Sumur Kematian 1
Siluman Ular Putih 03 Sumur Kematian Bagian 1
Hak cipta dan copy right pada
penerbit dibawah lindungan
undang-undang Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-
gian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
1 Hari telah menjelang pagi. Puncak Gunung
Sumbing masih diselimuti kabut tipis, bagai tirai yang terus bergerak. Dan
seiring munculnya sinar keemasan di ufuk timur sana, kabut tipis ini pun mulai
tersingkap perlahan tertiup angin dingin
pegunungan, lalu hilang entah ke mana.
Tong! Tong! Pagi yang hening dipecahkan oleh suara
kentongan yang dipukul dua kali. Asalnya, dari
sebuah perguruan silat yang terletak di lereng barat Gunung Sumbing. Hanya ada
satu perguruan silat di kawasan gunung itu, yakni Perguruan Kelelawar Putih.
Bunyi kentongan barusan merupakan isya-
rat agar semua orang yang ada di tempat ini berkumpul. Konon beberapa hari ini,
Ketua Pergu- ruan Kelelawar Putih yang dikenal bergelar Kelelawar Hutan telah mengundang
beberapa tokoh persilatan untuk datang ke perguruannya. Dari
kabar yang tersiar di lunran, Kelelawar Hutan
tengah mengadakan sayembara.
Sayembara apa"
Sementara itu, baik para murid perguruan
ini maupun para tokoh persilatan yang diundang, sudah memenuhi ruang utama
perguruan. Mereka ada yang tiba sejak beberapa hari yang lalu, dan ada pula yang
pagi buta tadi tiba di perguruan ini.
Tong! Tong! Tong!
Pada saat semua telah berkumpul, kenton-
gan kembali dipukul untuk yang kedua kalinya.
Namun bunyinya kali ini sedikit berbeda dari
yang pertama. Iramanya terdengar satu-satu, dan dibiarkan menggema di angkasa.
Seolah-olah iramanya mengandung perasaan duka, sehingga
membuat para tamu seperti terbawa arus kesedi-
han. Dan kini suasana dalam ruang utama itu
terlihat makin mencekam. Paras wajah para tamu
mendadak berubah tegang. Dada mereka berde-
bar lebih cepat dari biasa. Dan kasak-kusukpun
makin sulit dikendalikan.
"Jangan-jangan, Sumur Kematian mulai
meminta korban lagi?" duga salah seorang undangan seperti berkata pada diri
sendiri. "Benar! Kalau tak salah, ada empat orang
yang sudah menjadi korbannya," sahut tamu
yang lain. "Benarkah" Siapa?"
Sewaktu para undangan membicarakan
siapa keempat orang yang menjadi korban, men-
dadak... "Saudara-saudara sekalian harap berdiri!
Yang Mulia Kelelawar Hutan telah tiba!" teriak salah seorang murid.
Para undangan langsung memasang wajah
meremehkan seruan itu.
"Keparat! Mentang-mentang di kandang
sendiri! Huh! Jangan dikira kami harus taati pe-
rintah kalian!" desis seorang tamu seraya berka-cak pinggang.
Orang itu berusia kira-kira lima puluh lima
tahun. Rambutnya panjang digelung ke atas. Di
kepalanya tampak melingkar ikat kepala warna
kuning. Kumisnya lebat. Demikian pula jambang
dan jenggotnya. Sepasang matanya tajam dengan
alis tebal hitam. Tubuhnya yang kekar terbung-
kus jubah besar warna hitam.
"He he he...! Aku setuju sekali dengan pen-dapatmu, Bayangan Malaikat. Mentang-
mentang di kandang sendiri, apa dipikir mereka bisa seenak udelnya menyuruh-nyuruh
kita"!" sahut ta-mu lain.
Dia adalah seorang lelaki tua bertubuh
pendek, terbalut jubah kuning yang kedodoran
hingga ke tanah. Rambutnya awut-awutan. Pi-
pinya cekung. Dua batang giginya yang berwarna
kuning bertonjolan ke depan. Namun yang mem-
buat aneh lelaki berusia enam puluh tahun itu
adalah kumisnya. Bukannya terlalu tebal atau
terlalu tipis, melainkan mirip kumis kucing!
Maka tak heran kalau orang tua ini men-
dapat julukan Lelaki Berkumis Kucing. Yang me-
rupakan salah seorang dari Sepasang Manusia
Aneh dari Gunung Kelud. Kepandaian lelaki ini
sebenarnya tinggi sekali. Jurus-jurus sakti 'Cakar Kucing'-nya sangat ditakuti
tokoh-tokoh golongan sesat di wilayah timur. Hanya karena sudah terlalu lama
menyembunyikan diri dari dunia persila-
tan sajalah yang membuatnya tidak begitu diken-
al. Dan orang tua itu kini terus menuding-
nudingkan tongkatnya ke arah murid Perguruan
Kelelawar Putih yang tadi pertama kali membuka
suara. Murid Perguruan Kelelawar Putin dengan
kepala diikat pita merah itu maju selangkah. Matanya memandang tajam kakek
pendek itu. Na-
mun belum sempat dia bersuara....
"Dua cecurut tua! Beraninya kalian cuma
menjual lagak di hadapan bocah kemarin sore!
Memalukan sekali!"
Terdengar bentakan lain yang begitu keras
menggelegar, yang pasti dialiri tenaga dalam tingkat tinggi. Malah beberapa
orang murid Pergu-
ruan Kelelawar Putih langsung gemetaran dengan
wajah pucat pasi. Gendang telinga mereka terasa mau robek. Maka seketika itu
kedua telapak tangan mereka menutup lubang telinga.
"Elang Setan! Di hadapanmu pun aku akan
mengobral lagak!" sahut Lelaki Berkumis Kucing penuh tenaga dalam, seraya
menatap lelaki berwajah lonjong berjubah merah.
"Benar apa yang dikatakan sobatku orang
tua pendek ini. Justru kaulah yang menjual lagak di hadapan kami. Apa kau belum
pernah merasakan tajamnya pedangku, he"!" bentak lelaki tua berjubah hitam yang
dikenal sebagai Bayangan
Malaikat, disertai pengerahan tenaga dalam. Tangan kanannya cepat melolos pedang
dari ping- gang. Lelaki berjubah merah yang dikenal seba-
gai Elang Setan menggerutkan gerahamnya kuat-
kuat, menahan amarah luar biasa. Kedua pelipis-
nya bergerak-gerak. Dan dengan tanpa banyak
cakap lagi dia segera bersalto ke hadapan Bayangan Malaikat dan Lelaki Berkumis
Kucing, se- hingga jubahnya berkibar-kibar. Lalu mantap dan ringan sekali kedua kakinya
mendarat manis di
lantai tanpa menimbulkan suara sedikit pun!
Wajah lonjong tokoh yang konon dari Lem-
bah Serayu ini kelam membesi. Rambutnya pan-
jang riap-riapan. Matanya besar-dengan hidung
besar. Kedua bibirnya tebal kehitaman. Dan kini tokoh dari golongan hitam yang
terkenal dengan
jurus-jurus 'Elang Hitam' itu melotot lebar-lebar.
Kuku-kuku jarinya yang berwarna hitam mulai
bertonjolan keluar, siap mencabik-cabik kedua
musuhnya. "Jahanam! Siapa yang berani bersilat lidah di depan Elang Setan, berarti
mampus!" dengus Elang Setan penuh kemarahan. Tangan kanannya
yang berkuku panjang dan runcing siap mengibas
ke arah Bayangan Malaikat.
Tentu saja Bayangan Malaikat tak ingin
kehilangan muka. Maka tangan kanannya yang
sudah melolos pedangnya pun siap bergerak me-
mapak. Namun belum sempat masing-masing
bergerak mendadak....
"Tahan!"
Elang Setan dan Bayangan Malaikat seke-
tika itu juga mengurungkan niat. Dan kini semua orang yang berada di ruangan ini
berpaling ke arah datangnya suara. Ternyata orang yang
membentak barusan adalah seorang lelaki beru-
sia setengah baya dengan pakaian ketat serba putih. Dia tak lain dari Kelelawar
Hutan. Dan tanpa menghiraukan sapaan murid-
murid yang menyambutnya gembira, Kelelawar
Hutan terus meneruskan langkah angkuhnya.
Perawakan si Kelelawar Hutan yang tinggi
besar tampak begitu gagah dengan sorot mata
memancarkan perbawa kuat. Rambutnya pan-
jang. Di kepalanya tampak melingkar ikat kepala yang juga berwarna putih.
Kumisnya lebat. Demikian pula cambang dan jenggotnya.
Dan begitu Ketua Perguruan Kelelawar Pu-
tih ini sampai di mimbar. Sambil sepasang ma-
tanya yang mencorong aneh terus menatap
Bayangan Malaikat, Elang Setan, dan Lelaki Ber-
kumis Kucing. "Kenapa kalian membuat keonaran di sini,
he"!" tegur Kelelawar Hutan angkuh. Sepasang matanya yang tajam semakin
mencorong aneh.
Baik Bayangan Malaikat, Elang Setan,
maupun Lelaki Berkumis Kucing seketika tersen-
tak kaget. Entah mengapa begitu balas meman-
dang sepasang mata Kelelawar Hutan yang men-
corong aneh, mendadak saja sekujur tubuh me-
reka jadi gemetar. Tulang-tulang terasa dilolosi satu persatu oleh kekuatan aneh
yang tersembunyi di batik sepasang mata mencorong milik
Kelelawar Hutan. Menyadari hal itu, bukan main
kagetnya ketiga orang yang ditatap. Seketika itu
juga wajah mereka pucat pasi dengan kedua bola
mata membelalak liar. Malah tubuh Elang Setan
dan Bayangan Malaikat mulai limbung dan ter-
duduk di lantai. Hanya Lelaki Berkumis Kucing
sajalah yang masih bertahan.
Namun kali ini orang tua pendek itu tidak
berani lagi balas memandang sepasang mata Ke-
lelawar Hutan yang mencorong. Dan pandangan
matanya kini sedikit dinaikkan ke pusat kening Ketua Perguruan Kelelawar Putih
itu. Sehingga dia terhindar dari pengaruh aneh yang semula
mengguncangkan dadanya.
"Hm...! Rupanya orang ini memiliki sema-
cam ilmu sihir," gumam Lelaki Berkumis Kucing dalam hati. Lalu, "Meooong...!"
Sebuah suara kucing terdengar menyentak
semua orang yang ada di tempat ini. Itulah
'Raungan Maut Kucing Hutan' yang menjadi ilmu
andalan Lelaki Berkumis Kucing untuk melum-
puhkan musuh-musuhnya. Dan suaranya yang
melengking tinggi penuh tenaga dalam itu mampu
menggetarkan dinding ruangan ini. Bahkan bebe-
rapa orang murid Perguruan Kelelawar Putih dan
beberapa tamu undangan langsung memekik ter-
tahan dengan wajah pucat pasi. Gendang telinga
mereka terasa mau robek. Malah ada beberapa
orang murid yang langsung menggeletak tak sa-
darkan diri! Sementara Kelelawar Hutan sendiri pun
sempat menyurutkan langkahnya ke belakang.
Seketika itu juga pengaruh sihirnya yang dike-
rahkan lewat matanya pun pudar.
"Ha ha ha...!"
Lelaki Berkumis Kucing tertawa bergelak-
gelak. "Nama besar Kelelawar Hutan memang tidak percuma. Aku Lelaki Berkumis
Kucing patut mengacungkan jempol untukmu. Tapi, jangan ha-
rap aku takut menghadapi permainan anak-
anakmu ini!"
Dahi Kelelawar Hutan berkernyit dalam.
Kemarin, Kelelawar Hutan tak melihat kehadiran
lelaki pendek itu. Berarti, Lelaki Berkumis Kucing baru tiba pagi buta tadi. Dia
memang pernah mendengar tokoh berkumis mirip kucing ini. Na-
mun untuk bertemu baru kali ini.
Dan sebelum Kelelawar Hutan buka suara,
salah seorang undangan yang masih berusia mu-
da melompat ke hadapan Lelaki Berkumis Kucing.
Langsung dia berlutut di hadapan kakek pendek
ini. "Paman...! Paman guru! Perkenalkanlah
aku, Kumbara yang rendah ini adalah murid
tunggal Orang Tua Aneh Penjaga Pintu. Maafkan
atas ketidak mengertianku ini, Paman!" ucap pemuda bernama Kumbara
memperkenalkan diri.
Sebenarnya pemuda berpakaian ringkas
warna hitam-hitam ini sudah menduga begitu me-
lihat kemunculan orang tua bertubuh pendek itu.
Namun hatinya masih ragu kalau orang di hada-
pannya adalah paman seperguruannya yang su-
dah lama sekali menghilang dari dunia persilatan,
setelah dikalahkan seorang tokoh bergelar Can-
trik Tudung Pandan. Dan menurut keterangan
dari gurunya, begitu Lelaki Berkumis Kucing jadi pecundang langsung
menyembunyikan diri di Pu-lau Nusa Kambangan. Konon untuk memperda-
lam kepandaiannya.
"Bangunlah! Aku paling benci dengan sega-
la macam tetek bengek peradatan. Sekarang ka-
takan, bagaimana kabar Kakang Penjaga Pintu"
Apakah baik-baik saja?" ujar orang tua bertubuh pendek itu kasar, seraya
mengangkat pundak
Kumbara. "Sayang sekali guru sedang menderita sakit parah, Paman. Aku diperkenankan turun
gunung untuk meminta bantuannya Tabib Agung," jelas Kumbara.
Orang tua bertubuh pendek itu sempat
terkejut. Namun buru-buru dapat mengendalikan
Siluman Ular Putih 03 Sumur Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perasaannya. "Ya ya ya...! Aku mengerti. Nanti kubantu
kau mencari Tabib Agung. Sekarang, cepat kem-
bali ke tempatmu. Dan, dengarkan orang tua itu
melanjutkan ceritanya!" kata lelaki bertubuh pendek itu seraya menudingkan
tongkatnya ke arah
Kelelawar Hutan.
Jidat Kelelawar Hutan makin berkernyit.
Nampak sekali kalau kedatangan orang tua ber-
tubuh pendek itu tidak disukainya.
"Hem...! Rupanya aku sedang berhadapan
dengan Lelaki Berkumis Kucing yang sangat ter-
kenal di wilayah timur itu. Benar-benar tak ku-
sangka kalau kau dapat meloloskan diri dari ge-
bukan Cantrik Tudung Pandan. Sebab terus te-
rang, aku menyangka kau sudah mati di tangan
tokoh sakti dari Gunung Anjasmoro itu."
Lelaki tua bertubuh pendek itu tertawa
sumbang. "Ah...! Bicaramu terdengar sengak Kelela-
war Hutan. Kulihat dari sorot matamu, kau nam-
paknya mulai mencurigai kedatanganku. Ketahui-
lah! Sebenarnya kedatanganku kemari hanyalah
untuk mencari keparat Cantrik Tudung Pandan.
Tapi berhubung aku sudah kepalang basah nya-
sar kemari, apa boleh buat" Aku pun juga merasa penasaran sekali dengan rahasia
Sumur Kematianmu. Apa kau pikir aku takut masuk ke dalam
Sumur Kematian itu?"
Kelelawar Hutan tersenyum sinis.
"Jangan terlalu gegabah, Lelaki Berkumis
Kucing! Biarpun ada juga yang dapat keluar kem-
bali, namun toh tetap saja tidak dapat mempertahankan nyawanya!"
Sampai di sini, Kelelawar Hutan mendehem
sebentar untuk membetulkan suaranya.
"Buktinya, keempat orang murid utamaku
yang berkepandaian cukup tinggi pun menjadi
korbannya! Mereka sudah lama mengabdi untuk
kepentinganku. Namun, toh akhirnya harus me-
nerima kematian dengan sangat mengenaskan.
Bagaimana aku tidak menjadi sedih karenanya?"
lanjut Kelelawar Hutan, setelah sedikit menurunkan nada bicaranya.
Kelelawar Hutan kembali hentikan bica-
ranya sebentar. Pandangan matanya menyapu ke
arah semua yang hadir di ruangan ini.
"Maka kepada siapa saja yang berani ma-
suk ke dalam Sumur Kematian dan menganggap
mempunyai kepandaian yang dapat melebihi ke-
pandaian keempat orang murid utamaku, dipersi-
lakan masuk ke dalam Sumur Kematian untuk
melihatnya," tambah Ketua Perguruan Kelelawar Putih. Suaranya ditinggikan tiba-
tiba. "Ah...! Ah...! Bagaimana, ya" Jika ceritamu tadi betul semua, aku... aku mulai
menjadi takut juga...," ledek lelaki tua pendek itu sambil cengar-cengir.
Mendengar kata-kata Lelaki Berkumis Kucing, semua orang yang hadir di ruangan
itu jadi tidak dapat menahan tawanya. Wajah Kelelawar
Hutan yang tadinya kaku, kini sedikit mulai me-
lunak. Tapi baru saja mau membuka mulutnya,
tiba-tiba saja,...
"Tapi, jangan khawatir. Aku si tua pendek ini masih ada satu cara untuk memaksa
orang berani memasukinya!" lanjut Lelaki Berkumis Kucing sambil menggerakkan kedua
tangannya, mirip orang menari.
"Dengan cara apa saudara dapat memaksa
orang masuk ke dalam Sumur Kematian, he"! Le-
kas katakan!" bentak salah seorang murid Perguruan Kelelawar Putih.
Kelelawar Hutan membuka lebar sepasang
matanya. Sinar matanya yang tajam terus meng-
hunjam ke arah Lelaki Berkumis Kucing. Tapi
kemarahannya tidak ditunjukkan. Ia hanya sedi-
kit menggerak-gerakkan gerahamnya yang terka-
tup rapat. Sementara Lelaki Berkumis Kucing hanya
tersenyum-senyum saja, lantas mendehem-dehem
beberapa kali seperti sedang mempermainkan Ke-
lelawar Hutan dan muridnya yang bicara tadi.
"Mengapa kau tidak cepat-cepat membuka
mulutmu, Orang Tua"!" teriak murid itu.
Lelaki Berkumis Kucing masih Saja terse-
nyum-senyum jenaka sembari menggerak-
gerakkan kedua pundaknya.
"Gampang saja untuk mengatakannya. Ta-
pi, aku harus mendapat persetujuan dari Kelela-
war Hutan dulu," katanya seraya mengerjap-
ngerjapkan matanya.
"Lekas katakan! Apa kau pikir, guruku ti-
dak ingin cepat-cepat membongkar rahasia Su-
mur Kematian ini, heh"! Asal saja kau tidak me-
minta yang bukan-bukan, guruku tentu dapat
menyetujui nya," bentak murid itu lagi tidak sabar. "Kelelawar Hutan! Benarkah
apa yang dikatakan muridmu yang galak ini?" tanya Lelaki Berkumis Kucing seolah
ingin menegaskan.
Kelelawar Hutan mengangguk. Matanya
yang tajam terus memperhatikan gerak-gerik lela-ki tua pendek aneh ini.
"Hanya hadiah besar saja yang dapat me-
maksa orang mengadu jiwa," lanjut lelaki tua ber-
tubuh pendek itu.
Semua orang yang ada di ruangan ini
menggumam tak jelas mendengar kata-kata orang
tua pendek itu. Suara mereka bagaikan sekawa-
nan lebah saja.
"Kelelawar Hutan!" kata Lelaki Berkumis Kucing, seraya merobah nada suaranya,
lantang. "Banyak tokoh sakti dunia persilatan tahu kalau kau mempunyai Pedang Kelelawar
Putih yang pernah menggetarkan dunia persilatan. Jika
menggunakan Pedang Kelelawar Putih dicem-
plungkan ke dalam Sumur Kematian sebagai ha-
diah tambahan kepada siapa saja yang berani
memasukinya, aku yakin masih ada orang yang
berani mengadu jiwa seperti aku ini."
Paras Kelelawar Hutan sudah menjadi be-
rubah. Hatinya tergetar juga mendengarkan
omongan Lelaki Berkumis Kucing.
"Kau terlalu memojokkanku, Sobat. Aku
memang mempunyai Pedang Kelelawar Putih. Ta-
pi, bagaimana aku dapat menjadikannya sebagai
taruhan" Itu satu-satunya senjata andalanku un-
tuk menghadapi musuh. Tapi, baiklah. Sebagai
gantinya, aku akan mencemplungkan daun Lon-
tar Merah yang sangat ampuh untuk obat segala
macam penyakit. Kalian tahu semua, seberapa
ampuhnya khasiat daun itu, bukan?"
Mendengar disebut-sebutnya daun Lontar
Merah sebagai taruhan, Kumbara yang memang
sedang mencari obat untuk gurunya segera maju
ke depan. Namun sayangnya, Lelaki Berkumis
Kucing buru-buru memegangi lengannya. Sehing-
ga terpaksa sekali pemuda itu menahan langkah-
nya. "Betul! Khasiat daun Lontar Merah memang sangat ampuh. Di samping dapat
menyem- buhkan berbagai macam penyakit, konon dapat
pula membuat orang berumur panjang, walau
hanya memakan seiris saja," sela Lelaki Berkumis Kucing. Kelelawar Hutan tertawa
dingin. "Justru karena keampuhannya yang tidak
dapat dinilai harganya itulah, aku jadi ragu-ragu untuk memasukkan daun Lontar
Merah ke dalam Sumur Kematian. Coba pikir! Jika tidak ada
orang yang berani mengambilnya, bukankah itu
tindakan sia-sia?"
"Kau tak perlu mengkhawatirkannya, Kele-
lawar Hutan! Setelah kau memasukkan daun
Lontar Merah ke dalam lubang Sumur Kematian,
aku akan memberi kesempatan pada yang lain
untuk memasukinya. Tapi bila sampai tiga hari
tak ada yang berani, biarpun bakal tidak bernya-wa lagi aku akan memasukinya,"
kata Lelaki Berkumis Kucing, mantap.
"Bagus! Bagus! Sekali lagi aku patut men-
gagumi keberanianmu, Lelaki Berkumis Kucing.
Dan sekarang juga, Saudara-saudara dipersilakan menunggu Pekarangan Terlarang,"
ujar Kelelawar Hutan seraya bertepuk tangan.
Kemudian dengan tanpa banyak kata lagi,
Ketua Perguruan Kelelawar Putih itu pun segera
turun dari mimbar, langsung masuk ke ruangan.
2 Sebuah alunan suara suling terdengar
merdu, kendati kadang terputus-putus. Suaranya
menggema, memenuhi Lembah Batu Sudung.
Alunan suling itu dimainkan oleh seorang pemu-
da berparas tampan, berompi dan bercelana putih penuh sisik. Jari-jari tangannya
menari-nari di atas lubang suling yang berbentuk seperti anak
panah. Mendengar hasil tiupan sulingnya, mata si pemuda yang agak kebiru-biruan
mengerjap-ngerjap nakal. Bibirnya berkemik-kemik. Sejenak dipandanginya suling
yang juga sebagai senjata
pusaka itu penuh kagum. Kepalanya menggeleng-
gelengkan lucu. Lalu ia duduk bersila di bawah
batu gunung sebesar rumput joglo, dan kembali
meniup sulingnya.
Wajah si pemuda yang berkulit putih ber-
sih tampak tampan sekali. Alis matanya tebal,
manis sekali dengan bentuk hidung yang man-
cung. Rambutnya gondrong dibiarkan tergerai di
bahu. Tubuhnya tinggi tegap. Dan dari rompi pu-
tih keperakan yang terbuka tanpa kancing, tam-
paklah rajahan bergambar ular putih di dada bersisik warnanya.
Siapa lagi pemuda tampan yang mempu-
nyai ciri-ciri demikian kalau bukan Soma, murid Eyang Begawan Kamasetyo yang
bergelar Siluman
Ular Putih dari Gunung Bucu. Dan kini pemuda
tampan itu terus saja meniup suling yang juga
senjata anehnya. Dan diam-diam, dia mulai men-
gerahkan kekuatan batinnya yang baru saja dipe-
lajari dari orang tua bercaping pandan yang bergelar Raja Penyihir! (Untuk lebih
jelasnya mengenai pertemuan Soma dengan Raja Penyihir ini,
dapat dibaca pada serial Siluman Ular Putih da-
lam episode kedua berjudul: "Manusia Rambut Merah").
Suara tiupan suling Soma kali ini aneh se-
kali. Terkadang terdengar melengking tinggi, terkadang lirih hampir tidak
terdengar. Dan dari hasil tiupan suling pemuda murid Eyang Begawan
Kamasetyo ini, mendadak hamparan tanah re-
rumputan di hadapan Soma telah dipenuhi ber-
bagai macam jenis ular. Dari yang besar, sampai yang kecil. Dari yang bercorak,
sampai yang po-los. Entah dari mana datangnya.
Melihat ini, Siluman Ular Putih pun terse-
nyum girang. Tiupan suling kali ini dirubah da-
lam irama tertentu. Sejenak, ular-ular itu terke-sima. Tiupan-tiupan suling Soma
seperti mengge-
litik binatang-binatang melata itu untuk menari.
Dan benar saja. Bersamaan dengan tiupan-tiupan
suling Soma yang melantun lembut, ular-ular itu mulai menggeliat-geliatkan
tubuhnya, mengangkat kepala tinggi-tinggi mengikuti alunan suling.
Soma tertawa gembira. Senjata aneh di
tangannya diketuk-ketukkan ke tangan sebelah-
nya. Dan entah kecewa karena alunan suling ter-
henti, atau memang Soma tidak mengerahkan
kekuatan batinnya lagi, mendadak ular-ular itu
berhenti menari.
"Mengapa kalian berhenti menari, heh"!
Ayo, lekas menari lagi!"
Puluhan ular-ular itu malah celingukkan,
tak mengerti maksud si pemuda.
"Hehe he...! Maaf, teman-teman! Aku lupa
tidak meniup sulingku. Nah, sekarang kalian bersiap-siaplah menari lagi,"
celoteh Soma, mirip orang sinting.
Kemudian sembari duduk bersila begitu,
Soma pun mulai meniup sulingnya. Namun baru
beberapa alunan, tiba-tiba saja Siluman Ular Putih dikejutkan oleh melesatnya
sesosok bayangan dari batu besar di belakang. Dan tahu-tahu, sosok itu telah
mendarat manis persis di depan So-ma. Sosok orang itu bertubuh tinggi kurus.
Usianya kira-kira tujuh puluh tahun. Mukanya tirus. Matanya sipit. Hidungnya pun
kecil dengan kedua bibir menghitam. Kepalanya bercaping
pandan. Pakaiannya tambal-tambalan. Siapa lagi
kalau bukan Raja Penyihir!
"Ah...! Kau mengagetkanku saja, Orang
Tua! Pakai permisi dong, kalau mau kemari"!"
omel Siluman Ular Putih bersungut-sungut.
Orang tua bercaping pandan ini kontan
melotot lebar-lebar. Meski sebenarnya kagum me-
lihat kepandaian Soma dalam menangkap pelaja-
ran yang diberikan namun tetap saja tak dapat
menyembunyikan kemangkelannya. Memang
hanya dalam beberapa hari saja, Soma sudah da-
pat menyihir puluhan ular jejadian. Bahkan da-
lam sekali lihat tadi, Raja Penyihir tahu ular-ular yang berserakan di tanah
rerumputan itu bukan
saja ular jadian, melainkan juga benar-benar ular benar! Inilah yang membuatnya
terkagum-kagum.
Malah lelaki tua ini belum tentu sanggup menda-
tangkan puluhan ular benaran dalam jumlah se-
banyak itu. "Kau sungguh tidak sopan, Orang tua! Su-
dah mengagetkan aku, pakai melotot lagi. Me-
mangnya aku salah apa"!" gerutu Soma.
Raja Penyihir makin melotot. Tongkat hi-
tamnya diketuk-ketukkan ke tanah.
"Berapa kali aku harus menyuruhmu me-
manggil aku Guru, Bocah"!" tukas lelaki tua itu membentak.
Siluman Ular Putih memajukan bibir ba-
Siluman Ular Putih 03 Sumur Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
wahnya. Kepalanya dipalingkan ke tanah rerum-
putan. Dan ia kontan terkejut. Ternyata sebagian ular yang dikumpulkan di tanah
rerumputan mulai bergerak ke balik semak. Buru-buru senjata
pusakanya ditiup, bermaksud mengumpulkan
ular-ular itu kembali.
Tuk! Tuk! Raja Penyihir kembali mengetukkan tong-
kat hitamnya ke tanah. Hidungnya kembali kem-
pis saking gusarnya.
"Bocah Edan! Bukannya menjawab serua-
nku, malah bertingkah macam-macam! Ayo, lekas
suruh ular-ularmu itu pergi!"
"Tidak bisa! Tidak bisa! Malah, aku ingin
membalas perbuatanmu tempo hari, Orang Tua,"
sahut Soma kalem.
"Apa?" sentak Raja Penyihir gusar.
Soma tidak menyahut. Dan ia sudah kem-
bali tenggelam dengan permainan sulingnya.
"Kau... kau...!"
Raja Penyihir membelalakkan matanya le-
bar-lebar saat melihat ular-ular yang semula berhamburan, kini mulai berkumpul.
Kepalanya te- rangkat tinggi-tinggi, memandang lelaki tua ini.
Dan dengan sorot mata yang mencorong beringas,
ular-ular itu bergerak cepat menyerang Raja Pe-
nyihir! "Sontoloyo!" maki Raja Penyihir.
Kedua tangannya cepat bergerak menam-
par kepala ular-ular yang berani menyerangnya.
Plakkk! Plakkk! Aneh! Tubuh ular-ular yang berani menye-
rang Raja Penyihir langsung musnah tak berbe-
kas. Namun, ada sebagian ular lain yang memun-
cratkan darah segar begitu terkena tamparan
tangan Raja Penyihir pada bagian kepala Raja Penyihir menggeleng-geleng. Diam-
diam kepandaian
pemuda murid Eyang Begawan Kamasetyo makin
dikagumi. Melihat darah yang muncrat berham-
buran ke sana kemari, lelaki tua bercaping pan-
dan ini tahu kalau ular-ular itu asli, bukan jejadian.
Prakkk! Prakkk! Dan ketika pandangan matanya yang tajam
melihat berkelebatnya dua ekor ular betulan, Raja Penyihir pun kembali
menggerakkan tangannya,
menampar kepala ular-ular itu hingga mati.
Sial sekali nasib Raja Penyihir pagi itu
memang. Darah kepala ular yang terkena tampa-
ran tangannya barusan, malah muncrat mengenai
mukanya. Lelaki tua itu jadi uring-uringan.
"Ular-ular kurang ajar, enyahlah kalian
semua!" bentak Raja Penyihir garang. Suaranya terdengar menggema memenuhi Lembah
Batu Sudung. Seketika itu juga ular-ular buatan Soma
pun lenyap tak berbekas. Sedang ular-ular betu-
lan yang tadi dikumpulkan Soma pun buru-buru
menghilang di balik semak belukar.
Siluman Ular Putih tertawa bergelak-gelak.
Dilihatnya Raja Penyihir tengah sibuk member-
sihkan noda-noda darah ular menggunakan
ujung baju tambal-tambalannya.
"Hik hik hik...! Aku paling senang kalau
melihat wajahmu celemongan begitu, Orang Tua.
Mengapa dihapus" Kau makin tampan kok, kalau
celemongan begitu," celoteh Siluman Ular Putih, seenaknya. Lantas ia berdiri.
"Keparat! Kau harus bertanggung jawab
atas perbuatanmu ini, Bocah!" bentak Raja Penyihir geram.
"Makanya jadi orang itu jangan usil. Itulah
hasilnya!"
Raja Penyihir mengatupkan gerahamnya
rapat-rapat. Diam-diam ia telah mengerahkan ke-
kuatan batinnya. Sementara kedua bibirnya yang
menghitam pun mulai berkemik-kemik membaca
mantera. Siluman Ular Putih mundur selangkah ke
belakang. "Eh eh eh...! Kau mau apa, Orang Tua"
Mengapa bibir hitammu berkemik-kemik seperti
itu" Kau akan mengerahkan ilmu sulapmu, ya?"
Raja Penyihir tidak menggubris ocehan
Soma. Kedua bibirnya terus saja berkemik-kemik
membacakan mantera. Beberapa saat lamanya
berselang, perlahan-lahan tubuh lelaki tua ber-
caping pandan itu mulai membesar-membesar.
Dan jadilah ia raksasa hitam yang teramat men-
gerikan. Kedua taringnya yang sebesar tanduk
kerbau hutan berkilauan kala tertimpa sinar ma-
tahari. Soma tertawa terpingkal-pingkal. Sama sekali hatinya tidak ngeri melihat
raksasa hitam di-hadapannya.
"Ha ha ha...! Lucu sekali kau, Orang Tua!
Persis topeng monyet di pasar. Untung saja kau di sini. Kalau di pasar, sudah
pasti akan jadi tonto-nan orang banyak, Orang Tua!"
Raja Penyihir yang telah menjelma menjadi
raksasa hitam tinggi besar menggeram penuh
kemarahan. Matanya yang memerah berkilat-kilat
beringas. Dan kini ia mulai berjalan mendekati
Soma.... Sekali lagi Soma yang bergelar Siluman
Ular Putih menarik kakinya selangkah ke bela-
kang. Diam-diam ia pun sudah mengeluarkan ke-
kuatan batinnya.
"Tunggu dulu, Orang Tua! Kau tidak boleh
menakut-nakutiku seperti itu!" bentak Soma dengan suara bergetar.
Aneh sekali. Raksasa hitam tinggi besar itu
tiba-tiba menghentikan langkahnya. Tubuhnya
bergetar-getar hebat. Nampak sekali kalau uca-
pan Soma tadi sangat berpengaruh baginya. Na-
mun itu hanya sebentar. Kini raksasa hitam itu
kembali berjalan mendekati si pemuda. Malah ke-
dua tangannya yang sebesar pohon kelapa dige-
rakkan ke bawah, bermaksud menangkap tubuh
Siluman Ular Putih.
"Uts...!"
Soma cepat meloncat jauh ke belakang.
Raksasa hitam tinggi besar itu gusar bukan main.
Mulutnya yang memerah mengerikan telah men-
geluarkan gerengannya yang menggetarkan tanah
di sekitarnya. "Ah...! Jelek sekali kalau kau seperti ini, Orang Tua. Aku malah bisa takut
nanti. Buruan kembali berubah seperti wujudmu semula!" oceh Soma dengan suara bergetar,
membawa pengaruh. Akibatnya sungguh hebat bukan main. Tu-
buh tinggi besar raksasa hitam itu bergetar-getar hebat. Selang beberapa saat,
tubuh itu mulai me-
nyusut. Dan kini kembali menjelma menjadi wu-
judnya semula. Raja Penyihir!
"Hebat! Hebat! Aku harus mengakui kehe-
batanmu, Bocah!" puji Raja Penyihir dengan raut wajah sungguh-sungguh.
Sementara Soma mengipas-ngipaskan tan-
gannya bangga. "Siapa dulu dong gurunya?" katanya seraya mengumbar senyum.
Raja Penyihir mau tak mau tersenyum ju-
ga. Tongkat hitamnya diketuk-ketukkan ke tanah
dengan perasaan bangga.
"Bagaimana, Orang Tua" Apa kau juga se-
nang melihat kehebatanku ini?" tanya Soma, nyinyir. "Terus terang aku bangga
melihat kepandaianmu ini, Bocah. Kau berbakat sekali. Tapi,
ketahuilah! Aku sudah tidak ingin bertemu den-
ganmu lagi. Cepatlah enyah dari hadapanku se-
karang juga!"
"Ha..."! Siluman Ular Putih tersentak he-
ran. "Mengapa demikian, Orang Tua" Apa kau marah padaku?"
"Tidak! Sama sekali tidak. Aku hanya ingin kau cepat enyah dari hadapanku. Dan
amalkan-lah semua kepandaianmu ini ke jalan yang benar.
Itu saja!"
"Ah...! Kau curang, Orang Tua! Kau pelit!
Mengapa tidak mengajarkan semua kepandaian-
mu kepadaku?" tukas Soma.
"Kau tidak mungkin sanggup, karena ma-
sih terlalu muda!" jelas lelaki tua itu.
Soma memberenggut.
"Kau meremehkan aku, Orang Tua! Apa
kau pikir, aku tidak sanggup mempelajari semua
kepandaianmu?" cibir si pemuda.
"Aku menyangsikannya, Bocah. Selama
kau masih suka melihat wajah cantik, dada mon-
tok dan paha mulus. Tak mungkin kau dapat
menguasai ilmuku. Apa kau sanggup?" tukas Raja Penyihir.
Soma menggaruk-garuk kepalanya yang ti-
dak gatal. Hidungnya kembang kempis seperti ti-
kus kena cuka. Jelas, mana mungkin pemuda ini
menyanggupi syarat seberat itu.
"Mengapa syaratnya demikian berat" Ada-
kah syarat lain yang lebih mudah?" tanya Soma.
"Ada. Tapi, waktunya bukan sekarang.
Nanti kalau sudah masuk liang kubur, baru kau
sanggup menguasai semua ilmuku," sahut lelaki tua ini, enteng.
"Ah...! Kau mempermainkanku saja, Orang
Tua! Lantas, buat apa kau mengejar-ngejar aku
untuk dijadikan murid?"
Raja Penyihir mengangguk-angguk.
"Semula aku memang sangat menyukaimu,
Bocah. Tapi ketika sadar kalau kau tidak mung-
kin mampu menguasai semua ilmuku, aku jadi
berpikir lain. Aku memang tidak sanggup menu-
runkan semua ilmuku padamu. Tapi, setidak-
tidaknya aku telah menurunkan sedikit kepan-
daianku padamu. Itu sudah cukup membuat ha-
tiku senang," jelas Raja Penyihir.
"Baiklah kalau begitu, Orang Tua. Terima
kasih atas segala petunjukmu. Selamat tinggal!"
Sehabis berkata begitu, Siluman Ular Putih
langsung menutulkan kedua kakinya ke tanah.
Seketika ia sudah berkelebat cepat meninggalkan Lembah Batu Sudung. Dalam
sekejap saja bayangan tubuhnya telah berubah menjadi titik kecil di kejauhan
sana. Raja Penyihir mengangguk-anggukkan ke-
palanya penuh kagum. Kemudian sekali meng-
hentakkan kakinya ke tanah, tahu-tahu tubuh
tinggi kurusnya telah melayang tinggi ke udara, dan menghilang di balik batu
gunung di bela-kangnya.
3 Matahari pagi sudah mulai merayap tinggi
dari peraduannya di bentangan kaki langit sebe-
lah timur. Angkasa raya yang membiru tampak
cerah, karena tak ada awan mengembang. Dan
angin yang bertiup semilir seolah-olah mati terbawa suasana sunyi.
Jauh di belakang bangunan Perguruan Ke-
lelawar Putih, tepatnya pada sebuah hamparan
tanah rerumputan berpagar tembok memutar,
terlihat dua sosok bayangan tengah berloncatan
ke tembok pagar. Yang satu bertubuh pendek
dengan jubah kuning kedodoran sampai ke lutut.
Di sebelahnya seorang pemuda bertubuh tinggi
kurus berpakaian ringkas warna hitam-hitam.
Kedua orang itu tak lain Lelaki Berkumis
Kucing dan Kumbara. Rupanya karena saking
penasarannya, mereka telah menempuh jalan pin-
tas melewati pintu belakang Pekarangan Terla-
rang. Dan kini kedua orang itu tengah mengedar-
kan pandangan ke hamparan tanah kosong yang
hanya terdapat sebuah sumur tua dan dua buah
pohon asem tua.
Agaknya Lelaki Berkumis Kucing dan
Kumbara sudah tidak sabar lagi untuk segera
berkelebat ke hamparan tanah kosong. Maka da-
lam beberapa loncatan saja, mereka telah sampai di pinggiran Sumur Kematian yang
terkenal angker itu. Namun belum sempat mendekati lubang
sumur, mendadak mereka dikejutkan oleh alunan
suling yang sangat menyayat hati. Bersamaan
dengan itu, bertiup pula angin yang menebarkan
bau amis bukan alang kepalang.
Lelaki Berkumis Kucing buru-buru me-
mencet hidungnya.
"Aduh....! Mengapa amis begini, Kelelawar Hutan" Ah..., kau hampir saja berhasil
memba-talkan perjanjian kita!"
Lelaki Berkumis Kucing masih memencet
hidungnya rapat-rapat. Lalu kembali kedua ka-
kinya ditutulkan ke tanah, dan mendarat ringan
di bibir Sumur Kematian. Sejenak kepalanya me-
longok-longokkan ke dalam lubang sumur.
"Aduh dalamnya. Kalau aku sudah telanjur
masuk, bagaimana dapat keluar lagi?" gumam Lelaki Berkumis Kucing.
Saat itu Kumbara yang sudah berada di
sampingnya hanya bisa memandang heran.
"Paman. Apakah suara tiupan suling itu
datangnya dari dalam Sumur Kematian ini?"
tanya si pemuda, heran.
Lelaki Berkumis Kucing mengangguk. Na-
mun tiba-tiba saja orang tua bertubuh pendek itu seperti teringat sesuatu.
"Ah...! Rasa-rasanya aku pernah menden-
gar lagu ini. Kalau tidak salah, kira-kira dua puluh tahun yang lalu, sewaktu
sedang lewat di
pinggiran Hutan Cemoro Grimpil. Dari kejauhan
aku dapat melihat dua sosok berpakaian hitam
dan putih sedang duduk berhadap-hadapan. Satu
di antara kedua orang itu sedang meniup suling
yang lagunya mirip benar dengan yang kudengar
kali ini. Ya ya ya...! Lagunya memang persis seperti yang kudengar kali ini.
Siluman Ular Putih 03 Sumur Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi..., tapi mungkinkah orang itu lagi berada di dalam Sumur Ke-
matian?" gumam lelaki tua bertubuh pendek itu lagi, kebingungan sendiri.
"Paman! Apakah Paman tahu asal usulnya
dua orang itu?" tanya Kumbara.
Lelaki Berkumis Kucing itu menggeleng le-
mah. "Aku sudah berlari mengejarnya. Namun hanya dalam sekejapan mata saja telah
kehilangan jejak mereka. Kedua orang itu seperti lenyap ditelan bumi"
Kumbara menggeleng-geleng heran.
"Dengan kepandaian yang sudah mencapai
tingkat tinggi, apakah Paman tidak dapat juga
menduga siapa orang yang di dalam Sumur Ke-
matian ini?"
Kening Kumbara berkernyit dalam. Kata-
katanya tadi sama sekali tidak digubris lelaki tua bertubuh pendek itu. Hanya
dilihatnya paman
gurunya itu sudah membungkuk ke dalam mulut
Sumur Kematian.
"Auuung...!"
Dengan pengerahan tenaga dalamnya, Le-
laki Berkumis Kucing memekik panjang. Inilah
pekikan maut 'Raungan Maut Kucing Hutan' sa-
lah satu ilmu andalan orang tua bertubuh pendek itu. Kumbara yang mendengarnya
dalam jarak demikian dekat langsung menggigil. Gendang te-
linganya seperti terobek! Namun lebih anehnya
lagi, suara pekikan Lelaki Berkumis Kucing terus amblas ke dalam Sumur Kematian
dan tidak ber-gema! Lelaki Berkumis Kucing dan Kumbara sal-
ing berpandangan saking herannya. Terlihat Lela-ki Berkumis Kucing itu melongo
dengan mata mendelik. "Ah...! Jangan-jangan sumur ini tidak ada
dasarnya?" desah lelaki tua itu.
Kumbara yang sudah bersiap-siap mema-
suki Sumur Kematian jadi meragu. Dalam hatinya
bertanya-tanya. Mungkinkah Sumur Kematian ti-
dak mempunyai dasar sama sekali" Mustahil. Ta-
pi, mengapa suara pekikan barusan tidak berge-
ma" Sementara Lelaki Berkumis Kucing me-
mandang Kumbara sebentar. Namun menda-
dak.... "Auuung...!"
Dari dalam lubang Sumur Kematian ter-
dengar suara pekikan orang tua bertubuh pendek
tadi. Lelaki Berkumis Kucing ini tertawa berka-kakan. Kumbara sendiri pun
menunjukkan muka
girang. Pada saat yang sama para undangan dan
murid Perguruan Kelelawar Hutan baru saja tiba
di Pekarangan Terlarang mereka merasa heran
sekali melihat tingkah kedua orang itu.
Tidak lama kemudian muncul Ketua Pergu-
ruan Kelelawar Putih. Kali ini Kelelawar Hutan
muncul sambil membawa sebuah kotak besi di
tangan kanannya.
Setelah sampai di hadapan Lelaki Berku-
mis Kucing dan Kumbara, lelaki setengah baya itu segera membuka kotak kecil di
tangannya. Sebentar saja sudah terlihat isinya, sebuah pohon lontar kecil yang
mempunyai beberapa daun berwar-
na merah darah. Sedang akar-akarnya berwarna
putih bersih, mirip tulang manusia. Dan begitu
kotak besi itu dibuka lebar, seketika bau harum menebar ke udara di sekitarnya.
Tanpa sadar Lelaki Berkumis Kucing dan
Kumbara terbelalak lebar. Sekedip pun mereka tidak mengalihkan perhatian pada
isi dalam kotak
kecil itu. Perlahan-lahan Kelelawar Hutan kembali
menutup kotak kecil di tangannya.
"Apa kalian berdua sudah melihat isi kotak ini?" tanya Kelelawar Hutan kepada
Lelaki Berkumis Kucing dan Kumbara
"Sudah. Aku yakin barang ini asli," sahut Lelaki Berkumis Kucing seperti masih
terpana. "Bagus! Kalau begitu, sekarang saksikan-
lah! Aku akan mencemplungkan kotak kecil ini ke dalam Sumur Kematian sebagai
hadiah bagi siapa
saja yang dapat keluar dengan selamat dari su-
mur ini," Sehabis berkata begitu, perlahan-lahan Ke-
lelawar Hutan mulai berjalan mendekati lubang
Sumur Kematian. Begitu dekat, kotak kecil itu diangkat tinggi-tinggi. Sambil
tersenyum-senyum,
pandangan matanya beredar kepada semua yang
berada di Pekarangan Terlarang. Kemudian segera dicemplungkannya kotak kecil itu
ke dalam mulut Sumur Kematian.
Wsss... Kotak kecil itu terus meluncur ke bawah.
Plung! Beberapa saat, baru terdengar bunyi benda
menghantam air di dasar Sumur Kematian. Sua-
ranya lirih sekali, hampir tidak terdengar telinga.
Sementara Lelaki Berkumis Kucing hanya
menggaruk-garuk kepalanya. Entah mengapa ti-
ba-tiba saja ia ingin sekali menggaruk-garuk kepalanya.
Sedangkan Kelelawar Hutan kembali men-
gedarkan pandangan ke arah para undangan.
"Saudara-saudara sekalian! Bukankah te-
lah menyaksikan betapa besarnya perhatianku,
sampai-sampai rela mengorbankan pusaka turu-
nan Perguruan Kelelawar Putih" Nah! Sekarang,
harap-Saudara-saudara sekalian sudi menjadi
saksi kejadian ini!"
Sambil membetulkan pakaiannya, Kumba-
ra segera mencabut keluar belati kecilnya. Sejenak ia menjura ke arah Lelaki
Berkumis Kucing.
"Paman! Aku sudah tidak sabar untuk se-
gera masuk ke dalam Sumur Kematian. Izinkan
aku mendahuluimu. Ini semata-mata hanya demi
kesembuhan guruku, Orang Tua Aneh Penjaga
Pintu," ucap Kumbara, masih menjura.
"Tetapkan hatimu, Kumbara" tegas Lelaki Berkumis Kucing, mantap.
Kumbara menengadah sebentar. Sambil
menunjukkan ketabahan hatinya, tahu-tahu ka-
kinya telah menjejak tanah, dan mendarat ia di
pinggir lubang Sumur Kematian. Kepalanya me-
longok sebentar. Kemudian dengan begitu bera-
ninya, murid Orang Tua Aneh Penjaga Pintu ini
telah menuruni Sumur Kematian. Tangan kanan-
nya tetap memegang erat-erat belati kecilnya, sedang tangan kirinya menggapai-
gapai dinding sumur. Hal itu dilakukan untuk menahan tubuh-
nya yang terus meluncur ke dalam lubang Sumur
Kematian. Hampir kurang lebih seratus orang di Pe-
karangan Terlarang menyambut keberanian
Kumbara dengan perasaan tegang. Semua dice-
kam perasaan gelisah yang sama. Jangankan un-
tuk berbicara. Untuk menarik napas panjang saja tidak berani!
Sementara orang yang paling gelisah ada-
lah Lelaki Berkumis Kucing. Entah sudah berapa
kali lelaki tua bertubuh pendek itu mondar-
mandir di bibir sumur. Sebentar kepalanya me-
longok ke dalam Sumur Kematian. Bayangan tu-
buh Kumbara kini sudah tidak nampak lagi di ke-
gelapan dasar Sumur Kematian.
Kini Lelaki Berkumis Kucing terus mem-
perhatikan ke dalam lubang Sumur Kematian.
Dengan segenap kemampuan dicobanya menge-
rahkan pendengaran yang sudah terlatih, ke da-
lam lubang Sumur Kematian. Ia ingin tahu, keja-
dian apa yang tengah dialami murid tunggal ka-
kak seperguruannya.
Pagi ini, perjalanan sang waktu benar-
benar terasakan sangat lamban. Para undangan
dan murid-murid Perguruan Kelelawar Putih ma-
kin dicekam perasaan tegang. Dua belas orang
murid penjaga pintu dan delapan orang murid
penjaga perguruan berdiri laksana patung. Se-
dangkan Kelelawar Hutan sendiri pun kini sedang mengusap-usapkan kedua
tangannya. Tak terasa satu penanakan nasi terlewat
sudah. Keadaan di Sumur Kematian tetap
mengkhawatirkan. Semua orang yang berada di
atas terlihat makin dicekam perasaan gelisah.
Malah sudah ada beberapa orang mengeluarkan
suara keluhan. Satu penanakan nasi kembali berlalu. Kali
ini Kelelawar Hutan sudah mulai mengalihkan
perhatian pada Lelaki Berkumis Kucing.
"Sobatku Lelaki Berkumis Kucing...," pang-gilnya dengan suara perlahan.
"Tutup mulutmu, Kelelawar Hutan!"
Kelelawar Hutan tidak jadi melanjutkan ka-
ta-katanya, saat lelaki tua pendek itu seperti tak ingin diganggu. Malah Lelaki
Berkumis Kucing
kini mengangkat kepalanya, memandang tajam
Kelelawar Hutan. Kedua bibirnya yang bergetar-
getar dengan napas mendengus-dengus dari lu-
bang hidung. Dan sebelum perhatian Lelaki Ber-
kumis Kucing kembali ke sumur, mendadak....
"Aaakh...!"
Tiba-tiba saja dari dalam lubang Sumur
Kematian terdengar satu pekikan yang teramat
menyayat hati. Buru-buru Lelaki Berkumis Kucing melon-
gokkan kepalanya lagi ke dalam lubang Sumur
Kematian. Dan ia melihat satu bayangan hitam
tengah berkelebat naik ke atas dengan susah
payah. Lelaki tua pendek ini tahu kalau Kumbara sudah sampai di dasar, dan
sedang berusaha
naik. "Kelelawar Hutan! Lihat! Kumbara sedang berusaha naik ke atas dengan
membawa kotak daun Lontar Merahmu!" teriak Lelaki Berkumis Kucing kegirangan.
Paras Kelelawar Hutan kontan berubah
menyeramkan sekali
"Ia akan tergolong tokoh papan atas jika
benar-benar dapat naik kembali ke atas di Peka-
rangan Terlarang ini!"
Lelaki Berkumis Kucing tidak membantah
ucapan Kelelawar Hutan. Ia hanya tertawa-tawa
saja untuk menenangkan hatinya. Namun tiba-
tiba saja dari lubang Sumur Kematian telah me-
lompat satu bayangan hitam di atas pinggiran
Sumur Kematian. Itulah Kumbara!
Begitu pemuda murid tunggal Orang Tua
Aneh Penjaga Pintu itu menjejakkan kedua ka-
kinya di pinggiran Sumur Kematian, langsung
memandang Kelelawar Hutan beringas. Wajahnya
pucat pasi. Bibirnya bergetar-getar hebat. Tangan kirinya memegang kotak kecil
berisi daun Lontar Merah yang tadi dilemparkan ke dalam Sumur.
Sedang tangan kanannya masih tetap memegang
erat belati kecilnya yang ditudingkan ke arah Kelelawar Hutan.
"Kelelawar Hutan! Kau... kau.... Aaakh...!"
Baru saja Kumbara mengucapkan kata-kata itu,
tiba-tiba saja sudah disusul jeritan keras disertai
memuntahan darah segar. Seketika itu juga ba-
dannya limbung dan tanpa ampun lagi, Kumbara
jatuh terpelanting ke dalam Sumur Kematian
sambil masih memegang erat kotak kecil berisi
daun Lontar Merah tadi.
Bukan main kagetnya semua orang yang
berada di Pekarangan Terlarang begitu melihat
perubahan yang teramat mendadak ini. Termasuk
juga, Lelaki Berkumis Kucing yang tadi sempat
juga merasa kegirangan.
Melihat hal itu, buru-buru lelaki tua bertu-
buh pendek ini segera mengulurkan kedua tan-
gannya, bermaksud menyambar tubuh Kumbara.
Namun sayangnya, ia hanya menangkap angin
kosong saja. Sementara tanpa ampun lagi, tubuh
Kumbara pun terus meluncur ke dasar dengan
kecepatan luar biasa!
Lelaki Berkumis Kucing hanya bisa berdiri
melompong di mulut Sumur Kematian. Matanya
terbelalak lebar, seolah tidak percaya dengan kejadian yang baru saja dilihat.
Dan tidak kurang dari seratus orang yang berada di Pekarangan
Terlarang hanya bisa diam menundukkan kepala.
Seolah-olah mereka ingin mengucapkan kata be-
lasungkawa atas kejadian barusan.
"Keparat!"
Lelaki Berkumis Kucing yang telah menjadi
kalap, mendadak saja telah membentak keras
disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Ada permusuhan apa antara kau dengan
Kumbara, Kelelawar Hutan"!" Begitu kata-
katanya habis, Lelaki Berkumis Kucing meluruk
menyerang Kelelawar Hutan. Namun dengan
tangkasnya, Ketua Perguruan Kelelawar Putih itu meloncat ke samping kiri,
menghindari serangan.
"Apa maksudmu, Orang Tua Pendek" Jan-
gan seenak perutmu menuduhku yang bukan-
bukan! Semua orang tahu, pemuda itu telah ter-
luka parah. Itulah yang menyebabkannya terjatuh lagi ke dalam Sumur Kematian.
Jadi mana aku tahu" Apalagi sebelumnya telah ada perjanjian di antara kita...," tangkis
Kelelawar Hutan.
Kelelawar Hutan tidak jadi melanjutkan bi-
caranya. Karena saat itu, Lelaki Berkumis Kucing telah mengeluarkan tawa
sumbangnya. Beberapa
orang yang berada di atas Pekarangan Terlarang
sampai bergidik ngeri dibuatnya. Namun ada se-
bagian orang yang mengira kalau lelaki tua ber-
tubuh pendek ini telah menjadi gila, saking tidak kuat menahan guncangan
batinnya. Saat itu Kelelawar Hutan pun tidak lagi
Siluman Ular Putih 03 Sumur Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berlaku ramah seperti tadi. Wajahnya mendadak
berubah penuh ejekan. Hidungnya kembang
kempis saking gusarnya.
Sedang Lelaki Berkumis Kucing kini tidak
lagi mengumbar tawanya. Rupanya hatinya telah
dapat ditenangkan. Bahkan kini dadanya dite-
gakkan. "Baiklah! Tulang tuaku pun akan segera
kupendam dalam dasar Sumur Kematian ini!" ka-ta Lelaki Berkumis Kucing, tegas.
Sehabis berkata begitu, lelaki bertubuh
pendek itu menutulkan kedua kakinya ke tanah,
lalu mendarat manis di atas pinggiran Sumur
Kematian. Sejenak kepalanya melongok ke bawah.
"Hup!"
Dan dengan sekali loncat saja, tahu-tahu
tubuh orang tua pendek itu telah meluncur deras ke dalam Sumur Kematian.
Kini suasana di atas Pekarangan Terlarang
kembali dicekam ketegangan. Beberapa orang
murid Perguruan Kelelawar Putih sudah ada yang
menggigil dengan sekujur tubuh dibasahi keringat dingin. Matahari yang bersinar
garang di cakra-wala pun perlahan tertutup awan. Seolah tak ku-
asa melihat suasana mencekam. Semua terdiam
dalam kebisuan. Semua menanti kabar maut dari
dalam Sumur Kematian.
Dan tak terasa satu penanakan nasi terle-
wat sudah. Namun bayangan orang tua bertubuh
pendek pun belum muncul dari dalam Sumur
Kematian. Para undangan dan murid-murid Per-
guruan Kelelawar Putih mulai gelisah. Dari pan-
dangan mata mereka dapat terlihat kekecewaan
dan penyesalan.
Beberapa Saat berselang, dari dalam lu-
bang Sumur Kematian muncul sesosok bayangan
kuning. Begitu hinggap di atas bibir sumur, sosok itu telah menjinjing mayat
Kumbara dan kotak
kecil berisi daun Lontar Merah. Sosok yang me-
mang Lelaki Berkumis Kucing berusaha tetap ko-
koh di tempatnya berpijak. Namun wajahnya ter-
lihat pucat pasi. Bibirnya bergetar-getar hebat.
Sepasang matanya yang tajam memandang berin-
gas Kelelawar Hutan.
Beberapa orang yang berada di Pekarangan
Terlarang sudah mulai dapat menghela napas le-
ga. Namun mereka semua tetap masih mengkha-
watirkan keselamatan orang tua bertubuh pendek
itu. Lelaki Berkumis Kucing masih memandang
beringas Kelelawar Hutan. Namun entah menga-
pa, tiba-tiba saja ia merasakan kekuatan aneh
terpancar dari sepasang mata Ketua Perguruan
Kelelawar Putih.
Lelaki Berkumis Kucing mengeluh. Kekua-
tan gaib dari sepasang mata Kelelawar Hutan be-
gitu kuatnya mempengaruhi batinnya. Dan tanpa
sadar, dadanya makin bergetar-getar hebat. Wa-
jahnya makin pias seperti mayat. Dan dari kedua bibirnya yang bergetar-getar...
"Kelelawar Hutan! Kau... kau...!"
Lelaki Berkumis Kucing tak dapat lagi me-
neruskan ucapannya. Kedua lututnya goyah pe-
gangan pada sosok mayat yang dikepit dan kotak
kecil berisi daun Lontar Merah itu melemah. Dan akhirnya, kedua benda itu
kembali terjatuh ke
dalam Sumur Kematian. Sepasang mata Kelela-
war Hutan begitu kuatnya mempengaruhi batin-
nya. Sehingga, membuat sukmanya seolah me-
layang entah ke mana.
Namun biar bagaimanapun juga, Lelaki
Berkumis Kucing bukanlah tokoh sembarangan.
Meski dalam keadaan sangat berbahaya, kedua
lututnya yang goyang masih dapat dikendalikan.
Kemudian tanpa banyak pikir lagi segera kedua
kakinya ditutulkan, lalu meloncat keluar dari lubang Sumur Kematian.
Sembari meloncat demikian, sebelah tan-
gan Lelaki Berkumis Kucing berputaran cepat ke
depan. Maka seketika itu juga serangkum angin
dingin dari telapak tangan kanannya meluncur,
menyerang tubuh Kelelawar Hutan.
Wesss! Kelelawar Hutan kaget bukan main. Sung-
guh tidak disangka Lelaki Berkumis Kucing akan
menyerang dirinya dalam jarak demikian dekat.
Tanpa berpikir lebih panjang lagi ia segera meloncat ke samping kiri. Maka
selamatlah dirinya dari serangan Lelaki Berkumis Kucing.
Ketua Perguruan Kelelawar Putih mengge-
ram penuh kemarahan. Kedua tangannya siap
melayangkan pukulan mautnya. Namun sayang-
nya, Lelaki Berkumis Kucing sudah merambat
naik ke atas pohon asem dengan kecepatan men-
gagumkan. Dan dalam sekejapan saja, lelaki ber-
tubuh pendek itu telah menutulkan kakinya di
atas tembok Pekarangan Terlarang. Lalu sekali
genjot lagi, tubuhnya pun lenyap dari pandangan mata. Maka, makin gemparlah
kabar maut tentang Sumur Kematian di Pekarangan Terlarang
itu. Dan pada siang hari itu pula, para undangan mulai meninggalkan Perguruan
Kelelawar Putih.
Ada apa sebenarnya di dalam Sumur Ke-
matian" 4 Suara kentongan yang dipukul bertalu-talu
di lereng sebelah barat Gunung Sumbing, me-
nyentak perhatian seorang gadis cantik berpa-
kaian putih-putih yang tengah melatih jurus-
jurusnya, di depan sebuah jurang kecil berair jer-nih. Kepalanya menengadah
sebentar, setelah
menghentikan gerakannya.
Memang betapa cantiknya gadis itu. Kulit-
nya kuning langsat. Rambutnya panjang dibiar-
kan tergerai di bahu. Matanya agak lebar, dihiasi bulu mata lentik. Alis matanya
tebal dengan mata bak bintang kejora. Hidungnya mancung, bibirnya merah tipis.
Manis sekali dengan dua lesung pipit di kanan kirinya.
Suara kentongan yang masih bertalu di
angkasa, membuat gadis cantik berpakaian putih-
putih ini bertanya-tanya dalam hati. Keningnya
berkerut dalam menduga apa yang tengah terjadi.
Tiba-tiba saja gadis berpakaian putih-putih
ini mendengar percakapan beberapa orang, tak
jauh dari tempatnya berlatih. Dan sekali kedua kakinya menutul di batu hitam,
tahu-tahu tubuhnya yang tinggi ramping telah hinggap di se-
buah ranting pohon di atasnya.
Dari atas ranting pohon, si gadis kembali
mengarahkan pandangan ke arah datangnya sua-
ra tadi. Dan matanya menangkap empat orang
bertubuh tegap yang tengah berlari kencang me-
nuruni lereng barat Gunung Sumbing. Mereka
sama-sama berpakaian putih-putih dengan ikat
kepala warna kuning. Di bahu masing-masing
bersandar sebuah peti mayat berwarna merah.
Sekali lagi si gadis kerutkan keningnya da-
lam-dalam. "Hei" Bukankah mereka murid-murid Per-
guruan Kelelawar Putih" Apa yang dilakukan mu-
rid-murid ayahku ini" Apa yang mereka bawa di
dalam peti itu?" gumam si gadis yang ternyata putri dari Ketua Perguruan
Kelelawar Putih.
Si gadis terus memperhatikan keempat
orang yang ternyata murid-murid ayahnya. Me-
mang beberapa hari ini, gadis yang dikenal ber-
nama Aryani ini mendengar kalau ayahnya tengah
mengadakan sayembara yang terbuka bagi siapa
saja untuk memasuki Sumur Kematian. Bagi
yang keluar dalam keadaan selamat, hadiah besar akan menanti. Maka tak urung
lagi, murid-murid
Perguruan Kelelawar Putih bertekad baja ikut pu-la dalam sayembara. Namun sampai
saat ini tak seorang pun yang berhasil selamat. Demikian pu-
la yang terjadi dengan tokoh-tokoh persilatan
yang diundang. Hanya Lelaki Berkumis Kucing
saja yang berhasil selamat, tapi itu pun dalam
keadaan terluka. Sehingga ia tak sempat menda-
patkan hadiah Putri Kelelawar Hutan itu selama ini me-
mang penasaran sekali. Siapakah sebenarnya bi-
ang kerok di balik semua kejadian ini" Mungkin-
kah hanya karena keberadaan Sumur Kematian
di Pekarangan Terlarang itu"
Itulah dua pertanyaan besar yang selalu
menghantui Aryani. Dan kali ini rasa penasaran-
nya tidak dapat lagi ditahan. Maka dengan ber-
loncatan dari ranting pohon yang satu ke ranting pohon lain, ia pun mengikuti
keempat orang itu
pergi. Keempat orang murid Perguruan Kelelawar Putih telah berlari kencang
menuju tebing sebelah barat Perguruan Kelelawar Putih. Karena tak
Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari 18 Dewi Ular 97 Ada Apa Dengan Setan Pewaris Dendam Sesat 1
Hak cipta dan copy right pada
penerbit dibawah lindungan
undang-undang Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-
gian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
1 Hari telah menjelang pagi. Puncak Gunung
Sumbing masih diselimuti kabut tipis, bagai tirai yang terus bergerak. Dan
seiring munculnya sinar keemasan di ufuk timur sana, kabut tipis ini pun mulai
tersingkap perlahan tertiup angin dingin
pegunungan, lalu hilang entah ke mana.
Tong! Tong! Pagi yang hening dipecahkan oleh suara
kentongan yang dipukul dua kali. Asalnya, dari
sebuah perguruan silat yang terletak di lereng barat Gunung Sumbing. Hanya ada
satu perguruan silat di kawasan gunung itu, yakni Perguruan Kelelawar Putih.
Bunyi kentongan barusan merupakan isya-
rat agar semua orang yang ada di tempat ini berkumpul. Konon beberapa hari ini,
Ketua Pergu- ruan Kelelawar Putih yang dikenal bergelar Kelelawar Hutan telah mengundang
beberapa tokoh persilatan untuk datang ke perguruannya. Dari
kabar yang tersiar di lunran, Kelelawar Hutan
tengah mengadakan sayembara.
Sayembara apa"
Sementara itu, baik para murid perguruan
ini maupun para tokoh persilatan yang diundang, sudah memenuhi ruang utama
perguruan. Mereka ada yang tiba sejak beberapa hari yang lalu, dan ada pula yang
pagi buta tadi tiba di perguruan ini.
Tong! Tong! Tong!
Pada saat semua telah berkumpul, kenton-
gan kembali dipukul untuk yang kedua kalinya.
Namun bunyinya kali ini sedikit berbeda dari
yang pertama. Iramanya terdengar satu-satu, dan dibiarkan menggema di angkasa.
Seolah-olah iramanya mengandung perasaan duka, sehingga
membuat para tamu seperti terbawa arus kesedi-
han. Dan kini suasana dalam ruang utama itu
terlihat makin mencekam. Paras wajah para tamu
mendadak berubah tegang. Dada mereka berde-
bar lebih cepat dari biasa. Dan kasak-kusukpun
makin sulit dikendalikan.
"Jangan-jangan, Sumur Kematian mulai
meminta korban lagi?" duga salah seorang undangan seperti berkata pada diri
sendiri. "Benar! Kalau tak salah, ada empat orang
yang sudah menjadi korbannya," sahut tamu
yang lain. "Benarkah" Siapa?"
Sewaktu para undangan membicarakan
siapa keempat orang yang menjadi korban, men-
dadak... "Saudara-saudara sekalian harap berdiri!
Yang Mulia Kelelawar Hutan telah tiba!" teriak salah seorang murid.
Para undangan langsung memasang wajah
meremehkan seruan itu.
"Keparat! Mentang-mentang di kandang
sendiri! Huh! Jangan dikira kami harus taati pe-
rintah kalian!" desis seorang tamu seraya berka-cak pinggang.
Orang itu berusia kira-kira lima puluh lima
tahun. Rambutnya panjang digelung ke atas. Di
kepalanya tampak melingkar ikat kepala warna
kuning. Kumisnya lebat. Demikian pula jambang
dan jenggotnya. Sepasang matanya tajam dengan
alis tebal hitam. Tubuhnya yang kekar terbung-
kus jubah besar warna hitam.
"He he he...! Aku setuju sekali dengan pen-dapatmu, Bayangan Malaikat. Mentang-
mentang di kandang sendiri, apa dipikir mereka bisa seenak udelnya menyuruh-nyuruh
kita"!" sahut ta-mu lain.
Dia adalah seorang lelaki tua bertubuh
pendek, terbalut jubah kuning yang kedodoran
hingga ke tanah. Rambutnya awut-awutan. Pi-
pinya cekung. Dua batang giginya yang berwarna
kuning bertonjolan ke depan. Namun yang mem-
buat aneh lelaki berusia enam puluh tahun itu
adalah kumisnya. Bukannya terlalu tebal atau
terlalu tipis, melainkan mirip kumis kucing!
Maka tak heran kalau orang tua ini men-
dapat julukan Lelaki Berkumis Kucing. Yang me-
rupakan salah seorang dari Sepasang Manusia
Aneh dari Gunung Kelud. Kepandaian lelaki ini
sebenarnya tinggi sekali. Jurus-jurus sakti 'Cakar Kucing'-nya sangat ditakuti
tokoh-tokoh golongan sesat di wilayah timur. Hanya karena sudah terlalu lama
menyembunyikan diri dari dunia persila-
tan sajalah yang membuatnya tidak begitu diken-
al. Dan orang tua itu kini terus menuding-
nudingkan tongkatnya ke arah murid Perguruan
Kelelawar Putih yang tadi pertama kali membuka
suara. Murid Perguruan Kelelawar Putin dengan
kepala diikat pita merah itu maju selangkah. Matanya memandang tajam kakek
pendek itu. Na-
mun belum sempat dia bersuara....
"Dua cecurut tua! Beraninya kalian cuma
menjual lagak di hadapan bocah kemarin sore!
Memalukan sekali!"
Terdengar bentakan lain yang begitu keras
menggelegar, yang pasti dialiri tenaga dalam tingkat tinggi. Malah beberapa
orang murid Pergu-
ruan Kelelawar Putih langsung gemetaran dengan
wajah pucat pasi. Gendang telinga mereka terasa mau robek. Maka seketika itu
kedua telapak tangan mereka menutup lubang telinga.
"Elang Setan! Di hadapanmu pun aku akan
mengobral lagak!" sahut Lelaki Berkumis Kucing penuh tenaga dalam, seraya
menatap lelaki berwajah lonjong berjubah merah.
"Benar apa yang dikatakan sobatku orang
tua pendek ini. Justru kaulah yang menjual lagak di hadapan kami. Apa kau belum
pernah merasakan tajamnya pedangku, he"!" bentak lelaki tua berjubah hitam yang
dikenal sebagai Bayangan
Malaikat, disertai pengerahan tenaga dalam. Tangan kanannya cepat melolos pedang
dari ping- gang. Lelaki berjubah merah yang dikenal seba-
gai Elang Setan menggerutkan gerahamnya kuat-
kuat, menahan amarah luar biasa. Kedua pelipis-
nya bergerak-gerak. Dan dengan tanpa banyak
cakap lagi dia segera bersalto ke hadapan Bayangan Malaikat dan Lelaki Berkumis
Kucing, se- hingga jubahnya berkibar-kibar. Lalu mantap dan ringan sekali kedua kakinya
mendarat manis di
lantai tanpa menimbulkan suara sedikit pun!
Wajah lonjong tokoh yang konon dari Lem-
bah Serayu ini kelam membesi. Rambutnya pan-
jang riap-riapan. Matanya besar-dengan hidung
besar. Kedua bibirnya tebal kehitaman. Dan kini tokoh dari golongan hitam yang
terkenal dengan
jurus-jurus 'Elang Hitam' itu melotot lebar-lebar.
Kuku-kuku jarinya yang berwarna hitam mulai
bertonjolan keluar, siap mencabik-cabik kedua
musuhnya. "Jahanam! Siapa yang berani bersilat lidah di depan Elang Setan, berarti
mampus!" dengus Elang Setan penuh kemarahan. Tangan kanannya
yang berkuku panjang dan runcing siap mengibas
ke arah Bayangan Malaikat.
Tentu saja Bayangan Malaikat tak ingin
kehilangan muka. Maka tangan kanannya yang
sudah melolos pedangnya pun siap bergerak me-
mapak. Namun belum sempat masing-masing
bergerak mendadak....
"Tahan!"
Elang Setan dan Bayangan Malaikat seke-
tika itu juga mengurungkan niat. Dan kini semua orang yang berada di ruangan ini
berpaling ke arah datangnya suara. Ternyata orang yang
membentak barusan adalah seorang lelaki beru-
sia setengah baya dengan pakaian ketat serba putih. Dia tak lain dari Kelelawar
Hutan. Dan tanpa menghiraukan sapaan murid-
murid yang menyambutnya gembira, Kelelawar
Hutan terus meneruskan langkah angkuhnya.
Perawakan si Kelelawar Hutan yang tinggi
besar tampak begitu gagah dengan sorot mata
memancarkan perbawa kuat. Rambutnya pan-
jang. Di kepalanya tampak melingkar ikat kepala yang juga berwarna putih.
Kumisnya lebat. Demikian pula cambang dan jenggotnya.
Dan begitu Ketua Perguruan Kelelawar Pu-
tih ini sampai di mimbar. Sambil sepasang ma-
tanya yang mencorong aneh terus menatap
Bayangan Malaikat, Elang Setan, dan Lelaki Ber-
kumis Kucing. "Kenapa kalian membuat keonaran di sini,
he"!" tegur Kelelawar Hutan angkuh. Sepasang matanya yang tajam semakin
mencorong aneh.
Baik Bayangan Malaikat, Elang Setan,
maupun Lelaki Berkumis Kucing seketika tersen-
tak kaget. Entah mengapa begitu balas meman-
dang sepasang mata Kelelawar Hutan yang men-
corong aneh, mendadak saja sekujur tubuh me-
reka jadi gemetar. Tulang-tulang terasa dilolosi satu persatu oleh kekuatan aneh
yang tersembunyi di batik sepasang mata mencorong milik
Kelelawar Hutan. Menyadari hal itu, bukan main
kagetnya ketiga orang yang ditatap. Seketika itu
juga wajah mereka pucat pasi dengan kedua bola
mata membelalak liar. Malah tubuh Elang Setan
dan Bayangan Malaikat mulai limbung dan ter-
duduk di lantai. Hanya Lelaki Berkumis Kucing
sajalah yang masih bertahan.
Namun kali ini orang tua pendek itu tidak
berani lagi balas memandang sepasang mata Ke-
lelawar Hutan yang mencorong. Dan pandangan
matanya kini sedikit dinaikkan ke pusat kening Ketua Perguruan Kelelawar Putih
itu. Sehingga dia terhindar dari pengaruh aneh yang semula
mengguncangkan dadanya.
"Hm...! Rupanya orang ini memiliki sema-
cam ilmu sihir," gumam Lelaki Berkumis Kucing dalam hati. Lalu, "Meooong...!"
Sebuah suara kucing terdengar menyentak
semua orang yang ada di tempat ini. Itulah
'Raungan Maut Kucing Hutan' yang menjadi ilmu
andalan Lelaki Berkumis Kucing untuk melum-
puhkan musuh-musuhnya. Dan suaranya yang
melengking tinggi penuh tenaga dalam itu mampu
menggetarkan dinding ruangan ini. Bahkan bebe-
rapa orang murid Perguruan Kelelawar Putih dan
beberapa tamu undangan langsung memekik ter-
tahan dengan wajah pucat pasi. Gendang telinga
mereka terasa mau robek. Malah ada beberapa
orang murid yang langsung menggeletak tak sa-
darkan diri! Sementara Kelelawar Hutan sendiri pun
sempat menyurutkan langkahnya ke belakang.
Seketika itu juga pengaruh sihirnya yang dike-
rahkan lewat matanya pun pudar.
"Ha ha ha...!"
Lelaki Berkumis Kucing tertawa bergelak-
gelak. "Nama besar Kelelawar Hutan memang tidak percuma. Aku Lelaki Berkumis
Kucing patut mengacungkan jempol untukmu. Tapi, jangan ha-
rap aku takut menghadapi permainan anak-
anakmu ini!"
Dahi Kelelawar Hutan berkernyit dalam.
Kemarin, Kelelawar Hutan tak melihat kehadiran
lelaki pendek itu. Berarti, Lelaki Berkumis Kucing baru tiba pagi buta tadi. Dia
memang pernah mendengar tokoh berkumis mirip kucing ini. Na-
mun untuk bertemu baru kali ini.
Dan sebelum Kelelawar Hutan buka suara,
salah seorang undangan yang masih berusia mu-
da melompat ke hadapan Lelaki Berkumis Kucing.
Langsung dia berlutut di hadapan kakek pendek
ini. "Paman...! Paman guru! Perkenalkanlah
aku, Kumbara yang rendah ini adalah murid
tunggal Orang Tua Aneh Penjaga Pintu. Maafkan
atas ketidak mengertianku ini, Paman!" ucap pemuda bernama Kumbara
memperkenalkan diri.
Sebenarnya pemuda berpakaian ringkas
warna hitam-hitam ini sudah menduga begitu me-
lihat kemunculan orang tua bertubuh pendek itu.
Namun hatinya masih ragu kalau orang di hada-
pannya adalah paman seperguruannya yang su-
dah lama sekali menghilang dari dunia persilatan,
setelah dikalahkan seorang tokoh bergelar Can-
trik Tudung Pandan. Dan menurut keterangan
dari gurunya, begitu Lelaki Berkumis Kucing jadi pecundang langsung
menyembunyikan diri di Pu-lau Nusa Kambangan. Konon untuk memperda-
lam kepandaiannya.
"Bangunlah! Aku paling benci dengan sega-
la macam tetek bengek peradatan. Sekarang ka-
takan, bagaimana kabar Kakang Penjaga Pintu"
Apakah baik-baik saja?" ujar orang tua bertubuh pendek itu kasar, seraya
mengangkat pundak
Kumbara. "Sayang sekali guru sedang menderita sakit parah, Paman. Aku diperkenankan turun
gunung untuk meminta bantuannya Tabib Agung," jelas Kumbara.
Orang tua bertubuh pendek itu sempat
terkejut. Namun buru-buru dapat mengendalikan
Siluman Ular Putih 03 Sumur Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perasaannya. "Ya ya ya...! Aku mengerti. Nanti kubantu
kau mencari Tabib Agung. Sekarang, cepat kem-
bali ke tempatmu. Dan, dengarkan orang tua itu
melanjutkan ceritanya!" kata lelaki bertubuh pendek itu seraya menudingkan
tongkatnya ke arah
Kelelawar Hutan.
Jidat Kelelawar Hutan makin berkernyit.
Nampak sekali kalau kedatangan orang tua ber-
tubuh pendek itu tidak disukainya.
"Hem...! Rupanya aku sedang berhadapan
dengan Lelaki Berkumis Kucing yang sangat ter-
kenal di wilayah timur itu. Benar-benar tak ku-
sangka kalau kau dapat meloloskan diri dari ge-
bukan Cantrik Tudung Pandan. Sebab terus te-
rang, aku menyangka kau sudah mati di tangan
tokoh sakti dari Gunung Anjasmoro itu."
Lelaki tua bertubuh pendek itu tertawa
sumbang. "Ah...! Bicaramu terdengar sengak Kelela-
war Hutan. Kulihat dari sorot matamu, kau nam-
paknya mulai mencurigai kedatanganku. Ketahui-
lah! Sebenarnya kedatanganku kemari hanyalah
untuk mencari keparat Cantrik Tudung Pandan.
Tapi berhubung aku sudah kepalang basah nya-
sar kemari, apa boleh buat" Aku pun juga merasa penasaran sekali dengan rahasia
Sumur Kematianmu. Apa kau pikir aku takut masuk ke dalam
Sumur Kematian itu?"
Kelelawar Hutan tersenyum sinis.
"Jangan terlalu gegabah, Lelaki Berkumis
Kucing! Biarpun ada juga yang dapat keluar kem-
bali, namun toh tetap saja tidak dapat mempertahankan nyawanya!"
Sampai di sini, Kelelawar Hutan mendehem
sebentar untuk membetulkan suaranya.
"Buktinya, keempat orang murid utamaku
yang berkepandaian cukup tinggi pun menjadi
korbannya! Mereka sudah lama mengabdi untuk
kepentinganku. Namun, toh akhirnya harus me-
nerima kematian dengan sangat mengenaskan.
Bagaimana aku tidak menjadi sedih karenanya?"
lanjut Kelelawar Hutan, setelah sedikit menurunkan nada bicaranya.
Kelelawar Hutan kembali hentikan bica-
ranya sebentar. Pandangan matanya menyapu ke
arah semua yang hadir di ruangan ini.
"Maka kepada siapa saja yang berani ma-
suk ke dalam Sumur Kematian dan menganggap
mempunyai kepandaian yang dapat melebihi ke-
pandaian keempat orang murid utamaku, dipersi-
lakan masuk ke dalam Sumur Kematian untuk
melihatnya," tambah Ketua Perguruan Kelelawar Putih. Suaranya ditinggikan tiba-
tiba. "Ah...! Ah...! Bagaimana, ya" Jika ceritamu tadi betul semua, aku... aku mulai
menjadi takut juga...," ledek lelaki tua pendek itu sambil cengar-cengir.
Mendengar kata-kata Lelaki Berkumis Kucing, semua orang yang hadir di ruangan
itu jadi tidak dapat menahan tawanya. Wajah Kelelawar
Hutan yang tadinya kaku, kini sedikit mulai me-
lunak. Tapi baru saja mau membuka mulutnya,
tiba-tiba saja,...
"Tapi, jangan khawatir. Aku si tua pendek ini masih ada satu cara untuk memaksa
orang berani memasukinya!" lanjut Lelaki Berkumis Kucing sambil menggerakkan kedua
tangannya, mirip orang menari.
"Dengan cara apa saudara dapat memaksa
orang masuk ke dalam Sumur Kematian, he"! Le-
kas katakan!" bentak salah seorang murid Perguruan Kelelawar Putih.
Kelelawar Hutan membuka lebar sepasang
matanya. Sinar matanya yang tajam terus meng-
hunjam ke arah Lelaki Berkumis Kucing. Tapi
kemarahannya tidak ditunjukkan. Ia hanya sedi-
kit menggerak-gerakkan gerahamnya yang terka-
tup rapat. Sementara Lelaki Berkumis Kucing hanya
tersenyum-senyum saja, lantas mendehem-dehem
beberapa kali seperti sedang mempermainkan Ke-
lelawar Hutan dan muridnya yang bicara tadi.
"Mengapa kau tidak cepat-cepat membuka
mulutmu, Orang Tua"!" teriak murid itu.
Lelaki Berkumis Kucing masih Saja terse-
nyum-senyum jenaka sembari menggerak-
gerakkan kedua pundaknya.
"Gampang saja untuk mengatakannya. Ta-
pi, aku harus mendapat persetujuan dari Kelela-
war Hutan dulu," katanya seraya mengerjap-
ngerjapkan matanya.
"Lekas katakan! Apa kau pikir, guruku ti-
dak ingin cepat-cepat membongkar rahasia Su-
mur Kematian ini, heh"! Asal saja kau tidak me-
minta yang bukan-bukan, guruku tentu dapat
menyetujui nya," bentak murid itu lagi tidak sabar. "Kelelawar Hutan! Benarkah
apa yang dikatakan muridmu yang galak ini?" tanya Lelaki Berkumis Kucing seolah
ingin menegaskan.
Kelelawar Hutan mengangguk. Matanya
yang tajam terus memperhatikan gerak-gerik lela-ki tua pendek aneh ini.
"Hanya hadiah besar saja yang dapat me-
maksa orang mengadu jiwa," lanjut lelaki tua ber-
tubuh pendek itu.
Semua orang yang ada di ruangan ini
menggumam tak jelas mendengar kata-kata orang
tua pendek itu. Suara mereka bagaikan sekawa-
nan lebah saja.
"Kelelawar Hutan!" kata Lelaki Berkumis Kucing, seraya merobah nada suaranya,
lantang. "Banyak tokoh sakti dunia persilatan tahu kalau kau mempunyai Pedang Kelelawar
Putih yang pernah menggetarkan dunia persilatan. Jika
menggunakan Pedang Kelelawar Putih dicem-
plungkan ke dalam Sumur Kematian sebagai ha-
diah tambahan kepada siapa saja yang berani
memasukinya, aku yakin masih ada orang yang
berani mengadu jiwa seperti aku ini."
Paras Kelelawar Hutan sudah menjadi be-
rubah. Hatinya tergetar juga mendengarkan
omongan Lelaki Berkumis Kucing.
"Kau terlalu memojokkanku, Sobat. Aku
memang mempunyai Pedang Kelelawar Putih. Ta-
pi, bagaimana aku dapat menjadikannya sebagai
taruhan" Itu satu-satunya senjata andalanku un-
tuk menghadapi musuh. Tapi, baiklah. Sebagai
gantinya, aku akan mencemplungkan daun Lon-
tar Merah yang sangat ampuh untuk obat segala
macam penyakit. Kalian tahu semua, seberapa
ampuhnya khasiat daun itu, bukan?"
Mendengar disebut-sebutnya daun Lontar
Merah sebagai taruhan, Kumbara yang memang
sedang mencari obat untuk gurunya segera maju
ke depan. Namun sayangnya, Lelaki Berkumis
Kucing buru-buru memegangi lengannya. Sehing-
ga terpaksa sekali pemuda itu menahan langkah-
nya. "Betul! Khasiat daun Lontar Merah memang sangat ampuh. Di samping dapat
menyem- buhkan berbagai macam penyakit, konon dapat
pula membuat orang berumur panjang, walau
hanya memakan seiris saja," sela Lelaki Berkumis Kucing. Kelelawar Hutan tertawa
dingin. "Justru karena keampuhannya yang tidak
dapat dinilai harganya itulah, aku jadi ragu-ragu untuk memasukkan daun Lontar
Merah ke dalam Sumur Kematian. Coba pikir! Jika tidak ada
orang yang berani mengambilnya, bukankah itu
tindakan sia-sia?"
"Kau tak perlu mengkhawatirkannya, Kele-
lawar Hutan! Setelah kau memasukkan daun
Lontar Merah ke dalam lubang Sumur Kematian,
aku akan memberi kesempatan pada yang lain
untuk memasukinya. Tapi bila sampai tiga hari
tak ada yang berani, biarpun bakal tidak bernya-wa lagi aku akan memasukinya,"
kata Lelaki Berkumis Kucing, mantap.
"Bagus! Bagus! Sekali lagi aku patut men-
gagumi keberanianmu, Lelaki Berkumis Kucing.
Dan sekarang juga, Saudara-saudara dipersilakan menunggu Pekarangan Terlarang,"
ujar Kelelawar Hutan seraya bertepuk tangan.
Kemudian dengan tanpa banyak kata lagi,
Ketua Perguruan Kelelawar Putih itu pun segera
turun dari mimbar, langsung masuk ke ruangan.
2 Sebuah alunan suara suling terdengar
merdu, kendati kadang terputus-putus. Suaranya
menggema, memenuhi Lembah Batu Sudung.
Alunan suling itu dimainkan oleh seorang pemu-
da berparas tampan, berompi dan bercelana putih penuh sisik. Jari-jari tangannya
menari-nari di atas lubang suling yang berbentuk seperti anak
panah. Mendengar hasil tiupan sulingnya, mata si pemuda yang agak kebiru-biruan
mengerjap-ngerjap nakal. Bibirnya berkemik-kemik. Sejenak dipandanginya suling
yang juga sebagai senjata
pusaka itu penuh kagum. Kepalanya menggeleng-
gelengkan lucu. Lalu ia duduk bersila di bawah
batu gunung sebesar rumput joglo, dan kembali
meniup sulingnya.
Wajah si pemuda yang berkulit putih ber-
sih tampak tampan sekali. Alis matanya tebal,
manis sekali dengan bentuk hidung yang man-
cung. Rambutnya gondrong dibiarkan tergerai di
bahu. Tubuhnya tinggi tegap. Dan dari rompi pu-
tih keperakan yang terbuka tanpa kancing, tam-
paklah rajahan bergambar ular putih di dada bersisik warnanya.
Siapa lagi pemuda tampan yang mempu-
nyai ciri-ciri demikian kalau bukan Soma, murid Eyang Begawan Kamasetyo yang
bergelar Siluman
Ular Putih dari Gunung Bucu. Dan kini pemuda
tampan itu terus saja meniup suling yang juga
senjata anehnya. Dan diam-diam, dia mulai men-
gerahkan kekuatan batinnya yang baru saja dipe-
lajari dari orang tua bercaping pandan yang bergelar Raja Penyihir! (Untuk lebih
jelasnya mengenai pertemuan Soma dengan Raja Penyihir ini,
dapat dibaca pada serial Siluman Ular Putih da-
lam episode kedua berjudul: "Manusia Rambut Merah").
Suara tiupan suling Soma kali ini aneh se-
kali. Terkadang terdengar melengking tinggi, terkadang lirih hampir tidak
terdengar. Dan dari hasil tiupan suling pemuda murid Eyang Begawan
Kamasetyo ini, mendadak hamparan tanah re-
rumputan di hadapan Soma telah dipenuhi ber-
bagai macam jenis ular. Dari yang besar, sampai yang kecil. Dari yang bercorak,
sampai yang po-los. Entah dari mana datangnya.
Melihat ini, Siluman Ular Putih pun terse-
nyum girang. Tiupan suling kali ini dirubah da-
lam irama tertentu. Sejenak, ular-ular itu terke-sima. Tiupan-tiupan suling Soma
seperti mengge-
litik binatang-binatang melata itu untuk menari.
Dan benar saja. Bersamaan dengan tiupan-tiupan
suling Soma yang melantun lembut, ular-ular itu mulai menggeliat-geliatkan
tubuhnya, mengangkat kepala tinggi-tinggi mengikuti alunan suling.
Soma tertawa gembira. Senjata aneh di
tangannya diketuk-ketukkan ke tangan sebelah-
nya. Dan entah kecewa karena alunan suling ter-
henti, atau memang Soma tidak mengerahkan
kekuatan batinnya lagi, mendadak ular-ular itu
berhenti menari.
"Mengapa kalian berhenti menari, heh"!
Ayo, lekas menari lagi!"
Puluhan ular-ular itu malah celingukkan,
tak mengerti maksud si pemuda.
"Hehe he...! Maaf, teman-teman! Aku lupa
tidak meniup sulingku. Nah, sekarang kalian bersiap-siaplah menari lagi,"
celoteh Soma, mirip orang sinting.
Kemudian sembari duduk bersila begitu,
Soma pun mulai meniup sulingnya. Namun baru
beberapa alunan, tiba-tiba saja Siluman Ular Putih dikejutkan oleh melesatnya
sesosok bayangan dari batu besar di belakang. Dan tahu-tahu, sosok itu telah
mendarat manis persis di depan So-ma. Sosok orang itu bertubuh tinggi kurus.
Usianya kira-kira tujuh puluh tahun. Mukanya tirus. Matanya sipit. Hidungnya pun
kecil dengan kedua bibir menghitam. Kepalanya bercaping
pandan. Pakaiannya tambal-tambalan. Siapa lagi
kalau bukan Raja Penyihir!
"Ah...! Kau mengagetkanku saja, Orang
Tua! Pakai permisi dong, kalau mau kemari"!"
omel Siluman Ular Putih bersungut-sungut.
Orang tua bercaping pandan ini kontan
melotot lebar-lebar. Meski sebenarnya kagum me-
lihat kepandaian Soma dalam menangkap pelaja-
ran yang diberikan namun tetap saja tak dapat
menyembunyikan kemangkelannya. Memang
hanya dalam beberapa hari saja, Soma sudah da-
pat menyihir puluhan ular jejadian. Bahkan da-
lam sekali lihat tadi, Raja Penyihir tahu ular-ular yang berserakan di tanah
rerumputan itu bukan
saja ular jadian, melainkan juga benar-benar ular benar! Inilah yang membuatnya
terkagum-kagum.
Malah lelaki tua ini belum tentu sanggup menda-
tangkan puluhan ular benaran dalam jumlah se-
banyak itu. "Kau sungguh tidak sopan, Orang tua! Su-
dah mengagetkan aku, pakai melotot lagi. Me-
mangnya aku salah apa"!" gerutu Soma.
Raja Penyihir makin melotot. Tongkat hi-
tamnya diketuk-ketukkan ke tanah.
"Berapa kali aku harus menyuruhmu me-
manggil aku Guru, Bocah"!" tukas lelaki tua itu membentak.
Siluman Ular Putih memajukan bibir ba-
Siluman Ular Putih 03 Sumur Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
wahnya. Kepalanya dipalingkan ke tanah rerum-
putan. Dan ia kontan terkejut. Ternyata sebagian ular yang dikumpulkan di tanah
rerumputan mulai bergerak ke balik semak. Buru-buru senjata
pusakanya ditiup, bermaksud mengumpulkan
ular-ular itu kembali.
Tuk! Tuk! Raja Penyihir kembali mengetukkan tong-
kat hitamnya ke tanah. Hidungnya kembali kem-
pis saking gusarnya.
"Bocah Edan! Bukannya menjawab serua-
nku, malah bertingkah macam-macam! Ayo, lekas
suruh ular-ularmu itu pergi!"
"Tidak bisa! Tidak bisa! Malah, aku ingin
membalas perbuatanmu tempo hari, Orang Tua,"
sahut Soma kalem.
"Apa?" sentak Raja Penyihir gusar.
Soma tidak menyahut. Dan ia sudah kem-
bali tenggelam dengan permainan sulingnya.
"Kau... kau...!"
Raja Penyihir membelalakkan matanya le-
bar-lebar saat melihat ular-ular yang semula berhamburan, kini mulai berkumpul.
Kepalanya te- rangkat tinggi-tinggi, memandang lelaki tua ini.
Dan dengan sorot mata yang mencorong beringas,
ular-ular itu bergerak cepat menyerang Raja Pe-
nyihir! "Sontoloyo!" maki Raja Penyihir.
Kedua tangannya cepat bergerak menam-
par kepala ular-ular yang berani menyerangnya.
Plakkk! Plakkk! Aneh! Tubuh ular-ular yang berani menye-
rang Raja Penyihir langsung musnah tak berbe-
kas. Namun, ada sebagian ular lain yang memun-
cratkan darah segar begitu terkena tamparan
tangan Raja Penyihir pada bagian kepala Raja Penyihir menggeleng-geleng. Diam-
diam kepandaian
pemuda murid Eyang Begawan Kamasetyo makin
dikagumi. Melihat darah yang muncrat berham-
buran ke sana kemari, lelaki tua bercaping pan-
dan ini tahu kalau ular-ular itu asli, bukan jejadian.
Prakkk! Prakkk! Dan ketika pandangan matanya yang tajam
melihat berkelebatnya dua ekor ular betulan, Raja Penyihir pun kembali
menggerakkan tangannya,
menampar kepala ular-ular itu hingga mati.
Sial sekali nasib Raja Penyihir pagi itu
memang. Darah kepala ular yang terkena tampa-
ran tangannya barusan, malah muncrat mengenai
mukanya. Lelaki tua itu jadi uring-uringan.
"Ular-ular kurang ajar, enyahlah kalian
semua!" bentak Raja Penyihir garang. Suaranya terdengar menggema memenuhi Lembah
Batu Sudung. Seketika itu juga ular-ular buatan Soma
pun lenyap tak berbekas. Sedang ular-ular betu-
lan yang tadi dikumpulkan Soma pun buru-buru
menghilang di balik semak belukar.
Siluman Ular Putih tertawa bergelak-gelak.
Dilihatnya Raja Penyihir tengah sibuk member-
sihkan noda-noda darah ular menggunakan
ujung baju tambal-tambalannya.
"Hik hik hik...! Aku paling senang kalau
melihat wajahmu celemongan begitu, Orang Tua.
Mengapa dihapus" Kau makin tampan kok, kalau
celemongan begitu," celoteh Siluman Ular Putih, seenaknya. Lantas ia berdiri.
"Keparat! Kau harus bertanggung jawab
atas perbuatanmu ini, Bocah!" bentak Raja Penyihir geram.
"Makanya jadi orang itu jangan usil. Itulah
hasilnya!"
Raja Penyihir mengatupkan gerahamnya
rapat-rapat. Diam-diam ia telah mengerahkan ke-
kuatan batinnya. Sementara kedua bibirnya yang
menghitam pun mulai berkemik-kemik membaca
mantera. Siluman Ular Putih mundur selangkah ke
belakang. "Eh eh eh...! Kau mau apa, Orang Tua"
Mengapa bibir hitammu berkemik-kemik seperti
itu" Kau akan mengerahkan ilmu sulapmu, ya?"
Raja Penyihir tidak menggubris ocehan
Soma. Kedua bibirnya terus saja berkemik-kemik
membacakan mantera. Beberapa saat lamanya
berselang, perlahan-lahan tubuh lelaki tua ber-
caping pandan itu mulai membesar-membesar.
Dan jadilah ia raksasa hitam yang teramat men-
gerikan. Kedua taringnya yang sebesar tanduk
kerbau hutan berkilauan kala tertimpa sinar ma-
tahari. Soma tertawa terpingkal-pingkal. Sama sekali hatinya tidak ngeri melihat
raksasa hitam di-hadapannya.
"Ha ha ha...! Lucu sekali kau, Orang Tua!
Persis topeng monyet di pasar. Untung saja kau di sini. Kalau di pasar, sudah
pasti akan jadi tonto-nan orang banyak, Orang Tua!"
Raja Penyihir yang telah menjelma menjadi
raksasa hitam tinggi besar menggeram penuh
kemarahan. Matanya yang memerah berkilat-kilat
beringas. Dan kini ia mulai berjalan mendekati
Soma.... Sekali lagi Soma yang bergelar Siluman
Ular Putih menarik kakinya selangkah ke bela-
kang. Diam-diam ia pun sudah mengeluarkan ke-
kuatan batinnya.
"Tunggu dulu, Orang Tua! Kau tidak boleh
menakut-nakutiku seperti itu!" bentak Soma dengan suara bergetar.
Aneh sekali. Raksasa hitam tinggi besar itu
tiba-tiba menghentikan langkahnya. Tubuhnya
bergetar-getar hebat. Nampak sekali kalau uca-
pan Soma tadi sangat berpengaruh baginya. Na-
mun itu hanya sebentar. Kini raksasa hitam itu
kembali berjalan mendekati si pemuda. Malah ke-
dua tangannya yang sebesar pohon kelapa dige-
rakkan ke bawah, bermaksud menangkap tubuh
Siluman Ular Putih.
"Uts...!"
Soma cepat meloncat jauh ke belakang.
Raksasa hitam tinggi besar itu gusar bukan main.
Mulutnya yang memerah mengerikan telah men-
geluarkan gerengannya yang menggetarkan tanah
di sekitarnya. "Ah...! Jelek sekali kalau kau seperti ini, Orang Tua. Aku malah bisa takut
nanti. Buruan kembali berubah seperti wujudmu semula!" oceh Soma dengan suara bergetar,
membawa pengaruh. Akibatnya sungguh hebat bukan main. Tu-
buh tinggi besar raksasa hitam itu bergetar-getar hebat. Selang beberapa saat,
tubuh itu mulai me-
nyusut. Dan kini kembali menjelma menjadi wu-
judnya semula. Raja Penyihir!
"Hebat! Hebat! Aku harus mengakui kehe-
batanmu, Bocah!" puji Raja Penyihir dengan raut wajah sungguh-sungguh.
Sementara Soma mengipas-ngipaskan tan-
gannya bangga. "Siapa dulu dong gurunya?" katanya seraya mengumbar senyum.
Raja Penyihir mau tak mau tersenyum ju-
ga. Tongkat hitamnya diketuk-ketukkan ke tanah
dengan perasaan bangga.
"Bagaimana, Orang Tua" Apa kau juga se-
nang melihat kehebatanku ini?" tanya Soma, nyinyir. "Terus terang aku bangga
melihat kepandaianmu ini, Bocah. Kau berbakat sekali. Tapi,
ketahuilah! Aku sudah tidak ingin bertemu den-
ganmu lagi. Cepatlah enyah dari hadapanku se-
karang juga!"
"Ha..."! Siluman Ular Putih tersentak he-
ran. "Mengapa demikian, Orang Tua" Apa kau marah padaku?"
"Tidak! Sama sekali tidak. Aku hanya ingin kau cepat enyah dari hadapanku. Dan
amalkan-lah semua kepandaianmu ini ke jalan yang benar.
Itu saja!"
"Ah...! Kau curang, Orang Tua! Kau pelit!
Mengapa tidak mengajarkan semua kepandaian-
mu kepadaku?" tukas Soma.
"Kau tidak mungkin sanggup, karena ma-
sih terlalu muda!" jelas lelaki tua itu.
Soma memberenggut.
"Kau meremehkan aku, Orang Tua! Apa
kau pikir, aku tidak sanggup mempelajari semua
kepandaianmu?" cibir si pemuda.
"Aku menyangsikannya, Bocah. Selama
kau masih suka melihat wajah cantik, dada mon-
tok dan paha mulus. Tak mungkin kau dapat
menguasai ilmuku. Apa kau sanggup?" tukas Raja Penyihir.
Soma menggaruk-garuk kepalanya yang ti-
dak gatal. Hidungnya kembang kempis seperti ti-
kus kena cuka. Jelas, mana mungkin pemuda ini
menyanggupi syarat seberat itu.
"Mengapa syaratnya demikian berat" Ada-
kah syarat lain yang lebih mudah?" tanya Soma.
"Ada. Tapi, waktunya bukan sekarang.
Nanti kalau sudah masuk liang kubur, baru kau
sanggup menguasai semua ilmuku," sahut lelaki tua ini, enteng.
"Ah...! Kau mempermainkanku saja, Orang
Tua! Lantas, buat apa kau mengejar-ngejar aku
untuk dijadikan murid?"
Raja Penyihir mengangguk-angguk.
"Semula aku memang sangat menyukaimu,
Bocah. Tapi ketika sadar kalau kau tidak mung-
kin mampu menguasai semua ilmuku, aku jadi
berpikir lain. Aku memang tidak sanggup menu-
runkan semua ilmuku padamu. Tapi, setidak-
tidaknya aku telah menurunkan sedikit kepan-
daianku padamu. Itu sudah cukup membuat ha-
tiku senang," jelas Raja Penyihir.
"Baiklah kalau begitu, Orang Tua. Terima
kasih atas segala petunjukmu. Selamat tinggal!"
Sehabis berkata begitu, Siluman Ular Putih
langsung menutulkan kedua kakinya ke tanah.
Seketika ia sudah berkelebat cepat meninggalkan Lembah Batu Sudung. Dalam
sekejap saja bayangan tubuhnya telah berubah menjadi titik kecil di kejauhan
sana. Raja Penyihir mengangguk-anggukkan ke-
palanya penuh kagum. Kemudian sekali meng-
hentakkan kakinya ke tanah, tahu-tahu tubuh
tinggi kurusnya telah melayang tinggi ke udara, dan menghilang di balik batu
gunung di bela-kangnya.
3 Matahari pagi sudah mulai merayap tinggi
dari peraduannya di bentangan kaki langit sebe-
lah timur. Angkasa raya yang membiru tampak
cerah, karena tak ada awan mengembang. Dan
angin yang bertiup semilir seolah-olah mati terbawa suasana sunyi.
Jauh di belakang bangunan Perguruan Ke-
lelawar Putih, tepatnya pada sebuah hamparan
tanah rerumputan berpagar tembok memutar,
terlihat dua sosok bayangan tengah berloncatan
ke tembok pagar. Yang satu bertubuh pendek
dengan jubah kuning kedodoran sampai ke lutut.
Di sebelahnya seorang pemuda bertubuh tinggi
kurus berpakaian ringkas warna hitam-hitam.
Kedua orang itu tak lain Lelaki Berkumis
Kucing dan Kumbara. Rupanya karena saking
penasarannya, mereka telah menempuh jalan pin-
tas melewati pintu belakang Pekarangan Terla-
rang. Dan kini kedua orang itu tengah mengedar-
kan pandangan ke hamparan tanah kosong yang
hanya terdapat sebuah sumur tua dan dua buah
pohon asem tua.
Agaknya Lelaki Berkumis Kucing dan
Kumbara sudah tidak sabar lagi untuk segera
berkelebat ke hamparan tanah kosong. Maka da-
lam beberapa loncatan saja, mereka telah sampai di pinggiran Sumur Kematian yang
terkenal angker itu. Namun belum sempat mendekati lubang
sumur, mendadak mereka dikejutkan oleh alunan
suling yang sangat menyayat hati. Bersamaan
dengan itu, bertiup pula angin yang menebarkan
bau amis bukan alang kepalang.
Lelaki Berkumis Kucing buru-buru me-
mencet hidungnya.
"Aduh....! Mengapa amis begini, Kelelawar Hutan" Ah..., kau hampir saja berhasil
memba-talkan perjanjian kita!"
Lelaki Berkumis Kucing masih memencet
hidungnya rapat-rapat. Lalu kembali kedua ka-
kinya ditutulkan ke tanah, dan mendarat ringan
di bibir Sumur Kematian. Sejenak kepalanya me-
longok-longokkan ke dalam lubang sumur.
"Aduh dalamnya. Kalau aku sudah telanjur
masuk, bagaimana dapat keluar lagi?" gumam Lelaki Berkumis Kucing.
Saat itu Kumbara yang sudah berada di
sampingnya hanya bisa memandang heran.
"Paman. Apakah suara tiupan suling itu
datangnya dari dalam Sumur Kematian ini?"
tanya si pemuda, heran.
Lelaki Berkumis Kucing mengangguk. Na-
mun tiba-tiba saja orang tua bertubuh pendek itu seperti teringat sesuatu.
"Ah...! Rasa-rasanya aku pernah menden-
gar lagu ini. Kalau tidak salah, kira-kira dua puluh tahun yang lalu, sewaktu
sedang lewat di
pinggiran Hutan Cemoro Grimpil. Dari kejauhan
aku dapat melihat dua sosok berpakaian hitam
dan putih sedang duduk berhadap-hadapan. Satu
di antara kedua orang itu sedang meniup suling
yang lagunya mirip benar dengan yang kudengar
kali ini. Ya ya ya...! Lagunya memang persis seperti yang kudengar kali ini.
Siluman Ular Putih 03 Sumur Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi..., tapi mungkinkah orang itu lagi berada di dalam Sumur Ke-
matian?" gumam lelaki tua bertubuh pendek itu lagi, kebingungan sendiri.
"Paman! Apakah Paman tahu asal usulnya
dua orang itu?" tanya Kumbara.
Lelaki Berkumis Kucing itu menggeleng le-
mah. "Aku sudah berlari mengejarnya. Namun hanya dalam sekejapan mata saja telah
kehilangan jejak mereka. Kedua orang itu seperti lenyap ditelan bumi"
Kumbara menggeleng-geleng heran.
"Dengan kepandaian yang sudah mencapai
tingkat tinggi, apakah Paman tidak dapat juga
menduga siapa orang yang di dalam Sumur Ke-
matian ini?"
Kening Kumbara berkernyit dalam. Kata-
katanya tadi sama sekali tidak digubris lelaki tua bertubuh pendek itu. Hanya
dilihatnya paman
gurunya itu sudah membungkuk ke dalam mulut
Sumur Kematian.
"Auuung...!"
Dengan pengerahan tenaga dalamnya, Le-
laki Berkumis Kucing memekik panjang. Inilah
pekikan maut 'Raungan Maut Kucing Hutan' sa-
lah satu ilmu andalan orang tua bertubuh pendek itu. Kumbara yang mendengarnya
dalam jarak demikian dekat langsung menggigil. Gendang te-
linganya seperti terobek! Namun lebih anehnya
lagi, suara pekikan Lelaki Berkumis Kucing terus amblas ke dalam Sumur Kematian
dan tidak ber-gema! Lelaki Berkumis Kucing dan Kumbara sal-
ing berpandangan saking herannya. Terlihat Lela-ki Berkumis Kucing itu melongo
dengan mata mendelik. "Ah...! Jangan-jangan sumur ini tidak ada
dasarnya?" desah lelaki tua itu.
Kumbara yang sudah bersiap-siap mema-
suki Sumur Kematian jadi meragu. Dalam hatinya
bertanya-tanya. Mungkinkah Sumur Kematian ti-
dak mempunyai dasar sama sekali" Mustahil. Ta-
pi, mengapa suara pekikan barusan tidak berge-
ma" Sementara Lelaki Berkumis Kucing me-
mandang Kumbara sebentar. Namun menda-
dak.... "Auuung...!"
Dari dalam lubang Sumur Kematian ter-
dengar suara pekikan orang tua bertubuh pendek
tadi. Lelaki Berkumis Kucing ini tertawa berka-kakan. Kumbara sendiri pun
menunjukkan muka
girang. Pada saat yang sama para undangan dan
murid Perguruan Kelelawar Hutan baru saja tiba
di Pekarangan Terlarang mereka merasa heran
sekali melihat tingkah kedua orang itu.
Tidak lama kemudian muncul Ketua Pergu-
ruan Kelelawar Putih. Kali ini Kelelawar Hutan
muncul sambil membawa sebuah kotak besi di
tangan kanannya.
Setelah sampai di hadapan Lelaki Berku-
mis Kucing dan Kumbara, lelaki setengah baya itu segera membuka kotak kecil di
tangannya. Sebentar saja sudah terlihat isinya, sebuah pohon lontar kecil yang
mempunyai beberapa daun berwar-
na merah darah. Sedang akar-akarnya berwarna
putih bersih, mirip tulang manusia. Dan begitu
kotak besi itu dibuka lebar, seketika bau harum menebar ke udara di sekitarnya.
Tanpa sadar Lelaki Berkumis Kucing dan
Kumbara terbelalak lebar. Sekedip pun mereka tidak mengalihkan perhatian pada
isi dalam kotak
kecil itu. Perlahan-lahan Kelelawar Hutan kembali
menutup kotak kecil di tangannya.
"Apa kalian berdua sudah melihat isi kotak ini?" tanya Kelelawar Hutan kepada
Lelaki Berkumis Kucing dan Kumbara
"Sudah. Aku yakin barang ini asli," sahut Lelaki Berkumis Kucing seperti masih
terpana. "Bagus! Kalau begitu, sekarang saksikan-
lah! Aku akan mencemplungkan kotak kecil ini ke dalam Sumur Kematian sebagai
hadiah bagi siapa
saja yang dapat keluar dengan selamat dari su-
mur ini," Sehabis berkata begitu, perlahan-lahan Ke-
lelawar Hutan mulai berjalan mendekati lubang
Sumur Kematian. Begitu dekat, kotak kecil itu diangkat tinggi-tinggi. Sambil
tersenyum-senyum,
pandangan matanya beredar kepada semua yang
berada di Pekarangan Terlarang. Kemudian segera dicemplungkannya kotak kecil itu
ke dalam mulut Sumur Kematian.
Wsss... Kotak kecil itu terus meluncur ke bawah.
Plung! Beberapa saat, baru terdengar bunyi benda
menghantam air di dasar Sumur Kematian. Sua-
ranya lirih sekali, hampir tidak terdengar telinga.
Sementara Lelaki Berkumis Kucing hanya
menggaruk-garuk kepalanya. Entah mengapa ti-
ba-tiba saja ia ingin sekali menggaruk-garuk kepalanya.
Sedangkan Kelelawar Hutan kembali men-
gedarkan pandangan ke arah para undangan.
"Saudara-saudara sekalian! Bukankah te-
lah menyaksikan betapa besarnya perhatianku,
sampai-sampai rela mengorbankan pusaka turu-
nan Perguruan Kelelawar Putih" Nah! Sekarang,
harap-Saudara-saudara sekalian sudi menjadi
saksi kejadian ini!"
Sambil membetulkan pakaiannya, Kumba-
ra segera mencabut keluar belati kecilnya. Sejenak ia menjura ke arah Lelaki
Berkumis Kucing.
"Paman! Aku sudah tidak sabar untuk se-
gera masuk ke dalam Sumur Kematian. Izinkan
aku mendahuluimu. Ini semata-mata hanya demi
kesembuhan guruku, Orang Tua Aneh Penjaga
Pintu," ucap Kumbara, masih menjura.
"Tetapkan hatimu, Kumbara" tegas Lelaki Berkumis Kucing, mantap.
Kumbara menengadah sebentar. Sambil
menunjukkan ketabahan hatinya, tahu-tahu ka-
kinya telah menjejak tanah, dan mendarat ia di
pinggir lubang Sumur Kematian. Kepalanya me-
longok sebentar. Kemudian dengan begitu bera-
ninya, murid Orang Tua Aneh Penjaga Pintu ini
telah menuruni Sumur Kematian. Tangan kanan-
nya tetap memegang erat-erat belati kecilnya, sedang tangan kirinya menggapai-
gapai dinding sumur. Hal itu dilakukan untuk menahan tubuh-
nya yang terus meluncur ke dalam lubang Sumur
Kematian. Hampir kurang lebih seratus orang di Pe-
karangan Terlarang menyambut keberanian
Kumbara dengan perasaan tegang. Semua dice-
kam perasaan gelisah yang sama. Jangankan un-
tuk berbicara. Untuk menarik napas panjang saja tidak berani!
Sementara orang yang paling gelisah ada-
lah Lelaki Berkumis Kucing. Entah sudah berapa
kali lelaki tua bertubuh pendek itu mondar-
mandir di bibir sumur. Sebentar kepalanya me-
longok ke dalam Sumur Kematian. Bayangan tu-
buh Kumbara kini sudah tidak nampak lagi di ke-
gelapan dasar Sumur Kematian.
Kini Lelaki Berkumis Kucing terus mem-
perhatikan ke dalam lubang Sumur Kematian.
Dengan segenap kemampuan dicobanya menge-
rahkan pendengaran yang sudah terlatih, ke da-
lam lubang Sumur Kematian. Ia ingin tahu, keja-
dian apa yang tengah dialami murid tunggal ka-
kak seperguruannya.
Pagi ini, perjalanan sang waktu benar-
benar terasakan sangat lamban. Para undangan
dan murid-murid Perguruan Kelelawar Putih ma-
kin dicekam perasaan tegang. Dua belas orang
murid penjaga pintu dan delapan orang murid
penjaga perguruan berdiri laksana patung. Se-
dangkan Kelelawar Hutan sendiri pun kini sedang mengusap-usapkan kedua
tangannya. Tak terasa satu penanakan nasi terlewat
sudah. Keadaan di Sumur Kematian tetap
mengkhawatirkan. Semua orang yang berada di
atas terlihat makin dicekam perasaan gelisah.
Malah sudah ada beberapa orang mengeluarkan
suara keluhan. Satu penanakan nasi kembali berlalu. Kali
ini Kelelawar Hutan sudah mulai mengalihkan
perhatian pada Lelaki Berkumis Kucing.
"Sobatku Lelaki Berkumis Kucing...," pang-gilnya dengan suara perlahan.
"Tutup mulutmu, Kelelawar Hutan!"
Kelelawar Hutan tidak jadi melanjutkan ka-
ta-katanya, saat lelaki tua pendek itu seperti tak ingin diganggu. Malah Lelaki
Berkumis Kucing
kini mengangkat kepalanya, memandang tajam
Kelelawar Hutan. Kedua bibirnya yang bergetar-
getar dengan napas mendengus-dengus dari lu-
bang hidung. Dan sebelum perhatian Lelaki Ber-
kumis Kucing kembali ke sumur, mendadak....
"Aaakh...!"
Tiba-tiba saja dari dalam lubang Sumur
Kematian terdengar satu pekikan yang teramat
menyayat hati. Buru-buru Lelaki Berkumis Kucing melon-
gokkan kepalanya lagi ke dalam lubang Sumur
Kematian. Dan ia melihat satu bayangan hitam
tengah berkelebat naik ke atas dengan susah
payah. Lelaki tua pendek ini tahu kalau Kumbara sudah sampai di dasar, dan
sedang berusaha
naik. "Kelelawar Hutan! Lihat! Kumbara sedang berusaha naik ke atas dengan
membawa kotak daun Lontar Merahmu!" teriak Lelaki Berkumis Kucing kegirangan.
Paras Kelelawar Hutan kontan berubah
menyeramkan sekali
"Ia akan tergolong tokoh papan atas jika
benar-benar dapat naik kembali ke atas di Peka-
rangan Terlarang ini!"
Lelaki Berkumis Kucing tidak membantah
ucapan Kelelawar Hutan. Ia hanya tertawa-tawa
saja untuk menenangkan hatinya. Namun tiba-
tiba saja dari lubang Sumur Kematian telah me-
lompat satu bayangan hitam di atas pinggiran
Sumur Kematian. Itulah Kumbara!
Begitu pemuda murid tunggal Orang Tua
Aneh Penjaga Pintu itu menjejakkan kedua ka-
kinya di pinggiran Sumur Kematian, langsung
memandang Kelelawar Hutan beringas. Wajahnya
pucat pasi. Bibirnya bergetar-getar hebat. Tangan kirinya memegang kotak kecil
berisi daun Lontar Merah yang tadi dilemparkan ke dalam Sumur.
Sedang tangan kanannya masih tetap memegang
erat belati kecilnya yang ditudingkan ke arah Kelelawar Hutan.
"Kelelawar Hutan! Kau... kau.... Aaakh...!"
Baru saja Kumbara mengucapkan kata-kata itu,
tiba-tiba saja sudah disusul jeritan keras disertai
memuntahan darah segar. Seketika itu juga ba-
dannya limbung dan tanpa ampun lagi, Kumbara
jatuh terpelanting ke dalam Sumur Kematian
sambil masih memegang erat kotak kecil berisi
daun Lontar Merah tadi.
Bukan main kagetnya semua orang yang
berada di Pekarangan Terlarang begitu melihat
perubahan yang teramat mendadak ini. Termasuk
juga, Lelaki Berkumis Kucing yang tadi sempat
juga merasa kegirangan.
Melihat hal itu, buru-buru lelaki tua bertu-
buh pendek ini segera mengulurkan kedua tan-
gannya, bermaksud menyambar tubuh Kumbara.
Namun sayangnya, ia hanya menangkap angin
kosong saja. Sementara tanpa ampun lagi, tubuh
Kumbara pun terus meluncur ke dasar dengan
kecepatan luar biasa!
Lelaki Berkumis Kucing hanya bisa berdiri
melompong di mulut Sumur Kematian. Matanya
terbelalak lebar, seolah tidak percaya dengan kejadian yang baru saja dilihat.
Dan tidak kurang dari seratus orang yang berada di Pekarangan
Terlarang hanya bisa diam menundukkan kepala.
Seolah-olah mereka ingin mengucapkan kata be-
lasungkawa atas kejadian barusan.
"Keparat!"
Lelaki Berkumis Kucing yang telah menjadi
kalap, mendadak saja telah membentak keras
disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Ada permusuhan apa antara kau dengan
Kumbara, Kelelawar Hutan"!" Begitu kata-
katanya habis, Lelaki Berkumis Kucing meluruk
menyerang Kelelawar Hutan. Namun dengan
tangkasnya, Ketua Perguruan Kelelawar Putih itu meloncat ke samping kiri,
menghindari serangan.
"Apa maksudmu, Orang Tua Pendek" Jan-
gan seenak perutmu menuduhku yang bukan-
bukan! Semua orang tahu, pemuda itu telah ter-
luka parah. Itulah yang menyebabkannya terjatuh lagi ke dalam Sumur Kematian.
Jadi mana aku tahu" Apalagi sebelumnya telah ada perjanjian di antara kita...," tangkis
Kelelawar Hutan.
Kelelawar Hutan tidak jadi melanjutkan bi-
caranya. Karena saat itu, Lelaki Berkumis Kucing telah mengeluarkan tawa
sumbangnya. Beberapa
orang yang berada di atas Pekarangan Terlarang
sampai bergidik ngeri dibuatnya. Namun ada se-
bagian orang yang mengira kalau lelaki tua ber-
tubuh pendek ini telah menjadi gila, saking tidak kuat menahan guncangan
batinnya. Saat itu Kelelawar Hutan pun tidak lagi
Siluman Ular Putih 03 Sumur Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berlaku ramah seperti tadi. Wajahnya mendadak
berubah penuh ejekan. Hidungnya kembang
kempis saking gusarnya.
Sedang Lelaki Berkumis Kucing kini tidak
lagi mengumbar tawanya. Rupanya hatinya telah
dapat ditenangkan. Bahkan kini dadanya dite-
gakkan. "Baiklah! Tulang tuaku pun akan segera
kupendam dalam dasar Sumur Kematian ini!" ka-ta Lelaki Berkumis Kucing, tegas.
Sehabis berkata begitu, lelaki bertubuh
pendek itu menutulkan kedua kakinya ke tanah,
lalu mendarat manis di atas pinggiran Sumur
Kematian. Sejenak kepalanya melongok ke bawah.
"Hup!"
Dan dengan sekali loncat saja, tahu-tahu
tubuh orang tua pendek itu telah meluncur deras ke dalam Sumur Kematian.
Kini suasana di atas Pekarangan Terlarang
kembali dicekam ketegangan. Beberapa orang
murid Perguruan Kelelawar Putih sudah ada yang
menggigil dengan sekujur tubuh dibasahi keringat dingin. Matahari yang bersinar
garang di cakra-wala pun perlahan tertutup awan. Seolah tak ku-
asa melihat suasana mencekam. Semua terdiam
dalam kebisuan. Semua menanti kabar maut dari
dalam Sumur Kematian.
Dan tak terasa satu penanakan nasi terle-
wat sudah. Namun bayangan orang tua bertubuh
pendek pun belum muncul dari dalam Sumur
Kematian. Para undangan dan murid-murid Per-
guruan Kelelawar Putih mulai gelisah. Dari pan-
dangan mata mereka dapat terlihat kekecewaan
dan penyesalan.
Beberapa Saat berselang, dari dalam lu-
bang Sumur Kematian muncul sesosok bayangan
kuning. Begitu hinggap di atas bibir sumur, sosok itu telah menjinjing mayat
Kumbara dan kotak
kecil berisi daun Lontar Merah. Sosok yang me-
mang Lelaki Berkumis Kucing berusaha tetap ko-
koh di tempatnya berpijak. Namun wajahnya ter-
lihat pucat pasi. Bibirnya bergetar-getar hebat.
Sepasang matanya yang tajam memandang berin-
gas Kelelawar Hutan.
Beberapa orang yang berada di Pekarangan
Terlarang sudah mulai dapat menghela napas le-
ga. Namun mereka semua tetap masih mengkha-
watirkan keselamatan orang tua bertubuh pendek
itu. Lelaki Berkumis Kucing masih memandang
beringas Kelelawar Hutan. Namun entah menga-
pa, tiba-tiba saja ia merasakan kekuatan aneh
terpancar dari sepasang mata Ketua Perguruan
Kelelawar Putih.
Lelaki Berkumis Kucing mengeluh. Kekua-
tan gaib dari sepasang mata Kelelawar Hutan be-
gitu kuatnya mempengaruhi batinnya. Dan tanpa
sadar, dadanya makin bergetar-getar hebat. Wa-
jahnya makin pias seperti mayat. Dan dari kedua bibirnya yang bergetar-getar...
"Kelelawar Hutan! Kau... kau...!"
Lelaki Berkumis Kucing tak dapat lagi me-
neruskan ucapannya. Kedua lututnya goyah pe-
gangan pada sosok mayat yang dikepit dan kotak
kecil berisi daun Lontar Merah itu melemah. Dan akhirnya, kedua benda itu
kembali terjatuh ke
dalam Sumur Kematian. Sepasang mata Kelela-
war Hutan begitu kuatnya mempengaruhi batin-
nya. Sehingga, membuat sukmanya seolah me-
layang entah ke mana.
Namun biar bagaimanapun juga, Lelaki
Berkumis Kucing bukanlah tokoh sembarangan.
Meski dalam keadaan sangat berbahaya, kedua
lututnya yang goyang masih dapat dikendalikan.
Kemudian tanpa banyak pikir lagi segera kedua
kakinya ditutulkan, lalu meloncat keluar dari lubang Sumur Kematian.
Sembari meloncat demikian, sebelah tan-
gan Lelaki Berkumis Kucing berputaran cepat ke
depan. Maka seketika itu juga serangkum angin
dingin dari telapak tangan kanannya meluncur,
menyerang tubuh Kelelawar Hutan.
Wesss! Kelelawar Hutan kaget bukan main. Sung-
guh tidak disangka Lelaki Berkumis Kucing akan
menyerang dirinya dalam jarak demikian dekat.
Tanpa berpikir lebih panjang lagi ia segera meloncat ke samping kiri. Maka
selamatlah dirinya dari serangan Lelaki Berkumis Kucing.
Ketua Perguruan Kelelawar Putih mengge-
ram penuh kemarahan. Kedua tangannya siap
melayangkan pukulan mautnya. Namun sayang-
nya, Lelaki Berkumis Kucing sudah merambat
naik ke atas pohon asem dengan kecepatan men-
gagumkan. Dan dalam sekejapan saja, lelaki ber-
tubuh pendek itu telah menutulkan kakinya di
atas tembok Pekarangan Terlarang. Lalu sekali
genjot lagi, tubuhnya pun lenyap dari pandangan mata. Maka, makin gemparlah
kabar maut tentang Sumur Kematian di Pekarangan Terlarang
itu. Dan pada siang hari itu pula, para undangan mulai meninggalkan Perguruan
Kelelawar Putih.
Ada apa sebenarnya di dalam Sumur Ke-
matian" 4 Suara kentongan yang dipukul bertalu-talu
di lereng sebelah barat Gunung Sumbing, me-
nyentak perhatian seorang gadis cantik berpa-
kaian putih-putih yang tengah melatih jurus-
jurusnya, di depan sebuah jurang kecil berair jer-nih. Kepalanya menengadah
sebentar, setelah
menghentikan gerakannya.
Memang betapa cantiknya gadis itu. Kulit-
nya kuning langsat. Rambutnya panjang dibiar-
kan tergerai di bahu. Matanya agak lebar, dihiasi bulu mata lentik. Alis matanya
tebal dengan mata bak bintang kejora. Hidungnya mancung, bibirnya merah tipis.
Manis sekali dengan dua lesung pipit di kanan kirinya.
Suara kentongan yang masih bertalu di
angkasa, membuat gadis cantik berpakaian putih-
putih ini bertanya-tanya dalam hati. Keningnya
berkerut dalam menduga apa yang tengah terjadi.
Tiba-tiba saja gadis berpakaian putih-putih
ini mendengar percakapan beberapa orang, tak
jauh dari tempatnya berlatih. Dan sekali kedua kakinya menutul di batu hitam,
tahu-tahu tubuhnya yang tinggi ramping telah hinggap di se-
buah ranting pohon di atasnya.
Dari atas ranting pohon, si gadis kembali
mengarahkan pandangan ke arah datangnya sua-
ra tadi. Dan matanya menangkap empat orang
bertubuh tegap yang tengah berlari kencang me-
nuruni lereng barat Gunung Sumbing. Mereka
sama-sama berpakaian putih-putih dengan ikat
kepala warna kuning. Di bahu masing-masing
bersandar sebuah peti mayat berwarna merah.
Sekali lagi si gadis kerutkan keningnya da-
lam-dalam. "Hei" Bukankah mereka murid-murid Per-
guruan Kelelawar Putih" Apa yang dilakukan mu-
rid-murid ayahku ini" Apa yang mereka bawa di
dalam peti itu?" gumam si gadis yang ternyata putri dari Ketua Perguruan
Kelelawar Putih.
Si gadis terus memperhatikan keempat
orang yang ternyata murid-murid ayahnya. Me-
mang beberapa hari ini, gadis yang dikenal ber-
nama Aryani ini mendengar kalau ayahnya tengah
mengadakan sayembara yang terbuka bagi siapa
saja untuk memasuki Sumur Kematian. Bagi
yang keluar dalam keadaan selamat, hadiah besar akan menanti. Maka tak urung
lagi, murid-murid
Perguruan Kelelawar Putih bertekad baja ikut pu-la dalam sayembara. Namun sampai
saat ini tak seorang pun yang berhasil selamat. Demikian pu-
la yang terjadi dengan tokoh-tokoh persilatan
yang diundang. Hanya Lelaki Berkumis Kucing
saja yang berhasil selamat, tapi itu pun dalam
keadaan terluka. Sehingga ia tak sempat menda-
patkan hadiah Putri Kelelawar Hutan itu selama ini me-
mang penasaran sekali. Siapakah sebenarnya bi-
ang kerok di balik semua kejadian ini" Mungkin-
kah hanya karena keberadaan Sumur Kematian
di Pekarangan Terlarang itu"
Itulah dua pertanyaan besar yang selalu
menghantui Aryani. Dan kali ini rasa penasaran-
nya tidak dapat lagi ditahan. Maka dengan ber-
loncatan dari ranting pohon yang satu ke ranting pohon lain, ia pun mengikuti
keempat orang itu
pergi. Keempat orang murid Perguruan Kelelawar Putih telah berlari kencang
menuju tebing sebelah barat Perguruan Kelelawar Putih. Karena tak
Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari 18 Dewi Ular 97 Ada Apa Dengan Setan Pewaris Dendam Sesat 1