Pencarian

Tujuh Satria Perkasa 2

Pendekar Naga Putih 82 Tujuh Satria Perkasa Bagian 2


biasa menggembalakan sapi.
Rombongan penunggang kuda yang melakukan
pengejaran terhadap Ekalana, terpaksa kembali ke peternakan. Karena mereka
kehilangan jejak buruannya.
"Hm..., tidak perlu dikhawatirkan. Paling-paling
mereka cuma pekerja-pekerja tolol yang tak perlu ditakuti...," ujar lelaki gemuk
berkumis lebat ketika salah
seorang anggota rombongan melaporkan bahwa mereka kehilangan jejak. Tanpa
berkata apa-apa lagi, ia segera mengajak pengikut-pengikutnya untuk meninggalkan
tempat itu. Tak lupa mereka membawa barangbarang berharga dari dalam rumah
Juragan Mahinta.
*** 4 "Bagaimana Ekalana, dapatkah kau mengenali mereka?"
Ekalana baru saja tiba di padang rumput tempat
keenam kawan-kawannya berkumpul. Kedatangannya
langsung disambut dengan pertanyaan Saranggi. Pemuda tampan berwajah dingin yang
tetap tidak kehilangan sikap angkuhnya ini, dikerumuni kawankawannya.
"Hhh..., sulit sekali untuk kupercaya...," desah
Ekalana membuat keenam kawannya sama mengerutkan kening. Mereka tidak paham ke
mana arah perkataan pemuda itu.
"Apa maksudmu, Ekalana..."!" Jirana bertanya heran.
Ekalana kembali menghela napas panjang. Kemu-
dian menatap wajah keenam rekannya satu persatu.
"Apakah di antara kalian ada yang pernah mendengar tentang sekelompok perampok
yang menamakan dirinya Gerombolan Clurit Hitam...?" Tanya Ekalana yang sebelum
menjawab pertanyaan Jirana, yang
juga menjadi pertanyaan bagi lainnya.
"Hm... aku pernah mendengarnya," jawab Saranggi
agak ragu, "Tapi itu sudah lama sekali...."
"Itulah yang membuat aku bingung," tukas Ekalana seraya menghembuskan napas
berat. "Maksudmu...?" Saranggi menatap Ekalana lekatlekat. Meskipun sudah dapat meraba,
namun ia ingin kepastian dari rekannya itu.
"Ya. Orang-orang yang menyiksa dan membunuh
majikan kita adalah Gerombolan Clurit Hitam!" jawab
Ekalana tandas, "Yang membuat aku bingung, mengapa gerombolan itu tahu-tahu
muncul setelah sekian
tahun tidak terdengar sepak terjangnya" Bahkan terbetik kabar yang sampai ke
telingaku bahwa gerombolan itu telah lama bubar....?"
"Apa mereka sengaja menyamar agar tak dikenali...?" tukas Jirana menimpali!
'Tidak mungkin!" bantah Ekalana, "Sejak berusia
tiga belas tahun aku telah mulai merantau. Dan aku
pernah berjumpa dengan gerombolan itu beberapa
kali, dalam usia tujuh belas tahun. Aku memang gemar berpetualang dan
mempelajari berbagai macam
ilmu silat..," mendadak saja Ekalana menghentikan
ucapannya. Wajahnya tiba-tiba termenung. Keningnya
berkerut dalam seperti tengah berpikir keras, karena
teringat sesuatu.
"Ada apa, Ekalana..."!" Tanya Saranggi dengan
kening berkerut. Disentuhnya lengan Ekalana dengan
maksud untuk menyadarkan, karena Ekalana ter-
menung cukup lama. Hal itu membuat kawan-kawannya tampak khawatir.
"Kalian... apakah kalian juga melihat lelaki gemuk
berkumis lebat yang kemungkinan besar merupakan
pimpinan mereka...?" Tanya Ekalana tiba-tiba, hingga
membuat kawan-kawannya agak kaget. Terutama Saranggi, yang berada paling dekat
dengannya. 'Ya, aku memang melihatnya. Bahkan sempat
memperhatikan beberapa lama," sahut lelaki jangkung
itu. "Aku juga melihatnya...," Jirana dan Maladi menjawab hampir bersamaan.
"Hm...," Ekalana hanya bergumam. Kemudian melangkah perlahan dengan kepala
tertunduk. "Rasanya
aku pernah bertemu dengan orang itu, jauh sebelum
hari naas yang hampir membuat aku tewas... Ya! Aku
ingat sekarang! Lelaki gemuk berkumis lebat itu kalau
tidak salah bernama Jaro Labang. "
"Jaro Labang"!"
Saranggi dan kelima orang pemuda lainnya mengulang nama itu dengan kening
berkerut. Akan tetapi
meskipun mereka memeras otak untuk mengingat kapan dan di mana pernah mendengar
nama itu, tetap
saja buntu. "Benar, tidak salah lagi!" ujar Ekalana sambil mengepalkan tinjunya erat-erat.
"Hanya saja hal ini sangat
membingungkan. Sebab, Jaro Labang adalah seorang
ketua perkumpulan pengawal barang yang berdiri di
bawah bendera Garuda Emas," lanjut Ekalana agak
ragu, khawatir salah mengenali orang.
"Bagaimana kalau kita selidiki dulu orang yang
bernama Jaro Labang itu?" Saranggi mengusulkan.
"Benar. Karena saat ini hanya orang itulah satusatunya petunjuk buat kita,"
Maladi menimpali.
Empat orang lainnya sama-sama mengangguk setuju.
"Kalau begitu, kita harus mengatur siasat," Sudana
yang sejak tadi hanya diam mendengarkan, ikut mengajukan usul.
Ekalana, Saranggi, dan yang lainnya menyetujui.
"Bagaimana dengan ternak-ternak majikan kita?"
Jirana mengingatkan peninggalan Juragan Mahinta
yang tidak mungkin diabaikan begitu saja.
"Kita jual saja kepada Juragan Baswara," usul Saranggi.
Pada mulanya Ekalana kurang setuju dengan usul
Saranggi, karena merasa tidak berhak atas benda majikannya itu. Namun karena
yang lain pun mengusulkan begitu akhirnya pemuda itu menyetujui. Digiringlah
sapi-sapi Juragan Mahinta yang berjumlah sekitar
seratus ekor kembali ke peternakan.
*** Tiba di peternakan, Saranggi dan kawan-kawannya merasa kaget. Di halaman depan
rumah Juragan Mahinta telah berkumpul banyak orang. Lebih kaget
lagi ketika mengetahui bahwa yang berkumpul di sana
ternyata Juragan Baswara bersama belasan orang tukang pukulnya. Tampak pula di
antara mereka Kepala
Desa Sindang Laya, Ki Windudarta.
"Apa maksudmu datang ke tempat ini, Tuan Baswara?" Tanya Saranggi yang sedikit
banyak memang menaruh curiga terhadap saingan majikannya itu. Kecurigaannya semakin bertambah
dengan kemunculan
orang itu di tanah peternakan, tepat setelah kematian
Juragan Mahinta. Seketika itu juga, terlintas di pikirannya bahwa Juragan
Baswara diduga mempunyai
hubungan atas kejadian yang menimpa majikannya.
Ditatap secara demikian oleh Saranggi, Juragan
Baswara terdengar menggeram gusar. Biasanya ia selalu dihormati dan ditakuti
orang. Selama ini, tak satu
manusia pun di wilayah Desa Sindang Laya dan sekitarnya yang berani menentang
pandang matanya.
Bahkan Ki Windudarta, yang telah banyak dijejalinya
dengan kepingan uang emas maupun barang-barang
berharga. Tentu saja sikap Saranggi membuatnya naik
darah. "Hm..., kau menuduhku sebagai dalang pembunuhan ini?" geram Juragan Baswara
dengan mata melotot. Kedua lengannya tampak menegang, siap meninju
wajah menjengkelkan di hadapannya.
"Aku tak mengatakan demikian. Tapi kalau kau
merasa demikian, itu bagus!" tukas Saranggi tetap menentang pandang mata Juragan
Baswara tanpa merasa gentar sedikit pun.
"Kurang ajar! Berani benar kau berkata selancang
itu kepadaku!" hardik Juragan Baswara yang sudah
mengangkat tangannya hendak menghantam wajah
Saranggi. Saranggi mundur dua langkah. Otot-otot tubuhnya
menegang, siap menghadapi orang yang memang sangat dibencinya itu.
Melihat ketegangan yang terjadi, Ekalana dan lima
orang pemuda lain bergerak menyebar. Mereka siap
menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi.
Bahkan tangan kanan keenam pemuda itu sudah meraba gagang senjata masing-masing.
Pihak Juragan Baswara pun tak tinggal diam. Belasan orang tukang pukulnya sudah
bergerak maju, siap melindungi sang Majikan. Hal itu membuat ketegangan semakin memuncak.
Namun, sebelum kete-
gangan pecah menjadi perkelahian, terdengar sebuah
seruan keras. 'Tahan...!"
Suara bentakan keras itu ternyata berasal dari mulut Ki Windudarta. Kepala Desa
Sindang Laya langsung
menyeruak di antara kedua pihak yang sudah siap saling tempur.
"Saranggi, jaga sikapmu!" tegur Ki Windudarta kepada Saranggi. Dianggapnya
pemuda jangkung itulah
yang lebih dulu memulai perkara. "Kami sama sekali
tak tahu menahu tentang kejadian ini. Dan kami pun
turut merasa prihatin dengan musibah yang menimpa
majikan kalian. Kalaupun kami datang pada saat yang
bertepatan dengan kejadian ini, itu bukan berarti bahwa Juragan Baswara ingin
melihat hasil pekerjaannya
seperti apa yang ada dalam pikiranmu. Beliau sengaja
datang untuk meminta maaf atas peristiwa beberapa
malam yang lalu, sewaktu pesta panen di balai desa,"
lanjut Ki Windudarta memberi penjelasan kepada Saranggi dan enam orang pekerja
Juragan Mahinta lainnya.
"Baiklah, kami terima permintaan maafnya. Sekarang harap Ki Windudarta membawa
mereka meninggalkan tempat ini. Aku dan kawan-kawan hendak
mengurus mayat Ki Mahinta. Dan kami tak ingin diganggu lebih lama lagi," ujar
Saranggi. Bagaimanapun, dirinya tetap menaruh hormat kepada Kepala Desa Sindang Laya.
Meskipun tahu bahwa Ki Windudarta berada di pihak Juragan Baswara.
Namun, karena persoalannya belum jelas, Saranggi tak
bisa berbuat apa-apa, kecuali suatu janji dalam hatinya. Jika ternyata Juragan
Baswara yang menjadi dalang kematian Juragan Mahinta, hatinya telah bersumpah
akan menuntut balas kepada Juragan Baswa-
ra, juga Ki Windudarta.
Merasa maklum dengan apa yang dirasakan para
pekerja Juragan Mahinta, Ki Windudarta memenuhi
permintaan Saranggi. Setelah menyampaikan rasa duka citanya, lelaki tua yang
masih gagah ini segera
mengajak Juragan Baswara. dan rombongan untuk
meninggalkan tempat itu.
"Tuan Baswara, harap tunggu sebentar...!"
Saat rombongan bergerak, tiba-tiba Ekalana berseru memanggil Juragan Baswara.
Kemudian pemuda ini
berlari mengejar dan menghampiri Juragan Baswara.
"Aku ingin menjual tempat ini beserta ternakternak yang ada," ujar Ekalana
setelah teringat akan
kata sepakat yang telah dibuat bersama kawankawannya.
"Hm.... Kau sungguh-sungguh?" Tanya Juragan
Baswara menyembunyikan senyum liciknya.
Ekalana mengangguk pasti. Juragan Baswara menyebutkan sejumlah uang untuk
pembayaran. Meski
tawaran yang diajukan lebih rendah dari semestinya,
Ekalana tidak berkata apa-apa. Dirinya langsung menyetujui.
"Boleh aku mengajukan permintaan, Tuan?" Tanya
Ekalana setelah mereka mendapatkan kata sepakat.
"Silakan!"
"Sebagai pembayarannya, aku minta agar seperempatnya berupa uang. Sedang
selebihnya emas
murni," ujar Ekalana.
"Baik," meskipun agak heran, Juragan Baswara
langsung menyetujui. "Datanglah besok ke rumahku!"
Juragan Baswara tersenyum. Kemudian bergerak
bersama rombongan meninggalkan pekarangan Juragan Mahinta diiringi pandang mata
Ekalana dan kawan-kawannya.
*** Pagi-pagi sekali, ketujuh pekerja Juragan Mahinta
telah sibuk berkemas. Dua orang pembantu wanita
yang selama ini bekerja mengurus rumah diberi bekal
cukup banyak. Kemudian dipersilakan meninggalkan
tempat untuk mencari kehidupan di tempat lain. Sedangkan mereka bertujuh,
berangkat menuju tempat
kediaman Juragan Baswara, dengan menunggang kuda.
Kedatangan Saranggi, Ekalana, Sudana, Rapati,
Sabung Waluya, Maladi, dan Jirana, disambut ramah
oleh Juragan Baswara. Keuntungan besar yang diperoleh, membuat wajah Juragan
Baswara tak pernah kehilangan senyum.
"Kalau boleh aku tahu, hendak pergi ke manakah
kalian?" Tanya Juragan Baswara sewaktu Ekalana dan
Saranggi menghitung uang pembayaran yang mereka
terima. "Kami hendak menemui Jaro Labang," Ekalana
mendahului menjawab seraya mengangkat wajah dan
menatap Juragan Baswara.
"Jaro Labang?" gumam Juragan Baswara yang sekejap kelihatan agak kaget. Namun,
hal itu dapat tertangkap mata Ekalana yang tajam. "Kalau tak salah,
orang yang bernama Jaro Labang itu Ketua Perkumpulan Pengawal Barang Garuda
Emas. Hendak kalian kirim ke mana uang dan emas itu?"
"Jadi, Tuan Baswara mengenalnya?" kali ini Saranggi yang bertanya. Baik nada
bicara maupun wajahnya sama sekali tak menunjukkan perasaan curiga.
Hingga, Juragan Baswara merasa lega.
'Tentu saja aku mengenalnya. Bahkan beberapa
kali aku mempercayakan barang kiriman ku kepa-
danya," jawab Juragan Baswara tersenyum.
Saranggi dan Ekalana tidak berkata apa-apa lagi.
Setelah menghitung uang pembayaran, mereka mohon
diri kepada Juragan Baswara. Keduanya melompat ke
atas punggung kuda, diikuti kawan-kawannya yang
lain, kecuali Jirana. Pemuda bertubuh kekar itu tampak masih berdiri di depan
pintu sambil memandang
ke dalam. Sepertinya ia tengah mencari-cari sesuatu.
"Jirana, ayo kita berangkat!' panggil Ekalana, menyadarkan Jirana. Dia menduga
Jirana tengah mencari sosok gadis cantik berkebaya putih, pasangan menarinya
sewaktu di pesta panen. Ekalana sendiri tak melihat gadis itu sewaktu berada di
dalam rumah. Sehingga menduga bahwa Juragan Baswara mungkin
sengaja menyembunyikannya.
Seperti orang linglung, Jirana menoleh ke arah kawan-kawannya yang sudah siap
berangkat. Kemudian
melangkah gontai menghampiri kudanya. Kemudian


Pendekar Naga Putih 82 Tujuh Satria Perkasa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketujuh orang pemuda itu sudah menggebah kuda
masing-masing meninggalkan wilayah Desa Sindang
Laya. Hari hampir gelap saat ketujuh orang pemuda ini
memasuki wilayah Desa Babakan. Mereka pun memperlahan lari kuda, karena jalan
utama desa agak ramai oleh para petani yang kembali dari sawah.
"Kau yakin Jaro Labang tinggal di Desa Babakan
ini, Ekalana?" Tanya Saranggi sekadar memastikan kalau mereka tidak salah
tujuan. "Supaya kau lebih yakin, tanyalah kepada salah
seorang petani itu," jawab Ekalana acuh tak acuh.
Meski agak jengkel dengan sikap Ekalana, Saranggi
menuruti juga saran itu. Ia bertanya kepada salah seorang petani yang berjalan
di samping kudanya. Petani
itu membenarkan. Bahkan memberikan petunjuk letak
tempat kediaman Jaro Labang, yang memang dikenal
oleh semua warga desa.
Ekalana yang juga mendengar keterangan petani
itu, segera mempercepat lari kudanya. Saranggi dan
yang lainnya melakukan hal serupa. Ketika tiba pada
sebuah pertigaan jalan, mereka berbelok ke kiri, melewati pepohonan bambu.
Sampai akhirnya mereka tiba
di depan sebuah bangunan cukup besar, yang di depannya terdapat papan nama
bertuliskan nama Garuda Emas.
Dua orang anggota perkumpulan yang berada di
pos jaga, langsung menyambut kedatangan mereka.
Saranggi yang menjadi pemimpin rombongan segera
mengutarakan maksud kedatangannya. Mereka diminta untuk menunggu sebentar,
barulah Saranggi dan
kawan-kawannya dipersilakan menemui pimpinan
perkumpulan pengawal barang itu.
Seorang lelaki gemuk berkumis lebat, sudah duduk
menunggu di sebuah ruangan yang cukup luas. Tampak dua orang anggota Garuda Emas
mengapit di kanan dan kirinya. Pimpinan Perkumpulan Barang Garuda Emas itu
bangkit dari duduknya ketika Saranggi
dan kawan-kawannya melangkah masuk ke ruangannya.
"Selamat datang, Sahabat!" sapa lelaki gemuk berkumis lebat dengan ramah.
Pemimpin Perkumpulan
Barang Garuda Emas yang tak lain Jaro Labang, langsung mempersilakan Saranggi
dan kawan-kawannya
agar mengambil tempat duduk "Apa yang bisa kami
bantu?" lanjutnya sambil menatap bergantian pada Saranggi dan Ekalana yang duduk
di hadapannya. "Kami ingin menggunakan jasa Tuan untuk mengirim sejumlah emas," ujar Saranggi
setelah memperhatikan sosok Jaro Labang untuk sesaat.
'Tentunya kau kenal dengan seorang juragan yang
bernama Mahinta, bukan?" sebelum Jaro Labang menyanggupi permintaan Saranggi,
Ekalana menukas.
Dan ia sempat melihat kilatan kaget di mata Jaro Labang, meski untuk sesaat.
Saranggi semula agak kaget mendengar ucapan
Ekalana, tapi tidak berkata apa-apa. Bahkan ikut menatap wajah Jaro Labang,
seperti ingin melihat tanggapan lelaki gemuk itu.
"Asalkan tempat tinggalnya jelas, tentu kami tak
akan mendapat kesulitan untuk mengantarkan kiriman Tuan-tuan," ujar Jaro Labang
mengalihkan pandang dari sepasang mata dingin Ekalana.
"Sejujurnya kami katakan bahwa kami merasa
khawatir kalau barang kiriman ini tak sampai di tempat tujuannya. Tapi, karena
Perkumpulan Pengawal
Barang Garuda Emas sudah terkenal, maka kami
mencoba datang ke tempat ini," Ekalana kembali melanjutkan sebelum Saranggi
membuka suara. "Jangan khawatir, Tuan-tuan! Selama ini perjalanan kami tak pernah menemui
kegagalan. Perkumpulan Pengawal Barang Garuda Emas cukup terkenal dan disegani
para perampok. Kami menjamin barang kiriman Tuan-tuan akan sampai ke tempat
tujuan pada waktu yang tepat," ujar Jaro Labang dengan
penuh keyakinan.
"Bicara soal perampok aku ingin bertanya sedikit
kepada Tuan," Ekalana kembali menyambung. Sepasang matanya tetap tak lepas dari
wajah lelaki gemuk
di depannya. "Silakan, Tuan!" tukas Jaro Labang sama sekali tidak merasa curiga.
"Belakangan ini aku mendengar munculnya segerombolan perampok yang mengganas.
Kalau tak sa- lah, mereka menamakan diri sebagai Gerombolan Clurit Hitam. Menurut kabar mereka
sangat ganas dan tak
segan-segan membunuh. Bahkan kalau tak salah mereka juga merangkap sebagai
pembunuh-pembunuh
bayaran. Dan....
"Cukup!" hardik Jaro Labang menggebrak meja di
depannya. Sehingga ucapan Ekalana terputus.
"Mengapa, Tuan...?" Tanya Ekalana pura-pura tak
mengerti. Tenaga dalamnya sudah mengalir ke seluruh
tubuh, siap menyambut apabila Jaro Labang menyerang tiba-tiba.
"Apa sebenarnya maksud kedatanganmu, Anak
Muda" Dan untuk apa dongengan itu kau ceritakan
kepadaku?" bentak Jaro Labang, mendengar penuturan Ekalana menyinggung perasaan.
Melihat sikap Jaro Labang, Ekalana dan Saranggi
bergegas bangkit dari duduknya. Keduanya bergerak
mundur, khawatir kalau lelaki gemuk berkumis lebat
itu akan menyerang mereka.
"Jaro Labang," ujar Ekalana semakin nekat dengan
menyebut nama Pemimpin Perkumpulan Barang Garuda Emas itu. "Gerombolan Clurit
Hitam telah disewa
seorang juragan bernama Baswara dari Desa Sindang
Laya untuk membunuh seorang saingannya dalam
berniaga..."
"Keparat.., tutup mulutmu...!" bentak Jaro Labang.
Di hatinya mulai timbul dugaan kalau kedua orang
pemuda itu mengetahui perbuatannya. Khawatir kalau
kedua tamunya sampai membuka mulut di luar, yang
berarti akan menghancurkan usahanya, maka Jaro
Labang langsung melayang melompati meja. Tangan
kanannya digerakkan menyambar ke kepala Ekalana.
Bweeettt..! Ekalana berkelit dengan lompatan ke samping kiri.
Terus mengegos saat kepalan kiri lawan datang menyusul. Kegagalan itu membuat
Jaro Labang semakin
kalap, dan menyusulinya dengan tendangan berantai.
Ekalana terpaksa melompat jauh untuk menyelamatkan diri.
"Jaro Labang, kau telah membunuh majikan kami
atas suruhan Juragan Baswara, bukan" Dan sekarang
kami datang untuk menuntut balas!" Ekalana masih
juga sempat membuka suara memperjelas tuduhannya. Kalau semula ia hanya nekat
memancingmancing, sekarang hatinya sudah yakin kalau pembunuh Juragan Mahinta
tak Iain Jaro Labang. Hanya
yang belum dimengerti, bagaimana Pemimpin Perkumpulan Barang Garuda Emas dapat
berkomplotan dengan Gerombolan Clurit Hitam, yang sudah lama lenyap
bagai ditelan bumi.
"Bedebah! Kuhancurkan mulutmu...!" dengus Jaro
Labang semakin kalap. Sambil melompat ke arah Ekalana, lelaki gemuk berkumis
lebat ini memerintah para
pengikutnya agar mengepung dan membunuh enam
orang pemuda lainnya.
"Ekalana, kau gila! Apa kau menghendaki kita semua mati di tempat ini"!"
Saranggi yang sama sekali
tidak menduga bakal terjadi demikian, berteriak-teriak
memaki Ekalana. Perbuatan pemuda itu dianggapnya
merupakan tindakan gila karena berani mengacau di
sarang macan, yang bisa mengakibatkan mereka semua terbunuh!
Namun baik Saranggi maupun lima orang pemuda
lainnya, tidak sempat lagi membuka suara. Mereka
sudah harus berjuang keras guna menyelamatkan diri
dari ancaman senjata para anak buah Jaro Labang,
yang menyerang mereka. Sebentar saja pertempuran
kecil itu pun pecah!
Ekalana sendiri saat itu tengah berusaha matimatian mengimbangi serangan Jaro
Labang. Serangan
yang datang bertubi-tubi bagaikan air bah, membuat
Ekalana terpaksa menguras seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk membendung
serangan lawan. Untung dia memiliki ilmu silat yang beragam. Se-hingga,
Jaro Labang sempat dibuat kebingungan ketika Ekalana memainkan sebuah jurus
aneh, yang sengaja diciptakan dengan menggabungkan beberapa jurus silat dari
berbagai aliran. Bahkan lelaki gemuk ini sempat terdesak untuk beberapa jurus
lamanya. "Setan belang...!" Jaro Labang memaki karena gusar. Dalam kegeramannya, ia nekat
menubruk ke depan sambil mendorongkan kedua tangannya dengan
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Whuuuttt..! Dorongan sepasang tangan yang menimbulkan deru angin keras, sempat menggoyahkan
kuda-kuda Ekalana. Tubuhnya terhuyung-huyung beberapa langkah. Karena dalam hal tenaga
dalam pemuda ini masih
kalah dua tingkat dari lawannya. Dan kesempatan itu
dipergunakan Jaro Labang dengan sebaik-baiknya.
"Hih...!"
Buk! Sebuah tendangan cepat dan kuat menerpa iga
Ekalana. Tubuh pemuda itu terpental membentur
dinding. Namun, pemuda yang angkuh dan keras hati
ini sama sekali tidak mengeluh. Hanya saja tidak bisa
buru-buru bangkit berdiri.
Melihat keadaan lawannya, Jaro Labang semakin
bernafsu. Dia melompat dengan jari-jari tangan terkembang, siap menyambar batok
kepala Ekalana.
"Mampus kau, Bangsat! Heaaa...!"
Mendadak, pada saat jemari kedua tangan Jaro
Labang tinggal sejengkal dari sasarannya, Ekalana tiba-tiba menyabetkan tangan
kanannya yang telah
menggenggam pedang.
Brettt...! "Aaakh...!"
Pimpinan Perkumpulan Barang Garuda Emas itu
menjerit kesakitan. Sambaran pedang Ekalana telah
membuat garis memanjang pada bagian dadanya. Darah segar mengucur deras dari
luka yang cukup dalam
itu. Ekalana yang langsung menggulingkan tubuhnya
setelah melukai dada lawan, melompat tinggi disertai
teriakan nyaring. Digenggamnya pedang dengan kedua
tangan dan dihujamkan ke punggung Jaro Labang,
yang terjerunuk ke depan.
Jrab! "Aaakh...!"
Pedang Ekalana langsung amblas ke tubuh Jaro
Labang, hingga tembus. Terdengar jerit kematian melengking tinggi. Dalam keadaan
sempoyongan Pimpinan Perkumpulan Barang Garuda Emas masih mengibaskan tangan
kirinya, hingga mendarat telak di dada
Ekalana. Tubuh pemuda itu terlempar deras. Sementara tubuh Jaro Labang ambruk ke
lantai dan tewas seketika.
"Gila! Babi gemuk itu benar-benar tangguh sekali...!" desis Ekalana seraya
bergerak bangkit menghampiri mayat Jaro Labang. Kemudian mencabut pedangnya dari
tubuh lawan yang sudah tak bernyawa
lagi. *** Sementara itu, Saranggi dan lima orang kawannya
mati-matian mempertahankan nyawa dari keroyokan
empat belas orang lawan. Saranggi sendiri menghadapi
tiga orang pengeroyok Pemuda bertubuh jangkung ini
ternyata cukup lincah. Bahkan ia sangat mahir memainkan pisau pendek di kedua
tangannya. Dari caranya menghadapi ketiga lawan dapat dilihat, bahwa
Saranggi cukup berpengalaman dalam bertempur.
Tiga orang anggota Perkumpulan Pengawal Barang
Garuda Emas pun cukup gesit. Mereka dapat bekerja
sama dengan baik, menggempur Saranggi dari tiga jurusan. Sehingga pemuda
jangkung itu harus mengerahkan seluruh kemampuan, menghindari sambaran
tiga bilah pedang yang berkelebat di sekitar tubuhnya.
"Yeaaattt..!"
Pada jurus kedua belas, Saranggi bertindak nekat,
membobol kepungan lawan-lawannya. Dua sambaran
pedang dari kiri dan kanan, dielakkannya dengan menundukkan tubuh, hingga nyaris
merapat ke lantai.
Gerakan ini dibarengi dengan menusukkan pisaunya
ke tubuh dua orang penyerang itu. Sehingga...
Crap! Blesss! "Aaakh...!"
Kedua orang lawan yang tidak menduga tindakan
lawan, seketika terpekik tewas. Lawan yang di sebelah
kiri, tertusuk lambung kanannya. Sedangkan yang di
sebelah kanan, ulu hatinya tertembus dalam. Darah
pun mengucur membasahi tangan Saranggi. Keduanya
ambruk menghembuskan napas terakhir.
Untuk dapat melakukan hal itu, Saranggi sendiri
jatuh tertelungkup. Kedudukannya tentu saja sangat
berbahaya. Sebab, saat itu sisa lawannya yang tinggal
seorang, membabatkan pedang ke punggung Saranggi.
Di sini Saranggi membuktikan kegesitan dan kemahirannya dalam melempar pisau.
Saat pedang la-
wan menyambar, dengan cepat tubuhnya bergulingan
menghindar. Bersamaan dengan itu dikibaskan kedua
tangannya, melepaskan pisau yang masih berlumuran
darah. Dan sebelum pedang lawan meng-hantam lantai, dua bilah pisau terbang
milik Saranggi telah menancap di tenggorokan dan dada kirinya. Seketika
terdengar jerit kematian, keras menyayat Tubuh anak
buah Jaro Labang yang telah berlumuran darah ambruk dan tewas seketika.
Saat itulah Ekalana datang dan mengulurkan tangan menarik bangkit tubuh Saranggi
yang masih rebah
di lantai. Kemenangan yang diperoleh keduanya memang hampir berbarengan. Hanya
Ekalana lebih dulu
beberapa saat, bahkan sempat menyaksikan Sa-ranggi
bergulingan sambil melepaskan pisau terbang-nya.
"Pikiranmu benar-benar sempit, Ekalana!" umpat
Saranggi yang masih merasa jengkel atas tindakan
Ekalana. Karena perbuatan pemuda itu nyaris membuatnya tewas. "Ayo, kita bantu
yang lainnya dan terus
pergi dari tempat celaka ini...!"
Ekalana tidak berkata apa-apa, hanya mengangguk menyetujui usul Saranggi.
Bergegas keduanya
memasuki arena untuk membantu Sudana, Maladi,
Sabung Waluya, Jirana, dan Rapati. Kelima pemuda
itu tampak sudah mandi keringat. Mereka juga mendapat luka, tergores pedang


Pendekar Naga Putih 82 Tujuh Satria Perkasa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lawan. Kendati tak mengkhawatirkan, cukup mengganggu gerakan mereka.
"Cepat tinggalkan tempat ini...!" perintah Saranggi
sambil melepaskan pisau terbangnya ke arah lawan
Sudana. Pisau itu meluncur cepat dan menghujam tubuh dua orang lawan.
Ekalana sendiri sudah mengamuk dengan pedangnya. Kendati keadaannya agak letih,
sambaran pedangnya masih tetap mengiriskan. Hal itu membuat
para pengikut Jaro Labang berlompatan mundur menyelamatkan diri.
Sudana dan empat orang lainnya bergegas melesat
ke luar dan langsung melompat ke punggung kuda.
Disusul kemudian oleh Ekalana dan Saranggi. Pemuda
jangkung itu masih sempat menghambat lawan yang
mengejar dengan lemparan pisaunya. Baru kemudian
melompat dan menyusul rekan-rekannya. Hampir bersamaan, mereka membedal kuda,
yang melesat bagaikan anak panah lepas dari busur.
*** 5 "Minggir...!"
Seorang pemuda tampan berjubah putih dan gadis
jelita berpakaian serba hijau bergegas melompat ke tepi jalan. Di tikungan
jalan, dekat tapal batas Desa Babakan, tiba-tiba muncul tujuh orang penunggang
kuda yang berlari kencang bagaikan dikejar setan.
"Heran" Hari sudah gelap begini masih ada orang
yang melarikan kuda secepat itu?" gumam dara jelita
berpakaian serba hijau sambil memandang tujuh
orang penunggang kuda yang semakin jauh dan akhirnya lenyap ditelan kegelapan.
Sedangkan pemuda tampan berjubah putih yang
berada di tepi jalan berseberangan dengan gadis jelita
itu, cuma menggeleng-gelengkan kepala. Tanpa berkata apa-apa, ia melangkah ke
tempat gadis berpakaian
serba hijau berdiri dan mengajaknya melanjutkan perjalanan. Keduanya memasuki
Desa Babakan. Pasangan muda-mudi itu semula hendak mencari
penginapan karena hari menjelang malam. Ketika memasuki Desa Babakan mereka
kaget melihat belasan
penduduk berlarian ke satu arah.
"Hm... tampaknya ada sesuatu yang baru saja terjadi di desa ini. Mungkin ada
kaitannya dengan tujuh
penunggang kuda tadi," ujar pemuda tampan berjubah
putih kepada dara jelita di sampingnya.
"Aku jadi penasaran. Mari kita ikuti mereka, Kakang!" ajak dara jelita itu. Lalu
keduanya. segera berlari mengikuti arus penduduk yang berlarian ke satu
arah. Berbeda dengan ayunan langkah kaki penduduk
desa yang terlihat berat dan bergemuruh. Langkah pasangan muda ini tampak
ringan, tanda bahwa mereka
bukanlah orang-orang sembarangan. Bahkan dapat
menyusul dalam waktu singkat, meski semula mereka
berdua tertinggal lebih dari tiga puluh tombak.
Tidak berapa lama kemudian, rombongan penduduk tiba di depan sebuah bangunan
yang cukup besar, tempat kediaman Jaro Labang dan para pengikutnya. Bersama
dengan penduduk, pasangan orang muda-mudi tadi ikut memasuki rumah Pimpinan
Perkumpulan Barang Garuda Emas. Mereka segera melihat mayat-mayat yang darahnya
terlihat masih segar.
"Hmm... kemungkinan besar mereka semua korban
dari tujuh orang penunggang kuda yang nyaris menubruk kita tadi...," bisik
pemuda tampan berjubah putih
kepada dara jelita yang berdiri di sebelahnya.
"Bukan kemungkinan lagi, Kakang. Aku rasa memang merekalah pelakunya," sahut
data jelita berpakaian serba hijau berani memastikan, "Kalau tidak,
untuk apa mereka melarikan kuda seperti setan dalam
suasana malam seperti ini."
"Mereka pasti belum terlalu jauh dari desa ini. Se-
baiknya kita coba mengejar mereka. Perbuatan seperti
ini tidak bisa dibiarkan," lanjut pemuda tampan berjubah putih yang bergegas
menyeruak kerumunan penduduk.
Kawannya tak menjawab. Dara jelita berpakaian hijau itu menyeruak ke luar
mengikuti langkah pemuda
tampan berjubah putih.
"Tidak perlu kalian mengejar pembunuh itu...!"
Mendadak terdengar sebuah suara tanpa terlihat
pemiliknya. Pemuda berjubah putih itu menghentikan
langkah karena terkejut. Suara yang mirip bisikan tapi
jelas itu menyusup ke telinganya.
"Ada apa, Kakang?" Tanya dara jelita berpakaian
serba hijau yang sudah berada di sampingnya. Gadis
ini merasa heran melihat kawannya berhenti dan memandang berkeliling seperti
tengah mencari sesuatu.
"Ada orang pandai di sekitar tempat ini menasihati
agar kita tak usah mengejar pembunuh-pembunuh
itu," bisik pemuda tampan berjubah putih, menjawab
pertanyaan gadis di sampingnya.
"Apa alasannya mencegah kita, Kakang?" Tanya
dara jelita karena merasa penasaran.
Pemuda tampan berjubah putih hanya menggeleng
lemah. Sedang matanya beredar menatapi satu persatu
wajah penduduk. Seakan-akan hendak mencari siapa
orang yang berbisik di telinganya tadi. Ketika tidak bisa menemukan orang yang
dicari, kakinya kembali
bergerak melangkah meninggalkan tempat itu. Gadis di
sampingnya ikut melangkah.
"Urungkan niatmu, Anak Muda!" suara tanpa wujud itu kembali terngiang di telinga
pemuda tampan berjubah putih yang tengah melanjutkan langkahnya.
"Hm...," pemuda tampan ini bergumam. Namun terus mengayun langkahnya
meninggalkan tempat ke-
diaman Jaro Labang.
"Aku tahu siapa kau, Anak Muda. Dengan kepandaianmu yang tinggi aku percaya
kalau kau akan dapat mengejar tujuh penunggang kuda itu. Jangan katakan bahwa
aku tidak berusaha mencegah pembunuhan terhadap Jaro Labang! Aku sendiri datang
terlambat, hingga hanya sempat melihat sewaktu mereka keluar dari dalam
bangunan, dikejar orang-orang Jaro
Labang," ujar suara itu lagi di telinga pemuda tampan
berjubah putih, yang tetap melanjutkan langkahnya.
"Siapa kau" Tunjukkan rupa mu! Aku tak suka
berbicara dengan seorang pengecut!"
Ketika tiba di sekitar pepohonan bambu yang sunyi
dan sepi pemuda tampan berjubah putih menghentikan langkah. Tanpa banyak tanya
kawannya pun berhenti. Kemudian matanya turut memandangi ke sekitar tempat itu.
Namun, gadis itu tidak menemukan sosok yang dimaksud kawannya.
"Saat ini aku belum bisa menunjukkan rupa ku,
Pendekar Naga Putih. Satu hal yang perlu kau ketahui.
Jaro Labang bukanlah orang baik-baik. Ia bekas Kepala Gerombolan Clurit Hitam
yang kemudian membubarkan pengikut-pengikutnya. Karena dia jatuh cinta
kepada seorang gadis cantik yang membuatnya ingin
hidup tenang dan bersih. Lalu ia mendirikan perkumpulan pengawal barang," suara
tanpa wujud yang
hanya terdengar di telinga pemuda tampan berjubah
putih terhenti sesaat
Panji menunggu beberapa saat Pemuda tampan
yang lebih dikenal dengan julukan Pendekar Naga Putih tampak masih berusaha
mencari-cari di mana pemilik suara tadi.
"Orang pandai ini menggunakan ilmu 'Memecah
Suara', yang membuat tempat persembunyiannya sulit
diketahui...," bisik Panji kepada dara jelita di sampingnya, yang sudah pasti
Kenanga adanya. Panji dapat
menduga demikian, karena suara yang mengusik telinga bagai terdengar dari
delapan penjuru angin, membuatnya sulit menemukan tempat persembunyian si
pemilik suara itu.
Tiba-tiba terdengar suara orang terbatuk-batuk.
Kali ini bukan cuma Panji yang mendengar. Kenanga
juga mendengarnya. Sepertinya pemilik suara itu sengaja hendak menguji
kepandaian Pendekar Naga Putih.
"Boleh aku melanjutkan cerita ku?" Tanya suara
tanpa wujud, yang kini dapat didengar pula oleh Kenanga. Suara itu memang sulit
dicari sumbernya. Karena gemanya membuat suara itu seolah-olah datang
dari berbagai penjuru. Dalam hati Panji dan Kenanga
pun mengakui kehebatan pemilik suara itu.
"Jaro Labang ternyata tidak benar-benar mundur
dari dunia sesat. Dengan bersembunyi di balik kebersihan dan ketenaran nama
Garuda Emas, diam-diam
ia melakukan suatu pekerjaan dengan bayaran tinggi.
Jelasnya ia adalah pembunuh bayaran yang terselubung. Dan ini sama sekali tidak
diketahui penduduk
Desa Babakan maupun anggota Garuda Emas. Terakhir, kudengar Jaro Labang membunuh
seorang juragan di Desa Sindang Laya. Untuk me-lakukan hal itu
dia menghubungi anggota Gerombolan Clurit Hitam,
yang menjadi perampok liar setelah sepeninggalnya.
Dan pembunuh Jaro Labang tentu orang-orang yang
hendak membalas kematian majikannya."
Sampai di sini suara tanpa wujud itu terhenti. Panji dan Kenanga saling bertukar
pandang. Sekarang keduanya baru mengerti mengapa pemilik suara itu mencegah niat
mereka. Namun pasangan pendekar muda
ini merasa penasaran untuk dapat melihat seperti apa
rupa pemilik suara itu. Beberapa saat mereka menunggu suara yang terhenti.
Setelah ditunggu beberapa saat, suara itu ternyata
tidak terdengar lagi. Panji cuma bisa menghela napas
dengan hati penasaran. Sebab baru sekarang ia menemukan orang yang berilmu
seperti itu. Sampaisampai tempat persembunyian orang itu tidak dapat
ditemukannya. Padahal ia merasa yakin kalau si pemilik suara itu bersembunyi di
sekitarnya. "Orang itu sudah pergi rupanya...," desah Panji
perlahan, "Sebaiknya kita segera cari penginapan," lanjutnya mengajak Kenanga
meninggalkan tempat itu.
Sepeninggal Pendekar Naga Putih dan Kenanga,
tampak sesosok tubuh melayang turun dari atas pohon besar, sekitar empat tombak
dari tempat Panji dan
Kenanga berdiri. Sosok yang tangan kanannya tampak
memegang sebatang tongkat itu melesat berlawanan
arah dengan yang diambil kedua pendekar muda. Sebentar saja sosok itu telah
lenyap di kegelapan malam.
Cuma suara tawa mengekeh yang tertinggal dan bergaung di delapan penjuru.
*** "Celaka! Kita pasti akan susah karena kejadian ini!"
Pemuda jangkung yang tak lain Saranggi menghentikan kudanya di tepi kali dekat
sebuah kaki bukit. Kemudian melompat turun dari punggung kuda
dan menghempaskan tubuhnya yang lusuh dan agak
pucat. "Kau benar-benar ceroboh, Ekalana!" Sudana yang
juga telah melompat turun dari punggung kudanya,
ikut mencela. Keadaan pemuda ini tidak berbeda dengan Saranggi. Pakaiannya lusuh
dan berwajah agak
pucat. Lelaki brewok itu melangkah gontai menuju
pinggir kali, lalu berdiri sambil meremas-remas rambutnya. Tampak sekali betapa
dirinya tengah dilanda
kegelisahan dan ketakutan.
Bukan hanya Saranggi dan Sudana yang menyalahkan Ekalana atas apa yang telah
mereka lakukan terhadap Jaro Labang. Empat orang pemuda lainnya
pun menyatakan kejengkelannya. Bahkan Maladi dan
Sabung Waluya mengungkapkan perasaan takut yang
memang tampak jelas di wajahnya.
Namun Ekalana sendiri kelihatannya tetap tenang.
Bahkan sepasang matanya tampak menggambarkan
perasaan yang sangat puas karena dapat membunuh
Jaro Labang. Meski untuk itu dirinya harus mengalami
luka yang cukup parah. Terlebih setelah melarikan diri
tanpa henti, sampai menjelang pagi.
"Kalian ini betul-betul cengeng dan tolol!" Ekalana
balas memaki keenam kawannya. "Coba kalian pikir
baik-baik! Apa kita bisa membalas kematian Ki Mahinta kalau tak bertindak nekat
seperti kemarin" Kalian
ini memang otak udang semua! Seharusnya berterima
kasih kepadaku, bukannya malah mencela!"
'Tapi perbuatanmu itu di luar rencana kita! Sehingga, kami semua hampir jadi
bangkai gara-gara
ulah mu yang sok pahlawan itu!" Sabung Waluya, yang
pada dada dan punggungnya terdapat luka memar bekas pukulan dan tendangan para
pengeroyok, menukas dengan nada jengkel. Wajah pemuda ini masih pucat dan tampak
sangat letih. "Huh, baru hampir, kan" Tapi hasilnya" Kita bisa
membalas kematian Ki Mahinta! Dan nyatanya sampai
saat ini kita masih bisa bernapas," bantahan Ekalana
yang tidak bisa dipungkiri kebenarannya, membuat
Sabung Waluya tidak bisa berkata apa-apa lagi.
"Bagaimana kau begitu yakin kalau pembunuh majikan kita adalah Jaro Labang?"
kali ini yang bertanya
Rapati. Seorang pemuda berkulit hitam, yang kelihatan
lebih banyak diam mendengarkan kawan-kawannya
berbicara. "Begitu berhadapan dengannya, aku langsung yakin bahwa dialah lelaki yang
memimpin Gerombolan
Clurit Hitam untuk menyiksa dan membunuh Ki Mahinta. Maka sengaja ia ku pancing
dengan ucapanku.
Melihat betapa wajahnya berubah dan tak dapat menahan kemarahannya, yakinlah aku
bahwa pembunuhnya pasti Jaro Labang. Kemungkinan besar ia memang disewa Juragan
Baswara." Penjelasan Ekalana membuat Rapati menganggukkan kepalanya. Diam-diam dirinya
harus mengakui kecerdikan Ekalana.
"Hm...! Katakanlah tindakanmu itu memang benar,
tapi seharusnya kau memberitahu sebelumnya. Sehingga, kami bisa bersiap-siap
menghadapi segala kemungkinan. Selain itu, kau telah menyimpang dari
rencana. Sekarang semuanya berantakan! Dan kurasa
kabar tentang kita akan tersebar bias. Juragan Baswara pasti tahu bahwa kitalah
yang telah membunuh Jaro Labang. Ini akan membuat dirinya khawatir kalaukalau
kita pun akan datang untuk membunuhnya."
"Memang kita akan membunuhnya!" sergah Ekalana memotong ucapan Saranggi, membuat
kalimat lelaki jangkung itu terhenti sesaat.
"Kau belum kenal siapa sebenarnya Juragan Basara, Ekalana!" hardik Saranggi
geram. "Orang itu pasti
akan menghubungi kawan-kawannya yang merupakan
perwira-perwira kerajaan! Bisa saja dia memfitnah kita!
Bahkan mungkin akan menyuruh orang mencari dan
membunuh kita dengan bayaran tinggi! Nah, pikirkan-
lah olehmu sendiri. Betapa akan sulitnya hari-hari kita
selanjutnya," lanjut Saranggi tanpa menatap wajah
Ekalana. "Saranggi benar, Ekalana," tukas Sudana. Kurasa
kita bakal menjadi buruan pemerintah dan pemburupemburu hadiah! Tentang kelompok


Pendekar Naga Putih 82 Tujuh Satria Perkasa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang-orang yang
terakhir kusebutkan ini, sudah banyak kudengar. Mereka umumnya orang-orang
berkepandaian silat tinggi
dan dapat menggorok leher korbannya dengan mata
terbuka!" "Hhh... aku tak takut!" tandas Ekalana dengan senyum sinis dan mata berkilat
aneh. "Kau benar-benar manusia celaka, Ekalana! Bisa
gila jika terus berada bersamamu!" geram Sudana
membanting kakinya ke tanah. Kemudian memutar
tubuh, meninggalkan Ekalana.
"Biar bagaimanapun kita harus membunuh Juragan Baswara agar arwah Ki Mahinta
bisa tenang di alam sana," ujar Ekalana dengan penuh semangat dan
mata berbinar. 'Tidak!" Saranggi membentak, "Bukan kita tapi
kau, Ekalana...! Aku tak akan sudi mengikuti keinginan gilamu itu!"
"Hm..., lalu apa keinginanmu sekarang, Saranggi?"
sindir Ekalana dengan senyum mengejek, "Apa kau kira setelah Jaro Labang
terbunuh Juragan Baswara
akan diam saja" Tidak, Saranggi. Manusia jahat dan licik itu akan terus mencari
dan mengejar kita semua.
Dia tak akan pernah bisa hidup tenang sebelum melihat tubuh kita terbujur kaku
di depan matanya!"
Sudana, Rapati, Jirana, Sabung Waluya, dan Maladi, hanya saling pandang satu
sama lain. Kemudian
melihat Saranggi dan Ekalana yang saling berhadapan
dalam jarak dekat. Wajah Saranggi tampak merah pa-
dam. Sambil menekan gigi gerahamnya, menatap wajah Ekalana dengan mata melotot.
Hatinya benarbenar merasa geram, tapi tak mampu berbuat apa-apa.
Ekalana sendiri tetap dingin. Senyum mengejeknya
tetap tersungging menyakitkan. Pandangannya begitu
tajam menentang tatapan Saranggi. Meski kelihatan
tenang, pemuda itu sudah mempersiapkan tenaga dalamnya untuk menyambut apabila
Saranggi menyerang.
"Huh...!"
Saranggi mendengus bagai kerbau liar. Kemudian
bergerak mundur, membalikkan tubuhnya dan melangkah ke tepi kali. Seakan hendak
melampiaskan kejengkelannya, pemuda jangkung itu memukulmukulkan tangannya ke
sebatang pohon, membuat
pohon itu berderak. Tak dipedulikan meskipun kulit
tangannya lecet dan berdarah.
"Hm..., seharusnya bukan pohon yang menjadi sasaran pukulan itu, tapi Juragan
Baswara...," Ekalana
tampaknya masih belum merasa puas. Ucapan itu dilontarkan dengan nada menghina,
membuat kemarahan Saranggi kian meledak.
"Keparat, kau benar-benar tak memandang sebelah
mata kepadaku, Ekalana!" geram Saranggi dengan wajah beringas dan sepasang mata
memerah saga, "Kau..., kau harus diberi pelajaran...!"
Usai berkata demikian, Saranggi menerjang Ekalana dengan lompatan panjang.
Sepasang tangannya terjulur siap mencekik leher pemuda tampan yang angkuh itu.
Namun terkamannya hanya mengenai angin
kosong, ketika tubuh Ekalana dengan cepat bergeser
ke samping. "Kau hendak melumat angin, heh?" tukas Ekalana
tak melepaskan senyumnya yang mengejek.
"Bangsat, kubunuh kau...!"
Bagai harimau luka, Saranggi kembali menerkam
Ekalana, kedua tangannya menyambar-nyambar dengan pukulan yang kuat, dan masih
diselingi tendangan-tendangan menderu. Namun, semua dapat dielakkan Ekalana
dengan mudahnya. Bahkan pada jurus
yang kelima, Ekalana mampu menyarangkan sebuah
pukulan telak ke ulu hati Saranggi. Sehingga membuat
pemuda jangkung itu terdorong mundur dengan tubuh
terbungkuk. "Berhenti...!"
Melihat perkelahian masih akan berlanjut, Sudana
dan empat pemuda lainnya bergegas mencegah. Jirana
dan Rapati menghalangi Ekalana. Sedangkan Sudana,
Maladi, dan Sabung Waluya menahan Saranggi.
"Sebaiknya kita menghemat tenaga untuk menghadapi ancaman yang mungkin akan
terjadi terhadap
kita...," ujar Sudana mengingatkan. "Saranggi, musuhmu bukanlah Ekalana! Ingat,
nasib kita belum dapat
diramalkan.... Janganlah kita saling bentrok...!"
"Seharusnya kau lebih bisa menjaga mulutmu,
Ekalana," Jirana berkata kepada Ekalana, yang hanya
tersenyum tipis. Pemuda tampan itu memutar tubuh
lalu melangkah.
"Aku hendak membersihkan tubuh, biar pikiranku
lebih segar," ujarnya dengan sikap seolah-olah tak
pernah terjadi apa-apa dengan Saranggi.
"Kelihatannya ia agak sinting...," bisik Rapati kepada Jirana. Keduanya
menggeleng-geleng memandang
kepergian Ekalana.
*** 6 Kematian Jaro Labang, Ketua Perkumpulan Pengantar Barang Garuda Emas cepat
tersebar luas. Hal
ini tidak aneh, karena cukup banyak orang kaya yang
menggunakan jasa Jaro Labang. Terutama sekali para
pedagang besar, termasuk Juragan Baswara, orang
terkaya dan paling berpengaruh di Desa Sindang Laya.
"Kurang ajar, ini pasti perbuatan Saranggi keparat
dan kawan-kawannya itu!" geram Juragan Baswara
yang kelihatan sangat marah demi mendengar berita
kematian Jaro Labang. Lelaki setengah baya itu mondar-mandir di ruang tengah
rumah besarnya dengan
wajah berang. Di dalam ruangan itu sendiri tidak hanya ada Juragan Baswara seorang. Selain
empat orang tukang
pukul andalannya, juga terlihat Ki Windudarta, Kepala
Desa Sindang Laya, yang berada di bawah pengaruh
juragan kaya itu.
'Tapi, dengan alasan apa mereka melakukannya,
Ki?" Tanya Ki Windudarta, yang kelihatannya belum
percaya benar dengan tuduhan Juragan Baswara.
Juragan Baswara menghentikan langkahnya, lalu
berpaling dan menatap Ki Windudarta lekat-lekat Terdengar suara helaan nafasnya
yang panjang dan berat.
"Karena..., Jaro Labang-lah yang telah membunuh
Ki Mahinta! Aku yang menyuruhnya dengan imbalan
besar!" jawab Juragan Baswara berterus terang.
Jawaban Juragan Baswara tentu saja sangat mengejutkan Ki Windudarta. Hingga
lelaki tua yang masih
gagah ini tersentak dengan wajah agak pucat!
"Mengapa...?" desis Ki Windudarta dengan kerongkongan terasa kering, membuat
suaranya terdengar
serak. "Karena dia bukan penduduk asli desa ini! Ki Mahinta adalah pendatang dari
daerah selatan, dan aku
tidak menghendaki adanya peternakan lain di Desa
Sindang Laya ini, kecuali aku! Nah, apakah kau menyalahkan aku, Ki Lurah...?"
ujar Juragan Baswara
membuat Ki Windudarta diam seribu bahasa.
Kepala Desa Sindang Laya hanya bisa menunduk
dan menyesali dirinya. Ia sama sekali tidak menyangka
kalau Juragan Baswara akan bertindak sejauh itu.
Namun, semuanya sudah kepalang basah. Sadar atau
tidak, dirinya telah terlibat dalam urusan pembunuhan
Juragan Mahinta. Apalagi sumbangan Juragan Baswara terhadap kemajuan desa dan
keluarganya sudah
bertumpuk-tumpuk. Ki Windudarta hanya bisa menghela napas panjang.
Melihat Ki Windudarta tidak berkata apa-apa, Juragan Baswara mengalihkan
perhatiannya, menatap
dua orang tukang pukul andalannya.
"Pergilah kalian dan temui perwira-perwira kenalanku di kotaraja! Sampaikan
kepada mereka, bahwa
aku memerlukan bantuan dan menginginkan agar mereka datang ke desa ini! Laporkan
kepada mereka, bahwa di wilayah barat ini telah muncul tujuh orang
pemuda gila, yang merupakan pembunuh-pembunuh
kejam. Mereka sangat berbahaya dan harus segera dilenyapkan. Minta juga kepada
para perwira di kotaraja
untuk menyebar orang-orangnya ke empat penjuru.
Agar menutup setiap jalan ke luar yang biasanya dilalui orang!" Juragan Baswara
memerintah-kan dua
orang tukang pukulnya. Mereka pun segera berangkat
untuk melaksanakan perintah majikannya.
"Saranggi dan kawan-kawannya tak mungkin berani kembali ke desa ini, Ki," ujar
Ki Windudarta sete-
lah dua orang tukang pukul Juragan Baswara pergi.
"Meskipun begitu, aku harus tetap waspada. Dan
kau, kerahkanlah orang-orangmu untuk memperketat
penjagaan di desa ini! Karena cepat atau lambat mereka pasti akan mencariku
untuk membalas dendam
atas kematian Ki Mahinta. Terbunuhnya Jaro Labang
membuatku yakin, bahwa mereka sudah mengetahui
siapa dalang pembunuhan majikan mereka. Kau harus
membantuku mengenyahkan mereka!" tandas Juragan
Baswara, saat itu terlihat jelas betapa ia berkuasa
memerintah kepala desanya.
"Baik," sahut Ki Windudarta lemah. Kemudian lelaki tua ini berpamitan untuk
mempersiapkan orangorangnya.
"Golang..., Banu!" Juragan Baswara memanggil dua
orang tukang pukul kepercayaannya yang masih berada di ruangan itu. "Sebar
berita ke luar bahwa Juragan
Baswara menyediakan hadiah dalam jumlah yang sangat besar bagi siapa saja yang
dapat membawa kepala
Saranggi dan kawan-kawannya kepada-ku!"
"Baik, Tuan Besar," jawab Golang dan Banu serentak.
"Ayo, pergi sekarang! Apa lagi yang kalian tunggu?"
hardik Juragan Baswara, yang membuat Golang dan
Banu terbungkuk-bungkuk bergegas meninggalkan
ruangan itu. *** Jirana, pemuda bertubuh kekar, yang garis-garis
wajahnya menampakkan kegagahan ini tampak gelisah. Sebentar-sebentar tubuhnya
yang rebah di atas
tanah berumput tebal itu bergerak bangkit, duduk
termenung. Pandangannya menerawang jauh dan ko-
song. Helaan napas beratnya terdengar berkali-kali
menunjukkan kegelisahan hatinya.
"Heh...," lagi-lagi Jirana menghela napas berat.
Kemudian menoleh ke arah kawan-kawannya, yang
tampak tengah terlelap keletihan di kiri dan kanannya.
Sampai akhirnya ia bangkit berdiri karena tak sanggup
menahan kegelisahan di dalam hatinya. Dan melangkah menghampiri kuda yang
ditambatkan pada sebatang pohon.
"Hendak pergi ke mana kau, Jirana?"
Jirana baru saja melepaskan tambatan kuda. Ketika siap melompat naik ke punggung
kuda, hatinya tersentak kaget. Ia berpaling dan melihat Ekalana
bangkit dari tidur dan menatapnya dengan tajam.
"Aku..., aku harus menemui Mayani...," jawab Jirana agak gugup. Butir-butir
peluh tampak mulai menitik di keningnya.
"Mayani..."! Nama yang aneh" Siapa Mayani itu, Jirana" Apakah gadis yang pernah
menari denganmu
sewaktu di pesta panen?" Tanya Ekalana menegasi.
Jirana mengangguk semakin gugup dan gelisah.
"Kau tahu di mana gadis itu tinggal?" Tanya Ekalana lagi sambil melangkah
menghampiri Jirana.
"Kemungkinan besar di rumah perjudian milik Juragan Baswara," jawab Jirana
setelah terdiam sesaat.
Dia teringat sewaktu bersama kawan-kawannya
mendatangi tempat kediaman Juragan Baswara, tidak
melihat sosok gadis yang telah membuatnya mabok
kepayang. "Sadarkah kau, bahwa dengan menemuinya sama
saja dengan menghampiri kematian?"
'Tapi, aku harus bertemu dengannya! Aku harus
membebaskannya dari cengkeraman Juragan Baswara!" setengah berteriak Jirana
mengungkapkan keingi-
nannya yang besar.
Jawaban Jirana membuat kening Ekalana berkerut
Ia memang tidak tahu banyak tentang apa yang dirasakan dan dialami kawannya itu.
Sehingga jawaban
barusan membuatnya merasa heran.
Sementara itu, Saranggi, Sabung Waluya, Rapati,
Sudana, dan Maladi tersentak bangun dari tidur. Perkataan Jirana yang agak keras
tadi membuat mereka
terganggu. Kelimanya merasa heran melihat Ekalana
dan Jirana berdiri saling berhadapan, seperti tengah
bertengkar. Bergegas kelimanya bangkit dan menghampiri.
"Mayani adalah gadis keturunan Cina. Ia diambil
secara paksa dari keluarganya oleh Juragan Baswara.
Karena ayah Mayani tak sanggup membayar hutanghutangnya yang kian hari kian
bertumpuk. Ayah
Mayani tidak mampu membayar karena sudah hampir
satu bulan jatuh sakit. Selama itu usaha ayahnya yang
berdagang obat-obatan tidak berjalan. Tak seorang
pun yang berani mencegah ketika Juragan Baswara
membawa Mayani sebagai pembayaran atas hutanghutang ayahnya."
Penjelasan Jirana juga didengar oleh lima orang
pemuda lainnya. Namun, tentu saja Saranggi dan empat orang pemuda lainnya tidak
mengerti jalan cerita
Jirana. Mereka hanya bisa memandang Jirana dan
Ekalana berganti-ganti.
"Kalau begitu, kita semua harus kembali ke Desa
Sindang Laya!" ujar Ekalana. Tentu saja ucapan itu
membuat kawan-kawannya terkejut Termasuk Jirana,
yang sama sekali tidak menduga kalau Ekalana akan
berkata demikian.
"Gila! Apa-apaan ini..."!" sahut Saranggi setengah
berteriak. Sudana, Rapati, Sabung Waluya, dan Maladi, serentak memandang Ekalana dengan
mata membelalak.
Ucapan yang dikeluarkan Ekalana membuat mereka
menduga kalau pemuda tampan itu telah miring otaknya. Kalau tidak mana mungkin


Pendekar Naga Putih 82 Tujuh Satria Perkasa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengajak mereka
kembali ke Desa Sindang Laya, yang berarti mencari
mati! Ekalana tetap tenang dengan senyum tipisnya yang
seperti selalu mengejek orang yang memandangnya.
Sinar matanya tampak berkilat-kilat Wajah dan sikapnya sama sekali tak
memperlihatkan rasa takut ataupun gelisah. Hal itu membuat kawan-kawannya merasa
yakin kalau Ekalana memang tidak waras.
"Kita telah bersama-sama membalaskan kematian
Ki Mahinta," ujar Ekalana.
Kawan-kawannya tampak belum mengerti arah
pembicaraan Ekalana. Namun pemuda itu sama sekali tak peduli dan melanjutkan
perkataannya. "Tidak
ada salahnya kalau sekarang kita bersama-sama pula
untuk membantu Jirana. Dia hendak menolong Mayani. Gadis yang dicintainya.
Jirana bermaksud membawanya pergi agar lepas dari cengkeraman Juragan
Baswara." Ekalana menghentikan ucapannya. Dengan sikap
tetap dingin, ia memandangi wajah Saranggi dan empat orang lainnya satu persatu.
'Tentu saja kita masuk ke desa pada saat hari gelap. Aku yakin Juragan Baswara
pasti tak akan pernah
menduganya," lanjut Ekalana ketika melihat kawankawannya terdiam. "Yang merasa
takut mati, silakan
tinggal di tempat ini.'"
Setelah berkata demikian, Ekalana melompat ke
punggung kudanya. Kemudian memberikan isyarat
kepada Jirana agar segera berangkat. Perlahan kedua-
nya menjalankan kuda meninggalkan tempat itu, diiringi pandangan mata lima orang
kawannya yang kelihatan masih ragu-ragu.
"Aku ikut!" tiba-tiba Rapati berlari dan melompat
ke punggung kudanya. Kemudian menyusul Ekalana
dan Jirana. Setelah Rapati, Sudana. Sabung Waluya, dan Maladi, satu persatu bergegas
menyusul. Tinggallah Saranggi termangu seorang diri. Namun akhirnya terpaksa
mengalah dan ikut bersama kawan-kawannya untuk menentang maut!
Jarak yang mereka tempuh memang tidak dekat.
Namun semangat yang ditunjukkan Ekalana dari Jirana membuat Saranggi dan lima
orang pemuda lainnya
tak mau kalah. Terlebih mereka telah merasa senasib
dan sependeritaan. Sehingga, perjalanan jarak jauh itu
ditempuh. Tentu saja ketujuh pemuda itu tak berani melewati tempat-tempat yang biasa
dilalui orang. Sehingga perjalanan pun lebih sulit dan berat. Terpaksa
mereka harus beristirahat di hutan-hutan atau tempat
terpencil pada waktu malam hari. Akibatnya setelah tiga hari tiga malam mereka
baru sampai di dekat wilayah Desa Sindang Laya. Ketujuh pemuda itu tiba tepat
pada waktu hari mulai terselimut kegelapan.
Setelah melepaskan lelah beberapa waktu lamanya,
ketika malam semakin larut, mereka pun mulai bergerak menyusup ke desa. Kuda
mereka ditinggalkan di
sebuah hutan kecil, sebelah timur desa. Kecuali Ekalana, yang lainnya merasakan
dada mereka berdebar
tegang dan napas agak memburu. Mereka berjalan
mengendap-endap melalui tempat-tempat yang tidak
terkena cahaya pelita ataupun obor. Tujuan Ekalana
dan kawan-kawannya ke rumah judi milik Juragan
Baswara, yang merupakan tempat perjudian satusatunya di desa itu.
"Jirana, kau pergilah dan temui kekasihmu! Kami
mengawasi dari sini," bisik Ekalana. Secara kebetulan,
rumah yang mereka gunakan untuk bersembunyi adalah rumah kosong. Membuat mereka
merasa agak tenang.
Jirana mengangguk samar di kegelapan. Kemudian
berlari terbungkuk-bungkuk menyeberangi jalan. Sebab, rumah kosong itu tepat
berseberangan dengan
rumah judi Juragan Baswara.
"Hati-hati...!" bisik Ekalana lagi berpesan.
Jirana tidak menyahut, hanya mengangkat sebelah tangannya. Kemudian terus
berlari mendekati
rumah judi yang tampak sudah sepi, meski masih diterangi lampu minyak di
dalamnya. Jirana menyandarkan tubuh di dinding kayu untuk mengatur debaran
jantungnya yang tak karuan. Telinganya ditempelkan
ke dinding ketika samar-samar terdengar suara orang
yang tengah berbicara di dalam ruangan bawah rumah
itu. "Hhh..., udara malam ini dingin sekali."
Terdengar satu suara parau berdesis. Jirana segera
dapat mengenali bahwa suara itu milik Ki Windudarta.
Adanya Kepala Desa Sindang Laya di dalam rumah itu,
membuat Jirana semakin berhati-hati. Ia tahu betul
kalau Ki Windudarta memiliki kepandaian dalam ilmu
silat. "Kalau kau ingin menghangatkan tubuh, 'selimut'
untukmu sudah aku sediakan, Windudarta. Silakan
bersenang-senang. Selimut ku sendiri sudah menunggu di atas...," ujar suara
lain, yang tak lain Juragan
Baswara. Jirana kenal benar suara saingan majikannya itu Dan ia semakin tegang!
"Beruntung kau dapat menikmati kehangatan tubuh gadis cantik keturunan Cina itu.
Aku benar-benar
iri kepadamu, Ki."
Ucapan terakhir Ki Windudarta membuat dada Jirana kembali berdebar. Ia tahu
siapa gadis ke- turunan Cina yang dimaksudkan. Bergegas Jirana mengendap-endap
ke bagian belakang rumah, ketika mendengar kedua orang itu masih melanjutkan
pembicaraan. Tiba di bagian belakang rumah, Jirana melihat ada
jendela di kamar atas yang terbuka. Dengan memanjat
sebatang pohon, yang kebetulan tumbuh dekat jendela
kamar atas itu, Jirana menyelinap masuk.
Gadis cantik berkulit putih yang tengah rebah di
pembaringan kaget melihat sesosok tubuh menyelinap
masuk ke kamarnya. Namun Jirana bertindak cepat
menutup mulut gadis cantik itu dengan tangannya.
"Sssttt...! Mayani, ini aku, Jirana...," bisik Jirana
dengan mendekatkan wajahnya ke wajah gadis cantik
itu. Mata Mayani yang semula membelalak ketakutan,
tampak mulai tenang. Namun wajahnya jelas masih
menggambarkan perasaan takut.
"Mengapa, Mayani" Kau..., takut kepadaku...?"
Tanya Jirana dengan wajah berduka melihat betapa
gadis yang dicintainya itu ternyata ketakutan, meskipun telah saling mengenal.
Perasaan kecewa membuat
telapak tangannya agak merenggang dari mulut Mayani.
'Tuan Baswara bilang, kau dan kawan-kawanmu
telah membunuh orang," ujar Mayani dengan suara
berbisik. Jelas dirinya tak menghendaki kedatangan
Jirana diketahui Juragan Baswara, yang diketahuinya
berada di ruangan bawah rumah itu, "Menurutnya kau
dan kawan-kawanmu telah menjadi gila. Suka memperkosa dan membunuh orang,"
lanjutnya dengan mata tak lepas dari wajah Jirana. Matanya yang agak sipit
terlihat menunjukkan rasa cinta meski samar. Jirana
dapat merasakan hal itu.
"Semua itu tidak benar, Mayani. Kau tahu sendiri
bahwa Juragan Baswara bukanlah orang baik-baik.
Manusia jahat itu memfitnah kami! Aku sedih sekali
kalau kau pun menyangka aku orang jahat. Padahal
aku begitu mencintaimu, Mayani...," bisik Jirana dengan suara bergetar terbawa
perasaan cintanya yang
dalam. Jirana merasakan tubuh gadis itu bergetar. Kini
tangannya sudah memegang kedua bahu Mayani.
"Mayani, marilah ikut bersamaku! Aku akan membawamu ke tempat yang tenang, jauh
dari jangkauan tangan kotor Juragan Baswara. Aku berjanji akan
membahagiakan mu...," ujar Jirana mendekatkan wajahnya dan mengecup lembut
kening Mayani dengan
sepenuh perasaan kasih di hatinya.
"Aku kini sudah tak suci lagi, Jirana. Tubuhku sudah kotor. Aku..., aku tak
ingin membuat kau kecewa
kelak...," ujar Mayani dengan air mata membasahi pipinya yang halus kemerahan.
"Aku tidak peduli, Mayani. Bagaimanapun aku tetap mencintaimu dan ingin hidup
bersamamu," tukas
Jirana. Hatinya merasa perih melihat air mata gadis
yang dicintainya itu.
Tiba-tiba saja keduanya sama menoleh ke arah
pintu kamar. Karena saat itu terdengar suara langkah
kaki menaiki tangga, dan mendekati pintu kamar. Seketika itu juga wajah Mayani
berubah pucat! "Pergilah, Jirana! Itu pasti langkah kaki Tuan Baswara! Lupakan aku! Aku tak
pantas untukmu...," bisik
Mayani semakin tegang. Takut kalau kedatangan Jirana sampai diketahui Juragan
Baswara. "Mayani...!" terdengar suara Juragan Baswara disertai suara ketukan pada daun
pintu yang terkunci itu.
"Ikutlah bersamaku, Mayani...!" desis Jirana lagi
dengan tatapan mata sayu, penuh permohonan.
Sementara ketukan pada daun pintu semakin keras. Mayani semakin tegang! Tetap
ditolaknya keinginan Jirana. Berkali-kali kepalanya menoleh ke arah
pintu yang kali ini digedor kuat-kuat dari luar. Dan....
Brak! Daun pintu kamar Mayani jebol ditendang Juragan
Baswara yang merasa curiga. Telinganya menangkap
suara ribut-ribut yang samar dari dalam kamar. Begitu
tubuhnya melompat masuk, sepasang matanya langsung menyapu seisi kamar. Namun,
ia hanya mendapati tubuh Mayani yang masih rebah di atas pembaringan.
"Katakan, apakah ada orang yang menemuimu barusan?" bentak Juragan Baswara
dengan suara menggelegar.
Mayani menggeleng lemah. Namun air matanya
kembali berlinang membasahi pipi.
Juragan Baswara tidak percaya dengan jawaban
Mayani. Matanya kembali menyapu sekeliling kamar.
Ketika mendapati daun jendela yang terbuka, hatinya
semakin curiga. Bergegas dia melangkah menghampiri
jendela itu. Dan bukan main berangnya hati Juragan
Baswara ketika melongokkan kepalanya ke bawah, terlihat ada sesosok tubuh tengah
berlari terburu-buru.
"Kurang ajar! Itu pasti pemuda laknat yang bernama Jirana! Tidak ada lagi orang
yang berani mendekatimu kecuali bangsat itu! Aku kenal betul bentuk tubuhnya!"
geram Juragan Baswara, yang langsung saja
meneriaki tukang-tukang pukulnya. Kemudian ia bergegas turun dari loteng itu.
"Goblok kalian semua! Mengapa sampai tak tahu
ada orang menyusup ke dalam tempat ini! Ayo, kejar
bangsat itu! Cari sampai dapat!"
Bagai kakek-kakek kebakaran jenggot, Juragan
Baswara mencak-mencak mencaci-maki para tukang
pukulnya. Ia menunjuk ke seberang jalan. Karena dari
atas tadi ia sempat melihat arah lari Jirana.
Tanpa diperintah dua kali, tukang-tukang pukul
yang berjumlah belasan orang bergegas menyebar. Setengahnya memburu ke rumah
kosong yang di-tunjuk
Juragan Baswara. Sebentar saja di sekitar tempat itu
telah diterangi sinar-sinar obor.
Bukan cuma tukang-tukang pukul Juragan Baswara yang melakukan pengejaran.
Belasan petugas keamanan Desa Sindang Laya pun berdatangan karena
mendengar teriakan-teriakan Juragan Baswara. Bahkan Ki Windudarta sendiri sudah
ke luar dari rumah
judi. Sembari sibuk membetulkan pakaiannya, lelaki
tua ini berlari ikut melakukan pencarian.
*** Ekalana merasa heran dan kaget melihat Jirana
berlari cepat meninggalkan rumah judi seorang diri.
Terlebih ketika Jirana telah mendekat, terlihat wajah
pemuda itu pucat dan terengah-engah. Kemudian terdengar pula adanya suara orang
berteriak-teriak Tahulah Ekalana kalau Jirana telah tertangkap basah.
"Cepat, tinggalkan tempat ini...!" Ekalana segera
mengajak kawan-kawannya untuk meninggalkan tempat itu.
Saranggi, Sabung Waluya, Maladi, Sudana, dan
Rapati, langsung menuruti ajakan Ekalana. Mereka juga menangkap suara orang
berteriak-teriak marah.
Meski agak samar, mereka berlima sudah mencium
Keris Pusaka Sang Megatantra 13 Kisah Si Pedang Terbang Karya Kho Ping Hoo Pendekar Aneh Naga Langit 9
^