Pencarian

Rencana Sederhana 1

Rencana Sederhana A Simple Plan Karya Scott Smith Bagian 1


RENCANA SEDERHANA
Benarkah uang itu sumber bencana '
Satu hal yang pasti, hidup Hank_Mitchell berubah
drastis sejak ia menemukan uang senilai empat juta
dolar lebih di reruntuhan pesawat yang jatuh.
Sebuah rencana segera disusun. Awalnya semua
kelihatan begitu sederhana, begitu mudah. Lalu
muncullah satu demi satu peristiwa tak terduga, dan
Hank pun melangkah ke dalam dunianya yang baru ......
RENCANA
SEDERHANA
SCOTT SMITH
&
Penerbit PT Gramedia Pustaka Ulama
Jakarta, 1996
A SIMPLE PLAN
by Scott Smith
Copyright (9 1993 by Scott Smith
Published by amngemenl with the author
All righm reserved.
c/o Brandt & Brandt Literary Agents, Inc., New York, USA
through Tunlc-Mori Agency. Inc., Tokyo
RENCANA SEDERHANA
jakarta. Oktober 1996
JudUI Asli: A' Simple Plan
Isi di luar tanggung jawab peteetakan
"Thriller yang diplot secara sederhana namun
mendalam... Memenuhi semua kriteria sebuah novel
suspense, mengantarkan pembaca pada penjelajahan
liar Imajinasi Smith tak pernah membosankan."
Publishers Weekly
"Memukau." Vanity Fair
"Dikendalikan dengan indah dan amat mengusik...
dibayangkan secara ahli.. Salah satu kelebihannya
terletak pada kerumitan bahaya berganda yang menimpa
Hank dan rekan rekannya.. Menimbulkan variasi yang
luar biasa pada gagasan tentang keklisean kejahatan."
The New Yark Times Book Review
"Dibuat dengan ahli... Akan membual Anda merasa
seperti pelaku pembantu yang bersih dari tuduhan.
Untuk mengungkapkan plolnya lebih jauh hanya akan
merusak kenikmatan membaca bukunya sendiri."
_People
"Sebuah karya tentang kesederhanaan berbahaya dan
kekuasaan tunggal... Sungguh pengalaman luar biasa
untuk membaca karya yang begitu mengerikan yang
disajikan dengan cara yang begitu menggoda...
Menjabarkan semua gagasan dan niat yang mengarah
langsung pada kesimpulan buku ini yang menghebohkan
akan membocorkan jalan ceritanya terlalu banyak."
The Washington Post
Untuk omngtuaku
dengan rasa terima kasih khusus untuk
Alice Quinn, Gail Hochman, Victoria "Elson,
dan Elizabeth Hill
"Tak seorang pun manusia yang berbuat kejahatan
demi kejahalan itu sendiri;
ia melakukannya hanya demi kebahagiaan,
dan kebaikan yang dicarinya.
- Mary Wollstonecraft
ORANGTUAKU meninggal dalam kecelakaan mobil
setahun setelah pemikahanku. Mereka mencoba me
masuki jalan tol melalui papan penghalang pintu
keluar pada suatu Sabtu malam dan menabrak truk
pengangkut ternak. Ayahku tewas seketika, terpenggal
oleh atap mobilnya, tapi ibuku, ajaibnya, selamat. Ia
hidup satu setengah hari setelahnya, tergantung pada
mesin di Rumah Sakit Delphia Municipal. Leher dan
punggungnya patah, jantungnya menyemburkan darah
yang membanjiri dadanya.
Sopimya hanya menderita memar mcmar. Sekalipun begitu, truknya terbakar memanggang ternaknya1
dan setelah ibuku meninggal ia menuntut tanah orang
tuaku sebagai ganti rugi. Ia memenangkan tuntutan
tapi tidak mendapatkan kepuasan materi darinya, sebab
Dad telah menggadaikan seluruh pertaniannya dan
tengah menghadapi kebangkrutan ketika meninggal.
Sarah, istriku, berpendapat, bahwa Dad bunuh diri
karena malu menanggung beban utang. Ketika itu
pendapatnya kutentang, sekalipun tidak dengan
sungguh-sungguh. Tapi setelah kupikirkan kembali,
tampaknya Dad telah bersiap-siap. Seminggu sebelum
ll kecelakaan ia mengunjungiku dengan pickup-nya, baknya penuh perabotan. Sarah dan aku tidak membutuhkan satupun di antaranya, tapi ia mendesak kami,
mengancam akan langsung menuju tempat pembuangan
sampah kalau kami tidak menerima seluruh muatan.
Jadi kubantu ia membawanya, sepotong demi sepotong,
ke ruang bawah tanah. Dari rumah kami ia menuju
apartemen kakakku, Jacob, dan memberikan pickup
tersebut.
Ada juga wasiatnya, dengan pasal pertama mengharuskan Jacob dan aku bersumpah secara lisan, di
hadapan masing masing, untuk tak lupa mengunjungi
makamnya setiap tahun, pada hari ulang tahunnya.
Dari sana berlanjutlah dokumen yang sangat rumit
tersebut, halaman demi halaman, menelusuri rumah
pertanian mangan demi mangan, membagi bagikan
isinya pada kami berdua dengan menyebutkan nama,
tak peduli betapa aneh dan remehnya, sebab yang
disebutkannya adalah peralatan cukur, sapu, dan Alkitab tua untuk Jacob; blender msak, sepatu bot
untuk bekerja, dan pemberat kertas berupa batu hitam
berbentuk gagak untukku. Tentu saja semuanya sia
sia. Kami harus menjual segala sesuatu yang berharga
dan tak berharga yang tidak kami butuhkan untuk
melunasi utang utangnya. Kami harus menjual tanah
pertanian dan rumah masa kanak kanak kami. Tetangga kami membelinya, lalu menyatukannya dengan
tanahnya sendiri, menyerapnya bagai amuba raksasa.
Ia meruntuhkan rumahnya, menguruk ruang bawah
tanah, dan menanam kacang hijau di atasnya.
Kakakku dan aku tak pernah akrab, bahkan ketika
masih kanak kanak, dan jurang di antara kami melebar
12 seiring dengan bertambahnya usia. Pada waktu ke
celakaan, satu-satunya pengikat hubungan kami hanyalah orangtua kami, dan kematian mereka 'yang menda
dak menyingkirkan beban apa pun yang biasanya
kami tanggung.
Jacob, lebih tua tiga tahun dariku, tidak menyelesaikan SMA nya dan hidup seorang diri dalam apar
temen kecil di- atas teko besi di Ashenville, kota
tempat kami dibesarkan. Kota itu merupakan persim
pangan jalan kecil yang ditandai dengan lampu kuning
yang terus berkedip, yang paling terpencil yang bisa
ditemui di utara Ohio. Ia bekerja sebagai buruh
konstruksi di musim panas dan bertahan hidup dengan
tunjangan sosial selama musim dingin.
Aku merupakan orang pertama yang sempat kuliah
dalam keluargaku lulus dari Universitas Toledo dengan gelar sarjana di bidang bisnis. Aku menikahi
Sarah, teman sekelasku, dan pindah ke Delphia, hampir
lima puluh kilometer sebelah timur Ashenville, tepatnya di luar Toledo. Di sana kami membeli rumah di
pinggir kota berkamar tidur tiga yang layak dengan
kusen aluminium hijau tua dan daun pintu hitam,
garasi untuk dua mobil, TV kabel, microwave, dan
majalah Blade yang dikirim setiap sore. Aku kembali
ke Ashenville setiap hari kerja, ke toko makanan
yang ada di sana, tempat aku bekerja sebagai Asisten
Manajer dan kepala Bagian Akunting.
Tidak ada kebencian di antara Jacob dan aku,
tidak ada pertengkaran. Hanya perasaan tidak nyaman, sulit menemukan bahan pembicaraan, dan ham
pir tidak berusaha menyembunyikannya. Lebih dari
sekali, saat keluar dari toko setelah bekerja, kulihat
13 ia bersembunyi di balik pintu agar tidak bertemu
denganku, dan setiap kali aku lebih merasa lega
daripada sakit hati.
Satu satunya pengikat yang kami miliki setelah
kecelakaan yang menimpa orangtua kami adalah janji
kami kepada Dad. Tahun demi tahun pada hari ulang
tahunnya kami sama sama hadir di pemakaman dan
berdiri diam, dalam kesunyian asing di samping ma
kam. Kami akan menanti yang lainnya mengatakan
bahwa keberadaan kami di sana telah cukup lama
agar kami bisa berpisah dan kembali ke kehidupan
masing masing. Cara yang tidak menyenangkan untuk
melewatkan sore hari. Kami mungkin akan menghenti
kannya setelah pertama kalinya kami merasa tidak
akan dihukum karena tidak melakukannya atau dikutuk
karena tidak memenuhi janji kami sendiri.
Ulang tahun Dad jatuh pada tanggal 31 Desember,
hari terakhir dalam setahun. Kunjungan kami sema
kin lama terasa lebih mirip rutinitas sebagaimana
peristiwa lainnya dalam musim liburan merupakan
hambatan terakhir sebelum memasuki Tahun Baru.
Pada akhirnya kesempatan tersebut menjadi saat utama
kami berhubungan. Kami masing masing mengikuti
kehidupan yang lainnya, membicarakan orangtua atau
masa kanak kanak kami, berjanji tanpa pernah ditepati
untuk lebih sering mengunjungi, dan meninggalkan
pemakaman dengan perasaan lega karena telah menyelesaikan tugas yang kurang menyenangkan.
Hal ini berlangsung selama tujuh tahun.
Pada tahun kedelapan, 31 Desember 1987, Jacob
menjemputku di rumah. Ia muncul sekitar pukul 15.30,
14 terlambat setengah jam, bersama anjing dan saha
batnya Lou dalam truk. Mereka baru saja memancing dalam es, kegiatan utama mereka selama
musim dingin. Kami harus menurunkan Lou di sisi
lain Ashenville sebelum melanjutkan perjalanan ke
pemakaman.
Aku tak pernah menyukai Lou, dan kurasa ia juga
tidak menyukai diriku. Ia biasa memanggilku Mr.
Accountant, mengatakannya dengan cara seakan aku
seharusnya malu akan pekerjaanku, malu akan kekonvensionalan dan kestabilannya. Anehnya aku ter
intimidasi olehnya, sekalipun tak pernah mengetahui
pasti penyebabnya. Yang jelas bukan karena penam
pilan fisiknya. Ia pendek, botak, berusia 45 tahun,
dengan perut yang mulai gendut. Rambut pirangnya
begitu tipis hingga kita bisa melihat kulit di bawahnya,
merah muda dan tampak merekah. Giginya berantakan
dan membuatnya tampak agqu lucu, seperti karakter
dua dimensi dan' buku petualangan anak anak yang
tidak terkenal petinju tua, bajingan jalanan, mantan
napi.
Saat aku muncul ia turun dari pickup untuk menya
paku, dengan begitu aku duduk di tengah kursi.
"Hai, Hank," katanya, menyeringai. Jacob tersenyum padaku dari balik kemudi. Anjingnya, hewan
besar berbulu lebat keturunan gembala Jerman dengan
sedikit darah Labrador, berada di belakang. Anjing
tersebut jantan, tapi Jacob menamainya Mary Beth,
seperti nama gadis yang dikencaninya di SMA, kekasih
pertama dan satu-satunya. Ia juga menyebut anjingnya
"she" sebutan untuk- betina seakan nama anjing
tersebut telah membutakannya atas jenis kelaminnya.
15 Aku naik, Lou mengikuti di belakangku, dan kami
mundur dari jalan depan rumahku ke jalan raya.
Rumahku terletak di subdivisi kecil bernama Fort
Ottowa, yang diambil dari nama benteng yang peng
huninya tewas membeku dalarn badai salju sebelum
revolusi dimulai. Rumah tersebut berdiri di atas tanah
pertanian, tapi diatur begitu rupa sehingga tidak mirip
tanah pertanian. Jalannya memutar menghindari halangan yang sebenarnya tidak ada. Orang erang men
dirikan bukit kecil di halaman depan bagai kaki
makam, lalu menutupinya dengan rumpun bunga
bungaan. Rumah mmah di kiri-kanan jalan kecil-kecil,
masing masing dibangun tepat di sebelah rumah ber
ikutnya. Rumah permulaan, begitu penjualnya menye
but kompleks tersebut, dipenuhi oleh pengaan baru
dalam perjalanannya menempuh kehidupan baru atau
pensiunan dalam akhir perjalanannya. Yang pertama
merencanakan karier dan bayi dan pindah ke ling
kungan yang lebih baik, yang lain menanti habisnya
tabungan, kesehatan yang mendadak payah, anakanak yang mengirim mereka ke panti jompo. Tempat
ini tak lebih dari terminal, anak tangga di dasar
tangga. '
Tentu saja Sarah dan aku termasuk kelompok per
tama. Kami mempunyai sarang telur, rekening yang
terus mengumpulkan bunga di Ashenville Savings
Bank. Suatu hari nanti kami _akan pindah, melangkah
ke dunia luar, ke langkah pertama dari langkahlangkah selanjutnya. Paling tidak, begitulah rencananya.
Begitu meninggalkan kompleks tempat tinggalku,
kami menuju ke barat, menjauhi Delphia. Pada saat
16 ami melewati jalan berliku liku, kelompok rumah
dua tingkat dengan jalan masuk melingkar dan ayunan
serta meja piknik dengan cepat menghilang di belakang
kami. Kemudian jalan berubah lurus dengan sendirinya, laku menyempit. Salju tertiup menyeberangi
jalan di beberapa tempat, bergerak bagai ular dalam
garis tipis panjang dan berdebu, lalu menumpuk di
sepanjang tepi jzdan. Rumah rumah saling bersimpangan, secara keseluruhan dipisahkan oleh lapanganlapangan rumput. Pepohonan menghilang, horisen melebar, dan pemandangan bagai terbuka lebar bagi
angin. Kekosongan berwarna putih kelabu. Semakin
lama semakin sedikit mobil yang berpapasan dengan
kami.
Perjalanannya tidak menyenangkan. Truk Jacob te
lah berusia sebelas tahun, dan tak satupun pada truk
tersebut yang tidak menunjukkan usianya. Dulu truk
tersebut berwarna merah tomat mencolok, warna ke
sukaan kakakku, tapi sekarang warna tersebut telah
memudar menjadi burgundy, sisinya dihiasi karat.
Pernya tidak berfungsi dan pemanasnya berbunyi.
Kaca jendela belakang telah lenyap, digantikan plastik.
Radienya rusak, wiper nya patah, dan ada lubang
sebesar bola bisbol di lantai. Embusan udara dingin
terus menyembur dari lubang ini, meniup pipa celanaku.


Rencana Sederhana A Simple Plan Karya Scott Smith di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jacob dan Leu membicarakan cuaca sepanjang
perjalanan bagaimana dinginnya udara akhir akhir
ini, kapan salju akan turun lagi. apakah hujan akan
turun pada malam Tahun Baru nanti. Aku diam
mendengarkan. Biasanya aku hanya merasa kikuk
kalau bersama Jacob, tapi kalau bersama dirinya dan
17 Lou sekaligus, aku merasa kikuk dan terkucil. Mereka
tenggelam dalam percakapan pribadi; bahasa yang
mereka gunakan bersandi dan akrab. Humor mereka
kekanak kanakan dan tidak terang-terangan. Lou akan
mengatakan "nenas" dengan penekanan tambahan pada
"ne" atau Jacob akan melenguh seperti sapi dan
mereka segera tertawa terbahak bahak. Membingung
kan sulit bagiku untuk meyakinkan diri bahwa me
reka bukannya tengah menertawakan diriku.
Kami melewati kolam beku, dengan pemain ski
meluncur di atasnya, anak anak mengenakan jaket
aneka warna melaju ke sana kemari. Lumbung lumbung gelap menghiasi kaki langit. Pemandangan ter
sebut selalu membuatku terkejut, mengingat kami cuma
sepuluh menit dari rumahku dan pertanian telah me
ngelilingiku.
Kami terus melaju ke selatan Ashenville, menyisiri
kota. Tepat di balik kaki langit kami menyusuri State
Highway 17, lurus, sampai tiba di Burnt Road. Kami
berbelok ke kanan di sini, mengarah ke utara, kemu
dian berbelok ke Anders Park Read. Kami menyeberangi jembatan semen panjang dan rendah di atas
Sungai Anders, tumpukan salju dengan cepat menutupi
pagarnya, menimbulkan kesan palsu seperti jembatan
dari kue yang ada dalam cerita eerita Natal.
Di balik sungai terletak Cagar Alam Anders, hutan
lebat yang terletak di batas kanan jalan, terbentang
hingga dua mil berikutnya. Tempat tersebut berupa
taman, dikelola oleh pemda. Di tengah tengahnya ter
dapat kolam yang dipenuhi ikan dan dikelilingi lapang
an rumput yang dipotong rapi. Orang orang dari To
ledo datang selama musim panas untuk piknik dan
18 bermain-main, melemparkan frisbee dan menerbangkan
layang-layang.
Tempat tersebut sebenarnya milik Bernard C.
Anders, pengusaha mobil yang pertama dari Detroit.
Ia membeli tanah tersebut tahun 1920 dan membangun
rumah peristirahatan musim panas yang besar di
sana. Batu fondasinya masih terlihat di samping kolam.
Ketika ia meninggal pada masa depresi, rumah tersebut
jatuh ke tangan istrinya. Ia pindah ke rumah tersebut
dan hidup di sana selama empat dekade berikutnya,
sebelum akhirnya dimakamkan. Ia dan Bernard tidak
memiliki anak, jadi ia memilih untuk mewariskan
tanahnya ke negara, dengan syarat dijadikan cagar
alam dan dinamakan menurut nama suaminya. Tempat
yang tidak biasa untuk dijadikan taman, terpencil,
dikelilingi pertanian di keempat sisinya. Tapi pemda,
dengan memandang pemasukan dari pajak atas taman,
menerimanya. Rumahnya dirobohkan, meja piknik
dipasang, jalur hiking disiapkan, dan Cagar Alam
Anders pun berdiri. '
Kami telah melewati jembatan sekitar satu mil,
dan berada setengah jalan menuju batas selatan taman,
ketika seekor rubah melintas di depan kami.
Segalanya berlangsung begitu cepat. Aku melihat
gerakan melintas ke kiri yang muncul dari lapangan
tertutup salju. Aku hanya sempat memfokuskan pandangan ke sana, melihat bahwa benda tersebut rubah
yang besar kemerahan, mengilat, dan sehat. Ayam
mati tergantung di moncongnya dan ia melintas di
depan kami, menyeberangi jalan. Tubuhnya menegang,
menempel di tanah, seakan bisa menyelinap tanpa
kelihatan. Jacob menginjak rem terlalu keras dan
19 truknya selip, bagian belakangnya berputar ke kiri,
bumper depannya menyelip ke kanan, menancap ke
salju di tepi jalan dengan suara keras. Terdengar
bunyi kaca lampu depan pecah berhamburan; kemudian
truknya berhenti. Kami tErlontar ke depan, dan anjing
nya melayang masuk menembus plastik kaca belakang.
merobeknya, kakinya bergerak gerak panik. Sejenak
ia berada'di dalam mobilkurasakan bulunya, dingin
menempel di tengkukku kemudianllenyap, mundur
ke lubang yang dibuatnya, turun ke samping truk,
dan masuk ke hutan mengejar rubah tersebut.
Jacob yang pertama bicara. "Sial," katanya pelan.
"Sial, sial, sial."
Lou tertawa kecil mendengarnya dan membuka
pintu. Kami turun ke jalan. Hanya lampit depan yang
rusak, dan sejenak k_ami menatapnya, berdiri membentuk setengah lingkaran di depan truk.
Jacob mencoba memanggil anjingnya. "Mary Beth!"
teriaknya. Ia bersiul dengan suara yang menyakitkan
telinga
Kalau ada yang melihat kami berdiri di sana, ia
tidak akan mengenali kami sebagai saudara. Jacob
mirip Ayah, sementara aku mirip Ibu, dan perbedaannya dramatis. Rambutku cokelat, juga mataku, dengan
tubuh tinggi dan besar yang sedang-sedang saja.
Jacob beberapa senti lebih tinggi dariku, bermata
biru, dengan rambut berwarna pasir. Ia juga sangat
gendut, bagai tokoh gendut dalam kartun. Tangannya
besar, kakinya juga, dan giginya. Ia berkacamata
tebal, kulitnya pucat dan lunak.
Kami mendengar-anjingnya menyalak. Hewan ter
sebut semakin jauh.
20 "Mary Beth!" teriak Jacob.
PepohOnan di sini cukup lebat, tumbuh rapat satu
sama lain maple, ek, buckeye, sycamare tapi
semak semaknya relatif tipis. Kulihat jejak rubahnya
berliku liku di sekitar batang pohon, menghilang ke
dalam hutan. Jejak cakar Mary Beth sejajar dengannya, sedikit lebih gelap di salju, lebih lebar, dan
lebih bulat, seperti jejak tongkat hoki di bawah pepo
honan. Tanahnya rata sempurna.
Salakan hewan tersebut terdengar semakin samar.
Sisi seberang jalan merupakan lapangan yang halus
tertutup salju. Di sana juga ada jejak yang lurus
sempurna dari kaki langit menuju ke arah kami.
Rubah tersebut seakan telah berjalan sepanjang saluran
lapangan, tertutup dari pandangan akibat salju. Di
kejauhan, _sedikit ke arah timur, aku mengenali pertanian Dwight Pederson sederetan pepohonan, lumbung merah tua, dua lumbung benih, dan rumah dua
tingkat yang tampak kelabu dibandingkan dengan pemandangan bersalju, sekalipun aku tahu warna sebe
narnya biru cerah.
"Dia membawa ayam Pedersen," kataku.
"Mencurinya." Lou mengangguk. "Tengah hari
bolong."
Jacob bersiul memanggil Mary Beth. Beberapa
saat kemudian tampaknya anjing tersebut tidak lagi
menjauh. Salakannya tidak bertambah pelan maupun
bertambah keras. Kami mendengarkannya, memiring
kan kepala ke arah hutan. Aku kedinginan angin
dingin berembus melintasi jalan dari arah lapangan
dan ingin kembali ke dalam truk.
"Panggil dia lagi," kataku.
21 Jacob tidak mengacuhkanku. "Dia memojokkannya
ke pohon," katanya pada Lou.
Tangan Lou dibenamkan dalam saku jaketnya Jaket
tentara yang kelebihan, putih untuk kamuflase di
salju. "Kedengarannya," katanya.
"Kita harus ke sana dan menyeretnya keluar," kata
Jacob.
Lou mengangguk, mengeluarkan topi wol dari sakunya, dan mengenakannya.
"Panggil dia lagi," kataku, tapi Jacob kembali
tidak mengacuhkanku, jadi kucoba memanggilnya.
"Mary Beth!" teriakku. Suaraku terdengar sangat
pelan dalam udara dingin.
"Dia tidak akan datang," kata Lou.
Jacob kembali ke titik dan membuka pintu pengemudi. "Kau tidak mesti ikut, Hank," katanya. "Kau
boleh menunggu di sini kalau mau."
Aku tidak membawa topi, dan tidak mengenakan
bot aku tidak berencana berjalan menembus salju
tapi aku tahu Jacob dan Lou mengharapkan aku
menunggu seperti lelaki tua di truk. Dan aku tahu
mereka akan membuat lelucon tentang hal itu se
mentara berjalan di pepohonan dan mengejekku pada
saat mereka kembali. '
Jadi, sekalipun bertentangan dengan keinginanku,
aku berkata, "Tidak, aku ikut."
Jacob tengah membungkuk ke dalam truk, mengaduk aduk celah di belakang kursi. Ketika muncul ia
membawa senapan berburu. Ia mengeluarkan peluru
dari kotak karton kecil dan mengisikannya ke dalam
senapan. Kemudian ia meletakkan kotaknya kembali
ke balik kursi.
22 "Tidak ada alasan," katanya. "Kau akan kedinginan."
"Untuk apa senapannya " tanyaku. Dari sudut mata
ku kulihat Lou menyeringai.
Jacob mengangkat bahu. Ia menyandang senapan
di lengannya, menaikkan kerah jaketnya hingga me
nutupi telinga. Parka-nya merah cerah dan, seperti
semua pakaiannya, satu nomor kekecilan.
"Ini cagar alam," kataku. "Kau tidak bisa berburu
seenaknya di sini."
Jacob tersenyum. "Beginilah kompensasinya: ekor
mbah itu untuk lampu depanku." la melirik Lou.
"Aku cuma membawa satu peluru, seperti layaknya
pemburu kulit putih yang agung. Apa cukup adil "
"Sempuma," kata Lou, memperpanjang suku kata
kedua hingga kedengarannya bagai "purrrr."
Mereka tertawa. Jacob melangkah kikuk ke batas
salju di sisi jalan, mencari keseimbangan di sana
beberapa saat, seakan akan jatuh ke belakang, kemudian berhasil menyeimbangkan dirinya dan melangkah
masuk ke dalam hutan. Lou mengikuti tepat di bela
kangnya sambil terus cekikikan, meninggalkan aku
sendirian di jalan.
Sejenak aku ragu ragu, kebingungan antara desa
kenyamanan dan kebanggaan. Pada akhirnya kebanggaan dan pemikiran bahwa Lou mengejekkulah yang
menang. Dengan perasaan mirip kejijikan aku mendaki
tumpukan salju dan melangkah mengikuti mereka,
bergegas mengejar.
Salju di hutan sedalam tulang kering, dan banyak
benda tersembunyi di bawah permukaannya yang ha
23 lus batang pohon tumbang, bebatuan, patahan cabang, lubang, dan'tunggul yang membual perjalanan
lebih sulit dari dugaanku semula. Lou memimpin
jalan, lincah. menyelinap bagai tikus yang seakan
dikejar di sela pepohonan. Kuikuti jejaknya, dan
Jacob melangkah di belakang, cukup jauh. Wajahnya
berubah merah muda cerah, sedikit lebih cerah dari
pada jaketnya, saat ia berusaha membawa tubuhnya
yang besar menembus salju.
Salakan anjingnya terasa tidak bertambah dekat.
Kami terus berjalan seperti ini hingga lima belas menit berikutnya. Kemudian pepohonan tiba tiba menipis
dan tanah di depan kami mendadak menurun membentuk ceruk besar. Seakan akan jutaan tahun yang lalu
ada meteor raks'asa mendarat di sana, mengukir bekasnya
di tanah Garis garis cabang pepohonan yang paralel
dan mengerikan mengisi lubang tersebut pepohonan
apel, sisa sisa perkebunan Bernard Anders.
Lou dan aku berhenti di tepi ceruk menunggu
Jacob. Kami tidak berbicara; sama-sama kehabisan
napas. Jacob meneiiakkan sesuatu di sela pepohonan
kepada kami, kemudian tertawa, tapi tak satu pun
dari kami yang mengerti. Kuamati kebun untuk men
cari anjingnya dan mengikuti jejak cakarnya dengan
pandanganku. Jejak tersebut lenyap di kejauhan di
bawah pepohonan.
"Dia tak ada di sana," kataku.
Lou mendengarkan salak anjing'tersebut. Tampaknya
masih sangat jauh, "Benar," katanya menyetujui. "Dia
tidak ada di sana."
Kususuri kaki langit dengan pandanganku, mengamati perkebunan dan hutan di belakang kami. Satu
24 satunya yang bergerak sepanjang penglihatanku hanyalah Jacob yang berusaha keras melewati salju. Ia
masih kira-kira lima puluh meter jauhnya, dan maju
dengan sangat lambat. Jaketnya terbuka. Bahkan dari
jarak sejauh ini aku bisa mendengar dengusan
napasnya. Ia menggunakan senapannya sebagai
tongkat, menancapkan popornya ke salju dan menarik
dirinya maju dengan larasnya. Di belakangnya ia
meninggalkan jejak yang dalam dan kacau.
Ketika mencapai kami ia telah banjir keringat.
Kulitnya benar benar beruap. Lou dan aku berdiri
diam, mengawasinya berusaha meredakan napas.
"Demi Tuhan," katanya, sambil terengah engah,
"kuharap ada yang bawa minuman." la melepas kacamatanya dan mengusapkannya kc jaket. Pandangannya
menyipit ke tanah seakan setengah berharap seguci
air akan muncul begitu saja di salju.
Lou mengayunkan tangannya di udara bagai pesulap,
menjentikkan jemarinya di depan saku kanan jaketnya,
kemudian merogoh dan mengeluarkan sekaleng bir. Ia
mencabut tutupnya, menghirup busa yang keluar, dan
sambil tersenyum, menawarkannya pada J acob.
"Selalu berjaga jaga," katanya.
Jacob meneguknya dua kali, berhenti sejenak di
antaranya untuk menghela napas. Ketika selesai ia
mengembalikan kaleng itu pada Lou. Lou meneguknya
panjang dan lambat, kepalanya miring ke belakang,
jakunnya naik turun bagai piston. Kemudian ia mengulurkan kaleng itu kepadaku. Bir Budweiser; bisa
kucium aromanya yang manis.
Aku menggeleng sambil menggigil. Aku mulai berkeringat setelah menyusuri salju, dan sekarang setelah
25 berdiri diam, kulitku yang lembap terasa dingin. Otot
kakiku gemetar dan melonjak lnnjak.
"Ayolah," katanya. "Seteguk saja. Tidak akan membunuhmu."


Rencana Sederhana A Simple Plan Karya Scott Smith di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak, Lou. Aku tidak haus."
"Tentu saja," desaknya. "Kau berkeringat, bukan "
Aku mau menolak lagi, lebih tegas kali ini, ketika
Jacob menyela.
"Itu pesawat atau bukan " katanya.
Baik Lou maupun diriku memandang ke langit,
meneari cari gerakan di awan rendah, telinga kami
terfokus untuk menangkap dengung mesin, sebelum
menyadari bahwa Jacob menunjuk ke pepohonan.
Kami mengikuti jemarinya ke tengah ceruk. Di sana,
bersarang di tengah tengah barisan pepohonan apel
dan hampir tersembunyi seluruhnya oleh salju, terdapat
pesawat kecil bermesin tunggal.
Lou dan aku yang lebih dulu tiba di sana, berdampingan.
Pesawat tersebut tergeletak pada perutnya dengan
sempurna, seakan cruna mainan dan ada tangan raksasa meraihnya dari langit lalu meletakkannya di
sana, terselip nyaman di antara cabang cabang pepohonan. Kerusakannya sangat sedikit. Baling baling
nya terpuntir tanpa bentuk, sayap kirinya agak tertekuk
ke belakang merobek tubuhnya sedikit, tapi tanahnya
sendiri tidak berbekas. Tidak ada pohon yang tercabut,
tidak ada lubang hitam tak beraturan yang menandai
titik jatuhnya.
Leu dan aku mengelilingi reruntuhan tersebut, tak
seorangpun cukup dekat untuk menyentuhnya. Pesawat
26 tersebut sangat kecil, tidak lebih besar dari truk
Jacob dan tampak rapuh, seakan terlalu mungil untuk
dapat menanggung beban berat seseorang di udara.
Perlahan Jacob memasuki perkebunan. Salju di
sini lebih tebal dan ia seakan mengarungi salju dengan
lututnya Di kejauhan sesekali terdengar salakan Mary
Beth.
"Demi Tuhan," kata Lou. "Lihat burung burung
itu."
Mulanya aku tidak melihatnya burung burung ter
sebut begitu diam di pepohonan tapi tiba tiba, begitu
kulihat satu, semuanya seakan berloncatan menjauhiku.
Burung burung itu ada di mana mana, memenuhi seluruh perkebunan. Ratusan gagak hitam bertengger
tanpa bergerak di cabang-cabang pepohonan apel yang
gundul dan hitam.
Lou membentuk bola salju dan melontarkannya ke
mereka. Tiga ekor gagak terbang melayang setengah
lingkaran di atas pesawat dan mendarat dengan tenang
di pohon terdekat. Salah satu di antaranya berkaok
satu kali, dan suaranya menggema di sisi ceruk.
"Mengerikan," kata Lou sambil menggigil,
Jacob muncul, terengah engah. Jaketnya masih tetap
belum terkancing, ekor bajunya terjuntai. Ia membu
tuhkan beberapa detik untuk meredakan napas.
"Ada orang di dalamnya " tanyanya.
Tidak satu pun menjawab. Aku bahkan tidak memikirkannya, tapi tentu saja harus ada orang di dalamnya pilotnya, tewas. Kutatap pesawat dengan perasaan kurang enak. Lou melempar gerombolan gagak
dengan bola salju lainnya.
"Belum kauneriksa " tanya Jacob.
27 Ia menyerahkan senapannya ke Lou dan mendekati
pesawat. Ada pintu di sisinya, tepat di belakang
sayap yang rusak. Ia meraih pegangannya dan ber
usaha mendobraknya. Terdengar derikan keras, logam
bergeser dengan logam, dan pintunya membuka sekitar
sepuluh senti, kemudian berhenti. Jacob mendobrak
lagi, membebankan seluruh berat tubuhnya, dan mem
buka pintu empat senti lagi. Kemudian ia mencengkeram tepi pintu dengan kedua tangan dan menariknya
begitu keras hingga seluruh pesawat bergoyang maju
mundur, meruntuhkan salju yang menutupinya dan
menampilkan logam keperakan mengkilat di bawahnya
Tapi pintunya tidak bergerak sama sekali.
Terpengaruh keagresifannya, aku mendekati pesawat.
Kucoba mengintip ke balik kaca depan namun tidak
melihat apa pun. Kaeanya dipenuhi retakan dan lapisan
es beku.
Jacob tetap berusaha membuka pintu. Ketika berhenti napasnya terengah engah.
Lou berdiri agak jauh. Ia mirip penjaga, dengan
senapan Jacob tersandang di lengan. "Kurasa macet,"
katanya. Nadanya terdengar lega.
Jacob mengintip melalui celah yang drbuatnya,
kemudian menarik kepalanya. .
"Well " tanya Lou.
Jacob menggeleng. "Terlalu gelap. Salah satu dari
kalian harus masuk memeriksanya." Ia melepas kacamata dan menghapus wajah dengan tangannya.
"Hank yang paling kecil," kata Lou cepat cepat.
"Dia bisa menyelinap palingmudahf' Ia mengedipkan
mata pada Jacob, kemudian menyeringai kepadaku.
28 "Aku lebih kecil darimu "
Ia menepuk perutnya, ke tonjolan yang mulai menumpuk di sana. "Kau lebih kurus. Itu yang penting."
Aku memandang Jacob untuk mencari bantuan tapi
segera melihat itu sia sia. la tengah tersenyum, lesung
pipinya menusuk pipinya.
"Apa pendapatmu, Jacob " tanya Lou.
Jacob tertawa kecil, singkat. "Tak bisa kubayangkan
kau memasukinya, Lou," katanya serius. "Tidak de
ngan perut begitu." Mereka berdua menatapku serius.
"Kenapa aku harus masuk " tanyaku. "Apa guna
nya "
Lou menyeringai. Beberapa gagak terbang berganti
pepohonan. Seakan seluruh gerembolan tengah mengawasi kami.
"Kenapa tidak menjemput anjingmu saja," kataku,
"terus ke kota dan melaporkannya'f'
"Kau takut, Hank " tanya Lou. Ia memindahkan
senapan ke lengan satunya.
Kulihat diriku sendiri menyerah, jijik oleh lagaknya.
Kudengar suara dalam benakku menganalisis situasinya
dengan jelas mengatakan aku bersikap seperti remaja,
berbuat sesuatu tanpa tujuan, bahkan bodoh, sekadar
membuktikan keberanianku pada kedua orang yang tak
satu pun kuhormati ini. Suaranya terus terdengar,
mengajukan alasan rasional, dan kudengarkan. Kusetujui
semua yang dikatakannya, sambil berderap penuh ke
marahan mengitari pesawat ke pintunya yang terbuka.
Jac b mundur untuk memberiku ruang. Kujejalkan
kepalaku ke celah pintu, membiarkan mataku menye
suaikan diri dengan kegelapan. Di dalam bahkan
tampak lebih mungil lagi. Udaranya terasa hangat
29 dan juga lembap, seperti dalam rumah kaca. Itu
menimbulkan kengerian. Berkas cahaya tipis masuk
dari robekan di tubuh pesawat dan melintasi bagian
dalam pesawat yang gelap, bagai berkas senter yang
lemah, membentuk bulan sabit mungil di dinding
seberang. Bagian belakang pesawat tampaknya gelap
gulita, tapi terkesan kosong. Lantai logamnya yang
mulus makin ke belakang makin sempit. Tepat di
balik pintu terdapat ransel besar tergeletak di sisinya.
Aku bisa meraih dan menyeretnya keluar kalau mau.
Di depan kulihat dua kursi tampak kelabu disiram
cahaya yang tersaring lapisan es di kaca depan.
Salah satunya kosong, tapi di kursi lainnya terdapat
sesosok tubuh. Kepala pria tersebut menempel pada
panel kemudi.
Kukeluarkan kepalaku dari sana.
"Dari sini aku tidak bisa melihat pilotnya."
Jacob dan Lou menatapku. "Dia sudah tewas "
tanya Jacob.
Aku mengangkat bahu. "Salju belum turun sejak
Selasa, jadi kurasa dia sudah di sini paling tidak dua
hari."
"Kau tidak memeriksanya' " tanya Lou.
"Kita jemput anjingmu saja" kataku tidak sabar.
Aku tak ingin masuk pesawat. Mereka bodoh kalau
memaksaku.
"Kurasa seharusnya kita periksa." Lou menyeringai.
"Ayolah, Lou. Hentikan omong kosong ini. Dia
tidak mungkin hidup."
"Dua hari tidak begitu lama," kata Jacob. "Kudengar ada yang selamat sesudah kecelakaan seperti ini
lebih lama lagi."
30 "Terutama kalau cuaca dingin," kata Lou menyetujui. "Seperti menyimpan makanan dalam lemari es."
Kutunggu kedipan mata, tapi tidak muncul.
"Masuk dan periksa sajalah," kata Jacob. "Apa
susahnya "
Aku mengerutkan kening, merasa terjebak. Kepalaku
kembali masuk ke dalam pesawat untuk sedetik, kemu
dian mengeluarkannya kembali. "Bisa kausingkirkan
esnya dari kaca depan " tanyaku pada Jacob.
Ia mendesah panjang dan dramatis, lebih untuk
keuntungan Lou daripada diriku, tapi walaupun begitu
ia bergerak ke depan pesawat.
Aku mulai mendorong tubuhku memasuki pesawat,
memiringkan tubuhku dan menyelipkan kepala dan
bahu memasukinya. Ketika sampai di dada celah
tersebut tiba tiba terasa menyempit. menjepitku bagai
tangan. Kucoba untuk mundur, hanya untuk mendapati
kalau jaket dan bajuku terkait. Keduanya bergulung
di ketiak, menampilkan kulit di atas celanaku bagi
udara dingin.
Tubuh Jacob menggelapkan kaca depan, dan kudengar ia mulai menggosok kaca depan dengan sarung
tangannya. Kuawasi, mcnunggunya menjadi lebih terang, tapi tidak terjadi apa apa. Ia mulai memukulmukul benturan berat yang bergema di dalam tubuh
pesawat bagaikan detak jantung.
Aku mengembuskan napas sepanjang mungkin dan
menyuruk maju. Cengkeraman pintu berpindah dari
tulang dada ke sedikit di atas pusarku. Aku baru
akan mencobanya lagi, mengira satu dorongan akan
membebaskanku dan aku bisa masuk, memeriksa ma
yat pilot, dan keluar secepat mungkin. Lalu kulihat
31 sesuatu yang menarik. Pilotnya tampak bergerak. Ke
palanya yang rnenyandar di dasbor, tampak bergoyang
maju mundur sedikit.
"Hei," bisrkku. "Hei, Sobat. Kau tidak apa-apa "
Suaraku memantul pada dinding logam pesawat.
Jacob terus memukuli kaca depan. Bam. Burn.
Bum. "Hei," kataku lebih keras, menampar tubuh pesawat
dengan sarung tangan
Kudengar Lou mendekat di belakangku.
"Apa " tanyanya.
Tangan Jacob terus saja berbunyi bum. bum, bum.
Kepala pilotnya tidak bergerak, dan tiba tiba aku
tidak begitu yakin. Kucoba untuk maju. Jacob berhenti
memukul.
"Beritahu dia kalau esnya tidak bisa kusingkirkan,"
teriaknya.
"Dia terjepit," kata Lou gembira. "Lihat."
Kurasakan tangannya mencengkeramku tepat di atas
pinggang. Jemarinya menusuk nusuk, berusaha kasar
untuk menggelitik. Kutendang dengan kaki kanan tapi
mengenai udara, dan aku kehilangan tempat berpijak.
Cengkeraman pintu menahanku. Tawa Lou dan Jacob
memenuhi bagian dalam pesawat, teredam dan seakan
berasal dari tempat yang jauh.
"Kau saja," kata Lou pada Jacob.
Sekarang aku mendorong dan menarik, tak yakin
mau ke mana, sekadar berusaha membebaskan diri.
Kakiku menggali salju di luar, berat tubuhku meng
guncang pesawat, ketika sekilas ada gerakan di depan.
Mulanya aku tidak bisa memastikan. Terkesan se
akan kepala pilotnya disentakkan ke samping. Kemu
32 dian sesuatu meledak ke atas, naik dan menghantam
sisi dalam kaca depan dengan panik. Perlahan kusadari
itu bukan menghantam, tapi terbang. Benda tersebut
burung, gagak hitam besar, seperti yang bertengger di
pepohonan apel di luar.
Burung tersebut meninggalkan kaca depan dan ber
tengger di bagian belakang kursi pilot. Kuawasi kepalanya menyentak maju mundur, Dengan hati-hati,
tanpa bersuara, aku berusaha mundur dari pintu. Tapi
kemudian burung tersebut terbang lagi; memukul kaca
depan sekali lagi, memantul, dan terbang lurus ke
arahku. Aku membeku melihatnya, terpaku menatap
kedatangannya, dan hanya pada saat terakhir. tepat
sebelum burung tersebut menghantamku, kutarik ke
palaku ke samping.
Hewan tersebut menghantam keras tengah dahiku
dengan sesuatu yang terasa sepern' paruhnya. Kudengar
jeritanku sendiri pendek, tajam, melolong mundur,
kemudian maju. Entah bagaimana aku berhasil membebaskan diri dan jatuh ke dalam. Aku mendaratdi
ransel dan tidak berusaha bangkit. Burung tersebut
kembali ke depan, menabrak kaca depan, lalu terbang
kembali ke pintu yang sekarang terbuka. Tapi burung
itu kemudian berbelok ke kanan sebelutn mencapainya,
melesat melewati lubang kecil yang tidak rata pada
tubuh pesawat tersebut. Burung tersebut bertengger
sejenak di sana, kemudian menyelinap keluar bagai
tikus dan menghilang.
Kudengar tawa Lou. "Bukan main," katanya. "Burung. Kaulihat, Jake "
Kusentuh dahiku. Terasa panas dan sarung tangan
ku berlumuran darah. Kusingkirkan ranselnya, yang
33 terasa keras dan berbentuk agak persegi seakan penuh
buku, dan duduk di lantai pesawat. Cahaya persegi
menerangi kakiku dari celah pintu.
Jacob menyelipkan kepalanya, tubuhnya menghalangi cahaya.
"Kaulihat burungnya " tanyanya. Bisa kulihat ia
tersenyum, sekalipun sulit untuk mengenali wajahnya.
"Aku dipatuk." ,
"Kau dipatuk " Ia tampak tidak percaya. Ia menunggu sejenak, kemudian menarik kepalanya. "Burung
itu mematuknya," katanya pada Lou. Lou tertawa
keeil.
Jacob kembali menghalangi pintu. "Kau tidak apaapa "
Aku tidak menjawab, marah terhadap mereka ber


Rencana Sederhana A Simple Plan Karya Scott Smith di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dua, merasa semua ini takan terjadi seandainya mereka
tidak memaksaku masuk. Aku merangkak ke bagian
depan pesawat.
Samar samar kudengar suara Lou. "Menurutmu burung membawa rabies, tidak "
Jacob tidak menjawab.
Pilotnya mengenakan jins dan kemeja flanel. Ia
berusia sekitar dua puluhan, kurus keeil. Aku muncul
dari belakangnya dan menepuk bahunya._
"Anda masih hidup " bisikku.
Lengannya terjuntai di sisinya, ujung .Jemarinya
hampir menyapu lantai. Tangannya membengkak, terlalu besar, bagai sarung tangan ditiup. Jemarinya
sedikit tertekuk ke dalam. Lengan bajunya tergulung,
bisa kulihat rambut di lengannya, hitam pekat di
kulitnya yang pucat pasi. Kuoengkeram bahunya dan
menariknya menjauhi dasbor. Kepalanya tersentak ke
34 kursi, dan aku tersentak memandangnya, berdiri dan
menghantamkan kepala ke langit langit pesawat yang
terbuat dari logam tersebut
Matanya telah dimakan burung. Lubangnya yang
hitam menatapku, kepalanya sedikit bergulir ke kanan.
Daging di sekitar matanya tercabik habis. Bisa kulihat
tulang pipinya, putih dalam cahaya suram, pucat dan
sedikit transparan seperti plastik.
Aku melangkah mundur, berjuang agar tidak muntah. Sekalipun begitu, anehnya, aku merasa ditarik
maju. Rasanya mirip penasaran, tapi lebih kuat: kurasakan keinginan tak masuk akal untuk melepas sarung
tangan dan menyentuh wajah pria tersebut. Tarikan
yang kuat dan tidak normal dan aku tidak bisa
menyebutkan namanya tapi kulawan. Aku melangkah
mundur sekali lagi, kemudian lagi, dan pada saat
melangkah keempat kalinya, perasaan tersebut lenyap,
digantikan oleh rasa mual. Wajah pilot itu menatapku
saat aku melangkah mundur ke pintu. Dari jauh
ekspresinya seakan memohon, begitu berduka, seperti
ekspresi raccaon.
"Apa apaan kau " tanya Jacob. Ia masih tetap di
pintu.
Aku tidak menjawab. Jantungku berdetak keras
sekali di dahiku. Aku tersandung ransel, berbalik dan
menendangnya ke pintu mendahuluiku. Beratnya
mengejutkanku, seakan penuh kotoran dan memicu
perasaan mualku lagi.
"Ada apa " tanya Jacob. Aku terhuyung ke arahnya,
mendorong ransel di lantai. Ia melangkah mundur.
Ketika tiba di pintu, kutempelkan bahuku ke sana
dan berhasil membukanya tujuh senti lagi. Jacob dan
35 Lou mengawasiku, ekspresi mereka penasaran, antara
gembira dan prihatin. Cuaca tampaknya lebih cerah
dari sebelumnya, tapi sebenarnya hanya pandanganku
saja. Ransel kudorong melewati pintu, kemudian me
nyusulnya keluar.
"Kau berdarah, Hank," kata Jacob. Ia mengangkat
tangan ke dahinya sendiri, berpaling memandang Lou.
"Burung itu benar benar mematuknya."
Lou memeriksa dahiku. Kurasakan darah mengalir
ke alis mata kiriku; terasa dingin di kulit.
"Burung itu memakan matanya," kataku.
Jacob dan Lou menatapku dengan pandangan
kosong.
"Burung itu bertengger di pangkuan pilot dan memakan habis matanya."
Jacob meringis. Lou menatapku dengan pandangan
skeptis.
"Tengkoraknya kelihatan," kataku. "Terlihat jelas."
Aku berjongkok, meraih segenggam salju, dan menem
pelkannya ke dahi; rasanya menggigit.
Embusan angin sedikit menguat. dan pepohonan apel
di perkebunan bet'goyaug goyang mengikuti, suaranya
berderak derak. Gagak gagak di cabangnya sesekali
terpaksa mengangkat sayap untuk menjaga keseimbangan. Cuaca semakin gelap dan udara semakin dingin.
Kusingkirkan salju duri dahiku. Darah mengubahnya
menjadi cokelat muda Kulepaskan sarung tangan dan
menyentuh luka dengan jari. Rasa dingin akibat salju,
dan lunak. Bengkak mulai timbul, seakan ada kelereng
atau telur mungil ditanamkan di balik kulitku.
"Cuma bengkak sedikit," kata Jacob. Senapannya
tersandang di bahu kiri, jaketnya terkancing rapat.
36 Lou berjongkok di samping ransel. Ransel tersebut
diikat rapat dengan tali karet yang disimpulkan eraterat, dan ia harus melepas sarung tangan sebelum bisa
mengurainya. Jacob dan aku mengawasinya. Setelah
berhasil mengurai talinya ia membuka tas tersebut.
Saat memandang isinya, ekspresinya bembah hebat.
Ada sedikit tanda tanda kebingungan. Matanya terbe
lalak seakan berusaha untuk lebih memfokuskan pandangannya, alis matanya terangkat sedikit. Tapi semuanya dengan cepat digantikan semangat dan kegembiraan. Wajahnya memerah, bibirnya tertarik membentuk
senyum yang menampilkan gigi amburadulnya. Melihat sikapnya membuatku ingin mengetahui isi tak
tersebut.
"Ya Tuhan,." katanya Ia memasukkan tangannya
dan dengan ragu ragu menyentuh apa pun isinya,
mengelus elusnya, seakan isinya hidup dan ia khawatir
kalau itu menggigit
"Apa " tanya Jacob. Dengan susah payah ia mendekati Lou.
Dengan perasaan tenggelam karena teringat berat
tas tersebut. kuputuskan isinya pasti mayat, atau
sebagian dari mayat. '
"Isinya uang," kata Lou tersenyum ke Jacob. "Lihat."
Jacob membungkuk dan menyipitkan mata memandangnya, mulutnya ternganga. Aku juga melihatnya.
Ransel tersebut penuh berisi uang, terikat rapi dengan
pita kertas.
"Lembaran ratusan dolar," kataLou. Ia mengambil
seikat, memegangnya di depan wajahnya.
"Jangan sentuh," kataku sambil beranjak bangkit.
"Kau meninggalkan sidik jari."
37 Ia melirikku jengkel tapi mengembalikan uang ter
sebut ke dalam tas, kemudian dikenakannya sarung
tangannya kembali.
"Menurutmu berapa isinya " tanya Jacob. Mereka
berdua memandangku, mengandalkan pengetahuanku
sebagai akuntan.
"Sepuluh ribu per ikat," kataku. Kukira kira tas
tersebut dengan pandanganku, mencoba menebznc berapa ikat yang muat dalam tas tersebut. 'Mungkin
mendekati tiga juta dolar." Aku mengatakannya tanpa
benar-benar memikirkannya. Kemudian'sewaktu kupikirkan kembali tampaknya tidak masuk akal. Aku
tidak mempercayainya.
Leu mengambil ikatan lainnya, kali ini dengan
sarung tangan di tempatnya.
"Jangan menyentuhnya, Lou," kataku.
"Aku pakai sarung tangan."
"Polisi akan berusaha mengambil sidik jari darinya.
Kau menghapus sidik jari yang ada."
Ia mengerutkan kening tapi menjatuhkan uang tersebut ke dalam tas.
"Asli " tanya Jacob.
"Tentu saja asli " kata Lou. "Jangan bodoh. "
Jacob mengacuhkannya. "Kaupikir ini uang obat
bius " tanyanya padaku.
Aku mengangkat bahu. "Ini dari bank.'" Aku memberi isyarat ke tas. "Begitulah cara mereka menata
uang. Lembaran ratusan diikat menjadi satu."
' Mary Beth muncul tiba tiba dari seberang per
kebunan, melangkah susah payah menembus salju
mendekati pesawat. Ia tampak lesu, seakan kami
telah mengecewakannya karena tidak turut berburu
38 rubah bersamanya. Kami semua mengawasinya mendekat, tapi tak seorang pun mengomentari kedatangannya. Salah satu gagak berkaok kepadanya, menjeritkan
peringatan, dan burung tersebut mengambang sejenak.
tajam dan jelas di udara kering seperti not di balok
nya. "Ini sinting," kataku. "Orang ini pasti sudah merampok'bank."
Jacob menggeleng tidak percaya. "Tiga juta dolar."
Mary Bethpindah ke depan pesawat, menggoyanggoyangkan ekornya. Ia menatap kami dengan pandang
an sedih dan kelelahan. Jacob berjongkok dan mene
puk nepuk kepala anjing itu tanpa benar benar me
nyadarinya.
"Kurasa kau mau menyerahkan uang ini ke polisi,"
kata Lou.
Aku memandangnya shock. Hingga saat itu aku
sama sekali tidak menyadari bahwa kami mempunyai
pilihan lain. "Kau mau menyimpannya "
Ia memandang Jacob untuk mencari dukungan,
kemudian kembali memandangku. "Kenapa tidak
masing masing mengambil seikat Masing-masing se
puluh ribu dolar, lalu menyerahkan sisanya "
"Untuk permulaan, itu mencuri."
Lou mendengus pendek. "Mencuri dari siapa Dia "
Ia melambai ke pesawat. "Dia tidak keberatan."
"Uang ini banyak," kataku. "Pasti ada yang tahu
kalau hilang, dan mereka akan mencarinya. Kujarnin."
"Maksudmu kau akan menyerahkan aku kalau ku
ambil seikat " Ia mengambil seikat dari dalam tas
dan mengulurkannya padaku.
"Tidak perlu. Siapa pun yang mencarinya tahu
39 berapa banyak yang hilang. Kalau kita menyerahkannya kurang sedikit dan kau mulai membagi-bagikan
lembaran seratus dolar ke sekeliling kota, mereka
tidak membutuhkan waktu lama untuk menebak."
Lou melambai mengacuhkannya. "Aku bersedia menanggung risiko," katanya sambil tersenyum padaku
dan kemudian berpindah ke Jacob. Jacob balas tersenyum. '
Aku mengemtkan kening memandang mereka. "Iangan bodoh, Leu."
Lou tetap saja menyeringai. Ia menyelipkan seikat
ke sakunya, kemudian mengambil ikatan kedua dan
mengulurkannya ke Jacob. Jacob menerimanya tapi
tampaknya tidak tahu harus diapakan. Ia tetap ber
jongkok, senapan di satu tangan yang bersarung,
uangnya di tangan yang lain' memandang penuh harap
padaku. Mary Beth bergulingan di salju dekat kakinya.
"Kurasa kau tidak akan menyerahkan diriku," kata
Lo'u. "Dan aku tahu kau tidak akan menyerahkan
kakakmu."
"Bawa aku ke telepon, Lou. kau akan tahu."
"Kau menyerahkan diriku " tanyanya.
Kucoba untuk menjenlikkan jari, tapi dengan samng
tangan terpasang tidak ada suara yang terdengar.
"Seperti itu."
"Tapi kenapa Aku kan tidak 'merugikan siapa
pun."
Jacob masih tetap berjongkok dengan uang di tangan
nya. "Kembalikan, Jacob," kataku. Ia tidak bergerak.
"Untukmu beda," kata Lou. "Kau punya pekerjaan
di toko makanan. Jacob dan aku menganggur. Uang
ini penting bagi kami."
40 Suaranya hampir mirip rintihan, dan mendengarnya,
aku merasakan kilasan kekuatan perasaan tidak per
caya. Kusadari kedinamisan hubungan kami telah
berpindah. Sekarang akulah yang berkuasa; akulah
perusak suasana yang akan menentukan nasib uang
tersebut. Aku tersenyum pada Leu.
"Aku tetap saja terlibat kesulitan kalau kau mengambilnya. Kau akan mengacau, dan aku akan dianggap
kaki tangan."
Jacob beranjak bangkit, kemudian kembali ber
jongkok. "Kenapa tidak mengambil semuanya saja "
tanyanya memandang Lou, kemudian berpaling padaku.
"Semuanya " kataku. Gagasan tersebut kedengaran
gila-gilaan, dan aku mulai tertawa, tapi dahiku sakit
akibatnya. Aku mengemyit, meraba lukaku. Darah
masih mengalir sedikit.
"Ambil saja tasnya," katanya, "tinggalkan mayatnya
di sini, pura-pura tidak pernah kemari."
Eou mengangguk bersemangat, melahap gagasan
tersebut. "Kita bagi tiga."
"Kita langsung tertangkap begitu mulai membelanjakannya," kataku. "Bayangkan, kita bertiga mendadak
menyebarkan lembaran ratusan dolar di toko-toko di
seluruh kota."
Jacob menggeleng. "Kita bisa menunggu sebentar,
kemudian pergi dari sini dan memulai hidup baru."
"Sejuta seorang," kata Leu. "Pikirkan."
"Kau tidak bisa lolos begitu saja." Aku mendesah.
"Kalian akan berbuat bodoh, dan tertangkap."
"Kau tidak mengerti, Hank " tanya Jacob, suaranya
meninggi tidak sabar. "Uang ini bahkan tidak pemah
ada. Tidak ada yang tahu kecuali kita."
41 "Ini tiga juta dolar. Jacob. Hilang dari suatu tempat.
Jangan katakan tidak ada yang mencarinya."
"Kalau ada yang mencarinya, kita pasti sudah
mendengar. Pasti diberitakan di media massa."
"Ini uang obat bius," kata Lou. "Semuanya di
bawah tangan. Pemerintah tidak tahu sama sekali."
"Kau tidak "
"Demi Tuhan, Hank," potong Lou. "Semua uang
ini ada di depan matamu. Ini impian orang Amerika,
dan kau mau meninggalkannya begitu saja."
"Kau harus bekerja untuk mencapai impian orang
Amerika, Leu. Bukan mencurinya."
"Kalau begitu ini bahkan lebih baik daripada impian
orang Amerika."
"Kau mau menyerahkannya dengan alasan apa "
tanya Jacob. "Tidak ada yang dirugikan kalau kita
mengambilnya. Tidak akan ada yang tahu."
"Itu mencuri, Jacob. Apa belum cukup "
"Bukan mencuri," katanya tegas. "Ini seperti harta
yang hilang, seperti peti penuh emas."
Ucapannya masuk akal, bisa kulihat. tapi pada
saat yang sama rasanya ada yang terlewatkan. Mary
Beth merintih di salju, dan Jacob, tanpa mengalihkan
pandangan dariku mulai menepuk nepuknya. Gagak
gagak bertengger membisu di pepohonan di sekeliling
kami, bahu membungkuk menahan dingin, seperti mini
atur burung bangkai. Kegelapan dengan cepat menyelimuti kami.
"Ayolah, Hank," kata Lou. "Jangan merusak suasana."


Rencana Sederhana A Simple Plan Karya Scott Smith di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku masih tetap membisu ragu ragu, bimbang.
Sama seperti kegembiraanku karena berkuasa atas
42 Lou dan Jacob, aku tak ingin melakukan sesuatu
yang akan kusesali kelak kalau itu hanya untuk'
menentang mereka. Tanpa benar benar menyadarinya,
bahkan tidak bermaksud begitu, aku mulai memikirkan
cara untuk memiliki kantong tersebut. Dan jalan keluar
yang begitu saja'terpikir olehku suatu rencana sederhana, bagaimana cara menyimpan uang tersebut
tanpa takut tertangkap rasanya juga mirip sihir, bagaikan hadiah dari dewa. Aku bisa saja menyimpannya,
menyembunyikannya sampai pesawatnya ditemukan.
Kalau ada yang menemukan pesawat dan sama sekali
tidak menyinggung tiga juta dolar yang hilang,-kubagi
dengan Lou dan Jacob dan kami bisa menempuh
jalan kami masing-masing. Tapi di sisi lain. seandainya
ada yang tahu tentang uang tersebut aku akan membakarnya. Ransel dan uang tersebut satu-satunya bukti
yang memberatkan diriku. Hingga saat bagian Lou
dan Jacob kuberikan, aku sepenuhnya memegang ken
dali. Aku bisa menghapus kejahatanku dalam sekejap.
Kalau mengingatnya sekarang, setelah semua yang
telah terjadi, jalan yang kutempuh waktu itu terasa gila
dan sedikit menakutkan. Aku membutuhkan mungkin
dua puluh detik, sepertiga menit untuk berdebat sendiri.
Sejenak aku sepenuhnya berkuasa, bukan saja tentang
nasib uang tersebut tapi juga nasibku. Jacob, dan Lou.
Walaupun begitu aku benar benar menyadarinya diriku
tidak merasakan beban dalam keputusan yang kuambil.
Aku tidak bisa merasakan kalau, dalam beberapa detik,
aku akan memicu serangkaian peristiwa yang secara
drastis mengubah nasib kami masing masing. Dalam
ketidakacuhanku, pilihanku tampaknya lurus, tidak ber
belit-belit: kalau ransel tersebut kuserahkan sekarang,
43 jelas merupakan tindakan yang tidak bisa diputar
balik kuserahkan ke sheriff, dan lenyap untuk selama
lamanya. Di sisi lain rencanaku memberi kesempatan
menunda pengambilan keputusan sampai kami mem
peroleh informasi lebih lanjut. Aku yang akan bertindak,
tapi bukan tindakan yang tidak dapat batalkan.
"Baik," kataku. "Kembalikan tiangnya."
Tak satu pun bergerak.
"Kita simpan " tanya Lou.
"Aku yang menyimpannya."
"Kau yang menyimpannya " kata Jacob. "Apa mak
sudmu, kau yang menyimpannya "
"Ini tindakan kita. Kusimpan uang ini selama enam
bulan. Kalau tidak ada yang mencarinya selama itu,
kita bagi."
Jacob dan Lou menatapku, berusaha memahami.
"Kenapa kau yang menyimpannya " tanya Lou.
"Aku yang paling aman. Aku punya keluarga,
pekerjaan. Aku menanggung risiko terbesar."
"Kenapa tidak membaginya sekarang " tanyanya.
"Masing masing menyimpan bagiannya sendiri "
Aku menggeleng. "Kita lakukan dengan caraku.
Kalau kalian tidak suka, kita bisa menyerahkannya
sekarang. Itu pilihan yang kutawarkan."
"Kau tidak mempercayai kami " tanya Jacob.
"Tidak," kataku. "Kurasa tidak."
Ia mengangguk tanpa berkomentar.
"Mereka akan menemukan pesawatnya sebelum
enam bulan," kata Lou. "Musim semi akan tiba dan
pasti ada yang menemukannya."
"Kalau begitu kita pastikan apakah ada yang
mengetahui keberadaan uang ini."
44 "Dan kalau ada " tanya Jacob.
"Kubakar uangnya. Satu satunya kesempatan kita
bisa memilikinya hanya kalau tidak ada kemungkinan
tertangkap. Begitu rasanya kita akan terlibat masalah,
kusingkirkan uangnya."
"Kau membakamya," kata Lou jengkel.
"Benar. Sampai lembar terakhir."
Tak satu pun dari mereka berdua berkomentar.
Kami semua menatap ransel tersebut.
"Kita tidak boleh bercerita pada siapa pun," kataku.
Aku memandang Lou. "Bahkan Nancy." Nancy adalah
kekasih Lou yang tinggal serumah dengannya. Ia
bekerja di salon kecantikan di Sylvania.
"Pada akhirnya dia akan tahu," katanya. "Dia
pasti penasaran dari mana semua uang itu."
"Dia beleh tahu kalau sudah pasti aman untuk
menyimpannya. Tidak lebih cepat sedikit pun."
"Kalau begitu Sarah juga tidak boleh tahu," kata
nya. Aku mengangguk, seakan hal tersebut tidak perlu
dikatakan lagi. "Kita tetap hidup seperti biasa. Aku
cuma meminta kalian menahan diri selama enam
bulan. Aku masih akan ada menunggu kalian. Kalian
tahu."
Mereka berdua membisu, berpikir. .
"Bagaimana " tanyaku. Pertama kupandang Lou,
kemudian Jacob. Lou cemberut memandangku seakan
marah. Ia tidak mengatakan apa pun. Jacob meng
angkat bahu, sejenak ragu-ragu, kemudian mengangguk. Ia mengembalikan uang di tangannya ke dalam
tas. "Lou " kataku.
45 Lou tidak bergerak. Jacob dan aku menatapnya,
menunggu. Akhirnya, sambil meringis, seakan menya
kitkan baginya untuk berbuat begitu, ia mencabut
uang dari sakunya, menatapnya sejenak, dan kemudian
dengan sangat perlahan menyelipkannya ke dalam
tas. "Kita hitung sebelum kaubawa," katanya. suaranya
pelan mirip geraman.
Aku tersenyum padanya, bahkan menyeringai. Rasanya lucu kalau ia tidak mempercayaiku.
"Baik," kataku. "Itu mungkin gagasan yang bagus."
46 CUACA sudah gelap sekarang, jadi kami memutuskan
untuk kembali ke truk dan menghitung uangnya di
sana. Dalam perjalanan kembali ke jalan, Jacob dan
Lou membicarakan rencana mereka terhadap kekayaan
yang baru saja ditemukan tersebut. Jacob menginginkan mobil salju, TV layar lebar, perahu memancing
besar yang akan diberinya nama Hana Tersembunyi.
Lou bermaksud menginvestasikan setengah bagiannya
di bursa saham dan menghabiskan sisanya untuk
mmah pantai di Florida yang ada deknya, bak mandi
air panas, dan bar minuman. Aku hanya mendengarkan, selalu ingin memperingatkan mereka untuk tidak
menyusun rencana, karena mungkin tidak bisa memi
likinya, tapi untuk alasan tertentu aku tetap membisu.
Lou dan aku membawa ransel tersebut, berjalan
menyamping, masing masing memegang salah satu
ujungnya. Tas tersebut memperlambat kami hingga
Jacob bisa mengikuti. Jacob terus berbicara sepanjang
perjalanan, mengoceh seperti anak kecil. Kau bisa
merasakan semangamya begitu nyata; ia menebarkannya bagai aroma.
Suhu turun drastis begitu matahari terbenam, mem
47 bekukan permukaan salju yang kami hancurkan setiap
kali melangkah, hingga licin. Cahaya di bawah pepohonan sangat sedikit. Cabang cabang bagai meneijang
kami sepanjang perjalanan, muncul tiba tiba dari kegelapan ke depan wajah kami, memaksa kami mem
bungkuk dan berkelit hampir setiap langkah. Kami
bagai trio petinju.
Tiga puluh menit kemudian kami tiba di jalan.
Jacob menyimpan senapannya di balik kursi depan
dan mencari cari senter, sementara Lou dan aku me
nuangkan uangnya ke pintu bak belakang. Kurasa
kami berdua agak terpaku melihat jumlah ikatan uang
yang berhamburan dari tas, terpesona melihat begitu
banyak harta, dan mungkin karena itu kami tidak
segera menyadari kedatangan truk Shen) " hingga sangat
dekat. Mungkin kalau kami melihatnya lebih cepat,
kalau kami mengenali sorotan lampu depannya di
batas kaki langit, dua sorotan cahaya kekuningan
yang perlahan mendekati kami, aku akan bertindak
lain. Aku punya cukup banyak waktu untuk berpikir,
untuk mempertimbangkan pilihannya dengan lebih berhati hati, sehingga ketika kukenali lampu di atapnya
mungkin akan kuputuskan untuk menceritakan tentang
pesawat tersebut kepada Sheriff Jenkins. Aku mungkin
akan menunjukkan uangnya, menjelaskan kalau kami
baru saja akan menghubunginya lewat CB. Dengan
berbuat begitu aku akan mengakhiri semuanya pada
saat itu juga di sana, menyerahkannya kepada Sheriff,
membeberkannya sebelum uang tersebut membelit dan
mencelakakan kami.
Tapi apa yang terjadi bukanlah begitu: truk tersebut
kurang dari dua ratus meter jauhnya ketika kami
48 menyadari kehadirannya. Mulanya kami mendengar
mesinnya dan derakan bannya terhadap jalan beku.
Lou dan aku saling pandang. Setengah detik kemudian
Jacob menarik kepalanya dari balik kursi.
"Sialan," katanya. *
Tanpa berpikir dan bertindak sepenuhnya berdasar
kan naluri seperti hewan menguburkan persediaan
makanannya, kututup pintu bak belakang. Uangnya
berhamburan ke bak belakang, ikatannya menimbulkan
bunyi benturan lembut di atas lantai logam. Kami
telah membuang ranselnya ke tanah setelah mengo
songkannya. dan aku sekarang membungkuk untuk
mengambilnya. Kubentangkan di atas tumpukan uang,
menutupinya sebisaku.
"Temani Jacob," bisikku pada Lou. "Biar aku
yang bicara."
Lou bergegas menyingkir, sambil menunduk. Kemu
dian Sherinr tiba, remnya berdeeit saat ia berhenti di
sisi seberang jalan. Ia menyandar maju di kursinya
untuk menurunkan jendela. dan aku maju menyapanya.
Secara teknis Carl Jenkins bukanlah sherijf sekalipun semua orang memanggilnya begitu. Sherivzjr ja
batan provinsi, dan Carl bekerja untuk kota. Ia satu
satunya polisi di Ashenville, jabatan yang didudukinya
selama hampir empat puluh tahun. Orang orang me
manggilnya Shen) " hanya karena tidak mengetahui
panggilan penghormatan lain yang pantas baginya.
"Hank Mitchell!" katanya saat kudekati, tersenyum
lebar, seakan ia sengaja bermobil jauh-jauh dengan
harapan bertemu denganku. Aku tidak begitu akrab
dengannya; kami tidak lebih dari kenalan yang sekadar
mengangguk, tapi aku selalu merasa kalau ia benar
49 benar senang bertemu denganku. Kurasa ia membuat
semua orang merasa begitu, bahkan orang asing. Ia
punya bakat untuk itu, sikap kebapakan yang membuat
pertahanan bobol, senyuman yang mengejutkanmu.
Ia pendek, lebih pendek dariku. Wajahnya bulat
sempurna, dengan dahi mengilat dan mulut kecil ber
bibir tipis. Ia terkesan rapi dan anggun, seragam
khaki nya selalu terSetrika sempurna, kukunya ter
potong pendek, uban tebalnya tersisir rapi dan dibelah
dengan hati hati. Ia sering tersenyum dan selalu me
mancarkan aroma yang bersih segar, campuran manis
antara bedak talk dan semir sepatu.
Aku berhenti beberapa langkah dari truknya.
"Masalah mesin " tanyanya.
"Bukan," kataku. "Masalah anjing." Aku merasa
sangat tenang. Uangnya hampir tidak kupikirkan. Bisa
kutebak bahwa ia tidak bermaksud turun dari truknya,
jadi aku tahu kalau kami tidak akan terlibat masalah.
Kuceritakan tentang rubahnya.
"Dia memojokkannya " tanya Carl.
"Kami kira begitu, tapi kami masuk tidak sampai
seratus meter waktu dia muncul lagi."
Carl mengamatiku melalui batas kaca jendelanya
yang setengah terangkat, wajahnya tampak khawatir.
"Kenapa kepalamu " '
Kusentuh memar tersebut, kemudian melambai ke
arah hutan. "Terbentur cabang," kataku. Hal pertama
yang terlintas dalam benakku.
Ia terus menatapku selama sekitar sedetik lagi,
kemudian melirik Jacob dan Lou. Mereka tadi melambai padanya sewaktu ia berhenti, tapi sekarang
mereka telah berada dalam truk Jacob. Wajah mereka
50 dekat sekali, hampir bersentuhan, dan mereka tengah
berbicara dengan sikap mencurigakan. Lou tengah
berbicara, membeli isyarat penuh semangat dengan
tangannya, dan Jacob mengangguk angguk. Mary Beth
duduk di pangkuan Jacob, menatap kami dari balik
jendela. _
"Mereka minum-minum tadi " tanya Carl dengan
suara pelan.
"Belum," kataku. "Jacob dan aku dari pemakaman."
"Pemakaman "
Aku mengangguk. "Ziarah ke makam orangtuaku.
Ini harinya kami berziarah."
"Malam Tahun Baru " Wajahnya bertambah cerah.
Ia tampaknya menikmati gagasan tersebut.
"Aku cuti," kataku.
Carl meraih ke depan dan menjentikkan sakelar di
dasbor, memindahkan pemanas mobil ke high. Terdengar gemeresik yang hangat dari dalam mobil.
"Jacob masih menganggur " tanyanya.
"Masih mencari," kataku, berbohong, merasakan
semburan malu sebagaimana biasa kualami bila sta
tus pengangguran kakakku dibicarakan.
"Lou sudah bekerja "
"Tidak. Kurasa belum."
Carl menggeleng sedih, menatap mereka. "Memalu
kan. bukan Dua pria dewasa, dua-duanya ingin be
kerja. Negara ini" Ia tidak menyelesaikannya, tampaknya tenggelam dalam lamunan.
"Well," kataku, "mungkin sebaiknya kami "


Rencana Sederhana A Simple Plan Karya Scott Smith di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lou dulu melatih bisbol," kata Carl memotongku.
"Di perkemahan anak-anak lelaki di Michigan. Dulu
dia pemain bisbol yang hebat. Kau tahu "
*51 "Tidak," kataku. "Belum pernah kudengar."
"Kau tidak akan bisa menebaknya kalau melihat
dia sekarang. Tapi dulu..."
Truk Jacob berderik saat ia membuka pintu. Carl
terdiam, dan kami berdua mengawasi kakakku men
desak keluar ke jalan dan mendekati kami.
"Halo, Jacob," kata Carl. "Kukira kau berusaha
menghindariku."
Jacob tersenyum malu malu, ekspresinya kalau men
dekati sosok berkuasa. Begitu melihatnya, aku teringat
masa'kanak-kanak kami. Begitulah penampilannya
kalau dipanggil guru di sekolah. '
_"Aku cuma kedinginan," katanya. "Aku mau meng
hangatkan diri di truk sebentar."
"Kata Hank kalian berdua berziarah ke makam
orangtuamu hari ini."
Jacob memandangku sekilas, kemudian mengangguk
ragu ragu kepada Carl.
"Bagus," kata Carl, "l)enar benar bagus. Kuharap
anak anakku kelak juga berbuat begitu kalau aku
sudah meninggal."
"Ayah memaksa kami," kata Jacob. "Ada dalam
surat wasiatnya."
Carl tampaknya tidak mendengar. "Aku ingat ayah
kalian," katanya, tapi kemudian tampaknya mempertimbangkannya lagi, seakan akan tidak yakin kalau
benar ayah kamilah yang diingatnya dan bukannya
almarhum penduduk asli Ashenville lainnya. Ia meng
geleng. "Orang baik," katanya. "Orang yang sangat
baik."
Baik Jacob maupun aku tidak mampu bereaksi
mendengarnya. Sejenak kebisuan timbul, yang diakhiri
52 Jacob dengan berkata, "Kauceritakan tentang pesawatnya "
Aku memandangnya, shock. Ia menyeringai lebar,
pipinya yang gemuk berkerut oleh lesung pipi, bibirnya
tertarik ke belakang menampilkan giginya. Ia memandangku sekilas, dan selama sedetik, aku khawatir
kalau ia bahkan mengedipkan mata.
"Ada apa ini " tanya Carl. Pandangannya berpindah
dari Jacob kepadaku.
"Hank dan aku sedang bermobil melewati tempat
ini hari Selasa, tepat melewati jalan ini, dan rasanya
kami mendengar ada pesawat jatuh."
"Pesawat "
Jacob mengangguk. "Waktu itu salju turun cukup
tebal, dan kami tidak yakin, tapi kedengarannya seperti
pesawat yang mengalami kerusakan mesin."
Carl menatapnya, alis mata terangkat, menunggu.
Kugoba mengatakan sesuatu untuk mengalihkan pem
bicaraan, tapi tidak bisa. Aku hanya berdiri membisu,
dengan marah berharap agar Jacob menutup mulutnya.
"Apa tidak ada laporan pesawat hilang " tanyanya.
"Tidak," kata Carl lambat, mengulurnya, seakan mau
menunjukkan bahwa ia tengah berpikir sementara berbicara, menganggap serius apa yang baru saja disame
paikan Jacob padanya. "Aku tidak menerima laporan
seperti itu." Ia kembali memandangku sekilas. "Kalian
cuma mendengar mesin Tidak mendengarnya jatuh "
Kupaksa diriku untuk mengangguk.
"Kalau begitu bisa berarti apa saja. Sepeda motor,
mobil salju, gergaji mesin." Ia melambai ke tenggara.
"Mungkin Dwight Pedersen sedang mengerjakan se
suatu."
53 Kami semua berpaling memandang rumah Pedersen.
Lampu ruangan lantai dasar menyala, tapi lumbung
dan bangunan lainnya gelap gulita. _
"Kalau kau mendengar kabar," kata Jacob, sambil
masih tersenyum bagai badut, "tolong beritahu kami.
Bisa kami tunjukkan di mana mendengamya."
"Aku yakin sudah dilaporkan sekarang," kata Carl.
"Pesawat tidak begitu saja jatuh dari langit tanpa ada
yang merasa kehilangan."
Kupandang arlojiku, berusaha menghentikan percakapan ini sebelum Jacob sempat berbicara lebih jauh.
"Kau mungkin sudah mau pulang, Carl. Ini sudah
pukul lima lebih."
Ia menggeleng, mendesah. "Aku lembur malam ini,
Tahun Baru dan segalanya. Pasti ada pemabuk bermobil yang berkeliaran." Ia memandang Jacob. "Aku
yakin kau tidak termasuk di antaranya."
Senyum Jacob lenyap. "Tidak. Jangan khawatir."
Carl menatapnya sedetik, seakan berharap Jacob
akan berbicara lebih banyak. Kemudian ia berpaling
memandangku. "Bagaimana kabar Sarah Pasti sudah
waktunya1 kalau tidak salah. "
"Akhir Januari," kataku. Usia kandungan anak pertama istriku telah mencapai bulan kedelapan.
"Sampaikan selamat tahun baru dariku," kata Carl.
Ia menaikkan kaca jendelanya. "Dan beritahu Lou lain
kali tidak perlu malu malu begitu. Aku tidak menggigit."
Carl melaju pergi saat kami naik ke truk. Ia melaju
ke barat, menjauhi Ashenville.
"Kita terus saja sebentar, Jacob," kataku. "Jangan
mengikuti dia. Kembali ke kota."
54 Jacob menghidupkan main. Ia membutuhkan waktu
beberapa saat untuk memutar mobil di jalan sempit
tersebut.
"Pelan pelan saja," kataku. Aku khawatir beberapa
ikat uang di belakang akan terlontar keluar kalau
kami terlalu cepat.
Tak seorang pun berbicara sementara kami melaju.
Kemudian saat menyeberangi jembatan di Sungai
Anders, aku berkata, "Gagasan siapa tadi Menanyainya tentang pesawat " Aku menyandar maju agar
bisa melihat mereka berdua. Lou duduk di tengah
dengan Mary Beth di pangkuannya, yang memeluk
tuannya erat erat. Tak satu pun menjawab.
"Apa itu gagasanmu, Lou " Aku bermaksud me
nanyai mereka dengan tenang, agar secara rasional
bisa menunjukkan betapa berbahaya perbuatan mereka
tadi. 'Iapi suaraku mengkhianatiku, tersembur penuh
kemarahan. '
Lou mengangkat bahu. "Kami memikirkannya ber
sama."
"Kenapa " tanyaku. ,
"Supaya kita tahu kalau ada yang mencari pesawat
itu," kata Jacob. Suaranya terdengar bangga, seakan
telah berhasil mengalahkanku. "Dan bukan cuma itu,
sekarang kalau memang ada yang mencarinya, Carl
akan menghubungi kita lebih dulu. Dengan begitu
kita tidak akan terkejut."
"'Kalian sudah memutuskan untuk mencuri tiga juta
dolar dan tindakan pertama kalian adalah menginterogasi
sheriJijengenainya. Apa kedengarannya tidak bodoh "
"Kita tahu tidak ada yang mencarinya," kata Jacob.
"Kita tidak akan pernah tahu kalau tidak bertanya."
55 "Itu bodoh, Jacob. Kalau mereka menemukan pesa
watnya sekarang dan menyadari uangnya hilang, dia
akan langsung tahu siapa yang mengambilnya."
"Tapi justru di situ hebatnya. Tidak mungkin kita
memberitahunya jika kitalah yang mengambil uang
itu."
"Berjanjilah kalian tidak akan berbuat begini lagi."
Ia tersenyum padaku. "Kau mengerti betapa licinnya
ini' Dengan menanyainya tentang pesawat itu kita
menjadi sepihak dengannya."
"Itu mengandung risiko," kataku. "Itu bodoh."
"Tapi cukup layak. Kita tahu_ "
"Ini bukan permainan, Jacob. Kita sudah melakukan
kejahatan. Kita bisa dipenjara karena perbuatan kita
malam ini."
"Ayolah, Hank," kata Lou. "Tidak ada yang akan
memenjarakan kita untuk ini. Kita tidak punya catatan,
kita bukan kriminal. Siapa pun pasti berbuat sama
seperti kita."
"Maksudmu kita tidak melakukan kejahatan "
"Maksudku mereka tidak akan memenjarakan kita
karena ini. Bahkan kalau tertangkap, kita cuma akan
mendapat hukuman percobaan."
"Terutama kalau kita belum menghabiskan uangnya," kata Jacob. "Kupikir "
"Persetan dengan pikiranmu." Suaraku meninggi
menjadi ledakan. "Kalau kurasa kalian terlalu berani
mengambil risiko, kubakar uangnya." Kupandang
Jacob, kemudian Lou. "Mengerti "
Tak satu pun berbicara.
"Aku tidak akan dipenjara karena kebodohan yang
kalian, idiot, lakukan."
56 Mereka berdua menatapku, shock akibat kemarahanku. Mary Beth merintih dalam pelukan Lou. Aku
memandang ke luar jendela. Kami berada di Jalan
Burnt, menuju selatan, dikelilingi padang.
Aku menghela napas panjang, berusaha menenang
kan diri. "Aku cuma mau kalian berhati-hati," kataku.
"Kami akan berhati-hati, Hank," kata Jacob cepat
cepat. "Tentu saja kami akan berhati-hati."
Lou tidak mengatakan apa apa, tapi bisa kurasakan
ia tengah menyeringai pada Jacob, sekalipun aku
tengah memandang ke luar jendela.
"Berhenti," kataku. "Kita hitung uangnya di sini."
Jacob menghentikan mobil di tepi jalan, dan udara
dingin menyambut saat-kami keluar. Kami berada
sekitar lima kilometer di sebelah barat kota. Padang
tertutup salju membatasi kedua sisi jalan, dan tidak
terlihat adanya rumah, tidak ada cahaya apa pun.
Kalau ada mobil yang mendekat dari kedua arah,
kami bisa melihatnya hampir satu kilometer sebelum
mobil tersebut mencapai kami.
Jacob dan Lou menghitung uangnya; aku berdiri di
belakang mereka sambil memegang senter. Mary Beth
tetap di dalam mobil, tertidur di kursi. Mereka meng
atur ikatan uang tersebut dalam tumpukan; setiap
tumpuk berisi sepuluh ikatan. Rasanya lama sekali
untuk menghitungnya. Kubagi perhatianku antara tumpukan uang dan horison di sekeliling kami, waspada
terhadap cahaya yang mendekat.
Malam sangat sunyi. Angin berdesis menyeberangi
padang kosong; salju sesekali berderak saat menimpa
tepi jalan; dan di atas semua itu, lembut tapi mantap,
57 terdengar suara bagai kartu dibagikan di kasino, suara
Jacob dan Lou menumpuk ikatan uang.
Ketika selesai, terdapat 44 tumpuk uang berjajar
sepanjang tutup bak belakang truk. Jumlahnya 4,4
juta dolar.
Kami membutuhkan waktu sejenak untuk menerima
kenyataan ini. Kami berdiri terpaku menatap uang
tersebut. Lou kembali menghitung, menyentuh ikatan
teratas dengan telunjuk.
"Berapa bagian kita masing masing " bisik Jacob.
Aku harus berpikir sedetik. "Hampir satu setengah
juta."
Kami terus menatap uang tersebut, terpesona.
"Simpan," kataku akhirnya, menggigil kedinginan.
Kuserahkan ransel ke Jacob dan mengawasinya meng
gembung saat Jacob perlahan mengisinya kembali.
Setelah seluruh uang tersimpan, tas tersebut kubawa
ke dalam mobil.
Lou tinggal di barat laut Ashenville, berlawanan arah
dengan rumahku, dan kami ke sana lebih dulu. Udara
terasa semakin dingin; lapisan es mulai terbentuk di
tepi kaca depan. Jendela belakang yang robek berkibar-kibar ditiup angin terus mengirimkan udara di
ngin ke dalam truk. Setelah masuk dalam truk Mary
Beth duduk di belakang, tepat di belakang leher
kami, sehingga bisa kudengar embusan napasnya di
telingaku. Ransel berisi uang berada di lantai, di sela
kakiku. Bagian atasnya kupegangi.
Pada saat kami tiba. di rumah Lou, jam 'telah
menunjukkan pukul 18.45.
Mobil Nancy ada di halaman, dan lampu di dalam
58 rumah menyala Rumah tersebut adalah rumah pertanian besar yang telah reyoL kuno; salah satu peninggalan yang masih tersisa di daerah ini. Lou dan
Nancy menyewanya dari Sonny Major, yang kakeknya
dulu memiliki semua ladang di sekeliling rumah dan
menanam jagung dan kubis. Ia salah satu orang
terpandang daerah ini pada masa sebelum depresi.
Segalanya menurun sejak itu. Ayah Sonny menjual
hampir seluruh tanah selama bertahun-tahun, kecuali
dua baris sempit di sisi jalan. Rumah pertanian tersebut didirikan pada salah satu tanah ini. Tanah yang
lain, sekitar satu kilometer ke selatan, ditempati trailer
mungil yang sudah karatan. Sonny tinggal sendirian
dalam trailer tersebut, sendirian, dekat rumah tempat
ia dibesarkan. Ia mengaku tukang kayu tapi bertahan
hidup terutama dari uang sewa Lou dan Nancy.
Jacob menghentikan mobil di jalur masuk, membiarkan mesinnya tetap hidup. Lou membuka pintu dan
turun, ragu ragu sejenak sebelum menutupnya.
"Kupikir sebaiknya kita masing-masing mengambil
seikat sekarang," katanya. "Sekadar untuk merayakan
nya." Ia tersenyum padaku.
Aku bergeser ke pintu, sambil menyeret ransel di
sela kaki. Mary Beth menerobos jendela, bulunya
terasa segar dan dingin. Ia menggoyang goyangkan
diri dan duduk di kursi, menyandar ke Jacob. Jacob
memeluk anjing tersebut.
"Lupakan uangnya, Lou," kataku.
Ia menghapus hidung dengan tangannya. "Maksud
mu " '
"'Tidak ada apa pun yang akan mengubah hidupmu
selama enam bulan mendatang," kataku.
59 Jacob menepuk sisi badan Mary Beth, terdengar


Rencana Sederhana A Simple Plan Karya Scott Smith di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keras. Rumah Lou dikelilingi pepohonan. dengan batang besar kelabu yang menjorok ke langit malam.
Pepohonan tersebut sedikit terayun-ayun diembus
angin, cabang cabangnya beradu: Di jalan, trailer
Sonny gelap gulita. Ia tidak di rumah.
"Aku cuma minta ," kata Lou, tapi aku meng
geleng, menghentikannya.
"Kau tidak mendengarku, Lou. Yang kumaksud
jangan minta."
Aku menyuruk maju dan menarik pintu hingga
tertutup. Ia menatapku sejenak' melalui jendela, kemu
dian bertukar pandang sekilas dengan Jacob sebelum
berbalik dan melangkah menyusuri jalur masuk ke
rumahnya.
Perjalanan dari rumah Lpu ke rumahku memakan
waktu empat puluh menit. Sebagian besar di antaranya,
kami. Jacob dan aku, tempuh dengan berdiam diri,
tenggelam dalam pikiran masing-masing. Kuingat kem
bali percakapanku dengan Carl. Aku membohonginya
dengan mudah, wajar, dan aku terkejut karenanya.
Aku tak pernah berhasil berbohong sebelumnya. Bahkan di masa kanak-kanak aku tidak bisa berbohong.
Aku tidak percaya diri untuk melakukannya ketenangan yang diperlukan dan selalu berakhir entah de
ngan menghindar atau mengaku. Sekalipun begitu,
sepanjang ingatanku tidak kutemukan kelemahan dalam
percakapanku dengan Carl. Tidak ada lubang dalam
ceritaku. Memang benar Jacob telah menerobos, me
nanyakan tentang pesawatnya, tapi sekarang kusadari
apa yang dikatakannya tidaklah berisiko sebesar yang
60 terlihat mula mula. Mungkin, seperti pengakuannya,
bahkan sedikit membantu.
Aku hampir tidak memikirkan uangnya. Aku belum
mengizinkan diriku menganggapnya milik pribadiku.
Jumlahnya terlalu besar untuk kuanggap sebagai milik
pribadi; rasanya abstrak, sekadar angka, tidak lebih.
Aku merasa seperti berada di tepi pelanggaran hukum,
benar perasaan tenang, sombong, yang tumbuh se
iring dengan ketakutan akan tertangkap tapi perasaan
tersebut lebih berakar sebagai akibat kebohongan
yang kukatakan pada Carl daripada pemahaman akan
seriusnya pencurian yang kami lakukan.
Jacob mengeluarkan permen batangan dari laci
dasbor dan mengunyahnyasambil mengemudi. Mary
Beth duduk tegak di sebelahnya mengawasi makan.
Telinganya berdiri tegak. Kami sekarang berada di
Highway 17, meluncur ke pinggiran Delphia. Pepohonan berdiri tegak di sepanjang sisi jalan, rumahrumah mulai menggerombol dalam .kelompok-ke
lompok. Lalu lintas perlahan bertambah padat. Aku
hampir tiba di mmah.
Tiba tiba pemikiran tersebut melintas dalam benakku, menyentakkan kepanikan. Kalau kami tertangkap,
pasti karena Lou.
"Lou akan cerita pada Nancy, bukan " kataku
pada Jacob.
"Kau akan cerita pada Sarah " tanyanya.
"Aku setuju untuk tidak cerita."
Jacob mengangkat bahu, menggigit pennennya. "Lou
setuju untuk tidak cerita pada Nancy."
Aku mengerutkan kening, jengkel. Aku tahu aku
akan bercerita pada Sarah tentang uangnya begitu
61 tiba di rumah tidak bisa kubayangkan menyembunyi
kan hal ini darinya dan pengetahuan ini seakan
mengkonfirmasikan kekhawatiranku terhadap Lou. Ia
akan bercerita pada Nancy dan salah satu dari mereka
akan merusak segalanya.
Kubet'ulkan posisi spion tengah untuk melihat dahi
ku. Jacob menghidupkan lampu. Ketika kusentuh,
memarnya terasa halus dan keras seperti kelereng.
Kulit diatasnya mengilat dan tegang, sementara sekitarnya berubah keunguan. Warnanya kehitaman yang
jelek saat darah mengumpul dalam jaringan yang
rusak. Kujilat ibu jari sarung tanganku dan sesaat
berusaha membersihkan lukanya.
"Menurutmu dari mana burung itu tahu ada mayat
di dalamnya " tanya Jacob.
"Seperti burung bangkai. Mereka tahu begitu saja."
"Tapi burung bangkai melihatmu. Mereka melihatmu
merangkak di padang pasir. Dari situ mereka tahu
kau sekarat, kau akan merayap atau berbaring di
sana. Burung itu tidak bisa melihat ke dalam pesawat."
"Mungkin mencium baunya."
"Barang beku tidak berbau."
"Pokoknya mereka tahu, Jacob," kataku.
Ia mengangguk angguk, kepalanya bergerak singkat
tiga kali. "Benar," katanya. "Itulah maksudku." Ia
menggigit permennya lagi, kemudian menyuapkan
gigitan terakhir ke Mary Beth. Anjing tersebut tam
paknya menelan tanpa mengunyah.
'Ketika kami berhenti di jalur masuk rumahku, aku
tetap duduk di tempatku selama beberapa detik se
belum turun, menatap ke luar kaca depan. Lampu
depan rumah menyala, menerangi pepohonan di ha
62 laman yang cabang cabangnya berkilau akibat lapisan
es. Trrai kamar duduk tergerai dan asap membubung
dari cerobong.
"Kau dan Lou keluar nanti malam " tanyaku. "Me
rayakan Tahun Baru "
Di dalam truk dingin. Bisa kulihat napas kami di
udara, bahkan napas Mary Beth. Langit di luar berawan, tak berbintang.
"Rasanya."
"Nancy juga "
"Kalau dia mau."
"Minum-minum "
"Hank. Kau tidak perlu sekeras itu terhadap Lou.
Kau bisa mempercayainya, Dia juga menginginkan
uang itu seperti dirimu mungkjn malah lebih. Dia
tidak akan membuat kacau."
"Aku tidak mengatakan bahwa aku tidak memperca
yainya. Aku cuma mengatakan dia ceroboh dan pemabuk."
"Oh. Hank
"Tidak, dengarkan aku baik baik." Kutunggu hingga
ia berpaling kepadaku. "Kuminta kau mengawasinya."
Ia memeluk anjingnya. "Apa maksudmu, mengawasi' "
"Maksudku, kalau dia membuat kacau, itu salahmu.
Kau yang kutuduh."
Jacob berpaling memandang ke luar. Semua jendela
rumah tetanggaku terang benderang. Orang-orang tengah menghabiskan makan malamnya, mandi, ber
dandan, sibuk mempersiapkan perayaan Tahun Baru.
"Siapa yang mengawasiku' "
"Aku. Aku yang akan mengawasi kita berdua."
63 Aku tersenyum padanya. "Aku akan menjadi penjaga
saudaraku."
Kedengarannya seperti lelucon, tapi aku cuma se
tengah serius. Waktu kecil Dad selalu memberitahu
kami untuk saling memperhatikan, dan tidak mungkin
bergantung pada orang lain. "Keluarga," begitu kata
nya dulu, "itulah yang selalu menjadi akhir segalanya:
ikatan darah." Tapi Jacob dan aku tak pernah bisa
melaksanakannya; bahkan sebagai kanak kanak kami
selalu saling mengecewakan. Karena berat tubuhnya
ia selalu diejek tanpa belas kasihan di sekolah dan
selalu terlibat perkelahian. Aku tahu seharusnya aku
membantu, membela, tapi aku tak pernah bisa melakukannya. Aku kurus dan terlalu kecil untuk anak
seusiaku, serta lemah. Aku hanya berdiri bersama
yang lainnya, dalam lingkaran kecil di sekeliling
kakakku dan pengejeknya, menonton dalam kebisuan,
sementara ia dianiaya. Peristiwa tersebut menjadi
patokan hubungan yang terus kami ulangi seiring
dengan pertambahan usia: Jacob akan selalu gagal
dan aku merasa tak berdaya dan malu serta tidak
berharga hanya mengamati saja.
Kupegang kepala Mary Beth dan dengan pelan
meninju bahu Jacob, lalu merasa bodoh berbuat begitu;
usaha kikuk yang dipaksakan untuk mengakrabkan
diri. "Aku yang akan mengawasimu," kataku, "dan
kau mengawasiku."
Jacob tidak bereaksi. Ia hanya mengawasiku membuka
pintu, menarik ransel tersebut dari truk, dan berusaha
dengan susah payah memanggulnya. Kemudian saat
aku dengan hati-hati melangkah menembus salju ke
rumah, ia mundur dari jalur masuk dan melaju pergi.
64 *** Aku masuk diam diam, meletakkan tas dalam lemari
ruang depan, di lantai dekat dinding belakang. Kutebarkan jaketku di atasnya.
Pintu masuk berupa dua pintu geser; yang kanan
menuju ke ruang makan, yang kiri menuju ruang
duduk. Keduanya tertutup sekarang. Pintu ke ruang
makan jarang dibuka; kecuali saat yang jarang terjadi mendapat tamu, kami selalu makan di dapur.
Kamar duduk, di sisi lain, selalu ditutup kalau perapian menyala.
Lurus ke depan, pintu masuk dibagi menjadi tangga
di sebelah kiri dan lorong sempit panjang.di kanan.
Tangga menuju lantai dua, lorong menuju dapur di
bagian belakang rumah. Keduanya gelap.
Kugeser pintu ke kamar duduk. Sarah ada di sana,
membaca di kursi dekat perapian. Saat aku masuk ia
menengadah. Sarah adalah wanita jangkung bertulang
kecil. Rambutnya pirang gelap sebahu dan matanya
cokelat besar. Ia mengenakan lipstik merah cerah,
dan rambutnya diikat dengan ikat rambut. Keduanya
lipstik dan ikat rambut membuatnya tampak lebih
muda dan lebih rapuh daripada yang sebenarnya. Ia
mengenakan jubah mandi berupa kain putih lebar
dengan inisialnya terbordir dengan benang biru di
atas jantung, dan lipatannya menyamarkan kegendutan
perumya, membuatnya seakan tengah memangku ban
tal.,Di sampingnya, di meja, terletak mangkuk sereal
setengah kosong.
Ia melihatku memandang mangkuk. "Aku lapar,"
katanya. "Tidak yakin jam berapa kau pulang."
65 Aku mendekat dan mencium keningnya, tapi tepat
ketika aku membungkuk ia menjerit, "Oh!" lalu meraih
tanganku, dan meletakkannya di pemt di balik jubahnya. Ia tersenyum seperti setengah bermimpi. "Terasa " tanyanya.
Aku mengangguk. Bayinya menendang. Terasa se
perti detak jantung yang kacau, dua dorongan mantap
dan kemudian sekali lagi lebih lembut. Aku benci
kalau ia memaksaku berbuat begitu. Membuatku merasa tidak enak, tahu kalau ada kehidupan dalam
dirinya, memakan sebagian makanannya, seperti parasit. Kutarik tanganku, memaksa tersenyum.
"Kau mau makan " tanyanya. "Bisa kudadarkan
telur." Ia melambai ke sudut belakang kamar, tempat
pintu terbuka menuju dapur.
"Aku tidak lapar."
Aku duduk di kursi di hadapannya, berusaha memutuskan cara terbaik untuk menceritakan tentang uangnya.
Ketika aku tengah berusaha tiba-tiba kusadari ada
kemungkinan ia tidak menyetujui, mungkin bahkan berusaha agar aku mengembalikannya. Gagasan ini menggangguku. Untuk pertama kali kusadari bahwa aku sangat menginginkan uang ini. Tadi saat bersama Jacob
dan Lou akulah yang selalu mengancam untuk melepaskan uang itu. dan hal ini membantu menimbulkan
ilusi bahwa aku tidak tertarik pada uang tersebut, bahwa akan menyimpannya, tapi hanya bila persyaratan
berat tertentu dipenuhi lebih dulu. Sekarang, setelah dihadapkan dengan kemungkinan akan dipaksa menye
rahkannya, kusadari betapa palsunya kondisi tadi. Ku
sadari bahwa aku menginginkan uang tersebut, dan
akan melakukan hampir segalanya untuk memilikinya.
66 Sarah duduk di tempatnya, buku di pangkuannya.
Ia memegang perutnya, melamun. Perlahan ia kembali
ke dunia nyata.
"Well " tanyanya. "Bagaimana acaranya "
"Baik," kataku. Aku masih terus berpikir.
"Kau menghabiskan seluruh waktumu di pemakam
an "
Aku tidak menjawabnya. Suasana kamar cukup gelap, kecuali perapian dan lampu kecil di meja di sebelah
kursinya. Di dekat gantungan mantel terdapat grandfa
rher clock miniatur dan karpet kulit beruang di lantai di
depan perapian, keduanya hadiah pernikahan dari
orangtuaku. Karpetnya palsu, beruang dongeng dengan
mata kelereng dan gigi plastik putih yang sempurna. Di
dinding seberang terdapat cermin seukuran jendela de
ngan bingkai kayu. Permukaannya memantulkan seisi
kamar padaku hingga aku bisa melihat diriku di dalarn
nya bersama Sarah dan perapian.
Sarah menyuruk ke arahku di kursinya. "Kenapa
dahimu "
Kusentuh memarku. "Terbentur."
"Terbentur Terbentur apa "
"Sarah," kataku. "Aku mau menceritakan situasi
hipotesis, oke Seperti permainan."
Ia menelungkupkan bukunya di meja di sebelahnya
dan mengambil mangkuk sereal. "Baik."
"Ini menyangkut moral," kataku.
Ia menyuap sereal sesendok penuh, kemudian menghapus mulut dengan punggung tangan, meninggalkan
bekas lipstik di sana.
"Misalnya saja kau sedang berjalan jalan dan me
nemukan tas berisi uang."
67 "Berapa banyak "
Aku pura pura berpikir. "Empat juta dolar."
Ia mengangguk.
"Kau akan menyimpannya atau menyerahkannya "
"Itu uang milik seseorang"
"Tentu saja."
"Jadi kalau menyimpannya termasuk mencuri "
Aku mengangkat bahu. Arah pembicaraan telah
melenceng dari keinginanku.
Ia hampir tidak memikirkannya. "Kuserahkan,"
katanya.
"Kauserahkan "
"Tentu saja. Untuk apa empat juta dolar bagiku
Kau bisa membayangkan aku membawa uang sebanyak itu " Ia tertawa, menghirup sesendok sereal
dengan suara keras.
"Tapi coba bayangkan apa saja yang bisa kaulakukan dengan empat juta dolar. Kau bisa memulai
hidup baru." '


Rencana Sederhana A Simple Plan Karya Scott Smith di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Itu mencuri, Hank. Pada akhirnya aku pasti tertangkap."
"Bagaimana kalau kau yakin tidak akan tertang
kap "
"Bagaimana aku bisa seyakin itu "
"Mungkin kau tahu tidak ada yang mencarinya."
"Tapi bagaimana caranya menjelaskan pembahan
gaya hidupku Pakaianku yang bagus, perjalananku
ke Kepulauan Karibia, perhiasanku, baju buluku
Orang-orang akan bertanya tanya."
"Kau pindah. Pergi ke tempat tidak ada yang
mengenalmu." '
Ia menggeleng. "Aku akan selalu khawatir tertang
68 .kap. Aku tidak akan tidur nyenyak lagi." Ia menatap
kuku jarinya. Kuku-kuku tersebut dicat merah, sama
seperti jaket Jacob. Ia menyapu lipstik di tangannya
"Tidak. Akan kuserahkan."
Aku tidak berkata apa apa. Sarah mengangkat
mangkuk serealnya ke mulut dan menghirup susunya.
Ia rnengawasiku dari tepi mangkuk.
"Kau mengambilnya " tanyanya, wajahnya setengah
tersembunyi di balik mangkuk.
Aku mengangkat bahu, kemudian membungkuk dan
melepas tali sepatu. _
Ia meletakkan mangkuk serealnya. "Bagiku tampaknya 'uang itu cuma akan menimbulkan masalah
besar."
"Misalnya saja kau menyingkirkan kemungkinan
tertangkap." Aku melakukan gerakan memotong de
ngan tangan. "Sama sekali tidak ada kemungkinan
kau tertangkap."
Ia mengerutkan kening. "Uang siapa itu "
"Apa maksudmu Itu uangmu."
"Tapi aku mencurinya dari siapa "
"Pengedar obat bius. Perampok bank."
"Kalau dari perampok bank, itu pasti uang milik
bank."
"Baik, kalau begrtu pengedar obat bius."
"Oh, Hank," kata Sarah. "Kau cuma mau aku
mengatakan akan menyimpannya."
'Tapi apa tidak mungkin kau berbuat begitu "
"Aku yakin dalam situasi tertentu aku akan memikirkannya dua kali sebelum menyerahkannya."
Aku tidak mengetahui hanis bilang apa. Semuanya
tidak seperti harapanku.
69 Ia memandangku sekilas. "Kenapa kau menanyakan
hal ini " '
Tiba-tiba kuputuskan bahwa aku telah melakukan
kesalahan. Secara hipotesis kusadari aku juga tidak
akan mengambil uang tersebut. Aku beranjak bangkit
dan melangkah ke ruang depan.
"Mau ke mana " panggilnya.
Aku melambai singkat. "Tunggu."
Aku menuju ke lemari dan mengambil tasnya, lalu
menyeretnya kembali ke kamar duduk. Sarah meletakkan buku yang telah dibukanya tersebut di pang
kuannya, tapi segera menutupnya begitu melihat aku
menyeret tas.
"Apa "
Ransel itu kubuka tepat di depannya, mengurai
simpulnya, dan, dengan gaya dramatis, mengosongkan
isinya di kakinya. .
Uang jatuh dalam tumpukan besar, seikat meluncur
sepanjang karpet kulit beruang.
Ia menatapnya. shock. Bukunya diletakkan di meja.
Mulutnya temganga, tapi tidak mengatakan apa apa.
Aku berdiri di depannya, membawa tas kosong.
"Ini asli," kataku. "
Ia terus saja menatapnya, tampak kesakitan seakan
baru dipukul dadanya.
"Tidak apa apa," kataku. Aku membungkuk, seakan
mau memasukkannya kembali, tapi cuma menyentuh
nya. Lembaran uang tersebut terasa dingin di ujung
jariku, kertasnya lunak dan usang, mirip kain. Uang
tersebut tua, tepi tepinya mulai hancur dan aku memikirkan semua tangan yang pernah memegangnya
sebelum tanganku sendiri jutaan orang berbeda, ke
70 luar masuk'dompet dan tas tangan dan lemari besi,
sebelum berakhir di sini, tertumpuk di lantai kamar
dudukku.
"Kau mengambilnya dari toko makanan " tanyanya.
"Tidak. Aku menemukannya."
"Tapi ini uang orang. Mereka pasti mencarinya."
Aku menggeleng. "Tidak ada yang mencari."
Tampaknya ia tidak mendengarku. "Itu empat juta
dolar "
"Empat koma empat"
"Kau dan Jacob menemukannya"
Aku mengangguk dan ia mengerutkan kening.
"Di mana "
Kuceritakan tentang rubah dan Mary Beth, tentang
perjalanan memasuki taman dan penemuan pesawat.
Sewaktu kuceritakan tentang burung ia menyipitkan
mata memandang dahiku, ekspresi kesakitan dan sim
pati terpancar di wajahnya, tapi ia tidak mengatakan
apa apa.
Setelah selesai kami duduk dalam kebisuan. Ku
ambil seikat dan mengulurkan kepadanya. Aku mau
ia menyentuhnya, mencoba bagaimana rasanya, bata
uang kecil, tapi ia tidak mau menerimanya.
"Kau mau menyimpannya, bukan " tanyanya.
Aku mengangkat bahu. "Kurasa begitu. Maksudku,
kenapa tidak " '
Ia tidak berkata apa apa. Ia meletakkan tangan di
perut dan menunduk menatap tumpukan uang, ekspresi
yang mengatakan perhatiannya teralih terpancar di
wajahnya. Bayinya menendang lagi.
"Kalau kita simpan," kataku, "kita tidak perlu
khawatir dengan uang lagi."
71 "Sekarang pun kita tidak khawatir, Hank. Kau
punya pekerjaan yang baik. Kita tidak membutuhkan
ini."
Aku menatap api, memikirkan kata katanya. Api
tersebut menyumt, kuburannya melemah. Aku beranjak
bangkit dan menambahkan kayu.
Tentu saja ia benar: kami tidak bisa mengaku
sebagaimana yang mungkin dilakukan Jacob dan Leu,
dan juga nrangtuaku kalau mereka hidup cukup lama
untuk bergabung dalam situasi ini sekarangvhahwa
kami membutuhkan uang tersebut. Kehidupan kami
tidak begitu parah. Kehidupan kami sebagai kelas
menengah cukup mantap; bila kami khawatir akan
masa depan, itu bukannya bagaimana kami bisa makan
atau membayar tagihan atau menyekolahkan anak
kami. tapi bagaimana kami bisa menabung untuk
membeli rumah yang lebih besar, mobil yang lebih
baik, peralatan rumah tangga yang lebih canggih.
Tapi karena kami tidak membutuhkannya bukan berarti
kami tidak menginginkannya dan tidak bisa melihatnya
sebagai jalan keluar, serta berusaha memilikinya.
Aku kuliah untuk menjadi pengacara. hanya untuk
menyerah ketika tidak lulus. Sekarang aku bekerja
sebagai akuntan tokn makanan di kota kelahiranku,
kota yang sepanjang masa kanak-kanak telah bersumpah akan kutinggalkan. Aku berhasil memperoleh kurang dari yang kurencanakun di masa muda dan
kemudian meyakinkan diri bahwa apa yang kupemleh
telah mencukupi. Tapi schcnarnya tidak; sekarang
kusadari hal tersebut. Ada batas batas dalarn kehidupan Sarah dan aku. batas kemampuan dan sejauh
mana kami bisa'pergi. Tumpukan uang di kakiku
72 menerangi kenyataan tersebut, menonjolkan keremehan
aspirasi kami, kesuraman impian kami. Uang tersebut
menawarkan sesuatu yang lebih.
Kucoba mencari jalan untuk menymnpaikan hal ini
kepada Sarah.
"Pekerjaanku tidak akan menghasilkan sebanyak
ini," kataku, menyodok perapian dengan tongkat.
"Suatu hari nanti aku akan menjadi manajer, sesudah
Tom Butler meninggal atau pensiun. Tapi usianya
tidak berbeda jauh denganku, jadi tak satu pun yang
akan terjadi dalam waktu dekat, dan pada saatnya
nanti, aku sendiri sudah tua."
Aku pemah memikirkan hal ini beberapa tahun
yang lalu, membayangkan masa depan yang kelabu.
Tapi sebelumnya tak pernah kuungkapkan, dan aku
keheranan mendengar diriku sendiri mengungkapkannya. Seakan orang lainlah yang berbicara; aku harus
berhenti sejenak agar Sarah memahaminya.
Sarah mengangguk, wajahnya tenang tanpa ekspresi,
dan aku semakin shock melihatnya. Ia tidak terkejut
mendengar apa yang kukatakan. Ia sama tahunya
denganku tentang prospek masa depanku di toko makanan. Kutunggu ia mengatakan sesuatu, untuk mem
protes entah dengan cara bagaimana, tapi tidak.
"Pikirkan kehidupan yang bisa kita berikan pada
anak kita," bisikku. "Keamanannya, kelebihannya."
Aku memandangnya sekilas tapi ia tidak meman
dangku. Ia menunduk memandang uang itu. Aku terus
menyodok perapian.
"Ini uang yang hilang, Sarah. Tidak ada yang
tahu. Milik kita kalau mau."
"Tapi ini mencuri. Kalau tertangkap, kau dipenjara."
73 "Tidak ada yang rugi kalau kita menyimpannya.
Itu yang membuat tindakan ini merupakan kejahatan,
bukan Merugikan orang "
Ia menggeleng, "Ini kejahatan karena bertentangan
dengan hukum. Tidak peduli ada yang dirugikan atau
tidak, kau akan tetap ditangkap. Aku tidak bersedia
membesarkan anak seorang diri karena kau sudah
berbuat bodoh dan berakhir di penjara."
"Tapi kita bisa melakukannya untuk alasan yang
benar," kataku. "Kita bisa melakukannya asalkan untuk
kebaikan." Aku mulai menceracau. Aku menginginkan
uang tersebut, dan aku mau ia juga menginginkannya.
Ia mendesah, seakan jijik. Ketika berbicara lagi
suaranya naik setingkat. Ia marah. "Aku tidak khawatir
dengan moralnya, Hank. Aku khawatir tertangkap. Itu
yang nyata; sisanya cuma omongan. Kalau tertangkap,
kau akan dipenjara. Kuizinkan kau mengambilnya
kalau tidak berisiko, tapi ini berisiko, jadi tidak."
Aku terpaku seketika, terkejut. Sejak awal kuanggap
setiap keengganannya menyimpan uang berasal dari
moralitas. Membuatku merasa putus asa dan tidak
berdaya aku tahu tak mungkin mendebat ha] tersebut tapi sekarang kulihat penyebabnya jauh lebih
sederhana. Ia mau menyimpan uang tersebut, tapi
takut tertangkap. Seharusnya kusadari sejak awal.
Sarah, di atas semuanya, orang yang pragmatis
itulah sifatnya yang paling kucintai ia berurusan
dengan segalanya pada tingkat yang paling dasar.
Baginya keputusan untuk mengambil uang tersebut
bisa dilakukan dengan dua syarat sederhana.
Penama yang telah kubereskan adalah jaminan bah
wa tidak ada yang dirugikan oleh tindakan kami.
74 Yang kedua kami tidak akan terlibat masalah ka
renanya. Yang lainnya, sebagaimana katanya tadi,
hanya omongan, pengalih perhatian dari apa yang
penting.
Kuceritakan rencanaku padanya.
"Uang ini satu satunya bukti kita melakukan ke
jabatan," kataku. "Kita bisa menyembunyikannya dan
melihat apa yang terjadi. Kalau ada yang mencarinya,
kita bakar saja, selesai."
Ia memonyongkan bibirnya. Saat mengawasinya,
kusadari bahwa aku berhasil.
"Tidak ada risiko," kataku. "Kita sepenuhnya
menguasai keadaan."
"Selalu ada risiko, Hank."
"Tapi tidakkah kau akan melakukannya kalau me
nurutmu tidak ada risiko "
Ia tidak menjawab.
"Bagaimana " desakku.
"Kau sudah meninggalkan banyak petunjuk."
"Petunjuk "
"Seperti jejakmu di salju. Dari jalan raya langsung
ke pesawat, lalu keluar lagi."
"Besok salju diperkirakan akan turun," balasku
penuh kebanggaan. "Besok malam jejak itu sudah
hilang."
Ia setengah mengangguk, setengah mengangkat
bahu. "Kau menyentuh pilotnya."
Aku mengerutkan kening, teringat saat Jacob menanyakan tentang pesawat pada Carl. Tindakan tersebut mulai tampak bodoh lagi, bukannya pandai.
"Kalau mereka mencurigaimu dengan alasan apa
pun," kata Sarah, "mereka akan menduga kau pernah
75 di sana. Mereka cuma membutuhkan sehelai rambut,
setengah senti benang jaketmu."
Kuangkat tanganku dengan telapak terbuka. "Kenapa ada yang mencurigaiku "
Ia menjawab dengan cepat, sekalipun tidak perlu.
Aku mengetahui apa yang akan dikatakannya. "Karena
Jacob dan Lou."
"Jacob bukan masalah," kataku, tidak yakin aku
sendiri mempercayainya. "Dia patuh padaku."
"Lou "
"Selama kita menyimpan uangnya, kita bisa
mengendalikan Lou. Kita selalu bisa mengancam akan
membakarnya."
"Sesudah kita bagi tiangnya "
"Dia menjadi risiko kita. Dia akan membebani
kita seumur hidup."
Ia mengerutkan kening, dahinya terlipat saat berpikir.
"Hargaringan yang harus dibayar," kataku.
Ia masih tidak mengatakan apa apa.


Rencana Sederhana A Simple Plan Karya Scott Smith di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kita selalu bisa membakar uangnya., Sarah. Sampai
saat terakhir sekalipun. Rasanya bodoh kalau menyerah
sekarang, sebelum terjadi apa apa."
Ia membisu, tapi bisa kulihat ia telah mengambil
keputusan. Kukembalikan tongkat ke tempatnya, kemudian mundur dan berjongkok di dekat tumpukan.
Sarah tidak memandangku, ia menatap tangannya.
"Kau harus kembali ke pesawat," katanya, "dan
mengembalikan sebagian uangnya."
'Mengembalikan " Aku tidak mengerti maksudnya.
"Hanya sebagian. Kau harus berangkat besok pagipagi, jadi badai besok sore akan menutupi jejakmu."
76 "Kita menyimpannya " tanyaku sedikit bersemangat.
la mengangguk. "Kita kembalikan lima ratus ribu,
dan menyimpan sisanya. Dengan begitu kalau mereka
menemukan pesawatnya, mereka akan mengira kalau
tidak ada yang pemah datang sebelumnya
"Itu kebanyakan."
"Kita tinggalkan sebanyak itu."
"Itu setengah juta dolar."
Ia mengangguk. "Sisanya bisa kita bagi tiga sama
rata."
"Begitu juga dua ratus ribu."
"Tidak cukup. Lima ratus sempurna. Tidak ada
yang meninggalkan uang sebanyak itu. Kita tidak
akan dicurigai. __
"Kurasa "
"Lima ratus ribu, Hank," potongnya. "Sebanyak
itu atau kaukembalikan saja semuanya."
Aku memandangnya sekilas, terkejut dengan ke
tegasan suara bicaranya.
"Ketamakanlah yang menyebabkan kita tertangkap,"
katanya.
Aku mempertimbangkannya sejenak; kemudian
menerimanya. "Baik," kataku, "lima ratus ribu."
Kuhitung lima puluh ikat dan, seakan khawatir ia
akan mengubah pendiriannya, kutumpuk di kakinya
seperti persembahan di altar, dan memasukkan sisanya
dalam ransel. Ketika tasnya telah penuh, kutarik tali
pengikatnya erat erat, mengikatnya, dan tersenyum
padanya.
"Puas " tanyaku.
Ia memberi isyarat dengan tangan, seakan mengusir
77 lalat. "Kita tidak boleh tertangkap," katanya. "Itu
yang penting."
Aku menggeleng, mencondongkan tubuh di atas tas
untuk memegang tangannya. "Tidak," kataku. "Kita
tidak akan tertangkap."
Ia mengerutkan kening kepadaku, "Kau berjanji
akan membakarnya begitu situasi tidak terkendali "
"Benar," kataku. Kutunjuk perapian. "Akan kubakar
di sana."
Tas itu kusembunyikan di bawah ranjang, kudorong
hingga menempel ke dinding, dengan dua koper kosong
dijejalkan setelahnya, menutupinya dari pandangan.
Kami terjaga hingga larut malam, menonton acara
Tahun Baru di TV. Ketika orkestra memainkan Auld
Lang Sync, Sarah turut menyanyi, suaranya tinggi
dan gemetar tapi sangat indah. Kami minum Cider
non-alkohol, demi sang bayi, dan mengadu gelas
tepat tengah malam, saling mendoakan yang terbaik
untuk tahun mendatang.
Sebelum tidur, kami bercinta dengan lembut dan perlahan. Sarah berjongkok di atasku, berat di pinggangnya terbeban di perutku, payudaranya tegak dalam kegelapan di depan wajahku. Kugenggam dengan hatihati, memijit putingnya dengan ujung jari hingga ia
mengerang perlahan, bunyi yang lambat mirip hewan
terdengar dari dalam dadanya. Mendengamya membuatku teringat akan bayinya. Membayangkannya bergoyang
seiring dengan Sarah, terbungkus gelembung berair,
menunggu saat dilahirkan, dan bayangan tersebut membuatku terangsang, menggetarkan seluruh kulit tubuhku.
Setelahnya Sarah berbaring telentang di sebelahku,
78 memegangi tanganku di atas perutnya. Kami berbaring
di bawah selimut; aku menempel ketat kepadanya.
Kamar terasa dingin. Butiran es tengah mengeras di
kusen jendela.
Kudengar helaan napasnya, mencoba menduga apakah ia sudah tidur atau belum. Napasnya lambat dan
mantap, yang membuatnya tampak tertidur, tapi tu
buhnya tegang, seakan ia tengah berusaha keras men
dengarkan sesuatu yang akan terjadi. Kuelus lembut
perutnya. Ia tidak bereaksi.
Perlahan aku sendiri mulai terlelap memikirkan tas
ben'si uang di lantai di bawah kami, dan mayat pilot
dalam pesawatnya di kegelapan, dengan es dan perkebunan buah penuh gagak, ketika Sarah berpaling
dan membisikkan sesuatu.
"Apa " tanyaku, bemsaha terjaga kembali.
"Kita seharusnya membakarnya saja, bukan " katanya.
Aku beranjak bangkit, bertumpu pada siku, memandangnya dalam kegelapan. Ia mengedipkan mata
"Orang tidak bisa lolos begitu saja dengan semua
ini, '.katanya
Kuangkat tanganku dari perutnya dan menyingkirkan
rambut dari wajahnya. Kulitnya begitu pucat, hingga
seakan bersinar. "Kita akan lolos." kataku. "Kita
tahu persis apa yang kita lakukan."
Ia menggeleng. "Tidak. Kita cuma orang orang
biasa, Hank. Kita tidak licin, kita tidak cerdas."
"Kita cerdas," kataku. Kusapukan tanganku ke
wajahnya, memaksanya tetpejam. Kemudian kuletakkan
kepalaku di sampingnya pada bantalnya, merapat ke
kehangatannya. "Kita tidak akan tertangkap."
79 Aku tidak yakin benar benar mempercayai hal tersebut, bahwa kalau kami tidak dapat dibantah. Tentu
saja bahkan saat itu tersebut aku menyadari betapa
berbahayanya arah yang kami tempuh. Pasti aku
sudah ketakutan ketika berhenti untuk mempertimbangkan semua kesulitan yang hams diatasi. Ada Jacob,
Lou. Carl, pesawat, dan seratus cara lainnya yang
hanya bisa kuduga sebagai sumber kesulitan yang
akan kami hadapi. Pada dasarnya aku pasti sudah
ketakutan karena telah melakukan kejahatan. Tindakan
yang tak pernah terpikir sebelumnya, sesuatu yang
jauh di luar jangkauan pengalamanku hingga mem
buatku merasa tersesat, bahkan tanpa ketakutan akan
hukuman yang tergantung bagai aura di sekeliling
semua ini. Tapi kurasa semua pemikiran tersebut
tidak membebaniku seberat saat ini, ketika'mengenangnya kembali. Kupikir aku berbahagia pada waktu itu.
Malam Tahun .Baru. Aku berusia tiga puluh tahun,
pernikahanku memuaskan, dengan anak pertama yang
segera lahir. Istriku dan aku bergelung di ranjang
bersama sama setelah bercinta, dan di bawah kami,
tersembunyi sepeiti layaknya harta karun, 4,4 juta
dolar. Tidak ada yang tidak beres; segalanya masih
segar dan menjanjikan. Sekarang aku bisa mengenangnya kembali dan mengatakan bahwa dalam banyak
hal peristiwa ini adalah puncak kehidupanku sepenuhnya, titik di mana segala sesuatu sebelumnya meningkat dan kemudian segalanya hancur berantakan. Ku
rasa pada saat itu aku tidak percaya sedikit pun
bahwa kami akan dihukum atas perbuatan kami:
kejahatan kami terlalu remeh, keberuntungan kami
terlalu besar.
80 Sarah membisu cukup lama. "Berjanjilah," katanya
akhirnya, meraih tanganku dan meletakkannya di puncak perutnya lagi.
Kumiringkan kepalaku dan berbisik di telinganya.
"Aku berjanji kita tidak akan tertangkap."
Kemudian kami tidur.
'81 ESOK paginya aku bangun sekitar pukul 08.00.
Sarah tidak ada di ranjang; bisa kudengar ia mandi.
Aku bergelung di balik selimut, merasa hangat. masih
agak mengantuk, dan mendengar pipa berderak derak
akibat tekanan air.
Pipa pipa di rumah orangtuaku menimbulkan bunyi
yang sama kalau ada yang membuka keran. Sebagai
anak anak Jacob memberitahuku bahwa ada hantu di
dinding, mengerang, berusaha membebaskan diri. Dan
aku mempercayainya. Suatu malam ayah-ibuku pulang
dalam keadaan mabuk dan menari nari di dapur. Aku
masih enam tahun waktu itu, mungkin tujuh tahun.
Terpancing oleh keributan itu aku muncul tepat pada
saatnya untuk melihat mereka tengah berpelukan, tersandung kursi. Kepala ayahku membuat lubang sebesai'
kepalan di dinding saat terjatuh. Dengan ngeri aku
bergegas masuk ke dapur membawa seikat surat kabar
untuk menutup lubang itu sebelum hantunya keluar
pada saat melihatku anak kecil kurus yang gugup
dalam piama, dengan rambut kusut karena baru bangun
tidur, tengah panik menjejalkan surat kabar ke dinding orangtuaku tertawa histeris. Itulah kenangan
82 pertamaku tentang perasaan malu dan dipermalukan.
Tapi mengingat semuanya pada pagi ha1i itu aku tak
lagi marah terhadap mereka, hanya semacam nostalgia dan kerinduan Kusadari aku merasa kehilangan,
sambil masih setengah tertidur. Pikiran berkelana,
setengah bermimpi, sehingga saat aku memikirkannya,
mereka entah bagaimama menggantikan tempat Sarah
dan aku ibuku, muda dan mengandung, tengah mandi.
Sementara ayahku bergelung di balik selimut, tirai
tergerai, kamar remang remang, dan ia mendengarkan
pipa berdetak-derak di balik dinding di atas kepalanya.
Begitulah aku berusaha mengenang orangtuaku,
muda sepexti Sarah dan aku dengan kehidupan yang
baru dimulai. Lebih merupakan ciptaan daripada ke
nangan: aku dilahirkan tidak terlalu lama setelah
segalanya mulai runtuh. Itulah sebabnya kenangan
yang kupertahankan tentang orangtuaku yang sungguh
dan muncul tanpa tertahan, berasal dari saat mereka
telah menua. Keduanya minum terlalu banyak. sementara tanah pertaniannya perlahan terlepas dari tangan
mereka.
Terakhir kali kutemui ayahku dalam keadaan hidup,
ia tengah mabuk. Ia meneleponku di toko makanan
suatu pagi, suaranya terdengar malu dan segan. Ia
menanyakan apakah aku bisa berkunjung dan memeriksa pembukuannya. Kuterima dengan senang hati,
sama sama merasa malu tapi juga bangga, karena
sebelumnya ia tidak pernah meminta bantuanku.
Malamnya aku mengunjunginya langsung dari kantor. Ayahku memiliki kamar kerja kecil yang terbuka
lurus ke dapur, dan di sana, di meja kartu lipat yang
digunakan sebagai meja kerja, kuhabiskan lima puluh
83 menit berikutnya menyusun keuangannya. Ia mencatat
tagihannya dalam buku besar bersampul kulit. Buku
tersebut berisi angka-angka yang dicatat tergesa gesa,
dengan kolomnya yang simpang siur dan perhitungan
ditulis di batasnya. Sebagian besar perhitungannya
ditulis dengan tinta, jadi kalau ia melakukan kesalahan yang tampaknya cukup sering ia mencoretnya.
Bahkan dengan kekacauan seperti ini, seketika bisa
kulihat bahwa orangtuaku akan kehilangan pertanian
mereka
Aku tahu bahwa mereka terlibat masalah, tahu
sepanjang ingatanku, tapi tak.pernah kubayangkan
situasinya bisa begini parah. Mereka berutang pada
hampir semua orang perusahaan listrik, telepon, dan
air, perusahaan asuransi, dokter, dan pemerintah. Ber
untung mereka tidak memelihara ternak, karena kalau
ada mereka pasti telah berhutang pada Raikley. Mereka meminjam uang untuk memperbaiki mesin com
bine nya membeli bahan bakar, benih, dan pupuk.
Iblis Edan 1 Hardy Boys Sindikat Pencuri Mobil Can You See Me 2
^