Trisula Mata Empat 3
Rajawali Emas 21 Trisula Mata Empat Bagian 3
Tetapi kali ini dia tampaknya tak berani bertindak gegabah, mengingat
dia pernah merasakan kesaktian pemuda dari Gunung
Rajawali ini. Tirta cuma mengangkat" kedua alisnya saja.
Sudah tentu dia tak sudi mengatakan apa yang sebe-
narnya terjadi. Di dalam tubuh pemuda dari Gunung
Rajawali ini, telah meresap sebuah ilmu yang dinama-
kan, Penolak Sejuta Racun'. Ilmu yang didapatkannya
dari Ki Sampumo Pamungkas atau yang dikenal den-
gan julukan Manusia Agung Setengah Dewa di Gunung
Siguntang (Untuk mengetahui bagaimana Tirta men-
dapatkannya, silakan baca episode: "Gerhana Gunung Siguntang").
Ilmu 'Penolak Sejuta Racun' yang telah menya-
tu dengan dirinya, secara tidak langsung akan keluar
begitu ada racun atau pemikat yang mengarah pa-
danya. Jangankan untuk masuk, mendekatinya saja
bisa langsung punah. Bila racun atau pemikat itu me-
miliki kekuatan dahsyat, dengan cara tertentu Rajawali Emas dapat menghalaunya,
tetap dengan mempergunakan ilmu 'Penolak Sejuta Racun'. Karena ilmu lang-
ka warisan dari Manusia Agung Setengah Dewalah niat
busuk Ratu Dari Kegelapan gagal mencapai maksud.
Rajawali Emas berkata lagi setelah mencabut
sebatang rumput dan menghisapnya, "Ratu Dari Kegelapan... lebih baik kau
menyerahkan diri pada Keraton Wedok Mulyo atas perbuatan keparatmu itu!
Hingga...." "Jangan mengguruiku! Huh! Bila tahu akhirnya akan jadi begini, kau
sudah kubunuh sejak semula,
Pemuda sialan!!" putus Ratu Dari Kegelapan keras.
Mendengar hardikan orang, Tirta cuma terse-
nyum. Lalu katanya masih tetap tersenyum, "Sayangnya... kau sudah terpikat
padaku yang tampan bin
ganteng ini, ya?"
"Kubunuh kauuuu!!"
Tak kuasa menindih kemarahannya dan seperti
melupakan keciutannya mengingat kesaktian pemuda
di hadapannya, Ratu Dari Kegelapan sudah mencelat
melepaskan kedua tendangannya.
Rajawali Emas yang hendak mempersingkat
waktu karena dia masih harus menuju ke Bukit Watu
Hatur, pun segera menggebrak ke muka dengan jurus
'Sentakan Ekor Pecahkan Gunung'.
Bukkk! Bukkk! Terdengar kaki kanan dan kiri Ratu Dari Kege-
lapan tertahan oleh kedua tangan Tirta yang mencuat
ke atas. Dalam satu gebrakan itu, sebenarnya kedudu-
kan Ratu Dari Kegelapan sudah kalah satu tindak. Ka-
rena masih menjejakkan kedua kakinya di tanah, Ra-
jawali Emas sudah melepaskan pukulan dari bawah!
Tetapi yang mengejutkan, Ratu Dari Kegelapan
berhasil menghindari serangan itu. Bahkan masih di
udara dia memutar tubuhnya dan kembali melepaskan
tendangan kaki kanan dan kiri.
"Heiii!!" seru Tirta terkesiap dan segera merun-duk. Namun satu susulan
tendangan kaki kiri siap
menghantam kepalanya.
Tak ada jalan lain kecuali melompat mundur.
Sementara itu, Ratu Dari Kegelapan sudah menjejak-
kan kedua kakinya di tanah dengan mata dipentang-
kan dan bibir menyunggingkan seringaian aneh.
"Terbuka sekarang matamu, Rajawali Emas"!"
seru Ratu Dari Kegelapan dengan seringaian lebar.
"Itulah salah satu jurus andalan yang kumiliki
'Tendangan Bayangan'!"
Mendapati ejekan itu Tirta cuma nyengir saja.
Lalu membuang rumput yang masih dihisap-hisapnya
dengan cara ditiup.
Wuuuttt! Rumput ringan yang bila dihembus angin lem-
but itu akan bergoyang, meluncur laksana anak pa-
nah. Dan.... Plaass! Masuk hingga tak tersisa ke sebuah batang po-
hon bersamaan dengan pandangan Ratu Dari Kegela-
pan yang terkesiap sejenak. Lalu segera palingkan kepala kembali ke arah
Rajawali Emas yang sedang ber-
kata, "Nah! Kali ini terbelalak kedua matamu, Ratu Da-ri Kegelapan"! Itulah yang
kunamakan jurus 'Rumput
Maut Iseng Masuk ke Pohon'! Kunamakan seperti itu
juga karena tidak meleset saja! Kalau meleset ya ting-
gal dirubah saja namanya menjadi, 'Rumput Nggak
Maut Nggak Iseng Juga Nggak Masuk ke Pohon!"
"Setan keparat! Dia mempermainkanku!!"
mengkelap wajah Ratu Dari Kegelapan.
Kejap itu pula kaki kanannya menjejak tanah,
menyusul sosoknya yang mumbul ke udara. Dengan
gerakan aneh, tubuhnya meliuk. Menyusul kedua ka-
kinya menggebrak dengan cepat sebelum diputar terle-
bih dulu hingga menimbulkan gemuruh angin yang
kencang! "Hmmm... terpaksa aku harus memberi pelaja-
ran padanya!" desis Tirta dalam hati. Lalu segera diangkat kedua tangannya yang
telah dialirkan tenaga
surya. Begitu tendangan kaki kiri lawan mendekat,
kedua tangannya disentakkan diiringi hawa panas
yang menyengat.
Plak! Plak!! Benturan keras itu terjadi. Tubuh Ratu Dari
Kegelapan mental ke belakang, namun tanpa menjejak
tanah lagi, sosoknya sudah berputar dan kembali
menggerakkan kedua kakinya.
Rajawali Emas yang sudah menduga akan hal
itu, mengingat kejadian yang pertama tadi, sudah
mendahului mencelat ke depan. Tangan kirinya disen-
takkan dari bawah. Tetapi itu hanya pancingan belaka, sekadar mengejutkan
perempuan bersulamkan mahkota di bagian dada kanan sebelah atas.
Apa yang diduganya benar, terutama karena
keterkejutan Ratu Dari Kegelapan tatkala deru hawa
panas mengarah padanya. Namun dia tak urungkan
tendangan kaki kanan kirinya.
Inilah yang memang ditunggu Rajawali Emas.
Begitu tangan kirinya disentakkan, mendadak dengan
gerakan meluruk di bawah tubuh Ratu Dari Kegela-
pan, kaki kanannya segera dilepaskan, mencuat ke
atas. Bukkk! "Aaakhhhh!!"
Terdengar seruan kaget bernada kesakitan dari
perempuan sesat itu. Tubuhnya terlempar ke atas. Se-
benarnya, Ratu Dari Kegelapan masih bisa kuasai ke-
seimbangannya. Namun Rajawali Emas yang setelah
menjejakkan kaki kirinya ke tanah kemudian tubuh-
nya mencelat ke atas, telah kirimkan jotosan telak ke dada Ratu Dari Kegelapan.
Untuk kedua kalinya terdengar pekikan terta-
han dari perempuan sesat itu. Bila saja Rajawali Emas bermaksud menghabisinya,
dengan mudah akan dilakukan. Akan tetapi, untuk kedua kalinya Rajawali
Emas menahan serangannya.
Kini dia tegak dengan kedua kaki sedikit dipen-
tangkan di tanah. Sementara sosok Ratu Dari Kegela-
pan ambruk namun sorot matanya tajam.
"Setan laknat!" geramnya sengit.
Rajawali Emas hanya tersenyum saja.
"Apakah kau sekarang masih mempunyai ala-
san untuk tidak menyerahkan diri pada Keraton We-
dok Mulyo?"
"Jahanam betul! Kesaktian pemuda ini benar-
benar di luar batas dugaanku! Bahkan kali ini dia dengan mudah mengalahkanku!
Keparat jahanam'! Biar
bagaimanapun juga, tak sudi aku untuk menyerahkan
diri pada Keraton Wedok Mulyo!" maki Ratu Dari Kegelapan dalam hati.
Sementara itu, untuk ketiga kalinya Rajawali
Emas mencabut sebatang rumput dan menghisap-
hisapnya. "Tetapi ya... rasanya aku rela mengantarmu ke
Keraton Wedok Mulyo.... Atau... ya, ya! Lebih baik kau kugantung saja dulu
dengan kedua kaki di atas dan
kepala dibawah! Bagaimana" Atau kau punya usul
yang lain"!"
Tubuh Ratu Dari Kegelapan bergetar karena
marah. Dengan susah payah dia akhirnya berhasil
berdiri kendati agak goyah.
"Jangan harap aku melakukan apa yang kau
inginkan, Pemuda Keparat! Kau harus mampus di tan-
ganku"!"
"Wadaaaaoouuuu!!" seru Rajawali Emas tiba-tiba seraya mundur dua tindak. Kedua
matanya terbe- liak ketakutan. Lalu dengan suara konyol dia berkata memelas, "Apakah kau tidak
kasihan denganku yang tampan ini. Ken... atau Putri Lebah... atau Ratu Dari
Kegelapan?"
Ratu Dari Kegelapan sudah tak kuasa lagi me-
nahan amarahnya. Namun karena tubuhnya telah ter-
luka dalam, dia hanya bisa menggeram tinggi sambil
menindih amarahnya.
Rajawali Emas tertawa berderai, "Kupikir... justru kau yang akan mampus! Tetapi,
penjara bawah tanah di Keraton Wedok Mulyo akan menjadi tempat
yang paling..."
Selorohan Rajawali Emas terputus tatkala satu
sosok tubuh melesat dari balik ranggasan semak belu-
kar diiringi teriakan membahana, "Perempuan jahanam!! Kau harus mampusss!!" ,
Sementara itu, Ratu Dari Kegelapan yang se-
dang menahan rasa sakit pada tubuhnya, tersentak
kaget dengan kepala mendongak. Kejap itu pula den-
gan kerahkan sisa-sisa tenaganya dia lepaskan puku-
lan 'Rangkaian Kabut Kegelapan'!
Tetapi sosok tubuh yang mendadak mencelat
dengan kecepatan tinggi itu sudah mendekat seraya
mengayunkan tangan kanan-kirinya diiringi teriakan
keras. Tanpa ayal lagi dua jotosan beruntun yang dilepaskan orang itu telak
menghantam dada Ratu Dari
Kegelapan, yang masih sempat membalas menyarang-
kan pukulan 'Rangkaian Kabut Kegelapan'.
Dess! Desss!! Dua sosok tubuh terpental ke belakang dan
muntahkan darah. Lalu ambruk dalam keadaan berlu-
tut. Sosok Ratu Dari Kegelapan bergetar hebat. Dia
muntah darah lagi dengan tubuh yang terasa bertam-
bah sakit. Dirasakan aliran darahnya bertambah ka-
cau. Dan tiba-tiba saja getaran tubuhnya bertambah
hebat, menyusul erangannya yang keras. Beberapa ke-
jap kemudian, erangannya merendah bersamaan den-
gan getaran tubuhnya yang lamat-lamat terhenti. Dua
kejap kemudian,' nyawa perempuan sesat itu pun le-
pas dari jasadnya untuk selama-lamanya.
Sementara sosok tubuh yang melancarkan se-
rangan pada Ratu Dari Kegelapan tadi, setelah bergetar hebat, ambruk telentang
dengan kedua tangan terpentang. Dadanya naik turun dengan mata terpejam.
Mendadak tubuhnya tersentak dengan mulut meng-
gembor, menyusul darah yang keluar kencang.
Rajawali Emas yang tadi tersentak kaget segera
mendekati sosok itu, "Mangku Langit...."
Sosok tubuh yang melancarkan serangan bo-
kongan pada Ratu Dari Kegelapan tadi yang ternyata
Mangku Langit adanya, membuka kedua matanya
dengan bibir tersenyum puas.
"Aku puas.... Aku puas bisa membalasnya...,"
desisnya pelan dan berulang-ulang.
Rajawali Emas menarik napas panjang. Lalu
katanya, "Mengapa kau melakukannya, Mangku Lan-
git?" Mangku Langit tersenyum. "Mungkin kau akan menyalahi sikapku ini, Tirta.
Tetapi aku puas.... Perempuan sesat itu memang layak untuk mati...."
"Tetapi...."
Tangan kanan Mangku Langit menggenggam
tangan kiri Rajawali Emas hingga pemuda itu memu-
tuskan kata-katanya. Menyusul kata-kata lelaki bertubuh pendek itu,
"Kau tak perlu mendatangi Keraton Wedok
Mulyo... juga tak perlu menangkap perempuan sesat
itu.... Rajawali Emas... terima kasih atas bantuan-
mu.... Aku... aku... akan menyusul Gandung Pulungan
dan Kerta Sedayu sekarang...."
Habis kata-katanya, genggaman tangan kanan
Mangku Langit dirasakan Tirta mulai melemah. Lalu
jatuh terkulai bersamaan kepalanya yang jatuh ke
samping kanan. Sementara dari mulutnya mengalir
darah hitam yang cukup kental.
Cepat Tirta memegang urat nadi di tangan ka-
nan Mangku Langit. Kejap kemudian, terdengar helaan
napas panjang pemuda dari Gunung Rajawali ini.
"Aku tidak tahu, apakah tindakanmu ini bisa
kubenarkan atau tidak.... Tetapi, aku tidak menginginkan justru kau dan Ratu
Dari Kegelapan akhirnya sal-
ing membunuh.... Tetapi bila keadaan ini membuatmu
puas... aku pun tak bisa mencegahnya.... Karena, se-
mua memang sudah terlambat...."
Setelah terdiam beberapa saat, Rajawali Emas
berdiri. Lalu digalinya dua buah lubang yang cukup
besar. Setelah menguburkan mayat Mangku Langit
dan Ratu Dari Kegelapan, pemuda ini mendesah pen-
dek. Kepalanya menengadah menatap arakan awan
putih dari sela-sela dedaunan yang terus bergerak ke arah barat.
"Mungkin... suatu ketika dendam hanya berupa
sisi kehidupan batin setiap manusia.... Tetapi mung-
kin, di setiap dendam yang ada masih tersimpan mis-
teri yang harus dikuakkan...."
*** Bab 9 SETELAH meninggalkan Ratu Dari Kegelapan, Siluman Kawah Api melanjutkan
langkahnya menuju ke Bukit
Watu Hatur. Biar bagaimanapun juga, perempuan tua
yang memiliki dagu panjang lancip ini, tetap berkeinginan untuk bertemu dengan
Seruling Haus Darah.
Rajawali Emas 21 Trisula Mata Empat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sepanjang dia berkelebat, pikirannya tak putus
dari bayangan sosok Seruling Haus Darah. Karena
gagal membayangkan seperti apa rupa orang itu, si
nenek berpakaian jingga kemerahan ini mencoba men-
gingat sosok Raja Setan.
"Gila! Aku tetap berkeyakinan kalau manusia
itu adalah Raja Setan! Dialah satu-satunya orang yang menjadikan Dewa Tanpa Nama
musuh bebuyutannya!
Dan selama ini belum pernah kudengar kalau Dewa
Tanpa Nama kendati berkali-kali berhasil mengalah-
kannya, lalu membunuhnya! Tetapi satu kabar yang
mengejutkan, justru Dewa Tanpa Nama akhirnya te-
was di tangan lelaki yang berjuluk Seruling Haus Da-
rah! Lantas kemana perginya Raja Setan yang sudah
keluarkan sumpah akan membunuh Dewa Tanpa Na-
ma dan membunuh siapa saja yang mendahului kein-
ginannya" Inilah yang menyebabkan keyakinanku ka-
lau Raja Setanlah orang yang berada di balik julukan Seruling Haus Darah!
Terutama tak pernah kudengar
pertarungan Raja Setan dengan Seruling Haus Darah!"
Dengan pikiran yang berkecamuk, si nenek
berbibir keriput yang tersaput gincu tipis ini terus berkelebat. Di saat
ingatannya kembali pada Ratu Dari
Kegelapan dia hanya mendengus saja.
"Sayang, aku telah menjalin kambrat dengan-
nya! Bila tidak, sudah kubunuh dia saat marah-marah
karena kuselamatkan dari tangan Rajawali Emas!
Mengenai Rajawali Emas sendiri, hingga saat ini aku memang belum membuka silang
sengketa! Tetapi urusan rasanya sudah menguak karena dia berani meng-
hajar kambrat baru ku! Peduli setan dengan segala
urusan! Yang terpenting, membuktikan dugaanku ten-
tang siapa sesungguhnya Seruling Haus Darah!"
Namun mendadak saja kelebatan si nenek ter-
henti dengan cara menyentak tatkala kedua kakinya
sudah menginjak bagian tengah dari padang rumput
luas yang dilaluinya. Kepalanya seketika menengadah
dengan kedua tangan dibuka lebar-lebar.
"Gila! Apakah telingaku tak salah menangkap
gerakan orang"!" desis si nenek mengernyitkan keningnya. "Hmm... nampaknya dua
orang yang sedang berkelebat dan bercakap-cakap. Aku ingin tahu siapa
orang itu...."
Tanpa bergeser dari tempatnya, Siluman Kawah
Api membalikkan tubuh. Kedua tangan kurusnya dis-
edekapkan di depan dada. Rambutnya yang hitam
panjang, bertambah acak-acakan dipermainkan angin
sore. Suara dua kelebatan tubuh itu semakin jelas
terdengar seiring percakapan yang makin kentara.
"Kakang Wulung! Apakah benar ini jalan menu-
ju ke Bukit Watu Hatur"!"
"Aku tidak tahu pasti! Beberapa orang yang kita tanyakan tak satu pun memberikan
jawaban yang memuaskan! Hanya seorang bapak di dusun yang kita
lewati tadi, yang kendati agak ragu, tetapi jawabannya bisa dijadikan pegangan!"
"Hmmm... dua orang ini rupanya menuju tem-
pat yang sama. Apakah mereka kambrat dari Seruling
Haus Darah, ataukah lawan yang hendak memusnah-
kannya" Dari cara keduanya berkelebat cukup menun-
jukkan keduanya memiliki ilmu peringan tubuh yang
lumayan. Berarti...," kata batin Siluman Kawah Api terputus tatkala kedua orang
yang berkelebat dan bercakap-cakap itu telah muncul dan sama-sama meng-
hentikan langkah berjarak dua tombak di hadapan si
nenek yang memperhatikan keduanya baik-baik.
Dua orang yang baru muncul itu, yang tak lain
Sri Kunting dan Wulung Seta adanya, yang setelah saling pandang, lantas balas
memandang ke arah Silu-
man Kawah Api. Setelah bertemu dengan tiga utusan dari Kera-
ton Wedok Mulyo yang akhirnya tewas, Sri Kunting
dan Wulung Seta yang mencoba mencari keterangan
dari mereka tentang letak Bukit Watu Hatur namun
gagal, segera meneruskan perjalanan ( Baca serial Rajawali Emas dalam episode :
"Ratu Dari Kegelapan").
Setiap kali bertemu dengan siapa saja, kedua-
nya selalu menanyakan letak Bukit Watu Hatur. Na-
mun tak seorang pun yang memberikan jawaban yang
pasti. Dan yang sama sekali tak keduanya sangka, ka-
lau mereka akan bertemu dengan perempuan tua ber-
pakaian panjang warna jingga kemerahan.
Wulung Seta menggeser berdirinya lebih men-
dekat pada Sri Kunting. Lalu berbisik, "Rayi... kenal-
kah kau dengan nenek berdagu lancip ini?"
Mendapati pertanyaan itu murid mendiang
Pendekar Pedang menggelengkan kepalanya, lalu ber-
kata, "Kau sendiri, Kakang?"
"Tidak. Aku pun tidak mengenalnya. Tetapi
menilik sikapnya... perempuan tua ini seperti sengaja menghadang langkah kita.
Kita harus berhati-hati,
Rayi..." Sri Kunting menganggukkan kepalanya dengan tatapan waspada. Sejurus
kemudian, dilihatnya Wulung Seta sudah maju dua tindak. Dengan pandangan
lurus ke depan, murid mendiang Ki Alam Gempita
yang tewas di tangan Seruling Haus Darah ini, sudah
berseru, "Tak ada angin tak ada hujan, bahkan kita baru pertama kali bersua,
tetapi sikapmu sudah seperti menghadang! Apakah ada satu urusan hingga kau
berlaku seperti itu"!"
Siluman Kawah Api menyeringai lebar seraya
membatin, "Dari sorot kedua mata muda-mudi ini, jelas aku menangkap isyarat
dendam yang berkobar.
Dan tadi mereka membicarakan urusan dengan Serul-
ing Haus Darah Bisa kutebak, kalau keduanya bukan-
lah cecunguk atau kambrat manusia itu. Tetapi untuk
lebih meyakinkan lagi, biarlah lebih kupastikan...."
Dengan masih menyeringai dan sorot mata tan-
pa kedip, Siluman Kawah Api berkata, "Kudengar kalian membicarakan tentang Bukit
Watu Hatur di mana
Seruling Haus Darah berada! Kalau boleh tahu, ada
urusan apakah"!"
Bukannya Wulung Seta yang menjawab, Sri
Kunting sudah mendahului sambil menjajari langkah
pemuda gagah berpakaian abu-abu terbuka di bagian
dadanya yang bidang, "Masing-masing orang punya urusan! Lebih baik tidak usah
berlama-lama lagi! Kita
urus, urusan masing-masing!"
Mengkelap wajah Siluman Kawah Api menden-
gar kata-kata gadis berpakaian biru muda itu. Hanya
karena ingin mengetahui urusan sepasang remaja itu
ke Bukit Watu Hatur segera ditindih kejengkelannya.
Sejurus kemudian terdengar suaranya lagi, "Aku membenarkan apa yang kau katakan!
Tetapi kebetulan saja kita punya tujuan ke tempat yang sama!"
Kali ini kedua remaja itu saling berpandangan.
Kejap lain Wulung Seta yang curiga dengan sikap si
nenek sudah membuka mulut, "Tempat tujuan boleh sama! Tetapi tujuan yang lain
tentu berbeda!!"
"Jelas berbeda bila melihat sinar dendam di
mata kalian! Aku jadi makin penasaran ingin tahu
dendam apa yang ada di dada kalian terhadap Seruling Haus Darah!" kata Siluman
Kawah Api dalam hati.
Lalu tetap dengan seringai lebarnya dia berka-
ta, "Kalau masing-masing orang sudah tahu tempat yang sama yang dituju, mengapa
tak mengatakan tujuan lain?"
"Kata-kata perempuan tua ini seperti memanc-
ing. Aku harus berhati-hati. Menilik sosoknya jelas kalau dia bukan orang
sembarangan," kata Wulung Seta dalam hati dan berseru lagi, "Tak perlu membuka
diri dengan tujuan yang akan masing-masing orang lakukan! Lebih baik kita
berpisah di sini tanpa meninggalkan silang sengketa!!"
Mendapati jawaban itu, kali ini Siluman Kawah
Api tak kuasa menindih amarahnya lebih lama. Pan-
dangannya kini menajam dengan wajah mengkelap.
"Sejak tadi kalian tak mengindahkan orang bi-
cara baik-baik! Terpaksa aku harus menghajar adat!!"
"Apa yang hendak kau lakukan jelas tidak pada
tempatnya! Tetapi bila manusia sesat menurunkan
tangan, apakah kami akan berdiam diri"!"
Habis kata-kata Wulung Seta, sosok si nenek
berdagu lancip itu sudah mencelat ke muka. Satu ge-
lombang angin panas mendahului lesatan tubuhnya.
Serentak sepasang remaja itu saling membuang tubuh
ke samping. Blaaaar! Tanah di mana tadi keduanya berdiri langsung
rengkah terhantam gelombang pukulan Siluman Ka-
wah Api. Debu bercampur rumput berhamburan di
udara! Si nenek menghentikan serangannya dengan
kedua kaki dipentangkan. Sepasang matanya menyipit,
"Tepat dugaanku. Kedua remaja ini bukannya tidak memiliki isi! Akan kupaksa apa
yang keduanya hendaki!!"
Memikir sampai di sana, si nenek sudah meng-
gerakkan kedua tangannya tanpa bergeser dari tem-
patnya. Satu gelombang angin dahsyat yang mencelat
dari tangan kanannya mengarah pada Wulung Seta,
sementara satu gelombang angin lainnya menderu ke
arah Sri Kunting.
Kedua remaja ini segera berjumpalitan cepat.
Namun sebelum masing-masing orang menjejakkan
kakinya di tanah, sambil tertawa berderai, Siluman
Kawah Api terus melepaskan pukulan jarak jauhnya.
"Kalian lebih pantas menjadi badut-badut kota
praja!!" serunya sambil tertawa keras.
Padang rumput yang tadi sunyi dan nyaman
itu, kini mulai diusik oleh keributan. Beberapa bagian tanah di sana pecah dan
membentuk lubang yang keluarkan asap. Rumput-rumput berhamburan di udara
dan luruh kembali.
Seraya menghindari gempuran itu, Wulung Se-
ta menggeram, "Keparat! Bila keadaan terus menerus seperti ini, justru akan
menguras tenagaku dan tenaga Sri Kunting! Ini tak boleh dibiarkan! Aku harus
nekat menerobos!"
Berpikir demikian, saat membuang tubuh
menghindari pukulan jarak jauh si nenek, pemuda
berpakaian abu-abu terbuka di dada ini segera meng-
gerakkan kedua tangannya, melepaskan pukulan
'Gerbang Marakahyangan'!
Namun justru terdengar seruan Wulung Seta
sendiri. Karena begitu dikerahkan tenaga dalam pada
kedua lengannya, terasa ada satu kekuatan yang luar
biasa besar menjalari sekujur tubuhnya, yang meng-
gebrak terlebih dahulu dan menghantam pukulan ja-
rak jauh si nenek. Menyusul pukulan 'Gerbang Mara-
kahyangan' melesat tanpa halangan ke arah Siluman
Kawah Api! Keterkejutan Wulung Seta tidak bertahan lama,
karena kejap lain pemuda ini teringat kejadian aneh di saat Sudra Jalang
menyerangnya (Baca serial Rajawali Emas dalam episode : "Memburu Nyawa Sang
Pendekar"). "Hmm... rupanya orang di balik angin yang membantuku dan Sri
Kunting, masih menyisakan tenaga anehnya padaku!" desis Wulung Seta dalam hati.
Di seberang, Siluman Kawah Api yang berhasil '
menghindari gebrakan pukulan Wulung Seta, berdiri
tegak di atas tanah dengan sepasang mata terbuka le-
bar. Kedua matanya terpentang besar seakan tak per-
caya melihat yang telah dilakukan si pemuda.
"Luar biasa! Pemuda ini memiliki tenaga dalam
yang sangat kuat tadi! Tetapi... aku tahu pukulan apa yang dilepaskannya.
Bukankah itu pukulan 'Gerbang
Marakahyangan' milik Ki Alam Gempita" Hmmm... bisa
kutebak sekarang siapa pemuda ini. Tetapi bagaimana
dengan si gadis yang nampaknya juga sudah memper-
siapkan diri dengan satu serangan" Baiknya, kupanc-
ing dia, biar kuketahui siapa gadis itu sesungguhnya!"
Berpikir demikian, Siluman Kawah Api segera
melompat ke arah Sri Kunting dengan kedua tangan
terbuka. Mendapati gelagat tak menguntungkan, si gadis
segera meloloskan sepasang pedangnya yang bersilan-
gan di balik punggungnya. Dengan gerakan yang cepat
dimainkannya jurus 'Pedang Membelah Langit'.
Dua buah pedang yang seperti terus menerus
bergerak ke atas dan menimbulkan suara menggidik-
kan keras, untuk sesaat membuat Siluman Kawah Api
terkesiap, lalu melompat mundur.
"Aku tahu jurus yang dimainkannya, salah se-
buah jurus milik Pendekar Pedang! Hmmm... gadis ini
jelas murid Pendekar Pedang! Apakah keduanya dipe-
rintahkan oleh masing-masing guru mereka untuk
membunuh Seruling Haus Darah" Tak seorang pun
yang boleh membunuhnya sebelum kuyakinkan du-
gaanku tentang siapa orang itu! Dan sungguh sial, kalau kedua orang itu justru
menyuruh murid-murid me-
reka untuk berlaga! Keparat betul!"
Karena berpikir demikian dan tak tahu kalau
sebenarnya Ki Alam Gempita dan Pendekar Pedang te-
lah tewas, Siluman Kawah Api segera mengembangkan
kedua tangannya. Sesaat nampak tubuhnya bergetar
dan kejap itu pula kedua tangannya berubah menjadi
kehitaman. Tak tanggung lagi, dia sudah siap kelua-
rkan jurus 'Bencana Kawah Api'.
Seketika tempat itu seperti didera panas yang
sungguh luar biasa. Bahkan arah angin seolah terta-
han dan berubah Sosok Wulung Seta dan Sri Kunting
mundur beberapa tindak ke belakang tatkala merasa-
kan terpaan hawa panas.
"Rayi Sri Kunting... lebih baik kau segera tinggalkan tempat ini. Nampaknya si
nenek sudah kelua-
rkan jurus yang sangat berbahaya. Aku tidak tahu
apakah pukulan 'Gerbang Marakahyangan' yang ken-
dati sudah mendapat tenaga tambahan dari orang di
balik angin akan mampu menahan jurus yang berba-
haya itu...."
Tetapi Sri Kunting menggelengkan kepalanya,
tegas. "Tidak, Kakang! Kita telah lama bersama-sama!
Apa pun yang terjadi, kita tetap harus bersama!"
"Tetapi, Rayi...."
"Aku tahu kalau bahaya sedang mengancam ki-
Rajawali Emas 21 Trisula Mata Empat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ta, Kakang. Hanya saja, aku tak ingin melewatkan kea-syikan ini!"
Diam-diam Wulung Seta menarik napas pen-
dek. Dia tahu apa yang dikatakan oleh si gadis ha-
nyalah untuk menindih kengeriannya, seperti yang ju-
ga melanda dirinya. Rasanya memang tak ada jalan
lain untuk menghindar sekarang.
Di depan, Siluman Kawah Api menyeringai. Ke-
dua tangannya sebatas siku yang kini menghitam di-
kembang-tutupkan. Dan desiran hawa panas justru
semakin berpendar-pendar hebat.
Kejap itu pula terdengar teriakannya yang
mengguntur. Menyusul tubuhnya yang melesat ke de-
pan. Hawa panas mendahului menderu ke arah Wu-
lung Seta dan Sri Kunting.
Tak berani untuk memapaki, kedua remaja itu
mencelat ke samping kanan-kiri. Namun begitu tubuh
keduanya mencelat, Siluman Kawah Api merentangkan
kedua tangannya.
Wrrrr! Wrrrrr!!
Bila saja kedua remaja itu tidak bertindak si-
gap, tak ayal keduanya akan tersambar!
Saat berguling Wulung Seta membatin, "Sulit
mendekati si Nenek! Hawa panas yang menguar dari
tubuhnya memaksa kami tak bisa berbuat banyak! Ka-
lau begini terus menerus, bisa kacau!! Harus kucoba!
Harus!!" Dengan bulatkan tekad, begitu tubuhnya tegak
kembali, murid mendiang Ki Alam Gempita ini sudah
menyentakkan kedua tangannya lepaskan pukulan
'Gerbang Marakahyangan' ke depan!
Satu gelombang angin mendahului melabrak,
menyusul pukulan 'Gerbang Marakahyangan' yang se-
perti. tembok bergerak menimbulkan suara bergemu-
ruh! Siluman Kawah Api cuma jerengkan sepasang
mata. Lalu tangan kanannya disentakkan. Segera
menderu hawa panas yang tinggi. Labrakan gelombang
angin yang mendahului pukulan 'Gerbang Maraka-
hyangan' yang dilepaskan Wulung Seta, seperti ber-
pendar pecah. Menyusul terdengar suara letupan keras tatkala hawa panas yang
diiringi deru menggidikkan
melabrak pukulan 'Gerbang Marakahyangan'!
Sosok Wulung Seta mencelat dua tombak ke
belakang. Masih untung dia tidak sampai jatuh kenda-
ti saat berdiri kedua kakinya nampak goyah.
Wajah pemuda berpakaian abu-abu ini pucat
pasi laksana tanpa darah. Dadanya naik turun. Dari
hidungnya mengalir darah segar. Melihat apa yang di-
alami Wulung Seta, dengan lipat gandakan tenaga da-
lamnya, Sri Kunting sudah menderu dengan perguna-
kan jurus 'Pedang Membelah Langit'!
Kedua pedangnya bergerak laksana membelah
udara, menimbulkan suara yang keras. Siluman Ka-
wah Api yang tadi berniat menghabisi Wulung Seta,
menghentikan gerakan. Kepalanya ditolehkan dengan
pandangan tajam.
Sambil menggeram, disentakkan tangan ki-
rinya, menyusul tubuhnya melompat dan tangan ka-
nan siap dihantamkan pada kepala Sri Kunting.
"Kalian benar-benar harus diajar adat! Mengapa
tidak Ki Alam Gempita dan Pendekar Pedang yang da-
tang sendiri ke Bukit Watu Hatur"!"
Tatkala dari tangan kiri si nenek menghampar
hawa panas yang tinggi, Sri Kunting langsung mem-
buang tubuh. Namun hawa panas itu telah melingkup
sepasang pedangnya dan membuat Sri Kunting tersen-
tak. Mengaduh keras dilepaskan kedua pedangnya ka-
rena dia laksana memegang bara.
Namun sosok Siluman Kawah Api yang mende-
ru ke depan, rasanya sulit untuk dihindari si gadis. Sri Kunting seperti
termangu melihat maut yang datang
padanya. Napasnya seolah terhenti dengan dada ber-
gemuruh kuat. Namun bersamaan dengan itu, mendadak saja
satu bayangan raksasa seperti menghampar di atas
rumput. Menyusul deru angin laksana topan badai
mengarah pada sosok Siluman Kawah Api yang menje-
rit keras.... "Heeeiiii!!"
Si nenek berdagu lancip ini segera menyentak-
kan tubuh ke belakang, mengurungkan niat menghajar
Sri Kunting. Belum lagi si nenek menyadari apa yang
terjadi, gelombang angin yang tadi sempat mengu-
rungkan niatnya untuk menurunkan tangan pada si
gadis, sudah menderu ke arahnya!
Tubuh Siluman Kawah Api seperti terhantam
satu pukulan raksasa, menyusul terpentalnya si nenek ke belakang diiringi
pekikan tertahan!
Sedangkan Wulung Seta yang berdiri agak jauh
dari sana, terhantam pula oleh gelombang angin yang
datang itu. Tubuhnya pun terpental ke belakang. Kali ini dia ambruk setelah
bergulingan. Hanya Sri Kunting yang masih berdiri tegak. Ini
disebabkan kedudukannya yang membelakangi sam-
baran angin raksasa yang mendadak muncul dari uda-
ra. Rumput di padang itu langsung tercabut dan
beterbangan entah ke mana, seketika di tempat itu
terbentuk tanah lapang yang cukup luas tanpa dihuni
oleh rerumputan seperti sebelumnya.
Kejap lain terdengar teriakan mengguntur,
membahana dahsyat, "Kraaagggghhhh!!"
*** Bab 10 MASING-MASING orang yang berada di tempat itu seketika terbeliak. Mulut mereka
menganga laksana me-
lihat hantu di siang bolong. Tak jauh dari orang-orang itu berdiri, satu sosok
tubuh raksasa telah bertengger di atas rumput luas. Dan terdengar suara
kirikannya. "Gila! Burung apakah ini"!" seketika terdengar suara terkejut Siluman Kawah Api
setelah termangu
beberapa saat. Sri Kunting yang masih berdiri tegak, seakan
tak percaya melihat makhluk apa yang tadi menolong-
nya. "Oh, Tuhan... apakah aku sedang bermimpi"!"
Begitu pula dengan Wulung Seta.
"Baru kali ini kulihat burung rajawali yang be-
sarnya kira-kira empat kali gajah dewasa! Apakah bu-
rung ini titisan dewa, atau penghuni padang rumput
ini?" Dengan pandangan tetap tak percaya, murid mendiang Ki Alam Gempita
memperhatikan burung rajawali raksasa itu dari kepala sampai kaki.
Paruh burung itu besar dan kokoh. Melengkung
kuat dengan ujung runcing tajam. Lehernya penuh
dengan bulu tebal berwarna keemasan bercampur ke-
merahan. Di atas kepalanya terdapat jambul berwarna
keemasan yang sangat terang. Bulu burung di bagian
badan berwarna keemasan bercampur kemerahan dan
kebiruan. Di sayapnya berwarna keemasan bercampur
warna abu-abu. Yang paling menarik adalah ekornya,
yang lebar panjang berwarna keemasan. Utuh seperti
jambul di atas kepalanya. Kedua kakinya yang sebesar kaki manusia dewasa itu
tampak kering dan sekeras
baja, agak bersisik dan jari-jarinya mekar dengan ku-ku-kuku runcing yang tajam
dan melengkung pula.
Bola matanya yang besar berwarna kemerahan.
Untuk sesaat tempat itu didera sepi. Sampai
kemudian terdengar bentakan Siluman Kawah Api
yang keras, "Burung celaka! Kau menghalangi keinginanku, hah"!"
Burung rajawali raksasa yang tak lain Bwana
adanya, mengangkat lehernya yang besar. Bola ma-
tanya yang kemerahan melirik tajam pada si nenek
yang diam-diam ternyata ciut juga mendapati tatapan
yang tajam itu.
Sungguh aneh sebenarnya kemunculan Bwana.
Di saat beberapa kali Rajawali Emas memanggil Bwa-
na, ternyata burung rajawali raksasa berwarna keema-
san itu tidak muncul. Ini disebabkan karena di saat
Bwana diperintahkan oleh Rajawali Emas ke Puncak
Kalununtu, dia bertemu dengan seseorang yang diken-
al dan dihormatinya. Orang itu mengatakan sesuatu
pada Bwana tentang kejadian yang kelak akan dihada-
pi Rajawali Emas.
Sebenarnya di saat Rajawali Emas memberikan
isyarat! memanggil Bwana, Bwana sudah mengetahui
dan tak sabar untuk mendatanginya. Tetapi orang
yang menceritakan tentang kejadian yang akan diha-
dapi oleh Rajawali Emas, mampu menahan kepergian
Bwana. "Setan keparat! Siapakah pemilik burung ini"
Tindakannya tadi benar-benar kapiran!" maki Siluman Kawah Api dalam hati.
Sementara itu, dengan berhati-hati dan bu-
latkan tekad, Sri Kunting mendekati burung rajawali
raksasa. Kendati hati si gadis kebat-kebit namun menyadari kalau tadi dia
ditolong oleh burung itu, kebe-raniannya pun timbul.
Kendati demikian dia hanya berani berdiri satu
tombak dari Bwana.
"Aku tidak tahu kau datang dari langit atau pe-
liharaan seseorang. Tetapi... aku mengucapkan terima kasih atas bantuanmu
tadi...." Terdengar kirikkan Bwana pelan.
Wulung Seta sendiri perlahan-lahan mendekati
si gadis. "Bila hanya mendengar cerita, sangat sulit ba-
giku ' untuk mempercayainya. Tetapi kendati demi-
kian, yang terpampang di hadapanku ini rasanya ma-
sih sulit ku percayai...."
Sementara itu, Siluman Kawah Api yang gusar
karena niatnya gagal, diam-diam kerahkan tenaga da-
lamnya lagi. Jurus 'Bencana Kawah Api'-nya yang dah-
syat dikeluarkan.
Kejap itu pula tanpa keluarkan suara, dia su-
dah lepaskan serangannya. Sepasang remaja itu segera palingkan kepala tatkala
dirasakan hawa panas dahsyat menghampar. Namun belum lagi keduanya ber-
tindak, mendadak saja satu gelombang angin mengge-
bah dari arah samping.
Begitu dahsyatnya hingga suara yang ditimbul-
kan gebahan angin itu laksana badai menghantam dua
dusun sekaligus! Menyusul rengkahnya tanah yang se-
gera menebarkan debu-debu!
Hawa panas yang keluar dari pukulan Siluman
Kawah Api segera tertindih. Wajah si nenek bukan
hanya pucat pasi, tetapi seperti kehabisan darah. Kejap itu pula tubuhnya
terseret deras ke belakang.
Masih diusahakan untuk kuasai keseimban-
gannya, namun tak mampu dilakukan. Tanpa ampun
lagi tubuh si nenek terbanting deras di tanah kelua-
rkan suara keluhan tertahan.
Dua pasang mata remaja itu terbeliak tak per-
caya mendapati yang terjadi di hadapannya. Masing-
masing orang segera palingkan kepala pada burung ra-
jawali raksasa berwarna keemasan itu. Seketika kedu-
anya menyadari kalau burung rajawali itu berpihak
pada mereka. Karena masing-masing berpikir demikian, tan-
pa di-sepakati lagi keduanya melangkah mendekati
Bwana yang mengkirik.
Namun saat berkata, masih terdengar nada ra-
gu-ragu dari mulut Wulung Seta, "Aku tidak tahu kau milik siapa dan dari mana
asalmu. Tetapi kehadiranmu di sini banyak sekali membantu kami...."
Bwana yang mengerti ucapan orang karena ter-
latih bercakap-cakap dengan Tirta namun hanya Tirta
dan Eyang Sepuh Mahisa Agni, orang pertama yang
memiliki Bwana dan merupakan eyang guru dari Tirta
yang mengerti ucapan Bwana mengkirik pelan bernada
bersahabat Sementara itu, setelah mengatur napas dan te-
naga dalamnya, sosok Siluman Kawah Api sudah ber-
diri kembali. Sejenak kedua kakinya nampak goyah,
namun seiring dengan pandangannya yang tajam pada
Bwana, kedua kakinya sudah terpancang tegak!
"Sungguh luar biasa kepakan sayap burung ra-
jawali raksasa itu! Tetapi ini justru membuatku penasaran dan tak bisa tinggal diam!"
Habis membatin begitu, perlahan-lahan dialir-
kan kembali jurus 'Bencana Kawah Api'. Kendati siap untuk menyerang, si nenek
masih terdiam seolah menimbang apa yang akan terjadi.
"Mudah-mudahan burung rajawali raksasa itu
menyerangku lagi tanpa bergeser dari tempatnya. Den-
gan kata lain, hanya menggerakkan sayapnya belaka
tanpa harus terbang dengan cengkeraman kedua kaki.
Kalau memang begitu, kemungkinan besar aku masih
bisa mengimbanginya...."
Setelah menimbang beberapa kali, si nenek se-
gera menahan napasnya. Di lain kejap, tubuhnya su-
dah menyentak ke depan dengan kedua tangan dido-
rong! Wulung Seta dan Sri Kunting yang merasakan
kembali hawa panas menderu ke arah mereka, segera
palingkan kepala. Kejap itu pula masing-masing orang hendak memapaki serangan
itu. Namun justru keduanya yang terpental ke samping, tatkala dengan tiba-
tiba Bwana kembali mengibaskan sayap kirinya.
Wrrrr!! Siluman Kawah Api yang sudah memperhi-
tungkan hal itu, melompat dengan sigap dan bergulin-
gan menjauh. Begitu kedua kakinya menginjak tanah
kembali, dihempos tubuhnya ke depan. Mengarah pa-
da Bwana seiring dilepaskannya jurus 'Bencana Kawah
Api'! Bola mata besar milik Bwana membulat. Di lain kejap, dengan keluarkan
koakan yang sangat keras,
burung rajawali raksasa itu melompat ke angkasa se-
raya kepakkan kedua sayapnya.
Siluman Kawah Api yang sebenarnya sudah
memperhitungkan kemungkinan itu, terkejut. Dia be-
rusaha menahan serangannya, lalu diubah ke atas. Te-
Rajawali Emas 21 Trisula Mata Empat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tapi Bwana yang melompat ke angkasa tadi sudah me-
nukik dengan kedua kaki lurus siap mencengkeram.
Melihat hal itu, Wulung Seta yang memperhati-
kan segera sadar kalau bahaya yang ditimbulkan
Bwana bukan hanya mengarah pada Siluman Kawah
Api. Tetapi bisa juga mengenai dirinya dan Sri Kunting.
Berpikir demikian, dengan sigap murid mendiang Ki
Alam Gempita ini segera menarik tangan Sri Kunting
untuk melompat menjauh.
Sementara itu, jurus 'Bencana Kawah Api' yang
dilepaskan oleh Siluman Kawah Api, langsung putus di tengah jalan begitu
tersambar kepakan sayap Bwana.
Dan segera saja si nenek berdagu lancip ini
membuang tubuh ke belakang untuk menghindari
cengkeraman kedua kaki Bwana yang tajam meleng-
kung. Dia memang berhasil melakukannya, namun
sambaran kepakan sayap kiri Bwana tak bisa dihindari lagi. Desss!
"Aaaakhhhh!!"
Untuk yang ketiga kalinya sosok Siluman Ka-
wah Api terlempar deras ke belakang dan jatuh ter-
banting di atas rumput! Rupanya tubuh Nenek ini ke-
dot juga. Karena begitu terbanting, dia masih bisa berdiri kembali kendati
tubuhnya bergetar dan kedua ka-
kinya goyah. Dari mulut dan hidungnya mengalirkan darah.
Tangan kanannya memegang dadanya yang terasa sa-
kit. "Gila! Jelas aku tak bisa mengatasi burung ra-
jawali keemasan ini! Setiap kali dia bergerak, seperti datang gempa yang
mendadak dan begitu mengerikan!
Keparat betul! Aku jadi gagal mengorek keterangan da-ri kedua remaja itu!
Tetapi... untuk saat ini biarlah semua berlalu. Lebih baik... kuteruskan saja
langkah menuju Bukit Watu Hatur sembari memulihkan kea-daanku kembali...."
Memutuskan demikian, perempuan tua berpa-
kaian panjang jingga kemerahan ini, diam-diam mun-
dur per-lahan. Lalu di lain kejap dia sudah berkelebat sambil memegang dadanya.
Sebenarnya apa yang diinginkan oleh Siluman
Kawah Api diketahui oleh Sri Kunting dan Wulung Se-
ta. Namun kedua remaja itu tak menghiraukan. Kedu-
anya masih keheranan dengan apa yang dilihat di ha-
dapannya. Tahu-tahu muncul burung rajawali raksasa
keemasan yang entah punya siapa dan menolongnya!
Bukan hanya menolong, tetapi menghindari mereka
dari maut. Sri Kunting berkata, "Kakang... apakah kita se-
gera menuju ke Bukit Watu Hatur" Aku yakin, perem-
puan tua berjuluk Siluman Kawah Api itu meneruskan
langkah ke sana...."
Wulung Seta palingkan kepala pada gadis di
sebelahnya. Seraya mengangguk dia berkata, "Aku pun hendak memutuskan demikian,
Rayi. Tetapi... apakah
kau tidak merasa aneh dengan burung rajawali kee-
masan ini?"
Sri Kunting arahkan pandangan lagi pada
Bwana yang sudah mendekam kembali di atas tanah.
"Sejak pertama kali dia muncul, aku sudah ke-
heranan, Kakang. Banyak pertanyaan demi pertanyaan
yang mendadak muncul dan mengherankanku...."
"Begitu pula denganku!"
"Lantas, apa yang bisa kita lakukan"!"
"Aku tidak punya gagasan yang baik. Sulit ba-
giku untuk bercakap-cakap dengan burung ini. Dan je-
las itu satu hal yang tidak mungkin."
"Lalu?"
Wulung Seta terdiam sejenak sebelum akhirnya
berkata, "Kita ucapkan terima kasih atas bantuannya.
Barangkali saja dia mengerti."
Setelah mendapati Sri Kunting menganggukkan
kepala, Wulung Seta maju mendekati Bwana, diiringi
murid mendiang Pendekar Pedang di sebelah kanan-
nya. Berjarak lima tindak dari Bwana, Wulung Seta
tidak langsung menjalankan maksud. Pandangannya
masih tak percaya melihat sosok besar di hadapannya.
Kejap lain dia berkata, "Seperti kataku pertama tadi, aku tidak tahu milik
siapakah kau ini dan berasal dari mana. Tetapi, kuucapkan terima kasih atas
bantuanmu!"
Bola mata besar Bwana mengerjap.
Wulung Seta melirik Sri Kunting, "Rayi... sa-
darkah kau kalau makhluk ini sepertinya mengerti ka-
ta-kataku barusan?"
"Ya! Menilik sikapnya dia memang mengerti.
Kalau memang begini adanya, jelas dia peliharaan se-
seorang!" "Luar biasa! Sungguh beruntung sekali orang
yang memilikinya kendati keherananku masih meraja,
bagaimana orang itu bisa menemukan burung rajawali
raksasa sebesar ini?"
Sri Kunting menggelengkan kepalanya seolah
pertanyaan tadi ditujukan padanya.
"Aku tidak tahu." Lalu katanya, "Burung rajawali raksasa keemasan... aku pun
mengucapkan teri-
ma kasih pula. Tetapi maafkan kami, terus terang,
waktu yang kami miliki tidak banyak untuk berkena-
lan lebih lanjut denganmu. Karena, ada tugas yang harus kami selesaikan kendati
kami tahu, kami hanya
membuang nyawa percuma. Tetapi, kami sudah siap
melakukannya...."
Kali ini kepala Bwana menegak. Pandangannya
lurus pada Sri Kunting yang mendadak tegang.
"Kakang Wulung... adakah ucapanku yang sa-
lah?" Wulung Seta yang tidak mengerti arti tatapan Bwana yang besar itu
menggelengkan kepalanya, "Aku tidak tahu. Tetapi, tenanglah, Rayi. Aku yakin
burung ini tidak punya niat jahat kendati aku tidak tahu seperti apa naluri yang
membaluri setiap sikap dan per-buatannya. Mungkin pula dia hanya bermaksud un-
tuk.... hei!! Ray.. mengapa tubuhnya lebih mendekam
ke dalam sementara kepalanya bergerak-gerak ke be-
lakang?" "Aku tidak tahu. Apakah itu bertanda ada
orang lain yang datang?"
Wulung Seta mengedarkan pandangannya ke
seantero tempat. Namun dia tak melihat sosok lain
yang datang. Lalu diarahkan pandangannya lagi pada
Bwana. Setelah memperhatikan beberapa saat dia ber-
kata, agak ragu-ragu, "Rayi.... Mungkinkah dia...."
Karena Wulung Seta memutus kata-katanya
sendiri, Sri Kunting segera palingkan kepala dan bertanya, "Apa maksudmu,
Kakang?" "Menilik sikapnya... dia seperti... seperti... hendak menyuruh kita... naik di
punggungnya...."
"Oh! Tidak salahkah, Kakang?" tanya Sri Kunting dengan kedua mata terbuka lebih
lebar.. Naik ke
punggung burung rajawali itu" Wah! Sulit dibayang-
kan! Rasanya mungkin senang, namun tak mengu-
rungkan kengerian yang bisa mendatanginya.
"Aku tidak yakin. Tetapi tubuhnya mendekam
lebih merendah, pertanda dia siap ditunggangi Kemu-
dian kepalanya selalu bergerak ke belakang dan aku bisa menduga kalau
gerakkannya itu seperti isyarat
agar kita naik ke punggungnya...."
Sri Kunting kembali menatap Bwana yang
mendekam lebih rendah dan kepala yang selalu berge-
rak ke belakang.
"Mungkinkah, Kakang?"
"Aku tidak yakin. Tetapi... paling tidak.. kita bi-sa mencobanya."
"Oh! "Mengapa, Rayi?"
"Bagaimana bila kita salah menduga?"
Wulung Seta tak segera menjawab. Setelah ber-
pikir beberapa jenak lamat-lamat dia berkata, "Aku tidak tahu. Tetapi paling
tidak... kita bisa menco-
banya...."
Setelah mendapati anggukan Sri Kunting ken-
dati kelihatan dia masih ragu-ragu, seraya menggeng-
gam tangan gadis itu, Wulung Seta maju melangkah.
Berjarak dua tindak dari Bwana, dia berkata
pelan. "Aku tidak yakin tentang dugaan kami dari sikap yang kau lakukan.
Tetapi...."
Memutus kata-katanya sendiri, Wulung Seta
segera melompat naik sembari menarik tubuh Sri
Kunting. Begitu tubuhnya hinggap di punggung Bwa-
na, sosok Sri Kunting pun hinggap di hadapannya,
membelakangi. Sejenak keduanya terdiam, dan bersiap-siap
melompat bila terjadi sesuatu yang tak diinginkan.
Apalagi tatkala tubuh Bwana perlahan-lahan menegak.
Sementara itu, tanpa sadar Sri Kunting me-
nyandarkan tubuhnya di dada Wulung Seta, sementa-
ra kedua tangannya ke belakang memegang kedua
tangan si pemuda erat-erat.
Wulung Seta yang paham mengapa sikap gadis
di hadapannya seperti itu, balas menggenggam tangan
si gadis. Semata untuk memberinya ketenangan dan
semangat. "Jangan gugup.... Menilik sikapnya, dugaan ki-
ta memang benar, Rayi. Aku yakin... beberapa saat lagi burung rajawali raksasa
ini akan terbang Berarti, kita harus berpegangan erat-erat."
Apa yang diduga Wulung Seta membawa kenya-
taan. Karena mendadak saja Bwana keluarkan koakan
yang keras menggelegar ke seantero tempat.
Menyusul kedua kakinya dihentakkan. Dan saat itu
juga tubuhnya meluncur ke angkasa dengan kedua
sayap dikepakkan.
"Oh!!!"
"Tenang, Rayi... tenang!!"
Dalam dua kejapan mata saja, burung rajawali
raksasa itu sudah mengangkasa. Meninggalkan bekas
pijakannya di atas tanah yang cukup besar.
Sementara dari angkasa, nampak tanah dan re-
rumputan seperti menyentak udara dan meninggalkan
kepulan yang pekat setelah kedua sayap Bwana dike-
pakkan *** Bab 11 WAKTU dua kali penanakan nasi berlalu setelah kepergian Bwana membawa sosok
Wulung Seta dan Sri
Kunting. Angin berhembus dingin menerabas padang
rumput. Setelah beberapa kejap, nampaklah satu sosok
tubuh tiba di sana. Sosok tubuh berpakaian keemasan
yang tak lain Rajawali Emas adanya, mengernyitkan
kening tatkala mendapati padang rumput yang diinjak
nya telah porak poranda.
"Hmmm... nampaknya di tempat ini baru saja
terjadi pertarungan yang hebat. Siapa orang-orang
yang bertarung itu" Apakah Seruling Haus Darah yang
telah muncul" Tetapi rasanya tak mungkin! Bukankah
seperti yang kuketahui, kalau manusia sesat yang ba-
nyak membunuh tokoh-tokoh rimba persilatan me-
nunggu para suruhannya di Bukit Watu Hatur" Apa
yang kuduga selama ini, kalau manusia sesat itu me-
rasa akulah lawan yang sepadan, bisa jadi membuat-
nya mendekam lebih' lama entah di mana! Dan akan
muncul sesuai dengan yang direncanakannya...."
Pemuda dari Gunung Rajawali ini pun melang-
kah sembari memperhatikan sekelilingnya. Dan dia se-
gera menghentikan langkahnya tatkala pandangannya
mengarah pada bekas tapak kaki yang sangat dikenal-
nya. Untuk sesaat keningnya dikernyitkan sebelum
akhirnya terdengar seruannya kaget.
"Oh, Tuhan! Bukankah ini tapak kaki Bwana"
Aneh! Mengapa dia bisa berada di sini" Apakah perta-
rungan yang kuduga ini, terjadi antara Bwana dan se-
seorang" Lantas... ke mana dia sebenarnya selama
ini?" Pemuda yang di lengan kanan kirinya terdapat rajahan burung rajawali
keemasan ini, segera berlutut.
Diperhatikannya dengan seksama apa yang dilihatnya.
"Tak salah... ini memang bekas tapak kaki
Bwana." ' Lamat-lamat dia berdiri seraya menengadah.
Pandangannya diedarkan pada angkasa raya yang sepi
dan mulai diliputi senja menuju malam.
"Ke mana perginya Bwana" Ada apa sebenarnya
sehingga dia tidak menampakkan diri dan menjalan-
kan tugas yang kuberikan" Ah, aku jadi penasaran.
Mungkin pula saat ini dia sedang mencari diriku" Se-
baiknya, kupanggil saja dia...."
Berpikir demikian, Tirta bersiap untuk mene-
pukkan kedua tangannya. Namun belum lagi dilaku-
kannya, tiba-tiba saja pemuda ini dikejutkan oleh sua-ra seruling!
Sejenak Tirta tertegun sebelum akhirnya me-
nyadari kalau suara alunan seruling itu mampu meru-
sak pemusatan pikirannya. Sehingga kejap kemudian,
pemuda ini tersentak.
"Suara seruling! Dan suaranya sangat menya-
kitkan sekali! Apakah suara seruling ini...."
Kata-kata batin Tirta terputus, tatkala suara
alunan seruling itu mulai merejam kedua telinganya.
Kadang-kadang melengking tinggi. Menusuk-nusuk
perasaan paling dalam. Kadang merendah, seperti
orang yang sedang menangis. Merintih-rintih seperti
mengiris-iris perasaan. Namun hebat akibatnya!
Si pemuda yang mendengar suara alunan se-
ruling itu seperti tergetar. Jantungnya berdebaran tak menentu. Menyusul rasa
nyeri yang berubah rasa sakit pada kedua telinganya.
"Celaka! Inikah alunan seruling yang berasal
dari Seruling Haus Darah?" batinnya bergetar dan segera mengalirkan tenaga dalam
yang dipadukan den-
gan tenaga surya ke telinga, mencoba menutup gelom-
bang getaran seruling yang dahsyat itu.
Rajawali Emas 21 Trisula Mata Empat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lalu yang terlihat kemudian, sosok pemuda da-
ri Gunung Rajawali ini duduk bersila dengan rang-
kapkan kedua tangan di depan dada, untuk memu-
satkan pikiran dan tenaga dalamnya, melawan arus
suara seruling yang mengandung tenaga aneh.
Kening si pemuda kadang-kadang berkerut
dengan kedua matanya terpejam menahan sakit. Rasa
sakit yang tak terkira mulai mendera kedua telinganya.
Sesuatu yang jarang terjadi pada diri pemuda
ini pun terjadi. Karena, bila Tirta berkeringat dan dia sedang mengalirkan
tenaga surya yang berpusat pada
bawah pusarnya ke seluruh tubuhnya, maka keringat
itu akan langsung mengering tanpa keluar lagi.
Namun yang terjadi sekarang, dalam lima keja-
pan mata saja, sekujur tubuhnya sudah berkeringat
karena mengerahkan seluruh tenaganya guna mela-
wan arus tenaga dari gelombang suara seruling yang
mengerikan. "Celaka! Nampaknya sulit bagiku untuk mena-
han dan bertahan. Gelombang seruling ini seperti
menggetarkan jantungku hingga berdebam keras!!"
Dan mendadak saja pemuda dari Gunung Ra-
jawali merasakan urat darah di kedua lengannya se-
perti mengejut-ngejut. Menyusul menggelembung.
"Celaka betul! Aku yakin, urat darahku ini akan meletus! Oh! Apa yang bisa
kulakukan sekarang"!"
Namun pada saat yang kritis itu, pada saat Ra-
jawali emas sedang dicekam kenyerian yang luar biasa di telinganya dan ngeri
mendapati urat darah pada
tangan kanannya menggelembung, mendadak saja ter-
dengar suara tawa yang keras namun berirama men-
dayu-dayu. Jarang orang tertawa sedemikian kerasnya
dan seperti menelusur dengan irama tawa yang me-
mukau. Perubahan yang terjadi pada diri Tirta pun
sungguh mengejutkan. Kendati kedua gendang telin-
ganya masih terasa nyeri, namun urat darahnya yang
menggelembung mulai normal kembali, hingga kini dia
mulai bisa bersikap tenang.
Sementara itu, alunan seruling ganas yang
mengejut kan tadi, mendadak lebih mengeras. Kendati suara seruling itu makin
melengking tinggi, kemudian menghujam dan seperti menusuk dengan cepat, namun
suara tawa yang terdengar dahsyat itu, seperti
meliuk-liuk menghindari tindihan ganas tenaga dari
alunan seruling yang terdengar.
Terkadang suara seruling itu seperti berontak
dengan kasar, meronta-ronta dan menerjang. Namun
tawa keras yang terdengar itu dengan lincahnya seperti menghindari terjangan
ganas dari alunan suara seruling. Kemudian dengan lembutnya berusaha untuk me-
nundukkan suara ganas seruling itu.
Semakin lama, pertempuran aneh dari dua su-
ara yang berbeda namun menyimpan tenaga dahsyat
itu semakin seru. Kedua suara itu tidak mau menga-
lah. Keduanya tidak mau mundur menyerah.
Dan masing-masing seperti bersikeras menga-
lahkan satu sama lain. Sama-sama kuat. Sama-sama
dahsyat. Sehingga pemuda dari Gunung Rajawali yang
mendengarkan suara-suara dahsyat itu tak lagi mera-
sakan sakit, karena suara-suara itu terutama suara
seruling tidak lagi mengarah pada Tirta. Kendati demikian si pemuda ini tetap
terkesima. Seperti tersihir oleh satu kekuatan aneh yang datang dari suara
alunan seruling dan tawa itu.
Akan tetapi, peredaran darahnya yang sempat
kacau akibat suara Seruling tadi, tetap tak bisa dite-nangkan. Termasuk gemuruh
dadanya yang keras ber-
dentam. Dan terkadang pemuda ini pun terpaksa ha-
rus menahan napas.
Dalam keanehan yang terjadi, mendadak suara
seruling itu meninggi, menindih tawa keras yang dah-
syat itu. Menyusul terdengar satu suara kesakitan
yang cukup menyayat, "Aaaakhhh,..!!"
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Holmes Sugiro
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Pawang Jenazah 3 Gento Guyon 8 Topeng Kedua Rahasia Si Bungkuk Berjubah Putih 3
Tetapi kali ini dia tampaknya tak berani bertindak gegabah, mengingat
dia pernah merasakan kesaktian pemuda dari Gunung
Rajawali ini. Tirta cuma mengangkat" kedua alisnya saja.
Sudah tentu dia tak sudi mengatakan apa yang sebe-
narnya terjadi. Di dalam tubuh pemuda dari Gunung
Rajawali ini, telah meresap sebuah ilmu yang dinama-
kan, Penolak Sejuta Racun'. Ilmu yang didapatkannya
dari Ki Sampumo Pamungkas atau yang dikenal den-
gan julukan Manusia Agung Setengah Dewa di Gunung
Siguntang (Untuk mengetahui bagaimana Tirta men-
dapatkannya, silakan baca episode: "Gerhana Gunung Siguntang").
Ilmu 'Penolak Sejuta Racun' yang telah menya-
tu dengan dirinya, secara tidak langsung akan keluar
begitu ada racun atau pemikat yang mengarah pa-
danya. Jangankan untuk masuk, mendekatinya saja
bisa langsung punah. Bila racun atau pemikat itu me-
miliki kekuatan dahsyat, dengan cara tertentu Rajawali Emas dapat menghalaunya,
tetap dengan mempergunakan ilmu 'Penolak Sejuta Racun'. Karena ilmu lang-
ka warisan dari Manusia Agung Setengah Dewalah niat
busuk Ratu Dari Kegelapan gagal mencapai maksud.
Rajawali Emas berkata lagi setelah mencabut
sebatang rumput dan menghisapnya, "Ratu Dari Kegelapan... lebih baik kau
menyerahkan diri pada Keraton Wedok Mulyo atas perbuatan keparatmu itu!
Hingga...." "Jangan mengguruiku! Huh! Bila tahu akhirnya akan jadi begini, kau
sudah kubunuh sejak semula,
Pemuda sialan!!" putus Ratu Dari Kegelapan keras.
Mendengar hardikan orang, Tirta cuma terse-
nyum. Lalu katanya masih tetap tersenyum, "Sayangnya... kau sudah terpikat
padaku yang tampan bin
ganteng ini, ya?"
"Kubunuh kauuuu!!"
Tak kuasa menindih kemarahannya dan seperti
melupakan keciutannya mengingat kesaktian pemuda
di hadapannya, Ratu Dari Kegelapan sudah mencelat
melepaskan kedua tendangannya.
Rajawali Emas yang hendak mempersingkat
waktu karena dia masih harus menuju ke Bukit Watu
Hatur, pun segera menggebrak ke muka dengan jurus
'Sentakan Ekor Pecahkan Gunung'.
Bukkk! Bukkk! Terdengar kaki kanan dan kiri Ratu Dari Kege-
lapan tertahan oleh kedua tangan Tirta yang mencuat
ke atas. Dalam satu gebrakan itu, sebenarnya kedudu-
kan Ratu Dari Kegelapan sudah kalah satu tindak. Ka-
rena masih menjejakkan kedua kakinya di tanah, Ra-
jawali Emas sudah melepaskan pukulan dari bawah!
Tetapi yang mengejutkan, Ratu Dari Kegelapan
berhasil menghindari serangan itu. Bahkan masih di
udara dia memutar tubuhnya dan kembali melepaskan
tendangan kaki kanan dan kiri.
"Heiii!!" seru Tirta terkesiap dan segera merun-duk. Namun satu susulan
tendangan kaki kiri siap
menghantam kepalanya.
Tak ada jalan lain kecuali melompat mundur.
Sementara itu, Ratu Dari Kegelapan sudah menjejak-
kan kedua kakinya di tanah dengan mata dipentang-
kan dan bibir menyunggingkan seringaian aneh.
"Terbuka sekarang matamu, Rajawali Emas"!"
seru Ratu Dari Kegelapan dengan seringaian lebar.
"Itulah salah satu jurus andalan yang kumiliki
'Tendangan Bayangan'!"
Mendapati ejekan itu Tirta cuma nyengir saja.
Lalu membuang rumput yang masih dihisap-hisapnya
dengan cara ditiup.
Wuuuttt! Rumput ringan yang bila dihembus angin lem-
but itu akan bergoyang, meluncur laksana anak pa-
nah. Dan.... Plaass! Masuk hingga tak tersisa ke sebuah batang po-
hon bersamaan dengan pandangan Ratu Dari Kegela-
pan yang terkesiap sejenak. Lalu segera palingkan kepala kembali ke arah
Rajawali Emas yang sedang ber-
kata, "Nah! Kali ini terbelalak kedua matamu, Ratu Da-ri Kegelapan"! Itulah yang
kunamakan jurus 'Rumput
Maut Iseng Masuk ke Pohon'! Kunamakan seperti itu
juga karena tidak meleset saja! Kalau meleset ya ting-
gal dirubah saja namanya menjadi, 'Rumput Nggak
Maut Nggak Iseng Juga Nggak Masuk ke Pohon!"
"Setan keparat! Dia mempermainkanku!!"
mengkelap wajah Ratu Dari Kegelapan.
Kejap itu pula kaki kanannya menjejak tanah,
menyusul sosoknya yang mumbul ke udara. Dengan
gerakan aneh, tubuhnya meliuk. Menyusul kedua ka-
kinya menggebrak dengan cepat sebelum diputar terle-
bih dulu hingga menimbulkan gemuruh angin yang
kencang! "Hmmm... terpaksa aku harus memberi pelaja-
ran padanya!" desis Tirta dalam hati. Lalu segera diangkat kedua tangannya yang
telah dialirkan tenaga
surya. Begitu tendangan kaki kiri lawan mendekat,
kedua tangannya disentakkan diiringi hawa panas
yang menyengat.
Plak! Plak!! Benturan keras itu terjadi. Tubuh Ratu Dari
Kegelapan mental ke belakang, namun tanpa menjejak
tanah lagi, sosoknya sudah berputar dan kembali
menggerakkan kedua kakinya.
Rajawali Emas yang sudah menduga akan hal
itu, mengingat kejadian yang pertama tadi, sudah
mendahului mencelat ke depan. Tangan kirinya disen-
takkan dari bawah. Tetapi itu hanya pancingan belaka, sekadar mengejutkan
perempuan bersulamkan mahkota di bagian dada kanan sebelah atas.
Apa yang diduganya benar, terutama karena
keterkejutan Ratu Dari Kegelapan tatkala deru hawa
panas mengarah padanya. Namun dia tak urungkan
tendangan kaki kanan kirinya.
Inilah yang memang ditunggu Rajawali Emas.
Begitu tangan kirinya disentakkan, mendadak dengan
gerakan meluruk di bawah tubuh Ratu Dari Kegela-
pan, kaki kanannya segera dilepaskan, mencuat ke
atas. Bukkk! "Aaakhhhh!!"
Terdengar seruan kaget bernada kesakitan dari
perempuan sesat itu. Tubuhnya terlempar ke atas. Se-
benarnya, Ratu Dari Kegelapan masih bisa kuasai ke-
seimbangannya. Namun Rajawali Emas yang setelah
menjejakkan kaki kirinya ke tanah kemudian tubuh-
nya mencelat ke atas, telah kirimkan jotosan telak ke dada Ratu Dari Kegelapan.
Untuk kedua kalinya terdengar pekikan terta-
han dari perempuan sesat itu. Bila saja Rajawali Emas bermaksud menghabisinya,
dengan mudah akan dilakukan. Akan tetapi, untuk kedua kalinya Rajawali
Emas menahan serangannya.
Kini dia tegak dengan kedua kaki sedikit dipen-
tangkan di tanah. Sementara sosok Ratu Dari Kegela-
pan ambruk namun sorot matanya tajam.
"Setan laknat!" geramnya sengit.
Rajawali Emas hanya tersenyum saja.
"Apakah kau sekarang masih mempunyai ala-
san untuk tidak menyerahkan diri pada Keraton We-
dok Mulyo?"
"Jahanam betul! Kesaktian pemuda ini benar-
benar di luar batas dugaanku! Bahkan kali ini dia dengan mudah mengalahkanku!
Keparat jahanam'! Biar
bagaimanapun juga, tak sudi aku untuk menyerahkan
diri pada Keraton Wedok Mulyo!" maki Ratu Dari Kegelapan dalam hati.
Sementara itu, untuk ketiga kalinya Rajawali
Emas mencabut sebatang rumput dan menghisap-
hisapnya. "Tetapi ya... rasanya aku rela mengantarmu ke
Keraton Wedok Mulyo.... Atau... ya, ya! Lebih baik kau kugantung saja dulu
dengan kedua kaki di atas dan
kepala dibawah! Bagaimana" Atau kau punya usul
yang lain"!"
Tubuh Ratu Dari Kegelapan bergetar karena
marah. Dengan susah payah dia akhirnya berhasil
berdiri kendati agak goyah.
"Jangan harap aku melakukan apa yang kau
inginkan, Pemuda Keparat! Kau harus mampus di tan-
ganku"!"
"Wadaaaaoouuuu!!" seru Rajawali Emas tiba-tiba seraya mundur dua tindak. Kedua
matanya terbe- liak ketakutan. Lalu dengan suara konyol dia berkata memelas, "Apakah kau tidak
kasihan denganku yang tampan ini. Ken... atau Putri Lebah... atau Ratu Dari
Kegelapan?"
Ratu Dari Kegelapan sudah tak kuasa lagi me-
nahan amarahnya. Namun karena tubuhnya telah ter-
luka dalam, dia hanya bisa menggeram tinggi sambil
menindih amarahnya.
Rajawali Emas tertawa berderai, "Kupikir... justru kau yang akan mampus! Tetapi,
penjara bawah tanah di Keraton Wedok Mulyo akan menjadi tempat
yang paling..."
Selorohan Rajawali Emas terputus tatkala satu
sosok tubuh melesat dari balik ranggasan semak belu-
kar diiringi teriakan membahana, "Perempuan jahanam!! Kau harus mampusss!!" ,
Sementara itu, Ratu Dari Kegelapan yang se-
dang menahan rasa sakit pada tubuhnya, tersentak
kaget dengan kepala mendongak. Kejap itu pula den-
gan kerahkan sisa-sisa tenaganya dia lepaskan puku-
lan 'Rangkaian Kabut Kegelapan'!
Tetapi sosok tubuh yang mendadak mencelat
dengan kecepatan tinggi itu sudah mendekat seraya
mengayunkan tangan kanan-kirinya diiringi teriakan
keras. Tanpa ayal lagi dua jotosan beruntun yang dilepaskan orang itu telak
menghantam dada Ratu Dari
Kegelapan, yang masih sempat membalas menyarang-
kan pukulan 'Rangkaian Kabut Kegelapan'.
Dess! Desss!! Dua sosok tubuh terpental ke belakang dan
muntahkan darah. Lalu ambruk dalam keadaan berlu-
tut. Sosok Ratu Dari Kegelapan bergetar hebat. Dia
muntah darah lagi dengan tubuh yang terasa bertam-
bah sakit. Dirasakan aliran darahnya bertambah ka-
cau. Dan tiba-tiba saja getaran tubuhnya bertambah
hebat, menyusul erangannya yang keras. Beberapa ke-
jap kemudian, erangannya merendah bersamaan den-
gan getaran tubuhnya yang lamat-lamat terhenti. Dua
kejap kemudian,' nyawa perempuan sesat itu pun le-
pas dari jasadnya untuk selama-lamanya.
Sementara sosok tubuh yang melancarkan se-
rangan pada Ratu Dari Kegelapan tadi, setelah bergetar hebat, ambruk telentang
dengan kedua tangan terpentang. Dadanya naik turun dengan mata terpejam.
Mendadak tubuhnya tersentak dengan mulut meng-
gembor, menyusul darah yang keluar kencang.
Rajawali Emas yang tadi tersentak kaget segera
mendekati sosok itu, "Mangku Langit...."
Sosok tubuh yang melancarkan serangan bo-
kongan pada Ratu Dari Kegelapan tadi yang ternyata
Mangku Langit adanya, membuka kedua matanya
dengan bibir tersenyum puas.
"Aku puas.... Aku puas bisa membalasnya...,"
desisnya pelan dan berulang-ulang.
Rajawali Emas menarik napas panjang. Lalu
katanya, "Mengapa kau melakukannya, Mangku Lan-
git?" Mangku Langit tersenyum. "Mungkin kau akan menyalahi sikapku ini, Tirta.
Tetapi aku puas.... Perempuan sesat itu memang layak untuk mati...."
"Tetapi...."
Tangan kanan Mangku Langit menggenggam
tangan kiri Rajawali Emas hingga pemuda itu memu-
tuskan kata-katanya. Menyusul kata-kata lelaki bertubuh pendek itu,
"Kau tak perlu mendatangi Keraton Wedok
Mulyo... juga tak perlu menangkap perempuan sesat
itu.... Rajawali Emas... terima kasih atas bantuan-
mu.... Aku... aku... akan menyusul Gandung Pulungan
dan Kerta Sedayu sekarang...."
Habis kata-katanya, genggaman tangan kanan
Mangku Langit dirasakan Tirta mulai melemah. Lalu
jatuh terkulai bersamaan kepalanya yang jatuh ke
samping kanan. Sementara dari mulutnya mengalir
darah hitam yang cukup kental.
Cepat Tirta memegang urat nadi di tangan ka-
nan Mangku Langit. Kejap kemudian, terdengar helaan
napas panjang pemuda dari Gunung Rajawali ini.
"Aku tidak tahu, apakah tindakanmu ini bisa
kubenarkan atau tidak.... Tetapi, aku tidak menginginkan justru kau dan Ratu
Dari Kegelapan akhirnya sal-
ing membunuh.... Tetapi bila keadaan ini membuatmu
puas... aku pun tak bisa mencegahnya.... Karena, se-
mua memang sudah terlambat...."
Setelah terdiam beberapa saat, Rajawali Emas
berdiri. Lalu digalinya dua buah lubang yang cukup
besar. Setelah menguburkan mayat Mangku Langit
dan Ratu Dari Kegelapan, pemuda ini mendesah pen-
dek. Kepalanya menengadah menatap arakan awan
putih dari sela-sela dedaunan yang terus bergerak ke arah barat.
"Mungkin... suatu ketika dendam hanya berupa
sisi kehidupan batin setiap manusia.... Tetapi mung-
kin, di setiap dendam yang ada masih tersimpan mis-
teri yang harus dikuakkan...."
*** Bab 9 SETELAH meninggalkan Ratu Dari Kegelapan, Siluman Kawah Api melanjutkan
langkahnya menuju ke Bukit
Watu Hatur. Biar bagaimanapun juga, perempuan tua
yang memiliki dagu panjang lancip ini, tetap berkeinginan untuk bertemu dengan
Seruling Haus Darah.
Rajawali Emas 21 Trisula Mata Empat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sepanjang dia berkelebat, pikirannya tak putus
dari bayangan sosok Seruling Haus Darah. Karena
gagal membayangkan seperti apa rupa orang itu, si
nenek berpakaian jingga kemerahan ini mencoba men-
gingat sosok Raja Setan.
"Gila! Aku tetap berkeyakinan kalau manusia
itu adalah Raja Setan! Dialah satu-satunya orang yang menjadikan Dewa Tanpa Nama
musuh bebuyutannya!
Dan selama ini belum pernah kudengar kalau Dewa
Tanpa Nama kendati berkali-kali berhasil mengalah-
kannya, lalu membunuhnya! Tetapi satu kabar yang
mengejutkan, justru Dewa Tanpa Nama akhirnya te-
was di tangan lelaki yang berjuluk Seruling Haus Da-
rah! Lantas kemana perginya Raja Setan yang sudah
keluarkan sumpah akan membunuh Dewa Tanpa Na-
ma dan membunuh siapa saja yang mendahului kein-
ginannya" Inilah yang menyebabkan keyakinanku ka-
lau Raja Setanlah orang yang berada di balik julukan Seruling Haus Darah!
Terutama tak pernah kudengar
pertarungan Raja Setan dengan Seruling Haus Darah!"
Dengan pikiran yang berkecamuk, si nenek
berbibir keriput yang tersaput gincu tipis ini terus berkelebat. Di saat
ingatannya kembali pada Ratu Dari
Kegelapan dia hanya mendengus saja.
"Sayang, aku telah menjalin kambrat dengan-
nya! Bila tidak, sudah kubunuh dia saat marah-marah
karena kuselamatkan dari tangan Rajawali Emas!
Mengenai Rajawali Emas sendiri, hingga saat ini aku memang belum membuka silang
sengketa! Tetapi urusan rasanya sudah menguak karena dia berani meng-
hajar kambrat baru ku! Peduli setan dengan segala
urusan! Yang terpenting, membuktikan dugaanku ten-
tang siapa sesungguhnya Seruling Haus Darah!"
Namun mendadak saja kelebatan si nenek ter-
henti dengan cara menyentak tatkala kedua kakinya
sudah menginjak bagian tengah dari padang rumput
luas yang dilaluinya. Kepalanya seketika menengadah
dengan kedua tangan dibuka lebar-lebar.
"Gila! Apakah telingaku tak salah menangkap
gerakan orang"!" desis si nenek mengernyitkan keningnya. "Hmm... nampaknya dua
orang yang sedang berkelebat dan bercakap-cakap. Aku ingin tahu siapa
orang itu...."
Tanpa bergeser dari tempatnya, Siluman Kawah
Api membalikkan tubuh. Kedua tangan kurusnya dis-
edekapkan di depan dada. Rambutnya yang hitam
panjang, bertambah acak-acakan dipermainkan angin
sore. Suara dua kelebatan tubuh itu semakin jelas
terdengar seiring percakapan yang makin kentara.
"Kakang Wulung! Apakah benar ini jalan menu-
ju ke Bukit Watu Hatur"!"
"Aku tidak tahu pasti! Beberapa orang yang kita tanyakan tak satu pun memberikan
jawaban yang memuaskan! Hanya seorang bapak di dusun yang kita
lewati tadi, yang kendati agak ragu, tetapi jawabannya bisa dijadikan pegangan!"
"Hmmm... dua orang ini rupanya menuju tem-
pat yang sama. Apakah mereka kambrat dari Seruling
Haus Darah, ataukah lawan yang hendak memusnah-
kannya" Dari cara keduanya berkelebat cukup menun-
jukkan keduanya memiliki ilmu peringan tubuh yang
lumayan. Berarti...," kata batin Siluman Kawah Api terputus tatkala kedua orang
yang berkelebat dan bercakap-cakap itu telah muncul dan sama-sama meng-
hentikan langkah berjarak dua tombak di hadapan si
nenek yang memperhatikan keduanya baik-baik.
Dua orang yang baru muncul itu, yang tak lain
Sri Kunting dan Wulung Seta adanya, yang setelah saling pandang, lantas balas
memandang ke arah Silu-
man Kawah Api. Setelah bertemu dengan tiga utusan dari Kera-
ton Wedok Mulyo yang akhirnya tewas, Sri Kunting
dan Wulung Seta yang mencoba mencari keterangan
dari mereka tentang letak Bukit Watu Hatur namun
gagal, segera meneruskan perjalanan ( Baca serial Rajawali Emas dalam episode :
"Ratu Dari Kegelapan").
Setiap kali bertemu dengan siapa saja, kedua-
nya selalu menanyakan letak Bukit Watu Hatur. Na-
mun tak seorang pun yang memberikan jawaban yang
pasti. Dan yang sama sekali tak keduanya sangka, ka-
lau mereka akan bertemu dengan perempuan tua ber-
pakaian panjang warna jingga kemerahan.
Wulung Seta menggeser berdirinya lebih men-
dekat pada Sri Kunting. Lalu berbisik, "Rayi... kenal-
kah kau dengan nenek berdagu lancip ini?"
Mendapati pertanyaan itu murid mendiang
Pendekar Pedang menggelengkan kepalanya, lalu ber-
kata, "Kau sendiri, Kakang?"
"Tidak. Aku pun tidak mengenalnya. Tetapi
menilik sikapnya... perempuan tua ini seperti sengaja menghadang langkah kita.
Kita harus berhati-hati,
Rayi..." Sri Kunting menganggukkan kepalanya dengan tatapan waspada. Sejurus
kemudian, dilihatnya Wulung Seta sudah maju dua tindak. Dengan pandangan
lurus ke depan, murid mendiang Ki Alam Gempita
yang tewas di tangan Seruling Haus Darah ini, sudah
berseru, "Tak ada angin tak ada hujan, bahkan kita baru pertama kali bersua,
tetapi sikapmu sudah seperti menghadang! Apakah ada satu urusan hingga kau
berlaku seperti itu"!"
Siluman Kawah Api menyeringai lebar seraya
membatin, "Dari sorot kedua mata muda-mudi ini, jelas aku menangkap isyarat
dendam yang berkobar.
Dan tadi mereka membicarakan urusan dengan Serul-
ing Haus Darah Bisa kutebak, kalau keduanya bukan-
lah cecunguk atau kambrat manusia itu. Tetapi untuk
lebih meyakinkan lagi, biarlah lebih kupastikan...."
Dengan masih menyeringai dan sorot mata tan-
pa kedip, Siluman Kawah Api berkata, "Kudengar kalian membicarakan tentang Bukit
Watu Hatur di mana
Seruling Haus Darah berada! Kalau boleh tahu, ada
urusan apakah"!"
Bukannya Wulung Seta yang menjawab, Sri
Kunting sudah mendahului sambil menjajari langkah
pemuda gagah berpakaian abu-abu terbuka di bagian
dadanya yang bidang, "Masing-masing orang punya urusan! Lebih baik tidak usah
berlama-lama lagi! Kita
urus, urusan masing-masing!"
Mengkelap wajah Siluman Kawah Api menden-
gar kata-kata gadis berpakaian biru muda itu. Hanya
karena ingin mengetahui urusan sepasang remaja itu
ke Bukit Watu Hatur segera ditindih kejengkelannya.
Sejurus kemudian terdengar suaranya lagi, "Aku membenarkan apa yang kau katakan!
Tetapi kebetulan saja kita punya tujuan ke tempat yang sama!"
Kali ini kedua remaja itu saling berpandangan.
Kejap lain Wulung Seta yang curiga dengan sikap si
nenek sudah membuka mulut, "Tempat tujuan boleh sama! Tetapi tujuan yang lain
tentu berbeda!!"
"Jelas berbeda bila melihat sinar dendam di
mata kalian! Aku jadi makin penasaran ingin tahu
dendam apa yang ada di dada kalian terhadap Seruling Haus Darah!" kata Siluman
Kawah Api dalam hati.
Lalu tetap dengan seringai lebarnya dia berka-
ta, "Kalau masing-masing orang sudah tahu tempat yang sama yang dituju, mengapa
tak mengatakan tujuan lain?"
"Kata-kata perempuan tua ini seperti memanc-
ing. Aku harus berhati-hati. Menilik sosoknya jelas kalau dia bukan orang
sembarangan," kata Wulung Seta dalam hati dan berseru lagi, "Tak perlu membuka
diri dengan tujuan yang akan masing-masing orang lakukan! Lebih baik kita
berpisah di sini tanpa meninggalkan silang sengketa!!"
Mendapati jawaban itu, kali ini Siluman Kawah
Api tak kuasa menindih amarahnya lebih lama. Pan-
dangannya kini menajam dengan wajah mengkelap.
"Sejak tadi kalian tak mengindahkan orang bi-
cara baik-baik! Terpaksa aku harus menghajar adat!!"
"Apa yang hendak kau lakukan jelas tidak pada
tempatnya! Tetapi bila manusia sesat menurunkan
tangan, apakah kami akan berdiam diri"!"
Habis kata-kata Wulung Seta, sosok si nenek
berdagu lancip itu sudah mencelat ke muka. Satu ge-
lombang angin panas mendahului lesatan tubuhnya.
Serentak sepasang remaja itu saling membuang tubuh
ke samping. Blaaaar! Tanah di mana tadi keduanya berdiri langsung
rengkah terhantam gelombang pukulan Siluman Ka-
wah Api. Debu bercampur rumput berhamburan di
udara! Si nenek menghentikan serangannya dengan
kedua kaki dipentangkan. Sepasang matanya menyipit,
"Tepat dugaanku. Kedua remaja ini bukannya tidak memiliki isi! Akan kupaksa apa
yang keduanya hendaki!!"
Memikir sampai di sana, si nenek sudah meng-
gerakkan kedua tangannya tanpa bergeser dari tem-
patnya. Satu gelombang angin dahsyat yang mencelat
dari tangan kanannya mengarah pada Wulung Seta,
sementara satu gelombang angin lainnya menderu ke
arah Sri Kunting.
Kedua remaja ini segera berjumpalitan cepat.
Namun sebelum masing-masing orang menjejakkan
kakinya di tanah, sambil tertawa berderai, Siluman
Kawah Api terus melepaskan pukulan jarak jauhnya.
"Kalian lebih pantas menjadi badut-badut kota
praja!!" serunya sambil tertawa keras.
Padang rumput yang tadi sunyi dan nyaman
itu, kini mulai diusik oleh keributan. Beberapa bagian tanah di sana pecah dan
membentuk lubang yang keluarkan asap. Rumput-rumput berhamburan di udara
dan luruh kembali.
Seraya menghindari gempuran itu, Wulung Se-
ta menggeram, "Keparat! Bila keadaan terus menerus seperti ini, justru akan
menguras tenagaku dan tenaga Sri Kunting! Ini tak boleh dibiarkan! Aku harus
nekat menerobos!"
Berpikir demikian, saat membuang tubuh
menghindari pukulan jarak jauh si nenek, pemuda
berpakaian abu-abu terbuka di dada ini segera meng-
gerakkan kedua tangannya, melepaskan pukulan
'Gerbang Marakahyangan'!
Namun justru terdengar seruan Wulung Seta
sendiri. Karena begitu dikerahkan tenaga dalam pada
kedua lengannya, terasa ada satu kekuatan yang luar
biasa besar menjalari sekujur tubuhnya, yang meng-
gebrak terlebih dahulu dan menghantam pukulan ja-
rak jauh si nenek. Menyusul pukulan 'Gerbang Mara-
kahyangan' melesat tanpa halangan ke arah Siluman
Kawah Api! Keterkejutan Wulung Seta tidak bertahan lama,
karena kejap lain pemuda ini teringat kejadian aneh di saat Sudra Jalang
menyerangnya (Baca serial Rajawali Emas dalam episode : "Memburu Nyawa Sang
Pendekar"). "Hmm... rupanya orang di balik angin yang membantuku dan Sri
Kunting, masih menyisakan tenaga anehnya padaku!" desis Wulung Seta dalam hati.
Di seberang, Siluman Kawah Api yang berhasil '
menghindari gebrakan pukulan Wulung Seta, berdiri
tegak di atas tanah dengan sepasang mata terbuka le-
bar. Kedua matanya terpentang besar seakan tak per-
caya melihat yang telah dilakukan si pemuda.
"Luar biasa! Pemuda ini memiliki tenaga dalam
yang sangat kuat tadi! Tetapi... aku tahu pukulan apa yang dilepaskannya.
Bukankah itu pukulan 'Gerbang
Marakahyangan' milik Ki Alam Gempita" Hmmm... bisa
kutebak sekarang siapa pemuda ini. Tetapi bagaimana
dengan si gadis yang nampaknya juga sudah memper-
siapkan diri dengan satu serangan" Baiknya, kupanc-
ing dia, biar kuketahui siapa gadis itu sesungguhnya!"
Berpikir demikian, Siluman Kawah Api segera
melompat ke arah Sri Kunting dengan kedua tangan
terbuka. Mendapati gelagat tak menguntungkan, si gadis
segera meloloskan sepasang pedangnya yang bersilan-
gan di balik punggungnya. Dengan gerakan yang cepat
dimainkannya jurus 'Pedang Membelah Langit'.
Dua buah pedang yang seperti terus menerus
bergerak ke atas dan menimbulkan suara menggidik-
kan keras, untuk sesaat membuat Siluman Kawah Api
terkesiap, lalu melompat mundur.
"Aku tahu jurus yang dimainkannya, salah se-
buah jurus milik Pendekar Pedang! Hmmm... gadis ini
jelas murid Pendekar Pedang! Apakah keduanya dipe-
rintahkan oleh masing-masing guru mereka untuk
membunuh Seruling Haus Darah" Tak seorang pun
yang boleh membunuhnya sebelum kuyakinkan du-
gaanku tentang siapa orang itu! Dan sungguh sial, kalau kedua orang itu justru
menyuruh murid-murid me-
reka untuk berlaga! Keparat betul!"
Karena berpikir demikian dan tak tahu kalau
sebenarnya Ki Alam Gempita dan Pendekar Pedang te-
lah tewas, Siluman Kawah Api segera mengembangkan
kedua tangannya. Sesaat nampak tubuhnya bergetar
dan kejap itu pula kedua tangannya berubah menjadi
kehitaman. Tak tanggung lagi, dia sudah siap kelua-
rkan jurus 'Bencana Kawah Api'.
Seketika tempat itu seperti didera panas yang
sungguh luar biasa. Bahkan arah angin seolah terta-
han dan berubah Sosok Wulung Seta dan Sri Kunting
mundur beberapa tindak ke belakang tatkala merasa-
kan terpaan hawa panas.
"Rayi Sri Kunting... lebih baik kau segera tinggalkan tempat ini. Nampaknya si
nenek sudah kelua-
rkan jurus yang sangat berbahaya. Aku tidak tahu
apakah pukulan 'Gerbang Marakahyangan' yang ken-
dati sudah mendapat tenaga tambahan dari orang di
balik angin akan mampu menahan jurus yang berba-
haya itu...."
Tetapi Sri Kunting menggelengkan kepalanya,
tegas. "Tidak, Kakang! Kita telah lama bersama-sama!
Apa pun yang terjadi, kita tetap harus bersama!"
"Tetapi, Rayi...."
"Aku tahu kalau bahaya sedang mengancam ki-
Rajawali Emas 21 Trisula Mata Empat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ta, Kakang. Hanya saja, aku tak ingin melewatkan kea-syikan ini!"
Diam-diam Wulung Seta menarik napas pen-
dek. Dia tahu apa yang dikatakan oleh si gadis ha-
nyalah untuk menindih kengeriannya, seperti yang ju-
ga melanda dirinya. Rasanya memang tak ada jalan
lain untuk menghindar sekarang.
Di depan, Siluman Kawah Api menyeringai. Ke-
dua tangannya sebatas siku yang kini menghitam di-
kembang-tutupkan. Dan desiran hawa panas justru
semakin berpendar-pendar hebat.
Kejap itu pula terdengar teriakannya yang
mengguntur. Menyusul tubuhnya yang melesat ke de-
pan. Hawa panas mendahului menderu ke arah Wu-
lung Seta dan Sri Kunting.
Tak berani untuk memapaki, kedua remaja itu
mencelat ke samping kanan-kiri. Namun begitu tubuh
keduanya mencelat, Siluman Kawah Api merentangkan
kedua tangannya.
Wrrrr! Wrrrrr!!
Bila saja kedua remaja itu tidak bertindak si-
gap, tak ayal keduanya akan tersambar!
Saat berguling Wulung Seta membatin, "Sulit
mendekati si Nenek! Hawa panas yang menguar dari
tubuhnya memaksa kami tak bisa berbuat banyak! Ka-
lau begini terus menerus, bisa kacau!! Harus kucoba!
Harus!!" Dengan bulatkan tekad, begitu tubuhnya tegak
kembali, murid mendiang Ki Alam Gempita ini sudah
menyentakkan kedua tangannya lepaskan pukulan
'Gerbang Marakahyangan' ke depan!
Satu gelombang angin mendahului melabrak,
menyusul pukulan 'Gerbang Marakahyangan' yang se-
perti. tembok bergerak menimbulkan suara bergemu-
ruh! Siluman Kawah Api cuma jerengkan sepasang
mata. Lalu tangan kanannya disentakkan. Segera
menderu hawa panas yang tinggi. Labrakan gelombang
angin yang mendahului pukulan 'Gerbang Maraka-
hyangan' yang dilepaskan Wulung Seta, seperti ber-
pendar pecah. Menyusul terdengar suara letupan keras tatkala hawa panas yang
diiringi deru menggidikkan
melabrak pukulan 'Gerbang Marakahyangan'!
Sosok Wulung Seta mencelat dua tombak ke
belakang. Masih untung dia tidak sampai jatuh kenda-
ti saat berdiri kedua kakinya nampak goyah.
Wajah pemuda berpakaian abu-abu ini pucat
pasi laksana tanpa darah. Dadanya naik turun. Dari
hidungnya mengalir darah segar. Melihat apa yang di-
alami Wulung Seta, dengan lipat gandakan tenaga da-
lamnya, Sri Kunting sudah menderu dengan perguna-
kan jurus 'Pedang Membelah Langit'!
Kedua pedangnya bergerak laksana membelah
udara, menimbulkan suara yang keras. Siluman Ka-
wah Api yang tadi berniat menghabisi Wulung Seta,
menghentikan gerakan. Kepalanya ditolehkan dengan
pandangan tajam.
Sambil menggeram, disentakkan tangan ki-
rinya, menyusul tubuhnya melompat dan tangan ka-
nan siap dihantamkan pada kepala Sri Kunting.
"Kalian benar-benar harus diajar adat! Mengapa
tidak Ki Alam Gempita dan Pendekar Pedang yang da-
tang sendiri ke Bukit Watu Hatur"!"
Tatkala dari tangan kiri si nenek menghampar
hawa panas yang tinggi, Sri Kunting langsung mem-
buang tubuh. Namun hawa panas itu telah melingkup
sepasang pedangnya dan membuat Sri Kunting tersen-
tak. Mengaduh keras dilepaskan kedua pedangnya ka-
rena dia laksana memegang bara.
Namun sosok Siluman Kawah Api yang mende-
ru ke depan, rasanya sulit untuk dihindari si gadis. Sri Kunting seperti
termangu melihat maut yang datang
padanya. Napasnya seolah terhenti dengan dada ber-
gemuruh kuat. Namun bersamaan dengan itu, mendadak saja
satu bayangan raksasa seperti menghampar di atas
rumput. Menyusul deru angin laksana topan badai
mengarah pada sosok Siluman Kawah Api yang menje-
rit keras.... "Heeeiiii!!"
Si nenek berdagu lancip ini segera menyentak-
kan tubuh ke belakang, mengurungkan niat menghajar
Sri Kunting. Belum lagi si nenek menyadari apa yang
terjadi, gelombang angin yang tadi sempat mengu-
rungkan niatnya untuk menurunkan tangan pada si
gadis, sudah menderu ke arahnya!
Tubuh Siluman Kawah Api seperti terhantam
satu pukulan raksasa, menyusul terpentalnya si nenek ke belakang diiringi
pekikan tertahan!
Sedangkan Wulung Seta yang berdiri agak jauh
dari sana, terhantam pula oleh gelombang angin yang
datang itu. Tubuhnya pun terpental ke belakang. Kali ini dia ambruk setelah
bergulingan. Hanya Sri Kunting yang masih berdiri tegak. Ini
disebabkan kedudukannya yang membelakangi sam-
baran angin raksasa yang mendadak muncul dari uda-
ra. Rumput di padang itu langsung tercabut dan
beterbangan entah ke mana, seketika di tempat itu
terbentuk tanah lapang yang cukup luas tanpa dihuni
oleh rerumputan seperti sebelumnya.
Kejap lain terdengar teriakan mengguntur,
membahana dahsyat, "Kraaagggghhhh!!"
*** Bab 10 MASING-MASING orang yang berada di tempat itu seketika terbeliak. Mulut mereka
menganga laksana me-
lihat hantu di siang bolong. Tak jauh dari orang-orang itu berdiri, satu sosok
tubuh raksasa telah bertengger di atas rumput luas. Dan terdengar suara
kirikannya. "Gila! Burung apakah ini"!" seketika terdengar suara terkejut Siluman Kawah Api
setelah termangu
beberapa saat. Sri Kunting yang masih berdiri tegak, seakan
tak percaya melihat makhluk apa yang tadi menolong-
nya. "Oh, Tuhan... apakah aku sedang bermimpi"!"
Begitu pula dengan Wulung Seta.
"Baru kali ini kulihat burung rajawali yang be-
sarnya kira-kira empat kali gajah dewasa! Apakah bu-
rung ini titisan dewa, atau penghuni padang rumput
ini?" Dengan pandangan tetap tak percaya, murid mendiang Ki Alam Gempita
memperhatikan burung rajawali raksasa itu dari kepala sampai kaki.
Paruh burung itu besar dan kokoh. Melengkung
kuat dengan ujung runcing tajam. Lehernya penuh
dengan bulu tebal berwarna keemasan bercampur ke-
merahan. Di atas kepalanya terdapat jambul berwarna
keemasan yang sangat terang. Bulu burung di bagian
badan berwarna keemasan bercampur kemerahan dan
kebiruan. Di sayapnya berwarna keemasan bercampur
warna abu-abu. Yang paling menarik adalah ekornya,
yang lebar panjang berwarna keemasan. Utuh seperti
jambul di atas kepalanya. Kedua kakinya yang sebesar kaki manusia dewasa itu
tampak kering dan sekeras
baja, agak bersisik dan jari-jarinya mekar dengan ku-ku-kuku runcing yang tajam
dan melengkung pula.
Bola matanya yang besar berwarna kemerahan.
Untuk sesaat tempat itu didera sepi. Sampai
kemudian terdengar bentakan Siluman Kawah Api
yang keras, "Burung celaka! Kau menghalangi keinginanku, hah"!"
Burung rajawali raksasa yang tak lain Bwana
adanya, mengangkat lehernya yang besar. Bola ma-
tanya yang kemerahan melirik tajam pada si nenek
yang diam-diam ternyata ciut juga mendapati tatapan
yang tajam itu.
Sungguh aneh sebenarnya kemunculan Bwana.
Di saat beberapa kali Rajawali Emas memanggil Bwa-
na, ternyata burung rajawali raksasa berwarna keema-
san itu tidak muncul. Ini disebabkan karena di saat
Bwana diperintahkan oleh Rajawali Emas ke Puncak
Kalununtu, dia bertemu dengan seseorang yang diken-
al dan dihormatinya. Orang itu mengatakan sesuatu
pada Bwana tentang kejadian yang kelak akan dihada-
pi Rajawali Emas.
Sebenarnya di saat Rajawali Emas memberikan
isyarat! memanggil Bwana, Bwana sudah mengetahui
dan tak sabar untuk mendatanginya. Tetapi orang
yang menceritakan tentang kejadian yang akan diha-
dapi oleh Rajawali Emas, mampu menahan kepergian
Bwana. "Setan keparat! Siapakah pemilik burung ini"
Tindakannya tadi benar-benar kapiran!" maki Siluman Kawah Api dalam hati.
Sementara itu, dengan berhati-hati dan bu-
latkan tekad, Sri Kunting mendekati burung rajawali
raksasa. Kendati hati si gadis kebat-kebit namun menyadari kalau tadi dia
ditolong oleh burung itu, kebe-raniannya pun timbul.
Kendati demikian dia hanya berani berdiri satu
tombak dari Bwana.
"Aku tidak tahu kau datang dari langit atau pe-
liharaan seseorang. Tetapi... aku mengucapkan terima kasih atas bantuanmu
tadi...." Terdengar kirikkan Bwana pelan.
Wulung Seta sendiri perlahan-lahan mendekati
si gadis. "Bila hanya mendengar cerita, sangat sulit ba-
giku ' untuk mempercayainya. Tetapi kendati demi-
kian, yang terpampang di hadapanku ini rasanya ma-
sih sulit ku percayai...."
Sementara itu, Siluman Kawah Api yang gusar
karena niatnya gagal, diam-diam kerahkan tenaga da-
lamnya lagi. Jurus 'Bencana Kawah Api'-nya yang dah-
syat dikeluarkan.
Kejap itu pula tanpa keluarkan suara, dia su-
dah lepaskan serangannya. Sepasang remaja itu segera palingkan kepala tatkala
dirasakan hawa panas dahsyat menghampar. Namun belum lagi keduanya ber-
tindak, mendadak saja satu gelombang angin mengge-
bah dari arah samping.
Begitu dahsyatnya hingga suara yang ditimbul-
kan gebahan angin itu laksana badai menghantam dua
dusun sekaligus! Menyusul rengkahnya tanah yang se-
gera menebarkan debu-debu!
Hawa panas yang keluar dari pukulan Siluman
Kawah Api segera tertindih. Wajah si nenek bukan
hanya pucat pasi, tetapi seperti kehabisan darah. Kejap itu pula tubuhnya
terseret deras ke belakang.
Masih diusahakan untuk kuasai keseimban-
gannya, namun tak mampu dilakukan. Tanpa ampun
lagi tubuh si nenek terbanting deras di tanah kelua-
rkan suara keluhan tertahan.
Dua pasang mata remaja itu terbeliak tak per-
caya mendapati yang terjadi di hadapannya. Masing-
masing orang segera palingkan kepala pada burung ra-
jawali raksasa berwarna keemasan itu. Seketika kedu-
anya menyadari kalau burung rajawali itu berpihak
pada mereka. Karena masing-masing berpikir demikian, tan-
pa di-sepakati lagi keduanya melangkah mendekati
Bwana yang mengkirik.
Namun saat berkata, masih terdengar nada ra-
gu-ragu dari mulut Wulung Seta, "Aku tidak tahu kau milik siapa dan dari mana
asalmu. Tetapi kehadiranmu di sini banyak sekali membantu kami...."
Bwana yang mengerti ucapan orang karena ter-
latih bercakap-cakap dengan Tirta namun hanya Tirta
dan Eyang Sepuh Mahisa Agni, orang pertama yang
memiliki Bwana dan merupakan eyang guru dari Tirta
yang mengerti ucapan Bwana mengkirik pelan bernada
bersahabat Sementara itu, setelah mengatur napas dan te-
naga dalamnya, sosok Siluman Kawah Api sudah ber-
diri kembali. Sejenak kedua kakinya nampak goyah,
namun seiring dengan pandangannya yang tajam pada
Bwana, kedua kakinya sudah terpancang tegak!
"Sungguh luar biasa kepakan sayap burung ra-
jawali raksasa itu! Tetapi ini justru membuatku penasaran dan tak bisa tinggal diam!"
Habis membatin begitu, perlahan-lahan dialir-
kan kembali jurus 'Bencana Kawah Api'. Kendati siap untuk menyerang, si nenek
masih terdiam seolah menimbang apa yang akan terjadi.
"Mudah-mudahan burung rajawali raksasa itu
menyerangku lagi tanpa bergeser dari tempatnya. Den-
gan kata lain, hanya menggerakkan sayapnya belaka
tanpa harus terbang dengan cengkeraman kedua kaki.
Kalau memang begitu, kemungkinan besar aku masih
bisa mengimbanginya...."
Setelah menimbang beberapa kali, si nenek se-
gera menahan napasnya. Di lain kejap, tubuhnya su-
dah menyentak ke depan dengan kedua tangan dido-
rong! Wulung Seta dan Sri Kunting yang merasakan
kembali hawa panas menderu ke arah mereka, segera
palingkan kepala. Kejap itu pula masing-masing orang hendak memapaki serangan
itu. Namun justru keduanya yang terpental ke samping, tatkala dengan tiba-
tiba Bwana kembali mengibaskan sayap kirinya.
Wrrrr!! Siluman Kawah Api yang sudah memperhi-
tungkan hal itu, melompat dengan sigap dan bergulin-
gan menjauh. Begitu kedua kakinya menginjak tanah
kembali, dihempos tubuhnya ke depan. Mengarah pa-
da Bwana seiring dilepaskannya jurus 'Bencana Kawah
Api'! Bola mata besar milik Bwana membulat. Di lain kejap, dengan keluarkan
koakan yang sangat keras,
burung rajawali raksasa itu melompat ke angkasa se-
raya kepakkan kedua sayapnya.
Siluman Kawah Api yang sebenarnya sudah
memperhitungkan kemungkinan itu, terkejut. Dia be-
rusaha menahan serangannya, lalu diubah ke atas. Te-
Rajawali Emas 21 Trisula Mata Empat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tapi Bwana yang melompat ke angkasa tadi sudah me-
nukik dengan kedua kaki lurus siap mencengkeram.
Melihat hal itu, Wulung Seta yang memperhati-
kan segera sadar kalau bahaya yang ditimbulkan
Bwana bukan hanya mengarah pada Siluman Kawah
Api. Tetapi bisa juga mengenai dirinya dan Sri Kunting.
Berpikir demikian, dengan sigap murid mendiang Ki
Alam Gempita ini segera menarik tangan Sri Kunting
untuk melompat menjauh.
Sementara itu, jurus 'Bencana Kawah Api' yang
dilepaskan oleh Siluman Kawah Api, langsung putus di tengah jalan begitu
tersambar kepakan sayap Bwana.
Dan segera saja si nenek berdagu lancip ini
membuang tubuh ke belakang untuk menghindari
cengkeraman kedua kaki Bwana yang tajam meleng-
kung. Dia memang berhasil melakukannya, namun
sambaran kepakan sayap kiri Bwana tak bisa dihindari lagi. Desss!
"Aaaakhhhh!!"
Untuk yang ketiga kalinya sosok Siluman Ka-
wah Api terlempar deras ke belakang dan jatuh ter-
banting di atas rumput! Rupanya tubuh Nenek ini ke-
dot juga. Karena begitu terbanting, dia masih bisa berdiri kembali kendati
tubuhnya bergetar dan kedua ka-
kinya goyah. Dari mulut dan hidungnya mengalirkan darah.
Tangan kanannya memegang dadanya yang terasa sa-
kit. "Gila! Jelas aku tak bisa mengatasi burung ra-
jawali keemasan ini! Setiap kali dia bergerak, seperti datang gempa yang
mendadak dan begitu mengerikan!
Keparat betul! Aku jadi gagal mengorek keterangan da-ri kedua remaja itu!
Tetapi... untuk saat ini biarlah semua berlalu. Lebih baik... kuteruskan saja
langkah menuju Bukit Watu Hatur sembari memulihkan kea-daanku kembali...."
Memutuskan demikian, perempuan tua berpa-
kaian panjang jingga kemerahan ini, diam-diam mun-
dur per-lahan. Lalu di lain kejap dia sudah berkelebat sambil memegang dadanya.
Sebenarnya apa yang diinginkan oleh Siluman
Kawah Api diketahui oleh Sri Kunting dan Wulung Se-
ta. Namun kedua remaja itu tak menghiraukan. Kedu-
anya masih keheranan dengan apa yang dilihat di ha-
dapannya. Tahu-tahu muncul burung rajawali raksasa
keemasan yang entah punya siapa dan menolongnya!
Bukan hanya menolong, tetapi menghindari mereka
dari maut. Sri Kunting berkata, "Kakang... apakah kita se-
gera menuju ke Bukit Watu Hatur" Aku yakin, perem-
puan tua berjuluk Siluman Kawah Api itu meneruskan
langkah ke sana...."
Wulung Seta palingkan kepala pada gadis di
sebelahnya. Seraya mengangguk dia berkata, "Aku pun hendak memutuskan demikian,
Rayi. Tetapi... apakah
kau tidak merasa aneh dengan burung rajawali kee-
masan ini?"
Sri Kunting arahkan pandangan lagi pada
Bwana yang sudah mendekam kembali di atas tanah.
"Sejak pertama kali dia muncul, aku sudah ke-
heranan, Kakang. Banyak pertanyaan demi pertanyaan
yang mendadak muncul dan mengherankanku...."
"Begitu pula denganku!"
"Lantas, apa yang bisa kita lakukan"!"
"Aku tidak punya gagasan yang baik. Sulit ba-
giku untuk bercakap-cakap dengan burung ini. Dan je-
las itu satu hal yang tidak mungkin."
"Lalu?"
Wulung Seta terdiam sejenak sebelum akhirnya
berkata, "Kita ucapkan terima kasih atas bantuannya.
Barangkali saja dia mengerti."
Setelah mendapati Sri Kunting menganggukkan
kepala, Wulung Seta maju mendekati Bwana, diiringi
murid mendiang Pendekar Pedang di sebelah kanan-
nya. Berjarak lima tindak dari Bwana, Wulung Seta
tidak langsung menjalankan maksud. Pandangannya
masih tak percaya melihat sosok besar di hadapannya.
Kejap lain dia berkata, "Seperti kataku pertama tadi, aku tidak tahu milik
siapakah kau ini dan berasal dari mana. Tetapi, kuucapkan terima kasih atas
bantuanmu!"
Bola mata besar Bwana mengerjap.
Wulung Seta melirik Sri Kunting, "Rayi... sa-
darkah kau kalau makhluk ini sepertinya mengerti ka-
ta-kataku barusan?"
"Ya! Menilik sikapnya dia memang mengerti.
Kalau memang begini adanya, jelas dia peliharaan se-
seorang!" "Luar biasa! Sungguh beruntung sekali orang
yang memilikinya kendati keherananku masih meraja,
bagaimana orang itu bisa menemukan burung rajawali
raksasa sebesar ini?"
Sri Kunting menggelengkan kepalanya seolah
pertanyaan tadi ditujukan padanya.
"Aku tidak tahu." Lalu katanya, "Burung rajawali raksasa keemasan... aku pun
mengucapkan teri-
ma kasih pula. Tetapi maafkan kami, terus terang,
waktu yang kami miliki tidak banyak untuk berkena-
lan lebih lanjut denganmu. Karena, ada tugas yang harus kami selesaikan kendati
kami tahu, kami hanya
membuang nyawa percuma. Tetapi, kami sudah siap
melakukannya...."
Kali ini kepala Bwana menegak. Pandangannya
lurus pada Sri Kunting yang mendadak tegang.
"Kakang Wulung... adakah ucapanku yang sa-
lah?" Wulung Seta yang tidak mengerti arti tatapan Bwana yang besar itu
menggelengkan kepalanya, "Aku tidak tahu. Tetapi, tenanglah, Rayi. Aku yakin
burung ini tidak punya niat jahat kendati aku tidak tahu seperti apa naluri yang
membaluri setiap sikap dan per-buatannya. Mungkin pula dia hanya bermaksud un-
tuk.... hei!! Ray.. mengapa tubuhnya lebih mendekam
ke dalam sementara kepalanya bergerak-gerak ke be-
lakang?" "Aku tidak tahu. Apakah itu bertanda ada
orang lain yang datang?"
Wulung Seta mengedarkan pandangannya ke
seantero tempat. Namun dia tak melihat sosok lain
yang datang. Lalu diarahkan pandangannya lagi pada
Bwana. Setelah memperhatikan beberapa saat dia ber-
kata, agak ragu-ragu, "Rayi.... Mungkinkah dia...."
Karena Wulung Seta memutus kata-katanya
sendiri, Sri Kunting segera palingkan kepala dan bertanya, "Apa maksudmu,
Kakang?" "Menilik sikapnya... dia seperti... seperti... hendak menyuruh kita... naik di
punggungnya...."
"Oh! Tidak salahkah, Kakang?" tanya Sri Kunting dengan kedua mata terbuka lebih
lebar.. Naik ke
punggung burung rajawali itu" Wah! Sulit dibayang-
kan! Rasanya mungkin senang, namun tak mengu-
rungkan kengerian yang bisa mendatanginya.
"Aku tidak yakin. Tetapi tubuhnya mendekam
lebih merendah, pertanda dia siap ditunggangi Kemu-
dian kepalanya selalu bergerak ke belakang dan aku bisa menduga kalau
gerakkannya itu seperti isyarat
agar kita naik ke punggungnya...."
Sri Kunting kembali menatap Bwana yang
mendekam lebih rendah dan kepala yang selalu berge-
rak ke belakang.
"Mungkinkah, Kakang?"
"Aku tidak yakin. Tetapi... paling tidak.. kita bi-sa mencobanya."
"Oh! "Mengapa, Rayi?"
"Bagaimana bila kita salah menduga?"
Wulung Seta tak segera menjawab. Setelah ber-
pikir beberapa jenak lamat-lamat dia berkata, "Aku tidak tahu. Tetapi paling
tidak... kita bisa menco-
banya...."
Setelah mendapati anggukan Sri Kunting ken-
dati kelihatan dia masih ragu-ragu, seraya menggeng-
gam tangan gadis itu, Wulung Seta maju melangkah.
Berjarak dua tindak dari Bwana, dia berkata
pelan. "Aku tidak yakin tentang dugaan kami dari sikap yang kau lakukan.
Tetapi...."
Memutus kata-katanya sendiri, Wulung Seta
segera melompat naik sembari menarik tubuh Sri
Kunting. Begitu tubuhnya hinggap di punggung Bwa-
na, sosok Sri Kunting pun hinggap di hadapannya,
membelakangi. Sejenak keduanya terdiam, dan bersiap-siap
melompat bila terjadi sesuatu yang tak diinginkan.
Apalagi tatkala tubuh Bwana perlahan-lahan menegak.
Sementara itu, tanpa sadar Sri Kunting me-
nyandarkan tubuhnya di dada Wulung Seta, sementa-
ra kedua tangannya ke belakang memegang kedua
tangan si pemuda erat-erat.
Wulung Seta yang paham mengapa sikap gadis
di hadapannya seperti itu, balas menggenggam tangan
si gadis. Semata untuk memberinya ketenangan dan
semangat. "Jangan gugup.... Menilik sikapnya, dugaan ki-
ta memang benar, Rayi. Aku yakin... beberapa saat lagi burung rajawali raksasa
ini akan terbang Berarti, kita harus berpegangan erat-erat."
Apa yang diduga Wulung Seta membawa kenya-
taan. Karena mendadak saja Bwana keluarkan koakan
yang keras menggelegar ke seantero tempat.
Menyusul kedua kakinya dihentakkan. Dan saat itu
juga tubuhnya meluncur ke angkasa dengan kedua
sayap dikepakkan.
"Oh!!!"
"Tenang, Rayi... tenang!!"
Dalam dua kejapan mata saja, burung rajawali
raksasa itu sudah mengangkasa. Meninggalkan bekas
pijakannya di atas tanah yang cukup besar.
Sementara dari angkasa, nampak tanah dan re-
rumputan seperti menyentak udara dan meninggalkan
kepulan yang pekat setelah kedua sayap Bwana dike-
pakkan *** Bab 11 WAKTU dua kali penanakan nasi berlalu setelah kepergian Bwana membawa sosok
Wulung Seta dan Sri
Kunting. Angin berhembus dingin menerabas padang
rumput. Setelah beberapa kejap, nampaklah satu sosok
tubuh tiba di sana. Sosok tubuh berpakaian keemasan
yang tak lain Rajawali Emas adanya, mengernyitkan
kening tatkala mendapati padang rumput yang diinjak
nya telah porak poranda.
"Hmmm... nampaknya di tempat ini baru saja
terjadi pertarungan yang hebat. Siapa orang-orang
yang bertarung itu" Apakah Seruling Haus Darah yang
telah muncul" Tetapi rasanya tak mungkin! Bukankah
seperti yang kuketahui, kalau manusia sesat yang ba-
nyak membunuh tokoh-tokoh rimba persilatan me-
nunggu para suruhannya di Bukit Watu Hatur" Apa
yang kuduga selama ini, kalau manusia sesat itu me-
rasa akulah lawan yang sepadan, bisa jadi membuat-
nya mendekam lebih' lama entah di mana! Dan akan
muncul sesuai dengan yang direncanakannya...."
Pemuda dari Gunung Rajawali ini pun melang-
kah sembari memperhatikan sekelilingnya. Dan dia se-
gera menghentikan langkahnya tatkala pandangannya
mengarah pada bekas tapak kaki yang sangat dikenal-
nya. Untuk sesaat keningnya dikernyitkan sebelum
akhirnya terdengar seruannya kaget.
"Oh, Tuhan! Bukankah ini tapak kaki Bwana"
Aneh! Mengapa dia bisa berada di sini" Apakah perta-
rungan yang kuduga ini, terjadi antara Bwana dan se-
seorang" Lantas... ke mana dia sebenarnya selama
ini?" Pemuda yang di lengan kanan kirinya terdapat rajahan burung rajawali
keemasan ini, segera berlutut.
Diperhatikannya dengan seksama apa yang dilihatnya.
"Tak salah... ini memang bekas tapak kaki
Bwana." ' Lamat-lamat dia berdiri seraya menengadah.
Pandangannya diedarkan pada angkasa raya yang sepi
dan mulai diliputi senja menuju malam.
"Ke mana perginya Bwana" Ada apa sebenarnya
sehingga dia tidak menampakkan diri dan menjalan-
kan tugas yang kuberikan" Ah, aku jadi penasaran.
Mungkin pula saat ini dia sedang mencari diriku" Se-
baiknya, kupanggil saja dia...."
Berpikir demikian, Tirta bersiap untuk mene-
pukkan kedua tangannya. Namun belum lagi dilaku-
kannya, tiba-tiba saja pemuda ini dikejutkan oleh sua-ra seruling!
Sejenak Tirta tertegun sebelum akhirnya me-
nyadari kalau suara alunan seruling itu mampu meru-
sak pemusatan pikirannya. Sehingga kejap kemudian,
pemuda ini tersentak.
"Suara seruling! Dan suaranya sangat menya-
kitkan sekali! Apakah suara seruling ini...."
Kata-kata batin Tirta terputus, tatkala suara
alunan seruling itu mulai merejam kedua telinganya.
Kadang-kadang melengking tinggi. Menusuk-nusuk
perasaan paling dalam. Kadang merendah, seperti
orang yang sedang menangis. Merintih-rintih seperti
mengiris-iris perasaan. Namun hebat akibatnya!
Si pemuda yang mendengar suara alunan se-
ruling itu seperti tergetar. Jantungnya berdebaran tak menentu. Menyusul rasa
nyeri yang berubah rasa sakit pada kedua telinganya.
"Celaka! Inikah alunan seruling yang berasal
dari Seruling Haus Darah?" batinnya bergetar dan segera mengalirkan tenaga dalam
yang dipadukan den-
gan tenaga surya ke telinga, mencoba menutup gelom-
bang getaran seruling yang dahsyat itu.
Rajawali Emas 21 Trisula Mata Empat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lalu yang terlihat kemudian, sosok pemuda da-
ri Gunung Rajawali ini duduk bersila dengan rang-
kapkan kedua tangan di depan dada, untuk memu-
satkan pikiran dan tenaga dalamnya, melawan arus
suara seruling yang mengandung tenaga aneh.
Kening si pemuda kadang-kadang berkerut
dengan kedua matanya terpejam menahan sakit. Rasa
sakit yang tak terkira mulai mendera kedua telinganya.
Sesuatu yang jarang terjadi pada diri pemuda
ini pun terjadi. Karena, bila Tirta berkeringat dan dia sedang mengalirkan
tenaga surya yang berpusat pada
bawah pusarnya ke seluruh tubuhnya, maka keringat
itu akan langsung mengering tanpa keluar lagi.
Namun yang terjadi sekarang, dalam lima keja-
pan mata saja, sekujur tubuhnya sudah berkeringat
karena mengerahkan seluruh tenaganya guna mela-
wan arus tenaga dari gelombang suara seruling yang
mengerikan. "Celaka! Nampaknya sulit bagiku untuk mena-
han dan bertahan. Gelombang seruling ini seperti
menggetarkan jantungku hingga berdebam keras!!"
Dan mendadak saja pemuda dari Gunung Ra-
jawali merasakan urat darah di kedua lengannya se-
perti mengejut-ngejut. Menyusul menggelembung.
"Celaka betul! Aku yakin, urat darahku ini akan meletus! Oh! Apa yang bisa
kulakukan sekarang"!"
Namun pada saat yang kritis itu, pada saat Ra-
jawali emas sedang dicekam kenyerian yang luar biasa di telinganya dan ngeri
mendapati urat darah pada
tangan kanannya menggelembung, mendadak saja ter-
dengar suara tawa yang keras namun berirama men-
dayu-dayu. Jarang orang tertawa sedemikian kerasnya
dan seperti menelusur dengan irama tawa yang me-
mukau. Perubahan yang terjadi pada diri Tirta pun
sungguh mengejutkan. Kendati kedua gendang telin-
ganya masih terasa nyeri, namun urat darahnya yang
menggelembung mulai normal kembali, hingga kini dia
mulai bisa bersikap tenang.
Sementara itu, alunan seruling ganas yang
mengejut kan tadi, mendadak lebih mengeras. Kendati suara seruling itu makin
melengking tinggi, kemudian menghujam dan seperti menusuk dengan cepat, namun
suara tawa yang terdengar dahsyat itu, seperti
meliuk-liuk menghindari tindihan ganas tenaga dari
alunan seruling yang terdengar.
Terkadang suara seruling itu seperti berontak
dengan kasar, meronta-ronta dan menerjang. Namun
tawa keras yang terdengar itu dengan lincahnya seperti menghindari terjangan
ganas dari alunan suara seruling. Kemudian dengan lembutnya berusaha untuk me-
nundukkan suara ganas seruling itu.
Semakin lama, pertempuran aneh dari dua su-
ara yang berbeda namun menyimpan tenaga dahsyat
itu semakin seru. Kedua suara itu tidak mau menga-
lah. Keduanya tidak mau mundur menyerah.
Dan masing-masing seperti bersikeras menga-
lahkan satu sama lain. Sama-sama kuat. Sama-sama
dahsyat. Sehingga pemuda dari Gunung Rajawali yang
mendengarkan suara-suara dahsyat itu tak lagi mera-
sakan sakit, karena suara-suara itu terutama suara
seruling tidak lagi mengarah pada Tirta. Kendati demikian si pemuda ini tetap
terkesima. Seperti tersihir oleh satu kekuatan aneh yang datang dari suara
alunan seruling dan tawa itu.
Akan tetapi, peredaran darahnya yang sempat
kacau akibat suara Seruling tadi, tetap tak bisa dite-nangkan. Termasuk gemuruh
dadanya yang keras ber-
dentam. Dan terkadang pemuda ini pun terpaksa ha-
rus menahan napas.
Dalam keanehan yang terjadi, mendadak suara
seruling itu meninggi, menindih tawa keras yang dah-
syat itu. Menyusul terdengar satu suara kesakitan
yang cukup menyayat, "Aaaakhhh,..!!"
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Holmes Sugiro
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Pawang Jenazah 3 Gento Guyon 8 Topeng Kedua Rahasia Si Bungkuk Berjubah Putih 3