Pencarian

Rencana Sederhana 7

Rencana Sederhana A Simple Plan Karya Scott Smith Bagian 7


mengkonsentrasikan seluruh pemikiranku pada botku,
memaksa diriku untuk memikirkan julukan bagi wamanya, mengerahkan seluruh energiku untuk tugas ini,
tahu secara implisit bahwa aku akan pingsan kalau
menerima seluruh beban pengungkapan Fremont.
"Benar," katanya. "Uangnya ditandai."
"Kejahatan pasti ada balasannya," kata Renkins.
Cakekrt, pikirku, dammal. Dengan susah payah
aku berhasil memikirkan kuning gading. Tapi penge
464 tahuan tentang uangnya menyelinap di sekitar kata
kata tersebut, _seperti air yang meresap di retakan.
Uangnya ditandai.
Fremont mengulurkan tangannya. Kupaksa diriku
untuk menyalaminya, menyamai kemantapannya.
Kemudian kuulangi ritual tersebut dengan Renkins.
"Yang kami ketahui tentang nomor seri," katanya,
"adalah rahasia. Satu satunya cara bagi kami untuk
menangkap siapa saja yang terlibat dalam kasus ini."
Fremont mengangguk. "Jadi kalau kauberitahukan
pada media massa..
"Ya," kataku, "aku mengerti."
"Kalau kami membutuhkanmu, kau masih di sini "
tanya Renkins. _
"Tentu saja," kataku. Aku memberi isyarat ke arah
Raikley di seberang jalan. "Aku bekerja di sana."
Mereka berdua melirik ke toko makanan. "Mungkin
tidak perlu mengganggumu lagi," kata Renkins. "Tampaknya kasus ini sudah selesai."
"Ya," kataku lemah.
Cokelat tua, pikirku. Tcrra catta. Bam.
"Maaf kan harus terlibat semua ini. Ini tragedi,
seluruh peristiwa ini."
Ia menepuk bahuku sebagai salam perpisahan dan
kemudian mereka berbalik, satu demi satu, menaiki
tangga balai kota, dan menghilang di balik pintu
ganda
Kuawasi kakiku sendiri saat melangkah ke tepi
jalan. Keduanya terhuyung-huyung memasuki jalan,
kemudian menyeberang. Mobilku berada di sana, agak
jauh sedikit, dan botku memanduku mengitari bagian
belakangnya, berhenti saat mencapai pintu. Secata
' 465
ajaib tanganku keluar dari saku jaket, memegang
kunci. Tanganku memutar kuncinya, menarik pintu
hingga terbuka. Tubuhku membungkuk dan kepalaku
menunduk saat aku menjatuhkan diri di kursi.
Baru pada saat itu, setelah aman dalam mobilku
dengan pintu tertutup rapat, kubiarkan benakku mela
yang bebas, membiarkannya meresapi kata kata Fremont, menyerapnya bagai busa, membengkak oleh
karenanya.
Uangnya tidak berguna.
Reaksi pertamaku, yang mulai muncul saat aku
berdiri dengan Fremont dan Renkins di trotoar, adalah
gelombang keputusasaan yang luar biasa. Mayat Pederson, Nancy, Sonny, Jacob yang berlumuran darah
menghantamku satu persatu empat nyawa yang ku
cabut dengan tanganku sendiri untuk melindungi uang
tersebut, uang yang sekarang tidak ada artinya, sekadar
tumpukan kedas berwama belaka.
Kelelahan mengikuti segera setelah keputusasaan,
bagaikan hujan dari awan. Itulah reaksi tubuhku atas
kengerian perbuatanku kelelahan yang menghantam
miang, perasaan menyerah dan pasrah. Aku tenggelam
di kursiku, kepalaku menempel di dada. Aku telah
menjalani kehidupan di bawah tekanan selama hampir
tiga bulan, tekanan yang baru saja mengendur, bahkan
terluka oleh satu pukulan- tajam. Paling tidak ada
kelegaan di dalamnya karena sekarang semuanya
benar benar berakhir. Aku bisa pulang dan membakar
uangnya, potongan terakhir bukti yang memberatkan,
celah terakhir.
Jalan.
Pemikiran tersebut berkedip menembus keputusasaan
466 dan kelelahan, peringatan dari sudut terdalam benakku,
benteng perbatasan yang masih membuat rencana,
masih berhati hati, masih melanjutkan pertempuran,
tidak sadar perang telah berakhir.
Kalau Fremont atau Renkins melirik ke luar jen
dela Carl, bisiknya1 mereka akan melihatmu duduk
di sini. Mungkin akan memancing kecurigaan meneka. Hidupkan mobil; pergi dari sini.
Suaranya seakan memiliki kekuatan, kekuatan kehati hatian. Suara itulah yang kudengarkan dengan
hati-hati selama tiga bulan, dan secara otomatis,
seakan telah diatur, aku sekarang juga mendengarkan
nya. Tanganku terangkat, memasukkan kunci ke tem
patnya.
Tapi kemudian berhenti.
Di sudut jalan di belakangku, mungkin sekitar
lima belas meter jauhnya, terdapat telepon umum.
Cahaya matahari terbenam memantul pada sisi
Plexiglas nya.
Pergi, kata suara tersebut. Sekarang.
Aku mengamati jalan. Di seberang perempatan, di
depan gereja, seorang wanita berjalan di sepanjang
trotoar membawa gadis kecil di kereta. la berbicara,
dan putrinya tengah membalikkan badan di kursinya
untuk mengawasinya. Mereka mengenakan pakaian
berwarna cerah yang serasi dengan parka kuningnya.
Aku segera mengenali mereka Carla dan Lucy Drake,
putri dan cucu Alex Freedman, pemilik Freedman's
Dry Cleaning. Aku se SMA dengan Carla; ia sekelas
dengan Jacob, tiga tahun di ataskul Aku mengawasinya
saat ia dan putrinya melangkah ke St. 'Jude dan
menghilang ke dalam.
467 Suara itu terus terdengar, nada mendesak mulai
merayapinya: Pergi.
Aku tidak mengacuhkannya. Aku bisa memandang
jendela kantor Carl, tapi cahaya matahari memantul
di-Vsana bagai di cermin. Fremont dan Renkins tidak
terlihat di dalamnya.
Aku melirik telepon umum, kemudian mengamati
jalan sekali lagi. Kosong.
Aku bergegas turun dari mobil.
Sarah menjawab pada deringan ketiga.
"Halo " katanya.
Aku berhenti cukup lama. Sewaktu duduk di mobil,
aku sempat berpikir bahwa memberitahunya secepat
mungkin akan membantu menyingkirkan kedukaan
yang menekan dadaku, mengalihkan sebagian bebankti
padanya. Aku mau ia tahu, agar aku bisa menenangkannya, bisa memberitahunya aku baik baik saja, ka
rena dengan berbuat begitu. aku tahu aku juga akan
menenangkan diri sendiri. Tapi begitu mendengar
suaranya, kusadari kalau aku tidak bisa melakukannya
lewat telepon. Aku harus berada di sana; aku harus
bisa menyentuhnya saat berbicara.
"Hai," kataku.
"Kau masih di kantor polisi " tanyanya.
'Tidak. Aku di jalan. Di telepon umum."
"Kalau begitu kita bisa berbicara "
"Bisa."
"Aku melihatnya di berita."
Kudengar semangat dalam suaranya, kelegaan. Ia
mengira semuanya telah berakhir, ia mengira kami
telah bebas. Itulah yang ingin kurasakan.
468 "Ya," kataku.
"Sekarang beres, bukan Cuma kita yang tahu." Ia
terdengar gembira. Aku setengah menduga akan men
dengamya tertawa.
"Ya," kataku lagi.
"Pulanglah. Hank. Aku mau memulai perayaan
kita. Aku sudah menyiapkannya."
Suaranya sangat dipenuhi kegembiraan, menusukku
bagai pisau.
"Sekarang kita miliuner," katanya. "Mulai sekarang
ini."
"Sarah "
Ia memotongku. "Kurasa kau tidak akan peduli,
Hank, tapi aku sudah berbuat bodoh."
"Bodoh "
"Aku beli sebotol sampanye."
Kupejamkan mata, kutekankan gagang telepon ke
sisi wajahku. Aku tahu apa yang akan dikatakannya
padaku; aku bisa melihatnya datang.
"Kugunakan uangnya," katanya. "Selembaian uang
ratusan."
Aku tidak terkejut maupun panik, seakan aku sudah
tahu sejak awal, sejak kudorong ransel tersebut ke luar
pesawat, bahwa hal ini akan terjadi. Tampaknya adil;
tampaknya layak. Kutaruh dahiku ke sisi kotak telepon,
plexiglas nya terasa dingin dan halus pada kulitku.
"Hank " katanya. "Yang Kau marah "
Aku berusaha mengatakan sesuatu, tapi kerongkong
anku bagaikan tersumbat, dan aku harus membersihkannya dulu. Aku merasa seperti dibius, setengah
tertidur, mati.
- "Kenapa " kataku. Suaraku terdengar sangat pelan.
469 "Kenapa apa "
"Kenapa kaugunakan uangnya "
Ia segera membela diri. "Rasanya layak melakukan
nya." '
"Kau janji tidak akan menyentuhnya."
"Tapi aku mau menjadi yang pertama menggunakannya." *
Aku terdiam, berjuang menemukan jalan keluar.
"Di mana " tanyaku akhimya.
"Di mana "
"Di mana kaubeli sampanyenya "
"Itulah cerdiknya. Aku tidak membelinya di sekitar
sini. Aku pergi ke bandara dan membelinya di sana."
"Di bandara di mana "
"Oh, Hank. Jangan marah." _
"Aku tidak marah. Aku cuma mau tahu di mana."
"Alexander's. Toko kecil di jalan layang, tepat
sebelum memasuki jalan masuk bandara."
Aku tidak mengatakan apa apa. Aku tengah berpikir,
benakku bergerak perlahan, dan menyakitkan, di sekeliling situasi itu, mencari jalan keluar.
"Aku cerdik, Hank. Kau pasti bangga padaku.
Kukatakan kalau uang itu hadiah ulang tahun dan
aku tak mau memecahkannya. Tapi bank sudah tutup
dan saudara perempuanku baru saja menyarankan
begitu, jadi cukup laya ."
' "Kaubawa Amanda "
Sarah ragu-ragu. "Ya. Kenapa "
Aku tidak menjawab.
"Bukan masalah besar," katanya. "Kasimya hampir
tidak memperhatikan, dia cuma mengambil uangnya
dan memberikan kelebihannya." '
470 "Apa ada orang lain selain kasir di toko "
"Maksudmu "
"Pelanggan Majikan "
la memikirkannya sedetik. "Tidak, cuma kasimya."
"Bagaimana tampangnya " '
Ujung seberang membisu sejenak.
"Hank," katanya; '"Dia bahkan tidak memperhatikan."
"Bagaimana tampangnya " tanyaku lagi, meninggikan suaraku.
"Ayolah. Dia tidak mengenaliku. Bukan masalah
besar." _
"Aku tidak mengatakan kalau ini masalah besar.
Aku cuma mau tahu tampangnya."
Ia mendesah, seakan jengkel. "Dia besar," katanya,
"Rambut hitam, berjanggut. Bahunya lebar dan lehernya tebal, seperti pemain bola."
"Berapa usianya "
"Entah. Muda. Mungkin pertengahan dua puluhan.
Kenapa "
"Jangan gunakan uangnya lagi sampai aku pulang,"
kataku, memaksakan tertawa, berusaha agar kedengaran seperti lelucon.
Ia tidak tertawa. "Kau pulang sekarang "
"Sebentar lagi."
"Apa "
"Sebentar lagi," kataku lebih jelas. "Ada beberapa
ha] yang harus kulakukan dulu. Lalu aku pulang."
"Kau marah, Hank "
"Tidak."
"Berjanjilah kau tidak marah."
Kuangkat kepalaku dan menatap ke persimpangan.
471 Carla dan Lucy Drake telah muncul kembali dari
gereja. Sekarang mereka berjalan di sisi seberang
jalan, wajah mereka tersembunyi kerudung kuning
keretanya. Gadis kecilnya tampaknya tidur. Tak seorang pun dari mereka merasa kalau kuperhatikan.
"Hank " tanya Sarah.
Aku mendesah, terdengar kelelahan. "Aku berjanji
tidak akan mara ," kataku.
Kemudian kami memutuskan pembicaraan.
Ada buku telepon tergantung pada kawat di bawah
telepon. Aku mencari nomor Alexander's dan memutarnya. Seorang pria muda yang menjawab.
"Alexander's."
"Ya," kataku. "Pukul berapa kau tutup malam
ini "
"Pukul enam."
Kupen'ksa arlojiku. Pukul 16.52.
"Terima kasih," kataku.
Aku setengah jalan kembali ke mobilku ketika terpikir
sesuatu yang lain, jejak pertama rencanaku. Aku
berhenti dan kembali ke telepon.
Kucari nomor polisi negara di buku telepon.
Seorang wanita yang menjawab. "Polisi Negara."
"Halo," kataku, memberatkan suaraku untuk menya
markannya, kalau kalau mereka merekam telepon masuk. "Aku mau melaporkan orang yang mencurigakan."


Rencana Sederhana A Simple Plan Karya Scott Smith di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Orang yang mencurigakan "
"Pencari tumpangan. Kuterima di luar Ann Arbor,
dan sewaktu dalam perjalanan ke selatan dia mencabut
machete nya, mengasahnya di kursi depanku."
472 "Mencabut apa " _
"Machete, pisau besar. Kusuruh dia keluar
sesudahnya, dan dia bersedia, tidak ada masalah, tapi
kemudian aku mulai berpikir bahwa anak itu mungkin
berbahaya. jadi kuputuskan untuk menghubungimu,
sekadar berjaga jaga."
"Apa dia mengancammu dengan machele nya "
"Tidak, bukan seperti itu. Kuminta dia pergi, dan
dia pergi. Aku cuma mengira kalian mungkin mau
memeriksanya."
"Di mana kau turunkan dia' "
"Di luar _Toledo, tepat sesudah bandara. Dia
beigurau tentang membajak pesawat dengan machete
nya."
"Di Jalan Layang Bandara "
"Ya. Di luar toserba."
"Bisa kaugambarkan ciri-cirinya' "
"Masih muda, mungkin sekitar delapan belas.
Kurus. Penampilannya aneh, seperti mengantuk atau
terbius...3'
"Kaukasia "
"Ya. Rambut merah, kulit 'pucat, berbintik-bintik.
Dia mengenakan kaus kelabu, yang bertopi."
"Tinggi "
"Rata rata. Mungkin 180 senti, kurang sedikit."
"Boleh tahu nama Anda "
"Lebih baik tidak," kataku. "Aku tinggal di Florida.
Aku sedang dalam perjalanan pulang. Lebih baik
tidak terlibat apa pun di sini."
"Saya mengerti," kata wanita tersebut, suaranya
terdengar formal. "Terima kasih untuk informasinya.
Akan saya beritahu patroli untuk bersiaga."
473 *** Dua puluh menit berikutnya kuhabiskan dalam mobilku, di Main Street. St. Jude membunyikan jamnya,
sedikit lonceng berirama, kemudian dentangan keras
sebanyak lima kali. Matahari sudah di ufuk barat,
langit di sekitarnya tampak semburat kemerahan. Sore
yarig memesona, langit begitu bersih sehingga seakan
tidak tampak. Benda benda mobil berderet di jalanan,
bagian depan toko, meteran parkir, tangga gereja
tampaknya lebih menonjol daripada biasanya, seakan
ada garis hitam tipis pada tepi-tepinya.
Kota sunyi seakan tak berpenghuni.
Aku tahu ada sembilan puluh persen kemungkinan
uang yang digunakan Sarah tidak terlacak. Mungkin
seharusnya cukup bagiku, tapi tidak. Aku memikirkannya, berdebat dalam kepalaku. Kalau hanya satu
lembar yang ditandai, atau sepuluh lembar, atau bahkan seratus, kurasa tindakanku akan berbeda1 aku
mungkin akan membiarkannya. Tapi ada lima ribu
yang ditandai, satu dari sepuluh, dan itu terlalu ba
nyak. Aku tidak bisa mengambil risiko. '
Fremont dan Renkins muncul di tangga'balai kota
sesaat setelah pukul 17.00. Mereka tidak menyadari
kehadiranku; terus melangkah ke kanan, menyusuri
trotoar. Fremont bicara penuh semangat, Renkins
mengangguk menanggapi semua ucapannya. Mereka
naik ke mobil dan melaju mengarah ke timur, ke
arah Toledo. Renkins yang mengemudi.
Kutunggu hingga arlojiku menunjukkan 17.10. Kemudian kuhidupkan mesin mobil, keluar dan' tepi
jalan, dan juga menuju ke timur. Matahari yang
474 terbenam di spionku tampak besar dan kemerahan.
Dengan hati hati aku melaju keluar kota.
Perjalanan ke bandara memakan waktu tiga puluh
menit. '
475 12 DAERAH pertanian terbentang hingga tepat sebelum
bandara. Kemudian jalan layang melebar menjadi empat jalur, dan bangunan mulai bermunculan toserba,
toko video, kedai minuman, losmen, tempat biliar, restoranfastfood semakin ke timur semakin sesak, tinggi,
dan terang. Lalu lintas semakin padat, mobil mobil
keluar masuk, lampu sein berkedip kedip. Ini perbatasan
Toledo, jalan kembar panjang dengan lampu neon dan
lampu pijar terjulur sepeiti belalai dari pusat kota.
Alexander"s adalah toko yang tampak kotor, mirip
lubang perlindungan, dengan dinding beton rendah
dan atap datar. Balok besi melintang di jendelanya,
dan tanda berbunyi BIR berkedip-kedip dengan huruf
merah muda dan biru di atas pintunya. Hanya ada
satu mobil di tempat parkirnya yang kecil; Jeep
hitam bernoda lumpur yang diparkir di dekat jalan.
Aku melaju melewatinya, kemudian membalik.
Ada rumah kaca sekitar tiga puluh meter dari
Alexander's. Rumah tersebut tutup selama akhir pekan,
tempat gelap. Mobil kuhentikan di tempat parkirnya
yang berkerikil, menghadap ke jalan, mempermudah
jalan lariku.
476 Di seberang jalan layang, sejajar dengan jalan,
terdapat pagar rantai dengan kawat duri ganda _di
atasnya. Di baliknya terletak bandara. Dapat kukenali
menara pengendalinya di kejauhan, dapat kulihat spi
ral lambat lampu sorotnya di langit malam, dan, di
bawahnya, lampu landasan berwarna merah dan hijau
samar samar terlihat.
Aku tumn, beijalan ke bagian belakang station
wagon, dan membuka tutup belakangnya. Peti Jacob
masih di sana; benda terakhir yang kumuat ketika
membersihkan apartemennya. Dengan cepat kuangkat
tutupnya dan meraih ke dalam, tanganku bergerak di
antara tumpukan handuk mandi, kotak kail, dan sarung
tangan bisbol, mencari logam dingin sebilah machete.
Machete tersebut terletak di kanan, tepat di tempat
aku meletakkannya sebelumnya. Kukeluarkan dan ku
letakkan di bumper, kemudian mulai menggeledah
kotak kotak lainnya Kutemukan topeng ski milik Jacob
pada kotak pertama, kaus bertopinya ada di kotak
kedua.
Kuganti jaketku dengan kaus. Terlalu besar bagiku lengannya menggantung melebihi ujung jemari
dan topinya menutupi wajahku bagai kerudung biarawan tapi justru itulah yang kuharapkan. Kerudung
tersebut akan menutupi rambut dan dahiku, menyamarkan ciriku cukup lama bagiku untuk memasuki toko
dan memastikan bahwa toko itu kosong. Setelah itu
aku baru bisa mengenakan topeng skinya.
Kuselipkan machen: itu di tangan kananku, dengan
tangkainya terlebih dulu. Ujungnya menempel di telapak tanganku tusukan tajam yang menyakitkan. Ku
jejalkan topeng ski ke saku celana, lalu menutup
477 pintu belakang dengan pinggul. Kemudian aku melangkah ke toko.
Saat itu pukul 17.45, dan matahari telah terbenam.
Para pengemudi sudah menghidupkan lampu depan
mereka. '
Saat memasuki tempat parkir di depan Alexander's,
sebuah pesawat bergemuruh melintas kurang dari tiga
puluh meter di atasku. Lampu mendaratnya sejenak
melontarkan cahaya ke aspal, seperti bola lampu
meletus, kemudian lenyap. Pesawat itu melintas sepanjang jalan layang, mesinnya meraung saat mengurangi
kedepatan; siriphya turun, rodanya terulur ke tanah.
Kuawasi sampai pesawat tersebut mendarat.
Ketika pintu toko kubuka, bel berdentang di atas
kepalaku, memperingatkan si kasir akan kehadiranku.
Ia duduk di balik meja kasir paling kiri, membaca
karam. Sebuah radio tergeletak di sebelahnya, menyiar
kan acara stasiun keagamaan. Volumenya diputar hing
ga yang paling keras.
"Kalian harus berhati hati dengan apa yang kalian
dengar," kata suara pria dari radio. "Sama seperti
ada Firman Allah, ada juga kata kata Setan. Dan
keduanya kedengarannya sama. Kedengarannya sama
persis." '
Kasimya melirikku, mengangguk, kemudian kembali
membaca korannya. Ia tepat seperti penggambaran
Sarah: besar, berotot, berjanggut. Ia mengenakan jins
dan T shirt putih, dan di lengannya terdapat tato burung
yang tengah terbang, warnanya hitam dan hijau.
Aku melewatinya ke dalam lorong" tengah toko.
Lengan kananku sengaja kutempelkan di tubuhku sam
bil berjalan, menjaga agar machetc nya tetap di tem
478 pat. Toko tersebut panjang, dan pada saat mencapai
bagian belakang, aku tidak terlihat.
Topi kutarik dan memandang sekeliling.
Dinding belakang diisi pintu kaca geser, di baliknya
mana terdapat kaleng soda dan bir, tabung es krim,
kotak makanan beku.
*Aku bergegas melangkah ke kiri, kemudian ke
kanan. mengamati kedua lorong 'lainnya. Keduanya
kosongftidak ada orang lain lagi di toko.
Radionya terus berkhotbah, sekarang pembacaan
Alkitab. "Keuntungan besar ada dalam kesalehan yang
diikuti kepuasan; karena kita tidak membawa apa apa
ke dunia, dan kita tidak dapat membawa apa apa
dari dunia. Tapi kalau kita punya makanan dan pakaian, dengan ini kita seharusnya merasa puas."
Di balik rak pendingin, di sudut kananlterjauh dari
bangunan, terdapat pintu. Pintu tersebut sedikit terbuka, bagian dalamnya gelap. Menurutku pasti menuju
ke gudang.
"Tapi bagimu, anak anak Allah, hindari semuanya
ini; tujukan pada kebenaran, keilahian, kesetiaan, kasih, ketabahan, kelembutan..."
Di ujung lorong tengah terdapat rak anggur merah
raksasa. Ada enam guci kaca hijau ukuran galon
berjajar di lantai, dalam dua deret. Pada bagian atas
botol botol tersebut ada kardus, dan di atas kardus
terdapat enam guci anggur lainnya. Semuanya ada
lima tingkatftotal tiga puluh guci. Tingginya sampai
tepat di bawah daguku.
"Kutuntut Anda untuk menjaga kesucian perintah
Alla '
Kukeluarkan topeng ski dan mengenakannya. To
479 peng tersebut berbau kakakku, bau keringatnya, dan
mulanya membuatku tercekik, hingga aku harus bernapas lewat mulut. '
"Itulah Alkitab, Firman Allah. Pernah ada pendengar yang menelepon..."
Machcte itu kukeluarkan dari balik lengan bajuku.
"Siapa yang menulis Alkitab tanyanya padaku..."
Ketika aku berbalik ke bagian depan toko, aku
sangat tenang, dan ketenangan ini tampaknya semakin
menguat setiap saat, seperti kepanikan dalam situasi
yang mirip ini.
Si kasir masih membaca korannya, ia duduk di
kursi bundar, lengannya diistirahatkan pada meja. Ia
sekitar lima belas senti lebih tinggi dariku dan mung
kin sekitar 45 kilo lebih berat dariku, membuatku
berkhayal seandainya aku membawa pistol Carl. Aku
harus berdiri di depannya beberapa detik sebelum ia
menyadarinya. Kemudian ia hanya menatapku, tidak
tampak takut atau terkejut. Dengan sangat perlahan
ia melipat korannya. _
Kuberi isyarat mengancam dengan machete ku,
mengangguk ke arah mesin kas.
Ia mematikan radio. "Mau apa kau " tanyanya
"Buka kasmu," kataku. Suaraku terdengar serak,
gugup. Begitulah seharusnya suaranya.
Ia tersenyum. Ia tidak semuda dugaanku semula.
Dalam jarak dekat, ia tampak bahkan lebih tua dariku.
"Keluar dari tokoku," katanya tenang.
Aku menatapnya kebingungan. Bau keringat Jacob
pada topeng ski membuatku meriang. Kusadari rencanalm berantakan, dan aku merasa tenggelam, perutku
rriulai bergolak.
480 "Kau mau membawkku " tanyanya. "Kau mau
membunuhku dengan benda itu " Suaranya bertambah
keras karena marah.
"Alm cuma mau uang."
Ia menggaruk tato di lengannya, kemudian me
megang janggut dan mengangkatnya ke hidung. berpikir. "Kuberi kau satu kesempatan," katanya. Ia
melambai ke pintu. "Lari sekarang, dari aku akan
membiarkanmu." *
Aku tidak bergerak. Hanya berdiri di sana, tidak
mampu bicara.
"Lari atau tinggal," katanya. "Terserah padamu."
Machete kuangkat di atas kepala seakan mau mem
bacoknya. Aku merasa bodoh berbuat begitu, bisa
kutebak bahwa sikapku kurang meyakinkan. Aku melambaikannya di udara. "Aku tidak ingin melukaimu,"
kataku, berusaha mengancam, tapi yang terdengar
lebih mirip permohonan. "Aku sudah membunuh orang.
Aku pembunuh."
Ia tersenyum padaku. "Kau tinggal "
"Berikan saja uangnya."
Ia turun dari kursinya dan, nyaris dengan biasa
saja, keluar dari balik meja. Aku mundur ke tengah
toko, machete ku tergenggam di dada. Ia melangkah
ke pintu, hingga sejenak kukira ia akan pergi, tapi
kemudian ia mengeluarkan seikat kunci dari sakunya
dan mengunci pintu. Ia memunggungiku saat melakukannya, seakan menekankan betapa ia tidak takut
padaku.
'Aynlah," kataku. "Berhentilah main main."
Ia mengembalikan kunci ke sakunya dan melangkah
mendekatiku. Aku mundur ke lorong tengah. Kupegang
481 machete dengan dua tangan, lurus di depanku. Aku
berusaha tampak mengancam, berusaha mengendalikan
situasi, tapi aku tahu itu tidak berhasil.
"Semua tindakanku terhadapmu sekarang," katanya,
suaranya tiba tiba dihiasi kekejaman, "akan dianggap
Sebagai membela diri. Itulah anggapan polisi. Kau
masuk kemari membawa pisau itu, mengancamku,


Rencana Sederhana A Simple Plan Karya Scott Smith di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berusaha mencuri milikku. Kau sudah memilih untuk
tidak berlindung pada hukum."
Perlahan-lahan ia mendekatiku sambil menyeringai.
Tampaknya ia menikmati tindakannya. Aku terus mundur.
"Kuberi kau kesempatan lari karena aku tahu itu
sikap Kristiani. Tapi kau tidak mau pergi. Jadi sekarang aku mau memastikan, tidak peduli apa yang
akan terjadi padamu begitu polisi tiba, bahwa kau
tidak akan berbuat begini lagi. Akan kuajari kau
untuk menghormati milik orang lain."
Ia sekarang masuk ke lorong mengejarku. Aku
sekitar tiga meter darinya. Kugenggam machete di
tangan kanan dan melambaikannya lagi, tapi tampaknya ia tidak menyadarinya. Ia menatap rak di sebelah
kanannya, seakan mencari sesuatu. Kuamati ia mengambil kaleng kacang. Ia menimbang dengan tangannya,
dan kemudian, dengan sangat tenang, tanpa tergesa
gesa sama sekali, mundur dan melemparkannya padaku. Kaleng tersebut mengenai dadaku, keras, menimbulkan demkan keras, tepat di bawah dada kiriku.
Aku jatuh ke belakang, tersentak. Rasanya ia telah
mematahkan satu tulang rusukku.
"Ini kesempatan yang langka," katanya. "Tidak
banyak situasi di mana kau bisa menyakiti seseorang
separah yang akan kulakukan padamu dan bisa lolos."
482 Aku tidak tahu bagaimana menangani hal ini. Se
harusnya ia memberikan uangnya padaku. Kemudian
aku akan memaksanya berbaring di lantai dan menghitung sampai seratus sementara aku lari ke mobilku.
"Aku bahkan akan diberi ucapan selamat." katanya.
"Mengalahkan kejahatan. Mereka akan menyebutku
pahlawan."
Aku terus mundur. Kurasa bangunan ini punya
pintu belakang, mungkin melalui gudang yang kulihat
tadi. Kupikir kalau aku bisa menahannya sampai tiba
di sana, aku bisa melarikan diri, keluar, dan melesat
ke mobilku.
Ia mengambil sebotol zaitun dari salah satu rak,
dan melemparkannya padaku. Kali ini mengenai bahu
ku, kemudian jatuh ke lantai, pecah berantakan di
kakiku. Rasa sakit menyebar di lenganku. Dan jemariku, seakan menuruti keinginannya sendiri, membuka,
dan maclmte nya jatuh. Machete tersebut mendarat
di zaitun. Aku harus meraihnya dengan tangan kiri.
"Cukup," kataku. "Aku pergi sekarang. Kau boleh
simpan uangnya."
Ia tertawa, menggeleng. "Kau kehilangan kesempat
anmu. Pintunya tadi terbuka, sekarang tertutup."
Di ujung lorong, sesuatu mengenai lenganku. Tanpa
mengalihkan pandangan dari kasir itu, kucoba untuk
membebaskannya. Aku bergegas memandang ke bela
kang, dan melihat tumpukan gici anggur merah. Ada
kawat jepret tunggal pada karton yang memisahkan
tumpukan ketiga dan keempat, dan kausku terkait di
sana.
Aku memandang si kasir. Ia berada dua meter
dariku. Selangkah lagi dan ia akan mampu meraihku.
! 483 Dalam kepanikan aku menyentakkan lenganku agar
terbebas dari kawat jepret, tapi bukannya bebas, aku
justru menarik karton tersebut. Seketika botol-botolnya
berjatuhan. Seluruhnya hancur berantakan di depan
mataku, gucinya menghantam lantai satu demi satu,
pecah dengan suara keras dan panjang.
Sejenak timbul kesunyian, membuat suara pendeta di
radio terdengar dari lorong. "Dan apa ada perbedaannya," tanyanya, "antara desa tidak disengaja dan
dosa yang disengaja Apakah ada orang yang dihukum
lebih keras daripada yang lain di api neraka "
Lantai di kakiku merah kehitaman oleh anggur.
Kepingan gelas berhamburan di mana mana, seperti
pulau kecil tajam. Aku melangkah mundur menjauhinya, mundur sampai ke dinding belakang, mengawasi
genangannya menyebar.
Kasir tersebut bersiul, menggeleng. "Sekarang siapa
yang akzm membayarnya " tanyanya.
Kami berdua menatap botol yang pecah berantakan
tersebut. Lembaran karton di lenganku melambai
lambai. Kutarik lepas dan membuangnya di lantai.
Jemariku masih berdenyut denyut dan dadaku terasa
sakit setiap kali menghela napas. Aku mau melangkah
ke gudang, tapi kakiku tidak bergerak. Keduanya
menahanku di sana, menempel erat pada pintu pendingin yang sedingin es, lumpuh.
Kasirnya melangkah maju, mengitari genangan. la
berhenti sejenak di sisi terjauh, tidak lebih dari semeter jauhnya. memunggungiku, dan membungkuk untuk mengambil pecahan kaca berbentuk corong dari
lantai. Kepingan tersebut tergeletak di tengah genangan, dan ia harus membungkuk untuk meraihnya.
484 Aku tahu ia akan menggunakannya sebagai senjata.
Setelah menegakkan tubuh nanti, ia akan mengirisku.
Aku melirik ke gudang. Aku agak yakin bisa
meraihnya bila berlari. Kasirnya tengah kehilangan
keseimbangan, berjongkok. Aku bisa mengejutkannya.
Dan sewaktu aku menjauhi pendingin, itulah yang
kukira akan kulakukan kukira aku akan lari. Tapi
tidak. Sebaliknya, tanpa merencanakannya, aku justru
melangkah mendekatinya. Tanganku mencengkeram
machete seperti pemukul bisbol. Kuangkat benda itu
melewati kepala, pandanganku terpaku pada belakang
lehernya. Kemudian kuayunkan chhere itu ke bawah
dengan segenap kekuatanku.
Baru pada saat melakukannya, saat kudengar bilahnya mendesis di udara di atasku, aku menyadari
'kalau itulah yang ingin kulakukan sejak tadi.
Ia tampaknya merasakan sabetannya Ia mau berdiri,
memutar tubuhnya ke kanan. Inilah sisinya yang
kuhantam, maehere nya terayun menyudut, menghan
tamnya di bawah dagu, bilahnya terbenam ke tenggorokannya, mengirisnya dalam dalam, tapi tidak se
dalam harapanku. Mungkin kedengarannya brutal, tapi
aku mau memenggalnya dalam sekali hantaman, meng
akhirinya seketika itu juga. Tapi aku tidak mampu,
atau mata machere nya yang kurang tajam, karena
menancap sedalam lima senti, kemudian berhenti.
Aku harus menariknya saat ia jatuh ke lantai.
Kesunyian lain timbul. "
Radionya bergema di seluruh toko, "Dan Kristus
berkata, "Eli, Eli, lama mbachthani " Yaitu, "Allahku,
Allahku, mengapa Kau tinggalkan aku
Kasir itu berbaring telungkup, tangannya terjepit
485 .
dada, seakan ia mau push up. Darah membanjir ke
luar, jauh lebih banyak daripada dugaanku, bahkan
lebih banyak dari yang ada dalam tubuhnya menurut
perkiraanku. Darah membanjir dari lehernya, dan secara ritmis bercampur dengan genangan anggur.
Aku telah melukai pembuluh arteri.
"Dan bila Juru Selamat kita menjelang kematiannya
meragukan'Allah, apa yang menghalangi kita, makhluk
fana, individu yang penuh kekurangan, dari meragrkan
Dia juga "
Aku berdiri diam, mengawasinya berlumuran darah.
Kupegang machere itu agak jauh dari tubuhku, menjaga
agar darah yang tertempel di sana tidak menetes ke ce
lanaku. Bisa kulihat bahwa sekarang aku hanya tinggal
menungg], dan aku merasa lega. Aku merasa terlalu le
lah dan terlalu terkuras untuk menghantamnya lagi.
"Hidupmu tidak beres. Kau sakit, kau kehilangan
pekerjaan, dan kau berkata, "Mana tangan Tuhan
dalam hal ini ""
Aku melangkah maju ke dalam genangan, memindahkan machete ke tangan kiri._Darah terus mem:
banjir dari luka pria tersebut, tapi tubuhnya tidak
bergerak. Sekalipun aku tidak yakin bahwa ia telah
mati, aku yakin ia hampir mati, mendekati batas,
melewati tepinya Kupikir, cukup jelas, Kau mengawasinya mati.
Tapi kemudian terjadi kejutan. Dengan sangat lam
bat, seakan ditarik dari atas oleh tali, ia beranjak
bangkit.
Aku terlalu shock untuk melangkah mundur. Aku
tetap berdiri di tempatku, terpesona mengawasinya.
tubuhku membungkuk, kepalaku miring ke samping.
486 Entah bagaimana, dalam gerakan yang kikuk ia
berusaha bangkit. Ia berdiri diam. membungkuk, tangan di pahanya, aliran darah masih membanjir dari
luka di lehernya. T-shirrnya basah kuyup oleh darah,
dan menempel ke tubuhnya. Aku bisa melihat dadanya
dari baliknya . Wajahnya pucat pasi.
"Katamu, "Entah Allah sudah meninggalkanku atau
Ia dengan sengaja memperberat hidupku." Dan kau
tidak melihat alasan kenapa kau layak menerimanya.
Kau benar, kau setia, kau penuh kasih, kau tabah,
kau lembut, dan sekalipun begitu, Tuhan memilih..."
Aku mundur selangkah ke arah pendingin, dan ia
mengangkat kepala. Ia menatapku, matanya berkedipkedip dengan cepat. Napasnya seperti mengandung
air dari dadanya; paru parunya dipenuhi darah. Ia
menyentuh Iehemya.
Aku mundur selangkah. Aku tahu seharusnya aku
menghantamnya lagi, membunuhnya. Aku tahu tindakan tersebutlah yang paling manusiawi, tapi rasanya
aku tidak punya kekuatan untuk mengangkat machete
itu. Aku merasa terkuras,-hab'is.
Ia berusaha bicara, mulutnya membuka dan menutup. Tapi tidak terdengar suara, cuma gelegak dalam
dadanya. Dan kemudian, sangat lambat, seakan bergerak di bawah air, ia menarik tangan kirinya dari leher
dan mengulurkannya ke rak di sisinya. Ia meraih leher
botol saus tomat yang ada di sana, lebih mendorongnya
daripada melemparnya, melontarkannya ke arahku.
Botol tersebut mengenai kakiku. Tidak sakit; botol
tersebut memantul dan pecah menjadi tiga hampir
sama besar. Aku menatapnya, warna kemerahan lain
lagi muncul di sana. .
487 "Dan kau berkata, 'Tuhan bertindak dengan cara
yang misterius Apa artinya buatku " Kau berkata,
'Apa itu bukan semacam penolakan kewajiban Se
macam alasan pelarian waktu situasi memburuk dan
pendetamu- tidak punya penjelasan " Kau berkata,
"Mana Tanggung Jawab Mana Keadilan " Kau marah
dan merasa layak mendapat jawaban...."
Ia kembali memegang tenggorokannya. Darah membanjir dari sela jarinya, tapi sekarang lebih lemah.
Ketika jatuh ia melakukannya bertahap, ragu-ragu
sejenak pada setiap tahap, seperti aktor yang sedang
berakting secara berlebihan. Ia berlutut pada satu
lututnya, mendarat pada kepingan kaca, menghancur
kannya dengan suara mengerikan. Ia berhenti sejenak,
menyeimbangkan diri, berhenti lagi, kemudian jatuh
menyamping. Kepalanya menghantam dasar rak, memantul pada sudut yang aneh, tangannya lepas dari
lehernya.
Semuanya terjadi dalam gerakan lambat.
"Katakan ada yang berkata padamu, 'Tuhan yang
memberi. Tuhan yang mengambil! Apa artinya bagi
mu "
Aku menatapnya, menghitung dalam kepalaku sebagaimana yang kulakukan dcngan Pedersen di tepi
cagar alam. Aku menghitung hingga lima puluh, meng
hela napas di sela hitungan. Saat kuawasi darah
perlahan berhenti mengalir dari lehernya.
Kujejalkan machete itu ke sabukku seperti bajak
laut. Kemudian topeng ski kulepaskan. Udara terasa
dingin di wajahku, menenangkan, tapi bau tubuh
Jacob tetap menempel di hidungku dan tampaknya
menempel di pipiku, seperu' minyak. Kulepas kausnya.
488 Punggungku basah kuyup oleh- keringat. Kurasakan
keringatku mengalir sepanjang tulang belakangku, me
resap ke bagian'pinggang celana dalamku.
"Atau mereka berkata, 'Pikiran seseorang merencanakan jalannya, tapi Tuhan menentukan langkah
nya....'"
Aku mau memeriksa denyut nadi si kasir tapi
bayangan menyentuh pergelangannya membuat perutku
mual, jadi kubiarkan. Ia telah tewas. Bisa kutebak
dari jumlah darah di lantai genangannya besar, menyebar sepanjang bagian belakang toko dan meresap
di sepanjang lorong tengah, bercampur dengan anggur,
kecap, dan pecahan kaca, tampak tidak nyata, men
jijikkan, seperti sesuatu dari mimpi buruk.
"Atau mereka berkata, 'Tuhan menjadikan semuanya
ada tujuannya, bahkan bagi orang jahat untuk hari
penghukuman...."
Aku berdiri di tempat, mendengarkan suara pendeta
tersebut. Ia berada di studio, dan kedengarannya ada
orang orang bersamanya, sesekali menyahut "Amin!"
atau "Glory!" atau Haleluya!" Dan kemudian terdengar ratusan, mungkin ribuan orang di seluruh wilayah Ohio, Michigan, Indiana. Illinois, Kentucky, Vir
ginia Barat, Pennsylvania duduk di rumah mereka,
melaju dalam mobilnya, mendengarkan. Masing masing
terkait dengan yang lainnya, dan semuanya terkait
denganku, hanya oleh suara pria ini.
Dan mereka tidak tahu, pikirku. Mereka tidak
tahu remang hal ini.
Dengan sangat lambat, kurasakan diriku mulai te
nang. Denyut nadikku melambat; tanganku berhenti
gemetar. Aku hampir merusakkan segalanyadengan
489 datang kemari, tapi sekarang aku telah membereskannya. Kami akan baik baik saja.
Kuangkat bajuku untuk melihat dadaku. Memamya
mulai muncul, ungu tua di tulang rusukku.
"Izinkan aku memberitahu tentang nasib, Saudarasaudara. Apa arti kata itu bagimu Kalau kukatakan
sudah nasibmu untuk mati suatu hari nanti, adakah di
antara kalian yang akan menentangku Tentu saja
tidak. Tapi kalau kukatakan sudah nasibmu untuk
mati pada hari tertentu, pada jam tertentu, dan dengan
cara tertentu, kau pasti menggeleng dan menganggapku
bodoh. Tapi itulah yang akan kukatakan padamu..."
Aku menggeleng, seakan mengantuk, lalu bergegas
melangkah ke bagian depan bangunan, mencondongkan
tubuh melewati meja kasir, dan mematikan radio.
Tanda MAAF, KAMI TUTUP tergantung di pintu
depan, dan kubalikkan hingga menghadap ke luar.
Aku juga mau memadamkan lampu, dan menghabiskan
waktu hampir semenit mencari tombolnya sebelum
menyerah dan kembali ke belakang toko.
Tanpa suara pendeta bangunan tersebut terasa sangat sunyi. Setiap suara yang kubuat memantul dari
rak makanan, terdengar samar, mirip suara hewan
pengerat.
Kuseret kasir itu ke gudang. Ia lebih ringan dari


Rencana Sederhana A Simple Plan Karya Scott Smith di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dugaanku, darahnya telah kering, tapi masih saja
bukan tugas yang mudah. Tubuhnya sulit digerakkan,
kaku, dan lantainya licin oleh darah.
Dadaku berdenyut keras setiap kali bergerak.
Gudang itu berupa ruang persegi kecil. Di dalamnya
ada kain pel, ember, dan persediaan cairan pembersih
di rak. Di bagian belakangnya terdapat wastafel dan
' 490
toilet yang tampak kotor. Bau desinfektan sangat kuat
tercium. Tidak ada pintu keluar. Kalau. aku lari ke
sana, aku pasti terjebak.
Kuseret kasir itu ke dalam, tapi harus berhenti di
tengah jalan untuk melepaskan tangannya yang terkait
pada ambang pintu. Kuletakkan tangannya di dada,
seperti mayat di peti mati, kemudian menariknya
masuk, menyandarkan kakinya pada toilet agar ada
cukup mangan untuk menutup pintu. Kuambil dompet,
arloji, kunci, dan memasukkannya ke sakuku.
Begitu mayatnya tersembunyi, aku kembali melewati
genangan ke bagian depan bangunan. Aku bergerak ke
balik meja kasir dan membuka kasnya. Lembaran
ratusan dolarnya ada di dasar laci. Satu-satunya ratusan.
Kulipat dua dan menyelipkannya ke saku depan jins ku.
Di meja terdapat tumpukan kantong kertas. Kuambil
satu, kubuka dan memasukkan 1si kas ke sana uang
kertas recehan, semuanya.
Saat menutup laci dan mataku menjelajahi rak di
sekitarku untuk mencari benda benda yang bisa dicuri
gelandangan, sebuah mobil berhenti di tempat parkir.
Melihatnya membuatku lumpuh, membeku di tempat,
tanganku tergantung di udara di atas kas. Kuawasi
mobil tersebut bergulir ke tepi bangunan, lampu sorotnya berkilau mengenai jendela depan.
Kaus dan topeng skiku tergeletak di meja kasir di
depanku. Kuambil kausnya dan mengenakannya, tapi
lengannya terbelit, dan aku tidak bisa memasukkannya
ke kepalaku. Akhirnya aku cuma memegangnya di
dada, seakan berharap untuk bersembunyi di baliknya.
Lampu depannya dipadamkan, dan mesinnya juga.
Seorang wanita turun.
491 Kuambil machete dari sabukku dan kuletakkan di
meja, menutupinya dengan koran milik si kasir.
Kau bisa melihat genangan darah dan anggur dari
pintu depan, bisa menatap lurus kebelakang toko
melalui lorong tengah. Jejakku juga tampak, mengarah
ke meja kasir, bagai dicatkan pada ubin, seperti pada
sekolah dansa, merah terang, sempurna, dan tepat,
tepi-tepinya masih berkilau basah. Aku menatapnya
dari meja kasir, dadaku serasa sesak. Kusadari tadi
aku kurang hati hati, ceroboh. Aku telah meninggalkan
petunjuk.
Saat wanita tersebut niendekati pintu depan, ada
pesawat terbang rendah, meraung saat mendarat di
bandara, mesinnya membuat bangunan ini bergetar.
Ia berpaling memandangnya sedikit membungkuk, dan
secara naluriah mendengar suaranya. Ia tua, mungkin
akhir enam puluhan, dan berpakaian dengan anggun
jas bulu gelap, anting anting mutiara, sepatu hak
tinggi hitam, dompet hitam keeil. Wajahnya, sekalipun
ada lapisan pemerah pipi yang tebal, menunjukkan
kepucatan, seakan baru saja sakit Ekspresinya mantap,
tegas, seperti terlambat untuk sesuatu dan bergegas
mengejarnya.
Ia membuka pintu, mendapatinya terkunci, lalu
mengulurkan tangannya yang terbungkus sarung tangan
hitam ke kaca untuk mengintip ke dalam. Ia segera
melihatku berdiri membeku di balik meja kasir. Ia
memeriksa arlojinya, kemudian mengangkat dua jari.
Kuawasi mulutnya untuk menangkap apa yang dikatakannya. "Enam... kurang... dua... menit."
Aku menggeleng. "Tutup," teriakku.
Sebuah suara berbisik gila gilaan dalam kepalaku,
492 nadanya tinggi, panik. Biarkan dia pergi, katanya.
Dia tidak akan mengingat apa-upa. Tampaknya kau
sudah tutup, seakan kau sudah siap untuk pulang.
Biarkan dia pergi. '
Kuletakkan tangan di meja dan menggeleng lagi,
berharap ia kembali ke mobilnya.
Ia mengetuk pintunya.
"Aku cuma butuh sebotol anggur," teriaknya mev
nembus kaca. Kudengar suaranya, tapi seakan jauh.
Suaranya membuatku teringat pada seseorang yang
kukenal, sekalipun tidak tahu siapa tepatnya.
"Sudah tutup," teriakku.
Ia menggedor pintu. "Please."
Kupandang tanganku, memeriksanya dengan sangat
lambat, jari demi jari, untuk meyakinkan tidak ada
darah di sana. Ketika kembali menengadah, ia masih
di sana. Kusadari ia memaksaku; ia tidak akan pergi.
Ia kembali mengetuk pintu. "Anak muda!"
Aku tahu apa yang akan kulakukan, kulihat bagaimana akhirnya. Tiga bulan terakhir telah mempersiap
kanku, melatihku, dan sekarang semua beban masa
lalu menyingkirkan kemungkinan lain, menganggapnya
tidak berdaya, sekadar perhitungan setengah setengah
dan hanya tindakan paling drastislah yang bisa membereskan. Aku baru saja menghabiskan tiga jam berbicara dengan polisi. Kalau ia mampu mendeskripsikan
pakaianku, mereka akan segera tahu siapa itu. Dan
kemudian aku akan tertangkap; aku akan dipenjara.
Kukenali kengeriannya, menyadari bahwa perbuatan
yang akan kulakukan merupakan perbuatanku yang
paling buruk lebih buruk daripada membunuh kakakku bahwa tindakanku ini akan kusesali seumur
_ 493 hidup, dan sekalipun begitu, dengan sadar aku memilih
untuk melakukannya. Aku takut, gugup, dan terjebak.
Aku baru saja membunuh seseorang dengan machete.
Di celana dan botku terdapat darah dan setiap kali
menghela napas kucium bau Jacob.
Aku melangkah ke luar dari meja kasir.
"Satu botol anggur!," teriaknya dari balik kaca.
Kubuka pintu dengan kunci kasir. Kutarik pintunya,
memandang mobilnya sekilas untuk memastikan ia
sendirian. Mobilnya kosong.
"Aku_takkan lama," katanya, kedengaran sedikit
kehabisan napas. "Aku cuma butuh anggur untuk
makan malam, membawanya sebagai hadiah."
Ia melangkah masuk dan kututup pintu di bela
kangnya, memutar kuncinya hingga berbunyi. Kemu
dian kusimpan kunci itu dalam saku celanaku.
Ia berbalik memandangku. "Kau menjual anggur,
bukan "
"Tentu saja," kataku. "Anggur, bir, sampanye..."
Ia menungguku melanjutkan, tapi aku berhenti.
Aku berdiri di'tempatku, tersenyum, tubuhku menghalanginya dari pintu. Sekarang setelah aku mengambil
keputusan, aku sangat tenang. Sama seperti perasaanku
ketika menghabisi Sonny, seperti naik ke panggung
memainkan peranku.
"Well Mana " Ia belum menyadari jejak berdarah.
"Kita harus membuat perjanjian dulu."
"Perjanjian " tanyanya kebingungan. Ia memandangku, benar benar memandang, menilaiku untuk pertama
kalinya, mempelajari wajahku, ekspresi mataku. "Aku
tidak punya waktu untuk bergurau, Anak Muda,"
katanya, kepalanya dimiringkan, mirip kepala elang. &
494 "Aku menjatuhkan rak anggur." Aku menunjuk ke
bagian belakang toko.
Ia mengintip ke lorong tengah, memandang ge
nangan. "Dear me," katanya.
"Kain pelku ada di rak dalam gudang, dan aku
harus naik tangga untuk mengambilnya. Aku butuh
orang untuk memegangi tangganya."
Ia menatapku lagi. "Kau memintaku memegangi
tangganya "
"Aku membantumu, mengizinkanmu masuk saka;
rang."
"Membantu " Ia mendengus. "Kau tutup lebih pagi,
berusaha menyelinap pulang sebelum waktunya..Kurasa bosmu tidak akan menganggap ini bantuan."
"Kau cuma perlu memegangi "
Wanita tersebut mengetuk arlojinya. "Pukul enam
kurang dua menit. Bantuan! Aku tidak pernah mende
ngar alasan seperti ini."
"Dengar," kataku. "Aku tidak bisa membersihkannya tanpa pel. Dan aku tidak bisa mengambil kain
pclnya tanpa bantuanmu."
"Siapa yang pernah mendengar menyimpan kain
pel di rak "
"Aku cuma meminta sedikit waktumu."
"Aku berdandan untuk makan malam. Lihat diriku!
Aku tidak bisa memegangi tangga dengan pakaian
seperti ini."
"Bagaimana kalau kuberi anggur gratis " tanyaku.
"Kau boleh pi1ih yang mana, gratis. Kau cuma perlu
ke gudang dan memegangi tangga untukku."
Ia ragu ragu, wajahnya berkerut saat berpikir. Di
495 balik jendela, mobil berlalu-lalang, satu demi satu,
membentuk aliran cahaya yang stabil.
"Katamu kau punya sampanye "
Aku mengangguk.
"Dom P&ignon "
"Ya," kataku. "Tentu saja."
"Kalau begitu aku mau yang itu."
"Baik," kataku. "Kau akan memperolehnya." Aku
mundur ke meja kasir dan mengambil koran, melipatnya menutupi machete. Kemudian aku kembali men
dekati wanita tersebut dan memegang sikunya.
"Kalau lewat lorong terjauh, kita bisa. menghindari
genangannya."
Ia membiarkan dirinya kubir'nbing. Tumitnya ber
detak keras menghantam lantai ubin. "Penampilanku
tidak akan kacau, bukan Aku tidak akan melakukan
nya kalau harus menyentuh kotoran."
"Semuanya sangat bersih," kataku menenangkannya.
"Cuma menegakkan tangganya." .
Kami mengarah ke lorong terjauh. Mataku men
jelajahi rak saat kami melintas, mencatat barangbarang yang ada secara acak roti, roti kecil, saus
salad, kertas toilet. tisu, busa, buah kalengan, beras,
cracker, pretzel, kripik kentang. _
"Aku tidak punya banyak waktu," katanya. Ia
menyapu mantel bulunya, sekilas melirik arlojinya.
"Aku sudah terlambat." . ,
Aku masih tetap memegangi sikunya. Machete
kupegang dengan tangan kiri. Bisa kurasakan matanya
di balik kertas.
"Aku naik dan turun tangga, kuambilkan sampanye
49'6 mu, secepat ini" kulepaskan sikunya dan menjentikkan jari "kau sudah pergi."
"Ini situasi yang sangat aneh," katanya. "Rasanya
aku tidak pemah mengalami kejadian seperti ini."
Aku kembali memegang sikunya, dan ia menengadah memandangku.
"Kau tahu, aku tidak akan pernah kembali kemari
lagi," katanya. "Ini terakhir kali aku belanja di sini.
Seperti inilah yang membuat pelanggan jera, Anak
Muda".
Akumengangguk, hampir tidak mendengarkan. Tanpa merasakan pendekatannya, aku tiba tiba gugup.
Bisa kurasakan darah mengalir deras ke kepalaku,
seakan semua pembuluhku terlalu kecil untuk menampungnya. Kami mendekati ujung lorong. Genangannya
telah menyebar hingga ke dinding, menghalangi jalan.
Di sekitar tepinya terdapat jejak bot dan seretan
mayat si kasir. Wanita tersebut seketika berhenti saat
melihatnya dan mengentakkan kakinya.
"Aku tidak akan berjalan di atasnya."
Aku mempererat cengkeramanku, memindahkan tu
buhku ke belakangnya. Kudorong ia ke arah gudang.
"Apa apaan kau Anak Muda "
Machete terbungkus koran kuselipkan ke ketiak
dan kemudian, mencengkeramnya dengan dua tangan,
setengah menggendong dan setengah mendorongnya
ke genangan merah tua. Ia melangkah dengan ujung
kaki berusaha menentang, kakinya berbunyi mk, tok,
tok, di ubin.
"Ini keterlaluan," katanya, suaranya meninggi menjadi jeritan kecil.
Aku berhenti sejenak saat berusaha memutar kenop
497 pintu. Saat menunduk, kulihat sepatunya, bernoda
dari genangan. Keduanya mungil, seperti kaki kanakkanak.
"Aku... tidak... terima..," ia menggagap, berusaha
membebaskan diri. Aku mencengkeram mantelnya
kuat kuat dan tidak membiarkannya lepas.
"...diperlakukan...sepetti..."
Pintu berhasil kubuka. Kaselipkan tangan ke punggungnya dan mendorongnya ke dalam. Dengan tangan
yang lain, kulepaskan machen: dari koran. Korannya
melayang jatuh ke genangan.
Ia tersandung, tampaknya merasakan mayat di
depannya sebelum benar-benar menyadari apa itu dan
dengan dua langkah cepat berhasil memperoleh ke
seimbangannya, satu kali mendarat dekat kepala si
kasir, yang lain di samping dadanya.
Ia berbalik memandangku, mulutnya terbuka mau
memprotes, tapi kemudian pandangannya teralih ke
bawah oleh bentuk halangan yang terasa akrab di
kakinya.
"Oh Tuhan, " katanya.
Aku bermaksud melakukannya dengan cepat, secepat
dan sebersih mungkin, menghantamnya dari belakang,
keras, lalu pergi, tapi suaranya menghentikanku. Kusadari ia mengingatkanku pada siapa. Sarah nada
suara yang sama, hanya sedikit lebih tinggi karena
usia; kemantapan yang ada di balik kata katanya,
kepercayaan diri dan resolusi yang sama. Aku berpikir
sendiri, Beginilah suara Sarah kalau setua ini.
Wanita tersebut memanfaatkan keragu mguanku untuk
berbalik padaku, dan ekspresi wajahnya campuran
takut,jijik, bingung membuatku berhenti lebih lama.


Rencana Sederhana A Simple Plan Karya Scott Smith di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

498 "Aku tidak..." Ia terdiam, menggeleng. Ruangan
tersebut gelap; satu satunya cahaya berasal dari pintu
yang terbuka, tempatku berdiri. Bayanganku menutupi
hingga pinggang wanita tersebut. Kuangkat marketeku ke depanku, seakan untuk mengusirnya.
"Ada apa ini " tanyanya, suaranya sedikit gemetar
tapi masih terdengar tenang. Aku mengawasinya saat
ia dengan hati hati mengatur posisi kakinya, berbalik
begitu rupa hingga menghadapku lurus-lurus. Ia mengangkangi mayat si kasir, meletakkan kakinya di
kedua sisi perutnya. Tepi mantel bulunya sedikit menggumpal, menempel pada mayat.
Aku tahu seharusnya aku membunuh wanita tersebut, bahwa semakin lama berdiam di sini, semakin
membahayakan posisiku, tapi pendidikan seumur hidup
tentang bagaimana bermasyarakat yang baik telah
mengatasinya. Secara otomatis, tanpa berpikir, kujawab
pertanyaannya.
"Kubunuh dia," kataku.
Ia memandang wajah si kasir sekilas, kemudian
memandangku kembali.
"Dengan itu " tanyanya, memberi isyarat ke machete.
Aku mengangguk. "Ya. Dengan ini."
Kami kemudian saling pandang, mungkin selama
sepuluh atau lima belas detik, sekalipun rasanya lebih
lama lagi. Kami berdua saling menunggu yang lainnya
untuk memulai bertindak.
Kueratkan genggamanku pada machete. Benakku
mengirimkan perintah pada lenganku jelas, tepat,
langsung. Bacok dia, katanya. Tapi lenganku tetap di
depanku, tidak bergerak.
499 "Kau ini orang macam apa " tanya wanita tersebut
akhirnya.
Pertanyaan tersebut mengejutkanku. Aku menatapnya, berpikir. Tampaknya penting bagiku untuk men
jawab dengan jujur. "Orang biasa," kataku. "Sama
seperti yang lainnya."
"Biasa Cuma monster yang bisa..."
"Aku punya pekerjaan. Istri dan putri yang masih
bayi."
Ia mengalihkan pandangannya ketika aku mengata
kannya, seakan perkataanku adalah sesuatu yang tidak
ingin didengarnya. Ia menyadari mantelnya menempel
pada mayat si kasir, dan ia berusaha mengatur letak
nya, tapi mantelnya terlalu panjang. Ia kembali memandangku.
"Tapi bagaimana kau bisa melakukannya "
"Terpaksa."
"'IkrpaksaT' tanyanya, seakan gagasan tersebut tidak
masuk akal. Ia menatap machen: dengan jijik. "Kau
terpaksa membunuhnya dengan benda itu "
"Aku mencuri'uang."
"Tentu saja kau bisa mengambilnya tanpa perlu
membunuhnya. Kau bisa saja..."
Aku menggeleng. "Bukan darinya." Kutemukan di
pesawat."
"Pesawat "
Aku mengangguk. "Empat juta dolar."
Sekarang ia kebingungan. Aku'membingungkannya.
"Empat juta dolar " '
"Itu uang tebusan. Dari penculikan."
Ia mengerutkan kening, seakan mengira aku berbo
500 hong. "Apa hubungannya dengan dia " tanyanya de
ngan marah, menunjuk si kasir. "Atau aku "
Kucoba untuk menjelaskan. "Kakakku dan aku
membunuh seseorang agar orang itu tidak menemukan
uangnya. Dan kemudian kakakku menembak sahabat
terbaiknya untuk melindungiku, dan aku menembak
kekasih temannya dan pemilik rumah mereka untuk
melindungi kakakku, tapi kemudian dia mulai kacau,
jadi aku harus menembaknya untuk melindungi diri,
dan kemudian penculiknya..."
Ia menatapku, dan ketakutan di wajahnya meng
hentikanku, membuatku sadar bagaimana pandangannya tentang diriku. Ia pasti menganggapku sinting,
psikopat.
"Aku tidak gila," kataku, berusaha meredam suara
ku agar terdengar rasional dan tenang. "Semuanya
masuk akal. Semuanya terjadi susul menyusul."
Kesunyian timbul cukup lama, akhirnya terpecahkan
oleh raungan pesawat yang terbang di atas kepala.
Seluruh bangunan menggemakan deru mesinnya.
"Sudah kucoba mengusirmu," kataku, "tapi kau
terus saja mengetuk. Kau tidak mau mendengar,"
Wanita tersebut membuka dompetnya. Ia melepas
anting-antingnya dan memasukkannya ke dalam dompet.
"Ini," katanya, mengulurkannya padaku.
Aku menatapnya, tidak memahami maksudnya.
"Ambil," katanya.
Kuulurkan tangan kiriku dan mengambil dompetnya.
"Aku bukan melakukannya detni uang," kataku.
"Aku melakukannya agar tidak tertangkap."
Ia tidak mengatakan apa-apa. Ia tidak tahu apa
yang kubicarakan.
501 "Ini seperti cerita lama. tentang orang orang yang
menjual jiwanya. Aku melakukan perbuatan buruk,
dan perbuatanku menyebabkan perbuatan lainnya,
terus-menerus, sampai akhirnya berakhir di sini. Ini
dasarnya." Kulambaikan n_zachete ke arah si kasir.
"Ini yang paling buruk. Aku tidak bisa lebih jauh
lagi."
"Tidak," kata wanita tersebut, menekankan pernya
taan terakhirnya seakan mengira bisa menyelamatkan
nyawanya. Ia meluruskan tubuhnya. "Tidak akan lebih
jauh lagi."
Ia mau mengulurkan tangannya ke arahku, dan aku
melangkah mundur, memindahkan berat tubuhku.
"Kita hentikan sampai di sini," katanya. "Setuju "
Ia berusaha menatap mataku, tapi aku berpaling,
memandang mayat si kasir. Mayat tersebut menatap
langit langit. _
"Kita hentikan sampai di sini," katanya. Ia melangkah maju, ragu l'agu, menggeser kakinya di ubin,
seakan melangkah di kolam beku, mencoba licinnya es.
Aku masih mendengar Sarah dalam suaranya, tepat
di bawah permukaannya. Kucoba untuk menghalanginya tapi gagal. Dompet di tangan kiri dan machete di tangan kanan terpegang kaku di depanku.
"Akan kubantu," katanya.
Ia sekarang tepat di sampingku, mengitariku ke
pintu yang terbuka, bergerak perlahan dengan hati
hati, seakan aku semacam hewan liar yang tidak
ingin dikejutkannya. _
"Segalanya akan beres," katanya.
Ia melangkah lagi dan tiba di ambang pintu. Aku
berpaling mengawasinya.
502 Sejenak, aku benar benar berpikir untuk melepas
kannya. Aku akan membiarkannya membereskan segalanya untukku, akan mempercayakan diri padanya.
Tapi kemudian ia memunggungiku. Ia tengah berjingkat jingkat ke genangan, dan apa pun yang tadinya
menghalangiku sekarang lenyap. Aku mengejarnya,
mengangkat machete di atas kepala, dan mengayunkannya ke Iehemya. Seperti si kasir, ia merasakan
kedatangan nmcheie sebelum terhantam. Ia mau lari
dan mengangkat tangannya, menjerit singkat di le
hernya, seakan berusaha menekan tawa, dan kemudian
mata machen: menghantamnya, menjatuhkannya ke
kiri. Ia membentur rak di sana, menyeret sejumlah
kaleng sup saat jatuh.
Tidak ada kematian melodramatis ala si kasir. Ia
langsung jatuh ke genangan, berlumuran darah, dan
tewas. Kaleng sup bergulir melintasi ubin dengan
menimbulkan bunyi logam beradu, yang mana, ketika
akhirnya berhenti, memperdalam kesunyian di dalam
toko.
Segalanya tidak bergerak.
Hampir pukul 19.00 saat aku tiba di rumah. Mobil
kuparkir di jalur masuk, dan dengan kehati-hatian
yang ditimbulkan jendela tetanggaku meninggalkan
machete dan mantel bulu wanita tersebut di mobil.
Saat tiba di serambi. kucium bau kayu terbakar
yang tajam dan menenangkan. Sarah menyalakan per
apian.
Kulepas bot di serambi dan membawanya masuk.
Ruang depan gelap, pintu ke kamar duduk tertutup
rapat. Di lorong bisa kudengar Sarah mondar-mandir
503 di dapur. Terdengar detak lembut pintu lemari pen
dingin dibuka, kemudian denting gelas. Ia berkelebat
di pintu yang terbuka, mengenakan jubahnya, ram
butnya tergerai. Ia tersenyum padaku saat melintas.
"Tunggu," teriaknya. "Jangan masuk sebelum kuizinkan."
Lampu dapur dipadamkan, dan kudengar ia pindah
ke kamar duduk. Aku berdiri tidak bergerak di 'ruang
depan yang gelap, mendengarkan, bot di satu tangan,
kantong kertas berisi uang di tangan yang lain. Bisa
kutebak dari suaranya bahWa ia sedang bersemangat,
gembira. Ia mengira kami sekarang telah bebas, bebas
dan kaya, dan ia sudah merencanakan perayaan. Tidak
bisa kubayangkan bahwa aku akan memberitahukan
ha] yang berbeda.
"Oke!" teriaknya. "Masuklah."
Aku melangkah maju hampir tanpa suara, kakiku
terbungkus kaus kaki. Aku tnenjepit kantong kertas
itu di ketiak kiriku, dan menggeser pintu.
"Voiliz!" kata Sarah penuh kemenangan.
Ia tengah berbaring di lantai, bersandar pada siku
nya. Ia telah melepas jubah mandinya dan mengambil
karpet kulit beruang dari depan perapian. Karpet
tersebut membungkus tubuhnya seperti selimut, dan
ia telanjang di baliknya. Rambutnya dibiarkan tergerai
di wajahnya, menyembunyikan ekspresinya, tapi bisa
kutebak dari caranya menahan kepala bahwa ia tengah
tersenyum padaku. Di lantai dekat sikunya terdapat
botol sampanye. Di sampingnya terdapat dua gelas.
Semua lampu dipadamkan; ruangan hanya diterangi
oleh balok yang terbakar di perapian, pantulannya
pada cermin di dinding seberang bergetar sedikit,
504 seakan ada yang meninju dinding luar rumah. 'Iirai
depan ditutup.
Kulihat ranselnya sebelum melihat uangnya. Ransel
itu tergeletak di pintu masuk ke dapur, tergulung,
kosong. Uangnya di lantai, tertata rapi, ikatan demi
ikatan, membentuk permukaan hijau ,di karpet. Sarah
berbaring di atasnya.
"Inilah rencananya," katanya parau, melalui topeng
rambutnya. Ia mengangkat botolnya ke arahku. "Kita
akan mabuk sedikit dan kemudian kita bercinta di
atas uangnya."
Nada seksi dalam suaranya lenyap pada beberapa
kata terakhir dan tiba tiba berubah 'malu. Ia menyelesaikannya dengan tawa kecil. "Kita sudah menyiapkan ranjangnya," katanya, memberi isyarat de
ngan tangan ke arah uangnya, "dan sekarang kita
akan tidur di atasnya."
Aku tidak beranjak dari ambang pintu. Aku masih
mengenakan topi dan parka ku. Kesunyian timbul
cukup lama sementara ia menungguku mengucapkan
sesuatu. Tapi aku tidak mengatakan apa-apa; benakku
kosong, tumpul.
"Kau mau makan dulu " tanyanya, suaranya menunjukkan kekhawatiran. "Kau belum makan malam "
Ia menegakkan tubuh sedikit, karpetnya melorot
dari bahunya, menampilkan salah satu payudaranya.
"Ada ayam dingin di lemari es," katanya.
_ Pintu kututup, kemudian berbalik kembali menghadapnya. Aku tidak tahu bagaimana menceritakannya
aku menunggu kesempatan. Aku merasa seperti akan
melakukan sesuatu yang sangat kejam.
505 "Mana Amanda " tanyaku, tidak mampu memikir
kan pertanyaan lain.
Sarah menyingkirkan rambut dari wajahnya. "Di
atas," katanya, "Tidur." Dan kemudian, setelah ber
henti sejenak, "Kenapa "
Aku mengangkat bahu.
Ia menegakkan duduknya sedikit lagi, bersandar
pada tangannya. Cukup lama ia memandangku pe
nasaran. "Hank " katanya. "Ada apa "
Aku masuk ke dalam ruangan, mengitari uangnya,
dan duduk di kursi piano di belakangnya. Kucondong
kan tubuhku untuk meletakkan botku di lantai, tapi
kemudian membatalkannya dan memangkunya, meletakkannya di atas kantong uang. Terdengar bunyi
berderak. Sol botku bernoda kehitaman. Dan berbau
anggur. ' _ _
"Kau minum minum " tanya Sarah. Ia harus ber
putar untuk melihatku, dan saat berbuat begitu, duduknya tegak lurus, menyilangkan kaki.
Aku menggeleng lamban. "Uangnya ditandai," kataku.
Ia menatapku. "Kau mabuk, Hank. Bisa kucium
baunya." Ia menarik karpet menutupi bahunya, menu
tupi buah dadanya. Lutut kirinya menonjol keluar di
bawah, keras dan pucat dalam cahaya api, seperti
marmer.
"Uangnya ditandai," ulangku.
"Kau ke mana Bar "
"Kalau kita gunakan, kita akan tertangkap."
"Kau bau, Hank. Baumu seperti Jacob." Suaranya
meninggi pada pernyataan terakhir, marah. Aku me
rusak perayaannya.
506 "Aku tidak minum apa pun, Sarah. Aku sadar
sepenuhnya."
"Aku bisa mencium baunya."
"Di bot dan celanaku," kataku. Kuulurkan botnya
kepadanya. ""Dua duanya terendam anggur."
Ia mulanya menatap botku, kemudian menatap noda
kehitaman pada jins ku. Ia tidak mempercayaiku. "Dari
mana kau bisa jadi seperti ini " tanyanya, suaranya
terdengar marah.
"Dekat bandara."


Rencana Sederhana A Simple Plan Karya Scott Smith di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bandara " Ia menatapku seakan aku berbohong.
Ia masih belum mengerti.
_"Uangnya ditandai, Sarah. Mereka akan melacak
kita kalau kita menggunakannya."
Ia menatapku, kemarahan perlahan lenyap dari wajahnya. Bisa kulihat ia berpikir, bisa kulihat apa
yang dipikirkannya satu demi satu menempati posisinya.
"Uangnya tidak ditandai, Hank."
Dalam kepalaku kuulangi semua perbuatanku setelah
metnbunuh wanita tersebut, memeriksa satu per satu.
Aku merasa lelah, bodoh, seakan telah melupakan
sesuatu yang penting.
"Kau menjadi paranoia," katanya. "Kalau uangnya
ditandai, mereka akan mengatakannya di koran."
"Aku berbicara sendiri dengan orang FBI. Mereka
sendiri yang mengatakannya."
"Mungkin mereka curiga kau mengambilnya. Mungkin mereka cuma mau menakut nakutimu."
Aku tersenyum sedih dan menggeleng.
"Mereka pasti mengatakannya di koran, Hank. Aku
yakin."
507 "Tidak," kataku. "Ini jebakan mereka. inilah cara
yang mereka gunakan untuk menangkap siapa pun
yang mengambilnya. Mereka mencatat nomor serinya
sebelum membayarkan tebusannya, dan sekarang bank
bank mencari nomor seri itu. Begitu kau mulai membelanjakannya, mereka akan segera menemukanmu."
"Mereka tidak mungkin berbuat begitu._ Ada 48
ribu lembar. Makan waktu terlalu lama."
"Mereka tidak mencatat semuanya. Cuma lima
ribu saja."
"Lima ribu "
Aku menggangguk.
"Jadi sisanya masih bisa dipakai "
Kulihat tujuannya dan aku menggeleng. "Kita tidak
bisa menentukan mana yang bisa dipakai, mana yang
tidak. Setiap kali kita membelanjakan selembar, ada
satu banding sepuluh kemungkinan uangnya sudah
ditandai. Kita tidak bisa mengambil risiko."
Cahaya api menyiramkan bayangan di wajahnya
sementara ia mempertimbangkannya. "Aku bisa melamar di bank," katanya. "Aku bisa mencuri daftar ini."
"Kau tidak akan memperolehnya di bank biasa.
Cuma ada di Federal Reserve Bank."
"Kalau begitu aku akan melamar di sana. Ada
satu di Detroit, bukan "
Aku mendesah. "Hentikan, Sarah. Sudah berakhir.
Kau cuma mempersulitnya."
Ia mengerutkan kening memandang kasur uang itu.
"Aku sudah membelanjakan satu," katanya. "Malam
tm."
Kuambil uang dari saku depanku. Kubuka lipatannya dan mengulurkannya pada Sarah.
508 Ia menatapnya selama beberapa detik, kemudian ia
memandang botku.
"Kau membunuhnya "
Aku mengangguk. "Segalanya sudah berakhir, Kekasih."
"Bagaimana "
Kuceritakan perbuatanku. bagaimana aku menelepon
polisi tentang pencari tumpangan, bagaimana kasimya
mengejarku sewaktu mau kummpok, dan bagaimana
kubacok dia dengan machere. Kuangkat bajuku untuk
menunjukkan memarku, tapi ia tidak bisa melihatnya
dalam cahaya suram. Ia menginterupsiku sebelum aku
sempat bercerita tentang wanita tersebut.
"Oh, Hank," katanya. "Teganya kau "
"Aku tidak punya pilihan. Aku harus memperoleh
uangnya."
"Seharusnya kaubiarkan saja."
"Dia pasti mengingatmu, Sarah. Dia pasti ingat
bayinya, dan Ceritamu tentang uangnya. Mereka akan
melacak kita."
"Dia tidak tahu siapa "
"Kau terekam di TV sewaktu pemakaman Jacob.
Dia pasti akan menggambarkanmu, dan akan ada
yang teringat. Mereka akan menyatukannya."
Ia memikirkannya selama beberapa detik. Karpetnya
telah melorot di bahunya lagi, tapi ia tidak mengacuhkannya.
"Kau bisa membawa lima lembar dua puluhan ke
toko," katanya, "memintanya mengembalikan uang
ratusannya, mengatakan bahwa istrimu sudah mem
belanjakannya, dan uang itu punya nilai sentimental."
"Sarah," kataku, hilang sabar, "aku tidak punya
509 waktu mengambil lima lembar dua puluhan. Aku
harus pulang dulu, aku harus ke sana sebelum dia
tutup."
"Kau bisa ke bank. "
"Bank tidak buka. "
Ia mau berkata lagi, tapi tidak kuizinkan.
"Tidak penting," kataku. "Sudah telanjur."
Ia menatapku, mulutnya terbuka mau berbicara.
Kemudian ia menutupnya dan mengangguk.
"Oke," bisiknya.
Kami tidak berbicara selama sekitar semenit ber
ikutnya. Kami berdua memikirkan tempat kami, dan
apa yang akan kami lakukan nanti. Sebuah balok
jatuh di perapian, menyebarkan bara dan embusan
panas. Bisa kudengar jam berdetak di atas kaitan
mantel.
Sarah mengambil seikat. "Paling tidak kita tidak
tertangkap," katanya.
Aku tidak mengatakan apa apa.
"Maksudku, ini bukan akhir dunia." Ia memaksa
tersenyum padaku. "Kita cuma kembali ke awalnya.
Kita bisa menjual konde, menjual piano..."
Pada saat ia menyebut kondo, kurasakan sakit
yang luar biasa di tengah dadaku, seakan terpanah.
Kusentuh tulang dadaku dengan ujung jari. Aku lupa
sama sekali tentang kondominiumnya, aku telah menyingkirkannya dari benakku.
Sarah melanjutkan. "Kita sudah melakukan perbuatan buruk, tapi karena terpaksa. Kita terjebak di
dalamnya, masing masing memimpin kita ke ber
ikutnya."
Aku menggeleng, tapi ia mengacuhkanku.
510 "Yang penting," katanya, "yang paling penting,
kita tidak tertangkap."
Ia berusaha membalik keadaan, meletakkannya dalam kondisi terbaik. Begitulah caranya mengatasi tragedi; aku mengenalinya seketika. Biasanya aku mengagumi perbuatannya itu tindakannya juga mempermudahku tapi sekarang rasanya terlalu sederhana, seperti
ia terlalu menganggap remeh, melupakan semua per
buatan kami. Sembilan orang telah terbunuh. Aku
sendiri membunuh enam di antaranya. Tampaknya
mustahil, tapi benar. Sarah tengah berusaha bersembunyi darinya, berusaha mengaburkan fakta bahwa
mereka tewas karena kami, karena rencana yang
kami susun, karena keserakahan dan ketakutan kami.
Ia ingin menghindari akibat perbuatannya, ingin melarikan diri dari kerusakan yang kami- tahu _akan
terjadi dalam hidup kami. Tapi kami tidak bisa melarikan diri; aku mengerti bahkan pada saat itu.
"Kita tidak bisa menjualnya lagi," kataku.
Ia memandangku, seakan terkejut mendengarku ber
bicara. "Apa "
' "Pianonya kubeli dari obralan." Kuulurkan tangan
ke belakang dan menyentuh tutsnya, menekan salah
satunya, yang tinggi. Terdengar suara berdenting. "Mereka tidak mau menerimanya lagi."
Ia mengangkat bahu. "Kita bisa memasang iklan
dan menjualnya sendiri."
"Aku tidak membeli kondominium," kataku, meme
jamkan mata. Ketika kubuka ia tengah menatapku
kebingungan.
"Itu tipuan. Aku dirampok. Mereka mencuri uangku."
511 "A " katanya. "Apa katamu "
"Itu lelang palsu. Mereka mengambil Cekku dan
menguangkannya. Kondonya tidak pernah ada."
Ia menggeleng, membuka mulut untuk mengatakan
sesuatu, kemudian menutupnya, lalu membukanya lagi.
Akhirnya ia berkata. "Bagaimana "
Kubetulkan posisi bot di pangkuanku, menjajarkannya. Keduanya terasa kaku sekarang, darahnya telah
kering. "Entah."
"Kau tidak lapor polisi "
Aku tersenyum padanya. "Ayolah, Sarah."
"Kaubiarkan mereka mengambilnya "
Aku mengangguk.
"Semua tabungan kita "
"Ya," kataku. "Semuanya."
Ia menyentuh wajahnya, menyentuhkan punggung
tangan ke dahinya. Ia masih memegang ikatan uangnya. "Sekarang kita terjebak di sini," katanya, "benar
Kita tidak akan pernah bisa pindah."
Aku menggeleng. "Kita masih punya pekerjaan.
Kita bisa mulai lagi."
Aku berusaha mengendalikannya, tapi bahkan pada
saat berbicara, aku mulai merasakan seluruh beban
ucapannya. Dalam dua hari kami berubah dari miliuner
menjadi gelandangan. Kami punya 1.878 dolar di
bank; itu bukan apa-apa. Sebentar lagi kami harus
mulai mengusiknya untuk pembayaran tagihan bulanan rumah dan mobil, rekening telepon, listrik, gas,
air. Kami harus membayar tagihan'kartu kredit. Harus
membeli makanan dan pakaian. Mulai sekarang, se
galanya merupakan perjuangan, pertempuran terusmenerus untuk memenuhi kebutuhan kami. Kini kami
512 jatuh miskin; persis seperti orangtuaku. Padahal aku
pernah bersumpah tidak akan pernah jadi orang mis
kin. Kami juga tidak mampu meninggalkan Fort Ottowa.
Ketika kami menabung cukup banyak untuk pindah,
kmni harus memikirkan pendidikan Amanda, mobil
baru, atau pensiunku. Kami akan tinggal di sini
selamanya, dan aku tidak akan bisa membersihkan
rumahnya dari perbuatan kami. Ruangannya, dan be,
ban kenangan mereka yang berat, akan selalu ada di
sini, menunggu untuk menyergap dan menuduh kami.
Lantai di bawah ranjang tidak akan pernah berhenti
menjadi tempat kami menyembunyikan ransel tersebut,
kamar tamu tempat Jacob menghabiskan malam terakhirnya, dapur tempat kami menyusun kantong bayinya, piano tempat kami berusaha membaptis hidup
baru kami dengan bercinta sambil mabuk-mabukan.
Kami tidak sekadar kembali ke awal, sebagaimana
pengakuan Sarah. Kami kehilangan segalanya, menyerahkannya sejak hari pertama tanpa pemah menyadari
nya, dan sekarang kami tidak akan pemah tidak
peduli berapa lama kami hidup mampu mempero
lehnya kembali.
""Kita-masih punya uangnya," kata Sarah. Ia mengu
lurkannya kepadaku.
"Cuma kertas. Tidak ada artinya."
"Ini uang kita."
"Harus kita bakar."
"Bakar " tanyanya seakan terkejut. Ia menurunkan
uang tersebut ke pangkuannya. mengembalikan karpet
di bahunya. "Kita tidak akan membakarnya, beberapa
di antaranya masih baik."
513 "Aku juga harus menyingkirkan botku." Kuangkat
botku ke cahaya, memutamya di udara. "Bagaimana
caranya memusnahkan bot "
"T1dak akan kubiarkan kau membakar uangnya,
Hank."
"Dan sampanye yang kaubeli, juga dompet, arloji,
dan kunci milik kasir itu."
Tampaknya ia tidak mendengarku. "Kita bisa melari
kan diri membawanya," katanya. "Kita bisa pergi dan
menghabiskannya dalam perjalanan. Kita bisa meninggalkan negara ini, ke Amerika Selatan, Australia, tempat jauh. Kita bisa hidup seperti pelanggar hukum, seperti Bonnie dan Clyde." Ia berhenti, menatap ikatan
uang di sekitarnya. Uang tersebut tampak kemilau dalam cahaya api. "Beberapa masih baik," bisiknya.
"Juga dompet wanita," kataku. "Dan mantel bulu."
"Mungkin kalau kita tunggu cukup lama, mereka
akan melupakan nomornya. Kita bisa menyimpannya
sampai tua."
"Bagaimana caranya menyingkirkan mantel bulu "
Pandangannya beralih padaku, menatap wajahku
tajam. "Mantel bulu "
Aku mengangguk, merasa sedikit demam. Aku be
lum makan sejak pagi. Tubuhku begitu lelah dan
kelaparan hingga terasa sakit. Kusentuh memar di
rusukku, berusaha melihat kalau ada yang patah.
"Dari mana kau mendapat mantel bulu "
"Dari wanita tua," kataku. "Dia muncul sewaktu
aku masih di sana."
"Oh, Tuhan. Oh, Hank."
"Topengku sudah kulepas. Kucoba untuk mengusirnya, tapi dia tidak mau pergi."
514 Aku menatap perapian. Rasanya benakku tidak
terfokus, tanpa pegangan, seperti aku tidak bisa mempercayainya. Untuk sejumlah alasan aku mulai teringat
pada pilot pesawat, adik Vernon, dan tarikan yang
kurasakan ke mayatnya pada hari pertama, dorongan
tak tertahankan untuk menyentuhnya. Kemudian aku
teringat Alexander's, dan bagaimana, sebelum pergi,
aku mencoba membersihkan jejak botku dari lantai,
darahnya seakan semakin memerah saat kugosok, warna kehitamannya hilang, dan semakin lama semakin
merah muda. Berikutnya muncul bayangan Jacob,
berdiri di salju mengenakan jaket merah, hidungnya
berdarah, menangisi mayat Dwight Pederson. Dan
saat bayangan terakhir kakakku tersebut mencair dalam
benakku, kurasakan aku akan menggigil. Kusadari
sebentar lagi akan muncul lebih dari sekadar kebim
bangan sesaat. Ada hal hal yang harus kupertimbang
kan bagi diriku, penjelasan dan rasionalisasi, hal hal
yang harus kuhadapi yang membuat kehilangan uang
tersebut rasanya remeh.
Kita tidak punya apa apa lagi, pikirku, kata
katanya muncul tak terhalangi dalam kepalaku. Kami
tidak memiliki apa apa lagi.
"Oh, Tuhan." bisik Sarah lagi.
Kuletakkan bot di bangku piano, berdiri, dan mengitari uang ke perapian. Ia berpaling mengawasiku.
"Hank," katanya. '
Kutarik pelindung api dan, dengan gerakan cepat,
melempar kantong kertas berisi uang ke dalam balok
yang menyala.


Rencana Sederhana A Simple Plan Karya Scott Smith di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kita simpan saja uangnya," katanya. "Kita bisa
menyimpannya dan melihat apa yang terjadi."
'Jl ur Kantongnya terbakar dengan cepat, berkontraksi
sendiri, seperti tinju. Saat mulai lenyap dalam api,
koin-koi-nnya mulai berjatuhan satu demi satu,
berdenting berirama pada lantai semen di bawah
balok, Salah satunya, seperempat dolar yang hangus,
bergulir ke luar. Dengan kaki kukembalikan koin
tersebut ke dalam perapian.
"Hank," katanya. "Tidak akan kubiarkan kau membakarnya."
Amanda menaikkan suaranya, menjerit jen't, tangisannya bergema di lantai bawah. Kami berdua
tidak mengacuhkannya. '
"Harus, Sarah. Ini bukti terakhir."
"Tidak," mohonnya dengan suara bergetar, seakan
mau menangis. "Jangan."
Aku berjongkok di depan api. Bisa kurasakan
panasnya di wajahku, membuka pori poriku, "Aku
berjanji akan membakarnya kalau situasi menjadi tidak
terkendali," kataku. "Benar, bukan "
Ia tidak menjawab.
Kuulurkan tangan ke belakang hingga menyentuh
salah satu ikatan. Kuambil dan, memaksa diri untuk
tidak memandangnya, melontarkannya ke balok. Uang
tersebut tidak segera terbakar; kertasnya disusun terlalu
rapat. Hanya berasap di sekitar tepinya, tintanya
menghitam, membUat apinya berwarna kehijauan. Kuambil ikatan lain dan melemparkannya ke atas yang
pertama. Makan waktu lama untuk membakar semuanya. Dan kemudian aku harus menyingkirkan abunya,
mengubumya di halaman belakang atau menyiramnya
ke dalam toilet. Botnya, topeng ski, kaus, dompet
wanita tersebut, mantel bulunya, machete, perhiasan
516 wanita tersebut, dan arloji serta dompet dan kunci si
kasir.
Kudengar gemeres1k di belakangku. Sarah tengah
mengambili uangnya.
Amanda masih menangis, tapi tampaknya semakin
jauh sekarang, sekadar suara samar samar, seperti
lalu lintas yang berlalu lalang di luar jendela.
Aku berpaling memandang Sarah. Ia tengah duduk
terlipat, kulit beruang membungkus tubuhnya, hingga
ia kelihatan seperti wanita Indian tua. Ia menatap ke
belakangku, ke perapian.
"Please," katanya.
Aku menggeleng. "Harus, Sarah. Kita tidak punya
pilihan."
Ia memandangku, dan kulihat ia menangis, kulitnya
kemilau oleh air mata, seuntai rambutnya menempel
di pipi. Saat kuawasi, karpetnya merosot dari bahu,
menampilkan pangkuannya. Ia mengumpulkan sekitar
dua puluh ikat uang di sana, seakan berharap bisa
menyelamatkannya dari api.
"Tapi bagaimana kita tanpa uang ini " katanya.
Suaranya diakhiri isakan.
Aku tidak menjawab. Cuma mencondongkan tubuh
dan, sangat perlahan, menyingkirkan tangannya dari
uang tersebut. Kemudian kuambil ikatan tersebut satu
demi satu dari pangkuannya dan meletakkannya da1am
ap1. "Kita. akan baik-baiksaja," kataku, berbohong un'
tuk menenangkannya. "Lihat saja. Akan seperti biasanya."
Aku membutuhkan waktu empat jam untuk memba
kar uangnya.
517 *** 517 *** Halaman depan Blade edisi hari Minggu didominasi
pembunuhan Carl. Ada foto pesawatnya, kantong pe?
nuh uang, mayat Vernon. Tapi tidak ada berita tentang
Alexander's; mayatnya belum ditemukan sampai se-
kitar pukul 05.00, jadi harus menunggu berita malam.
Wanita tua tersebut bernama Diana Baker. Ia baru
saja mengantarkan putranya ke bandara dan tengah
dalam perjalanan ke pesta makan malam di Perrysburg.
Ketika ia tidak muncul di pesta, tuan rumahnya
menelepon rumahnya, dan kemudian, setelah tidak
mendapat jawaban, menghubungi polisi. Sebuah mobil
patroli yang melintas melihat mobilnya di tempat
parkir Alexander's esok paginya. Ia berhenti untuk
menyelidiki, mengintip ke jendela depan toko, dan
melihat bekas darah yang kutinggalkan di lantai ketika
mencoba membersihkan jejak kakiku,
Di samping putranya, yang bekerja sebagai penga-
cara di Boston, wanita tua tersebut memiliki putri
dan empat cucu. Suaminya meninggal tujuh tahun
sebelumnya, sekalipun berila kematiannya tidak menye?
butkan alasannya. Kasirnya bernama Michael Morton.
Orangtuanya tinggal di Cincinnati tapi tidak memiliki
saudara, tidak ada istri maupun anak.
Polisi negara menyebarkan sketsa tersangka ber?
dasarkan gambaran yang kuberikan melalui telepon.
Tampak persis seperti harapanku, seperti pecandu
muda. Putra wanita tersebut memasang iklan di semua
koran utama Florida memohon siapa pun yang telah
menghubungi polisi malam itu untuk memberikan lebih
banyak informasi, dan banyak orang menelepon, me-
518 nambah kerumitan penyelidikan. Begitu kasir dan
wanita tua tersebut dimakamkan, cerita tersebut tidak
lagi menjadi berita.
Setelah kubakar uangnya, abunya kusiram ke toi-
let. Aku masih menyimpan barang?barang lainnya?
ransel, dan maclrclc. topeng ski dan kaus, dompet
wanita tersebut, perhiasan, serta mantel bulunya, arloji,
dompet, dan kunci kasimya. Aku merencanakan untuk
ke hutan di mana saljunya telah mencair dan mengu-
bumya dalam-dalam, tapi sekarang telah lima setengah
tahun berlalu, dan belum juga kulakukan, jadi aku
ragu apakah akan pernah menguburnya. Semuanya
kusimpan di loteng, tersembunyi dalam peti Jacob.
Aku tahu tindakanku berbahaya dan bodoh, tapi kalau
sampai pada saat ada orang' yang mengetuk pintu
depan membawa surat perintah, sebaiknya mereka
segera menemukan sesuatu yang berharga, agar semua-
nya cepat berakhir.
Beberapa bulan setelah pembunuhan, kubaca di
koran kalau Byron MeMartin menuntut FBI atas
kematian putrinya, tapi aku tidak pernah mendengar
kelanjutannya.
Sarah dan aku punya anak lagi dua tahun yang
lalu, laki?laki. Dalam apa yang hanya bisa kusebut
sebagai penebusan dosa, kusarankan agar kami me-
namainya dengan nama kakakku, dan Sarah, yang
masih pusing sehabis melahirkan, membuatku terkejut
dengan menyetujuinya. Ada kalanya aku menyesal,
tapi tidak sesering yang kaupikirkan. Kami memang-
gilnya Jack, bukan Jacob.
Pada bulan Juni, enam bulan setelah kelahiran
adiknya, Amanda mengalami kecelakaan. Kami men-
519 dirikan kolam renang plastik kecil di halaman belakang
untuknya, dan entah bagaimana, ketika aku harus
masuk ke dalam rumah menggunakan kamar mandi,
dan kembali, ia jatuh tertelungkup ke dalam air
dalam posisi yang tidak memungkinkannya untuk ber-
balik. Ia pingsan ketika kutemukan, tangan dan bibir?
nya biru, tubuhnya dingin'waktu kusentuh. Aku ber-
teriak pada Sarah untuk memanggil ambulans, ke-
mudian melakukan pernapasan buatan seperti yang
kulihat di TV. dan pada saat paramedis tiba, aku
berhasil menyadarkannya.
Paramedis membawanya ke rumah sakit, dan di
sana ia menginap selama dua minggu. Terjadi keru-
sakan otak, hypoxia, sekalipun dokter tidak yakin
berapa banyak. Mereka menyarankan agar ia dikirim"
ke Columbus, klinik untuk luka di kepala?menjanji-
kan kesembuhan yang lebih cepat?tapi asuransi kami
tidak bersedia menanggungnya. Ketika berita tentang
kami menyebar di Ashenville, St Jude mengumpulkan
uang untuk membantu kami. Mereka berhasil mengum-
pulkan enam ribu dolar, cukup untuk menginap selama
sebulan di klinik. Semua penyumbang menandatangani
kartu ucapan semoga lekas sembuh dalam ukuran
raksasa, yang mereka berikan bersama ceknya. Nama
Ruth Pedersen dan Linda Jenkins terdapat di sana.
Sulit untuk menentukan seberapa baik kliniknya,
tapi dokter tampak puas dengan hasilnya. Bahkan
sekarang, sekalipun jelas bagi Sarah dan aku bahwa
Amanda akan cacat seumur hidup, mereka masih
membicarakan kekenyalan tubuh muda, atau kasus
yang mirip dengan kesembuhan tiba?tiba, hampir me?
rupakan keajaiban. Mereka meminta kami tidak pernah
520 putus asa, tapi proses kematangan fisik Amanda telah
melambat dan akhirnya berhenti; ia masih mirip anak
dua setengah tahun yang kuangkat dari kolam sore
itu. Bicaranya tidak berkembang, koordinasinya buruk,
ia tidak bisa mengendalikan buang airnya. Ia masih
terikat pada beruang Jacob dan tidak mau pergi ke
mana pun tanpa boneka tersebut. Terkadang ia terjaga
di tengah malam dan memutarnya, hingga aku tiba?
tiba terjaga dari tidur nyenyak oleh suara 'Frare
Jacqucs' melantun masuk kamar tidur dari kegelapan
di seberang lorong, dari ranjang tua Jacob.
Sarah menerima kecelakaan tersebut dengan sikap
fatalistis yang mengejutkan. Sesekali mengisyaratkan
kalau ia percaya kecelakaan tersebut merupakan l1t1'
kuman, harga atas kejahatan yang kami lakukan, dan
dari caranya mengawasi Jack, bisa kutebak bahwa ia
menduga sesuatu juga akan menimpa Jack, kecuali
jika kami menjaga dan melindunginya.
Aku masih bekerja di toko makanan, menduduki
posisi yang sarna. Selama beberapa tahun ini aku
menerima kenaikan gaji, tapi hanya cukup untuk
mengikuti inflasi. Sarah kembali bekerja di perpus?
takaan, sekarang sepenuhnya, karena kami membutuh?
kan uangnya. Kecelakaan Amanda menghabiskan sisa
tabungan yang berhasil kami tambah.
Kurasa kau pasti ingin tahu bagaimana kami men?
jalani hari?hari kami, bagaimana kami bisa hidup
setelah semua perbuatan kami. Sarah dan aku tidak
pernah mendiskusikan uangnya atau pembunuhannya;
bahkan saat hanya berdua kami berpura?pura semua-
nya tidak pernah terjadi. Tentu saja ada kalanya aku
ingin bicara, tapi bukan dengan Sarah. Aku ingin
521 bicara pada orang asing, orang?orang yang mungkin
bisa menawarkan pendapat objektif atas tindakanku.
Bukannya dorongan untuk mengaku?aku tidak merasa
begitu?tapi lebih merupakan keinginan untuk mem?
pelajari segalanya langkah demi langkah dengan sese?
orang yang tidak terlibat, hingga mungkin mereka
bisa membantuku menemukan di mana aku mulai
melakukan kesalahan, membantuku menunjukkan satu
saat di mana setelahnya semua menjadi tidak tere-
lakkan.
Anak?anak tidak pernah mengetahuinya sedikit pun,
dan ini sedikit menghibur.
Ada saatnya aku bisa tidak memikirkan kejahatan
kami sama sekali, tapi saat?saat seperti itu sangat
jarang. Pada saat aku memikirkannya?memikirkan
diriku berdiri di Alexander"s dengan machete di atas
kepala, atau di ambang pintu rumah Lou dengan
senapan berburu di tangan?tampaknya tidak nyata,
seakan tidak pernah terjadi. Tapi dalam hati aku tahu
kalau peristiwa tersebut nyata, tahu persis kemampuan-
ku, tahu dengan cara yang mungkin tidak akan pernah
kauketahui, tidak kecuali kau mengalaminya sendiri,
terlibat dalam situasi yang mirip, mengambil keputusan
atas nasibmu sendiri.
Selama beberapa waktu aku sering bermimpi bahwa
aku membiarkan wanita tua tersebut lari, membiarkan-
nya lari ke pintu dan ke mobilnya dan melaju pergi,
tapi sekarang mimpi tersebut telah berhenti.
Karena kami tidak pernah membicarakannya, aku
tidak tahu persis bagaimana perasaan Sarah. Aku
hanya punya petunjuk, seperti persetujuannya untuk
menamai putra kami seperti kakakku, atau pada saat
522 kutemukan ia duduk di peti Jacob di loteng, tenggelam
dalam lamunan, mantel bulu wanita tua tersebut mem-
bungkus lututnya, dengan kerahnya yang ternoda darah
kering. Kubayangkan ia juga merasakan perasaan
yang sama denganku_?bahwa hidup kami sekadar
ada, bergerak dari satu hari ke hari berikutnya dengan
perasaan kosong, kebingungan, berusaha terus-menerus,
tapi tanpa pernah berhasil untuk melupakan apa yang
telah terjadi.
Kalau situasi benar?benar memburuk kupaksa diriku
memikirkan Jacob, Kubayangkan dirinya seperti pada
hari ia membawaku ke pertanian Ayah. Dalam celana
flanel kelabu, sepatu kulitnya, jaket merah manyalanya.
Kepalanya yang tidak berambut tampak kedinginan
tanpa topi, tapi tampaknya ia tidak menyadarinya. Ia
berputar pada tumitnya, menunjuk tempat lumbung
kami dulu berdiri, tempat traktor dan tempat penyim-
panan biji. Di kejauhan, kalau angin bertiup, bisa
kudengar derak kincir angin Ayah. Aku selalu meng?


Rencana Sederhana A Simple Plan Karya Scott Smith di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ulang kenangan ini karena membuatku menangis. Dan
kalau aku menangis, aku merasa?tidak peduli semua
perbuatanku mungkin menunjukkan kenyataan yang
berbeda?manusiawi, sama seperti orang?orang lain?
nya. _Tamat
Putri Berdarah Ungu 2 Merivale Mall 03 Antara Dua Pilihan Asleep Or Dead 5
^