Pencarian

Jejak Di Balik Kabut 30

Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja Bagian 30


jamu gandring itu berbeda. Bukan orang yang biasanya
menjual jamu gandring lewat lorong kecil itu.
Tetapi pikulan yang dibawanya adalah pikulan yang
biasanya dipakai untuk menjajakan jamu gandring lewat
lorong sempit itu. "Kenapa ragu-ragu, Nyi?" bertanya penjual jamu gandring
itu. "Apakah karena aku tidak terbiasa menjual jamu gandring
lewat lorong ini?" Perempuan itu mengangguk.
"Tetapi kau kenal pikulan ini, Nyi?"
"Ya. Aku juga mengenal wayang golek itu"
"Tentu. Pikulan ini milik ayahku. Hari ini ia berhalangan
karena perutnya sakit. Karena itu akulah yang disuruhnya
menggantikannya. Ayah memang mengatakan, bahwa di
lorong ini banyak penggemar jamu gandring"
"Aku adalah di antaranya" berkata perempuan itu yang
kemudian membelinya. Perempuan itu semakin percaya bahwa penjual yang muda
itu adalah anak dari penjual yang biasanya menjajakan jamu
gandringnya di lorong itu, melihat cara anak muda itu
menghitung dan membungkus butiran-butiran jamu
gandringnya, tepat sebagaimana dilakukan oleh penjual yang
disebut ayahnya itu. "Hari ini nampaknya banyak orang di rumah Nyai" desis
penjual jamu gandring itu seakan-akan demikian saja
meluncur dari mulutnya tanpa memandang kepada
perempuan itu. "Tidak" jawab perempuan itu.
"Ada beberapa orang nampak hilir-mudik"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Saudara-saudaraku. Mereka memang tinggal disini. Tidak
ada orang lain" "Keluarga Nyai termasuk keluarga besar, Nyai?"
"Ya. Ayahmu juga sering mengatakan, bahwa keluargaku
keluarga yang besar. Tetapi sebenarnya keluargaku tidak
terlalu besar. Hanya terdiri dari aku, suamiku, seorang adikku dan seorang adik suamiku. Itu saja. Tetapi bagi orang miskin
seperti aku, empat mulut yang harus disuapi setiap hari terasa cukup berat"
Penjual jamu gandring itu tertawa. Katanya, "Nyai masih
mempunyai rumah betapapun sederhananya. Nyai masih
mempunyai halaman dan barangkali kebun di belakang yang
menghasilkan palawija, mungkin sawah dan pategalan"
Sedangkan aku" Ayahku tidak punya apa-apa sama sekali
kecuali pikulan ini. Kami tinggal di rumah adik ayahku yang
sebenarnya kecukupan. Tetapi adik ayahku itu kikirnya bukan
main. Kami hanya diperbolehkan tinggal di dekat kandang
kuda. Bahkan jika sehari kami tidak makan, adik ayahku itu sama
sekali tidak peduli"
"O" perempuan itu mengangguk-angguk. Namun kemudian
setelah ia menerima sebungkus jamu gandring, perempuan
itupun berkata, "Sudahlah. Ini uangnya"
Anak muda itu mengerutkan dahinya. Katanya, "Tidak ada
kembalinya, Nyi" "Biarlah besok saja. Bukankah besok kau juga akan lewat
disini?" "Ya. Jika bukan aku, tentu ayahku. Aku akan mengatakan
kepada ayah, bahwa uang kembali Nyai, masih ada disini"
Perempuan itupun kemudian telah menghambur kembali ke
rumahnya yang sederhana itu.
Namun penjual jamu gandring itu berdesis, "Perempuan itu
bukan perempuan sederhana sesederhana rumahnya"
Penjual jamu gandring itu tidak segera pergi. Ia masih
mengatur dagangannya yang sedikit di dalam pikulannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sementara itu, dua orang pengawal Ki Tumenggung telah
membawa Ki Waskita naik. Demikian ia sampai di atas, iapun
didorong untuk duduk di atas amben panjang yang biasanya
diletakkan di atas lubang menuju ke ruang di bawah tanah itu.
"Selamat pagi, Ki Waskita" desis Ki Tumenggung sambil
tersenyum, "Aku harap Ki Waskita dapat tidur nyenyak"
Ki Waskita yang tangannya masih terikat itupun menyahut,
"Sejak kemarin aku belum makan. Aku merasa sangat lapar
dan tubuhku menjadi sangat lemas"
"Makan?" Ki Tumenggung tertawa. Katanya kemudian,
"Kami adalah orang-orang miskin, Ki Waskita. Kami sendiri
kadang-kadang tidak makan sehari penuh. Sementara itu,
orang-orang Pajang menghambur-hamburkan kekayaannya
untuk makan apa saja yang diingininya selain untuk
kesenangan yang lain. Perempuan, perjudian, mabuk dan
semacamnya" "Aku tidak pernah mengenalnya, Ki Tumenggung. Aku
adalah penghuni padepokan yang terpencil"
"Katakan, kau dapat janji upah berapa dari Pemanahan jika
kau dapat menangkap aku"
"Tidak ada janji apa-apa, Ki Tumenggung"
"Omong kosong. Kau telah memanfaatkan gejolak yang
terjadi di Pajang ini untuk beberapa kepentingan sekaligus.
Kau dapat mendatangi perempuan itu kapanpun kau inginkan.
Malam, pagi, sore, siang hari. Kau memang iblis yang paling
terkutuk. Kemudian, kau akan menerima upah yang banyak
jika kau dapat menangkap aku"
"Tidak. Aku hanya mengakui bahwa aku memang berusaha
menangkapmu. Itu saja. Tetapi aku tetap menghormati istrimu
sebagai seorang istri yang setia"
Ki Tumenggung tertawa. Katanya, "Kau ajari istriku
mengatakan kepadaku, bahwa kedatanganmu di rumahku itu
merupakan salah satu usaha Pajang yang hampir putus asa itu
untuk menangkapku" "Aku memang ingin menangkapmu"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Tumenggung tertawa semakin keras, sehingga penjual
jamu gandring yang mulai beranjak dari tempatnya masih
sempat mendengarnya. Penjual jamu gandring itu memang
memperlambat langkahnya. Ia mendengar suara tertawa yang
berkepanjangan itu. Namun kemudian penjual jamu gandring
itu meneruskan langkahnya sambil memikul dagangannya.
"Jamu gandring, jamu gandring" terdengar suara
tembangnya yang khusus, tetapi seperti suara tembang
penjual jamu gandring yang disebut ayahnya itu.
Dalam pada itu, Ki Tumenggung itupun berkata, "Kau pikir
aku terlalu bodoh untuk mempercayaimu. Jika kau memang
ingin menjebakku, kenapa kau tidak membawa seorangpun
yang akan dapat membantumu?"
"Aku yakin akan dapat menangkapmu meskipun aku
seorang diri, karena aku mengira bahwa kaupun akan datang
seorang diri" Wajah Ki Tumenggung menjadi merah. Tiba-tiba saja
kakinya menyambar perut Ki Waskita. "Jangan mencoba
menghinaku" Ki Waskita mengaduh tertahan. Namun Ki Waskita masih
menjawab, "Ki Tumenggung, jika aku mengajak satu dua
orang kawan untuk menangkapmu, maka uang yang akan aku
terima tentu tidak akan utuh. Aku harus membagi-bagi
dengan orang-orang itu. Sementara itu aku yakin bahwa
kemampuanku lebih tinggi dari kemampuanmu, sehingga aku
akan dapat menangkapmu. Perhitunganku itu aku dasari pada
sikap seorang laki-laki. Jika kau menjadi cemburu, maka kau
akan datang dan menantangku berperang tanding. Tetapi
ternyata kau tidak datang sendiri"
Ki Waskita tidak dapat menyelesaikan kalimatnya. Tiba-tiba
saja tangan Ki Tumenggung telah menampar mulutnya,
sehingga wajah Ki Waskita terdorong ke samping.
"Kau telah membuat dirimu sendiri semakin menderita"
"Aku tahu, Ki Tumenggung. Tetapi batas terakhir dari
segala-galanya adalah mati. Jika seseorang tidak lagi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menganggap kematian itu menakutkan, maka ia tidak akan
takut apa-apa" "Omong kosong" teriak Ki Tumenggung. "Ada yang lebih
buruk dari kematian. Kau akan mengalaminya"
Ki Waskita tidak menjawab lagi.
Dalam pada itu, penjual jamu gandring itu menjadi semakin
jauh. Terdengar tembang khususnya yang ngelangut, "Jamune
gandring" Ki Tumenggungpun kemudian memerintahkan para
pengawalnya untuk menyeret Ki Waskita ke kebun kosong
yang arahnya di belakang rumah yang dipergunakan oleh Ki
Tumenggung Sarpa Biwada. Kebun kosong yang penuh
dengan rumpun-rumpun bambu itu terletak agak jauh dari
rumah itu. Jarang sekali atau bahkan tidak pernah ada orang yang
datang ke tempat itu. Seandainya seseorang berteriak-teriak
di antara rumpun bambu itu tidak akan ada orang yang
mendengarnya. Dari rumah yang dipergunakan oleh Ki
Tumenggung untuk bersembunyi itupun teriakan-teriakan
yang paling keras, tidak akan terdengar.
Ketika mereka sampai di tempat yang terpencil itu,
pemimpin dari sekelompok pengikut Harya Wisaka itupun
berkata, "Disini aku membunuh dua orang prajurit Pajang
dengan caraku" "Kau apakan mereka?" bertanya Ki Waskita. Pertanyaan
yang tidak disangka oleh pemimpin sekelompok pengikut
Harya Wisaka itu. Namun orang itu kemudian justru tertawa. Katanya, "Kau
benar-benar ingin tahu?"
"Ya" jawab Ki Waskita.
Orang itu masih tertawa. Katanya, "Hatimu memang
sekeras batu. Kau sama sekali tidak nampak menjadi gentar
menghadapi keadaan yang sangat gawat. Kau berpegang
kepada sikapmu, bahwa kematian adalah batas akhir dari
penderitaan, sedangkan kau tidak takut lagi menghadapi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kematian. Tetapi kau tidak membayangkan jika kematian itu
datangnya sangat perlahan-lahan"
Ki Waskita tidak menjawab. Tetapi wajahnya tidak berubah.
"Ikat orang itu pada pohon cangkring itu"
Seorang pengawalnyapun kemudian mendorong Ki Waskita
ke arah sebatang pohon cangkring yang tumbuh di antara
rumpun-rumpun bambu yang lebat. Tanpa menghiraukan duri
yang ada di batang pohon cangkring itu, pengawal Ki
Tumenggung itupun mengikat Ki Waskita erat-erat.
Ki Waskita menyeringai menahan pedih di tangannya,
karena sepucuk duri terasa menekan kulitnya.
"Kau sudah merasa tidak senang karena tanganmu
tersentuh duri" berkata pengawal itu. "Kau tentu akan menjadi
semakin tidak senang jika dadamu yang tersentuh ujung keris"
"Tusuklah dadaku dengan keris"
"Tidak. Bukankah kau tahu, bahwa kami tidak akan
membunuhmu sekarang. Mungkin besok, mungkin lusa atau
kau akan kami biarkan mati sendiri disini meskipun harus
menunggu sepekan" Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya
keadaan di sekelilingnya. Rumpun bambu yang lebat,
sehingga rasa-rasanya dunia menjadi demikian sempitnya.
Ki Waskita tahu apa yang akan dilakukan oleh Ki
Tumenggung Sarpa Biwada untuk mendapatkan kepuasan
batinnya. Kegagalan-kegagalan yang dialaminya bersama
Harya Wisaka. Kecemburuan yang membakar jantung, serta
kebenciannya kepada laki-laki yang telah menghamili istrinya
di masa gadisnya, mendorongnya untuk melakukan apa saja
yang dapat memuaskannya. Bahkan di luar batas-batas
perikemanusiaan. "Berikan cambukku" berkata Ki Tumenggung kepada
pengawalnya yang seorang.
Pengawal itu kemudian menyerahkan sebuah cambuk
dengan juntainya yang panjang kepada Ki Tumenggung Sarpa
Biwada. Terdengar Ki Tumenggung itu tertawa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berkepanjangan. Katanya kepada Ki Waskita, "Ini baru
permulaan dari sebuah permainan yang panjang"
Ki Waskita tidak menjawab.
Yang terdengar kemudian adalah ledakkan cambuk yang
menghentak. Ki Waskita mengatupkan giginya rapat-rapat.
Ujung cambuk itu telah mengenai tubuhnya yang melekat
pada sebatang pohon cangkring.
Tetapi Ki Waskita tidak mengaduh.
"Buka bajunya" teriak Ki Tumenggung. "Bajunya itu
agaknya melindungi kulitnya, sehingga mengurangi rasa
sakitnya" Pengawalnyapun segera mendekat. Namun iapun kemudian
berpaling kepada Ki Tumenggung sambil bertanya, "Apakah
aku harus mengurai talinya lebih dahulu?"
"Pergunakan pisaumu. Bukankah kau membawa pisau
selain pedangmu?" "Untuk memutuskan tali-talinya?"
"Kau memang dungu. Tidak untuk memutuskan talinya.
Tetapi untuk mengoyak bajunya"
"O" pengawal itu mengangguk-angguk.
Sejenak kemudian, maka baju Ki Waskita sudah
dikoyaknya, sehingga dadanya menjadi telanjang.
"Bagus" desis Ki Tumenggung, "sekarang, ujung cambukku
akan mengelupas kulitnya"
Ki Waskita yang terikat pada pohon cangkring itu
memandangnya dengan tajamnya. Tidak ada kesan ketakutan
dan kengerian di wajahnya.
Sikap itu sangat tidak menyenangkan Ki Tumenggung. Ia
ingin melihat Ki Waskita itu ketakutan dan bahkan merengek
minta ampun kepadanya. Tetapi laki-laki itu masih saja
memandanginya dengan tanpa menunjukkan gejolak
perasaannya sama sekali. Sekali lagi terdengar cambuk itu meledak. Di dada Ki
Waskita segera melekat goresan memanjang berwarna
kemerah-merahan. Ternyata hentakan cambuk itu telah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
melukai dada Ki Waskita. Darahpun mulai mengembun di
sepanjang goresan yang panjang itu.
"Sayang sekali" berkata pemimpin sekelompok pengikut
Harya Wisaka yang ingin terlibat ke dalam permainan itu.


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kenapa?" bertanya Ki Tumenggung.
"Kita tidak menyediakan jeruk atau garam"
"Untuk apa" "Permainan ini tentu akan lebih menarik. Orang ini
sepantasnya memang dihukum picis"
Ki Tumenggung tertawa. Katanya, "Kita masih mempunyai
waktu panjang" "Ya. Besok permainan ini harus menjadi lebih baik"
Ki Tumenggung tertawa. Orang itu dan para pengawalpun
tertawa pula. Dalam pada itu, di sepanjang lorong di padukuhan yang
berkesan kumuh itu, seorang penjual jamu gandring berjalan
semakin lamban dan bahkan berhenti, namun masih terdengar
suara tembangnya yang khusus, "Jamu gandring, jamune
gandring" Namun beberapa saat kemudian, yang tinggal hanyalah
sebuah pikulan yang diletakkan melekat dinding halaman yang
rendah. Tidak ada yang tahu, kemana penjualnya pergi.
Dua orang anak berhenti mengamati pikulan yang
ditinggalkan itu. Mereka mulai meraba wayang golek yang ada
di pikulan itu. Namun mereka tidak berani mengambilnya.
"Marilah" ajak seorang di antara mereka, "jika ada yang
hilang, kita akan dapat dituduh mengambilnya"
"Bukankah kita tidak mengambil"
"Dituduh mengambilnya"
"Biar saja. Asal kita tidak benar-benar mengambil apa-apa"
"Tetapi sebaiknya kita pergi saja"
Kedua orang anak itupun kemudian pergi meninggalkan
pikulan jamu gandring yang ditinggalkan oleh penjualnya.
"Tentu ada uangnya" berkata salah seorang dari kedua
orang anak itu. "Kalau uang itu hilang?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Karena itu lebih baik kita pergi"
Dalam pada itu, telah terdengar lagi sebuah ledakkan di
rumpun bambu yang lebat itu. Tetapi ledakkan cambuk itu
suaranya bagaikan diredam oleh rumpun-rumpun bambu di
sekitarnya. Bahkan ketika kemudian angin berhembus, yang
terdengar hanyalah gemerasak daun bambu serta derit batang
bambu yang saling bergesek karena digoyang angin.
Meskipun tubuh Ki Waskita kemudian tergores lagi oleh
juntai cambuk yang panjang itu, namun Ki waskita masih
tetap bertahan tanpa mengeluh sama sekali meskipun harus
mengatupkan giginya rapat-rapat.
Sikap Ki Waskita itu telah membuat Ki Tumenggung
menjadi semakin marah. Ki Waskita itu sama sekali tidak
melakukan sebagaimana telah dibayangkan. Ki Waskita tidak
menjadi ketakutan. Tidak pula merengek minta ampun dan
bahkan menangis sambil meneriakkan janji-janji.
Tetapi Ki Waskita itu nampak tetap tenang meskipun setiap
lecutan membuatnya menyeringai menahan sakit.
Dalam kemarahannya itulah, maka Ki Tumenggung
berteriak, "Permainan ini tidak memberikan kepuasan padaku.
Cari sarang semut ngangrang. Sebelum kita menyiramnya
dengan air garam, biarlah tubuhnya dikerumuni semut
ngangrang. Jika semut-semut itu mulai menggigit, maka kita
tentu akan mendapatkan kesenangan lebih daripada
permainan cambuk ini"
"Jadi, sarang semut ngangrang di pohon jambu air itu
harus aku ambil?" "Ya" Dahi Ki Waskita nampak berkerut. Jika pengawal Ki
Tumenggung itu benar-benar mengambil sarang semut
ngangrang dan ditaburkan di tubuhnya dengan tangan terikat,
maka ia benar benar akan menderita. Apalagi jika semut itu
nanti masuk ke dalam matanya, telinganya atau hidungnya.
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia sama
sekali tidak menunjukkan kecemasan sama sekali.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Demikian salah seorang pengawal itu pergi untuk
mengambil semut ngangrang merah dengan selembar kain,
maka Ki Tumenggung itupun berkata, "Jangan sesali nasibmu.
Kau seorang jahanam yang pantas mendapat perlakuan
seperti itu" "Lakukan apa yang akan kau lakukan. Aku bukan pengecut
yang licik. Ketika aku hilang dalam tugas memburu perampok
di masa mudaku sebagai seorang prajurit, aku sudah
mengalami penderitaan yang tak terkatakan. Karena itu,
dalam umurku yang semakin tua ini, aku tidak akan gentar
menghadapi penderitaan yang bagaimanapun juga"
"Iblis kau" geram Ki Tumenggung. Sekali lagi cambuknya
meledak mengenai leher Ki Waskita.
Ki Waskita mengatupkan giginya rapat-rapat sambil
berdesah tertahan. Namun di wajahnya sama sekali tidak
mengesankan, betapa sakitnya juntai cambuk yang mengenai
lehernya itu. Sementara itu, seorang pengawal Ki Tumenggung itupun
telah berlari-lari menuju ke sebuah pohon jambu air yang
tumbuh tidak jauh dari rumah persembunyian Ki Tumenggung
Sarpa Biwada. Dengan tangkasnya orang itupun segera
memanjat. Dengan sehelai kain, orang itu menyelubungi sebuah
sarang semut ngangrang merah yang besar, di antara daun
jambu air yang kering. Kemudian, kain itu ditelakupkannya
dan diikatnya sehingga semut ngangrang di dalam sarangnya
itu akan tetap berada di dalam selubung kain panjang itu.
Dengan tergesa-gesa pengawal itupun segera meluncur
turun sambil membawa sarang semut ngangrang di dalam
selubung kain panjang itu. Seperti ketika ia pergi ke pohon
jambu itu, maka ketika pengawal itu kembali ke kebun kosong
di antara rumpun-rumpun bambu yang lebat itu, iapun berlari
lari kecil pula. Beberapa kali pengawal itu mendengar cambuk Ki
Tumenggung meledak. Agaknya sambil menunggu semut
ngangrang itu, Ki Tumenggung masih juga mempergunakan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
cambuknya untuk memaksa Ki Waskita mengakui
kekalahannya. "Kau bawa sarang semut ngangrang itu?" bertanya Ki
Tumenggung ketika ia melihat pengawalnya telah kembali.
"Ya, Ki Tumenggung"
"Berikan kepadaku" berkata Ki Tumenggung.
"Tunggu, Ki Tumenggung" berkata pengawalnya. "Kita
harus berhati-hati. Jika tidak, maka kitapun akan dikerumuni
oleh ratusan dan bahkan ribuan semut ngangrang merah,
yang gigitannya sepanas api itu"
"Maksudmu?" "Biarlah aku yang menaburkan semut ini pada tubuh orang
yang sombong itu" "Kenapa harus kau?"
"Aku sudah mengenal watak semut ngangrang sebaik-
baiknya" "Baiklah. Lakukanlah. Aku ingin melihat, apa yang akan
terjadi dengan jahanam yang sombong itu"
Namun sebelum pengawal itu sempat menaburkan semut
ngangrang di tubuh Ki Waskita, maka mereka dikejutkan oleh
desir halus di belakang rumpun bambu yang lebat itu. Ki
Tumenggung dan para pengawal itu mendengar jelas, langkah
yang cepat di antara rumpun batang-batang bambu itu dari
satu tempat ke tempat yang lain.
"Kau dengar itu?"
"Ya" sahut pemimpin pengawal sekelompok pengikut Harya
Wisaka itu. "Hati-hatilah. Mungkin ada orang yang melihat atau
mendengar keributan di tempat ini"
"Bukankah tempat ini terpencil dan tidak ada orang lain
yang pernah datang kemari?" berkata salah seorang
pengawalnya. "Ya. Tetapi mungkin ada orang yang tersesat atau yang
lebih buruk lagi, ada pengkhianatan"
Orang-orang yang ada di antara rumpun bambu itu menjadi
tegang. Adalah mengejutkan, bahwa justru Ki Waskita itu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berkata, "Jika di lingkungan keprajuritan Pajang ada yang
berkhianat, tentu di lingkunganmu ada pula pengkhianatan"
"Diam" bentak Ki Tumenggung Sarpa Biwada, "kau tidak
berhak ikut berbicara"
"Aku tidak peduli" sahut Ki Waskita, "berhak atau tidak
berhak, aku akan berbicara"
Tiba-tiba saja cambuk Ki Sarpa Biwada meledak. Segores
lagi jejak lecutan itu menyilang di dadanya.
Ki Waskita menyeringai menahan sakit. Tetapi sejenak
kemudian Ki Waskita itupun tersenyum sambil berkata,
"Kalianlah yang akan menyesal"
Ki Tumenggung menjadi tegang. Suara langkah kaki itu
menjadi semakin jelas. Tidak hanya seorang, tetapi beberapa
orang. Pengawal yang membawa sarang semut ngangrang di
dalam ikatan kain panjangnya itu tidak sempat menaburkan ke
tubuh Ki Waskita. Sejenak kemudian, mereka tidak hanya
mendengar langkah kaki orang-orang yang bersembunyi di
belakang rumpun bambu. Tetapi beberapa orang kemudian
telah berloncatan di sekitar tempat itu.
"Kau bukan saja laki-laki jahanam. Tetapi kau adalah anak
iblis" geram Ki Tumenggung Sarpa Biwada.
Ki Waskita memandanginya dengan tajamnya. Katanya,
"Aku merasa kasihan kepadamu. Jika saja kau mau
mendengarkan peringatan istrimu, maka masih ada jalan
bagimu untuk menghindari jebakanku"
"Persetan dengan perempuan itu" Ki Tumenggung itu
membentak dengan suara yang bergetar oleh kemarahan
yang bergetar di dadanya.
"Menyerahlah" berkata seorang prajurit yang memimpin
sekelompok prajurit yang mengepung tempat itu.
"Kami adalah laki-laki seperti kalian" jawab Ki Tumenggung
Sarpa Biwada. "Kaulah yang harus malu kepada dirimu
sendiri" "Kenapa?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kau penjilat. Sejak semula aku muak melihat caramu
menjilat Pemanahan itu"
"Aku seorang tumenggung seperti kau, Ki Tumenggung
Sarpa Biwada. Kau tentu tahu, bahwa aku harus mengemban
beberapa kewajiban. Jika aku setia kepada tugasku, apakah
itu artinya bahwa aku telah menjadi penjilat?"
"Kau dapat saja mengucapkan beberapa kata pembelaan.
Tetapi semua prajurit di Pajang tahu, siapakah Ki
Tumenggung Yudatama itu. Para prajurit yang kau bawa
sekarang pun tahu, siapa kau dan apa pula yang pernah kau
lakukan" Ki Tumenggung Yudatama itupun menyahut, "Sudahlah, Ki
Tumenggung Sarpa Biwada. Aku masih mau menyebutmu Ki
Tumenggung meskipun kau sudah bukan tumenggung lagi,
karena kau sudah tidak berada lagi dalam jajaran keprajuritan
Pajang atau jabatan-jabatan lain yang diakui oleh Pajang.
Menyerahlah. Kau tidak mempunyai kesempatan lagi"
Tetapi Ki Tumenggung Sarpa Biwada itu tertawa. Katanya,
"Jangan terlalu cepat merasa menang. Kedatangan kalian
tentu diketahui oleh orang-orang. Siapapun kau dan prajuritp-
rajuritmu yang datang kemari, tetapi akan menjadi umpan
ujung senjata-senjata kami"
"Kau tidak usah menakut-nakuti kami. Menyerah atau
tidak" "Iblis kau, Tumenggung Yudatama. Kau adalah orang yang
tidak mempunyai sikap selain menjadi penjilat" geram
pemimpin sekelompok pengikut Harya Wisaka. "Kau memang
seorang tumenggung yang malang. Kau telah tersesat masuk
ke dalam sarang srigala hanya dengan beberapa orangmu
saja" "Baiklah" berkata Ki Tumenggung Yudatama, "jika kalian
tidak mau menyerah, maka kami harus memaksanya. Adalah
di luar niat kami untuk membunuh seorangpun di antara
kalian. Tetapi jika terjadi pertempuran, maka kemungkinan
kematian itu selalu ada"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Tumenggung Sarpa Biwada tidak menjawab. Tetapi
iapun segera bersiap untuk bertempur.
Pengawal Ki Sarpa Biwada menjadi ragu-ragu untuk
menaburkan semut ngangrang yang sudah ada di dalam
selubung kain panjang yang diikatnya itu. Jika tiba-tiba saja ia diserang sebelum berhasil menaburkan semut itu pada tubuh
Ki Waskita, maka semut itu akan dapat tertabur di tubuhnya
sendiri. Karena itu, maka dilemparkannya saja semut ngangrang
yang masih berada di dalam selubungnya yang terikat ke arah
Ki Waskita. Jika saja ikatan itu menjadi longgar dengan
sendirinya, maka semut-semut itu akan dapat merayap keluar.
Tetapi ternyata tidak seekor pun semut ngangrang yang
keluar dari selubung kain panjang itu.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, Ki Tumenggung
Yudatamapun telah menyerang Ki Tumenggung Sarpa Biwada.
Sementara itu, beberapa orang prajuritnya telah melibatkan
diri bertempur melawan kedua orang pengawal Ki
Tumenggung Sarpa Biwada dan pemimpin sekelompok
pengikut Harya Wisaka. Seorang di antara para prajurit itu berusaha untuk dapat
mencapai Ki Waskita dan melepas ikatannya. Tetapi Ki
Tumenggung Sarpa Biwada dan kawan-kawannya bertempur
dekat dengan tempat Ki Waskita terikat.
Bahkan Ki Tumenggung itupun kemudian berteriak, "Bunuh
saja jahanam itu daripada kawan-kawannya sempat
membebaskannya" Seorang pengawal Ki Tumenggung Sarpa Biwada itupun
telah menarik pedangnya. Namun ketika ia siap untuk
meloncat sambil menjulurkan pedangnya, seorang prajurit
telah menyerangnya dengan tombak pendeknya. Hampir saja
ujung tombak pendeknya menyentuh lambung pengawal itu.
Namun dengan cepat pengawal itu sempat meloncat
mengelak. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun dengan demikian, lingkaran di sekitar Ki Waskita
itupun telah terbuka. Namun ketika prajurit itu meloncat untuk melepas tali Ki Waskita, maka prajurit itu menjadi heran.
Ternyata tali Ki Waskita sudah terurai.
"Ki Waskita" desis prajurit itu.
Ki Waskita tersenyum. Katanya, "Orang itu tidak pandai
membuat simpul mati. Ternyata ikatannya longgar sehingga
aku sempat melepaskan tanganku dari ikatan talinya. Namun
aku tetap saja berdiri seakan-akan tubuhku masih terikat pada
pohon cangkring itu"
Prajurit itu masih saja termangu-mangu. Ia tidak melihat
tali itu terlepas. Tetapi menurut penglihatannya tali itu telah terputus.
"Ternyata ia sebenarnya tidak memerlukan pertolongan"
berkata prajurit itu di dalam hatinya.
Dalam pada itu, maka pertempuranpun menjadi semakin
sengit. Ki Waskita sendiri masih belum melibatkan diri dalam
pertempuran itu. Ia mencoba untuk mengenali kemampuan Ki
Tumenggung Sarpa Biwada yang tentu sudah mengerahkan
kemampuannya untuk dengan cepat mengakhiri perlawanan
Ki Tumenggung Yudatama. Ki Waskita tersenyum. Katanya di dalam hati, "Tentu Paksi
akan dapat mengalahkannya jika mereka bertemu lagi di
arena pertempuran" Namun Ki Waskita itu tertegun ketika ia mendengar derap
sekelompok orang yang sedang berlari-lari menuju ke kebon
kolong yang penuh dengan rumpun bambu itu.
Ki Tumenggung Yudatamapun meloncat surut mengambil
jarak. Iapun mendengar derap sekelompok orang yang berlari-
lari itu. Ki Tumenggung Sarpa Biwadapun tertawa. Katanya,
"Apakah kau masih ingin memaksa kami menyerah?"
Ki Tumenggung Yudatama itupun bertanya, "Siapakah
mereka?" "Mereka adalah orang-orangku. Mereka tentu mengetahui
bahwa kalian mencoba menjebakku. Orang-orangku yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bertugas mengawasi keadaan tentu melihat kedatangan
kalian, sehingga mereka berdatangan untuk menangkap
kalian. Dengan demikian, maka kalianlah yang harus
menyerah bukan kami"
Tetapi Ki Tumenggung Yudatama itupun menjawab, "Aku
akan menirukan kata-katamu, Ki Tumenggung Sarpa Biwada,
bahwa kami adalah laki-laki seperti kalian"
"Jangan menyesal, Ki Tumenggung. Kau akan terikat pula
di pohon cangkring itu"
Namun Ki Waskita yang telah terlepas dari ikatannya itu
menyahut, "Orang-orangmu tidak pandai mengikat orang, Ki
Tumenggung. Ternyata ikatannya telah terlepas sendiri"
"Diam kau, orang yang terkutuk. Kau dapat terlepas
sekarang. Tetapi kau tidak akan dapat pergi dari tempat ini.
Tempat ini sudah dikepung oleh orang-orangku"
Ki Waskita itupun tertawa. Katanya, "Tanpa ikatan, aku
dapat melawan" "Kau dan para prajurit yang dibawa oleh penjilat ini tidak
akan mampu mengimbangi orang-orangku. Betapapun tinggi
ilmumu, jumlah orang-orangku terlalu banyak untuk kau
lawan" Ki Waskita tidak sempat menjawab. Dari balik rumpun-
rumpun bambu bermunculan para pengikut Harya Wisaka
dengan senjata yang teracu.
"Menyerahlah" geram Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Ki
Tumenggung Yudatamapun menyahut, "Tidak. Bukan watak
seorang prajurit untuk begitu saja menyerah. Kecuali jika
nyawaku sudah tidak melekat di tubuhku lagi"
"Kau terlalu sombong, Ki Tumenggung, bersiaplah"
Ki Tumenggung Yudatama itu tidak menjawab. Tetapi
iapun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Sejenak kemudian, pemimpin sekelompok pengikut Harya
Wisaka itupun memberikan isyarat. Sebuah suitan yang
nyaring terdengar menyusup di antara batang-batang bambu
yang memenuhi kebun yang kosong itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Suitan itu merupakan perintah bahwa para pengikut Harya
Wisaka itu untuk segera bergerak.
Sementara itu terdengar Ki Tumenggung berteriak,
"Tangkap mereka hidup-hidup. Aku masih mempunyai urusan
dengan mereka" Para pengikut Harya Wisaka itupun segera menyerang Ki
Tumenggung Yudatama dan beberapa orang prajuritnya serta
Ki Waskita yang sudah terlepas dari ikatannya.
Ketika dua orang lawan menyerang bersama-sama, maka
Ki Waskitapun dengan cepat mengelak. Namun tidak
diketahui, apa yang telah dilakukan, seorang di antara kedua
orang prajurit itu telah terlempar membentur serumpun
bambu ampel. Terdengar orang itu mengaduh. Ketika ia mencoba untuk
bangkit, rasa-rasanya tulang punggungnya telah patah.
Karena itu, demikian orang itu berdiri, maka iapun telah
terjatuh lagi. Namun pedang orang itu tiba-tiba saja sudah
berada di tangan Ki Waskita.
Demikianlah, maka pertempuran segera menjadi semakin
sengit. Beberapa orang prajurit segera terdesak. Mereka tidak
mampu menahan tekanan para pengikut Harya Wisaka yang
jumlahnya semakin lama menjadi semakin banyak. Mereka
mengalir memasuki kebun yang kosong itu, seperti air yang
mengalir ke dalam kolam yang belum berisi.
Namun Ki Waskita sendiri sulit untuk didekati Berapapun
orang yang mengerumuninya, setiap kali seorang di antara
mereka terlempar keluar dari arena pertempuran.
Sementara itu, Ki Tumenggung Sarpa Biwadapun masih
saja bertempur melawan Ki Tumenggung Yudatama. Namun
bagaimanapun juga Ki Tumenggung Sarpa Biwada
mengerahkan kemampuannya, namun ia tidak segera mampu
menguasai lawannya. Karena itu, maka Ki Tumenggung Sarpa Biwada itupun
segera memberi isyarat kepada seorang pengikutnya untuk
ikut bertempur bersamanya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ternyata tidak hanya seorang yang datang membantunya.
Dua orang pengikut Harya Wisaka dengan serta-merta telah
berdiri di sebelahnya. "Kita tangkap orang ini hidup-hidup" berkata Ki
Tumenggung Sarpa Biwada. Ki Tumenggung Yudatama meloncat surut. Ia sempat
melihat keadaan medan yang kalut. Para prajuritnya sudah
terdesak, dan bahkan mereka berusaha mempertahankan diri
sambil berlari-larian di antara rumpun bambu. Tetapi karena
lawan terlalu banyak, maka kadang-kadang mereka tidak
menemukan jalan lagi. Dalam keadaan yang demikian, maka Ki Tumenggung
Yudatama yang harus menghadapi tiga orang sekaligus itu
meloncat mengambil jarak dari lawan-lawannya.
"Jangan lari" teriak Ki Tumenggung Sarpa Biwada. "Kau
tidak akan dapat melepaskan diri dari kepungan ini"
Ki Tumenggung Yudatama tidak menjawab. Tetapi
diambilnya dari kantong baju sebuah sendaren.
Jantung Ki Tumenggung Sarpa Biwada berdesir. Sebagai
seorang prajurit, iapun segera tahu arti dari sendaren itu.
Sebenarnyalah bahwa Ki Tumenggung Yudatama itu telah
meniup sendaren. Suaranya bergaung memenuhi udara di
atas kebun yang kosong, yang penuh dengan rumpun bambu
itu. Tiba-tiba saja dari kejauhan terdengar juga suara sendaren.
Dan bahkan lebih jauh lagi, lamat-lamat terdengar pula suara
sendaren bergaung. "Kau memang seorang penjilat yang licik, Ki Tumenggung
Yudatama" geram Ki Tumenggung Sarpa Biwada. "Tetapi
jangan mimpi untuk terlepas dari tanganku"
Ki Tumenggung Yudatamapun tersenyum. Katanya,
"Mungkin kita sama-sama licik. Jika kau menyebut aku telah
menjilat Ki Gede Pemanahan, maka kau telah menjilat Harya
Wisaka, yang tidak akan pernah mempunyai kesempatan
untuk dapat mewujudkan mimpinya yang indah itu. Sekarang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kita bertemu disini dengan kelicikan kita masing-masing, Ki
Tumenggung" Ki Tumenggung Sarpa Biwada tidak menjawab lagi.
Bersama dengan dua orang pengikut Harya Wisaka, iapun
menyerang dengan garangnya.
Tetapi Ki Tumenggung Yudatama masih sempat mengelak
dengan loncatan-loncatan panjang.
Ki Tumenggung Yudatama memang harus mengerahkan
tenaga dan kemampuannya untuk melawan ketiga orang
lawannya. Namun Ki Tumenggung itupun berharap, bahwa
pasukannya segera akan dapat memasuki arena sehingga para
prajuritnya tidak terhimpit oleh kekuatan para pengikut Harya
Wisaka itu. Sebenarnya, sejenak kemudian, pasukan Ki Tumenggung
Yudatama itupun telah hadir pula di kebun yang kosong itu.
Pasukan yang cukup besar untuk menghadapi para pengikut
Harya Wisaka. Ki Tumenggung Sarpa Biwada mengumpat di dalam
hatinya. Sementara pemimpin dari sekelompok para pengikut Harya
Wisaka itu merasa heran, bahwa tidak ada isyarat dari
orangnya yang berhasil menyusup di antara para prajurit
Pajang, bahwa akan ada sepasukan prajurit yang datang di
tempat itu. "Apakah pengkhianatannya itu tercium oleh para prajurit
lainnya?" pertanyaan itu timbul di dalam hatinya.
Namun sebenarnyalah pasukan yang datang itu adalah
pasukan khusus yang langsung berada di bawah perintah Ki
Gede Pemanahan, sehingga kehadiran mereka di tempat itu
tidak dapat diketahui oleh pengikut Harya Wisaka yang masih
tetap dapat bersembunyi di lingkungan keprajuritan Pajang.
Pertempuran di kebun kosong yang mirip dengan hutan
bambu itu menjadi semakin riuh. Para prajurit yang datang
bersama Ki Tumenggung Yudatama mendahului pasukannya
yang lain, tidak lagi merasa sangat tertekan. Lawan-lawan
mereka telah terhisap ke dalam pertempuran yang lebih besar,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sehingga mereka tidak harus melawan tiga sampai empat
orang bersama-sama. Bahkan mereka merasa bahwa ruang
gerak mereka sudah tertutup rapat-rapat.
Kedatangan para prajurit Pajang itu rasa-rasanya mereka
harus tetap berhati-hati, karena mereka ternyata telah
berbaur antara lawan yang kawan di sela-sela rumpun-rumpun
bambu yang padat. Namun para prajurit itu sudah terlatih untuk menghadapi
segala macam medan, sehingga mereka segera dapat
menyesuaikan diri. Pertempuranpun semakin menjadi sengit. Dimana-mana di
antara rumpun bambu yang lebat itu telah terjadi
pertempuran yang semakin seru. Hampir tidak dapat
dipisahkan, dimana kawan dan dimana lawan.
Di antara para prajurit Pajang yang turun ke kebun kosong
yang menyerupai hutan bambu itu, adalah para prajurit yang
ditempa secara khusus untuk memburu Harya Wisaka
bersama Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi.
Karena itu, maka mereka yang sudah terlatih dengan baik itu,
telah membuat lawan-lawan mereka tertekan dan seakan-
akan kehilangan setiap kesempatan.
Ki Tumenggung Sarpa Biwada tidak dapat lagi bertempur
bersama dengan dua orang pengikutnya. Keduanya telah
dihisap oleh pertempuran yang semakin garang. Mereka harus
menghadapi lawan mereka masing-masing.
Dengan demikian, maka Ki Tumenggung Sarpa Biwada
hanya dapat mengandalkan kemampuannya sendiri. Karena
itu dihentakkannya ilmunya untuk mendesak Ki Tumenggung
Yudatama. Tetapi ternyata bahwa Ki Tumenggung Yudatama itu
memiliki bekal ilmu yang tinggi, sehingga justru Ki
Tumenggung Sarpa Biwadalah yang menjadi semakin
terdesak. "Siapakah di antara kita yang pantas untuk memberi
kesempatan lawannya menyerah?" bertanya Ki Tumenggung
Yudatama. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku" jawab Ki Tumenggung Sarpa Biwada. "Menyerahlah"
Ki Tumenggung Yudatama tertawa. Katanya, "Kau tidak
akan mendapat kesempatan lagi, Ki Tumenggung.
Petualanganmu akan berakhir hari ini"
Ki Tumenggung Sarpa Biwada tidak menjawab. Tetapi
serangan-serangannya menjadi semakin garang.
Di sisi lain dari pertempuran itu, Ki Waskita yang membawa
pedang itupun menjadi hantu di pertempuran itu. Pedang
yang dirampasnya dari seorang lawannya itu setiap kali
menyentuh lawan-lawan yang berani datang menghadapinya.
Ketika tiga orang lawan datang bersama-sama, maka ketiga-
tiganyapun terlempar dan jatuh menimpa rumpun bambu
yang lebat. Sedangkan di lingkaran pertempuran yang lain, beberapa
orang pengikut Harya Wisaka bertempur dengan keras dan
kasar menghadapi beberapa orang prajurit.
Ternyata dalam jumlah yang seimbang, para pengikut
Harya Wisaka dapat memberikan perlawanan yang baik.
Namun para prajurit yang terlatih itu semakin lama semakin
menekan pertahanan lawan mereka.
Dalam pada itu, para prajurit Pajang tidak hanya terlatih
dalam perang gelar. Tetapi seorang-seorang merekapun
mendapat tempaan yang keras. Apalagi mereka yang pernah
berada di lingkungan pasukan khusus yang dibentuk untuk
memburu Harya Wisaka keluar kotaraja, meskipun menurut
perhitungan Ki Gede Pemanahan, Harya Wisaka masih berada
di dalam dinding kota. Dengan demikian, maka perlahan-lahan para prajurit itupun
mulai mendesak lawan-lawan mereka.
Dalam pertempuran yang semakin keras dan ganas itu,
maka korbanpun mulai berjatuhan dari kedua belah pihak.
Para pengikut Harya Wisaka satu-satu jatuh terkapar di antara
rumpun bambu yang lebat. Sedangkan para prajurit


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pajangpun telah menyusut pula.
Sementara itu, keadaan Ki Tumenggung Sarpa Biwada
menjadi semakin sulit. Ki Tumenggung Yudatama semakin
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mendesaknya. Serangan-serangan Ki Tumenggung Yudatama
rasa-rasanya menjadi semakin cepat. Pedangnya berputaran,
namun kemudian menyambar-nyambar. Menebas mendatar,
tetapi kemudian menusuk langsung mengarah ke pusat
jantung. Meskipun pertahanan Ki Tumenggung Sarpa Biwada cukup
rapat, tetapi serangan-serangan Ki Tumenggung Yudatama
akhirnya mampu menembusnya. Ujung pedang Ki
Tumenggung Yudatama itu sempat menyentuh lengan Ki
Tumenggung Sarpa Biwada. "Anak iblis kau, Yudatama" geram Ki Tumenggung Sarpa
Biwada. "Jika kau tidak menyerah, Sarpa Biwada, maka aku tidak
mempunyai pilihan lain"
"Kau terlalu sombong. Lihat prajurit-prajuritmu telah
terkapar mati" "Memang ada prajuritku yang mati. Tetapi tubuh
pengikutmu yang terbunuh berserakan dimana-mana"
"Omong kosong" geram Ki Tumenggung Sarpa Biwada.
Ki Tumenggung itupun kemudian telah menghentakkan
kekuatannya. Beberapa saat Ki Tumenggung Yudatama memang
terdesak. Tetapi sejenak kemudian, Ki Tumenggung Yudatama
telah menemukan alas perlawanannya kembali, sehingga
justru Ki Tumenggung Yudatamalah yang mendesak.
Sementara itu, para pengikut Harya Wisaka mulai
menyadari, bahwa lawan mereka benar-benar lawan yang
berat. Mungkin jumlah mereka memang terpaut. Namun
kemampuan merekapun terpaut pula. Karena itu, meskipun
pada satu dua prajurit yang harus bertempur melawan dua
orang, namun mereka tidak mengecewakan. Bahkan kadang-
kadang dengan cara yang sangat mengejutkan mereka
mengalahkan lawan-lawan mereka.
Ki Waskita masih saja berjalan kian-kemari dengan pedang
di tangannya. Semakin lama semakin banyak yang mampu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menilai, bahwa tidak ada di antara mereka yang dapat
mengimbangi kemampuannya.
Bagi para pengikut Harya Wisaka, maka pertempuran itu
merupakan pertempuran yang menentukan. Jika mereka
gagal, maka mereka akan terbunuh atau menjadi tawanan.
Mereka menyadari, bahwa pemberontak yang tertawan akan
mengalami nasib yang buruk. Lebih buruk daripada tawanan
perang. Karena itu, maka merekapun kemudian telah bertempur
habis-habisan. Bahkan ada di antara mereka yang merasa
lebih baik mati daripada tertawan.
Tetapi para prajuritpun tidak ingin kehilangan kesempatan.
Para pemberontak itu sudah terlalu lama berkeliaran. Setiap
usaha untuk menemukan mereka selalu gagal karena
pengkhianatan. Sementara pengkhianatnya masih juga belum
dapat diketahui. Apalagi ada di antara para prajurit itu yang menduga,
bahwa Harya Wisaka ada di antara mereka. Jika bukan Harya
Wisaka tentu juga para pemimpin yang lain. Satu di antaranya
yang dapat mereka kenali adalah Ki Tumenggung Sarpa
Biwada. Dengan demikian, maka pertempuran yang terjadi di antara
rumpun-rumpun bambu itu menjadi semakin sengit. Hampir
tidak ada kesempatan untuk tetap hidup bagi yang lengah.
Ujung senjata sambar-menyambar dengan cepatnya. Begitu
tiba-tiba maut itu menyambar seseorang yang berada di
antara rumpun bambu itu. Ki Waskita sempat menyaksikan pertempuran yang garang
itu. Ia melihat beberapa orang prajurit yang terkapar. Iapun
melihat bagaimana para pengikut Harya Wisaka itu bertempur
tanpa mengenal menyerah. Ki Waskita tidak dapat membiarkan semakin banyak korban
yang jatuh. Karena itu, maka Ki Waskitapun berniat untuk
mempercepat akhir dari pertempuran itu. Karena itulah, maka
Ki Waskitapun tidak hanya bertahan jika ia diserang. Iapun
kemudian benar-benar berada di tengah-tengah pertempuran.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sikap Ki Waskita itu ternyata sangat besar pengaruhnya.
Dengan cepat ia menyusut jumlah lawannya. Beberapa orang
berteriak kesakitan disambar oleh pedang di tangan Ki
Waskita. Sedangkan beberapa orang lainnya terbanting jatuh sambil
menahan pedih. Ujung pedang Ki Waskita itu telah menikam
menembus dada. Ki Waskita memang bukan seorang pembunuh. Ia tidak
berusaha membunuh lawan sebanyak-banyaknya. Tetapi ia
berusaha untuk menghentikan perlawanan mereka.
Akhirnya, para pengikut Harya Wisaka itupun menyadari,
bahwa mereka tidak akan mampu bertahan lebih lama lagi.
Sementara itu, lingkungan itu benar-benar telah terkepung.
Rasa-rasanya tidak ada jalan keluar dari neraka itu. Tidak ada yang dapat menahan lagi badai yang bertiup menerpa para
pengikut Harya Wisaka itu. Meskipun para pengikut Harya
Wisaka itu bertempur habis-habisan, namun para prajurit
Pajang yang terlatih dengan baik bersama Ki Waskita telah
menggulung segala harapan untuk dapat memenangkan
pertempuran itu. Sementara itu Ki Tumenggung Sarpa
Biwadapun telah kehilangan kesempatan sama sekali. Ki
Tumenggung Yudatama mendesaknya, sehingga Ki
Tumenggung itu selalu berloncatan surut.
Bahkan kemudian ujung pedang Ki Tumenggung Yudatama
memburunya kemana ia pergi.
Darah yang mengalir dari segores luka di lengannya,
membuat Ki Tumenggung Sarpa Biwada menjadi sangat
marah. Namun ia tidak dapat mengingkari kenyataan. Bahkan
serangan Ki Tumenggung Yudatama yang cepat, telah berhasil
menembus lagi pertahanan Ki Tumenggung Sarpa Biwada.
Ujung pedang Ki Tumenggung Yudatama itu telah menyentuh
pundak Ki Tumenggung Sarpa Biwada.
"Iblis kau" teriak Ki Tumenggung Sarpa Biwada.
Ki Tumenggung Yudatama tidak menyahut. Tetapi
serangan-serangannya justru menjadi semakin garang dan
semakin cepat. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dengan demikian, maka Ki Tumenggung Sarpa Biwada
tidak melihat lagi kemungkinan untuk mengalahkan Ki
Tumenggung Yudatama. Apalagi ketika ia melihat Ki Waskita
itu melangkah mendekatinya. Jika Ki Waskita itu bergabung
dengan Ki Tumenggung Yudatama, maka ia tidak akan dapat
bertahan lebih lama lagi.
Karena itu, demikian Ki Waskita mendekat, Ki Tumenggung
Sarpa Biwada itupun berteriak, "Kau laki-laki jahanam yang
licik. Kenapa bukan kau yang berdiri di hadapanku" Kenapa
kau minta tolong kepada orang lain untuk melepaskan
dendam pribadimu itu?"
"Apa maksudmu, Ki Tumenggung?" bertanya Ki Waskita.
"Kenapa kau tidak berani berhadapan langsung dengan
aku" Kau hanya berani mengganggu istri orang dari balik
punggung. Kenapa kau tidak berani berhadapan beradu
dada?" Wajah Ki Waskitapun berkerut. Ia melihat darah yang
mengalir dari luka-luka di tubuh Ki Tumenggung Sarpa
Biwada. "Aku tantang kau berperang tanding. Atau kau akan
bertempur berpasangan dengan Yudatama?"
"Sudahlah Ki Tumenggung. Tubuhmu sudah terluka
meskipun tidak terlalu dalam. Darahmu sudah tertumpah.
Menyerah sajalah" "Persetan kau. Jika kau laki-laki, aku tantang kau. Jangan
kau pinjam tangan orang lain untuk memuaskan dendammu"
"Ki Tumenggung, kau ditangkap karena kau telah
memberontak. Itu saja tuduhan yang dilontarkan kepadamu"
"Aku tahu" bentak Ki Tumenggung Sarpa Biwada.
Sementara itu Ki Tumenggung Yudatama telah melangkah
surut untuk memberi kesempatan kepada lawannya
mengutarakan perasaannya.
"Karena itu, maka Ki Tumenggung Yudatamalah
berkewajiban untuk menangkapmu. Jika kau melawan, maka
Ki Tumenggung Yudatamalah yang akan memaksamu untuk
tunduk kepada perintahnya"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kau tidak usah mengajari aku. Aku juga seorang prajurit.
Tetapi sebelum aku ditangkap, aku tantang kau jika kau
memang laki-laki" Ki Waskitapun memandang Ki Yudatama sekilas. Namun
kemudian iapun menggeleng sambil berkata, "Ki Tumenggung
Yudatama. Silahkan. Aku tidak mempunyai kepentingan lagi
dengan orang ini" "Pengecut" teriak Ki Tumenggung Sarpa Biwada. "Kau
hanya berani mencuri kesempatan menemui istriku di luar
pengetahuanku. Kau tidak berani bertindak sebagai seorang
laki-laki. Jika kau memang akan mengambil istriku, ambillah.
Tetapi kita akan membuat penyelesaian dengan cara seorang
laki-laki" "Kau sedang berputus asa, Ki Tumenggung" berkata Ki
Waskita dengan nada berat. "Menyerah sajalah. Jika kemudian
kau akan membuat perhitungan dengan aku, tentu akan
mendapat kesempatan"
"Aku tidak dapat kau kelabuhi, laki-laki jahanam. Kau sudah
melanggar pagar ayu, menjebakku dan sekarang kau masih
akan membohongi aku"
Telinga Ki Waskita menjadi panas. Sekali lagi ia
memandang Ki Tumenggung Yudatama.
Ki Tumenggung Yudatama termangu-mangu sejenak.
Tetapi Ki Tumenggung Yudatama yang mengetahui tataran
kemampuan Ki Waskita berkata, "Jika Ki Waskita ingin
menanggapinya, aku persilahkan. Aku akan menyelesaikan
pertempuran ini dan menawan para pengikut Harya Wisaka,
menyerah atau tidak menyerah"
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Menurut
penglihatannya, kemampuan Ki Tumenggung Sarpa Biwada itu
tidak lebih tinggi dari kemampuan Paksi. Tetapi untuk
mengelak, telinganya tidak tahan lagi mendengar caci-maki Ki
Tumenggung yang sedang berputus asa itu. Ki Tumenggung
Sarpa Biwada merasa tidak akan mampu lagi melawan Ki
Tumenggung Yudatama, sehingga ia akan mencoba mencari
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kesempatan lain, meskipun barangkali Ki Tumenggung Sarpa
Biwada itu pernah mendengar tataran kemampuan Ki Waskita.
"Kalau kau hanya berani bersembunyi di balik selendang
seorang perempuan, pergilah. Jangan membuat sakit mataku"
teriak Ki Tumenggung Sarpa Biwada.
Ki Waskita tidak dapat menahan diri lagi. Karena itu maka
iapun berkata, "Baiklah. Jika Ki Tumenggung mengijinkan"
Ternyata Ki Tumenggung Yudatama tanggap akan keadaan
Ki Waskita. Meskipun Ki Tumenggung Yudatama yang masih
lebih muda dari Ki Waskita itu tidak tahu hubungan apakah
yang sebenarnya terjadi antara Ki Waskita dan ki Tumenggung
Sarpa Biwada, namun telinganyapun menjadi gatal mendengar
caci-maki Ki Tumenggung. Karena itu, maka Ki Tumenggung Yudatama itupun
kemudian berkata, "Silahkan, Ki Waskita. Aku akan melihat
seluruh arena pertempuran yang luas ini. Apa yang
sebenarnya sudah terjadi"
"Terima kasih, Ki Tumenggung" desis Ki Waskita.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, maka Ki Waskita
telah berhadapan dengan Ki Tumenggung Sarpa Biwada.
Dengan nada geram Ki Tumenggung itupun berkata, "Kau
memang jahanam yang sombong tetapi dungu. Kau akan
segera mati menebus kejahanamanmu"
"Ki Tumenggung, aku tahu bahwa kau menjadi berputus
asa. Kau hanya ingin mencari kemungkinan baru dengan
menantangku. Tetapi bukan salahku, jika kau sama sekali
tidak akan memberimu kesempatan untuk lari"
"Aku tidak memerlukan belas kasihanmu" bentak Ki
Tumenggung Sarpa Biwada. "Aku akan membunuhmu"
Ki Waskita itupun segera mempersiapkan diri. Ia tidak ingin
bertempur berkepanjangan melawan Ki Tumenggung Sarpa
Biwada. Sementara itu pertempuran dimana-mana justru
mulai nampak keseimbangan yang berat sebelah. Para prajurit
Pajang semakin menguasai seluruh medan, meskipun para
pengikut Harya Wisaka masih mengadakan perlawanan habis-
habisan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sejenak Ki Waskita menunggu. Sementara itu, Ki Sarpa
Biwada sambil menggeram memutar pedangnya.
Tiba-tiba saja Ki Tumenggung itu meloncat sambil
menjulurkan pedangnya mengarah ke jantung.
Namun dengan tangkasnya Ki Waskita bergeser sambil
memiringkan tubuhnya. Pedangnya sempat menyentuh
pedang Ki Tumenggung, sehingga arah pedang itupun
bergeser menyamping. Ki Tumenggung menggeram. Kemarahannya telah
membakar jantungnya dan mendidihkan darahnya. Dengan
serta-merta pedangnya menggeliat, kemudian menebas
mendatar ke arah leher Ki Waskita.
Tetapi Ki Waskitapun dengan cepat merendahkan dirinya,
sehingga pedang itu terayun di atas kepalanya. Namun
sementara itu, Ki Waskita justru telah menjulurkan pedangnya
menggapai pinggang Ki Tumenggung Sarpa Biwada.
Ki Tumenggung itu berteriak. Bukan saja karena pedih.
Tetapi kemarahan dan kebenciannyalah yang serasa meledak
di dadanya. Namun Ki Waskita sudah bertekad untuk dengan cepat
mengakhiri pertempuran itu. Karena itu, ketika Ki
Tumenggung meloncat surut, Ki Waskita tidak mau kehilangan
kesempatan. Dengan cepat iapun meloncat memburu sambil
menjulurkan pedangnya. Ki Tumenggung yang sedang mengambil jarak itu dengan
tergesa-gesa berusaha menangkis. Namun ketika pedangnya
terayun, Ki Waskita memutar pedangnya. Ketika sekali lagi


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pedang itu terjulur, maka pedang itu telah menyentuh dada Ki
Tumenggung. Sekali lagi terdengar teriakan nyaring. Teriakan kemarahan
dan dendam yang meledak-ledak di dalam dadanya. Namun
yang ternyata telah terbentur pada kenyataan bahwa Ki
Waskita itu memiliki kemampuan yang sangat tinggi.
Demikianlah, maka akhirnya dengan putus asa Ki
Tumenggung Sarpa Biwada menyerang sejadi-jadinya. Namun
Ki Waskita yang tersinggung itu, masih mampu menguasai
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dirinya, sehingga ia tidak berusaha untuk membunuh Ki
Tumenggung meskipun hal itu dapat dilakukannya.
Namun yang terjadi kemudian, Ki Tumenggung yang sudah
terluka di beberapa bagian tubuhnya itu, tiba-tiba telah
kehilangan pedangnya. Ketika pedangnya membentur pedang
Ki Waskita, maka rasa-rasanya pedangnya itu seperti dihisap
dan lepas dari tangannya. Ki Tumenggung yang kehilangan
pedangnya itu berdiri termangu-mangu. Sementara itu, dari
luka-lukanya di lengan, di pundak, di pinggang, di dada dan di beberapa tempat yang lain, telah mengalir darah semakin
banyak. Karena itulah, maka tubuhnyapun semakin lama menjadi
semakin lemah. "Ki Tumenggung" berkata Ki Waskita, "kau sudah tidak
bersenjata lagi" "Jika kau bukan pengecut, kaupun akan bertempur tanpa
senjata" geram Ki Tumenggung.
Ki Waskita mengerutkan dahinya. Ternyata Ki Tumenggung
Sarpa Biwada adalah seorang yang keras kepala. Tanpa
menjawab, Ki Waskitapun telah melemparkan pedang yang
dirampasnya dari salah seorang pengikut Ki Tumenggung itu.
"Ternyata kau adalah orang yang tidak mau melihat
kenyataan, Ki Tumenggung. Kau adalah orang keras kepala,
bodoh dan tidak tahu diri"
Ki Tumenggung tidak menjawab. Dengan sisa tenaganya
iapun meloncat menyerang Ki Waskita.
Tetapi Ki Waskita benar-benar ingin mengakhiri
pertempuran itu. Karena itu, ketika Ki Tumenggung
menyerangnya, maka Ki Waskita tidak memberinya
kesempatan lagi. Serangan Ki Tumenggung yang terjulur itu
tidak dihindarinya. Tetapi ditebasnya tangan itu ke samping,
sementara itu, Ki Waskita justru meloncat mendekat.
Tangannya dengan kerasnya memukul perut Ki Tumenggung.
Ki Tumenggung itu mengaduh tertahan. Demikian kerasnya
pukulan Ki Waskita, sehingga Ki Tumenggung itu terbungkuk
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kesakitan sambil memegangi perutnya dengan kedua belah
tangannya. Tetapi Ki Waskita tidak berhenti. Dihentakkannya kepala Ki
Tumenggung itu sementara Ki Waskita mengangkat lututnya,
sehingga wajah Ki Tumenggung itu membentur lutut Ki
Waskita. Ki Tumenggung tidak sempat berbuat apa-apa ketika
wajahnya tiga kali terantuk lutut lawannya.
Ketika Ki Waskita kemudian melepaskannya, Ki
Tumenggung itupun terhuyung-huyung. Matanya berkunang-
kunang sementara mulutnyapun berdarah. Bibirnya pecah-
pecah dan serasa mengembang di bawah hidungnya.
Ki Waskita berdiri termangu-mangu. Dipandanginya Ki
Tumenggung yang kesakitan itu. Matanya yang merah,
wajahnya yang lebam kebiru-biruan, mulutnya yang berdarah
serta tubuhnya yang sudah tidak dapat berdiri tegak.
Tetapi Ki Tumenggung itu masih menggeram, "Aku bunuh
kau laki-laki jahanam. Kau tinggalkan gadis itu selagi hamil.
Aku nikahi gadis itu sehingga gadis itu tidak dianggap sampah
karena ia akan mempunyai anak di luar pernikahan. Tetapi
ketika kemelut ini terjadi, kau manfaatkan untuk kembali
mendatangi perempuan itu tanpa harus mempertanggung-
jawabkan perbuatanmu seperti yang kau lakukan di masa
mudamu" Ki Waskita menggeretakkan giginya. Tetapi Ki Tumenggung
sudah terlalu lemah, sehingga ia sudah tidak akan berdaya
lagi untuk melawannya. "Kenapa kau begitu lemah, Ki Tumenggung, sehingga kau
tidak dapat menjadi lawan yang pantas bagiku"
"Aku sumbat mulutmu" teriak Ki Tumenggung. Tetapi Ki
Tumenggung itu harus bertahan agar tidak jatuh berguling.
"Aku yakin, kau tahu bahwa aku terlempar dari kesatuanku
sehingga aku dinyatakan hilang. Kau tidak dapat menuduhku
tidak bertanggung jawab, karena yang terjadi itu di luar
kehendakku. Ketika aku kemudian dapat sembuh karena
pertolongan seorang petani yang menemukan kami berdua
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pingsan di dalam jurang, dan kembali ke Pajang, perempuan
itu sudah bersuami" "Bohong" teriak Ki Tumenggung. "Kau tidak terlempar ke
jurang. Tetapi kau sengaja bersembunyi. Kau muncul kembali
ketika kau tahu, bahwa perempuan itu sudah menikah"
Jantung Ki Waskita bagaikan terbakar. Hampir di luar
sadarnya ketika ia meloncat sambil mengayunkan tangannya,
menghantam wajah Ki Tumenggung tepat di bawah
kupingnya. Ki Tumenggung itu terlempar beberapa langkah surut.
Namun ia tidak mampu lagi mempertahankan
keseimbangannya, sehingga karena itu, maka Ki Tumenggung
itupun terjatuh di tanah. Hampir saja ia terperosok ke dalam
rumpun bambu yang lebat. Ki Tumenggung memang berusaha untuk bangkit. Tetapi
tenaganya tidak mencukupi lagi. Karena itu, maka Ki
Tumenggung itupun terduduk kembali dengan lemahnya.
Ki Waskitapun kemudian berdiri termangu-mangu.
Dipandanginya Ki Tumenggung yang sudah tidak berdaya lagi
itu. Dalam pada itu, Ki Tumenggung Yudatama sempat melihat
keadaan medan itu. Ia melihat prajuritnya mulai menguasai
keadaan. Bahkan beberapa orang pengikut Harya Wisaka yang
sempat melihat kenyataan yang dihadapinya, telah menyerah.
Namun pertempuran itu dalam keseluruhannya telah mulai
mereda. Beberapa orang prajurit menyerukan, agar para
pengikut Harya Wisaka itu menyerah. Namun orang-orang
yang menganggap dirinya pejuang yang setia pada cita-
citanya, memang memilih mati daripada menjadi seorang
tawanan. Ketika Ki Tumenggung Yudatama sendiri turun ke dalam
arena pertempuran, maka ia telah mempercepat penyelesaian.
Apalagi kemudian beberapa orang prajurit telah meneriakkan
kekalahan Ki Tumenggung Sarpa Biwada.
"Kepada siapa kalian akan bergantung?" bertanya seorang
prajurit. "Ki Tumenggung Sarpa Biwada telah menyerah"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Omong kosong" sahut seorang pengikut Ki Tumenggung
keras-keras. "Aku beri kesempatan kau melihat sendiri. Ia duduk
menyembah di hadapan Ki Waskita yang tadi terikat di pohon
cangkring itu" Bahwa Ki Tumenggung Sarpa Biwada sudah tidak berdaya
lagi, ternyata mempunyai pengaruh yang sangat besar.
Setelah bertempur dengan keras dan setelah jatuh beberapa
orang korban, akhirnya para prajurit Pajang itu dapat
menguasai medan sampai orang terakhir dari para pengikut
Harya Wisaka itu menyerah.
Ki Tumenggung Sarpa Biwadapun tidak dapat menolak
ketika tangannya diikat di belakang tubuhnya.
"Bangkit dan berjalan" perintah Ki Tumenggung Yudatama.
"Kalian akan kami bawa ke barak kami. Untuk sementara
kalian akan berada disana sampai ada perkembangan baru"
"Persetan dengan kau" geram Ki Tumenggung. Tetapi Ki
Tumenggung itu tidak dapat menolak perintah-perintah yang
diberikan oleh Ki Tumenggung Yudatama agar ia tidak
mendapat perlakuan yang lebih buruk lagi.
Karena itu, maka Ki Tumenggung itupun kemudian
berusaha untuk berdiri. Dengan tangan terikat, iapun
melangkah sesuai dengan perintah Ki Tumenggung Yudatama.
Ketika Ki Tumenggung Sarpa Biwada itu bertemu dengan
seorang pengikutnya yang dipercayainya untuk mengasuh
anak laki-lakinya, iapun bertanya, "Dimana anak itu?"
"Anak itu sempat menyingkir, Ki Tumenggung"
"Bagus. Dengan siapa?"
"Dengan Ki Lulud"
"Ki Lulud?" "Ya, Ki Tumenggung"
"Kau yakin?" "Aku yakin" Ki Tumenggung itu menarik nafas dalam-dalam.
"Anakmu sempat terlepas Ki Tumenggung" desis Ki
Tumenggung Yudatama. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Satu-satunya keinginanku sekarang adalah, bahwa anakku
tidak jatuh ke tangan laki-laki jahanam itu. Ia akan dapat
melepaskan dendamnya kepada anak yang tidak bersalah itu"
"Kita ternyata berbeda, Ki Tumenggung" berkata Ki
Waskita. "Mungkin kau sampai hati melepaskan dendam kepada
anak yang tidak berdosa. Kepada Paksi, misalnya, yang kau
paksa untuk pergi mencari cincin kerajaan yang hilang"
Bukankah itu hanya satu alasan saja agar anak itu mati" Aku
berbeda dengan kau, Ki Tumenggung. Aku sama sekali tidak
mempunyai persoalan apa-apa dengan anakmu. Seandainya ia
tertangkap, maka ia akan diperlakukan sebagai anak laki-laki
seorang pemberontak. Anak yang sudah remaja dan yang
nalarnya sudah berjalan, sehingga pribadinyapun telah
terbentuk. Tidak ada hubungan apapun dengan persoalan
kita" "Omong kosong. Seandainya anak itu tertangkap, maka
kau akan mempunyai kesempatan untuk membunuhnya
dengan caramu" "Tidak" bentak Ki Waskita. "Aku tidak akan berbuat apa-apa
terhadap anak itu. Tetapi aku akan menunjukkan kepadamu,
bahwa aku dapat juga berbuat sekeras dan segarang yang
dapat kau lakukan. Sarang semut ngangrang itu masih ada
disana. Aku akan mengikatmu dan menaburkan semut
ngangrang itu ke tubuhmu"
Wajah Ki Tumenggung menjadi sangat tegang. Keringat
dinginnya mengalir di punggung, tengkuk dan keningnya.
"Aku juga senang bermain cambuk dan air garam"
Ki Tumenggung menjadi sangat gelisah.
Namun Ki Waskitapun kemudian berkata, "Tetapi aku tidak
akan melakukannya sekarang. Kau akan dibawa oleh Ki
Tumenggung Yudatama"
Ki Tumenggung itu tidak menjawab.
Sementara itu Ki Tumenggung Yudatamapun berkata,
"Sayang, kita tidak menemukan Harya Wisaka di antara orang-
orang itu" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kau tidak usah bermimpi, Yudatama. Harya Wisaka sudah
meninggal" Ki Tumenggung Yudatama tersenyum. Katanya hampir
berbisik, "Seperti ceritera tentang Harya Wisaka yang berhasil menyusup keluar kotaraja?"
"Kau mengigau" geram Ki Tumenggung Sarpa Biwada.
Ki Tumenggung Yudatama justru tertawa. Suara
tertawanya sangat menyakitkan hati Ki Tumenggung Sarpa
Biwada. Apalagi ketika Ki Waskitapun berkata, "Kalian
memang terlalu sombong. Kalian mengira bahwa kalian dapat
dengan mudah mengelabuhi kami"
Ki Tumenggung Sarpa Biwada itu menggeram. Sementara
Ki Tumenggung Yudatamapun berkata, "Kau adalah rambatan
untuk sampai kepada Harya Wisaka"
Wajah Ki Tumenggung menjadi tegang. Ia mengerti arti
kata-kata itu. Jika ia harus menjadi sumber keterangan
tentang persembunyian Harya Wisaka, itu berarti bahwa
tubuhnya akan dihimpit sampai pipih untuk menguras
keterangan tentang Harya Wisaka.
Sejenak kemudian, maka para prajurit Panjang itupun telah
mengumpulkan tawanan mereka. Para prajurit itu terpaksa
mengikat tangan mereka, karena pada umumnya para
pengikut Harya Wisaka itu adalah orang-orang yang keras
hati. Sementara itu, sebagian dari para prajurit itu telah
mengumpulkan kawan-kawan mereka yang gugur dan terluka.
Dua orang penghubung telah menghubungi barak pasukan
yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Yudatama untuk
memanggil para prajurit yang lain.
Bahkan ternyata Ki Gede Pemanahan sendiri telah datang
ke kebun kosong yang menjadi hutan bambu itu. Ki Gede
Pemanahan sempat memeriksa rumah tempat Ki Tumenggung
Sarpa Biwada bersembunyi. Ki Gedepun melihat pula tempat
persembunyian para pengikut Harya Wisaka itu bersembunyi.
"Jika anak laki-laki Ki Tumenggung Sarpa Biwada itu
sempat lolos, maka tidak mustahil bahwa Harya Wisaka
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berada disini pula, namun sempat meloloskan diri" berkata Ki
Gede Pemanahan kepada Ki Waskita dan Ki Tumenggung
Yudatama. "Mungkin, Ki Gede" jawab Ki Waskita. "Tetapi mungkin pula
persembunyian mereka memang terpisah"
"Ya. Mungkin persembunyian mereka memang terpisah.
Sementara itu, kita akan sempat meneliti mereka yang
meninggal dan tertangkap, apakah ada di antara mereka
pemimpin pada tataran yang tinggi dari para pengikut Harya
Wisaka selain Ki Tumenggung Sarpa Biwada sendiri"
Sementara Ki Tumenggung Yudatama berkata, "Kami
belum sempat mengenali mereka seorang demi seorang.
Mungkin justru orang-orang penting dari lingkungan mereka
yang berbaur dengan para pengikut lainnya. Tetapi mungkin
pula ada di antara mereka yang telah terbunuh"
Ki Gede Pemanahan mengangguk-angguk.
Hari itu, para prajurit menjadi sibuk. Sebagian dari mereka
membawa para tawanan ke barak, sedang sebagian
mengumpulkan kawan-kawan mereka yang gugur dan terluka,
sedang sebagian yang lain mengumpulkan korban dari para
pengikut Harya Wisaka itu. Mencoba mengenali mereka


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorang demi seorang, apakah ada di antara mereka yang
termasuk pemimpin di lingkungan para pengikut Harya Wisaka
itu. Ketika Ki Tumenggung Sarpa Biwada telah dibawa ke barak
oleh beberapa orang prajurit terpilih, maka Ki Gede
Pemanahan dan Ki Waskitapun minta diri kepada Ki
Tumenggung Yudatama yang masih harus menangani
peristiwa itu sampai tuntas.
"Terima kasih atas kesadaran Ki Waskita untuk menjadi
umpan sehingga Ki Tumenggung Sarpa Biwada dapat
terpancing" berkata Ki Tumenggung Yudatama.
Ki Waskita tersenyum. Katanya, "Hanya itulah yang dapat
aku lakukan" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Namun nampaknya ada persoalan yang khusus di antara
Ki Waskita dan Ki Tumenggung Sarpa Biwada sehingga Ki
Tumenggung itu benar-benar terpancing"
"Persoalan yang sangat pribadi, Ki Tumenggung. Namun
mendengar pembicaraan kami, agaknya Ki Tumenggung dapat
menerka, apakah yang sudah terjadi. Tetapi pada kesempatan
lain, aku ingin menjelaskan kepada Ki Tumenggung, apa yang
terjadi sebenarnya agar Ki Tumenggung tidak mendapatkan
kesan yang salah" "Maaf, Ki Waskita. Bukan maksudku mencampuri persoalan
yang sangat pribadi itu"
"Aku mengerti" jawab Ki Waskita sambil tersenyum. "Tetapi
sebaiknya semuanya dapat menjadi jelas"
Ki Tumenggung Yudatama mengangguk-angguk. Katanya,
"Tetapi Ki Waskita sudah mempertaruhkan nyawanya. Tubuh
Ki Waskitapun telah disakiti karena kelambatan kami. Jika
kami tidak terlambat, maka Ki Tumenggung Sarpa Biwada
tidak akan sempat melecut Ki Waskita, sehingga terjadi
goresan-goresan lecutan juntai cambuk di tubuh Ki Waskita.
Meskipun agaknya bagi Ki Waskita goresan-goresan itu tidak
berpengaruh apa-apa. Tetapi hal itu sebenarnya tidak perlu
terjadi. Karena itu, kami seharusnya minta maaf kepada Ki
Waskita" Ki Waskita tersenyum. Katanya, "Tetapi agaknya
kelambatan itu ada juga baiknya. Kita dapat melihat, apa yang
dilakukan oleh Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Ia benar-benar
melakukan kekerasan dan kekejaman atau sekedar ancaman
saja" "Ternyata Ki Tumenggung telah melakukannya" sahut Ki
Tumenggung Yudatama. "Aku sudah memperingatkan kepada Ki Waskita, bahkan
mungkin justru nyawanya yang harus dikorbankan" sahut Ki
Gede Pemanahan. "Tetapi agaknya tekad Ki Waskita sudah
bulat bahwa jalan satu-satunya itulah yang akan
ditempuhnya" "Ternyata Ki Waskita berhasil"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku harus menjelaskan kepada Nyi Tumenggung" berkata
Ki Waskita. "Menjelaskan apa?"
"Bahwa suaminya telah tertangkap"
Ki Gede Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Memang sangat pahit untuk bekerja sama dengan orang lain
untuk menjebak suaminya sendiri. Tetapi Nyi Tumenggung
Sarpa Biwada sudah melakukannya. Mungkin karena ia benar-
benar mencintai anak sulungnya yang nyawanya terancam.
Tetapi mungkin juga karena Nyi Tumenggung itu merasa
dirinya orang Pajang, sehingga meskipun ia harus menangis,
namun ia tidak dapat membiarkan jantung Pajang selalu
menitikkan darah oleh pertikaian yang tidak ada habisnya"
"Ya, Ki Gede. Bahkan mungkin kedua-duanya"
"Baiklah. Marilah kita tinggalkan tempat ini"
"Ki Gede" berkata Ki Waskita, "jika Ki Gede
memperkenankan, aku akan langsung pergi menemui Nyi
Tumenggung. Mungkin aku akan dikutuknya. Tetapi aku tidak
dapat berbuat lain" Ki Gede merenung sejenak. Dengan nada yang berat, Ki
Gedepun menjawab, "Baiklah. Silahkan, Ki Waskita. Mudah-
mudahan tidak terjadi salah paham"
"Aku akan berusaha sebaik-baiknya, Ki Gede. Restu Ki Gede
aku mohon agar aku tidak kehilangan akal serta mampu
menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya"
Demikianlah, maka Ki Waskitapun segera minta diri. Ia
benar-benar akan menghubungi Nyi Tumenggung dan
memberitahukan apa yang sudah terjadi sebenarnya. Di
sepanjang jalan, Ki Waskita sudah menganyam-anyam kata-
kata yang diucapkan kepada Nyi Tumenggung Sarpa Biwada.
Namun Ki Waskita sempat singgah di bekas padepokan Ki
Panengah untuk berganti baju, karena baju yang
dikenakannya adalah yang telah terkoyak-koyak.
Kedatangan Ki Waskita memang mengejutkan. Nyi
Tumenggung Sarpa Biwada yang sedang berada di belakang,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
telah diberitahu oleh pembantunya, bahwa ada seorang tamu
di pringgitan. "Siapa?" bertanya Nyi Tumenggung.
"Laki-laki yang sering datang kemari itu, Nyi. Yang sering
berada di kandang kuda"
"Ki Waskita" desis Nyi Tumenggung.
Jantung Nyi Tumenggung itu menjadi berdebar-debar. Ia
melihat Ki Waskita itu ditangkap oleh suaminya itu bersama
kedua orang pengawalnya. Tetapi kini yang datang kepadanya
justru Ki Waskita itu. Justru karena itu maka Nyi
Tumenggungpun segera pergi ke pringgitan untuk
mengetahui, apa yang sebenarnya sudah terjadi. Demikian Nyi
Tumenggung yang nampak kusut dan matanya lebam itu
duduk di hadapan Ki Waskita. Maka iapun langsung bertanya,
"Apa yang terjadi, Ki Waskita" Kau akan mengatakan bahwa
jebakanmu telah berhasil?"
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Kata-kata yang
disusunnya sepanjang jalan itu menjadi kabur. Yang kemudian
keluar dari mulutnya adalah pengakuan, "Aku minta maaf,
Nyi" Nyi Tumenggung itu menundukkan kepalanya. Suaranya
mulai bergetar, "Aku mengucapkan selamat atas
keberhasilanmu, Ki Waskita. Apakah kau bunuh suamiku?"
"Tidak, Nyi. Tidak" jawab Ki Waskita dengan serta-merta.
"Ki Tumenggung sekarang berada di tangan Ki Gede
Pemanahan" "Ki Gede Pemanahan?"
"Ya. Ki Tumenggung agaknya untuk sementara akan
berada di barak pasukan Ki Tumenggung Yudatama yang
langsung berada di bawah perintah Ki Gede Pemanahan"
Nyi Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Nyi
Tumenggung sudah mengenal Ki Tumenggung Yudatama
meskipun tidak akrab. Tetapi menurut pendengaran Nyi
Tumenggung Sarpa Biwada, Ki Tumenggung Yudatama adalah
seorang tumenggung pilihan yang baik.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Hukuman apa yang akan diterima oleh suamiku?" bertanya
Nyi Tumenggung. "Aku tidak tahu, Nyi. Segala sesuatunya tergantung kepada
Ki Gede Pemanahan atau Kanjeng Sultan sendiri"
Nyi Tumenggung mengusap matanya yang basah.
Suaranya merendah, "Apakah suamiku akan dihukum
gantung?" bertanya Nyi Tumenggung.
"Aku benar-benar tidak tahu, Nyi. Jika saja Ki Tumenggung
bersedia bekerja bersama dengan Ki Gede Pemanahan,
mungkin Ki Tumenggung akan mendapat keringanan-
keringanan" Air mata Nyi Tumenggung mulai menitik. Namun ia berkata
sendat, "Jangan kau rendahkan suamiku sampai terbenam ke
dalam lumpur. Ia sudah berkhianat terhadap Pajang. Biarlah ia
tetap pada keyakinannya, bahwa Pajang harus berubah.
Biarlah ia dihukum mati tanpa melakukan pengkhianatan
ganda. Meskipun aku akan kehilangan, tetapi suamiku akan
tetap dihormati karena ia berpegang pada satu keyakinan"
"Nyi" suara Ki Waskita merendah, "tidakkah seorang yang
berjalan sesat sebaiknya kembali"
"Suamiku tidak tersesat. Jalan yang diyakininya itu
diyakininya" "Tetapi bukankah seorang wajar membuat pertimbangan
atas tata nilai yang berlaku di lingkungannya. Kebenaran atas
keyakinan tidak dapat berdiri sendiri. Bukan pula dilandasi
oleh harapan bagi masa depannya sendiri. Penilaian atas sikap
dan tingkah laku bukannya pengkhianatan atas satu
keyakinan. Nyi, memang sulit bagi seseorang untuk melihat
bahwa apa yang diyakininya sebelum itu keliru. Tetapi bahwa
nalar budi seseorang itu berkembang sehingga menimbulkan
perubahan pada sikap dan keyakinan, bukanlah
pengkhianatan" Titik-titik air yang bening di mata Nyi Tumenggung itupun
menjadi semakin deras. Dengan suara yang dalam iapun
berkata, "Kakang, kau selalu dapat meyakinkan aku dengan
kata-katamu. Aku selalu dapat mengerti dan mengiakannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi aku harus ingkar dari kata hatiku. Aku harus setia
kepada suamiku" "Nyi, kenapa kau tidak bersikap jujur terhadap dirimu
sendiri" Kenapa kau harus mengingkari kata hatimu" Aku tidak
menganjurkan agar kau mengkhianati suamimu. Tetapi aku
berharap bahwa kau dapat berdiri di atas suara hatimu
sendiri" "Apa yang harus aku lakukan, Kakang?"
"Jika kau mendapat kesempatan, temui suamimu. Katakan
kepada suamimu, bahwa suamimu harus melihat kenyataan
serta menilai kembali apa yang diyakininya sebelumnya.
Suamimu tidak perlu mengkhianati keyakinannya, tetapi
menilai kembali dengan pertimbangan nalar dan budi. Korban
sudah terlalu banyak yang jatuh. Alir di bumi Pajang" Ki
Tumenggung sebaiknya sanggup menilai kembali jalan yang
dipilihnya itu" -ooo00dw00ooo- Jilid 28 NYI TUMENGGUNG menarik nafas dalam-dalam. Suaranya
menjadi bergetar, "Apakah aku akan sanggup melakukannya,
Kakang?" "Tentu. Kau tentu dapat melakukannya. Kaupun harus
yakin, bahwa yang kau lakukan itu bukan ketidak-setiaan.
Justru karena kau setia kepada suamimu, maka kau telah
memilih jalan terbaik"
"Apakah benar itu jalan terbaik yang dapat aku tempuh?"
"Ya. Bukan saja kau kembalikan suamimu ke jalan yang
benar bagi seorang tumenggung Pajang, tetapi akibatnyapun
akan menjadi lebih baik baginya. Ia tentu akan mendapat
pengampunan meskipun bukan berarti bahwa seluruh
hukumannya akan dihapuskan"
Nyi Tumenggung termangu-mangu sejenak. Wajahnya
nampak semakin muram. Sekali-sekali diusapnya matanya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang basah dengan lengan bajunya. Namun akhirnya Nyi
Tumenggung itupun berkata, "Baiklah, Kakang. Aku akan
mencobanya" "Terima kasih, Nyi. Jika kau lakukan itu, maka kau sudah
ikut membantu meredakan gejolak yang terjadi di Pajang. Jika
kau berhasil, dan Harya Wisaka dapat diketahui
persembunyiannya, maka kau sudah ikut meredakan
pertumpahan darah yang telah terjadi selama ini"
"Tetapi apakah Harya Wisaka tidak akan bergerak dari
persembunyiannya setelah ia mendengar Kakang
Tumenggung tertangkap hidup-hidup dan kemudian menjadi
seorang tawanan?" "Tentu, Nyi. Tetapi keterangan Ki Tumenggung itu sangat
perlu untuk menelusurinya. Ki Tumenggung, jika ia mau, tentu
akan dapat menunjukkan beberapa kemungkinan yang dapat
membawa pasukan Pajang kepada Harya Wisaka"
Nyi Tumenggung menarik nafas dalam-dalam.
"Nyi" berkata Ki Waskita, "jangan cemas. Aku tetap
menghormati kedudukanmu sebagai seorang isteri. Jika aku
datang kepadamu kapan-kapan, jangan salah mengerti.
Semuanya itu tentu dalam hubungannya mencari penyelesaian
terbaik dari gejolak yang terjadi di Pajang"
Nyi Tumenggung mengangguk.
"Aku tidak ingin membuat hatimu kecil, Nyi. Tetapi jika kau
berhasil mendorong agar Ki Tumenggung bersedia bekerja
sama dengan Ki Gede Pemanahan, itu juga berarti
menyelamatkan Ki Tumenggung dari perlakuan yang akan
dapat menyulitkannya"
"Aku mengerti, Kakang. Aku tahu penderitaan yang akan
dialami Ki Tumenggung jika ia tidak mau berbicara. Tetapi
semula aku menganggap bahwa itu adalah tanggung jawab
seorang laki-laki yang menggenggam keyakinan. Tetapi kau
selalu dapat meyakinkan aku, sehingga aku telah berubah
sikap. Kali ini aku akan berusaha melakukannya, Kakang. Aku
akan mencobanya dengan satu harapan bagi kehidupan baru
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mendatang. Aku juga berharap bahwa jalan yang akan aku
tempuh itu benar adanya"
"Yakinlah, Nyi. Jalan yang kau tempuh adalah jalan terbaik
bagimu dan bagi Ki Tumenggung. Kau boleh benar-benar
berharap bagi satu kehidupan yang terang di hari-hari
mendatang" Nyi Tumenggung menundukkan kepalanya. Matanya masih
basah, sehingga sekali-sekali Nyi Tumenggung masih harus
mengusap dengan lengan bajunya.
"Terima kasih, Kakang. Sejak Kakang Tumenggung pergi,
aku tidak mempunyai kawan berbincang. Tidak ada yang
memberi aku petunjuk-petunjuk, bahkan pertimbangan
pertimbangan menghadapi kehidupan yang terasa semakin
sulit" "Jika kau tidak berkeberatan, aku akan bersedia
membantumu tanpa mengusik harga dirimu sebagai seorang
isteri" "Terima kasih, Kakang"
"Sekarang, aku minta diri, Nyi. Mudah-mudahan kau
mendapatkan kesempatan itu"


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kesempatan apa, Kakang?"
"Kesempatan bertemu dengan suamimu"
"Ya, Kakang" "Hati-hatilah menjaga anak perempuanmu itu. Ia anak yang
manis. Nampaknya ia sudah mengerti, bahwa ia harus ikut
menanggung beban perasaanmu, meskipun barangkali ia tidak
tahu kenapa hal itu harus terjadi atas dirimu"
"Tetapi, masih ada yang ingin aku tanyakan, Kakang"
"Apa?" "Bagaimana dengan Paksi?"
"Ia sudah cukup dewasa. Sudah waktunya ia mengerti
siapa dirinya. Mungkin ia akan marah kepadaku, tetapi ia
harus menghadapi kenyataan tentang dirinya. Suka atau tidak
suka" "Terserah kepadamu, Kakang. Aku titipkan Paksi
kepadamu" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku akan menjaganya"
Ki Waskitapun kemudian meninggalkan rumah Ki
Tumenggung Sarpa Biwada yang harus menjalani masa
pahitnya sebagai seorang tawanan. Ketika Ki Waskita kembali
ke rumah Ki Panengah yang pernah menjadi padepokan untuk
sementara sebelum membangun padepokan di pinggir Hutan
Jabung, maka angan-angannyapun mulai melingkar-lingkar ke
masa lampau. Sekali-sekali mendahului waktu, menuju ke
masa mendatang. Sebuah kenangan yang manis melintas di kepalanya. Pada
masa mudanya, selaku seorang prajurit, ia berkenalan dengan
seorang gadis yang cantik. Menurut penglihatan matanya,
tidak ada gadis yang lebih cantik dari gadis itu. Tetapi
malapetaka itu datang. Hati Ki Waskita muda itu telah disusupi iblis, sehingga ia telah berbuat laknat. Hatinya terguncang
ketika gadis itu mengaku bahwa ia sudah mulai hamil.
Namun sama sekali tidak terlintas di kepalanya, bahwa ia
akan ingkar, apalagi berkhianat. Ia sudah siap menghadapi
tanggung jawab. Bahkan mungkin ia akan dapat dipecat dari
tugas keprajuritannya. Tetapi perintah itu datang begitu cepat.
Ia harus pergi menjalankan tugas. Ki Waskita muda itu
bersama dengan sekelompok prajurit harus membasmi
sekelompok penjahat yang sangat ditakuti karena
kebengisannya. Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Terbayang kembali,
bagaimana ia berdua dengan seorang prajurit yang lain,
terkapar di dalam jurang. Seorang petani yang baik hati telah
menolong mereka berdua. Bahkan merawatnya sampai
sembuh. Tetapi di samping petani itu telah hadir pula seorang yang
lain. Seorang yang berilmu sangat tinggi. Seorang yang
menguasai bukan saja ilmu pengobatan, tetapi juga ilmu
kanuragan. Ketika Ki Waskita muda dan kawannya itu kembali ke
kesatuannya, mereka justru dianggap telah melarikan diri dari
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tugas, sehingga keduanya telah dihukum dan tersingkir dari
kedudukannya. Sementara itu, gadis cantik yang ditinggalkannya dalam
keadaan hamil itu telah menjadi isteri seorang prajurit muda
yang lain. Anak di dalam kandungan gadis itu telah lahir pula, laki-laki, dan dinamai Paksi Pamekas.
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Hidupnyapun
kemudian terombang-ambing seperti sabut yang dipermainkan
gelombang. Dalam kegetiran yang menyayat, bersama
kawannya yang tersingkir itu, Ki Waskita sempat
memperdalam ilmunya, sehingga mencapai tataran yang
sangat tinggi. Justru setelah ia tersisih dari lingkungan
keprajuritan, Ki Waskita dan kawannya, yang kemudian
menyebut dirinya Ki Panengah, sempat berhubungan lebih
akrab dengan Ki Gede Pemanahan. Mereka sempat setiap kali
membuat perbandingan ilmu mereka dengan Ki Gede
Pemanahan itu. Namun Ki Waskita dan Ki Panengah tidak menyembunyikan
kenyataan tentang diri mereka. Mereka berterus terang,
bahwa mereka tidak lebih dari seorang prajurit yang terusir.
Kejujuran merekalah yang semakin mendekatkan mereka
dengan Ki Gede Pemanahan.
Namun pada saat-saat terakhir, keduanya telah membebani
diri dengan sebuah tugas yang khusus. Membayangi dan
sekaligus menempa Paksi Pamekas, agar menjadi seorang
anak muda yang berilmu tinggi. Justru pada saat Paksi harus
melaksanakan tugas yang tidak masuk akal, yang dibebankan
oleh ayah tirinya kepadanya, mencari cincin kerajaan yang
hilang. Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Kini Ki Waskita
dihadapkan pada satu keadaan yang rumit. Berterus terang
kepada Paksi, siapakah Paksi itu sebenarnya.
Dalam pada itu, Paksi yang berada di padepokan, telah
mendengar, bahwa ayahnya, Ki Tumenggung Sarpa Biwada
telah tertangkap. Iapun mendengar, bagaimana Ki Waskita
memancing Ki Tumenggung Sarpa Biwada untuk pulang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Cara yang ditempuh oleh Ki Waskita, ternyata telah
menggetarkan jantung Paksi. Sebagai seorang anak muda
yang sudah dewasa penuh, maka Paksi dapat menangkap arti
dari peristiwa yang telah terjadi itu.
"Tentu bukan dengan serta-merta ayah terpancing oleh
kehadiran Ki Waskita" berkata Paksi di dalam hatinya.
Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya dapat membaca
gejolak di dalam hati Paksi. Bahkan Paksipun sempat
menduga-duga, bahwa ibunya telah terlibat jauh di dalam
usaha memancing ayahnya pulang.
Paksi yang menyadari, bahwa dirinya bukan anak Ki
Tumenggung Sarpa Biwada, telah berusaha menghubungkan
satu peristiwa dengan peristiwa lainnya. Mempertautkan satu
langkah dengan langkah yang lain.
Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya tidak dapat
membiarkan Paksi didera oleh perasaannya sendiri. Pangeran
Benawa dan Raden Sutawijaya tidak dapat berdiam diri
melihat Paksi semakin menjadi murung.
Karena itu, maka keduanyapun telah menyampaikannya
kepada Ki Panengah, bahwa Paksi nampaknya telah
dikungkung oleh gejolak perasaannya.
Ki Panengah menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, Ki
Waskita masih berada di kotaraja. Untuk mencegah agar
tekanan jiwani yang disandang Paksi itu tidak menjadi
semakin terasa menghimpit, maka Ki Panengah telah pergi ke
kotaraja untuk menemui Ki Waskita.
"Memang sudah waktunya untuk berterus-terang" berkata
Ki Waskita. "Apakah Ki Waskita akan menyampaikannya sendiri kepada
Paksi?" Ki Waskita ternyata merasa ragu. Apakah ia akan dapat
berbicara langsung kepada Paksi tentang hubungannya
dengan ibu Paksi itu semasa gadisnya.
"Aku takut, Ki Panengah" berkata Ki Waskita. "Bukan aku
akan mengingkari kesalahan yang telah aku lakukan, tetapi
Paksi tentu juga mempertimbangkan apa yang aku lakukan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
untuk memancing Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Mungkin ia
membayangkan terlalu jauh apa yang sudah aku lakukan.
Mungkin Paksi juga kecewa terhadap ibunya yang sengaja
memancing perasaan cemburu Ki Tumenggung Sarpa Biwada
dengan cara yang rendah" Ki Waskita menarik nafas dalam-
dalam. "Di sepanjang hidupku aku tidak pernah merasa ketakutan
seperti sekarang ini. Justru terhadap anakku sendiri"
"Baiklah, Ki Waskita. Jika Ki Waskita tidak berkeberatan,
biarlah aku saja yang menyampaikannya kepada Paksi. Ia
memang sudah waktunya untuk mengetahuinya. Barangkali
lebih baik Paksi mendengar dari Ki Waskita sendiri atau aku,
orang yang terdekat, daripada mendengar dari orang lain yang
sudah dibumbui dengan kepentingan orang-orang itu sendiri"
Ki Waskita mengangguk angguk. Katanya, "Baiklah, Ki
Panengah. Aku minta pertolonganmu. Ki Panengah pulalah
yang telah bersama-sama dengan aku membayangi
pengembaraan anak itu"
Ki Panengah mengangguk-angguk. Katanya, "Terima kasih
atas kepercayaan itu. Nanti malam aku akan berbicara dengan
anak itu" Ki Panengahpun kemudian telah minta diri kembali ke
barak, sementara Ki Waskita masih tetap berada di kotaraja
untuk mengikuti perkembangan perburuan Harya Wisaka
selanjutnya. Seperti yang telah disepakati oleh Ki Waskita, maka ketika
malam turun, Ki Panengah di padepokannya telah memanggil
Paksi. Menurut pendapat Ki Panengah, anak itu harus segera
mendengar langsung dari sumber yang boleh dipercaya
daripada mendengar dari orang lain, yang mungkin akan
dapat menyesatkannya. "Paksi" berkata Ki Panengah, "ada sesuatu yang ingin aku
bicarakan. Tetapi pembicaraan kita adalah pembicaraan antara
laki-laki dewasa yang dapat menilai, betapa kita harus
menerima kenyataan yang sudah terjadi. Mungkin menurut
penilaian kita kenyataan itu baik, tetapi sebaliknya, dapat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
terjadi kenyataan itu buruk. Tetapi baik atau buruk, kita harus menerima kenyataan itu"
Paksi menundukkan kepalanya. Ia tahu, bahwa ada yang
penting yang akan dikatakan oleh Ki Panengah. Tetapi iapun
tahu bahwa ada yang pahit yang harus didengarnya.
Dengan hati-hati Ki Panengah mulai berceritera tentang
Paksi. Tetapi bahwa Paksi telah mengetahui bahwa dirinya bukan
anak Ki Tumenggung Sarpa Biwada, telah mempermudah Ki
Panengah darimana ia harus mulai berbicara.
"Paksi" berkata Ki Panengah dengan nada berat, "Ki
Waskita tidak dapat mengatakannya langsung kepadamu.
Bukan apa-apa. Tetapi ia sekarang masih berada di dalam
tugas yang bersama-sama dilakukan dengan Ki Gede
Pemanahan. Sementara itu, menurut pendapatku dan ketika
hal ini aku sampaikan kepada Ki Waskita, telah disepakatinya,
bahwa kau harus segera mendengarnya. Kau harus
mendengar dari sumber yang langsung dan dapat dipercaya.
Jika terlambat, mungkin kau akan mendengar dari sumber lain
yang justru akan dapat menyesatkan"
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kepalanya justru
tertunduk. Ketika dengan terbuka dan berterus terang Ki Panengah
menceriterakan tentang dirinya, Paksi sudah tidak terkejut
lagi. Sebagian dari ceritera itu sudah didengarnya langsung
dari ibunya. Sementara ketajaman penalarannya, telah
membimbingnya untuk mengetahui ceritera tentang dirinya
yang tersisa. Meskipun demikian masih terasa betapa pahitnya
menghadapi kenyataan itu. Kepalanya yang tertunduk menjadi
semakin tunduk. "Paksi" berkata Ki Panengah kemudian, "aku yakin, bahwa
kau mempunyai ketahanan jiwani yang cukup untuk
menghadapi kenyataan itu"
Paksi sama sekali tidak menjawab. Ia hanya mengangguk
kecil. Namun debar jantungnya serasa menjadi semakin cepat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Guru" desis Paksi kemudian, "apakah yang sudah
dilakukan Ki Waskita untuk memancing kehadiran Ki
Tumenggung Sarpa Biwada di rumahnya?"
Ki Panengah menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah
menduga, bahwa Paksi akan mengajukan pertanyaan itu.
"Paksi, bagaimanapun juga Ki Waskita tetap menghormati
kedudukan ibumu sebagai seorang isteri. Ibumupun tetap
bersikap sebagai seorang isteri yang setia kepada suaminya,
apapun yang terjadi dengan suaminya itu"
Paksi menarik nafas dalam-dalam.
Untuk meyakinkan Paksi, maka ki Panengahpun telah
berceritera, bagaimana Ki Waskita setiap malam tidur di
kandang atau di serambi lumbung padi, di dekat lesung dan
lumpang batu. "Yang diperlukan oleh Ki Waskita, hanyalah kesan bahwa Ki
Waskita ada di rumah itu"
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki
Panengahpun berkata, "Jangan hubungkan kehadiran Ki
Waskita di rumah Ki Tumenggung itu dengan peristiwa hampir
duapuluh tahun yang lalu, Paksi. Mereka adalah orang-orang
yang mempunyai harga diri yang tinggi. Yakinlah, bahwa
ibumu dan ayahmu yang sebenarnya masih berhak untuk kau
hormati meskipun mereka sudah cacat. Sebenarnya kaupun
pantas menghormati Ki Tumenggung Sarpa Biwada
sebagaimana pernah kau lakukan kepadanya. Bagaimanapun
juga kesediaannya menerima ibumu apa adanya, adalah satu
pengorbanan tersendiri lepas dari pamrih pribadinya. Tetapi
sayang, bahwa Ki Tumenggung Sarpa Biwada itu sudah
mengambil langkah yang salah. Baik sebagai seorang ayah di
lingkungan keluarganya, maupun sebagai seorang
tumenggung yang mengabdikan dirinya kepada Pajang"
Paksi mengangguk-angguk kecil. Tetapi wajahnya masih
saja tertunduk. Dengan nada berat menekan Ki Panengahpun bertanya,
"Kau dapat mengerti, Paksi?"
"Ya, Guru" suara Paksi rendah dan datar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Mudah-mudahan setelah kau mengetahui dengan jelas
segala-galanya, kau tidak perlu lagi merenungi dirimu sendiri.
Semuanya sudah jelas, pasti dan tidak dapat berubah lagi,
karena sudah terjadi"
"Ya, Guru" "Nah, supaya beban perasaanmu berkurang, tidak ada
keberatannya jika kau berbagi rasa dengan orang-orang yang
paling kau percaya. Misalnya Pangeran Benawa dan Raden
Sutawijaya. Kau tidak usah malu kepada mereka. Mereka
bukan kanak-kanak lagi. Pangeran Benawa justru lebih banyak
mengalami tekanan perasaan karena sifat-sifat ayahandanya.
Terakhir, Harya Wisaka dapat terlepas dari bilik tahanannya,
justru karena kelengahan Kangjeng Sultan Hadiwijaya sendiri"
Paksi mengangguk-angguk. Katanya, "Ya, Guru"
"Mereka akan mengerti"
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Ki


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Panengahpun berkata, "Paksi, mumpung kita sedang berbicara
tentang dirimu, mungkin kau mempunyai pertanyaan?"
"Tentang diriku sendiri tidak, Guru. Mungkin pada
kesempatan lain" "Baiklah. Kita dapat mengakhiri pembicaraan kita sekarang.
Mungkin dalam waktu dua tiga hari Ki Waskita masih berada di
dalam kota" "Aku justru ingin bertanya tentang adik laki-lakiku yang
oleh Ki Tumenggung diberitahu bahwa aku bukan kakaknya"
"Setidak-tidaknya kalian saudara seibu"
"Ya, Guru" "Adikmu itu luput dari tangan prajurit Pajang. Ia dapat lolos
dengan seorang pengawalnya yang bernama Ki Lulud"
"Ki Lulud" Paksi mengulang. Kemudian Katanya, "Aku justru
menjadi sangat cemas karena anak itu lolos dari tangan
prajurit Pajang" "Kenapa?" bertanya Ki Panengah.
"Anak itu tentu sudah dibekali perasaan dendam di dalam
hatinya. Ayah yang membenciku, bahkan akan membunuhku
itu tentu sudah menaburkan bibit permusuhan di hati anak itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bahkan mungkin anak itu akan dibentuk secara khusus untuk
melaksanakan keinginan ayah yang masih belum berhasil
dilakukan. Membunuh aku"
"Dalam usaha untuk dapat menangkap Harya Wisaka,
mudah-mudahan anak itu dapat tertangkap"
"Jika anak itu tertangkap, mungkin aku masih akan dapat
melunakkan hatinya. Mungkin ibu, mungkin adikku
perempuan" "Mudah-mudahan, Paksi"
"Namun jika anak itu sudah keluar dari pintu gerbang
kotaraja, maka akan sangat sulit untuk mencarinya di seluas
bumi Pajang dan lingkungannya"
Ki Panengah mengangguk-angguk.
"Selebihnya, mungkin anak itu justru berada di tangan
orang yang mengajarinya berjalan di atas jalan yang sesat.
Kegagalan Harya Wisaka akan membuat para pengikutnya
menjadi orang-orang yang tidak lagi mempunyai pegangan
dan tujuan hidup. Mereka akan dapat menjadi orang-orang
yang kehilangan landasan, sehingga apa yang dilakukannya
adalah semata-mata untuk menentang kemapanan kehidupan
orang banyak" "Anak itu memang harus dicari"
"Mungkin Ki Waskita tidak memperhitungkannya sampai
sedemikian jauh, karena Ki Waskita tidak banyak
berkepentingan dengan anak itu"
"Tetapi bukan berarti bahwa sikap Ki Waskita kepada anak
itu seperti sikap Ki Tumenggung Sarpa Biwada kepadamu,
Paksi" Paksi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku percaya,
Guru. Sikap Ki Waskita memang berbeda dengan sikap Ki
Tumenggung Sarpa Biwada. Tetapi justru karena itu, maka
anak itu mungkin sekali akan luput dari perhatian Ki Waskita"
Ki Panengah mengangguk-angguk.
Sementara itu, Paksipun berkata, "Guru, jika guru
mengijinkan, apakah aku diperkenankan mencari anak itu"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Nanti dulu, Paksi" jawab Ki Panengah. "Aku dapat
memberimu ijin meninggalkan padepokan. Tetapi jika kau
akan melibatkan diri dalam tugas perburuan itu, maka kau
harus mendapat ijin dari Ki Tumenggung Yudatama yang kini
sedang mendapat beban tanggung jawab untuk memburu
Harya Wisaka langsung dari Ki Gede Pemanahan"
Paksi mengangguk kecil. Katanya, "Aku akan menghadap Ki
Gede Pemanahan untuk mendapatkan ijin itu"
"Paksi" suara Ki Panengah merendah, "jika kau memang
akan pergi ke Pajang, pergilah. Kau dapat berbicara dengan
Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya. Tetapi aku berpesan
kepadamu, sebelum kau menghadap Ki Gede Pemanahan,
temuilah dahulu gurumu, Ki Waskita. Katakan, bahwa kau
sudah berbicara dengan aku tentang dirimu"
Paksi mengangguk. Katanya, "Baiklah, Guru. Aku akan
berbicara dengan Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya.
Kemudian aku akan menemui Ki Waskita sebelum aku
menghadap Ki Gede Pemanahan"
"Jika demikian, kapan kau akan pergi ke Pajang?"
"Jika Guru mengijinkan, aku akan pergi besok pagi"
"Sebaiknya kau tunda sehari, Paksi. Kau perlu
mengendapkan perasaanmu. Besok kau tetap berada di
padepokan bersama para cantrik yang lain"
Paksi tidak membantah. Sebagai seorang murid, ia harus
tunduk kepada perintah gurunya.
Sejenak kemudian, maka Paksipun meninggalkan gurunya
yang masih duduk seorang diri di dalam biliknya. Ketika ia
pergi ke barak, yang ditemuinya hanyalah Pangeran Benawa
dan Raden Sutawijaya, yang nampaknya memang
menunggunya. Sementara para cantrik yang lain berada di dalam sanggar.
Ada yang di sanggar terbuka ada yang di sanggar tertutup.
"Marilah, Paksi" Pangeran Benawa mempersilahkan. Seperti
juga Raden Sutawijaya, iapun dapat membaca wajah Paksi
yang muram. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Paksipun kemudian duduk bersama Pangeran Benawa dan
Raden Sutawijaya. "Dimana saudara-saudara kita yang lain?"
"Mereka berada di dalam sanggar"
"Mereka berlatih sendiri?"
"Ya. Mereka harus mempelajari dan mendalami unsur-
unsur gerak yang baru saja diberikan oleh guru langsung"
Paksi mengangguk-angguk. "Apakah kita tidak pergi ke sanggar?"
"Nanti sajalah" berkata Raden Sutawijaya.
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Namun seperti yang
dikatakan oleh gurunya, Paksi memang memerlukan orang-
orang yang dapat dipercayainya untuk ikut mengurangi beban
yang memberati perasaannya. Karena itu, maka dengan suara
yang bergetar iapun berkata, "Guru sudah berterus-terang
kepadaku tentang diriku sendiri. Tentang ayahku dan tentang
usaha Ki Waskita memancing Ki Tumenggung Sarpa Biwada"
Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya tidak menyahut.
Mereka hanya mengangguk-angguk kecil. Namun merekapun
kemudian mendengarkan dengan sungguh-sungguh ketika
kemudian Paksipun menceriterakan kembali apa yang sudah
diceriterakan oleh Ki Panengah kepadanya dengan suara yang
bergetar. Baru setelah Paksi selesai berceritera, Pangeran
Benawapun berkata, "Dengan demikian kau tidak perlu
menduga-duga lagi, Paksi. Semuanya sudah jelas bagimu.
Mungkin ada yang tidak sesuai dengan keinginanmu. Tetapi
kehidupan ini kadang-kadang tidak menghiraukan keinginan
seseorang. Yang terjadi kadang-kadang justru yang tidak
diinginkannya. Tetapi jika hal itu harus terjadi, maka
terjadilah" Paksi mengangguk kecil. Katanya, "Ya, Pangeran"
"Terimalah dengan jiwa yang besar" berkata Raden
Sutawijaya, "di tempatmu berpijak sekarang kau renungkan
apa yang berada di hadapanmu"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku sudah mengatakan kepada guru, bahwa aku ingin
mencari adikku. Tetapi karena di Pajang sedang diadakan
perburuan untuk menangkap Harya Wisaka, maka aku harus
mendapat ijin dari Ki Gede Pemanahan agar tidak terjadi salah
paham dengan Ki Tumenggung Yudatama, senapati yang
memimpin pencaharian Harya Wisaka sekarang, langsung di
bawah perintah Ki Gede Pemanahan"
"Aku akan membantumu, Paksi. Jika kau berniat pergi ke
Pajang, maka aku akan pergi bersamamu jika guru
mengijinkan" "Aku juga akan pergi bersamamu, Paksi" berkata Pangeran
Benawa pula. "Terima kasih" sahut paksi, "tetapi guru baru mengijinkan
aku pergi besok lusa. Besok aku masih harus berada di
padepokan. Agaknya guru ingin aku sempat mengendapkan
perasaanku" "Baiklah" berkata Pangeran Benawa, "besok lusa kita pergi
ke Pajang" "Tetapi sebelum aku menghadap Ki Gede, aku harus
menemui Ki Waskita lebih dahulu. Ki Waskita berada di rumah
Ki Panengah yang pernah kita jadikan padepokan sebelum kita
membuka padepokan di pinggir Hutan Jabung ini"
"Aku mengerti" desis Pangeran Benawa.
Ketiganya masih berbincang beberapa saat lagi. Namun
kemudian merekapun berkemas untuk pergi ke sanggar.
Di hari berikutnya, ketiganya masih tetap berada di
padepokan. Dari sanggar mereka masih ikut membantu
penyelesaian pembangunan padepokan di pinggir Hutan
Jabung itu sebelum masuk kembali ke dalam sanggar.
Demikian pula para cantrik yang lain. Mereka menempa diri
sambil membangun padepokan mereka bersama para prajurit
yang masih ditugaskan di padepokan itu. Dengan demikian,
maka para cantrik itu justru memiliki juga ketrampilan
mengerjakan pekerjaan kayu, bambu dan pekerjaan-pekerjaan
lainnya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi bukan berarti bahwa peningkatan kemampuan para
cantrik itu di berbagai macam ilmu terhambat. Juga dalam
ilmu kanuragan. Baru di hari berikutnya, Paksi bersama Pangeran Benawa
dan Raden Sutawijaya pergi ke Pajang untuk menemui Ki
Waskita. Dalam pada itu, di Pajang, atas pembicaraan antara Ki
Waskita, Ki Tumenggung Yudatama serta Ki Gede Pemanahan,
maka Nyi Tumenggung Sarpa Biwada diperkenankan untuk
menemui Ki Tumenggung di bilik tahanannya, dibiarkan
prajurit yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Yudatama itu.
Ternyata kedatangan Nyi Tumenggung tidak menyejukkan
hati Ki Tumenggung. Demikian Nyi Tumenggung duduk
bersama Ki Tumenggung, Ki Tumenggung itu sudah berkata
dengan kata-kata tajam, "Kau masih akan menjadi alat untuk
menjebakku" Nyi Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Dengan
nada rendah iapun berkata, "Sudah terlalu lama kita tidak
bertemu, Kakang" "Untuk apa" Apakah kau datang sengaja untuk menyakiti
hatiku yang sudah parah ini?"
"Kakang, kau salah paham"
"Apa yang salah" Kau dan laki-laki jahanam itu bersepakat
untuk menjebakku. Kalian telah berhasil. Apa lagi" Bukankah
cara itu adalah cara yang terbaik untuk menyingkirkan aku
dari keluargaku yang telah aku bangun selama hampir
duapuluh tahun" Sejak aku mengorbankan diriku untuk
melindungi kehormatanmu?"
"Kakang, aku tidak akan pernah melupakannya"
"Omong kosong. Ketika laki-laki itu datang kepadamu, kau
terima ia dengan senang hati. Setiap hari, siang atau malam
atau kapan saja ia datang, kau terima laki-laki itu dengan
tangan terbuka" "Sudah aku katakan kepadamu, bahwa aku tidak kuasa
untuk menolak agar ia tidak datang ke rumah. Ia datang
dengan mengatas-namakan dirinya petugas dari Pajang"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Tumenggung Sarpa Biwada tertawa. Tetapi betapa
pahitnya. Katanya, "Kalian telah memanfaatkan kesempatan
ini sebaik-baiknya" "Kakang, aku bukan perempuan seperti yang kau
bayangkan. Aku masih mempunyai harga diri sebagai seorang
isteri. Apapun yang terjadi, aku tidak mengkhianati suamiku.
Laki-laki itu memang datang setiap hari. Kadang-kadang siang
dan kadang-kadang malam. Tetapi ia tidak menyentuh pintu
rumah kita. Laki-laki itu selalu berada di serambi kandang atau di
serambi lumbung" Ki Tumenggung memandang mata isterinya yang basah. Ia
melihat kesungguhan di mata isterinya yang redup itu. Tetapi
perasaannya masih saja selalu digoyahkan oleh peristiwa yang
terjadi sebelum ia menikah dengan isterinya yang pada waktu
itu sudah mengandung. "Kakang, betapapun rendahnya nilai kelakuanku, tetapi aku
masih tetap menjunjung tinggi ikatan pernikahan kita"
Ki Tumenggung termangu-mangu sejenak. Selama
perempuan itu menjadi isterinya, ia memang belum pernah
menyimpang dari sikap seorang isteri yang setia. Persoalan
yang sering timbul di dalam keluarganya, hanyalah persoalan
Paksi. Apalagi sejak ia memerintahkan Paksi mencari cincin
kerajaan yang hilang, maka isterinya kadang-kadang memang
menentang sikapnya. Tetapi tidak pernah terjadi
pengkhianatan atas hubungannya sebagai suami isteri.
"Tetapi laki-laki jahanam itu mempunyai hubungan khusus
dengan isteriku" berkata Ki Tumenggung Sarpa Biwada di
dalam hatinya. Dalam kebimbangan itu, Ki Tumenggungpun kemudian
bertanya, "Kau datang kemari atas kehendakmu sendiri atau
ada orang lain yang mendorongmu datang kemari dengan
maksud tertentu?" Nyi Tumenggung justru termangu-mangu sejenak. Ia
memang datang memenuhi petunjuk yang diberikan oleh Ki
Waskita, agar ia membujuk suaminya untuk bersedia bekerja
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sama dengan Ki Gede Pemanahan memburu Harya Wisaka.
Namun rasa-rasanya sulit sekali untuk mengatakannya.
"Kau datang karena laki-laki jahanam itu?" desak Ki
Tumenggung. "Tidak, Kakang" jawab Nyi Tumenggung kemudian. "Aku
datang atas kehendakku sendiri. Sudah aku katakan, kita
sudah terlalu lama berpisah. Kita hanya bertemu pada saat-
saat yang tidak menguntungkan. Saat kau mengambil anak
kita dan saat kau dijebak oleh laki-laki yang mengaku petugas
dari Pajang itu" Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam.


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kakang. Aku ingin kau segera terlepas dari kungkungan
bilik tahanan itu" "Itu tidak mungkin, Nyi. Besok atau lusa aku akan segera
digantung" "Apakah tidak ada jalan lain, Kakang. Apakah tidak ada
cara untuk mengurangi hukumanmu. Setidak-tidaknya bukan
hukuman mati, apalagi digantung"
"Buat apa aku mencari kemungkinan lain" Bukankah sudah
sepantasnya, jika seorang yang dianggap berkhianat itu
digantung di alun-alun"
"Kakang" suara Nyi Tumenggung melemah, "aku ingin pada
suatu saat Kakang pulang"
Dahi Ki Tumenggung berkerut. Ternyata jantungnya
tersentuh juga. Apalagi ketika ia melihat mata Nyi
Tumenggung menjadi basah.
"Nyi" berkata Ki Tumenggung, "kau adalah isteri seorang
prajurit. Kau harus tabah menghadapi apapun yang terjadi
atas diri suamimu. Kau harus tegar meskipun kau harus
melihat suamimu digantung di alun-alun"
"Tetapi bukankah kita wajib berusaha" Seandainya ada
jalan yang dapat menyelamatkanmu, bukankah jalan itu dapat
ditempuh?" "Tentu, Nyi. Jika aku dapat melarikan diri, aku akan
melarikan diri agar aku tidak digantung di alun-alun"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bukan itu maksudku, Kakang. Aku masih bermimpi untuk
dapat hidup tenang dalam satu lingkaran keluarga yang
tenang dan tidak diburu oleh siapapun juga"
"Tidak dapat, Nyi. Tidak ada jalan kembali dalam
perjalanan waktu. Aku sudah sampai pada suatu keadaan
seperti sekarang ini. Karena itu, maka langkah-langkah
selanjutnya adalah kelanjutan dari perjalananku yang sudah
aku tempuh sampai sekarang. Sampai saat aku ditahan karena
aku memberontak terhadap kekuasaan yang gila dari anak
Tingkir itu" "Kakang" "Sudahlah. Biarlah aku pergi dengan tenang. Biarlah aku
menghadapi maut dengan wajah tengadah. Jika kau hambat
perjalananku menjelang maut, maka aku akan dapat menjadi
seorang pengecut. Nah, kau tidak boleh mempunyai seorang
suami pengecut. Kau tidak boleh menjadi sasaran sindiran dan
hinaan banyak orang karena mempunyai suami seorang
pengecut yang merengek minta ampun di bawah tiang
gantungan. Sementara itu, akhirnya tali gantung itu menjerat
lehernya juga" "Kakang" Nyi Tumenggung hanya dapat menangis.
Mulutnya tidak dapat terbuka ketika ia berniat untuk
mengatakan sebagai dipesankan oleh Ki Waskita, agar
suaminya bersedia bekerja bersama dengan Ki Gede
Pemanahan. "Jika aku mengatakannya juga" berkata Nyi Tumenggung di
dalam hatinya, "Kakang Tumenggung tentu akan dapat
menangkapnya, bahwa aku datang untuk membujuknya. Jika
demikian, maka hubungan untuk seterusnya tentu akan
terputus" Karena itu, maka Nyi Tumenggung memilih untuk tidak
mengatakannya. Ia masih berpengharapan, bahwa ia masih
akan mempunyai kesempatan lagi.
Beberapa saat Nyi Tumenggung terisak. Seorang prajurit
kemudian datang kepadanya sambil berkata, "Maaf, Nyi.
Sudah waktunya Nyi Tumenggung meninggalkan tempat ini"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Nyi Tumenggung mengusap matanya. Katanya, "Aku akan
datang lagi, Kakang. Aku harap Kakang menemukan jalan
terbaik untuk menghindarkan diri dari tiang gantungan"
"Tiang gantungan tidak menakutkan bagiku, Nyi. Justru di
sanalah aku akan mendapat tempat terhormat. Mungkin pada
waktu dekat, namaku akan direndahkan. Mungkin disurukkan
ke dalam lumpur oleh Ki Gede Pemanahan. Tetapi tunggu
sampai saatnya Pajang runtuh. Setiap orang akan menyebut
namaku. Jika Harya Wisaka pada suatu ketika berkuasa, maka
namaku akan dicantumkan dalam jajaran nama-nama
pahlawan yang menjadi salah satu pilar penyangga
kejayaannya" Ketika Nyi Tumenggung memandang wajah suaminya,
dilihatnya senyum yang menghiasi bibirnya. Karena itu, maka
Nyi Tumenggungpun mencoba untuk tersenyum pula, "Aku
minta diri, Kakang" "Hati-hatilah dengan anak perempuanmu itu, Nyi"
"Ya, Kakang" Sejenak kemudian, maka Nyi Tumenggungpun telah
meninggalkan Ki Tumenggung di dalam bilik tahanannya. Ia
tidak sampai hati untuk mengusik mimpi suaminya bahwa ia
akan menjadi seorang pahlawan.
Demikian Nyi Tumenggung itu sampai di rumah, maka ia
tidak dapat lagi menahan tangisnya. Anak perempuannya pun
mendekatinya sambil berdesis, "Ibu"
Nyi Tumenggung menjatuhkan dirinya duduk di ruang
dalam. Dipeluknya anak perempuannya erat-erat.
"Ayah kenapa, Ibu?" bertanya anak itu, karena itu tahu
bahwa ibunya pergi mengunjungi ayahnya.
"Ayahmu tidak apa-apa, Ngger"
"Kenapa Ibu menangis?"
"Ayah belum boleh pulang"
"Kenapa para prajurit Pajang itu tidak membiarkan ayah
pulang?" "Pada saatnya ayahmu akan pulang"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Anak perempuan itu tidak bertanya lagi. Tetapi matanya
pun ikut menjadi basah karenanya.
Sementara itu, Paksi, Pangeran Benawa dan Raden
Sutawijaya tengah menemui Ki Waskita di rumah Ki Panengah.
Di hadapan Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya, Paksi
ternyata bersikap terbuka kepada Ki Waskita. Sebaliknya Ki
Waskitapun bersikap terbuka pula. Ki Waskita tahu, bahwa
keduanya, terutama Pangeran Benawa, mempunyai ikatan
yang lebih dalam dari sekedar hubungan persahabatan.
Keduanya pernah melakukan pengembaraan bersama.
Mengalami kegembiraan dan kegetiran di perantauan.
Menempa diri bersama serta menempuh bahaya bersama-
sama pula. Sedangkan Raden Sutawijaya telah menyatukan
diri pula bersama mereka berdua dalam pengalaman yang
berat pada saat-saat terakhir.
Karena itu, di antara Paksi, Pangeran Benawa dan Raden
Sutawijaya, seakan-akan sudah tidak ada lagi dinding
pembatas. Bukan saja dalam hubungan mereka dengan
Pajang, tetapi juga masalah-masalah pribadi mereka.
"Waktu seperti inilah yang sangat aku takutkan. Tetapi aku
yakin bahwa pada suatu saat, saat-saat seperti ini pasti akan
datang" berkata Ki Waskita.
Paksi menundukkan kepalanya. Dengan nada berat iapun
berdesis, "Aku menyesalinya, bahwa kehadiranku di bumi ini
terjadi semata-mata karena malapetaka. Tetapi aku tidak akan
menyalahkan siapa-siapa. Pada tingkat kepasrahan tertinggi,
aku mempunyai keyakinan bahwa aku memang harus hadir di
dunia ini sebagai mahluk ciptaan dari Yang Maha Agung"
"Aku mengerti perasaanmu, Paksi" berkata Ki Waskita. "Jika
kau masih dapat menghargai keberadaanku pada perjalanan
hidupmu, aku ingin menasehatkan kepadamu, agar kau
menempatkan diri pada peredaran waktu menyongsong masa
depanmu. Bukan berarti bahwa kau tidak boleh berpaling
untuk melihat masa lampau atau bercermin di wajah air
bening untuk melihat kekinian, tetapi mau tidak mau kau akan
berkisar bersama waktu ke masa depanmu"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Paksi masih menundukkan kepalanya. Sedangkan Ki
Waskita berkata selanjutnya, "Aku tahu, bahwa sejak masa
kanak-kanakmu kau harus mengalami perlakuan yang tidak
sewajarnya dari seorang yang kau kenal sebagai ayahmu.
Bahkan puncak dari perlakuan yang tidak wajar itu adalah
perintahnya kepadamu untuk mencari cincin kerajaan yang
hilang pada saat kau berumur tujuh belas tahun. Tetapi kau
sekarang tidak lagi berada pada masa seperti berumur tujuh
belas tahun lagi" Paksi menarik nafas dalam-dalam.
"Namun satu hal yang sejak lebih dari tujuh belas tahun
tersimpan di dalam hatiku adalah keinginanku untuk minta
maaf kepadamu" berkata Ki Waskita dengan nada berat dan
dalam. Paksi mengangkat wajahnya sejenak. Dipandanginya wajah
Ki Waskita sekilas. Ia sempat melihat wajah yang sayu itu
seakan-akan menjadi jauh lebih tua dari kemarin saat terakhir
ia melihatnya. Mulut Paksi bergerak-gerak. Tetapi tidak sepatah kata pun
Seruling Gading 8 Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Pendekar Latah 13
^