Pencarian

Bocah Sakti 12

Bocah Sakti Karya Wang Yu Bagian 12


air mata melihat pertemuan yang mengharukan diantara ibu
dan anak itu. Lo In dilain pihak duduk membisu 1001 bahasa.
Meskipun demikian, pikirannya melayang-layang. Dalam
hatinya berkata, "Apa Liok sinshe itu Kwee Cu Git adanya " Kim Wan
Tahuto kata, Kwee Cu Git adalah ayahku. Tapi kenapa Liok
sinshe diam-diam saja tidak mengaku aku sebagai anaknya "
Dimana Liok sinshe dan Kwee Cu Git sekarang " Lalu, dimana
ibuku " Apakah dia sudah mati " Eng Lian sudah menemukan
kembali ibunya- oh, bagaimana girang kalau aku juga dapat
menemukan ibu yang melahirkan aku ke dunia ini............
Diam-diam Lo In juga jadi berkaca-kaca matanya, sedih
rupanya ia ingat akan nasibnya yang belum ketentuan ayah
ibunya. Ketika ia sedang menyusut air mata dengan tangan
bajunya, Lo In mendengar Eng Lian berkata,
"Adik In, kau harus memberi hormat pada ibu. Eh, kenapa
kau menangis ?" Eng Lian cepat melepaskan pelukan ibunya dan
menghampiri Lo In. "Adik In, kau kenapa ?" Eng Lian ulangi pertanyaannya
seraya mengusap-usap bahu Lo In.
"Aku menangis karena terkenang akan ibuku pula melihat
kau menemui ibumu. Entah dimana ibuku sekarang." sahut Lo
In, kembali si bocah berlinang-linang air mata.
"Kenapa kau sampai begini sedih ?" kata Eng Lian
menghibur, "sekarang aku ketemu ibu, lain kali giliranmu ketemu ibumu.
Kan sama juga ?" Meskipun hiburan Eng Lian ada ceplos-ceplos sekenanya,
tapi dianggap oleh Lo In benar juga perkataannya sang enci.
Ia ketawa nyengir pada Eng Lian lalu bangun dari duduknya
menghampiri nyonya Teng untuk memberi hormat. Nyonya
Teng senang nampak si bocah mendengar kata-kata anaknya,
tapi diam-diam ia merasa gegetun akan wataknya Lo In yang
barusan demikian sedihnya, sebentaran saja sudah berubah
gembira seperti tak ada kejadian apa-apa.
Juga kelakuan Eng Lian membuat ia bingung. Barusan si
gadis menangis sedih, berpelukan dengannya, sekarang
menuntun tangan Lo In untuk diajak duduk lagi berdampingan
sambil ketawa-ketawa, tidak nampak bayangan kesedihannya
barusan. Nyonya Teng jadi saling pandang dengan suaminya.
"Anak sian, seharusnya kau mengucapkan terima kasih
kepada Teng siokhu yang telah melindungi dan merawat ibu
serta adikmu dengan tak kurang suatu apa-" berkata nyonya
Teng sambil tersenyum. Eng Lian melirik pada Teng Hauw yang duduk tersenyum.
"Ibu, nama Eng Lian sudah melekat padaku. Maka
sebaiknya ibu panggil Eng Sian saja dari pada Leng sian yang
asing untukku." jawab sang anak seraya bangun dari
duduknya menghampiri Teng Hauw.
Nyonya Teng ketawa anaknya menolak mengganti
namanya dengan yang lama.
sementara itu Eng Lian sudah menjura pada Teng Hauw
seraya berkata, "Paman Teng, aku Eng Lian mengucapkan banyak terima
kasih, paman sudah ajak ibu dan adik tinggal sama-sama dan
semoga adik siong punya adik lagi..........."
"Hust " nyonya Teng memotong sang anak yang melantur
bicaranya, sambil ketawa nyonya Teng melanjutkan,
"Ibumu sudah jadi nenek-nenek, apa-apaan omong
melantur begitu ?" Eng Lian melengak heran dikatakan bicaranya jadi
melantur, Ia panas dan lalu menanya,
"Ibu, apa salah omonganku barusan " Bukan lebih baik
kalau ada adik lagi untuk temani adik siong ?"
Teng Hauw ngakak ketawa mendengar perkataan Eng Lian
yang polos. sebaliknya nyonya Teng deliki matanya pada sang
suami dengan paras semu-semu merahTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
Tapi nyonya Teng dapat menyelami watak sang anak yang
Jenaka berandalan ini, ia berkata,
"Anak Lian, sudah ada kau sekarang, buat apa adik lagi
buat menemani Leng siong ?"
"Mana bisa aku tinggal disini, aku mau pulang....." sahut
Eng Lian. "Pulang kemana ?" tanya sang ibu, memotong bicaranya
Eng Lian. "Pulang ke lembah Tong-hong-gay dengan adik In untuk
sama-sama lagi naik Tiauw-heng dan main-main dengan Jiehek
dan siao-hek- Hihihi........." Eng Lian ketawa ngikik seraya
melirik manis ke arah Lo In yang tengah ketawa nyengir
mendengar enci Liannya berkata mau pergi ke lembah Tonghong-
gay. "Siapa itu Tiauw-heng Jie-hek dan siao-hek ?" tanya
nyonya Teng, yang menjadi keheranan anaknya yang baru
ditemui kembali itu tidak mau tinggal sama-sama dengannya.
"Hihi, ibu tidak kenal Tiauw-heng, adik In " kata Eng Lian
(Bersambung) Jilid 12 Nyonya Teng sudah mau buka mulut lagi menanya, Lo In
sudah mendahului menerangkan siapa yang Eng Lian
maksudkan dengan Tiauw-heng,jie-hek dan Siao-hek. Ialah si
rajawali emas dan gorila-gorila yang menyeramkan apabila
orang baru melihatnya. "Selainnya itu," menjelaskan Lo In dalam ceritana,
"Kami juga ada punya banyak teman kawanan kera kecil
besar yang selalu menyediakan makanan berupa buahbuahan
untuk kami makan setiap hari. Di sana kami hidup
senang dan merdeka."
Nyonya Teng dan suaminya terbelalak matanya dan
berdebaran hatinya mendengarkan penuturan Lo In. Dalam
hatinya nyonya Teng berkata,
"Pantasan anak Sian wataknya agak liar, kalau begitu
campurannya dengan segala buronan-buronan hutan." Pedih
hatinya mengingat akan ditinggalkan pula oleh Eng Lian.
Tampak la murung. Sebentar lagi ia seperti kaget, katanya,
"Anak Sian, eh, Lian, bagaimana dengan adikmu siong
yang dibawa oleh Sucouwmu ?"
"Sucouw " Idiiih, aku takut sama sucouw." sahutnya sambil
melirik pada Lo In. si bocah tidak enak hatinya ketika semua
mata pada memandang padanya.
"Bibi dan paman harap legakan hati. Meskipun
kepandaianku rendah, tapi untuk merebut pulang enci Leng
Siong, aku sanggup lakukan. Kalau enci Lian takut, biar aku
sendiri yang pergi ke Coa Kok dan........"
"Tidak, tidak- Aku mesti ikut kau, adik In " memotong Eng
Lian seraya tangannya repot menekap mulutnya Lo In yang
tengah menghibur ibu dan ayahnya.
Nyonya Teng dan suaminya merasa lucu melihat tingkah
laku anaknya yang satu dari si kembar dua hingga mereka jadi
ketawa geli. Meskipun sangat duka dengan lenyapnya Leng siong, hati
mereka terhibur akan janji Lo In, si bocah sakti yang akan
merampas pulang anaknya yang tercinta Juga mereka tidak
kuatir Leng siong mendapat halangan apa-apa ditangannya
Lam hay Mo Lie seperti yang mereka dengar dari Eng Lian
bahwa Hantu Wanita dari Lautan Kidul itu sangat sayang pada
Eng Lian. Kepada Leng siong juga pasti Lamhay Mo Lie akan
menyayangnya, ditangannya malah bukan mustahil Leng
siong akan mendapat kepandaian silat yang tinggi seperti Eng
Lian. Dalam omong-omong lebih jauh, tiba-tiba nyonya Teng
merandek dalam kata-katanya,
"Tunggu " katanya seraya bangkit dari duduknya dan
masuk ke dalam. sebentar ia sudah keluar lagi dengan roman berseri-seri. Ia
mendekati Lo In dan berkata,
"Lo Hiantit, aku tidak punya apa-apa sebagai tanda kenangkenangan.
Kau terimalah ini warisan dari ayahnya Eng Lian."
Nyonya Teng berkata sambil angsurkan sejilid kitab mungil.
Lo In bermaksud menolak, tapi melihat barang yang
diangsurkan itu merupakan sejilid buku dan nyonya rumah
mengatakan adalah warisan dari ayah Eng Lian, ia jadi
kepingin tahu juga. Ia menyambuti seraya menghaturkan
terima kasih-Terus saja ia masukkan ke dalam sakunya tanpa
dilihat lagi apa judulnya buku.
Dengan mendapat restunya Teng Hauw suami isteri, Lo In
dan Eng Lian pada hari berikutnya memohon selamat berpisah
untuk menolong Leng siong. Belum jauh mereka jalan tiba-tiba
ada yang memanggil dari belakang. Lo In berpaling. Kiranya
yang memanggil ada Kie Giok Tong dan tiga saudaranya.,
masing-masing pada membawa bungkusan. Lo In dan Eng
Lian merandek untuk menantikan.
"Mereka apa-apaan menahan perjalanan kita ?" nyeletuk
Eng Lian kurang senang. "Husstt " kata Lo In.
"orang demikian hormat, masa kita tidak ladeni ?"
"Sengaja kita ngumpat-ngumpat pergi, siapa sih yang kasih
tahu mereka " "sudah tentu ayahmu yang kasih tahu mereka."
"Kapan aku sudah pesan jangan bikin berabe mereka.
Kalau kita sudah pergi boleh saja ayah dan ibu mengabarkan
pada mereka." "Tentu dengan diam-diam ayahmu mengabarkan karena
tidak enak untuknya kalau tidak mengabarkan sama sekali hal
kepergian kita." Eng Lian hanya mendengus mendengar penjelasan Lo In.
sementara itu Kie Giok Tong dan tiga saudaranya sudah
sampai. "Lo Hiantit, kau terlalu. Kalau kami tahu kau hari ini bakal
meninggalkan suyangtin, tadi malam kami tentu mengadakan
satu meja perjamuan untuk memberi selamat jalan kepada
kalian. Kami hanya mengantarkan barang-barang yang tidak
berharga ini, harap Lo Hiantit dan nona Lian suka terima baik,"
demikian Kie Giok Tong berkata seraya ia angsurkan barang
yang dibawanya, diturut oleh yang lain-lainnya.
"Terima kasih, terima kasih." kata Lo In.
"Menyesal tak dapat aku terima, lantaran berabe dibawa di
perjalanan." Melihat bungkusan-bungkusan diterimakan oleh suyangtin
si-houw (empat macan) tidak memberabekan kalau diterima,
maka Eng Lian menyela, "Adik In." katanya.
"orang demikian baik kepada kita, kenapa menolak tanda
kecintaannya " Mari aku yang mewakili terima " seraya
menerima bungkusan-bungkusan yang disodorkan oleh Empat
Macan. "Bagus, memang benar apa katanya nona Lian." kata Kie
Giok Tong, setelah ia menyerahkan bungkusannya, kecil tapi
agak berat. Lo In tidak bisa berkata apa-apa kalau encinya sudah
bertindak. Karena kalau ia tetap menolak bakal dapat delikan
tidak enak dari Eng Lian. Lalu ia punjadi menghaturkan terima
kasih kepada mereka yang menaruh simpati itu.
setelah omong-omong sebentar, dalam mana Kie Giok
Tong mengulangi pengharapannya agar si bocah sukses
dalam usaha mengambil pulang Leng siong. Mereka lalu
berpisahan. "Enci Lian, kan kita jadi berabe bawa-bawa bungkusan
begini banyak ?" kata Lo In dalam perjalanan selanjutnya.
"Berabe apa sih?"sahutsi nona ketawa.
"Mari kita cari tempat penginapan untuk memeriksa barangbarang
apa saja yang mereka bekali untuk kita."
Lo In tidak menyahut, hanya ia ketawa nyengir.
"Tapi ini apa, bungkusan kecil-kecil juga berat2 benar." kata
Eng Lian seraya angkat tinggi-tinggi bungkusan kecil yang
dihadiahkan oleh Kie Giok Tong.
"Coba kita lihat apa isinya." sahut Lo In seraya menyambuti
bungkusan tadi yang disodorkan Eng Lian kepadanya.
Ketika Lo In periksa isinya, ia menjadi kaget.
"Enci Lian, mari sini" katanya pada sang kawan yang
sedang repot, lagi memeriksa dan menaksir-naksir barangbarang
apa yang ada dalam bungkusan lain-lainnya.
Eng Lian menghampiri Lo In. Ia juga kaget melihat isi
bungkusan yang dibuka Lo In. Kiranya bungkusan yang berat
itu terisi lempengan uang emas dan perak. entah berapa
banyak timbangannya. Meskipun hati mereka kurang enak mendapat hadiah
demikian, mereka kegirangan juga sebab merupakan bekal
yang sangat dibutuhkan dalam perjalanan mereka yang
berkantong kosong. Apalagi Lo In tidak punya uang sama
sekali sebab dalam perjalanan dengan Bwee Hiang, selalu si
nona yang mengeluarkan biaya untuk makan, sewa
penginapan dan lain-lainnya.
Beberapa orang yang berlalu lalang tidak dihiraukan oleh
mereka, karena perhatian mereka dipusatkan pada isinya
bungkusan kecil yang berat itu.
setelah beberapa bungkusan lainnya dibagi dalam buntelan
masing-masing, mereka lalu meneruskan perjalanan.
Bungkusan uang disimpan pada Lo In. Bobotnya ada berat
juga. Tidak enak kalau bungkusan itu harus dibawa oleh Eng
Lian sebagai perempuan. Mereka berjalan dengan gembira. Keakraban mereka pada
3 tahun yang lalu tidak menjadi hilang disebabkan usia mereka
yang bertambah- Kegembiraan mereka meluap ketika melalul jalanan-jalanan
pegunungan yang pemandangannya mirip seperti di lembah
Tong-hong-gay. "Adik In, selama kau berpisahan denganku, apa kau tidak
merindukan pulang ke lembah kita di Tong-hong-gay ?" tibatiba
Eng Lian menanya, ketika mereka meneduh dibawahnya
sebuah pohon yang daunnya rindang.
"Aku merindukan." sahut Lo In.
"Cuma saja, ah, sudahlah........"
"Nah, tuh- Belum apa-apanya lagaknya sudah angot lagi."
Lo In heran dikatakan angot. Ia menanya.
" Angot apanya, enci Lian ?"
"Angot, kalau ngomong suka dipotong-potong. Kau kata
'sudahlah', apa maksudmu ?"


Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"oo, tentang itu. Aku maksudkan, kalau tidak dengan enci
Lian bersama-sama mana aku bisa betah tinggal di lembah
kita " Eng Lian tekap mulutnya yang mungil dan ketawa ngikik-
"Jadi, kalau tidak encimu, kau takut tinggal sendirian ?"
katanya. "Bukannya takut, cuma saja..........."
"Cuma saja apa ?" memotong si nona ingin tahu.
"Kalau aku sendirian jadi kesepian, pikiranku jadi linglung
dan bisa-bisa jadi gila "
"gilanya kenapa ?"
"Gila karena memikirkan enci Lianku yang bawel........"
Tiba-tiba saja dua jari Eng Lian, telunjuk dan jempol
mencubit lengan Lo In. "Anak nakal, masih belum kapok " Ah, tidak, jangan......."
si nona ngawur kata-katanya sambil cepat menarik pulang
tangannya yang mencubit. Kiranya Eng Lian mendadak kaget, setelah jari jarinya
mencubit. Cepat ia tarik tangannya takut Lo In menyalurkan
"siauw-thian-sin-kang" atau "Tenaga sakti membakar langit"
yang panasnya seperti besi dibakar.
Lo In mengerti maksud Eng Lian menarik pulang
cubitannya. Maka ia tertawa terbahak-bahak, sebaliknya Eng
Lian tampak merengut. si bocah melihat encinya jengkel lantas mencari akal. Ia
kata, "Enci Lian, mari kita lihat buku warisan ayahmu, pengasih
bibi Teng." sambil berkata Lo In merogo sakunya dan kasih keluar
buku pemberian nyonya Teng.
"Buku apa sih ?" tanya Eng Lian sambil duduk mendekati si
bocah- Hilang marahnya seketika dan tersenyum-senyum
manis lagi seperti biasa. Diam-diam Lo In geli hatinya melihat
sang enci yang aneh adatnya tapi ia lucu bahwa dirinya juga
ada aneh bin ajaib wataknya.
Muda mudi itu duduk berdempetan memeriksa judul buku.
Kiranya kita itu isinya adalah pelajaran caranya menggunakan
7- pisau terbang yang dinamai "Hui-to Pit-kip"-
Lo In balik-balik lembaran buku dan membaca isinya.
Dalam tempo singkat saja si bocah sudah dapat menangkan
inti sari dari "Hui-to Pit-kip" yang mencakup pelajaran melatih
Iwekang (tenaga dalam), sebab pisau terbang itu kurang
faedahnya kalau tidak disertakan dengan kekuatan tenaga
dalam. Jago cilik kita sudah sempurna Iwekangnya dan tinggi,
kepandaian silatnya- Tidak memerlukan segala senjata
rahasia, apalagi senjata pisau terbang segala-
Kepandaian Liok sinshe yang luar biasa sudah diwariskan
semua kepada si bocah-Belakangan ternyata tidak terbatas
pada kepandaian Liok sinshe saja sebab diam-diam Lo In
sudah menggodok lebih sempurna dan menciptakan tipu-tipu
serangan yang lebih mudah dan lebih lihai dari apa yang ia
dapat pelajari dari ajaran Liok sinshe.
Tampak ia kerutkan keningnya, setelah membaca isinya
buku. "Mari kasih aku yang meyakinkan." kata Eng Lian seraya
merebut buku yang tengah dipegangi Lo In.
" Kau sudah tidak memerlukan pula yang beginian, tapi aku
sebaliknya. Aku harus mempelajarinya karena ini adalah
warisan dari ayahku."
Lo In ketawa serta angguk-anggukan kepalanya.
"Tapi enci Lan." kata Lo In.
"Bukankah kau juga tidak memerlukan senjata rahasia
pisau terbang " senjata rahasiamu Bu-im-in-coa1 sudah lebih
dari cukup kau gunakan."
"Itu kan punyanya Kim Coa siancu. Aku sudah tidak
menjadi Siancu lagi, mana dapat aku menggunakannya. Bisabisa
aku mendapat hukuman sucouw."
"Dan itu, Kim-coa, bagaimana ?"
"Ah, tidak sembarangan aku menggunakan ular emasku."
"Kenapa tempo hari kau sembarangan gunakan menyerang
adikmu ?" "Adik In, kau gila " Masa encimu begitu kejam kalau tahu
kau adalah adikku ?"
"ya, tapi boleh dikata kau sudah berlaku sembarangan."
" Kapan " Waktu itu aku masih menjadi siancu."
Lo In termenung, pikirnya, benar juga perkataan sang enci.
Ia berkata, "Baiklah, kau pelajari senjata rahasia pisau terbang itu. Apa
yang kau kurang terang boleh tanyakan aku. Nanti adikmu
akan memberi penjelasan."
senang hatinya Eng Lian. "Adik In, kenapa kau demikian memperhatikan aku ?"
"sebab kau sangat baik sekali padaku, enci Lian."
"Bagaimana dengan enci Bwee Hiangmu?"
Kaget Lo In mendengar disebut namanya Bwee Hiang
seperti saat itu barusan saja ia ingat, sedang Bwee Hiang
sudah lama menghilang dan perlu dicari-
"Enci Lian dan enci Hiang sama baiknya padaku." sahut Lo
In kemudian. "sama artinya tidak ada perbedaan sedikit juga ?" tanya
Eng Lian ketawa- Lo In juga ketawa nyengir jawabnya,
"Tentu saja ada- Perasaanku lebih dekat dengan enci Lian
dan juga enci Lian ada lebih..........ah, sudahlah-"
"Nah, tuh, mulai angot lagi dengan watakmu- Lebih apa sih
?" "Enci Lian lebih cantik dari enci Hiang......." Lo In
menyatakan polos. Meskipun begitu, si bocah sudah siap sedia untuk
menyambut tangannya Eng Lian yang diduga bakal
menyambar lengan atau pipinya untuk dicubit.
Tapi Lo In kecele, Eng Lian tidak melakukan penyerangan,
sebaliknya ia ketawa ngikik dan kasih lirikan manis
mempesonakan ke arah si bocah, siapa, meskipun belum tahu
apa-apa sedikit banyak terkesiap juga nampak tingkah laku
sang enci. Ia pun lantas ketawa dan keduanya jadi pada
ketawa gembira. "Adik In, encimu akan bantu kau mencari enci Hiang mu."
kata Eng Lian wajar. Lo In jadi kegirangan mendengar
perkataan Eng Lian. Mendengar perkataan Lo In bahwa si bocah lebih dekat
padanya dan ia lebih cantik dari Bwee Hiang, hati Eng Lian
merasa senang dan tidak khawatir si bocah berwajah hitam
akan dimiliki Bwee Hiang. Ia sendiri heran kenapa hatinya
tidak menginginkan Lo In dimiliki orang lain. entah kenapa, ia
juga tidak tahu. Demikian, dua muda mudi itu dibawah pohon sambil
mengadem telah meyakinkan "Hui-to Pit-kip?" Ada beberapa
bagian yang kurang jelas, Eng Lian lantas menanyakan pada
si bocah yang dengan gembira telah memberi penjelasan.
setelah lama juga mereka belajar, Lo In kelihatan bangkit
dari duduknya dan ngeloyor mendekati pohon yang tidak jauh
dari mereka, Ia memotong dua cabang pohon itu dengan
pedangnya (pedang Liok sinshe)- Ia heran nampak tajamnya
pedang seperti baru nempel cabang pohon tertabas kutung, Ia
coba ke dahannya, eh, putus juga dengan mudahnya. Lalu
bongkot pohon ia tabas perlahan,juga terpapas dengan
mudahnya. "Enci Lian, coba kau kemari " serunya kepada si nona yang
sedang asyik membaca "Hui-to Pit-kip"-
"Ada apa sih adik In ?" sahutnya seraya bangkit dari
dudukna, akan tetapi matanya masih terus membaca buku
yang dipegangnya. Ketika Eng Lian sudah datang dekat, Lo In berkata,
"Enci Lian, coba lihat " sambil berbareng ia menabas
perlahan pada bongkot pohon yang sebesar mang kok. pohon
mana segera tumbang seketika.
Eng Lian terbelalak matanya-
"Adik In, kenapa tajam amat pedangmu ?" tanyanya, seraya
mendekati Lon dan minta lihat pedang luar biasa itu.
Lo In sudah lantas menyerahkan. Eng Lian meneliti muka
dan belakang pedang, tidak ada yang istimewa. Pikirnya
pedang begini jelek, kenapa begitu tajam.
" E h, adik In, ini apa ?" seru si gadis ketika ia meneliti
sampai pada gagangnya. "Kwee Cu Gle Toan-kiam, bukan ?" sahut Lo In yang sudah
menduga lebih dahulu. "Betul, betul. Apa kau sudah tahu ?" tanya si nona-
"Tadinya aku tak tahu, tapi toako (dimaksudkan Kim Wan
Thauto) yang kasih tahu padaku. Tapi aku heran, kenapa dia
berada di tangan Liok sinshe."
"Mungkin Liok sinshe adalah Kwee Cu Gie- siapa sih Kwee
Cu Gie ?" " orang bilang Kwee Cu Gie adalah ayahku, tapi entahlah "
"Bagus, bagus. Kalau begitu kau masih punya ayah. Mari
kita cari sekalian."
Lo In diam. termenung. tiba-tiba melayang pada waktu ia
berkumpul dengan Liok sinshe, orang baik yang
memperhatikan dirinya. Liok sinshe itu apakah ayahnya yang
bernama Kwee Cu Gie " Tapi, kenapa dia tidak mengaku anak
pada dirinya " Ia ingat ketika Liok sinshe mau menuturkan
suatu kisah, tiba-tiba lilin ditiup padam oleh Liok sinshe,
kemudian mereka diberondong senjata piauw beracun.
Pertempuran hebat dibawahnya hujan lebat, dimana Liok
sinshe dikeroyok banyak orang, berbayang saat itu di depan
matanya. "Hei, kau lagi ngelamun apa ?" Eng Lian menegur, seraya
menowel lengan orang. Lo In seperti baru sadar, cepat pungut dua cabang pohon
yang ia barusan tebang. Kemudian bersama Eng Lian
menghampiri ke bawah pohon pula.
"Adik In, ini adalah pedang mustika, kasih aku pakai saja,
boleh ?" Eng Lian tanya.
"Tentu saja boleh- Malah maksudku untuk menghadiahkan
itu pada enci." "Hihi, pedang orang mau dihadiahkan pada encimu." si
gadis ketawa. "Pedang orang, bukan orang lain. Boleh kan barang punya
ayah sendiri dikasih enci untuk tanda mata. Hahaha........."
Lo In berkata sejujurnya, tidak bermaksud apa-apa dalam
perkataannya, sebaliknya Eng Lian yang sudah "matang",
kata-kata Lo In dianggap serius, maka parasnya lantas saja
berubah semu merah dan menundukkan kepala.
Si nakal tidak tahu apa yang sedang dipikirkan sang enci, ia
berkata, "Enci Lian, mari aku pinjam dahulu pedangnya untuk
membikin pisau-pisauan guna kau latihan."
si nona angsurkan pedangnya yang diminta si nakal tanpa
kata apa-apa. Ia kemudian duduk pula seraya membuka-buka
lembaran kitab "Hui-to Pit-kip", seakan-akan yang betul-betul
tengah meyakinkan isinya buku, padahal pikirannya melayanglayang
ngelamun akan kebahagiaannya yang bakal datang.
Tapi dasar gadis nakal berandalan, apa yang dipikirkan
barusan, hanya sebentaran saja mengganggu otaknya sebab
dilain saat ia sudah melupakan itu semua.
Ia menegur Lo In, "Adik In, mana pisaunya " Lama amat membuat tujuh bilah
pisau saja- Kau bikin apa lagi ?"
"Enci, kau main gampang saja, kan sudah bikinnya." sahut
Lo In. "Jangan bagus-bagus, asal berbentuk sedikit pisau saja
sudah cukup " Baharu si gadis berkata "cukup", Lo In sudah ada di
depannya, sambil kasih lihat tujuh bilah pisau buatannya, si
bocah berkata, "Nih, lihat buatan adikmu, bagus tidak ?" Eng Lian
menyambuti, "Kenapa bagus amat ?" katanya, setelah memeriksa.
"Ini kepanjangan." sahut Lo In.
"Pisau yang aslinya nanti kita suruh orang bikin, palingpaling
juga panjangnya empat cun (dim)-Eng Lian kegirangan
melihat adik In-nya bisa kerja cepat.
si nona sudah memiliki Iwekang, tidak perlu lagi ia
menghapal dari kitab "Hui-to Pit-kip", cukup ia meyakinkan
cara menyambitkan pisau. otaknya terang, maka dalam tempo pendek ia sudah dapat
mengingat petunjuk-petunjuk di dalam kita. Maka ia lantas ajak
Lo In untuk melatih diri si bocah yang sangat cerdik, dapat
memimpin Eng Lian berlatih dengan pisau terbangnyasedang
mereka kelelap dalam kegembiraan melatih Hui-to,
tiba-tiba mereka berhenti berlatih ketika nampak ada kira-kira
sepuluh orang datang menghampiri dengan masing-masing
ada membawa senjata tajam ditangannya-Lo In heran melihat
kedatangan mereka, begitu banyak dengan membawa senjata
-"Mereka mau apa-apaan datang kemari ?" tanya Eng Lian
pada Lo In. Lo In geleng kepala dan menunggu mereka datang
dekat. seorang dengan muka berewokan bengis berkata pada Lo
In, "Anak kecil, barusan kau ada bawa-bawa buntelan kecil
berisi mas dan perak- Mana dia ?"
"Dari mana kau tahu ?" tanya Lo In heran.
"Barusan orangku melihat kau ada membuka bungkusan
kecil" "Habis, kau mau apa kalau aku betul membawanya ?"
"Aku minta kau serahkan bungkusan itu kepaaku Hek-in
Touw Liong (si Mega Hitam). Kalau kau tidak menurut, kau
lihat ini apa ?" sambil acungkan goloknya.
"Hihihi " tiba-tiba saja Eng Lian ketawa terpingkal-pingkal.
"Apa yang kau tertawakan, budak kecil ?" tanya Hek-in
Touw Liong heran. "Barang itu memangnya kau punya, makanya minta
diserahkan?" sahut Eng Lian.
"Bukan aku punya, tapi justru aku mau dapati itu dari
kalian." "Enak saja kau ngomong. Bisa tidak dapatinya ?"
"Kenapa tidak bisa " Kalau secara halus kalian tidak mau
menyerahkan, melakukannya dengan kekerasan. Kalian anakanak,
bau pupuk di kepala aja masih belum hilang. Mau


Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melawan dengan apa ?"
"Matamu buta, tidak mengenali nonamu siapa ?" bentak
Eng Lian. "Aku tahu sebab kaujuga akan kami ringkus untuk
dipersembahkan kepada pemimpin kami."
"siapa pemimpin kamu namanya dan dimana tinggalnya ?"
"Tidak perlu banyak tanya, lekas serahkan barang yang
diminta " "Kalau aku tidak mau kasih ?" ngeledek Eng Lian, gembira
ia kelihatannya kalau sudah menghadapi pertempuran.
Lo In tinggal berdiri saja menonton encinya bertengkar.
"Maju semua " berseru si berewokan kepada temantemannya.
Mereka itu ada orang-orang jahat yang mengacau
keamanan sekitar tempat itu. Tadi ketika Eng Lian dan Lo In
memeriksa bungkusan pemberian Kie Giok TOng, rupanya
ada salah satu orangnya yang melihat dan mengabarkan pada
kepalanya- Maka juga Lo In dan Eng Lian yang sedang enakenakan
melatih Hui-to telah disatroni. Apa mau mereka
kebentur tembok, bukannya kebentur pagar bambu yang
amoh. Lo In sama sekali tidak bergerak melihat sepuluh orang
datang menyerbu. Ia menonton enci Liannya dikepung. Kaget dan dan heran
juga ia melihat sang enci gunakan pisau kayunya yang
barusan dilatih, satu demi satu kena disambit roboh oleh pisau
kayunya. Malah serangannya jitu benar sebab yang dituju
persis jalan darah pada tubuh orang sehingga mereka pada
roboh tanpa dapat bangun lagi.
Hek-in touw Liong merasa cukup tujuh orangnya untuk
menangkap Eng Lian, maka ia dengan dua kawannya
menghampiri Lo In. Maksudnya hendak menangkapnya.
Dengan beringas mereka menyerang, tapi dengan meringis
mereka mundur kesakitan. Mukanya seperti dihantam
segumpal pasir dengan hanya dikebas tangan bajunya Lo In.
Dengan ketakutan mereka memutar tubuh hendak lari, tapi
dengan satu kebasan lengan baju si bocah sakti membuat
mereka roboh berbareng. Kakinya lemas, tak dapat diperintah
untuk lari. Kepaksa mereka mendeprok dengan ketakutan.
semuanya telah dibikin rebah tak berdaya. Tujuh orang oleh
Eng Lian dengan totokan pisau kayunya, tiga orang dengan
totokan angin lengan bajunya Lo In. si nona dan si bocah
ketawa terkekekh nampak semua itu.
Kemudian mereka melanjutkan latihannya tanpa
menghiraukan pada orang-orang yang rebah tertotok itu.
Ketika mereka sudah merasa cukup berlatih, Lo In berkata
pada Eng Lian, "Hui-to Pit-kip rupanya berjodoh dengan enci Lian. Maka
juga dengan sedikit waktu saja kau telah dapat yakinkan
hampir mahir betul. Baik kita membuat Hui-to yang bagus
pada satu pandai besi yang ahli- Kita nanti pilih salah satu
yang baik bikinannya, kepada siapa kita boleh suruh bikini"
"Dimana kita dapat cari pandai besi yang baik, adik In ?"
tanya si nona. "Kita toh dalam perjalanan, sepanjang jalan kita boleh
tanya-tanya pada penduduk-siapa tahu kita kebetulan
menemui pandai besi yang ahli, bukan ?" Eng Lian kegirangan
mendengar perkataan Lo In.
"Mari kita jalan." kata lagi si bocah seraya memungut
pedang yang menggeletak ditanah kemudian menyerahkan
pada Eng Lian sambil katanya,
"Kau lebih memerlukan. Maka peganglah pedang ayahku
ini sebagai tanda mata." Lo In berkata sambil ketawa nyengir
seorang bocah- "Terima kasih-" kata Eng Lian seraya menyambuti lalu
gantung pedang "tanda mata" itu dipinggangnya yang ceking
langsing, Ia tidak ketawa kegirangan, hanya lantas mendahului
Lo In, jalan seperti malu.
sejenak Lo In merasa aneh dengan kelakuan sang enci
diluar kebiasaannya. Hanya sejenak perasaan aneh itu timbul,
lantas ia sudah menyusul dan berseru,
"Enci Lian, jangan cepat-cepat jalan. Memangnya mau
menyusul siapa ?" Lucu lagaknya si bocah. Ia tidak tahu akan perasaan si
gadis cilik yang hatinya mulai dikacaukan oleh panah dewi
asmara. Eng Lian juga hanya sepintas lalu timbul perasaan kikuknya
karena segera ia kembali kepada sikapnya yang riang
gembira- "Adik In." katanya sambil menantikan adik In-nya yang
menyusul di belakang. "Kau jalan lambat amat sih- Mana ada waktu encimu
menungguimu- Aku sebal melihat itu sepuluh manusia tidak
tahu diri" Lo In ketawa nyengir setelah berada di samping Eng Lian.
"Anak penakut " kata Eng Lian berguyon seraya mencubit
perlahan pipi si hitam. "Baru ditinggalkan sebegitu saja sudah ketakutan. Hihi......."
"Memang aku ketakutan." sahut Lo In kontan.
"Ketakutan pada teman-temannya itu sepuluh orang yang
tidak punya guna ?" "oo, bukan itu. Manusia begituan, biar didatangkan
segerobak lagi juga tidak aku tinggal lari."
"Habis, kau ketakutan sama siapa ?"
"Aku ketakutan kehilangan enci Lian." Lo In kata, mukanya
yang hitam ketawa. "Ah, adik In........." hanya ini yang keluar dari mulut Eng Lian
yang mungil lalu ia ajak Lo In untuk melanjutkan
perjalanannya. Dalam sedikit waktu saja, sikapnya Eng Lian sudah wajar
lagi. Ia banyak ketawa ngikik lantaran si bocah ngobroinya
membikin urat-urat ketawa tergerak-
"Ah, ada kerjaan lagi " kata Lo In tiba-tiba-
"Kerjaan apa, adik In ?" Eng Lian menanya heran.
"Mereka menyusul kita." sahut Lo In.
"Mari kita gunakan jalan cepat saja supaya mereka tak
dapat menyusul kita."
"Jangan." kata Eng Lian.
"Kita harus kasih hajaran dulu, baru kita tinggal mereka
pergi." "Tapi, aku harap kau jangan bikin luka mereka "
"Buat apa aku membikin luka orang. Aku hanya mau mainmain
saja." "Baiklah, mari kita tunggu." kata Lo In seraya tarik
tangannya Eng Lian buat diajak duduk dipinggiran jalanan
dimana ada terdapat batu besar. Mereka duduk menunggu.
Lama juga belum kelihatan mereka datang. Eng Lian
ketawa ngikik dengan tiba-tiba.
"Adik In, kau hanya ingin duduk berdekatan dengan encimu
saja sebab apa kau katakan tidak ada orang-orangnya " kata
Eng Lian. "Aku barusan bilang mereka masih jauh- Tapi sekarang
sudah dekat. Bukankah itu banyak suara kaki orang
mendatangi " Malah ada yang naik kuda segala
kedengarannya" si bocah kata seraya diam pasang kuping. Eng Lian juga
pasang telinganya. Belum sempat Eng Lian berkata kepada Lo In, segera
dihadapan mereka sudah ada tiga orang penunggang kuda
yang ketawa terbahak-bahak nyarinG sekali. Setelah berhenti
ketawa, satu diantaranya yang mulutnya agak mengok ke
kanan telah berkata, "Aku kira tadinya dua orang dengan badan tinggi besar
menyeramkan dan masing-masing bertangan empat. Tidak
tahunya hanya dua bocah ingusan saja. Hahaha - haup oho,
oho........." kata-katanya terhenti karena selagi ketawa ada menyambar
suatu benda ke mulutnya hingga ia gelagapan dan batukbatuk-
Ia rasakan seperti ada yang nyangkut
ditenggorokannya. "Kau kenapa, toako ?" tanya temannya heran,
si mulut mengok tidak menjawab, sebaliknya ia berkutat
untuk mengeluarkan benda yang nyangkut dalam
tenggorokannya. Air matanya bercucuran keluar tidak nangis,
mulutnya owa owe bertahak tak hentinya.
setelah lama ia disiksa oleh benda yang nyangkut dalam
tenggorokannya, akhirnya dapat juga benda itu dikeluarkan.
Kiranya benda itu hanya selembar rumput alang-alang yang
panjangnya kira-kira tiga cun berujung tajam.
sementara itu, orang-orang yang berjalan kaki mengikuti
tiga penunggang kuda itu sudah ada disitu, pada berdiri siap
dengan senjatanya masing-masing. Mereka pun heran
nampak pemimpinnya owa owe seperti wanita ngidam
(mengandung bayi) sampai bercucuran air mata dan payah
benar kelihatannya, malah hampir-hampir ia jatuh dari
kudanya. sambil melemparkan rumput alang-alang yang menyulitkan
tenggorokannya tadi, si mulut mengok mendelik matanya ke
arah Eng Lian yang saat itu tengah ketawa terpingkal-pingkal
sembari memegangi perutnya.
"Budak liar " bentaknya.
"Kau yang main gila barusan pada tuan besarmu Hm "
seiring dengan kata-katanya, cambuk kudanya diangkat
untuk menghajar si gadis nakal.
"Pluk " terdengar suara barang jatuh yang semestinya
berbunyi "Tar Tar " tandanya cambuk kuda bekerja. Tapi ini
suara "Pluk "yang kedengaran. Kiranya suara pluk adalah
suara pecut si mulut mengok yang jatuh sebelum dia dapat
digerakkan menghajar Eng Lian, tetapi telah didahului oleh
Eng Lian yang mengirim pisau terbang kayunya mengarah
jalan darah dibahunya. Kembali si mulut mengok dirugikan, sebelum ini ia dirugikan
oleh Lo In yang mengirim rumput alang-alang ke mulutnya
sehingga bersemayam ditenggorokannya karena si bocah
merasa sebal dengan lagaknya yang tengik si mulut mengok
tertegun di atas kudanya.
"Toako, dua bocah ini rupanya bukan sembarangan bocah-
Mari kita bereskan saja " berkata temannya yang bermuka
lonjong. " ya, jangan kita buang tempo-" menimpali temannya yang
satu yang berjenggot kambing.
si mulut mengok sudah lantas turun dari kudanya diikuti
oleh dua temannya la la u menghampiri Eng Lian yang ada
disampingnya Lo In. "Adik In." bisik si dara cilik,
"Kau diam saja nonton. Biar aku yang bereskan tiga kurcaci
ini. Akan kubikin satu persatu jatuh duduk dan berlutut
padaku" Lo In diam saja, hanya manggut sambil ketawa nyengir.
"Hei, kalian ini anak siapa ?" tiba-tiba si mulut mengok
membentak nyaring. Eng Lian dan Lo In diam saja, tidak
menjawab bentakan yang nyaring itu.
"Kalian tidak dengar pertanyaan Lie Toaya ?" bentaknya
lagi lebih nyaring. Lie Toaya artinya tuan besar Lie.
Melihat dua anak itu tinggal diam saja, si mulut mengok jadi
gusar. Bentaknya lagi lebih nyaring,
"Aku Lie Kiang tidak pernah membunuh anak kecil. Maka
itu lekas kalian panggil orang tua kalian datang terima binasa
di ujung golok Toaya "
Tadi Lo In dan Eng Lian mau tinggal diam saja menonton
lagaknya si mulut mengok dan mau lihat apa yang ia bisa
bikin- Tapi mendengar kata-kata si Lie Toaya yang mengitik
urat ketawa, tiba-tiba saja Eng Lian ketawa ngikik-
Tiga orang yang naik kuda itu tiga saudara she Lie, bukan
seayah seibu- yang tua Lie Kiang (si mulut mengok), kedua Lie
Sun (si muka lonjong) dan ketiga Lie Bin (sijeng got kambing).
Dalam desa Tiokschung mereka dikenal dengan nama
Tiokschung-sam-lie (Tiga Saudara Lie dari Tiokschung) dan
menjadi jagoan yang tak terkalahkan dalam kampungnya.
Maka juga mereka ada sangat sombong dan pandang
sesamanya sangat rendah-Melihat Eng Lian ketawa ngikik, Lie
Kian atau si mulut mengok menjadai heran.
"Kau ketawakan apa ?" bentaknya bengis.
"Aku ketawakan lagak tengikmu " sahut Eng Lian kontan.
"Dengan anaknya masih belum tentu menang, mau
menantang orang tuanya. Apa-apaan ?"
"Toako" nyeletuk Lie sun.
"sudah jangan banyak cakap- Timpa saja sekali dengan
gagang golok, biar dia tahu rasa "
"Ah, yang beginian sih, ginikan saja.......aduh " Lie Bin
berjengit sambil lompat mundur dan meraba jenggot
kambingnya yang telah kehilangan beberapa lembar hingga
matanya mendelik ke arah Eng Lian yang nakal.
Kiranya si jenggot kambing ada sedikit nakal juga terhadap
cewek (wanita). Melihat si dara cilik demikian cantik dan
Jenaka, mendadak timbul napsunya ingin memeluk Eng Lian.
Maka ketika ia kata "ginikan saja............1 berbareng ia hendak
memeluk si dara cilik- Tidak tahunya bukan Eng Lian kena
dipeluk dan meronta-ronta ketakutan, sebaliknya si dara cilik
lenyap dari depannya sambil mencuri beberapa lembar
jenggot kambingnyasementara
Lie Bin mendelik matanya, Eng Lian di
depannya ketawa ngikik- sambil angkat tangannya yang
menggenggam beberapa lembar jenggot Lie Bin, ia berkata,
"Awas Kalau kau berani kurang ajar lagi, akan kucabut
semua jenggotmu yang macam jenggot kambing itu"
Lie Kiang dan Lie Bin tak dapat menahan hatinya yang
mendelu. Tanpa banyak cakap, mereka menerjang Eng Lian.
Mereka hendak menangkap si nona untuk dikasih berapa
cambukan pantatnya sebagai hajaran.
Lie sun tidak turut. Karena pikirnya ia harus mengawasi si
bocah hitam. Kalau-Kalau Lo In nanti membantu kawannya, ia
lantas dapat merintanginya. Pikirannya sih memang baik,
hanya ia tidak tahu si bocah wajah hitam itu ada Hek-bin-sintong
atau siBocah sakti muka hitam. Kalau ia tahu siapa
dirinya Lo In, tentu ia sudah lari tunggang langgang dengan
tidak menengok ke belakang lagi-
Lo Inpun tidak ada maksud membantu kawannya karena ia
sudah dipesan Eng Lian bahwa ia hanya disurun nonton enci
Liannya berkelahi- Lie Kiang dan Lie Bin yang semula hanya bermaksud
menangkap si dara cilik untuk dihajar dengan cambukmenjadi


Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sengit dan menyerang dengan pukulan-pukulan yang
ganas, melihat Eng Lian telah mempermainkan dirinya-
Tapi Eng Lian tidak takut- Memang maunya dia, dua jago
dari Tiok-chung itu mengeluarkan kepandaiannya yang aslisaking
gemas dan sengitnya, serangan-serangannya mereka
telah menimbulkan angin keras yang membikin orangorangnya
yang menonton disekitarnya pada mundur jauh-jauh
takut kesambar angin pukulan.
Melihat dua saudaranya tidak bisa berbuat apa-apa
terhadap si gadis cilik, diam-diam hatinya Lie sun menjadi
cemas, Ia tinggalkannya Lo In dan bantu mengepung Eng
Lian. "Bagus, kalian sudah datang komplit " seru Eng Lian
Jenaka. "Awas, aku nanti bikin kalian satu demi satu jatuh berlutut di
depan nona kecilmu. Hihihi........" Eng Lian ngeledek
Tiokchung-sam-lie sehingga tiga jago itu menjadi sangat
gusar. Benar bukan omong kosong kepandaian tiga benggolan
Tiokchung itu. serangan-serangan mereka dilakukan dengan
teratur dan hebat sekali hingga diam-diam Lo In kuatirkan
encinya salah tangan dan celaka di tangan mereka. Dengan
turunnya Lie Sun jalan perkelahian tambah seru lagi.
Tampak Eng Lian dikurung rapat oleh tiga saudara Lie, tiputipu
serangan yang berbahaya dilancarkan dengan sengit ke
arah Eng Lian. Timbullah seketika keganasan mereka untuk
melenyapkan si dara cilik dari muka bumi ini.
sampai dimana tingginya kepandaian Eng Lian dapat dinilai
dari caranya ia melayani tiga orang lawannya yang bukan
rendah kepandaiannya, sampai angin pukulan mereka
menghembus dan menakutkan para begundalnya yang
menonton disekitarnya. sampai begitu jauh si nona tidak balas
meyerang, hanya berkelit saja.
"Awas " tiba-tiba Eng Lian berseru. Berbareng
bayangannya berkelebat dan jenggotnya Lie Bin kena
dijambret sehingga seketika Lie Bin berhenti mengeroyok dan
berdiri tertegun sambil meraba jenggotnya yagn sudah mulai
gundul. Meluap amarah Lie Bin dan ia menerjang lagi Eng
Lian dengan sengitnya- "Awas " kembali si nona berseru- "Plak Plak " menyusul
suara tamparan dua kali- Tampak tubuhnya Lie Kian terhuyung-huyung kemudian
jatuh duduk- Ia rasakan dunia berputar, kepalanya pusing
tujuh keliling, dari mulutnya keluar kecap segar. Lucu
kelihatannya Lie Kiang, mulutnya yang agak mengok seperti
betul-betul mengok akibat kerasnya tamparan si dara nakal-
Untuk merobohkan Lie Kiang sampai semaput demikian,
Eng Lian telah menggunakan jurus ketiga dari "Lam-hayciang-
hoat" (Ilmu pukulan dari laut kidul) yang dinamakan
"Lam-hay-liu-sui" atau "Air mengalir dari Laut Kidul"- Lihainya
jurus ketiga dari "Lam-hay-ciang-hoat" itu dapat menimbulkan
perasaan aneh bagi korbannya- Tamparan Eng Lian bukan
sembarang tamparan sebab taparan biasa paling-paling juga
membikin kecap serta ada dua sampai tiga buah giginya yang
rontok atau copot. Tetapi akibat tamparan dari "Lam-hay-liusui"
nya, Lie Kiang mulutnya melelehkan darah tapi giginya
tidak apa-apa, kuat dan segar, Ia terkulai jatuh untuk tidak
bangun lagi. Badannya terasa lemas tak bertenaga seperti
kena ditotok jalan darahnya, Inilah keistimewaan dari jurus
"Lam-hay-liu-sui" (Air mengalir dari Laut Kidul), ajaran sucouwnya
Eng Lian ialah Lamhay Mo Lie, pada waktu si nona masih
dalam tangan Ang Hoa Pay menjadi Kim Coa siancu (Dewi
ular emas). Demikianlah, melihat saudara tuanya yang hanya ditampar
saja sudah roboh dengan tidak bangun lagi, Lie sun dan Lie
Bin menjadi cemas hatinya. Tapi mereka tidak mengurangi
serangan-serangannya yang berbahaya, malah makin gencar
saking gemasnya pada si dara cilik yang lincah yang tak dapat
ditawan. Penonton dibikin kagum oleh gerakan si nona yang
istimewa. Waktu Eng Lian dengan enteng badannya mencelat
ke atas sampai lima meter tingginya, ketika mengelakkan
serangan kombinasi dua lawannya yang hendak menggunting
pinggangnya. Di tengah udara si dara cilik bikin gerakan yang
mengagumkan, setelah terputar badannya, ia turun ke bawah
dengan gerakan kaki seperti menendang saling susul hingga
Lie sun dan Lie Bin ragu-ragu untuk menyergap si nona begitu
Eng Lian menancapkan kakinya di tanah lagi.
Tapi mereka sudah sangat gemas pada si dara cilik.
Buktinya, begitu Eng Lian menyentuhkan kakinya di tanah tiga
meter jaraknya dari mereka, dengan berbareng mereka lompat
menyergap. Tapi si nona seperti ada dipasang per pada
kakinya, lantas membal lagi dan jumpalitan ke belakang
mereka. Lie sun dan Lie Bin terkejut bukan main. Lekas mereka
putar tubuh untuk menghadapi si nona pula. Tapi sudah
terlambat karena ia rasakan seketika bahunya kesemutan
kemudian lemas tak bertenaga dan tubuhnya menyusul
terkulai roboh- Dengan sekaligus dapat merobohkan dua musuh tangguh,
itu bukan pekerjaan mudah-Tidak heran kalau Lo In yang
berkepandaian sangat tinggi telah bersorak dengan tiba-tiba
dan berkata, "Enci Lian, benar-benar kau hebat Kionghi " sambil angkat
tangannya dengan lucu menyoja pada Eng Lian.
si nona deliki matanya yang halus sambil tersenyum pada
si wajah hitam. Eng Lian barusan telah menggunakan gerakan kombinasi
"Lian-hoan-tui-kong" (Tendangan berantai di angkasa) dan
"Hay-tee-tancu1 (Mencari mutiara di bawah laut), juga
termasuk tipu serangan yang si nona yakinkan dari "Lam-hayciang-
hoat1. gerakan "Tendangan berantai di angkasa1
adalah ketika Eng Lian melambung tubuhnya ke udara dan
kakinya bergerak saling susul seperti menendang, Ini
sebenarnya untuk menghadapi musuh yang sama-sama
terapung di udara, tapi kalau Eng Lian sudah berbuat
demiikian, itu hanya ia mendemonstrasikan kepandaiannya
saja. Yang kedua "Mencari mutiara di bawah laut adalah gerakan
yang tidak diduga-duga karena begitu kakinya menginjak
tanah, si nona sudah mumbul lagi dan jungkir balik ke
belakang lawan, yang dari mana otomatis kedua lengannya
bekerja untuk menotok jalan darah lawan pada bagian
belakang pundaknya sebelum kedua lawannya membalikkan
tubuhnya. Tiga musuhnya sekarang sudah mendeprok di
tanah dengan tak dapat bangun lagi.
Benar-benar si nona telah buktikan perkataannya kepada
adik In-nya, bahwa ia akan jatuhkan satu persatu lawannya
dan berlutut padanya. Begitu lama Eng Lian bertempur, tidak menunjukkan bahwa
ia lelah- Itu membuktikan bahwa tenaga dalam si nona
sempurnagirang bukan main hatinya Lo In menyaksikan kelihaian
enci Liannya yang tadinya ia sangsi, kuatir si nona salah
tangan dan dibikin celaka musuh-musuhnya. Syukur ia tidak
keburu napsu ceburkan diri datang membantu Eng Lian. Kalau
sampai kejadian begitu, paling sedikit ia akan diomeli encinya
kalau tidak dicubit keras pipinya lantaran tidak mendengar
perkataan sang enci yang kosen.
"Mari, maju semua " tantang Eng Lian ketika melihat begitu
banyak begundalnya Tiokschung-sam-lie hanya pada berdiri
bengong mengawasi tiga cukongnya mendeprok di tanah tak
dapat bergerak- Mereka tidak bergerak di tangan si nona, malah saling lihati
satu sama lain. Ketika Eng Lian menggertak seperti hendak menghampiri
mereka seperti yang hendak berdamai satu dengan lain,
mereka segera pada lari serabutan ketakutan.
"Enci Lian, aku mau apakan ini tiga ekor kambing ?" tanya
Lo In melihat mereka hanya berlimaan saja setelah begundalbegundalnya
Tiokschung-sam-lie pada kabur.
"Seperti yang sudah, kita tinggalkan saja." sahut Eng Lian
yang tengah membereskan rambut dan pakaiannya,
tampaknya ia tidak menghiraukan pada tiga pecundangnya.
"Ah, jangan enci Lian " kata Lo In.
"Kenapa jangan ?" tanya si dara cilik heran, sementara itu
ia sudah rapih- "Mereka terkena ilmumu beratjuga. Kasihan mereka kalau
dibiarkan." Lo In tidak menyebut "totokan" tapi "ilmu" untuk membikin
Eng Lian senang. Cerdik juga si bocah, menerka jalan pikirannya sang kawan
sebab sehabis ia berkata demikian, tampak si nona ketawa
manis, senang hatinya rupanya.
"Ah, adik In, kau bisa saja. Masa totokan biasa dikatakan
ilmu ?" kata Eng Lian..
"Siapa bilang bukannya ilmu " Malah kalau ditambah
"sakti"juga ada tepat sekali sebab kepandaiannya enci sangat
hebat" Eng Lian tertawa ngikik mendengar si bocah berkokoh
dengan pendiriannya. "Totokan biasa dikatakan ilmu sakti. Kau sih ada-ada saja,
adik In" "orang menggampar lawannya, biar bagaimana keras
paling-paling hanya si korban kesakitan dan giginya pada
nyoplok. Tapi enci gamparannya ada lain coraknya, tamparan
enci adalah tamparan sakti sebab lawan lantas roboh terkulai
dengan tidak dapat bangun lagi. Malah dari mulutnya tidak
menyemburkan gigi yang copot selain darah meleleh
dibibirnya." "Hihihi - " Eng Lian ketawa ngikik,
"Habis apalagi kesaktian encimu ?"
"Ketika kaki enci menyentuh tanah dan mumbul lagi,
berjumpalitan ke belakang lawan berbareng menotok tanpa
memberi kesempatan pada lawan, apakah itu bukannya ilmu
sakti " Ha h a, coba adikmu periksa, apa kaki enci dipasangi
per?" Lo In berkata, serentak berbuat dan mau pegang kaki Eng
Lian hingga si nona jadi gugup dan tarik wajahnya tersenyum
manis. "orang mau periksa ada per tidaknya, kok dikatakan sinting
" Lo In bergurau JenakaTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
"Mari adikmu periksa, boleh apa tidak"
"Tidak- tidak......" kata si dara cilik sambil angkat naik turun
kakinya, berkelit dari tangan Lo In yang paksa mau
memegangnya. "Aduuuh " Lo In menjerit dan lompat mundur sambil
pegangi pipinya. "Nah, rasakan ya, anak nakal. Kalau encimu sudah sengit "
berkata Eng Lian cekikikan ketawa melihat Lo In meringisringis
ketawa melihat Lo In meringis-ringis pelangi pipinya
yang barusan ia cubit. "Enci Lian, awas akan kubalas " seru Lo In, badannya
lantas bergerak menubruk si dara cilik. Tapi Eng Lian sudah
keburu lompat ke dekatnya kuda Lie Kiang. Ia berkata,
"Adik In, mari kita belajar menaik kuda saja dari pada kau
balas mencubit encimu "
Lo In kegirangan. "Benar, benar." katanya lucu. segera ia juga lantas
memegang tali kendali kuda Lie Bin. Dengan satu lompatan
saja tanpa menginjak pelana, ia sudah bercokol di atas kuda.
sementara itu si gadis juga sudah meniru caranya Lo In
menaiki kuda. Mereka berseri-seri diatas kudanya masingmasing.
"Adik In, kau sudah bisa belum naik kuda ?" tanya Eng
Lian. "Kapan kita baru belajar-" sahut Lo In
"Mari kita coba-coba."
"Adik In, kita jangan larikan dulu kuda kita. Kita jajal dulu
perlahan, nanti kalau sudah gapah dan tetap kita
mengendalikannya, barulah perlahan-lahan kita suruh dia lari.
Bukankah itu lebih bagus ?"
"Bagus, bagus." sahut Lo In yang tadinya hendak main
larikan saja, sedang ia belum pernah naik kuda.
Eng Lian senang usulnya diterima baik oleh si adik nakal.
Mereka jalankan masing-masing kudanya dengan perlahan
jalan berendeng sambil saban-saban saling lirik ketawaketawa.
Kebetulan kuda yang diambil itu, dua-duanya jinak.
Coba kalau salah satu dari dua bocah itu mengambil kudanya
Lie sun, pasti akan gagal belajar menunggang kuda karena
kudanya Lie sun belum lama dibeli dan masih liar. Bisa-bisa
Lo In atau Eng Lian yang menaikinya jatuh terbanting.
Dasar dua-dua anak nakal dan berani, belum lama mereka
jalankan kudanya perlahan, tiba-tiba Lo In sudah mencambuk
perlahan supaya sang kuda jalan lebih kencang. Tidak
tahunya kuda itu telah mengangkat kakinya sambil meringkik.
Tapi Lo In tidak takut, malah ia ketawa terbahak-bahak
kesenangan di atas kuda. Mendadak kudanya menaruh pula
dua kaki depannya ditanah dan membawa Lo In kabur entah
kemana. Eng Lian kaget nampak kawannya dibawa kabur. Tanpa
disadari ia juga memecut kudanya hinga berjingkrak dan
menyusul adik In-nya. Mereka kelihatan saling kejar dijalanan
pegunungan yang luas lebar. Eng Lian lihat Lo In dengan
kudanya sedang mendaki sebuah bukit, Ia cambuk dan
cambuk lagi kudanya supaya dapat mengudak si bocah yang
sudah jauh meninggalkannya.
sungguh ajaib kepandaian dua bocah itu- Tadinya belajar
dan takut-takut menaiki kudanya. sekarang tampak demikian
gapahnya mereka menunggang kuda seperti yang sudah
biasa. Rupanya kesatu didorong oleh nyalinya yang besar,
kedua dipaksa oleh kudanya. Maka dengan mendadak saja
mereka menjadi kampiun naik kuda.
Ketika Eng Lian mendaki bukit yang barusan ia lihat
darijauh Lo In mendakinya, ia kehilangan jejak Lo In di balik
bukit. Eng Lian kebingungan, Ia tahan kudanya dan pasang mata
ke sekelilingnya tapi tidak kelihatan Lo In dengan kudanya.
Makin tidak enak hatinya Eng Lian ketika ia berusaha


Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencarinya Lo In tidak juga ia ketemuku n adik nakalnya itu.
Dalam putus asanya ia jadi mewek (nangis).
"Adik In, kenapa kau tinggalkan encimu ?" berkata Eng Lian
sendirian sambil menyusut air matanya yang berlinang-linang
pada pipinya yang botoh- Eng Lian menantikan disitu Kalau-Kalau Lo In nanti kembali
lagi. Akan tetapi ditunggu sampai matahari tenggelam ke barat
tidak kelihatan mata hidungnya si bocah wajah hitam.
sampai disini kita kembali kepada Bwee Hiang yang sudah
lama kita tinggalkan. Bwee Hiang sudah antar ong Kui Hoa sampai di rumahnya
dengan selamat hingga kedua orang tuanya Kui Hoa sangat
berterima kasih kepada jago betina kita atas pertolongannya
kepada puterinya. Pulangnya Kui Hoa sangat menggemparkan ong-ke-cnung,
sebuah kampung yang tidak begitu banyak penduduknya.
Banyak sanak Iamili dan sahabat-sahabat keluarga ong pada
datang untuk memberi selamat kepada keluarga ong yang
puterinya sudah kembali dengan selamat.
Diantara yang datang ada on Lian dengan puterana
bernama Keng Siang, satu pemuda yang Idt^nrns cakap umur
32 tahun. Kui Hoa diminta oleh para hadirin untuk menuturkan
riwayatnya diculiktau lebih tegas dirampas dengan paksa oleh
orang-orang Thoat Beng mo Siauw atau si Hantu Ketawa yang
menyeramkan penduduk ong-ke-chung.
Si nona tidak menutur banyak hal dirinya sebab keburu
mendapat pertolongan dari Bwee Hiang. Ia kata,
"Kalau tidak ada enci ini", sambil menunjuk paria Bwee
Hiang, "entahlah bagaimana dengan nasibku ?"
Dalam paria itu, si nona telah menceritakan halnya Bwee
Hiang telah menaklukan kawanan penjahat hingga yang
mendengarkan terkagum-kagum keparia si nona she Liu yang
gagah perkasa. Mereka telah memberikan pujiannya tapi
Bwee Hiang merendahkan diri.
katanya, "Kepandaianku tidak tinggi, kalau mereka sudah
dapat aku tumpas adalah dengan cara kebetulan saja. coba
Thoat Beng siauw Mo masih hidup, mungkin pekerjaanku tidak
semudah itu..........."
"Hah Thoat Beng Mo siauw sudah mati ?"
tiba-tiba ong Keng siang si pemuda cakap, menanya
dengan mata terbelalak- " Aku sendiri tidak menyaksikan kematiannya." sahut Bwee
Hiang. "Aku hanya dapat kabar dari anak buahnya bahwa si Hantu
Ketawa telah binasa di tangannya Kim Coa siancu dengan
gigitan ular emasnya yang amat lihai."
ong Keng siang seperti yang belum hilang kagetnya,
tampak ia seperti terpaku duduk dikursinya hingga diam-diam
Bwee Hiang menhadi heran dalam hatinya.
"Kenapa pemuda ini ada demikian memperhatikan pada si
Hantu Ketawa " Apakah dia ada hubungannya " Ah, tidak bisa
jadi- Pemuda begini cakap untuk apa ia bikin hubungan
dengan seorang jahat dan buas " Demikian rupa-rupa
pertanyaan berkecamuk dalam benaknya. Meskipun demikian,
tampak Bwee Hiang tenang-tenang saja, belaga pilon
terhadap kelakuannya Keng siang yang anehorang
banyak kegirangan mendengar kabar kematiannya si
Hantu Ketawa, hanya Keng siang yang kelihatannya tidak
mengunjuk reaksi apa-apa.
Bwee Hiang matanya lihai. Sejak hatinya merasa aneh
akan gerak gerik si pemuda cakap, ia jadi merasa curiga.
" Kalau Thoat Beng Mo siauw sudah mati, terang bekas
markasnya itu sekarag telah menjadi kosong, bukan ?"
Keng siang menanya sambil ketawa dipaksakan.
"oo, markasnya sudah habis dimakan api." nyeletuk Kui
Hoa. "siapa yang emmbakarnya ?" Keng siang menanya
kepingin tahu. "Enci Bwee Hiang yang suruh anak buahnya si Hantu
Ketawa membakarnya-" sahut Kui Hoa seraya melirik pada
Bwee Hiang- "Lalu, kemana anak buahnya sekarang ?" Keng siang
menegas- "sudah dibubarkan oleh enci Bwee Hiang-" jawab Kui Hoa
Keng siang manggut-manggut akan selanjutnya ia
membisu- Tidak lama kemudian ia sudah ngeloyor pergi
dengan diam-diam dan tidak ada yang memperhatikan selain
ayahnya yang diminta permisi untuk pulang lebih dahulu-
Kepergiannya dengan diam-diam ia pikir tidak ada orang
yang tahu- Ia lupa kalau Bwee Hiang yang matanya awas tak
dapat diselomoti- Kui Hoa tidak enak kalau ia terus menerus dirubung-rubung
oleh orang banyak, terutama ia melihat tamunya seperti
merasa sebal melayani mereka, maka Kui Hoa sudah lantas
mohon diri untuk masuk ke dalam.
Kui Hoa bawa Bwee Hiang ke dalam kamarnya sendiri,
dimana ia tukaran pakaian.
"Adik Hoa, kamarmu begini indah- sudah tentu kau
menangis waktu dijebloskan dalam tahanan." berkat Bwee
Hiang menggoda. "Enci Hiang, entah dengan apa aku dapat membalasnya
atas pertolonganmu." sahut si nona ong, tengah merapikan
pakaiannya di muka cermin,
"soalnya asal kau sudah selamat, untuk apa bicara tentang
membalas budi ?" "Tapi enci, biar bagaimana aku tak dapat melupakan
pertolonganmu-" "Baiklah." Bwee Hiang tertawa.
"sekarang aku mau menanya pada adik Hoa. Tapi aku
harap kau dapat menjawab dengan terus terang "
"Enci, kau tanyalah- Aku nanti akan menjawab dengan
sejujurnya." Dalam pada itu, tampak Kui Hoa sudah selesai berdandan
dan duduk berhadapan dengan Bwee Hiang. Baharu saja ia
duduk- ia harus bangun lagi ketika mendengar pintu kamarnya
ada yang ketuk- Ia membukai, tampak satu pelayannya masuk
dengan membawakan penampan yang berisi hidangan untuk
siocia dan tamunya. setelah mengatur hidangan di atas meja, pelayan tadi
lantas berlalu lagi setelah permisi pada siocianya. Pintu kamar
ditutup lagi. Kui Hoa lantas duduk menghadapi tamunya.
Ia mengundang. "Enci Hiang, mari makan apa yang ada. Harap kau jangan
mencelanya. Besok-besok tentu akan aku jamu enci dengan
meja yang penuh hidangan lezat. Kau tidak menolak, bukan ?"
"Untuk apa kau menjamu aku sampai demikian ?" tanya
Bwee Hiang ketawa. " Untuk kehormatan ha Liu Lie-hiap (pendekar wanita) yang
sudah menolong aku."
"Hihi, ada-ada saja nona Kui Hoa yang manis ini.
"Eh, adik Kui. Wajahmu sekarang benar-benar sudah
berubah, tidak seperti waktu di markasnya Thoat Beng Mo
siauw." "Berubahnya bagaimana ?" tanya Kui Hoa kepingin tahu.
"Kau berubah sangat cantik- tidak heran Thoat Beng Mo
siauw tergila-gila- Hihi....."
Wajahnya Kui Hoa tampak semu merah
"Enci Hiang, kau memuji terlalu berlebihan."
katanya agak kikuk- Bwee Hiang lantas tahu bahwa nona
ong seorang gadis pendiam.
"Mari kita makan." Bwee Hiang mengundang untuk
menghilangkan rasa kikuk Kui Hoa. Ia pun sudah mendahului
menyumpir makanan. "Aku sudah biasa tidak malu-malu. Ketambahan aku sudah
lapar- Maka barusan aku yang mengundang makan,
semestinya kau, adik Hoa."
"Itu sama saja." sahut Kui Hoa yang juga lantas turun
tangan untuk menyikat makanan diatas meja.
Kedua gadis itu bercakap-cakap dengan gembira, sampai
pada pokoknya soal yang ditanyakan Bwee Hiang tadi- Kui
Hoa menanya lagi, "Enci, kau mau tanya apa padaku?"
"oo, ya- Hampir aku lupa." sahut Bwee Hiang sambil
menaruh sumpitnya. "Dalam urusan apa, enci Hiang ?" tanya Kui Hoa kepingin
tahu. "Aku mau tanya kau, siapa pemuda cakap itu yang sabansaban
menanyakan urusannya Thoat Beng Mo siauw " Aku
lihat sikapmu seperti yang ketakutan terhadapnya."
Kui Hoa wajahnya pucat mendengar pertanyaan Bwee
Hiang yang diluar dugaannya.
sejenak ia tidak menyahut sampai Bwee Hiang berkata lagi,
"Adik Hoa, kalau kau merasa keberatan untuk
menerangkan padaku, tidak apa. Biarlah kutarik pulang
pertanyaanku tadi dan anggaplah bahwa aku seperti tidak
menanyakan apa-apa padamu."
"oo, tidak, tidak-" kata Kui Hoa lantas.
"Dia bernama Keng siang dan menjadi saudara cintong
denganku, sebab ayahnya adalah adik ayahku."
"Begitu ?" sahut Bwee Hiang.
"Tapi kenapa kau seperti yang ketakutan melihat dia ?"
"soalnya, soalnya...........eh, aku tak dapat menceritakan
kepadamu enci." kata Kui Hoa terputus-putus bicaranya
seperti menyembunyikan sesuatu rahasia.
Nampak Kui Hoa demikian gugup, makin curiga Bwee
Hiang ada apa-apa yang Kui Hoa sukar menuturkannya
kepada orang luar. Ia kepingin tahu, tapi tidak baik kalau ia
mendesak si nona. Apa daya " Tapi dasar murid jago cilik kita
(Lo In) cerdik otaknya. Hanya sebentaran saja Bwee Hiang
termenung, lantas ia kelihatan tersenyum seperti sudah dapat
jalan keluar. Ia berkata, "Adik Kui, aku kira tadinya kau ada sahabat baru
yang bisa pegang janji, tidak tahunya aku kecele Biarlah aku
sekarang mohon diri saja "
Bwee Hiang berkata sambil bangkit dari duduknya, sudah
tentu membikin Kui Hoa jadi kelab akan. Cepat-cepat ia juga
bangun dan memegangi tangan Bwee Hiang, disuruh duduk
lagi. Katanya, "Enci Hiang, jangan marah Aku akan bicara terus terang
tentang dirinya engko Keng siang. Duduk, duduklah enci
Jangan bikin aku ketakutan, kau pergi meninggalkan aku
begitu saja." "Bagus, itu baharu sahabat baikku." sahutBwee Hiang
ketawa sambil duduk lagi.
Itu hanyalah taktik Bwee Hiang untuk membikin nona ong
membuka rahasianya tentang dirinya Keng siang yang nona
Liu curiga pemuda cakap itu ada hubungannya dengan Thoat
Beng Mo siauw. Pikirnya, kalau benar Keng siang ada
begundalnya si Hantu Ketawa, sekalian saja ia bekerja untuk
membereskannya. Kui Hoa menutur pada Bwee Hiang dengan tidak pakai
tedeng aling-aling. Kiranya ong Keng siang dalam kampungnya ada terkenal
tidak baik kelakuannya. sayang dibalik wajahnya yang cakap,
ia ada menyembunyikan kekejaman dan suka main
perempuan. sudah berulang kali ia tukar bini sampai paling belakang
adik cincongnya sendiri, ialah Kui Hoa tanpa mengingat
hubungan keluarga ia mau ganggu.
Keng siang berwajah cakap ganceng, mulutnya manis dan
pintar merayu. Kui Hoa yang usianya baru memasuki 18 tahun tidak kenal
akan kepalsuannya seseorang pria yang wajahnya cakap tapi
hatinya tidak baik- Dalam buaian kata-katanya yang merayu
Kui Hoa dapat di"nina bobo"kan.
ong seng, ayahnya Kui Hoa sangat sayang pada puterinya
itu lancaran belum lama ia sudah kehilangan encinya Kui Hoa
yang mati karena sakit- Ia tidak merintangi anak gadisnya
yang ia anggap masih kecil bergaul dengan Keng siang
keponakannya. Apalagi saban Keng siang berkunjung
alasannya adalah hendak memberi pelajaran surat kepada
adik cincongnya hingga kedua orang tuanya Kui Hoa merasa
senang atas kesudian Keng siang memberi pelajaran surat
kepada puterinya. Pada suatu sore, dalam memberikan pelajaran di kamar
tulis, Keng siang berkata pada Kui Hoa,
"Adik Hoa, kau sangat cancik, Ibarat kembang sedang
mekarnya dan aku ingin menjadi kumbangnya. Apa kau suka
kokomu menjadi kumbang mendekati kau ?"
Kui Hoa tengah menulis, ia diam saja. Tapi lama-lama ia
mengerti akan maksud omongan sang engko cincong maka ia
ketawa manis dengan pipi semu merah-
"Adikku, lama aku impikan wajahmu yang cancik-" Keng
siang berkata lagi- "Ingin aku memilikinya- Apakah kau bersedia untuk.jadi
isteriku ?" si nona menatap wajah Keng siang yang cakap sementara
hatinya berdebaran mendengar engko cincongnya secara
blak-blakan membuka rahasia hatinya-
"Aku sendiri tidak keberatan, asal ayah dan ibu setuju."
sahut si gadis sambil tundukkan kepala malu-malu.
"Cuma kata ibu, tidak baik kalau kita mengikat jodoh karena
masih ada hubungan darah. Tidak baik untuk keturunan."
"oh, apa kau sudah kasih tahu tentang urusan kita ?" tanya
Keng siang kaget. "Kasih tahu terang-terangan sih tidak, hanya aku samarsamar
tanya ibu apakah kakak dan adik cintong menikah
dibolehkan atau tidak. Lantas kata ibu, itu tidak boleh sebab
masih ada hubungan keluarga dan bisa mencelakakan pada
turunan," "Adik Hoa, apakah kau percaya omongan ibumu itu ?"
" Aku percaya. Masa ibu membohong iku " setiap ibu yang
mengasihi anaknya tentu ingin melihat anaknya beruntung
dalam hidup berkeluarga."
Keng siang diam. Lama ia tidak berkata-kata seperti yang
memikirkan apa-apa dalam otaknya yang jahat. Kemudian ia
berkata, "Bagaimana juga kau akan menjadi isteriku. Kau jangan


Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

percaya sama omongan ibumu yang melantur."
"Hei, kau berani menuduh ibu omong sembarangan " kata
Kui Hoa tidak senang. "Kenapa tidak berani " sudah terang kita boleh menikah
berdasarka suka sama suka, kenapa ibumu mengatakan
perkataan yang janggal itu" seakan -akan menghalangi jodoh
kita. Pendeknya kau setuju atau tidak, toh kau akan jadi
milikku" Kui Hoa tidak senang mendengar perkataan Keng siang
demikian kasar. "Kau mau paksa aku bila aku tidak setujui ?" katanya tidak
senang. "sudah tahu, untuk apa kau menanya ?" Keng siang mulai
unjuk kekasarannya. sampai sebegitu jauh Kui Hoa pandang engko cintongnya
ada seorang yang tamah dan berwajah cakap, senang ia
saban-saban mendapat kunjungan engkonya itu. Ia pandang
Keng siang sebagai engko sendiri yang sangat baik hati,
memberi pelajaran surat kepadanya. Tapi lambat laun si gadis
merasakan kelakuannya Keng siang agak janggal
terhadapnya, seperti yang mempunyai maksud tertentu atas
dirinya, bukan dengan sewajarnya ia mengajari surat
kepadanya. Hal itu pun baginya menjadi jelas ketika Keng
siang mulai mengeluarkan kata-kata yang merayu, hingga
hatinya menjadi guncang masuk perangkap asmara.
Mengingat ia dengan Keng siang bukanlah orang lain,
maka dengan samar-samar ia menanyakan pada ibunya kalau
kakak dan adik sama-sama she, tegasnya saudara cintong,
apakah boleh menikah- sang ibu paham akan maksud
puterinya yang mulai kena panah dan tahu bahwa orang yang
dimaksudkan si gadis adalah Keng siang. Tapi sebagai ibu
yang bijaksana ia tidak mau membuka rahasia anaknya.
Hanya ia mengatakan dengan jujur bahwa perjodohan itu tidak
dibenarkan oleh siapa juga karena akibatnya akan merusak
keturunan. Kui Hoa sangat menyesal kenapa ia dilahirkan menjadi adik
cintongnya Keng siang. Kalau tidak- ia setuju sekali pada
pemuda yang berwajah tampan itu.
Ingin hal itu ia katakan pada Keng siang tapi tidak ada
jalan, sebab sebagai wanita, mana boleh lebih dahulu
memberi tahukan hal demikian kepada seorang lelaki yang
tengah mengharapkan dirinya.
Dengan cara kebetulan pada sore itu, dalam omong-omong
dapat ia memberitahukan pada Keng siang. Tidak tahunya
Keng siang bukannya merundingkan mencari jalan keluar,
sebaliknya malah menghina ibunya dan mengancam dengan
kekerasan akan memiliki dirinya.
Meskipun hatinya setuju pada Keng Siang, tapi tatkala
melihat Keng Siang berlaku kasar demikian, Kui Hoa menjadi
tidak senang. Dalam kesalnya Kui Hoa bangkit dari duduknya
dan berkata, "Sudahlah, urusan kita sampai disini saja "
Tapi sebelum Kui Hoa sempat melangkahkan kakinya, tibatiba
ia rasakan tangannya dipegang Keng siang.
"Adik Kui Hoa, tidak semudah ini kau berlalu Hehehe" kata
Keng siang dengan roman beringas seperti kerangsekan
setan. Kui Hoa menjadi marah melihat engko cincongnya
berlaku kurang ajar "Binatang, kau berani berlaku kasar begini ?" ia
mendamprat sambil tarik tangannya dari cekalan Keng siang.
Bukannya tangan terlepas, malah Keng siang datang lebih
dekat padanya dan sebelum ia sempat mencaci maki lagi, si
pemuda ganas sudah memeluk dirinya, Ia coba beroncak dan
sudah membuka mulutnya untuk berteriak minta tolong, apa
mau mulutnya kena didekap tangan Keng siang.
Kui Hoa meronca-ronca untuk meloloskan diri tetapi
percuma saja. Malah hidungnya yang kena ketutupan tangan
Keng siang membuat ia tak dapat bernapas dan perlahanlahan
ia jadi lemas, lalu ia merasakan badannya terangkat
dipondong oleh Keng siang.
Ia menjadi kaget menghadapi maksud jahat sang engko
cincong, tapi ia tidak berdaya untuk, melawan. Hanya ia tahu
bahwa dirinya telah direbahkan diatas dipan dan sang engko
yang sudah kerangsekan setan telah menciumi pipi dan mulut
dengan seenaknya saja tanpa ia dapat melawan untuk
mempertahankan dirinya. Pada saat itulah, ketika Keng siang hendak memperkosa
Kui Hoa, tiba-tiba pintu kamar tulis terbuka dan dua orang
tidak dikenal lompat masuk.
satu antaranya telah membentak.
"Manusia bergajul, kau mau berbuat apa ?"
seiring dengan bentakannya , orang itu menyerang Keng
siang. Dengan berani Keng siang melawan tapi lantaran
dikeroyok dua orang akhirnya ia kalah dan lari keluar kamar
dengan tidak berpaling lagi ke belakang.
Mereka tertawa gelak-gelak melihat Keng siang lari
tunggang langgang. yang membentak tadi seorang tinggi
kurus dengan matanya yang sebelah kiri seperti meram.
Rupanya matanya sudah rusak satu. Dengan laku kasar ia
pondong Kui Hoa yang sudah tidak berdaya lantaran lemas
seluruh badannya. Tapi si nona masih sempat menanya,
"Kalian mau bawa aku kemana ?"
"Hahaha, mau tanya lagi nona manis." katanya ceriwis.
"sayang aku menjalankan tugas. Kalau tidak, kita tentu
boleh bersenang-senang.........."
"hush.. jangan ngaco belo " kata temannya.
"Kalau ada yang dengar dan dilaporkan pada orang tua,
kau bisa susah " orang terrsebut menjadi ketakutan. Tanpa banyak cakap ia
pondong terus si nona keluar kamar. Kui Hoa seperti
mendapat tenaga baru. Ia meronta-ronta dan memaki,
"Kau mau bawa kemana nonamu " Binatang, lekas
lepaskan nonamu" "Baik, aku nanti lepaskan kau kalau sudah sampai di Pekkut-
nia " sahut orang itu.
"Pek-... kut.....nia....." Kui Hoa mengulangi dengan terputusputus
dan berbareng seketika itu ia telah jatuh pingsan.
Rupanya hatinya diserang oleh perasaan takut yang hebat
karena ia tahu bahwa dirinya akan menjadi korban si Hantu
Ketawa di Pek-kut-nia. Ia sering dengarkan ayah dan ibunya
mengatakan bahwa disana ada tinggal satu hantu tua jahat
yang suka mengganggu anak perawan orang.
"Nah, itulah keteranganku, enci Hiang." kata Kui Hoa.
"Kau lihat aku ketakutan ketika berpandangan dengan
engko Keng siang lantaran adanya perasaan bahwa aku
belum bebas. Engko Keng siang pasti akan membuat susah
lagi pada diriku setelah ia tahu bahwa Thoat Beng Mo siauw
sudah mati. sudah tidak ada yang ia takuti dan tentu ia punya
suka untuk melampiaskan kelakuannya yang buruk "
"Adik, kau jangan takut " menghibur Bwee Hiang.
"Ada aku disini, takut apa ?"
"Tapi enci, kau toh tidak tinggal selamanya bersamaku."
"Aku akan tinggal selama kau belum aman, adikku"
"Terima kasih enci yang baik," kata Kui Hoa.
"Aku senang sekali kalau kau bisa selamanya disamping
enci Hiang." "Masa selamanya mau bersamaku saja. Kalau kau nanti
punya suami, bagaimana ?" menggoda Bwee Hiang sambil
ketawa hingga Kui Hoa merah seluruh wajahnya.
"Enci, aku tidak akan menikah kalau kau selamanya ada
disamping ku." kata Kui Hoa sambil menundukkan kepala.
" Kalau aku yang menikah, bagaimana ?" Bwee Hiang
menggoda lagi. Rupanya Bwee Hiang sekarang sudah
ketularan guru ciliknya yang nakal suka menggodai orang. Kui
Hoa tidak menyahut, matanya yang bagus deliki sang enci
yang nakal. Akhirnya keduanya jadi pada tertawa.
senang Kui Hoa mendapat teman seperti Bwee Hiang yang
Jenaka sepak terjangnya, disamping sebagai jago betina yang
belum menemukan tandingan.
Dua hari sudah Bwee Hiang tinggal di rumahnya Kui Hoa,
ia tidak nampak kejadian apa-apa- Pada malam yang ketiga,
ketika dua gadis itu sedang omong-omong dengan asyiknya,
tiba-tiba Bwee Hiang merasa seperti ada apa-apa yang tidak
beres melihat Kui Hoa saban-saban menguap ngantuk. Malah
sembari bicara, Kui Hoa matanya tampak meram.
Bwee Hiang juga merasa sangat ngantuk- Cepat ia rogoh
sakunya mengeluarkan pil pengasih Lo In dan ditelan dengan
air teh sebagai alat pengantarnya.
setelah mana ia menguap beberapa kali. Lalu pondong Kui
Hoa yang sudah dari setadian tidur tanpa terasa diatas meja,
direbahkan dipembaringan. Ia juga lantas naik tidur dan
menutup kelambu, selama dirumah Kui Hoa, Bwee Hiang
memang tidur bersama-sama dengan nona rumah yang ramah
tamah itu. Lewat sekian lama, tampak ada bayangan masuk melalui
jendela kamar yang memang terpentang. Dengan berjingkatjingkat,
kuatir suara tindakannya kedengaran, orang itu telah
menghampiri pembaringan dan menyingkap kelambu. Hatinya
berdebar-debar keras nampak dua nona cantik sedang tidur
lupa daratan dalam pakaian tidurnya yang serba tipis.
"Hehe " orang itu tertawa perlahan.
"Kiranya seorang Liehiap juga tak dapat lolos dari hio
pulasnya yang manjur. Dasar peruntungan yang mujur, yang
mana antaranya yang harus aku pilih " Ah, biar aku ambil dulu
si pendekar wanita yang lihai. Asal dia sudah jadi "mainanku",
apa dia bisa bikin " Paling-paling juga dia marah-marah-
Untuk membunuh aku sudah tidak mungkin karena nasi sudah
jadi bubur. Kepaksa dia nanti turut aku Haha Adik Kui Hoa aku
titipi saja dulu, lagi tiga malam baru aku ambil sebab waktu itu
tentu aku sudah bosa sama si Liehiap "
Kebetulan Bwee Hiang yang diincar tidurnya di sebelah
pinggir, hingga dengan mudah saja sudah dipondong pergi
oleh orang itu setelah mengucapkan perkataan,
"Nona manis, mari kita berangkat "
Gesit bayangan itu, meskipun membawa beban ia dapat lari
cepat, sebentar saja ia sudah berada di luar ong-ke-chung.
Tidak lama ia sampai pada sebuah bangunan rumah tua di
pegunungan yang jauh bila hendak kemana-mana. Tampak
ada dua orang yang menyambutnya dengan sangat hormat.
Rupanya mereka adalah centeng rumah itu karena itu
keduanya membawa golok di pinggang.
Ketika orang itu sudah masuk ke dalam, terdengar orang
dibelakangnya berkata, "Loji, kongcu kita bawa barang baru. Besok pagi tentu kita
akan mendapat hadiah dua botol arak. Hahaha.......Biar kita
doakan lebih banyak bawa barang baru hingga kita dapat
minum arak mabuk-mabukan "
"Loa-toa, kau jangan kegirangan dulu. Kalau arak sudah
ditangan, barulah kita boleh girang." sahut temannya si Lo-ji-
Dalam pada itu, orang yang membawa Bwee Hiang tadi
yang bukan lain Keng siang adanya sudah ada di dalam,
tengah menyalakan dua batang lilin besar. Keadaan dalam
ruangan itu menjadi terang ketika Keng siang telah tambah
lagi dengan dua lilin yang lebih kecilan.
Itu berada di ruangan tengah yang merupakanjuga ruangan
kamar sebab disitu tampak ada dua buah pembaringan yang
dihias indah sekali dan serba harum di dalamnya.
Kapan orang tidur dalam salah satu pembaringan itu, pasti
akan merasa segar dan pikiran melayang-layang disebabkan
bau harum sedap menusuk hidung dan perlengkapan
pembaringan yang serba bersih dan indah-
Keng siang bawa Bwee Hiang ke pembaringan yang
letaknya sebelah dalam, yang lebih indah dari yang satunya, di
atas mana si nona direbahkan dengan tidak berkutik, sambil
merebahkan Bwee Hiang, Keng siang berkata,
" Nona pendekar, terimalah nasibmu sebagai nyonya Keng
siang. Tunggu aku ambil lilin untuk menerangi wajahmu yang
sangat cantik," Ia berkata sambil berlalu mengambil lilin dan
ditaruh diatas meja tidak jauh dari pembaringan yang harum
semerbak itu. Keng siang kegirangan bukan main bahwa sebentar lagi ia
akan "naik surga" dengan si cantik Bwee Hiang yang
keadaannya sudah tidak berkutik di atas pembaringan.
Biasanya kalau hendak menerkam korbannya, Keng siang
meloloskan pakaian luarnya. Kali ini rupanya ada kecualian
karena tak tertahankan dengan getaran hatinya melihat
wajahnya Bwee Hiang yang cantik seperti tersenyum ke
arahnya. Bibirnya merah menyala menantang lawan
tampaknya. "Nona cantik, biarlah aku kasih persekot du.........."
"cuh Cuh " terdengar dua kali Bwee Hiang meludahi Keng
siang tepat mengenai kedua matanya, disaat Keng siang
menundukkan kepalanya hencak mencium si nona.
Itulah ludah kental yang lama disiapkan oleh Bwee Hiang.
Ia meludahi kedua matanya si cakap Keng siang dengan
Iwekang, tidak heran kalau Keng siang menjerit teraduh-aduh
sambil menekap kedua matanya, ia lompat mundur.
Ketika ia coba buka matanya, ternyata penglihatannya
menjadi gelap, tak ada benda yang ia dapat lihat, kedua
matanya sudah menjadi buta.
Keng Siang menjadi ketakutan. Dari ketakutan ia menjadi
nekad- Dengan tenaga penuh ia sudah menyergap ke atas
pembaringan sambil menghajar kedua tangannya hebat sekali.
Pikirnya dengan serangan mendadak itu, si nona yang
meludahinya akan melayang jiwanya seketika itu juga. Ia salah
hitung sebab musuh yang ditemuinya adalah Bwee Hiang si
jago betina yang belum menemukan tandingan yang dapat ia
bikin celaka, mana dapat bung.
Hanya suara pembaringan yang terdengar dihajar oleh
Keng siang sebab Bwee Hiang sudah sedari tadi ada
dibelakangnya. "Manusia hina " bentak si nona.
"Percuma kau dikasih hidup, hanya menyusahkan orang
saja " berbareng kakinya Bwee Hiang bekerja dan Keng siang
roboh dengan jidat membentur tepi ranjang besi. Kontan
jidatnya tambah daging hingga tangannya repot mengusapi
jidatnya yang benjol- "Manusia hina " terdengar Bwee Hiang kembali membentak
ketika Keng siang sudah berdiri pula dengan tangan merabaraba
mencari pegangan.

Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Banyak korban tentu kau lakukan dan inilah hukuman dari
seorang wanita " "Duk - Bluk " menyusul terdengar suara itulah bebokong
Keng siang yang dihajar dan tubuhnya roboh di lantai
mengeluarkan suara "bluk"
"Liehiap, ampuni selembar jiwaku, oh....." Keng siang
meratap kesakitan. "Plak Plak " suara dua kali gamparan Bwee Hiang
mengenakan dua belah pipinya Keng siang, cukup membuat
beberapa giginya si muka tampan rontok dengan berboran
darah dari mulurnya. Keadaannya sangat kasihan, tapi Bwee
Hiang hatinya tidak merasa kasihan lagi. Ketika si nona
hendak angkat Keng siang bangun dan hendak dihajar lagi,
tiba-tiba ia rasakan ada angin dingin dari belakangnya. Cepat
ia berputar dan berbalik berada
dibela kang Keng siang. "cras " menyusul suara. Kiranya tubuh Keng siang terbabat
kutung oleh golok tajam yang disabetkan oleh centengnya
sendiri. Tatkala si nona merasa ada angin dingin di belakangnya, ia
tahu akan datangnya senjata tajam. Maka cepat tubuhnya
berputar ke belakang Keng siang, tubuh Keng siang didorong
untuk mengganti kedudukannya tadi- Maka tidak ampun lagi
tubuh Keng siang yang terbabat kutung yang semestinya
tubuh Bwee Hiang. Kejadian cepat dan hanya beberapa detik
saja terjadinya hingga si centeng jadi melongo sendiri.
sebelum ia sadarakan kagetnya, tiba-tiba badannya terasa
enteng melayang. Kiranya Bwee Hiang sudah menendang
dengan kaki dari bawah ke atas, mengarah pantat si centeng
sehingga tubuhnya melayang dan "buk" saja tubuhnya jatuh
dilantai. Ketika ia hendak bangun lagi, ia tidak merasakan apa-apa
lagi sebab kepalanya sudah menggelinding disabet oleh
goloknya sendiri melalui tangan Bwee Hiang.
seorang kawannya datang, ialah Lo-toa dan membentak
Bwee Hiang, " Wanita liar, dari mana kau datang kemari ?"
Bwee Hiang dalam pada itu sudah siap dengan goloknya,
Ia menjawab, "Hehe, masih belum terlambat kau menyusul roh saudara
dan cukongmu menghadap ciiam-lo-ong "
Lo-toa nama aslinya adalah sie Giam, bekas guru silat di
ong-ke-chung. sengaja Keng siang undang ia untuk menjadi centeng di
rumah "simpanannya" dengan upah yang cukup untuk
mengongkosi rumah tanganya- Maka kepandaian silatnya
boleh juga dibanding dengan si Lo-ji yang sudah melayang
jiwanya- Waktu ia melihat Kongcu dan kawannya sudah binasa,
kemurkaannya telah meluap seketika- sekarang ditambah
dengan kata-kata Bwee Hiang yang suruh ia menyusul arwah
majikan dan kawannya, terang kemurkaannya menjadi dobel.
"Perempuan liar, lihat ini" tanpa memikirkan lagi
kepandaian musuh, ia menyerang dengan kalap- gerakannya
baikjuga, ia menggunakan jurus "Elang lapar menyambar
kelinci" yang sangat ia banggakan, belum pernah gagal
menyerang musuh. serangannya pasti tidak gagal kalau ia menyerang jago
jago kampungan. Tapi Bwee Hiang adalah murid Lo In, si
bocah sakti- Maka belum sempat ia menggunakan tipu
serangan yang lainnya, tiba-tiba ia rasakan dadanya ditembusi
golok si nona yang dengan tanpa sadar cara bagaimana si
nona barusan bergerak- Ia jadi ketakutan setengah mati waktu golok Bwee Hiang
menembusi dadanya- sudah terlambat baginya untuk minta
ampun, sebab waktu golok dicabut dari dadanya, lantas saja
darah segar membanjir keluar dari lukanya dan seketika itu
juga ia terkulai badannya untuk tidak bangun selama-lamanya.
Itulah Liu Bwee Hiang, puterinya Liu Wangwee dari
Kunhiang yang tidak menyesal sudah melakukan pembunuhan
itu mengingat perbuatannya tidak seberapa kalau dibanding
dengan sucoan sam-sat yang telah membasmi habis seluruh
isi rumah tangganya. Dengan seenaknya saja ia melenggang keluar dari rumah
tua itu, setelah ia melemparkan golok di tangannya. Di luar
rumah, dengan ginkang (ilmu entengi tubuh) yang tinggi dalam
tempo pendek saja ia sudah sampai di rumah ong seng.
Dengan melalui jendela, si nona masuk ke dalam kamarnya
Kui Hoa dimana ia lihat nona masih tidur nyenyaksetelah
menukarkan pakaiannya yang kecipratan darah
tadi, Bwee Hiang lantas naik ke pembaringan dan tidur pulas
seperti kejadian yang barusan ia hadapi tidak artinya bagi si
nona jagoan. Pada keesokannya sesudah kematian Keng siang tidak ada
kejadian apa-apa, tapi pada hari kedua keadaan dalam ongke-
chung menjadi gempar dengan diketemukannya mayatmayat
dalam bangunan tua dipegunungan yang sunyi.
sudah tentu ong Liang dan istrinya menjadi sangat sedih
ketika mendengar diantara mayat-mayat itu terdapat mayatnya
sang anak- ong seng, ayahnya Kui Hoa datang ke rumah ong
Liang untuk menyaksikan mayatnya sang keponakan.
sungguh mengerikan Tubuhnya Keng siang terpotong dua.
Entah siapa yang telah demikian kejam membunuh ong
Kongcu. orang kira pembunuhnya tentu orang dari luar daerah
ong-ke-chung karena di dalam kampung itu tak ada jagoan
yang melebihi Keng siang. Pengusutan pada pembunuhan
dilakukan. Malah ong Liang sebagai hartawan di ong-ke-chung
telah menyediakan hadiah besar kepada siapa yang dapat
menangkap pembunuh anaknya.
ong Kui Hoa juga dapat dengar tentang kematian sang
engko cintong. Disamping ia merasa aman dengan lenyapnya
ong Keng siang tetapi hatinya sedih juga bila mengenangkan
saat-saat yang bahagia ketika ia duduk berduaan dengan si
pemuda cakap. Demikian nikmat ia rasakan dalam buaian
kata-kata merayu ong Keng siang.
Ia suka menarik napas kalau mengenangkan tempo yang
lampau. Setelah itu ia masuk ke kamar menemui Bwee Hiang
sebab Bwee Hiang tidak ingin menampakkan dirinya kepada
yang lain kecuali Kui Hoa, nona rumah telah berkata seperti
memancing Bwee Hiang, "Enci Hiang, kau tahu siapa pembunuh dari engko Keng
siang ?" "Mana aku tahu." sahut Bwee Hiang.
"Aku kira tentu orang luar yang membunuh engko Keng
siang." "Mungkin juga, tapi kenapa " Apa kau berduka dengan
kematiannya Keng Siang "
"Bukan begitu, hanya aku kepingin tahu saja siapa
pembunuhnya." " Kalau demikian, nah, kau tebak-tebak saja." kata Bwee
Hiang ketawa. Kui Hoa melihat Bwee Hiang ketawa, ia jadi curiga. Lalu
menanya sambil ketawa, "Enci, kalau aku tidak salah tebak- pembunuhnya tentu ada
disini." Bwee Hiang ketawa ngikik hingga Kui Hoa bertambah
curiga- "Enci Hiang, kau mengaku saja. Kau tentu yang
membunuh, ya ?" "Dari mana kau bisa tahu " Jangan sembarangan menuduh
orang " "Ah, aku sudah tahu. Pembunuhnya ada di depanku
sekarang." Kui Hoa berkata lagi sambil tersenyum pada Bwee
Hiang. "Dari mana kau bisa tahu ?" Bwee Hiang menanya dengan
heran. "Aku toh tidak kemana-mana, tiap detik ada bersamamu,
bukan ?" "Enci Hiang, bajumu yang membuka rahasia." Kui Hoa
ketawa. "Membuka rahasia bagaimana, adik Hoa ?" Bwee Hiang
kepingin tahu. "Nenek ciang, si tukang cuci, ada lapor padaku bahwa
bajumu ada banyak noda darah ketika ia mencucinya." Kui
Hoa menerangkan. Bwee Hiang melengak- Lantas ia ingat pada malam itu,
setelah ia berada pula dalam kamar Kui Hoa, ia membuka
bajunya yang banyak noda darahsi
nona lalu tersenyum kepada Kui Hoa. Ia berkata,
"Adik Hoa, kau cerdik juga. Tapi aku bukan pembunuhnya
Keng siang, engko cintongmu "
Kui Hoa melengak heran. " Habis, siapa yang bunuh engko Keng siang " tanyanya.
"yang membunuh Keng siang, orangnya sendiri" sahut
Bwee Hiang yang lalu menuturkan kejadian malam itu, hampirhampir
saja mereka jadi korban obat pulasnya Keng siang
kalau tidak keburu ia (Bwee Hiang) sadar bahwa ada orang
yang ingin membius mereka.
Diceritakan dengan jelas kepada Kui Hoa, bagaimana ia
membiarkan dirinya dibawa ke tempat "penyimpanan" Keng
siang, bagaimana ia menghajar Keng siang berkesudahan
dengan kematiannya dan tiga orang yang melayang jiwanya.
Mendengar itu, diam-diam Kui Hoa berdiri bulu pundaknya.
"Enci, sebenarnya kau siapa ?" kata Kui Hoa setelah
sejenak ia termenung. Bwee Hiang tidak keberatan untuk menerangkan siapa
dirinya. Maka si nona secara ringkas telah menuturkan
perjalanannya, hingga Kui Hoa terkagum-kagum
mendengarnya. "Enci, tidak salahnya bila aku menyebut kau seorang
Liehiap-" berkata Kui Hoa setelah Bwee Hiang habis bercerita.
"Cuma sayang aku tidak berjodoh ketemu dengan adik
kecilmu yang lihai itu. oh, aku sangat bangga sekali kalau
dapat berkenalan dengan jago cilik seperti adik kecilmu itu."
"Adik Hoa, adik kecilku sangat Jenaka." Bwee Hiang kata
dengan ketawa. " Kalau kau dapat berkumpul dua tiga hari saja dengannya,
kau akan merasa umurmu bertambah dua tiga tahun,
antahlah, kapan aku dapat bersua lagi dengannya."
si nona menghela napas Kui Hoa mengerti akan kedukaan
sang enci yang kehilangan jejak adik kecilnya.
Tapi nona ong diam-diam merasa heran atas perkataan
Bwee Hiang bahwa kalau ia berkumpul dua tiga hari dengan
Lo In, umurnya dapat bertambah dua tiga tahun, Ia lalu
menanya, "Enci, apa yang kau maksudkan dengan tambah umur dua
tiga tahun ?" "Adik kecilku mukanya hitam legam macam pantat kuali tapi
pribadinya sangat polos Tiap kali ia melucu, tiap kali orang
yang mendengarnya akan tergerak urat ketawanya. selama
kita berkumpul, belum pernah satu hari pun tidak ketawa
terpingkal-pingkal oleh kejenakaannya. Disamping
kepandaiannya bikin tergerak urat ketawa orang, ilmu silatnya
tinggi luar biasa, susah diukur."
Kui Hoa sangat tertarik dengan penuturan Bwee Hiang,
"Enci," katanya.
" Kalau kau sudah dapat menemui adik kecilmu, tolong kau
bawa kesini supaya aku dapat belajar kenal, boleh tidak ?"
"Boleh saja, asal urat ketawa mu nanti jangan putus." sahut
Bwee Hiang ketawa. Kui Hoa tersenyum manis mendengar itu Ia berkata,
"Enci, kau juga rupanya ketularan penyakit adik kecilmu
yang lucu itu. setiap kali kau berkata, membikin aku kepingin
ketawa." Bwee Hiang ketawa ngikik,
"Eh, adik Hoa." katanya tiba-tiba.
"Apa kau bisa tolongi aku?"
"Tolongi apa " Katakanlah, kalau bisa tentu akan kutolongi
kau " sahut Kui Hoa.
"T0long belikan pakaian pria. sudah tentu bukan kau yang
pergi tapi kau suruh orangmu untuk membelinya." kata Bwee
Hiang. Kui Hoa melengak- Ia kira Bwee Hiang mau minta tolong
apa, tidak tahunya minta dibelikan pakaian pria. Ia heran, buat
apa si nona beli yang begituan, lalu ia menanya.
"Enci, untuk apa pakaian pria "Juga, disini mana ada yang
jual?" " Untuk aku pakai dalam perjalanan mencari adik kecilku-
Dengan pakaian perempuan, aku rasa kurang leluasa
menghadapi mata2 alap- Tapi bagaimana ya " Kau kata tadi
disini tidak ada yang jual "
"Jangan kuatir, aku akan bikinkan untukmu, enci"
Tiba-tiba saja Bwee Hiang memeluk Kui Hoa hingga nona
ong jadi gelagapan. "Adik Hoa, sungguh kau baik sekali pada encimu. Tolong
bikinkan yang bagus, ya " kata Bwee Hiang sambil tidak lupa
ia kecup pipinya Kui Hoa yang botoh-Kui Hoa berdebar juga
hatinya ketika pipinya dikecup (dicium) Bwee Hiang.
Memang pandai Kui Hoa membuat pakaian. Tidak makan
tempo banyak sebab pada malam berikutnya Bwee Hiang
sudah dapat memakai pakaian pria tersebut di depan cermin
dalam kamarnya Kui Hoa. sungguh cakap parasnya Bwee Hiang dalam pakaiannya
yang baru. sambil berpose di depan Kui Hoa, sang enci
berkata, "Adik Hoa, apa hatimu tidak bergolak melihat pemuda
seperti ini ?" Kui Hoa terpesona. Memang hatinya berdebaran nampak
Bwee Hiang demikian cakapnya dalam pakaiannya yang
baharu. "Sungguh pria yang sangat cakap " ia berkata dalam hati
kecilnya, parasnya tampak bersenyum-senyum tanpa
menjawab pertanyaan Bwee Hiang.
seminggu sudah lamanya Bwee Hiang berkumpul dengan
Kui Hoa. Pada suatu pagi, Bwee Hiang mohon diri dari si nona
dan ayah bunda nona Kui Hoa untuk meneruskan perjalanan
mencari adik kecilnya. Mereka coba menahan tapi nona Liu
menolak dengan halus- Keluarga ong membekali ia uang banyak sekali untuk ia
pakai di perjalanan. Tapi Bwee Hiang hanya ambil separuhnya


Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saja. Bwee Hiang terpaksa menerima sumbangan orang
karena ia membutuhkan sebab buntalan dan pakaiannya
ketinggalan disuyangtin (rumahnya Leng siong) dimana di
dalamnya ia bekal banyak uang dari rumahnya.
Benar saja, dengan pakaian pria, si nona lebih leluasa
dalam perjalanannya- Tidak banyak 'mata liar' yang
memandangnya, sebaliknya "mata halus" (wanita) banyak
yang terpesona oleh parasnya yang cakap-
Bwee Hiang pikir kurang baik kalau ia sudah menyaru
lelaki, namanya tidak dirubah-Maka ia lalu pikirkan satu nama
yang mengingatkan ia pada adik kecilnya- Tidak ragu-ragu lagi
lantas ia menggunakan nama In Hiang, Liu In Hiang.
sementara Bwee Hiang menyaru jadi Laki-Laki, untuk
memudahkannya kita pakai namanya yang baru iaLah In
Hiang, Liu In Hiang. seteLah keLuar dari ong-ke-chung, In Hiang bingung juga
kemana ia harus tujui untuk mencari adik kecilnya. Dengan
sendirian menyatroni sarangnya sucoan sam-sat, itu tidak
mungkin- Tanpa bantuan adik kecilnya (Lo In) yang hebat
kepandaiannya, meskipun ia punya dua kepaLa dan empat
tangan, In Hiang akan pikir-pikir dulu menghadapi kebuasan si
Tiga ALgojo dari Sucoan. Ia jaLan semau kakinya saja tanpa tujuan.
Tanpa disadari ia sudah memasuki Kunhoa, sebuah kota
kecil. Tampak keadaan disitu amat ramai, kebetulan sedang
haripasar rupanya- In Hiang melihat ke kiri dan ke kanan, mengharap dengan
cara kebetulan dapat ketemu dengan adik kecilnya- Ia lihat
tidak jauh darinya ada banyak orang berkumpul sedang
menaksir-naksir harga kuda yang diperjualbelikan di situ.
In Hiang memang suka tunggang kuda dan sering pesiar
dengan ayahnya dipegunungan. Tapi sejak ia kenal Lo In,
kegemarannya pada kuda menjadi hilang, sekarang ia ketemu
pasar kuda, hatinya menjadi tertarik- Pikirnya, kalau ia dapat
membeli seekor kuda untuk kawan perjalanan, barangkali ada
lebih baik, Iseng-iseng ia datang menghampiri pasar kuda untuk
memilih kuda yang baik. Pilih punya pilih akhirnya tidak ada
yang ia setujui hingga In Hiang menjadi kecewa, Ia lantas mau
meninggalkan pasar kuda itu. Tapi belum berapa langkah ia
bertindak, mendengar ada suara kuda meringkik. Cepat In
Hiang menoleh- Ia lihat kuda yang baru dituntun datang
dengan warna merah mengkilap, kepalanya saban-saban
diangkat dan perdengarkan suaranya yang nyaring.
"Ah, inilah kuda bagus." kata In Hiang dalam hatinya, Ia
tidak jadi berlalu dari situ, sebaliknya ia menghampiri orang
yang menuntun kuda merah tadi-
"saudara." katanya hormat-
"Apakah kau mau jual kudamu itu ?"
yang menuntun kuda tidak lantas menyahut, hanya
mengawasi pada pemuda1 kita yang cakap dengan mata tidak
berkedip- In Hiang rada-rada kikuk diawasi si tukang kuda demikian
rupa- "Apa saudara baru Lihat manusia seperti aku ?" tegur In
Hiang kurang senang. "Tidak, tidak?" sahut si tukang kuda gugup.
"Aku Lihat kau sangat cakap, maka barusan aku jadi
kesemsem. sukaLah kau memaafkannya, adik kecil."
Tukang kuda itu usianya kira-kira sudah setengah abad-
Tapi sikapnya gagah dan tindakannya mantap seperti yang
pandai silat, In Hiang tahu ini tapi ia tidak ambil perduli. Ia
kesitu hanya mau membeLi kuda, bukannya untuk mencari
onar. "Bagaimana " Apa kau maujuaL kudamu itu ?" tanya In
Hiang pula. KembaLi si tukang kuda tidak menyahut. KaLi ini ia tidak
mengawasi wajah orang, hanya pedang In Hiang yang
tergantung dipinggangnya ia awasi dengan kagum.
"Hei, kau mau juaL kudamu tidak ?" In Hiang mulai jengkeL.
"Aku tidak maujuaL kudaku, hanya aku mau tukar." sahut si
tukang kuda. "Tukar dengan apa ?" tanya In Hiang kepingin tahu.
"TUkar dengan pedangmu itu." sahut si tukang kuda sambil
menunjuk pinggang In Hiang.
"Ah, mana boLeh- Tukar dengan uang toh sama saja."
"Tidak- aku mau tukar dengan pedangmu-"
In Hiang tidak mau Layani si tukang kuda yang kukuh mau
minta kudanya ditukar dengan pedang. Maka ia Lantas mau
ngeloyor pergi- BeLum berapa Langkah ia bertindak, tiba-tiba
ia dengar orang membentak dari beLakangnya.
"Tunggu " In Hiang merandek dan putar tubuhnya. Kiranya yang
membentak tadi adaLah si tukang kuda yang ngotot mau tukar
kudanya dengan pedang. In Hiang kata, "Kuda ada kudamu, pedang ada pedangku, sudah tidak ada
urusan Lagi kalau aku tidak mau tukar "
Dalam pada itu si tukang kuda sudah datang menghampiri,
"Bagus, pedang ada pedangmu dan kuda ada kudaku.
Kalau aku mau tukar, kau bisa apa adik kecil. Hahaha "
Kiranya si tukang kuda ada "cabang atas" {jagoan) juga
dalam kota Kunhoa itu. Makanya begitu temberang dan mau
berbuat sewenang-wenang. Pasar kuda yang tadi ramai lantas
berubah sepi ketika melihat si tukang kuda bertengka dengan
anak muda. "Mungkin kau orang baru datang, maka aku perkenalkan
padamu. Aku adalah Hek-him Toan Ceng, murid kelima Tiat-ci
Hweshio dari Thian-ong-bio. Hahaha Kau boleh tanya orang,
siapa Hek-him Toan Ceng, adik kecil"
Dengan memperkenalkan namanya Hek-him Toan ceng (si
Beruang Hitam) dan gurunya Tiat-ci Hweshio, si Pendeta jari
Besi, orang itu mengira In Hiang bakal gemetaran badannya
seketika. Tidak tahunya In Hiang malah ketawa meniru
terbahak-bahaknya si Beruang Hitam tadi hingga Hek-him
Toan ceng jadi mendelik matanya karena gusar ketawanya
di"ciplok" oleh In Hiang, si anak muda yang cakap ganteng.
"Binatang, kau mau main gila dengan Hgo Toaya (Tuan
besar kelima) ?" bentaknya nyaring.
"Aku kurang paham." ngeledek In Hiang
."Kau sebenarnya mau apa ?"
"Lepas pedangmu Baru kau boleh berlalu dari sini"
"Lepas kudamu Baru kau boleh pergi dari sini"
Dari suaranya yang tegas ngeledek lawan, terang jago
betina kita mulai naik pitam menghadapi Hek-him Toan ceng
yang mencari gara-gara. "Anak kurang ajar, berani kau ngeledek Ngo Toaya ?"
"Tua bangka kurang ajar, berani kau mengganggu Siauya
?" Digodai begitu, si Beruang Hitam menjadi sangat gusar.
Dalam katanya, jangan lagi ia digodai begitu, orang
memandang mukanya lamaan dikit, ia pelototi lantas lari sipat
kuping ketakutan. Tidak pernah sebelumnya ia hadapi pemuda
yang demikian berani. Dalam gusarnya ia hunus goloknya
yang berat dan berkata, "Anak muda, aku sayangkan mukamu yang cakap
mendapat tanda dari golokku Tapi, apa boleh buat "
"sret " In Hiang mencabut pedangnya lalu menjawab,
" orang tua, aku sayangkan daun kupingmu bakal hilang
sebelah gara-gara pedangku Tapi, apa boleh buat "
Betul-betul menjengkelkan kata-kata sambutan In Hiang
hingga si Beruang Hitam hilang sabar dan lantas saja
menyerang dengan jurus 'Hek-him-pay-yang' atau 'Beruang
hitam menyembah matahari'- Golok mula-mula diputar, terus
menusuk dada, tapi setengah jalan tusukan berubah arah
mengarah perut, sungguh hebat serangan kombinasi dari si
Beruang Hitam. Pantasan namanya ditakuti oleh kawan dan
lawan dalam kotanya. In Hiang kaget juga nampak serangan si Beruang Hitam
yang berubah arah cepat sekali. Baiknya ia sudah dapat
gemblengan guru ciliknya yang sakti. Pedangnya yang
dilintangkan tadi untuk menangkis serangan tusukan golik ke
dada, sudah lantas berubah arah juga menekan golok lawan
yang nyelonong ke perutnya.
Dua senjata jadi melekat satu sama lain. Hek-him TOan
ceng coba tarik pulang goloknya yang ditindih pedangnya In
Hiang, tapi gagal, Golok seperti melengket dan tekanan
pedang dirasakan sangat berat, Ia kerahkan lwekangnya,juga
sia-sia saja ia menarik pulang goloknya hingga ia
mengeluarkan peluh dingin.
Ia tak menduga bahwa lawan yang muda belia itu
mempunyai tenaga dalam yang hebat. Matanya mendelik ke
arah In Hiang yang sedang mentertawakannya yang tidak
becus membebaskan goloknya yang ditindih pedangnya.
Tiba-tiba saja In Hiang menggentak pedangnya terlepas
menyusul dengan kecepatan kilat pedang menabas dari
bawah ke atas, sembari memegangi telinganya yang kiri yang
sudah hilang daunnya. Itulah In Hiang menggunakanjurusnya yang indah sekali
yang dinamakan 'Liu-sui-pian-lou' atau "Air mengalir berubah
arah" hingga si Beruang Hitam dirugikan, daun telinganya
disuruh istirahat di tanah.
Dalam murka si Beruang Hitam lupa bahwa lawannya itu
bukan tandingannya, Ia menerjang seperti yang kerangsokan
setan, Golok besarnya membabat pinggang In Hiang tetapi
telah dielaknya dengan lompat mundur dua langkah- Hek-him
Toan ceng merangsek, goloknya sekarang menebas dari atas
ke bawah pada bahu lawan, In Hiang tahu bahayanya
serangan itu. Cepat ia tangkis golok dengan keras dari bawah
ke atas. Trang ", suara senjata beradu, seketika tampak Toan
ceng berdiri melongo sambil pegangi goloknya yang sudah
kutung bagian tengahnya. sungguh tajam pedang In Hiang yang ia dapatkan dari si
Toako "sip-sam-siau-mo".
Dengan golok utuh Toan ceng tidak bisa apa-apa, maka
sekarang goloknya sudah buntung, apa ia bisa bikin terhadap
In Hiang yang jauh lebih tinggi kepandaiannya. Maka, Hek-him
Toan ceng sudah melemparkan golok buntungnya lalu jalan
ngeloyor meninggalkan In Hiang.
"Hei, kudamu ini, apa kau kelupaan ?" teriak In Hiang.
si Beruang Hitam menoleh- Ia berkata,
"Kau sudah menang, ambillah "
setelah berkata, si Beruang Hitam lantas putar tubuhnya
lagi dan berlalu dengan cepat hingga In Hiang melongo
dibuatnya karena ia tak menduga kemenangannya barusan
diberi hadiah kuda jempolan yang lengkap dengan pelananya.
sambil masukkan pedang pada sarungnya pula, In Hiang
menghampiri kuda hadiah Hek-him Toan Ceng. Ia mengusapusap
dan tepuk-tepuk lehernya kuda itu dengan sikap sayang.
Kuda itu bebenger, kepalanya diangguk-anggukkan dan kaki
depan yang kanan digaruk-garuk ke tanah seolah-olah
menyuruh si nona lekas naik di punggungnya untuk berlalu
dari tempat berbahaya itu. sayang In Hiang tak mengerti akan
"kode" si kuda cerdik itu. Ia terus mengusap-usap dengan
penuh rasa sayang. In Hiang memandang sekitarnya, ternyata sudah sepi-
Hampir tidak ada kelihatan satu orang juga. Pikirnya, apakah
disitu biasanya begitu kalau ada orang bertempur " Pada
ketakutan lari atau masing-masing menutup pintu rumahnya "
Ia ketawa geli- Baru saja ia menyemplak kudanya, tiba-tiba
dari jauh terdengar bentakan nyaring,
"Anak muda, jangan pergi dulu- Tunggu, tunggu "
sebentar saja orang yang berteriak-teriak tadi sudah ada
dihadapannya- Kiranya ia ada Hek-him Toan ceng yang diantar oleh empat
kawannya, satu orang biasa dan tiga hweshio masih mudamuda.
Mereka adalah saudara seperguruan dengan Hek-him
Toan Ceng. Ketika si Beruang Hitam berlalu daripada suhunya Tiat-ci
Hweshio bahwa ia sudah dikalahkan musuh dan minta sang
guru membalaskan sakit hatinya agar pamornya dalam kota
Kunhoa tidak jatuh. Letaknya Thian-ong-biojauh diluar kota, bagaimana ia bisa
mencapai ke sana sementara musuhnya belum meninggalkan
kota. Ini adalah urusan yang memusingkan kepalanya.
Mendadak ia jadi kegirangan ketika bertemu dengan sisuhengnya
(kakak ke-4) yang bernama Leng Hian yang
mengatakan bahwa Toa-suheng,ji-suheng dan sam-suheng
(kakak ke-i, ke-3 dan ke-2) ada dalam kota sedang
menjalankan tugas memungut derma.
Cepat-cepat Toan ceng ajak Leng Hian untuk menemui tiga
saudara tuanya yang waktu itu sedang beristirahat dalam kuil
cabang Thian-ong-bio. Kepada 3 saudara tuanya, Toa Ceng
melapor tentang pertempurannya dengan seorang muda yan
dikalahkan. Tentu saja dalam laporan itu ia kasih bumbu yang
bukan-bukan supaya tiga saudara tuanya menjadi panas
hatinya, sedang kelakuannya hendak memeras In Hiang, ia
tidak sebut-sebut. Begitu berhadapan dengan In Hiang, siBeruang Hitam
berkata pada Hweshio muda yang kepalanya gede, umurnya
kira-kira 50 tahun. "Toa-suheng, dia ini yang merampas kuda kita. Aku sudah
cukup mempertahankan jangan sampai kena dirampas, nyata
tidak berhasil lantaran bocah ini menggunakan pedang pusaka
" si Hweshio kepala gede lantas saja marah, ia membentak.
"Binatang, kau berani merampas orang punya kuda
mentang-mentang kau ada punya pedang pusaka ?"
In Hiang jadi melongo mendengar omongannya Toan Ceng,
kemudian disusul oleh makian si Hweshio kepala gede yang
tidak mengetahui ujung pangkalnya.
"Hai, Beruang Hitam " kata In Hiang nyaring, suara
wanitanya lenyap karena ia sudah melatih suara pria dalam
penyaruannya. "Kenapa kau jadi ngaco belo " Bukankah kau sudah
hadiahkan kudamu lantaran kau kalah berkelahi " Kenapa
sekarang kau menuduh aku merampasnya " Kau kira no....oh
tuan mudamu boleh kau permainkan"
In Hiang keseleo lidahnya, barusan hampir ia mengatakan
"nonamu", baru sampai di "no..." untung ia ingat, lantas dia


Bocah Sakti Karya Wang Yu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ganti dengan "tuan mudamu".
"Ah, anak kecil, kau jangan banyak lagak- Lekas
kembalikan kudaku dan terima hukumanku rangket 10 kali,
baru kau dapat ampun meninggalkan tempat ini" kata Hek-him
Toan Ceng, pulih lagi kesombongannya yang sudah.
In Hiang menjadi gusar, sebelum ia balas memaki, tiba-tiba
saja dua Hweshio dan Leng Hiang sudah menyergap di diatas
kuda. In Hiang tidak kasihkan dirinya disergap. Dengan
meminjam injakan pelana, ia enjot tubuhnya terbang dan
meluncur turun kira jarak 4 meter dari mereka-
"srett " ia mencabut pedangnya dan siap untuk bertempur.
"oo, kau mau main pedang " Hehe " ketawa Toasuhengnya
Toan ciang. "sam-suheng, coba kasih pinjam golokmu. Aku mau jajal
dia sampai dimana dapat menggunakan pedang pusakanya."
Berbareng Hek sam suheng sudah menyodorkan goloknya.
girang hatinya Toan Ceng, Toa-suhengnya akan bergebrak
sebab ia yakin 100 persen Toa-suhengnya akan menang
diatas angin, pikirnya, mungkin hanya 5 jurus saja si pemuda
bakal sudah terjungkal. Pedang tajamnya akan ia miliki,
apabila si pemuda dirobohkan.
"Kepala gundul, hanya buang tempo saja siaoya mu
melayani kau seorang, sebaiknya maju semua Dan kau, hei.
Beruang Hitam, mau sekalian" tantang In Hiang.
si Hweshio kepala gede bukan main panas hatinya
diremehkan oleh pemuda yang tidak ada apa-apanya untuk
ditakuti- "Jangan sombong, terima dulu golok Taysu " bentaknya
dan konta menerjang In Hiang hingga mereka jadi bertempur.
Dalam pada itu, Hek-him Toan cenng anjurkan pada
saudara-saudaranya untuk mencari Genggaman untuk
mengeroyok In Hiang apabila Toa-suhengnya keteter.
sebentar saja mereka sudah siap, dua Hweshio pada
pegang pikulan, Toan ceng golok sedang Leng Hian sebatang
besi yang merupakan toya panjang.
Persiapan mereka memang diperlukan sebab sebentar lagi
kelihatan benar-benar Toa-suheng mereka telah keteter,
hanya dibikin pembelaan saja dengan goloknya, tidak
kelihatan membalas menyerang. Mereka kuatir akan Toasuhengnya
dilukai si pemuda, maka dengan serentak mereka
sudah turun tangan mengeroyok In Hiang.
"Bagus, semua sudah turun" seru In Hiang, suaranya
seperti kegirangan. Kepandaiannya murid-murid Tiat-ci Hweshio memang
bukannya rendah, apalagi mereka berlima bergabung
mengeroyok lawannya, terang telah membuat lawannya repot
bukan main. Dalam kerepotannya In Hiang menjadi naik pitam. Tadinya
bermaksud hanya untuk main-main saja melayani mereka dan
mengasih hajaran satu demi satu. Tapi setelah ia merasakan
tekanan berat juga dan mereka kelihatan menyerang dengan
telengas seolah-olah menginginkan jiwanya, pikirannya jadi
berubah dan hendak balas menyerang dengan kejam
"Awas " seru In Hiang lalu disusul dengan suara "sret sret1
beberapa kali. Tampak senjata lawan saling susul berjatuhan
di tanah dibarengi dengan suara jeritan kesakitan. Dalam
beberapa detik saja, pedang pusaka In Hiang sudah
mengambil lima korban sekaligus, si Hweshio kepala gede,
kutung lengannya sebatas sikut, dua Hweshio lainnya
mendapat tusukan di masing-masing bahunya, Leng Hian
copot tangan kanannya sebatas pergelangan dan paling
menderita adalah siBeruang Hitam, kecuali lengan kanannya
terpapas kutung sebatas pundak, dadanya juga memancarkan
darah segar bekas ujung pedang bertamu ke situ. Hek-him
Toan ceng sudah tak ketolongan jiwanya karena setelah
terkulai roboh, ia sudah lantas menarik napasnya yang
penghabisan. ciut nyalinya 4 saudaranya Toan ceng. seketika itu juga
mereka sudah pada lari meninggalkan si Beruang Hitam yang
sudah menjadi bangkai. Demikian adalah jalannya nasib Dasar si Beruang Hitam
mesti mati di ujung pedangnya In Hiang yang sebenarnya bila
ia tidak kembali lagi, tentu jiwanya tidak melayang.
setelah membikin bersih pedangnya, In Hiang masukkan
kembali pedang ke dalam sarungnya.
Keadaan tempat itu jadi bertambah sepi dari sebelumnya si
Beruang Hitam menemukan ajalnya, tidak seorang manusia
tampak menongolkan kepalanya.
In Hiang menghampiri kudanya, lalu menyemplaknya.
Dengan beberapa tepukan pada lehernya si merah sudah
lantas angkat kakinya untuk bawa In Hiang ke arah selatan.
sekarang kita kembali pada Lo In, kemana sebenarnya ia
dibawa kabur kudanya hingga membuat enci Liannya mewek
kehilangan jejaknya. Dasar anak besar nyalinya dan nakal berandalan, Lo In
dibawa kabur kudanya demikian rupa bukannya takut malah
berkikikan ketawa di atas kudanya, Ia biarkan kudanya
membawa dirinya. Pikirnya, sampai dimana sih kekuatan
tenaga kuda. Biarka ia lari sampai napasnya habis sendirinya,
setempe ia berpaling ke belakang dan melihat enci Liannya
sedang menyusul dengan cepatnya, cambuk lantas dikerjakan
supaya sang kuda bawa dirinya lebih kencang meninggalkan
encinya. Diam-diam hatinya geli, ketika nampak ke belakang
tidak kelihatan bayangan Eng Lian menyusul.
Pikirnya, sang enci tentu gelabakan mencari jejaknya yang
hilang. Tapi, biarlah sebentar ia akan kembali untuk menerima
Cincin Berlumur Darah 1 Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen Darah Menggenang Di Candi 2
^