Pencarian

Satu Dua Pasang Gesper 1

Satu Dua Pasang Gesper Sepatunya Karya Agatha Christie Bagian 1


SATU, DUA,
PASANG GESPER
SEPATUNYA
Agatha Christie
ONE, TWO, BUCKLE MY SHOE
by Agatha Christie
Agatha Christie? POIROT? One, Two, Buckle My Shoe
Copyright ? 1940 Agatha Christie Limited.
All rights reserved.
SATU, DUA, PASANG GESPER SEPATUNYA
Alih bahasa: Alex Tri Kuntjono W.
GM 402 01 12 0025
Sampul: Staven Andersen
Hak cipta terjemahan Indonesia:
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
PT Gramedia Pustaka Utama
Jl. Palmerah Barat 29?37
Blok I Lantai 5
Jakarta 10270
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
anggota IKAPI,
Jakarta, November 1986
Cetakan kelima: September 2001
Cetakan keenam: Juli 2003
Cetakan ketujuh: April 2012
280 hlm; 18 cm
IISBN: 978 - 979 - 22 - 3836 - 5
Dicetak oleh Percetakan Duta Prima, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab percetakan
Satu, dua, pasang gesper sepatunya
Tiga, empat, tutup pintu rapat-rapat
Lima, enam, ambillah tongkat
Tujuh, delapan, letakkan lurus-lurus
Sembilan, sepuluh, ayam betina sehat dan gemuk
Sebelas, dua belas, cari dan selidiki
Tiga belas, empat belas, gadis-gadis mencari kekasih
Lima belas, enam belas, gadis-gadis di dapur
Tujuh belas, delapan belas, seorang gadis menunggu
Sembilan belas, dua puluh, piring saya sudah ko-
song 7 SUASANA hati Mr. Morley sedang tidak bagus waktu
sarapan pagi itu.
Ia mengeluh mengenai bacon yang harus disantap-
nya, menggerutu mengapa kopinya kelihatan seperti
lumpur berair, dan mengatakan buburnya kali itu le-
bih buruk daripada sebelumnya.
Mr. Morley pria berperawakan kecil dengan bentuk
rahang dan dagu yang menunjukkan sifat keras. Sau-
dara perempuannya, yang mengurus segala keperluan
rumah tangganya, bertubuh besar seperti tukang pu-
kul. Ditatapnya saudara lelakinya itu dengan penuh
pengertian dan bertanya apakah air mandinya terlalu
dingin lagi.
Dengan agak enggan Mr. Morley menjawab bahwa
bukan itu masalahnya.
Sambil memandang surat kabar yang baru dibacanya,
ia mengeluh bahwa pemerintah tampaknya mulai beru-
bah dari kurang mampu menjadi betul-betul tolol!
SATU, DUA,
PASANG GESPER SEPATUNYA
8 Miss Morley menanggapi dengan suara basnya yang
dalam, bahwa itu sungguh patut disesalkan!
Sebagai wanita biasa, ia selalu menganggap apa pun
yang dilakukan pemerintah tampaknya bermanfaat. Ia
mendesak saudara lelakinya untuk menjelaskan de-
ngan tepat mengapa kebijakan pemerintah saat itu
dipandang tidak meyakinkan, tolol, dungu, dan mem-
bahayakan!
Setelah mengungkapkan semua unek-uneknya, tan-
pa disadarinya Mr. Morley telah menghabiskan dua
cangkir kopi yang semula dicelanya dan mulai menying-
kap masalah sebenarnya yang membuatnya kesal.
"Gadis-gadis ini," keluhnya, "semua sama, sama!
Tidak bisa dipercaya, egois... sama sekali tidak punya
tanggung jawab."
Miss Morley bertanya menyelidik, "Gladys?"
"Aku baru saja menerima pemberitahuannya. Bibi-
nya mendapat serangan jantung, jadi dia harus pergi
ke Somerset."
Miss Morley berkata, "Sungguh menyebalkan, Sa-
yang, meski begitu, gadis itu tak bisa disalahkan."
Mr. Morley menggeleng muram. "Bagaimana aku
tahu bibinya benar-benar mendapat serangan jantung?
Bagaimana aku tahu seandainya semua ini telah diatur
anak itu bersama pacarnya yang menyebalkan? Sung-
guh tak ada pemuda yang lebih buruk daripada dia!
Mereka mungkin sudah menyusun rencana untuk per-
gi berduaan hari ini."
"Oh, tidak, Sayang, aku tidak percaya Gladys seper-
ti itu. Kau lihat, kan, dia selalu teliti dan sangat ber-
hati-hati."
9 "Ya, ya."
"Seorang gadis yang cerdas dan sangat tekun dalam
pekerjaannya, seperti katamu sendiri."
"Ya, ya, Georgina, tapi itu sebelum dia bergaul de-
ngan pemuda menyebalkan ini. Dia sangat berubah
belakangan ini?benar-benar berubah?menjadi pelu-
pa... pemarah... penggugup."
Georgina menghela napas panjang. Kilahnya, "Ba-
gaimanapun, Henry, semua gadis bisa jatuh cinta. Itu
tak bisa dicegah."
Mr. Morley menukas tajam, "Tapi dia tak boleh
membiarkan itu memengaruhi eisiensinya sebagai sek-
retarisku. Apalagi hari ini aku sibuk sekali! Beberapa
pasienku hari ini orang-orang sangat penting. Benar-
benar menyebalkan!"
"Aku yakin kau pasti repot sekali, Henry. Tapi ba-
gaimana dengan pelayanmu yang baru itu?"
Mr. Morley menjawab muram, "Pemuda itu pela-
yan paling payah yang pernah kumiliki! Tak pernah
bisa menuliskan atau menyebutkan nama-nama pasien
dengan benar, dan sama sekali tak punya sopan san-
tun. Kalau dia tidak memperbaiki diri, aku akan me-
mecatnya dan mencoba yang lain. Aku tidak tahu apa
bagusnya pendidikan di negara kita sekarang ini. Tam-
paknya hanya sekumpulan orang tolol yang dihasil-
kan, orang-orang yang tidak mampu menangkap apa
pun yang kita maksudkan, sehingga kita terpaksa me-
ngerjakannya sendiri."
Sekilas ia melihat arlojinya. "Aku harus segera ber-
siap. Pagi yang sibuk, dan wanita bernama Sainsbury
Seale itu tampaknya cukup menderita. Dia minta dila-
10 yani hari ini. Aku sudah menyarankan agar dia ber-
obat ke Reilly saja, tapi dia tidak mau."
"Tentu saja tidak," sahut Georgina.
"Reilly sebenarnya cakap, sangat cakap. Dia lulus
dengan nilai tinggi, selalu bekerja dengan teknik-tek-
nik terkini."
"Tapi tangannya gemetaran," tukas Miss Morley.
"Menurut pendapatku, dia terlalu banyak minum."
Mr. Morley tertawa, kemurungannya sirna. Kata-
nya, "Aku akan naik lagi kemari untuk makan
sandwich pukul setengah dua seperti biasa."
II Di Hotel Savoy, Mr. Amberiotis sedang mengorek-
ngorek giginya dengan tusuk gigi sambil tersenyum
sendiri.
Semua berjalan mulus.
Seperti biasa, ia selalu mujur. Dibayangkannya be-
berapa kata ramah yang telah disampaikannya pada
ayam betina dungu yang akan membuatnya kaya raya
itu. Oh! Ya... lempar rotimu ke air. Ia selalu bersikap
sebagai pria ramah. Dan murah hati! Di masa menda-
tang ia bahkan bisa lebih murah hati lagi. Khayalan-
nya tentang kebaikan melintas di pelupuk matanya.
Dimitri kecil. Dan Constantopopolous yang baik,
yang bekerja keras mengurus restoran kecilnya.
Sungguh kejutan yang menyenangkan bagi mere-
ka. 11 Tiba-tiba tusuk gigi itu menusuk giginya dan Mr.
Amberiotis mengeryit. Khayalannya yang indah ten-
tang masa mendatang lenyap begitu ia menyadari se-
suatu yang mesti dihadapinya tak lama lagi. Ia meme-
riksa luka di gusinya dengan lidah, kemudian
mengeluarkan buku catatannya. Queen Charlotte
Street no. 58, pukul 12.00.
Ia mencoba melanjutkan khayalannya yang menye-
nangkan tadi. Namun tak berhasil. Cakrawala pikiran-
nya telah terhalang oleh apa yang baru dibacanya:
"Queen Charlotte Street no. 58, pukul 12.00."
III Di Hotel Glengowrie Court, South Kensington, acara
makan pagi telah usai. Di ruang duduk, Miss
Sainsbury Seale sedang bercakap-cakap dengan Mrs.
Bolitho. Mereka menempati meja yang berdekatan di
ruang makan, dan telah menjadi akrab sejak sehari
sesudah kedatangan Miss Sainsbury Seale, yaitu se-
minggu yang lalu.
Miss Sainsbury berkata, "Kau tahu, Sayang, gigiku
sungguh sudah tidak sakit lagi! Kupikir lebih baik aku
menelepon"
Mrs. Bolitho menyela, "Jangan, jangan begitu, Sa-
yang. Kau harus tetap pergi ke dokter gigi supaya sa-
kitmu tidak kumat lagi."
Mrs. Bolitho wanita bertubuh tinggi dengan suara
dalam dan pembawaan berwibawa. Miss Sainsbury
wanita berusia empat puluh tahunan yang cenderung
12 ragu-ragu, rambutnya sengaja diputihkan dan digu-
lung ke atas membentuk ikal-ikal tidak rapi. Busana-
nya menyembunyikan lekuk-lekuk tubuhnya namun
cukup artistik, dan pince-nez-nya (kacamata tak berga-
gang yang dijepitkan di pangkal hidung) selalu mero-
sot. Ia gemar sekali mengobrol.
Kini ia berkata setengah merajuk, "Tapi sungguh,
kau tahu sendiri, gigiku tidak sakit sama sekali."
"Omong kosong! Tadi kau mengeluh semalam kau
hampir-hampir tak bisa tidur."
"Tidak, aku tidak bilang begitu... sungguh... tapi
barangkali sekarang sarafnya sudah betul-betul mati."
"Justru itu sebabnya kau harus ke dokter," sahut
Mrs. Bolitho tegas. "Kita semua cenderung menghin-
dari kenyataan, tapi itu sikap pengecut. Lebih baik
kau memberanikan diri dan mengenyahkan sama sekali
sakit gigimu!"
Bibir Miss Sainsbury Seale tampak bergerak. Na-
mun ia hanya bergumam pada dirinya sendiri, "Ya,
tapi yang sakit kan bukan gigimu!"
Meski begitu, yang dikatakannya pada lawan bicara-
nya adalah, "Mudah-mudahan kau benar. Dan Mr.
Morley memang dokter yang terampil dan selalu ber-
usaha agar pasiennya tidak merasa sakit sama sekali."
IV Rapat Dewan Direksi baru saja usai. Rapat itu ber-
jalan lancar. Laporan yang disampaikan baik semua,
13 tak ada yang harus dipertentangkan. Meski begitu,
bagi Mr. Samuel Rotherstein yang peka, ada sesuatu
yang tidak biasa, sesuatu yang nyaris tak kentara da-
lam perilaku pemimpin rapat.
Sekali atau dua kali, nada suara pemimpin rapat
sedikit lebih keras?meski tak sampai menarik perha-
tian peserta rapat lainnya.
Ada keprihatinan yang disembunyikan, mungkin?
Meski begitu, Rotherstein tak berani memastikan ada
sesuatu dalam benak Alistair Blunt. Ia sama sekali
bukan tipe yang emosional. Ia betul-betul sangat nor-
mal. Seperti umumnya orang Inggris yang lain.
Barangkali akibat penyakit lever Mr. Rotherstein
sendiri sering agak terganggu oleh penyakit levernya.
Tapi ia belum pernah mendengar Alistair mengeluh
tentang levernya. Kesehatan Alistair sama baiknya de-
ngan otak dan penguasaannya pada masalah keuang-
an. Tapi... pasti ada sesuatu... sekali atau dua kali si
pemimpin rapat mengusap wajahnya. Ia duduk berto-
pang dagu. Ini bukan kebiasaannya. Dan sekali atau
dua kali ia tampak benar-benar... ya, tertekan.
Begitu keluar dari ruang rapat, mereka beriringan
menuruni anak-anak tangga.
Rotherstein menyapa, "Mau ikut saya, barangkali?"
Alistair Blunt tersenyum dan menggeleng. "Mobil
saya sudah menunggu." Ia melirik arlojinya sekilas.
"Saya tidak akan kembali ke kota sekarang." Ia ber-
henti sebentar. "Saya sudah membuat janji dengan
dokter gigi."
Dengan demikian misteri itu pun terpecahkan.
14 V Hercule Poirot turun dari taksi, membayar sopir, dan
menekan bel rumah nomor 58 di Queen Charlotte
Street.
Tak lama kemudian pintu dibukakan oleh seorang


Satu Dua Pasang Gesper Sepatunya Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemuda berseragam pelayan, bermuka bintik-bintik,
beram-but merah, dan bersikap resmi.
Hercule Poirot bertanya, "Mr. Morley ada?"
Dalam hati kecil ia menyimpan harapan "sinting"
bahwa Mr. Morley sedang pergi atau sakit sehingga
tidak bisa praktik hari itu. Harapan yang tidak masuk
akal. Pemuda itu mundur sedikit. Hercule Poirot
melangkah masuk, dan setelah pintu tertutup lagi di
belakangnya, ia merasakan kesunyian yang mence-
kam. Pemuda tadi bertanya, "Maaf, nama Anda?"
Poirot menyebutkan namanya. Pintu di kanan
ruang depan terbuka dan ia diantar masuk ke ruang
tunggu.
Ruang tunggu itu berisi perlengkapan yang tertata
baik untuk menampilkan kesan tenang, meski bagi
Hercule Poirot saat itu, kesan yang timbul adalah mu-
rung. Di atas meja Shearaton (walau hanya tiruan)
yang mengilap, koran-koran dan majalah tersusun
rapi. Di atas bufet Hepplewhite (juga tiruan) ada dua
tempat lilin sepuhan model Sheield dan sebuah
epergne (semacam vas bunga berornamen). Rak di atas
perapian berhiaskan jam perunggu dan dua vas bunga
juga dari perunggu. Jendela-jendelanya dilengkapi
15 tirai-tirai beludru warna biru. Kursi-kursinya dilapisi
kain bercorak Jacobean dengan gambar burung-bu-
rung dan bunga-bungaan warna merah.
Di salah satu kursi, duduk pria bertampang militer
dengan kumis mengerikan dan kulit kekuning-kuning-
an. Ia memandang Poirot dengan mimik orang yang
jijik melihat serangga berbisa. Tidak mengherankan
bila ia seolah-olah ingin menyemprot Poirot dengan
racun serangga. Poirot pun memandang orang itu de-
ngan rasa tidak suka dan berkata pada diri sendiri,
"Ada beberapa orang Inggris yang betul-betul tidak
menyenangkan dan sinting sehingga mereka seharus-
nya sudah dibasmi sejak lahir."
Setelah lama menatap tajam, pria bertampang mili-
ter itu akhirnya mengambil he Times dengan kasar,
lalu memutar kursinya sehingga tak perlu melihat
Poirot lagi, dan mulai membaca.
Poirot sendiri mengambil majalah Punch. Ia menco-
ba membuka-buka majalah itu dengan penuh konsen-
trasi, namun gagal menemukan artikel yang benar-
benar lucu.
Pemuda pelayan yang tadi masuk dan berseru,
"Kolonel Arrowbumby?" Lalu pria bertampang militer
itu diantarnya keluar dari ruang tunggu.
Poirot sedang bingung memikirkan nama yang
agak ganjil itu, ketika pintu dibukakan bagi seorang
pria muda berusia sekitar tiga puluhan.
Sementara pria muda itu berdiri dekat meja, seka-
dar melihat-lihat sampul depan majalah-majalah di
situ, Poirot diam-diam mengerlingnya. Pemuda yang
tidak menyenangkan dan tampak berbahaya, pikirnya,
16 dan bukan tidak mungkin seorang pembunuh. Pemu-
da itu kelihatannya memiliki ciri-ciri pembunuh, le-
bih dari pembunuh mana pun yang pernah ditangkap
Hercule Poirot sepanjang kariernya.
Si pemuda pelayan membuka pintu lagi dan berse-
ru ke tengah ruangan, "Mr. Peerer."
Merasa bahwa yang dimaksudkan adalah dirinya
sendiri, Poirot bangkit dari duduk. Ia diantar ke ba-
gian belakang ruang depan, lalu membelok ke salah
satu sudut. Di situ ada lift yang membawanya ke lan-
tai tiga. Pemuda itu kemudian membawanya melalui
lorong panjang, membukakan pintu ke ruang tunggu
kecil, mengetuk pintu lagi di seberang ruangan, dan
tanpa menunggu jawaban langsung membukanya, lalu
melangkah mundur serta menyilakan Poirot masuk.
Yang pertama didengar Poirot adalah suara kucuran
air dari keran. Setelah pintu ditutup kembali, ia men-
dapati Mr. Morley sedang membasuh tangan dengan
gaya profesional di wastafel yang menempel di din-
ding.
VI Ada saat-saat yang sama sekali tidak menggembirakan
dalam kehidupan orang-orang besar sekalipun. Sering
dikatakan bahwa seseorang tak bisa selalu menjadi
pahlawan. Dalam hal ini bisa ditambahkan pula bah-
wa jarang orang bisa menjadi pahlawan bagi diri me-
17 reka sendiri pada saat harus mengunjungi dokter
gigi.
Hercule Poirot benar-benar menyadari kenyataan
menakutkan ini.
Ia termasuk orang yang biasa menganggap dirinya
sendiri hebat. Ia adalah Hercule Poirot, yang selalu
lebih unggul hampir dalam segala hal dibandingkan
orang lain. Tapi dalam situasi begini ia tak bisa mera-
sa lebih unggul. Tingkat keberaniannya merosot turun
sampai nol. Ia merasa seperti orang biasa lainnya,
yang membutuhkan belas kasihan, yang takut ketika
duduk di kursi dokter gigi.
Mr. Morley selesai mencuci tangan. Ia memulai per-
cakapan dengan gaya profesionalnya untuk membesar-
kan hati. "Cuaca hari ini tidak sebaik biasanya, ya?"
Dengan caranya yang khas dan tidak kentara, ia
menyuruh pasiennya duduk. Itu dilakukannya dengan
memainkan sandaran kepala pada kursi periksa, yakni
dengan menaikkan dan menurunkannya kembali.
Hercule Poirot menghirup napas dalam-dalam sebe-
lum melangkah naik, duduk, dan merebahkan kepala
sementara Mr. Morley menyetel posisi sandaran yang
menopangnya dengan tangan cekatan seorang ahli.
"Nah," kata Mr. Morley dengan kepuasan tersamar.
"Cukup nyaman? Betul?"
Dengan nada muram Poirot mengiyakan.
Mr. Morley mendekatkan meja kecilnya, mengambil
cermin kecil dan alat lain, lalu siap untuk memulai
bekerja.
Hercule Poirot langsung mencengkeram lengan kur-
si, mengatupkan kedua mata dan membuka mulut.
18 "Ada nyeri yang sangat mengganggu?" Mr. Morley
bertanya.
Sulitnya mengucapkan konsonan ketika mulut ha-
rus tetap terbuka membuat Hercule Poirot enggan
menjawab. Mr. Morley memakluminya, sehingga tam-
paknya ia beranggapan bahwa nyeri yang mengganggu
tidak ada. Dan sesungguhnya pemeriksaan ini hanya-
lah salah satu pemeriksaan rutin dua kali setahun
yang dikehendaki Poirot sendiri. Tentu saja bukan ti-
dak mungkin pemeriksaan kali ini berlalu tanpa ada
tindakan yang perlu dilakukan terhadap giginya
Mr. Morley mungkin saja melewatkan gigi kedua dari
belakang yang sebenarnya terasa nyeri Itu mungkin
saja, tapi kemungkinan itu sangat kecil... karena Mr.
Morley dokter gigi yang sangat ahli.
Mr. Morley perlahan-lahan memeriksa semua gigi
satu demi satu, dengan ketukan-ketukan dan sedikit
tekanan, sambil menggumamkan komentarnya.
"Beberapa tambalan sudah mulai aus... tapi tidak
serius. Gusinya pun baik sekali. Bagus." Ia berhenti
sejenak pada gigi yang dicurigainya. Ditekannya gigi
itu dengan gerakan memuntir... tidak, jangan diulang.
Ia melanjutkan pemeriksaannya ke barisan bawah.
Satu, dua... langsung ke yang ketiga??Tidak?"Sial-
an!" Hercule Poirot mengeluh dalam hati, "Akhirnya
sang pemburu berhasil menemukan mangsanya!"
"Agak serius di sini. Anda tidak merasakan nyeri?
Hm, aneh sekali." Alat penekan itu bekerja terus.
Akhirnya Mr. Morley berhenti, puas.
"Tidak ada yang terlalu serius. Hanya ada beberapa
tambalan yang rusak, dan gejala pelapukan di gera-
19 ham sebelah atas. Saya kira kita dapat membereskan
semuanya hari ini juga."
Ia meraih bor dan dengan cekatan memasang mata
bor di ujungnya. Kemudian Mr. Morley menyalakan
sakelar dan suara mendengung segera terdengar.
"Jangan bergerak," ucapnya pendek. Bornya mulai
beraksi.
Kalau saja tidak malu, sebenarnya ingin sekali
Poirot berteriak. Namun sesaat kemudian Mr. Morley
menghentikan bor, menyuruhnya berkumur, menyem-
protkan sedikit cairan antiseptik, memilih mata bor
baru, dan melanjutkan mengebor. Saat itu bukan nye-
ri yang dirasakan Poirot, tapi ketakutan yang mence-
kam. Sambil menyiapkan bahan penambal, Mr. Morley
menyambung pembicaraan yang tadi terpotong.
"Terpaksa dikerjakan sendiri pagi ini," katanya.
"Miss Nevill tak bisa datang. Anda ingat Miss
Nevill?"
Poirot pura-pura mengiyakan.
"Dia terpaksa pulang ke desanya karena ada kera-
batnya yang sakit. Dan ini terjadi justru di saat yang
begini sibuk. Semua berjalan lambat pagi ini. Pasien
sebelum Anda juga terlambat. Sangat menjengkelkan,
tentu saja. Waktu saya terbuang percuma. Selain itu
saya juga harus menyediakan waktu untuk seorang
pasien ekstra karena dia sangat kesakitan. Saya selalu
mencadangkan sekitar seperempat jam untuk hal-hal
demikian. Tapi sekarang, itu terasa memberatkan."
Sambil menumbuk bahan penambal Mr. Morley
20 melihat ke dalam mortar kecilnya, kemudian menerus-
kan pembicaraan.
"Rasanya saya perlu menceritakan sesuatu yang selalu
saya perhatikan, Monsieur Poirot. Orang-orang besar...
orang-orang penting... mereka selalu tepat waktu, tidak
pernah membiarkan Anda menunggu. Keluarga keraja-
an, misalnya. Mereka terbiasa bersikap cermat. Dan
orang-orang di kota besar ini juga sama. Sekarang, pagi
ini, saya sedang menantikan kunjungan seseorang yang
dianggap sangat penting... Alistair Blunt!"
Mr. Morley menyebut nama itu dengan rasa bang-
ga. Poirot, yang tidak bisa berbicara karena mulutnya
tersumpal gumpalan kapas dan tabung gelas yang di-
sisipkan ke bawah lidah, mengeluarkan suara seperti
orang gagu.
Alistair Blunt! Kala itu, nama tersebut cukup
meng-getarkan bagi kalangan tertentu. Bukan Duke,
bukan Earl, bukan Perdana Menteri. Tidak, gelar-gelar
itu tidak dimilikinya. Orang hanya menyebutnya Mr.
Alistair Blunt. Wajahnya nyaris tak dikenal masyarakat
umum... fotonya hanya muncul kadang-kadang, itu
pun di kolom surat kabar yang agak tersembunyi. Ia
bukan orang spektakuler.
Ia hanya orang Inggris biasa yang tak banyak bica-
ra, yang mengepalai bank terbesar di Inggris. Orang
kaya raya. Orang yang bisa bilang "Ya" dan "Tidak"
kepada pemerintah. Orang yang senang hidup tenang,
tidak menonjolkan diri, dan tak pernah muncul seca-
ra resmi di hadapan umum, apalagi berpidato. Tapi
di tangannya terletak kekuasaan tertinggi.
21 Nada bicara Mr. Morley masih membersitkan pera-
saan hormat dan kagum ketika ia berdiri di dekat
Poirot untuk menambal giginya.
"Dia selalu tepat waktu. Sering dia menyuruh mo-
bilnya pulang dan dia sendiri kemudian berjalan kaki
kembali ke kantor. Sungguh orang yang baik hati,
pendiam, dan sederhana. Dia gemar main golf dan
rajin berkebun. Anda takkan pernah menyangka dia
mampu membeli separuh Benua Eropa! Termasuk
Anda serta saya."
Poirot agak tersinggung mendengar kata-kata ter-
akhir. Mr. Morley memang dokter gigi yang baik, itu
betul, tapi masih banyak dokter gigi baik lainnya di
London ini. Namun tidak demikian dengan Hercule
Poirot, ia hanya ada satu.
"Silakan berkumur," kata Mr. Morley.
"Ini adalah jawaban, seperti Anda ketahui, bagi
para pendukung Hitler, Mussolini, dan yang lainnya,"
sambung Mr. Morley. Ia beralih ke gigi nomor dua.
"Banyak yang bisa kita banggakan, tapi kita tak perlu
ribut-ribut. Lihat betapa demokratisnya raja dan ratu
kita. Tentu saja orang Prancis seperti Anda sudah ter-
biasa dengan pola berpikir orang republik"
"Haya, hakang ahang Han?has?haya?haya?haya
ahang E?gia." Dengan susah payah Poirot mencoba
menjelaskan bahwa ia bukan orang Prancis, melainkan
Belgia.
"Oh?la?la," sahut Mr. Morley sedikit kecewa.
"Kita harus betul-betul mengeringkan rongga ini." Ia
memompakan udara panas keras-keras ke lubang gigi
itu. 22 Kemudian ia meneruskan pembicaraannya, "Saya
tidak menyangka Anda orang Belgia. Menarik sekali.
Raja Leopold sangat baik, sejauh yang saya dengar.
Saya sendiri sangat percaya akan kelebihan tradisi kera-
jaan. Latihan yang dilakukan kalangan bangsawan
baik sekali. Coba perhatikan kemampuan mereka
mengingat nama-nama serta wajah. Semua itu berkat


Satu Dua Pasang Gesper Sepatunya Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

latihan yang berat... walaupun tentu saja ada yang
memiliki bakat alami untuk melakukan hal serupa.
Saya sendiri, misalnya. Saya tidak begitu mudah meng-
ingat nama, tapi anehnya saya tak pernah bisa melu-
pakan wajah seseorang. Ini ada kaitannya dengan sa-
lah seorang pasien saya... saya sudah pernah melihat
pasien itu sebelumnya. Nama tidak begitu berarti bagi
saya, tapi saya langsung berpikir, ?Di mana aku per-
nah bertemu dengannya sebelum ini?? Saya memang
tidak langsung ingat, tapi ingatan itu akan muncul
lagi, saya yakin sekali. Silakan berkumur sekali lagi."
Setelah itu dengan saksama Mr. Morley memeriksa
lagi gigi pasiennya.
"Nah, saya rasa sudah selesai. Coba katupkan... pe-
lan-pelan Cukup enak? Anda tidak merasakan tam-
balannya sama sekali? Maaf, coba buka lagi. Tidak,
kelihatannya sudah bagus."
Meja kecil itu didorong lagi ke belakang, kursinya
diturunkan lalu diputar.
Hercule Poirot turun sebagai orang bebas.
"Nah, selamat jalan, M. Poirot. Saya harap Anda
tidak menemukan penjahat seorang pun di rumah
ini."
Poirot menanggapi kelakar itu dengan senyuman.
23 "Sebelum naik ke sini, semua orang yang saya temui
di bawah kelihatannya seperti penjahat! Sekarang ba-
rangkali saya akan mendapat kesan berbeda!"
"Ah, ya, memang besar sekali perbedaan antara se-
belum dan sesudah! Demikian pula kami para dokter
gigi, kini tidak lagi terlalu menakutkan seperti dulu!
Perlukah saya menyuruh pelayan menyediakan lift
untuk Anda?"
"Tidak, tidak usah, saya akan turun lewat tang-
ga."
"Terserah Anda... tapi lift terletak persis dekat tang-
ga."
Poirot keluar. Ia mendengar keran mulai bekerja
begitu ia menutup pintu.
Ia menuruni anak-anak tangga yang terbagi atas
dua belokan. Sesampainya di belokan kedua, ia meli-
hat kolonel Inggris kelahiran India tadi baru diantar
keluar oleh pelayan. Orang itu kini tampak tidak
seburuk semula, pikir Poirot yang telah reda ketegang-
annya. Mungkin ia pemburu yang telah berhasil me-
nembak sejumlah harimau. Pada dasarnya Inggris
memang membutuhkan orang semacam itu.
Poirot menuju ruang tunggu untuk mengambil
topi serta tongkatnya yang tadi ditinggalkan di sana.
Poirot agak terkejut melihat pria muda yang tampak
gelisah itu masih ada di sana. Pasien lain, seorang
pria, tampak sedang membaca Field.
Poirot kembali mengamati pemuda tadi, kini de-
ngan semangat keramahan yang baru muncul kembali.
Pemuda itu masih tampak kejam... dan seolah-olah
ingin melakukan pembunuhan... tapi ia bukan pembu-
24 nuh sungguhan... pikir Poirot ramah. Tak diragukan
bahwa nanti ketika menuruni anak-anak tangga ini,
tampang seram pemuda itu bakal hilang dan berganti
dengan kebahagiaan dan senyum, tanpa niat menya-
kiti orang lain.
Pemuda pelayan masuk dan berseru mantap, "Mr.
Blunt."
Pria yang namanya dipanggil itu meletakkan surat
kabar Field yang dibacanya dan bangkit berdiri. Perawak-
annya sedang, tidak gemuk tapi juga tidak kurus. Usia-
nya setengah baya. Pakaiannya rapi dan sederhana.
Ia keluar mengikuti si pemuda pelayan.
Ia salah seorang paling kaya dan berkuasa di
Inggris, namun toh masih harus berurusan dengan
dokter gigi seperti orang-orang lain, dan mungkin
mengalami kengerian yang sama seperti yang dirasa-
kan orang-orang lain dalam situasi serupa!
Sementara pikiran-pikiran itu melintas di benaknya,
Hercule Poirot mengambil topi serta tongkatnya, lalu
menuju ke pintu. Ia menghampiri pintu sambil mene-
ngok ke belakang, dan tiba-tiba terbayang olehnya
pemuda itu pasti menderita sakit gigi yang sangat se-
rius.
Di ruang depan Poirot berdiri sejenak di depan
cermin untuk merapikan kumisnya yang telah dibuat
berantakan oleh Mr. Morley.
Ia baru saja selesai mematut diri ketika lift turun
lagi dan si pemuda pelayan muncul sambil bersiul-siul
dengan nada sumbang. Pemuda itu langsung meng-
hentikan siulannya begitu melihat Poirot, lalu membu-
kakan pintu depan baginya.
25 Sebuah taksi baru saja berhenti di depan rumah
dan sebuah kaki tampak keluar dari dalamnya. Diam-
diam Poirot mengamati kaki itu.
Sebuah kaki yang rapi, dengan stoking yang mu-
tunya bagus. Kaki itu tidak jelek. Tapi Poirot tidak
menyukai sepatu yang dikenakannya. Sepatu kulit
mahal yang betul-betul baru dengan gesper besar me-
ngilap. Poirot menggeleng.
Jelek... benar-benar kampungan!
Wanita itu keluar dari taksi, tapi tiba-tiba kakinya
yang lain tersangkut di pintu sehingga gesper sepatu-
nya terlepas. Gesper itu jatuh berdencing ke trotoar.
Dengan sigap Poirot melompat ke depan, memungut-
nya, dan mengembalikannya kepada pemiliknya sam-
bil membungkuk hormat.
Sialan! Usianya hampir lima puluh tahun. Memakai
pince-nez. Rambutnya yang kuning keabu-abuan agak
berantakan, pakaiannya tidak menarik, didominasi
warna hijau eksenrik yang berkesan muram! Wanita
itu menyatakan terima kasih, tapi tiba-tiba pince-nez-
nya jatuh. Kemudian tas tangannya.
Poirot, masih dengan sopan meski kurang bersema-
ngat, mengambilkan benda-benda yang jatuh itu.
Wanita tadi masuk ke rumah nomor 58, dan
Poirot berseru pada sopir taksi yang tengah menggeru-
tu karena tip yang diterimanya mengecewakan.
"Anda bebas, bukan?"
Sopir taksi itu menyahut murung, "Oh, ya, saya
bebas."
"Begitu pula saya," kata Hercule Poirot, "bebas dari
perawatan!"
26 Ia menangkap pandangan sopir taksi yang sangat
curiga.
"Tidak, Kawan, saya tidak mabuk. Saya baru saja
ke dokter gigi dan ternyata saya tidak perlu ke sana
lagi sampai enam bulan mendatang. Bukankah itu
menyenangkan?"
27 JAM menunjukkan pukul 14.45 ketika telepon berde-
ring.
Hercule Poirot sedang bersantai di kursi malas seha-
bis menikmati santap siang yang sangat lezat.
Ia diam saja ketika mendengar dering telepon, ka-
rena George yang setia pasti datang dan mengangkat-
nya. "Eh bien?" serunya pelan ketika George, setelah
mengatakan "Sebentar, Sir," menurunkan gagang tele-
pon. "Inspektur Kepala Japp, Monsieur."
"Aha?"
Poirot mengangkat gagang telepon ke telinganya.
"Eh bien, mon vieux," serunya. "Apa kabar?"
"Andakah itu, Poirot?"
"Tentu saja."
"Saya dengar Anda pergi ke dokter gigi pagi tadi?
Benarkah?"
TIGA, EMPAT,
TUTUP PINTU RAPAT-RAPAT
28 Poirot bergumam, "Scotland Yard selalu tahu sega-
lanya."
"Dokter Morley di Queen Charlotte Street nomor
58?"
"Ya." Nada suara Poirot berubah. "Mengapa?"
"Itu kunjungan biasa, bukan? Maksud saya, Anda
tidak dimintai nasihat atau semacam itu?"
"Tentu saja tidak. Ada tiga gigi saya yang harus
ditambal, kalau Anda ingin tahu."
"Menurut Anda, bagaimana tingkahnya tadi pagi...
apakah sikapnya seperti biasa?"
"Saya kira begitu, ya. Mengapa?"
Suara Japp kaku dan tanpa emosi. "Karena tidak
terlalu lama kemudian, dia menembak dirinya sendi-
ri."
"Apa?"
Japp bertanya tajam, "Anda terkejut?"
"Ya, saya sangat terkejut."
Japp berkata, "Tadi saya juga terkejut. Saya ingin
berbincang-bincang dengan Anda. Tapi mungkin
Anda keberatan datang kemari."
"Di mana Anda sekarang?"
"Queen Charlotte Street."
Poirot berkata, "Saya akan segera ke sana."
II Seorang agen polisi membukakan pintu rumah nomor
58. Ia menyapa dengan hormat, "M. Poirot?"
29 "Ya, saya sendiri."
"Inspektur Kepala ada di atas. Lantai tiga... Anda
tahu jalan ke sana?"
Hercule Poirot menjawab, "Saya sudah pernah ke
sana, tadi pagi."
Ada tiga orang di dalam ruangan. Japp mengangkat
kepala ketika Poirot masuk. "Senang sekali berjumpa
lagi dengan Anda, Poirot. Kami baru saja bermaksud
memindahkannya. Anda ingin melihatnya dulu?" sam-
but Japp.
Lelaki dengan kamera yang tadi berlutut dekat jena-
zah bangkit berdiri.
Poirot maju. Tubuh itu tergeletak di dekat perapi-
an. Dalam keadaan tak bernyawa, Mr. Morley kelihat-
an seperti ketika masih hidup. Ada lubang kecil meng-
hitam tepat di bawah pelipis kanan. Sepucuk pistol
kecil tergeletak di lantai dekat tangan kanannya yang
terentang.
Poirot menggeleng pelan.
Japp berkata, "Nah, kalian dapat mengangkatnya
sekarang."
Para petugas membawa pergi jenazah Mr. Morley.
Japp dan Poirot tetap tinggal di situ.
Japp berkata, "Kami telah melakukan semua lang-
kah rutin. Pemeriksaan sidik jari, dan sebagainya."
Poirot duduk dan berkata, "Coba ceritakan."
Japp mengerutkan bibir lalu berkata, "Dia bisa saja
bunuh diri. Barangkali dia memang sungguh-sungguh
telah bunuh diri. Hanya sidik jarinya yang ada pada
senjata itu... tapi saya tidak betul-betul yakin."
30 "Mengapa begitu?"
"Yah, rasanya tak ada alasan mengapa dia harus bu-
nuh diri Kondisinya betul-betul sehat, tidak keku-
rangan uang, tidak mengalami kesulitan apa pun, se-
jauh yang diketahui. Dia tidak menjalin hubungan
dengan wanita... setidaknya," Japp mengoreksi penda-
patnya sendiri, "sejauh yang kita ketahui. Dia tidak
sedang sedih atau tertekan. Itulah antara lain mengapa
saya sangat ingin mendengar pendapat Anda. Anda
berurusan dengannya tadi pagi, dan saya ingin tahu
kalau-kalau Anda melihat sesuatu."
Poirot menggeleng. "Tidak sama sekali. Dia... bagai-
mana saya mengatakannya... betul-betul normal."
"Karena itu kasus ini aneh, bukan? Bagaimanapun,
Anda tidak akan menyangka seseorang akan bunuh
diri di tengah jam-jam sibuk begini. Mengapa dia ti-
dak menunggu sampai agak sore? Itu lebih masuk
akal."
Poirot mengiyakan.
"Kapan peristiwanya terjadi?"
"Tak bisa dipastikan. Sepertinya tidak ada yang
mendengar tembakan itu. Tapi itu tidak mengheran-
kan. Antara ruangan ini dan lorong ada dua pintu
dengan pinggiran yang dilengkapi bahan kedap sua-
ra... untuk meredam suara yang ditimbulkan pasien,
mungkin."
"Mungkin sekali. Pasien yang menjalani operasi
kecil kadang-kadang berteriak."
"Betul. Dan di luar, di jalan, lalu lintas cukup ra-
mai, jadi mereka yang di ruang tunggu hampir dipasti-
kan tidak bisa mendengar suara tembakan."
31 "Kapan kejadian ini diketahui?"
"Sekitar pukul 13.30... oleh pelayan, Alfred Biggs.
Pemuda ini agak bodoh. Kelihatannya pasien Morley
yang dijadwalkan pukul 12.30 marah-marah karena
harus menunggu. Sekitar pukul 13.10 pemuda itu
naik kemari dan mengetuk. Tidak ada jawaban dan
dia tidak berani masuk. Dia sudah beberapa kali
disemprot majikannya, jadi dia takut salah bertindak.
Dia turun lagi dan si pasien pulang pukul 13.15 sam-


Satu Dua Pasang Gesper Sepatunya Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bil mengerutu. Saya tidak menyalahkan pasien wanita
itu. Dia sudah menunggu selama tiga perempat jam
dan tentu ingin makan siang."
"Siapa wanita itu?"
Japp tersenyum kecut.
"Menurut pelayan, pasien wanita itu Miss Shirty...
tapi dari buku jadwal periksa namanya Kirby."
"Bagaimana cara Morley memberitahu pasien boleh
diantar ke atas?"
"Setiap kali siap menangani pasien berikut, Morley
memencet bel di sana dan pemuda itu kemudian
mengantar pasiennya ke atas."
"Dan kapan terakhir kalinya Morley membunyikan
bel?"
"Jam 12.05, dan pasien yang diantar ke atas adalah
Mr. Amberiotis, yang tinggal di Hotel Savoy, menurut
yang tertulis di buku jadwal periksa."
Senyum tersungging di bibir Poirot. Ia bergumam,
"Saya jadi ingin tahu bagaimana pemuda kita menye-
but nama itu!"
"Lucu sekali, tentu saja. Akan kita tanyakan pada-
nya sekarang kalau kita ingin tertawa."
32 Poirot bertanya lagi, "Dan jam berapa Mr. Amberiotis
meninggalkan tempat ini?"
"Pemuda itu tidak mengantarnya ke luar, jadi dia
tidak tahu cukup banyak pasien yang turun sendiri
lewat tangga tanpa meminta disediakan lift dan mere-
ka langsung keluar."
Poirot mengangguk.
Japp menyambung ucapannya, "Tapi saya sudah
menelepon Hotel Savoy. Mr. Amberiotis mengatakan
dia meninggalkan rumah Mr. Morley pukul 12.25.
Dia yakin betul karena melihat arlojinya ketika menu-
tup pintu depan."
"Tidak ada sesuatu yang penting yang bisa dicerita-
kannya?"
"Tidak, dia hanya bisa mengatakan dokter gigi itu
kelihatan betul-betul normal."
"Eh bien," seru Poirot. "Jadi tampaknya jelas sekali.
Antara pukul 12.25 dan 13.30 sesuatu telah terjadi, dan
agaknya kejadiannya tak lama setelah pukul 12.25."
"Betul. Karena kalau tidak demikian..."
"Kalau tidak demikian, Mr. Morley pasti telah me-
mencet bel untuk memanggil pasien berikutnya."
"Tepat. Itu cocok dengan hasil pemeriksaan medis.
Ahli bedah mayat melakukan pemeriksaan pada pukul
14.20. Menurut dia, Mr. Morley tak mungkin bunuh
diri atau dibunuh lewat dari pukul 13.00... mungkin
sebelum itu, tapi dia tidak bisa memastikan."
Poirot berkata sambil berpikir keras, "Jadi pada pu-
kul 12.25 dokter gigi kita normal, periang, ramah,
kompeten. Dan setelah itu? Susah... sedih... tertekan,
sehingga dia menembak dirinya sendiri."
33 "Lucu," sahut Japp. "Anda harus mengakui itu
lucu."
"Lucu," ulang Poirot, "tapi itu bukan istilah yang
tepat."
"Memang sebenarnya kurang tepat, tapi pokoknya
mirip itulah. Atau aneh, kalau Anda lebih menyukai
istilah ini."
"Apakah pistol itu miliknya sendiri?"
"Bukan. Pistol itu bukan miliknya. Dia belum per-
nah memiliki senjata api. Menurut saudara perem-
puannya, benda semacam itu tak ada di rumah mere-
ka. Memang di sini tidak lazim orang memiliki
senjata api. Tentu, mungkin saja dia sengaja membeli-
nya ketika tekadnya sudah bulat untuk bunuh diri.
Kalau benar begitu, kita akan segera mengetahui-
nya."
Poirot bertanya, "Ada hal lain yang meresahkan
Anda?"
Japp mengusap hidung. "Yah, saya masih memikir-
kan posisi mayat itu. Saya tidak mengatakan orang
tidak dapat jatuh dalam posisi seperti itu, tapi mung-
kin saja itu bukan posisi sebenarnya! Dan di karpet
ada satu atau dua jejak... seolah-olah ada benda yang
telah diseret di atasnya."
"Jadi itu bisa dijadikan petunjuk."
"Ya, kecuali pemuda dungu itulah yang melakukan-
nya. Saya punya irasat dia barangkali telah mencoba
memindahkan Morley ketika menemukannya. Dia
menyangkalnya, tentu saja, tapi kemudian dia ketakut-
an. Dia tergolong orang yang terlalu sering bertindak
keliru, sehingga untuk menghindari dampratan, dia
34 cenderung berbohong tentang segala sesuatu, dan ke-
bohongan itu sering dilakukan di luar kesadaran."
Poirot memandang sekeliling ruangan sambil meme-
ras otak.
Ia melayangkan pandangan ke wastafel di dinding
di belakang pintu, ke lemari arsip tinggi di sisi lain
pintu, ke kursi periksa dan perlengkapan di sekitarnya
dekat jendela, kemudian pindah ke perapian dan kem-
bali ke tempat mayat tergeletak. Ada pintu lagi di
dekat perapian.
Japp mengikuti pandangannya. "Hanya ada kantor
kecil di belakang pintu itu." Lalu ia membuka pintu.
Ruangan kecil itu tepat seperti yang dikatakannya.
Tampak di sana sebuah meja tulis, sebuah meja lagi
dengan lampu spiritus dan perlengkapan minum teh,
serta beberapa kursi. Pintu lain tidak ada.
"Ini tempat sekretarisnya bekerja," Japp menjelas-
kan. "Miss Nevill. Agaknya hari ini dia tidak ma-
suk."
Pandangannya bertemu dengan pandangan Poirot.
Lalu Poirot berkata, "Dia menceritakan hal itu pada
saya, saya masih ingat. Lagi-lagi... itu mungkin bisa
membuktikan ini bukan peristiwa bunuh diri!"
"Maksud Anda, dia sengaja dibuat tidak masuk?"
Japp berhenti sejenak. "Kalau bukan bunuh diri, dia
pasti dibunuh. Tapi apa sebabnya? Teka-teki di balik
kemungkinan ini tak lebih mudah daripada yang lain.
Tampaknya dia bukan tipe orang yang gemar bermu-
suhan. Siapa yang ingin membunuhnya?"
Poirot menegaskan, "Siapa yang dapat membunuh-
nya?"
35 Japp menyahut, "Jawabannya adalah... hampir se-
mua orang! Saudara perempuannya bisa turun dari
lat mereka di atas dan menembaknya, salah seorang
pelayannya bisa masuk dan menembaknya. Teman
sejawatnya, Reilly, bisa menembaknya. Pemuda itu,
Alfred, bisa menembaknya. Salah seorang pasiennya
juga bisa membunuhnya." Ia terdiam sebentar lalu
berkata, "Dan Amberiotis bisa menembaknya... ini ke-
simpulan paling mudah."
Poirot mengangguk.
"Tapi untuk itu pun kita harus menemukan alasan-
nya."
"Tepat. Kita sudah kembali ke persoalan sesungguh-
nya. Mengapa? Apa sebabnya? Amberiotis tinggal di
Savoy. Tapi apa yang membuat orang Yunani sekaya itu
ingin membunuh dokter gigi yang tidak berdosa?"
"Itu sungguh akan menjadi batu sandungan kita.
Motif!"
Poirot mengangkat bahu, katanya, "Rasanya kema-
tian telah salah memilih korban. Saat itu ada orang
Yunani misterius, bankir kaya raya, dan detektif terso-
hor... sungguh masuk akal seandainya salah satu dari
mereka yang ditembak! Orang asing yang misterius
mungkin terlibat dalam jaringan mata-mata, bankir
kaya pasti punya saingan yang akan memperoleh ke-
untungan dari kematiannya, dan detektif terkenal su-
dah barang tentu dianggap berbahaya oleh para pen-
jahat."
"Sedangkan Mr. Morley tua yang malang sama se-
kali tak membahayakan siapa-siapa," sambung Japp
tak bersemangat.
36 "Aneh sekali."
Kini Japp menatap Poirot. "Apa yang Anda pikir-
kan sekarang?"
"Belum ada yang baru. Saya hanya mencoba meng-
ingat-ingat."
Poirot menceritakan ucapan Mr. Morley tentang
kemampuannya mengingat kembali wajah orang, dan
tentang salah seorang pasiennya.
Japp tampak ragu. "Itu mungkin saja ada gunanya,
saya kira. Tapi rasanya kemungkinannya kecil. Bisa
saja ada orang yang ingin identitasnya tetap rahasia.
Tidak adakah pasien lain yang menarik perhatian
Anda tadi pagi?"
Poirot bergumam, "Saya menaruh perhatian pada
seorang pemuda di ruang tunggu, yang tampangnya
mirip pembunuh!"
Japp tersentak. "Anda serius?"
Poirot tersenyum. "Mon cher, itu gambaran saya
ketika gigi saya belum ditangani! Saat itu saya gugup,
cenderung berkhayal yang bukan-bukan... enin, dan
kesal. Apa pun terasa salah bagi saya, entah ruang
tunggu, para pasien, bahkan karpet yang melapisi
anak-anak tangga yang di sana itu! Sebenarnya mung-
kin saja pemuda itu menderita sakit gigi yang sangat
parah. Itu saja!"
"Saya maklum," kata Japp. "Bagaimanapun, kita
akan menyelidiki tokoh pembunuh Anda itu. Kita
akan menyelidiki semua orang, entah ini kasus bunuh
diri atau bukan. Saya pikir pertama-tama kita harus
bicara lagi dengan Miss Morley. Tadi saya baru men-
dapatkan sepatah-dua patah kata darinya. Dia syok
37 tentu saja, tapi dia termasuk wanita yang tangguh
dan tegar. Kita akan menemuinya sekarang."
III Georgina Morley yang bertubuh tinggi dan tegar,
mendengarkan semua yang dikatakan kedua penyidik
itu dan menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Ia
berkata tegas, "Tak bisa dipercaya, sungguh, tak bisa
dipercaya dia bunuh diri!"
Poirot menanggapi, "Anda menyadari kemungkinan
yang lainnya, Mademoiselle?"
"Maksud Anda... pembunuhan?" wanita itu berhen-
ti sejenak. Kemudian ia berkata pelan, "Benar, ke-
mungkinan itu tampaknya hampir sama tak mungkin-
nya dengan yang lainnya."
"Tapi bukannya betul-betul tidak mungkin?"
"Tidak... karena... oh, dalam hal yang pertama, Anda
lihat, saya berbicara tentang sesuatu yang saya ketahui,
yaitu pikiran saudara kandung saya sendiri. Saya tahu
tak ada yang membebani pikirannya... saya tahu tidak
ada alasan, tidak ada alasan sama sekali dia harus mereng-
gut nyawanya sendiri!"
"Anda bersama dengannya tadi pagi... sebelum dia
mulai bekerja?"
"Waktu sarapan... ya."
"Dan dia betul-betul seperti biasa... tidak kesal,
misalnya?"
38 "Dia memang sedang kesal, tapi tidak seperti yang
Anda maksud. Dia hanya jengkel!"
"Jengkel karena apa?"
"Pagi ini dia sibuk sekali, dan sekretarisnya mening-
galkan pesan bahwa hari ini dia terpaksa ke luar
kota."
"Miss Nevill?"
"Ya."
"Apa tugasnya sehari-hari?"
"Dia mengerjakan semua korespondensi, tentu saja,
dan mengurus buku jadwal periksa, serta mengarsip-
kan semua catatan. Dia juga membantu mensterilkan
peralatan dan menggerus bahan penambal serta menye-
rahkannya kepada Henry yang sedang bekerja."
"Sudah lamakah gadis itu bekerja untuknya?"
"Tiga tahun. Dia benar-benar bisa diandalkan dan
kami sangat menyukainya."
"Dia pergi ke luar kota karena ada kerabatnya yang
sakit, begitulah yang diceritakan saudara Anda kepada
saya."
"Ya, dia menerima telegram yang memberitahu bibi-
nya mendapat serangan jantung. Dia pergi ke
Somerset menggunakan kereta paling pagi."
"Dan itu yang membuat saudara Anda jengkel seka-
li?"
"Y-ya." Ada sedikit keraguan dalam jawaban Miss
Morley. Itu sebabnya dengan agak tergesa-gesa ia me-
nambahkan, "Anda... Anda jangan beranggapan sauda-
ra saya tidak berperasaan. Itu hanya karena menurut
pendapatnya... sebentar..."
"Ya, Miss Morley?"
39 "Mmm, menurut pendapatnya, gadis itu sengaja
berbohong padanya. Oh! Tapi jangan salah sangka...
saya yakin Gladys tidak akan pernah berbuat begitu.
Saya juga mengatakan begitu pada Henry. Tapi nyata-
nya gadis itu menjalin hubungan dengan pemuda
yang tidak cocok dengannya, dan ini sangat menjeng-
kelkan Henry. Tadi pagi dia menduga pemuda ini
mungkin telah membujuk Gladys supaya membolos."


Satu Dua Pasang Gesper Sepatunya Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mungkinkah itu?"
"Tidak, saya yakin itu tidak mungkin. Gladys gadis
yang sangat bertanggung jawab."
"Tapi mungkinkah pemuda itu telah membujuk
Gladys melakukan hal itu?"
Miss Morley terkesiap. "Mungkin sekali, saya ya-
kin."
"Apakah pekerjaan pemuda itu... oh, ya, siapakah
namanya?"
"Carter, Frank Carter. Dia bekerja... tidak... dia
pernah bekerja sebagai pegawai asuransi. Dia kehilang-
an pekerjaannya beberapa minggu yang lalu dan keli-
hatannya belum berhasil mendapat gantinya. Henry
berpendapat... dan saya berani mengatakan dia be-
nar... bahwa pemuda ini benar-benar pembual. Gladys
terbujuk untuk meminjamkan sebagian tabungannya
dan Henry sangat prihatin akan hal itu."
Japp bertanya penuh perhatian, "Apakah saudara
Anda pernah mencoba membujuk gadis itu agar me-
mutuskan hubungannya?"
"Ya, saya tahu dia pernah melakukan itu."
"Kalau begitu Frank Carter ini mungkin sekali me-
naruh dendam pada saudara Anda."
40 Wanita tegar itu langsung menanggapi dengan te-
gas, "Omong kosong... kalau Anda beranggapan
Frank Carter telah membunuh Henry. Henry pernah
menasihati gadis itu agar menjauhi Carter, itu betul;
tapi Gladys tidak memedulikan nasihatnya... dia de-
ngan tolol tetap setia kepada Frank."
"Adakah orang lain yang menurut Anda pernah
menaruh dendam pada saudara Anda?"
Miss Morley menggeleng.
"Apakah hubungannya dengan teman sejawatnya,
Mr. Reilly, baik-baik saja?"
Miss Morley menjawab kecut, "Sebaik-baiknya
yang bisa diharapkan kalau berhubungan dengan
orang Irlandia."
"Apa maksud Anda, Miss Morley?"
"Yah, orang Irlandia berdarah panas dan mereka
gemar sekali bertengkar tentang apa saja. Mr. Reilly
suka berdebat tentang politik."
"Hanya itu?"
"Hanya itu. Mr. Reilly mengecewakan dalam ba-
nyak hal, tapi dia sangat ahli dalam profesinya... demi-
kian kata saudara saya."
Japp terus mendesak, "Mengecewakan bagaima-
na?"
Miss Morley ragu-ragu, lalu berkata masam, "Dia
terlalu banyak minum, tapi saya mohon masalah ini
jangan diperpanjang."
"Pernahkah ada persoalan antara dia dan saudara
Anda tentang masalah itu?"
"Henry pernah sekali atau dua kali menegurnya.
Dalam dunia kedokteran gigi," sambung Miss Morley
41 seakan-akan ia dosen, "tangan yang tidak gemetaran
sangat diperlukan, dan napas dokter gigi yang berbau
alkohol bisa mengurangi kepercayaan pasiennya."
Japp mengangguk tanda setuju. Kemudian ia ber-
tanya lagi, "Dapatkah Anda bercerita kepada kami
tentang kondisi keuangan saudara Anda?"
"Henry punya penghasilan lumayan dan dia rajin
menabung. Selain itu kami masing-masing, meskipun
hanya sedikit, masih menerima bunga deposito dari
uang yang diwariskan ayah kami."
Japp bergumam sambil berdeham, "Anda belum
tahu, saya kira, bahwa saudara Anda meninggalkan
wasiat?"
"Oh... saya tahu... dan saya dapat mengatakan
pada Anda isinya. Dia mewariskan seratus pound kepa-
da Gladys Nevill, sedang sisanya kepada saya."
"Ya. Sekarang..."
Pintu diketuk dengan keras. Kemudian tampak
Alfred menjulurkan kepala dari baliknya. Matanya
yang seperti mata ikan mas koki menatap kedua tamu
di situ satu demi satu, lalu berkata terbata-bata,
"Anu... Miss Nevill. Dia sudah kembali... dia marah-
marah. Boleh dia masuk, dia ingin tahu?"
Japp mengangguk dan Miss Morley berkata, "Kata-
kan padanya agar kemari, Alfred."
"Oke," sahut Alfred, lalu menghilang.
Miss Morley mengeluh, "Anak itu sungguh suatu
cobaan besar."
* * *
42 IV Gladys Nevill seorang gadis jangkung, cantik, berusia
sekitar 28 tahun, namun sepintas lalu seperti mengi-
dap anemia. Meskipun kentara sekali ia sedang sangat
kesal, penampilannya langsung menunjukkan dirinya
cakap dan cerdas.
Dengan alasan hendak memeriksa berkas-berkas Mr.
Morley, Japp mengajaknya meninggalkan Miss Morley
dan menuju ke kantor kecil di sebelah ruang praktik.
Berulang-ulang gadis itu mengungkapkan rasa ter-
kejutnya, "Saya sungguh tidak percaya! Rasanya
benar-benar tak masuk akal Mr. Morley sampai me-
lakukan hal semacam itu!"
Dengan tegas ia menyatakan Mr. Morley tidak se-
dang kesulitan atau putus asa.
Kemudian Japp memulai penyelidikannya, "Anda
terpaksa ke luar kota hari ini, Miss Nevill..."
Gadis itu memotongnya, "Ya, dan semua itu ternya-
ta hanya lelucon jahat! Sungguh tidak berperasaan
orang yang melakukannya."
"Apa maksud Anda, Miss Nevill?"
"Huh. Berita tentang serangan jantung itu bohong
sama sekali. Bibi saya memang sudah lama sakit-sa-
kitan. Dia sendiri terkejut oleh kedatangan saya yang
tiba-tiba. Tentu saja saya senang... tapi di lain pihak
saya betul-betul kesal. Kesal pada orang yang telah
mengirim telegram sejail itu, yang membuat semuanya
berantakan."
43 "Apakah Anda menyimpan telegram itu, Miss
Nevill?"
"Saya telah membuangnya, saya kira, di stasiun.
Bunyinya hanya: Bibi Anda mendapat serangan jantung
tadi malam. Harap segera datang."
"Anda betul-betul yakin... hm..." Japp berdeham,
"bahwa bukan kawan Anda, Mr. Carter, yang mengi-
rim telegram itu?"
"Frank? Untuk apa? Oh! Saya tahu, maksud
Anda... telegram itu hasil perbuatan kami? Tidak,
sungguh, Inspektur... tak seorang pun dari kami akan
melakukan hal semacam itu."
Kemarahan dan kekesalannya tampaknya tidak di-
buat-buat dan Japp sedikit kesulitan meredakannya.
Tapi sebuah pertanyaan tentang pasien-pasien yang
dijadwalkan pagi itu berhasil mengembalikannya ke
gadis yang cakap dan cerdas.
"Semua ada dalam buku ini. Saya yakin Anda telah
membacanya. Saya mengenal hampir semua pasien
ini. Pukul 10.00 Mrs. Soames... dia harus mengganti
tambalannya. Pukul 10.30 Lady Grant, seorang nenek
yang tinggal di Lowndes Square. Pukul 11.00 M.
Hercule Poirot, dia datang secara teratur... oh, dia itu
tentu Anda sendiri... maaf, M. Poirot, pikiran saya
benar-benar sedang kacau! Pukul 11.30 Mr. Alistair
Blunt... seorang bankir, Anda tentu tahu, dia tidak
membutuhkan waktu lama karena Mr. Morley telah
menyiapkan bahan tambalannya. Kemudian Miss
Sainsbury Seale... dia tidak dijadwalkan hari ini, tapi
minta diperiksa hari ini juga karena giginya nyeri,
jadi Mr. Morley terpaksa meluangkan waktu baginya.
44 Dia sangat cerewet, apa pun dibicarakannya. Setelah
itu pukul 12.00 Mr. Amberiotis... dia pasien baru...
menelepon kami dari Hotel Savoy. Pasien Mr. Morley
banyak orang asing, juga orang Amerika. Kemudian
12.30 Miss Kirby. Dia berasal dari Worthing."
Poirot bertanya, "Waktu saya datang, di sini ada
pria jangkung bertampang militer. Siapakah dia?"
"Pasien Mr. Reilly, barangkali. Sebaiknya saya meng-
ambilkan jadwal periksanya, bukankah begitu?"
"Gagasan yang bagus sekali, Miss Nevill."
Ia meninggalkan mereka hanya selama beberapa
menit. Ia kembali dengan buku yang mirip dengan
buku Mr. Morley.
Gadis itu mulai membaca, "Pukul 10.00 Betty
Heath (gadis kecil berusia sembilan tahun). Pukul
11.00 Kolonel Abercrombie."
"Abercrombie!" gumam Poirot. "C?etait ca!"
"Sebelas tiga puluh Mr. Howard Raikes. Pukul
12.00 Mr. Barnes.
"Hanya itu pasiennya pagi ini. Mr. Reilly memang
tidak selaris Mr. Morley, tentu saja."
"Adakah yang dapat Anda ceritakan tentang pasien
Mr. Reilly?"
"Kolonel Abercrombie. Sudah lama menjadi pasien-
nya, dan semua anak Mrs. Heath merawat gigi mere-
ka pada Mr. Reilly. Tak ada yang bisa saya ceritakan
tentang Mr. Raikes atau Mr. Barnes, walaupun saya
pernah mendengar nama mereka. Anda tahu, setiap
kali ada telepon, saya yang mengangkat..."
Japp memotong, "Kami bisa bertanya sendiri pada
45 Mr. Reilly. Kalau bisa saya ingin segera bertemu de-
ngannya."
Miss Nevill meninggalkan ruangan. Japp berkata
kepada Poirot, "Semua pasien adalah pasien lama Mr.
Morley, kecuali Amberiotis. Pembicaraan kita dengan
Mr. Amberiotis pasti akan menarik sekali. Dia orang
terakhir, untuk sementara ini, yang melihat Morley
masih hidup, dan kita bisa lebih memastikan apakah
ketika dia terakhir melihat Morley, Morley masih hi-
dup."
Poirot berkata pelan sambil menggeleng, "Anda
masih harus membuktikan motifnya."
"Saya tahu. Itulah yang akan menjadi ganjalan.
Tapi kita mungkin bisa mendapat keterangan sedikit
tentang Amberiotis dari Scotland Yard." Ia menambah-
kan dengan tajam, "Anda serius sekali, Poirot!"
"Saya heran tentang satu hal."
"Apa?"
Poirot berkata sambil tersenyum samar, "Mengapa
Inspektur Kepala Japp?"
"Eh?"
"Saya mengatakan, ?Mengapa Inspektur Kepala
Japp?? Seorang perwira setingkat Anda?apakah biasa
ditugaskan hanya untuk menangani kasus bunuh
diri?"
"Sebenarnya saya kebetulan sedang berada di dekat
sini. Di Lavenham... Wigmore Street. Ada sedikit ka-
sus penggelapan di sana. Mereka menelepon saya agar
datang kemari."
"Tapi mengapa mereka menelepon Anda?"
"Oh, itu... itu cukup sederhana. Ada kaitannya de-
46 ngan Alistair Blunt. Begitu Inspektur Wilayah mende-
ngar dia kemari tadi pagi, dia segera menghubungi
Scotland Yard. Mr. Blunt termasuk orang yang men-
dapat perlindungan khusus di negara ini."
"Maksud Anda, ada orang yang ingin menyingkir-
kannya?"
"Kemungkinan itu cukup besar. Golongan komu-
nis, misalnya... kaum fasis juga. Blunt dan kelompok-
nya memang berdiri di belakang pemerintah yang
kini berkuasa. Mereka sumber keuangan utama bagi
Partai Konservatif. Itulah sebabnya, betapa pun kecil-
nya, ada kemungkinan peristiwa ini sebenarnya ditu-
jukan kepadanya. Mereka menginginkan upaya penyi-
dikan yang saksama."
Poirot mengangguk.
"Kurang-lebih begitu pula dugaan saya. Dan itu
pula irasat saya..." dikibaskannya tangannya dengan
bersemangat, "bahwa barangkali telah terjadi sesuatu
yang menghalangi. Korban sesungguhnya pasti Alistair
Blunt. Atau ini baru awal rangkaian teror yang teren-
cana? Saya mencium... saya mencium..." ia mengendus
udara seperti kijang mengendus bau musuhnya, "uang
yang banyak sekali dalam urusan ini!"
Japp berkata, "Anda terlalu mengkhayal, Kawan."
"Saya menduga Morley yang malang hanya bidak
dalam permainan ini. Barangkali dia mengetahui sesua-
tu, barangkali dia menceritakan sesuatu kepada Blunt,
atau mereka takut dia akan memberitahu sesuatu ke-
pada Blunt..."
Ia berhenti ketika Gladys Nevill masuk lagi ke
ruangan.
47 "Mr. Reilly sedang sibuk mencabut gigi," ujarnya.
"Dia minta waktu kira-kira sepuluh menit lagi, kalau
Anda tidak keberatan."
Japp menyatakan mereka tidak keberatan. Lalu kata-
nya, ia ingin bicara lagi dengan Alfred.
V Aneka macam perasaan berkecamuk dalam diri
Alfred?gugup, senang, dan takut tak terkira. Takut


Satu Dua Pasang Gesper Sepatunya Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

disalahkan atas segala sesuatu yang terjadi! Ia baru
dua minggu bekerja pada Mr. Morley, dan selama dua
minggu itu hampir semua yang dikerjakannya selalu
salah. Teguran serta omelan yang terus-menerus telah
melunturkan rasa percaya dirinya.
"Mungkin dia lebih cerewet daripada biasanya," ja-
wab Alfred atas pertanyaan yang diajukan padanya,
"tak ada yang lain sejauh yang bisa saya ingat. Saya
tak habis pikir mengapa dia sampai berbuat begitu."
Poirot menyela. "Kau harus menceritakan kepada
kami," ujarnya, "segala sesuatu yang dapat kauingat,
yang telah terjadi hari ini. Kau saksi yang sangat pen-
ting, dan keteranganmu mungkin sangat bermanfaat
bagi kami."
Wajah Alfred tampak berseri dan dadanya menggem-
bung. Sebelumnya kepada Japp ia telah menceritakan
secara singkat semua kejadian yang diketahuinya pagi
ini. Kini ia memutuskan membuka diri. Perasaan bahwa
ia dianggap penting meredakan kegugupannya.
48 "Saya akan mencoba lagi," katanya. "Silakan berta-
nya apa saja."
"Nah, sebagai permulaan, adakah sesuatu yang ti-
dak biasa yang terjadi tadi pagi?"
Alfred berpikir sejenak dan kemudian berkata de-
ngan agak sedih, "Tidak bisa dibilang begitu. Semua-
nya seperti biasa."
"Adakah orang asing yang datang ke rumah ini?"
"Tidak, Sir."
"Juga tidak ada di antara para pasien?"
"Saya tidak begitu mengerti maksud Anda, Sir. Tak
ada orang yang datang tanpa perjanjian lebih dulu,
kalau itu yang Anda maksudkan. Mereka semua terca-
tat dalam buku."
Japp mengangguk. Poirot bertanya, "Dapatkah sese-
orang masuk sendiri dari luar?"
"Tidak, tidak bisa. Mereka harus mempunyai kun-
ci."
"Sebaliknya, meninggalkan rumah ini justru mudah
sekali?"
"Oh, ya, tinggal memutar handel, keluar, lalu me-
nutup lagi pintunya. Seperti telah saya katakan, keba-
nyakan pasien melakukan hal itu. Mereka sering tu-
run lewat tangga ketika saya sedang mengantar pasien
berikutnya dengan lift, jelas?"
"Jelas. Sekarang ceritakan siapa yang datang perta-
ma tadi pagi, dan siapa saja selanjutnya. Ceritakan
ciri-ciri mereka kalau kau tidak mampu mengingat
nama-nama mereka."
Alfred berpikir lagi sejenak. Kemudian katanya,
"Seorang wanita dengan anak perempuan kecil, mere-
49 ka pasien Mr. Reilly, dan Mrs. Soap atau entah siapa
namanya, pasien Mr. Morley."
Poirot berkata, "Betul. Teruskan."
"Kemudian seorang nenek tua lain... kelihatannya
agak pesolek... dia datang dengan sebuah Daimler.
Ketika dia pergi, seorang bertampang militer datang,
dan tak lama sesudah dia, Anda datang." Ia mengang-
guk ke arah Poirot.
"Betul."
"Kemudian orang Amerika itu datang..."
Japp memotong tajam, "Orang Amerika?"
"Ya, Sir. Masih muda. Dia pasti orang Amerika...
kita bisa tahu dari nada bicaranya. Dia datang terlalu
cepat. Sebetulnya dia dijadwalkan pukul 11.30... dan
anehnya, itu justru tidak ditepatinya."
Japp menyela tajam, "Apa yang terjadi?"
"Bukan salahnya. Saya memanggilnya ketika bel
Mr. Reilly berbunyi pada pukul 11.30... lebih sebenar-
nya, mungkin pukul 11.40... dan ternyata dia tidak
ada. Pasti dia pergi karena takut." Ia menambahkan
dengan gaya seakan-akan dirinya paling tahu. "Mereka
kadang-kadang berbuat begitu."
Poirot berkata, "Kalau begitu dia pergi segera sete-
lah saya?"
"Betul, Sir. Anda keluar setelah saya mengantar
pria pesolek yang datang dengan Rolls Royce. Gila!
Bagus sekali mobilnya. Orang itu Mr. Blunt, dijadwal-
kan pukul 11.30. Sehabis mengantarnya saya membu-
kakan pintu bagi Anda, dan seorang wanita masuk.
Miss Some Berry Seal, atau semacam itu... kemudian
saya, hmm, sebenarnya saya pergi ke dapur untuk
50 mengambil jatah makanan kecil saya, dan ketika saya
di sana bel berbunyi... bel Mr. Reilly, jadi saya naik
lagi ke ruang tunggu dan seperti kata saya, orang
Amerika itu tidak ada. Lalu saya pergi dan memberita-
hukan hal ini kepada Mr. Reilly. Tentu saja dia
marah-marah. Tapi itu tidak biasa."
Poirot berkata, "Teruskan."
"Saya ingat-ingat dulu, apa yang terjadi setelah itu?
Oh, ya, bel Mr. Morley berbunyi untuk Miss Seal, dan
pria pesolek itu turun dan keluar sewaktu saya meng-
antar Miss?entah siapa namanya?dengan lift. Kemu-
dian saya turun lagi dan dua pria telah datang, yang
seorang bertubuh kecil dengan suara nyaring yang lucu,
saya tidak ingat namanya. Dia pasien Mr. Reilly. Yang
seorang lagi pria asing gemuk, pasien Mr. Morley.
"Miss Seal tidak begitu lama... tak lebih dari seper-
empat jam. Saya mengantarnya ke luar dan kemudian
membawa pria asing itu ke ruang praktik Mr. Morley.
Pria lainnya sudah saya antar ke Mr. Reilly segera
setelah dia tiba."
Japp berkata, "Dan kau tidak melihat Mr.
Amberiotis, pria asing itu, ketika dia meninggalkan
tempat ini?"
"Tidak, Sir. Dia pasti keluar sendiri. Saya juga ti-
dak mengantar keluar pasien pria yang lainnya."
"Di mana kau sejak pukul 12.00?"
"Saya selalu duduk di lift, Sir, menunggu sampai
bel pintu depan atau salah satu bel pemberitahuan
dari dokter berbunyi."
Poirot berkata, "Dan kau sedang membaca, barang-
kali?"
51 Alfred tersipu-sipu lagi. "Saya tidak merasa itu me-
rugikan, Sir. Lagi pula tidak ada hal lain yang bisa
saya kerjakan supaya tidak merasa bosan."
"Betul sekali. Apa yang sedang kaubaca waktu itu?"
"Kematian pada Pukul 11.45, Sir. Cerita detektif
Amerika. Seru sekali, Sir, sungguh! Semuanya tentang
jagoan berpistol."
Poirot tersenyum sedikit. Lalu ujarnya, "Bisakah
kau mendengar ketika pintu depan ditutup dari tem-
pat kau berada?"
"Maksud Anda kalau ada orang yang keluar? Saya
rasa tidak bisa, Sir. Maksud saya, saya tidak bakal me-
ngetahuinya! Begini, lift terletak di bagian belakang
ruang depan, di sebelah kanan dan agak tersembunyi.
Semua bel juga terpasang di dekat situ. Kita pasti da-
pat mendengar suara bel-bel itu."
Poirot mengangguk dan Japp bertanya, "Apa yang
terjadi kemudian?"
Alfred mengerutkan kening, berusaha mengingat.
"Hanya pasien wanita terakhir yang masih ada, Miss
Shirty. Saya menunggu bel Mr. Morley berbunyi, tapi
itu tidak terjadi dan pada pukul 13.00, pasien wanita
yang sedang menunggu mulai marah-marah."
"Tak terpikir olehmu untuk pergi ke atas dan meli-
hat apakah Mr. Morley sudah siap?"
Alfred menggeleng pasti. "Tidak, Sir. Saya tidak
pernah bermimpi melakukan itu. Setahu saya ketika
itu, pasien pria terakhir masih di atas. Saya tetap ha-
rus menunggu bel. Tentu saja kalau saya tahu Mr.
Morley telah berbuat begitu..."
Alfred menggeleng penuh penyesalan.
52 Poirot bertanya, "Apakah bel selalu dibunyikan se-
belum pasien turun, atau sebaliknya?"
"Tidak harus begitu. Biasanya kalau pasien turun
sendiri lewat tangga, bel langsung dibunyikan. Bisa
juga bel dibunyikan berupa isyarat agar saya menjem-
put pasien di atas dengan lift. Kadang-kadang Mr.
Morley sengaja membiarkan beberapa menit berlalu
sebelum dia membunyikan bel untuk pasien berikut-
nya. Kalau sedang tergesa-gesa, dia membunyikan bel
segera setelah pasien keluar dari ruangan."
"Oh, begitu..." Poirot berhenti sebentar dan kemu-
dian melanjutkan, "Apakah kau terkejut ketika menge-
tahui Mr. Morley bunuh diri, Alfred?"
"Hampir pingsan saya. Tidak ada tanda-tanda dia
akan melakukannya sejauh yang saya ketahui... Oh!"
Kedua mata Alfred makin besar dan bulat. "A-atau...
dia telah dibunuh, betul?"
Poirot segera menyahut sebelum Japp sempat bica-
ra. "Misalkan benar begitu, apakah itu mengurangi
keterkejutanmu?"
"Saya tidak tahu, Sir, benar-benar tidak tahu. Tapi
saya tidak menyangka ada orang akan membunuh
Mr. Morley. Dia... dia orang yang betul-betul biasa,
Sir. Benarkah dia dibunuh, Sir?"
Poirot berkata murung, "Kami harus memperhitung-
kan setiap kemungkinan. Itu sebabnya saya mengata-
kan kau adalah saksi yang sangat penting dan kau
harus mencoba mengingat-ingat segala sesuatu yang
telah terjadi tadi pagi."
Poirot mengucapkan semua itu dengan penuh tekan-
53 an sehingga sekali lagi Alfred mengerutkan kening. De-
ngan segenap tenaga ia berusaha memeras ingatannya.
"Saya tidak bisa mengingat yang lain lagi, Sir. Saya
benar-benar tidak bisa."
Nada suara Alfred terdengar memelas.
"Bagus sekali, Alfred. Dan kau betul-betul yakin
tidak seorang pun kecuali para pasien yang telah da-
tang kemari tadi pagi?"
"Orang asing tidak ada, Sir. Pacar Miss Nevill me-
mang datang, dan dia marah-marah karena tidak me-
nemuinya di sini."
Japp menyela tajam, "Kapankah itu?"
"Tidak lama selewat pukul 12.00. Sesudah saya
memberitahu Miss Nevill tidak masuk hari ini, dia
tampak sangat berang dan katanya dia akan menung-
gu untuk menemui Mr. Morley. Kemudian saya berita-
hukan juga kepadanya Mr. Morley sibuk sampai saat
makan siang, tapi dia berkata, ?Biar saja, saya akan
menunggu.?"
Poirot bertanya, "Dan dia menunggu?"
Alfred terkejut, itu tampak dari matanya. Ia berka-
ta, "Ya ampun... saya tidak pernah berpikir sampai ke
situ! Dia memang masuk ke ruang tunggu, tapi kemu-
dian dia tidak ada di sana. Dia pasti bosan menung-
gu, dan berpikir untuk datang lagi lain waktu."
VI Ketika Alfred telah keluar dari ruangan, Japp berkata
54 tajam, "Apakah Anda pikir bijaksana menyatakan ke-
mungkinan pembunuhan kepada pemuda itu?"
Poirot mengangkat bahu. "Saya kira begitu... ya.
Saya harap dengan rangsangan itu dia akan ingat sega-
la sesuatu yang mungkin telah dilihat atau didengar-
nya, dan akan waspada terhadap segala sesuatu yang
terjadi di sini."
"Bagaimanapun, kita tidak ingin kemungkinan ini
terlalu cepat tersebar."
"Mon cher, itu tidak akan terjadi. Alfred senang
membaca cerita detektif... Alfred keranjingan pada
masalah kriminal. Dia akan tenggelam dalam imajina-
si kriminalnya dan akan takut sendiri."
"Barangkali Anda benar, Poirot. Sekarang kita de-
ngarkan apa yang hendak dikatakan Reilly."
Kantor dan kamar praktik Mr. Reilly terletak di
lantai dua. Ruangan itu sama luasnya dengan yang di
sebelah atasnya, tapi tidak begitu terang. Perabotan
dan perlengkapannya pun tidak semewah di atas.
Teman sejawat Mr. Morley ini seorang pria muda,
jangkung, berkulit agak gelap, dengan seberkas ram-
but yang selalu jatuh di kening sehingga tampak
kurang rapi. Ia memiliki suara yang menarik dan
matanya menunjukkan dirinya cerdas dan licin.
"Kami berharap Anda dapat memberi sedikit titik
terang pada masalah ini, Mr. Reilly," kata Japp setelah
memperkenalkan diri.
"Anda salah kalau begitu, sebab saya tidak dapat
memenuhi harapan Anda," jawab Mr. Reilly. "Saya
cenderung berkata begini... Henry Morley orang ter-
55 akhir yang akan mencabut nyawanya sendiri. Saya
mungkin melakukannya... tapi dia tidak bakal."
"Mengapa Anda mungkin melakukannya?" tanya
Poirot.
"Kecemasan yang membebani saya segudang," ja-
wab Mr.Reilly. "Kesulitan keuangan hanyalah satu di
antaranya! Saya tidak pernah mampu mengatur penge-
luaran dengan pendapatan saya. Tapi Morley orang
yang cermat. Dia tidak punya utang atau kesulitan
keuangan, saya yakin itu."
"Masalah cinta?" sergah Japp.


Satu Dua Pasang Gesper Sepatunya Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Maksud Anda, masalah cinta pada diri Morley?
Dia sama sekali tidak menikmati hidup! Dia di bawah
kekuasaan saudara perempuannya. Sungguh malang
dia."
Japp meneruskan dengan bertanya kepada Reilly
tentang pasien-pasien yang ditanganinya pagi itu.
"Oh, saya rasa mereka semua biasa. Si kecil Betty
Heath, dia anak yang manis... saya menangani seluruh
keluarganya. Kolonel Abercrombie juga pasien
lama."
"Bagaimana dengan Mr. Howard Raikes?" tanya
Japp.
Reilly menyeringai lebar. "Pasien yang tidak jadi
berobat itu? Dia baru pertama kali ini datang, jadi
saya sama sekali tidak mengenalnya. Dia menelepon
dan minta dijadwalkan untuk perawatan pagi ini."
"Dari mana dia menelepon?"
"Holborn Palace Hotel. Dia orang Amerika agak-
nya."
"Alfred juga beranggapan begitu."
56 "Alfred tentu saja tahu," sahut Mr. Reilly. "Dia
pencandu ilm."
"Dan pasien Anda yang lain?"
"Barnes? Orang kecil yang lucu. Dia pensiunan
pegawai negeri. Tinggalnya agak di luar kota, di jalan
menuju Ealing."
Japp diam sejenak dan kemudian berkata, "Apa
yang dapat Anda ceritakan tentang Miss Nevill?"
Mr. Reilly mengangkat alis. "Sekretaris yang pirang
dan cuanttiikk? Tidak ada apa-apanya, Bung! Hubung-
annya dengan si tua Morley betul-betul bersih, saya
yakin akan hal itu."
"Saya tidak pernah berprasangka sebaliknya," sergah
Japp, wajahnya agak memerah.
"Salah saya kalau begitu," sahut Reilly. "Maafkan
pikiran saya yang kotor."
Japp tidak menyukai kelakar yang urakan itu. Ia
berkata, "Adakah yang Anda ketahui tentang pemuda
kekasih gadis itu? Namanya Carter?Frank Carter."
"Morley tidak terlalu menghiraukannya," sahut
Reilly. "Tapi dia memang mencoba membujuk Nevill
agar menjauhi pemuda itu."
"Mungkinkah itu membuat Carter sakit hati?"
"Sangat mungkin," Mr. Reilly mengiyakan dengan
bersemangat. Tapi kemudian ia diam sejenak, lalu me-
nambahkan, "Maaf, betulkah kasus bunuh diri yang
sedang Anda selidiki, bukan pembunuhan?"
Japp berkata tajam, "Kalau ini pembunuhan, ada-
kah yang dapat Anda kemukakan?"
"Bukan saya! Saya rasa Georgina! Perempuan pemu-
rung yang galak itu. Tapi saya khawatir Georgina cu-
57 kup bermoral untuk tidak melakukannya. Tentu saja
dengan mudah saya bisa diam-diam naik ke atas dan
menembak si tua itu sendiri, tapi saya tidak melaku-
kannya. Sesungguhnya, saya tidak dapat membayang-
kan ada orang yang ingin membunuh Morley. Tapi
bagaimanapun saya tidak bisa memahami mengapa
dia sampai bunuh diri."
Ia menambahkan, dengan nada berbeda, "Sebenarnya
saya sangat menyesalkan kejadian ini Tapi Anda ja-
ngan menyalahartikan sikap saya barusan. Anda tentu
maklum saya gugup. Saya menyukai si tua Morley dan
saya merasa kehilangan dia."
VII Japp meletakkan gagang telepon. Air mukanya ketika
ia berpaling kepada Poirot tampak agak muram.
Ia berkata, "Mr. Amberiotis merasa kesehatannya
agak terganggu... dia tidak bersedia menerima siapa
pun sore ini.
"Tapi saya yakin dia akan menemui saya, dan dia
juga tidak akan menghindar dari saya! Saya telah me-
nempatkan seorang petugas di Savoy yang siap mem-
buntutinya kalau dia mencoba melarikan diri."
Poirot berkata prihatin, "Anda pikir Amberiotis
yang menembak Morley?"
"Saya tidak tahu. Tapi dialah orang terakhir yang
melihat Morley masih hidup. Dan dia pasien baru. Me-
nurut ceritanya, dia meninggalkan Morley masih hi-
58 dup dan sehat pada pukul 12.25. Itu bisa saja benar,
bisa juga tidak. Seandainya saat itu Morley betul ma-
sih hidup, maka kita harus membuat rekonstruksi
tentang apa yang terjadi kemudian. Saat itu masih
ada waktu lima menit sebelum pemeriksaan berikutnya.
Adakah seseorang yang masuk dan menemuinya da-
lam lima menit itu? Carter, mungkin? Atau Reilly?
Apa yang terjadi? Bertolak dari situ, kita dapat me-
nyimpulkan pada pukul 12.30, atau paling lambat
pukul 12.35, Morley telah tewas... kalau tidak dia pas-
ti telah membunyikan bel atau memberitahu Miss
Kirby bahwa dia tidak dapat memeriksanya. Kalau
bukan karena dibunuh, pasti ada seseorang yang telah
menceritakan kepadanya sesuatu yang langsung mem-
buatnya bingung dan putus asa, sehingga dia nekat
mencabut nyawanya sendiri."
Ia berhenti sejenak.
"Saya akan berbicara dengan setiap pasien yang
diperiksanya pagi ini. Masih ada kemungkinan barang-
kali dia telah mengatakan sesuatu kepada salah se-
orang dari mereka, yang akan membawa kita ke jalur
yang benar."
Ia memandang sekilas arlojinya.
"Mr. Alistair mengatakan dia dapat meluangkan
waktu beberapa menit setelah pukul 16.15. Kita akan
menemuinya lebih dulu. Rumahnya di Chelsea
Embankment. Selanjutnya kita menemui Sainsbury
Seale sebelum pergi ke tempat Amberiotis. Saya mera-
sa perlu mengumpulkan data sebanyak-banyaknya se-
belum menangani kawan kita si orang Yunani ini.
Setelah itu kita akan berbincang-bincang sedikit de-
59 ngan orang Amerika yang, menurut Anda, ?bertam-
pang pembunuh?."
Hercule Poirot menggeleng.
"Bukan pembunuh... dia sakit gigi."
"Sama saja. Kita perlu menjumpai Mr. Raikes. Mi-
nimal karena perilakunya yang aneh. Dan kita akan
menyelidiki telegram yang telah diterima Miss Nevill,
menyelidiki bibinya, serta pemuda kekasih gadis itu.
Bisa dibilang kita akan menyelidiki segala sesuatu dan
setiap orang!"
VIII Alistair Blunt tidak pernah dianggap penting di mata
umum. Mungkin karena ia sendiri sangat pendiam
dan pemalu. Mungkin karena selama bertahun-tahun
ia hanya berfungsi sebagai orang di balik layar.
Rebecca Sanseverato, yang ketika gadis bernama
Rebecca Arnholt, datang ke London sebagai wanita
berusia 45 tahun yang baru saja mengalami kekecewa-
an. Dari kedua orangtuanya ia mewarisi darah bang-
sawan dan kekayaan. Ibunya keturunan bangsawan
Eropa, keluarga Rotherstein. Ayahnya direktur perusa-
haan perbankan besar Amerika di Arnholt. Rebecca
Arnholt, karena kematian dua saudara lelaki dan se-
orang sepupu pada kecelakaan pesawat terbang, men-
jadi pewaris tunggal kekayaan yang sedemikian melim-
pah. Ia menikah dengan bangsawan Eropa yang
namanya terkenal, Pangeran Felipe de Sanseverato.
60 Tiga tahun kemudian ia bercerai, namun mendapatkan
hak asuh atas anak yang dihasilkan dari perkawinan
itu, setelah selama dua tahun hidup menderita dengan
bajingan yang kelakuannya terkenal buruk. Beberapa
tahun setelah itu anaknya meninggal.
Guna melupakan semua kepahitan yang pernah
dialaminya, Rebecca Arnholt memanfaatkan otaknya
yang cemerlang dalam bidang keuangan, memanfaat-
kan bakat yang sesungguhnya memang mengalir da-
lam darahnya. Ia bergabung dengan usaha perbankan
ayahnya.
Sesudah kematian ayahnya, ia terus menjadi igur
yang berkuasa dalam dunia keuangan dengan saham-
nya yang sangat besar. Ia datang ke London, dan se-
orang partner muda dari perbankan London dikirim
ke Claridge untuk mempelajari dokumen-dokumen-
nya. Enam bulan kemudian dunia dikejutkan dengan
pengumuman bahwa Rebecca Sanseverato menikah
dengan Alistair Blunt, pria yang hampir dua puluh
tahun lebih muda darinya.
Gunjingan dan cemoohan dengan sendirinya ber-
munculan. Rebecca, kata sahabat-sahabatnya, sungguh
wanita kelewat tolol yang mudah diperdaya lelaki!
Mula-mula Sanseverato... sekarang pria muda ini. Su-
dah jelas lelaki itu mengawininya hanya demi uang-
nya. Rebecca pasti segera terjerumus ke dalam benca-
na kedua! Tapi sungguh di luar sangkaan semua
orang, perkawinan itu berhasil. Orang yang meramal-
kan bahwa Alistair Blunt akan menghambur-hambur-
kan uang istrinya pada wanita-wanita lain benar-benar
kecewa. Ia tetap menjadi suami setia. Bahkan setelah
61 kematian istrinya, sepuluh tahun kemudian, ketika
sebagai pewaris kekayaan yang begitu besar ia sesung-
guhnya bebas, namun ternyata tidak menikah lagi. Ia
tetap hidup dalam ketenangan serta kesederhanaan
yang sama. Kecemerlangannya dalam mengelola ke-
uangan tidak kurang dari istrinya. Keputusan-keputus-
an dan kebijakan-kebijakan yang diambilnya selalu
sempurna... kejujurannya tak perlu dipertanyakan. Ia
menguasai seluruh organisasi yang bernaung di bawah
bendera Arnholt dan Rotherstein semata-mata karena
kemampuannya sendiri.
Ia jarang sekali terjun ke dunia sosial, mempunyai
rumah di Kent dan satu lagi di Norfolk tempat ia
menghabiskan akhir pekannya, bukan dengan pesta-
pesta mewah, tapi dengan beberapa sahabat yang juga
menyukai ketenangan. Ia senang bermain golf dan
cukup ahli dalam olahraga ini. Ia juga gemar berke-
bun. Orang inilah yang akan ditemui Inspektur Kepala
Japp dan Hercule Poirot yang saat itu sedang dalam
sebuah taksi tua.
Di Chelsea Embankment, rumah bergaya gotik itu
mudah dikenali. Bagian dalamnya, meskipun mewah,
tetap menampilkan kesederhanaan. Rumah itu tidak
terlalu modern tapi jelas sangat nyaman untuk diting-
gali.
Alistair Blunt tidak membiarkan mereka menunggu.
Ia langsung menjumpai mereka. "Inspektur Kepala
Japp?"
Japp mengiyakan dan segera memperkenalkan
Hercule Poirot. Blunt menatapnya penuh perhatian.
62 "Tentu saja nama Anda tidak asing bagi saya, M.
Poirot. Dan saya yakin, di suatu tempat belum lama
ini..." Ia berhenti sejenak, mengerutkan kening.
Poirot menyahut, "Tadi pagi, Monsieur, di ruang
tunggu ce pauvre M. Morley."
Alistair Blunt menurunkan alisnya kembali. Lalu
katanya, "Tentu saja. Saya tahu pernah melihat Anda
di suatu tempat." Ia berpaling kepada Japp. "Apa
yang dapat saya lakukan bagi Anda? Saya sungguh
menyesalkan kejadian yang telah menimpa Mr.
Morley."
"Anda terkejut, Mr. Blunt?"
"Sangat terkejut. Tentu saja saya tidak begitu me-
ngenalnya, tapi saya pikir dia orang yang paling tidak
mungkin bunuh diri."
"Kalau begitu pagi ini dia tampak sehat dan berse-
mangat?"
"Saya kira... ya." Alistair Blunt diam sejenak, kemu-
dian berkata dengan senyum kekanak-kanakan, "Seju-
jurnya saya beritahu Anda bahwa saya paling takut pergi
ke dokter gigi. Dan saya benci sekali pada bor yang
mereka pakai untuk mengorek-ngorek gigi saya. Itu se-
babnya saya sama sekali tidak memedulikan sekitar saya
saat itu. Sampai semuanya berakhir dan saya boleh
pergi. Tapi saya harus bilang Morley tampak sangat nor-
mal. Periang dan asyik dengan pekerjaannya."
"Anda sudah sering memeriksakan gigi padanya?"
"Saya kira yang tadi adalah kunjungan ketiga atau
keempat. Saya belum pernah terlalu direpotkan oleh
gigi saya sampai setahun yang lalu. Sejak itu mulai
pecah-pecah, barangkali."
63 Hercule Poirot bertanya, "Siapakah yang mula-mula
menyarankan agar Anda berobat pada Mr. Morley?"
Alis Blunt tampak menyatu ketika berusaha memu-
satkan pikiran. "Coba saya ingat-ingat... rasanya orang
yang pernah merekomendasikan dokter Morley di
Queen Charlotte Street adalah orang yang kini pergi
ke... bukan, sepertinya saya tidak ingat siapa orang
itu. Maaf."
Poirot berkata, "Seandainya suatu waktu ingat, ba-
rangkali Anda bersedia memberitahu salah seorang di
antara kami?"
Alistair Blunt memandangnya dengan rasa ingin
tahu. Ia berkata, "Saya akan... oh ya, tentu saja.


Satu Dua Pasang Gesper Sepatunya Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mengapa? Apakah itu penting?"
"Saya mempunyai irasat," jawab Poirot, "bahwa itu
mungkin penting sekali."
Mereka sedang menuruni anak tangga rumah itu
ketika sebuah mobil berhenti di depan. Mobil itu di-
rancang khusus untuk sport?mobil yang terasa jang-
gal kalau ketika berbelok di tikungan tidak mengeluar-
kan bunyi mencicit.
Wanita muda yang mengendarainya seolah-olah
hanya terdiri atas sepasang lengan dan kaki. Ia akhir-
nya keluar dari mobilnya ketika kedua pria yang baru
muncul dari rumah tadi mulai membelok menyusuri
jalan raya.
Gadis itu berdiri di trotoar memperhatikan mereka.
Kemudian, tiba-tiba dan dengan bersemangat, ia ber-
seru, "Hai!"
Karena tidak menyadari panggilan itu ditujukan
kepada mereka, tak seorang pun dari keduanya meno-
64 leh, sehingga gadis itu mengulangi seruannya, "Hai!
Hai! Anda yang di sana!"
Mereka berhenti dan berbalik heran. Gadis itu ber-
jalan ke arah mereka. Kesan ia hanya terdiri atas le-
ngan dan kaki tetap ada. Gadis itu jangkung, kurus,
dan wajahnya membersitkan kecerdasan serta keceria-
an yang mampu mengatasi kekurangannya dalam hal
kecantikan. Rambutnya berwarna gelap, dengan kulit
gelap terbakar matahari.
Ia berkata kepada Poirot, "Saya tahu siapa Anda...
Anda pasti detektif itu, Hercule Poirot!" Suaranya ha-
ngat dan dalam, dengan sedikit aksen Amerika.
Poirot mengiyakan. "Terima kasih, Mademoiselle."
Pandangannya beralih ke Japp.
Poirot segera memperkenalkan, "Inspektur Kepala
Japp."
Mata gadis itu melebar, waswas. Ia bertanya agak
tergopoh-gopoh, "Apa yang Anda kerjakan di sini?
Tak ada... tak ada sesuatu yang terjadi pada Paman
Alistair, bukan?"
Poirot menyahut cepat, "Mengapa Anda berpikir
demikian, Mademoiselle?"
"Jadi, tidak terjadi apa-apa? Syukurlah."
Japp mengambil alih pertanyaan Poirot. "Mengapa
Anda berpikir ada sesuatu yang telah terjadi pada Mr.
Blunt, Miss..."
Ia diam sebentar dengan pandangan bertanya. Ga-
dis itu serta-merta menyambung, "Olivera. Jane
Olivera." Kemudian ia mengeluarkan tawa yang terasa
agak dipaksakan. "Kedatangan Anda tentu saja meng-
undang pikiran yang bukan-bukan."
65 "Mr. Blunt benar-benar tidak apa-apa. Saya menga-
takan ini dengan tulus, Miss Olivera."
Gadis itu menatap Poirot. "Diakah yang mengun-
dang Anda kemari?"
Japp menjawab, "Kami yang sengaja mengunjungi-
nya, barangkali dia dapat memberi titik terang pada
kasus bunuh diri yang terjadi tadi pagi."
Gadis itu bertanya tidak sabar, "Bunuh diri? Siapa?
Di mana?"
"Mr. Morley, dokter gigi, tinggal di Queen
Charlotte Street 58."
"Oh!" seru Jane Olivera tanpa pikir panjang. "Oh!"
Ia memandang ke depan dengan tatapan kosong, sam-
bil mengerutkan dahi. Kemudian sekonyong-konyong
ia bergumam, "Oh, tapi itu mustahil!" Dan ia lang-
sung berbalik, meninggalkan kedua detektif itu tanpa
basa-basi, berlari menaiki tangga rumah bergaya gotik
itu, lalu masuk dengan anak kuncinya sendiri.
"Nah!" ujar Japp sambil memandangi gadis itu.
"Itu hal yang luar biasa untuk dikatakan."
"Menarik," sambung Poirot pelan.
Japp mengangkat bahu, memandang sekilas arloji-
nya, dan melambai ke taksi yang mendekat.
"Kita masih punya waktu untuk berbincang-bincang
dengan Sainsbury Seale sebelum pergi ke Savoy."
IX Miss Sainsbury Seale sedang menikmati teh di lobi
66 Hotel Glengowrie Court yang redup penerangan-
nya. Ia tidak biasa berhadapan dengan perwira polisi
berpakaian preman, tapi sambutannya yang gembira
tampak tidak dibuat-buat. Poirot melihat, dengan se-
dih, bahwa wanita itu belum menjahit kancing sepatu-
nya yang telah copot.
"Sungguh, Inspektur," ujar Miss Sainsbury Seale
sambil melayangkan pandang ke sekelilingnya. "Saya
benar-benar tidak tahu di mana kita bisa bicara de-
ngan tenang. Sulit sekali... kebetulan ini waktunya
minum teh, tapi barangkali Anda juga mau minum
teh... dan... dan rekan Anda?"
"Saya tidak usah, Madame," sahut Japp. "Ini M.
Hercule Poirot."
"Sungguh?" tegas Miss Sainsbury Seale. "Kalau be-
gitu barangkali... Anda betul-betul... tak seorang pun
dari Anda yang mau minum teh? Tidak? Baiklah, ba-
rangkali kita bisa mencoba ruang tamu, meski itu
pun sering penuh... Oh, ya, di sana... di pojok sana.
Orang yang tadi duduk di sana baru saja pergi. Mari
kita duduk di sana..."
Ia mendahului pergi ke ruangan atau lekukan kecil
yang agak tersembunyi itu. Di situ ada sofa dan dua
kursi di dekatnya. Poirot dan Japp mengikutinya, sete-
lah sebelumnya Poirot mengambil scarf dan saputa-
ngan Miss Sainsbury Seale yang tertinggal.
Poirot mengembalikan barang-barang itu.
"Oh, terima kasih... saya memang ceroboh. Nah,
Inspektur... oh, bukan, Inspektur Kepala, betul? Sila-
kan bertanya tentang apa saja. Perkara ini memang
67 benar-benar menegangkan. Laki-laki malang... agaknya
dia menyembunyikan sesuatu dalam pikirannya. Za-
man sekarang ini memang serbasusah!"
"Apakah menurut Anda dia tampak susah, Miss
Sainsbury Seale?"
"Yah..." Miss Sainsbury Seale mengingat-ingat dan
akhirnya berkata, "Saya sungguh tak dapat mengatakan
dia memang demikian! Tapi itu mungkin karena saya
tidak dapat memperhatikan hal itu... dalam situasi se-
perti itu. Saya ini agak penakut, Anda tahu." Miss
Sainsbury Seale tertawa tertahan sambil memainkan ikal
rambutnya yang seperti sarang burung.
"Dapatkah Anda menceritakan, siapa saja yang ada
di ruang tunggu ketika Anda di sana?"
"Coba saya ingat-ingat dulu... hanya ada pria muda
di sana ketika saya masuk. Saya kira dia sangat kesa-
kitan karena dia menggerutu terus, kelihatan betul-
betul gelisah dan melihat-lihat sampul majalah tanpa
memperhatikan. Setelah itu tiba-tiba dia melompat ke
luar. Pasti parah sekali sakit giginya."
"Anda tidak tahu apakah dia meninggalkan rumah
ketika keluar dari ruang tunggu?"
"Saya sama sekali tidak tahu. Saya cuma memba-
yangkan mungkin dia tidak tahan menunggu lebih
lama lagi dan merasa harus segera ditangani dokter.
Tapi pasti bukan Mr. Morley yang ditujunya, karena
saya segera dipanggil dan diantar ke Mr. Morley ha-
nya beberapa menit kemudian."
"Apakah Anda kembali lagi ke ruang tunggu dalam
perjalanan pulang?"
"Tidak. Sebab perlu Anda ketahui, saya sudah me-
68 ngenakan topi dan merapikan rambut di kamar praktik
Mr. Morley. Beberapa orang," sambung Miss Sainsbury
Seale, agar pendengarnya tertarik, "menitipkan topi me-
reka di bawah, di ruang tunggu, tapi saya tidak pernah
melakukan itu. Pengalaman yang sangat buruk pernah
menimpa teman saya. Topinya masih baru dan dengan
hati-hati sekali diletakkannya di kursi, tapi ketika dia
turun kembali, Anda mungkin tak percaya, seorang anak
baru saja menduduki dan menjadikannya rata. Rusak!
Rusak sama sekali!"
"Benar-benar bencana," komentar Poirot sopan.
"Ibunya yang patut disalahkan," ujar Miss Sainsbury
Seale mantap. "Ibu itu seharusnya selalu mengawasi
anaknya. Si anak sendiri tidak bermaksud buruk, tapi
dia perlu diawasi."
Japp meluruskan pembicaraan kembali.
"Jadi pemuda yang sakit gigi itu satu-satunya pa-
sien lain yang Anda temui di Queen Charlotte Street
58."
"Seorang pria perlente tampak menuruni tangga
dan keluar tepat ketika saya diantar naik ke Mr.
Morley... Oh! Dan saya ingat... orang asing yang keli-
hatannya sangat aneh keluar dari rumah itu tepat ke-
tika saya tiba."
Japp berdeham. Poirot berkata, pura-pura tersing-
gung, "Itu saya sendiri, Madame."
"Ya, ampun!" Miss Sainsbury Seale kini mengamati-
nya dengan saksama. "Jadi itu Anda! Maaf... mata
saya memang rabun jauh... dan gelap sekali di sini,
bukan?" Ia mulai menyimpang lagi dari pokok persoal-
an. "Dan sungguh, perlu Anda ketahui, saya selalu
69 bangga saya sangat tidak mudah melupakan wajah
seseorang. Tapi penerangan di sini redup, bukan? Ber-
sediakah Anda memaafkan saya?"
Setelah menenangkan wanita itu, Japp bertanya,
"Anda benar-benar yakin Mr. Morley tidak mengata-
kan sesuatu seperti... misalnya... bahwa hari ini dia
akan dihadapkan pada masalah yang sangat tidak me-
nyenangkan? Atau apa pun semacam itu?"
"Tidak, sungguh, saya yakin sekali."
"Dia tidak menyebut-nyebut pasien bernama
Amberiotis?"
"Tidak, tidak. Dia tidak mengatakan apa-apa... ke-
cuali, maksud saya, semua yang memang seharusnya
dikatakan seorang dokter gigi."
Dalam benak Poirot langsung terlintas ungkapan-
ungkapan: kumur. Maaf, buka lebih lebar. Nah, katup-
kan perlahan-lahan.
Japp sudah masuk ke langkah berikutnya. Ia mem-
beritahu mungkin Miss Sainsbury Seale perlu mem-
beri kesaksian pada pemeriksaan pengadilan.
Setelah berseru cemas, Miss Sainsbury Seale kelihat-
an mulai menerima gagasan itu. Dan tanpa kesulitan
Japp berhasil mendapatkan seluruh riwayat hidup wa-
nita itu.
Ia rupanya datang ke Inggris dari India enam bu-
lan sebelumnya. Ia tinggal di berbagai hotel dan
penginapan dan akhirnya di Glengowrie Court yang
sangat disukainya karena suasananya seperti di rumah.
Di India ia paling lama tinggal di Kolkata, tempat ia
melakukan pekerjaan misionaris dan juga mengajar
seni deklamasi.
70 "Bahasa Inggris yang murni dan baik pengucapan-
nya sangat penting, Inspektur Kepala. Perlu Anda
ketahui," Miss Sainsbury Seale tersenyum tertahan,
"waktu masih kanak-kanak saya pernah naik pentas.
Oh! Hanya peran kecil. Tapi ketika itu saya punya
ambisi besar. Ikut kelompok teater. Kemudian saya
ikut keliling dunia... memainkan karya-karya
Shakespeare, Bernard Shaw." Ia mengeluh, "Yang me-
nyulitkan bagi kami kaum wanita yang malang adalah
hati?kami kelewat mudah jatuh cinta. Perkenalan
langsung diteruskan dengan perkawinan. Tapi kami
berpisah hampir segera setelah itu. Saya... saya sedih
sekali karena ditinggalkan. Saya kembali memakai
nama gadis saya. Seorang teman yang baik hati mem-
beri saya sedikit modal dan saya pun membuka seko-
lah deklamasi saya. Saya membantu mencarikan per-
kumpulan drama amatir yang cukup baik. Anda perlu
melihat surat-surat saya."
Inspektur Kepala Japp tahu benar bahayanya kalau
pembicaraan diperpanjang! Ia segera meminta diri.
Kata-kata Miss Sainsbury Seale yang terakhir adalah,
"Kalau kebetulan nama saya harus muncul di surat
kabar... sebagai saksi, maksud saya... maukah Anda
mengusahakan agar nama saya ditulis dengan benar?
Mabelle Sainsbury Seale... Mabelle dieja M-A-B-E-L-
L-E, dan Seale S-E-A-L-E. Dan tentu saja, usahakan
agar mereka menyebutkan bahwa saya pernah muncul
dalam drama As You Like It di Oxford Reppertory
heatre..."
"Tentu, tentu," jawab Inspektur Kepala Japp nyaris
berlari.
71 Di dalam taksi ia menghela napas dan mengusap
kening. "Kalau memang perlu, kita harus bisa menye-
lidiki kebenaran ceritanya," ujarnya, "mungkin saja
semua itu bohong... tapi tentang itu saya tidak yakin!"
Poirot menggeleng. "Pembohong," katanya, "biasa-
nya tidak berbelit-belit dan ngawur seperti itu."
Japp meneruskan, "Saya khawatir dia bakal gugup
di pengadilan?kebanyakan orang setengah baya demi-
kian?tapi mudah-mudahan sebagai mantan aktris dia
akan berani. Hasratnya untuk menjadi pusat perhatian
akan sedikit terpenuhi!"


Satu Dua Pasang Gesper Sepatunya Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Poirot berkata, "Sungguhkah Anda ingin dia maju
di pengadilan nanti?"
"Mungkin tidak. Tapi itu belum tentu." Ia diam
sejenak, kemudian katanya, "Saya merasa lebih dari
yakin, Poirot. Ini bukan kasus bunuh diri."
"Motifnya?"
"Dalam hal ini untuk sementara kita kalah. Mung-
kinkah, misalnya, Morley pernah merayu putri
Amberiotis?"
Poirot termenung. Ia mencoba membayangkan Mr.
Morley merayu seorang gadis Yunani bermata nakal,
tapi sayang sekali bayangan itu tidak berhasil.
Ia mengingatkan Japp bahwa Mr. Reilly telah me-
ngatakan teman sejawatnya itu tidak pernah menik-
mati kehidupan.
Japp bergumam, "Oh, ya, Anda tak pernah tahu
apa yang akan terjadi dalam perjalanan berkapal!" Ke-
mudian ia menambahkan dengan bersemangat, "Kita
akan mengetahui lebih jelas posisi kita kalau sudah
bercakap-cakap dengan teman kita ini."
72 Setelah membayar taksi mereka masuk ke Savoy.
Japp menyatakan mereka hendak menemui Mr.
Amberiotis.
Petugas yang ditanya menatap mereka heran. Ia
berkata, "Mr. Amberiotis? Maaf, Sir, saya khawatir
Anda tak dapat menemuinya."
"Oh, ya, saya bisa saja, Bung," sahut Japp geram.
Ia mencengkeram petugas hotel itu, lalu menunjukkan
kartu pengenalnya.
Petugas itu berkata, "Anda tidak mengerti, Sir. Mr.
Amberiotis meninggal setengah jam yang lalu."
Bagi Hercule Poirot kenyataan ini bagaikan pintu
yang ditutup perlahan-lahan namun rapat-rapat.
73 DUA puluh empat jam kemudian Japp menelepon
Poirot. Nadanya sangat kecewa.
"Habis! Habis sudah semuanya!"
"Apa maksud Anda, Kawan?"
"Morley memang bunuh diri. Motifnya telah dite-
mukan."
"Apa motifnya?"
"Saya baru saja menerima laporan dokter mengenai
kematian Amberiotis. Saya tidak akan membacakan
laporan medisnya, tapi singkatnya dia meninggal aki-
bat dosis adrenalin dan prokain berlebihan. Zat-zat
ini menyerang jantungnya hingga dia pingsan. Ketika
setan sialan itu mengatakan kesehatannya terganggu
kemarin sore, dia tidak berbohong. Nah, begitulah!
Adrenalin dan prokain adalah bahan-bahan yang di-
suntikkan dokter gigi ke gusi pasiennya?untuk anes-
tesi lokal. Morley telah melakukan kesalahan, dia
menyuntik dengan dosis berlebihan, kemudian setelah
LIMA, ENAM,
AMBILLAH TONGKAT
74 Amberiotis pergi, dia menyadari keteledoran yang te-
lah dibuatnya. Karena tak sanggup menanggung malu,
dia lalu bunuh diri."
"Dengan pistol yang setahu kita bukan miliknya?"
tanya Poirot.
"Dia mungkin saja memilikinya. Saudara dan te-
man dekat tidak selalu tahu semua hal!"
"Itu benar."
Japp berkata lagi, "Nah, begitulah. Saya kira penje-
lasan ini sangat masuk akal."
Tapi Poirot berkata, "Sebenarnya penjelasan itu be-
lum memuaskan saya. Banyak pasien memberi reaksi
buruk terhadap anestesi lokal. Efek samping yang di-
timbulkan adrenalin bukan hal baru. Bila dikombina-
sikan dengan prokain, meskipun dalam dosis sangat
kecil, keracunan tetap mungkin. Tapi kebanyakan dok-
ter yang memakai obat ini, ketika kemudian menemu-
kan pasien mereka keracunan, biasanya tidak sampai
nekat bunuh diri!"
"Ya, tapi yang Anda bicarakan kasus penggunaan
anestesi yang normal. Dalam hal itu dokter yang ber-
sangkutan tidak lazim disalahkan. Kelainan si pasien
sendirilah yang telah menyebabkan kematian. Tapi
dalam kasus ini jelas sekali kelebihan dosis telah terja-
di. Mereka belum bisa mengemukakan jumlah kelebih-
an itu secara tepat, analisis kuantitatif makan waktu
lama, tapi mereka memastikan dosis yang digunakan
memang di atas normal. Itu berarti Morley pasti telah
teledor."
"Dengan begitu," bantah Poirot, "berarti itu kesa-
lahan. Itu bukan tindak kejahatan."
75 "Bukan, memang, tapi itu akan berakibat buruk
terhadap profesinya. Itu akan merusak kariernya. Tak
seorang pun mau pergi ke dokter gigi yang?siapa
tahu?akan menyuntikkan racun mematikan hanya
karena dia sedang kumat sintingnya."
"Harus saya akui, itu masuk akal."
"Ini biasa terjadi... ini dapat dialami dokter umum
atau apoteker Meskipun bertahun-tahun mereka
terkenal cermat dan andal, mungkin saja pada suatu
saat, entah kenapa, kesalahan fatal terjadi. Morley
orang yang sensitif. Pada kasus dokter umum, biasa-
nya masih ada kemungkinan apoteker atau petugas
apotek turut menanggung kesalahan itu. Tapi dalam
kasus ini Morley bertanggung jawab sendiri."
Poirot tetap belum puas.
"Bukankah dia dapat meninggalkan pesan? Membe-
ritahu apa yang telah dilakukannya? Dan bahwa dia
tidak berani menanggung akibatnya? Atau semacam
itu? Untuk saudaranya sendiri?"
"Menurut saya tidak. Dia tiba-tiba menyadari apa
yang dilakukannya... dan langsung ketakutan, lalu
mengambil jalan keluar paling cepat."
Poirot tidak menjawab.
Japp berkata, "Saya tahu siapa Anda. Sekali Anda
menganggap sesuatu sebagai kasus pembunuhan, maka
bagi Anda kasus itu harus betul kasus pembunuhan! Kali
ini saya mengakui sayalah yang bersalah karena telah
mengajak Anda menangani kasus ini. Saya benar-benar
bersalah. Saya mengakui ini dengan tulus."
Poirot berkata, "Saya masih berpikir, Anda pasti
tahu, bahwa masih ada penjelasan lain."
76 "Banyak penjelasan yang lain, saya berani memasti-
kan. Saya sudah memikirkannya, tapi semua tidak
masuk akal. Misalkan Amberiotis telah menembak
Morley. Kemudian dengan penuh penyesalan dia pu-
lang dan bunuh diri, menggunakan obat suntik yang
diambilnya dari kamar praktik Mr. Morley. Kalau
Anda merasa itu mungkin, saya justru beranggapan
sebaliknya. Kami telah mendapatkan catatan tentang
Amberiotis dari Scotland Yard. Menarik sekali. Mula-
mula dia pengurus hotel kecil di Yunani, kemudian
terjun ke dunia politik. Dia pernah melakukan kegiat-
an mata-mata di Jerman dan Prancis?dan mendapat
cukup banyak uang dari situ. Tapi bukan itu yang
membuat dia cepat kaya. Sumber yang dapat diperca-
ya yakin dia telah sekali atau dua kali melakukan pe-
merasan. Memang bukan orang baik Mr. Amberiotis
kita ini. Dia berada di India tahun lalu dan rupanya
di sana dia telah mempermainkan seorang putri bang-
sawan pribumi. Sulitnya dia tidak pernah bisa dibuk-
tikan bersalah. Dia licin bagai belut! Ada kemungkin-
an lain. Dia mungkin pernah memeras Morley.
Morley, yang merasa mendapat kesempatan emas, me-
nyuntikkan adrenalin dan prokain dalam dosis berle-
bihan ke gusi Amberiotis, dengan harapan kematian-
nya akan dianggap kecelakaan... alergi terhadap
adrenalin, semacam itu. Kemudian setelah korbannya
pergi, Morley merasa sangat menyesal sehingga menca-
but nyawanya sendiri. Itu mungkin, tentu saja, tapi
bagaimanapun saya tidak dapat membayangkan
Morley sebagai pembunuh berdarah dingin. Tidak,
saya benar-benar yakin dengan apa yang saya kata-
77 kan... ini pasti akibat kesalahan tak terhindarkan kare-
na hari itu dia terlalu capek. Kita terpaksa mengakui
kenyataan itu, Poirot. Saya sudah berbicara dengan
ahli jenazah dan dia sangat yakin akan hal itu."
"Saya mengerti," sahut Poirot, sambil menghela na-
pas. "Saya mengerti"
Japp melanjutkan dengan ramah, "Saya tahu apa
yang Anda rasakan, M. Poirot. Tapi Anda tidak dapat
terus-terusan menangani kasus pembunuhan yang me-
narik! Sampai jumpa lagi. Yang bisa saya katakan
pada Anda hanyalah ungkapan lama, ?Maaf, saya telah
merepotkan Anda!?"
Ia meletakkan gagang teleponnya.
II Hercule Poirot duduk di meja kerjanya yang modern.
Ia menyukai perabot modern. Bentuk yang serbaper-
segi dan kompak lebih memenuhi seleranya ketim-
bang lekak-lekuk lembut model-model antik.
Di hadapannya ada kertas berisi beberapa judul
Neraka Lembah Tengkorak 1 Pendekar Slebor 16 Undangan Ratu Mesir Gerhana Gunung Siguntang 3
^