Pencarian

Bayangan Bidadari 1

Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo Bagian 1


http://cerita-silat.mywapblog.com
. Penyerbuan Pasukan Kay-si-tin
"TOLOOONG?"! Tolooong?"!!"
"Tolonglah?" rumahku terbakar?"!!"
"Ho-han (orang gagah), ampunkanlah kami?" jangan
bunuh kami. Ambil semua harta benda kami, akan
tetapi am?punkan dan jangan bunuh kami?""
Ratapan dan jerit tangis memilukan terdengar di
dusun Tiang-on pada tengah malam itu, jerit tangis
yang disusul oleh bentakan-bentakan marah dan
ganas dari orang-orang yang mendatangkan keributan
itu, disusul pula oleh berkelebatnya golok dan pedang
yang tanpa kasihan membacoki leher orang-orang
yang minta tolong itu. Disusul pula oleh nyala api
yang sebentar saja menjalar ke sana sini, memakan
habis semua gedung berikut isinya. Juga para
penghuninya, mati atau hidup, banyak yang menjadi
korban api mengganas. Anehnya, serbuan orang-orang yang ratusan
banyaknya itu, api yang memakan rumah-rumah
gedung-gedung, hanya ditujukan kepada para
hartawan dan bangsawan, tidak memilih bulu. Rumah
pen?duduk yang miskin sama sekali tidak diganggu,
bahkan para penyerbu yang menyebar malapetaka
kepada hartawan dan bangsawan itu berteriak-teriak
ganas: "Saudara-saudara petani miskin, kaum tertindas, mari
bangkit dan membalas dendam kepada mereka yang
memeras keringat dan darah saudara-saudara!"
Oleh seruan ini, tidak sedikit penduduk Tiang-on yang
merasa menjadi orang miskin dan memang hidupnya
sehari-hari digencet dan diperkuda oleh para
hartawan dan bangsawan serentak keluar dari rumah
dan membantu, terutama sekali untuk
mempergunakan kesempatan itu mencari
keuntungan, merampok! Kemudian mereka ini
mendapat kenyataan bahwa diantara para penyerbu
itu terdapat belasan orang petani di dusun itu yang
jelas menjadi anggauta penyerbu.
Memang serbuan itu telah direncanakan lebih dulu.
Para penyerbu terdiri dari pasukan rakyat yang
menamakan dirinya Kay-sin-tin (Pasukan sakti para
pengemis). Sebetulnya mereka ini bukan seluruhnya
terdiri dari para pengemis, melainkan rakyat dusun-
dusun yang memberontak karena merasa hidupnya
amat tertekan dan tertindas, baik oleh kemiskinan
maupun oleh penghisapan para tuan tanah dan para
pembesar yang korup. Mereka menyebut pasukan jembel karena keadaan
hidup mereka memang tiada bedanya dengan para
jembel. Kalau para jembel atau pengemis minta
makanan berdasar?kan dermaan siapa saja yang
menaruh hati kasihan, mereka lebih-lebih lagi, selalu
harus mengharapkan uluran tangan atau
"pertolongan" dari para tuan tanah.
Akan tetapi pertolongan macam apa! Mereka harus
bekerja, membanting tulang melebihi kerbau atau
kuda, dan semua hasil cucuran darah dan peluh
mereka mengalir ke dalam kantong para tuan tanah,
sedangkan untuk mereka sendiri, agar dapat makan
setiap hari saja harus mengemis-ngemis dan
membongkok-bongkok terhadap para tuan-tanah itu.
Inilah sebabnya maka di mana-mana timbul
pemberontakan rakyat kecil yang kelaparan, dipimpin
dan dikepalai oleh orang-orang gagah yang berjiwa
patriotis. Akan tetapi, sebagaimana hal?nya segala
sesuatu yang terjadi dunia ini, sifat-sifat yang baik
selalu memancing datang sifat-sifat yang
bertentangan. Memang banyak sekali diantara para pemberontak itu
yang betul-betul memperjuangkan nasib, demi
kebaikan tingkat hidup kaumnya, yakni rakyat kecil,
rakyat tani dan pekerja. Namun, tidak jarang diantara
para "pejuang" ini menyelundup orang-orang yang
memang pada dasarnya buruk watak. Tidak kurang
banyaknya para perampok dan manusia-manusia
yang sudah be?jat moralnya, menggabungkan diri,
berkedok semboyan "perjuangan suci" dan dalam
kesempatan itu mereka me?muaskan nafsunya yang
jahat, merampok, membunuh, mem?perkosa dan lain
perbutan jahat lagi yang semata-mata mereka
lakukan atas dorongan nafsu.
Tengah malam itu, dusun Tiang-on menjadi korban.
Semua rumah gedung dimakan api, orang-orang yang
terbunuh mati tak terhitung banyaknya. Mula-mula
memang para bangsawan dan hartawan itu
mengadakan perlawanan, tentu saja anak-buah dan
kaki tangan mereka yang maju menghalang serbuan
pa?sukan Kay-sin-tin. Akan tetapi karena jumlah para
penyerbu banyak sekali, terutama dikepalai oleh
seorang pemuda yang gagah perkasa, sebentar saja
mereka itu dibabat roboh dan sebagian besar
melarikan diri, samasekali tidak mau memperdulikan
lagi nasib para majikan mereka.
Beberapa orang hartawan dan bangsawan mencoba
untuk melarikan diri dari pintu belakang, namun
mereka disambut dengan babatan golok dan pedang.
Mayat bergelimpangan, darah mengalir, tidak saja di
depan dan belakang rumah atau di dalam gedung,
akan tetapi juga di jalan-jalan. Hiruk pikuk, sorak-
sorai para penyerbu, jerit tangis keluarga yang
men?jadi korban, suara ketawa menghina dan
mengejek dari para anggauta penyerbu yang sudah
keranjingan, bercampur aduk menjadi satu,
mengotorkan hawa malam yang sejuk dan bulan
yang tadinya mengintai di balik awan cepat-cepat
menyem?bunyikan diri di belakang awan hitam.
Agaknya ngeri menyak?sikan tingkah manusia yang
saling menyembelih, dilakukan oleh manusia pada
manusia, disebabkan oleh keserakahan manusia pula.
Angin bersilir lembut pada daun-daun pohon se-akan-
akan berbisik: "Manusia, mahluk yang terpilih, terpandai, berakal
budi, akan tetapi?" manusia pula mahluk yang paling
bodoh dan jahat! Kalau saja para bangsawan dan
pembesar tidak serakah dan korup, kalau saja para
jembel tidak mudah dikuasai oleh nafsu, kalau saja?"
ya kalau saja manusia tidak diciptakan sama sekali,
takkan terjadi hal-hal yang menge?rikan ini?""
Pembunuhan dan pembakaran berlangsung terus.
Biarpun sebelum menyerbu, para anak buah dipesan
keras oleh pemim?pin mereka bahwa mereka tidak
boleh sekali-kali mengganggu wanita dengan
perbuatan rendah, akan tetapi boleh membunuh para
anggauta keluarga wanita itu, namun diantara para
penyerbu yang bermoral bejat ada yang diam-diam
menculik para wanita dan membawa lari mereka!
"Para pelayan boleh lari, tidak akan kami ganggu
kalian asal saja tidak membantu para majikan!" seru
pemimpin penyerbu dan suaranya terdengar lantang,
mengatasi semua suara hiruk pikuk itu. Ini
membuktikan bahwa pemimpin itu memang berilmu
tinggi dan suaranya itu dikerahkan melalui tenaga
lweekang yang sudah tinggi tingkatnya.
Mendengar ini, para pelayan otomatis meninggalkan
maji?kan mereka. Mereka tentu saja lebih sayang
kepada nyawa sendiri. Namun, tidak kurang diantara
mereka yang diam-diam melarikan diri sambil
menyambar barang-barang berharga!
Di ujung sebelah timur dari dusun itu, tinggal keluarga
Kwee-wangwe (hartawan Kwee) di dalam rumah
gedungnya yang besar. Kwee-wangwe juga seorang
tuan tanah yang kaya raya, kekayaan yang ia dapat
dari warisan orangtuanya yang sudah enam
keturunan lebih tinggal di tempat itu. Tidak ada lagi
orang yang dapat menerangkan bagaimana caranya
nenek? moyang Kwee ini mengumpulkan harta
bendanya, entah de?ngan jalan halal dan memeras
keringat atau berniaga, atau?kah dengan jalan haram,
mencekik para buruh tani.
Akan tetapi yang sudah jelas, dan hal ini diakui dan
diketahui pula oleh seluruh penghuni dusun Tiang-on,
adalah bahwa Kwee Seng adalah seorang hartawan
yang murah hati. Dialah orang satu-satunya di dalam
dusun itu yang menjamin kehidupan semua buruh
taninya, tangannya terlepas dan selalu ia siap ?sedia
menolong mereka yang kekurangan atau yang
mengha?dapi kesusahan. Terutama sekali Kwee-hujin (Nyonya Kwee), seorang
wanita yang usianya baru duapuluh lima tahun, cantik
jelita seperti bidadari, halus lembut tutur sapa dan
gerak? geriknya, murah senyumnya dan murah pula
hatinya. Tidak ada orang di seluruh dusun yang tidak
menaruh hormat dan sayang kepada Nyonya Kwee.
Dengan adanya hartawan Kwee di dusun itu, maka
dusun Tiang-on terkenal sebagai dusun yang tak
pernah dilanda bahaya kelaparan, dalam arti kata
bahwa belum pernah di dusun itu ada orang yang
mati kela?paran. Di waktu musim kering, keluarga
Kwee tidak segan-segan menguras seluruh gudang
gandumnya untuk diberikan secara cuma-cuma
kepada mereka yang sudah tidak mempunyai bahan
makanan lagi. Kwee Seng dan isterinya sudah menikah enam tahun
lama?nya dan mereka hanya mempunyai seorang
puteri yang diberi nama Kwee In Hong. Nyonya Kwee
cantik jelita seperti bi?dadari, Kwee Seng sendiripun
berwajah tampan, maka tidak mengherankan apabila
Kwee In Hong seorang anak perempuan yang mungil
manis, dan lucu. Semua pelayan di dalam rumah itu, terutama sekali
Can Ma inang pengasuh Kwee In Hong semenjak
terlahir, amat sayang kepada anak ini. Can Ma
se?orang janda tua yang hidup sebatangkara, maka
terhadap In Hong kesayangannya sama dengan
kesayangan seorang ibu kepada anaknya, atau
kesayangan seorang nenek kepada cu?cunya.
Ketika terjadi penyerbuan, Kwee Seng dan
keluarganya juga menjadi panik. Tidak seperti
hartawan-hartawan yang lain, Kwee Seng tidak
mempunyai tukang-tukang pukul, hanya mempunyai
pelayan-pelayan laki-laki perempuan yang mengurus
rumah tangganya. Para penyerbu masuk ke dalam
kampung dari sebelah barat, maka biarpun banyak
rumah sudah menjadi lautan api, rumah gedung Kwee
Seng masih belum mendapat giliran.
Ini ada sebabnya, yaitu karena belasan orang
penduduk yang menjadi anggauta barisan penyerbu,
masih merasa malu dan sungkan untuk cepat-cepat
menyerbu rumah hartawan Kwee. Tak seorang?pun
diantara mereka ini yang belum pernah menerima
per?tolongan Kwee Seng, maka mereka tidak ada
hati untuk men?jadi penunjuk jalan, dan membiarkan
saja sampai para penyerbu dari luar dusun itu sendiri
yang mendapatkan rumah gedung Kwee-wangwe.
Di dalam rumah gedung Kwee Seng terjadi keributan
hebat. Hartawan ini memberi perintah kepada semua
pelayan untuk segera melarikan diri, tak usah
menjaga rumah. "Kita harus melarikan diri, mencari jalan masing-
masing agar dengan berpencaran lebih mudah
melarikan diri. Biarkan saja, rumah dan harta habis
tidak apa asal kita dapat me?nyelamatkan diri," kata
Kwee Seng. Tiba-tiba Can Ma sambil menangis, dengan muka
pucat berkata: "Kwee Wangwe, harap cepat
melarikan diri bersama hujin. Nona In Hong biar
hamba bawa lari, jangan ikut dengan wangwe dan
hujin." Isteri Kwee Seng mengulurkan tangan hendak
merampas In Hong dari gendongan Can Ma, sambil
berkata: "Can Ma, kau bagaimanakah" Anakku akan pergi
kemana juga orang tuanya lari. Tak mungkin dia
harus berpisah dari kami. Kesinikan, biar aku gendong
sendiri dia!" Akan tetapi, Can Ma mundur dan mendekap tubuh In
Hong yang menjadi kebingungan: "Tidak, hujin.
Ingatlah, mereka itu datang dengan nafsu iblis, dan
mereka bermaksud mem?basmi semua orang
hartawan dan bangsawan. Sedikit sekali harapan bagi
para hartawan dan bangsawan di dusun ini untuk lari.
Kalau terjadi demikian?"" Can Ma menangis keras,
"kalau terjadi demikian?" biarlah anak ini selamat
bersama hamba?" Mereka takkan mengganggu
hamba, seorang tua miskin dan lemah, dan nona In
Hong?" biarlah dia menjadi cucuku, cucu seorang
nenek mis?kin?""
Kwee Hujin hendak membantah dan kini iapun sudah
mencucurkan airmata, akan tetapi Kwee Seng yang
cerdik sudah maklum akan maksud Can Ma. Tidak
ada jalan lain, pikirnya, kalau seorang diantara kita
bertiga harus selamat, maka orang itu haruslah In
Hong! "Hayo kita pergi, biar kita titipkan In Hong untuk
semen?tara waktu kepada Can Ma. Dengan Can Ma
keselamatannya lebih terjamin!" Sambil berkata
demikian, Kwee Seng me?narik tangan isterinya,
diajak lari.

Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Terima kasih, wangwe. Hamba akan menjagai anak
ini dengan taruhan nyawa!" Can Ma berseru dan
nenek inipun lari cepat keluar dari rumah gedung itu,
sedangkan Kwee Seng bersama isterinya lari ke arah
kandang kuda. "In Hong?" anakku?"!" Nyonya Kwee menjerit, akan
tetapi suaminya cepat menariknya sehingga ia
terpaksa ikut berlari. Pada saat itu, suara sorak-sorai menggegap gempita
dari para penyerbu sudah mendekat. Mereka dari
barat menuju ke timur dan seorang diantara mereka
sudah tahu bahwa di ujung timur terdapat rumah
gedung Kwee-wangwe. "Mari cepat, kau tunggang kuda yang ini!" Kwee Seng
ber?kata dengan gugup. Isterinya memang sudah biasa naik kuda karena
ketika masih belum menikah, isterinya ini mempunyai
kesukaan menunggang kuda milik ayahnya yang
menjadi pedagang kuda yang kaya raya pula. Kwee-
hujin dengan ce?katan naik ke atas punggung kuda
dan sebentar kemudian sepasang suami isteri ini
melarikan kuda masing-masing menuju ke timur.
Suara derap kaki kuda mereka bergema di malam
gelap. "Mereka lari?"! Kejar dan bunuh hartawan jahanam
itu?"!" Teriak para penyerbu ketika mereka dari jauh
melihat dua bayangan menunggang kuda melarikan
diri. Akan tetapi, para penyerbu itu datang dengan jalan
kaki, dan biarpun di dusun itu banyak kuda yang
mereka rampas, namun dalam kesibukan itu,
siapakah yang ingat untuk mem?persiapkan kuda
rampasan untuk mengejar orang" Tiba-tiba dian?tara
mereka berkelebat bayangan yang bukan lain adalah
pe?muda gagah yang menjadi pemimpin mereka.
"Habiskan mereka. Kumpulkan kuda dan jangan
lawan kalau ada barisan penjaga datang. Bawa lari
semua kuda dan barang rampasan!" kata pemuda itu.
Kemudian ia berlari cepat mengejar Kwee Seng dan
isterinya. Bukan-main hebatnya kepandaian pemuda ini. Biarpun
ia hanya mempunyai dua buah kaki, namun
dibandingkan dengan kuda yang memiliki empat buah
kaki, agaknya ia tidak akan kalah! Ia berlari sambil
mempergunakan ilmu lari cepat cho-sang-hui (terbang
di atas rumput). Larinya demikian cepat dan ringan
sehingga seakan-akan kedua kakinya tidak
menyentuh bumi. Tidak terdengar derap kakinya,
tanda bahwa ginkangnya memang sudah tinggi.
Namun, kuda adalah binatang yang tidak saja
terkenal pandai berlari cepat, juga amat terkenal akan
kekuatan serta panjang napasnya. Apalagi ketika
Kwee Seng dan isteri?nya membedalkan kuda
mereka, payahlah bagi pemuda itu untuk menyusul.
Akan tetapi, ada hal yang menguntungkan si pengejar
dan merugikan Kwee Seng berdua, yakni bulan yang
tetap bersembunyi di balik awan.
Kwee Seng dan isterinya tidak mengenal jalan, maka
sambil melarikan kuda, mereka mencari jalan yang
tentu saja menghambat perjalanan itu. Sebaliknya,
derap kaki kuda mereka terdengar baik oleh telinga
pemuda itu yang amat tajam pendengarannya.
Kurang lebih dua jam kemudian, setelah pemuda itu
mulai merasa lelah, tiba-tiba ia menjadi amat girang
melihat betapa dari suara derap kaki kuda, dua ekor
binatang itu dilarikan lambat, atau tidak secepat tadi.
Bulanpun mulai bersinar dan kini suara hiruk-pikuk
dari dusun yang dibakar itu tidak ter?dengar lagi.
Memang Kwee Seng dan isterinya memperlambat
larinya kuda mereka, karena tentu saja mereka tidak
mengira bah?wa ada musuh yang mengejar mereka
dan kini sudah dekat. Sebaliknya, pemuda itu juga
sudah terlampau lelah untuk mengejar terus dan kini
iapun memperlambat larinya sambil mengatur
pernapasan. Bulan bersinar dan ia dapat melihat
bahwa yang ia kejar adalah seorang laki-laki muda
dan seorang wanita muda. Ia mengeluarkan dua butir
senjata rahasia berbentuk bulat dari sakunya. Inilah
thi-lian-ci (biji tera?tai besi) yang menjadi
kepandaiannya yang amat disegani orang.
"Suamiku, bagaimana dengan In Hong?"?" Kwee
hujin bertanya dan kembali airmatanya mengucur
deras ketika ia teringat akan puterinya.
"Tentu selamat bersama Can Ma, mari kita sekarang
pergi ke kota See-ciu, ke rumah paman Yo," jawab
suaminya. "Apakah kita tidak menunggu Can Ma disini?" tanya
isterinya ragu-ragu. "Tak usah, laginya belum tentu Can Ma mengambil
jalan ke jurusan ini. Tidak baik kalau kita menunggu
disini, siapa tahu para pemberontak itu akan datang di
tempat ini pula. Lebih baik kita berangkat sekarang
juga, nanti dari kota See-ciu kita mengirim orang
untuk menyelidiki dimana la?rinya Can Ma agar In
Hong dapat diantar ke See-ciu."
Mendengar ini, Kwee-hujin menjadi lega. "Baiklah,
mari kita?"" Baru saja ia bicara sampai disini, tiba-tiba
kuda?nya berdiri, meringkik kesakitan.
Gerakannya demikian mendadak dan kuat sehingga
tak da?pat dicegah lagi, Kwee-hujin terlempar ke
belakang, jatuh dari atas punggung kuda!
Kwee Seng kaget sekali, akan tetapi pada saat itu,
peluru kedua yang dilepas oleh pemuda pengejar
mereka menyam?bar kepalanya.
"Tak!" Kwee Seng tak dapat mengeluarkan suara lagi
dan ia terjungkal roboh dari atas kuda dengan kepala
pecah! Kwee-hujin yang terjengkang dari atas kuda, jatuh
de?ngan kepala tertumbuk batu sehingga ia pingsan.
Sesosok ba?yangan dengan beberapa kali lompatan
telah berdiri disitu, dan bayangan ini yang bukan lain
adalah pemuda yang menye?rang mereka, berdiri
bertolak pinggang dengan senyum puas.
Ia tadi memang sengaja menyerang kuda Kwee-
hujin, karena ketika ia mengayun tangan yang
pertama, tiba-tiba ia menjadi lemas dan tidak tega
membunuh seorang wanita yang kelihat?annya
demikian tak berdaya dan tak berdosa. Oleh karena
ini ia lalu mengarahkan sambitannya kepada kuda
yang ditunggang oleh nyonya Kwee. Namun, peluru
kedua diayun tanpa ragu-ragu lagi ke arah kepala
Kwee Seng sehingga merampas nyawa hartawan
muda itu. Pemuda itu setelah memandang ke arah mayat Kwee
Seng sambil tersenyum puas, kini mengalihkan
pandangan matanya kepada tubuh Kwee-hujin yang
telentang di atas tanah dalam keadaan pingsan.
Senyumnya tiba-tiba lenyap, keningnya berkerut dan
bibirnya bergerak aneh. Berbeda dengan tadi, kini ia
termangu. Ia terpesona oleh kecantikan luarbiasa dari
nyonya muda itu. Kebetulan sinar bulan menerangi wajah nyonya Kwee
dan lemaslah hati pemuda itu. Selama hidupnya,
banyak ia melihat wanita cantik, akan tetapi belum
pernah ia me?nyaksikan kecantikan yang demikian
melemaskan dan memikat kalbunya. Bibir berbentuk
indah yang kini ditarik seperti orang berada dalam
keadaan duka dan takut, benar-benar menggerakkan
hatinya dan menimbulkan belas kasihannya.
Ia berlutut didekat tubuh nyonya Kwee. Dijamahnya
kening nyonya itu yang terluka sedikit dan berdarah.
Dikeluarkan sehelai saputangan dan dengan penuh
kasih sayang dan ibahati, dibalutnya kepala itu. Ketika
jari-jari tangannya menyentuh kulit jidat yang halus,
rambut yang lemas dan halus serta menge?luarkan
keharuman yang memabokkan, hatinya berdebar.
Tiba-tiba ia bangkit berdiri dan tangan kanannya
menampar pipinya sendiri!
"Ong Tiang Houw, kau harus malu kepada diri sendiri.
Kau harus membunuhnya, bukan tergila-gila
kepadanya!" katanya kepada diri sendiri. Sambil
merapatkan giginya ia mencabut pedang yang
tergantung di pinggang, mengangkat pedang itu,
diayun ke arah leher Kwee-hujin.
Akan tetapi, pedang itu berhenti di tengah udara dan
seperti tadi, sepasang mata Ong Tiang Houw menatap
wajah nyonya itu seperti orang kena hikmat. Tangan
yang memegang pedang perlahan-lahan turun dan
pedang itu kembali masuk ke dalam sarungnya. Ong
Tiang Houw menarik napas panjang, menggeleng-
geleng kepalanya. "Kau memang orang bodoh, lemah!" ia memaki diri
sen?diri, kemudian ia membungkuk dan mengangkat
tubuh Kwee-?hujin. Tiba-tiba terdengar suara banyak
kaki orang berlari-larian menuju ke tempat itu. Tiang
Houw melepaskan lagi tubuh Kwee-hujin di atas
tanah dan ia cepat melompat, bersem?bunyi di balik
pohon. Yang datang adalah serombongan anak-buahnya
yang tadi menyerbu dusun Tiang-on. Pemuda ini
keluar dan menghadang mereka.
"Apa yang terjadi?" tanyanya.
Anak buah itu girang melihat pemimpinnya dan
mereka melihat tubuh Kwee Seng dan istrinya yang
menggeletak di atas tanah, maka tak seorangpun
diantara mereka mengira bahwa pemimpin mereka
telah melakukan sesuatu yang ganjil, yakni tidak tega
membunuh nyonya muda itu.
"Pasukan berkuda kerajaan datang dan kami terpaksa
me?larikan diri," seorang diantara mereka melapor.
"Lekas lari, berpencar dan jangan melawan mereka.
Ke?lak aku akan memberi tanda dimana kita harus
berkumpul lagi!" kata Tiang Houw. Mereka bubar dan
melarikan diri mencari keselamatan masing-masing.
Setelah keadaan disitu menjadi sunyi kembali, Tiang
Houw kembali mengangkat tubuh Kwee-hujin yang
masih pingsan. Akan tetapi begitu diangkat, terdengar nyonya muda
ini me?ngeluh. "In Hong?"" demikian keluhan pertama yang keluar
dari mulut nyonya itu. Ketika ia telah sadar betul dan
melihat bahwa ia berada dalam pondongan seorang
laki-laki muda, nyonya Kwee memberontak marah:
"Siapa kau?"" Kurangajar, lepaskan aku!"
Tiang Houw melepaskannya dan kini nyonya muda itu
berdiri tegak, marah sekali.
"Kau siapa" Mana?" mana suamiku?"?"
Akan tetapi, sebelum laki-laki muda itu menjawab,
Kwee-?hujin telah melihat suaminya, menggeletak di
atas tanah de?ngan kepala berlumur darah, tak
bergerak lagi. Ia menjerit dan hendak menubruk suaminya, akan
tetapi laki-laki muda itu cepat menyambar tubuhnya,
dan memegang kedua tangannya.
"Dia sudah mati, tiada gunanya ditangisi," katanya
meng?hibur, akan tetapi terdengar amat canggung.
"Kita harus cepat pergi dari sini, ada pasukan kuda
datang mengejar!" Akan tetapi Kwee-hujin meronta-ronta. "Tidak,
tidak?"! Biarkan aku tinggal disini dengan suamiku?"
ahh?" suamiku?" In Hong?"" Ia menangis sedih dan
betapapun ia meronta, ia tak dapat melepaskan diri
dari pe?lukan pemuda yang amat kuat kedua
lengannya itu. Sementara itu, dari jauh terdengar
derap kaki kuda yang makin lama makin mendekat.
Tiang Houw tidak mau membuang banyak waktu lagi.
Ia melihat kuda yang tadi ditunggangi oleh Kwee
Seng masih berada disitu, maka cepat dipondongnya
tubuh nyonya Kwee dan sekali lompat saja ia telah
berada di punggung kuda! Kuda itu segera melompat
maju dan sebentar kemudian larilah ia kuat-kuat,
dikemudikan oleh tangan kanan Tiang Houw yang
pandai. Adapun Kwee-hujin yang dipondong di? lengan kiri,
meronta-ronta dan menjerit-jerit: "In Hong?"! Kwee
Seng?"!!" Akan tetapi segala usahanya untuk melepaskan diri
sia-sia belaka dan angin malam menyambar pada
mukanya, membuat ia sukar bernapas dan tak lama
kemudian nyonya muda ini menjadi lemas dan
pingsan lagi dalam pondongan Tiang Houw.
"Y" Siapakah adanya Ong Tiang Houw yang memimpin
penyer?buan ke dalam dusun itu" Dia sebetulnya
adalah anak seorang petani miskin. Semenjak kecil,
Tiang Houw memang suka sekali belajar ilmu silat
dan akhirnya ia beruntung sekali menjadi murid Bu
Sek Tianglo, tokoh besar di selatan, bahkan ia menjadi
ahliwaris tunggal dari Bu Sek Tianglo. Guru besar ini
yang melihat dasar baik pada diri Tiang Houw,
sebelum meninggal dunia karena usia tua, ia
menurunkan seluruh ke?pandaiannya sehingga Tiang
Houw menjadi seorang yang berkepandaian amat
tinggi. Ia pulang kekampungnya dalam usia duapuluh tahun
dan oleh orang tuanya ia dijodohkan dengan seorang
gadis petani yang sederhana. Tiang Houw memang
terkenal berbakti ke?pada orangtuanya, maka ia tidak
berani menolak. Demikian?lah ia menikah dengan
seorang gadis, dan biarpun ia tidak menyinta gadis ini,


Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

namun ia hidup rukun dan tinggal di rumah sampai
setahun lebih. Isterinya memperoleh seorang putera
dan setelah hampir dua tahun tinggal di rumah, Tiang
Houw tak dapat menahan lagi keinginan hatinya
untuk meran?tau. Ia tinggalkan rumah tangganya dan
terjun di dalam du?nia kangouw.
Sebentar saja ia telah mengangkat tinggi na?manya
dan di dunia kangouw tidak ada yang belum
mengenal nama Ong Tiang Houw. Tidak saja ilmu
silatnya yang tinggi, terutama sekali sepak terjangnya
yang sesuai dengan sikap seorang pendekar itulah
yang membuat nama Ong Tiang Houw menjadi
terkenal. Di mana-mana ia menyebar perbuatan baik,
menolong kaum tertindas dan menghajar orang-orang
yang jahat. Selama enam tahun Tiang Houw merantau di dunia
kangouw dan barulah ia teringat kepada keluarganya.
Yang terutama sekali menarik hatinya untuk pulang
adalah kenangan kepada puteranya, yakni Ong Teng
San yang baru berusia satu tahun ketika ia pergi
merantau. Akan tetapi setelah tiba di dusunnya, apakah yang ia
dapatkan" Isterinya telah meninggal dunia,
membunuh diri dan kedua orang tuanya juga
meninggal dunia karena berduka.
Beberapa tahun setelah Tiang Houw pergi, di
dusunnya terserang bencana alam. Musim kering jauh
lebih lama daripada biasanya dan sebagian besar
kaum tani miskin yang hidupnya mengan?dalkan
tenaga memburuh, kehabisan makanan dan banyak
yang mati kelaparan. Ayah bunda Tiang Houw yang juga merupakan
keluarga miskin, terpaksa minta tolong kepada
seorang hartawan she Sim. Hartawan ini mengulurkan
tangan dengan memberi pin?jaman kepada mereka.
Hutang mereka bertumpuk-tumpuk tanpa dapat
terbayar dan akhirnya hartawan she Sim ini menagih
dengan paksa. Kakek Ong dan isterinya serta
mantunya ditangkap, dimasukkan tahanan.
http://cerita-silat.mywapblog.com
22 http://cerita-silat.mywapblog.com http://cerita-silat.mywapblog.com
. Iblis Wanita Hitam Kemudian, hartawan she Sim itu mengajukan usul
untuk membayar hutang itu dengan diri mantu
perempuan kakek Ong yang memang manis. Tentu
saja kakek itu menolak keras, akan tetapi dengan
mengandalkan pengaruh harta bendanya, hartawan
she Sim berhasil membawa isteri Ong Tiang How
dengan paksa keluar dari tahanan.
Orang tidak mendengar bagaimana nasib nyonya
muda ini, hanya tahu-tahu orang-orang terkejut
mendengar berita bahwa nyonya muda ini
membunuh diri dengan jalan membenturkan
kepalanya sampai pecah pada dinding! Mendengar ini,
kakek Ong dari isterinya menjadi begitu berduka
sampai mereka jatuh sakit dan meninggal di dalam
tahanan. Bagaimana dengan Ong Teng San" Anak ini ketika
kakek dan nenek serta ibunya ditahan, melarikan diri
dan berlindung ke rumah seorang petani miskin yang
menjadi kenalan baik dari keluarga Ong.
Dua tahun kemudian setelah peristiwa menyedihkan
itu terjadi, datanglah Ong Tiang Houw di dusunnya!
Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Tiang
Houw mendengar akan malapetaka yang menimpa
keluarganya. Ia mencari puteranya dan pertemuan ini
amat mengharukan. Teng San tentu saja tidak
mengenal ayahnya, akan tetapi ia menangis tersedu-
sedu dalam pelukan ayahnya ketika ia diperkenalkan.
"Jahanam she Sim! Jahanam dan jahat belaka
hartawan-hartawan dan bangsawan-bangsawan yang
mencekik leher orang-orang miskin. Aku bersumpah
akan membasmi mereka semua!" Berkali-kali Tiang
Houw berkata. Pada malam hari itu, hartawan Sim terdapat mati
dengan leher terbabat pedang. Gedungnya dibakar
habis. Perbuatan ini tentu saja dilakukan oleh Tiang
Houw. Orang-orang disitu, yakni para petani miskin, merasa
bersyukur. Bangkit semangat mereka karena
perbuatan Tiang Houw dan mereka lalu berkumpul,
menyatakan hendak membantu gerakan Tiang Houw
untuk membersihkan para iblis yang masuk ke dalam
diri hartawan-hartawan pelit dan bangsawan-
bangsawan korup. Tiang Houw gembira sekali melihat ini. Memang pada
masa itu, dilain-lain daerah sudah banyak terbentuk
pasukan-pasukan rakyat yang hendak memberontak
terhadap tuan-tuan tanah dan bangsawan-
bangsawan. Tiang Houw lalu membentuk barisan
yang menamakan dirinya Kay-sin-tin (Barisan sakti
dari para jembel). Mulai saat itu, Tiang Houw memimpin orang-orangnya
untuk melakukan penyerbuan-penyerbuan terhadap
rumah orang-orang besar. Nama Kay-sin-tin terkenal
sekali dan dusun demi dusun diserbu, orang-orang
kaya dan bangsawan dibunuh, rumah mereka dibakar
habis! Demikianlah, bukan untuk pertama kalinya Tiang
Houw memimpin kawan-kawannya menyerbu dusun
Tiang-on. Akan tetapi, benar-benar baru untuk
pertama kalinya hatinya lemas ketika ia menghadapi
Kwee-hujin! "Y" Sebulan lewat kemudian, di luar kota See-ciu masih
sepi karena hari masih pagi. Waktu itu musim dingin
sudah mulai sehingga para penduduk yang masih
meringkuk di atas pembaringan, malas meninggalkan
pembaringannya, bahkan menarik selimut makin ke
atas agar terlindung seluruh tubuh dari hawa dingin.
Beberapa orang yang karena tugas pekerjaannya
terpaksa keluar meninggalkan rumah, rata-rata
memakai pakaian tebal, karena hawa yang amat
dingin memang luar biasa sekali. Di dalam baju
tebalpun orang masih menggigil dan kulit muka terasa
kaku. Akan tetapi, pada saat sedingin itu, di luar kota See-
ciu bagian selatan, dua orang manusia berjalan
berpegangan tangan sambil menggigil kedinginan.
Yang seorang sudah amat tua, dan hawa dingin
membuatnya makin bongkok dan berkeriputan.
Mukanya pucat sekali sehingga kelihatan kehijau-
hijauan. Lagaknya seperti hendak membimbing orang
kedua, akan tetapi jelas kelihatan bahwa dialah yang
minta bantuan tenaga dari tangan kecil yang
dipeganginya. Orang kedua adalah seorang anak perempuan berusia
lima tahun, pakaiannya kotor, mukanya kurus dan
pucat tanda kurang makan. Pada wajah yang kotor
berdebu itu terdapat bekas-bekas airmata, tangan
kirinya sebentar-sebentar menekan perut dan tangan
kanannya menggandeng tangan nenek itu. Anak ini
menggigit bibirnya dan biarpun ada tanda-tanda
kedukaan dan kebingungan luar biasa pada sepasang
matanya, namun ia berjalan dengan langkah dikuat-
kuatkan, bahkan ialah yang menarik tangan nenek
itu. "Marilah, Can Mama, lekas masuk kota. Ayah dan ibu
tentu sudah menanti di dalam kota!" kata anak itu
berkali-kali. Nenek itu tak dapat mengeluarkan suara lagi untuk
men?jawab. Bibirnya gemetar dan biarpun ia
menggerakkan bibir itu namun tidak ada suara yang
keluar. Ia hanya mengangguk-angguk dan berjalan
tersaruk-saruk seakan-akan ia memaksa sedikit
tenaga yang masih ada untuk menggerakkan kedua
kakinya. Tiba-tiba ia batuk-batuk. Celakalah kalau orang
terkena penyakit batuk dalam waktu hawa sedingin
itu, apalagi kalau perut sedang kosong. Nenek itu
terpaksa menghentikan gerakan kakinya, memegangi
perut dengan kedua tangan, terus batuk-batuk
dengan hebatnya. Ia merasa dadanya sesak dan
sakit, perutnya yang kosong dan perih terguncang-
guncang. Ia membungkuk dan melipat tubuh
bagai?kan pisau lipat hendak ditutup.
"Ugh?" ugh-ugh-ughhh?"" batuknya berkali-kali.
Anak perempuan itu yang bukan lain adalah Kwee In
Hong, segera mengurut-urut punggung nenek itu yang
kini sudah bongkok dan membungkuk-bungkuk,
menggeliat-geliat kesakitan. Sudah beberapa hari Can
Ma menderita batuk ini dan In Hong kini sudah tahu
bahwa ia harus mengurut-urut punggung nenek itu
apabila batuknya kambuh. Pada saat itu, dari udara turun hujan kecil. Air bertitik-
titik kecil, membawa hawa yang makin menggigilkan
tubuh, hawa dingin meresap ke dalam tulang
sumsum, dan hal ini memperhebat rasa gatal
ditenggorokan dan sesak pada isi dadanya.
"Ugh-ugh-ugh?"" suara batuknya makin gencar akan
tetapi makin lemah. "Can Mama, mari kita berteduh?"" In Hong berkata
bingung. Ia melihat ke kanan kiri dan kebetulan sekali
tak jauh dari jalan itu terdapat sebuah kelenteng tua
yang tidak terawat sama sekali. Rumput alang-alang
memenuhi halaman kelenteng dan sebagian
gentengnya sudah terbuka, bangunan bagian kiri
sudah hampir ambruk. In Hong segera menarik
tangan Can Ma yang terpaksa berdiri sambil
terbongkok-bongkok. "Can Mama, itu disana ada rumah kosong, mari kita
berteduh, hawa begini dinginnya."
In Hong berkata keras-keras diantara suara batuk-
batuk nenek itu. Dia sendiri merasa dingin bukan
main, akan tetapi melihat keadaan nenek itu, ia
seperti tidak merasakan penderitaannya sendiri dan
sambil mengerahkan seluruh tenaganya ia menarik
tubuh nenek itu ke arah kelenteng. Dengan susah
payah akhirnya In Hong berhasil membawa Can Ma
memasuki kelenteng tua. Baiknya masih ada sebagian genteng yang utuh
sehingga mereka dapat terlindung dari serangan air
hujan, sungguh?pun hawa dingin tidak
memperdulikan halangan ini dan dengan mudah
dapat meresap masuk sampai ke pojok-pojok
ruangan kelenteng tua. Can Ma menjatuhkan diri di atas lantai yang penuh
debu. Ia masih batuk-batuk terus dan tubuhnya
setengahnya berbaring di atas lantai itu. Mukanya
yang tadi kehijauan sekarang sudah berobah menjadi
kehitaman. "Siocia?" aku?" aku tidak kuat lagi?""
In Hong menubruknya dan merangkul leher nenek itu.
Tak terasa lagi kedua matanya yang tadinya sudah
hampir kekeringan air mata itu, menjadi basah lagi.
"Tidak, Can Mama, jangan berkata begitu. Kita akan
masuk ke kota dan bertemu dengan ayah ibu. Kau
akan mendapat obat, akan sembuh?""
"Ugh?" ugh-ugh-ugh?" siocia?" kalau aku?" mati
disini?" kau masuklah ke kota, carilah paman dari
ayahmu?"" "Kau takkan mati, Can Mama?" jangan mati?"
jangan mati?"!" Kini In Hong menangis tersedu-sedu
dan air matanya bercucuran, menyaingi air hujan
yang mulai mengucur dari genteng kelenteng itu.
"Nona?" aku tidak kuat lagi?" dadaku?" dadaku?"
aaaachhh?" sesak dan sakit sekali?" ugh ugh-
ugh?"!" Tubuh Can Ma menggeletar dan kini ia merebahkan
diri, menggeliat-geliat ke kanan kiri seperti cacing
terkena abu panas. In Hong menjadi bingung sekali. Ia mengangkat
kepala Can Ma, didekap dan dipeluknya kepala itu di
atas pangkuannya sambil bersambat: "Can Mama?"
jangan?" jangan tinggalkan aku?"!"
Kemudian sunyi, hanya napas berat Can Ma yang
terdengar diselingi oleh suara batuknya dan suara isak
tangis In Hong. Tiba-tiba terdengar suara batuk lain, suara batuk yang
tinggi dan nyaring, seperti suara batuk buatan:
"Iihh-ihh-ihh?"!"
Tadinya In Hong tidak memperhatikan suara ini
karena di?sangkanya suara batuk dari Can Ma, akan
tetapi suara batuk yang tinggi ini disambung oleh
suara yang kecil nyaring.
"Thian Maha Adil! Manusia tahu apakah tentang
keadilan Thian" Orang baik-baik menderita, yang
jahat makmur dan senang! Orang bertanya-tanya
mana keadilan Thian" Padahal Thian memang Maha
Adil, hanya cara Thian bekerja penuh rahasia, mana
manusia tahu" Ih-ih-ih?"!"
In Hong menengok ke kiri. Ruangan itu memang
gelap dan baru sekarang ia melihat sesuatu bergerak
di sudut yang paling gelap dari ruangan itu. Sesuatu
yang hitam dan setelah ia memperhatikan, baru
terlihat olehnya bahwa yang bergerak dan batuk
serta bicara itu adalah seorang nenek pula. Seorang
nenek yang duduk melingkar seperti seekor binatang
trenggiling.

Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Muka nenek itu tidak kelihatan, tertutup oleh
rambutnya yang panjang dan hitam sekali, yang
kacau dan riap-riapan ke muka dan belakang,
pendeknya disekeliling kepalanya yang kecil.
Pakaiannya compang camping, tidak tentu lagi
warnanya karena kotor sehingga kelihatan
menghitam. Kedua kakinya tidak bersepatu. Sebatang
tongkat panjang, juga warnanya hitam, menggeletak
di dekatnya. In Hong mengeluh di dalam hatinya. Terlalu banyak ia
melihat kemelaratan. Sejak ia melarikan diri dengan
Can Ma, tidak saja ia sendiri mengalami apa artinya
kelaparan dan kedinginan, juga di jalan-jalan ia
melihat orang-orang yang mati kelaparan, mati
kedinginan, dan kesengsaraan yang mendirikan bulu
tengkuknya. Biasanya ia hidup mewah dan senang di rumah orang
tuanya yang kaya raya, dan tak pernah ia mengira
bahwa di luar rumah gedungnya banyak terjadi hal-
hal demikian. Mimpipun tak pernah ia bahwa ada
orang yang sampai mati kelaparan, padahal biasanya
ia merasa bosan dengan segala macam makanan
enak yang disuguhkan kepadanya oleh para
pelayannya. Kini, berada di puncak penderitaan, dua hari ia tidak
makan, dan Can Ma berada dalam keadaan yang
amat membingungkan, juga membikin ia ketakutan
sekali karena Can Ma bicara tentang kematian, ia
tidak bertemu dengan orang yang dapat
menolongnya, bahkan bertemu dengan seorang
jembel lain yang keadaannya tidak lebih baik
daripada keadaan Can Ma! Ia sudah cukup besar untuk dapat mendengar dari
para pelayan betapa ayah bundanya seringkali
menolong orang-orang dengan menderma uang,
pakaian dan makanan. Sekarang barulah ia tahu
bahwa perbuatan kedua orang tuanya itu memang
tepat. "Kelak aku akan minta kepada ayah dan ibu untuk
lebih banyak menolong orang-orang ini. Aku akan
minta kepada ayah dan ibu agar menolong semua
jembel sehingga di dunia ini tidak ada orang mati
kelaparan dan menderita kedinginan," demikian bisik
suara hati anak yang luar biasa ini.
Memang luar biasa kalau seorang anak berusia lima
tahun bisa mempunyai pikiran seperti ini. Padahal
orang-orang dewasa, bahkan orang-orang yang sudah
mengira cukup berpengetahuan dan cukup
pengalaman, kadangkala melupakan suara hati
macam ini, melupakan atau sengaja tidak mau
mendengar suara hati nurani yang menggugah
manusia mengulurkan tangan menolong mereka yang
sengsara. Akan tetapi, kembali ia mendengar Can Ma batuk-
batuk dan napas nenek ini makin sesak terengah-
engah. Timbul kembali rasa takut dan gelisahnya.
"Can Ma, berkatalah sesuatu?" Can Ma, kuatkanlah,
nanti kalau sudah berhenti hujan, kita melanjutkan
perjalanan!" ia berkata dengan suara memohon.
Can Ma membuka matanya dan aneh, mata itu kini
basah sehingga tak lama lagi dua titik airmata jatuh
di atas pipinya yang berkeriputan dan menghitam
warnanya. Tiba-tiba ia berkata, dan aneh lagi,
suaranya kini lancar tidak berat seperti tadi, seakan-
akan ada sesuatu yang tadinya mengganjal hatinya
telah lenyap. "In Hong, anakku yang manis, cucuku yang mungil,
jangan kau bersedih. Kau lanjutkanlah sendiri
perjalanan ini, cari ayah bundamu, jangan perdulikan
Can Mama. Can Mama sudah tua, sudah cukup
makan garam, sudah cukup merasa senang dan
susah, sudah sepantasnya Can Mama mati?""
"Can Mama?"!! Jangan mati?"!!" In Hong menjerit
dan kini ia menangis keras, meraung-raung sambil
memeluki tubuh nenek itu.
Pada saat itu, nenek hitam yang tadi meringkuk di
sudut, bangkit berdiri. Ternyata tubuhnya jangkung
sekali, nampak lebih jangkung karena ia memang
kurus kering. Akan tetapi luar biasa sekali. Jarak antara ia dan In
Hong ada tiga tombak lebih. Agaknya ia tidak
menggerakkan tubuh atau kakinya, akan tetapi tahu-
tahu ia telah berada di dekat In Hong dan Can Ma.
"Lahir tak dapat diminta, mati tak dapat ditolak,
mengapa bicara yang bukan-bukan tentang mati"
Tidak takut mati bukan hal yang patut disombongkan,
hanya berani hiduplah yang boleh dibanggakan!"
Setelah berkata demikian, dua kali tangan yang
memegang tongkat panjang bergerak ke arah Can
Ma dan In Hong. In Hong merasa bawah tulang punggungnya di
belakang pusar, tersentuh oleh benda keras dan aneh
sekali, tiba-tiba di dalam tubuhnya seperti ada api
membakar. Hawa panas merayap dari tempat yang
ditotok oleh ujung tongkat itu dan sebentar saja
hawa dingin yang membuat ia menggigil lenyap
terusir pergi oleh hawa hangat ini. Akan tetapi rasa
lapar pada perutnya makin menghebat!
Adapun Can Ma yang juga terkena totokan ujung
tong?kat, segera bangkit duduk seperti mendapat
tenaga baru. Ia memandang kepada nenek hitam
tinggi kurus itu dengan mata terbelalak lebar,
kemudian menjatuhkan diri berlutut:
"Pouwsat (dewi) yang mulia, mohon beribu ampun
kalau hamba berdua mengganggu tempat yang suci
dari pouwsat!" kata Can Ma sambil mengangguk-
anggukkan kepala seperti orang bersembahyang di
depan patung Kwan Im Pouwsat.
Nenek hitam itu tertawa bergelak dan suara
ketawanya membikin In Hong membuka mata lebar-
lebar dengan hati ngeri. Suara ketawa ini seperti
bukan suara manusia. Can Ma mendengar suara ketawa ini makin takut lagi
dan ia berlutut sampai jidatnya membentur lantai
yang berdebu. "Can Ma, kau tua bangka sungguh bodoh dan tolol,
mengira aku seorang pouwsat. Akupun seorang
nenek tua bangka seperti kau pula yang menderita
penyakit batuk, bahkan penyakitku seratus kali lebih
berat daripada penyakitmu. Siapakah bocah yang kau
sebut siocia ini?" Pertanyaan dalam kalimat terakhir ini
terdengar berpengaruh, membuat siapa saja yang
mendengar merasa takut untuk tidak mengaku.
"Mohon ampun, hamba adalah pelayan keluarga
Kwee di Tiang-on. Semua hartawan dan bangsawan
di Tiang-on dibunuh, rumah mereka dibakar. Majikan
hamba, ayah bunda anak ini, melarikan diri dan
hamba membawa siocia ini lari pula untuk menyusul
mereka di kota See-ciu. Ampunkanlah hamba kalau
hamba mengganggu, lihiap."
Karena nenek hitam itu tidak mau disebut pouwsat,
Can Ma yang sudah banyak mendengar tentang
orang-orang kangouw, dapat menduga bahwa ia
berhadapan dengan seorang wanita sakti, maka ia
mengubah sebutannya kepada wanita itu dengan
sebutan lihiap (pendekar wanita).
"Hm, dia ini anak bangsawan?"
"Bukan, lihiap. Ayahnya adalah seorang hartawan
yang berhati mulia dan budiman."
"Hah! Mana ada hartawan berhati mulia dan budiman"
Barangkali betul terhadap kau, karena kau
pelayannya. Hm, manusia sekarang banyak yang buta
dan sesat! Siapa percaya ayah bunda anak inipun
tidak ikut gila?" Setelah berkata demikian, ia menggerakkan tangan,
menjambak rambut In Hong dan mengangkat bocah
itu ke atas sehingga ia dapat melihat dengan jelas
muka In Hong. Biarpun rambutnya dijambak dan ia
dipegang seperti orang memegang kelinci, In Hong
tidak menjerit. Anehnya, ia tidak merasa sakit biarpun
rambutnya dijambak dan ia digantung seperti itu.
Mukanya yang mungil dan lucu itu kini nampak kotor
penuh debu dan airmata, akan tetapi sepasang mata
yang amat tajam dari nenek hitam itu dapat melihat
dengan jelas, menembusi debu dan kotoran.
"Sayang, tunas yang baik tak boleh tumbuh dipohon
yang buruk. Can Ma, kau carilah sendiri ayah bunda
anak ini, bilang bahwa anak ini dibawa pergi oleh Hek
Moli!" Tentu saja Can Ma hendak membantah, akan tetapi
sebelum ia sempat membuka mulut, di depan
matanya berkelebat bayangan hitam dan tahu-tahu
nenek hitam itu bersama In Hong telah lenyap dari
situ tidak meninggalkan bekas lagi! Can Ma bagun
berdiri, memburu keluar, mencari ke dalam sambil
menjerit-jerit, namun sia-sia saja, tidak ada bayangan
dari In Hong. Can Ma menjatuhkan diri dan menangis tersedu-sedu.
Ia merasa bingung dan ngeri. Bagaimana ia harus
bertanggung jawab di depan majikannya" Ia merasa
ngeri kalau mengingat gerak-gerik dan sepak terjang
nenek hitam yang mengaku bernama Hek Moli (Iblis
Wanita Hitam) itu. Can Ma dalam kebingungan dan kesedihannya
sampai lupa bahwa tiba-tiba saja ia telah sembuh,
bahwa ia kini dapat bang?kit berdiri, dan bahkan
dapat berlari-larian menuju ke kota See-ciu! Dengan
tergesa-gesa ia mencari rumah hartawan Yo, paman
dari Kwee Seng yang tinggal di See-ciu. Sambil
menangis ia menghadap Yo-wangwe dan menuturkan
semua pengalamannya. Yo-wangwe mengerutkan kening dan alisnya yang
sudah putih itu bergerak-gerak. Ia sudah mendengar
akan adanya pasu?kan Kay-sin-tin yang menyerbu
dusun-dusun dan kota-kota di selatan. Dan ia merasa
amat berduka mendengar betapa keponakannya ikut
menjadi korban pula. Akan tetapi hatinya terhibur
mendengar bahwa keponakannya itu dan isterinya
telah dapat melarikan diri.
"Can Ma, kau tinggallah disini sambil menanti
datangnya Kwee Seng dan isterinya. Heran sekali
mengapa mereka masih belum tiba, sedangkan kau
sudah datang lebih dulu. Tentang In Hong, biarlah kita
menanti datangnya Kwee Seng, karena tak mungkin
kita dapat mencarinya. Aku sudah mendengar akan
nama seorang tokoh kangouw wanita yang disebut
Hek Moli itu, seorang yang seperti iblis saja, yang tak
pernah terlihat oleh orang lain, hanya namanya saja
yang dikenal oleh semua orang. Bahkan ada yang
bilang bahwa Hek Moli sebetulnya tidak ada, atau
kalau ada juga bukan manusia, melainkan dewa atau
iblis." "Memang dia seperti bukan manusia, Yo-wangwe."
Can Ma menceritakan semua keadaan Hek Moli yang
amat luar biasa itu dan bahwa ia sama sekali tidak
melihat mukanya yang tertutup oleh rambut yang
riap-riapan. Demikianlah, Can Ma tinggal di rumah Yo-wangwe,
bekerja sebagai pelayan sambil menanti datangnya
Kwee Seng dan isterinya. Akan tetapi, tentu saja
mereka semua tidak tahu bahwa Kwee Seng sudah
binasa di tengah hutan, terkena thi-lian-ci yang dilepas
oleh Ong Tiang Houw, dan bahwa Kwee-hujin telah
dibawa lari oleh orang muda itu. Namun mereka tetap
menanti, menanti penuh harapan.
"Y" Waktu memang amat ganjil dan penuh rahasia.
Gerakannya tidak kentara, kadang-kadang terasa
lambat merayap, lebih lambat daripada merayapnya
seekor siput, akan tetapi kadang-kadang terasa cepat,
lebih cepat daripada menyambarnya kilat. Ada yang
bilang bahwasanya waktu itu jalannya amat lambat,
akan tetapi coba saja kita renungkan, satu tahun,
bahkan beberapa tahun lewat tanpa kita rasai dan
seakan-akan sesuatu yang terjadi pada beberapa
tahun yang lalu itu seperti kejadian kemarin saja.
Alangkah cepatnya waktu berjalan, demikian kita
akan berpikir kalau teringat akan hal ini.
Sebaliknya, ada pula yang bilang bahwasanya waktu
itu amat cepat jalannya. Akan tetapi coba saja kita
bayangkan bilamana kita menanti datangnya kereta
api di setasiun, terlambat seperempat jam saja
datangnya kereta api, terasa seperti seperempat
abad! Alangkah lambatnya waktu merayap,
sedemikian kita akan berpikir pada saat seperti itu.
Memang aneh, dan demikianlah, di dalam cerita ini,
tahu-tahu tanpa dapat dirasakan, empatbelas tahun
telah lewat semenjak peristiwa yang telah dituturkan
di atas! Di puncak Ciung-lai-san, sebuah gunung di propinsi
Secuan, tempat yang tersembunyi dan tak pernah
didatangi oleh manusia karena tempat ini masih liar
dan jalan menuju ke puncak amat sukarnya,
tinggallah Hek Moli. Belasan tahun yang lalu, nama
Hek Moli pernah menggetarkan dunia kangouw
karena sepak terjangnya yang lihay dan hebat.
Apalagi orang-orang biasa, bahkan para tokoh
kangouw sendiri tidak tahu darimana datangnya
wanita sakti yang merupakan seorang nenek
berwajah dan bertubuh mengerikan dipandang ini.


Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akan tetapi, sekali nenek ini keluar di dunia kangouw,
ia telah melakukan banyak hal yang
menggemparkan. Lima perampok terkenal di daerah
Santung yang ditakuti orang dan disegani oleh para
tokoh kangouw, berjuluk Santung Ngo-kui (Lima setan
dari Santung) bersama anak buahnya yang puluhan
orang banyaknya telah dibasmi habis oleh Hek Moli.
Ini masih belum hebat, bahkan Hek Moli telah
mendatangi Go-bi-pay dan Kun-lun-pay, menantang
pibu kepada para tokoh kedua partai persilatan besar
ini dan mengalahkan tokoh-tokoh itu. Yang amat
menggemparkan adalah ketika seorang diri Hek Moli
menyerbu istana kaisar dan mengambil dua buah
barang pusaka kerajaan, yakni sebatang pedang
mustika yang bernama Liong-gan-kiam dan sebuah
perhiasan rambut dari kemala yang berbentuk burung
Hong dan amat indahnya. Akan tetapi, seperti munculnya, tiba-tiba saja
empatbelas tahun yang lalu Hek Moli lenyap dari
dunia kangouw, tanpa meninggalkan bekas seolah-
olah ia ditelan oleh bumi. Ada beberapa orang tokoh
kangouw yang menyatakan bahwa mereka melihat
Hek Moli terserang penyakit batuk dan keadaannya
amat payah, maka kehilangannya membuat semua
orang me?ngira bahwa tokoh ini sudah meninggal
dunia. Sebetulnya bukan demikianlah keadaannya.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Hek
Moli secara kebetulan, ketika sedang menderita di
dalam kelenteng, terserang penyakit batuknya, ia
telah bertemu dengan Kwee In Hong dan membawa
pergi anak perempuan yang berusia lima tahun itu. Ia
merasa suka sekali kepada anak ini, maka
dibawanyalah In Hong ke puncak Ciung-lai-san di
propinsi Secuan dimana ia menyembunyikan diri dan
menurunkan seluruh kepandaiannya kepada murid
tunggalnya. Selama empatbelas tahun itu, In Hong menerima
latihan ilmu silat yang amat tinggi dan aneh, dan
gurunya demikian sayang kepadanya sehingga tidak
ragu-ragu untuk mewariskan seluruh kepandaiannya
yang dimilikinya. Bahkan ia mengajar muridnya
membaca dan menulis sekadarnya, karena Hek Moli
sendiri bukanlah seorang yang amat pandai dalam
ilmu menulis. Selain ini, setelah kepandaian In Hong cukup tinggi, ia
memberikan pedang Liong-gan-kiam dan hiasan
rambut burung Hong kepada muridnya. Katanya
sambil tertawa terkekeh ketika memberikan hiasan
rambut itu: "Muridku, namamu In Hong, hiasan rambut burung
Hong ini tepat sekali menghias rambutmu yang
panjang, hitam dan halus. Pedang ini untuk
memperlengkapi kepandaianmu karena tidak patut
bagi seorang gadis cantik seperti engkau bersenjata
tongkat seperti gurumu. Pakailah hiasan itu, mu-ridku."
Dengan girang dan manja In Hong memakai hiasan
rambut itu pada rambutnya. Ia kini telah menjadi
seorang gadis yang cantik jelita seperti ibunya. Ketika
hiasan itu telah dikenakan pada rambutnya, gurunya
memandang dengan mata terbelalak, kemudian tiba-
tiba dua titik airmata melompat keluar dari sepasang
mata Hek Moli: "Alangkah cantiknya engkau, In Hong. Ah, seperti kau
inilah aku dahulu?"!"
http://cerita-silat.mywapblog.com
22 http://cerita-silat.mywapblog.com Pendekar-pendekar Bernasib Sial - Sian li eng tju
http://cerita-silat.mywapblog.com
. Murid Terkasih Hek Moli
In Hong membalas kasih sayang gurunya dengan
kebaktian, dan ia tidak saja merasa suka kepada
gurunya, juga merasa terharu dan kasihan. Diam-diam
ia sering bertanya rahasia apakah yang disimpan oleh
gurunya. Mengapa gurunya menjadi rusak muka dan
tubuhnya seperti itu. Tentu dahulu pernah mengalami
hal-hal yang amat mendukakan hatinya. Akan tetapi
tiap kali ia bertanya, gurunya hanya menggeleng
kepalanya dan tidak mau menuturkan riwayatnya. Ia
hanya mendesak agar gadis itu belajar lebih giat lagi.
"Muridku, di dunia ini banyak sekali orang-orang jahat
yang amat lihay. Kau demikian cantik, tentu akan
mengalami hal-hal yang mendatangkan bencana
kalau saja kau tidak mampu menjaga dirimu. Untuk
itu kau harus memiliki ilmu yang tinggi. Pula, sudah
menjadi kewajibanmu untuk membantu usaha orang-
orang gagah, membasmi para penjahat dan membela
para kaum tertindas."
Tentu saja In Hong mengerti akan kehendak gurunya
ini, karena semenjak dahulu iapun merasa amat sakit
hati kepada orang-orang jahat yang mencelakakan
orang tuanya. Sering kali ia menyatakan rindunya
kepada orang tua dihadapan gurunya, akan tetapi
Hek Moli selalu menjawab:
"Sabarlah, muridku. Belum tiba masanya kau mencari
orang tuamu. Aku sendiri tidak tahu dimana mereka
dan apakah mereka masih hidup. Akan tetapi, kalau
sudah cukup kepandaianmu, kau harus mencari
mereka sendiri. Kurasa kau akan dapat mencari
mereka kalau kau pergi ke kota See-ciu."
Kini In Hong sudah berusia sembilanbelas tahun.
Cantik jelita dan sikapnya gagah. Gurunya yang amat
menyayangnya, tidak ingin melihat muridnya
memakai pakaian buruk. Beberapa kali Hek Moli turun
gunung dan ketika ia kembali, ia membawa pakaian-
pakaian indah untuk In Hong. Dan untuk dia sendiri, ia
tak pernah berganti pakaian, tetap pakaian yang
kotor menghitam! Kalau In Hong mencela gurunya
dan mendesak agar supaya gurunya berganti pakaian,
Hek Moli berkata: "Untuk apa aku berganti pakaian" Apakah kau
menyuruh aku menjadi seperti seekor monyet
berpakaian dan menjadi tontonan orang" Aku sudah
jemu dengan pakaian-pakaian, bahkan kalau semua
orang di dunia ini tidak memakai pakaian, aku akan
lebih suka lagi, lebih bebas dan enak, tidak terganggu
oleh pakaian bermacam-macam!"
Mendengar jawaban ini, In Hong tertawa cekikikan
saking geli hatinya. "Mengapa kau tertawa?" gurunya bertanya heran
karena muridnya benar-benar tertawa geli seakan-
akan dikitik-kitik. "Subo memang lucu sekali. Kalau teecu bayangkan
betapa semua orang bertelanjang bulat, berjalan hilir
mudik seperti monyet-monyet liar tersesat dikota, ah
alangkah lucunya pemandangan itu. Teecu bisa mati
tertawa melihatnya!"
Mau tidak mau Hek Moli tertawa juga mendengar
kata-kata muridnya itu, karena iapun dapat
membayangkan keadaan yang amat menggelikan itu.
Tiba-tiba Hek Moli menghentikan ketawanya dan In
Hong juga, karena gadis inipun telah dapat
menangkap bunyi yang asing dengan
pendengarannya yang sudah amat tajam.
"Ada orang datang!" bisik Hek Moli.
Muridnya mengangguk dan tangan kanan In Hong
meraba gagang pedang yang tergantung di
pinggangnya. Tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu,
sekira lima tombak dari mereka, terlihat seorang tosu
berusia kurang lebih enampuluh tahun, muncul dari
balik batu karang besar. Tosu ini berpakaian putih dan
yang paling menyolok pandangan mata adalah
tangan kanannya yang buntung sebatas siku.
"Hek Moli, akhirnya pinto dapat menemukan tempat
persembunyianmu!" kata tosu itu dan suaranya halus
dan lemah lembut, akan tetapi sepasang matanya
memancarkan cahaya penuh kebencian.
Hek Moli mengeluarkan suara mengejek. "Anjing
buntung kakinya dari manakah berani mengotorkan
tempatku?" Tosu itu tersenyum. "Mata Hek Moli sudah lamur
agaknya karena terlalu tua, dan ingatannyapun sudah
pikun. Benar-benarkah kau tidak mengenal lagi siapa
pinto?" "Siapa mengenal segala anjing yang berpura-pura
suci" Siapa kau" Hayo lekas mengaku dan katakan
apa kehendakmu sebelum aku membikin buntung
lehermu!" "Hm, masih tetap galak dan ganas seperti belasan
tahun yang lalu. Kau mau tahu maksud
kedatanganku" Tunggu sebentar!" Setelah berkata
demikian, tosu itu lalu menengok ke arah sebuah batu
besar, lalu dengan jari telunjuknya yang kiri ia
membuat corat-coret di atas batu itu. Kemudian,
dengan tangan kirinya pula, ia mendorong batu itu ke
arah Hek Moli. Bukan main hebatnya tenaga dorongan
ini. Batu yang besar dan beratnya paling sedikit
enamratus kati itu terlempar ke arah Hek Moli!
Akan tetapi, dengan tenang Hek Moli mengangkat
tongkat hitamnya dan sekali ia menggerakkan
tangan, batu itu terputar-putar di atas ujung tongkat,
kemudian ia menarik tongkatnya dan batu itu jatuh
tepat di depannya demikian perlahan seakan-akan
diangkat dan diletakkan disitu oleh tenaga yang
mujijat! Hek Moli dan In Hong melihat batu yang dicorat-coret
tadi dan disitu ternyata telah terdapat beberapa huruf
yang tergores dalam pada batu, tanda bahwa ketika
mencoret dengan telunjuk, tosu itu telah
mengerahkan lweekang yang tak boleh dipandang
ringan. Tulisan itu berbunyi:
Go-bi-pay mengundang Hek Moli untuk melunaskan
perhitungan lama di O-mei-san.
Melihat tulisan ini, teringatlah Hek Moli. Dahulu ia
pernah naik ke Go-bi-san untuk menantang tokoh-
tokoh Go-bi-pay mengadakan pibu. Dalam
pertandingan pibu ini, seorang tokoh Go-bi-pay yang
bersikap sombong dan mengucapkan kata-kata
memandang rendah, telah ia robohkan dan sebelah
lengannya terputus. Mengingat akan hal ini, ia memandang kepada tosu
itu dan tertawa: "Aha, begitukah kehendak orang Go-bi-pay" Biarpun
aku sudah tuabangka, siapa pernah takut terhadap
tikus-tikus Go-bi-pay! Tunggu saja, setengah bulan lagi
aku akan datang ke tempat itu!"
Tosu itu menjura dan berkata singkat:
"Terima kasih. Pinto percaya Hek Moli takkan menjilat
ludahnya sendiri. Kami menanti dengan sabar." Ia lalu
membalikkan tubuh dan berlari pergi.
Akan tetapi baru saja ia berlari dengan cepat paling
jauh sepuluh tombak, tiba-tiba di sebelah kanannya
berkelebat bayangan orang. Tosu itu terkejut melihat
ginkang orang itu yang demikian lihay dan mengira
bahwa tentu Hek Moli telah menyusul dan
mendahuluinya. Ia merasa khawatir karena melihat
cara Hek Moli menyambut batu besar yang
dilem?parkannya tadi, ia merasa tidak akan kuat
menandingi iblis wanita hitam ini, dan mengira bahwa
Hek Moli menyusulnya dengan maksud buruk.
"Hek Moli, apa yang?"?" Tegurannya terhenti sampai
disitu karena kini ia berdiri tertegun melihat seorang
gadis cantik jelita berdiri dihadapannya dengan
senyum mengejek. Gadis itu adalah gadis yang tadi dilihatnya berdiri
dekat Hek Moli. Tosu itu menjadi makin terkejut.
Bukan main hebatnya, semuda ini sudah memiliki
kepandaian ginkang yang demikian tingginya!
"Nona, apa kehendakmu menghadang perjalananku?"
tanyanya, menyembunyikan rasa khawatirnya di balik
senyum. In Hong mengeluarkan suara mengejek: "Tosu busuk,
kau datang-datang menyombongkan kepandaian dan
menghina guruku, bagaimana aku dapat membiarkan
kau pergi begitu saja" Hayo kau mengaku siapa
namamu dan berlututlah minta ampun kepada
guruku, kalau tidak, jangan harap kau akan dapat
pergi dari sini!" Merah muka tosu itu, merah karena marah yang
ditahan-tahan. Kata-kata gadis itu merupakan
penghinaan yang amat besar. Di Go-bi-pay, ia
termasuk tokoh yang cukup disegani, dan biarpun
bukan merupakan tokoh pimpinan tertinggi, namun
setidaknya ia adalah wakil guru besar yang memberi
pelajaran ilmu silat kepada murid-murid tingkat
rendahan dan dalam hal kepandaian ilmu silat, ia bisa
dikatakan menduduki tingkat keempat.
"Nona, pinto dengan kau belum pernah bertemu dan
tidak mempunyai sangkut paut. Kalau gurumu merasa
penasaran, biarlah dia sendiri yang memutuskan. Pinto
tidak suka berurusan dengan segala bocah kecil yang
kurangajar." "Hayo kau mengaku nama dan berlutut minta
ampun!" In Hong memotong omongan tosu itu dengan
bentakan mengancam. Akan tetapi, sambil mengeluarkan suara ejekan, tosu
itu tidak menjawab, hanya menggerakkan tubuh
berlari ke depan, memutari tubuh gadis itu yang
menghadang di depannya.

Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Minggirlah!" katanya dan tangan kirinya dengan
lengan baju yang lebar itu menyambar ke arah muka
In Hong. Ini adalah gerakan serangan yang hebat,
karena tidak hanya ujung lengan baju itu yang
menyabet dengan tenaga lwee-kang akan tetapi jari-
jari tangan itupun dipentang dan dapat dipergunakan
untuk menyampok, memukul, atau mencengkeram
menurut perkembangan dari perlawanan orang yang
diserangnya. Orang lain yang menghadapi serangan hebat ini, yang
merasa sambaran angin yang dahsyat, tentu akan
terkejut dan mengelak. Setiap orang ahli silat yang
belum mengukur tenaga dan kepandaian lawan,
selalu akan mengelak dari pukulan pertama, karena
untuk menangkis pukulan lawan sebelum mengukur
tenaga lawan yang menyerangnya, adalah hal yang
berbahaya dan dianggap merugikan pihak sendiri.
Akan tetapi In Hong adalah seorang gadis yang amat
tabah dan pula ia sudah percaya penuh akan
kepandaian sendiri. Biarpun ia belum mengukur
tenaga tosu itu, namun tadi tosu itu telah secara
lancang memperlihatkan kepandaian-nya ketika
menggurat batu dengan jari tangan dan melontarkan
batu itu kepada Hek Moli. Melihat betapa coretan
pada batu itu masih kasar dan ada tanda-tanda
guratan jari tangan, ia tahu bahwa tosu itu masih
belum mampu mempergunakan lweekang secara
mendalam dan lemas. Kalau seorang ahli yang lweekangnya sudah tinggi
dan dapat mengatur dengan hawa dalam tubuh
sehingga ujung-ujung kuku dapat dipergunakan dan
disembunyikan dan biarpun tenaga yang keluar dari
jari tangan yang menggores batu adalah tenaga yang
dahsyat, namun kulit jari sendiri demikian lemas
sehingga tidak akan mendatangkan bekas guratan
jari pada batu. Dilihat dari sini saja ia sudah dapat
mengukur tenaga dari tosu itu, maka kini melihat tosu
itu mempergunakan tangannya untuk menyerang
sambil lari, In Hong mengangkat tangan kirinya dan
dengan jari telunjuknya ia menyambut tangan itu.
Melihat ini, tosu itu menjadi girang. Kalau ia tidak
dapat dan belum berani membalas sakit hatinya
kepada Hek Moli, sedikitnya ia akan dapat membalas
dengan jalan menyakiti murid iblis wanita hitam itu.
Maka ia lalu mempergunakan lima jari tangan kirinya
untuk menampar dan maksudnya hendak
mematahkan tulang telunjuk gadis itu. Telapak tangan
yang dikerahkan dengan tenaga lwekang dan
menjadi keras seperti baja bertemu dengan telunjuk
In Hong yang runcing dan mungil.
Kalau dibicarakan memang agaknya tak masuk
diakal, karena tiba-tiba tosu itu menjerit dan meringis
kesakitan, tangannya menjadi kaku dan jari-jarinya
direnggangkan, sakitnya bukan main! Akan tetapi
harus dimengerti bahwa In Hong telah
mempergunakan im-kang (tenaga lemas) untuk
menghadapi yang-kang (tenaga kasar) dari tosu itu,
dan di dalam hal ilmu silat, yang lemas memang
mudah sekali menggulingkan yang kasar.
Dengan telunjuknya yang sudah terlatih sempurna,
gadis itu dapat menyentuh jalan darah di pangkal ibu
jari, .jalan darah yang menjadi saluran ke arah nadi
dan semua jalan darah aseli, maka sebelum telapak
tangan itu dapat mematahkan jari telunjuk In Hong,
lebih dulu jalan darah dari tangan tosu itu telah kena
ditotok! In Hong tertawa cekikikan melihat tosu itu meringis-
ringis kesakitan. Akan tetapi timbul juga rasa kasihan
di dalam hatinya karena kini lengan kanan yang
buntung itu mencoba untuk menolong tangan kiri
yang terluka. Tentu saja lengan kanan yang buntung
itu hanya bisa bergerak-gerak sampai di siku kiri saja,
mana bisa menolong. "Hm, kini kau tahu bahwa kami tidak mudah
dipermainkan begitu saja oleh kalian orang-orang Go-
bi-pay. Orang macam kau berani menghina guruku"
Hayo mengaku siapa namamu dan lekas kau berlutut
minta ampun!" Tosu itu mukanya menjadi sebentar pucat sebentar
merah. Sebagai seorang tokoh tinggi dari Go-bi-pay, ia
telah mengalami hinaan yang amat memalukan.
Mana ia sudi berlutut minta ampun" Lebih baik ia
mati! Hek Moli yang melihat keadaan itu, diam-diam dalam
hatinya terkejut. Tak disangkanya bahwa muridnya
mempunyai hati yang lebih telengas dan ganas. Maka
untuk menjaga agar muridnya ini kelak jangan
sampai bermusuhan dengan partai-partai besar yang
akan mencelakakan hidupnya, ia berseru:
"In Hong, tosu itu bernama Tek Seng Cu, dan kalau
memang dia sudah insaf, tak perlu dia berlutut minta
ampun, asal dia sudah mengakui kesalahannya
cukuplah!" Mendengar kata-kata ini, Tek Seng Cu melihat jalan
keluar yang lebih enak baginya, maka cepat ia
menjura sambil berkata ke arah Hek Moli:
"Hek Moli, pinto benar-benar bermata akan tetapi tak
pandai melihat. Biarlah kau maafkan sikapku yang
kasar tadi. Nah, sampai berjumpa di puncak O-mei-
san!" Ia membalikkan tubuh dan berlari cepat sambil
menahan rasa sakit pada telapak tangannya, rasa
sakit yang menusuk hatinya yang sudah sakit karena
penghinaan itu. In Hong menghadapi gurunya: "Subo, orang macam
dia sudah sepatutnya dibunuh saja agar lain kali
jangan datang menimbulkan keributan lagi."
Hek Moli menarik napas panjang. "In Hong, kau belum
tahu banyak tentang dunia kangouw. Ketahuilah, Tek
Seng Cu itu hanyalah cucu murid dari ketua Go-bi-pay,
dan dahulu belasan tahun yang lalu, untuk
menghadapi dan meng-alahkan ketua Go-bi-pay, aku
harus mengeluarkan seluruh kepandaianku. Ketua Go-
bi-pay bukanlah orang jahat, bahkan dia seorang
locianpwe yang disegani, maka tidak baiklah
membuat permusuhan dengan Go-bi-pay."
In Hong mengerutkan keningnya dan sepasang
alisnya yang hitam dan berbentuk indah itu bergerak-
gerak. "Subo, mereka sudah menantang dan menghinamu,
bagaimana tak dapat disebut jahat?"
Hek Moli tersenyum. "Mungkin diantara tokoh-tokoh
Go-bi-pay ada yang berwatak sombong dan kasar,
bahkan aku tidak menyangkal bahwa banyak orang-
orang mengaku pendeta namun hatinya kotor
melebihi penjahat biasa. Akan tetapi, untuk apakah
bermusuhan dengan mereka kalau tidak ada alasan"
Kalau kau melihat mereka melakukan perbuatan
jahat, siapapun juga adanya mereka, pantas kau
musuhi dan kau basmi, biarpun untuk itu kau harus
mengorbankan nyawa. Akan tetapi, dalam hal ini
tidak ada permusuhan hebat, yang ada hanyalah
menebus kekalahan dalam pibu."
"Akan tetapi Go-bi-pay menantangmu, subo."
"Tidak apa, aku akan datang kesana pada waktunya
dan dengan tulang-tulangku yang sudah tua, akan
kucoba mengalahkan mereka seperti belasan tahun
yang lalu." Nenek ini memukul-mukulkan tongkat
hitam yang panjang ke atas tanah. "Biarpun aku
sudah tua, akan tetapi tongkat ini tetap kuat dan
masih muda. Aah, manusia mana bisa menangkan
benda mati. Benda hidup akan melayu dan mati, akan
tetapi tongkat ini sudah mati ketika lahir, bagaimana
dia bisa layu dan akhirnya mati seperti aku?" Nenek
ini menghela napas lalu duduk termenung.
Melihat gurunya nampak berduka, In Hong menjadi
terharu dan berbareng merasa panas hatinya.
"Subo, biarkan teecu pergi menemui mereka di O-mei-
san! Biarkan teecu mewakili subo menghajar mereka
dan memperlihatkan bahwa murid subo saja sudah
cukup untuk mengalahkan semua tokoh Go-bi-pay
dalam pibu!" Kata-katanya keras bersemangat,
wajahnya yang cantik jelita itu kemerahan sehingga
menjadi demikian segar bagaikan setangkai bunga
mawar merah yang sedang mekarnya.
Akan tetapi alangkah terkejutnya hati In Hong ketika
tiba-tiba tongkat hitam panjang di tangan nenek itu
menghantam batu yang segera menjadi hancur
berkeping-keping. Nenek itu sendiri melompat bangun
dan membentaknya: "Diam kau! Jangan mencampuri urusan ini, ini adalah
urusan pribadiku, tidak ada sangkut-pautnya
denganmu, mengerti?"
In Hong tertegun, wajahnya yang tadi kemerahan
tiba-tiba menjadi pucat. Selama menjadi murid Hek
Moli, belum pernah gurunya ini marah kepadanya,
selalu memperlihatkan kasih sayang. Gadis ini hanya
dapat memandang kepada gurunya dengan mulut
sedikit terbuka dan mata tak berkedip, kemudian
perlahan-lahan, dua butir air mata menitik turun ke
atas pipinya yang berkulit halus bersih.
Hek Moli memandang kepada muridnya dan tiba-tiba
saja rasa marahnya tadi lenyap seperti awan tipis
tersapu angin. Ia melangkah maju dan memeluk
muridnya, mendekap kepala yang berambut hitam
panjang itu kepada dadanya yang tipis. Seperti air
hujan, air mata mengalir dari sepasang mata In Hong.
Gadis ini merasa sengsara dalam hatinya karena
sekali saja dimarahi oleh gurunya, ia teringat kepada
ayah bundanya. "In Hong, muridku yang baik, muridku yang terkasih,
jangan kau kecewa. Aku percaya bahwa kau akan
dapat mengalahkan tokoh-tokoh Go-bi-pay, bahkan
ketuanya sendiri boleh maju, kau takkan kalah! Akan
tetapi, jangan kau kecewa. In Hong. Main-main dalam
pibu ini dahulu adalah aku yang mencari sendiri,
akulah yang menjadi biangkeladi, oleh karena itu aku
pula yang harus menyelesaikan. Kau tidak boleh
terseret-seret dalam permainan gila ini, permainan
dari ahli-ahli silat yang tidak mempunyai pekerjaan,
yang sombong dan ingin memperlihatkan kepandaian,
ingin diakui sebagai jagoan paling pandai di dunia! Ya,
dahulu aku amat sombong, In Hong, aku belum puas
kalau belum mengalahkan tokoh terbesar di dunia
kangouw. Kau tidak boleh terseret-seret, aku akan
merasa menyesal dan berduka sampai mati kalau
melihat kau dibenci oleh para tokoh-tokoh besar di
dunia kangouw. Kau harus menjadi seorang pendekar
yang berguna bagi rakyat, berguna bagi manusia.
Kerahkan kepandaianmu untuk menolong manusia,
bukan untuk mencari permusuhan de-ngan lain orang.
Jangan salah mengerti, muridku, aku melarangmu
pergi atau ikut ke O-mei-san, bukan sekali-kali karena
aku tidak percaya akan kepandaianmu. Pada waktu
ini, kepandaianmu tidak kalah olehku sendiri. Aku
hanya sayang kalau-kalau kau muridku yang masih
murni, masih suci, akan terseret ke dalam
permusuhan yang tidak ada artinya, permusuhan
dicari-cari yang tidak ada dasarnya."
"Jadi subo mau pergi sendiri, meninggalkan teecu
seorang diri disini?"
"Selalu aku pergi seorang diri kalau hendak berpibu, In
Hong. Kesombongan itu sampai sekarang masih ada
di dalam dadaku. Aku tidak mau kalau orang mengira
aku mengandalkan bantuanmu. Selain itu, kau harus
memenuhi tugasmu yang pertama, yakni mencari
ayah bundamu di See-ciu."
Mendengar disebutnya ayah bundanya, berseri wajah
In Hong. Hal ini memang sudah dirindukan belasan
tahun dan kini mendengar bahwa gurunya sudah
memberi ijin kepadanya untuk mencari ayah
bundanya, tentu saja ia menjadi girang sekali.
"Baik, subo. Kapankah teecu boleh berangkat mencari
ayah dan ibu?" tanyanya.
Hek Moli menyembunyikan senyumnya penuh
kegetiran dan iri hati. Ia maklum bahwa betapapun
besar kasih sayang muridnya terhadap dia, tetap saja
kasih sayang muridnya kepada ayah bundanya jauh
lebih besar. "Sekarang juga, In Hong. Berangkatlah bersama
doaku. Tigapuluh potong uang emas yang kusimpan
itu boleh kau bawa, juga pedang dan hiasan rambut
yang kau pakai. Pakaianmu juga bawalah semua
untuk bekal di jalan. Kau harus berlaku hati-hati dan
jangan lupa, disamping melakukan perbuatan sesuai
dengan kepandaianmu dan sesuai pula dengan tugas
seorang pendekar seperti yang seringkali
kunasihatkan kepadamu, jangan sekali-kali kau
mencari permusuhan dengan orang-orang kangouw
tanpa alasan yang kuat."
"Baik subo, baik!" Dengan girang gadis ini lalu masuk
ke dalam pondok untuk mengambil uang dan
pakaian, kemudian ia keluar lagi, siap untuk
berangkat. Akan tetapi, ketika melihat gurunya yang
tua dan kurus itu berdiri seperti orang melamun,
seperti sebuah tonggak kayu yang tua dan buruk,
lambang kesunyian dan kelayuan, hatinya terharu
sekali dan ia memeluk subonya.
"Akan tetapi, subo. Bagaimana teecu tega
meninggalkan subo seorang diri?" isaknya.
Hek Moli menjadi besar kembali hatinya. Dielus-


Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

elusnya rambut muridnya penuh kasih sayang.
"In Hong, bagaimana kau bisa tinggalkan aku" Aku
sendiri sekarang juga akan berangkat ke O-mei-san."
"Akan tetapi?" bagaimana kalau terjadi sesuatu
denganmu, subo?" "Ha, kau tidak percaya kepadaku" Aku dapat
menjaga diri, In Hong, dan biarpun tulang-tulangku
telah tua, kiranya takkan mudah dicelakakan orang!"
"Bila teecu dapat bertemu dengan subo" Kemana
teecu harus mencari subo?"
"Kalau kau sudah bertemu dengan orang tuamu, kau
tidak boleh lagi meninggalkan mereka! Kalau kau
merasa rindu kepadaku, kau datanglah di puncak ini.
Setelah beres menguruskan persoalan pibu dengan
orang-orang Go-bi-pay, aku tentu akan kembali kesini.
Aku sudah terlalu tua dan sudah bosan untuk
merantau, aku mau menanti sisa umurku di puncak
ini. Kalau kau datang kesini, aku pasti ada disini, In
Hong, kecuali kalau aku tidak ada disini, tentu?". ah,
kau tak usah mencariku lagi kalau aku tidak ada
disini." "Subo?"!" In Hong menjerit sambil menjauhkan diri
agar dapat memandang muka gurunya.
Hek Moli tersenyum. "In Hong, jangan seperti anak
kecil! Betapapun juga, pibu adalah pertandingan silat
dan luka atau tewas dalam pibu bukanlah hal yang
rendah." "Subo, biarkan teecu turut dan membantumu! Mereka
tidak boleh menjatuhkanmu, subo! Biar kelak saja
teecu men?cari ayah bunda."
Hek Moli menggeleng kepalanya perlahan. "Tidak bisa,
In Hong. Belum tentu aku kalah, dan tidak baik kalau
kau ikut seperti sudah kukatakan tadi. Berangkatlah
kau, dan sekali lagi, kalau kelak kau tidak
mendapatkan aku disini, jangan kau mencariku lagi,
dan ingat! Jangan kau mencari gara-gara dengan
mereka yang menang dalam pibu melawanku. Luka
atau mati dalam pibu sudah sewajarnya!"
"Subo?"" "Berangkatlah! Jangan bikin aku jengkel!" Hek Moli
membentak. In Hong menghapus airmatanya, berlutut di depan
gurunya dan berkata lemah: "Selamat berpisah, subo.
Tak lama lagi teecu akan mencari subo disini?""
"Pergilah, muridku."
In Hong berdiri, sebelum berangkat ia maju dan
menubruk, memeluk suhunya untuk terakhir kali,
kemudian ia berlari turun gunung dengan cepat sekali.
Setelah bayangan In Hong tidak kelihatan lagi, Hek
Moli menjatuhkan diri duduk di atas batu dan
mempergunakan ujung baju untuk menghapus
beberapa titik air mata. "Y" Gunung O-mei-san terletak di sebelah selatan
pegunungan Ciung-lai-san. Tepat setengah bulan
kemudian semenjak tosu Tek Seng Cu dari Go-bi-pay
mendatangi Hek Moli di puncak Ciung-lai-san, pada
pagi hari kelihatan Hek Moli berjalan terbongkok-
bongkok mendaki puncak O-mei-san, dibantu oleh
tongkatnya yang panjang dan hitam.
Untuk dapat tiba di lereng O-mei-san dalam waktu
setengah bulan dari puncak Ciung-lai-san,
membutuhkan kepandaian berlari cepat yang tinggi,
dan tentu saja Hek Moli mengeluarkan
kepandaiannya dalam perjalanan itu. Namun setelah
tiba dikaki bukit O-mei-san, melihat bahwa waktu
setengah bulan itu kurang dua hari lagi, ia berhenti
dan tidur sehari semalam di bawah pohon besar. Ia
hanya melakukan perjalanan sembilan hari saja,
karena setelah In Hong pergi meninggalkannya,
sepekan kemudian barulah ia turun gunung berangkat
ke O-mei-san. Sehari kemudian, barulah Hek Moli mendaki bukit O-
mei-san, berjalan kaki perlahan-lahan. Ia merasa
betapa tubuhnya kini tidak sekuat dulu, bahwa
semangatnya tidak sepanas belasan tahun yang lalu.
Ia berjalan-jalan sambil mengingat-ingat semua
pengalamannya. Diam-diam ia menghela napas
panjang: "Tua bangka yang tidak beruntung," bisiknya, "usiamu
sudah sembilanpuluh tahun, namun masih saja dalam
saat terakhir menghadapi kematian usia tua, kau
masih mendaki bukit untuk berpibu! Ah, benar-benar
memalukan!" Tiba-tiba ia mendengar suara orang berlari dari bawah
bukit, dan tak lama kemudian ia melihat Tek Seng Cu
berlari naik melewatinya! Dari wajah tosu ini, jelas
nampak kekaguman dan juga keheranan. Tek Seng
Cu berlari cepat terus menerus menuju kebukit O-
mei-san ketika ia meninggalkan Hek Moli, dan
sekarang ia melihat nenek itu sudah berjalan perlahan
di lereng O-mei-san! "Hek Moli, kau sudah sampai disini?" tak terasa pula ia
menegur, tak kuasa menyembunyikan keheranannya.
Hek Moli terbatuk-batuk hebat. Memang, semenjak In
Hong turun gunung meninggalkannya, penyakit
batuknya yang tadinya seperti sudah sembuh itu
kumat kembali. "Tek Seng Cu, kau datang" Kebetulan sekali, lekas kau
memberi laporan kepada pimpinan Go-bi-pay bahwa
aku sudah datang untuk memenuhi undangan," kata
Hek Moli setelah dapat mengatur napasnya yang
menjadi sesak karena batuk-batuk tadi.
Tanpa menjawab Tek Seng Cu berlari terus mendaki
gunung itu. Hek Moli tidak perduli dan tetap berjalan
perlahan-lahan, dibantu oleh tongkatnya.
http://cerita-silat.mywapblog.com
22Pendekar-pendekar Bernasib Sial - Sian li eng tju
http://cerita-silat.mywapblog.com
. Kecurangan Pendeta Go-bi-pay dan Kun-lun-
pay. Akan tetapi sebelum tiba di puncak O-mei-san, baru
saja tiba di lereng yang datar, ia melihat Tek Seng Cu
berdiri menunggu bersama tujuh oleh kakek yang
semuanya berdiri memandang kepadanya dengan
mata penuh kebencian. Hek Moli terkejut dan juga heran, hatinya terasa tidak
enak. Ia tidak melihat ketua Go-bi-pay yang sudah
dikenalnya baik, yakni Pek Eng Taysu, dan menurut
pandangan matanya yang biarpun sudah tua masih
amat tajam. Ia melihat bahwa tiga diantara tujuh
orang itu adalah tokoh-tokoh penting dari partai Kun-
lun-pay. Apakah maksud kedatangan tiga orang Kun-
lun itu" Akan tetapi, biarpun di dalam hatinya Hek Moli timbul
pertanyaan ini, pada wajahnya ia tidak
memperlihatkan sesuatu, dan langsung ia berjalan
terbongkok-bongkok menghampiri mereka.
"Tek Seng Cu, mana adanya Pek Eng Taysu ketuamu"
Mengapa kalian berdiri disini" Hayo antar aku
menjumpainya. Apakah dia menanti kedatanganku di
puncak?" Akan tetapi, kata-kata ini dijawab oleh Tek Seng Cu
dengan seruan kepada kawan-kawannya yang tujuh
orang jumlahnya itu: "Cuwi beng-yu, mari kita basmi
siluman perempuan yang jahat ini!"
Serentak tujuh orang kawannya itu tanpa
mengeluarkan kata-kata mencabut senjata. Ada yang
bersenjata pedang, golok, dan bahkan ada yang
bersenjata toya dan siang-koan-pit. Melihat cara
mereka mencabut senjata, Hek Moli maklum bahwa
mereka terdiri dari orang-orang berkepandaian tinggi.
Kini ia dapat mengenal bahwa mereka adalah orang-
orang Go-bi-pay dan Kun-lun-pay yang dahulu belasan
tahun yang lalu pernah ia robohkan dalam pibu ketika
ia mencoba kepandaian tokoh-tokoh dari dua partai
besar itu. Di Go-bi-pay, ia telah mengalahkan Pek Eng
Taysu ketua Go-bi-pay dengan susah payah, akan
tetapi di Kun-lun-pay, ia tidak sempat bertemu dengan
ketuanya, hanya dilayani oleh tokoh-tokoh ketiga dan
kedua yang semuanya dengan perlawanan gagah
dapat ia kalahkan. Teringat akan semua itu, dan mendengar seruan Tek
Seng Cu, Hek Moli menjadi marah sekali. Ia dapat
menduga bahwa undangan ini tentulah perbuatan Tek
Seng Cu yang sengaja mengumpulkan kawan-kawan
untuk mencelakakannya, atau untuk membalas
dendam atas kekalahannya sehingga sebelah
lengannya buntung. Inilah curang, pikirnya. Untuk
menghadapi pibu biasa, sampai kemanapun atau
berhadapan dengan siapapun ia tidak gentar dan
menerima dengan gembira, akan tetapi menghadapi
kecurangan ini, ia takkan dapat membiarkan begitu
saja. "Tek Seng Cu, kau benar-benar penjahat berjubah
pandeta!!" teriaknya dan jauh sekali bedanya dengan
ketika ia berjalan terbongkok-bongkok naik gunung
tadi, kini tubuhnya bergerak cepat dan tahu-tahu
tongkatnya telah menusuk ke arah muka Tek Seng
Cu! Sebagai seorang ahli, Tek Seng Cu yang kini tangan
kirinya telah bersenjata pedang tipis, cepat mengelak
dan mencoba membalas dengan babatan pedang.
Namun, dua kali tongkat panjang hitam itu bergerak
secara aneh setelah tadi me?ngancam muka Tek
Seng Cu. Pertama-tama tongkat itu meluncur ke leher,
akan tetapi, sewaktu Tek Seng Cu menggerakkan
tubuh mengelak, tahu-tahu tongkat itu berobah lagi
gerakannya dan tanpa dapat dielakkan atau ditangkis
lagi, dada kiri tosu itu kena ditotok.
Tek Seng Cu menjerit, tubuhnya terhuyung dan ia
roboh miring, tak dapat ditolong lagi karena sebelum
tubuh itu roboh, nyawanya telah melayang!
Empat orang tosu Go-bi-pay dan tiga orang kakek
Kun-lun-pay cepat maju mengeroyok Hek Moli. Tadi
mereka tak sempat melindungi Tek Seng Cu karena
penyerangan Hek Moli benar-benar tidak terduga dan
amat cepatnya. Kini mereka serentak maju
mengepung dan menyerang dengan hebat.
Diam-diam Hek Moli terkejut. Para penyerangnya ini
memiliki kepandaian yang lebih tinggi daripada Tek
Seng Cu, apalagi tiga orang kakek dari Kun-lun-pay itu
benar-benar amat tangguh ilmu pedangnya.
"Hm, beginikah caranya kalian berpibu" Bagus, bagus,
mari kita mengambil keputusan siapa yang akan
tinggal hidup!" kata Hek Moli sambil mengejek dan
tongkatnya digerakkan secara luar biasa sekali.
Empat orang tosu Go-bi-pay itu semua setingkat lebih
tinggi dari Tek Seng Cu. Mereka adalah tokoh-tokoh
tingkat tiga dari Go-bi-pay, maka ilmu silat mereka
tentu saja sudah cukup tinggi. Mereka ini adalah
paman-paman guru dari Tek Seng Cu, yakni murid
dari Pek Eng Taysu tingkat muda. Nama mereka
adalah Wi Tek Tosu, Wi Kong Tosu, Wi Jin Tosu, dan
Wi Liang Tosu. Sebagai murid Pek Eng Taysu yang terkenal sebagai
seorang ahli silat serba bisa, maka senjata mereka
juga bermacam-macam. Wi Tek Tosu terkenal dengan
siang-kiamnya, Wi Kong Tosu kuat sekali permainan
toyanya, Wi Jin Tosu mempergunakan sebatang golok
besar, sedangkan Wi Liang Tosu bersenjata ruyung
kuningan. Masing-masing mempunyai keistimewaan
sendiri dan rata-rata merupakan lawan yang amat
tangguh. Adapun tiga orang kakek dari Kun-lun-pay, bukanlah
orang-orang sembarangan. Mereka ini adalah tokoh-
tokoh tingkat dua dari Kun-lun-pay, menjadi murid-
murid tertua dari Pek Ciang San-lojin (Kakek gunung
bertangan putih), yakni ketua Kun-lun-pay pada
waktu itu. Ketika belasan tahun yang lalu Hek Moli naik ke Kun-
lun dan menantang tokoh-tokoh Kun-lun-pay berpibu,
kebetulan sekali Pek Ciang San-lojin sedang tidak ada
disana dan sebagai wakilnya, yang maju adalah
muridnya yang kedua, yakni Kim Sim Sanjin (Orang
gunung berhati emas). Biarpun tak dapat dikatakan
mudah, akhirnya Kim Sim Sanjin harus mengakui
kelihayan Hek Moli dan ia kena dikalahkan dan hanya
menderita luka ringan. Kini, tiga orang Kun-lun-pay yang datang, adalah tiga
orang tokoh yang menjadi wakil Pek Ciang San-lojin,
merupakan tiga orang yang paling ternama di bawah
guru besar itu, yakni pertama adalah Cu Sim Sanjin
(Orang gunung berhati penuh welas asih), orang
kedua adalah Kim Sim Sanjin sendiri, dan orang ketiga
mempunyai sebutan Sun Sim Sanjin (Orang gunung
berhati bersih). Cu Sim Sanjin senjatanya adalah
ujung lengan bajunya yang panjangnya satu kaki
lebih, Kim Sim Sanjin bersenjata sepasang siang-koan-
pit, sedangkan Sun Sim Sanjin senjatanya adalah
sebuah kebutan pendeta (hudtim) yang berbulu putih
berkilau seperti perak. Melihat senjata-senjata ini saja sudah dapat dinilai
bahwa ilmu kepandaian tiga orang kakek Kun-lun-pay
ini benar-benar tinggi karena senjata-senjata mereka
sudah menunjukkan bahwa mereka adalah ahli-ahli
lweekeh (ahli ilmu lweekang) dan ahli totok atau
tiam-hoat. Namun, Hek Moli bukan disebut Hek Moli Iblis wanita
hitam kalau dia gentar menghadapi keroyokan tujuh


Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang jago tua yang lihay itu. Dengan tongkatnya
yang panjang dan hitam, ia bersilat dengan aneh, ilmu
silat yang tak pernah terlihat di wilayah Tiongkok
Pedalaman. Tongkat itu berubah menjadi segundukan
sinar hitam yang membungkus tubuhnya, dan tiap kali
senjata lawan terbentur oleh sinar hitam ini, senjata
lawan itu pasti terpental, seakan-akan dari sinar hitam
itu keluar tenaga dahsyat yang amat luar biasa.
Hek Moli benar-benar marah. Ia sudah amat tua dan
tenaganya tidak seulet dahulu, maka ia merasa
penasaran sekali dan menganggap tujuh orang
pengeroyoknya adalah pengecut-pengecut belaka
yang mempergunakan jumlah banyak untuk
mengeroyok seorang perempuan tua seperti dia. Oleh
karena merasa gemas dan marah, timbullah hati
ganas dan kejam di dalam dada Hek Moli. Apalagi
ketika ia merasa bahwa perlahan-lahan ia mulai
terdesak hebat. Kepandaian tujuh orang lawannya benar-benar kuat
sekali. Apalagi ketiga orang kakek Kun-lun-pay itu,
benar-benar sukar dilawan. Menghadapi seorang
diantara tiga orang kakek ini saja, agaknya ia harus
mengerahkan seluruh kepandaian untuk
mengalahkannya. Dahulu, ketika ia mengalahkan Kim Sim Sanjin,
biarpun tidak begitu mudah namun kepandaiannya
masih jauh mengatasi kepandaian Kim Sim Sanjin.
Akan tetapi sekarang ia mendapat kenyataan bahwa
sepasang siang-koan-pit ditangan Kim Sim Sanjin jauh
lebih lihay daripada dahulu, tanda bahwa setelah
dikalahkan, tokoh Kun-lun ini telah memperdalam ilmu
kepandaiannya. Makin lama Hek Moli makin terdesak. Tiba-tiba wanita
ini diam-diam merogoh sakunya dan sekali ia
mengeluarkan jerit nyaring yang menyakitkan anak
telinga dan membuat hati tujuh orang lawannya
tergoncang, tangan kirinya bergerak. Sinar-sinar hitam
melayang cepat ke depan. Tiga orang kakek Kun-lun-
san dapat mengelak dan menyampok sinar ini dengan
senjata mereka. Juga dua diantara tokoh Go-bi-pay
dapat mengelak. Akan tetapi Wi Liang Tosu dan Wi Jin
Tosu menjerit ngeri, tubuh mereka terhuyung-huyung,
lalu roboh berkelonjotan dan tak lama kemudian
mereka menghembuskan nafas terakhir!
Ternyata bahwa dalam kemarahannya, Hek Moli telah
mempergunakan senjata-senjata rahasia aneh yang
ia sebut Toat-beng-hek-kong (Sinar hitam pencabut
nyawa)! Senjata-senjata rahasia ini juga tidak dikenal
di daerah Tiong-goan atau pedalaman Tiongkok, dan
merupakan semacam pasir berwarna hitam yang
kalau mengenai tubuh lawan, terus menyusup ke
dalam jalan darah dan mengandung bisa yang cepat
merampas nyawa lawan! "Siluman wanita, kau benar-benar berbahaya dan
jahat, patut dilenyapkan dari muka bumi!" teriak Cu
Sim Sanjin orang tertua dari Kun-lun-pay. Begitu ia
berteriak, ia dan dua orang sutenya lalu mendesak
hebat. Teranglah bagi Hek Moli bahwa tadi tiga orang Kun-
lun-pay ini tidak bertempur sungguh-sungguh dan
sekarang barulah ia tahu bahwa kalau mereka
bertempur sungguh-sungguh, tak mungkin baginya
untuk mempergunakan senjata rahasia. Baru
beberapa gebrakan saja setelah mereka
membulatkan penyerangan dengan gerakan-gerakan
cepat, pundaknya telah kena sabetan ujung lengan
baju Cu Sim Sanjin sehingga ia terhuyung tiga
langkah dan merasa pundaknya sakit sekali.
"Bedebah, mampuslah kalian!" bentak Hek Moli dan
kembali tongkatnya menyambar-nyambar.
Diam-diam Cu Sim Sanjin tertegun. Pukulannya
dengan ujung lengan baju tadi adalah pukulan To-san-
ciang (Pukulan menghantam gunung), hebatnya
bukan main dan betapapun kuat tubuh seorang
lawan, pasti akan roboh kalau terkena pukulan ini.
Akan tetapi, wanita tua ini hanya terhuyung tiga
langkah, bahkan dapat mengamuk lagi dengan
hebatnya. Benar-benar luar biasa sekali!
"Siluman wanita, bukankah kau datang dari Sik-kim
dan kau adalah keturunan dari Bhutan Koay-jin
(Orang aneh dari Butan)?"
Mendengar ini, berobahlah wajah Hek Moli, akan
tetapi ia mengamuk makin hebat sambil berseru:
"Tutup mulut dan mampuslah kalian!"
Tongkatnya membuat gerakan memanjang yang luar
biasa kerasnya, disusul dengan gerakan terputar, kini
tidak menghadapi lima orang pengeroyoknya,
melainkan menindih dan mendesak kepada Wi Kong
Tosu. Mana tosu Go-bi-pay ini mampu
mempertahankan diri setelah tongkat itu khusus
diserangkan kepadanya" Dengan tepat kepalanya
terkena sambaran ujung tongkat sehingga pecah dan
ia menggeletak tak bernyawa tanpa dapat
mengeluarkan sedikitpun suara!
Akan tetapi, karena perhatiannya ditujukan kepada
seorang saja, sedetik setelah tongkatnya
menghancurkan kepala Wi Kong Tosu, empat orang
lawannya hampir berbareng melakukan serangan
hebat. Pedang kiri Wi Tek Tosu menusuk pangkal
lengan Hek Moli, ujung lengan baju Cu Sim Sanjin
menampar kepalanya, Siang-koan-pit sebelah kanan
dari Kim Sim Sanjin menotok jalan darah pada iganya,
sedangkan ujung hud-tim (kebutan) dari Sun Sim
Sanjin menotok jalan darah pada lehernya.
"Tongkat jahanam?" ternyata manusia tidak seperti
engkau?" kau tidak bisa mati, tak bisa rusak akan
tetapi aku?" majikanmu?" sudah lemah dan
sekarang akan mati?""
Empat orang pengeroyoknya mendengar kata-kata ini
dengan mata memandang heran, akan tetapi Cu Sim
Sanjin orang tertua dari Kun-lun-pay yang mengerti
akan maksud kata-kata ini, merasa kasihan. Memang
ia terkenal seorang yang mudah sekali merasa
kasihan kepada orang-lain, oleh karena itu ia dijuluki
Cu Sim Sanjin (Orang-gunung berhati penuh welas
asih). "Hek Moli, kau salah duga. Biarpun tongkat benda
mati namun ia bisa lapuk dan rusak." Sambil berkata
demikian ia menyambar tongkat panjang yang
tertindih oleh tubuh Hek Moli, menggenggamnya di
kedua tangan. Ia mengerahkan lweekangnya yang
paling tinggi diantara kawan-kawannya. Terdengar
suara "krek! krek!" dan tongkat itu hancur pada bagian
yang dicengkeramnya, lalu patah menjadi tiga potong.
"Lihat, Hek Moli, tongkatmu pun lapuk dan tua seperti
kau." "Cu Sim Sanjin?" terima kasih?"" Hek Moli
tersenyum puas, terengah-engah.
"Hek Moli, sebelum kau pergi, terangkanlah kepada
pinto, apakah betul dugaanku bahwa kau ada
hubungan dengan Bhutan Koay-jin dari Sikkim?" tanya
Cu Sim Sanjin. Hek Moli memandang kepadanya, lalu tersenyum
pahit. "Kau baik?" sudah berusaha menghiburku?" kau
tidak tahu?" Koay-jin itu adalah?" adalah
suamiku?"" Setelah berkata demikian, Hek Moli
tertawa lemah dan suara tertawanya menghilang
bersama nyawanya. Cu Sim Sanjin menarik napas panjang. "Pantas saja
dia begini ganas, dia tidak membunuh buta tuli masih
cukup baik kalau mengingat akan nasib suaminya?""
"Siapakah Butan Koay-jin?" tanya Wi Tek Tosu
penasaran mendengar tokoh Kun-lun-san ini masih
menaruh hati kasihan kepada Hek Moli.
Cu Sim Sanjin menggeleng kepalanya, "Diberitahu
juga kau takkan mengerti, Wi Tek To-yu. Lebih baik
kau merawat empat orang kawanmu yang terbinasa.
Kami tidak dapat tinggal lebih lama lagi, selamat
berpisah." Setelah berkata demikian, Cu Sim Sanjin
mengajak kedua orang sutenya pergi meninggalkan
tempat itu. Sebelum jauh ia menengok dan berkata
lagi: "Kami datang karena kau undang dan Hek Moli
maupun empat orang kawanmu tewas dalam
pertempuran yang diadakan oleh Go-bi-pay. Oleh
karena itu, disamping empat orang kawanmu,
agaknya sudah sepatutnya kalau kau merawat
jenazah Hek Moli juga."
Wi Tek Tosu mendongkol sekali mendengar kata-kata
ini, akan tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu karena
tiga orang kakek Kun-lun-pay itu sudah pergi dan
tidak kelihatan bayang-bayangnya lagi. Betapapun
juga, ia harus akui bahwa tanpa bantuan tiga orang
kakek Kun-lun-pay itu, ia takkan dapat membunuh
Hek Moli, bahkan nyawanya sendiri tentu akan
terbang pula oleh nenek yang sakti ini.
Ia berhasil membujuk Kim Sim Sanjin untuk datang
membantunya melawan Hek Moli dan hanya karena
Kim Sim Sanjin pernah dikalahkan oleh Hek Moli
maka tiga orang kakek itu mau datang membantu.
Pula, ia telah berdaya untuk memanaskan hati
mereka dengan me?nyatakan betapa kejamnya Hek
Moli sehingga muridnya, yakni Tek Seng Cu dibuntungi
lengannya oleh nenek itu.
Kini, biarpun ia sudah dapat membunuh Hek Moli,
akan tetapi tiga orang sutenya tewas, bahkan
muridnya juga tewas oleh Hek Moli. Bagaimana ia
sudi mengubur dan merawat jenazah nenek yang
mendatangkan malapetaka bagi Go-bi-pay ini"
Apalagi kalau diingat bahwa ia harus menghadapi
pertanggungan jawabnya apabila pibu ini terdengar
oleh suhunya, yakni Pek Eng Taysu.
Sudah berkali-kali Pek Eng Taysu menyatakan bahwa
Go-bi-pay tidak ada urusan dendam dengan Hek Moli.
Memang betul bahwa Hek Moli sudah pernah naik ke
Go-bi-san, sudah menjatuhkan mereka, bahkan
melukai Tek Seng Cu, akan tetapi semua itu terjadi
dalam sebuah pibu yang adil. Tidak ada alasannya
untuk bersakit hati. "Apalagi untuk membalasnya dengan jalan pibu. Pinto
sendiri sudah bosan main-main seperti anak kecil,
mengadu kepalan seperti badut. Sedangkan kiraku
tak seorangpun dian?tara kalian yang dapat
menandinginya, maka sudahlah, urusan kecil itu
habiskan saja." Pek Eng Taysu pernah berkata ketika
murid-muridnya mengajukan penasaran dan hendak
membalas kepada Hek Moli.
Sekarang, di luar tahunya Pek Eng Taysu, Wi Tek Tosu
dan tiga orang sutenya, bersama muridnya, minta
bantuan tiga kakek Kun-lun-pay dan berhasil
menewaskan Hek Moli. Akan tetapi tiga orang
sutenya dan seorang muridnya tewas, bagaimana ia
dapat menjawab pertanyaan suhunya"
"Dia inilah yang menjadi gara-gara dan biangkeladi?"
Wi Tek Tosu memaki sambil memandang kepada
jenazah Hek Moli yang menggeletak miring. Makin
dipandang, makin gemaslah dia, apalagi kalau ia
memandang kepada empat mayat kawan-kawannya.
Dalam kegemasannya, Wi Tek Tosu mencabut siang-
kiamnya (sepasang pedangnya), lalu menghampiri
jenazah Hek Moli. "Siluman wanita, kalau belum menghancurkan
tubuhmu, aku belum puas!" katanya.
Pedang kanannya digerakkan dan "bless!" pedang itu
amblas ke dalam punggung Hek Moli. Ia mencabut
pedang itu dan hendak diayun lagi untuk memenggal
leher mayat Hek Moli. Akan tetapi, tiba-tiba
menyambar sebuah benda kecil yang tepat mengenai
pedang yang diayunnya itu.
"Criing?"!"
Wi Tek Tosu terkejut dan melompat mundur.
Tangannya terasa tergetar. Ia mengira bahwa tiga
orang kakek Kun-lun-san yang kembali dan
mengganggunya, akan tetapi ketika ia menengok, ia
melihat seorang laki-laki bertubuh gagah, bermata
tajam dan beralis tebal sedang memandangnya
sambil bertolak pinggang. Laki-laki ini berusia
empatpuluh tahun lebih dan melihat pakaiannya yang
sederhana itu, mudah diduga bahwa dia adalah
seorang ahli silat yang sedang melakukan perjalanan
jauh dengan jalan kaki. "Wi Tek Totiang, mengapa seorang pendeta seperti
kau mau mengganggu tubuh yang sudah tak
bernyawa lagi?" tanya laki-laki gagah itu dengan
suaranya yang keras. Wi Tek Tosu tentu saja mengenal laki-laki gagah itu
karena dia ini adalah seorang tokoh kangouw yang
terkenal. Dengan muka berobah merah sekali saking
jengah dan malu, Wi Tek Tosu tertawa masam lalu
berkata: "Eh, kiranya Ong Tiang Houw Tayhiap yang datang.
Baiknya tayhiap keburu mencegah pinto yang
menjadi hilap karena amarah sehingga pinto tidak
jadi merusak mayat manusia iblis ini." Wi Tek Tosu
menyimpan kembali pedangnya.
"Siapakah dia itu?" tanya orang gagah yang bukan
lain adalah Ong Tiang Houw yang sudah kita kenal
dibagian depan dari cerita ini. Ia mendekati dan agak
terkejut ketika mendapatkan mayat-mayat lain yang


Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia kenal sebagai tosu-tosu terkemuka dari Go-bi-pay.
"Ayaa" a......! Kulihat tosu-tosu Go-bi-pay ada yang
tewas pula! Apakah yang telah terjadi, totiang?"
Wi Tek Tosu menarik napas panjang. "Sute-suteku dan
muridku sebanyak empat orang ini tewas oleh
siluman wanita ini."
Ong Tiang Houw kini mengalihkan perhatiannya
kepada mayat Hek Moli. Ia melihat mayat seorang
nenek tua yang berpakaian buruk, bertubuh kurus
panjang dan mukanya tidak kelihatan karena tertutup
oleh lengannya, didekatnya terdapat sebatang
tongkat hitam panjang yang sudah patah-patah. Ia
merasa hatinya terguncang keras.
"Wi Tek Totiang, tahukah kau siapa adanya wanita
tua ini?" tanyanya sambil menekan guncangan
hatinya. "Dia adalah Hek Moli, iblis wanita yang sejahat-
jahatnya," jawab Wi Tek Tosu. "Tanpa sebab dia
pernah naik ke Go-bi-san, menghina kami, bahkan
membuntungi sebelah lengan muridku. Hari ini
muridku bersama sute-suteku hendak memberi
hajaran kepadanya, akan tetapi dia ternyata jahat
dan ganas sekali sehingga murid dan sute-suteku
tewas. Baiknya kami dapat menewaskan pula
siluman ini." Mendengar bahwa nenek itu adalah Hek Moli, muka
yang tampan dari Ong Tiang Houw menjadi gelap,
dan hatinya tidak enak sekali. Ia memandang tajam
kepada Wi Tek Tosu sambil berkata:
"Wi Tek Totiang, aku tidak tahu urusan apa yang
terjadi antara Hek Moli dan Go-bi-pay, akan tetapi
yang jelas, dia ini lihay sekali sehingga dapat
mengalahkan empat orang tokoh Go-bi-pay. Sekarang
dia tewas, bagaimanapun juga, tidak patut sekali
kalau kau menuruti nafsu iblis dan merusak mayat
yang tidak bernyawa lagi."
Kembali muka tosu itu menjadi merah. Ia menjura
dan kata-katanya terdengar kering: "Ong-tayhiap, kau
tidak tahu bagaimana sakit hati orang melihat tiga
orang sute dan seorang muridnya menggeletak tak
bernyawa, sehingga pinto menjadi mata gelap.
Baiknya kau datang sehingga pinto tak jadi
melakukan hal-hal yang kurang layak. Terima kasih
atas kedatanganmu ini."
Setelah berkata demikian, tanpa meno]eh kepada
Tiang Houw lagi, Wi Tek Tosu lalu menghampiri
em?pat mayat kawan-kawannya, mengambil empat
mayat itu satu demi satu, lalu memanggul mereka
dengan sedikitpun tak kelihatan berat, kemudian ia
lari turun gunung O-mei-san dengan cepat.
Ong Tiang Houw hanya memandang dan menarik
napas panjang. "Tak pantas menjadi pendeta,"
celanya dengan suara perlahan.
Kemudian ia menghampiri mayat Hek Moli,
menurunkan lengan yang menutup muka nenek itu.
Ia melihat wajah yang sudah tua, wajah yang
keriputan dan menghitam, yang kelihatan sekelebatan
amat buruk. Akan tetapi ketika ia memperhatikan,
ternyata olehnya bahwa sebetulnya wajah itu
mempunyai garis-garis yang amat baik, bahwa mata,
hidung dan mulut itu dahulunya amat baik, wajah
seorang yang dahulu amat cantik.
Teringatlah ia akan pesan dari mendiang suhunya,
yakni Bu Sek Tianglo ketika kakek itu hendak
menghembuskan nafas terakhir:
"Tiang Houw, kelak kalau kau sudah terjun ke dunia
kang?ouw, dan kau bertemu dengan seorang wanita
yang memakai nama julukan Hek Moli, betapapun
jahat ia nampaknya, jangan kau mengganggunya.
Bahkan kau harus membela dia sedapat mungkin,
Tiang Houw. Dialah satu-satunya orang di dunia ini
yang kupuja, yang kuhormati dan yang takkan
pernah terbayar budinya yang telah kuterima. Bela
dan lindungi dia, Tiang Houw, sungguhpun ilmu
silatnya sudah amat tinggi, mungkin dia dibenci orang-
orang kangouw?""
Memang sudah seringkali Tiang Houw dalam
perantauannya di dunia kangouw, mendengar akan
nama Hek Moli yang amat ditakuti orang, akan tetapi
belum pernah ia bertemu muka dengan orangnya. Ia
mencari-cari keterangan dan akhirnya ia mendapat
gambaran bahwa orang yang namanya Hek Moli
adalah seorang nenek seperti siluman, bertongkat
panjang hitam, berpakaian butut dan berwajah buruk
sekali, mem?punyai watak aneh dan ganas.
Dan kini, di puncak O-mei-san, tanpa tersangka-
sangka, ia telah bertemu dengan Hek Moli dalam
keadaan sudah tak bernyawa lagi. Namun, hatinya
bersyukur bahwa dalam saat terakhir itu ia telah
dapat memenuhi pesanan suhunya, yakni membela
Hek Moli, sungguhpun pembelaannya itu amat sedikit
artinya, yakni hanya mencegah orang merusak mayat
nenek itu. De?ngan sebutir senjata rahasia thi-lan-ci,
ia tadi mencegah Wi Tek Tosu menurunkan pedang
merusak jenazah Hek Moli. Diam-diam ia merasa lega.
Ia dapat membayangkan betapa sukar kedudukannya
kalau ia datang lebih pagi, yakni selagi Hek Moli
bertempur menghadapi pengeroyokan orang-orang
Go-bi-pay. Apa yang harus ia lakukan" Biarpun
suhunya sudah meninggalkan pesan agar ia membela
Hek Moli, akan tetapi suara yang ia dengar tentang
Hek Moli yang dianggap sebagai seorang iblis wanita
ganas dan kejam, lagi pula suka mencari perkara,
membuat ia ragu-ragu. Apalagi kalau melihat Hek Moli bertempur melawan
tokoh-tokoh Go-bi-pay! Ia mengenal baik ketua Go-bi-
pay, yakni Pek Eng Thaysu yang diketahuinya benar-
benar adalah seorang kakek pertapa yang berhati
mulia dan suci. Ia tahu bahwa Go-bi-pay adalah
sebuah partai persilatan yang amat besar,
berpengaruh dan ternama, yang menghasilkan
banyak pendekar-pendekar budiman. Bagaimana ia
dapat membantu Hek Moli dan bermusuhan dengan
Go-bi-pay" "Betapapun juga, aku telah membelanya," kembali
Tiang Houw menghela napas lega, "setidaknya
membela mayatnya." Ia lalu menggali lubang di tempat yang baik di puncak
gunung, kemudian memondong mayat nenek itu dan
menguburnya baik-baik. Agar kuburan itu tidak akan
lenyap begitu saja tanpa bekas, ia lalu mengambil
tongkat hitam yang sudah patah-patah itu, kemudian
ia menancapkan tiga potongan tongkat itu di depan
gundukan tanah kuburan. Bagaimana Ong Tiang Houw dapat tiba di O-mei-san
dan kebetulan sekali dapat mencegah Wi Tek Tosu
merusak mayat Hek Moli" Untuk mengikuti perjalanan
Ong Tiang Houw, baiklah kita mundur sebentar dan
mengikuti pengalaman Nyonya Kwee Seng.
"Y" Seperti telah dituturkan dibagian depan dari cerita ini,
empatbelas tahun yang lalu Ong Tiang Houw
memimpin pasukan rakyat yang mempergunakan
nama Kay-sin-tin, menyerbu dan membasmi orang-
orang hartawan dan bangsawan di beberapa dusun,
termasuk dusun Tiang-on. Sudah diceritakan pula
betapa keluarga hartawan Kwee Seng pun menjadi
korban. Kwee Seng sendiri tewas terkena sambaran
senjata rahasia thi-lian-ci dari Ong Tiang Houw,
adapun Kwee-hujin atau Nyonya Kwee yang masih
muda dan cantik jelita itu menarik hati Ong Tiang
Houw sehingga duda yang masih muda dan gagah ini
tidak tega untuk membunuhnya, bahkan lalu
melarikannya di atas kuda.
Kwee Hujin, atau nama kecilnya Yo Cui Hwa, siuman
dari pingsannya, membuka mata perlahan dan
mengeluarkan suara rintihan. Ia membuka mata
lebar-lebar ketika merasa betapa angin menyambar-
nyambar dan membuat kulit mukanya terasa dingin.
Ia melihat pohon-pohon berlari-larian cepat sekali dan
setelah ia sadar betul-betul, barulah ia tahu bahwa ia
berada dalam pondongan seorang laki-laki di atas
kuda! Kenyataan ini demikian mengejutkan dan mengerikan
hatinya sehingga sambil mengeluarkan keluhan
lemah, nyonya muda ini pingsan kembali dalam
pelukan Ong Tiang Houw. Tiang Houw merasa betapa
tubuh nyonya yang dipondongnya tadi bergerak
perlahan, lalu lemas kembali, akan tetapi kini terasa
hawa panas keluar dari tubuh yang dipondongnya itu.
Bukan main panasnya sehingga ia sendiri sampai
berpeluh. Ia menahan kendali kudanya dan meraba jidat
nyonya Kwee. Alangkah terkejutnya ketika
tangannya meraba kulit jidat yang panas seperti
terbakar. Ternyata bahwa luka dikepala karena
beradu dengan batu, ditambah dengan pukulan batin
melihat dirinya dilarikan oleh seorang laki-laki, telah
menda-tangkan demam hebat pada diri Yo Cui Hwa
nyonya muda itu. http://cerita-silat.mywapblog.com
22Pendekar-pendekar Bernasib Sial - Sian li eng tju
http://cerita-silat.mywapblog.com
. Pernikahan dengan Pembunuh Suami.
"Dia harus cepat-cepat mendapat perawatan yang
baik," Ong Tiang Houw berkata seorang diri. Cepat ia
membalapkan kuda menuju ke kampungnya sendiri.
Ketika Yo Cui Hwa sadar kembali, ia mendapatkan
dirinya telah rebah di atas pembaringan sederhana
dalam sebuah kamar yang bersih. Di atas meja dekat
pembaringan itu terdapat sebuah tempat kembang
terisi kembang yang masih segar. Keadaan disitu
tenteram dan damai, menyenangkan sekali.
"Ibu, harap suka minum dulu obat ini agar lekas
sembuh." Cui Hwa tersentak kaget dan menengok. Di sebelah
pembaringan, ternyata seorang anak laki-laki berusia
kurang lebih enam tahun tengah berlutut dan
memegang sebuah mangkok terisi obat masakan
yang masih hangat dan berbau harum. Cui Hwa
tercengang. Anak itu berwajah bundar, kulit mukanya
putih bersih, matanya bersinar dan bibirnya merah.
Benar-benar muka seorang anak laki-laki yang
tampan sekali. Cui Hwa segera bangun dan duduk, memandang
dengan mata terbuka lebar-lebar.
"Siapa kau" Dimana aku?"?"
"Ibu, anak adalah Teng San dan ibu berada di rumah
kita sendiri. Marilah minum obatnya, ibu?"," ucapan
itu seperti tadi, terdengar amat halus dan penuh kasih
sayang, sehingga Cui Hwa menjadi makin heran.
"Bagaimana kau memanggil aku ibu dan?" dan
bagaimana aku bisa berada disini" Apa artinya ini
semua?" Cui Hwa hampir menjerit saking tegangnya
perasaan diwaktu itu. Semua ini terjadi seperti dalam mimpi buruk. Tahu-
tahu ia berada disebuah kamar asing dan anak laki-
laki ini, yang selama hidupnya belum pernah
dilihatnya, tiba-tiba saja menyebutnya sebagai ibunya!
Gilakah dia" Anak laki-laki itu memandang dan bibirnya bergerak
seperti orang berduka. "Ibu, anak mohon ibu minum
dulu obat ini agar lekas sembuh. Tentang semua
pertanyaan itu, nanti akan anak jawab setelah ibu
minum obat." Kata-kata yang amat halus dan penuh perhatian itu
benar-benar membuat Cui Hwa terharu. Tak dapat
lagi ia menolaknya, maka sambil memandang muka
anak itu tanpa berkedip, ia menerima mangkok dan
minum isinya tanpa ragu-ragu lagi. Rasanya agak pait
dan masam. Adapun anak itu memandang dengan
muka berseri ketika melihat Cui Hwa minum obatnya,
kemudian anak itu memandang kagum melihat
betapa muka Cui Hwa bergerak-gerak menahan rasa
pahit. Dalam pandangannya, muka itu bukan main
The Revelation 2 Trio Detektif 18 Misteri Rumah Yang Mengkerut Bandit Penyulam 5
^