Dewi Maut 18
Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo Bagian 18
oleh pandangan mata, Bun Houw mengelak, menangkis pukulan-pukulan dengan tangan
kiri dan menangkis pedang ular dengan kayu di tangannya, semua dilakukan dengan
tepat, indah dan kuat. Kini tubuhnya sudah diam lagi setelah dia berhasil menghalau serangan
gelombang pertama dan kembali dia menghadapi dua orang lawan di kanan kirinya.
Dalam serangan gebrakan pertama itu saja, Phang Tui Lok dan Gu Lo It sudah
menjadi terkejut bukan main. Ternyata kayu itu berhasil menangkis pedang dan
membuat pedang ular terpental dan tangan yang memegangnya tergetar hebat,
sedangkan serangan ujung lengan baju yang mengandung baja itu ditangkis begitu
saja oleh tangan kiri pemuda itu. Tangan telanjang itu berani menangkis baja
yang disembunyikan di dalam lengan baju, dan setiap tangkisan tadi membuat ujung
lengan baju itu membalik keras!
In Hong terbelalak. Kagum bukan main dia. Biarpun baru segebrakan, akan
tetapi sekarang Bun Houw agaknya baru memperlihatkan siapa dirinya sebenarnya!
Tadi di waktu melawan Hok Hosiang, pemuda itu memang berpura-pura. Baru
sekarang, gerakannya tampak indah dan hebat bukan main, cepat dan tepat, kuat
dan juga amat luar biasa! Dan In Hong teringat akan gerakan tangan kiri Bun Houw
yang mirip Thian-te Sin-ciang tadi. Siapakah sebenarnya pemuda ini" Dia menduga-
duga dan hatinya makin kagum sungguhpun kekhawatiran masih belum meninggalkan
hatinya ketika dia melihat dua orang kakek itu kini sudah menerjang lagi dengan
dahsyatnya. Bun Houw maklum bahwa dia berhadapan dengan dua orang kakek yang
berkepandaian tinggi dan yang berkelahi dengan mati-matian, maka diapun tidak
berani main-main lagi menghadapi musuh besar ini. Dengan cepat dia menggerakkkan
potongan gagang tombak itu di tangannya dan segera kedua orang lawannya terkejut
bukan main dan berseru keras, juga semua penonton menjadi bengong ketika melihat
betapa cepatnya gerakan pemuda itu sehingga tubuhnya seolah-olah berobah menjadi
delapan orang yang menghadapi dua orang pengeroyok itu dari delapan penjuru!
Gagang tombak dari kayu itu mengeluarkan suara mengaung dan berobah menjadi
sinar kehijauan dan kini seolah-olah dua orang Bayangan Dewa itu bukan
mengeroyok, bahkan mereka berdua merasa seperti dikeroyok banyak orang! In Hong
terbelalak. Gerak kaki pemuda itu jelas mengandung unsur-unsur pokok dari Thian-
te Sin-ciang! Dia tidak tahu bahwa memang Bun Houw mainkan Ilmu Pedang Thian-te
Sin-kiam ciptaan gurunya, Kok Beng Lama, akan tetapi karena tangannya memegang
sebatang kayu, Ilmu Thian-te Sin-ciang ini hanya menjadi gerakan dasar saja,
sedangkan kembangannya sudah dia campur dengan Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut
dari ayahnya! Ilmu pemuda itu memang amat tinggi, apalagi dia mainkan dua ilmu yang
digabung menjadi satu, dua ilmu pedang yang merupakan ilmu simpanan dari Kok
Bang Lama dan Cia Keng Hong. Dua orang lawannya menjadi silau pandang matanya
dan bingun. Pat-pi Lo-sian dan Liok-te Sin-mo yang tadinya hendak mendesak dan
menghujankan serangan, kini berbalik malah didesak hebat, dihimpit oleh serangan
yang datang dari delapan penjuru, dan mereka berdua itu dengan muka pucat kini
hanya mampu mengelak dan menangkis saja sambil mundur-mundur.
Bun Houw mempercepat gerakan "pedangnya" dan kini pemuda itu menambah
serangannya dengan tamparan-tamparan tangan kiri, tamparan Thian-te Sin-ciang
yang mengandung hawa mujijat sepenuhnya! Melihat tamparan-tamparan ini, In Hong
makin terbelalak den dia kini tidak syak lagi bahwa pemuda itu jelas
mempergunakan Thian-te Sin-ciang, ilmu mujijat yang pernah dia pelajari dari
pendeta Lama ini, akan tetapi pemuda itu menggunakannya secara matang dan hebat
sekali! Dia makin terheran-heran dan menduga-duga. Bagaimana murid Cin-ling-pai
bisa memiliki kepandaian demikian hebat dan dapat memiliki limu pukulan pendeta
Lama itu" Pat-pi Lo-sian dan Liok-te Sin"mo makin terdesak dan kini keringat dingin
membasahi leher dan muka mereka yang pucat, napas mereka mulai memburu dan
setiap kali pedang ular bertemu dengan kayu, pedang itu terpental, demiktan pula
ujung lengan baju Gu Lo It, selalu terpental begitu bertemu dengan pedang kayu
atau dengan tangan kiri pemuda itu.
"Bersiaplah kalian untuk membuat perhitungan dengan para suheng Cap-it Ho-
han di alam baka!" Tiba-tiba Bun Houw berseru den gerakannya menjadi makin cepat
dan makin kuat. Pat-pi Lo-sian mengeluarkon suara melengking panjang. Dewa Tua Berlengan
Delapan ini mengerahkan seluruh tenaganya, menubruk ke depan, pedang ularnya
menusuk pusar, tangan kirinya mencengkeram ke arah ubun-ubun dan kepalanya
digerakkan sehingga kuncir rambutnya yang besar panjang itupun bergerak hidup
seperti seekor ular, menyambar dan menotok ke arah kedua mata Bun Houw! Hebat
bukan main serangan dari orang pertama Lima Bayangan Dewa ini. Akan tetapi
berbeda dengan para penonton yang menahan napas memandang, Bon Houw bersikap
tenang. Tusukan pedang ular ke arah pusarnya itu dia hindarkan dengan gerakan tubuh
yang dimiringkan karena perobahan kuda-kuda kaki sehingga pedang itu menyeleweng
ke samping tubuhnya, kemudian dengan kecepatan kilat pedang kayunya membabat putus kuncir rambut mengancam matanya dan sebelum Phang Tui Lok sempat
menarik kembali tangan kirinya, Bun Houw sudah menangkap pergelang tangan itu
dengan tangan kirinya. "Aughhhhh...!" Pat-pi Lo-sian berteriak keras karena dari telapak tangan
lawan yang mencengkeram lengannya itu keluar hawa panas yang menjalar dari
lengan ke dadanya, seperti membakar tubuhnya. Rasa nyeri dan kemarahan membuat
dia nekat dan pedangnya yang mengenai tempat kosong itu sudah ditarik dan
ditusukkan kembali ke perut Bun Houw! Dan pada saat yang hampir bersamaan, Gu Lo
It juga sudah menubruk dari belakang pemuda itu, menghantamkan kedua tangannya
didahului oleh dua ujung lengan baju yang menyambar ke arah punggung Bun Houw.
"Trakkk! Krekkkk... aaaiiihhhhh...!" Pedang ular terlepas dari tangan Pat-pi
Lo-sian karena didahului oleh pedang kayu yang menotok pergelangan tangan kanan
dan lengan kiri Phang Tui Lok itu remuk tulang-tulangnya ketika Bun Houw
menggunakan tenaga Thian-te Sin-ciang untuk mencengkeram.
"Buk! Bukk!" Pukulan Gu Lo It dari belakang sengaja diterima oleh Bun Houw
setelah dia melindungi punggungnya dengan sin-kangnya yang amat kuat. Kemudian
dia membalik cepat sambil mengangkat tubuh Phang Tui Lok, dilemparkan ke arah Gu
Lo It dengan amat kuatnya.
"Brressss...!" Tubuh Phang Tui Lok yang lengan kirinya sudah patah-patah itu
menimpa tubuh Gu Lo It sehingga keduanya jatuh tunggang langgang dan sebelum
mereka sempat sadar dari keadaan nanar dan dapat bangkit kembali, nampak sinar
hijau berkelebat dua kali dan terdengarlah pekik-pekik mengerikan dan dua orang
Bayangan Dewa yang amat terkenal setelah mereka mengacau Cin-ling-pai itu tewas
seketika. Hanya ada sedikit darah mengucur keluar dari tengkuk mereka yang
ditusuk oleh pedang-pedangan kayu di tangan Bun Houw.
Sejenak suasana menjadi sunyi sekali, seolah-olah semua orang masih
termangu-mangu, heran dan terkejut menyaksikan kesudahan pertandingan yang tak
tersangka-sangka itu, akan tetapi begitu Raja Sabutai bertepuk tangan memuji,
terdengarlah sorak-sorai dan tepuk tangan yang meriah dan di antara mereka yang
bertepuk tangan, juga tidak ketinggalan In Hong yang menjadi gembira dan lega
bukan main! Di antara suara sorak-sorak itu, terdengar Yo Bi Kiok berbisik kepada
muridnya, "Kekasihmu itu bisa menjadi orang yang amat berbahaya, muridku. Kau
harus dapat menundukkan dia, kalau tidak bisa berbahaya..."
Dan Pek-hiat Mo-ko juga berbisik kepada Raja Sabutai, "Pemuda itu
mencurigakan, sri baginda. Dia bukan orang sembarangan, bukan murid
sembarangan..." Akan tetapi Bun Houw tidak memperdulikan sorak-sorai pujian itu. Dia
membiarkan para pengawal menyeret pergi dua mayat musuh-musuhnya itu lalu dia
melangkah ke dekat Raja Sabutai, menjura dengan hormat dan berkata, "Terima
kasih atas kemurahan paduka yang telah memberi kesempatan kepada saya untuk
berhadapan dengan musuh-musuh saya. Setelah mereka semua tewas, saya mohon
kembalinya pedang pusaka perkumpulan kami dan mohon perkenan untuk keluar dari
tempat ini." "Bocah she Bun, nanti dulu!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan nampak
bayangan berkelebat cepat. Yo Bi Kiok sudah berdiri di tengah ruangan itu dengan
sikap menantang! "Bayangan Dewa memang sudah kalah terhadap engkau, akan tetapi
di sini masih ada ketua Giok-hong-pang yang juga ingin memperebutkan Siang-bhok-
kiam! Memang pibu ini diadakan untuk mengukur siapa yang paling pandai, siapa
yang paling tinggi kepandaiannya dan yang paling pandai berhak memiliki Siang-
bhok-kiam! Bukankah begitu, sri baginda?"
Raja Sabutai tersenyum. Tentu saja raja ini tidak memperdulikan urusan
pribadi orang lain dan dia hanya ingin melihat orang-orang pandai mengadu ilmu.
Bagi raja ini, siapapun yang akan memiliki pedang kayu itu tidak ada bedanya.
"Siapapun yang mempunyai urusan pribadi hendak diselesaikan melalui pibu, boleh
diselesaikan sekarang di sini," jawabnya mengangguk.
Bun Houw memutar tubuhnya, perlahan-lahan dan kini dia memandang kepada Yo
Bi Kiok dengan sinar mata tajam penuh selidik, bahkan mukanya mulai berobah
merah karena dia teringat akan ucapan Phang Tui Lok tadi tentang perbuatan Yo Bi
Kiok ini. Menurut pengakuan Phang Tui Lok tadi, Bayangan Dewa itu berhasil
membunuh empat murid utama dari Cin-ling-pai, sudah tentu Kwee Kin Ta, Kwee Kin
Ci, Louw Bu dan Un Siong Tek, dan juga membunuh besan ayahnya yang tentu adalah
Hong Khi Hoatsu di Sin-yang atas bantuan Yo-pangcu ini. Bahkan katanya wanita
ini telah menculik Lie Seng, keponakannya, putera dari encinya! Baru sekarang
dia mendengar akan hal itu dan belum sempat menyelidikinya, akan tetapi sekarang
wanita iblis ini malah mencari gara-gara hendak merampias Siang-bhok-kiam!
Subo... Bun-ko... jangan...!" terdengar suara In Hong khawatir. Akan tethpi
Bun Houw tidak perduli, dan kini dia sudah melangkah perlahan menghampiri Yo Bi
Kiok yang berdiri di tengah ruangan, menantinya sambil tersenyum. Bahkan kini
hati Bun Houw menjadi makin panas dan marah mengingat bahwa wanita iblis ini
adalah guru dari gadis yang telah merampas hatinya! Gadis yang ternyata juga
amat kejam, dan agaknya kekejaman itu diwarisi dari gurunya ini! Maka marahlah
dia kepada Yo Bi Kiok. Kini mereka sudah berhadapan dan sejenak keduanya saling pandang, Bun Houw
marah dan Yo Bi Kiok tersenyum mengejek.
"Orang muda she Bun." Yo Bi Kik berkata. "Demi persahabatanmu dengan
muridku, lebih baik kau menyerahkan Siang-bhok-kiam kepadaku, dengan demikian
tidak ada perlunya lagi bagi kita untuk saling bertanding."
Akan tetapi pada saat itu pikiran Bun Houw sama sekali tidak mengingat
Siang-bhok-kiam, melainkan urusan lain lagi. "Yo-pangcu, Siang-bhok-kiam adalah
pusaka Cin-ling-pai dan siapapun juga tidak boleh mengambilnya. Akan tetapi,
sekarang aku hendak menuntut pangcu tentang urusan di Sin-yang!"
Berkerut alis mata yang panjang melengkung itu dan dagu yang runcing manis
itu diangkat. "Hemm, bocah she Bun, ada apa kau tanya-tanya soal itu?"
"Yo-pangcu! Urusan ini bahkan lebih panting lagi! Aku mendengar tadi bahwa
engkau telah menculik Lie Seng, benarkah itu?"
"Bocah she Bun, tidak perlu kau lancang hendak mencampuri urusan orang lain!
Aku hendak menyimpan Siang-bhok-kiam hanya untuk melindungimu, mengerti" Sebagai
sahabat baik muridku, engkau tak perlu membahayakan diri, engkau harus menjadi
seorang... kekasih yang baik, jangan menjadi seorang laki-laki yang berhati
palau. Hati-hati engkau kalau sampai engkau menyakiti hati muridku. Gadis dusun
itu menjadi contohnya, dan kalau engkau yang tidak setia, engkaulah yang akan
kubunuh. Nah, mundurlah dan hiburlah hati In Hong, biarkan aku yang menghadapi
mereka itu. Tak tahukah engkau bahwa mereka berdua itu agaknya tidak akan
mengembalikan Siang-bhok-kiam begitu saja?"
Bun Houw terkejut bukan main. Di dalam ucapan wanita itu tadi tersangkut
banyak sekali persoalan! Pertama, urusan cinta yang belum diketehui siapapun
juga, cinta yang terkandung di dalam hatinya tarhadap In Hong, agaknya telah
diketahui oleh wanita ini dan dibicarakan di depan umum begitu saja! Kedua,
wanita ini mengaku bahwa dia yang membunuh gadis dusun she Ma itu! Lapanglah
hati Bun Houw. Jadi bukan nona Hong yang membunuh, melainkan wanita iblis ini.
Dan ketiga, baru dia tahu bahwa dua orang kakek dan nenak itu, yang tadi
menyimpan Siang-bhok-kiam, guru-guru dari Raja Sabutai, juga menginginkan padang
pusaka itu! "Yo-pangcu, semua urusan itu boleh kukesampingkan, karena yang penting
sekarang adalah persoalan yang kaulakukan di Sin-yang! Benarkah engkau menculik
Lie Seng, cucu ketua Cin-ling-pai?"
"Kalau benar, engkau mau apa?" Yo Bi Kiok bertanya dengan nada mengejek
karena hatinya menjadi jengkel sekali. Dia teringat akan Lie Seng, bocah yang
telah menghinanya secara menggemaskan sekali, yang telah menghajarnya babak
belur, dan dia tidak mampu berbuat apa-apa karena anak itu dibantu oleh pendeta
Lama yang amat sakti. Akan tetapi akhirnya dapat juga dia membalas menyerang
anak itu dengan Siang-tok-swa dan agaknya bocah itu sekarang sudah mampus!
"Bagus! Yo-pangcu, kalau begitu aku menantangmu untuk mengadu nyawa di
sini!" Bun Houw membentak marah.
"Bun-ko...!" In Hong berseru kaget dan tubuh dara ini sudah melayang ke
tengah ruangan itu, menghadang antara Bun Houw dan gurunya. "Bun-ko, engkau
tidak boleh melawan subo!"
"Hong-moi, aku telah bersalah kepadamu. Engkau tidak berdosa, akan tetapi
gurumu itu... dia iblis betina keji yang harus kubasmi. Minggirlah, Hong-moi!"
"Tidak! Engkau tidak boleh melawan Subo..."
"Hong-moi!" Bun Houw membentak.
"Kalau engkau berkeras, terpaksa aku yang mewakili subo menghadapimu, Bun-
ko." "Hong-moi...!" Bun Houw terkejut, meragu dan bingung.
Pada saat itu, tedengar seruan. "Tahan...!" Semua orang terkejut melihat
berkelebatnya bayangan orang yang mencelat melalui atas kepala para penjaga,
cepat sekali gerakannya seperti burung terbang dan tahu-tahu di situ telah
berdiri seorang laki-laki sederhana, berusia tiga puluh tujuh tahun, mukanya
kurus sekali dan agak pucat sehingga nampak sepasang matanya yang tajam memenuhi
wajah kurus yang masih membayangkan sisa ketampanan itu.
"Sute, mundurlah, biar aku yang menghadapinya!" kata pria itu kepada Bun
Houw. "Suheng...!" Bun Houw berseru ragu-ragu dan alisnya berkerut. Hati Bun Houw
masih penasaran bertemu dengan Yap Kuh Liong ini, yang mengingatkan dia akan
peristiwa hebat yang menimpa keluarga encinya.
In Hong juga terkejut melihat kakak kandungnya, akan tetapi kesempatan itu
dipergunakannya untuk mundur dengan hati lega karena diapun melihat Bun Houw
mundur dengan muka berobah. In Hong makin terheran-heran mendengar kakak
kandungnya menyebut sute kepada Bun Houw.
Sementara itu, begitu melihat pria ini, wajah Yo Bi Kiok berobah, sebentar
pucat sebentar merah, mukanya kadang-kadang seperti orang hendak menangis
kadang-kadang seperti orang bergembira. Aneh sekali sikap wanita cantik ini.
Orang itu memang Yap Kun Liong. Seperti telah diceritakan di bagian depan,
pendekar ini bertemu dengan Cia Keng Hong, mendengar bahwa adik kandungnya, Yap
In Hong, berada di benteng musuh dan bahwa sutenya, Cia Bun Houw, sedang
menyusul untuk melindungi In Hong, maka diapun lalu menyusul. Ketika dia
menyelidiki, dia mendengar bahwa di dalam benteng sedang ramai diadakan pibu
antara orang-orang yang berkepandaian tinggi, dan bahwa yang mengadakan pibu itu
adalah Raja Sabutai sendiri. Mendengar ini dia lalu mencari jalan masuk dan
akhirnya, berkat kepandaiannya yang tinggi, dia berhasil pula masuk dan tiba di
tempat itu tepat pada saat Bun Houw mendesak Yo Bi Kiok untuk mengaku tentang
Lie Sang. Mendengar bahwa Lie Seng yang kabarnya terculik itu ternyata diculik
oleh Yo Bi Kiok, Kun Liong menjadi kaget dan marah sekali maka tak tertahankan
lagi dia berseru dan meloncat ke tengah ruangan dengan hati penuh kemarahan.
Akan tetapi, pendekar ini masih ingat bahwa dia berada di dalam benteng Raja
Sabutai yang telah mundur dan menyerang kota raja, maka dia lalu memberi hormat
kepada raja itu, berkata, "Harap sri baginda mengampunkan kelancangan saya yang
datang tanpa diundang."
Raja Sabutai mengerutkan alisnya. Tadi, para pengawal sudah menggerakkan
senjata dan memandang kepadanya menanti perintah, juga kedua orang gurunya sudah
siap bendak menerjang, hanya menanti isyaratnya, akan tetapi dia memberi isyarat
kepada mereka semua agar jangan turun tangan. Andaikata tidak ada sebutan sute
dan suheng antara pendatang baru ini dan Bun Houw, tentu dia telah memberi
isyarat untuk menanqkap penyelundup itu. Akan tetapi, ketika melihat bahwa
pendatang baru ini adalah suheng dari Bun Houw yang demikian lihai, hatinya
tertarik. Akan tetapi kini mendengar ucapan Yap Kuli Liong, Raja Sabutai dengan
alis berkerut dan suara marah membentak, "Siapakah engkau?"
"Sri baginda, dia adalah kakak kandung saya!" Tiba-tiba In Hong berkata. Kun
Liong memutar tubuhnya memandang In Hong dengan wajah berseri. Tidak ada kata-
kata yang lebih merdu, lebih menggembirakan daripada suara dara itu yang kini di
depan orang banyak mengakui dia sebagai kakak kandungnya.
"Adikku...!" Dia berbisik dengan hati terharu, akan tetapi In Hong hanya
memandang kepadanya dengan mata terbelalak, karena gadis ini mengakui kakaknya
hanya untuk meredakan kemarahan Raja Sabutai.
Dan memang tepatlah dugaannya. Mendengar seruan gadis yang pernah amat
dipercayanya, yang menjadi pengawal, pelindung dan juga sahabat isterinya,
berkuranglah kemarahan dalam hati Raja Sabutai atas kelancangan Kun Liong.
Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa keperluanmu datang ke sini tanpa diundang?" Raja Sabutai bertanya lagi.
"Saya bernama Yap Kun Liong dan kedatangan saya secara lancang ini adalah
karena saya mendengar bahwa adik kandung saya, Yap In Hong dan sute Cia Bun Houw
berada di sini..." "Ouhhh...!" Yang menjerit ini adalah In Hong. Dan gadis itu kini berdiri
dengan mata terbelalak memandang kepada Bun Houw yang juga sedang memandang
kepadanya dengan bengong. Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati In Hong ketika
mendengar bahwa pemuda yang selama ini disangkanya orang she
Bun, yang baru saja dengan kepandaiannya yang hebat membuat dia terheran-
heran, ternyata adalah Cia Bun Houw putera ketua Cin-ling-pai atau...
tunangannya sendiri yang dia batalkan! Cia Bun Houw! Kekasih Yalima! Tak terasa
lagi matanya menjadi panas dan cepat-cepat dia mengusap air mata yang belum
keluar itu. Cia Bun Houw! Mengapa dia begitu bodoh" Begitu buta" Orang yang
mati-matian membela Cin-ling-pai, orang muda yang begitu lihai, tentu saja Cia
Bun Houw! Di lain fihak, Bun Houw juga bengong terlongong. Kiranya gadis yang
mengagumkan hatinya, yang menjatuhkan hatinya, ternyata adalah adik Yap Kun
Liong sendiri! "Kedatangan saya ini sama sekali bukan hendak mengacaukan benteng paduka sri
baginda. Melainkan karena urusan pribadi. Setelah mendengar bahwa mereka berdua
berada di sini, saya menyusul dan tadi hanya mendengar tentang pengakuan wanita
bernama Yo Bi Kiok atau Yo-pangcu, ketua Giok-hong-pang ini. Maka saya hendak
menyelesaikan urusan pribadi saya dengan dia, jika paduka memperkenankan."
Melihat sikap gagah den kata-kata yang lancar dan hormat itu, Raja Sabutai
tahu bahwa yang berdiri di depannya adalah seorang yang berkepandaian tinggi,
maka dia menjadi gembira sekali. Akan lebih ramai sekarang! Maka dia mengangguk.
"Baik, silakan."
Yap Kun Liong kini menghampiri Yo Bi Kiok, alisnya berkerut dan pandang
matanya penuh selidik, penuh penyesalan. "Yo Bi Kiok, sungguh menyesal bahwa
kita sekarang saling berhadapan dalam keadaan seperti ini! Sekarang harap engkau
suka berterus terang apa saja yang telah kaulakukan di Sin-yang, dan ke mana kau
membawa Lie Seng putera dari Cia Giok Keng itu."
Yo Bi Kiok sejenak memandang wajah pria yang sejak dahulu dipuja den
dicintanya itu, memandang meara, kemudian dia tersenyum. "Kun Liong, kenapa
engkau mencampuri urusan ini" Apa perdulimu tentang urusanku dengan keluarga
Cin-ling-pai?" "Benar! Engkau tidak berhak, Yap-suheng. Mundurlah dan aku yang akan
menyelesaikan perhitungan ini dengan Yo-pangcu!"
"Kalau engkau melawan subo, terpaksa aku akan maju menghadapimu... Bun-ko!"
"Ahhh... tapi kau... kau adik Yap-suheng dan dia itu..." Bun Houw bingung.
"Sute, biarkan aku yang menghadapinya. Ini adalah urusan pribadiku. Aku
telah bersumpah kepada encimu untuk mencari Lie Seng sampai dapat. Kalau benar
dia yang menculik Lie Seng, maka akulah yang akan menghadapinya." Kun Liong
berkata kepada Bun Houw, kemudian dia mendesak. "Bi Kiok, katakanlah, mengapa
engkau menculik Lie Seng dan di mana dia sekarang?"
"Kun Liong, engkau terlalu, selalu kau hendak membikin marah aku. Kalau aku
tidak menjawab pertanyaanmu, bagaimana?"
"Aku akan memaksamu."
"Kun Liong... ah, Kun Liong, mengapa kita berdua seperti ini" Berhadapan
sebagai musuh" Kun Liong, marilah kita pergi dari sini, meninggalkan semua ini,
meninggalkan dunia yang menjemukan ini, mari kita hidup bersama, jauh dari
segala pertikaian dan segala urusan... marilah dan aku akan menceritakan segala-
galanya kepadamu." Kun Liong mengerutkan alisnya, pandang matanya menusuk, "Tidak perlu banyak
membujuk lagi, Yo Bi Kiok. Katakan, apa yang kaulakukan terhadap Lie Seng?"
Tiba-tiba wanita itu meloncat dengan marah, matanya berkilat dan mukanya
merah. "Kau lebih memberatkan anak Cia Giok Keng itu daripada aku" Keparat Yap
Kun Liong. Sekali lagi kau mau pergi bersamaku atau hendak memusuhi aku?"
"Kalau kau tidak mengaku, terpaksa aku menggunakan kekerasan."
"Singgg...!" Yo Bi Kiok sudah mencabut pedang Lui-kong-kiam. "Kalau begitu,
aku ingin melihat engkau mampus di tanganku!" Wanita itu mengeluarkan suara
melengking tinggi dan dia sudah menyerang dengan hebatnya, melakukan tusukan
kilat ke arah dada Yap Kun Liong. Pendekar ini cepat mengelak, akan tetapi baru
saja dia mengelak, pedang Lui-kong-kiam sudah menyambar lagi ke arah lehernya.
Plakk!" dengan kecepatan mengagumkan, tangan Kun Liong berhasil menampar
lengen kanan Bi Kiok sehingga sambaran pedang menyeleweng. Namun hal ini membuat
Bi Kiok makin marah dan makin hebatlah serangannya yang datang seperti hujan.
Dalam waktu singkat saja tubuh Kun Liong sudah digulung oleh sinar pedang.
Pendekar ini hanya mengelak ke sana-sini karena dia tidak menggunakan senjata,
dan sesungguhnya di dalam hatinya, Yap Kun Liong merasa kasihan kepada Bi Kiok
yang sampai saat itu masih tergila-gila dalam cintanya kepadanya, cinta yang tak
mungkin dapat dibalasnya.
Bun Houw dan In Hong menonton dengan jantung berdebar. Terlalu banyak
peristiwa terjadi dalam waktu singkat, terlalu banyak rahasia yang mengejutkan
tersingkap sehingga mereka masih merasa terguncang dan menjadi tegang. Biarpun
tadinya dia marah kepada Yap Kun Liong, karena antara pendekar itu dan keluarga
encinya terjadi hal yang amat hebat, akan tetapi melihat kini Kun Liong
bertanding mati-matian membela keponakannya, yaitu Lie Seng yang terculik oleh
ketua Giok-hong-pang, tentu saja hatinya berfihak kepada Yap Kun Liong. Maka,
melihat pendekar itu menghadapi ketua Giok-hong-pang dengan tangan kosong
padahal permainan pedang wanita itu lihai bukan main, hatinya menjadi gelisah
sekali. Melihat gerakan Yap Kun Liong yang demikian murni, cepat dan tepat,
diam-diam dia kagum sekali dan tahulah dia mengapa ayahnya amat memuji-muji
suhengnya ini. Gerakan suhengnya sudah demikian matangnya sehingga sukarlah
untuk melihat sedikitpun kesalahan, perhitungannya demikian tepat sehingga semua
serangan pedang yang demikian berbahayanya itu dapat dihindarkan dengan baik.
Semua orang, termasuk kakek dan nenek guru Raja Sabutai, memandang dengan
bengong karena yang disuguhkan oleh dua orang yang sedang bertanding itu adalah
betul-betul ilmu yang amat tinggi tingkatnya. Para penonton yang tidak memiliki
kepandaian tinggi menjadi silau matanya dan tidak dapat mengikuti gerakan dua
orang itu, hanya melihat betapa mereka itu kadang-kadang lenyap dan kadang-
kadang bergerak dengan lambat sekali seperti orang main-main saja! Yang paling
gelisah dan bingung adalah In Hong! Dia sudah dibingungkan oleh kenyataan bahwa
Bun Houw adalah Cia Bun Houw putera ketua Cin-ling-pai yang tadinya ditunangkan
dengan dia dan ditolaknya, Cia Bun Houw kekasih Yalima dan sekarang dia
menghadapi pertandingan antara kakak kandungnya dan gurunya! Sekarang, setelah
merantau selama satu tahun meninggalkan gurunya, terjadi perobahan besar dalam
batin gadis ini. Sekarang dia dapat melihat betapa kejam dan anehnya watak
gurunya, dan sekarang baru dia dapat melihat betapa kakak kandungnya telah
mengalami perhtiwa yang amat hebat! Kakaknya itu kematian isterinya dan kakaknya
itu menolak cinta gurunya karena memang sudah sepatutnya demikian. Kakaknya
sudah beristeri, dan sebagai seorang laki-laki yang jantan tentu saja menolak
cinta kasih wanita lain. Baru sekarang tampak olehnya bahwa dalam urusan
kakaknya dan gurunya, sesungguhnya gurunya yang tidak tahu malu, mencinta suami
orang lain. Betapapun juga, hatinya tetap merasa berat kepada gurunya, maka melihat
pertandingan itu, dia gelisah bukan main. Dia tahu betapa lihai gurunya, apalagi
memegang Lui-kong-kiam yang ampuh, sedangkan kakaknya bertangan kosong. Ini
tidak adil, pikirnya. Dia boleh tidak berfihak manapun, akan tetapi pertandingan
itu harus dilakukan dengan adil. Barulah menang atau kalah merupakan suatu
kehormatan. Dan pedang ini... pedang Hong-cu-kiam, adalah pedang putera Cin-
ling-pai... pedang... tunangannya yang sudah mencinta orang lain, mencinta
Yalima...! Tiba-tiba hatinya terasa panas sekali dan dia cepat melolos pedang
Hong-cu-kiam, melontarkan pedang itu kepada Kun Liong sambil berkata, "Koko,
pakailah ini, baru adil!"
Sebetulnya Kun Liong tidak mau menggunakan senjata. Dia tahu bahwa
kepandaian wanita ini amat tinggi dan aneh, akan tetapi karena Yo Bi Kiok
melatih ilmu silat tinggi yang murni dan sukar itu tanpa petunjuk, limu silat
peninggalan Panglima The Hoo yang amat tinggi dan murni, maka dia melihat
kelemahan-kelemahannya. Dengan mengandalkan Thi-khi-i-beng sehingga kalau perlu
dia boleh menggunakannya agar tidak sampai terluka, den dengan kematangan ilmu
silatnya yang telah digemblengnya dengan dasar ilmu mujijat dari kitab Keng-lun
Tai-pun dari Bun Ong, maka dia percaya bahwa dia akhirnya akan dapat mengalahkan
Yo Bi Kiok tanpa membunuhnya. Dia hanya ingin memaksa wanita itu mengembalikan
Lie Seng dalam keadaan selamat dan dia tidak tega untuk membunuh wanita yang
sebetulnya amat mencintanya itu. Akan tetapi, mendengar seruan adik kandungnya
yang melemparkan sebatang pedang, hatinya girang bukan main, bukan girang karena
memperoleh pedang, melainkan girang karena melihat perobahan pada adiknya.
Dahulu, di waktu pertama kali dia bertanding melawan Yo Bi Kiok, adiknya itu
malah membantu wanita yang menjadi gurunya ini. Akan tetapi sekarang, adiknya
membantunya dengan meminjamkan pedang. Kegirangan melihat adiknya benar-benar
berobah, bahkan telah menyelamatkan kaisar dan kini membantunya, membuat Kun
Liong menyambar pedang Hong-cu-kiam dan begitu dia memutar pedang itu, dia
terkejut karena yang dimainkarmya itu adalah sebatang pedang yang luar biasa
ampuhnya! Dia tidak tahu bahwa itu adalah pedang kepunyaan Cia Bun Houw,
pemberian dari Kok Beng Lama.
Terdengar suara mengaung-aung, seperti ada ribuan lebah beterbangan dan baik
Bun Houw maupun In Hong memandang kagum sekali. Pedang Hong-cu-kiam itu setelah
dimainkan oleh tangan pendekar sakti ini seolah-olah menjadi hidup dan menjadi
ribuan lebah yang berbunyi sambung-menyambung. Juga gulungan sinar emas dari
pedang itu amat lebar dan panjang, kilatan yang mencuat dan menyambar-nyambar
amatlah banyaknya sehingga selain nampaknya amat indah, juga amat berbahaya
sehingga Yo Bi Kiok sendiri sampai beberapa kali menjerit kaget!
Tidak disangka sama sekali, bantuan In Hong dan kegembiraan Kun Liong yang
membuat permainan pedangnya makin hebat itu dan membuat Yo Bi Kiok seketika
terdesak secara berat, membuat wenita ini menjadi marah bukan main. Marah kepada
muridnya, kepada In Hong! Memang, watak Bi Kiok amatlah aneh dan keji, juga
ganas. Dia tidak marah kepada Kun Liong atau orang lain, sebaliknya malah marah
kepada muridnya yang tidak membantunya malah membantu Kun Liong dengan
memberikan pedangnya. "Murid durhaka...!" Tiba-tiba dia menjerit dan sekali meloncat, dia telah
meninggalkan Kun Liong dan menyerang muridnya!
"Ihhh...!" In Hong cepat melempar tubuh ke belakang untuk menghindar ketika
sinar pedang menyerangnya secara hebat. Serangan itu luput akan tetapi Bi Kiok
menyusulkan serangan lain yang lebih berbahaya.
"Subo...!" In Hong kembali mengelak dan nyaris lambungnya keserempet pedang.
"Bi Kiok, gilakah engkau?" Kun Liong juga meloncat dan menggerakkan
pedangnya. "Cringg... cringg... tranggg!" Tiga kali pedangnya menangkis bacokan-bacokan
pedang Bi Kiok yang ditujukan kepada In Hong. Akan tetapi Bi Kiok sudah seperti
gila, dia terus menyerang tanpa memperdulikan dirinya sendiri.
Singgg... Wuuuttt! Murid durhaka!" Kembali pedang Lui-kong-kiam membabat ke
arah In Hong yang meloncat mundur. "Bukk... aihhhh!" In Hong yang kurang cepat
mengelak itu kena ditendang kaki kiri gurunya dan dia terguling. Sesungguhnya
tidak akan semudah itu Yo Bi Kiok dapat menendang muridnya sampai terguling
kalau saja In Hong berada dalam keadaan biasa. Namun gadis itu memang sedang
tertekan hebat batinnya. Hanya dengan hati berat dan sakit dia terpaksa
melemparkan pedangnya kepada kakak kandungnya tadi, dan dia menonton dengan
wajah pucat, kedua kaki gemetar dan jantung berdebar penuh ketegangan, merasa
seolah-olah dia sendiri yang menyerang gurunya, orang yang sejak kecil
memelihara, mendidik, dan menyayangnya. Karena keadaan seperti itulah maka
ketika diserang secera hebat oleh gurunya In Hong hanya dapat menghindarkan
pedang, tidak menyangkanya akan ditendang oleh gurunya sampai terguling. Dan
cepat bagaikan kilat, Yo Bi Kiok sudah menubruk dan menusukkan pedangnya ke arah
tubuh muridnya! "Bi Kiok, terlalu engkau!" Kun Liong sudah membentak marah sekali,
gerakannya lebih cepat sedetik daripada gerakan pedang Yo Bi Kiok yang menusuk
In Hong. "Cringggg... ceppp!"
"Aihhhhhhh...!?" Tubuh ketua Giok-hong-pang itu terguling dan pedang Lui-
kong-kiam terlepas dari pegangannya. Dia jatuh miring dan menggunakan tangan
kiri mendekap lambungnya yang mengucurkan darah dari luka bekas tusukan pedang
Hong-cu"kiam tadi. "Bi Kiok...!" Yap Kun Liong terbelalak dan cepat dia berlutut dekat tubuh
wanita itu. "Bi Kiok, kau... ampunkan aku...!" Pendekar ini merasa menyesal
bukan main karena tadi dia terpaksa menyerang wanita itu untuk menyelamatkan
nyawa adiknya. Kalau tidak terpaksa seperti keadaan tadi, bagaimanapun juga
tentu dia akan mengalah dan tidak akan tega melukai apalagi membunuh wanita yang
dia tahu hidup sengsara karena cintanya kepadanya tidak dibalasnya itu.
Yo Bi Kiok tersenyum, mengeluh dan darah masih menetes-netes dari celah-
celah jari tangannya, membasahi bajunya.
"Kun Liong... aku cinta padamu... uuh, Kun Liong..."
Wanita itu mengulur tangan kanannya dan Kun Liong menangkap tangan itu,
menekapkan tangan itu ke dadanya. "Ampunkan aku, Bi Kiok..."
Tiba-tiba wanita itu tertawa. "Hi-hi-hik, heh-heh, aku... tidak menyesal,
Kun Liong. Aku tewas di tanganmu, sungguh menyenangkan sekali."
"Maafkan aku, ampunkan aku..."
"Heh-heh, kau minta maaf" Minta ampun" Ha-ha, Yap Kun Liong... aku... aku
tidak pernah minta ampun kepadamu... ahhhh... sungguhpun... aku telah menusukkan
pedang itu ke dada isterimu... ah, puas hatiku! Aku membunuhnya, Kun Liong...
heh-heh, kau terkejut..." Aku aku membunuh Hong Ing yang telah merampas engkau
dariku... ha-ha-ha, dan bocah itu... siapa namanya" Lie Seng... ha-ha, putera
Giok Keng itu... aku telah membunuhnya dengan Siang-tok-swa...!"
"Bi Kiok!" Kun Liong yang tadi melepaskan tangan itu dan terbelalak
memandang dengan muka pucat, kini berseru keras, seruan yang penuh dengan
kejijikan dan penyesalan mengapa wanita yang ketika masih gadis merupakan
seorang yang manis dan gagah itu kini berobah menjadi iblis yang demikian
kejamnya. "Kau... kau kejam sekali!"
"Heh-heh-heh... aku... kejam..." Bukan aku, melainkan engkau yang kejam, Kun
Liong... oughhhh... kalau tidak karena kekejamanmu kepadaku... aku tidak...
tidak akan... ahhh, Kun Liong... aku tidak kuat lagi, aku... aku mati dan... kau
harus ikut bersamaku!"
"Suheng...!" "Koko, awas...!"
Bagaikan seekor burung cepatnya, tubuh Kun Liong mencelat ke atas,
berjungkir balik sampai lima kali, akan tetapi karena jaraknya yang amat dekat
dan karena tangan kiri yang berlumuran darah itu tadi tak tersangka-sangka telah
menggenggam pasir beracun, maka betapapun cepat Kun Liong mengelak, tetap saja
ada sebagian pasir harum beracun yang menembus kulit dadanya. Tubuh pendekar ini
jatuh lagi menimpa mayat Yo Bi Kiok yang mati dengan mata terbelalak. Pendekar
itu terkulai dan pingsan!
"Yap-suheng...!" Bun Houw menubruk ke depan dan hendak memeriksa dada
suhengnya, akan tetapi In Hong sudah berlutut dan berkata kepadanya,
"Minggirlah, biarkan aku menolong kakakku!" Suara dara itu kaku dan keras, tanda
bahwa dia marah kepada Bun Houw.
Bun Houw maklum bahwa gadis ini tentu saja lebih ahli untuk menolong luka
yang terkena Siang-tok-swa, maka dia bangkit berdiri dan melangkah mundur, hanya
menonton ketika jari-jari tangan yang mungil dan kuat itu merobek baju di dada
Kun Liong, kemudian memeriksa dada kanan yang penuh dengan bintik-bintik hijau
bekas terkena Siang-tok-swa itu.
"Lekas kaucarikan tempat memasak obat, dan masak obat ini!" Tanpa menoleh
dan dengan sikap seolah"olah seorang nyonya majikan memerintah jongosnya, In
Hong menyerahkan sebungkus obat kepada Bun Houw. Pemuda itu cepat menerimanya
dan dengan petunjuk seorang pengawal dia lari ke dapur dan memasak obat itu
dengan air dua mangkok. Sementara itu, In Hong menggunakan obat bubuk lain lagi
untuk dicampur air dan diborehkan ke dada yang terluka. Kemudian dia menotok
beberapa jalan darah di dada dan pundak kakaknya, dan menempelkan telapak
tangannya pada tempat yang terluka, lalu mengerahkan tenaga saktinya menyedot.
Tak lama kemudian, beberapa butir pasir halus sekali telah menempel di telapak
tangannya dan cepat disimpannya pasir-pasir berbahaya itu. Ketika Bun Houw
datang membawa obat, dengan bantuan pemuda itu In Hong lalu meminumkan obat itu
kepada Kun Liong yang sudah mulai sadar.
"Uhhhh...!" Begitu sadar Kun Liong lalu meloncat ke atas akan tetapi dia
terhuyung. "Koko, engkau belum boleh banyak bergerak." In Hong berkata.
Kun Liong memejamkan mata sejenak, tubuhnya yang berdiri tegak itu agak
bergoyang, kemudian dia membuka mata memandang ke sekelilingnya, lalu kepada
mayat Yo Bi Kiok. Dia menghampiri mayat itu, dengan jari tangannya dia
menutupkan kelopak mata dan mulut mayat itu, baru kemudian dia duduk bersila di
atas lantai, mengerahkan sin-kang mengusir sisa racun dan mengumpulkan hawa
murni untuk memulihkan tenaganya.
Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hebat...!" Tiba-tiba terdengar Raja Sabutai berkata, memecah kesunyian yang
tadi mencekam keadaan di situ semenjak terjadi peristiwa hebat itu. "Sungguh
ilmu kepandaian hebat-hebat yang telah diperlihatkan tadi. Kami merasa kagum
sekali!" Bun Houw lalu melangkah maju dan menjura kepada Raja Sabutai. "Terima kasih
atas kebijaksanaan paduka. Sekarang, urusan pribadi telah selesai dan musuh-
musuh Cin-ling-pai telah tewas. Maka kami hendak mohon diri dan mohon agar
pedang pusaka kami dikembalikan kepada kami." Sambil berkata demikian, pemuda
ini mengerling ke arah Pek-hiat Mo-ko karena pedang Siang-bhok-kiam terselip di
pinggang kakek bermuka putih itu.
Raja Sabutai menoleh kepada gurunya, tersenyum lebar dan menjawab, "Pek-hiat
Mo-ko ini adalah guruku, dan dia mempunyai omongan untuk disampaikan kepadamu,
Bun... eh, Cia-sicu. Bukankah engkau sesungguhnya adalah putera ketua Cin-ling-
pai yang terkenal bernama Cia Keng Hong itu" Nah, terserah kepada suhu Pek-hiat
Mo-ko dan subo Hek-hiat Mo-li tentang pedang Siang-bhok-kiam itu." Raja ini
memandang dengan mata bersinar gembira karena dia ingin sekali melihat apakah
tiga orang Han yang lihai ini akan mampu menandingi kedua orang gurunya.
Sesungguhnya Raja Sabutai tidak tertarik oleh pedang kayu itu dan diapun tidak
tertarik oleh urusan-urusan pribadi, akan tetapi karena dia ingin sekali melihat
kedua orang gurunya bertanding dengan Yap In Hong, Yap Kun Liong atau Cia Bun
Houw, maka dia tidak melarang ketika Pek-hiat Mo-ko tadi berbisik-bisik
kepadanya tentang pedang itu.
Berkerut alis tebal di atas mata yang bersinar-sinar itu ketika Bun Houw
kini langsung menentang pandang mata nenek dan kakek yang menyeramkan itu.
"Urusan perebutan pedang pusaka adalah urusan pribadi antara Lima Bayangan Dewa
dan Cin-ling-pai," katanya lantang. "Sama sekali tidak menyangkut orang lain.
Locianpwe hanya bertugas menyimpan pedang dan menyerahkannya kepada fihak yang
menang. Oleh karena itu, saya harap dengan sangat dan minta dengan hormat agar
locianpwe suka menyerahkan pedang pusaka kami itu kepada saya."
"Hoh-hoh, nanti dulu, orang muda!" Pek-hiat Mo-ko tertawa dan melangkah
maju, sikapnya memandang rendah. "Mengembalikan pedang kayu ini adalah perkara
mudah. Akan tetapi lebih dulu jawablah pertanyaan-pertanyaan dengan jujur."
"Silakan bertanya, locianpwe," kata Bun Houw sambil mengamati wajah yang
rusak itu, dan dari logat bicara kakek ini dia dapat menduga bahwa kakek ini
tentulah seorang asing. "Siapakah namamu yang sesungguhnya?"
"Nama saya Cia Bun Houw," menjawab demikian, Bun Houw merasa tengkuknya
dingin dan tahulah dia bahwa tengkuknya itu disambar sinar mata In Hong. Akan
tetapi perasaan ini dilawannya dengan kenyataan bahwa gadis itupun tadinya hanya
dikenal sebagai nona Hong saja, sama sekali dia tidak pernah mimpi bahwa gadis
itu adalah Yap In Hong, adik kandung Yap Kun Liong!
"Engkau putera dari Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai?" tanya lagi Pek-hiat
Mo-ko dengan suaranya yang mengandung getaran dingin menyeramkan.
"Benar." "Bukankah Cia Keng Hong itu adalah pendekar yang dahulu terkenal sebagai
sahabat baik, bahkan tangan kanan dari Panglima Besar The Hoo?" tanya lagi kakek
yang sukar ditaksir berapa usianya itu karena mukanya yang putih itu seperti
muka mayat. Kepahlawanan merupakan suatu kebanggaan bagi tiap orang gagah di dunia kang-
ouw. Kenyataan bahwa ayahnya adalah seorang pahlawan pembela nusa bangsa, juga
bahwa ayahnya merupakan sahabat baik dari Panglima Besar The Hoo yang telah
terkenal di seluruh dunia bahkan amat disegani dan ditakuti kawan dan lawan itu,
tentu saja dia tidak hendak menyangkalnya.
"Benar," jawabnya pula. "Bahkan, biarpun mendiang Panglima Besar The Hoo
telah meninggal dunia, ayahku tetap setia setiap saat menyediakan jiwa raganya
untuk membela tanah air dan sekarang ayah membantu kaisar memperoleh kembali
singgasananya yang dirampas oleh pengkhianat-pengkhianat."
"Ho-ho, bagus kalau begitu! Nah, dengarlah baik-baik, orang muda. Sampaikan
kepada ayahmu itu, kepada Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai, bahwa pedang Siang-
bhok-kiam akan kami bawa terus dan hanya akan kami serahkan kalau Panglima The
Hoo sendiri yang datang menemui kami dan mengambilnya!"
Bun Houw terbelalak dan suasana menjadi sunyi sekali. Setelah dapat menekan
ketegangan hatinya, barulah Bun Houw menjawab, suaranya mengandung rasa
penasaran. "Permintaan locianpwe sungguh tidak masuk akal. Panglima The Hoo
telah meninggal dunia, bagaimana bisa menemui locianpwe kecuali kalau locianpwe
menyusul beliau?" Jawaban ini sekaligus mengandung ejekan.
"Hih-hih, bocah itu lancang mulut. Ketuk saja kepalanya!" Tiba-tiba Hek-hiat
Mo-li berseru, suaranya tinggi melengking dan mengandung getaran panas.
"Ho-ho, bocah lancang! Siapa tidak tahu bahwa The Hoo telah mati" Akan
tetapi mustahil tidak ada muridnya atau keturunannya" Setidaknya masih ada
ayahmu yang menjadi tangan kanan dan sahabat baiknya. Nah, pedang ini kami
simpan sambil menanti wakil dari The Hoo untuk mengambilnya."
Bun Houw menjadi marah sekali. "Biarlah sekarang juga aku menjadi wakilnya!"
bentaknya. "Dan aku juga!" In Hong juga berseru dan sudah meloncat ke dekat Bun Houw
yang mengerlingnya, juga gadis itu melirik dan mereka saling bertemu pandang
dalam kerling mereka. "Bagus...! Akan tetapi kami lebih senang berhadapan dengan Cia Keng Hong,
tua sama tua, bukan dengan bocah-bocah ingusan!" kata Pek-hiat Mo-ko.
Tahan...!" Tiba-tiba terdengar suara yang menggetarkan seluruh ruangan itu.
Kiranya Yap Kun Liong yang berseru itu dan kini pendekar ini telah bangkit
berdiri dan dengan perlahan melangkah maju. Wajahnya masih pucat, akan tetapi
dia telah terbebas dari racun, hanya tinggal tenaganya yang belum pulih karena
dia memeras semua tenaganya untuk mengusir hawa beracun dari Siang-tok-swa.
"Heh-heh-heh, kau orang yang sudah lemah karena lukamu mau bicara apa?" Pek-
hiat Mo-ko berkata mengejek.
Yap Kun Liong menjura ke arah Raja Sabutai dan berkata, "Harap paduka
maafkan kami bertiga. Sama sekali bukan maksud kami untuk membikin ribut di
dalam benteng paduka ini." Kemudian dia memandang kepada Pek-hiat Mo-ko dan Hek-
hiat Mo-li, lalu berkata, "Ji-wi locianpwe sungguh bersikap jujur, dan maafkan
kedua orang adikku ini. Sudah menjadi kewajiban kami untuk menyampaikan
tantangan ji-wi locianpwe kepada supek Cia Keng Hong, dan kepada para murid dan
keturunan mendiang Panglima The Hoo. Kami bertiga tidak berhak mencampuri urusan
antara ji-wi dan mendiang Panglima The Hoo. Akan tetapi agar jelas, hendaknya
ji-wi suka menerangkan mengapa ji-wi mendendam kepada mendiang Panglima The Hoo
agar kalau ditanya kami dapat memberitahukan."
"Ho-ho, kau ternyata lebih cerdik dan sopan! Ketahuilah, kami berdua datang
dari Sailan dan kami pernah dilukai dan hampir tewas oleh Panglima The Hoo. Oleh
karena itu, belum puas hati kami sebelum membalas kekalahan kami puluban tahun
yang lalu itu kepada keturunannya, muridnya, ataupun sahabatnya yang mewakilinya
mengambil pedang Siang-bhok-kiam."
Yap Run Liong berpikir sejenak, kemudian berkata, "Kami tidak ingin
mengganggu sri baginda raja, dan mengingat bahwa urusan ini merupakan urusan
pribadi, ke manakah wakil mendiang Panglima The Hoo boleh datang mencari ji-wi
untuk mengambil pedang?"
"Ho-ho, kaukira kami akan mengandalkan pasukan murid kami untuk membantu
kami" Ha-ha-ha, orang muda, sampaikan kepada Cia Keng Hong bahwa kami akan
menanti kedatangan wakil Panglima The Hoo di Lembah Naga, di mana kami berdua
akan bertapa dan menanti dengan tidak sabar."
"Lembah Naga" Di mana itu?"
"Di tikungan Sungai Luan-ho, di kaki Pegunungan Khing-an-san."
Yap Kun Liong mengangguk. "Baiklah, Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li,"
jawabnya dan kini sikap menghormatnyapun lenyap. "Akan kami sampaikan kepada
supek Cia Keng Hong."
Kemudian, mewakili dua orang adiknya dia lalu menghadap Raja Sabutai dan
berkata, "Sekali lagi terima kasih kami haturkan atas kebijaksanaan paduka, dan
perkenankan kami sekarang untuk pergi dari benteng ini dan membawa jenazah Yo Bi
Kiok." Raja Sabutai mengangguk-angguk. "Sampaikan kepada Kaisar Ceng Tung bahwa
kami menerima uluran tangannya, dan dalam bulan ini juga kami akan kembali ke
utara. Nona Hong, untuk membalas jasa-jasamu sebagai pengawal dan sahabat sang
ratu, beliau minta kepadaku untuk menyampaikan terima kasih dan tanda mata ini.
Terimalah!" In Hong merasa terharu juga mengingat akan kebaikan Khamila, maka dia
melangkah maju dan tidak menolak ketika Raja Sabutai mengalungkan seuntai kalung
mutiara ke lehernya. "Terima kasih, sri baginda, dan semoga paduka dan Sang Ratu Khamila hidup
berbahagia." Mereka berpamit lagi kemudian dengan diantar sepasukan pengawal kehormatan,
mereka bertiga meninggalkan benteng itu dan Kun Liong memondong mayat Yo Bi Kiok
yang masih lemas. Setibanya di luar benteng, di dalam sebuah hutan yang sunyi, Kun Liong lalu
mengubur jenazah wanita itu, dibantu oleh Bun Houw dan In Hong. Ketika In Hong
berlutut di depan kuburan itu, tak tertahankan lagi dua titik air mata membasahi
pipina yang segera diusapnya dengan punggung tangan. Sementara itu, terdengar
Bun Houw berkata kepada Yap Kun Liong, dengan nada suara terheran dan penasaran,
"Yap-suheng, kenapa suheng tidak membolehkan saya untuk mewakili ayah menghadapi
dua orang kakek dan nenek iblis itu untuk merampas kembali Siang-bhok-kiam" Saya
tidak takut melawan mereka."
"Aku percaya, sute. Akan tetapi, kalau hal itu kaulakukan juga, berarti kita
membiarkan diri dalam bahaya besar dan hal itu merupakan kebodohan yang
sembrono. Kakek dan nenek itu amat lihai dan biarpun engkau dan Hong-moi-moi
belum tentu kalah, akan tetapi harus kauingat bahwa mereka adalah guru-guru dari
Raja Sabutai. Tidak mungkin raja akan membiarkan saja kedua orang gurunya
ditentang, apalagi dikalahkan orang di hadapannya. Kalau pasukan maju
mengeroyok, mana mungkin kita dapat melawan" Bahkan meloloskan diripun akan
sukar, apalagi karena kesehatanku belum pulih. Kalau sampai terjadi demikian,
kita tidak bisa lolos dan pedang tidak dapat terampas, bukankah hal itu amat
celaka dan menyesalpun tiada gunanya lagi. Yang lebih hebat lagi, kita akan
dicap sebagai pengacau di benteng, dan ini amat bertentangan dengan kehendak
kaisar. Setelah mereka berdua menantang dan akan menanti di Lembah Naga,
bukankah hal itu lebih mudah lagi?"
Bun Houw mengangguk-angguk dan benar-benar dia kagum akan pandangan yang
luas dari pendekar itu. "Koko, mengapa engkau masih mau mengurus jenazah subo?" Tiba-tiba In Hong
juga mengajukan pertanyaan. "Setelah semua pengakuannya itu... setelah ternyata
bahwa dia yang membunuh go-so (kakak ipar)... dia yang menghancurkan hidupmu,
akan tetapi engkau masih merawat jenazahnya. Mengapa?" Dara itu kini memandang
wajah kakaknya dengan penuh kagum dan bangga. Kakaknya ini benar-benar seorang
pendekar sakti yang hebat, bukan hanya hebat ilmunya seperti yang telah
diperlihatkannya ketika bertanding melawan gurunya, akan tetapi juga hebat
perangainya. Kun Liong menghela napas lalu duduk di atas tanah berumput, memandang
sejenak kepada adiknya dan kepada Bun Houw. Dia tahu bahwa adiknya berhati keras
dan aneh, bahwa adiknya tidak mau dijodohkan begitu saja dengan Bun Houw. Dan di
dalam hatinya dia tidak ingin melihat adiknya mengalami guncangan batin akibat
cinta seperti yang banyak dialaminya selama ini. Teringat dia akan semua
pengalamannya, akan semua petualangannya ketika masih muda dahulu,
petualangannya dalam asmara dengan banyak gadis cantik. Semua peristiwa itu,
kematian isterinya, kekejaman Yo Bi Kiok, semua adalah akibat dari
petualangannya itulah (baca cerita Petualang Asmara).
Adikku, dan juga engkau, sute. Dengarlah dan agar kalian tidak usah heran
mengapa sampai detik ini aku menaruh hati kasihan kepada Yo Bi Kiok, pembunuh
dari isteriku yang tercinta. Dia membunuh isteriku bukan karena permusuhan
pribadi, bukan karena kebencian pribadi, melainkan karena... cinta kasihnya
kepadaku." "Ahhh...!" Bun Houw yang belum tahu akan riwayat suhengnya itu berseru kaget
dan heran, akan tetapi In Hong yang sudah tahu hanya menunduk.
"Karena cintanya kepadaku, dia merasa cemburu dan iri kepada isteriku. Ah,
kasihan Bi Kiok. Dia menjadi seperti gila karena cinta, cinta yang sebetulnya
sama sekali bukanlah cinta. Orang yang mencinta tentu ingin melihat orang yang
dicintanya hidup berbahagia! Akan tetapi tidak demikian dengan cinta Bi Kiok.
Dia mencinta diri sendiri dan cinta macam itu hanya menimbulkan kedukaan,
kebencian dan kejahatan belaka. Betapapun juga, dia telah mengakui perbuatannya
dan... dan rasa penasaran besar itu telah terbongkar. Rahasia yang hebat itu
telah terbongkar dan legalah hatiku karena sekarang terbukti keyakinan hatiku
selama ini bahwa encimu, sute, bahwa Giok Keng tidak berdosa. Akan tetapi... ah,
diapun ikut berkorban hebat, suaminya tewas dan sekarang puteranya..." Yap Kun
Liong menundukkan mukanya, penuh penyesalan mengapa peristiwa yang menimpa
dirinya itu merembet kepada keluarga Giok Keng.
"Sungguh hebat...!" dia melanjutkan. "Aku kehilangan isteri dan puteriku
karena perbuatan Bi Kiok, akan tetapi akibatnya, encimu yang tidak tahu apa-apa
telah kehilangan suami dan sekarang juga puteranya terbunuh oleb Bi Kiok. Aih,
Bi Kiok, mengapa hatimu menjadi seganas itu" Kasihan anak itu... yang tidak
berdosa." "Koko, anak itu tidak mati oleh Siang-tok-swa."
Kun Liong mengangkat muka dan memandang adiknya dengan mata terbelalak,
penuh harapan dan keheranan. "Apa... apa maksudmu" Lie Seng..."
"Dia tidak mati. Aku sendiri yang telah mengobatinya," jawab In Hong.
"Lie Seng tidak mati" Ya Tuhan, syukurlah...!" Bun Houw juga berseru girang
ketika memandang wajah gadis itu, akan tetapi ketika pandang mata mereka bertemu
dan melihat kemarahan di pandang mata gadis itu, dia menunduk kembali, mukanya
menjadi merah. "Ketika aku pergi kepada Yok-mo di Gunung Cemara untuk mencari obat, di sana
aku bertemu dengan anak laki-laki yang hampir mati karena terluka oleh Siang-
tok-swa. Aku lalu mengobatinya dan dia sembuh, dia tidak mati. Aku yakin bahwa
dia itulah anak yang kaumaksudkan, koko."
Kun Liong menjadi girang sekali. "Bagaimana dia bisa berada di sana" Dan
bagaimana pula secara kebetulan kau berada di tempat itu, moi-moi"
Ceritakanlah!" "Aku... aku pergi mencarikan obat..." gadis itu menunduk.
"Dia mencarikan obat untuk aku yang hampir mampus, suheng," tiba-tiba Bun
Houw menjawab cepat. "Aku menderita luka-luka parah oleh Bayangan Dewa dan kalau
tidak ada adikmu ini, agaknya sekarang aku sudah mati."
"Ahhh...!" Kun Liong makin girang dan memandang adiknya yang menjadi merah
mukanya. "Bohong! Dia memang terluka dan aku mencarikan obat kepada Yok-mo. Di sana
aku bertemu dengan seorang pendeta yang datang membawa anak laki-laki yang luka-
luka oleh Siang-tok-swa itu. Kami berebutan untuk memperoleh pertolongan Yok-mo.
Pendeta itu lihai bukan main dan aku lalu menukar obatku untuk menyembuhkan anak
itu dengan pelajaran Ilmu Pukulan Thian-te Sin-ciang..."
"Hehh...?" Tiba-tiba Bun Houw meloncat ke atas mengejutkan In Hong dan Kun
Liong. "Kalau begitu dia adalah suhu!"
Kini Kun Liong juga kaget. "Apa" Gak-hu (ayah mertua)?"
In Hong menjadi bingung mondengar Bun Houw menyebut guru kepada pendeta itu
dan kakaknya menyebut ayah mertua. Hal ini sama sekali tidak disangka-sangkanya.
"Dia seorang pendeta Lama berjubah merah, bertubuh tinggi besar dan..."
"Dia suhu!" Bun Houw berseru.
"Jelas, dia adalah gak-hu. Aih, sungguh kejadian yang kebetulan sekali!" Kun
Liong berkata dengan wajah girang. "Kalau begitu, putera encimu itu berada di
tangan gak-hu dan keselamatannya terjamin, sute."
Bun Houw mengangguk dan memandang kepada In Hong, kemudian berkata, "Kalau
begitu, engkau terhitung adalah sumoiku sendiri."
In Hong menggeleng kepala. "Dia berpesan bahwa aku tidak boleh mengaku dia
sebagai guru, dan memang demikianlah perjanjiannya." Diam-diam gadis ini kagum
sekali. Pantas saja Cia Bun Houw ini demikian lihainya, kiranya pemuda putera
ketua Cin-ling-pai ini adalah murid pendeta Lama sakti itu!
"Urusan encimu audah beres, sute, sekarang aku harus pergi untuk mencari
anakku. Anakku melarikan diri ketika ibunya terbunuh dan sampai kini tidak
kuketahui ke mana perginya. Engkau pulanglah ke Cin-ling-pai untuk melaporkan
soal Siang-bhok-kiam kepada ayahmu dan sampaikan pula berita pengakuan Yo Bi
Kiok kepada keluargamu, jangan lupa beritakan tentang Lie Seng yang sudah berada
di tangan gak-hu itu kepada ibumu. Aku sendiri akan mencari jejak puteriku,
dan... kalau kau suka, adikku, marilah kau ikut bersamaku..." Dia memandang
kepada adiknya dengan sinar mata penuh kasih. Isterinya telah tewas, puterinya
telah hilang dan kini dia menemukan kembali adiknya yang agaknya telah kembali
ke jalan benar. Akan tetapi In Hong menggeleng kepalanya. "Aku masih mempunyai urusan, koko.
Biarlah kalau urusanku sudah selesai, aku pasti akan pergi ke Leng-kok dan
selanjutnya aku akan hidup di sana bersama kakakku."
Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kun Liong melangkah maju dan memegang kedua tangan adiknya, digenggamnya
kedua tangan adiknya dengan mesra. "In Hong, adikku. Keadaan telah memaksa kita
saling berpisah. Kakakmu ini telah mengalami banyak penderitaan hidup. Mudah-
mudahan saja engkau tidak akan seperti kakakmu. Hanya pesanku, jangan terlalu
menurutkan perasaan, adikku, bersikaplah bijaksana dan mudah-mudahan kalau
sekali waktu cinta menguasai dirimu, semoga cintamu itu bukan seperti cinta
kasih mendiang Bi Kiok kepada kakakmu. Mengertikah engkau, adikku?"
In Hong terharu. Ingin dia merangkul kakak kandungnya itu, akan tetapi dia
menggigit bibir mengeraskan hatinya, lalu mengangguk.
Kun Liong melepaskan tangan adiknya. "Nah, kalau begitu,selamat tinggal,
selamat berpisah sampai jumpa kembali dalam keadaan yang lebih baik lagi."
Pendekar ini sekali lagi menengok ke arah gundukan tanah kuburan Yo Bi Kiok,
menghela napas panjang lalu pergi dari situ, diikuti pandang mata sepasang orang
muda itu. *** Mereka berdiri, saling berhadapan dan sejenak mereka saling pandang penuh
selidik, bahkan kemudian pandang mata In Hong dibayangi rasa marah dan
penasaran. "Kau..." "Kau..." Keduanya terdiam karena kata itu keluar dengan berbareng.
"Hemm, kiranya engkau Cia Bun Houw!" In Hong kemudian berkata dan membuang
pandang mata ke atas, ke arah daun pohon di ujung yang dikibarkan oleh angin.
"Ya..." "Engkau putera ketua Cin-ling-pai yang terkenal di seluruh dunia itu!"
"Ya..." "Engkau pura-pura menyamar sebagai pengawal pemilik rumah judi untuk
menyelidiki keadaan Bayangan Dewa."
"Ya..." "Engkau berpura-pura bodoh dan tidak memiliki kepandaian sampai akupun
tertipu." "Ya... tapi..."
"Sungguh cerdik sekali!"
"Hemm..." "Kiranya yang terhormat putera ketua Cin-ling-pai, seekor harimau berpakaian
kulit domba." "Ahh..." "Dan pendekar muda sakti putera ketua Cin-ling-pai itu memberikan pedang
pusakanya kepada..."
"Kepada seorang dara pendekar yang lihai..."
"Seorang Dewi Maut yang kejam, yang membunuh gadis dusun yang tidak
berdosa!" "Eh, aku salah lihat... eh, salah duga..."
"Seorang putera ketua Cin-ling-pai yang berpandangan tajam mana mungkin
salah lihat" Karena memang gadis itu dianggapnya kejam, ganas dan tidak berperi
kemanusiaan!" "Eh, dengar dulu..."
"Jadi Cia Bun Houw si pendekar muda sakti itu adalah murid pendeta Lama..."
"Ya, suhu Kok Beng Lama."
"Pendeta Lama yang sakti dari Tibet?"
"Ya..." "Dan Cia Bun Houw si pendekar sakti itu adalah seorang pemuda perayu wanita,
seorang hidung belang yang mata keranjang!"
"Heiii..." "Cia Bun Houw itu adalah seorang laki-laki yang tidak setia, yang mudah
berganti kekasih!" "Eh, nanti dulu! Hong-moi, jangan kau menuduh yang bukan-bukan."
"Seorang pendekar sakti yang menggunakan kepandaiannya merayu untuk
menjatuhkan hati seorang gadis dusun yang bodoh..."
"Heiii, aku tidak merayu gadis dusun she Ma itu. Dialah yang... ah,
sudahlah. Hong-moi, mengapa engkau menuduhkan semua itu kepadaku?"
"Siapa menuduh" Aku hanya membicarakan kenyataan, bukan seperti engkau yang
sebelum jelas perkaranya sudah menuduhku membunuh orang tak berdosa."
"Hong-moi, aku mengaku salah. Aku memang tadinya menyangka engkau yang
melakukan pembunuhan kejam itu terhadap gadis she Ma karena agaknya bukti-bukti
tadinya menunjukkan demikian. Kiranya subomu yang melakukan hal itu den
maafkanlah aku. Harap saja kesalahanku itu tidak menyakitkan hatimu terus
sehingga engkau membenci dan menuduhku yang bukan-bukan."
"Sekali lagi, aku tidak menuduh yang bukan-bukan. Apakah engkau hendak
menyangkal bahwa engkau merayu seorang gadis dusun, kemudian engkau melupakan
dia, bahkan menerima ikatan jodoh dengan gadis lain yang belum pernah kaulihat
selamanya?" "Ehhh...?" Bun Houw terbelalak dan tentu saja dia teringat kepada Yalima
yang manis, yang ditinggalkannya di Tibet. Akan tetapi tidak mungkin In Hong
tahu akan hal itu dan diapun tidak akan membicarakan hal itu dengan siapapun
juga. Peristiwa dengan Yalima dianggapnya sudah lewat dan merupakan masa kanak-
kanak baginya. Baru sekarang dia sadar bahwa sesungguhnya tidak ada ikatan cinta
kasih di dalam batinnya terhadap gadis Tibet itu. Kalau toh akan dinamakan
cinta, agaknya itulah cinta monyet, cinta remaja yang tidak mendalam, hanya
karena saling tertarik oleh rupa dan karena biasa bergaul secara akrab saja.
"Hong-moi, harap kau jangan menuduh yang bukan-bukan."
"Sekali lagi, aku tidak menuduh yang bukan-bukan. Apakah engkau hendak
menyangkal bahwa engkau merayu seorang gadis dusun, kemudian engkau melupakan
dia, bahkan menerima ikatan jodoh dengan gadis lain yang belum pernah kaulihat
selamanya?" "Ehhh...?" Bun Houw terbelalak dan tentu saja dia teringat kepada Yalima
yang manis, yang ditinggalkannya di Tibet. Akan tetapi tidak mungkin In Hong
tahu akan hal itu dan diapun tidak akan membicarakan hal itu dengan siapapun
juga. Peristiwa dengan Yalima dianggapnya sudah lewat dan merupakan masa kanak-
kanak baginya. Baru sekarang dia sadar bahwa sesungguhnya tidak ada ikatan cinta
kasih di dalam batinnya terhadap gadis Tibet itu. Kalau toh akan dinamakan
cinta, agaknya itulah cinta monyet, cinta remaja yang tidak mendalam, hanya
karena saling tertarik oleh rupa dan karena biasa bergaul secara akrab saja.
"Hong-moi, harap kau jangan menuduh yang bukan-bukan."
Sinar mata In Hong membayangkan rasa kemarahan dan penasaran. "Cia Bun Houw!
Apakah kau berani menyangkal bahwa engkau melupakan gadis dusun dan secara tak
tahu malu menerima ikatan jodoh dengan seorang gadis lain?" Wajah In Hong
menjadi merah. Tentu saja dara ini merasa penasaran dan marah. Sudah jelas
pemuda ini meninggalkan dan melupakan Yalima, lalu mengikatkan diri dengan dia
sebagai calon isteri, dan sekarang pemuda ini hendak menyangkal.
Akan tetapi dengan wajah sungguh-sungguh dan sinar mata jujur Bun Houw
menjawab, "Tentu saja aku menyangkalnya, Hong-moi. Aku tidak menerima ikatan
jodoh dengan gadis manapun dan tentang gadis yang kaukatakan kurayu dan
kutinggalkan dan lupakan..."
"Hemm, sungguh berani mati. Tidak perlu banyak berbantahan, kalau memang kau
berani, mari bersamaku pergi ke Cin-ling-san." In Hong menantang.
Bun Houw makin terheran dan terkejut. "Cin-ling-san?" Tentu saja dia
terkejut. Cin-ling-san adalah tempat tinggalnya, mau apa gadis ini mengajak dia
ke sana" "Ya, ke Cin-ling-san. Ke Cin-ling-pai..."
"Eh, kaumaksudkan menjumpai ayah dan ibuku?" Bun Houw tentu saja menjadi
girang sekali. "Ya dan engkau akan tahu sendiri bahwa aku sama sekali tidak menuduhmu yang
bukan-bukan dan ingin aku mendengar jawabmu!"
Bun Houw menjadi girang sekali. "Baik, mari kita pergi. Aku memang ingin
kembali ke Cin-ling-san untuk melaporkan pada ayah tentang Siang-bhok-kiam dan
syukurlah engkau suka ikut bersamaku ke sana, Hong-moi. Tahukah engkau bahwa
ayah bundamu dahulu adalah sahabat-sahabat terbaik dari orang tuaku, bahkan
antara ibumu dan ayahku masih ada hubungan saudara seperguruan" Ayah dan ibu
tentu akan girang sekali menerima kedatanganmu."
"Hemmm, aku telah bertemu dengan mereka. Akan tetapi kepergianku ke Cin-
ling-pai ini bukan untuk bertemu dengan ayah dan bundamu, melainkan..." In Hong
tidak melanjutkan kata-katanya dan dia teringat akan Yalima dan hatinya menjadi
panas lagi. "Melainkan... apa, Hong-moi?"
"Kaulihatlah saja nanti!" In Hong berkata kaku dan dingin lalu membuang
muka, membuat Bun Houw makin terheran-heran akan sikap gadis ini. Akan tetapi
betapapun juga, hatinya gembira bukan main karena dia akan melakukan perjalanan
ke Cin-ling-san bersama dengan gadis ini.
Akan tetapi, perjalanan itu ternyata tidaklah begitu menyenangkan seperti
yang dibayangkannya. Benar dia melakukan perjalanan bersama In Hong, akan tetapi
gadis itu selalu menjauhkan diri dan betapapun dia berusaha untuk menyelami isi
hati gadis itu, untuk membuka rahasia apa yang tersembunyi di balik tuduhan-
tuduhan gadis itu, usahanya sia-sia belaka karena In Hong tidak mau bicara,
hanya menjawab singkat bahwa pemuda itu akan tahu segalanya setelah tiba di Cin-
ling-san. Sikap yang dingin kaku dari gadis ini dan yang agaknya bersungguh-
sungguh dalam tuduhan-tuduhnya membuat Bun Houw merasa khawatir dan tidak enak
juga dan mulailah dia menduga-duga yang ada hubungannya dengan Yalima. Apakah
Yalima datang menyusulnya ke Cin-ling-san" Akan tetapi pertanyaan ini
dibantahnya sendiri. Yalima adalah seorang gadis lemah, seorang gadis dusun di
Tibet, mana mungkin bisa berada di Cin-ling-san" Tidak mungkin sekali gadis
dusun itu melakukan perjalanan sejauh itu. Pula, tidak mungkin Yalima berani
selancang itu menyusulnya ke Cin-ling-san. Pula, seaungguhnya, selain sedikit
kemesraan, tidak ada ikatan apa-apa antara dia dan Yalima. Hanya suatu peristiwa
cinta remaja yang masih hijau dan mentah, betapapun juga, melihat sikap In Hong
yang amat serius dan melihat dara itu benar-benar seperti orang marah dan
penasaran kepadanya, hati Bun Houw menjadi tidak enak dan ingin dia cepat-cepat
tiba di Cin-ling-san agar persoalan itu segera menjadi terang.
Ketika pada suatu pagi mereka tiba di Pegunungan Cin-ling-san, otomatis
perjalanan yang tadinya dilakukan dengan cepat itu menjadi lambat! Hal ini
karena terjadi keraguan di hati masing-masing. In Hong yang teringat akan
kunjunganya yang lalu, sikapnya yang kasar terhadap keluarga Cia,
kekurangajarannya, merasa tidak enak hati untuk bertemu dengan ayah bunda pemuda
itu. Sebaliknya, Bun Houw yang menduga bahwa tentu ada sesuatu yang luar biasa
terjadi di sini melihat sikap In Hong, juga merasa khawatir. Tanpa bicara mereka
melanjutkan perjalanan itu dengan jalan kaki biasa mendaki lereng Gunung Cin-
ling-san. Mereka tidak tahu bahwa kedatangan mereka itu tampak oleh Kwee Siong,
seorang pemuda remaja adik dari Kwee Tiong. Melihat kedatangan Bun Houw, Kwee
Siong menjadi terkejut dan ketakutan. Dia sudah tahu bahwa kakaknya, Kwee Tiong,
telah merampas Yalima, kekasih putera ketua Cin-ling-pai itu dan kini Bun Houw
pulang. Diam-diam Kwee Siong lalu berlari-lari naik ke puncak dan mengabarkan
kepada kakaknya tentang kedatangan Bun Houw.
"Twako... twako... celaka, twako...!" Kwee Siong yang berusia lima belas
tahun itu berkata, napasnya terengah-engah ketika dia bertemu dengan kakaknya.
"Eh, adik Siong, ada apakah?" Kwee Tiong bertanya khawatir. "Apa yang
terjadi?" "A Siong, kau kenapakah?" kakak iparnya, Yalima juga bertanya melihat wajah
adik ipar yang pucat dan ketakutan itu.
"Twako... twaso... celaka, aku melihat... Cia-taihiap datang..."
Ahhh...!" "Ihhh...!" Suami isteri itu terkejut sekali karena berita itu amat tiba-tiba, akan
tetapi Kwee Tiong segera tenang kembali. Dia memegang tangan isterinya dan
berkata, "Isteriku, engkau tahu bahwa aku bertanggung jawab atas perbuatan kita
ini. Maka biarlah aku akan menyambut kedatangannya dan mengabarkannya tentang
kita. Kautunggu saja di sini."
"Tidak... tidak...! Yang berbuat adalah kita berdua, yang bertanggung jawab
kita berdua pula! Aku tahu bahwa dia adalah seorang yang berbudi mulia, tentu
akan dapat memaafkan kita."
"Jangan, aku tidak kuat melihat engkau dimarahi..." cegah sang suami.
"Dan hatikupun tidak akan tenteram membayangkan engkau sendirian menghadapi
kemarahannya. Suamiku, pendeknya, apapun yang akan terjadi, kita akan menghadapi
bersama! Kita hidup bertiga dan matipun bertiga!"
"Bertiga...?" Kwee Tiong menoleh ke arah Kwee Siong karena dia tidak ingin
menyeret adiknya itu dalam urusannya dengan Yalima, akan tetapi dia melihat
isterinya mengelus perutnya yang gendut, maka mengertilah dia. Dengan terharu
dia merangkul isterinya dan berkata halus, "Marilah kalau begitu."
Kwee Tiong dan Yalima sambil bergandeng tangan dan berbesar hati lalu
menuruni puncak untuk menyambut kedatangan Bun Houw, diikuti pandang mata Kwee
Siong penuh kekhawatiran. Kemudian pemuda remaja ini lalu lari ke gedung tempat
tinggal ketua Cin-ling-pai untuk melapor, karena dia mengkhawatirkan keselamatan
kakaknya berdua. "Hong-moi, mengapa engkau menyiksa hatiku seperti ini?" terdengar suara Bun
Houw memecah kesunyian ketika dia dan In Hong berjalan mendaki lereng gunung
melalui lorong itu. "Aku tidak merasa menyiksa hati siapapun," jawaban In Hong kaku dan dingin
karena makin dekat dengan Yalima, makin tak senang hatinya. Akan tetapi dara ini
di dalam perjalanan sering melamun dan merasakan betapa rasa tidak senang di
hatinya itu kini sama sekali berobah. Bukan lagi condong ke arah ketidaksenangan
karena Bun Houw mempermainkan Yalima, melainkan tidak senang mengapa pemuda ini
mencinta Yalima, rasa tidak senang oleh cemburu.
"Mengapa engkau tidak berterus terang saja, Hong-moi" Apakah sebetulnya
segala rahasia sikapmu ini" Engkau mengajak aku ke sini, ke tempat tinggalku,
ada urusan apakah?" In Hong hanya mengerling dan menjawab pendek, "Engkau akan melihat sendiri
nanti..." "Enci In Hong...!"
"Cia-taihiap...!"
Bun Houw dan In Hong yang sedang tenggelam dalam lamunan masing-masing,
terkejut dan mengangkat muka memandang. Ketika mereka melihat Kwee Tiong dan
terutama sekali Yalima datang menuruni lorong itu, keduanya otomatis
menghentikan langkah dan memandang dengan mata terbelalak. Bun Houw yang sama
sekali tidak menyangka akan bertemu dengan Yalima di situ, terbelalak heran, dan
In Hong yang melihat Yalima datang bergandeng tangan bersama seorang pemuda
tampan, juga terbelalak heran.
Kwee Tiong yang masih menggandeng tangan isterinya itu segera menarik
isterinya dan mereka berlutut di depan kaki Bun Houw! Tentu saja pemuda ini
terkejut bukan main sampai melangkah mundur dua tindak. "Eh... apa yang kalian
lakukan ini?" "Cia-taihiap, kami berdua menyerahkan jiwa raga kami kepada taihiap!"
"Heii, Kwee Tiong koko, apakah kalian sudah gila?"
"Cia-taihiap, kami... telah menjadi suami isteri..."
"Bagus!" Bun Houw berseru girang sekali, merasa seolah-olah batu sebesar
gunung dilepaskan dari hatinya yang tertindih. "Biarpun agak terlambat, aku
mengucapkan selamat kepada kalian!"
"Terima kasih, taihiap..." Kwee Tiong berkata terharu.
"Terima kasih... aku tahu bahwa engkau adalah seorang yang berbudi mulia,
taihiap, sedangkan aku... aku hanya seorang bodoh..." Yalima terisak dan
menutupi mukanya, air matanya mengalir turun.
"Yalima! Apa artinya ini" Engkau... sudah mengandung malah?" Terdengar In
Hong berseru, suaranya mengandung kemarahan.
"Enci In Hong... aku... aku telah menikah... dengan suamiku ini... beberapa
bulan yang lalu..." "Singgg...!" Tampak sinar berkelebat. "Keparat kau, perempuan tidak setia
dan memalukan!" Bun Houw terkejut bukan main dan secepat kilat dia meloncat dan berdiri di
depan In Hong, menghadang antara In Hong dan Yalima. "Hong-moi, apa yang hendak
kaulakukan ini?" "Harus kubunuh perempuan tidak setia itu!" bentak In Hong. Kwee Tiong sudah
bangkit pula untuk melindungi isterinya.
"Hong-moi, engkau tidak berhak berbuat demikian! Kepada siapakah Yalima
tidak setia?" "Kepadamu! Dia mengaku telah saling mencinta denganmu, akan tetapi mengapa
dia sekarang..." "Hong-moi, waktu itu kami masih seperti kanak-kanak. Yalima mengira dia
mencintaku sebelum dia bertemu dengan Kwee Tiong koko yang benar-benar
dicintanya. Aku sendiri tidak merasa dikhianati, tidak menganggap bahwa Yalima
tidak setia. Kenapa engkau yang tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan ini
menjadi marah dan hendak membunuhnya" Hong-moi, apa sih sebenarnya arti
Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perbuatanmu yang aneh ini?"
Mereka saling berhadapan, saling pandang, In Hong dengan muka merah padam
dan mata berapi-api, Bun Houw dengan muka agak pucat dan mata penuh keheranan.
Akhirnya pedang yang tergetar di tangan In Hong, pedang Hong-cu-kiam itu
bergerak, akan tetapi bukan menyerang siapa-siapa, melainkan meluncur ke atas
tanah. "Cappppp...!" Pedang itu menusuk tanah sampai amblas ke gagangnya. Terdengar
suara isak ditahan, dan In Hong lalu membalikkan tubuhnya dan meloncat lalu lari
pergi dengan cepat sekali.
"Hong-moi...!" Bun Houw berseru memanggil akan tetapi dara itu sama sekali
tidak menoleh lagi dan sebentar saja lenyap dari pandang mata.
"Hong-moi...!" Bun Houw hendak mengejar, akan tetapi pada saat itu terdengar
suara lirih, suara Yalima yang mengandung tangis.
"Taihiap, harap ampunkan aku..."
Bun Houw menarik napas panjang, tidak jadi mengejar karena dia maklum betapa
anehnya watak dara itu sehingga kalau dia kejar dan desak, tentu hanya akan
menimbulkan kemarahan yang makin hebat di dalam hati In Hong. Maka dia lalu
menoleh lagi. "Berdirilah dan ceritakanlah semuanya. Bagaimana Yalima tahu-tahu bisa
berada di sini, dan mengapa pula In Hong mengenalmu dan kini marah-marah?"
Kwee Tiong menarik isterinya bangkit dan dialah yang menjawab, karena
isterinya masih menangis sesenggukan. "Taihiap, karena isteriku telah
menceritakan segalanya kepadaku, maka bolehkah saya yang bercerita kepada
taihiap?" "Silakan, Kwee-koko, sama saja."
"Yalima dipaksa oleh orang tuanya, akan diberikan kepada seorang yang
berkuasa di Tibet. Dia lalu melarikan diri ke timur, dengan maksud untuk pergi
menyusul dan mencari taihiap karena taihiap satu-satunya orang yang dapat
diharapkan akan menolongnya. Akan tetapi dia terjatuh ke tangan seorang datuk
kaum sesat, yaitu Go-bi Sin-kouw..."
"Ahhh...!" Bun Houw terkejut sekali.
"Biar aku yang melanjutkan," tiba-tiba Yalima berkata kepada suaminya.
"Taihiap, aku tentu sudah celaka dan mungkin sudah tewas kalau saja tidak muncul
enci In Hong yang menolongku dari tangan orang-orang jahat itu. Karena
pertolongan itu, maka aku lalu berterus terang menceritakan riwayatku, juga
tentang... taihiap. Sungguh mati aku sama sekali tidak tahu bahwa antara taihiap
dan dia... bahwa kalian telah saling bertunangan..."
"Eh, bohong itu! Siapa bilang begitu?" Bun Houw berseru kaget.
"Agaknya taihiap telah ditunangkan dengan enci In Hong oleh ayah bunda
taihiap di luar tahumu, dan hal itu telah disampaikan kepada enci In Hong. Oleh
karena itu dia menjadi marah sekali mendengar bahwa antara kita... eh, terdapat
semacam hubungan. Enci In Hong lalu memaksaku pergi bersama ke Cin-ling-pai dan
dengan terang-terangan dia lalu berkata kepada Cia-locianpwe berdua bahwa
hubungan jodoh antara dia dan taihiap putus sudah, dan bahwa taihiap adalah
tunanganku. Itulah sebabnya dia tadi marah-marah melihat aku telah berjodoh
dengan Kwee-koko dan... entah mengapa aku sendiri tidak mengerti, taihiap. Kami
berdua tadinya khawatir bahwa engkaulah yang akan marah-marah, siapa tahu,
engkau dapat memaafkan kami, malah sebaliknya enci In Hong yang hampir
membunuhku..." Bun Houw menjadi bengong dan melamun. Sungguh sukar dimengerti sikap In Hong
tadi. Dia mencabut pedang Hong-cu-kiam dan hatinya tiba-tiba terasa kosong dan
sunyi sekali. Dipungutnya sarung pedang Hong-cu-kiam yang tadi dilemparkan ke
atas tanah oleh In Hong yang marah, lalu disimpannya pedang itu Dia teringat
akan burung hong kemala di dalam saku bajunya dan otomatis tangannya meraba
benda itu dan hatinya makin terasa sedih.
"Sungguh aneh... sungguh tak mengerti aku..." Hatinya berbisik dan pada saat
itu terdengar seruan nyaring, "Houw-ji (anak Houw)...!"
Bun Houw mengangkat muka memandang dan melihat ayah dan ibunya turun dari
puncak dengan cepat. Mereka tadi mendengar pelaporan Kwee Siong tentang
kedatangan putera mereka itu dan karena khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu
antara Bun Houw dan Kwee Tiong berdua Yalima, mereka cepat-cepat turun.
"Ayah! Ibu!" Bun Houw memberi hormat dan ibunya merangkulnya dengan hati
lapang. Terutama sekali ibunya merasa lega melihat puteranya kelihatan tidak
marah sungguhpun pandang matanya yang tajam dapat melihat bahwa Yalima baru saja
menangis den wajah Kwee Tiong masih pucat, tanda bahwa mereka berdua baru saja
mengalami guncangan batin yang hebat.
"Bukankah kau tadi datang bersama In Hong?" Cia Keng Hong yang tadi menerima
laporan Kwee Siong bertanya heran, matanya memandang ke kanan kiri mencari-cari.
"Dia sudah pergi, ayah." jawab Bun Houw dengan lesu dan keadaan puteranya
ini tidak terlepas dari pandang mata ayahnya.
"Lebih baik kalau begitu. Bocah galak itu membikin ribut saja." kata Sie
Biauw Eng yang menggandeng tangan puteranya den mengajaknya naik ke puncak.
Beramai mereka naik ke puncak Cin-ling-san, menuju ke markas Cin-ling-pai yang
barada di lereng dekat puncak. Nenek Sie Biauw Eng kelihatan gembira bukan main
dan menghujani puteranya dengan pertanyaan-pertanyaan.
Setelah tiba di dalam rumah, Bun Houw lalu lebih dulu menceritakan soal
pembunuh isteri Kun Liong yang menjadi pokok den penyebab semua peristiwa
menyedihkan antara keluarga Kun Liong itu. "Ayah dan ibu, sekarang pembunuh
isteri Yap-suheng telah diketahui."
Tentu saja suami isteri pendekar itu menjadi terkejut den juga girang.
"Siapa dia?" "Dia adalah seorang wanita bernama Yo Bi Kiok, ketua dari Giok-hong-pang.
Dia lihai sekali karena sebetulnya dialah yang dahulu memperoleh bokor emas
pusaka dari Panglima The Hoo, Ayah."
"Ahhh...!" Cia Keng Hong terkenang akan keributan puluhan tabun yang lalu
ketika pusaka bokor emas itu diperebutkan orang-orang gagah di seluruh dunia
kang-ouw. "Di mana sekarang keparat itu" Biar kucari dan kubunuh iblis betina yang
menjadi gara-gara itu!" kata nenek Sie Biauw Eng yang masih belum juga
kehilangan kegalakannya setiap kali menghadapi kejahatan.
"Dia sudah tewas di tangan Yap-suheng sendiri, ibu. Yo Bi Kiok itu dahulunya
adalah seorang sahabat baik dari Yap-suheng sendiri, malah wanita itu... dia
adalah guru dari adik Yap In Hong."
"Ahhh...!" Suami isteri pendekar itu berseru kaget, lalu mereka mendengarkan
penuturan puteranya tentang peristiwa di dalam benteng Raja Sabutai dan tentang
kematian Yo Bi Kiok yang mengaku sebagai pembunuh Pek Hong Ing isteri Yap Kun
Liong karena iri! Mendengar penuturan puteranya itu, suami isteri yang sudah tua itu
menggeleleng kepalanya. "Jadi kembali gara-gara cinta..." Nenek Sie Biauw Eng
berbisik. "Betapa hanya mendatangkan malapetaka belaka."
"Hemm, jangan berkata demikian, isteriku. Hanya cinta palsu saja yang
mendatangkan malapetaka. Buktinya, di antara kita berdua yang ada hanyalah
kebahagiaan dan belas kasihan, baik dalam keadaan apapun juga."
Sie Biauw Eng menjadi terharu dan menyentuh tangan suaminya. Ingin rasanya
dia menangis kalau suaminya bersikap dan berkata seperti itu.
"Jadi engkau telah berhasil membunuh sisa Lima Bayangan Dewa yang tinggal
tiga orang itu, Bun Houw?" Cia Keng Hong bertanya.
"Benar, ayah." "Dan Siang-bhok-kiam..."
"Itulah yang membikin jengkel, ayah. Siang-bhok-kiam itu oleh Bayangan Dewa
diserahkan kepada Raja Sabutai yang kemudian memberikannya kepada gurunya, yaitu
Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, dan mereka tidak mau menyerahkan pedang
pusaka kita kepadaku."
"Eh, mengapa" Mau apa dua orang iblis jantan dan betina itu?" Ibunya
membentak. "Ada sebabnya, ibu. Mereka itu ternyata adalah musuh-musuh yang menaruh
dendam kepada mendiang Panglima The Hoo dan karena mereka tidak dapat lagi
membalas dendam mereka kepada Panglima The Hoo yang sudah tidak ada, maka mereka
menimpakan dendamnya kepada Cin-ling-pai. Mendengar bahwa pedang itu milik ayah,
dan karena mereka tahu bahwa ayah dahulu adalah sahabat dan pembantu yang baik
dari mendiang Panglima The Hoo, maka mereka menahan pedang itu."
"Keparat!" Sie Biauw Eng memaki.
"Hemm, sudah setua ini masih dicari orang untuk bermusuhan." Cia Keng Hong
mengomel. "Mereka itu menantang kepada ayah untuk datang ke Lembah Naga jika ayah
menghendaki kembalinya pedang pusaka kita Siang-bhok-kiam."
Kembali Cia Keng Hong menarik napas panjang. "Aku bukan anak kecil, bukan
pula orang muda yang berdarah panas. Untuk apa susah payah dan jauh-jauh pergi
hanya untuk berkelahi memperebutkan pedang?"
"Akan tetapi kita harus menjaga nama! Pedang Siang-bhok-kiam adalah pusaka
dari lambang kebesaran Cin-ling-pai. Kalau jatuh ke tangan orang dan mereka
menentang, lalu kita diam saja, tentu kita akan diketawai orang sedunia!" bantah
isterinya. "Huh, kalau ada yang mau mentertawakan kita, biarlah mereka itu tertawa
sampai robek mulutnya, perduli apa kita?" Cia Keng Hong membantah.
"Tapi..." bantah isterinya.
"Isteriku, hidup kita tidak ditentukan oleh pendapat orang lain, bukan"
Ingat, pendapat orang-orang itu tidaklah sama dan kalau kita mengandalkan
pendapat-pendapat orang lain, bagaimana macamnya kehidupan yang kita tempuh?"
"Akan tetapi, suamiku. Memang kita sendiri secara pribadi tidak perlu
memikirkan omongan orang lain, namun kita sebagai pendiri dan pimpinan Cin-ling-
pai bertanggung jawab untuk menjaga nama dan kehormatan Cin-ling-pai! Setelah
sudah berhasil jerih payah Bun Houw membasmi Lima Bayangan Dewa, apakah kini
gangguan dua orang iblis keparat itu harus didiamkan saja" Kalau kau enggan
pergi, biarlah aku sendiri yang akan pergi mencari mereka ke Lembah Naga!"
"Ayah dan ibu harap suka bersabar. Urusan Siang-bhok-kiam tentu saja dapat
kita rundingkan kemudian dan aku sendiripun merasa bertanggung jawab den aku
yang akan mewakili ayah dan ibu demi menjaga kehormatan Cin-ling-pai. Akan
tetapi ada berita yang lebih menyenangkan untuk disampaikan... eh, di manakah
enci Giok Keng" Dia yang terutama akan senang mendengar berita ini."
Ibunya mengerutkan alis. "Encimu belum pulang sampai sekarang. Sungguh
malang sekali nasib encimu, Houw-ji."
"Kalau begitu biarlah ayah dan ibu mendengarnya lebih dulu. Lie Seng telah
dapat diketahui berada di mana."
"Ahh! Di mana cucuku itu?" Cia Keng Hong bertanya girang.
"Ternyata dia telah tertolong oleh suhu. Hampir saja dia tewas di tangan
wanita kejam Yo Bi Kiok itu, terkena racun Siang-tok-swa, akan tetapi baiknya
masih dapat tertolong oleh adik In Hong."
Lalu diceritakanlah oleh Bun Houw tentang Lie Seng seperti yang didengarnya
dari In Hong. Tentu saja dua orang tua itu merasa girang dan lega sekali. Kalau
cucu mereka itu sudah berada di tangan Kok Beng Lama, tentu saja akan
terlindung. "Hanya aku khawatir sekali... melihat keadaan gurumu itu..." Teringatlah Cia
Keng Hong akan sikap Kok Beng Lama yang seolah-olah tidak kuat menahan guncangan
hatin karena kematian anaknya yaitu Pek Hong Ing isteri Yap Kun Liong. Akan
tetapi sebagai seorang bijaksana, dia tidak mau menyiksa diri dengan bayang-
bayang khayal yang buruk.
"Sudahlah, semua urusan itu telah lewat dan ternyata semua hal yang
membingungkan telah terbongkar. Lima Bayangan Dewa telah terbasmi dan biang
keladi kehancuran rumah tangga Giok Keng dan Kun Liong telah pula ditewaskan.
Sekarang kami ada berita yang amat menyenangkan untukmu, anakku," kata Sie Biauw
Eng sambil tersenyum. Aneh tapi nyata, Sie Biauw Eng yang usianya sudah enam
puluh tahun lebih itu setelah tersenyum masih jelas nampak bekas-bekas
kecantikannya! Bun Houw memandang ibunya dengan wajah berseri, girang melihat ibunya begitu
gembira. Cia Keng Hong yang hendak menjawab, akan tetapi dengan tangannya, Sie
Biauw Eng mencegahnya dan pada saat itu, pelayan-pelayan mereka datang
menghidangkan makanan dan minuman. Percakapan tertunda sebentar, setelah para
pelayan itu pergi, Sie Biauw Eng yang agaknya tidak sabar lagi untuk segera
menyampaikan berita itu kepada puteranya, melanjutkan, "Beberapa pekan yang
lalu, ketika ayahnya baru saja tiba di sini, pulang dari kota raja, di sini
kedatangan tamu yang sama sekali tidak kami sangka-sangka." Dia berhenti dan
kelihatan girang sekali melihat puteranya memandang dengan penuh perhatian dan
penuh keinginan tahu. "Siapa, ibu?" "Kau tentu tidak dapat menduganya. Dia adalah murid mendiang Panglima The
Hoo dan..." "Ah, aku tahu...! Tentu ibu Souw Kwi Beng den Souw Kwi Eng si kembar itu!"
Suami isteri pendekar itu saling pandang dan tersenyum.
"Kau benar, dan mereka berdua ikut datang bersama ibu mereka," kata pula Sie
Biauw Eng. "Eh, sayang aku tidak dapat berjumpa dengan mereka!" kata Bun Houw
membayangkan dua orang kakak beradik kembar itu, terutama Kwi Eng, yang memiliki
kecantikan yang khas dari seorang berdarah campuran, dengan matanya yang biru
dan rambutnya yang hitam agak keemasan!
"Kwi Eng itu cantik bukan main, anakku!" Tiba-tiba ibunya berkata dan karena pada saat itu Bun Houw sedang
membayangkan wajah Kwi Eng, tentu saja dia menjadi terkejut dan wajahnya menjadi
merah sekali. Ibunya tertawa. "Dan engkau sudah mengenalnya, Houw-ji."
"Benar, ibu. Kami telah berkenalan dan bahkan Kwi Eng dan Kwi Beng
membantuku menghadapi dua orang Bayangan Dewa dan para pembantu mereka yang
lihai." "Dara itu sudah menceritakan semuanya kepada kami. Dia memang cantik jelita,
belum pernah aku bertemu dengan seorang gadis yang seperti itu cantiknya, dan
dia cerdas sekali, juga gagah perkasa aeperti ibunya, selain itu dia juga pada
dasarnya lemah lembut, sopan, tidak seperti... eh, misalnya Yalima yang lemah
dan... si In Hong yang liar itu..."
"Ibu, kenapa ibu menceritakan semua kepadaku?" Bun Houw memotong karena
hatinya tidak senang mendengar In Hong dibawa-bawa dan disebut liar.
Di sini ayahnya turun tangan mencampuri. "Sebenarnya, Bun Houw, kedatangan
nyonya Yuan de Gama atau Souw Li Hwa itu, selain untuk mengunjungi sebagai murid
mendiang Panglima The Hoo, mempererat persahabatan, juga untuk mengajukan usul
atau permohonan agar diadakan ikatan jodoh..."
"Ehh" Ikatan jodoh...?" Hati Bun Houw berdebar keras.
"Ya, antara engkau dan Kwi Eng, anakku! Aku girang sekali, aku sudah cocok
dan suka kepada anak itu, aku senang mempunyai mantu dia!"
"Ibu...!" Dan Bun Houw lalu menundukkan mukanya, memejamkan matanya, karena
dia merasa pening dan bingung. Cia Keng Hong mengedipkan mata kepada isterinya,
mencegah isterinya bicara dan memberi kesempatan kepad puteranya untuk
menenangkan diri. Bun Houw yang memejamkan matanya itu melihat bayangan Kwi Eng,
terbayang olehnya betapa dahulu ketika dia menolong Kwi Eng menyelamatkan dara
jelita itu dari perkosaan Gu Lo It, melihat Kwi Eng dalam keadaan tanpa pakaian,
kemudian... kemudian teringatiah dia betapa mereka berciuman ketika dia
memondong gadis itu. Membayangkan itu, Bun Houw merapatkan matanya dan diam-diam
dia merasa menyesal, mengapa dia melakukan hal itu, mengapa dia selalu ingin
mendekap dan mencium dara-dara cantik! Dan terbayanglah dia akan wajah In Hong,
dan pikirannya menjadi makin bingung.
Houw-ji...!" Terdengarlah suara ayahnya yang tenang dan dia membuka matanya,
sadar kembali akan keadaannya.
"Maaf, ayah dan ibu..."
"Bun Houw, ayah dan ibumu melihat engkau sudah cukup dewasa, tahun ini
usiamu sudah dua puluh tahun lebih, dan ayah ibumu sudah makin tua, ingin
menimang cucu dalam sebelum menutup mata," kata Sie Biauw Eng dan nada suaranya
terharu. "Bun Houw, tadinya kami berdua bersepakat untuk menjodohkan engkau dengan In
Hong, bahkan kami telah merundingkan hal ini dan mendapat persetujuan Yap Kun
Liong. Akan tetapi, terjadi peristiwa dengan Yalima itu dan In Hong sendiri yang
memutuskan tali perjodohan itu..."
Bun Houw mengangguk dan hatinya terasa perih. Dia sudah mendengar akan hal
itu dari Yalima dan kini mengertilah dia mengapa setelah In Hong tahu bahwa dia
adalah Cia Bun Houw, dara itu berubah sikapnya dan menjadi dingin. Mengertilah
dia mengapa In Hong memakinya sebagai seorang perayu wanita yang tidak setia!
Tentu In Hong merasa penasaran mengapa dia yang dianggapnya sudah "bertunangan"
dengan Yalima, mau dijodohkan dengan In Hong dan hal ini oleh dara yang berhati
keras itu dianggapnya sebagai suatu penghinaan!
"Kemudian kami mencari-cari dan memilih-milih," sambung Sie Biauw Eng
melanjutkan penjelasan suaminya. "Dan ketika kami melihat Kwi Eng, dan mendengar
permohonan ibunya, kami berdua dengan hati bulat menyetujuinya."
"Ibu...!" Kembali Bun Houw berseru, kaget sekali.
"Hemm, kenapakah, Bun Houw" Apakah kau tidak setuju dengan Kwi Eng" Kulihat
Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dari gerak-gerik dara itu, dia sudah jatuh cinta padamu," sambung pula ibunya.
"Bun Houw, katakanlah, apa yang menyebabkan engkau keberatan dan tidak
menyetujui pilihan ayah bundamu?" Keng Hong berkata dengan tenang mendesak.
"Ayah dan ibu, sesungguhnya sama sekali bukan karena saya tidak suka kepada
adik Kwi Eng, akan tetapi aku... aku belum ingin terikat oleh tali perjodohan."
"Ha-ha, mengapa begitu saja dirisaukan amat?" Ayahnya mencela. "Ikatanmu
dengan Kwi Eng barulah pertunangan saja, sedangkan tentang pernikahannya,
hemmm... sesungguhnya kami ingin segera melihat engkau menikah, akan tetapi
kalau kau masih belum suka, dapat diundur beberapa lamanya karena Kwi Eng juga
baru berusia enam belas tahun lebih."
"Akan tetapi jangan lama-lama, anakku," kata Biauw Eng. "Aku sudah ingin
sekali mempunyai cucu dalam dan dilayani mantu perempuan!"
Bun Houw merasa hatinya bingung dan tertindih oleh desakan-desakan ayah
bundanya. Tiba-tiba dia memperoleh pandangan, seolah-olah ada sinar terang
memasuki hatinya. "Ayah dan ibu, kita masih menghadapi urusan, Siang-bhok-kiam masih berada di
tangan orang lain. Aku hendak mencari dan merampas kembali pusaka itu, barulah
kita bicarakan urusan perjodohan. Dan aku harus cepat-cepat pergi ke Lembah
Naga, karena kalau dibiarkan terlalu lama, aku khawatir akan makin sukarlah
pusaka kita itu dapat dirampas kembali. Kalau saja dua orang iblis itu tidak
berada di benteng Raja Sabutai ketika mereka menguasai Siang-bhok-kiam, tentu
sudah kuserang mereka dan kurampas pedang pusaka kita itu."
"Eihh, baru saja kau datang, jangan tergesa-gesa pergi lagi, Houw-ji!"
ibunya berseru dan memegang pundak puteranya. "Engkau hampir tidak pernah
berkumpul dengan kami. Sejak kecil berguru kepada Lama itu Tibet sampai
bertahun-tahun, begitu pulang kau terus pergi mencari Lima Bayangan Dewa.
Sekarang, baru saja datang hendak pergi lagi merampas kembali Siang-bhok-kiam di
Lembah Naga yang begitu jauh di utara. Tidak, kau tidak boleh cepat-cepat
pergi!" "Ibumu benar, Bun Houw. Kau harus beristirahat dulu dan nanti kalau kau
pergi, kami akan titip surat untuk keluarga Souw atau keluarga de Gama di
pelabuhan Yen-tai. Kami sudah tua, tidak sempat membalas kunjungan mereka, maka
kaulah yang mewakili kami membalas kunjungan mereka di Yen-tai. Selain itu,
kaupun harus menyerahkan suratku kepada kaisar di kota raja. Sesudah
kauselesaikan tugas itu, baru kau boleh mencari dua orang tua yang merampas
Siang-bhok-kiam itu di Lembah Naga."
Bun Houw tidak dapat membantah lagi dan dengan berkeras ibunya menahannya
sehingga baru satu bulan kemudian dia meninggalkan Cin-ling-san, membawa dua
buah surat dari ayahnya, yang satu untuk diserahkan kepada Yuan de Gama dan
keluarganya di Yen-tai, dan yang satu lagi untuk dihaturkan kepada kaisar di
kota raja. *** In Hong bersandar pada batang pohon di dalam hutan itu, memejamkan matanya
dan mengatur kembali napasnya yang agak terengah-engah. Kepalanya terasa pening
dan biarpun matanya dipejamkan, namun nampak bayangan beberapa orang berputaran,
yaitu bayangan wajah Bun Houw dan Yalima. Ingin dia menjerit dan menangis untuk
memberi pelepasan kepada perasaan hatinya yang berdesakan dan penuh dengan
segala macam perasaan yang saling bertentangan. Dia suka kepada Bun Houw, hal
ini tak mungkin dapat dibantahnya lagi! Bahkan, sejak pertama kali dia melihat
pemuda itu dengan gagahnya menolak bujuk rayu wanita-wanita itu, dia sudah
merasa kagum dan suka sekali kepada Bun Houw. Anehnya, ketika dia memperoleh
kenyataan pahit bahwa pemuda itu adalah tunangannya sendiri yang telah
ditolaknya, ketika dia mendapat kenyataan bahwa Bun Houw adalah seorang pemuda
yang luar biasa lihainya, yang memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi
darinya, rasa kagum dan suka makin meresap di dalam hatinya! Dan kalau tadinya
dia menganggap seorang yang bernama Cia Bun Houw itu dengan pandangan rendah
karena dianggap tidak setia kepada Yalima, setelah dia tahu bahwa Cia Bun Houw
adalah pemuda yang telah memberi pedang pusaka kepadanya, yang telah diberi
Giok-hong-cu olehnya, pandangan tidak setia kepada Yalima berobah cemburu dan
iri terhadap Yalima! Bahkan ketika dia melakukan perjalanan ke Cin-ling-pai,
biarpun dia selalu bersikap diam dan dingin kaku, namun diam-diam dia merasakan
sesuatu yang indah di dalam hatinya, sesuatu yang mendatangkan kebahagiaan!
Dan ketika dia melihat Yalima ternyata telah menikah dengan orang lain,
saking malunya terhadap Bun Houw dia ingin membunuh Yalima! Akan tetapi di balik
itu semua, harus dia akui bahwa dia merasa girang bukan main melihat Yalima
telah menjadi isteri orang lain.
"Aku telah gila... aku telah gila...!" Dia berbisik dan menjambak rambutnya
sendiri Houw-koko...!" Keluh hatinya dan dia merasa betapa hidupnya sunyi dan
sendiri, betapa dia merindukan kehadiran Bun Houw di sampingnya, di dekatnya,
biarpun tidak usah berdekatan dan bersikap baik, asal ada nampak Bun Houw di
situ dia tidak akan merasa tersiksa seperti sekarang ini. Dia merasa rindu
sekali dan otomatis tangannya meraba pinggang. Dia terkejut, memandang ke arah
pinggangnya dan baru teringat dia bahwa Hong-cu-kiam telah ditinggalkannya di
Cin-ling-san! Dia mengeluh panjang dan merasa makin sunyi dan sepi, merasa
kehilangan! "Houw-ko...!" Kembali bibirnya mengeluh, jantungnya seperti diremas rasanya
dan ingin dia menjerit-jerit memanggil nama pemuda yang dirindukannya itu.
In Hong mengepal tinju dan membuka matanya. Kekerasan hatinya yang dulu
timbul lagi dan matanya menjadi beringas. Dia cepat membalik seolah-olah
diserang orang dari belakangnya, dan tangannya yang dikepal itu menghantam
batang pohon. "Dessss... krakkkkk!" Batang pohon itu patah dan kepalan tangannya berdarah
karena saking marahnya dan saking gelisahnya dia tadi menghantam tanpa
melindungi tangan dengan sin-kang. Terasa nyeri sekali tangannya yang berdarah
dan dia mencucupi darahnya sendiri di tangan itu, wajahnya agak terang dan dia
berterima kasih kepada rasa nyeri di tangannya, karena rasa nyeri itu mengurangi
rasa nyeri yang lebih mendalam dan menyiksa tadi.
"Persetan dengan Cia Bun Houw...!" Dia membentak lalu dara ini lari
secepatnya keluar dari hutan itu dan mendaki lereng gunung di depan.
Ketika dia keluar dari hutan dan tiba di jalan raya kasar yang diapit-apit
padang rumput, dia mendengar derap kaki kuda dan melihat serombongan orang
berkuda, pakaian mereka seragam mendatangi dengan cepat. Karena hatinya lagi
risau In Hong tidak perduli dan terus saja dia mempergunakan ilmu berlari cepat
sehingga dia berpapasan dengan rombongan belasan orang itu tanpa memperhatikan
sama sekali. "Heiii...!" Tiba-tiba terdengar seruan dari rombongan penunggang kuda itu
dan In Hong masih tetap berlari terus. Akan tetapi kini dia mendengar derap kaki
kuda dari belakangnya dan agaknya rombongan penunggang kuda tadi telah
membalikkan arah kuda mereka dan kini mengejar In Hong.
"Lihiap...! Perlahan dulu...!"
Setelah tiga kali mendengar seruan ini, barulah In Hong sadar bahwa ada
orang-orang mengejarnya dan bahwa panggilan itu ditujukan kepadanya, maka dia
lalu berhenti berlari dan menanti di pinggir jalan sambil memandang tajam penuh
perhatian, hatinya sudah mulai panas karena merasa bahwa perjalanannya diganggu
orang! Kalau serombongan orang laki-laki itu hendak berlaku kurang ajar
kepadanya, awas, pikirnya! Aku takkan mengampunkan kalian!
Kini rombongan yang terdiri dari lima belas orang berpakaian seragam
gemerlapan karena disulam benang emas itu berhenti pula di situ dan seorang di
antara mereka, yang bertubuh tegap dan bersikap gagah, usianya empat puluhan
tahun, meloncat dengan gesitnya dari atas kuda lalu menghampiri In Hong yang
berdiri tegak dengan kedua lengan bersilang depan dada.
Laki-laki yang ternyata adalah komandan dari pasukan itu, menjura dan
mengeluarkan sehelai kain bergambar, dipandangnya kain itu, kemudian dia menatap
wajah In Hong penuh selidik dan bertanya, "Maafkan saya, lihiap. Bukankah lihiap
ini yang bernama Yap In Hong?"
Tangan dara itu bergerak cepat seperti kilat menyambar. Komandan pasukan itu
bukanlah orang biasa, melainkan seorang komandan atau perwira dari pasukan Kim-
i-wi yaitu pasukan pengawal istana yang berpakaian seragam keemasan atau yang
dinamakan Pasukan Baju Emas. Kepandaiannya sudah cukup tinggi, kalau tidak tentu
saja dia tidak akan terpilih menjadi perwira. Melihat gerakan dara itu, dia
terkejut sekali dan cepat mengelak sambil menarik kembali tangannya yang
memegang lukisan. "Prrrttt...!" Betapapun cepatnya perwira itu mengelak, tetap saja gambar itu
telah berpindah tangen dan kini dengan tenang, tanpa merobah kedudukan tubuhnya,
In Hong yang masih cemberut itu memandang gambar di tangannya. Dia kaget dan
heran sekali melihat lukisan yang indah di atas kain itu, lukisan seorang wanita
muda yang bukan lain adalah dirinya sendiri!
In Hong mengerutkan alisnya dan pandang matanya ke arah wajah perwira itu
seperti todongan ujung pedang yang amat runcing sehingga perwira itu kembali
terkejut dan otomatis mundur selangkah ke belakang.
"Hayo katakan, siapa yang melukis ini dan apa maksudnya semua ini?" Suaranya
dingin sekali dan nadanya mengancam sehingga terasa pula oleh semua anggauta
pasukan pengawal Kim-i-wi yang mendengarnya.
Akan tetapi, pasukan pengawal Kim-i-wi adalah terkenal sebagai pasukan yang
gagah berani dan setia, semacam pasukan pengawal istana yang telah disumpah
untuk setia sampai mati! Perwira itupun lalu menjawab dengan tabah, "Maafkan
saya, lihiap. Demi tugas kami, maka sebelum lihiap menjawab apakah benar lihiap
yang bernama Yap In Hong, kami tidak dapat menerangkan apapun."
In Hong memandang dengan marah, akan tetapi ketika dia bertemu pandang
dengan perwira itu, dia merasa kagum. Perwira ini benar-benar berani, akan
tetapi tidak kurang ajar, dan tidak sombong pula. Kekagumannya membuat dia agak
lunak. "Aku benar Yap In Hong. Nah, sekarang terangkan semua, kalau tidak, terpaksa
aku akan menghajar kalian semua karena gangguan ini!"
Wajah perwira itu menjadi berseri gembira dan juga anak buahnya menjadi
girang sekali nampaknya. "Wah, maaf... eh, betapa girang hati kami, lihiap.
Susah payah kami mencari lihiap. Ketahuilah, kami adalah pasukan Kim-i-wi dari
istana kaisar dan ratusan orang anggauta kami disebar di seluruh pelosok untuk
mencari lihiap dan ini merupakan perintah dari sri baginda kaisar sendiri!
Setiap pasukan diberi gambar seperti ini agar lebih mudah mengenal lihiap.
Ketika tadi kita saling berpapasan, saya segera mengenal lihiap maka kami
melakukan pengejaran."
Akan tetapi pandang mata In Hong masih belum melenyapkan kecurigaannya. "Apa
sebabnya istana mengerahkan pasukan pengawal untuk mencari aku?"
"Lihiap, saya hanya seorang pemimpin pasukan kecil saja, mana saya bisa
mengetahui akan kehendak sri baginda kaisar" Yang saya ketahui hanya bahwa
pasukan-pasukan pengawal menerima perintah keras dari sri baginda kaisar untuk
mencari lihiap sampai jumpa..."
"Dan kalau sudah jumpa?"
"Agar dipersilakan ke istana untuk memenuhi undangan kaisar."
In Hong berpikir sejenak. Tidak mungkin ada sesuatu yang buruk di belakang
undangan kaisar ini, pikirnya. Dia tahu bahwa kaisar yang muda itu adalah
seorang yang baik dan gagah. Dia sudah menolong kaisar lolos dari benteng
Sabutai, tidak mungkin kaisar yang kini sudah menduduki tahtanya lagi itu
berniat buruk terhadap dirinya. Menarik juga undangan kaisar ini, menjanjikan
pengalaman-pengalaman baru untuknya, dan pada saat seperti itu, selagi hatinya
diliputi gundah, pergi kepada kakaknya di Leng-kokpun tidak ada gunanya. Lebih
baik ke kota raja memenuhi undangan kaisar dan hendak dilihatnya apa yang akan
dilakukan oleh kaisar terhadap dirinya.
"Baik, aku akan ikut dengan kalian ke istana," katanya.
Wajah perwira itu berseri-seri dan girangnya bukan main. Juga anak buahnya
semua tersenyum girang karena kalau pasukan mereka ini yang menemukan pendekar
wanita itu, tentu berarti mereka akan menerima pujian dan ganjaran besar! "Saya
akan memberi isyarat kepada semua pasukan Kim-i-wi!" katanya dan tak lama
kemudian dia melepaskan panah ke udara, anak panah berapi yang menyalakan
kembang api berwarna biru di udara.
Setiap hari mereka mengirim isyarat panah berapi itu dan sebelum mereka tiba
di istana pasukan itu telah bertambah terus, didatangi oleh pasukan-pasukan Kim-
i-wi lain yang tersebar ke mana-mana dan akhirnya ketika rombongan itu tiba di
istana, yang mengirimkan In Hong tidak kurang dari seratus orang! Dara itu
sendiri diberi seekor kuda yang pilihan dan di sepanjang perjalanan memperoleh
pelayanan sebagai seorang puteri saja sehingga In Hong yang sudah biasa hidup
bebas dan menghadapi kesukaran-kesukaran sampai merasa sungkan sendiri. Akan
tetapi karena dia tahu bahwa perlakuan dan sikap mereka itu adalah untuk
memenuhi perintah kaisar, maka diapun tidak menolak. Kalau mereka kemalaman di
jalan, setiap pembesar-pembesar setempat menyambutnya dengan penuh penghormatan,
menjamunya dan memberinya kamar yang terbaik dari gedung mereka.
Akhirnya In Hong dibawa oleh panglima pengawal menghadap kaisar. Begitu
melihat dara perkasa ini muncul di ruangan, kaisar sudah tersenyum lebar dan
melambaikan tangannya dengan girang, sehingga para menteri dan pembesar yang
hadir di situ menjadi terheran-heran.
"Yap In Hong lihiap...! Alangkah girang hati kami mendengar akan
kedatanganmu!" In Hong adalah seorang gadis yang sejak kecil hidup di dunia kang-ouw dan
tentu saja dia tidak mengenal tata tertib istana, tidak pula mengenal kesusilaan
yang sudah menjadi tradisi di dalam istana kaisar. Akan tetapi dia seorang yang
cerdas, maka biarpun dia tidak tahu akan kebiasaan di situ, dia segera
menjatuhkan diri berlutut dan berkata. "Semoga paduka selamat, bahagia, dan
berusia panjang!" Tiba-tiba kaisar yang kini agak gemuk dan wajahnya segar berseri itu tertawa
bergelak dan kembali semua menteri saling pandang dengan heran. "Ha-ha-ha, Hong-
lihiap, dari manakah engkau memperoleh kepandaian memberi hormat seperti itu!
Bangkitlah dan duduklah di atas bangku yang sudah tersedia itu. Kita bicara
seperti dahulu ketika kita bersama lolos dari benteng Sabutai dan keluar masuk
hutan!" Wajah In Hong menjadi merah dan dia bangkit, menjura lalu duduk di atas
bangku sambil tersenyum. "Hamba hanya ikut-ikut saja, sri baginda. Kalau keliru
harap tidak ditertawakan dan diampunkan."
"Tidak, engkau adalah tamuku, penolongku, bahkan kuanggap saudaraku sendiri,
Hong-lihiap! Semenjak aku kembali ke sini, aku selalu teringat kepadamu dan
kusuruh mencari ke mana-mana. Aku minta kepadamu, lihiap, agar engkau suka
tinggal di istana ini, sebagai seorang saudaraku dan untuk jasa-jasamu kuangkat
engkau menjadi Puteri Pelindung Kaisar yang juga kuanggap sebagai adikku
sendiri. Engkau berhak keluar masuk di selurub istana ini dan berhak tinggal di
sini selama yahg engkau sukai."
Kembali semua menteri melongo mendenger ini, akan tetapi karena merekapun
sudah mendengar behwa pendekar wanita bernama Yap In Hong inilah yang telah
membebaskan kaisar dari tawanan Raja Sabutai, maka mereka hanya dapat
mengangguk. Di waktu kaisar menjadi tawanan dan terancam bahaya, orang
sekerajaan tidak ada yang mau atau berani menolong kecuali dara ini! Sudah
sepatutnya kalau kini kaisar membalas jasanya yang amat besar itu.
In Hong merasa terharu juga oleh limpahan perasaan seperti itu, akan tetapi
dia masih bertanya, "Tentu hamba tidak terikat di sini, bukan?"
Kaisar tersenyum lebar. "Tidak, lihiap. Akan tetapi kuharap dengan sungguh
agar engkau dapat selamanya tinggal di sini, bahkan kelak kalau engkau sudah
bersuami, suamimu akan kami beri pangkat dan kedudukan tinggi agar engkau selalu
dekat dengan kami." In Hong lalu menghaturkan terima kasih dan kaisar lalu memanggil kepala
pengawal dalam istana dan memerintahkan panglima ini untuk mengantar In Hong ke
dalam istana dan memberinya sebuah gedung yang serba indah dan lengkap di bagian
keputren. Mulai hari itu, kehidupan In Hong berobah sama sekali! Biarpun dia tidak
suka bersolek, dan tidak ingin memakai pakaian yang indah-indah, akan tetapi
setelah semua pakaian tersedia dan dia tidak ingin membikin malu kaisar karena
dia dianggap sebagai seorang puteri, atau adik angkat kaisar sendiri, terpaksa
In Hong mengganti pakaiannya yang sederhana dengan pakaian yang serba indah
gemerlapan! Dan diapun menduga bahwa di balik semua ini, tentu ada suatu maksud
dari kaisar dan dia menduga bahwa hal itu tentulah ada hubungannya dengan
Khamila! Karena, bukankah hanya dia yang tahu bahwa kaisar ini dengan isteri
Raja Sabutai itu terdapat jalinan hubungan yang amat mesra"
Dugaannya memang tepat karena beberapa hari kemudian, ketika terdapat
kesempatan kaisar bertemu berdua saja dengan dia, kaisar berkata, "Hong-lihiap,
aku lebih suka menyebutmu lihiap daripada adik atau puteri, karena sebutan ini
mengingatkan aku akan pengalaman-pengalaman kita dahulu. Engkau tentu tahu,
lihiap, bahwa hadirnya engkau di dalam istana ini, di dekatku membuat aku merasa
seolah-olah diapun tidak jauh dariku."
In Hong mengangkat muka memandang wajah kaisar yang kelihatan terharu dan
berduka itu. Dia mengangguk akan tetapi tidak tahu harus berkata apa.
"Aku hanya mengharap, lihiap, engkau sebagai satu-satunya orang yang tahu
Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akan rahasia kami itu, selain tidak akan membocorkan rahasia ini, juga kelak
sekali waktu engkau dapat mewakili aku untuk menengok... anak itu di sana."
In Hong mengangguk-angguk. Dia mengerti, dan mudahlah menduga siapa yang
dimaksudkan dengan anak itu. Tentu anak yang dulu dikandung oleh Khamila.
"Harap paduka jangan khawatir. Sewaktu-waktu hamba akan memenuhi perintah
paduka." Demikianlah In Hong kini menjadi seorang puteri yang bebas keluar masuk di
seluruh bagian istana itu, dihormati oleh semua pengawal, pelayan dan ponggawa
istana. Kalau tadinya ada yang menduga bahwa pendekar wanita yang cantik itu
menjadi kekasih kaisar, kini mereka itu keliru dan ternyata bahwa benar-benar
kaisar melakukan kebaikan itu untuk membalas jasa. Akan tetapi, karena sikap In
Hong yang tidak sombong, bahkan kini dara itu mempelajari segala macam kebiasaan
di istana, dan mulai dapat merobah sifatnya yang tadinya dingin, kaku dan ganas,
di samping berita akan kelihaian dara itu, semua orang merasa suka kepadanya.
*** Tio-twako...!" "Eh, Tio-twako datang...!"
Kwi Beng dan Kwi Eng yang sedang duduk di serambi depan rumah mereka di Yen-
tai, meloncat dengan girang dan lari ke pekarangan menyambut kedatangan seorang
pemuda yang tinggi kurus, bersikap gagah dan berpakaian sederhana, berwarna
kuning dan yang memasuki pekarangan itu dengan sikap ragu-ragu. Pemuda itu bukan
Setan Madat 2 Mahesa Edan 1 Rahasia Makam Mahesa Playboy Dari Nanking 12
oleh pandangan mata, Bun Houw mengelak, menangkis pukulan-pukulan dengan tangan
kiri dan menangkis pedang ular dengan kayu di tangannya, semua dilakukan dengan
tepat, indah dan kuat. Kini tubuhnya sudah diam lagi setelah dia berhasil menghalau serangan
gelombang pertama dan kembali dia menghadapi dua orang lawan di kanan kirinya.
Dalam serangan gebrakan pertama itu saja, Phang Tui Lok dan Gu Lo It sudah
menjadi terkejut bukan main. Ternyata kayu itu berhasil menangkis pedang dan
membuat pedang ular terpental dan tangan yang memegangnya tergetar hebat,
sedangkan serangan ujung lengan baju yang mengandung baja itu ditangkis begitu
saja oleh tangan kiri pemuda itu. Tangan telanjang itu berani menangkis baja
yang disembunyikan di dalam lengan baju, dan setiap tangkisan tadi membuat ujung
lengan baju itu membalik keras!
In Hong terbelalak. Kagum bukan main dia. Biarpun baru segebrakan, akan
tetapi sekarang Bun Houw agaknya baru memperlihatkan siapa dirinya sebenarnya!
Tadi di waktu melawan Hok Hosiang, pemuda itu memang berpura-pura. Baru
sekarang, gerakannya tampak indah dan hebat bukan main, cepat dan tepat, kuat
dan juga amat luar biasa! Dan In Hong teringat akan gerakan tangan kiri Bun Houw
yang mirip Thian-te Sin-ciang tadi. Siapakah sebenarnya pemuda ini" Dia menduga-
duga dan hatinya makin kagum sungguhpun kekhawatiran masih belum meninggalkan
hatinya ketika dia melihat dua orang kakek itu kini sudah menerjang lagi dengan
dahsyatnya. Bun Houw maklum bahwa dia berhadapan dengan dua orang kakek yang
berkepandaian tinggi dan yang berkelahi dengan mati-matian, maka diapun tidak
berani main-main lagi menghadapi musuh besar ini. Dengan cepat dia menggerakkkan
potongan gagang tombak itu di tangannya dan segera kedua orang lawannya terkejut
bukan main dan berseru keras, juga semua penonton menjadi bengong ketika melihat
betapa cepatnya gerakan pemuda itu sehingga tubuhnya seolah-olah berobah menjadi
delapan orang yang menghadapi dua orang pengeroyok itu dari delapan penjuru!
Gagang tombak dari kayu itu mengeluarkan suara mengaung dan berobah menjadi
sinar kehijauan dan kini seolah-olah dua orang Bayangan Dewa itu bukan
mengeroyok, bahkan mereka berdua merasa seperti dikeroyok banyak orang! In Hong
terbelalak. Gerak kaki pemuda itu jelas mengandung unsur-unsur pokok dari Thian-
te Sin-ciang! Dia tidak tahu bahwa memang Bun Houw mainkan Ilmu Pedang Thian-te
Sin-kiam ciptaan gurunya, Kok Beng Lama, akan tetapi karena tangannya memegang
sebatang kayu, Ilmu Thian-te Sin-ciang ini hanya menjadi gerakan dasar saja,
sedangkan kembangannya sudah dia campur dengan Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut
dari ayahnya! Ilmu pemuda itu memang amat tinggi, apalagi dia mainkan dua ilmu yang
digabung menjadi satu, dua ilmu pedang yang merupakan ilmu simpanan dari Kok
Bang Lama dan Cia Keng Hong. Dua orang lawannya menjadi silau pandang matanya
dan bingun. Pat-pi Lo-sian dan Liok-te Sin-mo yang tadinya hendak mendesak dan
menghujankan serangan, kini berbalik malah didesak hebat, dihimpit oleh serangan
yang datang dari delapan penjuru, dan mereka berdua itu dengan muka pucat kini
hanya mampu mengelak dan menangkis saja sambil mundur-mundur.
Bun Houw mempercepat gerakan "pedangnya" dan kini pemuda itu menambah
serangannya dengan tamparan-tamparan tangan kiri, tamparan Thian-te Sin-ciang
yang mengandung hawa mujijat sepenuhnya! Melihat tamparan-tamparan ini, In Hong
makin terbelalak den dia kini tidak syak lagi bahwa pemuda itu jelas
mempergunakan Thian-te Sin-ciang, ilmu mujijat yang pernah dia pelajari dari
pendeta Lama ini, akan tetapi pemuda itu menggunakannya secara matang dan hebat
sekali! Dia makin terheran-heran dan menduga-duga. Bagaimana murid Cin-ling-pai
bisa memiliki kepandaian demikian hebat dan dapat memiliki limu pukulan pendeta
Lama itu" Pat-pi Lo-sian dan Liok-te Sin"mo makin terdesak dan kini keringat dingin
membasahi leher dan muka mereka yang pucat, napas mereka mulai memburu dan
setiap kali pedang ular bertemu dengan kayu, pedang itu terpental, demiktan pula
ujung lengan baju Gu Lo It, selalu terpental begitu bertemu dengan pedang kayu
atau dengan tangan kiri pemuda itu.
"Bersiaplah kalian untuk membuat perhitungan dengan para suheng Cap-it Ho-
han di alam baka!" Tiba-tiba Bun Houw berseru den gerakannya menjadi makin cepat
dan makin kuat. Pat-pi Lo-sian mengeluarkon suara melengking panjang. Dewa Tua Berlengan
Delapan ini mengerahkan seluruh tenaganya, menubruk ke depan, pedang ularnya
menusuk pusar, tangan kirinya mencengkeram ke arah ubun-ubun dan kepalanya
digerakkan sehingga kuncir rambutnya yang besar panjang itupun bergerak hidup
seperti seekor ular, menyambar dan menotok ke arah kedua mata Bun Houw! Hebat
bukan main serangan dari orang pertama Lima Bayangan Dewa ini. Akan tetapi
berbeda dengan para penonton yang menahan napas memandang, Bon Houw bersikap
tenang. Tusukan pedang ular ke arah pusarnya itu dia hindarkan dengan gerakan tubuh
yang dimiringkan karena perobahan kuda-kuda kaki sehingga pedang itu menyeleweng
ke samping tubuhnya, kemudian dengan kecepatan kilat pedang kayunya membabat putus kuncir rambut mengancam matanya dan sebelum Phang Tui Lok sempat
menarik kembali tangan kirinya, Bun Houw sudah menangkap pergelang tangan itu
dengan tangan kirinya. "Aughhhhh...!" Pat-pi Lo-sian berteriak keras karena dari telapak tangan
lawan yang mencengkeram lengannya itu keluar hawa panas yang menjalar dari
lengan ke dadanya, seperti membakar tubuhnya. Rasa nyeri dan kemarahan membuat
dia nekat dan pedangnya yang mengenai tempat kosong itu sudah ditarik dan
ditusukkan kembali ke perut Bun Houw! Dan pada saat yang hampir bersamaan, Gu Lo
It juga sudah menubruk dari belakang pemuda itu, menghantamkan kedua tangannya
didahului oleh dua ujung lengan baju yang menyambar ke arah punggung Bun Houw.
"Trakkk! Krekkkk... aaaiiihhhhh...!" Pedang ular terlepas dari tangan Pat-pi
Lo-sian karena didahului oleh pedang kayu yang menotok pergelangan tangan kanan
dan lengan kiri Phang Tui Lok itu remuk tulang-tulangnya ketika Bun Houw
menggunakan tenaga Thian-te Sin-ciang untuk mencengkeram.
"Buk! Bukk!" Pukulan Gu Lo It dari belakang sengaja diterima oleh Bun Houw
setelah dia melindungi punggungnya dengan sin-kangnya yang amat kuat. Kemudian
dia membalik cepat sambil mengangkat tubuh Phang Tui Lok, dilemparkan ke arah Gu
Lo It dengan amat kuatnya.
"Brressss...!" Tubuh Phang Tui Lok yang lengan kirinya sudah patah-patah itu
menimpa tubuh Gu Lo It sehingga keduanya jatuh tunggang langgang dan sebelum
mereka sempat sadar dari keadaan nanar dan dapat bangkit kembali, nampak sinar
hijau berkelebat dua kali dan terdengarlah pekik-pekik mengerikan dan dua orang
Bayangan Dewa yang amat terkenal setelah mereka mengacau Cin-ling-pai itu tewas
seketika. Hanya ada sedikit darah mengucur keluar dari tengkuk mereka yang
ditusuk oleh pedang-pedangan kayu di tangan Bun Houw.
Sejenak suasana menjadi sunyi sekali, seolah-olah semua orang masih
termangu-mangu, heran dan terkejut menyaksikan kesudahan pertandingan yang tak
tersangka-sangka itu, akan tetapi begitu Raja Sabutai bertepuk tangan memuji,
terdengarlah sorak-sorai dan tepuk tangan yang meriah dan di antara mereka yang
bertepuk tangan, juga tidak ketinggalan In Hong yang menjadi gembira dan lega
bukan main! Di antara suara sorak-sorak itu, terdengar Yo Bi Kiok berbisik kepada
muridnya, "Kekasihmu itu bisa menjadi orang yang amat berbahaya, muridku. Kau
harus dapat menundukkan dia, kalau tidak bisa berbahaya..."
Dan Pek-hiat Mo-ko juga berbisik kepada Raja Sabutai, "Pemuda itu
mencurigakan, sri baginda. Dia bukan orang sembarangan, bukan murid
sembarangan..." Akan tetapi Bun Houw tidak memperdulikan sorak-sorai pujian itu. Dia
membiarkan para pengawal menyeret pergi dua mayat musuh-musuhnya itu lalu dia
melangkah ke dekat Raja Sabutai, menjura dengan hormat dan berkata, "Terima
kasih atas kemurahan paduka yang telah memberi kesempatan kepada saya untuk
berhadapan dengan musuh-musuh saya. Setelah mereka semua tewas, saya mohon
kembalinya pedang pusaka perkumpulan kami dan mohon perkenan untuk keluar dari
tempat ini." "Bocah she Bun, nanti dulu!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan nampak
bayangan berkelebat cepat. Yo Bi Kiok sudah berdiri di tengah ruangan itu dengan
sikap menantang! "Bayangan Dewa memang sudah kalah terhadap engkau, akan tetapi
di sini masih ada ketua Giok-hong-pang yang juga ingin memperebutkan Siang-bhok-
kiam! Memang pibu ini diadakan untuk mengukur siapa yang paling pandai, siapa
yang paling tinggi kepandaiannya dan yang paling pandai berhak memiliki Siang-
bhok-kiam! Bukankah begitu, sri baginda?"
Raja Sabutai tersenyum. Tentu saja raja ini tidak memperdulikan urusan
pribadi orang lain dan dia hanya ingin melihat orang-orang pandai mengadu ilmu.
Bagi raja ini, siapapun yang akan memiliki pedang kayu itu tidak ada bedanya.
"Siapapun yang mempunyai urusan pribadi hendak diselesaikan melalui pibu, boleh
diselesaikan sekarang di sini," jawabnya mengangguk.
Bun Houw memutar tubuhnya, perlahan-lahan dan kini dia memandang kepada Yo
Bi Kiok dengan sinar mata tajam penuh selidik, bahkan mukanya mulai berobah
merah karena dia teringat akan ucapan Phang Tui Lok tadi tentang perbuatan Yo Bi
Kiok ini. Menurut pengakuan Phang Tui Lok tadi, Bayangan Dewa itu berhasil
membunuh empat murid utama dari Cin-ling-pai, sudah tentu Kwee Kin Ta, Kwee Kin
Ci, Louw Bu dan Un Siong Tek, dan juga membunuh besan ayahnya yang tentu adalah
Hong Khi Hoatsu di Sin-yang atas bantuan Yo-pangcu ini. Bahkan katanya wanita
ini telah menculik Lie Seng, keponakannya, putera dari encinya! Baru sekarang
dia mendengar akan hal itu dan belum sempat menyelidikinya, akan tetapi sekarang
wanita iblis ini malah mencari gara-gara hendak merampias Siang-bhok-kiam!
Subo... Bun-ko... jangan...!" terdengar suara In Hong khawatir. Akan tethpi
Bun Houw tidak perduli, dan kini dia sudah melangkah perlahan menghampiri Yo Bi
Kiok yang berdiri di tengah ruangan, menantinya sambil tersenyum. Bahkan kini
hati Bun Houw menjadi makin panas dan marah mengingat bahwa wanita iblis ini
adalah guru dari gadis yang telah merampas hatinya! Gadis yang ternyata juga
amat kejam, dan agaknya kekejaman itu diwarisi dari gurunya ini! Maka marahlah
dia kepada Yo Bi Kiok. Kini mereka sudah berhadapan dan sejenak keduanya saling pandang, Bun Houw
marah dan Yo Bi Kiok tersenyum mengejek.
"Orang muda she Bun." Yo Bi Kik berkata. "Demi persahabatanmu dengan
muridku, lebih baik kau menyerahkan Siang-bhok-kiam kepadaku, dengan demikian
tidak ada perlunya lagi bagi kita untuk saling bertanding."
Akan tetapi pada saat itu pikiran Bun Houw sama sekali tidak mengingat
Siang-bhok-kiam, melainkan urusan lain lagi. "Yo-pangcu, Siang-bhok-kiam adalah
pusaka Cin-ling-pai dan siapapun juga tidak boleh mengambilnya. Akan tetapi,
sekarang aku hendak menuntut pangcu tentang urusan di Sin-yang!"
Berkerut alis mata yang panjang melengkung itu dan dagu yang runcing manis
itu diangkat. "Hemm, bocah she Bun, ada apa kau tanya-tanya soal itu?"
"Yo-pangcu! Urusan ini bahkan lebih panting lagi! Aku mendengar tadi bahwa
engkau telah menculik Lie Seng, benarkah itu?"
"Bocah she Bun, tidak perlu kau lancang hendak mencampuri urusan orang lain!
Aku hendak menyimpan Siang-bhok-kiam hanya untuk melindungimu, mengerti" Sebagai
sahabat baik muridku, engkau tak perlu membahayakan diri, engkau harus menjadi
seorang... kekasih yang baik, jangan menjadi seorang laki-laki yang berhati
palau. Hati-hati engkau kalau sampai engkau menyakiti hati muridku. Gadis dusun
itu menjadi contohnya, dan kalau engkau yang tidak setia, engkaulah yang akan
kubunuh. Nah, mundurlah dan hiburlah hati In Hong, biarkan aku yang menghadapi
mereka itu. Tak tahukah engkau bahwa mereka berdua itu agaknya tidak akan
mengembalikan Siang-bhok-kiam begitu saja?"
Bun Houw terkejut bukan main. Di dalam ucapan wanita itu tadi tersangkut
banyak sekali persoalan! Pertama, urusan cinta yang belum diketehui siapapun
juga, cinta yang terkandung di dalam hatinya tarhadap In Hong, agaknya telah
diketahui oleh wanita ini dan dibicarakan di depan umum begitu saja! Kedua,
wanita ini mengaku bahwa dia yang membunuh gadis dusun she Ma itu! Lapanglah
hati Bun Houw. Jadi bukan nona Hong yang membunuh, melainkan wanita iblis ini.
Dan ketiga, baru dia tahu bahwa dua orang kakek dan nenak itu, yang tadi
menyimpan Siang-bhok-kiam, guru-guru dari Raja Sabutai, juga menginginkan padang
pusaka itu! "Yo-pangcu, semua urusan itu boleh kukesampingkan, karena yang penting
sekarang adalah persoalan yang kaulakukan di Sin-yang! Benarkah engkau menculik
Lie Seng, cucu ketua Cin-ling-pai?"
"Kalau benar, engkau mau apa?" Yo Bi Kiok bertanya dengan nada mengejek
karena hatinya menjadi jengkel sekali. Dia teringat akan Lie Seng, bocah yang
telah menghinanya secara menggemaskan sekali, yang telah menghajarnya babak
belur, dan dia tidak mampu berbuat apa-apa karena anak itu dibantu oleh pendeta
Lama yang amat sakti. Akan tetapi akhirnya dapat juga dia membalas menyerang
anak itu dengan Siang-tok-swa dan agaknya bocah itu sekarang sudah mampus!
"Bagus! Yo-pangcu, kalau begitu aku menantangmu untuk mengadu nyawa di
sini!" Bun Houw membentak marah.
"Bun-ko...!" In Hong berseru kaget dan tubuh dara ini sudah melayang ke
tengah ruangan itu, menghadang antara Bun Houw dan gurunya. "Bun-ko, engkau
tidak boleh melawan subo!"
"Hong-moi, aku telah bersalah kepadamu. Engkau tidak berdosa, akan tetapi
gurumu itu... dia iblis betina keji yang harus kubasmi. Minggirlah, Hong-moi!"
"Tidak! Engkau tidak boleh melawan Subo..."
"Hong-moi!" Bun Houw membentak.
"Kalau engkau berkeras, terpaksa aku yang mewakili subo menghadapimu, Bun-
ko." "Hong-moi...!" Bun Houw terkejut, meragu dan bingung.
Pada saat itu, tedengar seruan. "Tahan...!" Semua orang terkejut melihat
berkelebatnya bayangan orang yang mencelat melalui atas kepala para penjaga,
cepat sekali gerakannya seperti burung terbang dan tahu-tahu di situ telah
berdiri seorang laki-laki sederhana, berusia tiga puluh tujuh tahun, mukanya
kurus sekali dan agak pucat sehingga nampak sepasang matanya yang tajam memenuhi
wajah kurus yang masih membayangkan sisa ketampanan itu.
"Sute, mundurlah, biar aku yang menghadapinya!" kata pria itu kepada Bun
Houw. "Suheng...!" Bun Houw berseru ragu-ragu dan alisnya berkerut. Hati Bun Houw
masih penasaran bertemu dengan Yap Kuh Liong ini, yang mengingatkan dia akan
peristiwa hebat yang menimpa keluarga encinya.
In Hong juga terkejut melihat kakak kandungnya, akan tetapi kesempatan itu
dipergunakannya untuk mundur dengan hati lega karena diapun melihat Bun Houw
mundur dengan muka berobah. In Hong makin terheran-heran mendengar kakak
kandungnya menyebut sute kepada Bun Houw.
Sementara itu, begitu melihat pria ini, wajah Yo Bi Kiok berobah, sebentar
pucat sebentar merah, mukanya kadang-kadang seperti orang hendak menangis
kadang-kadang seperti orang bergembira. Aneh sekali sikap wanita cantik ini.
Orang itu memang Yap Kun Liong. Seperti telah diceritakan di bagian depan,
pendekar ini bertemu dengan Cia Keng Hong, mendengar bahwa adik kandungnya, Yap
In Hong, berada di benteng musuh dan bahwa sutenya, Cia Bun Houw, sedang
menyusul untuk melindungi In Hong, maka diapun lalu menyusul. Ketika dia
menyelidiki, dia mendengar bahwa di dalam benteng sedang ramai diadakan pibu
antara orang-orang yang berkepandaian tinggi, dan bahwa yang mengadakan pibu itu
adalah Raja Sabutai sendiri. Mendengar ini dia lalu mencari jalan masuk dan
akhirnya, berkat kepandaiannya yang tinggi, dia berhasil pula masuk dan tiba di
tempat itu tepat pada saat Bun Houw mendesak Yo Bi Kiok untuk mengaku tentang
Lie Sang. Mendengar bahwa Lie Seng yang kabarnya terculik itu ternyata diculik
oleh Yo Bi Kiok, Kun Liong menjadi kaget dan marah sekali maka tak tertahankan
lagi dia berseru dan meloncat ke tengah ruangan dengan hati penuh kemarahan.
Akan tetapi, pendekar ini masih ingat bahwa dia berada di dalam benteng Raja
Sabutai yang telah mundur dan menyerang kota raja, maka dia lalu memberi hormat
kepada raja itu, berkata, "Harap sri baginda mengampunkan kelancangan saya yang
datang tanpa diundang."
Raja Sabutai mengerutkan alisnya. Tadi, para pengawal sudah menggerakkan
senjata dan memandang kepadanya menanti perintah, juga kedua orang gurunya sudah
siap bendak menerjang, hanya menanti isyaratnya, akan tetapi dia memberi isyarat
kepada mereka semua agar jangan turun tangan. Andaikata tidak ada sebutan sute
dan suheng antara pendatang baru ini dan Bun Houw, tentu dia telah memberi
isyarat untuk menanqkap penyelundup itu. Akan tetapi, ketika melihat bahwa
pendatang baru ini adalah suheng dari Bun Houw yang demikian lihai, hatinya
tertarik. Akan tetapi kini mendengar ucapan Yap Kuli Liong, Raja Sabutai dengan
alis berkerut dan suara marah membentak, "Siapakah engkau?"
"Sri baginda, dia adalah kakak kandung saya!" Tiba-tiba In Hong berkata. Kun
Liong memutar tubuhnya memandang In Hong dengan wajah berseri. Tidak ada kata-
kata yang lebih merdu, lebih menggembirakan daripada suara dara itu yang kini di
depan orang banyak mengakui dia sebagai kakak kandungnya.
"Adikku...!" Dia berbisik dengan hati terharu, akan tetapi In Hong hanya
memandang kepadanya dengan mata terbelalak, karena gadis ini mengakui kakaknya
hanya untuk meredakan kemarahan Raja Sabutai.
Dan memang tepatlah dugaannya. Mendengar seruan gadis yang pernah amat
dipercayanya, yang menjadi pengawal, pelindung dan juga sahabat isterinya,
berkuranglah kemarahan dalam hati Raja Sabutai atas kelancangan Kun Liong.
Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa keperluanmu datang ke sini tanpa diundang?" Raja Sabutai bertanya lagi.
"Saya bernama Yap Kun Liong dan kedatangan saya secara lancang ini adalah
karena saya mendengar bahwa adik kandung saya, Yap In Hong dan sute Cia Bun Houw
berada di sini..." "Ouhhh...!" Yang menjerit ini adalah In Hong. Dan gadis itu kini berdiri
dengan mata terbelalak memandang kepada Bun Houw yang juga sedang memandang
kepadanya dengan bengong. Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati In Hong ketika
mendengar bahwa pemuda yang selama ini disangkanya orang she
Bun, yang baru saja dengan kepandaiannya yang hebat membuat dia terheran-
heran, ternyata adalah Cia Bun Houw putera ketua Cin-ling-pai atau...
tunangannya sendiri yang dia batalkan! Cia Bun Houw! Kekasih Yalima! Tak terasa
lagi matanya menjadi panas dan cepat-cepat dia mengusap air mata yang belum
keluar itu. Cia Bun Houw! Mengapa dia begitu bodoh" Begitu buta" Orang yang
mati-matian membela Cin-ling-pai, orang muda yang begitu lihai, tentu saja Cia
Bun Houw! Di lain fihak, Bun Houw juga bengong terlongong. Kiranya gadis yang
mengagumkan hatinya, yang menjatuhkan hatinya, ternyata adalah adik Yap Kun
Liong sendiri! "Kedatangan saya ini sama sekali bukan hendak mengacaukan benteng paduka sri
baginda. Melainkan karena urusan pribadi. Setelah mendengar bahwa mereka berdua
berada di sini, saya menyusul dan tadi hanya mendengar tentang pengakuan wanita
bernama Yo Bi Kiok atau Yo-pangcu, ketua Giok-hong-pang ini. Maka saya hendak
menyelesaikan urusan pribadi saya dengan dia, jika paduka memperkenankan."
Melihat sikap gagah den kata-kata yang lancar dan hormat itu, Raja Sabutai
tahu bahwa yang berdiri di depannya adalah seorang yang berkepandaian tinggi,
maka dia menjadi gembira sekali. Akan lebih ramai sekarang! Maka dia mengangguk.
"Baik, silakan."
Yap Kun Liong kini menghampiri Yo Bi Kiok, alisnya berkerut dan pandang
matanya penuh selidik, penuh penyesalan. "Yo Bi Kiok, sungguh menyesal bahwa
kita sekarang saling berhadapan dalam keadaan seperti ini! Sekarang harap engkau
suka berterus terang apa saja yang telah kaulakukan di Sin-yang, dan ke mana kau
membawa Lie Seng putera dari Cia Giok Keng itu."
Yo Bi Kiok sejenak memandang wajah pria yang sejak dahulu dipuja den
dicintanya itu, memandang meara, kemudian dia tersenyum. "Kun Liong, kenapa
engkau mencampuri urusan ini" Apa perdulimu tentang urusanku dengan keluarga
Cin-ling-pai?" "Benar! Engkau tidak berhak, Yap-suheng. Mundurlah dan aku yang akan
menyelesaikan perhitungan ini dengan Yo-pangcu!"
"Kalau engkau melawan subo, terpaksa aku akan maju menghadapimu... Bun-ko!"
"Ahhh... tapi kau... kau adik Yap-suheng dan dia itu..." Bun Houw bingung.
"Sute, biarkan aku yang menghadapinya. Ini adalah urusan pribadiku. Aku
telah bersumpah kepada encimu untuk mencari Lie Seng sampai dapat. Kalau benar
dia yang menculik Lie Seng, maka akulah yang akan menghadapinya." Kun Liong
berkata kepada Bun Houw, kemudian dia mendesak. "Bi Kiok, katakanlah, mengapa
engkau menculik Lie Seng dan di mana dia sekarang?"
"Kun Liong, engkau terlalu, selalu kau hendak membikin marah aku. Kalau aku
tidak menjawab pertanyaanmu, bagaimana?"
"Aku akan memaksamu."
"Kun Liong... ah, Kun Liong, mengapa kita berdua seperti ini" Berhadapan
sebagai musuh" Kun Liong, marilah kita pergi dari sini, meninggalkan semua ini,
meninggalkan dunia yang menjemukan ini, mari kita hidup bersama, jauh dari
segala pertikaian dan segala urusan... marilah dan aku akan menceritakan segala-
galanya kepadamu." Kun Liong mengerutkan alisnya, pandang matanya menusuk, "Tidak perlu banyak
membujuk lagi, Yo Bi Kiok. Katakan, apa yang kaulakukan terhadap Lie Seng?"
Tiba-tiba wanita itu meloncat dengan marah, matanya berkilat dan mukanya
merah. "Kau lebih memberatkan anak Cia Giok Keng itu daripada aku" Keparat Yap
Kun Liong. Sekali lagi kau mau pergi bersamaku atau hendak memusuhi aku?"
"Kalau kau tidak mengaku, terpaksa aku menggunakan kekerasan."
"Singgg...!" Yo Bi Kiok sudah mencabut pedang Lui-kong-kiam. "Kalau begitu,
aku ingin melihat engkau mampus di tanganku!" Wanita itu mengeluarkan suara
melengking tinggi dan dia sudah menyerang dengan hebatnya, melakukan tusukan
kilat ke arah dada Yap Kun Liong. Pendekar ini cepat mengelak, akan tetapi baru
saja dia mengelak, pedang Lui-kong-kiam sudah menyambar lagi ke arah lehernya.
Plakk!" dengan kecepatan mengagumkan, tangan Kun Liong berhasil menampar
lengen kanan Bi Kiok sehingga sambaran pedang menyeleweng. Namun hal ini membuat
Bi Kiok makin marah dan makin hebatlah serangannya yang datang seperti hujan.
Dalam waktu singkat saja tubuh Kun Liong sudah digulung oleh sinar pedang.
Pendekar ini hanya mengelak ke sana-sini karena dia tidak menggunakan senjata,
dan sesungguhnya di dalam hatinya, Yap Kun Liong merasa kasihan kepada Bi Kiok
yang sampai saat itu masih tergila-gila dalam cintanya kepadanya, cinta yang tak
mungkin dapat dibalasnya.
Bun Houw dan In Hong menonton dengan jantung berdebar. Terlalu banyak
peristiwa terjadi dalam waktu singkat, terlalu banyak rahasia yang mengejutkan
tersingkap sehingga mereka masih merasa terguncang dan menjadi tegang. Biarpun
tadinya dia marah kepada Yap Kun Liong, karena antara pendekar itu dan keluarga
encinya terjadi hal yang amat hebat, akan tetapi melihat kini Kun Liong
bertanding mati-matian membela keponakannya, yaitu Lie Seng yang terculik oleh
ketua Giok-hong-pang, tentu saja hatinya berfihak kepada Yap Kun Liong. Maka,
melihat pendekar itu menghadapi ketua Giok-hong-pang dengan tangan kosong
padahal permainan pedang wanita itu lihai bukan main, hatinya menjadi gelisah
sekali. Melihat gerakan Yap Kun Liong yang demikian murni, cepat dan tepat,
diam-diam dia kagum sekali dan tahulah dia mengapa ayahnya amat memuji-muji
suhengnya ini. Gerakan suhengnya sudah demikian matangnya sehingga sukarlah
untuk melihat sedikitpun kesalahan, perhitungannya demikian tepat sehingga semua
serangan pedang yang demikian berbahayanya itu dapat dihindarkan dengan baik.
Semua orang, termasuk kakek dan nenek guru Raja Sabutai, memandang dengan
bengong karena yang disuguhkan oleh dua orang yang sedang bertanding itu adalah
betul-betul ilmu yang amat tinggi tingkatnya. Para penonton yang tidak memiliki
kepandaian tinggi menjadi silau matanya dan tidak dapat mengikuti gerakan dua
orang itu, hanya melihat betapa mereka itu kadang-kadang lenyap dan kadang-
kadang bergerak dengan lambat sekali seperti orang main-main saja! Yang paling
gelisah dan bingung adalah In Hong! Dia sudah dibingungkan oleh kenyataan bahwa
Bun Houw adalah Cia Bun Houw putera ketua Cin-ling-pai yang tadinya ditunangkan
dengan dia dan ditolaknya, Cia Bun Houw kekasih Yalima dan sekarang dia
menghadapi pertandingan antara kakak kandungnya dan gurunya! Sekarang, setelah
merantau selama satu tahun meninggalkan gurunya, terjadi perobahan besar dalam
batin gadis ini. Sekarang dia dapat melihat betapa kejam dan anehnya watak
gurunya, dan sekarang baru dia dapat melihat betapa kakak kandungnya telah
mengalami perhtiwa yang amat hebat! Kakaknya itu kematian isterinya dan kakaknya
itu menolak cinta gurunya karena memang sudah sepatutnya demikian. Kakaknya
sudah beristeri, dan sebagai seorang laki-laki yang jantan tentu saja menolak
cinta kasih wanita lain. Baru sekarang tampak olehnya bahwa dalam urusan
kakaknya dan gurunya, sesungguhnya gurunya yang tidak tahu malu, mencinta suami
orang lain. Betapapun juga, hatinya tetap merasa berat kepada gurunya, maka melihat
pertandingan itu, dia gelisah bukan main. Dia tahu betapa lihai gurunya, apalagi
memegang Lui-kong-kiam yang ampuh, sedangkan kakaknya bertangan kosong. Ini
tidak adil, pikirnya. Dia boleh tidak berfihak manapun, akan tetapi pertandingan
itu harus dilakukan dengan adil. Barulah menang atau kalah merupakan suatu
kehormatan. Dan pedang ini... pedang Hong-cu-kiam, adalah pedang putera Cin-
ling-pai... pedang... tunangannya yang sudah mencinta orang lain, mencinta
Yalima...! Tiba-tiba hatinya terasa panas sekali dan dia cepat melolos pedang
Hong-cu-kiam, melontarkan pedang itu kepada Kun Liong sambil berkata, "Koko,
pakailah ini, baru adil!"
Sebetulnya Kun Liong tidak mau menggunakan senjata. Dia tahu bahwa
kepandaian wanita ini amat tinggi dan aneh, akan tetapi karena Yo Bi Kiok
melatih ilmu silat tinggi yang murni dan sukar itu tanpa petunjuk, limu silat
peninggalan Panglima The Hoo yang amat tinggi dan murni, maka dia melihat
kelemahan-kelemahannya. Dengan mengandalkan Thi-khi-i-beng sehingga kalau perlu
dia boleh menggunakannya agar tidak sampai terluka, den dengan kematangan ilmu
silatnya yang telah digemblengnya dengan dasar ilmu mujijat dari kitab Keng-lun
Tai-pun dari Bun Ong, maka dia percaya bahwa dia akhirnya akan dapat mengalahkan
Yo Bi Kiok tanpa membunuhnya. Dia hanya ingin memaksa wanita itu mengembalikan
Lie Seng dalam keadaan selamat dan dia tidak tega untuk membunuh wanita yang
sebetulnya amat mencintanya itu. Akan tetapi, mendengar seruan adik kandungnya
yang melemparkan sebatang pedang, hatinya girang bukan main, bukan girang karena
memperoleh pedang, melainkan girang karena melihat perobahan pada adiknya.
Dahulu, di waktu pertama kali dia bertanding melawan Yo Bi Kiok, adiknya itu
malah membantu wanita yang menjadi gurunya ini. Akan tetapi sekarang, adiknya
membantunya dengan meminjamkan pedang. Kegirangan melihat adiknya benar-benar
berobah, bahkan telah menyelamatkan kaisar dan kini membantunya, membuat Kun
Liong menyambar pedang Hong-cu-kiam dan begitu dia memutar pedang itu, dia
terkejut karena yang dimainkarmya itu adalah sebatang pedang yang luar biasa
ampuhnya! Dia tidak tahu bahwa itu adalah pedang kepunyaan Cia Bun Houw,
pemberian dari Kok Beng Lama.
Terdengar suara mengaung-aung, seperti ada ribuan lebah beterbangan dan baik
Bun Houw maupun In Hong memandang kagum sekali. Pedang Hong-cu-kiam itu setelah
dimainkan oleh tangan pendekar sakti ini seolah-olah menjadi hidup dan menjadi
ribuan lebah yang berbunyi sambung-menyambung. Juga gulungan sinar emas dari
pedang itu amat lebar dan panjang, kilatan yang mencuat dan menyambar-nyambar
amatlah banyaknya sehingga selain nampaknya amat indah, juga amat berbahaya
sehingga Yo Bi Kiok sendiri sampai beberapa kali menjerit kaget!
Tidak disangka sama sekali, bantuan In Hong dan kegembiraan Kun Liong yang
membuat permainan pedangnya makin hebat itu dan membuat Yo Bi Kiok seketika
terdesak secara berat, membuat wenita ini menjadi marah bukan main. Marah kepada
muridnya, kepada In Hong! Memang, watak Bi Kiok amatlah aneh dan keji, juga
ganas. Dia tidak marah kepada Kun Liong atau orang lain, sebaliknya malah marah
kepada muridnya yang tidak membantunya malah membantu Kun Liong dengan
memberikan pedangnya. "Murid durhaka...!" Tiba-tiba dia menjerit dan sekali meloncat, dia telah
meninggalkan Kun Liong dan menyerang muridnya!
"Ihhh...!" In Hong cepat melempar tubuh ke belakang untuk menghindar ketika
sinar pedang menyerangnya secara hebat. Serangan itu luput akan tetapi Bi Kiok
menyusulkan serangan lain yang lebih berbahaya.
"Subo...!" In Hong kembali mengelak dan nyaris lambungnya keserempet pedang.
"Bi Kiok, gilakah engkau?" Kun Liong juga meloncat dan menggerakkan
pedangnya. "Cringg... cringg... tranggg!" Tiga kali pedangnya menangkis bacokan-bacokan
pedang Bi Kiok yang ditujukan kepada In Hong. Akan tetapi Bi Kiok sudah seperti
gila, dia terus menyerang tanpa memperdulikan dirinya sendiri.
Singgg... Wuuuttt! Murid durhaka!" Kembali pedang Lui-kong-kiam membabat ke
arah In Hong yang meloncat mundur. "Bukk... aihhhh!" In Hong yang kurang cepat
mengelak itu kena ditendang kaki kiri gurunya dan dia terguling. Sesungguhnya
tidak akan semudah itu Yo Bi Kiok dapat menendang muridnya sampai terguling
kalau saja In Hong berada dalam keadaan biasa. Namun gadis itu memang sedang
tertekan hebat batinnya. Hanya dengan hati berat dan sakit dia terpaksa
melemparkan pedangnya kepada kakak kandungnya tadi, dan dia menonton dengan
wajah pucat, kedua kaki gemetar dan jantung berdebar penuh ketegangan, merasa
seolah-olah dia sendiri yang menyerang gurunya, orang yang sejak kecil
memelihara, mendidik, dan menyayangnya. Karena keadaan seperti itulah maka
ketika diserang secera hebat oleh gurunya In Hong hanya dapat menghindarkan
pedang, tidak menyangkanya akan ditendang oleh gurunya sampai terguling. Dan
cepat bagaikan kilat, Yo Bi Kiok sudah menubruk dan menusukkan pedangnya ke arah
tubuh muridnya! "Bi Kiok, terlalu engkau!" Kun Liong sudah membentak marah sekali,
gerakannya lebih cepat sedetik daripada gerakan pedang Yo Bi Kiok yang menusuk
In Hong. "Cringggg... ceppp!"
"Aihhhhhhh...!?" Tubuh ketua Giok-hong-pang itu terguling dan pedang Lui-
kong-kiam terlepas dari pegangannya. Dia jatuh miring dan menggunakan tangan
kiri mendekap lambungnya yang mengucurkan darah dari luka bekas tusukan pedang
Hong-cu"kiam tadi. "Bi Kiok...!" Yap Kun Liong terbelalak dan cepat dia berlutut dekat tubuh
wanita itu. "Bi Kiok, kau... ampunkan aku...!" Pendekar ini merasa menyesal
bukan main karena tadi dia terpaksa menyerang wanita itu untuk menyelamatkan
nyawa adiknya. Kalau tidak terpaksa seperti keadaan tadi, bagaimanapun juga
tentu dia akan mengalah dan tidak akan tega melukai apalagi membunuh wanita yang
dia tahu hidup sengsara karena cintanya kepadanya tidak dibalasnya itu.
Yo Bi Kiok tersenyum, mengeluh dan darah masih menetes-netes dari celah-
celah jari tangannya, membasahi bajunya.
"Kun Liong... aku cinta padamu... uuh, Kun Liong..."
Wanita itu mengulur tangan kanannya dan Kun Liong menangkap tangan itu,
menekapkan tangan itu ke dadanya. "Ampunkan aku, Bi Kiok..."
Tiba-tiba wanita itu tertawa. "Hi-hi-hik, heh-heh, aku... tidak menyesal,
Kun Liong. Aku tewas di tanganmu, sungguh menyenangkan sekali."
"Maafkan aku, ampunkan aku..."
"Heh-heh, kau minta maaf" Minta ampun" Ha-ha, Yap Kun Liong... aku... aku
tidak pernah minta ampun kepadamu... ahhhh... sungguhpun... aku telah menusukkan
pedang itu ke dada isterimu... ah, puas hatiku! Aku membunuhnya, Kun Liong...
heh-heh, kau terkejut..." Aku aku membunuh Hong Ing yang telah merampas engkau
dariku... ha-ha-ha, dan bocah itu... siapa namanya" Lie Seng... ha-ha, putera
Giok Keng itu... aku telah membunuhnya dengan Siang-tok-swa...!"
"Bi Kiok!" Kun Liong yang tadi melepaskan tangan itu dan terbelalak
memandang dengan muka pucat, kini berseru keras, seruan yang penuh dengan
kejijikan dan penyesalan mengapa wanita yang ketika masih gadis merupakan
seorang yang manis dan gagah itu kini berobah menjadi iblis yang demikian
kejamnya. "Kau... kau kejam sekali!"
"Heh-heh-heh... aku... kejam..." Bukan aku, melainkan engkau yang kejam, Kun
Liong... oughhhh... kalau tidak karena kekejamanmu kepadaku... aku tidak...
tidak akan... ahhh, Kun Liong... aku tidak kuat lagi, aku... aku mati dan... kau
harus ikut bersamaku!"
"Suheng...!" "Koko, awas...!"
Bagaikan seekor burung cepatnya, tubuh Kun Liong mencelat ke atas,
berjungkir balik sampai lima kali, akan tetapi karena jaraknya yang amat dekat
dan karena tangan kiri yang berlumuran darah itu tadi tak tersangka-sangka telah
menggenggam pasir beracun, maka betapapun cepat Kun Liong mengelak, tetap saja
ada sebagian pasir harum beracun yang menembus kulit dadanya. Tubuh pendekar ini
jatuh lagi menimpa mayat Yo Bi Kiok yang mati dengan mata terbelalak. Pendekar
itu terkulai dan pingsan!
"Yap-suheng...!" Bun Houw menubruk ke depan dan hendak memeriksa dada
suhengnya, akan tetapi In Hong sudah berlutut dan berkata kepadanya,
"Minggirlah, biarkan aku menolong kakakku!" Suara dara itu kaku dan keras, tanda
bahwa dia marah kepada Bun Houw.
Bun Houw maklum bahwa gadis ini tentu saja lebih ahli untuk menolong luka
yang terkena Siang-tok-swa, maka dia bangkit berdiri dan melangkah mundur, hanya
menonton ketika jari-jari tangan yang mungil dan kuat itu merobek baju di dada
Kun Liong, kemudian memeriksa dada kanan yang penuh dengan bintik-bintik hijau
bekas terkena Siang-tok-swa itu.
"Lekas kaucarikan tempat memasak obat, dan masak obat ini!" Tanpa menoleh
dan dengan sikap seolah"olah seorang nyonya majikan memerintah jongosnya, In
Hong menyerahkan sebungkus obat kepada Bun Houw. Pemuda itu cepat menerimanya
dan dengan petunjuk seorang pengawal dia lari ke dapur dan memasak obat itu
dengan air dua mangkok. Sementara itu, In Hong menggunakan obat bubuk lain lagi
untuk dicampur air dan diborehkan ke dada yang terluka. Kemudian dia menotok
beberapa jalan darah di dada dan pundak kakaknya, dan menempelkan telapak
tangannya pada tempat yang terluka, lalu mengerahkan tenaga saktinya menyedot.
Tak lama kemudian, beberapa butir pasir halus sekali telah menempel di telapak
tangannya dan cepat disimpannya pasir-pasir berbahaya itu. Ketika Bun Houw
datang membawa obat, dengan bantuan pemuda itu In Hong lalu meminumkan obat itu
kepada Kun Liong yang sudah mulai sadar.
"Uhhhh...!" Begitu sadar Kun Liong lalu meloncat ke atas akan tetapi dia
terhuyung. "Koko, engkau belum boleh banyak bergerak." In Hong berkata.
Kun Liong memejamkan mata sejenak, tubuhnya yang berdiri tegak itu agak
bergoyang, kemudian dia membuka mata memandang ke sekelilingnya, lalu kepada
mayat Yo Bi Kiok. Dia menghampiri mayat itu, dengan jari tangannya dia
menutupkan kelopak mata dan mulut mayat itu, baru kemudian dia duduk bersila di
atas lantai, mengerahkan sin-kang mengusir sisa racun dan mengumpulkan hawa
murni untuk memulihkan tenaganya.
Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hebat...!" Tiba-tiba terdengar Raja Sabutai berkata, memecah kesunyian yang
tadi mencekam keadaan di situ semenjak terjadi peristiwa hebat itu. "Sungguh
ilmu kepandaian hebat-hebat yang telah diperlihatkan tadi. Kami merasa kagum
sekali!" Bun Houw lalu melangkah maju dan menjura kepada Raja Sabutai. "Terima kasih
atas kebijaksanaan paduka. Sekarang, urusan pribadi telah selesai dan musuh-
musuh Cin-ling-pai telah tewas. Maka kami hendak mohon diri dan mohon agar
pedang pusaka kami dikembalikan kepada kami." Sambil berkata demikian, pemuda
ini mengerling ke arah Pek-hiat Mo-ko karena pedang Siang-bhok-kiam terselip di
pinggang kakek bermuka putih itu.
Raja Sabutai menoleh kepada gurunya, tersenyum lebar dan menjawab, "Pek-hiat
Mo-ko ini adalah guruku, dan dia mempunyai omongan untuk disampaikan kepadamu,
Bun... eh, Cia-sicu. Bukankah engkau sesungguhnya adalah putera ketua Cin-ling-
pai yang terkenal bernama Cia Keng Hong itu" Nah, terserah kepada suhu Pek-hiat
Mo-ko dan subo Hek-hiat Mo-li tentang pedang Siang-bhok-kiam itu." Raja ini
memandang dengan mata bersinar gembira karena dia ingin sekali melihat apakah
tiga orang Han yang lihai ini akan mampu menandingi kedua orang gurunya.
Sesungguhnya Raja Sabutai tidak tertarik oleh pedang kayu itu dan diapun tidak
tertarik oleh urusan-urusan pribadi, akan tetapi karena dia ingin sekali melihat
kedua orang gurunya bertanding dengan Yap In Hong, Yap Kun Liong atau Cia Bun
Houw, maka dia tidak melarang ketika Pek-hiat Mo-ko tadi berbisik-bisik
kepadanya tentang pedang itu.
Berkerut alis tebal di atas mata yang bersinar-sinar itu ketika Bun Houw
kini langsung menentang pandang mata nenek dan kakek yang menyeramkan itu.
"Urusan perebutan pedang pusaka adalah urusan pribadi antara Lima Bayangan Dewa
dan Cin-ling-pai," katanya lantang. "Sama sekali tidak menyangkut orang lain.
Locianpwe hanya bertugas menyimpan pedang dan menyerahkannya kepada fihak yang
menang. Oleh karena itu, saya harap dengan sangat dan minta dengan hormat agar
locianpwe suka menyerahkan pedang pusaka kami itu kepada saya."
"Hoh-hoh, nanti dulu, orang muda!" Pek-hiat Mo-ko tertawa dan melangkah
maju, sikapnya memandang rendah. "Mengembalikan pedang kayu ini adalah perkara
mudah. Akan tetapi lebih dulu jawablah pertanyaan-pertanyaan dengan jujur."
"Silakan bertanya, locianpwe," kata Bun Houw sambil mengamati wajah yang
rusak itu, dan dari logat bicara kakek ini dia dapat menduga bahwa kakek ini
tentulah seorang asing. "Siapakah namamu yang sesungguhnya?"
"Nama saya Cia Bun Houw," menjawab demikian, Bun Houw merasa tengkuknya
dingin dan tahulah dia bahwa tengkuknya itu disambar sinar mata In Hong. Akan
tetapi perasaan ini dilawannya dengan kenyataan bahwa gadis itupun tadinya hanya
dikenal sebagai nona Hong saja, sama sekali dia tidak pernah mimpi bahwa gadis
itu adalah Yap In Hong, adik kandung Yap Kun Liong!
"Engkau putera dari Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai?" tanya lagi Pek-hiat
Mo-ko dengan suaranya yang mengandung getaran dingin menyeramkan.
"Benar." "Bukankah Cia Keng Hong itu adalah pendekar yang dahulu terkenal sebagai
sahabat baik, bahkan tangan kanan dari Panglima Besar The Hoo?" tanya lagi kakek
yang sukar ditaksir berapa usianya itu karena mukanya yang putih itu seperti
muka mayat. Kepahlawanan merupakan suatu kebanggaan bagi tiap orang gagah di dunia kang-
ouw. Kenyataan bahwa ayahnya adalah seorang pahlawan pembela nusa bangsa, juga
bahwa ayahnya merupakan sahabat baik dari Panglima Besar The Hoo yang telah
terkenal di seluruh dunia bahkan amat disegani dan ditakuti kawan dan lawan itu,
tentu saja dia tidak hendak menyangkalnya.
"Benar," jawabnya pula. "Bahkan, biarpun mendiang Panglima Besar The Hoo
telah meninggal dunia, ayahku tetap setia setiap saat menyediakan jiwa raganya
untuk membela tanah air dan sekarang ayah membantu kaisar memperoleh kembali
singgasananya yang dirampas oleh pengkhianat-pengkhianat."
"Ho-ho, bagus kalau begitu! Nah, dengarlah baik-baik, orang muda. Sampaikan
kepada ayahmu itu, kepada Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai, bahwa pedang Siang-
bhok-kiam akan kami bawa terus dan hanya akan kami serahkan kalau Panglima The
Hoo sendiri yang datang menemui kami dan mengambilnya!"
Bun Houw terbelalak dan suasana menjadi sunyi sekali. Setelah dapat menekan
ketegangan hatinya, barulah Bun Houw menjawab, suaranya mengandung rasa
penasaran. "Permintaan locianpwe sungguh tidak masuk akal. Panglima The Hoo
telah meninggal dunia, bagaimana bisa menemui locianpwe kecuali kalau locianpwe
menyusul beliau?" Jawaban ini sekaligus mengandung ejekan.
"Hih-hih, bocah itu lancang mulut. Ketuk saja kepalanya!" Tiba-tiba Hek-hiat
Mo-li berseru, suaranya tinggi melengking dan mengandung getaran panas.
"Ho-ho, bocah lancang! Siapa tidak tahu bahwa The Hoo telah mati" Akan
tetapi mustahil tidak ada muridnya atau keturunannya" Setidaknya masih ada
ayahmu yang menjadi tangan kanan dan sahabat baiknya. Nah, pedang ini kami
simpan sambil menanti wakil dari The Hoo untuk mengambilnya."
Bun Houw menjadi marah sekali. "Biarlah sekarang juga aku menjadi wakilnya!"
bentaknya. "Dan aku juga!" In Hong juga berseru dan sudah meloncat ke dekat Bun Houw
yang mengerlingnya, juga gadis itu melirik dan mereka saling bertemu pandang
dalam kerling mereka. "Bagus...! Akan tetapi kami lebih senang berhadapan dengan Cia Keng Hong,
tua sama tua, bukan dengan bocah-bocah ingusan!" kata Pek-hiat Mo-ko.
Tahan...!" Tiba-tiba terdengar suara yang menggetarkan seluruh ruangan itu.
Kiranya Yap Kun Liong yang berseru itu dan kini pendekar ini telah bangkit
berdiri dan dengan perlahan melangkah maju. Wajahnya masih pucat, akan tetapi
dia telah terbebas dari racun, hanya tinggal tenaganya yang belum pulih karena
dia memeras semua tenaganya untuk mengusir hawa beracun dari Siang-tok-swa.
"Heh-heh-heh, kau orang yang sudah lemah karena lukamu mau bicara apa?" Pek-
hiat Mo-ko berkata mengejek.
Yap Kun Liong menjura ke arah Raja Sabutai dan berkata, "Harap paduka
maafkan kami bertiga. Sama sekali bukan maksud kami untuk membikin ribut di
dalam benteng paduka ini." Kemudian dia memandang kepada Pek-hiat Mo-ko dan Hek-
hiat Mo-li, lalu berkata, "Ji-wi locianpwe sungguh bersikap jujur, dan maafkan
kedua orang adikku ini. Sudah menjadi kewajiban kami untuk menyampaikan
tantangan ji-wi locianpwe kepada supek Cia Keng Hong, dan kepada para murid dan
keturunan mendiang Panglima The Hoo. Kami bertiga tidak berhak mencampuri urusan
antara ji-wi dan mendiang Panglima The Hoo. Akan tetapi agar jelas, hendaknya
ji-wi suka menerangkan mengapa ji-wi mendendam kepada mendiang Panglima The Hoo
agar kalau ditanya kami dapat memberitahukan."
"Ho-ho, kau ternyata lebih cerdik dan sopan! Ketahuilah, kami berdua datang
dari Sailan dan kami pernah dilukai dan hampir tewas oleh Panglima The Hoo. Oleh
karena itu, belum puas hati kami sebelum membalas kekalahan kami puluban tahun
yang lalu itu kepada keturunannya, muridnya, ataupun sahabatnya yang mewakilinya
mengambil pedang Siang-bhok-kiam."
Yap Run Liong berpikir sejenak, kemudian berkata, "Kami tidak ingin
mengganggu sri baginda raja, dan mengingat bahwa urusan ini merupakan urusan
pribadi, ke manakah wakil mendiang Panglima The Hoo boleh datang mencari ji-wi
untuk mengambil pedang?"
"Ho-ho, kaukira kami akan mengandalkan pasukan murid kami untuk membantu
kami" Ha-ha-ha, orang muda, sampaikan kepada Cia Keng Hong bahwa kami akan
menanti kedatangan wakil Panglima The Hoo di Lembah Naga, di mana kami berdua
akan bertapa dan menanti dengan tidak sabar."
"Lembah Naga" Di mana itu?"
"Di tikungan Sungai Luan-ho, di kaki Pegunungan Khing-an-san."
Yap Kun Liong mengangguk. "Baiklah, Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li,"
jawabnya dan kini sikap menghormatnyapun lenyap. "Akan kami sampaikan kepada
supek Cia Keng Hong."
Kemudian, mewakili dua orang adiknya dia lalu menghadap Raja Sabutai dan
berkata, "Sekali lagi terima kasih kami haturkan atas kebijaksanaan paduka, dan
perkenankan kami sekarang untuk pergi dari benteng ini dan membawa jenazah Yo Bi
Kiok." Raja Sabutai mengangguk-angguk. "Sampaikan kepada Kaisar Ceng Tung bahwa
kami menerima uluran tangannya, dan dalam bulan ini juga kami akan kembali ke
utara. Nona Hong, untuk membalas jasa-jasamu sebagai pengawal dan sahabat sang
ratu, beliau minta kepadaku untuk menyampaikan terima kasih dan tanda mata ini.
Terimalah!" In Hong merasa terharu juga mengingat akan kebaikan Khamila, maka dia
melangkah maju dan tidak menolak ketika Raja Sabutai mengalungkan seuntai kalung
mutiara ke lehernya. "Terima kasih, sri baginda, dan semoga paduka dan Sang Ratu Khamila hidup
berbahagia." Mereka berpamit lagi kemudian dengan diantar sepasukan pengawal kehormatan,
mereka bertiga meninggalkan benteng itu dan Kun Liong memondong mayat Yo Bi Kiok
yang masih lemas. Setibanya di luar benteng, di dalam sebuah hutan yang sunyi, Kun Liong lalu
mengubur jenazah wanita itu, dibantu oleh Bun Houw dan In Hong. Ketika In Hong
berlutut di depan kuburan itu, tak tertahankan lagi dua titik air mata membasahi
pipina yang segera diusapnya dengan punggung tangan. Sementara itu, terdengar
Bun Houw berkata kepada Yap Kun Liong, dengan nada suara terheran dan penasaran,
"Yap-suheng, kenapa suheng tidak membolehkan saya untuk mewakili ayah menghadapi
dua orang kakek dan nenek iblis itu untuk merampas kembali Siang-bhok-kiam" Saya
tidak takut melawan mereka."
"Aku percaya, sute. Akan tetapi, kalau hal itu kaulakukan juga, berarti kita
membiarkan diri dalam bahaya besar dan hal itu merupakan kebodohan yang
sembrono. Kakek dan nenek itu amat lihai dan biarpun engkau dan Hong-moi-moi
belum tentu kalah, akan tetapi harus kauingat bahwa mereka adalah guru-guru dari
Raja Sabutai. Tidak mungkin raja akan membiarkan saja kedua orang gurunya
ditentang, apalagi dikalahkan orang di hadapannya. Kalau pasukan maju
mengeroyok, mana mungkin kita dapat melawan" Bahkan meloloskan diripun akan
sukar, apalagi karena kesehatanku belum pulih. Kalau sampai terjadi demikian,
kita tidak bisa lolos dan pedang tidak dapat terampas, bukankah hal itu amat
celaka dan menyesalpun tiada gunanya lagi. Yang lebih hebat lagi, kita akan
dicap sebagai pengacau di benteng, dan ini amat bertentangan dengan kehendak
kaisar. Setelah mereka berdua menantang dan akan menanti di Lembah Naga,
bukankah hal itu lebih mudah lagi?"
Bun Houw mengangguk-angguk dan benar-benar dia kagum akan pandangan yang
luas dari pendekar itu. "Koko, mengapa engkau masih mau mengurus jenazah subo?" Tiba-tiba In Hong
juga mengajukan pertanyaan. "Setelah semua pengakuannya itu... setelah ternyata
bahwa dia yang membunuh go-so (kakak ipar)... dia yang menghancurkan hidupmu,
akan tetapi engkau masih merawat jenazahnya. Mengapa?" Dara itu kini memandang
wajah kakaknya dengan penuh kagum dan bangga. Kakaknya ini benar-benar seorang
pendekar sakti yang hebat, bukan hanya hebat ilmunya seperti yang telah
diperlihatkannya ketika bertanding melawan gurunya, akan tetapi juga hebat
perangainya. Kun Liong menghela napas lalu duduk di atas tanah berumput, memandang
sejenak kepada adiknya dan kepada Bun Houw. Dia tahu bahwa adiknya berhati keras
dan aneh, bahwa adiknya tidak mau dijodohkan begitu saja dengan Bun Houw. Dan di
dalam hatinya dia tidak ingin melihat adiknya mengalami guncangan batin akibat
cinta seperti yang banyak dialaminya selama ini. Teringat dia akan semua
pengalamannya, akan semua petualangannya ketika masih muda dahulu,
petualangannya dalam asmara dengan banyak gadis cantik. Semua peristiwa itu,
kematian isterinya, kekejaman Yo Bi Kiok, semua adalah akibat dari
petualangannya itulah (baca cerita Petualang Asmara).
Adikku, dan juga engkau, sute. Dengarlah dan agar kalian tidak usah heran
mengapa sampai detik ini aku menaruh hati kasihan kepada Yo Bi Kiok, pembunuh
dari isteriku yang tercinta. Dia membunuh isteriku bukan karena permusuhan
pribadi, bukan karena kebencian pribadi, melainkan karena... cinta kasihnya
kepadaku." "Ahhh...!" Bun Houw yang belum tahu akan riwayat suhengnya itu berseru kaget
dan heran, akan tetapi In Hong yang sudah tahu hanya menunduk.
"Karena cintanya kepadaku, dia merasa cemburu dan iri kepada isteriku. Ah,
kasihan Bi Kiok. Dia menjadi seperti gila karena cinta, cinta yang sebetulnya
sama sekali bukanlah cinta. Orang yang mencinta tentu ingin melihat orang yang
dicintanya hidup berbahagia! Akan tetapi tidak demikian dengan cinta Bi Kiok.
Dia mencinta diri sendiri dan cinta macam itu hanya menimbulkan kedukaan,
kebencian dan kejahatan belaka. Betapapun juga, dia telah mengakui perbuatannya
dan... dan rasa penasaran besar itu telah terbongkar. Rahasia yang hebat itu
telah terbongkar dan legalah hatiku karena sekarang terbukti keyakinan hatiku
selama ini bahwa encimu, sute, bahwa Giok Keng tidak berdosa. Akan tetapi... ah,
diapun ikut berkorban hebat, suaminya tewas dan sekarang puteranya..." Yap Kun
Liong menundukkan mukanya, penuh penyesalan mengapa peristiwa yang menimpa
dirinya itu merembet kepada keluarga Giok Keng.
"Sungguh hebat...!" dia melanjutkan. "Aku kehilangan isteri dan puteriku
karena perbuatan Bi Kiok, akan tetapi akibatnya, encimu yang tidak tahu apa-apa
telah kehilangan suami dan sekarang juga puteranya terbunuh oleb Bi Kiok. Aih,
Bi Kiok, mengapa hatimu menjadi seganas itu" Kasihan anak itu... yang tidak
berdosa." "Koko, anak itu tidak mati oleh Siang-tok-swa."
Kun Liong mengangkat muka dan memandang adiknya dengan mata terbelalak,
penuh harapan dan keheranan. "Apa... apa maksudmu" Lie Seng..."
"Dia tidak mati. Aku sendiri yang telah mengobatinya," jawab In Hong.
"Lie Seng tidak mati" Ya Tuhan, syukurlah...!" Bun Houw juga berseru girang
ketika memandang wajah gadis itu, akan tetapi ketika pandang mata mereka bertemu
dan melihat kemarahan di pandang mata gadis itu, dia menunduk kembali, mukanya
menjadi merah. "Ketika aku pergi kepada Yok-mo di Gunung Cemara untuk mencari obat, di sana
aku bertemu dengan anak laki-laki yang hampir mati karena terluka oleh Siang-
tok-swa. Aku lalu mengobatinya dan dia sembuh, dia tidak mati. Aku yakin bahwa
dia itulah anak yang kaumaksudkan, koko."
Kun Liong menjadi girang sekali. "Bagaimana dia bisa berada di sana" Dan
bagaimana pula secara kebetulan kau berada di tempat itu, moi-moi"
Ceritakanlah!" "Aku... aku pergi mencarikan obat..." gadis itu menunduk.
"Dia mencarikan obat untuk aku yang hampir mampus, suheng," tiba-tiba Bun
Houw menjawab cepat. "Aku menderita luka-luka parah oleh Bayangan Dewa dan kalau
tidak ada adikmu ini, agaknya sekarang aku sudah mati."
"Ahhh...!" Kun Liong makin girang dan memandang adiknya yang menjadi merah
mukanya. "Bohong! Dia memang terluka dan aku mencarikan obat kepada Yok-mo. Di sana
aku bertemu dengan seorang pendeta yang datang membawa anak laki-laki yang luka-
luka oleh Siang-tok-swa itu. Kami berebutan untuk memperoleh pertolongan Yok-mo.
Pendeta itu lihai bukan main dan aku lalu menukar obatku untuk menyembuhkan anak
itu dengan pelajaran Ilmu Pukulan Thian-te Sin-ciang..."
"Hehh...?" Tiba-tiba Bun Houw meloncat ke atas mengejutkan In Hong dan Kun
Liong. "Kalau begitu dia adalah suhu!"
Kini Kun Liong juga kaget. "Apa" Gak-hu (ayah mertua)?"
In Hong menjadi bingung mondengar Bun Houw menyebut guru kepada pendeta itu
dan kakaknya menyebut ayah mertua. Hal ini sama sekali tidak disangka-sangkanya.
"Dia seorang pendeta Lama berjubah merah, bertubuh tinggi besar dan..."
"Dia suhu!" Bun Houw berseru.
"Jelas, dia adalah gak-hu. Aih, sungguh kejadian yang kebetulan sekali!" Kun
Liong berkata dengan wajah girang. "Kalau begitu, putera encimu itu berada di
tangan gak-hu dan keselamatannya terjamin, sute."
Bun Houw mengangguk dan memandang kepada In Hong, kemudian berkata, "Kalau
begitu, engkau terhitung adalah sumoiku sendiri."
In Hong menggeleng kepala. "Dia berpesan bahwa aku tidak boleh mengaku dia
sebagai guru, dan memang demikianlah perjanjiannya." Diam-diam gadis ini kagum
sekali. Pantas saja Cia Bun Houw ini demikian lihainya, kiranya pemuda putera
ketua Cin-ling-pai ini adalah murid pendeta Lama sakti itu!
"Urusan encimu audah beres, sute, sekarang aku harus pergi untuk mencari
anakku. Anakku melarikan diri ketika ibunya terbunuh dan sampai kini tidak
kuketahui ke mana perginya. Engkau pulanglah ke Cin-ling-pai untuk melaporkan
soal Siang-bhok-kiam kepada ayahmu dan sampaikan pula berita pengakuan Yo Bi
Kiok kepada keluargamu, jangan lupa beritakan tentang Lie Seng yang sudah berada
di tangan gak-hu itu kepada ibumu. Aku sendiri akan mencari jejak puteriku,
dan... kalau kau suka, adikku, marilah kau ikut bersamaku..." Dia memandang
kepada adiknya dengan sinar mata penuh kasih. Isterinya telah tewas, puterinya
telah hilang dan kini dia menemukan kembali adiknya yang agaknya telah kembali
ke jalan benar. Akan tetapi In Hong menggeleng kepalanya. "Aku masih mempunyai urusan, koko.
Biarlah kalau urusanku sudah selesai, aku pasti akan pergi ke Leng-kok dan
selanjutnya aku akan hidup di sana bersama kakakku."
Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kun Liong melangkah maju dan memegang kedua tangan adiknya, digenggamnya
kedua tangan adiknya dengan mesra. "In Hong, adikku. Keadaan telah memaksa kita
saling berpisah. Kakakmu ini telah mengalami banyak penderitaan hidup. Mudah-
mudahan saja engkau tidak akan seperti kakakmu. Hanya pesanku, jangan terlalu
menurutkan perasaan, adikku, bersikaplah bijaksana dan mudah-mudahan kalau
sekali waktu cinta menguasai dirimu, semoga cintamu itu bukan seperti cinta
kasih mendiang Bi Kiok kepada kakakmu. Mengertikah engkau, adikku?"
In Hong terharu. Ingin dia merangkul kakak kandungnya itu, akan tetapi dia
menggigit bibir mengeraskan hatinya, lalu mengangguk.
Kun Liong melepaskan tangan adiknya. "Nah, kalau begitu,selamat tinggal,
selamat berpisah sampai jumpa kembali dalam keadaan yang lebih baik lagi."
Pendekar ini sekali lagi menengok ke arah gundukan tanah kuburan Yo Bi Kiok,
menghela napas panjang lalu pergi dari situ, diikuti pandang mata sepasang orang
muda itu. *** Mereka berdiri, saling berhadapan dan sejenak mereka saling pandang penuh
selidik, bahkan kemudian pandang mata In Hong dibayangi rasa marah dan
penasaran. "Kau..." "Kau..." Keduanya terdiam karena kata itu keluar dengan berbareng.
"Hemm, kiranya engkau Cia Bun Houw!" In Hong kemudian berkata dan membuang
pandang mata ke atas, ke arah daun pohon di ujung yang dikibarkan oleh angin.
"Ya..." "Engkau putera ketua Cin-ling-pai yang terkenal di seluruh dunia itu!"
"Ya..." "Engkau pura-pura menyamar sebagai pengawal pemilik rumah judi untuk
menyelidiki keadaan Bayangan Dewa."
"Ya..." "Engkau berpura-pura bodoh dan tidak memiliki kepandaian sampai akupun
tertipu." "Ya... tapi..."
"Sungguh cerdik sekali!"
"Hemm..." "Kiranya yang terhormat putera ketua Cin-ling-pai, seekor harimau berpakaian
kulit domba." "Ahh..." "Dan pendekar muda sakti putera ketua Cin-ling-pai itu memberikan pedang
pusakanya kepada..."
"Kepada seorang dara pendekar yang lihai..."
"Seorang Dewi Maut yang kejam, yang membunuh gadis dusun yang tidak
berdosa!" "Eh, aku salah lihat... eh, salah duga..."
"Seorang putera ketua Cin-ling-pai yang berpandangan tajam mana mungkin
salah lihat" Karena memang gadis itu dianggapnya kejam, ganas dan tidak berperi
kemanusiaan!" "Eh, dengar dulu..."
"Jadi Cia Bun Houw si pendekar muda sakti itu adalah murid pendeta Lama..."
"Ya, suhu Kok Beng Lama."
"Pendeta Lama yang sakti dari Tibet?"
"Ya..." "Dan Cia Bun Houw si pendekar sakti itu adalah seorang pemuda perayu wanita,
seorang hidung belang yang mata keranjang!"
"Heiii..." "Cia Bun Houw itu adalah seorang laki-laki yang tidak setia, yang mudah
berganti kekasih!" "Eh, nanti dulu! Hong-moi, jangan kau menuduh yang bukan-bukan."
"Seorang pendekar sakti yang menggunakan kepandaiannya merayu untuk
menjatuhkan hati seorang gadis dusun yang bodoh..."
"Heiii, aku tidak merayu gadis dusun she Ma itu. Dialah yang... ah,
sudahlah. Hong-moi, mengapa engkau menuduhkan semua itu kepadaku?"
"Siapa menuduh" Aku hanya membicarakan kenyataan, bukan seperti engkau yang
sebelum jelas perkaranya sudah menuduhku membunuh orang tak berdosa."
"Hong-moi, aku mengaku salah. Aku memang tadinya menyangka engkau yang
melakukan pembunuhan kejam itu terhadap gadis she Ma karena agaknya bukti-bukti
tadinya menunjukkan demikian. Kiranya subomu yang melakukan hal itu den
maafkanlah aku. Harap saja kesalahanku itu tidak menyakitkan hatimu terus
sehingga engkau membenci dan menuduhku yang bukan-bukan."
"Sekali lagi, aku tidak menuduh yang bukan-bukan. Apakah engkau hendak
menyangkal bahwa engkau merayu seorang gadis dusun, kemudian engkau melupakan
dia, bahkan menerima ikatan jodoh dengan gadis lain yang belum pernah kaulihat
selamanya?" "Ehhh...?" Bun Houw terbelalak dan tentu saja dia teringat kepada Yalima
yang manis, yang ditinggalkannya di Tibet. Akan tetapi tidak mungkin In Hong
tahu akan hal itu dan diapun tidak akan membicarakan hal itu dengan siapapun
juga. Peristiwa dengan Yalima dianggapnya sudah lewat dan merupakan masa kanak-
kanak baginya. Baru sekarang dia sadar bahwa sesungguhnya tidak ada ikatan cinta
kasih di dalam batinnya terhadap gadis Tibet itu. Kalau toh akan dinamakan
cinta, agaknya itulah cinta monyet, cinta remaja yang tidak mendalam, hanya
karena saling tertarik oleh rupa dan karena biasa bergaul secara akrab saja.
"Hong-moi, harap kau jangan menuduh yang bukan-bukan."
"Sekali lagi, aku tidak menuduh yang bukan-bukan. Apakah engkau hendak
menyangkal bahwa engkau merayu seorang gadis dusun, kemudian engkau melupakan
dia, bahkan menerima ikatan jodoh dengan gadis lain yang belum pernah kaulihat
selamanya?" "Ehhh...?" Bun Houw terbelalak dan tentu saja dia teringat kepada Yalima
yang manis, yang ditinggalkannya di Tibet. Akan tetapi tidak mungkin In Hong
tahu akan hal itu dan diapun tidak akan membicarakan hal itu dengan siapapun
juga. Peristiwa dengan Yalima dianggapnya sudah lewat dan merupakan masa kanak-
kanak baginya. Baru sekarang dia sadar bahwa sesungguhnya tidak ada ikatan cinta
kasih di dalam batinnya terhadap gadis Tibet itu. Kalau toh akan dinamakan
cinta, agaknya itulah cinta monyet, cinta remaja yang tidak mendalam, hanya
karena saling tertarik oleh rupa dan karena biasa bergaul secara akrab saja.
"Hong-moi, harap kau jangan menuduh yang bukan-bukan."
Sinar mata In Hong membayangkan rasa kemarahan dan penasaran. "Cia Bun Houw!
Apakah kau berani menyangkal bahwa engkau melupakan gadis dusun dan secara tak
tahu malu menerima ikatan jodoh dengan seorang gadis lain?" Wajah In Hong
menjadi merah. Tentu saja dara ini merasa penasaran dan marah. Sudah jelas
pemuda ini meninggalkan dan melupakan Yalima, lalu mengikatkan diri dengan dia
sebagai calon isteri, dan sekarang pemuda ini hendak menyangkal.
Akan tetapi dengan wajah sungguh-sungguh dan sinar mata jujur Bun Houw
menjawab, "Tentu saja aku menyangkalnya, Hong-moi. Aku tidak menerima ikatan
jodoh dengan gadis manapun dan tentang gadis yang kaukatakan kurayu dan
kutinggalkan dan lupakan..."
"Hemm, sungguh berani mati. Tidak perlu banyak berbantahan, kalau memang kau
berani, mari bersamaku pergi ke Cin-ling-san." In Hong menantang.
Bun Houw makin terheran dan terkejut. "Cin-ling-san?" Tentu saja dia
terkejut. Cin-ling-san adalah tempat tinggalnya, mau apa gadis ini mengajak dia
ke sana" "Ya, ke Cin-ling-san. Ke Cin-ling-pai..."
"Eh, kaumaksudkan menjumpai ayah dan ibuku?" Bun Houw tentu saja menjadi
girang sekali. "Ya dan engkau akan tahu sendiri bahwa aku sama sekali tidak menuduhmu yang
bukan-bukan dan ingin aku mendengar jawabmu!"
Bun Houw menjadi girang sekali. "Baik, mari kita pergi. Aku memang ingin
kembali ke Cin-ling-san untuk melaporkan pada ayah tentang Siang-bhok-kiam dan
syukurlah engkau suka ikut bersamaku ke sana, Hong-moi. Tahukah engkau bahwa
ayah bundamu dahulu adalah sahabat-sahabat terbaik dari orang tuaku, bahkan
antara ibumu dan ayahku masih ada hubungan saudara seperguruan" Ayah dan ibu
tentu akan girang sekali menerima kedatanganmu."
"Hemmm, aku telah bertemu dengan mereka. Akan tetapi kepergianku ke Cin-
ling-pai ini bukan untuk bertemu dengan ayah dan bundamu, melainkan..." In Hong
tidak melanjutkan kata-katanya dan dia teringat akan Yalima dan hatinya menjadi
panas lagi. "Melainkan... apa, Hong-moi?"
"Kaulihatlah saja nanti!" In Hong berkata kaku dan dingin lalu membuang
muka, membuat Bun Houw makin terheran-heran akan sikap gadis ini. Akan tetapi
betapapun juga, hatinya gembira bukan main karena dia akan melakukan perjalanan
ke Cin-ling-san bersama dengan gadis ini.
Akan tetapi, perjalanan itu ternyata tidaklah begitu menyenangkan seperti
yang dibayangkannya. Benar dia melakukan perjalanan bersama In Hong, akan tetapi
gadis itu selalu menjauhkan diri dan betapapun dia berusaha untuk menyelami isi
hati gadis itu, untuk membuka rahasia apa yang tersembunyi di balik tuduhan-
tuduhan gadis itu, usahanya sia-sia belaka karena In Hong tidak mau bicara,
hanya menjawab singkat bahwa pemuda itu akan tahu segalanya setelah tiba di Cin-
ling-san. Sikap yang dingin kaku dari gadis ini dan yang agaknya bersungguh-
sungguh dalam tuduhan-tuduhnya membuat Bun Houw merasa khawatir dan tidak enak
juga dan mulailah dia menduga-duga yang ada hubungannya dengan Yalima. Apakah
Yalima datang menyusulnya ke Cin-ling-san" Akan tetapi pertanyaan ini
dibantahnya sendiri. Yalima adalah seorang gadis lemah, seorang gadis dusun di
Tibet, mana mungkin bisa berada di Cin-ling-san" Tidak mungkin sekali gadis
dusun itu melakukan perjalanan sejauh itu. Pula, tidak mungkin Yalima berani
selancang itu menyusulnya ke Cin-ling-san. Pula, seaungguhnya, selain sedikit
kemesraan, tidak ada ikatan apa-apa antara dia dan Yalima. Hanya suatu peristiwa
cinta remaja yang masih hijau dan mentah, betapapun juga, melihat sikap In Hong
yang amat serius dan melihat dara itu benar-benar seperti orang marah dan
penasaran kepadanya, hati Bun Houw menjadi tidak enak dan ingin dia cepat-cepat
tiba di Cin-ling-san agar persoalan itu segera menjadi terang.
Ketika pada suatu pagi mereka tiba di Pegunungan Cin-ling-san, otomatis
perjalanan yang tadinya dilakukan dengan cepat itu menjadi lambat! Hal ini
karena terjadi keraguan di hati masing-masing. In Hong yang teringat akan
kunjunganya yang lalu, sikapnya yang kasar terhadap keluarga Cia,
kekurangajarannya, merasa tidak enak hati untuk bertemu dengan ayah bunda pemuda
itu. Sebaliknya, Bun Houw yang menduga bahwa tentu ada sesuatu yang luar biasa
terjadi di sini melihat sikap In Hong, juga merasa khawatir. Tanpa bicara mereka
melanjutkan perjalanan itu dengan jalan kaki biasa mendaki lereng Gunung Cin-
ling-san. Mereka tidak tahu bahwa kedatangan mereka itu tampak oleh Kwee Siong,
seorang pemuda remaja adik dari Kwee Tiong. Melihat kedatangan Bun Houw, Kwee
Siong menjadi terkejut dan ketakutan. Dia sudah tahu bahwa kakaknya, Kwee Tiong,
telah merampas Yalima, kekasih putera ketua Cin-ling-pai itu dan kini Bun Houw
pulang. Diam-diam Kwee Siong lalu berlari-lari naik ke puncak dan mengabarkan
kepada kakaknya tentang kedatangan Bun Houw.
"Twako... twako... celaka, twako...!" Kwee Siong yang berusia lima belas
tahun itu berkata, napasnya terengah-engah ketika dia bertemu dengan kakaknya.
"Eh, adik Siong, ada apakah?" Kwee Tiong bertanya khawatir. "Apa yang
terjadi?" "A Siong, kau kenapakah?" kakak iparnya, Yalima juga bertanya melihat wajah
adik ipar yang pucat dan ketakutan itu.
"Twako... twaso... celaka, aku melihat... Cia-taihiap datang..."
Ahhh...!" "Ihhh...!" Suami isteri itu terkejut sekali karena berita itu amat tiba-tiba, akan
tetapi Kwee Tiong segera tenang kembali. Dia memegang tangan isterinya dan
berkata, "Isteriku, engkau tahu bahwa aku bertanggung jawab atas perbuatan kita
ini. Maka biarlah aku akan menyambut kedatangannya dan mengabarkannya tentang
kita. Kautunggu saja di sini."
"Tidak... tidak...! Yang berbuat adalah kita berdua, yang bertanggung jawab
kita berdua pula! Aku tahu bahwa dia adalah seorang yang berbudi mulia, tentu
akan dapat memaafkan kita."
"Jangan, aku tidak kuat melihat engkau dimarahi..." cegah sang suami.
"Dan hatikupun tidak akan tenteram membayangkan engkau sendirian menghadapi
kemarahannya. Suamiku, pendeknya, apapun yang akan terjadi, kita akan menghadapi
bersama! Kita hidup bertiga dan matipun bertiga!"
"Bertiga...?" Kwee Tiong menoleh ke arah Kwee Siong karena dia tidak ingin
menyeret adiknya itu dalam urusannya dengan Yalima, akan tetapi dia melihat
isterinya mengelus perutnya yang gendut, maka mengertilah dia. Dengan terharu
dia merangkul isterinya dan berkata halus, "Marilah kalau begitu."
Kwee Tiong dan Yalima sambil bergandeng tangan dan berbesar hati lalu
menuruni puncak untuk menyambut kedatangan Bun Houw, diikuti pandang mata Kwee
Siong penuh kekhawatiran. Kemudian pemuda remaja ini lalu lari ke gedung tempat
tinggal ketua Cin-ling-pai untuk melapor, karena dia mengkhawatirkan keselamatan
kakaknya berdua. "Hong-moi, mengapa engkau menyiksa hatiku seperti ini?" terdengar suara Bun
Houw memecah kesunyian ketika dia dan In Hong berjalan mendaki lereng gunung
melalui lorong itu. "Aku tidak merasa menyiksa hati siapapun," jawaban In Hong kaku dan dingin
karena makin dekat dengan Yalima, makin tak senang hatinya. Akan tetapi dara ini
di dalam perjalanan sering melamun dan merasakan betapa rasa tidak senang di
hatinya itu kini sama sekali berobah. Bukan lagi condong ke arah ketidaksenangan
karena Bun Houw mempermainkan Yalima, melainkan tidak senang mengapa pemuda ini
mencinta Yalima, rasa tidak senang oleh cemburu.
"Mengapa engkau tidak berterus terang saja, Hong-moi" Apakah sebetulnya
segala rahasia sikapmu ini" Engkau mengajak aku ke sini, ke tempat tinggalku,
ada urusan apakah?" In Hong hanya mengerling dan menjawab pendek, "Engkau akan melihat sendiri
nanti..." "Enci In Hong...!"
"Cia-taihiap...!"
Bun Houw dan In Hong yang sedang tenggelam dalam lamunan masing-masing,
terkejut dan mengangkat muka memandang. Ketika mereka melihat Kwee Tiong dan
terutama sekali Yalima datang menuruni lorong itu, keduanya otomatis
menghentikan langkah dan memandang dengan mata terbelalak. Bun Houw yang sama
sekali tidak menyangka akan bertemu dengan Yalima di situ, terbelalak heran, dan
In Hong yang melihat Yalima datang bergandeng tangan bersama seorang pemuda
tampan, juga terbelalak heran.
Kwee Tiong yang masih menggandeng tangan isterinya itu segera menarik
isterinya dan mereka berlutut di depan kaki Bun Houw! Tentu saja pemuda ini
terkejut bukan main sampai melangkah mundur dua tindak. "Eh... apa yang kalian
lakukan ini?" "Cia-taihiap, kami berdua menyerahkan jiwa raga kami kepada taihiap!"
"Heii, Kwee Tiong koko, apakah kalian sudah gila?"
"Cia-taihiap, kami... telah menjadi suami isteri..."
"Bagus!" Bun Houw berseru girang sekali, merasa seolah-olah batu sebesar
gunung dilepaskan dari hatinya yang tertindih. "Biarpun agak terlambat, aku
mengucapkan selamat kepada kalian!"
"Terima kasih, taihiap..." Kwee Tiong berkata terharu.
"Terima kasih... aku tahu bahwa engkau adalah seorang yang berbudi mulia,
taihiap, sedangkan aku... aku hanya seorang bodoh..." Yalima terisak dan
menutupi mukanya, air matanya mengalir turun.
"Yalima! Apa artinya ini" Engkau... sudah mengandung malah?" Terdengar In
Hong berseru, suaranya mengandung kemarahan.
"Enci In Hong... aku... aku telah menikah... dengan suamiku ini... beberapa
bulan yang lalu..." "Singgg...!" Tampak sinar berkelebat. "Keparat kau, perempuan tidak setia
dan memalukan!" Bun Houw terkejut bukan main dan secepat kilat dia meloncat dan berdiri di
depan In Hong, menghadang antara In Hong dan Yalima. "Hong-moi, apa yang hendak
kaulakukan ini?" "Harus kubunuh perempuan tidak setia itu!" bentak In Hong. Kwee Tiong sudah
bangkit pula untuk melindungi isterinya.
"Hong-moi, engkau tidak berhak berbuat demikian! Kepada siapakah Yalima
tidak setia?" "Kepadamu! Dia mengaku telah saling mencinta denganmu, akan tetapi mengapa
dia sekarang..." "Hong-moi, waktu itu kami masih seperti kanak-kanak. Yalima mengira dia
mencintaku sebelum dia bertemu dengan Kwee Tiong koko yang benar-benar
dicintanya. Aku sendiri tidak merasa dikhianati, tidak menganggap bahwa Yalima
tidak setia. Kenapa engkau yang tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan ini
menjadi marah dan hendak membunuhnya" Hong-moi, apa sih sebenarnya arti
Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perbuatanmu yang aneh ini?"
Mereka saling berhadapan, saling pandang, In Hong dengan muka merah padam
dan mata berapi-api, Bun Houw dengan muka agak pucat dan mata penuh keheranan.
Akhirnya pedang yang tergetar di tangan In Hong, pedang Hong-cu-kiam itu
bergerak, akan tetapi bukan menyerang siapa-siapa, melainkan meluncur ke atas
tanah. "Cappppp...!" Pedang itu menusuk tanah sampai amblas ke gagangnya. Terdengar
suara isak ditahan, dan In Hong lalu membalikkan tubuhnya dan meloncat lalu lari
pergi dengan cepat sekali.
"Hong-moi...!" Bun Houw berseru memanggil akan tetapi dara itu sama sekali
tidak menoleh lagi dan sebentar saja lenyap dari pandang mata.
"Hong-moi...!" Bun Houw hendak mengejar, akan tetapi pada saat itu terdengar
suara lirih, suara Yalima yang mengandung tangis.
"Taihiap, harap ampunkan aku..."
Bun Houw menarik napas panjang, tidak jadi mengejar karena dia maklum betapa
anehnya watak dara itu sehingga kalau dia kejar dan desak, tentu hanya akan
menimbulkan kemarahan yang makin hebat di dalam hati In Hong. Maka dia lalu
menoleh lagi. "Berdirilah dan ceritakanlah semuanya. Bagaimana Yalima tahu-tahu bisa
berada di sini, dan mengapa pula In Hong mengenalmu dan kini marah-marah?"
Kwee Tiong menarik isterinya bangkit dan dialah yang menjawab, karena
isterinya masih menangis sesenggukan. "Taihiap, karena isteriku telah
menceritakan segalanya kepadaku, maka bolehkah saya yang bercerita kepada
taihiap?" "Silakan, Kwee-koko, sama saja."
"Yalima dipaksa oleh orang tuanya, akan diberikan kepada seorang yang
berkuasa di Tibet. Dia lalu melarikan diri ke timur, dengan maksud untuk pergi
menyusul dan mencari taihiap karena taihiap satu-satunya orang yang dapat
diharapkan akan menolongnya. Akan tetapi dia terjatuh ke tangan seorang datuk
kaum sesat, yaitu Go-bi Sin-kouw..."
"Ahhh...!" Bun Houw terkejut sekali.
"Biar aku yang melanjutkan," tiba-tiba Yalima berkata kepada suaminya.
"Taihiap, aku tentu sudah celaka dan mungkin sudah tewas kalau saja tidak muncul
enci In Hong yang menolongku dari tangan orang-orang jahat itu. Karena
pertolongan itu, maka aku lalu berterus terang menceritakan riwayatku, juga
tentang... taihiap. Sungguh mati aku sama sekali tidak tahu bahwa antara taihiap
dan dia... bahwa kalian telah saling bertunangan..."
"Eh, bohong itu! Siapa bilang begitu?" Bun Houw berseru kaget.
"Agaknya taihiap telah ditunangkan dengan enci In Hong oleh ayah bunda
taihiap di luar tahumu, dan hal itu telah disampaikan kepada enci In Hong. Oleh
karena itu dia menjadi marah sekali mendengar bahwa antara kita... eh, terdapat
semacam hubungan. Enci In Hong lalu memaksaku pergi bersama ke Cin-ling-pai dan
dengan terang-terangan dia lalu berkata kepada Cia-locianpwe berdua bahwa
hubungan jodoh antara dia dan taihiap putus sudah, dan bahwa taihiap adalah
tunanganku. Itulah sebabnya dia tadi marah-marah melihat aku telah berjodoh
dengan Kwee-koko dan... entah mengapa aku sendiri tidak mengerti, taihiap. Kami
berdua tadinya khawatir bahwa engkaulah yang akan marah-marah, siapa tahu,
engkau dapat memaafkan kami, malah sebaliknya enci In Hong yang hampir
membunuhku..." Bun Houw menjadi bengong dan melamun. Sungguh sukar dimengerti sikap In Hong
tadi. Dia mencabut pedang Hong-cu-kiam dan hatinya tiba-tiba terasa kosong dan
sunyi sekali. Dipungutnya sarung pedang Hong-cu-kiam yang tadi dilemparkan ke
atas tanah oleh In Hong yang marah, lalu disimpannya pedang itu Dia teringat
akan burung hong kemala di dalam saku bajunya dan otomatis tangannya meraba
benda itu dan hatinya makin terasa sedih.
"Sungguh aneh... sungguh tak mengerti aku..." Hatinya berbisik dan pada saat
itu terdengar seruan nyaring, "Houw-ji (anak Houw)...!"
Bun Houw mengangkat muka memandang dan melihat ayah dan ibunya turun dari
puncak dengan cepat. Mereka tadi mendengar pelaporan Kwee Siong tentang
kedatangan putera mereka itu dan karena khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu
antara Bun Houw dan Kwee Tiong berdua Yalima, mereka cepat-cepat turun.
"Ayah! Ibu!" Bun Houw memberi hormat dan ibunya merangkulnya dengan hati
lapang. Terutama sekali ibunya merasa lega melihat puteranya kelihatan tidak
marah sungguhpun pandang matanya yang tajam dapat melihat bahwa Yalima baru saja
menangis den wajah Kwee Tiong masih pucat, tanda bahwa mereka berdua baru saja
mengalami guncangan batin yang hebat.
"Bukankah kau tadi datang bersama In Hong?" Cia Keng Hong yang tadi menerima
laporan Kwee Siong bertanya heran, matanya memandang ke kanan kiri mencari-cari.
"Dia sudah pergi, ayah." jawab Bun Houw dengan lesu dan keadaan puteranya
ini tidak terlepas dari pandang mata ayahnya.
"Lebih baik kalau begitu. Bocah galak itu membikin ribut saja." kata Sie
Biauw Eng yang menggandeng tangan puteranya den mengajaknya naik ke puncak.
Beramai mereka naik ke puncak Cin-ling-san, menuju ke markas Cin-ling-pai yang
barada di lereng dekat puncak. Nenek Sie Biauw Eng kelihatan gembira bukan main
dan menghujani puteranya dengan pertanyaan-pertanyaan.
Setelah tiba di dalam rumah, Bun Houw lalu lebih dulu menceritakan soal
pembunuh isteri Kun Liong yang menjadi pokok den penyebab semua peristiwa
menyedihkan antara keluarga Kun Liong itu. "Ayah dan ibu, sekarang pembunuh
isteri Yap-suheng telah diketahui."
Tentu saja suami isteri pendekar itu menjadi terkejut den juga girang.
"Siapa dia?" "Dia adalah seorang wanita bernama Yo Bi Kiok, ketua dari Giok-hong-pang.
Dia lihai sekali karena sebetulnya dialah yang dahulu memperoleh bokor emas
pusaka dari Panglima The Hoo, Ayah."
"Ahhh...!" Cia Keng Hong terkenang akan keributan puluhan tabun yang lalu
ketika pusaka bokor emas itu diperebutkan orang-orang gagah di seluruh dunia
kang-ouw. "Di mana sekarang keparat itu" Biar kucari dan kubunuh iblis betina yang
menjadi gara-gara itu!" kata nenek Sie Biauw Eng yang masih belum juga
kehilangan kegalakannya setiap kali menghadapi kejahatan.
"Dia sudah tewas di tangan Yap-suheng sendiri, ibu. Yo Bi Kiok itu dahulunya
adalah seorang sahabat baik dari Yap-suheng sendiri, malah wanita itu... dia
adalah guru dari adik Yap In Hong."
"Ahhh...!" Suami isteri pendekar itu berseru kaget, lalu mereka mendengarkan
penuturan puteranya tentang peristiwa di dalam benteng Raja Sabutai dan tentang
kematian Yo Bi Kiok yang mengaku sebagai pembunuh Pek Hong Ing isteri Yap Kun
Liong karena iri! Mendengar penuturan puteranya itu, suami isteri yang sudah tua itu
menggeleleng kepalanya. "Jadi kembali gara-gara cinta..." Nenek Sie Biauw Eng
berbisik. "Betapa hanya mendatangkan malapetaka belaka."
"Hemm, jangan berkata demikian, isteriku. Hanya cinta palsu saja yang
mendatangkan malapetaka. Buktinya, di antara kita berdua yang ada hanyalah
kebahagiaan dan belas kasihan, baik dalam keadaan apapun juga."
Sie Biauw Eng menjadi terharu dan menyentuh tangan suaminya. Ingin rasanya
dia menangis kalau suaminya bersikap dan berkata seperti itu.
"Jadi engkau telah berhasil membunuh sisa Lima Bayangan Dewa yang tinggal
tiga orang itu, Bun Houw?" Cia Keng Hong bertanya.
"Benar, ayah." "Dan Siang-bhok-kiam..."
"Itulah yang membikin jengkel, ayah. Siang-bhok-kiam itu oleh Bayangan Dewa
diserahkan kepada Raja Sabutai yang kemudian memberikannya kepada gurunya, yaitu
Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, dan mereka tidak mau menyerahkan pedang
pusaka kita kepadaku."
"Eh, mengapa" Mau apa dua orang iblis jantan dan betina itu?" Ibunya
membentak. "Ada sebabnya, ibu. Mereka itu ternyata adalah musuh-musuh yang menaruh
dendam kepada mendiang Panglima The Hoo dan karena mereka tidak dapat lagi
membalas dendam mereka kepada Panglima The Hoo yang sudah tidak ada, maka mereka
menimpakan dendamnya kepada Cin-ling-pai. Mendengar bahwa pedang itu milik ayah,
dan karena mereka tahu bahwa ayah dahulu adalah sahabat dan pembantu yang baik
dari mendiang Panglima The Hoo, maka mereka menahan pedang itu."
"Keparat!" Sie Biauw Eng memaki.
"Hemm, sudah setua ini masih dicari orang untuk bermusuhan." Cia Keng Hong
mengomel. "Mereka itu menantang kepada ayah untuk datang ke Lembah Naga jika ayah
menghendaki kembalinya pedang pusaka kita Siang-bhok-kiam."
Kembali Cia Keng Hong menarik napas panjang. "Aku bukan anak kecil, bukan
pula orang muda yang berdarah panas. Untuk apa susah payah dan jauh-jauh pergi
hanya untuk berkelahi memperebutkan pedang?"
"Akan tetapi kita harus menjaga nama! Pedang Siang-bhok-kiam adalah pusaka
dari lambang kebesaran Cin-ling-pai. Kalau jatuh ke tangan orang dan mereka
menentang, lalu kita diam saja, tentu kita akan diketawai orang sedunia!" bantah
isterinya. "Huh, kalau ada yang mau mentertawakan kita, biarlah mereka itu tertawa
sampai robek mulutnya, perduli apa kita?" Cia Keng Hong membantah.
"Tapi..." bantah isterinya.
"Isteriku, hidup kita tidak ditentukan oleh pendapat orang lain, bukan"
Ingat, pendapat orang-orang itu tidaklah sama dan kalau kita mengandalkan
pendapat-pendapat orang lain, bagaimana macamnya kehidupan yang kita tempuh?"
"Akan tetapi, suamiku. Memang kita sendiri secara pribadi tidak perlu
memikirkan omongan orang lain, namun kita sebagai pendiri dan pimpinan Cin-ling-
pai bertanggung jawab untuk menjaga nama dan kehormatan Cin-ling-pai! Setelah
sudah berhasil jerih payah Bun Houw membasmi Lima Bayangan Dewa, apakah kini
gangguan dua orang iblis keparat itu harus didiamkan saja" Kalau kau enggan
pergi, biarlah aku sendiri yang akan pergi mencari mereka ke Lembah Naga!"
"Ayah dan ibu harap suka bersabar. Urusan Siang-bhok-kiam tentu saja dapat
kita rundingkan kemudian dan aku sendiripun merasa bertanggung jawab den aku
yang akan mewakili ayah dan ibu demi menjaga kehormatan Cin-ling-pai. Akan
tetapi ada berita yang lebih menyenangkan untuk disampaikan... eh, di manakah
enci Giok Keng" Dia yang terutama akan senang mendengar berita ini."
Ibunya mengerutkan alis. "Encimu belum pulang sampai sekarang. Sungguh
malang sekali nasib encimu, Houw-ji."
"Kalau begitu biarlah ayah dan ibu mendengarnya lebih dulu. Lie Seng telah
dapat diketahui berada di mana."
"Ahh! Di mana cucuku itu?" Cia Keng Hong bertanya girang.
"Ternyata dia telah tertolong oleh suhu. Hampir saja dia tewas di tangan
wanita kejam Yo Bi Kiok itu, terkena racun Siang-tok-swa, akan tetapi baiknya
masih dapat tertolong oleh adik In Hong."
Lalu diceritakanlah oleh Bun Houw tentang Lie Seng seperti yang didengarnya
dari In Hong. Tentu saja dua orang tua itu merasa girang dan lega sekali. Kalau
cucu mereka itu sudah berada di tangan Kok Beng Lama, tentu saja akan
terlindung. "Hanya aku khawatir sekali... melihat keadaan gurumu itu..." Teringatlah Cia
Keng Hong akan sikap Kok Beng Lama yang seolah-olah tidak kuat menahan guncangan
hatin karena kematian anaknya yaitu Pek Hong Ing isteri Yap Kun Liong. Akan
tetapi sebagai seorang bijaksana, dia tidak mau menyiksa diri dengan bayang-
bayang khayal yang buruk.
"Sudahlah, semua urusan itu telah lewat dan ternyata semua hal yang
membingungkan telah terbongkar. Lima Bayangan Dewa telah terbasmi dan biang
keladi kehancuran rumah tangga Giok Keng dan Kun Liong telah pula ditewaskan.
Sekarang kami ada berita yang amat menyenangkan untukmu, anakku," kata Sie Biauw
Eng sambil tersenyum. Aneh tapi nyata, Sie Biauw Eng yang usianya sudah enam
puluh tahun lebih itu setelah tersenyum masih jelas nampak bekas-bekas
kecantikannya! Bun Houw memandang ibunya dengan wajah berseri, girang melihat ibunya begitu
gembira. Cia Keng Hong yang hendak menjawab, akan tetapi dengan tangannya, Sie
Biauw Eng mencegahnya dan pada saat itu, pelayan-pelayan mereka datang
menghidangkan makanan dan minuman. Percakapan tertunda sebentar, setelah para
pelayan itu pergi, Sie Biauw Eng yang agaknya tidak sabar lagi untuk segera
menyampaikan berita itu kepada puteranya, melanjutkan, "Beberapa pekan yang
lalu, ketika ayahnya baru saja tiba di sini, pulang dari kota raja, di sini
kedatangan tamu yang sama sekali tidak kami sangka-sangka." Dia berhenti dan
kelihatan girang sekali melihat puteranya memandang dengan penuh perhatian dan
penuh keinginan tahu. "Siapa, ibu?" "Kau tentu tidak dapat menduganya. Dia adalah murid mendiang Panglima The
Hoo dan..." "Ah, aku tahu...! Tentu ibu Souw Kwi Beng den Souw Kwi Eng si kembar itu!"
Suami isteri pendekar itu saling pandang dan tersenyum.
"Kau benar, dan mereka berdua ikut datang bersama ibu mereka," kata pula Sie
Biauw Eng. "Eh, sayang aku tidak dapat berjumpa dengan mereka!" kata Bun Houw
membayangkan dua orang kakak beradik kembar itu, terutama Kwi Eng, yang memiliki
kecantikan yang khas dari seorang berdarah campuran, dengan matanya yang biru
dan rambutnya yang hitam agak keemasan!
"Kwi Eng itu cantik bukan main, anakku!" Tiba-tiba ibunya berkata dan karena pada saat itu Bun Houw sedang
membayangkan wajah Kwi Eng, tentu saja dia menjadi terkejut dan wajahnya menjadi
merah sekali. Ibunya tertawa. "Dan engkau sudah mengenalnya, Houw-ji."
"Benar, ibu. Kami telah berkenalan dan bahkan Kwi Eng dan Kwi Beng
membantuku menghadapi dua orang Bayangan Dewa dan para pembantu mereka yang
lihai." "Dara itu sudah menceritakan semuanya kepada kami. Dia memang cantik jelita,
belum pernah aku bertemu dengan seorang gadis yang seperti itu cantiknya, dan
dia cerdas sekali, juga gagah perkasa aeperti ibunya, selain itu dia juga pada
dasarnya lemah lembut, sopan, tidak seperti... eh, misalnya Yalima yang lemah
dan... si In Hong yang liar itu..."
"Ibu, kenapa ibu menceritakan semua kepadaku?" Bun Houw memotong karena
hatinya tidak senang mendengar In Hong dibawa-bawa dan disebut liar.
Di sini ayahnya turun tangan mencampuri. "Sebenarnya, Bun Houw, kedatangan
nyonya Yuan de Gama atau Souw Li Hwa itu, selain untuk mengunjungi sebagai murid
mendiang Panglima The Hoo, mempererat persahabatan, juga untuk mengajukan usul
atau permohonan agar diadakan ikatan jodoh..."
"Ehh" Ikatan jodoh...?" Hati Bun Houw berdebar keras.
"Ya, antara engkau dan Kwi Eng, anakku! Aku girang sekali, aku sudah cocok
dan suka kepada anak itu, aku senang mempunyai mantu dia!"
"Ibu...!" Dan Bun Houw lalu menundukkan mukanya, memejamkan matanya, karena
dia merasa pening dan bingung. Cia Keng Hong mengedipkan mata kepada isterinya,
mencegah isterinya bicara dan memberi kesempatan kepad puteranya untuk
menenangkan diri. Bun Houw yang memejamkan matanya itu melihat bayangan Kwi Eng,
terbayang olehnya betapa dahulu ketika dia menolong Kwi Eng menyelamatkan dara
jelita itu dari perkosaan Gu Lo It, melihat Kwi Eng dalam keadaan tanpa pakaian,
kemudian... kemudian teringatiah dia betapa mereka berciuman ketika dia
memondong gadis itu. Membayangkan itu, Bun Houw merapatkan matanya dan diam-diam
dia merasa menyesal, mengapa dia melakukan hal itu, mengapa dia selalu ingin
mendekap dan mencium dara-dara cantik! Dan terbayanglah dia akan wajah In Hong,
dan pikirannya menjadi makin bingung.
Houw-ji...!" Terdengarlah suara ayahnya yang tenang dan dia membuka matanya,
sadar kembali akan keadaannya.
"Maaf, ayah dan ibu..."
"Bun Houw, ayah dan ibumu melihat engkau sudah cukup dewasa, tahun ini
usiamu sudah dua puluh tahun lebih, dan ayah ibumu sudah makin tua, ingin
menimang cucu dalam sebelum menutup mata," kata Sie Biauw Eng dan nada suaranya
terharu. "Bun Houw, tadinya kami berdua bersepakat untuk menjodohkan engkau dengan In
Hong, bahkan kami telah merundingkan hal ini dan mendapat persetujuan Yap Kun
Liong. Akan tetapi, terjadi peristiwa dengan Yalima itu dan In Hong sendiri yang
memutuskan tali perjodohan itu..."
Bun Houw mengangguk dan hatinya terasa perih. Dia sudah mendengar akan hal
itu dari Yalima dan kini mengertilah dia mengapa setelah In Hong tahu bahwa dia
adalah Cia Bun Houw, dara itu berubah sikapnya dan menjadi dingin. Mengertilah
dia mengapa In Hong memakinya sebagai seorang perayu wanita yang tidak setia!
Tentu In Hong merasa penasaran mengapa dia yang dianggapnya sudah "bertunangan"
dengan Yalima, mau dijodohkan dengan In Hong dan hal ini oleh dara yang berhati
keras itu dianggapnya sebagai suatu penghinaan!
"Kemudian kami mencari-cari dan memilih-milih," sambung Sie Biauw Eng
melanjutkan penjelasan suaminya. "Dan ketika kami melihat Kwi Eng, dan mendengar
permohonan ibunya, kami berdua dengan hati bulat menyetujuinya."
"Ibu...!" Kembali Bun Houw berseru, kaget sekali.
"Hemm, kenapakah, Bun Houw" Apakah kau tidak setuju dengan Kwi Eng" Kulihat
Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dari gerak-gerik dara itu, dia sudah jatuh cinta padamu," sambung pula ibunya.
"Bun Houw, katakanlah, apa yang menyebabkan engkau keberatan dan tidak
menyetujui pilihan ayah bundamu?" Keng Hong berkata dengan tenang mendesak.
"Ayah dan ibu, sesungguhnya sama sekali bukan karena saya tidak suka kepada
adik Kwi Eng, akan tetapi aku... aku belum ingin terikat oleh tali perjodohan."
"Ha-ha, mengapa begitu saja dirisaukan amat?" Ayahnya mencela. "Ikatanmu
dengan Kwi Eng barulah pertunangan saja, sedangkan tentang pernikahannya,
hemmm... sesungguhnya kami ingin segera melihat engkau menikah, akan tetapi
kalau kau masih belum suka, dapat diundur beberapa lamanya karena Kwi Eng juga
baru berusia enam belas tahun lebih."
"Akan tetapi jangan lama-lama, anakku," kata Biauw Eng. "Aku sudah ingin
sekali mempunyai cucu dalam dan dilayani mantu perempuan!"
Bun Houw merasa hatinya bingung dan tertindih oleh desakan-desakan ayah
bundanya. Tiba-tiba dia memperoleh pandangan, seolah-olah ada sinar terang
memasuki hatinya. "Ayah dan ibu, kita masih menghadapi urusan, Siang-bhok-kiam masih berada di
tangan orang lain. Aku hendak mencari dan merampas kembali pusaka itu, barulah
kita bicarakan urusan perjodohan. Dan aku harus cepat-cepat pergi ke Lembah
Naga, karena kalau dibiarkan terlalu lama, aku khawatir akan makin sukarlah
pusaka kita itu dapat dirampas kembali. Kalau saja dua orang iblis itu tidak
berada di benteng Raja Sabutai ketika mereka menguasai Siang-bhok-kiam, tentu
sudah kuserang mereka dan kurampas pedang pusaka kita itu."
"Eihh, baru saja kau datang, jangan tergesa-gesa pergi lagi, Houw-ji!"
ibunya berseru dan memegang pundak puteranya. "Engkau hampir tidak pernah
berkumpul dengan kami. Sejak kecil berguru kepada Lama itu Tibet sampai
bertahun-tahun, begitu pulang kau terus pergi mencari Lima Bayangan Dewa.
Sekarang, baru saja datang hendak pergi lagi merampas kembali Siang-bhok-kiam di
Lembah Naga yang begitu jauh di utara. Tidak, kau tidak boleh cepat-cepat
pergi!" "Ibumu benar, Bun Houw. Kau harus beristirahat dulu dan nanti kalau kau
pergi, kami akan titip surat untuk keluarga Souw atau keluarga de Gama di
pelabuhan Yen-tai. Kami sudah tua, tidak sempat membalas kunjungan mereka, maka
kaulah yang mewakili kami membalas kunjungan mereka di Yen-tai. Selain itu,
kaupun harus menyerahkan suratku kepada kaisar di kota raja. Sesudah
kauselesaikan tugas itu, baru kau boleh mencari dua orang tua yang merampas
Siang-bhok-kiam itu di Lembah Naga."
Bun Houw tidak dapat membantah lagi dan dengan berkeras ibunya menahannya
sehingga baru satu bulan kemudian dia meninggalkan Cin-ling-san, membawa dua
buah surat dari ayahnya, yang satu untuk diserahkan kepada Yuan de Gama dan
keluarganya di Yen-tai, dan yang satu lagi untuk dihaturkan kepada kaisar di
kota raja. *** In Hong bersandar pada batang pohon di dalam hutan itu, memejamkan matanya
dan mengatur kembali napasnya yang agak terengah-engah. Kepalanya terasa pening
dan biarpun matanya dipejamkan, namun nampak bayangan beberapa orang berputaran,
yaitu bayangan wajah Bun Houw dan Yalima. Ingin dia menjerit dan menangis untuk
memberi pelepasan kepada perasaan hatinya yang berdesakan dan penuh dengan
segala macam perasaan yang saling bertentangan. Dia suka kepada Bun Houw, hal
ini tak mungkin dapat dibantahnya lagi! Bahkan, sejak pertama kali dia melihat
pemuda itu dengan gagahnya menolak bujuk rayu wanita-wanita itu, dia sudah
merasa kagum dan suka sekali kepada Bun Houw. Anehnya, ketika dia memperoleh
kenyataan pahit bahwa pemuda itu adalah tunangannya sendiri yang telah
ditolaknya, ketika dia mendapat kenyataan bahwa Bun Houw adalah seorang pemuda
yang luar biasa lihainya, yang memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi
darinya, rasa kagum dan suka makin meresap di dalam hatinya! Dan kalau tadinya
dia menganggap seorang yang bernama Cia Bun Houw itu dengan pandangan rendah
karena dianggap tidak setia kepada Yalima, setelah dia tahu bahwa Cia Bun Houw
adalah pemuda yang telah memberi pedang pusaka kepadanya, yang telah diberi
Giok-hong-cu olehnya, pandangan tidak setia kepada Yalima berobah cemburu dan
iri terhadap Yalima! Bahkan ketika dia melakukan perjalanan ke Cin-ling-pai,
biarpun dia selalu bersikap diam dan dingin kaku, namun diam-diam dia merasakan
sesuatu yang indah di dalam hatinya, sesuatu yang mendatangkan kebahagiaan!
Dan ketika dia melihat Yalima ternyata telah menikah dengan orang lain,
saking malunya terhadap Bun Houw dia ingin membunuh Yalima! Akan tetapi di balik
itu semua, harus dia akui bahwa dia merasa girang bukan main melihat Yalima
telah menjadi isteri orang lain.
"Aku telah gila... aku telah gila...!" Dia berbisik dan menjambak rambutnya
sendiri Houw-koko...!" Keluh hatinya dan dia merasa betapa hidupnya sunyi dan
sendiri, betapa dia merindukan kehadiran Bun Houw di sampingnya, di dekatnya,
biarpun tidak usah berdekatan dan bersikap baik, asal ada nampak Bun Houw di
situ dia tidak akan merasa tersiksa seperti sekarang ini. Dia merasa rindu
sekali dan otomatis tangannya meraba pinggang. Dia terkejut, memandang ke arah
pinggangnya dan baru teringat dia bahwa Hong-cu-kiam telah ditinggalkannya di
Cin-ling-san! Dia mengeluh panjang dan merasa makin sunyi dan sepi, merasa
kehilangan! "Houw-ko...!" Kembali bibirnya mengeluh, jantungnya seperti diremas rasanya
dan ingin dia menjerit-jerit memanggil nama pemuda yang dirindukannya itu.
In Hong mengepal tinju dan membuka matanya. Kekerasan hatinya yang dulu
timbul lagi dan matanya menjadi beringas. Dia cepat membalik seolah-olah
diserang orang dari belakangnya, dan tangannya yang dikepal itu menghantam
batang pohon. "Dessss... krakkkkk!" Batang pohon itu patah dan kepalan tangannya berdarah
karena saking marahnya dan saking gelisahnya dia tadi menghantam tanpa
melindungi tangan dengan sin-kang. Terasa nyeri sekali tangannya yang berdarah
dan dia mencucupi darahnya sendiri di tangan itu, wajahnya agak terang dan dia
berterima kasih kepada rasa nyeri di tangannya, karena rasa nyeri itu mengurangi
rasa nyeri yang lebih mendalam dan menyiksa tadi.
"Persetan dengan Cia Bun Houw...!" Dia membentak lalu dara ini lari
secepatnya keluar dari hutan itu dan mendaki lereng gunung di depan.
Ketika dia keluar dari hutan dan tiba di jalan raya kasar yang diapit-apit
padang rumput, dia mendengar derap kaki kuda dan melihat serombongan orang
berkuda, pakaian mereka seragam mendatangi dengan cepat. Karena hatinya lagi
risau In Hong tidak perduli dan terus saja dia mempergunakan ilmu berlari cepat
sehingga dia berpapasan dengan rombongan belasan orang itu tanpa memperhatikan
sama sekali. "Heiii...!" Tiba-tiba terdengar seruan dari rombongan penunggang kuda itu
dan In Hong masih tetap berlari terus. Akan tetapi kini dia mendengar derap kaki
kuda dari belakangnya dan agaknya rombongan penunggang kuda tadi telah
membalikkan arah kuda mereka dan kini mengejar In Hong.
"Lihiap...! Perlahan dulu...!"
Setelah tiga kali mendengar seruan ini, barulah In Hong sadar bahwa ada
orang-orang mengejarnya dan bahwa panggilan itu ditujukan kepadanya, maka dia
lalu berhenti berlari dan menanti di pinggir jalan sambil memandang tajam penuh
perhatian, hatinya sudah mulai panas karena merasa bahwa perjalanannya diganggu
orang! Kalau serombongan orang laki-laki itu hendak berlaku kurang ajar
kepadanya, awas, pikirnya! Aku takkan mengampunkan kalian!
Kini rombongan yang terdiri dari lima belas orang berpakaian seragam
gemerlapan karena disulam benang emas itu berhenti pula di situ dan seorang di
antara mereka, yang bertubuh tegap dan bersikap gagah, usianya empat puluhan
tahun, meloncat dengan gesitnya dari atas kuda lalu menghampiri In Hong yang
berdiri tegak dengan kedua lengan bersilang depan dada.
Laki-laki yang ternyata adalah komandan dari pasukan itu, menjura dan
mengeluarkan sehelai kain bergambar, dipandangnya kain itu, kemudian dia menatap
wajah In Hong penuh selidik dan bertanya, "Maafkan saya, lihiap. Bukankah lihiap
ini yang bernama Yap In Hong?"
Tangan dara itu bergerak cepat seperti kilat menyambar. Komandan pasukan itu
bukanlah orang biasa, melainkan seorang komandan atau perwira dari pasukan Kim-
i-wi yaitu pasukan pengawal istana yang berpakaian seragam keemasan atau yang
dinamakan Pasukan Baju Emas. Kepandaiannya sudah cukup tinggi, kalau tidak tentu
saja dia tidak akan terpilih menjadi perwira. Melihat gerakan dara itu, dia
terkejut sekali dan cepat mengelak sambil menarik kembali tangannya yang
memegang lukisan. "Prrrttt...!" Betapapun cepatnya perwira itu mengelak, tetap saja gambar itu
telah berpindah tangen dan kini dengan tenang, tanpa merobah kedudukan tubuhnya,
In Hong yang masih cemberut itu memandang gambar di tangannya. Dia kaget dan
heran sekali melihat lukisan yang indah di atas kain itu, lukisan seorang wanita
muda yang bukan lain adalah dirinya sendiri!
In Hong mengerutkan alisnya dan pandang matanya ke arah wajah perwira itu
seperti todongan ujung pedang yang amat runcing sehingga perwira itu kembali
terkejut dan otomatis mundur selangkah ke belakang.
"Hayo katakan, siapa yang melukis ini dan apa maksudnya semua ini?" Suaranya
dingin sekali dan nadanya mengancam sehingga terasa pula oleh semua anggauta
pasukan pengawal Kim-i-wi yang mendengarnya.
Akan tetapi, pasukan pengawal Kim-i-wi adalah terkenal sebagai pasukan yang
gagah berani dan setia, semacam pasukan pengawal istana yang telah disumpah
untuk setia sampai mati! Perwira itupun lalu menjawab dengan tabah, "Maafkan
saya, lihiap. Demi tugas kami, maka sebelum lihiap menjawab apakah benar lihiap
yang bernama Yap In Hong, kami tidak dapat menerangkan apapun."
In Hong memandang dengan marah, akan tetapi ketika dia bertemu pandang
dengan perwira itu, dia merasa kagum. Perwira ini benar-benar berani, akan
tetapi tidak kurang ajar, dan tidak sombong pula. Kekagumannya membuat dia agak
lunak. "Aku benar Yap In Hong. Nah, sekarang terangkan semua, kalau tidak, terpaksa
aku akan menghajar kalian semua karena gangguan ini!"
Wajah perwira itu menjadi berseri gembira dan juga anak buahnya menjadi
girang sekali nampaknya. "Wah, maaf... eh, betapa girang hati kami, lihiap.
Susah payah kami mencari lihiap. Ketahuilah, kami adalah pasukan Kim-i-wi dari
istana kaisar dan ratusan orang anggauta kami disebar di seluruh pelosok untuk
mencari lihiap dan ini merupakan perintah dari sri baginda kaisar sendiri!
Setiap pasukan diberi gambar seperti ini agar lebih mudah mengenal lihiap.
Ketika tadi kita saling berpapasan, saya segera mengenal lihiap maka kami
melakukan pengejaran."
Akan tetapi pandang mata In Hong masih belum melenyapkan kecurigaannya. "Apa
sebabnya istana mengerahkan pasukan pengawal untuk mencari aku?"
"Lihiap, saya hanya seorang pemimpin pasukan kecil saja, mana saya bisa
mengetahui akan kehendak sri baginda kaisar" Yang saya ketahui hanya bahwa
pasukan-pasukan pengawal menerima perintah keras dari sri baginda kaisar untuk
mencari lihiap sampai jumpa..."
"Dan kalau sudah jumpa?"
"Agar dipersilakan ke istana untuk memenuhi undangan kaisar."
In Hong berpikir sejenak. Tidak mungkin ada sesuatu yang buruk di belakang
undangan kaisar ini, pikirnya. Dia tahu bahwa kaisar yang muda itu adalah
seorang yang baik dan gagah. Dia sudah menolong kaisar lolos dari benteng
Sabutai, tidak mungkin kaisar yang kini sudah menduduki tahtanya lagi itu
berniat buruk terhadap dirinya. Menarik juga undangan kaisar ini, menjanjikan
pengalaman-pengalaman baru untuknya, dan pada saat seperti itu, selagi hatinya
diliputi gundah, pergi kepada kakaknya di Leng-kokpun tidak ada gunanya. Lebih
baik ke kota raja memenuhi undangan kaisar dan hendak dilihatnya apa yang akan
dilakukan oleh kaisar terhadap dirinya.
"Baik, aku akan ikut dengan kalian ke istana," katanya.
Wajah perwira itu berseri-seri dan girangnya bukan main. Juga anak buahnya
semua tersenyum girang karena kalau pasukan mereka ini yang menemukan pendekar
wanita itu, tentu berarti mereka akan menerima pujian dan ganjaran besar! "Saya
akan memberi isyarat kepada semua pasukan Kim-i-wi!" katanya dan tak lama
kemudian dia melepaskan panah ke udara, anak panah berapi yang menyalakan
kembang api berwarna biru di udara.
Setiap hari mereka mengirim isyarat panah berapi itu dan sebelum mereka tiba
di istana pasukan itu telah bertambah terus, didatangi oleh pasukan-pasukan Kim-
i-wi lain yang tersebar ke mana-mana dan akhirnya ketika rombongan itu tiba di
istana, yang mengirimkan In Hong tidak kurang dari seratus orang! Dara itu
sendiri diberi seekor kuda yang pilihan dan di sepanjang perjalanan memperoleh
pelayanan sebagai seorang puteri saja sehingga In Hong yang sudah biasa hidup
bebas dan menghadapi kesukaran-kesukaran sampai merasa sungkan sendiri. Akan
tetapi karena dia tahu bahwa perlakuan dan sikap mereka itu adalah untuk
memenuhi perintah kaisar, maka diapun tidak menolak. Kalau mereka kemalaman di
jalan, setiap pembesar-pembesar setempat menyambutnya dengan penuh penghormatan,
menjamunya dan memberinya kamar yang terbaik dari gedung mereka.
Akhirnya In Hong dibawa oleh panglima pengawal menghadap kaisar. Begitu
melihat dara perkasa ini muncul di ruangan, kaisar sudah tersenyum lebar dan
melambaikan tangannya dengan girang, sehingga para menteri dan pembesar yang
hadir di situ menjadi terheran-heran.
"Yap In Hong lihiap...! Alangkah girang hati kami mendengar akan
kedatanganmu!" In Hong adalah seorang gadis yang sejak kecil hidup di dunia kang-ouw dan
tentu saja dia tidak mengenal tata tertib istana, tidak pula mengenal kesusilaan
yang sudah menjadi tradisi di dalam istana kaisar. Akan tetapi dia seorang yang
cerdas, maka biarpun dia tidak tahu akan kebiasaan di situ, dia segera
menjatuhkan diri berlutut dan berkata. "Semoga paduka selamat, bahagia, dan
berusia panjang!" Tiba-tiba kaisar yang kini agak gemuk dan wajahnya segar berseri itu tertawa
bergelak dan kembali semua menteri saling pandang dengan heran. "Ha-ha-ha, Hong-
lihiap, dari manakah engkau memperoleh kepandaian memberi hormat seperti itu!
Bangkitlah dan duduklah di atas bangku yang sudah tersedia itu. Kita bicara
seperti dahulu ketika kita bersama lolos dari benteng Sabutai dan keluar masuk
hutan!" Wajah In Hong menjadi merah dan dia bangkit, menjura lalu duduk di atas
bangku sambil tersenyum. "Hamba hanya ikut-ikut saja, sri baginda. Kalau keliru
harap tidak ditertawakan dan diampunkan."
"Tidak, engkau adalah tamuku, penolongku, bahkan kuanggap saudaraku sendiri,
Hong-lihiap! Semenjak aku kembali ke sini, aku selalu teringat kepadamu dan
kusuruh mencari ke mana-mana. Aku minta kepadamu, lihiap, agar engkau suka
tinggal di istana ini, sebagai seorang saudaraku dan untuk jasa-jasamu kuangkat
engkau menjadi Puteri Pelindung Kaisar yang juga kuanggap sebagai adikku
sendiri. Engkau berhak keluar masuk di selurub istana ini dan berhak tinggal di
sini selama yahg engkau sukai."
Kembali semua menteri melongo mendenger ini, akan tetapi karena merekapun
sudah mendengar behwa pendekar wanita bernama Yap In Hong inilah yang telah
membebaskan kaisar dari tawanan Raja Sabutai, maka mereka hanya dapat
mengangguk. Di waktu kaisar menjadi tawanan dan terancam bahaya, orang
sekerajaan tidak ada yang mau atau berani menolong kecuali dara ini! Sudah
sepatutnya kalau kini kaisar membalas jasanya yang amat besar itu.
In Hong merasa terharu juga oleh limpahan perasaan seperti itu, akan tetapi
dia masih bertanya, "Tentu hamba tidak terikat di sini, bukan?"
Kaisar tersenyum lebar. "Tidak, lihiap. Akan tetapi kuharap dengan sungguh
agar engkau dapat selamanya tinggal di sini, bahkan kelak kalau engkau sudah
bersuami, suamimu akan kami beri pangkat dan kedudukan tinggi agar engkau selalu
dekat dengan kami." In Hong lalu menghaturkan terima kasih dan kaisar lalu memanggil kepala
pengawal dalam istana dan memerintahkan panglima ini untuk mengantar In Hong ke
dalam istana dan memberinya sebuah gedung yang serba indah dan lengkap di bagian
keputren. Mulai hari itu, kehidupan In Hong berobah sama sekali! Biarpun dia tidak
suka bersolek, dan tidak ingin memakai pakaian yang indah-indah, akan tetapi
setelah semua pakaian tersedia dan dia tidak ingin membikin malu kaisar karena
dia dianggap sebagai seorang puteri, atau adik angkat kaisar sendiri, terpaksa
In Hong mengganti pakaiannya yang sederhana dengan pakaian yang serba indah
gemerlapan! Dan diapun menduga bahwa di balik semua ini, tentu ada suatu maksud
dari kaisar dan dia menduga bahwa hal itu tentulah ada hubungannya dengan
Khamila! Karena, bukankah hanya dia yang tahu bahwa kaisar ini dengan isteri
Raja Sabutai itu terdapat jalinan hubungan yang amat mesra"
Dugaannya memang tepat karena beberapa hari kemudian, ketika terdapat
kesempatan kaisar bertemu berdua saja dengan dia, kaisar berkata, "Hong-lihiap,
aku lebih suka menyebutmu lihiap daripada adik atau puteri, karena sebutan ini
mengingatkan aku akan pengalaman-pengalaman kita dahulu. Engkau tentu tahu,
lihiap, bahwa hadirnya engkau di dalam istana ini, di dekatku membuat aku merasa
seolah-olah diapun tidak jauh dariku."
In Hong mengangkat muka memandang wajah kaisar yang kelihatan terharu dan
berduka itu. Dia mengangguk akan tetapi tidak tahu harus berkata apa.
"Aku hanya mengharap, lihiap, engkau sebagai satu-satunya orang yang tahu
Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akan rahasia kami itu, selain tidak akan membocorkan rahasia ini, juga kelak
sekali waktu engkau dapat mewakili aku untuk menengok... anak itu di sana."
In Hong mengangguk-angguk. Dia mengerti, dan mudahlah menduga siapa yang
dimaksudkan dengan anak itu. Tentu anak yang dulu dikandung oleh Khamila.
"Harap paduka jangan khawatir. Sewaktu-waktu hamba akan memenuhi perintah
paduka." Demikianlah In Hong kini menjadi seorang puteri yang bebas keluar masuk di
seluruh bagian istana itu, dihormati oleh semua pengawal, pelayan dan ponggawa
istana. Kalau tadinya ada yang menduga bahwa pendekar wanita yang cantik itu
menjadi kekasih kaisar, kini mereka itu keliru dan ternyata bahwa benar-benar
kaisar melakukan kebaikan itu untuk membalas jasa. Akan tetapi, karena sikap In
Hong yang tidak sombong, bahkan kini dara itu mempelajari segala macam kebiasaan
di istana, dan mulai dapat merobah sifatnya yang tadinya dingin, kaku dan ganas,
di samping berita akan kelihaian dara itu, semua orang merasa suka kepadanya.
*** Tio-twako...!" "Eh, Tio-twako datang...!"
Kwi Beng dan Kwi Eng yang sedang duduk di serambi depan rumah mereka di Yen-
tai, meloncat dengan girang dan lari ke pekarangan menyambut kedatangan seorang
pemuda yang tinggi kurus, bersikap gagah dan berpakaian sederhana, berwarna
kuning dan yang memasuki pekarangan itu dengan sikap ragu-ragu. Pemuda itu bukan
Setan Madat 2 Mahesa Edan 1 Rahasia Makam Mahesa Playboy Dari Nanking 12