Pencarian

Pedang Keabadian 1

Joko Sableng Pedang Keabadian Bagian 1


scan+Djvu : Ardiansah Kaskus Conv
er+Edit+Pdf : Abu Keisel
Format Ebook : Hanaoki
Episode I : ISTANA LIMA BIDADARI
Episode II : BIDADARI DELAPAN SAMUDERA Episode III : DAYANG TIGA PURNAMA Episode
IV : ASMARA LAKNAT
Episode V : PEDANG KEABADIAN
SATU MATAHARI mulai menapak langit tatkala Pendekar 131 Joko Sableng hentikan larinya
tidak jauh dari kawasan yang menuju hutan bambu. Setelah memperhatikan keadaan
sekeliling beberapa saat, dia buru-buru berkelebat lalu menyelinap di balik satu
batangan pohon agak besar
Setelah mengawasi keadaan sekali jagi, murid Pendeta Sinting selinapkan tangan
mengeluarkan satu rentangan kain putih agak kusam darj balik pakaiannya.
"Hem.... Aku akan memulai perjalanan dari sini!" gumam Joko sambil pentang mata
melihat gambar peta yang tertera di rentangan kain putih.,
Setelah agak lama memperhatikan peta, Pendekar 131 lipat kembali rentangan kain
putih kusam yang bukan lain adalah kain peta yang sempat jadi bahan perselisihan
di antara tokoh-tokoh Perguruan Shaolin dan pihak kerajaan serta beberapa tokoh
dunia persilatan tanah Tibet.
"Mudah-mudahan aku tidak menemui hadangan!* kata Joko lalu berkelebat keluar
dari balik batangan pohon dan berlari menuju arah seperti yang baru saja
dilihatnya di peta. |
Begitu sosok murid Pendeta Sinting berkelebat, dari satu batangan pohon sejarak
dua belas tangkah dari pohon mana tadi Joko mendekam sembunyi, mendadak satu
sosok tubuh melayang turun. Kejap lain sosok ini berlari mengambil jurusan
seperti yang diambil Pendekar 131, Tanpa diketahui oleh murid Pendeta Sinting
dan sosok bayangan yang baru melayang turun dan berkelebat, dari tadi sepasang
mata bulat dan tajam terus mengawasi gerak-gerik orang dari celah dua gugusan
tanah agak tinggi.
"Hem.... Hendak ke mana pemuda itu"!
Aku tak melihat apa yang tengah diperhatikannya di balik pohon. Tapi gelagatnya
dia tengah mencari sesuatu!
Gerak-geriknya mencurigakan! Apakah aku harus mengikutinya..."! Lalu ke mana
nenek yang sanggulan rambut kepalanya dihias dua pedang itu..."!" Pemilik
sepasang mata dari celah dua gugusan tanah bergumam sendiri. Lalu bola matanya
bergerak memandang ke arah batangan pohon di mana tadi satu sosok tubuh melayang
turun lalu berlari seolah mengejar murid Pendeta Sinting.
"Aku tidak bisa melihat jelas raut wajahnya. Tapi dari sikapnya, sepertinya dia
mengenal pemuda dari seberang itu! Apa yang harus kulakukan sekarang"! Mengikuti
mereka..."! Tapi untuk apa"! Bukankah aku punya urusan yang belum selesai..."!"
Sepasang mata bulat di celah dua gugusan tanah agak tinggi bergerak setengah
memejam. Lalu terdengar lagi gumamannya.
"Selama ini aku hampir putus asa selesaikan urus-anku. Bahkan aku hampir tidak
percaya dengan nasib ini.... Hem....
Aku memang belum percaya benar dengan ucapan pemuda dari negeri asing itu. Tapi
dialah satu-satunya orang yang pernah kutemui dan sedikit bisa memberi
harapan.... Daripada menyelidik sendiri yang belum tentu ada hasilnya, bukankah
lebih baik aku mengikutinya"! Siapa tahu dia tengah mencari sahabatnya...."
Setelah bergumam begitu, sepasang mata di celah dua gugusan tanah agak tinggi
bergerak mengedar. Saat lain kepalanya lenyap dari celah dua gugusan tanah. Lalu
satu sosok bayangan berkelebat dari balik dua gugusan tanah dan berlari
mengikuti arah sosok bayangan yang tadi mengejar Pendekar 131.
Pendekar 131 terus berlari dengan kerahkan segenap ilmu peringan tubuhnya.
Tapi sesekali dia berhenti dan menyelinap mencari tempat agak tersembunyi. Lalu
setelah memperhatikan arah kanan kiri, dia berkelebat lagi.
Begitu matahari mulai tergelincir dan langkahnya memasuki satu kawasan terjal
berbatu, murid Pendeta Sinting hentikan larinya.
"Peta yang diberi tanda bundaran itu berakhir di sini! Hem.... Aku harus
berhati-hati. Bukan mustahil di tempat macam begini terdapat jebakan yang tidak
terduga! Apalagi aku merasa ada seseorang yang mengikutiku! Siapa dia..."!
Mungkinkah nenek geblek itu..."!" Joko berkata dalam hati seraya lepas pandangan
ke arah kawasan berupa terjalan-terjalan batu di hadapannya. Dia pasang
pendengaran baik-baik. Karena firasatnya mengatakan jika dari tadi diikuti
seseorang. Pendekar 131 memang tidak bisa menduga siapa adanya orang yang
mengikuti, namun dia punya prasangka orang itu adalah Nenek Selir.
Karena nenek itulah orang terakhir yang ditemuinya sebelum dia berlari menuju
kawasan hutan bambu.
Seperti diketahui, saat terjadi bentrok antara murid Pendeta Sinting dan Nenek
Selir di satu pihak dengan Datuk Kala Sutera, Nenek Selir cepat sarangkan
totokan pada Pendekar 131 lalu membawanya pergi. Kedua orang ini akhirnya
berpisah setelah terjadi adu mulut.
Begitu berpisah, sebenarnya murid Pendeta Sinting berniat kembali ke hutan bambu
karena dari kawasan itulah dia akan memulai perjalanan seperti yang tertera
dalam peta. Namun karena merasa di kawasan hutan bambu belum aman, juga masih
khawatir kalau Yu Sin Yin alias Nenek Selir akan mengikutinya, Pendekar 131 sengaja berkelebat
berputar-putar dan sempat istirahat di satu tempat terbuka.
Begitu pagi menjelang, Joko segera berlari balik menuju kawasan hutan bambu
setelah yakin tidak diikuti orang.
"Aku akan mulai menyelidiki atau mencari tahu dulu siapa orang yang
mengikutiku?" kata Joko lalu perlahan-lahan putar diri dengan mata liar tak
berkesip memperhatikan berkeliling.
"Aku tak bisa tenteram kalau tidak tahu siapa adanya orang yang terus
mengikutiku!" Akhirnya Joko memutuskan setelah dia tidak melihat siapa-siapa.
Pendekar 131 berkelebat ke arah mana dia tadi datang. Namun walau sudah berputar
tiga kali, dia tidak juga menemukan siapa-siapa,
"Aneh.... Apakah ini hanya firasatku saja..."!" Joko tegak diam dengan kepala
tengadah. Dia berpikir agak lama. Lalu berlari lagi menuju kawasan berbatu
terjal. Setelah menyiasati keadaan dengan seksama, perlahan-lahan Joko mulai melangkah
menelusuri celah terjalan batu-batu dengan mata dipentang besar. Tapi hingga
matahari sudah berubah warna kekuningan, dia tidak menemukan tanda-tanda seperti
apa yang tertera daiam peta.
"Mungkinkah benda itu berada di dalam tanah"! Celaka! Tanah seluas ini,
bagaimana aku harus membongkarnya"! Belum lagi harus memecah terjalan-ter-jalan
batu! Tak mungkin hal itu kulakukan...."
Pendekar 131 geleng kepala. Lalu duduk berselonjor bersandar punggung pada satu
terjalan batu dengan menghela napas berulang kali.
"Jangan-jangan peta itu palsu.... Di tempat ini tidak ada tanda-tanda adanya
benda yang selama ini menjadi silang sengketa beberapa tokoh negeri ini!
Tapi.,.. Seandainya begitu, mungkin Dewa Asap Kayangan dan Dewa Cadas Pangeran
sudah mencegahku. Hem.... Aku telah berusaha mencari. Kalau pada akhirnya aku
tidak mendapatkan, pasti aku hanya ditakdirkan mendapatkan peta ini tanpa
dikehendaki untuk mendapatkan bendanya!
Atau jangan-jangan aku salah mengambil jurusan!"
Ingat begitu, Pendekar 131 segera mengambil kembali lipatan kain peta dari daiam
pakaiannya. Lalu direntangkan dan diperhatikan sekali dengan seksama.
Telunjuk tangan kanannya bergerak menelusuri rentangan kain peta.
"Hem.... Sepertinya aku sudah mengambil jalan yang benar! Dan bundaran ini
berakhir di sini! Tapi mengapa aku tidak menemukan bendanya"! Di mana,. M
Joko lipat kembali kain peta dan diselinapkan lagi ke balik pakaiannya.
Saat itulah mendadak Pendekar 131
merasakan batu di mana dia bersandar bergerak-gerak. Sambil kerutkan kening Joko
cepat tarik punggungnya lalu membalik. Sepasang matanya dtjerengkan
memperhatikan terjalan batu di mana dia tadi bersandar.
"Aneh.... Bagaimana terjalan batu begini besar bisa bergeser saat kusandari..."
Jangan-jangan....' Joko tidak lanjutkan ucapan. Dia buru-buru bangkit lalu maju
memperhatikan terjalan batu yang ternyata memang bergeser sedikit dari tempatnya
semula. Setelah mengawasi sekeliling, Joko letakkan kedua tapak tangan pada terjalan
batu. Dengan menghela napas, dia mendorong.
Sepasang mata murid Pendeta Sinting membelalak hampir tidak percaya ketika
menyaksikan bagaimana bersamaan dengan bergeraknya tangan mendorong, terjalan
batu itu bergerak menggeser!
Begitu geseran agak memanjang, terlihatlah pinggiran sebuah lobang.
Pendekar 131 jadi penasaran. Hingga tanpa sadar dia mendorong makin keras.
Terjalan batu laksana dihantam lalu meluncur cepat.
Dan tampaklah sebuah lobang menganga agak besar! Ada satu keanehan, kalau lobang
itu tidak begitu dalam dan suasana masih terang, namun Joko hanya melihat sebuah
bersitan benda putih. Sementara di sekitarnya hanya terlihat suasana hitam
kelam! Murid Pendeta Sinting cepat tarik pulang kedua tangannya. Saat bersamaan
kepalanya melongok ke dalam lobang.
Sekonyong-konyong sepasang matanya mendelik ketika melihat apa benda putih
berkilat yang tegak memanjang ke atas.
"Sebuah pedang tanpa sarung!" desis murid Pendeta Sinting dengan suara bergetar
parau. "Mungkin inilah pedang yang tergambar dalam peta! Aku telah menemukannya!
Jadi peta ini asli...."
Dengan tangan bergetar dan dada berdebar, perlahan-lahan Joko ulurkan kedua
tangannya masuk ke dalam lobang.
Sepasang matanya mendelik tak berkedip memperhatikan sosok pedang yang tegak
dengan gagang berada di atas dan ujung di bawah.
Dengan menghela napas panjang, Joko teruskan gerakan kedua tangannya menyentuh
gagang pedang. Namun murid Pendeta Sinting ini hentikan gerakan kedua tangannya
tatkala tiba-tiba dia merasakan hawa dingin menyelimuti kedua tangannya yang
hanya satu jengkal di atas gagang pedang.
Joko berpikir sesaat. Kejap lain dia teruskan gerakan kedua tangannya. Begitu
kedua tangannya benar-benar menyentuh gagang pedang, mendadak hawa dingin makin
menusuk dan mulai menjalar dari kedua telapak tangannya yang memegang gagang
pedang terus pada lengan dan sekujur tubuhnya!
Joko cepat kerahkan tenaga dalam dan hawa murni untuk menahan hawa dingin yang
dalam beberapa saat mampu membuat kedua tangannya tegang kaku laksana tidak bisa
digerakkan! Hawa dingin memang sedikit berkurang.
Namun itu hanya berlangsung beberapa saat.
Saat lain bahkan murid Pendeta Sinting laksana dihimpit bongkahan batu es.
Hingga bukan saja tidak mampu menggerakkan kedua tangan, namun tubuhnya laksana
terpaku! "Celaka! Apa yang terjadi"!" teriak Joko lalu lipat gandakan hawa murni. Namun
kali ini pengerahan hawa murni itu tidak membantu melenyapkan hawa dingin yang
merasuk ke dalam tubuhnya. Joko tidak berani berlaku ayal. Dia cepat sentakkan
kedua tangannya dari gagang pedang. Lalu cepat-cepat ditarik ke atas.
Ketika diperhatikan, terkejutlah murid Pendeta Sinting. Kedua telapak tangannya
berubah menjadi kehitaman dan sulit digerakkan serta kepulkan asap putih!
"Pedang sakti luar biasa! Pantas banyak tokoh yang memperebutkannya!" kata Joko
lalu kerahkan lagi hawa murni.
Perlahan-lahan kedua telapak tangan dan sekujur tubuhnya memang menjadi hangat
normal kembali. Saat itulah dia ingat akan gambar peta.
"Dalam gambar peta, pedang ini menancap pada satu kotak! Mungkin dengan
mengeluarkan kotak itu, aku nanti bisa dapatkan jalan bagaimana mengambil pedang
itu!" Berpikir begitu, setelah kerahkan hawa murni, Joko rebahkan diri sejajar dengan
tanah. Lalu perlahan-lahan kedua tangannya digerakkan masuk ke dalam lobang.
Hawa dingin kembali terasa ketika kedua tangannya mulai mendekati gagang pedang.
Joko berusaha tidak menyentuh dan teruskan gerakan tangan merapat pinggiran
lobang. Begitu gagang pedang tepat lurus dengan ujung lengan, kedua tangan murid Pendeta
Sinting merasakan menyentuh sesuatu yang keras dan terasa dingin. Joko perlahan-
iahajp gerakkan jari meraba.
"Hem.... Dari bentuknya, pasti ini adalah kotak itu!"
Joko cepat kerahkan tenaga dalam.
Saat lain kedua tangannya dimasukkan agak dalam. Begitu dapat menyentuh bagian
bawah benda yang diduganya adalah kotak seperti yang tergambar dalam peta, Joko
cepat sentakkan kedua tangannya ke atas.
Wuutt! Pendekar 131 tersedak dan terlengak kaget ketika bersamaan dengan sentakan kedua
tangannya, tiba-tiba satu gelombang deras menderu dari bawah. Bersamaan itu
pegangan kedua tangannya pada benda yang diduganya kotak terlepas! Saat yang
sama terasa hawa dingin berkelebat ke atas.
Joko pentangkan mata melihat apa yang terjadi. Namun baru saja kepalanya hendak
melongok lebih dalam ke lobang, satu benda putih berkilat menyambar ke atas!
Ur.urn swiul Pendekar 131 cepat tarik pulang kepalanya. Dan serta-merta kedua tangannya
disentakkan ke atas.
Wusss! Bersamaan dengan tertariknya kepala dan kedua tangan, satu gelombang angin
dingin berkiblat dari dalam lobang. Lalu terlihat satu benda putih berkilat
melesat keluar.
Kepala dan kedua tangan Joko terpental ke belakang. Lalu tubuh bagian atasnya
laksana disapu gelombang dahsyat hingga tubuhnya terdorong ke atas. Lalu mental
tersapu dan terjengkang jungkir balik di atas tanah!
Dalam kagetnya, Joko masih bisa berpikir cepat. Apa pun yang baru saja terjadi,
Joko bisa memastikan kalau pedang dan kotak di bawahnya telah melesat keluar.
Hingga walau sosoknya tersapu jungkir balik, namun dia tetap arahkan pandang
matanya ke arah lobang.
Murid Pendeta Sinting melihat satu tubuh pedang putih berkilat menancap pada
sebuah kotak berwarna hitam melesat keluar dari lobang dan terus membubung ke
udara. Khawatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, walau sadar akan kedahsyatan
pedang yang menancap pada kotak hitam, murid Pendeta Sinting segera bangkit lalu
melesat mengejar pedang dan kotak hitam yang masih terapung di atas udara.
Dua jengkal lagi tangan kanan Pendekar 131 mampu meraih gagang pedang dan hawa
dingin sudah mulai terasa, mendadak dari arah samping terdengar satu seruan.
Satu sosok tubuh berkelebat. Tahu-tahu pedang yang menancap pada kotak hitam
lenyap dari udara disambar tangan lain!
Darah Pendekar 131 laksana sirap. Dia maklum seseorang telah mendahuluinya. Dia
cepat berpaling mengikuti gerakan sosok bayangan yang baru saja menyambar pedang
dan kotak hitam. Lalu dari atas udara, murid Pendeta Sinting teruskan kelebatan
dan tegak di samping salah satu terjalan batu.
DUA TEGAKKAN wajah memandang ke atas, Pendekar 131 melihat satu sosok tubuh berwajah
dahsyat milik seorang laki-laki.
Kepalanya plontos dan di bagian risi kanan terlihat rengkah. Raut wajahnya bukan
saja tidak tertutup lapisan daging, namun hampir separo wajahnya melesak masuk
dengan tulang patah dan sebagian lagi bertonjolan keluar. Mata sebelah kiri
melesak masuk di antara tulang yang porak-poranda, sementara mata kanan menjorok
keluar seakan hendak mencelat terbang.
Pada kepala dan wajahnya terlihat bercak-bercak noda darah yang telah lama
mengering, dan mungkin karena lamanya, bercak darah itu melekat seolah lapisan
daging! Pakaian yang dikenakan sudah compang-camping dan di sana-sini juga
terlihat noda tetesan darah yang mengering.
Laki-laki berparas angker yang tegak di atas tonjolan batu tengadah dengan
tangan kiri menopang kotak hitam, sementara tangan kanan memegang gagang pedang
yang menancap tembus pada kotak hitam di bawahnya. Sosoknya tampak bergetar
menggigil. Tangan kanan hingga sebatas lengan kepulkan asap putih.
"Siapa manusia angker ini"!
Mungkinkah dia yang terus mengikutiku selama ini"! Ah.... Itu tidak penting.
Yang jelas dia harus mengembalikan pedang dan kotak hitam itu padaku!"
Berpikir begitu, Joko langsung buka mulut.
"Harap serahkan kotak hitam dan pedang di tanganmu padaku!"
Laki-laki yang tegak di atas tonjolan batu gerakkar kepala memandang angker pada
sosok murid Pendeta Sinting. Tulang pada wajahnya yang sudah porak-poranda
tampak bergerak-gerak. Sementara dadanya yang terbuka terlihat turun naik dengan
keras. Namun laki-laki ini tidak segera menyahut.
Sebaliknya gerakkan tangan kanan hendak mencabut pedang yang menancap pada kotak


Joko Sableng Pedang Keabadian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hitam yang ditopang tangan kirinya.
Namun walau laki-laki itu telah kerahkan tenaga dalam hingga sosoknya bergetar
keras, pedang di tangan kanannya tidak mampu dia cabut. Malah asap putih makin
mengepul dan kini keluar dari sekujur tubuhnya.
Laki-laki di atas tonjolan batu mendelik. Saat lain tiba-tiba dia berseru
tegang. Tangan kanannya disentakkan lepas dari gagang pedang. Mungkin karena ke-
rasnya sentakan, kotak hitam yang ditopang lepas dan meluncur jatuh!
Murid Pendeta Sinting tidak tinggal diam. Dia segera berkelebat menyongsong
kotak hitam dan pedang yang melayang ke bawah. Namun si laki-laki di atas
tonjolan batu tidak berdiam diri. Bersamaan dengan bergeraknya sosok murid
Pendeta Sinting, dia melesat ke bawah lalu gerakkan kaki kanan menendang.
Bukkk! Kotak hitam yang tertancap pedang tersapu deras dan melayang beberapa tombak
sebelum akhirnya jatuh di atas tanah.
Pendekar 131 putar arah. Lalu teruskan kelebatan mengejar ke arah mana kotak
hitam dan pedang jatuh di atas tanah.
Tapi baru setengah jalan, dari arah samping terdengar deruan keras. Saat
berpaling, terlihat satu gelombang dahsyat berkiblat ke arahnya!
Murid Pendeta Sinting batalkan niat teruskan kelebatan. Lalu melompat hindarkan
diri. Brakkk! Satu tonjolan batu di sebelah depan sana tampak hancur porak-poranda terhajar
gelombang yang lolos menghantam sosok murid Pendeta Sinting.
Pendekar 131 tidak pedulikan serangan orang. Dia cepat piuar diri lalu kembali
hendak berkelebat ke arah kotak hitam.
Namun gerakannya tertahan tatkala tahu-tahu si laki-laki berparas angker
ternyata sudah tegak hanya beberapa langkah di samping kotak hitam yang
tertancap pedang.
"Siapa pun kau adanya, harap sebutkan diri!" kata Joko seraya melompat dan tegak
dua belas tangkah di hadapan si laki lakL
Laki-laki yang ditegur gerak-gerakkan jari kedua tangannya yang sesaat tadi
dirasakan tegang kaku seolah tak bisa digerakkan karena aliran hawa dingin yang
menjalar ketika tangan kanannya memegang gagang pedang. Saat lain dia buka mulut
"Buka matamu lebar-lebar, Pendekar 131 Joko Sableng!"
Murid Pendeta Sinting tertegun diam mendapati orang tahu siapa dirinya.
Sepasang matanya dibeliak-kan besar-besar pandangi orang dari kepala sampai
kaki. "Dia tahu siapa aku! Apkah aku mengenalnya..."!" Joko mengingat-ingat.
Saat itulah si laki-laki perdengarkan suara lagi. "Bentangan laut bukan halangan
bagiku untuk mendapatkanmu, Pendekar 131!
Bahkan sampai ke ujung dunia pun jangan kira nyawamu bisa lolos dari tanganku!
Ha.... Ha.... Ha...! Hari ini aku mendapat rejeki besar. Bukan hanya bisa
mencabut selembar nyawamu, tapi juga mendapat senjata sakti!"
"Nada ucapannya menunjukkan kalau dia bukan berasal dari negeri ini! Lebih dari
itu dia memendam dendam kesumat padaku!
Siapa manusia ini sebenarnya"!" Kembali Pendekar 131 coba mengingat. Namun
karena dia tidak mampu, akhirnya berucap.
"Katakan siapa kau sebenarnya"!"
"Manusia yang sudah bau kalangan tanah terkadang lupa pada orang yang
dikenalnya!" sahut laki-laki berkepala gundul yang bagian sisinya rengkah. Lalu
tertawa bergelak panjang.
"Kau tak mau sebutkan diri. Aku tidak memaksa. Tapi...."
"Sebelum kau mampus, kau harus tahu dulu siapa aku!" potong si laki-laki.
"Hem.... Mengapa tidak segera kau katakan"!" kata Joko setengah meradang.
"Jangan meradang, Pendekar 131! Saat ini kau tengah berada di negeri asing.
Jauh dari beberapa manusia jahanam yang biasa menolongmu! Di tanah Jawa mungkin
kau bisa berlagak. Tapi di sini"! Siapa yang akan menolongmu, hah"!
Murid Pendeta Sinting terdiam beberapa saat. Sebelum dia buka mulut, si laki-
laki bertampang angker sudah angkat suara lagi.
"Kau ingat tentang peristiwa Kitab Hitam diKedung Ombo"! Kau tidak lupa tangan
siapa yang membabat putus tangan manusia jahanam bergelar Malaikat Penggali
Kubur"! Kau ingat siapa yang memberimu petunjuk beradanya Kitab Hitam saat
berada di Bukit Sela-mangleng"!"
Sesaat Pendekar 131 simak ucapan orang dengan dahi berkerut. Saat lain mendadak
dia tercengang dengan kaki tersurut satu tindak. Sepasang matanya dijerangkan.
Mulutnya terbuka mendesis.
"Iblis Rangkap Jiwa...!"
Laki-laki bertampang angker tertawa ngakak. "Bagus! Kau masih ingat gelarku!"
"Aku hampir saja tidak percaya....
Bagaimana manusia ini bisa sampai negeri ini"! Kemunculannya pasti membawa
dendam lama!"
Selagi Joko membatin begitu, laki-laki bertampang angker yang bukan lain adalah
Iblis Rangkap Jiwa adanya tegakkan wajah mendongak. Lalu berkata.
"Pendekar 131! Hari ini saat keberuntunganmu telah habis! Usia nyawamu sudah
sejengkal di at"s tanah! Sungguh kau manusia bernasib sial! Harus mampus jauh
dari kampung halaman!"
"Celaka! Manusia satu ini berilmu sangat tinggi dan kebal segala pukulan!
Aku memang tahu kelemahannya. Tapi di tempat seperti ini, mustahil aku bisa
mendapatkan perempuan apalagi perempuan itu harus berbuka buka pantat!" Joko
membatin dengan tampang berubah. Saat itulah mendadak dia ingat kalau dia punya
firasat tengah diikuti Nenek Selir. Dengan cepat dia putar kepala dan memandang
berkeliling. Namun begitu dia tidak mendapati siapa-siapa, tampangnya tambah
tegang. Seperti pernah diceritakan, saat terjadi geger Kitab Hitam di tanah Jawa, muncul
seorang tokoh bergelar Iblis Rangkap Jiwa. Tokoh ini berilmu sangat tinggi dan
kebal terhadap segala pukulan.
Namun ternyata Iblis Rangkap Jiwa memiliki kelemahan. Seluruh ilmu yang dimiliki
akan punah selama setengah hari kalau dia melihat pantat laki-laki dan perempuan
secara bersamaan.
Ketika terjadi peristiwa berdarah malam purnama di Kedung Ombo, Iblis Rangkap
Jiwa memang sempat teriuka parah hingga kepahnya yang plontos rengkah, dan
sebagian tulang wajahnya porak-poranda.
Namun karena dia kebal segala pukulan, dia masih bisa bertahan. Kalau saja saat
itu dia tidak tengah menghadapi beberapa tokoh tanah Jawa yang punya ilmu aneh-
aneh, pasti dia akan teruskan bentrok.
Dan berpikir masih ada waktu untuk membalas dendam, akhirnya dengan membawa luka
parah Iblis Rangkap Jiwa meiarikan diri dari kancah bentrokan di Kedung Ombo.
Sejak saat itu, ibiis Rangkap Jiwa terus menyeiidik di mana beradanya murid
Pendeta Sinting. Melalui petunjuk seorang sakti, akhirnya Iblis Rangkap Jiwa
dapat mengetahui di mana kini Pendekar 131
berada. Akhirnya Iblis Rangkap Jiwa menyusul menyeberang laut menuju daratan
Tibet. "Pendekar 131!" Berkata Iblis Rangkap Jiwa bisa membaca gelagat gerakan kepala
dan pandangan Joko. "Kau mencari seseorang"! Terlambat.... Ini negeri asing!
Bukan tanah Jawa di mana kau bisa mendapatkan bantuan!"
"Hem.... Apa boleh buat! Tidak ada jalan lain. Kalau dia masih inginkan nyawaku,
aku akan meladeninya! Dia boleh kebal pukulan. Tapi kalau terus-terusan
kuhantam, apa mungkin masih bertahan"!"
Berpikir begitu, Joko cepat kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya langsung
siapkan pukulan 'Lembur Kuning'. Karena dia tahu siapa orang yang kini
dihadapinya. Di lain pihak, Iblis Rangkap Jiwa melirik pada pedang yang menancap di kotak
hitam yang tidak jauh dari tempat tegaknya.
"Pedang Celaka! Sekujur tubuhku laksana kaku tak bisa digerakkan oleh hawa
dingin keparat pedang itu! Tapi aku gembira. Pasti pedang itu sakti mandraguna!
Begitu aku selesaikan urusan nyawa jahanam satu itu, aku akan mencari jalan
bagaimana mencabutnya!"
"Kau menginginkan pedang itu"!" Joko ajukan tanya ketika dilihatnya Iblis
Rangkap Jiwa melirik ke arah pedang.
Iblis Rangkap JKva menyeringai. "Aku datang perlu menagih hutang sekaligus
meminta bunganya! Tapi kalau ternyata aku mendapatkan benda mustika, apa
salahnya aku mengambilnya"! Kudengar kau telah mendapatkan sebuah peta wasiat
yang banyak diperbincangkan tokoh negeri mk Keberadaanmu di tempat sepi Ini
serta gelagatmu yang sembunyi-sembunyi tentu pedang itulah yang ada dalam peta
wasiat itu! Hari ini saat keberuntungan ada di pihakku, Pendekar 131! Aku pulang
ke tanah Jawa bukan saja membawa namamu, tapi juga mendapatkan pedang mustika!"
Wuutt! Bersama selesainya ucapan, tangan kanan Iblis Rangkap Jiwa bergerak. Satu
gelombang dahsyat berkiblat lurus perdengarkan deruan hebat.
Pendekar 131 tidak tinggal diam.
Kedua tangannya diangkat lalu lepas pukulan 'Lembur Kuning'. Hingga saat itu
juga dua gelombang dan sinar berwarna kekuningan melesat menghadang gelombang
yang keluar dari tangan Iblis Rangkap Jiwa.
Bummm! Terdengar ledakan keras. Beberapa tonjolan batu di sekitar tempat Itu bergetar
keras dan sebagian porak-poranda.
Sosok murid Pendeta Sinting tersurut satu langkah ke belakang. Di lain pihak,
sosok Iblis Rangkap Jiwa terhuyung-huyung. Namun hanya beberapa saat. Di lain
kejap sosoknya tegak diam malah orang ini laksana tidak merasakan apa-apa!
Padahal kedua tangan Joko terasa ngilu dan dadanya berdenyut sesak!
Sementara begitu terjadi bentrok pukulan, pedang di atas kotak hitam terlihat
bergoyang-goyang bersamaan dengan bergesernya kotak hitam di mana pedang
menancap. Hebatnya bersamaan dengan goyangan tubuh pedang, suasana di sekitar
tempat itu bersit-kan cahaya putih. Lalu hawa dingin menusuk menyungkupi Baik
Iblis Rangkap Jiwa maupun Pendekar 131 merasakan diri masing-masing kedinginan.
Joko cepat kerahkan hawa murni untuk menahan hawa dingin yang menyebar dari
gerakan pedang. Lalu kembali kerahkan tenaga dalam dan siapkan pukulan 'Serat
Biru'. Hingga saat itu juga tangan kirinya telah berubah warna menjadi kebiruan.
Di seberang, Iblis Rangkap Jiwa hanya kerahkan hawa murni untuk menolak
menebarnya hawa dingin. Dia tidak peduli dengan apa yang terjadi pada tangan
kiri Joko, karena laki-laki ini yakin tidak akan mengalami cedera apa-apa walau
dihantam pukulan apa saja. Malah saat itu laki-laki yang wajahnya sudah porak-
poranda akibat terluka saat terjadi peristiwa di Kedung Ombo ini tengah berpikir
keras bagaimana cara mencabut pedang dari kotak hitam.
Murid Pendeta Sinting tidak mau menunggu. Begitu tangan kirinya telah berubah
menjadi kebiruan, dia " epat membuat gerakan menghantam.
Wuutt! Wuutt! Dari tangan kanan Joko melesat satu gelombang perdengarkan deruan keras.
Sementara dari tangan kirinya melesat beberapa serat biru terang laksana benang.
Iblis Rangkap Jiwa tidak unjukkan rasa gentar mendapati pukulan dahsyat yang
tengah menyongsong ke arahnya. Sebaliknya menghadang pukulan hanya dengan
tengadahkan kepala dan kedua tangan kacak pinggang!
Desss! Gelombang dari tangan kanan Joko menghantam telak sosok Iblis Rangkap Jiwa
hingga tubuh laki-laki itu tersentak terjajar ke belakang. Saat yang sama,
serat-serat biru laksana benang telah membelit tubuhnya!
Iblis Rangkap Jiwa perdengarkan tawa pendek. Saat lain orang ini berseru keras.
Dess! Dess! Desss!
Serat-serat biru yang membelit tubuh Iblis Rangkap Jiwa putus lalu bertabur ke
udara. Pendekar 131 laksana didorong kekuatan dahsyat. Sosoknya tersentak hingga
beberapa langkah ke belakang dan saat lain terjengkang di atas tanah dengan
mulut megap-megap dan tampang pucat pasi.
Murid Pendeta Sinting cepat bergerak bangkit. Namun baru saja sosoknya tegak,
mulutnya semburkan
Di lain pihak, bersamaan dengan bertaburnya serat biru, sosok Iblis Rangkap Jiwa
terlempar beberapa tombak ke udara. Laki-laki ini sempat terbanting dua kali di
atas udara sebelum akhirnya meluncur deras ke bawah dan menghantam sisi satu
tonjolan batu. Iblis Rangkap Jiwa mengerang. Sisi kepalanya yang rengkah tampak kucurkan darah.
Namun laki-laki ini laksana tidak mengalami rasa kesakitan. Saat itu juga dia
membuat gerakan berdiri. Terhuyung-huyung beberapa saat sebelum akhirnya tegak
diam dengan mulut semburkan tawa bergelak!
Tapi laksana dirobek setan, mendadak Iblis Rangkap Jiwa putuskan gelakan
tawanya. Saat lain sosoknya berkelebat ke arah murid Pendeta Sinting. Kedua kaki
tangannya bergerak sekaligus lepaskan pukulan ke arah kepala dan perut Joko!
Joko sempat terlengak mendapati gerakan cepat orang. Namun dia cepat mundur satu
tindak. Sosoknya < Usonggengkan ke samping. Dari arah samping, kedua tangannya
dihantamkan menghadang!
Bukkk! Bukkk! Iblis Rangkap Jiwa terbanting ke samping menghantam tanah. Di lain pihak, kedua
tangan Joko langsung terpental ke udara. Saat yang sama sosoknya terputar lalu
roboh menghajar tanah. Dari mulutnya kembali semburkan darah. Kedua tangannya
mengembung boear.
TIGA IBLIS Rangkap Jiwa usap kepala dan mulutnya yang I kucurkan darah. Mata kanannya
yang menjorok keluar menatap angker pada sosok murid Pendeta Sinting yang tengah
berusaha bangkit. Saat lain tiba-tiba laki-laki ini membuat gerakan salto dua
kali. Pendekar 131 terkesiap. Walau dia sudah waspada, namun belum sampai dia membuat
gerakan, sosok Iblis Rangkap Jiwa sudah melayang di atas tubuhnya dengan kaki
kiri kanan menyapu.
Dalam keadaan terjepit, Joko masih sempat angkat tangan kanannya. Bukkk!
Pendekar 131 berhasil menghadang tendangan kaki kanan Iblis Rangkap Jiwa.
Tapi kaki kiri lawan terus berkelebat tidak mampu dibendung.
Desss! Joko berseru tertahan. Sosoknya langsung mencelat mental ke udara. Iblis Rangkap
Jiwa tersentak deras di udara.
Tapi laki-laki ini cepat kuasai diri dan tanpa membuang waktu, dia berkelebat
mengejar sosok Joko yang melayang tersapu di udara.
Untuk kedua kalinya murid Pendeta Sinting terkejut mendapati Iblis Rangkap Jiwa
tahu-tahu sudah melayang di atas tubuhnya. Dia sudah berpikir akan menahan
gempuran orang dengan pedang di balik pakaiannya, karena dia tidak punya cara
lain untuk selamatkan diri.
Tapi baru saja tangan kanannya memegang gagang pedang di balik pakaiannya, kaki
kanan kiri Iblis Rangkap Jiwa sudah datang menggebrak.
Bukkk! Bukkk! Di atas udara, sosok murid Pendeta Sinting terbanting pulang balik ke atas ke
bawah terhantam kedua kaki Iblis Rangkap Jiwa yang menyapu dari arah bawah dan
atas. Tangan kanannya yang hendak keluarkan pedang terpental. Dan pedang di
balik pakaiannya ikut mencelat keluar dan ke udara perdengarkan desingan
menggidikkan dan pancarkan cahaya kekuningan.
Braakk! Sosok murid Pendeta Sinting terus meluncur sebelum akhirnya terhenti setelah
menghantam satu sisi tonjolan batu hingga perdengarkan derakan keras. Keningnya
robek dan kucurkan darah. Sementara dadanya terasa nyeri dan laksana pecah
karena terhantam kaki Iblis Rangkap Jiwa.
"Celaka! Pedangku terlepas!" gumam Joko dengan mata nyalang memperhatikan ke
arah Iblis Rangkap Jiwa yang sudah tegak di seberang dengan tangan kiri kanan
usap kepala dan wajahnya.
"Aku memang masih belum lepas pukulan
'Sundrik Cakra'. Tapi kurasa pukulan apa pun tak akan mampu membuat manusia itu
mampus" Apalagi, dalam keadaan begini rupa terlalu bahaya jika lepas pukulan
'Sundrik Cakra'.....Satu-satunya jalan menghadapi nya adalah dengan Pedang
Tumpul 131.... Tapi pedang itu...."
Pendekar 131 kembali nyalangkan mata mencari-cari. Saat itulah matanya melihat
Pedang Tumpul 131 miliknya tegak menancap di atas tanah hanya beberapa jengkal
di sebelah pedang yang menancap di kotak hitam.
Walau sadar dirinya telah terluka, namun melihat pedangnya tertancap tidak jauh
dari pedang di atas kotak hitam, dan berpikir bahwa cara menghadapi Iblis
Rangkap Jiwa hanya dengan pedang, Joko tahan rasa sakit yang mendera sekujur
tubuhnya. Lalu kerahkan tenaga dalam.
Sosoknya tampak berguncang keras.
"Pendekar 131!" teriak Iblis Rangkap Jiwa. "Sebelum kau mampus, kau perlu tahu
siapa jahanam-jahanamnya yang akan segera menyusulmu! Pertama adalah keparat
gurumu si Pendeta Sinting. Lalu jahanam tua bangka yang tidak bergigi itu!
Selanjutnya nenek bangsat berjuluk Ratu Malam itu! Dan manusia buta Gendeng
Panuntun!"
Yang dimaksud Iblis Rangkap Jiwa dengan tua bangka tak bergigi bukan lain adalah


Joko Sableng Pedang Keabadian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Iblis Ompong. Salah seorang tokoh tanah Jawa yang sempat terlibat dalam bentrok
di Kedung Ombo, dan juga masih saudara seperguruan dengan Ratu Malam dan Gendeng
Panuntun. Pendekar 131 tidak hiraukan teriakan iblis Rangkap Jiwa. Sebaliknya cepat
bergerak sandarkan punggung pada tonjolan batu di belakangnya. Saat lain kedua
tangannya disentakkan ke arah Iblis Rangkap Jiwa lepas pukulan 'Lembur Kuning'.
Tempat itu seketika berubah menjadi semburat kekuningan. Lalu dua gelombang luar
biasa dahsyat berkiblat dengan tebarkan hawa panas.
Mendapati serangan yang datang, kali ini tampaknya Iblis Rangkap Jiwa tidak
tinggal diam. Dia angkat kedua tangannya lalu disentakkan menghadang pukulan
lawan. Di saat yang sama, begitu lepas pukulan 'Lembur Kuning', Joko cepat bergerak
bangkit. Lalu sekuat tenaga dia berkelebat ke arah Pedang Tumpul 131.
Bummm! Bummm! Ledakan hebat kembali mengguncang tanah yang banyak ditebari tonjolan batu itu.
iblis Rangkap Jiwa mencelat dan tersungkur jatuh punggung di atas tanah.
Sementara sosok murid Pendeta Sinting yang tengah berkelebat ke arah pedangnya
tersapu lalu jatuh terkapar.
Namun kesadaran bahwa hanya dengan pedang tindakan Iblis Rangkap Jiwa dapat
ditahan, Pendekar 131 kerahkan sisa tenaga dalam dalam dan luarnya. Saat lain
seraya menahan rasa sakit, dia bergulingan ke arah Pedang Tumpul 131 yang
menancap tidak jauh dari pedang yang menancap di atas kotak hitam.
Begitu bisa mengukur tangannya mampu menjangkau pedang, Joko cepat hentikan
gulingan tubuhnya. Tangan kanannya segera diangkat menjangkau gagang Pedang
Tumpul 131. Lalu dengan bertumpu pada tangan kanan yang telah menggenggam gagang
Pedang Tumpul 131, Joko berusaha bangkit.
Sesaat memang berhasil. Sosoknya bergerak tegak. Tapi tiba-tiba tubuh bagian
atasnya doyong ke samping. Darah muncrat menyembur dari mulutnya. Kepalanya
laksana diputar baling-baling. Pandangannya berkunang-kunang.
"Celaka! Pandanganku kabur!" desis murid Pendeta Sinting dengan mulut bergetar
dan kedua lutut goyah.
Di seberang depan, Iblis Rangkap Jiwa sudah bangkit dan sekali lagi laki-laki
ini seolah tidak merasakan sakit meski baru saja jatuh punggung akibat bentrokan
yang membuat luka dalam Joko bertambah parah. Malah saat lain Iblis Rangkap Jiwa
perdengarkan tawa bergelak panjang mendapati sosok murid Pendeta Sinting doyong
dan kedua lututnya goyah.
Namun sekonyong-konyong gelakan tawa Iblis Rangkap Jiwa terputus. Mata yang
melesak masuk di antara tulang wajahnya yang porak-poranda dan mata sebelahnya
yang menjorok keluar, melotot besar.
Tulang rahangnya terangkat dan mulutnya terkancing rapat ketika melihat
perubahan yang terjadi di seberang depan.
Ketika tubuh bagian atas murid Pendeta Sinting makin doyong dan kedua kakinya
menekuk, tiba-tiba dia ingat akan pedang yang menancap di atas kotak hitam yang
tidak jauh dari tempatnya.
Pendekar 131 segera sentakkan kepala pulang balik untuk mengatasi kekaburan
pandangan. Dan begitu sekilas dapat menangkap di mana beradanya pedang yang
menancap di kotak hitam, tangan kirinya segera digerakkan ke arah gagang untuk
menopang tubuh agar tidak jatuh.
Karena pandangannya masih agak kabur, beberapa kali tangan kiri Joko sempat
gagal memegang gagang pedang yang menancap di atas kotak hitam hingga sosoknya
berguncang. Namun Joko sempat bernapas lega, karena meski tangan kirinya gagal
memegang gagang pedang, dia tidak lagi merasakan hawa dingin walau dia berada
dekat dengan pedang.
Setelah beberapa kali gagal, akhirnya untuk keempat kalinya, tangan kiri Joko
berhasil memegang gagang pedang yang menancap di atas kotak hitam. Doyongan
tubuhnya terhenti. Lalu perlahan-lahan dengan tangan kanan bertumpu pada gagang
Pedang Tumpul 131 sementara tangan kiri bertumpu pada gagang yang menancap pada
kotak hitam. Joko angkat tubuhnya ke atas.
Hawa dingin memang menjalar saat tangan kirinya berhasil menggenggam gagang
pedang yang menancap di atas kotak hitam.
Namun ada keanehan. Hawa dingin itu hanya menjalar pada separo anggota tubuhnya
sebelah kiri. Dan hawa dingin itu tidak lagi menusuk seperti saat dia hendak
cabut pedang dari lobang di bawah tonjolan batu.
Bahkan beberapa saat kemudian, hawa dingin di separo bagian tubuhnya perlahan-
lahan sirna. Bukan itu saja, rasa sakit yang mendera sekujur tubuhnya akibat
luka dalam yang cukup parah, perlahan-lahan pula lenyap.
"Aneh.... Apa yang terjadi"! Aliran darahku tidak lagi menyentak-nyentak.
Pandanganku normal lagi" Dan hawa dingin dari pedang di tangan kiriku ini tidak
terasa lagi.... Tapi apa pun yang terjadi, aku harus tetap berpura-pura
terluka'" Berpikir begitu, meski tidak merasakan hawa dingin dan luka dalam tubuhnya
lenyap, Joko segera perdengarkan erangan. Lalu tubuhnya diguncang-guncang dengan
tangan kanan memegang gagang Pedang Tumpul 131 sementara tangan kiri memegang
gagang pedang yang menancap di kotak hitam.
Tapi murid Pendeta Sinting jadi tersentak sendiri. Bersamaan dengan guncangan
tubuhnya, ternyata pedang di tangan kirinya juga bergerak-gerak. Saat Joko coba
menarik, ternyata pedang di tangan kirinya bergerak ke atas!
"Pedang ini bisa kucabut! Tapi aku harus menunggu saat yang tepat!" gumam Joko
dalam hati. Lalu kembali tekan pedang di tangan kirinya hingga kembali menancap
seperti semula. Saat bersamaan Joko kembali membuat sikap orang tengah terluka
dalam cukup parah.
Di seberang depan, melihat perubahan pada diri Pendekar 131, Iblis Rangkap Jiwa
pada mulanya memang sempat tercengang. Dia menangkap ada sesuatu yang tak beres.
Hingga dia putuskan gelakan tawanya dan memandang lekat-lekat ke arah sosok
murid Pendeta Sinting. Namun begitu mendapati Pendekar 131 mengerang kesakitan
dan tubuhnya berguncang kembali, laki-laki bertampang angker ini sunggingkan
senyum lebar. Lalu sekali membuat gerakan melompat, sosoknya sudah tegak lima
langkah di hadapan Joko.
Namun begitu, tampaknya Iblis Rangkap Jiwa tidak berani bertindak ayal. Beberapa
saat dia tegak diam memperhatikan.
"Manusia jahanam ini banyak akalnya! Dia memang sudah terluka dalam hampir
mampus, tapi aku harus tetap berhati-hati. Pedang di tangan kanannya masih
berbahaya! Sekali salah hitung, bisa membuat aku celaka sendiri!"
Iblis Rangkap Jiwa arahkan pandang matanya ke arah tangan kanan Joko yang
memegang gagang Pedang Tumpul 131. Lalu beralih pada tangan kiri Joko yang
memegang gagang pedang yang menancap di kotak hitam untuk menopang tubuhnya.
"Aneh.... Ketika dia tadi hendak mengambilnya dari dalam lobang, jelas dia
tersentak kaget! Pasti dia mengalami hal seperti apa yang kurasa ketika tanganku
hendak mencabut pedang celaka sialan itu!
Tapi mengapa sekarang sepertinya dia tidak mengalami apa-apa"! Padahal aku tadi
merasakan sekujur tubuhku laksana dihimpit bongkahan es! Tanganku kaku tak bisa
digerakkan dan mengeluarkan asap putih!
Setan jahanam apa yang membuat dia bertahan"! Mungkinkah dia memiliki cara untuk
menahan hawa dingin laknat itu"!
Hem.... Terpaksa aku tidak membunuhnya dahulu. Aku akan mengorek keterangan dari
mulutnya mengapa dia sampai bisa bertahan!
Kalau tidak, aku tidak akan mampu membawa pedang itu ke tanah Jawa!'* Iblis
Rangkap Jiwa membatin. Lalu buka mulut.
"Pendekar 131 Joko Sableng!
Membunuhmu saat ini semudah meludah ke atas tanah! Pada awalnya, aku memang
berniat membunuhmu. Dosamu padaku setinggi tujuh langit sedalam delapan laut.
Tapi bagiku pantang membunuh manusia yang sudah tidak berdaya. Kau kuberi
kesempatan untuk hidup! Namun kau harus menerima syaratku!"
Pendekar 131 gelengkan kepala pulang balik. Lalu buka suara.
"Aku berterima kasih atas kelapangan dadamu tidak membunuhku.... Katakan syarat
yang kau minta...!"
"Pertama. Kau harus tinggalkan kedua pedang itu! Kedua. Jangan kau berani lagi
menginjak tanah Jawa! Ketiga. Katakan padaku bagaimana kau bisa bertahan melawan
hawa dingin yang keluar dari pedang di tangan kirimu! Jika salah satu syarat
yang kuminta tidak kau penuhi, terpaksa aku melanggar pantangan! Aku akan
membunuhmu meski keadaanmu sudah hampir mampus tak berdaya!"
"iblis Rangkap Jiwa!" kata Joko dengan suara bergetar setengah tersendat.
Kepalanya digerak-gerakkan pulang balik membuat sikap seperti orang yang tengah
hilangkan rasa kabur pada pandangannya.
"Syarat pertama dan ketiga mungkin bisa kupenuhi! Tapi syaratmu yang kedua,
rasanya sulit kuterima...." Joko hentikan ucapannya sesaat. Sepasang matanya
dipan-tang besar memandang pada sosok orang di hadapannya. Lalu mulutnya kembali
menyambung. "Kau tahu.... Aku punya beberapa kekasih di tanah Jawa,... Bahkan
dua di antaranya kini tengah hamil besar.... Kalau aku tidak kau beri izin
menginjak tanah Jawa lagi, bagaimana nasib beberapa gadis itu"! Apalagi yang
saat ini tengah hamil besar"! Siapa yang akan menunggui mereka saat melahirkan
nanti"! Belum lagi, siapa pula kelak yang akan bertanggung jawab mengakui anak-
anaknya..."!"
"Hem.... Begitu"! Baik.... Syarat kedua kuhilangkan! Sekarang kau katakan dahulu
bagaimana caranya bisa bertahan melawan hawa dingin yang keluar dari pedang di
tangan kirimu!"
Pendekar 131 pejamkan mata dengan tangan sengaja dibuat bergetar. Lalu menyahut.
"Kau tahu bulu ketiak"!"
"Jahanam! Nyawamu sudah di mulut!
Masih juga kau bicara main-main!"
"Ah.... Siapa main-main.... Aku bersungguh-sungguh! Kau tahu bulu ketiak,
bukan"!"
"Teruskan bicaramu!" bentak Iblis Rangkap Jiwa.
"Pedang di tangan kiriku ini adalah pedang maha dahsyat dan maha aneh! Pedang
inilah yang menjadi bahan sengketa beberapa tokoh di daratan Tibet! Kalau bukan
karena pedang ini, tidak mungkin aku jauh-jauh sampai negeri ini! Pedang...."
"Keparat! Jangan berbelit-belit!"
hardik Iblis Rangkap Jiwa memotong.
"Baik.... Baik...! Seperti kukatakan tadi. Pedang ini selain maha dahsyat juga
maha aneh. Kau tadi sudah mengalaminya sendiri. Dan untuk bisa bertahan dari
keanehannya, kau harus mencari bulu ketiak tujuh perempuan yang usianya tepat
tujuh puluh tahun! Kau cukup mengambil tujuh helai rambut ketiak tujuh perempuan
tersebut yang sebelah kiri.... Jika sudah terkumpul, kau harus membungkusnya
dengan robekan kain berwarna putih. Lalu kau bakar. Abunya kau telan saat
menjelang bulan purnama!"
EMPAT IBLIS Rangkap Jiwa tegak dengan sosok bergetar keras. Tulang wajahnya yang
porak-poranda bergerak-gerak, pertanda dadanya telah diamuk hawa kemarahan luar
biasa. Tanpa buka mulut lagi, tangan kiri kanannya diangkat.
"Iblis Rangkap Jiwa!" Joko buru-buru berseru. "Apa yang akan kau lakukan"!"
"Bercandalah sepuasmu, Pendekar 131!
Sebentar lagi saatmu bercanda sudah pupus!" sentak Iblis Rangkap Jiwa.
"Tunggu!" teriak murid Pendeta Sinting dengan suara bergetar. Dia coba angkat
sedikit tubuhnya ke atas. "Kau kira aku bercanda"!" Joko geleng-gelengkan
kepalanya. "Tidak! Aku berkata sungguh-sungguh! Keanehan pedang ini hanya bisa
ditahan dengan apa yang baru saja kukatakan! Kau boleh percaya atau tidak....
Yang jelas aku baru bisa bertahan dari hawa laknat pedang Ini setelah menelan
abu tujuh helai bulu ketiak tujuh perempuan berusia tujuh puluh tahun saat
menjelang bulan purnama!" Joko hentikan ucapannya sesaat seraya melirik ke arah
Iblis Rangkap Jiwa.
"Aku tahu...," Joko sambungi kata-katanya. "Kau manusia berilmu tinggi. Tapi kau
boleh mencoba sekali lagi untuk memegang gagang pedang ini sambil kerahkan
tenaga dalam yang kau miliki! Jika kau bertahan, aku akan turuti ketiga
syaratmu! Aku tidak akan injakkan kaki lagi di tanah Jawa!"
Iblis Rangkap Jiwa terdiam beberapa lama. Jelas sikapnya menunjukkan kebimbangan
hati. "Saat memegang pedang tadi, aku sudah coba kerahkan hawa murni dan tenaga dalam.
Tapi hawa dingin sialan itu tidak mampu kutahan! Apakah benar keterangan jahanam
kecil ini"! Hem.... Kalau benar, berarti selain pedang ini dahsyat, juga
aneh.... Jika aku berhasil membawanya ke tanah Jawa, aku tak perlu lagi khawatir pedang
ini akan lenyap disambar orang lain, karena selain persyaratannya aneh, juga
tidak diduga orang.... Tujuh helai bulu ketiak tujuh perempuan berusia tujuh
puluh tahun...." Membatin Iblis Rangkap Jiwa.
"Hem.... Kalau aku tidak segera mendapatkan bulu ketiak itu, bagaimana nanti
ceritanya"! Di mana akan kutaruh pedang itu..."!"
Iblis Rangkap Jiwa kembali didera perasaan bimbang. Namun pada akhirnya laki-
laki ini memutuskan. "Itu urusan nanti. Yang penting aku telah mendapatkan
keterangan! Dan tiba saatnya menghabisi jahanam kecil itu!"
Setelah membatin begitu, Iblis Rangkap Jiwa maju satu tindak seraya berucap.
"Sekarang berbaliklah! Dan tinggalkan tempat ini!"
"Tunggu!" kata murid Pendeta Sinting.
"Setelah kupikir sekali lagi, aku memutuskan untuk tidak kembali ke tanah
Jawa...." "Itu urusanmu!" sahut Iblis Rangkap Jiwa.
"Betul! Itu memang urusanku. Tapi kuharap kau tidak keberatan kalau kuminta
untuk sampaikan pesan...."
"Pengampunan nyawamu sudah lebih dari cukup! Jangan minta tambah!"
"Ah.... Jika begitu keputusanmu, rasanya aku tidak bisa menuruti syaratmu!"
"Berarti kau pilih mampus!"
"Mungkin itu bukan pilihan terbaik.
Tapi daripada hidup tanpa bisa memberi kabar pesan, bukankah...."
"Kau telah putuskan jalanmu sendiri!"
bentak Iblis Rangkap Jiwa. Kemarahan yang mendera dadanya membuat dia kurang
waspada. Dia tidak lagi memikirkan kalau saat itu tangan kiri kanan murid
Pendeta Sinting masih menggenggam gagang dua pedang. Hingga begitu membentak,
sosoknya melesat ke depan Kedua tangannya dihantamkan sekaligus ke arah kepala
Pendekar 131! Di lain pihak, karena sudah waspada dengan sikap orang, begitu Iblis Rangkap
Jiwa melesat, Pendekar 131 sentakkan kedua tangannya yang bertumpu pada dua
pedang. Sett! Sett! Pedang Tumpul 131 dan pedang putih yang di atas kotak hitam tercabut.
Terdengar desingan angker. Dua kilatan sinar kuning dan sinar putih semburat.
Lalu bertabur hawa panas dan dingin.
Iblis Rangkap Jiwa sempat terlengak.
Namun sudah terlambat untuk tarik pulang gerakan kedua tangannya. Di lain pihak,
Joko cepat putar kedua tangannya ke depan.
Dua pedang di tangan disentakkan menghadang kedua tangan Iblis Rangkap Jiwa.
Dalam keadaan terjepit begitu rupa, Iblis Rangkap Jiwa masih sempat untuk
berpikir. Hingga meski merasa terlambat untuk tarik kedua tangannya, dia tidak
pasrah begitu saja. Kaki kiri kanannya segera diangkat lalu disapukan ke bawah
mengambil ruang di antara babatan kedua pedang.
Craass! Craass!
Bukkk! Bukkk! Terdengar dua seruan tertahan. Sosok Iblis Rangkap Jiwa tersentak mundur. Lalu
roboh terjengkang di atas tanah dengan mata mendelik memperhatikan kedua
tangannya yang kucurkan darah karena putus sebatas siku!
DI seberang, sosok murid Pendeta Sinting terpental dua tombak dan jatuh
telentang di atas tanah. Dadanya yang baru saja terhantam kedua kaki Iblis
Rangkap Jiwa laksana disentak kekuatan dahsyat hingga untuk beberapa saat dia
pejamkan mata dengan mulut megap-megap. Sosoknya bergetar keras. Dua pedang di
kedua tangannya hampir saja lepas mental. Namun karena sadar jika lawan bukan
manusia sembarangan, Joko cepat genggam erat-erat gagang dua pedang.
"Aku bersumpah akan mencincang tubuhmu!" teriak Iblis Rangkap Jiwa marah.
Dia kuatkan diri untuk bergerak bangkit.
Darah makin deras mengucur dari kedua tangannya. Namun seolah tidak mengalami
apa apa, laki-laki berkepala gundul yang sebagian sudah rengkah ini segera
membuat gerakan berkelebat. Kemarahan yang makin menggelegak membuatnya berlaku
nekat. Hingga hanya mengandalkan kedua kaki, dia menerjang ke arah murid Pendeta
Sinting yang mulai bergerak bangkit.
Pendekar 131 tidak mau berlaku sembarangan. Walau Iblis Rangkap Jiwa tidak lagi
dapat lepaskan pukulan dengan kedua tangan, namun kedua kakinya masih merupakan
senjata yang tidak boleh dipandang sebelah mata. Hingga begitu sosok Iblis
Rangkap Jiwa berkelebat dengan sapukan kedua kaki, Joko cepat pula sambarkan
kedua pedang ke arah gerakan kedua kaki Iblis Rangkap Jiwa.
Craass! Craass!


Joko Sableng Pedang Keabadian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Untuk kedua kalinya iblis Rangkap Jiwa perdengarkan seruan melengking.
Sosoknya terbanting kesamping dengan kedua kaki putus sebatas betis! Darah
muncrat membasahi sebagian pakaiannya yang compang-camping. Untuk beberapa saat
laki-laki ini memandang angker dengan tubuh digerak-gerakkan. Namun karena kedua
kaki dan tangannya sudah putus, dia tidak bisa berbuat banyak. Malah dalam
beberapa saat kemudian, sosoknya diam tak bergerak dengan mata terpejam rapat!
Di atas tanah, Pendekar 131 menarik napas seraya melirik pada sosok Iblis
Rangkap Jiwa. Lalu bergerak bangkit.
"Sebenarnya aku tak ingin semua ini terjadi! Tapi kalau dibiarkan, tindakannya
akan membuat geger! Bukan saja di daratan Tibet, tapi juga di tanah Jawa!" gumam
Joko sambil memperhatikan sekali lagi ke arah sosok Iblis Rangkap Jiwa yang
tergeletak diam dengan kedua tangan dan kaki terus kucurkan darah.
"Aku tidak bisa memastikan dia masih hidup atau sudah tewas.... Kalau masih
hidup, mudah-mudahan perisiiwa ini merupakan pelajaran kedua baginya! Kalau
ternyata tewas, mungkin sudah takdirnya harus mampus di negeri orang!"
Habis bergumam begitu, Joko kerahkan tenaga dalam untuk mengatasi rasa nyeri
pada dadanya akibat hantaman kedua kaki Iblis Rangkap Jiwa. Saat lain dia
melangkah ke arah kotak hitam di mana tadi pedang yang masih di tangan kirinya
menancap. Pendekar 131 jongkok di sebelah kotak hitam. Sesaat matanya membelalak. Walau
jelas dia tadi melihat pedang di tangan kirinya menancap di atas kotak hitam,
namun ternyata kotak hitam itu tidak berlobang! Saat itulah Joko segera dekatkan
pedang di tangan kirinya. Lalu diperhatikan berlama-lama.
"Aku akan memeriksa apa isi kotak hitam ini!" kata
Joko setelah agak lama memperhatikan pedang putih di tangan kirinya.
Pedang putih diletakkan di atas tanah. Lalu Pedang Tumpul 131 yang masih berada
di tangan kanan dimasukkan ke sarung pedang yang masih berada di balik
pakaiannya. Joko memperhatikan sesaat pada kotak hitam. Lalu mengambil pedang putih. Namun
mendadak dia tersentak dan hampir saja terlonjak berdiri. Tangan kanannya yang
menyentuh pedang putih tiba-tiba dialiri hawa dingin menusuk!
"Astaga! Apa yang terjadi"!" seru Joko seraya tarik tangan kanannya.
Sepasang mata dipentang besar-besar memperhatikan pedang putih yang tergeletak
di atas tanah. "Mengapa hawa dingin itu kembali terasa"!"
Mungkin belum percaya, Joko kembali gerakkan tangan kanan ke arah pedang.
Namun kali ini dengan kerahkan hawa murni dan tenaga dalam. Hawa dingin memang
masih terasa saat tangan kanannya menyentuh gagang pedang. Namun cuma sesaat.
Kejap lain tangan kanannya laksana diguyur es.
Dan sekujur tubuhnya dingin dan kepulkan asap putih!
Karena penasaran, Joko lipat gandakan tenaga dalam dan pengerahan hawa murni.
Namun dia hanya bisa bertahan beberapa saat. Saat lain tubuhnya laksana kaku!
Hingga seraya mendesis, Joko lepaskan gagang pedang putih.
"Celaka! Kalau aku tidak bisa membuka rahasia !ni, berarti aku tidak bisa
membawanya!" bisik Joko. Lalu terdiam beberapa lama berpikir. Namun sejauh ini
tampaknya dia gagal menemukan jalan keluar.
"Ah.... Lebih baik kulihat dahulu apa isi kotak itu. Siapa tahu di sana
tersimpan satu petunjuk!"
Pendekar 131 segera ulurkan kedua tangan pada kotak hitam. Laiu dengan jerengkan
mata dan kerahkan hawa murni, perlahan-lahan dia membuka kotak hitam.
Sesaat mata Joko menyipit. Karena ternyata kotak hitam itu hanya berisi sebuah
benda berbentuk kotak sepanjang satu jengkal dan lebarnya setengah jengkal.
Kotak itu berwarna kuning dan berukir.
Dengan tangan agak gemetar, Joko mengambil kotak kuning berukir di dalam kotak
hitam. "Emas! Kotak ini terbuat dari emas!"
desis Joko setelah memperhatikan kotak kuning berukir yang kini berada di
tangan. Pendekar 131 membolak-balik kotak kuning berukir. Kotak itu tebalnya seperempat
jengkal. Anehnya, hanya ada satu lobang tipis memanjang pada satu sisinya.
Sementara ketiga sisi lainnya tertutup rapat.
"Aneh.... Kotak apa ini..."!" gumam Joko lalu dekatkan lobang tipis memanjang ke
arah matanya. Dia mengintip bagian dalam dari lobang tipis.
"Tidak ada apa-apanya! Lobang tipis ini terus memanjang sampai bagian ujung!
Hem.... Apa pun adanya kotak berukir ini, pasti ada gunanya! Tapi untuk
apa..."!"
Murid Pendeta Sinting menghela napas panjang lalu letakkan kotak kuning berukir
di atas kotak hitam yang sudah ditutup lagi. Lalu berpaling pada pedang putih
Prabarini 4 Pendekar Bayangan Malaikat Lanjutan Pendekar Bayangan Setan Karya Khu Lung Pemberontakan Taipeng 7
^