Pencarian

Anak Langit Pendekar Lugu 2

Pendekar Bloon 9 Anak Langit Dan Pendekar Lugu Bagian 2


Setan Kebinasaan ini cepat bukan main. Namun
ternyata Pendekar Lugu sambil melipat tangan di
dada hanya menghindari tusukan yang bertubi-
tubi itu. Walaupun pun gerakannya lambat sekali
dan satu-satu, tapi anehnya tidak satu senjata
pun yang mengenai sasaran.
Rahjendra katupkan gerahamnya rapat-
rapat. Lalu ia menerjang kembali ke depan. Seka-
rang ia telah mengerahkan jurus 'Setan Mahra-
kayangan'. Serangan yang dilakukan Rahjendra
tampak berubah aneh. Sangkur itu menusuk,
menikam, atau terkadang meliuk-liuk di udara
untuk kemudian secepatnya meluncur deras ke
arah sasaran. Wuus! Wahyu Sakaning Gusti miringkan tubuh-
nya ke samping kanan. Lalu secepatnya ia berpu-
tar. Inilah jurus 'Manusia Krisis Iman' Gerakan-
nya bebas tidak beraturan, langkahnya ter-
huyung-huyung seperti orang mabuk. Terkadang
ia menepuk kening sendiri seperti orang pusing.
Wuuuk! Dua kali serangan sangkur tidak mengenai
sasaran. Rahjendra melotot seakan tidak percaya.
Lawan yang satu ini sedikit tidak membalas atau
menangkis, namun serangannya selalu kandas di
tengah jalan. TUJUH Dalam keadaan seperti itulah terdengar
suara bergelak dari kejauhan. Suara itu berubah-
ubah seperti lolongan tangis, amarah kera, atau
teriakan melengking. Kelima mata picak terke-
siap. Di lain waktu di atas tembok bangunan yang sebagian telah terbakar berdiri
seorang pemuda tampan berambut hitam kemerah-merahan. Pe-
muda itu bertampang ketolol-tololan.
"Pendekar Lugu, bertempur melawan iblis
hanya loncat sana loncat sini. Apa mau jadi mo-
nyet" Mata picak itu tidak perlu di kasih hati. Mereka lebih suka menjadi anjing
peliharaan daripa-da mendekatkan diri pada yang menciptakannya!
Ha ha ha...!" kata Pendekar Blo'on sambil tertawa bergelak.
Rahjendra alias Setan Kebinasaan merasa
kupingnya seperti disengat kalajengking. Ia
acungkan senjatanya, lalu membentak garang....
"Kunyuk bertampang bego. Siapa pula kau
ini" Apakah kau yang diramalkan oleh ahli nujum
Julgafarah dan Nukman Java sebagai orang yang
akan membuat susah hidup hartawan kami!" bentak Rahbasa saudara seperguruan
Rahjendra. "Hak hak hak...! Yang membuat susah hi-
dup si kikir, si congkak, si angkuh, si sombong
itu adalah dirinya sendiri. Aku adalah aku. Aku
bukan anjing seperti kalian. Karena aku lebih
tinggi dari kalian, maka sebaiknya menyalaklah
tiga kali. Setelah itu segera minggat dari sini kalau tidak mau susah! Ha ha
ha...!" Rahjendra tentu beranggapan pemuda ini
telah miring otaknya. Bagaimana bocah bertam-
pang geblek seperti itu sangat dikhawatirkan oleh para ahli nujum" Kepandaian
apa yang dia punya" "Bocah gila, sebaiknya kau jangan peten-
tang-petenteng pentang bacot. Turunlah! Akan
kurencah kau punya wajah biar konyol sekalian!"
teriak Rahseta si mata picak paling bungsu.
"Kalian orang-orang yang melampaui batas.
Kalian telah tertipu oleh kepalsuan dunia men-
tah-mentah. Kuingatkan sekali lagi segera kemba-
li ke jalan yang betul!" Pendekar Lugu menengahi.
"Percuma kau bicara sobat! Orang-orang
seperti mereka telah terkunci mata hatinya. Kau
beri peringatan atau tidak sama saja!" sahut Pendekar Blo'on menimpali.
Lima tokoh dari bagian utara tanah Jawa
ini menggerung marah. Serentak Rahbasa, Rahja-
la, Rahyuyu dan Rahseta melompat dari kudanya
masing-masing. Mereka melemparkan dua buah
golok pendek ke arah Suro Blondo. Pemuda ini
jadi kalang kabut, ia melompat-lompat di atas
tembok. Sekali Suro berputar, dua batang golok
berhasil disentil bagian gagangnya. Senjata-
senjata itu tiba-tiba membalik kembali meluncur
ke arah pemiliknya dengan kecepatan berlipat
ganda. Swieet! Swieet!
Melihat golok meluncur dengan sangat ce-
pat sekali. Keempat laki-laki mata picak itu langsung melompat menghindar. Golok
terus melun- cur dan menancap di tanah.
Si Bocah Ajaib melompat turun, sekarang
sedikit banyaknya dia percaya bahwa pemuda ini
mempunyai kepandaian juga.
"Pendekar Lugu apakah kau mau ambil ba-
gian juga, sobatku?" tanya si pemuda sambil cengengesan.
"Aku berpantang membunuh. Aku hanya
manusia penyambung lidah! Begitupun jika ter-
paksa aku juga turun tangan!" sahut Pendekar Lugu. Yang dimaksudkan turun tangan
bukan untuk menghilangkan nyawa orang lain sebalik-
nya hanya sekedar membuat lawan tidak berdaya.
"Bunuh kedua pemuda pangkal bencana
itu!" teriak Rahjendra memberi aba-aba pada kawan-kawannya.
Rayuyu dan Rahseta mengurung Pendekar
Lugu lalu menyerangnya. Sedangkan Rahjendra
yang menganggap bahwa pemuda berambut hi-
tam kemerahan ini lebih berbahaya segera men-
geroyok Si Bocah Ajaib.
"Wah, kalian rupanya sebangsanya iblis
pengecut yang hanya bisa main kroyokan.
Heiit...!" Si Bocah Ajaib tidak sempat melanjutkan ucapannya.
Tinju lawan sudah menghajar ke mulut si
pemuda. Suro mundur ke belakang, mulutnya
termonyong-monyong, sedangkan keningnya ber-
kerut dalam. Dari samping menderu dua seran-
gan lainnya. Suro menangkis dengan sikunya.
Sehingga terjadi benturan keras. Suro terhuyung
dan sikunya mendenyut-denyut. Sedangkan Rah-
jala sendiri jatuh terduduk. Sementara dari depan Rahjendra sudah menusukkan
sangkurnya dengan sangat cepat sekali.
"Gila, dari pada perut di tembus sangkur
mending aku ke belakang!" gumam di pemuda.
Seraya segera menggeser langkahnya. Dari bela-
kang tiba-tiba tendangan Rahbasa menghantam
pantatnya. Gubrak! Suro terguling-guling. Ia menyeringai kesa-
kitan, namun segera melompat berdiri.
"Heaaa...!"
Pemuda ini tiba-tiba melompat ke depan,
tangannya mencakar, lalu berjongkok, kakinya
menendang, sesekali garuk kepala. Dengan lincah
dan gesit ia menghantam dengan serangkaian
pukulan yang tidak ada putus-putusnya. Inilah
jurus 'Serigala Melolong Kera Sakti Kibaskan
Ekor' "Huuu... nguk... nguung...!"
Lalu terdengar suara tawa yang berganti
dengan tangis, lalu berganti lagi dengan suara
isak tertahan. Gerakan Suro ketika itu benar-
benar sangat kacau. Tidak satu pun serangan ke-
tiga lawannya mengenai sasaran yang diha-
rapkan. Walau pun ketika itu mereka sudah
mempergunakan jurus 'Matahari Tenggelam'.
"Ciaaa...!"
Rahjendra menjadi kalap. Ia melompat lagi
ke depan. Seraya tusukkan senjatanya ke dada
dan perut Si Bocah Ajaib. Pemuda ini bergerak ke belakang Rabasa. Tubuh si picak
ini dicengke-ramnya. Lalu kawan yang sudah dalam kekua-
saannya ini disodorkan ke arah senjata lawannya.
Brees! "Wuaaakh...!"
Rabasa menggeliat, isi perutnya berbusaian
keluar disertai menyemburnya darah dari luka
mengerikan itu. Rahjendra jadi terkesiap melihat kawannya roboh oleh senjatanya
sendiri. "Kunyuk keparat! Heaa... !"
Laki-laki itu dengan marahnya langsung
menyambitkan dua sangkur di tangannya. Suro
tersenyum, otaknya yang cerdik langsung dapat
akal. Ia merangkak, lalu disambarnya kaki lawan, diangkat lalu diputar membentuk
perisai diri. Wet! Wuuk! Rahjala berusaha membebaskan diri, na-
mun semakin ia meronta maka semakin bertam-
bah cepat pula si konyol memutar dirinya. Se-
hingga.... Zeb! Ceb! Lalu terdengarlah suara jeritan menusuk
kalbu. Untuk kedua kalinya Rahjendra telah
membunuh saudara seperguruannya sendiri tan-
pa sengaja. Kita tinggalkan dulu Si Bocah Ajaib yang
sedang bertarung dengan Rahjendra. Sementara
itu Pendekar Lugu tampak begitu sibuk mengha-
dapi hujan serangan yang begitu bertubi-tubi. Sebenarnya jika si pemuda
berjanggut ini mau tu-
run tangan kejam, sejak tadi Rahyuyu dan Rahse-
ta sudah berhasil dikalahkannya. Namun karena
ia berpantang membunuh, apa yang dilakukan-
nya hanya mengelak dan menghindar.
Melihat lawan hanya menghindari seran-
gan-serangan mereka. Maka mereka semakin
mengganas. Sangkur kembar di tangan mereka
berkelebat menyambar-nyambar.
Sinar putih menyilaukan mata mengurung
pemuda berjenggot itu. Tiba-tiba ia melompat ke
udara. Trang! Ting!
Senjata mereka saling membentur dengan
senjata kawan sendiri. Di saat mereka kehilangan sasaran seperti itu, tiba-tiba
saja dari atas tempat melesat bayangan hitam memakai kedok hitam
seperti Ninja. Bayangan tadi menyambitkan dua buah pi-
sau berwarna putih mengkilat. Rahyuyu dan Rah-
seta langsung menangkis serangan gelap itu.
Tring! Tring! "Pembokong tengik!" maki Rahyuyu.
"Huh, setiap iblis harus mati!" sahut sosok berkedok itu sambil menerjang ke
depan. Dan.... Dhaak! "Akh...!"
Rahyuyu terpelanting. Ia merangkak bang-
kit lagi, tapi orang berpakaian Ninja itu telah menyambitkan pisau ke arahnya.
Set! Jlep! "Hekgh...!"
Rahyuyu tersungkur lagi dengan jantung
tertembus pisau. Rahseta terkejut sekali. Dengan marahnya ia menerjang ke depan.
Namun lawannya sudah menghindar ke samping. Lalu secepat
kilat tangannya menyambut....
Tap! Tangan lawan berhasil ditangkapnya. Lalu
tangannya yang lain bergerak lebih cepat lagi.
Kraak! "Auuuuuh...!"
Rahseta melolong seperti anjing kepentung
alu. Tangannya patah. Orang berpakaian Ninja itu kelihatannya tidak memberi
kesempatan lebih
lama lagi. Ia kali ini mencabut senjata berbentuk aneh. Kecil, tipis dan
berkilat-kilat karena keta-jamannya.
Satu sentakan keras dilakukannya, senjata
itu meluncur deras ke depan. Rahseta main mun-
dur, sedang senjatanya berkiblat.
Traak! Dua buah sangkur langsung mental di
udara. Pedang kecil yang dapat dilipat itu terus meluncur tanpa dapat dihindari
lagi. Crees! Rahseta mendekap lukanya, ketika senjata
ditarik oleh orang berkedok, maka isi perutnya
berbusaian keluar. Laki-laki mata picak ini ter-
sungkur, menggelepar sejenak lalu diam untuk
selama-lamanya.
Sementara orang berpakaian ninja meng-
hampiri Pendekar Lugu. Sedangkan Pendekar
Blo'on ketika itu dengan lawannya sudah sama-
sama melepaskan pukulan yang menjadi anda-
lannya. "'Ratapan Pembangkit Sukma'! Hiaa...!"
Pemuda bertambang konyol ini tiba-tiba dorong-
kan kedua tangannya ke arah sinar hitam yang
meluncur deras ke arahnya.
Angin kencang laksana salju disertai hawa
dingin membekukan melesat secepat kilat.
Udara sontak berubah, yang dingin meng-
gulung yang panas. Lalu terjadi letupan.
Bluup! Buum! Tanah berlubang, debu dan batu kerikil
berpelantingan ke udara. Rahjendra terguling-
guling. Suro Blondo sendiri mendekap dadanya
yang sesak bukan main-main.


Pendekar Bloon 9 Anak Langit Dan Pendekar Lugu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Heh...! Bagaimana Rana Unggul bisa mun-
cul disini!" kata pemuda itu sambil mengurut lehernya. Tingkahnya itu tidak beda
dengan orang yang sedang tersedak.
"Awas, saudaraku!" teriak Pendekar Lugu.
Suro berpaling ke belakang, dilihatnya
Rahjendra yang sudah setengah mati itu meng-
hunus senjata sambil menyerbu ke arahnya.
"Sialan orang budek mata pecak ini, mau
mati saja pakai ngajak-ngajak orang lain!" gerutu si pemuda, ia pun langsung
berkelit. Senjata lolos, sedangkan kakinya meng-
hantam dada lawannya dengan tenaga yang kuat.
Kraak! Rahjendra hanya dapat mengeluh tertahan.
Tubuhnya terbungkuk-bungkuk sebentar, lalu
ambruk untuk selama-lamanya.
Si Bocah Ajaib menggumam tidak jelas,
kemudian ia menghampiri Pendekar Lugu dan
Rana Unggul. Rana Unggul memperhatikan si
pemuda dengan sorot matanya yang terasa lain
menggetarkan hati.
"Aku merasa dia bukan seorang laki-laki.
Tatapan mata dibalik pakaian hitam yang mem-
bungkus seluruh tubuhnya terasa seperti apa...
ya...!" pikir Suro.
"Manusia tolol! Meskipun bego kau punya
kepandaian yang cukup lumayan. Padahal kalau
kau mau sejak tadi pimpinan manusia picak itu
dapat kau robohkan." tegas Rana Unggul.
"Wah... aku lupa sih...!" Suro menepuk keningnya.
"Kau tidak boleh pergi dengan Pendekar
Lugu. Otakmu cerdas, namun kau selalu telat
berpikir. Untuk itu kau urus saja gadis-gadis bekas anak buahnya hartawan itu.
Selamat jumpa di rumah madat...!"
"Hei... sobatku...!" cegah Pendekar Mandau Jantan setengah berteriak. Namun
tanpa bicara apa-apa Pendekar Lugu telah mengikuti Rana Un-
ggul. "Entah apa yang telah mereka bicarakan.
Kok Pendekar yang punya pantangan membunuh
itu jadi nurut, ya..." Atau ia mengetahui sesuatu yang tidak aku ketahui" Ah...
memikir sampai budek sekali pun aku tetap tidak tahu apa yang
mereka bicarakan!" gerutu Pendekar Blo'on.
Seraya pergi lagi untuk menghampiri ke
empat gadis yang ditinggalkannya di tepi telaga.
DELAPAN Wanita hamil sembilan bulan perutnya
memang besar. Tapi lebih besar lagi perut laki-
laki yang sekarang duduk di kerajaan hartanya.
Tubuhnya besar dengan berat sekitar seratus li-
ma puluh kati. Kulitnya berlemak, dan keningnya
berminyak. Ia hampir tidak pernah berhenti ma-
kan. Di kanan kiri laki-laki setengah baya itu duduk bersimpuh gadis-gadis
cantik dengan pa-
kaian tipis. Mereka adalah pelayan laki-laki itu dalam segala hal.
"Kalian semua harap menyingkir dari sini!"
perintah hartawan Abdi Banda pada para gadis
yang mendampinginya.
Dengan patuh mereka meninggalkan ruan-
gan mewah yang dihiasi dengan perak dan perma-
ta. Setelah para gadis ini meninggalkan ruan-
gan itu. Maka muncul tiga orang laki-laki. Yang
dua sudah berusia lanjut, sedangkan yang sa-
tunya lagi berumur sekitar lima puluh tahun. Me-
reka adalah ahli nujum Julgafarah dan Nukman
Jaya serta Kala Menek. Orang yang disebut te-
rakhir bertampang angker nyaris tanpa senyum.
Ia mempunyai kesaktian tiada terukur, sangat
disegani baik oleh kawan maupun lawan.
Ketika sampai di dalam ruangan orang-
orang ini langsung mencari tempat duduk di de-
pan sang hartawan.
"Apa yang dapat kami lakukan, tuan?"
tanya Julgafarah buka suara.
Hartawan kaya raya ini tidak langsung
menjawab, ia usap-usap perutnya yang tidak ter-
tutup baju sama sekali. Karena tiada pakaian
yang muat oleh badannya terkecuali pakaian yang
belum dijahit. "Aku gelisah, adalah kalian semua tahu
bagaimana gelisahnya aku?" dengus Abdi Banda.
"Dalam hidupku aku sulit sekali tidur, aku takut harta bendaku dicuri orang, aku
takut terjadi ke-bakaran, dan aku takut mati. Semua ketakutan
itu membuat aku tidak tenang. Harta bendaku ini
dapat untuk membeli dunia dan seisinya. Aku ti-
dak ingin mati karena harta-harta itu."
"Tuan tidak perlu segelisah itu. Kami se-
muanya senantiasa setia mengabdi pada tuan.
Orang-orang itu tidak mungkin berani datang ke
sini. Mereka tidak setangguh yang tuan bayang-
kan!" hibur ahli nujum Nukman Jaya.
"Tapi aku selalu gelisah. Coba kalian
bayangkan sudah berapa hari picak bersaudara
pergi. Hingga sekarang masih belum ada kabar
beritanya. Aku khawatir mereka kalah atau bina-
sa. Sekarang ini aku ingin kalian menyimpan
kunci-kunci gudang harta di tempat yang aman.
Setelah itu kerahkan seluruh pasukan Ninja kita
untuk membunuh Pendekar Lugu dan Pendekar
Blo'on." "Kunci harta sudah tadi pagi ditarik oleh
sebuah kereta kuda menuju tempat yang aman.
Sekarang hanya tinggal menunggu perintah se-
lanjutnya!" ujar Kala Menek.
"Bagus sekali kalau begitu. Sekarang aku
ingin mencari orang-orang itu. Segala harta yang aku sukai, harus dibawa serta.
Juga gadis-gadis
yang aku cintai jangan satu pun yang ditinggal-
kan!" tegas hartawan Abdi Banda.
"Tapi perjalanan ini menempuh bahaya,
tuan. Kita belum tahu apakah Pasukan Ninja Sa-
kura mampu menghadapi kedua pemuda itu atau
tidak. Menurut para Telik Sandi. Ada orang lain
lagi berpakaian seperti Ninja berada di pihak mereka!" "Kala Menak! Jumlah kita
sangat banyak. Mengapa menjadi tidak mampu hanya mengatasi
para kroco begitu" Mana aku bisa tenang jika aku tidak melihat dengan kepala
mata sendiri kematian mereka?" dengus Abdi Banda.
"Tapi kita membutuhkan orang upahan un-
tuk memindahkan harta-harta itu ke dalam kere-
ta kuda." "Upahnya bayar saja nanti setelah kita pu-
lang dari sana." potong sang hartawan.
"Orang-orang itu tidak mau melakukannya,
tuan. Karena gaji mereka dua bulan yang lalu sa-
ja belum dibayar!" jelas Nukman Jaya.
"Sebagai ahli nujum, sebagai tukang sihir
kepercayaanku. Apakah kau sekarang sudah ti-
dak mampu melakukan apa-apa lagi" Kau bisa
melakukan apa saja yang membuat hati mereka
takut!" "Baiklah tuan. Nanti sore segala-galanya dapat kita jalankan dengan
sesuai rencana."
Kedua ahli nujum itu kemudian mening-
galkan tuannya. Kini yang ada di situ hanya tinggal Kala Menak.
"Apa yang harus saya lakukan, tuan?"
tanya si gadis.
"Kau lakukanlah pembersihan besar-
besaran. Siapa saja yang mencurigakan harus di-
bunuh!" kata hartawan kikir itu dengan tegas.
"Perintah segera dilaksanakan." sahut Kala Menak.
Kala Menak lalu membungkukkan badan-
nya, sampai-sampai keningnya menyentuh per-
madani demi memberi penghormatan pada har-
tawan Abdi Banda. Setelah itu si gadis ini me-
langkah pergi. Abdi Banda tersenyum. Kala Menak adalah
orang yang paling diandalkannya. Sekarang dia
pasti sedang melakukan pembantaian terhadap
orang-orang yang membangkang mau pun yang
dianggap mencurigakan. Karena arti pembersihan
itu sendiri tidak lain adalah Pembantaian.
"Hartaku harus kekal abadi. Hidupku ha-
rus kekal, kesenangan ini tidak boleh berlalu, karena di sinilah sorgaku.
Disinilah duniaku dalam gelimang harta benda yang tidak ada habis-habisnya!"
Hartawan Abdi Banda tiba-tiba saja terge-
lak-gelak. Ia duduk di kursi kebesarannya sambil uncang-uncang kaki.
*** Suro duduk termenung di tepi telaga itu. Di
depannya api unggun sudah mulai padam. Se-
hingga yang tertinggal hanya baranya saja. Suro
Blondo mengambil lima ekor burung belibis yang
telah berhasil ditangkap Seruni dan kawan-
kawannya. Kelima ekor belibis hutan yang telah
dibersihkan itu langsung dipanggangnya di atas
bara merah menyala.
Sementara itu Seruni, Seroja dan Sentini
tengah asyik berenang di tengah telaga berair sejuk. Hanya Sri Sedap saja yang
saat itu menema-
ni Pendekar Blo'on. Sesekali gadis ini mencuri
pandang ke arah Si Bocah Ajaib.
Ada rasa kagum dalam hatinya. Pemuda
itu sangat tampan, walau pun wajahnya ketolol-
tololan dan terkesan kekanak-kanakan. Tiada ra-
sa bosan memandangnya. Tidak seperti ketika
berhadapan dengan hartawan Abdi Banda. Ber-
hadapan dengan tua bangka gendut itu sekali
pandang saja langsung kenyang.
Selama ini untung dia dapat memperta-
hankan kehormatannya. Hingga sampai detik ini
dirinya tetap utuh. Mungkin hanya Sentini dan
Seroja saja yang sudah terpedaya.
"Wuih, baunya sedap sekali!" kata si pemuda, tanpa sadar ia menelan ludah.
Sri Sedap tersentak dari lamunannya.
"Tuan bilang apa" Sedap?" tanya Sri Sedap.
"Ya... betul, memang sedap baunya. Berun-
tung kau punya nama Sri Sedap! Aih bagus seka-
li... ha ha ha...!" Suro lalu ketawa.
"Tuan...!"
"Jangan kau panggil tuan. Panggil saja
namaku!" kata Suro.
"Bagaimana aku harus memanggil, apakah
boleh kupanggil kakang?" Sri Sedap mengerling manja. Dalam pada itu ketiga
saudara-saudara Sri Sedap sudah menepi. Tampaknya mereka sudah
menganggap Suro seperti saudara sendiri atau le-
bih dekat dari itu. Sehingga mereka pun tidak
punya rasa malu walau pun harus memperli-
hatkan auratnya, atau memang mungkin mereka
punya maksud-maksud lain, untuk menggoda si
konyol. "Berpakaianlah kalian dengan betul! Jangan perlihatkan segala sesuatu
yang bersipat me-
nonjol atau yang ada tonjolannya pada laki-laki.
Aku sih kuat saja. Tapi adikku yang di bawah ini bisa berontak!" tegas si pemuda
sambil menundukkan kepala.
"Hi hi hi...! Mengapa takut" Kami adalah
para abdi-abdimu. Tentu kami tidak merasa takut
harus memberikan sesuatu yang kami miliki jika
kakang Suro membutuhkannya!" tentang Seruni.
"Bicara jangan ngeres-ngeres. Persoalan
yang kita hadapi sangat besar. Bagaimana kalian
bisa menggodaku?"
"Kakang tidak pernah bersenang-senang
dengan perempuan, ya...?" tanya Seroja gadis berkulit hitam manis sambil
mengenakan pakaiannya kembali. Pendekar Blo'on menggeleng-
kan kepala. "Makanya jangan malu-malu kucing." Sentini menimpali.
Si konyol mati kutu. Menghadapi godaan
empat gadis kalau tidak tabah bisa kebobolan.
Suro garuk-garuk kepalannya.
"Janganlah kalian seperti barang dagan-
gan. Yang dipegang-pegang oleh pembeli sampai
lecek namun ditinggalkan begitu saja. Segala pe-
rabotan yang kalian miliki sebaiknya hanya untuk dipersembahkan pada suami
kalian!" tegas si bocah ajaib. Walau pun Suro sudah bersikap serius
tetap saja tampangnya semakin konyol.
"Kalau pada pacar bagaimana, kakang?"
tanya Sri Sedap.
"Pacar belum pasti menjadi suami. Jika
main pasrah-pasrahan nanti kalian menyesal
sendiri!" sahut si pemuda.
"Bagaimana jika dengan majikan!" Seroja menimpali.
"Kalau majikan yang kurang ajar anunya
saja yang dipotong. Kalau dua-duanya kurang
ajar sebaiknya mampus saja." dengus Suro. "Sudahlah aku bosan membicarakan
bukit-bukit dan
hutan rimba. Sebaiknya kalian makan saja pang-
gang burung ini." Si Bocah Ajaib kemudian mem-bagi-bagikan burung panggang itu
pada keempat gadis berpakaian tipis tersebut.
Mereka pun kemudian saling diam dan
mulai makan panggang burung belibis tersebut.
Suro seperti orang rakus saja, sampai ke tulang-
tulang burung pun dimakannya. Apa yang dila-
kukannya ini membuat geli gadis-gadis yang
mengelilinginya. Tapi Suro bersikap cuek (acuh)
saja. Selesai makan panggang burung Pendekar
Blo'on merebahkan tubuhnya di tempat yang


Pendekar Bloon 9 Anak Langit Dan Pendekar Lugu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memang telah mereka persiapkan sejak sore.
"Kalian tidur di sebelah sana!" perintah Su-ro Blondo.
"Takut kakang. Sebaiknya kita bergabung
saja!" rengek Seruni.
"Wah bagaimana sih kalian ini?" tanya Su-ro termonyong-monyong.
"Mana kami berani jauh darimu, Kakang
Suro. Nanti ada hantu!" kata Sri Sedap.
"Sesuka-suka kalianlah!" Suro Blondo
mengalah. Akhirnya mereka tidur berdempet-
dempetan. Suro kebetulan berada di tengah-
tengah mereka. Pemuda ini jadi gelisah, ia jadi ingat dengan Dewi Bulan serta
gadis misterius ber-
kerudung putih itu.
"Seandainya Dewi berada disini, tentu aku
sudah di dampratnya pulang pergi...!" batin si pemuda. "Pendekar Lugu, anak
Langit. Dia orang suci yang aneh. Bertarung tidak pernah membalas. Sedangkan
Anak Langit siapa sesungguhnya
orang itu" Kehadirannya dalam ujud cahaya.
Apakah dia Malaikat atau roh suci" Jaman seka-
rang tidak ada manusia suci, manusia menjadi
bangga kalau sudah berbuat dosa. Mengapa uru-
san jadi kapiran begini" Tampang hartawan Abdi
Banda sendiri belum pernah aku lihat, jelekkah
dia" Apa seperti kodok atau seperti lutung?"
Si Bocah Ajaib memandang kanan kirinya.
Terasa hembusan nafas Seruni dan Sri Sedap
yang berada di kanan kirinya. Nafas mereka tera-
tur pertanda sudah tidur. Tapi kedua gadis ini
menghadang ke arahnya. Sehingga wajah mereka
menyentuh pipinya.
Hati si pemuda dag dig dug juga, karena
payudara mereka yang kenyal menempel di len-
gannya. "Wah... gadis-gadis ini ada-ada saja. Se-
baiknya aku pindah di tempat yang aman saja,
ah...!" kata si pemuda dalam hati. Baru saja ia hendak beranjak, eeh... Sri
Sedap menggeliat.
Tangannya menimpa pusaka Si Bocah Ajaib. En-
tah sengaja atau tidak. Yang jelas jemari tangan si gadis tetap betah berada
disitu. "Gelo, leh. Nimpa kok di sini, bagian lain
kek...!" Suro dengan cepat menggeser tangan Sri Sedap, baru saja tangan gadis di
samping kirinya tergeser. Ee... tangan Seruni menimpa bagian
yang itu pula. Si Bocah Ajaib geleng-geleng kepala.
"Gila betul.... Kalau si kecil terjaga aku
mana berani jamin sepak terjangnya. Huh... ada-
ada saja..." Suro akhirnya menggeser tangan Seruni pula. Dua gadis menggeliat
lagi, semakin edan mereka malah memeluk si pemuda dengan
ketatnya. *** SEMBILAN Darah si pemuda mulai berdesir dengan
cepat. Ia memejamkan matanya untuk mengusir
pengaruh pikiran-pikiran yang kotor. Belum lama
matanya terpejam, tiba-tiba saja ia mengendus
bau busuk menyengat disertai suara gesekan
daun yang sangat halus. Jika telinga Pendekar
konyol ini tidak terlatih, tentu ia tidak dapat
mengetahui kehadiran orang lain di tempat itu.
"Hei... kalian bangun semua. Ada orang da-
tang kemari!" kata si pemuda dengan berbisik.
Sesungguhnya ke empat gadis-gadis itu memiliki
kepandaian yang rata-rata cukup lumayan. Begi-
tu Si Bocah Ajaib ini membangunkannya maka
mereka segera terjaga.
"Tapi tidak ada orang selain kita?" desis Seruni berbisik pula.
"Kurasa ada monyet bau mengintai kita.
Sebaiknya kalian cari selamat dan tinggalkan
tempat ini secepatnya!" Suro memberi usul.
"Tidak!" tegas Sri Sedap. "Kami sudah me-mutuskan untuk mengabdikan sisa hidup
kami pada Kakang Suro."
"Jangan tolol. Masa depan kalian masih
panjang. Kalian bisa mengabdikan diri pada Tu-
han." "Kakang sendiri?" Sentini ragu-ragu.
"Jangan kau pikirkan hidupku!"
"Mana boleh begitu" Apa pun yang terjadi
kami tetap bertahan disini bersamamu!"
Tekad mereka rupanya tidak ada yang ge-
peng, sudah bulat semua. Suro Blondo mana
mungkin ngotot dengan memaksa mereka pergi.
"Ha ha ha...! Seorang pemuda punya tam-
pang konyol menjadi rebutan empat orang gadis.
Kalau dia mau berarti loyo pulang pergi. Kalau
menolak sungguh dia pemuda yang bodoh dan
aku si Cambuk Akherat pasti tidak menolak...!"
kata sebuah suara dari balik kegelapan pohon.
"Manusia busuk, jangan lagi kau berani
kurang ajar pada kami. Kami tidak serendah yang
kau bayangkan!" sahut Seruni, ketus suaranya.
Dar! Dar! Terdengar suara menggeledek disertai ber-
pijarnya bunga api dalam kegelapan malam. Ru-
panya orang dibalik kegelapan melecutkan cam-
buknya. Melihat kehebatan senjata itu pastilah
orangnya bukan tokoh sembarangan.
Tidak lama muncul sosok tubuh dari balik
kegelapan. Astaga! Ternyata orang ini hanya me-
miliki sebelah kaki dan sebelah tangan. Tam-
pangnya angker, kepala lonjong, keningnya me-
nonjol. Ia sama sekali tidak memakai pakaian terkecuali yang menutupi bagian
auratnya saja. Rambut laki-laki itu kusut masai, hidung berlu-
bang besar, sehingga terlihatlah lidahnya yang
kasar seperti ditumbuhi bulu.
"Kalian masih muda semuanya. Sayang
masih begini muda harus menjadi calon bang-
kai!?" dengus Cambuk Akherat.
Laki-laki sebelah tangan sebelah kaki ini
lalu melangkah lebih dekat lagi ke arah gadis-
gadis itu. Mereka bergerak mundur dengan sikap
waspada. "Ha ha ha...! Mengapa takut" Untuk kalian
para gadis cantik, kematian kalian dapat kutun-
da, sedangkan pemuda geblek ini harus cepat-
cepat dikirim ke neraka!" dengus Cambuk Akherat. "Kau mau seenaknya saja main
kirim. Ya kalau Tuhan menerima, kalau tidak kau sendiri
bisa celaka. Aku ingin tahu mengapa kadal serba
buntung sepertimu punya ambisi untuk mengi-
rimkan ke neraka, apa salahku?" tanya Si Bocah Ajaib. "Hmm, perlu kau tahu
sebelum mampus.
Aku ini masih sahabatnya hartawan Abdi Banda.
Cambuk Akherat berasal dari Lembah Tak Ber-
tuan. Nah karena aku tahu betapa resahnya dia
saat ini, maka setelah bertahun-tahun tidak ber-
jumpa sekarang aku ingin menghadiahkan kepa-
lamu untuknya. Dia pasti sangat gembira, karena
menurut para ahli nujumnya kau adalah orang
yang bakal membuat dia celaka!"
"Ha ha ha...! Ambisimu kelewat besar juga.
Sayang kau tidak bertanya padaku apakah kepa-
laku yang cuma satu ingin kuserahkan padamu
atau tidak! Aku malah khawatir salah-salah kepa-
la burungmu yang akan kupenggal!" dengus si pemuda sambil cengengesan.
"Pemuda gendeng! Mampuslah kau,
heaaa...!"
Cambuk Akherat ternyata sangat ganas se-
kali. Sekali gebrak tubuhnya sudah melompat ke
depan. Dia menghantam dengan tinju tangannya,
karena memang tangan itulah yang masih utuh.
Angin dingin menderu, Suro merasa wajahnya se-
perti ditusuki ratusan batang jarum.
Melihat gelagat betapa tangguhnya Cam-
buk Akherat, Si Bocah Ajaib langsung memper-
gunakan jurus 'Seribu Kera Putih Mengecoh Ha-
rimau' Wuees! Sebentar saja tubuh si pemuda telah ber-
kelebat lenyap. Tinju Cambuk Akherat menghan-
tam angin. Namun ia cepat memutar tubuh sam-
bil mendengus. Segera dikerahkannya jurus
'Memanah Kehampaan Hidup'.
"Hiaaa...!"
Cambuk Akherat berteriak keras. Ia me-
nerkam ke depan. Tangannya yang cuma sebelah
itu bergerak laksana angin dan mengikuti kemana
saja lawan menghindar. Tampak jelas mereka be-
nar-benar tangguh. Suro dengan nekad lepaskan
tendangan kaki. Lalu....
Set! Kakinya meluncur, Cambuk Akherat me-
lompat setinggi setengah tombak. Setelah itu tangannya cepat terjulur dan....
Srek! Pakaian Suro berikut kulit dadanya menge-
lupas. Ada darah yang menetes, namun Suro ma-
sih sempat meringis. Tangan lawan kembali me-
nyambar ke wajahnya. Pendekar Blo'on menang-
kis. Bleduk! Pemuda ini langsung terjengkang. Pung-
gung tangannya tampak merah. Cambuk akherat
sendiri terhuyung-huyung.
"Hh, kau ternyata cukup berisi juga!" dengus laki-laki sebelah kaki sebelah
tangan itu. Di-am-diam ia terkejut juga dan tidak menyangka
pemuda bertampang ketolol-tololan ini mempu-
nyai tenaga dalam yang tinggi.
Selagi Pendekar Blo'on belum sempat ber-
diri, tiba-tiba ia melepaskan pukulan 'Penghuni
Kegelapan'. Ketika laki-laki ini mendorongkan kedua
tangannya ke depan. Maka terlihatlah sinar te-
rang benderang menyilaukan mata meluncur de-
ras menerjang Pendekar Blo'on.
Wuut! Tubuh si pemuda tiba-tiba saja melompat
tinggi ke udara. Serangan lawan lewat di bawah
kakinya. Pukulan terus meluncur menghantam
pohon besar di belakangnya. Pohon hancur dan
tumbang. Lalu di sana-sini terdengar suara tawa
seperti kera. Itulah jurus Tawa Kera Siluman. Suara tawa ini disertai
berkelebatnya tubuh Suro di atas kepala lawannya. Lalu kakinya menendang.
Blaak! "Uts...!"
Cambuk Akherat merasakan kepalanya se-
perti dihantam palu godam. Sakit dan terus men-
denyut seperti mau pecah. Suro leletkan lidah,
kakinya terpincang-pincang. Kepala Cambuk Ak-
herat ternyata keras seperti batu
"Benar-benar edan!" maki Suro dalam hati
"Huh, bangsat betul kau!" maki Cambuk
Akherat. Kali ini ia lipatkan gandakan tenaga dalamnya. Lalu tangannya kembali
dikibaskan ke arah lawannya. Segulung angin kencang disertai menebar-
nya hawa panas laksana memanggang tubuh Su-
ro Blondo. Pemuda ini terkesiap dan leletkan li-
dah. Dia pun akhirnya tidak tinggal diam. Ma-
tanya melotot, mulutnya termonyong-monyong.
Rupanya ketika itu si pemuda tengah mengerah-
kan tenaga dalamnya ke arah bagian tangannya.
"Matahari Rembulan Tidak Bersinar!
Hiyaaa...!" teriak si konyol. Telapak tangannya yang telah berubah kusam dan
mengepulkan asap tipis dihentakkannya ke depan. Selarik sinar redup berwarna biru semu merah
menderu dengan cepatnya.
Dua tenaga sakti itu saling susul menyu-
sul. Kemudian terjadilah sebuah ledakan yang
bukan saja membuat orang-orang di sekitarnya
jatuh tunggang langgang, namun juga membuat
masing-masing lawan terpelanting sejauh tiga ba-
tang tombak. Suro menekan dadanya yang seperti mau
meledak dan mendenyut sakit. Lalu ia seka darah
yang menetes disudut-sudut bibirnya. Keempat
gadis yang menyaksikan pertempuran sengit itu
jadi khawatir. "Hm, bukan main. Bukan main-main! Kad-
al buntung ini ternyata memang mau minta nya-
waku!" geram si konyol.
"Huh, boleh juga kau!" dengus Cambuk
Akherat. Sreet! Jdar! Jdar!
Ternyata Cambuk Akherat melepaskan
senjata andalannya yang bergerigi. Senjata maut berwarna merah itu langsung
meledak-ledak mengeluarkan bunga api ketika dilecutkan di
udara. "Awas kakang Suro!" Seruni berteriak men-gingatkan.
"Ha ha ha...! Idola kalian sebentar lagi kupenggal kepalanya. Tidak usah
dirisaukan. Aku
dapat menggantikan posisinya untuk kalian!" sahut Cambuk Akherat disertai tawa
bergelak. "Manusia setan! Iblis laknat!" maki Sri Sedap. "Kau yang paling galak, pasti kau
yang paling hebat nanti bila berada di tempat tidur!" desis laki-laki hidung
sumplung ini sambil leletkan lidah. Jdar!
Cambuk melecut di udara, sebentar saja
Suro terkurung oleh serangan-serangan senjata
ampuh yang mematikan itu. Suro melompat sana,
mengelak kesini, atau terkadang ia berjingkrak-
jingkrak seperti anak kecil yang sedang bermain


Pendekar Bloon 9 Anak Langit Dan Pendekar Lugu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tali. Tapi ketika cambuk itu diputar ke atas dan disentakkan ke samping. Maka
tidak ayal lagi
cambuk itu menghantam dadanya.
Braak! "Wadow...!"
Suro terjengkang. Dadanya babak belur
dan dagingnya berserabut. Senjata itu kembali
melecut, Suro berguling-guling. Ke empat gadis
yang menyaksikan kejadian itu langsung menyer-
bu ke depan. Mereka menghunus senjata dan
langsung menyerang Cambuk Akherat.
"Huh, rupanya kalian memilih mati dari
pada bersenang-senang denganku...!" teriak Cambuk Akherat.
Maka ia pun mengerahkan cambuk apinya
ke arah gadis-gadis itu.
Breet! Triing! Senjata itu terpental, Seruni tidak dapat
menjaga keseimbangannya.
Ctar! Bret! "Aaa...!"
Sebagian tubuh Seruni hancur. Ia terhem-
pas dekat Suro, gadis itu merintih. Suro segera
mendukungnya, tampaknya sudah tidak ada ha-
rapan hidup lagi bagi gadis itu.
"Suro, ternyata aku tidak dapat memban-
tumu... huk... ajalku segera tiba...!" kata Seruni dengan suara lirih.
"Seharusnya kalian tidak turun tangan!"
Suro menyesalkan.
"Ekh... Suro aku tidak tega melihat kau da-
lam keadaan begitu...! Peluk aku, Suro...!"
Maka Pendekar Blo'on pun memeluk Seru-
ni. Gadis itu tersenyum manis bibirnya tampak
pucat. "Cium aku, Suro...!"
Maka Pendekar Blo'on pun menciumnya.
Betapa dingin bibir Seruni, gadis itu kemudian
terkulai. "Heh, dia mati...!" desis pemuda itu terke-sima. Seroja, Sentini dan Sri Sedap
langsung menghampiri kakaknya. Sementara Pendekar
Blo'on bangkit berdiri. Mulutnya termonyong-
monyong, lalu ia mencabut senjata andalannya
pusaka Mandau Jantan yang di tengah-tengahnya
terdapat empat lubang miring. Senjata berwarna
hitam itu segera diputarnya dengan sentakan ser-
ta gerakan yang aneh.
"Aku akan mengadu jiwa denganmu!" den-
gus si pemuda. Sekejap saja ia sudah menerjang ke arah
Cambuk Akherat. Laki-laki bertangan tunggal
berkaki tunggal ini segera mengibaskan cambuk-
nya ke arah si pemuda.
Si Bocah Ajaib langsung melompat, man-
dau di tangannya mengeluarkan suara ringkikan
panjang, lalu dari lubang itu pula terdengar suara tangis berkepanjangan. Cambuk
Akherat terkesiap. Cambuk terus meluncur, Mandau Jantan di
tangan si pemuda berkelebat.
Tar! Teng! Cambuk pusaka itu terbabat putus, senja-
ta di tangan si pemuda terus meluncur ke arah
dada lawan. Namun Cambuk Akherat dengan ter-
kejut segera melompat ke belakang.
Suro memburunya, lawannya berkelit, lalu
sisa-sisa cambuk menghantam punggungnya. Si
Bocah Ajaib menjerit sambil terguling-guling.
Punggungnya robek besar. Darah semakin banyak
saja yang menetes keluar.
Si Konyol melompat berdiri walau pun tu-
buhnya sempat terhuyung-huyung juga.
"Ha ha ha...! Ajalmu sudah hampir tiba!
Bersiap-siaplah kau!" teriak si Cambuk Akherat.
Sekali lompat ia telah berada di depan Su-
ro. Lalu cambuknya diayunkannya lagi. Namun
Suro sudah menghindar lewat selangkangan la-
wan dengan cara merangkak.
Daak! Dengan keras sekali kaki kanannya me-
nendang pinggang Si Cambuk Akherat.
Bruuk! Laki-laki berwajah angker ini tersungkur,
hidungnya tertutup debu. Yang lebih celaka lagi
buah jambunya tergencet batu, sakitnya sampai
naik ke perut. Si Konyol dengan cemberut melompat lalu
menginjak-injak tubuh Cambuk Akherat. Tidak
disangka tangan lawannya menghantam.
Duuk! "Wadaw...!"
Suro tersungkur pula, posisinya di samp-
ing lawan. Ia menoleh, dan Mandau di tangannya
melayang ke arah leher. Cambuk Akherat tidak
sempat lagi menangkis.
Crok! "Akh...!"
Tulang leher lawannya putus, darah men-
gucur dari luka itu. Tubuh Si Cambuk Akherat
berkelejotan sebentar lalu terdiam untuk selama-
lamanya. Pemuda itu usap rambutnya, dipandan-
ginya mayat lawannya untuk beberapa saat la-
manya. Kemudian ia menghampiri Sri Sedap dan
saudara-saudaranya yang baru saja selesai men-
guburkan mayat Seruni.
"Aku menyesalkan kejadian ini. Sebaiknya
kalian tidak usah ikut aku lagi. Begitu banyak
bahaya yang akan aku hadapi!" tegas Suro.
"Semua ini sudah takdir, tidak perlu dis-
esalkan. Tapi kami tetap ingin ikut dengan Ka-
kang!" kata Sri Sedap.
"Kubilang jangan!"
"Kalau tidak boleh tidak mengapa." ujar Seroja mengalah. Tapi diam-diam ketika
Pendekar Blo'on pergi mereka terus menguntit di belakang-
nya. *** SEPULUH Membunuh sambil tertawa itulah kebia-
saan Kala Menak. Kini ia melakukan pembersihan
di jalan-jalan yang bakal dilalui oleh hartawan
Abdi Banda. Setiap orang yang dianggapnya men-
curigakan pasti dibunuhnya. Sehingga sangat ba-
nyaklah penduduk dan masyarakat biasa yang ti-
dak berdosa menjadi korban. Kala Menak dengan
kuda hitamnya memang tidak ubahnya seperti ib-
lis pencabut nyawa, ia bergerak laksana setan.
Orang-orang yang melihat kehadirannya langsung
lari terbirit-birit menyelamatkan diri.
Semua ini tentu saja dilihat oleh seorang
pemuda berbaju putih berjenggot kambing. Dialah
si Pendekar Lugu. Tampak jelas wajahnya yang
polos itu menunjukkan rasa keprihatinan yang
mendalam. Tidak lama pemuda ini melipat tan-
gannya di depan dada. Lalu tubuhnya bergerak
mengambang di udara. Hanya dalam beberapa ke-
lebatan saja ia telah berubah ujudnya menjadi
seorang kakek renta berpakaian compang-
camping. Inilah sejenis ilmu langka bernama
'Merobah Ujud Malih Rupa'. Pada masa itu sangat
jarang sekali orang yang memiliki ilmu seperti ini.
Hanya orang yang hatinya jauh dari dengki, ke-
sombongan dan rasa iri yang dapat mengamal-
kannya. Kakek tua ini duduk di pinggir jalan. Wak-
tu ia musim kemarau, sehingga debu dan angin
berterbangan di jalan itu. Wajah si kakek yang
kotor berselimut debu.
Kala Menak yang sibuk membantai orang
di kanan kiri jalan itu sambil tertawa-tawa terus memacu kudanya. Semakin lama
ia semakin dekat dengan kakek itu. Kuda hitam tunggangan
Kala Menak tiba-tiba saja meringkik keras dan
angkat kaki depan tinggi-tinggi.
"Hieeekh...! Hehheh...!"
"Macan angin, mengapa berhenti! Tabrak
saja tua rongsokan itu biar merat ke akherat se-
kalian!" dengus Kala Menak.
Ia memaksa kudanya agar segera bergerak
kembali, namun kuda tersebut tetap ngadat.
"Membunuh sambil tertawa! Kelak manusia
seperti itu akan diseret ke neraka sambil menan-
gis! Jika hati telah dikuasai hawa nafsu dan se-
tan. Maka amarahnya melebihi iblis!" kata si kakek. "Heh...!" Kala Menak
tersentak kaget. Tidak ada orang lain disitu terkecuali dia dan si kakek.
Berarti ucapan tadi benar-benar ditujukan buat
dirinya. "Kau menyindirku" Siapakah kau ini?"
bentak Kala Menak berang.
Si kakek angkat wajahnya, sehingga terli-
hatlah wajah polosnya tanpa dosa.
"Aku masih hamba Tuhan juga. Aku tidak
menyindir siapa-siapa" Manusia membunuh ma-
nusia tanpa alasan yang jelas, tanpa pernah ber-
tobat dia jelas masuk neraka!"
"Kurang ajar. Sekali lagi katakan padaku
siapa kau?" hardik Kala Menak.
"Aku, Sira Sakaning Bumi! Tugasku mem-
beri peringatan pada siapa saja yang ingin kemba-li ke jalan yang benar." sahut
si kakek. "Apa yang sedang kulakukan adalah tang-
gung jawabku pada hartawan Abdi Banda. Tugas
ini harus kulaksanakan dengan baik!"
"Hartawan kikir itu bukan penentu hidup
manusia lain, karena dia masih manusia juga.
Mengapa kau cabut nyawa orang lain, sedangkan
membuat nyawa nyamuk kau sendiri tidak mam-
pu?" tegur Sira Sakaning Bumi.
Kala Menak sesungguhnya geram juga,
namun ia masih tetap berusaha menahan kema-
rahannya. "Kau tidak usah memberi ceramah di de-
panku! Hartawan selalu curiga bila bepergian.
Untuk itu aku mengadakan pembersihan sebelum
beliau mengadakan perjalanan panjangnya!" jelas si gadis.
"Rasa takut yang berlebihan dalam dirinya
karena dia sengaja menjauhkan diri dari Tuhan.
Ia takut kehilangan harta, ia takut jadi susah, ia takut mati. Padahal kematian
itu akan datang
pada setiap makhluk yang bernyawa!" kata si kakek. "Buaaah... tua bangka gombal!
Mampuslah engkau...!" teriak Kala Menak. Rupanya ia sudah tidak sabar lagi.
Pedang besar di tangannya yang berlumuran darah kering langsung dikibaskan ke
kepala Sira Sakaning Bumi. Namun senjata itu
hanya menyambar angin karena yang menjadi sa-
saran senjatanya telah melompat ke tempat yang
aman. Kala Menak membedal kudanya, kuda
memburu ke arah lawannya. Sekali lagi si kakek
melompat ke udara. Lalu bersalto dan kakinya
menjejak punggung Kala Menak.
Orang ini kalau tidak kuat berpegangan
pada kendali kuda dapat dipastikan tercampak
dari atas kudanya. Ia pun menggeram marah. Ti-
ba-tiba saja Kala Menak melompat meninggalkan
punggung kudanya. Sambil berguling-guling pe-
dangnya membacok ke arah kaki lawannya. Kare-
na senjata itu berat sekali. Ketika dikibaskan,
maka senjata itu mengeluarkan suara deru angin.
Sira Sakaning Bumi melompat, lalu tubuhnya
berputar sedangkan kaki melepaskan tendangan
ke bagian wajah lawannya. Untunglah Kala Me-
nak adalah pembunuh yang berpengalaman. Se-
hingga dengan cepat ia menangkis.
Duuk! "Eps...!"
Kerasnya benturan membuat tubuh Kala
Menak tergetar. Tangannya jadi linu. Belum sem-
pat ia bangkit berdiri, lawan telah menyerangnya kembali.
Kala Menak tidak diam, sambil bergerak
mundur ke belakang ia pergunakan jurus pedang
'Merambah Hutan Menembus Bukit'. Dengan ce-
pat pedang yang sangat berat itu mengurung si
kakek. Lalu di lain waktu senjata meluncur tiada terkendali ke perut lawannya.
Kelihatannya Sira
Sakaning Bumi alias Wahyu Sakaning Gusti tidak
menghindari serangan dahsyat itu. Ia malah bu-
sungkan perutnya dan....
Blees! Ujung pedang seakan menembus perut la-
wannya. Si kakek tersenyum bijaksana. Tidak ada
darah yang menetes, padahal sudah separuh sen-
jata itu amblas kedalam perut Sira Sakaning Bu-
mi. Kenyataan ini betapa sangat mengejutkan.
Bertahun-tahun Kala Menak menjadi pembunuh
sadis dan bertahun-tahun pula ia mengabdi pada
hartawan Abdi Banda, belum pernah ia menemui
musuh seaneh-aneh sekarang ini.
Saking cemasnya Kala Menak menarik sen-
jatanya. Astaga! Senjata yang ditariknya itu berubah menjadi panjang. Semakin ia
bergerak mun- dur menarik pedangnya sendiri, maka pedang
yang ditarik dari perut lawan semakin bertambah
panjang seakan tidak ada habis-habisnya


Pendekar Bloon 9 Anak Langit Dan Pendekar Lugu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Edan... tua bangka ini punya ilmu apa?"
pikir Kala Menak.
Ia ternyata masih berusaha menarik senja-
ta itu. Walau pun kini pedang itu telah ditarik sejauh sepuluh batang tembok,
namun ujung senja-
ta yang membenam di tubuh Sira Sakaning Bumi
tetap tidak kelihatan. Kakek tua itu kemudian
mengusap perutnya.
Braak! Kala Menak terguling-guling. Pedang itu
secara aneh kembali ke bentuk alisnya. Pucat wa-
jah Kala Menak. Jika kakek itu mau tentu dia su-
dah mampus sejak tadi.
"Jangan kau sia-siakan waktu hidupmu.
Aku tidak punya hak mencabut nyawa orang lain.
Pergilah kau dari hadapanku! Masih ada waktu
bagimu untuk bertobat. Tapi jika sekali lagi kulihat kau berbuat keonaran, maka
tidak seorang pun yang dapat menjamin keselamatanmu!" tegas Sira Sakaning Bumi.
Lumer sudah nyali Kala Menak. Hilang ke-
bengisannya, hilang keganasannya. Ia kemudian
melompat ke punggung kudanya. Kuda dipacu
cepat tanpa menoleh-noleh lagi. Pendekar Lugu
yang kini menjelma menjadi seorang kakek tua ini tersenyum. Kemudian ia
meninggalkan tempat itu
menuju rumah Pemadatan.
*** Sosok berpakaian hitam dan memakai ke-
dok itu terus berjalan di atas genteng. Ia mengendap-endap atau sesekali
berhenti dan merunduk-
kan tubuhnya bila melihat penjaga kebetulan le-
wat di dekatnya. Sementara itu di sudut lain terlihat pula sosok lainnya sedang
bergerak ke arah yang sama. Orang berpakaian hitam ala Ninja ini
terkejut melihat kehadiran sosok lain yang juga
mengenakan pakaian seperti dirinya.
"Apakah orang itu Ninja Sakura" Kalau be-
nar mengapa dia tidak menyergapku?" batin so-
sok berpakaian hitam yang tiada lain adalah Rana Unggul.
"Ee... orang itu malah menuju jalan satu
satunya ke ruangan utama. Sungguh tolol sekali.
Padahal para Ninja itu bersembunyi di situ! Mus-
tahil kehadirannya tidak diketahui oleh mereka.
Dasar goblok... benar-benar nekad dia!" gerutu Rana Unggul.
Kemudian ia terus mengikuti sosok hitam
di depannya sekalian ingin tahu apa yang akan
dilakukannya. Baru beberapa langkah ia melihat
dua orang Ninja tergeletak dengan dada berlu-
bang. Ia menuruni anak tangga menuju lantai
utama. "Hmm, ternyata dia punya tujuan yang sa-ma dengan aku. Ada Ninja lagi
yang mati disini!"
kata Rana Unggul.
Rana Unggul merapatkan tubuhnya ke
tembok ketika mendengar suara bentak-bentakan
yang sangat sulit dimengerti maknanya. Ternyata
sosok yang menyelinap pertama tadi dalam kea-
daan terkurung rapat.
SEBELAS "Manusia tolol! Berani-beraninya dia ma-
suk dari situ! Sekarang terjebak, apa yang bisa
diperbuatnya untuk menyelamatkan diri dari ma-
nusia Ninja itu"!" maki Rana Unggul kesal.
Sementara orang yang memakai pakaian
ringkas tadi ternyata telah membuka seluruh pa-
kaian luarnya. Maka terlihatlah seorang pemuda
berambut hitam kemerahan berpakaian warna bi-
ru. Lagak pemuda itu cengengesan. Rana Unggul
tentu saja kaget bukan main.
"Wah si tolol itu lagi." gerutu Rana Unggul.
Sementara itu Pendekar Blo'on telah terke-
pung rapat. Kali ini jumlah pasukan Ninja itu
memang cukup besar. Diantara mereka ada yang
mempergunakan toya, pedang, trisula maupun
pedang. Senjata-senjata itu langsung menghujani
Suro. Sebagaimana diketahui gerakan-gerakan
yang dilakukan oleh para Ninja Sakura ini dikenal sangat kompak dan serentak.
Tentu saja Suro tidak dapat bersikap main-main lagi. Ia memper-
gunakan jurus 'Kacau Balau' salah satu jurus wa-
risan Malaikat Berambut Api yang masih terhi-
tung kakek dan gurunya sendiri.
Maka tidak dapat disangkal bila kemudian
gerakan-gerakan tubuh si pemuda berubah total
menjadi kacau. Langkah-langkah pemuda ini
tampak serampangan dan terkesan asal-asalan.
Langkah-langkah pemuda ini tampak serampan-
gan dan terkesan asal-asalan. Namun sungguh
hebat, sepuluh pasukan Ninja yang mengerubuti
tidak seorang pun yang mampu menusukkan sen-
jatanya. Berulang kali Si Bocah Ajaib berhasil lolos dari kepungan lawan. Rana
Unggul kaget, ti-
dak pernah terlintas dalam benaknya kalau pe-
muda bertampang ketolol-tololan ini ternyata
memiliki ilmu silat tinggi dan jurus-jurus yang
mengagumkan. "Pantasan dia berhasil membebaskan toto-
kanku tempo hari!" kata Rana Unggul yang merasa tertipu mentah-mentah.
"Hiaa...!"
Si konyol tiba-tiba saja merebut salah satu
toya di tangan lawannya. Ia terus melompat ke
udara dengan gerakan terkesan kacau. Tubuhnya
bahkan sempat berputar-putar. Toya itu selanjut-
nya diputar-putar, lalu menderu.
Wuuk! Laksana kilat Toya mengemplang kepala
dua orang Ninja yang berada persis di bawahnya.
Orang-orang itu mengeluh dan tersungkur.
Tiga buah benda persegi empat melayang
ke arah Suro. Pemuda ini tersenyum mengejek.
Dengan mempergunakan toya itu ia menangkis.
Clep! Clep! Clep!
Senjata rahasia berbentuk bintang ini me-
nancap di toya itu. Toya kemudian dilemparkan
dan menghantam lutut salah seorang Ninja yang
ketika itu memburu ke arahnya. Orang itu ter-
sungkur, kawan-kawannya cepat datang mem-
bantu. Suro kalang kabut menghadapi hujan sen-
jata yang seakan tidak ada habis-habisnya ini. Ia pun melompat menjauh mengambil
jarak. Dikerahkannya tenaga ke bagian telapak tangan.
"'Kera Sakti Menolak Petir'! Heaa...!" Suro dengan mulut termonyong-monyong
mendorongkan kedua tangannya ke lima arah sekaligus. Li-
ma larik sinar putih melesat dari telapak tangannya. Para Ninja itu memutar
senjatanya masing-
masing untuk melindungi diri.
Blarr...! "Auk...!"
Lima orang lawan terpelanting roboh ketika
sinar putih menghantam tubuh mereka.
"Mampus-mampus dah...!" dengus si pe-
muda. Namun lawan terus berdatangan. Sehingga
tidak ada waktu sedikit pun bagi Suro untuk ber-
leha-leha. "Jika aku tidak membuka jalan darah! Se-
bentar lagi tenagaku terkuras habis. Dan ini bisa membuatku semakin konyol!"
pikir Suro Blondo.
Diawali dengan satu bentakan keras, pe-
muda itu segera pergunakan jurus Serigala Melo-
long Kera Sakti Kibaskan Ekor.
Maka terdengarlah suara lolong, tawa serta
tangis pemuda itu. Sementara tubuhnya bergerak
cepat memporak porandakan serangan-serangan
yang dilakukan oleh para Ninja tersebut.
Dua orang lawannya menyerbu ke depan,
Suro tidak mundur lagi. Melainkan menyambut
serangan itu sambil mengayunkan kakinya den-
gan lincah. Wuut! Lalu ia mengibaskan tangannya ke arah
lawan-lawannya. Jelas sekali saat itu Suro mele-
paskan pukulan 'Neraka Hari Terakhir', salah sa-
tu pukulan yang paling dahsyat dari seluruh pu-
kulan sakti yang dimilikinya. Terdengar suara jeritan dimana-mana, seakan
makhluk-makhluk
gaib menyingkir ketakutan. Sinar merah dan hi-
tam menggebu-gebu, sehingga hawa panasnya sa-
ja mampu membuat hangus orang-orang di seki-
tarnya. Lalu terjadilah ledakan-ledakan dahsyat.
Puluhan sosok tubuh terlempar dalam keadaan
matang. Tidak satu pun dari Ninja-Ninja itu yang selamat. Rana Unggul sendiri
terpaksa mengerahkan tenaga dalam untuk menghindari penga-
ruh siksaan panas yang melesat dari telapak tan-
gan si konyol. Untuk pertama kalinya Rana Un-
ggul pentang matanya lebar-lebar.
"Pemuda konyol itu benar-benar tidak ter-
duga-duga." desisnya penuh rasa takjub.
Sebagian pukulan Suro yang sempat me-
lenceng membakar tiang-tiang penyangga rumah
pemadatan. Suro segera kembali menuju ke jalan
pertama tadi dia datang, sedangkan Rana Unggul
sudah bergerak mendahului. Ia terus melompat
dari atas bangunan. Sampai di suatu tempat yang
aman Rana Unggul menunggu. Namun dari balik
semak belukar muncul sesosok tubuh berpakaian
hitam lainnya. "Kau... menyamar sebagai kami tidak ta-
hunya musuh...!" kata pimpinan Ninja, suaranya menggeram.
"Kau siapa?" tanya Rana Unggul.
"Aku pimpinan Ninja Sakura. Namaku
Kenziro Nakasone." sahut laki-laki bermata sipit
itu sinis. "Hmm, rupanya kau orangnya yang telah
menjadi begundal di rumah madat itu" Jauh-jauh
meninggalkan negeri sendiri, ternyata hanya un-
tuk bikin onar di negeri leluhur orang lain!" dengus Rana Unggul sinis.
"Kau telah membikin rusak apa yang men-
jadi tanggung jawab kami. Karena itu kau harus
tanggungkan akibatnya." kata Pimpinan Ninja Sakura ini marah.
Begitu Kenziro Nakasone menggerakkan ja-
ri tangannya. Maka sepuluh jarum beracun mele-
sat cepat menuju sepuluh jalan kematian. Rana
Unggul mendengus. Lalu tarik shal dan menge-
butkan shal tersebut hingga jarum-jarum beracun
tadi rontok di atas tanah.
Ketua Ninja ini lalu menyambitkan senjata
rahasia berbentuk bintang persegi empat. Empat
buah benda berwarna putih menyilaukan melesat.
Kali ini Rana Unggul gerakkan tangannya me-
nyampok. Tes! Tes! Tes! Tiga senjata rahasia runtuh, satu dianta-
ranya terjepit di antara tangan Rana. Laki-laki
bersuara seperti perempuan ini menyambitkan
senjata itu ke arah pemiliknya.
Beruntung Kenziro cepat melompat, jika ti-
dak perutnya pasti kena tembus senjata raha-
sianya sendiri.
Dalam kesempatan itu Si Bocah Ajaib Suro
Blondo sudah sampai di situ. Ia tepuk tangan
sambil berjingkrakan seperti orang gendeng.
"Rana Unggul! Waktu jangan dibuang-
buang, Tinja... eh, Ninja hitam itu adalah kepa-
lanya tikus-tikus yang sudah kubuat mampus di
sarangnya tadi. Tangkap dia, kalau sudah ter-
tangkap aku pengin lihat apakah anunya pakai
helm atau sarung!"
"Pemuda edan! Tidak perlu menggurui
aku!" dengus Rana Unggul.
Ketika itu pertempuran memang sudah
berlangsung seru-serunya. Kenziro Nakasone su-
dah mencabut pedang panjangnya. Senjata itu
membabat dan menusuk ke arah sasaran dengan
ganasnya. Namun pemuda misterius Rana Unggul ke-
lihatannya memiliki kepandaian yang sangat ting-
gi. Terbukti walau pun lawannya telah memper-
gunakan senjata, masih belum terlihat tanda-
tanda dirinya terdesak.
Gerakan Rana Unggul memang seperti wa-
let saja, begitu cepat dan lincah seperti gadis cantik yang menari-nari. Semakin
lama Kenziro se-
makin bersemangat. Pedangnya membacok ke ba-
gian kepala, menebas ke arah leher atau menu-
suk ke ulu hati. Semua itu berlangsung sangat
cepat. "Haiik!"
Kenziro melompat lagi. Kemudian ia laku-
kan babatan menyilang. Rana Unggul menggeser
langkahnya. Ketika serangan senjata lewat di
sampingnya maka ia segera menghantam dengan
tinjunya. Duuk! "Hekh...!"
Kenziro merasa dadanya menyesak dan
sempat membuatnya terhuyung-huyung. Tiba-
tiba ia melompat dan....
Des! Kini gantian Rana Unggul yang tercampak.
Suro yang menyaksikan pertarungan sengit itu
tampak semakin bersemangat.
"Walah... baru segitu kau sudah hampir
loyo, Rana. Hantam saja keteknya kalau nggak
bolanya. Tikus berkedok itu kurasa tidak ada
apa-apanya. Kalau mereka main keroyokan baru


Pendekar Bloon 9 Anak Langit Dan Pendekar Lugu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seimbang!" ledek si konyol sambil garuk-garuk kepala. Rana Unggul sesungguhnya
kesal mendengar ocehan si usil. Namun ia tidak punya waktu
melayani pemuda itu bicara. Belum lagi ia siap
dengan posisinya, Kenziro sudah melabraknya la-
gi. Kali ini disertai dengan lemparan senjata rahasia. Mendapat dua serangan
yang datang seca-
ra bersamaan itu Rana Unggul terpaksa bergul-
ing-guling. Huk! Huuk! Huk!
Pedang terus mencecar Rana Unggul, se-
hingga laki-laki berpakaian seperti Ninja ini terpaksa terus berguling-guling.
Dalam keadaan berguling-guling ia pun cabut senjatanya.
Cring! Sring! Sring! Traang!
Terjadi benturan yang cukup keras. Karena
pedang milik Rana Unggul kecil dan tipis, maka
membuat laki-laki itu tergetar. Sekali lagi bentro-kan senjata tidak dapat
dihindari. Tring! Rana Unggul terdorong lagi. Namun sece-
pat kilat ia melompat, saat tubuhnya melayang di udara seperti itulah ia
mengibaskan senjata di
tangannya. Kenziro rupanya merasa ada samba-
ran angin yang cukup keras. Ia pun segera me-
nundukkan tubuhnya serendah mungkin.
Wuut! Serangan Rana Unggul menghantam angin.
Tangan Kenziro menyodok perutnya.
Buuk! "Ngek!"
Rana Unggul mendekap perutnya. Suro ter-
tawa mengekeh. Ia seka keningnya, lalu....
"Walah baru segitu saja kau sudah dibuat-
nya mules. Ayo desak terus jangan kalah seman-
gat!" teriak Suro memberi semangat.
Semakin panas saja kuping Rana Unggul.
Lalu ia melompat ke belakang, pedang diangkat-
nya tinggi-tinggi ke udara. Lalu disertai teriakan melengking tinggi ia
menerjang ke depan. Gerakan ini dikenal dengan jurus 'Menepis Ombak
Mendulang Intan'. Pedang tipis itu terus melun-
cur. Pabila lawan menangkisnya, maka senjata di
tangan Rana Unggul membelok, lalu mengancam
perut Kenziro. Pimpinan Ninja ini terkesiap. Ia
melompat lagi untuk selamatkan perutnya. Na-
mun gerakannya itu sangat terlambat, sehingga...
Breet! "Akh...!"
Kenziro menjerit kesakitan. Dalam kesem-
patan itu ia masih berusaha menangkis.
Traang! Kenziro tergetar, ia meringis kesakitan. Pe-
dang di tangan Rana Unggul kembali meluncur
dan terus menerabas ke dada Kenziro.
"Hekh...!"
Kenziro melotot. Ia terhuyung-huyung, ke-
tika Rana Unggul mencabut senjatanya, maka la-
ki-laki ini tersungkur. Ia pun tewas seketika itu juga. Suro bertepuk tangan,
tepuk-tepuk jidadnya lalu tepuk pula pantatnya.
DUA BELAS "Bocah Gelo... mengapa kau tepuk semua
yang kau punya" Apakah sudah gila...!" dengus Rana Unggul. Diam-diam ia
memperhatikan pemuda berambut hitam kemerah-merahan itu
"Ach... mengapa begini. Dia sangat lain dalam pandanganku!" Rana Unggul
mengeluh. "Jika kau tidak suka melihat aku menepuk
semua yang aku punya, apakah kau mau jika aku
menepuk kau punya" Ha ha ha...!" kata Pendekar Blo'on sambil tertawa.
"Kau jangan kurang ajar. Aku benci meli-
hat kesintinganmu!"
"Benci atau suka" Aku tidak bisa jamin
apakah kau benar-benar seorang laki-laki. Tu-
buhmu ramping, kulit halus dan bau tubuhmu,
hmm... harum...!" Si Bocah Ajaib mengendus-
endus. "Diam...!" bentak Rana Unggul sambil melotot. Suro mengatupkan mulutnya sambil
ter- monyong-monyong.
"Mengapa kau cengar cengir seperti monyet
begitu" Apa yang lucu?"
Suro menggaruk rambutnya. "Anu... sebe-
narnya ada yang ingin kutanyakan padamu. Wak-
tu kita menghadapi mata picak bukankah Pende-
kar Lugu pergi bersamamu" Sekarang kemana
dia?" "Oh, mengenai Penyambung Lidah itu sesungguhnya aku pun kurang tahu. Ia
memisah- kan diri ketika aku menuju kesini. Katanya ia
mau menjumpai hartawan Abdi Banda." sahut
Rana Unggul. Suara laki-laki itu tidak seketus ta-di.
"Aku pikir dia mau minta sebagian harta
hartawan itu untuk bagi-bagikan padamu dan
padaku. Wah... senangnya jadi orang kaya.... Pa-
dahal aku belum pernah kaya, lho...!"
"Manusia geblek sepertimu mana bisa
kaya. Lagi pula untuk apa segala macam ke-
kayaan hartawan itu" Dia memperolehnya dari
cucuran keringat dan darah orang lain." sergah Rana Unggul.
"Betul sekali. Sebagian harta Abdi Banda
bahkan ada yang bisa berdesah-desah... ha ha
ha...!" "Lho, kok...!" Rana Unggul terheran-heran.
"Tentu saja, kalau harta itu diperolehnya
dari pelacur tentu ada yang mendesah-desah,
megal megol, esak-esek dan... wah pokoknya
puyeng!" "Bocah edan! Apakah kau sudah tidak bisa
bicara betul?" bentak Rana Unggul.
Diam-diam ia semakin suka pada Suro ka-
rena kekonyolannya selain juga tampan.
"Jaman sekarang semakin susah saja jadi
orang benar. Kata orang yang haram saja sulit.
Dapat kau bayangkan apa nggak gila tuli...?"
"Oh, jadi kau mau mengikuti gilanya du-
nia"!" ejek Rana Unggul.
"Tidak. Dunia nggak pernah gila! Justeru
manusianya-lah yang sudah nggak karuan. Ma-
nusia sudah banyak yang edan, banyak yang gila.
Gila harta, gila kedudukan, gila perempuan dan
gila segala...!" kata Suro sambil golang-goleng kepala. "Semakin lama bicaramu
semakin ngaco. Urusan belum lagi beres, mengapa kita harus ber-
leha-leha. Sekarang sebaiknya kita pergi dari sini.
Besok kita bisa meneruskan perjalanan menuju
ke singgasana hartawan Abdi Banda!"
"Lalu sekarang kita kemana?" tanya Si Bo-
cah Ajaib. "Cari tempat tidur, tolol!"
"Wah, kalau tidur apakah kita harus ber-
sama-sama?" pancing Suro.
Wajah di balik topeng hitam itu berubah
memerah. Kalau saja Suro tahu hal ini" Sayang
Pendekar Blo'on tidak pernah tahu.
"Jangan lagi kau berani bicara sembaran-
gan. Aku bisa membunuhmu!" ancam Rana Un-
ggul. "Weleh, galak amat sih" Aku kan cuma bicara tidur saja kau langsung marah.
Kita kan sa- ma-sama laki-laki."
"Sudahlah, aku bisa jadi gendeng menden-
gar ocehan!" dengus pemuda bertubuh ramping tersebut.
Kemudian ia berbalik langkah berlari-lari
meninggalkan Suro Blondo. Suro golang-geleng
kepala lalu segera mengejar Rana Unggul.
*** Laki-laki itu belum tergolong tua, usianya
baru sekitar empat puluh lima tahun. Wajahnya
tidak begitu tampan, pakaiannya rapi bermotip
kembang-kembang. Ia memakai topi berwarna
kembang-kembang pula. Ia sesungguhnya terma-
suk tokoh sakti yang sangat jarang berkeliaran di rimba persilatan. Di daerah
Jawa bagian tengah
ia dikenal dengan julukan Malaikat Penderitaan.
Mengenai asal usul dan nama asli tokoh yang
nyentrik ini tidak seorang pun yang tahu.
Kesaktian yang dimilikinya tidak terukur,
ia bahkan sangat mahir dalam memainkan golok.
Tiga buah golok sekaligus terkadang diperguna-
kannya untuk menghadapi lawannya.
Orang ini sesampainya di atas sebuah bu-
kit langsung menghentikan langkahnya. Ia me-
mandang ke depan, lalu wajahnya berubah mu-
rung. Semakin jauh memandang maka keningnya
berkerut dalam.
"Berburu ke padang dasar, dapat rusa be-
lang kakinya. Akh.... mengapa segila ini. Apa yang harus kusesali" Aku berjalan
dalam kegilaanku,
aku melangkah dalam kegilaanku, mereka terta-
wa dalam kegilaannya. Jika mereka sedih itu le-
bih baik dari aku yang gila! Tidak ada yang lebih senang dalam dunia ini
terkecuali aku, tiada yang lebih sedih terkecuali aku. Sepanjang langkah-langkah
ini menapak, apa yang telah kuperbuat"
Kebaikan atau keburukan. Hidupku penuh pen-
deritaan, bukan kesenangan yang aku ucapkan.
Hik hik hik,..!" Malaikat Penderitaan menangis se-sunggukan. Tubuhnya
terguncang, nafasnya ter-
sendat-sendat. Sampai pada akhirnya ia menen-
gadahkan wajahnya ke langit. Lalu ia menunduk
seperti orang ketakutan.
"Kulihat ke langit, ternyata Tuhan Murka.
Siapakah yang perduli" Tidak seorang pun yang
perduli. Manusia menjadi bangga jika dirinya su-
dah menjadi sombong, iri, dengki, tamak dan ki-
kir. Aku sedih melihatnya. Karena semua itu
pangkal bencana, pangkal penderitaannya di ak-
herat. Oh betapa malangnya, diriku Malaikat...
bukan yang tercipta dari cahaya tapi Malaikat
hanya julukan. Malaikat Penderitaan...!" kata la-ki-laki itu. "Aku meninggalkan
tempat pengasin-ganku karena urusan besar. Kehadiran sang Ma-
ha Sesat juga termasuk urusan yang tidak dapat
dianggap main-main. Lalu siapakah yang menco-
ba mempermainkan hidup ini" Tuhan murka,
langit murka, bumi murka, angin murka dan se-
mua yang ada di bumi ini menjadi murka karena
ulah manusia!" dengus Malaikat Penderitaan
hanya sekejap kemudian Malaikat Penderitaan
sudah berlalu meninggalkan puncak bukit itu.
Belum lama Malaikat Penderitaan pergi, di
puncak bukit Penantian muncul tokoh lainnya. Ia
seorang wanita berusia sekitar tujuh puluh ta-
hun. Orang ini memakai anting pada dua lubang
hidungnya. Di keningnya juga terpasang anting,
kupingnya, bibirnya. Dan mungkin di setiap ang-
gota tubuhnya yang berlubang terpasang anting.
Perempuan renta ini berpakaian kumuh,
rambutnya jarang dan sudah berwarna putih se-
muanya. Di lihat sepintas lalu, nenek renta ini
seperti orang yang tidak pernah mandi selama
berbulan-bulan.
"Hik hik hik...! Hartawan Abdi Banda. Akan
banyak darah yang berceceran karena kekayaan-
nya. Aku akan dapatkan semua itu, urusan be-
sar. Persoalan tidak main-main. Banyak orang-
orang punya ilmu berada di sana. Hu hu hu...!
Sebaiknya aku pergi kesana sekarang!" kata perempuan itu yang tiada lain adalah
Ratu Alam Kubur. Perempuan renta itu kemudian me lan-
jutkan perjalanannya kembali menuju ke singga-
sana milik hartawan Abdi Banda.
Urusan memang semakin runyam, tokoh-
tokoh sakti rimba persilatan banyak yang ber-
munculan dan tentu juga cari keuntungan. Ke-
mudian hadir pula sang Maha Sesat yang menipu
manusia dengan berbagai cara. Siapa sesungguh-
nya Rana Unggul. Malaikat Penderitaan, Ratu
Alam Kubur" Benarkah urusan hanya sekedar
harta" Atau ada persoalan lain yang lebih mena-
rik dari semua itu" Nantikan kelanjutannya!!
TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 3 Pedang Medali Naga Karya Batara Badai Laut Selatan 17
^