Pencarian

Perempuan Suci 7

Perempuan Suci The Holy Woman Karya Qaisra Shahraz Bagian 7


"Pada hari ini, beberapa abad yang lalu," jelas Zarri Bano pada Ruby, "Nabi Ibrahim membalikkan punggungnya tiga kali berturut-turut dan meludah pada setan, sang iblis. Mengikuti teladannya, kita melemparkan kerikil pada tempat yang telah ditandai untuk menunjukkan penolakan pada setan. Setan mencoba menggoda Nabi Ibrahim agar tidak mengorbankan putranya, Isma'il."
Setelah mencapai tenda mereka pada ujung pagi hari, Zarri Bano, Ruby, dan Shahzada diminta beristirahat oleh Habib, sementara ia dan Sikander pergi menyiapkan ritual suci mereka yang berikutnya, pengorbanan hewan, di tempat penjagalan sementara. Siang menjelang sore, baki-baki berisi daging mulai tiba. Seluruh jamaah haji wajib membagikan daging bagian mereka kepada para tetangga mereka. Mereka makan porsi mereka sendiri, lalu memberikan sisanya kepada petugas pemerintah Arab Saudi karena akan disimpan di tempat penggilingan dan dikirimkan kepada keluarga-keluarga yang membutuhkan di seluruh dunia.
Setelah upacara mandi dan berganti pakaian, para perempuan memotong sejumput rambut mereka. Kaum lelaki mencukur atau memotong sebagian rambut mereka sebagai tanda merendahkan diri dan kelahiran kembali secara spiritual.
* * * Setelah makan, Zarri Bano memutuskan berjalan-jalan di dataran Mina bersama Ruby. Mereka berjalan di antara barisan tenda yang melindungi jamaah haji dari terik matahari. Orang-orang berkeliaran di mana-mana. Zarri Bano tak bisa memercayai pandangan matanya ketika secara kebetulan dia melihat Pakinaz dan Ibrahim Musa berjalan ke arah mereka. Mereka pun sama-sama terkejut dan senang seperti Zarri Bano.
"Assalamu 'alaikum, Pakinaz dan Abang Musa. Kejutan yang menyenangkan! Kalian juga melakukan ibadah haji tahun ini" Aku tak percaya!" ujarnya dalam bahasa Inggris.
"Ya, aku juga tak percaya. Orangtua kami berangkat bersama kami-tunggulah hingga mereka tahu kau pun ada di sini!" ujar Pakinaz seraya memeluk Zarri Bano serta mencium kedua pipinya dengan gembira. Zarri Bano menatap sekujur tubuh Pakinaz yang tertutup rapat busana putih dengan riang. "Anehnya kita tidak bertemu lebih dulu di tempat lain," komentar Pakinaz.
"Keluargaku juga ada di sini," ujar Zarri Bano pada Pakinaz. "Kenalkan, ini adikku, Ruby."
Sebagai tanda menyalami Ruby, Ibrahim menganggukkan kepalanya ke arah perempuan itu.
Zarri Bano menerangkan pada adiknya dalam bahasa Urdu mengenai mereka dan bagaimana dia tinggal bersama mereka di Mesir.
"Oh, betapa menyenangkan. Ayo kita ajak mereka menemui keluarga kita," desak Ruby senang. "Gagasan yang bagus." Zarri Bano menoleh pada mereka. "Maukah kalian bertemu dengan ora
ngtuaku" Mereka di tenda besar yang ada bintang hijau di atasnya-itu lambang kami." "Ya, kami akan senang sekali," sahut Pakinaz hangat.
Habib dan Shahzada amat senang berjumpa dengan saudara-saudara seiman dari Mesir yang telah membuat putri mereka begitu betah di Kairo. Setelah mengobrol sejenak, Ibrahim berdiri dan pamit untuk pergi. Zarri Bano memutuskan untuk ikut bersamanya mengunjungi orangtua Ibrahim.
"Apakah kau akan ikut, Pakinaz"" tanya Zarri Bano. Tatapan mata Zarri Bano, karena beberapa alasan, melirik Sikander. Lelaki itu terus berdiam diri selama kunjungan tamu mereka.
"Aku akan menyusul kalian sebentar lagi. Aku akan menghabiskan minumanku dulu."
"Baiklah." Zarri Bano meninggalkan tenda dan mengikuti Ibrahim. Pakinaz menghabiskan minumannya, lalu menatap berkeliling pada keempat orang di dalam tenda.
"Lebih baik saya juga pergi," ujarnya malu-malu. "Menyenangkan rasanya bertemu dengan Anda semua dan berjumpa kembali dengan Zarri Bano. Kami amat merindukannya ketika dia meninggalkan Kairo. Keluarga kami sungguh sangat menyukai kehadirannya. Kami semua, termasuk abang saya Ibrahim. Apakah Zarri Bano bercerita pada Anda semua bahwa abang saya melamarnya...""
"Dan apa katanya"" tanya Sikander tajam, berbicara untuk pertama kalinya. Tubuhnya tiba-tiba tersentak seperti sebuah per. Ruby menoleh untuk menatap suaminya. Matanya lekat di wajah Sikander.
"Apa yang dikatakan gadis ini, Sikander sayang" Aku tak paham sepatah kata pun. Jangan biarkan aku dan ayah mertuamu bingung." Shahzada menatap beralih-alih dari wajah polos Pakinaz ke raut serius Sikander.
"Ibu, dia bilang lelaki yang baru saja meninggalkan tenda itu ingin menikahi putri salehmu, Shahzadi Ibadat-mu," kata Ruby pada orangtuanya.
Habib dan Shahzada saling pandang dengan terkejut.
"Tapi dia tak bisa menikah, dia seorang Perempuan Suci," Shahzada berkata dengan seulas senyum canggung kepada tamu Mesir mereka. "Ruby, tolong tanyakan pada tamu kita apa yang dikatakan oleh Zarri Bano ketika Ibrahim melamarnya."
Ruby menerjemahkan permintaan ibunya dalam bahasa Inggris dan mengatakannya pada Pakinaz.
"Oh, dia menolaknya," ujar gadis itu dengan enteng. "Kami semua amat sedih. Kami ingin Zarri Bano menikah dengan Ibrahim. Abang saya menerimanya dengan amat sedih. Ia amat menyukai Zarri Bano dan mungkin masih menyukainya hingga kini," ujar Pakinaz.
"Apakah Zarri Bano menceritakan pada abangmu bahwa dia adalah seorang Perempuan Suci dan telah meninggalkan pernikahan"" tanya Sikander pada Pakinaz dalam bahasa Inggris.
Ruby terkejut oleh sorot permusuhan yang ia lihat dalam sepasang mata kelabu suaminya.
"Ya, Zarri Bano menceritakannya pada kami, tetapi kami tidak percaya," jawab gadis itu. "Kami sangat kecewa. Sedihnya, abangku masih melajang. Kami berusaha sebaik mungkin untuk menjodohkannya. Tahun ini kami hampir berhasil!" Pakinaz berhenti bicara ketika melihat Sikander berdiri dan berjalan keluar tenda.
Di luar tenda mereka, Sikander meregangkan otot-otot kakinya yang kaku. Ia mengenakan sehelai jubah katun Arab yang serupa dengan yang dipakai oleh ribuan jamaah haji lainnya.
Orang-orang berjalan ke segala arah di sekitar tenda-tenda. Sikander memandangi pemandangan di depannya hingga matanya menangkap kepala Zarri Bano yang berkerudung. Dia tengah berdiri hanya beberapa meter jaraknya, dekat sebuah batu, berbicara pada orang Mesir bertubuh tinggi dan berjanggut itu dalam bahasa Arab.
Sepasang mata kelabu Sikander berkilat dingin dalam cahaya matahari. Orang Mesir itu berkata ia akan membawa Zarri Bano menemui orangtuanya, tetapi mereka berdua malah mengobrol akrab. Sikander bisa melihat dari kejauhan bibir Zarri Bano menyunggingkan senyum ketika dia mengobrol dengan teman lelakinya itu. Orang Mesir itu menatap Zarri Bano dan tersenyum. Dari tempat Sikander berdiri, percakapan mereka menampakkan sebuah adegan yang sangat akrab antara seorang lelaki dan seorang perempuan.
Api kecemburuan meledak dalam tubuhnya. Dengan mulut membentuk garis lurus, Sikander berjalan marah menuju tempat Zarri Bano berada. Bayangannya yang tinggi jatuh secara tidak menyenangkan
menimpa pasangan itu dalam terik matahari sore.
Zarri Bano menoleh. Senyum masih menghiasi bibir dan lesung pipitnya jelas terlihat, demikian Sikander memerhatikan dengan getir. Ibrahim Musa juga menoleh dan segera membaca tatapan mata Sikander, mengenali energi lelaki yang liar di balik pesan yang jelas: Menjauhlah! Ibrahim melirik penuh tanya pada Zarri Bano.
Senyum itu meninggalkan pipi Zarri Bano yang merona. Di depannya berdiri dua orang lelaki yang pernah melamarnya. Dia tidak siap melihat mereka berdua di satu tempat dan pada waktu yang sama. Lesung pipitnya lenyap. Dia menatap wajah kedua lelaki itu bergantian, sebelum secara mental menjauhkan diri dari mereka berdua. Tatapan mata Sikander tiba-tiba saja membuatnya merasa bersalah-seakan-akan dia telah melakukan kesalahan. Sikander telah menodai saat yang menyenangkan ini dengan kehadirannya dan tatapan menuduh di matanya. Dorongan untuk menerangkan diri bagi Zarri Bano makin kuat.
"Abang Ibrahim," ujarnya dalam bahasa Inggris, jelas-jelas memberi penekanan pada kata Abang sehingga kedua lelaki itu pun memerhatikannya menggunakan kata itu dan tahu posisi mereka, "Abang Ibrahim baru saja mengatakan padaku bahwa ia akan bertunangan dengan Selima ketika ia pulang ke Mesir nanti. Aku telah bertemu dengan Selima. Dia seorang perempuan yang baik. Aku memberinya ucapan selamat."
"Selamat, Saudara Musa. Mubarak." Sikander dengan sopan mengulurkan tangannya pada Ibrahim. Matanya masih dingin walaupun kata-katanya menyiratkan kehangatan.
"Terima kasih. Apakah kita akan pergi ke tenda sekarang" Di sebelah sana. Mau bergabung dengan kami, Saudara Sikander"" Ibrahim Musa menawarkan dengan sopan seraya mendahului berjalan.
Sikander bergabung dengan mereka, walaupun dengan berat hati, dan diperkenalkan pada keluarga Ibrahim. Mereka tinggal di sana hingga hampir dua jam. Pada saat itulah Pakinaz bergabung dengan mereka. Mereka berbincang-bincang tentang Mesir dan waktu yang mereka tempuh bersama. Tak banyak bicara, Sikander mendengarkan dengan sopan seraya duduk di samping Zarri Bano di atas bantal-bantal di lantai tenda. Bagi orang-orang dalam kelompok itu, Sikander memberi kesan bahwa ia adalah muhrim Zarri Bano, lelaki yang mengantarnya.
* * * Berjalan kembali bersama-sama ke tenda mereka dengan berdiam diri, Sikander dengan lirih berkata pada Zarri Bano, "Pakinaz mengatakan pada kami bahwa Musa ingin menikahimu."
Zarri Bano berhenti berjalan, "Aku.... Dia bilang begitu" Dia tidak berhak mengatakan hal itu." "Mengapa tidak" Dan mengapa kau menolaknya"" Sikander mendesak. Suaranya merendah.
"Adik Sikander! Seperti yang kau tahu, aku tidak bisa dan tidak ingin menikah dengan lelaki mana pun-itulah alasannya!" dia mengingatkan Sikander. Pipinya merah padam.
"Ruby mengatakan padaku bahwa ayahmu telah membebaskanmu dari sumpahmu," Sikander terus mendesak, masih tak menatap langsung pada Zarri Bano.
Zarri Bano berdiri diam di salah satu sisi sebuah tenda darurat tukang obat, mengabaikan antrean para jamaah haji yang sedang membeli obat-obatan. Sikander juga turut berhenti. Tubuh mereka menegang dan wajah mereka saling berhadapan. Zarri Bano meneliti wajah Sikander, lalu mengedipkan mata karena terkejut oleh tatapan mata lelaki itu yang menantang.
"Aku tidak tahu apa yang telah dikatakan oleh Ruby atau Pakinaz kepadamu. Kenyataannya adalah aku ini seorang Perempuan Suci dan aku tidak ingin menikah dengan siapa pun. Kau telah berbuat lancang, bahkan jika kau hanya memberi saran tentang itu atau membahas persoalan itu sekalipun." Sepasang mata indah Zarri Bano kini tampak sedingin es.
"Bagiku, tak tampak lancang ketika kau mengobrol akrab dengan teman lelakimu yang tak pantas itu." Sikander mengejutkan mereka berdua dengan kata-kata yang terlompat begitu saja dari mulutnya.
"Adik Sikander!" Zarri Bano merasa tersinggung. "Berani-beraninya kau menghinaku. Apa yang terjadi denganmu" Apa urusannya denganmu"" Dia melotot. Tatapan matanya menentang mata Sikander dengan penuh kemarahan.
"Kau berani bertanya begitu padaku!" Sikander mendengus. Seraya mencondongkan tubuh ke depan, tampak jel
as oleh kerumunan manusia di sekitar mereka, Sikander berkata tandas, "Aku lelaki yang kau tolak, Zarri Bano-kalau-kalau kau lupa. Itulah yang terjadi denganku." Sikander mencengkeram lengan Zarri Bano dan menggoyangnya keras-keras. "Sebagai bekas tunanganmu, wajar aku ingin tahu mengenai kehidupan cintamu!"
"Lepaskan tanganmu!" Zarri Bano hampir menjerit di depan wajah Sikander. "Jangan berani-berani menyentuhku! Aku tak mau mendengarkan lagi kegilaanmu. Menurutku, pikiranmu kacau karena terik matahari. Kau tak sadar apa yang kau katakan dan apa yang kau perbuat. Kehidupan cinta-aku" Berani-beraninya kau menghinaku seperti itu!"
Sikander menjatuhkan lengan Zarri Bano seakan-akan lengan itu membakarnya. "Kau kira aku senang melihatmu bermain mata dengannya"" sergah Sikander. "Dia! Seorang lelaki yang orang bodoh pun akan tahu bahwa ia masih mencintaimu, bukan sebagai saudara seiman, melainkan sebagai seorang perempuan." Sikander gemetar karena menahan emosi. Seluruh tubuhnya bergetar.
"Berhentilah!" tubuh ramping tinggi Zarri Bano di balik burqa-nya juga bergetar-tetapi oleh amarah. "Kau telah melewati batas kepantasan, Sikander Sahib! Tak kubayangkan kau bisa merosot serendah ini. Aku ini seorang Perempuan Suci, kalau-kalau kau lupa. Seorang perempuan yang melepaskan pernikahan dan tak tertarik pada hubungan duniawi, tak peduli pada lelaki dan cinta!" Zarri Bano meletupkan kata terakhir itu seakan-akan itu adalah asam yang membakar lidahnya.
Lalu dia menghela napas dalam-dalam dan berkata lebih tenang, "Aku akan memaafkanmu kali ini, Adik Sikander. Tetapi, jangan pernah lagi berbicara padaku tentang hal ini! Kau tak ada urusan denganku, sama seperti Ibrahim Musa, orang asing dari negeri lain. Kecuali, tentu saja, kau adalah adik iparku. Suami adikku dan ayah kemenakanku tercinta. Tak ada apa pun di antara kita, Sikander," ujar Zarri Bano penuh kepedihan. "Kita tak pernah memilikinya. Tak ada hubungan apa pun-simpanlah keinginan platonik itu. Masa lalu kita yang senang kau kenang dan perempuan yang kau kira kau kenal telah terkubur dalam kuburan adikku." Memikirkan Jafar, tangis memenuhi matanya dan Zarri Bano pun berusaha menahannya dengan susah payah. "Kita sedang melaksanakan ibadah haji di sini, Adik Sikander. Ini adalah ziarah suci, seharusnya membuat derajat kita meningkat. Jangan rendahkan perjalanan spiritual kita yang suci ini dengan penghinaan yang rendah serta sindiran dan lamunan memuakkan." Kemarahan kembali bangkit dalam diri Zarri Bano.
"Lagi pula, aku tidak memerlukan kau berjalan di sampingku. Kau bukan muhrimku. Ayahkulah muhrimku. Kau adalah suami Ruby dan di sisinyalah kau seharusnya berada, bukan di sampingku! Kau bersama perempuan yang salah, Adik Sikander!" Kemudian, seraya merapikan jubah hitamnya dan membetulkan letak kerudungnya agar lebih menutupi wajahnya, Zarri Bano melangkah menjauhi Sikander. Kepalanya diangkat tinggi-tinggi.
Ketika para jamaah haji berjalan di sekitar Sikander, beberapa orang di antaranya masih membawa baki-baki berisi daging ke tenda mereka. Sikander melihat Zarri Bano menghilang, berjuang melawan dorongan tak tertahankan untuk memeluknya dan merengkuh lehernya yang ramping. Entah bagaimana perempuan itu selalu memancing sisi buruknya keluar! Sikander mengembuskan napas panjang. Merasa perlu berjalan-jalan di sekitar perkemahan, ia pergi dan baru kembali lama kemudian ke tenda mereka.
Saat makan malam, Zarri Bano dan Sikander tak saling bertegur sapa atau saling menatap, melainkan saling berdiam diri. Zarri Bano telah berhasil mendirikan sebuah perisai di antara mereka. Sikander membiarkannya. Terutama, ketika Zarri Bano mengatakan bahwa masa lalu telah terkubur bersama perempuan yang ia kenal. Sikander teringat malam di pantai saat mereka mengumpulkan cangkang kerang di Karachi. "Kapankah itu terjadi" Ke manakah gadis ceria itu pergi" Apakah peristiwa menyenangkan itu pernah terjadi"" Sikander bertanya pada diri sendiri dengan sedih saat menatap perempuan itu yang dengan enteng menolak mengakui keberadaannya dalam tenda walaupun dia berbaring di atas tikar hanya beberapa
meter darinya. Sikander merasa jengkel karena telah berkata konyol tentang dirinya sendiri.
Pakinaz, Ibrahim Musa, dan kedua orangtua mereka datang mengunjungi orangtua Zarri Bano malam itu, tetapi Sikander segera meninggalkan tenda begitu mereka datang.
44. PADA PAGI di hari terakhir pelaksanaan haji, suasana sedih dan penuh nostalgia meliputi Mina, membuat sebagian jamaah haji bertanya-tanya apakah mereka ditakdirkan untuk kembali lagi ke dataran itu dalam hidup mereka atau itu merupakan kunjungan terakhir mereka.
Matahari bersinar terik di atas kepala para jamaah haji lelaki yang tercukur ketika mereka melemparkan kerikil ke tempat setan untuk terakhir kali. Dalam kelompok Zarri Bano, Sikander menjadi sukarelawan dengan melontarkan kerikil mewakili semua orang. Dalam kerumunan para jamaah haji yang memenuhi tempat mungil itu, terkadang ibadah itu berubah menjadi sebuah perlombaan di mana yang paling bugar dan paling kuatlah yang akan bisa bertahan dalam desakan orang-orang.
Di ujung pagi, para jamaah haji dan pemandu mereka mulai mengumpulkan barang-barang mereka dan membereskan tenda. Di depan mereka ada sebuah acara haji yang penting: pergi ke Makkah mengunjungi Ka'bah untuk memberi penghormatan. Zarri Bano mengunjungi keluarga Pakinaz pagi-pagi sekali dan saling bertukar nomor telepon serta alamat hotel mereka di Makkah. Iring-iringan kereta, bus, dan mobil merayapi sepanjang jalan menuju Makkah. Jalan raya itu menjadi sarang kegiatan, dengan bunyi klakson terdengar sepanjang hari. Setelah sampai di Makkah, keluarga Habib mula-mula pergi ke hotel untuk beristirahat dan menaruh barang-barang mereka sebelum pergi ke Masjidil Haram. Di depan Ka'bah, mereka bergabung dengan kerumunan jamaah haji yang memenuhi lorong panjang dan lapangan luas di halaman masjid untuk melaksanakan ibadah terakhir mereka.
Masuk melalui pintu yang disebut "Bab Ibrahim", mata mereka melihat pemandangan luar biasa. Pelataran Ka'bah dipenuhi kerumunan jamaah haji. Nyaris tak selangkah pun tempat tersisa. Para jamaah haji memenuhi sekeliling Ka'bah seperti sekawanan lebah. Lantunan doa mereka bergema di sekitar masjid.
Habib mengatakan pada keluarganya untuk melaksanakan umrah, dimulai dengan shafa-marwah, berjalan tujuh kali bolak-balik sepanjang lorong masjid. Setelah ritual ini, mereka beristirahat bersama di balkon lorong masjid dan menyaksikan para jamaah haji lainnya berjalan mengelilingi Ka'bah tujuh kali.
Zarri Bano menyarankan, "Ibu, sebaiknya Ibu melaksanakan thawaf di lantai atas. Di situ lebih leluasa, tak terlalu berkerumun dan lebih sejuk walaupun waktu yang ditempuh jadinya lebih lama."
"Ya, kurasa aku akan melakukan apa yang kau sarankan," ujar Shahzada penuh terima kasih. "Coba lihat kerumunan itu! Lalu, bagaimana dengan ayahmu""
"Ah, jangan konyol. Aku akan baik-baik saja." Habib mengangkat bahu merasa diremehkan.
"Tetapi kerumunan itu, Habib Sahib-bagaimana kau bisa masuk ke sana" Zarri Bano dan Ruby, kalian tidak usah mencoba mencium Hajar Aswad, batu hitam suci, hari ini demi kebaikan kalian."
"Tidak, kami tak akan mencobanya. Tidak hari ini, Ibu." Ruby menarik lengan ayahnya. "Ayo, Ayah, mari kita masuk."
Ruby menuruni tangga pualam putih dan berjalan penuh semangat menuju kerumunan para jamaah haji. Habib memegang tangannya. Zarri Bano pun turun, diikuti dari dekat oleh Sikander. Sikander tidak menyentuh atau memegang tangan Zarri Bano, melainkan hanya berdiri tepat di belakangnya, menghalanginya dari kerumunan dengan lengannya. Mereka lalu bergabung melakukan thawaf seraya membaca surah-surah dari Al-Quran saat mengelilingi bangunan hitam persegi yang dilapisi sehelai kain emas yang indah, bersulam surah-surah dari Al-Quran yang dengan penuh cinta ditisik tangan oleh ratusan perempuan setiap tahun.
Shahzada menyaksikan keluarganya dengan cemas, berdiri dekat sebuah pilar marmer selama beberapa saat sebelum berbalik naik ke lantai dua untuk melaksanakan umrah di tempat yang tidak terlalu ramai.
"Kau baik-baik saja, Kakak Zarri Bano"" Sikander bergumam. Lengannya terentang untuk melindungi kedua sisi Zarri Bano, mencega
hnya terdorong oleh lelaki lain.
Ini adalah percakapan pertama mereka sejak pertengkaran pahit mereka di Mina. Terdorong dari belakang, Sikander memegang lengan Zarri Bano dan mencengkeramnya erat-erat. Terdorong mendekat pada Sikander, Zarri Bano menerima perlindungannya, mengetahui bahwa itu untuk keamanannya sendiri.
Dengan tubuhnya yang jangkung, Sikander terus mengawasi Habib dan Ruby. Mereka tiga baris di depan Sikander dan Zarri Bano. Saat menoleh, Ruby bersitatap dengan mata suaminya dan tersenyum. Sikander balas tersenyum. Sepasang sudut matanya berkerut karena senang.
Ketika Ruby menoleh, sebuah mimpi buruk mulai terjadi ketika seorang jamaah haji menderita serangan jantung dan terjatuh ke bumi. Orang-orang yang berada di sekitarnya, termasuk istrinya, berusaha menariknya, tetapi mereka pun malah ikut terjatuh dan menindih lelaki itu. Kepanikan menjalar di antara kerumunan seperti nyala api. Orang-orang berusaha keluar dari kerumunan, tetapi menyadari bahwa mereka terperangkap dalam kerumunan itu dan tak bisa pergi ke mana pun.
Zarri Bano terdorong ke depan, menjauh dari samping Sikander. Lengan Sikander menjulur untuk meraihnya, tetapi tiga orang jamaah haji telah memisahkan mereka. Di depan matanya, Sikander melihat Zarri Bano lenyap dari pandangannya. Lalu ia menemukan dirinya tersandung pada sosok seorang perempuan tua Turki yang tertunduk. Sikander meraih lengan perempuan tua itu dan membangunkannya. Diserang oleh rasa panik, perempuan tua itu menyunggingkan senyum berterima kasih-bibirnya gemetar hebat.
Sementara itu, terbawa oleh kerumunan orang tanpa daya, Zarri Bano berjuang mengatasi rasa takutnya dan mencoba tetap tenang. Seorang perempuan muda Nigeria yang kuat jatuh menimpa dadanya, serasa membuat rongga dadanya remuk. Tak mampu bernapas dan dengan naluri untuk bertahan hidup menguasai benaknya, Zarri Bano mendorong perempuan itu ke samping. Wajah perempuan itu kini menekan wajahnya. "Tolong!" Zarri Bano berteriak dalam bahasa Arab dan perempuan itu, dengan menggunakan sikunya, berhasil mendorong ke samping seorang lelaki Indonesia yang mendesak mereka berdua. Setelah menemukan sebuah celah di antara para jamaah haji, Zarri Bano
dengan waswas menenangkan diri dari daerah yang padat itu. Orang-orang di sekitarnya bubar ke segala arah. Tangisan dan teriakan mengoyak jiwanya.
Bergantung pada sebuah pilar, Zarri Bano dengan cemas memandangi wajah-wajah dan kepala-kepala para jamaah haji di bawahnya, berharap mereka adalah salah satu di antara orang-orang yang disayanginya. Berdiri berjinjit dan takut jatuh, dia berdiri condong ke depan mencari-cari dalam kerumunan. "Mereka seharusnya ada di sini! Mana mereka"" teriaknya nyaring.
Secara ajaib, di depan matanya, ia melihat Sikander. Dia akan mengenali kepala itu di mana pun! Sikander masih terpaku di antara kerumunan para jamaah haji yang rusuh. "Sikander!" Zarri Bano berteriak, tangis lega membasahi pipinya.
Yang membuat Zarri Bano gembira ternyata Sikander mendengarnya. Tatapan penuh kelegaan tersirat di wajah Sikander ketika ia melihat Zarri Bano berdiri dalam keadaan selamat pada sebuah pilar pualam tinggi di lorong masjid. Zarri Bano tak menyadari datangnya wajah tampan itu hingga saat ini.
"Tetap di sana!" teriak Sikander, di atas kepala seorang perempuan tua yang mengenakan chadorhitam.
Sikander tahu ke mana ia akan pergi sekarang. Ia mendorong langkahnya di antara kerumunan tubuh orang-orang, tak peduli pada teriakan protes orang-orang. Ia amat mencemaskan keselamatan Zarri Bano. Zarri Bano berdiri pada pilar. Dengan sedikit dorongan saja, dia bisa remuk membentur dinding. Bagi Zarri Bano, rasanya begitu lama sebelum Sikander mengulurkan tangannya perlahan ke arahnya, menggapainya melewati kepala botak seorang lelaki tua Baduy. Jemari mereka bersentuhan. Sikander kemudian meraih seluruh tangan Zarri Bano dalam cekalan erat. Saat berikutnya, Sikander telah berdiri berhadapan langsung dengan Zarri Bano.
Dengan napas memburu, Sikander menatap mata Zarri Bano. "Zarri Bano! Zarri Bano!" bisiknya. "Kukira aku akan kehilangan dirimu selamanya!"
Dengan b utir-butir air mata menetes di pipinya, Zarri Bano balik berbisik, "Kukira saat perempuan Nigeria bertubuh besar itu jatuh menindihku, itu adalah saat terakhirku, Sikander."
"Aku tahu," sahut Sikander susah payah, menyadari betapa dekat mereka tadi dengan maut.
"Kau tahu di mana Ayah dan Ruby berada"" tanya Zarri Bano ketakutan. "Aku tak bisa melihat mereka di mana pun. Tolong cari mereka."
Dengan matanya, Sikander mencari-cari di antara kerumunan para jamaah haji yang memenuhi sekeliling bangunan Ka'bah.
"Tentu saja aku akan mencari mereka. Tapi ayo-mari kita keluarkan kau dulu dari sini." Sikander menggandeng Zarri Bano di belakangnya ke tempat yang cukup aman di lorong yang luas. Para jamaah haji lainnya juga beramai-ramai menuju tempat aman di lorong bagian atas.
Seraya menoleh pada Zarri Bano, Sikander memberi saran, "Tetaplah di sini. Aku akan mencari mereka."
Dengan rasa takut berpisah tampak nyata di wajah dan suaranya, Zarri Bano menolak, "Tidak, Sikander, aku ikut denganmu!"
Sikander tersenyum lembut padanya. "Baiklah," Sikander menghela napas. Tangannya mengelus pipi Zarri Bano. Wajah Sikander tampak tenang ketika ia menatap Zarri Bano. "Lihatlah, polisi sudah datang. Di manakah Ruby" Aku harus pergi mencarinya dan ayahmu."
Sikander tak mampu menutupi rasa takut dalam nada suaranya ketika polisi mengawasi apa yang terjadi di masjid suci, dengan tergesa berusaha masuk menuju tempat tragedi berlangsung. Seraya mengibaskan tongkat mereka di depan kerumunan dengan lagak mengancam, mereka membuka jalan menuju bangunan Ka'bah. Dengan Zarri Bano di sampingnya, Sikander menyusuri lorong masjid, memandang tajam di antara bahu para jamaah haji, mencari Ruby dan Habib.
Ketika ia melihat pada pelataran tengah yang berbentuk persegi, jantung Sikander seakan-akan membeku. Para polisi menggotong keluar korban-korban yang tewas dan terluka.
"Tetap di sini, Zarri Bano!" perintah Sikander dengan kasar sebelum bergegas pergi melihat apa yang sedang dilakukan oleh para polisi.
Jenazah mereka yang tewas dibaringkan di salah satu bagian lorong masjid, di atas lantai beralas karpet. Para, jamaah haji yang terguncang menatap tajam mereka yang tewas dengan ketakutan, tak mampu menerima tragedi itu.
Setelah mencapai tempat itu, Sikander menatap ke bawah dengan ngeri. Tatapan matanya mencari-cari pada wajah para korban. Jantungnya membeku saat matanya melihat sesosok tubuh yang terbaring di samping sesosok jamaah haji asal Cina. Sikander berjongkok di atas jenazah Habib, seorang lelaki yang pernah dibencinya.
Zarri Bano tiba di sampingnya, menatap tajam dari atas bahu Sikander yang tengah membungkuk.
"Ayah," katanya dengan ngeri. Tangan Zarri Bano menekan mulutnya sendiri untuk membungkam teriakannya. Dia berlutut di samping jenazah itu. "Ya Allah, tidak! Tak mungkin!"
Dengan rasa takut di hatinya, Sikander mencari-cari istrinya, berharap Ruby tak termasuk di antara mereka yang tewas.
Lalu, di depan tatapan matanya yang tercekam, ia melihat dua orang polisi menggotong Ruby ke lorong.
"Ruby! Ruby!" teriaknya. Sepasang mata istrinya terbuka dan menatapnya dengan pandangan hampa.
Mendengar nama adiknya disebut, Zarri Bano menatap penuh harap. Meninggalkan ayahnya yang tak bisa ditolong lagi, dia bergegas menghampiri adiknya. Namun, napas Ruby telah terengah-engah. Kerudung putihnya terlepas. Seraya membungkuk di depan Ruby, Sikander meraba dada istrinya dan mulai mencoba memompanya, sia-sia berusaha memulihkannya.
Ruby masih sempat mengucapkan nama anaknya dengan lirih, "Haris!" Itu adalah kata terakhirnya. Lalu kepalanya terkulai ke belakang. Mulut dan sepasang matanya terbuka.
"Tidak!" jeritan pedih Sikander terdengar oleh Zarri Bano yang tengah terpukul. Air mata membutakan pandangan Zarri Bano.
"Adik Sikander, apa yang terjadi pada kita"" Zarri Bano terisak, menatap jenazah ayah dan adik tercintanya di lantai berkarpet di lorong masjid. Para jamaah haji berkerumun di sekitarnya, menatap mereka dengan ngeri sebelum beranjak pergi.
Dengan berjongkok, bertumpu di atas lututnya, Zarri Bano memeluk wajah adik tercintanya.
"Adikku sayang, ka u tak boleh mati. Kita belum menyelesaikan umrah. Bagaimana dengan Haris" Ia menunggumu di Karachi. Ya Allah, mengapa bukan aku saja, kok malah kau yang mati" Kau punya anak, Ruby! Kau tak boleh mati!"
Para polisi kembali dengan para petugas kesehatan dan mengangkat Ruby, Habib, serta para korban lainnya dengan tandu. Sikander merenungi penderitaan pribadinya, mengetahui ia harus berpikir dan bertindak cepat. Ada pemakaman yang harus dipersiapkan. Seperti adatnya, para jamaah haji yang meninggal dunia di Masjidil Haram akan dimakamkan di kota suci Makkah. Ini adalah mimpi rahasia banyak jamaah haji yang diam-diam berdoa, "Semoga kematianku terjadi di sana, di Masjidil Haram."
"Zarri Bano, aku harus ikut dengan orang-orang ini," kata Sikander dengan penuh kasih. "Mereka tidak bisa meninggalkan ayahmu dan adikmu di sini. Kau harus memberi tahu ibumu. Cari ibumu, tetapi biarlah dia menyelesaikan thawaf terlebih dahulu. Ajaklah dia ke hotel dan kita akan bertemu di sana nanti. Aku juga harus menelepon ke Pakistan. Persiapan pemakaman akan dilakukan di sini. Kau harus menyelesaikan umrahmu dulu."
"Apa yang telah terjadi pada orang-orang yang kita cintai, Adik Sikander"" tanya Zarri Bano lagi dan menoleh pada Sikander dengan wajah dicekam kengerian. Berbagi rasa sakit dengannya dan ingin menghiburnya, Sikander tak tahu apa yang harus dikatakan atau dilakukan. Ia sendiri tak bisa mengendalikan rasa sedihnya.
Sikander mengikuti polisi keluar dari Masjid Suci dan masuk ke ambulans tempat mereka meletakkan Ruby dan Habib berdampingan. Begitu pintu ditutup, ia membenamkan kepalanya di tangannya dan menangis.
Seakan-akan bermimpi, Zarri Bano mengawasi mereka pergi. Kesunyian setelah kekacauan itu menulikannya. Kepalanya bergema oleh kata-kata, "Oh Tuhanku, apakah yang akan kukatakan pada Haris dan Ibu"" Zarri Bano meninggalkan tempat itu dengan berdiam diri, teringat kepada Sikander yang berkata padanya agar menyelesaikan dahulu umrahnya.
Seraya mengalunkan kata-kata, "Labbaika Allahumma Labbaik," melalui gigi-giginya yang gemetar, Zarri Bano melangkah sekali lagi ke dalam lingkaran manusia yang mengelilingi bangunan Ka'bah. "Bagaimana mungkin ayahku dan adikku kini telah kembali pada Allah"" tanyanya seraya menyeka air mata dari pipinya.
Ketika semuanya telah usai, dia naik tangga ke lorong atas dengan hati berat untuk mencari ibunya. Apakah itu semua hanyalah mimpi buruk" Kembali dia bertanya pada diri sendiri, merasa linglung. Jika itu memang hanya sebuah mimpi belaka, kapankah dia akan terjaga"
* * * Pramugari mengambil baki makanan yang tak disentuh dari ketiga penumpang itu. Zarri Bano memandang ke luar dari jendela dan menyaksikan awan putih di bawahnya. Shahzada duduk di dekatnya, diam seribu bahasa dalam kesedihan. Sikander berusaha menenangkan ibu dan anak itu dan menangani segala hal dalam dua hari terakhir itu. Sikander telah menelepon keluarganya sendiri dan Siraj Din di desa-dan menyampaikan kabar itu pada mereka semua.
Merasa kelelahan, Shahzada akhirnya tertidur. Zarri Bano yang duduk di samping Sikander memandangnya dengan tatapan penuh tangis. "Maafkan aku, Adik Sikander. Andai saja kita tak pernah melakukan ibadah haji."
"Tidak, Kakak sayang, semua itu takdir yang harus terjadi. Tidurlah kini. Kau sudah dua malam tidak tidur. Sini, biar kuseka wajahmu," tawarnya dan seraya mengambil saputangan ia menyeka air mata Zarri Bano dengan lembut, nyaris seperti seorang ayah menyentuh wajah seorang bocah.
Zarri Bano membiarkannya.
Lalu, sembari memejamkan mata, Zarri Bano membenamkan diri di kursinya, tak mampu menerima bahwa dia tak akan pernah lagi melihat ayah dan adiknya tercinta. Sikander menyeka matanya sendiri dengan saputangan, menangis dalam hati, "Apa yang akan kukatakan pada Haris""
Ia menyaksikan Zarri Bano jatuh tertidur. Beberapa saat kemudian, kepala Zarri Bano terjatuh di bahunya. Dengan lembut, Sikander memindahkannya kembali ke tempat duduknya. Sejumput rambut Zarri Bano tersingkap dari burqa-nya dan Sikander mengembalikannya ke tempatnya semula. "Terima kasih," gumam Zarri Bano dalam tidurnya. Tragedi it
u dengan sebuah cara yang aneh telah menarik mereka ke dalam sebuah ikatan yang lebih dekat. Zarri Bano memercayai Sikander sepenuhnya.
Sikander pindah ke sebuah kursi kosong di barisan yang lain. Tangis kesedihan bagi putranya yang kini telah menjadi anak piatu kembali membutakan matanya. "Oh, Ruby! Istriku sayang!" tangisnya seraya memejamkan matanya rapat-rapat. Ia tak akan pernah lagi melihat wajahnya yang penuh senyum! Itu terlalu berat baginya.
45. SIRAJ DIN menerima kabar kematian orang-orang yang disayanginya dengan diam membatu, tak menunjukkan letupan emosi pada wajahnya yang tua digerus usia. Namun, di dalam batinnya, dunianya hancur lebur. Betapa tak adil, cucu perempuannya yang muda dan putranya meninggal dunia-semuanya telah tiada mendahului dirinya.
Ia segera mengirim pesan pada Fatima, menyuruhnya datang dan mempersiapkan segalanya untuk menyambut kedatangan para haji dari Arab Saudi dan para tamu yang akan datang dari segala penjuru Pakistan untuk berkabung dan menunjukkan penghormatan mereka. Ia juga memanggil Naimat Bibi dan Kulsoom Bibi untuk tinggal sepanjang waktu di rumahnya selama keseluruhan masa berkabung empat puluh hari.
Bibir tipisnya memberi perintah tegas pada para pelayannya, tetapi dalam hatinya ia adalah seorang lelaki yang kalah. Hanya pengalaman bertahun-tahun tumbuh dan menempa diri dalam kesabaran yang mencegahnya menampakkan kemewahan pamer emosi di hadapan umum dan meratap keras-keras walaupun ia ingin sekali melakukannya. Sebagai seorang teladan bagi para lelaki yang lebih muda di desa itu, Siraj Din tak punya pilihan selain bergantung pada beranda kukuh yang telah ia pelihara dan melakukan apa yang diharapkan darinya.
Kabar itu menyebar bagai kobaran api di seluruh desa dan kota tempat tinggal Habib. Dalam waktu sejam, rumah itu telah dipenuhi orang yang datang untuk menyatakan bela-sungkawa mereka. Siraj Din menerima mereka dengan anggukan singkat seraya tetap duduk di atas permadani wol di beranda rumahnya. Ia telah meninggalkan kemewahan palang-nya.
Ketika para lelaki duduk tenang di atas permadani tenunan rami di beranda yang luas itu, para perempuan mengalunkan nyanyian dukacita dan saling berkabung di dalam rumah. Chaudharani Kaniz adalah salah seorang yang tiba paling awal. Dia kemudian menyambut dan memimpin para tamu perempuan.
Terganggu oleh kegaduhan yang datang dari ruangan tempat para perempuan berada, Siraj Din mengirim pesan melalui para pelayannya bahwa ia tak ingin mendengar nyanyian apa pun di rumahnya. "Mereka seharusnya membaca Al-Quran dan berdoa bagi jiwa orang-orang yang kucinta. Nyanyian dan ratapan tak akan membantu mereka, tetapi doa akan menolong mereka," ujarnya pada Fatima dengan marah.
Siraj Din berhasil tidak menitikkan setetes pun air mata sepanjang hari itu. Itu terjadi hingga pada malamnya orangtua Sikander datang bersama Haris ke desa itu. Ketika ia melihat Haris melompat ringan melalui gerbang tinggi, mendorong pintu itu terbuka lebar dengan kekuatan anak-anak seperti yang selalu dilakukannya dengan kedua tangan mungilnya dan kemudian menatap penuh minat pada orang-orang yang berkumpul di beranda, pikirannya tak mampu menebak apa yang sedang terjadi, pada saat itulah Siraj Din kehilangan kendali.
Air mata membanjiri kedua pipi tuanya yang digerus cuaca ketika ia memeluk Raja Din.
"Kau telah kehilangan seorang menantu perempuan, kawanku. Aku kehilangan seorang putra dan seorang cucu, ibu dari buyutku, Haris kita yang tak ternilai," tangis Siraj Din nyaring. "Sambutan macam apa yang akan kita berikan pada mereka ketika mereka kembali dari naik haji" Katakan padaku, kawanku!" Seraya menyeka wajahnya dengan sehelai kain, ia membawa mereka menuju kumpulan para lelaki yang tengah duduk di atas permadani di beranda.
Bilkis yang tengah menangis dibawa oleh Fatima ke ruang tamu luas di mana Chaudharani Kaniz memberinya tempat di sampingnya di atas permadani di lantai. Kaniz mencoba membaca satu juz Al-Quran dengan sebaik mungkin, tetapi matanya berkedip-kedip setiap kali Fatima memasuki ruangan. "Dia berada di tempat yang tepat sekarang, melakukan pek
erjaan-pekerjaan kasar dalam lingkungan rumah tangga di sini," dengus Kaniz liar pada dirinya sendiri ketika melihat Fatima membawa seguci air untuk melayani Bilkis yang nyaris jatuh pingsan ketika menangis. Perempuan itu-yang katanya kepala pelayan bertampang angkuh-masuk sejenak untuk menyatakan belasungkawa pada menantu perempuan Siraj Din yang lain dan kemudian pergi. "Memangnya dia pikir siapa dia"" dengus Kaniz, teringat kemunculan Firdaus sebelumnya pada hari itu.
Dengan penuh kejengkelan, Kaniz menatap lagi halaman Al-Quran. Kata-kata mulai berenang di depannya. "Aku harus berkonsentrasi," ujarnya pada diri sendiri dengan gusar. Ini adalah kali ketiga ia lupa pada bacaannya gara-gara perempuan itu dan anak perempuannya.
* * * Beberapa saat kemudian, pada malam itu, Zarri Bano, Shahzada, dan Sikander dijemput dari bandara Karachi oleh Khawar. Seluruh desa kini berkabung dan menunggu kedatangan mereka dengan segala ritual yang berkaitan. Tiada api atau kompor gas yang dinyalakan pada hari itu sebagai pernyataan berdukacita. Tandoor desa Naimat Bibi tetap dingin dan terlupakan ketika dia mengawasi makanan untuk para tamu.
Begitu mereka keluar dari mobil di Chiragpur, Shahzada dan Zarri Bano secara ritual dipeluk dan menangis di atas bahu antrean para perempuan yang telah menunggu untuk memberikan penghormatan. Di luar gerbang hawali berdiri sosok Siraj Din yang kesepian dan kehilangan.
"Kami menyambut kalian tidak dengan rangkaian bunga untuk dikalungkan di leher kalian, menyambut pelukan kalian yang kembali dari ibadah haji, melainkan dengan belasungkawa bagi orang-orang yang kita cintai, anak-anakku," tangis Siraj Din di bahu Shahzada. Shahzada direngkuh oleh Bilkis yang menangis.
Diikuti dari dekat oleh rombongan orang yang berkabung, mereka semua beranjak masuk. Ketika Haris menatap ayahnya dan kemudian mencari-cari ibunya serta bertanya, "Mana Mama"" meledaklah isak tangis dan nyanyian perkabungan, seakan-akan tak pernah terdengar sebelumnya di seluruh desa. Bahkan, sepasang mata Kaniz yang kering pun membasah. Zarri Bano dengan lembut menggandeng kemenakannya, menggendongnya, dan terisak getir di kepala Haris. Bocah itu menatap Zarri Bano, tak mampu mengerti apa yang sedang terjadi di sekelilingnya.
Ketika Zarri Bano melihat Sikander menatap mereka, hati Zarri Bano merasa bersimpati padanya. Seraya menghampirinya, dia memberikan Haris pada ayahnya dan kemudian menangis dalam pelukan sepupunya, Gulshan.
Dalam rumah keluarga Siraj Din, kerumunan kaum perempuan yang berkabung berkumpul, menunggu penuh harap kedatangan Chaudharani Shahzada. Ditemani oleh Fatima, Shahzada berdiri tak tentu arah di beranda rumah.
"Masuklah, Sahiba Jee, mereka menunggu Anda untuk menyatakan belasungkawa. Anda harus menemui mereka," ujar Fatima lembut, merasa kasihan padanya, mengetahui dengan baik bahwa majikannya tak nyaman mendengar suara nyanyian dan ratapan itu.
Shahzada mengangguk dan masuk ke ruangan luas yang seluruh perabotannya dikosongkan itu. Seakan-akan kakinya terbelenggu beban berat, dia berjalan terhuyung-huyung di beranda. Dengan serasa bermimpi, matanya menyapu kepala-kepala perempuan berkerudung putih yang sedang duduk melingkari ruangan di atas lantai.
Berpakaian sebagian besar berwarna putih, beberapa orang membaca ayat-ayat Al-Quran. Yang lainnya melafalkan zikir dalam bahasa Arab dengan menggunakan tasbih dari biji kurma, lalu mengumpulkannya dalam panci-panci besar.
Ketika mereka melihat Shahzada, sebagian besar bangkit untuk menyatakan rasa belasungkawa mereka dan menghormatinya sebagai janda Habib Khan dan menantu perempuan Siraj Din yang paling dihormati. Sebagai tanda hormat, mereka memberi Chaudharani Kaniz kehormatan untuk menjadi yang pertama bangkit dan memeluk Shahzada.
Merasa lelah setelah melalui perjalanan panjang dengan pesawat terbang, Shahzada berdiri dengan kaku dalam pelukan mereka, menerima pelukan, rangkulan, ratapan, dan tangisan yang membasahi kerudungnya. Akhirnya, ketika perempuan terakhir menjauh darinya, Shahzada bergerak maju ke tengah ruangan. Para perempuan desa menatapnya penuh hara
p, bertanya-tanya dalam hati apakah yang akan dilakukan oleh Shahzada.
Dengan sebuah ratapan menerawang di matanya yang memerah, Shahzada tiba-tiba saja melantunkan sendiri nyanyian perkabungannya, tanpa merasa perlu memikirkannya. Itu meledak begitu saja dari hati dan bibirnya yang bergetar.
"Katakan padaku, saudari-saudariku yang sedang berkabung, kejahatan apa yang telah kulakukan" Apakah aku seorang pendosa sehingga Allah menghukumku seperti ini" Aku telah kehilangan semua keluargaku. Putraku tercinta Jafar, manisku sayang Ruby, dan suamiku terhormat. Semuanya telah tiada! Seharusnya aku melakukan kejahatan berat hingga di-hukum seperti ini-sehingga cucuku tersayang, Haris, menjadi piatu. Katakan padaku, saudari-saudariku yang sedang berkabung, apakah dosaku"" Tatapan liar Shahzada terpaku pada sahabatnya. "Aku tahu mengapa aku dihukum, Fatima. Karena aku istri yang jahat. Aku tidak memaafkan suamiku!"
"Diamlah! Sahiba Jee, duduklah." Merasa khawatir bahwa Shahzada akan mempermalukan dirinya lebih jauh, Fatima dengan lembut mendorongnya agar duduk di atas tumpukan bantal, di samping Chaudharani Kaniz. Fatima bisa melihat kilatan rasa ingin tahu yang muncul di mata Kaniz dan Kulsoom ketika Shahzada menyebut dirinya sebagai "istri yang jahat".
"Kau adalah seorang ibu dan istri yang luar biasa, Chaudharani Shahzada," sapa Kaniz dengan ramah seraya memberi sesama teman chaudharani dan sekaligus saingannya itu pelukan untuk menenangkan hatinya sehingga mengejutkan semua perempuan yang ada di ruangan itu.
"Ya, aku tahu. Aku telah hidup bersama Anda hampir dua puluh tahun, Chaudharani Jee." Fatima ikut memuji Shahzada seraya duduk dengan sikap melindungi di samping lain majikannya.
Shahzada menatap pelayannya itu dengan tatapan bingung.
"Fatima, kekuatan jahat memasuki rumahku pada hari Sikander dan ayahnya datang ke sini lima tahun lalu. Tiada yang sama sejak saat itu. Aku menjadi terasing dari suamiku sejak hari itu. Putraku mati bulan itu juga. Apa yang terjadi, Fatima" Kukatakan padamu, aku menderita karena mata jahat orang lain. Aku begitu bangga dengan keluargaku dan suamiku. Kini tak memiliki siapa pun kecuali seorang anak perempuan dan dia telah hilang bagiku." Shahzada secara otomatis meraih bahu Fatima dan terisak di bahu itu dengan merasa amat terpukul, "Aku bahkan tak mau memaafkannya dan Habib Sahib menyentuh kakiku."
"Diam, diamlah, Sahiba Jee," bisik Fatima cemas, tahu dengan baik bahwa majikannya sudah tak memedulikan apa kata orang atau menjaga citra dirinya. Tetapi sudah terlambat. Fatima mengangkat bahu dengan sinis saat melihat Kulsoom bangkit. Pada saat mak comblang itu tidur pada malam itu, hampir seluruh rumah di desa ini akan tahu sebuah fakta bahwa Habib Khan yang angkuh telah menyentuh kaki istrinya! Kini adalah peristiwa yang luar biasa, bahkan bagi telinganya sekalipun, dan dia adalah bagian dari rumah tangga ini.
"Allah tak akan memaafkanku," Shahzada meneruskan igauannya yang terputus di bahu Fatima. Fatima melihat pada raut wajah Kaniz dan tahu bahwa perempuan itu membenci Shahzada karena berpaling pada Fatima untuk mencurahkan isi hatinya, bukan pada dirinya. Di atas segalanya, Shahzada dengan tak terduga bahkan memilih Fatima secara fisik.
"Aku bahkan tak mengatakan padanya bahwa aku mencintainya!" Shahzada meratap, tak menyadari ketegangan yang terus meningkat di antara kedua perempuan yang duduk di kedua sampingnya itu.
* * * Seraya menyelonjorkan kakinya yang kaku di beranda, Kulsoom memutuskan untuk melihat bagaimana temannya, Naimat Bibi, mempersiapkan pesta perkabungan untuk para tamu. Ketika dia mencapai lorong yang menuju sebuah dapur luas, terlintas dalam benak Kulsoom bahwa setidaknya Naimat Bibi bekerja di tempat yang menyenangkan, dikelilingi dapur yang peralatannya lengkap, termasuk diberkahi dengan sebuah pendingin udara. Berapa banyak dapur di desa itu, selain dapur Chaudharani Kaniz, yang bisa membanggakan salah satu peralatan mewah itu"
Kulsoom melongokkan kepalanya dari depan pintu dan dengan diam-diam mengawasi temannya dengan tergesa-gesa menyiapkan suguhan. Berdiri dekat
kompor besar dan sebuah belanga berat yang penuh berisi daging, Naimat Bibi tak menyadari kehadiran Kulsoom. Wajahnya merah padam dan butiran keringat menetesi wajahnya. Ketika meraih handuk untuk menyeka keringatnya, Naimat Bibi melihat temannya itu di depan pintu.
"Kapankah kau menyelinap masuk, Kulsoom"" sergahnya. "Kau selalu saja memata-mataiku."
"Ya, Naimat Bibi, terlepas dari keringatmu yang berleleran, kau tak bisa berdalih bahwa pekerjaan ini tak bisa menafkahimu, terutama karena Baba Siraj Din sangat dermawan. Aku yakin ia membayarmu sangat banyak."
Mendengar jejak kecemburuan dalam nada suara temannya, Naimat Bibi menukas tajam, "Sebaiknya kau mencoba memasak lima belas kilo daging domba, Kulsoom Jee! Lengan kurusmu akan patah jadi dua saat baru memasak lima kilo daging, apalagi lima belas kilo! Aku mendapatkan setiap sen yang kuterima dengan keringatku sendiri, seperti yang kau lihat. Koki lainnya yang disewa adalah seseorang yang sungguh pemalas. Dia hanya memasak nasi dan menyiapkan adonan, lalu menyerahkan padaku semua daging untuk kumasak dan juga lebih dari seratus chapatti untuk kupanggang. Kau bisa bayangkan kelakuannya""
"Dia mungkin mengira bahwa karena kau sudah biasa mencari nafkah dengan memasak chapatti, maka itu akan menjadi sesuatu yang sangat remeh bagimu!" gurau Kulsoom.
"Sesuatu yang remeh! Ubanku! Aku telah bekerja tanpa henti sejak pagi buta. Para tamu terus saja berdatangan dari seluruh penjuru Pakistan dan mereka harus diberi makan tepat pada waktunya. Sarapan baru saja usai ketika tiba waktunya untuk makan siang dan begitu piring-piring dibereskan, sudah tiba waktunya untuk makan malam. Dan kau tahu hal lain""
"Apa, Naimat Bibi"" tanya Kulsoom dengan kedua pipi menggembung karena menahan tawa.
"Apakah kau memerhatikan bahwa beberapa penduduk desa sengaja datang mengucapkan belasungkawa tepat pada saat makanan dihidangkan"" Perempuan itu tertawa-tawa tak terkendali.
"Ya, kalau kau akan menghitung setiap butir nasi di piring setiap orang, lebih baik aku pulang dan makan di rumahku sendiri," sahut Kulsoom marah.
"Jangan konyol, aku tidak menyindirmu. Baba Siraj Din menyuruh kami menyiapkan makanan yang cukup untuk dimakan seluruh desa. Tujuh ekor domba telah disembelih. Ia berharap semua orang makan di sini."
"Kau seharusnya amat senang dengan pekerjaan ini. Kenyataannya aku mulai bertanya-tanya apakah selama ini aku telah mengerjakan pekerjaan yang salah. Sebulan memasak di sini sama halnya dengan membuat chapatti seperti biasa, akan amat membantuku. Aku tak mendapat uang sebanyak itu dalam pekerjaan menjadi mak comblang," ungkap Kulsoom Bibi dengan penuh sesal.
"Ayolah, Kulsoom, aku tak sesederhana itu, tak peduli apa yang kau pikirkan. Aku tahu persis saat berkabung ini adalah kesempatan yang dikirim Tuhan bagimu untuk mendapat pelanggan baru bagi jaringan mak comblangmu," sergah temannya. "Seperti yang kami tahu, banyak perkawinan dirancang dalam saat-saat semacam ini karena berkumpulnya banyak orang merupakan kesempatan emas bagi mereka untuk merekat hubungan dan merangkai jalinan perkenalan di antara mereka. Dan dalam hal inilah, peranmu dibutuhkan." Naimat Bibi amat sadar bahwa pada saat perkabungan Jafar, Kulsoom berhasil menjodohkan tiga pasangan, sekaligus menghasilkan imbalan yang banyak baginya.
"Waktu itu mungkin demikian, tetapi saat ini segalanya amat berbeda. Itu pasti kecurigaanmu belaka," tukas Kulsoom pada temannya. "Semua perempuan yang kutemui kali ini tak memiliki putra yang belum menikah atau mereka masih terlalu muda sehingga belum membutuhkan pelayananku. Ada lebih dari tiga puluh perempuan pada saat ini dan aku telah bersama mereka selama dua hari, tetapi tak ada hasilnya. Tidak ada yang membutuhkan perjodohan." Wajah Kulsoom menjadi cemberut dan dia pun menghela napas dalam-dalam.
"Maafkan aku," ujar Naimat Bibi tidak tulus, seraya membuang muka ke arah lain untuk menyembunyikan seringai di wajahnya.
"Lebih baik aku kembali berkumpul dengan mereka. Apakah kau tahu bahwa Habib Khan menyentuh kaki istrinya sebelum naik haji" Itulah yang kusebut sebagai penyerahan
terhadap istri." Sepasang mata Kulsoom berkilat-kilat oleh duga prasangka dan kedengkian.
"Menyedihkan sekali karena kita berdua tak memiliki suami yang bisa menyentuh kaki kita," gurau Naimat Bibi.
Kedua sahabat itu tertawa. Sebelum pergi, Kulsoom mencicipi dua mangkuk penuh daging dari dua belanga. Sebagai gantinya, dia membantu temannya itu dengan membulatkan tujuh puluh bola-bola mungil adonan yang siap dibuat chapatti.
* * * Zarri Bano meninggalkan ruangan yang dipenuhi para perempuan itu, ingin menghindar dari mereka, tak tahan lebih lama berurusan dengan perubahan suasana hati dramatis mereka. Dari sebuah paduan suara nyanyian dukacita dan ratapan berirama, sesaat kemudian mereka dengan gembira saling bergunjing, seperti siapakah yang baru saja menikah-berapa thola emas yang diwarisi mempelai perempuan, dan siapa yang baru mati.
Zarri Bano beranjak ke beranda dan melihat berkeliling. Dia melihat Sikander di sudut pekarangan yang jauh. Sikander berdiri sendirian bersama putranya dalam pelukannya di bawah pohon anggur. Kerongkongan Zarri Bano serasa tercekat. Sepasang matanya dipenuhi air mata, merasa sedih atas kepergian adiknya. Dengan pandangan mata kian mengabur, dia melintasi pekarangan dan bergabung dengan Sikander di bawah pohon. Mereka berdiri berdampingan saling berdiam diri. Pipi Sikander berada di atas pipi putranya yang sedang tidur, Sepasang matanya memandang air mata yang berkilau di pipi Zarri Bano.
"Aku ikut bersedih, Adik Sikander." Kata-kata itu mengalir dari kelumpuhan yang menyakitkan di tenggorokannya. "Maafkan aku. Seharusnya aku tak mengajak kalian berdua naik haji bersama. Itu usulku. Jika saja Ruby tidak pergi, kemenakanku tak akan kehilangan ibunya."
"Jangan begitu, Zarri Bano. Jangan salahkan dirimu atau orang lain. Itu adalah takdir yang harus terjadi."
"Jika saja kau ada di sampingnya saat itu, aku yakin kau akan bisa menyelamatkannya." Zarri Bano tak bisa menutupi rasa sesalnya, tak mampu mengendalikan banjir air mata ketika dia menyaksikan Sikander mempererat pelukannya di sekeliling tubuh putranya.
"Jangan hukum dirimu sendiri atau aku-tolonglah, Zarri Bano," ia memohon sepenuh hati. Lalu tangannya tanpa terkendali menggapai ke arah wajah Zarri Bano, dengan lembut menyeka air mata dari pipinya. Ia tak tahan melihat
Zarri Bano menangis. "Tolong jangan menangis. Setidak-tidaknya kita masih hidup," bisiknya dengan sedih. Lalu Sikander meninggalkannya berdiri sendirian saat ia berjalan menembus malam dengan memeluk anaknya. Sikander berjalan-jalan sendirian di perladangan desa, menatap langit, berkabung atas kematian istrinya tercinta.
Di sudut lain pekarangan, dalam bayang-bayang beranda, Siraj Din bersandar pada sebuah bantal panjang di atas kasur lipatnya. Ia menyaksikan cucunya berdiri dan bercakap-cakap dengan Sikander di bawah pohon dan melihat tangan lelaki itu menjulur ke wajah Zarri Bano. Sepasang mata hijaunya berkilat dingin dalam kelam malam.
* * * Beberapa saat kemudian di malam itu, ketika para tamu mereka telah tertidur mendengkur di tempat tidur mereka masing-masing, Shahzada memberi salam hormat pada ayah mertuanya sebelum berangkat tidur. Siraj Din menyuruhnya duduk dan bercakap-cakap dengannya sejenak.
"Shahzada, aku mendengar ratapanmu tadi bersama para perempuan itu. Aku tidak senang. Mengapa kau menyalahkan dirimu sendiri, Sayangku, dan mengatakan segala hal pribadi tentang dirimu dan Habib di depan sekelompok tukang gosip kampung""
"Aku bersungguh-sungguh dengan setiap kata-kataku tadi, Aba Jan. Itu semua benar adanya," sahutnya tanpa merasa menyesal.
"Tidak, Shahzada sayang, itu tidak benar. Kau terlalu keras pada dirimu sendiri. Kau adalah istri yang baik-selalu begitu. Habib melakukan kesalahan padamu-mengancam akan menjatuhkan talak padamu. Ia bersalah. Kau tidak berdosa."
"Aba Jan, kau sangat baik hati, tetapi aku bukanlah istri yang baik. Aku amat malu mengatakan bahwa aku tidak pernah memaafkannya. Ia bahkan menyentuh kakiku." Shahzada mulai terisak perlahan. "Aku akan menanggung beban rasa bersalahku dalam batin ini hingga akhir hayatku."
"Oh, Shahzada, anak ku-kau bicara tentang beban rasa bersalah, tetapi kau tak tahu arti kata itu! Jika kau melihat melalui jendela buram jiwamu ke dalam hatiku, kau akan segera tahu bahwa ada beberapa tingkatan perbuatan dosa dan jiwaku adalah yang paling berdosa. Dengan cara kita sendiri, kita semua adalah para pendosa, Shahzada. Kita membawa kesalahan atau rahasia kegelapan dalam batin kita. Habibmu mengancammu dengan sebuah perceraian dan kau terguncang, tak mampu memaafkannya. Bayangkan bagaimana dengan seorang perempuan tak bersalah yang diceraikan dari suami tercintanya yang tak ingin menceraikannya."
"Aku tak mengerti," Shahzada merasa bingung.
Sebuah tawa getir terlontar dari mulut Siraj Din. "Aku memaksa seorang perempuan diceraikan langsung dengan talak tiga oleh seorang suami yang tak ingin menceraikannya. Aku melakukannya! Katakan padaku kini, Shahzada- siapa yang menanggung beban paling berat dalam hidup" Kau kira Allah akan mengampuniku atas semua ini" Aku tidur dalam ketakutan mengalami mimpi-mimpi buruk, takut pada tatapan angker di mata perempuan malang itu. Aku terkadang berpikir bahwa keluargaku dikutuk karena helaan napas dan air matanya!"
"Siapakah perempuan itu""
"Seorang perempuan cantik berambut hitam panjang. Suatu hari aku akan menceritakan padamu tentang dirinya. Yang kutahu adalah aku harus menemuinya lagi dan memohon ampun padanya. Aku tak bisa mati tanpa melakukannya. Kau harus menemukannya untukku. Sudah dua puluh tahun aku tidak bertemu dengannya." Suara Siraj Din mereda, lenyap dalam lamunan. Tepat ketika Shahzada akan bangkit meninggalkannya, Siraj Din menghentikannya dengan kata-kata berikut.
"Aku melihat Sikander menyentuh wajah cucu perempuanku, Shahzada."
Kata-kata itu menggantung canggung di antara mereka dalam kelam malam. Siraj Din dengan alis berkerut menoleh pada menantunya-menunggu dan mengharapkan penjelasan.
Shahzada duduk dengan berat di ujung charpoy Siraj Din. Dengan tatapan serius di matanya, dia menjelaskan, "Sikander mungkin menyeka air mata Zarri Bano seperti yang kerap dilakukannya dalam tiga hari terakhir. Sikander adalah seorang yang lembut dan penuh perhatian." Lalu, ketika dilihatnya tatapan curiga berkilat di mata Siraj Din, dia menambahkan, "Sikander amat perhatian pada putriku." Tiada yang tersisa dalam kehidupannya selain kejujuran.
Siraj Din terdiam lama sekali. Akhirnya ia bertanya, "Dan Zarri Bano""
Sebuah tawa menahan luka terlontar dari mulut Shahzada. Dia menatap gelap malam, pada bayang-bayang pepohonan di halaman.
"Putriku sekarang terlalu takut untuk menyayangi orang lain, terlampau luka batinnya. Semua yang dia sayangi dan orang-orang yang dia cintai telah hilang darinya. Kini dia kehilangan dirinya sendiri-menuju sebuah kehidupan yang penuh perenungan religius."
Dengan letih, Shahzada bangkit dan beranjak tidur. Hari itu terasa begitu panjang.
46. DARI JENDELA kamar tidurnya di lantai atas hawali, tatapan sedih Kaniz mengikuti kuda putih putranya ketika kuda itu berlari ligas keluar desa. Dia melihat Khawar berhenti dan berbicara pada salah seorang petani dekat sumber air. Lalu, Khawar mengambil jalan menuju kompleks pembuatan batu bata dengan dua tungku pembakarannya yang memuntahkan asap.
Ketika putranya lenyap dari pandangannya, tatapan nanar Kaniz jatuh pada batang-batang tebu yang telah dipotong yang mengelilingi desa itu. Terpotong hingga rata dengan tanah, tebu itu diikat menjadi gerombol-gerombol besar sebelum diangkut dengan truk ke kota terdekat dan dijual ke pabrik-pabrik gula.
Kaniz perlahan-lahan menjadi lesu, terkurung di balik dinding rasa terhina, "Setahun telah berlalu dan Khawar belum juga mengucapkan sepatah kata pun padaku!" Suaranya yang memilukan bergema di ruangan itu saat dia mengalihkan pandangannya dari jendela. Khawar kerap menghindari ibunya. Kerinduan Kaniz pada senyum hangat dan sepatah kata manis anaknya makin dalam seiring dengan berlalunya hari.
Kaniz mencoba sebaik mungkin untuk mengabaikan keadaan itu, tetapi keasingan perlahan-lahan melahapnya, membuatnya kehilangan ketertarikan pada segala hal, termasuk gairahnya untuk mengendalik
an hawali dan pemasukan bisnis bagi tanahnya. Cengkeraman Kaniz pada kehidupan normal dengan cepat menjadi lenyap. Dia tak peduli pada film-film, pakaian, atau gosip. Dia juga tak merasa terganggu untuk mencari rishta yang cocok bagi putranya. Dia bahkan telah berhenti mengomeli Neesa. Pendeknya, tiada hal yang penting lagi baginya!
Neesalah yang memerhatikan perubahan bertahap majikannya. Merasa bahagia dengan nasibnya karena kini Chaudharani Sahiba tak lagi sering mengomelinya, Neesa bagai-manapun peduli pada kebaikan Kaniz dan merasa risau akan majikannya. Dengan berani dia memutuskan untuk mengatakan perasaan cemasnya kepada Khawar pada suatu malam saat meladeninya makan.
"Khawar Sahib, saya cemas mengenai ibunda Anda. Dia tidak seperti dulu lagi. Anda harus menghabiskan waktu lebih banyak bersamanya. Hanya Andalah putra satu-satunya," dia memohon dengan penuh hormat.
"Neesa, ini adalah urusan antara ibuku dan aku. Tolong jangan membicarakannya denganku!" Khawar memperingatkannya seraya berdiri meninggalkan meja makan walaupun ia belum selesai makan. Pembicaraan mengenai ibunya adalah hal yang menjengkelkannya. Ia sendiri heran seiring dengan berjalannya waktu hatinya terasa makin keras terhadap Kaniz, alih-alih menjadi lebih lembut.
Bibinya, Sabra, telah berusaha keras berkali-kali saat beberapa kali kunjungannya untuk melunakkan perilaku kemenakannya itu terhadap ibunya. Seperti Neesa, dia tahu dengan hati cemas bahwa tiada kata-kata bujukan atau nasihat yang akan membuat siasatnya berhasil. Pendeknya, batin Khawar tak mampu memaafkan ibunya.
"Oh, Sabra, Khawar dan aku seperti orang asing saja," Kaniz dengan bersimbah air mata mengadu padanya. "Aku ingin memeluk putraku, tetapi aku bahkan tak mampu memandang matanya. Yang bisa kulihat dalam matanya hanyalah kebencian. Apakah salahku sehingga Khawar memperlakukanku begitu buruk" Sudah dua tahun berlalu sejak kami bercakap-cakap secara layak, percayakah kau"" Nada suara Kaniz yang memohon menyayat hati adiknya.
"Tidak apa-apa," Sabra menenangkan Kaniz dengan memeluk kakaknya itu erat-erat.
"Tukang sihir itu, si Fatima, memang benar. Aku telah kehilangan anakku. Mereka telah merebutnya dariku- walaupun tidak secara ragawi. Fatima mengambil semuanya dariku. Suamiku-ia adalah miliknya. Dan kini anak perempuannya memalingkan putraku dariku."
"Tidak, Kakak sayang, tidak begitu. Putramu masih milikmu. Firdaus telah pergi. Dialah yang tak menginginkan anakmu."
"Kukatakan padamu, Sabra, aku akan mati karena keterasingan ini." Dengan bibir bawah bergetar karena kesedihannya, Kaniz mencoba membuat adiknya memahami keadaan. "Aku hanya punya satu anak. Aku hidup hanya untuk Khawar. Aku tetap menjanda demi Khawar. Seperti yang kau tahu, aku menolak Younus Raees, si tuan tanah, ketika umurku baru dua puluh tujuh tahun. Kau memiliki anak-anak yang lain. Jika yang satu tak bertegur sapa denganmu, kau bisa dengan mudah berpaling pada yang lain. Kepada siapakah aku akan meminta pertolongan selain kepadamu, Sabra" Tak ada!"
Sabra berdebat dengan dirinya sendiri mengenai apa yang bisa dia lakukan untuk menolong kakaknya. Saatnya berkata jujur. Seraya menarik Kaniz bersandar ke bahunya lagi, dia berbisik penuh kasih, "Sebagai seorang ibu, putuskan dengan hatimu apa yang bisa kau lakukan untuk anakmu."
Merasa kakaknya menjadi lebih tenang dalam pelukannya, Sabra melanjutkan perkataannya dengan nada suara yang sama, berharap kakaknya memahami maksudnya. "Terkadang dalam kehidupan kita harus meneguk bercangkir-cangkir racun demi kebahagiaan anak-anak kita. Itulah salah satu tarian jahat kehidupan. Kita mungkin harus mengingkari dan mengorbankan kebahagiaan kita sendiri demi kebahagiaan mereka."
Memahami makna perkataan adiknya dengan jelas, hati Kaniz luruh dalam kekecewaan dan membatu. Dia menepiskan lengan adiknya dan duduk terhenyak di atas charpoy di beranda. Sabra berdiri dan menyaksikan reaksi kakaknya dengan kecewa. Lengannya masih terbuka. Ia berkata sedih pada dirinya sendiri, "Bagaimanapun, aku harus mengatakannya."
Selama sisa hari itu, Kaniz menolak berbicara dengan Sabra. Wajah
nya berkabut, seakan-akan hendak menyatakan pada semua orang bahwa "Chaudharani Kaniz sedang tidak enak hati".
Pada malam harinya, Kaniz berguling-guling ribut di atas ranjangnya. Tidurnya terganggu oleh sebuah mimpi. Dalam mimpi itu, dia berdiri di halaman hawali. Khawar berdiri di sisi yang berlawanan. Wajahnya menunjukkan raut keras. Di tengah halaman terdapat Firdaus dengan seulas senyum memesona di bibirnya. Lengannya menggapai Khawar.... Merasa terganggu, Kaniz menggigit bibirnya, terjaga dan merasakan darah yang asin di lidahnya.
"Aku akan melakukan apa pun demi mendapatkan putraku kembali-apa pun! Bahkan dengan minum racun sekalipun, seperti yang disarankan Sabra. Aku bahkan akan mengizinkan perempuan mengerikan itu masuk ke rumahku!" dia berkata pada dinding-dinding gelap kamarnya. Cintanya pada anaknya membakarnya.
Seraya duduk di atas ranjang, dia menyeka butiran keringat dari wajahnya dan darah dari bibirnya dengan chador Muslim-nya. Dia meninggalkan kamarnya, beranjak ke balkon atap dan membiarkan udara malam yang dingin menerpa tubuhnya. Merasa kalah, dia menatap rumah Fatima yang terpaut dua jalan dari rumahnya, seraya mengingat kata-kata adiknya, "Tarian jahat kehidupan". Kehidupan nyaris membuat Kaniz menampilkan salah satu tarian itu. Dengan gelisah, dia berjalan telanjang kaki hilir mudik di balkon atap rumahnya, hanyut dalam lamunan dan kini gemetar karena dingin malam. Ketika memutuskan sesuatu, Kaniz tak pernah mundur.
* * * Setelah melihat adiknya pergi, esok siangnya, Kaniz menyuruh sopirnya mengeluarkan mobil. "Aku akan berbelanja di pasar kota," ujarnya dengan angkuh.
Begitu mereka meninggalkan jalan desa, Kaniz menyuruh sopir mengantarnya ke sekolah khusus perempuan di kota itu. Setelah tiba, Kaniz menyuruh sopirnya menunggu di luar gerbang sekolah. Begitu menemukan pintu masuk, dia menghampiri penerima tamu dan bertanya pada perempuan muda itu apakah dia bisa bertemu dengan wakil kepala sekolah, Ibu Firdaus. Kaniz dipersilakan duduk di kursi tamu yang nyaman beralas karpet, sementara wakil kepala sekolah dihubungi melalui telepon.
Kaniz menunggu dengan jantung berdebar. Mendengar langkah-langkah menapaki lorong, dia mengangkat wajahnya dengan penuh harap.
Firdaus yang keheranan berdiri di depannya. Kaniz membalas pandangannya dengan tenang. Firdaus berbalik dan hendak meninggalkan ruangan itu ketika lengan Kaniz terulur dan merengkuhnya.
"Tunggu dulu. Jangan pergi." Dia berdiri.
Isyarat permohonan dalam suara Kaniz mengejutkan Firdaus. Seraya berbalik, dia menatap tangan yang mencekalnya. Dengan lembut tetapi tegas, Firdaus melepaskan lengannya dari cekalan tamunya.
"Aku butuh bertemu denganmu. Tolong beri aku waktu beberapa menit saja, Firdaus," Kaniz memohon. Suaranya parau.
Firdaus tak bisa memercayai kata-kata Kaniz atau fakta bahwa Chaudharani yang angkuh itu ada di sini. Lalu dia membeku, mengingat adegan di kantor sekolahnya. Karena perempuan inilah, aku harus meninggalkan sekolahku dan desa itu, pikirnya dengan marah. Mengapa dia tak mau membiarkanku tenang! Apakah dia datang ke sini untuk menghinaku lagi"
"Aku tidak menyalahkanmu karena kau menghindariku," kata Kaniz dengan penuh martabat, "tetapi aku telah datang dari jauh, Firdaus, terimalah kedatanganku sebentar saja."
"Baiklah. Silakan Anda melalui jalan ini," ujar Firdaus pada Kaniz sambil berjalan membelakanginya.
Dengan hati terasa makin ringan seiring setiap langkahnya, Kaniz berjalan di belakang Firdaus sepanjang beranda berpilar menuju kantornya. Segalanya akan baik-baik saja sekarang, pikirnya. Aku akan segera mendapatkan kembali putraku. Seulas senyum berkilau di wajahnya.
Berdiri di luar, Firdaus dengan sopan mempersilakan Kaniz masuk ke ruangannya. Kaniz mengedarkan pandangan dengan penuh minat, memerhatikan perabotan penuh selera yang menunjukkan tingginya kedudukan pemilik ruangan ini. Anak tukang cuci ini memang seorang wakil kepala sekolah!
Seraya duduk di kursi kulit, dengan canggung Kaniz menatap Firdaus yang duduk di seberangnya di balik meja besar dari kayu walnut. Firdaus balik memandang dingin di balik kacamata


Perempuan Suci The Holy Woman Karya Qaisra Shahraz di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bacanya, menunggu Kaniz mengatakan keperluannya dan bertanya-tanya apakah dia telah melakukan hal yang benar dengan memberi perempuan menjijikkan itu waktunya yang amat berharga.
Kaniz menarik ujung chador-nya dengan gugup. Saat perhitungan telah tiba, tetapi dia tidak tahu bagaimana harus memulai, terutama di depan perempuan ini-"perempuan murahan" ini. Wajah putranya berkilat di depan matanya dan membuat Kaniz harus menelan pil pahit itu dan melakukan sesuatu yang telah dia ikrarkan tidak akan pernah dilakukannya dalam seribu tahun. Mulutnya terasa kering. Dia menjilat bibirnya yang penuh.
"Firdaus, aku datang untuk melamarmu, untuk anakku." Kata-kata itu terucap lirih dan terlontar di sekeliling mereka.
Keheningan yang mencekam setelahnya dikacaukan oleh tawa nyaring Firdaus. Kaniz tak memercayai telinganya. Merasa tidak nyaman, Kaniz menatap anak perempuan musuhnya itu.
"Apakah aku sedemikian terhormat sehingga Chaudharani kita yang mulia berkenan datang untuk melamarku" Pasti ini bukan karena keadaan fisikku, Sahiba Jee, karena Anda selalu mencerca warna kulitku dan tinggi tubuhku. Juga pasti bukan karena ibuku dan keluargaku karena Anda membenci kami semua-seperti yang selalu Anda siarkan pada seluruh dunia. Dan kini Anda memiliki keberanian untuk melamarku. Pergilah, Chaudharani Kaniz! Aku tak tahu permainan apa yang sedang Anda mainkan, tetapi aku tak punya waktu dan kesabaran untuk ikut serta. Lagi pula, aku tak mau berurusan dengan Anda, anak Anda, atau rumah Anda-selamanya."
"Tidak, Firdaus! Jangan katakan itu." Kaniz mulai panik. "Jangan tampik aku. Aku datang dengan niat baik. Aku ingin kau menjadi menantuku, sungguh."
"Sungguh-tetapi mengapa" Karena anak Anda menginginkannya"" Firdaus naik pitam. Tubuhnya condong ke depan di kursinya.
"Ya. Ya!" ucap Kaniz. Dia tidak tahan dengan reaksi Firdaus.
"Kalau begitu, dengarkan baik-baik. Aku sungguh-sungguh tidak ingin menikah dengan anak Anda, Chaudharani Kaniz. Ingatlah apa yang kukatakan tiga tahun lalu. Aku tak akan menikahi anak Anda, bahkan jika Anda berlutut memohon padaku."
Keputusasaan yang lahir dari rasa cinta pada putranya membuat Kaniz mempersetankan harga dirinya dan dia melakukan apa yang dikiranya tak akan pernah dilakukannya dalam mimpi buruk yang paling liar sekalipun. Dengan getir, dia menunjukkan sebuah "tarian jahat kehidupan". Dengan mengorbankan harga dirinya, Kaniz berlutut di atas lantai kantor yang berkarpet itu dan menangkupkan kedua tangannya memohon-mohon pada Firdaus.
Merasa amat terkejut, Firdaus jatuh terhenyak di kursinya.
"Aku memohon padamu dengan berlutut! Pulanglah, Firdaus, dan menikahlah dengan putraku. Ia amat mencintaimu. Maafkanlah aku. Kembalikan putraku padaku. Aku menyerah. Ia milikmu seutuhnya."
Firdaus makin melongo. Pemandangan Chaudharani yang sebelumnya angkuh dan tinggi hati berlutut di depannya membuatnya malah merasa muak.
"Sahiba, bangunlah! Aku tak suka melihat orang yang memohon-mohon dengan berlutut, terutama orang-orang yang lebih tua daripadaku. Aku hanya bergurau tadi. Apa yang Anda minta tidak mungkin terjadi dan menyembahku tak akan mengubah apa pun. Maafkan aku, tetapi aku sungguh-sungguh tak ingin melakukan apa yang Anda katakan. Pergilah!"
Firdaus membuka pintu, ingin mengusir perempuan tua itu dari ruangannya. Semuanya terlalu berlebihan baginya. Kaniz bangkit. Terlongong dan merasa terhina, dia berjalan ke luar ruangan, merayap sepanjang lorong, dan keluar dari gedung sekolah itu. Tanpa berkata-kata, dia masuk ke mobilnya dan duduk di jok mobil dengan tatapan hampa.
Dia tak mengucapkan sepatah kata pun dalam perjalanan pulang ke desa. Dia juga tak membalas sapaan Kulsoom ketika bertemu dengannya di jalan di luar rumahnya. Di dalam rumah, dia langsung masuk ke kamarnya dan terus mengurung diri sepanjang hari. Neesa mengetahui majikannya telah pulang secara tak sengaja ketika akan membersihkan kamarnya.
Neesa kembali, membawakan baki makanan. Dengan sopan, Neesa bertanya apa yang dibeli majikannya di pasar. Kaniz tak menjawab. Ketika Neesa datang untuk mengambil baki, Kaniz masih duduk dalam posisi y
ang sama, menatap nanar ke ruang hampa-makanannya tak disentuh. Merasa cemas, Neesa menyuruh pelayan lelaki memanggil Khawar, mencarinya apakah ia ada di ladang.
Ketika akhirnya Khawar pulang ke rumah, Neesa bergegas menghampirinya. "Khawar Sahib, Anda harus memanggil dokter! Ibunda Anda tidak sehat. Dia tak berbicara sepanjang malam."
"Jangan konyol, Neesa. Ibuku tidak harus berbicara terus-menerus sepanjang waktu."
"Tidak! Tidak, Khawar Sahib, Anda tidak mengerti. Dia terus menatap nanar. Tolonglah Anda tengok dulu." Khawar mengikuti saran Neesa dan dengan enggan masuk ke kamar ibunya, tetapi Kaniz sedang berada di kamar mandi. Khawar bergegas pergi dan kemudian ia pun segera melupakan ibunya.
47. TELAH TIBA bulan suci Ramadhan, bulan puasa. Masjid desa mendentangkan suara bel di waktu senja, memberi tahu para penduduk desa bahwa telah tiba saatnya berbuka puasa. Kaniz duduk di balkon atap hawali-nya, di depannya terletak baki berisi makanan, tetapi dia tak merasa perlu membatalkan puasanya. Dia malah menatap nanar jauh ke batas cakrawala.
Neesa yang kembali beberapa menit kemudian dengan segelas besar jus limau dingin, melihat majikannya sedang duduk diam membatu dengan makanan belum disentuh, merasa cemas dan berpikir untuk memperingatkan majikan mudanya, Khawar, bahwa ibunya kembali bertingkah aneh. Begitu aneh kenyataannya, dia bahkan belum mulai berbelanja untuk keperluan Idul Fitri-sebuah ritual yang biasanya menelan waktu dua minggu baginya. Kini hari raya itu tinggal dua hari lagi! Dia belum membuat persiapan, juga tidak memilih-milih hadiah untuk dibagikan setiap tahun kepada para perempuan muda di desa itu-kecuali anak-anak perempuan Fatima tentunya.
Khawar kembali mengabaikan peringatan Neesa dengan tertawa enteng, tetapi kemudian ketika ia akhirnya pergi ke balkon atap dan melihat sendiri ibunya duduk menatap nanar dengan sebaki makanan tak tersentuh di depannya, langkahnya terhenti dan kata-kata Neesa terngiang kembali di telinganya. Setelah tidak bicara pada ibunya secara pribadi selama lebih dari setahun, Khawar tidak menyukai gagasan bahwa ia harus berbicara padanya saat ini. Ia terdiam dengan canggung di depan ibunya, bertanya-tanya apakah yang akan dikatakannya dan bagaimana mengatakannya. Ia masih harus bertanya pada ibunya toko kelontong mana yang sebaiknya ia belanjai untuk hari raya di kota. Bayangan tinggi di lantai yang disinari matahari senja memberi tahu Kaniz bahwa putranya berdiri di depannya, tetapi dia tak merasakan keinginan untuk mengangkat wajahnya dan menatapnya.
"Ibu, makanannya dikerubuti lalat! Mengapa tidak makan" Bukankah Ibu belum buka puasa"" akhirnya Khawar bertanya.
Dengan wajah tanpa ekspresi, Kaniz perlahan-lahan mengangkat kepalanya. Dia tampak seakan-akan menatap tepat pada Khawar. Lalu, dia mengalihkan pandangannya ke pilar pualam di ujung balkon atap dan tirai jemuran di dinding balkon serta tetumbuhan rambat yang hijau di pot keramik yang bergoyang-goyang dengan begitu menarik di seputar pilar. Khawar bergerak-gerak tak sabar dan kemudian beranjak pergi. Ibunya tampaknya sedang merajuk karena suatu sebab. Itu saja.
Hari berikutnya, Khawar secara sambil lalu bertanya pada Neesa apakah ibunya sudah memakan makan malamnya pada malam sebelumnya.
"Tak sedikit pun!" Cetus pelayan itu. "Saya amat mencemaskannya. Dia berpuasa, tetapi tidak makan apa pun untuk berbuka. Anda harus memanggil bibi Anda, Sabra. Saya yakin dia akan bisa membuat ibunda Anda berbicara dan makan. Dia sama sekali mengabaikan saya. Sudahkah Anda melihat wajahnya" Pipinya makin kempot dan matanya kian cekung. Lihatlah, hari raya sudah hampir tiba. Dia harus membereskan semua hal."
"Baiklah, Neesa. Aku akan menelepon bibiku," Khawar menyahut dengan berat hati. Kini ia pun mulai merasa cemas. Apa pun yang telah dilakukannya, Kaniz tetaplah ibunya.
* * * Merasa cemas atas keadaan kakaknya, Sabra dengan cepat tiba dari Lahore esok paginya bersama putri tertua dan dua cucunya dengan pesawat terbang. Dia memutuskan bahwa melihat anak-anak akan membuat Kaniz riang, terutama karena mereka datang untuk merayakan
Idul Fitri bersamanya. Ketika anak-anak menghambur ke dalam pelukannya, Kaniz menerima pelukan mereka dengan kaku. Seraya membalas pelukan adik dan kemenakannya dengan cara serupa, Kaniz duduk diam di kursinya. Menatap nanar pada ruang hampa di depannya.
Sabra bertukar pandang dengan cepat dengan anak perempuannya, tanda bahaya berdering di kepalanya. Sabra memberi isyarat kepada putrinya agar membawa pergi anak-anaknya. Jelas ada sesuatu yang keliru di sini karena kakaknya, Kaniz, bahkan tidak menyalaminya.
Seraya duduk di samping Kaniz, Sabra melingkarkan sebelah lengan pada bahu Kaniz dan memberinya pelukan hangat. "Ada apakah, Baji Jan" Kau bertingkah sangat aneh. Putramu, percayakah kau, meneleponku semalam! Dan aku bergegas pergi ke sini naik pesawat karena aku tak tahan berjam-jam dalam perjalanan dengan kereta api. Khawar cemas kau tak mau makan. Ia bilang padaku bahwa kau berpuasa-tetapi tak mau berbuka. Kau juga tak mau bicara pada orang lain. Kini aku bisa melihat sendiri apa yang ia maksud jika kau bertingkah seperti ini pada adikmu sendiri, kemenakanmu, dan anak-anaknya," ujarnya dengan berseloroh.
Dengan jantung berdetak gugup, Sabra menunggu Kaniz mengatakan sesuatu. Kaniz balik menatap padanya dengan tatapan hampa.
"Ada apa, Kak" Katakan padaku!" Seraya duduk di atas karpet ruang tamu, di depan Kaniz, Sabra mencekal tangan Kaniz yang dingin dan menggosoknya, merasa jauh lebih peduli.
Pemandangan Sabra berlutut di atas lantai langsung menjernihkan kabut dalam benak Kaniz. Merasa panik, dia memekik, "Tidak! Tidak! Bangkitlah dari lantai!" Seraya merenggut tangan Sabra, Kaniz condong ke belakang. Matanya menggambarkan kengerian.
Merasa terkejut, Sabra takut untuk menyentuh kakaknya lagi. "Kaniz, tolong. Aku akan berdiri, jangan khawatir." Seraya duduk terhenyak di sofa, dia mencoba lagi. "Kakakku sayang, tolong katakan padaku apa yang terjadi denganmu."
Detik-detik berdetak pada jam dinding dalam kamar tamu sejuk berpendingin udara. Akhirnya Kaniz menatap adiknya. "Kau mengatakan padaku agar berkompromi dan mengalah. Agar minum racun. Aku telah melakukannya, Sabra, dan mencapai penurunan derajat paling rendah. Aku telah menampilkan salah satu 'tarian jahat kehidupan' yang kau bicarakan. Aku berlutut, Sabra. Lututku menyentuh bumi. Aku menyatukan kedua tanganku menyembah di
depannya. Aku memohon padanya, tetapi dia...." Kaniz menarik-narik renda chador-nya yang terkait, menarik keras-keras benang sutra putih itu dengan kukunya hingga menjadi cabikan tipis. "Pada siapa kau memohon"" desak Sabra.
Kaniz tak mendengar pertanyaan adiknya. "Dia malah membuka pintu dan mengusirku." "Siapa""
Seraya membasahi lidahnya, Kaniz menghunjamkan tatapan tajam menuduh pada adiknya. Tubuhnya yang besar bergetar. Tawa histeris meledak dalam dirinya lalu terlontar keluar dari mulutnya.
"Kau bahkan tak tahu siapa yang sedang kubicarakan!" tuduh Kaniz dengan penuh derita.
Rasa takut mencekam Sabra, sebuah pikiran tiba-tiba menancap dalam benaknya. "Bukan Firdaus, kan""
Kepala Kaniz jatuh ke depan pada dadanya ketika kabut turun kembali seperti sebuah tirai wol di benaknya. Matanya menatap pola merah hijau pada karpet sutra dengan keterpukauan yang hampa.
Dengan air mata menitik, hati Sabra serasa bengkak oleh limpahan cinta dan rasa kasihan ketika membayangkan kakaknya yang angkuh itu berlutut, memohon-mohon di depan "perempuan murahan" itu.
"Siapa yang menyuruhmu memohon" Aku hanya memintamu melamarnya-aku tak ingin kau memohon!" jerit Sabra seraya menyeka air mata dari pipinya dengan chador-nya. Dengan marah, dia memeluk kakaknya. Luluh dalam pelukan erat penuh cinta ini, Kaniz akhirnya juga ikut menangis di atas bahu Sabra yang menenangkannya.
"Aku tak tahu lagi siapakah diriku-katakan padaku, Sabra," suara penuh derita Kaniz pecah di antara tangisnya, menusuk-nusuk hati adiknya. "Akukah chaudharani desa ini, pemimpin para perempuan desa" Kau tahu apakah yang kukorbankan untuk pergi menemuinya" Aku mencampakkan harga diriku untuk gadis itu. Kuminum racun yang kau sodorkan padaku-aku meneguknya tandas. Aku melakukan semuanya. Ak
u menari mengikuti iramanya. Dia menantangku agar aku berlutut. Dan aku melakukannya. Aku berlutut. Aku, Kaniz, perempuan yang dikenal bisa memberi perintah kepada semua orang di sekelilingnya hanya dengan kedipan mata. Aku, Kaniz, ratu desa ini, menangkupkan tangan seperti pengemis dengan mangkuknya. Aku meminta bantuannya. Tetapi dia...." Kaniz berhenti, merasa ngeri dengan adegan menatap Firdaus dalam benaknya. Suaranya melirih hingga hanya menyisakan bisikan. "... dia pergi dan membuka pintu, menyuruhku pergi. Katakan padaku, Sabra, apakah kini hidupku masih layak kujalani" Bagaimana aku bisa menghormati diriku sendiri" Wajahku telah dibenamkan dalam lumpur dengan kejam. Penghinaan lebih besar macam apa yang mampu dihadapi oleh seseorang dalam hidupnya" 'Tarian jahat' macam apa lagi yang bisa ditarikan dibanding yang telah kupilih"
"Dia telah menang, Adikku, dalam segala hal. Aku telah kehilangan anakku untuknya dan aku merayap menujunya dengan berlutut-sesuatu yang tak akan pernah kulakukan bahkan dalam mimpiku yang paling liar sekalipun, jika bukan karena cintaku pada Khawar. Dia bilang dia tak akan pernah menikahi putraku, bahkan biarpun aku memohon padanya. Ya, aku memohon padanya. Keinginannya terkabul. Betapa dia dan ibunya pasti bakal tertawa tergelak-gelak!
"Aku benci diriku sendiri, Sabra. Yang ingin kulakukan sekarang adalah tenggelam dalam jiwa yang hampa, menyelam ke sumur gelap, dan dalam tempat yang aku bisa bersembunyi selamanya. Neesa terus menyalakan video untuk kutonton. Menyetrika baju baru untuk kupakai. Aku tak berselera pada video dan pakaian. Sabra, aku tak bisa hidup dengan diriku sendiri dan dengan apa yang telah kuperbuat! Bantulah aku, tolong!" Kaniz menyingkirkan lengan adiknya dan berlari ke kamarnya dengan kalap.
Sabra berdiri di tengah ruangan, terguncang dan gundah, kata-kata Kaniz menggema di kepalanya. Lalu dia menyusul kakaknya, berharap bisa membujuknya makan sesuatu dan menenangkan kegusarannya.
Kaniz sedang berdiri di kamarnya. Sebelah tangannya memegang segelas air dan tangan yang satunya mengepal erat-erat.
Melihat sekilas sebotol pil di meja rias, rasa takut meminjamkan sayapnya ke kaki Sabra. Dia menghambur ke samping kakaknya, mencakar pil-pil itu dari kepalan tangan Kaniz. Pil-pil itu jatuh di atas lantai marmer, menggelinding ke bawah ranjang.
"Oh Tuhan! Apa yang kau lakukan, Kaniz"" pekik Sabra. "Khawar! Bano! Neesa! Semuanya datanglah!"
Mendengar keributan itu, Neesa. bergegas lari mendatangi kamar Kaniz. "Panggil Khawar dan dokter segera!" perintah Sabra. Neesa pun berlari melaksanakan perintahnya.
Diserang panik, jantung Sabra bergemuruh di balik tulang rusuknya. Apa yang telah terjadi pada mereka" Ini bukanlah skenario terburuk yang pernah dia perkirakan. Kakaknya hendak bunuh diri! Ini tak terpikirkan!
Seraya memeluk Kaniz dengan lembut ke tubuhnya seakan-akan dia tak akan pernah melepaskannya lagi, Sabra bertanya, "Mengapa Kakak, mengapa"" dengan sebuah suara yang dipenuhi emosi.
"Aku tak punya apa-apa lagi. Semuanya telah direnggut dariku." Kaniz menatap adiknya dengan mata dipenuhi rasa sakit. "Tak ada anak, tak ada harga diri-hampa. Aku hanyalah seorang perempuan setengah baya yang angkuh dan jahat. Begitulah semua orang memandangku. Cerminku dengan senang mengedipkan sebuah gambaran suram padaku. Aku tak bisa menerimanya lebih lama, Sabra. Hidupku telah tiada artinya!"
"Tidak, kau bukan perempuan jahat. Itu konyol! Dengarkan aku, Kaniz," Sabra berkata tegas, berusaha menguasai keadaan. "Demi Allah, aku tak akan membiarkanmu luput dari pengawasanku atau membiarkan sesuatu terjadi padamu. Aku berjanji padamu, kau akan mendapatkan kembali anakmu dan Firdaus-'perempuan murahan' itu-akan mengemis memohon maaf padamu. Harga dirimu akan kembali. Jangan pernah-kuulangi, jangan pernah-berpikir untuk melakukan sesuatu yang bodoh lagi. Kakakku tercinta, tidakkah kau tahu dalam agama kita haram hukumnya melakukan bunuh diri" Tidak seorang pun punya hak mencabut nyawanya sendiri!" Sabra menghela napas dalam-dalam.
"Firdaus tak layak membuatmu bunuh diri," ujar Sabra lirih. "
Dia hanyalah seorang gadis bodoh yang tak menghargai pengorbananmu untuk memohon di hadapannya. Kau telah mengalahkan harga dirimu dan aku amat bangga padamu. Dia adalah seorang perempuan berpikiran kerdil yang berhati batu." Sabra mencium wajah kakaknya dan merapikan rambutnya pula. Mereka terus berpelukan erat hingga beberapa menit yang terasa panjang dan pedih.
Setelah mengawasi Kaniz makan, Sabra membimbingnya ke tempat tidur dan menungguinya hingga Kaniz tertidur. Tak mampu menemukan Khawar, Neesa mengirim seorang pesuruh untuk menemui dokter setempat.
Ketika Khawar pulang malam itu, dokter telah datang dan kembali pulang. Sabra berdiri dengan cemas di samping ranjang Kaniz ketika dokter memeriksa Kaniz dan bertanya tentang kesehatannya.
Seraya memberi isyarat pada Neesa untuk menunggui Kaniz, Sabra mengajak dokter ke ruang tamu.
"Saya mencemaskannya, Dokter," ledaknya. "Kakak saya hampir saja menelan sebotol penuh pil sebelum saya secara kebetulan masuk ke kamar."
"Dia menderita apa yang saya kira merupakan gejala depresi dalam bentuk akut karena suatu sebab. Jelas ada sesuatu hal yang mengganggunya dan membekas dalam. Dia membutuhkan banyak dukungan dari Anda dan seluruh keluarga."
Sabra menyimak dengan berdiam diri dan menganggukkan kepalanya tanda setuju. Cintanya pada kakaknya membuatnya mulai menangis lagi. Sabra berjanji pada dirinya sen-diri bahwa dia tidak akan berhenti mendampingi kakaknya sampai dia benar-benar sembuh.
* * * "Ini adalah waktunya untuk mengakhiri permusuhan antara ibu dan anak." Sabra berkata tegas kepada Khawar. "Persoalan ini hampir saja merenggut nyawa kakakku!" Begitu Khawar berjalan masuk, Sabra langsung mencecarnya dengan serangan kata-katanya.
"Sadarkah kau, kemenakanku yang sombong, bahwa ibumu menderita sakit secara mental" Hari ini dia mencoba bunuh diri!" Di sini Sabra bimbang, tetapi berhasil menguasai diri. "Dia tak mau makan atau bicara-seperti yang kau tahu. Dan aku menyalahkanmu! Anak macam apakah kau" Apakah kau begitu tergila-gila pada Firdaus sehingga tega mengabaikan ibumu sendiri" Kakakku mungkin saja bersalah, tetapi dia tak layak diperlakukan seperti ini!"
"Dia telah menanti perhatianmu sejak lama dan akhirnya melakukan sesuatu yang secara pribadi tak mampu kubayangkan akan dilakukannya dalam seratus tahun. Tetapi, dia melakukannya demi dirimu, Khawar! Dia menemui Firdaus dan memohon padanya agar mau menerima lamarannya-dengan berlutut! Bisakah kau memercayainya"" Sabra mengakhiri serapahnya, sepasang matanya yang gelap berkilat-kilat seperti batu bara oleh api kemarahan.
"Apa" Omong kosong apa ini, Bibi"" desak Khawar, tak mampu memercayai apa yang dikatakan bibinya.
"Kau terkejut, kan" Dan tahukah kau apa yang dilakukan oleh perempuan laknat itu" Dia membuka pintu mengusir ibumu dan berkata bahwa dia tak akan pernah menikah denganmu! Bisakah kau mulai memahami betapa besarnya penghinaan yang diderita ibumu, betapa dalam ia telah terpuruk" Bisakah kau bayangkan" Berlutut di atas lantai! Ibumu-menyembah pada anak seorang perempuan yang selalu dibencinya."
"Mengapa dia melakukannya" Aku tak memintanya melakukan hal itu," cetus Khawar dengan muka masam. Cuping hidungnya membesar karena amarah ketika ia mendengarkan cerita bibinya tentang peristiwa memalukan itu. Merasa bersalah dan kapok, ia segera pergi ke tempat ibunya berada. Karena kelelahan, Kaniz tertidur pulas. Seraya duduk dekat tempat tidurnya, Khawar mengawasi ibunya hampir sepanjang malam.
Esoknya, pagi-pagi benar Sabra tetap berjaga-jaga di samping kakaknya, menenangkan Khawar bahwa dia akan tetap tinggal hingga kakaknya pulih semangatnya. Seraya memanjatkan doa khusus bagi Kaniz, Sabra berikrar bahwa ia akan membuat kakaknya yang periang walaupun gampang marah itu akan kembali seperti sediakala saat dia telah selesai merawatnya. Putri dan cucunya disuruhnya kembali ke Punjab esok harinya.
Khawar menerima pertolongan bibinya dengan penuh terima kasih. Sepanjang malam ia duduk mengawasi ibunya. Pikirannya beralih pada Firdaus. "Mengapa kau tega melakukan hal ini pada ibuku" Awas, lihat saja nanti!" ikrarnya.
Rahangnya menjadi kaku karena amarah.
48. DUA HARI kemudian, Khawar mengunjungi Firdaus secara tiba-tiba di sekolahnya. Ia langsung dibawa ke kantor Firdaus dan diberi tahu, "Ibu wakil kepala sekolah sedang rapat, tetapi dia akan segera menemui Anda."
Khawar menatap berkeliling pada ruangan yang berperabotan mewah itu. Karena beberapa alasan, ia tidak menyukai bertemu dengan Firdaus di sini, di daerahnya sendiri. Kembali ke penerima tamu, ia memberi tahu sekretaris muda berpakaian bagus itu bahwa ia lebih suka menunggu di luar dan akan berterima kasih apabila Firdaus berkenan menemuinya di sana. Ketika ditanya siapakah dirinya, ia berkata, "Katakan padanya saya seorang kenalan dari kampungnya." Ia lalu mengikuti sekretaris itu keluar dari gedung menuju sebuah beranda yang agak terpencil.
Seraya duduk, ia bersandar pada pilar batu tinggi dan menatap ke luar pada lapangan hoki yang hijau.
"Assalamu 'alaikum!" sebuah suara yang dikenalnya menyela lamunannya beberapa saat kemudian. Dengan bahu yang menjadi kaku, Khawar menoleh. Ketika melihat raut wajah Khawar, Firdaus mengedip karena terkejut. Sepasang mata Khawar menatapnya tanpa nada senyum. Tubuh lelaki itu, walaupun menampakkan ketidakpedulian dengan bersandar pada pilar, adalah sebuah per yang siap melenting ke arahnya.
"Atas alasan apakah aku berutang rasa senang ini"" tanya Firdaus dengan sopan. Matanya memandang kerah kemeja Khawar. Entah bagaimana dia merasa takut beradu pandang dengannya.
Khawar mengangkat alisnya pada pertanyaan polos Firdaus.
"Rasa senang itu hanya ada di pihakmu, Ibu Kepala Sekolah. Karena aku tak mengalaminya di sini dengan ditemani olehmu." Wajah Firdaus menjadi pucat mendengar kekurangajaran Khawar. Lalu, yang membuat Firdaus menatap heran, Khawar tiba-tiba berlutut secara teatrikal dan menangkupkan kedua tangannya menyembah Firdaus di hadapannya. Merasa terkejut, Firdaus terjajar mundur.
"Khawar Sahib, sandiwara apakah yang sedang kau mainkan"" tanyanya dengan wajah melongo.
"Aku memainkan kembali sandiwara yang melibatkan kau dan ibuku di dalamnya, Ibu Kepala Sekolah," cemoohnya. "Itulah yang dilakukan ibuku, bukan" Dia menangkupkan tangannya padamu seperti seorang pengemis dengan mangkuknya-ya, kan"Ibuku yang angkuh! Sang Chaudharani! Seseorang yang dikenal tak pernah meminta maaf pada siapa pun, membiarkan dirinya memohon pada seseorang. Ya, dia telah jatuh dari awang-awang ke bawah kakimu, memohon pertolonganmu. Ya, kan""
"Aku tak pernah memintanya melakukan hal itu. Aku tak ingin dia memohon padaku." Sahutan Firdaus yang tenang memukul balik Khawar.
"Tetapi kau mengusirnya, bukan"" Terdengar ancaman berbahaya dalam nada suaranya.
Firdaus terpojok. "Ya, memang! Lalu kenapa"" Firdaus melengking. Kini dia tak mampu lagi menahan kemarahannya atau harga dirinya.
"Bagus!" teriak Khawar. Mulutnya membentuk seulas senyum sinis. Seraya bangkit, ia bertepuk tangan. Suaranya bergema aneh di telinga Firdaus. "Itu adalah perlakuan yang layak diterima ibuku-begitu pantasnya sehingga setelah dia meninggalkanmu, dia mencoba bunuh diri!" Khawar mengakhiri serapahnya dengan getir.
"Apa"" kepala Firdaus terdongak.
"Ya, Kepala Sekolah Firdaus. Kematiannya terletak di pintumu."
"Aku tak tahu bagaimana cara ibumu berpikir, tetapi tolong jangan gunakan aku sebagai kambing hitam." Bersembunyi dari tatapan kebencian yang liar di mata Khawar, Firdaus mencoba membela diri. Bibirnya bergetar karena marah dan gundah.
"Kau mungkin tak tahu isi pikiran ibuku, tetapi aku tahu isi pikiranku. Dia pasti sudah gila sampai mau mohon pertolonganmu. Kau tak layak mendapatkannya, Firdaus. Demi dirimu, aku menjauhkan diri dari ibuku dan meninggalkan rumahku. Aku tidak berbicara padanya selama setahun lebih. Dengan putus asa, dia menelan harga dirinya dan membungkuk serendah ini. Aku mengatakan hal ini padamu karena bagi seseorang dengan kedudukan seperti ibumu, ini jelas sebuah tindakan yang rendah hati. Tetapi, ia tak mendapat balasan darimu, bukan" Hanya penghinaan. Karena dirimu, dia kini menderita depresi, terus-menerus menangis, tak mau makan dan menatap hampa. Dia in
gin mengakhiri hidupnya."
"Maafkan aku," ujar Firdaus hampa. Tatapan matanya tertunduk.
"Aku belum selesai." Suara Khawar mengiris Firdaus. "Pada akhirnya, kau membuktikan dirimu lebih buruk daripada ibuku. Aku tak ingin menikahi seseorang yang tak menghormati ibuku. Kau adalah seorang perempuan angkuh berdarah dingin. Aku telah berbuat bodoh dengan menghabiskan waktu bertahun-tahun untukmu. Akhirnya, yang kukira emas dan kukejar sepanjang waktu ternyata hanyalah kuningan. Barang sepuhan! Tetapi dalam bukumu, dalam kenaikan derajatmu sebagai seorang kepala sekolah, Ibu Firdaus, kami adalah kuningan, orang-orang kampung yang ingin kau hindari dengan susah payah. Ya, kini kau terbebas dari kami semua, Firdaus. Kami tak akan merepotkanmu lagi. Selamat Siang untukmu, Ibu Kepala Sekolah!"
Dengan tercenung, Firdaus menatap Khawar pergi. Wajah Firdaus telah sedari tadi pucat pasi. Merasa terguncang, dia terduduk di sebuah kursi di beranda. Benaknya dipenuhi lamunan. Jantungnya berdentam-dentam karena terkejut.
Khawar lenyap melalui pintu ganda menuju lorong sekolah. Dengan langkah-langkah penuh amarah, ia sampai ke jipnya. Sopir dengan cepat membuka pintu baginya dan melihat raut wajah majikannya yang muram, ia menahan diri untuk mencoba mengobrol ringan.
Semangat Khawar menurun. Kehendaknya untuk menikahi Firdaus telah berakhir. Membutuhkan waktu lama baginya untuk pulih, tetapi harga diri kelelakiannya dipertaruhkan. "Dia telah menjadi bagian para sahib kota yang mungkin saja berkerumun di sampingnya setiap malam," cacinya dalam hati, lalu mengenyahkan Firdaus dari benaknya.
49. ZARRI BANO membawa Haris ke desa untuk mengunjungi kakeknya dan agar Haris lebih akrab dengan kehidupan desa. Siraj Din merasa senang mendengar celoteh cicitnya itu di hawali-nya.
Tiba di rumah mertuanya pada hari Jumat untuk membawa pulang Haris ke Karachi, Sikander menyembunyikan kekecewaannya karena tak bertemu putranya. Seraya duduk-duduk di beranda halaman belakang, Shahzada dan Sikander bercakap-cakap ngalor-ngidul dan kemudian mengenai Haris. Sikander bertanya-tanya bagaimanakah sebaiknya cara mengutarakan persoalan yang menggelayuti benaknya selama beberapa bulan terakhir ini.
"Bibi," ujarnya lirih, menghindari tatapan mata Shahzada, "aku amat berharap Anda tidak tersinggung dengan apa yang akan kukatakan."
"Ada apa, Anakku"" Shahzada menatap penuh perhatian seraya meletakkan poci teh keramik Cina di meja beranda yang terbuat dari besi putih di depannya.
"Aku... aku ingin mengawini putri Anda, Zarri Bano!" Shahzada menatap tajam pada Sikander. Sepasang matanya terbeliak kaget. "Aku tahu dia seorang Perempuan Suci," lanjut Sikander sebelum Shahzada sempat mengatakan sesuatu, "tetapi aku juga tahu bahwa Paman Habib Khan, lebih setahun silam, telah membebaskannya dari sumpah untuk tak akan pernah menikah. Ia secara pribadi telah memberi restu pada Zarri Bano jika dia ingin menikah. Ruby mengatakan padaku semua ini."
Ini adalah sebuah kejutan menyenangkan bagi Shahzada. Seulas senyum membayang di bagian bawah wajahnya, tetapi gagal meninggalkan mulutnya. Sikander menunggu dengan cemas dan kemudian cepat-cepat menjelaskan.
"Aku tak bermaksud menyinggung Anda, Bibi. Maukah Anda memaafkanku" Anda harus mengerti bahwa ini untuk kebaikan Haris. Aku memerlukan seorang ibu pengganti untuknya. Perjalanan bolak-balik dari Karachi ke sini harus dihentikan suatu saat nanti. Ini melelahkanku. Dan ini sudah berlangsung selama setahun. Aku ingin putraku bersamaku, tetapi ia juga sangat dekat dengan bibinya dan Anda. Ia menganggap Zarri Bano sebagai ibu keduanya. Jika aku menikahinya, itu akan memecahkan semua masalah, bukan"" Suaranya terdengar tulus.
"Aku sama sekali tak merasa tersinggung oleh saranmu, Anakku. Tiada yang lebih memberiku kesenangan selain melihat Zarri Bano menikah dengan bahagia dan juga menjadi ibu bagi Haris. Aku memahami betul situasinya. Pada akhirnya kau harus menikah kembali suatu saat. Aku hanya terkejut karena itu tidak terlalu lama. Tapi katakan padaku, Anakku, mengapa kau ingin menikahi Zarri Bano" Dia bukan lagi perempuan yang sa
ma dengan yang kau lihat lima tahun yang lalu. Apakah kau sungguh-sungguh ingin menikahinya hanya demi Haris atau karena alasan-alasan pribadi"" Kali ini tatapan Shahzada terpaku lekat di wajah Sikander.
Sikander menunduk pada cangkir yang digenggamnya, membiarkan jemarinya merabai pinggirannya yang keemasan.
Ia menimbang-nimbang untuk menjawab, tetapi akhirnya memilih berkata jujur.
"Aku tak akan berpura-pura, Bibi, ini lebih karena alasan-alasan pribadi. Aku tak tahu bagaimana mengatakannya pada Anda. Anda adalah ibunda dari istriku yang telah tiada." Sikander menghela napas dengan sedih. "Yang bisa kukatakan untuk membela diri adalah bahwa aku amat ingin menikahi Zarri Bano-seperti halnya dulu aku ingin menikahi Ruby. Aku mencintai kedua putri Anda. Aku tak tahu bagaimana aku bisa mencintai kedua kakak beradik ini, tetapi aku telah melakukannya. Tolong, jangan salah paham. Zarri Bano adalah perempuan yang sebetulnya ingin kunikahi, tetapi akhirnya aku malah menikah dengan Ruby.
"Dengan jujur bisa kukatakan bahwa Ruby dan aku sangat bahagia bersama. Aku mencintainya sedalam yang bisa dilakukan oleh seorang suami mana pun, ketika kami berbagi hidup bersama selama empat tahun. Cinta tumbuh seiring dengan waktu. Tempatnya di dalam hatiku akan selalu ada. Dia adalah ibu anakku. Perempuan yang telah berbagi hidup bersamaku, dua puluh empat jam sehari. Bagaimana mungkin aku melupakannya" Jika memejamkan mata, aku masih bisa melihatnya di hadapanku dengan sepasang mata cokelatnya yang hangat dan senyumnya yang lembut." Shahzada melihat gurat kepedihan di wajah Sikander. Matanya terpejam saat ia melanjutkan.
"Aku masih bisa mendengar langkahnya di tangga marmer atau di kebun. Pakaiannya masih tergantung di dalam lemari, membawa ingatan pedih setiap hari dalam seminggu. Aku amat merindukan Ruby, Bibi-tetapi dia telah tiada. Aku tak bisa memikirkan perempuan asing bersama anakku. Tak ada perempuan lain yang bisa menjadi ibu bagi Haris seperti yang dilakukan oleh Zarri Bano. Haris memuja Bibi Zarri Banonya dan Zarri Bano mencintainya pula. Jika ada Zarri Bano di sisinya, bisa jadi Haris tak akan terlalu sakit kehilangan ibunya."
"Ya," Shahzada menyetujui dengan lirih.
"Anda bertanya apakah aku ingin menikahi Zarri Bano karena alasan pribadi" Ya, memang, dan bukan cuma demi Haris. Aku ingin sungguh-sungguh jujur pada Anda. Seperti yang Anda tahu, Zarri Bano adalah perempuan yang sebenarnya ingin kunikahi, perempuan yang membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama. Itu terjadi di mela, " kata Sikander melembut seakan-akan ia langsung mengingatnya.
"Dia berdiri di bawah sebuah pohon mengenakan gaun sifon hitam. Rambutnya berkibar bebas di sekeliling wajahnya, dan kemudian kami beradu pandang. Sesuatu terjadi di antara kami. Di antara kerumunan lelaki yang berkumpul dalam acara itu, jiwa kami seakan saling melompat. Dia terlihat amat cantik. Aku mabuk kepayang. Hal seperti itu tak pernah terjadi padaku. Kejadiannya tak sama dengan Ruby, maafkan aku mengatakan hal ini. Aku tahu sejak awal bahwa Zarri Bano memiliki perasaan tertentu padaku. Dia selalu berusaha menyangkalnya, tetapi aku tahu bahwa dia menyukaiku. Sisanya adalah sejarah. Tapi sudah terlambat bagi kami. Kehidupan lain telah dipersiapkan oleh suami Anda bagi Zarri Bano. Aku membuka isi hatiku pada Anda, Bibi. Bagiku, itu adalah sesuatu yang amat pribadi dan menyakitkan." Air mata membayang di mata Sikander ketika ia menguraikan rahasia hatinya.
"Selama bertahun-tahun aku tak pernah melupakan Zarri Bano," ujarnya pada Shahzada. "Aku mencoba melupakannya, tetapi dia selalu ada dalam kepala dan pikiranku, memburuku. Di Arab Saudi aku merasa amat cemburu pada lelaki Mesir berewokan itu. Aku tak tahan memikirkan lelaki itu menatapnya atau berhubungan
dengannya. Aku juga membenci Zarri Bano," aku Sikander dengan suara lirih. "Aku masih tidak bisa memaafkannya karena ia berpaling dariku dan cinta kami."
Ia menatap dengan tatapan memohon pada ibu mertuanya. "Aku telah menjalani kismet buruk dengan mencintai bukan saja dua perempuan, melainkan juga dua bersaudara, menikahi salah s
atunya tetapi masih merindukan yang lain. Sebagai ibu mereka, aku tak tahu apa yang Anda pikirkan tentang diriku."
"Terima kasih, Anakku, karena kau telah begitu jujur." Shahzada amat tersentuh. "Aku sangat sadar akan betapa dalam rasa sakitmu dan betapa memalukannya mengakui perasaan-perasaanmu padaku, tetapi kau telah membuktikan padaku perasaan-perasaan sesungguhnya yang kau miliki pada kedua putriku. Kau benar, aku tak tahu bagaimana semestinya perasaanku atas soal ini karena mereka berdua adalah anakku, terlahir dari rahim yang sama. Aku senang, Anakku, kau ingin menikahi putri sulungku demi kau, demi Haris, dan terutama demi Zarri Bano. Sebagai nenek Haris, aku berharap tak ada perempuan lain yang akan menggantikan tempat putriku."
Kini saatnya bagi Shahzada mengeluarkan isi hatinya pada Sikander. "Tetapi ini bukan hanya demi Haris," ujarnya. "Aku telah diserang rasa bersalah sejak Zarri Bano menjadi seorang Shahzadi Ibadat. Aku ingin dia menikah denganmu dan menjalani hidup normal. Dia mengatakan bahwa dia amat bahagia dengan hidupnya sekarang, tetapi dalam lubuk hatiku, aku tahu kami telah berlaku salah pada kalian berdua, terutama pada Zarri Bano. Pada hari dia mengetahui Ruby akan menikah denganmu, aku tak pernah melupakan tatapan matanya, Sikander. Itu adalah tatapan seorang perempuan yang dihancurkan dan tumbang di ujung penalaran. Aku melihat putriku nyaris mati di depan mataku, tetapi dia bertempur dengan dirinya sendiri dan menang. Zarri Banoku selalu berhasil. Aku amat bangga padanya. Dia amat bagus dalam menghadapi dan mengatasi krisis, tetapi apa yang harus dia korbankan" Kita tak pernah tahu. Kita telah membunuhnya secara emosional." Sejenak Shahzada membiarkan perasaan yang mengharukannya. Sikander tetap berdiam diri. Nalurinya memberitahunya untuk membiarkan ibu mertuanya menumpahkan isi hatinya.
"Hingga hari ketika kita pergi naik haji, aku tak pernah memaafkan suamiku," lanjutnya. "Sikander, pada hari Jafarku mati, seluruh hidup kami diliputi oleh chador bencana. Aku mendukung suamiku, tetapi aku mengkhianati putriku. Kini, katakanlah padaku, Anakku, bagaimana mungkin aku memaafkan diriku karena telah mengkhianati Zarri Bano" Aku tak berdaya melawannya. Tak ada jalan keluar bagi kami berdua sebagai perempuan. Tak ada jalan untuk membantah keputusan ayah mertuaku dan suamiku. Kami punya harga diri, tetapi sebagai perempuan dan demi keluarga kami, kami tunduk dan mengalah.
"Kau harus memaafkan Zarri Bano karena telah berpaling darimu. Dia tak punya pilihan, Sikander! Zarri Bano mengorbankan dirinya untuk berbahagia dan telah memaafkan ayahnya. Dia telah menemukan sebuah kesempatan hidup baru dalam identitas yang diterimanya dan telah menemukan dunia baru bertaraf internasional. Putriku secara mengagumkan berhasil menyesuaikan diri dengan peran hidupnya. Aku, di sisi lain, kehilangan rasa hormat terhadap diriku sendiri dan pada suamiku. Aku membangun sebuah dinding terhadap suamiku tercinta yang tak pernah bisa dirobohkan. Hatiku menjadi sebuah cangkang yang dingin. Hampa! Suamiku tak bisa merobohkannya dan juga melakukan hal yang sama-tetapi semuanya tak berhasil. Aku tahu ia kesepian-tapi aku tak bisa memaksa diri untuk memaafkannya. Itulah kismet burukku, Anakku. Seandainya saja aku bukan istri yang kejam terhadapnya.
"Jika mengintip isi hatiku, kau hanya akan melihat hati yang sakit dan menderita. Dua anakku telah meninggal dunia. Aku kehilangan suami dan cucuku kehilangan ibunya.
"Oleh karena itu, Anakku, tak ada yang bisa memberiku kebahagiaan lebih besar selain kau menikahi Zarri Bano. Aku ingin putriku menjalani hidup normal, kehidupan yang dia sangkal lima tahun lalu. Aku ingin tangannya dicat dengan hiasan pacar dan menimang seorang bayi di pangkuannya. Aku mau segala mimpiku untuknya terlaksana. Biarlah aku bicara dulu padanya, Anakku. Aku perlu menyampaikan secara halus padanya. Kau tahu, kini dia tak memiliki tempat bagi pernikahan atau lelaki dalam hatinya maupun dalam pikirannya."
50. ZARRI BANO tidak pulang malam itu. Dia mengirim pesan bahwa kakeknya, Siraj Din, menginginkan agar di
a dan Haris tinggal dua hari lagi di Chiragpur. Merasakan bahwa kesunyian rumahnya tak tertahankan, Shahzada memutuskan bergabung dengan mereka di desa.
Ketika ibunya tiba, Zarri Bano sedang sendirian di ruang tamu rumah keluarga mereka di desa. Merasa senang, dia memeluk Shahzada dengan hangat.
"Mana Haris"" tanya Shahzada, tak tahan ingin memeluk cucunya.
"Ia sedang berjalan-jalan dengan kakek buyutnya. Ia mungkin sedang naik traktor di sawah atau bermain-main dan menggoyang-goyangkan ekor kerbau-kerbau perahan di pertanian kita. Ia menyukainya, Ibu. Udara segar dan lapangan terbuka baik baginya. Para perempuan desa menyukainya dan kerap mengajaknya bermain ke rumah mereka. Ia sudah dua kali diundang ke rumah Chaudharani Kaniz."
"Aku bisa membayangkannya. Haris adalah bocah yang tampan. Para perempuan desa juga kerap melakukan hal yang sama padamu ketika kau masih kecil. Jadi, kau memutuskan tinggal di sini dua hari lagi""
"Ya. Kakek berkeras agar kita semua pindah kembali ke desa ini. Ia ingin aku mengepalai madrasah desa yang ia dan aku buka untuk para perempuan muda agar bisa mendapat pendidikan agama bermutu tinggi."
"Aku tahu ia memang amat menginginkannya, sayangku, tetapi aku khawatir ia tak akan mendapatkan apa yang diinginkannya. Haris memiliki sebuah rumah di Karachi bersama ayahnya. Kita terlalu mementingkan diri sendiri dengan membawanya terus-menerus bersama kita. Sikander datang semalam untuk menjemput Haris dan ia sangat kecewa karena tak berjumpa dengan anaknya."
"Ya, ia bisa saja datang kemari mengunjungi kami," tukas Zarri Bano dengan tajam.
"Ia harus pergi. Kau tahu, ia merasa lelah dengan perjalanan bolak-balik. Ia akan datang kembali dua hari lagi. Atau mungkin biar kita saja yang mengantarkan Haris pulang ke Karachi. Sudah lama sekali sejak aku terakhir kali pergi ke kota besar itu dan mengunjungi pusat-pusat perbelanjaan."
"Aku tak bisa ikut, Ibu. Ibu saja yang mengantarnya jika mau. Aku amat bahagia di desa ini. Aku sedang berpikir untuk memenuhi keinginan kakek dan mendirikan sebuah madrasah di sini."
"Apakah kau sungguh bisa menghabiskan sisa hidupmu di sini, Zarri Bano" Kau seorang gadis kota-kurasa kau tak akan menyukai pemandangan di desa."
"Aku tak tahu. Di sini damai sekali, Ibu. Aku sudah banyak bepergian beberapa tahun terakhir dan menjadikannya kebiasaan. Kini aku menginginkan kedamaian dalam hidupku. Juga para perempuan di sini membutuhkanku. Aku mengajari salah seorang guru dari sekolah Firdaus untuk mengepalai madrasah."
"Bagaimana jika kau menikah, Zarri Bano"" Shahzada menyela dengan halus. Dia telah mencari-cari kesempatan untuk mengatakan hal itu.
Buku catatan Zarri Bano jatuh dari tangannya dengan suara keras ke atas lantai marmer.
"Ibu!" Zarri Bano menatap Shahzada seolah-olah dia hendak pingsan.
Kipas angin di langit-langit berputar di atas mereka, memperdengarkan satu-satunya suara di ruangan itu. Seraya bersandar pada bantal-bantal sofa yang lembut, Shahzada dengan tenang menatap putrinya. Zarri Bano duduk di seberang, ibunya.
Shahzada condong ke depan. Matanya menatap lekat wajah Zarri Bano. "Dengan Sikander!" tambahnya dengan suara lirih, tetapi tegas.
Zarri Bano terlongong, tak mampu bicara. Apakah dia telah salah mengerti" Mulutnya terbuka, lalu mengatup. "Demi Haris, putriku," jelas Shahzada dengan cepat, merasa tidak senang atas reaksinya.
Buku catatan yang tergeletak di pangkuan Zarri Bano pada ujung burqa hitamnya juga terjatuh ke lantai ketika dia bangkit. Berarti dia tidak salah dengar!
"Ibu, bagaimana mungkin Ibu bisa mengatakan hal seperti ini"" Tubuhnya bergetar dan matanya berkilau oleh kepedihan hatinya. "Aku seorang Perempuan Suci. Menikahi suami adikku yang telah meninggal, Ibu bilang" Apakah Ibu tak punya perasaan atau rasa hormat"" Zarri Bano menutupkan sebelah tangannya ke mulut dan tangan yang satunya menekan perutnya, pada rasa mual yang melilit menuju tenggorokannya dan otot-otot perutnya yang menyembul.
Api Di Bukit Menoreh 24 Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja Musibah Baru 2
^