Pencarian

Pedang Keabadian 2

Joko Sableng Pedang Keabadian Bagian 2


yang masih berada di atas tanah.
Untuk beberapa saat lamanya Pendekar 131 coba berpikir. Namun pada akhirnya ia
geleng kepala. "Aku tak mampu berpikir lagi bagaimana caranya membawa pedang
serta apa gunanya kotak kuning berukir ini! Haruskah aku meninggalkannya di
sini"!"
Baru saja berpikir begitu, mendadak matanya menumbuk pada lobang tipis di kotak
kuning berukir. Laiu kepalanya berpaling pada tubuh pedang. Beberapa saat
kepalanya bergerak pulang balik ke arah lobang tipis memanjang dan tubuh pedang.
"Dari ukuran dan tipisnya lobang, jangan-jangan lobang itu tempat masuknya ujung
pedang. Tapi apa mungkin"! Pedang itu panjangnya hampir tiga jengkal.
Sementara kotak kuning berukir itu panjangnya hanya satu jengkal"! Tapi tak ada
salahnya aku mencoba...."
Joko cepat gerakkan tangan hendak mengambil pedang. Namun mendadak gerakannya
tertahan ketika dia ingat kalau tidak kuasa menahan hawa dingin yang keluar
ketika tangannya menyentuh gagang pedang.
"Busyet! Bagaimana ini..."!" Joko kembali menghela napas panjang dan geleng-
geleng kepala. Saat Itulah tiba-tiba ia ingat. "Hawa dingin dari pedang itu
sudah terasa ketika tangan kananku memegang gagang Pedang Tumpul 131.... Jangan-
jangan...."
Pendekar 131 cepat cabut Pedang Tumpul 131 dari sarung di balik pakaiannya.
Pedang Tumpul 131 dipegang tangan kiri. Lalu dengan menahan napas dia gerakkan
tangan kanan ke arah pedang putih yang tergeletak di atas tanah.
Joko menarik napas lega karena meski pada mulanya hawa dingin masih terasa dan
menjalar ke bagian separo dari tubuhnya, namun hawa dingin itu hanya berlangsung
beberapa saat. Kejap lain hawa dingin itu tidak lagi terasa!
Pendekar 131 gerakkan tangan kiri ke arah kolak kuning berukir dan ujung ibu
jarinya ditekankan pada kotak kuning berukir. Lalu perlahan-lahan tangan
kanannya yang telah memegang gagang pedang putih diangkat dan perlahan-lahan
pula ujung pedang putih dimasukkan ke dalam lobang tipis memanjang pada kotak
kuning berukir.
"Tepat!" desis Joko ketika ujung pedang perlahan-lahan masuk ke lobang tipis
memanjang di kotak kuning berukir.
Namun Joko masih tidak berani memastikan.
Karena nyatanya panjang pedang tidak mungkin bisa masuk seluruhnya ke dalam
kotak yang hanya sepanjang satu jengkal.
Namun murid Pendeta Sinting jadi terkesima tatkala merasakan ujung pedang terus
masuk padahal dari ukurannya, jelas jika seandainya kotak berukir itu berlobang
di ujung belakangnya, maka ujung pedang pasti sudah nongol tembus.
Dengan perlahan-lahan dan mata membelalak tak berkesip, tangan kanan Joko terus
dorong pedang putih masuk ke dalam lobang tipis memanjang. Dan dia hampir tidak percaya ketika gagang pedang merapat pada lobang tipis, tapi ujung pedang yang
masuk ke dalam tidak terasa terhalang apalagi tembus di belakang sana!
"Luar biasa!" desis murid Pendeta Sinting ketika melihat bagaimana sekarang
pedang itu hanya terlihat gagangnya yang berada di luar kotak kuning berukir.
Sementara tubuh pedang yang panjangnya tiga jengkal masuk ke dalam kotak yang
hanya memiliki panjang satu jengkal!
Tapi rasa lega murid Pendeta Sinting tidak berlangsung lama saat dia ingat
bagaimana cara membawa kotak berukir.
"Tidak mungkin aku membawanya dengan tangan satu memegang Pedang Tumpul 131....
Tapi...." Entah karena ingin mencoba, Joko cepat letakkan kotak emas berukir di atas kotak
hitam. Lalu memasukkan Pedang Tumpul 131 ke balik pakaiannya. Saat lain kedua
tangannya bergerak ke arah kotak emas berukir di atas kotak hitam.
Tangan murid Pendeta Sinting tampak bergetar tatkala mulai menyentuh gagang
pedang yang nongol di bagian luar kotak emas berukir. Namun dia laksana terbang
saat tangannya tidak lagi merasakan hawa dingin menjalar dari tangannya yang
telah menyentuh gagang pedang!
Karena tidak lagi merasakan hawa dingin, buru-buru Joko angkat kotak emas
berukir dengan tangan kiri. Sementara tangan kanan memegang gagang pedang dan
didekatkan ke arah tubuhnya.
"Aku berhasil! Ternyata pedang Ini tidak pancarkan hawa dingin saat masuk ke
dalam kotak emas inil" Joko sunggingkan senyum lalu setelah agak lama
memperhatikan dia bergerak bangkit.
Kotak berukir kuning perlahan-lahan disimpan ke balik pakaiannya. Lalu arahkan
pandangan ke arah kotak hitam pembungkus kotak emas di atas tanah. "Hem....
Mungkin pembungkus itu tak perlu kubawa serta!"
gumam Joko. Lalu dengan gerak-gerakkan kedua tangannya yang terasa ngilu karena
tegang, dia melangkah tinggalkan tempat itu.
LIMA NAMUN baru saja mendapat sepuluh langkah, sekonyong-konyong terdengar deruan
angker. Pendekar 131 balikkan tubuh. Memandang ke depan, dia tersentak dengan
mata membeliak.
Sosok Iblis Rangkap Jiwa melesat lurus ke arahnya dengan posisi telungkup di
atas udara! Dari kedua tangan dan kakinya muncrat cairan darah. Sementara
sepasang matanya menyengat angker dari wajahnya yang dahsyat!
"Dia belum mampus!" desis murid Pendeta Sinting. Baru saja terdengar desisan,
dan belum sempat membuat gerakan apa-apa, sosok Iblis Rangkap Jiwa sudah berada
setengah depa di hadapan Joko!
Kepalanya yang rengkah di bagian satu sisinya ditundukkan dan siap dihantamkan
pada dada murid Pendeta Sinting!
Cepatnya lesatan sosok Iblis Rangkap Jiwa dan terkejutnya murid Pendeta Sinting
membuat Joko terlambat membuat gerakan.
Hingga baru saja Joko angkat kedua tangannya, kepala Iblis Rangkap Jiwa sudah
satu setengah jengkal di hadapannya!
Satu jengkal lagi kepala Iblis Rangkap Jiwa menghantam dada Pendekar 131,
mendadak terdengar deruan dari arah samping. Satu gelombang berkiblat. Sosok
Pendekar 131 tersentak dua langkah ke samping. Saat yang sama, kepala Iblis
Rangkap Jiwa yang siap menghantam dada tersentak ke atas mendongak. Lalu
sosoknya tersapu dan terbanting dua kali di atas udara sebelum akhirnya meluncur
deras dan jatuh menghantam tonjolan batu agak runcing.
Prakkk! Iblis Rangkap Jiwa melolong tinggi.
Kepalanya pecah menghantam batu. Beberapa saat sosok laki-laki yang kedua tangan
dan kakinya telah terbabat putus ini berusaha angkat kepalanya yang telah
bersimbah darah. Namun saat lain kepalanya lunglai.
Lolongannya terputus. Lalu sosoknya diam tak bergerak-gerak lagi!
Pendekar 131 cepat berpaling ke samping. Satu sosok bayangan berkelebat.
Lalu satu sosok tubuh telah tegak memandang tajam pada Joko.
Hampir saja Joko surutkan langkah.
Dia melihat seorang gadis muda berparas cantik berambut panjang dikelabang dua.
Sepasang matanya bulat tajam. Kulitnya putih dengan bibir merah tanpa polesan.
Gadis ini mengenakan pakaian warna ungu.
"Dayang Tiga Purnama!" bisik Pendekar 131 mengenali siapa adanya gadis cantik
berambut kelabang dua berbaju ungu.
"Bagaimana dia bisa berada di tempat ini"! Mungkinkah masih ada orang lain
lagi..."! Joko putar pandangan berkeliling. Lalu kembali memandang pada gadis
berbaju ungu yang bukan lain memang Dayang Tiga Purnama adanya.
"Dayang.... Terima kasih...."
"Simpan dulu rasa terima kasihmu, Pendekar 131 Joko Sableng!"
Sahutan ketus Dayang Tiga Purnama membuat murid Pendeta Sinting maklum.
Dalam hati dia membatin. "Aku tahu.
Mungkin dia masih percaya dengan keterangan Nenek Selir kalau aku menghamili
kedua cucunya! Mungkin juga dia masih jengkel karena merasa tertipu saat Datuk
Kala Sutera memanggilku Paduka Seribu Masalah, sementara aku memperkenalkan diri
padanya dengan Joko Sableng! Hem.... Tapi satu ha! yang pasti, dia sudah lama
berada di tempat Ini! Terbukti ia memanggilku lengkap! Panggilan itu pasti
didengarnya dari mu!ut Iblis Rangkap Jiwa ketika masih bernyawa tadi!"
Pendekar 131 tersenyum. Lalu melangkah mendekat.
"Jangan berani lanjutkan langkah!"
Dayang Tiga Purnama membentak. Joko batalkan niat mendekati. Senyumnya diputus.
"Ada apa dengan gadis ini"!
Mungkinkah dia menginginkan pedang putih di dalam kotak berukir emas"!" Joko
menduga-duga seraya menatap tajam pada gadis di hadapannya. Lalu berkata.
"Dayang Tiga Purnama.... Kalau ada ganjalan di hati, harap katakan!"
Dayang Tiga Purnama tidak segera buka mulut. Dalam hati gadis ini berkata. "Aku
telah mengikutinya sejak dari hutan bambu.
Aku juga telah dengar percakapannya dengan manusia yang bernama Iblis Rangkap
JiWa itu! Dia telah mendapatkan pedang sakti.... Kalau tidak mendapat keterangan
dari tokoh negeri ini, mustahil dia dapat memperoleh pedang itu.... Jadi jangan-
jangan benar semua keterangannya kalau dia banyak punya sahabat di negeri ini
meski dia baru saja injakkan kaki di tanah Tibet ini.... Dia harus segera
memberi keterangan di mana aku bisa bertemu dengan Paduka Seribu Masalah!"
Habis membatin begitu, Dayang Tiga Purnama buka suara.
"Aku perlu jawaban jujur! Di mana aku bisa bertemu dengan Paduka Seribu
Masalah"!"
Belum sampai Joko buka mulut menjawab, si gadis sudah sambung!
ucapannya. "Tapi jangan bicara main-main!
Aku tidak suka bercanda!"
"Sebelum kujawab pertanyaanmu, boleh aku tanya"!"
Dayang Tiga Purnama tidak menyahut.
Sebaliknya arahkan pandangannya ke jurusan lain.
"Selain pertanyaanmu tadi, apakah nanti masih ada pertanyaan lain"!" Joko buka
mulut lagi setelah ditunggu tidak juga ada sahutan dari Dayang Tiga Purnama.
"Siapa dirimu sekarang sudah jelas bagiku! Kau juga tak perlu khawatir! Aku
tidak menginginkan pedang putih di tanganmu! Jelas"!"
Joko anggukkan kepala. Lalu berkata.
"Aku tidak main-main dengan jawabanku....
Kuharap kau nantinya percaya!" Joko memandang sekilas pada bagian samping raut
wajah Dayang Tiga Purnama. Lalu melanjut kan.
"Kau masih ingat dengan orang yang bersamaku ketika kita pertama kali bertemu?"
Dayang Tiga Purnama berpaling. Belum sampai dia buka mulut, Joko mendahului.
"Orang yang selalu duduk rangkapkan kaki dan sembunyikan wajah di belakang
rangkapan kedua kakinya, Itulah Paduka Seribu Masalah...."
Wajah Dayang Tiga Purnama berubah.
Sepasang matanya sedikit membeliak. Dengan suara tinggi dia bertanya.
"Kalau ucapanmu benar, mengapa kau tidak mengatakannya saat itu"!" Dada Dayang
Tiga Purnama tampak berguncang.
"Kau jangan mempermainkan aku! Jangan kira aku bodoh seperti manusia dari negeri
asalmu itu yang begitu saja percaya saat kau katakana harus mencari tujuh helai
bulu ketiak tujuh perempuan berusia tujuh puluh tahun sebagai penangkal dari
hawa dingin pedang di tanganmu!"
"Hem.... Dugaanku tepat! Berarti dia sudah lama berada di sekitar tempat ini!"
Joko membatin mendengar kata-kata Dayang Tiga Purnama. Lalu berkata.
"Aku tahu kapan saatnya bercanda dan kapan waktunya bersungguh-sungguh!
Ucapanku tentang bulu ketiak itu memang main-main! Tapi keteranganku tentang
siapa adanya Paduka Seribu Masalah bersungguh-sungguh!"
"Tapi mengapa kau tidak mengatakannya saat itu juga"! Bukankah saat itu aku
telah mengatakan padamu semua rahasiaku"!
Mengapa kau tidak berterus terang"!
Padahal aku sudah berterus terang padamu"!
Seharusnya kau jujur kalau untuk keterangan yang kuminta kau membutuhkan
imbalan!" Tampang murid Pendeta Sinting berubah merah padam. Tapi belum sempat dia buka
suara, si gadis berucap lagi.
"Sekarang katakan imbalan apa yang kau minta jika aku menginginkan keterangan di
mana beradanya Paduka Seribu Masalah!"
"Dayang.... Aku tidak mengharap imbalan apa-apa!"
"Lalu apa maksudmu tidak mau berterus terang mengatakan orang yang kucari"!
Padahal...."
"Dayang.... Saat itu aku sendiri belum yakin kalau orang yang duduk rangkapkan
kaki dan sembunyikan wajahnya itu adalah Paduka Seribu Masalah!"
"Kau pandai bicara berbelit-belit!
Waktu bertemu itu, kau katakan dia adalah sahabatmu! Bagaimana mungkin kau tidak
yakin dengan orang yang kau katakan sebagai sahabat apalagi saat itu
bersamamu"!"
Seperti diketahui, saat menuju Lembah Tujuh Bintang Tujuh Sungai, Pendekar 131
dan Paduka Seribu Masalah sempat bertemu dengan Dayang Tiga Purnama. Saat itu
Dayang Tiga Purnama berterus terang mengatakan pada Joko tentang ganjalan
hatinya. Dia mencari seorang bergelar Paduka Seribu Masalah. Karena saat itu
murid Pendeta Sinting sendiri belum yakin kalau orang yang bersamanya adalah
Paduka Seribu Masalah, Joko tidak mau mengatakan siapa adanya orang yang
bersamanya. Dia hanya mengatakan, Paduka Seribu Masalah adalah salah seorang
sahabatnya. (Untuk jelasnya silakan baca seria! Joko Sableng dalam episode :
"Dayang Tiga Purnama").
"Kau tidak menjawab memberi alasan!"
kata Dayang Tiga Purnama ketika Joko hanya diam mendengar kata-kata si gadis.
"Dayang.... Saat itu aku harus buru-buru menuju Lembah Tujuh Bintang Tujuh
Sungai. Terus terang saja. Ketika itu aku masih ragu-ragu tentang siapa adanya
orang yang bersamaku. Aku baru bertemu dengannya di hutan bambu. Aku baru yakin
kalau dia adalah Paduka Seribu Masalah setelah tiba di Lembah Tujuh Bintang
Tujuh Sungai!"
"Bagaimana kau bisa yakin"!"
"Dua orang sahabatku di lembah itu yang memberi keterangan!"
"Siapa mereka"!" Dayang Tiga Purnama terus mengejar.
"Dewa Cadas Pangeran dan Dewa Asap Kayangan!"
"Hem.... Aku pernah dengar nama kedua orang yang baru disebut!" kata Dayang Tiga
Purnama dalam hati. Lalu bertanya lagi.
"Ketika kau balik, kau tidak bersama orang yang kau katakan sebagai Paduka
Seribu Masalah. Ke mana dia"!"
"Kami berpisah ketika sampai di sungai keenam...." "Dia balik ke Lembah Tujuh
Bintang Tujuh Su-ngai"!"
Joko gelengkan kepala. "Aku tak tahu pasti. Dia tidak mengatakannya padaku!"
"Kau pernah berjanji akan mengatakan urusanku pada Paduka Seribu Masalah! Lalu
setelah kau yakin orang itu adalah Paduka Seribu Masalah, apakah kau menanyakan
urusanku padanya"!"
Pendekar 131 terdiam. Dadanya berdebar tidak enak. Perlahan-lahan dia berpaling
dengan memoatin. "Apa yang harus kukatakan padanya"! Paduka Seribu Masalah tidak
mau menjawab perihal gadis ini dengan alasan hal itu masih ada kaitannya dengan
urusan perkawinanku dengan Dewi Bunga Asmara!"
"Kau tidak mengatakan pada Paduka Seribu Masalah perihal diriku"!" Dayang Tiga
Purnama ulangi pertanyaan.
"Aku.... Aku belum sempat menanyakannya. Saat itu aku tengah menyelesaikan
urusanku...." Akhirnya Joko menjawab dengan berdusta. Karena khawatir Dayang
Tiga Purnama tidak percaya dengan apa yang menjadi jawaban Paduka Seribu
Masalah. Dayang Tiga Purnama perdengarkan gumaman tak jelas. Sepasang matanya mendelik.
Dan dia sentakkan wajahnya berpaling saat berucap ketus.
"Tahu kau ingkar janji dan suka bercanda, tidak mungkin aku mengatakan terus
terang padamu perihal diriku!"
"Maaf, saat itu aku benar-benar tidak ingat dan lupa...."
"Hem.... Karena kau tenggelam dengan urusan hamilnya dua gadis di negeri asalmu
dan hamilnya dua gadis cucu nenek bersanggul pedang itu"!" sahut Dayang Tiga
Purnama. "Celaka! Jangan-jangan dia menduga alasan yang kukatakan pada Iblis Rangkap Jiwa
benar-benar terjadi! Dan juga mengira tuduhan nenek geblek itu benar!" gumam
Joko dengan paras mengelam merah.
"Pemuda negeri asing!" ujar Dayang Tiga Purnama masih tanpa memandang dengan
suara keras. "Siapa pun kau adanya, yang jelas kau telah disebut sebagai
Pendekar! Di daratan Tibet, seorang pendekar pantang memiliki hubungan dengan beberapa
gadis! Apalagi sampai menodai dua gadis hingga hamil! Jika manusia begitu hidup di
daratan Tibet, siapa pun berhak membunuhnya! Kuingatkan kau agar segera kembali
ke tanah kelahiranmu! Jika aku masih menemukanmu berkeliaran di tanah Tibet, aku
tak segan membunuhmu! Karena bukan tak mungkin kau mencari mangsa di daratan
ini! Buktinya kau telah berurusan dengan dua cucu nenek bersanggul pedang itu!"
Joko ternganga besar mendengar kata-kata si gadis. Namun belum sampai dia buka
mulut, Dayang Tiga Purnama telah berucap lagi.
"Saat ini kau memang telah mendapatkan pedang sakti! Tapi bukan berarti kau bisa
seenaknya saja membuat ulah di negeri ini! Ingat! Sekali kau kutemukan masih


Joko Sableng Pedang Keabadian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berada di daratan Tibet, kita akan berhadapan mengadu nyawa!"
"Hem.... Saat kutinggalkan bersama Nenek Selir, gadis ini tinggal berdua dengan
Datuk Kala Sutera. Kalau dia bisa lolos, berarti ilmunya tidak rendah! Dan
terbukti pukulannya tadi membuat Iblis Rangkap Jiwa terpental dan jatuh tewas!"
Joko berkata dalam hati. Joko tidak pernah tahu, kalau lolosnya Dayang Tiga
Purnama dari Datuk Kalau Sutera karena sesuatu yang Dayang Tiga Purnarra sendiri
tidak menyadarinya.
"Dayang...," kata Joko dengan suara pelan. "Mau dengar penjelasanku"!"
'Hem.... Kau ingin memberi alasan tentang beberapa gadis yang hami! itu"!
Tuduhan nenek bersanggul pedang Stu mungkin benar mungkin juga salah! Tapi
keterangan dari mulutmu sendiri ketika hampir mampus di tangan musuh dari negeri
asalmu itu, tidak membutuhkan penjelasan lagi!"
"Tapi...."
"Kembalilah ke negeri asalmu, Pendekar 131! Kau tidak pantas hidup di bumi
Tibet!" Habis berkata begitu, Dayang Tiga Purnama berpaling dan memandang tajam.
Lalu berkata lagi.
"Kalau keteranganmu tentang Paduka Seribu Masalah main-main, kelak aku akan
mencarimu ke tanah Jawa!"
Dayang Tiga Purnama tersenyum dingin.
Lalu putar diri dan berkelebat tinggalkan tempat itu.
Sebenarnya Pendekar 131 sudah hendak buka mulut. Namun dipikir tidak ada gunanya
dan bisa memperuncing masalah, akhirnya Joko hanya diam saja dan memperhatikan
sosok Dayang Tiga Purnama dengan geleng kepala.
"Mungkin sebaiknya aku segera tinggalkan negeri ini.... Di sini aku didera
urusan aneh-aneh yang tidak kumengerti!" Joko berpaling sesaat pada sosok Iblis
Rangkap Jiwa. Dia menghela napas panjang.
"Ternyata bentangan samudera bukan jadi perintang terlampiasnya sebuah dendam!
Mudah-mudahan orang yang duduk rangkapkan kaki Itu adalah benar Paduka Seribu
Masalah. Hingga tidak sampai Dayang Tiga Purnama jauh-jauh memburuku sampai ke
tanah Jawa...."
Habis bergumam begitu, Pendekar 131
selinapkan tangan kiri kanan ke balik pakaiannya meyakinkan keberadaan Pedang
Tumpul 131 dan kotak emas berukir berisi pedang putih. Saat lain balikkan tubuh
lalu berkelebat tinggalkan tempat itu.
ENAM KARENA khawatir tersesat, Pendekar 131 Joko Sableng terpaksa berkelebat
mengikuti jalan mana dia tadi sampai ke tempat ditemukannya pedang putih yang
menancap pada kotak hitam. Seraya berlari, dia terus bersikap waspada. Malah
sesekali berhenti dengan pasang telinga dan pentang mata. Dia sadar, beberapa
tokoh negeri Tibet banyak yang sudah tahu kalau peta wasiat yang pernah banyak
dibicarakan berada di tangannya. Bukan mustahil, secara diam-diam ada yang terus
mengikutinya dan mencari kesempatan untuk merampas apa-yang telah didapatkannya.
Kekhawatiran pula yang membuat murid Pendeta Sinting beristirahat di satu tempat
dan baru meneruskan perjalanan setelah pagi menjelang.
Ketika langkahnya mendekati kawasan yang berdekatan dengan hutan bambu di mana
dia kemarin mulai mengadakan perjalanan, Pendekar 131 memperlambat larinya. Saat
itulah mendadak dia menangkap kelebatan satu sosok bayangan menuju ke arahnya.
Buru-buru dia melesat lalu mendekam sembunyi di atas sebuah pohon berdaun
rindang. Pendekar 131 pentangkan mata dan pasang telinga tanpa berani membuat gerakan
atau perdengarkan suara. Dan dia merasakan dadanya berdebar ketika tiba-tiba
satu sosok tubuh telah tegak si samping sebuah batangan pohon di seberang bawah
sana hanya beberapa tombak dari pohon di mana dia mendekam sembunyikan diri.
Ketika sekali lagi murid Pendeta Sinting memperhatikan, hampir saja mulutnya
terbuka. Dia melihat seorang laki-laki berusia lanjut berambut putih panjang
mengenakan jubah tanpa lengan berwarna abu-abu. Laki-laki ini tegak dengan
pundak kanan memanggul satu sosok tubuh yang membuat Joko tercengang hampir
tidak percaya. Yang dipanggul adalah seorang yang sangat dikenalnya dan belum
lama sempat bertemu.
"Nenek Selir!" desis Joko mengenali sosok yang ada di panggulan pundak orang.
"Apa yang terjadi dengan nenek slebor itu"! Dia tidak bergerak tidak bersuara!
Astaga! Dari bahunya terlihat tetesan darah! Telah terjadi sesuatu padanya! Apa
yang harus kulakukan"! Menolongnya..."!
Tapi bukankah - "
Murid Pendeta Sinting tidak lanjutkan membatin. Dia simak baik-baik keadaan di
bawah sana. Laki-laki berjubah tanpa lengan perlahan-lahan turunkan sosok di
atas panggulannya yang ternyata adalah seorang perempuan tua mengenakan pakaian
selempang kain warna hitam. Rambutnya yang putih disanggul tinggi dan dihias dua
pedang berkilat. Nenek ini bukan lain memang Nenek Selir alias Yu Sin Yin.
Begitu sosok si nenek tergeletak di atas tanah di bawah pohon, si laki-laki
berjubah tanpa lengan gerakkan kedua tangan ke arah bahu kiri si nenek yang
masih teteskan darah.
Begitu kedua tangan si laki-laki membuat gerakan menusuk beberapa kail dan
ditempelkan, dari bahu kiri si nenek yang pakaiannya robek, semburkan darah
kehitaman! Sosok Nenek Seiir terlihat terlonjak. Namun sejauh ini dia tidak
perdengarkan suara atau membuat gerakan lain.
"Apa pun yang dilakukan kakek itu, dia tengah menolong! Siapa adanya kakek
itu"!"
Baru saja Joko membatin begitu, di bawah sana si laki-laki usap bahu kiri Nenek
Selir yang baru saja muncratkan darah. Saat lain kedua tangannya menusuk
beberapa anggota tubuh si nenek dan terakhir pada lehernya.
Heekkk! Terdengar suara laksana orang tercekik. Saat yang sama sosok si nenek terlonjak
dengan mata terbuka nyalang.
Mata itu sesaat memandang tajam ke atas lalu mengedar berkeliling.
Murid Pendeta Sinting diam-diam terkesiap. "Celaka kalau dia sampai tahu
keberadaanku di sini! Ah.... Seharusnya aku tadi langsung saja pergi ketika dia
daiam keadaan tidak sadar! Kini semuanya sudah terlambat.... Terpaksa aku .harus
menunggu hingga mereka pergi...." Joko rundukkan kepala meringkuk.
Sementara di bawah sana, begitu mata si nenek menumbuk pada sosok laki-laki
berjubah abu-abu tanpa lengan, sesaat matanya membesar. Kejap lain laksana
terbang dia bergerak bangkit. Kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi.
Namun mendadak raut wajah si nenek berubah. Sosoknya bergetar. Kedua tangannya
gemetar. "Yu Sin Yin.... Racun dalam tubuhmu belum seluruhnya punah. Kau harus kerahkan
tenaga murni untuk mengatasinyal Aku hanya berhasil mengeluarkan sebagian...."
Berkata laki-laki berjubah tanpa lengan.
"Beraninya kau menyentuh tubuhku!
Jahanam! Kau kira dengan tindakanmu ini aku akan ucapkan terima kasih dan
menganggap hangus semua yang telah kau lakukan"!"
Si laki-laki di hadapan Nenek Selir gelengkan kepala. "Seandainya yang terluka
bukan kau, aku akan melakukan tindakan yang sama! Jadi jangan kira semua Ini
kulakukan dengan berharap satu maksud!"
"Wang Su Ji! Kau masih pandai bicara mengambil hati orang! Tapi jangan berharap
aku merubah niat hanya karena tindakanmu ini! Kau tetap harus mampus di
tanganku!"
bentak Nenek Selir seraya kerahkan hawa murni karena diam-diam nenek ini memang
merasakan sekujur tubuhnya masih laksana ditusuk ribuan jarum meski tidak lagi
sehebat saat berada di hutan bambu.
Seperti diketahui, Nenek Selir secara tidak terduga bertemu dengan Wang Su Ji
alias Manusia Tanah Merah. Laki-laki yang pada masa mudanya pernah menjadi
kekasihnya dan pada akhirnya berkhianat.
Ketika si nenek hendak lampiaskan dendam, mendadak muncul Siluman Sebelas Muara
dan Ratu Pulau Mayat. Kemunculan kedua orang ini hendak balas dendam atas
tindakan Nenek Selir yang diduga telah membunuh saudara mereka. Ratu Pulau Mayat
akhirnya tewas bunuh diri karena tidak tahan menahan rasa panas pada sekujur
tubuhnya. Sementara Siluman Sebe.as Muara melarikan diri dengan terluka. Namun sebuah
pisau beracun milik Siluman Sebelas Muara sempat bersarang pada bahu kiri Nenek
Selir. Dengan cepat racun itu menjalar ke seluruh tubuh si nenek walau si nenek telah
hentikan jalan darahnya dan kerahkan hawa murni. Tapi Nenek Selir tidak pernah
menduga kalau racun di pisau Siluman Sebelas Muara akan makin menjadi-jadi jika
ditahan dengan pengerahan hawa murni.
Dalam keadaan terkena racun dan hampir saja roboh, Wang Su Ji cepat bertindak
dan membawa si nenek bekas kekasihnya di masa muda itu meninggalkan hutan bambu.
Karena khawatir masih ada orang lain yang memendam dendam pada Nenek Selir
akibat ulah si nenek pada beberapa puluh tahun silam, Wang Su Ji alias Manusia
Tanah Merah sengaja beristirahat pada satu tempat aman seraya mengobati si
nenek. Ketika suasana berganti pagi, Wang Su Ji teruskan perjalanan membawa si
nenek pergi jauh-jauh dari hutan bambu.
Manusia Tanah Merah sunggingkan senyum. "Yu Sin Yln.... Aku tahu dan sadar.
Perempuan mana pun pasti akan mengucapkan kata-kata yang sama seper-timul Tapi
percayalah.... Kulakukan semua ini bukan berharap kau merubah niat untuk
membunuhku! Dan kau sendiri sudah dengar.
Aku akan pasrahkan diri padamu.... Tapi setelah kita tahu siapa dan di mana
adanya anak kita!"
"Itu hanya mimpi! Itu hanya khayalanmul Kau harus mampus tanpa harus tahu siapa
dan di mana anakmu! Kau tidak pantas bertemu dengannya!" teriak Nenek Selir
setengah menjerit.
"Manusia sepertiku memang tidak pantas bertemu dengan anak yang disia-siakan.
Tapi sebagai seorang ayah, bagaimanapun juga aku masih berharap bisa be Hiu
sebelum ajal datang menjemput....
Lagi pula...."
"Cukup!" potong si nenek sambil gerakkan kedua tangan yang masih berada di
udara. Sett! Settt! Dua buah pedang yang menghias di sanggulan rambutnya kini telah tergenggam pada
kedua tangannya.
"Kau kelak bisa bertemu anakmu di liang kuburi" seru Nenek Selir sambil maju dua
langkah. Dua pedang di tangan diangkat tinggi-tinggi.
Manusia Tanah Merah menghela napas panjang. Wajahnya berubah tegang. Dia maklum,
dalam keadaan dibuncah hawa marah dan dendam begitu rupa, tidak mungkin baginya
dapat menyadarkan si nenek. Hingga tanpa membuat gerakan apa-apa dia berucap.
"Yu Sin Yin.... Aku memang telah menyakiti hatimu. Dan pada mulanya aku berharap
kau mau memaafkan aku. Tapi kalau pintu maafmu telah tertutup, aku tak bisa
berbuat lain! Dan kalau kau tidak juga memberi waktu lagi padaku untuk bisa
bertemu dengan anak kita, aku pun tidak akan memaksa. Sekarang lakukanlah apa
yang kau inginkan...."
"Keparat! Kau kira aku akan trenyuh mendengar ucapanmu, hah"!"
"Manusia sepertiku sudah tidak pantas lagi mengharap apa-apa...."
"Bagus! Bersiaplah!" bentak Nenek Selir dengan suara serak. Dia maju satu tindak
lagi. Kini jarak antara nenek dan kakek itu tinggal tiga langkah.
Si nenek pandangi sosok Manusia Tanah Merah dengan dagu mengembung dan mata
berkilat merah laksana dibakar. Saat lain kedua tangannya bergerak!
Terdengar deruan angker dari gerakan kedua pedang di kedua tangan Nenek Selir.
Bara api telah semburat di tubuh dua pedang yang berarti si nenek telah kerahkan
ilmu kesaktian 'Bara Api Neraka'.
Manusia Tanah Merah sunggingkan senyum. Lalu sepasang matanya digerakkan
memejam. Laki-laki ini tidak berusaha membuat gerakan apa-apa pertanda dia sudah
pasrah menjemput ajal di tangan bekas kekasihnya.
Namun belum sampai bara api melesat keluar dari dua pedang si nenek, dan gerakan
kedua tangannya baru setengah jalan, mendadak si nenek tahan gerakannya.
Sosoknya gemetar. Kepalanya digerakkan pulang balik menggeleng perlahan. Lalu
terdengar gumamannya tak jelas. Malah saat lain kaki kanannya
bergerak menghentak! Hingga tanah di bawahnya bergetar dan muncrat semburat.
Manusia Tanah Merah perlahan membuka matanya. Masih dengan tersenyum dia berkata
setengah berbisik.
"Yu Sin Yin.... Jangan turutkan perasaan.... Kau nanti akan menyesal. Aku tahu.
Kau masih menyin-taiku.... Bukankah lebih baik kita bangun kembali puing-puing
kehancuran ini..." Kita telah sama-sama tua. Untuk apa masih harus selesaikan
masalah dengan jalan kekerasan jika jaian lain masih bisa kita tempuh..."!
Apalagi kita masih punya sesuatu yang harus diselesaikan bersama-sama...."
"Keparat!" Mendadak si nenek menghardik. "Siapa masih menyintaimu"!
Justru aku akan menyesal jika bukan tanganku sendiri yang mencabut selembar
nyawa jahanammu!"
Dengan selesainya ucapan, kedua tangan Nenek Selir teruskan berkelebat!
Terdengar seruan tertahan dari atas sebuah pohon. Lalu dua gelombang dahsyat
berkiblat. Kedua tangan Nenek Selir terperai ke udara. Sosoknya terjajar tiga langkah ke
samping. Saat yang sama, sosok Manusia Tanah Merah tersapu dan tersen-tak-sentak
mundur hingga beberapa langkah!
Dua bara api dari tubuh dua pedang si nenek memang melesatl Keluar hingga
semburkan hawa panas. Namun karena kedua tangan si nenek terpental dan sosok
Manusia Tanah Merah tersapu, lesatan dua bara api berkiblat melenceng den
menghajar dua batangan pohon di sebelah samping.
Blammm! Blammm!
Dua pohon besar itu langsung terbakar dan berderak tumbang perdengarkan suara
bergemuruh keras. Tanahnya terbongkar dan semburat menutupi pemandangan.
Dalam marah dan gusarnya, Nenek Selir tegakkan wajah berpaling tengadah tembusi
keadaan yang agak gelap karena semburatan tanah. Saat lain dia membuat gerakan
dan tahu-tahu sosoknya telah tegak dengan kepala mendongak di bawah salah satu
pohon. Beberapa saat sepasang matanya mendelik liar mengawasi rimbun dedaunan
pohon di bawah mana dia tegak.
"Jahanam! Jelas gelombang laknat yang menahan gerakanku tadi berasal dari pohon
ini! Jelas pula aku melihat jahanamnya mendekam di sela rimbun dedaunannya!
Telingaku pun jelas mendengar seruannya!
Aneh.... Tapi mana tampang bangsatnya"!"
Nenek Selir menggeram dalam hati karena meski telah memperhatikan beberapa saat,
dia tidak melihat siapa-siapa!
Si nenek melirik sekilas ke samping.
Manusia Tanah Merah masih tegak seraya me mandang ke arah si nenek. Saat itu
juga Nenek Selir membentak.
"Wang Su Jin! Jangan coba-coba bergerak tinggalkan tempat ini! Aku akan
selesaikan dulu jahanam yang berani lancang ikut campur urusanku!"
Habis berteriak begitu, kembali Nenek Selir tengadah memandang ke arah pohon di
atasnya dengan mata makin merah dan membelalak. Lalu berteriak keras.
"Aku hanya bicara satu kali! Cepat tunjukkan tampangmu!"
Tampaknya ancaman si nenek tidak main-main. Begitu tidak ada sahutan atau tanda-
tanda kemunculan orang, kedua tangan si nenek yang masih menggenggam dua pedang
segera dikelecatkan ke atas.
Wuuss! Wusssi Hawa panas menyengat menebar tatkala dari tubuh dan pedang Nenek Selir melesat
dua kobaran api perdengarkan suara gemuruh menggidikkan.
Rimbun dedaunan pohon di bawah mana Nenek Selir berada langsung amblas mental
dan terbakar. Saat lain batangan pohonnya bergetar keras sebelum akhirnya
tumbang dengan mengelupas hangus dan pecah-pecah!
Bersamaan dengan berderak tumbangnya batangan pohon, satu sosok putih berkelebat
dari baliknya. Lalu tegak di seberang depan sana dengan membelakangi Nenek Selir
dan Manusia Tanah Merah!
Sepasang mata Nenek Selir memandang berkilat. "Rambutnya sedikit panjang acak-
acakan. Pakaiannya putih....." Si nenek mendesis dengan dada bergerak turun naik
keras. "Jahanaml Jangan-jangan bangsatnya si...."
Nenek Selir putuskan desisan. Lalu berkelebat dan tegak tujuh langkah di
belakang sosok yang baru saja melompat keluar dari batangan pohon yang baru saja
tumbang terhantam pukulannya.
"Setan sekalipun kau adanya, kau ingin mampus tanpa unjukkan tampang"!"
Nenek Selir berteriak. Kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi.
Perlahan-lahan sosok berbaju putih di hadapan si nenek bergerak memutar.
Walau tadi sudah menduga, namun begitu sosok di hadapannya yang tadi tegak
membelakangi membalik, Nenek Selir masih sempat terlengak dan tersurut kaget.
Sementara orang di hadapannya sunggingkan senyum. Namun senyumnya laksana
tersentak putus ketika matanya melihat kedua tangan si nenek yang terangkat
tinggi-tinggi dan siap bergerak! Hingga dia cepat buka mulut.
Nek! tunggu...! Kau harus dengar dulu penjelasanku!"
"Penjelasan itu kau katakan saja nanti pada setan di neraka!" sentak nenek Selir
dengan nanari sosok di hadapannya dari ujung rambut hingga ujung kaki seolah
tidak percaya. "Tidak bisa! Aku tak punya urusan dengan setan di neraka! Urusannya denganmu!"


Joko Sableng Pedang Keabadian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang di hadapan si nenek yang bukan lain adalah murid Pendeta Sinting ikut-
ikutan berkata keras dengan mata terus melirik ke arah kedua tangan si nenek.
"Persetan dengan segala macam urusan!
Kau telah berani kurang ajar menghalangi tindakanku! Kau harus mampus tanpa
perlu memberi penjelasan!"
"Tidak bisal Mampus atau tidak aku harus memberi penjelasan! Persetan kau perlu
atau tidak dengan penjelasanku!"
"Yu Sin Yin.... Berilah waktu padanya....Jangan kau tumpahkan kemarahan mu
padaku terhadap orang lain...." Manusia Tanah Merah angkat suara.
Nenek Selir berpaling dengan seringai dingin.
TUJUH WANG Su Ji! Mulutmu berani mengatur!"
Nenek Selir membentak. "Kau jangan terlalu berprasangka jauh.... Setiap tindakan
orang pasti punya tujuan. Siapa pun adanya pemuda itu, tentu punya alasan hingga
dia berani kurang ajar menghalangi tindakanmu.... Apalagi kulihat kau telah
mengenalinya!"
"Betul! Betul!" Joko menyahut "Aku hanya ingin menjelaskan satu hal. Setelah itu
aku akan pergi!"
Nenek Selir menoleh lagi pada murid Pendeta Sinting. Saat yang sama, Joko segera
buka mulut. "Nek...! Dengan adanya pertemuan antara kau dan kakek itu, berarti aku sudah
tidak punya kewajiban lagi menjawab pertanyaanmu! Hal ini harus kujelaskan agar
nantinya tidak terjadi salah paham di antara kita!"
Seperti dmetahui, ketika bertemu pertama kali dengan Nenek Selir, si nenek
memberi waktu setengah purnama pada murid Pendeta Sinting untuk menjawab di mana
beradanya Wang Su Ji alias Manus a Tanah Merah yang sebenarnya saat itu masih
belum diketahui oleh Joko.
Dan begitu Pendekar 131 mendengar percakapan antara si nenek dengan kakek
berjubah tanpa lengan, dia sudah dapat menduga kalau orang yang selama ini
dicari oleh si nenek adalah laki-laki yang kini berada di hadapannya.
"Pemuda asing!" berkata Nenek Selir masih dengan suara tinggi. "Kau masih punya
tanggungan nyawa padaku! Tanggungan itu baru impas kalau kau sudah memutuskan
gadis mana yang kau pilih!"
Seperti diketahui pula, Nenek Selir yang tengah mencari jejak kekasih lamanya
bertemu dengan Bidadari Delapan Samudera yang saat itu tengah dilanda
kebimbangan atas sikap dan ucapan Joko. Karena punya nasib yang hampir sama,
akhirnya Nenek Selir memutuskan untuk membantu Bidadari Delapan Samudera. Dan si
nenek akhirnya bertemu juga dengan Bidadari Pedang Cinta sebelum akhirnya
menemukan Pendekar 131
yang saat itu bersama Dayang Tiga Purnama di hutan bambu.
Melihat Joko bersama Dayang Tiga Purnama, Nenek Selir menjadi marah. Dia menduga
murid Pendeta Sinting adalah manusia yang suka mempermainkan perempuan.
Hingga pada akhirnya si nenek minta agar joko memberi keputusan siapa di antara
ketiga gadis itu yang dipilihnya! Nenek Selir memberi waktu sepuluh hari. Hal
ini dilakukan si nenek karena dia tak mau ada perempuan yang dibuat main-main
oleh laki-laki. Dia telah merasakan bagaimana pahitnya dikhianati. Lebih dari
itu, karena dia sebenarnya punya seorang anak perempuan yang hingga saat ini
tidak diketahui di mana rimbanya.
"Sekarang katakan padaku. Siapa di antara gadis itu yang kau pilih!" Nenek Selir
kembali berkata setelah agak lama di antara Joko, si nenek dan Manusia Tanah
Merah tidak ada yang buka suara.
"Nek.... Aku adalah orang dari seberang laut. Kau boleh percaya boleh juga
tidak. Sebenarnya aku tidak punya maksud untuk datang ke negeri ini. Jadi sulit
rasanya kalau aku harus memutuskan untuk memilih gadis negeri ini! Apalagi
tujuanku bukan mencari gadis!"
"Persetan dengan keteranganmu! Yang jelas kau telah ucapkan janji untuk memberi
piiihan! Lagi pula jangan mimpi aku bisa percaya dengan keterangan manusia laki-
laki sepertimu! Semua laki-laki adalah Jahanam keparat! Termasuk dirimu!"
"Nek...."
"Jangan teruskan bicara!" tukas si nenek. "Kau kuberi waktu untuk bicara kalau
memberi jawaban pilihan atas ketiga gadis itu! Jika tidak, segeralah enyah dari
hadapanku sebelum aku muak melihat tampangmu dan kedua tanganku makin gatal
ingin segera membunuhmu!" Kepala s! nenek mendongak. Lalu teruskan bicara.
"Untung kau bertemu sebelum masa waktu yang kuberikan habis! Jika sebaliknya,
jangan harap nyawamu masih utuh!"
"Ah, daripada cari penyakit baru, lebih baik aku pergi saja! Aku akan segera
pulang ke tanah Jawa. Kalau dia penasaran dan masih minta pertanggungan jawab,
tentu dia akan mencariku!" Joko membatin.
"He! Apa lagi yang kau tunggu, nah"!"
Joko anggukkan kepala. Lalu tanpa buka mulut lagi dia putar diri. Namun
gerakannya ditahan tatkala dia menangkap gerakan pada Manusia Tanah Merah.
"Keparat! Rupanya kau manusia yang tak tahu diuntung dan tak mau diberi enak!"
bentak Nenek Selir melihat Joko tahan gerakannya.
"Nek.... Tunggu! Harap kau sudi memberi saran padaku...."
Nenek Selir melotot. Namun sebelum dia buka mulut, Joko mendahului.
"Kau tentu sudah mengenal tiga gadis yang hendak kupilih. Menurutmu, mana di
antara ketiganya yang kira-kira sesuai dengan diriku"! Si baju ungu yang
rambutnya dikelabang dua"! Atau si baju hijau yang berparas cantik menawan"!
Atau si baju biru yang jelita"!"
Si nenek tidak menjawab. Joko sunggingkan senyum seraya melirik ke tempat mana
tadi Manusia Tanah Merah berada. Lalu buka mulut.
"Menurut yang kudengar...."
Baru saja Joko berucap begitu, si nenek sudah melompat. Tangan kanannya
disentakkan. Wuuttt! Satu gelombang menyambar. Pedang di tangan kanan si nenek berkelebat. Namun
tidak semburkan kobaran api. Karena tindakan si nenek sebenarnya hanya ingin
agar Joko segera pergi. Namun gelombang yang menyambar akibat gebrakan tangan
kanannya tidak bisa dianggap main-main.
Murid Pendeta Sinting buru-buru putar diri. Lalu seraya berkelebat dia
berteriak. "Nek! Apa pun yang nantinya bakal terjadi ditempai ini, kuharap kau tidak lempar
tuduhan padaku!"
Byurr! Tanah dua langkah di samping mana tadi Joko tegak berdiri semburat terkena
gelombang yang menyambar dari tangan kanan Nenek Selir.
Si nenek tegak dengan mata mendelik memperhatikan kelebatan sosok murid Pendeta
Sinting. "Jahanam! Apa maksud ucapannya..."!
Jangan-jangan...."
Nenek Selir cepat balikkan tubuh.
Mendadak paras wajahnya berubah membesi.
Matanya terpentang besar laksana hendak mencelat dari rongganya. Sekujur
tubuhnya berguncang keras. Karena ternyata Manusia Tanah Merah sudah tidak
kelihatan lagi batang hidungnya di tempat itu!
"Jahanam! Jahanam! Ke mana manusia jahanam itu"!" Laksana kalap, Nenek Selir
berkelebat mengitari tempat di mana tadi dilihatnya Manusia Tanah Merah tegak
berdiri. Kedua tangannya diacung-acungkan.
Mulutnya perdengarkan teriakan-teriakan tak karuan.
Setelah berkelebat berkeliling beberapa kali dan sosok yang dicari tidak juga
ditemukan, Nenek Selir hentikan kelebatan dan tegak dengan tubuh bergetar basah
kuyup. Sepasang matanya menatap tajam pada batangan pohon di dekat mana tadi
Manusia Tanah Merah tegak berdiri.
Saking marahnya, batangan pohon itu tiba-tiba membentuk sosok Manusia Tanah
Merah! Nenek Selir serta-merta melompat.
Pedang di tangan kanan kirinya dibabatkan beberapa kali. Brakk! Brakk! Brakk!
Terdengar beberapa kali derakan keras. Batangan pohon itu langsung bergetar dan
tumbang semburat!
Tampaknya si nenek beium puas. Walau batangan pohon audah tumbang dan semburat
mengudara, dia teruskan kelebatan kedua pedangnya.
Nenek Selir tidak tahu sampai berapa lama dia bertindak seperti orang kesurupan
begitu rupa. Yang jelas dia baru hentikan babatan kedua pedangnya ketika
merasakan kedua tangannya ngilu dan kedua kakinya goyah.
"Berpuluh tahun aku mencarinya!
Berpuluh tahun pula aku memperdalam Ilmu untuk membunuhnya! Tapi begitu aku
bertemu dengannya, begitu aku tegak di hadapannya siap membunuh, aku tidak bisa
melakukan-nya! Mengapa..."! Mengapa"!"
Kepala Nenek Selir tengadah. Dadanya berguncang keras. Lalu perlahan-lahan
lututnya menekuk dan sosoknya jatuh terduduk di atas tanah. Pedang pada kedua
tangannya terlepas. Saat kepalanya bergerak menunduk, air mata meluncur deras
membasahi kedua pipinya yang pucat mengeriput!
"Jahanam itu telah membuat hidupku sengsara dan merana.... Bahkan telah
membuatku iupa pada anakl Tidak seharusnya aku berlaku lemah menghadapinya! Aku
harus membunuhnya! Harus! Saat ini dia lolos.
Tapi tidak untuk kedua kalinya! Dan pemuda asing itu! Gara-gara dia, jahanam itu
bisa lolos! Dia juga hai us terbunuh di tanganku!" Si nenek kepalkan kedua
tangannya lalu dihantamkan ke atas tanah hingga membentuk lobang menganga.
"Anakku.... Di mana kau sekarang berada" Mungkinkah kita akan bertemu..."
Kalau saja saat itu aku tidak tenggelam dalam bara dendam akibat ulah laki-laki
jahanam itu, pasti kita tidak akan berpisah.... Anakku, aku telah membuat
kesalahan besar terhadapmu.... Seandainya kita nanti bertemu, mudah-mudahan kau
mau mengerti apa yang sebenarnya terjadi saat itu... Kuharap kau mau memaafkan
ibumu...." Nenek Selir kembali tengadah.
Air mata kembali bergulir dari sudut sepasang matanya. Saat lain nenek ini
perdengarkan gumaman tak jelas dengan kedua tangan diangkat lalu ditekapkan pada
raut wajahnya. * * * Sementara itu, di lain pihak Pendekar 131 terus berkelebat dengan kerahkan
segenap ilmu peringan tubuhnya. Tampaknya dia sudah bisa membaca apa yang akan
terjadi saat dia melihat Manusia Tanah Merah membuat gerakan berkelebat pergi
ketika dia tadi hendak balikkan tubuh.
Pada satu tempat agak sepi, baru Joko berani memperlambat larinya setelah pulang
balikkan kepala berpaling ke belakang dan ke samping.
"Hem.... Siapa pun adanya kakek berjubah tanpa lengan itu, yang pasti dia adalah
orang yang dicari Nenek SelirI Hem.... Ulah cinta di masa muda, ternyata tidak
bisa sirna walau usia sudah bau tanah...."
Baru saja Joko bergumam begitu, mendadak satu suara terdengar.
"Anak muda.... Tidak selamanya cinta itu membuat orang bahagia! Untuk itu kau
harus seribu kali berpikir jika berhadapan dengan urusan cinta dan perempuan!"
Sekonyong-konyong Pendekar 131
hentikan larinya. Lalu berpaling ke samping.
KITA tinggalkan dahulu murid Pendeta Sinting yang terlengak kaget ketika tiba-
tiba terdengar suara orang begitu sampai pada satu tempat agak sepi, padahal
sebelumnya dia menduga tempat di mana dia berada sudah agak jauh dari tempat
pertemuan antara Nenek Selir dan Manusia Tanah Merah.
Kita kembali ke kawasan tidak jauh dari hutan bambu. Saat itu dua sosok bayangan
tampak berkelebat cepat hingga sosok keduanya hanya laksana bayang-bayang.
Mereka berlari menuju hutan bambu.
Dan begitu sosok keduanya mulai memasuki hutan, sosok keduanya lenyap laksana
ditelan bumi! Berbaur dengan rimbunnya rumpun ranggasan semak dan bambu.
Sosok kedua bayangan itu baru terlihat lagi saat keduanya hampir mencapai aliran
sungai di ujung hutan.
Mereka tegak berjajar dengan kepala sama berputar memperhatikan berkeliling.
Sosok di sebelah kanan ternyata adalah seorang gadis berparas cantik. Rambutnya
hitam lebat disanggul tinggi ke atas dan diberi konde. Kulitnya putih. Hidungnya
mancung dengan bibir membentuk bagus. Gadis ini mengenakan pakaian warna merah.
Sementara di sebelahnya, ternyata adalah juga seorang gadis berparas cantik.
Sekail orang melihat, pasti sudah bisa menebak jika gadis di sebelah kiri adalah
saudara kembar gadis berbaju merah. Karena sosok dan parasnya sangat mirip. Yang
membedakan keduanya adalah pakaian yang dikenakan.
Kalau yang sebelah kanan mengenakan baju warna merah, gadis sebelah kiri memakai
baju warna kuning. Kedua gadis ini bukan lain adalah Galuh Sembilan Gerhana dan
Galuh Empat Cakrawala. Murid Iblis Muka Setan dan Perempuan Kembang Darah yang
lebih dikenal dengan Pasangan Mesum.
"Galuh Empat Cakrawala.... Menurut beberapa keterangan yang kita dapat, orang
yang kita cari berada di sekitar tempat ini. Tapi aku tidak menangkap adanya
orang di sekitar tempat ini. Jangan-jangan semua keterangan yang kita dapat
bohong belaka!"
Berkata gadis cantik berbaju merah si Galuh Sembilan Gerhana dengan lepas
pandangan berkeliling tembusi rimbun rumpun bambu.
"Kita tidak boleh putus asa! Kita belum menyelidik ke seluruh hutan! Mencari
Orang macam Paduka Seribu Masalah bukan pekerjaan mudah yang tidak membutuhkan
tenaga dan waktu!" Gadis berbaju kuning si Galuh Empat Cakrawala menyahut.
"Aku punya usul. Kalau setelah menyelidik ke seluruh hutan ini dan kita tidak
menemukan Paduka Seribu Masalah, kita hentikan mencari orang itu! Kita langsung
mencari si perempuan binal Bidadari Tujuh Langit! Kita memang belum yakin benar
apakah keterangan Guru bahwa pembunuh orangtua kita adalah Bidadari jahanam itu.
Tapi Bidadari binal jahanam itu telah bertindak menjijikkan pada kita!
Aib yang telah ditanamkan pada diri kita tidak bisa hapus sebelum tanganku bisa
mencincang tubuhnya!" Berkata Galuh Sembilan Gerhana. Paras wajahnya berubah
kelam membesi. Kedua tangannya mengepal.
Dadanya yang membusung kencang bergerak turun naik. Jeias gadis cantik ini
dilanda hawa kemarahan luar biasa.
Mendengar kata-kata saudaranya, Galuh Empat Cakrawala dongakkan wajah. Urat-urat
pada lehernya yang jenjang dan putih tampak bersembulan keluar. Pelipis kanan
kirinya bergerak-gerak.
"Jahanam binal itu memang harus segera kita cari! Sekali bertemu, hanya ada satu
pilihan! Kita yang mampu atau Bidadari binal Itu yang berkalang tanah!"
Seperti diketahui, Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala mendapat
keterangan dari guru mereka si Pasangan Mesum, Iblis Muka Setan dan Perempuan
Kembang Darah, jika orang tua mereka tewas di tangan Bidadari Tujuh Langit.
Kedua gadis itu segera mencari Bidadari Tujuh Langit. Ketika mereka bertemu
dengan Bidadari Tujuh Langit, ternyata mereka bukan saja tidak mampu melawan
Bidadari Tujuh Langit meski sudah menggunakan cara tertentu. Namun kedua gadis
ini harus mengalami nasib tidak baik. Mereka diperlakukan tidak senonoh oleh
Bidadari Tujuh Langit yang diketahui memiliki kelainan lebih suka bercinta
dengan sesama jenis daripada dengan laki-laki, ini akibat kutuk yang diucapkan
Dewi Keabadian ketika Bidadari Tujuh Langit dan suaminya Datuk Kala Sutera
bertindak licik merampas Sepasang Cincin Keabadian dari tangan Dewi Keabadian.
"Di depan sana ada aliaran sungai!
Berarti tempat itu adalah perbatasan kawasan hutan ini! Kita mulai menyelidik
dari pinggiran sungai!" kata Galuh Sembilan Gerhana.
Tanpa menunggu sahutan Galuh Empat Cakrawala, Galuh Sembilan Gerhana berkelebat
menuju aliran sungai. Galuh Empat Cakrawala lepas pandangan berkeliling sekali
lagi. Lalu berlari menyusul Galuh Sembilan Gerhana.
Kalau saat menuju hutan bambu kedua gadis berparas cantik murid si Pasangan
Mesum itu berlari laksana kesetanan, kali ini keduanya berlari agak peian. Malah
sesekali berhenti dan putar pandangan dengan mata mendelik tak berkeslp.
Pada satu tikungan, mendadak Galuh Sembilan Gerhana yang berada di depan
hentikan larinya.
"Kau melihat sesuatu"!" Bertanya Galuh Empat Cakrawala begitu tegak di samping
Galuh Sembilan Gerhana.
Yang ditanya tidak segera menyahut.
Sebaliknya beliakkan mata memandang pada satu jurusan. Galuh Empat Cakrawala
memandang sesaat pada Galuh Sembilan Gerhana, lalu ikut lepas pandangan ke arah
mana mata Galuh Sembilah Gerhana tengah menatap.
Laksana terbang, mendadak Galuh Empat Cakrawala melompat. Lalu tegak hanya
beberapa langkah di hadapan satu sosok tubuh yang duduk meringkuk di sebelah
rimbun rumpun bambu.
Hampir bersamaan dengan melompatnya Galuh Empat Cakrawala, Galuh Sembilan
Gerhana membuat gerakan. Tahu-tahu sosoknya sudah tegak di samping saudaranya.
Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala sama tegak dengan mulut
terkancing dan mata saling lempar lirikan.
Saat lain terdengar Galuh Sembilan Gerhana berbisik.
"Dari beberapa keterangan yang kita peroleh, tampaknya orang itu mempunyai ciri
yang dimiliki Paduka Seribu Masalah!"
Galuh Empat Cakrawala anggukkan kepala. Lalu arahkan pandang matanya pada sosok
yang duduk meringkuk beberapa langkah di hadapannya.


Joko Sableng Pedang Keabadian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang yang duduk di sebelah rumpun bambu Itu adalah seorang laki-laki. Namun
baik Galuh Sembilan Gerhana maupun Galuh Empat Cakrawala tidak bisa melihat
wajah orang karena sosok itu sengaja tekuk ke dua kakinya dirangkapkan di depan
dada. Sementara kepalanya dibenamkan dalam-dalam di belakang rangkapan kedua kakinya.
Kedua tangannya dilingkarkan menakup pula pada rangkapan kedua kakinya.
Beberapa saat berlalu. Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala seolah
tenggelam dalam rasa terkesima. Hingga keduanya hanya diam memandang tanpa
membuat gerakan atau buka mulut. Hingga pada satu saat, Galuh Empat Cakrawala
berbisik. "Dari cirinya jelas dia adalah Paduka Seribu Masalah! Apa lagi yang kita
tunggu"!"
Laksana dikomando, Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala segera maju
lalu serta-merta berlutut di hadapan sosok yang duduk rangkapkan kaki.
"Bukankah yang ada di hadapan kami adalah Paduka Seribu Masalah"!" Yang buka
suara adalah Galuh Empat Cakrawala dengan suara sedikit bergetar.
Tidak ada sahutan. Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala sama rasakan
dada masing-masing berdebar tidak enak. Seraya berlutut rapatkan kening di tanah
mata masing-masing gadis ini melirik pada lainnya. Pandangan mereka jelas
membayangkan kebimbangan.
Namun tidak berapa lama kemudian terdengar ucapan Galuh Sembilan Gerhana.
"Kami berdua mencari Paduka Seribu Masalah. Bukankah yang ada di hadapan kami
saat ini adalah orang yang kami cari"!"
Lagi-lagi tidak terdengar sahutan.
Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala sama angkat kepala. Saat itulah
terdengar suara dari sosok yang duduk rangkapkan kaki.
"Gadis-gadis cantik.... Jangan bertanya begitu.
Aku takut menjawabnya...."
Mendengar ucapan orang, mau tak mau Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat
Cakrawala tersentak kaget. Mereka berdua bingung tak tahu harus bagaimana.
Hingga keduanya hanya saling pandang.
"Bagaimana sekarang"!" bisik Galuh Sembilan Gerhana setelah agak lama terdiam.
"Aku tetap menduga dialah Paduka Seribu Masalah! Kita langsung saja bertanya!
Dan kalaupun nantinya dugaanku salah, itu tak akan membawa akibat apa-apa!"
jawab Galuh Empat Cakrawaia.
Gaiuh Sembilan Gerhana anggukkan kepala. Lalu berucap.
"Aku adalah Galuh Sembilan Gerhana.
Di sampingku ini saudaraku Galuh Empat Cakrawala. Kami berdua perlu beberapa
keterangan. Harap Paduka Seribu Masalah sudi menjawabnya...."
Orang yang duduk rangkapkan kaki dan sembunyikan kepala di belakang kedua
rangkapan kakinya dan bukan lain adalah Paduka Seribu Masalah adanya renggangkan
sedikit rangkapkan kedua kakinya. Lalu terdengar ucapannya.
"Sebenarnya aku takut menjawab. Tapi kalau nantinya aku beranikan diri memberi
keterangan, harap kalian berdua tidak langsung percaya. Kalian masih harus
menyelidik kebenarannya...."
Sahutan orang membuat Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawaia
sunggingkan senyum. Mereka hampir yakin kaiau orang di hadapannya adalah Paduka
Seribu Masalah.
"Terima kasih...." Hampir berbarengan kedua gadis cantik itu berucap seraya
menjura hormat.
"Paduka.... Menurut keterangan yang kami dapat dari Guru kami, kedua orangtua
kami tewas di tangan Bidadari Tujuh Langit. Apakah benar keterangan itu"!"
Yang ajukan tanya adalah Galuh Sembilan Gerhana.
"Kalian sudah menyelidik"!" Paduka Seribu Masalah balik bertanya.
"Kami sudah bertemu dengan Bidadari Tujuh Langit. Dari ucapan perempuan binal
itu kami jadi bimbang akan keterangan Guru kami!" kata Galuh Empat Cakrawala.
"Gadis-gadis cantik.... Seperti kukatakan tadi, kalian jangan langsung percaya
pada keteranganku kalau kukatakan jika keterangan guru kalian tidak benar...."
Kagetlah Galuh Sembiian Gerhana dan Gaiuh Empat Cakrawala. Sosok mereka bergetar
dan saling pandang.
"Lalu siapa sebenarnya yang membunuh kedua orangtua kami"!" tanya Galuh Sembiian
Gerhana dengan suara parau.
"Orang tua kalian masih hidup! Bahkan nenek dan kakek kalian masih ada!"
Saking kagetnya, Gaiuh Sembilan Gerhana dan Gaiuh Empat Cakrawala laksana hendak
Suling Naga 11 Rahasia Kampung Garuda Karya Khu Lung Misteri Pulau Neraka 3
^