Pencarian

Claudia Dan Janine 2

Baby Sitter Club 7 Claudia Dan Janine Si Besar Kepala Bagian 2


kaki yang lebih panjang, dia lebih dulu sampai di tempat anak-anak
lelaki bermain.
Aku memandang para anggota klub yang lain ketika Jenny
mengejar Karen. "Nah lho, sekarang gimana, nih?" ujarku.
"Ah, biarkan saja mereka," jawab Dawn.
"Tapi baju Jenny..."
"Mungkin ada baiknya kalau sekali-sekali kita biarkan saja
bajunya menjadi kotor," ujar Mary Anne tanpa disangka-sangka.
Kami memandang ke arahnya dengan terkejut. Kata-kata seperti
yang baru saja diucapkan Mary Anne tidak biasa terlontar dari
mulutnya.
"Memangnya Bu Prezzioso tidak bisa membayangkan apa saja
yang mungkin terjadi di sebuah play group?" tanyanya.
"Yeah," sahutku. "Apa saja sih, yang dikerjakan Jenny
sepanjang hari kalau dia sedang berada di rumahnya? Masa bajunya
belum pernah kotor waktu dia bermain?"
"Kita mempertaruhkan reputasi kita dalam masalah ini," ujar
ketua kami dengan gelisah. "Kalau Jenny pulang dengan baju kotor,
Bu Prezzioso mungkin bakal marah sekali. Dia mungkin akan
menceritakan masalah ini pada Bu Pike dan barangkali Bu Pike
akan..."
"Iiih!"
"Apa itu?" tanyaku.
Sebelum kami sempat mencari tahu siapa yang menjerit dan apa
sebabnya, David Michael sudah berlari ke arah kami lalu berkata
dengan terengah-engah. "Benda apa yang besar dan berwarna merahdan suka makan batu karang? Si raksasa merah pemakan batu karang.
Itulah dia!"
Kami melihat ke arah kumpulan anak yang berdiri di salah satu
pojok halaman. Mereka tampak baik-baik saja. David Michael sudah
berlari kembali ke arah mereka. Kemudian ketiga anak laki-laki dan
Karen bercakap-cakap lagi dengan tampang serius. Barangkali mereka
sedang menceritakan lelucon-lelucon (tapi kami tidak begitu yakin).
Jenny ikut menguping dari jarak beberapa meter.
"Kita tidak bisa hanya memikirkan Jenny sepanjang hari," aku
mengingatkan. "Sebaiknya kita mulai bekerja."
Kristy bergabung bersama Jamie dan Lego-nya. Mary Anne
duduk bersama Nina dan Eleanor. Dawn dan Stacey mengawasi anak-
anak yang sedang mengerjakan kerajinan tangan di meja panjang.
Aku, memutuskan untuk mengawasi mereka secara
keseluruhan. Pada saat itulah aku baru memperhatikan Andrew.
Ternyata dari tadi dia masih berdiri di pintu masuk halaman belakang
rumah Stacey.
"Hei, Andrew," kataku sambil beranjak mendekati dia.
Andrew langsung menunduk memandangi kakinya, dan dengan
ujung sepatunya dia mulai menggaruk-garuk tanah. Anak itu memang
sangat pemalu.
"Andrew, apa pernah ada orang yang memanggilmu Andy?"
tanyaku.
"Mama memanggilku Andy-Pandy," sahutnya.
"Apa kamu setuju kalau aku memanggilmu Andy?"
Dia mengangguk."Bagus," kataku. "Ayo, kita lihat apa yang sedang dikerjakan
kakakmu di sana." Aku menggandeng Andrew dan mengajaknya
berjalan menuju kumpulan anak yang sedang bermain. Aku mendapat
kesan bahwa mereka semua tampak agak ketakutan.
"Ada apa, Anak-anak?" tanyaku dengan ringan.
Anak-anak itu menengadah. Mereka menatap ke arah Andrew
dan aku, lalu mulai menjerit dan berlari menjauhi kami.
"Ada apa, sih?" seruku.
"Monster!" jerit Jenny.
Andrew dan aku berlari mengejarnya.
Jenny menjerit lagi. "Jangan dekat-dekat aku!" dia berseru
sambil menunjuk ke arah Andrew. "Dia monster!"
"Oh, Jenny," ujarku. "Monster? Dari mana kamu dapat ide
seperti itu? Ini kan Andrew."
"Bukan, bukan! Dia bisa berubah jadi monster! Dia yang
bilang!" Sekarang Jenny menunjuk ke arah Karen.
"Ya ampun," kataku. "Karen, sini kamu! Sekarang juga!"
Karen berjalan perlahan-lahan. Dia berhenti kira-kira lima
meter dari tempat kami berdiri.
"Kemari!" aku mengulangi lagi.
Tapi Karen malah menggelengkan kepalanya. Kemudian dia
berkata, "Jam berapa sekarang?"
"Hampir jam sepuluh. Kenapa?"
"Soalnya," sahut Karen sambil menggigil, "akhir minggu lalu
Andrew sudah diguna-guna oleh Morbidda Destiny. Tepat jam
sepuluh hari ini, dia akan berubah menjadi monster."Andrew menengadah melihatku, lalu tersenyum. "Grrrrr," dia
menggeram.
"Aaah!" jerit Karen, Jenny, David Michael, dan sebagian besar
anak yang memenuhi halaman belakang rumah Stacey. Ternyata
mereka semua telah ikut mendengarkan percakapan kami. Sebenarnya
mereka tidak tahu-menahu tentang Morbidda Destiny. Dia seorang
wanita tua yang aneh, tetangga Karen. Dan Karen beranggapan bahwa
dia nenek sihir. Tapi bagaimanapun juga, mereka semua percaya
bahwa Andrew akan berubah menjadi monster.
Kristy memandangku, lalu mengangkat bahu.
"Baiklah," ujarku, sambil melihat jam tangan. "Dalam waktu
beberapa detik lagi jam akan menunjukkan pukul sepuluh tepat. Ayo,
kita hitung mundur bersama-sama, dan kalian akan melihat sendiri
bahwa Andrew akan tetap sebagai Andrew."
"Sepuluh," kataku, "sembilan, delapan,"?anak-anak ikut
menghitung dengan gelisah?"tujuh, enam, lima, empat, tiga, dua...
satu!"
"Aaah!" Semua anak menutup mata mereka sambil menjerit-
jerit.
"Hei, Kristy. Bersuitlah," kataku padanya.
Kristy memasukkan dua jari ke dalam mulutnya, lalu
mengeluarkan suara siulan yang memekakkan telinga. Anak-anak
langsung berhenti menjerit saat itu juga. Mereka memandang pada
Andrew.
"Jangan menggeram," aku cepat-cepat berbisik padanya.
Untung saja Andrew mau menurut.Perlahan-lahan semuanya mulai kembali normal. Tapi Jenny
tetap kelihatan waswas. Belakangan, Andrew melihat kami, para
baby-sitter, kerepotan mendesak-desak Jenny agar dia mau memakai
celemeknya. "Cepat, pakai itu," Andrew berkata pada Jenny dengan
tidak sabar.
Mata Jenny membelalak. Dengan ketakutan, dia langsung
menyambar celemek itu.
Aku tersenyum lebar. "Andy," bisikku, "katakan padanya
bahwa dia harus memakai celemek itu setiap kali dia datang ke rumah
Stacey."
"Grrr," geram Andrew. "Kamu pakai itu... pakai itu setiap hari."
"Oke," sahut Jenny. "Oke."
Di seberang halaman, aku melihat Karen ketawa cekikikan
sambil menutup mulutnya dengan sebelah tangan.Bab 9
SUATU malam, Mama dan Papa baru pulang dari tempat kerja
mereka. Mama memasuki rumah sambil tersenyum simpul. Sepertinya
dia menyimpan sebuah rahasia.
"Halo, Sayang," ujarnya. "Oh, kamu sudah mulai menyiapkan
makan malam! Terima kasih, anak manis."
"Memang akhir-akhir ini kelakuanmu jauh lebih bertanggung
jawab," Papa menambahkan.
Tanggung jawab merupakan masalah yang cukup peka di antara
orangtuaku dan aku. Sepanjang ingatanku, yang kudengar hanyalah,
"Kalau saja kamu mau mengerjakan PR-mu seperti yang ditugaskan
guru..." atau, "Kalau saja kamu bisa menepati waktu sekali-sekali..."
atau, "Kalau saja kamu mau berpikiran ke depan seperti Janine..."
Dan sekarang Papa tiba-tiba bilang bahwa segala tindak
tandukku lebih bertanggung jawab. Memang betul juga, sih,
belakangan ini sudah beberapa kali aku menyiapkan makan malam,
dan waktuku banyak kuhabiskan untuk menemani Mimi di rumah
sakit. Tapi, di pihak lain, akulah yang telah menjadi penyebab
bencana ini?akulah yang menyebabkan Mimi terkena stroke. Waktu
itu aku kehilangan kesabaran dan telah bersikap kasar terhadap
nenekku. Dan itu jelas-jelas tidak bisa dikatakan bertanggung jawab."Hei, Ma, kenapa Mama tersenyum-senyum seperti itu?"
tanyaku. "Pasti ada sesuatu yang terjadi, ya?"
"Sabar, nanti akan Mama ceritakan," dia menjawab. "Mana
kakakmu?"
"Coba tebak."
"Bekerja dengan komputernya?"
"Hampir betul. Janine sedang sibuk belajar di atas, atau setidak-
tidaknya itulah yang dilakukannya tadi. Apa perlu kupanggilkan?"
"Ya, tolong panggilkan dia. Papa dan Mama akan melanjutkan
pekerjaanmu di dapur."
Aku berlari menaiki tangga. Pintu kamar Janine tertutup. Aku
mengetuk beberapa kali.
"Masuk!" dia berseru dari dalam.
"Terima kasih banyak atas bantuanmu menyiapkan makan
malam," aku menyapanya dengan tajam.
Janine mengerutkan keningnya. "Kamu tidak bilang bahwa
kamu sudah mulai menyiapkan makan malam. Aku pasti akan
membantumu, kalau aku tahu."
"Tapi kamu kan punya arloji? Sekarang ini sudah jam enam.
Apa kamu tidak sadar?" Aku merasa bersalah telah mengatakan itu.
Memang betul kata-kata Janine tadi. Akulah yang tidak meminta
bantuannya. Lagi pula, tidak setiap hari aku menyiapkan makan
malam. Nah lho! Lalu kenapa aku harus tersinggung bahwa dia tidak
tahu?
"Apa kamu datang ke kamarku hanya untuk menyiksaku?"
tanya Janine. "Atau kamu punya alasan lain?"
"Ada alasan lain," aku bergumam.Janine sedang duduk di meja belajarnya. Tiga buah buku
pelajaran yang tebal-tebal masih terbuka di hadapannya. Tangannya
menggenggam selembar kertas bergaris yang setengah berisi tulisan.
Di dekat kakinya ada beberapa lembar kertas yang telah diremas-
remas sampai membentuk bola. Dia menatap lembaran kertas di
pangkuannya seakan-akan tidak sanggup untuk melepaskan matanya
lama-lama dari situ.
"Apa?" tanya Janine.
"Mama bilang dia punya berita gembira untuk kita. Dia
meminta kita turun sekarang juga."
"Baiklah."
Janine meletakkan pembatas buku di antara halaman-halaman
buku-buku pelajarannya. Kemudian dia menyelipkan lembaran
kertasnya ke dalam map. Setelah itu dia mengikutiku ke dapur.
Ternyata Mama dan Papa sedang menyajikan makan malam
yang kubuat tadi: wortel beku (maksudku, wortel itu tadinya
dibekukan), salad ketimun, dan ayam panggang.
"Claudia mengatakan bahwa Mama punya berita untuk kami,"
ujar Janine sambil menarik salah satu kursi.
"Ya, betul," sahut Mama. Dia menunggu sampai kami berempat
telah duduk dengan enak. Kemudian dia melanjutkan, "Kalian semua
kan tahu bahwa pada mulanya Mimi tidak dapat bergerak sama sekali.
Dan kalian juga tahu bahwa belakangan ini Mimi telah bisa
menggerak-gerakkan bagian tubuhnya sebelah kiri. Nah, hari ini Mimi
sudah bisa menyuapkan sendiri setengah dari makan siangnya dengan
tangan kiri, dan Mimi juga mencoba untuk berbicara. Beberapa kali."
"Oh, hebat!" seruku. "Hebat sekali!""Kemajuannya cukup menggembirakan, dan karena itu Mimi
telah dipindahkan dari unit perawatan intensif," tambah Papa sambil
tersenyum.
"Di mana Mimi sekarang?" tanya Janine. Dia juga sedang
tersenyum. Pada dasarnya kami semua sedang tersenyum gembira
dengan ekspresi wajah seperti orang-orang dungu?penuh takjub.
"Mimi ada di ruang perawatan biasa," Papa menjawab. "Ruang
VIP."
"Apa kita bisa menengoknya malam ini juga?" tanyaku.
"Apakah kita boleh?" Janine, Mama, dan Papa serentak
mengoreksi kata-kataku.
"Ssst," ujarku. "Apakah kita boleh menengoknya?"
"Tentu saja boleh," jawab Mama.
Setelah mendengar berita gembira itu, makan malam kami
habiskan dalam sekejap mata. Walaupun sebelumnya Janine tampak
sibuk dengan tugas-tugasnya, seusai makan kami tidak mendengar
sedikit pun keluhan darinya bahwa masih ada tugas yang harus
diselesaikan. Dia membantuku memetik bunga-bunga dari halaman
belakang untuk dihadiahkan pada Mimi. Dan setelah itu, kami
berempat berangkat ke rumah sakit.
Mama dan Papa membawa Janine dan aku menuju sayap
bangunan yang lain, tapi masih selantai dengan bagian unit perawatan
intensif, tempat Mimi dirawat selama ini. Kali ini, kami semua boleh
masuk bersama-sama ke kamarnya.
Mimi tampak jauh lebih baik. Sudah tidak ada lagi jarum yang
menancap di pergelangan tangannya. Dan sebagian besar dari mesin-
mesin itu juga sudah tiada. Di samping itu, dia sedang dalam posisisetengah duduk (sebetulnya bentuk tempat tidurnya yang membuat dia
bisa duduk seperti sekarang ini), dan seseorang telah mencuci dan
merapikan rambutnya.
Ketika kami memasuki kamarnya, Mimi mencoba untuk
tersenyum. Usahanya itu setengah berhasil. Lalu dia melambaikan
tangan kirinya sebagai sapaan.
"Hai, Mimi!" seruku. "Mimi sudah bisa melambai!" Aku buru-
buru menempatkan diri di salah satu sisi tempat tidur untuk mencium
pipinya.
Janine berdiri di sisi lain, sementara Mama dan Papa duduk di
kursi-kursi tamu.
"Mimi sudah merasa lebih enak?" tanyaku pada Mimi.
Dia mengedipkan matanya sekali.
"Bagus," ujarku.
"Mama bilang, Mimi sudah mulai bisa menyendokkan makanan
sendiri?" Janine angkat bicara.
Sebagai jawaban, Mimi mengangkat lagi tangan kirinya lalu
menggoyang-goyangkan jari-jari tangannya.
Aku memandang ke arah Mama dan Papa. Dalam hati aku
bertanya-tanya apakah aku boleh berkomentar mengenai kenyataan
bahwa Mimi sudah mencoba untuk berbicara. Aku ingin mengatakan
pada Mimi bahwa hal itu membuat kami sangat bahagia. Tapi sebelum
aku sempat membuka mulut, Mimi sudah mengeluarkan suara
berdeguk dari kerongkongannya.
Janine dan aku langsung mencondongkan badan ke arahnya.
"Apa yang ingin Mimi katakan?" tanyaku.
Suara berdeguk lagi. Setelah itu bunyi seperti "mmm".Aku memandang tanpa daya ke arah Mama, yang langsung
berdiri dan berjalan ke sisi tempat tidur.
"Maaf, Bu," ujar Mama. "Kami tidak bisa mendengar dengan
jelas."
"Mungkin Mimi bisa menuliskannya," aku mengusulkan.
"Entahlah," sahut Mama. "Mimi tidak biasa menulis dengan
tangan kiri."
"Aku pikir kita perlu mencobanya," kata Janine. "Mungkin bisa
berhasil."
"Baiklah, tak ada salahnya mencoba," ujar Mama. Dia
memandang pada Mimi. "Bu, apa Ibu bisa menuliskan apa yang ingin
Ibu katakan pada kami?"


Baby Sitter Club 7 Claudia Dan Janine Si Besar Kepala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mimi mengerutkan keningnya sedikit, kemudian mengedipkan
matanya sekali.
"Ini," Papa berkata sambil berdiri. "Aku membawa pensil dan
kertas."
"Tapi aku rasa Mimi membutuhkan kertas yang lebih lebar,"
kataku.
Semua orang menoleh ke arahku. "Kenapa kamu berpendapat
begitu?" Papa ingin tahu.
"Aku cuma... cuma merasa begitu." Sudah cukup banyak
masalah dan pengalamanku di sekolah, sehingga aku tahu mana yang
bakal lebih mudah dan mana yang bakal lebih sulit.
"Tunggu sebentar, akan Papa carikan," ujar Papa.
Papa berjalan ke meja juru rawat, dan tidak lama kemudian
kembali sambil membawa beberapa lembar kertas. Janine menyangga
lengan Mimi dengan sebuah meja kecil yang ditempatkan melintangpada tempat tidur. Dia menaruh pensil Papa ke dalam telapak tangan
kiri Mimi, dan menahan kertas di atas meja supaya tidak bergerak-
gerak.
Mimi tampak berusaha keras untuk memusatkan konsentrasi.
Setelah beberapa saat dia mulai menulis. Rasanya berabad-abad
lamanya. Tapi akhirnya dia berhenti, dan inilah yang tertulis di atas
kertas itu:
Kami semua memandangi kertas, itu.
"Ma," bisikku sambil menariknya menjauhi tempat tidur, "ada
yang tidak beres dengan tulisan tangan Mimi. Aku tahu bahwa Mimi
tidak biasa menulis dengan tangan kiri, tapi kenapa huruf-hurufnya
jadi jungkir balik seperti ini?"
Mama menggelengkan kepala dengan gerakan yang tak kentara,
lalu menempelkan telunjuknya di bibirku. Dia kembali berpaling pada
Mimi. Papa dan Janine masih disibukkan dengan huruf-huruf yang
membingungkan itu.
"Aku rasa kata pertamanya adalah apa," Janine berkata.
"Kalau Mama tidak salah," Mama memotong, "Mimi ingin
mengatakan apa kabar pada kalian berdua. Kodomo adalah kata dalam
bahasa Jepang yang berarti anak atau anak-anak."
"Kenapa Mimi tidak menulis anak-anak saja? Atau memakai
nama-nama kita?" tanyaku.
"Entahlah, Sayang," sahut Mama."Wah, rupanya ada pertemuan keluarga, ya?" sebuah suara
ramah menyapa kami.
Salah seorang dari dokter-dokter yang merawat Mimi sedang
berdiri di ambang pintu.
"Anak-anak, kalian masih ingat Dokter Marcus, kan?" tanya
Mama. "Dokter Marcus, ini Janine, dan ini Claudia."
Dokter Marcus melangkah masuk lalu menjabat tangan Janine
dan aku. Kemudian dia menuju ke samping Mimi. "Saya dengar, Ibu
mendapat banyak kemajuan hari ini," ujarnya.
Mimi berkedip sekali dan melambaikan tangan.
Kami mundur beberapa langkah sambil memperhatikan Dokter
Marcus memeriksa Mimi. Setelah selesai, dia meninggalkan kamar
menuju gang. Kedua orangtuaku menyusulnya, kemudian berbicara
sebentar dengannya. Mereka juga membawa hasil tulisan tangan
Mimi. Sementara itu Janine dan aku tinggal dalam kamar untuk terus
bercakap-cakap dengan Mimi. Aku bilang padanya bahwa sekarang
aku sudah jadi juru masak keluarga, walaupun tidak sehebat dia.
************
Malam itu, sesampainya kami di rumah, Papa mengutarakan
pada kami apa yang telah dikatakan oleh Dokter Marcus tadi.
"Kemajuan Mimi masih berada pada tingkat rata-rata."
"Cuma rata-rata?" tanyaku dengan kecewa.
"Rata-rata sudah cukup baik."
Kenapa mereka tidak pernah bersikap seperti ini kalau aku
mendapat nilai C pada waktu ulangan di sekolah? pikirku.
"Mimi akan mulai menjalani terapi," tambah Mama.
"Terapi macam apa?" tanya Janine ingin tahu."Segala macam," jawab Mama. "Terapi fisik, terapi bicara, dan
terapi keterampilan dasar. Terapi yang terakhir ini akan membantu
Mimi untuk mempelajari kembali kemampuan-kemampuan dasar
seperti makan, berpakaian, dan menggosok gigi. Nanti, kalau
kondisinya sudah bertambah baik, mereka akan membantu Mimi
untuk pekerjaan-pekerjaan yang lebih sulit, seperti memasak,
menjahit, dan sebagainya. Tapi pertama-tama mereka akan mulai
dengan hal-hal yang sederhana dulu?segala sesuatu yang
menimbulkan masalah untuk Mimi. Sekarang ini, otak Mimi agak
kacau. Menurut dokter, Mimi akan mencapai kemajuan besar, tapi itu
akan memakan waktu."
"Tapi... tapi sepertinya Mimi menjadi anak kecil lagi!" Kata-
kata itu meluncur begitu saja dari mulutku.
"Pendapatmu ada benarnya juga," jawab Papa. "Hanya saja,
sebagai contoh, Mimi takkan memerlukan waktu lima atau enam
tahun agar bisa membaca atau menulis lagi. Otaknya sudah tahu
bagaimana caranya. Mimi cuma punya masalah dalam mengirimkan
pesan-pesan yang tepat dari otaknya ke anggota tubuhnya."
"Pihak rumah sakit akan memberikan beberapa macam terapi
setiap harinya," kata Mama. "Tapi Dokter Marcus bilang, makin
banyak rangsangan yang didapat Mimi, makin cepat proses
penyembuhannya. Papa dan Mama masing-masing akan menyediakan
beberapa jam dari waktu kerja kami setiap siang untuk keperluan itu.
Dengan demikian salah seorang dari kami bisa mendampingi Mimi
dari jam dua, waktu dia selesai menjalani terapinya, sampai jam enam
sore."
"Ehm...," ujar Janine dengan pelan.Tapi aku segera memotongnya. "Aku akan menemani Mimi
sepanjang pagi. Aku bisa menukar waktu kursusku ke hari Sabtu."
Paling tidak itulah yang bisa kulakukan untuk Mimi, mengingat aku
hampir saja membunuhnya.
"Oh, bagus sekali," sahut Mama dengan bersemangat. "Hal-hal
seperti itulah yang sangat dibutuhkan Mimi pada saat-saat seperti ini."
Janine tampak agak kecewa. "Oh," ujarnya, "kurasa jadwal
kuliahku tidak dapat diubah. Tapi bagaimana dengan play group
kalian, Claudia?"
Aku terdiam. Pertanyaan yang bagus. Lalu aku berkata dengan
angkuh, "Buat apa aku memikirkan play group kalau ada hal yang
lebih penting yang perlu kukerjakan?" Tapi entah kenapa, perasaanku
tentang keputusan itu tidak semantap sikap yang kutampilkan.Bab 10
TERIMA kasih, Stace. Kamu memang baik sekali. Aku sendiri
juga merindukan play group kita. Tapi apa boleh buat, Mimi-lah yang
lebih penting. Untungnya para anggota klub sependapat denganku.
Mereka memang kecewa sekali waktu aku memberitahukan bahwaaku terpaksa mengundurkan diri dari kegiatan play group. Tapi
ternyata teman-temanku penuh pengertian. Dan mereka juga
menginginkan agar Mimi cepat sembuh.
Namun, Stacey tetap meneleponku untuk menceritakan acara
memandikan Louie hari itu. Ketika dia sampai pada bagian yang
paling menggelikan, dia mulai tertawa lagi sampai-sampai hampir
tidak sanggup bicara.
Louie ikut hadir di rumah keluarga McGill, karena Bu Thomas
telah mengirim dia ke sana. Keluarga Thomas akan pindah keesokan
harinya, dan Louie menghambat segala persiapan mereka. Singkatnya,
David Michael muncul di rumah Stacey sambil memegang tali
pengikat anjingnya itu. Bu Thomas juga menyertakan uang sebesar
tiga dolar untuk masing-masing dari mereka bersama dengan sebuah
pesan yang berbunyi demikian:
Kristy sayang,
Tolong, tolong, TOLONG jaga Louie pagi ini. Dan jangan
bawa dia pulang sebelum jam 12.30. Dia telah memorak-porandakan
isi keranjang sampah tepat setelah kamu pergi pagi tadi. Dan
akibatnya spaghetti berserakan di lantai dapur. Terima kasih.
Salam manis, mamamu.
Ketika David Michael datang, waktu telah menunjukkan pukul
setengah sepuluh. Jenny, Mallory, Claire, Margo, dan Nicky; Suzi dan
Buddy; Nina dan Eleanor; serta Jamie sudah datang. Louie tampak
bersemangat sekali. Dia melonjak-lonjak memasuki halaman belakang
rumah Stacey sambil menggonggong-gonggong dengan gembira.
"Ohhhhhauhhhhh!" pekik Jenny, pada saat Louie meloncat ke
atas meja panjang yang penuh dengan alat-alat kerajinan tangan.Tanpa mempedulikan pekikan Jenny, Louie menempelkan hidungnya
yang basah ke wajah anak perempuan itu.
"Oh-oh," ujar Stacey. "David Michael, tolong singkirkan dia
dari meja itu, oke?"
"Oke," sahut David Michael. "Ini," dia menambahkan, sambil
memberikan uang dan pesan dari ibunya pada Kristy. Kemudian dia
menarik ikat leher Louie dan menggiringnya ke salah satu sudut
halaman.
"Ada apa, sih?" tanya Stacey pada Jenny sambil mengangkat
anak itu.
Hari itu Jenny memakai celemeknya. Sejak Andrew si monster
menyuruhnya memakai celemek setiap hari, dia hampir tidak pernah
mencopotnya, sekalipun di rumahnya sendiri. Rupanya hal itu telah
membuat Bu Prezzioso kesal, karena dengan celemek itu dia tidak
mungkin bisa memamerkan baju-baju mewah yang dipakai anaknya.
"Aku tidak suka anjing itu," Jenny merengek.
"Louie tidak akan menyakiti kamu. Dia anjing tua yang manis.
Seekor collie. Coba kamu lihat bulu-bulunya yang lebat. Lucu, kan?"
"Tidak," sahut Jenny, sambil menggeleng-geleng-kan kepala
dan mengerutkan hidungnya. Dia membenamkan wajahnya ke dalam
pelukan Stacey.
Stacey harus mengakui bahwa penampilan Louie kali itu agak
amburadul. Bulu-bulunya yang kusut perlu disikat, dan saus spaghetti
masih menempel di hidung dan kakinya.
"Yah," dia berkata sambil tertegun, "pokoknya dia anjing yang
manis. Louie takkan menyakitimu." Stacey mendudukkan Jenny di
bangku meja panjang.Jenny mengangkat kepalanya lalu melihat sekeliling dengan
gelisah. "Di mana anjing itu?" tanyanya.
"Itu, di sana. Lihat? Jamie sedang membelai-belainya. Dia tidak
takut pada Louie."
"Dia kotor," ujar Jenny. "Dan mukanya berantakan."
"Kamu kan terlindung. Kamu sudah pakai celemek."
"Celemek monster," bisik Jenny.
Stacey mendesah. Dia menitipkan Jenny pada Mallory, lalu
berjalan menuju Jamie dan David Michael. Kristy ikut bergabung
dengan mereka.
"Bagaimana menurut kamu, apakah Louie bakal betah di
lingkungan barunya nanti?" Stacey bertanya pada Kristy. "Suasananya
lain sekali, kan."
"Oh, lama-lama dia bakal kerasan juga. Sayangnya dia bukan
anjing jenis Shih Tzu atau Pomeranian. Kalau saja dia anjing ras
seperti itu, dia pasti langsung cocok dengan anjing-anjing kaya dan
sombong yang ada di sana. Aku yakin anjing-anjing itu punya istana
mini untuk tidur."
Stacey tertawa mendengar ucapan Kristy. Lalu dia berkata,
"Lho, aku pikir Louie anjing collie asli."
"Tidak," sahut Kristy. "Salah satu kakeknya adalah anjing
gembala."
"Ah, hal kecil seperti itu kan tidak mungkin diketahui orang
lain," Stacey berkomentar.
"Orang-orang kaya bahkan bisa mendapatkan informasi tentang
apa yang sengaja kamu rahasiakan," balas Kristy."Apa mereka juga tahu bahwa pagi ini Louie telah mengobrak-
abrik isi keranjang sampah?" tanya David Michael.
"Oh, kalau itu semua orang juga pasti tahu," Stacey menjawab.
"Soalnya dia tampak berbau, dan terasa seperti saus spaghetti."
"Kalau begitu," kata David Michael, "apa kamu punya baskom
besar?"
"Baskom besar?" tanya Stacey. "Untuk apa?"
"Kita harus memandikan Louie."
Stacey memandang Kristy.
Kristy mulai tersenyum. "Ide itu tidak terlalu jelek, lho,"
ujarnya.
"Dan," tambah David Michael, "kita juga harus mendandani
dia."
"Hah?" sahut Kristy.
"Maksudku, menyikat bulunya, menghiasinya dengan pita,
mengikat lehernya dengan kain bermotif kotak-kotak seperti anjing-
anjing orang kaya. Aku tidak mau kalau sampai ada salah satu dari
anjing-anjing itu mengejek dia besok," David Michael berkata dengan
bersungguh-sungguh.
Stacey mulai ketawa cekikikan. "Oke, kalau begitu kita akan
mempercantik dia," katanya. "Bagaimana pendapatmu, Kristy? Kami
punya sebuah ember mandi di garasi. Siapa tahu kegiatan ini akan
menyenangkan anak-anak."
Kristy melihat ke sekeliling halaman. "Hmm, pekaranganmu
dikelilingi pagar. Semua anak memakai baju bermain yang sudah
tidak baru lagi. Jenny juga mengenakan celemeknya. Nah, ini berarti
kita tinggal menyuruh mereka mencopot sepatu masing-masing..."Sepuluh menit kemudian, Mallory, keempat anggota Baby-
sitters Club, dan kesepuluh peserta play group telah membuka sepatu
masing-masing dan menyusun semuanya berderet-deret di bangku
meja piknik. Bahkan Jenny pun akhirnya mau melepaskan sepatunya,
tapi hanya setelah Kristy bilang bahwa itu adalah keinginan Andrew.
Stacey telah menemukan ember mandi dan telah menjelaskan pada
ibunya tentang apa yang akan kami lakukan. Sekarang, ember itu
sedang diisi air dengan menggunakan slang. Sementara itu, David
Michael telah melepaskan tali pengikat Louie.
"Sampo apa yang biasa kamu pakai untuk memandikan
anjingmu?" tanya Stacey.
"Sampo Bayi Johnson," jawab David Michael.
"Sampo itu membuat bulunya mengilap dan halus," tambah
Kristy.
"Kurasa kami tidak punya persediaan sampo bayi," ujar Stacey.
"Lagi pula aku kurang yakin apakah ibuku akan mengizinkan aku
menghabiskan sampo untuk memandikan seekor anjing."
Akhirnya mereka menggunakan sabun mandi biasa.
Setelah ember mandi dipenuhi air dan sabun mengapung di
permukaannya, Kristy memanggil, "Oh, Lou-iiie!"
Louie menoleh. Begitu melihat ember yang penuh berisi air, dia
langsung melarikan diri ke sudut halaman.
"Oh, Lou-iiie!" teriak David Michael.
"Oh, Lou-iiie!" sebagian besar anak berseru beramai-ramai.
David Michael, Buddy, dan Charlotte mulai mengejar-ngejar
Louie mengelilingi pekarangan rumah."Seharusnya tali pengikat lehernya jangan kamu lepas dulu,"
Charlotte menegur David Michael.
"Memang, sih," David Michael menanggapi, "tapi kita pasti
bisa menangkapnya."
Betul juga. Akhirnya mereka bertiga berhasil menyergap anjing
itu di belakang sebatang pohon cemara. Kemudian mereka
mengepungnya bersama-sama dengan Suzi dan Margo, lalu
menggiringnya menuju ember mandi.
"Ayo masuk," kata Kristy. Dia dan adiknya mengangkat lalu
menceburkan Louie ke dalam air. Tampaknya mereka sudah terbiasa
melakukan pekerjaan itu.
CE-PROT! Sebuah gelombang pasang menghantam salah satu
sisi ember, sehingga Jamie dan Claire jadi basah kuyup. Tapi mereka
malah tertawa-tawa dengan gembira.
Empat anak menerkam Louie yang malang dan mulai
membasahi tubuhnya. Nina meraba-raba mencari sabun di dalam air.
Akibatnya, anak itu terjatuh ke dalam ember. Setelah Dawn berhasil
mengangkat dia dari dalam air, anak-anak langsung merubung di


Baby Sitter Club 7 Claudia Dan Janine Si Besar Kepala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekelilingnya. Masing-masing kepingin mendapat kesempatan untuk
menyabuni Louie. Sepanjang acara mandi, hanya sekali Louie
merengek minta dikasihani, yaitu pada waktu Kristy dan David
Michael menceburkannya ke dalam air. Setelah itu dia diam saja?
tanpa bersuara.
Setelah Louie disabuni sampai seluruh bulunya berbusa, Mary
Anne bertanya, "Bagaimana sekarang? Apa sudah waktunya untuk
disemprot?""Yap," sahut Kristy. Dia membantu anjingnya keluar dari
ember. Anjing itu berdiri. Badannya basah kuyup dan air menetes-
netes ke atas rumput.
Dia menunggu-nunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Badannya mengerut!" seru Nina. "Kenapa bisa begitu? Oh,
badannya mengerutl"
"Tidak, Nina," ujar Dawn dengan sabar. "Dia cuma basah.
Nanti kita buktikan, deh."
Mary Anne menarik slang.
"Apa Louie perlu dipegangi?" tanya Dawn.
"Tidak," David Michael menyahut. "Dia sudah tahu bahwa satu-
satunya cara untuk menghilangkan sabun di badannya adalah dengan
membiarkan kita membilasnya dengan air."
Tapi pada saat itu juga, Louie telah melesat melintasi
pekarangan dengan gerakan secepat kilat. Delapan anak langsung
berlari mengejarnya. (Jenny gemetar ketakutan di atas sebuah kursi
taman, sementara si kecil Eleanor sedang bermain-main dengan jari-
jari kakinya, tidak menyadari apa yang sedang terjadi.)
"Cegat dia," teriak Buddy.
Nicky menubruknya, tapi Louie berhasil lolos dari cengkeraman
anak itu. Dia berlari-lari mengelilingi pekarangan rumah dalam
lingkaran-lingkaran yang besar.
"Ke sana!" seru Charlotte sambil menunjuk.
Setengah dari anak-anak itu berbalik, lalu berlari ke arah yang
berlawanan. Louie melihat mereka hendak mencegatnya. Dia berbalik,
dan berlari menuju kelompok anak yang lain."Nah, kena kamu!" kata Margo. Dia, Nicky, Suzi, dan Jamie
menjatuhkan diri ke atas badan Louie. Tubuh mereka saling
bertumpang tindih.
"Pegangi dia!" teriak David Michael. "Sekarang acara
penyemprotan air!" David Michael memencet gagang semprotan di
ujung slang, dan air langsung menyembur keluar mengenai Louie dan
anak-anak yang memeganginya.
Pada waktu bulu-bulu Louie telah bersih dari sabun dan
dikeringkan, anjing itu menjadi tenang kembali. Dia tampak sangat
tampan sekarang. ("Eh, dia sudah gemuk lagi," ujar Nina dengan
lega.) Tapi tubuh dan pakaian para peserta play group jadi basah
kuyup semua.
"Untung saja hari ini cuaca cukup hangat," kata Stacey.
"Mereka bisa mengeringkan tubuh dan pakaian mereka di bawah sinar
matahari, sementara mereka mendandani Louie."
Setelah pagi menjelang siang, Louie sudah menjadi anjing yang
gagah. Stacey telah mengepang bulu-bulunya. Charlotte telah
memasang pita di masing-masing ujung kepangannya. Margo dan
Mallory telah mengecat cakarnya dengan cat kuku berwarna merah.
Bahkan David Michael menyempatkan diri berlari pulang untuk
mengambil ikat lehernya yang terbuat dari kain bermotif kotak-kotak.
Anak-anak memeriksa Louie dengan kritis.
"Apa dia tidak punya baju?" tanya Nicky. "Baju hangat atau
semacam itu?"
"Tidak," sahut Kristy. "Tapi kupikir dia sudah cukup bagus
didandani seperti ini. Mudah-mudahan dandanannya bisa bertahan
sampai besok...."Satu per satu anak-anak mulai meninggalkan rumah Stacey?
pulang ke rumah masing-masing. David Michael yang pulang terakhir.
Dengan bangga dia menggiring Louie keluar dari pekarangan rumah
keluarga McGill sambil menggenggam tali pengikat leher anjing itu.
Pada saat itu Kristy menoleh kepada teman-temannya. "Wah,
rasanya Louie jadi lebih seperti anjing betina, ya?" dia berbisik.
Tidak ada seorang pun yang memberi komentar.
"Oh," Kristy melanjutkan. "Kalau besok ada orang yang
menanyakannya, akan kubilang bahwa namanya Louella. Mereka juga
tidak akan tahu bedanya."Bab 11
TERAPI yang dijalani Mimi ternyata sangat membantu dia.
Setiap hari ada saja hal baru yang dipelajarinya. Persis seperti halnya
anak kecil, dengan cepat dia mempelajari kegiatan-kegiatan yang
bersifat fisik?seperti duduk, berdiri, dan berjalan. Tapi kemampuan
bicaranya berkembang perlahan-lahan. Dia mengingatkanku pada
Lucy Newton. Lucy sudah bisa duduk, merangkak, dan mengangkat
badannya sampai pada posisi berdiri. Dia juga sudah bisa
melambaikan tangan, minum susu sendiri dari botolnya, dan makan
kue sendiri. Tapi dia belum bisa bicara.
Dia dan Mimi, keduanya sedang berusaha keras. Lucy sedang
berusaha untuk menirukan suara-suara, sedangkan Mimi sedang
berusaha untuk mengingat kata-kata. Itulah yang agak aneh pada diri
Mimi. Setelah dia bisa berbicara lagi, kadang-kadang ada kata-kata
dalam kalimat-kalimatnya yang tertukar tempat. Selain itu sering kali
dia tidak dapat menemukan kata apa yang harus dipakainya.
Ahli terapi yang membantu melatih kemampuan berbicara
Mimi telah memberikan kartu-kartu bergambar padaku, untuk melatih
nenekku mengingat-ingat nama-nama benda dan menghafalkan
kosakata. Aku harus menunjukkan sebuah kartu bergambar pada
Mimi, kemudian Mimi harus mencoba untuk menyebutkan namabenda yang tergambar dalam kartu tersebut. Kadang-kadang dia bisa
menjawab dengan cepat, tapi di lain waktu dia harus berjuang keras
untuk mengingat-ingat lagi.
Pernah sekali waktu aku menunjukkan gambar seekor burung.
"Dia... dia angkasa di terbang. Bukan, dia terbang di angkasa," ujar
Mimi dengan nada putus asa. "Dia punya sayap. Dia suka menangkap
cacing. Dia membuat sarangnya. Tapi aku... oh, kau tahu kan apa
maksud Mimi, Claudia-ku."
Di lain waktu dia akan mengatakan suatu kata dalam bahasa
Jepang untuk menjawab nama sebuah benda yang tergambar di kartu.
Aku berkonsultasi dengan dokter tentang hal ini. Dan dokter
berkata bahwa Mimi menderita penyakit yang disebut aphasia.
"Penyakit itu bisa disembuhkan," dia meyakinkan aku.
Namun berlainan dengan Lucy, Mimi punya satu masalah besar,
yaitu dia belum bisa menggunakan tangan kanannya dengan leluasa.
Dan kalau dia mencoba untuk berjalan, kaki kanannya akan berjalan
dengan terpincang-pincang. Para dokter mulai menarik kesimpulan
bahwa anggota tubuh Mimi bagian kanan tidak akan bisa berfungsi
seperti sediakala. Walaupun begitu, mereka berpendapat bahwa
keadaan Mimi sudah mulai membaik. Untuk berjaga-jaga terhadap
segala kemungkinan, ahli terapi yang lain telah melatih Mimi untuk
menulis dan melakukan segala sesuatu dengan menggunakan tangan
kirinya.
Suatu pagi aku sedang berada di rumah sakit bersama Mimi.
Dia sedang duduk di sebuah kursi berlengan dan berkeras agar segera
berganti baju. Kami sedang menunggu kedatangan ahli terapi bicara,
dan sambil menunggu aku menguji Mimi.Aku duduk bersila di atas tempat tidurnya. "Ini warnanya apa?"
tanyaku sambil memegangi sudut seprai yang berwarna putih.
Mimi mengerutkan kening. "Shiroku..."
"Bahasa Inggris, Mimi. Bahasa Inggris."
"Warnanya... bukan hitam," dia akhirnya berkata.
"Putih," aku mengingatkan.
"Oh, ya. Aku... aku itu bisa tahu." (Seperti telah kujelaskan tadi,
nenekku kadang-kadang mencampuradukkan kata-katanya seperti itu.)
Aku menunjukkan sebuah kartu bergambar. "Ini apa?"
"Hitsuji... bukan... domba!" ujar Mimi.
"Betul! Mimi hebat, lho!"
"Memang dia hebat," sahut sebuah suara.
Dokter Marcus telah berdiri di ambang pintu.
Aku menyapanya dengan gembira. Aku menyukai dokter itu,
begitu juga Mimi. (Walaupun Mimi masih sering berbicara dalam
bahasa Jepang dan Mama terpaksa harus menerjemahkannya untuk
dokter itu.)
"Pada dasarnya, dia sudah cukup sehat untuk pulang besok."
"Pulang?" seruku. "Besok? Oh, asyik sekali!"
Mimi tersenyum. "Mmm," gumamnya sambil mengangguk-
anggukkan kepala. Aku bisa merasakan bahwa kali ini nenekku tidak
dapat menemukan kata-kata apa yang ingin digunakannya. Tapi
senyumnya telah mengatakan segala-galanya.
**********
Malam itu, Mama, Papa, dan aku berkumpul untuk
membicarakan Mimi. Kedua orangtuaku telah menghabiskan waktusepanjang siang untuk berdiskusi dengan Dokter Marcus, para juru
rawat, dan para ahli terapi.
"Mimi tetap harus dibawa ke rumah sakit setiap hari untuk
menjalani terapi," ujar Papa. "Mama dan Papa akan mengatur waktu
untuk keperluan itu. Setiap harinya Mimi sudah harus berada di rumah
sakit pada jam dua siang, dan akan selesai pada jam lima sore."
"Tapi apa yang akan dikerjakan Mimi sepanjang pagi?"
tanyaku.
"Mimi bisa melihat-lihat majalah atau menonton TV," jawab
Mama. "Tapi sebaiknya, sebanyak mungkin dari waktunya digunakan
untuk mengulangi kembali apa saja yang sudah dilatihnya dalam
terapi-terapinya. Dan itu artinya, Mimi tidak boleh ditinggal
sendirian...."
"Aku yang akan menemani Mimi sepanjang pagi," dengan
sukarela aku mengajukan diri.
"Betulkah?" tanya Mama. "Apa kamu yakin bisa? Kalau begitu
bagus sekali, karena kami tidak ingin mengganggu waktu kuliah
Janine."
(Aku yakin betul, bahwa Janine akan sangat lega kalau
mendengar berita ini. Sepanjang minggu ini yang dikerjakannya hanya
membaca buku melulu. Dasar kutu buku. Dia bilang, dia akan
mengikuti ujian sebentar lagi. Tapi menurut perasaanku, dia cuma
mencari-cari alasan saja untuk menghindar dari tanggung jawabnya
menjaga Mimi. Sepertinya dia tidak begitu peduli pada Mimi.)
"Tentu saja kami akan membayarmu," Mama melanjutkan."Membayarku?" tanyaku. "Mama tidak perlu membayarku. Ini
kan Mimi. Akulah yang ingin menemani dan merawat Mimi. Aku kan
bagian dari keluarga ini."
"Betul, tapi dengan begitu kamu terpaksa meninggalkan
kegiatanmu di play group. Dan selain itu, kamu juga masih harus
melatih Mimi. Tidak perlu sepanjang pagi, tapi paling tidak sebagian
dari waktumu harus digunakan untuk itu. Menemani Mimi tidak
sesederhana yang kamu bayangkan. Mimi perlu dibantu. Dan itu
bukan pekerjaan yang ringan, lho."
"Aku tahu...," ujarku.
"Mama dan Papa telah memutuskan bahwa kami akan
membayarmu sesuai dengan tarifmu sebagai baby-sitter," tambah
ayahku.
"Setuju, kan?" tanya Mama.
"Oke," aku menyerah, "tapi Mama dan Papa harus berjanji
untuk merahasiakan hal ini. Aku tidak ingin kalau Mimi sampai tahu
bahwa aku menerima upah untuk membantunya. Menurutku, hal itu
bisa menyinggung perasaannya. Janji?"
"Janji," jawab kedua orangtuaku.
*********
Demikianlah maka Mimi pulang dari rumah sakit keesokan
siangnya. Dan pagi berikutnya adalah pagi pertamaku bertugas
menemani dan merawat Mimi. Sudah barang tentu aku masih
mendapatkan banyak bantuan selama waktu sarapan. Tapi menjelang
jam setengah sembilan, setelah semua orang pergi meninggalkan
rumah, tinggallah Mimi dan aku. Memang aku bisa menelepon para
tetangga kami kalau terjadi sesuatu, misalnya keluarga Goldman, atauibu Stacey. Dan semua nomor telepon darurat dari seluruh negeri telah
dicantumkan di dekat pesawat telepon di dapur. Aku merasa agak
canggung juga, karena keluarga Thomas sudah pindah rumah. Mereka
sudah tidak bisa lagi dimintai bantuan. Kristy sudah pindah dan
rumahnya sekarang terletak di seberang kota.
Mimi duduk di meja dapur, sementara aku membereskan piring-
piring bekas sarapan tadi. Sering kali aku mengajukan berbagai
pertanyaan pada nenekku itu.
"Apa yang sedang kukerjakan, Mimi?"
"Kamu sedang... sedang... mencuci ehm... ehm... benda-benda
bekas tempat kita makan."
"Apa nama benda-benda itu?"
"Namanya... pisang. Bukan, piring. Dan juga benda-benda
bundar bekas tempat kita minum."
"Apa nama benda-benda itu?" Aku bisa merasakan bahwa Mimi
mulai putus asa, tapi aku tidak mau menyerah.
Pertanyaan, pertanyaan, pertanyaan. Itulah yang kami lakukan
sepanjang dua jam pertama di pagi itu. Kami berjalan-jalan dari satu
ruang ke ruang yang lain. Aku menanyakan segala sesuatu padanya.
Kalau Mimi menemui masalah, aku akan memberinya suatu gambaran
yang bisa membantunya mengingat kembali. (Begitulah cara guruku
mengajar waktu aku masih duduk di kelas tiga. Hal itu untuk
membantuku memperbaiki cara pengejaan kata yang buruk.)
"Lain kali, kalau Mimi perlu mengingat nama benda ini," ujarku
sambil menunjuk sebuah kursi, "bayangkan buah kurma yang tumbuh
membesar dan membesar sampai buah itu meledak danmenyemburkan jus kurma. Dan kalau Mimi membayangkan tentang
buah kurma, Mimi pasti akan ingat kata kursi."
"Oh, kamu bisa saja, Claudia-ku," sahut Mimi sambil
tersenyum. "Aku yakin bahwa mulai saat ini aku tidak akan lupa
bahwa nama benda itu kurma."
Syukurlah ternyata tidak begitu jadinya. Ketika aku menunjuk
kursi lagi, kira-kira sepuluh menit kemudian, Mimi mengerutkan
keningnya, lalu tersenyum. Aku tahu, pasti dia sedang membayangkan
buah kurma yang meledak. "Itu," sahut nenekku dengan penuh
semangat, "adalah sebuah kursi."
Belakangan, aku mengeluarkan buku menulis halus milik Mimi
dan dia mulai berlatih menulis dengan tangan kirinya. Setelah
beristirahat sebentar, Mimi membantuku membereskan tempat tidur
dan melakukan pekerjaan-pekerjaan lain yang cukup mudah dilakukan
dengan sebelah tangan.
Kami baru saja selesai makan siang di teras belakang rumah,
ketika kami mendengar suara bel pintu depan. "Biar aku yang buka!"
kataku. "Mimi di sini saja, ya."
Aku berlari melintasi ruang tengah lalu membuka pintu.
Ternyata Stacey, Mary Anne, Kristy, dan Dawn sedang berdiri di
depan pintu. Mereka membawa kertas-kertas dan bungkusan-
bungkusan.
"Halo, semuanya!" aku menyapa mereka dengan ceria.
"Halo!" jawab mereka.
"Kami baru bubar dari play group," Stacey menjelaskan. "Dan
kami datang untuk menengok Mimi.""Oh, asyik sekali," ujarku. "Mimi sedang di luar, di teras
belakang."
Teman-temanku mengikutiku ke teras belakang. Begitu melihat
Mimi, mereka langsung merubungnya seperti sekumpulan lebah yang
menemukan madu.
Mereka berebutan untuk berbicara dengan dia, sambil menaruh
hadiah-hadiah di pangkuannya.
Secara mendadak Mimi kehilangan kata-katanya. Aku
mendengar dia komat-kamit mengatakan sesuatu tentang kodomo.
Oleh sebab itu dia terpaksa hanya dapat menggumamkan kata,
"Mmm," sambil tersenyum. Tapi setelah teman-temanku duduk
dengan tenang di kursi masing-masing, Mimi menjadi gembira dan


Baby Sitter Club 7 Claudia Dan Janine Si Besar Kepala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah tidak bingung lagi.
"Aku... senang bertemu lagi dengan kalian," katanya pelan-
pelan.
"Oh, belum pernah kami merasa segembira ini bertemu dengan
Mimi," jawab Mary Anne bersungguh-sungguh.
"Lihat," ujar Stacey, "Charlotte telah membuatkan bunga-
bungaan ini untuk Mimi." Dia memamerkan hasil kegiatan kerajinan
tangan pada hari itu, yaitu potongan-potongan karton bekas tempat
telur yang direkatkan pada sebuah tongkat dan diberi warna-warna
yang cerah.
"Dan David Michael tidak bisa lagi menjadi peserta play
group," ujar Kristy. "Oleh sebab itu dia mengirimkan lelucon untuk
Mimi sebagai gantinya. Bunyinya begini: Berapa ekor gajah yang bisa
dimuat dalam sebuah mobil?"
"Berapa ekor?" tanya Mimi."Empat. Dua di depan dan dua di belakang!"
"Oh..." Mimi tersenyum, tapi tampak kebingungan.
"Keluarga Thomas sudah pindah, Mimi," aku berkata padanya.
"Ingat? Mereka telah mengemasi barang-barang dan segala
sesuatunya."
"Oh... oh, ya," jawab Mimi. Aku tahu bahwa nenekku memang
betul-betul ingat akan peristiwa itu. "Apa kalian menyukai bumah
rarumu?"
Tidak satu pun dari kami yang tertawa mendengar kata-katanya.
Teman-temanku sudah tahu apa yang dimaksudkan Mimi.
"Rumahnya, sih, oke-oke saja," sahut Kristy. "Tapi aku kurang
yakin dengan lingkungan di sekitar situ. Sepertinya tidak banyak anak
kecil di sana. Watson bilang, sebagian besar dari mereka telah dikirim
oleh orangtua mereka ke perkemahan musim panas."
Teman-temanku masih terus mengobrol untuk beberapa waktu
lamanya. Mereka pulang tepat pada saat aku harus membantu Mimi
mempersiapkan diri ke rumah sakit. Papa muncul pada jam dua
kurang seperempat untuk menjemput nenekku. Setelah itu aku masih
harus berangkat ke rumah keluarga Newton untuk menjaga anak.
Lucy sedang bersiap-siap untuk tidur siang, ketika aku datang.
Bu Newton tampak terburu-buru. "Tolong gantikan saya menyiapkan
Lucy. Saya harus sudah sampai di tempat rapat kira-kira lima belas
menit lagi, sementara Lucy masih kotor habis makan siang. Dan
popoknya juga perlu diganti."
"Beres," sahutku. "Di mana Jamie?"
"Sebentar lagi juga masuk. Dia habis bermain di halaman
belakang.""Hi-hi," ujar Jamie yang tiba-tiba muncul di ambang pintu
kamar Lucy.
"Sayang, Mama harus berangkat sekarang," Bu Newton berkata
pada Jamie. "Kamu bermain dengan Claudia, ya?"
"Dadah, Mama," Jamie berkata dengan santai.
Bu Newton bergegas menuruni tangga.
Jamie menyeberangi kamar adiknya. Lucy sedang berbaring di
atas meja bayi. "Hi-hi, Lucy Goosey," katanya sambil memasang
tampang konyol di depan adiknya.
Lucy tersenyum pada abangnya.
Jamie mengangkat sebuah mainan tupai-tupaian dan
menggerak-gerakkannya di atas Lucy. Sementara itu aku mengganti
baju anak itu. Senyumnya berubah menjadi tawa kecil dan dia mulai
mengangkat-angkat tangannya ke udara untuk meraih mainan itu.
Jamie menatap Lucy dengan kritis. "Mukamu kotor," ujarnya.
"Memang," aku berkata padanya. "Aku akan membersihkannya
sebentar lagi."
"Biar aku saja yang membersihkan dia," sahut Jamie.
"Jangan, Jamie. Biar aku saja," kataku. "Pekerjaan itu cukup
sulit, lho. Sampai-sampai di rambutnya juga menempel makanan. Dan
di samping itu aku juga perlu mengganti popoknya."
"Aku bisa, kok."
"Barangkali kamu memang bisa. Tapi biar aku saja yang
mengerjakannya. Kan aku bisa lebih cepat," sahutku.
"Brengsek," ujar Jamie dengan tajam. Lalu dia berjinjit di atas
jari-jari kakinya, kemudian berseru di depan wajah adiknya, "Dasar
bayi! Kenapa kamu harus ada!"Tangis Lucy langsung meledak begitu mendengar suara keras
yang tiba-tiba. Sementara itu Jamie sudah berjalan sambil mengentak-
entakkan kakinya menuju lorong di depan kamar sambil mulutnya
komat-kamit mengatakan sesuatu tentang, "Selalu tidak boleh
membantu," atau semacam itu. Setelah kejadian itu, dia masih
mendongkol untuk beberapa waktu lamanya. Tapi pada saat Lucy
terbangun dari tidurnya, Jamie sudah kembali ceria seperti sediakala.
Dia menggelitik kaki Lucy, lalu bermain tepuk tangan bersama
adiknya. Dan ketika aku mengizinkan dia untuk membantuku
memakaikan baju Lucy, wajahnya memancarkan rasa bangga.
Kami bermain-main dan bersenang-senang sepanjang sore. Tapi
ketika aku meninggalkan rumah keluarga Newton, aku merasa sangat
lelah. Hari itu memang hari yang sangat melelahkan. Dan aku punya
perasaan tak enak bahwa kejadian antara Jamie dan Lucy tadi
mengingatkanku pada Janine dan aku. Tapi aku tidak yakin kenapa.Bab 12
WAH, aneh juga. Mimi membentak Mary Anne? Padahal
selama dia masih di rumah sakit, tidak pernah sekali pun dia
membentak aku, atau Mama, atau Papa, maupun Janine. Barangkalikarena kami berempat masih termasuk anggota keluarganya. Aku rasa,
Mimi masih bisa terima kalau aku selalu mengekorinya ke mana pun
dia pergi, dan selalu mengganggunya dengan berbagai pertanyaan
yang lama-kelamaan bisa membuatnya jengkel. Tapi lain halnya kalau
hal itu dilakukan oleh orang lain yang bukan anggota keluarganya.
Aku yakin sekali bahwa sebenarnya Mimi merasa malu. Aku bisa
membayangkan bahwa dia merasa malu karena dia membutuhkan
seseorang sebagai pengasuh. Bagaimanapun juga, dia kan wanita
dewasa, bukan bayi seperti Lucy Newton. Pokoknya, aku ikut sedih
atas kejadian yang menimpa Mary Anne. Dia anak yang pemalu dan
sangat sensitif. Kejadian-kejadian seperti ini bisa membuatnya betul-
betul kesal dan kecewa.
Mary Anne terpaksa menemani Mimi, karena aku telah berjanji
pada keluarga Marshall?lebih dari sebulan yang lalu?untuk
menjaga Nina dan Eleanor. Pak dan Bu Marshall punya acara penting
di Stamford yang akan makan waktu sepanjang hari. Oleh sebab itu
jauh-jauh hari sebelumnya mereka sudah menelepon Baby-sitters Club
untuk mendapatkan seorang baby-sitter. Dan aku tidak berminat untuk
mengundurkan diri dari tugas itu. Sementara Mama dan Papa juga
tidak bisa mengorbankan waktu kerja mereka lagi lebih dari yang
sudah mereka jadwalkan. Dan tentu saja mereka tidak mau meminta
Janine untuk meninggalkan kuliah-kuliahnya.
Oleh sebab itu, kami meminta Mary Anne untuk menemani
Mimi. Dan dengan spontan dia langsung menyatakan kesediaannya.
Sebenarnya aku baru akan bertugas di rumah keluarga Marshall
pada jam sepuluh. Tapi aku bilang pada Mary Anne untuk datang ke
rumahku pada jam setengah sepuluh. Dengan demikian masih cukupwaktu untuk menunjukkan buku latihan Mimi dan kartu-kartu
bergambar padanya. Di samping itu aku juga menjelaskan hal-hal apa
saja yang bisa dan yang tidak bisa dikerjakan oleh Mimi, apa yang
harus disiapkan untuk makan siang, bagaimana kalau Papa pulang,
dan sebagainya. ebukulawas.blogspot.com
Mary Anne mendengarkan penjelasanku dengan sabar dan
mengajukan beberapa pertanyaan. Dia sudah tahu di mana aku berada
kalau-kalau dia memerlukanku. Aku berkata pada diri sendiri, bahwa
Nina dan Eleanor bisa kubawa ke rumahku, kalau memang perlu.
Sudah jam sepuluh kurang sepuluh. Aku harus pergi. "Oke,
Mimi," ujarku. "Aku akan berada di rumah keluarga Marshall untuk
menjaga anak di sana. Tapi Mary Anne akan tinggal di sini untuk
menemani Mimi. Papa akan pulang beberapa saat sebelum jam dua
siang nanti."
"Tidak apa-apa, Claudia-ku," jawab Mimi perlahan-lahan.
Aku mengangkat jempol untuk Mary Anne, kemudian pergi
meninggalkan rumah.
Kata Mary Anne, sejak awal sikap Mimi sudah agak, ehm,
menyulitkan. Mimi tidak sampai bersikap kasar, sih. Tapi sebagai
contoh: sesaat setelah aku pergi, Mary Anne mengusulkan pada Mimi,
"Bagaimana kalau sekarang kita berlatih dengan kartu-kartu
bergambar?"
Dan Mimi menjawab, "Oh, Mary Anne, kenapa kita tidak
menonton, ehm... ehm... kotak besar saja?"
Padahal Mimi tidak pernah nonton TV. Atau lebih tepatnya
bukannya tidak pernah, tapi jarang sekali. Jadi permintaannya itu agak
di luar kebiasaan.Tapi Mary Anne tidak mau berdebat dengan nenekku. Dia
berpendapat bahwa Mimi mungkin bisa melatih kemampuannya
berbicara dengan mendengarkan percakapan orang di TV. Maka dia
mencari program yang menyiarkan acara diskusi; Ternyata acara itu
kurang menarik. Mereka berbicara tentang penyusunan kembali
undang-undang perpajakan, atau semacam itu. Mary Anne cepat bosan
dibuatnya. Dan setelah acara itu berlangsung selama lima menit, Mary
Anne baru menyadari bahwa ternyata Mimi pun tidak tertarik.
Pandangannya tidak tertuju ke layar TV.
Melihat situasi seperti itu, Mary Anne langsung melompat
berdiri, mematikan TV, lalu berkata, "Mimi, hari ini sangat indah.
Ayo, kita duduk-duduk di teras belakang dan aku akan membantu
Mimi berlatih dengan kartu-kartu bergambar."
Mimi menghela napas dengan berat, tapi rupanya dia tidak
dapat menemukan kata-kata yang ingin diucapkannya. Oleh sebab itu
dia membiarkan Mary Anne membimbingnya menuju teras.
Setelah mereka duduk dengan enak, Mary Anne mulai
mengangkat sebuah kartu bergambar.
"Pudar," ujar Mimi.
"Bukan, dapur," Mary Anne mengoreksi.
Mimi membisu.
"Bilang dapur," Mary Anne mendesak nenekku.
"Dapur," bisik Mimi.
Rasanya aku bisa membayangkan kejadian itu. Mereka berdua
sedang duduk di teras belakang dengan kartu-kartu bergambar. Mary
Anne mengenakan rok jeans, blus garis-garis berwarna merah muda
dan putih, dan sepatu tanpa kaus kaki. Aku yakin betul bahwa diapasti duduk di ujung kursi sambil menyilangkan kakinya. Tangan
yang satu mungkin sedang mengangkat kartu bergambar, sedangkan
tangan yang lain sedang bermain-main dengan rambutnya.
Dan Mimi pasti sedang duduk dengan sikap resmi?seperti
biasanya?bersandar dengan baik pada kursinya, karena
keseimbangan tubuhnya tidak begitu sempurna lagi. Pagi itu dia
memakai setelan blus dan celana panjang berwarna biru. Dan aku
telah membantunya memilihkan bros merak berwarna emas untuk
disematkan pada blusnya. Akhir-akhir ini Mimi sering duduk dengan
sikap kaku, dan tangan kanannya?yang tidak berfungsi?disangga
oleh tangan kirinya.
Mary Anne menunjukkan kartu bergambar yang lain. Mimi
tampak berpikir keras. Setelah itu wajahnya bersemu merah.
"Hitsuji?" katanya setelah beberapa saat. "Bukan... bukan..."
"Ini domba, Mimi," ujar Mary Anne.
"Ah. Mmm..." Kemampuan bicara Mimi mulai menghilang
bersamaan dengan hilangnya keberaniannya.
"Bilang, dong," Mary Anne berkata lagi.
Mungkin inilah yang menjadi awal dari bencana itu (aku tidak
yakin betul, sih). Masalahnya, walaupun Mary Anne pemalu, kadang-
kadang dia bisa bertindak seperti seorang ibu guru. Baru-baru ini, dia
pernah mengatakan pada kami bahwa suatu hari nanti dia ingin
menjadi guru. Barangkali Mimi merasa terlalu didesak-desak olehnya
atau diperlakukan seperti anak kecil. ("Bilang da-da, Lucy. Bilang da-
da. Oh, anak pintar!")
"Bilang, Mimi," Mary Anne terus mendesak.
"Gombal.""Bukan... domba. Deh, deh." Mary Anne memberikan tekanan
pada bunyi d di awal kata. Sebetulnya, Mimi telah mendengar dengan
baik kata domba yang diucapkan Mary Anne. Tapi apa yang
dipikirkannya dan yang diucapkannya tidak sesuai.
"Domba. DEH. DEH," Mimi mengulangi dengan suara lantang.
Mary Anne jadi ragu-ragu. Dia bertanya-tanya apakah
sebaiknya mereka menghentikan saja kegiatan itu. Tapi pada saat itu
dia teringat akan kata-kataku, bahwa kalau Mimi ingin cepat sembuh,
dia harus dilatih, dilatih, dan dilatih setiap hari. Bahkan pada hari
Sabtu dan Minggu.
Oleh sebab itu Mary Anne mulai mengangkat sebuah kartu
bergambar yang lain. Gambar sebuah dasi. Karena beberapa alasan
tertentu, kata itu telah menjadi kata tersulit yang dapat diingat oleh
Mimi.
"Mmm," ujar Mimi. "Mmm..."
"Bukan," sahut Mary Anne. "Deh, deh."
"Deh... deh... diam!" seru Mimi sekeras mungkin. Dia berdiri
dengan keadaan tidak seimbang pada kaki-kakinya. "Diam!" dia
membentak lagi lalu mulai berjalan meninggalkan teras sambil
berusaha menjaga keseimbangan badannya.
Mary Anne bangkit berdiri dengan gelisah.
"Dan biarkan sendiri! Aku bisa berjalan sendiri!" ujar Mimi.
"Oke. Oke. Aku cuma mengikuti Mimi dari belakang. Aku
tidak akan membantu," sahut Mary Anne. Dia berjalan di belakang
Mimi, sambil bertanya-tanya pada dirinya sendiri apa yang harus
dilakukannya kalau sampai Mimi mengunci diri di dalam kamarnya.Ternyata Mimi berjalan ke arah dapur sambil memeluk tangan
kanannya sepanjang perjalanan. Padahal, Mama dan aku sudah
berkali-kali menekankan padanya agar dia menggunakan tongkat
penyangga yang telah diberikan oleh ahli terapi fisiknya.
Di dapur, Mimi duduk dengan jengkel untuk beberapa saat.
Setelah itu dia mulai berdiri lagi dan membanting-banting pintu-pintu
lemari dapur.
"Mimi?" tanya Mary Anne. "Apa..."
"Teh istimewa," Mimi berusaha keras untuk mengatakannya.
"Kita memerlukan itu."
"Oh," kata Mary Anne dengan lega. "Mimi benar. Memang kita
memerlukannya. Bagaimana kalau, ehm... bagaimana kalau..." (Mary
Anne yang malang begitu gelisah karena telah membuat Mimi
jengkel, sehingga dia tidak tahu apa yang harus diucapkannya.) "Aku
bisa mengeluarkan cangkir-cangkir istimewa dan tekonya, sementara
Mimi mengambil tehnya."
"Ya, ya," Mimi mulai tenang kembali.
Dua puluh menit kemudian teh sudah tersaji di hadapan mereka.
Mary Anne yang membuatnya (tentu saja dengan instruksi-instruksi
dari Mimi yang terbolak-balik), dan Mimi yang menuangkannya
dengan tangan kirinya.
Dia dan Mary Anne menghirup tehnya masing-masing.
"Ah," kata Mimi, "enak."
"Enak sekali," Mary Anne setuju. "Sudah lama kita tidak
membuat acara minum teh istimewa seperti ini."
"Mary," Mimi berkata, "maafkan aku. Aku tidak bermaksud
untuk... untuk berkata begitu padamu.""Tidak apa-apa," jawab Mary Anne. "Mungkin memang aku
pantas menerimanya."
"Tidak ada seorang pantas menerima kasar." Mimi meletakkan
cangkirnya lalu menjulurkan tangan kirinya. Mary Anne menyambut
tangan Mimi dan Mimi tersenyum padanya. "Dimaafkan?"
"Ya," sahut Mary Anne. "Dan aku ada usul, nih. Ayo kita
bermain bolos-bolosan sekolah."
"Bolos-bolosan sekolah? Oh... ya!" Mimi tertawa.
Mary Anne juga tertawa.
Mereka menghabiskan waktu sepanjang pagi dengan menonton
acara permainan di TV. Mimi cukup terampil mengikuti permainan
Wheel of Fortune. Diam-diam aku memutuskan bahwa dia harus


Baby Sitter Club 7 Claudia Dan Janine Si Besar Kepala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diberi kesempatan untuk menonton acara itu setiap hari.Bab 13
SEHARI sebelum Lucy Newton dipermandikan, seperti
biasanya aku menemani Mimi berlatih sampai menjelang siang. Kami
tidak pernah membicarakan kejadian antara Mimi dan Mary Anne
tempo hari. Anehnya, sejak kejadian itu nenekku jadi lebih mudah
diatur dan diajak bekerja sama, baik denganku, dengan orangtuaku,
maupun dengan para ahli terapi di rumah sakit. Menurut pengamatan
kami, setiap hari dia mendapatkan kemajuan. Kemampuan
berbicaranya bertambah baik, dan pincangnya berangsur-angsur
menghilang. Tetapi sampai sekarang dia belum bisa menggunakan
tangan kanannya, dan ahli terapi geraknya bekerja keras agar Mimi
bisa melakukan semakin banyak pekerjaan dengan tangan kirinya. Ini
cukup sulit bagi Mimi, karena dulunya dia sering mengerjakan hal-hal
dengan kedua tangannya?memasak, membordir, merajut, atau
menjahit. Bagaimanapun kerasnya dia berusaha melatih tangan
kirinya, tetap saja ada pekerjaan-pekerjaan yang tidak bisa
diselesaikan hanya dengan sebelah tangan saja. Suatu hari aku
menemukan tas yang berisi peralatan merajut kepunyaan Mimi
tersimpan di dalam lemari di ruang depan.
Mimi pasti merasa sedih dan kecewa, karena tidak bisa merajut
lagi. Tapi dia tidak pernah mengeluh mengenai hal itu.Setelah Papa mengantar Mimi ke rumah sakit, aku langsung
berangkat ke rumah keluarga Newton. Bu Newton tampak
kebingungan. Jamie sedang pilek, sedangkan Lucy baru tumbuh gigi.
Keduanya menangis meraung-raung.
Ruang makan dalam keadaan kacau-balau. Bu Newton telah
mengeluarkan semua piring dan peralatan makan dari perak yang akan
dipakainya untuk pesta besok sore. Dan di sebelah setiap piring dan
mangkuk terdapat makanan-makanan yang nantinya akan diatur di
atasnya, atau dituangkan ke dalamnya. Kemudian masih ada
bungkusan-bungkusan berisi dekorasi pesta, tumpukan piring untuk
para tamu, serta kotak-kotak berisi serbet kertas dan lilin-lilin
bertuliskan LUCILLE JANE NEWTON, lengkap dengan tanggal
permandiannya dalam huruf-huruf berwarna perak. Di mana-mana ada
catatan-catatan singkat di secarik kertas berwarna kuning. Bunyinya
antara lain demikian: Ingat potongan wortel di dalam kulkas, jangan
lupa taburi garam, dan ada satu catatan yang tidak kumengerti sama
sekali tertempel pada sebuah botol kosong: Batang-batang swizzle
untuk Bibi Nora.
Penampilan Bu Newton pun sama amburadulnya dengan ruang
makannya. Sambil meremas-remas tangannya, dia mengamati seluruh
ruangan dengan lesu, seakan-akan ruangan itu bisa ambruk setiap saat.
"Oh, Tuhan, bagaimana kalau besok hujan?" dia berseru.
"Kalau begitu kita terpaksa mengadakan pesta di dalam rumah."
"Tapi Baby-sitters Club siap membantu Ibu, lho," aku
mengingatkan dia. Teman-temanku dan aku telah diundang untuk
menghadiri upacara permandian dan pestanya sebagai "tamu yang
dibayar". Kami akan mengawasi Jamie dan Lucy, membantu Pak danBu Newton mengedarkan makanan, mengisi nampan-nampan,
membuat es batu, dan mengerjakan tugas-tugas lain yang biasa
dilakukan dalam sebuah pesta.
"Claudia, apa kamu bersedia mendekorasi pekarangan rumah
kami besok?" Bu Newton bertanya padaku. "Maksud saya, kalau tidak
hujan. Soalnya kamu begitu berbakat dalam hal-hal semacam itu."
"Dengan senang hati," ujarku. "Jam berapa saya harus datang?"
"Sebentar... hmm, upacaranya akan dimulai pada jam dua.
Kalau begitu, bagaimana kalau kamu datang sekitar jam dua belas?
Setelah itu kamu sekaligus bisa membantu anak-anak berpakaian." Bu
Newton memandang Jamie dan Lucy yang masih tersedu-sedan dan
berlinangan air mata. "Oh, semoga saja besok mereka sudah lebih
sehat," tambahnya.
"Kepalaku pusing," rengek Jamie.
"Wuahhh...," tambah Lucy minta dikasihani.
Bu Newton tampak sedih melihat keadaan anak-anaknya. Tapi
dia segera mulai bekerja dan menyerahkan anak-anaknya padaku.
Sementara dia direpotkan dengan perlengkapan pesta, aku
mengoleskan obat gigi di gusi Lucy, memberikan tisu pada Jamie, dan
berusaha menenangkan dan menyenangkan hati mereka dengan
membacakan cerita bergambar. Cerita favorit Jamie yang baru adalah
The Saggy Baggy Elephant, dan hari itu kami membacanya sebanyak
enam kali.
Pada saat aku akan meninggalkan mereka, Jamie tersenyum dan
berkata padaku bahwa dia sudah merasa jauh lebih baik. Dengan suara
bindeng dia berkata, "Pakasih, Claudi. Kepalaku sudah tidak pusig
lagi. Aku sudah sebuh.""Moga-moga besok semuanya berjalan sesuai dengan rencana,
Claudia," ujar Bu Newton pada saat aku bersiap-siap menuruni
tangga. "Dan mudah-mudahan cuacanya tetap bagus."
"Oh, jangan kuatir, Bu," sahutku. "Kalau perlu, para anggota
Baby-sitters Club akan melakukan tarian menolak hujan."
**********
Tentu saja aku tidak bersungguh-sungguh dengan kata-kataku
itu. Tapi keesokan harinya, setelah selesai berpakaian untuk acara
permandian, aku komat-kamit seperti pawang hujan sambil berharap
agar cuaca hari itu cerah dan semua anak sehat.
Aku memilih setelan baru yang paling kusukai. Blus putih
gombrong dengan bercak-bercak hitam di mana-mana, dan celana
putih sepanjang lutut. Sepatuku (perlu kujelaskan di sini bahwa untuk
mendapatkan sepatu itu, aku terpaksa harus berdebat dulu dengan
Mama) adalah sepasang sepatu sandal yang cantik. Warnanya emas,
dengan tali-tali pengikat yang melilit pada betisku. Sebagai aksesori,
aku memakai anting-anting berbentuk burung flamingo berwarna
merah muda, dan sebuah gelang sewarna dengan manik-manik
berbentuk hati yang membentuk kata CLAUDIA. Akhirnya aku
mengepang rambutku menjadi empat kepangan panjang-panjang, lalu
mengikatkan pita pada masing-masing pangkalnya dan mengikatkan
jepit berbentuk kupu-kupu pada masing-masing ujungnya.
Siaplah sudah. Pakaian yang kukenakan memang bukan pakaian
yang biasanya dipakai ke gereja, tapi hari itu adalah hari Sabtu dan
kami tidak akan mengikuti misa?cuma sebuah upacara singkat yang
kebetulan diadakan di gereja.Beberapa waktu kemudian aku sudah berada di pekarangan
belakang rumah keluarga Newton, di antara balon-balon, lampion-
lampion, dan berkilo-kilometer kertas krep berwarna-warni. Aku
berusaha menggantung segala sesuatunya seartistik mungkin.
Kemudian aku menanyakan pada Bu Newton kalau-kalau dia
kebetulan punya untaian lampu yang biasa dililitkan di sekeliling
pohon Natal. Di luar dugaanku, ternyata dia mempunyainya. Aku
langsung mengatur untaian lampu-lampu itu di atas semak-semak di
dekat teras, lalu menghubungkannya dengan listrik. Lampu-lampu
yang berkelap-kelip itu membuat suasana pekarangan rumah semakin
semarak saja.
Setelah itu aku memanggil keluarga Newton untuk melihat hasil
karyaku.
"Indah sekali!" seru Bu Newton.
"Kamu telah menyulapnya menjadi bagus, Claudia," tambah
Pak Newton.
"Apa semua ini untuk Lucy?" tanya Jamie, yang secara ajaib
telah sembuh dari pileknya.
"Ya. Ini semua untuk pesta Lucy," ayahnya berkata padanya.
"Nah, betul, kan," sahut Jamie. Dia menghilang ke dalam
rumah.
"Ya ampun," ujar Bu Newton, "sepertinya kita punya masalah
besar, nih. Anak-anak memang sudah sembuh, tapi sekarang Jamie
kena penyakit cemburu pada adiknya."
"Saya akan mulai mengganti baju mereka," ujarku. "Sudah
hampir jam satu. Kristy dan teman-teman yang lain akan datang
sekitar setengah jam lagi."Aku menemui Jamie di kamarnya. Dia sedang duduk dengan
tampang mendongkol di atas tempat tidurnya.
"Sudah waktunya untuk berpakaian," kataku dengan ceria.
"Untuk pesta?" tanya anak itu.
"Yap."
"Tidak mau, ah."
"Apa maksudmu, tidak mau?"
"Aku tidak mau berganti pakaian."
"Oh, harus dong. Lihat ini." Aku mengangkat baju barunya
yang telah khusus dibelikan oleh ibunya?sebuah setelan jas kecil
yang rapi: celana panjang berwarna coklat muda, kemeja putih, dan
blazer berwarna biru tua. "Kamu bakal kelihatan gagah dengan setelan
ini. Persis seperti papamu."
Jamie ragu-ragu untuk beberapa saat. "Oke," ia akhirnya
menggerutu.
Dia membiarkan aku mengancingkan bajunya dan mengikat tali
sepatunya. Ketika kami selesai, aku kaget melihat penampilannya.
Ternyata Jamie tidak lagi tampak seperti si kecil Jamie yang kukenal.
Dia tampak seperti seorang pemuda cilik. Masih dengan perasaan
takjub, aku mengajak anak itu ke dapur untuk dipamerkan. Pak dan
Bu Newton sedang sibuk dengan persiapan terakhir. Tapi kurasa
tnereka pasti sudah terbiasa melihat pemandangan seperti itu. Soalnya
komentar mereka hanyalah betapa manisnya Jamie dan betapa pasnya
blazer-nya.
"Apa saya perlu memakaikan baju Lucy sekarang?" tanyaku."Biar saya saja yang melakukannya," jawab Bu Newton, "tapi
kamu bisa membantu. Rasanya tidak sabar ingin menunjukkan baju
Lucy padamu."
Ketika Lucy sudah selesai didandani, dia tidak tampak lebih tua
ataupun lebih muda daripada biasanya?dia kelihatan seperti malaikat
cilik. Baju permandiannya adalah sebuah gaun panjang berwarna
putih yang permukaannya dipenuhi dengan renda-renda dan pita-pita.
Kancing-kancing mungil seperti mutiara menghiasi bagian
belakangnya. Dan dia memakai topi dengan warna senada. Kristy,
Mary Anne, Stacey, dan Dawn muncul, tepat setelah kami selesai
mendandani anak itu.
Masing-masing dari mereka langsung mengeluarkan seruan
kagum seperti "ooh" dan "aah". Dan kurasa masing-masing dari
mereka paling tidak satu kali mengatakan, "Aduh, kamu kok lucu
sekali, sih?"
Dari balik topinya, Lucy tersenyum manis pada kami.
Sementara itu Jamie menatap kami dengan mendongkol.
Wah, kelihatannya bakal ada masalah, nih!
**********
Upacara permandian di gereja berlangsung dalam waktu
singkat. Para undangan dan kami?para baby-sitter?duduk di deretan
bangku terdepan. Sementara keluarga Newton berdiri di depan altar
bersama dengan pastor dan dua orang (laki-laki dan perempuan) yang
akan menjadi orangtua permandian Lucy.
Lucy menangis sebentar waktu pastor memerciki keningnya
dengan air suci. Jamie terus-menerus menundukkan kepalanya untuk
mengamati sepatu barunya. Segalanya berlangsung dengan lancar,kecuali di akhir upacara. Pada saat itu, keluarga Newton sedang
berjalan melalui lorong di antara bangku-bangku menuju ke bagian
belakang gereja. Sambil berjalan, Jamie menoleh lalu berkata pada
pastor, "Semoga Tuhan memberkati Pastor!"
Semua orang tertawa mendengarnya. Tapi hal itu tidak
dipersoalkan, karena upacara permandiannya telah selesai dan kami
sedang bersiap-siap menuju rumah keluarga Newton untuk
merayakannya. Para anggota Baby-sitters Club bersiap-siap untuk
berpindah fungsi dari tamu menjadi petugas pesta.
Pak Newton mengantar kami kembali ke tempat pesta. Dan Bu
Newton langsung menyibukkan kami dengan berbagai tugas. Kristy
dan Stacey membantu mengedarkan makanan pembukaan. Mary Anne
dan Dawn membantu menyiapkan meja makan. Sedangkan aku
membantu mengawasi Jamie.
Lucy jelas tidak perlu terlalu banyak diawasi, karena dialah
yang menjadi pusat perhatian di situ. Dia terus berpindah-pindah
tangan dari satu tamu ke tamu yang lain.
Jamie tidak tahu apa yang harus diperbuatnya. Dia terombang-
ambing antara menonton keramaian itu, atau tidak menontonnya.
Kalau dia lagi tidak mau melihat ke arah Lucy, dia mencoba untuk
menarik perhatian dengan berbagai cara.
"Hei, Kek! Lihat aku!"
Tapi biasanya sang Kakek (atau Nenek atau Bibi Nora atau
siapa pun yang dipanggilnya) masih terlalu terpikat pada Lucy,
sehingga mereka tidak dengan sungguh-sungguh memperhatikan dia.
"Roarrr!" seru Jamie. Dia berdiri di ujung atas mainan
luncurannya sambil memukul-mukul dada. "Aku Kin-Kon!"Satu-satunya suara perhatian yang didapatnya datang dari
ibunya. "Sayang, tolong jangan terlalu ribut."
"Jamie," aku berbisik padanya sambil membantunya turun dari
papan luncuran, "namanya King-Kong, bukan Kin-Kon."
"Oh."
Setelah makanan habis disantap dan para tamu telah kenyang,
Kristy dan teman-teman yang lain membantu membereskan meja
makan. Kemudian mereka mulai menumpuki meja itu dengan hadiah-
hadiah yang telah dibawa oleh para undangan.
"Hadiah!" teriak Jamie dengan lantang. "Untukku, ya?"
"Aku... aku rasa bukan untukmu, Jamie," ujarku padanya.
"Kenapa bukan, Claudi? Untuk siapa, dong?"
"Aku rasa hadiah-hadiah ini untuk Lucy. Untuk
permandiannya."
"Semuanya?"
"Kemungkinan besar."
"Kamu yakin?"
Jamie tidak bisa percaya bahwa tumpukan hadiah di depannya
itu untuk Lucy semua. Dan ternyata dia benar. Tidak semua hadiah itu
untuk Lucy. Ada beberapa hadiah kecil untuk dia, seperti beberapa
mobil-mobilan Match Box, dan seekor beruang Teddy yang mungil.
Namun sebagian besar memang berisi pakaian, binatang-binatangan,
dan mainan-mainan untuk Lucy.
Jamie menunjukkan rasa sedihnya secara terang-terangan.
Dengan nada ketus dia berkata padaku, "Jangan dekat-dekat aku. Aku
kepingin sendirian."Aku bisa mengerti perasaannya. Oleh sebab itu aku biarkan
anak itu bermain sendiri. Lagi pula pesta sudah hampir usai. Aku
langsung bergabung bersama teman-temanku yang sedang melihat-
lihat foto-foto Polaroid yang telah dibuat oleh Pak Newton. Senang
juga mengamati perubahan warna di atas kertas foto?dari warna
coklat yang samar-samar sampai menjadi foto berwarna yang terang.
Aku tidak tahu persis apa yang telah membuatku merasa ingin
mengangkat kepala pada saat itu. Tiba-tiba saja aku kepingin tahu
siapa yang sedang menggendong Lucy. Ternyata tidak ada yang
sedang menggendongnya. Pandanganku langsung menyapu sekeliling
pekarangan dan aku melihat anak itu telah ditaruh di dalam kereta
bundarnya (kereta untuk berlatih berjalan). Dia sedang berada di salah
satu ujung meja makan, di dekat sebuah teko beling yang berisi sisa
sari buah. Pada saat yang sama aku melihat bahwa Jamie juga sedang
memperhatikan kedua-duanya?Lucy dan teko beling berisi sari buah.
Anak itu langsung bergegas ke arah adiknya, mengangkat teko beling,
dan...
Aku berlari secepat mungkin menyeberangi pekarangan,
walaupun sadar bahwa aku tidak bakal bisa mencapai mereka tepat
pada waktunya. Sudah terbayang di mataku gaun Lucy yang indah itu
menjadi kotor karena ketumpahan sari buah yang berwarna merah.
"Jamie!" seruku. "Jangan!"
Tapi sebelum kata-kataku itu meluncur keluar dari mulutku,
teko beling itu sudah diletakkannya kembali di atas meja. Dan pada
waktu aku sampai di dekat mereka, ternyata Jamie sedang menggelitik
kaki adiknya."Jamie," kataku terengah-engah, "tadinya kupikir kamu mau


Baby Sitter Club 7 Claudia Dan Janine Si Besar Kepala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menumpahkan sari buah itu ke badan adikmu."
Jamie memandangku dengan perasaan bersalah. "Memang,"
ujarnya, "tapi tidak jadi."
"Kenapa?" tanyaku.
Jamie mengangkat bahu lalu mengerutkan keningnya. "Soalnya
aku sayang pada adikku," ujarnya setelah beberapa saat. "Dia kan
satu-satunya adikku."
Hmm, pikirku, sambil mengingat-ingat kejadian waktu aku
mengangkat tanganku untuk memukul Janine, tapi gerakan itu terhenti
tepat pada waktunya.
Pesta berakhir beberapa waktu kemudian. Kata-kata Jamie tidak
lagi terpikir olehku sampai pada saat perjalanan pulang. Aku mulai
berpikir tentang Janine. Janine adalah kakakku dan aku adalah
adiknya. Kurasa kami saling menyayangi, walaupun hal itu tidak
pernah dinyatakan. Belum pernah aku memikirkan masalah ini secara
lebih mendalam. Biasanya aku terlalu sibuk memikirkan perlakuan
khusus yang didapat Janine dari semua orang. Janine adalah pelajar
teladan. Kelak dia akan menjadi dokter. Jangan ganggu Janine, dia
harus belajar. Janine begini, dan Janine begitu.
Mungkin perasaanku terhadap Janine sama dengan perasaan
Jamie terhadap Lucy. Lucy sangat cantik. Segala sesuatu yang
dilakukannya selalu membuat orang terpesona. Jangan ribut, Lucy
sedang tidur. Lucy ini, dan Lucy itu.
Padahal aku menyadari bahwa Lucy tidak lebih istimewa
daripada Jamie. Apakah itu juga berarti bahwa aku sama istimewanya
dengan Janine? Di dalam lubuk hatiku aku bertanya-tanya, apakah akubetul-betul menyayangi Janine seperti kata Jamie bahwa dia sayang
pada adiknya?
Dan kalau aku memang sayang pada Janine, apakah dia juga
menyayangi para anggota keluarga lainnya?cuma tidak tahu
bagaimana harus menunjukkannya?
Aku jadi semakin bingung.Bab 14
AKU menyerbu masuk lewat pintu depan rumah kami, seusai
pesta siang itu. Tanganku penuh dengan berbagai buah tangan. Bu
Newton telah membekali kami?teman-temanku dan aku?dengan
makanan-makanan sisa pesta dan barang-barang lain. Aku membawa
sekantong serbet kertas yang khusus dibuat untuk Lucy, sekotak
pastry, kue-kue kering, kacang, dan setengah kantong permen coklat
M&M.
"Halo!" aku berseru.
"Claudia-ku?" sambut sebuah suara yang datang dari arah teras
belakang.
"Hai, Mimi!" kataku sambil berlari menemuinya. Langsung saja
aku menunjukkan barang-barang yang kubawa dari pesta. "Mereka
telah membuat serbet khusus untuk Lucy, lho. Juga penutup-penutup
korek api buatan tangan," aku bercerita padanya. "Coba, deh, pastry
ini. Enak, lho."
Mimi mengambil sepotong, lalu mulai memakannya dengan
sangat rapi. Dia menggunakan tangan kirinya.
"Hei," kataku tiba-tiba, "di mana yang lainnya?" Mimi kan tidak
boleh ditinggalkan seorang diri."Orangtuamu harus... harus pergi," Mimi menjawab berhati-
hati. "Janine ada di rumah."
"Di mana?" tanyaku.
"Kamar."
"Dia ada di kamarnya? Sedang sibuk bekerja?"
"Barangkali."
"Mimi, aku tinggal sebentar, ya? Tidak apa-apa, kan?"
"Silakan."
Aku langsung berlari menaiki tangga, menggedor pintu kamar
Janine, lalu masuk tanpa menunggu jawaban darinya.
"Claudia!" katanya sambil mengerutkan kening. "Ada apa
lagi?" Dia sedang duduk di depan komputernya, seperti biasa. Aku
bertanya-tanya, kenapa wajahnya belum juga berubah menjadi hijau,
karena terlalu sering duduk menghadapi layar monitor.
"Mimi ada di bawah. Seorang diri. Mimi kan tidak boleh
ditinggal sendirian."
"Aku ada di sini," ujar Janine dengan salah tingkah.
"Kamu seharusnya berada bersama Mimi," aku mengingatkan.
"Apa kamu tidak mau melakukan apa pun untuk keluarga sendiri?
Apakah terlalu berat bagimu kalau kami memintamu untuk menemani
nenekmu sendiri untuk satu jam saja?"
Janine menjatuhkan tangan ke atas pangkuannya.
"Aku tidak sanggup," dia bergumam. "Mimi telah memintaku
duduk bersamanya. Tapi aku tidak tahu harus berbuat apa. Kamulah
yang lebih sering menghabiskan waktu bersama Mimi.""Tapi waktu di rumah sakit kamu bisa melakukannya," ujarku.
"Bahkan kamu bisa berbicara dengan Mimi, walaupun Mimi tidak bisa
menjawab kata-katamu."
Janine mengangkat bahu. "Yah, kelihatannya memang tidak ada
yang menginginkan aku untuk menjadi anggota keluarga ini."
"Apa?"
"Kamu sendiri juga selalu mendesak-desak aku agar aku
senantiasa mengurung diri di dalam duniaku. Kamu tidak pernah
membiarkan aku ikut terlibat dalam duniamu."
Seperti biasanya, aku tidak mengerti apa yang dikatakannya.
Sekali lagi Janine mengangkat bahunya dengan gaya putus asa,
lalu kembali menghadap komputernya. "Pergi," dia berkata, tanpa
menengok ke arahku. "Mimi toh lebih menyukai kamu daripada aku."
"Janine, tunggu dulu," sahutku. "Aku ingin bicara padamu.
Tolong matikan komputermu sebentar, ya? Soalnya kalau benda itu
masih menyala, pasti kamu lebih suka melihat dia daripada melihatku.
Di samping itu, wajahmu sudah mulai berubah menjadi hijau, tuh."
Janine melemparkan senyum ke arahku. "Baik lah," katanya.
"Biar aku menyimpan data ini dulu." Dia memencet beberapa tombol,
menunggu sebentar, kemudian menyentuh sesuatu di samping
komputernya, sehingga layarnya menjadi kosong.
Aku duduk di atas tempat tidur Janine, sementara dia duduk di
kursinya menghadapku. "Apa maksudmu," aku bertanya, "waktu
kamu bilang bahwa aku mendesakmu agar kamu, senantiasa
mengurung diri dalam duniamu?"
"Maksudku," jawab Janine, "apa yang selalu kudengar
hanyalah, 'Janine, ayo belajar' atau 'Janine, jangan mengabaikan tugas-tugas sekolahmu'. Tidak pernah ada seorang pun yang memintaku
untuk menemani mereka ke suatu tempat, atau membantu mereka?
dan, yang lebih sering lagi?kamu selalu menuduhku telah
membebanimu dengan pekerjaan tambahan, yang harus kamu pikul
sendiri."
"Tapi nyatanya kan memang begitu!" aku berseru. "Kamu enak-
enakan duduk di kamarmu dengan buku-buku pelajaranmu, sementara
aku harus memasak, pergi ke rumah sakit, menjaga Mimi..."
"Coba kita ingat-ingat lagi," ujar Janine, "apa yang terjadi
waktu Mama dan Papa mengambil keputusan bahwa kita semua harus
mengatur kembali jadwal harian kita masing-masing..."
"Hidup kita masing-masing," aku menyela.
"...demi kepentingan Mimi."
"Aku terpaksa mengorbankan waktuku di pagi hari dan aku
harus keluar dari kegiatan play group, sementara kamu berleha-leha,"
sahutku.
"Bukan," Janine meneruskan. "Aku akan menyegarkan kembali
ingatanmu. Pada waktu itu aku sudah mulai berbicara, tapi kamu
langsung memonopoli percakapan dan dengan sukarela mengorbankan
waktumu di pagi hari. Mama berpendapat bahwa hal itu adalah jalan
keluar yang terbaik. Sementara aku terpaksa meyakinkan diri sendiri
bahwa sejak semula memang aku sudah tidak dibutuhkan untuk
urusan Mimi. Lalu bagaimana waktu Mary Anne menjaga Mimi?
Tidak ada seorang pun yang memberitahuku tentang hal itu. Kalau
saja ada seseorang yang mau mengatakannya, aku bisa mengatur-atur
waktu kuliahku dengan mengorbankan satu mata kuliah. Memang,
sepertinya aku ini dianggap tidak ada.""Tapi..."
"Dan bagaimana dengan tuduhan-tuduhanmu bahwa aku tidak
pernah membantumu menyiapkan makan malam? Apa kamu pikir aku
bisa tahu dengan sendirinya bahwa tugas itu telah dilimpahkan
padamu? Kan tidak."
"Tapi..."
"Aku memang bisa mengerjakan banyak hal, Claudia, tapi aku
bukan ahli nujum. Aku tidak bisa membaca pikiran orang lain."
"Tapi, Janine," ujarku. "Kamu favorit semua orang. Kamu
sangat cerdas..."
"Aku favorit semua orang?!" dia berseru. "Bukan, itu kamu.
Kamu populer dan cantik..."
Dia menghentikan kata-katanya. Kami tersenyum bersama-
sama.
"Begini," kataku, "barangkali kami memang belum terbiasa
untuk mengikutsertakan kamu dalam hal-hal tertentu, tapi hal itu
bukan sepenuhnya salah kami. Kedua belah pihak harus saling bekerja
sama," aku menirukan kata-kata Papa. "Mungkin kami juga tidak akan
menomorsatukan kuliah-kuliahmu, kalau kamu juga tidak selalu
bersikap seakan-akan kuliah-kuliahmu itu sangat penting bagimu."
"Memang penting bagiku," jawab Janine. "Tapi tidak lebih
penting daripada urusan keluarga."
"Kurasa," kataku lambat-lambat, "kamu harus bicara dengan
Mama dan Papa. Kamu harus men-ceritakan semua ini, juga pada
Mimi. Aku berani bertaruh bahwa mereka pasti tidak menyangka
sedikit pun tentang apa yang kamu rasakan selama ini."
Janine melemparkan pandangannya ke arah lain. "Entahlah...""Dan kalau kamu tidak sanggup berbicara dengan mereka,"
ujarku, "tunjukkan saja."
"Bagaimana caranya?"
"Mulailah meluangkan waktumu di luar kamar. Apa kamu
memang harus belajar terus-menerus?"
"Tidak."
"Kalau begitu luangkan waktumu agar bisa bersama-sama
dengan kami. Lain kali kalau Mimi ingin ditemani, latih dia dengan
kartu-kartu bergambarnya. Atau bantu Mimi belajar menggunakan
peralatan-peralatan khusus yang telah diberikan oleh para ahli terapi,
untuk membiasakannya bekerja dengan satu tangan. Atau bercakap-
cakap saja dengan Mimi.
"Atau beberapa hari sekali, sekitar jam enam sore," aku
melanjutkan, "kamu turun ke dapur untuk melihat kalau-kalau ada
orang yang memerlukan bantuanmu menyiapkan makan malam.
Pokoknya hal-hal seperti itu, deh. Mungkin kalau kamu berubah,
Mama, Papa, Mimi, dan aku akan berubah juga."
Janine menganggukkan kepalanya. "Betul juga," ujarnya. "Ya.
Hal itu sangat masuk akal."
"Tapi jangan berubah terlalu banyak, lho," tambahku. "Bisa-
bisa Mama dan Papa menyesal seumur-umur kalau mereka tidak
berhasil mencetak seorang dokter dari keluarga ini."
Janine tertawa.
Aku berdiri.
"Aku ingin mengatakan sesuatu padamu," kata Janine. "Untuk
seorang adik, kamu memang cukup cerdas."
"Moi((bahasa Prancis) aku)?" tanyaku, sambil tersenyum lebar."Toi(kamu)," Janine menyahut dengan senyum tersungging di
bibirnya. Sudah lama sekali dia tidak pernah lagi melucu seperti ini.
Janine juga berdiri. "Aku bertanya-tanya...," dia mulai berkata.
"Apa?" tanyaku.
"Aku bertanya-tanya apakah tidak terlalu sore untuk minum teh
istimewa bersama Mimi. Sebentar. Mama dan Papa akan pulang
sebentar lagi... Tidak, kurasa tidak terlalu sore."
"Tidak, kalau kamu mulai dari sekarang," sahutku
membesarkan hatinya.
Janine merapikan mejanya. Kemudian aku mengikuti dia keluar
dari kamarnya, tapi membiarkan dia turun sendirian, sementara aku
masuk ke kamarku. Setengah jam kemudian aku mengintip ke dapur.
Mimi dan Janine sedang duduk berhadap-hadapan di meja dapur.
Mereka sedang minum teh dengan menggunakan cangkir istimewa
milik Mimi, dan sedang terlibat dalam percakapan yang cukup serius
tentang penggunaan tangan kanan versus penggunaan tangan kiri.
Bagiku percakapan seperti itu agak membosankan. Tapi mata Mimi
berseri-seri. Dari situ aku tahu bahwa dia sedang sangat, sangat
bahagia.Bab 15
BULAN Juni telah berakhir. Kegiatan play group juga sudah
usai. Sementara liburan musim panas baru setengah jalan. Sebuah
keluarga baru telah menempati rumah Kristy yang lama. Dan Mimi
masih terus berusaha memperbaiki diri. Musim panas kali ini agak
lain?musim panas yang membawa banyak perubahan.
Aku menyatakan hal itu pada Mimi, di suatu siang yang panas
dan lembap. Pada waktu itu kami sedang duduk-duduk di teras,
berusaha menyejukkan diri. Mimi sedang mengipasi dirinya dengan
sebuah kipas Jepang yang terbuat dari bahan yang lembut. Dengan
cekatan, dia bisa membuka dan menutup kipas tersebut?hanya
dengan tangan kirinya. Aku mengarahkan sebuah kipas angin kecil,
yang digerakkan dengan tenaga baterai, ke muka dan leherku. Daerah-
daerah itulah yang terasa paling panas kalau dibandingkan dengan
yang lain, karena rambutku melekat di situ. Karena aku tidak
menemukan tempat yang cocok untuk meletakkannya, kipas angin itu
kupegang saja, sambil menggerak-gerakkannya perlahan-lahan ke
sana kemari.
"Waktu adalah perubahan," Mimi berkata padaku dengan
serius.
Aku mengerutkan kening. "Aku tidak mengerti, Mimi.""Selama masih ada waktu, maka di situ pasti ada perubahan."
"Maksud Mimi, segala sesuatu selalu bisa berubah?"
Mimi menganggguk.
"Kadang-kadang, di suatu waktu, perubahan dirasakan lebih
cepat daripada di waktu-waktu yang lain," ujarku. "Maksudku, coba
perhatikan kejadian-kejadian yang terjadi sepanjang bulan ini. Kami
telah menyelenggarakan play group. Kristy telah pindah rumah. Ada
keluarga baru yang menempati rumahnya yang lama?keluarga
Perkins. Mimi jatuh sakit dan sekarang telah membaik..."
"Apa kamu sudah pernah berjumpa dengan keluarga Perkins
itu?" tanya nenekku.
Tiba-tiba aku merasa tidak bisa menjawab pertanyaannya.
Berulang kali aku mendengar diriku sendiri berkata, "Kamu sudah jadi
gila, kamu sudah jadi gila." Sebuah bongkahan besar telah menyekat
tenggorokanku. Aku mematikan kipas anginku lalu meletakkannya di
lantai.
"Mimi, maafkan aku," aku berbisik, tak mampu menatap
matanya.
"Maaf? Untuk apa?" Mimi menjadi sangat prihatin. Dia
menutup kipasnya lalu mencondongkan tubuhnya ke arahku. "Ada
apa, Claudia-ku? Ada masalah apa?"
"Akulah yang telah menyebabkan Mimi terkena stroke tempo
hari. Malam itu aku sudah bertindak kasar terhadap Mimi, lalu Mimi
masuk ke kamar tahu-tahu Mimi telah tergeletak di lantai."
"Oh, Claudia-ku," bisik Mimi. "Jadi kamu berpendapat begitu?"
Aku mengangguk dengan salah tingkah. "Begitulah
kejadiannya, Mimi.""Bukan. Kejadiannya bukan begitu. Aku memang sudah lama
merasa kurang sehat. Rasanya sangat lelah. Kamu juga
memperhatikannya, kan?"
Aku berpikir keras. "Mungkin juga."
"Lihat padaku, Claudia-ku. Tubuhku... maksudku tubuhku ini
sudah tua," ujarnya sambil menunjuk tubuhnya. "Kondisinya sudah
menurun. Tiap-tiap bagian dari tubuhku telah bekerja keras selama
berpuluh-puluh tahun. Wajar saja kalau ada salah satu bagiannya yang
kecapekan. Itulah penyebabnya."


Baby Sitter Club 7 Claudia Dan Janine Si Besar Kepala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku mencoba untuk tersenyum.
"Kamu percaya padaku, kan?" tanya Mimi.
"Aku kepingin bisa mempercayai kata-kata Mimi."
"Yah, aku memang tidak bisa memaksamu. Tapi aku ingin
mengatakan sekali lagi, bahwa apa yang barusan kukatakan adalah
suatu kebetulan, maksudku kebenaran."
"Mimi jujur?"
"Ya. Aku jujur."
Aku menyalakan kipas angin lagi. Badanku rasanya sudah lebih
enteng. Aku baru ingin bertanya pada Mimi, kalau-kalau dia tidak
berkeberatan jika peralatan minum tehnya dipakai untuk membuat teh
es istimewa. Pada saat itu juga kami mendengar bantingan pintu mobil
di halaman depan rumah. Tak lama kemudian, Janine muncul.
"Hai," dia menyapaku. Lalu dia berjalan melintasi teras untuk
memberi kecupan di pipi Mimi. "Halo, Mimi. Apa kabar?"
"Baik. Terima kasih," jawab nenekku, walaupun aku tahu betul
bahwa dia sedang merasa tidak nyaman karena kepanasan, seperti juga
aku."Perutku keroncongan," ujar Janine. "Aku tidak mengambil
makan siangku hari ini. Nanti setelah aku selesai makan, maukah
Mimi berjalan-jalan bersamaku?"
"Berjalan-jalan?" Mimi dan aku mengulangi kata-katanya
secara bersamaan. Jarang sekali nenekku meninggalkan rumah sejak
kepulangannya dari rumah sakit. Paling-paling dia keluar rumah untuk
menjalani terapi di rumah sakit.
"Maksudku jalan-jalan di sisi jalan yang teduh," ujar kakakku.
"Tapi...," Mimi mulai berkata.
Aku memikirkan usul Janine itu. Dengan tongkat penyangga,
Mimi bisa berdiri dengan seimbang di atas kaki-kakinya. Ahli terapi
fisiknya juga pernah bilang padanya, bahwa latihan-latihan yang
ringan akan sangat membantu. Aku tidak menemukan alasan kenapa
dia tidak boleh diajak berjalan-jalan ke luar rumah, selama ada
seseorang yang mendampinginya. Dan kurasa Janine telah berbaik
hati menawarinya untuk berjalan-jalan bersamanya.
"Menurutku, itu ide yang bagus," aku berkata pada Mimi.
"Mimi mau, kan, berjalan-jalan dengan Janine? Janine akan selalu
mendampingi Mimi."
"Baiklah," sahut Mimi perlahan-lahan. Kemudian dia mulai
tersenyum. "Idemu sangat menyenangkan, Janine."
Beberapa waktu kemudian, aku berdiri di ambang pintu sambil
mengamati Janine dan Mimi berjalan berpegangan tangan
menyeberangi pekarangan rumput di depan rumah. "Waktu adalah
perubahan," begitu kata Mimi. Semakin kurenungkan, semakin
meresap saja kata-kata nenekku itu. Pendapat yang bijaksana itu telah
diungkapkan oleh seorang wanita yang bijaksana pula. Aku teringat?beberapa waktu yang lalu?ketika aku membanding-bandingkan Mimi
dengan Lucy Newton. Betapa teganya aku melakukan hal itu. Mimi
jelas tidak bisa disamakan dengan seorang bayi. Setidak-tidaknya
tidak lagi. Dia adalah nenekku dan aku merasa gembira karena dia
sudah kembali seperti sediakala.
********
"Buku catatan klub?"
"Beres."
"Buku agenda klub?"
"Rapi."
"Kas klub?"
"Cocok."
"Permen coklat M&M?"
"Siap."
Kami ketawa cekikikan. Para anggota Baby-sitters Club sedang
berkumpul di kamarku, mempersiapkan sebuah pertemuan. Seperti
biasa, Kristy, sang pemimpin, sedang memeriksa seberapa jauh
kesiapan kami.
Aku mengedarkan permen coklat M&M, sambil dengan bangga
memamerkan anting-anting baruku. Warnanya hijau, berbentuk botol,
dan bertuliskan Coca-Cola di depannya.
Teman-temanku langsung merubung untuk melihatnya.
"Oke," ujar Kristy beberapa lama kemudian. "Bisnis dimulai."
Tapi sebelum dia sempat mengatakan sesuatu, telepon telah
berdering."Biar aku yang angkat," kataku sambil menyambar gagang
telepon. "Halo. Baby-sitters Club... Ya? ...Ya? ...Oh, tentu saja. Tapi
sebelumnya saya perlu sedikit informasi."
Setelah aku meletakkan gagang telepon, teman-temanku
menatapku dengan pandangan penuh ingin tahu. Mereka sudah tahu
bahwa yang menelepon adalah seorang klien baru. "Bagaimana?"
tanya Kristy tidak sabar.
"Dari keluarga di seberang jalan, yang menempati rumahmu
yang lama," kataku pada Kristy.
"Pak Perkins?"
"Istrinya yang menelepon. Dia telah membaca selebaran yang
kita masukkan ke dalam kotak suratnya, dan dia memerlukan seorang
baby-sitter untuk Sabtu sore. Ada dua anak kecil. Myriah berumur
lima setengah tahun, dan Gabbie berumur dua setengah tahun. Aku
telah mencatat data-data yang diperlukan."
Mary Anne memeriksa kalender pada buku agenda klub.
Akhirnya Kristy-lah yang akan bertugas di rumah klien baru kami.
"Kebetulan!" ujarku. "Kami sudah kepingin sekali mendengar
ceritamu nanti. Suara Bu Perkins sangat ramah."
Kring, kring.
"Kali ini biar aku yang angkat," kata Dawn, sambil merangkak
melintas di depanku. "Halo. Baby-sitters Club... Hai, Bu Pike...
Sungguh? Masa, sih?! ...Untuk dua minggu? ...Kapan? ...Oh." (Kata
"oh"-nya kedengarannya sangat kecewa.) "Tapi saya yakin akan ada
seseorang... Apa? Dua orang? Oke. Kami akan memeriksa jadwal
dulu. Izin dan sebagainya. Barangkali kami baru bisa menghubungiIbu nanti malam... Saya harap Ibu tidak keberatan. Yeah, memang hal
ini lain dari biasanya. Oke. Terima kasih. Sampai ketemu."
"Apa, apa, apa?" teriak Kristy, walaupun Dawn belum
meletakkan gagang telepon di tempatnya.
"Kalian pasti tidak bisa menebak," kata Dawn.
"Kasih tahu, dong." Mata Kristy sudah membelalak sedemikian
lebarnya sehingga kelihatan seperti akan copot dari pelupuknya.
"Keluarga Pike akan pergi berlibur pada bulan ini. Selama dua
minggu di..."
"Sea City. Kami sudah tahu," potong Kristy. "Pantai di New
Jersey. Mereka selalu pergi ke sana setiap musim panas."
"Tapi, untuk musim panas kali ini," Dawn melanjutkan, "Pak
dan Bu Pike butuh waktu untuk bisa menyendiri, lepas dari anak-
anaknya. Oleh sebab itu mereka mencari dua orang yang bisa
menggantikan fungsi Bu Pike untuk ikut berlibur bersama mereka.
Dua orang dari kita."
"Ooooh!" Semua orang mulai memekik dan melompat-lompat.
"Siapa yang mereka inginkan?" tanya Kristy dengan polos.
"Siapa saja. Bu Pike bilang dia akan sangat senang kalau bisa
berbicara langsung dengan para orangtua kita. Tapi yang jelas aku
tidak bisa pergi," ujar Dawn. "Aku akan menghabiskan waktuku
sepanjang dua minggu pertama di bulan Agustus bersama ayahku di
California. Ingat?"
"Dan kami sekeluarga akan berlibur," aku mengingatkan teman-
temanku. "Dokter Mimi berkata bahwa Mimi sudah cukup sehat untuk
ikut serta.""Dan aku yakin sekali bahwa ibuku tidak akan mengizinkanku
pergi," sambung Kristy. "Dia menginginkan kami, anak-anaknya,
berkumpul bersama-sama selama musim panas ini. Kami telah
mengadakan rapat keluarga semalam untuk membicarakan hal ini.
Ibuku bilang bahwa masing-masing dari kami punya tugas berat:
melatih diri untuk terbiasa sebagai sebuah keluarga. Dia bahkan
menginginkan agar Karen dan Andrew lebih banyak menginap di
rumah Watson?maksudku, di rumah kami?sehingga kami benar-
benar bisa merasakan seperti apa sesungguhnya keluarga kami yang
baru itu."
"Nah," Stacey berkata, "berarti tinggal kamu dan aku, Mary
Anne. Aku belum punya rencana apa-apa. Bagaimana dengan kamu?"
"Aku juga belum," jawab Mary Anne.
"Memang tidak mudah untuk meyakinkan orangtuaku agar
mereka mengizinkan aku pergi," ujar Stacey.
"Begitu juga dengan ayahku," tambah Mary Anne.
"Tapi, entah kenapa aku merasa pasti," Stacey melanjutkan,
"bahwa tidak lama lagi kamu dan aku akan bersiap-siap untuk
berselancar, berjemur, dan bersenang-senang!"
"Yeah!" sahut Mary Anne penuh semangat. "Sea City, kami
akan datang!"END
Misteri Malaikat Palsu 2 Pendekar Rajawali Sakti 4 Kitab Tapak Geni Memanah Burung Rajawali 37
^