Pencarian

Rahasia Gelang Pusaka 2

Rahasia Gelang Pusaka Karya Okt Bagian 2


mengikuti serangannya dengan tipu silat "Kiauw hun-ngo-ma" atau "Memisahkan lima
ekor kuda." Dengan merobah kepalannya menjadi
tangan terbuka, ia menyerang dengan lima macam pukulan saling susul begitu cepat
ia mendapat kenyataan serangannya yang pertama gagal.
Pek Kut Sin Kun, yang gelarannya berarti "Malaikat Tulaug Putih," tertawa di-
ngin. Dia berhasil menggagalkan serangan berantai dari si nona, habis itu dia
melakukan penyerangan membalas. Dia menggunakan kedua tangannya yang menyerang
masing-masing. Hebat serangannya itu, hingga dia membuat lawannya terdesak.
"Gunakan pedangmu!" sekonyong-konyong si nyonya berseru suaranya dalam.
Si nona baju merah memutar tangan kanannya, menghunus pedang yang berada di
punggungnya. Itulah senjata yang panjangnya cuma dua kaki. Si nyonya menyebutnya
pedang tetapi sebenarnya, macamnya bukan pedang dan juga bukan pisau belati.
Yang pasti ialah senjata istimewa itu tajam luar biasa, sebagaimana sinarnya
menyilaukan mata. Melihat senjata itu, Pek Kut Sin Kun heran hingga ia mundur satu tindak. Si nona
sebaliknya membentak sambil menerjang hebat dengan jurus "Badai rumput."
Kembali Pek Kun Sin Kun tertawa dingin. Dengan suaranya itu, dia mengejek
lawannya. Dia menangkis dengan mementang kedua tangannya, tubuhnya pun bergeser
kesamping. Sembari menggeser itu, tangan kirinya menyampok tangan kanan si nona,
lalu tangan itu diluncurkan terus, dan dengan lima jerijinya menyambar sikut.
"Bagus!" berseru si nyonya. "Cian Yan Ciu!"
"Cian Yan Ciu" itu ialah tipu silat untuk menyamber tangan lawan.
Si nona menurut, ia menggeser tubuhnya ke kiri, bukannya mundur hanya maju. Dari
situ, dengan pedangnya ia menabas lengan kanan musuh.
Sim Ie palsu berlaku sangat sebat. Ia menarik pulang lengan kanannya. itu,
berbareng dengan itu, tangan kirinya turun dari atas kebawah, menggempur batok
kepala lawan. "Totok jie khie-hiat!" berseru si nyonya pula. Jie-khie-hiat ialah jalan darah
jie khie. Kembali si nona menyerang dengan menuruti ajaran nyonya itu. Sambil menarik
pulang pedangnya, jerijinya meluncur kedada lawan yang tangguh itu.
Pek Kut Sin Kun berkelit sambil tertawa dingin. Lalu dengan kesebatan luar biasa
dia membalas menyerang. Tangan kirinya dia kasih turun, guna menutup diri, tangan kanannya, dengan
jeriji dibuka, menyambar ke muka si nona. Dengan jeriji telunjuk dan tengah, dia
mencari mata orang, untuk ditusuk dan dikorek. Tipu silatnya itu ialah
"Jie Liong Chio Cu," atau "Sepasang naga berebut mustika"
Ketika ia gagal sebab si nona menangkis, tangan kanannya Itu diputar, terus
dipakai menjambret guna menangkap tangan nona itu.
"Thio Sian mengantar Anak!" seru si nyonya setengah tua. Lagi-lagi ia mengajari
si nona. Nona itu mendengar kata. Ia pun bergerak dengan sangat sebat. Maka pedangnya
menyambar ke lengan lawan, untuk menabas kutung lengan itu. Habis itu, pedang
itu diteruskan menikam kepinggang lawan karena lawannya berhasil menyelamatkan
dlrinya. Pek kut Sin Kun terperanjat. Dia tidak menyangka sinona demikian sebatnya.
Terpaksa dia lompat mundur
sampai tujuh kaki. Justeru itu, dia dapat melihat Bun Hong dan Ie Kun, hingga
dia tercengang, Sianak muda sudah lantas tertawa jenaka sambil ia berkata: "Jangan kaget,
sahabat. jangan heran! Tuan mudamu mempunyai jalannya untuk keluar dari
kurunganmu!" Tapi Ie kun bukan cuma bergurau dan mengejek, kata-katanya itu dibarengi dengan
melesatnya tubuhnya. untuk menyerang musuh dengan 'Tele Seng Hoan Tauw" jurus
"mengambil bintang, menukar bintang."
Pek Ie kut Sin Kun menangkis dengan menolak, sambil membela diri itu, ia kata
didalam hatinya: "kalau begini, aku mesti lekas menyingkir! Atau aku bakal
mendapat malu!'' Diluar dugaan Sim Ie palsu, "Tek Seng Hoan Tauw' itu ialah jurus permulaan dari
Cit Chee Ciang, ilmu silat
"Tangan Tujuh Bintang" dari Sim Ie tulen. Jurus yang pertama itu menjadi semacam
gertakan, guna melihat gelagat musuh, musuh menangkis atau tidak. Kalau musuh
menangkis, itulah maunya. Dengan musuh menangkis, sianak muda dapat melanjuti
serangannya dengan jurus lainnya, "Thian Kong Cit Chee," atau "Bintang langit,
bintang tujuh." Memang Cit Chee Ciang terdiri dari empat puluh sembilan jurus.
Tidak ampun lagi, tubuhnya Pek Kun Sin Kun terangkat dan dan tertolak mental
tiga tindak. Tapi ia masih tidak diberi ampun sebab Ie Kun sudah lantas lompat
menyusul. Justeru sianak muda menyusul, justeru datang serangan pedang dari sampingnya ia
terkejut, ia heran lawan ada kawannya. Tanpa ayal sedetik juga, ia berkelit,
untuk berpaling melihat si penyerang.
Itulah sinyonya setengah tua, yang mema dang bengis padanya sambil membentak
"Siapa suruh kau usilan mencampur tahu urusan kami" Lekas mundur!"
Sebelum sempat Ie Kun melayani si nyonya, Pek kut Sin Kun sudah beraksi pula.
Dia telah mengeluarkan senjata rahasianya, melihat mana si nyonya berseru. "Anak
Cui, kembali!" Itulah karena sinona baju merah sudah lompat kepada musuhnya, untuk dihamtamkan,
atas mana, simusuh hendak menggunai Ciu-chee piauw, senjata rahasia itu.
Menyusuli kata katanya itu, sinyonya lompat maju, guna menggantikan anaknya. la
mengangkat kedua tangannya kedepan dadanya, dengan suara dalam ia kata: "Jangan
kau membuat main segala besi karatanmu dihadapakku!"
Cit Chee Piauh tetiron mengasi dengar tertawanya yang seram. "Aku tidak percaya
kamu orang-orang Touw Liong Po ada sedemikian lihay!" katanya. "Mustahil kamu
dapat lolos dari piauw-ku."
Paras nyonya itu menjadi muram. "Kau seranglah!"
tantangnya. "Aku memang ingin menguji Cit Chee Piauw yang kesohor dikolong
langit ini!" Berkata begitu, si nyonya tapinya mendahului menyerang!
Pek Kun Sin Kun membebaskan diri dengan ia mencelat dengan lompatan "Naga naik
kelangit." Setelah itu, ia lompat lebih jauh ke arah si nyonya.
Heran nyonya itu mendapat kenyataan serangannya tidak mendatangkan hasil,
parasnya sampai berubah menjadi pucat.
Sim Ie tetiron tertawa dingin. "Hei, Ang Hun Pek Kut Kie Siu. mustahilkah kau
makan sumpahmu sendiri?" dia menegur.
Parasnya si nyonya menjadi pucat sekali. "Belum pernah aku menelan kata kataku
sendiri!" jawabnya keras. "Siapa dapat lolos dari serangan tipu silatku Cit Sie
Lian Hoan, biarnya dia musuh besarku, akan aku biarkan dia mendapat hidup!"
Berkata begitu. ia menoleh kepada sinona baju merah, menggapai seraya berkata:
"Anak Cui, hari ini gurumu tidak dapat membuat kau mewujudkan cita-citamu, maka
itu kau bersabarlah sampai lain kali"
Tak tahu Ie Kun si nyonya maksudkan apa, tetapi yang terang ialah nyonya itu
jumawa sekali. Sinona mengangguk dengan menunjuki roman sedih, tanpa membilang apa-apa ia
mengikut si nyonya, yang menuntunnya lari ke tepi laut.
Sementara itu Bun Hong mengucap seorang diri: "Ang Hun Pek Kut...." Lalu ia
menggigil. Kata-kata itu berarti: 'Pupur merah Tulang putih'
Ie Kun mendengar suara si nona, ia heran akan tetapi, ia tidak sempat
memperhatikan lebih jauh.
Ketika itu, dengan tertawa dingin, Pek Kut Sin Kun bertindak menghampirkan
simuda mudi. Katanya "Sungguh aku tidak sangka bahwa kamu dapat menyembunyikan diri kamu sampai hari
ini, bahwa kamu belum mampus!" Lantas perkataannya itu ditutup dengan satu
sambaran kedua tangannya kepada masing-masing muda-mudi. Itulah sambaran "Kong
Tong Ban Yap," atau "Angin menggempur laksang"
Sekarang ini Ie Kun beda daripada Ie Kun beberapa hari yang lalu. Ia sudah
mendapat pengalaman dan kepandaian sekarang tubuhnya, tangan dan kakinya,
bergerak dengan lebih leluasa. Ia juga dapat melihat lebih terang dan mendengar
lebih jelas. Begitulah, ketika ia disambar, dengan mudah saja ia berkelit,
membikin sambaran lewat di depan dadanya tanpa hasil.
Juga Bun Hong dapat menyelamatkan dirinya dengan sama mudahnya. Ia menggunakan
tipu berkelit ajaran gurunya. ialah ilmu Heng Hoan Wie atau Menukar wujud,
pindah kedudukan. Ia menyingkir tujuh tindak.
Cuma ia tidak diam saja seperti si pemuda, ia hanya menegur bengis: "Hei kau
siapakah" kenapa kau menyamar menjadi Loocianpwae Cit Chee Piauw, selalu membuat
jahat dalam dunia Kang Ouw?"
Pek Kut Sin Kun terperanjat, meski demikian, sinar matanya bergerak bengis
sekali, sedangkan tubuhnya segera dimajukan, dekati pula si nona.
Ie Kun lantas melompat, guna melindungi si Nona Bun, akan tetapi nona itu
menolak padanya seraya berkata: "Kau jangan ikut campur"
Heran pemuda ini, hingga ia melongo. Ia tidak tahu aturan kaum Kang Ouw, ia
pikir, dengan mengepung berdua, mereka pasti lekas memperoleh kemenangan.
Terpaksa ia berdiri mengawasi kawannya itu. Ia tidak gusar, hanya tersenyum.
Nona Bun sudah lantas menggeser tubuh, untuk mengambil kedudukan apa yang
dinamakan "Seng Mui,"
yaitu "pintu hidup," begitu lekas sudah memasang kuda-kuda lantas ia menolak ke
dada musuhnya. Dengan satu gerakan "Naga menyembunyikan bayangan." Sim Ie telah memutar tubuh,
untuk berkelit ke samping. Dari situ, terus membalas menyerang. Kalau si nona
menggunakan sebelah tangan, ia dengan dua-duanya.
Tak kecewa Bun Hong menjadi muridnya Sam Im Sin Nie, si biksuni berilmu. Begitu
serangannya gagal, begitu ia menggeser tubuh. Dengan begitu, sekalian saja ia
membebaskan diri dari serangan balasan lawannya. Di lain pihak, ia meneruskan
menyerang pula. Ia menotok ke jalan darah Kie Bun dari Cit Thee Piauw palsu,
sedangkan dengan tangan kirinya, ia membarengi meninju dengan pukulan "Han Sin
Tiam Ciang," atau "Han Sin mengatur panglima."
Sim Ie palsu kagum melihat kesebatan nona itu walaupun ia tidak sangka bahwa
murid masih hijau dari Sam Im Sin Nie sudah sedemikian liehay. Tentu saja, ia
tidak mau berdiam diri. Kembali ia membebaskan dirinya dan ancaman bahaya itu
lalu tidak kurang gesitnya, ia membalas menotok dengan dua jarinya, telunjuk dan
tengah. Bun Hon berlaku awas dan sebat. Tidak mau ia membiarkan dirinya dijadikan korban
lagi. Ia lantas berkelit. Ia juga tidak menduga lawan dapat meloloskan diri.
Karena ini, ia menjadi sengit. Sambil menghunus sepasang pedang di punggungnya,
ia berseru "Pek Kut Sin Kun, hati-hatilah kau!"
Sim Ie tetiron menjadi terkejut pula, apapula waktu ia melirik ke arah Ie Kun,
ia melihat anak muda itu memasang kuda-kuda Thian Soan Seng Wie, atau "Langit
memutar kedudukan bintang." Kedua tangannya berada di depan dada.
Kata ia di dalam hatinya: "Apakah si setan tua masih belum mampus?"
Karena ini, lekas-lekas ia menyiapkan piauw di tangannya, siap untuk menggunai
itu. Lagi sekali ia melirik si anak muda atau ia kaget tak terkira. Sekarang ini
di tangan pemuda itu juga tampak Cit Chee piauw. "Piauw Tujuh Bintang"
berkeredepan. Oe Ie Kun tertawa dingin, kata ia sabar: "Pek Kut Sin Kun, aku yang rendah ingin
belajar kenal pula dengan Cit Chee Pauw kau itu!"
Pek Kut Sin Kun tertawa nyaring. Hanya itulah tertawa yang berirama kedukaan dan
menyesal. Sekarang tahulah ia bahwa muda mudi ini telah ketahui rahasianya.
Sebab berulang-ulang orang menyebutnya "Pek Kut Sin Kun"
nama yang ia justeru sembunyikan. Senjata rahasia di tangan si anak muda juga
membikin nyalinya menjadi ciut.
Dapatkah ia melayani senjata yang diwariskan langsung oleh si "setan tua yang
belum mampus" itu" Tentu sekali, tidak dapat ia menyia-nyiakan ketika lagi, maka
ia lantas menyerang si anak muda. Ia menggunai kegesitan yang istimewa. Hingga
tubuhnya nampak bagaikan bayangan berkelebatan.
Ie Kun melihat ia seperti dikurung banyak musuh, ia tidak mau berayal hingga
nanti menjadi korban, maka lantas ia menolak dengan jurus. ''Ciu Po Thian Keng.
"Bata pecah langit, kaget" salah satu dari ketiga jurus "Thian Touw Sam Sie."
Ilmu kelincahan Kut Sin Kun itu ialah yang dinamakan
"Hun Kong Kwie Eng Sin Hoat, "atau "Bayang hantu memecah sinar terang" Sampai
sebegitu jauh, belum pernah ia gunakan itu, kalau sekarang ia gunakan juga,
adalah pengharapannya supaya segera ia bisa merobohkan musuhnya.
Maka lagi lagi ia menjadi kaget dan heran. Tipu silatnya yang liehay ini tetap
tidak memberi hasil. Si anak muda dapat menolaknya, hingga ia tidak sanggup
merapatkan diri. Bahkan sebaliknya. tangannya kena tersabar hingga terluka.
Ketika itu ia lagi menjambak dengan "Pek Kut Jiauw, "cengkeraman Tulang Putih",
ia menjerit keras, tajam dan nyaring, lantas tubuhnya mencelat mundur untuk
berlari ke tepi laut, hingga di lain saat, ia sudah berlayar dengan perahunya!
"Setan alas!" seru Ie Kun dengan menyesal. "Dia sungguh sangat gesit!"
Muda mudi ini melongo memandang ke laut, melihat orang berlayar pergi. Di muka
air di pesisir itu masih ada dua perahu kecil lainnya tetapi kedua perahu itu
sudah karam badannya lagi selulup timbul dibuat main sang gelombang. Teranglah
itu hasil perbuatannya Pek Kut Sin Kun, yang sengaja menenggelamkannya, supaya
mereka berdua tidak dapat berlalu dari pulau itu.
"Tak dapat kita pulang, "kata Bun Hong masgul
"Terpaksa kita mesti terkurung di pulau ini...."
III. Si Pengemis Tua Po Kiat Twie Hong Kay.
Di dalam pendopo besar dari sebuah kuil tua yang berdiri di sebidang tanah
belukar di luar kota tampak duduk berkumpulnya delapan orang tua, sesuatu dari
mereka itu memperlihatkan wajah yang sangat pendiam, sebab semuanya duduk
bercekal tanpa berkutik tanpa bersuara, hingga, mereka mirip patung patung
saja .... Pendopo itu diterangi empat buah lilin besar yang dipasang di atas meja. Apinya
lilin saban saban mengasi dengar suara meretek. Sinar api mencapai setiap pojok
pendopo itu. Hari pun sudah larut malam, sang angin saban saban menghembus masuk ke dalam
pendopo, membikin api lilin itu bergoyang-goyang hampir mau padam.
Hanya tidak lama pula maka wajahnya orang orang tua itu terlihat berobah.
Sekarang mereka bersenyum menyeringai. Lalu satu di antaranya, seorang yang
berdandan sebagai saykong, membuka kedua matanya menyapu ke sekitar pendopo.
Segera terdengar suaranya:
"Sekarang ini sudah tengah malam, kenapa itu bocah masih belum tiba juga?"
Atas kata-kata itu, maka seorang lainnya, yang bertubuh kurus-kering, berkata;
"Eh, imam tua Thian Tie hendak aku tanya, sebenarnya bocah itu adik
seperguruanmu atau muridmu?"
Saykong itu, ialah Thian Tie Toojin, tertawa dingin.
Sama sekali ia tidak memberikan penyahutan. Hanya selang sedetik. mendadak
teriihat tubuhnya mencelat tinggi pindah ke depan sin-kam dibelakang meja. Ia
lompat dengan kedua kakinya masih tetap seperti duduk bersila. Setibanya di atas
meja tiba-tiba ia menggeraki kedua tangnnya, menghajar kotak tempat memuja
patung yang dimulaiakan didalam pendopo itu hingga sinkam itu pecah hancur
lebur. Hampir berbareng dengan penyerangan diluar dugaan itu, satu tubuh yang kate
sekali nampak lompat kerkelebat sambil terdengar tertawanya yang tajam dan
dingin dingin. Menyusul itu, semua orang lainya lantas bergerak juga masing-masing dengan sikap
menghadang, memegat jalan.
Seturunnya tubuh orang itu ke lantai maka lantas orang melihat dengan tegas
sekali. Dialah Bu Beng Tongcu, si Bocah Tak Bernama, yang cebol, yang sebaliknya
berkepala gede luar biasa. Dengan menggoyang-goyang kepala besarnya itu, dia
mengawasi orang banyak sambil dia bersenyum tawar!
"Jangan merasa heran atau mempersalahkan siapa juga"
kata si cebol ini. "Dengan meminjam angin, sedari siang-siang aku sudah masuk ke
dalam ini pendopo besar tanpa kamu melihat atau mengetahui!"
Semua orang itu terkejut, mereka saling mengawasi, muka mereka pucat. Semua
bungkam. Si cebol lantas tertawa terkekeh. Dengan mengangkat tangannya, dia menunjuk
kepada tujuh orang tua, yang semua mengenakan baju putih. Dengan lagak jenaka,
dia menanya: "Tuan-tuan tentunya ialah Hong-touw Cit Loo, bukan?"
Sebelum tujuh orang itu menjawab Thian Tie sudah menyela: "Kau menjanjikan Hong-
touw Cit Loo datang kemari, mau apakah kau?"
Si cebol tidak menjawab, dia hanya merogoh ke dalam sakunya. Hanya sedetik, dia
sudah menarik keluar sebuah benda berupa bintang segi lima yang warnanya ungu
atau merah tua, sembari menunjukan itu, ia berkata: "Kau lihatlah ini!"
"Cit-chee-piauw!" semua orang berseru heran.
Si cebol berkata pula: "Cit-Chee Piauw Sim Ie telah menyiarkan berita bahwa Cay
Hoan Giok Tiap yang lenyap pada tujuh belas tahun yang lampau berada di
tempatnya Kouw Siu Taysu asal dari India, bahwa piauw ini ialah tanda buktinya.


Rahasia Gelang Pusaka Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Itulah urusan yang menjadi sebab kenapa
aku mengundang kepada Hong-touw Cit Loo! Siapa sangka bahwa kau pun datang ke
sini!" Dari lagu suaranya, dari gerak-geriknya, nyata sekali si cebol ini tidak melihat
mata pada Thian Tie Tojin.
Saykong itu jadi sangat mendongkol. "Eh, apakah gurumu tidak mengajarkan kau
tata sopan-santun?" tegurnya, suaranya dalam.
Si cebol lantas menjawab, tajam: "Oh, suheng jangan kau gusar! Nah, di sini
adikmu memberi hormat padamu!" Ia benar-benar membungkuk memberi hormatnya,
hingga tubuhnya tampak menjadi bundar bulat.
Thian Tie melengos, tak sudi dia melihat lagak orang.
Diantara tujuh orang tua itu, yang disebut Hong-touw Cit Loo. Tujuh orang tua
dari Neraka, seorang melompat bangun.
"Lao Toa, kita turut ambil bagian atau tidak?" dia bertanya.
Orang tua yang dipanggil Lao Toa itu (orang yang tertua) nampak berpikir keras.
Tapi hanya sejenak. dia lantas berkata dingin: "Cit Chee Piauw itu makhluk apa"
Kenapa dia berani memakai wakil, dia bukannya datang sendiri untuk bicara dengan
kita" Kalau begitu baiklah, boleh kita tak usah turut mengambil bagian...."
Baru berhenti suara orarg tua ini, tapi mendadak romannya meringis, tubuhnya
bergetar, terus dia roboh terlentang!
"Celaka!" berseru enam orang tua lainnya. Baru mereka berseru begitu, lantas
mereka juga menyeringai, muka mereka menjadi pucat, lantas mereka turut roboh
bersama robohnya juga celentang. Maka di dalam sekejap itu, di situ
nampak rebah meringkuk tubuh tujuh orang tua berpakaian putih itu hingga di
antara sinar api lilin, nampak mereka menyeramkan. Mereka disebut Hong-touw Cit
Loo maka pemandangan di dalam pendopo ini jadi mirip dengan neraka.
Si cebol dan Thian Tie menjadi kaget sekali, dengan mata beringas, mereka
melihat ke sekitarnya. Nyata bahwa merekapun jeri...
Malam tetap sunyi, kecuali suara daun daun tertiup angin. Tak ada orang, tak
bayangan manusia di situ....
Heran bahwa Hong-touw Cit Loo terbinasa secara konyol itu.....
Hanya sebentar kemudian, hati Thian Tie sedikit lega.
Rupanya dapat menerka sesuatu. Dengan cepat ia mengajak si cebol berlalu dari
pendopo itu. Sekeluarnya dua orang itu, maka dari atas penglari satu orang berlompat turun
Dia nampak bagaikan bayangan abu abu. Tiba di lantai, dia memperdengarkan suara
tajam ysng terdengarnya menyeramkan. Dia merogoh ke dalam sakunya, untuk
mengeluarkan sebatang leng cian dari tulang putih yang terus dia tancapkan
ditanah. Habis berbuat begitu, dia tertawa puas, baru dia mau mengangkat kaki,
tiba-tiba dari suatu pojok pendopo terdengar tertawa ejekan.
"Siapa?" dia membentak sambil melompat bagaikan kilat dia memutar tubuhnya.
Menyusul tegurannya itu, tubuhnya melompat pesat ke pojok itu,
Tengah dia melompat, dia mendengar pula suara tertawa serupa, yang datang dari
belakangnya! Suara tertawa itu lebih tajam, sangat menusuk perasaan hati!
Dia memutar pula tubuhnya, untuk melihat. Kali ini dia melihat sesuatu.
Itulah bayangan orang, yang berkelebatan pesat sekali, hingga tampaknya seperti
bayangan dari beberapa orang.
Hanya sedetik, lantas bayangan itu lenyap.
"Bagus! Hun Kong Kwie Eng!" mendadak terdengar suara nyaring, suaranya seorang
tua, yang datangnya dari satu pojok lain dari pendopo itu.
Hanya sekarang, suara itu disusul dengan munculnya sesorang yang berbaju abu-
abu, yang bertindak ke tengah pendopo.
Di sini dia lantas tertawa dingin dan berkata dengan keras: "Eh, pengemis tua
bangka, apakah kau masih tidak mau menggelinding keluar?" Berkata begitu dia
meluncurkan sebelah tangannya ke arah tempat yang gelap itu. Akan tetapi, tidak
terdengar suara apa apa. Tentu saja dia menjadi heran.
Hanya, tengah dia heran itu, maka di sebelah belakangnya muncul seorang pengemis
tua dengan bajunya banyak tambalannya yang tangannya memegang sebatang tongkat
bambu hijau, yang jalannya berlenggang. Pengemis ini lantas menghadap si orang
tua baju abu-abu sembari tertawa. ia berkata, "Eh eh! Pek Kut Sin Kun, aku si
pengemis tua, sudah tujuh atau delapan tahun tak pernah bertemu denganmu, hingga
aku mengira kau sudah mengundurkan diri, untuk meloloskan kantung kulitmu yang
bau itu, buat menjadi Pek Kut Sin Kun yang tulen!"
Itu adalah ejekan, sebab "Pek Kut Sin Kun yang tulen"
berarti "tulang-tulang putih" atau tegasnya orang sudah mati!
Pek Kut Sin Kun tertawa menyeringai, tertawanya itu seram. Dia juga membalas
mengejek. Katanya: "Po Kiak Twie Hong Kay! Kau tentu sudah bosan merasa bosan
hidup ya!" Pengemis itu, yang sebutannya itu berarti "pengemis pengejar angin berkaki
pincang." tertawa lebar, katanya:
"Kau tentunya tidak senang hati sebab aku mengganggu usahamu yang baik bukan"
Hahahahaha! Tapi aku tidak jeri terhadap Pek kut pian-mu itu!"
"Pek kut pian," atau "panah tulang putih," ialah senjatanya Pek Kut Sin Kun.
Orang tua baju abu-abu itu mercoba berlaku tenang. Ia tahu ia lagi menghadapi
salah seorang pengemis yang paling tidak dapat dibuat permainan. Kata dia sabar:
"Aku Pek Kut Sin Kun, memang biasanya aku berbuat begini terhadap orang yang
melanggar janji! Jikalau kau tidak puas, pengemis tua baik kau tetapkan suatu
tanggal di waktu mana dapat kita berdua main-main!"
Po-Kiat Twie Hong Kay tertawa. "Malam ini tujuh jiwa itu, semua jiwanya orang-
orang kamu Jalan Hitam," kata ia, "tidak ada minatku si pengemis tua mencampur
tahu urusan kamu ini, tetapi hendak aku beritahu kepadamu, berhati-hatilah kau
dengan sepak terjangmu, lain kali janganlah kau sampai bertemu pula denganku!
Nah, sekarang kau pergilah!"
Biarlah dia telah mencoba menyabarkan diri, tidak dapat Pek Kut Sin-Kun
menguasai pula dirinya. Malu dia diusir secara demikian. Maka dia lantas tertawa
dingin "eh, pengemis busuk, apakah kau sangka aku si orang she Kie takut
padamu....?" Selagi kata kata yang terakhir itu mendengung, dia lantas meluncurkan kedua
belah tangannya menyerang dengan pukulan udara kosong "Kek San Pa Gu" atau
"Memukul lembu di antara gunung." Untuk itu dia telah mengerahkan tenaga dalam
Hian-im Ciang lek. Meski begitu, inilah cuma serangan percobaan saja, untuk
menguji pihak lawan. Si pengemis tua berkelit, lantas ia menancap tongkatnya di tanah. Kata ia
dingin: "Buat melayani kau, tak usah aku memakai tongkatku" sebagai gantinya
itu, ia merogoh ke dalam sakunya guna mengeluarkan sepotong tulang ayam.
Pek Kut Sin-Kun menyerang terus, kedua tangannya diajukan.
Si pengemis tua tidak berkelit atau menangkis sebaliknya ia mengajukan tangannya
yang memegang tulang ayam itu.
Ia pakai tulang itu untuk menyambuti kedua tangan penyerangnya.
Menampak demikian, Pek Kut Sin-Kun heran. Maka ia lantas pikir, tentulah nama
besar si pengemis bukan nama melulu. Bagaimana tulang ayam mau dipakai menangkis
serangan! karena ini, sendirinya ia menarik pulang kedua tangannya, ia
membatalkan serangannya itu. Lalu sebagai gantinya, ia juga lantas mengeluarkan
senjatanya yang membuat namanya termashur. Itulah Pek-kut-cee, atau garpu tulang
putih. Melihat senjata lawan, si pengemis tertawa. "Bagus!
Bagus!" teriaknya, gembira. "Nah, biarkanlah tulang putihmu dan tulang ayamku
bertempur satu pada lain!"
Tanpa berkata-kata lagi, Pek Kut Sin-Kun menyerang dan si pengemis menyambutnya.
Hanya, ketika kedua tulang hampir bentrok, mendadak Twie Kong Hong Kay
menggunakan gerakan huruf "Coan" berputar, untuk mengegos tulangnya, hingga
tulang lawan kena ketarik ke samping lawannya terpaksa mundur satu tindak. Kalau
tidak lawan itu dapat terkena tulang ayam yang meluncur terus amat hebatnya.
Pek Kut Sin Kun terperanjat. Ia telah membuktikan liehaynya si pengemis dari
Kanglam ini. Tapi ia tidak mau menyerah dengan begitu saja, berbareng menjerit
keras dan seram, ia maju merangsak tulangnya menikam ke arah dada! Ia mengancam
tiga jalan darah hian kie, kie-bun dan ciang bun. Menyaksikan demikian. Twie
Hong Kay terperanjat juga. Ia pun membuktikan lihaynya si Malaikat Tulang Putih,
yang namanya sangat kesohor dan ditakuti di dalam dunia kangouw.
"Bagus!" ia berseru. Ia lantas menggerakkan tangan kanannya, untuk menolak. Ia
mengerahkan seluruh tenaganya pada tulang ayamnya, buat menepuk tulang putih
lawannya itu. Bentrokan kedua tulang sudah lantas terjadi, suaranyapun terdengar keras.
Sebagai kesudahannya, tulang ayam patah, patahannya hancur, sedang sisanya, di
tangan si pengemis tak sepanjang satu dim lagi!
Berbareng dengan itu, si pengemis ngasi dengar suara bersenandung, sisa
tulangnya ditarik pulang, dibawa kedepan dadanya dia sendiri tegak dan dingin
sikapnya bagaikan es. Pek Kut Sin Kun tertawa dingin, puas tertawanya. Dia telah menang diatas angin.
Karena itu, dia tidak mau berhenti sampai disitu saja. Dia lantas menyerang
pula. Pek kut-cee meluncur ke dada lawan, dari atas diturunkan ke bawah, untuk menotok
pusar! Twie Hong Kay menginsafi ancaman bencana. Dengan sisa tulangnya itu, tidak dapat
ia menangkis pula. Ia tidak takut, bahkan ia sudah lantas bersiap. Ia cuma
miring sedikit lantas ia berdiri tegak pula dengan kuda kuda Pat kwa atau garis
delapan. Karena tak mau ia berkelit. Ia membawa sikap tak menghiraukan bahaya.
Pek Kut Sin Kun heran melihat sikap orang itu, ia jadi bersangsi. Biar
bagaimana, ia memang tidak berani memandang ringan pada pengemis, kuatir nanti
kena terjebak. Kesangsiannya itu justeru yang dikehendaki lawannya.
Selagi orang bersangsi itu, Twie Hong Kay mendahului turun tangan. Ia mengajukan
kaki kirinya setengah tindak.
Menyusul itu, dia menyerang dengan tulang ayamnya yang sudah menjadi pendek itu.
Tapi juga tulang ayamnya sipengemis tidak utuh, tulang ayam itu hancur luluh dan
tubuh pemiliknya bergoyang-goyang. karena itu, ia meneruskan berlompat mundur
ketongkat bambunya, yang terus ia sambar dan cabut.
Pek Kut Sin Kun tertawa dingin. "Aku tidak percaya kau tidak bakal menggunakan
tongkatmu!" Po Kian Twie Hong kay adalah orang berkenamaan, malu ia mendengar ejekan itu
mukanya menjadi merah, akan tetapi ia pula seorang yang berpengalaman ia tidak
menjadi gusar, sebaliknya ia tertawa getir.
"Tulang ayamku tulang sudah lama sekali!" katanya.
"Itu pula tulangnya seekor ayam yang sudah sangat tua, jadi dia tidak sanggup
melawan tulangmu itu yang ada tulang biruang!"
Berkata begitu, ia terus memutar tongkatnya, hingga anginnya menjadi berdeburan.
Melihat tongkat terputar itu,
Pek Kut Sin Kun terkejut. Segera dia menginsafi kelihatan ilmu tongkat si
pengemis. Karena ini, tak mau dia membuang tempo lagi, dengan mendadak dia maju,
untuk menerjang. Dia tetap menggunakan gegamannya yang berupa tulang itu.
Untuk menghajar muka lawan, si pengemis menyambut dengan tipu silat "Cie Thian
Ta Jit" atau "Menuding langit, menyerang matahari." Atas itu lawannya itu
berlompat mundur sebab dia tidak berani menangkis.
Dengan satu seruan panjang, Twie Hong Kay berlompat menyusul musuh.
Kembali Pek Kut Sin Kun menjadi kaget. Dia tidak menyangka orang dapat
menyusulnya demikian cepat.
Tidak ada lain julan, dia berkelit dengan tipu silat "Hun Kong Kwie Eng".
Setelah itu, terus-menerus dia bagaikan berkelebatan. Satu kali, dia berada di
belakang lawan, dia menyerang dengan "Sin Liong Pa Bwee" atau "Naga sakti
menggoyang ekor." "Bagus!" berseru si pengemis sambil ia berkelit dengan mendadak, sedang
tongkatnya ditarik pulang, buat diterus menyerang pula. Kali ini ia menggunakan
tipu silat, "Merantai naga "
Lagi lagi Pek Kut Sin Kun terkejut. Kembalii dengan gerakan "Hun Kong Kwie Eng,"
dia berkelit membebaskan dirinya. Selagi tangan kanannya menyingkirkan tulangnya
dari bentrokan, dengan tangan kirinya, dia melakukan penyerangan. Dia menimpuk
dengan Pek Kut Sin cian, panahnya yang liehay.
Twie Hong Kay tahu, panah itu sama liehaynya dengan Cit-chee-piauw, ia tidak mau
menangkis, ia berkelit. Saking kesusu, ia sampai terhuyung tujuh atau delapan
tindak. Setelah itu, ia berdiri tegak mengawasi musuh, untuk siap
sedia. Sikapnya ini diambil karena ia tahu, menurut kebiasaan, kalau Pek Kut Sin
Kun menyerang dengan panahnya itu lebih dahulu dia menyerang dengan panah
bersuara, sebagai isyarat penyerangannya, sedang penyerangannya yang benar-benar
akan menyusul tanpa suara apa-apa
Tengah orang bersiap itu, Pek Kut Sin Kun sudah bersedia juga. Dia memasang
kuda-kuda dengan kedudukan Thian-kong Pak-tauw atau Bintang Utara, terus tangan
kanannya diayun, meluncurkan tiga panah keramatnya itu.
Mulanya tiga batang jemparing itu menjadi satu.
Sesudah meluncur, lantas terpisah menjadi tiga. Setelah itu, sama sebatnya dia
meluncurkan sembilan jemparing lainnya, yang mengarah ke perbagai jurusan: ke
tengah, ke atas dan ke bawah, ke kiri dan kanan!
Mellhat serangan maut itu si pengemis berteriak.
Berbareng dengan itu, ia juga berkelit. Hanya sambil berkelit, ia kata nyaring:
"Celaka, aku si pengemis tua bakal pulang ke lain dunia! Hayo, siapa di antara
kamu yang suka membantu aku?"
Hampir berbareng dengan kaia-kata bergurau itu maka semua dua belas batang anak
panah sudah nancap di pilar, karena si pengemis dengan lincah sekali telah
mengelit tubuhnya!. Menyaksikan demikian, Pek Kut Sin Kun tertawa tawar, sedang tangannya kembali
sudah menggenggam anak panahnya. Hanya, waktu tangan itu ditarik keluar, ada
sebuah benda yang jatuh ke tanah.
Twie Hong Kay dapat melihat benda itu, mendadak dia berseru: "Bagus! Dua rupa
senjata yang lihay bertemu menjadi satu!" Sebab itulah Piauw beroman Ngo-kak
chee, bintang, segi lima!
Justeru itu di dalam pendopo itu terdengar tertawa ejekan yang membangkitkan
bulu roma, disusul dengan kata kata yang tajam ini "Kie Bun Peng, kau bayar
pulanglah kedua kakiku!"'
Mendadak mukanya Pek Kut Sin Kun menjadi pucat sekali.
"Oh, apakah dia makan sumpahnya?" dia kata mana ketiga orang puteranya Yo Thian
Siauw lantas dalam hatinya.
Dia lantas jadi bergelisah sekali. Pikirnya pula: "Mana dapat aku sekaligus
melayani dua musuh liehay?"
Karena ini dengan secara kilat, jubahnya melesat, lenyap dari hadapan Twie Hong
Kay! Melihat orang kabur, Twie Hong Kay tertawa bergelak.
Ia nampak sangat puas. Lantas ia menoleh ke sin-kam, untuk berkata: "Hai, setan
cilik, masih kau tidak mau muncul?".
Dari belakang sinkam itu terlihat satu cahaya merah berkelebat, segera tampak
seorang anak muda, yang bukan lain dari pada Ie Kun, yang terkurung di pulau Cit
Chee to! oooOOOooo Ie Kun dan Bun Hong mesti kembali ke gua dengan pikiran kacau. Cit Chee Piauw
tetiron telah berlayar, pergi dengan perahunya dan di situ tidak ada lagi
kendaraan air lainnya yang masih utuh. Cit Chee Piauw tulen heran melihat
kembalinya muda-mudi itu.
"Bagaimana, eh?" tanyanya. "Apakah kamu tidak mau pergi dari pulau ini"''
Ie Kun dengan paras berduka memberitahukan bahwa mereka tidak dapat pergi
meninggalkan pulau itu. Ia menuturkan sebabnya, ialah menyingkirnya si manusia
jahat. Mendengar demikian, Cit Chee Piauw berdiam Tapi hanya sejenak, lantas dia
tertawa nyaring. Lama tertawanya itu, sampai matanya mengeluarkan air. Hanya
setelah berhenti, lantas dia kepada Nona Bun "Dahulu hari ada perselisihan kecil
di antara gurumu, Sam Im Sin Nie dan aku, karena itu mungkin ia tidak sudi
mengijinkan kau mempelajari sesuatu dari aku. Maka itu, sekarang, hendak aku
mengatur begini. Di dalam tempo tiga bulan, kau pergi tinggal diluar, didalam
gubuk. Selama itu, Oe Ie Kun berdiam bersama aku didalam gua ini. Setelah Ang
Hun Pek-Kut Kie Siu akan datang pula kemari. Maka hari itu, baru kau dapat masuk
kemari untuk memanggil Ie Kun keluar. Pula, sampai pada hari itu, ada banyak
soal soal yang hendak aku beritahukan padamu!"'
Begitu ia berkata, begitu si orang tua menolak dengan tangannya memaksa Bun Hong
keluar. Ia tidak mengasi ketika untuk si nona menanya apa apa, ia tidak
menghiraukan orang merasa heran.
Tempo tiga bulan bukan tempo yang lama untuk Ie Kun, bahkan itu seperti lewat
dalam sekejap. Didalam tempo tiga bulan itu, kepandaiannya maju pesat sekali,
sampaipun Jit Piauw Sim Ie sendiri menjadi heran. Inilah terutama berkat pokok
dasarnya sudah sempurna, otaknya cerdas, belajarnya tekun.
Pada suatu hari, Sim Ie menanya: "Siapakah gurumu yang mengajarkan kau teori
silat begini aneh?"

Rahasia Gelang Pusaka Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ialah Kouw Siu Taysu" jawab Ie Kun terus terang
Dengan suara tidak tegas, Sim Ie menyebut berulang-ulang nama pendeta itu. Ia
sendiri tidak ingat nama orang.
Habis itu, ia tidak menanyakan lagi.
Ie Kun heran tetapi ia tidak perhatikan itu Kemudian datanglah hari habisnya
tempo tiga bulan. Dari luar gua terdengar teriakannya Nona Bun: "Ada perahu datang!"
Mendengar itu, Sim Ie tertawa. Ia kata pada Ie Kun:
"Hari ini hari habisnya jodoh kita! Dengan pokok dasarmu ini, setelah sepuluh
tahun, kau pasti akan melebihkan siapa juga. Didalam tempo sepuluh tahun itu,
kau bawalah kepalanya Pek Kut Sin Kun kemari untuk menemui aku dengan begitu
hitung-hitung kau telah membalas budiku yang telah mengajari kau selama tiga
bulan ini.'' Belum Ie Kun menjawab atau ia sudah ditolak guru yang aneh itu hingga ia mental
keluar gua. Ketika itu perahu ialah sebuah perahu layar yang disebutkan Bun Hong, sudah
menempel dengan tepian. Dari dalam perahu itu berlompat turun dua orang, dengan pakaian merah. Benar,
merekalah Ang-Hun Pek-Kut Kie Siu serta si nona yang dipanggil anak Cui, ialah
Cui Jie. "Mana dia Cit-chee piauw Sim Ie"'' tanya si nyonya kapan ia melihat muda mudi
itu. Ia mengawasi karena ia heran orang masih juga belum berlalu dari pulau itu.
Bun Hong melirik, mengedipkan mata kepada Ie Kun.
maksudnya menganjurkan si pemuda jangan melayani nyonya itu. Ia agaknya tidak
puas terhadap pertanyaan orang.
Ie Kun tidak memikir sebagai si nona, ditanya nyonya itu. ia agak likat. Ia
bersenyum kekanak-kanakan.
Paras Kie Siu sebaliknya berubah. Dia agak tidak puas.
"Aku tanya kau! kau dengar tidak?" tanyanya dingin.
Ie Kun hendak menjawab atau Bun Hong mendahului dia: "Mana kami tahu dia berada
di mana" Apakah kau tidak dapat mencari sendiri padanya?"
Parasnya Kie Siu menjadi padam.
Tepat disaat itu, si nona baju merah lompat maju, untuk menghadang di antara
kedua pihak sambil kepada si nyonya, ia berkata: "Sudahlah, bibi!" Ia pun
menarik tangan orang. untuk diajak pergi.
Agaknya Kie Siu sangat menyayangi nona itu. Dengan suara mendongkol, sambil
menatap bengis, ia kata pada Nona Bun berdua: "Buat sementara aku tunda
perhitungan ini! Hati-hatilah jikalau lain kali kita bertemu pula!"
Selagi ancaman si nyonya mendengung, dari belakang batu karang di sisi gunung
terdengar satu suara tertawa dalam yang di susul dengan muncul seorang, yaitu
seorang pengemis yang pakaiannya penuh tambalan.
"Hai, pengemis bau, bagaimana kau dapat datang kemari?" Kie Siu menegur.
Pengemis itu menggaruk garuk ke punggungnya. "Jikalau aku tidak membonceng
perahumu, mana dapat aku datang kemari?" dia balik menanya. "Kau tahu, maksud
sebenarnya dari kedatanganku kemari pertama-tama hendak aku menjenguk anak yang
tidak bersemangat dari sahabatku yang telah meninggal dunia, untuk mengetahui
bagaimana keadaannya, dan kedua ialah guna menonton pertempuranmu dengan Cit
Chee Piauw! Siapa tahu, aku tidak dapat menemukan dia"
Ie Kun heran, orang menyebut, "anak Sahabat yang telah meninggal dunia " segera
ia bertindak menghampirkan.
"Locianpwe, apakah locianpwe maksudkan aku?" ia tanya.
Pengemis itu dongak, untuk memandang langit. Ia tidak menghiraukan pertanyaan
orang. Sikapnya itu, membikin si anak muda jengah sendirinya.
Menampak demikian, Bun Hong menanya si pengemis, suaranya nyaring: "Locianpwe,
bukankah locianpwe yang orang sebut Twie Hong Kay" Tecu ialah Bun Hong. Harap
locianpwe terima hormatku!" lantas ia menjura memberi hormatnya.
Pengemis itu menggoyang tangan tubuhnya digeser minggir. "Jangan, jangan!"
katanya. "Aku si tukang minta minta masih ingin hidup lagi beberapa puluh tahun,
jikalau kau memberi hormat padaku dan lalu gurumu mendapat tahu, aku kuatir
nanti kedua kakiku ini kena dikeja kutung!"
Kata-kata itu membuat orang bersenyum.
"Eh, kau bukankah she Oe?" kemudian si pengemis tanya si anak muda.
"Itulah benar." sahut Ie Kun normal.
"Jikalau begitu, tidak salah lagi!" kata pula si pengemis.
"Baru baru ini ketika aku bertemu dengan Kouw Siu, dia ada menyebut-nyebut
tentang kau, bahwa katanya kau telah ke kota. Lantas aku diminta melihat padamu.
Sia-sia saja aku cari kau di dalam kota, sampai akhirnya aku mendapat keterangan
bahwa kau telah dibawa pergi oleh Cit Chee Piauw...."
Habis berkata begitu, ia menoleh kepada Bun Hong, untuk menambahkan: "Kau
belajar silat belum lulus kau sudah ngelecer kemana kau suka! kau tahu, gurumu
menghendaki kau pulang, supaya kau bisa duduk tepekur menghadapi tembok tiga
tiga tahun!" terus dia berpaling kepada Kie Siu untuk berkata: "Dapatkah kau
mengijinkan aku turut naik pula perahumu" hendak aku mengajak dua bocah ini!"
"Asal mereka menyebut kemana perginya Cit Chee Piauw Sim Ie, dapat kamu turut
menumpang perahuku!"
sahut si nyonya tawar. Ie Kun tidak tahu orang mau cari Cit Piauw yang-mana, yang tulen atau yang
palsu, ia tanya: "Cianpwe mau cari Cit Chee Piauw yang mana?"
Pertanyaan ini membikin melengak pada nyonya itu dan kawannya juga si pengemis.
"He, apakah Cit Chee Piauw ada yang tulen dan yang palsu?" tanya pengemis itu.
Ie Kun menjawab polos: "Orang yang barusan bertempur dengan cianpwe, dialah Cit
Chee Piauw yang palsu. Sebenarnya dia adalah Pek Kut Sin Kun. Cit Chee Piauw Sim Ie yang tulen sudah
sejak dua puluh tahun yang lalu tidak pernah muncul di dalam dunia Kangouw!".
Kie Siu rupanya tidak percaya keterangan ini "Eh, anak bau, jangan kau
sembarangan bicara" tegurnya.
Diperlakukan demikian macam Ie Kun menjadi tidak senang. Ia jujur, maka ia
merasa tersinggung. "Jikalau cianpwee tidak percaya, sudahlah!" katanya. "Aku
yang rendah pun tidak membutuhkan perahu cianpwee!".
Ang Hun Pek Kut tertawa tawar. "Aku Kie Siu kapannya aku pernah menghilangkan
kepercayaanku!" kata dia
"Kalau kau tidak mau pulang dengan naik perahuku, aku justeru hendak memaksamu!"
Dia terus menatap, dia mengulangi pertanyaannya: "Kemana perginya Pek Kut Sin Kun?"
"Dia sudah pergi dari sini!" Bun Hong mewakilkan sipemuda menjawab, suaranya pun
tawar. Parasnya si nyonya menjadi muram, sepasang alisnya terbangun, Dia lantas menoleh
kepada si pengemis, ialah Po Kiak Twie long Kay untuk berkata: "Mari kita
berangkat!". 5. Rahasia pedang emas Beng To, di pesisir sudah dibangun banyak gubuk.
Tatkala perahu sudah kembali ke pulau Cong atau terop yang satu menyambung pada
yang lain, tak putusnya, Didalam setiap gubuk penuh dengan orang yang masing-
masing mengenai baju panjang warna hitam.
"Hari ini hari kuburnya Kim Kiam Kek Yo Thian Siauw"
kata Po Kiak Twie Hong Kay yang meneruskan kepada Bun Hong , si nona yang
mengenakan baju putih, "lekas kau pulang ke Ay Lauw San, jangan kau berkelana
pula dalam dunia kangouw".
Begitu berkata, dia mengaja Oe Ie Kun lompat naik ke daratan. Dia melongok ke
dalam gubuk, untuk berkata:
"Aah, Kenapa orang orang Bu Lim di kolong langit pada datang kemari?"
Ie Kun tidak berkata apa-apa akan tetapi ia menaruh perhatiannya. Sejak di dalam
perahu, mengetahi tentang hal ikhwal ayahnya semasa si ayah hidup, ia telah kata
di dalam hatinya: "Kematian ayahku, Tiat Kiam Sienseng,
rupanya ada sangkut pautnya dengan satu rahasia besar kaum Bu Lim..."
Maka ingin ia mengetahui, atau membuka tabir rahasia itu. Itu tahu, untuk itu,
perlu ia mendekati para jago pelbagai partai. Ia tahu juga, mesti ia berlaku
sabar. Demikian, gembira ia menyaksikan berkumpulnya dengan banyak orang.
Beberapa pria yang mengenakan pakaian berkabung, jalan mundar mandir ke dan dari
gubuk yang satu kepada yang lain. Akan tetapi apa yang luar biasa, paras mereka
tidak menunjukkan yang bahwa mereka berdukacita....
"Aneh..." pikir Ie Kun. Ia pun ingin mengetahui, siapa sebenarnya Kim Kiam Kek
Yo Thian Siauw, si Ahli Pedang Emas. Akan tetapi waktu ia hendak tanya kawannya
si Pengemis selalu mengedipi menahan hatinya untuk terus membungkam.
Selagi dua orang ini bertindak ke sebuah gubuk, dari dalam situ lantas teriihat
tiga orang muncul dengan cepat, yang semua mengenakan pakaian berkabung. Hanva
mereka ini tak tampak kesedihannya. Mereka menekuk lutut di depan kedua
tetamunya itu. Setelah mengangguk satu kali, mereka lalu bangkit pula. Orang
yang satu terdengar berkata: "Aku tidak menyangka sekali yang locianpwe sudi
datang kemari, maka harap dimaafkan penyambutan kami yang tidak selayaknya...."
Begitu dia berkata, bersama dua yang lainnya, dia bertindak pergi.
Twie Hong Kay mengawasi ketiga orang itu pergi ke sebuah gubuk yang lain, batu
dia berkata pada Ie Kun. "Mari kita duduk di dalam terop, untuk mendengar-dengar atau melihat suasana."
Ie Kun menurut, ia bertindak mengikuti si pengemis.
Selekasnya mereka berada di dalam terop, banyak mata mengawasi mereka.
Twie Hong Kay terkenal di seluruh negara akan tetapi orang yang pernah melihat
wajahnya tidak banyak, maka orang merasa heran tempo mereka menyaksikan seorang
pemuda yang tampan berkawan seorang pengemis.
Twie Hong Kay tidak menghiraukan orang banyak itu dia hanya membisiki Ie Kun
"Orang orang yang hadir di sini, semua orang-orang Bu Lim yang kesohor dalam
dunia Kangouw, hanya apa yang aneh disini pun ada murid-muridnya berbagai
partai..." Habis berkata, dia diam, agaknya dia berpikir keras. Dia seperti tidak mengerti
apa yang dia lihat itu. Lewat sekian lama, kembali dia membisiki kawannya: "Ie
Kun, kau telah melihat sesuatu atau belum" Ia mengangkat kepalanya perlahan
lahan. Ie Kun menggeleng kepala, ia seperti tak mengerii apa-apa. Ketika ia hendak
membuka mulutnya, ia mendengar tindakan kaki perlahan di sebelah belakangnya. Ia
menoleh, maka ia melihat masuknya seorang pendeta dengan jubah warna abu abu,
yang tindakannya sengaja sedikit diperberat.
Pendeta itu beralis turun dan matanya dipejamkan, dengan kedua tangan
disedakapkan, dia nampak suci dan agung. Dia berjalan dengan perlahan.
Justeru itu Twie Hong Kay tertawa lebar dia mendahului menyapa pendeta itu: "Oh,
Bu Tim Siangjin, sudah lama kita tidak bertemu, apakah kau baik-baik saja?"
Pendeta yang dipanggil Bu Tim itu, merangkap kedua belah tangannya, ketika ia
menjawab suaranya perlahan.
katanya: "Sie-cu, sudah lama kau tak nampak dalam dunia Kangouw, tak tahu
pinceng senantiasa memikirkanmu...."
Perlahan suara itu tapi terdengarnya nyata dan tegas, hal mana membuktikan bahwa
si pengemis telah mahir tenaga dalamnya. habis berkata, dia memandang Ie Kun,
terus dia berkata: "Siauw siecu, mahir sekali latihan tenaga dalammu"
Twie Hong Kay mendahului si anak muda berkata:
"Anak muda ini she Oe!"
Buat sejenak, paras mukanya Bu Tim berobah, akan tetapi dengan cepat paras muka
itu kembali wajar. Dia terus berkata kepada si anak muda: "Bagus! Bagus.
Sebentar tengah malam kau pergi ke tepi sungai di mana kau menantikan aku" Terus
dia duduk dan memasang omong dengan si pengemis.
Kembali Ie Kun diliputi sebuah rahasia. Meskipun Yo Thian Siauw jago Bu Lim tak
selayaknya kematiannya dihadiri demikian banyak jago Bu Lim dengan Bu Tim
Siangjin ini tidak terkecuali. Pendeta ini seorang guru besar!
Berpikir demikian, kembali satu hal berkelebat dalam benak pikiran si anak muda
"Bukankah ini juga ada sangkut pautnya dengan suatu rahasia Bu Lim?"
Selagi berpikir itu, Ie Kun mendengar pembicaraan dari seorang imam yang
berjubah biru, hanya kata-katanya tidak jeias, tapi yang terdengar nyata cuma
dua kata-kata Kim kiam atau "pedang emas". Sampai disitu, tak dapat ia bersabar
pula. "Loocianpwe," tanyanya kepada Bu Tim, "Kim kiam Kek Yo Thian Siauw ini orang
macam apa?" Bu Tim Siangjin membuka kedua belah matanya, mengawasi sianak muda. "Yo Sie cu
ini didalam dunia kangouw ternama sebagai Beng Siang Kun," sahutnya sabar,
"hanya kali ini sepulangnya dia dari kwang-gwa, mendadak dia mendapat sakit yang
membuatnya tak dapat bangun pula karena wafatnya itu maka pelbagai partai telah
mengirim wakilnya masing-masing hadir kesini untuk mengutarakan belasungkawa
mereka, buat mengantarkan dia sampai ditempat bersemayamnya yang terakhir"
Pendeta ini seperti dapat menerka hati le Kun maka ia bicara jelas.
"Kau tentu mengerti kata-katanya Bu Tim Siangjin dari Lam Hay ini, bukan?" kata
Twie Hong Kay kepada kawannya. "Seorang anak kecil tidak dapat banyak mulut"
Ketika itu nampak Pek Kut Sin Kun lewat didepan terop.
Ie Kun heran maka ia mengawasi, terus ia berbangkit dan pergi keluar, untuk
melihat terlebih jauh, karena itu ia ketahui orang pergi ke tepi sungai untuk
naik perahu dan pergi. Ketika ia kembali ketempat duduknya, Bu Tim Siangjin
memandangnya dan kata sambil tertawa "Malam ini Pek kut Sin kun menjanjikan
orang pergi kegereja tua dibelakang Yo Kee Chung dipesisir depan sana"
Twie Hong Kay berdiam saja, tetapi ia menerka mesti ada sebabnya kenapa Bu Tim
Siangjin bicara demikian pada Ie Kun. Sianak muda juga berdiam. Ia hanya melirik
anak muda itu Tiba tiba terdengarlah satu suara nyaring: "Mulai bersembahyang!"
Atas itu berbangkitlah semua tetamu, semuanya menuju ke ruang upacara, hingga
ruang menjadi berjubalan.
Menyaksikan itu, Ie Kun kata didalam hatinya: "Mungkin akan segera ada
pertunjukan yang menarik hati...."
Nyata dugaannya itu keliru. Selama upacara berjalan, sampai magrib datang,
sampai tetamu mulai bubar, tidak ada terjadi apa juga. Hanyalah selang beberapa
saat lagi, tiba-tiba seorang toosu atau imam tua, yang mengenakan jubah hitam,
mendadak mengajukan diri melewati tiga orang, untuk sampai didepan jenazah
sambil dia berkata dengan suara dalam: "Minggir! Pinto hendak melilat lagi satu
kali wajahnya Saudara Yo!" Terus dia bertindak ke sisi peti mati!
Ketika orang yang berkabung memandang satu pada lain lantas yang satu berkata
kepada si toosu berjubah hitam itu:
"Tubuh ayah kami sudah dimasukan kedalam peti mati, petinya tidak dapat di buka
pula. Kami mohon tootiang suka memaafkan kami"
Imam itu mengawasi ketiga orang itu, matanya bersinar tajam. Ia mendekati untuk
melihat tegas setelah itu ia kembali kesisi peti mati yang teraling dengan
sehelai pek-wie yaitu tirai putih sambil mengawasi dengar suara yang tidak
nyata, ia mengulur tangannya kepada pek wie untuk ditarik
Ketiga hauwlam anak-anak yang berkabung itu kaget.
Lupa segala apa mereka berlompat untuk menubruk si imam sebaliknya mengibaskan
tangannya. Ia liehay sekali kibasannya membikin ketiga hauwlam terpelanting
tujuh atau delapan kaki jauhnya di mana mereka roboh terguling.
Para hadirin lainnya menjadi tidak senang, akan tetapi mereka rupanya jeri
kepada imam itu, tidak ada seorang jua yang berani maju. untuk mencegah atau
sedikitnya memberi ingat.
Ie Kun menjadi tidak puas, ingin ia maju atau ia segera merasakan satu tangan
yang keras mencekal lengannya.
Itulah lengannya Po Kiak Twie Hong Kay. Sedangkan Bu
Tim Siangjin berdiam saja, matanya di pejamkan, alisnya turun.
"Adakah disini suatu sebab lain?" Ie Kun berpikir, ia heran sekali.
Habis menyampok ketiga hauwlam si tosu bertindak kesisi peti sekali dengan kedua
tangannya dia meraba kepada tutup peti mati terus dia mengasih dengar elahan
napas yang panjang setelah itu ketiga kali ia menepuk-nepuk dengar perlahan.
"Sungguh telengas" kata Bu Tim Siangjin perlahan sekali. Terus ia memuji, "Amita
Buddha!" sambil tubuhnya bergerak menghampirkan si tosu.
Imam itu terperanjat waktu ia melihat datangnya si pendeta. Selagi mukanya
berubah pucat, dia bersiul nyaring. Sementara tubuhnya lantas melesat hingga
dari dekat suara bersiulnya itu menjadi terdengar jauh.
Hampir tak ada orang yang melihatnya tahu-tahu dia sudah mengangkat kaki!
Bu Tim lantas berdiri diam didepan jenazah, tangannya rnencekal batang kim kiam
yaitu pedang yang terbuat dari emas. Tak lama ia berdiam lantas ia tanya ketiga
hauw-lam, "Apakah pedang emas ini sama dengan pedang emas yang biasa digunakan ayah
kalian?" Ketika anak itu memyabuti pedang itu untuk diteliti.
"Bentuknya sama yang beda adalah besar dan kecilnya,"
kata yang seorang yang kemudian.
Alisnya si pendeta bergerak "Coba kau lekas keluarkan pedang dan senjata rahasia
yang biasa digunakan digunakan untuk pinceng mencocokkannya." ia minta.
"Pedang panjang ayah kami sudah lama hilang ada juga tinggal dua biji senjata
rahasianya yaitu kim kiam piauw"


Rahasia Gelang Pusaka Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sahut seorang anak yang lain yang terus dari sakunya mengeluarkan dua biji
senjata rahasia itu piauw pedang emas. Pedang itu kecil dan panjangnya dua dim.
Ketiga hauwlam itu berbangkit tak lama seperginya toosu.
Bu Tim Siangjin memeriksa kim-kiam, Ia melihat ukiran dua buah huruf. "Tiong dan
Sie," yang berarti "setia" dan
"maaf" (maaf kan), Sebaliknya pada kim-piauw si imam melihat ukiran dua huruf
"Kiu" dan "Sat" arti-nya: "Musuh dan bunuh".
Habis memeriksa kedua senjata itu, Bu Tim Siangjin tertawa dingin. "Jikalau
begitu" katanya "orang didalam peti mati ini bukan ayanmu!'"
Mendengar itu ketiga hauwlam kaget, hingga paras muka mereka menjadi pucat.
"Orang alim tidak boleh bicara sembarangan!" mereka membentak. Terang mereka
menjadi gusar sekali. Para hadirin mengawasi si pendeta sinar mata mereka menunjuki mereka juga gusar.
Bu Tim tidak menghiraukan mereka itu. "Mari kita pergi!'' ia kata kepada Twie
Hong Kay Tapi seorang diantara hadirin yang bertubuh besar yang mengenakan pakaian hitam
lantas berkata: "Sesudah kamu mengetahui rahasia ini mana dapat kamu berlalu
dengan begini saja" Silahkan duduk dahulu untuk kami menyuguhkan satu cawan air
teh!" Diapun mendelik dan suaranya keras sekali.
Ketiga hauwlam sudah lantas mengangsurkan tiga cangkir terisi air teh, masing-
masing satu kepada rombongan si pendeta.
(Bersambung Jilid 4) Jilid ke: 4 Twie Hong Kay tertawa terbahak-bahak, dia menyambut cawan, sambil dia berkata
nyaring: "Hari ini aku si tukang minta-minta akan merasakan sedapnya air teh
yang memutuskan usus!" Lalu, sambil tertawa pula ia menarik tangannya Ie Kun,
maka hanya sekelebatan, mereka sudah lantas mencelat keluar dari ruang itu, di
belakang mereka mendengung suara nyaring dari tiga biji kim-kiam-piauw, yang
semuanya kena diruntuhkan si Pengemis Pengejar Angin yang menyampok dengan chee
tiok-thung, yaitu tongkat bambu hijau.
Selagi dua orang itu tiba diluar, Bu Tim Siangjin tidak nampak, maka Twie Hong
Kay menjadi heran, hingga ia mengerutkan keningnya, ia berkata: "Siangjin telah
melihat suatu rahasia dalam peristiwa ini, maka dari itu mestinya bakal terjadi
suatu pertunjukan yang menarik hati. Malam ini kau baiknya menemani aku dahulu
untuk pergi ke kuil tua itu di belakang Yo Kee Chung, kemudian baru kau pergi
memenuhi janji pertemuan tengah malam jam duabelas itu!"
Ie Kun menurut. Kemudian ketika ia tiba di kuil, ia mendapatkan orang tengah
bertarung. Ia tahu diri, ia tidak mau maju, sebaliknya ia menyembunyikan diri.
Begitulah dengan meniru lagu suaranya Chit Chee Piauw Sim Ie, ia berhasil
membikin kabur pada Pek Kut Sin Kun.
Kemudian Twie Hong Kay berkata pada si anak muda:
"Agaknya Bu Tim Siangjin menyukai kau, maka itu sebentar malam waktu kau menemui
dia kau harus bisa membawa dirimu. Mungkin dia nanti mengajari kau ilmu silat Bu
Siang Sin Kun yang dikolong langit ini tiada lawannya...."
Hampir pada jam Co sie, tengah malam itu, Ie Kun telah tiba di pulau Cong Beng
To. Segera ia melihat seorang pendeta dengan jubah abu-abu lagi menantikan di
pesisir. "Kau datang kemalaman bocah!" menyapa si pendeta
"Bukankah cianpwe menyebut jam Co-sie?" tanya Ie Kun heran. "Sekarang masih
kurang seperempat jam...."
Bu Tim memandang ke langit. "Tadi kau menggunakan piauw Ngo kak-chee, itulah
saatnya yang tepat," katanya.
"Jikalau tidak, pasti kau tidak bakal datang terlambat"
Ie Kun terkejut. Nyatalah gerak-geriknya tadi tak lolos dari mata pendeta itu.
Bu Tim menatap anak muda itu, ia tertawa. "Si pengemis tadi tahu aku berada di
sisi kamu. Dia sengaja menganjurkan kau minta aku mengajari kau ilmu silat Bu
Siang Sin Kun" kata ia. "Dengan itu dia hendak mencekal aku! Baiklah, akan aku
ajari kau satu jurus. Hanya terlebih dahulu dari itu, kau mesti melakukan satu
hal untukku...." Berkata sampai disitu, sipendeta berhenti.
Ie Kun telah memperoleh kemajuan, pengalaman dan kepandaian. Ia pun tahu baik
sekali bahwa ilmu silat tidak ada batasnya. Ia justeru sangat mengetahuinya. Ia
girang bukan main mendapat tahu pendeta ini mau mengajari silat.
apa pula ilmu silat "Bu Siang Sin Kun" itu, yaitu "iimu silat liehay yang tak
berwujud...." "Cianpwe," kata ia cepat, karena si pendeta berhenti bicara, "meski cianpwe
menitahkan aku menyerbu api, tak akan aku tolak!"
Bu Tim tertawa pula, "Selama tiga bulan kau berdiam di Cit Chee To, bukankah kau
telah berhasil mempelajari semua kepandaian silat dari Cit Chee Piauw Sim Ie?"
tanyanya. Ie Kun berdiam, ia heran orang menyebut nama Cit Chee Piauw Sin Ie buat ia
melakukan sepuluh macam urusan juga ia bersedia. Ia tahu pendeta ini ialah salah
satu dari Bu Lim Sam Seng "Tiga Nabi Rimba Persilatan"
Selagi orang mengawasi, Bu Tim berkata pula. "Kau pergi kerumahnya Yo Thian
Saiuw. Kau menyamar menjadi Cit Chee Piauw, Sim Ie. Agaknya Yo Thian Siauw
mempunyai suatu rahasia, maka juga dia berhubungan dengan Pek Kut Sin Kun yang
menyamar menjadi Cit Chee Piauw Sim Ie"
Ie Kun tidak menampik tugas ini kesatu karena ia sudah memberikan kata-katanya
kedua karena ia tidak takut.
Sangat keras keinginannya untuk memperoleh ilmu silat Bu Siang Sin Kun itu.
"Bagaimana aku harus bertindak di sana?" tanyanya.
"Sesampainya disana, kau suruh mereka mengeluarkan mayat dari dalam peti mati
itu" Bu Tim memberi petunjuk.
"Kau lihat mayat itu mayat siapa. Setelah itu kau tanya siapakah si imam
berjubah hitam tadi".
Selagi berkata begitu, sekonyong-konyong pendeta itu menotok Ie Kun di dua jalan
darah yang kiauw dan khie-hay, terus ia berkata "Dengan jalan ini aku
menyalurkan hawa sejatiku ke dalam tubuhmu, maka kau gunailah
tenaga dalammu untuk menyalurkannya lebih jauh guna membuka kedua jalan darah
itu." Ie Kun menurut ia lantas mengerahkan tenaga dalamnya. Belum lewat setengah jam
berhasil sudah ia membuka pintu untuk masuknya hawa sipendeta hingga ia
bermandikan keringat. Menampak demikian Bu Tim tertawa "Aku lihat dipadu dengan ayahmu yang tidak
punya guna, kau menang banyak"
Ie Kun heran mendengar di sebutnya ayahnya itu. Telah pernah ia dengar hal
ayahnya dari Twie Hong. Ia menduga ayahnya itu mempunyai beberapa orang guru
akan tetapi si pengemis seperti tak mcnghendaki ia menyebut nyebut nama ayahnya.
Saban-saban dia mencegah apabila ia hendak membuka mulut. Sekarang ia
mendengarnya dari mulut si pendeta, ia jadi lebih tertarik hati.
"Apakah cianpwee kenal ayahku?" tanyanya.
Bu Tim menghela napas. "Dahulu hari itu pun keadaan sama seperti sekarang ini."
katanaya masgul. "Aku telah ajarkan dia beberapa jurus ilmu silat tetapi
kesudahannya dia terbinasa karena urusan kitab rahasia Cay Hoan Pit Kip....."
Sejak bersama Kouw Siu Taysu keluar dari Toan Hun Kok, inilah yang kedua kali Ie
Kun mendengar disebutnya kitab rahasia itu.
"Sebenarnya apakah Cay Hoan Giok Tiap itu?" ia bertanya.
Bu Tim mengawasi si anak muda, pikirannya bekerja:
"Tentulah Kouw Siu tidak pernah memberitahukan dia tentang asal dirinya serta
hal ikhwalnya Cay Hoan Giok Tiap. Baiklah aku pun tidak memberitahukannya."
Maka ia tertawa dan menjawab "Tentang itu kelak di kemudian hari, kau bakal
mendapatkan tahu sendiri.
Sekarang mari aku ajarkan jurus pertama dari Bu Siang Sin Kun yang dinamakan
Seng Seng Put Sit yang berarti hidup tak hentinya."
Anehnya jurus itu tak memerlukan penjelasan hanya kenyataan praktek. Setelah ia
diajarkan baru Ie Kun ketahui kenapa tadi pendeta ini telah menyalurkan dua
jalan darahnya. Mudah sekali ia dapat menyangkok pelajaran itu.
"Nah, sekaranglah giliranmu!" kata Bu Tim, sesudah si anak muda ingat betul
jurus yang diwariskan itu.
Ie Kun lantas mengeluarkan topengnya Cit Chee Piauw Sim Ie, ia terus pakai itu
dimukanya, begitu beres, begitu ia bergerak dengan ilmu lari "Cit Chee Tun" atau
"Tujuh Bintang" maka dalam sekejap saja, ia sudah meninggalkan si pendeta, cuma
terdengar suara tertawanya yang tajam.
Ia menuju langsung ke rumahnya Yo Thian Siauw.
Pelajirannya Cit-Chee Piauw Sim Ie termasuk pelajaran Pang Bun atau sesat, maka
juga kepandaiannya tak lurus.
Itulah sebabnya, setelah Ie Kun menggunakan ilmunya Sim Ie, ia sendirinya mesti
menelad contoh demikian ia mengasi dengar tertawa yang nyaring itu yang tak
sedap bagi telinga seumumnya. Dengan ilmu lari "Cit Chee Tun" itu, tubuhnya jadi
sangat ringan, gesit dan pesat. Biasanya tidak berani ia menggunakan
kepandaiannya ini, baru ia menggunakannya apabila ia menyamar menjadi Sim Ie.
Cepat sekali Ie Kun sudah sampai di rumah keluarga Yo.
Tubuhnya berkelebat di antara sinarnya empat buah lilin putih. Api lilin itu
hampir padam karena tertiup anginnya Di saat api itu memancar pula, maka di
dalam ruang itu tampak tubuh satu orang dengan pakaian abu-abu yang berdiri
tegak menghadapi perapian dan dari mulutnya
terdengar tertawa yang dingin! Dia mengayun tangannya ke arah peti.
Tirai putih tersingkap seketika dari dalam situ keluar tiga orang yang
mengenakan pakaian hitam mulus. Begitu mereka melihat peti mati, tiga orang itu
kaget sekali. Di situ tertangkap tujuh buah bintang. Dalam kagetnya mereka mundur dua tindak.
Lantas mengawasi "Sim Ie"
mereka kata: "Aku akan memberi warta kepada majikan kami!" Habis berkata, mereka
memutar tubuh, buat lari kedalam.
Hanya sebentar, muncullah tiga anaknya Yo Thian Siauw. Dengan lantas mereka itu
berkata kepada Cit Chee Piauw: "Sam Ciu Hut Gouw Peng telah terbinasakan seorang
tosu yang berjubah hitam, yang menghajarnya di dalam peti mati dengan pukulan
Twie Hun Ciang!" "Apakah kamu semua sudah pada mati?" tanya Sim Ie tetiron dingin. "Hm!"
Salah seorang dari ketiga anak itu berkata keras: "Tosu itu liehay sekali
sampaipun Bu Tim Siangjin tidak dapat berbuat apa-apa terhadapnya. maka itu, apa
yang kami dapat lakukan" Laginya orang banyak telah mendengar halnya pedang ayah
kami ada hubungannya dengan sebagian rahasia dari Cay Hoan Giok Tiap mana karena
mereka itu semua mengharap harap terbitnya kekacauan supaya mereka diam-diam
dapat turun tangan tanpa diketahui siapa juga!"
"Sekarang dimana adanya pedang emas dari ayah kamu itu?" tanya Sim Ie.
"Ada pada ayah kami," sahut anak yang lain lagi
"Kalau begitu, mari kamu pimpin aku!"
Ketiga putera itu menyingkap tirai putih, maka di balik itu nampak sebuah
tembok. Salah seorang lantas memutar sebuah cawan di atas meja. Atas itu
terbukalah sebuah pintu rahasia pada tembok itu. memperlihatkan sebuah lorong
yang menuju panjang tujuh atau delapan tombak lalu menikung.
Sim Ie mengasi dengar tertawanya yang tawar.
Sebenarnya ia heran dan kagum buat itu pintu rahasia.
Didepannya, masih ada beberapa tikungan lagi. Habis itu, adalah mereka di depan
sebuah kamar yang perlengkapannya lengkap dan indah. Di situ, di luar pintu berdiri seorang tua
yang jenggotnya panjang sampai didadanya. Dia menghadapi Sim Ie untuk memberi
hormat, sambil berkata: "Rencana kita sudah rampung sepenuhnya, tinggal menanti
hari besok saja" Mereka masuk ke dalam kamar. Kim-Kiam-Kek Yo Thian Siauw dan Cit Chee Piauw Sim
Ie. Di dalam Yo Thian Siauw berkata pula: "Hari ini kecuali beberapa orang yang
liehay sekali, yang tak minum teh barang setetes juga, yang lainnya semua sudah
kena minum arak beracun Ji-goat Tiang toan-hun buatanmu, maka itu mereka itu, di
dalam tempo tiga bulan, akan mati mendadak satu demi satu. Karenanya sekarang
dapat kita mulai mencari tempat keletakannya gua rahasia itu menurut petunjuk
pedang emas. Hahaha.....!"
Mendadak tuan rumah ini yang tadi ber-pura2 mati, tertawa puas. Tapi mendadak
pula, dia berhenti ditengah jalan. Dia menanya: "Bagaimana dengan itu Cay Hoan
Giok Tiap, kau telah berhasil mendapatkan atau belum?"
Sebelum Sim Ie menjawab, mereka semua telah mendengar tindakan kaki cepat dan
keras di dalam lorong, lekas sekali muncullah satu orang yang romannya bingung
dan mukanya pucat, dengan berbisik dia terus bicara di telinganya tuan rumah.
Yo Thian Siauw segera memperlihatkan roman kaget dan heran. Lantas dia
menghadapi Sim Ie, untuk menatap dan menanya: "Kaulah Sim Ie yang tulen atau
yang palsu?" Sim Ie tertawa seram sekali, hingga dapat membuat bangun bulu roma orang.
"Mustahil aku Sim Ie yang palsu?" dia balik bertanya.
Terus dia merogo sakunya dan mengeluarkan sebiji Cit chee-piauw, atau piauw
bintang tujuh, kepada tuan rumah itu.
Yo Thian Siauw memeriksa senjata rahasia itu, selang sejenak, air mukanya lantas
perlahan-lahan berobah seperti biasa pula. Tapi dia berkata: "Di luar sana
datang satu Sim Ie lagi! Bagaimana ini?"
Oe Ie Kun berlaku tenang. Ia tahu bagaimana harus membawakan peranannya. Inilah
saat yang genting. Ia mengaku, piauwnya itu saja itu belum cukup.
"Nanti aku lihat!" katanya. Lantas mau bertindak keluar.
"Tak usah!" Yo Thian Siauw mencegah, "Aku tahu bagaimana harus bertindak!"
Dia lantas menyuruh orangnya, yang mengenakan baju hitam, buat mengundang masuk
Chee Piauw Sim Ie yang di luar itu.
In Kun tahu waktunya untuk bertindak atau ia bisa celaka di dalam kamar rahasia
itu. Di saat si orang berpakaian hitam memutar tubuh, buat pergi keluar mendadak
ia menyentil. Maka melesatlah piauwnya, yang menyambar membikin si hitam itu
roboh seketika dan dia menjerit, sebab dia terhajar jalan darahnya.
Kim Kiam kek Yo Thian Siauw melihat perbuatan itu dia terkejut tetapi dia
tertawa dingin sembari tertawa dia menghunus pedang emasnya. Dia membentak
dengan pertanyaaannya: "Kau siapa?"
Juga ketiga puteranya tuan rumah sudah lantas masuk ke dalam ruangan dengan
masing menghunus senjatanya, mereka mengambil sikap mengurung.
"Kau siapa?" Kim Kiam Kek mengulangi pertanyaannya sebab dia tidak segera
memperoleh jawaban. Ie Kun menjawab, bukan dengan suara mulutnya hanya dengan gerakan tangan yang
sangat sebat yang melayangkan beberapa biji piauwnya, atas mana ketiga orang
puteranya Yo Thian Siauw lantas roboh tak berdaya seperti si orang berpakaian
hitam itu. Akan tetapi beberapa biji piauw yang menyambar Yo Thian Siauw
sendiri, semua teruntuhkan pedang emas orang she Yo itu yang bermata awas dan
sebat tangannya, yang menggunai tipu silat "Boan Thian Kim Hoa" atau "Bunga emas
memenuhkan langit Ie Kun tertawa dingin. "Kau awas!" katanya. Kembali kedua
tangannya bersiap. Thian Siauw juga tertawa dingin. "Apakah piauw palsu juga masih memakai aturan?"
ejeknya. Ie Kun segera mengayun tangannya, maka
menyambarlah cit-chee piauw dalam sikap gerak Pak Tiauw atau bintang-bintang
Utara. Thian Siauw melihat tegas, baru sekarang dia kaget.
Itulah piauw yang tulen. Dia tersohor karena kim kiam, pedang emasnya yang
kecil. Dia kenal baik Cit-chee piauw dari Sim Ie. Akan tetapi dia kaget sesudah
kasip Tak berdaya dia menghadapi serangan Ie Kun. Senjata rahasia Bintang Tujuh
menghajar lengan kanannya, hingga dia
merasa sangat nyeri dan menjerit keras pedangnya terlepas dan jatuh ketanah.
Menyusul itu, Ie Kun menyerang pula dengan dua buah jeriji tangan kirinya,
menotok jalan darah pingsan dari Thian Siauw, maka kali ini, Kim Kiam Kek
terpental roboh dua tindak untuk terus semaput.
Habis itu, tanpa bersangsi pula, Ie Kun memungut pedang orang, terus ia lari di
lorong. Dengan menekan kenop, ia membuka pintu rahasia tadi. Terus dengan
menggunakan ilmu Cit Chee Tun, ia nyeplos keluar bagaikan sambaran kilat. Tapi
ia segera mendengar siuran angin dibelakangnya. Itulah Pek Kut, yang menyusulnya
dengan menggunai ilmu kegesitannya: "Hun Kong Kwie Eng" "Bayangan Hantu Memecah
Sinar," yang tak kalah gesitnya.
Disaat Ie Kun bakal tercandak, selagi ia hendak menahan larinya. buat memutar
tubuhnya, guna melakukan perlawanan sekonyong-konyong Bu Tim Siangjin muncul
menyelak diantara mereka. Pendeta itu datang cepat bagaikan "mega melayang air
mengalir". Ia lantas menghela napas lega. Tengah ia terdiam itu, mendadak ia mendengar satu
siulan tajam berbareng dengan satu bayangan lewat melesat disisinya sebelum ia
tahu apa apa, pedang kecil ditangannya sudah kena orang rampas.
Justru sianak muda melengak, justru Pek Kut Sin Kun berlompat pergi meninggalkan
ia. Bu Tim Siangjin sebaliknya lari mengejar perampas pedang itu
"Dialah Hek Pauw Toojin" kata Bu Tim Siangjin perlahan, matanya mengawasi
perampas pedang itu, yang telah pergi jauh, hingga nampak bayangannya saja.


Rahasia Gelang Pusaka Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jadinya, Hek Pauw Toojin itu, ialah si toosu atau imam yang berjubah hitam.
"Pedang emaskah itu yang dia rampas"'' kemudian si pendeta tanya.
Ie Kun mengangguk. "Siapakah imam berjubah hitam itu?" ia balik menanya.
Bu Tim Siangjin berpikir dulu baru ia menjawab: "Aku menerka satu orang hanya
aku belum tahu pasti. Nanti aku mencari tahu dulu baru aku membilangi kau.
Sekarang mari turut aku!" Ia mengajak sianak muda ketepi sungai, naik atas
sebuah perahu kecil. Lantas ia menanya: "Bagaimana dengan penyelidikanmu?"
Ie Kun tuturkan apa yang ia lihat dan lakukan tadi.
Bu Siang berpikir sekian lama. "Aku tidak sangka Yo Thian Siauw sebenarnya
manusia yang mirip binatang,"
katanya selang sesaat. "Untuk apakah dia berpura-pura mati?"
Ie Kun turut menerka-nerka, akan tetapi ia tidak memperoleh jawaban yang tepat,
Akhirnya Bu Tim tertawa terbahak. "Biarlah!" katanya kemudian. "Nanti aku cari
si orang tua she Giam untuk bicara dengannya!"
TAMBAH PENGALAMAN. Habis berkata Bu Tim Siangjin melayarkan perahunya tanpa pedulikan Ie Kun suka
turut padanya atau tidak, hingga si anak muda mesti terpaksa mengikut.
Sebenarnya pemuda ini berniat pergi ke Gie hin untuk mencari tahu tentang
gurunya sudah pulang atau belum, supaya ia dapat berlatih lagi menghadapi tembok
beberapa tahun, guna memperdalam ajarannya Kouw Siu Taysu.
Satu malam perahu berlayar dilaut timur selagi fajar menyingsing Bu Tim Siangjin
duduk bersila di perahunya sambil mengetuk-ugetuk bok-kie, alat tetabuan sucinya
itu mengasi dengar suara yang berobah-obah sebentar perlahan, sebentar keras,
rendah dan tinggi ada kalanya tinggi sekali bagaikan tetabuan perang.
Tidak lama selekasnya suara bokkie berhenti, maka dilaut itu terdengar nyanyian.
Rambutnya hitam kakinya mungil.
Dia bukan sembarang bunga liar.
Kaulah musuhku. Separuh menolak. Separuh setuju! Di luar jendela sepi. Di depan pembaringan berlutut.
Ingin mencium. Biar aku merengek. Dia separuh menampik. Dia separuh menurut. Nyanyian itu tandas dan tegas, Ie Kun mengawasi kearah dari mana suara datang,
ia cuma melihat sinar matahari tidak melihat orangnya atau perahunya saja. Herai
orang-nya masih diujung laut,
Akan tetapi Bu Tim Siangjin tertawa terbahak, dua kali dia mengetuk pula,
suaranya aneh. Kali ini seperti datangnya dari ujung langit, terdengar suara yang parau: "Hai.
pendeta hutan, apakah benar kau telah goncang hatimu, ingat akan dunia pula" Dua
kali ketukan bokkiemu itu mirip dengan suaranya kecrek dari si nona-nona tukang
menyanyi dari sungai Cin Hoay Ho!"
Menyusul itu dari kejauhan tampak mendatangi sebuah perahu kecil. yang lajunya
pesat seperti memecah gelombang dengan cepat, tibalah dia di sisi perahu layar
Ie Kun dan si pendeta lalu awak perahunya menambatnya di belakang perahu layar
itu. Segera juga tampak satu bayangan orang kecil dan abu-abu muncul dari dalam
gubuk perahu dengan tangannya orang itu menengteng dua ekor ikan!
Ie Kun mengawasi. Ia melihat seorang tua yang tubuhnya bungkuk melengkung
sembilan puluh derajat hingga pinggangnya mirip patah. Tubuh itu sangat kurus
kering, hingga taklah orang menyangka, dialah yang barusan bernyanyi demikian
keras mendengung. Mulanya si anak muda menerka, Tang Hay Hie Giam Hiong si
nelayan yang menyembunyikan diri di Laut Timur adalah seorang muka yang tampan
dan romantik! Melihat si anak muda melengak, nelayan tua itu tertawa berkakak. Dia memandang
Bu Tim Siangjin dia menanya:
"Bagaimana eh, hwesio bau didalam perahu ini kau membawa-bawa seorang manusia
biasa?" Berkata begitu si nelayan mau lantas pindah perahu akan tetapi Bu Tim menahan
sambil berkata. "Kau tidak tahu ya bocab ini ialah turunan dari Tiat Kiam Sie
Seng. Tadi ketika dia mendengar nyanyianmu, dia melongo, dia mengira Tang Hay
Hie In ialah seorang muda yang pintar, tampan dan romatik!"
Ie Kun sementara itu sadar akan lagak tololnya itu, malah lekas-lekas la menjura
ke pada si nelayan sambil berkata: "Maaf, cianpwee, aku telah berlaku tidak
hormat!". Si nelayan melengak, lalu dia menggeleng-geleng kepala.
"Oh. hebat kata-katanya anak-anak muda jaman sekarang?"
katanya Lantas ia melemparkan ikannya kepada awak perahu itu sambil berkata:
"Yang satu di tim, yang satu lagi dibakar!"
Ie Kun heran. Pikirnya: "kenapa nelayan ini doyan makan?"
Belum lagi dia duduk, Giam Hiong mengawasi Bu Tim, dengan mata dilototi, ia
berkata. "Coba tidak urusan sedemikian aneh, pastilah tak sudi aku memperdulikan
kau!" Memang, ketika tadi Bu Tim menabuh bokkie nya, dengan itu ia memanggil Tang Hay
Hie berbareng memberitahukan dia maksud kedatangannya.
Habis berkata Giam Hiong memejamkan matanya, sedang si pendeta berdiam saja.
Selang sejenak dia berkata:
"Bagaimana, eh" kenapa tidak ada araknya" Mulutku ini hampir-hampir mengeluarkan
iler!" Dari kolong mejanya, Ba Tim menarik keluar sebuah buli buli merah.
"Inilah arak Siauwhin simpanan lama," katanya "hanya ini miliknya anak ini,
tidak dapat kau mempestaporakan dengun cuma-cuma" Berkata begitu, ia melirik
kepada si anak muda, mengedipi mata.
"Ha, kiranya kamu bersekongkol!" teriak sinelayan.
"Kiranya kau mau menipu aku si bungkuk unta! Tapi kepandaianku cuma satu rupa
yaitu kepandaian menangkap ikan, kau mau mempelajarinya atau tidak?"
Ie Kun menduga orang mestinya lihay, ia lantas menjura dan menjawab: "Suka aku
yang rendah mempelajarinya, supaya nanti aku tidak sampai kelaparan...."
Nelayan itu menghela napas. "Dasar aku Giam To cu bernasib buruk, hari ini aku
menemukan hari malangku"
keluhnya. Ia menyambuti buli-buli, terus ia tenguak isinya, hingga tendengar
suara geriyukannya. "Benar-benar arak jempolan!" serunya kemudian sambil dengan lidahnya dia
menyusuti kedua belah bibirnya, seperti juga dia sangat menyayangi arak yang
masih melekat di bibirnya itu!
"Eh, bocah!" kata di kemudian, "sekarang kau cobalah cara yang kedua kali dari
dengan dengan cit-chee-piauw!"
Kata-kata itu tidak keruan juntrungannya, hingga Ie Kun bersangsi sejanak.
Kebetulan itu waktu seekor burung laut terbang diatas tiang layar, lantas ia
menimpuk dengan piauwnya. Burung itu gesit, akan tetapi dia terkurung piauw
Tujuh Bintang, akhirnya dia menjerit roboh ke air!
Giam Hiong mengawasi, ia mencegluk pula araknya.
"Aku tidak heran bahwa dengan ini cara penyerangan Kim kiam Kek Yo Thian Tiauw
telah dapat dirobohkan,"
katanya. Ia mengawasi sianak muda, matanya meram. Tiba tiba ia tanya. "Kau tahu tidak,
didalam dunia Rimba Persilatan, siapakah itu si tiga ahli pedang terebut?"
Ie Kun berdiam. Tak tahu ia bagaimana harus menjawab.
Bu Tim Siangjin dongak, memandang langit kata ia:
"Merekalah It Yang Cu dari Khong Tong Pay, Sam Im Sin Nie dari Ay Lauw San dan
Kim kiam Kek Yo Thian Siauw"
Si nelayan tua bungkuk dan mengangguk. "Memang tiga orang itu telah menjagoi
dunia ilmu pedang," kata dia,
"Mereka telah bisa membikin pedang dan tubuh mereka menjadi seperti satu. Mereka
seperti dapat membinasakan orang hanya dengan hawa pedang maka itu aneh kenapa
Yo Thian Siauw tak dapat melayani cit-chee-piauw?"
"Mungkin Yo Thian Siauw juga ada yang palsu?" tanya Ie Kun. Ia ingat kepada Sim
Ie tetiron. Ia menanya: "habis siapakah itu si imam berjubah hitam?"
"Hek Pauw Toojin lihay tak ada dibawahanku, dia asing sekali untukku," Bu Tim
pun berkata. "Aku Tie To Seng, aku dirobohkan kau" kata sinelayan yang menyebut dirinya "Tie
To Seng," si Bintang Akal muslihat. "Siapa imam itu, aku tidak tahu! Ehm kenapa
sekarang kita tidak mau pergi sangsheng?"
Ie Kun memandang langit. "Taruh kata-kata mendapat angin, kita tak dapat
menyusul waktu" katanya.
Tidak disangka sinelayan yang sibocah berani menentang padanya, ia menoleh untuk
mengawasi, matanya mendadak bengis, sampai anak muda itu tunduk karena tak
berani dia mengadu sinar mata.
"Memang benar bocah ini." berkata Bu Tim "Tidak keburu kita turut sangsheng.
Atau taruh kata kita pergi juga, kita cuma bisa menyusul sampai ditempat
pekuburan" Ia berkata kemudian guma menolong sianak muda.
Perahu lantas diputar arahnya, menuju kepulau Cong Beng To, kebetulan sekali,
mereka mengikuti angin, sedangkan kedua orang itu si pendeta dan si nelayan
menbantu mengayuh. Mendekati magrib, pulau yang dituju sudah sampai di depan
mata. Hanya ketika mereka tiba di rumahnya Kim Kiam Kek Yo Thian Siauw, untuk
herannya mereka menemukan hanya tumpukan puing, yang baranya masih belum padam
seluruhnya. Rumah itu musnah dalam satu malam.....
"Aaah!" kata Tang Hay Hie In. Ia berseru demikian sesudah ia mendapatkan sebilah
pedang emas panjang dua dim diantara tumpukan abu yang ia korek-korek. Ia heran
hingga ia terbengong sejenak.
"Amitabhu Buddha...." Bu Tim memuji seraya merangkap kedua belah tangannya.
Tiba-tiba ia mengibas kedua tangannya itu atau tahu tahu ia mencekal tiga batang
pedang emas, atau kim kiam, yang serupa panjangnya.
Yang paling aneh ialah ia tidak tahu dan mana menyambarnya ketiga pedang emas
itu. "Sungguh sebat!" Giam Kiong memuji. Menyusul suaranya si nelayan, dari empat
penjuru mereka, terdengar suara tertawa yang dingin. "Aku kira Tiga Nabi itu
orang macam apa, kiranya adalah si kantung nasi! He...."
demikian satu suara menghina, yang berhenti dengan tiba tiba membarengi jatuhnya
sebuah benda nyaring seperti barang logam atau batu.
Ie Kun menjadi gusar, hingga ia berseru: "Kamu bertingkah mirip hantu, kamu
tidak berani perlihatkan diri kamu, adakah kamu orang gagah sejati?"
Suara tertawa, yang panjang, lantas berhenti, berbareng dengan itu, ada pedang
emas yang meluncur ke muka si anak muda.
Bu Tim Siangjin berseru, ia lompat ke depan anak muda itu, untuk menyambuti
pedang mas itu, setelah mana, ia membalas menimpuk, bahkan ia menambah dengan
tiga batang pedang di tangannya! Sembari menimpuk ia berseru pula: "Segala benda
kuning ini aku si pendeta tak mengingininya!"
Di tengah udara, keempat batang pedang itu seperti ada yang menghadang, dengan
kecepatan luar biasa, semuanya lantas jatuh melesar ke tanah! Menyusul itu,
kembali terdengar tertawa seram dari empat penjuru. Hanya kali ini suara itu
dibarengi dengan lompat turunnya satu bayangan hitam, yang seperti jatuh dari
langit. "Hek Pauw Toojin!" berseru Ie Kun, Itulah si imam berjubah hitam, yang kemaren
mereka lihat. Sambil berdiri, imam itu mengawasi ketiga orang, romannya sangat memandang tidak
mata. Dia membungkuk, dia menjemput ke empat batang pedang emas, yang telah rusak semuanya
lagi lagi dia tertawa menghina. Agaknya dia sangat puas dapat menggoda, beraksi
sedemikian macam itu. Tubuh Tang Hay Hie In berkelebat, lompat ke depan si imam jubah hitam. Akan
tetapi ia tidak bisa melihat tegas wajah orang. Muka si imam dipulas dengan
semacam pupur yang kuning keemas-emasan.
"Giam To-cu" kata si imam, "biar matamu terlebih lihay pula, tidak nanti kau kau
dapat melihat tegas! Ha ha..."
Giam Hiong menyebut dirinya "to-cu, siunta ialah si bungkuk" walaupun demikian,
ia paling benci jikalau lain orang mengatakan itu. Itulah tabu untuknya!
Karenanya, ia menjadi gusar sekali.
"Dia tentulah orang yang aku kenal...." pikirnya. Terus ia kata keras: "Di
kolong langit ini cuma ada satu dua orang yang berani memanggil aku Giam To cu
di depanku!" Si imam tertawa pula, suaranya tetap tidak sedap, Ia retap tidak memandang mata.
Katanya pula: "Aku menduga ini si kantung nasi berbungkuk unta bukannya
Giam To cu yang orang banyak sebut sebagai Tang hay Hie In, kiranya dugaanku itu
keliru!" Tak terkirakan gusarnya Giam Hiong. Seumurnya, belum pernah orang menghinanya
begini macam. Akan tetapi tidaklah kecewa ia menjadi orang gagah di jamannya
itu, masih dapat ia menguasai dirinya. Maka meskipun ia menantang, ia kata
dengan tenang. "Aku Giam To-cu, malam ini ingin aku belajar kenal dengan kau,
tuan!" habis berkata, ia menyembat joran pancingnya yang delapan kaki, yang
tebal bulatnya satu dim. Melihat orang mengambil senjatanya yang istimewa, yang membuatnya kesohor, si
imam jubah hitam mencelat mundur delapan tindak, sembari mundur dia kata
berulang-ulang: "Sungguh suatu joran yang bagus! Hari ini pastilah aku akan
membuka mataku!" Tang Hay Hie In tidak membilang apa-apa lagi. ia hanya lompat menghampirkan
dengan loncatan "Hong Cwie Lok Yap" tipu silat. "Angin meniup daun rontok."
Si imam terkejut. Ia tidak tahu bahwa si nelayan telah menjadi sangat gusar.
Tidak dapat ia mundur. Maka ia mengertak giginya, sambil memutar pedangnya di
depan mukanya, ia berlompat maju sambil mendak untuk, memernahknu tubuhnya di
sebelah bawah joran yang meluncur lempang. itulah semacam tipu silat yang langka
mirip ikan tertangkap ekornya tetapi terlepas lolos.
"Bagus!" Ie Kun memuji. Dengan menyaksikan cara yang menyelamatkan diri itu, ia
jadi memperoleh pelajaran yang berharga sekali. Di mana perlu, dapat ia menelad
itu. Baru sekarang si imam menjadi mendongkol. Ia menyesali diri bahwa barusan ia
alpa, sebab sangkaannya keliru. Oleh karena ia berkelit terus sampai melewati si
nelayan. Ia menjadi berada di belakangnya. Disini ia
menahan diri dan memutar tubuh untuk dengan lekas sekali melakukan penyerangan
pembalasan. Dengan tipusilat
"Twie San Tin Hay" "Merobohkan Gunung Menguruk Laut" ia menikam ke jalan darah
cie-tong di punggung melengkung dari si nelayan.
Bukan main panasnya hati Giam Hiong. Ia memang paling benci orang menyerang
punggungnya. Itulah dianggapnya semacam hinaan. Ia tertawa dingin, jorannya
menyerang ke belakang sambil ia memutar tubuhnya.
Serangannya ini ialah yang dinamakan "Thay Kong Tiauw Hie" atau "Kiang Thay Kong
mancing ikan" Ia berbalik sambil tubuhnya mencelat.
Menyaksikan demikian, imam juga berseru. Ia hendak akan mengasi lewat joran
diatas kepalanya, tubuhnya terus melesat maju. Ia pun menyerang, mengincar dada
musuh. Itulah gerakan "Kui Kian Jie Lay" atau "Berlutut menghadap Sang Buddha".
Sedangkan dengan tangan kirinya, ia menyerang berbareng. Ia mempunyai tangan
yang kuat bagaikan golok tajam.
"Bagus!" Giam Hiong memuji. Ia mengagumi tipusilat dari penyerangan itu. "lnilah
pukulan hebat dari Bu Tong Pay!" Ia berkelit, ia meneruskan menyerang. Ia
menggunai tipusilat "Cu Liang Hoan Cu" "Menunjang penglari, menukar tiang."
Si imam tertawa dingin. Ia berkelit. Habis berkelit, ia menyerang. Ia menikam
dengan tipu "In Liong Tiauw Siu,
"Naga menggeraki kepala" ke dada si nelayan.
Giam Hiong melihat bahaya mengancam ia jompat ke kiri. Dari sini lagi-lagi ia
membalas menyerang, jorannya disampokkan ke samping.
Si imam berjubah hitam lompat jauh delapan tombak, sembari tertawa dingin,
katanya tajam: "Malam ini pinto
mempunyai urusan, menyesal tidak dapat pinto menemani lebih lama pula!" Dan
terus ia mencelat. Di dalam satu kelebatan saja, dia sudah menghilang dari
depannya ketiga orang itu. Kesebatannya itu sangat luar biasa.
"Susul!" berseru Giam Hiong penasaran. Baru saja ia mendesak guna menguji lawan
yang jail atau tembarang itu, sekarang lawan meninggalkannya pergi secara
mengejek itu. Ia berlompat sangat pesat.
Bu Tim Siangjin tidak mencegah, bahkan ia turut menyusul.
Ie Kun pun meayusul, cuma ia tidak dapat melawan pendeta dan imam itu, ia
ketinggalan jauh dibelakang. Ia pun terpaksa mesti naik perahu, karena si imam
kabur ke arah laut dan kedua pengejarnya menyusul terus. Mereka itu berlari lari
di permukaan air dengan ilmu ringan tubuh.
"It Wie Touw Kang" "Dengan Sebatang Gelaga Menyebrangi Sungai"
Ketika ia sampai di pesisir utara ketiga orang itu tak tampak batang hidungnya.
Di lain pihak segera ia menjadi kaget. Tengah ia melihat kelilingan. di sisinya


Rahasia Gelang Pusaka Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ada berkelebat satu bayangan abu-abu terus nampak satu sinar kuning emas
meluncur kearahnya "Pedang emas!" ia berseru kaget. Tidak ayal lagi ia berkelit dengan tipu "Cit
Che Tin". Di lain pihak, ia tidak berdiam saja. Ia menyiapkan piauwnya. Inilah
yang ketiga kali ia menggunai cit chee piauw. Ia menyerang bayangan itu, ialah
si imam berjubah hitam. Imam itu liehay, dengan berlompatan ke pelbagai penjuru, ia mencoba
menyelamatkan diri dari pelbagai piauw Tujuh Bintang. Selagi ia berkelit terus-
terusan, tengah ia mencelat ke atas, mendadak ia mengasi dengar suara tertahan,
berbareng dengan mana, tubuhnya nampak
bergerak ayal, lalu habis itu menghilang di tempat yang gelap.
Ie Kun girang. Tidak ia sangka, dengan cit chee piauw, dapat ia melukai imam
liehay itu, sampai dia kabur.
Dengan sendirinya hatinya menjadi besar. Maka ia lompat untuk mengejar.
"Serr!" demikian satu suara, dari menyambarnya sebuah pedang emas. Terlihatlah
tegas sinar kuning dari pedang itu.
Dengan gerakan "Liong Heng It Ie" atau "Naga Berwujud" Ie Kun menolong diri
berkelit dari serangan berbahaya itu. Berbareng dengan itu, ia juga membalas
menyerang ke arah dari mana sinar datang.
Di tempat gelap, kembali terdengar suara tertahan, lalu sekarang tampaklah
tubuhnya si imam jubah hitam, yang gerakannya menjadi bertambah ayal. Dengan
dapat melihat si imam, Ie Kun dapat mengejar tanpa ketinggalan jauh seperti
semua. Ia mengejar terus, menerobos rimba, mendaki bukit. Belum mahir ilmu
ringan tubuhnya, tetapi ia telah mempunyai dasar yang baik sekali.
Di waktu fajar seperti itu, sang surya sudah muncul di arah timur, maka itu,
sejarak tujuh atau delapan belas tombak di sebelah depannya, Ie Kun dapat melhat
tegas musuhnya. Terlihat larinya si imam tak pesat, bahkan tubuhnya juga tidak
tetap lagi, beberapa kali dia berhuyung.
Sedangkan tindakannya yang berat menyebabkan debu mengepul.
Pula, di sepanjang jalan yang dilalui, ada tanda-tanda darah menetes.
Menghadapi musuh itu hati Ie Kun tegang berbareng girang. Tegang kalau ia ingat
musuh liehay. Girang sebab bukti menyatakan si imam sudah terluka. Ia masih rada
jeri kalau ia ingat bahwa kepandaian musuh belum teruji, hingga ia tidak berani
terlalu percaya pada diri sendiri.
Sang matahari telah membikin sinar keguraman sang fejar, sinar berwarna kuning
emas, membikin seluruh jagat terang berderang. Sesaat itu sinar matahari masih
lembut. Kedua pihak terus berlari-lari. Yang satu mencoba kabur, yang lainnya menyusul.
Dari belasan tombak, mereka sekarang berpisah hanya hitungan tindak. Ketika
jarak mereka tinggal tiga tindak, mendadak si imam jubah hitam berhenti berlari
sambil terus memutar tubuhnya. Sungguh luar biasa cepat gerakannya tubuhnya itu.
Ie Kun terkejut, sendirinya ia lompat munrdur empat tindask! sekarang ia bisa
melihbat, luka si imam berada di dadanya dua luka yang besar, yang darahnya
mengucur keluar. Sedang kulit mukanya yang bersemu kuning menjadi pias dan
mukanya meringis menahan nyeri. Tapi, menghadapi musuh, dia menguatkan hati,
hingga romannya menjadi biasa pula, bahkan lebih bengis.
"Hm!" dia mengasi dengar suaranya, yang dingin: "Aku tidak sangka, bahwa Cit
Chee Piauw yang berkenamaan kiranya seorang anak muda!" selagi berkata begitu.
diam-diam dia mengambil pedang emasnya dari punggungnya, lalu dia berkata terus:
"Bocah! Ketika kau mulai turun gunung apakah gurumu tidak mengajarkan kau dengan
kata-kata ini 'Lebih suka menghadap Giam Lo Ong daripada bertemu dengan Sin Nie!
Lebih suka hancur-lebur sendiri dari pada melihat Bu Eng'?"
Rupanya untuk berkata-kata itu, si imam mesti menggunakan tenaganya. Maka juga,
lukanya mendatangkan rasa nyeri, hingga mukanya kembali meringis dan pucat, alisnya
berkerut. Mendengar kata-kata itu, Ie Kui terkejut. "Bu Eng Jin!"
katanya dalam hati. Ia ingat pembilangannya Sim Ie halnya Bu Eng Jin!" si Manusia Tanpa Bayangan,
yang liehay. Bahwa orang sudah empat atau limapuluh tahun tak pernah muncul lagi
di dalam dunia Kangouw. Siapa tahu sekarang dia perlihatkan diri secara tiba-
tiba. "Bu Eng" ialah "tanpa bayangan."
Walaupun demikian, ia tidak takut. Bukankah Bu Eng Jin sudah terluka" Ia pula
tidak bermusuhan dengan jago ini cuma kejumawaan orang membuatnya tidak puas.
Maka ia lantas berkata: "Aku yang muda ialah Oe Ie Kun! Sekarang ingin aku
belajar kenal dengan ilmu kepandaiannya si manusia tanpa bayangan!"
Bu Eng Jin tertawa. tetapi nadanya sedih. "Jikalau aku hendak mrngambil jiwamu!"
katanya temberang, "walaupun jiwamu berjumlah sembilan, sebentar saja jiwamu akan habis semua!"
Itulah, sebenarnya, bukan kata-kata takebur. Memang, ilmu silatnya jago Bu Eng
Jin termasuk nomor satu dikolong langit ini. Karena sekalipun dua orang dari Bu
Lim Sam Seng, Tiga Nabi Rimba Persilatan, yaitu Bu Tim Siangjin dan Tang Hay Hie
In, tidak tahu asal-usul ilmu silatnya. Pula memang benar, andaikata dia bendak
membokong membinasakan Ie Kun bertiga, dapat dia melakukannya.
Ie Kun tertawa tawar. "Meski juga selama ini sikapmu terhadap kami bagaikan
sahabat, aku toh ingin mencoba-coba kau!" katanya "Aku pula ingin sekali ketahui
ada hubungan apa diantara kau, Bu Eng Jin, dengan Kim Kiam Kek Yo Thian Siauw!"
Bu Eng Jin mendongkol tetapi dia tertawa, suaranya nyaring menulikan telinga.
"Kim Kiam Kek Yo Thian Siauw telah mencuri pakai namaku selama tiga puluh
tahun," sahutnya. "Dengan memakai namaku itu, dia telah melakukan perbuatan-
perbuatan yang tidak selayaknya.
Selama yang belakangan ini telah berulangkali aku memberi peringatan pula
kepadanya, supaya dia tahu selatan dan mengundurkan diri...."
Baru dia berkata sampai di situ, mendadak Bu Eng Jin menjerit keras sekali.
Tahu-tahu dari sisinya datang serangan tenaga tangan yang sangat keras, yang
membuatnya menjerit itu serta tubuhnya terpental sampai tiga tombak, maka dengan
sendirinya dia terlempar ke dalam jurang.....
"Hahaha" demikian satu tertawa nyaring yang lantas berkumandang di empat penjuru
menyusul mana dari belakang satu batu gunung terlihat satu tubuh orang berlompat
keluar secara pesat mulanya tampak sebagai bayangan saja, lalu terlihat tegas
dialah seorang yang berpakaian ringkas, yang usianya kira kira empat atau
limapaluh tahun. Begitu dia datang dekat, begitu dia punguti pedang emas
ditanah, selagi berbuat begitu, dia tertawa pula tertawa secara puas!
Tiba-tiba hanya sekejap, orang itu lantas mengawasi Ie Kun. Dia bersikap bengis,
matanya mencorong tajam Dia berkata seram: "Oleh karena aku ingat bahwa hari ini
kau telah membantu aku tak sedikit, hayolah kau bunuh dirimu"
muncul pula kejumawaan orang itu.
Oe Ie Kun menjadi tidak senang, ia gusar "Siapa main bokong, dialah bukan orang
pandai, bukannya laki laki sejati!" tegurnya. "Kau siapakah?"
Itulah teguran dan penghinaan juga. Saking mendongkol, orang itu berbalik
tertawa. "Akulah Kim Kiam Kek Yo Thian Siauw!'" dia menjawab. "Aku bukannya
seorang yang tidak terima! Karena malam ini kau mendapat tahu rahasiaku bahwa
aku belum mati, maka bagianmu ialah bagian mati, mati tanpa tempat kuburnya!
Bocah, lekas kau serahkan jiwamu!"
Kata kata itu ditutup dengan gerakan tangan yeng menyekal pedang.
Ie Kun terkejut. Ia tidak menyangka, orang membuka mulut dengan terus menyerang.
Ia juga tidak nyana, jago itu turun tangan tanpa menghiraukan lagi nama
besarnya. Ia terkejut karena belum pernah ia bertempur dengan menggunai gegaman,
sedang Kim Kiam Kek, mestinya dia sangat liehay dengan kim kiam, yaitu pedang
emasnya. Tidak ada jalan lain, ia lantas menggeser kedua kakinya.
untuk bergerak dengan Cit Chee Tun, sedangkan kedua tangannya digeraki juga.
Iapun menggunai Cit Chee Ciu atau Tangan Tujuh Bintang. Dengan tangan kanan, ia
menyerang dengan "Cit To Kheng-bun"-"Langsung menyerbu Kheng bun'' jeriji
tangannya menotok ke jalan darah bian-kee didada, sedangkan dengan tangan kiri,
dengan tipu "Kiauw Toat Thian Chee"-"Dengan akal merampas bintang," ia menotok
jalan darah tiong-kie dibawah perut lawan.
Kim Kiam Kek kaget sekali. Ia juga tidak menerka sianak muda demikian sebatnya.
Pemuda itu menyerang selagi dia terancam bahaya! Terpaksa ia menjejak tanah,
untuk berlompat tinggi, lompat terus kepada anak muda itu guna meneruskan
menikam ke dahi dimana ada jalan darah sim keng. Ia menggunai tipu silat ''Ngo
Kwie Kay San" atau "Lima hantu membuka gunung"
Berbareng dengan itu, dengan tangan kirinya, yang tak mengeluarkan angin atau
suara, ia menyentil musuhnya!
Ie Kun bergerak dengan kegesitan luar biasa, dengan mudah ia dapat membebaskan
dirinya dari serangan pedang emas. tetapi tidak demikian dari sentilan arah
perut itu. Ia kaget waktu tiba tiba ia merasakan perutnya kaku, lalu darahnya
bergolak. Sukur dalam kagetnya, ia masih sadar untuk bertahan. Dengan murka ia
membentak, dua dua tangan kanan dan kirinya lantas menyerang dengan cit-chee
piauw! Cepat luar biasa, tangan kiri si anak muda telah meluncurkan tujuh buah piauw
bintangnya. Hebatnya yaitu jarak diantara jarak mereka berdua dekat sekali. Satu
pada lain sedangkan meluncurnya perbagai bintang, tidak rata.
Ada yang lebih cepat, ada yang lebih perlahan dan arahnya juga keatas dan bawah,
ketengah, kekiri dan kanan. Itulah serangan ke lima sasaran!
Yo Thian Siauw tidak tahu bahwa orang di depannya itu menggunai cit-chee-piauw
yang termashur itu, ia tidak memandang mata baru setelah piauw diumpukkan, dia
menjadi kaget. Lantas dia menjadi repot sekali. Dengan pedangnya menangkis ke
pelbagai arah itu. pedangnya berkilauan tubuhnya berkelebatan. Ia menangkis
berbareng berkelit. Selagi orang repot itu itu, Ie kun tertawa tawar, segera dia meluncurkan pula
piauwnya yang tergenggam di tangan kanannya. Tanpa bersuara, berbagai piauw itu
menyerbu diantara kilauan pedang lawan. Hanya sedetik, terdengarlah jeritan
hebat dari Kim Kiam Kek, yang tubuhnya terus terhuyung-huyung dengan
mengeluarkan darah. Akan tetapi dia gagah, dia mencoba bertahan, lalu dengan
setaker tenaganya, dia menyerang dengan kedua tangannya kepada musuhnya.
Inilah tidak disangka Ie Kun. ia kena tertolak keras tubuhnya terlempar kedalam
jurang! Yo Thian Siauw bertindak ketepi jurang, untuk melongok kebawah. Ia tidak melihat
apa apa kecuali cahaya putih bagaikan uap. Tak tahulah berapa dalamnya jurang
itu. Puas hatinya, maka dia tertawa menyeringai dia meringis.
"Puas aku karena hari ini aku telah membinasakan dua orang ternama!" katanya
seorang diri. "Yang satu ialah Bu Eng Jin yang kesohor dan yang lainnya...."
"Dia melihat kedadanya yang terluka itu, disitu menancap piauw yang berwujud
biniang, maka dia meneruskan: "Ialah muridnya Cit-chee Piauw! Ha ha ha ha..."
Baru tertawa, belum berhenti suaranya itu, mendadak Kim kiam Kek roboh terkulai.
Itulah disebabnya lukanya yang parah, hingga tenaganya habis.
Maka setelah itu, sunyi pulalah tempat itu.
Sementara itu dimalam yang gelap, di dalam jurang, yang sebenarnya berupa mirip
kolam, tidak terdengar lain dari derunya angin. Akan tetapi diantara batang-
batang pohon yang kering dan berselengkatan dibawah pohon cemara tua, karena
tubuhnya ditiup angin tak hentinya, Oe Ie Kun sadar dari pingsannya akibat
terjatuh tadi. Ia merasa nyeri dibawah perutnya, hingga ia mengasi dengar
rintihannya. Syukur ada juga sinar rembulan remang-remang, maka ia membuka
matanya dan mencoba mengawasi kesekitarnya. Ia mendapatkan banyak batu yang
aneh-aneh, ada yang seperti rebung, ada yang mirip binatang liar lagi mementang
cengkeramanrya. Syukurlah ia sudah biasa dengan pemandangan semacam itu, ia
menjadi tidak takut. Dengan memaksakan diri, ia mencoba bangun berdiri. Begitu
ia bergerak, begitu ia merasakan nyeri yang
sangat pula. Ia terus melihat kelilingan. Lantas ia merasa aneh! Disitu tidak
ada Bu Eng Jin orang yang terjatuh lebih dulu dari padanya
"Ah, dia tentu menyembunyikan diri..." pikirnya.
Didalam jurang itu tidak itu orang lain dan tak ada juga binatang liar. "kalau
dia terluka lebih ringan daripada aku..." Ia terkejut kalau musuh terluka ringan
bisa celaka ia. Apabila orang menyerangnya, mana sanggup ia melawan atau membela diri". "Ah.
sudahlah, terserah kepada Thian...." ia mengeluh didalam hatinya.
Anak muda ini bergerak pula. Ia mesti menyingkir dari situ, karena ia tidak kuat
berjalan, ia merayap-merayap tanpa tujuan, asal maju saja. Ia merayap dengan
hanya menduga-duga arahnya....
Hawa disekitar situ demak sekali. Anginpun tak ketahuan dari mana datangnya.
Saking dinginnya, ia menggigil....
Dengan lewatnya sang waktu, uap mulaii mumbul naik bagaikan awan, mirip dengan
cita putih yang halus dan jarang yang basah, karena ada tetesan-tetesan
keringatnya yang jatuh menetes. Karena tetesan uap itu, lama-lama tubuh Ie Kun
pun basah.... Terus anak muda ini merayap maju. Syukurlah tidak kecemplung langsung kedalam
kolam. Kalau tidak, pasti ia sudah mati kelelap.
Ditanah demak itu terdapat banyak daun pohom dan cabang-cabang kering, lama lama
telapakan tangannya Ie Kun terluka hingga mengeluarkan darah. Yang hebat yalah
lama-lama, iapun merabai kedua kakinya mulai beku berat untuk ditariknya. Tapi
ia menginsafi bahaya, ingin ia menolong diri, ia menguati hati. ia merayap
terus..... Akhir2nya,tibalah ia didalam gua. Tanpa banyak pikir lagi ia merayap masuk
kedalam gua itu. Tiba-tiba.... "Ha ha....! Kau juga datang kemari?" demikian satu sapaan dingin.
Ie Kun kaget sekali. Justru itu ia mendengar satu suara perlahan yang disusul
dengan nyalanya api, yang lantas menerangkan seluruh gua itu, hanya orang yang
menyalakan api itu, tak nampak jelas mukanya sebab ia terhalang sinar api yang
menyilaukan mata. Dalam herannya, ia berpikir: "Bukankah dia di Bu Eng Jin"
Kalau benar, habislah aku..."
Ia merasa tenaganya sudah habis tak dapat ia berkelahi lagi.
Orang tidak dikenal itu maju tiga tindak terus dia berkata: "Kita berdua sama
sama terkurung di sini, tidak dapat kita bertengkar pula! Di sana ada
pembaringan. Aku suka mengalah, pergilah kau rebahkan dirimu!"
Ie Kun tidak lantas menjawab. Ia mencoba bangkit, buat bertindak. Setelah ia
datang lebih dekat pada orang itu ia melihat seorang dengan tubuh berlumuran
darah. Dialah seorang muda dan dia bukan lain dari pada Bu Eng Jin si Manusia
tanpa bayangan. Kaget dan heran meliputi anak muda itu. Ia bingung. Ia mendapatkan pemuda itu
berusia sebaya dengannya. Selagi melengak ia mendengar pula suara si anak muda:
"Pembaringan itu, dapat menyembuhkan luka luka kau boleh coba rebah diatasnya!"
Orang bukan cuma berkata, diapun menolak tubuh Ie Kun keatas pembaringan batu
itu. Segera ia sudah rebah di atas pembiringan segera Ie Kun merasa sesuatu yang
aneh. Hawa dingin dari pembaringan itu menelusup masuk kedalam tubuhnya. Sejenak
itu ia menduga tentulah ada benda mujizat dibawahnya pembaringan. Itu, mungkin
itulah batu pualam. Tidak ayal lagi ia ingat pelajaran gurunya, yaitu pelajaran
duduk diam dengan pikiran dipusatkan, Ia bersemedhi!
Buat kira tiga jam lamanya. Ie Kun berdiam bagaikan ia tidur nyenyak. Waktu
kemudian ia membuka matanya, ia melihat si orang muda yang tampan lagi berdiri
menjublak mengawasi padanya. Hanya sekarang melihat orang mendusin, anak muda
itu lantas berkata gemas: "Nah, sekarang kita boleh mengadu kepandaian pula!"
Dengan kecerdasannya Ie Kun lantas dapat berpikir hingga ia berhasil menenangkan
hatinya hingga tak usah ia bergelisah ia merasa pasti Bu Eng Jin dari empat
puluh tahun dulu itu. Dengan sendirinya hatinya menjadi besar.
"Mari" katanya menjawab tantangan itu Ia terus melompat turun dan atas
pembaringan itu. Sekarang ini telah lenyap semua rasa nyerinya, ia menjadi sehat
dan segar seperti sediakala. Ia segera bergerak dengan dua jurus dari Thian Touw
Sam Sie yaitu "Cin Kouw Lui Tong" dan Cio Po Thian Keng.'' Maka juga kedua
tangannya lantas bergerak gerak menyebabkan timbulnya suara bagaikan badai dan
guntur! Bu Eng Jin segera terdesak, maka juga tubuhnya berkelebat mencelat ke luar gua
Ia melindungi dirinya dengan tipu silat "Thio Kong Soat Hoat." atau "Thio Kong
berkhotbah" kedua tangannya dipakai menolak serangan, tubuhnya berbareng
menyingkir. Ie Kun kagum hingga ia memuji juga kegesitan lawan itu, Ia lompat keluar, untuk
menyusul. Tiba di muka gua,
tampak Bu Eng Jin dari generasi muda itu tengah menantikan padanya. Ia
menghampirkan untuk mendahului menyerang. Ia maju dengan lompatan pesat Cit Chee
Tuo. Bu Eng Jin tertawa tubuhnya bergerak, bergerak juga kedua tangannya yang dipakai
mengancam. Habis berkelit ia menyerang. Setelah mengancam itu, tiba-tiba ia
mencelat mundur tujuh atau delapan tombak, terus ia berlompat naik keatas,
sembari tertawa. ia kata: "Maaf tak dapat aku menemani kau terlebih jauh!''
Sebentar saja nampak orang merayap di batu karang atau lantas dia lenyap didalam


Rahasia Gelang Pusaka Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kabut cuma terdengar suara tertawanya yang menandakan dia merasa senang dan
puas! Ie Kun menyesal tak dapat ia menyusul, maka terpaksa kembali ke dalam gua. Terus
ia bercokol pula diatas pembaringan. Saking iseng ia jadi berpikir: "Pembaringan
ini mempunyai khasiat menyembuhkan luka, mungkin ada khasiat lainnya. Kenapa aku
tidak mau melatih lebih jauh ajaran suhu perihal latihan Bu Siang Sim Hoat. Kaum
ahli dalam begitu dia ingat begitu ia bekerja. Dengan tenang ia memusatkan
pikirannya ia menyalurkan semua jalan darah atau otor-ototnya.
Ketika itu perlahan-lahan sinar matahari mulai nembus masuk ke dalam gua karena
itu. Dengan membuka matanya, Ie Kun dapat melihat ke sekitarnya. Gua itu bukan
bertembokkan tanah hanya batu. Apa yang menarok perhatian ialah pada tembok itu
ada ukiran dan tujuh atau dalapan orang, yang sudah tidak lengkap.
"Mestinya dahulu hari gua ini gua tempat pertapaannya orang berilmu" pikir Ie
Kun. Kecerdasannya membuat ia
menerka sesuatu. "Bukankah semua ukiran atau gerak gerik dari semacam ilmu
silat?" Tidak ayal lagi, ia turun dari pembaringannya. Ia menghampiri temnok untuk
meneliti. Ia menyesal sekali akan mendapatkan semua ukiran sudah tidak lengkap
lagi, bekas dikerik dengan senjata tajam.
"Bukankah ini perusakan oleh Bu Eng Jin?" ia menerka.
"Disini tidak ada orang lain?"
Meneliti lebih jauh, Ie Kun dapat memperhatikan sebuah ukiran meski tidak
lengkap dapat ia menduga-duga. Ia mengenali itulah gerakan mengundurkan diri
seperti yang tadi digunakan Bu Eng Jin buat lompat menerjang musuh.
"Ah....." ia mengeluh.
Memikir ukiran itu Ie Kun terus berdiam. Memang dengan berada sendirian saja,
tidak dapat ia bicara dengan siapa juga. Di dalam kesunyian, ia bisa merdengar
dengan nyata. Tiba-tiba di sebelah dalam gua itu, yang gelap, terdengar suara berkelisik,
menyusul dan tampak dua buah sinar mencilak bagaikan sinar bintang. Dengan
perlahan sinar itu bergeser maju keluar.
Ie Kun heran, ia mengawasi tajam. Sendirinya, hatinya menjadi tegang. Makhluk
apakah itu" Ia mengawasi terus tak berkedip. Dengan maju terus, sinar itu datang
makin dekat, sampai di lain saat terlihatlah wujudnya. Untuk lebih kagetnya Ie
Kun, ia mendapatkan seekor ular. Ya. ular berbisa! Ular itu panjang kira kira
lima kaki seluruh tubuhnya merah maron, kepalanya tajam lancip, seperti pesut
tubuhnya sebesar mulut. cangkir!
Dengan lantas Ie Kun mengeluarkan cit-chee piauw, dan tanpa sangsi lagi ia
mengincar dan menyerang kearah
binatang yang berbahaya itu. Tepat sekali serangannya.
Sang ular tertancap lehernya, seketika juga terkulai dengan lukanya mengucurkan
darah! Bertepatan dengan itu, dari sebelah dalam gua itu muncul lagi tujuh atau delapan
ekor ular merah lainnya. Tanpa menanti binatang-binatang itu datang mendekat padanya Ie Kun menyerang
pula. Tak ada piauwnya yang lolos, maka semua ular rebah binasa.
"Entah masih ada berapa banyak lagi di dalam sana?"
kata si anak muda dalam hati.
Ia bertindak perlahan-lahan ke arah dalam itu. Baru tujuh atau delapan tindak,
ia sudab terhadang sebuah tembok batu di mana terdapat cuma dua lubang,
dibelakang itu gelap, tak terlihat apa-apa.
"Mestinya itulah sebuah ruang lain" pikir Ie Kun.
"Bagaimana jalannya untuk masuk ke situ?" Ia meraba-raba tembok, ia tidak kena
pegang apa juga. Pikirnya pula:
"kalau ada alat rahasianya pasti aku telah kena merabanya...."
Selagi masgul mendadak Ie Kun menjejak tembok di depannya itu.
Tiba-tiba tembok itu bergerak sendirinya, bergerak naik, kemudian dia turun pula
dengan perlahan hingga rapat seperti sediakala tidak tampak lagi lubang itu.
Ie Kun kaget bercampur heran. Inilah pintu rahasia. Ia menjadi bersermangat.
Kembali ia menjejak, kembali tembok itu bergerak naik. Hanya kali ini, selagi
pintu rahasia terbuka, dengan berani ia lompat masuk. Ia menjaga diri dengan
menaruh tangan kanan di depan dada dan tangan kiri menggenggam cit chee piauw.
Ruang di dalam itu, sebuan kamar, kosong melompong.
Sekalipun meja atau kursi batu tidak ada barang sepotong, Ie Kun terus memasang
mata. Sesudah melatih diri tujuh belas tahun, dengan mahirnya tenaga dalamnya,
ia bisa melihat di tempat gelap, walaupun samar-samar.
Sambil mengawasi ke depan, Ie Kun berjalan maju. Baru saja dua tindak, ia telah
terhuyung, hampir ia jatuh. Ia merasa kakinya tenntang sesuatu. Cepat-cepat ia
tunduk dan melihat, ia mendapatkan sepotong batang bambu yang sudah pecah tapi
samar-samar bambu itu mengeluarkan sinar hijau.
"Apakah ini?" tanya ia dalam hatinya. Membungkuk, ia mencekal bumbu itu, lantas
ia mencabut. Maka ia mendapatkan bambu panjang empat kaki delapan dim, yang
beroman pedang, yang ada gagangnya. Itulah mirip pedang mainan anak-anak. Hanya
aneh siapa yang menancapkannya demikian dalam sebab lantai di situ lantai batu
karang" Karena keinginannya mendapat tahu, Ie Kun membawa pedang bambu itu keluar.
Ia menyalakan api, untuk dapat meneliti. Sekarang ia mengenali bambu itu ialah
bambu merah yang dinamakan cie tan tiok bambu bahan untuk pedang bambu. Bagian
tengah pedang itu, dari ujungnya sampai di atas gagang, ada bekas papasan dengan
pisau yang tajam. Itulah heran dan si anak muda menyayanginya.
Meneliti lebih jauh. Ie Kun melihat ukiran enam buah huruf yang merah seperti
darah. Hampir huruf-huruf itu tak dapat dibaca. Tiga huruf yang pertama yaitu
"Po Tek Kiam" artinya "pedang bambu rusak"
Tiga yang lainnya: "Cek Yang Cu."
"Mestinya itu nama orang, hanya siapakah dia?" Ie Kun tidak kenal dan juga tidak
pernah mendengarnya. Untuk mencoba mencari tahu terlebih jauh, Ie Kun masuk pula. Ia mencari dengan
teliti. Di dekat tempat di mana pedang bambu itu tertancap tadi, dapat
diketemukan kotaknya. Apa yang luar biasa, kotak itu indah sekali sebab ditaburi
dengan tujuh belas butir batu permata"
Ie Kun buka tutup kotak itu, kembali ia menjadi heran didalam situ kedapatan
satu buah, atau ubi, jinsom yang mestinya ubi tua seribu tahun. Ubi itu
terikatkan sehelai pita di mana ada sulaman huruf huruf yang berbunyi begini:
"Ini raja jinsom yang tua seribu tahun bersama-sama pedang Po Tek Kiam
ditinggalkan di sini untuk nanti didapatkan oleh orang yang berjodoh dengannya.
Di atas kotak pedang ini ada ukiran pelajaran ilmu silat pedangnya.
Pelajarilah itu dengan rajin dan tekun. Setelah berhasil orang akan tiada
lawannya lagi di kolong langit ini."
Hanya surat itu tanpa nama penulisnya, tanpa hari dan tanggal bulannya. Toh Ie
Kun girang bukan kepalang. Ia tahu khasiatnya jinsom itu yang dapat memperkuat
tubuh serta memperpanjang umur sedangkan pedang itu serta ilmunya, berharga tak
ternilai! Memang dipinggiran kotak terdapat delapan gambar kecil. Hanya sesaat itu, Ie Kun
tidak dapat menangkap artinya. Maka ia lekas pergi ke gua luar, untuk bercokol
pula diatas pembaringan. Lebih dahulu ya makan jinsom itu, baru ia menyalurkan
seluruh jalan darahnya. Selang sekian lama, tiba-tiba ia merasa tubuhnya segar
luar biasa. Ia mengerti bahwa kedua saluran darahnya yang utama yang dinamakan jim dan tok,
bakal terbuka. supaya tidak tersesat dan gagal, ia tidak mau memaksakan
pembukaan itu. Ia insyaf bahwa ia masih membutuhkan latihan terlebih
jauh, tenaga dalamnya sekarang masih belum mencapai batas kesempurnaan. Lantas
ia memahami gambar-gambar pada kotak pedang itu, terus ia mempelajarinya mulai
dari jurus pertama yang bernama 'Sin Hong Cwie Hie" atau
"Angin keramat bertiup"
Kalau ia gagal, ia menunda dulu, ia bersemadi lagi.
Demikian tanpa terasa, tiga bulan sudah ia mengeram diri di dalam gua itu. Tak
pernah ia merasa lapar. Itulah akibat khasiatnya jinsom. Selama itu, ia baru
berhasil memainkan tiga jurus. Jurus yang kedua dan ketiga ialah "Po Tek Hiang
Hie" "Bambu pecab berbunyi." dan ''Ban Hoat Kwie Cong"
"Selaksa ilmu kembali ke asalnya"
Pada suatu hari, Ie Kun mengulangi tiga jurusnya.
Ketika ia mulai dengan jurus yang keempat, mendadak tubuhnya mental jatuh tiga
tindak. Tapi itu membikin ia girang sekali. Ini berarti bahwa ia telah menguasai
jurus itu, yang tadinya ia keras memikirkannya tetapi tidak juga berhasil
menginsyafinya. Jurus keempat itu bernama "Gin Ho Han" artinya "Bima Sakti
Memancar" (bersambung ke jilid 5) Jilid 5 Tinggallah jurus yang kelima, yang masih memeras otak dan temponya. Sampai
delapan kali ia mencoba, ia tetap gagal.
Justeru ia tengah berpikir, mendadak dari luar gua ia mendengar suara ini yang
keras : "Aneh! Bocah itu rupanya dapat kabur!" Menyusul itu, terdengar tindakan
kakinya dua orang memasuki mulut gua!
Ie Kun terperanjat, lantas ia berdiam. Dari suara orang, ia menerka kepada Bu
Eng Jin. Hanya entah siapa kawannya itu. Ia pula tidak dapat menduga maksud
kedatangan orang. Lekas lekas ia mundur akan menyembunyikan diri.
Orang orang itu masuk terus. Segera terdengar pula suaranya Bu Eng Jin : "Inilah
dia pembaringan itu. Dengan jual beli kita ini, kau pasti tidak bakal rugi.
Jikalau kau tidak percaya, nah, kau cobalah !"
Satu suara tertawa yang dalam dan tawar terdengar, disusul dengan kata kata
ini : "Pastilah kau tidak berani memperdayakan aku si orang tua!" Rupanya dia
lantas mencoba naik di atas pembaringan yang mujzat itu, lantas hilang tertawa
dinginnya, tenganti dengan tertawa gembira!
"Bagus!" berseru dia kemudian. "Sekarang gelaran Bu Eng Jin aku serahkan padamu!
Juga ini pedang kau, aku wariskan padamu!"
Ie Kun heran sekali. Teranglah mereka itu berdua guru dan murid. Anehnya yalah
ada guru yang di sebelah mengajarkan ilmu silat pun mewariskannya gegamannya,
menghadiahkan sekalian gelarannya yang tersohor itu!
Ingin sekali Ie Kun melihat wajahnya Bu Eng Jin. Bu Eng Jin yang tua itu, si
guru. Akan tetapi ia bersangsi, ia kuatir, dengan berkelisik ia nanti tepergok.
Tengah ia ragu ragu itu, ia mendengar suaranya Bu Eng Jin yang muda, si murid
katanya : "Baik suhu, tetapi ingat, jikalau kau gunakan lagi gelaran Bu Eng Jin,
tanpa sungkan lagi. akan aku beber rahasia tentang pembunuhan delapan belas
pendeta wanita di kuil Cu In Am, sampai itu waktu, harap suhu tidak akan
mengatakan aku tak kenal kasihan!"
Atas itu terdengar suara dalam dari siorang tua : "Hm!
Tan Siang Seng, jangan kau berbuat keterlaluan!"
Bu Eng Jin muda, atau Tan Siang Seng, tertawa lebar.
"Suhu, sang tempo telah tiba !" kata dia. "Marilah lekas lekas kita melakukan
pemeriksaan!" Hanya terdengar suara angin, lantas gua menjadi sunyi pula.
Dengan cepat Ie Kun keluar dari tempat sembunyinya untuk menyusul. Karena telah
makan jinsom dan bersemadi tiga bulan di atas pembaringan mujizat itu,
kegesitannya bertambah. Sebentar saja, tibalah ia di luar lembah.
Kabut masih banyak maka itu, di atas tempat atau gunung yang tidak dikenal itu
terlihat bayangan dari tujuh atau delapan orang yang bergerak gerak. Tak dapat
mereka itu terlihat wajahnya, cuma terdengar suaranya.
Ie Kun heran. Siapa mereka itu" Apa perlunya mereka berkumpul di atas gunung"
Tentu sekali, ingin ia melihat mereka. Maka ia lekas lekas mengeluarkan dan
memakai topengnya, lantas ia bertindak dengan menggunai ilmu Cit Chee Tun. Tak
lupa ia mengasi dengar tertawanya yang menyeramkan itu ...
Gairah Sang Pembantai 2 Rajawali Emas 06 Kitab Pemanggil Mayat Tusuk Kondai Pusaka 5
^