Pencarian

Perempuan Suci 8

Perempuan Suci The Holy Woman Karya Qaisra Shahraz Bagian 8


Di hadapan mata Shahzada yang gelisah, Zarri Bano berlari keluar dari ruangan itu menuju halaman yang terbuka di mana dia menghela udara segar mengis
i dadanya. Dia bergetar seperti daun.
Di dalam rumah, Shahzada terpuruk lesu dalam kekalahan. Jika itu reaksi putrinya terhadap sarannya, tampaknya Zarri Bano tak akan pernah mau menikah dengan Sikander. Kalau begitu, siapakah nanti yang akan menjadi ibu tiri bagi cucunya tercinta" Kesedihan melanda Shahzada, mengacaukan segala harapannya dengan serta-merta.
* * * Menatap ke depan pada cakrawala biru jernih, Zarri Bano berjalan sendirian di jalan setapak sempit dibatasi gugusan rumput sepanjang sawah kakeknya. Angin mempermainkan dan menggelombangkan burqa hitamnya di sekeliling tubuhnya. Kata-kata berpijar dalam benaknya. "Pernikahan! Dengan Sikander!"
Bayangan tentang dirinya sendiri, Ruby, dan Sikander membuat perutnya kembali mual. Kali ini dia tak bisa menahan gelombang rasa mual yang menderanya. Seraya menyeka butir-butir keringat dari wajahnya dengan saputangan, Zarri Bano terus berjalan.
Dia sampai di sumur desa tempat dia, Khawar, dan Firdaus biasa bermain bersama saat kanak-kanak dan melemparkan batu-batu kecil ke dalam air. Seraya duduk di atas birai batu bata sumur itu, dia berteriak, "Tak akan pernah! Tak akan pernah!" ke dalam kolam air yang gelap itu. Kata-kata itu bergema di dinding bata sumur yang
lembab. "Aku telah melenyapkan dan membunuh perempuan ceroboh yang kau pancing keluar dari dalam diriku, Sikander. Dia bersedih karenamu. Tak akan pernah terjadi lagi!" Bangkit dari birai sumur itu, Zarri Bano berjalan menuju tanah pertanian kakeknya. Dia berjalan mengelilingi kandang ayam, menyaksikan kerbau-kerbau perahan dicancang pada kandang besi mereka tengah memamah biak rumput hijau yang diletakkan di depan mereka dalam bak-bak kayu yang sengaja dibuat.
Ketika kembali ke hawali beberapa lama kemudian, dia melihat ibunya sedang duduk dan bercakap-cakap dengan kakeknya. Shahzada dengan cepat meneliti wajah putrinya, memerhatikan raut wajahnya yang tertutup dan penolakannya membalas senyum sang ibu.
Tanpa kata-kata, Zarri Bano pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum melakukan shalat asar. Bahkan saat shalat pun dia tak mampu mengusir kata-kata ibunya atau bayangan-bayangan yang tak diinginkannya itu melintas.
Tak lama kemudian, Shahzada menghampiri anaknya dan dengan jantung berdegup kencang, dia bersiap untuk kembali mencoba. Aku harus melakukannya demi semua orang, ujar Shahzada pada diri sendiri dengan penuh semangat. Seraya mengulurkan tangan untuk menggenggam tangan Zarri Bano, dia menggosok punggung tangan putrinya itu dengan lembut dengan tangannya sendiri. Dia menatap kulit lembut putrinya dengan rasa senang dan penuh kebanggaan-mereka tak pernah tahu apa yang tersembunyi dalam batinnya.
"Begitu burukkah berkorban menjadi ibu bagi kemenakanmu sehingga hanya menyebutkannya saja bisa membuatmu pergi dari hawali"" Shahzada mengomeli anaknya dengan halus.
"Ibu, jangan mulai lagi!" tukas Zarri Bano seraya memejamkan matanya erat-erat. "Tolong jangan katakan apa-apa lagi."
"Mengapa tidak"" sahut Shahzada.
"Apakah Ibu lupa"" segah Zarri Bano. "Aku ini seorang perempuan pakeeza. Bagaimana mungkin Ibu menyarankanku menikah" Apalagi dengan suami adikku sendiri!" Kemarahan menari-nari dalam sepasang mata permata hijaunya.
"Ingatlah bahwa ayahmu telah membebaskanmu dari sumpahmu."
"Betapa tepatnya Ibu mengingatkanku sekarang. Kini yang kalian inginkan. Aku diminta menikah. Ibu kira aku ini boneka lilin, sesosok phutley yang bisa dibentuk sesuka hati untuk menarikan lagumu ketika diperlukan" Aku ini seorang manusia! Seorang perempuan yang tak pernah bisa memikirkan ikatan perkawinan!
"Kini meminta agar aku sebaiknya melupakan semua itu dan menikahi siapa" Seorang lelaki yang memiliki hubungan ragawi dengan adikku selama empat tahun. Apakah aku ini sayuran di pasar tempat Sikander bisa dengan mudah berpindah ke sayuran lainnya" Apakah Ibu tak punya perasaan; tak memikirkan apa yang Ibu sarankan" Aku tak bisa menikah dengan lelaki mana pun. Apa lagi dengan Sikander! Tak akan pernah, Ibu, tak akan!" Zarri Bano menentang Shahzada. Pipinya bergetar merona merah.
"Aku memahami perasaanmu, sayang, tetapi
kau akan berubah, kau akan lihat. Kita terutama harus memikirkan Haris."
"Ya, aku bisa melihat Ibu memikirkan Haris. Aku tak akan pernah berubah, Ibu, kujamin. Ibu, Ayah, dan Kakek telah mengubahku di hari saat kalian membuatku menjadi seorang Perempuan Suci. Kini tak mungkin lagi bagiku kembali ke masa lalu. Aku tak bisa menjalani kehidupan yang lain. Jika Ibu menginginkan aku berterus terang, aku akan melakukannya sepanjang Ibu memahami bahwa persoalan ini telah tertutup dan tak pernah terbuka lagi. Aku seorang perempuan beragama, karena itu aku tidak akan pernah bisa, maafkan kalau aku tidak sopan dengan mengatakannya, tidur dengan lelaki mana pun! Apalagi dengan lelaki yang telah memiliki hubungan intim dengan adikku. Harapan Ibu agar aku menggantikan tempat Ruby membuatku ngeri dan terkejut. Seharusnya Ibu tidak memanfaatkan Haris untuk memaksaku."
Merasa kesal, Zarri Bano menarik tangannya dari genggaman ibunya. Seraya berdiri tegak, dia meninggalkan kamar itu. Burqa hitamnya berkibas dengan marah mengitari tubuhnya. Shahzada tetap meringkuk di atas sajadah, sesosok tubuh yang dilanda kesedihan. Melihat perasaan dan kata-kata Zarri Bano tampaknya tak ada peluang baginya untuk menikah dengan Sikander.
Tetapi, sesungguhnya putrinya memang benar. Mereka tak bisa lagi memaksanya melakukan apa pun. Sebagai orang dewasa, dia tahu apa yang baik baginya. "Kecuali jika dia tak tahu," desah Shahzada. "Bagaimana dia tahu rasanya kehidupan pernikahan dan hidup bersama anak-anak dan seorang pasangan" Dia tak pernah mengalaminya, atau merasakan kehidupan seperti itu, tetapi dia telah mempersiapkan pikirannya untuk melawan hal itu."
Shahzada dengan sedih menerima fakta bahwa anak perempuannya telah sungguh-sungguh menjadi seorang Shahzadi Ibadat yang sejati. Dan dalam proses itu, dia menukarnya dengan keperempuanannya. Jalan hidup yang diterimanya dengan ngeri lima tahun lampau, kini telah dijalaninya dengan sepenuh hati dan dengan komitmen seumur hidup.
* * * Malam itu Fatima datang mengunjungi Chaudharani Shahzada. Keduanya amat senang bisa berjumpa dan berpelukan hangat. "Bagaimana keadaan keluargamu, Fatima" Aku akan segera mengunjungi mereka. Bagaimana kabar Fiaz""
"Ia sehat-sehat saja, Chaudharani Sahiba."
"Dan bagaimana dengan rishta Salma" Sudah sejauh apa""
"Ya, Kulsoom, mak comblang desa kita, dan saya telah berjumpa pemuda itu dan bertemu keluarganya. Mereka orang-orang yang menyenangkan, Chaudharani Sahiba. Mereka sudah datang untuk menemui Salma. Kami senang bisa saling jumpa. Mereka datang lagi dan meletakkan segan untuk tangannya dalam pernikahan. Salma dan pemuda itu telah diperkenalkan dan tampaknya saling cocok. Seperti yang Anda lihat, saya akan sangat sibuk mempersiapkan pernikahan Salma yang akan segera tiba. Saya tentu saja akan sangat membutuhkan bantuan saran Anda."
"Aku ikut senang, Fatima. Tentu saja aku akan membantumu. Andai saja putriku, Zarri Bano, menikah dengan Sikander."
"Apakah Anda telah mengusulkannya padanya""
"Ya, tetapi dia menolaknya mentah-mentah."
"Apakah saya sebaiknya membujuknya, Chaudharani Sahiba""
"Kau boleh coba, tapi dia seperti batu karang yang tak tergoyahkan. Tahukah kau, Fatima, dia merasa saranku itu memuakkan. Aneh, bukan" Ini bukan pertama kalinya seorang lelaki mengawini saudara perempuan istri mereka yang meninggal dunia. Tentu saja ini dilakukan terutama demi sang anak."
"Tentu saja itu tepat sekali bagi semua orang," dengan cepat Fatima menyetujui. "Terutama bagi sang suami dan anaknya. Sang suami akan merasa tenang karena mengetahui bahwa ibu tiri anaknya akan mengurus mereka dengan kebajikan seorang bibi. Bagi anak-anak, karena mereka bisa berhubungan dengan seorang bibi yang bagaikan ibu kedua. Begitu pula akan menguntungkan bagi Zarri Bano bila menikahi Sikander. Namun itu bukan hanya untuk Haris semata. Secara pribadi aku percaya mereka memang berjodoh satu sama lain. Aku selalu ingin agar tuan putriku itu menikah dengan Sikander seperti halnya aku selalu ingin agar Firdaus menikah dengan Khawar. Anda tahu, Chaudharani Sahiba" Aku masih tidak bisa memaafkan Habib S
ahib karena perbuatannya. Walaupun ia sudah meninggal dunia...." Fatima cepat-cepat menghentikan perkataannya, merasa malu hati.
"Tak apa-apa, Fatima," ujar Shahzada dengan sedih. "Aku juga baru belajar memaafkannya. Tapi, aku harus sadar ia bukanlah satu-satunya orang yang bersalah. Orang lain yang ikut ambil bagian dalam hal itu adalah ayah mertuaku, Siraj Din. Dialah yang mengawali segala urusan ini."
"Jika itu persoalannya, mengapa Anda tidak mengatakannya pada beliau, Chaudharani Sahiba" Barangkali beliau bisa membujuk Zarri Bano. Aku sendiri akan mencoba membujuknya."
Setelah makan malam, Fatima pergi. Zarri Bano tidak ikut makan bersama mereka karena dia telah makan lebih awal bersama kakek dan kemenakannya.
* * * Fatima memilih saatnya dengan hati-hati. Sudah dua hari sejak obrolannya dengan Shahzada. Zarri Bano sedang duduk bersama kemenakannya di pangkuannya, membelai rambutnya dari dahinya dengan sentuhan penuh cinta seraya menyaksikan sebuah drama seri televisi di ruang santai.
"Tampan, ya"" ujar Fatima seraya duduk dekat Zarri Bano.
"Ya, ia mirip sekali dengan adikku Ruby." Gurat kesedihan tersirat di wajah Zarri Bano.
"Ia bisa dengan mudah dikira anakmu sendiri, sayangku. Kalian kakak beradik sungguh mirip. Bagaimanapun, Haris juga mirip ayahnya dan Sikander memang amat tampan. Membutuhkan dua orang untuk meraut wajah anak ini. Aku tak tahu apa yang akan terjadi pada Haris jika ayahnya menikah lagi...." Fatima menunggu tanggapan Zarri Bano. Ketika tak ada tanggapan yang ditunggunya, dia melanjutkan. "Sikander tentu akan menikah lagi. Sulit bagi seorang lelaki menduda terlalu lama. Ibuku selalu berkata bahwa sebagian besar lelaki menikah lagi bahkan sebelum para istri mereka dingin dalam kuburan. Sudah setahun sejak Ruby meninggal. Jika bukan untuk diri mereka sendiri, para lelaki menikah untuk anak-anak mereka. Itu alasan yang selalu mereka berikan, tentu saja, walaupun kita tahu tidak begitu. Begitulah yang dikatakan oleh ibuku padaku. Hidup melajang adalah sebuah masalah bagi mereka semua." Fatima berhenti bicara dengan merasa malu. Lidahnya bisa-bisa terpiting karena dia membicarakan sesuatu yang tabu. Dia sedang berbicara dengan Zarri Bano-sang Perempuan Suci.
"Tapi mengapa kau berbicara tentang Adik Sikander, Fatima"" tanya Zarri Bano.
"Aku hanya merasa penasaran apa yang akan terjadi pada Haris bila ia menikah lagi," sahut perempuan itu dengan lembut.
"Haris bisa tinggal bersama kami seperti yang ia lakukan saat ini. Selamat tidur, Fatima." Zarri Bano mengakhiri pembicaraan mereka. Dia telah bisa menebak ke mana arah pembicaraan Fatima.
51. KERAP KALI, di malam hari, sekelompok lelaki yang terdiri atas lima orang tua di desa itu datang berkunjung menyampaikan rasa hormat mereka pada Siraj Din. Mereka membawa hookah dan berjalan masuk halaman hawali dan tinggal berlama-lama seraya bercakap-cakap ngalor ngidul. Dengan hookah mereka dipenuhi tembakau segar oleh para pelayan Siraj Din dan dengan dendeng lezat untuk dimakan serta kacang untuk dikunyah dengan gigi tua mereka, para tetua desa itu menyampahi pekarangan berlantai marmer itu dengan kulit kacang pistachio, mengabaikan piring-piring yang diletakkan dekat mereka. Mengapa harus memedulikan piring kalau lantai itu akan disapu dan dipel pagi-pagi benar" Mereka menikmati percakapan akrab di antara mereka dan mendengarkan cerita-cerita Baba Siraj Din tentang India di masa lalu. Misalnya, bagaimana Siraj Din dan keluarganya melarikan diri ke Sind di Pakistan dan memulai hidup baru setelah "Pemisahan antara India dan Pakistan".
Di bawah embusan angin sejuk dari kipas di langit-langit, Shahzada duduk di sudut yang jauh dari para lelaki itu di atas sebuah charpoy, tersembunyi dalam bayang-bayang pot tanaman tinggi di beranda. Dia mendengarkan percakapan mereka tanpa menunjukkan diri. Ketika melihat mereka pergi, beranjak ke altar halaman dengan hookah di depan mereka, Shahzada mendekati Siraj Din untuk bertanya apakah ia memerlukan sesuatu sebelum berangkat tidur.
"Aba Jan, apakah aku perlu membawakanmu hookah yang masih segar" Aku akan menyiapkannya sen
diri." Dia dengan sukarela menawarkan pelayanannya walaupun para pelayan biasa menyiapkan tugas ini. Berdiri dekat kasur lipat milik Siraj Din di beranda, Shahzada menutupkan kerudung wolnya erat-erat di sekeliling bahu dan kepalanya sebagai tanda hormat pada lelaki tua itu. Siraj Din tak pernah melihatnya tanpa penutup kepala-sebuah kenyataan yang disyukuri dan kerap digembar-gemborkan Siraj Din pada orang lain dengan amat senang hati.
"Tidak, Anakku. Yang kuinginkan hanyalah ditemani olehmu. Duduklah, sayangku-di sini, di dekatku." Siraj Din menekuk kakinya yang panjang dan memberi tempat pada Shahzada untuk duduk di atas palang-nya.
"Betapa menyenangkan ada kalian semua di sini, Shahzada. Kuharap kau dan Zarri Bano bisa tinggal di sini untuk seterusnya. Ini mengingatkanku pada masa lalu ketika kalian biasa tinggal di sini dan tempat ini menjadi hidup oleh kehadiran kalian dan anak-anak. Ada banyak hal yang telah terjadi-saat itu ibu mertuamu, Zulaikha, masih hidup. Kau tahu, aku masih ingat Zarri Bano dan Ruby-semoga dia berada di surga-bertengkar, saling menjambak rambut, di beranda ini. Zarri Bano selalu memiliki masalah dengan menutup kepalanya," ia terkekeh. "Ah, ya.... Sudah lima tahun berlalu sejak aku terakhir melihat rambutnya. Betapa banyak hal telah berubah!" Suasana hatinya berubah. "Terkadang, Shahzada, aku merasa amat sedih karena aku masih hidup. Ini hampir seperti hukuman. Tak adil rasanya kehilangan cucu yang masih muda dan seorang anak lelaki-semua telah tiada. Aku bersedih untukmu, Anakku. Kau telah kehilangan mereka semua. Suami, anak lelaki, dan anak perempuan."
"Ya, aku telah kehilangan mereka semua," Shahzada menyetujui perkataan Siraj Din dengan lirih.
"Hari ini kau tampak sedih. Aku memerhatikan semuanya, Shahzada, putriku. Aku mungkin bertambah tua, tapi tiada yang luput dari mataku ini. Apakah semuanya baik-baik saja"" Shahzada tersentuh oleh nada peduli dalam suara Siraj Din. Siraj Din mencondongkan tubuh ke depan, menarik hookah panjang ke mulutnya dan mengisapnya, tetapi sepasang matanya menatap wajah menantu perempuannya itu-dengan hati-hati mengamatinya. Shahzada menunduk.
"Aku baik-baik saja," akhirnya Shahzada menyahut dengan menghela napas panjang.
Merasa tidak puas dengan jawaban Shahzada, Siraj Din berpendapat itu adalah saat yang tepat baginya menyinggung persoalan yang telah melukai keluarganya.
"Kau tak pernah memaafkan anakku, Habib, karena membuat Zarri Bano menjadi seorang Perempuan Suci, bukan" Ia mati sebagai seorang lelaki yang sedih dan kesepian. Karena itu, bagaimana mungkin kau bisa memaafkan aku, ayah mertuamu, orang yang mendorong dan mendukungnya."
Shahzada berpura-pura tak peduli. "Aku tak tahu apa yang kau bicarakan, Aba Jan," sahutnya.
"Shahzada, menantuku tersayang. Mengapa kau sembunyikan" Jika kau membenciku karena membuat Zarri Bano menjadi seorang Perempuan Suci, beranilah menunjukkan kebencianmu. Berteriaklah padaku jika itu yang ingin kau lakukan! Tapi jangan kau pendam dalam hatimu! Aku telah berbuat jahat padamu. Jangan membuat lebih buruk bagiku dengan berlaku terlalu baik. Hati yang tua ini masih memiliki ruang dan kekuatan untuk mendengar teriakan dan kutukanmu jika itu yang ingin diutarakan oleh bibir dan hatimu." Mata Siraj Din menatap lembut pada kepala Shahzada yang ditutupi kerudung dan tertunduk. Seraya menunggu Shahzada mengatakan sesuatu dengan sabar, Siraj Din menarik hookah ke mulutnya lagi.
"Umurku sudah lebih dari lima puluh tahun, Aba Jan," kata Shahzada dengan suara jernih serta mengangkat pandang matanya pada Siraj Din. "Aku telah menjadi seorang nenek, tetapi masih menganut ajaran bahwa aku harus menghormatimu sepanjang masa. Maka, bagaimana mungkin aku berteriak dan mengutuk walaupun misalnya aku ingin" Aku adalah perempuan patuh dan bodoh yang tak bisa lepas dari sopan santun sejak begitu lama, bagaimana mungkin aku berani membuka mulut pada Anda, Aba Jan"
"Aku menaruh gembok dan rantai berat di mulut dan hatiku dan menguncinya selamanya untuk kebaikan ketika Anda dan Habib memutuskan untuk menentukan nasib putriku dalam kuasa tangan m
askulin kalian. Anda tak berpikir untuk meminta pendapatku. Aku tentu saja tak ikut bertanggung jawab atas akibatnya. Aku malah menerima hukuman dari Anda karena membiarkan Zarri Bano tinggal di rumah Sikander. Anda pun tak mempertimbangkan perasaan seorang ibu sama sekali atau perasaan putriku. Anda tahu, kami kaum perempuan hanyalah para pelayan bodoh dalam rumah tangga Anda-budak-budak yang patuh. Maka, bagaimana mungkin kini aku mencurahkan segenap perasaanku pada Anda""
Itu adalah perkataan terpanjang dan paling terbuka yang pernah dia lakukan di depan ayah mertuanya. Tawa Siraj Din bergema menakutkan dalam temaram beranda, membuat senyap suara jangkrik untuk beberapa waktu. "Tidak,
menantuku tidaklah bodoh. Kebalikannya, dia justru diberkahi otak yang cerdas. Dia tidak berteriak atau mengutuk, tetapi dia tahu bagaimana menajamkan kata-katanya dan menusukkannya pada tempat yang paling melukai."
Dengan tersipu, Shahzada menatapnya dan memutuskan berterus terang padanya seperti yang dikehendaki oleh Siraj Din. "Anda memintaku berbicara, maka aku pun bicara. Hari ini budak yang bodoh ini menyatakan kegetiran. Anda harus memaafkanku, Aba Jan. Anda telah menyentuhku pada titik getir dalam hidupku-putriku, Zarri Bano. Memang benar apa yang Anda katakan. Aku berubah pada hari Anda memenjarakan putriku dalam jalan suci ini. Aku kehilangan dan menguburkan seorang anak perempuan pada hari itu, Aba Jan, Zarri Bano yang kukenal dan kucintai. Aku tak pernah pulih dari kehilangan itu-aku berhadapan dengan orang asing. Aku merasa sedih hari ini karena aku ingin putriku menikah dengan Sikander. Aku meminta pertimbanganmu soal ini dan Anda memberikan restumu. Tapi, kenyataannya tak seorang pun di antara kita bisa melakukan tawar-menawar dengan apa yang terjadi pada Zarri Bano. Dia sungguh-sungguh seorang Perempuan Suci. Dia tak mau berubah pikiran bahwa dia tak akan pernah menikah dengan Sikander atau lelaki mana pun! Karena itulah, aku merasa sedih. Aku tak tahu bagaimana harus membujuk putriku. Aku ingin dia berubah menjadi perempuan normal lagi-memiliki suami dan keluarga. Aku ingin Haris memiliki Zarri Bano sebagai ibunya yang baru, bukan ibu tiri asing yang kebetulan dinikahi ayahnya. Aku tahu Sikander selalu mencintai Zarri Bano. Namun, Zarri Bano mundur dari gagasan menikah dengannya."
Dilanda emosi, Shahzada berhenti bicara. Kesedihan yang dalam di dalam nada suaranya melukai Siraj Din. Seraya mengulurkan lengannya, Siraj Din dengan lembut menyentuh kepala Shahzada yang tertutup kerudung. Itu tak tertahankan oleh Shahzada. Dia menjatuhkan diri di bahu Siraj Din dan tangisnya pun meledak.
"Diamlah, Anakku. Jangan menangis, atau kau akan membuatku menangis pula. Aku akan mencoba membereskannya dengan Zarri Bano. Sayangnya, aku tak bisa memutar waktu ke belakang, Shahzada. Seandainya saja aku bisa. Aku tak tahu apakah kau akan memaafkanku. Terkadang aku berharap kau seperti ibunda Gulshan- pemarah, pembangkang, dan tidak patuh. Karena jika kau seperti itu, kau akan memperjuangkan putrimu dengan segala cara. Tetapi, kau seorang menantu yang terlalu baik, terlalu sempurna, terlalu pasrah untuk berpikir menggoyang perahu patriarkat kami. Untuk semua ini, kau mendapat tempat khusus di hatiku. Putriku, aku tak bisa mengubah masa lalu, tetapi biarkan aku mencoba dengan meminta maaf padamu."
Ia dengan lembut membangkitkan Shahzada dari bahunya. Lalu, seraya duduk tegak ia menangkupkan kedua tangannya di depan Shahzada dengan sikap yang mengingatkan pada permohonan maaf secara tradisional.
"Tidak, Aba Jan!" pekik Shahzada. Matanya mendelik. Dia bangkit dari kasur lipat itu seakan-akan tersengat dan meraih tangan Siraj Din erat-erat. "Mengapa kita melakukan hal ini"" tanyanya. Suaranya serak.
"Maafkan aku, Shahzada. Aku tahu anakku menyentuh kakimu. Kami telah melakukan kejahatan terhadapmu dan putrimu. Aku tak tahu kau akan membiarkanku menyentuh kakimu atau tidak, tetapi apakah permohonan tanganku ini ada pengaruhnya bagimu""
"Tolong, Aba Jan! Jangan hinakan aku atau dirimu sendiri dengan tindakan ini," teriaknya. "Aku tak tahan! Kau
tak perlu melakukannya. Aku memaafkanmu. Tetapi tolong, turunkan tanganmu. Kau membuatku gemetar." Shahzada mencium tangan Siraj Din yang berkenjal-kenjal, tersentuh batinnya, seraya menggenggamkan tangan itu pada wajahnya.
"Baiklah, Shahzada. Aku akan menurunkan tanganku, tetapi izinkan aku berkata, kau dinamai tepat sekali, seorang putri-seorang 'shahzadi', perempuan bangsawan. Aku selalu merasa terhormat memilikimu sebagai menantu. Semoga kau panjang umur dan semoga Allah memberimu kedamaian pikiran yang amat kau idamkan. Aku akan berdoa untukmu dalam shalatku. Beristirahatlah, Anakku. Aku akan berbicara dengan Zarri Bano esok hari." Ia dengan lembut menarik tangannya dari cekalan erat Shahzada.
"Hudah Hafiz, Aba Jan." Seraya mengucapkan selamat malam dan mengembalikan hookah ke mulut Siraj Din, Shahzada bangkit. Dia kembali ke kasur lipatnya sendiri di beranda, tetapi tak dapat tidur. Sudah lama sekali sejak ia bercakap-cakap dari hati ke hati dengan ayah mertuanya. Orangtuanya sendiri tinggal di tempat yang jauh dan dia amat jarang bertemu mereka. Shahzada memejamkan matanya dengan tak percaya ketika dia memikirkan tangan mertuanya yang tertangkup memohon, meminta permaafannya. Itu dilakukan oleh seorang zemindar yang angkuh! Dia bergidik, merasa malu atas diri mertuanya. Merendahkan diri hingga menyembah pada menantunya sendiri. Itu tak terpikirkan! "Dan ia melakukannya untukku! Aku memaafkanmu, Aba Jan," tangisnya bermurah hati dalam tidurnya.
* * * Esok paginya, setelah sarapan disiapkan oleh Naimat Bibi di beranda terbuka, Siraj Din meminta cucu perempuannya menemaninya berjalan-jalan di ladang seperti yang biasa ia lakukan setiap hari. "Ya, tentu saja, Kakek. Haris dan aku akan sangat menyukainya. Ayolah, bocah kecil!"
Zarri Bano baru saja mengawasi kemenakannya makan setelah mengganti bajunya dan menyisir rambutnya. Dia mengikuti kakeknya keluar rumah dan mengambil jalan setapak melintasi desa, seraya menyalami para perempuan yang dia temui. Dengan sabar mereka mengawasi Haris yang melompat-lompat di depan mereka di atas jalan setapak yang sempit berdebu.
"Kau amat menyayangi kemenakanmu, bukan, Zarri Bano sayangku"" Siraj Din memulai dengan mata tertunduk ke bumi dan menusukkan tongkatnya yang terbuat dari gading.
"Ya, tentu saja, Kek." Zarri Bano tertawa seraya menjajarkan langkahnya dengan laju tongkat kakeknya. "Ibumu berbicara padaku semalam. Dia amat bersedih karena dirimu." Nada tenang itu kini telah sirna. "Begitukah"" Suara Zarri Bano mengandung kewaspadaan. "Ya, dan kau tahu mengapa, bukan"" ujar Siraj Din.
Zarri Bano menahan napas. "Jika Kakek tahu mengapa, berarti aku bisa mengatakan padamu bahwa aku tak bisa melakukan apa yang dia minta," jawab Zarri Bano dengan tenang seraya menatap ke depan dan mengawasi Haris dengan hati-hati.
"Bahkan seandainya kakekmu memintanya padamu"" Siraj Din mendesaknya dengan lembut.
Zarri Bano berhenti berjalan dan memalingkan wajahnya ke arah kakeknya. Siraj Din melihat garis tegas mulut Zarri Bano yang berwarna merah jambu. Siraj Din pun berhenti dan bertumpu pada tongkatnya. Kakek dan cucunya itu saling bersitatap dengan keteguhan hati yang setara.
"Kakek dan Ayah menggunakan tekanan moral dan psikologis untuk membuatku menjadi seorang Perempuan Suci," ujar Zarri Bano pada kakeknya kini. "Aku kemudian patuh dan pasrah. Aku tak akan melakukannya kali ini, Kakek, bahkan jika Kakek berlutut pun. Aku bukanlah sebuah boneka lilin yang bisa kau bentuk sesuai dengan kemauanmu. Lagi pula, aku tak punya keinginan untuk menikah dengan lelaki mana pun! Tolong jangan munculkan persoalan ini lagi. Ini sangat menyakitkan bagiku. Maafkan aku karena kekasaranku, Kakek, tapi aku tak bisa mematuhimu. Kau tahu, aku tidak bisa melakukannya ketika otonomi individualku dipertaruhkan."
Jika Siraj Din merasa kecewa, ia berhasil menyembunyikannya dengan baik. Penolakan Zarri Bano bisa dimengerti. Siraj Din menelan harga dirinya yang terluka, tetapi ia merasa kasihan pada Shahzada. Ia telah berjanji pada menantunya itu. Ia pun mencoba lagi.
"Zarri Bano, sayangku, maafkan kami atas apa yang
telah kami lakukan," ia memulai.
"Tiada yang perlu dimaafkan, Kakek. Aku amat bahagia dengan hidupku." Zarri Bano berjalan dengan bergegas.
"Aku kenal dirimu, sayangku, tapi kini kukira perkawinan akan baik bagimu." Begitu ia mengucapkan kata-kata itu, Siraj Din langsung menyesalinya.
"Betapa baiknya Kakek berpikir seperti itu," tukas Zarri Bano dengan kasar. "Pernikahan baik bagiku sekarang, bukan" Tapi tidak baik bagiku lima tahun lalu-mengapa" Kau tahu, Kakek, aku sudah sepakat akan menikah dengan seorang lelaki yang sungguh ingin kunikahi, tetapi Kakek dan Ayah dengan tangan besi membatalkannya. Aku sudah melakukan apa yang kau inginkan. Tapi tidak sekarang, tidak kali ini, Baba Jee."
"Ya, sebenarnya kau bisa menikahinya sekarang, Zarri Bano," Siraj Din buru-buru menawarkan.
"Tidak, Kakek, aku tak bisa. Sudah terlambat lima tahun. Asal Kakek tahu, kalau-kalau kau tak memerhatikan, aku seorang pribadi yang lain sekarang ini. Aku tak berhasrat menikah-dengan atau tanpa izinmu yang begitu murah hati. Ayahku memaksaku menjadi seorang Perempuan Suci dengan menolak memberiku izin menikah. Aku tak membutuhkan izin siapa pun, aku sudah dewasa, tapi aku menjadi seorang tawanan dari perasaan wajib berbakti kaum perempuan. Ketika mengalah, aku mengorbankan jiwa dan kebahagiaanku serta kedamaian pikiranku. Aku tak akan melakukan hal serupa lagi. Melakukan hal seperti itu akan melenyapkan inti otonomi individualku. Jika aku sampai kehilangan hal itu, Allah melarangnya, aku sama saja dengan seorang tolol-sesosok phutley. "
"Aku tidak tahu apa-apa tentang jiwa atau otonomi individu atau phutley, Zarri Bano. Yang kami minta darimu hanyalah menjadi ibu Haris," tegas Siraj Din dengan suara mengeras.
"Maafkan aku, Kakek, jawabannya masih tidak." Suara Zarri Bano sama tegasnya dengan kekerasan Siraj Din. Dia berlari mengikuti Haris.
Tiada lagi yang perlu dibicarakan. Keheningan meraja di antara mereka-sebuah pengalaman unik bagi Siraj Din. Ia terbiasa dengan orang-orang yang mematuhi perintahnya. Penolakan tegas cucunya adalah sebuah pil pahit yang terpaksa harus ditelannya.
Mengapa dia tidak bisa menolak mereka lima tahun yang lalu" Dalam hatinya, Siraj Din tahu jawabannya. Saat itu Zarri Bano tak memiliki peluang membangkang di hadapan empat lelaki kuat. Apakah yang bisa dilakukan seorang gadis yang baru berumur dua puluh tujuh tahun saat harus berhadapan sekaligus dengan seorang ayah, seorang paman, seorang kakek, dan seorang lelaki yang lebih tua" Zarri Bano tak memiliki pilihan selain pasrah, tunduk di hadapan mereka semua.
52. "TIADA GUNANYA, Sahiba," Fatima berkata terus terang pada majikannya di kamar tidur Shahzada setelah dia bercakap-cakap dengan Zarri Bano. "Dia tidak mau mendengarkanku dan berkeras tak mau menikahi Sikander. Anda benar. Dia langsung menentang gagasan itu."
"Terima kasih telah mencoba, Fatima." Shahzada menarik napas dalam-dalam. "Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Dia mungkin akan menghindariku kini. Hari ini dia bahkan tidak pulang untuk makan siang, tetapi tetap tinggal di madrasah, berpura-pura mengadakan sebuah rapat penting. Aku harus mengatakannya pada Sikander besok ketika ia datang menjemput Haris. Aku takut. Kau tahu, waktu seminggu berlalu begitu cepat, Fatima. Rasanya baru kemarin Haris datang untuk tinggal bersama kami."
Malam berikutnya Sikander tiba untuk menjemput anaknya. "Mana bibimu, Haris"" tanyanya setelah beristirahat dan memeluk anak itu.
"Dia masih di madrasah, Sikander Anakku," sahut Shahzada.
"Aku tahu. Sudah malam, bukan" Apakah aku jemput saja dia agar pulang ke rumah atau kusuruh sopir untuk menj emputny a""
"Tidak usah, tidak apa-apa. Aku menyuruh Ali untuk menemaninya," kata Shahzada padanya. Dia tahu secara naluriah Zarri Bano sengaja tinggal di madrasah begitu lama agar tak perlu bertemu dengan Sikander. Shahzada telah berniat untuk berkata sejujurnya pada Sikander dan membuatnya tahu persis apa yang terjadi antara dirinya dan putrinya.
"Sikander, aku amat menyukai usulanmu," dia memulai. Sikander menatap tajam padanya. "Kau tahu apa yang sedang kubicarakan, bukan" Ya,
aku telah berbicara pada Zarri Bano soal ini dan maafkan aku, Anakku, tapi dia tak mau mendengarkan atau mempertimbangkannya. Dia menolaknya mentah-mentah."
Sikander mencoba menutupi kekecewaannya. "Aku tahu," akhirnya Sikander menyahut.
"Kau bisa mengerti situasinya, kan"" Shahzada meminta pengertiannya.
"Ya, bisa, Bibi," jawabnya datar.
"Dia telah berubah kini. Dia menuduh kami telah memperlakukannya seperti boneka lilin, membentuknya sesuai dengan keinginan kami dan keadaan kami."
"Ya, aku bisa membayangkan Zarri Bano mengatakan hal itu-dan memikirkan itu. Itu juga barangkali yang akan kupikirkan jika aku berada dalam posisinya. Aku ingat dia pernah berkata padaku dulu bahwa di atas segalanya dia tidak mau dibentuk, tetapi ironisnya dia telah dibentuk."
"Dia juga merasa bersalah atas kematian adiknya. Pilihan harus menggantikan Ruby terasa mengerikan baginya."
Sikander kembali menyimak perkataan Shahzada dengan tekun, tetapi tidak segera menyahut.
"Ayo, Nak. Kita harus pulang," ujar Sikander akhirnya pada Haris dan bangkit untuk pergi. Lalu ia berpaling pada Shahzada lagi. "Bolehkah aku berkata sendiri padanya tentang soal itu" Apakah aku diizinkan""
"Tentu saja, sayangku, lakukanlah. Aku akan amat senang jika kau menikahi putriku."
Sikander tersenyum berterima kasih. "Daripada aku mengantar Haris kemari, mungkinkah Anda membujuk Zarri Bano untuk datang ke Karachi seminggu lagi untuk menjemput Haris" Aku akan senang berjumpa dengan Zarri Bano di sana, begitu juga orangtuaku."
"Aku tak tahu apakah itu bisa dilakukan," Shahzada merasa cemas. "Perangai Zarri Bano saat ini aneh. Dia bahkan lari hanya karena mendengar namamu disebut. Aku akan mencoba melakukan yang terbaik atau aku akan datang sendirian."
"Baiklah. Tolong lakukan itu. Hudah Hafiz, Bibi."
Sikander berjalan keluar menuju halaman depan yang gelap. Ketika baru saja mendekati jipnya, ia melihat Zarri Bano berjubah hitam panjang tiba di halaman bersama Ali.
Zarri Bano berhenti saat melihat Sikander. Dia sudah terlihat oleh Sikander dan ragu-ragu apakah akan kembali atau maju. Akal sehatnya berkata padanya agar ia harus maju. Sikander tetap berdiri di bawah beranda yang bertudung seraya memeluk erat putranya, menunggu Zarri Bano mendekatinya.
"Assalamu 'alaikum, Adik Sikander," sapa Zarri Bano memberi penekanan pada kata "Adik".
"Wa 'alaikumussalam, Zarri Bano," sahut Sikander lirih: Sepasang matanya berkilat dalam cahaya temaram beranda. Zarri Bano memerhatikan bahwa Sikander menghilangkan kata "Kakak". Selama empat tahun terakhir, selama pernikahannya dengan Ruby, Sikander dengan hormat memanggilnya sebagai "Kakak Zarri Bano". Pipi Zarri Bano merah padam dalam gelap.
"Aku menjemput Haris pulang." Sikander kini berjalan perlahan menghampiri Zarri Bano.
"Aku tahu. Apakah Bibi sehat"" tanya Zarri Bano dengan sopan, mencoba menjaga nada datar dalam basa-basinya. Zarri Bano masih tak menatap langsung mata Sikander, tetapi menatap Haris yang mencondongkan tubuh ke depan dan menggenggam lengan Zarri Bano.
"Bibi, maukah Bibi menjemputku minggu depan di Karachi"" rengeknya. "Nenek bilang Bibi akan datang. Bibi harus datang dan tinggal dengan kami dua hari." Haris tak peduli dengan ketegangan di antara kedua orang dewasa itu.
Zarri Bano menahan napas, terperangkap oleh pertanyaan polos Haris. "Tidak, sayang. Aku tidak bisa. Aku akan menghadiri rapat di Multan minggu depan," sahutnya dengan jujur.
"Datanglah kalau Bibi ke sana. Bibi tak pernah berkunjung ke rumah kami di Karachi, kan"" Celoteh bocah keluar dari mulut mungilnya. Zarri Bano merasa terperangkap makin dalam.
"Anakku menyampaikan undangan untuk membantuku. Aku tidak perlu melakukannya sendiri," Sikander tersenyum seraya berkata lembut pada Zarri Bano dengan suara dalam.
Zarri Bano melangkah mundur. Wajahnya menggambarkan ekspresi panik. Kali ini Zarri Bano menatap langsung mata Sikander. Gagasan itu harus segera dibasmi. Dia tak bisa berpura-pura tak peduli lagi.
"Maafkan aku, Adik Sikander, tapi aku sungguh harus menolak undangan itu. Mungkin nanti, kalau kau menikah lagi, aku akan menghadiri pernikahanmu."
" Kau pasti akan datang," sahut Sikander sebelum berjalan pergi bersama anaknya dalam pelukan. Setelah meletakkan Haris di tempat duduk penumpang dalam jipnya, ia sekali lagi menoleh pada Zarri Bano. Perempuan itu berdiri melihatnya, terguncang oleh kesadaran aneh yang merasuki tubuhnya.
Zarri Bano masuk ke rumah, merasa jijik pada diri sendiri dan pada perasaannya, dan menuntaskannya dengan tiga patah kata tajam, "Tak akan lagi!" Bab itu dalam hidupnya telah berakhir-tak akan pernah hidup kembali.
* * * Lebih dari beberapa hari kemudian Shahzada mencoba dengan amat keras untuk memberi isyarat pada Zarri Bano agar mereka sebaiknya pergi menjemput Haris lain kali. Gadis itu bergeming. "Ibu saja yang pergi! Tak perlu aku pergi ke sana. Ibu bisa mengirim Ali untuk menjemputnya." Kini dia mulai berpikir ada persekongkolan untuk mengirimnya ke Karachi dan melemparkannya bersama Sikander.
"Ibu, kenapa Ibu ngotot" Ibu tahu aku tidak seharusnya menemui seorang gher merd, seorang asing." Dia menoleh dengan marah pada ibunya.
"Tapi, Sikander bukanlah seorang gher merd, " Shahzada berkeras.
"Oh, ya, ia orang asing. Ia tak memiliki hubungan darah denganku, maka ia adalah seorang gher. Sampai ia menikah lagi dengan seseorang, aku tak ingin berurusan dengannya atau keluarganya. Tolong jangan bersekongkol di belakangku karena jawabannya akan selalu sama."
* * * Tiga hari kemudian, Zarri Bano dengan enggan akhirnya menemani ibunya ke Karachi. Dia menunda kunjungannya ke Lahore karena Haris dikabarkan sakit dan ingin agar Bibi Zarri Bano dan neneknya yang lain bersamanya. Merasa terjebak, dia akhirnya bersedia pergi. Jika Haris memang sakit, tak baik baginya jika dia menjauh. Haris telah berbicara di telepon dengan suara gemetar, "Bibi, datanglah. Aku kangen sekali. Aku sayang Bibi. Kapan Bibi akan datang""
"Ya, sayang," ujar Zarri Bano dengan pasrah. Haris adalah pusat dunia mereka, peninggalan yang bernyawa dari adik perempuannya. Dia tak pernah bisa menolak permintaan sepenuh hati semacam itu. "Aku akan menuntaskannya dengan Sikander jika waktunya tiba," Zarri Bano berkata tegas pada dirinya sendiri.
Ketika menatap Haris beberapa jam kemudian di atas ranjangnya di Karachi, Zarri Bano merasa malu atas keegoisannya. "Semuanya baik-baik saja, sayangku. Bibi ada di sini untuk menemanimu," janjinya seraya memeluk bocah yang tengah diserang demam itu dan mengecup keningnya. Lidahnya serasa kelu. Dia terharu untuk adiknya yang telah tiada. Dengan Haris masih berada dalam pelukannya, Zarri Bano tidak kuasa lagi menahan tangisnya.
"Bibi, apakah Bibi menangis"" ujar Haris seraya menatap penuh selidik kepada Zarri Bano.
"Ya, sayang. Aku menangis untuk ibumu karena aku merasa kangen sekali padanya."
"Aku juga rindu padanya," kata bocah itu dengan suara lirih.
"Kita semua kangen padanya, tetapi menangis tak akan menolong," sela Sikander. Rupanya ia telah masuk ke kamar. Zarri Bano menyeka matanya dengan tangannya dan menoleh. Sikander dan Bilkis berdiri bersama. Tatapan mereka hangat ketika melihat bibi dan kemenakan itu saling berangkulan.
Zarri Bano menyeka pipi bocah kecil itu dengan sehelai tisu. "Haris, maukah kau minum sedikit kuah sup yang dibawakan Dadi Ama untukmu"" Zarri Bano mengambil sup itu dari Bilkis dan mencicipinya terlebih dahulu. "Oh, enak sekali! Kau cobalah cicipi dulu." Seraya menyendok sup ke mulut Haris, Zarri Bano memusatkan perhatian pada sup itu karena tubuhnya menyadari bahwa Sikander tengah duduk di ujung lain ranjang itu seraya mencondongkan tubuh ke depan dan memerhatikan mereka berdua lekat-lekat.
"Kau beruntung memiliki bibi yang menghabiskan banyak waktu bersamamu," ujar Sikander pada anaknya. "Kedua bibimu yang lain, saudara-saudaraku, tinggal amat jauh dan amat sibuk dengan anak-anak mereka sendiri sehingga tidak bisa datang biarpun hanya sebentar."
"Aku mungkin tinggal di tempat yang berdekatan, Sikander Sahib," jelas Zarri Bano pada Sikander, "tapi seperti yang kau tahu aku pun menjalani hidup yang sibuk dan hanya memiliki sedikit waktu untuk dihabiskan bersama. Aku datang hanya karena Haris sakit. Aku sibuk saa
t ini terutama karena berharap bisa mendirikan sebuah perusahaan penerbitan seperti yang ingin kulakukan sejak lima tahun yang lalu."
"Ya, tentu saja, Sahiba. Aku tidak bermaksud mengatakan bahwa kau tak memiliki urusan," Sikander dengan cepat menimpali. "Kami tahu kau memiliki kehidupan yang amat sibuk. Aku juga sadar kau harus menunda kepergianmu ke Lahore. Kami semua amat berterima kasih kau bersedia meluangkan begitu banyak waktumu untuk kunjungan ini. Apakah kau merencanakan Karachi sebagai basis perusahaanmu"" tanyanya penuh rasa ingin tahu, secercah cahaya tersirat di matanya.
"Aku belum yakin, tetapi aku berharap bisa membuat penerbit yang memiliki spesialisasi dalam buku-buku akademis dan pelajaran, barangkali di Hyderabad atau Islamabad," kilah Zarri Bano yang telah membeli tanah di Karachi untuk perusahaannya. Sikander tak tahu, begitu pula Shahzada-hanya kakeknya yang tahu.
Zarri Bano menuruni tangga untuk makan malam dan bergabung dengan ibunya. Tak lama setelahnya, dia kembali ke kamar Haris dan memutuskan untuk tidur dengan bocah mungil itu. Sejak kematian ibunya, Haris selalu tidur dengan Zarri Bano ketika ia tinggal dengannya. Seraya membuka burqa dan mengenakan kurta malamnya, Zarri Bano naik ke ranjang besar, memeluk Haris dan jatuh tertidur.
Sikander masuk kamar anaknya tidak lama kemudian di malam itu. Ketika ia melihat anaknya dikeloni bibinya, sesuatu membuat kerongkongannya serasa tercekat. Ia berdiri begitu lama menatap mereka berdua. Itu adalah untuk
pertama kalinya ia melihat Zarri Bano tidur di rumahnya. "Aku tak akan melepaskannya! Aku harus segera berbicara dengannya. Setiap hari adalah hari yang terbuang," ujar Sikander pada diri sendiri seraya menutup pintu.
* * * Sikander menemukan kesempatan untuk berbicara dengan Zarri Bano dua hari kemudian. Zarri Bano sedang berada di kebun jeruk, bermain-main dengan Haris. Kesehatan bocah itu telah membaik hanya dalam waktu dua puluh delapan jam. Zarri Bano tidak menyadari kehadiran Sikander untuk beberapa waktu karena begitu asyik bermain petak umpet dengan kemenakannya, merasa senang dengan tawa sehat kekanak-kanakan bocah itu.
"Oh, itu Ayah!" teriak Haris seraya berlari ke arah Sikander. Ketika Zarri Bano berpaling untuk melihat Sikander, senyum telah lenyap dari wajahnya. Sikander memeluk anaknya dan menatap Zarri Bano melalui atas kepala Haris.
Tatapan Sikander yang membakar tertangkap oleh mata Zarri Bano. Kata-kata, "Haram! Haram! Itu dosa!" menggeledek dalam benak Zarri Bano ketika dia buru-buru membuang muka. "Aku tidak boleh menatap seorang gher merd, " gumamnya pada diri sendiri.
Selama beberapa detik Sikander telah berhasil menggiring Zarri Bano masuk ke dalam dua dunia: dunia masa lalu dan masa kini, dengan dirinya sebagai seorang Perempuan Suci. Zarri Bano merasa tidak senang karena dia melihat dirinya kembali berada pada titik yang sama seperti lima tahun silam ketika Sikander telah melamarnya. Sepasang mata Sikander bermain-main di wajahnya, memaksanya mengingat saat-saat itu dan mengakuinya-membuat sepasang mata Zarri Bano kembali menatap Sikander sekali lagi.
Bola di tangan Sikander terlepas, melepaskan Zarri Bano kembali ke dunia masa kini. Zarri Bano menunduk untuk mengambil bola dari atas tanah.
"Haris, Nenek memanggilmu ke dalam rumah," ujar Sikander pada anaknya seraya meletakkannya di tanah.
"Oke! Sebentar, Bibi," teriak Haris seraya berlari riang sepanjang jalan setapak di kebun menuju vila. Zarri Bano menyaksikannya pergi, berharap dan ingin mengikutinya, tetapi tak mampu karena sejumlah alasan.
Dia berpaling pada Sikander dengan seulas senyum sopan seraya menarik kepala burqa-nya lebih dalam menutup keningnya dan memeriksa tak ada jalinan rambutnya yang terlihat oleh tatapan mata Sikander. "Haris sudah membaik, Adik Sikander. Setelah beberapa hari aku bisa membawanya kembali ke Sind bersamaku," tawarnya karena ingin mengucapkan sesuatu.
"Ya, ia agak baikan, tapi aku lebih suka ia tinggal di sini. Ini rumahnya. Ia harus tinggal di sini, Zarri Bano. Aku juga merindukannya. Perjalanan bolak-balik antara Karachi dan rumahmu har
us dihentikan. Ini sudah berlangsung lebih dari setahun. Ini tak baik bagi kesehatannya, juga bagi pendidikannya."
"Aku tahu." "Bisakah kau tinggal dulu di sini bersama kami beberapa waktu"" tanya Sikander dengan hati-hati, mengambil langkah pertama menuju tujuannya.
"Aku... aku...." Zarri Bano tergagap seraya menatap Sikander langsung pada matanya. "Sikander Sahib, aku hanya datang karena Haris tidak sehat. Aku tak berhak tinggal di sini. Aku memiliki kehidupanku sendiri."
"Aku tahu kau orang yang sangat sibuk. Katakan padaku, mengapa kau tak berhak tinggal di sini" Kau adalah bibinya Haris."
"Sikander Sahib, kau tahu tidak pantas bagiku tinggal di sini, terutama sebagai seorang perempuan lajang dan kau kini seorang lelaki lajang."
Sikander menyambut umpan yang ditawarkan oleh Zarri Bano dengan kata-kata tegas. "Aku tahu. Ya, mungkin kita bisa membereskan soal itu, Zarri Bano. Mengapa tak kita resmikan saja kehadiranmu di sini bersama kami. Haris membutuhkanmu-kami memerlukanmu. Mengapa tak kau gantikan saja Ruby""
Begitu kata "gantikan" terlontar dari mulut Sikander, ia tahu ia telah membuat kesalahan fatal.
"Menggantikan Ruby" Tak akan pernah! Aku tak ingin menggantikan Ruby, Adik." Zarri Bano memberi penekanan kata "adik" dengan gamblang.
"Mengapa"" tanya Sikander, mengernyit pada kata "adik".
"Mengapa"" Zarri Bano balik bertanya. "Apakah kau tak memiliki rasa kepantasan, Sikander Sahib" Ruby adalah adikku, istrimu, dan aku adalah seorang Perempuan Suci! Apa yang kau sarankan itu mustahil bisa terjadi-itu menghinakan dan sekaligus menjijikkan."
"Aku hanya memikirkan yang terbaik untuk Haris. Tak ada hal yang menghinakan atau menjijikkan dalam usulan itu," sergah Sikander. Suaranya mengeras.
"Ya, semua orang cenderung memikirkan Haris, tetapi bagaimana denganku" Ibuku dan kakekku telah mendesakku. Tidakkah aku diperhitungkan" Tidakkah aku seseorang yang memiliki pendapat tentang segala hal" Haris membutuhkan perawatan perempuan lain. Ia bisa mendapatkannya dari sumber mana pun, tidak harus dariku. Lagi pula, aku bukan ibu yang baik. Hidupku terlalu sibuk. Aku punya sejumlah pekerjaan yang harus kuawasi saat ini. Aku tak punya pengalaman mengurus anak-anak. Aku telah meninggalkan pernikahan. Aku telah dibuat menjadi seperti itu-."
"Aku tidak membuatmu seperti itu!" sergah Sikander dengan dingin.
Zarri Bano mengabaikan sergahan Sikander dan melanjutkan perkataannya. Matanya menyipit. "Kini itu dilakukan oleh semua orang. Aku disuruh memenuhi keinginan semua orang. Kau adalah adikku, Sikander Sahib. Itulah anggapanku terhadapmu selama empat tahun. Kau adalah suami adikku yang telah mati. Bagaimana mungkin aku bisa hidup bersamamu" Lagi pula, aku bukan lagi seorang perempuan biasa. Aku telah menjadi seorang Perempuan Suci, dalam setiap arti kata yang dimaksud oleh kakekku dan ayahku-dan lebih banyak lagi.
"Lima tahun lalu hidupku jungkir balik. Aku lalu menyerah. Aku belajar untuk tak memedulikan dirimu dan kemungkinanku menikah. Dan aku bisa bertahan. Orang berubah seiring dengan berjalannya waktu, Adik Sikander. Dalam kasusku, aku menjalani sebuah perubahan kepribadian. Selama beberapa minggu aku tak tahu siapakah diriku.
Kini aku telah berdamai dengan diriku sendiri dan merasa bahagia dengan jalan hidupku sekarang. Aku tak punya keinginan untuk kembali ke kehidupan masa laluku atau berhubungan dengan semua itu.
"Kau adalah hubungan lamaku, seperti yang kukatakan padamu di Mina, Arab Saudi. Haram hukumnya menghubungkan namaku dengan seorang lelaki, termasuk suami adikku. Aku menikah dengan keyakinanku. Jadi, tolong jangan sebutkan sesuatu tentang ini lagi. Aku telah menunaikan kewajibanku atas apa yang tak pernah bisa terjadi. Jalan hidup kita, walaupun berpapasan lagi, tak ditakdirkan untuk muncul kembali, Adik Sikander. Ruby pasti akan bangkit dari kuburnya."
"Tidak akan." Kata-kata lirih itu terlontar dengan tegas. "Dia pasti ingin agar kau menjadi ibunda Haris. Kau tahu dia selalu merasa bersalah karena menikahiku. Dia tak pernah berterus terang soal itu-tapi aku tahu. Dia berpikir telah mengambil bagianmu. Ingat, a
ku dulu tunanganmu, bukan tunangannya."
"Kami ini kaum perempuan, Sikander Sahib! Kami bukan sayuran yang bisa kau pertukarkan semaumu," ujarnya dengan suara lirih penuh kepedihan. Di depan mata Sikander, Zarri Bano mulai bergidik, mengingat bayangan waktu lain di taman ketika Sikander nyaris mengurungnya dalam pelukannya dekat sebatang pohon dan melamarnya. Sikander telah menyentuh tangannya dan kemudian dia melepaskan Sikander! Zarri Bano ingin menghapus kenangan itu sepenuhnya dari benaknya. Dia menemukan lebih mudah lari dari masa kini daripada dari bayangan masa lalu- maka dia pun melarikan diri. Sikander menyaksikan Zarri Bano pergi dengan sedih.
Sikander tetap berdiam diri di taman, lama setelah Zarri Bano pergi. Dengan kedua tangan mengepal dalam saku celananya, ia berjalan mengitari pepohonan buah-buahan dengan kata-kata Zarri Bano terus terngiang di kepalanya. Ketika mengingat sikap Zarri Bano yang berapi-api dan raut kebencian di wajahnya, ia merasa semangatnya anjlok. Ia tak pernah siap dengan perubahan semacam ini dalam diri Zarri Bano. Dari seorang perempuan yang penuh gairah, dia telah berubah menjadi seseorang yang berkecil hati terhadap gagasan mengenai hubungan antarmanusia. "Bagaimana aku bisa memenangkan dirinya"" tanyanya pada diri sendiri dengan putus asa. Jika Zarri Bano sungguh-sungguh memandangnya sebagai seorang adik, harapan apa yang bisa membuatnya mengawini Zarri Bano" Ia kini berharap dengan sepenuh hati andai ia tak pernah menaruh hati pada Zarri atau Ruby tidak mati. Apakah memang ini jalan takdirnya" Tergila-gila selamanya pada perempuan yang sepenuhnya menolaknya" Seorang perempuan yang tetap tak tersentuh olehnya sepanjang waktu!
Namun, walaupun ia mengerti dan berempati terhadap perasaan-perasaan Zarri Bano, itu tak mengurangi rasa rindu di hatinya. Zarri Bano selalu ada di sana dan akan selalu ada di sana, terkunci dalam ceruk rahasia jiwanya- membuatnya malu, terkenang-kenang, dan terpesona.
Dalam dua hari berikutnya, Sikander menghindari kehadiran Zarri Bano sepenuhnya. Zarri Bano telah menyatakan perasaannya dengan amat jelas. Apakah inti dari mengejar semua itu" Zarri Bano menghabiskan seluruh waktunya di rumah Sikander bersama kemenakannya, bermain-main dengannya, dan membacakannya cerita-cerita. Setelah seminggu, Zarri Bano pun pergi.
53. SABRA TINGGAL dengan Kaniz selama dua minggu, menjaga kakaknya terus-menerus selama dua minggu itu- bahkan tidur sekamar. Dia menyuruh palang lain dipindahkan ke kamar tidur besar itu. Sabra terus berbicara tentang berbagai hal dengan harapan agar wajah sedih Kaniz dihiasi senyum.
Khawar tak mengatakan pada siapa pun tentang kunjungannya pada Firdaus. Kini ia berusaha sebaik mungkin menebus kesalahannya pada ibunya yang telah ia abaikan di masa lalu. Seperti bibinya, ia terus mendampingi ibunya sebisa mungkin. Kaniz, yang kini menjadi begitu rendah hati, dengan haus mereguk segala perhatian anaknya. Serangan panik yang ganjil dan depresi yang melandanya sejak kejadian di kantor Firdaus itu bagaimanapun terus menyerangnya.
Tiada yang bisa membuatnya tertawa lagi. Seakan-akan keriangan hidup telah sirna darinya. Sebaliknya, Kaniz terus-menerus ingin menangis. Sabra menemukannya gemetar di sebuah kursi dan menangis diam-diam di balik kerudungnya pada suatu siang ketika dia duduk sendirian di lantai atas, berjemur dalam cahaya matahari.
"Kakak Kaniz, mengapa kau menangis" Semua baik-baik saja! Jangan menangis. Duduklah di Sini, kupijat kepalamu dengan minyak almond," Sabra menawarkan.
Menatap dengan mata sembab, Kaniz duduk patuh di charpoy di depan adiknya dan mencondongkan kepalanya ke belakang, ke pangkuan Sabra. Seraya melepaskan kerudung kakaknya, Sabra mulai mengurai jalinan rambut kakaknya yang panjang dan menggumpal dengan gesit. Dia memerhatikan bahwa Kaniz mengenakan chador katun yang sama sejak tiga hari yang lalu dan merasa air matanya membayang. Berganti baju dua kali sehari telah menjadi aturan dan kebiasaan bagi Kaniz sejak dia berumur delapan belas tahun. Pengabaian diri ini menunjukkan dengan jelas betapa amat dalamnya dia telah
terpuruk. Seraya mengoleskan sedikit minyak dari botol ke telapak tangannya, Sabra mengoleskan tetesan itu di kepala kakaknya dan menggosoknya dengan sentuhan lembut. Kaniz menikmati pijatan itu. Sepasang matanya terpejam.
"Mengapa kau menangis"" tanya Sabra lembut seraya mencondongkan kepalanya ke depan di atas bahu kakaknya.
Mata Kaniz terbuka dengan gugup, tetapi dia tidak segera menjawab. "Aku teringat hari pernikahanku pada malam resepsinya."
"Mengapa ingatan itu membuatmu menangis"" tanya adiknya penasaran. Dia terus memijat. Rasa terhipnotis dan penyembuhan membawa keluar perasaan-perasaan yang tersembunyi.
"Aku mencoba melupakan jenis orang yang menjelma dari diriku sejak saat itu," ujar Kaniz. Nada suaranya penuh perasaan.
"Aku tidak mengerti, Kakak. Apa hubungannya hari pernikahanmu dengan sesuatu hal""
"Segalanya, Adikku. Pada hari itulah aku diselubungi selimut penghinaan yang masih kukenakan tiga puluh tahun kemudian dan tak bisa lenyap."
"Selimut penghinaan" Apakah yang kau bicarakan"" Sabra menatap tajam wajah kakaknya. Kaniz tetap berdiam diri sejenak. Matanya terpejam rapat seakan-akan memutar kembali bayangan itu.
"Aku tak pernah membicarakan soal ini dengan siapa pun," ujarnya dengan suara lirih. "Sabra, bisakah kau bayangkan bagaimana rasanya menjadi seorang istri yang tak diinginkan" Aku tahu sejak hari pertama perkawinanku bahwa aku hanyalah yang kedua terbaik."
"Benarkah itu"" Sabra menghentikan pijatannya.
Seraya duduk, Kaniz berpaling dari tatapan ragu adiknya dan mulai menjalin rambut lebatnya yang panjang, menariknya dengan sentakan-sentakan gugup.
"Pada hari pernikahanku aku tahu bahwa Sarwar sesungguhnya ingin menikahi Fatima. Kau tahu soal ini, bukan" Adegan ini tercetak di benakku untuk selamanya. Aku duduk dengan gaun pengantin Shanghai merah di sofa- seorang chaudharani baru yang penuh harga diri, penuh gairah hidup dan percaya diri. Ada sekelompok kecil perempuan muda yang sedang duduk mengitariku. Beberapa adalah perempuan desa setempat, yang lainnya adalah sanak keluarga-tapi aku tidak kenal siapa dia-charail itu, penyihir itu. Aku tak pernah melihatnya lagi sejak hari itu.
"Fatima juga ada di situ. Aku tak tahu siapakah dia hingga perempuan ini membuka mulut jahatnya. Dengan suara nyaring yang jelas terdengar, walaupun dia berpura-pura berbisik pada temannya, dia berkata, 'Itu Fatima, perempuan yang sesungguhnya ingin dinikahi Sarwar, tetapi perempuan itu menolaknya dan kini menikahi sepupunya.' Dia terus berkata bahwa dia tak akan mau menjalani nasibku-karena kau hanyalah 'yang terbaik kedua'!
"Aku tercenung. Telingaku panas terbakar oleh luka dan rasa malu. Mataku tertunduk pada tanganku yang penuh perhiasan dan diwarnai pacar. Dalam hati, aku bergetar seperti sehelai daun dengan penuh rasa terhina. Aku melirik cepat-cepat ke arah perempuan yang ditunjuk oleh perempuan bermulut jahat itu dan melihat Fatima. Dia balas menatapku dengan malu-malu. Aku tahu secara naluriah siapa dia. Dia telah mendengar bisikan jahat itu pula dan cepat-cepat memalingkan wajahnya. Pipinya merona malu. Pada saat itu, aku bisa melompat ke dalam danau, Adikku Sabra, dan menenggelamkan diriku. Aku berdoa agar bumi di bawah kakiku rekah dan menelanku, enyah dari tatapan para perempuan itu.
"Aku tak berani mengangkat mataku, membayangkan semua orang membicarakanku dan mungkin tertawa terkikik-kikik menggunjingkanku. Aku tahu aku dibanding-bandingkan dengan perempuan itu dan aku mundur dengan malu hati. Merasa kecil hati dengan semua itu, jantungku berdebar-debar oleh kebencian terhadap perempuan itu yang telah mengacaukan mimpi-mimpiku dan seluruh duniaku, serta telah merampok bukan saja kebahagiaanku, melainkan juga skoon-ku, kedamaian pikiranku dalam satu kedipan mata.
"Aku datang ke rumah baruku dengan penuh kebahagiaan dan dengan harga diri setinggi langit. Perempuan berlidah tajam itu telah melenyapkannya dariku. Dari segala angan-angan muluk, aku terpuruk ke jurang penghinaan.
Aku membenci Fatima bukan karena alasan lain, kecuali karena dia adalah sang perempuan idaman lain-perempuan yang dihasrati suami
ku dan yang sesungguhnya ingin dikawininya. Juga karena dia telah ikut mendengar dan oleh karenanya menyaksikan keterhinaanku. Katakan padaku, Adikku, bisakah seorang istri menahan pikiran bahwa ada perempuan lain yang dihubungkan dengan suaminya dan tahu bahwa dia selalu hanya menjadi orang kedua yang disayanginya""
"Tapi, sesungguhnya ia adalah seorang suami yang baik," kata Sabra dengan tulus. "Aku tahu. Aku menyaksikan betapa penuh cinta dan baiknya ia padamu."
"Ya, memang. Tapi, ia juga menghinakanku pada malam pernikahan. Seandainya saja ia mau berpura-pura demi perasaanku. Seandainya saja ia mengatakan pada hatiku yang rapuh ini apa yang ingin didengarnya. Tetapi, kaum lelaki adalah makhluk yang suka berterus terang; mereka tak memiliki akal siasat untuk berpura-pura seperti yang bisa dilakukan oleh kaum perempuan. Terutama, itu tak bisa dilakukan oleh Sarwar, semoga ia berdiam di surga."
"Apa yang terjadi"" tanya Sabra. Nalurinya waspada, merasa peduli pada kakaknya. Soal ini dia tak tahu.
"Pada malam pernikahan, masih terguncang oleh topan perasaan atas kata-kata yang dilontarkan oleh perempuan itu, aku tak tahan untuk bertanya pada suamiku tentang Fatima. Aku perlu tahu apakah ia memang ingin menikahinya -dan ia mengatakan padaku dengan terus terang bahwa itu memang benar. Aku lalu bertanya padanya apakah ia mencintainya, dan lagi-lagi tanpa keraguan ia mengatakan padaku bahwa ia memang mencintai perempuan itu.
"Ia tak menyangkal apa pun, Sabra, padahal harga diri perempuanku amat menuntut dan membutuhkan sangkalan -tapi itu tak pernah muncul! Aku mencari hiburan dari harga diriku yang terluka, alih-alih aku malah mendapat racun -seonggok penuh. Sejak saat itu, aku bersembunyi dalam diriku sendiri. Rasa percaya diriku yang jatuh hingga nol benar-benar meninggalkanku. Tampak bagiku bahwa semua hal dan semua orang di hawali adalah tertuduh. Kubayangkan mereka semua menertawakanku di belakangku. Kecemburuan mengoyak keberanianku. Tampaknya Fatima masih menggenggam hati suamiku. Walaupun kami mempertahankan perkawinan kami, bagiku tiada lagi yang nyata. Kesenangan menjadi seorang chaudharani hanya bertahan sehari. Aku menangis lirih untuk diriku sendiri di atas bantal, lama di malam hari.
"Esok paginya aku tak bicara pada siapa pun. Pandanganku terus tertunduk. Rasa malu menjadi seorang mempelai yang tak diinginkan menutupiku seperti sebuah selubung putih. Para perempuan, termasuk para kerabatnya, mencoba bercakap-cakap denganku, meledekku, seperti yang umumnya dilakukan para perempuan setelah malam pernikahan, tetapi aku tak bisa dan tak ingin menanggapi mereka. Aku merasa terasing dari mereka semua. Aku tak menyukai seorang pun. Mereka semua adalah tersangka dalam benakku. Akhirnya, mereka menyerah dan membiarkanku, barangkali membayangkan bahwa aku adalah seorang perempuan yang tak tahu diuntung.
"Pada pagi di hari kelima setelah pesta pernikahan, aku berdiri di balkon lantai atas mengeringkan rambut panjangku dalam sepoi-sepoi angin hangat ketika melihat Fatima di halaman bawah dengan perempuan lain berbicara pada bibinya Sarwar. Ketika mataku menyusuri hawali, kulihat Sarwar menuruni tangga dari lantai atas. Rasa cemburu kembali mengoyak urat-uratku. Aku tak berpikir, melainkan bereaksi secara irasional. Aku tak ingin Sarwar dan Fatima bertemu, tidak di depanku atau di rumahku. Aku tak tahan! Neesa sedang duduk di balkon denganku, siap menjalin rambutku. Dia telah ditugaskan menjadi pelayan pribadiku.
"'Neesa,' kataku, 'turunlah dan bisikkan pada Fatima, perempuan berbaju hijau itu, bahwa dia tak dikehendaki di rumah ini sejak hari ini. Katakan padanya bahwa chaudharani yang mengatakan hal ini!'
"Merasa terkejut oleh pesan itu, Neesa melakukan apa yang diperintahkan padanya. Dia berlari turun tangga. Sarwar, untunglah, telah pergi ke kamar tidur kami di lantai pertama sehingga ia tidak melihat Fatima. Dari balkon, aku menyaksikan Neesa dan membisikkan pesanku padanya. Fatima menatapku dan melihatku menatap ke bawah ke arahnya dari balkon lantai atas. Pada saat itulah, Sabra, aku bangkit dari keterhinaanku. Kup
elototkan mataku sebagai tanda kemenanganku atasnya. Akulah sang chaudharani, istri sah Sarwar. Siapakah dia" Dia tak punya hak untuk datang menyerobot ke dalam hawali-ku. Hawali kami-rumahku!
"Kurasa, saat itu adalah titik balik dalam hidupku. Dengan sepenuh hati, aku berubah dan meraih kepercayaan diri. Aku memeluk peran yang dikehendaki dariku sebagai seorang chaudharani. Aku menjaga jarak dari semua orang. Tiada orang yang berani mendekat padaku. Sebagian besar terlalu takut untuk mencobanya. Rasa takut dan keterpesonaan mereka memberiku kekuatan dan dorongan. Aku menerapkannya pertama kali pada Neesa. Aku bersikap keras terhadapnya. Aku masih diriku, aku katakan dengan menyesal." Kaniz menghela napas dalam-dalam. "Suatu hari, aku akan minta maaf padanya-aku telah bersikap begitu kejam padanya selama tiga puluh tahun ini. Itulah jenis orang yang terbentuk dalam diriku. Aku mengenakan perilaku kejam dan egois ini sebagai topeng selama bertahun-tahun. Namun, karena itulah yang membantuku tetap waras dan memberiku rasa percaya diri. Tanpa itu, aku hanyalah jiwa yang sesat.
"Bisakah kau bayangkan betapa dalam aku telah terpuruk" Ketika tahu tentang kecelakaan yang menimpa Fiaz, aku tak merasa kasihan padanya. Suamiku sudah mati, tapi aku masih tetap merasa cemburu pada Fatima. Percayakah aku" Aku masih tak bisa memaafkannya karena menjadi perempuan idaman lain dan karena dia telah menolak suamiku. Ketika dia mulai bekerja di rumah Siraj Din, hatiku benar-benar bernyanyi riang. Inilah pembalasanku yang manis, tampaknya. Aku hanya berharap bahwa aku bisa menemukan siapakah perempuan yang satunya lagi, perempuan nyinyir yang mengacaukan hari pernikahanku dan seluruh duniaku. Kini aku bisa mencampakkan wajahnya ke lumpur dan berkata padanya, 'Itukah perempuan yang Sarwar ingin jadikan chaudharani" Perempuan memelas yang menjadi seorang tukang cuci"' Aku mati-matian mencari perempuan jahat yang menyebarkan desas-desus itu. Sayangnya, aku tak pernah lagi berjumpa dengannya sejak saat itu. Begitu pun terhadapnya, aku telah membencinya begitu lama!
"Lalu, Fatima mengalami pembalasan yang manis. Tapi, seperti halnya dia menggenggam suamiku dalam tangan mungilnya yang gelap, anak perempuannya yang pendek dan hitam lalu mencuri anakku di bawah hidungku sendiri. Di depan mataku! Inilah lingkaran itu, berulang lagi. Aku tak pernah bisa menerima anak perempuan Fatima di rumahku.
"Sisanya kau tahu sendiri, kepedihan yang kualami. Aku kehilangan anak tunggalku yang tinggal jauh dariku selama setahun lebih. Lalu tinggal denganku setahun yang lain, tetapi selama itu tak mau menatapku atau berbicara padaku-semua karena perempuan murahan itu.
"Demi anakku, aku merendah-rendahkan diri, mengorbankan harga diriku, dan terpuruk hingga tingkat penghinaan yang baru. Memohon dengan berlutut demi seorang perempuan yang tak kusukai, anak dari perempuan yang kujijiki- dan apa balasan yang kuterima" Aku diusir." Dia bergidik dan tampaknya sulit berkata-kata.
Lalu, "Setiap kali mengingat adegan itu, aku teringat oleh kenangan hari pernikahanku, karena perasaanku sama. Di luar, orang-orang melihat tubuh yang besar dan gempal ini, dan kulit yang seperti gajah. Tapi, di dalam, Adikku sayang, aku ini rapuh, lemah, cengeng. Sebuah pukulan kecil, sebuah luka memar, sudah cukup membuatku menangis berkepanjangan. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan, Sabra, bagaimana membuat diriku kuat kembali. Kau tak bisa tinggal bersamaku sepanjang waktu walaupun aku berharap kau bisa. Kaulah satu-satunya yang bisa menyelamatkanku dari diriku sendiri. Kalau tidak, Sabra, ada saat-saat ketika aku ingin menghindari semua ini. Bahkan, senyum anakku pun tidak lagi memiliki keajaiban yang sama. Aku terus teringat diriku berlutut dengan tangan terulur padanya. Aku sudah mati ratusan kali, setiap kali aku memikirkannya. Itu akan mengejar-ngejarku hingga hari kematianku." Kaniz lalu mulai tersedu lagi dalam lipatan kerudungnya.
"Sst, sayangku. Aku akan tinggal denganmu selama kau suka," Sabra berjanji padanya. "Aku tak akan meninggalkanmu. Tiada yang lebih penting bagiku daripada
kau. Diamlah. Apakah kau ingin aku mencucikan rambutmu""
"Tidak, aku bisa melakukannya sendiri. Neesa akan membantuku. Terima kasih, Adikku-karena telah mendengarkanku."
"Kau harus berpakaian rapi seperti biasa. Rawatlah dirimu sendiri. Semua ini menodai kulitmu yang terang! Kau terlalu banyak duduk di bawah terik matahari. Kau selalu memiliki kulit yang indah dan membuatmu bangga karenanya."
"Apa gunanya itu semua, Sabra"" ujar Kaniz hampa. "Aku sudah tak muda lagi. Umurku sudah lewat lima puluh tahun. Apa gunanya"" Kaniz mengangkat bahu, menolak kepedulian Sabra. Kulitnya bukanlah masalah baginya.
Kaniz bangkit dan pergi mencari Neesa agar membereskan barang-barangnya untuk mandi dan menyetrika pakaian yang akan dipakainya.
Sabra tetap berada di balkon atap yang datar, menatap ladang-ladang desa. Pikirannya mengembara pada kata-kata kakaknya.
54. ZARRI BANO berguling-guling dengan gelisah di atas tempat tidurnya. Kata-kata pendekatan ibunya terngiang di telinganya.
"Itu bisa menjadi sebuah perkawinan formalitas belaka pada awalnya," saran Shahzada. "Sikander telah menyetujui hal ini. Hanya demi Haris. Setidak-tidaknya pikirkanlah soal itu, Zarri Bano. Bisakah kau menjadi seorang ibu sepenuh waktu bagi Haris dan menghabiskan separuh waktumu di Karachi" Apakah itu terlalu berlebihan"" Perkataan Shahzada terhenti saat putrinya bergegas pergi meninggalkan ruangan.
Kini Zarri Bano menekan wajahnya ke atas bantal, tersiksa oleh perasaan-perasaan yang bertentangan. "Aku tidak siap dengan perkembangan baru dalam hidupku. Allah, apakah yang akan kulakukan"" doanya. "Aku mencintai kemenakanku, tapi aku tak bisa menerima hal ini. Aku tak mau berurusan dengan Sikander-selamanya!"
* * * Selama beberapa hari kemudian, Zarri Bano berhasil mengenyahkan seluruh urusan itu dari benaknya. Shahzada tidak menyebut-nyebutnya lagi dan Zarri Bano menghindari pertemuan dengan Sikander ketika ia datang mengantarkan Haris untuk perjalanan mingguannya.
Setelah mengimami shalat Jumat bagi para perempuan di madrasahnya, Zarri Bano menyelenggarakan sebuah seminar untuk kelompok reguler para muridnya.
Duduk bersila di atas karpet di ruangan seminar yang luas, para perempuan muda itu mendiskusikan hadis Nabi Muhammad Saw. dan tulisan-tulisan tentang Al-Quran. Sebuah meja yang ditumpuki buku-buku teks dalam bahasa Inggris, Arab, dan Urdu berdiri dekat Zarri Bano.
Pada peristiwa ini mereka memperdebatkan isu kaum perempuan dan hukum waris menurut syariat Islam.
"Keyakinan kita mengatakan bahwa kita memiliki hak-hak waris yang jelas, tetapi pada kenyataannya kaum lelakilah yang mendapat lebih banyak," seorang perempuan muda mengeluh dengan nada marah, mengawali debat itu.
"Kau benar, Nargis. Sayangnya, itu cenderung terjadi dalam masyarakat kita, terutama jika perempuan tak peduli pada hak-haknya," Zarri Bano menimpali setuju seraya memberi tanda halaman mengenai bab waris dalam salah satu buku teksnya. "Jika kau tahu hak-hakmu dan mengenal hukum syariah, serta berkonsultasi dengan buku-buku ini, kau mungkin bisa mengubah banyak hal. Kau bisa membawa persoalan itu ke pengadilan syariah kita."
"Apa yang kau katakan itu benar, Ukhti Zarri Bano, tapi kenyataannya berapa banyak perempuan, entah muda atau tua, yang akan bangkit dan melawan keluarga lelaki mereka, atau berjuang untuk hak-hak mereka, apalagi membawa soal ini ke pengadilan" Ini mudah dikatakan, tapi sulit dicapai dalam kenyataan. Keluarga lelaki juga kerap menghina perempuan, mengatakan bahwa dia serakah, terutama ketika mereka telah menghabiskan banyak biaya dalam membesarkan mereka dan membayar maskawin mereka."


Perempuan Suci The Holy Woman Karya Qaisra Shahraz di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bisakah kau berhenti dulu, Nargis. Ada kebenaran dalam perkataanmu tentang maskawin. Katakanlah, sebagai contoh, sebuah harta sedang dipersoalkan-sebuah rumah dibagi lima oleh anak-anak lelaki dan perempuan. Jika para saudara lelaki sudah menghabiskan banyak uang bagi para saudara perempuan untuk keperluan pernikahan (catatan, para saudara lelaki, bukan ayah mereka), kurasa kita punya sebuah persoalan moral dan etik dalam hal ini. Apakah perempuan yang dipersoalkan mendapat bagian
yang sama dalam warisan seperti para saudara lelakinya" Benarkah baginya mengakuinya, jika secara pribadi tak memiliki keperluan untuk itu dan jika para saudara lelakinya telah menghabiskan banyak uang baginya dari uang mereka sendiri" Kurasa ini adalah wilayah abu-abu yang membuat situasinya menjadi rumit. Itu tidak berarti bahwa para ayah bisa terus maju dan secara agresif menafikan hak-hak anak perempuan mereka dengan berbicara berulang-ulang tentang berapa banyak mereka telah menghabiskan uang untuk anak-anak perempuan mereka." Zarri Bano berhenti sejenak, lalu melanjutkan.
"Persoalan warisan merupakan hal yang pahit bagiku secara pribadi. Seperti yang kau tahu, aku mewarisi limpahan harta ayahku. Aku tak memiliki keinginan atas warisan ini, tetapi sebagai putri tertua yang tak punya lagi saudara lelaki, ayahku memutuskan untuk mengatasnamakan nyaris semua harta dengan namaku. Karena aku tak punya anak dan tak ingin...," Zarri Bano berhenti lagi, kehilangan jalinan pikirannya, "... aku akan memberikan warisanku pada kemenakanku Haris. Harta waris adalah sebuah isu utama bagi para keluarga tuan tanah seperti kami. Para saudara saling membunuh dan berseteru seumur hidup gara-gara tanah. Beberapa di antaranya akhirnya menerapkan hukum brutal mereka bahwa yang paling tangguh dan yang paling berpengaruh akhirnya akan memenangkan semuanya."
Zarri Bano tiba-tiba berhenti, takut telah berkata dan membuka terlalu banyak hal. Dia menatap para perempuan yang berkumpul mendengarkannya dengan penuh perhatian. "Mari kita buka halaman tujuh puluh tempat persoalan ini didiskusikan...."
Zarri Bano memandang sepupunya, Gulshan, yang masuk ke ruangan pertemuan. "Gulshan, senang bertemu denganmu. Ayo bergabung dengan kami," kata Zarri Bano dengan hangat. Gulshan melihat berkeliling dengan canggung pada para perempuan di lantai dengan buku-buku terbuka terhampar di pangkuan mereka.
Zarri Bano bergerak untuk memberi tempat bagi Gulshan di sampingnya, seraya menarik kepala burqa-nya. Berpakaian warna merah jambu dan biru, Gulshan merasa sembrono berada di tengah para perempuan berpakaian rapi yang mengelilingi Zarri Bano. Dengan sebuah gerakan canggung, dia menarik dupatta sifon warna merah jambu menutupi rambutnya, merasa bahwa dia harus menutupinya juga, sebagai penghormatan terhadap kelompok itu walaupun biasanya dia tak pernah melakukan hal ini di depan para perempuan lainnya. Lalu, dia duduk dan mendengarkan Zarri Bano memimpin sisa sesi seminarnya.
Penampilan Zarri Bano mengesankan Gulshan. Zarri Bano berbicara penuh wibawa tentang berbagai persoalan dengan perilaku yang seimbang dan cerdas. Gulshan menatap sepupunya itu, takjub padanya. Dia tak percaya bahwa lima tahun yang lalu Zarri Bano bahkan tak pernah tergerak untuk menunaikan shalat, tetapi di sinilah dia, dianggap
sebagai orang yang memiliki kewenangan dalam persoalan agama di antara kaum perempuan setempat. "Dia mengetahui semuanya," renung Gulshan terpesona, menjadi makin sadar akan ketidakpeduliannya sendiri.
Akhirnya acara pun selesai dan para perempuan itu beranjak pergi. "Bagaimana kau bisa duduk bersilang kaki begitu lama di atas lantai"" tanya Gulshan seraya bangkit dan meregangkan kakinya yang kaku. "Aku tak bisa."
"Kau akan terbiasa setelah beberapa lama," sahut Zarri Bano tertawa seraya berdiri. "Ingatlah shalat lima waktu tidak hanya berarti penyatuan spiritual dengan Allah, tapi juga bentuk terbaik untuk olahraga. Wudhu adalah bentuk kesehatan terbaik. Ada tujuan mulia bagi manusia dalam segala hal bahwa Allah telah menentukan aturan bagi kita agar diikuti. Ketika melakukan shalat, terutama jika kita paham bahasa Arab, kita sesungguhnya sedang berkomunikasi langsung dengan Allah, Gulshan."
"Bagus bagimu, Zarri Bano, karena kau paham bahasa Arab. Bagi kami, orang-orang biasa yang membacanya seperti seekor beo, hubungan yang kau katakan itu tidak terjadi. Kau tahu, aku belajar banyak dari satu dua kali mengikuti seminarmu."
"Tentu saja, Sayang, kau diterima dengan senang hati di sini. Ada sekelompok perempuan dari latar belakang dan kelas kita yang telah benar-ben
ar terceraikan dari agama kita. Aku baru saja sadar betapa banyaknya. Aku ini seperti orang buta yang jatuh dalam gelap dan bangkrut secara spiritual. Kini aku bersyukur pada ayahku karena mengarahkanku ke jalan ini sehingga hidupku menjadi amat berubah. Aku mendapatkan amat banyak hal!"
"Tapi kau juga kehilangan banyak hal," tukas Gulshan dengan lembut, mengingat alasan mengapa dia mencari-cari Zarri Bano dan sengaja mengunjunginya setelah Shahzada meneleponnya.
"Aku tak kehilangan apa pun!" sergah Zarri Bano. Senyumnya sirna dari wajahnya. "Dulu, aku berpikir seperti itu -tapi sekarang tidak lagi."
"Ayolah, Zarri Bano. Tentu kau tidak lupa bagaimana kau dipaksa menjalani hal ini. Kau tak akan berpura-pura padaku bahwa kau menjalani kehidupan seperti ini dengan bebas, bukan" Kau hampir saja menikah dengan Sikander!"
"Ayo kita pulang, Gulshan," sela Zarri Bano, memotong perkataan sepupunya. Tampaknya seakan-akan semua orang memaksanya membandingkan kembali kehidupan masa kini dan masa lalunya, dan kemudian membuktikan padanya bahwa kehidupannya hampa dan menyedihkan serta bahwa Sikander tiba-tiba menjadi jawaban atas segalanya! Tentu saja itu membuatnya marah.
* * * Malam itu, seraya duduk di beranda belakang rumah, Gulshan melanjutkan percakapannya yang dengan kejam dipotong oleh sepupunya. Haris sedang bermain-main di halaman. Zarri Bano menyaksikannya dengan rasa kasih sayang berkilau-kilau di matanya.
"Kau amat mencintainya, bukan""
"Ya, jika Haris yang kau maksud," kata Zarri Bano. "Ia adalah harta peninggalan Rubyku."
"Apakah kau tak bosan memakai itu"" canda Gulshan, mengubah pokok pembicaraan secara halus.
"Yang kau maksud burqa"" sahut Zarri Bano. "Tidak. Ini seperti kulit kedua bagiku kini. Aku hanya merasa nyaman apabila memakainya. Ini juga membuat hidupku terasa lebih enteng dan leluasa. Aku tidak perlu mencemaskan apa yang harus kupakai di dalamnya atau tentang tatanan rambutku dan seterusnya. Ini adalah sebuah pengalaman yang menakjubkan. Aku masih ingat saat pertama kali mengenakannya. Bisakah kau bayangkan getar rasa ngeri melandaku" Kini aku merasa telanjang dan rapuh tanpa mengenakannya, terutama ketika aku berada di depan para lelaki asing. Oleh karena itu, aku menjumpai banyak di antara mereka merasa wajib menjaga jarak dan menghormatiku. Zarri Bano lama yang ceroboh membuat para lelaki ingin bersiul padanya, Zarri Bano yang ini membuat orang-orang merasa hormat. Hidupku terasa terlindungi karena kaum lelaki tidak mencampurinya."
"Bagaimana dengan masa depan"" kata Gulshan dengan cerdik mengarahkan pembicaraan. "Kau tidak menggambarkan masa depan dengan seorang lelaki di dalamnya" Aku tahu Paman Habib telah memberimu restu untuk menikah jika kau ingin. Kau tidak tahu apa yang telah kau lewatkan. Pernikahan adalah sebuah pengalaman yang amat luar biasa, terutama dengan hadirnya anak-anak-lihatlah dirimu sendiri, Zarri Bano!" desak Gulshan.
"Aku tahu," Zarri Bano bergumam, menatap tertunduk pada cangkir kosong di tangannya.
"Apa yang kau tahu"" tukas Gulshan setelah terasa keheningan cukup lama di antara mereka.
"Aku tahu ibuku telah berbicara padamu. Rasanya, sekarang ini, seseorang mencoba terus-menerus untuk menikahiku. Baru seminggu yang lalu, Ukhti Sakina mengajakku bicara soal itu. Sebelumnya bekas guruku, Profesor Nighat, meneleponku dan mencoba membujukku untuk menikah dengan mengacu pada pengalamannya sendiri. 'Kuharap aku akan menikah kembali setelah kematian suamiku,' ujarnya. 'Aku melepaskan masa mudaku demi putriku. Kini aku amat kesepian. Apa yang akan kulakukan apabila dia telah pergi" Kau bahkan tak punya anak. Apa yang akan kau lakukan apabila ibumu meninggal" Kau akan sendirian. Kesepian adalah sesuatu yang mengerikan. Ambillah kesempatan ini, Zarri Bano, sebelum terlambat!'
"Tiba-tiba saja aku diminta melupakan siapakah aku, meninggalkan apa yang telah kulakukan dan menjadi seorang perempuan normal bagi cara berpikir semua orang. Gulshan, pernikahan mungkin tepat bagimu. Itu mungkin jawaban bagi apa yang kau inginkan dalam kehidupan. Aku tahu pernikahanmu bahagia dan kau kini telah m
emiliki sebuah keluarga sendiri. Tapi, bagaimana jika kukatakan aku tak menginginkan itu dan aku amat mencintai hidupku sekarang sehingga tak mungkin kutinggalkan."
"Aku yakin kau masih tetap bisa melakukannya, tetapi dengan menikah hidupmu akan lebih bermakna."
"Bagaimana, Gulshan" Hidupku sudah bermakna, tidak seperti dalam bayanganmu. Aku tak membutuhkan seorang lelaki dalam hidupku."
"Termasuk Sikander" Apakah ia tak berarti apa pun bagimu""
"Tidak, terutama bukan Sikander! Maaf, Gulshan, ini saatnya aku shalat." Zarri Bano mengakhiri percakapannya, meninggalkan sepupunya menyaksikannya dengan melongo.
55. KETIKA SAMPAI di kamar tidurnya, Zarri Bano melihat Haris sedang berbicara dengan ayahnya di telepon. Dia dengan cepat menutup pintu, takut kalau-kalau Haris dengan polos memintanya berbicara dengan Sikander. Zarri Bano menunggu di lorong sejenak, baru kemudian masuk. Haris sedang mengucap salam perpisahan pada ayahnya. Bibir bawahnya bergetar karena sedih dan air matanya menitik. Zarri Bano berlari ke samping kemenakannya. Seraya meletakkan kembali gagang telepon pada tempatnya, Zarri Bano memeluk bocah itu dan mengangkatnya ke udara.
"Mengapa kau menangis, Sayang"" tanyanya. Zarri Bano menyurukkan kepalanya di rambut Haris, seraya memeluknya erat-erat.
"Ayah bilang aku harus pulang besok. Tapi aku tak mau pergi, Bibi. Aku ingin tinggal di sini denganmu," ia menangis seraya makin menyurukkan diri dalam pelukan Zarri Bano.
"Tapi kau harus pulang, Sayang. Ayahmu juga rindu padamu," ujar Zarri Bano lembut.
"Aku senang tinggal di sini denganmu. Apakah Bibi tak mau tinggal denganku" Bibi tak sayang padaku!"
"Tentu saja aku sayang padamu, Haris," dengan cepat Zarri Bano menenangkan kemenakan mudanya.
"Tidak, Bibi tak sayang padaku. Tak ada yang sayang padaku! Aku ingin ibuku! Mama!"
"Berhentilah, Haris. Kami semua amat menyayangimu."
"Aku ingin ibuku kembali! Di mana dia""
"Ya Allah, Haris-aku juga ingin ibumu kembali, tapi Allah telah membawanya ke surga."
"Apakah Mama tidak akan pernah kembali lagi"" tanya Haris dengan suara takut seraya menatap lekat bibinya dengan sepasang mata cokelatnya yang mengabur oleh air mata.
"Tidak, Haris sayang, maafkan aku, dia tak akan kembali," jawabnya dengan sedih, memilih berkata jujur. "Tapi aku ingin ibuku!" Haris meratap. Tubuh mungilnya bergetar ketika ia tersedu sedan.
Kesedihan dalam nada suara kemenakannya melukai Zarri Bano. "Aku juga adalah ibumu. Ingatlah kau selalu menyebutku ibu keduamu."
"Tapi ibuku tinggal bersamaku. Bibi selalu mengirimku kembali ke Karachi!" jawab Haris dengan marah seraya melepaskan diri dari pelukan bibinya.
Merasa tersengat, Zarri Bano berteriak, "Aku tak akan mengirimmu pergi, Sayangku-selamanya, aku berjanji. Aku tidak akan pernah membiarkanmu menangis lagi."
Seraya memeluknya erat-erat ke dadanya, Zarri Bano berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia tak akan membiarkan kemenakannya itu meneteskan setitik pun air mata lagi. "Oh, keegoisan orang dewasa," batinnya dengan sedih.
Ketika dia mengeloninya sebelum tidur di ranjang, Haris meminta jaminan dari bibinya. Dengan lengan mungilnya melingkari leher Zarri Bano, Haris bertanya, "Bibi sungguh-sungguh" Maukah Bibi selalu bersamaku, juga di Karachi""
Jantung Zarri Bano berhenti berdetak. Tubuhnya dilanda serangan panik. Dia tak berpikir panjang lagi. "Juga di Karachi, aku janji!" dia dengan cepat menenangkan bocah itu. "Kini tidurlah."
Dengan lembut Zarri Bano memijat pelipis Haris dan merapikan rambut di dahi anak itu, lalu mengecupi wajah bocah itu hingga jatuh tertidur.
Seraya bangkit dari ranjang, dia merasakan sebuah tanggung jawab baru dibebankan di pundaknya. Putra adiknya kini menjadi tanggung jawabnya dan dia akan menjaganya sepanjang waktu.
"Mereka semua menang!" teriaknya dalam hati. Namun, mereka memang benar. Yang terpenting adalah Haris dan kebahagiaannya.
Untuk waktu lama, dia berdiri menatap ke luar jendela pada lapangan hijau subur di halaman rumah. Dengan hati berat, dia lalu melangkah ke telepon dan berdiri di sampingnya, mengumpulkan keberanian. Dia tahu apa yang harus dia lakuka
n. Dengan tangan gemetar, dia memijit nomor telepon Karachi, berharap Sikander akan menjawabnya.
Harapannya terkabul. "Ini aku, Sikander Sahib." Zarri Bano berbicara dengan suara lirih sehingga dia sendiri sulit mengenalinya. Dia harus dengan sadar mengingatkan diri untuk tidak memanggil Sikander dengan sebutan "adik" kini. Terasa jeda yang canggung sebelum Sikander menyahut.
"Apakah semuanya baik-baik saja" Aku tadi baru berbicara dengan Haris, Zarri Bano." Zarri Bano tahu Sikander terkejut mendengar dirinya menelepon.
"Ia baik-baik saja dan sedang tidur lelap di tempat tidurku. Ia tadi agak gusar waktu kau mengingatkannya bahwa ia harus pulang hari Jumat."
"Aku tahu, tapi kau sadar bukan, ia harus pulang sesekali." Suaranya terdengar tenang.
"Tentu." "Maukah kau sendiri yang mengantarnya"" tanya Sikander lebih ramah, setelah beberapa saat. Zarri Bano mengambil umpan yang disodorkan Sikander.
"Ya. Aku mau. Lebih dari itu, aku akan tinggal selama yang diinginkan Haris dan selama aku masih diperbolehkan tinggal di rumahmu. Kebahagiaan Haris berarti segalanya bagiku," ujarnya dengan cepat. Terasa kesunyian yang panjang di pihak Sikander.
"Kau tahu kau diterima dengan baik, Zarri Bano, kapan pun. Apakah itu berarti waktunya tidak terbatas"" tanya Sikander setelah jeda kembali, merasakan ketegangan merebak di ujung lain telepon.
Zarri Bano menunduk pada tangannya yang memegang gagang telepon. Telapak tangannya basah.
"Jika itu yang terbaik bagi Haris," jawabnya dengan suara yang terdengar seperti makhluk asing di telinganya.
Sikander seakan-akan kehabisan kata-kata, lalu ia bicara, "Terima kasih, Zarri Bano! Lihat-kau paham apa yang kau katakan, bukan""
"Ya." Sikander tak bisa menahan diri. Ia ingin semuanya menjadi lebih jelas. "Kapan itu bisa terlaksana"" desaknya.
Zarri Bano tak mampu berlagak pilon. "Aku... aku tak tahu. Aku belum berpikir sejauh itu," gumamnya. Jantungnya serasa hendak copot, seolah-olah dia baru berlari bermil-mil di ladang milik kakeknya. "Aku sampai pada keputusan ini baru beberapa menit yang lalu. Tangisan Haris menyayat hatiku. Aku tak tahan melihat tangisnya. Aku melakukan ini untuknya."
"Demi Allah, Zarri Bano. Aku tak akan pernah membiarkanmu menyesali keputusanmu. Kau akan bebas mengejar kariermu, baktimu dalam kehidupan. Kau boleh datang dan pergi ke rumah sesukamu. Aku tak menuntut apa pun, hanya bahwa kau menjadi ibu permanen bagi Haris dan membuat rumahku menjadi rumahmu." Zarri Bano bisa menangkap ketulusan yang hangat dalam nada suaranya.
Begitulah, semuanya telah terbuka. Kata tabu pernikahan belum terlontar dari mulut mereka, hampir seakan-akan mereka berdua takut bahwa jalinan rapuh yang tengah ditempa itu akan putus dengan kata tersebut. Mereka berdua tak menginginkannya terjadi, apa pun balasannya.
"Terima kasih. Kuharap kau menghargai bahwa aku hanya melakukan ini untuk anakmu belaka. Aku bukanlah orang yang sama dengan diriku lima tahun lalu, Sikander. Ini bukanlah sebuah pernikahan biasa untuk seorang perempuan normal." Zarri Bano merasa mengingatkannya adalah sesuatu yang penting.
"Tentu saja aku tahu kau kini orang yang berbeda dengan yang pertama kali kujumpai-tapi, di balik itu semua, aku percaya kau masih perempuan yang sama, Zarri Bano. Tapi aku tak ingin kembali ke saat itu. Yang bisa kukatakan padamu adalah bahwa semuanya ada di tanganmu. Aku tak akan menuntut apa pun darimu. Itu akan maju secara bertahap."
Zarri Bano merasa pipinya menjadi hangat mendengar kata "menuntut" yang diucapkan Sikander. Seraya memejamkan matanya, Zarri Bano mencoba mengenyahkan bayangan-bayangan merangsang di balik bulu matanya. Sudah lama sekali sejak pikirannya menyukai bayangan-bayangan seperti itu.
"Terima kasih atas pengertianmu. Aku akan mengatakan pada Ibu tentang hal ini malam ini juga. Tampaknya semua orang menang-Gulshan, Fatima, Kakek, kau, dan Ibu." Zarri Bano menggelengkan kepala, tak mampu menyembunyikan nada getir dalam suaranya. "Allah Hafiz, Sikander Sahib!"
Setelah meletakkan gagang telepon, dia menoleh ke jendela dan menatap hampa ke luar. "Apa yang telah kulakukan kini"" tany
anya pada diri sendiri dengan perasaan masygul.
* * * Di Karachi, setelah mengakhiri percakapan telepon dengan Zarri Bano, Sikander duduk menatap gagang telepon itu untuk waktu yang sangat lama. Lalu dengan setengah linglung ia mencari ibunya. Bilkis sedang berada di atas sajadahnya, tengah menunaikan shalat isya. Sikander menunggu sampai Bilkis selesai shalat, lalu ia bersimpuh dan mencium dahi ibunya.
"Lakukanlah shalat sunnah hari ini, Ibu, untukku, Zarri Bano, dan Haris. Doakanlah agar kami hidup sentosa dan bahagia bersama sebagai sebuah keluarga dan untuk masa depan kami."
Bilkis menatapnya dengan rasa senang terpancar dari matanya dan seraya berdiri dia memeluk Sikander.
"Oh, Anakku Sayang. Aku berbahagia untukmu!" Seraya merengkuh tangannya, Bilkis mencium kedua pipi Sikander. "Apakah Zarri Bano sudah bersedia menerima lamaranmu""
"Tidak, dia justru menawarkan diri! Sebagai awal mula, ini akan menjadi sebuah pernikahan formalitas belaka." Melihat tatapan aneh di wajah ibunya, Sikander merasa harus menjelaskan. "Zarri Bano membutuhkan banyak kesabaran, Ibu. Sudah banyak hal berat terjadi dalam hidupnya. Dia telah menerima terlalu banyak pukulan emosional. Dia hanya menikahiku demi anakku, bukan untuknya atau untukku. Itu akan sulit, tapi setidaknya anakku akan memiliki seorang perempuan yang bagaikan seorang ibu baginya dan akan bersamanya hampir sepanjang waktu."
"Lalu, bagaimana halnya dengan pekerjaan Zarri Bano" Apakah dia akan meninggalkan sekolahnya yang baru, sekolah perempuan yang baru didirikannya itu"" tanya Bilkis.
"Kuharap tidak. Kita akan lihat apa yang terjadi, tetapi perlahan-lahan saja. Aku perlu menjaga dalam benakku bahwa ini adalah perempuan yang pernah memperdayakanku dengan sekali pandang lima tahun yang lalu, dan kini bergidik jijik pada segala gagasan intim denganku karena aku menikahi adiknya. Kini kami memiliki jalan panjang membentang. Kita tidak bisa memaksanya memenuhi keinginan-keinginan kita. Dia telah tertekan dan dimanfaatkan oleh ayah dan kakeknya. Aku tak akan menjadi lelaki penindas lainnya dalam selubung seorang suami. Aku akan menjadi seorang teman baginya hingga dia memutuskan telah siap untuk sebuah hubungan pernikahan yang lebih sempurna."
"Aku akan berdoa untuk kalian semua. Semoga Allah memberkahi keluargaku dan semoga jiwa Rubyku yang malang beristirahat dengan tenang."
"Amin. Ya, Ibu, ya!" ujar Sikander pada ibunya dengan segenap ketulusan dalam hatinya.
56. KARENA KAMPUSNYA ditutup selama libur musim panas, Firdaus pulang ke rumah untuk berlibur. Dia merasa takut selama tinggal di kampung. Pikiran akan pertemuan dengan Khawar menggelisahkannya. Dia masih belum pulih dari kunjungan terakhir Khawar dan serangan verbalnya. Kesadaran Firdaus kerap menusuknya, membuatnya berpikir dan merenung tentang adegan Kaniz yang berlutut dan memohon-mohon padanya. Persoalannya adalah, makin dia berpikir mengenai peristiwa tak terduga itu, dia makin merasa terpukul karenanya. Pada hari kedua di rumah, dia gemetar karena merasa bersalah. Dorongan untuk menceritakan hal itu pada ibunya menjadi amat kuat. Rumah Kaniz hanya berselisih satu jalan dari rumahnya. Selalu ada kesempatan untuk secara kebetulan berjumpa dengannya.
Kulsoom kembali berkenan mengunjungi mereka. Diperlakukan sebagai seorang tamu terhormat, Kulsoom makan pagi dengan leluasa terdiri atas dua paratha dan sebuah omelet, diselesaikan dengan semangkuk yoghurt krim segar dari perusahaan susu Sardara. Ketika didesak agar tinggal untuk makan siang, Kulsoom melakukan penolakan setengah hati dengan berpura-pura menampik, tapi kemudian dengan rakus menerimanya. Fatima, dengan pipi menggembung menahan tawa, dan para anak perempuannya menanggapi perilaku ini dengan humor dan menganggapnya enteng. "Bagaimanapun, ini adalah imbalan yang tak seberapa untuk menjodohkan Salma dengan bujangan dari desa sebelah," ujar Fatima pada anak-anak perempuannya berupaya meyakinkan mereka, dan dirinya sendiri, bahwa jumlah yang diboroskan oleh Kulsoom, termasuk sarapan dan makan siang, memang adil.
Sejak Firdaus meninggalkan desa dan menolak memb
icarakan rencana pernikahannya dengan siapa pun, Fatima memutuskan untuk memusatkan diri mencari pasangan untuk anaknya yang lebih patuh, Salma. Firdaus bukanlah satu-satunya yang harus dia pikirkan. Dengan demikian, dia yakin bahwa setidak-tidaknya salah satu di antara tiga putrinya akan menikah. "Jika Firdaus tidak berhati-hati, dia akan tertinggal," batin Fatima. Dia mulai hilang kesabaran pada putri sulungnya itu. "Gadis ini umurnya sudah hampir tiga puluh tahun, demi Allah. Aku punya empat anak. Siapa yang akan menghendakinya seumur ini, belum lagi ditambah persyaratan darinya""
Fatima telah membereskan maskawin Salma. Perabotan telah dipesan dari sebuah toko terpandang di Karachi. Kini tersisa hanyalah menentukan tanggal pernikahan. Kulsoom memiliki tujuan khusus untuk kunjungannya. Dia datang untuk berdiskusi dengan Fatima mengenai hadiah apa yang akan diberikan pada mempelai pria dan keluarganya. Dia memikirkan tanggung jawabnya untuk memberi Fatima pengetahuan yang didapatnya dari pengalaman lebih dari dua puluh tahun dalam hal menyusun pesta pernikahan dan menyiapkan baju pengantin untuk mempelai perempuan.
"Dengarkan, Kulsoom, hatiku memberitahuku untuk memesan seperangkat anting emas dan liontin yang sesuai bagimu. Aku akan sangat senang memberikannya padamu sebagai sebuah hadiah. Kami sanggup membelinya," ujar Fatima pada Kulsoom, melihat mata Kulsoom terbuka lebar karena terkejut.
"Tidak perlu, kau tahu. Kau tak perlu memaksakannya sekarang, Fatima Jee. Ingatlah, kau masih memiliki dua putri lain yang akan dinikahkan dan kau harus melakukan hal yang sama pada mereka agar adil. Tentu saja terserah padamu, aku akan berpikir dua kali tentang itu. Kini, bagaimana dengan baju pengantin" Berapa banyak kau akan memberinya""
"Aku ingin berkonsultasi dulu dengan Firdaus tentang soal itu."
"Aku tahu. Bicara soal Firdaus, Fatima Jee, aku belum melihatnya hari ini," Kulsoom mengizinkan dirinya mendapat kemewahan ini.
"Dia mungkin lelah. Ada sedikit pekerjaan yang harus dilakukan di akhir masa kuliah musim panas, dengan ujian dan sebagainya. Bagaimanapun, aku juga memerhatikan bahwa dia agak sedikit berbeda pada saat ini, tak seperti dia yang biasanya, Kulsoom Jee."
"Apakah kau ingin aku berhubungan dengan mak comblang di kota untuk menemukan seorang rishta yang cocok untuk Firdaus""
"Aku akan sangat menyukainya, Kulsoom Jee, tapi aku tak ingin kau melakukan sesuatu hingga aku berbicara padanya tentang itu. Aku tak ingin memulai tanpa izin," Fatima buru-buru menambahkan. "Bagaimana dengan Khawar"" Kulsoom bertanya lirih.
"Bab itu sudah sepenuhnya ditutup." Fatima menggelengkan kepalanya dengan sedih, sebuah tatapan pedih tersirat di matanya. "Aku ini seorang perempuan bodoh yang ambisius, menghabiskan waktuku dan waktu mereka. Aku tahu, tiada guna mengejar perkara yang telah selesai."
"Aku tahu," ujar Kulsoom berpikir keras, otaknya menjadi hidup dengan rasa ingin tahu. "Apakah kau telah mendengar bahwa Chaudharani Kaniz jatuh sakit akhir-akhir ini dan tak terlihat oleh orang lain selama beberapa minggu" Sudahkah kau menengoknya" Dia tidak memanggilku selama dua tahun terakhir ini, maka aku tak tahu apa yang dia lakukan mengenai pernikahan anak lelakinya."
"Tidak, aku belum menengoknya, juga tak ingin menemuinya-atau mendengar apa pun tentang perempuan itu!" sergah Fatima, mengingat pertemuan terakhir antara dirinya dan Kaniz yang masih terasa segar di benaknya. Syukurlah, dia tidak lagi berjumpa dengan harridan itu sejak saat itu!
* * * Pada malam-malam musim panas yang gerah, Firdaus dan Fatima, seperti halnya banyak penduduk desa lainnya di Pakistan, senang tidur di tempat terbuka di atap rumah mereka. Ibu dan anak itu berbaring di atas selimut katun perca di atas kasur lipat mereka yang ditempatkan bersisian.
Fazeelet dan Salma memilih tidur di dalam rumah di lantai bawah, di bawah tiupan kipas angin di langit-langit. Jika terjadi hujan, terlalu mengganggu bagi mereka harus bergegas pergi dari tempat tidur mereka, bersegera membereskan perlengkapan tidur dan masuk ke ruangan. Ya, mereka selalu tidur di halaman terbu
ka di lantai bawah. Fatima dan Firdaus bersiap untuk tidur. Seraya merapikan bantal mereka dan menarik seprai katun tipis menutupi sekujur tubuhnya, Firdaus berbaring telentang dan menatap bintang-bintang. Dia memalingkan wajahnya ke arah
ibunya. "Para pengganggu ini!" Cetus Fatima ketika mengibaskan seekor nyamuk besar yang berputar-putar di dekat wajahnya.
"Ibu, aku ingin mengatakan sesuatu padamu," ujar Firdaus memulai perkataannya dengan lirih.
"Ya"" sahut Fatima setengah hati. "Oh, para pengganggu ini! Kurasa aku harus segera memasang kawat nyamuk. Aku tak pernah berpikir ketika kami membeli kawat nyamuk di Hyderabad, kita juga akan memerlukannya di Chiragpur. Para pengganggu ini bahkan menyerang desa kita. Kukira mereka cuma ada di kota." Dia menguap nyaring. Itu adalah sebuah hari yang panjang.
"Chaudharani Kaniz datang menemuiku," kata Firdaus. Kini dia mendapatkan perhatian penuh ibunya.
"Apa" Kapan" Mengapa tidak kau katakan padaku"" tanya Fatima bertubi-tubi, seraya berdiri tegak dan melupakan sama sekali nyamuk-nyamuk yang mengganggunya.
"Itu terjadi beberapa minggu yang lalu."
"Ya Tuhan, mengapa tak kau ceritakan padaku" Apa yang dia katakan"" dia merasa heran. Rasa senang dalam suara ibunya membuat Firdaus tidak senang dan tertekan.
"Ya..., aku kan baru pulang kemarin, Bu," katanya dengan jengkel.
"Kalau begitu, ayolah, katakan padaku apa yang terjadi," desak Fatima tak sabar. Detak jantungnya berlomba di luar kendali. Dia ingin tahu apa maksud Kaniz mengunjungi putrinya.
Firdaus sendiri tak merasa senang dengan pemikiran harus menceritakan pada ibunya segala hal tentang kunjungan Kaniz. Mata Fatima berkilat-kilat dengan dugaan licik. Bagaimana dia akan bereaksi apabila aku menggambarkan Kaniz berlutut dan memohon padaku agar aku mau mengawini anaknya" Firdaus bertanya-tanya dengan cemas. Ibunya barangkali akan melompat dari tempat tidur karena senang! Hingga dia mendengar keseluruhan kisahnya.
Firdaus memutuskan untuk memberi ibunya kehormatan mendengar seluruh cerita yang sebenarnya. Persoalan dengan Khawar menjadi beban berat di hati dan perasaannya. Dia amat membutuhkan untuk berbagi bebannya dengan seseorang.
"Dia datang untuk melamarku," ungkap Firdaus seraya menatap lagi bintang-bintang di atasnya dalam langit gelap. "Oh, Tuhan. Sungguhkah" Aku tak memercayainya!" sepasang mata Fatima membelalak takjub memandangi wajah putrinya.
Selimut katun itu dilemparkannya ke samping, kakinya kini menjulur keluar tempat tidur, bergetar dengan ketukan hampa pada lantai atap. Firdaus menelan ludah saat memikirkan apa yang harus dia katakan berikutnya.
"Itu belum semuanya, Ibu. Chaudharani Kaniz berlutut dan menangkupkan tangannya di depanku, memohon padaku agar mengawini Khawar." Firdaus berhenti, merasa ngeri atas keterangan berikutnya yang akan ia sampaikan.
Fatima kini tak mampu berkata-kata. Bayangan Kaniz berlutut, memohon pada putrinya, Firdaus, untuk mengawini Khawar adalah sebuah mimpi yang ganjil-terlalu bagus untuk menjadi kenyataan! Dia tak tahu apa yang seharusnya dia rasakan. Berbagai emosi-rasa kemenangan, heran, tak percaya-bertempur dalam batinnya.
Akhirnya yang dia katakan adalah, "Kapankah itu terjadi" Mengapa tidak kau katakan padaku" Apakah dia sungguh-sungguh berlutut" Aku tak memercayainya! Perempuan sombong yang angkuh itu... memohon." Kepala Fatima menggeleng-geleng karena takjub.
"Ya, dia memang berlutut," Firdaus menjilat bibirnya yang kering, sebelum dia menjatuhkan bom. "Dan aku menolaknya."
Kata-kata kutukan Khawar menari-nari di benak Firdaus. Sebuah dorongan masokhistik untuk menghukum diri sendiri membuat Firdaus melanjutkan kata-katanya dengan suara nyaring, "Dan ketika dia memohon, Ibu, dan menangkupkan tangannya yang terjulur padaku, aku membuka pintu dan mengusirnya."
Kesunyian terasa ketika Fatima bergulat untuk mencerna kabar mengherankan yang telah dilontarkan putrinya dengan sembrono.
Firdaus dengan penuh rasa sakit menyadari kesunyian yang menekan itu. Tarikan napas ibunya adalah satu-satunya suara selain dengung nyamuk di sekeliling wajah Fatima. Serangga-serangga brengsek
itu terlupakan ketika pikirannya berkecamuk. Bayangan kembar putrinya berdiri dengan pintu terkuak dan Kaniz yang berlutut dengan tangan menyembah, membangkitkan setiap indranya mengenai kesenonohan manusia dan kepantasan sosial.
Pada akhirnya Fatima menemukan kegunaan lidahnya. "Firdaus! Teganya kau"" Fatima mengomel dalam kelam malam, suaranya menyatakan ketidaksukaan dan kejijikannya. "Ke mana perginya akal sehatmu, Nak" Aku tak percaya kau telah melakukannya!"
"Aku tahu," sahut Firdaus dengan menderita, merasa takut dengan perkataan ibunya. "Tapi tak ada lagi yang bisa kulakukan."
"Tak ada lagi yang bisa kau lakukan" Aku tak tahu apa yang telah terjadi padamu. Kukira aku telah membesarkan anak-anakku dengan baik, membuat kalian menjadi anak-anak perempuan yang berperilaku baik dan cerdas. Tapi, yang baru saja kuketahui, ternyata aku memiliki anak sulung yang pendek pikir dan berhati batu. Kau tahu apa pengorbanan yang harus dilakukan perempuan itu untuk merayap padamu dan berlutut memohon-mohon, Firdaus" Dan kau-kau dengan kejam mempermalukannya! Aku selalu tidak menyukai perempuan itu, tetapi, Firdaus, apa yang telah kau lakukan padanya tak termaafkan. Itu bertentangan dengan segala aturan manusia yang beradab. Tak seorang pun layak diperlakukan seperti apa yang telah kau lakukan padanya, termasuk musuh yang paling jahat sekalipun. Perempuan yang malang!" Fatima bergidik pada bayangan Kaniz berlutut.
"Tolong, Ibu, berhentilah. Khawar telah menghinaku karena soal ini," ujar Firdaus, merasa lebih menderita daripada yang dia perkirakan.
"Kapan kau bertemu Khawar" Apa yang ia katakan"" Fatima bertanya dengan suara seakan-akan tak percaya. "Maksudmu, kau sengaja menyimpannya sendiri untukmu-dan meninggalkan kita dalam gelap!"
"Ini memang tak layak dibicarakan," gumam Firdaus, merasa jijik untuk mengulang apa yang telah dikatakan Khawar kepadanya. Perkataan Khawar masih menyayat hatinya.
"Kau bilang ia telah menghinamu. Apa maksudmu"" desak Fatima. Lalu dengan marah Fatima berkata, "Katakan padaku, Firdaus! Apa yang telah dikatakan Khawar padamu""
"Baiklah, Ibu, jika Ibu harus tahu, anggap saja ia sedang amat marah. Ia menyebutku... dengan kata-kata kasar." "Aku tidak terkejut, Nak. Kau memang layak mendapatkannya."
"Ia bilang bahwa ia telah mengibaskan tangannya padaku untuk selama-lamanya," ujar Firdaus tak berdaya. Dia tahu dirinya telah sungguh-sungguh mencampakkan mimpi ibunya ke dasar sumur.
"Bagus, Anakku. Selamat. Kau telah mendapat kenaikan derajatmu dengan baik," ledek Fatima. "Tuhan tahu apa yang telah dikorbankan perempuan itu untuk merayap padamu, tapi kau tak punya karunia untuk menghargainya. Tidak, kau begitu picik dan kerdil sehingga malah mempermalukannya. Kukatakan padamu, Anakku, pelajarilah hal ini dengan sungguh-sungguh: jangan pernah membuang hal yang bagus! Kau kira Khawar masih akan menatapmu lagi, apalagi mengawinimu, apabila kau telah melakukan hal ini pada ibunya" Firdaus, ia mungkin saja tergila-gila padamu, tapi biar kukatakan padamu: seorang perempuan tak berarti apa-apa dalam mata seorang lelaki bila berkaitan dengan ibunya. Ia telah banyak berkorban untukmu. Bertengkar dengan ibunya dan minggat dari rumah karenamu. Dan kau bahkan tak memiliki akal sehat, apalagi kebaikan hati, untuk menyambut ibunya dan menerima yang dia tawarkan padamu.
"Sebaliknya, kau malah mengusirnya. Seorang perempuan tua-seorang chaudharani! Seorang perempuan yang bisa menjadi ibu mertuamu. Oh, Firdaus, aku amat malu memiliki anak seperti dirimu. Aku tak percaya harga dirimu telah membuatmu begitu kejam." Fatima menggoyang-goyangkan dirinya sendiri beberapa saat. Dia tak melihat ke arah putrinya, tak tahan, sehingga dia tak melihat betapa Firdaus amat menderita. Akhirnya Fatima membuat keputusan.
"Sampai kau meminta maaf padanya dan dimaafkan oleh perempuan itu, Firdaus, atas perbuatanmu yang tidak berperasaan-dengan berlutut-aku tidak akan memaafkanmu. Ini ultimatumku. Sekarang, apakah kau masih punya kejutan tidak menyenangkan lainnya untuk dibeberkan padaku, putriku sayang"" ujar Fatima dengan sarkastis.
"Maafka n aku, Ibu. Aku akan melakukan apa pun yang kau minta. Mungkin dengan itu aku akan bisa mendapatkan kembali kedamaian pikiranku," Firdaus menghela napas panjang.
"Huh! Putriku yang egois masih berpikir hanya tentang diri sendiri-tentang kedamaian pikirannya sendiri! Bagaimana dengan pikiran perempuan lain" Kau barangkali telah menjungkirbalikkan dunianya. Bukan kedamaian pikiranmu yang kupedulikan saat ini. Yang lebih perlu dicemaskan adalah jiwa malang yang egonya telah kau pukul itu. Jika kesadaranmu mengizinkan, pergilah tidur sekarang, andai kau bisa. Karena aku tak akan bisa tidur sekedip pun." Fatima mendecakkan lidahnya dengan susah hati! "Pertama aku menghinanya di rumahnya, lalu kau melakukan hal ini! Tak heran jika dia tidak punya mimpi yang lebih buruk lagi tentang kita berdua!"
Seraya berbaring, Fatima membelokkan kepala kipas angin di dekat tempat tidurnya agar menghadap ke arahnya. Lalu, dia melonggarkan kancing atas dasternya. Tubuhnya terasa gerah dan dia tak ingin tidur. Mata Fatima menoleh ke arah hawali Kaniz. Nyamuk-nyamuk yang mereka usir dengan embusan kipas angin kini telah terlupakan sama sekali.
57. FIRDAUS MENANDAI kuda putih dan sosok bertubuh tinggi itu dari atas, bertumpu pada pegangan pagar besi atap rumahnya. Itu pasti Khawar yang sedang naik kuda pagi-pagi. Khawar sudah biasa melakukannya selama bertahun-tahun. Sebagai seorang gadis belasan tahun di masa lalu, Firdaus kerap melihat Khawar naik kuda dengan sembunyi-sembunyi pagi-pagi benar, walaupun dia biasanya menundukkan kepalanya dengan malu-malu. Khawar biasanya akan menatapnya dengan sorot mata menyiratkan kegagahan dan memberinya seulas senyum.
Firdaus tahu Khawar menggunakan sejam waktu pagi harinya untuk berkuda. Itu memberinya cukup waktu untuk berganti baju dan sarapan. Firdaus lalu pergi ke atap rumah dan menunggu dengan sabar, memerhatikan cakrawala, menanti munculnya kuda putih itu. Khawar adalah satu-satunya yang menunggang kuda dengan warna mencolok perhatian semacam itu dan dengan jubah yang bagus. Setelah melihat pasangan penunggang dan kudanya itu, Firdaus dengan cepat turun tangga dan memanggil Fatima yang sedang sarapan di dapur, "Ibu, aku mau berjalan-jalan dulu di ladang."
Saat melihat Kulsoom Bibi dan Naimat Bibi berjalan di dataran desa, Firdaus mempercepat langkahnya. Dia sedang tidak ingin bertegur sapa dengan kedua biang gosip desa itu dan berharap mereka tidak membuntutinya. Dengan bergegas, dia berjalan keluar desa itu dan sepanjang jalan yang menurutnya akan diambil oleh Khawar, berdoa agar dia tak akan bertemu orang lain di tengah jalan.
Khawar tidak melihat Firdaus sampai gadis itu muncul dan menyentuhnya. Khawar menatap ke bawah dengan terkejut, lalu buru-buru menarik kainnya, tetapi tangan Firdaus tetap mencekal betisnya.
"Tolong singkirkan tanganmu, Ibu Kepala Sekolah," ujar Khawar menyindir gadis itu. "Aku tidak terbiasa dianiaya oleh seorang perempuan dalam acara berkuda pagi-pagiku."
Pada saat yang lain, kata-kata Khawar itu pasti akan membuat Firdaus terkekeh, tetapi ini bukan hal yang layak ditertawakan. Dengan merah padam, Firdaus menyingkirkan tangannya. Dia datang untuk minta maaf, maka dia tak ingin bertengkar dengan lelaki angkuh itu.
"Aku hanya mencoba menghentikanmu, Khawar Sahib," ujarnya lirih. "Tolong janganlah kau menghinaku. Aku tidak terbiasa menyentuh lelaki, apalagi menganiaya mereka."
Khawar mendengarnya dan sejenak tergoda untuk tersenyum, tetapi ia masih merasa tidak senang terhadap gadis itu setelah peristiwa yang terjadi dengan ibunya. Khawar berharap ingin pergi-memisahkan jarak sejauh mungkin antara dirinya dan perempuan itu.
Firdaus terus memandanginya, mencoba mereka-reka apa yang ada dalam benak Khawar saat lelaki itu balik memandangnya. Firdaus tampaknya memang telah terjebak dalam gaya orang kota. Dia telah mengganti jalinan rambut panjangnya menjadi rambut yang dipotong sebahu. Rambutnya yang sehitam bulu gagak membingkai wajahnya menjadi amat menarik, mau tak mau Khawar harus mengakuinya. Salah satu yang selalu ia kagumi dari Firdaus adalah rambut panjangnya yang berjal
in hingga ke bawah pinggangnya. Bagi Khawar, selalu ada pesona keanggunan dan aura feminin dalam diri seorang perempuan dengan jalinan rambut yang terjuntai di balik bahunya. Bajunya yang bermotif bunga-bunga biru dipotong bergaya kota dan dupatta-nya tersampir dengan sembrono mengelilingi bahunya, bukan di atas kepalanya seperti adat kebiasaan di desa itu. Secara keseluruhan, gadis itu menampilkan gambaran yang sangat memikat, tetapi dia bukanlah Firdaus yang pernah dikenal Khawar. Ini adalah ibu kepala sekolah yang canggih dan bergaya kota.
Tangan Khawar mencengkeram erat tali kekang kudanya. Ia nyaris hendak bergerak ketika Firdaus mencekal betisnya lagi.
"Apakah aku tak akan pernah dimaafkan"" desaknya. "Aku datang untuk meminta maaf padamu, Khawar Sahib." Sepasang mata Firdaus enggan berkedip di hadapan amarah Khawar.
"Untuk apa, Ibu Kepala Sekolah" Karena telah menghina dan mengusir ibuku...," katanya dengan marah, "... dan membuatnya menderita sakit jiwa""
Dengan berani Firdaus berdiri di tanah dan terus tersenyum padanya, tahu secara naluriah bahwa dia harus bercanda pada Khawar. "Apa pun yang kau katakan, Khawar Sahib. Aku amat menyesal telah berbuat bodoh-aku mengakuinya. Kini aku menyadari apa yang telah kulakukan. Kenyataannya hari ini aku berencana mengunjungi ibumu dan meminta maaf padanya dengan berlutut, jika itu akan memuaskan harga dirimu, Khawar, atau membuatmu mau memaafkan kebodohan usia mudaku. Ingatlah ini; aku melakukannya demi dirimu."
"Oh, tolong, Ibu Kepala Sekolah, jangan merendahkan dirimu dengan memohon karena aku," sahut Khawar kaku.
"Kini selamat pagi untukmu." Sekali lagi ia membuat gerakan akan pergi.
"Kau kejam, Khawar Sahib," ledak Firdaus. "Aku tidak menyukai ini. Kau tidak memudahkan aku." Kini mulai membenci setiap detik pertemuan ini.
Dengan kemarahan di matanya, Khawar menukas, "Apakah ibuku senang memohon-mohon padamu" Apakah kau memudahkan dia"" Seraya mencondongkan badannya ke bawah, ia menyemburkan kata-kata itu ke wajah Firdaus.
Mencampakkan sisa terakhir harga dirinya, Firdaus memekik, "Jika dia melamarku sekarang, aku akan mengatakan ya! Ya!" Penampilan luarnya yang tenang telah musnah sama sekali.
Pembawa Kabar Dari 3 Dewa Arak 77 Sengketa Guci Pusaka Dendam Yang Tersisa 2
^