Pencarian

Pusaka Pedang Embun 8

Pusaka Pedang Embun Lanjutan Sin Tiauw Thian Lam Karya Sin Liong Bagian 8


keadaan remang terang hingga mudah tampak
wajahnya, maka Lie Eng Eng tidak bisa
menggunakan kodenya, maka segera ia mencabut
keluar pedang dari serangkanya, menggunakan
551 pedang membabat kepala salah seorang yang
datang menerjang. Begitu sinar perak berkeredep,
kepala orang itu menggelinding ketanah sedang
rohnya lalu terbang menghadap Giam-lo-ong.
Bayangan yang muncul belakangan begitu
melihat sang kawan sudah menggeletak mandi
darah ia tidak berani maju lagi, sambil berteriakteriak ia lari meninggalkan tempat itu melaporkan
kepada Cie Tay Peng. "Ayaaa..... didalam kebun kemasukan seorang
pembunuh ! Lekas perintahkan tangkap," berkata
orang itu dengan gugup. Cie Tay Peng yang sedang minum arak, ketika
mendengar suara ribut-ribut si tukang ronda, ia
meletakkan cawan araknya dimeja, lalu berkata :
"Lekas bawa senjata."
Dua orang pengawal yang duduk bersama sama
Cie Tay Peng segera bangkit dengan membawa
sepasang senjata pian yang sangat berat.
Tiauw Jie Kun, Lok Huy Hiem, Coa Tek Sien, Sim
It Cian, dan beberapa anggota Go-kong-nia lalu
keluar menyusul Cie Tay Peng dengan membawa
senjata masing-masing. Tak lama disebelah belakang terdengar suara
senjata tajam yang berbenturan dengan seru.
Ternyata Lie Eng Eng telah terkurung rapat oleh
para berandal, tapi mereka tidak bisa mendekati si
nona, karena pedang Ang lo-po-kiam bergerak
berkelebatan memancarkan sinar perak membentuk sinar lingkaran yang bergulunggulung, dimana lingkaran sinar pedang itu
552 bergerak, pasti disitu terdapat seorang rubuh
menggeletak mandi darah. Tiauw Jie Kun adalah musuh lama Lie Eng Eng,
begitu melihat si nona agak lengah, cepat ia
menggerakkan goloknya kearah batang leher si
nona, tapi gerakan Lie Eng Eng masih lebih cepat,
dengan cepat ia menangkis datangnya serangan
golok, trang. Golok Tiauw Jie Kun terpental dua potong,
ternyata gerakan Lie Eng Eng tidak sampai disitu,
pedangnya digerakkan kembali, maka terdengarlah
jeritan Tiauw Jie Kun, dengan dibarengi putusnya
lengan kanannya. Dengan mengeluarkan jerit yang menyeramkan,
Lie Eng Eng lompat keluar kalangan, tapi baru saja
kakinya menjejak tanah, tiba-tiba melesat datang
seorang yang menghalangi gerakan Lie Eng Eng,
orang itu menggunakan senjata golok Pok-to,
menghalangi jalan keluar Lie Eng Eng.
Ternyata orang yang menghalangi jalan keluar
Lie Eng Eng adalah murid Cie Tay Peng yang
bernama Jie-thauw coa Ciu Tek Po, yang dengan
gesit membacokkan goloknya ke kepala Lie Eng
Eng. Lie Eng Eng menggerakkan pedangnya memapaki datangnya serangan golok tadi.
Belum lagi sampai tiga jurus, mendadak Lie Eng
Eng berteriak keras, dengan tipu Ciu-hong-sawlok-yap pedang Ang-lo po kiam membabat tubuh
Ciu Tek Po. 553 Ciu Tek Po yang masih belum mengetahui
kelihaian pedang Lie Eng Eng, maka ia menangkis
pedang itu dengan goloknya.
"Trang......setttt !" terdengar dua suara berbareng, ternyata golok serta tubuh dari orang
yang memegangnya telah terpapas putus menjadi
dua potong, darah berhamburan muncrat.
Maka berakhirlah riwayat hidup Jie-thauw-coa si
uler kepala dua, karena rohnya harus melapor
kepada Giam-kun diantar bacokan pedang Lie Eng
Eng. Kembali Tiauw Jie Kun,Lok Huy Hiem dan Cie
Tay Peng cs, telah mengurung Lie Eng Eng dengan
rapet, sehingga umpama kata tidak ada setetes air
pun yang bisa muncrat keluar dari kurungan mereka.
Tapi Lie Eng Eng dengan bersemangat berkobarkobar lalu memberikan perlawanan, sedikitpun ia
tidak gentar menghadapi kepungan para berandal
Go-kong nia. Setelah bertempur selama 30 jurus lebih
mendadak berlari datang seorang gadis berpakaian
putih, dengan mengenakan ikat pinggang berwarna
ungu, usia gadis itu kira-kira 18 tahun,
ditangannya menggenggam sepasang golok Cenghong-eng-ie-to, dengan mata bersinar menyalanyala, gadis itu langsung menyerobot kedalam
kalangan pertempuran. Lie Eng Eng yang menampak gadis itu, ia
menyadari bahwa gadis itu tentunya bukan lawan
enteng, saat itu keadaan Lie Eng Eng sangat kritis,
554 untuk melarikan diri sudah terlambat, untuk
bertempur terus tidak mungkin bisa menang,
karena kawanan berandal yang datang jumlahnya
semakin banyak, sehingga mengurung tubuhnya
sangat rapat sekali seakan-akan anginpun tidak
bisa menembusi kurungan mereka ! Oleh sebab itu
maka Lie Eng Eng menjadi nekad, dengan
semangat yang menggelora ia melakukan perlawanan sengit. "Supek !" terdengar gadis itu berseru, "harap
supek sekalian mundur istirahat dulu, ini kepala
anjing serahkan pada Cie-jie untuk membekuknya." Cie Tay Peng yang menampak sang keponakan
perempuan keluar membantu, tanpa disadarinya ia
sangat girang, maka cepat-cepat berkata : "Cie-jie,
kau harus hati-hati, perempuan siluman ini
memiliki kepandaian yang lumayan."
Setelah berkata begitu Cie Cay Peng menggerakkan sepasang piannya lalu mundur dari
medan pertempuran. Berbarengan dengan mundurnya Cie Tay Peng,
gadis yang menyebut namanya Cie jie menggerakkan goloknya menyerang Lie Eng Eng.
Lie Eng Eng menyambut serangan si gadis
dengan tenang, yang ternyata juga memiliki ilmu
kepandaian yang cukup tinggi, sebentar saja
pertempuran sudah berlangsung limapuluh jurus
lebih. Cie Tay Peng segera memberikan perintah
kepada anak buahnya mundur dan segera
555 membuat penjagaan di jalan timur dan selatan
yang penting, begitu pula setiap pos diperintahkan
untuk dijaga dengan ketat, agar jangan sampai Lie
Eng Eng berhasil lolos melarikan diri.
Dengan penjagaan yang ketat kuat, Lie Eng Eng
meskipun tumbuh sayap, juga tidak mungkin lolos
dari kepungan mereka. Sedang dalam arena pertempuran hanya tinggal
Tiauw Jie Kun, Lok Huy Hien, Cie lay Peng dan Ciejie yang sedang melakukan pertempuran dengan
Lie Eng Eng. Ternyata Cie Tay Peng mempunyai seorang
keponakan perempuan yang bernama Cie Giok
Peng, orang-orang menjulukinya dengan sebutan
Hun-kwan-im, karena ia memiliki paras cantik,
sedang potongan tubuhnyapun langsing dan tegap,
gadis itu baru berusia 18 tahun.
Cie Giok Peng, pada waktu berusia 8 tahun telah
ditinggal mati oleh ayah ibunya yang menjadi adik
Cie Tay Peng, maka sejak itu Cie Giok Peng dirawat
oleh sang supek, karena sayangnya Cie Tay Peng
kepada anak adik saudaranya almarhum maka
gadis itu telah dididik ilmu silat, bahkan Cie Tay
Peng telah mengundang dua orang guru silat dan
guru surat yang tinggi kepandaiannya untuk
memberi pelajaran kepada sang keponakan
perempuan. Giok Teng seorang gadis yang memiliki otak
cerdik, maka ketika ia berusia 13 tahun, semua
jenis senjata tajam itu telah bisa menggunakan
dengan jitu, sehingga membuat orang-orang kagum
atas dirinya. 556 Waktu ia sedang santapan malam diatas loteng,
begitu ia mendengar suara ribut-ribut diluar, maka
cepat-cepat turun menghampiri suara ribut-ribut
tadi dengan membawa senjatanya. Lalu membantu
sang supek untuk membekuk Lie Eng Eng.
Cie Giok Peng dengan sepasang golok Cenghong-eng ie-to, yang merupakan barang pusaka
dari jaman kerajaan Song, golok itu memiliki
ketajaman yang luar biasa, bisa memotong besi
seperti tempe. Karena Cie Giok Peng menggunakan golok
wasiat, maka pedang Ang-lo-po-kiam Lie Eng Eng
tidak bisa membuat senjata itu menjadi terpapas
putus. Lebih-lebih kini Cie Tay Peng telah menggerakkan senjata piannya untuk membantu
keponakan perempuan mengurung Lie Eng Eng.
Lie Eng Eng yang menghadapi dua lawan
langguh, bertempur sampai 10 jurus lamanya.
Saat itu Lie Eng Eng menampak sepasang golok
Cie Giok Peng diputar demikian rupa menyerang
dirinya, ia sadar kini sulit untuk mendapatkan
kemenangan, maka ia lalu mencari jalan keluar
untuk lolos dari lubang jarum.
Dalam keadaan terjepit Lie Eng Eng tambah
nekad, ia memutarkan pedangnya sedemikian rupa
untuk mengimbangi gerakan ilmu golok Konghong-pat-kwa-to yang dimainkan oleh Cie Giok
Peng sangat dahsyat. Setelah pertempuran berlangsung sampai sampai 00 jurus lebih, tiba-tiba tanpa disadari kaki
557 Lie Eng Eng menginjak batu, membuat tubuh Lie
Eng Eng terjungkal. Cie Tay Peng menampak keadaan lawan
mendadak jatuh terjungkal, segera menggerakkan
kakinya menendang Lie Eng Eng.
Cepat Lie Eng Eng dengan menggunakan jurus
Lie-hie-tiat-cu mengangkat kaki kanannya menangkis serangan kaki Cie Tay Peng.
Tubuh Lie Eng Eng cepat meletik berdiri, tapi
tiba-tiba ia menjerit : "Haaaahh.."
Berbareng dengan suara jeritannya, pedang Anglo-po-kiam terlepas dari tangannya, diiringi dengan
terjungkalnya kembali tubuh Lie Eng Eng diatas
tanah dengan tidak bisa berkutik lagi.
Ternyata sewaktu Lie Eng Eng hendak berdiri,
Cie Giok Peng menotok jalan darah dibahunya
dengan ujung sepatu yang kecil lancip, hingga
pada saat itu juga tubuh Lie Eng Eng dirasakan
kesemutan dan jatuh ngusruk kembali.
Ketika menampak Lie Eng Eng rubuh, cepatcepat Coa Tek Sien mengambil tambang, mengikat
erat-erat tubuh Lie Eng Eng, sehingga tubuh itu
seperti lepet ! Setelah diikat, barulah ia dibawa
keruangan Cie-gie-thia untuk diperiksa.
Didalam ruangan Cie gie-thia telah dipasang api
penerangan hingga keadaan dalam ruangan itu
terang benderang seperti juga keadaan disiang
hari.

Pusaka Pedang Embun Lanjutan Sin Tiauw Thian Lam Karya Sin Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lie Eng Eng yang tubuhnya terikat, ia
pendelikkan matanya, sambil tersenyum dingin
558 berkata : "Sebagai jago, satu lawan satu, kalian
anjing-anjing hutan, sebetulnya bukanlah tandinganku, tapi karena nona besarmu kurang
hati-hati menghadapi keroyokan kalian hingga
terpeleset, dan dibekuk kalian dengan curang,
sekarang bunuhlah, jika kalian hendak menyembelih, sembelihlah, silahkan cepat turun
tangan, aku bersumpah tidak akan mengerutkan
alis sedikit pun menghadapi ancaman maut
kalian." "Anak baik !" berkata Cie Tay Peng sambil
tersenyum dingin, "siapakah nama dan shemu ?"
"Nona besarmu selama hidup belum pernah
ganti she, berjalan tidak ganti nama." berkata Lie
Eng Eng sambil tersenyum dingin. "Kalau kalian
mau mengetahui namaku dengar baik-baik, pasang
kuping yang lebar, aku adalah Bo-tay-tiong-kiam
Lie Eng Eng." Cie Tay Peng dan semua orang bawahannya
ketika mendengar nama itu disebut, tanpa dirasa
mereka terkejut, tidak diduga kini mereka sedang
berhadapan dengan si pedang Macan Betina Lie
Eng Eng yang tersohor, mereka menyadari memang
sepantasnya Lie Eng Eng mendapatkan gelar itu
karena mereka telah membuktikan betapa lihai
dan uletnya si jago pedang macan betina ini.
Tiauw Jie Kun yang beberapa kali pernah
menjadi pecundang bahkan kini tangan kanannya
sudah kutung ia sudah mengenali Lie Eng Eng,
begitu orang-orang merasa heran dan terkejut, ia
hanya tersenyum kecut. 559 "Lie Eng Eng !" terdengar Cie Tay Peng berkata,
"Kau boleh pilih salah satu hukuman yang akan
kujatuhkan pada dirimu, dikubur hidup-hidup
atau dibakar, ataukah menjalani hukuman daging
dan tulang terpisah ? Nah kau boleh pilih sendiri
mana yang kau suka ?"
Hukuman daging dan tulang terpisah adalah
suatu cara hukuman mengadu manusia dengan
binatang-binatang buas. Hukuman dilakukan dibawah lamping gunung
Go-kong-nia, dibawah lamping itu terdapat
binatang-binatang buas, harimau, macan tutul dan
biruang, setiap hari binatang-binatang itu diberi
makan. Cie Tay Peng yang berhati kejam dan tidak
berkeperimanusiaan sesekali ia mengerek turun
orang hidup untuk dijadikan santapan binatangbinatang itu, maka itulah yang dimaksudkan
dengan hukuman daging dan tulang terpisah.
Tiauw Jie Kun yang menaruh dendam luar biasa
kepada Lie Eng Eng segera berkata : "Tay ong;
hamba kira pada kesempatan ini kita lebih baik
menjatuhkan hukuman daging dan tulang
terpisah, dimana kita juga bisa menyaksikan
pertarungan antara manusia dan binatang,
bukankah hal itu merupakan suatu pemandangan
yang menggirangkan untuk ditonton, berikan
senjatanya, kita lihat apa yang ia bisa lakukan?"
Cie Tay Peng yang mendengar usul Tiauw Jie
Kun mendadak menjadi girang, dengan cepat ia
berkata : "Jie Kun pendapatmu sungguh jitu, maka
560 pada besok siang kita suruh dia bertempur dengan
binatang-binatang buas !"
"Apakah ia tidak akan melarikan diri?" tiba-tiba
terdengar Cie Giok Peng berkata.
"Hmm, kau tidak usah kuatir Cie jie, dibawah
lamping terdapat banyak harimau dan macan
tutul, meskipun ia berhasil membunuh seekor tapi
tidak mungkin bisa membunuh seluruhnya,
seandainya ia juga tumbuh sayap, tidak mungkin
juga bisa terbang. Dan jangan kuatir, Cie-jie,
meskipun Su tay-thian-ong (empat raja langit yang
terbesar) atau Pai-tong-sin-sian (dewa dari delapan
goa) juga jangan harap bisa lolos keluar dari bawah
lamping! Jie Kun, cepat bawa budak ini dan keram
dalam penjara !" Tiauw Jie Kun segera menyeret tubuh Lie Eng
Eng untuk dijebloskan kedalam penjara.
Keesokan harinya, Cie Tay Peng telah bangun, ia
memerintahkan anak buahnya untuk menyediakan
beberapa peti mati untuk mengubur anak buahnya
yang tewas dalam pertempuran tadi malam.
Ketika hari sudah hampir menunjukkan waktu
Ngo-sie (antara jam 11 - 1 siang), Lie Eng Eng baru
dikeluarkan dari dalam kamar penjara, digiring
oleh beberapa orang anggota berandal.
Cie Giok Peng segera memberikan pedang Anglo-po-kiam pada Lie Eng Eng, tapi segera dicegah
oleh Cie Tay Peng, katanya ; "Tunggu! Jangan
berikan dulu itu pedang, lebih baik kita kerek dulu
ia turun kebawah, baru kemudian mengerek pula
561 pedangnya untuk diberikan padanya, hal itu untuk
menjaga timbulnya sesuatu yang diluar rencana!"
Setelah mendengar ucapan itu maka mereka lalu
menggiring Lie Eng Eng ke See-peng-gay, disana
terdapat lamping yang berkeliaran banyak binatang
buas. Setelah ikatan mengerek diikatkan ke tubuh Lie
Eng Eng, maka ikatan kaki dan tangan Lie Eng
Eng segera dilepaskan berbarengan tubuhnya
segera dikerek turun ke bawah lamping untuk
diadu dengan binatang-binatang buas.
Setelah Lie Eng Eng dikerek turun kira-kira
sepuluh kaki, barulah salah seorang anggota
berandal mengerek pedang Ang-lo-po-kiam.
Sedang di bawah lamping, disana tampak
berserabutan binatang-binatang buas mengeluarkan gerengan-gerengan yang menyeramkan, menanti kehadiran Lie Eng Eng
yang merupakan makanan lezat bagi mereka.
Tiba-tiba terdengar suara gerengan yang mirip
suara guntur, dengan dibarengi oleh munculnya
seekor macan jantan yang berjidat putih, keluar
dari dalam goa batu sebelah kanan, macan itu
begitu keluar berlarian menubruk tubuh Lie Eng
Eng yang masih tergantung.
Lie Eng Eng yang dikerek turun masih
bergelantungan terpisah tidak berapa jauh lagi dari
bawah lamping, ketika mendengar suara gerengan
macan tadi, cepat ia mengambil pedangnya dan
menggerakkan pedang itu memutuskan tali
562 kerekan sehingga dengan ringan badannya turun
kebawah. Menghadapi seekor macan yang bertubuh besar
panjang berjidat putih, Lie Eng Eng tidak gugup,
dengan tenang ia menunggu datangnya binatang
buas itu. Begitu sang raja hutan menubruk dirinya,
dengan gesit Lie Eng Eng melejit kekiri, hingga
macan yang menubruknya ngusruk nyelonong
kebelakang Lie Eng Eng, hampir saja kepala macan
yang berjidat putih itu terbentur batu cadas.
Sang macan yang terkamannya tidak mengenai
sasaran, sambil menggoyang-goyangkan ekornya
membalikkan tubuh, setelah mendekam sebentar,
barulah ia menubruk kembali untuk kedua
kalinya. Dalam keadaan berbahaya, mendadak kembali
dibagian belakang Lie Eng Eng terdengar lain suara
gerengan yang amat panjang, berbarengan dengan
munculnya suara gerengan itu, kini bertambah
pula seekor macan yang badannya agak kecil, tapi
romannya lebih kereng dan menakutkan dari pada
macan yang besar berjidat putih, macan itu dengan
cepat menubruk tubuh Lie Eng Eng.
Lie Eng Eng yang berjulukan Pedang Macan
Betina, ketika menampak dari depan dan belakang
dengan berbarengan diterkam oleh dua ekor
macan, ia tak gugup, dengan tenang ia menunggu
datangnya terkaman kedua raja hutan yang
mengincar jiwanya. Ketika kedua binatang hampir
sampai pada dirinja dengan kecepatan luar biasa ia
563 lalu enjot kakinya melayang kesamping hingga
kembali kedua macan itu menubruk angin.
Lie Eng Eng cepat membalikkan tubuh tapi
dengan kecepatan luar biasa, macan yang berjidat
putih telah menerkam kembali, dengan mengembangkan kuku-kukunya yang tajam.
Saat itu, Lie Eng Eng agak sulit untuk mengelak,
maka dengan berdiri tegak ia angkat pedangnya
keatas. Tepat pada saat pedang Lie Eng Eng diangkat
keatas, bertepatan dengan itu pula macan berjidat
putih menerkam tiba, maka tak ampun lagi tubuh
macan itu tertancap pedang Ang-lo-po-kiam,
dengan gerakan cepat Lie Eng Eng menekankan
pedangnya kebawah, maka tubuh macan itu
terbelah menjadi dua bagian, membuat sang
macan mampus seketika. Begitu datang terkaman pula, Lie Eng Eng
melejit kesamping, pedangnya digerakkan menusuk kearah perut macan yang lebih kecil,
pedang tertembus, perut macan itu berarakan
isinya dan menyusul sang kawan ke akherat.
Setelah berhasil membunuh kedua ekor macan,
Lie Eng Eng membalikkan tubuh mencari jalan
keluar untuk meninggalkan tempat yang penuh
bahaya itu, tapi dengan mendadak menyambar
hembusan angin yang bercampur bau amis
menubruk kearah belakang gegernya.
Lie Eng Eng yang tidak menduga sebelumnya
kalau dibawah lamping itu terdapat banyak raja
564 hutan, maka dengan membabatkan pedangnya ia
membalikkan tubuh. Berbarengan dengan berbaliknya tubuh Lie Eng
Eng, seekor macan tutul telah menerkam
kepalanya. Lie Eng Eng tidak sempat menggerakkan
pedangnya, karena kedua kaki depan macan tutul
yang berkuku tajam telah sampai di kedua
pundaknya, sedang mulut simacan yang menganga
sebesar baskom dengan gigi taring yang telah siap
mencaplok batok kepala Lie Eng Eng.
Mendapat serangan demikian, dengan cepat
tangan kanan Lie Eng Eng diangkat ke atas,
sedang tangan kirinya digerakkan kebawah mulut
macan yang sedang mementangkan mulutnya,
kemudian kedua tangan itu digerakkan memukul
berbareng menghajar rahang dan mulut atas
macan tutul, maka mulut macan yang sedang
terpentang lebar hendak mencaplok batok
kepalanya beradu keras. Trukk.. Gigi macan tutul itu beradu satu sama lain.
Begitu mulutnya berhasil dipukul rapat oleh
kedua tangan Lie Eng Eng, maka gigi atas dan
bawah saling bentur hingga mulut macan tutul itu
mengeluarkan darah. Dengan mengeluarkan gerengan yang keras
tubuh macan tutul itu jatuh rubuh ditanah,
tubuhnya menjadi dua potong.
565 Ternyata begitu berhasil memukul mulut macan
tutul, pedang Ang-lo-po-kiam disabetkan kearah
perut macan tutul, membuat macan itu putus
menjadi dua potong. --d,w-MESKIPUN Lie Eng Eng berhasil membunuh
macan tutul itu, tapi kedua pundaknya telah
mengucurkan darah, terkena cakaran kuku-kuku
macan tadi, hingga pakaiannya yang putih sudah
dibasahi dengan darah segar yang mengucur dari
pundaknya. Karena masih merasa mendongkol, Lie Eng Eng
menendang kepala macan tutul itu, sehingga


Pusaka Pedang Embun Lanjutan Sin Tiauw Thian Lam Karya Sin Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tubuh bagian depan yang terdiri dari kepala dan
dua kaki depan macan tutul itu terpental sampai
15 kaki jauhnya. Baru saja kakinya bergerak menendang bangkai
macan tutul itu, kembali terdengar lagi suara
gerengan yang datang dari sebelah kiri, berbarengan dengan itu, keluar pula seekor macan
kecil dari balik pohon yang tumbuh disekitar
lamping. Lie Eng Eng cepat berdiri tegak dengan
melintangkan pedang didada, ia siap sedia untuk
menyambuti terkaman macan itu.
Tapi macan yang berbadan kecil itu, berjalan
perlahan-lahan mendekati Lie Eng Eng, nampak
sepintas lalu, macan itu sudah jinak, tidak seperti
keadaan tiga ekor macan besar yang telah berhasil
dibinasakannya, begitu datang lantas menerkam,
tapi macan kecil ini berjalan dengan tenang-tenang
566 mendekati Lie Eng Eng sambil
goyangkan ekornya yang belang.
menggoyang- Lie Eng Eng yang berotak cerdik segera
mengetahui, dengan sikap binatang yang setenang
ini, ia bisa menduga bahwa binatang ini lebih lihai
dan lebih cerdik dari pada ketiga macan yang besar
tadi. Memperhatikan bentuk tubuh macan itu,
ternyata macan itu berbeda dengan macan yang
lainnya, loreng-loreng kulitnya juga agak berbeda
warnanya dengan macan biasa, karena macan itu
adalah seekor macan baster dari macan biasa dan
macan tutul, para pemburu biasanya menyebut
Sam kun-cu. Macan itu meskipun tubuhnya kecil
tapi memiliki kecerdikan yang luar biasa, bila
mana macan biasa, bila menampak sang ...
(hal. 53 tidak ada kz) Sam-kun-cu yang menampak terkamannya
selalu mengenai tempat kosong, ia menjadi kalap,
seperti anjing gila, menggerang-gerang sambil
menubruk sana sini dengan gesitnya, sedang cakar
kuku-kukunya yang tajam terkembang menyambar-menyambar diri Lie Eng Eng.
Orang yang menonton pertandingan di atas
lamping gunung menyaksikan dengan hati
berdebar-debar dengan mata melotot tidak
berkedip, mereka dengan penuh perhatian
mengikuti jalan pertandingan antara binatang dan
manusia. Pertandingan yang banyak mengeluarkan tenaga
itu, membuat gerakan Lie Eng Eng semakin lama
567 semakin kendor, gerakan kaki dan tangannya
tampak semakin lemah.........
Mendadak saja, tiba-tiba terdengar suara jeritan
Lie Eng Eng, dengan disusul oleh rubuhnya Lie
Eng Eng terjengkang ke-belakang.
Ketika menampak sang lawan rubuh terjengkang, dengan mementangkan mulutnya
yang besar, macan Sam-kun-cu cepat maju
menerkam. Wajah Lie Eng Eng berubah pucat, tubuhnya
mengucur keringat dingin.
Tiba-tiba pada saat yang sangat kritis itu,
terdengar suara jeritan Sam-kun-cu yang menggerang panjang, lalu disusul dengan melayangnya tubuh si macan kecil sejauh 6 kaki,
dengan kepala pecah terbentur batu cadas,
otaknya meleleh keluar, sedang jiwanya melayang !
Kawanan berandal yang berada diatas lamping
ketika melihat pemandangan yang mengagumkan,
tanpa disadari pula mereka bertepuk tangan,
dengan memuji-muji, sehingga pada saat itu
keadaan diatas lamping gunung menjadi riuh.
Tidak terkecuali dengan Cie Tay Peng, begitu
melihat kejadian itu ia juga bertepuk tangan sambil
berkata : "Anak itu sesungguhnya memiliki kemampuan yang tidak memalukan gelar dan
namanya." Ternyata Lie Eng Eng yang bertarung dengan
Sam-kun-cu sampai setengah harian, masih juga
belum bisa membunuh macan itu, dengan tanpa
disadari tiba-tiba ia merasa gugup. Dalam
568 kegugupannya Lie Eng Eng timbul satu akal, maka
dengan sengaja ia membuat kalut gerakangerakannya, dan juga ia pura-pura jatuh celentang
kebelakang, tapi pedangnya disiapkan untuk
segera menghajar mangsanya.
Sam-kun-cu yang menampak Lie Eng Eng jatuh
terjengkang ia segera menerkam.
Lie Eng Eng sudah siap sedia, ketika menampak
Sam-kun-cu menerkam sambil celentang dengan
tenang ia menggunakan jurus Lie-bie tiat-cu,
menusuk pedangnya kearah mata sebelah kanan
simacan kecil Sam-kun-cu.
Serangan Lie Eng Eng ternyata sangat jitu, tepat
mengenai sasarannya, sehingga Sam-kun-cu
menggerang-gerang kesakitan, berbareng dengan
mana Lie Eng Eng menggerakkan kedua kakinya
menendang perut Sam-kun cu dengan keras sekali.
Tendangan Lie Eng Eng tadi membuat tubuh
Sam-kun-cu terpental sejauh 6 kaki dan kepalanya
membentur batu cadas, akhirnya binatang itu mati
seketika. Lie Eng Eng segera meletik bangun, tapi baru
saja ia melangkah, kembali muncul seekor macan
yang berjidat putih bermata besar, berjalan
lenggang lenggok dari arah selatan, ternyata macan
itu adalah macan yang terbesar dan terpanjang.
Begitu tiba macan itu segera menerkam, Lie Eng
Eng segera mengayunkan pedang menabas kepala
macan jidat putih yang bertubuh jauh lebih besar
dan lebih panjang dari macan-macan yang muncul
duluan, tapi dengan mendadak tangan kanannya
569 telah beradu dengan kaki depan macan jidat putih,
sehingga terdengar suara mendenting: Tranggg !
Pedang Ang-lo-po-kiam terlempar jatuh.
Setelah pedang Lie Eng Eng jatuh, sang macan
terus menerkam, kini tampak kedua tubuh
manusia dan seekor binatang berguling gulingan
ditanah. Terdengar pula tepuk sorak dari atas lamping
gunung. Ternyata Lie Eng Eng menerima terkaman sang
macan yang besar, sehingga kembali ia terjungkal
kebawah, dengan tubuh tertindih oleh tubuh
macan yang besar dan berat.
Lie Eng Eng hanya seorang wanita, meskipun
memiliki tenaga besar, tapi jangan harap bisa
meloloskan diri dari tindihan sang harimau yang
besar dan berat itu, sehingga membuat ia menjadi
gugup tidak terkira, dalam keadaan terjepit
demikian, tangannya digerakkan, dengan tangan
kiri menahan janggut harimau itu agar tidak jatuh
menimpa tubuhnya dan tangan kanan memeluk
leher macan, sedang kedua kakinya ditumpangkan
kebelakang geger harimau, maka dengan mengempos tenaganya ia segera membalikkan
tubuh, menghindari tindihan tubuh harimau yang
berat dan besar itu, tapi meskipun demikian, ia belum bisa meloloskan diri dari ancaman maut, ia
hanya bisa bergulingan dengan memeluk erat-erat
leher macan. Seorang gadis dan seekor macan bergulingan
sampai 10 kali lebih ditanah.
570 Dengan bergulingan demikian macan itu tidak
bisa menggunakan mulutnya untuk menggeragoti
tubuh Lie Eng Eng, ia menggereng-gereng keras
laksana guntur disiang hari bolong. Sedang
keduanya masih tetap bergulingan diatas tanah.
Kawanan berandal yang berada diatas lamping
gunung, ketika menampak pemandangan demikian
mereka bersorak sorai, kembali terdengar suara
ledekan-ledekan yang sangat kurang ajar terdengar
ditelinga Lie Eng Eng. "Haaaaa....... huaaaaa...... "
Terdengar teriakan-teriakan diatas lamping gunung, ternyata dibawah lamping gunung kini
muncul pula seekor ular Hiang-bwee-coa (ular yang
ekornya bisa berbunyi), panjang ular itu kira-kira
30 kaki lebih, ular itu melata dengan cepat
mendatangi ke arah dimana Lie Eng Eng dan
macan sedang berguling-gulingan, bertarung seru.
Lie Eng Eng yang sedang bertarung mati matian
dengan harimau berjidat putih, belum juga bisa
memenangkan pertandingan membuat hati si nona
menjadi gugup, tapi kegugupan itu belum lenyap
kini muncul pula seekor ular berbisa.
Dalam keadaan terjepit demikian, maka tiba-tiba
timbullah akal dalam otak Lie Eng Eng
mendapatkan jalan keluar dari bahaya itu, dengan
menggunakan kekuatan yang luar biasa Lie Eng
Eng mengigit leher harimau itu dimana terdapat
lubang hawa dan lubang saluran makanan
ditenggorokannya. 571 Macan berjidat putih ketika lehernya terasa
digigit oleh Lie Eng Eng, maka ia menggereng
karena sakitnya, lalu berjumpalitan tidak hentinya
berusaha melepaskan gigitan itu akhirnya jatuh
masuk kedalam sebuah lubang, yang membuat Lie
Eng Eng dan macan itu jatuh bersama-sama
masuk kedalam lubang. Sementara itu ular beracun Hiang bwee-coa
dengan cepat menggerakkan badannya menggelosor hendak masuk kedalam lubang.
Suara diatas lamping gunung yang tadi riuh
dengan tepuk sorak, kini menyaksikan pemandangan itu, mendadak sepi sunyi, hati
mereka juga turut berdebar menahan napas
menyaksikan apa yang terjadi dibawah lamping
gunung. Tapi baru saja kepala ular Hiang-bwee-coa
menjulur ditepi lubang, tiba-tiba meluncur angin
keras mengempaskan tubuh ular itu keudara
melayang berkutetan dan membentur batu cadas.
Trukkk.......kepala ular pecah, tubuh ular itu
jatuh ketanah menggeliat-geliat kemudian tidak
bergerak. Lie Eng Eng yang masih berada didalam lubang
sedalam 16 kaki lebih, masih tetap menggigit leher
macan tadi, ia tidak berani melepaskan gigitannya.
Setelah sekian saat ketika sang macan tidak lagi
membuat gerak-gerakan, tangan Lie Eng Eng
menggoyang-goyangkan tubuh macan itu, ternyata
macan itu tidak bergerak, ia sudah mati.
572 Lie Eng Eng melepaskan gigitannya, ia berdiri
diatas tubuh macan itu, keadaannya sangat lemah
sekali, sedang kedua bahunya masih mengucurkan
darah, tenaga yang dikeluarkan untuk menggigit
leher macan tadi adalah tenaga yang penghabisan.
Selagi Lie Eng Eng merasa bingung, kalau-kalau
muncul lagi binatang buas, tiba-tiba terdengar
suara menegurnya. "Cepat, ulurkan tanganmu......."
Begitu mengetahui siapa yang berada diatas
lubang, hati Lie Eng Eng girang tidak kepalang,
segera ia menangkap uluran tangan, mencekal
pergelangan tangan tadi kemudian tubuhnya


Pusaka Pedang Embun Lanjutan Sin Tiauw Thian Lam Karya Sin Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terangkat naik keatas. Dengan mengempit tubuh Lie Eng Eng, Liong
Houw cepat lari meninggalkan lamping gunung,
disana sini terdapat binatang binatang buas
harimau, macan tutul, yang mati menggeletak
dengan kepala pecah. Ternyata Liong Houw keluar dari dalam lembah
air terjun, mengikuti arah perjalanan dimana ia
pernah lalui pada pertama kali terjun dalam dunia
ramai, maka ketika tiba diatas bukit Go-kong-nia
mendengar suara tepuk sorak, segera ia mendatangi, dan apa yang dilihatnya dibawah lamping
gunung Lie Eng Eng sedang bertarung dengan
macan besar. Begitu menampak sang kekasih
dalam bahaya, Liong Houw cepat lompat kedalam
lamping gunung, disana ia membunuh berpuluhpuluh binatang buas dengan kepalan tangannya
hingga akhirnya berhasil menolong jiwa Lie Eng
Eng. 573 Bertepatan dengan munculnya Liong Houw yang
berhasil menyelamatkan Lie Eng Eng dari
terkaman binatang-binatang buas dibawah lamping gunung, tiba-tiba diatas lamping gunung
dimana Cie Tay Peng beserta anak buahnya sedang
bersorak-sorak menonton adu gulat antara seorang
jago wanita dengan binatang piaraannya, tiba-tiba
terdengar jerit-jerit yang menyayatkan hati.
Puluhan tubuh terbang melayang kebawah
lamping gunung dengan kepala terputus dari
tempatnya. Tubuh-tubuh itu begitu jatuh dibawah lamping
gunung, tidak sempat lagi untuk kelojotan, tubuhtubuh mereka diterkam oleh binatang-binatang
buas. Cie Tay Peng sadar apa yang terjadi diatas
lamping gunung, baru saja ia bangkit berdiri, tibatiba satu bayangan merah berkelebat menghajar
batok kepalanya. Masih sempat Cie Tay Peng mengelak, ia lompat
terjun kedalam lamping gunung dimana terdapat
banyak binatang-binatang buas. Begitu kaki Cie
Tay Peng menginjak tanah, beratus-ratus binatang
buas ular harimau srigala mengurung tubuhnya.
Tiba-tiba lain keajaiban terjadi, entah dengan
menggunakan ilmu apa Cie Tay Peng berjalan
ditengah-tengah kurungan binatang-binatang buas, binatang-binatang itu tidak mengganggu
padanya, bahkan mengurung melindungi Cie Tay
Peng memasuki salah satu goa didalam jurang itu,
bayangannya segera lenyap.
574 Bertepatan lenyapnya bayangan Cie Tay Peng,
diatas pesanggrahan berkelebat-kelebat beberapa
puluh bayangan merah, kaki tangan mereka
bergerak, tidak ampun lagi, siapa yang ditemuinya
pasti menjadi korban tangan maut si bayangan
merah. Selesai membunuh-bunuhi seluruh isi pusat
berandal Go-kong-nia, bayangan-bayangan merah
itu melesat beterbangan seakan secarik kupu-kupu
terbang keangkasa, gerakan mereka sungguh cepat
dan indah dipandang mata.
Tak lama terdengar letusan-letusan diatas bukit
Go kong-nia, maka pesanggrahan berandal kepala
raja-raja gunung hancur menjadi puing-puing
reruntuhan. Liong Houw sedang memondong Lie Eng Eng, dia
masih dapat menyaksikan gerak gerik bayanganbayangan
merah yang menyerang dan menghancurkan sarang berandal raja gunung Gokong-nia, bayangan itu sama bentuknya seperti
bayangan merah yang pernah memondong
tubuhnya didalam keadaan hujan setelah terpukul
oleh ilmu siluman Liok Hap tojin. Mereka adalah
itu machluk sebesar manusia yang berkulit merah,
tanpa pakaian dengan bentuk tubuh seperti lekuklekuk orang wanita, wajah mereka merah pucat.
Liong Houw melarikan tubuh Lie Eng Eng
memasuki semak-semak belukar.
Lie Eng Eng yang dibawa melayang ke udara
oleh pemuda berkulit macan, membiarkan dirinya
dipondong dalam dekapan pemuda kekasih yang
selama tiga tahun ini tidak ada kabar ceritanya.
575 Semenjak Liong Houw lari turun gunung dari
puncak Liong-houw-san dipesanggrahan Ceng-it
cinjin, hati si nona gundah gulana memikirkan
pemuda idamannya. Tiba didalam rimba, Liong Houw menghentikan
langkah kakinya, ia meletakkan tubuh Lie Eng Eng
dibawah pohon ditepi sungai kecil, memeriksa luka
dikedua pundak Lie Eng Eng, ternyata luka itu
tidak dalam hanya tergores cakaran kuku macan.
Setelah membersihkan luka Lie Eng Eng, Liong
Houw bertanya : "Sutit apakah membawa obat
luka?" "Hmm, luka ini tidak ada artinya, untuk apa
diributkan, nih kau taburi obat bubuk ini
dibahuku." Liong Houw segera menyambuti botol obat lalu
tangannya bergerak menaburi bubuk yang terdapat
dalam botol. Tangan Lie Eng Eng segera menarik lengan si
pemuda disuruhnya duduk disamping.
"Hmmm.... kemana saja toako selama ini?" tanya
Lie Eng Eng yang sudah melupakan bahaya yang
baru saja nyaris mencelakakan jiwanya.
Liong Houw menyandarkan kepalanya ke dada
lembut si nona, ia tidak menjawab pertanyaannya
itu, matanya liar memandang arah jauh dimana
tadi ia menampak beberapa bayangan merah
melesat beterbangan bagaikan kupu-kupu.
Ooo~?d-dw?~ooO 576 Jilid ke 13 "HEI, ada apa?" tanya Lie Eng Eng, ia heran atas
sikap sang kekasih yang masih bengong.
"Machluk-machluk itu apakah titlie mengetahui
asal usulnya ?" Lie Eng Eng mengangkat kepala, ia menatap
wajah sang toako, tanyanya :
"Machluk apa?" "Aaaaah !" kini Liong Houw yang menjengkitkan
kepalanya, ia heran mengapa sang sutit ini tidak
mengetahui tentang munculnya machluk-machluk
merah tadi. Sebenarnya Lie Eng Eng tidak mengetahui
munculnya machluk merah yang telah menghancurkan markas Go-kong-nia, karena
begitu tubuhnya dikempit oleh Liong Houw, ia
mengetahui sang toako yang menolongnya,
dibiarkannya tubuhnya ditenteng terbang, sedang
matanya meram, ia merasai betapa nikmatnya
dalam pondongan sang kekasih, hingga tak melihat
munculnya beberapa bayangan merah, hanya
ditelinganya yang masih mendengar suara letusan,
tapi ia tidak mau ambil pusing semua itu.
"Machluk merah tadi yang datang menyatroni
Go-kong-nia," berkata lagi Liong Houw.
"Oooh .... jadi mereka datang?" bertanya Lie Eng
Eng. 577 "Bukan datang saja, bahkan sudah membasmi
seluruh anggota Go-kong-nia, dan menghancurkan
markas mereka," jawab Liong Houw.
"Cie Tay Peng ?" tanja Lie Eng Eng, "Apakah
biang berandal itu juga berhasil dibunuhnya?"
"Entahlah! Aku kurang memperhatikan." jawab
Liong Houw, "Eh, sutit apakah selama tiga tahun
ini kau pernah berjumpa dengan Kun-sen-mo-ong
Teng Kie Lang atau gurunya Kun-see-mo-ong Gwat
Leng?" Lie Eng Eng menggeleng kepala, katanya,
"Semenjak enam bulan belakangan ini aku tidak
pernah mendengar lagi jejak kedua iblis itu
melakukan penculikan-ikan, tapi semenjak lenyapnya jejak Kun-see mo-ong maupun suhunya,
muncullah itu manusia aneh yang menyebutkan
dirinya dari golongan Kupu-kupu Merah. Gerak
gerik mereka sangat misterius, sukar dijejaki
maksud tujuan mereka berkeliaran dalam rimba
persilatan, kalau kau saksikan sendiri, barusan
mereka menghancurkan gerombolan berandal rajaraja gunung Go-kong nia, kita bisa menilai bahwa
mereka adalah satu golongan ksatria. Tapi kemisteriusan gerak mereka sangat memusingkan kepala,
pada limabelas hari yang lalu mereka menyatroni
Butongpay, memberikan ultimatum, agar partai Bu
tong segera dibubarkan, serta ketuanya segera
mengumumkan pembubaran itu keseluruh lapisan
rimba persilatan. Kalau sampai pada tanggal 9
bulan tujuh nanti Bu tong pay belum mengumumkan pembubaran partai, golongan
Kupu-kupu Merah akan segera membumi 578 hanguskan partai Bu tong pay serta membunuh
seluruh anak murid yang masih berdiam digunung
Bu tong san. Tindakan ancaman mereka tidak
sampai disitu saja, seluruh partai-partai rimba
persilatan telah diberikan surat ultimatum untuk
tidak turut campur dalam setiap tindak yang
mereka lakukan, jika tidak, mereka tidak akan
sungkan-sungkan untuk menghancurkan seluruh
kekuatan rimba persilatan yang ambil dalam
sengketa dengan mereka. Tidak terkecuali gunung
Liong houw-san, Ceng-it Cinjin beberapa hari ini
juga menerima surat ancaman untuk tidak turut
campur dalam segala tindakan yang dilakukan
mereka." "Kupu-kupu merah!" gumam Liong
"Mereka sebetulnya machluk macam apa?"
Houw, "Huh!" dengus Lie Eng Eng. "Mereka hanyalah
terdiri dari kaum wanita, dengan mengenakan
pakaian kulit tipis berwarna merah, entah bahan
apa yang mereka buat untuk pakaian mereka,
seakan-akan mereka itu seperti machluk berwarna
merah, hingga tampak jelas lekuk-lekuk liku
tubuhnya, kalau ditilik dari bentuk potongan
mereka, kukira mereka itu adalah gadis-gadis
remaja." "Apakah sutit pernah melihat jelas mereka?"
"Mmm, pada sebulan berselang, orang-orang Gokong-nia dibawah pimpinan Cie Tay Peng sendiri
menyerang piauwki ayahku di Sin-ciu-hu, ketika
pihak ayahku dalam keadaan terjepit menghadapi
keroyokan mereka, entah dari mana datangnya
dengan mendadak muncul beberapa puluh
579 bayangan merah, mereka membantu pihak ayah
mengusir mereka, maka dengan peristiwa itu, aku
penasaran untuk menyelidiki bukit Go-kong-nia
yang sudah beberapa kali diselidiki oleh suhu, tapi
selama itu suhu tidak pernah menemukan tandatanda yang mencurigakan, maka aku sendiri
datang mengadakan penyelidikan dan akhirnya
aku tertangkap." Seterusnya Lie Eng Eng juga menceritakan
bagaimana jalannya pertempuran didalam pesanggrahan Go-kong-nia kepada Liong Houw.
Liong Houw mendengar keterangan sang kekasih
hanya mengangguk-anggukkan kepala.
"Dengan adanya peristiwa di Sin-ciu-hu itu,"
berkata lagi Lie Eng Eng, "Mereka memperkenalkan
diri sebagai golongan Kupu-kupu Merah, juga
memberikan ultimatum secara halus agar kita
jangan turut mencampuri segala tindakan yang
dilakukan mereka. Jika tidak menghendaki
kehancuran total." "Sungguh sombong !" gumam Liong Houw.
"Toako," berkata lagi Lie Eng Eng, "Tanggal 9


Pusaka Pedang Embun Lanjutan Sin Tiauw Thian Lam Karya Sin Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bulan tujuh masih satu bulan, kukira masih
keburu kita untuk pergi ke Bu-tong-pay untuk
menyaksikan apa yang mereka bisa buat disana,
kalau perlu kita juga membantu pihak Bu tongpay, sedang suhu menurut keterangannya akan
menuju kesana setelah menyambangi beberapa kawan."
"Mmmm......" Liong Houw masih malas mengangkat kepalanya didada si gadis, ia masih
580 tetap menyandarkan kepala itu di dada sang
kekasih yang empuk padat berbau harum.
"Sudahlah ! Kita jangan berlarut-larut disini
nanti bisa........."
"Bisa naik spaning !" Potong Liong Houw tertawa
kecil. "Hiiii....." Lie Eng Eng mencubit paha sang
kekasih yang mulai kolokan.
"Ayohhh......" tangan Lie Eng Eng mendorong
pundak Liong Houw perlahan. Tapi pipi Liong
Houw segera digeser-geserkan kejari halus Lie Eng
Eng yang mendorong pundak, ia masih tetap segan
bangun. Bahkan kakinya kini sudah ditumpangkan diatas paha Lie Eng Eng.
Tiba-tiba terdengar suara alunan irama musik
sayup-sayup datang terbawa angin dari arah pathong-ciep.
"Aaaaa......lagi-lagi suara itu !" gumam Lie Eng
Eng. "Bunyi apakah itu ?" tanya Liong Houw heran.
"Irama mandolin ! Hayo ! Cepat kejar iblis itu."
Begitu selesai ucapannya, begitu pula tubuh Lie
Eng Eng bergerak bangun, ia tidak memperdulikan
Liong Houw, segera bergerak kearah Pat-hong ciep,
dimana terdengar datangnya suara irama mandolin
tadi. Liong Houw terkejut bercampur heran, dalam
hatinya berpikir, iblis apa lagi yang muncul disiang
hari bolong. 581 Tapi ia tidak mau berpikir panjang tubuhnya
meletik bangun mengejar kearah larinya Lie Eng
Eng, sambil berlarian ia bertanya, "Sutit, iblis
apakah....?" "Lihat saja nanti !" potong Lie Eng Eng.
Tak lama mereka sudah tiba di Pat-hong ciep.
Ditengah hari bolong itu keadaan Pat-hong-ciep
panik tidak keruan, orang-orang berlarian kian
kemari menjerit histeris, tapi suara mandolin telah
lenyap. Dibeberapa rumah penduduk terdengar ratap
tangis. Beberapa orang yang lalu lalang dijalan mereka
dapat melihat keadaan pakaian Liong Houw yang
mengenakan pakaian kulit macan, tapi mereka
tidak menjadi gentar ataupun panik karena
menampak disebelah Liong Houw berjalan
merendengi seorang gadis cantik berpakaian sutera
putih. Lie Eng Eng tidak memperdulikan kehiruk
pikukan orang-orang itu, ia terus berlarian laksana
bayangan setan menuju keutara dimana terdengar
lenyapnya suara mandolin.
Sebentar saja mereka sudah jauh meninggalkan
Pat-hong-ciep mendaki kearah bukit-bukit pegunungan. Tiba-tiba....... Clut .... clutttttt......clutttt......
582 Beberapa bayangan merah meluncur datang
mengurung tubuh Liong Houw dan Lie Eng Eng.
Liong Houw dan Lie Eng Eng masih berlarian,
tiba-tiba muncul beberapa puluh bayangan merah
mengurung dengan posisi berlari mengikuti arah
mereka. Maka cepat mereka menghentikan
langkah. Begitu langkah mereka terhenti, bayangan merah itupun menghentikan langkahnya
pula. Kini mereka berdiri berputar mengurung Lie
Eng Eng dan Liong Houw. "Kupu-kupu merah ! Cepat kalian minggir !"
bentak Lie Eng Eng. Salah seorang dari rombongan Kupu-kupu
merah yang menjadi pemimpin rombongan berjalan
maju, tampak tubuh itu merah seperti sesosok
tubuh machluk berwarna merah telanjang bulat
tidak berpakaian. -?dkw?LIONG HOUW menatap memperhatikan orang
yang jalan mendatangi dengan gayanya lenggak
lenggok, tampak bagian buah dadanya membusung
dua bukit yang juga rata berwarna merah sedang
di bagian selangkangan antara kedua pangkal
pahanya jelas menonjol segumpal daging juga rata
berwarna merah sama dengan kulit bagian lainnya.
Wajahnya tampak merah beku.
Tiba dihadapan Lie Eng Eng ia berkata: "Tidak
perlu kau kejar setan mandolin itu, jejaknya tidak
mungkin bisa kalian kejar."
"Siapa setan mandolin itu," tanya Liong Houw,
"Dan kalian machluk-machluk aneh dari mana ?"
583 "Ngg . . . ." gadis merah mendengus, "Setan
mandolin adalah iblis wanita yang baru muncul,
setiap kali ia memakan korban, selalu memainkan
alat mandolinnya." "Memakan "Apa...." korban....?" tanya Liong Houw, "Kau juga harus hati-hati, mungkin kau juga
kelak akan menjadi korban dari si iblis mandolin !"
Potong si wanita merah, "Iblis itu senang sekali
mencari laki-laki perjaka, diperasnya tenaga
kelakian si perjaka untuk disalurkan kedalam
tubuhnya, melalui hubungan sex yang dipaksakan,
tidak seorang laki-laki pun bisa menghindar dari
cengkeraman si iblis mandolin."
"Sex dipaksa?" tanya
"Bagaimana terjadinya ?"
Liong Houw heran, "Hei, apakah kau yang bernama Liong Houw ?"
tiba-tiba si wanita merah bertanya, ia tidak
menjawab pertanyaan Liong Houw.
Liong Houw mengangguk, "Dari mana kau tahu
aku bernama Liong Houw ?"
"Segala apa aku tahu, bukankah kau juga
pernah ditipu oleh seorang nenek yang mengaku
bernama Sian, hingga kedua bilah pisau belatimu
lenyap dibawa lari olehnya yang bukan lain adalah
Kim-nio-mo-ong Gwat Leng, guru Kun-see-mo ong
Teng Kie Lang ?" "Hebat!" puji Lie Eng Eng, "golongan kalian baru
muncul beberapa bulan saja, tapi kalian sudah
bisa mengetahui peristiwa yang terjadi pada tiga
tahun yang lalu." 584 "Bukan saja apa yang terjadi pada tiga tahun
yang lalu, bahkan peristiwa tragis pada duapuluh
tahun yang menimpa sepasang pendekar budiman
Thio Ban Liong kami tahu jelas beberapa bagian . .
.." "Ayaaaaa....." Liong Houw mundur selangkah. Ia
menatap sepasang sinar mata wanita tadi.
Tidak terkecuali Lie Eng Eng,
memandang tajam kearah wanita itu.
matanya "Hmmm .... kau Liong Houw! Sebagaimana
partai-partai rimba persilatan telah kuberi
ultimatum untuk tidak turut campur dalam segala
sepak terjang golongan kupu-kupu merah, maka
pada kesempatan ini kuharap kau tidak campur
urusan-urusan yang akan kami lakukan."
"Apakah urusan Bu-tong-pay ?" tanya Lie Eng
Eng. "Bukan saja Bu-tong-pay tapi juga menyangkut
beberapa partai lainnya, kalau mereka membangkang untuk membubarkan diri, kami
tidak segan-segan mengambil tindakan yang diluar
perikemanusiaan." "Kalian sebetulnya siapa ?" tanya Liong Houw.
"Dendam permusuhan apa antara kalian dengan
partai-partai rimba persilatan itu?"
"Sementara belum bisa diterangkan," berkata
pula si perempuan merah. "Hanya yang perlu kau
perhatikan, jangan sekali kali kau turut campur
gerakan kami agar tidak menyesal dikemudian
hari." 585 "Hm, kau sungguh jumawa, apakah ilmu
kepandaian kalian saja yang bisa membuat diri
kalian malang melintang dirimba persilatan, tanpa
ada seorang yang bisa menghalangi ?"
"Untuk masa ini begitulah!" jawab si perempuan
merah. Tiba-tiba saja tubuh Liong Houw melejit
tangannya dijulurkan menyambar muka wanita
tadi. Wanita itu mengetahui maksud sambaran
tangan Liong Houw, tentunya si pemuda ingin
mencopot kedok kulit pada mukanya, tangan
kanannya diangkat memapaki datangnya samberan tangan Liong Houw.
"Brukkkk........."
Terdengar benturan dua kekuatan, tubuh Liong
Houw mental balik ketempat semula dimana ia
berdiri. Sedang si wanita merah dengan senyum
tanpa seri, masih tetap berdiri tegak ditempatnya.
"Diam ditempatmu!" tiba-tiba wanita merah itu
membentak kearah Lie Eng Eng.
Lie Eng Eng turut menyaksikan perbuatan Liong
Houw yang menubruk wanita itu, ia juga
mempunyai pikiran sama, wanita ini pasti
mengenakan kulit kedok tipis, maka setelah Liong
Houw berhasil dipukul mundur, cepat ia bergerak
menubruk untuk mencopot kedok wanita itu Tapi
baru saja tubuhnya bergerak, tiba-tiba si wanita
merah membentak, dan entah bagaimana, Lie Eng
Eng tidak bisa maju, seakan timbul satu kekuatan
yang tak tampak menahan maju tubuhnya.
586 Liong Houw merasa penasaran, didorong
mundur oleh gerakan tangan si wanita merah
segera menyerang maju kembali.
Tapi baru saja kakinya melangkah maju si
wanita merah itu menjulurkan tangan kemuka
dengan tapak tangannya terkembang menahan
datangnya tubuh Liong Houw.
Mendadak, seperti ada satu kekuatan yang
menahan majunya Liong Houw, keadaannya
seperti dengan keadaan Lie Eng Eng.
Tubuh Liong belakang. Houw tiba-tiba terjungkel ke "Hayaaa.........." si wanita merah terkejut.
Tidak kalah terkejutnya Lie Eng Eng, tapi ia
tidak bisa berbuat apa-apa, tubuhnya masih
tertahan oleh kekuatan yang menghalang gerak
majunya. Belum lagi hilang terkejutnya si wanita merah,
tubuh Liong Houw yang terjungkel kebelakang
tiba-tiba meletik bangun, ia mendorong kedua
telapak tangannya. Byurr ......... Satu kekuatan laksana air bah mendorong
mendobrak setiap penghalang meluncur keluar


Pusaka Pedang Embun Lanjutan Sin Tiauw Thian Lam Karya Sin Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari telapak tangan Liong Houw.
Tubuh si wanita merah tergetar menahan
dorongan kekuatan tadi. Tak lama ia melesat
keudara menghindari datangnya serangan yang
sangat luar biasa. 587 Begitu tubuh wanita merah meluncur keudara,
kekuatan angin serangan Liong Houw meluncur
terus, membentur tiga orang wanita merah yang
mengurung yang tadi berdiri dibelakang pemimpin
mereka, tubuh mereka melayang terpentalan ke
semak-semak belukar. "Hihhihihihihi......hi hi..." ditengah udara si
wanita merah tertawa mengikik, lalu tubuhnya
meluncur kembali ketanah.
"Mmm, boleh juga tenaga dalammu sudah
lumayan." berkata lagi si wanita merah. "Eeeeeeee.
...... eh, tunggu ! Sabar! Jangan menyerang lagi."
Liong Houw begitu menampak si wanita merah
telah berdiri kembali didepannya, ia segera
menggerakkan tangan untuk menyerang, tapi
keburu dicegah oleh si wanita merah, maka Liong
Houw pun tidak melanjutkan serangannya.
"Liong Houw!" berkata lagi si wanita merah,
"Ilmumu hebat, tapi untukmembalas sakit hati
orang tuamu, kau masih memerlukan sebilah
pedang, itulah Pedang Embun, sebelum kau
mendapatkan pedang itu, jangan harap kau bisa
membalas sakit hati orang tuamu, meskipun
kepandaianmu sudah mencapai taraf yang tinggi,
tapi lawan-awanmu adalah manusia yang memiliki
kekuatan tenaga luar biasa, diantaranya terdapat
beberapa manusia iblis yang berilmu gaib."
"Hmm, lebih baik kau jangan ngoceh bertele-tele,
cepat buka kedokmu, aku ingin lihat wajah aslimu
!" kata Liong Houw. 588 "Apakah kau tidak menginginkan kedua bilah
pisau belatimu itu ?" berkata si wanita merah.
Mendengar perkataan itu, Liong Houw berdiri
mematung, telinganya seakan mendengung, katakata itu menusuk telinganya.
"Hai, jangan mematung ! Cepat jawab, apakah
kau menginginkan kembali pisau belatimu?"
berkata lagi si wanita merah.
"Hmmm...." dengus Liong Houw, "cepat kau
tunjukkan di mana jejak nenek Sian !"
"Tidak perlu mencarinya," berkata si wanita
merah, "Kedua bilah pisau itu telah berhasil
kurebut dari tangan si iblis tua."
"Kalau begitu cepat serahkan!" berkata Liong
Houw dengan debaran dadanya yang keras.
Si wanita merah tersenyum, tapi senyum itu tak
sedap dipandang, terlalu dingin tak berseri.
Kaki Liong Houw melangkah maju.
"Berhenti! Jangan maju lagi." berkata si wanita
merah. "Kau tahan nafsumu, jika kau menghendaki pisau belatimu itu mudah, asal kau
bersedia memenuhi syarat-syaratku, bahkan
bukan dua bilah saja, juga aku akan memberi
hadiah sebilah yang berukir gambar pedang."
"Haaaaa..........jadi
kau..........kau...........telah
memiliki ketiga pisau-pisau itu............." kata Liong
Houw tergetar. "Bersediakah kau menerima syarat-syaratku?"
bertanya si wanita merah.
589 Sejenak Liong Houw tidak bisa menjawab, ia
bingung, syarat-syarat apakah yang harus
dipenuhinya untuk mendapatkan pisau-pisaunya
yang mengandung peta rahasia itu?
Lie Eng Eng melangkah berjalan kesamping
Liong Houw, ia membisiki sesuatu di-telinga si
pemuda. Liong Houw menganggukkan kepala, lalu
katanya : "Sebutkan lebih dulu apa syaratsyaratmu nanti akan kupertimbangkan."
"Huh ! Kau katakan dulu! apakah bersedia
menerima syarat-syarat itu ?" berkata lagi si wanita
merah. "Gila!" bentak Lie Eng Eng.
"Cepat! Kau katakan terima atau tidak syarat
itu, aku tidak ada waktu untuk ngobrol lama-lama
denganmu." "Hmmm, tanpa segala macam syarat aku bisa
mengambil pisau belati itu dari tubuhmu!" kata
Liong Houw marah. "Kau lihat!" si wanita merah mengangkat tangan
keatas. "Ditubuhku tak terdapat apapun, bilamana
kau tidak segera menyatakan menerima syarat aku
akan segera pergi dari tempat ini, dan pisau-pisau
itu akan kuberikan kepada siapa saja yang
bersedia menerima syaratku tanpa syarat."
"Syarat tanpa syarat! Sial!" gumam Liong Houw.
"Ya, syarat tanpa syarat!" berkata si wanita
merah, "Dan kau jangan coba-coba main gila,
meskipun kau berhasil membekuk tubuhku, tapi
590 jangan harap selama hidup kau bisa mendapatkan
pisau-pisaumu, setiap setengah lie dari jarak
tempat ini, disana sudah menunggu seorang
anggota Kupu-kupu merah, bilamana terjadi
bencana terhadap diriku, mereka segera melaporkan semua ini kepada kaucu kami, dan
kaucu kami bisa segera menghancurkan pisaupisau belati itu atau menyerahkan kepada seorang
Iblis salah satu dari musuh pembunuh ayahmu,
nah jika sudah demikian apa yang bisa kau
katakan, juga sudahkah kau mengetahui siapa-apa
musuh-musuh ayahmu itu? Golongan kami
mengetahui jelas duduk perkara ini."
Mendengar penuturan itu hati Liong Houw
tergerak, selama ini ia belum mengetahui siapa
pembunuh ayah ibunya, kemana lenyapnya sang
orang tua, kini dihadapannya muncul orang-orang
berkulit merah yang mengetahui seluk beluk
tentang lenyapnya sang ayah, ia menatap kearah
Lie Eng Eng, tatapan itu dibalas dengan
anggukkan, yang menyatakan Liong Houw boleh
menerima syarat, apa boleh buat. Jika perlu kelak
sesudah mendapatkan pedang embun ia toh bisa
berbuat sesuka hatinya, malang melintang tanpa
ikatan atau tekanan dari golongan manapun maka
setelah berpikir demikian Liong Houw berkata:
"Baik aku terima syaratmu."
"Nah dengar baik-baik, syarat pertama, kau
tidak diperkenankan turut campur dalam urusan
Bu-tong-pay dan segala akibat yang ditimbulkan
dari tindakan kami terhadap partai tersebut."
"Mmm, syarat lainnya ?" tanya Liong Houw.
591 "Syarat kedua, bilamana kau telah mendapatkan
pedang embun, harus bersedia bekerja sama
dengan golongan kami !"
"Mmmm........" "Bagaimana apakah kau sudah mengerti?"
"Tidak, aku tidak mengerti syarat-syarat gilamu......."
"Cukup, mengerti atau tidak itulah yang harus
kau lakukan, nah sampai pada tanggal 9 bulan 7
digunung Bu-tong, kalian tunggu kami disana, hei,
kau juga harus segera membekuk Leng-leng Paksu, dari padanya kau akan mendapatkan
keterangan-keterangan, siapa-apa yang turut
dalam pembunuhan terhadap ayahmu, jika ia tidak
mau membuka suara, siksa saja, jika perlu langsung bunuh."
Selesai ucapannya, tubuh si wanita merah
melejit keudara diikuti oleh beberapa orang
rombongan anggotanya, meninggalkan semak
belukar. Singkatnya cerita, tanggal 9 bulan 7 sudah tiba.
Hari masih terlalu pagi, burung-burung masih
ramai berkicau, suara gerengan binatang buas
terdengar disana sini, tampak seorang pemudi
berpakaian sutera putih dan seorang pemuda
mengenakan pakaian kulit macan berlarian
mendaki keatas puncak gunung Bu-tong-san.
Halimun masih tebal diterjang dua sosok tubuh
yang berlari pesat membuyarkan halimun yang
menebal dibukit pegunungan.
592 Dari jauh, tampak bangunan megah berdiri
angker dipuncak gunung, itulah kelenteng partai
Bu-tong-pay. Memasuki pintu gerbang, disana bergelimpangan
mayat-mayat tosu yang sudah membengkak, bau
amis darah menusuk hidung.
Keadaan suasana kelenteng Bu-tong-pay sunyi
senyap tidak ada seorangpun yang masih hidup,
beberapa puluh mayat-mayat bergelimpangan
ditanah. Dengan menggunakan pedang Ang-lo-po-kiam
Lie Eng Eng memeriksa tubuh mayat-mayat yang
menggeletak ditanah, dari tubuh-tubuh mayat itu
tidak terdapat luka bekas bacokan atau tusukan
pedang atau luka pukulan tangan.
Kematian mereka sungguh sangat mengherankan. Entah dibunuh oleh ilmu atau senjata
apa, sampai detik itu, Lie Eng Eng belum
menemukan tanda-tanda. Meninggalkan mayat-mayat yang membengkak,
Lie Eng Eng berjalan masuk kedalam kelenteng
diikuti Liong Houw. Kamar demi kamar, ruangan demi ruangan
diperiksa oleh mereka, disana tak tampak manusia
hidup, keadaan dalam kelenteng sama dengan
keadaan diluar, mayat-mayat yang membengkak
menggeletak disetiap langkah.
"Aaaaa.......... Bu-tong Kiam-khek......." tiba-tiba
Lie Eng Eng berteriak. Langkahnya diayun kearah
tubuh mayat yang saling tindih dengan pedang di
tangan. 593 Baru saja Lie Eng Eng mendekati ke tubuh
mayat-mayat itu, tiba-tiba dari luar melesat masuk
sesosok bayangan, kemudian disusul pula oleh
beberapa langkah kaki yang berlari masuk
mengikuti langkah kaki sesosok bayangan yang
terdahulu. "Suhu !" teriak Lie Eng Eng.
"Apa kalian temukan......." baru saja kata-kata
itu sampai dipintu, Sin-kiong-kiam Ong Pek Ciauw
menatap kearah Liong Houw yang sedang
berjongkok memeriksa mayat-mayat itu.
"Aaaaaaa........" terdengar suara Pie-tet Sinkay.
"Kau bocah.....heei, eh, kau Liong Houw !"
Ternyata baru pertama kali ini rombongan Pietet Sin-kay mengetahui rahasia tentang si pemuda
yang berpakaian kulit macan ternyata dialah Liong
Houw. Si Pengemis cilik Ho Ho yang sejak tadi
memperhatikan Liong Houw yang jongkok memeriksa mayat-mayat para tosu Bu-tong-pay ia
belum mengenalinya, setelah suhunya berkata tadi
barulah ia tahu bahwa pemuda yang berambut
gondrong mengenakan pakaian kulit macan adalah
Liong Houw. "Toako," teriak si pengemis cilik Ho Ho.
"Aaaaah, kalian juga datang!" berkata Liong
Houw mendongakkan kepala. "Hebat ilmu kepandaian si kupu-kupu merah, mayat-mayat ini
mati tanpa luka, entah ilmu apa yang mereka
gunakan." 594 "Kupu-kupu merah?" tanya Ong Pek Ciauw,
"Bukankah mereka akan datang pada hari ini,
menurut tanda-tanda mayat-mayat ini mereka
sudah mati sejak empat hari yang lalu..."
"Pasti mereka mengetahui kalau kita akan
datang membantu Bu-tong-pay, untuk tidak
melibatkan diri kita dalam urusan ini mereka telah
memajukan waktu yang ditetapkan." berkata Lie
Eng Eng. "Tapi tindakan mereka sungguh keterlaluan."
"Mmm, tidak ada seorangpun yang hidup. Butong pay mengalami kehancuran total!"
"Hihhhhhh, hihihi......"
Tiba-tiba terdengar suara tertawa yang melengking garing, kemudian disusul dengan suara
yang halus merdu: "Kalian jago-jago rimba
persilatan cepat keluar meninggalkan kelenteng ini,


Pusaka Pedang Embun Lanjutan Sin Tiauw Thian Lam Karya Sin Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jangan sampai terlambat......."
"Kau tunjukkan rupamu." bentak Lie Eng Eng.
"Ngg, jangan banyak bicara didalam, cepat
kelenteng ini akan segera meledak!"
"Cepat keluar!" Liong Houw memberi peringatan,
ia maklum kata-kata suara tadi bukan kata-kata
gertakan, tentu itulah salah seorang anggota kupukupu merah.
Bertepatan dengan melesatnya para jago
meninggalkan kelenteng itu, maka terdengar
suara-suara ledakan yang menggema menggetarkan tanah disekitarnya.
595 Liong Houw, Lie Eng Eng, Ong Pek Ciauw dan
Pie-tet Sin-kay dengan muridnya si pengemis cilik
Ho Ho jumpalitan menggelinding jatuh kebawah
gunung, mereka menghindari ledakan-ledakan
yang baru saja meledakkan kelenteng Bu-tong-pay,
tak lama asap mengepul keudara, kelenteng Butong-pay runtuh menjadi puing-puing.
"Aaaaaaa dimana dia ....?" terdengar si pengemis
cilik Ho Ho berteriak. Wajah Lie Eng Eng berubah, ia celingukan
mencari jejak Liong Houw tapi bayangan si pemuda
sudah lenyap. Kemana perginya Liong Houw ?
Ketika tubuh Liong Houw jumpalitan ke bawah
gunung menghindari letusan-letusan kelenteng Butong, tiba saja tubuh si pemuda terayun terbang.
Liong Houw sendiri begitu merasakan tubuhnya
terangkat terbang ia berusaha memberatkan
tubuhnya, tapi usahanya sia-sia karena daya
tarikan yang menarik tubuhnya keudara kuat
sekali, tubuh itu terumbang ambing terbang
diantara batang-batang pohon.
"Brrukkkkkkkkkk......."
Tiba-tiba Liong Houw ambruk di tanah. Secepat
itu pula Liong Houw meletik bangun. Dihadapannya berdiri berbaris wanita-wanita berkulit dan berwajah merah dua dikanan dan dua
lagi disebelah kirinya. 596 "Mmm, permainan apa pula yang kalian akan
tunjukkan ! Cepat serahkan pisau-pisau belatiku
menurut perjanjian !"
Setelah menggulung masing-masing tali tenur
merah yang tadi digunakan untuk mengait tubuh
Liong Houw, dan menyesapkan disisipan rambutrambut mereka, salah seorang berkata : "Liong
Houw kau ikutlah kami untuk menerima pisaupisau belatimu."
"Tipu muslihat apa yang kalian akan lakukan !"
bentak Liong Houw. "Bukan tipu muslihat, tapi....."
"Tapi apa?" potong Liong Houw tidak sabar.
"Pisau-Pisau itu tidak berada di tubuh kami, jika
kau menghendakinya, ikut kami, itu pun terserah
padamu, dengan suka rela mengikuti jejak kami,
ataukah kami akan menggunakan tenur-tenur
merah ini untuk menyeret tubuhmu!" si wanita
merah berkata dengan menunjukkan tali tenur
berwarna merah yang sudah tergulung, diujung tali
tenur itu terdapat kaitan.
Tadi ketika Liong Houw masih berguling
gulingan, keempat wanita merah memancing tubuh
Liong Houw, setiap kaitan tepat mengenai pakaian
belakang Liong Houw yang terbuat dari kulit
macan, maka dengan mudah keempat wanita itu
menarik tubuh si pemuda, mereka berlompatan
diatas dahan-dahan pohon yang berjejer di tepi
jalan yang mereka lalui, sehingga keadaan Liong
Houw seakan terbang. 597 "Kalian sebangsa siluman gila!" kata Liong
Houw. "Kalian kira aku takut dengan segala
macam tipu muslihat kalian, hayo jalan, apa yang
akan kalian lakukan."
Wanita merah yang berbicara dengan Liong
Houw, menepuk tangan, kemudian ketiga wanita
lainnya melesat pergi, gerakan mereka seakan
kupu-kupu terbang berlompatan diatas dahandahan pohon.
"Liong Houw, ketahuilah, golongan kami dengan
dirimu mempunyai kesulitan serta musuh yang
sama, hanya sampai saat ini kami belum bisa
berbuat apa-apa, kelak setelah Pedang Embun kau
dapatkan, kami akan membantumu menumpas
musuh-musuhmu." "Aku tidak butuh bantuan kalian." berkata Liong
Houw. "Hayo cepat, dimana pisau-pisau belati itu."
"Ikut aku!" Berbarengan dengan ucapannya si wanita merah
melesat menuju ke timur. Liong Houw mengikuti langkah larinya wanita
merah tadi. Meskipun Liong Houw terlambat
sedetik saja, tapi ia harus mengerahkan tenaga
sepenuhnya untuk mengejar larinya si wanita
merah, baru ia berhasil merendengi si wanita
tersebut. "Ilmu lari cepatmu boleh juga," kata si wanita
merah. "Kau sudah berhasil melatih ilmu didalam
lembah air terjun?" 598 "Dari mana kau tahu ?" tanya Liong Houw
heran. "Mmmm, setiap gerakanmu sudah lama kami
ketahui, lama ketika kau baru saja terjun didunia
kaug-ouw, suhu sudah mengetahui hal ichwalmu,
bahkan urusanmu dengan Lie Eng Eng.......hiihihhh........."
"Kau ngoceh !" bentak Liong Houw. Perjalanan
dilakukan siang malam, mereka berlarian dijalan
hutan-hutan rimba, tidak pernah masuk kota,
makan setiap hari hanya buah-buahan, atau
minum sumber mata air jika perlu meminum air
sungai. Pada hari kesepuluh sejak terjadinya penghancuran partai Bu-tong-pay, mereka tiba
ditepi pantai yang berlamping curam. Terdengar
deburan ombak membentur batu-batu karang yang
bertebaran ditepi pantai.
Liong Houw berdiri ditepi pantai,
menatap ketengah lautan bebas.
"Lihat !" berkata si wanita merah
menunjukkan jarinya ke tengah laut.
matanya sambil Liong Houw memandang arah yang ditunjuk oleh
si wanita merah. Ditengah-tengah deburan ombak
yang menggulung berbuih, nampak meluncur
sebuah kapal layar berwarna merah mendatangi
ketepi pantai di mana mereka sedang berdiri.
Angin laut bertiup kencang, rambut kedua orang
yang berdiri tegak ditepi pantai riap-riap berkibar,
suara deburan ombak tidak hentinya, sedang kapal
layar merah masih meluncur mendatangi.
599 Kini tampak kapal layar merah mulai menurunkan layar, gerakan lajunya terhenti,
hanya tampak kapal itu bergoyang-goyang
dihembus ombak yang turun naik.
Tak lama, tampak sebuah perahu kecil dikayuh
oleh tiga orang yang juga berkulit merah, rambut
para pengayuh beriap-riapan ditiup angin.
Perahu itu meluncur ketepi pantai, kadang kala
tampak mumbul diatas gulungan ombak kadang
kala lenyap terhalang oleh ombak yang menggulung. Seakan perahu itu mendatangi timbul
tenggelam di permukaan laut.
Byur... byurrrr.... Kedua orang wanita merah yang mengayuh
perahu kini lompat turun, mereka menyeret perahu
kepantai. "Hayo....." berkata si wanita merah sambil
menarik tangan Liong Houw lompat turun dari atas
tebing, lalu berlarian berlompatan diantara batubatu karang menuju kearah perahu kecil itu.
Liong Houw hanya mengikuti apa yang
dilakukan oleh wanita-wanita merah itu, meskipun
dalam hatinya penuh tanda tanya, siapakah dan
dari manakah machluk-machluk aneh seperti ini
dan apa yang akan dilakukan terhadap dirinya,
tipu muslihat apa lagi yang akan dialami si
pemuda. Ketika telah sampai diatas kapal layar berwarna
merah, maka sauh diangkat, layar terkembang
mengarungi lautan bebas. 600 Semua anak kapal terdiri dari wanita-wanita
merah, jumlah mereka tidak kurang dari tigapuluh
orang. Didalam kamar yang merupakan kamar Kapten,
didinding-dinding ruangan terdapat macam-macam
peta, sedang disudut kanan terdapat meja persegi
diatas mana terdapat gambar peta dunia, berikut
ukuran-ukuran garis-garis vertikal dan horisontal,
juga terdapat beberapa alat-alat pengukur jarak,
teropong dan lain-lain. Sedang ditengah-tengah ruangan terdapat sebuah meja, dibelakang meja duduk lima orang
berpakaian merah, sedang ditengah-tengah dikursi
yang lebih tinggi dari keempat kursi yang diduduki
oleh empat wanita merah itu duduk seorang yang
juga berkulit dan berwajah merah, sinar mata itu
berkilat terang, menunjukkan betapa tingginya
ilmu kepandaiannya. Sedang wanita yang datang
bersama Liong Houw duduk disamping kanan
wanita merah yang bermata berkilat itu.
Liong Houw duduk dimuka mereka, seperti
seorang persakitan yang menunggu pemeriksaan
para jaksa dan menunggu keputusan vonis hakim,
ia duduk dengan tenang menatap satu persatu dari
kelima wanita tadi, Liong Houw dengan sepintas
lalu bisa membedakan bahwa wanita yang duduk
dikursi yang lebih tinggi, tentunya adalah seorang
nenek-nenek tua, ia bisa melihat bentuk buah
dada yang menonjol merah, wanita itu tampak
buah dadanya sedikit gepeng, tidak menonjol tajam
seperti keempat wanita lain, yang merupakan wanita-wanita muda.
601 "Nenek!" berkata Liong Houw, ia menahan rasa
gelinya atas permainan yang ditunjukkan didepannya. Si wanita yang duduk dikursi tertinggi,
mendengar sebutan itu tampaknya ia terkejut
hampir saja ia bangun dari kursinya, matanya
berkilat terang, tapi cepat-cepat ia tersenyum dan
lalu berkata: "Bocah ! Hebat pandangan matamu,
darimana kau bisa mengetahui kalau aku seorang
nenek ?" "Hmmm, nenek, meskipun pakaian tipismu
berwarna dan berbentuk sama dengan wanita
lainnya, huh, kau lupa sesuatu ..."
"Sesuatu apa ?" potong si wanita merah yang
duduk dikursi tertinggi. "Tetekmu, tetekmu yang gepeng peot, berbeda
dengan keempat wanita-wanita lainnya."
Keempat wanita merah yang mendampingi si
wanita tadi segera menolehkan kepala berbareng,
memperhatikan kearah apa yang disebut Liong
Houw, memang benar buah dada itu agak gepeng
peot. Begitu mereka menampak buah dada wanita
itu, mereka tidak bisa menahan rasa gelinya.
Keempatnya tertawa cekikikan.
Braaaaakkkkk....... Tiba-tiba si nenek merah yang duduk di kursi
tinggi menggeprak meja. "Apa yang kalian
tertawakan ?" Keadaan ruangan dalam kamar itu
sunyi kembali hanya terdengar suara deburandeburan ombak yang memecah memukul samping


Pusaka Pedang Embun Lanjutan Sin Tiauw Thian Lam Karya Sin Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kapal. Dan terasa olengnya kapal layar itu.
602 "Hei, kalian menjanjikan mau menyerahkan
pisau belati itu ?" tiba-tiba Liong Houw membuka
pembicaraan kembali. "Mmm . ." terdengar si nenek merah berdengus.
"Hei, kalian sudah mengetahui namaku, tapi
bagaimana kalian belum memperkenalkan nama
masing-masing hingga sulit bagiku untuk bicara
dengan siapa diantara kalian!"
"Hmm. Kami sudah melupakan nama, yang
masih aku ingat adalah dendam. Pembalasan
dendam. Jika kau hendak bicara, tatap saja
mataku, berarti kau bicara padaku, bila kau
hendak bicara dengan para pengawalku, kau
pandang, tatap mata mereka. Pasti mereka akan
melayani kau bicara."
"Mana pisau-pisau belati itu ?" bertanya lagi
Liong Houw. Si nenek merah yang duduk diatas kursi tinggi,
melirik kearah wanita merah yang berada
disamping kirinya, sambil menganggukkan kepala.
Wanita tadi segera bangkit dari duduknya, lalu
menghampiri sebuah lemari, dari sana ia
mengeluarkan tiga bilah pisau belati. Setelah mana
balik duduk kembali kekursinya dan meletakkan
ketiga bilah pisau itu dihadapan si nenek merah
yang duduk dikursi tinggi.
"Kau lihat! Bukankah yang dua milikmu?" kata
nenek merah yang menjadi pimpinan mereka.
Liong Houw hendak menjulurkan tangan.
603 "Jangan sentuh!" bentak wanita merah yang
mengambil pisau itu dari dalam lemari. "Pisau itu
telah direndam dalam racun, bilamana kau
menyentuhnya, maka seluruh tubuhmu akan
segera membusuk." Cepat Liong Houw menarik kembali tangannya
yang tadi ia ulurkan untuk mengambil kedua bilah
pisaunya. "Apa maksud kalian ?" bentak Liong Houw. "Dan
apa yang akan kau lakukan, nenek peot !"
Si nenek merah yang duduk dikursi tinggi yang
ternyata memang seorang nenek, dengan tersenyum mengangguk anggukkan kepala, lalu
mengambil ketiga bilah pisau belati itu, dengan
sekali gerak, ketiga bilah pisau itu meluncur dan
menancap diatas langit-langit ruangan dalam
kamar itu. "Kau tidak perlu memecahkan arti tulisan
tulisan yang terdapat dalam tiga bilah pisau belati
itu, semua telah kami ketahui, ketiga bilah pisau
belati itu sengaja kami rendam dalam racun yang
sangat berbisa untuk mencegah pencurian terhadap benda itu atau penghianatan dari anak-anak
muridku, dari empat puluh orang anak muridku
hanya seorang yang bisa memegangnya sedang
yang lainnya bilamana menyentuh pisau-pisau itu,
daging-daging mereka akan segera membusuk,
meskipun kulit tubuh dilapisi pakaian kulit yang
setebal apapun." Liong Houw mendongak keatas, papan-papan
langit-langit kamar yang tertancap ketiga pisau
belati tadi tampak sekeliling papan langit-langit
604 kini berwarna hitam akibat pengaruh racun yang
terdapat pada pisau belati. Sedang diatas meja
dimana tadi diletakkan ketiga pisau belati itu
masih jelas terpeta warna hitam seakan-akan
lukisan tiga bilah pisau. Hebat sungguh luar biasa
racun yang melekat pada pisau-pisau belati itu.
Tambah lama keadaan dalam kamar kapal layar
tambah goncang, kapal layar itu kadang kala oleng
kekiri kanan, kadang kala seakan terbanting dari
belakang kedepan sedang suara ombak laut yang
memukul-mukul tepian kapal terdengar mendebur
keras sekali. Membuat orang-orang yang duduk
dalam kamar kapten itu mengikuti irama gerak
goyang kapal layar tadi. "Liong Houw !" terdengar kembali si nenek merah
berkata. "Kau sengaja dibawa kemari, untuk
mengambil Pedang Embun itu."
"Dimana berdebar. Pedang itu?" tanya Liong Houw "Disekitar pulau gunung api dilaut Lam-hay !"
kata si nenek. "Pulau gunung api ?" Liong Houw heran.
"Menurut keterangan peta dan tulisan yang
didapat dari tiga bilah pisau belati itu, Pedang
Embun terdapat di pulau terpendam didasar laut,
disekitar pulau gunung Api."
"Pulau terpendam?" tanya Liong Houw. Si nenek
merah mengangguk, katanya : "Tentang pulau
terpendam, setiap tokoh rimba persilatan dari
kalangan tua pernah mendengarnya, pulau itu
terdapat disekitar pulau Gunung Api, pada seribu
605 tahun yang lalu telah terjadi perobahan alam
disekitar kepulauan tersebut, hingga pulau berikut
penghuni tenggelam kedasar laut dan hanya
beberapa orang saja yang berhasil menyelamatkan
diri. Cerita itu telah turun temurun. Hanya tidak
ada seorang-pun yang mengetahui siapa-apa
penghuni pulau itu, juga tidak ada orang yang
mengetahui bahwa sebilah pedang pusaka terpendam didasar laut diatas pulau terpendam itu."
"Mmm, jadi bagaimana kita bisa percaya ketiga
bilah pisau itu merupakan peta dari pulau
terpendam ?" berkata si wanita merah yang duduk
disebelah kanan si nenek.
"Mungkin salah seorang dari mereka yang
berhasil menyelamatkan diri membuat tiga bilah
pisau itu," berkata Liong Houw.
"Itulah," si nenek berkata. "Kejadian ini sulit di
ilmiah, tapi dengan kepandaianmu dan berkat
latihanmu didalam lembah air terjun, kau sudah
memiliki ilmu ampibi hingga sanggup hidup
didalam air." "Apa????" Liong Houw terjengkit bangun.
"Bagaimana kau tahu akan ilmu yang kulatih?"
"Duduk, ayo duduklah, tidak perlu panik,
muridku bukankah sudah pernah mengatakan
setiap gerak gerikmu sudah dalam pengawasan
kami selama bertahun-tahun, dan tentang lembah
itu, aku pernah memasukinya."
"Haaa, kau juga pernah memasukinya ?" kata
Liong Houw terkejut. "Mengapa tidak melatih ilmu
itu ?" 606 "Bagi orang-orang yang sudah pernah melatih
ilmu silat dari cabang lain tidak mungkin bisa
melatih ilmu itu, begitu pula sebaliknya, bilamana
memaksakan diri untuk melatih pasti orang itu
akan mengalami jalan darah masuk api. Lebihlebih selama berlatih orang diharuskan belum
pernah memakan makanan-makanan selain dari
buah-buahan. Kau masih kurang hati-hati, kitab
semedhi itu kau tinggalkan begitu saja didalam goa
!" "Mana kitab itu, apakah kau bawa ?" tanya Liong
Houw. "Sudah kuhancurkan," jawab si nenek merah.
"Hei siapa sebenarnya kalian ?" tanya Liong
Houw. "Belum waktunya kau mengetahui!" jawab si
nenek. Perjalanan dilanjutkan. Suatu ketika.......
Tiba-tiba dari luar datang memasuki seorang
wanita merah, lalu berkata :
"Suhu ! nampak !" Puncak pulau gunung api sudah "Putar haluan kearah kiri !" perintah si nenek.
"Ayo kita naik kegeladak."
-dwDlATAS geladak kapal layar merah Liong Houw
berdiri memperhatikan puncak pulau gunung api
yang mengepulkan asap timbul tenggelam dipermukaan laut. 607 Pemandangan itu tidak mengherankan Liong
Houw meskipun tampaknya puncak gunung api itu
timbul tenggelam dipermukaan laut, tapi bukanlah
pulau itu yang timbul tenggelam, tapi kapal layar
merah yang ditumpanginya yang timbul tenggelam,
sebentar mumbul diangkat ombak setinggi gunung,
kadang kala terhempas kebawah ditinggalkan
gulungan ombak yang menderu-deru.
"Kurangi kecepatan." perintah si nenek merah.
Beberapa wanita merah segera menaiki tanggatangga tali, mereka melepaskan beberapa tali layar,
maka layar-layar yang sedang terkembang ketika
tali-talinya terputus segera menggulung menyelorot
turun, dan seketika kecepatan kapal layar itu
berkurang. "Putar kekanan." perintah lagi si nenek merah.
Sambil memperhatikan keadaan letak arah pulau
gunung api. "Kurangi kecepatan !" perintah lagi si nenek.
Maka satu tiang layar kembali melorot turun.
Kecepatan lajunya perahu tambah berkurang,
diombang ambingkan ombak.
"Ambil arah barat laut." terdengar pula si nenek
memberi perintah. Disebelah barat laut pulau Gunung Api, perahu
layar merah menurunkan sauh, layar layar sudah
tidak berkembang lagi, ombak-ombak menggunung
berkejar-kejaran mengombang ambingkan kapal
layar. 608 "Kira-kira dibawah sini letaknya pulau yang
terpendam, nah kau terjunlah, sebelum kau naik
kepermukaan, kami selama itu menunggu. Selamat
bekerja." Tanpa mengucapkan sepatah katapun Liong
Houw terjun kedalam lautan.
Baru saja Liong Houw menerjunkan diri,
tubuhnya diombang-ambingkan ombak tapi begitu
Liong Houw memasuki lebih dalam tekanan ombak
berkurang, akhirnya sudah tidak terasa lagi
tekanan ombak, ia terus meluncur turun.
Ikan-ikan kecil beraneka warna
berkelompok berenang kian kemari.
beriring Diatas karang-karang laut ikan-ikan karang
berenang kejar-kejaran. Liong Houw melangkahkan kakinya didasar
lautan seakan ia berjalan ditanah daratan.
Sementara kapal layar merah masih menunggu
diperairan pulau Gunung Api.
Mata para awak kapal memperhatikan gerakan
tubuh Liong Houw yang makin lama makin
tenggelam kedalam, kemudian tak tampak pula
bayangannya. Puncak gunung Api yang mengepulkan asap
hitamnya kadangkala mengeluarkan suara letusanletusan.
"Suhu!" terdengar suara kejut salah seorang
wanita merah ditujukan kepada si nenek merah.
"Hmmm..........." dengus si nenek merah.
609 "Belakangan ini sering kali pulau gunung api itu
mengeluarkan letusan-letusan, mungkin........."
Baru berkata sampai disitu, tiba-tiba terdengar
kembali suara letusan gunung berapi, letusan itu
lebih keras dari pada letusan-letusan yang
terdahulu. "Suhu, apakah pulau gunung api ini akan
meletus?" "Hmm, kalau dilihat dari letusan-letusan, mungkin gunung berapi ini akan segera meletus."
Beberapa kali terdengar pula suara letusanletusan dari puncak gunung berapi yang
mengeluarkan asap, kini tampak letusan-letusan
itu mengeluarkan bara api yang menjulang tinggi
setiap kali terjadi letusan, pulau sekitar pulau
gunung api itu bergerak, seakan terjadi gempa
bumi, gerakan-gerakan itu juga terasa sampai dikapal layar yang mereka tumpangi.
Si nenek merah yang menyadari bahaya hatinya
bergoncang keras, meskipun tidak tampak
perobahan

Pusaka Pedang Embun Lanjutan Sin Tiauw Thian Lam Karya Sin Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

wajahnya, tapi sinar matanya memancarkan cahaya kekuatiran.
Sedang para anak buah kapal yang terdiri dari
wanita-wanita berkulit merah, tampak mereka
sudah gelisah sedemikian rupa, hanya mereka
tidak berani mengemukakan sesuatu dihadapan
sang kapten kapal yang juga merupakan suhu
mereka. Setiap gerak mata berganti ganti
memandang keatas puncak gunung berapi yang
meletus-letus mulai mengeluarkan lahar meleleh
turun, kadang kala mata-mata mereka menatap
kebawah dasar laut, tapi disana tak tampak
610 bayangan Liong Houw, yang tampak hanya beberapa kelompok ikan yang berlarian menyingkir dari
getaran air yang diakibatkan dari letusan-letusan
tadi. "Suhu, apakah tidak lebih baik kita menyingkir
lebih dulu dari pulau gunung api ini menunggu
munculnya Liong Houw ?" berkata si wanita merah
yang berdiri disebelah kanan si nenek merah.
"Hmmm, jika gunung berapi ini meletus, tubuh
bocah itu akan segera hancur isi dalamnya.
Getaran letusan yang terbawa oleh arus air akan
menghancurkan setiap machluk yang hidup
didalam air, meskipun tubuh mereka masih utuh,
tapi isi dalamnya hancur. Sudah pasti mereka
akan menjadi korban letusan gunung berapi ini,
tidak terkecuali si bocah. Bahkan getaran letusan
akan terasa ribuan lie dari tempat ini, kukira juga
kapal kita akan segera tenggelam, lebih-lebih
keadaan ombak yang begini besar, ditambah
dengan letusan gunung berapi akan mengakibatkan gempa air yang hebat."
"Aaaaa, suhu lihat ! Darah !.........Darah........."
"Tenang bodoh !" bentak si nenek merah.
"Tapi, darah itu......apakah bukan darah Liong
Houw........." terdengar pula suara salah seorang
wanita merah yang sudah mulai panik.
Bledurrrrrrrrr........ bummmmm.........kawah pulau gunung api memuntahkan lahar panas yang
memerah meleleh meluncur menuruni lerenglereng pulau gunung api.
611 Kembali tampak gumpalan merah mumbul
dipermukaan air laut diumbang ambingkan ombak.
Akibat letusan-letusan pulau gunung api yang
kian lama kian keras, terasa kini getaran itu
sampai mempengaruhi kapal layar.
Letusan-letusan pulau gunung api, terasa
sampai didasar laut, Liong Houw yang baru saja
menginjakkan kakinya didasar laut, tiba-tiba
menampak seekor ikan hiu besar dengan cucuk
yang bergigi tajam meluncur kearahnya.
Nampak ikan itu bergerak cepat tubuhnya
kadang kala meliuk kekiri kanan seakan sedang
membingungkan pandangan mata Liong Houw.
Dengan tenang Liong Houw menunggu datangnya ikan hiu yang memang akan menyerang
tubuhnya. Begitu ikan itu tepat berada dimukanya,
cepat ia bergeser kekiri, dengan kepalan tangannya
menghajar batok kepala ikan itu hingga ambles
seluruh kepalannya. Dari kepala ikan hiu yang
remuk, mengambang darah merah. Sedang ikan
hiu itu menggelusur terus.
Baru saja kepalan tangan Liong Houw ditarik,
darah ikan hiu mengambyang di-sekitar air laut
itu, menimbulkan bau amis yang merangsang ikanikan hiu lainnya mendatangi tempat itu. Kini dari
arah dimana ikan hiu yang sudah menjadi korban
mendatangi sepuluh ekor yang nampaknya lebih
ganas dan lebih besar dari ikan hiu yang pertama
datang. 612 Liong Houw segera menghindari dari kerewelan
ikan hiu itu, tubuhnya cepat berenang meninggalkan daerah berdarah.
Ternyata ikan-ikan hiu itu tertarik dengan bau
amis darah tadi, mereka terus meluncur kearah
mengembangnya darah merah, kemudian berserabutan menggigiti bangkai ikan hiu yang
sudah mati. Hanya dalam sekejap mata saja
bangkai ikan hiu tadi sudah lenyap berpindah
kedalam perut kawan-kawannya sendiri.
Begitu santapannya habis rupanya ikan-ikan hiu
itu memang sedang kelaparan, begitu menampak
gerakan Liong Houw yang berenang menjauhi,
mereka berebutan mengejar kearah Liong Houw.
Mendapat serangan sepuluh ekor lebih ikan-ikan
hiu yang besar, Liong Houw agak sulit menghadapi
serangan demikian didalam air, meskipun ia bisa
tahan sekian lama tapi kepandaian renang
machluk-machluk air ini bukanlah tandingannya.
Selagi dalam keadaan bingung, mendadak seekor
ikan hiu yang berenang lebih dulu menerjang
kearah perutnya. Cepat Liong Houw mengelak
kesamping, tapi begitu ia bergerak kesamping, dari
atas kepalanya meluncur pula seekor ikan hiu
raksasa yang hendak memotong lehernya dengan
cucut-cucut yang bergigi seperti gergaji.
Belum lagi ia sempat mengelakan samberan ikan
hiu diatas kepalanya, tiba-tiba tubuhnya sudah
terkurung oleh sekelompok ikan-ikan hiu, dari
depan belakang kiri kanan atas, bahkan kakinya
hampir saja putus disambar salah seekor ikan hiu.
613 Dalam keadaan panik demikian, tiba-tiba ia
teringat akan kalung tasbihnya yang didapatkan
dari lembah air terjun, segera ia meloloskan kalung
tasbih itu, dan memutarkan melindungi tubuhnya.
Maka tak lama terdengar suara krak, trok,
beberapa kali dan darahpun bermuncratan dari
kepala -kepala ikan hiu yang tersambar oleh
sabetan kalung tasbih Liong Houw, maka kini
keadaan berubah, beberapa ikan hiu yang masih
belum kena sasaran tasbih, segera menyerang ke
arah kawan mereka yang mengucurkan darah.
Gerakan Liong Houw tidak sampai disitu, begitu
ada kesempatan, segera kalung tasbihnya bergerak
pula, maka ikan-ikan hiu yang berusaha akan
memakan kawan-kawan mereka kini menjadi
korban kalung tasbih, dan tak lama seluruh ikanikan hiu itu sudah bergelimpangan, darah mereka
mengambyar naik keatas permukaan laut.
Dengan masih memegangi kalung tasbehnya,
Liong Houw meluncur berenang, ternyata gerakan
berenang dibawah air lebih cepat dari pada ia
melangkahkan kakinya berjalan didasar laut.
Matanya yang sudah terlatih baik, kini dapat
melihat dengan tegas pemandangan yang terpeta
didasar lautan, beraneka macam warna dan
bentuk karang berkembang-kembang hidup bergerak-gerak seakan machluk bernyawa, ikanikan
karang berseliweran berkelompok berkelompok menambah keindahan taman dibawah laut. Liong Houw terus berenang mencari tempat
dimana tersimpannya Pedang Embun yang
614 menurut si nenek merah pedang itu tersimpan
diatas pulau yang telah tenggelam.
Kini mata Liong Houw dapat melihat sebuah
bukit karang yang menonjol, menggunung, segera
ia berenang kesana, tapi tiba-tiba saja perutnya
dilibat oleh benda hitam yang menjulur panjang
seperti ular, libatan pada perut Liong Houw itu
begitu erat, sudah beberapa kali ia berusaha
memutuskan benda yang melibat perutnya dengan
menyabetkan tasbihnya, tapi libatan itu kian
keras, hingga perutnya dirasakan terjepit oleh
benda bulat, terasa seakan perut itu hampir putus.
Dengan mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya
dari hasil latihan semedhi didalam air terjun, Liong
Houw masih bisa bertahan dari cekikan machluk
yang melibat perutnya. Kini ia tidak lagi
melakukan gerakan. la mengikuti setiap gerak dari
machluk yang melibatnya, sedang tenaga dalamnya
dikerahkan dengan kekuatan tetap untuk menahan cekikan itu. Tubuh Liong Houw perlahan
tertarik, dan kini mendadak meluncur pula
machluk yang sama, kini kaki Liong Houw dilibat
keras sekali dengan berbarengan Liong Houw
ditarik, memasuki sebuah lubang besar.
Didalam lubang tadi keadaan tampak gelap,
sedang machluk-machluk yang melibat tubuhnya
terasa tambah banyak menyelusuri tubuhnya,
dalam keadaan gelap itu mata Liong Houw terus
jelilatan mencari sesuatu yang kira-kira dapat
dibuat pegangan untuk meloloskan diri, bahkan ia
ingin mengetahui binatang apakah yang kini
melibat tubuhnya, dalam keadaan pikiran yang
kacau penuh dengan rasa seram dan takut,
615 tampak disudut sebelah dalam dua sinar kelapkelip, sedang dibawah sinar kelap kelip itu samarsamar bergerak-gerak beberapa machluk aneh
yang sama bentuknya dengan yang melibat
tubuhnya, hanya lebih pendek. Liong Houw lambat
tapi pasti tertarik ke arah dimana terdapatnya dua
sinar kelap kelip sebesar manggis.
Aaaaa, kini ia tahu sudah, kedua sinar yang
berkelap kelip itu adalah dua buah mata binatang
yang sedang menarik tubuhnya dengan tangantangan panjangnya, ternyata kini ia sedang
bertarung melawan maut dengan seekor gurita
raksasa. Dengan kecerdikan otaknya Liong Houw tidak
melakukan perlawanan, dibiarkan kaki dan perut
yang sudah dibelit oleh kumis-kumis gurita
raksasa tadi, sedang tangan yang masih memegang
tasbih, ia tekukkan diletakkan diatas libatan kumis
gurita yang melibat tadi agar bila salah satu kumis
gurita melilit bagian dadanya, tangannya masih
bisa digerakkan untuk menghajar kepala gurita
raksasa. Secepat pikirannya bergerak, secepat itu pula
tubuhnya ditarik kearah kepala gurita raksasa,
ternyata kepala itu tampak sebesar tempayan.
Liong Houw mengukur-ukur jarak antara mata
dan tubuhnya, begitu jarak itu sudah demikian
dekat, maka tangan kanannya segera bergerak,
dengan kekuatan penuh ia menghantamkan
tasbihnya kearah tengah-tengah diantara kedua
mata cumi-cumi raksasa tadi.
616 Dukkkkkkk............blasssssss,
darah berhamburan dari atas kepala cumi-cumi raksasa itu,
libatan tubuh Liong Houw mengendur akhirnya
terlepas sama sekali. Keadaan dalam lubang itu gelap, Liong Houw
meraba-raba dinding-dinding lubang itu, tak lama
ia mendapatkan sebuah lubang lagi, tubuhnya
segera memasuki lubang berikutnya dibalik lubang
itu tampak masih gelap pekat.
Berenang kembali kearah bagian lain, tangannya
tetap meraba-raba, ternyata juga setiap ruangan
yang dilaluinya tetap gelap tak tampak sinar
penerangan. Suara letusan-letusan pulau gunung berapi terdengar sampai didasar laut, kian lama letusan itu
kian keras sedang getaran air seakan tekanan yang
menghimpit tubuhnya. Cepat Liong Houw berenang meninggalkan
lubang gelap itu, jauh dimukanya tampak sinar


Pusaka Pedang Embun Lanjutan Sin Tiauw Thian Lam Karya Sin Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terang menyorot masuk. Itulah jalan keluar dari sarang gurita raksasa
yang tadi menyeret tubuhnya kedalam lubang itu.
Tapi baru saja ia hendak keluar dari lubang itu,
dibawah lubang yang tembus sinar terang ternyata
masih terdapat lubang yang menurun kedalam.
Liong Houw batal keluar, ia berenang memasuki
lubang dibawah, didalam lubang itu terdapat
sebuah ruangan yang berlumut disana sini
tumbuh karang-karang laut, ikan-ikan kecil
beraneka warna berenang kian kemari. Karena
617 tembusnya sinar dari lubang tadi keadaan ruangan
itu agak samar-samar terang.
Selagi Liong Houw memperhatikan keadaan
ruangan itu, tiba-tiba seekor ular putih sepanjang
setengah depa berliuk-liuk meluncur menuju
kearahnya. Liong Houw cepat menggunakan kalung
tasbihnya memukul ular yang datang meluncur
menggigit kearahnya. Dukkkkk............ Kepala ular itu terhajar oleh ujung rantai tasbih,
tapi aneh, tidak seperti ikan hiu dan juga gurita
raksasa yang begitu terhajar pasti kepalanya
remuk mengocorkan darah, ular ini begitu terkena
serangan tasbih, segera melejitkan kepalanya
keatas, buntutnya yang putih mengkilat menyambar kearah tangan kanan Liong Houw yang
menyerangnya dengan tasbih.
Serangan buntut ular itu berhasil dielakkan, tapi
tiba-tiba kepala ular yang meluncur keatas kini
balik menukik menghajar ubun-ubun Liong Houw.
Gerakan itu sangat cepat sekali, sehingga Liong
Houw hampir saja tidak dapat mengelakkan
serangan maut tadi, tapi dengan gerakan yang gesit
sekali Liong Houw melesat menghindari serangan
ular putih itu. Si ular putih yang tiga kali serangannya berhasil
dielakkan, kini ia tidak menyerang kembali, buntut
ular itu meliuk-liuk melingkar, kemudian memanjang kembali sedang kepalanya bergoyanggoyang kekiri kekanan.
618 Kepala Liong Houw bergerak-gerak mengikuti
gerakan kepala ular itu, sambil terus berenang
mundur. Sedang tasbihnya siap sedia untuk
membuat penjagaan dan penyerangan.
Kepala ular yang bergerak kekiri kekanan
meluncur maju lagi mendekati Liong Houw, sedang
buntutnya berlengkok-lengkok.
Liong Houw yang terus mundur, tiba-tiba belakang
tubuhnya terbentur sesuatu, jalan mundurnya terhalang oleh benda tadi, ternyata
itulah dinding batu yang berlumut.
Begitu tubuh Liong Houw mepet di dinding batu,
ular yang tadi meluncur perlahan, tiba-tiba ular itu
mundur cepat gerakannya berlenggok-lenggok.
Mata Liong Houw terbelalak, ia heran atas
tingkah laku binatang laut yang aneh ini, tapi ia
bisa menduga pasti setelah mundur ular ini akan
menyerang tubuhnya, maka cepat-cepat Liong
Houw membuka pakaian kulit macannya, ia akan
menggunakan pakaian kulit macan itu sebagai
senjata guna menutup kepala ular putih tadi,
apabila kepala ular putih itu sudah tertutup
dengan pakaiannya, dengan mudah Liong Houw
akan segera menyabetkan rantai tasbihnya.
Baru saja pakaian kulit macan Liong Houw
terlolos dari tubuhnya, tiba-tiba ular putih itu
meluncur datang. Tangan kiri Liong Houw yang memegang pakaian
kulit macannya segera digerakkan, ia akan
menghajar kepala ular itu dengan pakaiannya, tapi
anehnya, si ular putih seakan tahu apa yang akan
619 dilakukan Liong Houw, tiba-tiba saja gerakannya
berubah, bukan kepalanya yang meluncur terus
tapi buntut ular itu tiba-tiba melesat kebawah
menyambar kaki Liong Houw.
Hampir saja terlambat, jika saja Liong Houw
lengah, pasti kakinya terbelit oleh ular putih itu,
sedang kepala ular tadi mengikuti arah buntutnya
meluncur kebawah, kepala ular itu bergerak
mencaplok benda vitalnya Liong Houw yang
berbentuk ular pendek tergantung telanjang bulat.
"Kurang ajar, ular laknat," teriak Liong Houw
sambil mengelak kesamping menyelamatkan
anggota vitalnya dari caplokan mulut ular.
Setelah serangannya mengalami kegagalan
kembali, ular itu melesat meluncur menjauhi
tubuh Liong Houw, kini ular putih itu
menggelinding-gelinding di batu-batu karang.
Menampak kelakuan ular yang demikian
mendongkolkan hati, dari hawa takut kini berubah
menjadi hawa panas yang membara, ia segera
melepaskan pegangan kalung tasbihnya juga
pakaian kulit macannya yang dipegang ditangan
kirinya ia buang keatas karang, kemudian dengan
tangan kosong telanjang bulat Liong Houw
perlahan melangkah mendekati ular yang sedang
bergulingan. Liong Houw sudah nekad, dengan tangan kosong
ia akan membunuh ular itu, atau dirinya yang
akan jadi santapan ular putih tadi, yah daripada
dipermainkan oleh binatang, lebih baik mati, atau
membunuh binatang itu lebih dahulu.
620 Ular yang bergulingan diatas karang-karang tadi
mengetahui sang lawan mendekati kini mumbul
keatas, dengan mendadak saja meluncur menyambar ke leher Liong Houw.
Dengan tangan kanan Liong Houw menangkap
leher ular, dan dengan cepat berbarengan
tubuhnya melesat kesamping menyambar buntut
sang ular. Setelah berhasil menangkap kepala dan buntut
ular terasa telapak tangannya licin, perasaan jijik
menyerang hatinya, hampir saja Liong Houw
melepaskan cekalannya karena rasa jijik tadi, tapi
dengan memeramkan matanya, ia membetot tubuh
ular itu, ditariknya. Cretttttttt....... Dengan masih memeramkan matanya Liong
Houw membetot terus tubuh ular itu sehingga
dirasakan ular itu putus menjadi dua potong.
Begitu dia membuka matanya, tiba-tiba saja
hampir jatuh ngusruk diatas karang saking kaget
dan terkejutnya. Hatinya berdebar-debar keras,
darah didadanya dirasa bersembur keras, sedang
matanya mendelik melihat apa yang berada
ditangannya. Lama Liong Houw mematung didalam air, ia
menggigit bahunya sendiri, ternyata terasa sakit, ia
bukan dalam keadaan mimpi.
Suasana didalam ruangan dibawah air yang tadi
samar samar terang kini telah menjadi terang, tapi
terang itu terang pudar memutih, bukan terang
621 seperti cahaya lampu, tapi terang seperti beningnya
air embun diwaktu pagi. "Inilah Pedang Embun!" teriak Liong Houw
dalam hati. Ternyata ular yang tadi menyerang diri Liong
Houw dan akhirnya tertangkap olehnya dibetot
putus itu adalah jelmaan dari sebilah pedang yang
menjelma menjadi ular, kemudian setelah terbetot
oleh tenaga kekuatan Liong Houw, menjelma kembali menjadi sebilah pedang, kini ditangan kanan
yang tadi merupakan kepala ular terpegang sebilah
pedang putih memancarkan sinar putih bening
laksana air embun pagi, sedang ditangan kiri
tercekal sarung pedang. Liong Houw meluruskan pedang itu keatas
kemudian dikecupnya tubuh pedang tadi lalu ia
memasukinya kedalam sarungnya kembali, lama ia
tidak berani melepaskan pegangannya, kuatir
kalau pedang itu kembali menjadi ular. Setelah
beberapa saat tidak ada perobahan, maka barulah
ia menggigit pedang itu, dengan cepat ia
mengenakan pakaian macannya, mendadak selembar wajah Liong Houw menjadi merah, dan
tubuhnya seketika menjadi dingin.
Ia teringat kisah yang dibacakan Ceng-It Cinjin
bahwa terciptanya pedang ini mengorbankan
nyawa seorang gadis dan seorang ibu, maka
mengingat itu wajahnya berubah merah seketika,
ia teringat dirinya dalam keadaan telanjang bulat,
seketika tubuhnya menjadi dingin, timbul pikiran
takutnya kalau kedua arwah gadis dan ibu tadi
menjadi setan, kuatir kalau-kalau pedang ini
622 menjelma kembali menjadi setan penasaran yang
akan menelan tubuhnya hidup-hidup.
"Maafkan !" kata Liong Houw dalam hati yang
gemetar sambil memegangi pedang itu, "Kedua
arwah yang menciptakan pedang ini sesuai dengan
sumpah terciptanya dan juga tidak mensia-siakan
pengorbanan, maka aku akan menggunakanmu
untuk membasmi segala macam setan dan siluman
yang mengganggu ketertiban, demi keadilan dan
kebenaran, terutama membela hak-hak kaum wanita lemah."
Setelah berkata begitu, Liong Houw menyisipkan
pedang itu dibelakang gegernya, lalu memungut
kembali rantai tasbihnya, dan berjalan keluar
meninggalkan ruangan tadi.
Tapi baru saja ia meluncur berenang, tiba-tiba
teringat sesuatu, ia kembali kedalam ruangan tadi
memperhatikan keadaan sekitar tempat itu.
Aaaa......ternyata batu karang tempat ular tadi
bergulingan, adalah sesosok kerangka manusia
yang masih lengkap. Hati Liong Houw bimbang, apakah kerangkakerangka ini ia angkat naik kedarat dan
dikuburkan didaratan ataukah ia menggali tanah
didasar laut ini memakamkan kerangka tadi.
Bummmm....... Tubuh Liong Houw tergetar hebat, bunyi letusan
pulau gunung api menggetarkan dasar lautan,
keadaan ruangan itu kini mulai retak, belum lagi
sempat Liong Houw berpikir terdengar pula dua
kali suara letusan, bummm, . . . bummm . . . maka
623 ambruklah langit-langit ruangan itu, entah dengan
cara bagaimana tanpa disadari tubuh Liong Houw
terdorong mumbul keatas, sedang ruangan itu
telah ambruk mengubur kerangka-kerangka tadi
didasar laut. Suasana dipermukaan laut tambah panas,
letusan-letusan pulau gunung berapi semakin
gencar dan semakin keras, api yang keluar dari
lubang kawah membuat keadaan disekitarnya
memerah panas. Bumm . . . bum .... Ombak yang menggunung, mengombangambingkan kapal layar merah dipermukaan laut.
"Suhu, pulau itu akan segera meletus."
"Hmm, tutup mulutmu, jika tidak, kau akan
kulemparkan kedasar laut !" bentak si nenek
merah. "Tapi....." "Cukup! Jika pulau ini meletus sebelum bocah
itu muncul, tidak ada gunanya kembali kedunia
ramai, lebih baik mati bersama-sama disini,
menjadi umpan ikan dari pada menjadi umpan
manusia palsu penuh akal tipu muslihat licik......"
Bummm.....bummm...... bumm.......
Hampir dirasakan pecah kapal layar merah
dibanting ombak yang ditimbulkan oleh letusanletusan pulau gunung berapi.
Liong Houw yang berenang menuju permukaan
air dirasakan dadanya terhimpit oleh tekanan air
yang menggempa akibat letusan pulau gunung api
624

Pusaka Pedang Embun Lanjutan Sin Tiauw Thian Lam Karya Sin Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tadi. Tenaganya diempos, seluruh latihan-latihan
samadhinya diingatnya satu persatu, akhirnya ia
berhasil menyatukan ingatan latihan samadhinya,
maka dengan mengumpulkan seluruh kekuatan
inti dari latihan-latihannya, tiba-tiba tubuhnya
meluncur keatas dengan kecepatan laksana roket
meluncur dari dasar laut meluncur kepermukaan
laut. Bummm. . . .... bummmm.....
Kembali gunung berapi meletus.
Ciuttttttt............ Melewati gulungan ombak yang menggunung
tubuh Liong Houw meluncur keluar dari dalam air
terus meluncur keudara, dengan berjumpalitan
beberapa kali, tubuhnya meluncur turun dengan
ringan diatas dek kapal layar merah.
Terdengar suara pujian-pujian anak kapal,
memuji kepandaian si pemuda yang luar biasa
mengagumkan. "Cepat angkat sauh ....." teriak si nenek merah
kemudian. Bummmm,.......... blegurrrr......
Goncangan hebat ! Gunung berapi meletus,
berhamburan letusan-letusan mengakibatkan gempa air yang luar biasa, kapal layar merah yang
baru saja mengangkat sauhnya terlempar dibentur
ombak yang menggunung, air laut memasuki dek
kapal layar, kapal layar merah bergoyang,
diombang ambingkan, para anak buah kapal porak
625 poranda dek. terpelanting berguling-gulingan diatas Bummm......... "Liong Houw! Cepat pegang kemudi gantikan
mereka......" teriak si nenek merah.
Liong Houw yang tidak mengerti seluk beluk
kapal, mendapat perintah si nenek ia menengok
kekiri kekanan, glurrr......debur ombak menerjang
tubuhnya, tapi si pemuda masih berdiri tegak.
"Hai, hai.......cepat....." teriak salah seorang
wanita merah menggapaikan tangan kirinya kearah
Liong Houw sedang tangan kanannya memegangi
tali tiang layar. Liong Houw cepat menghampiri wanita itu, lalu
ia diajak naik keatas tempat kemudi kapal, disana
beberapa orang wanita merah sedang memegangi
kemudi, dengan terombang-ambingkan keadaan
kapal yang terbanting-banting dihempas ombak.
"Cepat ambil alih!" teriak wanita merah yang
sudah kepayahan menahan kemudi kapal.
Liong Houw mengerti, ia segera mengambil alih
kedudukan, segera dengan kedua tangannya, ia
mengendalikan arah kemudi itu !
"Tetap arahkan ke utara," teriak nenek merah
dari atas geladak, "Naikkan layar tengah........"
Tambah lama ombak tampak menggunung
suara-suara letusan pulau api kian gencar,
akhirnya lambat laun tak terdengar pula. Pulau
gunung berapi yang menjulang megah di tengah
626 lautan biru perlahan-lahan tenggelam, akhirnya
lenyap ditelan air...... "Ah ya, bocah, dan serahkan kemudi kepadanya," si nenek menunjuk kearah seorang
wanita merah, "Kau turut aku ke kamar."
Saat itu hari sudah gelap, keadaan angin laut
tenang, suara deburan ombak yang memukulmukul buritan perahu terdengar lemah tidak
sekuat ketika mereka baru berlayar mendatangi
pulau Gunung Api, suasana kamar kapten terang
benderang diterangi beberapa batang lilin-lilin
besar yang dipasang di setiap dinding-dinding
kamar. Di tengah-tengah kamar tergantung lampu
gantung yang memancarkan sinarnya.
Pakaian Liong Houw masih basah, rambutnya
terurai sebatas bahu, matanya memancarkan sinar
biru terang menatap si nenek merah yang duduk
diatas kursi dengan diapit oleh empat orang
pengawalnya. "Bocah, coba perlihatkan Pedang Embun itu."
berkata si nenek merah. Dengan masih berdiri tegak Liong Houw
menjawab: "Kau boleh lihat, tapi ingat! Kalian
jangan bergerak dari tempat masing-masing, bila
mana kalian main gila, jangan salahkan aku
berlaku kejam dan tidak kenal budi."
"Mmm, kami tidak menuntut budi, tapi
menuntut dilaksanakannya syarat yang pernah
kau sanggupi." "Ngg......." dengus Liong Houw. Dari belakang
gegernya ia mengeluarkan pedang Embun.
627 "Lihatlah! Lihat baik-baik....aaa..aa....
Jangan bergerak kalau tidak...."
duduk! "Bocah!" potong si nenek. "Cepat kau cabut
pedang itu, aku ingin melihat pedangnya bukan
serangka yang karatan...."
Srettt...... krelapppp... Pedang Embun keluar
dari serangkanya, suasana dalam ruangan kapal
yang terang benderang disinari sinar lampu, kini
berubah terang pudar, demikian beningnya, sinar
bening menembusi keluar ruangan.....
"Aaaaaaaaahhhhhhhhh......" terdengar suara
keluh si nenek beserta keempat pengawalnya.
Apa yang mereka saksikan sungguh luar biasa,
bentuk tubuh pedang itu tidak seperti pedangpedang biasa, berliku seperti bentuk keris, sedang
warna pedang putih pudar dari sana tampak
terotolan air yang menggenangi batang pedang.
"Embun.......... pedang berembun........." gumam
si nenek merah. Sreeettttttttt, kembali pedang embun masuk
kedalam serangkanya, cepat Liong Houw menyelipkan kembali di balik gegernya.
Tapi baru saja tangannra bergerak, tiba-tiba si
nenek merah dengan diikuti oleh keempat
pengawalnya menyerbu kearah Liong Houw.
Serbuan mendadak ini membuat hati si pemuda
terkejut, tapi dengan cepat ia jejakkan kakinya,
clutt, brakkkkkkkkkk... tubuh Liong Houw melejit
keatas, menubruk langit-langit ruangan yang
628 menjadi hancur berantakan, setelah lolos dari
kamar itu Liong Houw turun terjun kedalam laut.
Si nenek merah yang tubrukannya mengenai
tempat kosong, bukan cepat mengejar tubuh Liong
Houw, tapi mereka tertawa berkakakan. Sungguh
ganjil kelakuan golongan Kupu-kupu merah.
Liong Houw yang terjun kedalam laut, ia dengan
menggunakan ilmu amphibinya berenang menuju
ke arah tujuan kapal layar, gerakan Liong Houw
ternyata lebih cepat dari gerakan kapal layar
merah, tubuhnya bagaikan kapal silam, kadang
kala kepalanya mumbul dipermukaan air, kemudian lenyap kembali. Akhirnya setelah ia menampak lampu-lampu
para nelayan yang mencari ikan dimalam hari
dengan tetap berenang dibawah air, ia menuju
kedarat mencari tempat yang sunyi.
Liong Houw merebahkan dirinya telentang di
pasir putih, sekali-kali ombak yang menggulung
kepantai menggilas dirinya.
Lama ia memandangi bintang-bintang yang
kelap kelip dilangit, pikirannya melayang-layang
memikirkan jejak lenyapnya kedua orang tuanya.
Tiba-tiba melayang lima sosok bayangan
mengurung dirinya, belum lagi Liong Houw
mengetahui siapa yang datang, segulungan angin
kuat menyambar kepalanya sedang empat bilah
pedang menyerang datang menusuk perut, dada,
leher dan paha kirinya. Liong Houw memiringkan tubuh dengan kaki
keatas ia melejit keudara, melewati kepala para
629 penyerang gelap kemudian berdiri tegak ditepi
pantai membelakangi para pengeroyok.
"Hmmm, jago-jago Hadramaut," gumam Liong
Houw, ia mengenali orang yang bertubuh hitam
berbulu, berambut keriting, bercambang dan
berkumis, dengan mengenakan jubah panjang
warna putih berkalung tasbih. Sedang sebelah
mata kanannya sudah buta, itulah Habib yang
pernah menempur dirinya didalam rimba dalam
perjalanan kekota raja. Hampir saja Liong Houw
binasa ditangan jago itu.
"Hoiiiiii......." teriak lima orang jago Hadramaut.
"Darimana kau mengenali kami adalah jago-jago
Hadramaut ?" tanya salah seorang diantara
Pemanah Sakti Bertangan Seribu 3 Kunanti Di Gerbang Pakuan Karya Aa Merdeka Permana Garis Darah 2
^