Bayangan Bidadari 2
Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo Bagian 2
indahnya. "Pahit, ibu?" tanyanya dan suaranya mengandung
kasih sayang yang menggetarkan kalbu Cui Hwa. Ia
menaruh mangkok kosong itu di atas meja dekat
pembaringan, kemudian ia bertanya:
"Nah, sekarang ceritakanlah yang jelas. Siapa
namamu tadi" Teng San?"
"Ong Teng San nama anak, ibu. Ayahku yang
membawa ibu dalam keadaan sakit hebat. Kata ayah,
ibu ditolong oleh ayah dari ancaman maut, dan
menurut ayah, kau adalah pengganti ibuku yang
sudah meninggal dunia. Kata ayah, aku harus
menganggap kau sebagai ibuku sendiri, dan karena?"
karena akupun suka sekali mempunyai ibu seperti
kau, maka aku menurut pesan ayah dan merawat ibu
disini. Anak merasa senang sekali melihat ibu
berangsur sembuh dan?""
"Nanti dulu!" Cui Hwa kini memandang pucat. "Apa
kau bilang" Siapa itu ayahmu" Bagaimana ia berani
sekali mengatakan bahwa aku?""
"Ibu, maafkanlah ayah?" dia seorang yang paling
mulia di dunia ini, jangan marah kepadanya. Dia?"
di?" ibuku?" telah meninggal dunia setahun lebih
yang lalu dan dia?" aku?" amat berduka."
Melihat anak itu menangis tersedu-sedu, Cui Hwa
menjadi terharu. Memang, kesedihan hati sendiri akan
terobat melihat penderitaan atau kesedihan orang
lain, dan untuk sementara, seorang berhati mulia
seperti Cui Hwa yang sedang berduka, akan
melupakan kedukaan sendiri menghadapi orang lain
yang demikian berduka. Ia turun dari pembaringan,
memegang pundak Teng San dan menyuruhnya
berdiri. "Diamlah, nak," ia mengelus-elus kepala anak itu. "Dan
kau pergilah, panggil ayahmu kesini."
"Akan tetapi jangan marah kepadanya, ibu?""
Melihat betapa sepasang mata yang tajam dan
bening itu memandang kepadanya dengan penuh
permohonan, mengucurlah airmata dari sepasang
mata Cui Hwa dan dengan mulut tersenyum sedih, ia
menggeleng perlahan kepalanya sambil berkata
perlahan: "Kalau ayahmu sebaik engkau, aku takkan marah,
Teng San." Mendengar ini, Teng San kelihatan girang sekali dan ia
lalu berlari keluar. Sampai di pintu, ia menengok
kembali dan berkata: "Kau duduklah dulu, ibu. Jangan berdiri saja, kau
masih lemah. Biar anak memanggil ayah!"
Cui Hwa menghela napas dan duduk, termenung.
Dalam rumah siapakah ia tiba" Dengan orang macam
apa ia akan berhadapan" Ia mengingat kembali
semua pengalamannya. Yang teringat olehnya
hanyalah bahwa suaminya sudah menggeletak mandi
darah di dalam hutan, kemudian ia dibawa lari di atas
kuda oleh seorang laki-laki yang tak dilihat mukanya
diwaktu itu. Apakah laki-laki itu yang menjadi ayah
Teng San" "Suamiku?" agaknya kau?" kau telah?"" Sampai
disini, air matanya turun bertitik-titik di atas sepasang
pipinya yang agak pucat. Kemudian ia teringat akan
puterinya, In Hong, maka makin deraslah air matanya.
"In Hong?" bagaimana nasibmu, anakku?"?""
bisiknya. Pada saat itu, terdengar suara langkah orang di luar
pintu kamar. Teng San muncul bersama seorang laki-
laki yang sikapnya gagah, pakaiannya sederhana, dan
wajahnya tampan. "Ibu, mengapa kau menangis?"?" Teng San berlari
menghampiri Cui Hwa dan memeluk nyonya muda
yang sedang duduk menangis itu. "Jangan bersedih,
ibu, ada Teng San disini yang akan menghiburmu."
Cui Hwa makin terharu dan tak terasa pula ia
mendekap kepala anak itu kepangkuannya, terisak-
isak menangis. Kemudian ia teringat akan laki-laki
yang datang bersama Teng San, maka ia lalu
mengangkat muka memandang.
Dua pasang mata bertemu lama, yang sepasang
penuh kasih sayang, yang sepasang lagi penuh selidik
dan curiga, akhirnya sepasang mata Cui Hwa yang
memandang penuh selidik itu mengalihkan ke bawah,
mukanya menjadi agak merah karena ia merasa
amat tidak enak dan malu berhadapan dengan
seorang laki-laki muda yang tak dikenalnya di dalam
kamar yang asing itu. Baiknya disitu ada Teng San,
maka ia mengelus-elus kepala anak itu untuk
menghilangkan kebingungannya.
"Kau sayang kepada Teng San, bagus sekali. Bukan
main lega hatiku melihatnya," terdengar laki-laki itu
berkata dan suaranya mempunyai gaya seperti suara
Teng San, halus dan lemah lembut, namun
berpengaruh. Dengan perlahan, Cui Hwa mendorong kepala Teng
San dari pangkuannya dan anak ini lalu duduk di atas
pembaringan dekat Cui Hwa.
"Kau siapakah" Dan apa maksudnya ini semua"
Mengapa kau membawaku kesini dan bagaimana
dengan?" suamiku" Dimana pula In Hong anakku?"
Cui Hwa hanya sebentar saja menatap wajah laki-
laki itu, karena pandang mata yang penuh
kekaguman dan kasih sayang yang ditujukan
kepada?nya itu membuat ia tidak berani memandang
dan bertemu pandang terlalu lama.
Laki-laki itu yang bukan lain adalah Ong Tiang Houw,
menarik sebuah bangku di dekat meja, lalu duduk. Ia
menarik napas panjang berkali-kali, agaknya hendak
menenteramkan hatinya yang berguncang, kemudian
berkata lambat-lambat: "Biarlah kita bicara dengan hati terbuka dan biarpun
yang akan kita bicarakan ini tidak patut didengarkan
oleh seorang anak-anak, akan tetapi kurasa lebih baik
Teng San biar tinggal disini agar kau tidak merasa
kikuk dan pula lebih pantas kalau dia mengawanimu
disini." Hati Cui Hwa lega mendengar kata-kata ini, ia merasa
setuju dan terhibur mendengar kata-kata yang
mencerminkan sikap sopan dan jujur ini, maka ia
mengangguk menyetujui. "Aku bernama Ong Tiang Houw, seorang?" duda
yang hidup berdua dengan puteraku ini, Ong Teng
San?"" Kembali Cui Hwa mengangguk tanda bahwa ia sudah
mengerti akan hal ini, karena memang ia sudah
mendengar dari Teng San bahwa ibunya meninggal
dunia setahun lebih yang lalu. Nama Ong Tiang Houw
tidak pernah dikenalnya, maka tidak mendatangkan
sesuatu yang aneh. Padahal bagi dunia kangouw,
nama ini tentu akan dikenal baik sebagai nama
seorang pendekar muda yang lihay sekali!
"Dua pekan yang lalu, pada suatu malam, lewat
tengah malam, aku mendapatkan kau menggeletak di
dalam hutan dalam keadaan pingsan dan?""
"Dua pekan yang lalu?" Cui Hwa mengulang dan ia
memandang wajah Tiang Houw untuk sejenak.
Tiang Houw mengangguk. "Ya, dua pekan yang lalu.
Kau telah menderita sakit demam yang cukup hebat
selama hampir dua pekan."
"Aahhh?" teruskanlah."
"Selain kau, aku melihat pula?" seorang laki-laki
rebah di atas tanah dalam keadaan sudah?" tewas."
Cui Hwa tak dapat menahan air matanya yang
mengucur keluar. Ia mengangguk-angguk dan berkata
terputus-putus: "Aku tahu, aku tahu?" aku melihat
dia?" suamiku?" menggeletak dengan kepala penuh
darah. Sudah kuduga?" dia tentu sudah?" meninggal
dunia?"" Tiang Houw membiarkan nyonya muda itu terisak-
isak sebentar dan Teng San memeluk Cui Hwa:
"Tenanglah, ibu, harap suka menguatkan hati?""
"Teruskanlah?"" minta Cui Hwa dengan suara sayu.
"Karena di dalam keributan itu aku tidak dapat
melakukan sesuatu untuk menolongmu, maka
terpaksa aku lalu membawamu pergi dari tempat
berbahaya itu dan membawamu pulang ke rumahku
ini. Kau berada dalam keadaan pingsan dan ketika
kau kubawa kesini, kau terserang demam hebat. Nah,
hanya itulah yang dapat kuceritakan."
Cui Hwa kembali mengangkat muka, memandang
kepada Tiang Houw dengan sinar mata penuh selidik.
"Siapakah yang membunuh suamiku?"
Ketika ia melakukan pertanyaan ini, kedua matanya
demikian tajam menatap wajah Tiang Houw sehingga
yang dipandang terpaksa mengalihkan pandang
matanya kekanan, tidak berani menghadapi sinar
mata Cui Hwa secara langsung.
Tiang Houw adalah seorang laki-laki gagah perkasa
yang takkan merasa gentar menghadapi keroyokan
musuh yang bagaimana kuatpun, akan tetapi kini
menghadapi Cui Hwa dengan sinar matanya yang
bening tertutup air mata itu dan mendengar
pertanyaan yang diucapkan oleh bibir yang gemetar,
hatinya berdebar keras! Dan baru pertama kali ini
selama hidupnya, Tiang Houw merasa takut dan tidak
merasa malu untuk membohong!
"Malam hari itu terjadi keributan besar, orang-orang
miskin membalas dendam kepada orang-orang yang
menindas mereka, aku hanya mendapatkan kau
dan?" suamimu dalam keadaan seperti yang
kututurkan tadi, bagaimana aku bisa tahu?" jawab
Tiang Houw secara menyimpang.
"Ibu, kalau ayah tahu orang yang membunuh, tentu
pembunuh itu takkan dapat melarikan diri. Ayah
adalah seorang gagah yang berkepandaian tinggi?""
"Teng San, jangan menyombong!" tegur Tiang Houw.
"Tidak, ayah, terhadap orang lain tentu saja anak
tidak akan mau menyombongkan diri atau
menyombongkan ayah, akan tetapi di depan ibu?""
Akan tetapi, ia segera menghentikan kata-katanya
ketika melihat pandang mata ayahnya melarangnya
bicara terus. Cui Hwa termenung sejenak. Kemudian ia bertanya:
"Dan tahukah kau dimana adanya puteriku, In Hong?"
"Sayang sekali aku tidak tahu, dan ketika aku
mendapatkan kau di dalam hutan itu, aku tidak
melihat lain orang, tidak melihat seorang anak-anak
disana." Kembali Cui Hwa termenung. Memang ia tahu bahwa
Tiang Houw tak mungkin bertemu dengan In Hong.
Anaknya itu telah melarikan diri dengan Can Mama,
dan ia tidak tahu bagaimana nasib mereka. Mengingat
betapa ia telah ditinggal mati suaminya dan kini
kehilangan anaknya yang belum diketahui bagaimana
nasibnya, kembali air matanya seperti membanjir
keluar. Perlahan ia berdiri dan kata-kata yang keluar
lambat-lambat dari bibirnya yang telah memerah
kembali, terdengar jelas:
"Aku harus membalas dendam kepada orang yang
menyebabkan kematian suamiku dan kehilangan
anakku!" Kata-kata ini lambat-lambat dan perlahan, namun
terdengar bagaikan suara guntur menggelegar bagi
telinga Tiang Houw sehingga mukanya berubah pucat.
Adapun bagi telinga Teng San, suara itu terdengar
amat mengharukan, maka sambil memeluk pinggang
nyonya muda itu, ia berkata keras:
"Jangan khawatir, ibu, anakmu Teng San kelak akan
mencari dan membalas dendam kepada keparat itu!!"
"Diamlah kalian!" Tiang Houw membentak, membikin
kaget kepada Cui Hwa dan Teng San. Ketika mereka
menengok, mereka melihat Tiang Houw sudah duduk
sambil menutup muka dengan kedua tangannya.
Teng San melompat dan memegang pundak ayahnya.
"Kenapakah, ayah?"
Cui Hwa juga memandang heran dan sampai lama
Tiang Houw tidak mengeluarkan sedikitpun suara.
Terjadi pertentangan di dalam dada pendekar itu. Ia
ingin berterus terang sebagai seorang gagah, bahwa
dialah yang membunuh Kwee Seng, membunuh
bukan karena dendam perseorang, ingin berterus-
terang bahwa dia sebagai laki-laki gagah berani
bertanggung-jawab atas semua perbuatannya.
Akan tetapi dilain pihak, ia takut kalau-kalau nyonya
ini akan membencinya. Makin lama, makin dalamlah
perasaan cinta kasihnya kepada Cui Hwa sehingga ia
memberitahu kepada Teng San yang selalu bertanya
bahwa wanita ini adalah pengganti ibu Teng San. Dan
lebih berat lagi baginya, tidak saja dia telah jatuh hati
betul-betul kepada Cui Hwa, bahkan Teng San sendiri
sudah menyinta Cui Hwa sebagai seorang anak
terhadap ibunya. Akhirnya, cinta kasih lebih kuat daripada kegagahan.
"Untuk apa ribut-ribut tentang kematian" Mati atau
hidup bukanlah urusan manusia, melainkan keputusan
dari Thian Yang Mahakuasa. Siapa pula yang mengira
bahwa ibumu dapat meninggal dunia, Teng San?"
Kembali Tiang Houw menutup mukanya, bukan saja
karena merasa malu kepada diri sendiri karena
kebohongannya, akan tetapi juga karena ia merasa
berduka kalau mengingat isterinya yang membunuh
Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diri gara-gara perbuatan laknat dari seorang hartawan
jahanam. Cui Hwa memandang kepada ayah dan anak ini.
Hatinya mulai tertarik dan terharu.
"Kalian ini orang-orang yang berbudi mulia," katanya
dan ia kini menentang pandang mata Tiang Houw
yang telah menurunkan tangannya dari depan muka,
"aku berterima kasih sekali kepadamu, saudara Ong.
Kau juga seorang anak yang amat berbakti dan baik,
Teng San, aku benar-benar suka sekali kepadamu.
Akan tetapi, sekarang aku harus pergi, tidak
selayaknya aku lebih lama tinggal di rumah kalian ini."
Tiang Houw terkejut dan mukanya berubah. Apalagi
Teng San, anak ini segera menubruk Cui Hwa dan
menangis. "Ibu, jangan pergi meninggalkan kami! Bukankah aku
anakmu dan kau sudah menjadi ibuku".." Ayah,
jangan perbolehkan ibu yang ini pergi lagi seperti ibu
yang dulu?"!" Tiang Houw merasa terharu dan ia hanya
memandang dengan muka sedih. Dengan suara yang
parau ia menjawab: "Teng San, bagaimana ayahmu
bisa menahan" Ayah pun tidak berdaya, anakku,
hanya dapat berduka dan kecewa."
Cui Hwa bingung. Ia benar-benar merasa kasihan
kepada dua orang ini. "Tidak bisa, aku pergi. Aku harus mencari In Hong,
anakku. Aku tidak boleh tinggal disini, apa akan kata
orang lain?" "Orang lain sudah mengetahui bahwa kau tinggal
bersama kami selama dua pekan, bahkan Teng San
sudah membanggakan bahwa kau adalah ibunya, hal
ini diceritakannya kepada siapapun juga yang mau
mendengarnya." Merahlah wajah Cui Hwa dan ia memandang kepada
Teng San dengan marah. Akan tetapi kemarahannya
lenyap ketika ia memandang kepada anak itu.
Bagaimana ia bisa merasa marah kepada anak yang
memandangnya dengan sinar mata demikian
menyinta" Bahkan sinar mata In Hong tidak sehalus
anak ini kalau memandangnya.
"Bagaimana ini" Mengapa kau diamkan saja anakmu
bica?ra seperti itu?"
Tiang Houw kini merah mukanya dan dengan lambat
perlahan ia menjawab: "Memang aku tidak
melarangnya, karena aku?" akupun mempunyai
pikiran yang sama. Aku?" aku mau kau?" yakni
kalau kau sudi?" kau menjadi pengganti ibu
anakku?"" Sukar sekali kata-kata ini keluar dari
mulut pendekar yang tidak pernah gentar
menghadapi penjahat besar itu.
Wajah Cui Hwa menjadi makin merah. Ia bingung
sekali karena anak dan ayah ini benar-benar aneh.
"Bagaimana kau dan anakmu bisa berpikiran begitu"
Aku kehilangan anakku?""
"Dan aku kehilangan ibuku!" Teng San menjawab
cepat. "Dan Teng San dapat menjadi anakmu yang berbakti
dan baik," Tiang Houw membantu anaknya.
"Akan tetapi?" aku baru saja kematian suamiku?","
kata pula Cui Hwa. "Dan aku kematian isteriku!" kata pula Tiang Houw
cepat-cepat untuk mengimbangi keadaan Cui Hwa.
"Dan tentang pemikahan kita, tak perlu terburu-buru,
terserah kepadamu memilih waktu setelah kau
melepas perkabunganmu."
"Dan ayah adalah seorang ayah dan suami yang baik
sekali!" Teng San yang cerdik membantu ayahnya.
"Aku berani tanggung bahwa dia akan menjadi
seorang suami yang tiada bandingnya di dunia ini!"
Wajah Cui Hwa makin merah dan ia menjadi makin
bingung, tidak tahu harus mengambil keputusan
bagaimana. "Aku harus mencari In Hong, harus tahu bagaimana
nasibnya. Bagaimana aku dapat memikirkan nasib
sendiri kalau keadaannya belum kuketahui?" Kata-
kata ini merupakan keluhan.
"Hujin (nyonya)?"" kata Tiang Houw, akan tetapi
sebelum ia melanjutkan kata-katanya, Teng San
menegurnya: "Ayah, alangkah lucunya panggilan itu. Mengapa ayah
menyebut nyonya kepada ibuku?"
Tiang Houw menjadi gugup, demikianpun Cui Hwa.
Akan tetapi Tiang Houw dapat mengatasi keadaan
yang lucu dan ganjil ini, maka katanya sambil
tersenyum: "Betul juga, sampai demikian lama, aku belum
mendapat tahu namamu, bolehkah kami
mengetahuinya?" "Aku adalah Nyonya Kwee?""
"Ibu, mengapa masih memakai nama itu" Ibu tentu
mempunyai nama sendiri, bukan?" tanya Teng San
sebelum ayahnya dapat mencegahnya.
Namun Cui Hwa tidak menjadi marah karena ia
maklum bahwa anak itu belum tahu apa-apa dan
tidak bermaksud menyinggung hatinya.
"Teng San, dahulu aku bernama Yo Cui Hwa."
"Nama yang bagus! Ibu, bagus sekali namamu. Yo Cui
Hwa, ah, benar-benar indah. Bukan begitu, ayah?"
Tiang Houw hanya mengangguk-angguk. "Memang
bagus, nah se?karang dengarlah usulku, adik Cui
Hwa. Tentang puterimu yang masih belum diketahui
tempat tinggalnya dan nasibnya itu, biarlah
kauserahkan kepadaku untuk mencarinya. Kalau
memang dia masih ada, tentu aku akan dapat
membawanya kesini dan biar dia tinggal bersama kita
disini. Bukankah hal itu akan baik sekali?"
"Bagus, aku akan mendapatkan seorang adik! Aku
senang sekali!" Teng San berteriak-teriak.
Tentu saja Cui Hwa setuju. Memang baginya sendiri,
amat berat untuk mencari In Hong. Dia seorang
wanita lemah, bagaimana ia dapat mencari In Hong"
Kalau Tiang Houw mau mencari, itulah hal yang paling
baik. "Terima kasih, saudara Ong. Kau lagi-lagi
memperlihatkan budimu yang amat baik. Ketika
terjadi penyerbuan, anakku itu dibawa pergi oleh Can
Mama, inang pengasuhnya. Kalau aku tidak salah kira,
tentu oleh Can Mama, anakku itu dibawa lari ke See-
ciu, dimana tinggal seorang pamanku yang bernama
Yo Tang. Harap kau suka mencarinya disana."
"Baik, adik Cui Hwa. Hari ini juga aku akan berangkat.
Harap kau baik-baik tinggal di rumah bersama anak
kita." Merah pipi Cui Hwa mendengar ini, akan tetapi ia
tidak marah dan hanya mengelus-elus kepala Teng
San. Ia harus akui bahwa Tiang Houw benar-benar
merupakan seorang laki-laki yang tidak saja tampan
dan gagah, akan tetapi juga bersikap halus dan
berbudi mulia dan sopan. Suaminya telah meninggal
dunia, dan agaknya di dalam dunia ini tidak mungkin
ia mendapatkan seorang calon suami seperti Ong
Tiang Houw. Demikianlah, Tiang Houw pada hari itu juga
meninggalkan rumahnya dan mulai dengan
perjalanannya mencari puteri dari keluarga Kwee
yang dibasminya bersama anak buahnya! Sesuai
dengan keterangan Cui Hwa, ia mencari ke See-ciu
dan benar saja, di kota ini ia mendengar tentang
adanya seorang hartawan bernama Yo Tang. Ia mulai
menyelidiki karena untuk langsung mendatangi
hartawan ini, ia merasa tidak enak.
Dari keterangan yang ia kumpulkan, ia mendengar
bahwa memang betul rumah hartawan Yo itu
kedatangan seorang nenek tua bernama Can Mama
dan orang-orang mengabarkan pula bahwa Can
Mama adalah pelayan dari seorang keponakan Yo-
wangwe di dusun Tiang-on yang sudah dibasmi oleh
para penyerbu, yakni pasukan Kay-sin-tin. Akan tetapi
ketika ditanya tentang seorang nona kecil bernama In
Hong, tak se?orang pun mengetahuinya.
Oleh karena itu, Tiang Houw lalu mengambil jalan
pendek. Pada malam harinya, ia mendatangi rumah
gedung hartawan Yo dan di luar tahunya siapapun
juga, ia menangkap dan membawa pergi Can Mama!
Setelah mendapat keterangan dari Can Mama bahwa
nona In Hong dibawa pergi oleh se?orang nenek
seperti siluman, Tiang Houw menjadi bingung. Ia
dapat menduga bahwa yang membawa pergi In
Hong tentulah seorang kangouw yang berkepandaian
tinggi, yang suka melihat nona kecil itu dan hendak
mengambilnya menjadi murid. Maka tiada lain jalan
baginya kecuali membawa Can Mama pulang ke
dusunnya sendiri. Pertemuan antara Cui Hwa dan Can Mama amat
mengharukan. Setelah bertangis-tangisan mereka
saling menuturkan pengalamannya dan Cui Hwa
menangis sedih ketika mendengar bahwa In Hong
dibawa pergi oleh seorang nenek seperti siluman. Ia
mengira bahwa nenek itu tentu sebangsa siluman
yang akan mengganggu puterinya. Akan tetapi Tiang
Houw menghiburnya. "Nenek itu tentu seorang kangouw yang
berkepandaian tinggi. Aku berani memastikan bahwa
anakmu itu akan selamat, adik Cui Hwa. Jangan kau
khawatir, aku akan bertanya-tanya kepada kawan-
kawan di dunia kangouw kalau-kalau ada yang
melihat anakmu. Kalau yang membawanya itu
seorang kangouw, percayalah kepadaku, kalau aku
yang minta tentu ia akan memberikan In Hong
kepadaku." Akhirnya, berkat hiburan Tiang Houw, Teng San, dan
dibantu pula oleh Can Mama, akhirnya hati Cui Hwa
terhibur juga. Terutama sekali, dengan adanya Can
Mama disitu, ia merasa lebih suka tinggal disitu.
Akhirnya iapun tidak me-nolak menjadi isteri Tiang
Houw yang diketahui benar-benar memang amat baik
budinya. Can Mama juga membantu Tiang Houw
dengan bujukan-bujukannya, karena orang tua ini
juga tidak melihat jalan lain yang lebih baik bagi
nyonya majikannya. Memang betul mereka dapat pergi ke See-ciu, akan
tetapi apa akan kata orang kalau mengetahui bahwa
nyonya janda muda itu sudah lama tinggal di rumah
seorang duda yang hidup berdua dengan puteranya"
Kalau pamannya, yakni Yo-wangwe mendengar pula,
tentu akan marah sekali dan mungkin akan
mengusirnya, karena akan menganggap bahwa Cui
Hwa hanya akan mencemarkan nama baik keluarga
Yo! Memang pada waktu itu, peraturan di Tiongkok
bagi pihak wanita amat keras dan bengis.
Semenjak menikah dengan Cui Hwa, Tiang Houw
tidak lagi mau memimpin orang-orang untuk
menyerbu dusun dan kota. Tidak lagi ia menaruh hati
dendam kepada hartawan-hartawan dan bangsawan-
bangsawan. Ini adalah jasa dari Cui Hwa. Didalam percakapan
mereka, ketika Tiang Houw menyatakan
pembelaannya terhadap para jembel yang menyerbu
kota dan dusun, yang membalas dendam kepada
orang-orang hartawan dan pembesar yang dianggap
orang-orang yang mencekik kehidupan mereka, Cui
Hwa menjawab penuh semangat:
http://cerita-silat.mywapblog.com
22Pendekar-pendekar Bernasib Sial - Sian li eng tju
http://cerita-silat.mywapblog.com
. Pengakuan Sang Suami Pengecut.
"Alangkah picik dan rendahnya pendirian macam itu!
Memang tak dapat disangkal kebenarannya bahwa
ada orang-orang hartawan dan bangsawan yang
jahat dan keji, yang tidak segan-segan memeras
keringat dan darah rakyat kecil. Akan tetapi harus
diingat pula bahwa ada juga orang miskin yang pada
dasarnya berwatak rendah dan jahat! Tak dapat
disangkal pula bahwa ada di antara bangsawan dan
hartawan yang berhati mulia, seperti juga halnya
petani miskin ada pula yang berhati baik. Bagaimana
manusia bisa disama ratakan" Bukan semua orang
hartawan mendapatkan harta bendanya dengan jalan
memeras keringat orang miskin! Apa sih jahatnya
seseorang yang rezekinya kebetulan banyak dan
baik" Suamiku, memang aku tahu akan rasa sakit
hatimu karena keluargamu musnah akibat perbuatan
busuk seorang hartawan keji, akan tetapi sungguh
merupakan penasaran besar kalau kau lalu
menganggap semua hartawan jahat belaka. Coba
bayangkan, andaikata kau bekerja keras kemudian
berhasil mengumpulkan harta benda dengan halal,
kemudian datang para jembel itu yang membalas
dendam kepada para hartawan sehingga kau dan
anak isterimu menjadi korban pula, bagaimana
perasaan hatimu?" Tiang Houw diam saja, mendengarkan penuh
perhatian. "Seorang hartawan berlaku jahat lalu semua
hartawan dibasmi, benar-benar merupakan penasaran
besar! Andaikata ada seorang jembel melakukan
kejahatan, apakah semua orang jembel di dunia
inipun harus dibasmi habis" Menilai watak orang tak
dapat dipandang dari sudut kaya miskinnya,
Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melain?kan dari perbuatannya. Memang, kekayaan
bisa membikin orang menjadi jahat, akan tetapi
sebaliknya harus diingat bahwa kemiskinan pun bisa
membikin orang menjadi mata gelap dan jahat.
Semua tergantung dari si orang itu sendiri."
Diam-diam Tiang Houw memuji kebijaksanaan
isterinya dan diam-diam ia harus akui bahwa tadinya
dia terlampau menurutkan nafsu dan dendam.
Memang, pembalasan dendam yang ditujukan kepada
semua orang hartawan dan bangsawan, benar-benar
tidak adil sama sekali. Ia merasa malu kepada diri
sendiri dan tanpa diketahui oleh isterinya, ia lalu
mendatangi kawan-kawannya dan membubarkan
Kay-sin-tin, bahkan mengancam agar mereka jangan
sekali-kali melakukan penyerbuan yang membabi
buta itu! Setahun setelah mereka menikah, Cui Hwa
melahirkan seorang anak perempuan. Bukan main
girangnya keluarga itu dan terutama sekali Cui Hwa
dan Can Mama. Kedua orang wanita ini terhibur
kedukaan hati mereka karena kini ada seorang anak
perempuan yang menggantikan In Hong yang telah
lenyap tiada kabar ceritanya. Sia-sia saja Tiang Houw
mencari ke mana-mana, karena ia tidak tahu bahwa
In Hong dibawa oleh Hek Moli ke puncak Ciung-lai-
san dan semenjak itu tak pernah turun-gunung.
Cui Hwa hidup dengan aman dan tenteram dan
kelihatan?nya berbahagia. Suaminya benar-benar
seorang yang amat cinta kepadanya. Teng San lebih-
lebih lagi merupakan seorang putera yang amat
berbakti, bahkan sikap anak ini demikian baik
kepadanya sehingga Cui Hwa merasa bahwa anak itu
seperti anaknya sendiri. Adapun anak perempuan
yang menjadi adik Teng San itu bernama Ong Lian
Hong, makin besar makin nampak kecantikannya,
serupa benar dengan ibunya sehingga tentu saja
serupa pula dengan In Hong!
Teng San amat sayang kepada adik tirinya ini,
demikianpun Lian Hong amat kasih kepadanya.
Memang tidak ada sesuatu nampaknya yang akan
dapat mengurangi kebahagiaan Cui Hwa. Akan tetapi,
tetap saja ada sesuatu yang menusuk hati dan
merupakan ganjalan di dalam kebahagiaan Cui Hwa.
Seringkali ia minta kepada suaminya, yang
diketahuinya seorang pendekar perkasa, untuk
mencari tahu dan menyelidiki siapakah sebenarnya
pembunuh dari Kwee Seng! Tiada apapun jua di dalam dunia ini yang kekal.
Segala sesuatu berubah pada saatnya, dan tidak ada
kekuasaan di dunia yang dapat mencegah terjadinya
perubahan ini. Anak-anak berubah menjadi dewasa,
orang dewasa menjadi tua, yang tua meninggal
dunia, dilain pihak manusia-manusia baru terlahir dan
muncul di dunia menggantikan mereka yang pergi ke
tempat asal. Tepatlah kata-kata orang bijaksana
dijaman dahulu bahwa Langit dan Bumi serta segala
isinya berasal dari ADA, sedangkan ADA berasal dari
TIADA! Bukankah segala sesuatu yang kita lihat di depan
mata kita ini tadinya memang TIDAK ADA" Dan
bukankah semua ini kelak juga kembali menjadi
TIDAK ADA" Demikian pula dengan kebahagiaan hidup manusia.
Dimana ada kebahagiaan kekal di dunia ini" Kalau
orang mengira bahwa ia mengenal kebahagiaan, itu
berarti bahwa iapun akan mengenal kesengsaraan!
Kalau orang bisa bersenang, pasti ia bisa berduka.
Inilah hukum IM-YANG dari pada alam yang meliputi
kehidupan seluruh alam, hukum yang tak dapat
di?sangkal pula kebenarannya. Kalau ada siang pasti
ada malam, kalau ada kanan pasti ada kiri, ada
senang pasti ada susah dan ada bahagia pasti ada
sengsara. Sebaliknya, tanpa siang takkan ada malam,
tanpa kanan takkan ada kiri dan sebagainya. Kalau
kita tidak mengenal senang, bagaimana dapat
mengenal susah" Manusia selalu menjadi hamba
daripada perasaannya sendiri dan karena inilah maka
ia terombang ambing dalam permainan perasaan
yang seluruhnya dikuasai oleh tenaga IM-YANG.
Karena kelemahan manusia inilah maka Guru besar
Khong Hu Cu mengajar manusia tentang Tiong-yong,
tentang menguasai hati dan perasaan sendiri agar
selalu "tiong" atau lurus tegak, tidak condong ke
kanan atau ke kiri, tidak con-dong kepada IM maupun
kepada YANG. Tidak terseret oleh suka maupun duka,
sehingga orang akan menerima segala apa dengan
tenang. Penghidupan keluarga Ong Tiang Houw memang
tadinya nampak seakan-akan mereka itu selalu
berbahagia dan tidak pernah mengenal duka. Ong
Tiang Houw dan isterinya yang baru, yakni Yo Cui
Hwa, saling menyinta dan hidup rukun sekali. Putera
dan puteri mereka, Ong Teng San dan Ong Lian Hong,
juga amat penurut serta berbakti kepada orang tua.
Teng San merupakan seorang pemuda yang benar-
benar patut disayang. Biarpun Cui Hwa adalah ibu
tirinya, akan tetapi ia ibu tirinya seperti ibu sendiri.
Juga ia sayang kepada adik tirinya, Lian Hong. Boleh
dibilang dialah yang mengasuh adiknya ini selalu,
sungguhpun sudah ada pelayan atau inang pengasuh.
Disamping kebaikan-kebaikan ini, Teng San juga
merupakan seorang pemuda yang amat gagah,
tubuhnya tinggi besar dan tegap, mukanya
kemerahan dan alisnya tebal. Ilmu silatnya lihay
karena semenjak kecil ia digembleng oleh ayahnya.
Juga Lian Hong setelah berusia enam tahun, mulai
menerima latihan dari kakaknya.
Adapun Lian Hong, serupa benar mukanya dengan
ibunya, cantik manis dan lucu. Anak ini amat disayang
oleh ayah bunda serta kakaknya, maka ia menjadi
manja sekali. Apa saja yang dimintanya, pasti
dipenuhi oleh ayah bundanya.
Memang, dipandang begitu saja orang akan mengira
bahwa kehidupan keluarga ini sudah amat
berbahagia, tiada kekurangan dan tiada sesuatu yang
dapat menyusahkan hati mereka.
Akan tetapi, pada hakekatnya tidaklah demikian. Cui
Hwa memang sudah dapat merasa puas menjadi
isteri Tiang Houw, namun nyonya ini selalu merasa
penasaran dan sakit hati atas kematian suaminya
yang pertama, yakni Kwee Seng. Tiap kali ia teringat
akan suaminya yang terbunuh secara menyedihkan
dan teringat kepada putrinya, In Hong yang belum
juga diketahui bagaimana nasibnya, ia lalu mendesak
kepada suaminya untuk menyelidiki.
Tiang Houw sudah bertahun-tahun berperang di dalam
dadanya sendiri. Dia adalah seorang gagah yang
menjunjung tinggi kegagahan, menjunjung tinggi
kejujuran dan karenanya ia merasa amat sengsara
bahwa selama ini ia membohongi isterinya yang
dicintainya. Sebagaimana diketahui, yang mem-bunuh
Kwee Seng suami pertama dari Cui Hwa adalah Ong
Tiang Houw sendiri, akan tetapi sudah sepuluh tahun
mereka menjadi suami isteri, Tiang Houw masih
belum berani mengakui perbuatannya.
Pada suatu senja, keluarga itu duduk bercakap-cakap
di ruang depan setelah makan sore yang selalu
dilakukan berbareng. Tidak seperti biasanya, Cui Hwa
nampak termenung dan berduka, agaknya ada
sesuatu yang mengganjal di dalam dadanya.
Suaminya maklum bahwa lagi-lagi isterinya ini
memikirkan tentang sakit hati yang belum juga
terbalas, dan sudah dalam beberapa hari ini, seringkali
mereka berbantahan kalau membicarakan hal itu di
dalam kamar mereka. Tiang Houw juga mulai mendongkol, karena ia mulai
dihinggapi racun cemburu dan iri hati. Dianggapnya
bahwa isterinya itu, setelah menjadi isterinya selama
sepuluh tahun, tetap masih menyinta suami pertama.
"Apa kau merasa tidak bahagia menjadi isteriku?"
demikian Tiang Houw bertanya pada beberapa hari
yang lalu di dalam kamarnya. "Mengapa kau selalu
masih ingat kepada suamimu yang dulu" Ingat, Cui
Hwa, kau sudah menjadi isteriku selama sepuluh
tahun dan kita sudah mempunyai Lian Hong maka
seharusnya kau merasa puas dan melupakan hal
yang sudah-sudah." "Sudah kucoba, namun sia-sia. Hampir setiap malam
aku bermimpi melihat Kwee Seng yang membujukku
agar supaya aku berusaha mencari pembunuhnya.
Suamiku, kau adalah seorang gagah perkasa yang
berkepandaian tinggi, di dunia kangouw namamu
amat terkenal. Masa kau tidak bisa mencari
pembunuh keji itu?" Demikianlah percakapan itu, percakapan yang
membuat Tiang Houw menjadi tak senang, cemburu
dan iri hati, dan yang membuat Cui Hwa selalu
murung. Mulailah timbul suasana yang tegang di
antara mereka. Cui Hwa menganggap bahwa suaminya itu sengaja
tidak mencari sungguh-sungguh untuk membalaskan
sakit hati mendiang Kwee Seng, adapun Tiang Houw
menganggap bahwa isterinya tidak menyintanya dan
masih menyinta kepada suami pertama yang sudah
meninggal dunia. Ong Teng San pada waktu itu sudah dewasa, sudah
berusia enambelas tahun, maka ia dapat merasakan
suasana yang tidak menyenangkan ini. Akan tetapi
tentu saja ia tidak berani bertanya, hanya menghibur
suasana itu dengan mengajak Lian Hong bermain-
main. Kedua orang tua itu hanya memandang saja dan
mereka tiada nafsu untuk bercakap-cakap. Keadaan
benar-benar tidak menyenangkan.
Teng San merasa sekali akan adanya hal yang tidak
menyenangkan ini, maka ia lalu mengajak Lian Hong
masuk. "Adik Hong, kau tidurlah, besok bangun pagi-pagi dan
kita berlatih silat. Kau masih kaku dalam mainkan
jurus keenam, kakimu masih belum benar
gerakannya," kata Teng San.
Lian Hong cemberut. "Kau selalu mencela saja, San-ko.
Ayah, kau lihatlah, masa gerakan begini masih terus
disebut kurang sempurna oleh San-ko?"
Gadis cilik ini lalu bersilat di depan ayahnya,
melakukan jurus keenam yang dimaksudkan oleh
Teng San. Gerakannya lincah dan cepat dan ayahnya
memandang dengan wajah gembira. Setelah Lian
Hong berhenti bersilat, ayahnya berkata:
"Lian Hong, kau harus selalu menurut dan taat akan
petunjuk kakakmu, kulihat memang gerakan kakimu
kurang sempurna. Sekarang tidurlah, besok boleh
dilatih lagi dan aku sendiri akan memberi petunjuk
padamu." Lian Hong cemberut. Sebagai seorang anak manja,
tentu saja ia tidak senang mendengar ayahnya juga
mencela kepandaiannya. Maka ia menengok kepada
ibunya. "Ibu! bukankah gerakanku tadi sudah baik sekali?"
Semenjak kecil, kalau Lian Hong bertanya sesuatu
kepada ibunya, selalu ibunya memujinya, apalagi
dalam ilmu silat memang Cui Hwa tidak tahu apa-
apa. Untuk menyenangkan hati puterinya, dan untuk
menambah semangatnya, ia selalu memuji begitu
saja. Akan tetapi kali ini, jawabannya tidak saja
mengejutkan Lian Hong, juga amat mengejutkan hati
Teng San. "Apa sih baiknya segala gerakan silat itu" Ilmu yang
kasar tiada gunanya, hanya bisa dipakai untuk main
sombong-sombongan! Lian Hong, lebih baik kau
belajar menulis dan menyulam, tidak mempelajari
ilmu silat yang tidak ada gu-nanya sama sekali itu!"
kata-kata ini terdengar keras dan ketus dan biarpun
Cui Hwa bicara kepada Lian Hong, namun ia
mengerling ke arah suaminya, penuh celaan.
Mendengar jawaban ini, Lian Hong yang amat manja
lalu menangis. Teng San maklum bahwa ada sesuatu yang tidak baik
telah terjadi antara ayah dan ibu tirinya, dan tidak
baik kalau Lian Hong yang masih kecil tahu akan hal
ini. Maka Teng San lalu menggandeng tangan adiknya
dan diajak pergi ke kamarnya.
"Ibu sedang tak senang pikirannya, jangan kita
mengganggunya," kata Teng San sambil mengusap air
mata dari pipi adik tirinya. "Kau tidurlah dan besok ibu
tentu akan bicara manis lagi kepadamu."
Setelah menghibur hati Lian Hong dan melihat
adiknya itu akhirnya tertidur, Teng San lalu berjalan
keluar. Ia telah cukup dewasa dan berhak
mengetahui apakah yang diributkan oleh kedua
orangtua itu. Ia ingin menghampiri mereka, ingin
menghibur ibu tirinya dan ingin bertanya kepada
mereka tentang kesusahan mereka agar ia dapat ikut
memikirkan dan bantu memecahkan persoalannya.
Akan tetapi ketika ia tiba di belakang pintu yang
menembus ke ruang depan, ia mendengar ayah dan
ibu tirinya bicara dengan perlahan akan tetapi
nadanya menyatakan bahwa mereka sedang marah
dan bercekcok. Hal ini belum pernah terdengar oleh
Teng San sebelumnya, maka ia menahan kakinya dan
Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendengar dengan wajah berobah.
"Cui Hwa, kau selalu menyinggung-nyinggung soal itu.
Apakah kau masih menyinta suamimu yang sudah
tewas itu dan apakah kau masih belum dapat
menghilangkan rasa penasaranmu atas
kematiannya?" terdengar Tiang Houw berkata tak
senang. "Tentu saja aku masih menyintanya! Sebelum aku
bertemu dengan kau, Kwee Seng adalah suamiku,
bagaimana aku tidak menyinta suamiku sendiri" Dia
seorang yang berbudi baik, suka menolong orang-
orang miskin, kemudian ia menjadi korban
pembunuhan secara keji, bagaimana aku tidak
penasaran" Sekarang, kau suamiku yang memiliki
kepandaian silat tinggi, yang katanya sudah menjagoi
di dunia kangouw, melihat kau berpeluk tangan saja,
sama sekali tidak mau berusaha untuk mencari
pembunuh mendiang Kwee Seng, bukankah hal ini
menambah rasa penasaranku?" Suara Cui Hwa makin
keras dan terdengar ia tergesa-gesa menahan amarah
yang meluap-luap. Mendengar kata-kata kedua orangtua itu, maklumlah
Teng San akan pokok persoalan yang mereka
ributkan. lbu tirinya menghendaki agar supaya
pembunuh suaminya yang dahulu dicari agar sakit
hati suaminya itu dapat dibalas, sedangkan ayahnya
agaknya tidak menyetujui akan hal itu. Maka untuk
menghilangkan suasana yang buruk itu, Teng San lalu
membuka pintu dan maju memeluk pundak ibu
tirinya yang kini sudah menangis terisak-isak.
"Ibu, senangkanlah hatimu, ibu. Jangan ibu khawatir,
anakmu Teng San yang akan berusaha mencari
pembunuh mendiang suamimu yang pertama.
Percayalah, anakmu Teng San yang akan menyeret
jahanam itu di depan kaki ibu?""
"Teng San?", kau gila?"!!" Tiang Houw membentak
dengan muka pucat. Teng San berpaling kepada ayahnya. "Mengapa gila,
ayah" Ibu sedang menderita dan penasaran bukankah
sudah menjadi kewajibanku untuk berbakti, untuk
mencari orang yang menyakiti hatinya?"
Tiang Houw merasa kedua kakinya gemetar, maka ia
menjatuhkan diri duduk di atas kursi sambil menghela
napas panjang berkali-kali. "Semua salahku?" semua
salahku sendiri?"" ia berbisik lemah.
"Cui Hwa, ketahuilah, orang yang membunuh Kwee
Seng suamimu itu?", dia adalah seorang yang sudah
disakitkan hatinya oleh kaum bangsawan dan
hartawan, seperti halku pula. Dalam dendamnya, dia
ikut dalam pasukan yang membasmi dua golongan
itu?"" "Jadi kau sudah tahu siapa dia?" tanya Cui Hwa
dengan mata terbuka lebar.
"Dia membunuh Kwee Seng bukan berdasarkan
kebencian perseorangan, Cui Hwa, akan tetapi dia
akan membunuh siapa saja asal ia hartawan atau
bangsawan. Ketika ia membunuh Kwee Seng, ia tidak
tahu siapa itu yang dibunuhnya, kecuali bahwa yang
dibunuhnya itu seorang hartawan."
"Kalau kau sudah tahu siapa dia, mengapa tidak
lekas-lekas menyeretnya ke sini?" Cui Hwa menuntut,
penuh dengan rasa penasaran.
Tiang Houw menarik napas panjang. "Cui Hwa, orang
itu sekarang sudah amat menyesal atas semua
perbuatannya yang sudah lalu. Apakah kau tidak bisa
mengampuni orang yang melakukan sesuatu tidak
berdasarkan kebencian terhadap suamimu itu, dan
yang sekarang sudah merasa menyesal?"
"Seret dia dulu kesini, biar aku bicara sendiri dengan
dia, baru aku akan mengambil keputusan," jawab Cui
Hwa. "Dia?" dia malu untuk bertemu denganmu, malu
untuk mengakui semua perbuatannya kepadamu?""
"Kalau begitu dia pengecut, pengecut yang harus
dibikin mampus!" Dada Cui Hwa berombak.
Tiba-tiba Tiang Houw berdiri dari kursinya. Orang
boleh memaki pendekar ini dengan sebutan apapun
juga, akan tetapi jangan sekali-kali ia disebut
pengecut. Semenjak kecilnya, Tiang Houw paling
benci kepada pengecut, maka makian pengecut
baginya lebih merendahkan daripada makian apapun
juga. "Cui Hwa, aku bukan pengecut!"
Cui Hwa menjadi pucat sekali mukanya, sedangkan
Teng San sekarang juga sudah berdiri memandang
ayahnya dengan mata terbelalak kaget. Melihat ini,
Tiang Houw mengangguk-angguk, menghela napas
dan berkata dengan tenang:
"Ya, akulah orang itu, Cui Hwa. Akulah pemimpin dari
pasukan Kay-sin-tin, akulah yang menggerakkan
penumpasan para bangsawan dan hartawan, dan aku
pulalah yang telah membunuh suamimu, Kwee Seng.
Kau boleh berbuat apa saja kepadaku, hanya jangan
memaki aku pengecut?""
Sampai beberapa detik Cui Hwa berdiri seperti
patung, hanya dadanya yang naik turun
bergelombang, mulutnya beberapa kali terbuka akan
tetapi tidak mengeluarkan suara apa-apa. Kemudian
terdengar ia menjerit nyaring dan tubuhnya limbung.
Ia roboh pingsan dan tentu akan terjatuh kalau tidak
cepat-cepat dipeluk oleh Teng San.
Melihat halnya ibu tirinya, Teng San tak dapat
menahan keluarnya dua titik air mata yang
membasahi pipinya. Sambil memondong tubuh
ibunya, Teng San berdiri dan memandang kepada
ayahnya melalui linangan air mata.
"Ayah, kau membunuh suaminya lalu?" lalu
mengambilnya sebagai isterimu?"?" suaranya sayu
dan mengandung nada benci.
Tiang Houw menjadi pucat. "Tidak?" tidak begitu,
Teng San?". dengarlah dulu keteranganku?""
Akan tetapi dengan isak tertahan, pemuda itu telah
membawa lari ibu tirinya yang dipondong, menuju ke
kamar ibu tirinya. Dengan hati-hati ia membaringkan
tubuh Cui Hwa dan mempergunakan air dingin untuk
membasahi jidat ibu tirinya.
Cui Hwa tersadar dan mengeluh, menyebut-nyebut
nama In Hong dan Kwee Seng. Ia merasa berdosa
besar, merasa malu kepada diri sendiri. Suaminya
mati terbunuh, anaknya entah bagaimana nasibnya
dan dia?" dia telah diperisteri oleh pembunuh
suaminya itu, hidup dengan penuh kesenangan
seakan ia tidak perduli akan nasib Kwee Seng dan In
Hong! Inilah yang amat menyakitkan hatinya.
"Ibu, tenanglah, ibu?" akulah yang akan menanggung
semua dosa ayah?"," kata Teng San terharu.
Cui Hwa memandang kepada pemuda itu. "Pergilah
kau...! Pergi dan jangan dekat dengan aku!" Wajah
Teng San memang serupa benar dengan Tiang Houw,
dan persamaan ini membuat Cui Hwa tiba-tiba marah
terhadap Teng San. Teng San terisak dan mundur, lalu masuk ke dalam
kamarnya sendiri. Tak lama kemudian ia mendengar
ayahnya memanggil-manggil namanya dan
mengetuk-ngetuk pintu, akan tetapi Teng San diam
saja, tidak menjawab. Di luar pintu, dengan wajah
pucat Tiang Houw memanggil-manggil nama Teng
San. Ingin ia memukul pecah daun pintu itu, ingin ia
menjelaskan semua itu kepada puteranya, akan
tetapi ia menekan perasaannya dan kemudian
berjalan pergi ke kamarnya sendiri sambil menarik
napas panjang berulang-ulang.
Dan pada keesokan harinya, suami isteri ini kembali
mengalami hal yang lebih hebat, yakni dengan
lenyapnya Teng San bersama Lian Hong! Pemuda
yang hancur hatinya itu ternyata telah lari minggat
sambil membawa adik tirinya, entah kemana.
Cui Hwa menangis menggerung-gerung ketika
melihat Lian Hong lenyap. Ia menudingkan jarinya
kepada Tiang Houw, sambil menangis ia memaki:
"Kaulah yang mengakibatkan semua ini, kau?" kau
pembunuh?" kau pengecut?"!"
Tiang Houw lari maksud mengejar Teng San dan Lian
Hong, namun sia-sia belaka karena kepandaian Teng
San sudah tinggi, ilmunya berlari cepat sudah
menyamai ayahnya dan selain telah tertinggal jauh,
juga Tiang Houw tidak tahu kemana arah tujuan
puteranya itu. Semenjak itu, kehidupan Cui Hwa dan Tiang Houw
penuh kegetiran, seakan-akan mereka hidup di dalam
neraka. Cui Hwa setiap hari termenung, kadang-
kadang menangis sedih, sama sekali tidak mau bicara
kepada Tiang Houw. Sebaliknya, Tiang Houw yang tidak dikenal lagi oleh
isterinya, merasa begitu perih hatinya, apalagi kalau ia
mengingat betapa pandangan Teng San terhadapnya
amat rendah. Ia mendapat pukulan batin yang berat
sekali kalau ia mengingat bahwa Teng San
menganggapnya berbatin amat rendah, seorang yang
membunuh suami dan merampas isteri!
Demikianlah menjadi kenyataan bahwa penghidupan
manusia selalu berobah, kebahagiaan tidak kekal
adanya dan siapa yang tidak kuat menerima rezeki
atau ujian yang jatuh kepada diri dan keluarganya, ia
akan rusak binasa. Tiang Houw juga demikian,
pendekar yang gagah perkasa ini lalu meninggalkan
rumahnya, merantau ke sana ke mari seperti seorang
berobah ingatan. Merantau kemana saja untuk
mencari tiga orang, yakni In Hong, Teng San, dan Lian
Hong! Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan dari
cerita ini, di dalam perantauannya itu Tiang Houw
bertemu dengan Wi Tek Tosu tokoh Go-bi-pay dan dia
berhasil mencegah tosu yang sakit hati terhadap Hek
Moli ini merusak jenazah Hek Moli. Bahkan pendekar
ini lalu mengurus dan mengubur jenazah Hek Moli
baik-baik. Hal ini terjadi tiga tahun semenjak Teng
San dan Lian Hong pergi meninggalkan rumah.
"Y" Kwee In Hong yang diusir oleh gurunya untuk turun-
gunung dan mencari orang tuanya, tentu saja tidak
tahu akan malapetaka yang menimpa diri gurunya.
Gadis ini turun gunung dengan cepat, menuju ke kota
See-ciu sebagaimana pesan gurunya.
Kalau orang melihat gadis itu berjalan, dia pasti
takkan mengira bahwa gadis ini adalah murid tunggal
dari Hek Moli dan telah memiliki ilmu kepandaian
yang setingkat dengan gurunya sendiri! Bahkan
mungkin sekali In Hong lebih tangguh daripada Hek
Moli, karena selain ia lebih muda dan kuat, juga ia
mempunyai gerakan yang lebih ringan. Tentu saja ia
masih kalah jauh dalam pengalaman.
Siapa yang akan mengira bahwa gadis yang cantik
manis, yang berkulit putih halus, dan yang
mempunyai lenggang demikian halus gemulai, yang
gerak geriknya lemah lembut, adalah seorang ahli
silat tniggi" In Hong adalah anak dari ayah bunda
yang terpelajar dan yang mempunyai watak halus,
maka sifat ini menurun kepadanya. Akan tetapi,
selama belasan tahun dibawah asuhan Hek Moli,
kekerasan hati Iblis Wanita Hitam ini juga menurun
kepadanya. Di balik gerak geriknya yang lemah
lembut, tersembunyi hati yang keras seperti baja dan
keberanian yang hebat. Bahkan, sifat-sifat Hek Moli
yang ganas menurun pula kepadanya.
Seperti juga gurunya, In Hong melakukan perjalanan
dengan membawa sebatang tongkat hitam, akan
tetapi tongkatnya ini kecil saja, sebesar ibu jari kaki,
panjangnya sama dengan pedangnya yang diikat di
belakang punggung. Di dalam sebuah kantong yang
tergantung di ikat pinggangnya, tersembunyi senjata
rahasia yang mengerikan orang-orang kangouw,
yakni pasir hitam yang kalau dipergunakan disebut
toat-beng-hek-kong (sinar hitam pencabut nyawa)!
Pedang Liong-gan-kiam pemberi gurunya hanya
kelihatan ronce-ronce merahnya saja yang melambai-
lambai tertiup angin di atas pundaknya.
Setelah turun dari puncak Ciung-lai-san dan
menyaksikan pemandangan yang indah, lenyaplah
kesedihan In Hong karena harus berpisah dari
gurunya. Ia berhenti dan dari atas lereng bukit ia
memandang ke bawah. Dunia seakan-akan sehelai lukisan indah yang dibuka
dihadapan kakinya. Nampak dusun-dusun dengan
genteng rumah yang kemerahan, nampak sungai-
sungai yang airnya kelihatan membiru dan berlika
liku. Sawah-sawah menghijau amat indahnya. Semua
ini seakan-akan melambai-lambai kepada In Hong,
menyuruh gadis itu segera turun menemui semua itu.
In Hong menjadi gembira dan ia lalu berlari turun dari
lereng dengan kecepatan seperti burung terbang.
Kedua kakinya ringan sekali dan orang akan
menyangkanya semacam peri penjaga gunung kalau
melihat dia melayang-layang seperti itu. Tentu saja
gadis ini bukannya melayang, melainkan berlari cepat,
akan tetapi gerakannya demikian ringan dan cepat
sehingga ia kellhatan seperti tidak menginjak bumi.
Ia mengeluarkan ilmu lari cepat yang disebut Teng-in-
hui (Terbang menginjak awan)! Akan tetapi bagi mata
seorang ahli silat tinggi, tentu akan dapat melihat
Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gerakan seorang wanita cantik jelita yang berlari
cepat dengan gerakan indah gemulai, sehingga ia
tentu akan mengira bahwa yang berlari turun gunung
itu adalah seorang bidadari atau utusan dari Koan Im
Pouwsat! Akan tetapi, gunung Ciung-lai-san amat sunyi dan
tidak ada orang yang melihat gadis ini berlari. Setelah
turun gunung dan lalu masuk dusun-dusun kecil,
barulah In Hong berjalan biasa agar jangan menarik
perhatian orang lain. Namun tetap saja hampir semua
orang, apalagi laki-laki, menoleh dan memandang
kepadanya. Bukan hanya karena pakaiannya yang
indah dan berbeda dengan wanita-wanita dusun,
akan tetapi juga jarang sekali orang melihat seorang
gadis muda yang demikian cantik jelita, apalagi yang
melakukan perjalanan seorang diri.
http://cerita-silat.mywapblog.com
22Pencaharian Ayah Ibu Kandung
Sian Li Eng Tju (Tamat) Pencaharian Ayah Ibu Kandung
Pencaharian Ayah Ibu Kandung.
Hanya karena orang melihat ronce-ronce gagang
pedang Liong-gan-kiam maka orang tidak berani
bersikap sembarangan terhadapnya. Mereka dapat
menduga bahwa seorang gadis muda yang berani
melakukan perjalanan seorang diri, apa-lagi yang
membawa-bawa pedang, tentulah seorang ahli silat
yang sudah tinggi kepandaiannya.
Dengan kepandaiannya yang tinggi, sikapnya yang
halus dan uang bekal yang banyak dari gurunya, In
Hong dapat melakukan perjalanan tanpa banyak
rintangan. Bahkan ia telah membeli seekor kuda dari
seorang pedagang kuda, dan melanjutkan
perjalanannya ke See-ciu dengan berkuda. Memang
harus diakui bahwa In Hong tidak biasa naik kuda,
namun dengan kepandaian silatnya yang sudah tinggi,
sebentar saja dapat menyesuaikan diri dan dapat
duduk di atas punggung kuda dengan enak dan
tegak. Beberapa bulan kemudian, setelah melakukan
perjalanan yang amat jauh, sampailah ia di kota See-
ciu. Hatinya berdebar penuh ketegangan dan
pertanyaan. Apakah ia akan dapat bertemu kembali
dengan ayah bundanya di kota ini" Ia hanya masih
ingat wajah ibunya, seorang wanita yang cantik
sekali, akan tetapi wajah ayahnya ia sudah lupa lagi.
Yang masih teringat betul olehnya malah wajah inang
pengasuhnya yakni Can Mama dan In Hong suka
tertawa seorang diri kalau ia ingat kepada inang
pengasuh ini. Masih terbayang olehnya betapa Can
Ma suka mendongeng sambil memangkunya, dan
boleh dibilang ia lebih dekat dengan Can Ma daripada
de-ngan ayahnya. Mudah saja baginya untuk mendapatkan rumah Yo-
wangwe. Semua orang di kota See-ciu mengenal
nama Yo Tang atau Yo-wangwe yang tinggal di
sebuah gedung besar dan indah, berdagang hasil bumi
dan bahan obat-obatan. Karena perdagangannya ini
maka di bagian depan dari rumah gedungnya
terdapat gudang-gudang dengan pekarangan amat
lebar. Banyak orang sibuk bekerja di depan gudang-
gudang itu, mengeluar masukkan barang dan
keadaan disitu berdebu dan kotor.
Semua pekerja tiba-tiba menghentikan pekerjaan
mereka ketika mereka melihat seorang gadis cantik
berpakaian biru memasuki pekarangan itu dan
mereka memandang dengan kagum, juga agak
terheran-heran. Memang merupakan penglihatan yang
jarang sekali adanya seorang gadis cantik jelita
muncul di tempat itu seorang diri.
Ketika baru bertemu dengan orang-orang yang
memandangnya seperti itu, mula-mula memang In
Hong merasa jengah dan malu-malu, juga agak
marah. Akan tetapi sekarang ia sudah merasa biasa,
bahkan bibirnya tersenyum mengejek kalau ia
melihat mata laki-laki seakan-akan hendak
menelannya. Kini ia menghampiri mereka yang bekerja itu, lalu
bertanya: "Sahabat-sahabat, apakah disini tempat
tinggal Yo Tang?" Seorang di antara para pekerja itu, yakni mandornya,
cepat melangkah maju dan menjawab: "Betul
dugaanmu, nona. Kau siapakah dan darimana?"
Semua orang memperhatikan In Hong dan ingin sekali
mendengar siapa adanya gadis ini, namun In Hong
mengecewakan mereka dengan jawaban
sembarangan: "Kalau betul di sini rumah Yo-wangwe,
tolong beritahukan bahwa aku datang membawa
keperluan amat penting."
"Akan tetapi, kau siapakah, nona" Dan dari mana"
Bagaimana kalau dia tanya tentang hal ini kepadaku?"
"Minta saja dia keluar, aku mau bicara sendiri dengan
dia," jawab In Hong singkat. Ia memang merasa
segan untuk memperkenalkan diri kepada orang-
orang yang memandangnya seperti itu.
"Akan tetapi, nona, aku harus ketahui siapa kau?""
kata mandor itu dan kini ia memandang dengan
curiga ke arah gagang pedang yang tersembul dari
balik punggung gadis itu.
"Dia adalah paman dari ibuku, cukupkah ini?" kata In
Hong yang merasa gemas juga melihat desakan
orang itu. Mendengar ini, mandor itu tidak berani mendesak lagi.
Kalau nona ini masih terhitung sanak dari Yo-wangwe,
ia tidak boleh keterlaluan. Berobahlah sikapnya dan ia
membungkuk sambil berkata:
"Ah, mengapa tidak dari tadi kau memberitahu bahwa
kau masih cucu dari Yo-loya" Mari, silakan ikut dengan
aku, nona. Yo-loya tinggalnya di rumah gedung
sebelah belakang. Di depan ini hanya gudang-gudang
tempat orang bekerja."
Dengan diikuti oleh pandang mata semua orang yang
bekerja disitu, In Hong berjalan bersama mandor itu,
melewati samping gudang menuju ke sebuah rumah
besar yang berdiri di belakang gudang-gudang itu.
Para pekerja itu sibuk kembali, akan tetapi kini mulut
mereka tiada hentinya bicara memuji kecantikan
gadis yang baru tiba itu.
"Cantik jelita benar-benar gadis tadi," kata seorang.
"Dan pedang itu, ia kelihatan gagah. Apakah benar-
benar ia pandai main pedang?" kata orang kedua.
"Ah, gadis sehalus dan secantik itu mana bisa main
pedang" Senjata hanya untuk hiasan belaka, atau
paling-paling untuk menakut-nakuti penjahat agar
tidak berani mengganggunya," kata orang ketiga yang
terkenal pandai silat di antara para pekerja itu.
In Hong memiliki pendengaran yang amat tajam
terlatih. Kalau mandor yang mengantarkannya tidak
dapat menangkap kata-kata itu, adalah gadis ini
mendengar dengan jelas sekali. Namun ia tidak ambil
perduli, hanya tersenyum kecil sambil memperhatikan
rumah gedung yang ia hadapi. Rumah ini benar-benar
besar dan mewah, pintu-pintunya dicat kuning dan
temboknya tebal, dikapur putih bersih.
"Kau duduklah dulu, nona, biar aku yang melaporkan
ke dalam," kata mandor itu.
In Hong mengangguk dan mengambil tempat duduk
di atas sebuah bangku yang banyak terdapat di ruang
depan itu. Mandor itu lalu menghampiri pintu dan
hendak masuk, akan tetapi tiba-tiba dari dalam
keluarlah seorang pemuda yang ganteng dan
berpakaian sebagai jago silat. Gayanya memang
gagah dan sikapnya menunjukkan bahwa ia memiliki
tenaga besar. "Ah, kebetulan sekali kau keluar, kongcu. Aku hendak
menghadap lo-ya?""
"Kwa-lopek, ada apakah dan?"?" Pemuda itu
menoleh ke arah In Hong dan matanya terbuka lebar,
mulutnya ternganga. "Siapa?" eh?"" Ia gagap dan
mukanya menjadi merah, malu karena kebingungan
dan kegugupannya sendiri.
In Hong sudah berdiri dan menjura. Adapun mandor
itu laiu memperkenalkan: "Kongcu, nona ini adalah
seorang tamu yang ingin berjumpa dengan Yo-loya.
Katanya dia adalah masih sanak keluarga. Eh, nona,
ini adalah Yo-kongcu, cucu dari Yo-loya."
In Hong memberi hormat, lalu berkata: "Harap
maafkan kalau aku mengganggu. Kedatanganku ini
hanya untuk menanyakan sesuatu kepada Yo-
wangwe, tentang ayah bundaku."
Pemuda itu melangkah maju. "Kau siapakah, nona"
Kalau masih keluarga kong-kong (kakek), mengapa
aku tidak kenal padamu?"
In Hong tersenyum dan jantung pemuda itu
melompat-lompat di dalam rongga dadanya. "Memang
kita belum pernah saling bertemu. Ketahuilah bahwa
ibuku adalah keponakan kong-kongmu itu, dan ibuku
bernama Yo Cui Hwa Mendengar disebutnya nama ini, wajah pemuda itu
berseri dan ia berkata kepada mandor tadi: "Kwa-
lopek, dia adalah saudara sendiri dengan aku, kau
kembalilah ke tempat kerjamu."
Mandor itu membungkuk lalu pergi keluar.
"Kau?" benar-benarkah kau puteri dari bibi Cui Hwa
dan kaukah anak yang dulu hilang bersama Can
Mama itu?" tanya pemuda ini, masih ragu-ragu dan
memandang kepada wajah yang jelita itu.
In Hong menjadi terharu. Kalau pemuda ini mengenal
Can Mama dan tahu akan semua nasib yang diwaktu
kecil ia alami, ia tidak ragu-ragu lagi bahwa ia datang
di tempat yang betul. "Benar," katanya girang, "namaku adalah In Hong,
Kwee In Hong. Dimana ayah bundaku" Apakah
mereka berada disini?"
"Marilah ikut aku masuk ke dalam, moy-moy. Kau
adalah adik misanku sendiri. Namaku Yo Kang, aku
sudah banyak mendengar dari ayah tentang ibu dan
ayahmu dan kau juga. Aku lebih tua dua tahun
darimu dan aku mendengar kau dibawa pergi oleh
seorang Iblis Wanita bernama Hek Moli?"" Ia melihat
ke arah gagang pedang yang tersembul dari balik
punggung gadis itu. "Ah, siauw-moy, alangkah akan
terkejut dan girangnya hati kong-kong dan ayah
ibuku melihat kau datang dalam keadaan selamat,"
Yo Kang, pemuda itu, bicara dengan cepat sekali
sehingga In Hong menjadi bingung
mendengarkannya. "Dimana ayah bundaku?" tanyanya dan hatinya
berdebar gelisah. "Marilah kita masuk dulu, banyak yang harus kau
dengar." Masuklah mereka ke dalam gedung yang ternyata
indah dan penuh dengan perabot rumah yang mahal
dan bagus. Mula-mula yang menyambut In Hong adalah Yo Hang
Tek, ayah Yo Kang, seorang laki-laki berusia
empatpuluh lebih yang sudah putih semua rambutnya
dan nampak tua, tubuhnya tinggi besar seperti Yo
Kang, namun sikapnya lemah lembut. Yo Hang Tek
keluar menyambut bersama isterinya, ibu Yo Kang,
yang kurus sekali tubuhnya, akan tetapi wajahnya
masih kelihatan cantik. Yo Hang Tek memandang
kepada In Hong dengan mata terbelalak, kemudian ia
memegang pundak gadis itu dan dua matanya basah.
"In Hong, kau?" kau seperti ibumu benar! Aduh, nak,
sudah belasan tahun kami putus asa dan mengira
bahwa kau sudah tewas."
Melihat sikap pamannya ini dan mendengar kata-
katanya, tak terasa pula sepasang mata In Hong yang
bening itu berlinang. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut
di depan pamannya. "Yo-pekhu, anak In Hong mohon penjelasan mengenai
nasib ayah dan ibu."
"Nanti dulu, In Hong, marilah kau menghadap kepada
kakekmu, dan disana nanti kita bercakap-cakap," kata
Yo Hang Tek dan mereka lalu masuk ke dalam ruang
belakang dimana kakek Yo Tang sudah menanti di
atas korsinya yang besar dan empuk. Kakek ini sudah
tua, duduk dengan enaknya sambil mengisap pipa
tembakau yang panjang. Seluruh ruangan itu berbau
asap tembakau. In Hong lalu melangkah maju dan berlutut
menghaturkan hormat, sedangkan kakek itu
mengangguk-angguk sambil meniup asap dari
mulutnya. "Hm, kau benar-benar serupa dengan Cui Hwa.
Duduklah dan ceritakan semua pengalamanmu. Siapa
namamu" Aku sudah lupa lagi."
"Namaku Kwee In Hong?"," kata In Hong lirih.
"Siapa?" kakek itu majukan kepalanya dan miringkan
muka untuk mendengarkan lebih jelas.
"In Hong, bicaralah agak keras, kong-kong sudah
kurang pendengarannya," kata Yo Kang kepada In
Hong. Terpaksa In Hong bicara dengan keras, akan tetapi
gadis ini hanya mengerahkan khikangnya dan
sungguhpun suaranya bagi orang lain biasa saja,
namun karena ditujukan kepada kakek itu, Yo Tang
dapat mendengar dengan baik. Melihat In Hong bicara
masih biasa saja, Yo Hang Tek dan semua orang takut
kalau-kalau kakek itu tidak mendengar, akan tetapi
Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aneh, kakek itu ternyata mengangguk-angguk
senang. "Hm, bagus sekali, aku sekarang ingat, namamu In
Hong. Nah, kau ceritakanlah semua pengalamanmu,
In Hong." Hati In Hong kecewa sekali. Ia tidak melihat ayah
ibunya disitu, bahkan tidak melihat Can Mama,
padahal ia ingat betul bahwa dulu ketika ia dibawa
pergi oleh Hek Moli, Can Mama hendak pergi ke See-
ciu dan mereka dahulu sudah berada di luar kota.
Apakah Can Mama sudah mati" Akan tetapi, ia
merasa tidak pantas kalau ia tidak menurut kehendak
kakek itu, maka dengan ringkas ia bercerita bahwa ia
memang dibawa oleh Hek Moli yang suka kepadanya
dan mengambilnya sebagai murid selama empatbelas
tahun. Ia tidak menuturkan panjang lebar tentang
ilmu-ilmu silat yang ia pelajari, hanya menyatakan
bahwa nenek itu amat baik kepadanya.
"Aah, disukai oleh seorang iblis wanita seganas Hek
Moli, benar-benar bukan hal yang baik. Biarpun aku
belum pernah bertemu dengan dia, namun namanya
yang busuk sudah sampai di mana-mana dan
siapakah yang tidak takut mendengar namanya?"
kata kakek itu. In Hong tidak senang sekali mendengar ini dan tanpa
disengaja ia memandang ke arah kakeknya dengan
mata bersinar. Yo Kang yang sejak tadi memandang kepada gadis
itu dengan penuh perhatian, dapat menangkap
pandang mata yang penuh kedongkolan ini, maka ia
bicara, tidak cukup keras sehingga kakeknya tidak
mendengarnya: "Hek Moli adalah seorang tokoh
kangouw yang namanya amat disegani dan
sepanjang pendengaranku, biarpun lihay sekali
ilmunya, namun ia tidak pernah melakukan
kejahatan." Mendengar ini, In Hong melirik ke arah Yo Kang
dengan pandangan mata terima kasih, akan tetapi
diam-diam gadis ini juga heran. Bagaimana kakak
misan ini tahu tentang dunia kangouw" Ia tidak mau
pusingkan hal itu, dan dengan tergesa-gesa ia lalu
bertanya kepada Yo Hang Tek: "Pek-hu, dimana
adanya ayah ibuku, dan mana pula Can Mama"
Apakah mereka tidak berada disini?"
Yo Hang Tek menarik napas panjang, lalu ia bicara
dengan suaranya yang halus: "In Hong, ayahmu dan
ibumu tidak pernah sampai kesini. Tadinya kami
sendiri tidak tahu kemanakah perginya mereka itu.
Akan tetapi setelah kakakmu Yo Kang ini pergi
menyelidiki, kami mendengar dari seorang perwira
yang dulu menolong dusun Tiang-on yang diserang
oleh para penjahat itu, katanya mereka telah
menemukan ayahmu yang telah tewas oleh penjahat
di hutan." Pucat wajah In Hong dan kalau saja ia tidak sudah
matang latihannya dalam ilmu lweekang dan
samadhi, mungkin ia akan menjerit atau jatuh
pingsan. Namun ia menguatkan hatinya dan bahkan
masih dapat bertanya, suaranya tetap tenang:
"Yo-pekhu, siapakah yang menewaskan ayah dan
dimana beliau dimakamkan?"
Yo Hang Tek saling pandang dengan isterinya,
agaknya mereka heran melihat ketenangan gadis ini,
akan tetapi Yo Kang memandang penuh kekaguman.
Pemuda ini pernah belajar ilmu silat dan ia
menghargai kegagahan, maka melihat sikap In Hong
ia suka dan kagum sekali. Ia benci melihat wanita
lemah yang mudah menangis dan mudah jatuh
pingsan. "Hong-moy, aku yang menyelidiki urusan itu, dan aku
hanya mendengar bahwa ayahmu tewas dalam
keributan, tidak tahu siapa yang melakukan
pembunuhan itu, dan jenazahnya dirawat oleh
pasukan pemerintah, kini dimakamkan di luar dusun
Tiang-on. Aku sudah mengurus kuburannya dan
memasang bong-pay (batu nisannya). Kelak kuantar
kau mengunjungi makamnya."
In Hong memandang kepada pemuda itu dan kembali
ada sinar terima kasih dalam matanya.
"Dan bagaimana dengan?" ibuku?"?"
Setelah mengajukan pertanyaan ini, hati In Hong
berdebar. Sungguhpun sekuat tenaga ia menekan
perasaannya, namun ia takut bahwa kali ini kalau
mendengar berita buruk tentang ibunya, ia takkan
dapat menahan tangisnya lagi. Ia merasa amat
gelisah dan takut. "Itulah yang membingungkan kami, Hong-moy. Aku
sudah mencari ke mana-mana, sudah menyebar
kawan-kawan untuk menyelidiki, akan tetapi ibumu
hilang lenyap tak meninggalkan jejak. Benar-benar
aneh sekali. Tak seorangpun tahu kemana perginya
ibumu." Mendengar keterangan ini, hati In Hong tidak karuan
rasanya. Ada perasaan lega bahwa ia tidak
mendengar ibunya telah tewas, akan tetapi juga ia
menjadi bingung, karena kemanakah ia harus mencari
ibunya" Ketika ia memandang kepada pek-hunya, Yo
Hang Tek berkata "Yang aneh sekali adalah urusan Can Ma. Pelayan tua
itu sudah sampai disini, dan dialah yang bercerita
bahwa kau dibawa pergi oleh Hek Moli. Akan tetapi,
baru kurang lebih setengah bulan setelah ia berada
disini, pada malam harinya tahu-tahu ia lenyap dari
kamarnya! Tadinya kami mengira bahwa dia diculik
pula oleh Hek Moli?""
"Tidak, guruku tidak pernah menculik Can Ma!" kata In
Hong. "Hm, memang aneh sekali hal ini, Hong-moy. Sayang
ketika hal itu terjadi, aku masih kecil. Kalau sekarang,
agaknya penjahat yang menculik Can Ma itu akan
dapat kutangkap!" In Hong memandang kepada pemuda ini yang berdiri
tegak sambil mengangkat dada, kelihatannya
memang gagah sekali. Kembali hati In Hong bingung
dan menduga-duga. Siapakah yang telah menculik Can Ma" Ia menduga-
duga dan otaknya yang cerdik bekerja keras. Tentu
ada hubungannya dengan ibunya yang hilang,
pikirnya, kalau tidak, siapakah yang mau menculik
pelayan tua itu" ,Apakah Can Ma tidak diam-diam pergi dari rumah
ini?" tanyanya. "Tidak mungkin. Mengapa ia harus pergi minggat" Dan
pula, ada tanda-tanda jendela dibongkar orang dari
luar. Pasti ada yang menculiknya,'' kata Yo Hang Tek.
Setelah semua orang berhenti bicara. kakek Yo batuk-
batuk dan ia sudah merasa amat gemas karena ia
tidak dapat mendengar percakapan itu dengan jelas.
Suara batuk-batuk ini sudah dikenal baik oleh semua
keluarga disitu. yakni bahwa si tua itu menghendaki
supaya semua orang berhenti bercakap-cakap dan
bubar. "In Hong, sekarang kau sudah datang, itu bagus
sekali. Kau harus tinggal disini dan tidak boleh keluar
dari rumah. Tidak patut seorang gadis yang sudah
remaja keluar dari rumah, terlihat oleh orang-orang
lelaki yang bukan keluarganya! Biarpun kau sudah
menjadi murid Hek Moli, aku tidak suka melihat kau
berkeliaran di dunia luar rumah keluarga. Kau tinggal
disini, belajar menyulam dan kerajinan tangan lain
dari bibimu, dan kelak aku akan mencarikan calon
jodoh yang baik untukmu." Sambil berkata demikian,
kakek ini menyedot huncwenya (pipa tembakaunya)
dan melambaikan tangan menyuruh semua orang
keluar dari situ. Bukan main mendongkolnya hati In Hong. Ingin ia
mendamprat kakek itu yang menghina gurunya, ingin
ia berlari keluar dari rumah besar ini, karena untuk
apakah ia tinggal lebih lama disitu kalau ayah
bundanya, juga Can Ma tidak berada disitu"
Akan tetapi, isteri Yo Hang Tek sudah menggandeng
tangannya dan pek-hunya telah memberi isyarat
dengan mata sehingga ia menurut saja ketika
digandeng keluar oleh isteri pekhunya.
Setelah tiba di luar ruangan dimana kakek itu masih
duduk mengisap huncwenya, In Hong berkata kepada
Yo Hang Tek: "Yo-pekhu, maafkan bahwa aku tidak bisa lama disini.
Aku harus pergi sekarang juga untuk mencari ibu dan
Can Ma." Yo Hang Tek nampak terkejut, demikianpun Yo Kang.
"Mengapa begitu, Hong-moy" Kau berada di antara
keluarga sendiri, jangan kau berlaku sungkan. Soal
kong-kong, jangan kau pikirkan, orangtua itu sudah
pikun dan tuli?""
"Kang-ji!" Ibunya membentaknya.
Yo Kang mengangkat pundak. "Hong-moy, jangan kau
khawatir tentang ibumu. Akulah yang akan
membantumu mencarinya lagi. Ketahuilah, aku
seringkali keluar kota untuk mengurus perdagangan,
dan di dunia kangouw aku mempunyai banyak sekali
kenalan. Dengan bantuanku, lebih mudah bagimu
untuk mencari ibumu."
"Benar kata-kata kakekmu, In Hong. Tidak baik kalau
kau keluar lagi. Kalau keluar, kau hendak
kemanakah" Betapapun juga, harus kau akui bahwa
tidak selayaknya seorang gadis seperti engkau
merantau mencari ibumu sendiri, se-dangkan kau
tidak tahu dimana adanya ibumu itu. Tinggallah disini,
dan perlahan-lahan kita berdaya mencari ibumu."
Tidak enak hati In Hong untuk berkeras. Di antara
semua orang yang menjadi sanaknya ini, hanya Yo
Hang Tek dan terutama sekali Yo Kang yang baik
sikapnya dan menyenangkan hati, akan tetapi ibu Yo
Kang sikapnya dingin saja, apalagi kakek berhuncwe
itu! Ketika ia memandang kepada pekbo-nya (isteri
uaknya), nyonya Yo ini berkata:
"In Hong, kau mendapat kamar di sebelah kiri
kamarku," kemudian ia berkata kepada Yo Kang,
"Kang-ji, hayo kau suruh pelayan membersihkan
kamar itu untuk In Hong."
Yo Kang cepat pergi dan wajahnya gembira sekali.
Ter?paksa In Hong menurut dan malam hari itu ia
rebah di atas pembaringan dalam kamarnya. Ia hanya
makan sedikit saja karena hatinya diam-diam amat
berduka. Ayahnya tewas dibunuh orang tanpa ia tahu
siapa pembunuhnya. Ibunya lenyap tanpa ada orang
tahu dimana tempat tinggalnya dan apakah ia masih
hidup ataukah sudah mati. Juga Can Mama lenyap
diculik orang. "Alangkah buruk nasib ayah ibu?"" Dan dengan amat
terharu ketika mengenangkan ayahnya, ia berbaring
menelungkup dan menyembunyikan mukanya di atas
bantal. Ia menangis sedih dan dengan seorang diri di
dalam kamar, kini ia memuaskan hatinya dan
membiarkan airmatanya membanjiri bantal.
Ia mendengar suara pekhu dan pekbonya bercakap-
cakap di kamar sebelah. Pendengaran In Hong
memang luar biasa tajamnya karena ia memang
menerima latihan khusus dari gurunya untuk
kepandaian ini. Akan tetapi ia tidak mau
memperhatikan percakapan mereka yang hanya
terdengar lapat-lapat karena terhalang oleh tembok
tebal. Tiba-tiba ia mendengar nama "In Hong" disebut-sebut
dan suara mereka mengandung nada marah.
Tertariklah hati In Hong. Kalau mereka tidak
membicarakaan dia, iapun tidak nanti suka
mendengarkan orang, akan tetapi setelah namanya
disebut-sebut, ia lalu bangkit, duduk dan
menempelkan telinganya pada tembok yang
memisahkan kamarnya dengan kamar pekbonya.
"Menurut pandanganku, dia berjodoh dengan putera
kita," terdengar pekhunya bicara.
"Aah, tidak pantas, tidak pantas!" jawab pekbonya.
"Dia menjadi murid iblis wanita, sudah belasan tahun
tidak karuan tempat tinggalnya, kemana-mana
membawa-bawa pedang. Aku tidak suka mempunyai
mantu seorang wanita kasar, lagi pula dia tidak ada
keluarga, boleh dibilang seorang anak yang terlantar."
"Akan tetapi, amat sopan, sikapnya baik seperti orang
terpelajar. Tentang ilmu silat, apa salahnya" Anak kita
juga mempelajari ilmu silat, jadi lebih cocok. Laginya,
In Hong harus diakui amat cantik jelita, dan Kang-ji
kelihatannya tertarik dan suka kepadanya. Memang
dia cantik sekali." "Apa artinya kecantikan bagi seorang mantu" Aku
tetap tidak suka, laginya dia masih sanak dekat.
Apakah kurang puteri-puteri bangsawan dan
hartawan yang lebih cantik dari In Hong" Aku tidak
suka." "Hm, kau tahu apa tentang hati laki-laki?" kata Yo
Hang Tek sambil tertawa. "Kecantikan amat penting.
Kalau kau tidak cantik, apakah dulu aku mau
dijodohkan dengan kau?"
"Ngacau?"!"
Sampai disini, In Hong melepaskan telinganya dari
tembok, dan ia menjatuhkan diri di atas pembaringan,
menangis makin sedih. Ia menutupi kedua telinga
dengan bantal agar tidak mendengar percakapan
Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka lagi. Akhirnya, karena lelah dan sedih, ia
dapat tertidur juga, bahkan di dalam tidurnya ia masih
terisak-isak beberapa kali.
http://cerita-silat.mywapblog.com Beginikah Watak Seorang Hartawan"
Sian Li Eng Tju Beginikah
Watak Seorang Hartawan"
. Beginikah Watak Seorang Hartawan"
Dengan memaksakan hati, In Hong tinggal di rumah
gedung itu sampai beberapa hari. Ia sudah tidak
betah sekali dan di dalam hati ia mengambil
keputusan untuk segera meninggalkan tempat itu.
Apalagi ketika terjadi hal yang amat menyebalkan
hatinya, yang terjadi sepekan sesudah ia tinggal
disitu. Pada hari itu, ia melihat mandor she Kwa itu
menyeret-nyeret seorang laki-laki berusia hampir
limapuluh tahun. Laki-laki ini terang adalah seorang
kuli kasar, karena ia tidak memakai baju, hanya
bercelana panjang yang sudah butut. Tulang-
tulangnya menonjol keluar dan urat-uratnya
menandakan bahwa dia biasa bekerja berat. Garis-
garis pada mukanya menimbulkan kisut yang jelas
sekali, tanda dari derita hidup yang pahit.
In Hong tengah duduk di ruang luar bersama Yo Kang,
bercakap-cakap tentang rencana menyelidiki ibunya.
Melihat mandor Kwa menyeret orang tua itu, Yo Kang
kelihatan tidak senang dan terganggu.
"Ada apa lagi dengan kakek Lui itu, Kwa-lopek?"
tanyanya tidak senang. "Ia mencuri lagi, Yo-kongcu, sekarang ia mencuri
gandum sebanyak lima kati!"
"Dasar sudah tak dapat diperbaiki lagi akhlaknya," Yo
Kang mengomel. "Sekarang dia harus dihadapkan
kepada kong-kong." "Yo-kongcu, ampunkanlah hamba kali ini, jangan
hadapkan pada Yo-loya".." kakek yang disebut kakek
Lui itu meratap. Akan tetapi Yo Kang tidak perduli dan memberi
isyarat kepada mandor Kwa untuk menyeret pencuri
itu ke belakang, di ruang belakang yang biasa
dijadikan tempat-duduk Yo Tang.
"Ada apakah dia?" tanya In Hong tertarik sekali.
"Ah, biasa saja. Mengurus orang banyak memang
lebih sukar daripada mengurus sekumpulan kerbau.
Mencuri dan mencuri saja kerjanya. Biar kong-kong
yang membereskannya, aku sudah lelah mengurus
soal pencurian-pencurian itu. Hanya terhadap kong-
kong mereka itu mati kutu dan tunduk betul."
"Apa yang akan dilakukan terhadap kakek Lui itu?"
tanya In Hong mengeraskan hati sehingga suaranya
terdengar biasa saja. "Tentu saja dihukum. Kau mau melihat cara kong-
kong membikin kapok para pencuri" Mari kita lihat!"
Mereka berdiri dan menuju ke belakang. "Aku
seringkali merasa heran bagaimana kong-kong
seorang lemah itu ternyata pandai sekali mengurus
orang-orang jahat." Ketika mereka tiba di ruang belakang, ternyata orang
she Lui yang dituduh mencuri itu telah dihadapkan di
depan kakek Yo yang mengisap huncwenya seperti
biasa. "Sudah tiga kali kau mencuri, ja?" Yo Tang
membentak marah. "Tahukah kau apa yang kau akan
alami kalau aku menyerahkan kau kepada
pengadilan" Kau akan dihukum sepuluh tahun, dan
melihat usiamu, kau akan mampus di dalam penjara!"
Pekerja she Lui itu lalu mengeluarkan suara rintihan
dan sambil berlutut ia memohon: "Yo-loya yang
budiman, mohon kau sudi mengampuni seorang
miskin seperti hamba. Hamba bersumpah bahwa
hamba takkan melakukan pencurian lagi, biar kelak
tangan hamba keduanya dipotong kalau hamba
membohong." "Hah, seharusnya kedua tanganmu dipotong sekarang
juga! Kau sudah mencuri sampai tiga kali!"
"Ampun, loya?", ampunkan hamba?"" kakek Lui itu
menjadi pucat sekali dan airmatanya bercucuran.
"Sudah berulangkali kau mencuri, mana bisa ada
ampun lagi" Kwa Liong, buntungkan kedua
tangannya!" Mandor she Kwa itu sambil menyeringai lalu
mencabut golok yang tergantung di pinggangnya, lalu
menghampiri kakek she Lui yang menjadi pucat
sekali. "Ampun, Yo-loya?" hamba bersumpah akan
bertobat?" hamba?" hamba harus memelihara
keluarga hamba?" jangan buntungkan kedua tangan
hamba, bagaimana hamba dapat bekerja mencari
sesuap nasi untuk keluarga hamba?"?" Ia menangis
seperti anak kecil. Yo Tang mengebulkan asap huncwenya dan berkata
bengis: "Kau benar-benar sudah bertobat" Nah, kali ini aku
masih ampunkan kau dan aku hanya ingin mengambil
jari kelingkingmu sebelah kiri sebagai hukuman dan
peringatan. Ingat, lain kali aku takkan
menghukummu, akan tetapi akan menyerahkan kau
kepengadilan! Kwa Liong, buntungkan jari
kelingkingnya sebelah kiri!"
Golok diangkat, berkelebat dan putuslah kelingking
kiri dari kakek itu. Kakek Lui meringis kesakitan, memegangi tangan
yang terluka itu, akan tetapi wajahnya kelihatan lega
dan girang. Ia berlutut dan menghaturkan terima
kasih kepada Yo Tang. Melihat ini, In Hong menjadi marah bukan-main. Kalau
saja ia tidak ingat bahwa ia masih keluarga dari Yo
Tang, tentu ia sudah menghajar mandor itu bersama
kakek she Yo. Namun ia tidak dapat berpeluk tangan
saja, maka ia lalu melompat ke dekat kakek Lui dan
bertanya: "Kakek Lui, kau bekerja sebagai apakah?"
Kakek itu sudah tahu bahwa gadis ini adalah cucu dari
Yo Tang, maka ia lalu menjawab penuh hormat:
"Siocia, hamba adalah kuli pengangkut gandum."
"Apa yang kau curi?"
"Lima kati gandum."
"Mengapa kau melakukan kejahatan itu?"
Kakek itu nampak takut-takut dan melirik ke arah
gagang pedang yang masih menghias belakang
pundak In Hong. "Hamba?" hamba harus memelihara
isteri dan seorang anak yang sudah janda bersama
tiga orang cucu. Gaji hamba tidak cukup, mereka
kelaparan dan terpaksa hamba?" mengambil
gandum itu untuk menyambung nyawa cucu-cucu
hamba?"" Berobah wajah In Hong. Ia memandang kepada
kakek Yo dengan mata penuh kebencian, kemudian ia
memandang kepada mandor Kwa dengan gemas.
Ketika ia mengerling ke arah Yo Kang, pemuda ini
mengejap-ngejapkan matanya, minta agar ia jangan
memperlihatkan kemarahannya di depan kakek Yo.
Maka sambil menarik napas panjang, In Hong
mengeluarkan sepotong uang emas dari sakunya,
memberikan itu kepada kakek Lui sambil berkata:
"Terimalah ini dan obati tanganmu sampai baik. Lain
kali jangan mencuri lagi, akan tetapi usahakanlah
agar kau dapat mencari pekerjaan yang lebih
mencukupi hasilnya."
Kakek Lui bengong dan dengan tangan gemetar ia
menerima pemberian itu, lalu menangis terisak-isak,
mengucapkan terima kasih dengan bibir gemetar
sehingga tidak jelas kata-katanya, kemudian ia
membungkuk-bungkuk keluar dari ruangan itu, diikuti
oleh mandor Kwa. Yo Tang melihat perbuatan In Hong dengan mata
terbelalak dan ia sampai lupa untuk menyedot
huncwenya. Beberapa kali ia menggunakan tangan
menepuk-nepuk tangan korsinya sebagai tanda
kemarahannya dan saking marahnya ia sampai tidak
bisa mengeluarkan kata-kata. Ia menyedot pipanya,
akan tetapi apinya padam. Ketika ia bisa membuka
mulut, ia berteriak-teriak:
"Hidupkan huncweku?"! Bedebah, nyalakan
huncweku!" Yo Tang melangkah maju dan pemuda ini
mencetuskan pembuat api untuk menyalakan ujung
huncwe kakeknya. "Kurangajar, In Hong apa yang kaulakukan tadi"
Darimana kau mendapatkan uang emas yang kau
hambur-hamburkan seperti pasir" Hayo jawab!"
In Hong mendongkol bukan main sehingga mukanya
menjadi merah padam. "Uang itu uangku sendiri, kudapat dari subo, kuberikan
kepada siapapun juga adalah hakku," jawabnya
menahan marah. Yo Tang membanting-banting kakinya. "Celaka! Uang
dihambur-hamburkan, diberikan kepada kuli hina,
kepada pencuri pula! Aha, bocah perempuan, kau
belum tahu bagaimana sukarnya mencari uang, ya"
Kalau kita semua mempunyai watak buruk seperti
engkau, uang yang kukumpulkan sekian puluh tahun
ini dalam sekejap mata akan musnah! Hei, Yo Tang,
awaslah kau, jangan kau tiru watak bocah ini!"
Yo Kang berkata keras agar kong-kongnya
mendengar, akan tetapi nadanya penuh hormat:
"Kong-kong, adik In Hong memberi hadiah itu karena
merasa kasihan kepada kakek Lui. Hong-moy belum
tahu akan urusan dan keadaan disini, harap kong-
kong sudi memaafkannya."
"Keluar! Keluar kalian dari sini dan jangan
mengganggu aku lagi! Kalau tidak kupanggil, bocah ini
jangan boleh masuk ke ruangan ini!" teriak kakek itu
marah-marah. Yo Kang lalu mengajak In Hong keluar. Setibanya di
luar ruangan itu, In Hong tak dapat mencegah lagi
mengalirnya airmatanya. "Hong-moy, kau tentu tersinggung. Maafkanlah,
memang sudah kuberitahukau bahwa kong-kong
amat pemarah dan pikun. Maklumlah ia sudah amat
tua." "Tidak apa soal itu, twako. Akan tetapi?" semua
kejadian ini?" benar-benar tidak cocok dengan isi
hatinya. Mengapa kamu sekalian agaknya
menggencet penghidupan para pekerja kasar yang
miskin" Mengapa kalian begitu kejam?"
Yo Kang tersenyum dan menggeleng-geleng
kepalanya. "Kau salah sangka, adikku. Kalau kami
berlaku murah hati seperti yang kaulakukan, sebentar
saja semua barang disini sudah habis digondol pergi
oleh mereka. Sekarang ini tidak ada orang yang boleh
dipercaya, semua pekerja adalah maling-maling yang
selalu mengintai kesempatan. Kalau kami tidak
bertindak dengan tangan besi, mereka akan makin
berani. Ingatkah kau betapa di tempat tinggal orang
tuamu, orang-orang miskin itu memberontak dan
menyebar maut, merampok dan mengganas seperti
binatang-binatang liar" Nah, itulah kalau mereka
terlalu diberi hati."
"Akan tetapi, pekerja-pekerja itupun manusia. Kakek
Lui itu patut dikasihani, sungguhpun ia mencuri,
namun lima kati gandum yang dicurinya itu untuk
makan anak cucunya." In Hong membantah.
"Itulah alasan mereka selalu. Kau tidak tahu, semua
pekerja selalu mencari kesempatan untuk berkorupsi
dan mencuri. Kalau orang-orang berpenghasilan
rendah seperti kakek Lui masih dapat dimengerti,
akan tetapi seperti mereka yang sudah mendapat
penghasilan besar, tetap saja mereka mencari
kesempatan itu. Yang berpenghasilan kecil mencuri
untuk makan, katanya, akan tetapi yang
berpenghasilan besar" Tak lain untuk memenuhi nafsu
mereka yang tak pernah merasa puas dengan
keadaan mereka. Marilah kau ikut aku, melihat-lihat
tempat orang bekerja, dan kau akan melihat sendiri
keadaan mereka, Hong-moy."
Karena ia sedang mengalami kemendongkolan hati,
maka In Hong pikir ada baiknya kalau ia melihat-lihat
di luar agar hatinya terhibur. Berangkatlah kedua
orang muda ini keluar dari gedung. Dengan gembira
Yo Kang memperlihatkan perdagangan keluarganya,
yang memang amat besar. Banyak sekali kuli bekerja
di gudang-gudang itu, dan Yo Kang memperkenalkan
orang-orangnya yang menjadi orang kepercayaan. Di
setiap gudang terdapat seorang kepercayaan dan
orang ini kelihatan pandai ilmu silat dan bertubuh
kokoh kuat. "Disetiap tempat pasti ada seorang pembantu kami
yang boleh dipercaya dan memiliki kepandaian silat
sehingga tidak ada pekerja yang berani main gila,"
kata Yo Kang kepada gadis itu.
In Hong melihat betapa kuli-kuli itu bekerja berat
sekali dan mengingat betapa mereka ini bekerja
sekadar untuk mencari makan, itupun tidak
mencukupi kebutuhan rumah tangga keluarganya, In
Hong merasa kasihan dan terharu sekali.
Kemudian Yo Kang mengajaknya ke tempat
pengiriman barang yang dilakukan dengan dua jalan,
yakni dengan jalan darat dan ada pula yang jalan air,
mempergunakan perahu-perahu besar di sepanjang
Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sungai yang akhirnya turun di sungai Yang-ce-kiang
untuk dikirim ke pelbagai kota.
Yo Kang ternyata ahli betul dan mengerti sedalamnya
tentang perdagangan keluarganya, tidak
mengherankan apabila kong-kong dan ayahnya
menyerahkan semua urusan kepadanya, sedetail-
detailnya pemuda ini menjelaskan kepada In Hong
tentang perdagangan itu, dan setelah ia selesai
menuturkan semua ini, tahulah In Hong bahwa yang
mendapat keuntungan besar bukan lain adalah
keluarga Yo. Para pekerja, dari kuli-kuli angkut,
sampai tukang-tukang perahu dan tukang-tukang
mengirim barang melalui jalan darat, hanya
mendapatkan upah sekadar cukup mereka makan
saja. "Kau mendapatkan untung begitu besar, kadang-
kadang sampai lipat duakali dari modal. Mengapa kau
dan kong-kongmu itu begitu pelit dan tidak menjamin
kehidupan para pekerja kasar?" In Hong bertanya
dengan berani. Yo Kang mengangkat pundak. "In Hong moy-moy,
sudah sepatutnya kalau kami yang mendapatkan
keuntungan besar, karena bukankah kami sudah
mengeluarkan modal besar, sudah membanting tulang
memeras keringat dan menjalankan otak" Para
pekerja itu hanya mengeluarkan tenaga kasar dan
mereka tidak tahu apa-apa. Mereka sudah tertolong
oleh perusahaan kami, karena tanpa ada perusahaan
kami, bukankah berarti ratusan orang pekerja itu
menganggur dan tidak bisa makan?"
"Hm, twako, agaknya kau lupa bahwa tanpa mereka,
kiranya keluarga Yo dan modalnya juga akan beku.
Harus diakui bahwa tenaga para pekerja itulah yang
memutar jalannya roda perusahaan sehingga lancar,
dan tenaga mereka pulalah yang mengalirkan
keuntungan ke dalam kantong keluargamu."
Yo Kang tertawa. "Ah, Hong-moy, itu sudah
selayaknya dalam perdagangan. Siapa bermodal dia
memegang kendali, siapa bodoh tentu hanya
mendapat sedikit saja dari perasan keringatnya. Pula,
harus kau ingat bahwa tidak selamanya kami
mendapat untung. Kadang-kadang kami menderita
rugi kalau harga barang-barang turun ketika sampai di
tempat tujuan, belum lagi kalau ada gangguan orang-
orang jahat di tengah perjalanan. Dewasa ini, banyak
sekali muncul rampok-rampok yang suka mencegat
dan mengganggu barang kiriman. Oleh karena itu,
kami sengaja memelihara beberapa orang jagoan
untuk mengawal setiap pengiriman, dan aku sendiri
yang mengepalai dan memimpin mereka." Pemuda itu
membusungkan dadanya. "Kau" Ah, twako, aku lupa lagi. Tentu kau pandai
sekali ilmu silat, dan agaknya kau sudah banyak
merantau di dunia kangouw."
"Tidak berani aku mengaku sudah pandai, akan tetapi
sedikit-sedikit ilmu silat pernah kupelajari. Dan biarpun
aku belum merantau sampai ke seluruh penjuru
dunia, akan tetapi nama Bu-tong-sin-to Yo Kang
(Golok sakti dari Bu-tong), bagi semua tokoh sungai
telaga (bangsa bajak) di sepanjang Yang-ce-kiang,
tidak ada yang tidak mengenal dan tidak ada yang
berani mengganggu barang kirimanku."
"Jadi kau anak murid Bu-tong-pay, twako?"
"Benar, ketika aku berusia sepuluh tahun, kebetulan
sekali barang kiriman ayah ada yang mengganggu,
dan perampok-rampok itu dihajar habis-habisan oleh
guruku, yakni Hoat Gi Thaysu dari kelenteng di Bu-
tong-san. Karena ayah amat berterima kasih dan
berpikir bahwa dalam keluarga Yo harus ada orang
kuat untuk menjaga kalau-kalau barang-barang
kiriman diganggu penjahat, maka aku lalu dikirim ke
Bu-tong-pay untuk belajar ilmu silat disana. Selama
delapan tahun aku belajar disana sampai tamat, dan
kiranya Bu-tong-pay tidak merasa kecewa
mempunyai anak murid seperti aku. Dan kau sendiri,
Hong-moy, kulihat kau mempunyai sebatang pedang
yang gagangnya indah sekali, tentu kau juga pandai
mainkan pedang, apalagi kalau diingat bahwa kau
adalah murid dari Hek Moli yang amat terkenal di
dunia kangouw." In Hong tersenyum dingin. "Orang lemah seperti aku
bisa memiliki kepandaian apakah?" Ia teringat akan
ucapan-ucapan para pekeja di gudang, maka ia
menyambung: "Guruku hanya menaruh kasihan
kepadaku maka ia membawaku, akan tetapi aku
hanya belajar sedikit sekali. Tentang pedang ini, boleh
disebut hanya untuk hiasan saja atau boleh juga
dianggap untuk menakut-nakuti para penjahat agar ia
jangan menggangguku."
Yo Kang tertawa "Kau memang gagah sekali
memakai pedang itu, Hong-moy. Akan tetapi jangan
khawatir, kalau kau melakukan perjalanan
bersamaku, aku tanggung tidak akan ada orang
berani mengganggumu. Orang yang berani
mengganggumu berarti sudah bosan hidup dan
darahnya pasti akan diminum oleh golokku." Ia
menepuk-nepuk golok yang tergantung di
pinggangnya. Pada saat itu, serombongan orang datang tergopoh-
gopoh menghampiri mereka. Mereka ini adalah tujuh
orang yang berpakaian seperti jago-jago silat dan
melihat dari sepatu dan pakaian mereka yang
berdebu, dapat diduga bahwa mereka baru datang
dari tempat jauh. "Celaka, Yo-kongcu, celaka kali ini?"" seorang di
antara mereka, yang tertua dan bermuka panjang,
berkata sambil terengah-engah. Orang-orang lain juga
nampak kusut dan lelah sekali, mata mereka rata-rata
memperlihatkan ketakutan dan kegelisahan.
"Cong-piauwsu, apakah yang terjadi?" tanya Yo Kang
sambil mengerutkan alisnya.
Orang yang disebut Cong-piauwsu itu menarik napas
panjang, menghapus peluhnya, kemudian berkata:
"Tujuh kereta gandum dan bahan obat yang kami
kawal itu telah dirampas oleh seorang tosu dari Go-bi-
pay." Yo Kang terkejut sekali. "Mengapa seorang tosu
melakukan hal itu" Lekas ceritakan dengan jelas."
Cong-piauwsu lalu menuturkan pengalamannya
seperti berikut. Cong-piauwsu, seorang ahli silat yang
menjadi pembantu Yo Kang, yang dianggap memiliki
ilmu silat paling pandai, bersama enam orang
pembantunya yang memiliki kepandaian tinggi pula,
mengawal kereta-kereta itu menuju ke kota Hang-ciu.
Ketika rombongan ini tiba diperbatasan propinsi
Honan, di sebuah dusun yang baru menderita bencana
kelaparan karena musim kering, mereka dihadang
oleh sekumpulan orang dusun yang kurus-kurus dan
kelaparan. "Cuwi-enghiong, tolonglah kami dan berilah kami
sedikit makanan untuk anak-anak kami yang
kelaparan," kata mereka.
Cong-piauwsu hendak menyumbangkan uangnya,
akan tetapi para petani yang sudah kelaparan itu
tidak mau menerima uang, apalagi setelah mereka
mendapatkan kenyataan bahwa yang diangkut dalam
kereta adalah gandum dan bahan obat, mereka
kembali memohon agar supaya rombongan itu sudi
menolong mereka dan meninggalkan sekereta
gandum untuk menolong mereka dari bahaya
kelaparan. Tentu saja Cong-piauwsu tidak mau mengabulkan
permintaan ini dan terjadilah keributan ketika orang-
orang kelaparan itu nekad hendak mengambil
gandum. Akan tetapi tentu saja orang-orang yang
tidak mempunyai kepandaian silat dan pula sudah
lemah akibat beberapa hari tidak makan ini bukan
lawan yang tangguh dari para piauwsu. Dengan
mudah para piauwsu itu mengamuk dan merobohkan
mereka, lalu kereta-kereta itu dijalankan cepat-cepat
meninggalkan daerah itu. Akan tetapi, baru setengah hari mereka berjalan, tiba-
tiba mereka disusul oleh seorang tosu yang bertubuh
tinggi kurus, usianya paling sedikit enampuluh tahun
dan jenggotnya panjang sampai ke dada. Tosu itu
mendahului rombongan, lalu berdiri di tengah jalan
sambil mengangkat tangan kanan ke atas, memberi
isyarat supaya rombongan itu berhenti.
Cong-piauwsu dan kawan-kawannya segera majukan
kuda menghadapinya, maklum bahwa tosu itu tentu
bukan orang sembarangan karena larinya tadi
demikian cepat sehingga dapat mendahului larinya
kuda. "Totiang, ada keperluan apakah maka totiang
mengejar kami dan menghadang perjalanan
rombongan kami?" tanya Cong-piauwsu setelah
memberi hormat kepada pendeta itu.
Tosu itu tertawa perlahan sambil mengelus-elus
jenggotnya. "Melihat orang kelaparan tanpa mengulurkan tangan
menolong padahal membawa makanan begini
banyak, benar-benar hati kalian terbuat daripada
batu!" katanya, suaranya halus akan tetapi
berpengaruh. "Totiang, harap maafkan kami dan harap suka
mempertimbangkan keadaan kami. Kami hanya
mengawal barang-barang ini, dan sama sekali kami
tidak berhak memberikan kepada siapapun juga,"
jawab Cong-piauwsu. "Begitukah" Kalau begitu, tinggalkan semua kereta ini
dan kalian kembalilah ke tempat tinggalmu,
beritahukan kepada pemilik barang-barang ini bahwa
pinto Wu Wi Thaysu dari Go-bi-pay minta pinjam
bahan makanan dan obat ini untuk menolong daerah
yang sedang diancam bahaya kelaparan dan
penyakit." Cong-piauwsu menjadi cemas sekali, akan tetapi juga
mendongkol. Terang sekali bahwa tosu itu tidak
memandang sebelah mata kepada mereka, dapat
mengeluarkan kata-kata dan perintah demikian
enaknya. "Totiang, barang-barang ini adalah milik dari Bu-tong-
sin-to Yo Kang, pendekar muda dari Bu-tong-pay, yang
mengirimkan barang-barang ini sebagai barang
dagangan. Harap totiang sudi me?mandang mukanya
dan jangan mengganggu pekerjaan kami.
Sepulangnya dari Hang-ciu, tentu kami akan mampir
disini dan kami akan membantu usaha totiang
menolong penduduk dengan jalan mendermakan
sejumlah uang." "Hm, jadi barang-barang ini milik murid Bu-tong-pay"
Kebetulan sekali, pinto kenal baik dengan tokoh-tokoh
Bu-tong-pay yang dalam hal ini pasti setujuan dengan
pinto. Sampaikan terima kasihku kepada Yo-sicu atas
sumbangannya berupa tujuh kereta makanan dan
obat ini untuk mereka yang menderita."
Tentu saja Cong-piauwsu tidak mau sudah begitu saja
dan ia menjawab: "Terpaksa kami tidak bisa meninggalkan kereta-kereta
ini, totiang. Kalau sekiranya totiang membutuhkan
bahan makanan, harap totiang suka datang sendiri ke
See-ciu dan minta sumbangan dari Yo-kongcu. Kami
harus melaksanakan tugas kami sampai beres, dan
barang-barang ini harus kami antarkan sampai di
Hang-ciu." "Urusan dengan Yo-sicu boleh menanti, akan tetapi
perut orang-orang yang sudah kelaparan mana bisa
menanti lagi" Pulanglah kalian ke See-ciu dan
bagaimanapun juga, barang-barang makanan ini
harus ditinggalkan disini!"
"Terpaksa kami menggunakan kekerasan, totiang."
Akan tetapi, baru saja ucapan Cong piauwsu ini
dikeluarkan, tosu itu menggerakkan kedua lengan
bajunya dan tujuh orang piauwsu itu terlempar jatuh
dari atas kuda! Dari sepasang lengan baju itu
menyambar angin yang mendorong mereka.
"Demikianlah, Yo-kongcu," Cong-piauwsu melanjutkan
ceritanya kepada Yo Kang yang mendengarkan
bersama In Hong, "kami bertujuh tentu saja tidak
mau mengalah sampai disitu. Kami mencabut senjata
dan maju menyerang tosu itu, akan tetapi Wu Wi
Thaysu dari Go-bi-pay itu benar-benar lihay sekali.
Tanpa senjata, hanya dengan ujung lengan baju, ia
menghadapi kami dan tahu-tahu senjata kami telah
dapat dirampas dengan gulungan ujung lengan baju
itu! Terpaksa kami melarikan diri dan pulang untuk
melaporkan hal ini kepada kongcu."
Yo Kang mengerutkan keningnya dan ia kelihatan
marah sekali. "Hm, Wu Wi Thaysu dari Go-bi-pay benar-benar
memandang terlalu rendah kepadaku, berarti ia tidak
memandang kepada Bu-tong-pay. Panggil Ngo-losuhu
(Lima orang guru tua) untuk berkumpul di rumahku,
aku mau berunding dengan mereka. Kemudian kalian
mengasohlah karena kalian segera akan be-rangkat
lagi mengantar kami ke tempat itu."
Setelah memberi perintah ini, Yo Kang mengajak In
Hong pulang. "Memang tosu itu memandang terlalu rendah
kepadamu, toako, akan tetapi kalau memang betul ia
Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
merampas bahan makanan dan obat itu untuk
menolong penduduk daerah yang kelaparan, aku
harus menyatakan bahwa perbuatannya itu tidak bisa
dibilang jahat." "Memang demikian, akupun berpikir begitu. Akan
tetapi, tidak seharusnya ia terlalu lancang dan
merampas barang kiriman. Siapa tahu kalau di Hang-
ciu, bahan makanan itu juga dibutuhkan oleh orang
banyak" Sepantasnya, meng-ingat akan hubungan
antara orang-orang kangouw di dunia persilatan, ia
boleh datang kesini dan kalau dia minta secara terus
terang untuk menolong orang-orang sengsara, apakah
aku begitu pelit untuk menolak permintaannya?"
Ketika kakek Yo mendengar tentang perampasan
tujuh kereta gandum dan bahan obat ini, ia mencak-
mencak di atas kursinya. Saking marahnya ia
memukul-mukulkan huncwenya hingga pecah.
"Penjahat besar, tosu siluman, bedebah! Dia bikin aku
rudin dan bangkrut! Yo Kang, kerahkan semua orang,
panggil barisan penjaga keamanan kota, tangkap dia.
Tosu siluman itu harus dijebloskan di dalam penjara,
harus dipenggal lehernya!"
Ia menyumpah-nyumpah dan memaki-maki dengan
suara keras dan menjadi begitu marah dan sedih
seakan-akan seluruh harta bendanya benar-benar
ludas dan habis dengan adanya kejadian ini.
Diam-diam In Hong menjadi sebal sekali. Ia tahu
benar bahwa dibandingkan dengan jumlah kekayaan
kakek ini, tujuh kereta barang itu hanya merupakan
jumlah kecil saja, setitik air dalam air seguci, dan toh
kakek itu seakan-akan kehilangan seluruh hartanya.
"Apakah begini watak semua hartawan?" pikir gadis
ini dengan hati sebal. http://cerita-silat.mywapblog.com Sian Li Eng Tju Bu Jin Ay . . . . . "
Ia mulai merasa kecewa dan tidak puas, bahkan ia
mulai mengingat-ingat bagaimanakah watak kedua
orangtuanya yang dahulunya juga disebut-sebut
orang kaya. Sore hari itu, di ruang depan dari rumah gedung
keluarga Yo, diadakan perundingan. Yo Kang dan
ayahnya mengundang Ngo-losuhu yang ternyata
adalah lima orang berusia antara empatpuluh sampai
limapuluh tahun, dan mereka ini adalah pembantu-
pembantu Yo Kang yang memiliki kepandaian tinggi.
Mereka tadi adalah kauwsu-kauwsu (guru-guru silat)
dan kini dipekerjakan sebagai pelatih-pelatih kepada
para pembantu Yo Kang yang mengawal barang-
barang kiriman. Juga mereka ini berkewajiban
membereskan kalau terjadi rintangan dan gangguan
pada barang-barang kiriman. Akan tetapi oleh karena
sekarang ini terjadi perampasan yang luar biasa dan
besar, Yo Kang hendak mengurusnya sendiri dengan
bantuan mereka. Karena desakan Yo Kang, maka In Hong
diperkenankan hadir dalam pertemuan ini. Ketika
diperkenalkan kepada para kauwsu tua itu, In Hong
memberi hormat selayaknya, akan tetapi lima orang
kauwsu itu hanya membalas penghormatan In Hong
dengan dingin saja. Mereka adalah orang-orang
berkepandaian, sudah tentu tidak begitu memandang
kepada In Hong yang dianggapnya hanya seorang
gadis muda cantik yang manja dan yang berlagak
seorang pendekar wanita! In Hong diam-diam memperhatikan mereka. Menurut
penglihatannya, di antara lima orang kauwsu itu,
hanya seorang saja yang kelihatannya "berisi," yakni
yang bernama Pouw Cun. Mata kauwsu tua ini
setengah terkatup seperti orang mengantuk, akan
tetapi dari balik bulu matanya yang jarang itu,
memancar sepasang sinar mata yang tajam dan
bergerak-gerak cepat. Juga hanya dia seorang di antara lima kauwsu itu
yang tidak memegang senjata. Empat kauwsu yang
lain semua membawa senjata. The Sun dan The Kwan
dua saudara yang diperkenalkan sebagai guru-guru
silat asal dari selatan, membawa pedang di pinggang
mereka, sedangkan dua orang lagi adalah Tan Koay
Kok yang membawa rantai atau pian lemas dan Lay
Kiat yang bersenjata golok besar.
"Ngo-wi losuhu, sebetulnya, mengingat bahwa yang
melakukan perampasan adalah Wu Wi Thaysu dari
Go-bi-pay, sebetulnya aku tidak akan menarik
panjang urusan ini. Biarpun aku belum pernah
berjumpa dengan Wu Wi Thaysu, namun namanya
sebagai tokoh Go-bi sudah cukup terkenal, dan pula
harus diingat bahwa ia melakukan perampasan untuk
menolong orang-orang yang menderita kelaparan.
Akan tetapi, kalau diingat lagi, perjalanan antara See-
ciu amat penting artinya bagi kita. Sedikitnya tiga kali
sebulan kita mengirim dan mengambil barang antara
See-ciu dan Han-ciu. Kalau gangguan sekali ini
dibiarkan saja, tentu para hek-to akan mengira kita
lemah dan mereka akan mendapatkan contoh yang
buruk," kata Yo Kang.
"Wu Wi Thaysu adalah seorang tokoh besar dari Go-
bi-pay, kalau aku tidak salah, dia adalah tokoh kedua
atau murid dari ketua Go-bi-pay, Pek Eng Thaysu.
Heran sekali mengapa seorang tokoh besar seperti dia
mau melakukan atau mengurus hal semacam itu,"
kata Lay Kiat dengan kening berkerut.
Memang, ketika mendengar bahwa yang melakukan
perampasan adalah tokoh Go-bi-pay itu, Lay Kiat dan
juga kawan-kawannya merasa gentar dan gelisah.
Mereka sudah mendengar akan kelihayan tosu itu,
dan pula kedudukan Wu Wi Thaysu amat tinggi di
kalangan kangouw. "Apakah yang akan kau lakukan selanjutnya, Yo-
kongcu?" tanya Pouw Cun, suaranya perlahan akan
tetapi jelas. "Harus kau ingat bahwa Wu Wi Thaysu
kepadaiannya amat tinggi, bukan aku hendak berkata
bahwa kau takut kepada-nya tetapi menanam
permusuhan dengan pihak Go-bi-pay bukanlah hal
yang cerdik." Yo Kang mengangguk. "Memang betul kata-katamu,
Pauw-suhu. Aku sendiri juga ingin mencoba
kepandaiannya, dan aku tidak takut. Akan tetapi aku
ragu-ragu untuk bermusuhan dengan partai persilatan
Go-bi yang demikian besar dan ternama. Tidak, aku
tidak akan memusuhi Go-bi-pay, aku hanya ingin
mengajak cuwi sekalian pergi menjumpainya dan
hanya perlu untuk mencuci muka kita sekalian agar
para penjahat tidak mengira kami takut. Terhadap Wu
Wi Thaysu, aku hanya ingin minta penjelasan tentang
pertolongan kepada mereka yang kelaparan itu, dan
minta ia berjanji agar lain kali apabila ada keperluan,
agar suka datang saja disini dan minta secara terus
terang daripada mengganggu barang kiriman."
"Baik, aku setuju dengan pikiran itu," kata The Sun
mengangguk-angguk. "Kapan kita akan berangkat?"
"Besok pagi-pagi, dan yang menjadi penunjuk jalan
cukup Cong-piauwsu seorang saja. Tak perlu ramai-
ramai, banyak orang menarik perhatian saja, seakan-
akan kita hendak mengerahkan semua tenaga hanya
untuk menghadapi seorang tosu," kata Yo Kang.
Semua guru silat itu mengangguk setuju.
"Yo-twako, akupun hendak ikut," tiba-tiba In Hong
berkata. Gadis ini sebenarnya tidak tertarik dengan urusan
yang dihadapi oleh Yo Kang, akan tetapi ia memang
tidak kerasan di rumah itu. Apalagi kalau Yo Kang
pergi, ia takkan betah tinggal disitu.
Selain ini, iapun tertarik mendengar bahwa yang
melakukan perampasan itu adalah seorang tokoh Go-
bi-pay, karena bukankah gurunya ketika ia pergi juga
sedang menghadapi tantangan pihak Go-bi-pay" Ia
ingin sekalian bertemu dengan Wu Wi Thaysu itu,
untuk bertanya tentang gurunya dan tentang
pertandingan yang dilakukan oleh gurunya untuk
menghadapi tantangan pihak Go-bi-pay.
Mendengar gadis itu hendak ikut, Yo Kang berseri
wajah?nya, akan tetapi lima orang guru silat itu
memandang heran dan nampaknya tidak setuju.
Hanya Pouw Cun saja yang tak berobah air mukanya,
namun dari balik bulu matanya, ia menatap wajah In
Hong dengan tajam. "Kwee-siocia, perjalanan ini bukan main-main. Kami
menghadapi orang yang telah mengganggu pekerjaan
kami, siapa tahu akan terjadi pertempuran!" kata The
Sun. "The-kauwsu, kalau ada pertempuran, yang bertempur
adalah kau dan kawan-kawanmu, itu tugasmu. Aku
hanya ingin ikut saja untuk menambah pengalaman,"
jawab In Hong ramah. "Akan tetapi perjalanan ini tidak dekat dan
melelahkan, dan bagaimana kalau sampai terjadi apa-
apa" Kami bahkan harus melindungimu, Kwee-siocia,"
kata The Kwan yang juga tidak setuju.
"Belum kalau muncul orang jahat," kata Tan Koay Kok,
"maafkan siocia, akan tetapi mata orang-orang jahat
akan menjadi gelap kalau melihat seorang gadis
muda yang ehh?" cantik di tengah jalan. Tentu hanya
akan menimbulkan keributan belaka."
In Hong tersenyum dan memandang kepada Tan-
kauwsu dengan mata berseri. Ia maklum akan
maksud kata-kata ini dan tahu pula bahwa kauwsu
tua ini bicara dengan sejujurnya, maka ia tidak
marah. "Tan-kauwsu, terima kasih atas pujianmu. Akan tetapi,
tentang perjalanan jauh, agaknya tidak mengapa
bagiku karena akupun biasa menunggang kuda.
Bahkan kudaku masih terpelihara baik-baik di
kandang Yo-twako. Adapun tentang orang-orang
kurangajar, ada ngo-wi lo-kauwsu dan Yo-twako di-
sampingku, aku takut apa sih?"
Akhirnya semua kauwsu itu menyerahkan
keputusannya kepada Yo Kang dan semua mata
memandang kepada pemuda ini.
"Hong-moy, soal kuda, aku mempunyai yang lebih
baik daripada kudamu. Memang, dengan adanya ngo-
losuhu bersama kita, kau tak usah khawatir
terganggu orang dijalan. Akan tetapi, terus terang
saja, perjalanan ini bukan tidak berbahaya. Agaknya
akan lebih amanlah hatiku kalau kau tinggal saja di
rumah. Urusan ini dikata kecil juga kecil, akan tetapi
kalau dianggap besar juga amat besar."
Walaupun mulutnya berkata demikian, namun di
dalam hatinya, Yo Kang merasa amat gembira kalau
nona yang mencuri hatinya ini ikut serta dalam
perjalanan itu. Ia ingin sekali memamerkan
keberanian dan kegagahannya kepada In Hong dan
inilah kesempatannya. "Yo-twako, memang aku tidak ada gunanya dalam
menghadapi urusanmu yang besar ini, akan tetapi
ingatlah, aku sekalian hendak mendengar-dengar
tentang ibuku, hendak menyelidiki tentang Can
Mama. Sekarang ada kesempatan baik sekali, mau
tunggu kapan lagi?" "Baiklah, Hong-moy. Memang kalau tidak ada
peristiwa gangguan ini, akupun tentu akan
mengantarmu melakukan penyelidikan itu," akhirnya
Yo Kang berkata dan demikianlah, mereka semua
bersiap-siap untuk melakukan perjalanan itu pada
keesokan harinya. Pagi-pagi sekali, berangkatlah rombongan terdiri dari
delapan orang itu. Mereka adalah Yo Kang, In Hong,
Cong-piauwsu, dan kelima Ngo-lokauwsu. Mereka
menunggang kuda dan para guru silat itu merasa lega
melihat bahwa In Hong benar-benar tidak kikuk
ketika melompat naik ke punggung kuda.
Tadinya mereka sudah merasa khawatir kalau-kalau
nona itu akan merupakan penghalang dan
penghambat perjalanan mereka. Setelah melompat di
atas punggung kudanya yang disediakan oleh Yo
Kang, In Hong berpaling dan tersenyum memandang
mereka. Ia maklum bahwa gerakannya tadi
diperhatikan, maka ja tidak memperlihatkan
kepandaian, hanya melompat biasa saja seperti orang
yang sudah pandai menunggang kuda namun tidak
mempunyai ginkang yang luar biasa.
"Mari kita berangkat!" Yo Kang mengomando.
Yang terde?pan adalah Cong-piauwsu sebagai
penunjuk jalan, kemudian menyusul lima orang
kawsu. Yo Kang menjalankan kudanya berendeng
dengan In Hong, mengikuti dari belakang. Entah
mengapa dia sendiri tidak mengerti, Yo Kang merasa
luar biasa gembiranya melakukan perjalanan ini. Jauh
sekali bedanya dengan yang biasa ia lakukan,
padahal kali ini menghadapi urusan besar yang
menjengkelkan. Semua ini tentu saja karena In Hong berada
disampingnya! Memang, semenjak pertemuan
pertama, hati Yo Kang sudah terampas oleh In Hong
dan pemuda ini jatuh hati kepadanya.
"Jangan khawatir, Hong-moy, apapun yang terjadi,
dengan adanya aku disampingmu, kau akan selamat.
Aku menyediakan nyawa dan raga untuk
Pecut Sakti Bajrakirana 6 Mahkota Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy Pendekar Gila 1
indahnya. "Pahit, ibu?" tanyanya dan suaranya mengandung
kasih sayang yang menggetarkan kalbu Cui Hwa. Ia
menaruh mangkok kosong itu di atas meja dekat
pembaringan, kemudian ia bertanya:
"Nah, sekarang ceritakanlah yang jelas. Siapa
namamu tadi" Teng San?"
"Ong Teng San nama anak, ibu. Ayahku yang
membawa ibu dalam keadaan sakit hebat. Kata ayah,
ibu ditolong oleh ayah dari ancaman maut, dan
menurut ayah, kau adalah pengganti ibuku yang
sudah meninggal dunia. Kata ayah, aku harus
menganggap kau sebagai ibuku sendiri, dan karena?"
karena akupun suka sekali mempunyai ibu seperti
kau, maka aku menurut pesan ayah dan merawat ibu
disini. Anak merasa senang sekali melihat ibu
berangsur sembuh dan?""
"Nanti dulu!" Cui Hwa kini memandang pucat. "Apa
kau bilang" Siapa itu ayahmu" Bagaimana ia berani
sekali mengatakan bahwa aku?""
"Ibu, maafkanlah ayah?" dia seorang yang paling
mulia di dunia ini, jangan marah kepadanya. Dia?"
di?" ibuku?" telah meninggal dunia setahun lebih
yang lalu dan dia?" aku?" amat berduka."
Melihat anak itu menangis tersedu-sedu, Cui Hwa
menjadi terharu. Memang, kesedihan hati sendiri akan
terobat melihat penderitaan atau kesedihan orang
lain, dan untuk sementara, seorang berhati mulia
seperti Cui Hwa yang sedang berduka, akan
melupakan kedukaan sendiri menghadapi orang lain
yang demikian berduka. Ia turun dari pembaringan,
memegang pundak Teng San dan menyuruhnya
berdiri. "Diamlah, nak," ia mengelus-elus kepala anak itu. "Dan
kau pergilah, panggil ayahmu kesini."
"Akan tetapi jangan marah kepadanya, ibu?""
Melihat betapa sepasang mata yang tajam dan
bening itu memandang kepadanya dengan penuh
permohonan, mengucurlah airmata dari sepasang
mata Cui Hwa dan dengan mulut tersenyum sedih, ia
menggeleng perlahan kepalanya sambil berkata
perlahan: "Kalau ayahmu sebaik engkau, aku takkan marah,
Teng San." Mendengar ini, Teng San kelihatan girang sekali dan ia
lalu berlari keluar. Sampai di pintu, ia menengok
kembali dan berkata: "Kau duduklah dulu, ibu. Jangan berdiri saja, kau
masih lemah. Biar anak memanggil ayah!"
Cui Hwa menghela napas dan duduk, termenung.
Dalam rumah siapakah ia tiba" Dengan orang macam
apa ia akan berhadapan" Ia mengingat kembali
semua pengalamannya. Yang teringat olehnya
hanyalah bahwa suaminya sudah menggeletak mandi
darah di dalam hutan, kemudian ia dibawa lari di atas
kuda oleh seorang laki-laki yang tak dilihat mukanya
diwaktu itu. Apakah laki-laki itu yang menjadi ayah
Teng San" "Suamiku?" agaknya kau?" kau telah?"" Sampai
disini, air matanya turun bertitik-titik di atas sepasang
pipinya yang agak pucat. Kemudian ia teringat akan
puterinya, In Hong, maka makin deraslah air matanya.
"In Hong?" bagaimana nasibmu, anakku?"?""
bisiknya. Pada saat itu, terdengar suara langkah orang di luar
pintu kamar. Teng San muncul bersama seorang laki-
laki yang sikapnya gagah, pakaiannya sederhana, dan
wajahnya tampan. "Ibu, mengapa kau menangis?"?" Teng San berlari
menghampiri Cui Hwa dan memeluk nyonya muda
yang sedang duduk menangis itu. "Jangan bersedih,
ibu, ada Teng San disini yang akan menghiburmu."
Cui Hwa makin terharu dan tak terasa pula ia
mendekap kepala anak itu kepangkuannya, terisak-
isak menangis. Kemudian ia teringat akan laki-laki
yang datang bersama Teng San, maka ia lalu
mengangkat muka memandang.
Dua pasang mata bertemu lama, yang sepasang
penuh kasih sayang, yang sepasang lagi penuh selidik
dan curiga, akhirnya sepasang mata Cui Hwa yang
memandang penuh selidik itu mengalihkan ke bawah,
mukanya menjadi agak merah karena ia merasa
amat tidak enak dan malu berhadapan dengan
seorang laki-laki muda yang tak dikenalnya di dalam
kamar yang asing itu. Baiknya disitu ada Teng San,
maka ia mengelus-elus kepala anak itu untuk
menghilangkan kebingungannya.
"Kau sayang kepada Teng San, bagus sekali. Bukan
main lega hatiku melihatnya," terdengar laki-laki itu
berkata dan suaranya mempunyai gaya seperti suara
Teng San, halus dan lemah lembut, namun
berpengaruh. Dengan perlahan, Cui Hwa mendorong kepala Teng
San dari pangkuannya dan anak ini lalu duduk di atas
pembaringan dekat Cui Hwa.
"Kau siapakah" Dan apa maksudnya ini semua"
Mengapa kau membawaku kesini dan bagaimana
dengan?" suamiku" Dimana pula In Hong anakku?"
Cui Hwa hanya sebentar saja menatap wajah laki-
laki itu, karena pandang mata yang penuh
kekaguman dan kasih sayang yang ditujukan
kepada?nya itu membuat ia tidak berani memandang
dan bertemu pandang terlalu lama.
Laki-laki itu yang bukan lain adalah Ong Tiang Houw,
menarik sebuah bangku di dekat meja, lalu duduk. Ia
menarik napas panjang berkali-kali, agaknya hendak
menenteramkan hatinya yang berguncang, kemudian
berkata lambat-lambat: "Biarlah kita bicara dengan hati terbuka dan biarpun
yang akan kita bicarakan ini tidak patut didengarkan
oleh seorang anak-anak, akan tetapi kurasa lebih baik
Teng San biar tinggal disini agar kau tidak merasa
kikuk dan pula lebih pantas kalau dia mengawanimu
disini." Hati Cui Hwa lega mendengar kata-kata ini, ia merasa
setuju dan terhibur mendengar kata-kata yang
mencerminkan sikap sopan dan jujur ini, maka ia
mengangguk menyetujui. "Aku bernama Ong Tiang Houw, seorang?" duda
yang hidup berdua dengan puteraku ini, Ong Teng
San?"" Kembali Cui Hwa mengangguk tanda bahwa ia sudah
mengerti akan hal ini, karena memang ia sudah
mendengar dari Teng San bahwa ibunya meninggal
dunia setahun lebih yang lalu. Nama Ong Tiang Houw
tidak pernah dikenalnya, maka tidak mendatangkan
sesuatu yang aneh. Padahal bagi dunia kangouw,
nama ini tentu akan dikenal baik sebagai nama
seorang pendekar muda yang lihay sekali!
"Dua pekan yang lalu, pada suatu malam, lewat
tengah malam, aku mendapatkan kau menggeletak di
dalam hutan dalam keadaan pingsan dan?""
"Dua pekan yang lalu?" Cui Hwa mengulang dan ia
memandang wajah Tiang Houw untuk sejenak.
Tiang Houw mengangguk. "Ya, dua pekan yang lalu.
Kau telah menderita sakit demam yang cukup hebat
selama hampir dua pekan."
"Aahhh?" teruskanlah."
"Selain kau, aku melihat pula?" seorang laki-laki
rebah di atas tanah dalam keadaan sudah?" tewas."
Cui Hwa tak dapat menahan air matanya yang
mengucur keluar. Ia mengangguk-angguk dan berkata
terputus-putus: "Aku tahu, aku tahu?" aku melihat
dia?" suamiku?" menggeletak dengan kepala penuh
darah. Sudah kuduga?" dia tentu sudah?" meninggal
dunia?"" Tiang Houw membiarkan nyonya muda itu terisak-
isak sebentar dan Teng San memeluk Cui Hwa:
"Tenanglah, ibu, harap suka menguatkan hati?""
"Teruskanlah?"" minta Cui Hwa dengan suara sayu.
"Karena di dalam keributan itu aku tidak dapat
melakukan sesuatu untuk menolongmu, maka
terpaksa aku lalu membawamu pergi dari tempat
berbahaya itu dan membawamu pulang ke rumahku
ini. Kau berada dalam keadaan pingsan dan ketika
kau kubawa kesini, kau terserang demam hebat. Nah,
hanya itulah yang dapat kuceritakan."
Cui Hwa kembali mengangkat muka, memandang
kepada Tiang Houw dengan sinar mata penuh selidik.
"Siapakah yang membunuh suamiku?"
Ketika ia melakukan pertanyaan ini, kedua matanya
demikian tajam menatap wajah Tiang Houw sehingga
yang dipandang terpaksa mengalihkan pandang
matanya kekanan, tidak berani menghadapi sinar
mata Cui Hwa secara langsung.
Tiang Houw adalah seorang laki-laki gagah perkasa
yang takkan merasa gentar menghadapi keroyokan
musuh yang bagaimana kuatpun, akan tetapi kini
menghadapi Cui Hwa dengan sinar matanya yang
bening tertutup air mata itu dan mendengar
pertanyaan yang diucapkan oleh bibir yang gemetar,
hatinya berdebar keras! Dan baru pertama kali ini
selama hidupnya, Tiang Houw merasa takut dan tidak
merasa malu untuk membohong!
"Malam hari itu terjadi keributan besar, orang-orang
miskin membalas dendam kepada orang-orang yang
menindas mereka, aku hanya mendapatkan kau
dan?" suamimu dalam keadaan seperti yang
kututurkan tadi, bagaimana aku bisa tahu?" jawab
Tiang Houw secara menyimpang.
"Ibu, kalau ayah tahu orang yang membunuh, tentu
pembunuh itu takkan dapat melarikan diri. Ayah
adalah seorang gagah yang berkepandaian tinggi?""
"Teng San, jangan menyombong!" tegur Tiang Houw.
"Tidak, ayah, terhadap orang lain tentu saja anak
tidak akan mau menyombongkan diri atau
menyombongkan ayah, akan tetapi di depan ibu?""
Akan tetapi, ia segera menghentikan kata-katanya
ketika melihat pandang mata ayahnya melarangnya
bicara terus. Cui Hwa termenung sejenak. Kemudian ia bertanya:
"Dan tahukah kau dimana adanya puteriku, In Hong?"
"Sayang sekali aku tidak tahu, dan ketika aku
mendapatkan kau di dalam hutan itu, aku tidak
melihat lain orang, tidak melihat seorang anak-anak
disana." Kembali Cui Hwa termenung. Memang ia tahu bahwa
Tiang Houw tak mungkin bertemu dengan In Hong.
Anaknya itu telah melarikan diri dengan Can Mama,
dan ia tidak tahu bagaimana nasib mereka. Mengingat
betapa ia telah ditinggal mati suaminya dan kini
kehilangan anaknya yang belum diketahui bagaimana
nasibnya, kembali air matanya seperti membanjir
keluar. Perlahan ia berdiri dan kata-kata yang keluar
lambat-lambat dari bibirnya yang telah memerah
kembali, terdengar jelas:
"Aku harus membalas dendam kepada orang yang
menyebabkan kematian suamiku dan kehilangan
anakku!" Kata-kata ini lambat-lambat dan perlahan, namun
terdengar bagaikan suara guntur menggelegar bagi
telinga Tiang Houw sehingga mukanya berubah pucat.
Adapun bagi telinga Teng San, suara itu terdengar
amat mengharukan, maka sambil memeluk pinggang
nyonya muda itu, ia berkata keras:
"Jangan khawatir, ibu, anakmu Teng San kelak akan
mencari dan membalas dendam kepada keparat itu!!"
"Diamlah kalian!" Tiang Houw membentak, membikin
kaget kepada Cui Hwa dan Teng San. Ketika mereka
menengok, mereka melihat Tiang Houw sudah duduk
sambil menutup muka dengan kedua tangannya.
Teng San melompat dan memegang pundak ayahnya.
"Kenapakah, ayah?"
Cui Hwa juga memandang heran dan sampai lama
Tiang Houw tidak mengeluarkan sedikitpun suara.
Terjadi pertentangan di dalam dada pendekar itu. Ia
ingin berterus terang sebagai seorang gagah, bahwa
dialah yang membunuh Kwee Seng, membunuh
bukan karena dendam perseorang, ingin berterus-
terang bahwa dia sebagai laki-laki gagah berani
bertanggung-jawab atas semua perbuatannya.
Akan tetapi dilain pihak, ia takut kalau-kalau nyonya
ini akan membencinya. Makin lama, makin dalamlah
perasaan cinta kasihnya kepada Cui Hwa sehingga ia
memberitahu kepada Teng San yang selalu bertanya
bahwa wanita ini adalah pengganti ibu Teng San. Dan
lebih berat lagi baginya, tidak saja dia telah jatuh hati
betul-betul kepada Cui Hwa, bahkan Teng San sendiri
sudah menyinta Cui Hwa sebagai seorang anak
terhadap ibunya. Akhirnya, cinta kasih lebih kuat daripada kegagahan.
"Untuk apa ribut-ribut tentang kematian" Mati atau
hidup bukanlah urusan manusia, melainkan keputusan
dari Thian Yang Mahakuasa. Siapa pula yang mengira
bahwa ibumu dapat meninggal dunia, Teng San?"
Kembali Tiang Houw menutup mukanya, bukan saja
karena merasa malu kepada diri sendiri karena
kebohongannya, akan tetapi juga karena ia merasa
berduka kalau mengingat isterinya yang membunuh
Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diri gara-gara perbuatan laknat dari seorang hartawan
jahanam. Cui Hwa memandang kepada ayah dan anak ini.
Hatinya mulai tertarik dan terharu.
"Kalian ini orang-orang yang berbudi mulia," katanya
dan ia kini menentang pandang mata Tiang Houw
yang telah menurunkan tangannya dari depan muka,
"aku berterima kasih sekali kepadamu, saudara Ong.
Kau juga seorang anak yang amat berbakti dan baik,
Teng San, aku benar-benar suka sekali kepadamu.
Akan tetapi, sekarang aku harus pergi, tidak
selayaknya aku lebih lama tinggal di rumah kalian ini."
Tiang Houw terkejut dan mukanya berubah. Apalagi
Teng San, anak ini segera menubruk Cui Hwa dan
menangis. "Ibu, jangan pergi meninggalkan kami! Bukankah aku
anakmu dan kau sudah menjadi ibuku".." Ayah,
jangan perbolehkan ibu yang ini pergi lagi seperti ibu
yang dulu?"!" Tiang Houw merasa terharu dan ia hanya
memandang dengan muka sedih. Dengan suara yang
parau ia menjawab: "Teng San, bagaimana ayahmu
bisa menahan" Ayah pun tidak berdaya, anakku,
hanya dapat berduka dan kecewa."
Cui Hwa bingung. Ia benar-benar merasa kasihan
kepada dua orang ini. "Tidak bisa, aku pergi. Aku harus mencari In Hong,
anakku. Aku tidak boleh tinggal disini, apa akan kata
orang lain?" "Orang lain sudah mengetahui bahwa kau tinggal
bersama kami selama dua pekan, bahkan Teng San
sudah membanggakan bahwa kau adalah ibunya, hal
ini diceritakannya kepada siapapun juga yang mau
mendengarnya." Merahlah wajah Cui Hwa dan ia memandang kepada
Teng San dengan marah. Akan tetapi kemarahannya
lenyap ketika ia memandang kepada anak itu.
Bagaimana ia bisa merasa marah kepada anak yang
memandangnya dengan sinar mata demikian
menyinta" Bahkan sinar mata In Hong tidak sehalus
anak ini kalau memandangnya.
"Bagaimana ini" Mengapa kau diamkan saja anakmu
bica?ra seperti itu?"
Tiang Houw kini merah mukanya dan dengan lambat
perlahan ia menjawab: "Memang aku tidak
melarangnya, karena aku?" akupun mempunyai
pikiran yang sama. Aku?" aku mau kau?" yakni
kalau kau sudi?" kau menjadi pengganti ibu
anakku?"" Sukar sekali kata-kata ini keluar dari
mulut pendekar yang tidak pernah gentar
menghadapi penjahat besar itu.
Wajah Cui Hwa menjadi makin merah. Ia bingung
sekali karena anak dan ayah ini benar-benar aneh.
"Bagaimana kau dan anakmu bisa berpikiran begitu"
Aku kehilangan anakku?""
"Dan aku kehilangan ibuku!" Teng San menjawab
cepat. "Dan Teng San dapat menjadi anakmu yang berbakti
dan baik," Tiang Houw membantu anaknya.
"Akan tetapi?" aku baru saja kematian suamiku?","
kata pula Cui Hwa. "Dan aku kematian isteriku!" kata pula Tiang Houw
cepat-cepat untuk mengimbangi keadaan Cui Hwa.
"Dan tentang pemikahan kita, tak perlu terburu-buru,
terserah kepadamu memilih waktu setelah kau
melepas perkabunganmu."
"Dan ayah adalah seorang ayah dan suami yang baik
sekali!" Teng San yang cerdik membantu ayahnya.
"Aku berani tanggung bahwa dia akan menjadi
seorang suami yang tiada bandingnya di dunia ini!"
Wajah Cui Hwa makin merah dan ia menjadi makin
bingung, tidak tahu harus mengambil keputusan
bagaimana. "Aku harus mencari In Hong, harus tahu bagaimana
nasibnya. Bagaimana aku dapat memikirkan nasib
sendiri kalau keadaannya belum kuketahui?" Kata-
kata ini merupakan keluhan.
"Hujin (nyonya)?"" kata Tiang Houw, akan tetapi
sebelum ia melanjutkan kata-katanya, Teng San
menegurnya: "Ayah, alangkah lucunya panggilan itu. Mengapa ayah
menyebut nyonya kepada ibuku?"
Tiang Houw menjadi gugup, demikianpun Cui Hwa.
Akan tetapi Tiang Houw dapat mengatasi keadaan
yang lucu dan ganjil ini, maka katanya sambil
tersenyum: "Betul juga, sampai demikian lama, aku belum
mendapat tahu namamu, bolehkah kami
mengetahuinya?" "Aku adalah Nyonya Kwee?""
"Ibu, mengapa masih memakai nama itu" Ibu tentu
mempunyai nama sendiri, bukan?" tanya Teng San
sebelum ayahnya dapat mencegahnya.
Namun Cui Hwa tidak menjadi marah karena ia
maklum bahwa anak itu belum tahu apa-apa dan
tidak bermaksud menyinggung hatinya.
"Teng San, dahulu aku bernama Yo Cui Hwa."
"Nama yang bagus! Ibu, bagus sekali namamu. Yo Cui
Hwa, ah, benar-benar indah. Bukan begitu, ayah?"
Tiang Houw hanya mengangguk-angguk. "Memang
bagus, nah se?karang dengarlah usulku, adik Cui
Hwa. Tentang puterimu yang masih belum diketahui
tempat tinggalnya dan nasibnya itu, biarlah
kauserahkan kepadaku untuk mencarinya. Kalau
memang dia masih ada, tentu aku akan dapat
membawanya kesini dan biar dia tinggal bersama kita
disini. Bukankah hal itu akan baik sekali?"
"Bagus, aku akan mendapatkan seorang adik! Aku
senang sekali!" Teng San berteriak-teriak.
Tentu saja Cui Hwa setuju. Memang baginya sendiri,
amat berat untuk mencari In Hong. Dia seorang
wanita lemah, bagaimana ia dapat mencari In Hong"
Kalau Tiang Houw mau mencari, itulah hal yang paling
baik. "Terima kasih, saudara Ong. Kau lagi-lagi
memperlihatkan budimu yang amat baik. Ketika
terjadi penyerbuan, anakku itu dibawa pergi oleh Can
Mama, inang pengasuhnya. Kalau aku tidak salah kira,
tentu oleh Can Mama, anakku itu dibawa lari ke See-
ciu, dimana tinggal seorang pamanku yang bernama
Yo Tang. Harap kau suka mencarinya disana."
"Baik, adik Cui Hwa. Hari ini juga aku akan berangkat.
Harap kau baik-baik tinggal di rumah bersama anak
kita." Merah pipi Cui Hwa mendengar ini, akan tetapi ia
tidak marah dan hanya mengelus-elus kepala Teng
San. Ia harus akui bahwa Tiang Houw benar-benar
merupakan seorang laki-laki yang tidak saja tampan
dan gagah, akan tetapi juga bersikap halus dan
berbudi mulia dan sopan. Suaminya telah meninggal
dunia, dan agaknya di dalam dunia ini tidak mungkin
ia mendapatkan seorang calon suami seperti Ong
Tiang Houw. Demikianlah, Tiang Houw pada hari itu juga
meninggalkan rumahnya dan mulai dengan
perjalanannya mencari puteri dari keluarga Kwee
yang dibasminya bersama anak buahnya! Sesuai
dengan keterangan Cui Hwa, ia mencari ke See-ciu
dan benar saja, di kota ini ia mendengar tentang
adanya seorang hartawan bernama Yo Tang. Ia mulai
menyelidiki karena untuk langsung mendatangi
hartawan ini, ia merasa tidak enak.
Dari keterangan yang ia kumpulkan, ia mendengar
bahwa memang betul rumah hartawan Yo itu
kedatangan seorang nenek tua bernama Can Mama
dan orang-orang mengabarkan pula bahwa Can
Mama adalah pelayan dari seorang keponakan Yo-
wangwe di dusun Tiang-on yang sudah dibasmi oleh
para penyerbu, yakni pasukan Kay-sin-tin. Akan tetapi
ketika ditanya tentang seorang nona kecil bernama In
Hong, tak se?orang pun mengetahuinya.
Oleh karena itu, Tiang Houw lalu mengambil jalan
pendek. Pada malam harinya, ia mendatangi rumah
gedung hartawan Yo dan di luar tahunya siapapun
juga, ia menangkap dan membawa pergi Can Mama!
Setelah mendapat keterangan dari Can Mama bahwa
nona In Hong dibawa pergi oleh se?orang nenek
seperti siluman, Tiang Houw menjadi bingung. Ia
dapat menduga bahwa yang membawa pergi In
Hong tentulah seorang kangouw yang berkepandaian
tinggi, yang suka melihat nona kecil itu dan hendak
mengambilnya menjadi murid. Maka tiada lain jalan
baginya kecuali membawa Can Mama pulang ke
dusunnya sendiri. Pertemuan antara Cui Hwa dan Can Mama amat
mengharukan. Setelah bertangis-tangisan mereka
saling menuturkan pengalamannya dan Cui Hwa
menangis sedih ketika mendengar bahwa In Hong
dibawa pergi oleh seorang nenek seperti siluman. Ia
mengira bahwa nenek itu tentu sebangsa siluman
yang akan mengganggu puterinya. Akan tetapi Tiang
Houw menghiburnya. "Nenek itu tentu seorang kangouw yang
berkepandaian tinggi. Aku berani memastikan bahwa
anakmu itu akan selamat, adik Cui Hwa. Jangan kau
khawatir, aku akan bertanya-tanya kepada kawan-
kawan di dunia kangouw kalau-kalau ada yang
melihat anakmu. Kalau yang membawanya itu
seorang kangouw, percayalah kepadaku, kalau aku
yang minta tentu ia akan memberikan In Hong
kepadaku." Akhirnya, berkat hiburan Tiang Houw, Teng San, dan
dibantu pula oleh Can Mama, akhirnya hati Cui Hwa
terhibur juga. Terutama sekali, dengan adanya Can
Mama disitu, ia merasa lebih suka tinggal disitu.
Akhirnya iapun tidak me-nolak menjadi isteri Tiang
Houw yang diketahui benar-benar memang amat baik
budinya. Can Mama juga membantu Tiang Houw
dengan bujukan-bujukannya, karena orang tua ini
juga tidak melihat jalan lain yang lebih baik bagi
nyonya majikannya. Memang betul mereka dapat pergi ke See-ciu, akan
tetapi apa akan kata orang kalau mengetahui bahwa
nyonya janda muda itu sudah lama tinggal di rumah
seorang duda yang hidup berdua dengan puteranya"
Kalau pamannya, yakni Yo-wangwe mendengar pula,
tentu akan marah sekali dan mungkin akan
mengusirnya, karena akan menganggap bahwa Cui
Hwa hanya akan mencemarkan nama baik keluarga
Yo! Memang pada waktu itu, peraturan di Tiongkok
bagi pihak wanita amat keras dan bengis.
Semenjak menikah dengan Cui Hwa, Tiang Houw
tidak lagi mau memimpin orang-orang untuk
menyerbu dusun dan kota. Tidak lagi ia menaruh hati
dendam kepada hartawan-hartawan dan bangsawan-
bangsawan. Ini adalah jasa dari Cui Hwa. Didalam percakapan
mereka, ketika Tiang Houw menyatakan
pembelaannya terhadap para jembel yang menyerbu
kota dan dusun, yang membalas dendam kepada
orang-orang hartawan dan pembesar yang dianggap
orang-orang yang mencekik kehidupan mereka, Cui
Hwa menjawab penuh semangat:
http://cerita-silat.mywapblog.com
22Pendekar-pendekar Bernasib Sial - Sian li eng tju
http://cerita-silat.mywapblog.com
. Pengakuan Sang Suami Pengecut.
"Alangkah picik dan rendahnya pendirian macam itu!
Memang tak dapat disangkal kebenarannya bahwa
ada orang-orang hartawan dan bangsawan yang
jahat dan keji, yang tidak segan-segan memeras
keringat dan darah rakyat kecil. Akan tetapi harus
diingat pula bahwa ada juga orang miskin yang pada
dasarnya berwatak rendah dan jahat! Tak dapat
disangkal pula bahwa ada di antara bangsawan dan
hartawan yang berhati mulia, seperti juga halnya
petani miskin ada pula yang berhati baik. Bagaimana
manusia bisa disama ratakan" Bukan semua orang
hartawan mendapatkan harta bendanya dengan jalan
memeras keringat orang miskin! Apa sih jahatnya
seseorang yang rezekinya kebetulan banyak dan
baik" Suamiku, memang aku tahu akan rasa sakit
hatimu karena keluargamu musnah akibat perbuatan
busuk seorang hartawan keji, akan tetapi sungguh
merupakan penasaran besar kalau kau lalu
menganggap semua hartawan jahat belaka. Coba
bayangkan, andaikata kau bekerja keras kemudian
berhasil mengumpulkan harta benda dengan halal,
kemudian datang para jembel itu yang membalas
dendam kepada para hartawan sehingga kau dan
anak isterimu menjadi korban pula, bagaimana
perasaan hatimu?" Tiang Houw diam saja, mendengarkan penuh
perhatian. "Seorang hartawan berlaku jahat lalu semua
hartawan dibasmi, benar-benar merupakan penasaran
besar! Andaikata ada seorang jembel melakukan
kejahatan, apakah semua orang jembel di dunia
inipun harus dibasmi habis" Menilai watak orang tak
dapat dipandang dari sudut kaya miskinnya,
Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melain?kan dari perbuatannya. Memang, kekayaan
bisa membikin orang menjadi jahat, akan tetapi
sebaliknya harus diingat bahwa kemiskinan pun bisa
membikin orang menjadi mata gelap dan jahat.
Semua tergantung dari si orang itu sendiri."
Diam-diam Tiang Houw memuji kebijaksanaan
isterinya dan diam-diam ia harus akui bahwa tadinya
dia terlampau menurutkan nafsu dan dendam.
Memang, pembalasan dendam yang ditujukan kepada
semua orang hartawan dan bangsawan, benar-benar
tidak adil sama sekali. Ia merasa malu kepada diri
sendiri dan tanpa diketahui oleh isterinya, ia lalu
mendatangi kawan-kawannya dan membubarkan
Kay-sin-tin, bahkan mengancam agar mereka jangan
sekali-kali melakukan penyerbuan yang membabi
buta itu! Setahun setelah mereka menikah, Cui Hwa
melahirkan seorang anak perempuan. Bukan main
girangnya keluarga itu dan terutama sekali Cui Hwa
dan Can Mama. Kedua orang wanita ini terhibur
kedukaan hati mereka karena kini ada seorang anak
perempuan yang menggantikan In Hong yang telah
lenyap tiada kabar ceritanya. Sia-sia saja Tiang Houw
mencari ke mana-mana, karena ia tidak tahu bahwa
In Hong dibawa oleh Hek Moli ke puncak Ciung-lai-
san dan semenjak itu tak pernah turun-gunung.
Cui Hwa hidup dengan aman dan tenteram dan
kelihatan?nya berbahagia. Suaminya benar-benar
seorang yang amat cinta kepadanya. Teng San lebih-
lebih lagi merupakan seorang putera yang amat
berbakti, bahkan sikap anak ini demikian baik
kepadanya sehingga Cui Hwa merasa bahwa anak itu
seperti anaknya sendiri. Adapun anak perempuan
yang menjadi adik Teng San itu bernama Ong Lian
Hong, makin besar makin nampak kecantikannya,
serupa benar dengan ibunya sehingga tentu saja
serupa pula dengan In Hong!
Teng San amat sayang kepada adik tirinya ini,
demikianpun Lian Hong amat kasih kepadanya.
Memang tidak ada sesuatu nampaknya yang akan
dapat mengurangi kebahagiaan Cui Hwa. Akan tetapi,
tetap saja ada sesuatu yang menusuk hati dan
merupakan ganjalan di dalam kebahagiaan Cui Hwa.
Seringkali ia minta kepada suaminya, yang
diketahuinya seorang pendekar perkasa, untuk
mencari tahu dan menyelidiki siapakah sebenarnya
pembunuh dari Kwee Seng! Tiada apapun jua di dalam dunia ini yang kekal.
Segala sesuatu berubah pada saatnya, dan tidak ada
kekuasaan di dunia yang dapat mencegah terjadinya
perubahan ini. Anak-anak berubah menjadi dewasa,
orang dewasa menjadi tua, yang tua meninggal
dunia, dilain pihak manusia-manusia baru terlahir dan
muncul di dunia menggantikan mereka yang pergi ke
tempat asal. Tepatlah kata-kata orang bijaksana
dijaman dahulu bahwa Langit dan Bumi serta segala
isinya berasal dari ADA, sedangkan ADA berasal dari
TIADA! Bukankah segala sesuatu yang kita lihat di depan
mata kita ini tadinya memang TIDAK ADA" Dan
bukankah semua ini kelak juga kembali menjadi
TIDAK ADA" Demikian pula dengan kebahagiaan hidup manusia.
Dimana ada kebahagiaan kekal di dunia ini" Kalau
orang mengira bahwa ia mengenal kebahagiaan, itu
berarti bahwa iapun akan mengenal kesengsaraan!
Kalau orang bisa bersenang, pasti ia bisa berduka.
Inilah hukum IM-YANG dari pada alam yang meliputi
kehidupan seluruh alam, hukum yang tak dapat
di?sangkal pula kebenarannya. Kalau ada siang pasti
ada malam, kalau ada kanan pasti ada kiri, ada
senang pasti ada susah dan ada bahagia pasti ada
sengsara. Sebaliknya, tanpa siang takkan ada malam,
tanpa kanan takkan ada kiri dan sebagainya. Kalau
kita tidak mengenal senang, bagaimana dapat
mengenal susah" Manusia selalu menjadi hamba
daripada perasaannya sendiri dan karena inilah maka
ia terombang ambing dalam permainan perasaan
yang seluruhnya dikuasai oleh tenaga IM-YANG.
Karena kelemahan manusia inilah maka Guru besar
Khong Hu Cu mengajar manusia tentang Tiong-yong,
tentang menguasai hati dan perasaan sendiri agar
selalu "tiong" atau lurus tegak, tidak condong ke
kanan atau ke kiri, tidak con-dong kepada IM maupun
kepada YANG. Tidak terseret oleh suka maupun duka,
sehingga orang akan menerima segala apa dengan
tenang. Penghidupan keluarga Ong Tiang Houw memang
tadinya nampak seakan-akan mereka itu selalu
berbahagia dan tidak pernah mengenal duka. Ong
Tiang Houw dan isterinya yang baru, yakni Yo Cui
Hwa, saling menyinta dan hidup rukun sekali. Putera
dan puteri mereka, Ong Teng San dan Ong Lian Hong,
juga amat penurut serta berbakti kepada orang tua.
Teng San merupakan seorang pemuda yang benar-
benar patut disayang. Biarpun Cui Hwa adalah ibu
tirinya, akan tetapi ia ibu tirinya seperti ibu sendiri.
Juga ia sayang kepada adik tirinya, Lian Hong. Boleh
dibilang dialah yang mengasuh adiknya ini selalu,
sungguhpun sudah ada pelayan atau inang pengasuh.
Disamping kebaikan-kebaikan ini, Teng San juga
merupakan seorang pemuda yang amat gagah,
tubuhnya tinggi besar dan tegap, mukanya
kemerahan dan alisnya tebal. Ilmu silatnya lihay
karena semenjak kecil ia digembleng oleh ayahnya.
Juga Lian Hong setelah berusia enam tahun, mulai
menerima latihan dari kakaknya.
Adapun Lian Hong, serupa benar mukanya dengan
ibunya, cantik manis dan lucu. Anak ini amat disayang
oleh ayah bunda serta kakaknya, maka ia menjadi
manja sekali. Apa saja yang dimintanya, pasti
dipenuhi oleh ayah bundanya.
Memang, dipandang begitu saja orang akan mengira
bahwa kehidupan keluarga ini sudah amat
berbahagia, tiada kekurangan dan tiada sesuatu yang
dapat menyusahkan hati mereka.
Akan tetapi, pada hakekatnya tidaklah demikian. Cui
Hwa memang sudah dapat merasa puas menjadi
isteri Tiang Houw, namun nyonya ini selalu merasa
penasaran dan sakit hati atas kematian suaminya
yang pertama, yakni Kwee Seng. Tiap kali ia teringat
akan suaminya yang terbunuh secara menyedihkan
dan teringat kepada putrinya, In Hong yang belum
juga diketahui bagaimana nasibnya, ia lalu mendesak
kepada suaminya untuk menyelidiki.
Tiang Houw sudah bertahun-tahun berperang di dalam
dadanya sendiri. Dia adalah seorang gagah yang
menjunjung tinggi kegagahan, menjunjung tinggi
kejujuran dan karenanya ia merasa amat sengsara
bahwa selama ini ia membohongi isterinya yang
dicintainya. Sebagaimana diketahui, yang mem-bunuh
Kwee Seng suami pertama dari Cui Hwa adalah Ong
Tiang Houw sendiri, akan tetapi sudah sepuluh tahun
mereka menjadi suami isteri, Tiang Houw masih
belum berani mengakui perbuatannya.
Pada suatu senja, keluarga itu duduk bercakap-cakap
di ruang depan setelah makan sore yang selalu
dilakukan berbareng. Tidak seperti biasanya, Cui Hwa
nampak termenung dan berduka, agaknya ada
sesuatu yang mengganjal di dalam dadanya.
Suaminya maklum bahwa lagi-lagi isterinya ini
memikirkan tentang sakit hati yang belum juga
terbalas, dan sudah dalam beberapa hari ini, seringkali
mereka berbantahan kalau membicarakan hal itu di
dalam kamar mereka. Tiang Houw juga mulai mendongkol, karena ia mulai
dihinggapi racun cemburu dan iri hati. Dianggapnya
bahwa isterinya itu, setelah menjadi isterinya selama
sepuluh tahun, tetap masih menyinta suami pertama.
"Apa kau merasa tidak bahagia menjadi isteriku?"
demikian Tiang Houw bertanya pada beberapa hari
yang lalu di dalam kamarnya. "Mengapa kau selalu
masih ingat kepada suamimu yang dulu" Ingat, Cui
Hwa, kau sudah menjadi isteriku selama sepuluh
tahun dan kita sudah mempunyai Lian Hong maka
seharusnya kau merasa puas dan melupakan hal
yang sudah-sudah." "Sudah kucoba, namun sia-sia. Hampir setiap malam
aku bermimpi melihat Kwee Seng yang membujukku
agar supaya aku berusaha mencari pembunuhnya.
Suamiku, kau adalah seorang gagah perkasa yang
berkepandaian tinggi, di dunia kangouw namamu
amat terkenal. Masa kau tidak bisa mencari
pembunuh keji itu?" Demikianlah percakapan itu, percakapan yang
membuat Tiang Houw menjadi tak senang, cemburu
dan iri hati, dan yang membuat Cui Hwa selalu
murung. Mulailah timbul suasana yang tegang di
antara mereka. Cui Hwa menganggap bahwa suaminya itu sengaja
tidak mencari sungguh-sungguh untuk membalaskan
sakit hati mendiang Kwee Seng, adapun Tiang Houw
menganggap bahwa isterinya tidak menyintanya dan
masih menyinta kepada suami pertama yang sudah
meninggal dunia. Ong Teng San pada waktu itu sudah dewasa, sudah
berusia enambelas tahun, maka ia dapat merasakan
suasana yang tidak menyenangkan ini. Akan tetapi
tentu saja ia tidak berani bertanya, hanya menghibur
suasana itu dengan mengajak Lian Hong bermain-
main. Kedua orang tua itu hanya memandang saja dan
mereka tiada nafsu untuk bercakap-cakap. Keadaan
benar-benar tidak menyenangkan.
Teng San merasa sekali akan adanya hal yang tidak
menyenangkan ini, maka ia lalu mengajak Lian Hong
masuk. "Adik Hong, kau tidurlah, besok bangun pagi-pagi dan
kita berlatih silat. Kau masih kaku dalam mainkan
jurus keenam, kakimu masih belum benar
gerakannya," kata Teng San.
Lian Hong cemberut. "Kau selalu mencela saja, San-ko.
Ayah, kau lihatlah, masa gerakan begini masih terus
disebut kurang sempurna oleh San-ko?"
Gadis cilik ini lalu bersilat di depan ayahnya,
melakukan jurus keenam yang dimaksudkan oleh
Teng San. Gerakannya lincah dan cepat dan ayahnya
memandang dengan wajah gembira. Setelah Lian
Hong berhenti bersilat, ayahnya berkata:
"Lian Hong, kau harus selalu menurut dan taat akan
petunjuk kakakmu, kulihat memang gerakan kakimu
kurang sempurna. Sekarang tidurlah, besok boleh
dilatih lagi dan aku sendiri akan memberi petunjuk
padamu." Lian Hong cemberut. Sebagai seorang anak manja,
tentu saja ia tidak senang mendengar ayahnya juga
mencela kepandaiannya. Maka ia menengok kepada
ibunya. "Ibu! bukankah gerakanku tadi sudah baik sekali?"
Semenjak kecil, kalau Lian Hong bertanya sesuatu
kepada ibunya, selalu ibunya memujinya, apalagi
dalam ilmu silat memang Cui Hwa tidak tahu apa-
apa. Untuk menyenangkan hati puterinya, dan untuk
menambah semangatnya, ia selalu memuji begitu
saja. Akan tetapi kali ini, jawabannya tidak saja
mengejutkan Lian Hong, juga amat mengejutkan hati
Teng San. "Apa sih baiknya segala gerakan silat itu" Ilmu yang
kasar tiada gunanya, hanya bisa dipakai untuk main
sombong-sombongan! Lian Hong, lebih baik kau
belajar menulis dan menyulam, tidak mempelajari
ilmu silat yang tidak ada gu-nanya sama sekali itu!"
kata-kata ini terdengar keras dan ketus dan biarpun
Cui Hwa bicara kepada Lian Hong, namun ia
mengerling ke arah suaminya, penuh celaan.
Mendengar jawaban ini, Lian Hong yang amat manja
lalu menangis. Teng San maklum bahwa ada sesuatu yang tidak baik
telah terjadi antara ayah dan ibu tirinya, dan tidak
baik kalau Lian Hong yang masih kecil tahu akan hal
ini. Maka Teng San lalu menggandeng tangan adiknya
dan diajak pergi ke kamarnya.
"Ibu sedang tak senang pikirannya, jangan kita
mengganggunya," kata Teng San sambil mengusap air
mata dari pipi adik tirinya. "Kau tidurlah dan besok ibu
tentu akan bicara manis lagi kepadamu."
Setelah menghibur hati Lian Hong dan melihat
adiknya itu akhirnya tertidur, Teng San lalu berjalan
keluar. Ia telah cukup dewasa dan berhak
mengetahui apakah yang diributkan oleh kedua
orangtua itu. Ia ingin menghampiri mereka, ingin
menghibur ibu tirinya dan ingin bertanya kepada
mereka tentang kesusahan mereka agar ia dapat ikut
memikirkan dan bantu memecahkan persoalannya.
Akan tetapi ketika ia tiba di belakang pintu yang
menembus ke ruang depan, ia mendengar ayah dan
ibu tirinya bicara dengan perlahan akan tetapi
nadanya menyatakan bahwa mereka sedang marah
dan bercekcok. Hal ini belum pernah terdengar oleh
Teng San sebelumnya, maka ia menahan kakinya dan
Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendengar dengan wajah berobah.
"Cui Hwa, kau selalu menyinggung-nyinggung soal itu.
Apakah kau masih menyinta suamimu yang sudah
tewas itu dan apakah kau masih belum dapat
menghilangkan rasa penasaranmu atas
kematiannya?" terdengar Tiang Houw berkata tak
senang. "Tentu saja aku masih menyintanya! Sebelum aku
bertemu dengan kau, Kwee Seng adalah suamiku,
bagaimana aku tidak menyinta suamiku sendiri" Dia
seorang yang berbudi baik, suka menolong orang-
orang miskin, kemudian ia menjadi korban
pembunuhan secara keji, bagaimana aku tidak
penasaran" Sekarang, kau suamiku yang memiliki
kepandaian silat tinggi, yang katanya sudah menjagoi
di dunia kangouw, melihat kau berpeluk tangan saja,
sama sekali tidak mau berusaha untuk mencari
pembunuh mendiang Kwee Seng, bukankah hal ini
menambah rasa penasaranku?" Suara Cui Hwa makin
keras dan terdengar ia tergesa-gesa menahan amarah
yang meluap-luap. Mendengar kata-kata kedua orangtua itu, maklumlah
Teng San akan pokok persoalan yang mereka
ributkan. lbu tirinya menghendaki agar supaya
pembunuh suaminya yang dahulu dicari agar sakit
hati suaminya itu dapat dibalas, sedangkan ayahnya
agaknya tidak menyetujui akan hal itu. Maka untuk
menghilangkan suasana yang buruk itu, Teng San lalu
membuka pintu dan maju memeluk pundak ibu
tirinya yang kini sudah menangis terisak-isak.
"Ibu, senangkanlah hatimu, ibu. Jangan ibu khawatir,
anakmu Teng San yang akan berusaha mencari
pembunuh mendiang suamimu yang pertama.
Percayalah, anakmu Teng San yang akan menyeret
jahanam itu di depan kaki ibu?""
"Teng San?", kau gila?"!!" Tiang Houw membentak
dengan muka pucat. Teng San berpaling kepada ayahnya. "Mengapa gila,
ayah" Ibu sedang menderita dan penasaran bukankah
sudah menjadi kewajibanku untuk berbakti, untuk
mencari orang yang menyakiti hatinya?"
Tiang Houw merasa kedua kakinya gemetar, maka ia
menjatuhkan diri duduk di atas kursi sambil menghela
napas panjang berkali-kali. "Semua salahku?" semua
salahku sendiri?"" ia berbisik lemah.
"Cui Hwa, ketahuilah, orang yang membunuh Kwee
Seng suamimu itu?", dia adalah seorang yang sudah
disakitkan hatinya oleh kaum bangsawan dan
hartawan, seperti halku pula. Dalam dendamnya, dia
ikut dalam pasukan yang membasmi dua golongan
itu?"" "Jadi kau sudah tahu siapa dia?" tanya Cui Hwa
dengan mata terbuka lebar.
"Dia membunuh Kwee Seng bukan berdasarkan
kebencian perseorangan, Cui Hwa, akan tetapi dia
akan membunuh siapa saja asal ia hartawan atau
bangsawan. Ketika ia membunuh Kwee Seng, ia tidak
tahu siapa itu yang dibunuhnya, kecuali bahwa yang
dibunuhnya itu seorang hartawan."
"Kalau kau sudah tahu siapa dia, mengapa tidak
lekas-lekas menyeretnya ke sini?" Cui Hwa menuntut,
penuh dengan rasa penasaran.
Tiang Houw menarik napas panjang. "Cui Hwa, orang
itu sekarang sudah amat menyesal atas semua
perbuatannya yang sudah lalu. Apakah kau tidak bisa
mengampuni orang yang melakukan sesuatu tidak
berdasarkan kebencian terhadap suamimu itu, dan
yang sekarang sudah merasa menyesal?"
"Seret dia dulu kesini, biar aku bicara sendiri dengan
dia, baru aku akan mengambil keputusan," jawab Cui
Hwa. "Dia?" dia malu untuk bertemu denganmu, malu
untuk mengakui semua perbuatannya kepadamu?""
"Kalau begitu dia pengecut, pengecut yang harus
dibikin mampus!" Dada Cui Hwa berombak.
Tiba-tiba Tiang Houw berdiri dari kursinya. Orang
boleh memaki pendekar ini dengan sebutan apapun
juga, akan tetapi jangan sekali-kali ia disebut
pengecut. Semenjak kecilnya, Tiang Houw paling
benci kepada pengecut, maka makian pengecut
baginya lebih merendahkan daripada makian apapun
juga. "Cui Hwa, aku bukan pengecut!"
Cui Hwa menjadi pucat sekali mukanya, sedangkan
Teng San sekarang juga sudah berdiri memandang
ayahnya dengan mata terbelalak kaget. Melihat ini,
Tiang Houw mengangguk-angguk, menghela napas
dan berkata dengan tenang:
"Ya, akulah orang itu, Cui Hwa. Akulah pemimpin dari
pasukan Kay-sin-tin, akulah yang menggerakkan
penumpasan para bangsawan dan hartawan, dan aku
pulalah yang telah membunuh suamimu, Kwee Seng.
Kau boleh berbuat apa saja kepadaku, hanya jangan
memaki aku pengecut?""
Sampai beberapa detik Cui Hwa berdiri seperti
patung, hanya dadanya yang naik turun
bergelombang, mulutnya beberapa kali terbuka akan
tetapi tidak mengeluarkan suara apa-apa. Kemudian
terdengar ia menjerit nyaring dan tubuhnya limbung.
Ia roboh pingsan dan tentu akan terjatuh kalau tidak
cepat-cepat dipeluk oleh Teng San.
Melihat halnya ibu tirinya, Teng San tak dapat
menahan keluarnya dua titik air mata yang
membasahi pipinya. Sambil memondong tubuh
ibunya, Teng San berdiri dan memandang kepada
ayahnya melalui linangan air mata.
"Ayah, kau membunuh suaminya lalu?" lalu
mengambilnya sebagai isterimu?"?" suaranya sayu
dan mengandung nada benci.
Tiang Houw menjadi pucat. "Tidak?" tidak begitu,
Teng San?". dengarlah dulu keteranganku?""
Akan tetapi dengan isak tertahan, pemuda itu telah
membawa lari ibu tirinya yang dipondong, menuju ke
kamar ibu tirinya. Dengan hati-hati ia membaringkan
tubuh Cui Hwa dan mempergunakan air dingin untuk
membasahi jidat ibu tirinya.
Cui Hwa tersadar dan mengeluh, menyebut-nyebut
nama In Hong dan Kwee Seng. Ia merasa berdosa
besar, merasa malu kepada diri sendiri. Suaminya
mati terbunuh, anaknya entah bagaimana nasibnya
dan dia?" dia telah diperisteri oleh pembunuh
suaminya itu, hidup dengan penuh kesenangan
seakan ia tidak perduli akan nasib Kwee Seng dan In
Hong! Inilah yang amat menyakitkan hatinya.
"Ibu, tenanglah, ibu?" akulah yang akan menanggung
semua dosa ayah?"," kata Teng San terharu.
Cui Hwa memandang kepada pemuda itu. "Pergilah
kau...! Pergi dan jangan dekat dengan aku!" Wajah
Teng San memang serupa benar dengan Tiang Houw,
dan persamaan ini membuat Cui Hwa tiba-tiba marah
terhadap Teng San. Teng San terisak dan mundur, lalu masuk ke dalam
kamarnya sendiri. Tak lama kemudian ia mendengar
ayahnya memanggil-manggil namanya dan
mengetuk-ngetuk pintu, akan tetapi Teng San diam
saja, tidak menjawab. Di luar pintu, dengan wajah
pucat Tiang Houw memanggil-manggil nama Teng
San. Ingin ia memukul pecah daun pintu itu, ingin ia
menjelaskan semua itu kepada puteranya, akan
tetapi ia menekan perasaannya dan kemudian
berjalan pergi ke kamarnya sendiri sambil menarik
napas panjang berulang-ulang.
Dan pada keesokan harinya, suami isteri ini kembali
mengalami hal yang lebih hebat, yakni dengan
lenyapnya Teng San bersama Lian Hong! Pemuda
yang hancur hatinya itu ternyata telah lari minggat
sambil membawa adik tirinya, entah kemana.
Cui Hwa menangis menggerung-gerung ketika
melihat Lian Hong lenyap. Ia menudingkan jarinya
kepada Tiang Houw, sambil menangis ia memaki:
"Kaulah yang mengakibatkan semua ini, kau?" kau
pembunuh?" kau pengecut?"!"
Tiang Houw lari maksud mengejar Teng San dan Lian
Hong, namun sia-sia belaka karena kepandaian Teng
San sudah tinggi, ilmunya berlari cepat sudah
menyamai ayahnya dan selain telah tertinggal jauh,
juga Tiang Houw tidak tahu kemana arah tujuan
puteranya itu. Semenjak itu, kehidupan Cui Hwa dan Tiang Houw
penuh kegetiran, seakan-akan mereka hidup di dalam
neraka. Cui Hwa setiap hari termenung, kadang-
kadang menangis sedih, sama sekali tidak mau bicara
kepada Tiang Houw. Sebaliknya, Tiang Houw yang tidak dikenal lagi oleh
isterinya, merasa begitu perih hatinya, apalagi kalau ia
mengingat betapa pandangan Teng San terhadapnya
amat rendah. Ia mendapat pukulan batin yang berat
sekali kalau ia mengingat bahwa Teng San
menganggapnya berbatin amat rendah, seorang yang
membunuh suami dan merampas isteri!
Demikianlah menjadi kenyataan bahwa penghidupan
manusia selalu berobah, kebahagiaan tidak kekal
adanya dan siapa yang tidak kuat menerima rezeki
atau ujian yang jatuh kepada diri dan keluarganya, ia
akan rusak binasa. Tiang Houw juga demikian,
pendekar yang gagah perkasa ini lalu meninggalkan
rumahnya, merantau ke sana ke mari seperti seorang
berobah ingatan. Merantau kemana saja untuk
mencari tiga orang, yakni In Hong, Teng San, dan Lian
Hong! Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan dari
cerita ini, di dalam perantauannya itu Tiang Houw
bertemu dengan Wi Tek Tosu tokoh Go-bi-pay dan dia
berhasil mencegah tosu yang sakit hati terhadap Hek
Moli ini merusak jenazah Hek Moli. Bahkan pendekar
ini lalu mengurus dan mengubur jenazah Hek Moli
baik-baik. Hal ini terjadi tiga tahun semenjak Teng
San dan Lian Hong pergi meninggalkan rumah.
"Y" Kwee In Hong yang diusir oleh gurunya untuk turun-
gunung dan mencari orang tuanya, tentu saja tidak
tahu akan malapetaka yang menimpa diri gurunya.
Gadis ini turun gunung dengan cepat, menuju ke kota
See-ciu sebagaimana pesan gurunya.
Kalau orang melihat gadis itu berjalan, dia pasti
takkan mengira bahwa gadis ini adalah murid tunggal
dari Hek Moli dan telah memiliki ilmu kepandaian
yang setingkat dengan gurunya sendiri! Bahkan
mungkin sekali In Hong lebih tangguh daripada Hek
Moli, karena selain ia lebih muda dan kuat, juga ia
mempunyai gerakan yang lebih ringan. Tentu saja ia
masih kalah jauh dalam pengalaman.
Siapa yang akan mengira bahwa gadis yang cantik
manis, yang berkulit putih halus, dan yang
mempunyai lenggang demikian halus gemulai, yang
gerak geriknya lemah lembut, adalah seorang ahli
silat tniggi" In Hong adalah anak dari ayah bunda
yang terpelajar dan yang mempunyai watak halus,
maka sifat ini menurun kepadanya. Akan tetapi,
selama belasan tahun dibawah asuhan Hek Moli,
kekerasan hati Iblis Wanita Hitam ini juga menurun
kepadanya. Di balik gerak geriknya yang lemah
lembut, tersembunyi hati yang keras seperti baja dan
keberanian yang hebat. Bahkan, sifat-sifat Hek Moli
yang ganas menurun pula kepadanya.
Seperti juga gurunya, In Hong melakukan perjalanan
dengan membawa sebatang tongkat hitam, akan
tetapi tongkatnya ini kecil saja, sebesar ibu jari kaki,
panjangnya sama dengan pedangnya yang diikat di
belakang punggung. Di dalam sebuah kantong yang
tergantung di ikat pinggangnya, tersembunyi senjata
rahasia yang mengerikan orang-orang kangouw,
yakni pasir hitam yang kalau dipergunakan disebut
toat-beng-hek-kong (sinar hitam pencabut nyawa)!
Pedang Liong-gan-kiam pemberi gurunya hanya
kelihatan ronce-ronce merahnya saja yang melambai-
lambai tertiup angin di atas pundaknya.
Setelah turun dari puncak Ciung-lai-san dan
menyaksikan pemandangan yang indah, lenyaplah
kesedihan In Hong karena harus berpisah dari
gurunya. Ia berhenti dan dari atas lereng bukit ia
memandang ke bawah. Dunia seakan-akan sehelai lukisan indah yang dibuka
dihadapan kakinya. Nampak dusun-dusun dengan
genteng rumah yang kemerahan, nampak sungai-
sungai yang airnya kelihatan membiru dan berlika
liku. Sawah-sawah menghijau amat indahnya. Semua
ini seakan-akan melambai-lambai kepada In Hong,
menyuruh gadis itu segera turun menemui semua itu.
In Hong menjadi gembira dan ia lalu berlari turun dari
lereng dengan kecepatan seperti burung terbang.
Kedua kakinya ringan sekali dan orang akan
menyangkanya semacam peri penjaga gunung kalau
melihat dia melayang-layang seperti itu. Tentu saja
gadis ini bukannya melayang, melainkan berlari cepat,
akan tetapi gerakannya demikian ringan dan cepat
sehingga ia kellhatan seperti tidak menginjak bumi.
Ia mengeluarkan ilmu lari cepat yang disebut Teng-in-
hui (Terbang menginjak awan)! Akan tetapi bagi mata
seorang ahli silat tinggi, tentu akan dapat melihat
Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gerakan seorang wanita cantik jelita yang berlari
cepat dengan gerakan indah gemulai, sehingga ia
tentu akan mengira bahwa yang berlari turun gunung
itu adalah seorang bidadari atau utusan dari Koan Im
Pouwsat! Akan tetapi, gunung Ciung-lai-san amat sunyi dan
tidak ada orang yang melihat gadis ini berlari. Setelah
turun gunung dan lalu masuk dusun-dusun kecil,
barulah In Hong berjalan biasa agar jangan menarik
perhatian orang lain. Namun tetap saja hampir semua
orang, apalagi laki-laki, menoleh dan memandang
kepadanya. Bukan hanya karena pakaiannya yang
indah dan berbeda dengan wanita-wanita dusun,
akan tetapi juga jarang sekali orang melihat seorang
gadis muda yang demikian cantik jelita, apalagi yang
melakukan perjalanan seorang diri.
http://cerita-silat.mywapblog.com
22Pencaharian Ayah Ibu Kandung
Sian Li Eng Tju (Tamat) Pencaharian Ayah Ibu Kandung
Pencaharian Ayah Ibu Kandung.
Hanya karena orang melihat ronce-ronce gagang
pedang Liong-gan-kiam maka orang tidak berani
bersikap sembarangan terhadapnya. Mereka dapat
menduga bahwa seorang gadis muda yang berani
melakukan perjalanan seorang diri, apa-lagi yang
membawa-bawa pedang, tentulah seorang ahli silat
yang sudah tinggi kepandaiannya.
Dengan kepandaiannya yang tinggi, sikapnya yang
halus dan uang bekal yang banyak dari gurunya, In
Hong dapat melakukan perjalanan tanpa banyak
rintangan. Bahkan ia telah membeli seekor kuda dari
seorang pedagang kuda, dan melanjutkan
perjalanannya ke See-ciu dengan berkuda. Memang
harus diakui bahwa In Hong tidak biasa naik kuda,
namun dengan kepandaian silatnya yang sudah tinggi,
sebentar saja dapat menyesuaikan diri dan dapat
duduk di atas punggung kuda dengan enak dan
tegak. Beberapa bulan kemudian, setelah melakukan
perjalanan yang amat jauh, sampailah ia di kota See-
ciu. Hatinya berdebar penuh ketegangan dan
pertanyaan. Apakah ia akan dapat bertemu kembali
dengan ayah bundanya di kota ini" Ia hanya masih
ingat wajah ibunya, seorang wanita yang cantik
sekali, akan tetapi wajah ayahnya ia sudah lupa lagi.
Yang masih teringat betul olehnya malah wajah inang
pengasuhnya yakni Can Mama dan In Hong suka
tertawa seorang diri kalau ia ingat kepada inang
pengasuh ini. Masih terbayang olehnya betapa Can
Ma suka mendongeng sambil memangkunya, dan
boleh dibilang ia lebih dekat dengan Can Ma daripada
de-ngan ayahnya. Mudah saja baginya untuk mendapatkan rumah Yo-
wangwe. Semua orang di kota See-ciu mengenal
nama Yo Tang atau Yo-wangwe yang tinggal di
sebuah gedung besar dan indah, berdagang hasil bumi
dan bahan obat-obatan. Karena perdagangannya ini
maka di bagian depan dari rumah gedungnya
terdapat gudang-gudang dengan pekarangan amat
lebar. Banyak orang sibuk bekerja di depan gudang-
gudang itu, mengeluar masukkan barang dan
keadaan disitu berdebu dan kotor.
Semua pekerja tiba-tiba menghentikan pekerjaan
mereka ketika mereka melihat seorang gadis cantik
berpakaian biru memasuki pekarangan itu dan
mereka memandang dengan kagum, juga agak
terheran-heran. Memang merupakan penglihatan yang
jarang sekali adanya seorang gadis cantik jelita
muncul di tempat itu seorang diri.
Ketika baru bertemu dengan orang-orang yang
memandangnya seperti itu, mula-mula memang In
Hong merasa jengah dan malu-malu, juga agak
marah. Akan tetapi sekarang ia sudah merasa biasa,
bahkan bibirnya tersenyum mengejek kalau ia
melihat mata laki-laki seakan-akan hendak
menelannya. Kini ia menghampiri mereka yang bekerja itu, lalu
bertanya: "Sahabat-sahabat, apakah disini tempat
tinggal Yo Tang?" Seorang di antara para pekerja itu, yakni mandornya,
cepat melangkah maju dan menjawab: "Betul
dugaanmu, nona. Kau siapakah dan darimana?"
Semua orang memperhatikan In Hong dan ingin sekali
mendengar siapa adanya gadis ini, namun In Hong
mengecewakan mereka dengan jawaban
sembarangan: "Kalau betul di sini rumah Yo-wangwe,
tolong beritahukan bahwa aku datang membawa
keperluan amat penting."
"Akan tetapi, kau siapakah, nona" Dan dari mana"
Bagaimana kalau dia tanya tentang hal ini kepadaku?"
"Minta saja dia keluar, aku mau bicara sendiri dengan
dia," jawab In Hong singkat. Ia memang merasa
segan untuk memperkenalkan diri kepada orang-
orang yang memandangnya seperti itu.
"Akan tetapi, nona, aku harus ketahui siapa kau?""
kata mandor itu dan kini ia memandang dengan
curiga ke arah gagang pedang yang tersembul dari
balik punggung gadis itu.
"Dia adalah paman dari ibuku, cukupkah ini?" kata In
Hong yang merasa gemas juga melihat desakan
orang itu. Mendengar ini, mandor itu tidak berani mendesak lagi.
Kalau nona ini masih terhitung sanak dari Yo-wangwe,
ia tidak boleh keterlaluan. Berobahlah sikapnya dan ia
membungkuk sambil berkata:
"Ah, mengapa tidak dari tadi kau memberitahu bahwa
kau masih cucu dari Yo-loya" Mari, silakan ikut dengan
aku, nona. Yo-loya tinggalnya di rumah gedung
sebelah belakang. Di depan ini hanya gudang-gudang
tempat orang bekerja."
Dengan diikuti oleh pandang mata semua orang yang
bekerja disitu, In Hong berjalan bersama mandor itu,
melewati samping gudang menuju ke sebuah rumah
besar yang berdiri di belakang gudang-gudang itu.
Para pekerja itu sibuk kembali, akan tetapi kini mulut
mereka tiada hentinya bicara memuji kecantikan
gadis yang baru tiba itu.
"Cantik jelita benar-benar gadis tadi," kata seorang.
"Dan pedang itu, ia kelihatan gagah. Apakah benar-
benar ia pandai main pedang?" kata orang kedua.
"Ah, gadis sehalus dan secantik itu mana bisa main
pedang" Senjata hanya untuk hiasan belaka, atau
paling-paling untuk menakut-nakuti penjahat agar
tidak berani mengganggunya," kata orang ketiga yang
terkenal pandai silat di antara para pekerja itu.
In Hong memiliki pendengaran yang amat tajam
terlatih. Kalau mandor yang mengantarkannya tidak
dapat menangkap kata-kata itu, adalah gadis ini
mendengar dengan jelas sekali. Namun ia tidak ambil
perduli, hanya tersenyum kecil sambil memperhatikan
rumah gedung yang ia hadapi. Rumah ini benar-benar
besar dan mewah, pintu-pintunya dicat kuning dan
temboknya tebal, dikapur putih bersih.
"Kau duduklah dulu, nona, biar aku yang melaporkan
ke dalam," kata mandor itu.
In Hong mengangguk dan mengambil tempat duduk
di atas sebuah bangku yang banyak terdapat di ruang
depan itu. Mandor itu lalu menghampiri pintu dan
hendak masuk, akan tetapi tiba-tiba dari dalam
keluarlah seorang pemuda yang ganteng dan
berpakaian sebagai jago silat. Gayanya memang
gagah dan sikapnya menunjukkan bahwa ia memiliki
tenaga besar. "Ah, kebetulan sekali kau keluar, kongcu. Aku hendak
menghadap lo-ya?""
"Kwa-lopek, ada apakah dan?"?" Pemuda itu
menoleh ke arah In Hong dan matanya terbuka lebar,
mulutnya ternganga. "Siapa?" eh?"" Ia gagap dan
mukanya menjadi merah, malu karena kebingungan
dan kegugupannya sendiri.
In Hong sudah berdiri dan menjura. Adapun mandor
itu laiu memperkenalkan: "Kongcu, nona ini adalah
seorang tamu yang ingin berjumpa dengan Yo-loya.
Katanya dia adalah masih sanak keluarga. Eh, nona,
ini adalah Yo-kongcu, cucu dari Yo-loya."
In Hong memberi hormat, lalu berkata: "Harap
maafkan kalau aku mengganggu. Kedatanganku ini
hanya untuk menanyakan sesuatu kepada Yo-
wangwe, tentang ayah bundaku."
Pemuda itu melangkah maju. "Kau siapakah, nona"
Kalau masih keluarga kong-kong (kakek), mengapa
aku tidak kenal padamu?"
In Hong tersenyum dan jantung pemuda itu
melompat-lompat di dalam rongga dadanya. "Memang
kita belum pernah saling bertemu. Ketahuilah bahwa
ibuku adalah keponakan kong-kongmu itu, dan ibuku
bernama Yo Cui Hwa Mendengar disebutnya nama ini, wajah pemuda itu
berseri dan ia berkata kepada mandor tadi: "Kwa-
lopek, dia adalah saudara sendiri dengan aku, kau
kembalilah ke tempat kerjamu."
Mandor itu membungkuk lalu pergi keluar.
"Kau?" benar-benarkah kau puteri dari bibi Cui Hwa
dan kaukah anak yang dulu hilang bersama Can
Mama itu?" tanya pemuda ini, masih ragu-ragu dan
memandang kepada wajah yang jelita itu.
In Hong menjadi terharu. Kalau pemuda ini mengenal
Can Mama dan tahu akan semua nasib yang diwaktu
kecil ia alami, ia tidak ragu-ragu lagi bahwa ia datang
di tempat yang betul. "Benar," katanya girang, "namaku adalah In Hong,
Kwee In Hong. Dimana ayah bundaku" Apakah
mereka berada disini?"
"Marilah ikut aku masuk ke dalam, moy-moy. Kau
adalah adik misanku sendiri. Namaku Yo Kang, aku
sudah banyak mendengar dari ayah tentang ibu dan
ayahmu dan kau juga. Aku lebih tua dua tahun
darimu dan aku mendengar kau dibawa pergi oleh
seorang Iblis Wanita bernama Hek Moli?"" Ia melihat
ke arah gagang pedang yang tersembul dari balik
punggung gadis itu. "Ah, siauw-moy, alangkah akan
terkejut dan girangnya hati kong-kong dan ayah
ibuku melihat kau datang dalam keadaan selamat,"
Yo Kang, pemuda itu, bicara dengan cepat sekali
sehingga In Hong menjadi bingung
mendengarkannya. "Dimana ayah bundaku?" tanyanya dan hatinya
berdebar gelisah. "Marilah kita masuk dulu, banyak yang harus kau
dengar." Masuklah mereka ke dalam gedung yang ternyata
indah dan penuh dengan perabot rumah yang mahal
dan bagus. Mula-mula yang menyambut In Hong adalah Yo Hang
Tek, ayah Yo Kang, seorang laki-laki berusia
empatpuluh lebih yang sudah putih semua rambutnya
dan nampak tua, tubuhnya tinggi besar seperti Yo
Kang, namun sikapnya lemah lembut. Yo Hang Tek
keluar menyambut bersama isterinya, ibu Yo Kang,
yang kurus sekali tubuhnya, akan tetapi wajahnya
masih kelihatan cantik. Yo Hang Tek memandang
kepada In Hong dengan mata terbelalak, kemudian ia
memegang pundak gadis itu dan dua matanya basah.
"In Hong, kau?" kau seperti ibumu benar! Aduh, nak,
sudah belasan tahun kami putus asa dan mengira
bahwa kau sudah tewas."
Melihat sikap pamannya ini dan mendengar kata-
katanya, tak terasa pula sepasang mata In Hong yang
bening itu berlinang. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut
di depan pamannya. "Yo-pekhu, anak In Hong mohon penjelasan mengenai
nasib ayah dan ibu."
"Nanti dulu, In Hong, marilah kau menghadap kepada
kakekmu, dan disana nanti kita bercakap-cakap," kata
Yo Hang Tek dan mereka lalu masuk ke dalam ruang
belakang dimana kakek Yo Tang sudah menanti di
atas korsinya yang besar dan empuk. Kakek ini sudah
tua, duduk dengan enaknya sambil mengisap pipa
tembakau yang panjang. Seluruh ruangan itu berbau
asap tembakau. In Hong lalu melangkah maju dan berlutut
menghaturkan hormat, sedangkan kakek itu
mengangguk-angguk sambil meniup asap dari
mulutnya. "Hm, kau benar-benar serupa dengan Cui Hwa.
Duduklah dan ceritakan semua pengalamanmu. Siapa
namamu" Aku sudah lupa lagi."
"Namaku Kwee In Hong?"," kata In Hong lirih.
"Siapa?" kakek itu majukan kepalanya dan miringkan
muka untuk mendengarkan lebih jelas.
"In Hong, bicaralah agak keras, kong-kong sudah
kurang pendengarannya," kata Yo Kang kepada In
Hong. Terpaksa In Hong bicara dengan keras, akan tetapi
gadis ini hanya mengerahkan khikangnya dan
sungguhpun suaranya bagi orang lain biasa saja,
namun karena ditujukan kepada kakek itu, Yo Tang
dapat mendengar dengan baik. Melihat In Hong bicara
masih biasa saja, Yo Hang Tek dan semua orang takut
kalau-kalau kakek itu tidak mendengar, akan tetapi
Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aneh, kakek itu ternyata mengangguk-angguk
senang. "Hm, bagus sekali, aku sekarang ingat, namamu In
Hong. Nah, kau ceritakanlah semua pengalamanmu,
In Hong." Hati In Hong kecewa sekali. Ia tidak melihat ayah
ibunya disitu, bahkan tidak melihat Can Mama,
padahal ia ingat betul bahwa dulu ketika ia dibawa
pergi oleh Hek Moli, Can Mama hendak pergi ke See-
ciu dan mereka dahulu sudah berada di luar kota.
Apakah Can Mama sudah mati" Akan tetapi, ia
merasa tidak pantas kalau ia tidak menurut kehendak
kakek itu, maka dengan ringkas ia bercerita bahwa ia
memang dibawa oleh Hek Moli yang suka kepadanya
dan mengambilnya sebagai murid selama empatbelas
tahun. Ia tidak menuturkan panjang lebar tentang
ilmu-ilmu silat yang ia pelajari, hanya menyatakan
bahwa nenek itu amat baik kepadanya.
"Aah, disukai oleh seorang iblis wanita seganas Hek
Moli, benar-benar bukan hal yang baik. Biarpun aku
belum pernah bertemu dengan dia, namun namanya
yang busuk sudah sampai di mana-mana dan
siapakah yang tidak takut mendengar namanya?"
kata kakek itu. In Hong tidak senang sekali mendengar ini dan tanpa
disengaja ia memandang ke arah kakeknya dengan
mata bersinar. Yo Kang yang sejak tadi memandang kepada gadis
itu dengan penuh perhatian, dapat menangkap
pandang mata yang penuh kedongkolan ini, maka ia
bicara, tidak cukup keras sehingga kakeknya tidak
mendengarnya: "Hek Moli adalah seorang tokoh
kangouw yang namanya amat disegani dan
sepanjang pendengaranku, biarpun lihay sekali
ilmunya, namun ia tidak pernah melakukan
kejahatan." Mendengar ini, In Hong melirik ke arah Yo Kang
dengan pandangan mata terima kasih, akan tetapi
diam-diam gadis ini juga heran. Bagaimana kakak
misan ini tahu tentang dunia kangouw" Ia tidak mau
pusingkan hal itu, dan dengan tergesa-gesa ia lalu
bertanya kepada Yo Hang Tek: "Pek-hu, dimana
adanya ayah ibuku, dan mana pula Can Mama"
Apakah mereka tidak berada disini?"
Yo Hang Tek menarik napas panjang, lalu ia bicara
dengan suaranya yang halus: "In Hong, ayahmu dan
ibumu tidak pernah sampai kesini. Tadinya kami
sendiri tidak tahu kemanakah perginya mereka itu.
Akan tetapi setelah kakakmu Yo Kang ini pergi
menyelidiki, kami mendengar dari seorang perwira
yang dulu menolong dusun Tiang-on yang diserang
oleh para penjahat itu, katanya mereka telah
menemukan ayahmu yang telah tewas oleh penjahat
di hutan." Pucat wajah In Hong dan kalau saja ia tidak sudah
matang latihannya dalam ilmu lweekang dan
samadhi, mungkin ia akan menjerit atau jatuh
pingsan. Namun ia menguatkan hatinya dan bahkan
masih dapat bertanya, suaranya tetap tenang:
"Yo-pekhu, siapakah yang menewaskan ayah dan
dimana beliau dimakamkan?"
Yo Hang Tek saling pandang dengan isterinya,
agaknya mereka heran melihat ketenangan gadis ini,
akan tetapi Yo Kang memandang penuh kekaguman.
Pemuda ini pernah belajar ilmu silat dan ia
menghargai kegagahan, maka melihat sikap In Hong
ia suka dan kagum sekali. Ia benci melihat wanita
lemah yang mudah menangis dan mudah jatuh
pingsan. "Hong-moy, aku yang menyelidiki urusan itu, dan aku
hanya mendengar bahwa ayahmu tewas dalam
keributan, tidak tahu siapa yang melakukan
pembunuhan itu, dan jenazahnya dirawat oleh
pasukan pemerintah, kini dimakamkan di luar dusun
Tiang-on. Aku sudah mengurus kuburannya dan
memasang bong-pay (batu nisannya). Kelak kuantar
kau mengunjungi makamnya."
In Hong memandang kepada pemuda itu dan kembali
ada sinar terima kasih dalam matanya.
"Dan bagaimana dengan?" ibuku?"?"
Setelah mengajukan pertanyaan ini, hati In Hong
berdebar. Sungguhpun sekuat tenaga ia menekan
perasaannya, namun ia takut bahwa kali ini kalau
mendengar berita buruk tentang ibunya, ia takkan
dapat menahan tangisnya lagi. Ia merasa amat
gelisah dan takut. "Itulah yang membingungkan kami, Hong-moy. Aku
sudah mencari ke mana-mana, sudah menyebar
kawan-kawan untuk menyelidiki, akan tetapi ibumu
hilang lenyap tak meninggalkan jejak. Benar-benar
aneh sekali. Tak seorangpun tahu kemana perginya
ibumu." Mendengar keterangan ini, hati In Hong tidak karuan
rasanya. Ada perasaan lega bahwa ia tidak
mendengar ibunya telah tewas, akan tetapi juga ia
menjadi bingung, karena kemanakah ia harus mencari
ibunya" Ketika ia memandang kepada pek-hunya, Yo
Hang Tek berkata "Yang aneh sekali adalah urusan Can Ma. Pelayan tua
itu sudah sampai disini, dan dialah yang bercerita
bahwa kau dibawa pergi oleh Hek Moli. Akan tetapi,
baru kurang lebih setengah bulan setelah ia berada
disini, pada malam harinya tahu-tahu ia lenyap dari
kamarnya! Tadinya kami mengira bahwa dia diculik
pula oleh Hek Moli?""
"Tidak, guruku tidak pernah menculik Can Ma!" kata In
Hong. "Hm, memang aneh sekali hal ini, Hong-moy. Sayang
ketika hal itu terjadi, aku masih kecil. Kalau sekarang,
agaknya penjahat yang menculik Can Ma itu akan
dapat kutangkap!" In Hong memandang kepada pemuda ini yang berdiri
tegak sambil mengangkat dada, kelihatannya
memang gagah sekali. Kembali hati In Hong bingung
dan menduga-duga. Siapakah yang telah menculik Can Ma" Ia menduga-
duga dan otaknya yang cerdik bekerja keras. Tentu
ada hubungannya dengan ibunya yang hilang,
pikirnya, kalau tidak, siapakah yang mau menculik
pelayan tua itu" ,Apakah Can Ma tidak diam-diam pergi dari rumah
ini?" tanyanya. "Tidak mungkin. Mengapa ia harus pergi minggat" Dan
pula, ada tanda-tanda jendela dibongkar orang dari
luar. Pasti ada yang menculiknya,'' kata Yo Hang Tek.
Setelah semua orang berhenti bicara. kakek Yo batuk-
batuk dan ia sudah merasa amat gemas karena ia
tidak dapat mendengar percakapan itu dengan jelas.
Suara batuk-batuk ini sudah dikenal baik oleh semua
keluarga disitu. yakni bahwa si tua itu menghendaki
supaya semua orang berhenti bercakap-cakap dan
bubar. "In Hong, sekarang kau sudah datang, itu bagus
sekali. Kau harus tinggal disini dan tidak boleh keluar
dari rumah. Tidak patut seorang gadis yang sudah
remaja keluar dari rumah, terlihat oleh orang-orang
lelaki yang bukan keluarganya! Biarpun kau sudah
menjadi murid Hek Moli, aku tidak suka melihat kau
berkeliaran di dunia luar rumah keluarga. Kau tinggal
disini, belajar menyulam dan kerajinan tangan lain
dari bibimu, dan kelak aku akan mencarikan calon
jodoh yang baik untukmu." Sambil berkata demikian,
kakek ini menyedot huncwenya (pipa tembakaunya)
dan melambaikan tangan menyuruh semua orang
keluar dari situ. Bukan main mendongkolnya hati In Hong. Ingin ia
mendamprat kakek itu yang menghina gurunya, ingin
ia berlari keluar dari rumah besar ini, karena untuk
apakah ia tinggal lebih lama disitu kalau ayah
bundanya, juga Can Ma tidak berada disitu"
Akan tetapi, isteri Yo Hang Tek sudah menggandeng
tangannya dan pek-hunya telah memberi isyarat
dengan mata sehingga ia menurut saja ketika
digandeng keluar oleh isteri pekhunya.
Setelah tiba di luar ruangan dimana kakek itu masih
duduk mengisap huncwenya, In Hong berkata kepada
Yo Hang Tek: "Yo-pekhu, maafkan bahwa aku tidak bisa lama disini.
Aku harus pergi sekarang juga untuk mencari ibu dan
Can Ma." Yo Hang Tek nampak terkejut, demikianpun Yo Kang.
"Mengapa begitu, Hong-moy" Kau berada di antara
keluarga sendiri, jangan kau berlaku sungkan. Soal
kong-kong, jangan kau pikirkan, orangtua itu sudah
pikun dan tuli?""
"Kang-ji!" Ibunya membentaknya.
Yo Kang mengangkat pundak. "Hong-moy, jangan kau
khawatir tentang ibumu. Akulah yang akan
membantumu mencarinya lagi. Ketahuilah, aku
seringkali keluar kota untuk mengurus perdagangan,
dan di dunia kangouw aku mempunyai banyak sekali
kenalan. Dengan bantuanku, lebih mudah bagimu
untuk mencari ibumu."
"Benar kata-kata kakekmu, In Hong. Tidak baik kalau
kau keluar lagi. Kalau keluar, kau hendak
kemanakah" Betapapun juga, harus kau akui bahwa
tidak selayaknya seorang gadis seperti engkau
merantau mencari ibumu sendiri, se-dangkan kau
tidak tahu dimana adanya ibumu itu. Tinggallah disini,
dan perlahan-lahan kita berdaya mencari ibumu."
Tidak enak hati In Hong untuk berkeras. Di antara
semua orang yang menjadi sanaknya ini, hanya Yo
Hang Tek dan terutama sekali Yo Kang yang baik
sikapnya dan menyenangkan hati, akan tetapi ibu Yo
Kang sikapnya dingin saja, apalagi kakek berhuncwe
itu! Ketika ia memandang kepada pekbo-nya (isteri
uaknya), nyonya Yo ini berkata:
"In Hong, kau mendapat kamar di sebelah kiri
kamarku," kemudian ia berkata kepada Yo Kang,
"Kang-ji, hayo kau suruh pelayan membersihkan
kamar itu untuk In Hong."
Yo Kang cepat pergi dan wajahnya gembira sekali.
Ter?paksa In Hong menurut dan malam hari itu ia
rebah di atas pembaringan dalam kamarnya. Ia hanya
makan sedikit saja karena hatinya diam-diam amat
berduka. Ayahnya tewas dibunuh orang tanpa ia tahu
siapa pembunuhnya. Ibunya lenyap tanpa ada orang
tahu dimana tempat tinggalnya dan apakah ia masih
hidup ataukah sudah mati. Juga Can Mama lenyap
diculik orang. "Alangkah buruk nasib ayah ibu?"" Dan dengan amat
terharu ketika mengenangkan ayahnya, ia berbaring
menelungkup dan menyembunyikan mukanya di atas
bantal. Ia menangis sedih dan dengan seorang diri di
dalam kamar, kini ia memuaskan hatinya dan
membiarkan airmatanya membanjiri bantal.
Ia mendengar suara pekhu dan pekbonya bercakap-
cakap di kamar sebelah. Pendengaran In Hong
memang luar biasa tajamnya karena ia memang
menerima latihan khusus dari gurunya untuk
kepandaian ini. Akan tetapi ia tidak mau
memperhatikan percakapan mereka yang hanya
terdengar lapat-lapat karena terhalang oleh tembok
tebal. Tiba-tiba ia mendengar nama "In Hong" disebut-sebut
dan suara mereka mengandung nada marah.
Tertariklah hati In Hong. Kalau mereka tidak
membicarakaan dia, iapun tidak nanti suka
mendengarkan orang, akan tetapi setelah namanya
disebut-sebut, ia lalu bangkit, duduk dan
menempelkan telinganya pada tembok yang
memisahkan kamarnya dengan kamar pekbonya.
"Menurut pandanganku, dia berjodoh dengan putera
kita," terdengar pekhunya bicara.
"Aah, tidak pantas, tidak pantas!" jawab pekbonya.
"Dia menjadi murid iblis wanita, sudah belasan tahun
tidak karuan tempat tinggalnya, kemana-mana
membawa-bawa pedang. Aku tidak suka mempunyai
mantu seorang wanita kasar, lagi pula dia tidak ada
keluarga, boleh dibilang seorang anak yang terlantar."
"Akan tetapi, amat sopan, sikapnya baik seperti orang
terpelajar. Tentang ilmu silat, apa salahnya" Anak kita
juga mempelajari ilmu silat, jadi lebih cocok. Laginya,
In Hong harus diakui amat cantik jelita, dan Kang-ji
kelihatannya tertarik dan suka kepadanya. Memang
dia cantik sekali." "Apa artinya kecantikan bagi seorang mantu" Aku
tetap tidak suka, laginya dia masih sanak dekat.
Apakah kurang puteri-puteri bangsawan dan
hartawan yang lebih cantik dari In Hong" Aku tidak
suka." "Hm, kau tahu apa tentang hati laki-laki?" kata Yo
Hang Tek sambil tertawa. "Kecantikan amat penting.
Kalau kau tidak cantik, apakah dulu aku mau
dijodohkan dengan kau?"
"Ngacau?"!"
Sampai disini, In Hong melepaskan telinganya dari
tembok, dan ia menjatuhkan diri di atas pembaringan,
menangis makin sedih. Ia menutupi kedua telinga
dengan bantal agar tidak mendengar percakapan
Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka lagi. Akhirnya, karena lelah dan sedih, ia
dapat tertidur juga, bahkan di dalam tidurnya ia masih
terisak-isak beberapa kali.
http://cerita-silat.mywapblog.com Beginikah Watak Seorang Hartawan"
Sian Li Eng Tju Beginikah
Watak Seorang Hartawan"
. Beginikah Watak Seorang Hartawan"
Dengan memaksakan hati, In Hong tinggal di rumah
gedung itu sampai beberapa hari. Ia sudah tidak
betah sekali dan di dalam hati ia mengambil
keputusan untuk segera meninggalkan tempat itu.
Apalagi ketika terjadi hal yang amat menyebalkan
hatinya, yang terjadi sepekan sesudah ia tinggal
disitu. Pada hari itu, ia melihat mandor she Kwa itu
menyeret-nyeret seorang laki-laki berusia hampir
limapuluh tahun. Laki-laki ini terang adalah seorang
kuli kasar, karena ia tidak memakai baju, hanya
bercelana panjang yang sudah butut. Tulang-
tulangnya menonjol keluar dan urat-uratnya
menandakan bahwa dia biasa bekerja berat. Garis-
garis pada mukanya menimbulkan kisut yang jelas
sekali, tanda dari derita hidup yang pahit.
In Hong tengah duduk di ruang luar bersama Yo Kang,
bercakap-cakap tentang rencana menyelidiki ibunya.
Melihat mandor Kwa menyeret orang tua itu, Yo Kang
kelihatan tidak senang dan terganggu.
"Ada apa lagi dengan kakek Lui itu, Kwa-lopek?"
tanyanya tidak senang. "Ia mencuri lagi, Yo-kongcu, sekarang ia mencuri
gandum sebanyak lima kati!"
"Dasar sudah tak dapat diperbaiki lagi akhlaknya," Yo
Kang mengomel. "Sekarang dia harus dihadapkan
kepada kong-kong." "Yo-kongcu, ampunkanlah hamba kali ini, jangan
hadapkan pada Yo-loya".." kakek yang disebut kakek
Lui itu meratap. Akan tetapi Yo Kang tidak perduli dan memberi
isyarat kepada mandor Kwa untuk menyeret pencuri
itu ke belakang, di ruang belakang yang biasa
dijadikan tempat-duduk Yo Tang.
"Ada apakah dia?" tanya In Hong tertarik sekali.
"Ah, biasa saja. Mengurus orang banyak memang
lebih sukar daripada mengurus sekumpulan kerbau.
Mencuri dan mencuri saja kerjanya. Biar kong-kong
yang membereskannya, aku sudah lelah mengurus
soal pencurian-pencurian itu. Hanya terhadap kong-
kong mereka itu mati kutu dan tunduk betul."
"Apa yang akan dilakukan terhadap kakek Lui itu?"
tanya In Hong mengeraskan hati sehingga suaranya
terdengar biasa saja. "Tentu saja dihukum. Kau mau melihat cara kong-
kong membikin kapok para pencuri" Mari kita lihat!"
Mereka berdiri dan menuju ke belakang. "Aku
seringkali merasa heran bagaimana kong-kong
seorang lemah itu ternyata pandai sekali mengurus
orang-orang jahat." Ketika mereka tiba di ruang belakang, ternyata orang
she Lui yang dituduh mencuri itu telah dihadapkan di
depan kakek Yo yang mengisap huncwenya seperti
biasa. "Sudah tiga kali kau mencuri, ja?" Yo Tang
membentak marah. "Tahukah kau apa yang kau akan
alami kalau aku menyerahkan kau kepada
pengadilan" Kau akan dihukum sepuluh tahun, dan
melihat usiamu, kau akan mampus di dalam penjara!"
Pekerja she Lui itu lalu mengeluarkan suara rintihan
dan sambil berlutut ia memohon: "Yo-loya yang
budiman, mohon kau sudi mengampuni seorang
miskin seperti hamba. Hamba bersumpah bahwa
hamba takkan melakukan pencurian lagi, biar kelak
tangan hamba keduanya dipotong kalau hamba
membohong." "Hah, seharusnya kedua tanganmu dipotong sekarang
juga! Kau sudah mencuri sampai tiga kali!"
"Ampun, loya?", ampunkan hamba?"" kakek Lui itu
menjadi pucat sekali dan airmatanya bercucuran.
"Sudah berulangkali kau mencuri, mana bisa ada
ampun lagi" Kwa Liong, buntungkan kedua
tangannya!" Mandor she Kwa itu sambil menyeringai lalu
mencabut golok yang tergantung di pinggangnya, lalu
menghampiri kakek she Lui yang menjadi pucat
sekali. "Ampun, Yo-loya?" hamba bersumpah akan
bertobat?" hamba?" hamba harus memelihara
keluarga hamba?" jangan buntungkan kedua tangan
hamba, bagaimana hamba dapat bekerja mencari
sesuap nasi untuk keluarga hamba?"?" Ia menangis
seperti anak kecil. Yo Tang mengebulkan asap huncwenya dan berkata
bengis: "Kau benar-benar sudah bertobat" Nah, kali ini aku
masih ampunkan kau dan aku hanya ingin mengambil
jari kelingkingmu sebelah kiri sebagai hukuman dan
peringatan. Ingat, lain kali aku takkan
menghukummu, akan tetapi akan menyerahkan kau
kepengadilan! Kwa Liong, buntungkan jari
kelingkingnya sebelah kiri!"
Golok diangkat, berkelebat dan putuslah kelingking
kiri dari kakek itu. Kakek Lui meringis kesakitan, memegangi tangan
yang terluka itu, akan tetapi wajahnya kelihatan lega
dan girang. Ia berlutut dan menghaturkan terima
kasih kepada Yo Tang. Melihat ini, In Hong menjadi marah bukan-main. Kalau
saja ia tidak ingat bahwa ia masih keluarga dari Yo
Tang, tentu ia sudah menghajar mandor itu bersama
kakek she Yo. Namun ia tidak dapat berpeluk tangan
saja, maka ia lalu melompat ke dekat kakek Lui dan
bertanya: "Kakek Lui, kau bekerja sebagai apakah?"
Kakek itu sudah tahu bahwa gadis ini adalah cucu dari
Yo Tang, maka ia lalu menjawab penuh hormat:
"Siocia, hamba adalah kuli pengangkut gandum."
"Apa yang kau curi?"
"Lima kati gandum."
"Mengapa kau melakukan kejahatan itu?"
Kakek itu nampak takut-takut dan melirik ke arah
gagang pedang yang masih menghias belakang
pundak In Hong. "Hamba?" hamba harus memelihara
isteri dan seorang anak yang sudah janda bersama
tiga orang cucu. Gaji hamba tidak cukup, mereka
kelaparan dan terpaksa hamba?" mengambil
gandum itu untuk menyambung nyawa cucu-cucu
hamba?"" Berobah wajah In Hong. Ia memandang kepada
kakek Yo dengan mata penuh kebencian, kemudian ia
memandang kepada mandor Kwa dengan gemas.
Ketika ia mengerling ke arah Yo Kang, pemuda ini
mengejap-ngejapkan matanya, minta agar ia jangan
memperlihatkan kemarahannya di depan kakek Yo.
Maka sambil menarik napas panjang, In Hong
mengeluarkan sepotong uang emas dari sakunya,
memberikan itu kepada kakek Lui sambil berkata:
"Terimalah ini dan obati tanganmu sampai baik. Lain
kali jangan mencuri lagi, akan tetapi usahakanlah
agar kau dapat mencari pekerjaan yang lebih
mencukupi hasilnya."
Kakek Lui bengong dan dengan tangan gemetar ia
menerima pemberian itu, lalu menangis terisak-isak,
mengucapkan terima kasih dengan bibir gemetar
sehingga tidak jelas kata-katanya, kemudian ia
membungkuk-bungkuk keluar dari ruangan itu, diikuti
oleh mandor Kwa. Yo Tang melihat perbuatan In Hong dengan mata
terbelalak dan ia sampai lupa untuk menyedot
huncwenya. Beberapa kali ia menggunakan tangan
menepuk-nepuk tangan korsinya sebagai tanda
kemarahannya dan saking marahnya ia sampai tidak
bisa mengeluarkan kata-kata. Ia menyedot pipanya,
akan tetapi apinya padam. Ketika ia bisa membuka
mulut, ia berteriak-teriak:
"Hidupkan huncweku?"! Bedebah, nyalakan
huncweku!" Yo Tang melangkah maju dan pemuda ini
mencetuskan pembuat api untuk menyalakan ujung
huncwe kakeknya. "Kurangajar, In Hong apa yang kaulakukan tadi"
Darimana kau mendapatkan uang emas yang kau
hambur-hamburkan seperti pasir" Hayo jawab!"
In Hong mendongkol bukan main sehingga mukanya
menjadi merah padam. "Uang itu uangku sendiri, kudapat dari subo, kuberikan
kepada siapapun juga adalah hakku," jawabnya
menahan marah. Yo Tang membanting-banting kakinya. "Celaka! Uang
dihambur-hamburkan, diberikan kepada kuli hina,
kepada pencuri pula! Aha, bocah perempuan, kau
belum tahu bagaimana sukarnya mencari uang, ya"
Kalau kita semua mempunyai watak buruk seperti
engkau, uang yang kukumpulkan sekian puluh tahun
ini dalam sekejap mata akan musnah! Hei, Yo Tang,
awaslah kau, jangan kau tiru watak bocah ini!"
Yo Kang berkata keras agar kong-kongnya
mendengar, akan tetapi nadanya penuh hormat:
"Kong-kong, adik In Hong memberi hadiah itu karena
merasa kasihan kepada kakek Lui. Hong-moy belum
tahu akan urusan dan keadaan disini, harap kong-
kong sudi memaafkannya."
"Keluar! Keluar kalian dari sini dan jangan
mengganggu aku lagi! Kalau tidak kupanggil, bocah ini
jangan boleh masuk ke ruangan ini!" teriak kakek itu
marah-marah. Yo Kang lalu mengajak In Hong keluar. Setibanya di
luar ruangan itu, In Hong tak dapat mencegah lagi
mengalirnya airmatanya. "Hong-moy, kau tentu tersinggung. Maafkanlah,
memang sudah kuberitahukau bahwa kong-kong
amat pemarah dan pikun. Maklumlah ia sudah amat
tua." "Tidak apa soal itu, twako. Akan tetapi?" semua
kejadian ini?" benar-benar tidak cocok dengan isi
hatinya. Mengapa kamu sekalian agaknya
menggencet penghidupan para pekerja kasar yang
miskin" Mengapa kalian begitu kejam?"
Yo Kang tersenyum dan menggeleng-geleng
kepalanya. "Kau salah sangka, adikku. Kalau kami
berlaku murah hati seperti yang kaulakukan, sebentar
saja semua barang disini sudah habis digondol pergi
oleh mereka. Sekarang ini tidak ada orang yang boleh
dipercaya, semua pekerja adalah maling-maling yang
selalu mengintai kesempatan. Kalau kami tidak
bertindak dengan tangan besi, mereka akan makin
berani. Ingatkah kau betapa di tempat tinggal orang
tuamu, orang-orang miskin itu memberontak dan
menyebar maut, merampok dan mengganas seperti
binatang-binatang liar" Nah, itulah kalau mereka
terlalu diberi hati."
"Akan tetapi, pekerja-pekerja itupun manusia. Kakek
Lui itu patut dikasihani, sungguhpun ia mencuri,
namun lima kati gandum yang dicurinya itu untuk
makan anak cucunya." In Hong membantah.
"Itulah alasan mereka selalu. Kau tidak tahu, semua
pekerja selalu mencari kesempatan untuk berkorupsi
dan mencuri. Kalau orang-orang berpenghasilan
rendah seperti kakek Lui masih dapat dimengerti,
akan tetapi seperti mereka yang sudah mendapat
penghasilan besar, tetap saja mereka mencari
kesempatan itu. Yang berpenghasilan kecil mencuri
untuk makan, katanya, akan tetapi yang
berpenghasilan besar" Tak lain untuk memenuhi nafsu
mereka yang tak pernah merasa puas dengan
keadaan mereka. Marilah kau ikut aku, melihat-lihat
tempat orang bekerja, dan kau akan melihat sendiri
keadaan mereka, Hong-moy."
Karena ia sedang mengalami kemendongkolan hati,
maka In Hong pikir ada baiknya kalau ia melihat-lihat
di luar agar hatinya terhibur. Berangkatlah kedua
orang muda ini keluar dari gedung. Dengan gembira
Yo Kang memperlihatkan perdagangan keluarganya,
yang memang amat besar. Banyak sekali kuli bekerja
di gudang-gudang itu, dan Yo Kang memperkenalkan
orang-orangnya yang menjadi orang kepercayaan. Di
setiap gudang terdapat seorang kepercayaan dan
orang ini kelihatan pandai ilmu silat dan bertubuh
kokoh kuat. "Disetiap tempat pasti ada seorang pembantu kami
yang boleh dipercaya dan memiliki kepandaian silat
sehingga tidak ada pekerja yang berani main gila,"
kata Yo Kang kepada gadis itu.
In Hong melihat betapa kuli-kuli itu bekerja berat
sekali dan mengingat betapa mereka ini bekerja
sekadar untuk mencari makan, itupun tidak
mencukupi kebutuhan rumah tangga keluarganya, In
Hong merasa kasihan dan terharu sekali.
Kemudian Yo Kang mengajaknya ke tempat
pengiriman barang yang dilakukan dengan dua jalan,
yakni dengan jalan darat dan ada pula yang jalan air,
mempergunakan perahu-perahu besar di sepanjang
Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sungai yang akhirnya turun di sungai Yang-ce-kiang
untuk dikirim ke pelbagai kota.
Yo Kang ternyata ahli betul dan mengerti sedalamnya
tentang perdagangan keluarganya, tidak
mengherankan apabila kong-kong dan ayahnya
menyerahkan semua urusan kepadanya, sedetail-
detailnya pemuda ini menjelaskan kepada In Hong
tentang perdagangan itu, dan setelah ia selesai
menuturkan semua ini, tahulah In Hong bahwa yang
mendapat keuntungan besar bukan lain adalah
keluarga Yo. Para pekerja, dari kuli-kuli angkut,
sampai tukang-tukang perahu dan tukang-tukang
mengirim barang melalui jalan darat, hanya
mendapatkan upah sekadar cukup mereka makan
saja. "Kau mendapatkan untung begitu besar, kadang-
kadang sampai lipat duakali dari modal. Mengapa kau
dan kong-kongmu itu begitu pelit dan tidak menjamin
kehidupan para pekerja kasar?" In Hong bertanya
dengan berani. Yo Kang mengangkat pundak. "In Hong moy-moy,
sudah sepatutnya kalau kami yang mendapatkan
keuntungan besar, karena bukankah kami sudah
mengeluarkan modal besar, sudah membanting tulang
memeras keringat dan menjalankan otak" Para
pekerja itu hanya mengeluarkan tenaga kasar dan
mereka tidak tahu apa-apa. Mereka sudah tertolong
oleh perusahaan kami, karena tanpa ada perusahaan
kami, bukankah berarti ratusan orang pekerja itu
menganggur dan tidak bisa makan?"
"Hm, twako, agaknya kau lupa bahwa tanpa mereka,
kiranya keluarga Yo dan modalnya juga akan beku.
Harus diakui bahwa tenaga para pekerja itulah yang
memutar jalannya roda perusahaan sehingga lancar,
dan tenaga mereka pulalah yang mengalirkan
keuntungan ke dalam kantong keluargamu."
Yo Kang tertawa. "Ah, Hong-moy, itu sudah
selayaknya dalam perdagangan. Siapa bermodal dia
memegang kendali, siapa bodoh tentu hanya
mendapat sedikit saja dari perasan keringatnya. Pula,
harus kau ingat bahwa tidak selamanya kami
mendapat untung. Kadang-kadang kami menderita
rugi kalau harga barang-barang turun ketika sampai di
tempat tujuan, belum lagi kalau ada gangguan orang-
orang jahat di tengah perjalanan. Dewasa ini, banyak
sekali muncul rampok-rampok yang suka mencegat
dan mengganggu barang kiriman. Oleh karena itu,
kami sengaja memelihara beberapa orang jagoan
untuk mengawal setiap pengiriman, dan aku sendiri
yang mengepalai dan memimpin mereka." Pemuda itu
membusungkan dadanya. "Kau" Ah, twako, aku lupa lagi. Tentu kau pandai
sekali ilmu silat, dan agaknya kau sudah banyak
merantau di dunia kangouw."
"Tidak berani aku mengaku sudah pandai, akan tetapi
sedikit-sedikit ilmu silat pernah kupelajari. Dan biarpun
aku belum merantau sampai ke seluruh penjuru
dunia, akan tetapi nama Bu-tong-sin-to Yo Kang
(Golok sakti dari Bu-tong), bagi semua tokoh sungai
telaga (bangsa bajak) di sepanjang Yang-ce-kiang,
tidak ada yang tidak mengenal dan tidak ada yang
berani mengganggu barang kirimanku."
"Jadi kau anak murid Bu-tong-pay, twako?"
"Benar, ketika aku berusia sepuluh tahun, kebetulan
sekali barang kiriman ayah ada yang mengganggu,
dan perampok-rampok itu dihajar habis-habisan oleh
guruku, yakni Hoat Gi Thaysu dari kelenteng di Bu-
tong-san. Karena ayah amat berterima kasih dan
berpikir bahwa dalam keluarga Yo harus ada orang
kuat untuk menjaga kalau-kalau barang-barang
kiriman diganggu penjahat, maka aku lalu dikirim ke
Bu-tong-pay untuk belajar ilmu silat disana. Selama
delapan tahun aku belajar disana sampai tamat, dan
kiranya Bu-tong-pay tidak merasa kecewa
mempunyai anak murid seperti aku. Dan kau sendiri,
Hong-moy, kulihat kau mempunyai sebatang pedang
yang gagangnya indah sekali, tentu kau juga pandai
mainkan pedang, apalagi kalau diingat bahwa kau
adalah murid dari Hek Moli yang amat terkenal di
dunia kangouw." In Hong tersenyum dingin. "Orang lemah seperti aku
bisa memiliki kepandaian apakah?" Ia teringat akan
ucapan-ucapan para pekeja di gudang, maka ia
menyambung: "Guruku hanya menaruh kasihan
kepadaku maka ia membawaku, akan tetapi aku
hanya belajar sedikit sekali. Tentang pedang ini, boleh
disebut hanya untuk hiasan saja atau boleh juga
dianggap untuk menakut-nakuti para penjahat agar ia
jangan menggangguku."
Yo Kang tertawa "Kau memang gagah sekali
memakai pedang itu, Hong-moy. Akan tetapi jangan
khawatir, kalau kau melakukan perjalanan
bersamaku, aku tanggung tidak akan ada orang
berani mengganggumu. Orang yang berani
mengganggumu berarti sudah bosan hidup dan
darahnya pasti akan diminum oleh golokku." Ia
menepuk-nepuk golok yang tergantung di
pinggangnya. Pada saat itu, serombongan orang datang tergopoh-
gopoh menghampiri mereka. Mereka ini adalah tujuh
orang yang berpakaian seperti jago-jago silat dan
melihat dari sepatu dan pakaian mereka yang
berdebu, dapat diduga bahwa mereka baru datang
dari tempat jauh. "Celaka, Yo-kongcu, celaka kali ini?"" seorang di
antara mereka, yang tertua dan bermuka panjang,
berkata sambil terengah-engah. Orang-orang lain juga
nampak kusut dan lelah sekali, mata mereka rata-rata
memperlihatkan ketakutan dan kegelisahan.
"Cong-piauwsu, apakah yang terjadi?" tanya Yo Kang
sambil mengerutkan alisnya.
Orang yang disebut Cong-piauwsu itu menarik napas
panjang, menghapus peluhnya, kemudian berkata:
"Tujuh kereta gandum dan bahan obat yang kami
kawal itu telah dirampas oleh seorang tosu dari Go-bi-
pay." Yo Kang terkejut sekali. "Mengapa seorang tosu
melakukan hal itu" Lekas ceritakan dengan jelas."
Cong-piauwsu lalu menuturkan pengalamannya
seperti berikut. Cong-piauwsu, seorang ahli silat yang
menjadi pembantu Yo Kang, yang dianggap memiliki
ilmu silat paling pandai, bersama enam orang
pembantunya yang memiliki kepandaian tinggi pula,
mengawal kereta-kereta itu menuju ke kota Hang-ciu.
Ketika rombongan ini tiba diperbatasan propinsi
Honan, di sebuah dusun yang baru menderita bencana
kelaparan karena musim kering, mereka dihadang
oleh sekumpulan orang dusun yang kurus-kurus dan
kelaparan. "Cuwi-enghiong, tolonglah kami dan berilah kami
sedikit makanan untuk anak-anak kami yang
kelaparan," kata mereka.
Cong-piauwsu hendak menyumbangkan uangnya,
akan tetapi para petani yang sudah kelaparan itu
tidak mau menerima uang, apalagi setelah mereka
mendapatkan kenyataan bahwa yang diangkut dalam
kereta adalah gandum dan bahan obat, mereka
kembali memohon agar supaya rombongan itu sudi
menolong mereka dan meninggalkan sekereta
gandum untuk menolong mereka dari bahaya
kelaparan. Tentu saja Cong-piauwsu tidak mau mengabulkan
permintaan ini dan terjadilah keributan ketika orang-
orang kelaparan itu nekad hendak mengambil
gandum. Akan tetapi tentu saja orang-orang yang
tidak mempunyai kepandaian silat dan pula sudah
lemah akibat beberapa hari tidak makan ini bukan
lawan yang tangguh dari para piauwsu. Dengan
mudah para piauwsu itu mengamuk dan merobohkan
mereka, lalu kereta-kereta itu dijalankan cepat-cepat
meninggalkan daerah itu. Akan tetapi, baru setengah hari mereka berjalan, tiba-
tiba mereka disusul oleh seorang tosu yang bertubuh
tinggi kurus, usianya paling sedikit enampuluh tahun
dan jenggotnya panjang sampai ke dada. Tosu itu
mendahului rombongan, lalu berdiri di tengah jalan
sambil mengangkat tangan kanan ke atas, memberi
isyarat supaya rombongan itu berhenti.
Cong-piauwsu dan kawan-kawannya segera majukan
kuda menghadapinya, maklum bahwa tosu itu tentu
bukan orang sembarangan karena larinya tadi
demikian cepat sehingga dapat mendahului larinya
kuda. "Totiang, ada keperluan apakah maka totiang
mengejar kami dan menghadang perjalanan
rombongan kami?" tanya Cong-piauwsu setelah
memberi hormat kepada pendeta itu.
Tosu itu tertawa perlahan sambil mengelus-elus
jenggotnya. "Melihat orang kelaparan tanpa mengulurkan tangan
menolong padahal membawa makanan begini
banyak, benar-benar hati kalian terbuat daripada
batu!" katanya, suaranya halus akan tetapi
berpengaruh. "Totiang, harap maafkan kami dan harap suka
mempertimbangkan keadaan kami. Kami hanya
mengawal barang-barang ini, dan sama sekali kami
tidak berhak memberikan kepada siapapun juga,"
jawab Cong-piauwsu. "Begitukah" Kalau begitu, tinggalkan semua kereta ini
dan kalian kembalilah ke tempat tinggalmu,
beritahukan kepada pemilik barang-barang ini bahwa
pinto Wu Wi Thaysu dari Go-bi-pay minta pinjam
bahan makanan dan obat ini untuk menolong daerah
yang sedang diancam bahaya kelaparan dan
penyakit." Cong-piauwsu menjadi cemas sekali, akan tetapi juga
mendongkol. Terang sekali bahwa tosu itu tidak
memandang sebelah mata kepada mereka, dapat
mengeluarkan kata-kata dan perintah demikian
enaknya. "Totiang, barang-barang ini adalah milik dari Bu-tong-
sin-to Yo Kang, pendekar muda dari Bu-tong-pay, yang
mengirimkan barang-barang ini sebagai barang
dagangan. Harap totiang sudi me?mandang mukanya
dan jangan mengganggu pekerjaan kami.
Sepulangnya dari Hang-ciu, tentu kami akan mampir
disini dan kami akan membantu usaha totiang
menolong penduduk dengan jalan mendermakan
sejumlah uang." "Hm, jadi barang-barang ini milik murid Bu-tong-pay"
Kebetulan sekali, pinto kenal baik dengan tokoh-tokoh
Bu-tong-pay yang dalam hal ini pasti setujuan dengan
pinto. Sampaikan terima kasihku kepada Yo-sicu atas
sumbangannya berupa tujuh kereta makanan dan
obat ini untuk mereka yang menderita."
Tentu saja Cong-piauwsu tidak mau sudah begitu saja
dan ia menjawab: "Terpaksa kami tidak bisa meninggalkan kereta-kereta
ini, totiang. Kalau sekiranya totiang membutuhkan
bahan makanan, harap totiang suka datang sendiri ke
See-ciu dan minta sumbangan dari Yo-kongcu. Kami
harus melaksanakan tugas kami sampai beres, dan
barang-barang ini harus kami antarkan sampai di
Hang-ciu." "Urusan dengan Yo-sicu boleh menanti, akan tetapi
perut orang-orang yang sudah kelaparan mana bisa
menanti lagi" Pulanglah kalian ke See-ciu dan
bagaimanapun juga, barang-barang makanan ini
harus ditinggalkan disini!"
"Terpaksa kami menggunakan kekerasan, totiang."
Akan tetapi, baru saja ucapan Cong piauwsu ini
dikeluarkan, tosu itu menggerakkan kedua lengan
bajunya dan tujuh orang piauwsu itu terlempar jatuh
dari atas kuda! Dari sepasang lengan baju itu
menyambar angin yang mendorong mereka.
"Demikianlah, Yo-kongcu," Cong-piauwsu melanjutkan
ceritanya kepada Yo Kang yang mendengarkan
bersama In Hong, "kami bertujuh tentu saja tidak
mau mengalah sampai disitu. Kami mencabut senjata
dan maju menyerang tosu itu, akan tetapi Wu Wi
Thaysu dari Go-bi-pay itu benar-benar lihay sekali.
Tanpa senjata, hanya dengan ujung lengan baju, ia
menghadapi kami dan tahu-tahu senjata kami telah
dapat dirampas dengan gulungan ujung lengan baju
itu! Terpaksa kami melarikan diri dan pulang untuk
melaporkan hal ini kepada kongcu."
Yo Kang mengerutkan keningnya dan ia kelihatan
marah sekali. "Hm, Wu Wi Thaysu dari Go-bi-pay benar-benar
memandang terlalu rendah kepadaku, berarti ia tidak
memandang kepada Bu-tong-pay. Panggil Ngo-losuhu
(Lima orang guru tua) untuk berkumpul di rumahku,
aku mau berunding dengan mereka. Kemudian kalian
mengasohlah karena kalian segera akan be-rangkat
lagi mengantar kami ke tempat itu."
Setelah memberi perintah ini, Yo Kang mengajak In
Hong pulang. "Memang tosu itu memandang terlalu rendah
kepadamu, toako, akan tetapi kalau memang betul ia
Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
merampas bahan makanan dan obat itu untuk
menolong penduduk daerah yang kelaparan, aku
harus menyatakan bahwa perbuatannya itu tidak bisa
dibilang jahat." "Memang demikian, akupun berpikir begitu. Akan
tetapi, tidak seharusnya ia terlalu lancang dan
merampas barang kiriman. Siapa tahu kalau di Hang-
ciu, bahan makanan itu juga dibutuhkan oleh orang
banyak" Sepantasnya, meng-ingat akan hubungan
antara orang-orang kangouw di dunia persilatan, ia
boleh datang kesini dan kalau dia minta secara terus
terang untuk menolong orang-orang sengsara, apakah
aku begitu pelit untuk menolak permintaannya?"
Ketika kakek Yo mendengar tentang perampasan
tujuh kereta gandum dan bahan obat ini, ia mencak-
mencak di atas kursinya. Saking marahnya ia
memukul-mukulkan huncwenya hingga pecah.
"Penjahat besar, tosu siluman, bedebah! Dia bikin aku
rudin dan bangkrut! Yo Kang, kerahkan semua orang,
panggil barisan penjaga keamanan kota, tangkap dia.
Tosu siluman itu harus dijebloskan di dalam penjara,
harus dipenggal lehernya!"
Ia menyumpah-nyumpah dan memaki-maki dengan
suara keras dan menjadi begitu marah dan sedih
seakan-akan seluruh harta bendanya benar-benar
ludas dan habis dengan adanya kejadian ini.
Diam-diam In Hong menjadi sebal sekali. Ia tahu
benar bahwa dibandingkan dengan jumlah kekayaan
kakek ini, tujuh kereta barang itu hanya merupakan
jumlah kecil saja, setitik air dalam air seguci, dan toh
kakek itu seakan-akan kehilangan seluruh hartanya.
"Apakah begini watak semua hartawan?" pikir gadis
ini dengan hati sebal. http://cerita-silat.mywapblog.com Sian Li Eng Tju Bu Jin Ay . . . . . "
Ia mulai merasa kecewa dan tidak puas, bahkan ia
mulai mengingat-ingat bagaimanakah watak kedua
orangtuanya yang dahulunya juga disebut-sebut
orang kaya. Sore hari itu, di ruang depan dari rumah gedung
keluarga Yo, diadakan perundingan. Yo Kang dan
ayahnya mengundang Ngo-losuhu yang ternyata
adalah lima orang berusia antara empatpuluh sampai
limapuluh tahun, dan mereka ini adalah pembantu-
pembantu Yo Kang yang memiliki kepandaian tinggi.
Mereka tadi adalah kauwsu-kauwsu (guru-guru silat)
dan kini dipekerjakan sebagai pelatih-pelatih kepada
para pembantu Yo Kang yang mengawal barang-
barang kiriman. Juga mereka ini berkewajiban
membereskan kalau terjadi rintangan dan gangguan
pada barang-barang kiriman. Akan tetapi oleh karena
sekarang ini terjadi perampasan yang luar biasa dan
besar, Yo Kang hendak mengurusnya sendiri dengan
bantuan mereka. Karena desakan Yo Kang, maka In Hong
diperkenankan hadir dalam pertemuan ini. Ketika
diperkenalkan kepada para kauwsu tua itu, In Hong
memberi hormat selayaknya, akan tetapi lima orang
kauwsu itu hanya membalas penghormatan In Hong
dengan dingin saja. Mereka adalah orang-orang
berkepandaian, sudah tentu tidak begitu memandang
kepada In Hong yang dianggapnya hanya seorang
gadis muda cantik yang manja dan yang berlagak
seorang pendekar wanita! In Hong diam-diam memperhatikan mereka. Menurut
penglihatannya, di antara lima orang kauwsu itu,
hanya seorang saja yang kelihatannya "berisi," yakni
yang bernama Pouw Cun. Mata kauwsu tua ini
setengah terkatup seperti orang mengantuk, akan
tetapi dari balik bulu matanya yang jarang itu,
memancar sepasang sinar mata yang tajam dan
bergerak-gerak cepat. Juga hanya dia seorang di antara lima kauwsu itu
yang tidak memegang senjata. Empat kauwsu yang
lain semua membawa senjata. The Sun dan The Kwan
dua saudara yang diperkenalkan sebagai guru-guru
silat asal dari selatan, membawa pedang di pinggang
mereka, sedangkan dua orang lagi adalah Tan Koay
Kok yang membawa rantai atau pian lemas dan Lay
Kiat yang bersenjata golok besar.
"Ngo-wi losuhu, sebetulnya, mengingat bahwa yang
melakukan perampasan adalah Wu Wi Thaysu dari
Go-bi-pay, sebetulnya aku tidak akan menarik
panjang urusan ini. Biarpun aku belum pernah
berjumpa dengan Wu Wi Thaysu, namun namanya
sebagai tokoh Go-bi sudah cukup terkenal, dan pula
harus diingat bahwa ia melakukan perampasan untuk
menolong orang-orang yang menderita kelaparan.
Akan tetapi, kalau diingat lagi, perjalanan antara See-
ciu amat penting artinya bagi kita. Sedikitnya tiga kali
sebulan kita mengirim dan mengambil barang antara
See-ciu dan Han-ciu. Kalau gangguan sekali ini
dibiarkan saja, tentu para hek-to akan mengira kita
lemah dan mereka akan mendapatkan contoh yang
buruk," kata Yo Kang.
"Wu Wi Thaysu adalah seorang tokoh besar dari Go-
bi-pay, kalau aku tidak salah, dia adalah tokoh kedua
atau murid dari ketua Go-bi-pay, Pek Eng Thaysu.
Heran sekali mengapa seorang tokoh besar seperti dia
mau melakukan atau mengurus hal semacam itu,"
kata Lay Kiat dengan kening berkerut.
Memang, ketika mendengar bahwa yang melakukan
perampasan adalah tokoh Go-bi-pay itu, Lay Kiat dan
juga kawan-kawannya merasa gentar dan gelisah.
Mereka sudah mendengar akan kelihayan tosu itu,
dan pula kedudukan Wu Wi Thaysu amat tinggi di
kalangan kangouw. "Apakah yang akan kau lakukan selanjutnya, Yo-
kongcu?" tanya Pouw Cun, suaranya perlahan akan
tetapi jelas. "Harus kau ingat bahwa Wu Wi Thaysu
kepadaiannya amat tinggi, bukan aku hendak berkata
bahwa kau takut kepada-nya tetapi menanam
permusuhan dengan pihak Go-bi-pay bukanlah hal
yang cerdik." Yo Kang mengangguk. "Memang betul kata-katamu,
Pauw-suhu. Aku sendiri juga ingin mencoba
kepandaiannya, dan aku tidak takut. Akan tetapi aku
ragu-ragu untuk bermusuhan dengan partai persilatan
Go-bi yang demikian besar dan ternama. Tidak, aku
tidak akan memusuhi Go-bi-pay, aku hanya ingin
mengajak cuwi sekalian pergi menjumpainya dan
hanya perlu untuk mencuci muka kita sekalian agar
para penjahat tidak mengira kami takut. Terhadap Wu
Wi Thaysu, aku hanya ingin minta penjelasan tentang
pertolongan kepada mereka yang kelaparan itu, dan
minta ia berjanji agar lain kali apabila ada keperluan,
agar suka datang saja disini dan minta secara terus
terang daripada mengganggu barang kiriman."
"Baik, aku setuju dengan pikiran itu," kata The Sun
mengangguk-angguk. "Kapan kita akan berangkat?"
"Besok pagi-pagi, dan yang menjadi penunjuk jalan
cukup Cong-piauwsu seorang saja. Tak perlu ramai-
ramai, banyak orang menarik perhatian saja, seakan-
akan kita hendak mengerahkan semua tenaga hanya
untuk menghadapi seorang tosu," kata Yo Kang.
Semua guru silat itu mengangguk setuju.
"Yo-twako, akupun hendak ikut," tiba-tiba In Hong
berkata. Gadis ini sebenarnya tidak tertarik dengan urusan
yang dihadapi oleh Yo Kang, akan tetapi ia memang
tidak kerasan di rumah itu. Apalagi kalau Yo Kang
pergi, ia takkan betah tinggal disitu.
Selain ini, iapun tertarik mendengar bahwa yang
melakukan perampasan itu adalah seorang tokoh Go-
bi-pay, karena bukankah gurunya ketika ia pergi juga
sedang menghadapi tantangan pihak Go-bi-pay" Ia
ingin sekalian bertemu dengan Wu Wi Thaysu itu,
untuk bertanya tentang gurunya dan tentang
pertandingan yang dilakukan oleh gurunya untuk
menghadapi tantangan pihak Go-bi-pay.
Mendengar gadis itu hendak ikut, Yo Kang berseri
wajah?nya, akan tetapi lima orang guru silat itu
memandang heran dan nampaknya tidak setuju.
Hanya Pouw Cun saja yang tak berobah air mukanya,
namun dari balik bulu matanya, ia menatap wajah In
Hong dengan tajam. "Kwee-siocia, perjalanan ini bukan main-main. Kami
menghadapi orang yang telah mengganggu pekerjaan
kami, siapa tahu akan terjadi pertempuran!" kata The
Sun. "The-kauwsu, kalau ada pertempuran, yang bertempur
adalah kau dan kawan-kawanmu, itu tugasmu. Aku
hanya ingin ikut saja untuk menambah pengalaman,"
jawab In Hong ramah. "Akan tetapi perjalanan ini tidak dekat dan
melelahkan, dan bagaimana kalau sampai terjadi apa-
apa" Kami bahkan harus melindungimu, Kwee-siocia,"
kata The Kwan yang juga tidak setuju.
"Belum kalau muncul orang jahat," kata Tan Koay Kok,
"maafkan siocia, akan tetapi mata orang-orang jahat
akan menjadi gelap kalau melihat seorang gadis
muda yang ehh?" cantik di tengah jalan. Tentu hanya
akan menimbulkan keributan belaka."
In Hong tersenyum dan memandang kepada Tan-
kauwsu dengan mata berseri. Ia maklum akan
maksud kata-kata ini dan tahu pula bahwa kauwsu
tua ini bicara dengan sejujurnya, maka ia tidak
marah. "Tan-kauwsu, terima kasih atas pujianmu. Akan tetapi,
tentang perjalanan jauh, agaknya tidak mengapa
bagiku karena akupun biasa menunggang kuda.
Bahkan kudaku masih terpelihara baik-baik di
kandang Yo-twako. Adapun tentang orang-orang
kurangajar, ada ngo-wi lo-kauwsu dan Yo-twako di-
sampingku, aku takut apa sih?"
Akhirnya semua kauwsu itu menyerahkan
keputusannya kepada Yo Kang dan semua mata
memandang kepada pemuda ini.
"Hong-moy, soal kuda, aku mempunyai yang lebih
baik daripada kudamu. Memang, dengan adanya ngo-
losuhu bersama kita, kau tak usah khawatir
terganggu orang dijalan. Akan tetapi, terus terang
saja, perjalanan ini bukan tidak berbahaya. Agaknya
akan lebih amanlah hatiku kalau kau tinggal saja di
rumah. Urusan ini dikata kecil juga kecil, akan tetapi
kalau dianggap besar juga amat besar."
Walaupun mulutnya berkata demikian, namun di
dalam hatinya, Yo Kang merasa amat gembira kalau
nona yang mencuri hatinya ini ikut serta dalam
perjalanan itu. Ia ingin sekali memamerkan
keberanian dan kegagahannya kepada In Hong dan
inilah kesempatannya. "Yo-twako, memang aku tidak ada gunanya dalam
menghadapi urusanmu yang besar ini, akan tetapi
ingatlah, aku sekalian hendak mendengar-dengar
tentang ibuku, hendak menyelidiki tentang Can
Mama. Sekarang ada kesempatan baik sekali, mau
tunggu kapan lagi?" "Baiklah, Hong-moy. Memang kalau tidak ada
peristiwa gangguan ini, akupun tentu akan
mengantarmu melakukan penyelidikan itu," akhirnya
Yo Kang berkata dan demikianlah, mereka semua
bersiap-siap untuk melakukan perjalanan itu pada
keesokan harinya. Pagi-pagi sekali, berangkatlah rombongan terdiri dari
delapan orang itu. Mereka adalah Yo Kang, In Hong,
Cong-piauwsu, dan kelima Ngo-lokauwsu. Mereka
menunggang kuda dan para guru silat itu merasa lega
melihat bahwa In Hong benar-benar tidak kikuk
ketika melompat naik ke punggung kuda.
Tadinya mereka sudah merasa khawatir kalau-kalau
nona itu akan merupakan penghalang dan
penghambat perjalanan mereka. Setelah melompat di
atas punggung kudanya yang disediakan oleh Yo
Kang, In Hong berpaling dan tersenyum memandang
mereka. Ia maklum bahwa gerakannya tadi
diperhatikan, maka ja tidak memperlihatkan
kepandaian, hanya melompat biasa saja seperti orang
yang sudah pandai menunggang kuda namun tidak
mempunyai ginkang yang luar biasa.
"Mari kita berangkat!" Yo Kang mengomando.
Yang terde?pan adalah Cong-piauwsu sebagai
penunjuk jalan, kemudian menyusul lima orang
kawsu. Yo Kang menjalankan kudanya berendeng
dengan In Hong, mengikuti dari belakang. Entah
mengapa dia sendiri tidak mengerti, Yo Kang merasa
luar biasa gembiranya melakukan perjalanan ini. Jauh
sekali bedanya dengan yang biasa ia lakukan,
padahal kali ini menghadapi urusan besar yang
menjengkelkan. Semua ini tentu saja karena In Hong berada
disampingnya! Memang, semenjak pertemuan
pertama, hati Yo Kang sudah terampas oleh In Hong
dan pemuda ini jatuh hati kepadanya.
"Jangan khawatir, Hong-moy, apapun yang terjadi,
dengan adanya aku disampingmu, kau akan selamat.
Aku menyediakan nyawa dan raga untuk
Pecut Sakti Bajrakirana 6 Mahkota Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy Pendekar Gila 1