong dengan nada agak menegur, "Saudara Cia, apakah keputusanmu itu sudah kau pikir?kan sebaik baiknya?"
Cia Hok-tong menyahut, "Sekarang apa yang perlu dipertimbangkan lagi? Pihak Hwe-liong-pang ternyata sudah lebih dulu merusakkan hubungan baik yang selama ini ada di antara kami. Apakah Cong-lam-pay kami harus mengemis emis kepada mereka untuk meminta perdamaian?"
Sementara itu Wi-hong dan Wi-lian kini benar benar telah merasakan jalan buntu. Mereka menjalankan pesan kakak mereka untuk berusaha mengubah pandangan orang banyak kepada Hwe-liong pang, namun perkembangan yang mereka hadapi ternyata telah membingungkan mereka. Kakak-beradik itu saling bertukar pandangan, lalu terdengar Wi hong berkata lirih kepada adiknya, "Aku sampai sekarang masih tetap yakin bahwa A-siang tetap memegang teguh janji yang telah diucapkannya. Begitu pula dengan Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin. Mereka memang bekas anak anak berandalan yang bengal dan keras kepala, tapi aku merasa pasti bahwa mereka tidak akan sudi menjilat lu?dahnya sendiri. Aku heran kenapa sekarang bisa muncul peristiwa-peristiwa seperti ini?"
"Akupun merasa penasaran," sahut Wi-lian sambil mengepal tinjunya. "Aku tidak percaya bahwa A-siang akan men?jerumuskan kita berdua ke dalam keada?an serba salah semacam ini. Pasti ada sesuatu yang tidak beres di balik se?muanya ini. Tetapi akupun tidak punya bukti yang cukup kuat untuk merubah pendapat umum yang sudah terbentuk ini."
"Kota Bun-siau tidak jauh dari sini, bagaimana kalau malam nanti ki?ta coba menyelidiki ke kota itu untuk mengetahui duduk persoalan yang sebe?narnya?"
"Aku setuju," sahut Wi-lian tan?pa pikir panjang lagi.
Dalam pada itu, pertemuan para ksyatria itu kini sudah diliputi sua?sana permusuhan luar biasa kepada Hwe liong-pang. Orang-orang yang tadinya masih ragu ragu, kini hampir semuanya telah tertarik masuk ke dalam golong?an yang anti Hwe liong-pang itu. Golongan yang masih bersimpati kepada Hwe-liong-pang sudah tidak seberapa lagi jumlahnya, suara merekapun sudah tenggelam tak terdengar lagi. Bahkan Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay, dua perguruan besar yang paling disegani di dunia persilatanpun sudah memperlihat?kan kecondongan untuk melawan Hwe-liong pang. Hal itu sungguh merisaukan hati kakak beradik she Tong itu.
Kota Bun-siau hanya berjarak kira kira seratus li dari Siong-san, itu berarti gerakan orang orang Hwe-liong pang sudah berada di ambang pintu. Ma?ka pertemuanpun membicarakan siasat untuk membendung serangan Hwe-liong pang. Tentang hal ini, semua perguru?an telah sepakat untuk tidak mengor?bankan lagi murid murid mereka yang masih berjaga jaga di tempat tempat yang jauh dari Siong-san. Mereka se?mua akan ditarik mundur ke Siong-san dan semua kekuatanpun dipusatkan di situ. Kurir kurir berkuda segera dise?bar untuk memanggil murid murid dari berbagai perguruan itu dari tempat penjagaannya masing masing. Menjelang sore, semuanya sudah berkumpul.
Beberapa murid Siau-lim-pay yang bertugas mengintai di kota Bun-siau telah melaporkan, bahwa setelah bera?da di Bun-siau ternyata pihak Hwe liong pangpun sedang menyiapkan diri sebaik baiknya untuk menghadapi kaum pendekar golongan putih yang berhim?pun di Siong-san itu.
-o0^DwKz-Hendra^0o- MALAM turun dengan perlahan lahan, dan bersamaan dengan itu suasana tegang di gunung Siong-sanpun meningkat. Di segala sudut jalan yang menuju ke arah kuil Siau-lim-si telah dijaga ketat. Di mana mana nampak bayangan dari orang-orang yang berja?ga jaga dengan senjata terhunus. Penjagaan seketat itu karena adanya kekuatiran bahwa Hwe-liong-pang akan melakukan serangan tidak secara terbuka, melainkan secara licik, dengan demikian tidak ada sejengkal tanahpun yang tidak terjaga.
Kaum persilatan yang tidak ikut dalam pertemuan di halaman kuil Siau lim, yang hanya berkumpul di kaki bukit atau di kota Teng-hong hanya un?tuk menonton keramaian, kini sudah bubar sejak sore tadi. Mereka sudah mendengar tentang gerakan orang-orang Hwe-liong-pang, dan demi keselamatan diri sendiri maka mereka memilih un?tuk tidak campur tangan dalam ben?trokan itu. Tetapi ada juga beberapa orang yang merasa ilmu silatnya cukup tangguh dan menganggap bahwa inilah kesempatan untuk mencari nama, maka mereka ini tidak bubar melainkan meng?gabungkan diri dengan kaum pendekar di Siong-san.
Di dalam barak kaum pendekar, khusus untuk yang digunakan oleh rombongan Tiong-gi Piau-hang, Tong- Wi hong dan adiknya sedang mempersiapkan diri untuk diam-diam meninggalkan Siong-san dan menyelidiki ke kota Bun siau pada malam itu juga. Mereka mema?kai pakaian ringkas berwarna hitam, Tong Wi-hong telah menyandang pedangnya, sedangkan adiknya tidak bersenja?ta seperti biasanya. Sengaja mereka hanya akan berangkat berdua dan tidak mengajak yang lain lainnya, Sebab orang-orang yang kepandaiannya tidak begitu tinggi itu akan dapat merepot?kan saja dan malahan dapat mengga?galkan penyelidikan.
Dengan langkah yang hati-hati se?kali Wi-hong dan adiknya mulai menu?runi bukit Siong-san yang telah dikerudungi kegelapan itu. Tapi penjagaan di sekitar kuil itu agaknya memang be?nar-benar ketat sebab baru saja mere?ka berjalan beberapa langkah, tahu tahu dari balik sebuah pohon siong te?lah terdengar bentakan keras, "Berhenti ! Siapakah kalian?"
Dan sebelum Tong Wi-hong atau Wi lian menjawab sepatah katapun, tahu tahu diri mereka telah dikepung oleh tujuh orang yang memegang senjata yang berbeda beda, toya, pedang, golok dan juga mengenakan seragam per?guruan yang berbeda-beda pula. Wajah mereka tidak dapat dikenali karena ge?lapnya malam.
Agar tidak terjadi salah paham, Tong Wi-hong berbicara terus-terang, "Aku Tong Wi-hong, Cong-piau-thau da?ri Tiong gi Piau hang. Dan ini adalah adikku, Tong Wi-lian, murid Siau-lim pay."
Pemimpin dari kelompok yang meng?hadang mereka itu ternyata adalah seorang rahib gundul yang bertubuh te?gap kekar dan berusia belum mencapai tigapuluh tahun, tangannya memegang jenis senjata yang disebut kiu-hoan kun (Toya Sembilan Gelang). Ketika ra?hib muda ini mendengar nama Wi-lian disebutkan, maka ia segera menegaskan, "Apakah Wi-lian Su-moay?"
Tong Wi-lianpun menjadi lega setelah mendengar suara yang dikenalnya itu. Itulah suara kakak seperguruan?nya, Rahib Bu-sian, seorang pendeta muda yang ramah, berkepandaian tinggi dan penuh pengabdian kepada tegaknya keadilan dan kemanusiaan. Maka Wi-lianpun menyahut, "Benar, aku Wi-lian, apakah di situ Bu-sian Suheng?"
Tanya Rahib Bu-sian kemudian, "Su-moay dalam keadaan segenting ini kenapa kau malahan meninggalkan gu?nung? Kau hendak pergi ke mana?"
Tanpa tedeng aling-aling lagi, gadis itu menyahut, "Aku dan kakakku ini hendak menuju ke kota Bun-siau un?tuk menyelidiki sendiri kebenaran berita tentang Hwe-liong-pang itu. Aku masih kurang yakin benarkah yang te?lah melukai orang-orang Jing-sia-pay dan Cong-lam - pay itu adalah orang orang Hwe-liong-pang yang pernah kuke?nal?"
"Jika ternyata benar, lalu bagai?mana?" seseorang yang memegang pedang dan berdiri di sebelah Rahib Bu-sian segera menyahut dengan sinis. Meski pun Wi-lian tidak dapat melihat wajahnya tetapi ia dapat mengenali suara itu sebagai suara dari Gin-hoa-kiam Auyang-Seng. Agaknya pendekar muda da?ri Hoa-san-pay yang sedang berusaha menanjakkan namanya itu merasa ter?singgung sebab jika Wi-lian sampai menyelidiki sendiri gerak gerik Hwe liong pang, itu sama saja dengan meragukan laporan yang pernah disampaikan oleh Auyang-Seng kepada para pendekar.
Wi-lianpun dapat menangkap nada sinis yang terkandung dalam kata-kata Auyang Seng itu. Tetapi dengan mena?han diri Wi-lian telah menjawab tegas, "Jika benar tentu saja aku berpihak kepada kaum pendekar. Aku tahu membedakan baik dan jahat."
Sementara itu Rahib Bu-sian te?lah berkata pula, "Tong Cong-piau-thau dan Wi-lian Sumay menurut laporan orang-orang kita saat ini kota Bun-siau dipenuhi oleh orang-orang Hwe-liong-pang yang jelas memusuhi kita. Tindakan kalian untuk menyelidik ke Bun-siau itu jelas merupakan tindakan yang percuma, dan juga sangat membahayakan keselamatan kalian sendiri."
-o0^DwKz-Hendra^0o- Jilid 27 TONG-WI-HONG yang menyahut, "Tay-su (bapak pendeta), hal itu sudah kami pertimbangkan. Tetapi kami berdua tetap bertekad untuk me?nyelidiki ke sana betapapun besarnya bahaya yang harus kami hadapi, supaya jika kelak kami bertempur dengan orang orang Hwe-liong-pang perasaan kami sudah merasa lega karena sudah tahu siapa musuh-musuh kami itu."
Rahib Bu-sian termangu-mangu men?dengar tekad kakak beradik she Tong yang sudah bulat dan tidak mungkin di?cegah itu. Rahib muda itu juga menguatirkan keselamatan kakak beradik itu maka akhirnya Bu-sian mengambil keputusan yang tak terduga, "Baiklah, ka?lau begitu biarlah aku ikut dengan ka?lian!"
Mendengar keputusan Rahib Bu-sian itu Tong Wi-hong menjadi bingung ba?gaimana harus menanggapinya. Seperti diketahui, rencana Wi-hong di kota Bun-siau itu adalah untuk berusaha mene?mui Hwe-liong Pang-cu secara pribadi yang bukan lain adalah kakak Wi-hong sendiri. Tetapi dengan ikutnya Rahib Bu-sian, maka kemungkinan besar orang luarpun akan ikut mengetahui hubungan antara Wi-hong dengan Hwe-liong Pang cu. Keadaan seperti itu benar-benar dapat menyulitkan Wi-hong dengan Tiong gi Piau-hangnya, sebab seluruh dunia persilatan sedang dilanda suasana per?musuhan dengan Hwe-liong-pang. Tetapi untuk menolak keikut-sertaan Bu-sian Hweshio, Tong Wi-hong juga agak sulit untuk mengutarakannya karena takut akan menyinggung perasaan pendeta itu. Untuk sesaat lamanya Wi-hong hanya berdiri kebingungan saja.
Sementara itu Wi-lian justru pu?nya pendapat lain. Gadis itu merasa bahwa keikut-sertaan Bu-sian Hweshio itu ada keuntungannya. Selain berilmu silat tinggi sehingga dapat memberi bantuan, Rahib itu juga seorang yang berpandangan luas dan bijaksana an?daikata diberitahukan tentang per?soalan Hwe-liong Pang-cupun dia pasti akan dapat menerimanya dengan kebi?jaksanaannya. Maka jawab Wi-lian, "Ba?iklah Suheng, kami berterima kasih atas perhatianmu itu."
Wi-hong terkejut ketika mendengar jawaban adiknya itu. Tetapi di saat bibirnya sudah bergerak hendak mence?gahnya, ia merasa telapak tangannya telah digenggam dan diremas oleh adiknya. Wi-hong memahami isyarat adik?nya itu maka akhirnya ia bungkam saja.
Dalam pada itu Bu-sian hweshio te?lah berkata kepada Auyang Seng, "Sauda?ra Auyang, aku akan beserta Tong Cong-piau-thau serta adik seperguruanku ini untuk mencoba memasuki dan menyelidiki kubu lawan di kota Bun-siau. Selama aku pergi, harap saudara Auyang memim?pin semua saudara-saudara yang ada di tempat ini untuk menjalankan tugas se?baik-baiknya."
Setelah Auyang Seng menyatakan sanggup mengambil alih pimpinan kelom?pok itu, maka berangkatlah kakak bera?dik she Tong itu bersama dengan Bu-sian Hweshio. Sebelum mencapai kaki bukit Siong-san, mereka masih melewati lagi beberapa lapis penjagaan dari murid-murid perbagai perguruan yang sedang berkumpul di situ. Namun mereka dapat melewatinya dengan lancar, karena Bu-sian Hweshio sudah dikenal oleh murid murid perguruan itu.
Tong Wi-hong dan adiknya tidak tahu bahwa malam itu ternyata bukan ha?nya mereka yang meninggalkan bukit itu untuk menuju ke Bun-siau. Dari arah lain bukit Siong-san, nampak pula dua so?sok bayangan yang diam-diam pergi meninggalkan kuil dan menuju ke Bun-siau pula. Mereka bukan lain adalah Hong-lui kiam-khek Kongsun Tiau yang ditemani oleh si sasterawan sakti dari Kay hong, Liu Tay-liong. Kedua orang ini ternyata juga merasa penasaran dan ti?dak mau menelan begitu saja berita yang mereka terima. Mereka ingin menyeli?diki sendiri ke kota Bun-siau. Teruta?ma Kongsun Tiau yang berkesan baik ke?pada Hwe-liong-pang itu, kini benar-be?nar merasa penasaran karena ia masih tidak percaya bahwa Hwe-liong-pang akan melakukan tindakan permusuhan sema?cam itu. Itulah yang mendorongnya un?tuk meninggalkan Siong-san menuju Bun-siau.
Semula Bu-sian Hweshio bermaksud langsung menuju Bun-siau, namun setelah memperhitungkan jarak yang harus di?tempuh dengan waktu yang tersedia, akhirnya Bu-sian mengusulkan untuk men?cari kuda tunggangan dulu. Usul itu disetujui oleh Wi-hong dan Wi-lian. Ka?rena itu mereka lebih dulu menuju ke rumah seorang murid Siau-lim-pay yang hidup di luar kota Teng-hong sebagai pemilik sebuah peternakan kuda yang cu?kup besar. Dari murid Siau-lim-pay itu, mereka berhasil mendapatkan pinja?man tiga ekor kuda tegar, dan dengan kuda-kuda tegar itulah mereka menembus gelapnya malam menuju ke kota Bun-siau.
Karena Wi-lian berpendapat bahwa Suhengnya cukup dapat dipercaya dan cu?kup bijaksana, maka sambil berkuda, gadis itu terang-terangan menceritakan tentang hubungan pribadinya dengan Hwe-liong Pang-cu, dan menerangkan pula tentang kemelut dalam tubuh Hwe-liong-pang sendiri. Terhadap kakak seperguru?annya ini, Wi-lian begitu terus terang dan tak ada yang disembunyikannya lagi.
Rahib muda itupun tercengang sete?lah mendengar bahwa kedua orang yang sedang berkuda bersama-sama dengannya itu ternyata adalah adik-adik dari Hwe-liong Pang-cu, tokoh yang dianggap seba?gai musuh bersama dunia persilatan itu. Tetapi diapun juga menghargai kejujuran Wi-lian yang mau berbicara terbuka kepa?danya itu. Sahut rahib itu, "Sumoay, baik buruknya seseorang bukanlah ditentukan oleh hubungan pribadi antara orang itu dengan orang lainnya, namun ditentukan oleh sikap dirinya sendiri. Kau adalah adik perempuan dari Hwe-liong Pang-cu, itu adalah takdir dan sama sekali bukan kesalahanmu. Tetapi jika sampai kau mengikuti jejaknya yang sesat, nah, itu baru kekeliruan besar!"
Wi-lian mengerutkan keningnya ke?tika mendengar Suhengnya bicara de?ngan gambaran sejelek itu terhadap Hwe-liong Pang-cu, namun Wi-lian akhirnya memahami bahwa sikap Suheng?nya itu tentu terpengaruh pula oleh sikap kaum pendekar yang memusuhi Hwe-liong-pang. Katanya, "Suheng, niatku untuk menyelidik sendiri ke kota Bun siau ini justru terdorong oleh rasa tidak percaya bahwa kakakku itulah yang mendalangi perbuatan-perbuatan ganas itu. Kakakku telah berjanji ke?padaku bahwa dia ingin membina hubung?an baik dengan kaum pendekar. Aku ke?nal betul sifat-sifat kakakku. Meski?pun dia keras kepala dan kaku, namun dia paling pantang menjilat kembali ludahnya!"
"Kalau bukan kakakmu yang memim?pin gerakan ini, lalu siapakah?"
"Aku menduga ada kelompok lain yang menggunakan nama Hwe-liong-pang untuk kepentingannya sendiri. Barang?kali ia bertujuan untuk mengadu domba antara Hwe-liong-pang dengan kaum pendekar di Siong-san, agar dengan de?mikian mereka sendiri akan bisa meng?ail di air keruh."
"Tujuan kita ke Bun-siau justru hendak menyelidiki hal itu sejelas-je?lasnya," sambung Tong Wi-hong.
Karena jarak kota Bun-siau me?mang tidak terlalu jauh dari kota Teng-Hong, maka sebelum tengah malam mereka telah dapat melihat tembok ko?ta Bun-siau telah menghadang di depan mata. Di atas tembok kota nampak kelap kelipnya lentera yang dinyalakan oleh prajurit-prajurit penjaga kota, dan sayup-sayup terdengar pula suara para prajurit yang sedang bercakap-cakap atau bergurau untuk menahan kantuk.
Wi-hong, Wi-lian dan Bu-sian Hwe-shio segera turun dari kuda dan me?nambatkan kuda mereka di balik sebuah semak-semak yang tersembunyi. Bu-sian Hweshio berdesis dengan suara terta?han, "Sumoay, Tong Cong-piau-thau, ki?ta akan menggunakan ilmu Pia-hou-yu-jio (Cecak Merayap Di Tembok), sebab tembok kota itu terlalu tinggi untuk dilompati."
"Aku tidak menguasai ilmu sema?cam itu," Tong Wi-hong dengan terus terang.
Soat-san-pay adalah sebuah pergu?ruan silat yang mengutamakan pelaja?ran gerakan-gerakan bagus dan tipu-ti?pu yang rumit, baik dalam ilmu pedang maupun ilmu tangan kosong. Sedangkan ilmu Pia-hou-yu-jio yang diusulkan oleh Bu-sian Hweshio itu biasanya dia?jarkan dalam perguruan-perguruan silat yang mengutamakan latihan tenaga da?lam, sebab dalam ilmu itu sangat dibutuhkan tenaga dalam yang tinggi untuk menimbulkan daya sedot yang kuat di telapak tangan. Dengan demikian pengakuan Tong Wi-hong itu sama sekali ti?dak memalukan perguruannya, sebab ti?ap perguruan memang punya keistimewa?an sendiri-sendiri.
"Kalau Cong-piau-thau tidak kebe?ratan, biarlah aku bersedia menggen?dong Cong-piau-thau sambil merambat ke atas," kata Bu-sian Hweshio.
"Kalau begitu, aku terpaksa mere?potkan bapak pendeta," sahut Wi-hong.
Tidak lama kemudian, nampaklah bahwa Tong Wi-lian dan Bu-sian Hwe?shio sudah merayap di permukaan tem?bok kota itu seperti dua ekor cecak raksasa. Tong Wi-hong digendong di punggung si rahib, sambil membawakan toya baja si rahib. Meskipun tubuhnya dibebani oleh tubuh Wi-hong, namun Bu-sian Hweshio seolah-olah bagaikan ti?dak merasakan apa-apa. Dengan ringan?nya dia terus merayap ke atas di per?mukaan tembok yang tegak lurus dengan tanah itu, napasnya tetap biasa saja dan tidak terengah-engah. Diam-diam Wi-hong mengakui ketinggian tenaga da?lam dari rahib muda ini, pantas saja kalau kuil Siau-lim selalu disebut sebagai tempat paling angker dalam du?nia persilatan, dan sering pula dium?pamakan bagai "kubangan naga" atau "gua harimau".
Tidak lama kemudian, tibalah ke?tiga orang itu di atas tembok kota, dan suatu keberuntungan bagi mereka bahwa para penjaga tembok kota itu le?bih suka duduk berkumpul-kumpul dengan kawan-kawannya daripada jalan berkeli?ling untuk meronda. Dari atas tembok kota itu mereka langsung saja melompat ke bawah dengan ilmu meringankan tubuhnya masing-masing. Dan sebagai mu?rid Soat-san-pay, kali ini Wi-hong me?nunjukkan keunggulan perguruannya da?lam hal ilmu meringankan tubuh. Sepa?sang kaki Wi-hong berhasil mendarat di tanah hanya dengan mengepulkan se?dikit debu, sedangkan "pendaratan" Bu-sian Hweshio dan Wi-lian tidak seringan itu.
Waktu itu keadaan kota Bun-siau sudah agak sepi, hampir semua pintu sudah tertutup, kecuali warung-warung arak yang biasanya buka sampai larut malam. Di beberapa tempat masih ter?dengar suara gelak tertawa yang liar dari kelompok pemabuk. Kadang-kadang nampak pula sekelompok prajurit lewat, namun mereka sama sekali tidak menggu?bris Tong Wi-hong bertiga.
Sambil berjalan menyusuri jalan jalan kota Bun-siau yang sudah sepi itu, Bu-sian Hweshio bertanya, "Entah di manakah sembunyinya orang-orang Hwe liong-pang itu?"
Baru saja ucapannya selesai, tiba tiba dari arah depan muncullah empat orang laki-laki yang berjalan berangkul-rangkulan dengan langkah yang sem?poyongan, sedang mulut mereka menya?nyikan lagu yang tak keruan nadanya. Jelaslah bahwa keempat lelaki itu da?lam keadaan mabuk. Namun yang menarik perhatian adalah pakaian seragam yang dikenakan oleh keempat orang lelaki mabuk itu, sebab mereka berempat se?muanya berseragam hitam dan memakai ikat kepala serta sabuk yang berwarna biru! Itulah seragam anggauta Hwe-liong-pang dari kelompok Lam-ki-tong (Kelompok Bendera Biru)!
Melihat kelakuan keempat pemabuk itu, Wi-hong menggeram, "Gila. Aku hampir-hampir tidak percaya bahwa be?ginilah kelakuan orang-orang kelompok Lam-ki-tong yang dipimpin In Yong itu!"
"Kita ringkus mereka dan kita ko?rek keterangan dari mereka," kata Bu-sian Hweshio.
"Setuju," sahut Wi-hong dan Wi-lian serempak.
Dengan langkah tegap dan terang-terangan mereka mendekati keempat pe?mabuk itu, lalu dengan serempak mere?ka meringkuk pemabuk-pemabuk itu. Wi-hong dan Wi-lian meringkus masing-ma?sing satu, sedangkan Bu-sian Hweshio meringkus dua sekaligus tanpa banyak perlawanan, lalu menyeret pemabuk-pe?mabuk itu ke sebuah sudut yang gelap di pinggir jalan. Setelah diringkus, agaknya pemabuk-pemabuk itu masih ju?ga belum sadar akan apa yang terjadi atas diri mereka, mereka masih saja bernyanyi-nyanyi dengan suara parau. Namun setelah Wi-lian "menghujani" mu?ka mereka dengan tamparan-tamparan keras, barulah mereka geragapan dan menemukan sebagian kesadaran mereka.
"Apakah kalian adalah anggauta-anggauta Hwe-liong-pang?" Wi-hong mu?lai bertanya.
"Betul," sahut salah seorang di antara mereka. Nampaknya orang inilah yang paling sadar di antara teman-te?mannya.
"Dari kelompok yang mana?" tanya Wi-hong pula, meskipun sebenarnya ia sudah bisa menduganya.
"He, siapakah kalian? Apa perlu?nya kalian ber..." sahut si pemabuk itu tiba-tiba dengan garangnya, te?tapi ia tidak sempat menyelesaikan ka?limatnya, sebab Wi-lian telah menampar?nya dengan keras sehingga kepala orang itu terputar ke samping.
"Dari kelompok mana?" Wi-hong mengulangi bentakannya, kali ini nada yang lebih mengancam.
Tawanan itu masih merasakan kepa?lanya pusing habis digampar, maka ia tidak berani bermain-main lagi. Sahut?nya cepat, "Lam-ki-tong."
"He, jadi kau adalah anak buah dari Lam-ki-tong-cu In Yong?"
Tawanan itu nampak keheranan men?dengar pertanyaan itu. Katanya, "In Yong? Aku tidak kenal Lam-ki-tong-cu In Yong."
Wi-lian yang hampir kehabisan ke?sabaran itu telah mengangkat lagi tangannya dan siap menampar, ancam?nya, "Jika kau menjawab seenaknya, jangan salahkan aku kalau sampai gigi-gigimu kurontokkan semua. Kau seba?gai seorang anggauta Lam-ki-tong, ke?napa sampai tidak kenal kepada pemim?pin kelompokmu sendiri?"
Bu-sian Hweshio diam-diam terse?nyum geli melihat cara adik seperguru?annya dalam memeras keterangan dari tawanan itu. Meskipun dia adalah seo?rang rahib Buddha, namun ia dapat me?maklumi tindakan keras dari Su-moay-nya itu, sebab mereka sedang dalam keadaan darurat yang membutuhkan kecepatan dan ketepatan bertindak.
Sebaliknya tawanan Hwe-liong-pang itu menjadi semakin ketakutan se?bab ia sudah merasakan betapa keras?nya tangan gadis itu. Sahutnya dengan tergagap, "Li-hiap (Pendekar Wanita), harap ampuni aku, biarpun kau patah?kan seluruh tulang-tulangkupun aku tidak kenal orang yang bernama In Yong itu. Aku orang baru yang menjadi ang?gauta Hwe-liong-pang lima hari yang lalu. Lagipula Lam-ki-tong-cu yang sekarang bukannya In Yong melainkan adalah seorang bernama Seng Cu-bok dan berjulukan Hwe-tan (Si Peluru Api)."
Mendengar jawaban orang itu, se?ketika Wi-hong dan Wi-lian berpan?dangan dengan agak kebingungan. Mere?ka belum pernah mendengar nama Hwe-tan Seng Cu-bok itu. Lalu kemanakah perginya In Yong yang tadinya menjabat Lam-ki-tong-cu itu? Apakah telah terjadi pergeseran orang-orang dalam tu?buh Hwe-liong-pang?
Tanya Wi-hong kemudian kepada ta?wanannya, "Kau tentunya mengetahui ju?ga tentang ketujuh orang Tong-cu lain?nya? Nah, sebutkan."
Karena takutnya, orang Hwe-liong-pang itu tidak berani berlambat-lambat dalam menyahut, "Tentu saja aku kenal mereka. Pemimpin Pek-ki-tong adalah Say-ya-jat (Si Hantu Malam) Tong King-bun, pemimpin Ui-ki-tong adalah Sip-hiat-mo-hok (Kelelawar Iblis Menghi?sap darah) Liong Pek-ji, pemimpin Jing-ki-tong adalah Hek-liong (Si Na?ga Hitam) Tio Hong-bwe, pemimpin Jai-ki-tong adalah Hong long-cu (Si Serigala Gila) Mo Hui, pe?mimpin Ci-ki-tong adalah Tiat-pwe-siang (Gajah Berpunggung Besi) Song Hian, pemimpin Ang-ki-tong adalah Tui-hun-mo kay (Pengemis Iblis Pemburu Nyawa) Ko Ce-yang, sedangkan Hek-ki-tong dipim?pin oleh Hehou Im yang berjuluk Sat-sin-kui (Si Setan Ganas)."
Tentu saja Wi-hong dan Wi-lian menjadi semakin bingung ketika men?dengar deretan nama-nama asing itu. Yang mereka kenal di antara deretan nama itu hanyalah nama Mo Hui dan Ko Ceng-yang. Namun bukankah kedua orang itu sudah ditawan oleh Hwe-liong Pang-cu ketika terjadi penertiban di Jiang-hoa-kok itu? Kenapa mendadak sekarang bisa bebas dan bahkan menduduki jaba?tan lama mereka sebagai Tong-cu? Di mana pula Tong-cu lainnya yang pernah dikenal oleh Wi-hong, seperti In Yong, Lu Siong, Oh Yun-kim dan Kwa Heng?
"Pasti telah terjadi pergeseran besar-besaran dalam tubuh Hwe-liong-pang," gumam Wi-lian. "Dan menilik ju?lukan-julukan seram yang dipakai oleh Tong-cu-Tong-cu baru itu, nampaknya mereka kebanyakan berasal dari golong?an sesat. Mungkinkah A-siang sendiri yang telah melakukan tindakan penggan?tian ini?"
"Benar-benar memusingkan, kita harus mengorek keterangan tentang ke?jadian ini sampai tuntas."
Lalu kepada orang tangkapan itu Wi-hong bertanya, "Apakah kau meng?etahui ke mana orang-orang seperti In Yong, Lu Siong dan lain-lainnya itu tidak lagi menduduki jabatan sebagai Tong-cu?"
"Aku tidak pernah mendengar nama mereka, sungguh mati. Begitu aku di?paksa masuk Hwe-liong-pang, aku lang?sung ditempatkan dalam kelompok Lam-ki tong dan dipimpin oleh Seng-cu Bok. Aku hanya tahu menjalankan perintah, tidak tahu urusan lainnya."
Dengan gemasnya Wi-lian sudah mengangkat tangannya lagi untuk meng?gampar orang itu, namun rahib Bu-sian yang welas asih itu telah mencegahnya, "Su-moay, kukira orang ini tidak be?rani bicara berbohong kepada kita."
Kalau saja tidak dicegah oleh ka?kak seperguruannya, sebenarnya gadis itu ingin melampiaskan kejengkelannya kepada orang tangkapan itu. Katanya, "Anggap saja nasibmu cukup bagus se?hingga aku dicegah oleh kakak sepergu?ruanku untuk menghabiskan gigimu. Se?karang ceritakan kepada kami, di mana?kah pentolan-pentolan kalian berada pada saat ini?"
Sahut si tawanan, "Di kelenteng Tay-hud-si di sebelah timur tembok ko?ta Bun-siau."
Bu-sian Hweshio terlonjak ba?gaikan disengat kalajengking ketika mendengar jawaban itu. Kuil Tay-hud-si yang disebutkan itu adalah sebuah kuil cabang Siau-lim-si yang dipimpin oleh kakak seperguruan Bu-sian yang berna?ma Bu-khong Hweshio. Kini ia mendengar bahwa kuil itu telah dijadikan berkum?pulnya pentolan-pentolan Hwe-liong-pang, lalu entah bagaimana nasib hweshio-hweshio di sana yang berjumlah belasan orang itu?
Hilanglah ketenangan Bu-sian Hwe?shio, katanya dengan gelisah, "Kalau begitu kita harus cepat-cepat ke sana untuk melihat keadaan. Bu-khong Su-heng ada di kuil itu, barangkali mendapat kesulitan."
Keinginan itu cocok pula dengan gelora hati Wi-hong dan Wi-lian yang ingin cepat-cepat menemui kakak mere?ka itu. Setelah menotok pingsan keem?pat orang anggauta Hwe-liong-pang itu, mereka cepat-cepat keluar kembali da?ri kota Bun-siau dengan cara memanjat seperti tadi, lalu menuju ke sebelah timur pintu kota. Bu-sian Hweshio yang paling hafal dimana letaknya ku?il Tay-hud-si itu, maka dialah yang berjalan di depan untuk memimpin. Me?reka menggunakan ilmu meringankan tu?buh mereka, sehingga tidak lama kemu?dian nampaklah bayangan Tay-hud-si terpampang di keremangan malam.
Setelah kuil itu nampak, mereka bertiga lalu memperlambat langkah me?reka. Mereka menduga tentunya di seki?tar kuil itu dijaga oleh orang-orang hwe-liong-pang, karena itu Bu-sian Hweshio mengusulkan supaya lewat jalan belakang saja agar tidak menimbulkan keributan. Tetapi Wi-lian menyanggah usul kakak seperguruannya itu, "Suheng, kukira kita tidak perlu main kucing-kucingan seperti itu. Hwe-liong Pang-cu adalah kakakku, aku ingin menjum?painya secara berhadapan muka dan me?nanyakan apa maksud semua perbuatannya itu."
Namun Bu-sian Hweshio menggeleng?kan kepalanya, katanya, "Su-moay, kea?daan sangat mencurigakan, tadi kau sendiri mengatakan bahwa terjadi per?gantian tokoh-tokoh Hwe-liong-pang da?ri orang-orang yang tadinya kau kenal menjadi orang-orang yang belum kau ke?nal sama sekali. Ini menandakan bahwa kita tidak boleh menganggap Hwe-liong-pang yang sekarang ini sama dengan Hwe-liong-pang beberapa hari yang lalu. Kita tetap harus bersikap ha?ti-hati. Maaf, sumoay, aku berkata terus terang, bahwa menurut dugaanku Hwe-liong-pang sudah tidak dipimpin oleh kakakmu lagi."
Wi-lian hampir menangis karena menahan gejolak pertentangan dalam ha?tinya itu, sambil menggelengkan kepa?lanya dia berkata dengan ngotot, "Tidak. Aku tidak percaya bahwa A-siang tidak memimpin Hwe-liong-pang lagi. Seribu kali diucapkanpun aku tidak percaya."
Melihat sikap keras adik perempu?annya yang seolah-olah kurang akal itu, diam-diam Wi-hong menjadi terha?ru sekali. Wi-hong tahu sebabnya kena?pa adiknya bersikap begitu. Hubungan Wi-lian dengan kakak tertuanya itu sangat rapat, karena itu Wi-lian sa?ngat tidak siap untuk menerima kenya?taan-kenyataan buruk tentang diri ka?kaknya itu, meskipun kadang-kadang me?nyingkirkan akal sehatnya dan membiar?kan perasaannya bergejolak.
Dengan penuh pengertian, Wi-hong menepuk pundak adiknya, lalu berkata dengan suara sabar dan membujuk, "A-lian, cobalah kau bendung arus pera?saanmu itu dan gunakan akal sehatmu. Apa yang diucapkan oleh Suhengmu itu memang bukan hal yang mustahil terja?di, meskipun aku sendiripun tidak re?la mendengarnya. Kita harus ingat bahwa Te-liong Hiang-cu adalah seo?rang yang licik dan penuh tipu mu?slihat. Dalam pertempuran di Jiang-hoa kok, orang licik ini belum tertangkap dan masih berkeliaran secara bebas. Kemungkinan besar dia telah kembali membalas dendam dan A-siang telah termakan oleh sergapannya yang licik luar biasa itu sehingga terjadilah penggantian tokoh-tokoh Hwe-liong-pang menurut selera Te-liong Hiang-cu sen?diri...."
"Sudahlah, aku mengerti," potong Wi-lian dengan kepala tertunduk. Na?mun untuk melampiaskan kepepatan hati?nya, ia menubruk ke dada kakaknya dan menangis terisak-isak. Wi-hong mengu?sap-usap kepala adiknya itu dengan pe?rasaan terharu, bahkan matanyapun ikut-ikutan mengembeng air mata. Se?mentara itu, Bu-sian Hweshio yang sedang digelisahkan oleh nasib saudara-?saudara seperguruannya yang berada di Tay-hud-si itu, diam-diam menjadi ti?dak sabaran melihat adegan kakak bera?dik bertangis-tangisan itu.
Setelah tangis Wi-lian agak mere?da, barulah Bu-sian berkata, "Waktu berjalan terus, dan sebelum fajar me?nyingsing kita harus sudah berada kem?bali di Siong-san."
Mendengar ucapan Bu-sian Hweshio yang mengandung teguran halus itu, Wi-lian sadar akan keadaannya. Katanya sambil menarik napas, "Maafkan aku, Suheng, agaknya aku begitu terseret oleh luapan perasaanku sehingga ham?pir saja melalaikan tujuan kita yang sebenarnya. Marilah kita berjalan kem?bali, aku setuju usul Su-heng untuk menyelidiki kuil itu dari arah belakang agar jangan bentrok dengan penjaga-penjaga."
Demikianlah, ketiga orang muda itu lalu beranjak dengan hati-hati un?tuk mendekati kuil yang dari kejauhan masih nampak terang benderang itu.
Bagian belakang dari kelenteng itu membelakangi sebuah lereng bukit yang ditumbuhi dengan pepohonan yang lebat, sehingga banyak tempat persembunyian yang dapat digunakan bilamana perlu.
Di lereng di belakang kuil itupun ada beberapa orang Hwe-liong-pang yang berjaga-jaga, namun dengan cekatan Bu-sian Hweshio serta Wi-hong dapat membereskan mereka dengan pukulan-pu?kulan kilat ke tengkuk mereka. Ketika mereka maju beberapa langkah lagi, mendadak kaki mereka menyentuh sema?cam benda yang lunak dan dingin. Ke?tika mereka memeriksa benda itu, ter?nyatalah bahwa benda-benda itu bukan lain daripada mayat beberapa orang ra?hib Buddha yang diletakkan sembarangan begitu saja, tanpa dikubur.
"Bu-hian Suheng!" geram Bu-sian Hweshio setelah mengenal salah satu mayat itu. Diketemukannya pula mayat Bu-khong Hweshio, si pemimpin kuil yang tidak pandai bersilat itu. "Sung?guh biadab! Orang-orang hwe-liong-pang itu telah membunuh seisi kuil ini ha?nya untuk dipakai tempatnya, bahkan mereka telah membuang mayat-mayat ini dengan seenaknya di belakang kuil seperti membuang bangkai tikus saja!"
Tadinya Wi-lian mengharapkan untuk dapat bertemu dengan kakaknya, na?mun setelah melihat hasil karya kebia?daban orang-orang Hwe-liong-pang itu, maka ia berharap mudah-mudahan kakak?nya tidak termasuk dalam orang-orang yang tengah menduduki kuil itu.
Dari dalam kuil terdengar suara orang-orang yang bercakap-cakap, dan kadang-kadang suara terbahak-bahak yang liar, juga suara cawan yang ber?benturan dengan sumpit, menandakan bahwa dalam kuil Tay-hud-si itu te?ngah terjadi suatu pesta-pora.
Dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh mereka, Bu-sian Hweshio dan kawan-kawannya melompati tembok samping kuil itu. Lalu dengan merambat melalui dahan pohon besar yang menju?lur sampai ke atas ruangan sembahyang, mereka berhasil mencapai atap ruangan sembahyang.
Dengan hati-hati mereka mencopot selembar genteng untuk mengintai ke bawah, dan apa yang terlihat di dalam ruangan itu telah membuat Bu-sian Hwe?shio sebagai penganut agama Buddha sangat tersinggung perasaannya.
Ternyata di tengah ruang sembah?yang itu telah digelarkan sebuah meja perjamuan yang dikelilingi oleh bela?san orang yang tengah makan minum dengan gembiranya, tanpa menghormati kesucian kuil sebagai tempat suci umat Buddha, dan inilah yang membuat darah Bu-sian Hweshio menggelegak dengan he?batnya. Meja sembahyang di hadapan ar?ca Buddha itu kini telah digunakan un?tuk meletakkan makanan-makanan dari barang berjiwa serta arak, yang meru?pakan pantangan dalam agama. Sedang orang-orang yang mengelilingi meja perjamuan itu ada sebelas orang, lima orang di antaranya sudah dikenal oleh Wi-hong dan Wi-lian, yaitu Te-liong Hiang-cu Tan Goan-ciau, lalu si iblis dari Jing-hay Sebun Say, Ang-mo-coa ong (Raja Ular Berambut Merah) Tang Kiau-po, Hong-long-cu (Si Serigala Gila) Mo Hui serta Tui-hun-mo-kay (Pengemis Iblis Pemburu Nyawa) Ko Ceng-yang. Tidak usah dijelaskan lagi enam orang lainnya yang bertampang seram-seram itu tentunya enam orang Tong-cu baru yang telah diangkat oleh Te-liong Hiang-cu untuk mengganti pengikut-pengikut Tong Wi-siang yang telah didepaknya itu.
Dari kenyataan itu dapat disim?pulkan bahwa agaknya Tan Goan-ciau te?lah berhasil merebut kedudukan pemim?pin dalam Hwe-liong-pang, entah dengan cara bagaimana. Agaknya ia berhasil juga membebaskan pengikut-pengikutnya yang ditawan oleh Tong Wi-siang, sedangkan nasib Tong Wi-siang dan peng?ikut-pengikut setianya entah bagaima?na lagi.
Terdengar suara Te-liong Hiang-cu sambil tertawa puas, "Berkat kerjasa?ma kita yang erat, akhirnya terwujud?lah cita-cita kita untuk membersihkan Pang kita ini dari manusia-manusia banci yang takut melihat darah sema?cam Tong Wi-siang dan kaki tangannya itu, dan kemudian kita akan membuat Hwe-liong-pang sebagai perkumpulan yang paling kuat di dunia persilatan ini. Meskipun Wi-siang dan orang-orangnya berhasil melarikan diri, namun me?reka sudah terluka parah dan pengikutnyapun sedikit. Mereka sudah tidak berbahaya lagi. Meskipun demikian, adalah menjadi kewajiban kalian untuk menemukan dan menumpas mereka, di ma?napun mereka berada!"
Sepuluh orang lainnya cepat-cepat menyahut serempak, "Kami siap menja?lankan perintah Pang-cu (Ketua)!"
Te-liong Hiang-cu lalu melanjut?kan kata-katanya, "Selama ini, kita yang telah dianggap sebagai kaum sesat oleh orang-orang munafik yang menama?kan diri pendekar-pendekar aliran lu?rus itu, telah cukup menerima penghinaan dan penindasan dari kaum munafik itu. Namun, besok pagi kita akan me?nyerbu Siong-san, dan akan kita paksa para orang-orang munafik itu untuk bertekuk-lutut dan mengakui kekuatan kita. Kita tunjukkan kepada mereka, bahwa dengan bersatu-padu kita sang?gup memberi hajaran keras kepada mere?ka."
Para anak buahnyapun bersorak gembira sambil mengangkat cawan arak mereka. Seorang yang bertubuh tinggi besar lalu berkata dengan suaranya yang lantang, "Aku Song Hian, biarpun menjadi anggauta Hwe-liong-pang baru beberapa hari, tetapi Pang-cu telah berkenan mempercayai aku untuk memim?pin kelompok Ci-ki-tong. Atas budi ba?ik Pang-cu ini, besok aku berjanji akan mencurahkan tenagaku habis-habis?an di Siong-san untuk melabrak kaum munafik itu!"
"Terima kasih, Song Tong-cu!" sahut Te-liong Hiang-cu dengan gembira. "Saat ini kedudukan Su-cia (duta) da?lam Pang kita masih ada lowongan dua orang, karena itu dalam pertempuran besok pagi, siapa yang menunjukkan se?mangat paling tinggi akan kuangkat menjadi Su-cia! Harap kalian berjuang dengan sekuat tenaga!"
Bertepuk tanganlah para Su-cia dan Tong-cu itu menyambut ucapan Ketu?anya.
Setelah suasana tenang kembali, Tan Goan-ciau lalu berkata, "Malam sudah cukup larut, kita harus beristi?rahat untuk menyimpan tenaga dalam menghadapi pertempuran besok pagi. Te?tapi sebelum kalian beristirahat, ada sebuah pekerjaan yang menarik bagi ka?lian, barangkali untuk sekedar melemas?kan otot di malam dingin ini."
"Tugas apakah itu, Pang-cu?" ta?nya Sebun Say.
Te-liong Hiang-cu tertawa dingin dari balik topeng tengkoraknya, lalu katanya sepatah demi sepatah kata, "Pekerjaan menarik itu adalah menang?kap tiga ekor tikus yang sudah sejak tadi telah berani mengintip pertemuan kita ini dari atas genteng!"
Terkejutlah Bu-sian Hweshio ber?tiga ketika mengetahui bahwa kehadir?an mereka ternyata telah diketahui oleh musuh. Bu-sian Hweshio cepat-ce?pat mendorong tubuh Wi-hong dan Wi-li?an sambil berkata dengan agak gugup, "Kalian berdua cepat lari untuk menga?barkan kepada para ksyatria di Siong san. Biar aku akan menahan mereka di sini!"
Wi-lian cukup tahu sampai di ma?na ketangguhan kakak seperguruannya itu, bahkan lebih tangguh dari diri?nya sendiri dan Wi-hong. Tapi itu be?lum cukup untuk menghadang tokoh-tokoh Hwe-liong-pang yang berjumlah banyak dan juga rata-rata berilmu tinggi itu. Maka Wi-lianpun berseru nekad, "Su-heng, kita lari bersama-sa?ma atau gugur bersama-sama!"
Dalam pada itu, kedelapan orang Tong-cu itu telah berlompatan mengham?bur keluar dari ruangan perjamuan itu, dan kemudian merekapun berlompa?tan ke atas genteng. Mereka akan bere?butan untuk menangkap mata-mata musuh, agar mendapat pahala di hadapan Sang Ketua.
Namun gerakan mereka masih kalah cepat dibandingkan ketiga orang yang hendak ditangkap itu. Begitu kedela?pan Tong-cu itu sudah menginjak permu?kaan genteng, Bu-sian Hweshio dan ka?wan-kawannya telah melompat keluar melintasi tembok samping kuil, lalu ber?lari menuju ke belakang kuil yang rim?bun itu untuk menyembunyikan diri.
"Kejar!" teriak para Tong-cu itu.
Pemimpin Ui-ki-tong yang baru, yaitu Sip-hiat-mo-hok (Kelelawar Iblis Penghisap Darah) Liong Pek-ji, yang merasa punya ginkang (Ilmu Meringan?kan Tubuh) yang paling lihai di anta?ra rekan-rekannya, bermaksud untuk pa?mer kepandaian. Dengan sekali jejakan kakinya, tubuhnya telah terlontar ke depan sampai beberapa tombak jauhnya, mantel hitam yang dikenakannyapun terkembang lebar sehingga ia benar-benar mirip seekor kelelawar berukuran rak?sasa.
Namun Tong-cu-Tong-cu lainnyapun tidak membiarkan pahala itu dinikmati sendiri oleh Liong Pek-ji. Seng Cu-bok yang berjulukan Hwe-tan (Peluru Api) itu segera menyambitkan tiga butir pe?luru apinya ke punggung Bu-sian Hwe?shio dan kawan-kawannya, sambil menggertak, "Bangsat, lihat peluru apiku akan membuat kalian jadi babi pang?gang!"
Luncuran ketiga butir Hwe-tan itu ternyata lebih pesat dari luncur?an tubuh Liong Pek-ji. Dalam sekejap saja suara desingannya telah terdengar di belakang punggung Bu-sian Hweshio dan kawan-kawannya.
Bu-sian Hweshio cukup berpenga?laman, cukup dengan mendengar suara?nya saja dia telah dapat mengetahui senjata apakah yang mengancamnya itu. Tidak lupa ia memperingatkan kawan-ka?wannya, "Peluru api dari keluarga Seng! Cepat menghindar dan jangan ditangkis!"
Ilmu meringankan tubuh Tong Wi-hongpun cukup lihai. Hanya dengan tekukan pinggangnya, tubuhnya yang te?ngah meluncur itu telah berbelok ke samping dengan gaya Gan-heng-sia-hui (Burung Meliwis Terbang Miring). Se?dangkan Wi-lian menggunakan gerakan It-ho-ciong-thian (Seekor Bangau Me?nembus Langit), melompat tinggi ke atas sehingga peluru api itu hanya mende?sis di bawah telapak kakinya. Bu-sian Hweshio sendiri telah berhasil melo?loskan diri dengan gerakan Boan-liong-jiau-po (Naga Berputar Langkah).
Ketiga butir hwe-tan yang disambitkan oleh Seng Cu-bok itu segera mengenai pepohonan dan langsung mele?dak serta membakarnya, sehingga kini keadaan di sekitar kuil Tay-hud-si itu menjadi terang benderang bagaikan siang hari.
Sementara itu, Liong Pek-ji te?lah menubruk dari angkasa bagaikan se?ekor kalong raksasa, mulutnya yang bertaring itu menyeringai mengerikan, dan dengan kuku-kuku tangannya dia langsung menerjang ke arah Bu-sian Hweshio.
Biasanya, dengan serangannya yang hebat ini Liong Pek-ji selalu berha?sil mencabut nyawa korbannya. Perhi?tungannya kali inipun demikian pula, jika dapat membunuh lawan dengan se?kali gebrakan maka pamornya akan ikut naik. Tetapi kali ini Liong Pek-ji agaknya salah alamat, sebab sasarannya kali ini adalah murid Hong-tay Hwe?shio, tokoh yang menduduki tempat kedua dalam deretan "Sepuluh Sakti" du?nia persilatan itu. Tanpa menolehkan kepalanya, Bu-sian Hweshio membalik?kan dan menyodokkan tongkat kiu-hoan-kun ke belakang, memaksa si kelelawar harus membatalkan serangannya dan berjungkir-balik menyelamatkan dadanya dari sodokan tongkat baja itu.
Sementara itu Hong-long-cu Mo Hui serta Tui-hun-mo-kay Ko Ce-yang telah memburu ke arah Wi-lian dengan perasa?an penuh kebencian dan dendam kesumat. Kedua orang Tong-cu ini pernah merasa?kan dihajar habis-habisan oleh gadis Siau-lim-pay itu, bahkan dihajar di hadapan mata orang banyak sehingga ke?dua Tong-cu itu merasa sangat kehi?langan muka. Sekarang tibalah saat me?reka untuk membalas dendam. Karena me?reka masing-masing merasa belum sang?gup menandingi gadis itu satu lawan satu, maka tanpa kenal malu lagi mere?ka maju serempak, dengan senjata an?dalannya masing-masing mengeroyok ga?dis yang tidak bersenjata itu!
Si Serigala Gila Mo Hui lebih du?lu membuka serangan dengan gerakan Ya-long-tiau-kan (Serigala Liar Melompat Parit). Mata tunggalnya itu berkilat penuh kebencian, sedang mata tomb?aknya yang bergerigi seperti gigi serigala itupun berkilat memancarkan hawa pembunuhan, siap merobek-robek tubuh Wi-lian.
Cepat gadis itu menghindar ke samping, namun tongkat besi Ko Ce-yang telah siap menyambut untuk meme?cahkan kepalanya. Terpaksa Wi-lian menghindari sambaran tongkat itu de?ngan gerakan Hong-hong-tiam-tau (Bu?rung Hong Menganggukkan Kepalanya). Dalam beberapa gebrakan itu Wi-lian belum sempat membalas serangan musuh-musuhnya.
Tong Wi-hong cemas ketika melihat adik perempuannya dikeroyok oleh dua orang lawan tangguh. Ia segera menca?but pedang dan bergerak untuk meno?long adiknya, namun langkahnya itu ternyata dihadapi oleh Tong King-bun yang berjuluk Say-ya-jat (Si Hantu Malam) serta He-hou Im yang berjuluk Sat sin-kui (Si Setan Ganas). Tong King-bun bersenjata sebatang pedang pan?jang, sedangkan Hehou Im bersenjata thi-koan (Tongkat Yang Melengkung Tajam). Kedua Tong-cu ini bertempur dengan ganasnya dan nampaknya tidak segan-segan untuk mencincang lawannya, maka terpaksa Wi-hong harus memusat?kan perhatiannya kepada kedua lawannya ini.
Melihat Wi-hong dan Wi-lian te?lah terlibat oleh lawannya masing-ma?sing dan tidak dapat melarikan diri lagi, diam-diam Bu-sian Hweshio menge?luh dalam hatinya. Namun rahib muda itu tidak sudi menjadi pengecut dan lari untuk keselamatan dirinya sen?diri. Maka iapun terjun ke tengah are?na pertarungan sambil berseru, "Tong Cong-piau-thau dan Su-moay, cepat ki?ta bentuk lingkaran untuk bertempur bahu-membahu!"
Peluru-peluru api milik Seng Cu-bok telah tidak dapat digunakan lagi, ka?rena sekarang pertempuran itu telah bercampur-aduk antara kawan dan lawan. Maka Seng Cu-bok memasukkan kembali peluru-peluru apinya ke dalam kantung kulitnya, lalu menghunus goloknya dan langsung terjun ke gelanggang pertem?puran. Si Gajah Berpunggung Besi (Thi-pwe-siang) Song Hian serta Hek-liong (Naga Hitam) Thio Hong-bwe tidak mau ketinggalan dalam merebut pahala, maka serempak merekapun mengeluarkan senja?tanya masing-masing yang berupa gada besi segi delapan dan tombak berkait.
Menghadapi keadaan segawat itu, Bu-sian Hweshio merasa bahwa keduduk?annya dan kawan-kawannya agak terde?sak di bawah angin, ia harus berusaha membuka jalan agar bisa bertempur ber?sama kawan-kawannya secara bahu-membahu. Maka dibarengi dengan bentakan?nya yang menggelegak, toya kiu-hoan-kunnya telah diputar dahsyat bagaikan gelombang lautan menggempur lawan-la?wannya. Para Tong-cu baru dari Hwe-liong-pang itu terkesiap ketika me?lihat tenaga yang sedahsyat itu.
Thi-pwe-siang Song Hian yang ju?ga merasa mempunyai tenaga raksasa yang dapat dibanggakan itu, telah tim?bul keinginannya untuk menjajal kekua?tan rahib muda Siau-lim-si itu. Sege?ra ia melompat maju sambil melintang?kan gada besinya, sambil membentak, "Keledai gundul, jangan bertingkah di sini, tuan besarmu akan segera menghajarmu!"
Tak terhindarkan lagi, dua jenis senjata yang sama-sama digerakkan oleh tenaga raksasa itu telah berben?turan dengan hebatnya. Suasananya ber?dentang nyaring dan membuat kuping se?tiap orang bagaikan pekak. Song Hian terdorong mundur tiga langkah, sedang Bu-sian Hweshio merasakan tangannya tergetar hebat. Dari hasil benturan itu nampaklah keunggulan tenaga dari rahib muda Siau-lim-si itu.
Ketika Bu-sian Hweshio sekali la?gi menyapukan toyanya untuk menying?kirkan lawan-lawannya, maka tak seorangpun lawannya yang berani cari pe?nyakit dengan jalan membenturnya seca?ra keras, serempak mereka menyibak. Dengan demikian akhirnya Bu-sian Hweshio berhasil bergabung dengan adik seperguruannya. Sedangkan Tong Wi-hong dengan mengandalkan ilmu pedangnya yang cepat dan lincah, ternyata juga telah bergabung ke situ. Kini ketiga jago muda itu bertempur bahu membahu menghadapi kepungan delapan orang Tong-cu Hwe-liong-pang yang haus paha?la itu.
Dengan bertempur sambil beradu punggung membentuk segitiga, keduduk?an Bu-sian Hweshio bertiga tidak sere?pot tadi lagi. Kini mereka tidak usah menguatirkan akan datangnya sergapan licik dari punggung mereka. Namun dengan demikian merekapun terkepung dan kecil sekali kesempatannya untuk melarikan diri, apalagi tentunya Te-liong Hiang-cu tentu tidak akan mem?biarkan anak-buahnya dikalahkan musuh di depan hidungnya.
Kedelapan orang Tong-cu itu ternyata bertempur dengan beringas se?kali, mereka punya dorongan yang sa?ma, yaitu memperoleh pujian dihadapan Ketua mereka. Namun merekapun penasa?ran bukan main karena gabungan dari delapan orang yang punya nama julukan seram-seram itu ternyata tidak dapat berbuat apa-apa terhadap tiga orang muda yang umurnya jauh di bawah mere?ka itu. Kedelapan Tong-cu itu jadi me?rasa semakin malu dan penasaran sete?lah Te-liong Hiang-cu kemudian melang?kah keluar dari dalam kuil dan menon?ton pertempuran itu dengan didampingi oleh Sebun Say dan Tang Kiau-po.
Tiba-tiba Liong Pek-ji menemukan suatu akal bagus untuk memecah kerja-sama ketiga lawannya itu. Ia lalu ber?teriak kepada Seng Cu-bok, "Saudara Seng, lemparkan peluru apimu ke te?ngah-tengah lingkaran mereka!"
Seruan itu segera menyadarkan Seng Cu-bok, ia segera melompat keluar dari arena pertempuran dan mengeluar?kan kembali butir-butir hwe-tannya. Dia girang karena akan mendapat muka dengan jasanya, tapi satu-satunya hal yang membuat dia agak menyesal, ia?lah karena Liong Pek-jilah yang mengingatkannya untuk berbuat demiki?an, sehingga jasanyapun agaknya akan terbagi dua.
Sedangkan Bu-sian Hweshio dan ka?wan-kawannya terkejut ketika mendengar seruan itu. Jika siasat lawan itu benar-benar akan dijalankan, maka Bu-si?an Hweshio bertiga akan benar-benar jatuh ke dalam kesulitan besar, sebab senjata hwe-tan Seng Cu-bok itu ti?dak dapat ditangkis. Tetapi mereka ti?dak berdaya mencegah Seng Cu-bok, se?bab tujuh orang Tong-cu lainnya sema?kin merapatkan kurungan mereka untuk memberi kesempatan kepada Seng Cu-bok menyiapkan peluru-peluru apinya.
Dalam keadaan genting itu, Tong Wi-hong menjadi nekad. Tanpa pikir panjang lagi ia telah melemparkan pe?dangnya sekuat tenaga ke arah Seng Cu-bok. Kini pedangnya meluncur dan berubah ujud menjadi sebuah garis pe?rak yang melesat kencang ke sasarannya.
Siapapun tidak akan menduga tin?dakan Wi-hong semacam itu, bahkan Seng Cu-bok juga tidak. Orang she Seng itu hanya melongo kaget ketika melihat pe?dang itu meluncur ke arahnya dengan kecepatan yang diluar kemampuannya un?tuk menghindarinya.
Namun agaknya nasib she Seng itu masih cukup bagus. Di saat pedang Wi hong itu hampir menembus badannya, Sebun Say telah menolongnya dengan jalan menubruk maju secepat kilat. Dan en?tah bagaimana caranya, tahu-tahu pe?dang itu telah berada dalam tangan si iblis Jing-hay itu.
Seng Cu-bok yang baru saja lepas dari ancaman maut itu, menjadi murka bukan kepalang. Secara beruntun ia menghamburkan lima butir peluru-pelu?ru apinya untuk menghantam ke pusat kerjasama segitiga antara Bu-sian Hwe?shio, Tong Wi-hong dan Tong Wi-lian. Agaknya ketiga pendekar muda yang ga?gah berani itu kini dihadapkan kepada dua pilihan yang sama-sama tidak enak. Harus bertempur secara berpencaran kembali, atau tetap bergabung tetapi akan terbakar hidup-hidup oleh peluru-peluru api yang ampuh itu.
Tapi sang nasib baik agaknya ti?dak berpihak. Jika Seng Cu-bok baru saja berhasil memperpanjang umurnya lolos dari lubang jarum karena per?tolongan Sebun Say, maka di saat gawat bagi Bu-sian Hweshio bertiga itupun mendadak muncullah pertolongan tak terduga. Di saat ke lima butir hwe-tan itu hampir mengenai sasarannya, tiba-tiba entah dari mana datangnya muncullah segulungan angin yang lem?but tetapi kuat, dan tanpa menimbul?kan ledakan ke lima butir hwe-tan ma?lahan berbalik ke arah orang-orang Hwe liong-pang sendiri.
Perubahan tidak terduga itu te?lah membubarkan kepungan orang-orang Hwe-liong-pang, mereka dengan panik?nya berusaha menghindari sambaran pe?luru-peluru api milik rekan sendiri yang sangat berbahaya itu. Mereka sa?dar bahwa benturan yang lemahpun su?dah cukup untuk membuat peluru itu me?ledak dan menyemburkan apinya.
Thi-pwe-siang Song Hian bertubuh raksasa dan bertenaga kuat, namun ge?rak-geriknya kurang lincah, ia agak terlambat menyelamatkan diri sehingga pinggulnya tersambar sebutir hwe-tan yang langsung meledak dan menyala. Sambil menjerit kaget, ia langsung sa?ja menjatuhkan dirinya untuk bergu?lingan di rerumputan yang basah oleh embun malam. Api yang membakar tubuh?nya memang berhasil dipadamkan, tapi pakaiannya sudah robek-robek tidak ka?ruan, kulitnya melepuh di sana-sini, keadaannya benar-benar sangat konyol.
Keanehan tidak berhenti sampai di situ saja. Api yang menyala-nyala itu tiba-tiba dihembus lagi oleh "angin aneh" yang tidak diketahui sum?bernya itu, sehingga nyala api itupun terpecah-pecah dan berubah menjadi ja?lur-jalur api yang mengejar dan hen?dak menjilat ke arah orang-orang Hwe-liong-pang itu. Kembali orang-orang Hwe-liong-pang menjadi kalang kabut menghadapi kejaran "ular api" itu.
Sementara orang-orang Hwe-liong pang itu panik, Bu-sian Hweshio ber?tiga telah mendengar suara bisikan se?lembut suara nyamuk di pinggir telinga mereka, "Lekas lari. Permainan ini tidak akan bertahan lama."
Itulah suara yang dilemparkan dengan ilmu Coan-im-jip-bit (Mengirim Gelombang Suara), suatu ilmu tingkat tinggi yang hanya dapat dilontarkan oleh tokoh-tokoh yang berkepandaian tinggi. Tanpa melewatkan kesempatan sebagus itu, Bu-sian Hweshio bertiga telah melompat ke dalam gerombolan pepohonan yang lebat di belakang kuil Tay-hud-si itu dan melarikan diri.
Tapi di tempat itu hadir tiga orang tokoh Hwe-liong-pang yang ilmunya lebih tinggi dari delapan Tong-cu itu. Mereka adalah Te-liong Hiang-cu, Se-bun Say dan Ang-mo-coa-ong Tang Kiau po. Sebagai orang-orang yang berilmu tinggi, mereka langsung menyadari bahwa kekacauan itu tentu disebabkan oleh kekuatan dari luar yang ikut cam?pur. Dan kekuatan luar itu tentu saja tidak dapat dianggap remeh, menilik caranya yang mahir dalam "memainkan" api itu.
Sebun Say dan Tang Kiau-po serem?pak menghantam ke arah sebatang pohon yang tumbuh di tempat itu, sambil mem?bentak, "Manusia bosan hidup dari ma?nakah yang bersembunyi di situ? Hayo perlihatkan dirimu!"
Batang pohon yang hampir sebesar paha orang dewasa itu seketika itu am?bruk terkena gabungan pukulan dari ke?dua tokoh Hwe-liong-pang itu. Bersama?an dengan ambruknya pohon itu, ter?lihatlah pula dua sosok bayangan me?lompat turun dari pohon dan langsung kabur mengikuti jejak Bu-sian Hweshio bertiga yang telah lari lebih dulu.
"Bangsat! Setelah mengacau kau kira bisa kabur begitu saja?" teriak Sebun Say yang geram karena merasa orang itu berani malang-melintang see?naknya di depan hidungnya. Tubuhnya yang pendek kecil itu melesat mengejar ke arah dua bayangan itu. Kedelapan orang Tong-cu juga ikut mengejar, te?rutama Song Hiam yang masih mendong?kol karena hampir saja ia terbakar hi?dup-nidup gara-gara ulah orang itu.
Tapi orang-orang yang dikejar itupun tidak tinggal diam. Salah seorang dari mereka tiba-tiba berbalik sambil mengebaskan sebuah kipas ke arah api yang masih menyala. Gelom?bang angin yang kuat segera menghem?bus dahsyat, membuat kobaran nyala api itu menyembur ke arah para penge?jar itu. Untuk beberapa detik lamanya tokoh-tokoh Hwe-liong-pang itu terha?lang, dan itu sudah cukup bagi kedua orang itu untuk melenyapkan diri ke dalam hutan di belakang kuil itu. Sa?yup-sayup telinga Sebun Say masih mendengar suara orang tertawa menge?jek, suara yang sangat dikenalnya!
Geram Sebun Say sambil memban?ting kakinya, "Sastrawan busuk she Liu itu kembali telah mengganggu pe?kerjaanku. Dalam pertempuran di Siong-san besok pagi mudah-mudahan sa?ja aku bertemu dengan bangsat itu, su?paya aku dapat mencincangnya untuk melampiaskan kejengkelanku!"
Sebenarnya, jika tokoh-tokoh Hwe-liong-pang itu mau berpikir dengan ke?pala dingin, kejadian malam itu harus?nya cukup membukakan mata mereka bahwa kaum pendekar memiliki kekuatan yang jauh di atas Hwe-liong-pang. Delapan orang Tong-cu ditambah dengan dua Su-cia dan satu Te-liong Hiang-cu ternya?ta masih belum sanggup menangkap tiga orang pendekar muda dan dua orang to?koh kaum pendekar lainnya, apalagi di Siong-san tentunya berkumpul berpuluh-puluh orang pendekar muda yang seting?kat atau hampir setingkat dengan Tong Wi-hong, dan tokoh-tokoh tua yang se?tingkat dengan Liu Tay-liong. Namun mata hati Te-liong Hiang-cu dan anak buahnya itu telah dibutakan oleh kesombongan mereka sendiri yang merasa diri mereka sakti tanpa lawan, dan sedikitpun tidak terbit pikiran mereka untuk memikirkan kembali rencana pe?nyerbuan mereka ke Siong-san. Bahkan kejadian di malam itu malah semakin mengobarkan kebencian mereka kepada kaum pendekar.
Dalam pada itu, Bu-sian Hweshio dan kawan-kawannya telah mengerahkan ilmu lari cepatnya untuk menyusup ja?uh ke dalam hutan, bahkan menembus sampai ke seberang hutan. Di tempat itu barulah mereka berhenti berlari dan duduk beristirahat di atas akar-akar pepohonan, sambil mengusap ke?ringat mereka. Angin malam yang sejuk membantu mengeringkan keringat mereka dan menyegarkan kembali tubuh mereka.
"Sungguh berbahaya," desis Bu-sian Hweshio. "Hampir saja kita tidak dapat kembali ke Siong-san. Untunglah ada seorang berilmu tinggi yang me?nolong kita. Entah siapakah lo-cian-pwe itu?"


Perserikatan Naga Api Karya Stevanus Sp di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sahut Wi-lian, "Liu Lo-cian-pwe, Liu Tay-liong dari Kay-hong. Aku cu?kup mengenal suaranya aku pernah di?tolongnya di kota Kay-hong. Kita tung?gu Liu Lo-cian-pwe di sini."
Mereka tidak menunggu terlalu la?ma, sebab sesaat kemudian terdengar suara kibaran kain baju, lalu mun?cullah Liu Tay-liong yang disertai se?orang laki-laki setengah umur dan berjenggot cabang tiga serta berpakaian ringkas. Dialah Kongsun Tiau, Ketua Jing-sia-pay yang berjuluk Hong-lui-kiam-khek (Pendekar Angin dan Halilintar).
Bu-sian hweshio bertiga segera memberi hormat dan mengucapkan terima kasih kepada tokoh-tokoh angkatan tua yang telah menolong mereka itu. Kemu?dian mereka semuanya duduk berkeli?ling sambil membicarakan peristiwa yang baru saja mereka alami itu. Wi-lian dengan gamblang dan terperinci lalu menjelaskan tentang perubahan besar besaran yang telah terjadi dalam tu?buh Hwe-liong-pang, di mana para Tong-cu lama yang berwatak ksyatria telah tersingkir dan digantikan dengan tokoh tokoh golongan hitam sebangsa Seng Cu-bok dan sebagainya. Sebagai kesimpul?annya, Wi-lian berkata, "Dengan de?mikian, kita tidak ragu-ragu lagi ber?tindak sebab sudah mengetahui macam apakah lawan kita itu. Hwe-liong-pang yang kita temui malam ini berbeda dengan Hwe-liong-pang yang pernah ki?ta temui dulu, yang mungkin pernah me?nimbulkan kesan baik di hati kita."
Kongsun Tiau, yang dalam pertemu?an kemarin hari begitu ngotot membela Hwe-liong-pang, sekarang juga mengang?guk-anggukkan kepalanya ketika men?dengar keterangan Wi-lian itu. Kata?nya, "Sekarang jelaslah persoalannya. Tentu saja sekarang aku tidak ragu-ra?gu lagi mengayunkan pedangku untuk membabat mereka, sebab mereka ternya?ta bukan sahabat-sahabatku yang dulu, meskipun sama-sama bernaung di bawah bendera Hwe-liong-ki (Bendera Naga Api). Tapi persoalan yang kuhadapi kali ini benar-benar telah menambah pengalamanku. Biasanya jika aku meng?hadapi seseorang/suatu kelompok, aku langsung dapat menentukan sikap kare?na aku langsung dapat menentukan jahat atau baiknya pihak yang kuhadapi itu. Namun berhadapan dengan Hwe-liong-pang benar-benar memusingkan kepala. Sebentar jahat, sebentar baik, sehingga aku kadang-kadang ragu-ragu dalam menurunkan tangan."
Mendengar kata-kata Kongsun Tiau itu, Liu Tay-liong menjawab sambil tertawa, "Bukan kau saja yang pusing, tapi seluruh dunia persilatanpun pu?sing kepala menghadapi Hwe-liong-pang yang kabur haluannya itu. Jadi tenang sajalah, sebab kau punya beribu-ribu kawan dalam kepusingan."
Dalam pada itu, malam telah mele?wati pusatnya, dan bulan sabitpun su?dah terlihat condong ke sebelah barat. Liu Tay-liong segera beranjak dari tempat duduknya sambil berkata, "Ayo kita pulang sekarang. Penyelidikan kita malam ini boleh dianggap telah cukup berhasil, cukup membantu kita untuk menetapkan sikap tegas kepada Hwe-liong-pang."
Demikianlah kelima orang itupun kembali ke Siong-san. Lebih dulu mere?ka mengambil kuda-kuda tunggangan me?reka yang disembunyikan tidak jauh dari tembok kota Bun-siau, setelah itu barulah mereka berangkat bersama-sama kembali ke Siong-san.
"Apakah hasil penyelidikan kita malam ini perlu kita laporkan hasil?nya kepada para ksyatria?" tanya Wi-lian dalam perjalanan.
"Aku merasa perlu hal itu," sa?hut kakaknya. "Hal ini agar kaum ksya?tria dapat membedakan mana Hwe-liong pang yang musuh dan mana Hwe-liong-pang yang bukan musuh. Mereka harus dapat membedakan antara Hwe-liong-pang Te-liong Hiang-cu dan Hwe-liong-pang-nya Hwe-liong Pang-cu yang syah."
Ternyata semuanya sependapat bahwa apa yang mereka saksikan malam itu harus dilaporkan kepada kaum ksyatria, meskipun barangkali mereka akan menerima teguran karena telah berani meninggalkan Siong-san tanpa berpamitan.
-o0^DwKz-Hendra^0o- BEGITU cahaya keemas-emasan mu?lai bertebaran di cakrawala ti?mur, kelima orang yang baru saja me?nyelidiki kota Bun-siau itu telah ti?ba di Siong-san. Kedatangan dan lapor?an yang mereka bawa langsung saja menggemparkan segenap kaum pendekar yang berkumpul di situ. Ada yang me?nanggapi laporan itu dengan cukup bijaksana, namun lebih banyak lagi yang tetap bersikeras dengan sikapnya bahwa Hwe-liong-pang tetap Hwe-liong pang, tidak peduli Hwe-liong-pang yang manapun tetap harus dibabat. Yang membuat Tong Wi-hong dan adiknya merasa prihatin, adalah kenyataan bahwa pendapat yang kedua inilah yang menguasai sebagian besar kaum pendekar. Pendapat yang kurang mengun?tungkan bagi cita-cita Tong Wi-siang yang ingin berjalan secara lurus di dunia persilatan.
"Sehabis pertempuran ini selesai, kita harus cepat-cepat mencari A-si?ang dan menganjurkannya agar untuk se?mentara waktu ia tidak mengadakan ke?giatan dulu," kata Wi-lian kepada ka?kaknya, setelah mereka sendirian sa?ja. "Ternyata ada juga kaum pendekar yang begitu keras kepala dan sulit di?beri penjelasan."
"Susahnya, ke mana kita harus mencari A-siang?"
Begitulah, di tengah-tengah kesi?bukan kaum ksyatria yang bersiap-siap untuk menghadapi serbuan Hwe-liong-pang, maka Wi-hong dan Wi-lian masih saja digelisahkan oleh sikap kaum pendekar yang keras kepala itu. Namun mereka-pun secara jujur tidak dapat terlalu menyalahkan sikap semacam itu, sikap yang begitu membenci semua yang berbau Hwe-liong-pang sampai ke tulang sungsumnya. Sebagian besar kesalahan me?mang terletak di pundak Tong Wi-siang yang dulu kurang ketat dalam mengawa?si tindak-tanduk para anak buahnya. Inilah yang mengakibatkan sikap permusuhan dari sebagian besar kaum pen?dekar itu sulit dihapuskan begitu sa?ja, meskipun telah mendengarkan kete?rangan terperinci, karena memang seba?gian besar kaum ksyatria ini pernah menelan pengalaman pahit dengan Hwe-liong-pang.
-o0^DwKz-Hendra^0o- Jilid 28 Lereng bukit Siong-san yang bia?sanya sunyi itu, kini telah penuh dengan murid-murid dari perbagai per?guruan dengan seragamnya masing-ma?sing, sementara ujung-ujung senjata mencuat di sana-sini, menimbulkan sua?sana tegang yang mencengkam perasaan.
Di antara perguruan-perguruan yang akan ambil bagian dalam mengha?dapi serbuan musuh itu, Siau-lim-pay sebagai tuan rumah merupakan perguru?an yang paling banyak mengikut-sertakan anggautanya, bukan saja golongan pendeta yang di dalam kuil tetapi ju?ga murid-murid premannya. Agaknya penghormatan yang selama ini dibe?rikan oleh umat persilatan terhadap Siau-lim-pay merasa tidak keliru, se?bab Siau-lim-pay ini memang selalu me?rasa paling bertanggung-jawab terha?dap ketenteraman dunia persilatan. Itulah sebabnya Siau-lim-pay dapat me?negakkan selama ratusan tahun dengan namanya yang harum.
Dalam persiapan menyambut musuh itu, dari pihak Siau-lim-pay nampak?lah rahib tua angkatan huruf "Hong" seperti Hong-tay, Hong-koan yang angin anginan itu, Hong-leng, Hong-bun dan yang lain-lainnya yang rata-rata ke?pandaiannya hampir sejajar. Sedangkan rahib-rahib angkatan bawahnya lagi, yaitu yang namanya memakai huruf "Bu" ada puluhan jumlahnya, tersebar di su?dut-sudut bukit Siong-san. Ada juga di antara mereka yang berkelompok-ke?lompok membentuk barisan Lo-han-tin yang terkenal itu.
Ketika matahari sudah mulai tera?sa hangatnya, maka seorang penunggang kuda muncul di kaki bukit, dan lang?sung memacu kudanya ke atas bukit. Orang itu berseragam murid Hoa-san-pay, masih muda dan tangkas. Ia langsung menemui Hong-tay Hweshio yang telah diangkat sebagai beng-cu (Pemimpin U?mum) dalam gerakan seluruh kaum pen?dekar itu.
"Ada berita apa?" tanya Hong-tay Hweshio.
Murid Hoa-san-pay itu melompat turun dari kudanya dan memberi hormat, laporannya, "Beng-cu, orang-orang Hwe-liong-pang sudah melewati kota Teng hong dan sedang bergerak menuju ke ma?ri. Mereka bergerak dalam kelompok-ke?lompok kecil, tapi jumlahnya seluruh?nya hampir dua ribu orang, dan diper?kirakan mereka akan bergabung kembali menjadi barisan besar kira-kira lima li dari kaki bukit ini!"
Laporan itu membuat para pendekar jadi berubah hebat wajahnya. Kaum pen?dekar yang berkumpul di Siong-san itu kalau dijumlahkan semuanya paling banter hanya empat ratus orang, termasuk rahib-rahib Siau-lim-pay. Jika pi?hak lawan benar-benar berjumlah se?besar itu, berarti setiap pendekar harus menghadapi lima orang lawan yang belum diketahui entah sampai di mana kepandaian silatnya. Sebab serendah rendahnya ilmu silat seorang anggauta biasa, tapi orang yang sudah berani berkecimpung dalam dunia persilatan tentu punya keyakinan dengan kemampu?an dirinya sendiri.
Namun Rahib Hong-tay memperlihat?kan sikap tenang-tenang saja mendengar?kan laporan itu. Katanya, "Baiklah, kau boleh pergi dan bergabung dengan teman-temanmu."
Lalu kepada beberapa pendekar tua serta ketua-ketua perguruan yang akan menjadi "panglima"-nya, Hong-tay Hwe-shio berkata, "Jangan gugup mendengar jumlah lawan yang lebih besar. Kita tidak akan menghadapi mereka dalam suatu pertarungan keras lawan keras secara terbuka, tetapi kita pancing mereka dalam pertempuran di hutan pohon siong, supaya kita mendapat keun?tungan tempat dan dapat saling mem?bantu."
Setelah itu Hong-tay Hweshio lalu memanggil seorang Rahio tua lainnya, "Hong-leng Sute, kemarilah!"
Rahib tua yang bernama Hong-leng itu segera mendekat dan mendengarkan perintah kakak-seperguruannya, "Kau boleh membawa beberapa murid dan kepo?nakan murid kita untuk membentuk be?berapa buah barisan Lo-han-tin di be?berapa tempat penting dalam kuil kita. Tidak seorang musuhpun boleh masuk un?tuk menodai kesucian kuil kita, dan juga jangan sampai Ciang-bun Su-heng (kakak seperguruan yang menjadi Ketua) dikagetkan dari semedinya dalam usaha penyembuhan penyakitnya."
"Baik, Suheng," sahut Hong-leng Hweshio.
Setiap orang yang mendengar per?intah Hong-tay Hweshio itu tergetar hatinya, terutama murid-murid Siau-lim pay sendiri. Mereka sudah bertekad-bulat, bukan saja mempertahankan kuil dari jamahan tangan-tangan berdarah Hwe-liong-pang, melainkan menumpas Hwe-liong-pangnya sekalian sebagai sumber penyakit.
Dan kepada "panglima-panglima"nya, Hong-tay Hweshio berkata, "Mari?lah kita sambut hangat tamu-tamu tak diundang itu."
Maka berjalanlah paderi tua Siau-lim-si itu menuju ke kaki bukit, diiringi oleh beberapa rahib muda, serta tokoh-tokoh berbagai golongan lainnya seperti Kim-hian dan Kim-gi Tojin dari Bu-tong-pay, Soat-san-kiam-sian Yu Hau-seng dan Soat-san-kiam-sin Oh Yu-thian dari Soat-san-pay, Pat-pi-sin-kay Ling Kok-yang dari Kay-pang, Hong-lui-kiam-khek Kongsun Tiau dari Jing-sia-pay, Pat-hong kiam-kong Kiau Bun-han dari Hoa-san-pay, Thian-goan Hweshio dari Go-bi-pay, Thi-sim Tojin dari Khong-tong-pay, Cia Hok-tong dari Cong-lam-pay serta tokoh-to?koh utama lainnya.
Dalam pada itu, dari arah sela?tan Siong-san nampaklah debu mengepul ke udara, sayup-sayup terdengar pula gemuruhnya derap ribuan ekor kuda yang menghentak-hentak bumi. Suatu ba?risan panjang yang terdiri dari orang-orang berbaju hitam nampak bergerak seperti seekor naga raksasa yang hen?dak menelan bukit Siong-san.
Begitu tiba di kaki bukit, rom?bongan musuh itu langsung memecahkan diri menjadi delapan kelompok warna bendera, dengan ikat kepala dan ikat pinggang yang berbeda-beda, dipimpin oleh Tong-cunya masing-masing. Sete?lah itu barulah Te-liong Hiang-cu mun?cul dengan dikawal oleh Sebun Say ser?ta Tang Kiau-po.
Kongo 4 Mata Elang Karya Hey Sephia Perjalanan Terindah 2
^