Bidadari Delapan Samudra 2
Joko Sableng 38 Bidadari Delapan Samudra Bagian 2
memang bisa bertemu dengan Dewa Asap Kayangan di
sini!" Membatin begitu, akhirnya Pendekar 131 teruskan
langkah. Dia sengaja mendekati sebuah batu cadas
paling tinggi. Dengan begitu, dia berpikir bisa melihat keadaan seantero lembah.
Baru saja murid Pendeta Sinting hendak melompat
ke atas batu cadas yang terlihat paling tinggi, mendadak telinganya mendengar
alunan suara. Alunan suara
itu jelas terdengar, namun Joko tidak mengerti apa
maksudnya, karena alunan suara itu mirip suara
orang membaca mantera-mantera.
"Hem.... Walau akhirnya tempat ini bukan tempat
yang kucari, namun setidaknya aku mendapatkan
orang yang mungkin bisa kumintai keterangan!" Pen-
dekar 131 bergumam lalu melompat ke atas batu ca-
das paling tinggi dengan kepala langsung berpaling ke sebelah kanan dari mana
suara alunan mantera terdengar.
Di balik sebuah batu cadas, Pendekar 131 melihat
satu sosok tubuh duduk bersila di atas sebuah altar
batu cadas. Joko belum bisa melihat tampang orang
yang duduk bersila. Karena orang itu membelaka-
nginya. Sementara bagian samping wajahnya juga ter-
tutup kain panjang yang menjulai dari kepala hingga
bagian dadanya.
Murid Pendeta Sinting memperhatikan sekali lagi.
Saat lain dia berkelebat turun lalu karena khawatir
mengganggu kekhusukan orang, Joko sengaja melang-
kah mendekati secara perlahan-lahan dari sebelah
samping dengan harapan sedikit banyak bisa melihat
bagian samping tampang orang.
Di lain pihak, seolah tidak merasa ada orang yang
datang mendekati, orang yang duduk bersila terus me-
ngumandangkan mantera-mantera. Bahkan makin la-
ma alunan suaranya makin tinggi.
Murid Pendeta Sinting hentikan langkah sepuluh
tindak di samping orang yang duduk bersila seraya
mengawasi dengan seksama.
"Dari suara dan jubah putih yang dikenakan, jelas
dia adalah seorang laki-laki...." Joko membatin men-
duga-duga orang yang duduk di atas altar batu cadas.
Dia adalah satu sosok yang mengenakan jubah putih
panjang. Karena orang ini tengah duduk bersila, sebagian kain jubah putihnya
tampak menghampar di ka-
nan kiri altar batu cadas. Raut wajahnya tidak kelihatan karena tertutup
kerudung putih panjang yang diletakkan di atas kepala hingga menjulai sampai
menu- tupi sebagian dadanya. Kedua tangannya merangkap
di depan dada dengan menekan julaian kerudungnya
yang jatuh di depan dadanya.
"Hem.... Sebaiknya aku menunggu.... Tidak baik
mengganggu orang yang tengah khusuk...," kata Joko
dalam hati. Lalu seraya terus memperhatikan orang,
Joko melangkah mencari tempat duduk yang sekiranya
dapat mengawasi gerak-gerik orang.
Namun setelah duduk beberapa lama, dan orang
yang membaca mantera tidak juga hentikan bacaan-
nya, murid Pendeta Sinting mulai gelisah dan tidak sabar. Dia beranjak bangkit.
Lalu melangkah mondar-
mandir dengan sesekali perdengarkan deheman pelan,
berharap orang yang tengah membaca mantera tidak
merasa terkejut dan terganggu dengan kehadirannya.
Namun deheman Joko tampaknya tidak membuat
orang hentikan bacaannya. Sebaliknya orang ini masih cepatkan bacaan manteranya
bahkan kini kepalanya
bergerak pulang balik ke bawah ke atas dan sesekali
ke samping kiri kanan.
Mungkin karena tak sabar sementara dia perlu ke-
terangan, akhirnya Joko beranikan diri mengambil ke-
putusan untuk buka suara.
Namun sebelum suaranya terdengar, tiba-tiba orang
yang duduk bersila putuskan bacaan manteranya.
Saat lain terdengar dia berucap.
"Anak muda dari negeri asing! Apa perlumu datang
ke Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai ini"!"
TUJUH SEPASANG kaki Pendekar 131 laksana disapu ge-
lombang dahsyat hingga tersurut dua tindak, saking
kagetnya mendengar pertanyaan orang. Sepasang ma-
tanya mendelik besar. Namun dia segera dapat kuasai
diri setelah membatin. "Mungkin Dewa Asap Kayangan
telah bercerita padanya tentang diriku hingga dia bisa tahu kalau aku berasal
dari negeri asing! Dan rupanya perempuan berkerudung tadi berkata benar. Ini
adalah Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai.... Hem.... Bagaimana lembah begini
bisa dinamakan Lembah Tujuh
Bintang Tujuh Sungai"! Aku tidak melihat adanya tan-
da-tanda yang pantas lembah ini dinamakan Lembah
Tujuh Bintang Tujuh Sungai.... Tapi itu tidaklah penting! Yang jelas aku telah
menemukan lembah yang ku-
cari...!" "Pendekar 131! Kau telah dengar pertanyaanku.
Kuharap kau segera memberi jawaban!"
"Aku ingin bertemu dengan Dewa Asap Kayangan..."
"Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai bukan tem-
pat tinggalnya Dewa Asap Kayangan! Kau salah alamat
jika ingin bertemu dengannya di sini!"
"Tapi Dewa Asap Kayangan berjanji menungguku di
tempat ini...."
"Kau jangan bicara dusta! Kapan dan di mana dia
mengatakannya"!" tanya orang yang duduk bersila di
atas altar batu cadas.
"Tidak lama berselang, di puncak Bukit Toyongga!"
"Hem...." Orang di atas altar batu cadas mende-
hem. Lalu berpaling ke arah mana murid Pendeta Sint-
ing tegak berdiri. Namun Joko tidak bisa melihat raut wajah orang, karena wajah
itu tertutup julaian kerudung putih yang diletakkan di atas kepalanya dan di-
tekan dengan rangkapan kedua tangannya di depan
dada. "Kakakku Dewa Asap Kayangan memang telah ceri-
ta tentang janjinya dengan seseorang! Namun karena
ada sesuatu yang harus segera dilakukan, dan yang ditunggu tidak juga segera
muncul, terpaksa dia pergi
dengan pesan agar aku memberi penjelasan yang diin-
ginkan orang yang hendak menemuinya!"
Habis berkata begitu, orang yang duduk bersila pu-
tar kepalanya lagi lurus ke depan. Namun sebelum
murid Pendeta Sinting sempat angkat suara, orang di
atas altar batu cadas sudah berucap lagi.
"Dari jawabanmu, sepertinya kaulah orang yang di-
tunggu! Tapi itu belumlah membuatku yakin jika kau
adalah orang yang membuat perjanjian dengan Dewa
Asap Kayangan saat berada di puncak Bukit Toyong-
ga!" Joko kernyitkan dahi. "Aku tak paham apa mak-
sudmu...!"
"Jawaban kata-kata bisa dibuat. Tapi tidak demi-
kian halnya dengan bukti! Dan aku baru percaya kau-
lah orang yang membuat janji pertemuan jika kau bisa tunjukkan bukti!"
"Bukti apa yang kau minta"!" tanya murid Pendeta
Sinting masih dengan dahi berkerut.
"Hasil dari peristiwa di puncak Bukit Toyongga!"
Pendekar 131 terdiam beberapa lama. "Bukti yang
diminta pasti peta wasiat itu!" Joko membatin mene-
bak apa 'yang diminta orang.
"Anak muda! Aku tidak punya waktu banyak untuk
menunggu! Kalau kau tidak bisa menunjukkan bukti
dari hasil apa yang terjadi di puncak Bukit Toyongga, kuharap kau segera angkat
kaki dari sini! Carilah De-wa Asap Kayangan. Hanya saja kau perlu tahu. Kakak-
ku itu tidak punya tempat tinggal tetap...."
"Hem.... Apa yang harus kulakukan"! Di negeri as-
ing begini, rasanya sulit mencari manusia seperti Dewa Asap Kayangan! Tapi
mungkinkah adiknya ini bisa
memenuhi permintaanku..."! Seandainya saja aku pa-
ham daerah ini dan tahu di mana tempat tinggalnya
Dewa Cadas Pangeran, mungkin tak sampai aku ber-
urusan dengan orang ini.... Bodohnya diriku! Seharusnya aku bertanya sekalian
pada perempuan berkeru-
dung tadi! Dia mau menjelaskan apa yang kuminta
tanpa minta bukti segala! Tidak seperti orang yang duduk membaca mantera itu!
Sudah wajahnya ditutup,
lalu minta bukti lagi!" Joko menggerutu dalam hati.
Lalu buka mulut.
"Aku akan tunjukkan bukti bahwa akulah yang
membuat janji dengan Dewa Asap Kayangan. Tapi se-
belumnya aku minta ketegasan...."
"Katakan ketegasan apa yang kau inginkan"!"
"Kau nantinya mau mengantarku jika aku ingin
menemui orang lain lagi"!"
"Aku telah berjanji pada kakakku. Dan aku pantang
ingkar! Ke mana dan apa pun yang kau minta aku
akan berusaha memenuhinya!"
"Hem.... Aku harus pastikan dahulu apakah dia ta-
hu di mana tempat tinggal Dewa Cadas Pangeran...."
Joko berkata dalam hati. Lalu buka suara.
"Kau tahu tempat tinggalnya Dewa Cadas Pange-
ran"!"
Yang ditanya perdengarkan tawa perlahan bernada
seakan mengejek. Lalu berkata.
"Kau boleh percaya atau tidak. Dewa Asap Kayan-
gan tidak pernah cerita panjang lebar padaku. Dia
hanya bilang akan kedatangan seseorang. Tapi aku ta-
hu banyak tentang apa yang telah terjadi!" Orang yang mengaku sebagai adik
kandung Dewa Asap Kayangan
ini hentikan ucapannya sesaat. Lalu dongakkan kepala dan lanjutkan ucapan.
"Aku tahu tewasnya Yang Mulia Baginda Ku Nang,
juga Panglima Muda Lie, dan nenek bergelar Ratu Se-
lendang Asmara, serta Hantu Bulan Emas, dan Bayan-
gan Tanpa Wajah.... Aku juga tahu tentang perselisi-
han antara gadis bernama Mei Hua dengan Dewi Bun-
ga Asmara dan Siao Ling Ling serta Bidadari Bulan
Emas karena memendam rasa padamu! Bahkan aku
tahu siapa yang memberi keterangan padamu hingga
kau sampai muncul di Lembah Tujuh Bintang Tujuh
Sungai ini! Bukankah yang memberimu petunjuk ada-
lah seorang perempuan berkerudung"! Aku bukan seo-
rang peramal. Tapi aku tahu pasti, perempuan berke-
rudung itu tidak mau sebutkan siapa dirinya dan di
mana tempat tinggalnya meski kau berusaha ingin ta-
hu!" "Busyet! Bagaimana dia bisa tahu hal sebanyak
itu"! Peristiwa di puncak Bukit Toyongga mungkin saja dia mendengar cerita dari
Dewa Asap Kayangan walau
dia mengaku Dewa Asap Kayangan tidak cerita apa-
apa. Tapi mengenai perempuan berkerudung yang
memberi petunjuk itu.... Sewaktu aku berbincang de-
ngan perempuan berkerudung aku yakin tak ada orang
yang mencuri dengar.... Tapi nyatanya dia bisa tahu....
Hem...." "Anak muda! Kalau aku tahu semua yang telah ter-
jadi padamu, bagaimana mungkin aku tidak tahu di
mana tempat tinggalnya Dewa Cadas Pangeran"! Apa-
lagi dia adalah salah seorang sahabatku"! Sekarang
tunjukkan hasil dari peristiwa di Bukit Toyongga sebagai bukti kalau kau adalah
orang yang membuat janji
dengan Dewa Asap Kayangan! Setelah itu baru aku bi-
sa menjelaskan apa yang kau minta dan me-
ngantarmu ke mana kau hendak menuju!"
"Boleh aku tahu siapa dirimu"!" tanya murid Pen-
deta Sinting. "Kau datang ke tempat ini untuk berkenalan de-
nganku atau minta keterangan"!" Orang di atas altar
batu cadas balik ajukan tanya dengan suara agak ting-gi. "Daripada cari
penyakit, lebih baik aku segera selesaikan urusan ini!"
Membatin begitu, akhirnya perlahan-lahan Pende-
kar 131 selinapkan tangan kanan ke balik pakaiannya.
Lalu terlihatlah satu kain putih yang bersambung saat
tangan kanannya ditarik keluar.
Seakan tahu apa yang dilakukan murid Pendeta
Sinting, orang di atas altar batu cadas palingkan kepala. Rangkapan kedua
tangannya yang menekan julaian
kain kerudungnya bergerak membuka sedikit hingga
kedua mata orang ini terlihat.
Beberapa saat sepasang mata dari balik Kerudung
membelalak memperhatikan kain putih bersambung
yang ada di tangan Joko yang bukan lain adalah kain
berisi peta wasiat yang didapat di puncak Bukit
Toyongga. Kepala orang di atas altar batu cadas mengangguk
pelan. Lalu diputar ke arah depan seraya berkata.
"Anak muda.... Saat ini rimba persilatan masih ter-
guncang dengan kabar berita mengenai peta wasiat.
Dan mulai pula tersebar gunjingan tentang urusan Se-
pasang Cincin Keabadian milik Dewi Keabadian. Dan
meski kau bukan berasal dari negeri ini, tapi kau tentu sudah tahu. Di mana-mana
rimba persilatan pasti selalu dipenuhi dengan fitnah, balas dendam, pertumpa-
han darah, dan benda-benda mustika palsu!"
Ucapan orang membuat Joko tersedak. Tanpa sadar
dia melompat mendekat dengan dada berdebar tidak
enak. Lalu seraya acungkan kain putih di tangannya
dia berseru. "Kau menduga ini palsu"!"
"Kau jangan salah duga dengan ucapanku. Aku ti-
dak mengatakan kain yang ada di tanganmu adalah
palsu! Tapi tidak ada salahnya kalau aku memeriksa!
Karena aku tahu sendiri, saat di puncak Bukit Toyong-ga telah muncul beberapa
benda palsu yang ada kai-
tannya dengan kain di tanganmu!"
Tanpa pikir panjang lagi, Pendekar 131 julurkan
tangannya yang memegang kain berisi peta wasiat.
Orang di atas altar batu cadas gerakkan tangan ka-
Joko Sableng 38 Bidadari Delapan Samudra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nan sambuti kain dari tangan murid Pendeta Sinting.
Sementara tangan kiri tetap menekan julaian kain ke-
rudungnya hingga wajahnya tetap tidak jelas keliha-
tan. Untuk beberapa lama orang di atas altar batu cadas
memeriksa kain yang diberikan Joko dengan dekatkan
pada wajahnya. Sepasang matanya melirik silih ber-
ganti pada kain di tangannya dan pada sosok murid
Pendeta Sinting yang tegak memperhatikan dengan
dada berdebar-debar, khawatir kalau kain di tangan-
nya adalah palsu.
"Hem.... Kau beruntung sekali, Anak Muda.... Kain
bergambar peta ini adalah asli...," kata orang di atas altar batu cadas sambil
angguk-anggukkan kepala.
"Maksud kedatanganku kemari adalah ingin ber-
tanya arah mana yang harus kuambil untuk memulai
perjalanan seperti yang ada dalam peta itu. Sekaligus untuk bertanya di mana aku
bisa bertemu dengan De-wa Cadas Pangeran!" kata Joko dengan menghela na-
pas lega mendengar keterangan orang.
"Anak muda.... Aku akan memenuhi permintaanmu.
Tapi katakan dahulu. Urusan mana yang akan kau
dahulukan"! Mengadakan perjalanan atau ingin ber-
temu dengan Dewa Cadas Pangeran"!"
Joko berpikir beberapa lama. Dia tampak bingung
tak tahu mana yang harus didahulukan.
Orang di atas altar batu cadas tampaknya bisa me-
nangkap kebingungan murid Pendeta Sinting. Lalu
berkata. "Anak muda.... Perjalananmu kelak memerlukan
waktu panjang. Kalau urusanmu dengan Dewa Cadas
Pangeran tidak begitu penting, menurutku, lebih baik kau selesaikan dahulu
urusanmu dengan Dewa Asap
Kayangan. Dengan begitu, kau bisa melakukan perja-
lanan dengan tenang tanpa beban! Tapi itu semua ter-
serah padamu. Aku hanya memberi jalan...."
Pendekar 131 menghela napas berulang kali. Paras
wajahnya jelas menunjukkan kalau dia belum bisa
memutuskan apa yang harus dilakukan.
Orang di atas altar batu cadas tertawa. Lalu sambil
letakkan kain peta di atas pangkuannya dia berkata.
"Aku bukannya ikut campur masalahmu. Tapi ka-
lau kau tak keberatan mengatakan urusanmu dengan
Dewa Cadas Pangeran, mungkin aku bisa sedikit mem-
bantu jalan mana yang harus kau tempuh dalam uru-
san ini!" "Hem.... Apakah aku harus mengatakan terus te-
rang apa perluku hendak menemui Dewa Cadas Pan-
geran"! Ah.... Dia adalah adik Dewa Asap Kayangan.
Tak ada salahnya aku berterus terang padanya...." Jo-ko akhirnya memutuskan,
lalu berkata dengan wajah
sedikit berubah karena merasa malu.
"Sebenarnya urusanku dengan Dewa Cadas Pange-
ran tidaklah begitu penting. Tapi kalau tidak segera kuselesaikan, seperti
katamu, mungkin bisa menambah beban pikiranku...."
"Hem.... katakan saja urusanmu, Anak Muda! Wa-
lau aku adik Dewa Asap Kayangan, bukan tak mung-
kin apa yang akan kukatakan nanti tidak jauh berbeda dibanding jika kau
mengatakannya pada Dewa Asap
Kayangan!"
"Aku pernah berjanji pada Dewi Bunga Asmara un-
tuk menemui gurunya. Namun sebenarnya janji itu
kuucapkan agar gadis itu mau membawaku ke Bukit
Toyongga yang saat itu tidak kuketahui di mana letaknya. sayangnya, gadis itu
salah paham dan menduga
terlalu jauh. Begitu sampai di Bukit Toyongga, ternyata
aku tidak sempat bicara dengan gurunya yakni Ratu
Selendang Asmara, karena urusan di puncak bukit su-
dah memanas. Hingga akhirnya Ratu Selendang Asma-
ra tewas...." Pendekar 131 hentikan keterangannya sesaat seraya alihkan
pandangan ke jurusan lain takut
orang di hadapannya tahu perubahan wajahnya.
Sementara orang di atas batu cadas mendengarkan
dengan seksama dengan sesekali melirik pada gerak-
gerik murid Pendeta Sinting.
"Setelah urusan di puncak Bukit Toyongga selasai,
aku juga belum sempat bicara dengan Dewi Bunga As-
mara, karena aku merasa tak enak dengan Mei Hua,
dan putri Baginda Ku Nang, serta Bidadari Bulan
Emas. Ternyata Dewi Bunga Asmara mengatakan peri-
halnya pada Dewa Cadas Pangeran yang tiba-tiba saja
mengambilnya sebagai murid. Dan sebelum Dewa Ca-
das Pangeran meninggalkan puncak Bukit Toyongga,
dia sempat mengatakan padaku agar menemuinya
dengan minta bantuan Dewa Asap Kayangan untuk se-
lesaikan urusanku dengan Dewi Bunga Asmara."
"Aku mengerti perasaanmu, Anak Muda.... Seka-
rang jawab jujur pertanyaanku. Kau menyintai Dewi
Bunga Asmara"!"
"Sebenarnya dia gadis baik meski gurunya berada di
jalur yang salah.... Dia juga berparas cantik. Tapi....
Rasanya aku belum sampai pada titik jatuh cinta....
Aku hanya menganggapnya sebagai sahabat! Dan hal
inilah yang akan kukatakan pada Dewa Cadas Pange-
ran agar nantinya tidak terjadi salah paham!"
"Anak muda! Sekarang jelas masalahnya. Dan me-
nurutku, sebaiknya kau mengadakan perjalanan da-
hulu. Urusan dengan Dewa Cadas Pangeran bisa kau
tunda...."
"Mengapa begitu"!"
"Urusan perempuan bukan urusan mudah, Anak
Muda. Apalagi dia tahu beberapa gadis lain menaruh
rasa cinta padamu. Dia memerlukan waktu untuk ber-
pikir dan menenangkan diri! Kalau sekarang kau
memberi penjelasan padanya, bukan tak mungkin dia
malah akan salah paham dan membuat urusan jadi
tak karuan! Waktu yang kau perlukan untuk menga-
dakan perjalanan kurasa cukup membuat Dewi Bunga
Asmara untuk berpikir dan menenangkan diri...."
"Hem.... Benar juga kata-katanya...," gumam Pen-
dekar 131 seraya anggukkan kepala perlahan.
Tampaknya orang di atas altar batu cadas maklum
akan gerakan kepala murid Pendeta Sinting. Sambil
mengambil kembali kain peta di atas pangkuannya dia
berkata. "Anak muda.... Setelah kau selesaikan perjalanan
nanti, aku menunggumu di sini. Aku akan memberi
keterangan padamu di mana kau bisa bertemu dengan
Dewa Cadas Pangeran. Dan terimalah kembali kainmu
ini!" Orang di atas altar batu cadas julurkan tangan
memberikan kembali kain putih pada Pendekar 131.
Murid Pendeta Sinting tersenyum sambil anggukkan
kepala. Lalu mendekat dengan sambuti kainnya kem-
bali. Namun baru saja tangannya menyentuh kain putih
di tangan orang, mendadak orang di atas altar batu
cadas tarik sedikit tangannya yang mengulur membe-
rikan kain. Kejap lain sekonyong-konyong kaki kanan
kirinya bergerak lepaskan tendangan! Bukan hanya
sampai di situ, tangan satunya yang sedari tadi menekan julaian kain kerudungnya
juga bergerak menghan-
tam! *** DELAPAN BUUKK! Buukkk! Buuukkk!
Terdengar tiga kali suara benturan keras saat kedua
kaki dan tangan orang di atas altar batu cadas meng-
hantam telak lambung kanan kiri dan dada Pendekar
131 Joko Sableng.
Murid Pendeta Sinting berseru tegang. Sosoknya
langsung terpental tiga tombak ke belakang dengan
tersentak-sentak. Dan baru mendapat dua tombak,
mulutnya sudah mengembung semburkan darah! Lalu
terjengkang roboh di atas tanah dengan kepala meng-
hantam sisi satu bongkahan batu cadas hingga kulit
kepalanya robek dan kucurkan darah!
Tampaknya orang yang tadi duduk di atas altar ba-
tu cadas tak mau memberi kesempatan. Begitu sosok
Joko terpental, dia cepat selinapkan kain putih berisi peta. Saat lain melesat
mengejar murid Pendeta Sinting dan langsung menghajar dengan tendangan kaki kiri
kanan bertenaga dalam tinggi!
Di lain pihak, karena masih terkejut dan belum da-
pat kuasai diri, meski sempat angkat kedua tangan-
nya, namun terlambat bagi Pendekar 131 untuk mem-
buat hadangan. Buuukk! Buukk! Untuk kedua kalinya terdengar seruan tertahan te-
gang dari mulut murid Pendeta Sinting. Sosoknya pu-
lang balik ke samping kiri kanan mengikuti arah ten-
dangan orang, sebelum akhirnya tersapu deras dan
baru terhenti setelah menghajar gundukan batu cadas!
Pendekar 131 buka mulut hendak berseru menahan
rasa sakit. Namun yang tersembur keluar bukannya
suara, melainkan muncratan darah!
Joko bertahan sekuat tenaga agar tidak pingsan.
Lalu perlahan-lahan pula kerahkan tenaga dalam dan
buka sepasang matanya untuk mengetahui gerakan
orang. Saat itulah terdengar suara.
"Nyawamu sudah di ujung jariku, Pendekar 1311
Tapi agar arwahmu nanti tidak penasaran, untuk te-
rakhir kalinya kau kuberi kesempatan melihat siapa
yang mengantarmu ke liang lahat!"
Dada murid Pendeta Sinting bergetar. Dia tersentak,
karena telinganya mendengar suara seorang perem-
puan yang masih diingatnya! Bola matanya langsung
berputar liar memperhatikan berkeliling.
"Aneh.... Jelas telingaku mendengar suara perem-
puan berkerudung yang memberiku petunjuk! Tapi
mengapa nadanya lain"! Ataukah telingaku yang terti-
pu..."! Tapi mana sosoknya"!"
Baru saja membatin begitu, satu bayangan berkele-
bat dan orang yang tadi duduk di atas altar batu cadas sudah tegak di hadapannya
dengan tangan diletakkan
di atas pinggang.
"Aku tertipu manusia satu ini! Dia bukan adik Dewa
Asap Kayangan! Jadi jelas kalau tempat ini bukan
Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai! Berarti petunjuk
perempuan berkerudung itu.... Astaga! Jangan-
jangan...."
Pendekar 131 seakan lupa dengan luka yang dideri-
tanya. Dia bangkit terhuyung-huyung dengan mata
menatap tajam pada orang yang tadi duduk di atas al-
tar batu cadas yang kini tegak berkacak pinggang di
hadapannya. "Siapa kau sebenarnya"!" Joko membentak.
Yang dibentak perdengarkan tawa panjang. Lalu
tangan kirinya membuat gerakan sentakkan kerudung
putih panjangnya.
Bettt! Kerudung yang tadi menutupi raut wajah orang di
atas altar batu cadas terbang ke udara. Joko jelas melihat tampang orang di
hadapannya. "Hantu Pesolek!" desis murid Pendeta Sinting me-
ngenali tampang di balik kerudung milik seorang pe-
muda berparas sangat tampan berkulit putih dengan
bibir diberi polesan pewarna merah.
"Kau masih ingat ucapanku sebelum aku turun dari
Bukit Toyongga, Pendekar 131"! Kau dan dua sahabat-
mu Dewa Asap Kayangan dan Dewa Cadas Pangeran
boleh sembunyi sampai ujung bumi, di bawah tanah,
dan di atas langit! Tapi kalian kelak akan kucari dan tak mungkin lolos sampai
urusan kita selesaikan!"
Orang yang berpakaian jubah putih panjang dan tadi
duduk di atas altar batu cadas dengan wajah ditutup
kain kerudung yang menjulai sampai dada dan ternya-
ta tidak lain adalah Hantu Pesolek ulangi ucapan se-
perti saat dia akan turun dari puncak Bukit Toyongga karena bisa ditaklukkan
Pendekar 131 ketika terjadi
perebutan peta wasiat.
"Sekarang kau bisa lihat bukti ucapanku! Bukan
saja peta itu sekarang berada di tanganku tapi selembar nyawamu juga berada di
ujung jariku!"
"Sialan benar! Jadi perempuan berkerudung yang
memberi petunjuk tempat ini adalah dia juga! Hem....
Pantas dia tahu banyak urusan di Bukit Toyongga!
Aku sama sekali tidak menduga.... Tapi apa boleh
buat.... Aku harus dapat merebut kembali kain berisi peta wasiat itu dari
tangannya!"
Pendekar 131 cepat kerahkan segenap tenaga dalam
yang dimilikinya. Namun Joko jadi tertegun dengan
kuduk merinding. Dadanya terasa sakit bukan alang
kepalang. Dan mulutnya terasa asin, tanda luka da-
lamnya akibat hantaman Hantu Pesolek sudah kelua-
rkan darah lagi. Tapi Joko berusaha katupkan mulut
rapat-rapat agar orang tidak tahu parahnya luka da-
lam yang diderita.
Namun sebagai tokoh yang sudah kenyang penga-
laman, Hantu Pesolek tampaknya bisa membaca gela-
gat. Pemuda yang sebenarnya sudah berusia sangat
lanjut ini perdengarkan tawa bergelak dan berkata.
"Kau sudah terluka parah, Pendekar 1311 Membu-
nuhmu saat ini semudah menekuk jari tangan!"
Murid Pendeta Sinting tidak hiraukan ucapan Han-
tu Pesolek. Dia terus kerahkan tenaga dalam meski hal itu makin membuat dadanya
nyeri dan napas-nya megap-megap.
"Pendekar 131! Sebelum kau berangkat ke alam ba-
ka mendahului dua sahabatmu Dewa Asap Kayangan
dan Dewa Cadas Pangeran, kuberi waktu untuk
ucapkan pesan terakhir!"
Joko tidak menyahut. Hantu Pesolek dongakkan
Joko Sableng 38 Bidadari Delapan Samudra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kepala sambil tertawa bergelak sebelum akhirnya be-
rucap. "Kau tak mau titip pesan! Itu urusanmu dan uru-
sanku sekarang adalah mengantarmu ke tempat peris-
tirahatan terakhir!"
Ucapannya belum selesai, Hantu Pesolek sudah me-
lompat ke arah Pendekar 131 dengan kedua tangan
berkelebat lepas pukulan.
Joko angkat kedua tangannya menghadang. Namun
kali ini tidak mau tertipu lagi. Seraya angkat kedua tangannya menghadang
pukulan orang, kaki kanannya
diangkat bersiap menghadapi tipuan orang.
Bukkkl Buuukkk!
Rupanya Hantu Pesolek tidak membuat gerakan
menipu dengan kelebatan kedua tangannya. Dia terus-
kan saja menghantam. Dan hal ini justru membuat
Joko tertipu sendiri. Karena dengan angkat kaki ka-
nannya, maka dia hanya bertumpu pada satu kaki.
Hingga saat terjadi bentrok, sosoknya langsung terpe-lanting dan terbanting
jatuh di atas tanah! Mulutnya kembali semburkan darah!
Hantu Pesolek sendiri hanya tampak bergoyang-
goyang sesaat. Dan sekali tangannya mengibas, goya-
ngan tubuhnya terhenti.
"Ajalmu sudah saatnya datang, Pendekar 131!" te-
riak Hantu Pesolek seraya angkat kedua tangannya.
Luka dalam yang diderita membuat murid Pendeta
Sinting hanya mampu kerahkan sedikit tenaga dalam-
nya. Dan dia sadar, hal itu tak mungkin mampu meng-
hadapi pukulan yang akan dilepas Hantu Pesolek.
"Celaka! Jangan-jangan ajalku memang sudah wak-
tunya! Aduh.... Mengapa begini suratan takdirku..."
Tewas di negeri orang tanpa diketahui sahabat dan kenalan...!" Joko membatin
dengan wajah tegang. Sosok-
nya bergetar. Sekujur tubuhnya telah basah kuyup.
Di hadapannya, Hantu Pesolek tegakkan wajah.
Dan bersamaan dengan itu kedua tangannya lepaskan
pukulan bertenaga dalam tinggi!
Wuuttl Wuutt! Dua gelombang angin dimuati tenaga dalam berkib-
lat ganas ke arah murid Pendeta Sinting yang karena
sudah terluka dalam hanya bisa memandang dengan
mulut menganga tanpa mampu membuat gerakan apa-
apa! Setengah tombak lagi gelombang angin itu meng-
hajar sosok Pendekar 131, mendadak satu sosok
bayangan berkelebat.
Murid Pendeta Sinting mendengar deruan angker
dari samping. Dia makin tercekat hingga kalau dia tadi
masih hendak menghadang gelombang yang dilepas
Hantu Pesolek dengan sisa-sisa tenaganya, kini mem-
buat perhatiannya jadi terpecah, hingga kini dia hanya pulang balikkan kepala.
Saat itulah tiba-tiba pandangan murid Pendeta
Sinting tertutup kibaran benda putih yang perdengar-
kan deruan. Belum sempat tahu benda apa yang ber-
kibar di depan matanya, mendadak dia merasakan ke-
palanya terjerat dan terangkat lalu berputar-putar di udara. Bersamaan itu
terdengar pula dua ledakan keras mengguncang lembah yang ditebari terjalan batu
cadas. "Apa yang terjadi"! Beginikah rasanya orang hendak
tercabut nyawanya"! Tubuh terasa ringan dengan ke-
pala berputar-putar...," gumam Joko dalam hati den-
gan tidak berani buka mata.
Namun baru saja Joko membatin begitu, tiba-tiba
dia merasakan jeratan di kepalanya lepas. Sosoknya
kini terasa terbang tanpa kendali.
Pendekar 131 hendak menjerit. Namun suaranya
tertinggal di tenggorokan. Dia akan buka matanya,
namun justru yang dilakukan adalah pejamkan mata
rapat-rapat! Buukkk! Murid Pendeta Sinting jatuh terkapar di atas tanah.
Justru saat itulah mulutnya membuka perdengarkan
seruan tertahan!
"Aduh.... Sudah matikah aku..."!"
"Kau adalah Pujaanku. Bagaimana kau akan pergi
meninggalkan Bidadarimu ini selama-lamanya tanpa
pesan"! Kau belum mati, Pujaanku! Kalaupun mati....
Kita harus mati bersama-sama seperti janji yang per-
nah kita ucapkan di bawah siraman bulan purna-
ma...." Tiba-tiba terdengar suara menyahut.
"Aku hafal benar siapa yang bersuara itu"! Apakah
dia bisa hidup di dua alam..."!" gumam murid Pendeta Sinting.
"Aku manusia biasa sepertimu, Pujaanku! Mana bi-
sa aku hidup di dua alam yang berbeda"! Bukalah ma-
tamu. Pandanglah Bidadarimu ini...."
"Suara itu.... Jadi aku masih hidup...?" Joko mem-
batin. Lalu perlahan-lahan buka kelopak matanya.
Yang terlihat pertama kali adalah hamparan langit bi-ru. Lalu terjalan-terjalan
batu cadas. Pendekar 131 terus edarkan bola matanya ke sam-
ping. Saat itulah sepasang matanya melihat seraut wajah yang dibalut gumpalan
daging, hingga sepasang
matanya laksana melesak masuk ke dalam lipatan
daging dan hampir-hampir tidak kelihatan.
"Putri Pusar Bumi!" kata Joko dengan berbisik. Lalu
berusaha bangkit. Sosoknya memang oleng beberapa
kali sebelum akhirnya bisa duduk dengan kepala me-
noleh ke samping.
Pendekar 131 melihat seorang nenek berambut pan-
jang hingga betis. Wajahnya tebal dengan gumpalan
daging. Demikian pula perut dan bahunya. Nenek
tambun besar ini mengenakan pakaian ketat warna
merah. Dia bukan lain adalah Putri Pusar Bumi.
Joko putar pandangan. Sejarak dua puluh langkah
di seberang sana terlihat Hantu Pesolek tegak dengan mata berkilat memandang
silih berganti pada Joko dan Putri Pusar Bumi.
"Hem.... Jadi aku benar-benar masih hidup!" Akhir-
nya Joko baru percaya. Lalu berpaling lagi pada Putri Pusar Bumi dan berkata.
"Terima kasih, Bidadariku...."
Ucapan Joko belum selesai, tiba-tiba Hantu Pesolek
sudah berkelebat ke depan lalu tegak tujuh langkah di
hadapan Putri Pusar Bumi. Bola matanya menatap se-
saat lalu berpaling pada dua bongkahan batu cadas
yang porak-poranda terkena hantamannya yang lolos
menghajar sosok murid Pendeta Sinting. Saat lain dia berucap garang.
"Putri Pusar Bumi! Kita sudah saling kenal! Di anta-
ra kita tidak ada silang sengketa! Aku sekarang punya urusan dengan pemuda itu!
Kuharap kau segera angkat kaki tidak ikut campur!"
"Hantu Pesolek.... Ah.... Ah.... Apa urusanmu de-
ngan pemuda ini aku tidak akan turut campur! Tapi
perlu kau tahu. Aku adalah Bidadarinya. Dan dia ada-
lah Pujaanku.... Kami sudah berjanji untuk tidak hi-
dup atau hidup bersama-sama selalu.... Maka dari itu, kalau kau ingin
membunuhnya, berarti kau juga harus
membunuhku! Aku tak bisa hidup tanpa diri-nya...."
Hantu Pesolek sentakkan kepala menghadap lurus
pada Putri Pusar Bumi. Tanpa buka suara lagi sosok-
nya berkelebat. Putri Pusar Bumi berpaling pada murid Pendeta Sinting yang duduk
di sebelahnya. Bersamaan
itu rambutnya yang panjang berkibar perdengarkan
deruan angker menyongsong kelebatan Hantu Pesolek!
Karena tidak menduga, Hantu Pesolek tampak ter-
kejut di atas udara. Hal ini membuatnya terlambat untuk membuat gerakan
menghindar. Namun pemuda ini
tidak tinggal diam. Kedua tangannya segera dihantam-
kan! Namun untuk kedua kalinya Hantu Pesolek ter-
kesiap. Geraian rambut Putri Pusar Bumi tahu-tahu
sudah menjerat kedua tangannya! Dan belum sempat
Hantu Pesolek membuat gerakan menendang, di ba-
wah sana Putri Pusar Bumi sudah gerakkan lagi kepa-
lanya. Werr! Kedua tangan Hantu Pesolek terangkat ke udara.
Bersamaan itu tubuhnya ikut pula terbang ke ang-
kasa. Putri Pusar Bumi maju satu langkah. Saat lain pe-
rempuan bertubuh tambun besar ini gerakkan kepala
pulang balik ke kanan kiri dengan cepat.
Terdengar deruan beberapa kali. Sosok Hantu Peso-
lek terombang-ambing di udara mengikuti gerakan ke-
pala Putri Pusar Bumi.
"Hem.... Jadi yang menjerat kepalaku tadi adalah
rambut nenek ini!" gumam murid Pendeta Sinting se-
raya perhatikan sosok Hantu Pesolek.
"Jahanam!" teriak Hantu Pesolek dari atas udara.
Dia kerahkan tenaga dalam. Lalu angkat kedua kaki-
nya untuk menghajar geraian rambut si nenek.
Tapi belum sampai kedua kaki Hantu Pesolek me-
nendang, Putri Pusar Bumi sudah sentakkan kepala-
nya. Rambutnya yang menjerat kedua tangan Hantu
Pesolek lepas. Namun geraian rambut itu bukannya
segera luruh ke bawah, melainkan meliuk lalu melesat lagi ke atas menyergap
sosok Hantu Pesolek!
SEMBILAN HANTU Pesolek tersentak kaget. Tundukkan wajah
dia tercengang sendiri. Kini geraian rambut si nenek sudah melilit tubuhnya!
"Keparat!" lagi-lagi Hantu Pesolek berteriak marah.
Dia kelebatkan kedua tangannya menghantam pada
geraian rambut si nenek.
Tapi hantaman kedua tangan Hantu Pesolek hanya
menghajar udara kosong. Karena bersamaan dengan
itu Putri Pusar Bumi sentakkan kepalanya ke bawah.
Hingga geraian yang melilit tubuh Hantu Pesolek terlepas. Hebatnya, lilitan itu
mampu merobek pakaian
yang dikenakan Hantu Pesolek mulai dari dada hingga
sebatas pahanya!
Hantu Pesolek menyumpah habis-habisan dari atas
udara. Lalu memandang pada robekan pakaiannya
yang melayang-layang ke bawah.
"Kain peta itu...," seru Hantu Pesolek. Tanpa hirau-
kan aurat bawahnya yang terbuka menganga, Hantu
Pesolek berkelebat mengejar. Namun gerakannya ter-
tahan tatkala tiba-tiba geraian rambut Putri Pusar
Bumi sudah menderu dan menyambar robekan pa-
kaian dan kain peta yang tadi tersimpan di balik pa-
kaian Hantu Pesolek.
Di samping Putri Pusar Bumi, Pendekar 131 meng-
awasi kain peta yang tersambar geraian rambut si ne-
nek. Dan begitu geraian rambut itu berbalik pada ke-
pala Putri Pusar Bumi, robekan pakaian dan kain peta terhampar lima langkah di samping
sosok murid Pendeta Sinting.
Joko tidak menunggu. Dia segera tekuk tubuhnya
lalu menggelundung ke arah kain dan robekan pakaian
Hantu Pesolek. Kain peta dan robekan pakaian Hantu
Pesolek segera diraih lalu dimasukkan ke balik pa-
kaiannya. Hantu Pesolek melayang turun dengan dada laksa-
na pecah karena hawa marah. Dia sudah kerahkan se-
genap tenaga luar dalamnya. Namun begitu sadar
akan keadaan auratnya yang terbuka menganga, pe-
muda berperangai perempuan ini cepat katupkan ke-
dua tangannya pada bagian pangkal pahanya. Lalu pu-
tar diri di atas udara dan menjejak tanah dengan tegak membelakangi Putri Pusar
Bumi dan Pendekar 131.
"Bidadariku...." Berkata murid Pendeta Sinting sam-
bil tertawa meski dadanya masih nyeri saat tertawa.
"Mengapa bentuk senjatanya aneh"! Dan warnanya
pun mengherankan. Tidak seperti layaknya, tapi be-
lang putih hitam..."!"
"Pujaanku.... Jangan membuatku malu. Ah.... Ah....
Tidak baik membuka barang rahasia orang! Mungkin
itu dipoles agar terlihat keren dan bisa tampil beda!
Tapi menurutku malah jadi lucu...."
"Bukan saja lucu, tapi juga menggemaskan!" timpal
Joko. "Bukan saja menggemaskan, tapi juga mendirikan
bulu roma!" sambung Putri Pusar Bumi.
"Bukan saja mendirikan bulu roma, tapi juga bulu
ketiak!" sambut Pendekar 131 lalu tawanya meledak.
Di sampingnya, Putri Pusar Bumi tekap mulutnya
rapat-rapat. Namun tak urung suara tawanya me-
nyembur keluar. Hingga gumpalan daging pada perut
dan wajahnya terguncang-guncang turun naik.
Hantu Pesolek sendiri tampak tak bisa menahan di-
ri mendengar ucapan-ucapan murid Pendeta Sinting
dan Putri Pusar Bumi. Sosoknya bergetar keras tanda
hawa amarahnya tak bisa dibendung lagi. Namun kea-
daan dirinya membuat tokoh yang sebenarnya sudah
berusia lanjut meski terlihat muda ini tak tahu apa
yang harus dilakukannya. Hingga untuk beberapa la-
ma dia hanya berdiri membelakangi Joko dan Putri
Pusar Bumi dengan takupkan kedua telapak tangan-
nya pada pangkal paha.
Di lain pihak, puas tertawa Pendekar 131 segera
buka mulut lagi.
"Bidadariku.... Lihat! Bukan saja senjatanya yang
terlihat aneh dan berwarna beda. Tapi pantatnya juga lain dari biasa!"
"Ah.... Ah.... Kau makin membuatku malu saja, Pu-
jaanku! Aku tak berani memandangnya. Tapi tolong
Jelaskan apa yang kau katakan lain dari biasa itu!"
"Pantas sebelah kanan padat, besar, kencang, putih
mulus, pokoknya menggairahkan dan sedap dipan-
dang...!" "Ah.... Ah.... Ucapanmu membuat dadaku berdebar-
debar tak karuan. Lantas pantat satunya"!"
Pendekar 131 cekikikan dahulu sebelum akhirnya
menjawab. "Pantat sebelah kiri kendor, tipis, hitam le-gam, di sana-sini
terlihat bisul besar-besar berwarna merah menyala dan sepertinya siap meledak!"
Hantu Pesolek bantingkan kaki hingga tanahnya
Joko Sableng 38 Bidadari Delapan Samudra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
muncrat dan bergetar. Lalu berteriak.
"Putri Pusar Bumi! Kau menambah deretan nama
manusia bangsat yang nyawanya kelak hanya boleh
tercabut dengan tanganku! Dan kau Pendekar 131! Ke-
lak nyawamu akan kucabut dua kali!"
Habis berteriak begitu, Hantu Pesolek hantamkan
kembali kaki kirinya. Lalu melesat tinggalkan tempat itu dengan kedua tangan
menakup selangkangannya
yang terbuka menganga!
"Terima kasih atas pertolonganmu, Putri...," kata
Joko seraya menjura hormat.
Putri Pusar Bumi tidak menyahut. Sebaliknya men-
dekati Joko dan tegak di belakangnya.
Dada Joko jadi berdebar. Baru saja dia hendak ber-
paling, mendadak Putri Pusar Bumi sudah bungkuk-
kan tubuh. Tangan kanannya ditempelkan pada pung-
gung murid Pendeta Sinting.
Joko maklum apa yang dilakukan orang. Dia cepat
salurkan hawa murni lalu pejamkan mata. Perlahan-
lahan rasa nyeri pada dadanya lenyap. Demikian pula
rasa sakit pada lambung dan bahunya.
Untuk pulihkan seluruh tenaganya, Joko teruskan
pejamkan mata dengan salurkan hawa murni meski
dia merasa telapak tangan si nenek sudah diangkat
dari punggungnya.
Setelah beberapa lama, baru Joko buka lagi sepa-
sang matanya. Lalu berucap. "Putri.... Sekali lagi kuucapkan terima kasih...."
Karena tidak ada sahutan, murid Pendeta Sinting
menoleh. Ternyata yang diajak bicara sudah tidak kelihatan lagi batang
hidungnya! "Ke mana perginya..."!" gumam Joko sambil putar
pandangan. Namun hingga kepalanya teleng dan mata-
nya pedih mencari-cari, sosok si nenek tidak dapat di-temukan.
"Kepada siapa lagi aku harus bertanya"!" gumam
Joko seraya melangkah tinggalkan lembah berbatu ca-
das. *** Kita tinggalkan dahulu murid Pendeta Sinting yang
tengah tenggelam dalam kebingungan tak tahu ke ma-
na harus bertanya. Kita kembali sejenak pada satu
tempat tidak jauh dari tempat bentroknya Bidadari Pedang Cinta dengan Bidadari
Tujuh Langit. Di balik salah satu batangan pohon besar, seorang
laki-laki bertubuh cebol berambut panjang hingga me-
nyapu tanah yang di pinggangnya melilit sebuah pe-
dang berkilat dan bukan lain adalah Iblis Pedang Kasih adanya, terlihat duduk
bersandar pada batangan pohon. Matanya memandang pada dua sosok tubuh yang
duduk di hadapannya. Sebelah kanan adalah seorang
gadis berbaju hijau berwajah cantik. Sebelah kiri adalah juga seorang gadis
berparas jelita mengenakan pakaian warna biru. Mereka adalah dua gadis yang sem-
pat bentrok dengan Bidadari Tujuh Langit dan sempat
tertotok hingga tak bisa bergerak tak mampu bicara.
Namun ketika Bidadari Tujuh Langit tengah lepaskan
pukulan dan suasana berubah pekat, satu bayangan
berkelebat laksana setan gentayangan menyambar so-
sok gadis berbaju hijau yang bukan lain adalah Bida-
dari Pedang Cinta dan gadis berbaju biru.
"Terima kasih atas pertolonganmu...." Si gadis ber-
baju biru angkat suara setelah beberapa lama terdiam.
Berkat pertolongan si bayangan yang ternyata ada-
lah Iblis Pedang Kasih, Bidadari Pedang Cinta dan gadis berbaju biru bisa
gerakkan anggota tubuhnya lagi, juga mampu perdengarkan suara.
Iblis Pedang Kasih tersenyum. Lalu buka suara.
"Kau tak keberatan mengatakan siapa dirimu"!"
Gadis berbaju biru melirik sesaat pada Bidadari Pe-
dang Cinta. Lalu buka mulut.
"Aku biasa dipanggil Bidadari Delapan Samudera."
"Sepertinya kau sedang mengadakan perjalanan
jauh.... Bisa jelaskan akan ke mana?"
Yang ditanya menghela napas panjang sebelum ak-
hirnya berkata.
"Aku memang tengah mengadakan perjalanan. Bu-
kan hanya jauh tapi juga tak tahu ke mana arah yang
harus kutuju...."
Ucapan gadis baju biru membuat Iblis Pedang Kasih
tertawa pendek. Tapi tidak demikian halnya dengan
Bidadari Pedang Cinta. Gadis baju hijau cucu Iblis Pedang Kasih ini berpaling
dan berkata dalam hati. "Dari ucapannya, yang dicari pasti Lembah Tujuh Bintang
Tujuh Sungai seperti halnya pemuda bernama Joko
Sableng itu.... Bukankah dia adalah kekasih pe-muda
itu"!" Bidadari Pedang Cinta teringat akan ucapan
Pendekar 131 saat mengatakan pada Bidadari Tujuh
Langit jika salah satu dari dirinya atau gadis berbaju
biru adalah kekasihnya.
"Bidadari Delapan Samudera.... Ucapanmu aneh!"
berkata Iblis Pedang Kasih. "Tapi aku bisa menebak
apa maksud ucapanmu! Jika tak salah, kau tengah
mencari seseorang yang tempat tinggalnya tak kau ke-
tahui...."
Bidadari Delapan Samudera anggukkan kepala.
"Sebenarnya bukan hanya itu. Selain aku tak tahu di
mana tempat tinggalnya, aku juga tak tahu siapa na-
manya!" Bidadari Pedang Cinta makin kernyitkan dahi men-
dengar sambutan Bidadari Delapan Samudera. Tapi
entah mengapa, dia punya perasaan enggan untuk bu-
ka mulut ajukan tanya. Sementara Iblis Pedang Kasih
tidak unjukkan rasa heran dengan sambutan Bidadari
Delapan Samudera. Dia tertawa lagi lalu berkata.
"Kau mencari seseorang yang hanya kau ketahui
bagaimana ciri-cirinya?"
Bidadari Delapan Samudera anggukkan kepala. La-
lu memandang berkeliling. Diam-diam gadis jelita berbaju biru Ini berkata dalam
hati. "Dari percakapan bisik-bisik mereka tadi, aku tahu gadis bernama Bidada-ri
Pedang Cinta ini adalah cucunya. Hem.... Tapi ke
mana pemuda yang mengaku sebagai kekasihnya ta-
di"! Apakah masih terlibat bentrok dengan perempuan
cantik yang bernama Bidadari Tujuh Langit itu..."!"
Membatin begitu, Bidadari Delapan Samudera sege-
ra melirik ke seantero tempat di mana dia kini berada.
Namun baru saja bola matanya bergerak, Iblis Pe-
dang Kasih sudah berucap.
"Aku tidak punya maksud apa-apa. Tapi kalau kau
mau mengatakan bagaimana ciri-ciri orang yang ten-
gah kau cari, mungkin...."
"Terima kasih, Orang Tua...." Bidadari Delapan Sa-
mudera memotong ucapan Iblis Pedang Kasih. "Kurasa
aku mampu menyelesaikan urusanku tanpa bantuan-
mu...!" "Kau mencari seorang laki-laki"!" tanya Iblis Pedang Kasih tidak peduli dengan
penolakan halus Bidadari
Delapan Samudera.
"Maaf, Orang Tua.... Kalau urusan lain, mungkin
aku akan berterus terang padamu, karena kau telah
menolongku. Tapi untuk urusan satu ini, biarlah
hanya aku yang tahu...."
"Kau jangan menganggap apa yang kulakukan ada-
lah sebuah jasa. Seandainya pun tadi kau tidak ber-
sama cucuku Bidadari Pedang Cinta ini, pasti aku te-
tap melakukan hal yang sama! Jadi kau tak usah me-
rasa sungkan mengatakannya...! Siapa tahu aku bisa
membantu!"
Bidadari Delapan Samudera geleng kepala. "Masa-
lahnya bukan itu, Orang Tua. Ini adalah urusan teka-
teki hidupku... Jadi rasanya tak layak kalau aku meli-batkanmu di dalamnya...
Sekali lagi harap maafkan..."
Habis berkata begitu, Bidadari Delapan Samudera
melirik pada Bidadari Pedang Cinta. Entah karena apa, begitu melihat paras wajah
Bidadari Pedang Cinta, dia teringat pada Pendekar 131 Joko Sableng. Dan mendadak
hatinya berdebar dengan perasaan gelisah.
"Mengapa dia tidak muncul juga di tempat ini" Kalau
gadis ini adalah cucunya, sementara pemuda itu ada-
lah kekasih gadis ini, kuyakin pasti dia tahu di mana harus mencari! Ah....
Mengapa aku memikirkannya"!"
Paras wajah Bidadari Delapan Samudera jadi bersemu
merah dan tertawa sendiri dalam hati. Lalu berkata.
"Orang tua.... Aku harus segera pergi...."
"Seandainya aku bisa mencegah, rasanya aku san-
gat gembira. Apalagi jika kau berubah pikiran dengan
mau mengatakan bagaimana ciri orang yang kau ca-
ri...," ujar Iblis Pedang Kasih.
"Seandainya nanti aku gagal tanpa bantuan, pasti
aku akan mencarimu untuk minta tolong...." Bidadari
Delapan Samudera sambuti ucapan Iblis Pedang Kasih
sambil bergerak bangkit. Menjura hormat pada Iblis
Pedang Kasih, lalu menoleh pada Bidadari Pedang Cin-
ta seraya sunggingkan senyum dan mengangguk lan-
tas putar diri dan berkelebat keluar dari balik batangan pohon.
SEPULUH BEGITU berlari keluar dari balik batangan pohon,
entah mengapa mendadak rasa gelisah kembali mem-
buncah dada Bidadari Delapan Samudera. Dia henti-
kan larinya dan tegak seraya sedikit tegakkan wajah.
"Aku tidak bisa memastikan berapa lama berada di
balik pohon bersama orang tua dan gadis itu. Tapi aku hampir bisa menduga, jika
tidak terjadi apa-apa dengan pemuda itu, pasti dia telah muncul atau setidaknya
dia mencari.... Anehnya, mengapa gadis dan orang tua itu tidak merasa gelisah"
Mereka juga tidak menyebut-nyebut pemuda itu.... Padahal, dari ucapan si pemuda
dan tatapan gadis baju hijau itu, aku bisa menebak jika mereka berdua adalah
sepasang kekasih....
Hem.... Apakah aku harus melihat ke tempat mana dia
tadi bentrok dengan perempuan berbaju putih itu..."
Tapi apa pantas..." Bagaimana kalau tiba-tiba gadis
baju hijau itu juga berada di sana"! Apa katanya nan-ti..."! Hem.... Aku tahu
mereka adalah sepasang kekasih, tapi mengapa aku...." Bidadari Delapan Samudera
tidak lanjutkan membatin. Dia gigit bibirnya sendiri
dengan menghela napas panjang. Dan untuk beberapa
lama, gadis jelita ini tegak dengan perasaan yang makin lama tambah gelisah dan
cemas. "Aku harus melihatnya!" Akhirnya Bidadari Delapan
Samudera mengambil keputusan. "Terserah apa kata-
nya nanti! Aku hanya ingin memastikan keselamatan-
nya. Karena bagaimanapun juga dia tadi telah ber-
usaha menolongku dari tindakan aneh Bidadari Tujuh
Langit..."
Berpikir sampai ke sana, akhirnya Bidadari Delapan
Samudera putar tubuh. Lalu berkelebat menuju tem-
pat mana dia tadi sempat bertemu dengan Bidadari
Pedang Cinta, Bidadari Tujuh Langit, dan Pendekar
131. Karena masih dihantui rasa tak enak jika bertemu
dengan Bidadari Pedang Cinta, Bidadari Delapan Sa-
mudera sengaja memilih jalan berputar dan sesekali
menyelinap sembunyi begitu merasa dekat dengan
tempat yang dituju.
Namun begitu sampai di tempat di mana tadi terjadi
bentrok antara Bidadari Tujuh Langit dan Pendekar
131, Bidadari Delapan Samudera tidak melihat siapa-
siapa. Gadis ini memperhatikan sekeliling beberapa
saat. Yakin jika Bidadari Pedang Cinta tidak berada di sekitar tempat itu,
Bidadari Delapan Samudera beranikan diri melangkah berkeliling dengan mata
nyalang mencari-cari. Walau Bidadari Delapan Samudera tidak mene-
mukan siapa-siapa, namun kegelisahan dada gadis ini
agak berkurang. "Aku tidak menemukan mereka, tapi
juga tidak menemukan mayat mereka, berarti pemuda
itu masih hidup! Hanya saja, ke mana dia..."! Mung-
kinkah tengah mencari gadis berbaju hijau itu..."!"
Tak tahu mana dugaannya yang tepat, akhirnya Bi-
dadari Delapan Samudera memutuskan tinggalkan
tempat itu meski dadanya masih digelayuti perasaan
tidak enak. Dan tampaknya perasaan tidak enak yang terus
mendera dada Bidadari Delapan Samudera membuat
gadis berparas jelita ini berlari dengan setengah hati.
Malah pada satu tempat rindang di pinggiran sungai
kecil, gadis ini hentikan larinya lalu duduk di salah sa-tu batu yang berada di
pinggiran sungai. Kedua kaki-
nya yang putih mulus dibuat mainan di permukaan air
hingga suasana sunyi di pinggiran sungai samar-sa-
mar dipecah suara berkecipaknya gemercik muncratan
air. Suara kecipak air untuk sementara dapat meredam kegelisahan hati Bidadari
Delapan Samudera. Gadis ini tampak sunggingkan senyum. Namun semua itu tidak
berlangsung lama.
Saat gadis jelita ini memperhatikan kakinya yang
ada di atas permukaan air, mendadak dia hentikan ge-
rakan kakinya. Senyumnya pupus berganti wajah se-
dikit gelisah dan kaget. Sepasang matanya membela-
lak. Permukaan air bukan pantulkan wajahnya namun
pantulkan raut wajah milik orang lain yang belum la-
ma berselang membuat dadanya gelisah!
"Mengapa aku selalu teringat padanya"! Ada apa
dengan diriku"! Dia telah memiliki seorang kekasih....
Tidak seharusnya aku selalu mengingatnya!" Bidadari
Delapan Samudera cepat-cepat tegakkan wajahnya
tengadah, menghindari pantulan permukaan air yang
menggambarkan raut wajah murid Pendeta Sinting.
"Ada tugas yang harus segera kuselesaikan! Aku tidak boleh terus tenggelam dalam
kegelisahan ini!"
Dengan tegarkan hati, Bidadari Delapan Samudera
angkat kedua kakinya dari permukaan air. Namun be-
lum sampai pantatnya bergerak, terdengar suara.
"Aku tidak bermaksud mengganggu. Aku hanya in-
gin bertanya kalau kau tidak merasa keberatan...."
Dada Bidadari Delapan Samudera laksana disapu
angin. Berdesir sesaat lalu berdebar. Namun gadis ini segera kuasai diri dan
berkata dalam hati. "Orangnya belum tentu sama walau suaranya hampir mirip!"
Tapi ketabahan Bidadari Delapan Samudera perla-
han-lahan luruh tatkala dia teruskan ucapan hatinya.
Joko Sableng 38 Bidadari Delapan Samudra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagaimana kalau benar-benar dia ada bersama Bida-
dari Pedang Cinta..."!"
"Tampaknya kau tak mau diganggu.... Aku akan se-
gera pergi!" Suara yang tadi terdengar, kembali ber-
ucap. "Tunggu!" Bidadari Delapan Samudera menahan, la-
lu perlahan-lahan putar tubuhnya yang masih duduk
di atas batu di pinggiran sungai.
"Ternyata memang dia.... Dan dia sendirian!" gu-
mam Bidadari Delapan Samudera ketika matanya me-
lihat satu sosok tubuh milik seorang pemuda berwajah tampan dengan rambut
panjang sedikit acak-acakan
dan bukan lain adalah Pendekar 131.
Karena perasaannya gembira, khawatir dan gelisah,
untuk beberapa lama Bidadari Delapan Samudera
hanya duduk memandang tanpa buka suara. Sebalik-
nya, murid Pendeta Sinting meski tampak gembira
namun perasaannya biasa-biasa saja. Karena sebenar-
nya saat itu dia memang butuh seseorang yang bisa
memberi keterangan.
Sejak keluar dari lembah berbatu cadas dan tertipu
oleh Hantu Pesolek, murid Pendeta Sinting memang te-
lah dilanda kebingungan. Hingga dia teruskan langkah dengan tanpa tujuan. Dan
begitu melihat Bidadari Delapan Samudera, Joko merasa lega. Karena dari uca-
pan dan tindakannya saat membela Bidadari Pedang
Cinta, Joko bisa menarik kesimpulan jika gadis berba-ju biru itu adalah gadis
baik-baik. "Kau tengah menunggu seseorang"!" Murid Pendeta
Sinting pecah kebisuan dengan ajukan tanya. Lalu ba-
las pandangan si gadis. Hingga untuk beberapa saat
kedua orang ini saling berpandangan.
Bidadari Delapan Samudera gelengkan kepala sam-
bil alihkan pandang matanya ke jurusan lain dengan
sembunyikan parasnya yang berubah memerah.
"Kehadiranku mengganggumu"!" kembali Joko ber-
tanya. Lagi-lagi Bidadari Delapan Samudera menjawab
dengan isyarat gelengan kepalanya.
"Boleh aku bertanya"!"
Bidadari Delapan Samudera menoleh lagi mengha-
dap Pendekar 131. Namun tidak berusaha menatap
bola mata murid Pendeta Sinting. Dia tenangkan da-
danya beberapa lama sebelum akhirnya buka mulut.
"Apa yang akan kau tanyakan...?"
"Kau tiba-tiba saja lenyap dan kutemukan di sini!
Kau sendirian"!"
Bidadari Delapan Samudera tidak segera menjawab.
"Hem.... Aku tahu maksud pertanyaannya. Dia pasti
mengkhawatirkan Bidadari Pedang Cinta! Berarti dia
belum bertemu dengan kekasihnya itu! Dia sekarang
tengah mencari!"
Membatin begitu, Bidadari Delapan Samudera sege-
ra buka mulut. "Kau mencari kekasihmu"!"
Pendekar 131 tersentak dengan pertanyaan balik
Bidadari Delapan Samudera. Dia tertawa panjang lalu
berkata. "Aku heran ketika kau tiba-tiba tidak kulihat lagi
dan kutemukan di sini sendirian! Kau bias menje-
laskan"!"
"Aku ditolong seseorang. Laki-laki bertubuh pendek
dan berambut panjang...."
"Hem.... Iblis Pedang Kasih...," ujar Joko. "Lalu...."
Tampaknya Bidadari Delapan Samudera sudah bisa
menebak ke mana arah ucapan Pendekar 131. Hingga
sebelum Joko sempat lanjutkan bicara, Bidadari Dela-
pan Samudera sudah menukas.
"Seperti halnya diriku, kekasihmu juga tidak men-
galami cedera apa-apa! Kau belum bertemu dengan
mereka"!"
"Aneh.... Dari tadi dia selalu menyebut-nyebut ke-
kasihku! Aku tahu siapa yang dimaksud. Pasti Bidada-
ri Pedang Cinta! Mengapa dia menduga aku adalah ke-
kasih Bidadari Pedang Cinta"! Hem.... Dia telah dis-
elamatkan Iblis Pedang Kasih yang juga adalah eyang Bidadari Pedang Cinta.
Jangan-jangan orang tua itu
yang iseng menebar berita pada gadis ini!" Pendekar
131 menduga-duga. Dia lupa akan ucapannya sendiri
saat bentrok dan mencegah Bidadari Tujuh Langit
yang akan bertindak tidak senonoh pada Bidadari Pe-
dang Cinta dan Bidadari Delapan Samudera.
Bidadari Delapan Samudera melompat dari batu di
pinggiran kali. Lalu tegak dan berujar.
"Aku berterima kasih padamu. Setidaknya kau telah
ikut menyelamatkan jiwaku dari Bidadari Tujuh La-
ngit... Soal orang tua bertubuh pendek...."
"Dia Iblis Pedang Kasih...," sahut Joko memperke-
nalkan orang yang dimaksud Bidadari Delapan Samu-
dera. "Hem.... Dia dan kekasihmu sekarang berada tidak
jauh dari tempat di mana kita sempat bentrok dengan
Bidadari Tujuh Langit.... Mereka ada di balik sebuah
batangan pohon besar.... Mungkin mereka tengah me-
nunggumu!"
Mendengar keterangan Bidadari Delapan Samudera,
murid Pendeta Sinting tertawa. Lalu berujar seolah
berkata pada dirinya sendiri.
"Menungguku..."! Untuk apa..."!"
Mendengar ucapan murid Pendeta Sinting, kini gan-
ti Bidadari Delapan Samudera yang tertawa seraya
berkata. "Sayang aku tidak sempat menanyakan pada mere-
ka. Lagi pula rasanya tidak pantas hal itu kutanya-
kan... Segeralah ke sana! Jangan buat mereka menanti dengan perasaan khawatir
dan cemas...."
Setelah berkata begitu, Bidadari Delapan Samudera
hendak berlalu tinggalkan pinggiran sungai.
"Tunggu!"
"Aku tak mau mendapat urusan dengan orang yang
telah menolongku hanya gara-gara karena kita bicara
di tempat ini!" berkata Bidadari Delapan Samudera
dengan suara agak ketus.
"Kau ini aneh... Bagaimana kau bisa mengatakan
mereka menungguku"! Bagaimana pula kau bisa men-
gatakan mereka akan khawatir dan cemas pada diri-
ku"! Apa hubungan dan kaitan mereka dengan diri-
ku..."!"
Bidadari Delapan Samudera berpaling dengan mata
sedikit mendelik.
"Kau berani mengatakan terus terang di hadapan
gadis itu! Tapi begitu dia tidak ada di depanmu, mengapa kau jadi lain"!" ujar
Bidadari Delapan Samudera dengan tertawa gusar. "Jangan kau jadi pemuda
pengecut! Lebih dari itu aku tak mau mendapat tuduhan
yang bukan-bukan!"
Pendekar 131 lagi-lagi tertawa mendengar ucapan
Bidadari Delapan Samudera. Dan enak saja dia ber-
ucap. "Kau ini ada-ada saja.... Ucapan apa yang kukata-
kan di depan Bidadari Pedang Cinta..." Dan tuduhan
apa yang akan dialamatkan padamu"!" Joko sengaja
langsung menunjuk Bidadari Delapan Samudera.
Ucapan Pendekar 131 membuat Bidadari Delapan
Samudera putar diri menghadap murid Pendeta Sin-
ting dengan dada mulai jengkel. Dalam hati dia ber-
ucap. "Dasar laki-laki! Belum sampai matahari teng-
gelam tapi sudah lupa dengan kata-kata yang baru sa-
ja diucapkan!"
Karena Bidadari Delapan Samudera tidak segera
menjawab, Pendekar 131 segera berucap lagi.
"Mungkin kau salah dengar dengan apa yang ku-
ucapkan.... Kau juga terlalu punya perasaan yang ti-
dak-tidak.... Padahal, jangankan hanya bicara begini, seandainya pun kita jalan
bergandengan, kau tidak
akan mendapat tuduhan apa-apa...."
Sepasang mata Bidadari Delapan Samudera mende-
lik angker. Lalu terdengar bentakannya.
"Telingaku tidak tuli! Ingatanku masih normal!"
"Astaga.... Kau tidak main-main...?"
"Siapa main-main"! Telingaku dengar sendiri kau
menyebutnya kekasih di depan Bidadari Tujuh Langit
dan di depan mataku!"
"Ah...." Pendekar 131 mengeluh sambil tepuk jidat-
nya sendiri. Namun bersamaan dengan itu tawanya
meledak! "Apa yang kau anggap lucu"! Kau pikir semua ini
main-main, hah"!"
Pendekar 131 putuskan gelakan tawanya. "Hem....
Apa yang harus kukatakan padanya"! Apakah aku ha-
rus berterus terang kalau ucapanku itu hanya agar
aku mendapatkan alasan mengapa sampai Ikut cam-
pur urusan Bidadari Pedang Cinta dan urusannya
dengan Bidadari Tujuh Langit"! Tapi mungkinkah dia
percaya"! Apakah kalau aku berterus terang malah ti-
dak menambah dia salah paham..."!" Saat itulah Jo-ko baru ingat akan peringatan
orang tua pemilik kedai
Han Pek Kun. "Hem.... Ucapan orang tua itu ternyata
benar. Di hadapan seorang gadis, ucapan canda bisa
diartikan lain.... Tapi apa boleh buat.... Semua sudah telanjur terucapkan...."
"Dengar!" Bidadari Delapan Samudera membentak.
"Kau tentu sudah tahu tempat yang baru saja kukata-
kan! Pergilah cepat! Kau harus menghormati seorang
gadis yang menunggumu dengan cemas!"
Habis berkata begitu, Bidadari Delapan Samudera
berkelebat tinggalkan pinggiran sungai. Namun tanpa
buka mulut menahan, Joko mendahului berkelebat
dan tegak menghadang di hadapan sang Bidadari.
"Aku ingin menjelaskan sesuatu padamu...."
"Aku tak butuh penjelasan! Lagi pula di antara kita
tidak ada urusan apa-apa!"
"Justru kalau kau tidak mau dengar penjelasanku,
berarti di antara kita secara tak sengaja telah ada urusan!"
Bidadari Delapan Samudera tahan rasa jengkelnya.
Sambil alihkan pandang matanya ke jurusan lain, ga-
dis ini berkata dengan ketus.
"Katakan penjelasan apa yang akan kau ucapkan!
Tapi jangan berharap aku akan menanggapi penjelas-
anmu!" *** SEBELAS PENDEKAR 131 tersenyum. Lalu berkata. "Anggap
saja aku tidak pernah mengatakan apa-apa dan kau
tidak pernah dengar apa-apa! Saat ini kita berdiri sebagai orang yang baru saja
bertemu. Dan aku butuh
penjelasan darimu, karena kulihat kau orang daerah
sini dan paham dengan daerah sekitar sini...."
"Itu bukan penjelasan! Itu pernyataan laki-laki pen-
gecut!" Bidadari Delapan Samudera menyahut dengan
suara tinggi. "Hem.... Terserah bagaimana anggapanmu.... Yang
jelas menurutku, aku telah menjelaskan sesuatu pada-
mu! Dan aku sekarang hendak minta penjelasan dari-
mu...." Enak saja murid Pendeta Sinting berujar.
"Kau tak akan mendapat penjelasan apa-apa!"
"Kalau kau merasa keberatan, aku tidak memak-
sa.... Namun kuharap kau tidak merasa keberatan ka-
lau mengatakan siapa dirimu...."
"Pergilah menemui kekasihmu. Kau akan mendapat
jawaban!" "Itu pernyataan seorang gadis yang belum tahu...."
"Belum tahu apa"!" bentak Bidadari Delapan Samu-
dera. "Bukan jawaban yang akan kudapat, melainkan ge-
bukan!" "Bidadari Pedang Cinta sama sekali tidak menyebut-
nyebut pemuda ini.... Wajahnya juga tidak mem-
bayangkan perasaan khawatir atau cemas. Lalu penje-
lasan pemuda ini.... Hem.... Mungkin di antara mereka ada masalah! Ah.... Kalau
aku terus-terusan berada di tempat ini dan gadis itu tahu, tentu akan jadi
masalah besar...." Membatin Bidadari Delapan Samudera. Lalu
berkata. "Aku akan sebutkan siapa diriku. Tapi setelah itu
kau harus menemui mereka. Selesaikan urusan kalian
dengan baik-baik. Dan satu hai lagi, kuharap kau ti-
dak sebut-sebut diriku di hadapan kekasihmu itu. Bu-
kan karena apa, aku tak mau terjadi salah paham...."
Sebenarnya murid Pendeta Sinting hendak buka
mulut menyahut. Tapi sebelum suaranya sempat ter-
dengar, Bidadari Delapan Samudera telah mendahului.
"Kau bisa memanggilku Bidadari Delapan Samude-
ra...!" "Kau tahu daerah...."
"Aku hanya bisa memberi tahu siapa diriku. Soal
lainnya mungkin kau bisa menanyakannya pada orang
lain. Selamat tinggal!"
"Tunggu dulu!" lagi-lagi Pendekar 131 menahan.
Sebenarnya Bidadari Delapan Samudera tak ingin
batalkan niatnya untuk berkelebat. Namun sekuat te-
naga dia berusaha gerakkan kaki hendak pergi, hati-
nya justru makin tak tega. Hingga gadis ini akhirnya hanya tegak menunggu tanpa
buka suara. "Kau tidak bertanya siapa aku"!"
"Kalau kau sudi mengatakannya...."
"Aku Joko Sableng...."
"Hanya itu yang ingin kau katakan?" tanya Bidadari
Delapan Samudera.
"Boleh bertanya ke mana kau akan pergi?"
Bidadari Delapan Samudera menghela napas pan-
jang. Lalu geleng kepala dan berkata.
"Sebenarnya aku ingin menjawab pertanyaanmu.
Sayang.... Aku sendiri tak tahu harus ke mana..."
Joko Sableng 38 Bidadari Delapan Samudra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ah.... Sepertinya kita senasib!"
Bidadari Delapan Samudera berpaling. Tanpa me-
nunggu si gadis bertanya, murid Pendeta Sinting su-
dah mendahului berkata.
"Aku berasal dari negeri jauh. Mencari tempat yang
hanya kukenal namanya...."
"Hem.... Berarti kita tidak senasib!" ujar Bidadari
Delapan Samudera. "Kau lebih beruntung dariku. Kau
masih mengenal nama tempat yang kau cari. Sementa-
ra aku tidak!" Entah mengapa tiba-tiba Bidadari Delapan Samudera mau bicara
terus terang. "Maksudmu..."!"
"Aku hanya tahu cirinya! Tidak tahu di mana tem-
patnya!" "Kau mencari seseorang atau mencari satu tem-
pat"!"
Bidadari Delapan Samudera terdiam beberapa lama.
Gadis ini dilanda kebimbangan antara berterus terang atau tidak.
"Aku memang bukan orang daerah sini. Kita juga
baru kenalan. Tapi tidak ada salahnya kalau kau mau
mengatakannya padaku. Siapa tahu...."
"Apa yang bisa kau lakukan untukku"! Kau bukan
berasal dari negeri ini. Sementara urusanku masih
berhubungan erat dengan negeri ini! Rasanya percuma
aku mengatakannya padamu! Lagi pula kau masih
punya urusan yang harus kau selesaikan dengan gadis
itu.... Aku tak mau menambah beban...."
"Bidadari Delapan Samudera.... Kuharap kau per-
caya. Sebenarnya aku juga baru berkenalan dengan
Bidadari Pedang Cinta..."
Ucapan Joko membuat Bidadari Delapan Samudera
mendelik lagi. "Kau masih saja berlaku pengecut!"
"Ah.... Sebaiknya aku tidak mengungkit-ungkit uru-
san ucapanku di hadapan Bidadari Tujuh Langit. Ini
bisa membuat dia tidak mau memberi penjelasan yang
kuinginkan. Padahal dia sudah mulai mau berkata...."
Joko membatin. '"Baiklah.... Anggap saja ucapanku di hadapan Bi-
dadari Tujuh Langit benar. Sekarang mau menjawab
pertanyaanku tadi"! Kau mencari seseorang atau satu
tempat"!" Joko ulangi lagi pertanyaannya.
"Yang kucari seseorang. Tapi aku hanya tahu ciri-
nya tanpa tahu siapa nama dan tempat tinggalnya!"
"Urusannya..."!"
"Setelah kukatakan, kau mau memenuhi permin-
taanku untuk segera pergi dari sini menemui gadis
itu"!"
Pendekar 131 menghela napas. Lalu anggukkan ke-
pala. "Dialah yang bisa membuka...."
Belum sampai Bidadari Delapan Samudera sele-
saikan ucapannya, mendadak satu bayangan berkele-
bat. Gadis berbaju biru ini cepat putuskan ucapan. La-lu berpaling. Sepasang
matanya membelalak beberapa
saat. Lalu anggukkan kepala dan menoleh pada murid
Pendeta Sinting sambil berkata pelan.
"Aku harus segera pergi! Kuharap kau menceritakan
apa yang kita bicarakan agar nantinya tidak terjadi salah paham dan jadi pembuka
urusan!" Ucapan Bidadari Delapan Samudera membuat Pen-
dekar 131 batalkan niat untuk berpaling melihat siapa yang datang. Karena pada
saat itu Bidadari Delapan
Samudera sudah berkelebat.
"Bidadari.... Tunggu!"
Bidadari Delapan Samudera tidak pedulikan teria-
kan murid Pendeta Sinting. Malah gadis ini makin per-cepat kelebatannya.
Joko sudah akan mengejar. Namun niatnya terta-
han tatkala tiba-tiba terdengar suara.
"Aku tidak bermaksud mengganggu kalian.... Aku
tidak tahu kalau kalian berada di tempat ini!"
Pendekar 131 cepat berpaling. "Bidadari Pedang
Cinta..," gumamnya mengenali satu sosok tubuh yang
tegak sepuluh langkah di seberang depan sana. Gadis
ini tegak dengan memandang ke arah mana baru saja
Bidadari Delapan Samudera berkelebat pergi.
"Aku harus pergi...," berkata gadis yang baru mun-
cul, dan bukan lain memang Bidadari Pedang Cinta
adanya. "Tunggu! Aku ingin bicara denganmu!" tahan murid
Pendeta Sinting lalu melompat dan tegak tidak jauh
dari Bidadari Pedang Cinta.
"Kau masih punya urusan yang harus kau selesai-
kan! Kau masih punya kesempatan untuk mengejar-
nya sebelum dia pergi jauh...."
"Waduh.... Pasti urusannya sama dengan Bidadari
Delapan Samudera! Mengapa harus jadi begini akibat-
nya"!" Joko mengeluh dalam hati bisa membaca dari
sambutan Bidadari Pedang Cinta. "Dia yang bisa mem-
beri petunjuk. Aku harus bisa menjernihkan urusan
ini. Jika tidak, aku akan kehilangan lagi tempat untuk bertanya...."
Membatin sampai di situ, Pendekar 131 akhirnya
berkata. "Bidadari Pedang Cinta. Aku ingin menjelaskan se-
suatu padamu!"
Bidadari Pedang Cinta geleng kepala. "Aku berada di
tempat ini tidak sengaja! Jadi jangan kau mengira yang bukan-bukan! Tidak ada
yang perlu dijelaskan antara
kita!" "Hem.... Maksudku, aku ingin menjelaskan ucapan-
ku saat bicara dengan Bidadari Tujuh Langit!"
"Ucapan yang mana"!"
"Aku saat itu mengatakan bahwa salah satu di an-
tara dirimu dan Bidadari Delapan Samudera adalah
kekasihku...."
"Aku sudah paham apa maksud ucapanmu itu! Ti-
dak perlu dijelaskan lagi!"
"Bukan begitu! Ucapan itu masih perlu penjelasan!
Ucapan itu kukatakan dengan maksud agar kau punya
alasan ikut campur menahan tindakan Bidadari Tujuh
Langit!" Bidadari Pedang Cinta tertawa pendek. Nadanya je-
las menunjukkan rasa tidak percaya. Lalu sambil ber-
paling dia berkata.
"Keberadaanmu di tempat ini membuatku tidak ya-
kin dengan ucapanmu!"
"Waduh.... Apa yang harus kuperbuat sekarang"!
Yang satu tidak percaya. Satunya lagi tidak yakin!"
"Bidadari Pedang Cinta...." Akhirnya Joko berkata
setelah agak lama terdiam. "Kau boleh yakin atau ti-
dak. Yang jelas aku mengatakan apa adanya! Lebih da-
ri itu kau harus tahu. Penjelasanku ini bukan karena aku butuh keterangan darimu
tentang Lembah Tujuh
Bintang Tujuh Sungai!"
"Hem.... Lalu apa maksudmu menjelaskan pada-
ku"!"
"Agar nantinya tidak terjadi salah paham...."
"Salah paham apa"! Hubunganmu dengan gadis itu
adalah urusanmu! Apa yang patut dijadikan alasan sa-
lah paham"! Atau kau berpikir aku akan ribut urusan
hubunganmu dengan gadis itu hanya gara-gara kau
mengucapkannya di hadapanku, begitu"!"
"Bukan begitu maksudku...."
"Lalu..."!"
Belum sempat Joko buka mulut menjawab karena
merasa kebingungan harus menjawab bagaimana,
mendadak dua sosok bayangan berkelebat.
Pendekar 131 dan Bidadari Pedang Cinta segera
berpaling. Memandang ke depan, mereka melihat dua
gadis tegak berjajar. Sebelah kanan adalah seorang
gadis berparas cantik. Rambutnya disanggul tinggi ke atas dan diberi konde.
Kulitnya putih. Hidungnya mancung dengan bibir membentuk bagus. Gadis ini menge-
nakan pakaian warna merah. Sementara gadis sebelah
kiri juga berparas cantik. Sekali orang melihat, pasti sudah dapat menebak jika
kedua gadis ini adalah
kembar. Karena parasnya memang mirip. Yang mem-
bedakan keduanya adalah pakaian yang dikenakan.
Yang sebelah kanan mengenakan pakaian warna me-
rah sementara yang sebelah kiri mengenakan pakaian
warna kuning. Untuk beberapa lama kedua gadis yang baru mun-
cul memandang silih berganti pada Pendekar 131 dan
Bidadari Pedang Cinta. Lalu saling pandang. Gadis sebelah kanan yang mengenakan
pakaian warna merah
sorongkan wajahnya ke arah gadis di sebelahnya lalu
berbisik. "Aku yakin. Pasti pemuda ini yang dimaksud Guru!"
"Tapi mengapa dia bersama gadis baju hijau itu"!
Dari tampang dan cirinya, jelas bukan dia perempuan
yang kita cari!" Gadis sebelah kiri menyahut. Sepasang matanya memperhatikan
Bidadari Pedang Cinta dari
ujung kepala sampai ujung kaki. Seakan ada keane-
han. Gadis berbaju kuning ini memperhatikan berla-
ma-lama pada sepasang kaki Bidadari Pedang Cinta.
"Aku juga yakin memang bukan perempuan ini
yang kita cari!"
"Jangan-jangan Guru salah memberi petunjuk...."
Gadis berbaju merah geleng kepala. "Ciri pemuda
yang dikatakannya benar. Berarti tak mungkin petun-
juknya salah!"
"Tapi mana perempuan yang kita cari"!" tanya gadis
berbaju kuning.
"Kita sudah menemukan siapa yang bisa memberi
petunjuk di mana perempuan yang kita cari! Dia harus mengatakannya!"
Sementara gadis berbaju merah dan kuning saling
berbisik, murid Pendeta Sinting segera mendekati Bi-
dadari Pedang Cinta. Begitu dekat, dia langsung ber-
tanya. "Kau kenal siapa mereka..."!"
"Dari gelagat mereka, seharusnya kau tidak ber-
tanya begitu!" jawab Bidadari Pedang Cinta. Suaranya jelas menandakan dia masih
jengkel. "Hem.... Hari ini aku bernasib mujur sekaligus ma-
lang! Mujur bertemu dengan beberapa gadis cantik.
Malang karena pertemuannya selalu ditandai dengan
urusan!" Pendekar 131 bergumam lalu tertawa nyengir
"Mana perempuan itu"!" Tiba-tiba gadis berbaju me-
rah perdengarkan bentakan keras.
Murid Pendeta Sinting kerutkan dahi. Lalu berbisik
pada Bidadari Pedang Cinta. "Dia bertanya padamu
atau padaku..."!"
Bidadari Pedang Cinta mendengus. Dia menduga
yang dimaksud pertanyaan gadis berbaju merah ada-
lah Bidadari Delapan Samudera. Maka dia segera buka
mulut. "Yang ditanyakan adalah perempuan! Masih pan-
taskah kau bertanya siapa yang ditanya"!"
"Lalu perempuan mana yang dimaksud"!" tanya
Pendekar 131. "Itu urusanmu! Mengapa tanya padaku"!" bentak
Bidadari Pedang Cinta.
"Hai! Mana perempuan itu"!" kembali terdengar
bentakan. Kali ini diperdengarkan gadis berbaju ku-
ning. Pendekar 131 menoleh. Pandang matanya diarah-
kan pada gadis berbaju merah lalu bertanya.
"Kau bertanya padaku atau padanya"!" Joko me-
nunjuk dirinya lalu pada Bidadari Pedang Cinta. "Dan perempuan mana yang kau
maksud"!"
Habis bertanya begitu, murid Pendeta Sinting arah-
kan pandang matanya pada gadis berbaju kuning. Lalu
buka mulut bertanya.
"Dan kau. Bertanya padanya atau padaku"!" Joko
menunjuk pada Bidadari Pedang Cinta lalu pada diri-
nya sendiri. "Dan siapa pula perempuan yang kau
maksud"!"
"Tampaknya kita berhadapan dengan manusia gila!"
mendesis gadis berbaju merah dengan mata mendelik
pada Pendekar 131.
"Mungkin dia hanya berpura-pura seperti manusia
gila agar bisa lepas dari tangan kita!" timpal gadis berbaju kuning. Lalu
membentak. "Aku bertanya padamu!" Tangan kanan gadis ber-
baju kuning ini menunjuk lurus pada murid Pendeta
Sinting. "Hem...." Pendekar 131 gerakkan kepala pulang ba-
lik ke atas ke bawah. Lalu berujar. "Di sini ada tiga perempuan. Mana yang kau
tanyakan"!" Joko sapukan
pandangan berkeliling, menatap satu persatu pada Bi-
dadari Pedang Cinta, lalu pada gadis berbaju merah,
dan terakhir ke arah gadis berbaju kuning sendiri.
"Kau jangan berlagak gila! Kau sadar tengah berha-
dapan dengan siapa"!" bentak gadis berbaju kuning.
Sebelum Joko sempat buka suara, Bidadari Pedang
Cinta yang tak mau terjadi urusan segera ikut bicara.
"Harap katakan saja siapa perempuan yang kalian
tanyakan...!"
"Aku tidak bertanya padamu! Saatnya nanti akan
tiba giliranmu untuk menjawab pertanyaan!" Gadis
berbaju kuning membentak lagi.
Bidadari Pedang Cinta coba tahan hawa amarah
yang mulai melanda dadanya mendengar ucapan
orang. Lalu berpaling pada Pendekar 131 dan berkata
dalam hati. "Gara-gara pemuda ini aku jadi terlibat dalam urusan yang tak
karuan! Pemuda ini pasti hidung
belang yang suka iseng mempermainkan perempuan!"
"Pemuda gila! Mana perempuan berbaju putih itu"!"
Gadis berbaju merah bertanya.
Pendekar 131 dan Bidadari Pedang Cinta sama agak
terkejut. Mereka sama sekali tidak menduga yang di-
Joko Sableng 38 Bidadari Delapan Samudra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
maksud dua gadis di hadapan mereka adalah Bidadari
Tujuh Langit. "Apa hubungan kalian dengan perempuan baju pu-
tih itu"!" tanya Joko.
"Kau tidak usah bertanya! Kau hanya perlu menja-
wab!" hardik gadis berbaju merah.
"Yang kau maksud Bidadari Tujuh Langit"!" Bidada-
ri Pedang Cinta tanpa sadar menyahut karena ingin
meyaklnkan. "Untung kau benar sebutkan nama orang! Jika ti-
dak, mungkin mulutmu sudah kubuat tak bisa bicara!"
ujar gadis berbaju merah. Lalu tertawa pendek sebe-
lum berkata lagi.
"Sekarang peduli setan siapa yang akan menjawab
di antara mulut kalian berdua! Yang jelas kami minta kau tunjukkan di mana
Bidadari Tujuh Langit!"
Pendekar 131 dan Bidadari Pedang Cinta saling
pandang. Namun mendadak saja Pendekar 131 tertawa
bergelak! Gadis berbaju merah dan gadis berbaju kuning sa-
ling lontar pandang. Sementara Bidadari Pedang Cinta surutkan langkah dengan
tampang kebingungan!
SELESAI Segera menyusul:
DAYANG TIGA PURNAMA
Scanned by Clickers
Edited by Adnan Sutekad
PDF: Abu Keisel
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Document Outline
SATU DUA TIGA EMPAT LIMA ENAM *** TUJUH *** DELAPAN SEMBILAN *** SEPULUH *** SEBELAS SELESAI
Kaki Tiga Menjangan 30 Makam Bunga Mawar Karya Opa Rahasia Hiolo Kumala 7
memang bisa bertemu dengan Dewa Asap Kayangan di
sini!" Membatin begitu, akhirnya Pendekar 131 teruskan
langkah. Dia sengaja mendekati sebuah batu cadas
paling tinggi. Dengan begitu, dia berpikir bisa melihat keadaan seantero lembah.
Baru saja murid Pendeta Sinting hendak melompat
ke atas batu cadas yang terlihat paling tinggi, mendadak telinganya mendengar
alunan suara. Alunan suara
itu jelas terdengar, namun Joko tidak mengerti apa
maksudnya, karena alunan suara itu mirip suara
orang membaca mantera-mantera.
"Hem.... Walau akhirnya tempat ini bukan tempat
yang kucari, namun setidaknya aku mendapatkan
orang yang mungkin bisa kumintai keterangan!" Pen-
dekar 131 bergumam lalu melompat ke atas batu ca-
das paling tinggi dengan kepala langsung berpaling ke sebelah kanan dari mana
suara alunan mantera terdengar.
Di balik sebuah batu cadas, Pendekar 131 melihat
satu sosok tubuh duduk bersila di atas sebuah altar
batu cadas. Joko belum bisa melihat tampang orang
yang duduk bersila. Karena orang itu membelaka-
nginya. Sementara bagian samping wajahnya juga ter-
tutup kain panjang yang menjulai dari kepala hingga
bagian dadanya.
Murid Pendeta Sinting memperhatikan sekali lagi.
Saat lain dia berkelebat turun lalu karena khawatir
mengganggu kekhusukan orang, Joko sengaja melang-
kah mendekati secara perlahan-lahan dari sebelah
samping dengan harapan sedikit banyak bisa melihat
bagian samping tampang orang.
Di lain pihak, seolah tidak merasa ada orang yang
datang mendekati, orang yang duduk bersila terus me-
ngumandangkan mantera-mantera. Bahkan makin la-
ma alunan suaranya makin tinggi.
Murid Pendeta Sinting hentikan langkah sepuluh
tindak di samping orang yang duduk bersila seraya
mengawasi dengan seksama.
"Dari suara dan jubah putih yang dikenakan, jelas
dia adalah seorang laki-laki...." Joko membatin men-
duga-duga orang yang duduk di atas altar batu cadas.
Dia adalah satu sosok yang mengenakan jubah putih
panjang. Karena orang ini tengah duduk bersila, sebagian kain jubah putihnya
tampak menghampar di ka-
nan kiri altar batu cadas. Raut wajahnya tidak kelihatan karena tertutup
kerudung putih panjang yang diletakkan di atas kepala hingga menjulai sampai
menu- tupi sebagian dadanya. Kedua tangannya merangkap
di depan dada dengan menekan julaian kerudungnya
yang jatuh di depan dadanya.
"Hem.... Sebaiknya aku menunggu.... Tidak baik
mengganggu orang yang tengah khusuk...," kata Joko
dalam hati. Lalu seraya terus memperhatikan orang,
Joko melangkah mencari tempat duduk yang sekiranya
dapat mengawasi gerak-gerik orang.
Namun setelah duduk beberapa lama, dan orang
yang membaca mantera tidak juga hentikan bacaan-
nya, murid Pendeta Sinting mulai gelisah dan tidak sabar. Dia beranjak bangkit.
Lalu melangkah mondar-
mandir dengan sesekali perdengarkan deheman pelan,
berharap orang yang tengah membaca mantera tidak
merasa terkejut dan terganggu dengan kehadirannya.
Namun deheman Joko tampaknya tidak membuat
orang hentikan bacaannya. Sebaliknya orang ini masih cepatkan bacaan manteranya
bahkan kini kepalanya
bergerak pulang balik ke bawah ke atas dan sesekali
ke samping kiri kanan.
Mungkin karena tak sabar sementara dia perlu ke-
terangan, akhirnya Joko beranikan diri mengambil ke-
putusan untuk buka suara.
Namun sebelum suaranya terdengar, tiba-tiba orang
yang duduk bersila putuskan bacaan manteranya.
Saat lain terdengar dia berucap.
"Anak muda dari negeri asing! Apa perlumu datang
ke Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai ini"!"
TUJUH SEPASANG kaki Pendekar 131 laksana disapu ge-
lombang dahsyat hingga tersurut dua tindak, saking
kagetnya mendengar pertanyaan orang. Sepasang ma-
tanya mendelik besar. Namun dia segera dapat kuasai
diri setelah membatin. "Mungkin Dewa Asap Kayangan
telah bercerita padanya tentang diriku hingga dia bisa tahu kalau aku berasal
dari negeri asing! Dan rupanya perempuan berkerudung tadi berkata benar. Ini
adalah Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai.... Hem.... Bagaimana lembah begini
bisa dinamakan Lembah Tujuh
Bintang Tujuh Sungai"! Aku tidak melihat adanya tan-
da-tanda yang pantas lembah ini dinamakan Lembah
Tujuh Bintang Tujuh Sungai.... Tapi itu tidaklah penting! Yang jelas aku telah
menemukan lembah yang ku-
cari...!" "Pendekar 131! Kau telah dengar pertanyaanku.
Kuharap kau segera memberi jawaban!"
"Aku ingin bertemu dengan Dewa Asap Kayangan..."
"Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai bukan tem-
pat tinggalnya Dewa Asap Kayangan! Kau salah alamat
jika ingin bertemu dengannya di sini!"
"Tapi Dewa Asap Kayangan berjanji menungguku di
tempat ini...."
"Kau jangan bicara dusta! Kapan dan di mana dia
mengatakannya"!" tanya orang yang duduk bersila di
atas altar batu cadas.
"Tidak lama berselang, di puncak Bukit Toyongga!"
"Hem...." Orang di atas altar batu cadas mende-
hem. Lalu berpaling ke arah mana murid Pendeta Sint-
ing tegak berdiri. Namun Joko tidak bisa melihat raut wajah orang, karena wajah
itu tertutup julaian kerudung putih yang diletakkan di atas kepalanya dan di-
tekan dengan rangkapan kedua tangannya di depan
dada. "Kakakku Dewa Asap Kayangan memang telah ceri-
ta tentang janjinya dengan seseorang! Namun karena
ada sesuatu yang harus segera dilakukan, dan yang ditunggu tidak juga segera
muncul, terpaksa dia pergi
dengan pesan agar aku memberi penjelasan yang diin-
ginkan orang yang hendak menemuinya!"
Habis berkata begitu, orang yang duduk bersila pu-
tar kepalanya lagi lurus ke depan. Namun sebelum
murid Pendeta Sinting sempat angkat suara, orang di
atas altar batu cadas sudah berucap lagi.
"Dari jawabanmu, sepertinya kaulah orang yang di-
tunggu! Tapi itu belumlah membuatku yakin jika kau
adalah orang yang membuat perjanjian dengan Dewa
Asap Kayangan saat berada di puncak Bukit Toyong-
ga!" Joko kernyitkan dahi. "Aku tak paham apa mak-
sudmu...!"
"Jawaban kata-kata bisa dibuat. Tapi tidak demi-
kian halnya dengan bukti! Dan aku baru percaya kau-
lah orang yang membuat janji pertemuan jika kau bisa tunjukkan bukti!"
"Bukti apa yang kau minta"!" tanya murid Pendeta
Sinting masih dengan dahi berkerut.
"Hasil dari peristiwa di puncak Bukit Toyongga!"
Pendekar 131 terdiam beberapa lama. "Bukti yang
diminta pasti peta wasiat itu!" Joko membatin mene-
bak apa 'yang diminta orang.
"Anak muda! Aku tidak punya waktu banyak untuk
menunggu! Kalau kau tidak bisa menunjukkan bukti
dari hasil apa yang terjadi di puncak Bukit Toyongga, kuharap kau segera angkat
kaki dari sini! Carilah De-wa Asap Kayangan. Hanya saja kau perlu tahu. Kakak-
ku itu tidak punya tempat tinggal tetap...."
"Hem.... Apa yang harus kulakukan"! Di negeri as-
ing begini, rasanya sulit mencari manusia seperti Dewa Asap Kayangan! Tapi
mungkinkah adiknya ini bisa
memenuhi permintaanku..."! Seandainya saja aku pa-
ham daerah ini dan tahu di mana tempat tinggalnya
Dewa Cadas Pangeran, mungkin tak sampai aku ber-
urusan dengan orang ini.... Bodohnya diriku! Seharusnya aku bertanya sekalian
pada perempuan berkeru-
dung tadi! Dia mau menjelaskan apa yang kuminta
tanpa minta bukti segala! Tidak seperti orang yang duduk membaca mantera itu!
Sudah wajahnya ditutup,
lalu minta bukti lagi!" Joko menggerutu dalam hati.
Lalu buka mulut.
"Aku akan tunjukkan bukti bahwa akulah yang
membuat janji dengan Dewa Asap Kayangan. Tapi se-
belumnya aku minta ketegasan...."
"Katakan ketegasan apa yang kau inginkan"!"
"Kau nantinya mau mengantarku jika aku ingin
menemui orang lain lagi"!"
"Aku telah berjanji pada kakakku. Dan aku pantang
ingkar! Ke mana dan apa pun yang kau minta aku
akan berusaha memenuhinya!"
"Hem.... Aku harus pastikan dahulu apakah dia ta-
hu di mana tempat tinggal Dewa Cadas Pangeran...."
Joko berkata dalam hati. Lalu buka suara.
"Kau tahu tempat tinggalnya Dewa Cadas Pange-
ran"!"
Yang ditanya perdengarkan tawa perlahan bernada
seakan mengejek. Lalu berkata.
"Kau boleh percaya atau tidak. Dewa Asap Kayan-
gan tidak pernah cerita panjang lebar padaku. Dia
hanya bilang akan kedatangan seseorang. Tapi aku ta-
hu banyak tentang apa yang telah terjadi!" Orang yang mengaku sebagai adik
kandung Dewa Asap Kayangan
ini hentikan ucapannya sesaat. Lalu dongakkan kepala dan lanjutkan ucapan.
"Aku tahu tewasnya Yang Mulia Baginda Ku Nang,
juga Panglima Muda Lie, dan nenek bergelar Ratu Se-
lendang Asmara, serta Hantu Bulan Emas, dan Bayan-
gan Tanpa Wajah.... Aku juga tahu tentang perselisi-
han antara gadis bernama Mei Hua dengan Dewi Bun-
ga Asmara dan Siao Ling Ling serta Bidadari Bulan
Emas karena memendam rasa padamu! Bahkan aku
tahu siapa yang memberi keterangan padamu hingga
kau sampai muncul di Lembah Tujuh Bintang Tujuh
Sungai ini! Bukankah yang memberimu petunjuk ada-
lah seorang perempuan berkerudung"! Aku bukan seo-
rang peramal. Tapi aku tahu pasti, perempuan berke-
rudung itu tidak mau sebutkan siapa dirinya dan di
mana tempat tinggalnya meski kau berusaha ingin ta-
hu!" "Busyet! Bagaimana dia bisa tahu hal sebanyak
itu"! Peristiwa di puncak Bukit Toyongga mungkin saja dia mendengar cerita dari
Dewa Asap Kayangan walau
dia mengaku Dewa Asap Kayangan tidak cerita apa-
apa. Tapi mengenai perempuan berkerudung yang
memberi petunjuk itu.... Sewaktu aku berbincang de-
ngan perempuan berkerudung aku yakin tak ada orang
yang mencuri dengar.... Tapi nyatanya dia bisa tahu....
Hem...." "Anak muda! Kalau aku tahu semua yang telah ter-
jadi padamu, bagaimana mungkin aku tidak tahu di
mana tempat tinggalnya Dewa Cadas Pangeran"! Apa-
lagi dia adalah salah seorang sahabatku"! Sekarang
tunjukkan hasil dari peristiwa di Bukit Toyongga sebagai bukti kalau kau adalah
orang yang membuat janji
dengan Dewa Asap Kayangan! Setelah itu baru aku bi-
sa menjelaskan apa yang kau minta dan me-
ngantarmu ke mana kau hendak menuju!"
"Boleh aku tahu siapa dirimu"!" tanya murid Pen-
deta Sinting. "Kau datang ke tempat ini untuk berkenalan de-
nganku atau minta keterangan"!" Orang di atas altar
batu cadas balik ajukan tanya dengan suara agak ting-gi. "Daripada cari
penyakit, lebih baik aku segera selesaikan urusan ini!"
Membatin begitu, akhirnya perlahan-lahan Pende-
kar 131 selinapkan tangan kanan ke balik pakaiannya.
Lalu terlihatlah satu kain putih yang bersambung saat
tangan kanannya ditarik keluar.
Seakan tahu apa yang dilakukan murid Pendeta
Sinting, orang di atas altar batu cadas palingkan kepala. Rangkapan kedua
tangannya yang menekan julaian
kain kerudungnya bergerak membuka sedikit hingga
kedua mata orang ini terlihat.
Beberapa saat sepasang mata dari balik Kerudung
membelalak memperhatikan kain putih bersambung
yang ada di tangan Joko yang bukan lain adalah kain
berisi peta wasiat yang didapat di puncak Bukit
Toyongga. Kepala orang di atas altar batu cadas mengangguk
pelan. Lalu diputar ke arah depan seraya berkata.
"Anak muda.... Saat ini rimba persilatan masih ter-
guncang dengan kabar berita mengenai peta wasiat.
Dan mulai pula tersebar gunjingan tentang urusan Se-
pasang Cincin Keabadian milik Dewi Keabadian. Dan
meski kau bukan berasal dari negeri ini, tapi kau tentu sudah tahu. Di mana-mana
rimba persilatan pasti selalu dipenuhi dengan fitnah, balas dendam, pertumpa-
han darah, dan benda-benda mustika palsu!"
Ucapan orang membuat Joko tersedak. Tanpa sadar
dia melompat mendekat dengan dada berdebar tidak
enak. Lalu seraya acungkan kain putih di tangannya
dia berseru. "Kau menduga ini palsu"!"
"Kau jangan salah duga dengan ucapanku. Aku ti-
dak mengatakan kain yang ada di tanganmu adalah
palsu! Tapi tidak ada salahnya kalau aku memeriksa!
Karena aku tahu sendiri, saat di puncak Bukit Toyong-ga telah muncul beberapa
benda palsu yang ada kai-
tannya dengan kain di tanganmu!"
Tanpa pikir panjang lagi, Pendekar 131 julurkan
tangannya yang memegang kain berisi peta wasiat.
Orang di atas altar batu cadas gerakkan tangan ka-
Joko Sableng 38 Bidadari Delapan Samudra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nan sambuti kain dari tangan murid Pendeta Sinting.
Sementara tangan kiri tetap menekan julaian kain ke-
rudungnya hingga wajahnya tetap tidak jelas keliha-
tan. Untuk beberapa lama orang di atas altar batu cadas
memeriksa kain yang diberikan Joko dengan dekatkan
pada wajahnya. Sepasang matanya melirik silih ber-
ganti pada kain di tangannya dan pada sosok murid
Pendeta Sinting yang tegak memperhatikan dengan
dada berdebar-debar, khawatir kalau kain di tangan-
nya adalah palsu.
"Hem.... Kau beruntung sekali, Anak Muda.... Kain
bergambar peta ini adalah asli...," kata orang di atas altar batu cadas sambil
angguk-anggukkan kepala.
"Maksud kedatanganku kemari adalah ingin ber-
tanya arah mana yang harus kuambil untuk memulai
perjalanan seperti yang ada dalam peta itu. Sekaligus untuk bertanya di mana aku
bisa bertemu dengan De-wa Cadas Pangeran!" kata Joko dengan menghela na-
pas lega mendengar keterangan orang.
"Anak muda.... Aku akan memenuhi permintaanmu.
Tapi katakan dahulu. Urusan mana yang akan kau
dahulukan"! Mengadakan perjalanan atau ingin ber-
temu dengan Dewa Cadas Pangeran"!"
Joko berpikir beberapa lama. Dia tampak bingung
tak tahu mana yang harus didahulukan.
Orang di atas altar batu cadas tampaknya bisa me-
nangkap kebingungan murid Pendeta Sinting. Lalu
berkata. "Anak muda.... Perjalananmu kelak memerlukan
waktu panjang. Kalau urusanmu dengan Dewa Cadas
Pangeran tidak begitu penting, menurutku, lebih baik kau selesaikan dahulu
urusanmu dengan Dewa Asap
Kayangan. Dengan begitu, kau bisa melakukan perja-
lanan dengan tenang tanpa beban! Tapi itu semua ter-
serah padamu. Aku hanya memberi jalan...."
Pendekar 131 menghela napas berulang kali. Paras
wajahnya jelas menunjukkan kalau dia belum bisa
memutuskan apa yang harus dilakukan.
Orang di atas altar batu cadas tertawa. Lalu sambil
letakkan kain peta di atas pangkuannya dia berkata.
"Aku bukannya ikut campur masalahmu. Tapi ka-
lau kau tak keberatan mengatakan urusanmu dengan
Dewa Cadas Pangeran, mungkin aku bisa sedikit mem-
bantu jalan mana yang harus kau tempuh dalam uru-
san ini!" "Hem.... Apakah aku harus mengatakan terus te-
rang apa perluku hendak menemui Dewa Cadas Pan-
geran"! Ah.... Dia adalah adik Dewa Asap Kayangan.
Tak ada salahnya aku berterus terang padanya...." Jo-ko akhirnya memutuskan,
lalu berkata dengan wajah
sedikit berubah karena merasa malu.
"Sebenarnya urusanku dengan Dewa Cadas Pange-
ran tidaklah begitu penting. Tapi kalau tidak segera kuselesaikan, seperti
katamu, mungkin bisa menambah beban pikiranku...."
"Hem.... katakan saja urusanmu, Anak Muda! Wa-
lau aku adik Dewa Asap Kayangan, bukan tak mung-
kin apa yang akan kukatakan nanti tidak jauh berbeda dibanding jika kau
mengatakannya pada Dewa Asap
Kayangan!"
"Aku pernah berjanji pada Dewi Bunga Asmara un-
tuk menemui gurunya. Namun sebenarnya janji itu
kuucapkan agar gadis itu mau membawaku ke Bukit
Toyongga yang saat itu tidak kuketahui di mana letaknya. sayangnya, gadis itu
salah paham dan menduga
terlalu jauh. Begitu sampai di Bukit Toyongga, ternyata
aku tidak sempat bicara dengan gurunya yakni Ratu
Selendang Asmara, karena urusan di puncak bukit su-
dah memanas. Hingga akhirnya Ratu Selendang Asma-
ra tewas...." Pendekar 131 hentikan keterangannya sesaat seraya alihkan
pandangan ke jurusan lain takut
orang di hadapannya tahu perubahan wajahnya.
Sementara orang di atas batu cadas mendengarkan
dengan seksama dengan sesekali melirik pada gerak-
gerik murid Pendeta Sinting.
"Setelah urusan di puncak Bukit Toyongga selasai,
aku juga belum sempat bicara dengan Dewi Bunga As-
mara, karena aku merasa tak enak dengan Mei Hua,
dan putri Baginda Ku Nang, serta Bidadari Bulan
Emas. Ternyata Dewi Bunga Asmara mengatakan peri-
halnya pada Dewa Cadas Pangeran yang tiba-tiba saja
mengambilnya sebagai murid. Dan sebelum Dewa Ca-
das Pangeran meninggalkan puncak Bukit Toyongga,
dia sempat mengatakan padaku agar menemuinya
dengan minta bantuan Dewa Asap Kayangan untuk se-
lesaikan urusanku dengan Dewi Bunga Asmara."
"Aku mengerti perasaanmu, Anak Muda.... Seka-
rang jawab jujur pertanyaanku. Kau menyintai Dewi
Bunga Asmara"!"
"Sebenarnya dia gadis baik meski gurunya berada di
jalur yang salah.... Dia juga berparas cantik. Tapi....
Rasanya aku belum sampai pada titik jatuh cinta....
Aku hanya menganggapnya sebagai sahabat! Dan hal
inilah yang akan kukatakan pada Dewa Cadas Pange-
ran agar nantinya tidak terjadi salah paham!"
"Anak muda! Sekarang jelas masalahnya. Dan me-
nurutku, sebaiknya kau mengadakan perjalanan da-
hulu. Urusan dengan Dewa Cadas Pangeran bisa kau
tunda...."
"Mengapa begitu"!"
"Urusan perempuan bukan urusan mudah, Anak
Muda. Apalagi dia tahu beberapa gadis lain menaruh
rasa cinta padamu. Dia memerlukan waktu untuk ber-
pikir dan menenangkan diri! Kalau sekarang kau
memberi penjelasan padanya, bukan tak mungkin dia
malah akan salah paham dan membuat urusan jadi
tak karuan! Waktu yang kau perlukan untuk menga-
dakan perjalanan kurasa cukup membuat Dewi Bunga
Asmara untuk berpikir dan menenangkan diri...."
"Hem.... Benar juga kata-katanya...," gumam Pen-
dekar 131 seraya anggukkan kepala perlahan.
Tampaknya orang di atas altar batu cadas maklum
akan gerakan kepala murid Pendeta Sinting. Sambil
mengambil kembali kain peta di atas pangkuannya dia
berkata. "Anak muda.... Setelah kau selesaikan perjalanan
nanti, aku menunggumu di sini. Aku akan memberi
keterangan padamu di mana kau bisa bertemu dengan
Dewa Cadas Pangeran. Dan terimalah kembali kainmu
ini!" Orang di atas altar batu cadas julurkan tangan
memberikan kembali kain putih pada Pendekar 131.
Murid Pendeta Sinting tersenyum sambil anggukkan
kepala. Lalu mendekat dengan sambuti kainnya kem-
bali. Namun baru saja tangannya menyentuh kain putih
di tangan orang, mendadak orang di atas altar batu
cadas tarik sedikit tangannya yang mengulur membe-
rikan kain. Kejap lain sekonyong-konyong kaki kanan
kirinya bergerak lepaskan tendangan! Bukan hanya
sampai di situ, tangan satunya yang sedari tadi menekan julaian kain kerudungnya
juga bergerak menghan-
tam! *** DELAPAN BUUKK! Buukkk! Buuukkk!
Terdengar tiga kali suara benturan keras saat kedua
kaki dan tangan orang di atas altar batu cadas meng-
hantam telak lambung kanan kiri dan dada Pendekar
131 Joko Sableng.
Murid Pendeta Sinting berseru tegang. Sosoknya
langsung terpental tiga tombak ke belakang dengan
tersentak-sentak. Dan baru mendapat dua tombak,
mulutnya sudah mengembung semburkan darah! Lalu
terjengkang roboh di atas tanah dengan kepala meng-
hantam sisi satu bongkahan batu cadas hingga kulit
kepalanya robek dan kucurkan darah!
Tampaknya orang yang tadi duduk di atas altar ba-
tu cadas tak mau memberi kesempatan. Begitu sosok
Joko terpental, dia cepat selinapkan kain putih berisi peta. Saat lain melesat
mengejar murid Pendeta Sinting dan langsung menghajar dengan tendangan kaki kiri
kanan bertenaga dalam tinggi!
Di lain pihak, karena masih terkejut dan belum da-
pat kuasai diri, meski sempat angkat kedua tangan-
nya, namun terlambat bagi Pendekar 131 untuk mem-
buat hadangan. Buuukk! Buukk! Untuk kedua kalinya terdengar seruan tertahan te-
gang dari mulut murid Pendeta Sinting. Sosoknya pu-
lang balik ke samping kiri kanan mengikuti arah ten-
dangan orang, sebelum akhirnya tersapu deras dan
baru terhenti setelah menghajar gundukan batu cadas!
Pendekar 131 buka mulut hendak berseru menahan
rasa sakit. Namun yang tersembur keluar bukannya
suara, melainkan muncratan darah!
Joko bertahan sekuat tenaga agar tidak pingsan.
Lalu perlahan-lahan pula kerahkan tenaga dalam dan
buka sepasang matanya untuk mengetahui gerakan
orang. Saat itulah terdengar suara.
"Nyawamu sudah di ujung jariku, Pendekar 1311
Tapi agar arwahmu nanti tidak penasaran, untuk te-
rakhir kalinya kau kuberi kesempatan melihat siapa
yang mengantarmu ke liang lahat!"
Dada murid Pendeta Sinting bergetar. Dia tersentak,
karena telinganya mendengar suara seorang perem-
puan yang masih diingatnya! Bola matanya langsung
berputar liar memperhatikan berkeliling.
"Aneh.... Jelas telingaku mendengar suara perem-
puan berkerudung yang memberiku petunjuk! Tapi
mengapa nadanya lain"! Ataukah telingaku yang terti-
pu..."! Tapi mana sosoknya"!"
Baru saja membatin begitu, satu bayangan berkele-
bat dan orang yang tadi duduk di atas altar batu cadas sudah tegak di hadapannya
dengan tangan diletakkan
di atas pinggang.
"Aku tertipu manusia satu ini! Dia bukan adik Dewa
Asap Kayangan! Jadi jelas kalau tempat ini bukan
Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai! Berarti petunjuk
perempuan berkerudung itu.... Astaga! Jangan-
jangan...."
Pendekar 131 seakan lupa dengan luka yang dideri-
tanya. Dia bangkit terhuyung-huyung dengan mata
menatap tajam pada orang yang tadi duduk di atas al-
tar batu cadas yang kini tegak berkacak pinggang di
hadapannya. "Siapa kau sebenarnya"!" Joko membentak.
Yang dibentak perdengarkan tawa panjang. Lalu
tangan kirinya membuat gerakan sentakkan kerudung
putih panjangnya.
Bettt! Kerudung yang tadi menutupi raut wajah orang di
atas altar batu cadas terbang ke udara. Joko jelas melihat tampang orang di
hadapannya. "Hantu Pesolek!" desis murid Pendeta Sinting me-
ngenali tampang di balik kerudung milik seorang pe-
muda berparas sangat tampan berkulit putih dengan
bibir diberi polesan pewarna merah.
"Kau masih ingat ucapanku sebelum aku turun dari
Bukit Toyongga, Pendekar 131"! Kau dan dua sahabat-
mu Dewa Asap Kayangan dan Dewa Cadas Pangeran
boleh sembunyi sampai ujung bumi, di bawah tanah,
dan di atas langit! Tapi kalian kelak akan kucari dan tak mungkin lolos sampai
urusan kita selesaikan!"
Orang yang berpakaian jubah putih panjang dan tadi
duduk di atas altar batu cadas dengan wajah ditutup
kain kerudung yang menjulai sampai dada dan ternya-
ta tidak lain adalah Hantu Pesolek ulangi ucapan se-
perti saat dia akan turun dari puncak Bukit Toyongga karena bisa ditaklukkan
Pendekar 131 ketika terjadi
perebutan peta wasiat.
"Sekarang kau bisa lihat bukti ucapanku! Bukan
saja peta itu sekarang berada di tanganku tapi selembar nyawamu juga berada di
ujung jariku!"
"Sialan benar! Jadi perempuan berkerudung yang
memberi petunjuk tempat ini adalah dia juga! Hem....
Pantas dia tahu banyak urusan di Bukit Toyongga!
Aku sama sekali tidak menduga.... Tapi apa boleh
buat.... Aku harus dapat merebut kembali kain berisi peta wasiat itu dari
tangannya!"
Pendekar 131 cepat kerahkan segenap tenaga dalam
yang dimilikinya. Namun Joko jadi tertegun dengan
kuduk merinding. Dadanya terasa sakit bukan alang
kepalang. Dan mulutnya terasa asin, tanda luka da-
lamnya akibat hantaman Hantu Pesolek sudah kelua-
rkan darah lagi. Tapi Joko berusaha katupkan mulut
rapat-rapat agar orang tidak tahu parahnya luka da-
lam yang diderita.
Namun sebagai tokoh yang sudah kenyang penga-
laman, Hantu Pesolek tampaknya bisa membaca gela-
gat. Pemuda yang sebenarnya sudah berusia sangat
lanjut ini perdengarkan tawa bergelak dan berkata.
"Kau sudah terluka parah, Pendekar 1311 Membu-
nuhmu saat ini semudah menekuk jari tangan!"
Murid Pendeta Sinting tidak hiraukan ucapan Han-
tu Pesolek. Dia terus kerahkan tenaga dalam meski hal itu makin membuat dadanya
nyeri dan napas-nya megap-megap.
"Pendekar 131! Sebelum kau berangkat ke alam ba-
ka mendahului dua sahabatmu Dewa Asap Kayangan
dan Dewa Cadas Pangeran, kuberi waktu untuk
ucapkan pesan terakhir!"
Joko tidak menyahut. Hantu Pesolek dongakkan
Joko Sableng 38 Bidadari Delapan Samudra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kepala sambil tertawa bergelak sebelum akhirnya be-
rucap. "Kau tak mau titip pesan! Itu urusanmu dan uru-
sanku sekarang adalah mengantarmu ke tempat peris-
tirahatan terakhir!"
Ucapannya belum selesai, Hantu Pesolek sudah me-
lompat ke arah Pendekar 131 dengan kedua tangan
berkelebat lepas pukulan.
Joko angkat kedua tangannya menghadang. Namun
kali ini tidak mau tertipu lagi. Seraya angkat kedua tangannya menghadang
pukulan orang, kaki kanannya
diangkat bersiap menghadapi tipuan orang.
Bukkkl Buuukkk!
Rupanya Hantu Pesolek tidak membuat gerakan
menipu dengan kelebatan kedua tangannya. Dia terus-
kan saja menghantam. Dan hal ini justru membuat
Joko tertipu sendiri. Karena dengan angkat kaki ka-
nannya, maka dia hanya bertumpu pada satu kaki.
Hingga saat terjadi bentrok, sosoknya langsung terpe-lanting dan terbanting
jatuh di atas tanah! Mulutnya kembali semburkan darah!
Hantu Pesolek sendiri hanya tampak bergoyang-
goyang sesaat. Dan sekali tangannya mengibas, goya-
ngan tubuhnya terhenti.
"Ajalmu sudah saatnya datang, Pendekar 131!" te-
riak Hantu Pesolek seraya angkat kedua tangannya.
Luka dalam yang diderita membuat murid Pendeta
Sinting hanya mampu kerahkan sedikit tenaga dalam-
nya. Dan dia sadar, hal itu tak mungkin mampu meng-
hadapi pukulan yang akan dilepas Hantu Pesolek.
"Celaka! Jangan-jangan ajalku memang sudah wak-
tunya! Aduh.... Mengapa begini suratan takdirku..."
Tewas di negeri orang tanpa diketahui sahabat dan kenalan...!" Joko membatin
dengan wajah tegang. Sosok-
nya bergetar. Sekujur tubuhnya telah basah kuyup.
Di hadapannya, Hantu Pesolek tegakkan wajah.
Dan bersamaan dengan itu kedua tangannya lepaskan
pukulan bertenaga dalam tinggi!
Wuuttl Wuutt! Dua gelombang angin dimuati tenaga dalam berkib-
lat ganas ke arah murid Pendeta Sinting yang karena
sudah terluka dalam hanya bisa memandang dengan
mulut menganga tanpa mampu membuat gerakan apa-
apa! Setengah tombak lagi gelombang angin itu meng-
hajar sosok Pendekar 131, mendadak satu sosok
bayangan berkelebat.
Murid Pendeta Sinting mendengar deruan angker
dari samping. Dia makin tercekat hingga kalau dia tadi
masih hendak menghadang gelombang yang dilepas
Hantu Pesolek dengan sisa-sisa tenaganya, kini mem-
buat perhatiannya jadi terpecah, hingga kini dia hanya pulang balikkan kepala.
Saat itulah tiba-tiba pandangan murid Pendeta
Sinting tertutup kibaran benda putih yang perdengar-
kan deruan. Belum sempat tahu benda apa yang ber-
kibar di depan matanya, mendadak dia merasakan ke-
palanya terjerat dan terangkat lalu berputar-putar di udara. Bersamaan itu
terdengar pula dua ledakan keras mengguncang lembah yang ditebari terjalan batu
cadas. "Apa yang terjadi"! Beginikah rasanya orang hendak
tercabut nyawanya"! Tubuh terasa ringan dengan ke-
pala berputar-putar...," gumam Joko dalam hati den-
gan tidak berani buka mata.
Namun baru saja Joko membatin begitu, tiba-tiba
dia merasakan jeratan di kepalanya lepas. Sosoknya
kini terasa terbang tanpa kendali.
Pendekar 131 hendak menjerit. Namun suaranya
tertinggal di tenggorokan. Dia akan buka matanya,
namun justru yang dilakukan adalah pejamkan mata
rapat-rapat! Buukkk! Murid Pendeta Sinting jatuh terkapar di atas tanah.
Justru saat itulah mulutnya membuka perdengarkan
seruan tertahan!
"Aduh.... Sudah matikah aku..."!"
"Kau adalah Pujaanku. Bagaimana kau akan pergi
meninggalkan Bidadarimu ini selama-lamanya tanpa
pesan"! Kau belum mati, Pujaanku! Kalaupun mati....
Kita harus mati bersama-sama seperti janji yang per-
nah kita ucapkan di bawah siraman bulan purna-
ma...." Tiba-tiba terdengar suara menyahut.
"Aku hafal benar siapa yang bersuara itu"! Apakah
dia bisa hidup di dua alam..."!" gumam murid Pendeta Sinting.
"Aku manusia biasa sepertimu, Pujaanku! Mana bi-
sa aku hidup di dua alam yang berbeda"! Bukalah ma-
tamu. Pandanglah Bidadarimu ini...."
"Suara itu.... Jadi aku masih hidup...?" Joko mem-
batin. Lalu perlahan-lahan buka kelopak matanya.
Yang terlihat pertama kali adalah hamparan langit bi-ru. Lalu terjalan-terjalan
batu cadas. Pendekar 131 terus edarkan bola matanya ke sam-
ping. Saat itulah sepasang matanya melihat seraut wajah yang dibalut gumpalan
daging, hingga sepasang
matanya laksana melesak masuk ke dalam lipatan
daging dan hampir-hampir tidak kelihatan.
"Putri Pusar Bumi!" kata Joko dengan berbisik. Lalu
berusaha bangkit. Sosoknya memang oleng beberapa
kali sebelum akhirnya bisa duduk dengan kepala me-
noleh ke samping.
Pendekar 131 melihat seorang nenek berambut pan-
jang hingga betis. Wajahnya tebal dengan gumpalan
daging. Demikian pula perut dan bahunya. Nenek
tambun besar ini mengenakan pakaian ketat warna
merah. Dia bukan lain adalah Putri Pusar Bumi.
Joko putar pandangan. Sejarak dua puluh langkah
di seberang sana terlihat Hantu Pesolek tegak dengan mata berkilat memandang
silih berganti pada Joko dan Putri Pusar Bumi.
"Hem.... Jadi aku benar-benar masih hidup!" Akhir-
nya Joko baru percaya. Lalu berpaling lagi pada Putri Pusar Bumi dan berkata.
"Terima kasih, Bidadariku...."
Ucapan Joko belum selesai, tiba-tiba Hantu Pesolek
sudah berkelebat ke depan lalu tegak tujuh langkah di
hadapan Putri Pusar Bumi. Bola matanya menatap se-
saat lalu berpaling pada dua bongkahan batu cadas
yang porak-poranda terkena hantamannya yang lolos
menghajar sosok murid Pendeta Sinting. Saat lain dia berucap garang.
"Putri Pusar Bumi! Kita sudah saling kenal! Di anta-
ra kita tidak ada silang sengketa! Aku sekarang punya urusan dengan pemuda itu!
Kuharap kau segera angkat kaki tidak ikut campur!"
"Hantu Pesolek.... Ah.... Ah.... Apa urusanmu de-
ngan pemuda ini aku tidak akan turut campur! Tapi
perlu kau tahu. Aku adalah Bidadarinya. Dan dia ada-
lah Pujaanku.... Kami sudah berjanji untuk tidak hi-
dup atau hidup bersama-sama selalu.... Maka dari itu, kalau kau ingin
membunuhnya, berarti kau juga harus
membunuhku! Aku tak bisa hidup tanpa diri-nya...."
Hantu Pesolek sentakkan kepala menghadap lurus
pada Putri Pusar Bumi. Tanpa buka suara lagi sosok-
nya berkelebat. Putri Pusar Bumi berpaling pada murid Pendeta Sinting yang duduk
di sebelahnya. Bersamaan
itu rambutnya yang panjang berkibar perdengarkan
deruan angker menyongsong kelebatan Hantu Pesolek!
Karena tidak menduga, Hantu Pesolek tampak ter-
kejut di atas udara. Hal ini membuatnya terlambat untuk membuat gerakan
menghindar. Namun pemuda ini
tidak tinggal diam. Kedua tangannya segera dihantam-
kan! Namun untuk kedua kalinya Hantu Pesolek ter-
kesiap. Geraian rambut Putri Pusar Bumi tahu-tahu
sudah menjerat kedua tangannya! Dan belum sempat
Hantu Pesolek membuat gerakan menendang, di ba-
wah sana Putri Pusar Bumi sudah gerakkan lagi kepa-
lanya. Werr! Kedua tangan Hantu Pesolek terangkat ke udara.
Bersamaan itu tubuhnya ikut pula terbang ke ang-
kasa. Putri Pusar Bumi maju satu langkah. Saat lain pe-
rempuan bertubuh tambun besar ini gerakkan kepala
pulang balik ke kanan kiri dengan cepat.
Terdengar deruan beberapa kali. Sosok Hantu Peso-
lek terombang-ambing di udara mengikuti gerakan ke-
pala Putri Pusar Bumi.
"Hem.... Jadi yang menjerat kepalaku tadi adalah
rambut nenek ini!" gumam murid Pendeta Sinting se-
raya perhatikan sosok Hantu Pesolek.
"Jahanam!" teriak Hantu Pesolek dari atas udara.
Dia kerahkan tenaga dalam. Lalu angkat kedua kaki-
nya untuk menghajar geraian rambut si nenek.
Tapi belum sampai kedua kaki Hantu Pesolek me-
nendang, Putri Pusar Bumi sudah sentakkan kepala-
nya. Rambutnya yang menjerat kedua tangan Hantu
Pesolek lepas. Namun geraian rambut itu bukannya
segera luruh ke bawah, melainkan meliuk lalu melesat lagi ke atas menyergap
sosok Hantu Pesolek!
SEMBILAN HANTU Pesolek tersentak kaget. Tundukkan wajah
dia tercengang sendiri. Kini geraian rambut si nenek sudah melilit tubuhnya!
"Keparat!" lagi-lagi Hantu Pesolek berteriak marah.
Dia kelebatkan kedua tangannya menghantam pada
geraian rambut si nenek.
Tapi hantaman kedua tangan Hantu Pesolek hanya
menghajar udara kosong. Karena bersamaan dengan
itu Putri Pusar Bumi sentakkan kepalanya ke bawah.
Hingga geraian yang melilit tubuh Hantu Pesolek terlepas. Hebatnya, lilitan itu
mampu merobek pakaian
yang dikenakan Hantu Pesolek mulai dari dada hingga
sebatas pahanya!
Hantu Pesolek menyumpah habis-habisan dari atas
udara. Lalu memandang pada robekan pakaiannya
yang melayang-layang ke bawah.
"Kain peta itu...," seru Hantu Pesolek. Tanpa hirau-
kan aurat bawahnya yang terbuka menganga, Hantu
Pesolek berkelebat mengejar. Namun gerakannya ter-
tahan tatkala tiba-tiba geraian rambut Putri Pusar
Bumi sudah menderu dan menyambar robekan pa-
kaian dan kain peta yang tadi tersimpan di balik pa-
kaian Hantu Pesolek.
Di samping Putri Pusar Bumi, Pendekar 131 meng-
awasi kain peta yang tersambar geraian rambut si ne-
nek. Dan begitu geraian rambut itu berbalik pada ke-
pala Putri Pusar Bumi, robekan pakaian dan kain peta terhampar lima langkah di samping
sosok murid Pendeta Sinting.
Joko tidak menunggu. Dia segera tekuk tubuhnya
lalu menggelundung ke arah kain dan robekan pakaian
Hantu Pesolek. Kain peta dan robekan pakaian Hantu
Pesolek segera diraih lalu dimasukkan ke balik pa-
kaiannya. Hantu Pesolek melayang turun dengan dada laksa-
na pecah karena hawa marah. Dia sudah kerahkan se-
genap tenaga luar dalamnya. Namun begitu sadar
akan keadaan auratnya yang terbuka menganga, pe-
muda berperangai perempuan ini cepat katupkan ke-
dua tangannya pada bagian pangkal pahanya. Lalu pu-
tar diri di atas udara dan menjejak tanah dengan tegak membelakangi Putri Pusar
Bumi dan Pendekar 131.
"Bidadariku...." Berkata murid Pendeta Sinting sam-
bil tertawa meski dadanya masih nyeri saat tertawa.
"Mengapa bentuk senjatanya aneh"! Dan warnanya
pun mengherankan. Tidak seperti layaknya, tapi be-
lang putih hitam..."!"
"Pujaanku.... Jangan membuatku malu. Ah.... Ah....
Tidak baik membuka barang rahasia orang! Mungkin
itu dipoles agar terlihat keren dan bisa tampil beda!
Tapi menurutku malah jadi lucu...."
"Bukan saja lucu, tapi juga menggemaskan!" timpal
Joko. "Bukan saja menggemaskan, tapi juga mendirikan
bulu roma!" sambung Putri Pusar Bumi.
"Bukan saja mendirikan bulu roma, tapi juga bulu
ketiak!" sambut Pendekar 131 lalu tawanya meledak.
Di sampingnya, Putri Pusar Bumi tekap mulutnya
rapat-rapat. Namun tak urung suara tawanya me-
nyembur keluar. Hingga gumpalan daging pada perut
dan wajahnya terguncang-guncang turun naik.
Hantu Pesolek sendiri tampak tak bisa menahan di-
ri mendengar ucapan-ucapan murid Pendeta Sinting
dan Putri Pusar Bumi. Sosoknya bergetar keras tanda
hawa amarahnya tak bisa dibendung lagi. Namun kea-
daan dirinya membuat tokoh yang sebenarnya sudah
berusia lanjut meski terlihat muda ini tak tahu apa
yang harus dilakukannya. Hingga untuk beberapa la-
ma dia hanya berdiri membelakangi Joko dan Putri
Pusar Bumi dengan takupkan kedua telapak tangan-
nya pada pangkal paha.
Di lain pihak, puas tertawa Pendekar 131 segera
buka mulut lagi.
"Bidadariku.... Lihat! Bukan saja senjatanya yang
terlihat aneh dan berwarna beda. Tapi pantatnya juga lain dari biasa!"
"Ah.... Ah.... Kau makin membuatku malu saja, Pu-
jaanku! Aku tak berani memandangnya. Tapi tolong
Jelaskan apa yang kau katakan lain dari biasa itu!"
"Pantas sebelah kanan padat, besar, kencang, putih
mulus, pokoknya menggairahkan dan sedap dipan-
dang...!" "Ah.... Ah.... Ucapanmu membuat dadaku berdebar-
debar tak karuan. Lantas pantat satunya"!"
Pendekar 131 cekikikan dahulu sebelum akhirnya
menjawab. "Pantat sebelah kiri kendor, tipis, hitam le-gam, di sana-sini
terlihat bisul besar-besar berwarna merah menyala dan sepertinya siap meledak!"
Hantu Pesolek bantingkan kaki hingga tanahnya
Joko Sableng 38 Bidadari Delapan Samudra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
muncrat dan bergetar. Lalu berteriak.
"Putri Pusar Bumi! Kau menambah deretan nama
manusia bangsat yang nyawanya kelak hanya boleh
tercabut dengan tanganku! Dan kau Pendekar 131! Ke-
lak nyawamu akan kucabut dua kali!"
Habis berteriak begitu, Hantu Pesolek hantamkan
kembali kaki kirinya. Lalu melesat tinggalkan tempat itu dengan kedua tangan
menakup selangkangannya
yang terbuka menganga!
"Terima kasih atas pertolonganmu, Putri...," kata
Joko seraya menjura hormat.
Putri Pusar Bumi tidak menyahut. Sebaliknya men-
dekati Joko dan tegak di belakangnya.
Dada Joko jadi berdebar. Baru saja dia hendak ber-
paling, mendadak Putri Pusar Bumi sudah bungkuk-
kan tubuh. Tangan kanannya ditempelkan pada pung-
gung murid Pendeta Sinting.
Joko maklum apa yang dilakukan orang. Dia cepat
salurkan hawa murni lalu pejamkan mata. Perlahan-
lahan rasa nyeri pada dadanya lenyap. Demikian pula
rasa sakit pada lambung dan bahunya.
Untuk pulihkan seluruh tenaganya, Joko teruskan
pejamkan mata dengan salurkan hawa murni meski
dia merasa telapak tangan si nenek sudah diangkat
dari punggungnya.
Setelah beberapa lama, baru Joko buka lagi sepa-
sang matanya. Lalu berucap. "Putri.... Sekali lagi kuucapkan terima kasih...."
Karena tidak ada sahutan, murid Pendeta Sinting
menoleh. Ternyata yang diajak bicara sudah tidak kelihatan lagi batang
hidungnya! "Ke mana perginya..."!" gumam Joko sambil putar
pandangan. Namun hingga kepalanya teleng dan mata-
nya pedih mencari-cari, sosok si nenek tidak dapat di-temukan.
"Kepada siapa lagi aku harus bertanya"!" gumam
Joko seraya melangkah tinggalkan lembah berbatu ca-
das. *** Kita tinggalkan dahulu murid Pendeta Sinting yang
tengah tenggelam dalam kebingungan tak tahu ke ma-
na harus bertanya. Kita kembali sejenak pada satu
tempat tidak jauh dari tempat bentroknya Bidadari Pedang Cinta dengan Bidadari
Tujuh Langit. Di balik salah satu batangan pohon besar, seorang
laki-laki bertubuh cebol berambut panjang hingga me-
nyapu tanah yang di pinggangnya melilit sebuah pe-
dang berkilat dan bukan lain adalah Iblis Pedang Kasih adanya, terlihat duduk
bersandar pada batangan pohon. Matanya memandang pada dua sosok tubuh yang
duduk di hadapannya. Sebelah kanan adalah seorang
gadis berbaju hijau berwajah cantik. Sebelah kiri adalah juga seorang gadis
berparas jelita mengenakan pakaian warna biru. Mereka adalah dua gadis yang sem-
pat bentrok dengan Bidadari Tujuh Langit dan sempat
tertotok hingga tak bisa bergerak tak mampu bicara.
Namun ketika Bidadari Tujuh Langit tengah lepaskan
pukulan dan suasana berubah pekat, satu bayangan
berkelebat laksana setan gentayangan menyambar so-
sok gadis berbaju hijau yang bukan lain adalah Bida-
dari Pedang Cinta dan gadis berbaju biru.
"Terima kasih atas pertolonganmu...." Si gadis ber-
baju biru angkat suara setelah beberapa lama terdiam.
Berkat pertolongan si bayangan yang ternyata ada-
lah Iblis Pedang Kasih, Bidadari Pedang Cinta dan gadis berbaju biru bisa
gerakkan anggota tubuhnya lagi, juga mampu perdengarkan suara.
Iblis Pedang Kasih tersenyum. Lalu buka suara.
"Kau tak keberatan mengatakan siapa dirimu"!"
Gadis berbaju biru melirik sesaat pada Bidadari Pe-
dang Cinta. Lalu buka mulut.
"Aku biasa dipanggil Bidadari Delapan Samudera."
"Sepertinya kau sedang mengadakan perjalanan
jauh.... Bisa jelaskan akan ke mana?"
Yang ditanya menghela napas panjang sebelum ak-
hirnya berkata.
"Aku memang tengah mengadakan perjalanan. Bu-
kan hanya jauh tapi juga tak tahu ke mana arah yang
harus kutuju...."
Ucapan gadis baju biru membuat Iblis Pedang Kasih
tertawa pendek. Tapi tidak demikian halnya dengan
Bidadari Pedang Cinta. Gadis baju hijau cucu Iblis Pedang Kasih ini berpaling
dan berkata dalam hati. "Dari ucapannya, yang dicari pasti Lembah Tujuh Bintang
Tujuh Sungai seperti halnya pemuda bernama Joko
Sableng itu.... Bukankah dia adalah kekasih pe-muda
itu"!" Bidadari Pedang Cinta teringat akan ucapan
Pendekar 131 saat mengatakan pada Bidadari Tujuh
Langit jika salah satu dari dirinya atau gadis berbaju
biru adalah kekasihnya.
"Bidadari Delapan Samudera.... Ucapanmu aneh!"
berkata Iblis Pedang Kasih. "Tapi aku bisa menebak
apa maksud ucapanmu! Jika tak salah, kau tengah
mencari seseorang yang tempat tinggalnya tak kau ke-
tahui...."
Bidadari Delapan Samudera anggukkan kepala.
"Sebenarnya bukan hanya itu. Selain aku tak tahu di
mana tempat tinggalnya, aku juga tak tahu siapa na-
manya!" Bidadari Pedang Cinta makin kernyitkan dahi men-
dengar sambutan Bidadari Delapan Samudera. Tapi
entah mengapa, dia punya perasaan enggan untuk bu-
ka mulut ajukan tanya. Sementara Iblis Pedang Kasih
tidak unjukkan rasa heran dengan sambutan Bidadari
Delapan Samudera. Dia tertawa lagi lalu berkata.
"Kau mencari seseorang yang hanya kau ketahui
bagaimana ciri-cirinya?"
Bidadari Delapan Samudera anggukkan kepala. La-
lu memandang berkeliling. Diam-diam gadis jelita berbaju biru Ini berkata dalam
hati. "Dari percakapan bisik-bisik mereka tadi, aku tahu gadis bernama Bidada-ri
Pedang Cinta ini adalah cucunya. Hem.... Tapi ke
mana pemuda yang mengaku sebagai kekasihnya ta-
di"! Apakah masih terlibat bentrok dengan perempuan
cantik yang bernama Bidadari Tujuh Langit itu..."!"
Membatin begitu, Bidadari Delapan Samudera sege-
ra melirik ke seantero tempat di mana dia kini berada.
Namun baru saja bola matanya bergerak, Iblis Pe-
dang Kasih sudah berucap.
"Aku tidak punya maksud apa-apa. Tapi kalau kau
mau mengatakan bagaimana ciri-ciri orang yang ten-
gah kau cari, mungkin...."
"Terima kasih, Orang Tua...." Bidadari Delapan Sa-
mudera memotong ucapan Iblis Pedang Kasih. "Kurasa
aku mampu menyelesaikan urusanku tanpa bantuan-
mu...!" "Kau mencari seorang laki-laki"!" tanya Iblis Pedang Kasih tidak peduli dengan
penolakan halus Bidadari
Delapan Samudera.
"Maaf, Orang Tua.... Kalau urusan lain, mungkin
aku akan berterus terang padamu, karena kau telah
menolongku. Tapi untuk urusan satu ini, biarlah
hanya aku yang tahu...."
"Kau jangan menganggap apa yang kulakukan ada-
lah sebuah jasa. Seandainya pun tadi kau tidak ber-
sama cucuku Bidadari Pedang Cinta ini, pasti aku te-
tap melakukan hal yang sama! Jadi kau tak usah me-
rasa sungkan mengatakannya...! Siapa tahu aku bisa
membantu!"
Bidadari Delapan Samudera geleng kepala. "Masa-
lahnya bukan itu, Orang Tua. Ini adalah urusan teka-
teki hidupku... Jadi rasanya tak layak kalau aku meli-batkanmu di dalamnya...
Sekali lagi harap maafkan..."
Habis berkata begitu, Bidadari Delapan Samudera
melirik pada Bidadari Pedang Cinta. Entah karena apa, begitu melihat paras wajah
Bidadari Pedang Cinta, dia teringat pada Pendekar 131 Joko Sableng. Dan mendadak
hatinya berdebar dengan perasaan gelisah.
"Mengapa dia tidak muncul juga di tempat ini" Kalau
gadis ini adalah cucunya, sementara pemuda itu ada-
lah kekasih gadis ini, kuyakin pasti dia tahu di mana harus mencari! Ah....
Mengapa aku memikirkannya"!"
Paras wajah Bidadari Delapan Samudera jadi bersemu
merah dan tertawa sendiri dalam hati. Lalu berkata.
"Orang tua.... Aku harus segera pergi...."
"Seandainya aku bisa mencegah, rasanya aku san-
gat gembira. Apalagi jika kau berubah pikiran dengan
mau mengatakan bagaimana ciri orang yang kau ca-
ri...," ujar Iblis Pedang Kasih.
"Seandainya nanti aku gagal tanpa bantuan, pasti
aku akan mencarimu untuk minta tolong...." Bidadari
Delapan Samudera sambuti ucapan Iblis Pedang Kasih
sambil bergerak bangkit. Menjura hormat pada Iblis
Pedang Kasih, lalu menoleh pada Bidadari Pedang Cin-
ta seraya sunggingkan senyum dan mengangguk lan-
tas putar diri dan berkelebat keluar dari balik batangan pohon.
SEPULUH BEGITU berlari keluar dari balik batangan pohon,
entah mengapa mendadak rasa gelisah kembali mem-
buncah dada Bidadari Delapan Samudera. Dia henti-
kan larinya dan tegak seraya sedikit tegakkan wajah.
"Aku tidak bisa memastikan berapa lama berada di
balik pohon bersama orang tua dan gadis itu. Tapi aku hampir bisa menduga, jika
tidak terjadi apa-apa dengan pemuda itu, pasti dia telah muncul atau setidaknya
dia mencari.... Anehnya, mengapa gadis dan orang tua itu tidak merasa gelisah"
Mereka juga tidak menyebut-nyebut pemuda itu.... Padahal, dari ucapan si pemuda
dan tatapan gadis baju hijau itu, aku bisa menebak jika mereka berdua adalah
sepasang kekasih....
Hem.... Apakah aku harus melihat ke tempat mana dia
tadi bentrok dengan perempuan berbaju putih itu..."
Tapi apa pantas..." Bagaimana kalau tiba-tiba gadis
baju hijau itu juga berada di sana"! Apa katanya nan-ti..."! Hem.... Aku tahu
mereka adalah sepasang kekasih, tapi mengapa aku...." Bidadari Delapan Samudera
tidak lanjutkan membatin. Dia gigit bibirnya sendiri
dengan menghela napas panjang. Dan untuk beberapa
lama, gadis jelita ini tegak dengan perasaan yang makin lama tambah gelisah dan
cemas. "Aku harus melihatnya!" Akhirnya Bidadari Delapan
Samudera mengambil keputusan. "Terserah apa kata-
nya nanti! Aku hanya ingin memastikan keselamatan-
nya. Karena bagaimanapun juga dia tadi telah ber-
usaha menolongku dari tindakan aneh Bidadari Tujuh
Langit..."
Berpikir sampai ke sana, akhirnya Bidadari Delapan
Samudera putar tubuh. Lalu berkelebat menuju tem-
pat mana dia tadi sempat bertemu dengan Bidadari
Pedang Cinta, Bidadari Tujuh Langit, dan Pendekar
131. Karena masih dihantui rasa tak enak jika bertemu
dengan Bidadari Pedang Cinta, Bidadari Delapan Sa-
mudera sengaja memilih jalan berputar dan sesekali
menyelinap sembunyi begitu merasa dekat dengan
tempat yang dituju.
Namun begitu sampai di tempat di mana tadi terjadi
bentrok antara Bidadari Tujuh Langit dan Pendekar
131, Bidadari Delapan Samudera tidak melihat siapa-
siapa. Gadis ini memperhatikan sekeliling beberapa
saat. Yakin jika Bidadari Pedang Cinta tidak berada di sekitar tempat itu,
Bidadari Delapan Samudera beranikan diri melangkah berkeliling dengan mata
nyalang mencari-cari. Walau Bidadari Delapan Samudera tidak mene-
mukan siapa-siapa, namun kegelisahan dada gadis ini
agak berkurang. "Aku tidak menemukan mereka, tapi
juga tidak menemukan mayat mereka, berarti pemuda
itu masih hidup! Hanya saja, ke mana dia..."! Mung-
kinkah tengah mencari gadis berbaju hijau itu..."!"
Tak tahu mana dugaannya yang tepat, akhirnya Bi-
dadari Delapan Samudera memutuskan tinggalkan
tempat itu meski dadanya masih digelayuti perasaan
tidak enak. Dan tampaknya perasaan tidak enak yang terus
mendera dada Bidadari Delapan Samudera membuat
gadis berparas jelita ini berlari dengan setengah hati.
Malah pada satu tempat rindang di pinggiran sungai
kecil, gadis ini hentikan larinya lalu duduk di salah sa-tu batu yang berada di
pinggiran sungai. Kedua kaki-
nya yang putih mulus dibuat mainan di permukaan air
hingga suasana sunyi di pinggiran sungai samar-sa-
mar dipecah suara berkecipaknya gemercik muncratan
air. Suara kecipak air untuk sementara dapat meredam kegelisahan hati Bidadari
Delapan Samudera. Gadis ini tampak sunggingkan senyum. Namun semua itu tidak
berlangsung lama.
Saat gadis jelita ini memperhatikan kakinya yang
ada di atas permukaan air, mendadak dia hentikan ge-
rakan kakinya. Senyumnya pupus berganti wajah se-
dikit gelisah dan kaget. Sepasang matanya membela-
lak. Permukaan air bukan pantulkan wajahnya namun
pantulkan raut wajah milik orang lain yang belum la-
ma berselang membuat dadanya gelisah!
"Mengapa aku selalu teringat padanya"! Ada apa
dengan diriku"! Dia telah memiliki seorang kekasih....
Tidak seharusnya aku selalu mengingatnya!" Bidadari
Delapan Samudera cepat-cepat tegakkan wajahnya
tengadah, menghindari pantulan permukaan air yang
menggambarkan raut wajah murid Pendeta Sinting.
"Ada tugas yang harus segera kuselesaikan! Aku tidak boleh terus tenggelam dalam
kegelisahan ini!"
Dengan tegarkan hati, Bidadari Delapan Samudera
angkat kedua kakinya dari permukaan air. Namun be-
lum sampai pantatnya bergerak, terdengar suara.
"Aku tidak bermaksud mengganggu. Aku hanya in-
gin bertanya kalau kau tidak merasa keberatan...."
Dada Bidadari Delapan Samudera laksana disapu
angin. Berdesir sesaat lalu berdebar. Namun gadis ini segera kuasai diri dan
berkata dalam hati. "Orangnya belum tentu sama walau suaranya hampir mirip!"
Tapi ketabahan Bidadari Delapan Samudera perla-
han-lahan luruh tatkala dia teruskan ucapan hatinya.
Joko Sableng 38 Bidadari Delapan Samudra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagaimana kalau benar-benar dia ada bersama Bida-
dari Pedang Cinta..."!"
"Tampaknya kau tak mau diganggu.... Aku akan se-
gera pergi!" Suara yang tadi terdengar, kembali ber-
ucap. "Tunggu!" Bidadari Delapan Samudera menahan, la-
lu perlahan-lahan putar tubuhnya yang masih duduk
di atas batu di pinggiran sungai.
"Ternyata memang dia.... Dan dia sendirian!" gu-
mam Bidadari Delapan Samudera ketika matanya me-
lihat satu sosok tubuh milik seorang pemuda berwajah tampan dengan rambut
panjang sedikit acak-acakan
dan bukan lain adalah Pendekar 131.
Karena perasaannya gembira, khawatir dan gelisah,
untuk beberapa lama Bidadari Delapan Samudera
hanya duduk memandang tanpa buka suara. Sebalik-
nya, murid Pendeta Sinting meski tampak gembira
namun perasaannya biasa-biasa saja. Karena sebenar-
nya saat itu dia memang butuh seseorang yang bisa
memberi keterangan.
Sejak keluar dari lembah berbatu cadas dan tertipu
oleh Hantu Pesolek, murid Pendeta Sinting memang te-
lah dilanda kebingungan. Hingga dia teruskan langkah dengan tanpa tujuan. Dan
begitu melihat Bidadari Delapan Samudera, Joko merasa lega. Karena dari uca-
pan dan tindakannya saat membela Bidadari Pedang
Cinta, Joko bisa menarik kesimpulan jika gadis berba-ju biru itu adalah gadis
baik-baik. "Kau tengah menunggu seseorang"!" Murid Pendeta
Sinting pecah kebisuan dengan ajukan tanya. Lalu ba-
las pandangan si gadis. Hingga untuk beberapa saat
kedua orang ini saling berpandangan.
Bidadari Delapan Samudera gelengkan kepala sam-
bil alihkan pandang matanya ke jurusan lain dengan
sembunyikan parasnya yang berubah memerah.
"Kehadiranku mengganggumu"!" kembali Joko ber-
tanya. Lagi-lagi Bidadari Delapan Samudera menjawab
dengan isyarat gelengan kepalanya.
"Boleh aku bertanya"!"
Bidadari Delapan Samudera menoleh lagi mengha-
dap Pendekar 131. Namun tidak berusaha menatap
bola mata murid Pendeta Sinting. Dia tenangkan da-
danya beberapa lama sebelum akhirnya buka mulut.
"Apa yang akan kau tanyakan...?"
"Kau tiba-tiba saja lenyap dan kutemukan di sini!
Kau sendirian"!"
Bidadari Delapan Samudera tidak segera menjawab.
"Hem.... Aku tahu maksud pertanyaannya. Dia pasti
mengkhawatirkan Bidadari Pedang Cinta! Berarti dia
belum bertemu dengan kekasihnya itu! Dia sekarang
tengah mencari!"
Membatin begitu, Bidadari Delapan Samudera sege-
ra buka mulut. "Kau mencari kekasihmu"!"
Pendekar 131 tersentak dengan pertanyaan balik
Bidadari Delapan Samudera. Dia tertawa panjang lalu
berkata. "Aku heran ketika kau tiba-tiba tidak kulihat lagi
dan kutemukan di sini sendirian! Kau bias menje-
laskan"!"
"Aku ditolong seseorang. Laki-laki bertubuh pendek
dan berambut panjang...."
"Hem.... Iblis Pedang Kasih...," ujar Joko. "Lalu...."
Tampaknya Bidadari Delapan Samudera sudah bisa
menebak ke mana arah ucapan Pendekar 131. Hingga
sebelum Joko sempat lanjutkan bicara, Bidadari Dela-
pan Samudera sudah menukas.
"Seperti halnya diriku, kekasihmu juga tidak men-
galami cedera apa-apa! Kau belum bertemu dengan
mereka"!"
"Aneh.... Dari tadi dia selalu menyebut-nyebut ke-
kasihku! Aku tahu siapa yang dimaksud. Pasti Bidada-
ri Pedang Cinta! Mengapa dia menduga aku adalah ke-
kasih Bidadari Pedang Cinta"! Hem.... Dia telah dis-
elamatkan Iblis Pedang Kasih yang juga adalah eyang Bidadari Pedang Cinta.
Jangan-jangan orang tua itu
yang iseng menebar berita pada gadis ini!" Pendekar
131 menduga-duga. Dia lupa akan ucapannya sendiri
saat bentrok dan mencegah Bidadari Tujuh Langit
yang akan bertindak tidak senonoh pada Bidadari Pe-
dang Cinta dan Bidadari Delapan Samudera.
Bidadari Delapan Samudera melompat dari batu di
pinggiran kali. Lalu tegak dan berujar.
"Aku berterima kasih padamu. Setidaknya kau telah
ikut menyelamatkan jiwaku dari Bidadari Tujuh La-
ngit... Soal orang tua bertubuh pendek...."
"Dia Iblis Pedang Kasih...," sahut Joko memperke-
nalkan orang yang dimaksud Bidadari Delapan Samu-
dera. "Hem.... Dia dan kekasihmu sekarang berada tidak
jauh dari tempat di mana kita sempat bentrok dengan
Bidadari Tujuh Langit.... Mereka ada di balik sebuah
batangan pohon besar.... Mungkin mereka tengah me-
nunggumu!"
Mendengar keterangan Bidadari Delapan Samudera,
murid Pendeta Sinting tertawa. Lalu berujar seolah
berkata pada dirinya sendiri.
"Menungguku..."! Untuk apa..."!"
Mendengar ucapan murid Pendeta Sinting, kini gan-
ti Bidadari Delapan Samudera yang tertawa seraya
berkata. "Sayang aku tidak sempat menanyakan pada mere-
ka. Lagi pula rasanya tidak pantas hal itu kutanya-
kan... Segeralah ke sana! Jangan buat mereka menanti dengan perasaan khawatir
dan cemas...."
Setelah berkata begitu, Bidadari Delapan Samudera
hendak berlalu tinggalkan pinggiran sungai.
"Tunggu!"
"Aku tak mau mendapat urusan dengan orang yang
telah menolongku hanya gara-gara karena kita bicara
di tempat ini!" berkata Bidadari Delapan Samudera
dengan suara agak ketus.
"Kau ini aneh... Bagaimana kau bisa mengatakan
mereka menungguku"! Bagaimana pula kau bisa men-
gatakan mereka akan khawatir dan cemas pada diri-
ku"! Apa hubungan dan kaitan mereka dengan diri-
ku..."!"
Bidadari Delapan Samudera berpaling dengan mata
sedikit mendelik.
"Kau berani mengatakan terus terang di hadapan
gadis itu! Tapi begitu dia tidak ada di depanmu, mengapa kau jadi lain"!" ujar
Bidadari Delapan Samudera dengan tertawa gusar. "Jangan kau jadi pemuda
pengecut! Lebih dari itu aku tak mau mendapat tuduhan
yang bukan-bukan!"
Pendekar 131 lagi-lagi tertawa mendengar ucapan
Bidadari Delapan Samudera. Dan enak saja dia ber-
ucap. "Kau ini ada-ada saja.... Ucapan apa yang kukata-
kan di depan Bidadari Pedang Cinta..." Dan tuduhan
apa yang akan dialamatkan padamu"!" Joko sengaja
langsung menunjuk Bidadari Delapan Samudera.
Ucapan Pendekar 131 membuat Bidadari Delapan
Samudera putar diri menghadap murid Pendeta Sin-
ting dengan dada mulai jengkel. Dalam hati dia ber-
ucap. "Dasar laki-laki! Belum sampai matahari teng-
gelam tapi sudah lupa dengan kata-kata yang baru sa-
ja diucapkan!"
Karena Bidadari Delapan Samudera tidak segera
menjawab, Pendekar 131 segera berucap lagi.
"Mungkin kau salah dengar dengan apa yang ku-
ucapkan.... Kau juga terlalu punya perasaan yang ti-
dak-tidak.... Padahal, jangankan hanya bicara begini, seandainya pun kita jalan
bergandengan, kau tidak
akan mendapat tuduhan apa-apa...."
Sepasang mata Bidadari Delapan Samudera mende-
lik angker. Lalu terdengar bentakannya.
"Telingaku tidak tuli! Ingatanku masih normal!"
"Astaga.... Kau tidak main-main...?"
"Siapa main-main"! Telingaku dengar sendiri kau
menyebutnya kekasih di depan Bidadari Tujuh Langit
dan di depan mataku!"
"Ah...." Pendekar 131 mengeluh sambil tepuk jidat-
nya sendiri. Namun bersamaan dengan itu tawanya
meledak! "Apa yang kau anggap lucu"! Kau pikir semua ini
main-main, hah"!"
Pendekar 131 putuskan gelakan tawanya. "Hem....
Apa yang harus kukatakan padanya"! Apakah aku ha-
rus berterus terang kalau ucapanku itu hanya agar
aku mendapatkan alasan mengapa sampai Ikut cam-
pur urusan Bidadari Pedang Cinta dan urusannya
dengan Bidadari Tujuh Langit"! Tapi mungkinkah dia
percaya"! Apakah kalau aku berterus terang malah ti-
dak menambah dia salah paham..."!" Saat itulah Jo-ko baru ingat akan peringatan
orang tua pemilik kedai
Han Pek Kun. "Hem.... Ucapan orang tua itu ternyata
benar. Di hadapan seorang gadis, ucapan canda bisa
diartikan lain.... Tapi apa boleh buat.... Semua sudah telanjur terucapkan...."
"Dengar!" Bidadari Delapan Samudera membentak.
"Kau tentu sudah tahu tempat yang baru saja kukata-
kan! Pergilah cepat! Kau harus menghormati seorang
gadis yang menunggumu dengan cemas!"
Habis berkata begitu, Bidadari Delapan Samudera
berkelebat tinggalkan pinggiran sungai. Namun tanpa
buka mulut menahan, Joko mendahului berkelebat
dan tegak menghadang di hadapan sang Bidadari.
"Aku ingin menjelaskan sesuatu padamu...."
"Aku tak butuh penjelasan! Lagi pula di antara kita
tidak ada urusan apa-apa!"
"Justru kalau kau tidak mau dengar penjelasanku,
berarti di antara kita secara tak sengaja telah ada urusan!"
Bidadari Delapan Samudera tahan rasa jengkelnya.
Sambil alihkan pandang matanya ke jurusan lain, ga-
dis ini berkata dengan ketus.
"Katakan penjelasan apa yang akan kau ucapkan!
Tapi jangan berharap aku akan menanggapi penjelas-
anmu!" *** SEBELAS PENDEKAR 131 tersenyum. Lalu berkata. "Anggap
saja aku tidak pernah mengatakan apa-apa dan kau
tidak pernah dengar apa-apa! Saat ini kita berdiri sebagai orang yang baru saja
bertemu. Dan aku butuh
penjelasan darimu, karena kulihat kau orang daerah
sini dan paham dengan daerah sekitar sini...."
"Itu bukan penjelasan! Itu pernyataan laki-laki pen-
gecut!" Bidadari Delapan Samudera menyahut dengan
suara tinggi. "Hem.... Terserah bagaimana anggapanmu.... Yang
jelas menurutku, aku telah menjelaskan sesuatu pada-
mu! Dan aku sekarang hendak minta penjelasan dari-
mu...." Enak saja murid Pendeta Sinting berujar.
"Kau tak akan mendapat penjelasan apa-apa!"
"Kalau kau merasa keberatan, aku tidak memak-
sa.... Namun kuharap kau tidak merasa keberatan ka-
lau mengatakan siapa dirimu...."
"Pergilah menemui kekasihmu. Kau akan mendapat
jawaban!" "Itu pernyataan seorang gadis yang belum tahu...."
"Belum tahu apa"!" bentak Bidadari Delapan Samu-
dera. "Bukan jawaban yang akan kudapat, melainkan ge-
bukan!" "Bidadari Pedang Cinta sama sekali tidak menyebut-
nyebut pemuda ini.... Wajahnya juga tidak mem-
bayangkan perasaan khawatir atau cemas. Lalu penje-
lasan pemuda ini.... Hem.... Mungkin di antara mereka ada masalah! Ah.... Kalau
aku terus-terusan berada di tempat ini dan gadis itu tahu, tentu akan jadi
masalah besar...." Membatin Bidadari Delapan Samudera. Lalu
berkata. "Aku akan sebutkan siapa diriku. Tapi setelah itu
kau harus menemui mereka. Selesaikan urusan kalian
dengan baik-baik. Dan satu hai lagi, kuharap kau ti-
dak sebut-sebut diriku di hadapan kekasihmu itu. Bu-
kan karena apa, aku tak mau terjadi salah paham...."
Sebenarnya murid Pendeta Sinting hendak buka
mulut menyahut. Tapi sebelum suaranya sempat ter-
dengar, Bidadari Delapan Samudera telah mendahului.
"Kau bisa memanggilku Bidadari Delapan Samude-
ra...!" "Kau tahu daerah...."
"Aku hanya bisa memberi tahu siapa diriku. Soal
lainnya mungkin kau bisa menanyakannya pada orang
lain. Selamat tinggal!"
"Tunggu dulu!" lagi-lagi Pendekar 131 menahan.
Sebenarnya Bidadari Delapan Samudera tak ingin
batalkan niatnya untuk berkelebat. Namun sekuat te-
naga dia berusaha gerakkan kaki hendak pergi, hati-
nya justru makin tak tega. Hingga gadis ini akhirnya hanya tegak menunggu tanpa
buka suara. "Kau tidak bertanya siapa aku"!"
"Kalau kau sudi mengatakannya...."
"Aku Joko Sableng...."
"Hanya itu yang ingin kau katakan?" tanya Bidadari
Delapan Samudera.
"Boleh bertanya ke mana kau akan pergi?"
Bidadari Delapan Samudera menghela napas pan-
jang. Lalu geleng kepala dan berkata.
"Sebenarnya aku ingin menjawab pertanyaanmu.
Sayang.... Aku sendiri tak tahu harus ke mana..."
Joko Sableng 38 Bidadari Delapan Samudra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ah.... Sepertinya kita senasib!"
Bidadari Delapan Samudera berpaling. Tanpa me-
nunggu si gadis bertanya, murid Pendeta Sinting su-
dah mendahului berkata.
"Aku berasal dari negeri jauh. Mencari tempat yang
hanya kukenal namanya...."
"Hem.... Berarti kita tidak senasib!" ujar Bidadari
Delapan Samudera. "Kau lebih beruntung dariku. Kau
masih mengenal nama tempat yang kau cari. Sementa-
ra aku tidak!" Entah mengapa tiba-tiba Bidadari Delapan Samudera mau bicara
terus terang. "Maksudmu..."!"
"Aku hanya tahu cirinya! Tidak tahu di mana tem-
patnya!" "Kau mencari seseorang atau mencari satu tem-
pat"!"
Bidadari Delapan Samudera terdiam beberapa lama.
Gadis ini dilanda kebimbangan antara berterus terang atau tidak.
"Aku memang bukan orang daerah sini. Kita juga
baru kenalan. Tapi tidak ada salahnya kalau kau mau
mengatakannya padaku. Siapa tahu...."
"Apa yang bisa kau lakukan untukku"! Kau bukan
berasal dari negeri ini. Sementara urusanku masih
berhubungan erat dengan negeri ini! Rasanya percuma
aku mengatakannya padamu! Lagi pula kau masih
punya urusan yang harus kau selesaikan dengan gadis
itu.... Aku tak mau menambah beban...."
"Bidadari Delapan Samudera.... Kuharap kau per-
caya. Sebenarnya aku juga baru berkenalan dengan
Bidadari Pedang Cinta..."
Ucapan Joko membuat Bidadari Delapan Samudera
mendelik lagi. "Kau masih saja berlaku pengecut!"
"Ah.... Sebaiknya aku tidak mengungkit-ungkit uru-
san ucapanku di hadapan Bidadari Tujuh Langit. Ini
bisa membuat dia tidak mau memberi penjelasan yang
kuinginkan. Padahal dia sudah mulai mau berkata...."
Joko membatin. '"Baiklah.... Anggap saja ucapanku di hadapan Bi-
dadari Tujuh Langit benar. Sekarang mau menjawab
pertanyaanku tadi"! Kau mencari seseorang atau satu
tempat"!" Joko ulangi lagi pertanyaannya.
"Yang kucari seseorang. Tapi aku hanya tahu ciri-
nya tanpa tahu siapa nama dan tempat tinggalnya!"
"Urusannya..."!"
"Setelah kukatakan, kau mau memenuhi permin-
taanku untuk segera pergi dari sini menemui gadis
itu"!"
Pendekar 131 menghela napas. Lalu anggukkan ke-
pala. "Dialah yang bisa membuka...."
Belum sampai Bidadari Delapan Samudera sele-
saikan ucapannya, mendadak satu bayangan berkele-
bat. Gadis berbaju biru ini cepat putuskan ucapan. La-lu berpaling. Sepasang
matanya membelalak beberapa
saat. Lalu anggukkan kepala dan menoleh pada murid
Pendeta Sinting sambil berkata pelan.
"Aku harus segera pergi! Kuharap kau menceritakan
apa yang kita bicarakan agar nantinya tidak terjadi salah paham dan jadi pembuka
urusan!" Ucapan Bidadari Delapan Samudera membuat Pen-
dekar 131 batalkan niat untuk berpaling melihat siapa yang datang. Karena pada
saat itu Bidadari Delapan
Samudera sudah berkelebat.
"Bidadari.... Tunggu!"
Bidadari Delapan Samudera tidak pedulikan teria-
kan murid Pendeta Sinting. Malah gadis ini makin per-cepat kelebatannya.
Joko sudah akan mengejar. Namun niatnya terta-
han tatkala tiba-tiba terdengar suara.
"Aku tidak bermaksud mengganggu kalian.... Aku
tidak tahu kalau kalian berada di tempat ini!"
Pendekar 131 cepat berpaling. "Bidadari Pedang
Cinta..," gumamnya mengenali satu sosok tubuh yang
tegak sepuluh langkah di seberang depan sana. Gadis
ini tegak dengan memandang ke arah mana baru saja
Bidadari Delapan Samudera berkelebat pergi.
"Aku harus pergi...," berkata gadis yang baru mun-
cul, dan bukan lain memang Bidadari Pedang Cinta
adanya. "Tunggu! Aku ingin bicara denganmu!" tahan murid
Pendeta Sinting lalu melompat dan tegak tidak jauh
dari Bidadari Pedang Cinta.
"Kau masih punya urusan yang harus kau selesai-
kan! Kau masih punya kesempatan untuk mengejar-
nya sebelum dia pergi jauh...."
"Waduh.... Pasti urusannya sama dengan Bidadari
Delapan Samudera! Mengapa harus jadi begini akibat-
nya"!" Joko mengeluh dalam hati bisa membaca dari
sambutan Bidadari Pedang Cinta. "Dia yang bisa mem-
beri petunjuk. Aku harus bisa menjernihkan urusan
ini. Jika tidak, aku akan kehilangan lagi tempat untuk bertanya...."
Membatin sampai di situ, Pendekar 131 akhirnya
berkata. "Bidadari Pedang Cinta. Aku ingin menjelaskan se-
suatu padamu!"
Bidadari Pedang Cinta geleng kepala. "Aku berada di
tempat ini tidak sengaja! Jadi jangan kau mengira yang bukan-bukan! Tidak ada
yang perlu dijelaskan antara
kita!" "Hem.... Maksudku, aku ingin menjelaskan ucapan-
ku saat bicara dengan Bidadari Tujuh Langit!"
"Ucapan yang mana"!"
"Aku saat itu mengatakan bahwa salah satu di an-
tara dirimu dan Bidadari Delapan Samudera adalah
kekasihku...."
"Aku sudah paham apa maksud ucapanmu itu! Ti-
dak perlu dijelaskan lagi!"
"Bukan begitu! Ucapan itu masih perlu penjelasan!
Ucapan itu kukatakan dengan maksud agar kau punya
alasan ikut campur menahan tindakan Bidadari Tujuh
Langit!" Bidadari Pedang Cinta tertawa pendek. Nadanya je-
las menunjukkan rasa tidak percaya. Lalu sambil ber-
paling dia berkata.
"Keberadaanmu di tempat ini membuatku tidak ya-
kin dengan ucapanmu!"
"Waduh.... Apa yang harus kuperbuat sekarang"!
Yang satu tidak percaya. Satunya lagi tidak yakin!"
"Bidadari Pedang Cinta...." Akhirnya Joko berkata
setelah agak lama terdiam. "Kau boleh yakin atau ti-
dak. Yang jelas aku mengatakan apa adanya! Lebih da-
ri itu kau harus tahu. Penjelasanku ini bukan karena aku butuh keterangan darimu
tentang Lembah Tujuh
Bintang Tujuh Sungai!"
"Hem.... Lalu apa maksudmu menjelaskan pada-
ku"!"
"Agar nantinya tidak terjadi salah paham...."
"Salah paham apa"! Hubunganmu dengan gadis itu
adalah urusanmu! Apa yang patut dijadikan alasan sa-
lah paham"! Atau kau berpikir aku akan ribut urusan
hubunganmu dengan gadis itu hanya gara-gara kau
mengucapkannya di hadapanku, begitu"!"
"Bukan begitu maksudku...."
"Lalu..."!"
Belum sempat Joko buka mulut menjawab karena
merasa kebingungan harus menjawab bagaimana,
mendadak dua sosok bayangan berkelebat.
Pendekar 131 dan Bidadari Pedang Cinta segera
berpaling. Memandang ke depan, mereka melihat dua
gadis tegak berjajar. Sebelah kanan adalah seorang
gadis berparas cantik. Rambutnya disanggul tinggi ke atas dan diberi konde.
Kulitnya putih. Hidungnya mancung dengan bibir membentuk bagus. Gadis ini menge-
nakan pakaian warna merah. Sementara gadis sebelah
kiri juga berparas cantik. Sekali orang melihat, pasti sudah dapat menebak jika
kedua gadis ini adalah
kembar. Karena parasnya memang mirip. Yang mem-
bedakan keduanya adalah pakaian yang dikenakan.
Yang sebelah kanan mengenakan pakaian warna me-
rah sementara yang sebelah kiri mengenakan pakaian
warna kuning. Untuk beberapa lama kedua gadis yang baru mun-
cul memandang silih berganti pada Pendekar 131 dan
Bidadari Pedang Cinta. Lalu saling pandang. Gadis sebelah kanan yang mengenakan
pakaian warna merah
sorongkan wajahnya ke arah gadis di sebelahnya lalu
berbisik. "Aku yakin. Pasti pemuda ini yang dimaksud Guru!"
"Tapi mengapa dia bersama gadis baju hijau itu"!
Dari tampang dan cirinya, jelas bukan dia perempuan
yang kita cari!" Gadis sebelah kiri menyahut. Sepasang matanya memperhatikan
Bidadari Pedang Cinta dari
ujung kepala sampai ujung kaki. Seakan ada keane-
han. Gadis berbaju kuning ini memperhatikan berla-
ma-lama pada sepasang kaki Bidadari Pedang Cinta.
"Aku juga yakin memang bukan perempuan ini
yang kita cari!"
"Jangan-jangan Guru salah memberi petunjuk...."
Gadis berbaju merah geleng kepala. "Ciri pemuda
yang dikatakannya benar. Berarti tak mungkin petun-
juknya salah!"
"Tapi mana perempuan yang kita cari"!" tanya gadis
berbaju kuning.
"Kita sudah menemukan siapa yang bisa memberi
petunjuk di mana perempuan yang kita cari! Dia harus mengatakannya!"
Sementara gadis berbaju merah dan kuning saling
berbisik, murid Pendeta Sinting segera mendekati Bi-
dadari Pedang Cinta. Begitu dekat, dia langsung ber-
tanya. "Kau kenal siapa mereka..."!"
"Dari gelagat mereka, seharusnya kau tidak ber-
tanya begitu!" jawab Bidadari Pedang Cinta. Suaranya jelas menandakan dia masih
jengkel. "Hem.... Hari ini aku bernasib mujur sekaligus ma-
lang! Mujur bertemu dengan beberapa gadis cantik.
Malang karena pertemuannya selalu ditandai dengan
urusan!" Pendekar 131 bergumam lalu tertawa nyengir
"Mana perempuan itu"!" Tiba-tiba gadis berbaju me-
rah perdengarkan bentakan keras.
Murid Pendeta Sinting kerutkan dahi. Lalu berbisik
pada Bidadari Pedang Cinta. "Dia bertanya padamu
atau padaku..."!"
Bidadari Pedang Cinta mendengus. Dia menduga
yang dimaksud pertanyaan gadis berbaju merah ada-
lah Bidadari Delapan Samudera. Maka dia segera buka
mulut. "Yang ditanyakan adalah perempuan! Masih pan-
taskah kau bertanya siapa yang ditanya"!"
"Lalu perempuan mana yang dimaksud"!" tanya
Pendekar 131. "Itu urusanmu! Mengapa tanya padaku"!" bentak
Bidadari Pedang Cinta.
"Hai! Mana perempuan itu"!" kembali terdengar
bentakan. Kali ini diperdengarkan gadis berbaju ku-
ning. Pendekar 131 menoleh. Pandang matanya diarah-
kan pada gadis berbaju merah lalu bertanya.
"Kau bertanya padaku atau padanya"!" Joko me-
nunjuk dirinya lalu pada Bidadari Pedang Cinta. "Dan perempuan mana yang kau
maksud"!"
Habis bertanya begitu, murid Pendeta Sinting arah-
kan pandang matanya pada gadis berbaju kuning. Lalu
buka mulut bertanya.
"Dan kau. Bertanya padanya atau padaku"!" Joko
menunjuk pada Bidadari Pedang Cinta lalu pada diri-
nya sendiri. "Dan siapa pula perempuan yang kau
maksud"!"
"Tampaknya kita berhadapan dengan manusia gila!"
mendesis gadis berbaju merah dengan mata mendelik
pada Pendekar 131.
"Mungkin dia hanya berpura-pura seperti manusia
gila agar bisa lepas dari tangan kita!" timpal gadis berbaju kuning. Lalu
membentak. "Aku bertanya padamu!" Tangan kanan gadis ber-
baju kuning ini menunjuk lurus pada murid Pendeta
Sinting. "Hem...." Pendekar 131 gerakkan kepala pulang ba-
lik ke atas ke bawah. Lalu berujar. "Di sini ada tiga perempuan. Mana yang kau
tanyakan"!" Joko sapukan
pandangan berkeliling, menatap satu persatu pada Bi-
dadari Pedang Cinta, lalu pada gadis berbaju merah,
dan terakhir ke arah gadis berbaju kuning sendiri.
"Kau jangan berlagak gila! Kau sadar tengah berha-
dapan dengan siapa"!" bentak gadis berbaju kuning.
Sebelum Joko sempat buka suara, Bidadari Pedang
Cinta yang tak mau terjadi urusan segera ikut bicara.
"Harap katakan saja siapa perempuan yang kalian
tanyakan...!"
"Aku tidak bertanya padamu! Saatnya nanti akan
tiba giliranmu untuk menjawab pertanyaan!" Gadis
berbaju kuning membentak lagi.
Bidadari Pedang Cinta coba tahan hawa amarah
yang mulai melanda dadanya mendengar ucapan
orang. Lalu berpaling pada Pendekar 131 dan berkata
dalam hati. "Gara-gara pemuda ini aku jadi terlibat dalam urusan yang tak
karuan! Pemuda ini pasti hidung
belang yang suka iseng mempermainkan perempuan!"
"Pemuda gila! Mana perempuan berbaju putih itu"!"
Gadis berbaju merah bertanya.
Pendekar 131 dan Bidadari Pedang Cinta sama agak
terkejut. Mereka sama sekali tidak menduga yang di-
Joko Sableng 38 Bidadari Delapan Samudra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
maksud dua gadis di hadapan mereka adalah Bidadari
Tujuh Langit. "Apa hubungan kalian dengan perempuan baju pu-
tih itu"!" tanya Joko.
"Kau tidak usah bertanya! Kau hanya perlu menja-
wab!" hardik gadis berbaju merah.
"Yang kau maksud Bidadari Tujuh Langit"!" Bidada-
ri Pedang Cinta tanpa sadar menyahut karena ingin
meyaklnkan. "Untung kau benar sebutkan nama orang! Jika ti-
dak, mungkin mulutmu sudah kubuat tak bisa bicara!"
ujar gadis berbaju merah. Lalu tertawa pendek sebe-
lum berkata lagi.
"Sekarang peduli setan siapa yang akan menjawab
di antara mulut kalian berdua! Yang jelas kami minta kau tunjukkan di mana
Bidadari Tujuh Langit!"
Pendekar 131 dan Bidadari Pedang Cinta saling
pandang. Namun mendadak saja Pendekar 131 tertawa
bergelak! Gadis berbaju merah dan gadis berbaju kuning sa-
ling lontar pandang. Sementara Bidadari Pedang Cinta surutkan langkah dengan
tampang kebingungan!
SELESAI Segera menyusul:
DAYANG TIGA PURNAMA
Scanned by Clickers
Edited by Adnan Sutekad
PDF: Abu Keisel
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Document Outline
SATU DUA TIGA EMPAT LIMA ENAM *** TUJUH *** DELAPAN SEMBILAN *** SEPULUH *** SEBELAS SELESAI
Kaki Tiga Menjangan 30 Makam Bunga Mawar Karya Opa Rahasia Hiolo Kumala 7