Pencarian

Iblis Berkabung 2

Dewa Arak 90 Iblis Berkabung Bagian 2


Raja Laut Bermuka Setan mengendurkan kem-
bali urat-urat sarafnya yang tadi menegang. Dilihatnya ada kesungguhan yang
besar dalam ucapan kakek berompi hitam itu.
"Urusan apa, Serigala Hitam?"
"Kurasa kau tak keberatan kalau kita bicara di
dalam saja, Muka Setan," Raja Serigala Hitam mengajukan usul. "Makan waktu yang
cukup panjang untuk mengatakannya. Atau kau lebih suka kita bicara di sini
sambil berdiri" Barangkali saja kau takut mengajakku ke dalam istanamu."
Sepasang mata Raja Laut Bermuka Setan berki-
lat-kilat penuh kemarahan. Dia merasa tersinggung
dikatakan takut oleh Raja Serigala Hitam. Kendati demikian kalau langsung
diturutinya perkataan datuk
sesat wilayah utara itu, apa kata anak buahnya"
"Masuk dan berbicara soal gampang. Tapi aku
ingin tahu persoalan apakah yang akan kau bicarakan.
Tidak semua persoalan dapat dengan mudah dibicara-
kan di istanaku. Ingin kuketahui dulu pantas tidaknya persoalan yang kau bawa
itu," ujar Raja Laut Bermuka Setan dengan nada meremehkan.
Raja Serigala Hitam merasakan hatinya terba-
kar. Dia merasa terhina sekali oleh sikap Raja Laut Bermuka Setan. Kedudukannya
tak kalah tinggi dengan kepala bajak laut itu. Tapi perlakuan yang diterimanya
amat merendahkan dirinya. Kalau menuruti pe-
rasaan Raja Serigala Hitam ingin menerjang saingan
beratnya memperebutkan kedudukan sebagai datuk
kaum sesat itu. Tapi mengingat pentingnya urusan
yang dibawa maka maksudnya cepat-cepat diurung-
kan. "Kau tentu mendengar tentang datuk-datuk persilatan pada puluhan tahun yang
lalu," ujar Raja Serigala Hitam separo mengingatkan.
"Tentu saja," jawab Raja Laut Bermuka Setan kalem. "Lalu mengapa?"
Raja Serigala Hitam menggertakkan gigi karena
geram melihat sambutan Raja Laut Bermuka Setan
yang dingin. Ingin diludahinya wajah lelaki kurus itu
kalau tak mengingat akibat yang terjadi.
"Datuk-datuk persilatan itu ternyata mempu-
nyai murid-murid, Muka Setan. Dua di antara mereka
telah kutemui. Entah datuk-datuk lainnya apakah me-
reka mempunyai murid atau tidak aku belum tahu..."
"Ha ha ha...!"
Raja Laut Bermuka Setan memotong ucapan
Raja Serigala Hitam dengan tawa bergelak bernada merendahkan.
"Kukira persoalan apa, tak tahunya hanya ma-
salah bocah-bocah yang baru kemarin kenal dunia
persilatan. Ha ha ha...! Lucu sekali, Kau katakan ini persoalan penting,
Serigala Hitam" Jangankan hanya
murid-muridnya, biar datuk-datuk persilatan itu sendiri yang keluar dari tempat
persembunyiannya dan
sekaligus mengeroyokku, Raja Laut Bermuka Setan tak akan mundur selangkah pun.
Mereka akan ku basmi.
Ha ha ha...!"
Wajah Raja Serigala Hitam tampak merah pa-
dam. Kemarahan yang sejak tadi sudah melanda ma-
kin bergolak. Namun dengan sekuat tenaga amarah
yang hendak terlontar itu ditahannya.
"Serigala Hitam," ucap Raja Laut Bermuka Setan lagi setelah puas mengumbar tawa.
"Kalau belum apa-apa kau sudah ketakutan setengah mati, copot sa-ja gelar raja
dari julukanmu. Setelah itu mundurlah kau dari dunia persilatan. Kau tak pantas
menjadi datuk kaum sesat wilayah utara!"
Terdengar bunyi berkerotokan dari sekujur tu-
buh Raja Serigala Hitam. Padahal kakek ini tak menggerakkan anggota tubuhnya
sama sekali. Aliran tenaga dalamnya yang menyebar sendiri karena kemarahan
yang melanda menyebabkan bunyi itu terjadi.
"Sungguh tak kusangka tanggapan seperti ini
yang ku peroleh darimu, Muka Setan," agak bergetar ucapan Raja Serigala Hitam
karena menahan kemarahan. "Ucapan dan sikap yang kau pertunjukkan selayaknya
keluar dari mulut bocah ingusan yang baru
belajar satu dua macam pukulan. Kau tak ubahnya
katak dalam tempurung, Muka Setan! Orang-orang
berpikiran kerdil sepertimu yang membuat golongan
kita tak pernah berjaya dan selalu menjadi pihak yang dikalahkan!"
"Keparat! Tutup mulutmu, Serigala Hitam!"
Raja Laut Bermuka Setan yang merasa sangat
tersinggung dengan ucapan Raja Serigala Hitam lang-
sung memuntahkan amarahnya dengan melancarkan
serangan. Lelaki kurus ini mengawali serangannya
dengan sebuah tendangan lurus kaki kanan ke arah
perut. Raja Serigala Hitam tak menjadi gugup melihat serangan itu. Sejak tadi
dia memang sudah bersiap
siaga menghadapi hal-hal seperti ini. Maka tanpa ragu-ragu ditangkisnya
tendangan itu dengan sabetan tan-
gan kanan. "Heh"!"
Raja Serigala Hitam mengeluarkan seruan ka-
get melihat Raja Laut Bermuka Setan menarik pulang
serangannya di tengah jalan. Secara cepat dan tak terduga-duga kemudian pimpinan
tokoh sesat wilayah se-
latan ini menggantikannya dengan tendangan miring
ke arah dada. Serangan ini memaksa Raja Serigala Hitam
mencondongkan tubuh ke belakang, sehingga seran-
gan lawan hanya mengenai tempat kosong. Saat itulah tangan kanannya bergerak
cepat melakukan totokan
ke arah mata kaki Raja Laut Bermuka Setan. Totokan
yang mengeluarkan bunyi bercicitan nyaring bak bela-
san ekor tikus mencicit.
Raja Laut Bermuka Setan tak menginginkan
mata kakinya hancur oleh totokan Raja Serigala Hitam.
Buru-buru kakinya ditarik pulang. Namun Raja Seriga-la Hitam tak berhenti sampai
di situ saja. Begitu serangan pertamanya tak mengenai sasaran segera diki-
rimkannya serangan bertubi-tubi dengan gedoran tan-
gan kanan dan kiri.
Kali ini Raja Laut Bermuka Setan tak mengelak.
Dengan kedua jari-jari tangan terbuka dipapakinya serangan-serangan itu.
Plak, plakkk! Berturut-turut serangan itu tertangkis hingga
menimbulkan bunyi riuh rendah. Akibatnya, tubuh
kedua tokoh itu terhuyung-huyung tiga langkah ke belakang. "Dengan kemampuan
seperti ini kau berani meremehkan datuk-datuk persilatan" Hanya menghadapi
salah satu dari murid datuk itu saja kau tak akan
mampu menang, Muka Setan"!" ejek Raja Serigala Hitam setelah berhasil mematahkan
kekuatan yang membuat tubuhnya terhuyung-huyung.
Raja Laut Bermuka Setan memberikan isyarat
dengan suitan nyaring. Lelaki bermata picak yang sejak tadi menggenggam dayung
pimpinannya segera me-
lemparkan senjata itu. Tanpa membalikkan tubuh dan
bahkan tanpa melihatnya sedikit pun Raja Laut Ber-
muka Setan menangkapnya dengan tangan kiri!
"Kalau kau mampu bertahan menghadapi sen-
jataku ini selama lima puluh jurus, maksudmu mene-
muiku akan kudengar dan kupertimbangkan. Tapi bila
tidak, menggelindinglah dari sini dengan selamat apabila kau berhasil
melakukannya!" tandas Raja Laut Bermuka Setan.
Wuk, wuk, wukkk!
Deru angin yang menyakitkan telinga langsung
terdengar ketika kepala bajak laut selatan itu memutar dayungnya. Cepat bukan
main sehingga membuat bentuk dayung lenyap. Yang kelihatan hanya cahaya kee-
masan melingkar di seputar tubuh lelaki kurus.
"Keluarkan senjatamu, Serigala Hitam!" sera Raja Laut Bermuka Setan di tengah
kesibukannya memutar dayung.
Raja Serigala Hitam tersenyum pahit Bukannya
mencabut atau mengeluarkan senjatanya dia malah
membuang ludah ke tanah dengan sikap kasar. Cairan
kental itu menghantam tanah dan tembus ke dalam!
"Simpan senjatamu, Muka Setan! Kemam-
puanmu itu hanya akan berarti bila kau pertunjukkan pada keroco-keroco dan anak
buahmu. Aku tak kera-san berlama-lama berdekatan dengan orang berpikiran kerdil
sepertimu. Kelak setelah sarangmu diobrak-abrik mereka, kau akan mengerti!"
Setelah berkata demikian Raja Serigala Hitam
membalikkan tubuh dan melesat meninggalkan tempat
itu. Kakek ini tak hendak meladeni keinginan lawan-
nya. Karena bila hal itu dilakukan menurutnya sama
saja dengan merendahkan diri. Padahal kedudukannya
setingkat dengan Raja Laut Bermuka Setan.
"Jangan lari kau, Pengecut...!" bentak Raja Laut Bermuka Setan seraya bergerak
mengejar. Tapi Raja Serigala Hitam tak mempedulikan
makian saingannya. Kakek itu terus berlari. Tindakan itu memaksa Raja Laut
Bermuka Setan yang terlanjur
murka terus mengejarnya. Pemimpin bajak Laut sela-
tan ini baru menghentikan pengejarannya setelah ra-
tusan tombak mengejar dan jarak antara dirinya den-
gan buruannya tetap tak berubah. Dengan hati dong-
kol lelaki kurus ini kembali ke tempat tinggalnya. Disadarinya tak akan mungkin
bisa menyusul Raja Seri-
gala Hitam. Ilmu lari cepat tokoh Wilayah utara itu tak berada di bawahnya.
*** "Iblis Berhati Manusia! Berhenti...!"
Bentakan keras penuh kemarahan membuat la-
ri Raja Laut Bermuka Setan tertahan. Dia merasa se-
ruan dari arah belakangnya itu ditujukan untuk di-
rinya. Dengan kemarahan yang memuncak segera di-
balikkan tubuhnya.
Tampak sesosok tubuh tengah berlari menuju
ke arahnya. Gerakannya cepat. Sehingga dalam waktu
sebentar saja sosok yang ternyata seorang gadis berpakaian merah telah berada
tiga tombak di depan Raja Laut Bermuka Setan.
Amarah Raja Laut Bermuka Setan berkurang
banyak ketika melihat orang yang mengeluarkan ben-
takan. Gadis berpakaian merah itu memiliki wajah
yang luar biasa cantik. Kulitnya halus putih. Bentuk tubuhnya ramping padat dan
begitu menawan. Raja
Laut Bermuka Setan yang gemar pada perempuan can-
tik langsung tertarik.
"Siapa kau, Nona Cantik" Apakah aku orang
yang kau minta untuk berhenti?" tanya Raja Laut Bermuka Setan dengan pandang
mata seperti hendak
menelan bulat-bulat sosok di depannya.
"Tidak salah!" sahut gadis cantik itu mantap.
"Bukankah kau orang yang berjuluk Raja Laut Bermuka Setan" Orang yang gemar
menculik gadis-gadis un-
tuk memenuhi keinginan terkutukmu!"
"Ha ha ha...!"
Raja Laut Bermuka Setan tertawa. Dia tidak
marah mendengar ucapan gadis berpakaian merah
yang ketus dan kasar.
"Aku memang orang yang kau maksudkan itu.
Nona Cantik" Dan aku memang gemar dengan gadis-
gadis cantik sepertimu. Tentu saja kalau kau bersedia ikut denganku aku tak
perlu menyuruh anak buahku
untuk menculik mu. Nah, bagaimana" Apakah kau
bersedia ikut denganku?"
"Tutup mulutmu yang kotor itu, Binatang! Ke-
tahuilah, aku datang untuk melenyapkan kau dari
muka bumi ini agar kekejian yang kau lakukan hilang dari mayapada. Sebetulnya
aku bermaksud menyatroni tempat tinggalmu. Tapi karena kau telah kutemu-
kan, maka di sini pun kurasa cocok untuk menjadi
tempat akhir hidupmu. Bersiaplah untuk menjumpai
malaikat maut, Manusia Binatang!"
Seiring dengan selesainya ucapan itu gadis ber-
pakaian merah melompat. Dari atas tangan kanannya
yang berbentuk cakar meluncur ke arah ubun-ubun
Raja Laut Bermuka Setan, sementara tangan kirinya
diletakkan di pinggang.
Raja Laut Bermuka Setan tampak terperanjat
kaget. Dia tak berani memandang remeh gadis cantik
itu lagi. Dari bunyi bercicitan nyaring yang mengiringi serangan itu bisa
diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang terkandung di dalamnya. Lelaki kurus ini
tahu apabila serangan mengenai sasaran nyawanya akan
melayang ke alam baka!
Buru-buru Raja Laut Bermuka Setan melang-
kah mundur setindak seraya menarik kepalanya ke be-
lakang. Sederhana saja gerakan yang dilakukan lelaki kurus itu. Kendati
demikian, serangan maut lawan jadi lewat di atas kepalanya. Seluruh rambut dan
pakaian pimpinan bajak laut selatan ini berkibaran keras ketika serangan cakar lawannya
lewat. Tapi serangan si gadis tak hanya berhenti sam-
pai di situ saja. Begitu serangan pertamanya lolos kaki kanannya menyambar cepat
ke arah dada. Tidak ada
pilihan lain bagi Raja Laut Bermuka Setan kecuali melempar tubuh ke belakang
lalu berputaran beberapa
kali di udara. Tindakan ini membuat serangan gadis
berpakaian merah kembali lolos.
Gadis cantik itu ternyata benar-benar luar bi-
asa. Begitu kedua kakinya menyentuh tanah langsung
dijejakkan lagi hingga tubuhnya kembali melesat ke
arah lelaki kurus. Kedua tangan yang jari-jarinya terbuka lurus ditotokkan
bertubi-tubi ke arah ulu hati dan dada. Sebuah pertarungan aneh pun terjadi.
Gadis berpakaian merah yang terus memburu dengan serangan-serangan maut
sementara Raja Laut Bermuka Se-
tan tak henti-hentinya bersalto ke belakang untuk menyelamatkan diri.
Raja Laut Bermuka Setan akhirnya menyadari
jika keadaan seperti ini tak segera diubahnya dia bisa celaka. Diserang terus-
menerus tanpa mempunyai kesempatan untuk menangkis atau balas melancarkan
serangan akan mencelakakan dirinya.
Sungguh tak disangkanya seorang gadis muda
mampu memiliki kepandaian demikian tinggi!
Sekelebatan dugaan mencuat di benak Raja
Laut Bermuka Setan. Gadis inikah yang dimaksud Ra-
ja Serigala Hitam" Ataukah gadis lainnya lagi yang merupakan murid salah satu
dari empat datuk golongan
putih" Sekarang pikiran Raja Laut Bermuka Setan ba-
ru terbuka. Kalau gadis ini saja sudah selihai ini bagaimana pula dengan ayah
atau guru yang mendidik-
nya" Benarkah tingkat kepandaian datuk-datuk golon-
gan putih demikian tinggi"
"Kraaakh...!"


Dewa Arak 90 Iblis Berkabung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sambil bersalto untuk menyelamatkan nya-
wanya Raja Laut Bermuka Setan memekik bagai see-
kor burung garuda yang tengah murka. Bukan semba-
rang teriakan, melainkan didasari dengan pengerahan tenaga dalam tinggi.
Lenguhan tertahan dikeluarkan gadis berpa-
kaian merah. Tubuhnya yang tengah melayang mengi-
kuti ke mana lawannya bergerak terhenti di tengah jalan dan melayang turun.
Gadis berpakaian merah ini
merasakan telinganya sakit bukan main seperti ditu-
suki jarum-jarum panas yang amat banyak. Dadanya
pun bergetar hebat sehingga membuat aliran tenaga
dalamnya terganggu. Untungnya dia masih memiliki
kemampuan cukup hingga mampu mendarat di tanah
dengan kedua kaki. Memang agak terhuyung-huyung,
tapi tak terjerembab di tanah.
Raja Laut Bermuka Setan yang telah kenyang
pengalaman bertarung segera mengetahui lawannya
belum mampu mengusir pengaruh teriakannya. Maka
begitu berhasil tegak di tanah dayungnya dibolang-
balingkan di depan dada. Bunyi mengaung timbul
mengiringi lenyapnya bentuk dayung. Sinar kuning
keemasan seakan membungkus tubuh datuk Wilayah
selatan ini saking cepatnya dayung berputar.
Gadis berpakaian merah meski memiliki ke-
mampuan tinggi rupanya belum mempunyai pengala-
man bertarung, sehingga pengaruh teriakan Raja Laut Bermuka Setan tak segera
mampu diusirnya. Saat itu
justru datuk wilayah selatan ini kembali melancarkan serangan melalui bunyi
dayungnya. Bunyi mengaung meluncur masuk ke telinga si
gadis. Sakit bukan main kedua telinganya seperti ditu-suk-tusuk paku berani.
Rasa yang sama melanda ba-
gian dalam tubuh gadis itu.
Gadis berpakaian merah menggeliat-geliat da-
lam cekaman rasa sakit yang mendera. Sesaat kemu-
dian ketika rasa yang diderita semakin menggila dia duduk bersila mengerahkan
tenaga dalam untuk
membendung pengaruh bunyi dayung lawan
Keringat sebesar biji-biji jagung bermunculan
wajah yang memiliki kulit halus. Raja Laut Bermuka
Setan sendiri merasa gembira bukan main melihat tindakan yang diambil gadis itu.
Tindakan itu menanda-
kan gadis berpakaian merah belum berpengalaman
bertempur. Tindakan yang dilakukan si gadis andaikata te-
naga dalamnya setingkat dengan Raja Laut Bermuka
Setan tetap akan menimbulkan kerugian pada dirinya.
Gadis cantik itu hanya bertahan. Lain halnya apabila gadis berpakaian merah
menghadapi serangan Raja
Laut Bermuka Setan dengan bunyi pula. Akibat yang
diterima tidak hanya tertuju pada diri gadis itu tapi ju-ga pada Raja Laut Bermuka Setan.
Baru sebentar merebahkan tubuh
Baru sekejap memicingkan mata
Keributan dan keonaran telah tercipta
Tak dapatkah aku beristirahat sebentar saja"
Kata-kara gerutuan yang dikeluarkan secara
berirama itu sebenarnya pelan. Tapi mampu mengatasi kegaduhan yang ditimbulkan
oleh bunyi dayung Raja
Laut Bermuka Setan.
Kenyataan ini saja sudah membuat Raja Laut
Bermuka Setan terperanjat setengah mati. Yang lebih
mengejutkan adalah ketika mengetahui getaran-
getaran yang keluar dari gerutuan menimbulkan pen-
garuh dahsyat yang membendung bunyi putaran
dayungnya. Malah, getaran yang terkandung dalam ge-
rutuan itu mampu menekan bunyi dayung!
Meski tahu ada tokoh pandai yang telah mem-
bantu lawannya, Raja Laut Bermuka Setan tak mun-
dur. Sambil mengerahkan seluruh tenaga dalam puta-
ran tongkatnya diperdahsyat. Bunyi yang ditimbulkan pun semakin keras.
Seperti hendak mengimbangi bunyi dayung, ge-
rutuan yang terdengar dari salah satu pohon di dekat Raja Laut Bermuka Setan
terus terdengar. Isi gerutuan itu sama dengan sebelumnya. Hanya saja pengaruh
yang muncul jauh lebih dahsyat. Raja Laut Bermuka
Setan menggertakkan gigi dan memaksakan diri untuk
terus bertahan melakukan perlawanan. Tapi keadaan
itu tak berlangsung lama.
"Huakh...!"
Raja Laut Bermuka Setan memuntahkan darah
segar dari mulutnya. Tubuhnya pun terhuyung-
huyung ke belakang. Dayung yang tergenggam di tan-
gan hampir-hampir lepas dari cekalan.
Bunyi gerutuan pun terhenti. Raja Laut Ber-
muka Setan mendekap dadanya yang dirasakan sakit
dan nyeri bukan main. Lelaki kurus itu sadar kalau dirinya telah terluka dalam.
Pemilik gerutuan yang berada di atas pohon ternyata memiliki tenaga dalam di
atasnya. Pimpinan bajak laut selatan ini menjadi geram sekali. Raja Laut Bermuka
Setan segera menga-
rahkan pandangan ke tempat suatu gerutuan berasal.
"Kalau bukan pengecut tunjukkan wajahmu,
Orang Usilan!" seru Raja Laut Bermuka Setan sambil mendekap dadanya yang terasa
semakin sakit karena
memaksakan diri berbicara.
Dari atas pohon sesaat kemudian tampak me-
layang turun sesosok bayangan ungu. Sosok itu men-
jejak tanah sekitar dua tombak di depan Raja Laut
Bermuka Setan. Raja Laut Bermuka Setan memperha-
tikan sosok di depannya dengan penuh selidik.
"Kau... kau Dewa Arak..."!" tanya Raja Laut Bermuka Setan dengan suara tercekat
di tenggorokan.
Lelaki kurus ini sedikit pun tak menyangka so-
sok di atas pohon adalah seorang pemuda berwajah
tampan dan berambut putih keperakan. Tubuh pemu-
da yang tegap dan kekar itu terbungkus pakaian war-
na ungu. Di punggungnya tergantung guci arak yang
terbuat dari perak.
Raja Laut Bermuka Setan memang telah men-
dengar kabar tentang Dewa Arak yang menggegerkan
dunia persilatan. Maka sekali melihat ciri-cirinya datuk sesat wilayah selatan
ini telah bisa menduga, Kendati demikian ketika melihat betapa tokoh yang meng-
gemparkan itu demikian muda, Raja Laut Bermuka Se-
tan jadi tak yakin juga.
Sosok yang bukan lain Dewa Arak alias Arya
Buana tersenyum lebar tanpa memberikan jawaban.
Tapi hal itu sudah cukup bagi Raja Laut Bermuka Se-
tan. "Kali ini aku mengaku kalah, Dewa Arak. Tapi
lain kali apabila berjumpa kembali kekalahan ini akan ku tebus!"
Tanpa menunggu jawaban Dewa Arak, Raja
Laut Bermuka Setan berlari terhuyung-huyung me-
ninggalkan tempat itu. Arya tak berusaha mengejar-
nya. Dia tak tahu urusan yang terjadi antara dua
orang yang bertempur itu. Ikut campurnya Arya kare-
na tak ingin melihat gadis berpakaian merah tewas.
Karena menilik dari ciri-ciri dan sikap keduanya, Arya sedikit banyak bisa
memperkirakan gadis itu berada di pihak yang benar.
*** 4 "Huakh...!"
Gadis berpakaian merah memuntahkan darah
segar ketika Arya baru saja mengayunkan kaki meng-
hampirinya. Buru-buru pemuda itu mempercepat
langkah. Tapi tepat ketika Arya berada di dekatnya gadis itu mengeluh tertahan.
Tubuhnya lalu terkulai lemas. Arya segera memeriksanya karena merasa he-
ran. Kalau gadis berpakaian merah itu memuntahkan
darah, bukan persoalan. Barangkali saja sewaktu bertarung dengan Raja Laut
Bermuka Setan gadis itu
mengerahkan tenaga yang melampaui batas. Tapi
mengapa harus pingsan"
Arya tiba-tiba berseru kaget ketika melihat wa-
jah si gadis bersemu kehijauan. Sebelum sebuah du-
gaan sempat didapatkan pemuda ini merasakan kepa-
lanya pusing. Tubuhnya pun lemas dan pandangan
matanya mulai berkunang-kunang. Sebagai pendekar
muda yang telah kenyang pengalaman Arya segera ta-
hu apa artinya semua ini
"Racun," desis Arya dalam hati. Pemuda berambut putih keperakan ini buru-buru
duduk berse- madi. Hawa murninya dikerahkan untuk mengusir ra-
cun di dalam tubuh. Meski hanya mempunyai waktu
sebentar dia segera tahu racun itu menyebar melalui
udara. Racun yang cepat daya kerjanya tapi tidak terasa dan berbau. Keracunan
itu baru ketahuan setelah
tanda-tanda muncul.
Arya bersemadi beberapa saat lamanya. Uap
berwarna kehijauan pun keluar dari lubang hidung.
Baru ketika dirasakan racun itu telah terusir dari tubuh Arya menghentikan
semadinya. Pemuda berambut putih keperakan ini bangkit
dari duduknya dan memeriksa keadaan gadis berpa-
kaian merah. Benak Arya bertanya-tanya sendiri ten-
tang asal racun itu. Mungkinkah Raja Laut Bermuka
Setan yang menyebarkannya sebelum melesat pergi
meninggalkan tempat itu"
Tapi Dewa Arak tak bisa berlama-lama tengge-
lam dalam alun pikirannya. Gadis berpakaian merah
bisa melayang nyawanya apabila tidak lekas-lekas dito-long. Maka tanpa membuang-
buang waktu Arya me-
nempelkan kedua tangannya ke tubuh si gadis. Dia
mengerahkan hawa murninya untuk mendorong ke-
luar racun yang masuk ke dalam tubuh gadis berpa-
kaian merah. Sebentar kemudian dari hidung, mulut, dan te-
linga gadis ini keluar uap berwarna hijau. Mula-mula tipis dan sedikit tapi
lama-kelamaan menebal dan akhirnya menipis lagi sampai akhirnya tak ada lagi uap
hijau yang keluar.
Arya segera menghentikan penyaluran hawa
murninya. Pemuda ini kemudian bangkit berdiri. Tapi baru saja tegak tubuhnya
limbung karena sekujur tubuhnya seperti lunglai tak bertenaga. Arya pun sadar
kalau racun yang masuk ke dalam tubuhnya belum seluruhnya terusir keluar. Dan
itu berarti demikian pula dengan gadis berpakaian merah.
Kenyataan ini benar-benar mengejutkan Dewa
Arak. Sama sekali tak disangka akan didapatkannya
racun seperti ini. Maka buru-buru diteguk araknya
yang mampu menawarkan berbagai macam racun.
Kendati demikian dalam pengalamannya Arya menda-
pati banyak racun yang tak berhasil dipunahkan oleh araknya.
Seteguk Arya menenggak araknya. Dan sesaat
kemudian dirasakan sebagian besar tenaganya kemba-
li. Arak dalam gucinya ternyata mampu memunahkan
racun tersebut.
Tentu saja Arya tak berani meminumkan arak
pada gadis berpakaian merah. Di samping khawatir
akan menimbulkan urusan dengan gadis itu juga ka-
rena nyawanya telah berhasil diselamatkan, kendati
pengaruh racun masih bercokol di dalam tubuhnya.
Mereka berdua agaknya harus menemukan
orang yang mempunyai ilmu pengobatan tinggi agar
dapat mengusir racun seluruhnya. Dan hal itu bukan
merupakan masalah. Arya memang bermaksud untuk
menemui tokoh yang di samping mahir dalam ilmu
pengobatan juga memiliki kepandaian yang amat ting-
gi. Dewa Arak tengah dalam perjalanan untuk men-
jumpai tokoh yang berjuluk Malaikat Obat Sakti!
Malaikat Obat Sakti adalah termasuk salah sa-
tu dari empat datuk golongan putih yang telah men-
gundurkan diri dari dunia persilatan. Arya ingin menemui datuk itu karena
puluhan tahun yang lalu
ayahnya, Tribuana yang berjuluk Pendekar Ruyung
Maut, mendapat pertolongan dari Malaikat Obat Sakti sewaktu terluka keracunan
akibat bertarung menghadapi seorang tokoh sesat
Maka tanpa membuang-buang waktu, karena
menyadari akan bahayanya racun itu, Dewa Arak sege-
ra membopong tubuh gadis berpakaian merah dan
membawanya melesat meninggalkan tempat itu. Tak
sampai seribu tombak berlari Arya mengalami kejadian yang mengejutkan. Tenaganya
terus menyusut secara
cepat. Rasa lemas kembali menyerangnya. Arya tahu
keadaan ini akibat pengaruh racun. Ini berarti arak yang diminumnya tak mampu
memunahkan racun secara keseluruhan!
Namun karena untuk mencapai tempat tinggal
Malaikat Obat Sakti dibutuhkan kemampuan dengan
pengerahan tenaga dalam, Arya menenggak araknya
sekadar untuk memulihkan sebagian besar tenaganya.
Setiap kali tenaganya menyusut dan rasa lemas me-
nyerang Dewa Arak menenggak araknya kembali.
Hanya itu yang bisa dilakukan Dewa Arak sebelum tiba di tempat tinggal Malaikat
Obat Sakti. Arya bersyukur setelah melewati hutan karet
matanya melihat pondok yang atapnya berbentuk se-
tengah lingkaran. Arya tahu pondok itu adalah tempat tinggal Malaikat Obat Sakti
karena ayahnya pernah
menceritakannya. Melihat pondok itu semangat Arya
yang semula mengendur timbul kembali. Pemuda be-
rambut putih keperakan ini menggertakkan gigi untuk mengerahkan seluruh tenaga
yang tersisa agar dapat
segera mencapai pondok.
Saat itu keadaan Dewa Arak memang
mengkhawatirkan. Tenaganya terus menyusut padahal
arak dalam gucinya telah habis. Maka, pemuda be-
rambut putih keperakan ini berusaha sekuat tenaga
agar bisa mencapai pondok yang jaraknya masih ratu-
san tombak. Lari Dewa Arak sudah tak sewajarnya lagi. Pe-
muda berambut putih keperakan ini berlari terhuyung-huyung seperti akan jatuh.
Arya sampai menggigit bibir erat-erat karena usahanya yang keras untuk men-
gerahkan tenaga yang tersisa.
Brukkk! Arya tak mampu lagi bertahan ketika pondok
yang dituju tinggal lima belas tombak. Pemuda itu jatuh terjerembab dengan


Dewa Arak 90 Iblis Berkabung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membawa serta tubuh gadis
berpakaian merah. Seperti disengaja, tubuh gadis itu berada di bawah dalam
keadaan telentang dan Arya
berada di atas menindih tubuhnya. Memang tidak ter-
lalu tepat benar tapi wajah Dewa Arak berada di atas dada si gadis.
Karuan saja hal ini membuat Arya kelabakan.
Dia adalah seorang pemuda. Darahnya masih panas.
Kenyataan seperti ini membuat darahnya bergolak.
Apalagi ketika mencium keharuman khas tubuh wani-
ta yang memabukkan.
Kalau saja saat itu Arya masih memiliki tenaga
pemuda ini akan segera bangkit berdiri. Arya khawatir gadis berpakaian merah
keburu sadar. Apabila hal itu terjadi kesalahpahaman tak akan mungkin bisa
dihin-darkan lagi. Arya berusaha sekuat tenaga agar bisa
bangkit. Tapi ketidakadaan tenaga dan lemasnya seluruh otot dan urat tubuhnya
membuat usaha pemuda
berambut putih keperakan itu sia-sia. Kenyataan ini membuat Arya gelisah bukan
main. "Apa yang tengah kau lakukan di sini, Anak
Muda Berambut Aneh"!"
Kalau saja Arya mampu bergerak teguran itu
akan membuatnya terjingkat. Arya tak mendengar
bunyi apa pun tapi tahu-tahu tepat di depannya telah berdiri sepasang kaki.
Pemuda berambut putih keperakan ini bisa memperkirakan ketinggian ilmu merin-
gankan tubuh pemilik sepasang kaki itu, hingga kedatangannya tak tertangkap
telinga Arya yang memiliki pendengaran luar biasa tajam.
Arya ingin mendongakkan kepala untuk dapat
melihat wajah pemilik sepasang kaki itu. Tapi otot-otot lehernya tak mempunyai
daya sama sekali. Jangankan
menggerakkan leher, ujung jari kelingking pun Arya
tak mampu! "Ahhh...!"
Pemilik sepasang kaki ternyata seorang kakek
berjenggot putih yang panjang sampai ke dada. Kakek yang memiliki wajah segar
seperti, layaknya kulit wajah orang muda itu mengeluarkan seruan keterkejutan
ketika melihat wajah gadis berpakaian merah. Dia ba-ru melihat wajah gadis itu
karena tadi perhatiannya ditujukan pada Arya. Lagi pula wajah gadis berpakaian
merah sebelumnya tertutup oleh rambut Arya yang
tergerai. Rasa penasaran melihat keberadaan dua sosok
yang bertumpukan itu membuat kakek berwajah legar
menyibakkan rambut yang menutupi wajah si gadis.
Kakek itu hanya menggerakkan tangan seperti orang
mengusir nyamuk dan rambut Arya pun tersibak
memperlihatkan wajah gadis berpakaian merah.
"Kiranya kalian berdua keracunan hebat," desis kakek berjenggot panjang.
Kakek itu kembali mengibaskan kedua tangan-
nya. Tubuh Arya dan gadis berpakaian merah segera
melayang naik ke atas dan diterimanya dengan kedua
tangan. Arya di tangan kanan dan si gadis di tangan kiri. Kakek itu tak tampak
keberatan seakan-akan tubuh sepasang muda-mudi itu segumpal kapas.
Kakek berpakaian putih kemudian melesat ke
arah pondok yang atapnya berbentuk setengah lingka-
ran. Gerakannya cepat bukan main. Keberadaan tubuh
Arya dan gadis berpakaian merah sedikit pun tak
mempengaruhi kecepatan larinya.
Kakek berjenggot panjang ini adalah tokoh yang
hendak ditemui Arya. Dialah yang berjuluk Malaikat
Obat Sakti. Salah satu dari datuk-datuk persilatan
kaum putih. Hanya dalam sekejapan kakek berwajah
segar ini telah berada di dalam rumah. Dengan ceka-
tan tubuh Arya dan gadis berpakaian merah diletak-
kan di atas balai-balai yang ada di ruangan tengah.
Kemudian kakek itu masuk ke ruangan khu-
susnya. Dia kembali dengan membawa dua baki berisi
ramuan obat-obatan yang masih mengepulkan asap.
*** "Sekarang kalian berdua telah bebas dari mara
bahaya," ujar Malaikat Obat Sakti seraya menatap Arya dan gadis berpakaian merah
berganti-gantian.
Kakek berjenggot panjang ini duduk di sebuah kursi
kayu di dekat balai-balai bambu.
Arya dan gadis berpakaian merah menatap Ma-
laikat Obat Sakti dengan sinar mata penuh terima kasih.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Kek," ucap Arya dengan suara lemah. Tenaga
pemuda berambut
putih keperakan ini memang belum pulih benar.
"Aku pun mengucapkan terima kasih, Kek. Aku
berjanji apabila mempunyai kesempatan akan berusa-
ha membalas budi baikmu ini," ucap gadis berpakaian merah lirih. "O ya namaku
Sumbi, Kek."
Malaikat Obat Sakti terkekeh pelan. "Tak usah
kau berjanji demikian, Sumbi. Aku menolong tidak untuk menanam budi atau meminta
balas jasa. Ini meru-
pakan kewajibanku selaku manusia. Kebetulan aku
mampu untuk menolong kalian. Bukankah manusia
hidup harus tolong-menolong?"
"Aku Arya, Kek," Arya memperkenalkan diri.
"Kalau aku tak salah terka bukankah kau Malaikat Obat Sakti" Ayahku banyak
bercerita tentang dirimu.
Dan aku pun sebenarnya dalam perjalanan untuk
mengunjungimu. Sayang, di tengah jalan aku menda-
pat masalah ini."
"Apakah kau tokoh yang berjuluk Dewa Arak
itu, Arya?" terka Malaikat Obat Sakti. "Aku telah banyak mendengar tentang
dirimu. Tindakan-tindakan
terpujimu telah sampai ke telingaku. Aku bersyukur
sekali ada tokoh muda yang akan meneruskan tugas
orang-orang tua dan sudah tak berguna seperti aku
dan sahabat-sahabatku."
"Jadi..., sekarang aku tengah berhadapan den-
gan Malaikat Obat Sakti," ujar Sumbi dengan suara bergetar dan terbata-bata
karena rasa kagetnya. "Guruku banyak bercerita tentang dirimu, Kek."
"Begitukah, Sumbi?" sambut Malaikat Oban
Sakti dengan senyum tersungging di bibir. "Boleh ku tahu siapa gurumu itu?"
"Kau pasti mengenalnya dengan amat baik,
Kek. Guruku berkata kalau beliau termasuk salah seorang sahabatmu. Pendekar
Seribu Tangan, julukan-
nya," beritahu Sumbi dengan wajah berseri-seri.
"Ahhh...!" seru Malaikat Obat Sakti kaget. "Kau muridnya, Sumbi?"
Sumbi tersenyum lebar dan menganggukkan
kepala. "Betapa beruntungnya Seribu Tangan itu," keluh Malaikat Obat Sakti
dengan wajah mulai dirayapi kedukaan. Helaan napas berat beberapa kali
dikeluarkannya. "Mungkin si Singa dan si Gila pun telah mempunyai ahli waris
pula...." "Apakah kau tidak mempunyai murid, Kek?"
tanya Arya yang bisa menerka penyebab kemurungan
Malaikat Obat Sakti. "Aku yakin kalau kau mau siapa pun ingin menjadikanmu
sebagai guru untuk anak-anaknya."
"Aku terlalu sibuk dengan urusan obat-obatan,
Arya. Sehingga tak sempat terpikirkan seorang murid pun untuk kuangkat sebagai
pewaris ilmu-ilmuku. Padahal, meski kemampuanku tak seberapa tapi aku tak
ingin membawa ilmu-ilmu ini ke lubang kubur bersa-
ma diriku."
Sumbi yang semula terpaku melihat kesedihan
Malaikat Obat Sakti terlihat mengernyitkan alis. Ada sesuatu yang mengganggu
pikirannya. Tapi sebelum
hal itu diutarakan, Arya telah mendahuluinya.
"Menurut pendapatku masih terbuka kesempa-
tan bagimu untuk mewariskan ilmu-ilmu yang kau mi-
liki itu, Kek."
"Mungkin kau benar, Arya," jawab Malaikat Ob-at Sakti bernada tak yakin.
"Kek...!"
Ucapan Sumbi membuat keheningan yang me-
lingkupi tempat itu sesaat setelah Malaikat Obat Sakti memberikan tanggapan,
terpecahkan. Malaikat Obat
Sakti menoleh ke arah Sumbi. Arya pun mengalihkan
perhatiannya pula.
"Kau tadi mengatakan kemampuanmu tak se-
berapa. Lalu bagaimana pula denganku" Kalau boleh
ku tahu, ucapan itu hanya sekadar sikap rendah hati atau karena ada hal-hal
lainnya?" Sumbi mengeluarkan perasaan yang mengganjal dadanya. Arya merasa
geli di dalam hati mendengar ucapan Sumbi. Sebagai
orang yang terbiasa merendahkan diri. Arya lebih condong menduga kalau ucapan
Malaikat Obat Sakti se-
bagai tanda sifat rendah hatinya. Lagi pula memang
harus diakui kalau di dunia persilatan terlalu banyak orang pandai. Sikap yang
ditunjukkan Malaikat Obat
Sakti adalah sikap yang biasa dimiliki tokoh-tokoh
yang tak merasa dirinya besar sendiri.
Malaikat Obat Sakti tak segera memberikan ja-
waban. Kakek itu malah menatap lekat-lekat wajah
Sumbi seperti hendak membaca isi hati gadis itu dengan sepasang matanya yang
tajam mencorong bak ma-
ta harimau dalam gelap.
"Apakah gurumu tak pernah menceritakan se-
suatu yang berkaitan dengan ucapanku ini?" Malaikat Obat Sakti malah balas
bertanya Jawaban kakek berjenggot panjang membuat
Dewa Arak terkejut. Hal ini sama sekali tak disang-
kanya. Arya jadi merasa tertarik. Ingin diketahuinya rahasia besar apakah yang
membuat kakek ahli pengobatan ini merasa kepandaian yang dimilikinya tak
berarti. Arya yakin hal ini sebuah rahasia karena
Sumbi sendiri tak diberitahu oleh gurunya.
Arya melihat dengan jelas Sumbi menggeleng,
Bahkan telinganya menangkap dengan jelas jawaban
Sumbi yang bernada keheranan.
"Tidak, Kek. Guru tak pernah bercerita apa-apa sehubungan dengan ucapanmu itu.
Guru hanya menceritakan tokoh-tokoh besar dunia persilatan. Juga
sahabat-sahabatnya seperti kau, Singa Berbulu Emas, dan Dewa Gila Tanpa
Bayangan. Diingatkan pula kalau beliau dan sahabat-sahabatnya bersepakat untuk
menentukan siapa yang lebih unggul melalui pertarungan murid masing-masing di
Puncak Dunia. Lain dari
itu tidak!"
Malaikat Obat Sakti menghela napas berat. Ka-
kek yang telah berusia hampir sembilan puluh tahun
namun masih memiliki kulit segar itu termenung se-
perti ada sesuatu yang memberatkan pikirannya.
"Apakah gurumu tak bercerita tantang tokoh
yang berjuluk Iblis Berkabung?" tanya Malaikat Obat Sakti yang rupanya masih tak
yakin dengan jawaban
Sumbi. Sumbi dengan tegas menggeleng.
"Kau pernah mendengar tokoh yang berjuluk
Iblis Berkabung, Arya?" Malaikat Obat Sakti mengalihkan pertanyaannya pada Dewa
Arak. "Tidak, Kek. Mendengarnya pun baru kali ini,"
Jawab Arya sejujurnya.
"Tak aneh kalau kau tak pernah mendengar
tentang tokoh yang berjuluk Iblis Berkabung itu, Arya,"
ucap Malaikat Obat Sakti setelah menghela napas be-
rat. "Karena memang telah hampir seratus tahun julukannya tak pernah terdengar
lagi. Mungkin yang ma-
sih ingat dengan tokoh yang luar biasa lihai itu hanya aku dan tiga datuk
lainnya termasuk gurumu, Sumbi."
"Sudah hampir seratus tahun tak pernah ter-
dengar lagi, Kek"!" Sumbi mengulang sebagian ucapan Malaikat Obat Sakti dengan
kening berkernyit dalam.
Nada suaranya pun menyiratkan keheranan besar.
Sumbi malah menganggap Malaikat Obat Sakti keliru
menyebutkan tahun.
"Benar, Sumbi. Seratus tahun," jawab kakek ahli obat itu menegaskan.
"Kalau demikian...," kali ini Arya yang memberikan tanggapan. "Iblis Berkabung
telah muncul di dunia persilatan sejak kau masih kecil, Kek?"
"Bukan hanya itu, Arya," kilah Malaikat Obat Sakti. "Iblis Berkabung telah
merajalela di dunia persilatan jauh sebelum aku lahir ke dunia ini!"
"Ahhh...!"
Arya dan Sumbi berdesah kaget hampir berba-
rengan. "Iblis Berkabung telah membuat kegemparan
sekitar dua ratus tahun lalu," tegas Malaikat Obat Sakti, "Ayahku yang
menceritakannya. Tepatnya, tokoh yang mengiriskan itu telah malang-melintang di
dunia persilatan di masa guru dari ayahku. Saat itu Iblis Berkabung benar-benar
di puncak kejayaannya. Tokoh
itu bukan hanya menjadi raja kaum sesat tapi juga
memiliki kerajaan. Belasan tahun Iblis Berkabung
menjadi raja di raja sebelum akhirnya kejayaannya be-rakhir. Beberapa buah
kerajaan bergabung dan ditam-
bah lagi dengan ratusan pendekar menyerbu kera-
jaannya, membuat Iblis Berkabung terlunta-lunta me-
larikan diri. Di pelariannya tokoh itu tewas di tangan belasan pendekar yang
mengeroyoknya. Dan salah sa-tu pengeroyoknya adalah guru dari ayahku."
"Jadi Iblis Berkabung telah tewas, Kek"!" tanya Sumbi dengan suara bergetar.
"Semula guru dari ayahku dan belasan tokoh
golongan putih lainnya menyangka demikian. Memang
setelah itu keadaan dunia persilatan tak sekacau sebelumnya. Jarang terjadi
tindak kejahatan yang semula terjadi di mana-mana. Tapi lima belas tahun
kemudian muncul lagi julukan Iblis Berkabung. Saat itu ayahku masih berguru pada
gurunya. Pembantaian terhadap
tokoh-tokoh golongan putih terjadi di mana-mana ka-
rena balas dendam Iblis Berkabung."
"Apakah Iblis Berkabung yang muncul belakan-
gan itu adalah Iblis Berkabung yang telah mati, Kek?"
tanya Sumbi lagi.
"Bukan."
"Lalu, mengapa julukannya sama dengan tokoh
terdahulu yang telah tewas?" desak Sumbi penasaran.
"Karena tokoh yang baru muncul ini memiliki
ciri-ciri dan ilmu yang sama dengan Iblis Berkabung sebelumnya. Tokoh ini pun
menggelari dirinya sendiri dengan julukan demikian. Mungkin Iblis Berkabung
yang kedua ini merupakan keturunan atau murid dari
Iblis Berkabung yang telah meninggal!" jelas Malaikat Obat Sakti.
Sumbi mengangguk-anggukkan kepala seperti
layaknya orang yang telah mengerti
"Dunia persilatan kembali kacau. Apalagi mun-
culnya Iblis Berkabung membuat tokoh-tokoh hitam
yang selama ini merasa gentar untuk membuat keka-
cauan muncul lagi dan menimbulkan korban di sana-
sini. Semula tokoh-tokoh hitam itu melakukan keka-
cauan secara sembunyi-sembunyi. Tapi kemunculan
Iblis Berkabung membuat mereka berani menciptakan


Dewa Arak 90 Iblis Berkabung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kekacauan secara terang-terangan."
Malaikat Obat Sakti menghentikan ucapannya
sejenak untuk mengambil napas.
"Guru ayahku kembali turun gunung. Bersama
dengan belasan tokoh golongan putih yang dulu mem-
bunuh Iblis Berkabung dibuatnya perangkap untuk
menjebak Iblis Berkabung yang baru. Jebakan yang
dibuat ternyata berhasil. Iblis Berkabung kedua ini pun tewas di tangan belasan
tokoh golongan putih."
"Syukurlah kalau demikian," ujar Sumbi dengan wajah berseri.
"Dunia kembali tenang. Tapi tiga puluh tahun
setelah itu kembali muncul Iblis Berkabung. Peristiwa seperti sebelumnya
terulang. Tokoh-tokoh golongan
putih yang telah bersiap-siap untuk beristirahat kembali turun tangan.
Kemunculan Iblis Berkabung yang
ketiga ini tak beda dengan yang kedua. Tokoh-tokoh persilatan yang menyebabkan
kematian Iblis Berkabung sebelumnya dibantai. Tokoh yang sudah tak ada
lagi yang mendapat pembalasan dendam adalah ketu-
runannya. Saat itu guru dari ayahku telah tewas kare-na usia tua. Ayahkulah yang
turun tangan. Ayahku
bekerja sama dengan enam tokoh golongan putih. Tiga di antaranya adalah guru
dari Singa Berbulu Emas,
ayah dari Pendekar Tangan Maut, dan guru dari Dewa
Gila Tanpa Bayangan."
"Apakah Iblis Berkabung berhasil dibunuh
Kek?" Sumbi yang tak sabaran segera mengajukan pertanyaan ketika dilihatnya
Malaikat Obat Sakti terdiam.
Malaikat Obat Sakti mengangguk. "Iblis Berka-
bung kali ini bernasib lebih sial. Dia belum lama muncul dan merajai dunia kaum
sesat. Tapi telah lebih du-lu tewas di tangan tujuh tokoh golongan putih yang
merupakan pentolan-pentolan dunia persilatan.
Sayang tiga di antara mereka harus gugur. Yang ber-
hasil selamat adalah ayah dan guru dari kami berem-
pat," ujar Malaikat Obat Sakti menutup ceritanya.
"Setelah itu apakah Iblis Berkabung muncul la-
gi?" kali ini Dewa Arak yang bertanya.
"Sampai saat ini belum, Arya," jawab Malaikat Obat Sakti. "Tapi aku yakin tokoh
itu akan muncul la-gi. Hanya entah kapan waktunya aku tak tahu."
"Menurutmu apakah Iblis Berkabung yang
muncul kedua dan seterusnya merupakan keturunan
dari Iblis Berkabung yang pertama, Kek?" tanya Arya lagi. "Entahlah, Arya.
Semula guru dari ayahku mengira demikian. Tapi mengapa keturunan itu tak
pernah putus" Mungkinkah setiap Iblis Berkabung
yang muncul selalu meninggalkan anak atau murid le-
laki" Aku sendiri jadi merasa heran. Tapi mudah-
mudahan saja demikian dan ketidakmunculan Iblis
Berkabung selanjutnya karena tak ada lagi keturu-
nannya," harap Malaikat Obat Sakti.
Suasana menjadi hening setelah Malaikat Obat
Sakti selesai berbicara. Masing-masing tenggelam dalam alun pikirannya.
"Itukah alasannya kau menganggap kemam-
puan yang kau miliki tak seberapa, Kek?" celetuk Sumbi memecahkan keheningan
yang mencekik. "Benar, Sumbi. Kemampuan yang kumiliki te-
rus terang masih belum mencapai tingkatan ayahku.
Dan menurut dugaanku tingkat gurumu dan dua da-
tuk lainnya pun demikian. Padahal Iblis Berkabung sa-ja dulu dikeroyok oleh
tujuh pentolan persilatan baru bisa dikalahkan. Bagaimana pula jika hanya aku
sendiri yang diperbandingkan dengan Iblis Berkabung?"
urai Malaikat Obat Sakti.
"Tapi bukan mustahil Iblis Berkabung yang
akan muncul ke dunia persilatan nanti kepandaian
yang dimilikinya lebih rendah dari yang sebelumnya,"
Sumbi mengajukan pendapatnya.
"Itulah yang aneh untuk dipikirkan, Sumbi,
Arya," keluh Malaikat Obat Sakti. "Tingkat kepandaian Iblis Berkabung dari yang
pertama sampai yang terakhir tidak semakin rendah melainkan semakin mening-
gi. Guru dari ayahku lebih lihai dan gurunya, karena ayah belajar tidak pada
satu guru. Mungkin tingkatku hanya menyamai guru ayahku. Kalau Iblis Berkabung
muncul lagi dengan kemampuan seperti yang pertama
saja aku bukanlah apa, apa baginya."
Sumbi pun diam karena bisa merasakan kebe-
naran yang tak dapat dibantah dalam ucapan Malaikat Obat Sakti. Arya juga
membisu memikirkan ucapan
Malaikat Obat Sakti. Tiba-tiba terbersit satu pikiran di benak Arya.
"Kok, tadi kau katakan aku telah bebas dari
pengaruh racun. Bagaimana aku bisa yakin kalau
ucapanmu benar. Maaf Kek, bukannya aku tak mem-
percayai ucapanmu atau meragukan kemampuan pen-
gobatanmu. Tapi aku sudah dua kali tertipu." Secara singkat dan jelas Arya
kemudian menceritakan kejadian yang dialaminya.
"Sewaktu tenagamu pulih kembali setelah men-
gusir racun itu dengan semadi dan juga dengan arak
dari gucimu, bukankah kau mengerahkan tenaga da-
lam?" Pertanyaan Malaikat Obat Sakti itu dijawab Arya dengan anggukan kepala.
"Apakah kau merasakan adanya denyut di ma-
tamu, meski hanya sebentar?"
"Benar, Kek," jawab Arya singkat.
"Nah! Itulah pertanda kalau racun masih bersa-
rang di tubuhmu, Arya. Racun ini memang luar biasa.
Tak bisa terusir tuntas oleh pengerahan hawa murni
atau sembarang obat. Obat itu harus khusus karena
racun ini pun jarang didapat. Adanya hanya di sekitar Laut Selatan dan terdapat
pada seekor ikan pari yang muncul setiap lima tahun sekali. Ikan pari merah!
Ikan yang mungkin belum pernah kau lihat seumur hidupmu." Arya dan Sumbi tampak
mengerahkan tenaga dalam mereka. Denyut seperti yang dikatakan Malaikat Obat
Sakti tak dirasakan lagi.
"Kau harus menunggu beberapa hari agar tena-
gamu pulih kembali seperti sedia kala, Arya. Racun itu memang tak bisa terusir
seluruhnya secara sekaligus.
Racun itu keluar sedikit demi sedikit di saat kau ber-napas," tambah Malaikat
Obat Sakti. Arya dan Sumbi mengangguk-anggukan kepala
mengerti. "Ah, ya...! Aku hampir lupa akan dirimu, Arya.
Apakah maksud kedatanganmu kemari" O ya, aku in-
gat. Tapi aku masih belum tahu tokoh yang kau mak-
sudkan sebagai ayahmu itu."
"Beliau berjuluk Pendekar Ruyung Maut, tapi
namanya adalah Tribuana," beritahu Arya.
"Tribuana?" ulang Malaikat Obat Sakti dengan wajah berseri. "Ah betapa pikunnya
aku, Arya. Padahal sejak pertama kali melihatmu aku merasa mengenal
dirimu. Wajahmu amat mirip sekali dengan Tribuana.
Beliau seorang pendekar yang mengagumkan, Arya.
Dulu sebelum meninggalkan tempat ini memintaku
untuk memberikan nama pada anaknya jika dia meni-
kah nanti. Lalu ku usulkan saja nama Arya. Tribuana berjanji untuk memenuhi
usulku. Malah dia bermaksud menambahkan kata Buana di belakang nama
Arya. Apakah kau mempunyai nama lengkap Arya Bu-
ana?" Arya mengangguk seraya tersenyum lebar.
"Sungguh tak kusangka Tribuana akan mene-
pati janjinya," gumam Malaikat Obat Sakti setengah tak percaya. Sepasang matanya
dilayangkan ke langit-langit seakan di sana tertera gambar Pendekar Ruyung Maut.
(Untuk jelasnya mengenai tokoh yang berjuluk
Pendekar Ruyung Maut, silakan baca serial Dewa Arak episode: "Pedang Bintang").
Arya membiarkan saja Malaikat Obat Sakti
tenggelam dalam lamunannya.
"Bagaimana kabar Tribuana sekarang, Arya"
Ah, betapa rinduku kepadanya. Puluhan tahun la-
manya dia meninggalkan tempat ini. Ayahmu seorang
yang berwatak baik, Arya. Berbanggalah kau memiliki ayah sepertinya," ujar
Malaikat Obat Sakti kemudian setelah tersadar dari lamunannya.
"Beliau telah gugur, Kek," beritahu Arya tenang.
Luka hatinya akibat kematian ayahnya telah tak terasa lagi. Kendati memang harus
diakui Arya kalau rasa se-dihnya sulit untuk dilenyapkan.
Seperti yang telah diduga Arya, Malaikat Obat
Sakti tak terlihat menampakkan keterkejutan di wa-
jahnya. Bagi orang seperti kakek berjenggot panjang ini guncangan perasaan yang
melanda hati bisa diredam-nya hingga tak tampak di wajah. Tanpa dimintai Arya
kemudian menceritakan semua kejadian yang menyebabkan ayahnya tewas. Malaikat
Obat Sakti menden-
garkannya dengan penuh perhatian (Untuk jelasnya silakan baca episode perdana
Dewa Arak: "Pedang Bintang"). "Aku bangga dan merasa ikut bahagia Tribuana bisa
menurunkan seorang pendekar muda sepertinya.
Kau tak ubahnya dia di waktu muda, Arya," ucap Malaikat Obat Sakti setelah Arya
menyelesaikan ceri-
tanya. Arya hanya tersenyum. Sumbi pun ikut terse-
nyum. Kemudian gadis ini mengerling ke arah Arya.
"Terima kasih atas pertolongan yang kau beri-
kan padaku, Arya," ucap Sumbi.
Murid Pendekar Seribu Tangan ini memang ta-
hu kalau Dewa Arak yang menolongnya dari ancaman
maut Raja Laut Bermuka Setan. Hanya saja dia tak ta-hu kalau wajah Dewa Arak
pernah mampir di dadanya!
"Pertolongan macam apa, Sumbi" Aku pun
mendapatkan pertolongan yang sama dari Malaikat
Obat Sakti. Beliaulah yang patut kau ucapkan terima kasih." Baru saja Arya
menyelesaikan ucapannya, ter-dengarlah bunyi tawa yang menggelegar. Keras bukan
main sehingga mampu membuat pondok tempat Ma-
laikat Obat Sakti, Arya, dan Sumbi berada berguncang bagai digoyang-goyangkan.
Arya saling berpandangan dengan Malaikat Ob-
at Sakti. Wajah kedua tokoh ini tampak memancarkan
keterkejutan besar. Bunyi tawa yang membuat pondok
itu bergoncang keras dan mungkin akan roboh menja-
di pertanda kalau pemilik tawa memiliki tenaga dalam sukar diukur. Yang lebih
mengagetkan lagi adalah tak adanya pengaruh sedikit pun pada diri mereka
bertiga! Kenyataan ini menunjukkan pada Dewa Arak
dan Malaikat Obat Sakti kalau pemilik tawa benar-
benar memiliki kepandaian yang tak masuk di akal.
Tenaga dalamnya dapat digunakan untuk memporak-
porandakan pondok tanpa mengganggu penghuninya!
*** 5 Sumbi yang masih kurang pengalaman segera
bangkit dari berbaringnya. Wajah gadis ini menampakkan ketegangan hebat Dia
duduk di atas balai-balai
dengan kedua kaki terjulur. Ditatapnya Dewa Arak dan Malaikat Obat Sakti. Dua
tokoh itu tetap tenang di
tempatnya. Arya masih terbaring di balai-balai, se-
dangkan Malaikat Obat Sakti tetap duduk di kursinya.
Kedua tokoh ini bersikap seakan tidak terjadi apa-apa.
Sumbi jadi malu hati. Maka maksudnya untuk me-
ninggalkan balai-balai diurungkan. Gadis ini tetap duduk dengan kedua kaki
terjulur. Ketenangan sikap Arya dan Malaikat Obat Sakti
karena tahu kalau pemilik tawa hanya bermaksud
memporak-porandakan pondok, tapi tidak untuk me-
robohkannya. Pengalaman yang mengajarkan pada
dua tokoh ini untuk bisa mengetahuinya. Rupanya ada tokoh hebat yang hendak
menjumpai mereka dengan
lebih dulu mempertunjukkan kemampuannya.
Dugaan Dewa Arak dan Malaikat Obat Sakti
memang tak keliru. Setelah beberapa saat terguncang-guncang bagian pondok itu
beterbangan meninggalkan
tempatnya. Mula-mula atap pondok yang terbuat dari
rumbia, kemudian disusul dengan dinding-dindingnya
yang terbuat dari papan.
Sumbi sampai terlonjak kaget ketika melihat
bahan pondok beterbangan. Hal ini membuat Malaikat
Obat Sakti dan kedua tamunya tak tertutup pondok
lagi. Ketiganya tegap di tempat masing-masing, di balai-balai dan kursi. Hanya
saja sekarang sekeliling mereka adalah hamparan tanah lapang yang luas.
Sumbi tak tahan untuk tidak membelalakkan
sepasang matanya. Potongan-potongan pondok yang
beterbangan itu membentuk pondok lagi! Jarak pon-
dok baru ini sekitar sepuluh tombak dari tempat se-
mula. Dewa Arak dan Malaikat Obat Sakti terlihat tak menunjukkan kekaguman.
Padahal, di dalam hati kedua tokoh ini merasa terkejut bukan main. Pertunju-
kan yang dilakukan oleh pemilik tawa itu memang terlalu luar biasa. Dengan hanya
mempergunakan tawa
mampu memporak-porandakan pondok dan melem-
parkannya sejauh beberapa tombak untuk kemudian
membentuknya kembali! Benar-benar sebuah pertun-
jukan tenaga dalam yang amat luar biasa.
Malaikat Obat Sakti merasakan ketegangan be-
sar merayapi hatinya. Harus diakuinya kalau dirinya tak akan sanggup melakukan
tindakan demikian. Di
lain pihak, Dewa Arak pun merasa ragu akan dapat
berbuat seperti itu.
Tempat di mana seharusnya terdapat pintu
pondok berdiri sesosok tubuh tinggi kurus. Pakaiannya serba putih dan berkibaran
ditiup oleh angin. Sosok yang diyakini Malaikat Obat Sakti, Dewa Arak, dan
Sumbi sebagai lelaki ini sukar untuk diterka usianya.
Wajahnya terlihat amat putih seperti dicat dengan kapur. Sepasang matanya yang
bersinar kehijauan dan
menyorotkan sinar tajam menusuk tampak menye-
ramkan, karena sepasang alisnya menukik tajam ke
tengah-tengah. Lelaki ini kelihatan mengiriskan jantung. Sumbi merasa ngeri
melihatnya. Di dalam hati dia hams mengakui kalau bertemu lelaki berpakaian
putih ini sendirian di malam hari, akan ketakutan setengah mati. Lelaki
berpakaian serba putih ini lebih mirip siluman daripada seorang manusia.
"Iblis Berkabung...!" desis Malaikat Obat Sakti dengan suara tercekik di
tenggorokan. Nada ucapan
kakek ini menyiratkan kegentaran.
Sumbi yang memang sudah merasa gentar me-
lihat tindakan dan ciri-ciri pemilik tawa semakin ciut nyalinya begitu
mengetahui kalau lelaki berpakaian
serba putih ini adalah Iblis Berkabung.
Dewa Arak juga terkejut bukan main menden-
garnya. Sekarang baru disaksikan sendiri kebenaran
ucapan Malaikat Obat Sakti. Iblis Berkabung memang
seorang tokoh sesat yang luar biasa lihai. Pemuda berambut putih keperakan ini
merasa menyesal saat ini keadaannya tak memungkinkan untuk bertarung. Apalagi
jika lawan yang dihadapi sehebat Iblis Berkabung.
Arya tiba-tiba mengkhawatirkan keselamatan Malaikat Obat Sakti.
"Inikah Iblis Berkabung yang kau ceritakan itu,
Kek?" tanya Arya untuk memastikan.
"Benar," jawab Malaikat Obat Sakti dengan suara seperti keluhan. "Dialah Iblis
Berkabung. Ayahku telah menceritakan semua ciri-cirinya. Selagi masih ada


Dewa Arak 90 Iblis Berkabung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kesempatan segeralah kabur dari sini, Arya. Ajak pula Sumbi. Aku akan mencoba
untuk menahannya.
Cepat. Sebelum terlambat...!"
"Ha ha ha....!"
Iblis Berkabung tertawa bergelak. Tokoh yang
mengerikan ini sejak tadi tak segera melakukan tindakan. Dia malah menyapu
wajah-wajah yang berada di
depannya dengan pandangan mata. Baru setelah dira-
sa cukup perhatiannya dialihkan pada Malaikat Obat
Sakti seraya mengumbar tawa.
"Apakah kau yang berjuluk Malaikat Obat Sak-
ti" Keturunan dari tokoh-tokoh pengecut yang telah
membunuh Iblis Berkabung terdahulu"!"
"Tidak salah!" jawab Malaikat Obat Sakti me-mantapkan suaranya. "Aku memang
Malaikat Obat Sakti, dan keturunan dari pendekar yang telah mele-
nyapkan Iblis Berkabung leluhurmu.!"
"Begitukah"!" dengus Iblis Berkabung dengan suara yang tak mirip manusia, tapi
seperti hantu penghuni kuburan, "Sekarang kau yang akan menebus kesalahan leluhurmu itu,
Manusia Goblok!"
"Kau keliru, Iblis!" sentak Malaikat Obat Sakti tak mau kalah gertak. "Akulah
yang akan mengirim kau ke neraka menyusul leluhur-leluhurmu!"
Malaikat Obat Sakti kemudian melompat me-
nerjang. Tapi di pertengahan jalan tubuhnya digulingkan dan begitu bangkit,
masih dengan kuda-kuda ren-
dah, dikirimkannya gedoran ke arah pusar Iblis Berkabung dengan jari-jari
terkepal! Iblis Berkabung yang sejak tadi tak bergeming
dari tempatnya mendengus melihat serangan itu. Ke-
mudian kepalan tangannya dihentakkan memapaki se-
rangan Malaikat Obat Sakti.
Bresss! "Kek...!"
Seruan bernada kekhawatiran itu keluar dari
mulut Dewa Arak dan Sumbi. Mereka melihat tubuh
Malaikat Obat Sakti terpental dan terguling-guling ke belakang setelah benturan
terjadi. Di lain pihak, Iblis Berkabung sedikit pun tak bergeming!
Arya dan Sumbi bangkit dari balai-balai dan
bersiap untuk membantu Malaikat Obat Sakti mela-
wan tokoh sesat yang demikian tangguh itu. Kedua
muda-mudi ini tak memperhatikan lagi kalau keadaan
mereka tak memungkinkan untuk bertarung.
Apalagi menghadapi tokoh selihai Iblis Berka-
bung. Malah, Sumbi lupa dengan rasa takutnya karena kekhawatiran yang besar
terhadap keselamatan Malaikat Obat Sakti.
"Tidak usah pikirkan aku!" sentak Malaikat Ob-at Sakti. "Cepat kalian tinggalkan
tempat ini!"
Malaikat Obat Sakti kembali menerjang Iblis
Berkabung. Kali ini mempergunakan sepasang ka-
kinya. Sedapat mungkin kakek ini berusaha untuk
menyembunyikan dari pandangan Arya dan Sumbi
akan malapetaka yang menimpa tangan kanannya.
Tangan itu hancur lebur tulang-tulangnya dan rasa
nyeri yang luar biasa mendera. Namun Malaikat Obat
Sakti berusaha keras tak mengeluarkan keluhan. Bah-
kan menyeringai pun, tidak!
Dewa Arak dan Sumbi saling berpandangan.
Sepasang muda-mudi ini teringat kembali den-
gan keadaan mereka setelah mendengar seruan Malai-
kat Obat Sakti. Mereka tahu kalau kemampuannya se-
karang tak ada artinya sama sekali. Sungguh pun
demikian untuk membiarkan saja Malaikat Obat Sakti
menentang maut sendirian mereka merasa tak tega.
Bagaimana mungkin meninggalkan Malaikat Obat Sak-
ti yang telah menyelamatkan nyawa mereka dari ma-
laikat maut"
"Kurasa kau saja yang pergi, Sumbi. Akan ku
usahakan untuk membantu Malaikat Obat Sakti," ujar Arya memberi saran.
"Enak saja! Kau kira hanya dirimu saja yang
berwatak gagah, Dewa Arak" Aku pun bukan seorang
pengecut! Kau saja yang menyelamatkan diri biar aku yang membantu Malaikat Obat
Sakti!" bantah Sumbi tak mau kalah.
Arya pun terdiam. Disadari tak ada gunanya
melanjutkan perdebatan. Pemuda berambut putih ke-
perakan ini segera melesat menghampiri kancah pertarungan dengan diikuti oleh
Sumbi. Malaikat Obat Sakti tentu saja melihat tinda-
kan itu, namun kakek ini tak berkata apa-apa lagi.
Akan sia-sia saja menyuruh kedua muda-mudi itu per-
gi. Mereka tak akan mau menurutinya. Maka tak dis-
erukannya lagi teriakan untuk mencegah. Dia malah
kemudian memusatkan perhatian untuk menyerang
Iblis Berkabung.
Selama beberapa gebrakan Iblis Berkabung
mengelak ke sana kemari. Hanya gerakan-gerakan se-
derhana yang dilakukannya karena tanpa berpindah
tempat. Tapi tak satu pun serangan Malaikat Obat
Sakti yang mengenai sasaran. Semuanya kandas dan
menghantam tempat kosong.
"Kuras seluruh kemampuanmu, Tua Bangka"
Hanya sampai di sini sajakah kemampuan yang kau
miliki"!" ejek Iblis Berkabung sambil mengelakkan se-
tiap serangan yang datang.
Tokoh sesat yang mengiriskan itu rupanya tak
ingin segera menamatkan riwayat Malaikat Obat Sakti.
Kakek ahli pengobatan itu dipermainkannya lebih dulu sebelum dibunuh, persis
tingkah seekor kucing sewaktu mendapatkan mangsa.
Lima jurus Malaikat Obat Sakti menyerang
tanpa hasil. Dan kenyataan ini membuat datuk persi-
latan golongan putih ini merasa tersinggung bukan
main. Tingkah Iblis Berkabung jelas-jelas meremehkan dirinya. Maka serangan-
serangan yang dilancarkan
kemudian lebih dahsyat. Kakek berjenggot panjang ini tak mempedulikan pertahanan
diri lagi, yang dititikbe-ratkan hanya pada menyerang.
Beberapa tombak dari kancah pertarungan De-
wa Arak dan Sumbi memperhatikan jalannya pertem-
puran. Sepasang muda-mudi ini belum terjun mem-
bantu Malaikat Obat Sakti. Masing-masing mempunyai
alasan yang berbeda.
Sumbi tak segera turun tangan karena merasa
heran. Menurut penglihatannya, Malaikat Obat Sakti
berada di pihak yang mendesak. Pandangan Sumbi
memang belum mampu untuk dapat melihat dengan
jelas gerakan tokoh-tokoh yang tengah terlibat pertarungan. Gerakan Malaikat
Obat Sakti dan Iblis Berkabung terlalu cepat untuk diikuti sepasang matanya.
Yang dilihatnya hanya bayangan kecoklatan yang te-
rus-menerus bergerak melancarkan serangan.
Tak demikian penilaian yang didapat Dewa
Arak. Pemuda berambut putih keperakan itu harus
Pedang Hati Suci 11 Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Bentrok Rimba Persilatan 2
^