Pencarian

Pengkhianatan Dilembah Neraka 1

Detektif Stop - Pengkhianatan Di Lembah Neraka Bagian 1


PENGKHIANATAN DI LEMBAH NERAKA
Buku : Nurhastuti Scan by Tirta OCR by Raynold 1 HUBI TERTIMPA BENCANA Mereka pasti akan membantai aku, pikir sporty dengan kecut. Paling tidak, aku
akan dimaki-maki. Mereka pasti kesal sekali. Tapi, namanya juga kecelakaan.
Hmmm... bagaimana aku akan menjelaskannya pada mereka" Mudah-mudahan saja anak-
anak mau percaya bahwa aku benar-benar tidak sengaja.
Jam dinding di atas pintu ruang guru menunjukkan pukul delapan kurang lima
menit. Sebentar lagi jam pelajaran pertama akan dimulai. Sambil nyengir malu
sporty masuk ke kelas 9b, lalu berdiri di depan teman-temannya. Ia terpaksa
bertepuk tangan untuk menarik perhatian mereka.
Sekitar tiga puluh pasang mata menoleh ke arahnya. Aha! Sang ketua kelas akan
membuat pengumuman. Oskar duduk sambil menopang dagu. Ia sudah tahu apa yang
akan dikatakan sport. Thomas membetulkan letak kacamatanya. Petra nampak heran
ketika melihat sport berdiri di depan kelas.
"Ehm.. begini," ujar sporty, "hari ini tidak ada pelajaran menggambar, soalnya
Hubi sedang sakitt. Ehm... hmmm."
Pengumuman itu ternyata tidak menimbulkan gelombang protes seperti yang
dibayangkan oleh sporty, tetapi para murid kelihatannya agak kecewa. Hubi, alias
Pak Hubert Knot, merupakan guru muda yang sangat disukai oleh anak didiknya.
"Sakit?" tanya Eugen Glattmann, yang duduk di baris keenam. "Sakit apa" Kemarin
aku lihat dia masih segar bugar."
"Tangannya patah," jawab sporty. "Hubi mengalami kecelakaan waktu berlatih judo
semalam. Kalian semua kan sudah tahu bahwa Hubi seorang pejudo yang tangguh.
Kejadian itu sama sekali tidak disengaja. Aku benar-benar menyesal."
Dalam keheningan yang menyusul, beberapa anak mulai menyadari arti kata-kata
terakhir yang diucapkan sporty.
Kemudian petra mewakili yang lain, dan bertanya, "Maksudmu, KAU yang mematahkan
tangan dia?" "Ya, tapi aku tidak sengaja."
Sporty menatap sudut ruangan, seakan-akan melihat pemandangan menarik di sana.
Sebentar lagi mereka akan mengamuk, ia berkata dalam hati. Dan petra akan
menganggapku sebagai tukang pukul yang kasar. Pasti tidak akan ada yang ingat
bahwa dua jam pelajaran terakhir jadi kosong. Tapi benar juga, sih. Apa jadinya
kalau cara seperti ini sempat jadi mode" Ya, segala sesuatu ada untung ruginya.
Tergantung dari mana kita melihatnya.
Namun tanggapan teman sekelas sporty ternyata tidak seperti dugaannya.
"Apakah cederanya parah?" Eugen Glattmann kembali bertanya.
"Kelihatannya begitu," jawab Sporty. "Hubi sempat dibawa ke rumah sakit semalam.
Tangan kirinya terpaksa digips sampai ke bahu."
"Oh, berarti dia masih bisa menyetir," ujar Thomas. "Mobil sport pun bisa
dikemudikan dengan sebelah tangan. Kami semua percaya bahwa kau tidak sengaja.
Aku yakin bahwa kau tidak bisa disalahkan."
"Memang," Sporty membenarkan ucapan sahabatnya. "tapi aku benar-benar terpukul
oleh kejadian itu. Hubi sampai tidak sempat memperhatikan rasa nyeri pada
lengannya. Dia terlalu sibuk menghiburku."
Petra meniup rambut yang menutupi keningnya.
"Ini adalah bukti bahwa olahraga bela diri merupakan olahraga yang berbahaya,"
katanya. "Selalu ada yang dicekik, didorong, atau dibanting. Coba bandingkan
dengan tenis meja! Atau dengan renang gaya punggung!"
"Kau belum pernah berenang di Sungai Nil, sih! Oskar berkomentar sambil nyengir.
"Di sana kau harus balapan dengan buaya."
"Pertama aku hanya berenang di tempat-tempat yang bebas dari binatang buas,"
balas petra. "Dan kedua, kaulah yang lebih pantas sebagai santapan buaya."
"Betul, mereka akan bisa berpesta pora selama seminggu," Eugen Glattmann
memancing gelak tawa seluruh kelas.
Dengan demikian pembicaraan itu diakhiri.
Pak Walzmann, yang mengajar selama jam pertama, muncul di ambang pintu. Dengan
nada serius ia mengumumkan bahwa pelajaran menggambar hari ini terpaksa
dibatalkan. Penyebabnya adalah kecelakaan yang dialami Pak Knot. Anak-anak kelas
9b menanggapi pengumuman itu dengan senyum simpul. Namun Pak Walzmann salah
paham. Melihat sikap murid-muridnya, ia menyangka bahwa mereka gembira karena
bisa pulang lebih cepat. Dalam hati ia merasa prihatin terhadap generasi muda,
yang sepertinya hanya mementingkan diri sendiri.
Petra menyadari hal ini. Langsung saja ia melotot ke arah Sporty.
Betulkan kesalahpahaman ini! Tersirat dalam pandangan matanya. Buka mulut, dong!
Untuk apa kau dipilih sebagai ketua kelas.
Sporty segera bertindak. Ia menjelaskan bahwa teman-temannya hanya tersenyum
karena mereka telah mendengar berita mengenai kecelakaan Hubi.. ehm... maksudnya
Pak Knot, dan bahwa ia, sporty, adalah penyebab kecelakaan itu. Semalaman ia
dihantui oleh perasaan bersalah.
Pak Walzmann menarik napas panjang. Diam-diam ia merasa lega karena dugaannya
ternyata keliru. Kemudian pelajaran pun dimulai.
Karena Hubi sedang cidera, maka seusai jam keempat kelas 9b diperbolehkan
pulang. Sementara yang lainnya membubarkan diri, petra malah memanggil ketiga
sahabatnya. "Bagaimana sekarang" Kelihatannya kalian sudah tidak sabar untuk berakhir pekan.
Padahal Hubi terpaksa duduk di rumahnya dengan tangan dibalut gips. Menurut aku
ini tidak benar. Hubi termasuk guru yang paling disukai di sekolah ini. Dan dia
pun tahu bahwa dia merupakan guru favorit kita. Bisa-bisa dia frustrasi kalau
tak seorang murid pun mengurusnya."
"Mengurusnya?" tanya Oskar sambil mengerutkan kening. "Seperti seorang perawat"
Membantunya sikat gigi, dan menggaruk sisi punggung sebelah kiri, yang tak
terjangkau oleh tangan kanan" Tapi kalau..."
"Jangan ngawur!" petra menjawab dengan ketus. "Hubi bukan bayi yang tak berdaya.
Meskipun demikian tak ada salahnya kalau kita mengunjungi dia. Jelas?"
Ketiga sahabatnya mengangguk.
Sporty melirik jam tangannya. "Mestinya dia sudah kembali dari rumah sakit, dan
gips-nya juga sudah kering."
"Kalau menjenguk orang sakit, kita wajib membawa sesuatu untuk orang itu,"
thomas mengingatkan. "Bunga!" ujar Oskar dengan wajah berseri-seri.
Petra menggelengkan kepala.
"Bunga! Apakah kau senang kalau dibawakan bunga sewaktu sedang sakit?"
"Dalam keadaan sakit hanya ada satu yang bisa menghiburku, yaitu coklat!" kata
Oskar. "Masalahnya, Hubi tidak suka coklat. Dia suka anggur. Tapi dalam
perjalanan ke rumahnya kita bisa mampir ke supermarket. Kebetulan lagi ada obral
anggur - satu botol harganya 1,95 Mark."
"Dasar pelit!" Sporty berkomentar. "Kalau kita memang mau membawakan anggur
untuk Hubi, maka sudah sepantasnya kalau kita cari anggur yang lumayan bagus.
Bukannya yang paling murah. Kita beli saja yang harganya 3,95 Mark. Anggur yang
diusulkan Oskar tadi sudah dicampur dengan air."
Hal itu diketahui Sporty dari sebuah majalah, karena seumur hidup ia belum
pernah minum alkohol. Petra dan thomas mengangguk. Oskar pun tidak keberatan. Kemudian mereka
berangkat. Mereka mengambil sepeda masing-masing, lalu melewati gerbang sekolah
dan mulai menyusuri jalan raya yang menuju ke kota.
Cuaca di awal bulan September masih cerah. Tetapi panasnya sudah tidak begitu
menyengat seperti pada bulan-bulan sebelumnya. Musim gugur sudah di ambang
pintu. Suhu udara di malam hari semakin turun, dan daun-daun sudah mulai berubah
warna. Berbeda dengan para guru bujangan yang tinggal di asrama. Hubert Knot - guru
muda, pejudo, serta pengemudi Porsche (mobil sport buatan Jerman) - tinggal di
kota. Ia tidak ingin meninggalkan apartemen yang telah ia diami sejak masih
kuliah. Setiap pagi ia datang ke sekolah dengan mengendarai mobil sportnya yang
berwarna perak. Mobil itu baru dibelinya empat setengah bulan yang lalu.
Semua guru dan murid di sekolah asrama sudah tahu bahwa Hubi seorang penggemar
mobil. Seandainya bisa, ia akan memarkir Porsche-nya di samping tempat tidur.
Namun itu tidak mungkin, sebab Hubi tinggal di lantai teratas sebuah gedung
berlantai enam. Keempat sahabat STOP sudah pernah berkunjung ke sana. Ketika itu Hubi mengundang
mereka dan beberapa murid lain untuk minum teh. Guru muda itu memang akrab
sekali dengan anak didiknya.
Anak-anak STOP berhenti di supermarket, dan thomas membeli sebotol anggur.
Harganya ternyata agak lebih tinggi dari pada yang mereka bayangkan.
Oskar rupanya lupa membawa coklat sebagai ransum darurat. Ia nyaris panik ketika
menyadarinya. Langsung saja ia menyusul thomas, dan membeli dua keping makanan
kegemarannya. Baru setelah itu keempat sahabat meneruskan perjalanan.
"Bagaimana kalau Hubi tidak ada di rumah?" tanya thomas. "Seharusnya kita
telepon dulu sebelum berangkat tadi."
Sekarang sudah terlambat. Tapi mereka beruntung. Ketika sampai di ujung Jalan
Sperling, mereka melihat mobil Hubi di parkir di depan rumahnya. Itu saja
sebenarnya belum berarti apa-apa. Mereka baru yakin ketika Sporty meraba kap
mesin, lalu mengatakan bahwa mesinnya masih panas.
"Dia baru pulang," anak itu menyimpulkan. "Awas, Thomas! Botol anggurnya hampir
jatuh." Jalan Sperling terletak di pinggir kota lama lama, agak jauh dari kampus
universitas. Daerah itu masih menyimpan sisa-sisa kemegahan masa lalu, yaitu
rumah-rumah kuno yang dibangun sekitar pergantian abad ini. Jalan Sperling
sendiri cukup lebar dan berkelok-kelok. Sayangnya tidak ada tempat parkir.
Menjelang malam, mobil-mobil para penghuni mulai berderet-deret di sepanjang
trotoar. Keempat sahabat STOP turun dari sepeda masing-masing, lalu memasang kunci
pengaman. Setelah itu mereka masuk ke gedung apartemen nomor 63. thomas memegang
botol anggur. Dinding di lantai dasar dilapisi dengan keramik. Di ujung selasar
ada lift. Tetapi papan pengumuman yang tergantung pada pintunya mengatakan bahwa
lift itu sedang rusak. Oskar langsung menggerutu dengan kesal, karena terpaksa naik tangga sampai ke
lantai enam. Pada setiap lantai ia berhenti sambil bersandar pada pegangan
tangga. "Aku... ehm... aku Cuma berusaha untuk mengatasi rasa gamang," katanya sambil
tersengal-sengal. " Aku takut pusing kalau tidak berhenti dulu."
"Ah, alasan saja," Sporty menanggapinya sambil ketawa.
Akhirnya mereka sampai juga di lantai enam.
Apartemen di sebelah apartemen Hubi didiami oleh seorang pelukis. Itulah yang
terbaca pada papan nama di samping pintu : Nicole Tepler - Pelukis.
"Menurut gosip yang beredar di sekolah," bisik petra, "Hubi jatuh cinta pada
dia. Cocok sekali, bukan" Hubi guru menggambar, tetangganya pelukis. Mereka
diikat oleh minat yang sama."
"Aku pun gembira karena kau begitu tertarik pada olahraga judo," ujar Sporty
sambil nyengir. "Haaah?"?"
Petra langsung menggenggam lengan Sporty dan berusaha untuk memuntirnya. Sporty
diam saja, sementara thomas dan Oskar hanya tersenyum.
"Wah, sekarang tanganku cukup panjang untuk mengikat tali sepatu tanpa perlu
membungkuk," ujar Sporty. "Dengan latihan terarah, Petra, kau bisa jadi jagoan
di arena judo." Petra benar-benar lelah. Untuk sesaat ia menyandarkan diri pada Sporty. Kemudian
mereka berdiri di depan pintu apartemen Hubi. Thomas menekan bel.
Dari balik pintu terdengar bunyi gaduh.
Hubert Knot membuka pintu.
Lho" pikir Sporty. Kenapa tampangnya jadi kusut begini" Ada apa dengan Hubi"
Hubert Knot nampak lesu. Padahal biasanya ia selalu berpenampilan gagah. Ia
mengenakan kaus buntung. Lengan kirinya dibalut dengan gips, mulai dari
pergelangan tangan sampai ke bahu. Wajahnya berkesan ramah. Namun kali ini ia
nampak agak pucat. Dengan mata terbelalak ia menatap keempat sahabat yang berdiri di depan pintu.
"Oh, kalian rupanya!" ia mendesah. "Silakan masuk."
Sporty dan teman-temannya saling bertatapan. Kemudian mereka melangkah ke dalam.
Apartemen Hubi cukup unik. Langit-langitnya miring karena mengikuti bentuk atap
di luar. Cahaya masuk melalui dua jendela yang terpasang pada langit-langit.
Jendela lebih kecil bisa dibuka dari dalam. Sporty langsung memandang ke atas,
dan melihat sebuah pesawat terbang di langit yang biru.
Perabot yang dimiliki Hubi berasal dari zaman ketika ia masih duduk di bangku
kuliah. Semuanya agak berantakan, tapi cukup nyaman.
"Kami datang untuk melihat bagaimana keadaan anda," ujar petra. "Oh ya, kami
juga membawakan sebotol anggur."
"Wah, kalian baik sekali. Terima kasih! Silakan duduk. Hem! Kalian pilih anggur
yang enak," kata Hubi sambil meraih botol yang disodorkan Thomas. "Saya suka
anggur ini." Ucapan itu diikuti oleh desahan panjang. Kemudian Hubi berusaha memasang senyum.
Tetapi ia buka pemain sandiwara yang baik.
Anak-anak STOP agak terkejut. Apakah rasa nyeri di lengannya begitu hebat"
Jangan-jangan tangannya harus diamputasi"
"Anda nampak seperti mayat hidup," Sporty berkomentar. "Saya benar-benar
menyesal atas kejadian semalam. Saya berharap cedera anda tidak terlalu parah."
"Cedera" Oh, lengan saya maksudmu" Tidak, cideranya tidak begitu parah," jawab
Hubi sambil menggeleng. "Kata dokter, dalam empat minggu lagi saya sudah boleh
berlatih kembali. Awas saja, Sporty. Pada kesempatan pertama saya akan membuat
perhitungan denganmu." Ia ketawa.
Namun nadanya kurang menyakinkan.
"Jadi cidera anda tidak berbahaya?" Sporty mencari kepastian.
"Sama sekai tidak."
"Wah, syukurlah! Saya sempat kalang kabut. Tapi sekarang saya sudah bisa senyum
lagi. Lain halnya dengan anda, Pak Knoth. Kelihatannya anda sedang menunggu
seseorang. Anda nampak lega sekali ketika anda menyadari bahwa kami yang datang.
Apakah ada yang bisa kami bantu?"
Hubi menatap Sporty dengan pandangan kosong. Matanya mulai merah. Hanya dengan
susah payah guru muda itu berhasil menahan air mata.
Kepalanya menunduk dengan lesu. Lengannya yang sehat menggantung seakan-akan tak
bertenaga. "Saya... saya seorang bajingan busuk," Hubi berbisik. "Seorang pembohong. Bah,
memalukan! Saya benar-benar muak terhadap diri saya sendiri."
Keempat sahabat STOP nampak kaget bercampur heran. Belum pernah mereka
menghadapi guru yang membuat pengakuan seperti itu. Para guru biasanya bersifat
tertutup bila itu menyangkut masalah pribadi mereka, dan tidak mau
memperlihatkan perasaan - terutama di depan murid-murid. Tapi Hubert Knot
rupanya berbeda. Barangkali dia termasuk generasi guru yang baru, pikir Sporty, generasi yang
menyadari bahwa mereka pun bisa membuat kesalahan.
"Ah, kami tidak sependapat," ujar petra. "Anda bukan bajingan ataupun pembohong.
Kami sudah cukup lama mengenal anda, dan anda bisa mempercayai penilaian kami.
Betul tidak, teman-teman?"
Gadis itu menatap ketiga sahabatnya. Mereka mengangguk dengan sungguh-sungguh.
Oskar begitu bingung, sehingga tanpa sadar sudah menghabiskan setengah keping
coklat untuk menenangkan diri.
"Siapa bilang?" balas Hubi, sambil memperhatikan karpetnya yang sudah perlu
dibersihkan. "Tapi... saya tak berhak untuk membebani kalian dengan masalah-
masalah pribadi saya. Persoalan-persoalan itu harus saya selesaikan sendiri."
Ucapan seperti tidak bisa diterima oleh petra. Rasanya ingin tahunya sudah
terusik, dan ia siap untuk membantu.
"Kami akan membantu anda!" Petra berseru. "Apapun masalah yang anda hadapi. Anda
tahu bahwa kami bisa menyimpan rahasia. Jadi, ada apa sebenarnya?"
Hubi nampak ragu-ragu. Ia menyadari bahwa dalam kebingungannya, ia telah
bercerita terlalu banyak. Kini ia tidak bisa mundur lagi.
"Kalian harus berjanji untuk tidak menceritakan urusan ini pada siapa pun juga,"
katanya. "Saya hanya mengungkapkannya agar kalian jangan membuat kesalahan yang
sama. Membohongi ayah kalian sendiri adalah tindakan yang nista. Apalagi karena
hubungan saya dengan ayah saya sangat baik. Ibu saya sudah lama meninggal. Dan
ayah saya benar-benar seorang ayah yang baik."
Anak-anak STOP diam seribu bahasa. Petra nyaris tak berani bernapas.
Hubi bersandar dan menyilangkan kaki.
"Kalian pasti pernah melihat mobil saya, bukan?" ia mengawali ceritanya. "Mobil
itu saya beli dari pedagang mobil bekas. Pada waktu itu saya masih mahasiswa,
dan sedang menghadapi ujian akhir. Terus terang saja, kiriman uang dari ayah
saya lebih dari memadai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tapi porsche itu


Detektif Stop - Pengkhianatan Di Lembah Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ditawarkan pada saya dengan harga 20.000 Mark. Kalian perlu tahu bahwa ayah saya
dokter gigi. Dia kaya raya, tetapi selalu berpegang teguh pada prinsip-prinsip
yang dianutnya. Dia berpendapat bahwa seorang calon guru belum pantas memiliki
mobil seperti itu. Antara lain karena penghasilan guru tidak terlalu tinggi.
Tapi - dan inilah awal dari semuanya - saya tetap ngotot. Saya tetap ingin
membeli mobil itu." "Aha!" ujar Oskar.
Langsung saja ia dipelototi oleh ketiga sahabatnya. Namun Oskar berlagak tidak
tahu. Dengan tenang ia menggigit sepotong coklat.
"Pada waktu itu saya membayangkan bahwa saya pasti akan ditertawakan oleh ayah
jika berterus terang padanya. Karena itu saya menyusun siasat. Kalian mungkin
sudah tahu bahwa saya berasal dari Jerman bagian utara. Kota kelahiran saya
cukup jauh dari sini. Saya pikir semuanya aman-aman saja. Kemudian saya
menelepon ayah. Saya mengatakan padanya bahwa saya memperoleh kesempatan emas
menanamkan uang. Seorang kenalan saya membutuhkan uang, dan karena itu terpaksa
menjual beberapa lukisan dari koleksinya. Sebagai mahasiswa seni rupa, saya bisa
menilai bahwa lukisan-lukisan itu memang berharga. Kalau saja saya punya uang,
maka lukisan-lukisan itu takkan saya lepaskan lagi. Kemudian saya mendengar
seorang pasien mengerang kesakitan di latar belakang. Rupanya giginya sedang
dibor. Ayah tidak tega untuk meninggalkan pasiennya lama-lama, sehingga langsung
menyetujui rencana saya. Ia memang selalu mencari cara untuk menanamkan uang
secara menguntungkan. Singkatnya, ayah mengirimkan uang itu, dan saya membeli
mobil idaman saya. Saya pikir bahwa penipuan saya tak bakal terbongkar. Sudah
tiga tahun saya tinggal di sini. Dan selama itu ayah belum sekali pun
mengunjungi saya. Kalau perlu, suatu waktu saya kan membuat lukisan sendiri,
atau - kalau ada kesempatan - membeli lukisan lain."
"Gawat!" ujar Oskar.
Petra, Sporty dan thomas tidak memperhatikannya.
"Saya sudah bisa membayangkan apa yang terjadi selanjutnya," kata Sporty. "ada
pepatah yang cocok dengan situasi yang anda hadapi. Sudah jatuh tertimpa
tangga." Hubi mengangguk. "Kemarin tangan saya patah. Dah hari ini... hari ini ayah saya
akan berkunjung ke sini."
"Jam berapa?" tanya Sporty.
Hubi menatap jam tangannya yang kini melingkari pergelangan tangan sebelah
kanan. "Satu jam lagi. Dia datang naik pesawat terbang. Tapi ayah tidak bisa tinggal
lama-lama. Dia harus berangkat lagi ke Bad Wiesentau untuk menghadiri sebuah
kongres. Bukan kongres dokter gigi, melainkan... ehm, begini, ayah adalah ketua
sebuah perkumpulan hebat. Organisasi itu bernama 'Warga Melindungi Hutan dan
Lingkungan'. Anggota-anggota perkumpulan itu semuanya orang terpandang. Mereka
berusaha untuk menyelamatkan dunia dari polusi yang semakin meningkat. Ya, ayah
memang menaruh perhatian besar pada masalah lingkungan. Dia senang sekali bahwa
dia sekaligus bisa mengunjungi saya di sini. Baru saja dia menelepon untuk
memberitahukan bahwa dia akan datang. Saya langsung kaget setengah mati."
Uih, pikir Sporty. Hubi benar-benar terjepit. Ayahnya pasti ingin melihat
lukisan-lukisan yang dulu dibiayainya.
Pandangannya menyapu seluruh apartemen, dan akhirnya berhenti pada tiga buah
lukisan abstrak yang tergantung di dinding.
"Barang kali penglihatan ayah anda sudah agak kabur?" Oskar bertanya pada saat
yang sama. "kalau begitu, mungkin saja dia percaya bahwa ketiga lukisan pada
dinding sana berharga 20.000 Mark. Atau dia mengerti seni lukis?"
Ucapan Oskar hampir saja berhasil memancing Hubi untuk tersenyum.
"Penglihatan ayah saya masih baik. Dia memang bukan ahli seni lukis, tetapi
ketiga lukisan itu tak akan bisa mengelabuinya. Masalahnya, saya telah
menyalahgunakan kepercayaan yang diberikannya. Sekarang kalian mungkin mengerti
kenapa saya membenci diri saya sendiri. Tak ada alasan yang bisa membenarkan
tindakan saya. Saya benar-benar buta karena terlanjur jatuh cinta pada mobil
itu. Sebuah mobil! Hah! Sebuah mesin! Sebuah benda tak bernyawa! Tak ada artinya
dibandingkan dengan hubungan antara dua manusia, apalagi dibandingkan dengan
kepercayaan seorang ayah terhadap anaknya. Ini pertama kalinya saya membohongi
ayah. Saya tidak ingin dia kecewa. Bukan karena saya seorang pengecut, melainkan
demi kebaikan ayah! Ya Tuhan, saya bersedia membakar mobil saya sekarang juga,
seandainya ini bisa menyelesaikan masalah."
"Mobil anda tidak bersalah," Sporty bergumam. "Bukankah paling baik kalau anda
berterus terang saja pada ayah anda?"
Hubert Knot menggeleng. "Sekarang... belum saatnya," ia berbisik. "Mungkin
nanti, kalau... tapi apa yang harus saya lakukan sekarang" Saya belum menemukan
jalan keluar dari persoalan ini."
"Pinjam!" Sporty berseru. Tiba-tiba saja ide itu terlintas di kepalanya. "Kenapa
anda tidak meminjam tiga, atau empat lukisan" Lukisan yang memang berharga! Anda
pasti punya kenalan di kalangan kolektor lukisan, bukan" Lagi pula anda
membutuhkan lukisan-lukisan itu hanya selama dua jam."
Kedua mata hubi nampak bersinar. Namun kegembiraannya segera meredup kembali.
"Idemu bagus, Sporty. Tapi saya tidak punya kenalan yang bisa meminjamkan
lukisan." "Coba anda ingat baik-baik! Anda pasti mengenal seseorang. Kita masih punya
waktu satu jam." Gurunya menggeleng dengan lesu. "Percuma saja. Rasanya lebih mudah untuk mencuri
lukisan dari museum nasional."
Thomas berdiri dari tempat duduknya. Dengan sebelah tangan ia mencopot kacamata.
Sedangkan tangan yang satu lagi menunjuk ke arah dinding.
Semua terkejut. Kejadian itu terlalu mendadak.
Petra dan Sporty, yang duduk membelakangi dinding, segera menoleh. Namun
ternyata tidak ada pa-apa.
"Pelukis di sebelah!" thomas berseru. "Tangga anda kan seorang pelukis.
Barangkali saja dia menyimpan lukisan di balik dinding ini, Pak Knot. Lukisan-
lukisan yang harganya tidak bisa dinilai oleh ayah anda. Apakah wanita itu
ramah" Jika anda menjelaskan kesulitan yang anda hadapi, saya yakin dia pasti
mau membantu." "Ide yang cemerlang!" Sporty memuji sahabatnya. "Untuk apa harus pergi ke museum
nasional, Pak Knot" Seni bermutu berada begitu dekat dengan anda, yaitu di
apartemen sebelah. Bagaimana kalau kita berkunjung ke sana?"
Wajah hubi menjadi merah, lalu pucat, kemudian merah lagi, dan akhirnya kembali
pucat. Dengan tangan kanan ia mengusap-usap rambutnya.
"Begini... hmmm... secara teoritis ide thomas memang cemerlang. Tapi terus
terang saja, saya tidak bisa dikatakan berteman akrab dengan nona Tepler. Dia
masih muda. Paling-paling baru 20 tahun. Saya pernah mendekatinya sebagai sesama
pecinta seni lukis. Tapi sepertinya dia tidak berminat untuk berkenalan dengan
saya. Orangnya cantik sekali. Dia belum bisa mengantungkan hidupnya pada seni
lukis. Karena itu dia bekerja dari pagi sampai sore. Saya tidak tahu di mana.
Pagi-pagi dia sudah berangkat. Dan baru menjelang malam dia pulang ke
apartemennya. Sekarang dia sedang pergi. Kalau dia ada, saya pasti akan minta
tolong padanya." "Gagal lagi," ujar Oskar. Kemudian ia mulai menggigit keping coklat kedua untuk
mengobati kekecewaannya. Sporti berdiri. Ia mengatakan bahwa ia akan kembali dalam sekejap, lalu keluar
dari apartemen hubi. Di depan pintu apartemen Nona Tepler ia berhenti. Kunci
pintu diperiksanya dengan seksama. Namun ternyata pintu itu dilengkapi dengan
kunci khusus yang sukar dibongkar.
Dengan lesu Sporty kembali. Empat pasang mata menatapnya penuh harap.
"Kita tidak bisa masuk lewat pintu depan," ia melaporkan, lalu menggeser sebuah
kursi ke bawah jendela di langit-langit. Kait besi yang digunakan untuk mengunci
jendela terletak di bawah lapisan karet penyangga kusen.
Jika dicongkel dari luar, maka...
"Apartemen sebelah pasti juga memiliki jendela seperti ini," ujar Sporty.
"Itulah jawabannya! Kita bisa masuk lewat jendela di langit-langit. Tapi
sebelumnya kita harus naik ke atap dulu untuk mengintip ke apartemen Nona
Tepler. Jangan-jangan dia sudah lama tidak aktif dan tidak menyimpan lukisan
sama sekali." "Kau... kau mau masuk lewat... lewat atap?" tanya petra sambil terheran-heran.
"Kenapa tidak" Kalau memang ada lukisan di sebelah, maka tak ada salahnya kalau
kita meminjam beberapa selama dua jam. Setelah ayah Hubi... ehm... nanti
lukisan-lukisan itu langsung kita kembalikan ke tempat semula. Nona Tepler tak
akan mengetahui apa-apa."
2 MENGELABUI SEORANG DOKTER GIGI
SUDAH beberapa jam ia duduk di belakang kemudi. Perjalanannya tidak mempunyai
tujuan tertentu - yang penting menjauh dari daerah di mana polisi sedang
mencarinya. Tapi ia tidak terlalu khawatir. Mereka toh tidak akan mengerahkan
seluruh mobil patroli yang tersedia, sebab ia tidak membunuh siapa-siapa.
Sedangkan hasil rampokannya hanya berjumlah12.700 Mark. Jumlah yang takkan
mengakibatkan pencarian besar-besaran. Lagi pula tidak yang tahu bahwa ia yang
merampok bank itu. Kejahatan telah mendarah daging dalam diri Ottmar Lohmann, seorang bajingan yang
tidak berkeluarga. Ia telah terlibat dalam tindak kriminal di hampir semua
negara di benua Eropa. Dan hanya dua kali ia tertangkap: dulu, ketika ia baru
mulai meniti kariernya; kemudian 21 tahun yang lalu, ketika ia merampok mobil
pembawa uang di Berlin. Kini ia sudah tua dan terpaksa harus puas dengan kejahatan kelas teri. Nasibnya
mirip dengan nasib seekor harimau pemakan manusia yang sudah kehilangan gigi.
Ottmar Lohmann sadar sepenuhnya bahwa ia telah mendekati hari-hari terakhir
dalam kariernya. Ia pun tahu bahwa ia tidak akan memperoleh uang pensiun. Pihak
berwenang di tempat tinggalnya di Itali menganggapnya sebagai orang tua yang
hidup dari harta warisan yang pernah ia peroleh. Lohmann merasa prihatin akan
masa depannya. Apakah ia akan terpaksa menghabiskan hari tuanya dalam
kemiskinan" Hal itu takkan kubiarkan terjadi! Ia sudah ratusan kali berjanji pada diri
sendiri. Sekali lagi ia akan beraksi. Kemudian ia akan mengundurkan diri dari
dunia hitam. Lohmann telah menyiapkan sebuah rencana hebat. Menurut dia, rencana
dengan bom berjalan itu tidak mungkin gagal.
Sebenarnya Lohmann hendak menuju tempat persembunyiannya. Ia bermaksud
menghilang dari peredaran selama beberapa waktu. Namun jalan raya ini kebetulan
menuju kota di mana ia akan melancarkan aksinya.
Sudah lama ia berusaha menghindari kota ini. Busyet, kapan ia terakhir kali
datang ke sini" 19, 20, mungkin bahkan 21 tahun yang lalu. Persis sebelum ia
tertangkap di berlin. Lohmann mengerutkan kening. Sel-sel otaknya berusaha mengingat kejadian-kejadian
di masa lampau. Namun ia tidak ingat lagi. Ah, soal itu toh tidak penting
sekarang. Ia mengumpulkan semua keterangan yang diperlukannya. Ia tahu bahwa PT. Nosiop,
sebuah perusahaan bahan kimia, bermarkas di kota ini. Perusahaan itulah yang
menjadi sasarannya. Gnaski telah mempelajari segala sesuatu. Gnaski akan
membantunya dalam melancarkan aksi ini. Gnaski adalah satu-satunya teman yang
bisa dipercaya. Dan yang lebih penting, Gnaski punya rumah di sini.
Kenangan lama muncul di benak Lohmann ketika ia mendekati batas kota. Kenangan
manis bersama Magda Telpler!
Aneh, setelah sekian lama ia masih ingat namanya. Wajah wanita itu masih
terbayang dengan jelas. Padahal puluhan wanita sebelum dan sesudah Magda sama
sekali tidak berbekas di hatinya. Magda Teler memang berbeda dari yang lainnya.
Apakah dia masih hidup"
Tanpa sadar, lohman telah melewati batas kota. Menara-menara gereja, menara TV,
dan gedung-gedung bertingkat terlihat di hadapannya. Beberapa pesawat udara
mendarat dan mengudara secara bergantian.
Lohmann berhenti, lalu mempelajari peta yang dikirim Gnaski. Aha! Ia harus
membelok ke jalan lingkar. Ternyata sudah banyak perubahan sejak ia terakhir
kali menjejakkan kaki di sini. Kota telah semakin melebar. Beberapa desa yang
dulu terletak jauh di luar kota, kini sudah dicaplok. Kota yang padat ini
merupakan lahan pekerjaan yang cocok baginya.
Dalam setengah jam aku pasti sudah menemukan sasaran untuk memperoleh uang saku,
Lohmann berkata dalam hati.
Ia memang membutuhkan uang tunai. Gnaski baru mau membantunya setelah memperoleh
uang muka. Uang muka - itulah kata kesukaannya. Baiklah, kalau itu yang
diinginkannya. Tapi maaf saja, dia tidak akan memperoleh apa-apa dari hasil
rampokan Lohmann. Lebih baik mencari sasaran baru saja.
Lohmann nyengir lebar ketika ia melewati daerah pertokoan yang cukup ramai di
pinggiran kota. Berbagai macam toko berjejer di kedua sisi jalan utama. Beberapa
kedai minum dan restoran nampak penuh dengan pengunjung. Tapi suasana di jalan-
jalan lain tidak begitu ramai. Memang tidak sesunyi suasana di kuburan pada
waktu hujan lebat, tetapi jauh lebih sepi dibandingkan jalan raya tadi.
Fiat tua yang dikemudikan Lohmann melewati beberapa mobil yang diparkir di tepi
jalan. Dan akhirnya ia menemukan sasaran yang sesuai dengan seleranya: sebuah
toko perhiasan. Toko itu kecil dan agak tak terurus. Lohmann tahu persis bahwa ia bisa
memperoleh berkilo-kilo perhiasan murahan di toko seperti itu - belum lagi uang
kecil yang ada di kassa. Ia juga tahu bahwa perhiasan murahan jauh lebih mudah
dijual dibandingkan berlian-berlian milik ratu Inggris.
Lohmann memutar kendaraannya, kemudian menuju ke arah batas kota. Tidak lama
setelah itu ia berhenti di belakang sebuah truk pengangkut sampah yang besar.
Lohmann mematikan mesin, dan memastikan bahwa tidak ada yang melihatnya.
Ia memperhatikan dirinya di kaca spion. Wajahnya berbentuk lancip, dengan bibir
tipis. Seperti biasa kalau hendak beraksi, Lohmann mengenakan wig warna pirang untuk
menutupi rambutnya yang sudah mulai beruban. Mengubah wajah merupakan tugas yang
lebih sulit. Namun dengan bantuan kumis palsu dan kacamata hitam, ia menjadi
tidak mudah dikenali. Sebuah pistol berkaliber besar terselip di bawah ketiak sebelah kiri. Kantong
dada sebelah kanan berisi amplop surat yang penuh uang.
Setelah yakin bahwa semuanya beres, ia kembali ke toko perhiasan tadi.
Jam makan siang. Semua orang sibuk mengisi perut atau istirahat dengan santai.
Suasana di jalan semakin sepi.
Lohmann berhenti di dekat toko yang diincarnya, turun dari mobil, lalu berjalan
ke kaca etalase. Ternyata tidak ada pembeli di dalam.
Satu-satunya penjaga toko, seorang wanita muda, sedang membelakanginya sambil
mengatur letak kalung-kalung di sebuah kotak kaca.
Mari kita mulai! Lohmann berkata pada diri sendiri.
Dengan yakin ia membuka pintu masuk.
*** "Aku tidak setuju!" Petra memprotes. "kau tidak boleh mencongkel jendela di
apartemen Nicole Tepler. Itu adalah tindakan kriminal. Kau bisa dituntut untuk
itu. Aku bukannya sok suci - tapi aku putri tunggal komisaris Glockner. Dan
dalam hal pelaksanaan KUHP aku seratus persen sependapat dengan ayahku."
"Apa sih arti KUD itu?" tanya Oskar.
"KUHP," ujar Thomas, "adalah singkatan untuk Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Petra ingin mengatakan bahwa ia tidak setuju kalau Sporty melakukan suatu tindak
kriminal. Tapi, Petra," ia berpaling pada gadis itu, "sebelum ini kita kan sudah
sering menempuh jalan yang tidak lazim untuk mencapai tujuan, dan kau tidak
pernah mengatakan apa-apa. Aku mendukung rencana Sporty. Apalagi di sini tidak
ada yang dirugikan. Kita justru bisa membantu Pak Knot - dan terutama ayahnya,
yang harus berhati-hati terhadap penyakit tekanan darah tinggi. Ayah Pak Knot
harus menyimpan tenaga agar dapat memperjuangkan hutan dan lingkungan kita.
Siapa lagi yang mau melakukannya" Semua orang mengeluh bahwa kadar polusi
semakin meningkat. Tapi tanpa seorang seperti ayah Pak Knot, takkan ada pemilik
pabrik yang ambil peduli. Kita membutuhkan tokoh seperti itu - seorang dokter
gigi yang bukan hanya berjuang memerangi gigi berlubang, tetapi juga berjuang
untuk masyarakat luas. Apakah kau tega kalau dia kehilangan kepercayaan pada
putranya" Oskar tersentak kaget ketika Thomas menyinggung soal gigi berlubang. Ia teringat
pada ayahnya. Sebagai pemilik pabrik coklat, ayah Oskar secara tidak langsung
menjamin bahwa para dokter gigi tidak akan pernah kekurangan pasien. Baru kemari
guru biologi 9b mengajarkan arti istilah simbiose, yaitu kerja sama yang saling
menguntungkan antara dua makhluk hidup.
Ah, pikir Oskar, istilah itu tidak cocok untuk situasi seperti ini. Ayah Pak
Knot mungkin mendapat lebih banyak keuntungan. Jumlah pasiennya bertambah,
karena coklat bisa merusak gigi. Sedangkan ayahku... hmmm! Gigi sehat memang
bisa menghabiskan banyak coklat. Jadi... Ah, untuk apa aku capek-capek memeras
otak" Thomas toh hanya omong kosong saja.
Namun ucapan Thomas berhasil meyakinkan Petra. Paling tidak gadis itu berhenti
memprotes. "Kejahatan tetap kejahatan, tapi... ya, satu hal harus kuakui; untuk tujuan yang
baik, ayahku juga sering menggunakan cara-cara yang tidak biasa. Tapi ia


Detektif Stop - Pengkhianatan Di Lembah Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertanggung jawab penuh atas semua tindakannya."
"Aku juga," kata Sporty cepat-cepat.
Kedengarannya seperti menganggap enteng. Sporty memang sudah mulai gelisah. Ia
sudah tidak sabar untuk naik ke atap. Anak itu tidak ingin membuang-buang waktu,
sebab masih banyak yang harus dikerjakan.
"Jangan gitu dong!" Petra berseru. "masalah tanggung jawab bukan urusan sepele.
Seseorang yang mengambil jalan yang tidak biasa, lalu gagal, harus... harus
bersedia menerima sanksinya."
"Petra," ujar Sporty, "aku sama sekali tidak bermaksud menyepelekan urusan
tanggung jawab. Kau kan tahu bahwa kami semua sangat menghormati ayahmu. Dan
sekarang aku akan naik ke atap. Jangan-jangan kita sudah berdebat panjang lebar,
padahal di apartemen sebelah tidak ada lukisan sama sekali."
"Ya Tuhan!" bisik Hubi. "Tindakan saya berpengaruh jelek pada kalian. Saya telah
membohongi ayah saya, tapi sekarang kalian malah bersedia mengambil resiko besar
untuk membantu saya. Kalian bahkan tidak mempedulikan bisikan hati nurani
kalian!" Sporty hanya nyengir. Kemudian ia naik ke atas kursi, membuka jendela yang lebih
kecil. Dan menarik badannya ke atas.
Genteng-genteng di atas atap terasa membara. Tapi itu tidak menghalangi niat
Sporty. Atap di atas apartemen Hubi tidak terlalu terjal. Sporty berhenti sejenak, dan
menoleh ke depan. Di sana, di depan talang air, ada jurang sedalam enam tingkat
yang siap menelannya jika ia tidak berhati-hati.
Sambil menempel pada genteng, Sporty merayap ke jendela di apartemen sebelah.
Ternyata dugaannya benar : jendela itu sama seperti jendela di apartemen Hubi.
Melalui kaca yang penuh debu Sporty mengintip ke bawah.
Astaga! Apartemen Nona Tepler benar-benar merupakan studio seorang pelukis -
berantakan dan tak teratur. Tapi apakah isinya benda-benda seni berharga, atau
hanya rongsokkan, tak bisa dipastikan dari atas atap.
Sporty mengeluarkan pisau lipatnya dari kantong celana.
Ia terpaksa membuat lima lubang pada karet yang mengelilingi lubang jendela.
Tapi itu saja belum cukup. Untung Sporty menemukan sepotong kawat tergeletak di
sebelah jendela. Ia memasukan kawat yang sudah berkarat itu melalui lubang nomor
lima, lalu menggunakannya untuk menarik kait pengunci sampai ke posisi tegak
lurus. Kemudian Sporty membuka jendela, dan turun dengan hati-hati.
Ia berhasil masuk ke studio Nona Tepler!
Sporty menemukan dua penyangga kanvas, puluhan tube berisi cat minyak, sejumlah
kaleng bekas yang penuh dengan berbagai jenis kuas, botol-botol berisi vernis,
dan perlengkapan melukis lainnya.
Di salah satu pojok ruangan, empat lukisan bersandar pada dinding.
"Nah, ini yang kucari," Sporty berkata pada diri sendiri. "Untuk tiga jam
berikutnya kalian akan menjadi tamu Hubi, dan..."
Senyum yang tersungging di bibirnya mendadak lenyap.
Lukisan-lukisan yang bersandar pada dinding... astaga! Lukisan-lukisan itu belum
lama ini ditunjukkan oleh Hubi pada waktu ia mengajarkan sejarah seni lukis
Jerman. Bukan aslinya, tapi hasil reproduksi. Tapi yang ini - Ya Tuhan! -
lukisan-lukisan ini dibuat oleh pelukis-pelukis Jerman sekitar tahun 1500. semua
dibuat di atas papan kayu.
Apakah benda-benda seni bernilai jutaan Mark ini memang milik Nicole Tepler"
Kalau ya, kenapa dia membiarkan lukisan-lukisan antik ini tergeletak begitu
saja" Atau... Sporty seperti tersambar petir. Bagaimana kalau lukisan-lukisan ini merupakan
barang curian" Apakah Nona Tepler seorang pencuri yang mengkhususkan diri pada
pencurian benda-benda seni"
Sporty mendekat. Dengan meniru gaya para penggemar seni lukis, ia setengah
memejamkan mata lalu mengamati lukisan-lukisan itu dari dekat.
Satu lukisan sudah selesai, tapi catnya masih agak basah.
Pada ketiga lukisan lain masih ada detil-detil yang belum ditambahkan.
Meskipun demikian, Sporty menyadari bahwa dibutuhkan keterampilan tinggi untuk -
memalsukan lukisan-lukisan itu.
Aha! Jadi itu masalahnya. Pantas saja Nicole Tepler tidak berminat untuk
berkenalan dengan Hubi. Wanita muda itu tahu bahwa Hubi pasti ingin melihat
lukisan-lukisan yang telah di hasilannya. Dan sebagai pemalsu lukisan, justru
itulah yang ingin dihindarinya.
Gila! Pikir Sporty. Aku masuk ke sini untuk meminjam lukisan, tahu-tahu aku
menemukan sesuatu yang seharusnya tidak boleh kuketahui. Tapi satu hal yang
harus diakui: Nona Tepler sangat berbakat! Dan lukisan-lukisannya akan membantu
kita. Ia melirik jam tangannya.
Kalau perhitungan Hubi tepat, maka mereka masih punya waktu 46 menit.
Sporty meraih salah satu lukisan, naik ke atap, lalu mengoper lukisan itu
melalui jendela di langit-langit apartemen Hubi.
"Hati-hati!" Thomas yang menyambut lukisan itu.
"Masih ada tiga lagi," ujar Sporty. "Tolong gantungkan dengan baik. Dan
perhatikan sudut datangnya cahaya."
Dalam waktu singkat empat lukisan telah berpindah ke apartemen Hubi. Sporty
turun dari atap. Semuanya terdiam. Kesunyian di ruangan itu bisa menyaingi kesunyian di luar
angkasa. Petra nampak terheran-heran. Menurut Sporty gadis itu jadi kelihatan semakin
manis. Thomas menggosok-gosok kacamata.
Hubi memelototi lukisan-lukisan di hadapannya.
"Seharusnya saya kuliah di jurusan geografi saja," guru muda itu bergumam. "atau
di jurusan kimia. Dengan begitu saya takkan mengetahui bahwa lukisan-lukisan ini
palsu." "Orang yang buta huruf pun bisa melihat bahwa lukisan-lukisan ini palsu," Sporty
berkomentar. "Dan bukan hanya karena catnya masih basah. Lucu sekali, hahaha!
Tanpa sengaja kita telah memergoki seorang pemalsu lukisan."
"hahaha," ujar Hubi - dengan nada seolah-olah bukan hanya sebelah, tetapi kedua
tangannya yang patah. "saya benar-benar tidak menyangkanya. Nicole Tepler
ternyata seorang pemalsu lukisan mahal."
"Belum tentu dia sejahat yang anda bayangkan," Petra menanggapinya. "Menurut
saya, dia bahkan cukup berbakat. Kalau ada orang bodoh yang mau membeli lukisan
seperti ini dengan harga tinggi, lalu menganggap bahwa ia telah memiliki lukisan
asli, maka biarkan saja orang itu merasa gembira dan bangga. Semua orang berhak
menikmati seni lukis, bukan hanya kelompok tertentu saja."
Pak Knot nampak terkejut. "Petra, bukan begitu maksud saya ketika mengatakan
bahwa semua orang berhak menikmati seni lukis. Memang, seni lukis seharusnya
terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, dan melengkapi koleksi pribadi
mereka. Tapi itu berlaku untuk seni. Seni! Bukan untuk pemalsuan seperti ini!
Seorang pemalsu hanya memerlukan keterampilan tangan. Dan seni sama sekali tidak
ada sangkut-pautnya dengan hak milik. Benda-benda seni di museum bisa dinikmati
oleh semua orang." Petra tersenyum. "Maksud saya juga bukan seperti itu. Saya hanya ingin membela
tetangga anda. Tapi sekarang sudah waktunya untuk menggantungkan lukisan-lukisan
ini. Setengah jam lagi ayah anda akan tiba."
Oskar pun ikut membantu. Dengan mengorbankan kuku jempol kiri, ia akhirnya
berhasil menancapkan sebuah paku di dinding.
Bantuan Hubi terbatas pada dukungan moril. Cidera yang ia derita memaksanya
untuk tidak ikut bekerja.
Ketika semua lukisan telah tergantung di dinding, ia memperhatikan keempat-
empatnya sambil tersenyum bahagia.
"Wah apartemen saya sudah berubah jadi istana! Petra, Sporty Thomas, Oskar -
saya takkan pernah melupakan bantuan kalian."
"Ah itu kan soal biasa," kata pertra. "Saya justru lebih pusing memikirkan
bagaimana kita harus bersikap terhadap Nona Tepler. Kalau kita melaporkannya ke
polisi, maka kita harus menjelaskan dari mana kita tahu bahwa ia memalsukan
lukisan. Dengan demikian semuanya terbongkar, dan kita pun akan mengalami
kesulitan." "Bagaimana kalau kita memikirkan masalah itu setelah ayah Pak Knot pergi lagi?"
Sporty mengusulkan. "Yang penting lukisan-lukisan itu sudah tergantung di
dinding. Sebaiknya kita pulang saja, lalu..."
"Nanti dulu!" Hubi langsung memotong. "Masa kalian sudah berusaha payah tapi
tidak ikut menikmati hasilnya" Sudahlah, kalian tidak usah pulang. Ayah saya
sangat menyukai anak-anak muda. Dia pasti senang sekali karena bisa berkenalan
dengan kalian. Petra dan Thomas, kalian bisa menelepon orang tua kalian dari
sini, untuk memberi tahu mereka bahwa saya mengundang kalian makan siang.
Setelah itu saya akan menelepon petugas piket di asrama dan minta izin untuk
Sporty dan Oskar." Semuanya bergembira. Hanya Oskar yang agak menahan diri. Diam-diam ia menyenggol
Sporty. "Eh, apa sih makan siang di asrama hari ini?" ia bertanya.
"Sayur kol dengan kentang rebus," ujar Sporty, sebab ia tahu persis bahwa
sahabatnya yang gendut itu paling tidak suka masakan itu.
"Kalau begitu lebih baik kita makan di sini saja," balas Oskar sambil
mengangguk. Petra segera menuju dapur untuk menyiapkan meja - bukan untuk ketiga sahabatnya,
melainkan untuk ayah Pak Knot.
Namun ia hanya menemukan setumpuk piring kotor. Thomas lalu membantu cuci
piring. Sporty diberi sejumlah uang oleh Hubi, Kemudian pergi ke toko terdekat untuk
membeli beberapa potong kue keju. Ayah Pak Knot paling suka kue keju. Anggur,
cognac dan kopi sudah tersedia.
Petra terpaksa menggunakan piring dan cangkir seadanya. Ia menata lima piring
dengan lima motif yang berbeda di atas meja. Kelima cangkir pun masing-masing
berasal dari tempat yang lain. Bahkan ada yang menampilkan logo sebuah hotel
terkenal. Hubi hanya tersenyum malu. Kemudian ia menjelaskan bahwa beginilah kehidupan
seorang mahasiswa. Petra telah selesai membuat kopi. Bau harum memenuhi seluruh apartemen.
Sambil terkagum-kagum Hubi mengamati keempat lukisan yang kini menghiasi dinding
apartemennya. "Kita tidak bisa melaporkan Nona Tepler pada polisi," katanya kemudian. "Itu
tidak adil. Kita harus memberikan kesempatan padanya. Apakah kalian keberatan
kalau saya berbicara dengan dia" Saya akan menjelaskan bahwa cara ini tidak
benar. Saya berani bertaruh bahwa Nona Tepler akan menyadari kesalahannya,
kemudian menyumbangkan beberapa lukisan untuk panti jompo, dan tidak akan
mengulangi perbuatannya."
"Tentu saja kami tidak keberatan," jawab Petra tanpa bertanya pada ketiga
sahabatnya. "Yang penting nona Tepler sadar bahwa ia telah membuat kesalah."
"Lagi pula," Hubi menambahkan,"dia pasti hanya suruhan orang lain. Orang yang
menyuruhnya itulah yang harus diketok."
"Ya, pakai palu," Oskar berkomentar, " supaya tidak lupa lagi."
Ayah Pak Knot tiba sepuluh menit lebih awal dari yang diperhitungkan. Orangnya
agak gemuk, tetapi gesit sekali. Hanya rambutnya yang telah memutih yang
memperlihatkan bahwa ia telah memasuki usia senja.
Ia datang naik taksi. Kemudian ia menggotong kopernya sampai ke lantai enam dan
menekan bel. Hubi langsung merangkul ayahnya.
"ini murid-muridku," ia lalu memperkenalkan anak-anak STOP. "Mereka duduk di
kelas 9b dan selalu siap... ehm... siap membantuku."
"Coba senyum agak lebar," ayak Pak Knot berkata pada Petra. "Wah, gigimu bagus
sekali!" Sporty nyengir lebar ketika bersalaman.
"Luar biasa!" Pak Knoth tua memuji. "Seandainya semua orang merawat gigi seperti
kalian, maka aku terpaksa mencari pekerjaan lain." Ia menepuk lengan Hubi yang
dibalut gips. "Bagaimana, masih sakit?"
"Sudah mendingan."
Pak Knoth tua sudah mengetahui kecelakaan yang dialami putranya. Hubi
memberitahunya lewat telepon.
Mereka duduk di ruang tamu, dan Petra segera menghidangkan kue dan kopi. Pak
Knoth tua tak henti-hentinya bercerita mengenai keadaan di kota kelahiran Hubi.
Oskar menyenggol Sporty, yang duduk di sebelahnya, lalu menunjuk lukisan-lukisan
yang tergantung pada dinding.
Sporty langsung menyeringai dan memelototi Oskar. Sahabatnya itu mengangguk
perlahan, lalu mengambil sepotong kue keju - untuk ketiga kalinya.
"Ah!" ujar Pak Knoth tua pada saat yang sama. "Itu lukisan-lukisan yang
kauceritakan dulu, ya?" Ia berdiri, menukar kacamata baca dengan kacamata untuk
melihat jauh, lalu mengamati keempat lukisan di samping pintu. "Lukisan Brueghel
pelukis Belanda itu" Hebat!"
"Lukisan itu bukan karya Brueghel," kata Hubi.
"masa?" "Pelukisnya tidak terkenal. Tetapi dia meniru gaya Cranach. Lukisan itu dibuat
sekitar tahun 1500. sayangnya aku tidak punya surat keterangan dari seorang ahli
seni lukis. Kalau ada, lukisan-lukisan ini tak ternilai harganya."
"Pak Knoth tua tersenyum puas, kemudian kembali duduk. Di samping cangkir
kopinya ada segelas cognac kesukaannya. Hubi telah menuangkan minuman itu.
Meskipun telah dilarang keras oleh dokternya, Pak Knoth tua menyalakan sebatang
cerutu dan menikmati cognac-nya bersama Hubi.
Sporty agak salah tingkah. Siasat mereka ternyata berhasil dengan gemilang.
Namun ia merasa bahwa orang yang seramah Pak Knoth tua tidak seharusnya
dikelabui. Tapi memang lebih baik begitu, ujar Sporty dalam hati. Siasat STOP adalah
membantu Hubi - dan secara tidak langsung juga ayahnya.
Sampai saat itu pak Knoth tua belum mengatakan jam berapa ia harus berangkat
lagi untuk menghadiri kongres di Bad Wiesentau. Jangan-jangan dia tidak perlu
terburu-buru. Bagaimana kalau dia masih di sini pada waktu Nicole Tepler
kembali" Oh! Pikir Sporty. Ini bisa kacau balau. Bagaimana kalau nona Tepler jatuh
pingsan" Atau menghubungi polisi" Mudah-mudahan saja Pak Knoth tidak terlalu
lama di sini. Soalnya aku masih harus mengembalikan keempat lukisan itu.
3 KEJUTAN UNTUK LOHMANN SAMBIL menggumamkan "Selamat siang" Lohmann memasuki toko perhiasan. Dengan
suatu gerakan terlatih ia mengganjal pintu dengan sebuah pasak kecil yang
terbuat dari besi, sehingga pintu tidak bisa dibuka dari luar.
Si penjaga toko berbalik. Ia tersenyum ramah. Namun senyum itu hanya bertahan
selama beberapa detik saja.
Dengan mata terbelalak ia menatap moncong pistol di tangan Lohmann yang terarah
padanya. "Jangan teriak! Ikuti segala perintah saya, dan anda takkan..."
Tiba-tiba Lohmann terdiam. Sambil terbengong-bengong ia memandang wanita muda di
balik meja layan. Itu kan Magda! Magda Tepler, persis seperti dulu - 20 tahun yang lalu! Wajahnya
yang bulat! Matanya yang sayu! Rambutnya yang pirang...
Ah, tidak mungkin! Lohmann berkata dalam hati. Aku pasti bermimpi!
Wanita muda itu tidak bergerak. Ia membalas tatapan Lohmann tanpa memperlihatkan
rasa takut. Wajahnya membersitkan kesan keras kepala - persis seperti Magda
dulu. "Siapa... siapa nama Anda?" Lhomann bertanya.
Sebuah truk gandengan lewat di luar. Lantai terasa bergetar.
"Saya?" suara wanita muda itu jernih sekali. "Nama saya Nicole... Nicole
Tepler." Nicole Tepler mengerutkan kening. Sebenarnya ia ingin tahu mengapa pria itu
menanyakan namanya. Lohmann menarik napas dalam-dalam. "Saya pernah mengenal seseorang bernama
Tepler. Apakah... ehm... apakah ibu anda bernama... ehm... Magda Tepler?"
Kening wanita muda itu semakin berkerut. "Bagaimana anda bisa mengenal ibu
saya?" Lohmann tidak menjawab. Perlahan-lahan ia menurunkan pistol. Ia begitu terkejut,
sehingga tidak bisa berkata apa-apa.
Suasana di jalan telah kembali sepi. Kemudian terdengar suara anjing
menggonggong. Tapi bukan di depan toko, melainkan di seberang jalan.
Busyet! Dalam hati lohmann ingin membentukan kepalanya ke tembok. Ternyata aku
benar-benar mimpi! Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Wanita muda itu
benar-benar mirip Magda! Ia mendehem sambil terus memperhatikan Nicole.
"Oh, anda mengenakan rambut palsu," Nicole tiba-tiba menyadari. "Dan itu membuat
penampilan anda jadi lebih muda. Usia anda sebenarnya sekitar 60 tahun. Oh, saya


Detektif Stop - Pengkhianatan Di Lembah Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tahu sekarang. Anda.. Ottmar Lohmann!"
Lohmann seperti tersambar petir. Ia menoleh ke belakang, ke jalan. Ternyata
tidak ada siapa-siapa. Pasaknya masih mengganjal pintu.
Kau datang untuk merampok toko ini! Lohmann berkata pada diri sendiri. Kenapa
kau jadi ragu-ragu begini"
Jawaban terhadap pertanyaan itu berdiri di hadapannya. Nicole Tepler, putri
Magda Tepler. "Anda tahu nama saya. Rupanya Magda pernah menyinggung-nyinggung nama saya, ya?"
"Sering, bahkan sering sekali. Ibu saya menceritakan segala sesuatu yang ia
ketahui mengenai anda. Ia tidak pernah sangsi bahwa suatu hari akan kembali
kepadanya. Dulu, tuan Ottmar Lohmann, dulu anda meninggalkan ibu saya begitu
saja. Ibu saya tahu bahwa anda... bahwa anda seorang penjahat, dan bahwa anda
takkan berubah. Meskipun demikian," Nicole menambahkan sambil mendesah, "Ia
tetap mencintai anda."
Lohmann menelan ludah. "Apakah Magda masih hidup?"
"Ibu saya meninggal lima tahun yang lalu. Karena kanker. Sepanjang hidunya ia
tidak pernah bahagia. Ia tidak pernah menikah. Siapa yang berminat pada wanita
yang punya anak di luar nikah" Ya, sayalah anak itu! Dan saya juga tahu bahwa
ayah saya seorang... seorang perampok bank."
Lohmann terbelalak. Sudah puluhan tahun ia tidak pernah merasa gelisah pada saat beraksi. Tapi kali
ini jantungnya berdetak dengan kencang dan keningnya mulai dibasahi keringat.
"Maksudnya... saya..." ia tergagap-gagap.
"Maksudnya, Tuan Ottmar Lohmann, anda-lah ayah saya," jawab Nicole Tepler. Kedua
matanya nampak berapi-api. "Kenapa, kaget" Anda telah meninggalkan ibu saya
tanpa mengatakan apa-apa. Ia tidak pernah menerima kabar dari anda. Dasar
penjahat! Memang - anda tidak tahu apa-apa mengenai kehadiran saya di dunia ini.
Tapi jangan harap bahwa saya mau memanggil anda dengan sebutan ayah! Kedatangan
anda pun untuk merampok toko ini, bukan" Silakan, jangan malu-malu! Saya hanya
pegawai biasa di sini. Dan mulai bulan depan saya toh akan diberhentikan. Saya
tidak tahu apa yang harus saya lakukan setelah itu."
Selama beberapa menit lohmann menatap wanita muda di hadapannya. Matanya mulai
berair. "Seandainya saya tahu bahwa Magda... bahwa saya punya anak," katanya terbata-
bata, "maka jalan hidup saya mungkin berbeda. Saya... saya... Nih, ini untukmu!"
Ia meraih kantong baju dan mengeluarkan amplop berisi uang.
"Ambil saja, Nicole! Isinya 12.700 Mark. Hanya itu yang saya miliki sekarang.
Tapi tidak lama lagi... pokoknya, saya akan memperoleh uang yang banyak dalam
waktu dekat ini. Kau akan mendapat bagian, oke" Maaf kalau saya tidak pernah
mengurusmu selama ini. Mengenai Magda... ehm... saya akan meletakkan bunya di
atas makamnya." "Ibu saya tidak dimakamkan di sini."
"Tidak?" "Makamnya berada di Leiningen - di samping makam kakek dan nenek saya."
Lohmann tidak tahu apa-apa mengenai kedua orangtua Magda.
Ia menyimpan pistolnya, kemudian menghampiri Nicole. Amplop berisi uang
diserahkannya pada wanita muda itu.
"Uang ini untuk saya?" tanya Nicole, seakan-akan tidak percaya.
"Masih akan ada lagi, anakku. Kau tidak perlu khawatir mengenai masa depanmu!"
Lohmann berbalik, menuju pintu, lalu mencabut pasak besinya.
"Namamu tercantum di buku telepon?"
Nicole mengangguk. "Kalau begitu saya akan menghubungimu secepatnya."
Nicole menggigit bibir, dan menundukkan kepala.
Lohmann keluar dari toko. Ia membelok ke kanan, berjalan tiga langkah sampai ke
pojok bangunan, kemudian menyandarkan bahunya pada dinding.
Apa salahku" Ia bertanya dalam hati. Apakah sikapku begitu menggelikan" Nicole
seperti menahan tawa tadi. Kenapa"
Sebagai seorang penjahat profesional, Ottmarr Lohmann segera menyadari bahwa ada
yang tidak beres. Antara rumah ini dan bangunan sebelah terdapat jalan mobil yang menuju ke
pekarangan belakang, kedua jendela berjeruji pada isi pendek, termasuk di toko
tempat nicole bekerja. Lohmann tidak bisa melihat ke dalam. Pandangannya
terhalang kaca susu. Tetapi kedua jendela itu terbuka sedikit.
Ketika mendengar suara nicole, ia segera menghampiri salah satu jendela. Sambil
merapatkan badan ke tembok, ia pun memasang telinga.
Wanita muda itu telah selesai menghitung uang di dalam amplop. Isinya memang
12.700 Mark. Sambil ketawa cekikikan, Nicole memasuki ruang kantor dan mengangkat gagang
telepon. Ia memutar sebuah nomor. Seorang wanita terdengar menyahut.
"Aku punya kejutan untuk ibu!" kata Nicole sambil menahan taawa. "Ibu takkan
bisa menebak siapa yang baru saja datang ke sini. Ottmar Lohmann! Ya, bekas
pacar ibu dulu! Orangnya sudah tua sekarang. Dia masih mirip foto yang pernah
ibu perlihatkan padaku. Tapi tadi dia menggunakan kumis dan rambut palsu. Aku
bisa membayangkan betapa gagahnya dia 20 tahun yang lalu. Sampai sekarang pun
masih ada sisa-sisanya. Aku mengenalinya karena dia hendak merampok di sini. Ya,
rupanya dia masih seperti dulu. Tapi kemudian dia membatalkan niatnya. Soalnya
dia langsung menyadari bahwa aku anakmu. Tidak percuma wajah kita mirip sekali,
bukan?" Nicole kembali ketawa cekikikan. Dengan sebelah tangan dia menyingkirkan rambut
yang jatuh menutupi keningnya.
"Dia benar-benar terharu tadi. Ibu tahu apa yang aku ceritakan padanya" Aku
mengatakan bahwa dia ayahku - hahaha! Dan dia percaya lagi! Sebelum pergi, dia
bahkan sempat memberi hadiah padaku. 12.700 Mark! Seluruh uang yang ada di
kantongnya. Tapi dia berjanji bahwa aku akan memperoleh lebih banyak lagi. Ini
berarti bahwa dia sudah punya rencana tertentu di kota ini."
Jawaban Magda Tepler tidak terdengar oleh Lohmann. Matanya berkunang-kunang.
Brengsek! Ia nyaris tidak bisa percaya bahwa wanita muda di toko itu telah
menipunya. Selama tiga menit, ia berkata dalam hati, aku merasa seperti seorang ayah. Dan
kau, manis, sempat menggenggam uang sejumlah 12.700 Mark - tapi juga hanya tiga
menit. Ia menoleh ke belakang. Tak ada yang memperhatikannya.
Lohmann melepas rambut dan kumis palsunya, serta menyimpan kacamata hitamnya di
kantong baju. Sambil tersenyum sinis ia kembali ke toko.
Darahnya terasa seperti mendidih. Ia merasakan urat nadi di lehernya berdenyut-
denyut. Dasar licik! Lohmann mengumpat dalam hati. Magda ternyata masih hidup. Dan
kemungkinan besar dia pun menertawakan ketololanku.
Ia membuka pintu dan melangkah masuk. Hampir saja ia mengganjal pintu dengan
pasak besinya. Kebiasaan itu telah mendarah daging dalam dirinya.
Nicole keluar dari ruang kantor.
Wajahnya nampak cerah ceria. Matanya masih berair karena kebanyakan ketawa.
Karena itu ia tidak begitu jelas melihat siapa yang baru saja masuk.
"Selamat siang! Apa yang bisa saya..."
Kemudia ia mengenali pria di hadapannya.
"Oh! Jadi begini tampang anda... tanpa rambut palsu."
"Ya, beginilah tampang saya. Saya terpaksa kembali lagi ke sini. Saya terpukul
sekali ketika mendengar bahwa Magda telah meninggal. Tolong, ceritakan sedikit
mengenai dia. Apa yang menyebabkan dia meninggal?"
"Ibu saya meninggal karena... ya, karena kanker. Kan sudah saya katakan tadi?"
"Tadi kau mengatakan bahwa dia meninggal karena jantungnya tidak kuat lagi."
"Tidak kuat lagi" Ehmmm... ya, akhirnya memang begitu. Tapi penyebab
sesungguhnya... jantung" Saya tidak mengatakan apa-apa mengenai sakit jantung."
Air mata Nicole telah mengering. Kini pandangannya lebih jelas.
"Mana uangku tadi, he?" Lohmann tiba-tiba menghardiknya. "kalau kau memerlukan
seorang ayah, cari saja orang lain. Seenaknya saja kau mencoba menipuku! Dasa
mata duitan. Rupanya bukan kecantikanmu saja yang kau warisi dari Magda. Dari
dulu dia memang licik dan tidak bisa dipercaya. Tapi sebagian besar orang keburu
terpesona oleh wajahnya. Aku memang tidak pernah berniat untuk mengajak dia. Dan
sekarang terbukti bahwa keputusanku dulu benar, benar, benar! Walaupun demikian,
aku ingin bertemu dengannya. Di mana aku bisa menemui dia" Tapi sebelumnya
kembalikan dulu uangku."
Nicole langsung gemetar. Ia tidak berpura-pura. Berpisah dengan uang itu memang
sangat berat baginya. "Lohmann, kau jangan keburu emosi. Kau kan sudah menyusun rencana besar. Kami
bisa membantumu. Ya, ibuku dan aku. Kami bukan orang suci - meskipun penampilan
kami tidak menunjukkannya. Kami mengenal orang-orang yang tepat. Dan mengenai
uang itu, kita pasti bisa mencapai kata sepakat, bukan?" Wanita muda itu berkata
cepat-cepat. Aduh, kenapa tadi aku mengatakan bahwa aku akan memperoleh yang banyak dalam
waktu dekat ini" Pikir Lohmann dengan kesal. Ternyata ucapanku diartikan dengan
tepat oleh dia. Sekarng bagaimana" Aku harus berhati-hati. Kalau gadis ini jadi
lawan, maka rencanaku terancam gagal. Dia tinggal menghubungi polisi, lalu
tamatlah riwayatku. Jangan cari gara-gara, Ottmar! Ini bukan waktu yang tepat
untuk menambah musuh. Lagi pula, siapa tahu mereka berdua memang berguna" Asal
diberi imbalan yang pantas, mereka pasti mau bekerja sama. Hem, Gnaski juga
sudah mulai tua. "Kata sepakat" Hmmm," Lohmann bergumam pelan.
Ia melangkah ke pintu dan melihat ke jalan.
Jam istirahat makan siang telah habis. Suasana di jalan mulai rami lagi. Memang
belum seramai Fifth Avenue di New York, namun orang-orang yang lalu lalang sudah
semakin banyak. Seorang wanita lanjut usia berhenti di depan toko, lalu mengamati sebuah kalung
mutiara imitasi yang terpajang di kaca etalase.
Tua-tua masih genit! Pikir Lohmann dengan kesal. Ayo kembali saja ke panti
jompo! Namun nenek di luar nampaknya berminat pada kalung itu. Dan sepertinya ia bawa
cukup uang untuk membelinya.
"Dimana kita bisa bicara tanpa terganggu?" Lohmann bertanya pada Nicole. "Aku
tidak mau kelihatan oleh para langgananmu."
Tangan Nicole menunjuk ke pintu ruang kantor. "Di sana bahkan ada sebotol wiski
untukmu." Mereka pindah ke sebelah. Ruang kantor itu dilengkapi dengan perabot murahan,
kertas pelapis dinding yang sudah mulai bulukan, serta lemari besi yang
kelihatannya dibuat sekitar tahun 1920. pesawat telepon berada di atas meja
tulis. Lohmann menutup jendela. "Aha!" ujar Nicole. "rupanya kau menguping ketika aku bicara dengan ibuku, ya?"
"Mana uangnya?"
Dengan berat hati Nicole membuka tasnya.
Lohmann segera menyambar amplop itu lalu memasukkannya ke kantong baju tanpa
menghitung isinya. Ia yakin bahwa Nicole belum mengambil selembar pun.
"Jadi," Nicole melanjutkan pembicaraan, "kalau kau..."
Ia terdiam. Pintu toko membuka, dan seseorang terdengar melangkah masuk.
Nenek tadi! Pikir Lohmann.
Namun yang terdengar adalah suara langkah pria - dan bukan hanya seorang saja.
Nicole mengangkat bahu. Ketika kembali ke toko, ia menarik pintu ruang kantor
sampai setengah menutup. Lohmann meraih botol wiski yang masih setengah penuh di samping pesawat telepon.
Wiski adalah minuman kegemarannya. Sayang botol ini berisi wiski murahan.
"Nona Nicole Tepler?" ia mendengar seorang pria bertanya dengan suara serak.
"Ya, saya sendiri."
"Saya Komisaris Dolp," pria itu memperkenalkan diri. "Dan itu inspektur
Schanarowski. Kami anggota kepolisian, bagian reserse. Saya membawa surat
perintah penggeledahan. Ini suratnya! Silakan anda baca sendiri."
Suasana menjadi hening. Lohmann berdiri seperti patung.
Dengan erat tangannya menggenggam botol wiski. Jangan sampai jatuh! Jangan
sampai jatuh, ottmar! "Su.. surat peng.. penggeledahan?" Nicole bertanya dengan gugup. "Siapa... apa..
apa yang hendak anda geledah" Toko ini bukan milik saya?" wanita itu mulai
menguasai diri. "Saya hanya bekerja di sini. Pemiliknya adalah Franz-Anton
Klacksi. Dia juga pemilik galeri K. Kalau anda ada perlu dengan dia, maka..."
"Rupanya anda belum mengerti," Komisaris Dolp memotong. "Kami tidak tertarik
pada toko ini. Apartemen anda yang ingin kami periksa. Anda tinggal di sebuah
apartemen di Jalan Sperling, bukan?"
Suara Nicole bergetar. "Ya.. ta... tapi kenapa anda ingin menggeledah tempat
tinggal saya?" "Seorang pedagang lukisan telah melaporkan anda. Bukan Franz-Anton Klacksi,
atasan anda. Nama orang yang melaporkan anda untuk sementara belum perlu kami
kemukakan. Orang itu rupanya telah mengawasi gerak-gerik anda. Dia menyatakan
bahwa anda memalsukan lukisan-lukisan kuno. Anda seorang pelukis, bukan?"
"Ya... ya!" Nicole menarik napas dalam-dalam. "Tapi... saya tidak memalsukan
lukisan. Saya... saya melukis sebagai hobi saja."
Suara wanita muda itu jelas-jelas menunjukkan bahwa ia sedang berbohong.
"Saya minta agar anda menemani kami ke apartemen anda," ujar Komisaris Dolp
dengan tegas. Nicole tidak kembali ke ruangan kantor. Tasnya dibiarkan saja tergeletak di atas
meja. Dia sengaja tidak ke sini agar kedua polisi itu tidak mengetahui kehadiranku,
pikir Lohmann. Dalam hati ia sangat berterima kasih pada Nicole.
Ia mendengar bahwa ketiga orang itu meninggalkan toko, dan bahwa Nicole mengunci
pintu depan. Untuk sesaat Lohmann masih terbengong-bengong. Kemudian ia mereguk wiski
langsung dari botol. Nicole seorang pelukis" Wah, hebat juga! Tapi apakah tuduhan para polisi memang
beralasan" Hanya satu orang yang bisa menjawab pertanyaan ini, pikir Lohmann, dan orang itu
adalah Magda. Ia keluar lewat pintu belakang, lalu mengunci pintu. Kuncinya ia lemparkan
melalui jendela kedua, yang masih terbuka.
***** Hubi mulai bisa menenangkan diri. Ayahnya sedang gembira, dan terus berbicara
mengenai topik kegemarannya: pelestarian hutan dan lingkungan. Anak-anak STOP
mendengarkannya dengan penuh perhatian.
"Dalam rangka pelestarian lingkungan, pemerintah dan masyarakat harus bekerja
sama," dokter gigi itu berkata. "Usaha untuk menanamkan pengertian mengenai
pentingnya pelestarian alam dan lingkungan harus pergiat lagi. Semua orang
berkepentingan untuk memelihara flora dan fauna di bumi. Kalau umat manusia
melalaikan tugas ini, maka dalam waktu singkat wajah planet kita akan menyerupai
permukaan bulan." "Saya setuju sekali," ujar Sporty. "Menurut saya masalah pelestarian lingkungan
memang terlalu penting untuk diabaikan begitu saja."
Ketiga sahabatnya pun sependapat. Oskar lalu. berkomentar bahwa ia akan
memberikan perhatian khusus pada tanaman coklat.
Pak Knoth tua tidak menyadari arti terselubung dari ucapan Oskar. Ia memang
mengetahui latar belakang keluarga anak itu maupun kegemarannya terhadap segala
sesuatu yang berhubungan dengan coklat.
Karena itu ayah Hubi mengangguk saja. Tapi ia juga merasa bertanggung jawab atas
jenis-jenis tanaman lain, sehingga ia menambahkan, "Tanaman coklat hanya salah
satu dari sekian banyak jenis tumbuhan. Di negeri kita sendiri saja ada banyak
sekali jenis tanaman yang terancam. Tanaman-tanaman itu dilindungi oleh undang-
undang. Ada yang dilindungi secara penuh, dan ada yang dilindungi secara
terbatas. Kelompok pertama sama sekali tidak boleh dipetik maupun dipindahkan
dari tempat asalnya. Sedangkan untuk kelompok kedua, hanya bagian tanaman yang
berada di atas permukaan tanah yang boleh dimanfaatkan. Itu pun hanya di luar
wilayah cagar alam dan taman nasional, dan hanya dalam jumlah kecil. Contoh
tanaman yang dilindungi secara penuh adalah Enzian - sejenis bunga, serta... Ah,
saya sudah mulai ngelantur. Urusan itu sebaiknya dibicarakan dalam kongres
nanti. Kalian mungkin belum tahu bahwa aku sebentar lagi harus berangkat ke Bad
Wiesentau untuk menghadiri kongres pencinta lingkungan. Salah satu pokok
pembicaraan yang akan dibahas adalah polusi yang ditimbulkan oleh industri.
Untung Direktur Gisen-Happlich mempunyai pandangan yang sama denganku."
"Ahhh," ujar Oskar sambil mengangguk-angguk. "Pak Gisen-Happlich adalah direktur
PT Nosiop, bukan" Ayah saya kenal baik dengan dia. Mereka anggota di perkumpulan
yang sama. Namanya Rotations Club - atau seperti itulah..."
Hubi dan ayahnya tersenyum simpul. Rupanya nama perkumpulan yang dimaksud Oskar
lain sama sekali.

Detektif Stop - Pengkhianatan Di Lembah Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Walau begitu ayahmu pasti juga seorang industrialis," Pak Knoth tua menduga-
duga. "Danpabriknya pasti juga menghasilkan limbah beracun. Coba kalau aku tahu.
Aku akan mengirimkan undangan untuk mengikuti kongres dan..."
"Tunggu dulu, Ayah!" Hubi berseru sambil menahan tawa. "Aku berani menjamin
bahwa pabrik Pak Sauerlich tidak menghasilkan limbah beracun. Soalnya, dia
pemilik pabrik coklat."
"Oh, sekarang aku mengerti!" Pak Knoth tua berkata. Ia pun ikut ketawa. "Pantas
saja kau begitu memperhatikan tanaman coklat, Oskar. Baiklah, kami akan
melindungi tanaman tersebut. Begitu juga tanaman anggur. Mengajak Direktur
Gisen-Happlich untuk ikut melestarikan lingkungan merupakan usaha yang tidak
mudah. Soalnya perusahaan dia menghasilkan sesuatu yang kami sebut sebagai bom
berjalan." "Wah, kedengarannya seram sekali," ujar Petra.
"Itu sebutan perkumpulan kami untuk mobil tangki berisi zat racun yang sangat
berbahaya," Pak Knoth tua menjelaskan. "Perusahaan bahan kimia seperti PT Nosiop
menghasilkan limbah semacam itu. Dulu limbah beracun tersebut ditimbun dalam
tanah, atau dibuang ke laut, danau, maupun sungai. Sekarang kita mulai merasakan
akibatnya. Banyak perairan telah mati. Tak ada ikan yang bisa bertahan hidup di
dalamnya. Karena itu timbul pertanyaan; ke mana limbah beracun harus dibuang"
Masalah itu sampai sekarang belum terpecahkan. Tapi paling tidak limbahnya kini
tidak dibuang begitu saja, melainkan ditampung di tempat penampungan khusus
untuk selanjutnya dimusnahkan - kalau bisa. Limbah beracun itu dibawa oleh
mobil-mobil tangki, yang aku sebut bom berjalan tadi. Kalau kita berpapasan
dengan mobil semacam itu, kita tidak pernah menyadari betapa berbahaya isinya.
Nah, kalau sekali waktu terjadi kecelakaan, dan isi mobil tangki itu tumpah,
barulah semua orang panik."
Ayah Hubi memasang tampang seakan-akan sudah tiga kali menyaksikan dunia kiamat.
"Cairan beracun itu merupakan ancaman besar terhadap air tanah," Thomas
berkomentar. "Kalau air tanah sampai tercemar, maka kita akan menghadapi krisis
air bersih." Hubi dan ayahnya mengangguk.
Secara tidak mencolok Sporty melirik jam tangannya. Ia mulai cemas. Jam berapa
Nicole Tepler pulang ke apartemennya" Semakin lama, waktu semakin habis.
''Nama Gisen-Happlich adalah nama yang jarang terdengar," ujar Petra. "Apakah
mungkin bahwa Emma Giser-Happlich mempunyai hubungan saudara dengan diretur
perusahaan kimia itu?"
"Lho, kau mengenal Bu Gisen - Haipplich?" Pak Knoth tua bertanya dengan heran.
"Dia adalah ibu Direktur Gisen - HappIich."
"Pada hari Natal tahun lalu dia menyumbangkan 1000 Mark untuk perkumpulan renang
di mana saya jadi anggota. Ketika itu saya memenangkan pertandingan renang 200
meter gaya punggung. Anda mungkin takkan percaya, Pak Knoth, tapi Bu Gisen-
Happlich sempat memberikan petunjuk-petunjuk yang sangat berguna bagi saya.
Waktu dia masih muda," Petra menambahkan sambil ketawa, "kira-kira 100 tahun
lalu, dia sendiri juga dikenal sebagai perenang yang tangguh. Termasuk dalam
gaya punggung. Berkat petunjuk-petunjuk dari dia, saya akhirnya berhasil
membenahi teknik renang saya."
Pak Knoth tua pun ketawa. "Aku yakin, bahwa usia Bu Gisen-Happlich belum
mencapai 100 tahun. Ketika aku terakhir kali bertemu dengannya, dia masih gesit
sekali. Malah terlalu gesit."
"Ya, waktu itu saja dia hampir ikut bertanding," kata Petra sambil mengangguk.
"Dan saya takkan heran kalau dia berhasil meraih salah satu tempat teratas."
Ayah Hubi berdiri. Kini sudah waktunya untuk berangkat lagi.
Hubi segera menelepon taksi.
Untuk sementara ayahnya belum boleh tahu bahwa dialah pemilik mobil sport yang
diparkir di depan rumah. Setelah bersalaman dengan keempat anggota kelompok STOP, Pak Knoth tua mulai
menuruni tangga. Hubi mengantarkannya sampai ke taksi.
4. Akibat Perbuatan Sporty
Petra membereskan meja. Thomas membantu secara sukarela. Oskar harus dipaksa
sedikit. "Untung semuanya berjalan dengan lancar," kata Sporty. "Hubungan Hubi dengan
ayahnya tetap langgeng. Dalam waktu dekat akan terjadi kebakaran di apartemen
ini, dan keempat lukisan itu musnah dimakan api. Yang tersisa hanya setumpuk
abu." "Hubi bisa juga mengatakan bahwa ada pipa air yang bocor, dan bahwa lukisan-
lukisan itu hanyut dibawa banjir!" Oskar berseru.
"Dasar bandit semua," ujar Petra. "Pokoknya aku tidak mau terlibat lebih jauh
dalam urusan ini." Sporty mencopot keempat lukisan, menyandarkan semuanya ke dinding di bawah
jendela pada langit-langit, kemudian menarik kursi.
Dengan napas tersengal-sengal Hubi muncul di pintu pintu. "Sst! Sst!" .
Ia membiarkan pintu tetap terbuka, menoleh ke belakang, dan mendengarkan suara-
suara di ruang tangga. Dalam sekejap keempat sahabat, STOP sudah berada di sarnpingnya.
Di bawah, pintu masuk terdengar menutup.
Suara langkah menggema di ruang tangga - langkah-langkah seorang wanita dan
beberapa pria. Mereka menaiki tangga. Dengan nada mengiba-iba wanita itu berkata, "Sungguh! Saya mengulanginya sekali
lagi. Tuduhan ini adalah fitnah! Saya... saya memang pernah memperbaiki beberapa
lukisan kuno. Tetapi kecuali itu saya hanya melukis dengan gaya abstrak. Karya-
karya saya begitu abstrak, sehingga orang awam takkan menyadari bahwa itu memang
lukisan. Ucapan itu merupakan usaha terakhir untuk mencairkan suasana. Tetapi kedua pria
yang menyertai wanita itu sama sekali tidak ketawa.
"Kami hanya menjalankan tugas, Nona Tepler," salah satu dari rnereka berkata.
Oskar mulai membuka mulut.
Sporty segera menyekap mulut sahabatnya itu, sebelum ia sempat berkata apa-apa.
Hubi mundur selangkah, kemudian menutu pintu sampai tinggal celah sempit untuk
mengintip. Wajahnya pucat pasi.
"Terlambat!" bisik Sporty. "Kita takkan sempat mengembalikan keempat lukisan itu
ke tempat semula. Paling - paling saya bisa melemparkan semuanya lewat jendela.
Tapi gunanya bagi Nona Tepler" Itu justru akan memperburuk keadaannya."
"Sstf" Hubi mendesis. Butir-butir keringat dingin mulai muncul pada keningnya.
Petra segera memelototi Sporty. Ia heran mengapa sahabatnya sama sekali tidak
memperhatikan perasaan Hubi.
Nicole Tepler serta kedua polisi yang menyertainya telah sampai di lantai enam.
Polisi yang lebih tua nampak tersengal - sengal. Sedangkan rekannya, yang jauh
lebih muda, kelihatan agak salah tingkah. Rupanya masa dinasnya belum cukup lama
untuk membuatnya kebal terhadap daya tarik seorang wanita cantik.
Nicole Tepler sendiri tampak pucat.
Jadi itu orangnya, pikir Sporty. Hmm, cantik juga! Tapi itu tergantung selera.
Dibandingkan dengan Petra sih, tidak ada apa-apanya. Kalau Hubi jatuh cinta padanya... ah, itu urusan dia sendiri.
Jadi itu orangnya, Petra pun berkata dalam hati. Dia memang sangat cantik. Tapi
penampilannya lebih mirip pelayan bar ketimbang seorang pelukis. Ah, penampilan
seseorang tidak berarti apa-apa. Picasso-pelukis kenamaan berkebangsaan Spanyol-
juga lebih mirip direktur hotel, dan Goethe-penyair terkenal dari Jerman-
kelihatan seperti juru. masak. Tapi Nicole Tepler ternyata tidak seperti yang
kubayangkan. Sikapnya kelewat angkuh dan hak sepatunya terlalu tinggi.
Nicole Tepler membuka pintu apartemennya, kemudian melangkah masuk bersama kedua
polisi. Suasana di ruang tangga kembali hening.
Perlahan-lahan Hubi menutup pintu.
Tiba - tiba saja Oskar bertepuk tangan.
"Kita... kita sebenarnya sama sekali tidak perlu mengkhawatirkan dia," ia
menjelaskan penuh semangat. "Bukti-bukti mengenai pemalsuan lukisan yang ia
lakukan berada di sini!"
"Wah, benar juga," Thomas menanggapinya sambil nyengir. "Hal itu sama sekali
tidak terpikir olehku. Untung saja kau mengemukakannya, Oskar. Lukisan-lukisan
palsu itu memang berada di sini. Dengan demikian kita telah membantu Nicole
Tepler. Tanpa sengaja. Berarti secara tidak langsung kita bersekongkol dengannya.
Kecuali kalau kita menjelaskan duduk perkaranya pada kedua polisi di apartemen
sebelah." "Kalau begitu kita juga harus menjelaskan bagaimana lukisan-lukisan itu bisa
pindah ke sini," ujar Sporty. "Daripada begitu, lebih aku bersekongkol dengan
wanita itu - saja hanya kita yang mengetahuinya."
"Nicole Tepler harus diberi kesempatan," Hubi bergumam. "Saya yakin bahwa saya
bisa membimbing dia agar dia kembali ke yang benar. Barangkali saja saya bahkan
bisa mempengaruhinya untuk melaporkan diri pada polisi. Tindakan seperti itu
menimbulkan kesan yang positif. Rasa penyesalan seorang wanita muda pasti mampu
melunakkan hati hakim yang paling keras sekalipun."
Hubi berjalan ke meja dan menuangkan segelas cognac.
Mereka menunggu. Tak seorang pun berbicara. Semuanya memasang telinga untuk
mengetahui kejadian di apartemen sebelah.
Tapi suasana di sana pun sepi-sepi saja. Kedua polisi memeriksa apartemen Nicole
tanpa membongkar dinding ataupun lantai. Apakah mereka berhasil menemukan
sesuatu yang memperkuat tuduhan terhadap wanita muda itu"
Bagaimana polisi berhasil melacak jejaknya" Sporty bertanya dalam hati.
Sementara yang lainnya menunggu dengan perasaan tegang, Oskar malah menghabiskan
potongan-potongan kue yang masih tersisa.
Thomasa berlutut dan mengamati keempat lukisan dari dekat. Wah, memang benar!
katanya dalam hati. Lukisan-lukisan ini dibuat dengan meniru gaya Cranach - persis
seperti yang dikatakan Hubi. Hmm, rasanya aku perlu memberikan sedikit
penjelasan mengenai kedua pelukis bernama Cranach. Habis, Hubi tidak mengatakan
apa-apa, padahal pengetahuannya mengenai merekat pasti mendalam sekali.
Petra duduk di samping Sporty sambil menyandarkan kepala pada bahu sahabatnya
itu. Kejadian-kejadian yang begitu bertubi-tubi membuat gadis cantik itu merasa
agak lelah. Waktu berjalan lambat. Menit demi menit berlalu pelan.
Untuk mengatasi ketegangan, Hubi terpaksa mengisi gelasnya untuk kedua kali.
Sporty memperhatikannya sambil mengerutkan kening. Seorang pejudo yang tidak
bisa latihan seharusnya tetap menjaga kesehatannya. Minuman beralkohol sama
sekali tidak membantu dalam hal ini.
Pintu apartemen sebelah terdengar membuka.
Dalam sekejap Hubi dan keempat sahabat STOP telah kembali ke pos pengintaian
mereka. "Maaf kalau kami telah mengganggu Anda, Nona Tepler," polisi yang lebih tua
berkata, "Sampai jumpa. Ehm... Maksud saya, lebih baik jangan."
Kali ini ketiganya ketawa. Tapi tawa Nicole Tepler terdengar seperti dipaksakan.
Rupanya jantungnya masih terlalu berdebar-debar.
Kedua polisi mulai menuruni tangga.
Hubi membuka pintu, lalu menunggu sampai yakin bahwa mereka benar-benar sudah
pergi. "Saya mau ke sebelah sebentar," katanya dengan tegas. "Saya... saya perlu
menjelaskan semuanya."
"Cepat!" Oskar berseru. "Sebelum dia melaporkan kehilangannya pada polisi."
"Apakah kau tidak bisa memikirkan lelucon lain?" tanya Pak Knoth sambil menatap
Oskar. Ia melangkah ke selasar dan menutup pintu apartemennya.
Thomas segera membukanya kembali.
Keempat sahabat STOP mendengar guru mereka menekan bel apartemen sebelah.
Beberapa detik kemudian Nicole Tepler membuka pintu.
Aku yakin, wanita muda itu sedang berlinang air mata, ujar Sporty dalam hati.
Dia pasti bingurxg sekali. "Kelihatannya Anda masih beruntung kali ini," suara Hubi terdengar.
"Oh, Pak Knoth" Apa... apa maksud Anda?"
"Apakah". apakah Anda bersedia datang ke apartemen saya?" Hubi bertanya dengan
kikuk. Thomas segera membuka pintu lebar-lebar.
Hubi muncul sambil menyeringai tak keruan.
Dugaanku ternyata meleset jauh, pikir Sporty ketika melihat Nona Tepler. Matanya
sama sekali tidak sembab. Dia justru nampak agak curiga.
Nicole Tepler berhenti. Ia menatap keempat sahabat STOP yang berdiri di ambang
pintu. "Ini murid-murid saya," kata Hubi. "Mereka sudah tahu semuanya. Tapi, silakan
masuk dulu, Nona Tepler. Kita bicara sambil minum kopi saja. Saya juga masih
punya beberapa potong kue."
Ucapan Hubi yang terakhir sebenarnya tidak sesuai dengan kenyataan. Oskar telah
menyikat semuanya - tanpa merasa bersalah.
"Halo!" Nicole Tepler menegur Sporty dan kawan - kawan, lalu memaksakan diri untuk
tersenyum. Ia melangkah masuk, kemudian berhenti di ruang tamu. Pandangannya terarah pada
keempat lukisan palsu. "Anda bahkan tidak bisa menghubungi polisi." ujar Hubi sambil tersenyum, setelah
menutup pintu apartemennya. "Tapi jangan khawatir. Kami akan mengembalikan
lukisan-lukisan itu. Atau, bagaimana kalau saya beli saja semuanya" Hanya saja
saya terpaksa mencicil. Kecuali kalau Anda mau melepaskan lukisan-lukisan itu
dengan harga miring."
"Anda tidak akan melaporkan saya pada polisi?"
Dengan hati-hati Hubi meraih tangan Nona Tepler, lalu mencium jari-jarinya.
"Saya mengagumi Anda - baik sebagai pelukis maupun sebagai wanita."
Nicole tersenyum malu, lalu menarik tangannya.
Oskar, yang berdiri di belakang Hubi, diam-diam meniru gurunya. Tingkahnya mirip
orang gila ketika mencium jari-jari yang tidak nampak.
"Saya tidak mengerti," Nicole berbisik. "Bagaimana... bagaimana Anda bisa masuk
ke apartemen saya" Pintunya kan terkunci."
"Tapi jendela di langit-langit Anda tidak terkunci," jawab Sporty. "Apakah Anda
tidak memperhatikan bahwa jendelanya sedikit terbuka" Maaf, saya terpaksa
melubangi karet penyangganya. Tapi lubang-lubangnya kecil-kecil. Apartemen Anda
takkan bocor karena itu."
Nona Tepler nampak gemetar. Cepat-cepat ia duduk di sofa. Hubi memanfaatkan
kesempatan ini untuk memperkenalkan keempat muridnya.
Oskar lalu berkata, "Saya gembira sekali karena bisa berkenalan dengan seorang
pelukis yang begitu berbakat. Tapi seandainya saya punya bakat sebesar Anda,
saya tidak akan memalsu lukisan orang lain. Saya pasti akan melukis dengan gaya
saya sendiri. Kenapa Anda tidak menampilkan gaya Nicole Tepler saja, sih?"
Dengan penuh perasaan, seperti biasanya, Oskar membelokkan pembicaraan ke tema
yang hendak dibahas. Akibatnya semua orang terdiam.
Nicole mempermainkan jari-jarinya. Kemudian ia mengedipkan mata dan menatap
Hubi. "Ya, saya memang telah memalsukan lukisan-lukisan itu.. Justru karena
itulah saya selalu berusaha menghindari Anda, Pak Knoth. Saya takut, Anda akan
ingin membicarakan hasil karya saya."
"Sekarang kita akan membicarakannya," ujar Petra. "Apa yang Anda kerjakan selama
ini adalah penipuan."
"Saya... saya sebenarnya sudah lama ingin berhenti. Tapi... saya perlu uang.
Bayaran yang saya peroleh tidak terlalu besar. Hanya saja... saya mengakui bahwa
saya memang suka meniru lukisan-lukisan kuno. Tapi itu sudah berlalu. Saya
berjanji, saya tidak akan mengulangi perbuatan saya."
Petra hendak berkomentar, namun Hubi mendahuluinya.
"Pertama-tama saya merasa perlu menjelaskan bagaimana keempat lukisan Anda bisa
berpindah ke apartemen saya," katanya. Hubi memberikan penjelasan dengan serius,
lalu melanjutkan, "Karena itulah kami mengetahui kegiatan Anda. Kami memutuskan
untuk tidak melaporkan Anda pada polisi. Sebaiknya Anda sendiri yang melakukan
itu, untuk menunjukkan rasa penyesalan Anda. Kecuali itu, kami beranggapan bahwa
Anda hanya diperalat. Penjahat sesungguhnya adalah orang yang memberi tugas pada
Anda. Sebenarnya dialah yang bersalah."
Sporty memperhatikan wanita muda di hadapan mereka.
Wanita itu nampak gemetar. Matanya berkedip-kedip, dan wajahnya menunjukkan
penyesalan yang mendalam. Tetapi sorot matanya tetap sedingin es. Rupanya ia
sedang mencari jalan keluar, namun mulai sadar bahwa ia takkan bisa mengelabui
anak-anak STOP. "Ya," ia mendesah. "Dia memang memaksa saya. Dia..." Ia terdiam sejenak. "Tapi
kalau saya mengatakannya...."
"Anda harus mengatakannya," Pak Knoth mendesak.
"Dia atasan saya. Franz-Anton Klacksl, pemilik Galeri K. Dia... dia... selalu
berhasil menemukan orang-orang bodoh yang tidak bisa membedakan lukisan asli
dengan lukisan palsu."
"Klacksl?" tanya Oskar. "Apakah dia juga seorang pelukis?"


Detektif Stop - Pengkhianatan Di Lembah Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bukan. Dia seorang pedagang. Dia sama sekali tidak memiliki bakat seni," ujar
Nicole sambil menundukkan kepala. "Bajingan itu menjadi kaya berkat lukisan-
lukisan yang i saya buat. Tapi saya sendiri hanya kebagian sedikit sekali."
"Berarti Anda tidak begitu bersalah," Thomas ikut berkomentar. "Saya kira Anda
tidak akan dijatuhi hukuman penjara. Tapi dengan syarat bahwa Anda segera
melaporkan diri pada polisi. Ayah Petra adalah Komisaris Emil Glockner. Anda
pasti akan diterima dengan penuh pengertian, jika Anda menghubungi Pak
Glockner." "Itu ide, yang baik, Thomas!" Pak Knoth memuji - tanpa melepaskan pandangan dari
Nicole. Wanita muda itu menyadarinya, lalu membalas dengan tersenyum lembut.
"'Kalian benar," Nicole mengakui. "Tapi... masih ada... Begini, saya kira saya
harus memberitahukan rencana ini pada atasan saya."
Klacksl, si bajingan! pikir Sporty. Keterangan yang diberikan Nona Tepler tadi
memberikan kesan bahwa dia tidak menyukai boss-nya. Tapi sekarang dia merasa
tidak enak kalau belum menghubungi pemilik galeri itu. Apa maksudnya ini"
"Saya setuju sekali," ujar Hubi. "Anda memang harus memberi tahu dia. Apakah
Anda mau meneleponnya?"
"Sebenarnya memang itu cara yang paling mudah. Tapi nanti kesannya seakan-akan
saya takut menghadapinya. Padahal saya sama sekali tidak gentar untuk bertatap
muka. Meskipun... Orangnya agak berangasan. Kadang-kadang dia tidak bisa
menguasai diri. Terus terang saja, saya merasa agak ngeri. Apakah Anda keberatan
kalau saya minta Anda untuk menemani saya?"
"Oh sama sekali tidak!" Hubi berseru penuh semangat. "Dengan senang hati kami
akan menemani Anda. Kita bisa naik mobil saya... Ah, mobil saya terlalu sempit!
Tapi kalau tidak salah Galeri K dekat sini, bukan?"
Betul," jawab Nicole dengan wajah bereri-seri.
"Bagaimana, kalian ikut juga?" Pak Knoth bertanya pada anak-anak STOP.
"Tentu saja!" balas Petra cepat-cepat.
Sporty mengangguk seperti teman-temannya. Tapi dalam hati ia merasa heran. Sorot
mata Nona Tepler membuatnya curiga. Apa rencana wanita muda itu" Apa yang
diharapkannya" 5. Berusaha Menyuap PULUHAN merpati bertengger di atap rumah-rumah pada kedua sisi Jalan Sperling.
Burung-burung itu seakan-akan menikmati matahari sore, yang membuat bulu-bulu
mereka kelihatan berkilau.
Suasana di jalan itu sepi-sepi saja. Para ibu rumah tangga yang tinggal di
daerah yang sekitar nampak membawa barang belanjaan, atau mengobrol di tepi
jalan. Hubi dan Nicole berjalan mendului anak-anak STOP.
Dia pasti lagi kalang kabut, pikir Sporty sambil memperhatikan Nona Tepler yang
melangkah pelan. Itu salahnya sendiri. Kenapa dia mau disuruh memalsu lukisan
untuk si Klacksl" Semua orang juga perlu uang. Itu tidak bisa dijadikan alasan.
Ia berjalan tepat di belakang keduanya. Tangan kanannya merangkul bahu Petra.
Oskar dan Thomas merupakan buntut hifi rombongan kecil itu. Ketika mereka
melewati sebuah toko kecil yang menjual bahan makanan, Oskar langsung menghilang
sejenak. Sewaktu muncul kembali, ia sudah sibuk mengunyah. Selain itu, dua
keping coklat nongol dari kantong celananya.
Thomas mempertimbangkan apakah ini saat yang tepat untuk memulai ceramah
mengenai kedua pelukis bernama Cranach. Tapi sebelum ia sempat berkonsentrasi,
mereka sudah sampai di tempat tujuan.
Rombongan kecil itu berdiri di depan gedung pertokoan modern yang terletak di
tepi sebuah jalan yang ramai. Mobil-mobil nampak berlalu lalang. Kantor-kantor
baru tutup, tapi tidak semua orang langsung pulang ke rumah masing-masing.
Banyak di antara mereka yang mampir dulu ke cafe-cafe.
Gedung pertokoan itu agak sempit. Lantai dasarnya ditempati oleh sebuah toko
karpet. Sebuah tanda panah yang terbuat dari kuningan menunjuk ke arah Galeri - K.
Galeri itu terletak di lantai dua.
Nicole mendului yang lain. Hubi menyusul tepat di belakangnya.
"Ini bakalan ramai," bisik Petra. "Kedok si Klacksl akan terbongkar. Tapi
kelihatannya Nona Tepler merasa kikuk."
Nicole menunggu di depan sebuah pintu kaca yang bertulisan huruf-huruf emas.
Melalui pintu ini, mereka bisa melihat ke dalam ruang pamer galeri. Ruangan itu
dihiasi beberapa cermin dengan bingkai mewah - serta sekitar dua lusin lukisan
bergaya Cranach "Apakah semua lukisan itu hasil karya Anda, Nicole?" tanya Hubi sambil
terbengong-bengong. "Ehm... ya. Tapi... saya pernah mengalami masa kreatif, di mana segala sesuatu
berjalan dengan lancar. Bos saya saja sampai tercengang, karena pesanannya
selesai begitu cepat. Namun belum banyak yang sempat dijualnya."
"Rupanya Anda sempat bekerja keras pada masa kreatif itu," Sporty menanggapinya
dengan dingin. Komentar Sporty kurang berkenan di hati Nicoe. Itu terlihat jelas pada wajahnya.
Tetapi ia tidak menjawab, melainkan langsung membuka pintu dan melangkah masuk.
Franz-Anton Klacksl muncul dari ruang sebelah. Pasti itu orangnya. Sporty
memiliki indra keenam dalam urusan seperti ini. Sorot mata pria itu ketika
melihat Nona Tapler juga mengungkapkan berbagai hal. Misalnya: Apakah mereka
calon pembeli" Atau ada apa sebenarnya"
"Ini Tuan Franz - Anton Klacksl," ujar Nicole dengan kaku.
Atasannya segera mengerti. Sambil nyengir ia membungkuk di hadapan Pak Knoth.
"Saya gembira bahwa Anda bersedia mengunjungi galeri saya. Anda pasti mendapat
rekomendasi. Ya, Nona Tepler memang ahli dalam hal seni lukis."
Hubi sama sekali tidak tersenyum. Namun sebelum ia sempat membuka mulut, Nicole
telah berkata, "Ehm... urusannya agak berbeda. Perbuatan kita telah terbongkar.
Pak Knoth dan murid-muridnya sudah tahu bahwa saya... ehm... memalsukan lukisan-
lukisan kuno, Mereka sempat masuk ke apartemen saya dan yang lebih gawat lagi,
Pak Klacksl, salah seorang saingan Anda telah melaporkan saya pada polisi. Tadi
siang apartemen saya digeledah oleh dua polisi. Tapi mereka tidak menemukan apa-
apa. Saya terpaksa memberitahu Pak Knoth bahwa saya bekerja untuk Anda. Namun
saya juga menekankan bahwa Anda... ehm... bahwa Anda menggunakan cara ini untuk
lebih memasyarakatkan seni lukis. Dan ehm...Anda sangat dermawan"."
Nicole Tepler tidak menyelesaikan kalimatnya. Ia hanya mendesah perlahan, lalu
mengusap rambutnya. Dalam hati ia berdoa agar Klacksl mengambil langkah yang
tepat. Dan itulah yang dilakukan oleh si pemilik Galeri - K. Franz-Anton Klacksl
langsung memahami duduk perkaranya. Ia tidak kelihatan terkejut. Senyumnya
bahkan bertambah lebar. ...sangat dermawan...! pikir Sporty. Nona Tepler telah menyebutkan kata kunci.
Ya, itu dia. Sekarang akan terlihat rencana apa yang telah ia susun. Kemungkinan
besar, boss-nya akan mencoba menyuap kami.
Franz-Anton Klacksl berbadan pendek dan gendut. Tetapi gerak-geriknya lincah
sekali. Rambutnya sudah mulai menipis, dan tersenyum terus. Namun itu tidak
berarti apa-apa, sebab sorot matanya tetap dingin. Klacksl adalah pengusaha yang
tidak segan-segan melakukan penipuan. Yang penting, ia bisa meraih keuntungan.
Aneh! pikir Sporty. Orang - orang seperti itu semuanya berwatak sama. Penampilan
mereka memang berbeda - beda, tetapi semuanya memancarkan kesan serakah.
"Anda tidak keberatan, bukan?" .
Kiacksl melangkah maju dan mengunci pintu dari dalam. Kemudian ia membalik
sambil menyeringai. Ia bahkan menggosok-gosok tangan, seakan-akan baru
memperoleh berita baik dari Nicole.
"Sebaiknya kita langsung membicarakan pokok permasalahan saja, Pak Knoth.
Penampilan Anda bukan seperti seseorang yang bergelimangan harta. Saya bersedia
membantu Anda, asal Anda mau melupakan urusan ini. Katakan saja berapa jumlah
yang Anda inginkan. Dan mengenai rombongan anak muda ini, saya rasa tambahan
uang saku pasti diterima dengan tangan terbuka. Bukan begitu?" ,
Sambil tersenyum lebar, pemilik galeri itu menatap Thomas.
Thomas langsung berkata, "Satu kata lagi, dan saya akan meludahi Anda!"
"Saya sudah mengumpulkan ludah dalam mulut!" seru Oskar dengan sengit. "Ludah
saya bercampur coklat. Pakaian Anda pasti belepotan kalau kena, Pak Klacksl."
Pemilik galeri itu langsung mundur beberapa langkah.
"Pak Klacksl!" Nicole Tepler berkata cepat-cepat. "Apa-apaan ini" Sepertinya
Anda ingin menyuap Pak Khoth dan murid-muridnya. Itu tidak benar! Anda dan saya
telah menempuh jalan yang salah. Tapi sekarang saya sudah tobat. Saya akan
melaporkan diri pada polisi, dan berharap agar mereka mau mengerti keadaan saya.
Saya menyesal sekali bahwa saya terpaksa melibatkan Anda."
Menggelikan! pikir Sporty. Rupanya Nona Tepler menyangka bahwa kami akan tergoda
dengan tawaran bos-nya. Dari luar dia memang kelihatan menyesal - tapi hanya
karena tidak ada jalan lain. Hubi tidak menyadarinya. Dia sudah telanjur jatuh
cinta pada Nona Tepler. Namun Klacksl belum memahami situasi yang dihadapinya.
"Diam, Nicole!" ia menghardik wanita muda itu. "Gara-gara kau perbuatan kita
terbongkar. Biar saya saja yang membereskan urusan ini. Heh, Pak Knoth! Saya
akan memberikan 5000 Mark, tunai! Bagaimana?"
"Jangan main-main!" ujar Hubi dengan tegas.
Klacksl salah mengerti. "Baiklah, 7000 Mark. Dan bocah-bocah ingusan ini
akan..." "Keterlaluan! Sekarang aku akan meludahinya," seru Oskar dengan geram.
Tapi Sporty menahan sahabatnya. "Kita tidak perlu repot-repot karena Tuan ini.
Nona Tepler, di sana ada telepon. Petra akan menghubungi ayahnya. Dan Anda harus
mengakui segala perbuatan Anda. Sepuluh menit lagi Komisaris Glockner sudah akan
berada di sini. Sementara itu, Pak Klacksl bisa memamerkan koleksi benda seninya
pada kami." Pada detik berikutnya si pemilik galeri kehilangan kesabaran. Wajahnya menjadi
merah padam. Sambil berteriak ia menyerang Nicole.
Hubi segera bertindak. Dengan sebelah tangan ia membanting pria gendut itu. Tapi
Klacksl hanya berguling seperti bola, berdiri lagi, lalu bergegas pergi ke
dinding. Seperti kesetanan ia menurunkan lukisan-lukisan palsu yang dipajang.
Ia sudah berhasil mencopot tiga lukisan, ketika Sporty turun tangan dan
melumpuhkannya dengan satu teknik cekikan.
"Jangan macam-macam," si pemimpin kelompok STOP berkata dengan ketus. "Enak
saja! Mengumpulkan barang bukti, lalu kabur lewat pintu belakang. Petra! Coba
giring Nona Tepler ke telepon. Sudah waktunya keadilan ditegakkan - usaha
penyuapan mereka toh tidak berhasil."
Nicole Tepler memahami sindiran Sporty. Sebelum menghampiri pesawat telepon, ia
masih sempat memelototi anak itu.
Klacksl bermandikan keringat dingin.
Sementara Petra menelepon, ia berbisik, "Lepaskan saya! Saya akan memberimu 8000
Mark, kalau kau membiarkan saya kabur lewat pintu belakang."
Oskar segera mendekat - dengan pipi menggembung. Ia mendengar ucapan Klacksl, dan
kini hendak melaksanakan ancamannya tadi.
"Telan saja ludahmu," ujar Sporty.
Delapan menit kemudian Komisaris Glockner telah tiba. Ia memang selalu beraksi
dengan cepat. Lebih-lebih kalau Petra yang minta tolong, maka ia akan bergerak
secepat roket. Ketiga sahabat Petra pun menganggapnya sebagai sekutu yang paling
bisa diandalkan. Ditemani dua rekannya, Komisaris Glockner memasuki Galeri-K.
Dengan cekatan mereka memeriksa setiap sudut. Pak Knoth ikut membantu. Sebagai
ahli sejarah seni, ia menyatakan bahwa hampir setiap benda yang ditawarkan
dengan harga tinggi, sebenarnya merupakan barang tiruan. Bagian Nicole - untung
saja - hanya terbatas pada beberapa lukisan. Tetapi Klacksl terbukti sebagai
penipu besar. Ia langsung ditahan. Tidak demikian halnya dengan Nicole.
Wanita muda itu hanya diminta untuk ikut ke kantor polisi. Tetapi setelah
memberikan keterangan, ia boleh pulang ke apartemennya - begitulah Komisaris
Glockner berjanji pada Pak Knoth. Guru muda itu memang sudah kalang kabut.
Hampir saja menghubungi seorang pengacara untuk mendampingi Nona Tepler.
"Dia hanya memegang peran kecil dalam masus ini," Pak Glockner menenangkan Hubi.
"Jadi Anda tidak perlu repot-repot. Nona Tepler memang harus tampil di
pengadilan. Tapi para hakim takkan menjatuhkan hukuman berat padanya."
Thomas, yang ikut mendengarkan pembicaraan antara ayah Petra dan Hubi,
mengangguk dengan puas. Ternyata ramalannya tepat sekali.
Sebelum Komisaris Glockner kembali ke kantor, Petra buru-buru buru mencium pipi
ayahnya. Galeri - K ditutup. Para polisi membawa Franz-Anton Klacksl, yang kini
kelihatan pucat pasi. Nicole Tepler menyusul. Ia berusaha memperlihatkan bahwa
ia berada di pihak para polisi. Anak-anak STOP memperhatikan mobil patroli
menghilang di ujung jalan. Hubi mendesah perlahan. Belum apa-apa ia sudah merasa
kehilangan Nicole. "Mudah-mudahan tidak ada kesulitan bagi Nona Tepler," katanya.
"Terus terang saja," ujar Sporty. "Bagi saya, dia tidak terlalu menarik. Saya
yakin, dia menyimpan udang di balik batu."
"Nona Tepler adalah wanita yang sangat menarik. Dia hanya terdesak oleh
keadaan," Hubi membela pujaan hatinya.
Kasihan, pikir Sporty. Gara-gara cinta, Hubi jadi buta terhadap kenyataan.
Mudah-mudahan saja dia tidak terlalu kecewa nanti.
Mereka kembali ke Jalan Sperling.
Dalam perjalanan Hubi berkata, "Nona Tepler telah mengakui kesalahannya. Dia
menyesal, dan karena itu melaporkan diri pada polisi. Saya pun harus melakukan
hal yang sama. Kalian telah berkenalan dengan ayah saya. Saya merasa bersalah
sekali karena kejadian tadi siang. Tekanan darahnya belum begitu parah. Ayah
saya pun harus menerima kenyataan bahwa anaknya tidak sehebat yang
dibayangkannya. Saya hanya manusia biasa. Saya tergoda oleh mobil Porsche itu.
Itu kesalahan saya, dan saya harus mempertanggungjawabkannya. Saya sudah siap
sekarang. Nanti saya akan menelepon ayah saya - lalu mengakui semuanya."
"Jangan terburu-buru," ujar Thomas. "Maksud saya, berita seperti ini sebaiknya
disampaikan secara hati-hati. Barangkali saja beliau ketawa jika mendengar
bagaimana Anda berusaha memperindah apartemen Anda dengan lukisan-lukisan kuno.
Apalagi kalau dia mendengar bahwa berkat usaha Anda, seorang penipu berhasil
ditangkap polisi, dan seorang pemalsu lukisan... ehm... biar Anda saja yang
menjelaskannya." "Ya, itu yang akan saya lakukan," kata Hubi sambil mengangguk. "Saya sangat
berterima kasih pada kalian. Bantuan kalian sangat berarti."
Tidak lama kemudian mereka tiba di apartemen Hubi. Tak seorang pun mengutak-atik
sepeda-sepeda anak-anakanak STOP, maupun mobil Hubi, selama mereka pergi.
Keempat sahabat itu berpamitan. Sporty dan Oskar harus segera kembali ke asrama.
"Kita tidak boleh telat untuk makan malam," kata Oskar dengan wajah serius.
"Aku masih harus ke toko swalayan untuk membeli makanan untuk Bello," ujar
Petra. Hubi telah menghilang ke dalam gedung apartemen itu.
Thomas sudah duduk di atas sepedanya.
Oskar membuka sekeping coklat. Ia membutuhkan tambahan tenaga agar bisa mencapai
sekolah asrama. "Sampai besok, ya." Dengan mesra Sportyr merangkul Petra.
Thomas dan Oskar cepat-cepat mengalihkan pandangan, ketika Sporty mencium pipi
gadis itu. Matahari telah condong ke barat. Bayang-bayang semakin panjang.
Anak-anak STOP sebenarnya enggan berpisah - terutama Petra dam Sporty. Tapi mereka
agak terhibur karena besok akan bertemu lagi. .
6. Sampanye dan Bunga Mawar
KOMISARIS GL0CKNER memenuhi janjinya. Pemeriksaan di kantor polisi tidak
berlangsung lama. Nicole hanya diminta mengulangi keterangannya. Ia melemparkan
semua kesalahan pada Klacksl, lalu menandatangani surat pengaduan. Setelah
berjanji bahwa ia tidak akan mengulangi perbuatannya, ia diperbolehkan pulang.
Begitu keluar dari kantor polisi, wanita muda itu langsung memanggil taksi. Ia
hendak pergi ke rumah ibunya.
Magda Tepler tinggal di suatu daerah di pinggir kota, di mana garasi merupakan
barang langka. Setiap malam mobil-mobil tampak berderet-deret sepanjang jalan.
Rumah-rumah kecil berdempetan di sebuah jalan sempit. Di satu sisi jalan
terdapat sembilan rumah, di sisi seberang ada dua belas. Magda mendiami rumah
pojok pada sisi dengan sembilan rumah.
Nicole membayar ongkos taksi, lalu berjalan ke rumah ibunya. Setelah dua kali
menekan bel, pintunya membuka.
Ibu! Nicole hampir saja berseru, tapi apa yang dilihatnya menyebabkan ia
mengerutkan kening. "Halo, anakku!" Ottmar Lohmann menyambutnya sambil nyengir lebar.
"Wah, ini baru kejutan," balas Nicole dingin. "Rupanya kau lebih ngotot dari
yang kuduga." "Seandainya kau memang anakku, maka aku akan mengajarkan sopan santun padamu.
Ayo, masuk dulu. Aku dan ibumu sedang mengingat-ingat kenangan di masa lalu."
Magda Tepler duduk di ruang tamu. Ia sedang menghabiskan segelas minuman keras.
Di atas meja masih ada satu gelas lagi.
Mereka merayakan pertemuan ini, pikir Nicole. Ternyata cinta pertama tidak mudah


Detektif Stop - Pengkhianatan Di Lembah Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

padam. "Ibu!" ia berseru, lalu merangkul Magda. "Ibu pasti tidak bisa menebak dari mana
aku." "Pasti bukan dari kantor polisi," ujar Magda sambil ketawa. "Soalnya aku sudah
menelepon ke sana. Aku menanyakan mengapa putriku dijemput dari tempat kerjanya -
tanpa alasan sama sekali. Seorang polisi bernama Komisaris Dolp lalu menjelaskan
bahwa kau menjadi korban fitnah - fitnah yang kemungkinan besar dilancarkan oleh
saingan bos - mu. Komisaris Dolp minta maaf padaku, kemudian menambahkan bahwa kau
memang tidak bersalah dan..."
"Ah, berita itu sudah basi," Nicole memotong. "Aku baru saja dari kantor polisi.
Klacksl sudah masuk bui. Hanya karena memasang tampang tak berdosa, aku tidak
ikut ditangkap. Aduh! Tasku ketinggalan di toko!"
"Kalian terlalu banyak berurusan dengan polisi," Lohmann menggerutu.
"Untuk apa sih, dia datang ke sini?" Nicole bertanya pada ibunya. "Apakah dia
mencoba memeras lbu?"
Magda Tepler kembali ketawa. Ia sudah menghabiskan beberapa gelas minuman keras.
Lohmann sengaja membawa botol minuman yang mahal. Namun yang mahal cuma
botolnya. Isinya telah ditukar dengan minuman murahan.
"Dia ternyata masih seperti dulu," ujar Magda. "Hanya tidak segagah 20 tahun
yang lalu. Tapi menurut dia, aku sama sekali tidak berubah. Ah," ia menambahkan
sambil menatap Lohmann, "sebenarnya aku pun berubah, Ottmar. 20 tahun bukan
waktu yang singkat."
Sambil nyengir Lohmann menuangkan minuman ke dalam gelasnya.
Magda dan Nicole memang mirip sekali, ia berkata dalam hati. Bedanya, Magda
sudah 20 tahun lebih lama menanggung akibat polusi udara. Tapi wajah mereka
bagaikan pinang dibelah dua.
"Jadi?" Magda bertanya pada putrinya. "Kau berurusan lagi dengan polisi?"
"Pengalamanku kali ini benar-benar tidak masuk akal," jawab Nicole. Kemudian ia
mulai bercerita. Lohmann mendengarkan sambil geleng-geleng kepala.
"Kau beruntung sekali," ujar Lohmann setelah Nicole selesai. "Kelihatannya
polisi percaya bahwa kau benar-benar r sudah kapok. Tapi untuk sementara kau
harus berhenti melukis. Aku memang kagum melihat bakat yang kaumiliki, tapi apa
gunanya" Lukisan tidak membawa keuntungan besar. Seandainya kau memalsukan uang,
maka..." "...maka aku sekarang sudah meringkuk dalam penjara," Nicole memotong. "Lagi
pula aku merasa sebagai seniman. Kemampuanku hanya belum diakui oleh masyarakat
luas." "Menurut aku sih, kau hanya membuang-buang waktu," ujar Lohmann. "Aku lebih ?
tertarik pada usaha yang bisa mendatangkan uang banyak dalam waktu singkat."
"Sejak dia datang," kata Magda, "aku berusaha mengorek keterangan mengenai
rencananya. Apa yang dikatakannya padamu tadi, Nicole" Kita akan menerima uang
banyak" Nah, Ottmar," ia berpaling pada benas pacarnya, "terus terang sajalah.
Apa rencanamu sesungguhnya?"
"Kalian pasti berminat membantuku, kan?" tanya Lohmann sambil tersenyum simpul.
"Aku kan sudah mengatakan bahwa kami punya banyak kenalan," Nicole menjelaskan.
"Barangkali saja salah seorang dari mereka berguna untuk melaksanakan
rencanamu." Lohmann menatap pesawat TV yang membisu di pojok ruangan. Modelnya sudah kuno,
kemungkinan besar masih hitam-patih, dan penuh debu. Magda memang bukan tipe
wanita yang mengutamakan kebersihan. Ia lebih suka menenggak minuman keras
daripada mengerjakan tugas-tugas ibu rumah tangga.
Kelihatannya mereka bisa dipercaya, pikir Lohmann. Lagi pula aku sudah terlalu
banyak membuka rahasia. Aku tidak bisa mundur lagi. Mungkin ada baiknya kalau
aku menjelaskan rencanaku pada mereka. Tanpa menyebutkan nama-nama, tentu saja.
"Oke, dengarkan baik-baik," katanya. "Di sini ada sebuah perusahaan bahan kimia
yang menghasilkan limbah beracun. Satu gelas saja bisa membunuh sepuluh orang.
Kalau cairan itu sempat masuk ke air tanah, maka kota ini akan mengalami krisis
air bersih." "Oh ya, berita seperti ini sudah sering masuk koran," Magda berkomentar. "Kalau
tidak salah ada hubungannya dengan hujan asam."
"Hmm." Lohmann sebenarnya tidak sependapat. Tetapi ia langsung melanjutkan
penjelasannya, "Rencanaku menyangkut limbah beracun itu. Perusahaan tadi
menggunakan mobil tangki untuk membawa cairan itu ke tempat pemusnahan limbah.
Itu kata mereka. Mungkin juga mereka membawanya ke tempat sepi, lalu membuangnya
ke salah satu sungai. Pokoknya, cairan itu dibawa dengan mobil tangki."
"Di koran memang pernah ada artikel mengenai itu," Magda menanggapinya.
Rupanya dia sering membaca koran, pikir Lohmann. Kemudian ia kembali berkata,
"Aku merencanakan untuk membajak salah satu mobil tangki itu. Mobil itu akan
kusembunyikan. Aku sudah menemukan tempat yang cocok. Setelah itu aku akan
menghubungi perusahaan kimia tadi. Mereka harus membayar setengah juta Mark.
Kalau tidak, maka aku akan menguras isi mobil tangki itu."
Dengan bangga Lohmann menatap kedua wanita di hadapannya.
"Lho, cairan itu kan sudah tidak dipakai lagi, bukan?" tanya Nicole.
Lohmann mengangguk. "Kalau begitu, mana mungkin perusahaan itu mau mengeluarkan uang agar kau
mengembalikan limbah mereka?"
"Bukan limbahnya yang penting, Nicole! Tapi akibat-akibat yang mungkin timbul,
Aku akan mengancam akan meracuni air tanah, kebun-kebun buah-buahan, ladang
pertanian, tempat bermain anak-anak, rumput di stadion sepak bola - dan entah apa
lagi. Bencana yang mungkin timbul tidak kalah hebatnya dengan akibat serangan
bom atom terhadap kota ini. Mengerti" Ancamanku memang agak berlebihan. Tapi
tunggu saja sampai pers mendengarnya
Para kuli tinta akan menggembar-gemborkannya sebagai kiamat bagi seluruh Eropa
Barat. Pemilik perusahaan bahan kimia itu takkan berani mengambil risiko.
Percayalah!" "Kenapa kau begitu yakin?" tanya Magda.
"Soalnya, sekarang saja dia sudah diserang segala penjuru. Industri penghasil
limbah beracun sangat dibenci oleh masyarakat. Mereka dianggap sebagai sekutu
setan. Pemilik perusahaan kimia itu pasti menyadarinya Dia pasti akan menempuh
segala cara untuk mencegah berita itu menyebar. Dia takut bahwa masyarakat akan
mencapnya sebagai perusak lingkungan. Kalau sudah begitu, dia pasti akan
kehilangan subsidi yang diberikan oleh pemerintah. Karena itulah aku yakin,
pemilik pabrik itu pasti akan memenuhi semua tuntutan yang kuajukan."
Magda menatap gelas di tangannya. "Rasanya sih, rencanamu bisa berhasil."
Nicole nampak bersemangat sekali. "Tentu saja! Tapi kenapa kau hanya minta
setengah juta Mark" Kenapa tidak sejuta saja sekalian?"
"Aku tidak mau terlalu serakah," jawab Lohmann cepat-cepat. Ia sengaja tidak
menyinggung-nyinggung bahwa sebenarnya ia berniat minta satu juta Mark. Dengan
merahasiakan keuntungan yang akan ia peroleh, maka sebagian besar uang akan
masuk ke kantongnya sendiri.
"Hal-hal seperti itu masih bisa kita bicarakan nanti," kata Magda. "Yang ingin
kutanyakan, perusahaan kimia mana yang kauincar, Ottmar?"
"Maaf saja, tapi itu rahasiaku," ujar Lohmann sambil nyengir kuda.
"Kau dengar itu, Nicole" Rupanya dia tidak percaya pada kita."
Ia mengedipkan sebelah mata pada putrinya.
Nicole menatap Lohmann seakan-akan merasa kasihan padanya.
"Ya, dia mau main rahasia-rahasiaan."
"Tenang saja," Lohmann menggerutu. "Pokoknya kalian akan memperoleh bagian yang
pantas." Kini giliran Nicole untuk mengedipkan mata pada ibunya. "Bagaimana kalau kita
main tebak-tebakan, Bu" Aku berani bertaruh, si Gaek ini pasti akan kalang
kabut." "Aku yang mulai," ujar Magda sambil ketawa. "Tapi sebelumnya aku mau minum
segelas lagi. Kau juga mau, Nicole?"
Nicole menolak. Ia masih agak tegang karena kejadian tadi siang.
"Aku mengenal daerah ini sejak masih kanak - kanak," kata Magda. "Karena itu aku
sudah punya bayangan. Ottmar, bagaimana pendapatmu tentang PT Nosiop?"
Lohmann langsung membelalakkan mata.
"Hah" Ada apa dengan perusahaan itu?"
"Hahaha, berarti tebakanku tepat," kata Magda riang. "Tapi kau takkan bisa
menebak siapa sumber informasi kami."
"Memang," Lohmann mengakui.
"Kami tahu banyak sekali mengenai limbah beracun yang dihasilkan oleh PT.
Nosiop," Nicole melanjutkan sambil ketawa cekikikan. "Dari bibi ibuku."
"Apakah dia bekerja di sana?"
Nicole dan ibunya langsung ketawa.
"Agatha Tepler adalah wanita tua yang kaya raya," Magda menjelaskan. "Kami
adalah saudara-saudaranya yang hidup dalam kemiskinan. Agatha sama sekali tidak
menduga bahwa Nicole dan aku menggemari hal-hal yang... ehm... agak menyerempet
bahaya. Orangnya memang agak aneh. Kadang-kadang dia memberikan sejumlah uang
pada kami. Misalnya pada hari Natal. Dia suka sekali pada Nicole."
"Apa hubungannya dengan PT Nosiop?" tanya Lohmann.
"Sabar, dong! Agatha mewarisi sebuah rumah mewah, serta setumpuk uang, dari
seorang laki-laki bernama Georg von Hummel. Sebenarnya mereka tidak pernah
menikah. tapi berdasarkan undang-undang yang baru, Agatha memang berhak mendapat
warisan itu. Tapi rumah itu sudah dijualnya. Kini dia tinggal serumah dengan
seorang sahabatnya, seorang wanita tua yang cerewet dan berbahaya. Namanya Emma
Gisen-Happlich. Kalau kau tahu sedikit saja tentang PT Nosiop, maka kau
seharusnya sudah mengerti sekarang. Emma Gisen-Happlich adalah ibu Direktur
Gunter Gisen-Happlich. Nenek tua itu memang tidak punya jabatan resmi, tapi dia
masih suka ikut campur dalam perusahaan anaknya. Kecuali itu, dia menceritakan
segala sesuatu mengenai perusahaan itu pada Agatha. Sedangkan Agatha
menceritakannya pada kami, soalnya dia tidak punya bahan pembicaraan lain Maklum
saja, namanya juga nenek-nenek Kalau tidak bercerita mengenai acara TV kemarin,
mereka pasti mengungkit-ungkit kehebatan zaman dulu."
"Aha!" kata Lohmann. "Lalu bagaimana" Apakah rencanaku mungkin berhasil?"
Magda mengangguk. "Aku rasa bayanganmu tentang Direktur Gisen-Happlich sudah
tepat. Limbah beracun merupakan masalah yang sangat peka bagi dia."
Lohmann nampak puas sekali. Ia mencium isi gelasnya, lalu menenggaknya sampai
habis. "Jadi kau bermaksud membajak salah satu mobil tangki pengangkut limbah beracun,"
ujar Magda. "Tentu saja kau tidak akan beraksi seorang diri, bukan?"
"Tepat sekali. Seorang kenalan lama sudah mempersiapkan segala sesuatu. Bert
Gnaski dulu merupakan orang yang bisa diandalkan. Tapi sekarang... Ah, semuanya
pasti beres." Ia menatap Magda dan Nicole seakan-akan mengharapkan uluran tangan mereka.
Tetapi kedua wanita itu diam saja.
Magda kembali menghabiskan minumannya. Kemudian ia bertanya, "Di mana kalian
akan menyembunyikan mobil tangki itu?"
Lohmann menyadari bahwa tak ada gunanya kalau ia masih berusaha merahasian kan
rencananya. Karena itu ia memutuskan untuk membeberkan semuanya.
"Di Lembah Neraka. Kalian pasti tahu tempatnya. Lembah itu mudah dicapai dari
jalan bebas hambatan. Gnaski mengenal daerah itu. Di sana ada sebuah terowongan
tua yang tidak pernah diselesaikan. Pekerjaan membuat terowongan itu dihentikan
karena keburu ada jalan bebas hambatan. Menurut Gnaski, terowongan itu menjorok
sekitar 80 meter ke dalam batu cadas. Terowongan itu cukup tinggi dan cukup
lebar untuk menampung sebuah mobil tangki. Mulut terowongan ditutupi dengan
papan kayu - karena kemungkinan bahaya runtuh. Pemerintah mungkin takut kalau-
kalau terowongan itu dijadikan tempat bermain oleh anak - anak kecil. Gnaski dan
aku akan membongkar papan-papan itu, lalu menyembunyikan mobil bajakan kita di
dalamnya. Kemudian mulut terowongan akan kita tutup lagi - bahkan lebih rapat dari
sebelumnya. Baru setelah itu aku akan menghubungi PT Nosiop, dan pada hari
berikutnya kita semua sudah kaya raya."
"Kalau semuanya berjalan lancar," ujar Magda, "maka Nicole dan akulah yang
pertama-tama akan mengucapkan selamat pada Gnaski dan kau."
"Terima kasih sebelumnya," jawab Lohmann sambil menuangkan minuman ke dalam
gelasnya. Magda dan Nicole bertukar pandang - dengan kecepatan secepat cahaya. Tanpa perlu
membuka mulut, mereka telah menyusun rencana. Mereka sudah tahu apa yang sama-
sama mereka inginkan. "Sayangnya Gnaski sekarang sudah agak pikun," Lohmann mengomentari rekannya.
"Kalau kalian punya kenalan yang cocok, maka aku bersedia mengajaknya - tentu saja
dengan imbalan yang pantas. Bagaimana?"
Magda menggeleng. "Wah, siapa, ya?" ia berlagak bingung.
"Rencanamu benar-benar kelas berat," ujar Nicole. "Kenalan-kenalanku takkan
berani ikut dalam urusan sebesar ini."
Lho" Ada apa ini" Lohmann menatap kedua wanita itu sambil terheran - heran. Tadi
mereka mendesak-desak minta dilibatkan. Kenapa mereka sekarang tiba-tiba mundur
lagi" Lohmann memeras otak, namun ia tidak bisa menerka apa yang sedang
dipikirkan oleh Magda dan Nicole.
Tidak apa-apa! Kalau mereka tidak berminat, maka ia pun tidak mau memaksa. Malah
kebetulan! Dengan demikian ia tidak perlu membagi keuntungan.
Kini Lohmann tinggal memastikan bahwa mereka tidak akan membocorkan rahasianya.
Dan cara yang paling tepat untuk itu adalah dengan memberi uang.
"Berapa jumlah yang kalian minta?" Lohmann bertanya. "Bagaimanapun juga, kalian
sudah mengetahui rencanaku. Kau, Magda, sejak dulu punya tempat khusus di
hatiku. Dan Nicole mirip sekali denganmu. Dengan senang hati aku akan memberikan
sebagian dari keuntunganku pada kalian." Asal jangan terlalu banyak saja, ia
menambahkan dalam hati. Kali ini Magda dan Nicole bahkan tidak perlu bertukar pandang.
"Astaga, Ottmar!" Magda pura-pura tersinggung. "Mana mungkin kami menuntut
bagian" Kami bukan pemeras. Kau tidak perlu memikirkan kami. Apa yang terjadi
antara kau dan aku adalah bagian dari masa lalu. Kalau kau memang ingin
memberikan sesuatu pada Nicole dan aku setelah berhasil, maka itu hakmu. Tapi
jangan berlebihan. Seikat bunga atau sebotol sampanye pun sudah cukup."
Lohmann merasa seperti sedang bermimpi. Apakah ia tidak salah dengar" Magda dan
anaknya tidak mengharapkan apa-apa"
Ini adalah puncak ketololan! Tapi kalau memang itu yang mereka kehendaki, maka
ia pun tidak keberatan. "Kalau rencanaku berhasil," Lohmann berjanji dengan napas memburu, "maka aku
akan membawa sepeti sampanye dan memborong semua mawar di toko bunga."
Magda hanya tersenyum. Nicole berdiri, lalu mengatakan bahwa ia akan pergi ke dapur untuk mempersiapkan
makan siang. "Sampai ketemu," ia berkata pada Lohmann, yang nampak terheran-heran. Ia sama
sekali tidak menawari agar Lohman ikut makan siang.
Magda sendiri masih kenyang, karena kebanyakan minum.
Setelah menghabiskan isi gelasnya, Lohmann pun mohon diri. Ia berdiri dan
mencium kening Magda - namun tidak semesra seperti dulu.
"Besok aku datang lagi," pria itu berkata. "Kalian berdua begitu mempesona.
Kalian membuat aku merasa seperti seorang suami dan seorang ayah. Baru sekarang
aku sadar bahwa aku merindukan kehangatan sebuah keluarga. Kalau saja aku
memiliki istri dan anak seperti kalian - wah, itu merupakan cita-cita yang tidak
mungkin terkabul." Ia ketawa. "Kalian ternyata tidak termasuk jenis manusia yang
mata duitan. Cuma sampanye dan bunga mawar" Orang lain pasti sudah mencoba
mengeruk keuntungan dariku."
Setelah Lohmann pergi, Nicole segera keluar dari dapur.
"Daun bawangnya habis ya, Bu?"
"Kenapa tidak pakai bawang saja?"
"Nanti napasku berbau tidak enak, dong!"
"Ah, si Fred mana peduli."
Yang dimaksud adalah Friedrich Petullje, alias Fred, seorang bajingan kelas
kakap. Sejak awal tahun ini Nicole sudah menganggap Fred sebagai tunangannya.
Tempat tinggal Fred tidak jauh dari rumah Magda. Nicole menghubunginya lewat
telepon dan dalam waktu kurang dari lima menit lelaki itu sudah berdiri di depan
pintu. Penampilan laki-laki itu lebih tua dari usianya yang baru 26 tahun. Ia berbadan
tinggi besar dan selalu berpakaian perlente. Menurut Fred, dalam keadaan gelap
gulita pun matanya masih bisa melihat. Rambutnya yang coklat dan berombak setiap
tiga minggu sekali dirapikan oleh salah seorang tukang cukur yang paling
terkenal di kota ini. Tapi jenggotnya dibiarkan agak tak terurus, Maksudnya
supaya penampilannya lebih sangar.
Hanya lima tahun Fred duduk di bangku sekolah. Kemudian ia bekerja sebagai
pengurus binatang di sebuah sirkus keliling. Pekerjaan itu ditekuninya selama
sepuluh tahun. Kini Fred telah menjadi pengusaha. Ia memiliki tiga tempat biliar
di kota ini, yang sekaligus merupakan tempat berkumpul para penjahat dan calon
bajingan. Tanpa berkomentar Fred mendengarkan laporan Magda dan Nicole.
"Kedengarannya menarik juga," ia berkata kemudian. "Hebat, benar-benar hebat.


Detektif Stop - Pengkhianatan Di Lembah Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekarang tinggal menentukan - kapan kita mulai beraksi."
"Biar saja si Tolol itu yang repot," Magda mengusulkan. "Kita baru mulai
bergerak kalau uang itu sudah sampai ke tangannya."
"Barangkali bisa diatur agar Lohmann ketangkap polisi setelah kita merebut
uangnya," Nicole menyumbangkan saran. "Dengan demikian polisi pun merasa puas
dan tidak akan memperpanjang urusan. Paling-paling mereka akan mencari uang yang
hilang itu. Tapi semuanya akan beranggapan bahwa Lohmann yang menyembunyikannya.
Peranan kita sama sekali tidak akan diketahui. Bahkan Lohmann pun takkan tahu
bahwa kita yang menyikat uangnya. Itu urusanmu, Fred! Coba kau putar otak
sedikit." Fred mengerutkan kening. Ia tidak suka diatur oleh wanita - termasuk oleh Nicole.
Tapi di pihak lain, ia tahu bahwa usulan tunangannya itu masuk akal.
"Kita lihat saja nanti,"g katanya. "Yang penting, uang itu harus jatuh ke tangan
kitaQ Kalian harus tetap berhubungan dengan si Gaek itu. Kita harus tahu kapan,
bagaimana, dan di mana dia akan melaksanakan rencananya. Selain itu masih ada
berita baru lagi?" "Oh, aku sekarang sudah berhenti melukis," ujar Nicole sambil tersenyum. "Gara-
garanya..." 7. Siapa yang Mencuri Tempat Bedak Emma"
SUASANA di toko swalayan mirip suasana di sarang lebah - terutama saat ini,
sepuluh menit sebelum tokonya tutup. Para karyawan sudah kepingin pulang ke
rumah masing-masing. Para kasir sudah tidak bisa tersenyum lagi.
Petra menggotong kantong plastik berisi makanan anjing. Berat kantong itu hanya
sepuluh kilo, tetapi bagi Petra rasanya seperti setengah kuintal. Tapi demi
Bello, gadis itu rela bekerja keras.
Ratusan pembeli nampak berlalu-lalang. Antrean di kassa semakin panjang. Semua
orang membawa belanjaan masing-masing. Petra sudah selesai membayar, dan segera
menuju ke pintu keluar. Thomas tadi mengantarkannya ke sini, lalu langsung meneruskan perjalanan.
Kegelapan malam memang sudah menyelimuti kota, tetapi Petra hanya perlu melewati
jalan-jalan yang ramai untuk pulang ke rumahnya.
"Oh, maaf!" gadis itu tiba-tiba berkata.
Tanpa sengaja ia menabrak seorang wanita berusia lanjut. Wanita itu nyaris
terjatuh, namun masih berhasil menjaga keseimbangan, lalu kembali berjalan tanpa
menoleh sama sekali. Percuma saja aku minta maaf, pikir Petra. Rupanya sopan santun sudah mulai tidak
dihargai lagi. Terheran-heran ia memperhatikan wanita itu dari belakang. Wanita itu berpakaian
anggun. Ia mengenakan sarung tangan berwarna putih. Tas yang ditentengnya
terbuat dari kulit buaya.
Sambil berjalan, Petra memeriksa kantong plastik berisi makanan Bello.
"Aduuuh - itu kan Petra Glockner!" seseorang tiba-tiba berseru.
Petra mengerutkan kening. Suara itu ternyata milik seorang wanita yang berdiri
di dekat pintu. Ini baru kejutan! pikir Petra. Tadi kami masih membicarakan dia. Tahu-tahu aku
bertemu dengannya di toko swalayan. Padahal biasanya aku jarang-jarang melihat
dia. Paling-paling pada hari Natal, kalau dia datang memberikan sumbangan untuk
perkumpulan renang. "Selamat malam, Bu Gisen-Happlich," kata Petra. "Anda juga habis belanja?"
Wajah Emma Gisen-Happlich mirip prajurit Indian, dan sikapnya pun serupa - selalu
siap bertempur. Usianya sudah mendekati 50 tahun, namun kesehatannya masih baik
sekali. Kecuali itu, ia juga masih mengikuti perkembangan mode. Hal ini sering
membuat putranya, Direktur Gisen-Happlich, geleng-geleng kepala.
"Belanja" Tidak! Saya tidak pernah belanja di sini, Petra. Saya hanya numpang ke
kamar kecil. Ternyata saya malah jadi korban pencurian! Keterlaluan! Tapi urusan
ini belum selesai. Kau pasti melihat pencuri itu! Seperti apa tampangnya?"
"Pencuri" Di sini?"
Emma menghampiri Petra, merangkul gadis itu, lalu meraih kantong plastik yang
digotongnya. "Kita harus menemui manajer toko ini," katanya dengan ketus. "Sini, kantong itu
terlalu berat untukmu. Jadi kau sempat melihat si pencuri?" ?
Astaga! pikir Petra. Aku hampir tidak kuat menenteng makanan Bello, tapi dia
membawa kantong itu seakan-akan hanya berisi kapas.
"Saya tidak melihat siapa-siapa, Bu Gisen-Happlich. Kecuali. Ya, tadi ada
seorang wanita yang terburu-buru sekali. Dia menabrak saya waktu bergegas ke
pintu keluar. Di mana pencurian itu terjadi" Di kamar kecil?"
"Ya," jawab Emma. "Apakah wanita itu datang dari arah sana?"
"Saya rasa ya."
"Kalau begitu pasti dia orangnya. Kalau semua jalan di sekitar sini ditutup
polisi dan... Tapi sebelumnya kita harus menemui manajernya dulu."
Suara gong terdengar melalui pengeras suara. Seseorang mengumumkan bahwa para
pengunjung harus segera keluar karena toko sebentar lagi sudah mau tutup. Namun
tentu saja orang itu menggunakan bahasa yang lebih sopan.
Petra menemani Emma, yang tetap ngotot untuk menemui manajer toko swalayan.
Caranya kurang lazim, tetapi sangat efektif: ia menggaet seorang pramuniaga,
kemudian memerintahkan agar ia diantar ke kantor manajer. Karyawan toko swalayan
itu sama sekali tidak sempat membantah.
Kemudian Emma menyerbu ke ruang manajer. Orang itu sedang duduk-duduk di balik
mejanya. Ia kaget sekali ketika dilabrak oleh seorang wanita tua.
"Izin operasi toko Anda seharusnya dicabut," Emma langsung membentaknya. "Nama
saya Emma Gisen-Happlich, dan saya tidak mengada-ada. Apa gunanya Anda duduk di
kantor ini, kalau Anda tidak bisa mencegah kejadian seperti yang baru saja saya
alami" Pencurian di kamar kecil! Bah! Tas saya terbuat dari kulit ular, dan
bentuknya seperti ini!"
Ia menyerahkan kantong berisi makanan Bello pada Petra, agar bebas menggunakan
kedua tangannya. Penuh semangat ia menggambarkan bentuk tasnya yang hilang.
"Tas itu berisi kunci rumah, KTP, dan sejumlah uang. Sekarang saya tidak bisa
pulang!" Pria di hadapannya memaksakan diri untuk tersenyum. "Maaf, Bu. Maksud Ibu, tas
Ibu dicuri di toko kami?"
Emma menatap Petra. "Astaga, orang seperti ini ditempatkan sebagai pimpinan di
sini. Sebentar lagi dia akan minta maaf atas nama perusahaan, lalu mengatakan
bahwa orang-orang semakin tidak bisa dipercaya. Padahal dalam hati dia
menganggap saya sebagai nenek cerewet yang tidak tahu diri. Tapi saya tidak akan
menyerah begitu saja."
"Bukan begitu, Bu..." Si manajer berseru sambil berusaha menahan diri.
"Tanpa kunci, saya bahkan tidak bisa membuka pintu mobil saya!" ujar Emma dengan
ketus. "Saya harus telepon dulu, Bung! Petra tahu ciri-ciri si pencuri. Dia
sempat melihatnya. Petra adalah putri Komisaris Glockner. Sini teleponnya!"
Tanpa menunggu dipersilakan, Emma langsung mengangkat gagang. Si manajer toko
tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
"Anda saja putar nomornya," Emma memerintah, lalu menyebutkan tujuh angka. "Itu
nomor telepon putra saya. Dia juga pemimpin perusahaan. Tapi di tempat kami
tidak ada pencuri. Gunter memang sudah mandiri, tapi ini adalah kesempatan untuk
membalas budi pada ibunya. Dia harus mengantar saya pulang ke rumah. Dia memang
terlalu jarang mengunjungi saya. Saya... Lho, itu dia."
Gagang telepon di kantor PT Nosiop baru saja diangkat, tetapi Emma sudah tidak
tertarik lagi. Tanpa mengatakan apa-apa ia meletakkan gagang.
Kemudian ia melewati Petra dan meraih tas kulit ular yang baru saja dibawa masuk
oleh seorang pegawai. Ada - ada saja, pikir Petra sambil menahan tawa.
"Kalian berhasil menangkap si pencuri?" tanya Emma.
"Sayangnya tidak," si pramuniaga menjawab. "Tas ini ditemukan di WC wanita. Di
tempat sampah." Si manajer toko mulai cengar-cengir, tapi pada detik berikutnya ia langsung
menyesal. "Jangan ketawa!" Emma menghardiknya. "Saya tahu apa yang Anda pikirkan. Anda
pasti beranggapan bahwa saya sudah pikun, dan tanpa sadar membuang tas saya ke
tempat sampah.... Enak saja! Tas saya ada di pinggir tempat cuci tangan. Ketika
saya membalik, tasnya tiba-tiba sudah lenyap. Coba, saya lihat dulu!"
Tanpa ragu-ragu Emma menumpahkan isi tasnya ke atas meja.
"Nah!" Dengan senyum penuh kemenangan ia menunjuk bagian meja yang kosong.
"Tempat bedak saya hilang! Tempat bedak itu terbuat dari emas 22 karat. Apakah
Anda percaya sekarang?"
"Saya tidak pernah menyangsikan kebenaran ucapan Ibu. Apakah uang Ibu masih
lengkap?" Emma langsung menghitung setumpuk lembaran seratus Mark. "Aneh, uangnya sama
sekali tidak disentuh," katanya kemudian.
"Apakah Ibu yakin bahwa Ibu memang membawa tempat bedak" Barangkali saja
ketinggalan di rumah. Manusia kan sering lupa. Saya pun demikian."
"Oh!" Emma berseru. "Rupanya Anda juga menggunakan bedak, ya?"
"Bukan begitu maksud saya. Sebagai contoh, saya pernah kehilangan tempat rokok
yang juga terbuat dari emas. Saya pikir tempat rokok itu berada di tas kerja
saya. Waktu diperiksa ternyata tidak ada! Hilang, saya berkata dalam hati.
Sayang sekali! Tapi kemudian," ia menambahkan dengan wajah berseri-seri, "saya
menemukan tempat rokok itu tertinggal di rumah."
"Saya mengerti. Karena Anda sudah pikun, Anda menganggap bahwa saya pun seperti
itu. Pantas saja toko Anda tidak beres. Berapa batang yang Anda isap setiap
hari?" "Bagaimana" Oh, saya tidak merokok."
"Aha! Berarti tempat rokok Anda juga sekadar contoh saja, ya" Ayo, Petra! Kita
hanya membuang-buang waktu di sini. Pencuri itu pasti sudah kabur."
Kali ini Petra dibiarkannya menggotong kantong berisi makanan Bello. Emma
terlalu sibuk dengan tasnya. Suasana di toko swalayan ternyata sudah sepi. Para
pembeli yang masih tersisa bergegas menuju pintu keluar. Petra harus setengah
berlari agar bisa mengimbangi kecepatan langkah Emma.
"Saya memarkir mobil saya di daerah larangan parkir," ujar Emma. "Tapi biara
saja, deh. Pasti sudah ada polisi yang menempelkan surat tilang. Ke mana kita
sekarang" Ke Istana Es Krim atau ke restoran" Kau bisa menceritakan bagaimana
tampang si pencuri sambil makan."
"Terus terang saja," kata Petra, "saya tidak sempat melihat wajahnya. Wanita itu
menyusul saya. Dan tanpa sengaja kami bertabrakan. Saya hanya sempat melihatnya
dari belakang. Orangnya sudah agak tua, dan tidak terlalu tinggi. Ia mengenakan
mantel dan topi berwarna terang, serta membawa tas dari kulit buaya. Hanya itu
yang saya ketahui." "Hmm, keteranganmu tidak banyak membantu. Tapi tidak apa-apa. Bagaimana, kita
minum teh dulu" Kita kan sudah lama tidak ketemu. Kau semakin tinggi dan semakin
cantik saja. Apakah kau masih suka berenang?"
"Tentu saja," jawab Petra sambil ketawa. "Baiklah, sepeda saya toh ada di dekat
Cafetaria. Tapi saya tidak bisa lama-lama."
Mereka menyeberang jalan. Setelah masuk ke Cafetaria, mereka menempati meja di
dekat jendela, dan Emma segera memesan teh.
Ia masih harus pergi ke kantor polisi, katanya, untuk melaporkan pencurian ini.
Kejadian semacam ini tidak boleh dibiarkan tanpa penyelesaian, begitu
pendapatnya. Lalu ia berganti tema, seakan-akan tempat bedak itu sama sekali
tidak berarti baginya, dan menanyakan ketiga sahabat Petra.
Bocah Sakti 14 Pendekar Mabuk 065 Ratu Cendana Sutera Kitab 1000 Pengobatan 2
^