Pencarian

Senyum Abadi 2

Merivale Mall 04 Senyum Abadi Bagian 2


atas panggung, aku pasti gemetaran. Dan kalau saya gemetaran, anak-
anak asuhku pasti akan kecewa berat. Soalnya aku adalah panutan
mereka, semacam ibu mereka. Kalau saya sampai gagal, pasti akan
berakibat buruk pada perkembangan emosi mereka." Wajah Danielle
tampak begitu lugu dan tulus.
"Oh? Jadi??"
"Kalau bisa, wah, saya juga nggak tahu bagaimana?tolonglah
saya, Bu. Mungkin kalau saya bisa tahu kira-kira apa yang akan
ditanyakan nanti?"
Wanita itu. tampak berpikir keras dan melipat tangannya di atas
meja. Matanya mencerminkan rasa takut. "Nona Sharp, pertanyaan
juri sangat rahasia."
"Tentu! Saya tahu. Paling tidak saya punya sedikit gambaran
mengenai apa yang akan ditanyakan?"
"Maaf, Non. Rasanya tidak bisa!"
Waktu wanita itu berdiri, Danielle berusaha mengambil
kesempatan. Dengan berpura-pura terjungkal pada kakinya sendiri, ia
terjatuh ke atas meja tulis, hingga kertas-kertas berhamburan.
"Oh! Maaf!" ujar Danielle gagap sambil membungkuk dan
memunguti kertas-kertas itu. Dengan galaknya Bu Pierson berjongkokdan cepat-cepat mengumpulkan kertas-kertas itu supaya Danielle
jangan sampai membacanya.
Tetapi Danielle sampai lebih dulu. Ia berusaha berdiri sambil
bertumpu pada meja tulis hingga ia bisa melihat lembaran kertas yang
tertinggal di meja itu.
Sementara Bu Pierson berjongkok, Danielle melirik kertas yang
berusaha disembunyikan oleh Bu Pierson.
Di kertas itu tertulis dua pertanyaan. Dengan melihatnya
sekilas, Danielle telah hafal kedua pertanyaan itu.
"Duh, maaf sekali," mohon Danielle, berusaha keras menahan
senyumnya yang hampir merebak di wajahnya. "Biar saya bantu
mengumpulkannya."
"Kamu benar-benar bikin kacau hari ini, Nona Sharp," gerutu
Bu Pierson seraya membersihkan roknya dari debu. "Cepat pergi. Lain
kali, kalau kau ingin menemuiku, buat janji dulu sebelum kau
nyerobot masuk ke sini!"
Sampai di luar, Danielle merasa begitu lega. Seandainya Bu
Pierson sampai curiga padanya, dia tak ada bukti apa pun! Danielle
telah berhasil mengintip dua pertanyaannya.
Sampai di tempat parkir, Danielle menahan napas waktu ia
mencari-cari pinsil dalam tas kulit ularnya. Karena tidak
mendapatkannya, ia pun mengambil pinsil alis jadi. Ia harus
menuliskan kedua pertanyaan itu sebelum hilang dari ingatannya.
"Bagaimana Merivale Mall mencerminkan kehidupan gaya
Amerika yang paling canggih?"
"Apa yang dapat dilakukan penduduk Merivale untuk
mendapatkan lingkungan hidup yang lebih nyaman?"Danielle tertawa kecil. Lumayan sulit, tetapi paling tidak masih
ada cukup waktu untuk memikirkan jawaban yang paling jitu.
Di mobil, ia menatap bayangannya di kaca spion. Selamat, Putri
Merivale Mall! Kasihan, Teresa!
Danielle tak merasa bersalah sedikit pun. Lagi pula dia kan
bukan seorang calon profesional. Punya pembimbing saja tidak. Jadi,
apa salahnya kalau dia berusaha mendapatkan sedikit bantuan?
Bukankah dia masih cukup adil untuk bersaing? Dia juga
memberi kesempatan pada Teresa untuk mempersiapkan diri.
Bayangkan gimana asyiknya nanti di belakang panggung pada
saat kontes berlangsung, mendengarkan jawaban-jawaban Teresa yang
hebat atas pertanyaan-pertanyaan yang salah!Sembilan
Esok harinya di kafetaria Atwood, Danielle langsung menuju ke
meja di mana Teresa biasanya berkumpul. Heather ada di situ juga.
Danielle agak terganggu dengan adanya Heather, meski Heather
bersikap netral.
"Hei, semua!" tegurnya, seolah-olah mereka masih berteman
akrab. Padahal tidak lagi. Persahabatan mereka telah retak gara-gara
kontes kecantikan Putri Merivale Mall itu.
"Heather! Cantiknya kau!" puji Danielle dengan akrab. "Aku
suka deh, gaya rambutmu! Kau ke salon mana sih?"
Heather Baron agak gugup. Ia lalu mengambilnya nampannya.
"Hai, Dan. Makasih. Yang bikin kan penata rambutnya Teresa ? wah,
aku nggak ikut-ikutan, lho," ujarnya dengan manis. "Jangan-jangan
rambutku nanti jadi sasaran."
"Jangan gitu ah," sahut Teresa. Tetapi Heather sudah berdiri.
"Bercanda kok," ujar Heather sambil tertawa-tawa. "Aku mau
ke perpustakaan dulu sebelum pelajaran berikutnya mulai." Sambil
mengibaskan rambut hitamnya yang kemilau, Heather pun pergi.
"Boleh aku duduk?" tanya Danielle lugu.
"Ini kan negara bebas," sahut Teresa, berkonsentrasi ke
saladnya."Ter, kupikir-pikir," ujar Danielle sambil duduk. "Seharusnya
kita nggak usah musuhan cuma gara-gara soal sepele macam Kontes
Putri Merivale Mall!"
"Oh!" Danielle tersenyum waktu mengawasi Teresa mereka-
reka apa yang akan dilakukannya. Soalnya, mereka tahu kontes itu
bukan soal sepele.
"Ter?" lanjut Danielle. "Kita kan sudah lama bersahabat,
seharusnya kita saling membantu, bukan, saling menyakiti. Seperti
soal gaun itu. Maaf, aku cuma ingin tahu, apa yang akan kau pakai.
Aku benar-benar penasaran ingin tahu, itu saja. Nggak mungkin kan
aku tanya langsung sama kamu, soalnya kita musuhan."
Teresa terdiam, menyimak kata-kata Danielle. Ia tak tahu apa
yang mesti dikatakannya.
"Maafin aku ya? Aku memang bego sekali waktu itu!" Danielle
membuka matanya lebar-lebar hingga air matanya hampir keluar.
"Mungkin kau takut kalah," komentar Teresa dingin.
Danielle mengertakkan giginya, dan mendesah ? inilah
penghinaan paling besar baginya. Tetapi sudahlah ? bukankah ia tak
boleh terpancing oleh Teresa? Danielle punya suatu niat yang lebih
penting untuk dilaksanakan.
"Mungkin juga. Sebenarnya asyik kan Ter, kita bisa sama-sama
ikutan kontes kecantikan?" Danielle mengerjap-ngerjapkan bulu
matanya dan tersenyum lagi. "Baju renang, gaun malam, kesempatan
untuk menunjukkan bakat kita ? duh, asyik kan? Aku yakin kita akan
bersama-sama terus, sampai? maksudku, sampai mereka
mewawancarai kita tentu saja." Matanya memancarkan sinar kepuasan
dan ia tersenyum kecil.Alis Teresa berkerut. "Maksudmu?"
"Oh, nggak kok." Danielle tertawa kecil, agar Teresa merasa
yakin.
Umpannya telah mengena. Danielle tahu, Teresa memang
gengsi untuk berterus terang.
"Danielle Sharp, kau tahu apa kira-kira yang akan ditanyakan?"
"Aku? Tahu sesuatu? Apa maksudmu?"
"Jangan pura-pura, deh. Katanya kita akan kerja sama?"
"Ya ampun. Kau memang cepat tanggap!"
"Apa pertanyaannya, Dan? Susah nggak, sih?"
Danielle menggigit ujung bibirnya menahan tawa. "Lumayan?
" jawabnya sambil nyengir.
Teresa mulai melipat-lipat selembar serbet. "Apa sih, yang akan
ditanyakan?"
"Hmm?oke deh. Demi persahabatan kita. Pertanyaan pertama:
Bagaimana Merivale Mall bisa membantu para remaja Merivale
secara lebih baik? Dan pertanyaan kedua: Sebutkan sepuluh alasan
kenapa kamu suka belanja di Merivale Mall."
Wajah Teresa menjadi cerah. "Itu sih gampang! Aku akan
mengingatnya baik-baik. Jawabannya sih gampang!"
"Memang, akan lebih gampang kalau kau sudah tahu lebih dulu,
dari pada nanti kelabakan! Semoga berhasil deh ? sampai ketemu
lagi di panggung!"
Danielle pergi dan berusaha menahan senyum kemenangannya.
Semoga cewek yang lebih cantik menang, gumamnya di sela napasnya
yang memburu.
Sekarang mereka sepadan.*************
"Berapa atom yang ada di molekul karbon tetrakloride?"
Patsy Donovan mendengar samar-samar pertanyaan Irving
Zalaznick. "Apa?" ia bertanya.
"Patsy," Irv menghela napas dan menutup bukunya. "Gimana
aku bisa membantu, kalau kau tidak konsentrasi."
"Maaf, Irv,"ujarnya. "Rasanya aku lagi nggak ingin belajar hari
ini."
"Aku ngerti. Jadi finalis kontes kecantikan memang repot."
"Oh, Irv. Rasanya aku senang deh ikutan kontes itu, meskipun
aku tahu Danielle Sharp atau salah seorang cewek Atwood lain akan
menang. Lori membuatkan aku gaun yang benar-benar luar biasa. Dan
malam ini aku ada kencan. Mana bisa aku konsen pada kimia? Nggak
mungkin, deh."
"Kencan lagi? Huh!" Irv menutup buku kimianya dan
menyingkirkannya. Dia menelan ludah dan menaikkan kacamatanya.
"Oke. Berani taruhan, pasti Bill Evans kan?"
"Dia? Enak saja!"
"Jadi?mmm, siapa dong?"
"Kirk Stevewood ? "
Steve Kirkwood hampir sama ngetopnya seperti Irving. Semua
murid di sekolah mengenalnya sebagai disc jockey radio populer
remaja Merivale, "Perpetual Motion," sekaligus sebagai cowok idola
para cewek di kota itu.
"Memang aku harus belajar, sih. Tapi otakku lagi buntu, nih.
Pusing aku!" Patsy mulai menggigiti kuku kelingkingnya.Irving menggeleng-gelengkan kepala, dan membuka kembali
buku kimianya. "Oke, begini saja." Ia memasang kacamatanya
kembali.
"Aku akan membacakan bab tentang fluorocarbon dan
seterusya. Kamu menyimak apa yang kukatakan. Sementara ini,
jangan pikirkan Steve Kirkwood, Bill Evans atau cowok lain.
Memang nggak gampang, sih, tapi daripada dapat nilai F lagi!"
Patsy mengangguk. "Kau benar Irv, seperti biasanya. Terusin
deh ?" Matanya menerawang jauh.
"Oke. Ingat, molekul karbon tetrakloride mengandung satu
atom karbon dan empat atom kloride ? jadi awalan tetra berarti
empat. Patsy? Patsy?"
Suara Irv seakan terdengar sayup-sayup. Terbayang si Patsy
yang dulunya gendut bisa kencan Jum'at malam dengan Steve
Kirkwood, si tampan itu!Sepuluh
Rasanya nggak percaya ini bayanganku?cantik sekali! Dengan
mata berkedip-kedip di depan kaca, Patsy mengamati dirinya.
Langsing, seksi, dan? cantik!
Celana corduroy-nya modis, santai, nyaman, dan keren.
Masalahnya cuma, bagaimana ia harus bersikap kalau Steve datang?
"Makanlah dulu sayang, sebelum kau pergi nonton." Bu
Donovan menjulurkan kepalanya ke dalam kamar Patsy sebelum ia
turun ke lantai bawah.
"Nggak ah, Bu. Aku tadi kan sudah makan salad."
"Ibu jadi ingin berdiet juga!" Bu Donovan tertawa riang. "Aku
bangga padamu, sayang. Nggak heran bila kau terpilih jadi Putri
Merivale Mall. Memang pantas, kok."
"Trims, Bu," ujar Patsy seraya melirik ke cermin lagi. Cewek
langsing di cermin adalah finalis kontes kecantikan. Dia populer, dan
akan berkencan dengan Steve Kirkwood....
Ting-tong.
Patsy gelagapan. "Biar aku yang buka!"
Sambil menyambar jaketnya, ia menghambur turun ke tangga,
lalau berhenti sejenak untuk mengatur napas. Oh, semoga malam iniberjalan lancar dan menyenangkan, ia berdoa dalam hati sebelum
membuka pintu.
"Hai, Steve!" sapa Patsy. "Silakan masuk."
"Halo Pats," balas Steve dengan senyum ramah.
"Steve, kenalin dong, ini ibuku dan adikku, Erica."
Ibu Patsy mengangguk sambil menyapa sementara Erica
menatap Steve dengan mata membelalak lebar.
"Ini teman kencannya Patsy?" ia bertanya. "Gila, cakep
banget!"
Patsy malu setengah mati, tetapi Steve tidak terlalu menanggapi
ceplosan Erica yang baru berumur sepuluh tahun itu.
"Trims," ujarnya tertawa. Kemudian Steve pamitan pada ibunya
Patsy, katanya, "Nah, kami berangkat dulu, Bu Donovan."
"Selamat bersenang-senang." Dari tatapan ibunya, Patsy tahu
bahwa ia sangat terkesan pada Steve. Nggak tanggung-tanggung, dua
kencan dalam seminggu! TEENLITLAWAS.BLOGSPOT.COM
Saat mereka keluar dari pintu, Patsy menggandeng lengan
Steve. Patsy seakan-akan berada di awang-awang. Langkahnya terasa
begitu ringan dan menyenangkan.
Steve berjalan mengitari mobil Toyota hitamnya dan
membukakan pintunya untuk Patsy. Gila, sopan banget! Patsy
tersenyum dan duduk di kursi depan. Hatinya berbunga-bunga.
Di dalam mobil, Steve tersenyum lagi dan membetulkan letak
duduknya. "Kok duduknya jauh benar?" tantangnya. "Ke sini, dong."
"Aku kan terikat seat-belt dan ?""Santai aja. Kudengar kau masuk finalis kontes Putri Merivale
Mall," ujarnya seraya menyetel musik slow rock. "Nggak heran. Kau
memang termasuk salah satu gadis cantik yang selalu kukagumi."
Kalau benar, kenapa dia dulu begitu cuek? batin Patsy.
Sentuhan tangan Steve membuyarkan lamunannya. "Nanti kita
mampir ke studioku, akan kutunjukkan bagaimana aku menyusun
'Perpetual Motion'-ku," ujar Steve.
"Asyik juga," sahut Patsy yang sedang menikmati perjalanan.
Mobil Steve melaju dengan mulusnya.
Mall tidak begitu jauh dari rumah Patsy. Steve memasuki
tempat parkir khusus untuk orang cacat. Patsy ingin menegurnya,
tetapi tempat itu ternyata tak begitu penuh, dan mungkin Steve tak
melihat papan penunjuknya.
"Mau nonton yang mana, Pats? Kelihatannya semua bagus."
"Apa kau sudah nonton semuanya?" tanya Patsy kaget ketika
Steve membukakan pintunya.
"Belum semuanya, sih. Aku belum nonton 'Hotel Warriors.'
Katanya seru, lho."
"Hobbimu pasti nonton," komentar Patsy. "Lima dari enam film
lumayan juga."
Steve mengangkat bahu dan mengedipkan mata. "Yah, ada
begitu banyak cewek yang ingin pergi denganku, dan aku harus
berusaha menyenangkan semua pendengarku, kan?"
"Oh." Pasti dia cuma bercanda. Patsy berdebar-debar saat
mereka berjalan menuju ke Sixplex. Ini baru kencannya yang kedua,
dan ia belum terbiasa dengan kelakar macam itu.Agaknya Steve bisa membaca pikirannya, lalu sambil
mengedipkan mata, ujarnya, "Aku cuma bercanda kok. Tahu nggak,
Pats, matamu indah sekali."
Waaaw! Beginikah laki-laki? Apakah dia jujur atau cuma
rayuan gombal? Mungkin Steve biasa mengobral rayuannya pada
setiap cewek yang dikencaninya ? atau mungkin dia memang jujur.
Lagi pula tak pernah terlintas dalam pikiran Patsy bahwa ia akan
berhasil jadi finalis Putri Merivale Mall.
"Hei! Lihat tuh!" pekik Steve ketika mereka memasuki Sixplex.
"Hotel Warriors' mulai tiga menit lagi!"
Tanpa berunding lagi, Steve langsung ke loket membeli dua
tiket. Patsy ingin memberitahu bahwa ia sudah nonton film itu, tetapi
ia segera mengurungkan niatnya. Untuk apa bikin masalah?
Di dalam bioskop, mereka duduk dan lampu-lampu langsung


Merivale Mall 04 Senyum Abadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dipadamkan. Di layar lebar tampak sebuah hotel mewah melalui
bidikan senjata seorang penembak ulung, lengkap dengan musik yang
menegangkan. Rasanya Patsy ingin melihat film lain saja, tetapi sudah
kepalang tanggung.
Tiba-tiba ia menyadari bahwa ia menyandar terlalu jauh ke
kanan. Steve duduk bersandar dekat sekali, sehingga hampir tak ada
jarak lagi di antara mereka. Kemudian, Steve melingkarkan tangannya
ke belakang kursinya. Itu sih, tak mengapa. Itu malah menyenangkan,
tetapi waktu tangannya mulai menggerayangi lehernya, Patsy
merinding. Steve bertindak seolah-olah mereka telah pacaran lama.
Patsy berusaha melepaskan dirinya tanpa menyinggung
perasaan Steve. Tetapi Steve memang bebal. Perlahan-lahan, ia mulaimenarik Patsy lebih dekat ke arahnya. Ia menggesek-gesekkan
hidungnya di telinga Patsy dan mencoba mencium lehernya!
"Hei! Nanti dulu Steve!" pekiknya perlahan ketika tangannya
menggerayangi rambutnya.
"Ngapain sih, kamu!?"
"Tenang," bisiknya lembut. "Aku orang baik-baik, kok."
"Tapi kau tidak menyimak filmnya," Patsy mengingatkan.
"Film? Film apa? Peduli amat. Apa kita kemari cuma mau lihat
film konyol itu? Aku kecewa deh sama kamu, Pats."
"Tunggu dulu Steve. Maksudku?"
Steve memegang tangan Patsy, mengajaknya berdiri. "Ayo kita
keluar, Pats. Filmnya nggak seru."
"Memang?"
"Ayo," Steve menggandeng Patsy dan membimbingnya ke luar
dari bioskop.
"Wah?" Katanya Steve mau memperlihatkan studionya, dan
Patsy belum pernah ke studio. Lagi pula Steve kan nggak begitu
kurang ajar. Dia cuma mencoba menciumnya. Apa salahnya?
"Yuk, kita keluar," desaknya.
"Oke," jawab Patsy agak ragu. "Kita akan ke studio?"
"Jangan malam ini. Soalnya sedang ada acara di sana," sahut
Steve, sambil berjalan ke tempat parkir.
"Aku suka nonton acara yang langsung?"
"Tapi malam ini indah sekali. Aku tahu suatu tempat dengan
pemandangan yang bagus sekali?" Steve membukakan pintu mobil
untuk Patsy."Oke," Patsy berusaha untuk tersenyum. Setelah beberapa saat
saling berdiam diri, akhirnya Patsy bertanya, "Di mana tempat yang
bagus itu, Steve?"
"Overlook Terrace!" gumam Steve, mempercepat laju mobilnya
menuju ke arah perbukitan.
Overlook Terrace! Patsy terlonjak kaget. Overlook adalah
tempat 'parkir' orang-orang yang kurang baik.
"Ehm? Steve, terima kasih untuk undanganmu, tapi lain kali
aja ya? Ini kan baru kencan pertama kita. Rasanya aku belum siap,"
Patsy memperingatkannya.
"Kenapa, sih?" tanya Steve, agak tersinggung. "Kau tidak
percaya padaku?"
"Bukan begitu!" ujar Patsy cepat, khawatir kalau ia telah
menyinggung perasaan Steve. "Cuma...." Apa yang harus
dikatakannya? Justru karena Patsy tidak percaya padanya, tetapi
bagaimana cara dia menyampaikannya?
Akhirnya Patsy cuma berdiam diri, begitu pula Steve. Mereka
menuju Overlook Terrace dan berhenti di tepi jalan. Meski gelap,
Patsy dapat melihat mobil-mobil berderet yang diparkir di sisi jalan
hingga jauh di depannya. Jadi, inilah Overlook....
Dan ada Steve Kirkwood di sampingnya, menatapnya dengan
liar. Sayang, cowok itu ternyata brengsek!
Sesaat kemudian, Steve merengkuhnya dan langsung mencium
bibirnya. Sekilas Patsy merasakan suatu getaran aneh. Ia sama sekali
tak suka pada cowok itu! Hentikan sekarang juga! kata hati kecilnya.
"Steve, tolong antarkan aku pulang," ujar Patsy tegas sambil
duduk tegak."Pulang? Kita baru saja sampai," jawab Steve agak tersinggung.
"Ya, aku mau pulang."
"Duh, Pats, santai saja. Jangan terlalu tegang, dong. Kamu
terlalu memikirkan kontes itu, ya?" Steve meremas bahu Patsy. "Sini
aku pijitin."
Patsy berontak. "Aku serius, Steve. Aku mau pulang."
Kali ini Steve percaya. "Baik," geramnya sambil menstarter
kunci kontaknya. "Baiklah." Suaranya sedingin es.
Mereka saling berdiam selama perjalanan pulang. Sampai di
pekarangan rumah Patsy, Steve berkata, "Pats, jangan marah, ya?
Kapan-kapan kita kencan lagi, mau kan?"
"Yecchh!" desis Patsy, sambil menutup pintu dan menyeka
mulut dengan lengan bajunya. "Huuh, buang-buang waktu saja. Duh,
Irv! Coba tadi aku belajar kimia saja sama kamu!"Sebelas
Jantung Lori melonjak senang hari Sabtu itu ketika ia
mendengar suara Nick dari tangga atas.
"Nick! Hai!" Lori menegakkan badannya, setelah sekian lama
duduk bersandar di meja lipat alumunium yang penuh dengan bahan
pakaian dan aneka macam gelondongan benang. Di depannya tampak
mesin jahit yang sedang dipakai.
"Ganggu nggak?" tanya Nick, sambil menuruni anak tangga.
"Aku cuma mau mengingatkan, nanti kujemput jam 8.30 pulang kerja,
oke?"
Ganggu?? Siapa yang akan terganggu oleh cowok setampan
Nick!
"Oke, jam 8.30 nanti."
"Kujemput di Tio, ya?" Nick mengambil secarik contoh kain
tenun tipis warna pink. "Warnanya bagus nih. Mau dibikin baju, ya?"
"Well?" Lori berjalan ke lemari pakaian, mengambil sebuah
gaun siffon warna pastel dan membeberkannya di meja. "Ini gaun
malam Patsy untuk mengikuti kontes. Baru saja selesai," jelasnya..
Bahu gaun itu bermodel tali-tali, bagian atasnya pas di badan
dan bagian roknya gembung.Nick bersiul kecil tanda kagum. "Keren, Lor. Wah? pasti Patsy
bakalan menang deh."
"Trims Nick," jawab Lori seraya menyimpannya kembali ke
lemari. "Ibunya Patsy yang membelikan bahannya, dan Patsy ingin
membuatnya jadi kejutan. Sebenarnya desain rahasia lho, dan cuma
kamu, aku dan Patsy yang tahu."
"Wah, aku sih nggak begitu paham soal fashion, tapi aku yakin
Pak Mortenson pasti akan terkagum-kagum," komentar Nick dengan
senyum khasnya. "Coba lihat, deh!"
Duh, manisnya! batin Lori. Nick memang seorang sahabat yang
baik.
"Trims, Nick. Semoga Pak Mortenson sependapat denganmu.
Aku nggak tahu apa bisa langsung menemui dia sehabis kontes!"
"Tinggal satu minggu lagi. Aku mau pesan tiket dulu, biar kita
bisa mendapat tempat duduk yang bagus. Siapa yang datang duluan,
dia akan dapat tempat yang bagus. Jadi paling nggak kita sudah ada di
sana sekitar jam satu."
"Oke." Lori menatap Nick dengan tersenyum. "Nggak lama lagi
Merivale Mall akan punya Ratu kecantikan."
"Iya. Bayangin aja, nanti Teresa Woods mejeng dekat air
mancur dengan mahkotanya sambil menyentuhkan tongkat saktinya
ke setiap orang yang lewat ?" gurau Nick. "Ngomong-ngomong,
bagaimana dengan Patsy?"
"Duh, Nick. Percaya nggak, dia sama sekali nggak ngebayangin
bahwa dia bakalan bisa terpilih."
"Soalnya kontes ini cukup berat, Lor. Bayangin aja, Teresa
Woods sampai menyewa seorang pembimbing. Dan pakaiannyaAshley Shepard dibuat oleh perancang yang sama untuk New York
Ballet Company."
"Iya, memang mereka hebat, tapi aku tetap yakin Patsy punya
kesempatan sama untuk menang asal dia cukup percaya diri."
"Dia kan baru saja jadi langsing ? gimana dia bisa langsung
percaya diri?"
"Kedengarannya memang konyol, tapi aku dan Ann terus
mendorongnya untuk maju. Dia banyak stres belakangan ini?"
Saat itu ibu Lori membuka pintu ruang ruang itu. "Lor, ada
tamu lagi," ujarnya.
"Wah, kayaknya aku lagi naik daun, deh," ujar Lori tertawa.
"Mungkin Ann atau Patsy mau nebeng ke mall."
Lori berjalan ke luar dan hilang dari pandangan Nick.
"Dani! Hai." Sudah lama sepupu Lori itu tak berkunjung.
Danielle menghambur dan mencium pipi Lori. "Duh Lor, aku
kangen sekali!"
Sekelebat tercium oleh Lori bau parfum mahal. Ia pun mencium
pipi Danielle. Lori selalu menerima kedatangan Danielle dengan
gembira. Danielle begitu ceria, sampai kalau dia memasuki sebuah
ruangan, seakan-akan pesta akan dimulai. Seperti kebanyakan orang,
Lori pun kagum pada kecantikan Danielle.
Tetapi Lori sudah kenal sepupunya itu sejak lama, dan ia tahu
bahwa kedatangan Danielle pasti ada maunya.
"Dani, ada Nick," ujar Lori lirih, takut menyinggung perasaan
sepupunya. Dulu Danielle pernah naksir Nick Hobart. Tetapi Nick
rupanya sama sekali tak tertarik pada kecantikan Danielle.
"Oh! Halo Nick," sapa Danielle ramah. "Apa kabar?"Nick merasa risih. "Baik," jawabnya singkat. "Lor, aku pergi
dulu ya, aku takut terlambat kerja. Permisi, Danielle." Ia mencium
kening Lori lalu tergesa-gesa pergi.
"Buru-buru amat," seloroh Danielle seraya menghela napas.
"Oh, Lor, tolongin aku dong," ujarnya blak-blakan. "Kaulah satu-
satunya orang yang bisa menolongku."
Lori tampak bingung. "Tolong apa, Dan?"
"Masalah kontes itu! Apa lagi?" Lori adalah satu-satunya
harapan Danielle. Orangtuanya telah mengabaikannya, dan teman-
teman pun ia tak punya ? sejak dia bermusuhan dengan Teresa.
"Aku mau membantu sebisaku. Ada apa, sih?"
Danielle dan Lori duduk berhadapan di depan meja. "Kupikir,
soal baju renang dan wawancara sudah bisa kuatasi. Soal gaun ?
lumayan lah. Tapi soal tes bakat itulah yang membuat aku bingung."
"Bagus dong, kalau yang lainnya sudah beres. Nah, bakat apa
saja yang kau kuasai?"
Danielle tertunduk. "Justru itu Lor! Bingung jadinya! Gimana
aku bisa menang? Peserta lainnya kayaknya sudah mantap. Teresa,
piano; Ashley Shepard, balet? Wendy Carter, menyanyi. Tapi aku?
Pertama, kucoba tarian yang pernah kita pelajari dulu. Tapi karena
sudah begitu lama kita nggak pernah melakukannya, aku jadi lupa
gerakannya. Lalau kucoba memainkan tongkat mayoret, tapi gagal
juga."
Lori tak berkata sepatah pun, ia hanya menyimak.
"Kupikir, mungkin kau punya ide. Soalnya, kau mengenalku
lebih baik dari siapa pun juga, Lor."
"Gimana kalau menyanyi, Dan? Suaramu kan bagus.""Lori, kamu lupa ya? Suaraku memang bagus, tapi aku buta
not."
Alis Lori berkerut. "Gimana kalau memasak? Waktu pramuka
dulu, kau kan pintar masak, sampai dapat lencana masak?"
"Betul. Tapi aku nggak pernah masak apa pun sejak pindah ke
Wood Hollow Hills. Paling aku cuma bisa bikin roti panggang aja."
"Hobbimu apa saja sih? Mungkin itu bisa membantu."
"Aku suka shopping, aku suka mandi berendam dalam
gelembung busa, aku suka menyetir BMW ? apa lagi ya? Hmm?
berkuda juga, tapi aku baru belajar, lho."
"Sebentar! Gimana kalau berhitung? Kau jago berhitung, kan!"
"Nggak ada orang yang tertarik pada berhitung, Lor. Terlalu
gampang!"
Mata Lori berbinar. "Bagi kamu sih, gampang. Tapi banyak
orang setengah mati mengerjakannya. Kamu bisa melakukannya
seperti kuis di TV ? dengan iringan musik. Atau kau bisa
menjadikannya semacam adegan kecil ? seperti tebak-tepat."
"Konyol ah, Lor?"
"Misalnya saja kau berada di ruangan kosong lalu berkata, 'Aku
ingin melapis dinding ini dengan wallpaper. Berapa banyak wallpaper
yang kubutuhkan.' Yah, semacam itu lho, Dan."
Danielle berpikir-pikir, lalu katanya, "Hmmm?lumayan unik."
Unik, tapi membosankan, batinnya.
"Benar, unik! Main piano, menari, itu sih biasa; tapi berhitung
? kesannya kau cerdas juga, Dan!"
"Betul juga ?" Danielle akan membuat penonton terkesan
dengan kecerdasannya.Sambil menimbang-nimbang, mata Danielle tertuju ke meja
kerja Lori. Memikirkan tes bakat itu membuat kepalanya pusing.
"Lagi bikin apa sih, Lor?"
"O... itu berkas-berkasku untuk bikin desain!" Lori
memamerkan sebuah celana dengan potongan longgar dan
menunjukkan sketsa dengan desain sama di meja.
"Keren, lho! Kalau yang lainnya?"
"Ini bagian proyek yang sama," jawab Lori dengan tersenyum
bangga. "Karyaku akan kupamerkan ke Pak Mortenson dari Institut
Fashion. Beliau adalah salah seorang juri kontes dan berjanji akan
ketemu aku sebelum berangkat ke New York."
"Hebat, Lor." Memang begitulah. Desain Lori telah mengalami
kemajuan yang pesat. Bentuknya juga kelihatan profesional. Danielle
merasa agak iri. Padahal selera Danielle dulu lebih tinggi ketimbang
Lori, tetapi sekarang....
"Gaunnya keren-keren, Lor," ujar Danielle jujur sambil
menggeratak rak besar dekat meja kerja. "Aku suka semuanya."
"Trims."
"Boleh nggak, aku coba?"
Lori agak ragu, tetapi kemudian mengangkat bahu. "Boleh saja,
asal hati-hati."
"Oh, pasti. Oo! Aku suka yang ini!" Danielle memegang sebuah
gaun bercorak garis-garis diagonal.
"Santai aja. Aku mau bersiap-siap kerja. Mau ikutan, nggak?"
"Aku bawa mobil kok." Mana mau Danielle nebeng mobil
bekasnya Lori.
"Sebentar aku kembali."Lori pasti tidak akan meninggalkan ruangan itu kalau dia tahu
apa yang akan terjadi kemudian.
Danielle berdiri dan menggeliat. Pada saat itu muncullah sebuah
ide, yang entah dari mana datangnya, sebuah ide yang bagus namun
juga culas. Jika dia bisa meyakinkan para juri pemilihan Putri
Merivale Mall bahwa dialah yang merancang semua pakaian itu,
bukankah mereka akan merasa kagum? Ia bisa mengiringinya dengan
musik waktu pakaian-pakaian itu diperagakan. Ya, suatu bakat yang
gemilang dalam sekejap!
Jauh di lubuk hatinya, Danielle tahu ada tiga kesalahan yang
akan dibuatnya. Pertama, mencuri desain Lori itu tidak etis. Kedua,
perbuatan itu curang. Ketiga, sikapnya benar-benar tidak bermoral.
Danielle berdebar-debar waktu melihat pakaian itu satu demi
satu. Tidak ada jalan lain. Seandainya Teresa Woods menang,
Danielle akan merasa tercoreng seumur hidupnya. Rasanya ia takkan
dapat menahannya. Tetapi, bagaimanapun juga ia akan minta maaf
pada Lori dan mengakui kesalahannya.
Sambil memegang salah satu gaun ciptaan Lori, Danielle
tersenyum licik. Nah, sekarang waktunya beraksi!
"Aku berangkat dulu, Dani!" seru Lori dari atas tangga.
"Duh, Lor, baju-bajumu ini lho ? mati aku!"
Lori terburu-buru menuruni tangga. "Ada apa?"
"Rusak, Lor! Yang ini kena lipstikku, yang satu lagi
ritsletingnya macet hingga benangnya tertarik. Duh, Lor. Maaf, ya?"
Lori melihat baju-baju itu dengan terkejut. "Nggak apa-apa,
kok," ujarnya akhirnya. "Cuma sedikit kok. Nanti aku perbaiki.""Jangan, Lor," cegah Danielle. "Aku yang merusaknya, biar aku


Merivale Mall 04 Senyum Abadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang membetulkannya. Kau sudah bekerja begitu keras, lagian ongkos
untuk dry cleaning dan ke tukang jahit lagi kan mahal. Nanti aku
kembalikan secepatnya."
"Tapi aku harus memperlihatkannya pada Pak Mortenson
minggu depan ? pada malam kontes itu, Dan. Kamu kan nggak
bakalan punya waktu lagi. Biar aku saja, deh."
"Jangan! Pokoknya, aku yang akan membetulkannya. Kita
jangan bantah-bantahan lagi, deh."
Danielle sudah berlari menaiki tangga membawa gaun-gaun itu
tanpa Lori sempat mencegahnya.
"Jangan khawatir, Lor, akan kukembalikan secepatnya,"
teriaknya dari atas.
Baru setelah aku menang dalam kontes itu, kata Danielle dalam
hati. Terima kasih banyak, sepupuku!Dua belas
Hati Lori berbunga-bunga saat ia bersama Nick menyusuri
jalan-jalan di Merivale, dengan tas kerja di pangkuannya dan sedikit
sapuan parfum di belakang telinganya.
Hari itu rencananya ia akan bertemu dengan seseorang yang
dapat membantunya masuk Institut Fashion. Perasaan takutnya
bercampur senang. Dengan semua hasil karyanya itu, rasa percaya diri
Lori bertambah besar.
"Aku janji sama Ann untuk menemui dia dan Ron di pintu
gerbang," ujar Lori ketika Nick mengantarnya sampai di depan
gedung Balai Kota.
"Kalau begitu aku akan beli tiket dulu, dan menjemputmu lagi,"
ujar Nick sambil tersenyum.
Pintu masuk ke Balai Kota penuh dengan kerumunan orang?
teman, keluarga dan para penonton lain. Penduduk kota berbondong-
bondong ingin menonton kontes Putri Merivale Mall.
Lori mencari-cari Ann, tetapi ia tak dapat menemukannya.
Mungkin Ann dan Ron agak terlambat, pikirnya.
Sambil berdiri di situ, tiba-tiba Lori mendengar obrolan yang
sangat jelas. "Gila tu cewek ... maunya kencan di dalam mobil!"Lori berbalik dan melihat Steve Kirkwood menyandar di
dinding sambil bergosip ria dengan segerombolan cowok lain.
Dengan terkejut Lori membuang muka, dan berusaha untuk
tidak menguping.
"Memang, dia benar-benar hot, deh," ujar Bill Evans.
"Bayangin aja, masa dia terus merengek, 'Cium aku, Bill, ayo dong
cium. Kalau nggak, aku bakalan mati.' Terus kubilang, 'Santai, Pats.
Pelan-pelan, dong!"
Patsy! Lori tercekat. Kecurigaannya pada obrolan itu telah
terbukti. Darahnya seakan menggelegak.
Steve Kirkwood menyela lagi. "Kalau sama aku, dia yang
agresif. Dia mengajakku ke Overlook. Sampai di situ, wow! Katanya,
'Asyik, sering-sering aja kita kemari ?"
"Kau ajak Patsy ke Overlook ? malam-malam?" seru Rick
Anderson bingung.
"Dia yang ngajak aku, bok," Steve cekikikan, begitu pula
cowok-cowok lainnya.
Kurang ajar! Lori memandang mereka dengan geram. Saat itu
Lori melihat Irving Zalaznick berdiri dekat grup itu. Dari wajahnya
yang suram, tampaknya Irving juga tahu kebohongan-kebohongan
yang sama, dan jelas ia juga tak menyukai mereka.
"Aku terpaksa membawanya ke sana. Habis, dia merengek
terus. Jadi kubilang, 'Oke Pats, kalau kau maunya ke sana, apa boleh
buat?'"
Tawa cowok-cowok itu pun meledak. Lori merasa mual.
Cowok-cowok bego itu kelihatannya percaya saja pada ocehan si
pembual. Fitnah itu bisa menghancurkan reputasi Patsy.Lori berbalik lagi, matanya beradu pandang dengan mata Irving.
Belum pernah ia melihat wajah Irving seseram itu. Ia tampak marah,
geram, dan?juga nekad.
Saat itu, Lori merasakan sebuah tepukan dibahunya. "Ann
sudah di dalam, Lor," ujar Nick. Lori mengikutinya, dan sempat
menoleh ke belakang sebelum masuk ke dalam gedung. Ia masih
sempat melihat Irving Zalaznick menghampiri Bill Evans dan Steve
Kirkwood dengan pandangan mata yang berapi-api.
Lobby telah penuh sesak dengan pengunjung. Lori berhenti
sejenak melihat foto Patsy yang terpampang bersama foto para finalis
lainnya. Cantik sekali dia!
"Rasanya aku nggak percaya apa yang baru saja kudengar di
luar tadi," cerita Lori, tetapi mustahil rasanya ia menceritakannya pada
Nick di tengah gemuruhnya orang-orang yang berjubel begini. Ia
harus menceritakannya nanti, dan mencarikan jalan keluar untuk
membersihkan nama Patsy. "Lihat tuh fotonya Patsy, cantik ya?"
"Semuanya juga cantik-cantik. Jadi nggak ada persaingan."
"Apa?"
"Kamu nggak ikut kontes. Padahal kamulah gadis tercantik di
Merivale." Nick menggandeng Lori dengan bangga, dan Lori merasa
seakan-akan ia berada di awang-awang.
"Tentu dong, Hobart. Kamu memang paling pintar merayu,
deh."
Di lobby, Lori melihat Heather Baron yang tampaknya lagi
kesal. Lori menyapanya, tapi Heather cuek saja. Mungkin dia tidak
mendengar?batin Lori.Sementara Nick menitipkan mantel mereka, Lori mengedarkan
pandangannya kepada orang-orang yang memakai tanda pengenal. Itu
tandanya mereka juri ? dan Pak Mortenson pasti ada di antara
mereka.
"Hai, Lor! Duh, senangnya!" Ann Larson menghampirinya, dia
nampak cantik dengan sweater katun merahnya. "Ron sedang ke
dalam, mencari tempat duduk yang enak."
"Bagus," komentar Lori ketika Nick kembali. "Yuk, kita
masuk."
Baru saja mereka duduk, Lori menoleh dan melihat Irving
berjalan mengendap-endap ke kursi di belakang mereka. Hidungnya
merah, matanya memar, namun wajahnya tampak senang dan puas.
"Irving! Kenapa matamu memar?"
Irv menjawab pelan, "Oh hai, Lor. Hai semua. Memangnya
mataku memar, ya?"
"Iya, sampai biru begitu," Ann mendesah.
"Kenapa sih, Irv?" Nick penasaran. "Apa yang terjadi?"
"Aku cuma melakukan apa yang harus kulakukan." Irving
mengeluarkan kacamata hitam dari kantongnya, lalu memakainya.
"Bagusan, kan?" katanya, sambil tersenyum kecil.
Saat itu pintu ruangan terbuka dan muncullah Bill Evans dan
Steve Kirkwood. Seketika itu juga Lori melihat bahwa mata keduanya
juga memar, malahan kedua-dua mata mereka!
Mereka sekilas melihat Irving, lalu duduk menjauh di barisan
paling belakang. Sekelompok anak yang melihat mereka mulai
tertawa-tawa.Hebat! Lori melihat pada Irving, seolah-olah dia belum pernah
melihat cowok itu sebelumnya. Ternyata dia kuat juga. Kalau saja
Patsy tahu sisi Irving lain yang berani itu.
Sesaat kemudian lampu-lampu ruangan digelapkan dan orkestra
segera memainkan serangkaian lagu-lagu populer sementara orang-
orang mengisi bangku-bangku yang masih kosong?penonton yang
terlambat terpaksa berdiri.
Dari belakang ruangan, delapan orang juri berjalan ke barisan
paling depan. Seorang lelaki berwajah ceria, berkumis, dan
menggunakan tanda pengenal bernama "Profesor Mortenson."
Tampangnya baik, batin Lori.
"Itu dia!" bisiknya girang.
"Rektor Institut Fashion?" tanya Ann, sambil menjulurkan
lehernya.
"Betul. Akan kuperlihatkan karyaku kepadanya nanti setelah
kontes. Danielle membawa semuanya ? kalau dia tidak lupa, eh...."
*************
Akan kusapu bersih semua cewek-cewek ini, bahkan sebelum
kaki mereka basah terkena air. Danielle tersenyum di depan cermin di
ruang ganti. Dalam baju renangnya yang putih, Danielle bagaikan
seorang dewi kecantikan ? dengan rambut pirangnya yang indah.
Untung peragaan baju renang masuk dalam awal acara. Tentu ia
akan memimpin sejak dari awal, dan para peserta lain harus berlomba-
lomba untuk menyusulnya.
"Danielle?" Tracy Higgs yang berumur empat belas tahun,
menyembulkan kepalanya dari balik pintu. "Kutaruh semuaperlengkapan pada rak di sisi panggung. Maureen dan Hillary juga
sudah siap."
"Trims, Tracy. Aku juga sudah siap kok." Danielle menyertakan
Tracy dan teman-temannya untuk mempersiapkan tes bakatnya.
Mereka akan memperagakan gaun-gaunnya, hasil rancangan Lori.
Di belakang panggung, Danielle melihat para peserta lain
mondar mandir dengan gugup. Suara gemuruh penonton yang
memenuhi ruangan menambah meriah suasana.
Saat itu, terdengar desahan segerombolan penonton yang berdiri
di bagian belakang panggung.
Danielle menjulurkan kepalanya untuk melihat apa yang terjadi.
Dari ruang ganti terlihat Teresa Woods tampil dengan baju renang
biru pucatnya yang benar-benar memukau. Teresa tampak
mempesona. Kakinya tidak kurus lagi, tetapi langsing dan berotot.
Ternyata senam Nautilus secara teratur membawa keajaiban
pada dirinya.
Dengan menghela napas, Danielle membuang muka dari rival
utamanya. Teresa tampak cantik luar biasa!
Duh, kenapa semua ini harus terjadi? Danielle menuang segelas
air yang disediakan khusus untuk para peserta dengan rasa sedih.
Perseteruannya dengan Teresa bagaikan sebuah mimpi buruk! Andai
saja mereka bisa berteman lagi....
Rasanya mustahil. Teresa sudah begitu melecehkan dirinya dan
benar-benar keterlaluan. Danielle nggak sudi berteman lagi
dengannya.
Tetapi kenapa ia merasa begitu kehilangan temannya itu? Itulah
yang membuatnya sedih? kehilangan Teresa. Danielle gengsi untukmengakuinya, tetapi sejak mereka bermusuhan, Danielle merasa
begitu kesepian. Seculas apa pun Teresa, Danielle bisa menemukan
kesenangan bersamanya. Ironisnya, kalau dia kehilangan Teresa, ia
juga kehilangan Heather. Heather ternyata lebih setia pada Teresa,
daripada pada Danielle. Sungguh kejam!
Menunggu di belakang panggung rasanya seperti berjam-jam
lamanya. Danielle berusaha menghindari tatapan Teresa dan mencoba
tidak memikirkan yang jelek-jelek. Tapi percuma saja. Ke mana pun
Danielle memandang, di mana-mana ada Teresa. Meski mereka tidak
saling menegur, rasa sakit hati masih tetap terasa.
Beberapa kali Danielle memergoki bekas temannya itu
menatapnya dengan geram dari belakang ? tetapi Danielle cuek saja,
pura-pura tidak tahu. Biar dia rasa!
Bagaimanapun juga, Danielle akan membuktikan, dia pasti
menang dan mengalahkan mereka semua.
Panitia pemilihan kontes sedang sibuk mengatur para peserta.
Akhirnya orkes selesai memainkan lagu-lagu medley dan Bu Pierson
memanggil para peserta.
"Baiklah, Nona-nona ?" ujarnya. "Kalian semua cantik-cantik,
tetapi sebelum pemilihan dimulai akan diberitahukan dulu beberapa
peraturan."
Wendy Carter menggigiti kukunya yang bercat pink. Ashley
Shepard memilin-milin selendang suteranya. Teresa tampak bengong,
dan Danielle bersandar dengan santainya. Patsy Donovan dengan
selendang di bahunya duduk di kursi, pikirannya melayang jauh.
"Kalau namamu dipanggil di setiap acara, berbarislah dengan
rapi di belakang panggung. Dan ingat, kalau kalian berada dipanggung, jangan lupa terus tersenyum. Selain itu ? seperti pada
waktu gladiresik ? berjalanlah di jalur, berputar, dan langsung
kembali ke belakang. Berpalinglah ke kedua arah agar penonton di
kedua sisi dapat melihatmu. Banyak fans di antara penonton yang
ingin melihat wajah kalian tampil berseri-seri. Jangan lama-lama
berlenggak-lenggok di depan juri, supaya tidak macet. Nah, siap
semua?"
Terdengar seruan gugup para peserta kontes. "Kalau begitu, kita
akan segera mulai. Semoga berhasil."
Gemuruh drum menandakan dimulainya parade baju renang.
Dengan hati berdebar-debar Danielle sekali lagi memeriksa
penampilannya di kaca di belakang panggung. Terbayang sudah
bagaimana ia harus berpose sebagai pemenang berbaju renang, sepatu
putih baru, dan berselempang pita merah di badannya.
"Berikutnya, Danielle Sharp!" panggil Bu Pierson.
Danielle berbaris dan tirai membuka waktu ia melewatinya.
Sorotan lampu menyilaukan matanya, membuat pandangannya kabur
dan tiba-tiba saja lututnya gemetar. Oh, jangan sampai terjadi!
Sambil menarik napas panjang, Danielle memaksakan dirinya
tersenyum secerah mungkin lalu mulai berjalan di jalur. "Terus
tersenyum" ? memang saran yang jitu sekali.
Ia menaikkan bahunya dengan rasa bangga. Harus bangga
dong! Aku kan cantik! batinnya.
Penonton tampaknya senang. Mereka bertepuk tangan dengan
riuhnya, dan melihat para juri mengangguk-angguk, Danielle merasa
ia sudah di ambang kemenangan!Tiga belas
Acara wawancara di atas panggung baru saja dimulai. Para
peserta dipisahkan, sehingga mereka tidak dapat mendengar apa yang
ditanyakan. Mereka berdiri berkumpul dengan perasaan cemas.
Danielle cuma tersenyum. Dia sama yakinnya seperti pada
kontes baju renang, malahan dia lebih percaya diri menghadapi
wawancara ini. Bukankah dia sudah menjawab kedua pertanyaan itu
ribuan kali, di depan cermin kamar mandinya maupun di depan
cermin kamarnya yang pecah gara-gara tongkat mayoret itu.
"Pak Ackers, para juri, dan saudara-saudara sekalian," begitulah
akan dikatakannya bila gilirannya tiba. "Kukira, Merivale Mall
mencerminkan kehidupan Amerika yang canggih karena di sinilah
orang bisa menemukan segala sesuatu yang diingininya dalam suasana
yang bebas dan menyenangkan. Dari air mancur sampai atriumnya,
mall ini memang asyik untuk dinikmati. Tempat ini mencerminkan
kehidupan yang indah dari berbagai kalangan masyarakat Amerika
yang bisa dinikmati oleh siapa pun juga." Danielle sudah hafal
jawabannya, bahkan sambil tidur pun ia bisa menjawabnya.
Cara menjawabnya pun luar biasa. Ia akan menyampaikannya
secara menarik, segar, dan inteligen."Danielle Sharp ? giliranmu!" Suara Bu Pierson membuyarkan
lamunan Danielle. Setelah menarik napas panjang beberapa kali,
Danielle menuju ke panggung dengan penuh percaya diri.
Tampak Pak Ackers, berdiri dalam sorotan lampu besar.
Danielle melangkah ke dalam lingkaran cahaya bersama Pak Ackers
dan tersenyum pada para penonton.
"Wah, apa kabar Danielle," ujar Ackers tenang, menyambut
uluran tangan Danielle.
Saat itu juga Danielle dicekam rasa takut. Seumur hidupnya
belum pernah ia berpidato di muka umum. Kini, separuh penghuni
Merivale menunggu sambutan darinya. Kalau cuma bergaya saja, itu
sih soal kecil buat Danielle, tapi untuk membuka mulut dan berpidato!
Sorotan lampu terasa begitu panas ? panas sekali hingga
Danielle sulit untuk berkonsentrasi. Mulutnya seakan-akan tersumpal
segumpal kain. Namun ia masih bisa tersenyum ketika Pak Ackers
mengajukan pertanyaan yang pertama.
Danielle siap untuk menjawab, tetapi tenggorokannya serasa
tersumbat. Akhirnya keluar juga kata-kata itu, meski suaranya
terdengar kaku dan aneh ? sama sekali tidak seperti waktu latihan.
Begitu juga waktu menjawab pertanyaan kedua.
"Baik, terima kasih Danielle," gumam Pak Ackers setelah


Merivale Mall 04 Senyum Abadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Danielle menyelesaikan kalimat terakhirnya. "Dan sekarang, peserta
berikutnya." Kedengarannya seakan-akan Pak Ackers ingin ia segera
menyingkir dari situ.
Sambil mendongakkan kepalanya setinggi mungkin, Danielle
melangkah ke luar panggung. Penonton bertepuk tangan sekedarnya
? seolah-olah mengatakan, "Lumayan. Kau kalah."Itulah pengalaman terburuk dalam hidupnya! Di belakang
panggung, para petugas nampaknya merasa kasihan padanya. Salah
seorang petugas yang mengurus lampu-lampu mengangkat alisnya dan
melemparkan pandangan kasihan, yang memperkuat rasa khawatirnya.
"Jawaban yang bagus, Non," bisiknya menghibur.
Sambil bersandar di dinding, Danielle merasa sangat terhina. Ia
menggigit bibirnya, menahan tangis. Bukankah masih ada kontes gaun
malam dan tes bakat? Pasti akan kelihatan jelek kalau pipinya
berlepotan maskara kalau ia sampai menangis.
"Oh, halo Teresa." Dari panggung terdengar sapaan Pak Ackers
dengan logatnya sebagai pengusaha yang berwibawa. Sekarang
Danielle bisa mendengar wawancara peserta lainnya karena ia sudah
selesai. "Teresa, bagaimana Merivale Mall mencerminkan kualitas
kehidupan paling baik di Amerika?" ia bertanya.
Dengan penasaran Danielle pindah ke pinggir panggung agar
bisa melihat lebih jelas.
Teresa mengedarkan pandangan kepada penonton, seakan-akan
mencari seseorang untuk menolongnya. Pasti pembimbingnya, batin
Danielle, yang juga ikut- ikutan mencari Barbi di keramaian.
"Pak Ackers," jawab Teresa sesaat kemudian. "Merivale Mall
mencerminkan kehidupan paling bergengsi di Amerika karena ?"
Kesunyian terasa mencekam.
Dengan atau tanpa pembimbing, otak Teresa tetap saja kayak
kerupuk melempem. "Karena bangunannya indah, hingga memberikan
lingkungan menyenangkan dan menciptakan kenyamanan untuk
masyarakat."Lumayan, batin Danielle. Meskipun pertanyaan itu tidak
diduganya, namun Teresa telah memberikan jawaban yang cukup
meyakinkan.
"Dan Teresa, apa yang dapat dilakukan penduduk Merivale
untuk mendapatkan kenyamanan hidup?"
Teresa tampak bingung. "Tolong diulang sekali lagi, Pak?"
pintanya.
Sementara pertanyaan diulang, Teresa mengedarkan kembali
pandangannya ke arah penonton. Danielle melihat Barbi di belakang
melambai dengan penuh semangat sambil berkomat-komit. Teresa
melirik, terdiam, lalu menjawab, "Untuk mendapatkan kenyamanan
hidup?ummm?kukira kita bisa menanam lebih banyak pohon di
sepanjang jalan?"
Terdengar tepukan penonton yang sama seperti yang diterima
Danielle tadi.
Danielle mengikik lega. Teresa telah menyelesaikan acara
wawancara. Dari nilai satu sampai sepuluh, mungkin Danielle
mendapat nilai 1, sedangkan Teresa tiga kali 0 ? satu untuk cara
penyampaian, satu untuk isinya dan satu untuk cara mengendalikan
diri.
Tetapi ketika bekas temannya itu berjalan dengan lunglai ke
belakang panggung, kebahagiaan Danielle langsung lenyap. Teresa
merasa tercampakkan dan Danielle tahu persis bagaimana rasanya.
Bukankah ia juga merasakan hal yang sama?
Kalau saja mereka tidak bermusuhan, ingin rasanya Danielle
menghambur ke sahabatnya itu dan menghiburnya. Tapi mustahil, apalagi Danielle telah memberikan pertanyaan yang salah kepadanya
untuk dipelajari.
"Peserta berikutnya adalah Patsy," seru Pak Ackers di
panggung. Danielle tadinya sudah ingin kembali ke kamar ganti, tetapi
ia mengurungkan niatnya ketika mendengar nama Patsy dipanggil.
"Patsy, bagaimana Merivale Mall mencerminkan kualitas
kehidupan paling baik di Amerika?"
Patsy berpikir sejenak. Kemudian menjawab lantang, "Bagiku,
mall mencerminkan kualitas kehidupan yang baik karena orang-orang
bisa datang bersama-sama ke sini dan mendapatkan kesenangan di
tempat ini. Hampir sama dengan pusat perbelanjaan lama, tetapi di
sini kita bisa mendapatkan segala sesuatu untuk kehidupan yang
modern."
Penonton dan Pak Ackers nampak puas.
"Lalu, apa yang dapat dilakukan penduduk Merivale untuk
mendapatkan lingkungan hidup yang lebih baik?"
Patsy tidak perlu berpikir lagi kali ini. "Kita bisa hidup lebih
nyaman apabila masyarakatnya hidup rukun dan saling menghargai."
Ketika Patsy selesai menjawab, tepukan meriah bergema di
ruangan itu.
Danielle melihat para juri mengangguk-angguk setuju. Pak
Ackers juga tampak terkesan.
Danielle menyandar ke dinding, menahan sakit hatinya. Patsy
Donovan ? yang tampaknya lumayan juga dengan baju renangnya ?
ternyata melaju dengan pesat dalam perolehan angka. Dia yang sama
sekali nggak masuk hitungan telah menghancurkan segala harapanDanielle! Bagaimanapun juga, lebih baik kalah dari Teresa Woods
ketimbang dari Patsy Donovan!
Danielle berharap para juri tidak memilih bekas si gembrot itu
jadi Putri Merivale Mall. Bikin malu aja! Seharusnya ada peraturan
khusus untuk itu.
Ah, jangan kuatir, batinnya. Patsy pasti akan tersandung dalam
acara kontes lainnya. Seandainya gaun Patsy nanti cukup lumayan,
pasti dia akan gagal dalam test bakatnya.
Pak Ackers meminta para penonton hntuk memberi tepuk
tangan bagi seluruh peserta. "Tetapi kemenangan yang harus diraih
masih cukup jauh," ujarnya. "Putri Merivale Mall bukan saja harus
cantik dan pandai, tapi juga berbakat! Mari kita lanjutkan acara!"
Pukulan drum terdengar, sementara para pekerja membersihkan
panggung.
Danielle melihat Ashley Shepard meluruskan kakinya yang
panjang, bagus dan berotot. Di sisi panggung lainnya, Teresa berdiri
di samping peserta lainnya, sambil mengempit sehelai salinan buku
musik berjudul "An American in Paris" oleh George Gershwin.
Sybil Turner dipanggil duluan. Suaranya waktu menyanyikan
lagu "Strangers in the Night" begitu datar dan cukup menyakitkan
telinga. Tepukan penonton seakan-akan menyatakan lega
pertunjukannya sudah berakhir.
Berikutnya Ashley Shepard. Dengan gaun tutu warna merah
muda yang begitu mungil, Asyley seperti gadis kecil berumur sepuluh
tahun. Ketika musik Swan Lake mulai, mimiknya yang serius
bertambah tegang. Tariannya kaku, kurang lentur. Ashley
kelihatannya terlalu memaksakan diri, hingga terkesan kaku.Sekarang giliran Teresa. Ia duduk di depan piano, ruangan tiba-
tiba dipenuhi alunan musik yang memukau. Jemari Teresa memainkan
tuts piano dengan lenturnya, menciptakan musik yang luar biasa.
Danielle sampai ikut terhanyut.
Penonton yang terpukau bertepuk tangan dengan riuhnya.
Sementara di belakang panggung, para peserta lainnya dan petugas
dekor pun ikut-ikutan.
Danielle memaksakan dirinya tersenyum dan bertepuk tangan
agar tak seorang pun akan menyangka betapa muaknya ia sebenarnya.
Siapa akan teringat pada wawancara Teresa yang buruk itu, kalau ia
sanggup memainkan piano begitu canggihnya?
"Danielle, giliran kita ya?" tanya Tracy Higgs, mengagetkan
Danielle.
"Belum," bentak Danielle. "Nanti sesudah si kue cokelat itu."
Dengan bingung Tracy mundur. Danielle merasa kecewa dan jengkel.
Sambil melangkah ke panggung dengan wajah cerah, Patsy
terlihat ramping dengan pakaian senam biru laut dan rok selutut.
Sambil tersenyum cerah, ia mengisyaratkan musik dimulai.
Di belakang panggung, operator memutar musik rock 'n' roll,
dan Patsy pun mulai beraksi. Senam aerobik rutin yang dilatihnya
bersama Ann sangat mempesona dengan putaran dan tendangannya.
Sambil melompat di udara dengan energi yang dinamis, Patsy
bergerak sesuai dengan irama musik. Tampaknya ia sudah begitu hafal
akan semua gerakannya, hingga ia tak perlu berpikir lagi apa gerakan
yang selanjutnya. Ia benar-benar menjiwai semua gerakannya!
Penonton sampai bertepuk-tepuk tangan mengiringinya, dan para juri
pun tersenyum-senyum sambil mengangguk-anggukkan kepala sesuaidengan irama musik. Patsy Donovan seakan-akan bertindak jadi
pemimpin semua orang dalam hiburan yang menggembirakan itu!
Dengan hati berdebar-debar, Danielle menghampiri Tracy
Higgs dan teman-temannya untuk mengingatkan agar mereka bersiap.
Ia harus memperagakan suatu pertunjukan yang lebih hebat daripada
Patsy. TEENLITLAWAS.BLOGSPOT.COM
Ketika sedang berjalan menuju tempat penyimpanan baju-baju,
tanpa sengaja Danielle menabrak meja tempat rekaman musik. Suatu
bunyi goresan yang keras terdengar waktu jarum rekaman menggores
piringan hitam. Penonton menjadi gaduh.
Untung operatornya tidak ada di tempat, dan Danielle buru-buru
menghindar dari tempat itu supaya tidak ketahuan.
Sementara itu di panggung, Patsy kehilangan keseimbangannya
dan tersandung. Penonton mendesah pelan.
Dengan cepat jarum rekaman dipasang kembali, dan musik
terdengar lagi. Meskipun Patsy berusaha keras untuk menyesuaikan
diri dengan irama musik, namun pertunjukannya telah kacau. Danielle
melihat para juri menggeleng-gelengkan kepala tanda simpati.
Mungkin kecelakaan kecil dengan musik rekaman itu sudah
takdir, pikir Danielle, sementara ia mengumpulkan 'koleksinya' untuk
pertunjukan. Lagipula, dalam setiap persaingan pasti ada yang kalah
dan yang menang ?begitu pula dalam kontes kecantikan!Empat belas
"Sekarang, mari kita masuki dunia fashion bersama peserta
Putri Merivale Mall selanjutnya? Nona Danielle Sharp!" Pak Ackers
melambaikan tangannya, dan lampu-lampu di ruangan itu pun menjadi
redup.
Kaset dipasang dan musik pun bergema saat Danielle dengan
senyum agak gugup melangkah ke panggung yang terang benderang.
Ia tersenyum lebar pada para penonton, berputar di depan juri
bagaikan seorang peragawati, lalu berjalan menuju ke mikropon.
Musik dengan irama samba berkumandang mengiringi setiap
gerakannya.
"Aku suka memakai pakaian yang nyaman dan pizza! Karena
itulah kupakai jumpsuit warna burgundy ini." Suaranya yang merdu
bergema di ruangan itu.
Di tengah penonton, Nick menyikut Lori. "Hei Lor. Bukankah
itu salah satu pakaian yang kau buat?"
"Kayaknya sih," sahut Lori dengan geramnya.Kok bisa-bisanya
Danielle berbuat begitu curang?
"Pakaian dan suasana yang sesuai akan tampak menarik. Tiga
orang temanku akan memperagakan beberapa model favoritku. Ayo,teman-teman," panggil Danielle. Tiga orang gadis Atwood maju ke
panggung dengan tiga sorotan lampu.
"Gaun-gaun ini adalah rancangan pribadi dan hasil jahitan
tangan. Sangat nyaman dipakai, dengan lipatan-lipatan di pinggul dan
hiasan di pundak. Perhatikan kantong-kantongnya pada gaun yang
satu ini?"
Danielle mengoceh sementara modelnya berlenggak-lenggok.
Danielle berlaku seakan-akan sebagai nyonya rumah, menjelaskan
kelebihan setiap baju yang diperagakan.
"Itu semua milikku. Aku yang membuat sendiri sampai setiap
detilnya," bisik Lori geram sambil menggenggam tangan Nick,
mengharap dukungannya. "Keterlaluan! Bagaimana aku bisa
memperlihatkannya pada Pak Mortenson nanti? Pasti dia akan
menyangka aku mencurinya dari Danielle!"
Wajah Lori tegang, hatinya panas. Ingin rasanya ia menonjok
hidung sepupunya saat itu juga! Ia akan berjalan ke panggung dan
memberi pelajaran yang setimpal pada Danielle!
"Aku suka garis-garis yang sederhana, yang memberi kesan
feminin.... " Danielle nyerocos terus.
Para juri mengangguk-angguk, sambil mencoret-coret dalam
buku nilai. Merancang busana merupakan bakat yang unik dan
peragaan Danielle boleh dikatakan sukses. Saat peragaan selesai dan
lampu-lampu dinyalakan kembali, setiap orang merasa yakin Danielle
Sharp hampir tak terkalahkan.
"Ooo?lihat saja. Si rambut merah itu sebentar lagi pasti
menyesal," geram Lori seraya bangkit. "Aku akan segera kembali
Nick. Akan kuberi sepupuku itu pelajaran yang setimpal.""Bagus Lori, semoga berhasil." Tepukan lembut di pipinya
membuat Lori agak tenang. Tetapi sementara berjalan mengitari
gedung menuju ke belakang panggung, Lori menjadi geram kembali
teringat sepupunya yang berbohong, seolah-olah dialah yang
merancang dan menjahit semua pakaian yang diperagakan tadi.
Seumur-umur Danielle tak bisa menjahit. Jika ada bajunya yang
robek, paling dia akan mencampakkannya. Lori tahu benar, soalnya
dia yang suka menampung baju-baju yang nasibnya begitu. Danielle
memang sudah keterlaluan. Dia harus dihajar!
"Lori! Hai!" sapa Danielle ramah ketika melihat sepupunya
menyerobot masuk di antara kerumunan fansnya. Ia tidak kaget
melihat wajah Lori yang penuh amarah. Itu kan hal yang wajar. Tetapi
dengan beberapa patah kata yang manis, ucapan "maafkan aku, ya",
hatinya pasti akan luruh. Lori kan berhati lembut, baik hati dan
pemaaf.
"Hebat kan, Lor? Semua naksir gaun-gaunmu!" ujar Danielle,
sambil merentangkan tangannya bermaksud memeluk Lori, tanpa rasa
bersalah sedikit pun.
"Danielle Sharp! Tega benar, kau!" Lori menarik Danielle dari
kerumunan para peserta kontes lainnya. "Dasar culas!"
Danielle membelalakkan matanya, tak percaya. "Lho, ngomong
apa sih kau, Lor?"
"Jangan pura-pura nggak ngerti, bego! Kau pasti tahu apa
maksudku. Itu tadi semua desainku yang kau pamerkan!"
"Nanti dulu, Lor," kilah Danielle, "kau salah paham, deh! Aku
kan sama sekali nggak bilang bahwa itu hasil rancanganku. Aku cumamemamerkannya doang, itu aja. Dan itulah bakatku, bukan
merancang, menjahit atau apa keq."
"Jangan mengada-ada, Danielle Sharp! Kau memang licik!
Semua orang mengira bahwa kaulah yang merancang semua gaun itu!
Tanya saja pada mereka. Dasar pencuri, kau!"
"Jangan berprasangka buruk, Lor?" tukas Danielle.
"Seharusnya kau malah bangga, aku sukses memamerkannya."
"Pembohong!"
"Jujur, Lor, bukan maksudku menyakitimu. Apa aku harus
minta maaf? Oke, kalau begitu aku minta maaf." Danielle membiarkan
air matanya menggenang. Dia bisa membetulkan maskaranya nanti.
"Omong kosong. Rayuanmu tak akan berhasil kali ini. Kau
harus mengaku terus terang, atau aku akan langsung ke juri untuk
melaporkan apa yang terjadi! Lagipula, aku punya semua foto gaun itu
sebagai barang bukti!"
Tiba-tiba Danielle dilanda rasa panik. Pipi dan matanya
memerah, air matanya menetes. Kali ini, ia menangis sungguhan.
"Tolong jangan dilaporkan," mohonnya tiba-tiba. "Aku mau
berbuat apa saja, asal kau jangan melaporkan!" Seumur-umur, baru
kali ini Danielle memohon-mohon dengan iba.
"Tidak semudah itu, Danielle. Aku nggak akan membiarkan ini,
karena kau begitu licik!"
Kini Danielle menangis terisak-isak. Dialah satu-satunya
peserta yang patut dikasihani.
"Hidupku akan hancur kalau kau laporkan. Aku akan benar-
benar dihina. Dia pasti mentertawaiku."
"Siapa?" tanya Lori. "Siapa yang mentertawakan kamu?""Teresa Woods," Danielle mengaku. "Dia selalu melebihi aku


Merivale Mall 04 Senyum Abadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam segala-galanya. Uangnya berton-ton, dia sudah pernah keliling
dunia, bajunya keren-keren, punya kuda." Danielle tersedak dan
hampir tak mampu berbicara lagi.
"Jadi kau merasa lebih rendah dari Teresa Woods?" tanya Lori,
sambil menyentuh lengan Danielle.
"Tentu saja," jawab Danielle. "Lihat saja. Keluarga Woods kan
kaya raya, bakatnya lebih hebat dari aku? dan dia anggota Klub
Polo... Kalau dia sampai tahu aku main curang, habislah aku. Di
kontes ini aku cuma ingin buktikan aku bisa menang. Aku lebih
cantik. Kalau dia sampai menang, lebih baik aku rendam kepalaku di
ember semen dari pada terhina." Danielle menangis tersedu-sedu,
suaranya terbata-bata.
"Dani, Teresa kan sahabatmu! Bersahabat bukan berarti
bersaing, tapi saling menghargai, saling menerima apa adanya tanpa
memandang kekayaan, kepandaian, atau kelebihan masing-masing."
"Ngomong memang gampang," desah Danielle. "Kamu sih
nggak punya saingan. Di gengmu, kamulah yang paling oke.
Sekarang, aku akan kehilangan segala-galanya, dan harga diriku
tercabik-cabik."
Lori terdiam, menimbang-nimbang.
"Itulah kenyataannya, Lor," lanjut Danielle. "Kau tahu kan,
gimana timnya Nick memperlakukan dia, waktu tahu dia kencan sama
kamu sebelum pertandingan Atwood-Merivale. Apa kau tega
membiarkan aku mengalami seperti itu?"
Lori menggigit bibirnya, sambil berpikir. "Oke, aku nggak akan
melaporkan ke juri? dengan satu syarat?"Danielle menatap Lori dengan pandangan sedih.
"Kalau kau menang, kamu yang mengatakan yang sebenarnya
secara pribadi pada juri."
"Oke, setuju!" Danielle mengisak dan menghapus air matanya.
Perjanjian yang bagus juga! batin Danielle. Kalau dia menang,
berarti dia lebih cantik dari Teresa. Gelar itu sendiri tidak penting
baginya.
Setelah itu dia akan mengundurkan diri secara terhormat ?
melaporkan hal yang sebenarnya pada juri, serta mengarang cerita
untuk teman-temannya ? Mungkin dengan alasan, ibunya yang
memaksanya. Menyalahkan orang tua kan alasan yang cukup masuk
akal.
"Oh, makasih Lor," ujar Danielle lega, sambil memeluk
sepupunya yang pemaaf itu.
"Tunggu dulu, Dani?nggak segampang itu. Kalau kau kalah,
beritahu Pak Mortenson tentang semuanya. Aku perlu rancangan itu,
dan aku nggak ingin berdebat siapa yang sebenarnya membuatnya.
Paham?"
"Paham." Itu sih gampang. Siapa sih yang peduli apa yang
dikatakan Pak Mortenson seusai kontes?
"Merasa lebih baik?" tanya Danielle dengan wajah cerah. "Aku
sih, sudah."
Lori menggeleng-geleng. "Luar biasa kau, Dan," komentarnya.
"Bisa-bisanya kau berubah begitu cepat!"
Tetapi Danielle tak sempat menjawabnya, karena di belakang
Danielle Lori melihat seseorang yang membuat dia lupa akanamarahnya dan segala-galanya. Patsy Dovonan sedang memakai
jasnya dan bersiap untuk keluar!
"Permisi, Dan." Lori bergegas melewati sepupunya dan
memegangi tas senam yang tergantung di bahu Patsy. "Mau ke mana
kamu?" tanyanya bingung.
"Kau kira aku mau ke mana?" jawab Patsy dengan suara hampir
menangis. "Aku mau pulang. Persetan dengan kontes-kontesan ini!"
"Apa? Kamu mau ninggalin kontes? Yang benar aja! Kau nggak
bisa ngundurin diri!"
Patsy menatap sahabatnya dengan mata membelalak. "Nggak
bisa? Lihat saja nanti!"Lima belas
"Patsy! Jangan!" Lori menyergap Patsy sebelum ia keluar dari
pintu.
Patsy melotot. "Jangan coba-coba menghalangiku, Lori
Randall! Aku muak! Dan kau tahu apa yang akan kulakukan di luar
sana. Aku akan mencari hot fudge sundae yang paling gede dan
merasakan betapa nikmatnya di kerongkonganku, biar aku kembali
lagi menjadi Patsy yang sebenarnya."
"Pats, jangan ngaco, deh. Kau nggak sadar apa yang kau
katakan!"
"Oh, betul. Kontes ini telah membuat aku sadar akan sesuatu
yang benar-benar penting. Mungkin aku memang sedih dan kesepian
waktu aku masih gembrot, tapi paling tidak aku menjadi diriku
sendiri! ? bukan cuma boneka yang berbaris di panggung dan
berebutan gelar!"
Patsy gemetar karena marah ? belum pernah Lori melihat
tampang sahabatnya seperti itu.
"Tapi Pats, sewaktu kau di panggung, dan mengatakan
bagaimana kita harus menerima seseorang apa adanya, dan bahwa
kepribadian seseorang itulah yang paling penting ? seluruh penontonmemilihmu. Kalau kau kabur dari sini, bayangin betapa kecewanya
mereka!"
"Duh, Lor. Kita hadapi aja deh kenyataan. Orang-orang yang
menyanjungku itu sama saja dengan mereka yang melecehkan aku
waktu aku masih gembrot. Semuanya sama munafiknya!"
"Tunggu, Pats," desak Lori. "Apa sih, yang sebenarnya terjadi?"
Patsy menghela napas panjang dan menatap sahabatnya dengan
matanya yang kecokelatan itu. "Lor," ujarnya perlahan, "waktu musik
mati, aku merasa seakan-akan terhempas. Tiba-tiba saja aku harus
berhenti. Kulihat penonton, wajah-wajah mereka seakan memujaku....
Lalu kupikir, ke mana saja mereka selama ini? Ingat nggak Lor,
bagaimana mereka biasanya melecehkan aku? Mereka mengolok-
olokku waktu aku masih gembrot. Lihat sendiri, kan? Sakit hati sekali
aku."
"Tapi setelah aku jadi langsing, semua ingin berteman
denganku. Malahan cowok-cowok model Bill Evans dan Steve
Kirkwood mencoba merayuku ? mereka yang dulunya asli cuek."
Patsy tampak lunglai. "Oh, Lor, kau lihat kan? Semua perhatian
itu palsu. Aku nggak mau diterima hanya karena aku langsing, dan
kelihatan seksi. Aku mau diterima karena aku adalah aku."
Lori menatap sahabatnya dengan tertegun. Setelah
mengeluarkan semua uneg-unegnya, Patsy kelihatan agak lebih
tenang.
"Terima kasih, kau mau mendengarkan aku, Lor," gumamnya,
lalu membuka pintu dan ke luar. "Bye."Kini semuanya sudah jelas. Tak heran Patsy begitu stres dengan
semua sukses yang diterimanya. Siapa yang nggak kecewa kalau tahu
orang menilai kita cuma dari penampilan luarnya saja.
"Nanti dulu, Donovan!" pekik Lori. "Kau butuh ini!"
Lori merangkul dan memeluk Patsy dengan erat. "Asal kau tahu
saja. Bagiku kau masih tetap seperti dulu, langsing atau gembrot!
Memang kelihatannya mereka munafik. Tapi buat apa peduli? Cuek
aja! Kenapa kau mesti menolak sukses cuma gara-gara mereka?"
"Kau menyebutnya sukses, cuma karena kita kelihatan seksi
dalam baju renang? Jangan bercanda deh, Lor. Kau kan lebih
mengerti!"
"Tentu, dong. Tapi aku juga tahu kalau pemenang kontes ini
bakalan mendapat beasiswa penuh, mobil baru, serta kesempatan
untuk bertatap muka dengan orang-orang. Bayangin kalau yang
terpilih itu orang yang bego, apa kata orang nanti? Tapi kalau kau
yang terpilih, kau bisa berbicara pada anak-anak sekolah dan kau
punya kesempatan untuk mempengaruhi mereka!"
Patsy mengernyit dan berpikir-pikir. "Memang benar ? tapi
entahlah?" elak Patsy. "Mana mungkin aku menang. Aku kan
tersandung?"
"Eh, dengar. Aku kan ada di sana bersama Ann, Ron dan Nick,
dan kami semua melihat kejadiannya! Kau bisa mengatasinya dengan
baik sekali saat musik berhenti. Aku bangga deh padamu ? benar lho,
kita semua bangga. Ayolah Pats, kami semua mendukungmu. Jangan
kecewakan, dong!"
Tiba-tiba ada yang mendehem di belakang Patsy.
"Ehem ? rasanya benar begitu, Pats!""Irving Zalaznick!" seru Patsy. "Kok pakai kacamata hitam,
sih?"
"Oh..., ceritanya panjang...." Wajah Irving memerah. Ia merasa
canggung bertatap muka langsung dengan Patsy.
Dengan jaket biru laut dan berdasi, Irv tampak rapi sekali dan
keren.
"Aku cuma mampir sebentar untuk kasih selamat dan semoga
berhasil dalam acara selanjutnya. Senam aerobikmu hebat lho, Pats.
Rasanya kau pantas menang dalam kontes ini."
"Trims, Irv," jawab Patsy. Tanpa sadar, ia melepas kacamata
hitam Irv. "Kok memar? Apa yang terjadi?!"
Irv berdiri dengan gelisah. "Ceritanya panjang ? nanti saja deh
kuceritakan."
Lori tak dapat menahan dirinya lagi. "Dia menonjok Bill Evans
dan Steve Kirkwood karena mereka mau memfitnah kamu," ujarnya.
Patsy menatap teman labnya dengan heran. "Kau lakukan itu
demi aku?" tanyanya.
"Ya, harus," jawabnya. "Pokoknya, jangan coba-coba
memfitnah gadis yang hebat, lalu pura-pura nggak tahu."
Gadis yang hebat! Kata-kata itu menyentuh hati Patsy, Irving
Zalaznick?cowok yang selalu bareng melakukan percobaan
laboratorium, suka sama dia? dengan cara yang romantis!
"Wah ? kayaknya aku harus kembali ke tempat dudukku," ujar
Lori, merasa bahwa kehadirannya mengganggu mereka. "Nick dan
teman-teman lain menungguku."
"Oke, Lor. Sampai jumpa," jawab Patsy akhirnya. Tetapi
matanya tetap terpaku pada Irving.Benarkah selama ini ia tidak memperhatikan cowok itu karena
tampang dan penampilannya? Apakah dia, Patsy Donovan, punya sifat
yang sama untuk melecehkan seseorang, sama seperti orang-orang
lain yang dibencinya? Kalau begitu, inilah saatnya untuk merubahnya!
Sambil mengamati mata Irving yang memar, Patsy menyadari
bahwa sebenarnya Irv cukup menarik! Dia memang nggak seperti
bintang film, tapi mata birunya bagus dan senyumnya menawan....
"Irv, kau ada acara malam Minggu besok?" Kata-kata itu keluar
begitu saja dari mulut Patsy.
"Siapa, aku?" Irv agak terperanjat, tetapi senang. "Nggak,
belum ada tuh."
"Emm ? mau nonton, nggak?" Patsy rasanya nggak percaya ia
bisa bicara seperti itu.
"Tentu!" Irving tersenyum nakal. "Sudah nonton Hotel
Warriors, belum?"
Lalu mereka cekikikan.
"Omong-omong, kau mau pergi, ya?" tanya
Irving, melirik jasnya Patsy.
"Aku? Oh!" jawab Patsy kaget, menyadari bahwa ia memakai
jas. "Nggak, tuh." Ia lalu menanggalkan jasnya. "Sebenarnya aku mau
memakai gaun malamku."
"Sebaiknya aku kembali ke tempat dudukku."
Tiba-tiba Patsy Donovan merasa tenang sekali, asli!
*************
Ketika parade gaun malam dimulai, Danielle berbaris di
belakang panggung bersama para peserta kontes lainnya. Ia berusaha
keras untuk bersikap tenang. Acara hampir dimulai. Permainan pianoTeresa luar biasa memukau penonton, tetapi koleksi 'rancangannya'
juga menakjubkan.
Danielle merasa tak perlu khawatir soal percaya diri. Gaun abu-
abu keperak-perakan yang dikenakannya benar-benar keren!
"Nona Wendy Carter! Nona Marcia Ryder! Nona Veronica
Bailey! Nona Teresa Woods!" Satu persatu nama peserta dipanggil.
Waktu nama Teresa dipanggil, dia melihat Danielle dengan
senyum bangga lalu melenggok ke panggung. Gaun pink satinnya
berkesan mewah, dan Teresa tampak seperti ratu.
"Nona Ashley Shepard!"
Setelah pulih kembali dari kegagalan dalam tarian baletnya,
Ashley melangkah dengan yakin ke panggung untuk bergabung
dengan peserta lainnya. Dengan gaun hijau pucatnya, Ashley
menggambarkan kecantikan wanita Amerika Selatan jaman dulu.
"Nona Danielle Sharp!"
Danielle menegakkan kepalanya, lalu melangkah ke panggung.
Sampai di sana, Teresa ternyata menutupi jalannya! Danielle
mengambil jalan memutar, daripada nanti tersandung!
Danielle tersenyum senang ketika berhasil melewati musuhnya,
tetapi ia terus berpikir betapa busuknya si Teresa Woods!
"Nona Patsy Donovan!"
Danielle mengamati Patsy yang berjalan anggun ke panggung.
Ada sesuatu yang tampak berubah pada dirinya. Patsy melangkah
begitu ringan, bak berjalan di atas awan. Gaun pastel buatan Lori
bermodel sederhana, tetapi Patsy memakainya bak seorang putri.
Danielle merasa muak.Setelah semua peserta tampil, Pak Ackers menenangkan
penonton sementara para juri sibuk berunding menentukan nilai akhir.
Akhirnya, seorang lelaki bertuxedo berdiri, memberikan amplop
kepada Pak Ackers dengan senyuman yang membuat orang jadi
penasaran. Orkes mengalunkan irama yang dramatis, dan lampu-
lampu auditorium menyala terang benderang.
"Saudara-saudara sekalian, keputusan juri sudah ada di tangan
saya."
"Runner-up ketiga adalah?Nona Wendy Carter!"
Puji Tuhan! Ketika Wendy maju menerima karangan bunga
mawar putih, Danielle menarik napas lega. Jika yang dipanggil tadi
adalah namanya, habislah dia!
"Runner-up kedua adalah ? Nona Veronica Bailey!"
Sebuah kejutan. Veronica adalah cewek yang sama sekali tidak
diperhitungkan oleh Danielle. Umurnya dua puluh tahun dan bakatnya
sebagai pemain biola sangat membosankan.
"Runner-up pertama adalah ? Ashley Shepard!"
Ashley terperanjat. Nggak heran, batin Danielle, gara-gara
tariannya yang terputus itu. Ashley akhirnya menerima mawar
putihnya dengan air mata berlinang sambil melirik Teresa dan
Danielle, seolah-olah hendak berkata "Nah! Aku berhasil. Tapi salah
satu dari kalian akan pulang dengan tangan hampa!"
Memang benar. Cuma satu di antara mereka akan terpilih jadi
Putri Merivale Mall. Danielle tersenyum tegang dan melirik Teresa.
Inilah saat yang mereka nanti-nantikan. Mereka pasti memilih aku!
batin Danielle. Pasti!Bunyi genderang membuat semua orang tegang, dan Pak
Ackers terdiam sejenak.
"Saudara-saudara sekalian," ujarnya akhirnya, sambil membuka
amplop yang dipegangnya dengan hati-hati. "Mari kita berdiri dan
menyambut Putri Merivale Mall yang pertama?Nona PATSY
DONOVAN!"Enam belas
"Aku nggak percaya!" pekik Patsy ketika orang-orang
berebutan menyalaminya dan para peserta kontes lainnya
mengerubunginya dengan senyum irinya.
Patsy mengangguk penuh rasa terima kasih pada para juri
sambil terus tersenyum, sementara selendang pemenang
diselempangkan pada tubuhnya. Hampir saja dia kabur, eh, malah
sekarang dia menjadi pemenang!
Musik pun berkumandang dan Patsy merasakan lapisan lembut
di pundaknya, ketika mantel merah diikatkan di pundaknya. Berkali-
kali kamera dijepretkan ke arahnya, dan sekonyong-konyong semua
ketegangan yang membebani selama minggu-minggu terakhir berakhir
sudah. Patsy tak dapat membendung air mata kebahagiaannya lagi
yang mengalir di pipinya.


Merivale Mall 04 Senyum Abadi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di antara penonton ia melihat ibunya, bersimbah dengan air
mata kebahagiaan juga dan ayahnya yang tersenyum bangga.
Beasiswa yang akan diterimanya pasti akan sangat membantu!
Kemudian seseorang menempatkan mahkota yang gemerlapan
di kepalanya dan menyampaikan tiga lusin mawar merah bertangkai
panjang kepadanya. Patsy melangkah perlahan, menuruni tanggamenuju jalur penonton, diiringi tepukan meriah di mana-mana. Ia
melihat juga Lori dan Ann melompat-lompat sambil berteriak.
Dengan senyuman yang berseri-seri, Patsy melambaikan
tangannya ke hadirin dan melemparkan pandangannya. Dilihatnya
Irving mengacungkan jempol. Tampangnya begitu lugu, tapi jelas
menampakkan kebahagiaan. Ketika mereka bertatapan, rasanya Patsy
tak ingin berhenti tersenyum.
***************
"Gila! Aku nggak percaya...," gerutu Danielle ketika dia dan
para peserta lain yang kalah meninggalkan panggung. "Masa sih, aku
kalah!"
"Nggak mungkin!" jerit Teresa marah di belakang panggung,
sambil menendang pintu ruang ganti sekeras-kerasnya.
"Berani benar mereka! Dasar selera kampungan! Mengobral
mahkota ke sembarang orang ? Ooh, matilah aku!"
"Benar! Patsy Donovan ? nggak disangka!" tambah Danielle,
seraya menarik sekuntum bunga dari rambutnya dan melemparkannya
ke meja rias.
"Omong-omong, Dan," desis Teresa, "sikapmu tadi di
panggung benar-benar kampungan deh. Mentang-mentang aku lebih
unggul dalam soal bakat, nggak berarti kau bisa menjegal aku di
panggung!"
"Menjegal kamu? Kamu sih, memonopoli seluruh panggung.
Malah kamu yang menutupi jalanku."
"Kalau kau tidak menyabot aku, Danielle, pasti aku bisa
menang.""Kok nyalahin aku, sih! Kamu memang sudah kalah telak.
Jawaban wawancaramu aja ngaco ? maksudku, begitu dangkal?"
"Oke!" ujar Teresa geram. "Gara-gara seseorang berinisial DS
memberitahu aku pertanyaan yang ngawur! Dia memang ingin melihat
aku kalah."
Danielle terdiam. Memang semua itu benar. Mereka berdua
kalah gara-gara ulah mereka sendiri! Mereka kalah karena jawaban
mereka ngaco.
Teresa masih belum puas juga. "Dan soal gaun itu! Rasanya
sudah kubuang tahun lalu, deh ? Eh, dari mana kau mendapatnya?
Mancing dari tempat sampah, ya?"
"Pokoknya, aku cuma mau bilang, kau kelihatan kayak orang
bego deh, dengan baju apa tuh, baju renang ya!"
"Yang penting aku bisa berenang kalau terpaksa. Hei, sejak
kapan sih, kau jadi perancang? Berani-beraninya amat!"
"Jelas dong, sama beraninya dengan menyewa seorang
pembimbing."
"Jangan menghina pembimbingku, Dan. Kau sebenarnya ingin
nyewa seseorang juga, kan? Aku memang kalah, tapi nggak amatiran,
kan?"
"Kau kalah, padahal pakai pembimbing. Sedangkan aku nggak.
Jadi apa bedanya?"
Merasa capek berseteru, Teresa merubah taktiknya. "Huh,
percaya nggak, sih? Si Patsy Donovan jadi Putri Merivale Mall?
Anjing pudelku rasanya jauh lebih cantik!"Danielle nyengir. "Aku juga nggak nyangka. Masa nggak ada
peraturan sih, yang membedakan kepala kue dengan putri
kecantikan?" Mereka berdua cekikikan.
"Kamu masih jauh lebih baik. Ingat nggak, senam aerobiknya!"
Teresa terdiam sejenak. "Mungkin para juri ingin sekalian beramal.
Siapa tahu dia butuh dana."
"Masa?" Danielle mengangguk-angguk serius. "Kayaknya
konyol banget deh, kita ikut-ikutan kontes ini. Padahal banyak yang
jauh lebih penting, seperti urusan cowok, misalnya." Serta teman-
teman, tambahnya pelan, dan ia dilanda suatu rasa yang
menyenangkan.
"Benar, dan shopping!"
Mereka tertawa geli, dan merasa sebagai sahabat lama kembali.
"Payah kau, Dan. Kenapa juga kita mesti bermusuhan, sih!"
"Itu kan idemu, Ter!"
"Aku? Masa sih...."
"Tahu nggak, Ter, aku kangen deh, sama kamu."
"Aku juga. Siapa lagi yang bisa bikin hidupku jadi sengsara?"
"Ada yang manggil aku, ya?" Heather Baron diam-diam sudah
berada di ruang itu dan nguping percakapan mereka.
"Heather! Hai...!"
"Rupanya kalian jadi rukun kembali gara-gara sama-sama
kalah, ya?"
Ketiga sahabat itu lalu berpelukan dengan hangat, dan Danielle
merasa jauh lebih dekat lagi dengan mereka.
"Ayo, kutraktir kalian di L'Argent," ajak Heather yang kaya
raya itu. "Kamu boleh makan es krim cokelat sepuasnya, deh!""Dasar kamu!" ujar Danielle ketika Teresa mencoba membuka
ritsleting belakang gaunnya. "Trims, Ter?"
Gimana kalau Danielle kalah dalam kontes? Ia telah
mendapatkan sahabat-sahabatnya kembali, dan itu jauh lebih berarti.
Danielle Sharp tidak lagi memikirkan soal kekalahannya.
Nggak heran, ia tak henti-hentinya tersenyum. END
Ajal Sang Penyebar Maut 3 Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan Karya Opa Titik Nol 8
^