Pencarian

Sumur Kematian 2

Siluman Ular Putih 03 Sumur Kematian Bagian 2


jauh, sebentar saja mereka tiba di tepi barat tebing. Sebentar keempat orang
murid itu celingu-
kan, seperti takut dilihat orang. Merasa aman, salah seorang yang berada paling
depan segera mengulurkan tangan kanan ke sebuah tonjolan
batu kecil. Sekali tarik, mendadak batu besar itu bergeser ke kiri. Dan kini
nampaklah sebuah gua yang menganga lebar. Tanpa banyak membuang
waktu lagi, mereka segera masuk ke dalamnya.
Sementara dari tempat persembunyiannya,
Aryani mengangguk-angguk, namun belum juga
beranjak dari tempat persembunyiannya. Ia ingin mengetahui lebih lanjut, rahasia
apa pula yang tersembunyi di dalam gua itu.
Selang beberapa saat keempat orang murid
Perguruan Kelelawar Putih telah kembali keluar
dari dalam mulut gua. Namun kali ini mereka ti-
dak lagi memanggul peti mati. Sementara salah
seorang yang berada paling belakang menarik
tonjolan batu kecil di samping mulut gua. Dan
perlahan-lahan pula batu sebesar kerbau itu,
menutupi mulut gua.
Setelah mulut gua tertutup, mereka segera
berkelebat cepat menuju markas Perguruan Kele-
lawar Putin. Aryani masih dapat menangkap keempat
sosok bayangan putih yang makin menjauh, dan
akhirnya menghilang di antara kerimbunan hutan
pinus depart sana. Setelah dirasanya aman, baru gadis cantik berpakaian putih-
putih itu segera keluar dari tempat persembunyiannya.
*** "Hup!"
Kedua kaki Aryani mendarat manis di jalan
setapak tanpa menimbulkan suara sama sekali.
Sekali menutulkan kedua kakinya ke tanah, tahu-
tahu tubuhnya melesat cepat menuju mulut gua
yang tertutup. Begitu sampai, sejenak Aryani memperha-
tikan tonjolan batu kecil yang tadi digunakan oleh keempat orang murid Perguruan
Kelelawar Putih.
Tanpa ragu-ragu lagi segera diraih dan ditariknya tonjolan itu. Seketika itu
juga, terdengar suara menggemuruh dari batu sebesar kerbau yang perlahan-lahan
bergeser ke kiri, sehingga menam-
pakkan mulut gua yang menganga lebar.
Begitu mulut gua terbuka, mendadak hawa
anyir yang bukan alang kepalang menyeruak ke-
luar membuat perut si gadis terasa mual. Buru-
buru Aryani memencet hidungnya rapat-rapat.
Hampir saja ia tidak kuat menahan gejolak dalam perutnya. Namun ia segera
berkelebat masuk ke
dalam mulut gua.
Begitu sampai, Aryani kontan membelalak-
kan matanya. Dilihatnya di dalam gua itu banyak sekali dijumpai tumpukkan
tengkorak manusia.
Sedang di sampingnya terdapat empat peti mayat
warna merah yang tadi dibawa keempat orang
murid Perguruan Kelelawar Putih.
Aryani menenangkan perasaannya seben-
tar. Selanjutnya ia mulai bergerak mendekati salah satu peti mayat dan
membukanya. Seperti
yang telah diduga sebelumnya, peti mayat itu ten-tu berisi mayat. Dan gadis ini
tidak begitu terkejut karenanya. Namun entah mengapa tiba-tiba
saja keningnya mulai berkerut dalam. Sosok
mayat itu memang sangat mengerikan. Raut wa-
jahnya penuh luka-luka cakaran yang mengelua-
rkan banyak darah sehingga sulit dikenali. Pa-
kaiannya yang putih-putih juga dipenuhi noda
darah yang sudah mulai mengering. Yang lebih
mengerikan lagi bagian dada kiri mayat itu berlubang! Aryani terus memeriksa
mayat itu dengan
seksama. Di samping ingin mengetahui siapa na-
ma si korban, juga ingin mengenali sebab-sebab
kematian si korban. Dan ketika gadis ini mene-
mukan sebentuk cincin putih di jari manis mayat itu, kontan saja terpekik.
"Kakang Jalu...! Oh...! Mengapa jadi begini"
Siapa yang melakukan perbuatan keji ini?"
Aryani mengguncang-guncangkan sosok
mayat orang yang sangat dicintainya. Saat itu ju-ga, air mata tidak dapat
dibendung. Dan ketika
menyadari kalau jantung orang yang dicintainya
hilang, tangisnya pun jadi makin menggila.
Lalu dengan kalap Aryani pun segera
membuka ketiga peti mayat lainnya, Ternyata, ketiga mayat itu pun mengalami
nasib sama. Raut
wajah mereka hancur dengan dada sebelah kiri
berlubang. "Oh...! Kakang Permadi, Kang Suro, Dan
kau Kakang Simo. Kasihan sekali nasib kalian.
Aku bersumpah akan membalas sakit hati kalian
semua, Kakang," keluh gadis ini dengan mata ber-linang. Perlahan-lahan Aryani
mulai dapat men-
gendalikan perasaannya. Dan kini ia pun mulai
memeriksa luka keempat mayat kakak sepergu-
ruannya dengan seksama. Beberapa saat kemu-
dian matanya jadi terbelalak beringas. Seketika itu juga wajahnya jadi pucat
pasi. Bibirnya bergetar-getar hebat. Matanya terus memperhatikan
keempat sosok mayat di hadapannya.
"Dari luka mereka, rasa-rasanya aku per-
nah mengenali jurus-jurus maut seperti ini.
Hm.... Ya ya ya...! Pasti orang yang telah membunuh mereka, adalah orang yang
menguasai jurus
'Cengkeraman Maut Kelelawar Sakti' dan jurus
'Cakar Maut Kelelawar Hutan'! Yah...! Pasti dialah
orangnya!"
Sampai di sini Aryani tidak melanjutkan
ucapannya lagi, Hatinya mendadak gelisah sekali.
Tiba-tiba matanya yang indah mengerjap-ngerjap.
Kemudian sekali mengenjotkan kedua kakinya ke
tanah, tahu-tahu tubuhnya telah berkelebat cepat keluar dari dalam gua tanpa
menutup kembali
pintunya. Aryani mendapati seorang wanita setengah
baya sedang duduk mematung memandangi
hamparan Pekarangan Terlarang dengan sinar
mata aneh. Perlahan didekatinya perempuan ber-
pakaian longgar warna putih-putih.
Mata si gadis tak berkedip memandangi so-
sok kurus di hadapannya. Wajah sosok itu me-
mang terlihat lebih tua dari usianya yang sebe-
narnya. Garis-garis wajahnya menyiratkan pende-
ritaan. Namun meski dibalut kemurungan, wa-
jahnya yang berkulit kuning langsat itu masih
menampakkan sisa-sisa kecantikannya.
Sejenak Aryani memandangi penuh haru.
Entah penderitaan apa yang membuat wajah wa-
nita itu dibalut kemurungan. Aryani benar-benar tidak tahu. Hanya bibirnya yang
bergetar-getar mulai bergerak-gerak memanggil,
"Ibu...! Mengapa Ibu berada disini?"
Wanita yang ternyata ibu dari Aryani terke-
siap. Saking terlena dengan lamunannya, ia sam-
pai tidak tahu putrinya telah berada di sisinya.
Dan kini wanita berpakaian putih-putih itu
hanya memandang heran putrinya. Namun ketika
disadari ada aliran bening membasahi pipi, buru-buru air matanya diseka dengan
ujung sapu tan-
gannya. "Mengapa Ibu menangis?" tanya Aryani tidak begitu heran.
Memang si gadis sudah terbiasa melihat
ibunya dibalut kemurungan seperti ini. Terutama sekali bila sedang duduk
mematung memandangi
Pekarangan Terlarang. Hanya yang diherankan
mengapa ibunya harus bersedih bila sudah du-
duk menyendiri sambil terus memandangi Peka-
rangan Terlarang.
"Tidak apa-apa, Anakku. Kau sendiri dari
mana" Mengapa tidak ikut menonton di Pekaran-
gan Terlarang," tukas wanita itu buru-buru mengalihkan pembicaraan.
Si gadis semula lupa akan tujuannya. Na-
mun begitu melihat kesedihan ibunya, ia seperti diingatkan kembali.
"Ibu...! Aku ingin bertanya pada Ibu. Sebenarnya, siapakah yang telah membunuh
murid- murid perguruan kita ini" Apakah Ibu tahu?"
Kening wanita berpakaian putih-putih itu
berkerut dalam.
"Mengapa kau bertanya aneh seperti ini,
Anakku" Kalau ibumu tahu, buat apa menyem-
bunyikannya?" jawab wanita itu seraya memandangi putrinya seksama.
Kini gantian Aryanilah yang mengerutkan
kening. Jawaban ibunya dirasakan tidak lembut
seperti biasanya.
"Sudahlah, Anakku! Buat apa bertanya
macam-macam begini" Sekarang, cepat tinggal-
kan ibumu! Ibu ingin menyendiri," sergah wanita itu mendahului putrinya.
"Tidak, Ibu! Aku harus menanyakannya.
Aku harus tahu, siapa orang yang keji membunuh
murid-murid perguruan kita?" tegas gadis ini.
"Percuma."
"Tidak, Ibu. Aku sudah tahu siapa pembu-
nuh keji itu, Ibu."
Sekali lagi wanita berpakaian putih-putih
itu mengerutkan keningnya. Dipandanginya pu-
trinya seksama.
"Siapa?"
"Aku memang belum mengetahui sepenuh-
nya. Tapi, aku tahu. Pembunuh keji itu pasti
orang-orang sekitar Perguruan Kelelawar Putih
sendiri," jawab Aryani berapi-api.
"Jangan sembarangan menuduh, Anakku!"
desis wanita cantik berpakaian putih-putih itu.
"Tidak, Ibu. Tadi aku sudah memeriksa
mayat Kakang Jalu, Kakang Permadi, Kakang Si-
mo dan Kakang Suro yang dibuang di gua ter-
sembunyi tak jauh dari Curug Kuripan di mana
aku biasa berlatih!"
Sampai di sini Aryani menghentikan bica-
ranya sebentar. Matanya kembali memerah begitu
teringat mayat orang yang dicintainya. Namun
buru-buru perasaannya dikendalikan.
Diam-diam wanita cantik berpakaian pu-
tih-putih itu mengeluh dalam hati. Entah menga-
pa tiba-tiba hatinya jadi berdebar tidak karuan.
Ada satu perasaan cemas menghantui pikirannya.
"Tahukah Ibu" Me..., mereka semua mati
karena terkena pukulan jurus-jurus sakti
'Cengkeraman Maut Kelelawar Sakti' dan jurus-
jurus sakti 'Cakar Maut Kelelawar Hutan'..."
Bola mata sayu wanita cantik itu membela-
lak lebar. Namun hanya sebentar. Buru-buru ia
berusaha mengendalikan perasaannya.
Aryani yang sudah merasa curiga sempat
menangkap bola mata ibunya yang membelalak
tadi. "Mengapa Ibu terkejut" Apakah Ibu tahu siapakah orang yang kumaksudkan
itu?" desak si gadis. "Tid..., tidak! Ah...! Ibu benar-benar tidak tahu,
Anakku," jawab wanita berpakaian putih-putih itu gelagapan.
"Tidak mungkin! Tidak mungkin Ibu tidak
tahu! Ibu sendiri dari Perguruan Kelelawar Putih dan dikenal sebagai Bidadari
Putih. Mustahil kalau Ibu tidak tahu siapa pembunuh keji itu. Apalagi jurus-
jurus sakti 'Cengkeraman Maut Kelelawar Sakti' dan jurus-jurus 'Cakar Maut
Kelelawar Hutan' hanya dapat dikuasai tokoh-tokoh paling
atas Perguruan Kelelawar Putih, seperti Ibu sendiri. Jadi mustahil kalau Ibu
tidak tahu, Ibu."
Wajah wanita cantik berjuluk Bidadari Pu-
tih itu menegang. Wajahnya pucat pasi. Bibirnya
bergetar-getar.
"Benar, Anakku. Ibu tidak tahu...," desah Bidadari Putih dengan suara memelas.
"Baik! Aku akan bertanya pada Ayah," kata Aryani kesal.
"Jangan. Anakku! Ayahmu mempunyai wa-
tak yang aneh sekali. Kau bisa celaka," cegah wanita cantik berpakaian putih-
putih itu cemas.
"Jangan khawatir, Ibu! Tak mungkin Ayah
tega membunuhku. Lagi pula, mana ada sih seo-
rang ayah tega membunuh anak kandungnya
sendiri." Sehabis berkata begitu, si gadis segera me-
ninggalkan ibunya. Sekali menutulkan kedua ka-
kinya ke tanah, maka lenyaplah bayangan tubuh-
nya. Bidadari Putih cemas bukan main. Air ma-
tanya yang hendak jatuh membasahi pipi segera
dihapus dengan sapu tangan. Setelah itu dalam
sekali genjot saja, tubuhnya berkelebat cepat ke arah bangunan utama Perguruan
Kelelawar Putih.
5 Pekarangan Terlarang kembali dicekam se-
pi. Para undangan telah mohon pamit. Sementara
murid-murid Perguruan Kelelawar Putih sudah
kembali ke perguruan. Kini yang ada hanyalah
tinggal dua buah pohon asam tua berusia ratusan
tahun yang tumbuh rindang, laksana dua raksasa
kembar penjaga Sumur Kematian yang menyim-
pan sejuta teka-teki.
Sementara itu, di pinggiran Pekarangan
Terlarang, nampak empat pemuda murid Pergu-
ruan Kelelawar Putih tengah berdiri mematung
tak jauh, menjaga sebuah bangunan tembok. Me-
reka sama-sama mengenakan pakaian warna pu-
tih-putih. Di kepala masing-masing melingkar pi-ta kuning, pertanda kedudukan
mereka sudah mencapai tingkat menengah di Perguruan Kelela-
war Putih.

Siluman Ular Putih 03 Sumur Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pandangan empat pemuda itu beredar ke
sekeliling. Dan setiap kali memandang ke arah
Sumur Kematian, jantung mereka berdebar keras.
Ada perasaan ngeri di hati mereka bila mengingat korban yang jatuh akibat Sumur
Kematian. Tiba-tiba sesosok bayangan putih-putih
berkelebat cepat melompati pagar tembok bangu-
nan besar itu. Gerakannya ringan sekali seperti kapas tertiup angin. Dalam
sekejap saja, bayangan itu sudah sampai di depan bangunan yang di-
jaga empat murid Perguruan Kelelawar Putih.
Melihat siapa yang datang, keempat orang
murid berpita kuning itu langsung menjura hor-
mat. "Maaf, Nona Aryani. Ada keperluan apa datang kemari?" tanya salah seorang
murid itu dengan suara tegas.
Sosok yang ternyata Aryani bersungut-
sungut. "Aku ingin bertemu Ayah. Ibu yang menyu-
ruhku datang kemari," sahut gadis itu berdusta.
"Tapi, Guru sudah memberi perintah pada
kami. Siapa pun juga tidak boleh mengganggu ke-
tenangannya."
"Apa termasuk aku?" pancing Aryani gusar.
"Sekali lagi kukatakan, siapa pun tidak boleh mengganggu Guru. Biarpun istri
Guru sekali- pun!" "Keparat! Pokoknya aku harus bertemu Ayah sekarang juga!" bentak Aryani
galak. Sehabis membentak begitu, Aryani bersiap
menerjang ke depan. Namun baru saja akan ber-
gerak.... "Aryani! Siapa yang menyuruhmu datang
ke sini"!"
Mendadak terdengar bentakan keras
menggelegar. Begitu kerasnya, membuat gadis itu berjingkat dengan pandangan
tertuju ke arah pintu bangunan, tempat asal suara.
Di depan pintu bangunan tembok batu itu
berdiri satu sosok tubuh tinggi besar berpakaian serba hitam. Ia tak lain dari
Kelelawar Hutan,
ayah Aryani sendiri.
"Eh...! Aku.... Aku tidak ada yang menyu-
ruh, Ayah. Aku..., aku ingin bertemu dengan-
mu...," jawab Aryani gelagapan.
Kelelawar Hutan mengerutkan keningnya
dalam-dalam. Matanya yang merah terus meman-
dangi putrinya tak berkedip.
"Apa kau tidak mendengar peringatan
keempat orang muridku, Aryani"!" tukas Kelelawar Hutan, dingin.
"Sudah, Ayah"
"Lantas, mengapa tidak cepat-cepat enyah
dari hadapanku"!"
Aryani menggigit bibirnya dengan perasaan
kelu. Rasa-rasanya baru kali ini ia melihat tampang seram ayahnya yang biasanya
bersikap lem- but. Entah mengapa ayahnya beberapa hari ini telah berubah sikapnya. Terutama
sejak diadakan-
nya sayembara berdarah itu. Belum lagi dengan
kata-kata kasarnya tadi. Diam-diam gadis ini
membenarkan ucapan ibunya tadi.
"Nanti, Ayah. Aku ada beberapa pertanyaan
yang harus dijawab," tolak Aryani membandel.
Kerutan di kening Kelelawar Hutan makin
tajam. Kedua pelipisnya pun turut bergerak-gerak saking gusarnya.
"Anak Setan! Apa kau tidak tahu apa yang
sedang Ayah lakukan?" bentak Kelelawar Hutan garang.
Bukan main kagetnya hati Aryani menden-
gar bentakan ayahnya barusan. Ia tidak me-
nyangka akan dimaki dengan sebutan 'Anak Se-
tan'. Dan karena saking kagetnya, matanya sam-
pai terbelalak liar, seolah tak mempercayai pendengarannya barusan.
"Maaf Ayah! Bukan maksudku menggang-
gu. Tapi..., tapi ketahuilah! Setelah memeriksa mayat Kakang Jalu, Kakang Suro,
Kakang Simo, dan Kakang Permadi, aku dapat menyimpulkan
kalau mereka terkena cakaran dan cengkeraman
jurus-jurus sakti 'Cengkeraman Maut Kelelawar
Sakti' dan 'Cakar Maut Kelelawar Hutan' dari perguruan kita," tegas si gadis,
berani Kelelawar Hutan mendengus sinis. Diam-
diam hatinya gusar sekali, karena tidak me-
nyangka kalau putrinya mengetahui jurus-jurus
maut simpanannya yang tidak pernah diajarkan-
nya kepada murid-muridnya. Kendati belum ditu-
runkan, namun Aryani tahu nama jurus-jurus itu
dari ayahnya. "Bagus kalau kau sudah mengetahui itu
semua! Berarti, kau pun telah menemukan Gua
Kematian di tepi barat lereng Gunung Sumbing.
Dan kalau kau sudah mengetahui, lantas mau
apa he"!" desis Kelelawar Hutan,
"Aku ingin tahu, siapa orang yang telah
menebarkan maut di perguruan kita ini, Ayah."
"Kau ingin bertanya padaku?" tanya Kelelawar Hutan dengan wajah dingin.
"Betul, Ayah!"
Kelelawar Hutan tertawa terbahak-bahak.
Matanya yang merah sebentar memperhatikan
putrinya tajam. Sebentar kemudian, pandangan
matanya dialihkan ke angkasa sambil tetap terta-wa. "Kalau kukatakan aku tidak
tahu, apa kau puas?" Kelelawar Hutan balik bertanya.
"Jadi, Ayah tidak tahu?" tukas Aryani
"Ya."
"Mustahil!" tukas Aryani makin berani.
Kelelawar Hutan mendelik murka.
"Kau mau tanya aku, atau mau menggu-
ruiku, he"! Lekas tinggalkan tempat ini!" hardik-nya kasar.
"Aku tidak akan meninggalkan tempat ini
kalau Ayah belum memberi tahu siapa orang yang
telah menebar maut di perguruan kita!" teriak Aryani, kalap.
"Dasar Anak Setan! Jangan salahkan kalau
ayahmu harus menghajarmu. Bahkan mencabut
nyawa busukmu, Bocah!" bentak Kelelawar Hutan murka. Saat itu juga, Ketua
Perguruan Kelelawar Putih melompat ke depan. Begitu mendarat tubuhnya yang
tinggi besar sedikit didoyongkan ke depan. Sementara kedua telapak tangannya
disentakkan ke depan.
Aryani cepat melompat ke samping kiri,
menghindari serangan Kelelawar Hutan. Namun
dugaannya meleset. Karena Kelelawar Hutan tiba-
tiba memutar tubuhnya. Kaki kanannya siap
menghantam tubuh anak tunggalnya.
"Hiaaa...!"
Seketika itu juga, Aryani mempercepat lon-
catannya. Namun lagi-lagi Kelelawar Hutan men-
gejarnya dengan kecepatan luar biasa. Tubuhnya
terus berputar-putar melepas tendangan.
Si gadis terperangah. Apalagi saat merasa-
kan deru angin keras. Dan tahu-tahu ia melihat
tendangan ayahnya telah di depan mata! Tidak
ada pilihan lain bagi Aryani kecuali harus me-
nyentakkan kedua tangannya, menghadang ten-
dangan. Namun ternyata tendangan kaki itu lebih cepat datangnya. Akibatnya....
Bukkk! "Aaakh...!"
Aryani terpekik keras. Tubuhnya ter-
huyung-huyung sampai lima langkah ke bela-
kang. Untungnya tubuhnya masih sempat dis-
orongkan ke samping, hingga tendangan itu
hanya menghantam pahanya. Kain bagian pa-
hanya robek. Sementara kulit paha di baliknya
membiru. Gadis cantik ini merasakan pahanya
seakan remuk. Seketika itu juga wajahnya pucat
pasi. Bibirnya bergetar-getar. Sungguh tidak disangka kalau ayahnya benar-benar
akan menye- rang demikian hebatnya.
Dalam keadaan murka seperti itu, Kelela-
war Hutan geram bukan main. Ia tidak puas den-
gan hasil serangan pertamanya tadi. Kini tubuh-
nya kembali cepat melesat ke depan. Kedua tan-
gannya dihantamkan sekaligus ke arah Aryani!
Wuttt...! Aryani mencoba mengangkat kedua tan-
gannya hendak menangkis pukulan Kelelawar
Hutan. Karena disadari, tak mungkin serangan
ayahnya dihindari. Akibatnya....
Prakkk! Prakkk!
"Aaa...!"
Terdengar bunyi dua pasang beradu di
udara. Aryani memekik setinggi langit. Kedua tangannya terasa remuk dan ngilu
bukan main. Na-
mun rupanya serangan-serangan Kelelawar Hu-
tan tidak hanya sampai di sini. Begitu melihat putrinya memekik, kaki kanannya
cepat diangkat.
Bukan main hebatnya serangan Kelelawar
Hutan kali ini. Belum sempat tendangannya ber-
sarang terlebih dahulu angin berkesiur kencang
telah melesat lebih dulu.
Aryani terperangah. Tak mungkin serangan
ayahnya dihindari. Apalagi dalam jarak demikian dekatnya. Namun....
"Tunggu, Mandra!" bentak seseorang garang. Bersamaan dengan itu, melesat angin
dingin ke arah tubuh Kelelawar Hutan.
Kelelawar Hutan mendengus. Dan secepat
kilat dipapakinya serangan yang datang ke arah-
nya dengan kedua tangan menghentak. Sementa-
ra kaki kanannya, tetap diteruskan menyerang
Aryani! Dukkk! Dukkk! Buukk!
"Augh...!"
Aryani memekik tertahan. Seketika tubuh-
nya terpelanting bagai layang-layang putus ta-
linya, berputar-putar sebentar dan jatuh bergede-buk di tanah. Pingsan dengan
mulut dan hidung
mengeluarkan darah segar.
"Aryani..!" pekik sesosok bayangan putih-putih telah berkelebat ke arah gadis
itu. Lalu di-periksanya tubuh Aryani yang terkapar tak sa-
darkan diri itu seksama.
"Keparat kau, Mandra! Kau boleh melukai-
ku. Tapi, tidak dengan putri ku!" bentak sosok
yang tak lain Bidadari Putih garang.
Sehabis berkata begitu perempuan berpa-
kaian putih-putih itu berdiri dan meloncat ke depan. Tubuhnya sedikit
didoyongkan ke depan
dengan kedua tangan disentakkan ke bawah.
Kelelawar Hutan cepat mengangkat kedua
tangannya menyilang ke depan dada. Mengira ka-
lau perempuan yang tak lain istrinya akan me-
nyerang dengan tangan, lelaki itu merundukkan
kepalanya sedikit.
Namun rupanya dugaan Kelelawar Hutan
meleset. Bidadari Putih tiba-tiba memutar kaki
kanannya menyerang dada.
Kelelawar Hutan geram bukan main. Kali
ini ia tidak mau tertipu cepat badannya dirunduk hingga hampir menyentuh tanah. Maka serangan
istrinya pun lewat beberapa rambut di atas tu-
buhnya. Pada saat itu pula, tangan kanan Kelelawar
Hutan cepat menyusup di antara gerakan kaki is-
trinya. Dan....
Bukkk! Tangan kanan Kelelawar Hutan berhasil
menepuk paha istrinya hingga memekik tertahan.
Keseimbangan tubuh perempuan itu sedikit
goyah. Untungnya tubuhnya cepat diputar bebe-
rapa kali di udara, lalu mendarat tak jauh dari Aryani. "Ha ha ha...! Kau tidak
mungkin dapat me-nandingiku, Istriku. Dalam tubuhmu telah dela-
pan belas tahun bersemayam racun yang akan
menggerogoti tubuhmu. Sebaiknya lekas urus
anakmu itu!"
Bidadari Putih menggeram penuh kemara-
han. Disadari, dalam tubuhnya memang menge-
ram Racun Kelelawar Putih yang sulit sekali dicari obat penawarnya. Dan tentu
saja ini membuat gerakannya lamban. Tenaga dalamnya pun berku-
rang. Terpaksa kedua tangannya yang sudah siap
mengeluarkan tenaga dalam diurungkan. Namun
tiba-tiba dadanya terasa nyeri sekali. Tanpa sadar perempuan berpakaian putih-
putih itu meringis
ngilu. Wajahnya pias. Bibirnya bergetar-getar.
Dan ia hanya bisa memandangi suaminya dengan
mata melotot. Kelelawar Hutan mendengus.
"Seranglah aku sepuasmu, Istriku! Mung-
kin kau ingin cepat modar"!"
Bidadari Putih mendelik gusar. Walau se-
marah apa pun, tak mungkin menyerang sua-
minya. Di samping belum tentu mampu menan-
dingi, ia pun takut kalau racun yang mengeram
dalam tubuhnya selama delapan belas tahun
akan lebih cepat menggerogoti tubuhnya. Dan
akhirnya, mati!
"Sudahlah! Tak usah terlalu kau pikirkan!
Pokoknya selama masih berada di sisiku, kau
pasti masih dapat menghirup indahnya udara
dunia lebih lama lagi. Sekarang, urus sajalah
anakmu!" Sehabis berkata begitu, Kelelawar Hutan
masuk kembali ke dalam bangunan itu.
Bidadari Putih kini telah membopong tu-
buh Aryani. Dan tanpa menoleh lagi, kedua ka-
kinya menutul tanah. Seketika tubuhnya berkele-
bat cepat menuju Perguruan Kelelawar Putih.
6 Sang raja siang saat ini merayap menuju
puncaknya. Panas terasa mulai tidak bersahabat.
Di bawah sebuah pohon di padang yang cukup


Siluman Ular Putih 03 Sumur Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

luas, terlihat seorang pemuda tampan berpakaian rompi dan celana bersisik warna
putih keperakan tengah asyik menyantap daging ayam bakar. Matanya mengerjap-
ngerjap penuh nikmat. Mulut-
nya terus bergoyang-goyang, melumat daging di
tangan sampai ludes. Sementara di hadapannya
daging ayam yang dibakar terlihat mulai hangus.
Sembari mengomel panjang pendek buru-
buru pemuda itu melemparkan tulang di tangan
sembarangan. Dan belum sempat tangan yang
lain memontes paha ayam bakar di hadapannya,
mendadak.... "Adaaww...!" teriak seseorang dari balik semak. Mungkin terkena timpukan tulang
ayam yang baru saja dilempar.
Pemuda berambut gondrong yang tidak lain
Soma itu makin mempertajam pendengarannya.
Matanya yang agak biru menghunjam ke balik
semak. "Sontoloyo! Siapa yang berani kurang ajar
padaku, he"!" bentak seseorang dari balik semak.
Belum hilang gaung suara makian orang
itu, tiba-tiba semak belukar di samping murid
Eyang Begawan Kamasetyo yang bergelar Siluman
Ular Putih itu bergerak-gerak. Dan tahu-tahu
berkelebat sesosok bayangan kuning, lalu menda-
rat dua tombak di depan Siluman Ular Putih. Kini tampak seorang lelaki tua
bertubuh pendek berjubah kuning yang kedodoran sampai ke tanah.
Di tangan kanannya masih memegang tulang
ayam yang baru saja dilemparkan Soma.
Soma bangkit sambil memandangi sosok di
depannya, mirip orang linglung. Bukannya Silu-
man Ular Putih heran melihat orang itu masih
memegangi tulang ayam yang dilemparkannya ta-
di, maupun penampilannya yang lucu dengan dua
batang gigi kuningnya yang mancung ke depan.
Tapi ia heran melihat kumis orang itu yang mirip kumis kucing! Itulah yang
membuatnya melongo
untuk beberapa saat.
"Bocah Edan! Apa kau tidak pernah diajar-
kan ibumu tata krama, he"! Nih, kukembalikan
tulang ayammu!" hardik orang tua pendek yang tidak lain Lelaki Berkumis Kucing
garang. Tangan kanannya yang memegang tulang ayam mengibas
ke depan. Wuttt...! Laksana senjata rahasia tulang ayam di
tangan Lelaki Berkumis Kucing cepat melesat
menyerang Soma.
"Heh"!"
Soma yang sedang melongo terkesiap. Na-
mun bukan berarti ia lengah. Secepatnya tubuh-
nya dibuang ke samping kiri.
"Eh eh eh...! Maaf, kalau tulangku tadi
nyasar ke kepalamu! Aku tak sengaja kok," kata si pemuda.
Apa yang dikatakan Siluman Ular Putih itu
memang benar. Tulang itu mengenai kening Lela-
ki Berkumis Kucing. Buktinya, kening lelaki tua pendek itu masih belepotan air
liur. Lelaki Berkumis Kucing mengerutkan ge-
rahamnya. Matanya mendelik saking gusarnya.
"Bocah Edan! Kau pasti begundalnya si ke-
parat Kelelawar Hutan itu! Jangan dikira aku takut menghadapimu, Bocah! Lekas
bersujud di kakiku. Kalau tidak, biar aku yang memenggal lehermu!" bentak Lelaki Berkumis
Kucing garang seraya kembali menyerang. Kesepuluh jarinya
yang berkuku panjang bergerak mencabik-cabik
di udara. Sedang kedua gigi kuningnya yang men-
jorok ke depan bergerak-gerak liar seperti hendak mencabik-cabik bangkai tikus.
Siluman Ular Putih tersenyum geli. Entah
mengapa, ia jadi senang sekali melihat gigi mancung dan kumis orang tua pendek
itu. Dan begitu merasakan angin dingin berkesiur menyerang dirinya, tubuhnya
cepat dimiringkan ke kiri sembari diam-diam mulai mengerahkan kekuatan batinnya.
Lelaki Berkumis Kucing menggereng penuh
kemarahan. Hatinya penasaran sekali melihat se-
rangan pertamanya dapat dimentahkan pemuda
lawannya dengan mudah. Padahal tadi ia menge-
luarkan salah satu jurus andalannya yang diberi nama jurus 'Sakti Kucing Hutan'.
Melihat serangan pertamanya gagal, Lelaki
Berkumis Kucing kembali menerjang ke depan.
Kesepuluh jarinya yang berkuku panjang semakin
bergerak-gerak liar menyerang.
"Giman Kuning! Mengapa kau jadi galak
begini" Jangan galak-galak begini, ah! Ayo, lekas hentikan seranganmu!" bentak
Soma dengan suara bergetar-getar aneh.
Lelaki Berkumis Kucing terkesiap. Entah
mengapa, tiba-tiba saja terasa gelombang kekua-
tan gaib yang entah dari mana datangnya menye-
rang jalan pikirannya! Seketika itu juga tubuhnya tergetar hebat. Kedua kaki dan
tangannya yang sedang bergerak menyerang sulit sekali digerak-
kan. Dan akhirnya tak dapat digerakkan sama
sekali! Bukan main kagetnya Lelaki Berkumis
Kucing melihat kenyataan ini. Kedua bola ma-
tanya terbelalak liar saking herannya.
"Kau... kau...!" ucap Lelaki Berkumis Kucing menggantung.
Soma tertawa perlahan. Mata birunya
mengerjap-ngerjap nakal.
"Kau heran dengan makianku tadi, ya"
Memang kenyataannya begitu, kok. Habis aku ha-
rus bilang apa" Gigimu kuning, mancung lagi.
Apa itu bukan Giman Kuning namanya" Hik hik
hik...!" ejek Soma, mengira kalau Lelaki Berkumis Kucing marah mendengar
makiannya tadi.
Lelaki bertubuh pendek menggereng hebat.
Kedua pelipisnya bergerak-gerak pertanda ama-
rahnya sudah mencapai puncaknya. Lalu dengan
kemarahan memuncak diserangnya Siluman Ular
Putih. Namun baru saja tenaga dalamnya dike-
rahkan, tiba-tiba ia terbatuk-batuk hebat.
"Hoek!"
Lelaki Berkumis Kucing memuntahkan da-
rah segar akibat luka-lukanya yang belum sem-
buh sekeluarnya dari dalam Sumur Kematian!
Soma terkesiap. Matanya terbelalak lebar
seolah tidak percaya apa yang dilihatnya. Sebe-
narnya ia tadi sudah tahu kalau lelaki tua pendek di hadapannya sedang terluka
dalam, tapi sungguh tidak disangka lukanya separah itu.
"Ah...! Ternyata lukamu cukup parah juga,
Orang Tua. Tadi kukira kau hanya terluka dalam
saja. Ayo, sekarang biarkan aku mengobatimu
dulu!" ujar Soma seraya mendekati Lelaki Berkumis Kucing.
Lelaki Berkumis Kucing melotot lebar. Ke-
dua kakinya dipentangkan lebar-lebar. Sedang
kesepuluh jarinya telah mencabik-cabik udara
siap keluarkan jurus-jurus mautnya. Bagaimana-
pun juga ia masih mencurigai Soma.
"Kenapa kau marah-marah begini, Orang
Tua" Aku bukan orang yang kau maksudkan.
Aku hanyalah seorang pengembara yang kebetu-
lan lewat di hutan ini. Hayo, sekarang lekaslah
merebah! Biarkan aku mengobatimu," ujar Soma lagi, diam-diam kembali mengerahkan
kekuatan batinnya. Tubuh Lelaki Berkumis Kucing bergoyang-
goyang, tidak kuat melawan kekuatan gaib dari
bentakan Soma tadi. Akibatnya perlahan-lahan
tubuhnya pun melorot dan jatuh menggeloso di
tanah! Melihat hal itu, Soma pun segera mendeka-ti tubuh Lelaki Berkumis Kucing.
Cepat ditotok- nya beberapa jalan darahnya yang tersumbat. La-
lu kedua telapak tangannya ditempelkan ke
punggung Lelaki Berkumis Kucing. Dan mulailah
tenaga dalamnya dikerahkan.
"Nah, sudah! Sekarang kau bangunlah dan
ceritakan mengapa sampai kau terluka seperti
ini!" Siluman Ular Putih menepuk-nepukkan kedua telapak tangannya, lalu duduk
menggeloso di depan Lelaki Berkumis Kucing.
"Terima kasih, Bocah. Sebenarnya aku tak
sudi menerima pertolonganmu ini," ucap Lelaki Berkumis Kucing seraya duduk
bersila berhadap-hadapan dengan pemuda penolongnya. Kini kese-
hatannya telah pulih seperti sedia kala.
"Apa kau bilang tadi" Kau tidak sudi kuto-
long?" sentak Soma, melotot gusar.
"Sebenarnya, iya. Tapi, sudahlah! Seka-
rang, bukalah telingamu lebar-lebar, jika kau ter-tarik dengan teka-teki Sumur
Kematian di lereng sebelah barat Gunung Sumbing."
"Baik! Baik! Aku akan mendengarkan ceri-
tamu, Orang Tua. Kedengarannya menarik seka-
li." Lelaki Berkumis Kucing menghela napas-
nya sebentar, lalu menceritakan kejadian yang
menimpanya di Perguruan Kelelawar Putih.
Soma mendengarkan dengan seksama. Se-
bagai seorang pendekar, jiwanya langsung tersentak begitu mendengar cerita
lelaki tua bertubuh pendek itu.
"Terima kasih atas keteranganmu, Orang
Tua. Sekarang juga aku akan menyelidiki Sumur
Kematian yang penuh teka-teki itu. Selamat tinggal!" kata Soma. Seketika kedua
kakinya menjejak tanah, lalu berkelebat ke arah timur.
Sebaliknya Lelaki Berkumis Kucing sendiri
pun segera berkelebat ke arah barat, untuk men-
cari musuh bebuyutannya. Cantrik Tudung Pan-
dan! 7 Matahari sudah lama tenggelam di kaki
langit sebelah barat. Sementara awan hitam ber-gerombol-gerombol, memenuhi
angkasa raya hingga tampak semakin pekat. Kerlipan berjuta
bintang dan terangnya sinar rembulan tak kuasa
menembusnya, membuat suasana alam mayapa-
da ini semakin mencekam.
Di lereng sebelah barat Gunung Sumbing,
satu sosok bayangan putih-putih tengah mengen-
dap-endap di atas tembok Pekarangan Terlarang.
Setelah merasa aman, sosok ini pun cepat berke-
lebat ke arah Sumur Kematian. Sesampainya di
sana ia celingukan ke sana kemari sebentar.
Layaknya seorang maling yang takut dike-
tahui orang, buru-buru sosok bayangan putih-
putih ini mengeluarkan sebuah bungkusan dari
balik pakaian dan segera menceplungkannya ke
dalam Sumur Kematian. Namun belum juga tu-
buhnya berbalik, mendadak....
"Ibu...! Apa yang Ibu lakukan di sini?"
Sosok yang tak lain Bidadari Putih ini ter-
kesiap kaget mendengar suara halus dari bela-
kangnya. Buru-buru kepalanya dipalingkan.
Tampak satu bayangan putih tengah berkelebat
cepat ke arahnya. Dan sebentar saja sosok ini telah tiba di depan Bidadari
Putih. "Kenapa kau menyusulku kemari, Aryani?"
tanya perempuan berpakaian putih-putih itu, pa-
da sosok yang ternyata Aryani.
"Tadi kulihat Ibu tengah berlari kencang
menuju kemari. Aku khawatir sekali akan kese-
lamatanmu. Makanya aku menyusul kemari, Bu,"
jawab Aryani, jujur.
Sejenak si gadis memperhatikan wajah
ibunya heran. Lalu kepalanya melongok ke dalam
lubang Sumur Kematian.
"Apa yang tadi Ibu lemparkan tadi?" tanya Aryani heran.
Perempuan berpakaian putih-putih tak
menjawab pertanyaan putrinya. Ia hanya menghe-
la napasnya resah, sambil melangkah pelan-
pelan. "Mari kita pulang, Anakku!"
"Tunggu, Ibu! Ibu belum menjawab perta-
nyaanku." Aryani cepat menangkap lengan ibunya hingga berhenti melangkah.
Matanya menatap tajam Bidadari Putih.
Perempuan berusia sekitar empat puluh
tahun itu tampak gelisah. Sebentar matanya me-
mandang putrinya, sebentar kemudian beralih ke
arah Sumur Kematian.
"Kenapa Ibu kelihatannya takut sekali" Apa yang Ibu takutkan" Katakanlah padaku,
Bu!" Bidadari Putih menggeleng-gelengkan ke-
palanya dengan bibir bergetar. Kembali kakinya
melangkah. Kali ini agak cepat.
"Ibu... Ibu tidak berani. Ibu sudah bersumpah...," keluh Bidadari Putih.
"Kenapa, Bu" Kenapa Ibu tidak berani
mengatakannya padaku?" desak Aryani mengejar.
"Jangan paksa Ibu, Anakku! Ibu...Ibu tidak berani...."
"Katakanlah, Bu! Barangkali saja keteran-
gan Ibu dapat berguna untuk melacak orang yang
telah membantai murid-murid perguruan kita!"
desak Aryani Bidadari Putih kembali menggeleng-geleng.
"Tidak, Anakku! Tidak...!"
Aryani melongo, tak percaya kalau ibunya
tetap tidak mau bicara. Namun belum sempat
membuka mulutnya....
"Dasar perempuan-perempuan setan! Siapa
suruh kalian mendekati Sumur Kematian, heh"!"
Tiba-tiba saja anak beranak itu dikejutkan
bentakkan kasar dari seseorang.
"Celaka!" keluh perempuan berpakaian putih-putih gelisah, begitu mengenali siapa
sosok yang kini telah tegak di hadapan mereka.
*** Orang yang barusan membentak adalah
seorang lelaki bertubuh tinggi besar dengan pa-
kaian warna putih-putih. Rambutnya panjang. Di
kepalanya tampak melingkar ikat kepala juga


Siluman Ular Putih 03 Sumur Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

warna hitam. Kumisnya lebat. Demikian pula
cambang dan jenggotnya. Sepasang matanya ta-
jam seperti serigala. Dan kini sepasang mata itu berkilat-kilat penuh kemarahan.
Dialah Kelelawar Hutan! "Mandra...!" desah Bidadari Putih ketakutan. Aryani yang
melihat perubahan sikap ibunya jadi gelisah sekali. Sejak peristiwa di bangunan
besar dekat Pekarangan Terlarang kemarin siang, gadis ini jadi benci sekali
kepada ayahnya. Apalagi ia hampir saja celaka di tangan orang yang bergelar
Kelelawar Hutan itu. Maka begitu melihat
ayahnya berlaku kasar terhadap ibunya, pera-
saannya tidak dapat dikendalikan lagi.
"Ayah...! Sebenarnya ada urusan apa di ba-
lik ini semua, sehingga sudah hampir dua minggu Ayah berlaku kasar begini
terhadap Ibu"! Apa,
Ayah"!" teriak Aryani lantang, seraya menghampi-ri Mandra alias Kelelawar Hutan
hingga bergerak setengah tombak.
"Tutup mulutmu, Aryani! Ini bukan uru-
sanmu!" hardik Kelelawar Hutan, garang.
"Tidak, Ayah! Selama Ayah belum menceri-
takan semua urusan ini padaku, aku tidak akan
tinggal diam! Aku akan terus mencari siapa biang keladi di balik semua peristiwa
ini." "Keparat! Kau lancang sekali, Bocah! Apa
kau belum kapok dengan kejadian kemarin siang,
he"!" "Biar Ayah membunuhku sekalipun, aku tidak akan pernah merasa kapok! Aku
harus mencari siapa yang telah menebar maut di pergu-
ruan kita, Ayah!" tandas Aryani, berani.
"Anjing kurap! Jangan salahkan aku kalau
terpaksa aku membunuhmu, Bocah!" bentak Kelelawar Hutan garang seraya
mengibaskan tangan
kanannya dengan gerakkan sulit sekali diikuti
pandangan mata.
Plakkk! Plakkk!
Bidadari kecil terhuyung-huyung beberapa
langkah ke belakang mendapat tamparan seba-
nyak dua kali. Pipinya yang terkena tamparan barusan terasa nyeri bukan main.
Kelelawar Hutan menggeram penuh kema-
rahan. Belum puas rasanya ia menghajar anak-
nya yang dianggap telah lancang mencampuri
urusannya. Maka dengan kedua tangan terkem-
bang seperti sayap kelelawar, cepat diterjangnya gadis itu.
Aryani yang sedang terhuyung-huyung
hanya bisa membelalakkan matanya lebar. Sulit
sekali rasanya menghindari serangan ayahnya
kali ini. Namun belum sempat berpikir bagaimana harus mengatasi serangan, tahu-
tahu di hadapannya berkelebat bayangan putih yang langsung
menghadang serangan Kelelawar Hutan!
Wesss! Prakkk! Terdengar benturan keras di udara disertai
pekikan keras. Tubuh perempuan berpakaian pu-
tih-putih yang memapaki serangan Kelelawar Hu-
tan limbung ke kiri. Tangannya yang tadi buat
memapak terasa remuk. Namun tanpa menghi-
raukan lukanya, kembali dihadangnya serangan-
serangan Kelelawar Hutan yang terus ditujukan
pada Aryani! "Tunggu, Mandra! Sekali lagi kau berani
menyentuh anakku, demi Tuhan aku akan men-
gadu nyawa denganmu!" bentak Bidadari Putih garang.
Kelelawar Hutan terpaksa menghentikan
serangannya. Parasnya yang kasar menegang.
Kedua pelipisnya bergerak-gerak, pertanda se-
dang dilanda amarah menggelegak.
"Baik, Surtini! Sekali ini aku masih men-
gampuni nyawa anakmu. Tapi tidak untuk yang
kedua kalinya!" dengus Mandra, menyebut nama
asli istrinya. "Apa pun ancamanmu, aku tetap akan
membela anak kandungku, Mandra! Walau aku
harus mati di tanganmu," desis Surtini, dingin.
Kelelawar Hutan mendengus kembali. Ma-
tanya yang tajam berkilat liar pandangi Aryani.
"Kalau saja aku. tidak memandang muka
ibumu, sudah kulumat habis tubuhmu, Bocah!"
dengusnya. "Siapa takut dengan ancamanmu, Orang
Tua"!" sahut Aryani tak lagi memanggil Kelelawar Hutan dengan sebutan 'Ayah'.
"Kau tidak lagi menyebutku ayah, Bocah"!"
"Tidak ada gunanya menyebutmu ayah,
Orang Tua. Malah mulai saat ini aku mulai me-
nyangsikanmu kalau kau ayah kandungku!" tegas Aryani berani.
"Apa kau bilang, Bocah"!" hardik Kelelawar Hutan murka. Kedua tangannya kembali
terangkat tinggi-tinggi, siap menyerang Aryani.
"Hentikan seranganmu, Mandra!" bentak Bidadari Putih seraya maju selangkah
melindungi putrinya.
"Keparat, kalian! Ibu dan anak sama saja!
Cepat kalian enyah dari hadapanku sebelum piki-
ranku berubah!" bentak Mandra penuh kemarahan. Surtini cepat menyambar lengan
putrinya. Dan dalam sekali hentakan saja, tahu-tahu anak
beranak itu telah melesat ke depan, dan menghi-
lang di balik tembok Pekarangan Terlarang.
Kelelawar Hutan memperhatikan kepergian
anak beranak itu dengan wajah garang. Lalu en-
tah kenapa, tiba-tiba pandangannya ditujukan ke arah Sumur Kematian.
"Sayang sekali kau tidak mau bicara den-
ganku...," gumam Kelelawar Hutan entah ditujukan kepada siapa.
Dan setelah berkata begitu, Kelelawar Hu-
tan segera menutulkan kedua kakinya ke tanah,
lalu cepat berkelebat menuju ke Perguruan Kele-
lawar Putin. *** "Kenapa Ayah bersikap aneh begitu, Bu"
Mengapa tega hendak membunuhku?" tangis
Aryani di ruang utama perguruan.
Surtini memeluk putrinya erat. Tak sepa-
tah kata pun terucap dari bibirnya yang bergetar.
Hanya pandangannya dialihkan ke beberapa mu-
rid di ruang ini. Dengan tarikan dagunya ia men-gisyaratkan agar mereka pergi.
Empat orang murid yang tegak di ruang
utama itu menjura hormat sebentar, lalu keluar.
"Kenapa Ibu diam saja?" desak Aryani memelas. "Sudahlah, Aryani! Jangan cengeng!
Kau nanti akan tahu sendiri, siapa ayahmu," ujar perempuan berpakaian putih-
putih ini gusar.
"Jadi dia bukan ayahku, Bu?"
"Aku tidak mengatakannya demikian!"
"Tapi...."
"Sudahlah! Jangan paksakan ibumu, Arya-
ni! Sekarang tidurlah!" tukas Bidadari Putih.
Sehabis berkata begitu, Surtini segera
membimbing Aryani masuk ke dalam kamar.
*** "Mandra! Kau boleh memperlakukan aku
dan Kakang Bagaskara sesuka hatimu. Tapi, demi
Tuhan! Sekali lagi kau ganggu Aryani, aku akan
mengadu jiwa denganmu!" teriak Bidadari Putih begitu Kelelawar Hutan muncul di
kamarnya. "Heh! Kau pikir gampang mengalahkanku,
he"! Biar tua bangka Bagaskara itu kemari, tak
bakalan sanggup menghadapi ilmu 'Tabir Kegela-
pan'-ku!" "Keparat kau, Mandra! Watakmu telah jauh
berubah setelah menganut ilmu sesat itu! Tunggu pembalasanku nanti!" teriak
Bidadari Putih panik.
Kelelawar Hutan tertawa bergelak-gelak.
Kepalanya didongakkan ke langit-langit kamar.
"Jangan mimpi, Surtini! Tak ada seorang
pun di dunia ini yang mampu mengusir Racun
Kelelawar Putihku dari dalam tubuhmu selain
aku. Untung saja aku masih sedikit menaruh iba
padamu. Kalau tidak, jangan harap dapat meng-
hirup udara alam mayapada ini, he"!"
"Manusia laknat kau telah sesat, Mandra!"
geram Bidadari Putih penuh kemarahan. Tubuh-
nya yang tinggi kurus itu cepat mencelat ke uda-
ra. Kedua tangannya terkembang seperti sayap
kelelawar, siap menembus ubun-ubun Kelelawar
Hutan. Mandra cepat memiringkan tubuhnya sedi-
kit ke samping menghindari serangan. Dan begitu angin dingin berkesiur beberapa
rambut di sisi tubuhnya, Kelelawar Hutan cepat menggerakkan
tangan kanannya, menyamplok pinggang Bidadari
Putih Dukkk! Tubuh tinggi kurus Bidadari Putih kontan
terlempar ke samping, membentur dinding dan ja-
tuh ke tanah. Wajahnya semakin pucat pasi. Mu-
lutnya meringis menahan nyeri pada pinggangnya
yang terkena pukulan tangan Kelelawar Hutan.
"Ha ha ha...! Semakin kau sering mengelu-
arkan tenaga dalam, semakin cepat pula Racun
Kelelawar Putihku menggerogoti tubuh kurusmu,
Surtini. Mungkin dalam dua tiga tahun lagi racun itu akan bekerja lebih hebat
lagi. Tunggu dan rasakan saja saat datangnya tiba itu, Surtini!"
"Manusia laknat! Aku akan mengadu jiwa
denganmu!" geram Bidadari Putih dengan kemarahan membuncah. Tubuhnya yang tinggi
kurus kembali menerjang Kelelawar Hutan kalap.
Namun sayangnya, Mandra sudah berkele-
bat keluar dari kamarnya. Di samping itu, tiba-
tiba saja Bidadari Putih merasakan dadanya se-
sak sekali. "Hoeeekh...!"
Darah segar berwarna merah kehitaman
keluar dari mulut Surtini, dan berhamburan di
lantai kamar. Tubuhnya gemetar. Wajahnya pucat
pasi. Bibirnya bergetar-getar, pertanda Racun Kelelawar Putih yang mengeram
dalam tubuhnya hampir delapan belas tahun lebih, kembali meng-
gerogoti tulang-tulang dalam tubuhnya hebat.
Bidadari Putih mengeluh pendek. Matanya
terpejam rapat-rapat menahan nyeri. Cepat diam-
bilnya sikap semadi. Lalu ditariknya napasnya
dalam-dalam. Sebentar kemudian perempuan ini
sudah tenggelam dalam semadi.
8 Aryani yang sudah bangun pagi-pagi berge-
gas ke kamar ibunya. Kali ini ia bertekad akan
memaksa ibunya untuk bicara. Tapi apa yang di-
ketemukannya" Ternyata kamar itu kosong. En-
tah ke mana ibunya pergi.
Aryani jadi melongo. Satu perasaan cemas
tiba-tiba menyeruak dalam benaknya. Hatinya
berdebar-debar keras. Hampir saja ia menangis,
kalau matanya yang indah tidak menangkap se-
suatu di atas meja rias ibunya. Buru-buru dide-
katinya meja itu. Ternyata sebuah surat. Cepat
disambarnya kertas surat itu, dan dibacanya.
Untuk anakku: Aryani
Sudah saatnya Ibu meninggalkanmu, Anak-
ku. Ibu tidak kuat lagi menanggung penderitaan ini. Ibu akan mencari seseorang
yang barangkali dapat mengeluarkan racun yang selama ini mengeram dalam tubuh
ibumu. Selamat tinggal, Anakku!
Jagalah dirimu baik-baik!
Dari ibumu Seketika itu juga mata Aryani jadi berku-
nang-kunang. Kepalanya seperti terkena pukulan
benda keras. Dipandanginya kertas surat itu dengan tangan bergetar. Mendadak
ditemukannya kejanggalan. Surat itu seperti ditulis terburu-
buru. Terlihat tintanya masih basah. Dan berarti, ibunya belum lama meninggalkan
kamar. Tanpa pikir panjang lagi, Aryani segera ber-
lari keluar dari dalam kamar ibunya. Dalam beberapa kali loncatan saja, gadis
itu sudah berada di luar. "Ibuuu...! Kau berada di mana"!" teriak Aryani. Tidak
ada jawaban. Aryani terus mengu-langi teriakannya keras-keras. Tetap saja tidak
ada jawaban. Hal ini membuatnya penasaran sekali. Kedua telapak kakinya segera
menjejak. Ma-ka dalam beberapa saat kemudian, gadis berpa-
kaian putih-putih itu telah melesat jauh meninggalkan Perguruan Kelelawar Putih.
Mendadak mata Aryani sudah menjadi ber-
sinar terang. Dilihatnya satu bayangan putih tengah berlari kencang, menuruni
Lembah Klidung yang membentang luas di antara kaki Gunung
Sumbing dan Gunung Sindoro. Seketika cepat di-
kerahkannya segenap ilmu meringankan tubuh
untuk mengejar bayangan putih di kejauhan sa-
na. Sebentar saja Aryani sudah sampai di tem-
pat bayangan putih tadi berada. Namun bayangan
putih tadi juga tidak tinggal diam. Kini ia sudah tidak berada di tempatnya.
Aryani kembali menggenjot tubuhnya, lalu
bergerak cepat mengejar bayangan putih tadi. Sebentar saja ia telah melihat
samar-samar bayan-
gan putih-putih yang diyakini ibunya.
"Ibu...! Tunggu...!" teriak si gadis.
Aryani cepat menambah kecepatan larinya.
Begitu mendengar teriakan tadi, bayangan putih-
putih itu segera berhenti. Badannya berbalik dengan sikap menunggu. Dan sebentar
saja, Aryani sudah sampai, langsung menjatuhkan diri dalam
pelukan bayangan putih yang memang ibunya
sambil menangis sesenggukan.
Namun mendadak Aryani merasakan tu-
buh ibunya bergetar. Cepat dilepaskannya pelu-
kan, lalu melangkah mundur beberapa tindak. Di-
lihatnya, ibunya tengah memandangi dirinya den-
gan air mata bercucuran.
"Ibu...! Kenapa Ibu meninggalkan aku tan-
pa pamit"!" tanya Aryani, penuh tuntutan.
"Maafkan ibumu, Nak! Ibumu tidak tahan


Siluman Ular Putih 03 Sumur Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan semua penderitaan ini Ibu ingin mencari
seseorang agar mau menolong. Sekarang juga.
Bukankah kau sudah membaca surat Ibu?"
Aryani menangkap kata-kata ibunya seper-
ti memastikan akan kepergiannya. Dan seketika
ia pun kembali menangis tersedu.
"Mengapa kau tidak mengajakku?" tanya Aryani dengan suara bergetar.
Bidadari Putih tidak menyahuti ucapan pu-
trinya. Hanya dipandanginya putrinya sebentar.
Dan tanpa banyak cakap lagi, kedua kakinya te-
lah menjejak tanah, dan cepat melesat pergi.
"Kau mempunyai masa depan yang pan-
jang, Aryani. Pergunakanlah kesempatan itu baik-baik, Anakku! Selamat tinggal!"
"Ibuuu...!" panggil Aryani dengan suara memilukan.
Namun Bidadari Putih tidak mempedulikan
panggilan putrinya lagi. Dengan mengerahkan il-
mu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai
tingkat tinggi, tahu-tahu bayangannya telah le-
nyap di antara rimbunnya pepohonan di hutan
depan sana. Aryani berdiri mematung di tempatnya. Air
matanya terus mengucur deras membasahi pipi.
Kalau menurutkan perasaan hatinya, ingin ra-
sanya ia mengejar ibunya ke mana saja. Namun
bila teringat ayahnya, entah mengapa hati gadis itu jadi panas sekali. Untuk
itu, diputuskannya untuk kembali ke Perguruan Kelelawar Putih gu-na melacak
siapa orang yang telah menebar maut
di perguruannya itu.
Namun belum sempat gadis cantik berpa-
kaian putih-putih itu menggerakkan kedua ka-
kinya meninggalkan tempat itu, mendadak....
"Ck ck ck...! Macam-macam saja kehidu-
pan yang menyelimuti bumi mayapada ini...."
Aryani mendadak menghentikan langkah-
nya dengan wajah terkejut ketika mendengar sua-
ra dari atas pohon. Matanya yang membelalak liar segera menghunjam ke arah
datangnya suara. La-lu keningnya berkerut dalam, seperti menatap heran.
*** Ternyata di atas pohon tak jauh dari Aryani
berdiri, seorang pemuda tampan berpakaian rom-
pi dan celana bersisik warna putih keperakan
tengah asyik duduk ongkang-ongkang kaki di sa-
lah satu ranting. Tampak pula rambutnya yang
gondrong berkibar-kibar tertiup angin. Sedangkan mulutnya terus komat-kamit
tanpa mempedulikan keadaan sekitarnya. Tangan kirinya meme-
gang beberapa untai buah jamblang hutan yang
besar dan berwarna merah kehitaman. Buah itu-
lah yang tengah dilahapnya ketika bicara, sehing-ga suaranya tadi terdengar
seperti orang bergu-
mam. Kening Aryani makin berkerut dalam. Apa-
lagi ketika melihat di bawah pohon banyak berserakan buah jamblang. Gadis ini
jadi tidak habis pikir kenapa kehadiran si pemuda tidak diketa-huinya. Dengan
adanya buah jamblang yang ber-
serakan sudah membuktikan kalau pemuda itu
sudah cukup lama berada di atas pohon. Dan
yang membuatnya heran, mengapa telinganya tak
dapat menangkap gerakan kaki pemuda itu, sebe-
lum berada di atas pohon"!
"Huh! Kenapa aku harus pusing-pusing
memikirkan kedatangannya" Bisa jadi pemuda
sinting itu sudah lama berada di atas pohon,"
dengus Aryani dalam hati.
Dan begitu teringat akan gerutuan pemuda
itu tadi, Aryani pun menudingkan telunjuknya.
"Keparat! Mengapa kau usil mencampuri
urusanku, he"!" bentaknya, garang.
"Eh...! Siapa yang usil" Aku hanya sedang
merenungi kehidupan ini, kok," tangkis si pemuda kalem. Dia tak lain dari Soma
alias Siluman Ular Putih. Sehabis berkata begitu, Soma mengelap
mulutnya yang celemongan dengan kedua tangan.
Lalu dilemparnya buah jamblang ke arah Aryani.
"Tapi, sudahlah! Tak usah bersitegang be-
gini! Kulihat wajahmu pucat. Mungkin kau belum
sarapan. Ambillah buah jamblang yang tadi ku-
lempar. Enak, kok," lanjut si pemuda.
Gadis itu dongkol bukan main diambilnya
buah-buah jamblang yang tadi dilemparkan pe-
muda sinting itu. Satu persatu, segera dijentik-kannya dengan jari-jari tangan.
"Ah...! Dalam keadaan sulit begini, ketemu orang gendeng lagi! Nih, makanlah
buah-buah jamblangmu!" maki Aryani.
Wesss! Wesss! Buah-buah jamblang itu kini melesat ke
arah Soma. Bahkan menyerang ke beberapa arah
jalan darah di tubuh si pemuda dengan kecepatan dahsyat.
Siluman Ular Putih melotot gusar. Bukan-
nya karena melihat buah-buah jamblangnya me-
nyerang dirinya, melainkan melihat dirinya dima-ki 'orang gendeng'. Maka,
mulutnya yang masih
penuh kunyahan-kunyahan buah jamblang sege-
ra disemburkan, memapaki serangan buah-buah
jamblang yang dijentikkan Aryani.
Buueerrr...! Seketika itu juga buah-buah jamblang yang
dijentikkan Aryani jatuh berserakan ke tanah.
Sedang semburan kunyahan buah jamblang So-
ma terus menerabas ke depan.
Tapi sayang, Aryani sudah tidak berada di
tempatnya. Sehingga semburan kunyahan buah
jamblang Soma hanya mengenai tempat kosong
belaka! Sedang gadis itu telah berkelebat cepat.
"Oooi...! Tunggu...! Kau tidak boleh me-
ninggalkanku begitu saja!"
Soma cepat menjejakkan kedua kakinya ke
ranting pohon. Sekali berkelebat, Siluman Ular
Putih telah melewati si gadis. Dan dengan satu
gerakan indah, ia telah berdiri menghadang langkah Aryani.
Si gadis terpaksa menghentikan langkah-
nya. Matanya yang indah melotot gusar.
"Apa maksudmu menghadang langkahku,
he"!" bentak Aryani kasar.
Soma cengar-cengir seenak perutnya. Tan-
gannya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak
gatal. "Ada dua hal yang membuatku menahan langkahmu, Cah Ayu. Pertama, kenapa
kau menyebutku orang gendeng"! Kedua, karena aku in-
gin meminta sedikit keterangan darimu," sahut Siluman Ular Putih menirukan gaya
bicara Aryani tadi. "Pemuda sinting! Siapa peduli dengan oce-hanmu"! Minggir!"
bentak Aryani gusar bukan main. Kedua tangannya bergerak kasar mendo-rong Soma.
"Heit...! Tidak boleh! Tidak boleh! Kau tetap tidak boleh meninggalkanku begitu
saja! Apalagi, telah memakiku tadi!" tegas Soma seraya mem-bentangkan kedua
tangan menghadang langkah
Aryani. "Kunyuk gondrong sinting! Sekali lagi tidak mau memberiku jalan, akan
kutebas batang lehermu! Minggiiir...!"
"Mana bisa?"
Siluman Ular Putih kembali membentang-
kan kedua tangannya menghadang jalan Aryani.
Dan didorong perasaan usilnya diam-diam kekua-
tan batinnya yang baru saja dipelajarinya dari Ra-ja Penyihir mulai dikerahkan.
"He he he...! Aku memang gondrong, Gadis
galak. Tapi, aku bukan kunyuk gondrong. Kalau
tak percaya, cobalah perhatikan aku baik-baik!"
ujar Soma dengan suara bergetar-getar aneh, me-
nyerang jalan pikiran Aryani.
Begitu mendengar suara yang menggema-
gema dalam pikiran, mendadak wajah Aryani jadi
pucat pasi. Tubuhnya kontan gemetar. Apa yang
dilihatnya saat itu sungguh membuat hatinya jadi ciut. Kini, rambut gondrong
pemuda sinting di
hadapannya mendadak saja telah berubah men-
jadi puluhan ekor ular yang tengah menggeliat-
geliat mengerikan dengan kepala terangkat tinggi-tinggi! "Kau..., kau...."
Sekujur tubuh si gadis mulai dibanjiri ke-
ringat dingin saking takutnya. Sedangkan Soma
tertawa bergelak-gelak. Belum puas rasanya ia
mengerjai gadis galak di hadapannya.
"Ha ha ha...! Apa yang kau lihat sekarang, Gadis galak" Mengapa tubuhmu gemetar
seperti itu" Ayo, lekas bangun! Itu ibumu yang tadi kau tangisi sudah datang!"
Kembali terdengar suara Soma yang berge-
tar-getar aneh, menyerang jalan pikiran Aryani.
Malah suaranya kali ini terdengar begitu meng-
gema. Dan sambil berkata begitu, telunjuk jari
tangan si pemuda menunjuk ke batang sebuah
pohon. Ajaib sekali! Batang pohon yang ditunjuk Siluman Ular Putih, seketika
berubah menjadi sesosok perempuan berpakaian putih-putih yang
Bangau Sakti 34 Pendekar Mabuk 088 Rahasia Bayangan Setan Ajian Sesat Pendekar Slebor 1
^