Pencarian

Apa Kata Bintangmu 2

Girl Talk 05 Apa Kata Bintangmu Bagian 2


sampaikan.""Tentu Pak," sahutku seraya mengerjapkan mata kearahnya.
Pak Grey membalas dengan tatapan heran. Segera kuperingatkan
diriku untuk bersikap lebih kalem, seraya menuju tempat dudukku
yang biasa, di samping Katie dan Randy. Menurutku, tentu saja Pak
Grey tak ingin menunjukkan perasaannya padaku di depan kelas. Jadi
sebaiknya aku harus bersabar dan menunggu hingga jam pelajaran
berakhir.
Tapi kemudian Pak Grey melakukan sesuatu yang membuatku
bingung. Ia juga meminta Florence Norton untuk menunggunya seusai
jam pelajaran! Apa maksudnya? Kini aku benar-benar cemas. Mana
mungkin aku bicara dengan Pak Grey jika Florence juga berada di
ruang kelas? Sepanjang jam pelajaran berlangsung, aku sibuk
menduga apa yang sesungguhnya tengah terjadi.
Akhirnya aku sampai pada satu kesimpulan. Florence Norton
pasti hanya sekedar alasan untuk menutupi keadaan sebenarnya.
Maksudku, anak-anak lain pasti curiga jika Pak Grey hanya
memanggil dan bicara denganku. Mungkin ia hanya ingin
membicarakan soal pe-er dengan Florence, lalu setelah menyuruh
Florence pergi ia akan bicara empat mata denganku! Wah! Pak Grey
memang pintar!
Rasanya pelajaran berlangsung luamaaa sekali. Akhirnya usai
juga. Fuih... Kurapihkan buku-bukuku dan menunggu sampai kelas
kosong. Ternyata kelas tak segera kosong. Kulihat Florence, Katie,
Winslow dan enam anak lainnya juga tetap duduk dikursi mereka dan
menunggu Pak Grey.
"Ada apa sih?" bisik Katie.
"Entahlah," sahutku. "Kau kenapa?""Sebelum pelajaran dimulai," ujar Katie, "katanya ia punya
proyek istimewa untukku."
Oya? Bagus, gumamku dalam hati menahan jengkel. Jadi
memang benar, akan ada satu proyek istimewa. Mungkin ini memang
belum saatnya bagi pengagum misteriusku untuk menunjukkan
dirinya. Sepuluh menit kemudian berlalu begitu saja tanpa kesan. Pak
Grey mengumumkan bahwa hari Senin yang akan datang, seorang
utusan dari Departemen Pendidikan akan mengunjungi sekolah kami.
Pak Grey akan memilih sepuluh murid terbaik untuk
mempresentasikan pelajaran yang telah diperoleh, pada utusan
tersebut. Kami akan dibagi dalam beberapa kelompok dan tiap
kelompok harus membuat sebuah naskah pendek tentang satu periode
sejarah dan mementaskannya.
Aku benar-benar kecewa. Seperti biasa aku terlalu larut dalam
angan-anganku. Tapi tiba-tiba aku dapat gagasan baru. Mungkin ini
bisa menjadi kesempatan emas bagiku untuk memukau Pak Grey
dengan kemampuan aktingku! Dan aku mulai serius memikirkan tugas
itu. Ternyata Pak Grey telah menentukan pasangan-pasangan. Aku
berharap bisa berpasangan dengan Katie. Tapi begitu Pak Grey
menyebutkan nama pasanganku, rasanya aku hampir pingsan!
"Karena Sabrina dan Winslow sama-sama menunjukkan
semangat menggebu-gebu tentang sejarah bangsa Yunani dan Roma,
mereka akan jadi kelompok nomer lima," ujar Pak Grey. Winslow
Barton! Aku tak mempercayai pendengaranku. Aku, si mulut besar?
menjawab semua pertanyaan tempo hari?akhirnya terjebak sendiri.
Proyek ini akan menghancurkan seluruh hidupku! Kucoba untuk tidak
menunjukkan kekecewaanku, terutama saat Winslow menoleh kearahku dengan senyum lebar. Kubalas dengan senyum terpaksa,
sedapat mungkin menyembunyikan perasaanku.
Akhirnya kami dibubarkan. Kucoba mengulur-ulur waktu dan
berdoa dalam hati agar Pak Grey masih punya waktu untuk bicara
denganku sementara anak-anak lain sudah keluar. Aku berjanji pada
Katie untuk bertemu di loker nanti seperti biasanya. Aku berdiri
disamping mejaku, berpura-pura memeriksa catatanku.
"Ada apa Sabrina?" tanya Pak Grey seraya melirik dari balik
kertas-kertas yang bertumpuk di mejanya.
"Oh, tidak," sahutku dengan suara yang kuatur sedemikan rupa
agar kedengaran agak dewasa.
"Apakah tidak sebaiknya kau segera mengikuti pelajaran
berikutnya?" tanya beliau.
"Ya...kurasa..." sahutku perlahan. Kukerjapkan mataku seraya
melirik mata birunya.
"Kau sakit, Sabrina?" tanya Pak Grey tiba-tiba.
"Tidak. Kenapa?" aku balas bertanya dengan kaget.
"Suaramu kedengaran agak aneh. " tukas Pak Grey. "Sekarang
kan lagi musim penyakit flu."
Suara yang sudah kuatur malah kedengaran seperti orang sakit
flu? "Apakah kau ada pertanyaan tentang proyek tadi?" lanjutnya.
"Mh...Ti...tidak..." sahutku. Aku kembali salah tingkah dan tak
tau harus berkata apa. Yang pasti, aku merasa harus segera
meninggalkan ruang ini secepat mungkin. Namun kakiku seolah
melekat pada lantai tempatku berpijak. "Pak Grey..." ujarku dalam
suara normal."Ya?" sahutnya seraya mengangkat kepala dan menatapku lagi.
"Pernahkah anda nonton film?" tanyaku cepat.
"Tentu saja pernah," sahutnya dengan bingung.
Nah sekarang otakku kembali kosong. Padahal aku kan harus
menjalin percakapan yang lancar dan menarik seperti yang telah
kupersiapkan. Aku harus mengajukan pertanyaan lain pada beliau.
Kutatap rambutnya yang hitam bergelombang dan aku kembali
mengbayal. "Pak Grey?"
"Ya Sabrina," sahut Pak Grey seraya tersenyum. "Ada lagi yang
ingin kau tanyakan?"
Aku merasa leleh seperti agar-agar. Pak Grey menatap tajam ke
arahku. Lututku terasa gemetar. Mulutku serasa tersumpal kapas. Di
kepalaku telah tersusun kata-kata namun tak bisa terucap. Hati kecilku
menyarankan agar segera meninggalkan ruangini, tapi aku tak kuasa
menahan diri.
"Hm...Pak Grey, saya ingin tahu, punyakah anda hari ulang
tahun?"
"Tentu saja," sahutnya seraya menatapku dengan heran. "Saya
pernah nonton film dan punya hari ulang tahun. Ada pertanyaan lagi?"
"Mh...apakah anda seorang guru?" tanyaku makin kacau.
"Apakah saya seorang guru?" Pak Grey mengulang ucapanku
seraya mengangkat alisnya tanda bingung. "Ya...tentu saja Sabrina. Itu
sebabnya kau ada disini dan berbicara dengan saya. Karena kau adalah
murid saya dan saya adalah guru."
"Yaa..." kutarik nafas dalam-dalam. "Mungkin itu sebabnya
anda jadi guru. Anda amat pandai.""Terimakasih atas pujianmu Sabrina. Sekarang sebaiknya kau
segera masuk ke kelas berikutnya. Sebentar lagi bel."
"Ya. Iya, Pak," jawabku, seraya beranjak ke pintu. "Sampai
besok." Aku melambai, dan menabrak sebuah kursi di gang kelas.
"Hati-hati, Sabrina," Pak Grey mengingatkan. "Jangan sampai
terjadi sesuatu pada dirimu."
"Sampai bertemu lagi besok pagi," ulangku, sambil
mengembalikan keseimbangan tubuhku. Ia hanya mengangguk dan
kembali menekuni kertas-kertasnya.
Aku berjalan selekas mungkin ke kamar mandi. Untunglah tak
ada seorangpun didalamnya. Kubasahi wajahku dengan air dingin
untuk kembali ke alam sadar, lalu kutatap bayangan wajahku di
cermin. ??Pernahkah anda nonton film?" kutanya bayanganku di
cermin, "Apakah anda punya hari ulang tahun?" Bagaimana mungkin
pertanyaan ngawur itu kulontarkan pada Pak Grey? Pasti Pak Grey
mengira aku sudah sinting.
Kutinggalkan kamar mandi dan berjalan menuju ruang belajar.
Di benakku kejadian konyol tadi terus berulang-ulang. Aku tak
percaya betapa bodohnya sikapku barusan. Begitu tiba di ruang
perpustakaan, aku duduk dan menyadari bahwa tak satupun rencana
percakapan yang telah kupersiapkan dengan serius berhasil
kuutarakan pada Pak Grey. Tapi aku masih ingat kata-kata
terakhirnya; "Jangan sampai terjadi sesuatu pada dirimu Sabrina,"
Tentu saja ada maksudnya. Mungkin Pak Grey memang tipe cowok
pemalu.Mungkin beliau benar-benar takut untuk mengutarakan
perasaan yang sebenarnya padaku secara langsung. Mungkin itu
sebabnya ia menuliskan surat rahasia!
Pak Grey yang pemalu..., bisikku dalam hati seraya menuliskan
namanya di buku catatanku. Jadi aku hanya dapat bersabar dan
menunggu sampai beliau bisa mengumpulkan segenap keberaniannya
untuk membicarakan hal itu denganku. Aku terus melamunkan Pak
Grey sampai bel akhir pelajaran berdering dan membuyarkan
lamunanku. Saat itu kusadari perpustakaan sudah kosong. Aku segera
beranjak menuju loker untuk mengambil mantel dan segala sesuatu
yang kuperlukan untuk pekerjaan rumah.
Tiba-tiba seseorang menepuk bahuku. Ternyata Randy.
"Coba tebak, siapa yang mencarimu," tanyanya seraya
tersenyum penuh arti.
"Winslow Barton kan?" sahutku cepat.
"Kok tahu?" Randy tertawa melihat reaksiku.
"Insting aja." Hari ini nasib baik memang sedang
meninggalkanku, jadi aku bisa menduga bahwa hari ini memang akan
jadi hari yang menjengkelkan bagiku. Winslow adalah manusia paling
menjengkelkan bagiku saat ini.
"Kelihatannya kalian memang diciptakan untuk bersama..."
goda Randy.
"Siapa? Aku dan Winslow?" tanyaku terkejut. "Jangan ngaco
deh."
"Bercanda kok," sahutnya sambil ngakak. "Winslow akan
menunjukkan program musik dari komputernya padaku pulang
sekolah nanti. Tapi katanya kalian berdua akan mengerjakan proyekpelajaran sejarah. Ia menyuruhku menanyakan padamu, apakah kau
bisa mulai hari ini. Jika kau mau, kita sama-sama pergi ke rumahnya."
Kedengarannya ini gagasan baik. Setidaknya aku dan Winslow
tidak berduaan saja. Lagipula waktu kami tidak banyak, jadi apa
salahnya mulai secepat mungkin? Aku ingin memberikan yang terbaik
demi Pak Grey.
"Oke," sahutku.
"Dua menit lagi kutunggu kau disini, oke?" ujar Randy.
"Ya."
"Ciao..." lambai Randy sambil melangkah ke lokernya.
Kubuka lokerku dan mulai mencari buku pelajaran Bahasa
Inggrisku saat sekilas kulihat sepucuk surat bersampul merah muda
tertempel di pintu loker bagian dalam. Amplop dengan ukuran dan
warna yang sama seperti yang pernah kuterima tempo hari. Pasti surat
dari pengagum misterius itu lagi! Dadaku mulai berdebar keras.
Perlahan kulepaskan amplop itu dari pintu loker. Namaku tertulis jelas
diatasnya: SABRINA WELLS.
Kugenggam amplop itu sejenak sambil membayangkan Pak
Grey yang berusaha keras menyusun kata-kata yang akan
disampaikannya padaku. Kuhembuskan nafas dan mulai
membukanya. Di sudut atas kertas surat juga tertempel stiker
berbentuk hati warna merah. Tapi kali ini ada pesan khusus tertulis
dibawahnya. "Jangan dibuka sebelum kau lihat rak teratas lokermu"
Aku berjingkat dan meraba rak paling atas, mencari-cari sesuatu
yang entah apa. Jariku menyentuh sesuatu yang panjang dan licin.
Kutarikbenda itu. Beberapa kuntum mawar dibungkus kertas plastik
bening, persis seperti yang banyak kulihat di toko-toko bunga! Akuhanya berdiri terpaku dengan terkejut dan senang. Mulutku ternganga
beberapa saat. Bunga-bunga itu kelihatan begitu cantik. Sebetulnya sih
kelibatannya sudah agak layu, sebab tersekap cukup lama kekurangan
air dan udara di dalam lokerku. Tapi tentu saja, dalam bayanganku, ini
adalah bunga-bunga terindah yang pernah kulihat seumur hidupku.
Lagipula ini kan pemberian dari pengagum misterius
Bunga-bunga itu mengingatkanku pada sesuatu, tapi aku tak
memperoleh jawabannya. Lalu aku ingat?ramalan bintangku telah
menyebutkannya! Cinta yang mekar akan terwujud dalam bentuk
hadiah kecil nan istimewa. Dan hadiah dari Pak Grey adalah bunga
mawar!
Cepat-cepat kusembunyikan bunga-bunga itu ke dalam tas. lalu
perlahan kubuka amplop itu. Aku tak ingin merusaknya, sebab ingin
kusimpan sebagai kenang-kenangan yang manis di masa datang.
Kutarik nafas panjang dan mulai kubaca isinya.
Dear Sabrina,
Mawar merah Anggrek ungu
Sebenarnya ingin kuungkapkan dengan berlian Namun hanya
ini yang dapat kupersembahkan Salam sayang,
Pengagum misteriusmu.
Puisi cinta? Pikirku sambil menghela nafas. betapa
romantisnya! Tiba-tiba seseorang menutup lokerku. Segera
kumasukkan surat itu kedalam saku. Brengsek. Sekarang surat itu
pasti kusut! padahal tadi aku sudah berhati-hati sekali!"Ayo dong..." seru Randy agak keras dengan skate board
terjepit di lengannya. "Aku janji pada Winslow akan tiba jam setengah
empat. Cepetan dong, nanti kita terlambat,"
"Iya...iya...sebentar dong," sahutku seraya tersenyum dan
menyiapkan barang-barangku sambil mengikutinya dari belakang.
Kuputuskan untuk menunda cerita tentang surat kedua dan bunga
mawar yangkuterima dari pengagum misteriusku har ini. Aku tak
ingin Randy membicarakankal ini di depan Winslow!BAGIAN ENAM
Aku tak dapat membayangkan seperti apa bentuknya rumah si
Winslow. Pasti seperti rumah-rumah dalam film-film semi ilmiah.
Tapi ternyata keluarga Barton tinggal di rumah biasa dengan dua
lantai. Semuanya dicat dalam nuansa warna kuning dengan halaman
dan garasi di sampingnya.
Begitu melangkah memasuki halamannya, sesuatu yang aneh
terjadi. Rasanya seperti berada dalam film horor kesukaan Randy dan
ibunya. Pintu terbuka sendiri tanpa terlihat seorang pun. Kami
berhenti di anak tangga pertama menuju serambi.
"Huuuuuuu...." teriak Winslow sambil melompat dari balik
pintu. Aku tak percaya melihatnya. Walau di rumah sendiri, ia masih
memakai blazer! Blazer marinir, bergaris-garis abu-abu. Aku masih
ingat, blazer itu sudah dipakainya sejak kelas 5 sekolah dasar!
Sekarang lengan blazer itu kelihatan sudah terlalu pendek untuknya.
"Saya tengah menunggu kalian gadis-gadis ujar Winslow
dengan suara mirip drakula, "Selamat datang di rumahku."
"Aku tak yakin apakah bisa bekerja sama dengannya," bisikku
pada Randy.
"Oh, dia cuma bercanda kok," sahut Randy menyikutku,
"Tenang aja Sabrina. Percaya deh.""Mari langsung ke la- bo - la- torium," kata Winslow lagi
sambil mengajak kami ke ruang kerja ayahnya. Ayah Winslow bekerja
pada sebuah perusahaan komputer besar. Menurut ibuku, Pak Barton
adalah orang jenius. Kejeniusannya bisa terlihat dari isi rumahnya.
Ada banyak sekali peralatan video, sistem stereo canggih, pemancar
radio, dan dua buah komputer. Masing-masing untuk Winslow dan
ayahnya. Seluruh dinding penuh dengan rak-rak berisi kaset, disket
komputer, piringan hitam dan compact disc. Keluarga Barton agaknya
memiliki lebih banyak perangkat elektronik daripada perabot rumah
tangga!
Di salah satu sudut di bawah jendela, terlihat sebuah akuarium
besar yang dipenuhi oleh ikan-ikan yang sama sekali tak pernah
kulihat sebelumnya. Berbentuk segi delapan dengan batu besar
sebagai alasnya. Di dalamnya tumbuh beberapa jenis tanaman air?
bukan plastik. Kulihat seekor ikan berbintik hitam yang hanya tampak
tulangnya saja, karena kulitnya tembus cahaya. Juga sekelompok ikan
kecil berwarna biru-merah elektrik berenang hilir mudik. Di dasarnya
tampak rumput-rumput air yang berayun mengikuti gelombang air.
Dan masih banyak lagi jenis-jenis ikan berenang di dalamnya.
Kelihatan agak acak-acakan tapi asyik juga sih.


Girl Talk 05 Apa Kata Bintangmu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Winslow mengeluarkan sebuah kotak plastik penuh dengan
disket komputer.
"Ini dia program musik yang kuceritakan padamu," ujarnya
pada Randy. Diberikannya disket dan buku petunjuknya pada Randy.
"Akan kusiapkan komputerku biar kau dapat mencobanya." Winslow
duduk di depan komputernya dan dengan trampil menjalankan
programnya. Tak lama kemudian ia sudah mulai memainkan beberapairama dan penggalan lagu-lagu sambil mengajarkan cara menjalankan
program itu pada Randy. Lalu ia berhenti dan membiarkan Randy
mencobanya sementara ia menunggu beberapa saat sambil menjawab
pertanyaan-pertanyaan Randy. Sikapnya dewasa sekali.
"Kalian mau makanan kecil?" tanyanya, "Ibuku baru saja
memanggang kue brownies siang ini."
"Wah luar biasa!" seru Randy tanpa sedetikpun mengalihkan
perhatiannya dari buku petunjuk.
"Brownies adalah kue kesukaanku," timpalku.
"Tunggu sebentar ya," ujar Winslow sambil berlari
meninggalkan ruangan. Sambil menunggu aku mulai mengeluarkan
catatan pelajaran Sejarah. Aneh deh. Di bukuku lebih banyak coretan
nama Pak Grey dari pada catatan sejarah! Aku juga memeriksa apakah
bunga mawarku masih ada. Memang agak rusak tapi masih cukup
harum.
"Semoga kalian suka coklat," kata Winslow ketika keluar lagi
dengan membawa baki besar, berisi setumpuk kue cokelat dan
beberapa kaleng soda. "Sabrina, kubawakan kau yang Diet, aku tahu
itu kesukaanmu."
"?Makasih, Winslow," kataku terkesiap. "Kok kau tahu aku
lebih suka diet soda?"
"Ya, tahu saja," jawabnya. Entah kenapa, cuping telinganya
tampak memerah. "Bagaimana kalau segera kita mulai saja dengan
proyeknya?"
"Boleh,"jawabku. "Enaknya gimana?"
"Begini, sebaiknya kita memerankan seorang Roma purba yang
bertemu dengan seorang Yunani purba.""Bagus," pujiku. "Dengan demikian kita masing-masing bisa
menanyakan apa yang terjadi pada masa itu. Lalu hasilnya bisa kita
bandingkan."
"Betul," Winslow mengangguk. "Dengan begitu kita bisa
mendapat banyak informasi."
"Dan juga, menurutku, untuk mempertajam penghayatan kita,
lebih baik kita mengenakan toga," lanjut Winslow.
Walau tertarik dengan gagasan sebelumnya, tapi mengenakan
toga rasanya terlalu berlebihan. "Toga?" tanyaku ragu, "Apakah
menurutmu tidak berlebihan?"
"Tidak sama sekali," geleng Winslow seraya membetulkan kaca
matanya yang melorot.
"Winslow, aku tak keberatan memenuhi segala permintaanmu
demi tugas ini," kataku serius, "tapi aku keberatan kalau harus berdiri
didepan kelas dengan pakaian yang menggelikan,"
"Jadi menurutmu, tindakan apa yang sebaiknya kita lakukan?"
tanya Winslow dengan runtut. Aku menghela nafas berat. Ini memang
ciri khas Winslow, hingga dijuluki si kutu buku. Bahasanya mirip
kamus!
"Menurutku," aku mulai bicara, "kita cukup mengenakan
pakaian biasa aja."
"Tidak bisa Sabrina," tolaknya, "kita harus menciptakan
suasana semirip mungkin dengan masa itu."
Aku menghela nafas lagi. "Winslow, apakah kau sudah
menghafal seluruh isi kamus?"
"Belum,"jawabnya juga serius."Aku baru membaca dan hafal
sampai huruf M.""Daya ingat Winslow amat luar biasa, Sabs," celetuk Randy
dari balik komputer, "Cukup sekali baca, ia sudah hafal."
"Salahkah menggunakan bahasa yang baik dan benar dalam
percakapan sehari-hari?" tanya Winslow.
"Begini, Winslow..." ujarku.
"Hei...kalau kalian mau bertengkar pindah tempat dong," tukas
Randy. "Kalau kalian ribut terus aku nggak bisa konsentrasi nih."
Kami berdua membereskan barang-barang dan pindah ke ruang
tengah. Buku-buku kami letakkan di meja dan kami berdua duduk di
lantai.
"Nah, apa yang tadi akan kau katakan?" tanya Winslow sambil
meletakkan tangannya di atas meja. Aku hanya menatapnya, lupa
kata-kata yang barusan akan kuucapkan. "Hm?" tanyanya menunggu.
"Mh...tidak apa-apa," gumamku jengkel, "Aku tidak akan
mengenakan toga. Titik. Terlalu norak dan akan jadi bahan tertawaan.
Apa tak bisa menggunakan gambar atau yang lain?"
"Toga kelihatannya lebih alami," kilahnya, "Lagipula apanya
yang norak?"
"Semua akan mentertawakan kita!" ulangku.
"Lantas?" ia balik bertanya, "Nggak apa-apa kan?"
"Lantas?" ulangku meniru perkataannya, "Apakah menurutmu
ditertawakan orang bukanlah sesuatu yang memalukan? Sabrina Wells
dan Winslow Barton mengenakan toga ke sekolah dan..."
"Sabrina," sela Winslow perlahan dan membetulkan kaca
matanya lagi, "bagiku, apapun pendapat murid-murid yang lain, tidak
penting. Kau juga harus berpendapat begitu.""Tentu saja bagiku itu jadi masalah besar!" seruku jengkel,
"Kalau semua anak di sekolah menertawakanku, aku?aku rasanya
lebih baik mati!"
Winslow diam. Ia telah mengeluarkan pelindung sakunya ke
atas meja dan asyik mengatur susunan bolpoinnya. Melihat pelindung
sakunya itu aku jadi yakin bahwa ia serius dengan kata-katanya
barusan.
"Kau benar-benar tak peduli apa kata orang tentang dirimu kan?
Sekalipun mereka menertawakanmu?" desisku perlahan. Winslow
tetap asyik dengan bolpoinnya. "Semua anak di sekolah
menertawakanmu tapi kau tak peduli, kan?"
"Mulanya memang tidak mudah," jawabnya malu-malu, "Tapi
kata ibu, banyak tokoh hebat seperti musisi, penyelidik dan ilmuwan;
jadi terkenal karena mereka tidak mirip dengan orang lain. Dan tentu
saja hal ini tidak mudah karena masyarakat tidak mengerti diri
mereka."
Aku mengangguk. Sebelumnya aku tak begitu memperhatikan
Winslow. Soalnya bagiku, dia mahluk aneh. Kalian tahu sendiri ?kan,
betapa jeniusnya Winslow. Tiap kali selalu bicara soal pelajaran dan
ilmu. Tapi nyatanya ia juga seorang yang menarik dan ramah. Kurasa
tak seorangpun menyadari hal ini, kecuali Randy. Begitu pula
pendapat Randy. Lain dari yang lain adalah hebat!
"Semua di kelas telah menganggapku mahluk aneh, jadi apa
lagi yang perlu kucemaskan?" tanya Winslow dengan senyum.
"Mh?tentang toga itu?" aku kembali ke topik semula."Tunggu, biar kujelaskan," sela Winslow, "Kita lakukan tugas
ini untuk membantu Pak Grey. Mana mungkin kita memerankan tokoh
zaman kuno dengan rok mini atau pakaian biasa?"
"Pak Grey!" seruku tiba-tiba, "Kau benar. Tentu saja beliau
akan kecewa jika kita tampil buruk didepan tamu-tamunya. Baiklah
Winslow," aku setuju, "Kata akan mengenakan toga!"
"Wah! Bagus!" Winslow tersenyum senang. "Dengan satu
syarat!" tambahku.
"Apa?" tanyanya.
"Aku tetap mengenakan pakaianku di balik jubah dan toga itu!"
Aku harus memastikan bahwa biarpun jubahku melorot aku tetap
mengenakan sesuatu.
"Baiklah," Winslow menyeringai, "Rasanya cukup adil, Sal-dul
dong?" ujarnya dengan wajah puas. Satu lagi kebiasaan Winslow
yang membingungkan adalah kesukaannya mengaduk kata dan
membuat istilah baru. ?Sal-dul? barusan adalah gabungan dari kata
?Salaman dulu?.
"Sebaiknya kita segera mulai," kataku.
Beberapa saat kemudian, sementara Winslow mulai menulis
naskah, aku asyik dengan lamunanku sendiri. Tentang mawar-mawar
dan pengagum misteriusku. Kurogoh sakuku dan terasa surat yang
sudah lusuh itu masih ada di sana. Aku benar-benar terpesona oleh
puisi dan bunga yang diberikannya, tapi tentu saja akan lebih asyik
apabila Pak Grey berani mengutarakan perasaannya secara langsung.
Mungkin aku bisa melakukan sesuatu untuk membantu mengatasi rasa
malunya itu. Kadang-kadang cowok adalah mahluk yang sulit ditebak
apa maunya.Tunggu dulu! Tentu saja aku tak dapat berubah jadi cowok, tapi
setidaknya bisa kutanyakan pada cowok! Mungkin Winslow dapat
memberiku saran-saran untuk menghadapi si pengagum misteriusku.
Cukup kuberikan contoh kasus, lalu kutanya pendapatnya. Dan tentu
saja aku harus berhati-hati agar ia tidak curiga.
"Winslow," ujarku perlahan, "Apakah kau pernah menyukai
seseorang? Maksudku, pernahkah kau jatuh cinta?"
Winslow terkejut dan menjatuhkan penanya. Kegugupannya
membuat lengannya menyentuh gelas minuman secara tak sengaja
sehingga isinya tumpah mengotori karpet. Ia segera menangkap dan
mengangkatnya. "Ya..." sahutnya. "Rasanya pernah."
"Apakah kau mengungkapkannya?"
"Mengungkapkan apa?" ia balik bertanya.
"Mengungkapkan perasaanmu pada gadis yang kau taksir!"
kucoba menjelaskan dengan sabar.
Winslow ragu untuk menjawabnya. Kuperhatikan, telinganya
bersemu merah lagi. Winslow Barton malu? Aneh. Biasanya dia
nggak tau malu! Pasti dia benar-benar pernah naksir seseorang!
"Nggak juga sih..." akhirnya ia menjawab juga.
"Apakah kau takut ia menolakmu? Bahwa perasaannya tak
sama dengan perasaanmu?" kucoba menahan diri walau sebetulnya
penasaran sekali.
"Ya. Eh Tidak. Ah?entahlah!" Winslow seperti bingung dan
merasa terdesak. Dan telinganya semakin memerah. "Untuk apa sih
kita bicarakan hal ini?" tanyanya.
Kuputuskan untuk bersikap tak acuh. Seolah-olah ini bukan hal
penting untukku."Cuma nanya aja kok," ujarku sambil mengibaskan tangan.
"Sudahlah. Aku hanya penasaran aja. Kadang-kadang cowok itu aneh
sih. Mereka lebih suka nulis surat dan ngirim bunga atau kartu
daripada mengutarakan perasaannya secara langsung. Menurutmu
gimana?"
"Menurutku," gumam Winslow perlahan sambil menarik nafas
panjang. "Kita sebaiknya mengerjakan tugas kita yang harus selesai
sebelum hari Senin. Ayo dong Sabrina, ngapain sih kita bicarakan
omong kosong itu? Lebih baik kita segera mulai menyusun
skenarionya."
"Iya deh," ujarku seraya mengambil beberapa lembar kertas
dari tasku. "Ayo kita mulai." Ternyata pancinganku tidak berhasil.
Tapi nggak apa-apa kok, pikirku seraya mengintip mawar-mawar
dalam tasku sekali lagi. Selama rajin membaca ramalan bintang, aku
tetap dapat mengatur langkah-langkah dalam hidupku.
"Hei..." tegur Randy memasuki ruang tamu. "Udah mulai
malam nih. kayaknya aku dan Sabs harus segera pulang."
"Wah! Tak terasa, waktu berjalan cepaaat sekali!" seruku kaget
seraya melirik arlojiku. Kurapihkan kertas-kertas, buku dan alat
tulisku ke dalam tas dengan hati-hati agar tidak merusak bunga-
bungaku.
"Program musikmu canggih banget lho!" puji Randy. "Aku jadi
dapat ide untuk menggubah lagu baru!"
"Aku tahu kau pasti menyukainya," kata Winslow sambil
menyeringai senang, "Kami berdua juga telah mendapat ide untuk
tugas kami.""Pementasan kita pasti keren deh Randy," timpalku. Lalu aku
menoleh ke arah Winslow, "Thanks untuk kue dan minumannya,
Winslow. Akan kuselesaikan bagianku dan kita ketemu lagi hari Sabtu
untuk latihan ya?"
"Tentu," ia setuju.
"Jadi," tukas Randy begitu keluar dari pintu rumah Winslow,
"Apakah akhirnya kalian berdua bisa bekerja sama, setelah kuusir
keluar tadi?"
"Ya.. .begitulah," jawabku, "Sebetulnya dia anak baik, asal saja
tidak mengenakan blazernya yang kekecilan itu."
Kami tertawa bersama dan melangkah menyusuri jalan pulang
ke rumah masing-masing. "Ia bahkan berhasil membujukku untuk
mengenakan toga dalam pementasan nanti."
"Wah...wah, boleh juga!" Randy tettawa mendengarnya.
Sesampainya di persimpangan jalan, kami saling melambai
karena harus berpisah. Aku harus berlari kecil agar bisa tiba di rumah
tepat pada waktunya. Sepanjang jalan, hanya bayangan Pak Grey yang
ganteng itu yang bermain di benakku. Akan kukerjakan tugas itu
dengan giat. Mulai malam ini, besok, bahkan Hari Sabtu dan Minggu
akan kulewati dengan mengerjakan tugas. Biasanya aku sama sekali
membenci tugas dan pe-er, tapi ini kan lain. Demi Pak Grey....BAGIAN TUJUH
Menurut ramalan bintangku, hari Jumat ini akan berlalu dalam
suasana tenang, sunyi dan tanpa gejolak, dan aku harus melewati hari
ini dalam kelapangan dada serta menjauhi situasi yang menekan
perasaan. Hari ini menjadi hari terpanjang yang pernah kualami. Kami
mendapat guru pengganti dalam mata pelajaran Ilmu Sosial, jadi aku
kehilangan kesempatan untuk melihat Pak Grey. Usai sekolah
sebetulnya aku cukup bersenang-senang. Kami bertiga mampir di
rumah Katie dan nonton teve sebentar. Kuceritakan pada mereka
tentang bunga mawar dan puisi yang kuterima. Dapat kulihat mereka
semua terkagum-kagum mendengar ceritaku?termasuk Randy.
Hari Sabtunya, aku bangun cukup pagi dan segera
menyelesaikan bagian tugasku sebelum berangkat kerumah Winslow.
Aku merasa agak bingung membaca ramalan bintang hari ini. "Ada
khabar yang mengejutkan akan mengacaukan kebahagiaanmu selama
ini. Janganlah bersedih dan menyesali dirimu. Gunakan imaginasimu.
" Aku terus berharap bahwa khabar yang mengecewakan itu bukanlah
berita tentang Pak Grey.
Ketika tiba di rumah Winslow, aku melihatnya dari jendela. Ia
tengah asyik bekerja di depan komputernya. Barangkali mengetik
tugasnya, pikirku. TEENLITLAWAS.BLOGSPOT.COMKubunyikan bel dan menunggu beberapa saat sebelum pintu
dibuka. Agak lama juga. Aneh. Begitu pintu dibuka, baru aku
menyadari mengapa Winslow membutuhkan waktu cukup lama untuk
membukakan pintu. Ia berdiri mengenakan jubah toga dan mahkota
dari dedaunan ala kerajaan Yunani di kepalanya. Aku tak dapat
menahan tawaku, soalnya ia kelihatan kocak sekali.
"Kau menyukai penampilanku?" tanyanya seraya memutar
tubuhnya sedikit. Diam-diam kuakui, ia kelihatan cukup pantas
dengan baju macam itu. "Ibu membantuku membuat jubah ini. Beliau
juga menjahitkan satu lagi untukmu. Dan setelah kita selesai membuat
skrip ceritanya, akan kubantu kau membuat mahkota daun. Aku baru
saja mengetiknya dengan komputer."
"Kau kelihatan?lumayan," komentarku sambil masuk ke
dalam. "Rupanya kau benar-benar bekerja keras demi proyek ini,"
"Iya dong. Kalau kita mau melakukan sesuatu jangan tanggung-
tanggung. Iya kan?" sahutnya seperti seorang guru menasehati
muridnya. Ini memang salah satu sikap Winslow. Ia selalu
mengucapkan kata-kata penuh makna seperti kata-kata mutiara atau
nasihat. Dan harus kuakui kadang-kadang kata-kata itu juga punya
makna penting.
"Aku sudah menyelesaikan adegan pertama. Sudah kau
selesaikan adegan duanya?" tanyanya.
"Beres." jawabku seraya merogoh kedalam tas.
Aku menghabiskan waktu berjam-jam untuk menyelesaikannya
hari Kamis malam, juga hari Jumat sepulang sekolah kemarin. Kucoba
memasukkan semua informasi yang kuketahui tentang bangsa


Girl Talk 05 Apa Kata Bintangmu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Romawi dan Yunani. Dan aku cukup puas dengan hasilku."Bagaimana kalau kau baca pekerjaanku dan aku baca hasilmu
biar bisa kita bandingkan," usulku.
"Kedengarannya usul yang cukup adil," Winslow setuju dan
duduk di atas kursinya. Aku duduk di meja kerja ayah Winslow dan
mulai membaca tulisan Winslow.
Skrip buatan Winslow amat bagus, tentu saja. Ia menambahkan
banyak hal-hal yang menarik tentang kehidupan sehari-hari bangsa
Yunani dan Romawi. Dan katanya ia juga menyukai skrip yang
kubuat. Aku senang mendengarnya. Yang harus kami lakukan
sekarang tinggal menggabungkannya tanpa mengacaukan isinya.
Kami mulai bekerja dan waktu berjalan cepat tanpa terasa. Tiba-tiba
saja kami sudah bekerja selama dua jam penuh!
"Wah...enggak kerasa deh," seruku. "Ternyata sudah lama
benar kita bekerja."
"Dan aku tak percaya bahwa kita sudah hampir
menyelesaikannya," komentar Winslow. "Waktu memang berlalu
dengan cepat bila kita menikmatinya."
"Ya, kau benar, aku sungguh menikmati pekerjaan ini," aku
setuju tanpa mengacuhkan ucapan Winslow berikutnya. "Sudah agak
malam sekarang, tapi kita kan harus berlatih sebelum menampilkan
skrip ini hari Senin besok?"
"Itu ide bagus Sabrina," seru Winslow "Bagaimana kalau besok
kau mampir ke sini dan kita berlatih?"
"Oke!" ujarku sambil menjabat tangannya tanda setuju.
"Kerja keras ini membuat perutku lapar," lanjutku seraya
beranjak kedapur."Aku juga lapar." Winslow ikut-ikutan meraba perutnya.
"Lebih baik kau coba ketik dua halaman terakhir ini, sementara aku
menyiapkan makanan kecil dan minuman."
"Boleh juga idemu," jawabku seraya menerima buku catatan
yang diberikannya. Begitu Winslow menghilang dari ruangan, segera
saja kubuka buku catatannya dan kuletakkan dekat perangkat
komputer untuk memindahkan isinya ke dalam komputer. Tapi aku
membutuhkan sesuatu untuk mengganjal buku ini agar tetap berdiri
dan mudah dibaca. Tiba-tiba kulihat tak berapa jauh di sebelahku ada
sebuah kotak tissue di atas tumpukan buku-buku. Kucoba meraih
kotak tissue itu tapi hampir saja aku berhasil meraihnya, tiba-tiba aku
kehilangan keseimbangan sehingga kotak itu jatuh bersama tumpukan
buku, ke lantai.
"Ada-ada aja.." gumamku seraya menarik napas jengkel dan
beranjak dari tempat dudukku untuk merapihkan buku yang
berantakan itu. Ada buku-buku catatan dan kertas-kertas
berhamburan. Kupungut satu persatu, dan aku berusaha menyusunnya.
Rasanya aku tak percaya, Winslow punya begitu banyak catatan!
Seolah-olah ia mencatat setiap kata yang diucapkan guru di kelas. Dan
tulisannya juga tidak jelek. Cukup rapih dan bagus seperti tulisan anak
perempuan. Aku belum pernah melihat tulisannya, soalnya ia biasa
mnegetik semua catatannya. Kok...rasanya aku pernah melihat tulisan
macam ini ya? Tapi di mana?
Tanganku terus bergerak memunguti buku-buku yang
berantakan. Salah satu buku jatuh dalam posisi terbuka dan beberapa
kertas terselip di antara halaman-halamannya. Kulihat kertas-kertas
surat warna pink menyembul. Tiba-tiba saja jantungku seolah berhentiberdetak. Tulisan tangan itu...sekarang aku mulai ingat dimana
melihatnya. Ya! Di atas kertas merah muda ini. Perlahan kutarik
kertas itu dari selipan halaman buku dan aku tak percaya pada
penglihatanku sendiri! Dear Sabrina... kalimat pertama berbunyi
demikian, lalu... Aku tak dapat berhenti memimpikanmu. Kau
seumpama bintang yang cemerlang. Tapi di atas kata ?bintang? terlihat
ada coretan dan diganti dengan kata ?bulan?. Lalu kata ?bulan? juga
dicoret dan diganti lagi dengan kata ?bunga mawar?. Aku benar-benar
terkejut hingga segera kututup buku itu dan kuhempaskan ke lantai.
Aku terkejut dan merasa tertipu dengan ramalan bintangku selama ini.
Kertas-kertas surat itu berhamburan keluar. Sekarang semuanya
menjadi jelas. Pengagum misteriusku sama sekali bukan Pak Grey,
melainkah Winslow yang dengan sengaja ingin mempermainkanku.
Kemudian aku ingat akan beberapa perbuatan tolol yang kulakukan di
hadapan Pak Grey, pada saat aku mengira beliaulah si pengagum
misteriusku. Betapa aku ingin tampil memukau di hadapan Pak Grey.
Oh...rasanya hampir aku menangis lantaran marah dan malu. Tiba-tiba
kudengar langkah Winslow berjalan ke arah ruang belajar.
"Waktu istirahat," tukasnya seraya memasuki ruang belajar.
Tapi begitu ia melihatku menatap garang ke arahnya dengan kertas-
kertas surat merah muda di tanganku, ia segera menghentikan
langkahnya. Gelas-gelas yang dibawanya di atas nampan nampak
bergoyang-goyang karena tangannya gemetar ketakutan. Tak lama
kemudian, ketika gemetarnya semakin kuat, gelas-gelas itu akhirnya
jatuh dari nampan, bergulir dan isinya mengotori karpet. Winslow
sama sekali tak berusaha untuk membereskannya. Ia hanya menunduk
menekuri lantai tanpa suara. Telinganya berubah warna jadi merah."Teganya kau melakukan ini padaku Winslow!" teriakku seraya
mengacungkan kertas-kertas brengsek dalam genggamanku itu ke
wajahnya. "Tega benar kau lakukan ini padaku Winslow!"
"Sabrina, aku..."
"Aku tak percaya. Rupanya kau yang menulis surat-surat cinta
ini. Kenapa kau lakukan ini padaku? Hah? kenapa?" teriakku penuh
emosi. Kurasakan air mata mulai merebak di bola mataku dan
beberapa detik lagi pasti bergulir menetes. Sementara dalam benakku,
kejadian-kejadian yang memalukan antara aku dan Pak Grey terus
terbayang.
"Jadi apa penjelasanmu?" desakku.
Winslow menengadahkan wajahnya. "Aku benar-benar
menyesal dan minta maaf Sabrina," ujarnya penuh sesal. "Aku tak
pernah bermaksud menyakitimu. Ini semua gagasan Sam."
"Gagasan Sam?" pekikku makin terperanjat. "Sam? Kau bilang
Sam?!" aku mulai berteriak histeris lagi.
"Katanya ini cuma lelucon kecil," Winslow menjelaskan
dengan putus asa. "Katanya, ia ingin membuktikan padamu bahwa
ramalan bintang itu semuanya ngaco dan tidak bisa dipercaya."
"Aku tak percaya semua ini?" teriakku jengkel. "Maafkan aku
Sabrina. Aku benar-benar menyesal," Winslow minta maaf dengan
suara amat perlahan. "Kalau tahu kau akan begitu marah dan sakit
hati, tentu tak mau aku melakukannya. Kata Sam, ini cuma lelucon
belaka yang tak akan menyakiti hati siapa pun."
"Menurutku ini semua sama sekali nggak lucu!" ujarku seraya
menyambar jaket dan tasku sambil berlari keluar dari rumah Winslow.
Di telingaku seolah-olah kudengar suara Sam mengatakan ?ini kancuma lelucon, ini cuma lelucon belaka?. Kata-kata itu terus terngiang-
ngiang dan membuatku pening. Kalimat itu yang diucapkannya
padaku saat ia mengacaukan acara ?Madam Pandora? ku bersama
Katie, A1 dan Randy. Juga diucapkannya saat ia menyiramku air
waktu kami mendapat tugas mencuci mobil Ayah. Kini kata-kata itu
membuatku benar-benar marah.
Tiba-tiba isi ramalan bintangku hari ini melintas lagi dalam
pikiranku. Jangan sedih dan menyesali diri. Gunakan imaginasimu.
Selanjutnya aku ingat pada isi buku Madam Pandora yang kubaca dan
kupinjam dari perpustakaan sekolah beberapa waktu lalu. Kepribadian
orang Pisces yang paling menonjol adalah selalu berusaha mengambil
keuntungan dari berbagai kesempatan. Aku merasa seperti salah satu
karakter dalam film kartun yang biasanya mengeluarkan gelembung
awan kecil saat mereka menemukan gagasan cemerlang. Aku sudah
muak dengan sikap Sam. Sekarang giliranku untuk membalas
dendam! Pasti Sam takkan curiga sama sekali. Soalnya sampai detik
ini Sam belum tau bahwa aku telah membongkar perbuatan jahatnya.
Sekali pukul dua nyamuk! Seruku senang. Tapi apa yang harus
kuperbuat untuk membalasnya?BAGIAN DELAPAN
Sabrina menelpon Katie
KATIE : Hallo?
SABRINA : Katie, ini aku, Sabrina. Ada hal gawat yang ingin
kubicarakan denganmu.
KATIE : Apa itu?
SABRINA : Aku baru saja mengetahui siapa gerangan si
pengagum misterius itu.
KATIE : O ya? Siapa dia? Cepat katakan, Sabs.
SABRINA : Winslow!
KATIE : Winslow? Winslow Barton?
SABRINA : Yah?sebenarnya si Sam, sih?
KATIE : Apa katamu? Sam? Kamu udah sinting ya Sabs?
Masa kakakmu sendiri yang jadi pengagum
misteriusmu? Apa sih yang sebenarnya terjadi?
SABRINA : Denger dulu deh, Sam mengira aku gila
mempercayai tiap ramalan bintang, kau sudah tau
soal itu kan?
KATIE : Ya lalu?SABRINA : Maka Sam berusaha mewujudkan setiap ramalan
bintangku di koran. Lalu ia suruh Winslow
menulis surat cinta dan ia cari nomer kombinasi
lokerku di laci mejaku, dan meletakkan surat-surat
tersebut di lokerku.
KATIE : Wah...Sam benar-benar sukses ngerjain kita ya?
Jadi apa yang akan kau lakukan sekarang? Dan
bagaimana dengan Winslow?
SABRINA : Tentang Winslow belum kupikirkan. Tapi yang
pasti, Sam harus kubalas.
KATIE : Gimana caranya?
SABRINA : Itulah yang belum dapat kupastikan saat ini. Itu
sebabnya kutelpon kau. Kali-kali aja kau punya
ide pembalasan buat Sam. Kau mau membantuku?
KATIE : Tentu saja Sabs. Gimana kalo kita telpon A1 dan
Randy? Mereka pasti memiliki ide-ide yang
cemerlang.
SABRINA : Oke. Kau hubungi Randy sementara aku akan
menghubungi Allison.
KATIE : Oke, akan kuhubungi dia sekarang. Nanti kita
ngobrol lagi ya...
SABRINA : DaaahhhSabrina menelpon Allison
CHARLIE : Apakah kamu mahluk dari Mars?
ALLISON : (dari kejauhan)Charlie! Kan sudah kubilang
jangan mengangkat telepon! (Lalu bicara di
telepon) Hallo, disini Allison Cloud.
SABRINA : Hai Al! Ini Sabrina.
ALLISON : Hai!
SABRINA : Al, denger baik-baik nih, aku lagi perlu
bantuanmu. Aku harus melakukan sesuatu untuk
membalas dendam pada Sam. Tapi aku masih
belum tau apa yang akan kulakukan.
ALLISON : Apa sih yang dilakukannya? Pasti sesuatu yang
amat menyebalkan ya?
SABRINA : Ternyata dialah yang mengirimkan surat-surat
cinta untukku. Ia suruh Winslow untuk
menuliskannya dan Sam sendiri yang
meletakkannya ke lokerku. Ia lakukan semua ini
cuma untuk membuktikan bahwa ramalan
bintangku benar-benar terbukti.
ALLISON : Jadi semua sudah jelas ?kan sekarang. Winslow
yang menulis surat-surat itu? Sudah kuduga, pasti
seseorang yang amat pemalu.
SABRINA : Siapa yang peduli? Apakah Winslow seorang
pemalu atau bukan. Yang penting perbuatan Sam
kali ini harus kubalas.
ALLISON : Ya, kurasa memang sudah sepantasnya. Kau
sudah nemu ide?SABRINA : Yah?kupikir aku harus mengecohnya. Kau ngerti
kan? Sam harus dibikin kapok dan merasakan
sendiri bagaimana nggak enaknya dikerjain orang!
ALLISON : Itu ide bagus. Asal nggak terlalu kejam aja Sabs.
SABRINA : Nggak kok. Mana pernah sih aku melakukan
perbuatan kejam. Jangan khawatir deh. Tapi
bagaimana caranya mengecoh Sam?
ALLISON : Hmmm...
SABRINA : Kempesin saja bola basketnya, biar dia ngamuk.
ALLISON : Membuatnya ngamuk kan bukan tujuan utama
kita.
SABRINA : Iya sih. tapi aku bener-bener ingin membuatnya
kapok! Dan tak melakukannya lagi.
ALLISON : Kau benar. Kau ingin memberinya satu pelajaran.
Tapi yang terpenting kau harus memikirkan apa
yang paling berarti bagi dirinya.
SABRINA : Sesuatu yang amat berarti baginya? Setahuku sih
cuma bola basket dan anjing kami, si Cinnamon.
Tapi apa yang bisa kulakukan dengari benda-
benda itu?
ALLISON : Gimana dengan Stacy Hansen?
SABRINA : Stacy Hansen?
ALLISON : Iya. Kan belakangan ini Sam lagi naksir berat
sama Stacy?
SABRINA : O ya?ya, ide terbaik yang pernah kudengar. Biar
segera kukabari Randy.
ALLISON : Oke. Saya senangbisa membantumu. Bye Sabs.SABRINA : Baaayyy...
Sabrina menelpon Randy
RANDY : Hallo!
SABRINA : Hallo Randy, ini Sabrina. Kau sudah bicara
dengan Katie?
RANDY : Ya. Baru saja kami selesai bicara. Sam benar-
benar telah mengecohmu rupanya. Untung aku
nggak punya kakak cowok.
SABRINA : Ya, kau memang beruntung.
RANDY : Apakah kau benar-benar mau balas dendam?
SABRINA : Allison yang memberiku ide cemerlang. Akan
kubalas Sam sesuai perbuatannya padaku, agar
ia dapat merasai sendiri betapa rasanya
dipermainkan dengan sesuatu yang amat berarti.
RANDY : Misalnya?
SABRINA : Misalnya Stacy Hansen. Sam kan naksir Stacy.
Kamu inget kan?
RANDY : O...aku mengerti. Dengan begitu kau bisa
membalasnya dengan cara yang sama. Gitu kan?
SABRINA : Yeah...akan kutulis surat-surat cinta dan
kuletakkan di lokernya, seolah-olah dikirim oleh
Stacy.
RANDY : Wah jangan terlalu persis sama dong Sabs. Nanti
Sam kan curiga. Kenapa tak kau selipkan dalam
bukunya atau di mana kek...SABRINA : Ya...itu kedengarannya lebih baik. jadi dia tak
akan curiga.
RANDY : Kenapa nggak bikin undangan aja sih? daripada
nulis surat. Misalnya, ajak saja Sam makan
malam ke rumah Stacy.
SABRINA : Dan jika Sam mengetuk pintu rumah Stacy, si
Stacy pasti menatapnya dengan aneh. Dan aku
tak sabar untuk melihat reaksi Sam saat
menyadari bahwa ia tertipu.
RANDY : Pasti bakal jadi seru banget deh.
SABRINA : Biar Winslow yang menulis surat itu. Tulisannya
bener-bener rapih dan bagus. Lagian, ia
berhutang padaku. Winslow kan juga ngerti
kaligrafi. Eh...udah dulu ya soalnya Sam pulang


Girl Talk 05 Apa Kata Bintangmu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nih. Nanti kita ngobrol lagi ya.
RANDY : Oke. Ciao.
Satu jam kemudian Sabrina menilpon Winslow.
WINSLOW : Keluarga Barton. Winslow disini.
SABRINA : Hai Winslow, ini Sabrina.
WINSLOW : Sabrina, ada masalah dengan proyek itu?
SABRINA : Bukan. Bukan soal itu. Proyek itu sih sudah
beres. Besok aku tetap akan datang untuk
berlatih. Ada hal lain yang hendak
kubicarakan.WINSLOW : Aku senang kau menelponku. Aku ingin kau
tahu betapa aku menyesali perbuatanku
menolong Sam menulis surat-surat palsu itu.
SABRINA : Kau benar-benar menyesal, Winslow?
WINSLOW : Sumpah deh.
SABRINA : Oke. Akan kumaafkan jika kau mau
meluluskan satu permintaanku.
WINSLOW : Apapun akan kukerjakan untukmu.
SABRINA : Aku hanya ingin kau menulis sepucuk
undangan untuk Sam.
WINSLOW : Undangan untuk Sam?
SABRINA : Ya. Undangan mengajak Sam bersantap malam
dengan Stacy Hansen di rumah Stacy.
WINSLOW : Sabrina, kurasa aku tak mau terlibat lagi dalam
hal seperti ini. Aku jera.
SABRINA : Tolonglah Winslow. Kalau kutulis sendiri, pasti
Sam mengenalinya. Aku benar-benar butuh
pertolonganmu.
WINSLOW : Yah....gimana ya?
SABRINA : Makasih banyak ya. Katie , Randy dan Allison
mungkin akan menemaniku ke rumahmu
besok. Dan kita sama-sama memikirkan apa
yang akan kita tulis. Sampai ketemu ya!
WINSLOW : Oke. sampai ketemu besok Sabrina.BAGIAN SEMBILAN
Hari Minggu siang, kutemui Katie, Randy dan A1 di rumah
Winslow. Kami berdiri mengelilingi meja tulis Winslow,
menyaksikan Winslow menulis surat undangan dari Stacy untuk Sam.
Ia menggunakan pena khusus kaligrafi dan kertas surat warna kuning
muda yang katanya pemberian Ibunya.
"Dimulai dengan kalimat apa?" tanyanya resah.
"Gimana kalau...?Dear Sam?..." usulku. "Kau kan memulai
semua suratmu untukku dengan kalimat itu..."
"Jangan. Jangan sama persis dong. Harus agak berbeda, supaya
Sam tidak curiga," tolak Randy.
"Gimana kalau ?Sam tersayang?," usul Allison.
"Oke," ujarku menyetujui, "Sam tersayang..." aku berhenti
karena tak tau lagi apa kelanjutan kalimat awal itu.
"Katakan bahwa sebenarnya Stacy juga menyukai Sam," kata
Katie.
"Dan Stacy ingin mengundangnya makan malam di rumahnya
hari Jumat Malam," tambah Randy.
"Jam enam sore," lanjutku.
Winslow pun mulai menulis:Sam tersayang, Sejak lama aku sebenarnya menyukaimu. Aku
akan senang sekali jika kau mau datang untuk makan malam di
rumahku. Jumat malam jam enam tepat. Sampai ketemu!
Stacy
"Luar biasa! Cewek tipe Stacy pasti juga menuliskan hal yang
sama jika ia benar-benar naksir cowok," kata Randy setelah Winslow
membacakan isi suratnya.
"Bagaimana kalau Sam menanyakan soal undangan ini sebelum
hari Jumat?" tanya Winslow.
"Wah bisa terbongkar semua dong," Katie ikut cemas
mendengar kemungkinan itu.
"Tulis saja Nb dibawah surat ini," usul Allison. "Misalnya,Nb:
Jangan bilang siapa-siapa ya, aku nggak mau anak-anak lain tahu
rahasia kita ini."
"Wah! ide bagus banget!" seruku senang.
"Ya, dengan demikian Sam juga tak akan bercerita pada Jason
atau Nick," timpal Randy.
"Lagi pula memang Sam tidak akan cerita sama mereka kok,"
tukas Winslow seraya menuliskan usulan Allison di bagian surat
paling bawah.
"Mungkin tidak," lanjutku, "Jika Sam tahu bahwa Stacy benar-
benar menyukainya, tentu ia tak ingin orang lain tahu hal itu?
terutama Nick dan Jason. Sebab mereka pasti akan mengolok-olok
Sam. Begitu kan sifat cowok, ya Winslow?"
"Kurasa begitu," sahutnya dan entah mengapa tiba-tiba
telinganya jadi merah lagi.Dari sudut mataku kulihat Katie, Allison dan Randy saling
bertukar pandang dan tersenyum penuh arti. Seolah-olah mereka ingin
mengatakan ?Tuh bener ?kan..?
"Ada apa sih?" tanyaku curiga. "Apa pendapat kalian? Dimana
kita harus meletakkan undangan dari Stacy ini? Di buku catatan
bahasa Inggris Sam? Sam sekelas dengan Stacy dalam pelajaran
bahasa Inggris."
"Ya. Tentu nanti Sam mengira Stacy yang meletakkannya,"
angguk Katie.
Winslow melipat kerrtas surat dengan hati-hati dan
memasukkannya dalam amplop yang sewarna, serta menuliskan nama
Sam di depannya. Kumasukkan undangan itu dalam salah satu bukuku
dan kukeluarkan skrip Ilmu Sosial yang telah selesai kukerjakan.
"Sekarang aku dan Winslow harus latihan untuk pementasan
besok," ujarku. "Kalian mau ikut nonton latihan kami nggak?"
Allison, Katie dan Randy saling bertukar pandang lagi dan
nyengir penuh rahasia.
"Nggak ah," ujar Randy. "Aku harus pulang dan merapihkan
kamarku."
"Aku juga harus mengerjakan proyek Ilmu Sosialku," ujar
Katie. "Aku juga harus tampil besok."
"Dan aku harus menjaga Charlie," timpal Allison.
Meteka bertiga segera mengambil jaket masing-masing,
melambaikan tangan dan berlari kecil keluar rumah. Aku hanya
menghela nafas dan menoleh ke arah Winslow. Aku masih belum
mengerti kenapa teman-temanku bersikap aneh seperti tadi. Saling
tukar pandang, baku-senyum, dan cepat-cepat meninggalkan kamiberdua. Aneh kan? Tapi aku tak mau buang waktu memikirkan itu.
Masih banyak yang harus kulakukan. Winslow yang pandai itu
mungkin sudah hafal seluruh isi skrip, sebaliknya aku sama sekali
belum.
"Selamat pagi tuan," aku mulai membaca dialog bagianku,
"Saya tersesat. Dapatkah Anda menunjukkan jalan ke Yunani?"
"Maaf," sahut Winslow perlahan, "Saya juga tersesat. Saya
tengah berusaha mencari arah ke Roma saat ini."
"Winslow, aturlah nada suaramu. Jangan kayak orang baca teks
gitu?" protesku. "Sedikit akting, dong!"
"Aku tak tahu,bagaimana caranya akting," Winslow
membetulkan kaca matanya yang merosot.
Aku menghela nafas. Pasti perlu waktu lama untuk kami
berlatih!BAGIAN SEPULUH
Begitu bangun keesokan harinya, aku segera melompat turun
dari tempat tidur dan berlari ke kamar mandi. Soalnya banyak hal
yang harus kukerjakan hari ini. Hari Senin ini pasti akan menjadi hari
terpanjang dalam sejarah hidupku. Saat Sam sedang mempergunakan
kamar mandi, aku segera turun ke bawah, menyelinap ke dapur dan
menyelipkan undangan itu ke dalam buku bahasa Inggrisnya yang ada
dalam tasnya. Aku tahu betul Sam. Ia tak akan membuka-buka buku
itu sampai jam pelajaran bahasa Inggris nanti. Lalu aku duduk di meja
makan, pura-pura menyantap sarapan pagi sambil membaca ulang
skripku.
Aku sedikit gugup menghadapi pementasan siang nanti. Sejak
masih di taman kanak-kanak sebetulnya aku sudah sering tampil
dalam berbagai pementasan, jadi harusnya aku sudah terbiasa tampil
di depan orang banyak, tapi kali ini kan lain. Aku tampil untuk
disaksikan oleh Pak Grey! Meskipun sekarang aku sudah tau bahwa
Pak Grey bukanlah pengagum misteriusku, aku tetap ingin
membuatnya kagum melihat penampilanku.
Sepanjang hari ini aku terus berusaha menghafalkan skrip,
berusaha meyakinkan diri bahwa aku telah hafal setiap kata di
dalamnya. Aku tak ingin melakukan kesalahan. Soalnya Pak Greybilang, seorang utusan dari Departemen Pendidikan akan datang dan
ikut menyaksikan pementasan ini. Tapi siapa tahu sebetulnya tamu
istimewa itu adalah utusan dari perusahan film, seorang pencari bibit
baru yang menyamar? Kalau aku tampil memukau, siapa tahu akan
dapat kesempatan tampil di panggung sungguhan? Begitu memikirkan
kemungkinan ini, aku jadi makin cemas.
Pagi berlalu dengan cepat, dan tibalah saat pementasan. Begitu
giliran kami tiba, aku segera berlari ke belakang panggung untuk
bertukar pakaian. Aku begitu cemas dan terburu-buru sehingga tak
tahu bagaimana mengenakan jubah togaku! Mula-mula aku salah
memasukkan kepala, bukan ke lubang leher malah ke lubang tangan!
Lalu aku merubah posisi, tapi arahnya terbalik, bagian depan jubah
jadi berada di punggungku. Terpaksa kuulangi sekali lagi. Dan
celakanya, Winslow yang malang telah menantiku cukup lama, berdiri
mematung di atas panggung tanpa melakukan apa-apa!
Akhirnya berhasil juga aku mengenakan jubah toga itu dengan
benar. Namun baru mulai melangkah melintasi panggung, kakiku
tersandung jubah panjang dan aku terpeleset. Untung saja aku berhasil
menjaga keseimbangan agar tidak terjatuh, tapi jubah itu tetap saja
nyangkut di ujung sepatuku. Kuhentakkan kakiku sedikit agar
terlepas. Eh, hentakanku terlalu kuat hingga jubah terangkat agak
terlalu tinggi, dan saat itulah baru aku sadar masih memakai sepatu
dan kaus kakiku. Padahal mestinya aku mengganti alas kakiku dengan
sepatu tali ala Yunani. Penonton mulai tertawa dan pipiku mulai terasa
panas menahan malu.
Aku terpaku menatap ke arah tempat duduk penonton. Mungkin
semua anak kelas tujuh yang hadir disini tengah membicarakan gosipitu, bahwa aku naksir Winslow. Lampu sorot menerangi panggung
dan lampu lain dimatikan, sehingga aku tak dapat melihat dengan jelas
wajah-wajah penonton. Tapi yang penting, aku dapat melihat Pak
Grey dan tamu istimewa itu duduk di baris terdepan, barangkali
mereka akan melakukan penilaian terhadap akting kami. Mereka
semua duduk terpaku menatap aku dan Winslow, menunggu kami
memulai pementasan.
Kuyakinkan diriku sendiri, bahwa inilah saatnya memulai
pementasan. Maka kutarik nafas panjang dan bersiap-siap untuk
mengucapkan kalimat dialog pertama. Kubuka mulutku, namun?aku
tak tahu harus mengucapkan apa! Aku?aku lupa kalimat pembukaan
yang harus kuucapkan, sementara Winslow masih tetap berdiri
mematung menungguku. Matanya makin lama makin melotot
sementara telinganya makin memerah. Winslow, bantu aku
mengingatnya dong..., bisikku penuh harap dalam hati, semoga
Winslow bisa membaca pikiranku! Tapi nyatanya ia cuma berdiri
terpaku, menatap tajam dan menunggu tanpa melakukan apa-apa
untuk membantuku.
Impianku untuk menjadi artis melayang jauh keluar jendela
auditorium. Serasa ingin bunuh diri saking malunya. Bibirku terasa
kering, lidahku kelu dan kepalaku terasa kosong melompong. Kucoba
mengingat-ingat sambil kembali menatap bangku penonton. Lalu
sayup-sayup terdengar suara tawa Stacy Hansen, yang membuatku
geram. Berani-beraninya ia menertawakan diriku!, pikirku dalam hati,
akan kutunjukkan padanya! Kutarik nafas panjang lagi, kutegakkan
bahuku dan mulai membuka mulut lagi."Selamat pagi tuan. Saya tersesat," ujarku. "Dapatkah Anda
menunjukkan jalan menuju Yunani?"
Hei! Itu ?kan kalimat pembukaan! Aku mengingatnya! Winslow
tersenyum lebar lalu menyambung percakapanku dengan suara lega.
Setelah itu aku merasa jauh lebih tenang. Semua berjalan lancar dan
yang paling menyenangkan, kami mendapat tepuk tangan yang lebih
meriah daripada kelompok lain. Pak Grey kelihatan begitu senang dan
puas melihat penampilan kami. Meskipun aku tahu ia tak punya
perasaan apapun terhadapku, aku masih tetap menganggapnya sebagai
seorang pria yang paling tampan. Tapi memikirkan soal itu lagi
membuatku teringat kembali pada kejadian-kejadian konyol yang
kualami sepanjang minggu lalu. Dan semua itu akhirnya membuatku
ingat pada Sam.
Sekarang, usai pementasan, aku dapat memusatkan perhatian
pada acara pembalasan dendamku!
Aku langsung pulang ke rumah begitu sekolah usai, tidak
mampir ke Fitzie?s dengan teman-temanku, seperti biasanya. Ingin
segera tahu, sudahkah Sam menemukan undangan itu. Aku duduk di
meja makan, menatap keluar dari jendela dapur agar bisa segera
melihatnya begitu ia memasuki halaman. Tak terlalu lama, kudengar
seseorang bersiul dan kulihat Sam berjalan ringan menuju pintu
depan.
Pintu terbuka dan Sam melangkah masuk. Digeletakkannya
tasnya di lantai seperti biasa, lalu melepas jaket dan menaruhnya di
atas tasnya. Ia terus saja bersiul riang. Tiba-tiba ia berbalik dan
melihatku, lalu tersenyum ramah kepadaku. Nah, pasti ia sudah
mendapat undangan itu! Coba lihat, betapa gembiranya Sam!"Hai Sabs! Pementasanmu bagus sekali!" pujinya. Ia
mendekatiku dan menggusai rambutku, lalu melangkah menuju
kulkas. Lagaknya persis seperti orang dewasa! Caranya berjalan,
persis seperti gaya kakak tertua kami. Seolah-olah mengayun-ayunkan
pinggulnya. Kucoba untuk menahan tawa. Sam mengambil sebotol
coca cola, duduk di kursi sebelahku, lalu mulai bersiul-siul lagi.
"Kelihatannya gembira banget. Ada apa sih?" tanyaku seraya
berusaha menunjukkan wajah selugu mungkin.
"Aku?" Sam menunjuk dadanya sendiri. "Aku sih emang selalu
riang gembira..."
Cepat-cepat kuhirup minumanku sebelum tawaku terhambur
keluar. Selalu gembira? Ha? ha?ha? Sekarang mungkin dia boleh
gembira. kalau saja ia tahu apa yang akan terjadi Jumat malam nanti,
tentu siulannya akan berubah jadi sumbang! Hi...hi..hi...Rasain!BAGIAN SEBELAS
Minggu ini berlalu dengan amat cepat. Hari Jumat, jam enam
sore, aku, Katie, Randy dan Allison berkumpul di ruang tengah
rumahku. Kami berempat ingin menyaksikan dengan mata kepala
sendiri, bagaimana rupa Sam sekembalinya dari rumah Stacy. Maka
kuminta ijin pada orang tuaku untuk mengundang mereka nonton
video di rumah. Setelah janji tidak akan main dukun-dukunan lagi,
akhirnya diijinkan juga.
Kami berempat tidur-tiduran di depan pesawat televisi, asyik
mengunyah popcorn. Randy membawa sebuah film yang katanya
Universitasplatter. Sebuah film horor, tentunya, dan tiap lima menit
kami terpekik karena seramnya adegan-adegannya. Di antara jerit
ketakutan itu, kami tetap berusaha melirik ke arah tangga, menanti
Sam turun.
20 menit sebelum jam enam, Sam turun dari kamarnya.
Kugamit Katie, Katie menggamit Randy dan Allison. Sam
mengenakan switer wol biru tua, di atas kaos putih polos. Ia juga
mengenakan celana jeans terbarunya yang bermotif garis-garis. Aku
yakin siang tadi pasti ia sudah meminta Ibu untuk menyeterikanya
sampai selicin itu. Dikenakannya pula sepatu hitam yang biasanya
hanya dikenakannya di saat-saat istimewa.Demikian pula kaca matanya, lain dari yang sehari-hari
dikenakannya.
"Fuih!" seru Randy seraya menutup hidungnya. "Bau apa sih?
Bikin pengen bersin saja!"
Aku mendengus-dengus ke udara. "Fu...ih..." aku ikut berseru.


Girl Talk 05 Apa Kata Bintangmu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sam, berapa botol parfum yang kau habiskan?"
Katie menutup hidungnya dengan bantal kursi dan bahkan
Allison agak menjauh dari Sam.
"Kalian semua tak punya selera tinggi ya?" ujar Sam cuek
seraya menyisir rambutnya.
"Selera tinggi?" cibir Randy di antara nafasnya.
Sam melirik jengkel ke arah kami duduk, lalu melangkah penuh
percaya diri menuju pintu keluar. Kami berempat mulai tertawa
terpingkal-pingkal dan berjungkir balik di lantai.
"Semoga aku bisa melihat rupanya nanti..." ujar Katie
memegangi perutnya.
"Yah, pasti asyik deh. Bersembunyi di semak-semak mengintip
Sam mengetuk pintu rumah Stacy," sahut Randy.
"Randy!" seruku senang mendengar gagasannya dan
menghentikan tawaku. "Ide yang cemerlang! Yuk kita sembunyi di
semak-semak halaman rumah Stacy dan ngintip! Kita harus cepat-
cepat agar tidak terlambat."
"Mh...apa perlu..." ujar Allison agak ragu.
"Buatku sih perlu banget," Randy melompat berdiri.
"Aku juga," Katie ikut berdiri. "Jarang kejadian seperti ini, tak
mau aku melewatkannya."Katie dan Randy segera berlari ke dapur untuk mengambil jaket
masing-masing.
"Al, kamu ikut kan?" ajakku.
"Kau yakin kita tak akan mendapat kesulitan nanti?" tanyanya
khawatir.
Aku mengangguk memastikan.
"Baiklah, aku ikut," ujar Al akhirnya.
"Nah gitu dong..." aku segera melompat, memeluk Allison erat-
erat saking girangku. "Tapi kita harus cepat lho..."
Kukatakan pada Ibu, kami akan pergi jalan-jalan mencari udara
segar sebentar. Lalu dengan jaket masing-masing, kami keluar menuju
rumah Stacy. Beberapa blok dari rumah, Katie yang berjalan paling
depan, tiba-tiba menghentikan langkahnya. Ia mundur beberapa
langkah ke belakang dan bersembunyi di lekukan tembok dan
memberi aba-aba pada kami untuk melakukan hal yang sama.
"Ada apa?" tanyaku mendekati Katie.
"Sst...tuh dia si Sam," tunjuk Katie ke satu arah sambil berbisik,
"ia berada tepat didepan kita."
Kupalingkan wajah ke arah telunjuk Katie. Di tikungan jalan
kulihat Sam berjalan dengan riang dan ? mengenakan kaca mata
hitamnya! Ha ha ha, aneh benar tingkah orang yang lagi kasmaran
rupanya!
"Serasa jadi detektif, deh," ujarku.
"Sam sempat melihatmu?" tanya Allison lirih dengan agak
gemetar."Tidak sama sekali," aku meyakinkan Al. "Sam terlalu sibuk
membayangkan Stacy. Lagipula dengan kaca mata hitam macam itu,
mana bisa ia melihat dengan jelas?"
Kemudian Randy melihat keadaan di sekeliling kami yang
sudah aman. "Kurasa kita harus segera bergerak lagi," ajaknya. "Sam
baru saja menyeberang jalan."
"Nanti kita sembunyi di mana?" tanya Al suaranya makin
gemetar.
"Di taman tetangga Stacy. Aku ingat, rumah keluarga Hansen
bersebelahan dengan rumah yang penuh semak-semak. Bahkan
pagarnyapun dari tanaman," ujar Randy. "Kita bisa merangkak
dibawah semak-semak itu."
"Apakah Sam sudah tiba di rumah Stacy?"
Katie yang terus mengintip dan mengikuti gerak-gerik Sam
mengangguk dari balik kotak pos. "Ia baru saja memasuki halaman
rumah Stacy. Yuk kita kesana..."
Perlahan-lahan, sambil berusaha merunduk serendah mungkin,
kami berempat bergerak menuju rumah di sebelah rumah Stacy. Kami
merangkak sepanjang halaman menuju pagar batas antara rumah Stacy
dan rumah tetangga sebelahnya.
"Kita berhenti di sini saja," bisikku. "Di sini kita bisa melihat
dengan jelas ke serambi rumah Stacy."
"Luar biasa deh..." ujar Randy bersemangat. "Serasa di film
horor, ketika ada seorang korban hampir masuk perangkap.
Hi...hi...hi"
Sam berdiri di anak tangga terakhir serambi rumah Stacy.
Tangannya bergerak menekan bel pintu. Bahkan dari jarak lima kakibisa terlihat olehku getaran tangannya. Kutunggu suara dering bel,
tapi ternyata Sam malah mengurungkan niatnya menekan bel.
"Kok nggak jadi ngebel sih?" tanya Katie penasaran.
"Mungkin ia berusaha mengurangi ketajaman aroma minyak
wanginya dulu beberapa saat," gumam Randy bercanda.
Aku sampai harus menutup kepalaku dengan tangan, agar
tawaku tak meledak. Kulihat Randy dan Katie juga melakukan hal
yang sama, menahan tawanya. Kecuali Allison, ia kelihatan sedikit
cemas.
Akhirnya, Sam menekan bel juga. Ia mundur beberapa langkah
dari pintu, mendehem dan merapihkan leher T-shirt yang menyembul
keluar dari switernya. Dilepaskannya kaca mata hitamnya lalu
dikenakannya lagi. Gerak-geriknya persis seperti gugup. Aku yakin
Sam lagi salah tingkah.
Pintu terbuka.
"Selamat datang di...Sam? Sam Wells?" pekik Stacy terkejut.
Stacy sendiri yang membuka pintu rupanya.
"Uh...hai Stacy," gumam Sam gemetar.
Kututup mulutku erat-erat dengan kedua telapak tanganku
untuk menahan suara tawa geli itu keluar.
"Ngapain kau di sini?" tanya Stacy heran.
"Aku?eh maksudku, ?kan kau yang mengundangku?" ujar Sam
terbata-bata, bingung melihat sambutan Stacy. "Untuk makan malam.
Ingat?" TEENLITLAWAS.BLOGSPOT.COM
"Aku? Mengundangmu makan malam?" Stacy balik bertanya
seraya membelalak lebar-lebar. "Kau pasti lagi ngerjain aku kan?""Ngerjain? Kau sendiri yang menulis undangan ini?" Sam
merogoh saku celananya dan mengeluarkan undangan kuning muda
itu. Aku menahan nafasku.
"Aku tak mengerti apa yang kau omongkan, dan menurutku
lebih baik kau..."
"Hei Stacy, ada siapa sih?" terdengar suara Laurel Spencer.
Rupanya teman-teman Stacy sedang berkumpul di rumahnya.
"Wah, rencana kita berlangsung lebih sempurna?" bisikku
senang. Randy, Katie dan A1 mengangguk setuju sambil kembali
mengamati apa yang terjadi.
"Cuma si Sam Wells," sahut Stacy menoleh kebelakang.
"Katanya, aku mengundangnya makan malam," bahkan dari balik
semak, dapat kulihat ekspresi Sam yang amat menyedihkan.
"Makan malam? Hari ini?" Eva Malone muncul di pintu
menyusul Laurel. "Yang bener?"
"Apa aku tak salah dengar? Sam Wells? Ngapain dia di sini?"
tanya BZ Latimer sambil melangkah menyusul teman-temannya ke
arah pintu. Raut wajahnya menunjukkan ekspresi aneh. Aku maju
beberapa langkah agar dapat melihat raut wajah BZ lebih jelas.
"Jangan biarkan ia masuk ke sini!" teriak beberapa orang gadis
dari dalam rumah.
"Tapi kau telah mengundangku makan malam," protes Sam
seraya menatap Stacy.
Gadis-gadis di serambi mulai tertawa histeris melihat adegan
ini. "Eh...denger deh semua. Masa Sam Wells bilang Stacy
mengundangnya untuk makan malam!" teriak Eva ke dalam. Dansekonyong-konyong muncullah sekitar sepuluh orang cewek dari
dalam, lengkap dengan pakaian pesta, ramai-ramai mengerumuni Sam
sambil menertawakan kebodohannya.
"Sam," ujar Stacy, "entah apa maksudmu, yang jelas sebaiknya
kau lupakan soal undangan itu. Aku sedang mengadakan pesta khusus
untuk cewek di sini dan kau sama sekali tak kuundang!" lanjut Stacy
seraya mengedarkan pandang ke seluruh gadis-gadis yang ikut
mengerumuni mereka berdua. "Ayo kita kembali kedalam," ajaknya
pada teman-temannya.
Begitu teman-temannya masuk, Stacy menoleh sekali lagi ke
arah Sam, lantas tertawa geli melihat Sam berdiri tertegun tanpa bisa
berkata apa-apa. Lantas pintu dibanting dengan keras.
Kutatap Katie, Randy dan Allison. Mereka bertiga tengah
tersenyum penuh rasa kemenangan, seperti juga aku! Rencana kami
berhasil dengan sukses! Sam masih berdiri tegak di serambi, menatap
nelangsa ke arah pintu yang telah tertutup. Mulutnya menganga,
masih belum dapat mempercayai apa yang barusan terjadi. Lantas ia
menunduk, menatap undangan warna kuning muda yang masih berada
dalam genggamannya. Dengan gerakan amat cepat, dirobeknya
undangan itu dan dibuangnya ke halaman. Lalu Sam beranjak amat
perlahan dan lesu meninggalkan rumah Stacy.
"Cepat! Kita masih harus ngerjain dia di rumah!" ajakku seraya
merangkak mundur. Randy, Katie dan A1 segera mengikutiku dari
belakang. Kami berempat menunggu beberapa saat sampai Sam hilang
di tikungan jalan, lantas kami mulai berlari menyeberangi blok,
melalui jalan pintas, agar dapat tiba di rumah lebih dulu dari Sam.
Sam berjalan amat perlahan, sehingga kami tak perlu takut terlambatBegitu tiba di rumah, kami langsung melepas jaket dan
membersihkan semua kotoran yang melekat di tubuh akibat acara
merangkak di semak-semak itu. Lantas kami kembali ke posisi
semula, berkumpul di depan teve. Dengan demikian Sam tak akan
mengira bahwa kami baru saja pergi membuntutinya. Kututupi
wajahku dengan kertas koran.
Saat Sam melangkah masuk kira-kira setengah jam kemudian,
ia kelihatan seperti mahluk dari planet Mars. Rambutnya kusut masai,
tali celananya kedodoran dan tali sepatunya terurai. Bahkan kaca mata
hitamnya yang gaya itu disimpannya sembarangan di saku celana.
Ia masuk ke ruang tengah dan duduk di pegangan kursi dengan
wajah kusut. Katie dan Randy menyembunyikan wajah mereka di
balik bantal sambil menahan air mata geli. Bahu mereka nampak
berguncang-guncang. Allison menggigit bibir kuat-kuat. Aku berusaha
berkonsentrasi mengandalkan bakat aktingku untuk membuat ekspresi
serius di wajahku.
"Hai Sam," sapaku tenang. "Malam yang menyenangkan
rupanya?"
"Tidak," gelengnya. "Inilah malam terburuk yang pernah
kualami."
Kini Allison terpaksa ikut menutupi wajahnya dengan bantal.
Randy dan Katie semakin dahsyat lagi terguncang-guncang. Kurasa
sebentar lagi mereka berdua tak mampu menahan ledakan tawa lagi.
"Sayang sekali..." kucoba menahan getar tawa di suaraku. "Aku
ikut prihatin mendengarnya, Sam."Sam menatapku tajam, lalu menoleh ke arah Katie, Randy dan
Al. Tiba-tiba ia bangkit berdiri dan menghampiriku dengan berkacak
pinggang.
"Sabrina Wells!" jeritnya marah. "Ini perbuatanmu kan! Hah?
Kau yang menjebakku ?kan!"
Kucoba menampilkan ekspresi lugu dan tak mengerti. Tapi
rupanya tidak berhasil.
"Kau selipkan undangan itu di buku bahasa Inggrisku sehingga
aku mengira Stacy yang meletakkannya. Tahukah kau bagaimana
rasanya jadi orang dungu di rumah Stacy? Tega betul kau lakukan ini
pada kakakmu!"
"Ada apa sih Sam?" tanyaku dengan nada kubuat semanis
mungkin. "Masa gitu aja marah? Kan cuma lelucon kecil..." aku
meniru kalimat yang sering diucapkannya padaku.
Wajah Sam merah padam mendengarnya. Ia pasti tahu
maksudku. "Jadi?eh?kau telah tahu semuanya? Tentang surat-surat
cinta dan bunga-bunga mawar itu...?" desisnya.
"Yap!" anggukku. "Dan sekarang kau juga tahu persis
bagaimana perasaanku. Aku merasa dungu, bodoh, malu dan sakit
hati! Kurang lebih sama seperti yang kau rasakan saat ini."
Sam mengangguk perlahan dan beranjak meninggalkan kami
menuju kamarnya. "Hei Sam!" panggilku. "Ingat baik-baik ya
pesanku ini, jangan pernah percaya pada apapun yang kau baca!"
Wajah Sam semakin merah lagi mendengar kata-kataku. Persis seperti
yang pernah diucapkannya padaku tentang ramalan-ramalan bintang
yang selalu kubaca di surat khabar. "Oke, satu sama..." desah Samsebelum berlari dan mengunci diri di kamarnya. Ia benar, kedudukan
kami sekarang satu sama.
"Sabs," tanya Katie begitu Sam lenyap ke dalam kamarnya.
"Apa kata ramalan bintangmu hari ini?"
Kubuka koran dan kubaca halaman C keras- keras, "Sebuah
persahabatan baru, bersemi menjadi hubungan percintaan"
Katie, Randy dan Allison saling bertukar pandang dan berteriak
sambil terbelalak, "WINSLOW!!!" END
Bangau Sakti 6 Animorphs - Alternamorphs 1 The First Journey Cula Naga Pendekar Sakti 4
^