Pencarian

Pasangan Aneh 1

Girl Talk 07 Pasangan Aneh Bagian 1


YANG DIOBROLIN KALI INI
RANDY :Buset! Masa kita musti mengasuh sebutir telur
selama dua minggu penuh?
ALLISON : Ah, kurasa itu bakalan asyik juga.
RANDY :Iya, tapi masa kita musti membawanya ke mana-
mana setiap saat?
ALLISON : Tapi kan kalian punya pasangan. Dan karena
murid cowoknya kalah banyak, terpaksa aku harus
melakukannya sendirian.
RANDY : Memang, sih. Tapi lihat dong, siapa pasanganku?
ALLISON : Randy, apa salahnya sih berpasangan dengan
Mark Wright?BAGIAN SATU
Dilarang mendengarkan walkman di kelas dan saya berjanji
tidak akan mengulanginya. Dilarang mendengarkan walkman di kelas
dan saya berjanji tidak akan mengulanginya. Dilarang mendengarkan
walkman di kelas dan saya berjanji tidak akan mengulanginya.
Dilarang mendengarkan walkman di kelas dan saya berjanji tidak akan
mengulanginya. ..
Di sekolahku yang lama, di New York, tak pernah ada hukuman
seperti ini. Pertama, di sana hampir tak ada peraturan untuk dilanggar.
Kedua, semua guru di sana tidak percaya bahwa hukuman ada
gunanya. Kalau kami melakukan sesuatu yang salah, mereka akan
mengirim kita ke guru BP, alias psikolog sekolah. Guru BP hanya
akan mengajukan beberapa pertanyaan, misalnya kenapa kita sampai
melakukan perbuatan yang keliru itu. Lalu beliau akan membuat
catatan tentang siswa dan menyuruh kita kembali ke kelas. Tapi di
sini, di Bradley Junior High, ada begitu banyak peraturan sehingga tak
mungkin diingat semua. Kadang-kadang, kupikir para guru sengaja
membuat begitu banyak peraturan untuk membingungkan siswa. Dan
begitu siswa melanggarnya mereka akan memberi hukuman.
Dilarang mendengarkan walkman di kelas dan saya berjanji
tidak akan mengulanginya. Dilarang mendengarkan walkman di kelasdan saya berjanji tidak akan mengulanginya. Dilarang mendengarkan
walkman di kelas dan saya berjanji tidak akan mengulanginya.
Dilarang mendengarkan walkman di kelas dan saya berjanji tidak akan
mengulanginya...
Aku menghela napas. Sebetulnya, apa salahnya sih
mendengarkan walkman di kelas? Lagi pula saat itu cuma pelajaran
matematika. Aku selalu memperoleh angka yang bagus untuk
pelajaran itu, tapi cara mengajar Bu Munson, guru matematik kami,
sungguh membosankan. Coba saja dengar cara beliau menjelaskan
pelajaran. Lagipula, aku bukan sengaja hendak melanggar peraturan
sekolah lho. Aku cuma nggak sabar untuk mendengarkan kaset yang
baru saja kuterima dari Sheck. Kalian masih ingat pada Sheck nggak?
Itu lho temanku cowok yang tinggal di New York. Lagu dalam kaset
kirimannya benar-benar luar biasa. Terutama permainan solo drum
yang membuatku lupa bahwa aku tengah berada dalam kelas. Tanpa
sadar aku berteriak-teriak bernyanyi mengikuti irama lagu sambil
menggebrak-gebrak meja seolah-olah meja itu adalah perangkat
musik. Tapi sumpah deh, musiknya benar-benar mengasyikkan!
Telah kucoba untuk meyakinkan Bu Munson, tapi beliau begitu
kaku dan tegas pada peraturan sekolah.
"Saya harap Anda berpikir dua kali sebelum membantah saya,
Nona Zak," kata beliau.
Ketika kukatakan bahwa aku bukan hendak membantah, eh
beliau malah menyodorkan kertas hukuman yang biasa kami sebut
?kartu kuning?. Lalu sebelum aku sempat mengucapkan apa-apa lagi
beliau sudah kembali menerangkan pelajaran.Aku melihat ke luar jendela, ke halaman sekolah yang sepi.
Kadang-kadang aku berharap aku dan ibuku tetap tinggal di New
York sekalipun Ibu dan ayah telah bercerai. Tapi andaikata kami
tinggal di New York, tentu aku tak akan memperoleh tiga sahabat
sebaik Sabrina Wells, Allison Cloud dan Katie Campbell.
Teringat akan mereka bertiga, aku jadi sadar bahwa aku harus
segera menyelesaikan hukumanku dan melanjutkan menulis 21
kalimat lagi. Soalnya aku sudah berjanji untuk menemui mereka di
Kantin Fitzies. Kantin Fitzies adalah tempat nongkrong favorit kami.
Hampir semua anak muda dari sekolah ini senang ngumpul di sana.
Mereka bertiga menunggu aku di sana, begitu aku menyelesaikan
hukumanku. Mungkin aku bisa menyelesaikannya lebih cepat bila aku
menulis kata-kata yang sama lebih dahulu...
Dilarang mendengarkan walkman
Dilarang mendengarkan Walkman
Dilarang mendengarkan
Dilarang mendeng?
Dilarang...
Tiba-tiba saja sebuah kapal-kapalan kertas melayang ke arah
kepalaku. Aku menengadah, dan tampak Andy Grant nyengir kuda
dari kursinya di deretan paling belakang. Anak ini adalah langganan
tetap acara hukuman di sekolah kami. Andy Grant adalah anak yang
paling brengsek di sini. Hampir tiap hari ia mengenakan jeans belel,
sepatu kets belel dan kemeja abu-abu berlengan buntung. Tak
ketinggalan ikat kepala merah selalu melingkar di kepalanya.
Pokoknya gayanya norak dan sok jagoan.Di sebelah Andy, duduk Mike Epson yang berambut pirang dan
dipotong pendek ala tentara. Tinggi badannya mencapai enam kaki!
Setidaknya ia sudah dua kali tinggal kelas, dan seperti Andy, Mike
juga langganan penerima hukuman. Tapi berbeda dengan Andy, Mike
bukan tipe anak yang sengaja membuat onar. Kadang ia mendapat
kesulitan tanpa disengaja. Ia adalah tipe cowok yang tak pernah
membuka buku pelajaran di rumah. Kadang-kadang aku sangsi,
jangan-jangan ia sama sekali tidak tahu urutan huruf alfabet, hi...hi...
Kapal-kapalan kertas melayang sebentar di udara melintasi
kepalaku lalu mendarat di meja Bu Montgomery. Begitu melihat,
beliau langsung berdiri dan bibirnya yang tipis cemberut tanda marah.
"Siapa yang melempar ini?" tanyanya sambil mengguncangkan
kepalanya. Rambutnya yang keriting bergerak-gerak. Bu Montgomery
adalah guru paling tua dan paling galak di sekolah ini. Aku ingat
cerita ayah Sabrina. Menurut beliau, dulunya Bu Montgomery pun
langganan penerima hukuman!
Tak seorang pun berani menjawab. Beliau menaikkan kaca
matanya yang merosot ke hidung dan menatap ke sekeliling ruangan.
Andy dan beberapa teman-temannya yang juga berngsek mulai
cekikikan.
"Coba dengarkan!" ujar Bu Montgomery seraya menudingkan
jari-jarinya yang kurus ke arah kami, "Saya ingin kalian segera
menyelesaikan tugas hukuman kalian dan berhenti membuat onar.
Ingat, tak seorang pun boleh meninggalkan ruangan sebelum
menyelesaikan hukumannya!" Sambil mengucapkan kalimatnya,
beliau melirik tajam ke arah kami satu persatu. "Dan kalau sayamenangkap basah ada yang membuat onar, akan saya beri hukuman
tambahan, menulis 50 kalimat ekstra!"
Begitu beliau duduk kembali di kursinya, pintu kelas terbuka.
Siapa pun yang akan masuk, aku merasa kasihan sekali pada orang itu.
Siapa pun tahu, Bu Montgomery akan amat berang jika ada yang
terlambat datang ke kelas hukuman.
Begitu melihat bahwa yang masuk adalah Mark Wright, aku
ternganga. Kurasa Mark pasti salah masuk ruangan. Atau mungkin ia
cuma mau mengantarkan pesan buat Bu Montgomery. Mark adalah
salah satu murid teladan di kelas tujuh. Ia selalu mendapat nilai
tertinggi untuk semua mata pelajaran dan sama sekali tak pernah kena
hukuman. Tak pernah kubayangkan akan bertemu Mark di kelas
hukuman.
Tapi kemudian aku makin ternganga. Mark Wright maju ke
meja Bu Montgomery dan menyerahkan kartu kuning! Aku benar-
benar tidak mempercayai penglihatanku! Mana mungkin anak baik-
baik macam dia sampai bisa melanggar peraturan sekolah?
Kulihat Mark berdiri di hadapan Bu Montgomery dengan
seragam Rugby warna hijau-putih dan jeans ketatnya. Dia benar-benar
tipe cowok idola, dengan rambut pirang dan mata birunya. Kudengar
ia menghabiskan waktu luangnya untuk berlatih piano. Dan jenis lagu
yang dimainkannya bukanlah jazz, rock atau musik klasik, tetapi
musik-musik kuno yang kedengaran aneh di telinga.
"Nah Tuan Wright," sapa Bu Montgomery sinis. "Apa yang
akan kau ucapkan?"
Mark tidak berkata sepatahpun. Ia hanya menunduk menatap
lantai."Oh, anakku yang malang," olok Andy Grant dari belakang.
"Ada masalah dengan ibumu di rumah? Hmh?" Andy lantas ketawa
sendiri mendengar leluconnya yang sama sekali tidak lucu itu.
Wajah Mark tiba-tiba tampak menegang, reaksi pertamanya
adalah berpaling dan menatap tajam ke arah Andy. Wajahnya
memerah dan matanya berkilat geram.
"Apa katamu...!?"
"Mark! Andy! Cukup!" lerai Bu Montgomery, "Andy, ingat, ini
peringatan terakhir buatmu! Sekali lagi membuat onar kau akan
menerima 50 kalimat tambahan! Mengerti!" Lalu beliau kembali
menatap Mark. "Dan untukmu, anak muda. Saya ingin kau tulis
kalimat ini sebanyak 300 kali," beliau menyerahkan setumpuk kertas
pada Mark lalu menyuruhnya mencari' tempat duduk.
Kebetulan, Mark memilih tempat duduk tepat di belakangku.
Sekilas Mark melirik ke arahku sebelum duduk.
"Hei, apa yang telah kau kerjakan?" tanyaku penasaran.
"Jangan ikut campur! Bukan urusanmu!" bentak Mark.
"Selamat datang di blantika anak bandel!" ujarku bercanda.
"Paling tidak aku bukan langganan tetap seperti kalian!" balas
Mark kasar.
Bu Montgomery melirik dari mejanya. "Saya tidak mau
mendengar suara apapun!" teriaknya mengingatkan.
Pada saat itu aku mulai marah. Menurutku Mark tak perlu
sekasar itu padaku. Memang betul, di awal tahun ajaran aku sering
memperoleh hukuman. Tapi asal tahu saja, ini adalah hukuman
pertamaku setelah berbulan-bulan! Meskipun Mark adalah anggota
OSIS, ketua regu basket, dan juara kelas; tak perlu dia sekasar itukepadaku! Semua anak pun tahu bahwa ia adalah teman yang
membosankan. Dan saat ini ia benar-benar membuatku jengkel!
"Setidaknya aku lebih baik dibanding orang kerdil dan kuper
macam kau!" balasku tak mau kalah sambil kembali menatapi kertas
hukumanku. Percuma saja menjelaskan apapun pada Mark. Jadi biar
saja dia beranggapan bahwa aku langganan hukuman.
Tiba-tiba Bu Montgomery berdiri. "Siapa pun yang berbicara,
lebih baik segera kalian hentikan!" serunya galak. Beliau beranjak dari
kursinya dan mulai berjalan mengelilingi meja demi meja, macam
jendral di tengah peperangan!
Tapi Mark cuek dan melanjutkan pertengkaran kami. "Oh ya?"
desisnya pongah, "setidaknya tempatku bukan di antara anak-anak
brengsek macam kalian!"
Aku sadar, mestinya aku duduk diam dan tidak
mengacuhkannya. Tapi aku tak tahan. Mark harus tahu bahwa dirinya
tidak lebih baik dari Andy atau Mike sekali pun! Sama jeleknya!
"Dengar!" ujarku marah. "Aku tahu kau menganggap dirimu
jauh lebih baik dibandingkan anak-anak lain. Tapi asal tahu saja,
selain murid terpandai, kau sekaligus juga adalah murid paling
memuakkan!"
Mata birunya berkilat marah. Tangannya begitu kuat meremas
pinsilnya menahan amarah sampai kuku-kuku jarinya memutih.
"Kau sama sekali tidak mengenal siapa diriku, jadi sebaiknya
tutup mulut!" semburnya.
Bu Montgomery melangkah ke arah kami dan tiba-tiba ia sudah
menuding hidungku. "Rowena Zak!" bentuknya. "Berapa kali harus
saya peringatkan Nona untuk berhenti bicara!""Nama saya Randy," gumamku meralat. Aku paling benci
dipanggil Rowena, meskipun Rowena adalah nama asliku. Sampai
saat ini aku masih tak habis pikir. Apa yang membuat orang tuaku
memilih nama Rowena untukku.
Kulihat Bu Montgomery menatapku tajam dari balik kaca mata
tebalnya.
"Siapa pun namamu, kau harus tinggal lebih lama dan menulis
50 kalimat tambahan!" tukasnya tegas dan memutar langkah kembali
ke mejanya.
Mark mendengus meledekku. Aku langsung menoleh dan
nyengir sebal ke arahnya. Bu Montgomery ternyata belum selesai.
"Dan kau juga Mark!" ujarnya. "Meskipun ini hukumanmu yang
pertama, bukan berarti kau mendapat prioritas. Pertama kau
tertangkap basah merusak peralatan milik sekolah, dan sekarang kau
bersikap memalukan di kelas! Lebih-lebih kau merupakan anggota
pengurus OSIS! Saya benar-benar kecewa padamu anak muda ? dan
saya yakin orang tuamu pun akan kecewa mendengarnya."
Tiba-tiba muka Mark menjadi pucat pasi. Ia langsung
menunduk menatap mejanya dan tak berani mengangkat kepalanya
lagi lantaran malu.
Bagus! Gara-gara seorang Mark Wright aku harus menulis 50
kalimat tambahan dan ketiga temanku harus menunggu lebih lama di
Fitzies! Aku benar-benar jengkel pada Mark!
Tapi ada hal lain yang juga mengganggu pikiranku. Barusan Bu
Montgomery bilang, Mark melakukan tindak perusakan terhadap
barang milik sekolah? Bahkan di sekolahku yang lama di New York
pun, tindakan merusak benda sekolah merupakan pelanggaran berat!Rasanya tak mungkin siswa teladan seperti Mark melakukan
perbuatan tercela itu! Atau mungkin anak ini punya kepribadian
ganda? Di satu sisi amat baik dan di sisi lain amat nakal? Aku benar-
benar nggak habis pikir. Dan tanpa sadar aku terus memikirkan Mark.BAGIAN DUA
Allison, Sabrina dan Katie tengah duduk menanti di meja
favorit kami di Fitzies, saat aku melangkah masuk. Fitzies kelihatan
begitu kuno. Suasana di sana tak banyak berubah dari sejak tahun 50-
an. Tapi nyatanya hampir semua siswa Bradley suka nongkrong di
sini. Aku sendiri selalu melewatkan waktu yang menyenangkan
bersama teman-temanku di sini.
Sabrina tersentak dari kursinya dan langsung melambaikan
tangannya begitu melihatku. Kalau saja aku tidak sedang jengkel
terhadap Mark dan peristiwa siang tadi, tentu aku akan melakukan
?tipuan kecil? seperti biasa. Yaitu berlagak tak melihat mereka. Lucu
kan. Fitzies sendiri bukanlah tempat yang begitu besar, sehingga
sungguh kocak dan mustahil kalau aku tidak bisa menemukan teman-
temanku di situ. Tapi lantaran mood-ku lagi nggak oke, aku langsung
saja menghampiri tempat duduk mereka.
"Hai Randy," sapa Sabs. Aku menghempaskan diri di samping
Allison. "Kok lama betul sih?"
"Wah...tampangmu kusut amat. Lagi ngamuk ya?" komentar
Katie seraya mengibaskan rambut pirangnya yang panjang ke balik
telinga. "Lihat tuh sampai keluar asap dari telingamu saking
panasnya..." goda Katie.Allison menatapku. "Apa yang terjadi di kelas hukuman tadi?
Apakah kau mendapat hukuman tambahan?" tanyanya.
"Ya. Aku harus menulis 50 kalimat ekstra karena Bu
Montgomery sewot," jawabku malas.
Kucomot kentang goreng Katie dan kuseruput seteguk Coke
milik Sabs. Tiba-tiba leherku terasa tercekik. Astaga! Aku sama sekali
lupa bahwa Sabs selalu minum minuman diet yang rasanya amit-amit!
Anak-anak tertawa melihat reaksiku. Dan tiba-tiba aku merasa jauh
lebih enak. Kembali berkumpul bersama teman-teman setelah
menjalani hukuman yang menyebalkan. Kupesan milkshake coklat
super kental kesukaanku. Saat ini aku benar-benar tidak mau
dipusingkan oleh pesan Ibu untuk mengurangi makanan yang manis-
manis dan berlemak.
"Oh...hampir saja aku lupa!" pekik Sabrina tiba-tiba. Diulurkan
tangannya melintasi meja dan dicekalnya lenganku. "Tebak deh! Aku
punya khabar yang luar biasa istimewa!" ujarnya.


Girl Talk 07 Pasangan Aneh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalian tahu nggak..." lanjut Sabs tanpa menunggu reaksi kami
lagi, "Tadi pagi aku terpaksa berurusan dengan si Manusia Pinsil dan
tanpa sengaja kudengar sesuatu yang luar biasa." Katie menatap
Sabrina. "Sabs," tanyanya seraya mengangkat alis. "Ngapain kamu
masuk ke ruangan Si Manusia Pinsil?"
Manusia Pinsil adalah julukan yang kami berikan pada wanita
sekretaris sekolah kami yang bertubuh tinggi kurus, berkulit pucat dan
rambutnya selalu disanggul tinggi di atas kepalanya sehingga tampak
mirip sebatang pinsil dengan karet penghapus di ujungnya.
Wajah Sabrina memerah. "Tadi pagi aku terlambat sehingga
harus melapor pada si Manusia Pinsil. Aku sudah berusaha untuknggak terlambat, tapi tadi pagi nggak tahu deh..." ujar Sabs malu-malu
sambil nyengir ke arah kami.
Lalu Sabrina menarik nafas panjang seperti tak sabar untuk
melanjutkan ceritanya. "Lalu, saat Si Manusia Pinsil memberiku
formulir isian, ada seorang wanita masuk dan memperkenalkan diri
sebagai Bu Sydney Nelson, guru PKK kita yang baru."
"Lantas?" tanya Katie tanpa mengerti di mana letak
menariknya. Seorang guru baru adalah hal yang biasa.
"Ya, apa istimewanya?" tambahku.
"Sabrina, kita semua sudah tahu akan datang guru baru,
pengganti Bu O Keefe yang baru melahirkan," Allison mengingatkan
Sabs.
"Ya, dan kita semua juga sudah tau bahwa kita terpaksa sekelas
dengan Stacy Hansen dan badut-badutnya..." sambung Katie.
Mata Sabrina membelalak lebar. "Aku tahu, aku tahu," ujarnya
tak sabar. "Tapi guru baru kita ini lain dari yang lain. Dia adalah
seorang bekas peragawati New York dan ia betul-betul cantik!"
"Lalu?" tanyaku makin bingung.
"Apakah menurutmu nggak asyik?" lanjut Sabrina bersemangat,
"Kurasa pasti bakalan asyik, deh. Aku belum pernah bertemu muka
dengan gadis model, kecuali Allison. Tapi Alllison kan baru pemula.
Maksudku model yang benaran, gitu. Tapi sekarang kita akan
mendapat seorang guru yang benar-benar seorang model!" sembur
Sabrina tak jelas maksudnya. Aku benar-benar tidak mengerti apa
istimewanya. Di kota New York sendiri, yang namanya gadis model
banyak sekali memenuhi kota."Ah...masak kalian nggak merasakan sih," seru Sabrina,
"taruhan yuk, punya guru yang merangkap jadi peragawati pasti seru!"
"Belum tentu lho," timpal Katie. Katie selalu berpikiran
panjang dan masuk akal.
Sabs mengangguk. "Oke, oke," ujarnya. "Kalian tak perlu
mempercayaiku sekarang juga. Tunggu saja hari Senin depan, dan
buktikan sendiri kebenaran omonganku! Guru satu ini lain dari yang
lain!"BAGIAN DUA
Besok adalah hari Sabtu. Ibu hendak ke pertokoan Wildmere
Mall dan menawarkan untuk mengajakku dan teman-temanku ikut
bersamanya. Asyik deh. Kan hari libur, jadi kami tinggal menjemputi
mereka satu persatu. Setibanya di pertokoan, kami langsung
berbelanja sementara Ibu membeli keperluannya. Lalu Ibu
memberikan kejutan bagi kami berempat. Beliau menraktir kami
makan siang di restoran Rapscallions, restoran baru yang menawarkan
menu-menu empat sehat lima sempurna. Begitu selesai makan, kami
berlima duduk agak lama di restoran tersebut dan ngobrol panjang
lebar macam orang dewasa. Kulihat Allison, Katie dan Sabrina
kelihatan senang sekali.
Hari Minggunya, sebetulnya kami berencana untuk main ice-
skating. Tapi ternyata cuaca amat buruk, sehingga kami menukar
rencana dengan acara nonton bioskop. Aku sudah tidak lagi
mengingat-ingat soal Mark Wright dan guru baru kami sampai tiba
hari Senin di mana kami semua duduk di kelas menunggu sang guru
baru itu.
Begitu bel berbunyi, pintu terbuka. Seisi kelas memperhatikan
sosok guru baru yang membuka pintu dan melangkah memasuki kelas,
dengan anggunnya.Kali ini, harus kuakui bahwa omongan Sabrina tidaklah
berlebihan. Bu Sydney Nelson benar-benar cantik. Bahkan untuk
ukuran seorang gadis model pun ia tergolong rupawan. Tubuhnya
tinggi semampai dan amat langsing. Kulitnya hitam dengan wajah
bertulang pipi tinggi dan berambut pendek. Wajahnya begitu eksotis
apalagi dengan anting-anting emas di telinganya dan bentuk matanya
yang menyerupai bentuk biji kacang mede.
Dan menurut pendapatku, yang paling kusukai dari Bu Nelson
adalah caranya berpakaian. Akhirnya, ada juga orang yang
mempunyai cita rasa dalam berbusana di Acorn Falls ini. Sebelumnya
cuma aku saja yang gemar mengenakan pakaian serba hitam. Tapi
kini, Bu Nelson mengenakan sepatu koboy, rok mini dan legging
serba hitam. Bahkan sweater berkerah tinggi dan blazernyapun
berwarna hitam. Warna kesukaanku!
Bu Nelson sama sekali tidak seperti warga Acorn Falls. Sabs
benar. Beliau kelihatannya akan menjadi guru yang menyenangkan,
atau setidaknya berbeda dengan guru-guru yang lain.
Tiba-tiba kusadari bahwa seisi kelas terpaku menatapnya, maka
aku mulai mengalihkan perhatian pada buku catatanku. Maksudku,
mestinya aku tak perlu ikut-ikutan bengong seperti itu. Soalnya di
New York bertemu dengan gadis model bukan hal yang aneh lagi
bagiku. Ayahku adalah seorang sutradara film musikal dan dalam
pekerjaannya selalu melibatkan wajah-wajah baru para gadis model.
Kulirik Sabrina. Ia begitu asyik sehingga tak menyadari
lirikanku. Hanya Allison yang tampak biasa-biasa saja. Buku
catatannya terbuka di atas meja dan di tangannya tergenggam
ballpoint seolah-olah ia sudah siap untuk mencatat. Mungkin Al sadarbahwa sang guru baru ini akan menjadi rikuh bila seisi kelas
menatapnya.
Sang guru baru itu mendehem dan tersenyum. "Hai semua,"
sapanya ramah. "Seperti yang sudah kalian ketahui, saya akan menjadi
guru pelajaran PKK kalian tahun ini. Nama saya Sydney Nelson," ia
berhenti sebentar, tersenyum dan menatap ke sekeliling kelas. "Tapi
kurasa lebih baik kalian memanggil saya dengan panggilan Bu
Nelson," tambahnya.
Tak ada yang mengucap sepatah kata pun. Aku nyengir sendiri.
Di kota ini semua guru dipanggil dengan nama belakangnya. Tak
seperti di New York dulu, di mana guru kami anggap sebagai teman.
Tapi Bu Nelson agaknya tidak menyadari keheningan suasana
sama sekali. "Maka," lanjutnya, "saya berharap kita dapat saling
mengenal selama setahun ini. Saya yakin kalian ingin tahu banyak
tentang diri saya. Kalian sendiri sudah saling mengenal satu sama lain,
sementara saya sama sekali baru di sekolah ini."
Ini baru seru. Sejak awal tahun pelajaran, aku merasa sebagai
orang baru di sekolah ini. Rasanya senang juga punya seseorang yang
senasib, sama-sama orang baru. Setidaknya aku bukan lagi manusia
yang paling ?baru? di Bradley ini.
Bu Nelson melanjutkan, "Saya berasal dari Minneapolis," ia
mulai bercerita. "Selama tujuh tahun saya tinggal di New York.
Sekolah di malam hari dan bekerja sebagai gadis model di siang hari.
Tapi sekarang saya kembali ke Minneapolis. Saya mempunyai seekor
anjing jantan bernama Willie yang berbulu hitam dan ukuran
tubuhnya kira-kira sebesar kuda poni."Sulit kupercaya, akhirnya ada juga seorang guru yang mau
bercerita banyak tentang pribadinya. Bu Nelson memperkenalkan
dirinya lebih jauh lagi. Ia bercerita tentang keluarganya dan
kebiasaan-kebiasaan dalam keluarganya. Akhirnya ia melirik ke arloji
di pergelangan tangannya dan menyadari bahwa waktu untuk
berbincang-bincang sudah habis.
"Saya rasa sekarang tiba saatnya untuk memulai pelajaran,"
tukasnya. "Pertama-tama saya ingin mengajak kalian membahas soal
orang tua." Ia membalikkan tubuh ke arah papan tulis dan mulai
menulis sesuatu dengan kapur, "Kita akan membuat daftar tentang
apa-apa yang kira-kira dilakukan oleh orang tua."
Aku menghela nafas. Kelihatannya pelajaran ini nggak menarik
sama sekali. Tiba-tiba saja kulihat Stacy Hansen yang duduk di deret
paling depan mengacungkan tangannya. Selain suka menyombongkan
diri sebagai anak kepala sekolah, Stacy juga seorang yang munafik.
Aku yakin ia berusaha menarik perhatian guru baru itu dan memberi
kesan baik untuk dirinya.
"Ya," sambut Bu Nelson seraya menunjuk Stacy dengan
kapurnya. "Siapa namamu?"
Stacy mengedipkan matanya dan tersenyum dibuat-buat.
Menyebalkan sekali gayanya.
"Nama saya Stacy Hansen," sahutnya. "Menurut saya, tugas
orang tua adalah memenuhi kebutuhan sandang dan pangan serta
papan bagi anak-anaknya, juga mengasuh dan membesarkan mereka
dengan kasih sayang."
Ia lalu menoleh ke arah teman-temannya, BZ, Laurel dan Eva
dengan senyum bangga.Aku mencibir dan menoleh ke arah Katie yang juga tengah
menatap jijik ke arah Stacy. Cuma Stacy yang bisa mengutarakan
jawaban macam tadi. Seperti buku pelajaran saja. Ia benar-benar
cocok jadi kesayangan para guru.
"Oke," jawab Bu Nelson seraya menuliskan kata- kata:
sandang, pangan, papan dan mengasuh; pada papan tulis.
Lalu beliau menatap ke arah kami lagi. "Sekarang saya akan
menambahkan sesuatu," ia kembali menghadap ke papan tulis. "Kalau
saya tidak salah ingat, orang tua juga sering menyuruh kita
membersihkan kamar, membuang sampah dan merapikan tempat tidur
sendiri," ujarnya seraya menuliskan semua yang diucapkannya ke
papan tulis. Tulisan tangannya buruk sekali.
Anak-anak mulai tertawa?kecuali Stacy. Ia tampak kecewa
karena jawabannya tidak mendapat pujian dan Bu Nelson malah
menyebutkan kebalikannya.
Sam, kakak kembar Sabrina, mengacungkan jarinya. "Saya tahu
satu hal yang dilakukan oleh semua orang tua..." ujarnya keras-keras.
"Mereka semua punya anak!"
Bu Nelson tertawa. Sam memang konyol. Tentu saja semua
orang tua punya anak. Kalau enggak, namanya bukan orang tua dong!
Tapi jawaban Sam ada hubungannya dengan keluarganya. Orang tua
Sabrina dan Sam punya banyak sekali anak. Semuanya lima orang!
Sementara aku sendiri anak tunggal. Kadang-kadang pengen juga
punya kakak atau adik.
Kemudian Andy Grant, si pelanggan hukuman, mengacungkan
jarinya. "Orang tua mudah ngomel terutama soal angka-angka
pelajaran anaknya," teriaknya tanpa menunggu dipersilahkan.Dan anehnya, Bu Nelson sama sekali tidak marah atau
membantah ucapan Andy. Beliau malah tersenyum. "Itu benar sekali!"
ujarnya memuji jawaban Andy. Lalu ia menuliskannya di papan tulis.
Tadinya kupikir ia akan membantah dan menjelaskan betapa
pentingnya nilai pelajaran di sekolah.
Kemudian Mark Wright mengacungkan tangannya. Aku melirik
dan menunggu jawaban si pelajar teladan itu. Mungkin lebih
menjengkelkan dari jawaban Stacy.
"Kadang-kadang orang tua melakukan sesuatu, tanpa
memikirkan perasaan anaknya," ujar Mark.
Aku jadi makin heran. Bukan jawaban itu yan kuharapkan
keluar dari mulut siswa telada macam dia. Mestinya jawaban yang pro
pada orang tua.
Bu Nelson mengangguk dan memasukkan jawaban Mark dalam
daftar di papan tulis.
Sebelum kusadari, tahu-tahu tanganku sudah teracung. Aneh
juga. Belum pernah lho aku aktif berpartisipasi dalam kelas secara
suka rela. Tapi rasanya aku menyukai guru baru ini. Selama sekolah di
Bradley baru kali ini aku merasa senang duduk dalam kelas. Agaknya
Bu Nelson benar-benar seorang pendengar yang baik bagi keluhan dan
menghargai pendapat murid-muridnya.
"Saya setuju bahwa orangtua selalu membuat keputusan dan
anak-anak harus menerimanya begitu saja," ujarku, "Misalnya kalau
mereka ingin pergi ke suatu tempat, anak-anak harus ikut juga walau
pun sebetulnya nggak setuju." Aku jadi ingat pada situasi keluargaku
sendiri. Di mana Ibu memutuskan untuk pindah ke desa Acorn Falls
dan aku harus ikut pindah. Mungkin aku bisa saja tinggal di NewYork bersama Ayah. Sayangnya aku tidak tahan tinggal bersama pacar
baru Ayah.
Bu Nelson tersenyum dan mengangguk ke arahku. Lantas
menuliskannya ke papan tulis.
"Oke," tukasnya seraya melemparkan kapur dan menangkapnya
kembali. "Jadi, pada dasarnya, orang tua sering membuat anak-
anaknya jengkel. Mereka suka ngomel, memaksa kalian melakukan
sesuatu yang tidak kalian sukai atau memaksa kalian pergi ke tempat
yang tidak kalian sukai."
Seisi kelas mulai tertawa. Kulihat Allison juga ikut tersenyum
dan tidak lagi mencatat.
Lalu Bu Nelson berubah menjadi lebih serius. "Sebetulnya,"
ujarnya, "Menjadi orang tua butuh kesabaran, pengorbanan, tanggung
jawab dan kedewasaan."
Kami semud menunggu dalam hening. Bu Nelson tersenyum.
"Tapi saya pikir kalian tak akan menyadari hal itu dan saya pun tidak
berharap kalian menyadarinya saat ini juga. Lagipula memang belum
perlu. Kalian kan masih muda. Saya pun tak akan memberi kuliah
panjang lebar, melainkan saya hanya akan membantu kalian
menemukan sendiri bagaimana sulitnya menjadi orang tua. Dan tema
itulah yang akan menjadi proyek pertama kita. Inilah saatnya kalian
semua merasakan bagaimana rasanya menjadi orang tua!"BAGIAN TIGA
Bu Nelson merogoh saku blazernya dan mengeluarkan sebutir
telur dari sana. Kemudian beliau mengacungkan telur itu agak tinggi
hingga seisi kelas bisa melihatnya.
"Inilah proyek pertama kita," ujarnya.
Apa hubungannya proyek pertama kita dengan sebutir telur?
Aku mulai berpikir bahwa guru baru ini bukan hanya aneh
penampilannya tapi juga aneh jalan pikirannya
"Pertama-tama, kalian akan saya pasang-pasangkan seperti
suami istri. Tiap pasangan akan mendapat sebutir telur. Dan selama
dua minggu kalian berdua akan menjadi orang tua dari telur tersebut."
Beberapa anak mulai tertawa geli mendengar proyek yang aneh
itu, tapi Bu Nelson mengangkat tangannya menyuruh mereka diam.
"Tugas kalian adalah menjaga telur tersebut seperti orang tua
menjaga anaknya," lanjut beliau. "Dan ada beberapa peraturan yang
harus diikuti. Karena kalian adalah orang tua, maka telur itu tidak
boleh ditinggalkan sembarangan dan sendirian. Maksudnya, tiap
pasangan bertanggung jawab atas telur itu. Caranya terserah masing-
masing. Dan sebagai tanda kalian telah menjaganya dengan baik, telur
ini haruslah tetap utuh dan tidak boleh pecah selama dua minggu
penuh!"Bu Nelson kembali merogoh saku blazernya lagi dan
mengeluarkan sebuah uang logam.
"Sekarang," ujarnya. "Saya akan melempar uang logam ini.
Kalau keluar gambar, maka kita akan menulis nama murid perempuan
dan anak laki-laki harus memilihnya. Sebaliknya kalau keluar angka
anak laki-lakilah yang harus menulis namanya pada secarik kertas
untuk dipilih oleh anak wanita. Setuju?"
Ide Bu Nelson kedengaran unik juga. Sama sekali lain dari cara
guru-guru di Bradley sebelumnya. Dan secara jujur harus kuakui, gaya
mengajar Bu Nelson kurang lebih sama seperti gaya mengajar para
guruku di sekolahku yang lama di New York.
Bu Nelson melemparkan uang logam itu ke udara dan ternyata
yang keluar adalah... Angka! Maka semua anak laki-laki menuliskan
namanya pada secarik kertas, lalu melipatnya agar tak terbaca.
Gulungan nama-nama itu diletakkan di meja Bu Nelson. Anak-anak
wanita mulai berbaris untuk bergiliran memilih kertas-kertas berisi
nama anak cowok calon pasangannya.
Aku mengambil tempat di belakang Sabrina dan Katie. Aku sih


Girl Talk 07 Pasangan Aneh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tenang-tenang saja, sebaliknya Sabrina kelihatan begitu bersemangat
dan tidak sabar menunggu gilirannya.
"Gila nggak..." bisiknya senang, "Masing-masing akan
berpasangan dengan satu cowok! Dan tiap pasangan akan bekerja
sama selama dua minggu penuh dalam proyek ini!" Sabrina menghela
nafas. "Kira-kira siapa ya pasanganku?"
Allison berdiri di belakangku. Melihat tingkah Sabrina ia
mengangkat alisnya tinggi-tinggi dan tertawa kecil."Kau tahu pasti, tujuan dari proyek ini bukanlah sekedar
berpasang-pasangan..." ujar Allison. Sabrina hanya nyengir malu.
Tiba-tiba Bu Nelson mengacungkan tangannya. "Tunggu
sebentar anak-anak," serunya, "Sepertinya jumlah anak perempuan
lebih banyak dari jumlah anak laki-laki. Saya rasa harus ada anak
perempuan yang rela menjadi Ibu tanpa suami. Ada suka relawan?"
tanya beliau.
Tak seorangpun menjawab atau mengangkat tangan. Sabrina
kelihatan khawatir, takut kalau ditunjuk dan kehilangan kesempatan
berpasangan dengan cowok. Beberapa detik berlalu dan agaknya Bu
Nelson harus memilih seseorang karena tak ada yang mau menjadi
sukarelawan.
Tiba-tiba saja Alllison keluar dari barisan. "Saya mau
mencobanya," ujarnya.
Wah. Serahkan saja segalanya pada Allison, gumamku dalam
hati. Allison adalah anak yang mandiri, jadi menjadi ibu tanpa suami
bukan hal yang sulit baginya. Malah mungkin lebih mudah baginya
untuk mengatur segala sesuatunya sendiri tanpa perlu bergantung pada
pasangannya. Dan bukan tidak mungkin Allison akan lebih sukses
dalam proyek ini dibandingkan anak lain. Hidupnya betul-betul
teratur. Kadang-kadang aku berpendapat, Allison bisa mengatasi
segalanya.
"Baiklah kalau begitu," Bu Nelson tersenyum. "Kita semua
tentu tak sabar untuk mendengar pengalamanmu menjadi orang tua
tunggal bagi sang telur."
Stacy menjadi orang pertama yang memilih gulungan kertas.
Nggak heran. Stacy memang selalu ingin jadi yang pertama dalamsegala hal. Ia berdiri agak lama dan memilih-milih beberapa detik.
Dan perlahan-lahan ia membuka gulungan kertas yang diangkatnya
tanpa berpindah dari depan meja. "Nick Robbins!" serunya girang.
Aku melirik Katie dengan ekspresi muak melihat tingkah Stacy.
Si Hebat Stacy memang sejak lama naksir Nick. Bahkan ia pura-pura
pacaran sama Nick. Padahal diam-diam kita semua tahu bahwa Nick
naksir Sabrina.
Stacy tersenyum dan sebelum kembali duduk di kursinya ia
berkata lirih pada Bu Nelson, "Saya sudah lama menunggu
kesempatan ini. Kami berdua cocok sekali dan saya jamin kami akan
menjadi pasangan yang paling serasi."
Beberapa anak lain mulai memilih pasangannya dan akhirnya
tiba giliran Sabrina. Ia segera meraih sebuah gulungan dan
membukanya tak sabaran dan tiba-tiba saja wajahnya berubah menjadi
pucat pasi. "Aku tak percaya!" serunya meringis dengan wajah super
kecewa, gulungan kertas itu dibuangnya ke lantai begitu saja, "Aku
memilih nama kakak kembarku sendiri!"
Seisi kelas tertawa mendengarnya.
Sam terlonjak dari kursinya. "Wah wah., apa khabar
partnerku!" serunya pada adik kembarnya dengan logat bahasa Inggris
yang kacau. Sabs mencibir jengkel.
Aku tak dapat menahan diri untuk ikut tertawa. Betapa sialnya
Sabrina. Dialah satu-satunya gadis yangbernasib buruk di kelas ini.
Bayangkan, dari segitu banyak jumlah anak cowok, masak bisa
memilih nama saudaranya sendiri! Benar-benar naas!
Katie juga tertawa geli. Sambil melangkah mengambil
gilirannya Katie menahan tawanya. Begitu ia memilih gulungan kertasdan membukanya, terlihat ia menelan ludah dan tawa gelinya berubah
menjadi tawa sumbang.
"Winslow Barton," gumamnya seraya pura-pura gembira. Katie
benar-benar gadis yang sopan dan mematuhi tata krama pergaulan.
Tapi dari raut wajahnya aku yakin Katie tidaklah gembira
berpasangan dengan Winslow. Banyak orang mengira ia mahluk aneh
lantaran gaya rambut dan penampilannya dengan kaca mata super
tebalnya. Sebetulnya, menurutku ia seorang teman yang cukup
mengasyikkan, meskipun dia tak disukai cewek-cewek. Winslow
sebenarnya seorang yang amat pemalu. Lagipula kalau sudah bicara
soal komputer dan elektronik ia suka ngalor ngidul. Tentu saja cewek-
cewek sebel dan jadi males ngobrol dengannya.
Aku melangkah maju, tiba giliranku. Kuambil sebuah gulungan
kertas yang terletak paling dekat dengan tanganku dan kubuka
perlahan. Aku betul-betul tak perduli siapa pun pasanganku.
Bagaimanapun proyek ini pasti bakal asyik sekali. Setidaknya itu yang
ada dalam pikiranku sebelum aku membaca nama yang tertera pada
secarik kertas di genggamanku itu.
"Mark Wright," ujarku tersendat. Gigiku terasa ngilu begitu
mengucapkan nama itu. Aku berbalik dan duduk di kursiku dengan
kepala pusing. Sekarang aku berbalik menyesali proyek unik Bu
Nelson ini. Aku tak berani menatap wajah teman-teman. Aku tak ingin
mereka tahu bahwa aku kecewa sekali berpasangan dengan Mark.
"Sepulang sekolah nanti, akan saya akan bawa telur-telur itu
dan membagikannya pada kalian di kelas ini," kata Bu Nelson setelah
setiap anak memperoleh pasangannya. "Dan setiap orang tua harus
datang bersama pasangan masing-masing untuk menjemput telurnya.Lalu kalian harus membuat rencana dan mengatur pembagian
tanggung jawab menjaga telur ini."
Sulit bagiku untuk berkonsentrasi pada ucapan Bu Nelson. Aku
sibuk dengan pikiranku sendiri. Gimana ya rasanya berpasangan
dengan orang macam Mark selama dua minggu penuh? Sebetulnya
aku sudah bisa menduga. Dua minggu itu akan menjadi siksaan
terberat dalam hidupku. Bagaimanapun aku toh harus
melaksanakannya. Maka begitu bel tanda akhir pelajaran berbunyi,
aku segera menghampiri Mark di mejanya untuk memastikan di mana
kita berdua akan berdiskusi soal pembagian tanggung jawab. Tapi
kelihatannya Mark begitu tergesa-gesa sehingga langsung merapihkan
buku-bukunya dan berlari ke luar kelas sebelum aku sempat
menghampirinya. Kucoba mengejar, tapi terlambat. Tingkahnya
begitu aneh, pikirku bingung.
Allison menghampiriku. "Ada apa Randy?" tanyanya.
"Nggak apa-apa kok," gumamku jengkel.
Allison lalu diam. Al selalu mengerti kapan aku senang dan
kapan aku jengkel. Ia amat memahami sifatku. Jika sedang marah aku
lebih suka ditinggal sendiri. Aku senang sekali punya sahabat yang
dapat mengerti diriku sepenuhnya. Soalnya kalau lagi jengkel rasanya
aku cuma pingin diam. Menyendiri dan tak berbicara sepatah kata
pun. Sabrina dan Katie bergabung saat kami berdua menyusuri
koridor.
Sabs mengajakku bicara, "Kau sungguh beruntung Randy,"
ujarnya sedikit iri, "Mark Wright adalah cowok idaman setiap cewek.""Bukan cuma itu," timpal Katie, "ia juga anak pandai. Jadi
proyek kalian berdua pasti paling berhasil."
Tiba-tiba saja aku merasa darahku naik ke kepala. Telingaku
berdengung mendengar pujian-pujian tentang Mark Wright. Tuan
Wright si siswa teladan. Bah!
"Yah...asal kalian tahu saja, dia tak sehebat yang kalian
bayangkan," semburku tak tahan. "Gara-gara dialah aku dapat
hukuman tambahan tempo hari."
Mereka bertiga menatapku tak percaya. Mereka pasti terkejut.
"Serius nih?" tanya Sabs.
"Mark Wright mendapat hukuman?" tanya Katie kaget. "Aku
tak percaya deh!"
Cukup. Mereka semua mengira aku bohong dan Mark Wright
yang paling hebat. Bahkan teman-teman terdekatku sekalipun
beranggapan begitu.
"Sumpah! Cowok idola kalian, Mark Wright mendapat
hukuman tempo hari!" seruku jengkel.
Aku tak tahan lagi. Setelah meneriakkan uneg-unegku, akupun
segera membalikkan tubuhku dan berlari menuju kelas berikutnya.
Kubiarkan teman-temanku bengong melihat sikapku yang aneh.BAGIAN EMPAT
"Katie, aku ingin membicarakan beberapa hal padamu sebelum
kita mulai," kudengar Winslow berbicara pada Katie saat aku dan
Allison melintasi koridor. Winslow memegang telur di tangannya.
"Aku telah menyelidiki dan mengadakan percobaan tentang struktur
permukaan telur dan lingkungan yang ideal bagi sebutir telur saat
praktikum biologi lalu. Dan selama jam PKK tadi aku telah mencatat
berbagai informasi yang perlu kau ketahui dalam kartu-kartu indeks
ini," ujarnya seraya menyerahkan setumpuk kartu-kartu pada Katie
yang menatapnya dengan bingung.
"Kamu ngomong apa sih, Winslow?" tanya Katie sambil
menatap kartu-kartu di tangannya. Katie berhenti bertanya, sebaliknya
Winslow makin bersemangat. Katie hanya menoleh pasrah begitu
melihat kami lewat dan aku hanya dapat mengangkat bahu.
"Katie..." tukas Winslow.
Setelah melirik pasrah sekali lagi, Katie pergi mengikuti
Winslow. Dari kejauhan masih terdengar suara Winslow menjelaskan
segala sesuatunya pada Katie. "Data statistik pada kartu pertama,
menunjukkan berapa beban yang dapat ditahan oleh sebutir telur pada
satu titik dalam satu satuan waktu..."Suaranya semakin samar seiring dengan semakin jauhnya
mereka melangkah meninggalkan koridor. Allison menatapku dengan
sebelah alis terangkat dan kami berdua tertawa. Berpasangan dengan
Winslow akan menjadi pengalaman yang paling ?mendidik? seumur
hidup Katie.
"Jam berapa sekarang?" tanyaku pada Allison untuk yang
kesekian kalinya dalam setengah jam terakhir ini.
"Sekitar jam...tiga lewat empat puluh menit," jawabnya.
"Dia harus segera muncul!" gumamku setengah mengancam.
Mengancam? Sekolah sudah berakhir lebih dari empat puluh menit
lalu. Aku dan Al belum menjemput telur kami dari Bu Nelson padahal
aku tidak tahu kapan Bu Nelson akan pulang dari sekolah. Sejak
pelajaran pertama pagi tadi, aku tidak melihat Mark lagi.
Allison menatap ke sepanjang koridor penuh harap, "Mungkin
sebaiknya kau tak perlu menunggu Mark," ujarnya, "Bu Nelson
mungkin sebentar lagi akan pulang. Sebaiknya kita segera mengambil
telur kita sekarang."
Aku diam. Mana mungkin aku mengambilnya sendiri. Lagipula
sebagian tanggung jawab atas telur itu ada di bahu Mark. Jika saja aku
tahu akan berpasangan dengan Mark, rasanya aku lebih baik menjadi
sukarelawan macam Allison. Jadi orang tua tunggal lebih mudah
ketimbang harus berpasangan dengan mahluk macam Mark.
Tapi kasihan juga Allison kalau harus berpasangan dengan
Mark ya?
Allison mulai melangkah menuju kelas Bu Nelson. Dan setelah
menatap ke koridor sekali lagi, aku pun mengikutinya. Di ruang kelas,
Bu Nelson tengah membaca buku teks pelajaran Kesehatan Keluarga.Ia tersenyum melihat Al. ?Nah ini dia Ibu tanpa suami..." lalu ia
beralih menatapku. "Atau...kita punya dua Ibu tanpa suami?"
"Tidak...mh...anu..." aku mulai bicara dan gugup. Entah kenapa
aku merasa malu karena datang sendirian tanpa pasanganku.
"Pasangan Randy tak dapat hadir," sela Allison menolongku,
"Jadi ia terpaksa menjemput telurnya sendiri."
"Baiklah, tak apa-apa." sahut Bu Nelson. Ia menyodorkan
sebuah kotak karton ke arah kami, "silahkan pilih sendiri ibu-ibu..."
kelakarnya.
Tiap butir telur hampir tak ada bedanya satu sama lain,
menurutku. Kuambil saja yang terletak paling dekat denganku. Tapi
sebaliknya Al memilih telurnya dengan seksama dan hati-hati. Setelah
itu kami segera meninggalkan ruangan.
"Selamat ya Bu!" seru Bu Nelson mengiring kepergian kami,
"Semoga sukses!"
Aku menatap Al, kemudian menatap telurku. Ini kan telur biasa
ya? Atau...ada bayi di dalamnya? Kami berjalan lagi melintasi koridor
menuju loker masing-masing. Untuk memegang telur ini, aku harus
menggunakan satu tangan, ditambah lagi aku harus menemukan posisi
yang paling nyaman dan aman untuk menggenggam si telur. Tentu
saja aku tak mungkin menjinjing telur seperti ransel. Lagipula aku tak
berani memasukkannya dalam saku. Terlalu rawan, kukira.
Agaknya menjaga telur akan menjadi lebih sukar dari yang
kubayangkan sebelumnya. Selama ini tak pernah terpikirkan olehku
bahwa telur adalah benda yang begitu rapuh dan harus dilindungi.
Maksudku, aku hanya memikirkan soal telur jika aku ingin telur
dadar. Jika kutinggalkan sedetik saja, barangkali seseorang akanmemecahkannya. Bagaimana caraku menjaganya selama dua minggu
penuh? Aku mulai sadar betapa pentingnya arti pasangan dalam
menjaga telur ini. Proyek ini akan berjalan jauh lebih mudah jika kita
memiliki pasangan.
Akhirnya kami tiba di loker dan kupindahkan telur ke tangan
kananku sehingga aku bisa membuka loker. Jangan lupa, aku ini
cewek kidal yang mengerjakan segala sesuatu dengan tangan kiri!
Tiba-tiba Allison menepuk bahuku. Kulihat alisnya terangkat sedikit
dan matanya mengarah ke satu titik. Aku begitu terkejut sehingga
nyaris menjatuhkan telur dalam genggamanku. Baru saja aku akan
membuka mulut dan mengingatkan Al agar lebih hati-hati lain kali.
"Al..."
Ucapanku terhenti. Tiba-tiba aku melihat siapa yang dimaksud
Allison. Kulihat Mark Wright
beberapa meter di hadapanku. Ia bergegas menyusuri koridor
dengan kepala tertunduk dan buku-buku di tangannya. Ia kelihatan
seperti mahluk angkasa luar yang merasa asing di bumi. Ia melintas
tepat di hadapan kami tanpa menyadari bahwa aku ada di situ. Aneh
banget ini orang!?
"Hei!" panggilku. "Mark!" Tapi ia terus melangkah dan sama
sekali tidak menoleh. Ia bahkan tidak menghentikan langkahnya. Aku
menatap Al dan kulihat ia hanya mengangkat bahu.
"MARK!" teriakku sekeras mungkin. Untunglah mulutku besar
sekali sehingga dapat menghasilkan suara super keras. Dan secepat
kilat Mark menghentikan langkahnya. Kesabaranku hampir habis
dibuatnya."Dari mana saja sih kamu?" tanyaku seraya melangkah
mendekatinya.
Beberapa saat ia kelihatan bingung. Celingukan kesana kemari.
Kemudian ia mulai membuka mulutnya, seperti hendak balas
membentakku. Tapi sebelum mengeluarkan kata-kata tiba-tiba
matanya tertuju pada telur di tanganku. "Oh...ya...maaf," sahutnya
singkat.
"Cuma itu yang bisa kau katakan? Maaf?" tanyaku dengan
sebelah tangan berkacak pinggang. Kucoba untuk mengendalikan diri
menghadapi Mark yang menjengkelkan. "Bagus sekali!" seruku
seraya manggut-manggut. Dia kan seorang siswa teladan. Kutatap
sekali lagi telur di genggamanku dan kucoba mengingatkan diriku
sendiri bahwa proyek ini akan lebih mudah dijalankan jika aku
memperoleh ?ayah? untuk telur ini. Pemikiran itu membuatku menjadi
sedikit tenang dan mengendalikan amarahku. Kutarik nafas panjang
dan kutatap matanya dalam-dalam.
"Baiklah," ujarku setenang mungkin. "Jadi, di mana dan kapan
diskusi kita?"
Ia malah terbelalak heran melihatku.
"Diskusi apa?" tanyanya. Seolah-olah dia sama sekali tidak
mengerti apa yang kuucapkan.
Aku menarik nafas panjang sekali lagi. Sejak lama aku sudah
memperingatkan diriku untuk mampu menahan amarah agar tidak
terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan.
"Diskusi apa?! Apa maksud pertanyaanmu itu? Di kelas pagi


Girl Talk 07 Pasangan Aneh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tadi kamu nggak menyimak? Kita kan harus mendiskusikan tentangcara kita menjaga telur ini!" kataku sambil menjaga agar nada suaraku
tetap normal. Hampir saja aku berteriak marah.
"Gini deh," ujar Mark, "bagaimana kalau kau saja yang
menjaga telur itu? Aku tidak marah kok, rela.." ujarnya seolah baru
saja memberikan pertolongan besar buatku.
"O ya? Tapi aku sendiri nggak rela!" bantahku kesal, "Kau tahu
kita seharusnya membagi tanggung jawab. Itu sebabnya kupikir kita
harus mendiskusikannya!"
"Oke, oke.." sahutnya menyela omonganku. Lalu setelah
menghela nafas ia melanjutkan. "Oke deh kita diskusi. Tapi sekarang
ini perutku keroncongan banget, jadi sebaiknya kita diskusi di Fitzies.
Hm?"
Jam-jam pulang sekolah seperti ini, Fitzies selalu ramai dan
penuh sesak. Rasanya itu bukan tempat yang tepat untuk berdiskusi.
Tapi menurutku, sudah untung Mark mau berdiskusi. Jadi di mana pun
maunya, aku ikut saja. Lagipula kalau terus berbantah-bantah kapan
habisnya?TEENLITLAWAS.BLOGSPOT.COM
Mungkin kalau aku menolak usulnya kita tak akan sempat
ketemu lagi besok-besok.
"Baiklah," sahutku. "Tapi aku harus mengambil barang-
barangku dulu. Kita ketemu di sana sepuluh menit lagi."
Aku segera berbalik kembali ke arah Allison yang masih
menunggu di loker kami. "Nih, tolong pegang telur bodoh ini Al. Asal
kau tahu aja, semua tak akan berjalan dengan lancar," gerutuku seraya
membuka lokerku dengan suara keras. Setiap kali marah aku
cenderung untuk membanting-banting segala sesuatu yang ada di
hadapanku. Mungkin itu sebabnya aku suka bermain drum."Aku yakin kau akan berhasil," ujar Al. "Asal kau ingat tiap
saat, bahwa kau harus berhati-hati."
"Aku tahu, aku tahu," sahutku sambil memasukkan buku-buku
ke ranselku. Telur ini akan menjadi masalah besar bagiku. Beberapa
saat kemudian baru kusadari bahwa yang dimaksud Allison dengan
?kau harus berhati-hati? mungkin bukan dengan telur ini tapi justru
dengan Si Mark sendiri.
Setibanya di Fitzies, Mark sudah menghabiskan double cheese
burger dengan coleslaw dan kentang goreng ditambah milk-shake
vanila. Pasti dia lagi benar-benar lapar. Kuletakkan telur itu di atas
meja dan menatapnya heran. Waktu sudah menunjukkan jam empat
lewat.
"Apa orang tuamu nanti nggak marah?" tanyaku pada Mark.
"Marah kenapa?" ia balik bertanya dengan mulut penuh kentang
goreng.
"Kau makan begini banyak, pasti nanti nggak ada tempat lagi
untuk makan malam di perutmu."
Ia cuma mengangkat bahu tapi tidak langsung menjawab.
"Tidak semua keluarga punya kebiasaan makan malam bersama,"
katanya akhirnya.
"Ya, aku tahu maksudmu," sahutku seraya menganggukkan
tanda setuju. Tiba-tiba saja aku ingin menatap Mark. Mungkin bukan
cuma keluargaku saja yang punya kebiasaan-kebiasaan aneh. Mungkin
ada juga keluarga lain yang tidak mengikuti jadwal rutin yang khas di
Acorn Falls ini. Dan mungkin keluarga itu keluarga Mark! Saat itu
pelayan datang dan kupesan bacon-cheeseburger, kentang goreng dan
segelas soda.Mark juga menatapku dengan heran begitu mendengar
pesananku. Tapi saat ini aku sama sekali tak berniat membicarakan
tentang situasi keluargaku padanya. Aku dan Ibu tidak terlalu
memusingkan soal makan. Ibuku adalah seorang seniman dan
kadangkala sepulang sekolah Ibu tengah asyik mengerjakan sesuatu
dan tak mungkin berhenti untuk menyiapkan makan malam. Dan
bagiku hal itu biasa saja karena aku bisa makan apa saja yang kusuka,
kapan saja aku mau.
Bagaimanapun aku tak ingin membicarakan hal itu pada Mark.
Soalnya kita kan bukan teman dekat. Aku bahkan tidak begitu
menyukainya. Maka kucoba mengalihkan pembicaraan.
"Jadi," ujarku, "menurutmu, apa yang harus kita lakukan
dengan telur ini?"
Begitu kalimatku selesai, sekelompok anak-anak dari kelas
delapan melintasi meja kami sambil main dorong-dorongan dan
tertawa keras-keras. Biasanya sih aku tak ambil pusing. Tapi kali ini
aku harus menjaga telurku. Maka kuraih dan kugenggam telur itu erat-
erat. Jangan sampai ada yang menyentuhnya dan menjatuhkannya dari
meja. Sekarang baru aku menyesal, kenapa harus berdiskusi di Fitzies!
Begitu ramainya sehingga mungkin saja telurku pecah di hari pertama
proyek ini.
"Jadi," ulangku sekali lagi," Menurutmu, apa yang harus kita
lakukan?"
Mark memperhatikan burger yang akan dilahapnya seperti
seseorang yang tengah mengadakan penelitian biologi.
"Entahlah...terserah kamu," gumamnya.Aku tak mempercayai pendengaranku. Sang Siswa Teladan
bilang ?terserah?? Aku memang tak berharap Mark akan memberikan
kartu indeks seperti Winslow dan Katie tapi setidaknya?
"Lalu..." ujarku sambil mencoba sekali lagi untuk mengajak
bicara cowok brengsek ini. "Apakah kau ada acara latihan basket atau
main piano atau apa pun besok?"
Mark mengangkat bahu tanpa menjawab sepatah kata pun.
Aku menahan diri untuk tidak menjerit melihat tingkahnya yang
memuakkan. Hampir saja aku berteriak: "Kalau begitu lupakan saja!"
dan menghambur keluar dari Fitzies. Sepanjang hari ini sudah ratusan
kali kugigit lidahku dalam rangka menahan amarah terhadap Mark,
sampai serasa nyaris putus! Tapi anehnya aku mulai merasa telur ini
menjadi sesuatu yang penting buatku.
"Dengarlah Mark, menurutku kita harus membicarakan soal
telur ini," ujarku menahan diri. "Kalau tidak semua akan gagal total."
"Kau yang dengar," sahutnya tajam. "Gimana kalau kau saja
yang menjaga telur itu selama kau mau dan mampu. Dan kau bisa
memberikannya padaku kapan saja kau mau. Kalau kau sudah bosan
mungkin," kulihat malah Mark yang kehabisan kesabarannya
mendengar desakan-desakanku soal telur.
"Wah...wah calon bapak macam apa kau ini," ujarku
berkelakar. "Anaknya saja belum menetas kau sudah tak mau
mengurusnya. Menelantarkannya begitu saja...,"
"Hei! Jangan pernah bicara begitu padaku ya! Aku bukan ayah
macam itu!" seru Mark memotong kalimatku. Pipinya memerah dan
mata birunya berkilat marah. "Aku bukanlah orang yang begitu egois
sehingga menelantarkan anak-anakku."Aku betul-betul terkejut dibuatnya. Temperamen cowok satu ini
benar-benar tak dapat diduga dan tidak normal! Dan hal itu
membuatku makin merasa muak. Sia-sia saja aku menahan diri untuk
tetap bersikap ramah padanya jika akhirnya hanya dampratan yang
kudapat darinya.
"Nyatanya itu yang kau lakukan terhadap telur ini sekarang.
Super egois!" balasku.
Matanya menyipit. "O ya?", ujarnya. "Kau dan ide-ide
cemerlangmu. Kau dan telurmu yang berharga itu. Kau lah yang sama
sekali tak perduli dengan perasaan orang lain di sekelilingmu. Hanya
kau, ide-ide cemerlang dan telur itu saja yang ada di pikiranmu!"
Cukup sudah. Aku merasa tersinggung sekali. Bagaimana
mungkin ia menuduhku sebagai orang yang egois dan mementingkan
diri sendiri? Nyatanya akulah yang amat memperhatikan soal telur dan
kelangsungan proyek kami. Mark benar-benar aneh!
Kuambil telurku dan saat itu rasanya aku ingin melempar telur
itu ke wajahnya. Tapi tentu saja hal itu akan menggagalkan proyekku
dan kalau aku gagal tentu Mark akan tertawa menang. Aku sama
sekali tak ingin membantu Mark untuk tertawa menang.
Aku lantas berdiri dengan telur dalam genggamanku. Kurasakan
wajahku menghangat lantaran marah.
"Baiklah, tuan Egois!" tukasku, "Lupakanlah! Lupakan
semuanya! Lupakan usulku, lupakan telur ini dan lupakan juga diskusi
kita!"
Dan sebelum aku menyadari yang kuperbuat, aku sudah
menyambar mantel dan buku-bukuku, dan menghambur keluar dengan
telur dalam genggaman.BAGIAN LIMA
"Hei Sabrina," panggil Sam seraya berlari ke dalam dapur
keluarga Wells.
Sabrina mengangkat kepalanya.
"Tangkap nih!" seru Sam seraya melemparkan sesuatu ke
arahnya.
Aku dan Katie menyaksikan bagaimana Sabrina menjerit panik.
Menghambur ke depan dan tunggang langgang sebelum berhasil
menangkap telur itu dengan kedua tangannya. Wajahnya bersemu
merah. Merah menyala.
"Sam!" teriaknya. "Sudah kubilang jangan ulangi perbuatan
itu!"
Tapi Sam sendiri sudah meninggalkan dapur dan kami masih
dapat mendengar tawanya menaiki tangga menuju ruang atas.
Sabs menoleh ke arah kami sambil menghela napas. "Ia terus
saja melakukannya," gerutunya, "Aku khawatir kalau suatu kali aku
tak dapat menangkap telur itu dan memecahkannya. Rasanya aku tak
percaya pada nasib burukku. Seminggu berpasangan dengan Sam
sudah cukup membuatku jantungan. Mana aku sanggup bertahan
seminggu lagi?"Kulirik pojok dapur untuk memastikan bahwa telurku dalam
keadaan aman. Sabrina mengundang aku, Katie dan Allison ke
rumahnya untuk mengadakan Pesta Menidurkan Telur. Maksudnya
bersama-sama menjagai telur masing-masing agar sang telur bisa tidur
dengan aman. Lagipula setelah melihat ulah Sam, rasanya tak aneh
kalau Sabs membutuhkan beberapa orang teman untuk sama-sama
menjagai telur. Sejauh ini Sam telah tiga kali menyembunyikan telur
mereka dan dua kali pura-pura memecahkannya.
Bagiku sendiri, minggu pertama ini berlangsung lebih tenang.
Aku dan Mark Wright hanya bertemu pada jam pelajaran PKK saja.
Dan dalam kelas pun kami saling acuh tak acuh satu sama lain.
Telurku dalam keadaan baik-baik dan aku sendiri sudah terbiasa
mengerjakan segala sesuatu hanya dengan sebelah tangan saja. Dan
yang penting aku harus menjauhkan telur itu dari Ibuku, sebab bisa-
bisa telurku dibuatnya dadar atau sup telur kegemarannya. Maklumlah
Ibu kalau sudah hanyut dengan karya-karya seninya bisa lupa
segalanya.
Kami bertiga duduk menunggu Al. Malam ini rencananya kami
akan menginap di rumah Sabrina. Al berjanji akan datang secepatnya
seusai makan malam. Keluarga Al memang punya aturan untuk selalu
makan malam di rumah. Dan Ibunya adalah tipe Ibu rumah tangga
yang selalu menyediakan waktu untuk memasak makan malam bagi
keluarganya.
Aku sendiri makan malam di rumah Sabs. Dan seperti biasanya
makan bersama keluarga Sabrina memberikan pengalaman seru.
Dengan lima orang anak keluarga Wells dan dan dua orang tua,
suasana makan malam begitu meriah. Dan tentu saja Nyonya Wells,Ibu Sabrina, terus menambahkan makanan ke dalam piringku. Beliau
memang paling senang memberi makan banyak pada setiap orang.
Lalu terdengar ketukan di pintu dapur. Pintu terbuka dan
masuklah si Allison.
"Hallo," sapanya seraya melepaskan ransel dari bahunya dan
meletakkannya di gantungan.
Mata Sabs membelalak. "Allison!" teriaknya tertahan, "Mana
telurmu?"
Aku memandang Allison dengan takjub. Kedua tangannya tak
memegang apa-apa dan ia masih mengenakan jaketnya.
Al tersenyum.
"Jangan khawatir, telur itu ada padaku," sahutnya seraya
membuka kancing jaketnya. Di balik jaket, terlihat kantung kain kecil
menggantung di lehernya dengan sebuah pita.
Mata Sabrina makin terbelalak. "Apa itu?" tanyanya
bersemangat.
"Wah...bagus betul," puji Katie.
"Oh, ini namanya papoose," Al menjelaskan. "Idenya kudapat
dari nenekku. Menurut beliau, suku Indian dulu selalu membawa
bayinya ke mana-mana dalam kantung yang digantungkan di leher
macam ini."
"Aneh ya, masak bayi dibawa dalam kantung leher macam itu?"
tanya Sabs heran.
"Yah," lanjut Al, "dengan begitu kedua tangan mereka dapat
digunakan secara normal. Misalnya untuk menyiapkan makanan.
Lagipula, aku kan tidak punya pasangan untuk bergantian menjagaitelur ini. Maka kugunakan kantung ini. Dengan begitu jadi lebih
mudah membawa buku dan barang-barang. "
"Ayo masuk," ajak Sabrina, "mari kita bawa telur-telur kita ke
kamar. Di sana pasti aman."
Kamar tidur Sabrina terletak tepat di bawah atap. Kami segera
mengambil telur masing-masing dan membawanya ke lantai atas.
Setelah itu kami mulai mencari tempat yang cocok dalam kamar
Sabrina untuk menyimpan telur kami.
"Aku tahu!" seru Sabrina riang, "kita simpan saja dalam
sepatu!"
Aku menatapnya heran. "Hm...menurutku sih, gimana ya..." aku
berkelakar. "Kalau begitu kau harus berjalan amat hati-hati jika
mengenakan sepatu berisi telur."
Sabs tertawa. "Tentu saja bukan sepatu yang kita kenakan, tapi
sepatu-sepatu yang ada di rak sepatu tuh..." ujarnya seraya menunjuk
ke sebuah sudut. Sabs langsung berlari ke lemari sepatu yang
dimaksudkannya, lantas membuka pintu lemari itu.
Kami semua menatap kagum ke dalam isi lemari rak sepatu itu.
Ck...ck..ada begitu banyak sepatu dengan warna dan model yang
aneka ragam. Seperti toko sepatu saja. Seumur-umur baru kali ini aku
melihat orang punya koleksi sepatu sebanyak Sabrina.
"Agaknya ini tempat yang cukup aman," komentar Al.
Aku dan Katie mengangguk setuju dan kami masing-masing
memilih sepatu mana yang akan dijadikan rumah bagi telur kami. Aku
memilih sepatu datar berwarna ungu tua.
?Nah," seru Sabs lega sambil masuk ke dalam selimutnya.
"Sekarang telurku aman dari gangguan Sam," ia menghela nafas lega."Aku masih belum percaya, nasibku bisa begitu buruk. Anak-anak
lain mendapat pasangan yang jauh lebih baik dari Sam."
"Entah ya," sambung Katie sambil menggelar kantung tidurnya
di atas karpet dan duduk di atasnya.
Aku menatapnya heran. "Apa maksudmu dengan entahlah?"
tanyaku. "Kau kan berpasangan dengan Winslow. Bukankah dia
pasangan yang paling bertanggung jawab dan ikut memperhatikan
keselamatan telur kalian?"
"Betul sih," angguk Katie, "tapi justru itu problemnya. Begitu
besar tanggung jawabnya sehingga ia tak berani menyerahkan telur itu
padaku. Dia mau menjaganya sendiri dan tidak mempercayaiku!
Sumpah deh, untuk bisa membawa telur itu malam ini, aku terpaksa
membujuknya sepanjang hari. Dan lucunya ia memintaku
menilponnya begitu tiba dengan selamat di rumah Sabs."
"Kedengarannya Winslow mirip ibuku," Al tersenyum geli.
Kami berempat tertawa.
"Yah, setidaknya pasanganmu itu banyak membantumu dalam
proyek ini," sambungku.
Sabs menatapku, "Apa maksudmu?" tanyanya, "Mark pasti
pasangan yang baik kan?"
"Ya, dia kan siswa teladan di sekolah kita," timpal Katie.
"O ya?" aku menghela nafas dan mencibir sedikit. "Tapi
nyatanya ia benar-benar memuakkan dalam proyek ini. Ia bahkan
belum pernah melihat bentuk telur kami?"
"Masa sih?" Katie ragu.


Girl Talk 07 Pasangan Aneh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Iya," Sabs ikut ragu, "dan katamu kau melihat Mark mendapat
hukuman minggu lalu?""Iya," anggukku, "Aku tahu semua orang menganggapnya
murid teladan atau anak baik-baik, tapi bagiku ia benar-benar
menyulitkan."
Tiba-tiba saja pintu kamar Sabrina terbuka dan Sam menyerbu
masuk.
"Hei Sabrina! Cepat!" teriaknya mengejutkan.
Sabs langsung melonjak kaget. "Ada apa?" tanyanya cepat.
Sam nyengir. "TANGKAP!" teriaknya seraya melemparkan
sebuah benda kecil warna putih.
Dan sekali lagi Sabs dengan panik berusaha menangkap benda
itu dan dengan susah payah akhirnya sukses juga. Hop. Dan tentu saja
benda itu sama sekali bukan telurnya, melainkan bola golf. Ia
membuka tangannya yang berhasil menangkap benda putih itu dan
saat itu baru sadar bahwa telurnya aman tersimpan dalam lemari
sepatu. Wajahnya langsung memerah.
"Latihan kecil-kecilan..." seru Sam nakal.
"SAM!" jerit Sabs marah sambil memutar-mutarkan tangannya
hendak melempar balik bola golf itu ke arah Sam. Tapi Sam menutup
pintu tepat pada waktunya sehingga bola golf itu menghantam pintu
dan mental, menggelinding ke atas karpet.
"Cukup sudah," keluh Sabrina, "Habis kesabaranku. Aku harus
mencari akal untuk membalasnya!"
"Ya, konyol bener sih. Dikiranya lucu kali," timpalku.
"Ih...gimana kalau nanti dia jadi ayah beneran ya?" gumam
Katie.
"Dia membuatku hampir mati ketakutan," kata Sabs lagi."Bertanggung jawab atas benda yang amat sensitif memang
tugas yang berat," sambung Al, "Tahu nggak, tempo hari aku sedang
duduk-duduk di karpet di ruang tengah rumahku. Sambil membaca,
kuletakkan telur di sampingku biar aku bisa tetap mengawasinya. Tak
tahunya aku begitu larut dalam bacaanku dan melupakan telurku. Aku
baru menyadarinya saat adikku Charlie masuk ke dalam dengan gaya
Superman, lari secepat kilat melintasiku dan hampir saja menginjak
telurku!"
"Aku mengerti," tukasku, "Sama seperti yang kualami waktu
membawa telurku ke Fitzies. Tadinya aku berusaha mengajak Mark
berdiskusi. Tapi suasana di sana begitu ramai dan penuh sesak. Orang-
orang yang lewat menggoyang-goyangkan meja kami. Yah, kau tahu
sendiri kan gimana suasana di Fitizies. Tapi baru saat itu aku
menyadari betapa berbahayanya tempat macam itu bagi keselamatan
telurku."
Beberapa saat kemudian, setelah kami semua berbaring dalam
kantung tidur masing-masing dan memadamkan lampu, aku mulai
melamun. Kenapa aku khawatir membawa telurku ke tempat macam
Fitzies atau tempat mana pun yang mungkin membahayakan nasib
telurku?
Lalu aku mulai menghubungkan rasa khawatirku dengan
perasaan orang tuaku. Ibu pernah bercerita. Katanya waktu aku masih
bayi, mereka selalu membawaku serta ke mana pun mereka pergi.
Entah bagaimana cara mereka menjagaku di tempat-tempat itu.
Menjagai telur sebutir saja rasanya susah minta ampun, apalagi anak
manusia ya?BAGIAN ENAM
Saat bangun keesokan harinya, kulihat lewat jendela salju mulai
turun. Lucu deh, waktu pertama kali pindah ke Acorn Falls aku selalu
bangun dengan menggigil tiap kali salju turun. Tapi kini aku mulai
terbiasa. Di sini salju turun jauh lebih banyak dan lebih lebat daripada
di New York.
Kukenakan legging kesukaanku yang berwarna hitam dan
switer ukuran raksasa berwarna hitam-putih yang luar biasa uniknya.
Switer ini adalah hadiah dari Ibuku. Tiba-tiba kudengar Sabrina
memekik tertahan.
Kami semua langsung menghampiri dan ikut melongok ke arah
lemari sepatu di mana Sabs berdiri terpaku.
"Ada apa sih?" tanyaku.
"Iya, ada apa Sabrina?" tanya Katie penasaran.
"Oh.. .tidak...," raung Sabs sambil memandang ke arah sepatu-
sepatu dalam rak di lemari. "Aku meletakkan telurku dalam sepatu
datar berwarna ungu tua ini, tapi ternyata ada orang lain yang juga
meletakkan telurnya dalam sepatu yang sama sehingga sekarang aku
tak tahu mana telurku."
"Oh aku juga meletakkan telurku di situ!" seruku sambil
menyeruak ke depan rak sepatu dengan panik."Aku lupa di mana meletakkan telurku. Di sepatu kiri atau
kanan ya?" rengek Sabs.
"Aku juga tidak ingat," keluhku bingung.
"Tunggu dulu deh, tenang dulu," lerai Katie, "aku yakin kita
bisa membedakan telur-telur itu. Tidak ada dua benda yang bentuknya
persis sama kan?"
"Tapi perbedaan antara telur yang satu dengan telur yang lain
kan keciiil sekali, mana mungkin terlihat?" bantah Al.
Sabs mengangkat kedua telur dari sepatu ungu dan menatapnya
tajam tak berkedip. Katie pun segera mengangkat telurnya dari sepatu
merah jambu Sabrina, disusul oleh Al yang mengeluarkan telurnya
dari sandal tidur berbentuk kepala beruang.
"Hmmm," gumam Sabrina, "aku yakin punyaku agak lancip
ujung atasnya."
"Ah Sabs, semua telur juga agak lancip di salah satu ujungnya,"
bantahku, "sini kulihat."
Sabs memberikan telur itu padaku. Entah mengapa tak dapat
kujelaskan betapa pentingnya bagiku untuk memperoleh telurku
kembali. Aku tak ingin telur-telur itu tertukar. Kuperhatikan kedua
telur itu dengan seksama. Rasanya seingatku, bentuk telurku agak
melebar di bagian sampingnya. Dan menurut perasaanku telurku
adalah telur yang ada di tangan kiriku. Dan telur di sebelah kananku
nyatanya memang lebih lonjong dan lancip bagian atasnya dibanding
telur di tangan kiriku.
"Kurasa kau benar Sabs," ujarku akhirnya, "Telur milikmu agak
lancip di bagian ujungnya. Dan kurasa yang ini punyaku," kuberikan
telur di tangan kananku pada Sabrina."Nah, kalian lihat sendiri," ujar Al serius, "betapa sulit
membedakan telur itu kalau tertukar. Mungkin kita harus memberi
tanda pada telur-telur itu."
"Wah ide bagus tuh!" seruku setuju. "Kita bisa mendandani
telur kita. Kurasa aku akan mengecatnya dengan warna hitam
kesukaanku," Kalian tahu sendiri bahwa hitam adalah warna
favoritku.
"Rasanya tak perlu sampai dicat segala deh," sergah Katie.
"Lagipula kita kan harus menanyakan pendapat pasangan kita dulu
sebelum melakukan sesuatu terhadap telur kita. Maksudku, Winslow
pasti akan membunuhku jika tahu aku mengecat telur ini..."
"Ah ...ayolah," bujuk Sabs. "Aku akan senang sekali jika bisa
menuliskan kata Si Brengsek Sam di atas telurku."
"Sabrina, mana mungkin kau menuliskan huruf besar-besar di
atas permukaan telur sekecil ini. Nggak ada tempatnya dong,"
bantahku.
"Denger deh," lerai Al, "aku setuju dengan Katie. Mungkin
sebaiknya kita tak perlu sampai mengecatnya segala. Sebab dengan
mengecat berarti memperkuat kulit luar telur. Tidak adil kan, bagi
yang lain. Seperti penipuan gitu."
"Ya...ya..." gumam Sabs.
"Jadi enaknya bagaimana?" tanya Al lagi.
"Kupikir mungkin lebih baik kita tuliskan inisial nama kita
dengan pinsil, kecil-kecil saja di kulit telur masing-masing," jawab
Sabrina. "Dan juga inisial nama pasangan kita."
"Yah kurasa cukup bijaksana," Katie setuju.Aku tahu ide itu bagus. Sebetulnya sih aku tidak rela
menuliskan inisial Mark di atas telurku, apalagi bersebelahan dengan
inisial namaku sendiri. Cih.
Setelah menuliskan inisial nama di telur masing-masing, kami
semua bersiap-siap turun ke dapur untuk makan pagi.
Begitu tiba di dapur, tiba-tiba Sabrina menunjuk ke arah jendela
dan memanggil kami. "Hei, lihat tuh!" serunya. Kami semua langsung
ikut melongok ke jendela dapur dan terlihat Sam sedang menyekop
salju dari jalan setapak di halaman.
Sabs tersenyum nakal. "Akhirnya tiba juga kesempatanku,"
bisiknya.
"Apa maksudmu?" tanya Al.
"Membalas si Sam!" seru Sabrina seraya menggerakkan alisnya
turun naik tanda gembira.
"Caranya?" tanya Katie tak mengerti.
Aku tertawa, "Masa kau belum mengerti, Katie?" tanyaku
heran. "Sam sendirian ditengah salju seolah-olah menyerahkan diri
untuk ditimpuki bola-bola salju."
"Kau benar," angguk Sabs, "Lagipula ia pantas menerimanya
setelah apa yang dilakukannya terhadap telurku seminggu ini."
Secepat kilat kami meletakkan telur-telur kami di salah satu
sudut meja dapur dan mengenakan switer, syal dan topi musim dingin
kami yang tergantung di balik pintu.
Setelah menyelinap keluar, kami perlahan-lahan mendekati Sam
yang tetap asyik menyekop salju membelakangi kami. Lalu kami
mulai mengambil segenggam salju dan membentuknya menjadi bola-bola. Setelah bertukar pandang sejenak, aku terpaksa menutup mulut
dengan tangan agar suara tawaku tidak menggagalkan rencana kami.
"Hei Sam!" panggil Sabrina.
Sam berhenti menyekop dan membalikkan tubuhnya ke arah
kami.
"Tangkap!" pekik Sabs sambil melemparkan bola salju ke
arahnya. Bola itu tepat menghantam pipinya.
Sam segera membungkuk dan meraup segenggam salju untuk
serangan balasan, tapi aku, Katie dan Al lebih dulu menghujaninya
dengan bola-bola salju sebelum ia sempat melakukan apa-apa, dan
sekujur tubuhnya pun dilumuri salju putih.
"Oh ngajak perang ya!" pekiknya mengamuk sambil
melemparkan bola salju besar ke arah Sabs. Tapi tentu saja kami
berempat lebih gencar menghujaninya dengan bola salju. Satu lawan
empat mana mungkin menang, Sam selalu kalah cepat. Kami tentu
saja akan memenangkan peperangan ini kalau saja Mark, Luke dan
Matt, kakak-kakak Sabrina tidak datang. Begitu melihat keadaan Sam
terjepit, mereka langsung ikut membantu Sam, berperang melawan
kami.
Lima belas menit kemudian, kami semua tertawa sampai sakit
perut dengan sekujur tubuh penuh salju. Nyonya Wells mengintip dari
jendela dan menggeleng-geleng melihatnya. "Ayo...ayo cukup anak-
anak," teriaknya memanggil, "Masuklah, sudah waktu makan pagi!"
Kami semua menyelinap masuk kembali ke dapur sambil
sedapat mungkin membersihkan salju yang melekat di pakaian kami.
Kulepaskan sepatu butku dan masuk ke ruang makan hanya dengan
kaus kaki saja. Keluarga Wells adalah satu-satunya keluarga yangmakan di ruang makan sungguhan. Biasanya keluarga-keluarga lain
makan di dapur dan hanya menggunakan ruang makan untuk acara-
acara khusus saja. Tapi mungkin lantaran jumlah anggota keluarganya
terlalu banyak, mereka tak mungkin makan di dapur yang sempit itu.
"Nah, selamat makan," ujar Ibu Sabrina sambil meletakkan
sepiring besar sarapan di tengah meja. "Daging asap, roti panggang
dan orak-arik telur."
Segera saja Al yang duduk di sebelahku menoleh dengan wajah
meringis. Aku segera dapat menangkap jalan pikirannya.
"Oh...tidak...," pekik Katie tiba-tiba.
Sabrina sendiri langsung melompat berdiri dari kursinya.
"Bu...ibu kan tidak melakukan hal itu!" jeritnya panik seraya
menghambur ke dapur.
"Melakukan apa?" tanya Ibu Wells heran diiringi tawa Sam
yang tahu apa yang dicemaskan Sabs.
Allison mendehem. Seperti biasanya ia selalu bersikap tenang
dalam keadaan sepanik apa pun. Tapi pada saat-saat yang diperlukan
ia berani berbicara mewakili anak-anak lain.
"Uh?Bu Wells," ujar Al perlahan, "Saya rasa Sabrina takut
anda memakai telur-telur kami untuk membuat sarapan ini. Soalnya
telur itu adalah proyek pelajaran kami."
Beberapa detik kemudian Sabs kembali dari dapur dengan ke
empat telur-telur kami dalam genggamannya.
"Semuanya aman..." keluhnya lega. "Mereka selamat..."
"Syukurlah..." desah Katie.
Nyonya Wells menggelengkan kepalanya heran. "Tentu saja
saya tak akan memasak telur-telur itu," ujar beliau sambil tersenyum."Dengan inisial nama di kulit telur itu, siapapun tahu bahwa telur itu
milik seseorang dan tak berani mengusiknya."
"Wah untung kita menuliskan nama kita ya..." seru Sabrina
senang. "Kalau tidak, mungkin kita akan jadi kanibal yang memakan
anak eh...telur kita sendiri."
Sabrina kembali ke meja makan dan memberikan telur pada
pemiliknya masing-masing. Bu Wells mulai mengedarkan piring
sarapan pagi dibantu oleh saudara-saudara Sabs yang lain. Begitu tiba
giliranku aku mengambil daging asap dan roti bakar tanpa menyentuh
orak-arik telur sama sekali. Kupandangi telur putih dengan tulisan R.Z
& M.W di atas meja.
Dan ketika kulihat piring Katie, Al dan Sabs, kulihat mereka
pun sama sekali tak menyentuh hidangan orak-arik telur masakan Ibu
Sabrina. Aku yakin mereka punya perasaan yang sama sepertiku.
Aneh kan rasanya kalau selama ini kita begitu menjagai telur kita tapi
sekaligus memakan telur? Kurasa untuk waktu yang agak lama aku
tidak akan bisa menelan yang namanya telur. Gara-gara proyek ini
nih. Huh.BAGIAN ENAM
Begitu kubanting pintu lokerku hari Senin siang, Sam Wells
menghampiriku dengan skate board dijepit di bawah tangannya.
"Hai Randy," sapanya.
"Hai Sam," sahutku, "Ada apa nih?"
"Aku, Nick dan Jason akan pergi main skate board. Mau ikut
nggak?" ajaknya.
Aku menunduk dan melihat telur di genggamanku. Rasanya
sejak menjaga telur ini, sudah berabad-abad aku tidak main skateboard
deh? "Kau yakin saljunya sudah mencair?" tanyaku ragu. "Bukankah
jalanan masih agak licin sekarang?"
"Tak jadi soal..." Sam tersenyum.
Aku menatapnya heran. "Apa maksudmu? Jalan licin kan
berbahaya..." ujarku.
"Luke akan mengantar kita ke Wild Wheels!" serunya senang.
"Waw!" teriakku ikut senang. Wild Wheels adalah lapangan
skate board baru yang di dalam ruang dan tidak di alam terbuka. Jadi
tentu saja salju bukan jadi halangan sama sekali. Mereka baru saja
mendirikan tempat ini di Baywood. Sudah lama aku penasaran ingin
melihatnya. Menurut orang-orang yang pernah ke sana, tempat itumengasyikkan sekali, penuh rintangan-rintangan yang berbahaya dan
menegangkan. Kudengar juga mereka mempunyai arena Devil?s Hoop
atau lompatan setan yang katanya amat mengerikan. Aku benar-benar
penasaran dibuatnya dan ingin sekali mencobanya.
Tapi tentu saja aku tak mungkin membawa telurku ke tempat
macam itu. Aku sih tak meragukan kemampuanku main skateboard,
tapi tentu saja aku tak berani mencoba Devils Hoop itu sambil
menggenggam sebutir telur. Lalu aku membuat sebuah keputusan.
Aku harus mencari Mark dan menyerahkan telur ini padanya, karena
memang sudah tiba gilirannya untuk bertanggung jawab atas telur ini.
"Tentu saja aku mau ikut," jawabku akhirnya, "Tapi aku ada
urusan dulu."
"Oke," sahut Sam. "Mobil Luke diparkir di halaman sekolah.
Kita ketemu saja di sana sebentar lagi. Sesudah itu kita bisa mampir


Girl Talk 07 Pasangan Aneh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke rumahmu sebentar untuk mengambil skateboard-mu."
Kusandang ransel ke bahuku dan segera menyusuri koridor ke
loker Mark sambil berharap agar bisa menemukannya. Dan nyatanya
ini adalah hari keberuntunganku. Kulihat ia baru saja menutup
lokernya. Segera saja kutepuk bahunya dengan sebelah tanganku yang
bebas.
"Hai Mark!" seruku.
Ia memutar tubuhnya dan memandangku. Kulihat rambutnya
agak acak-acakan dan celana jins-nya penuh kerutan seolah sudah
Nyaris Terjebak 1 Dewa Arak 37 Rahasia Syair Leluhur Bukit Pemakan Manusia 12
^