Pencarian

Pedang Tanduk Naga 5

Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong Bagian 5


kalau menilik wajahmu, engkau ini seorang budak perempuan yang halus tapi tak
kira kalau mulutmu begitu tajam."
Merah wajah Yok Lan. Baru pertama kali itu ia mendengar orang memaki dirinya,
Mo Lan Hwa tak kuasa menahan kemarahannya lagi, Sambil menuding pada Ban-
liong-kun ia memaki: "Engkau anjing tua, jelas bermulut tajam. tak tahu malu dan berkulit tebal!"
Toa-sat Ban-liong-kun marah dan membentak "Budak hina, engkau berani memaki
aku . ." Tetapi sebelum dia bertindak, Sam-sat atau tokoh nomor tiga yang seperti orang
banci itu segera melesat maju dan melengking:
"Budak hina, kalau tak mau menyerahkan kaca wasiat, kalian tentu akan
kucincang." Habis berkata ia terus melepaskan sebuah hantaman kearah Mo Lan Hwa. Mo Lan
Hwa membentak dan menangkis. Tetapi seketika itu wajahnya pucat dan menjerit
kaget. Pada lain saat ia ter-huyung2 kebelakang sambil mendekap dadanya Huak!. .
ia muntah darah. Peristiwa itu berlangsung cepat sekali sehingga Li Kun tak sempat menolong, Yok
Lan cepat loncat untuk menyanggapi tubuh Mo Lan Hwa. Tetapi nona itu sudah tak
kuat berdiri lagi, ia duduk bersila dan dengan paksakan diri menuding kedadanya,
Yok Lan dapat menangkap maksudnya. ia segera mengambil pil dari baju Lan Hwa
dan dimasukkan ke mulut nona itu.
Tiba2 terdengar suara gemuruh disusul batu-batu dan pasir bertebaran, asap dan
debu bergulung2. Memandang kemuka, Yok Lan dapatkan Li Kun dan Sam-sat masing2 mundur tiga
langkah, Wajah si jelita tampak membeku dingin dan dahinya memancar hawa
pembunuhan. Dengan melengking ia segera mencabut pedang dan pe-lahan2 maju
menghampiri kearah ketiga durjana itu.
Sam-sat tertawa mengikik.
"Nona kecil, kalau engkau mampu menangkan aku, kepalaku boleh engkau potong,
Tetapi kalau engkau kalah, engkau harus menurut kuajak pulang menjadi isteriku."
Sam-sat atau tokoh ketiga yang bergelar Go kau-kiam si Pedang-bengkok segera
mencabut pedang go-kau-kiam.
"Kawanan tikus, engkau cari mati...!" bentak Li Kun seraya loncat menyerang
dengan jurus Tiang-ho-hong-ping atau sungai Tiang-ho menutup salju... segulung
sinar perak segera membabat ke dada Sam-sat.
Sam-sat tahu kalau ilmu pedang nona jelita itu lihay. Dengan tertawa ia mengisar
langkah kesamping lalu tusukkan ujung pedang ke pinggang sinona.
Pada saat itu dengan tertawa mengekeh, toa-sat Boan-liong-kiam dan ji-sat Toh-
beng-kau masing2 lari menghampiri Gin Liong dan Tek Cun.
Melihat itu berobahlah wajah Yok Lan. Gin Liong dan Tek Cun sedang
menyembuhkan lukanya, jangan lagi diserang, cukup di dorong pe-lahan2 dengan
tongkat saja, kedua anak muda itu tentu akan rubuh, mungkin akan terjadi suatu
akibat yang berbahaya dalam penyaluran napas mereka.
"Berhenti, atau akan kupaksa kalian mundur." bentaknya kepada kedua durjana itu,
seraya mencabut pedang Ceng-kong-kiam.
Tetapi Boan-liong-kiam dan Toh-beng-kiam tertawa gelak2. Mereka tak
mengacuhkan peringatan Yok Lan lagi dan tetap melangkah maju.
Li Kun terkejut mendengar suara tertawa mereka ia menyempatkan diri untuk
berpaling. Tetapi walaupun terdesak, sam-sat Go-kau-kiam tak mau melepaskan si
jelita. Li Kun marah sekali, Dengan melengking ia lancarkan tiga buah serangan
pedang sehingga sam-sat kelabakan.
Tetapi pada saat itu tiba2 toa-sat dan ji-sat hentikan tawanya, Yang satu
mengangkat tongkat dan yang satu mengangkat kait untuk mengemplang Gin Liong
dan Tek Cun. Melihat itu Yok Lan pun bertindak. Dengan sebuah loncatan ia segera lancarkan
jurus Liong-hok-song-hou atau Naga-mendekam-sepasang-harimau. Pedang
berhamburan menjadi be-ratus2 sinar perak bagai seekor naga marah.
Keatas menghantam tongkat boan-liong-kiam, kebawah menangkis toh-hun-kau.
Ujung pedang menusuk tangan kedua lawan.
Toa-sat dan Ji-sat banyak pengalaman dalam menghadapi musuh2 tangguh, Entah
sudah berapa banyak jago2 lihay yang jatuh ditangan mereka. Tetapi selama itu
belum pernah mereka melihat ilmu pedang seaneh dan sedahsyat yang dimainkan
Yok Lan. Mau tak mau kedua durjana itu berteriak keras dan menyurut mundur.
Yok Lan sendiri pun terkejut dalam hati, ia melancarkan salah sebuah jurus ilmu
pedang ajaran Hun Ho siantiang, Hasilnya ternyata sedemikian hebat.
Begitu kedua durjana itu mundur, Yok Lan pun tak mau mengejar Tampak kedua
durjana itu pucat wajahnya, keringat dingin bercucuran membasahi tubuh mereka,
Mereka memandang si nona dengan terkejut heran. Mereka benar2 tak
menyangka bahwa seorang nona yang masih begitu muda belia ternyata memiliki
ilmu pedang yang sedemikian luar biasa. Kecongkakan dari kedua durjana itu
lenyap seperti awan dihembus angin, Tampak wajah mereka seperti kunyuk
kepedasan. "Cici, jangan membunuh." tiba2 Yok Lan berteriak, Tetapi terlambat Terdengar
jeritan ngeri disertai dengan hamburan darah dari sam-sat yang lepaskan pedang
dan rubuh ketanah. Melihat itu, toa-sat yang nyalinya sudah pecah, timbul pula kemarahannya. Dengan
menggembor keras ia dan ji-sat terus lari menyerbu Li Kun. Tetapi jelita itu tak
gentar Dengan melengking keras, ia segera menyambut kedua durjana itu.
"Berhenti!" tiba2 terdengar bentakan sedahsyat halilintar.
Yok Lan tergetar dan berpaling, Tampak dengan wajah gusar Gin Liong sudah
berdiri disamping. Toa-sat, ji-sat dan Li Kun pun terkejut mendengar bentakan
keras itu. Mereka serempak berpaling,
Melihat Gin Liong sudah selesai menyalurkan tenaga dalam, Li Kun serta merta
loncat kehadapannya, katanya:
"Mereka bertiga adalaih Ce-tang-sam-sat yang bersimaharajalela, mengganas dan
melakukan perbuatan2 jahat jangan kita biarkan mereka lolos."
Habis berkata ia terus menyimpan pedang dan bersama Yok Lan menghampiri
ketempat Mo Lan Hwa yang masih duduk bersila ditanah.
Melihat sam-sat mati kedua durjana itu marah. Lebih2 ketika mendengar kata2 Li
Kun mereka seperti orang kebakaran jenggot Kedua durjana itu tertawa keras.
"Tutup mulut kalian!" bentak Gin Liong seraya maju. Toa-sat dan ji-sat tergetar
sehingga menyurut mundur,
Sambil menuding, Gin Liong berseru: "Apakah maksud kalian menyerang
rombonganku" Kalau tak mau bilang sejujurnya, jangan harap kalian mampu
tinggalkan tempat ini!"
"Budak sombong!" teriak toa-sat seraya maju menghamtam bahu pemuda itu, Gin
Liong tertawa dingin, ia gerakkan tangan kiri untuk menangkis. Krak!, toa-sat
mendengus tertahan dan mundur sampai tiga langkah, Sedang Gin Liong tetap
berdiri tegak ditempat. Melihat itu ji-sat terlongong-longong, Tetapi rupanya Toa-sat masih belum jera,
Begitu berdiri tegak ia terus mencabut tongkat boan-liong-kun terus diayunkan
kearah kepala Gin Liong. Gin Liong mendengus, Dengan gerak yang luar biasa ia sudah menyelimpat
kebelakang lawan. Toa-sat ayunkan tongkatnya menghantam kebelakang, tetapi
Gin Liong sudah loncat keudara dan turun dibelakangnya lagi.
Melihat itu ji-sat segera memutar kaitnya, menyambar Gin Liong yang baru saja
berdiri, Yok Lan yang berada disisi Mo Lan Hwa selalu mengikuti pertempuran itu,
ia menjerit kaget ketika melihat Gin Liong terancam bahaya.
Mendengar jeritan itu, Gin Liong terkejut, secepat kilat ia mendekam ke tanah
dan senjata kait itupun meluncur diatas punggungnya.
Gin Liong makin marah. setelah menekuk kedua lutut ia melambung kebelakang ji-
sat, Sekali membentak ia menyerempaki dengan menghantam punggung orang itu,
duk . . Seketika ji-sat muntah darah dan terus melesat kemuka toa-sat. Toa-sat buru2
menarik tongkatnya dan melangkah maju. Tetapi ji-sat sudah ter-huyung2 dan
muntah darah lagi, lepaskan senjata kaitnya dan terus rubuh ke tanah, Kedua
kakinya menelikung dan jiwanya pun melayang.
Melihat itu toa-sat menjerit kalap: "Aku akan mengadu jiwa dengan engkau . ."
tongkat boan-liong-kun diputar laksana hujan mencurah, maju menyerang Gin
Liong, Melihat kekalapan toa-sat, Yok Lan ngeri dan serentak berbangkit. Tetapi Gin
Liong tak gentar ia mainkan tata-langkah Liong-li-biau untuk menghindar lalu mencabut
pedang pusaka Tanduk Naga.
Toa-sat, sudah terlanjur diamuk kekalapan. ia tak peduli lagi bagaimana pedang
yang berada ditangan anak muda itu. Dengan menggembor keras ia tetap
menyerang. Tring, tring, tring, terdengar beberapa kali dering senjata beradu keras,
diiring dengan hamburan bunga api dan kutungan baja berterbangan ke udara. Walaupun
tahu kalau tongkatnya telah terpapas kutung namun toa-sat tetap tak hentikan
serangannya, ia menyerang dengan jurus Ko jiu-boan-kin atau pohon-tua-
melingkar-akar, menyerang lutut.
Tring!, kembali pedang Tanduk Naga berkelebat memapas kutung tongkat itu.
Namun toa-sat tetap nekad dan menusuk perut Gin Liong. Tetapi kembali pedang
Tanduk Naga membelah tongkat lawan menjadi dua kutung, Keadaan toa-sat saat
itu benar2 seperti orang gila, wajahnya makin menyeramkan, matanya yang tinggal
satu itupun merah berdarah, rambutnya yang putih meregang tegak dan napasnya
terengah-engah keras. Gin Liong tegak ditempatnya sambil lintangkan pedang didada untuk melindungi
diri. Rupanya ia tak mau membunuh orang tua mata satu yang sudah tak berdaya
itu. Ditangan toa-sat kini hanya tinggal memegang kutungan tongkat sepanjang
setengah meter, Dia berdiri dimuka Gin Liong pada jarak tujuh langkah, Dia
memandang Gin Liong dengan mata kemerah-merahan.
Beberapa saat kemudian ia mendengus marah dan berseru geram: "Budak, karena
engkau mengandalkan pedang pusaka, aku masih penasaran dan tak mau
menyerah." Gin Liong kerutkan alis dan menggeram: "Engkau hendak mengajak bertanding
dengan cara apa, aku bersedia melayanimu semua !"
Toa-sat rentangkan matanya yang tinggal satu lebar2, serunya menggeledek:
"Aku hendak mengajakmu bertanding ilmu pukulan."
Habis berkata ia terus melontarkan tongkatnya yang tinggal dua jari ke tanah,
Setelah mengejang kedua tangannya, iapun pelahan-lahan maju menghampiri Gin
Liong. Yok Lan pernah merasakan betapa kuat tangan toa-sat tadi. Ketika melihat durjana
bermata satu itu hendak mengadu kepalan dengan Gin Liong, iapun gelisah.
Tiba2 Li Kun dan Lan Hwa loncat ke sisi Yok Lan. Ternyata Lan Hwa sudah sembuh.
Sekarang ketiga nona jelita itu berdiri berjajar. Demi melihat keadaan di
gelanggang pertempuran, Li Kun merasa heran mengapa Gin Liong tak mau cepat2
menyelesaikan toa-sat. Saat itu toa-sat sudah tiba lima langkah dihadapan Gin Liong, Dia berhenti dan
memandang Gin Liong dengan pandang berkilat-kilat. Gerahamnya bergemurutukan keras menahan kemarahannya yang meluap-luap.
Tetapi Gin Liong tetap tenang2 saja. Tetapi diam2 iapun kerahkan tenaga dalam
kelengan kirinya. Melihat sikap si anak muda yang begitu tenang, diam2 toa-sat memaki dalam hati:
"Bangsat engkau terlalu memandang rendah diriku!"
Tetapi ia masih memegang gengsi, sebelum menyerang ia masih menegur: "Hai,
mengapa engkau tak bersiap ?"
"Silahkan engkau turun tangan sajalah!" sahut Gin Liong dengan nada tawar.
Toa-sat segera mengiakan Setelah bersiap, lalu dengan menggembor keras ia
dorongkan kedua tangannya.
Gin Liong tahu akan kelihayan orang. ia tak berani memandang rendah, pada saat
toa-sat bergerak iapun agak mengendapkan tubuh kebawah dan tangan kirinya
yang sudah disiapkan tadipun segera menyongsong kemuka.
Jarak amat dekat maka pukulan kedua orang itupun hampir berbenturan Bum!,
terdengar bunyi letupan keras diiringi deru angin yang menghamburkan batu, debu
dan pasir keempat penjuru, Dalam kepulan debu yang bergulung debu yang tebal
terdengar berulang suara mengerang tertahan.
Tubuh toa-sat bergelundungan ke tanah sampai tiga tombak jauhnya, sedangkan
lengan Gin Liong bergetar keras dan tubuh ikut bergoncang sampai beberapa saat
baru ia dapat berdiri tegak lagi. Ketika menggerakkan tangan kirinya, ia rasakan
agak sakit. Terkena pukulan sakti dari Gin Liong, toa-sat berguling-guling sampai tiga
tombak lebih, baru berhenti, Secepat kilat ia terus melenting bangun dan duduk. Pakaian
compang camping, berlumuran tanah, Mata berbinar-binar, kepala pusing, segala
benda diempat penjuru dirasakan berputar-putar, Lama sekali baru ia dapat
melihat jelas. Gin Liong masih tegak berdiri ditempat semula.
Dengan paksakan diri segera ia berseru: "Hai budak kecil, tinggalkan namamu dan
perguruanmu. Asal masih belum mati, kelak aku tentu akan mencarimu untuk
menghimpas hutang hinaan yang engkau berikan kepadaku hari ini..."
Gin Liong tertawa dingin, serunya:
"Aku Siau Gin Liong, tak punya perguruan tak punya partai persilatan, Siapa
suhuku, engkaupun tak perlu bertanya, Kapan saja engkau hendak mencari balas
kepadaku, asal engkau sebarkan berita di dunia persilatan, aku tentu akan
menemuimu." Habis berkata ia terus melangkah menghampiri ketempat Li Kun bertiga.
Dengan paksakan diri pula, mulut toa-sat mengiakan lalu pejamkan mata untuk
menyalurkan napas, Tetapi tiba2 ia terjungkal kebelakang dan tak sadarkan diri.
Gin Liong tak menghiraukan. Setelah tiba ditempat Li Kun dan Yok Lan, ia
memandang ke arah Tek Cun dan Lan Hwa yang masih duduk pejamkan mata.
"Rupanya luka yang diderita Liok-ko dan cici Lan tak dapat sembuh dalam waktu
singkat. Kita harus membawa mereka ke tempat yang aman. Kalau kita
melanjutkan perjalanan, lukanya tentu kambuh dan akibatnya sukar dilukiskan."
kata Gin Liong. Memandang ke langit, ternyata matahari sudah berada di belakang
puncak barat dan lembah pun sudah meremang gelap.
Li Kun mengusulkan untuk mencari sebuah desa. Dan Yok Lan pun serempak
mengatakan dia dan Li Kun yang memapah Lan Hwa. Gin Liong yang memapah Tek
Cun Demikian ketika tiba di luar lembah, Gin Liong bersuit keras. Beberapa saat
kemudian terdengar suara kuda meringkik.
"Bagus, kuda bulu hitam patuh sekali kepadamu." seru Li Kun.
"Ah, aku hanya coba2 saja, tak kira kalau kuda itu begitu menurut" kata Gin
Liong. Tetapi belum sempat mereka menuju ketempat suara kuda itu tiba2 terdengar
suara derap kuda lari yang gemuruh, Empat ekor kuda mencongklang pesat kearah
lembah. Gin Liong cepat memeluk tubuh Tek Cun, demikian pula Li Kun dan Yok Lan
segera memondong Lan Hwa. Rupanya Tek Cun lebih parah, ia terus menerus
pejamkan mata. Ternyata yang berlari mendatangi itu empat ekor kuda milik mereka, Kuda hitam
berkaki putih yang dinaiki Lan Hwa, kuda merah milik Tek Cun, kuda hitam mulus
milik Gin Liong dan kuda bulu kuning dari Li Kun.
Kuda bulu merah terus menghampiri Tek Cun dan menjilat-jilat pakaian tuannya
seperti ikut sedih karena tuannya terluka, Melihat itu tergeraklah hati Yok Lan.
ia mengelus-elus kepala kuda itu.
"Sumoay, kuda merah ini memang lebih halus sifatnya, engkau naik dia sajalah,"
kata Gin Liong yang terus membawa Tek Cun bersama naik kuda bulu hitam.
Demikian setelah sama naik kuda, mereka pun segera berangkat. Dalam waktu
singkat mereka telah melintasi dua buah puncak gunung lalu mulai mendaki sebuah
gunung yang membujur luas.
26. Dipancing mengejar Dari atas lereng gunung, Gin Liong dapat melihat dibawah kaki gunung sebelah
selatan terdapat sebuah kota.
"Cici, disebelah depan kemungkinan kota Hok san-shia" katanya kepada Li Kun.
Tio Li Kun mengiakan dan segera mengajak rombongannya menuruni gunung
menuju ke kota itu. Tak berapa lama mereka tiba di jalan besar yang tiba dikota


Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hok-san-shia. Jalan sepi orang sehingga dengan leluasa mereka dapat mencongklangkan
kudanya, Tak berapa lama gedung2 bertingkat dari kota Hok-san-shia mulai
tampak, Tiba2 dari arah muka tampak dua penunggang kuda mencongklang pesat,
menimbulkan ke-puI debu yang tebal sehingga sukar diketahui wajah mereka,
Gin Liong dan rombongannya dengan cepat dapat mengejar kedua penunggang itu.
Rupanya kedua penunggang itu tahu kalau dibelakangnya akan dilanggar oleh
rombongan penunggang kuda maka mereka berdua segera menyisih ke tepi jalan.
Saat itu Gin Liong sempat memperhatikan wajah mereka, Yang naik kuda bulu
kuning, seorang wanita berumur 27 - 28 tahun, Mengenakan pakaian ringkas dari
kaum persilatan punggung menyanggul sebatang pedang, sepasang mata yang
dipayungi oleh alis yang melengkung indah makin menonjolkan kecantikan
wajahnya yang berpotongan bulat telur dan berbedak tipis.
Sedang yang naik kuda kembang, seorang yang dandanannya seperti sastrawan,
berumur sekitar 35-an tahun, rambut lebat alis tebal dan wajah cakap, Mencekal
cemeti kuda yang bertabur mutiara, sikapnya gagah.
Sasterawan dan wanita muda itu menarik kendali kuda dan berpaling. Gin Liong
menduga keduanya tentu sepasang suami isteri.
Ketika rombongan Gin Liong lewat disisi mereka, tiba2 kedua penunggang kuda itu
berteriak kaget: "Nona Kun, Nona Kun !"
Tio Li Kun terkejut dan cepat hentikan kudanya, Demikian pula Gin Liong dan Yok
Lan. Sasterawan dan wanita muda itu segera menghampiri.
Saat itu Li Kun baru mengetahui bahwa ke dua penunggang kuda itu bukan laia
adalah Hut-soh-su-Seng atau Sasterawan-tali-terbang Suma Tiong dan isterinya Lok
Siu Ing. "Nona Kun, mengapa liok-saycu dan nona itu ?" melihat Tek Cun dan Lan Hwa.
Suma Tiong segera menegur cemas.
"Terluka . ." sahut Li Kun tersenyum. Lok Siu Ing kerutkan dahi serunya:
"Kalian tak boleh melanjutkan perjalanan dan harus lekas2 singgah di desa untuk
berobat, Desa kami tak jauh dari sini." ia menunjuk kesebelah timur.
Lebih kurang lima li jauhnya, tampak gerumbul pohon yang menggunduk hitam.
"Ah, harap nona jangan berkata begitu. Kalau tempo hari tak mendapat bantuan
dan engkoh nona, kami berdua suami-isteri tentu sudah mati ditangan musuh."
kata Suma Tiong, Sejenak memandang kemuka dan belakang, ia segera meminta Li
Kun. "Harap nona suka ikut ke desa kami dulu baru nanti bicara lagi."
Hutan pohon liu itu merupakan kampung kediaman Suma Tiong, Rumah2 sudah
menyalakan lampu. Suma Tiong langsung menuju ke sebuah gedung yang berpintu
hitam dan diterangi oleh empat buah lentera besar. Beberapa orang tampak
bermunculan keluar untuk menyambut kedatangan rombongan Gin Liong.
Suma Tiong segera mengajak rombongan tetamunya masuk ke ruang besar dan
isterinya segera memerintahkan bujang untuk menyiapkan kamar2. Demikian
dengan sibuk dan akrab kedua suami isteri itu menyambut rombongan tetamunya
dan menempatkan Tek Cun serta Lan Hwwa masing di sebuah kamar terpisah,
setelah itu mereka sibuk menjamu rombongan tetamu dengan hidangan yang lezat
dan arak wangi. Dalam kesempatan itu mereka menjelaskan tentang hal ihwal Tek Cun dan Lan Hwa
sampai menderita luka. Pun tentang orang tua aneh pemilik kaca wasiat juga
dibicarakan. Malamnya diputuskan Yok Lan tidur menjaga Lan Hwa dan Li Kun menjaga
engkohnya, Waktu telentang diranjang, pikiran Gin Liong pun mulai gelisah lagi, ia tak tahu
sampai kapan luka Tek Cun dan Lan Hwa akan sembuh. Sejak turun gunung untuk
menyusul Ban Hong liong-li dan menanyakan tentang pembunuh dari suhunya ia
selalu mendapat rintangan dari peristiwa yang dihadapinya.
Bila terus menerus begitu, entah sampai kapan ia dapat menyusul jejak Ban Hong
liong-li. Makin merenung makin gelisah dan akhirnya Gin Liong memutuskan, ia tak
mau terhambat oleh urusan apa saja dan akan langsung melanjutkan perjalanan
untuk menyusul Ban Hong Liong-li.
Sekonyong-konyong di tengah suasana malam yang sunyi, terdengar suara orang
tertawa gelak2. Gin Liong terkejut dan cepat bangun, Suara tertawa itu makin
lama makin dekat, ia duga tentu orang jahat hendak mengganggu desa itu atau dirinya.
Cepat ia membuka jendela, loncat keluar dan terus ayunkan tubuh melayang
keatas wuwungan rumah. Langit bertabur bintang kemintang, rembulan pudar dan salju tipis mulai
berhamburan mencurah dari langit. Angin berhembus membawa hawa dingin,
Empat penjuru sunyi senyap.
Tiba2 terdengar suara orang tua yang parau berkumandang ditelinganya:
"Hai, budak, apakah engkau masih berani datang ke lembah Hok-san lagi ?"
Gin Liong tergetar hatinya dan tanpa tersadar menyurut mundur setengah langkah,
Mengeliarkan pandang matanya ia segera melihat diujung hutan sebelah luar desa,
tegak sesosok bayangan kurus kecil yang tengah melambaikan tangan kepadanya.
Gin Liong tercengang, ia tak kenal siapa orang itu dan tak tahu apa maksudnya
mengapa orang itu memanggilnya datang, Menilik potongan tubuhnya, orang itu
menyerupai seorang wanita. Tetapi kalau mendengar nada suaranya yang parau
seperti seorang yang sudah lanjut usianya.
Tiba2 timbul pikiran lain. Ditengah malam sepi orang itu berani masuk ke desa
dan memperdengarkan suara tawa yang nyaring, Mengapa" Apakah bukan karena
hendak mencari Suma Tiong suami isteri dan mengira ia itu Suma Tiong "
Ketika mengobarkan pandang Gin Liong terkesiap, Lentera yang menerangi rumah2
di pedesaan itu padam semua, sepintas pandang memberi kesan bahwa penduduk
telah mengetahui akan kedatangan musuh dan sedang ber-siap2. Tetapi mengapa
mereka tak tahu sama sekali akan masuknya orang itu ke dalam desa" Bukankah
hal itu menunjukkan bahwa mereka tak bersiap dan ber-jaga2.
Setelah merenung beberapa jenak, baru Gin-liong menyadari. Teringat ia bahwa
panggilan orang tua kepadanya dengan menyebut "budak kecil" dan melambaikan
tangan kepadanya jelas bukan ditujukan kepada Suma Tiong suami isteri,
melainkan kepada dirinya.
Tiba pada pemikiran, itu, seketika marahlah ia. Ketika ia hendak berseru
menegur, tiba2 telinganya terbaur pula oleh suara tertawa dingin yang bernada menantang.
Dilihatnya bayangan tubuh kecil itu, berloncatan dengan santai antara dahan
pohon yang satu kelain dahan pohon. sikapnya jumawa sekali.
Gin Liong tak kuat menahan kemarahannya lagi, Seketika ia lupa pada apa yang
diputuskan tadi didalam kamar, Dengan mendengus dingin, dia segera ayun
tubuhnya ke tempat orang kecil itu.
Melihat Gin Liong lari menghampiri orang bertubuh kecil itu berputar diri terus
lari ke arah utara. Mengejar sampai diluar desa, baru Gin Liong tersadar, pikirnya: "Tadi dia
tertawa begitu keras dan panjang, Tetapi mengapa Suma Tiong suami isteri, Yok Lan dan Li
Kun tak tampak bergerak muncul?"
Menyadari kalau dirinya telah terpancing ia segera berhenti, iapun segera
menyadari bahwa kata2 orang tua yang ditujukan kepadanya tadi termasuk ilmu
Menyusup-suara tingkat tinggi maka timbullah keheranannya. Dalam dunia
persilatan hanya beberapa saja jumlah tokoh persilatan yang menguasai ilmu itu.
Lalu siapakah dia" Begitu menampakkan diri, orang bertubuh kecil itu segera mendengus dingin,
suaranya penuh bernada mencemoh. Dan langkahnya pun mulai kendor.
Gin Liong mulai menyadari bahwa orang itu memang sengaja hendak
mempermainkan dirinya, serentak naiklah darah mudanya, serentak ia
mempercepat larinya untuk mengejar.
Kembali terdengar orang bertubuh kecil itu tertawa gelak2. iapun kencangkan
larinya lagi menuju ke arah gunung sebelah utara.
Gunung Hok-san makin tampak jelas, Betapa tingginya, betapa jauhnya, Berulang
kali orang bertubuh kecil berpaling kebelakang seperti kuatir Gin Liong tak
melanjutkan pengejarannya.
Karena tak mampu mengejar, Gin Liong makin marah. ia tambahkan tenaganya lagi
untuk lari sekencang mungkin, Tetapi beberapa waktu kemudian, tetap orang
bertubuh kecil itu masih tetap jauh dimuka sehingga sukar untuk melihat
wajahnya. "Hm, sekalipun engkau lari ke neraka, akan tetap kukejarmu juga!" dengus Gin
Liong dalam hati, Habis itu ia segera merobah ilmu larinya dengan suatu ilmu
lari cepat atau gin-kang yang luar biasa ialah ilmu lari Angin-puyuh. Seketika
tubuhnya berobah seperti segulung asap yang terbang menderu-deru seperti angin.
Kali ini si orang bertubuh kecil agak terkejut. Cepat ia kebutkan kedua lengan
bajunya, serempak tubuhnya terangkat beberapa jari dari tanah dan sekali berayun
kemuka, larinya seperti kilat menyambar.
Saat itu orang bertubuh kecil dan Gin Liong sama2 menggunakan ilmu meringankan
tubuh yang jarang terdapat di dunia persilatan, Dibawah sinar rembulan remang,
yang tampak hanya dua gulung asap berkejaran, bukan lagi sosok2 tubuh manusia.
Gin Liong terkejut juga ketika melihat kecepatan lari orang tak dikenal itu
jelas orang itupun menggunakan imbangan dari ilmu lari yang digunakannya, Kalau ia
menggunakan ilmu lari Agin-puyuh adalah orang itu menggunakan ilmu lari Angin-
terbang-diatas-tanah, Jelas bahwa ilmu lari cepat orang tak dikenal itu jauh
melebihi dari Hok To Beng, tokoh kesatu dari Swat-thian Sam-yu.
Tak berapa lama tibalah mereka di kaki gunung Hok-san sebelah selatan, jarak
antara kedua orang itu makin jauh.
Gin Liong makin menggeram dan makin tak tahu apa maksud orang itu hendak
memancingnya ke gunung Hok-san. ia tak tahu pula siapakah orang itu, kawan atau
lawan. Setelah melintasi puncak bukit, orang itu terus lari masuk kedalam hutan
dipedalaman, Melihat itu Gin Liong gugup, Kuatir akan kehilangan jejak orang
itu. serentak ia bersuit nyaring dan terus kerahkan seluruh tenaga dalam untuk lari
lebih cepat. Suitan itu bergema jauh sampai seperti menyeluruh ke segenap daerah gunung dan
hutan. Dan saat itu Gin Liong pun sudah melintasi puncak bukit, terus lari
kedalam hutan, Tetapi dilihatnya, saat itu siorang bertubuh kecil sudah tiba dipuncak
yang melintang disebelah muka. Gin Liong makin marah, Sejak turun dari gunung Hwe-
sian-hong, baru pertama kali itu ia mendapat saingan berat dalam ilmu lari
cepat. Orang bertubuh kecil itu tiba2 berpaling kebelakang memandang Gin Liong dengan
pandang kata berkilat-kilat tajam sekali.
Gin Liong terkesiap. Kini ia menyadari ilmu tenaga dalam orang itu amat tinggi
sekali, jauh melebihi kelompok tujuh tokoh jagad atau Ih-lwe-jit-ki yang
termasyhur itu. Kini sadarlah Gin Liong bahwa ia sedang berhadapan dengan seorang sakti, ia tak
berani memandang rendah dan harus mempertinggi kewaspadaan.
Tak berapa lama mereka pun tiba diluar mulut lembah. Orang itu terus saja masuk
kedalam lembah, Kemudian tiba2 pula orang itu tertawa gelak2. Nadanya luar biasa
keras, mengandung keangkuhan, kegembiraan dan kecongkakan, Dan serentak
pada saat berhenti tertawa orang bertubuh kecil itupun menghilang dari pandang
mata. Gin Liong terkejut sekali, serentak ia hentikan lari dan memandang kedalam
lembah, Dalam kesunyian malam yang ditingkah rembulan suram, tampak lembah
itu makin seram, penuh dengan barisan semak belukar, pohon2 dan batu karang
yang curam. Angin malam yang berhembus keluar kari lembah, bersuit-suit tajam macam
barisan setan meringkik-ringkik. Air terjun terdengar makin bergemuruh, macam
gunung rubuh. Melihat itu timbullah rasa gentar dalam hati Gin Liong, ia memperhatikan dengan
jelas bahwa orang bertubuh kecil tadi telah lenyap ketempat tadi siang ia
bertempur melawan Ce-tang Sam-sat, Timbul pertanyaan dalam hatinya, Adakah
orang itu seorang gerombolan dari ketiga Sam-sat itu"
Ah, karena sudah terlanjur mengejar sampai disitu, ia harus tetap melanjutkan
pengejarannya. Dengan siapkan tinju yang sudah disaluri tenaga dalam, ia segera
melangkah ke dalam lembah Segenap perhatian tertumpah pada pandang matanya
yang dicurahkan kesetiap tempat yang gelap.
Asal melihat bayangan siorang bertubuh kecil, segera ia akan menghajarnya,
Tetapi sampai sebegitu jauh, belum juga ia melihat sesosok bayangan pun juga.
Membiluk ke tikungan puncak, air terjun di dasar lembah tampak seperti leburan
perak yang mencurah ke bawah tanah. Tetapi di permukaan telaga penampung air
terjun itu, ia tak melihat lagi sinar kaca yang memancar keudara.
Beberapa langkah lagi, butir2 air dari udara makin gencar dan deras, Terpaksa
dia hentikan langkah. Saat itu ia baru melihat jelas bahwa kaca wasiat yang terletak
di atas batu runcing di tengah telaga sudah tak ada, ia duga siang tadi selekas ia
bersama rombongannya tinggalkan tempat itu, orang tua aneh itupun tentu terus
mengambil kaca wasiatnya.
Buktinya, ketiga durjana Ce-tang Sam-sat menuduh dialah tentu yang mengambil
kaca wasiat itu, jika benar demikian, tentulah orang tua aneh itu masih berada
disekitar telaga, Tetapi mengapa ketika si sinting Hong-tiang-soh berteriak
keras menintangnya. orang tua itu tak mau menampakkan diri" Apakah dia takut kepada
Hong-tian-soh" Ah, tetapi peristiwa yang terjadi ditanah lapang dalam hutan tempo hari, dimana
tokoh2 seperti Pengemis-kaki-telanjang, dan hweshio terbunuh mati, serta Hun Ho
siantiang yang didesak untuk segera datang, menandakan bahwa orang itu jauh
lebih sakti dari si sinting Hong-tian-soh.
Tetapi mengapa ia tak keluar menyambut tantangan Hong-tian-soh" Oh,
mungkinkah dia kenal dengan Hun Ho siantiang dan bersahabat dengan salah
seorang dari Swat-thian Sam-yu sehingga dia sungkan untuk unjuk diri" Kalau
begitu apakah dia benar2 tokoh Thian-lam Ji gi atau sepasang pendekar budiman
dari Thian-lam " Tetapi Hun Ho sian-tiang mengatakan bahwa Thian-lam Ji-gi saat
ini sedang menutup diri untuk memperdalam ilmunya.
Sejenak keliarkan pandang, kejut Gin Liong bukan kepalang, Sosok2 tubuh jago
silat yang terkapar di tepi telaga tampak seperti ber-gerak2 kerut wajahnya.
Gih Liong pusatkan perhatian dan mengendapkan pikirannya yang merana,
Akhirnya ia menyadari bahwa apa yang dilihatnya itu hanya pantulan sinar
rembulan yang mencurah kepermukaan telaga, berbalik menimpah muka mayat2
itu. Bukan karena wajah mereka bergerak-gerak masih sebagai orang hidup,
Dalam kesunyian suasana malam yang kelam, samar2 Gin Lioog seperti menangkap
suara pakaian ditebar hembusan angin. Gin Liong terkejut dan cepat berpaling.
Tampak lembah disebelah belakang masih diselubungi suasana seram seperti tadi.
Keadaannya sunyi senyap tak ada orang yang muncul disitu.
Tetapi jelas ia mendengar suara pakaian orang ditebar hembusan angin. siapakah
orang itu" Cepat ia tengadahkan kepala memandang ke atas dan segera ia mendengus dingin.
Diatas puncak sebelah kiri, tampak tiga sosok bayangan tubuh orang sedang
meluncur turun. Salah satu diantaranya ialah orang bertubuh kecil tadi, Mereka
jelas meluncur ke dalam lembah.
Gin Liong tekan kemarahannya, Selekas ketika orang itu tiba di tempatnya iapun
segera membentak keras: "Sudah lama aku menunggu disini, Apakah kalian kira aku takut karena harus
menghadapi keroyokan kalian?" Habis berkata ia terus maju menyerbu mereka.
Mendengar seruan Gin Liong itu, rupanya ketiga pendatang itu terkejut. Mereka
serempak berhenti. Dalam lari menghampiri itu, Gin Liong memandang tajam kearah ketiga orang itu.
Yang berdiri ditengah, seorang tua berumur lebih dari 70 tahun. Alisnya yang
sudah memutih memanjang masuk kedalam rambut samping, Rambutnya pun sudah
putih mengkilap seperti perak, mukanya merah segar, sepasang matanya tajam
berwibawa. Tulang kedua keningnya menonjol, menandakan betapa tinggi ilmu
tenaga dalam yang dimilikinya.
Mengenakan pakaian tiang-shan (panjang) dari kain belacu kasar. Ketiaknya
mengempit sebatang tongkat besi yang berkilat-kilat hitam legam. Ternyata
kakinya tinggal yang sebelah kanan, Dia berdiri denggan satu kaki itu.


Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang tua itu bukan lain adalah tokoh yang paling termasyhur diwilayah Lu-lam
yaitu Ik Bu It bergelar si Kaki-Satu-bertongkat besi.
Disisi kanan kakek berkaki satu itu, ternyata seorang nenek yang hanya berlengan
satu dan mencekal sebatang tongkat Peng thiat-ciu thau-ciang (tongkat bertangkai
kepala burung alap2). wajahnya dingin dan angkuh.
Nenek itu bukan lain adalah Tuk-pi Ban thaypoh atau si Lengan-satu-nenek Ban
yang pernah menggegerkan dunia persilatan beberapa puluh tahun yang lalu
karena dengan tongkat berkepala burung alap2 itu, ia dapat menyapu rubuh
banyak tokoh2 silat yang sakti.
Nenek Ban itu adalah isteri kakek Kaki-satu bertongkat-besi Ik Bu It. Kalau
isterinya berlengan satu, suaminya berkaki satu. Keduanya berjalan dengan tongkat.
Dibelakang kedua suami isteri tua itu baru sosok orang vang bertubuh kecil tadi,
ialah yang memancing Gin Liong datang ke lembah itu. Ketika Gin Liong melekatkan
pandang mata ia agak terkesiap.
Ternyata orang bertubuh kecil yang hebat ilmu larinya itu hanya seorang dara
yang berumur enam belas - tujuh belas tahun, wajahnya berpotongan bundar telur,
sepasang alisnya melengkung seperti bulan tanggal satu.
Mata bundar terang laksana bintang kejora. Hidungnya yang mancung menaungi
sepasang bibirnya yang merekah merah delima, Mengenakan baju warna hijau
muda dengan celana kun warna putih, Pada kedua bahunya tampak menyanggul
dua batang pedang yang bertangkai warna hijau.
Walaupun hanya berbedak tipis sekali, tetapi kulitnya tampak memancar warna
putih halus, Dari pancaran keningnya menunjukkan bahwa dia masih seorang anak
dara yang ke-kanak2an dan manja, menimbulkan kesan bahwa dia itu seorang anak
perempuan yang nakal. Dara baju hijau itu adalah puteri satu-satunya dari kedua suami isteri Ik Bu It.
Namanya Ik Siu Ngo. Saat itu kedua orang tua dan anak gadisnya tengah memandang Gin Liong dengan
perasaan terkejut juga Gin Liong bersangsi setelah melihat mereka bertiga. Ia
segera hentikan terjangannya dan tegak sejauh tiga tombak dari tempat mereka
Melihat Gin Liong seorang pemugda yang cakap dian gagah, makin terkejutlah hati
Ik Bu It si kakek berkaki satu, Hampir ia tak percaya bahwa anak yang masih
semuda itu ternyata memiliki ilmu tenaga dalam yang sedemikian hebatnya, juga
tak ketinggalan rasa kejut yang menghinggapi nenek Ban, sebaliknya ketika
melihat wajah Gin Liong, merahlah selebar muka si dara Siu Ngo.
Gin Liong berdiri dengan sikap seperti orang menyesal. ia menyadari
kesalahannya, ia mendapat kesimpulan bahwa dara itu memang bukan orang yang memikatnya
datang ke lembah itu. Melihat Gin Liong memandang lekat2 pada gadisnya, marahlah si nenek Ban, ia
berpaling kebelakang dan membentak puterinya: "Budak perempuan, hayo,
kasihlah hajaran pada budak hina itu"
Siu Ngo terkesiap dan bersangsi.
Sebenarnya Gin Liong mempertimbangkan hendak minta maaf kepada kedua suami
isteri tua itu. Tetapi ketika melihat sikap dan tingkah si nenek yang begitu
angkuh, diam2 ia menggeram dalam hati.
Rupanya Kakek Kaki-satu-bertongkat-besi Ik Bu It tahu bahwa Gin Liong itu
seorang pemuda yang berisi. Maka ia segera mencegah puterinya yang masih ragu2 itu:
"Budak perempuan, tunggu..."
Belum selesai kakek Ik bicara, nenek Ban menghunjamkan tongkatnya ke tanah dan
menggembor keras: "Budak itu menurut perintahmu atau perintahku?"
Ia memandang dengan marah kepada suaminya, Kakek Ik merah mukanya tetapi
tak mau menyahut sepatahpun juga.
Mendengar pembicaraan itu, Gin Liong segera tahu bahwa kedua kakek nenek itu
adalah sepasang suami isteri serta puterinya.
"Lekas, kasih sedikit hajaran pula budak liar itu!" nenek Ban memberi perintah
lagi, seraya menudingkan tongkat ke arah Gin Liong.
Gin Liong marah karena diperlakukan begitu, "Apakah begitu mudah untuk
memukul aku?" serunya seraya menatap Ban thaypoh dan si dara cantik Ik Siu Ngo.
Ban thay-poh menggeram sedang si dara Siu Ngo sudah terus loncat melengking
dan ayunkan tangan kanan dan kirinya, Yang satu menutuk kepala, yang lain
menutuk perut. cepatnya bukan kepalang.
Gin Liong terkejut melihat gerakan si dara cantik yang begitu tangkas, ia tak
berani memandang rendah dan cepat menggerakkan tubuh berputar seperti angin puyuh,
Tahu2 ia sudah berada dibelakang si dara tetapi tak mau turun tangan.
Walaupun sidara Siu Ngo telah mewarisi kepandaian kedua orang tuanya tetapi ia
belum sempurna latihannya dan kurang pengalaman.
Saat itu ia merasa matanya berkunang dan pemuda yang hendak diserangnya itu
tiba2 lenyap dari hadapannya, Karena serbuannya luput iapun terlongong.
"Burung cendrawasih berpaling kepala!" tiba2 nenek Ban gentakkan tongkat ke
tanah seraya berseru keras.
Siau Ngo tersadar. Dengan melengking cepat ia mengeliatkan pinggangnya yang
ramping berputar tubuh, Ternyata Gin Liong memang berdiri dibelakangnya.
Kembali dara itu terkesiap, Rupanya baru pertama kali itu ia berhadapan dengan
seorang manusia yang memiliki gerak secepat setan.
"Budak tolol!" kembali nenek Ban berteriak marah, "pertama kali keluar sudah
membikin malu. Setelah Cendrawasih-berputar-kepala, harus dilanjutkan dengan
jurus Awan-musim semi muncul, Tangan kanan menyapu bahu orang jari tangan
kiri menutuk jalan darah di dadanya !"
Dengan deliki mata nenek itu kembali memekik marah: "Mengapa masih berdiri
seperti patung, Hayo kembali kemari, lihat mamah menghajarnya!"
Sudah tentu Gin Liong makin marah. Masakan dirinya hendak dijadikan bulan2
percobaan latihan. Tetapi ia tak sempat bertindak apa2 karena saat itu si dara
sudah loncat menerjang. Gin Liong mendengus, Sekali bergerak ia sudah menyelimpat kebelakang dara itu
lagi, Tetapi kali ini tidaklah ia sesantai tadi, Belum kaki berdiri tegak,
terdengar dara itu melengking dan menaburkan kedua tangannya. Tangan kanan menutuk kepala,
tangan kiri menutuk dada.
Gin Liong terkejut juga. ia merasa tindakan Siu Ngo itu ganas tetapi tepat
sekali, ia ingin hendak mencekal tangan si dara tetapi entah bagaimana tubuhnya telah
mencelat kebelakang sampai beberapa langkah.
Melihat itu nenek Ban tertawa gelak2. Karena mendapat hasil, Siu Ngo pun
menyerang lagi, Tetapi cepat nenek Ban lintangkan tongkat mencegahnya.
27. Mendapat Cermin pusaka
"Budak, menyingkirlah, Lihat mamah akan memberinya hajaran yang lebih keras !"
Habis berkata ia terus memutar tongkat dalam jurus Heng-soh-cian-kun. Tongkat
seketika berhamburan menjadi segulung sinar yang menderu-deru menyambar Gin
Liong. Melihat mamahnya turun tangan, Siu Ngo pun loncat mundur dan berdiri
mengawasi. sedangkan ayahnya, kakek Kaki-satu-bertongkat-besi pun berdiri
dengan penuh perhatian, ia tahu bahwa sekali pun istrinya turun gelanggang,
tetap takkan mampu menghajar anak muda itu.
Melihat tingkah laku si nenek, timbullah sifat dari kanak2 Gin Liong. ia marah,
iapun tahu bahwa jurus Heng-soh-cian-kun atau Membabat-seribu-laskar yang
dilancarkan si nenek itu merupakan serangan yang sukar dihadapi jurus itu dapat
menjadi serangan yang sungguh tetapi pun dapat juga hanya sebagai serangan
kosong. Maka dengan menggembor keras, Gin Liong goyangkan tubuh namun masih tetap
berdiri ditempatnya. Rupanya si nenek sok tahu. Melihat tubuh Gin Liong bergerak cepat ia
menyentaknya: "Bagus budak, lihat bagaimana kupatahkan pahamu!" serunya, Tongkat tiba2
dirobah dalam jurus Liat-biat hoa-san atau menghantam-hancur-Hoasan,
menghantam kebelakang. Gin Liong tersenyum, Cepat ia loncat kesamping dan bersembunyi dibelakang
sebuah batu besar. Siu Ngo tercengang sedang ayahnya hanya berseri tawa. Ketika belakangnya tiada
orang, kejut nenek Ban bukan kepalang. Wajahnya serentak berobah, Dengan
memekik keras, ia gunakan jurus Heng-soh-ngo gak atau Menyapu lima-gunung, ia
hantamkan tongkat kebelakang lagi.
Ketika berputar tubuh dan tak melihat Gin Liong, mulailah ia bingung. Keringat
dingin bercucuran, serentak ia menaburkan tongkatnya dilain jurus Su-hay-theng-
hun atau Empat-lautan-timbul-awan.
Tongkat berkepala ukiran burung alap2 itu segera menyambar2 laksana badai
menderu dan mencurah bagaikan hujan deras, Menghantam ke kanan, menyapu ke
kiri, ia merasa anak muda itu seolah berlarian mengelilinginya. Debu dan pasir
bertebaran memenuhi empat penjuru.
Melihat isterinya ngamuk tak keruan itu, kakek Ik Bu It segera berseru kepada
puterinya. "Hai, budak perempuan, lekas kasih tahu mamah mu, apakah budak itu
masih berada dibelakangnya?"
"Mah, dia tak berada dibelakangmu," akhirnya Siu Ngo berseru dengan nada
kekanak-kanakan. Mendengar itu si nenek segera hentikan tongkatnya, menuding Siu Ngo dan
berseru tegang: "Dimana budak itu?"
Nenek ini keliarkan pandang matanya ke empat penjuru, rupanya ia hendak
mencari Gin Liong, Demi melihat wajah suaminya tersenyum gembira, ia segera
deliki mata dan membentaknya. "Tua bangka, dimana budak itu ?"
Dengan berseri tawa, kakek Ik Bu It segera menunjuk ke sebuah batu besar kira2
setombak jauhnya dan berseru pelahan:
"Karena ketakutan budak itu bersembunyi dibalik batu itu!"
Tiba2 terdengar suara tertawa gelak2 dan munculah Gin Liong dari balik batu itu
dan melangkah menghampiri. Melihat itu merahlah wajah si nenek, Tetapi pada
lain saat ia pun ikut tertawa.
"Budak kecil, engkau sungguh nakal, Kali ini kuberimu ampun." serunya sesaat
kemudian. Melihat mamahnya sudah tak marah lagi, si dara Siu Ngo gembira sekali, segera ia
lari menghampiri. Kakek Ik Bu It tertawa gembira pula, serunya: "Ha, ha, peribahasa mengatakan
kalau tidak berkelahi tentu tidak kenal. Rupanya siauhiap ini datang dari daerah
Kwan-gwa (luar perbatasan). Maukah engkau memberitahukan namamu dan
mengapa datang kemari?"
Jika tadi Gin Liong keras kepala dan liar, saat itu tampak ramah dan menghormat.
Segera ia memberi hormat dan memperkenalkan dirinya, ia mengatakan kalau
datang dari gunung Tiang-pek-san. Ketika tiba di gunung Hok-san, kebetulan ia
berjumpa dengan kedua suami isteri tua itu.
"Ah, kiranya kita ini orang sendiri, Siauhiap ini sahabat dari Suma-tayhiap."
"Mohon tanya nama locianpwe berdua yang mulia dan maafkanlah tingkahku yang
liar tadi." Gin Liong meminta maaf.
Dengan terus terang kakek itu segera memperkenalkan dirinya, kemudian isteri dan
puterinya. Gin Liong serta merta memberi hormat kepada nenek Ban. Nenek itu tertawa
gembira. "Siau siacu, jangan enak2 memukul baru minta maaf, ya. Tadi karena tingkahmu,
aku sampai ngos-ngosan napasku."
Mereka tertawa mendengar ucapan nenek itu. Setelah bercakap-cakap beberapa
saat barulah Gin Liong tahu bahwa ketiga ayah beranak itu haru saja tiba
ditempat itu, Gin Liong segera menuturkan tentang orang bertubuh kecil yang telah
memikatnya datang sampai disitu.
Mendengar penuturan itu, kakek Ik Bu It menyadari bahwa orang tua pemilik kaca
wasiat telah berlalu, maka ia pun memutuskan untuk kembali pulang saja.
"Apabila siau siauhiap pulang, tolong sampaikan hormatku kepada Suma tayhiap
suami isteri. Dan harap siauhiap hati2 dalam perjalanan." kata kakek itu.
Demikian Gin Liong segera berpisah dengan kedua suami isteri dan puterinya itu,
ia lari menuju keluar lembah. Diam2 ia mengkal karena telah dipermainkan oleh
orang bertubuh kecil itu.
Selepas dari tikungan puncak gunung, kembali ia melihat suatu pemandangan yang
membelalakkan matanya, Sepuluh tombak disebelah muka pada gunduk2 batu
yang berserakan tampak tegak siorang bertubuh kecil tadi.
Tetapi karena sudah mendapat pengalaman dari suami isteri Ik Bu It, kali ini Gin
Liong tak berani sembarangan bertindak. Sejenak ia memperhatikan dan memang
orang itu ialah siorang bertubuh kecil yang telah memikatnya ke dalam lembah
tadi. Seketika meluaplah kemarahannya, dengan memekik keras ia segera lari
menghampiri. Tetapi ketika hampir dekat, seketika tergetarlah hatinya dan iapun hentikan
langkahnya. Orang bertubuh kecil yang saat itu berdiri pada jarak setombak disebelah muka,
ternyata adalah orang tua kurus yang dilihatnya berada dalam rumah pondok di
lembah salju gunung Tiang pek-san tempo hari.
Saat itu orang tua aneh itu mengenakan jubah hitam, rambutnya kusut masai. Pada
wajahnya yang dingin dan angkuh memancar sinar welas asih.
Setelah menenangkan semangat, Gin Liong segera maju tiga langkah mengangkat
tangan dan membungkukkan tubuh memberi hormat.
"Murid Siau Gin Liong dengan hormat menghadap locianpwe."
Habis berkata ia terus hendak berlutut menjalankan penghormatan. Tetapi tiba2
segulung hawa kuat menguap dari bawah lutut merintangi gerakannya hendak
berlutut. Menyusul terdengar suara orang tua itu berseru dengan nada ramah:
"Gin Liong tak usah banyak peradatan, Kita bicara sambil berdiri saja."
Gin Liong memberi hormat pula lalu bangkit.
"Mohon locianpwe memberi petunjuk, mengapa locianpwe memerintahkan aku
datang ke lembah ini."
Wajah orang tua yang berseri ramah tiba2 mengerut dingin dan angkuh lagi,
ujarnya dengan nada serius:
"Musibah dalam dunia persilatan segera akan tiba," katanya, "tampaknya tugas
untuk mengatasi bencana itu terletak dibahumu. Mulai besok pagi bahkan mungkin
nanti, tentu engkau akan dihadang oleh kawanan manusia yang berhati temaha,
jika engkau dapat menghadapi dengan selayaknya, bahaya itu tentu akan surut.
Tetapi kalau engkau tidak hati2, tentu akan menimbulkan bencana darah yang tak
terperikan akibatnya."
Habis berkata orang tua itu sejenak memandang ke arah lembah, Mulutnya
mengulum senyum. Kemudian ia mengeluarkan kaca wasiat, seketika memancarlah
sinar gilang gemilang menerangi seluruh lembah.
Teganglah hati Gin Liong melihat kaca wasiat itu. Dipandangnya orang tua kurus
itu dengan penuh keheranan. Sambil memegang kaca, berkatalah orangtua kurus dengan nada bersungguh:
"Inilah benda dari paderi sakti yang disebut Goa-po-te-kia. Bukan saja dapat
digunakan untuk menentukan letak benda berharga dalam tanah, pun kaca wasiat
ini mengandung ilmu yang tak ternilai hebatnya."
Berhenti sejenak, orang tua kurus itu memandang Gin Liong dan berkata pula:
"Sekarang hendak kuberikan kaca ini kepadamu, harap engkau baik2 menjaganya
jangan sampai jatuh orang jahat."
Habis berkata, sepasang matanya tampak berkilat2 tajam, Melihat wajah Gin Liong
mengerut serius, wajah orang tua kurus yang dingin segera merekah seri tertawa.
"Adakah engkau dapat menyelami ilmu yang terkandung dalam kaca ini,
tergantung sampai dimana jodoh dan rejekimu dengan benda itu."
Orang tua kurus itu menyorongkan kedua tangannya ke muka dada dan dengan
suara bengis berseru: "Gin Liong, mengapa tak lekas berlutut menerima kaca wasiat dari Seng-ceng!"
Tahu bahwa menolak pun percuma saja, Gin Liong terpaksa berlutut memberi
hormat. "Murid Siau Gin Liong dengan sungguh hati menerima pemberian kaca dari Seng-
ceng (paderi sakti), Sejak saat ini murid akan menjalankan titah Seng-ceng untuk
menyebar kebaikan, berkelana dalam dunia persilaian, menjunjung kebenaran
membasmi kejahatan melakukan dharma kebajikan. Kecuali terhadap orang yang
keliwat jahat murid tak kan membunuh orang..."
Tiba2 orang tua kurus itu tertawa menukas: "Soal membunuh orang, terserah pada
pertimbanganmu."

Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Murid akan melakukan dengan sepenuh hati." Orang tua kurus itu menghela
napas: "Hati manusia tak pernah layu, nafsu keinginannya tak pernah puas, Sekali
tersesat, sampai mati tak mau sadar, Jika engkau menghendaki manusia budak
nafsu itu supaya sadar, mungkin akan menghabiskan waktumu saja."
Habis berkata ia memandang sejenak kearah deretan pohon siong yang tumbuh
lima tombak jauhnya, kemudian menyerahkan kaca wasiat kepada Gin Liong.
Dengan kedua tangan Gin Liongpun menyambuti dan menyimpannya dalam baju.
Tiba2 terdengar suara orang tertawa seram. Asalnya dari arah deretan pohon siong
itu. Gin Liong tergetar, cepat ia berdiri dan berputar tubuh.
Dari balik deretan pohon siong sejauh lima tombak, muncul dua orang. Seorang tua
dan seorang imam tua, Kedua berumur delapan puluhan tahun.
Orang tua itu berwajah persegi, mulut besar alis gompyok, sepasang boa matanya
seperti kelinting, jenggot putih menjulai sampai ke perut. Mengenakan jubah
panjang yang tepinya disalut sutera kuning emas.
Si imam tua bermuka tirus, mulut lancip, mata sipit dan tubuh tinggi, memegang
sebatang hud-tim jubahnya dari sutera biru, memakai kain pinggiran sutera kuning
emas, punggungnya menyanggul sebatang pedang.
Si imam tua dan siorang tua mulut lebar melangkah maju sambil tertawa seram,
Gin Liong kerutkan alis. Orang tua kurus yang berada dibelakang Gin Liong tertawa gelak2, serunya:
"Yang di sebelah kiri itu kepala dari pulau Cui-leng-to. Yang sebelah kanan Long
Ya cinjin. Keduanya termasyhur sebagai durjana jahat. Coba saja bagaimana cara
engkau hendak menasehati mereka supaya kembali ke jalan yang benar."
Suara Orang tua kurus itu makin lama makin jauh. Dan ketika Gin Liong berpaling
ternyata orang tua kurus itu sudah berada pada jarak dua puluh tombak jauhnya
dan pada lain saat terus menyusup ke dalam hutan bambu.
Sudah tentu Gin Liong bingung.
"Lo-cianpwe, apakah lo-cianpwe tak mau beritahu nama lo-cianpwe kepada murid
?" Telinga Gin Liong segera terngiang suara orangtua itu: "Tak usah memikirkan hal
itu kelak engkau tentu tahu sendiri."
Gin Liong terkesiap, Sambil memandang bayang orang tua kurus yang lenyap ke
dalam hutan bambu ia mendesah: "Ah, orang tua itu benar2 aneh sekali."
Tetapi ia segera dikejutkan oleh suara tertawa mengekeh dan kedua orang yang
sudah tiba dibelakangnya, segera ia berbalik tubuh pula. Kedua pendatang itu
sudah berada setombak dihadapannya.
Kepala Cui-leng-to mengekeh:
"Heh, heh, budak, setan tua itu takut mati dan melarikan diri, Sampai pecah
sekalipun kerongkonganmu, tak mungkin dia akan mendengar teriakanmu."
Long Ya cinjin pun ikut tertawa seram.
"Budak, lekas serahkan kaca wasiat itu kepadaku, mungkin aku dapat berbuat
kebaikan untuk tak membunuhmu."
"Heh, heh, budak." kembali kepala Cui-leng-to mengekeh lagi, "serahkan kepadaku,
jangan kepada imam hidung kerbau ini."
Ia terus ulurkan tangan kanannya yang kurus kering mirip cakar baja ke muka.
"Berikan kepadaku." Long Ya cinjin juga ulurkan tangannya meminta.
Melihat tingkah laku kedua orang itu, Gin Liong merasa muak. Dan mendengar
kata2 mereka yang begitu temaha, marahlah Gin Liong.
"Atas dasar apa?" bentaknya, Dipandangnya kedua orang itu dengan mata berkilat-
kilat. Kepala Cui-leng-to tertawa gelak2. Tetapi Long Ya cinjin marah dan terus
menerkam dada Gin Liong, Pemuda itu tertawa dingin, serentak ia hendak
menyambar pergelangan tangan cinjin itu tetapi tiba2 kepala Cui-leng-to atau
Cui- leng-to-cu menyentaknya. "Anak jadah, engkau berani . ." Cepat laksana kilat dia mendorong lengan Long Ya
cinjin kesamping. Gin Liong terkejut dan menyurut mundur selangkah, tepat pada saat itu, kedua
orang itupun menggembor keras, Long Ya cinjin mengangkat lengannya untuk
menghindari tangan Cui-leng-to-cu, tangan kiri maju untuk mencengkeram leher
baju Gin Liong. Cui-leng-to-cu juga menurunkan lengan kanan maju setengah langkah dan ulurkan
tangan kiri untuk mencengkeram dada Gin Liong,
Kedua orarg itu bergerak luar biasa cepatnya dan disertai dengan tenaga penuh.
Gin Liong terkejut dan segera gunakan gerak tata langkah Liong-li-biau untuk
menghindar dan loncat sampai tiga tombak jauhnya.
Cui-leng tocu tertawa seram. Entah dengan gerak bagaimana, ia sudah
membayangi Gin Liong, sedangkan tangan kirinya tetap mengancam lambung Gin
Liong. Long Ya cinjin lebih lihay lagi. Dengan tertawa seram ia menyerang dari samping,
kebut hud tim ditaburkan kedada Gin Liong.
Melihat itu Cui leng-to-cu terkejut juga. Kalau Long Ya cinjin berhasil menampar
dada Gin Liong, kaca wasiat tentu akan menumpah keluar. Dan apabila disusuli
dengan gerakan hudtim sekali lagi, kaca wasiat itu tentu akan jatuh ke tangan
cinjin itu, maka dengan menggembor keras, ia segera menghantam bahu kiri Long Ya
cinjin. Melihat kaca yang jelas sudah akan jatuh ke tangannya hendak digagalkan kepala
pulau Cui-leng to, marahlah Long Ya cinjin.
"Anjing tua, engkau cari mampus." bentaknya seraya gerakkan tangan kiri untuk
menangkis dan tangan kanan untuk membabat kedua lutut kaki orang.
Tetapi Cui-leng-to-cu tertawa gelak2, sekali kebutkan lengan jubah, tubuhnya
melambung sampai tiga tombak ke udara.
"Tua bangka buduk, engkau hendak merebut kaca wasiat itu" Hm, mari kita adu
jiwa dulu." serunya sambil julurkan tangan kanan untuk mencengkeram belakang
kepala Long Ya cinjin. Long Ya cinjin marah, cepat ia balikkan tubuh dan menampar dengan kebut hudtim,
Cui-leng to-cu tertawa gelak2. ia bergeliatan kebutkan kedua lengan baju diudara
dan gunakan ujung kaki kanan untuk mendupak kepala orang.
Demikian kedua orang itu saling bertempur kemati-matian sendiri, Long Ya cinjin
menghantam dengan tangan kiri dan memutar kebut hudtimnya gencar sekali,
sedangkan kepala dari pulau Cui-leng-to mainkan lengan bajunya yang dikebutkan
dan ditamparkan laksana gelombang laut yang dahsyat sekali.
Mereka muncul bersama, menghampiri bersama dan meminta kaca wasiat dari Gin
Liong pun bersama. Akhirnya mereka bersama pula berbaku hantam, seru dan
dahsyat. Sedangkan Gin Liong malah berada tiga tombak dari tempat pertempuran itu,
melihat kedua orang itu bertempur mengadu jiwa, ia kesima. Tetapi pada lain saat
ketika teringat bahwa kedua orang itu hendak meminta kaca wasiat, marahlah Gin
Liong. Tepat pada saat itu, kedua orang itupun tampak berputar-putar dan tiba2 pula
menyerbu Gin Liong. Cui-leng-to-cu mendahului untuk mengangkat tangan kanan dan menghantam Gin
Liong. Kemudian Long Ya cinjin pun tiba dengan tangan kiri mencengkeram dada
anak muda itu. Gin Liong menggembor keras, Dengan jurus Liat-hun-song-hou atau dengan-
kekuatan-menyiak-sepasang-harimau.
"Bum...." sepasang tangan yang menghantam kekanan dan kiri itu tepat mengenai
tangan kedua orang itu. Cui-leng-to-cu menjerit kaget lalu menyurut kesamping
selangkah terus loncat lagi setombak jauhnya, Long Ya cinjin mendesah pelahan
dan terhuyung-huyung sampai delapan langkah kebelakang. Tetapi Gin Liong
sendiri juga bergetar bahunya, kedua lengannya terasa linu kesakitan
Cui-leng-to-cu berobah wajahnya dan terlongong-Iongong, Long Ya cinjing pun
tercengang. Keduanya tak pernah menyangka bahwa pemuda itu ternyata memiliki
tenaga sakti yang mengejutkan orang.
Tetapi Gin Liong juga kaget dalam hati, ia menyadari bahwa kedua durjana itu
memang hebat sekali kepandaiannya, ia tak berani memandang rendah lagi.
Serentak ia segera kerahkan tenaga dalam dan ketika melihat kedua durjana itu
masih termangu-mangu, timbullah pikirannya untuk menyadarkan mereka supaya
kembali ke jalan yang benar.
"Kalian tentulah tokoh2 sakti yang mengasingkan diri tinggal diseberang laut.
Bukankah lebih baik menghapus keinginan2 yang jahat dan lanjutkan tindakan
kalian untuk mencari ilmu penerangan batin yang tinggi..."
28. Kitab pusaka ilmu pukulan
Kedua orang itu cepat tertawa keras menukas ucapan Gin Liong, Sudah tentu Gin
Liong marah. "Soal itu mengapa perlu engkau seorang budak kecil yang harus memberi nasehat"
Sudah lima puluh tahun lamanya entah sudah berapa ribu kali kudengar ucapan2
kosong semacam itu," seru kepala pulau Cui-leng-to.
Sepasang gundu mata Long Ya cinjin berkeliaran seperti teringat sesuatu lalu
tertawa parau. "Budak kecil, ketahuilah, kenal pada gelagat dan dapat mengetahui suasana,
barulah dapat menjadi seorang gagah, Engkau budak, jika mau mengangkat aku
sebagai guru dan menyerahkan kaca wasiat itu, kita guru dan murid dapat ber-
sama2 mempelajari ilmu sakti yang tertera pada kaca wasiat itu. Kelak tentu akan
menguasai dunia persilatan..."
Belum Long Ya cinjin selesai berkata, Cui-leng-to-cu sudah tertawa gelak2,
serunya: "Tua bangka, pikiranmu sungguh murni sekali, ucapanmu pun enak didengar.
Apakah engkau tak tahu bahwa aku memang bermaksud hendak mengambil budak
itu sebagai murid pewarisku!"
Mendengar kedua orang itu seenaknya sendiri mengoceh tak keruan hendak
mengambil dirinya sebagai murid, marahlah Gin Liong. ia kecewa dan putus asa.
Untuk menasehatkan kedua orang itu tak ubah seperti meniup seruling nafiri
dihadapan seekor kerbau belaka.
Seketika meluaplah kemarahan Gin Liong dan serentak iapun maju menghampiri
Tanpa menghiraukan Cui-leng-to-cu lagi, Long Ya cinjin terus berseru lagi kepada
Gin Liong: "Berhenti engkau! Engkau harus tenang dan jangan gugup, Kita berdua tentu dapat
membasmi anjing tua dari Cui-leng-to itu."
Sudah tentu marah Cui-leng-to-cu bukan kepalang sehingga rambutnya meregang
tegak, dengan meraung keras ia segera menampar muka Long Ya cinjin.
Rupanya Long Ya cinjin sudah bersiap. sesaat Cui-leng-to-cu menggerakkan tangan,
iapun cepat mendahului untuk menutuk perutnya. Oleh karena jelas kedua tokoh
itu hendak saling membasmi maka setiap gerak yang dilancarkan tentu merupakan
jurus maut yang mengerikan.
Tiba2 terdengar suara ayam berkokok, Gin Liong menyadari bahwa hari segera
akan terang tanah, ia harus lekas2 kembali ketempat Suma Tiong, kalau tidak Yok
Lan dan kawannya tentu akan bingung mencari dirinya.
"Hari segera terang tanah, aku masih mempunyai lain urusan tak dapat menemani
kalian lagi." serunya kepada kedua tokoh yang sedang bertempur itu, kemudian ia
terus berputar tubuh dan lari ke luar lembah.
"Hai, budak, jangan lari tinggalkan kaca itu." kedua tokoh itu berhenti
bertempur dan berteriak seraya loncat berhamburan mengejar Gin Liong, Begitu tiba di
tanah, mereka melambung ke udara lagi dan tiba lima tombak dibelakang Gin Liong.
Ketika berpaling, terkejutlah Gin Liong. ia segera kerahkan tenaga untuk
mempercepat larinya. Tetapi kedua lokoh durjana itu tak mau melepaskan Gin
Liong, Merekapun tancap gas untuk mengejar
Sesaat Gin Liong berpaling, tampak Long Ya cinjin dengan memegang kabut hudtim
dan pedang berputar melayang di udara lalu meluncur kearah Gin Liong. Sambil
meluncur, cinjin itu membentak, "Hai budak, tinggalkan batok kepalamu !"
Gin Liong makin marah, ia hendak mempertunjukan kepada cinjin itu bahwa ia
dapat lari lebih cepat, ia kerahkan tenaga dalam lagi untuk merubah dirinya
menjadi segulung asap yang menderu-deru meluncur keluar lembah.
Long Ya cinjin terkejut dan meluncur turun, Cui-leng-tocu pun kesima, laju
larinya menurun dan orangnya pun segera berhenti. Hanya segulung asap warna kuning
yang meluncur ke mulut lembah dan pada lain saat pemuda itupun sudah lenyap
dari pandang mata. Gin Liong menggunakan ilmu lari Angin-puyuh yang hebat, setelah mendaki puncak
dan melintasi hutan, beberapa saat kemudian ia tiba disebuah tanah datar. Ketika
berpaling, ia tak melihat kedua pengejarnya lagi. Segera ia percepat larinya
menuju ke desa tempat kediaman Suma Tiong,
Tak berapa lama tibalah ia dimulut desa, Desa sunyi senyap, setelah masuk
kehalaman dengan hati2 iapun menyelinap masuk kedalam kamar, duduk bersila
diatas ranjang dan mulai menyalurkan pernapasan.
Tak berapa lama ia mendengar derap langkah orang berjalan dihalaman, Ternyata
hari sudah terang tanah dan para bujang2 sudah mulai bekerja, iapun segera turun
dan mandi kemudian menghampiri ke kamar Tio Li Kun.
Gin Liong terkejut sekali melihat wajah nona itu makin pucat dan lemah. Melihat
si anak muda terkejut, Li Kun pun hampir mengucurkan air mata, ia segera berputar
tubuh dan menuju ke kamar Tek Cun. Gin Liong bergegas menyusulnya.
"Taci Kun, lekaslah engkau tutuk jalan darah liok-ko," kata Gin Liong demi
melihat keadaan Tek Cun makin payah.
Tio Li Kun melakukan perintah, Gin Liong pun memeriksa luka Tek Cun. Ternyata
wajahnya sudah tampak segar dan napasnya pun teratur, sudah lebih sehat
daripada kemarin. "Taci Kun, apakah semalam engkau tak tidur?" tegur Gin Liong, Li Kun tak
menjawab kecuali bercucuran air mata.
Gin Liong makin gugup, ia menghampiri dan menghibur nona itu: "Sudahlah taci,
jangan sedih. Beberapa hari lagi luka liok-ko tentu sembuh."
Tiba2 Li Kun memeluk tangan Gin Liong dan berkata dengan rawan: "Adik Liong,
kurasakan makin lama engkau makin menjauhi aku."
Nona itu mulai terisak, jelas ia amat bersedih hati, sesungguhnya Gin Liong
seorang pemuda yang berhati lembut. Tetapi karena dalam hatinya sudah terisi dengan
sumoaynya, apalagi suhunya telah meninggalkan pesan, maka terpaksa ia tak dapat
menerima persembahan hati Li Kun.
Tetapi karena itu ia dipeluk si jelita, hatinya pun tergerak dan tanpa disadari
iapun membelai-belai rambut si jelita seraya menghiburnya : "Ah, janganlah berpikir
terlalu banyak." "Adik Liong, harapanku janganlah engkau memandang diriku hanya sebagai pohon
liu yang tumbuh di tepi jalan..."
Rupanya Gin Liong tahu bahwa Li Kun hendak memperingatkannya tentang
peristiwa yang terjadi dalam ruang dalam perahu yang lalu. Maka cepat ia
menukas: "Kutahu taci seorang gadis yang luhur hati, hanya Thian yang tahu
bagaimana perasaan hatiku kepada taci. Sudahlah, jangan memikir yang tidak2 dan
hanya mengganggu kesehatan taci saja."
Kemudian sambil mengelus-elus bahu si jelita, ia menambahkan pula: "Yok Lan
sudah sejak kecil belajar ilmu bersama aku. Hati budinya halus dan lembut, harap
taci Li Kun suka melindunginya..."
"Jangan kuatir adik Liong" cepat Li Kun menukas, "aku anak yang paling bungsu,
tentu akan kuperlakukan adik Lan sebagai adik kandungku sendiri."
Tergetar hati Gin Liong dengan rasa bahagia maka iapun segera berbisik mesra:
"Jika demikian kelak kita akan bersama-sama menjelang hari bahagia."
"Sungguhkah itu, adik Liong ?"
Gin Liong tertawa mengangguk, ia segera mengusap air mata Li Kun yang tak henti-
hentinya mengucur itu, Kemudian Gin Liong mengajaknya untuk menjenguk
keadaan Mo Lan Hwa. Ketika masuk ke kamar, tampak Yok Lan menyambut dengan wajah berseri, ia
duduk di tepi ranjang menunggu Lan Hwa ia hendak bangun untuk menyambut
tetapi Li Kun mencegahnya.
"Adik Hwa, lukamu masih belum sembuh, jangan paksakan diri bangun." kata Li
Kun. Memperhatikan mata Li Kun membenjul bekas menangis, Lan Hwa bertanya: "Taci
Kun, engkau habis menangis?"
Li Kun tersipu-sipu merah, sesaat ia tak dapat menjawab.
"Apakah luka Tek Cun koko makin parah?" tanya Lan Hwa cemas.
"Mungkin liok-ko harus beristirahat beberapa hari lagi baru sembuh." akhirnya Li
Kun memberi jawaban sekenanya.
Yok Lan mengatakan ia ingin menjenguk Tek Cun, Gin Liong mencegah mengatakan
kalau Tek Cun sedang tidur.


Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Saat itu bujang muncul dengan membawa dua mangkuk kuah Jin-som-lian-cu:
"Nyonya besar mengutus hamba mengirim kuah ini untuk Liok-ya dan nona Mo."
"Taci Kun, mari kita antarkan kepada liok-ko", kata Yok Lan, Kedua nona itupun
segera keluar. Kini tinggal Gin Liong berdua dengan Lan Hwa, Melihat luka nona itu masih payah,
Gin Liong segera menghampiri, mengangkat tubuh nona itu dan memberinya
bantal yang tinggi. Kemudian ia mengambil mangkok jin-som dan meminumkan ke
mulut Lan Hwa. Gemetar tubuh Lan Hwa, gemetar pula hatinya karena duduk merapat dengan Gin
Liong, pemuda yang mencuri hatinya. Tepat pada saat itu muncullah Yok Lan, Lan
Hwa dan Gin Liong tertegun. Tetapi Yok Lan seorang dara yang polos, setitikpun
ia tak cemburu atau marah bahkan segera menghampiri dan membujuk: "Taci Hwa,
kuah jin-som itu harus dihabiskan agar taci lekas sembuh."
Terharu hati Lan Hwa mendengar kata2 dara itu, ia segera meneguknya habis.
Dalam pada itu diam2 ia bersumpah, rela mengorbankan diri daripada
menghancurkan hati seorang dara berhati emas seperti Yok Lan, Lan Hwa menangis
dalam hati. Setelah membaringkan Lan Hwa ditempat semula lagi, Yok Lan segera mengikuti
Gin Liong keluar untuk makan pagi. Tak lama Li Kun pun pun datang, Tiba2 suami
isteri Suma Tiong bergegas masuk, wajahnya mereka tampak tegang.
Begitu duduk, Suma Tiong tak menanyakan keadaan Tek Cun maupun Lan Hwa,
terus langsung berkata kepada Gin Liong dengan wajah serius:
"Dari laporan bujang yang kembali dari kota mengatakan bahwa dalam kota Hok-
san-shia telah gempar tersiar berita bahwa Siau siauhiap telah mendapat kaca
wasiat dari Bu-lim Seng-ceng. Benarkah itu ?"
Mendengar itu tergetarlah hati Gin Liong, ia menghela napas: "Apakah sungguh
tersiar berita begitu?"
Li Kun kerutkan dahi dan ikut bicara: "Tentulah perbuatan Ce-tang Sam-sat yang
tertua, lari ke Hok-san-shia lalu menyiarkan berita bohong itu untuk membalas
dendam." "Atau memang kesalahan Liong koko sendiri. Orang meminta kaca wasiat
kepadanya, dia mengatakan kaca wasiat itu memang ada padanya." Yok Lan
menyeletuk. "Lebih baik peristiwa ini segera diberantas", kata Lok Siu Ing isteri Suma
Tiong, "jika tidak tentu akan menimbulkan peristiwa yang lebih berbahaya, Tokoh2 silat yang
tamak tentu berbondong-bondong mendesak Siau siauhiap."
Suma Tiong setuju pendapat isterinya.
"Harap Siau siauhiap jangan meremehkan soal ini, Kemungkinan besar hal itu akan
mendatang bahaya pada siauhiap."
"Ah, aku tak pernah menduga sampai begitu jauh." kata Gin Liong,
Li Kun dan Yok Lan menanyakan pendapat kedua suami isteri itu bagaimana
sebaiknya langkah yang harus diambil.
"Sebaiknya mengirim orang untuk memberantas desas-desus itu dan membuka
kedok muslihat Ce-tang Sam-sat." kata Suma Tiong.
Li Kun setuju dan meminta kepada Suma Tiong untuk mengatur orang, Gin Liong
gelisah dan hendak mencegah, Rupanya Yok Lan tahu isi hati sukonya maka cepat
ia mendahului. "Jika demikian kita harus menunggu sampai beberapa hari lagi, Lalu kapankah kita
mulai mengejar jejak Liong-li locianpwe?" serunya.
"Ya, kita hanya membikin repot Suma tayhiap berdua saja." kata Gin Liong.
Tetapi Suma Tiong mengatakan bahwa hal itu memang sudah menjadi kewajiban
dalam persahabatan, iapun mengajak isterinya keluar.
Setelah kedua suami isteri itu pergi, Li Kun setengah menyesali tindakan Gin
Liong yang telah memberi ampun kepada Ce-tang Sam-sat.
"Ya, memang Liong suko salah," Yok Lan ikut menyesal.
"Sekarang bukan soal desas desus itu yang harus kita layani tetapi bagaimana dan
bilakah kita segera melanjutkan perjalanan menyusui Liong-li locianpwe."
Mendengar itu Yok Lan segera mengajak Li Kun untuk menjenguk keadaan Tek Cun.
"Liong koko," kata Yok Lan, "menilik luka liok-ko dan taci Hwa, Mungkin dalam
empat lima hari kemudian baru sembuh. Aku bersama taci Kun akan menjaga
mereka disini dan engkau seorang diri boleh segera berangkat..."
"Akau kupertimbangkan," cepat Gin Liong menukas.
Setelah kedua gadis itu pergi, Gin Liong merenungkan langkah untuk mengejar
jejak Ban-liong Liong-li dengan cara bagaimana ia dapat menghindarkan diri dari
libatan tokoh2 silat yang berhati temaha hendak merebut kaca wasiat itu.
Tiba2 ia teringat akan orang tua pemilik kaca wasiat dan kaca wasiat itu yang
pada permukaannya tertera tulisan tentang ilmu silat yang sakti.
Serentak timbullah keinginannya untuk meneliti kaca wasiat itu. Scgera ia masuk
kedalam kamar dan mengeluarkan kaca itu. seketika terang benderanglah kamar
karena cahaya kaca wasiat. Cepat2 Gin Liong menutup dengan baju luarnya, ia
memasang telinga, suasana diluar sunyi senyap.
Setelah itu baru ia mulai memeriksa. Didapatinya dibalik kaca itu terdapat
beberapa huruf kecil2. Entah diukir dengan alat apa. Setelah diteliti ternyata
huruf2 itu merupakan nama pemiliknya.
Pada baris kesatu berbunyi: Thian It lo-jin pada waktu malam hari pertengahan
musim rontok, menyerahkan kaca wasiat ini kepada Gin-si-khek.
Melihat itu, barulah Gin Liong tahu bahwa pemilik kaca wasiat itu bukan Bu-lim
Seng-ceng tetapi Thian It lojin.
Baris kedua berbunyi: Gin-si-khek pada senja musim semi, menyerahkan kepada Ik-
wan-tay-hiap Lu Gik Tiong.
Gin Liong terus membaca sampai pada baris kelima. Disitu tertulis: Tio Su Le
pada suatu hari dingin, menyerahkan kaca wasiat kepada Langlang-buana Gui Hin Kiong.
Kemudian baris keenam berbunyi Gui Hin Kiong pada hari yang cerah,
menyerahkan kepada Siau Gin Liong.
Seketika itu sadarlah Gin Liony bahwa yang disebut Bu-lim Seng-ceng atau Paderi-
sakti dalam dunia persilatan itu, bukan lain adalah Thian It lojin. Sedang orang
tua kurus yang menyerahkan kaca wasiat kepadanya itu bernama Langlang-buana Gui
Hin-Kiong. Gui Hin Kiong merupakan orang keenam yang menerima penyerahan
kaca wasiat itu. Tetapi sepanjang ingatannya, dalam dunia persilatan ia tak pernah mendengar
tentang nama tokoh Langlang-buana Gui Hin Kiong. ia menarik kesimpulan bahwa
Gui Hin Kiong tentu seorang sakti yang tak mau melibatkan diri dalam pergolakan
dunia persilatan. Selanjutnya menurut catatan itu, sudah lima belas tahun lamanya kaca itu berada
di tangan orang tua kurus Gui Hin Kiong. Selama itu, mungkin dia sudah
mempelajari ilmu sakti yang tertera pada kaca wasiat itu.
Dari Thian It lojin hingga temurun pada Gui Hin Kiong, diantaranya empat orang
pewaris tak seorang pun yang mempunyai nama dalam dunia persilatan. Apakah
mereka tak berhasil mempelajari ilmu sakti pada kaca wasiat itu" Atau mungkinkah
karena mereka sudah menemukan penerangan batin, mereka tak mau terjun
dalam dunia persilatan"
Akhirnya Gin Liong menarik kesimpulan, ia akan mencontoh jejak keempat cianpwe
itu, takkan menonjolkan ilmu kepandaian yang diperoleh dari kaca wasiat itu
kepada siapapun juga. Segera ia meneliti lebih cermat dan akhirnya menemukan, diantara sinar pelangi
yang terpancar dari kaca itu, samar2 menyembul sebuah huruf berbunyi "Kitab",
Tetapi pada lain kilat, huruf itupun tak tampak lagi.
Gin Liong mencoba untuk menggoyangkan kaca pelahan-lahan. Dan benar juga,
huruf merah Kitab itu timbul lagi. Pelahan-lahan ia mengisar baju luar yang
dibuat menutup dan tampaklah tujuh buah huruf yang berbunyi: Liong Hou liong Kau Kun
Ciang Bu. Atau, kitab ilmu pukulan Naga, harimau, burung hong, ular.
Tergerak hati Gin Liong, Girangnya bukan kepalang sehingga tangannya gemetar,
Dibawah huruf Kun-hu atau Kitab ilmu pukulan itu, tampak pula huruf2 Hang liong
atau Ilmu-menaklukkan-naga, Hok-hou atau Harimau Mendekam, Lin-hong atau
Menangkap-cenderawasih, Pok-kau atau menjerat ular, empat macam pelajaran
ilmu pukulan. Setelah membaca dengan teliti, ternyata dalam tempat macam pelajaran ilmu
pukulan itu mengandung ilmu pukulan, ilmu tebasan dan ilmu menangkap atau
menyambar. Ilmu pukulan, cepat dan dahsyat ilmu tebasan, tangkas dan ganas, ilmu
menyambar dan menangkap. luar biasa hebatnya. Apabila digunakan keempat
macam ilmu itu merupakan gabungan tipu silat lihai penuh dengan perobahan.
Gin Liong memiliki otak yang cerdas dan daya ingat yang kuat. Cepat sekali ia
dapat mengingat semua pelajaran2 itu dan setelah merenungkan ia segera tahu daya-
gunanya. Pada saat ia hendak melanjutkan membaca dihalaman terdengar langkah kaki
orang. Buru2 ia menyimpan kaca itu ke dalam baju lagi Kemudian ia keluar.
Saat itu hampir tengah hari. Suma Tiong dan isterinya berjalan menghampiri, Gin
Liong segera menyambut. Demikian pula Yok Lan dan Li Kun pun keluar dari kamar
ikut menyongsong. Suma Tiong suami isteri melaporkan bahwa dia sudah mengirim dua puluh orang
menuju kekota. Gin Liong menghaturkan terima kasih atas bantuan tuan rumah.
Tak lama bujang pun segera menyiapkan hidangan siang. Waktu makan. Li Kun
mengatakan kepada tuan rumah bahwa karena mempunyai urusan penting maka
Gin Liong akan melanjutkan perjalanan lebih dulu, sebenarnya dalam suasana
seperti saat itu, memang tak leluasa kalau Gin Liong menempuh perjalanan
seorang diri. Tetapi dikarenakan harus merawat Tek Cun dan Lan Hwa terpaksa Yok
Lan dan Li Kun harus tinggal.
Mendengar itu Suma Tiong menyatakan kesediaannya untuk merawat kedua orang
yang sakit itu dan minta kedua nona itu menemani Gin Liong.
Karena Li Kun setuju terpaksa Gin Liong pun menyetujui juga.
Waktu Tek Cun dan Lan Hwa diberitahu tentang persetujuan itu, keduanya pun
setuju. Demikian setelah berkemas, Gin Liong dan kedua nona segera berangkat
siang itu juga, Gin Liong naik kuda hitam kaki putih, Yok Lan naik kuda bulu
merah milik Tek Cun dan Li Kun naik kuda putih.
Pada saat Suma Tiong idan isteri menghantar ketiga anak muda itu sampai keluar
pintu, tiba2 seorang lelaki bergegas-gegas masuk ke dalam desa.
"Apa yang terjadi diluar desa ?" seru Suma Tiong kepada orang itu.
"Toa-ya, celaka..." seru orang itu, "dari Hok-san-shia telah berbondong-bondong
sejumlah besar penunggang kuda menuju ke desa ini."
Mendengar itu Gin Liong seperti merasakan suatu ancaman bahaya, serunya:
"Mereka tentu akan cari perkara disini."
"Sejak diam disini, baru pertama kali ini aku mengalami peraturan desa ini
dilanggar orang." kata Suma Tiong.
"Tak peduli siapa pun yang datang, kita harus menyongsongnya," kata Lok Siu Ing.
Kelima orang itu segera bergegas menuju ke mulut desa, sepuluh penunggang kuda
tampak sedang mencongklangkan kudanya menuju ke desa itu. Orang2 itu
mengenakan pakaian ringkas sebagaimana dikenakan oleh kaum persilatan dikala
sedang menjalankan tugas, Saat itu mereka sudah berada pada jarak setengah li
dari desa. "Menilik sikapnya, mereka memang hendak melakukan sesuatu," kata Suma Tiong.
"Jika tanpa alasan, jangan beri ampun kepada mereka," seru Lok Siu Ing.
Pada saat rombongan pendatang itu tiba pada jarak tiga puluhan tombak dari
tempat Gin Liong, tiba2 kuda hitam mulus meringkik keras sehingga rombongan
kuda yang datang itu terkejut dan panik, Ada yang Mengangkat kaki depan, ada
pula yang merontak kaget, Penunggangnya berusaha keras untuk mengatasi
kudanya dan melanjutkan lari ke muka.
Penunggang yang paling depan, seorang tua bertubuh kurus, muka hitam, brewok
dan rambut memanjang sampai ke bahu. Mengenakan pakaian warna hitam.
Umurnya diantara 60-an tahun. Dibelakang punggungnya menyanggul sebatang
tongkat berkepala ular, batangnya penuh berhias gelang besar-kecil, sepasang
matanya yang bundar memancarkan sinar berkilat-kilat dingin.
Disebelah kanan dan kirinya, seorang lelaki berpakaian kuning dan yang satu
berpakaian kelabu. Keduanya berumur lebih dari 40 tahun.
Lelaki yang berpakaian kuning itu, mukanya penuh rambut, alis tebal mata bundar
dan perawakan gagah perkasa, punggungnya menyelip Kim-kong senjata gada
berbentuk orang-orangan. Gagah menyeramkan sekali.
Sementara lelaki yang berpakaigan kelabu, mukainya kuning pucat, jenggot tipis,
mata sipit tak berbulu mata. Tubuhnya kurus, menyanggul sebatang sayap.
Sedang ketujuh orang yang mengikuti dibelakang, terdiri dari lelaki2 yang
bertubuh gagah. Masing2 membekal golok.
"Hm. kiranya Tiga-jahat dari Losan." geram Loh Siu Ing.
Suma Tiong pun cepat tertawa dan berserunya ringan: "Kukira siapa, ternyata tiga
pendekar dari Losan yang berkunjung. Maaf, karena terlambat menyambut."
Sejenak berhenti ia melanjutkan pula dengan nada nyaring: "Entah apakah maksud
kedatangan saudara bertiga ke desaku ini ?"
Rombongan penunggang kuda itu tiba pada jarak lima tombak, Orang tua baju
hitam mengangkat tangan keatas dan kesepuluh ekor kuda itupun serentak
berhenti. Kemudian orang tua itu tertawa mengekeh.
"Kukira siapa yang tinggal didesa ini, kiranya Suma tayhiap, Aku Tongkat-ular-
bergelang In Po Tin bersama kedua saudaraku Gada-pencabut nyawa dan Golok-
pelenyap-jiwa, memberanikan diri datang kemari, mohon saudara suka memaafkan
kelancangan kami," Bahkan orang tua yang merupakan tokoh pertama dari tiga Jahat gunung Lo-san itu
segera memberi hormat. Kedua saudaranya hanya ter-longong2 memandang Gin
Liong. Suma Tiong tertawa nyaring.
"Harap saudara suka menjelaskan apa maksud kunjungan saudara bersama
rombongan kemari. Apabila dapat kami lakukan tentu dengan senang hati kami
akan menghaturkan bantuan."
Tongkat-ular In Po Tin tertawa juga.
"Kedatangan kami ini tak lain hanya perlu sekedar hendak minta keterangan
kepada Siau siauhiap adakah kaca wasiat itu benar berada padanya?" kata In Po
Tin sambil menunjuk Gin Liong.
Melihat sikap ketiga orang yang begitu congkak, si jelita Li Kun sudah muak. Dan
sesaat mendengar maksud kedatangan mereka, serentak marahlah ia, serunya:
"Sudah makan nasi sampai berpuluh tahun mengapa dalam soal sekecil itu saja
kalian tak dapat menilai dengan tepat. Huh..."
"Budak hina, siapa suruh engkau campur mulut!" bentak si baju kuning Gada-
pelenyap-nyawa. Mendengawr itu Lok Siu Ing tak dapat menahan kemarahannya lagi. Dengan
melengking ia melompat maju kemuka dan menuding Gada-pelenyap nyawa:
"Kalau memang berani, hayo, turunlah engkau. Hendak kuuji sampai dimana
kepandaianmu sehingga gegabah berani menghina orang!"
Nyonyah itu menutup kata2nya dengan mencabut pedang.
Dengan tertawa dingin Gada-pelenyap-nyawa pun ayunkan tubuh loncat turun dan
siapkan senjatanya: "Engkau sendiri yang cari mati, jangan salahkan aku berhati
kejam!" Sambil tertawa mengekeh ia pelahan-lahan maju menghampiri.
Gin Liong kerutkan alis dan tertawa dingin ia berdiri disamping Suma Tiong
dengan tenang, Tak habis herannya mengapa Lo-san Sam-ok atau Tiga jahat dari gunung
Lo-san tahu bahwa ia telah mendapat kaca wasiat itu.
"Berhenti!" cepat ia berteriak ketika Gada-pelenyap-nyawa hendak bertempur
dengan Lok Siu Ing. Walaupun pelahan teriakan itu dihamburkan tetapi telinga
sekalian orang yang berada disitu serasa mengiang-ngiang. Toa-ok atau si jahat
Kesa tu In Po Tin diam2 terkejut juga. Dan Gada-pelenyap-nyawapun hentikan
langkah. "Kalian kesepuluh orang ini sudah melanggar peraturan memasuki desa ini.
Bukannya kalian bersikap sopan kebalikannya malah mengumbar kecongkakan,
jelas dapat diketahui bagaimana pun tingkah laku kalian selama ini. Dan jelas
pula bahwa kalian hendak merebut kaca wasiat itu."
Gin Liong berhenti sejenak menatap ketiga tokoh jahat dari gunung Lo-san itu.
serunya pula: "Andaikata kaca wasiat itu berada padaku, apa dasarnya kalian
hendak merebut benda itu ?"
Gada-pelenyap-nyawa jago kedua dari Lo-san deliki mata dan membentak: "Budak
yang sombong engkau berani cari perkara dengan kami bertiga?"


Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pah-ong-kan-san atau raja Pah-ong-mengejar gunung, adalah jurus yang
digunakannya untuk menyerang Gin Liong, Tetapi Lok Siu Ing yang sudah sejak tadi
siap, segera menangkis dengan jurus Mengepak-rumput-memburu-ular, ia
menyabetkan pedang memapas lambung orang.
Gada-pelenyap-nyawa marah. ia hentikan gerakannya untuk menangkis pedang Lok
Siu-ing, tetapi nyonya itupun merobah gerak pedangnya untuk menusuk alis lawan.
Gerak perobahan itu dilakukan teramat cepat sekali.
29. Dewi bayangan Jago kedua dari Lo-san itu memang hebat juga. Cepat ia songsongkan senjata tegak
ke atas untuk menahan pedang lawan. Tetapi diluar dugaan Lok Siu Ing dengan
gerak secepat kilat, telah memapaskan pedang kecelana lawan.
"Cret," celana jago kedua gunung Lo-san telah terpapas kutung.
Gada-pelenyap-nyawa menjerit kaget dan menyurut mundur beberapa langkah.
Melihat kebawah mukanya berubah dan keringat dingin mengucur, Kedua kaki
celananya telah robek sehingga lututnya pun kelihatan.
Lok Siu Ing tertawa dingin. "Hm, begitu tak berguna, masih berani cari perkara,
Sungguh tak tahu diri."
Toa-ok In Po Tin menggeremutukkan geraham, wajah membesi dan tubuh gemetar.
Tokoh ketiga Toat-beng to atau golok Pencabut-nyawa loncat dari kuda dan terus
memutar golok menyerang Lok Siu Ing.
Melihat itu Tio Li Kun pun loncat turun dari kuda, Tring!, iapun sudah mencabut
pedang yang memancarkan sinar berkilau-kilauan. Dan sekali bergerak, pedang
itupun segera meluncur kemuka untuk menusuk gulungan sinar golok lawan.
"Lo-sam . ." melihat Pedang-pencabut-nyawa hendak mengadu kekerasan dengan
pedang si jelita, buru2 Toa-ok berseru mencegah.
Mendengar itu Pedang-pencabut-nyawa terkejut, cepat mengendapkan pedang
kebawah cepat pula loncat ke samping.
Li Kun mendengus dingin. Sekali ayun tubuh ia loncat memburu dan taburkan
pedangnya, Terdengar jeritan kejut dan darah menyembur keluar. Tahu2 daun
telinga kiri si Pedang-pencabut-nyawa sudah terpapas hilang.
Meiihat itu Gada-pelenyap-nyawa menggembor keras dan terus menyerbu Li Kun.
"Tadi sudah diberi ampun mengapa sekarang masih cari mati lagi?" bentak Lok Siu
Ing seraya tebarkan pedang dan tahu2 ujungnya sudah melekat kedada orang itu.
"Ing-moay, jangan membunuhnya!" buru2 Suma Tiong melarang isterinya.
Lok Siu Ing pun menurut, Tetapi dikala ia menarik pedangnya, sekonyong-konyong
Gada-pelenyap-nyawa menggembor keras dan dengan jurus Tiang-menyanggah-
langit, ia menghantamkan gadanya pada pedang Lok Siu Ing.
Nyonya itu menjerit kaget karena tangannya terasa terasa linu lunglai sehingga
pedang pun terlempar ke udara. Dan Gada-pelenyap-nyawa menyusul pula dengan
menghantam ubun2 kepala nyonya itu.
Suma Tiong dan Gin Liong serempak loncat menghampiri, Li Kun dan Yok Lan pun
menjerit kaget. "Lo-ji, jangan!" teriak Toa-ok In Po Tih mencegah saudaranya, ia tahu Suma Tiong
itu tak boleh dibuat main2.
Tetapi sebelum jago kedua melakukan perintah toa-ok, ia menjerit kaget karena
siku lengan kanannya dicengkeram Gin Liong dan sekali ayun tangan, Gin Liong
menampar muka jago kedua dari Lo-san itu.
Tetapi karena mendengar seruan Toa-ok tadi, Gin Liong cepat merobah arah
tamparannya. Tidak pada muka tetapi gada orang.
"Bum . . ." tangan jago kedua dari Lo-san itu linu kesemutan dan gadanyapun
terlempar keudara, "Enyahlah!" seru Gin Liong seraya mendorong.
Tubuh jago kedua dari Lo-san yang tinggi besar seketika terhuyung-huyung
beberapa langkah. Melihat kesaktian si anak muda, Toa-ok In Po Tin terlongong
pucat sehingga ia lupa untuk menyanggapi tubuh saudaranya yang kedua.
Bluk!, ji-ok Pedang-pencabut-nyawa terjatuh duduk ditanah.
Toa-ok terkejut dan gelagapan, Cepat ia loncat menolongnya. Saat itu jago kedua
si Gada-pelenyap-nyawa masih berputar-putar untuk mencari daun telinyanya yang
terpotong, Sedang Yok Lan dan Li Kun segera menghampiri Lok Siu Ing yang tengah
diperiksa tangannya oleh Suma Tiong. Dibelakang mereka telah dijaga oleh anak
buah yang bersenjata golok.
Gin Liong sudah loncat kesamping untuk menjemput pedang Lok Siu Ing yang jatuh,
Tiba2 kuda bulu hitam meringkik keras lagi. Ketika berpaling, Gin Liong melihat
empat penunggang kuda tengah mencongklang pesat datang menghampiri jauh
dibelakang keempat penunggang kuda itu diantara kepulan debu yang gelap,
samar2 masih tampak lagi beberapa penunggang kuda.
"Aneh," gumam Yok Lan, "mengapa mereka tahu Liong koko berada disini ?"
Setelah menolong saudaranya yang kedua, Toa-ok segera menyahut: "Kalau tidak
anak buahmu yang menyiarkan berita itu di rumah makan, mana mereka tahu
tentang soal dirimu berada disini."
Seketika Suma Tiong tersadar persoalan telah menjadi salah urus, sehingga malah
tak keruan "Hm, mengapa kalian tak mau berpikir, Apakah sedemikian mudah kaca
wasiat itu berada di tangan kita?" Yok Lan melengking.
Dalam pada itu keempat penunggang kuda tadipun sudah kira2 setengah li
jauhnya, Tiga penunggang kuda yang berjajar disebelah kiri terdiri dari tiga
imam pertengahan umur, mengenakan jubah putih dan masing2 mencekal hud-tim besi
bertangkai baja. Yang seorang bermata segi tiga, mengenakan ikat pinggang sutera ungu, Yang
seorang berhidung bengkok dan yang seorang berwajah persegi, membawa sebuah
buli2 kecil. Mereka mengulum senyum sinis, sikapnya congkak sekali.
Penunggang kuda sebelah kanan bukan lain adalah jago kesatu dari Lo-san Sam-ok,
si Tongkat ular yang telah diberi ampun oleh Gin Liong. Sudah tentu Gin Liong
marah sekali. Li Kun tertawa dingin, Pedang yang baru saja hendak disarungkan cepat ditarik
keluar lagi. "Kali ini pasti takkan kuampuni jiwanya." seru geram.
Keempat penunggang kuda itu tiba dan dengan tertawa gelak2 mereka loncat
turun dari kudanya. "Ya, budak itu! Kaca wasiat berada di tangannya!" seru Toa-sat seraya menunjuk
Gin Liong. "Anjing yang suka menggonggong kabar palsu, serahkan jiwamu!" teriak Li Kun
seraya taburkan pedang menusuk dada Toa-sat.
Toa-sat tertawa hina terus loncat kebelakang ketiga imam itu. Melihat si jelita
Li Kun yang sedemikian cantiknya, ketiga imam itu tertawa mengekeh dan terus
merintangi. Li Kun makin marah, Pedang dihamburkan dalam seribu sinar dan berhamburan
menusuk ketiga imam itu. Ketiga imam terkejut bukan kepalang, mereka menjerit kaget dan tak berani
memandang rendah kepada nona jelita itu. Kebut besi segera ia gerakkan untuk
menangkis. Karena serangannya tak berhasil, Li Kun makin meluap kemarahannya. Dengan
melengking ia gentakkan pedang, Seketika tiga kuntum sinar pedang menusuk
kearah ketiga imam itu. Melihat ketiga imam itu kewalahan menghadapi seorang nona saja, gemetarlah
hati Toa-sat. Ketika memandang ke arah lain, seketika pucatlah wajahnya, Tampak
Gin Liong tengah maju menghampirinya dengan sikap yang menyeramkan.
"Budak she Siau." serunya untuk menutupi kegelisahan hatinya, "lekas serahkan
kaca wasiat kepada ketiga toya itu..."
Mendengar kata Toa-sat, seketika bersinarlah mata ketiga imam itu. Mereka
serempak melirik kearah Toa-sat. Tepat pada saat itu. Gin Liong pun secepat
kilat loncat menerkam bahu Toa-sat.
Suma Tiong dan isterinya serta Yok Lan, terkejut sekali melihat Gin Liong
menggunakan cara bertempur yang paling kasar semacam itu.
Tetapi tiba2 pula ketiga imam itupun tinggalkan Li Kun dan terus menyerbu Gin
Liong, Anak muda itu membentak keras, kedua tangan yang tengah dijulurkan
kemuka untuk mencengkeram Toa-sat sekonyong-konyong dirobah dalam gerakan
menampar. Plak, plak, plak . . . terdengar ketiga imam itu mengerang tertahan
dan terhuyung-huyung kebelakang.
Apa yang terjadi itu benar2 mengejutkan sekalian orang yang berada disitu, Gin
Liong telah memainkan salah sebuah jurus dari ilmu sakti yang tertera pada kaca
wasiat, jurus itu disebut Jip-hay-pok-kau atau Menyelam-laut-menjaring-ular.
Cepat sekali tangan Gin Liong mengenai tubuh ketiga imam itu. Menebas,
menyikut, menampar dan menutuk. Habis menyebutkan ketiga macam, secepat
kilat Gin Liong pun mencengkeram siku lengan Toa-sat dan sebelah tangannya
menampar muka Toa-sat. Toa-sat menjerit ngeri. Tergetar hati Gin Liong, ia
teringat sesuatu dan hentikan tamparannya.
Tiba2 dari belakang Li Kun menusuk, Gin Liong hendak mencegah tetapi tak keburu,
Cepat ia membentak dan menyiak sehingga Toa sat terhuyung-huyung ke samping,
Dengan begitu ia lolos dari tusukan pedang Li Kun. Tetapi karena menahan
kesakitan keringat dingin bercucuran membasahi tubuh.
Li Kun tertegun, ia memandang Gin Liong dengan pandang penuh tanya mengapa
Gin Liong masih melindungi jiwa Toa-sat.
"Taci Kun, berilah dia ampun sekali lagi, agar dia mempunyai kesempatan untuk
memperbaiki kesalahannya." seru Gin Liong.
Hampir Li Kun tak percaya apa yang didengarnya, mengapa aneh sekali sikap Gin
Liong itu. Bluk!, karena tak dapat mempertahankan keseimbangan tubuh, Toa-sat jatuh
terduduk ditanah. Sambil mendekap siku lengan kirinya, mulutnya menyeringai
kesakitan, napas terengah-engah dan wajahnya tak menyeramkan lagi.
Empat penjuru sunyi senyap, Tetapi berpuluh penunggang kuda yang sudah
mencapai satu li jauhnya dari desa itu masih tetap mencongklang pesat menuju ke
desa. Ternyata pendatang itu rombongan wanita yang berpakaian indah dan
membekal senjata pedang dan golok.
Gin Liong mendengus lalu berpaling kepada Toa-sat, serunya: "Poan liong kun.
kali ini kuampuni lagi jiwamu. Kuharap engkau dapat menyadari kesesatanmu, jangan
melakukan perbuatan2 jahat dan berbuatlah amal kebaikan."
Kemudian ia berpaling kepada ketiga imam, Muka mereka begap biru dan sikap
mereka pun tak congkak lagi.
"Dan kalian bertiga." serunya, "sebagai seorang agama kalian harus membebaskan
diri dari pergolakan urusan dunia dan harus dapat melepaskan nafsu keinginan
yang tamak, Lekas kalian kembali ke biara dan jangan turun ke dunia persilatan
lagi." Ketiga imam itu tak mau bicara apa2. Rupanya mereka masih penasaran.
Hanya dalam semalam mengapa perangai Gin Liong tiba2 berobah begitu sabar,
Pikir Li Kun. Juga Yok Lan heran mengapa dalam semalam saja, kepandaian Gin
Liong bertambah maju sedemikian hebatnya.
Memang kedua suami isteri Suma Tiong tahu bahwa dari sinar matanya yang
berkilai-kilat tajam, tentulah Gin Liong itu seorang pemuda yang berilmu tinggi.
Tetapi setitikpun mereka tak mengira bahwa Gin Liong akan sedemikian saktinya.
Rombongan wanita cantik berkuda itupun sudah tiba. Mereka ternyata dara2
cantik yang muda belia. Ditengah, tampak seorang wanita cantik berumur 25-an
tahun, rambut disanggul tinggi, mengenakan perhiasan tusuk konde kim-hong atau
cendrawasih emas. pakaian dan bulu burung yang indah, dadanya berhias tiga butir
kumala dan sabuk pinggangnya warna pelangi. Tubuhnya makin tampak montok
dalam pakaiannya yang amat ketat.
Wajahnya putih cemerlang, alisnya merebak hitam dan bibir merah, sepasang biji
matanya bening, memancarkan sinar yang mesra sehingga orang yang melihatnya
pasti akan terpikat. Begitu tiba nyonya cantik itu mengangkat cambuknya keatas memberi isyarat
kepada rombongannya berhenti. Kuda meringkik, debupun mengepul tebal ketika
berpuluh nona penunggang kuda itu hentikan kuda masing2.
Sikap dan ulah wanita cantik itu tak beda dengan seorang ratu, Sekalian orang
yang berada ditempat itu terpesona melihatnya.
Suma Tiong kerutkan dahi, ia tahu bahwa nyonya cantik itu memiliki senjata sapu
tangan yang mengandung minyak wangi berbius. Segera ia menyuruh isterinya
memberitahu kepada Yok Lan dan Li Kun supaya berhati-hati.
Nyonya cantik itu keliarkan matanya yang tajam. Begitu tertumbuk pada wajah Gin
Liong yang cakap dan gagah, seketika memancarlah mata wanita itu, pipinya
merah. Tiba2 terdengar bentakan keras: "Perempuan busuk Hi Hoan siancu, apakah
engkau masih kenal aku!" sesosok bayangan melesat menerjang wanita cantik itu.
Kiranya orang itu adalah si Tongkat-ular In Po Tin, tokoh kesatu dari Lo-san
Sam-ok, ia menyerang dengan tongkatnya.
Melihat si wanita yang disebut Hi Hoan siancu atau Dewi Bayangan itu tertawa
mengikik: "Tua bangka yang tak berguna, engkau hendak mengantar jiwamu."
Seorang dara baju hijau yang berada dibelakangnya segera ayun tubuh loncat turun
dari kudanya dan menghantam kepala In Po Tin dengan cepat.
In Po Tin menggerung marah, Dengan jurus Thian-kiong-shia-jit atau Memanah-
matahari, ia putar tongkatnya menyerang dara itu. Tring! dengan meminjam
tenaga benturan senjata itu, si dara baju hijau melenting ke udara lagi.
Gin Liong terkejut, hanya salah seorang bujang dari Dewi Bayangan tetapi sudah
sedemikian lihaynya. jika demikian alangkah hebatnya kepandaian Dewi Bayangan
itu. Begitu di udara, dara itu berjumpalitan dan melayang turun dibelakang In Po Tin,
sampai dua tombak jauhnya.
In Po Tin menggerung keras dan berputar tubuh lalu loncat menerjang lagi dengan
jurus Heng-sau-ngo-gak atau Membabat-lima-gunung dibabatnya kaki si dara yang
belum berdiri tegak itu. Si dara menjerit kaget, cepat2 ia turunkan golok menangkis, Tring . . dara itu
menjerit lagi dan goloknya pun terlepas dari tangan.
In Po Tin tak mau memberi ampun lagi, ia segera menutuk dada dara itu dengan
jurus Koay-bong-jut-tong atau Ular-naga-keluar-guha.
Melihat itu berobahlah wajah Dewi Bayangan. Berpuluh dara pengiringnya pun
menjerit kaget, Tetapi mereka tak sempat berbuat apa2.
Gin Liong tak senang melihat perbuatan In Po Tin yang main bunuh itu. Dengan
menggembor keras ia ayun tubuh ke udara seraya lepaskan sebuah pukulan. Angin
pukulan itu melanda lambung In Po Tin. In Po Tin terkejut. Terpaksa ia tarik
tongkatnya dan loncat kesamping, Tetapi pada saat In Po Tin loncat menghindar
itu, berpuluh-puluh benda kecil menyerupai bintang emas telah berhamburan
mencurah kearah kepalanya.
In Po Tin terkejut Cepat ia putar tongkatnya, Tring, tring, tring . . benda2
berwarna emas itu berhamburan jatuh ke empat penjuru.
Ternyata benda2 berwarna emas itu adalah senjata rahasia Uang-emas yang
ditaburkan Dewi Bayangan.
"Perempuan hina, hari ini kuampuni jiwamu. Tetapi pada suatu hari aku pasti akan
mengambil batang kepalamu!" sambil menuding Dewi Bayangan, In Po Tin
berteriak marah, Matanya memancarkan sinar dendam kesumat yang bemyala-
nyala. Rupanya diantara kedua itu pernah terjadi suatu dendam yang hebat.
Dewi Bayangan masih tetap berada dipunggung kuda, Dengan matanya yang
bersinar cabul, ia tertawa santai:
"Tua bangka, engkau sendiri yang tak berguna, mengapa engkau salahkan aku
mendepakmu." Merah padam wajah In Po Tin. Cepat ia menukas: "Perempuan busuk yang tak tahu
malu." Rupanya tak tahan lagi In Po Tin menahan luapan kemarahannya, Segera ia loncat
menerjang Dewi Bayangan. Tetapi dari barisan dara pengiring Dewi Bayangan, segera berhamburan hujan
bintang-emas menyongsong In Po Tin.
In Po Tin tak berdaya mendekati Dewi Bayangan, ia harus loncat dua tombak
kebelakang. "Perempuan busuk, apakah engkau berani bertempur sampai mati dengan aku?"
teriaknya menantang. Dewi Bayangan kerutkan dahi dan mencemoh, "Siapa sudi melayani seorang tua
bangka seperti engkau" Hanya mengotorkan tanganku sajalah."
Karena selalu dimaki tua bangka, gemetarlah tubuh In Po Tin karena marahnya.
Dewi Bayangan tak menghiraukannya ia loncat turun dari kuda dan menghampiri
ke tempat Gin Liong, Gin Liong tahu bahwa wanita yang bertingkah genit itu tentu
bukan wanita baik, ia mendengus muak melihatnya.
Tiba2 Dewi Bayangan membentak ketiga Lo-san Sam-ok: "Enyah !"
Entah bagaimana ketiga jago jahat dari Lo-san itu hanya deliki mata kepada Dewi
Bayangan tetapi mereka tak berani berbuat apa2 dan terus menghampiri kuda dan


Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencongklang pergi. Dewi Bayangan pun melanjutkan langkahnya ke tempat Gin Liong.
"Siauhiap." serunya dengan nada genit, "usia mu masih begitu muda dan tampan
sekali, Kalau tak salah engkau tentu siau Gin Liong yang mendapat kaca wasiat
dari Bu-lim Seng-ceng itu".
Melihat wajah Gin Liong mengerut kemarahan wanita itu tertawa mengikik:
"Peribahasa mengatakan manusia tentu akan saling berjumpa, Dan kalau
berjumpah itu berarti jodoh, Perlu apa engkau memberingaskan wajahmu yang
tampan ?" "Sungguh tak tahu malu..." si jelita Li Kun yang sejak tadi muak melihat tingkah
ulah Dewi Bayangan, sambil membentak dia terus loncat menyerang.
Dewi Bayangan tertawa. Sekali gerakkan tubuh ia dapat menghindari tusukan Li
Kun. Serangannya luput, Li Kun makin marah, Pada saat ia hendak menyerang lagi, tiba2
ia rasakan dadanya terbaur suatu angin lembut. ia terkejut dan cepat loncat
mundur sampai setombak. "Siapa yang suruh engkau turut campur urusanku, Siau siauhiap toh bukan
suamimu." serunya. Merah wajah Li Kun mendengar kata2 itu, ia melengking dan menerjang lagi,
walaupun tahu bahwa pedang si jelita itu sebuah pusaka yang hebat, tetapi karena
mengandalkan ilmu kepandaiannya yang tinggi, Dewi Bayangan tak gentar.
"Engkau sendiri yang cari mampus, jangan sesalkan Dewi Bayangan bertindak
kejam," serunya seraya berputar tubuh. seperti angin puyuh, tahu2 ia sudah
berada dibelakang Li Kun. Tetapi Li Kun pun cepat gunakan jurus Jay hong-hwe-lu atau Burung hong-
berputar-kepala, membabat kebelakang,
Kali ini Dewi Bayangan terkejut, ia tak menyangka nona yang cantik itu memiliki
gerak yang sedemikian hebat, Sekali kebutkan lengan baju, tubuhnyapun menyurut
mundur. Li Kun pun tak mau unjuk kelemahan sekali kaki berayun, tubuhnya meluncur
kemuka dan tahu2 ujung pedangnya pun sudah menuju ke dada Dewi Bayangan.
Dewi Bayangan benar2 terkejut sekali, Dengan melengking nyaring. Cepat ia
geliatkan tubuh dan kebutkan lengan baju lalu berputar putar cepat sekali.
Saat itu Li Kun pun sudah mendekat. Dengan jurus Giok-hong-can-ki atau Burung-
hong-merentang-sayap, ia segera memapas bahu kiri Dewi Bayangan.
Beberapa kali menerima serangan yang tak terduga-duga, kejut Dewi Bayangan
makin menjadi-jadi. Dengan melengking keras ia segera ayun tubuhnya melambung
ke udara. Sring, pedang memapas dan menjeritkan berpuluh gadis pengiring Dewi Bayangan,
Dewi Bayangan sendiri sudah melayang turun ke tanah. Ketika menunduk, ia
melihat ujung pakaiannya telah terpapas kutung oleh pedang Li Kun. Keringat
dingin bercucuran membasahi lehernya.
Li Kun masih penasaran. Dengan melengking ia memburu lagi. Kali ini setelah
menenangkan semangat, Dewi Bayanganpun marah, serentak ia tertawa keras dan
berseru: "Budak hina, kalau aku tak mampu membunuhmu, aku akan bunuh diri!"
Ia menutup kata-katanya dengan menggerakkan tubuh, seketika tubuhnya
berputar-putar menyerupai segulung asap yang mengelilingi Li Kun.
Li Kun tetap memutar pedangnya dengan deras. Tetapi setiap kali ia menusuk atau
menabas, tentu hanya angin kosong yang ditemui. Lama kelamaan, ia gugup juga,
Pandang matanya mulai berkunang-kunang, Terpaksa ia mainkan pedang untuk
melindungi diri. Tak mau ia melancarkan serangan lagi.
Melihat itu Suma Tiong terkejut ia tahu bahwa wanita cabul itu sedang
menggunakan ilmu Hi hoan-sut atau Bayangan kosong, yang termasyhur. Cepat ia
mengeluarkan seutas tali besi yang panjangnya satu meter.
30. Mangkok batu kumala Gin Liong pun melihat juga keadaan Li Kun yang terdesak, Dengan menggembor
keras ia terus loncat menyerbu. Tetapi pada saat itu, Dewi Bayangan tertawa
genit dan tiba2 berputar-putar tubuh menyongsong Gin Liong. Dan sebelum anak muda
itu sempat bertindak Dewi Bayangan pun sudah menamparkan sehelai sapu tangan
sutera merah ke muka Gin Liong.
Karena tak menduga-duga, Gin Liong tak sempat menghindar Sapu tangan sutera
merah itu telah menampar muka Gin Liong.
"Perempuan siluman engkau cari mampus...!" Suma Tiong membentak dan terus
menaburkan rantai besi. Serempak dengan itu, Li Kun pun menyerang pinggang
Dewi Bayangan. Tetapi wanita itu tak gentar ia tertawa genit lalu melambung ke udara dan
taburkan sapu tangan ke muka Suma Tiong.
Setitik pun Suma Tiong tak menyangka bahwa Dewi Bayangan memiliki gerakan
yang sedemikian cepatnya, serentak ia mencium bau yang luar biasa aneh dan
wanginya. "Celaka," ia menjerit, lepaskan rantai besi dan rubuh.
Walaupun tak langsung ditampar sapu tangan tetapi tebaran bau harum itu
tercium juga oleh Li Kun. ia terkejut dan cepat loncat mundur sampai tiga
tombak. Tetapi suatu keanehan telah terjadi dan menyebabkan Dewi Bayangan tercengang
heran, Gin Liong yang terdampar sapu tangan itu tampak masih tegak berdiri,
seolah tak menderita pengaruh apa2. Bahkan Gin Liong pun heran karena melihat
Suma Tiong terjungkal rubuh. Tetapi karena jelas yang membidikan itu Dewi
Bayangan, maka Gin Liong pun marah dan terus loncat menerjangnya.
Pucatlah seketika wajah wanita cabul itu. Senjata dupa wangi Bi hun-soh-jun-
hiang yang tak pernah gagal merubuhkan lawan, ternyata tak mempan terhadap anak
muda itu. Terpaksa ia gunakan gerak Hi-hoan sut untuk berlincahan menghindari
serangan Gin Liong. Gin Liong tertawa dingin, Setelah mengerahkan tenaga dalam, ia menekuk kedua
lengan dan terus mendorong kemuka.
Sebuah gelombang angin tenaga dahsyat serentak melanda Dewi Bayangan yang
tengah berlincahan laksana seekor kupu.
Dewi Bayangan menjerit kaget Belum pernah ia melihat pukulan yang sedahsyat
itu. Cepat ia melambung beberapa tombak ke udara, Karena tak mengenai sasaran,
angin pukulan Gin Liong tetap melanda kemuka kearah barisan pengiring Dewi
Bayangan, Rombongan gadis2 itu menjerit kaget dan serentak berhamburan
menyingkir kesamping. Dalam pada itu Gin Liong loncat untuk mengejar Dewi Bayangan. Wanita itu makin
terkejut Cepat ia tamparkan lengan baju untuk bergeliatan dua tombak lagi.
Tetapi Gin Liong pun cepat genjot tubuh melayang ke udara, Dewi Bayangan makin gugup,
ia hendak meluncur turun.
Gin Liong mencoba menggunakan salah sebuah jurus dari ilmu yang didapatnya
dari kaca wasiat yakni yang disebut Leng-siau-kim-hong atau Malam-hari-
menangkap-burung hong, Tubuh bergeliatan dan sepasang tangan mengulur
menyambar siku lengan Dewi Bayangan.
Dewi Bayangan menjerit kaget semangatnya serasa terbang, Seperti seorang anak
kecil, ia menyerah saja ketika tubuhnya dibawa melayang turun ke tanah oleh Gin
Liong. Selekas tiba di tanah, Gin Liong membentak: "Lekas berikan obat penawar agar
engkau jangan menderita kesakitan!"
Setelah menenangkan semangat Dewi Bayangan menghela napas.
"Ah, Bi-hun soh-jun-hiang itu tak ada penawarnya."
"Engkau mau mengeluarkan atau tidak!" bentak Gin Liong seraya memperkeras
cengkeramannya. Wajah Dewi Bayangan pucat dan dahinya mengerut kesakitan, Keringat dingin
bercucuran, giginya bergemerutukan keras.
Gin Liong kerutkan alis lalu membentaknya lagi: "Lekas berikan obat itu!"
Tetapi wajah wanita itu makin membiru, napas terengah-engah, Mulutnya tak
dapat berkata lagi karena menahan kesakitan hebat.
Dara baju hijau yang ditolong Gin Liong tadi segera menghampiri dan memberi
hormat kepada Gin Liong. "Siauhiap, memang Dewi kami tak mempunyai obat penawar," katanya dengan
nada bersungguh. "Lalu bagaimana cara menolong Suma tayhiap?" masih Gin Liong tak percaya.
Merah muka dara itu. Bibirnya bergetar-getar tetapi sampai beberapa saat tetap
tak dapat mengeluarkan kata2.
"Bagaimana cara menolongnya" Apakah sudah tidak dapat ditolong lagi!" hardik
Gin Liong, Karena marah ia telah memperkeras cekalannya.
Dewi Bayangan menjerit dan pingsan, Untung dara baju hijau itu cepat dapat
menyanggapi tubuh Dewi Bayangan yang rubuh.
Gin Liong pun mengendorkan cengkeramannya, Li Kun dan Yok Lan loncat
kesamping Gin Liong. "Mengapa nyonyamu tak mau memberi pertolongan kepada orang yang
dicelakainya?" teriak Yok Lan kepada dara baju hijau itu.
Wajah dara itu tampak tegang dan akhirnya dengan suara yang sarat ia berseru:
"Nyonya Suma, mempunyai obat penawarnya",
"Ngaco!" bentak Gin Liong,
Tetapi Yok Lan dan Li Kun sudah terus berputar tubuh dan Rombongan dara
pengiring pun segera mengangkut pergi Dewi Bayangan, Gin Liong terlongong
heran, Ketika berpaling, dilihatnya dara baju hijau itu tengah berbisik-bisik
kepada Lok Siu Ing, Entah bagaimana wajah Lok Siu Ing yang tegang, bertebaran merah.
Berpaling ke lain arah. Gin Liong tak melihat lagi ketiga imam jahat dari Lo-
san, Mereka diam2 sudah angkat kaki.
"Huh, sudah menang mengapa masih cemas." ketika berjalan lewat disisi Gin Liong,
dara baju hijau memandang dan berseru pelahan.
Gin Liong termangu, ia tak tahu siapakah dara itu. Tetapi setelah merenungkan
beberapa saat, ia menyadari. Dilihatnya Lok Siu Ing pun sudah memerintahkan
beberapa orangnya untuk membawa pulang Suma Tiong.
Diam2 Gin Liong menyesal dalam hati, Hanya semalam tinggal didesa itu tetapi
telah membawa banyak kesulitan Segera ia loncat hendak menghaturkan maaf
kepada Lok Siu Ing. Tetapi Lok Siu Ing malah berputar tubuh dan terus lari.
Dalam pada itu rombongan gadis pengiring Dewi Bayangan membawa wanita itu
pergi. "Ah, kitapun harus melanjutkan perjalanan," Kata Li Kun. Saat itu matahari sudah
condong ke barat, Gin Liong dan kedua gadis segera mencongklangkan kuda
menuju ke selatan Tak berapa lama, matahari sirna dan seluruh penjuru mulai gelap, Samar2
disebelah muka tampak sebuah desa, Beberapa rumah penduduk memancar sinar
penerangan. "Malam ini terpaksa kita menginap di desa itu," kata Li Kun.
Masuk kedalam desa, mereka disambut dengan kawanan anjing menyalak. Kuda
hitam mulus meringkik keras dan kawanan anjing itupun terkejut tetapi pada lain
saat mereka malah lebih keras menyalak.
Penduduk yang belum tidur berbondong-bondong keluar. Seorang kakek
menyambut dan setelah mendengar keterangan Gin Liong, iapun menerima ketiga
anak muda itu bermalam didesa itu. Mereka bertiga di bawa kesebuah rumah
besar dan dijamu. Masakannya enak dan ketiga anak muda itu minum juga arak yang disuguhkan.
Setelah makan, kedua nona itu tampak lebih cantik. jika Li Kun seperti bunga
tho, Yok Lan seperti bunga mawar.
Melihat kecantikan kedua gadis itu, timbul rangsang dalam hati Gin Liong, Dia
memandang kedua gadis itu dengan tak berkedip, Li Kun berdebar keras hatinya
dan darahnya pun meluap sukar ditindas.
Baru pertama kali sepanjang hidupnya, Yok Lan minum arak maka cepat sekali ia
menjadi mabuk. "Liong koko, mungkin aku mabuk, Taci Kun aku hendak tidur dulu." ia terus
terhuyung-huyung masuk ke dalam kamar.
Gin Liong dan Lii Kun hanya tertawa melihat langkah kaki Yok Lan yang terhuyung
itu. Li Kun pun segera berbangkit masuk kedalam kamar, Ketika berpaling, hatinya
berguncang keras, Karena saat itu dilihatnya Gin Liong masih memandangnya
dengan senyum hangat. Entah bagaimana pemuda itu merasa membutuhkan dekat dengan Li Kun. ia
rasakan darahnya makin panas dan merangsang, Teringat pula akan peristiwa
bersama Li Kun didalam perahu tempo hari, Dan tanpa disadari mulutnya segera
berseru memanggil: "Taci..."
Panggilan bagi Li Kun dirasakan suatu daya tarik yang kuat sekali sehingga ia
pun menghampiri ketempat pemuda itu. ia duduk disisi pemuda itu. Melihat sinar mata
Gin Liong yang membara, hati Li Kun makin berdebar keras, ternyata sisa bebauan
wangi yang ditaburkan Dewi Bayangan mulai bertebar lagi.
Tetapi ia tak ingat lagi hal itu. Setelah minum arak, daya asap wangi itu makin
bergolak dan merangsang. Demikian pula Gin Liong. Karena minum arak maka
khasiat dari katak salju, mulai hilang daya tahannya.
Pada lain kejap Gin Liong segera memeluk Li Kun dan Li Kun pun menyerah dengan
serta merta. Keduanya makin terangsang dan mulut merekapun segera saling
bertaut rapat. Mereka tenggelam dalam kehangatan bibir yang semanis madu.
Tetapi hal itupun masih tak dapat memuaskan rangsangan yang makin meluap-luap
dalam hati kedua insan muda itu.
Pengaruh dupa wangi yang ditebarkan Dewi Bayangan mulai bekerja. Gin Liong
sudah kehilangan kesadarannya lagi, perasaannya telah dikuasai oleh rangsangan
nafsu, ia tak puas dengan ciuman itu, Ada sesuatu yang menghendaki kepuasan Gin
Liong segera mengangkat tubuh Li Kun terus dibawa masuk ke dalam kamar. Apa
yang terjadi adalah di luar kesadarannya, Keduanya telah tenggelam dalam lautan
madu . . . Tiba2 Yok Lan terjaga. Rasa pening kepalanya sudah hilang, ia segera bangun,
Dilihatnya Li Kun tak berada di ranjang sebelahnya, Samar2 ia mendengar erang
pelahan dari rasa kepuasan. Suara semacam itu belum pernah didengarnya dan tak
tahulah ia siapa yang meng-erang2 penuh kepuasan.
= Halaman Hilang = Yok Lan terkejut dan cepat menyurut mundur lalu diam2 membaca dalam hati ilmu
rahasia ajaran dari Hun Ho siantiang yang disebut Mo-kiap-ban-wi-tong-sim-hian-
kang atau ilmu menenangkan pikiran menghadapi ancaman dan bujukan iblis.
Seketika hatinya pun jernih kembali. Dan saat itu ia segera mencari apa yang
terjadi. Tentulah karena terkena tamparan sapu tangan merah dari Dewi Bayangan
maka Gin Liong sampai ilupa daratan dan melakukan perbuatan yang tak senonoh.
Saat itu iapun teringat akan dara baju indah yang mengatakan kepada nyonya
Suma Tiong, bahwa obat dari suaminya yang terluka itu hanya terdapat pada diri
nyonya itu sendiri. Saat itu kamarpun hening sunyi, Didengarnya Gin Liong tidur mendengkur karena
lelah dan isak tertahan dari Li Kun, jelaslah apa yang terjadi Gin Liong seperti
seekor harimau lapar dan Li Kun terpaksa menyerah seperti seekor kelinci.
Diam2 Yok Lan pun menggigil dalam hati, Jika ia tak lebih dulu tidur, kelinci
dalam terkaman Gin Liong itu tentulah bukan Li Kun tetapi ia sendiri.
Merenungkan hal itu, ia segera kembali kedalam biliknya, ia takut Gin Liong akan
mencarinya. Teringat akan peristiwa tadi, diam2 ia menyadari bahwa Li Kun telah
menjadi korban dan mewakili dirinya. Memikir sampai disitu, ia tak marah lagi
kepada Gin Liong, bahkan terhadap Li Kun pun ia merasa kasihan.
Beberapa saat kemudian ia mendengar kamar disebelah muka terbuka pintunya
dan terdengar derap kaki orang melangkah keluar, Namun ia tak berani keluar.
Dari balik selimutnya ia melihat Li Kun masuk, jelita itu mengemasi pakaian dan
rambutnya lalu mengusap air matanya.
Yok Lan gelisah sekali, ingin ia bangun dan memeluk Li Kun. ia memutuskan untuk
berkorban dan membahagiakan Li Kun.
Tetapi pada lain saat ia menimang, tindakan itu mungkin akan mengejutkan dan
menyinggung perasaan Li Kun.
Ketika Li Kun selesai berdandan dan masuk ke dalam kamar, Yok Lan makin tegang
dan buru2 pejamkan mata. Li Kun lebih dulu duduk ditepi ranjang. Terdengar jelita itu menghela napas
kemudian baru naik ke ranjang dan tidur disisinya,
Tak tahu bagaimwana perasaan Li Kun saat itu, Mungkin ia sedih dan marah
terhadap tingkah laku yang liar dari Gin Liong. Mungkin juga ia dapat
memaafkannya karena tahu bahwa Gin Liong telah terkena bubuk perangsang dari
Dewi Bayangan. Karena tak tahan, Yok Lan membuka mata melirik Li Kun yang tidur disisinya,


Pedang Tanduk Naga Karya S D Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dilihatnya Li Kun tidur telentang dengan kedua tangan ditempelkan ke dada.
Kedua matanya mengucurkan air mata, Melihat itu ibalah hati Yok Lan. ia dapat
memaafkan keadaan nona itu dan bahkan ikut mengalirkan air mata.
Tak berapa lama, Li Kun tertidur. Dalam tekanan batin yang tak keruan rasanya,
akhirnya Yok Lan pun tidur juga.
Entah selang berapa lama, ayam pun terdengar berkokok sahut menyahut, cuaca di
luar tampak terang, Yok Lan membuka dan melihat Li Kun masih tidur pulas. Dia
segera turun dari ranjang melangkah keluar, Di ruang depan lilin sudah padam dan
pintu terbuka. ia terkejut lalu lari ke luar.
Ia makin terkejut ketika melihat Gin Liong berdiri dihalaman. memandang ke timur
yang mulai merekah mentari pagi, Dijalan pun sudah terdapat orang2 desa yang
berjalan menuju ke pasar dan ke sawah.
Dengan hati gundah, Yok Lan segera menghampiri, Gin Liong terkejut seraya
berputar tubuh Tampak wajahnya merah kemalu-maluan ketika melihat Yok Lan,
bibirnya gemetar hendak mengucap perkataan tetapi tak keluar.
Melihat keadaan Gin Liong yang jauh sekali bedanya dengan kemarin, menangislah
hati Yok Lan, Tetapi ia tetap tenang, menghampiri kemuka pemuda itu dan
bertanya dengan lembut: "Liong koko, apakah yang tengah engkau pikirkan?"
Betapa derita batin yang menyiksa Gin Liong sukar dibayangkan, kalau tak
mengingat masih harus melakukan pembalasan dendam atas kematian suhunya,
maulah rasanya saat itu ia bunuh diri saja.
Apabila teringat akan perbuatannya semalam, ia hampir tak percaya mengapa
Sang Ratu Tawon 3 Dewa Arak 67 Makhluk Jejadian Pedang Sinar Emas 22
^