Pencarian

Zaman Edan 3

Zaman Edan Karya Richard Llyod Parry Bagian 3


kebaikan. Oleh karena daya zaman Kalabendu. Di zaman
edan ini, serba susah dalam bertindak, ikut gila tidak akan
tahan, tapi kalau tidak ikut, tidak akan mendapatkan
bagian, pada akhimya kelaparan.
PERKASA TANPA MANTRA r orde Baru yang diciptakan pada akhir 1960-an oleh
Presiden Soeharto tidak brutal atau se-rampangan seperti
kediktatoran di negara- negara lain di dunia berkembang.
Di Indonesia, ada kalanya lawan politik dibunuh atau
hilang, serta ada laporan tentang penyiksaan dan perlakuan
buruk dalam pemeriksaan. Ribuan orang, yang dituduh -
atau sekadar di curigai - sebagai simpatisan komunis,
dipenjarakan puluhan tahun, dan sebagian besar mereka tak
pemah diadili. Tetapi, bagi pengamat sepintas ada beberapa
tanda penindasan yang jelas. Di pulau Jawa dan pulau-
pulau utama - tidak termasuk operasi brutal anti-gerilyawan
di Timor Timur dan Aceh - oposisi terhadap pemerintah
cenderung berakhir di pengasingan atau pemenjaraan, alih-
alih penyiksaan atau eksekusi. Orde Baru yang relatif lunak
ini membuat pemerintahan demokratis di Barat lebih
mudah bekerja sama dengan Indonesia.
Soeharto seorang yang halus dan rendah hati. Dia
memiliki bakat untuk bekerja secara terselubung dan
mengendalikan berbagai peristiwa tanpa secara langsung
tampak sebagai pihak yang bertanggung jawab. Peristiwa
196S adalah jimatnya, roh jahat yang melindungi dirinya
dan rezimnya. Apa pun bangunan kemajuan yang
ditegakkan selama tiga puluh tahun kemudian, di bawah itu
semua adalah lubang kelam yang menyimpan tubuh-tubuh
orang yang mati dalam pembantaian anti-komunis. Semua
orang Indonesia tahu ini. Dan daripada menghadapi apa
yang telah saling mereka lakukan terhadap satu sama lain,
mereka buang kenangan itu dari pemandangan, mereka
tarik diri dari kancah politik dan selama tiga puluh tiga
tahun selanjutnya mereka biarkan Soeharto sendirian.
Orde Baru lahir dalam kekerasan yang teramat sangat;
ancaman kekerasan tersirat sepanjang sejarahnya; dan
berakhir dalam ledakan kekerasan yang beriak lama setelah
pendirinya tumbang. TETAPI, HAL yang paling menarik tentang tiga dekade
pertama Orde Baru adalah betapa membosankannya kurun
waktu itu. Soeharto naik ke tampuk kekuasaan di salah satu
negara yang paling bergolak dan beragam di atas bumi.
Dalam beberapa tahun saja, politik telah diberangus, konflik
dibungkam, ideologi digantikan dengan konsensus, dan
retorika digeser oleh birokratisasi. Inilah prestasi terbesar Soeharto:
menjinakkan banteng mengamuk yang
ditunggangi Soekamo, dan menjadikannya sapi mengantuk
yang mengunyah dengan malas.
Perubahan bersifat perlahan-lahan bukannya sekaligus,
dituntaskan melalui penyesuaian sedikit demi sedikit
dengan tatanan yang ada. Soeharto tidak memiliki
gambaran besar untuk diungkapkan, tetapi dalam jangka
lima tahun setelah menumbangkan Soekamo, dia telah m e
m b a n j iri p a r I e m e n d e n g a n p e n d u k u n g - p e n d u k u n g
n y a sendiri, menciptakan jaringan mata-mata
yang ditakuti, dan menegakkan tentara sebagai lembaga
paling kuat di negara ini. Kericuhan antara partai-partai
politik yang saling bersaing di bawah pemerintahan
Soekamo kini "dirampingkan" menjadi tiga. Pemerintah mendanai mereka, menunjuk
pemimpin-pemimpinnya dan merintangi mereka dari aktivitas politik di luar periode
kampanye pemilihan resmi. "Dengan satu-satunya jalan
yang ada, mengapa kita mesti punya begitu banyak
kendaraan, sampai sembilan?" tanya Soeharto. "Mengapa kita harus saling mengebut
dan bertabrakan?" Dalam nada inilah Orde Baru menjelaskan tentang
dirinya sendiri: lamban, menyederhanakan, dan tinggi hati
sehingga memicu kemarahan. Ia mencari pembenaran atas
segala tindakannya dengan mengatasnamakan "rakyat", yang kepentingannya hanya
dia sendirilah yang dapat
mengerti. Pada waktu yang sama, rakyat tidak dipercaya,
dan selalu perlu untuk dilindungi dari diri mereka sendiri.
Hal ini paling nyata selama pemilu, "Pesta Demokrasi" lima tahunan, yang setiap
kali telah ditetapkan, sejak dari
kandidat anggota parlemen yang disaring hingga proses
penghitungan suara oleh pemerintah. Dengan dukungan
lebih jauh dari orang-orang yang ditunjuk pemerintah,
dewan yang tercipta kemudian akan memilih presiden
setahun kemudian. Tak seorang pun pemah muncul
menandingi Soeharto, dan tak ada debat tentang
pencalonannya. Rekor tercepat tercatat pada 1973 ketika
dia diajukan kembali dan dipilih kembali dalam jangka
waktu delapan menit. Soeharto menyebut kebohongan ini "demokrasi
Pancasila", menurut "Lima Prinsip" yang diajukan oleh Soekamo pada saat
pendirian Indonesia. Pancasila itu
sendiri merupakan sekumpulan nilai-nilai ideal tak
tersanggah yang dengannya orang Indonesia dapat bersatu,
apa pun ras dan agama mereka: kepercayaan pada satu
Tuhan; kemanusiaan yang adil dan beradab; persatuan
nasional; demokrasi melalui permusyawaratan; dan
keadilan sosial untuk semua. Tetapi atas dasar fondasi yang
sederhana ini, Orde Baru membangun benteng kuat untuk
mengunci politik Indonesia selama tiga puluh tahun.
" D e m o k rasi Pancasila m e r u p a k a n upaya untuk meriyeimbarigkari
antara kepentingan individu dan
kepentingan masyarakat," jelas Soeharto. "Ciri khasnya adalah penolakan
kemiskinan, keterbelakangan,
perselisihan, pemerasan, kapitalisme, feodalisme,
kediktatoran, kolonialisme, dan imperialisme." Inilah inti intelektual
Pancasila: dukungan bagi hal-hal yang baik;
penolakan terhadap hal-hal yang buruk; dan Bapak Lebih
Tahu. Literatur Pancasila disebarluaskan, begitu pula program
indoktrinasi yang harus diikuti oleh seluruh siswa sekolah,
tentara, dan semua orang dalam posisi pemerintahan.
Manusia Pancasila yang benar menempatkan kesetiaan
pada negara di atas seluruh kesetiaan pada agama, suku,
atau kewilayahan. Dia taat pada pihak berwenang, dan
selalu bersedia untuk m e n u n d u k k a n h a k - h a k
individual n y a. Dia m e n g u t a m a k a n kestabilan,
keamanan, pembangunan, dan di atas semua itu,
konsensus - artinya, sesungguhnya, dia setuju dengan apa
pun yang diputuskan Soeharto. Dia membenci demokrasi
gaya Barat, dan senantiasa waspada terhadap kembalinya
komunisme yang masih bertahan seperti virus antraks di
Indonesia. Tetapi, kekuatan Pancasila terletak pada
keluwesannya. Pancasila bisa berarti apa pun yang
dikehendaki Soeharto, dan ia secara ajaib mentransformasi
makna konsep dan kata-kata yang sudah dikenal. Persis
sebagaimana demokrasi Pancasila adalah kediktatoran yang
terbungkus rapi, maka seorang guru Pancasila - jika dia
melakukan tugasnya dengan baik - adalah seorang
propagandis, wartawan Pancasila adalah seorang pencari
muka, dan pegawai negeri Pancasila adalah penjilat yang
patuh. Orde Baru bersandar pada kehampaan, penolakan ide-
ide dan imajinasi, serta kerusakan yang diakibatkannya
pada negara ini sulit untuk diukur. "Saya pikir itulah
kejahatan terbesar Soeharto," kata pengacara hak-hak asasi manusia, Adnan Buyung
Nasution. "Dia membuat orang
Indonesia takut berpikir, takut mengekspresikan diri mereka
sendiri." Pancasila adalah otoritarianisme yang menampilkan diri
sebagai kata-kata kosong, tetapi ia juga memiliki sesuatu
yang misterius dan bahkan mistis. Lima Prinsip itu lebih
mirip wahyu daripada ideologi, membenarkan diri sendiri
dan mewujudkan diri sendiri. "Prinsip itu menjadi rumusan keramat untuk
melindungi bangsa," tulis seorang
antropolog Niels Mulder. "Pancasila ... berubah menjadi
benda kepemilikan yang melegitimiasi rezim itu dan
memberkati arah yang diambilnya. Ia menjadi seperti
wahyu, mandat ilahi. Lagi pula, ketika
memiliki mantra yang benar, seorang penguasa tidak bisa
dipersalahkan." "TAK ADA negara yang bisa dianggap hidup jika tidak
ada konflik di dalamnya/' cetus Soekamo ketika menyusun
Pancasila pada Juni 194S. Tetapi, dalam semesta Orde
Baru, konflik jenis apa pun berarti penentangan terhadap
kekuasaan. Soeharto tak mau tahu mengapa orang
menentangnya. Dalam jagat intelektualnya, perbedaan
pendapat tak ada hubungannya dengan sudut pandang yang
berbeda. Itu adalah masalah kebodohan, ketidaktahuan,
dan perangai buruk. "Kalau orang berbeda pendapat," jelas Soeharto dalam
autobiografinya, "saya sara n k a n agar m e r e k a m e m i k i r k a n n y a b
a i k - b a i k h i n g g a dapat diraih sebuah konsensus. Jangan tidak setuju
hanya karena ingin bersilang pendapat walaupun Anda telah
terbukti keliru. Sikap seperti itu tidak diterima di sini."
Tetapi, ketika bujukan Soeharto gagal, dan ketika
kenangan tentang 196S kurang memadai, Orde baru tidak
ragu untuk menciduk dan membunuh sesiapa yang
melawannya. Ratusan ribu tertuduh komunis ditahan setelah kup
Gestapu. Satu dekade kemudian, puluhan ribu dari mereka
masih ditahan di penjara pulau Buru. Sepanjang Orde baru,
penentang Soeharto yang non-komunis ditahan dan
dianiaya dalam cara-cara yang keras serta lunak. Mereka
yang memimpin perlawanan bisa ditahan tanpa batas waktu
atas dasar tuduhan "subversif, atau diganjar h u k u m a n t a h u n a n p e nj
a ra k a re n a " m e n g h i n a p r e s i d e n" atau "menyebar kebencian".
Pada beberapa kesempatan ketika frustrasi terungkap
dalam bentuk perbedaan pendapat, tanggapan penjaga
keamanan sering kali keras. Ratusan demonstran ditembak
mati di Tanjungpriok, Jakarta, pada 1984. Di Jawa, sekitar
10.000 preman ditangkap oleh intel dalam upaya
menekan kejahatan kota; tubuh-tubuh mereka sering
digeletakkan begitu saja di jalanan untuk menjadi contoh.
Semakin jauh dari Jakarta, represi pun semakin brutal.
Dalam melawan gerakan kemerdekaan Aceh, Irian Jaya,
dan Timor Timur, penyiksaan serta pembantaian menjadi
hal yang biasa dan ratusan ribu orang tewas. Dalam
wilayah-wilayah ini, Orde Baru beroperasi tanpa topeng
dan tanpa selubung - rasis, genosid, dan tanpa
pertanggungjawaban. MENURUT STANDAR kebanyakan rakyatnya,
Soeharto hidup makmur, tetapi bukan dalam kelimpahan
yang biasanya diasosiasikan dengan para diktator korup.
Rumahnya di Jalan Cendana No. S terletak di kawasan
terbaik di Jakarta, tetapi merupakan wilayah hunian para
profesional sukses, bukannya seorang pembesar. O r a n g -
o r a n g y a n g m e n g u n j u n g i n y a m e n g g a m b a r k a n rumah
nomor 8 itu sebagai sederhana dan biasa.
"Seperti bayangan kita tentang rumah seorang pejabat
pemerintah senior," kata seorang pegawai negeri kepada
saya. "Kalau kita tidak tahu, kita takkan pemah menyangka rumah itu milik
seorang presiden." Pintu depannya
membuka ke arah ruangan berloteng rendah berkarpet
cokelat dan dipenuhi bukan oleh harta benda, melainkan
oleh cindera mata dan hiasan murahan. Patung harimau
duduk di satu sisi; lemari kaca berisi piring-piring berlukis; meja kecil yang
memajang foto-foto keluarga. Orang
Indonesia berbudaya yang pemah ke sana terkadang
menggambarkannya sebagai orang yang tidak berselera
tinggi. "Banyak artefak tak bermakna di seputar rumah itu,"
kata Sarwono Kusumaatmadja yang menjabat selama
sepuluh tahun sebagai anggota kabinet Soeharto. "Wama-
wamanya tidak selaras, ukurannya tidak sepadan - rasanya
seperti memasuki toko suvenir. Agak aneh melihat orang
tua yang sangat kaya dan berwibawa ini duduk di sana, dan
melihat sekeliling ruangan yang penuh dengan benda-benda
remeh tak bermakna itu."
Dalam kebiasaannya yang teratur dan bersahaja, privasi
dan moralitasnya yang ketat, Soeharto memiliki semua
yang tidak ada pada Soekamo. Dia tidak suka alkohol,
tetapi sesekali menerima minuman untuk m e n y e n a n g k
a n t a m u asing. Kesenangan terbesar n y a adalah rokok
dengan lintingan kulit jagung yang kadang diisapnya seperti
seorang petani. Sepanjang hidupnya, dia tetap setia pada
istrinya, Ibu Tien yang kuat dan dominan ("Saya pikir
'pergaulan bebas' itu tidak baik," ungkap Soeharto. "Saya sendiri telah mampu
membatasi diri dalam hal itu.") Dia
jarang menggunakan atribut militemya, dan tidak
memperlihatkan kemewahan dalam penampilan pribadi.
"Dia mengenakan kemeja dengan selera yang buruk," kata seorang diplomat
Indonesia berpendidikan luar negeri suatu
kali kepada saya. "Berkantong dua, tapi dengan potongan
yang sangat buruk, sehingga dia kelihatan seperti seorang
sopir." Sebelum 196S, Soeharto tak pemah pergi ke luar negeri
dan bahkan setelah menjadi presiden dia jarang melakukan
perjalanan ke luar negeri. Satu-satunya rekreasinya adalah
golf dan memancing di tengah laut. Dia sedikit membaca,
hanya koran-koran Indonesia serta laporan para pejabat,
dan dia pembicara publik yang membosankan. Soeharto tak
pemah meninggikan suaranya atau kehilangan
kesabarannya, tak pemah tampak sedih atau cemas atau
gembira. Bahkan, pada momen-momen paling
menegangkan, dia jarang lepas dari senyum tipis dan
samamya yang terkenal. Para pembantu terdekatnya, orang-
orang yang bekerja bersamanya setiap hari, tak mampu
menduga pikiran dan perasaannya. N a m u n d e m i k i a
n, d a I a m p e r t e m u a n - p e r t e m u a n malam yang bersifat tertutup
yang diadakannya di rumahnya, dia tampil
lebih garang. Jenderal-jenderal yang telah ditempatkan pada
berbagai pertempuran, orang-orang bergelar tinggi dari
universitas-universitas paling terkenal di dunia, lumpuh


Zaman Edan Karya Richard Llyod Parry di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terdiam di hadapannya. Juwono S u d a r s o n o, s e o r a n
g m a n t a n m e n t e ri, m e n g g a m b a rk a n
"keheningannya yang pekat." "Dia menatap wajahmu dan m e m b a n g k i t k a n k
e k a g u m a n m u," k a t a n y a.
"Kehadiran d a n tatapannya itulah. Seolah-olah tatap-
annya bisa menembus dirimu. Setiap lima tahun, ratusan
orang berkumpul di dalam sidang umum dan tak seorang
pun yang cukup berani untuk berdiri dan berkata, 'Cukup!'"
Bahkan terhadap sahabat-sahabat terdekatnya, Soeharto
tak kurang kerasnya. Para penasihat lama dan setia
mendapati diri mereka tiba-tiba tak lagi dipercaya tanpa
sepatah pun penjelasan. Setelah itu, mereka mendapati
bahwa reputasi mereka telah keropos - autobiografi
Soeharto penuh dengan perujukan tersirat pada
ketidakmampuan salah seorang teman lama dan rasa tak
senang pada yang lain. Dia mampu bertahan seperti adanya
karena dia sendirian dan karena dia tidak membiarkan
seorang pun mendekati sebuah posisi yang barangkali bisa
mengancam dirinya. Dalam tiga puluh tahun berkuasa dia
tidak pemah menghadapi tantangan serius - tak sekali pun.
Presiden adalah negara, dan negara adalah presiden, serta
pada 1998 terasa oleh banyak orang seolah-olah akhir dari
Soeharto adalah akhir bagi Indonesia sendiri.
SEPANJANG HIDUPNYA Soeharto dekat dengan para
peramal dan ahli kebatinan, serta tampaknya memandang
dirinya sendiri sebagai salah seorang dari mereka. Kisah
tentang bakat magisnya telah beredar semenjak perang
melawan Belanda, ketika gerilya di bawah komandonya
menjadi yakin bahwa dia kebal terhadap peluru. Cerita
yang lebih belakangan menjelaskan mengapa Soeharto,
sendirian di tengah para jenderal senior negeri itu, tidak
dibunuh oleh komplotan Gestapu. Konon dia telah dibisiki
oleh seorang peramal untuk melewatkan malam itu "pada
titik pertemuan dua segara", dan dia membawa salah
seorang putranya untuk memari c i n g di suatu tempat di
mana sebuah sungai bertemu dengan laut. Soeharto
membantah rumor itu kepada orang-orang Barat dan orang
Indonesia yang berpendidikan Barat, tetapi di kalangan
orang Jawa dia menguatkannya.
Dalam autobiografinya, dia membuat pembedaan antara
penggunaan kekuatan gaib - ramalan, mengambang di
udara, kekebalan terhadap senjata, serta yang
semacamnya - dan kebenaran spiritual yang dipahami
melalui meditasi. Dia meremehkan rumor bahwa dia
bergantung pada dukun untuk membuat keputusan penting.
"Jika kita berada di tengah sebuah peperangan lantas
mencari dukun," tulisnya, "kita akan dibunuh terlebih dahulu oleh musuh."
Tetapi, dia menegaskan bahwa kedua
jenis kekuatan mistik - yang dangkal dan yang dahsyat -
memang benar-benar ada. Yang ingin ditekankan adalah
bahwa Soeharto tidak bergantung pada siapa pun. Bukan
berarti dukun dan peramal itu tidak ada, tetapi bahwa sang
presiden, dengan kekuatannya yang jauh lebih kuat dan
luas, lebih unggul daripada mereka semua.
Keyakinan Islamnya bukan seperti orang Arab,
melainkan lebih mirip ajaran mistis kuno Jawa, agama
meditasi dan legenda wayang. Soeharto konon sering diam-
diam keluar dari Jakarta dengan helikoptemya untuk
bermeditasi di gua-gua batu Dataran Tinggi Dieng di Jawa
Tengah. Pada 1974 dia pergi ke sana bersama perdana
menteri Australia, Gough Whitlam, yang memiliki
hubungan paling dekat dengannya di antara semua
pemimpin Barat. Selama kunjungan inilah Whitlam setuju
untuk menutup mata terhadap invasi Indonesia yang
semakin menjadi atas Timor Timur; sebagai tanda terima
kasihnya, Soeharto membawanya ke Gua Semar yang
keramat bagi dewa-dewi terpenting Jawa.
Dalam pertunjukan wayang, Semar ditampilkan dengan
cara yang tak berbeda dari badut dalam drama Shakespeare,
seorang kerdil yang gendut, sering kentut, yang menjadi
pelipur bagi para kesatria majikannya yang heroik. Semar
sang punakawan mengolok-olok keseriusan tokoh-tokoh
wayang, tapi sesungguhnya dia adalah yang paling perkasa
dari seluruh dewa. Ambiguitas dewa-pelayan inilah yang
menarik bagi Soeharto, presiden yang petani. Dokumen
yang ditandatangani oleh Soekamo selaku presiden pada
1967, sertifikat kelahiran Orde Baru, disebut Surat Perintah
Sebelas Maret. Dengan mengambil suku-suku kata pertama
dari setiap kata didapat singkatan yang paling sering
digunakan untuk merujuk surat itu: Super Semar.
Ramalan-ramalan mistik adalah sebuah bisnis di Jawa,
dan ada banyak dukun yang mengklaim hubungan dekat
dengan presiden. Tetapi, ada dua nama yang paling menonjol. Yang pertama adalah
istri Soeharto, keturunan
jauh keluarga kraton Solo. Konon Tien telah mewarisi
bakat dalam soal kebatinan; banyak yang percaya bahwa
pudamya kekuatan Soeharto berawal dengan kematian Tien
yang mendadak pada 1996. Yang satunya adalah Sudjono
Humardani, orang yang paling diakui sebagai dukun
Soeharto. Sudjono adalah seorang jenderal yang menjadi manajer
bisnis tak resmi Soeharto. Dia juga seorang ahli kebatinan
Jawa yang piawai, dengan keyakinan yang teguh tentang
nasib Soeharto sebagai "Ratu Adil" Jawa. Dia membuat catatan tentang pengamatan
supranatural yang kemudian
disampaikannya kepada Soeharto. Dia memiliki koleksi
keris-keris sakti dan ahli meracik ramuan dan jamu.
Pada awal Orde baru, Sudjono berangkat ke Amerika
Serikat untuk misi diplomatik penting ditemani oleh Umar
Kayam, sastrawan dan akademisi yang pemah sekali saya
jumpai di Jakarta. Dalam penerbangan, Sudjono
menunjukkan kepada Umar sebuah kotak tabung-tabung
kecil berisi cairan dan serbuk. Sebagian untuk kesehatan
dan pengobatan berbagai penyakit. Yang lain untuk
pemikat, bagi lelaki dan perempuan. Sudjono memiliki
selera humor yang jorok dan jelas-jelas bermaksud untuk
sedikit bersenang-senang di Amerika. "Sudjono bilang,
'Yang ini sangat bagus. Bisa membuat
perempuan mana pun m e n g era n g!111 cerita Umar
kepada saya. "Kemudian saya bilang, 'Kalau yang itu"1 dan dia lalu menjadi
sangat serius." Botol itu berisi pasir dari sebuah tempat keramat di Jawa.
Sudjono bermaksud menaburkannya secara diam-diam di
Gedung Putih. Dengan cara ini kekuatan magis Jawa akan
menimbulkan pengaruh di benteng kekuatan Amerika itu
dan misi diplomatik Orde Baru akan dijamin sukses.
Orang-orang Jawa itu tiba di Washington, pergi ke
Gedung Putih, dan menyelenggarakan pembicaraan formal
mereka. Ketika mereka berada di luar lagi, Sudjono
tersenyum kepada Umar dan menunjukkan botol yang
sudah kosong. "Saya tidak tahu bagaimana dia
melakukannya dan saya tidak melihatnya sendiri," kata
Umar. "Tetapi, dia menuangkan pasir itu ke bawah karpet
Gedung Putih." Dan hingga masa terakhimya, Orde Baru
menikmati dukungan kuat Amerika Serikat.
Apa yang benar-benar diyakini Soeharto sendiri"
Menurut Sarwono Kusumaatmadja, ilmu kejawen Soeharto
hanyalah sebuah sarana politik. "Soeharto mengatakan
kepada saya bahwa dia sengaja menimbulkan kesan bahwa
dia percaya takhayul karena orang Indonesia suka takhayul,
dan mereka menginginkan presiden yang juga suka
takhayul," kata Sarwono. "Tapi, kemudian dia mengenal saya dan latar belakang
saya - bahwa saya orang berpendidikan, berpikiran ilmiah, dan bahwa saya tidak
punya ilmu kebatinan seperti itu." Apakah Soeharto jujur dalam sinismenya itu
atau hanya menyenangkan Sarwono
dengan pandangan dunianya yang rasional" Apakah itu
sesungguhnya bentuk manipulasi yang lain"
Bahkan setelah tidak lagi didukung oleh Cendana,
Sudjono Humardani yakin bahwa presiden sekeyakinan
dengannya. Tetapi, beberapa tahun setelah kematian
Sudjono, terbitlah autobiografi Soeharto. "Tentang Sudjono Humardani, saya
dengar orang mengatakan bahwa dia tahu
lebih banyak tentang kebatinan daripada saya," tulis
Soeharto. "Tapi, Djono sering sungkem kepada saya.
Dia menganggap saya sebagai seniomya yang memiliki
lebih banyak pengetahuan tentang kebatinan ... Saya hanya
mendengarkannya untuk membuat dia senang, tetapi tidak
membenarkan semua yang dikatakannya ... Jadi, orang-
orang yang menduga bahwa Djono adalah guru saya dalam
kebatinan itu keliru."
Sahabat-sahabat Jawanya kecewa dan kaget atas
pemyataan tentang Sudjono ini. Tetapi, itu sangat khas
Soeharto - mengagungkan keunggulannya sendiri dan k e t i
d a k b e r g a n t u n g a n n ya pada orang I a i n, m e r e m e h k a n
kawan-kawan lamanya meski yang sudah berada
di alam kubur. SETELAH PANCASILA dengan kedangkalan
mistisnya, dan tentara dengan kekuatan konkretnya, ada
pilar ketiga rezim itu dan yang paling dibanggakan oleh
Soeharto: pembangunan. Inflasi, kemiskinan, tingkat kematian bayi dan
pertumbuhan penduduk berkurang secara dramatis di
bawah Orde Baru. Tingkat melek huruf, harapan hidup,
GDP, dan investasi asing semuanya meningkat. Dalam
beberapa tahun saja, para insinyur dan bankir asing mulai
mengunjungi Jakarta lagi, dan Indonesia membangun
pabrik-pabrik, rumah sakit, serta jaringan listrik. Soeharto
gembira dengan prestasi ini; tak ada yang lebih
membahagiakannya daripada berada pada acara peresmian
pembangkit tenaga listrik baru atau pada lini produksi
sebuah pabrik kondom. Kemiskinan intelektual dan politik Indonesia, aparat
keamanan yang represif - ini semua diterima karena
Soeharto adalah seorang pahlawan secara ekonomi.
Betapapun tak senangnya orang Indonesia pada pemimpin
mereka, tidak ada keraguan bahwa, di bawah
pemerintahannya, sebagian besar rakyat menjadi lebih
sejahtera. Ilmuwan politik menyebut ini "legitimasi kinerja", dan salah seorang
dari mereka merumuskan apa yang
disebutnya "Kaidah Soeharto": selama rakyat merasa diri mereka bertambah kaya,
mereka akan m e n o I e r a n s i m
a s y a r a k a t yang d i p e r d a y a. P e r t a n y a a n n y a adalah apa
yang terjadi ketika mereka mulai merasa miskin
lagi. Padahal, sejak awal, pencapaian ekonomi Orde Baru
sudah digerogoti dari dalam.
Soeharto tidak terlalu berminat untuk memperkaya diri,
tetapi sepanjang hidupnya dia memperkaya teman-teman
dan keluarganya dengan menganugerahkan kepada mereka
kontrak-kontrak negara. Sebagai seorang tentara muda, dia
pemah untuk sementara dibebastugaskan dari dinasnya
setelah kedapatan melakukan penyelundupan gula skala
kecil bersama dukunnya, Sudjono. Selama empat puluh
tahun kemudian sekelompok kecil saudara, mantan anggota
tentara, dan pengusaha Tionghoa diserahi monopoli jutaan-
dolar atas minyak bumi, pembangunan jalan, jembatan,
pembangkit listrik, emas, cengkeh, kayu jati, bubur kertas,
dan mobil. Ada Jenderal Ibnu Sutowo yang nyaris membawa
kebangkrutan pada perusahaan minyak negara. Ada
Muhammad "Bob" Hasan yang hak pengelolaan hutannya
membabat ribuan hektar hutan di Kalimantan dan Sumatra.
Dan ada anak-anaknya, yang dikenali semua orang dengan
nama panggilan kesayangan keluarga mereka, anak-anak
lelaki Sigit, Bambang, dan Tommy, serta saudara-saudara
perempuan mereka Tutut, Titiek, dan Mamiek. Soeharto -
yang disebut-sebut merasa bersalah karena begitu sering tak
hadir pada masa kecil m e r e k a - s a n g a t m e m a n j a k a n mereka;
dibanding k a n dengan anak-anak itu, kroni-kroni yang lebih tua sekadar m e n u
n j u k k a n p e n g h o r m a t a n d a n p e n g e k a n g a n d i r i
Soeharto. Menjelang akhir kekuasaannya, diperkirakan keluarga
Soeharto memegang saham yang cukup besar pada
sekurangnya 1.251 perusahaan. Kekayaan total keluarga itu
ditaksir 90 juta pound (sekitar 1,62 triliun rupiah dengan
kurs 1 pound = Rp 18.000). Di belakang setiap anak dan
kroni-kroni utama ada tingkatan subkroni dan sub-sub-kroni
yang bermunculan dalam perkembangannya. Tak seorang pun yang berstatus kroni
itu harus menaruh risiko atas uangnya sendiri, karena bank-
bank pemerintah akan menyediakan pinjaman tanpa
jaminan kepada siapa pun yang punya koneksi politik.
Tanpa mereka, mustahil menjalankan bisnis berskala besar
apa pun. Dunia luar terus mengumbar pujian dan dorongan
kepada Bapak Pembangunan, meskipun sulit untuk me-lihat
bagaimana Soeharto bisa gagal membuktikan meng-apa
sebuah negara yang begitu kaya dengan sumber daya alam
seperti Indonesia bisa begitu terkebelakang. Tetapi,
kebenaran yang sejati ada di sana bagi mereka yang benar-
benar ingin tahu. Pada Juli 1997, setelah ambruknya mata uang Thailand,
Malaysia, dan Filipina, dunia moneter intemasional mulai
tak percaya pada Indonesia. Para peda-gang mata uang,
asing maupun lokal, mulai menjual rupiah yang melemah
nilainya. Soeharto berang atas sikap tidak konsisten dan
ragu para burung bangkai pemangsa p e r u s a h a a n - p e r u s a h a a n b a
n g k r u t y a n g m e m a n f a a t k a n ekonomi hanya untuk mengambil
keuntungan cepat. Tetapi, manajer-manajer pendanaan itu, sebagaimana
burung nasar, hanya tertarik pada bau busuk. [] r
PENJARAHAN JAKARTA >dg^fe? di atas lapangan rumput oval di depan istana
Sultan Yogyakarta, saya memutuskan bahwa saya akan
menikah. Saat itu hari senja, suatu Senin di bulan Mei, dan
salat magrib mulai dilaksanakan di masjid-masjid seantero
kota. Di atas rumput, beberapa pemuda melepas tenda dan
komidi putar dari pertunjukan keliling yang berakhir malam
itu. Saya me-lewatkan sore dengan berjalan ke sana kemari,
satu-satunya orang asing di dalam kota yang kosong dari


Zaman Edan Karya Richard Llyod Parry di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

turis. Sekarang saya merasa tenteram. Saya teringat se-raut
wajah dan semerbak kulit yang bersih, serta saya tahu apa
yang ingin saya lakukan. Kembali ke hotel saya menelepon dan memesan tiket.
Saya terbang kembali ke Jakarta dengan tempat duduk
terakhir yang masih tersedia pada penerbangan terakhir. Di
samping saya adalah seorang pengusaha yang baru
menghabiskan waktunya di Yogya untuk bermain golf. Dia
berusia enam puluhan, gemuk, berkulit sawo matang. Dia
mengenakan kemeja batik bermotif rumit berwama oranye
keemasan. Saya tanya pendapat-nya tentang situasi
politik dan ekonomi, dan dia bilang bahwa, meski harus
diakui keadaannya sangat buruk, tidak ada yang perlu
dikhawatirkan. Dia kenal Presiden Soeharto secara pribadi,
katanya, dan presiden tahu apa yang sedang dilakukannya.
Dia tanya negeri asal dan usia saya. Dia tanya berapa anak
saya. "Anda sudah menikah?" tanyanya.
"Belum." Di Jakarta, saya makan malam bersama sekelom-pok
wartawan televisi, semuanya sedang membuat ren-cana
sendiri-sendiri untuk meninggalkan Indonesia se-telah kota-
kota mulai tenang. Dengan gugup saya katakan kepada
mereka keputusan saya. Saya akan pulang, tanpa memberi
tahu, serta menghadirkan diri saya dan penampakan yang
saya dapatkan di depan istana Sultan - penampakan yang
tenang dan yakin tentang hidup bersama setelah terlalu
lama berpisah. Tidak akan ada lagi telepon jarak jauh, tak
ada lagi ragu dan bimbang. Tetapi, saya lalu kembali
merenung dan merokok. Hari sudah larut saat saya masuk
ke kamar tidur, udara di dalam kamar hotel saya yang kecil
terasa gerah dan lembap. Saya terbangun saat hari masih gelap, tenggorokan saya
kering dan rasa percaya diri saya hancur. Saya
menghubungi nomor telepon yang biasa, berbaring di
tempat tidur dengan rokok di jari.
Lupakan lelaki itu. Beri aku kesempatan. Kumohon, biarkanlah aku datang kepadamu.
Dua jam kemudian, setelah hari terang, kantor pesawat
terbang buka. Ada banyak waktu untuk membatalkan
penerbangan saya. JADI, SAYA akan meninggalkan Jakarta sehari lebih
telat daripada niat saya semula, dan menuju kota di Asia
tempat saya tinggal sebagai ekspatriat, bukan kota di Eropa
yang saya anggap sebagai kampung halaman. Hari
terbentang kosong di hadapan saya. Saya berjalan mondar-
mandir, seperti yang saya lakukan di depan istana Sultan,
dan berkali-kali berkata kepada diri sendiri betapa itu akan
menjadi sebuah kesalahan, serta betapa beruntungnya saya
terbebas dari tanggung jawab dan kewajiban. Saya
menyaksikan berita televisi, dan mena-tap tanpa tujuan
pada peta kota yang terhampar di atas ranjang. Ruangan
hotel itu lebih lembap daripada sebelumsebelumnya; alat
pendingin udara di dinding hanya mengeluarkan suara
bising. Saya mengambil buku catatan dan memencet nomor
telepon teman-teman wartawan televisi.
Mereka sedang berputar-putar keliling kota, mencari
demonstrasi mahasiswa. Mereka tidak terlalu kaget ketika
saya hubungi. "Kamu memutuskan tidak jadi pergi" Ayo, bergabung
dengan kami. Kami di Trisakti. Banyak mahasiswa, sedikit
polisi. Sepertinya bakal ada masalah."
Saya kumpulkan barang-barang yang diperlukan ke
dalam ransel saya dan bergegas turun ke jalan. Bahkan pada
saat saya menyibukkan diri dengan buku catatan dan ponsel
saya, saat saya menekan tombol lift hotel, serta berdiri di
jalan yang berdebu menunggu taksi, saya sadar akan luka
yang menetes pelan-pelan di sebuah sudut diri saya, seperti
noda yang menyebar. Masalah, masalah yang sebenar-
benamya, keramaian dan pengalihan perhatian dari krisis
sesungguhnya - itu-lah, saya rasa, yang bisa
menyelamatkan saya dari kepedihan hati saya sekarang.
Tetapi, dalam beberapa hari belakangan ini telah tampak
jelas bahwa krisis sudah berlalu. Soeharto sedang sulit,
tetapi untuk saat ini, setidaknya, dia aman. Konfrontasi
puncak tidak akan terjadi pada bulan ini. Tapi, itu harapan
yang berlebihan. DI MEDAN, pekan lalu, mahasiswa berdemonstrasi
selama tiga hari, menuntut reformasi demokrasi dan
pembatalan kenaikan harga BBM yang baru diumumkan.
Satu mahasiswa tewas karena terjatuh dari sepeda motomya
saat berdemo. Mahasiswa menyalahkan polisi atas
kematiannya, dan hari berikutnya mereka berdemo ke luar
kampus, ribuan warga miskin Medan bergabung dengan
mereka. Kerusuhan dan penjarahan terjadi. Massa
menyerang rumah-rumah dan toko-toko warga keturun-an
Tionghoa setempat, dan sepuluh orang tewas.
Di Yogya, dua hari kemudian, orang ramai berparade di
jalan menuju bandara, menumbangkan tiang lampu jalan,
m e n g h a n c u r k a n dinding, d a n m e m b a k a r m o b i I - m o b i I.
Seorang penonton tak bersalah, lelaki
bemama Moses Gatotkaca, digebuki hingga mati oleh
polisi, dan di Bogor seorang petugas intel dibunuh dengan
lemparan batu. Kini kerusuhan telah menyebar ke Seantero
negeri - ke Kalimantan, Sulawesi, Irian Jaya, dan pulau-
pulau luar. Selama dua bulan semenjak demonstrasi-demonstrasi itu
berlangsung, ciri khas slogan-slogannya telah berubah
secara dramatis, dan eufemisme - yang dulu naluriah -
telah ditinggalkan. "Gantung Soeharto" adalah slogan yang lazim di kota-kota
daerah-"Soeharto Bangsat", "Soeharto Anjing", atau "Soeharto Anak Setari" mulai
dipakai. Di Yogya saya pemah melihat gambaran kasar Soeharto di
neraka, dipermalukan oleh iblis-iblis;
atau Soeharto sebagai iblis itu sendiri, menjejalkan tubuh
buruh dan petani ke dalam paruhnya. Namun demikian,
protes-protes itu masih terbatas di kalangan mahasiswa.
Politikus nasional, seperti Megawati Soekamoputri,
mengamati dari pinggir. Yang paling pemberani seperti
Amien Rais, paling-paling memberikan pidato dukungan.
Pejabat militer senior, yang pada mereka banyak orang
Indonesia secara diam-diam menggantungkan harapan,
tampak tetap setia. Dan, meski dipermalukan oleh krismon
d a n r o n g r o n g a n t e r- h a d a p p e m e r i n t a h a n n ya, S o e h
a r t o sendiri tetap tenang sebagaimana biasa.
Di Jakarta, kebuntuan sudah sangat jelas. Entah karena
kehadiran fisik Soeharto di kota itu, atau kehadiran begitu
banyak pengawalnya di jalanan, mahasiswa-mahasiswa
Jakarta sangat berhati-hati. Ketakutan pada penyelusupan
intel masih sebesar yang dulu; demo-demo secara ketat
dibatasi di dalam kampus. Bahkan, spanduk protes dibuat
abstrak dan tak merujuk pada individu tertentu: "Turunkan harga", desak mereka,
dan "Mahasiswa Menuntut
Demokrasi dan Reformasi". Ada pembicaraan tentang
peningkatan skala, menaikkan nada dan tempo
demonstrasi - tetapi belum sekarang. Mahasiswa-
mahasiswa Jakarta memilih hari-hari penting mereka, dan
tidak ada tanda-tanda bahwa hari ini adalah salah satunya.
Universitas Trisakti berada di jalan menuju bandara; ini
adalah pertama kalinya saya mendengar nama itu, dan
sebelumnya tak ada seorang pun di Indonesia yang
memberi perhatian besar kepadanya. Universitas Gadjah
Mada di Yogyakarta dan Universitas Indonesia di Jakarta:
mereka adalah kampus para aktivis,
universitas-universitas yang "ngetop". Trisakti adalah universitas swasta, oleh
karenanya mahal, dan sekuler, tanpa fokus identitas religius seperti kampus-
kampus Islam. Mahasiswanya adalah anak-anak pejabat
pemerintah, pengusaha, dan pejabat militer yang sadar-
gaya, hampir tak ada yang memari d a n g mereka sebagai
hero dan martir. Universitas Trisakti adalah tempat bagi
para model yang suka bergaya. Tapi, tak ada yang lebih
gaya di Indonesia pada masa itu selain protes.
Tampak jelas sejak saya keluar dari taksi bahwa ini
merupakan demonstrasi yang luas biasa. Trisakti penuh
sesak dan rombongan-rombongan mahasiswa dari berbagai
universitas lain terus berdatangan. Orasi-orasi menggelegar
dari pengeras suara di dalam kampus dan ribuan orang
tumpah ke jalan dari dinding-dindingnya. Para mahasiswa
mengenakan ikat kepala dan jaket-jaket digantungkan di
pohon serta palang gerbang besi besar. Selain coretan
tuntutan-tuntutan biasa terhadap Soeharto, mereka
memegang spanduk besar, yang ditulisi slogan-slogan
demokrasi dengan hati-hati dan rapi. Ini adalah demonstrasi
terbesar yang pemah berlangsung di Jakarta selama
bertahun-tahun. Jalan berjalur enam, yang merupakan salah satu rute
utama untuk memasuki kota, melintas di depan kampus itu,
di atasnya melayang jalan menuju bandara. Menjelang
waktu makan siang, kedua jalan itu terhambat oleh
tumpahan dari kampus, dan sekelompok kecil polisi
diturunkan ke jalan itu dalam dua baris tipis. Mereka
membawa perisai plastik tembus pandang dan tongkat
kayu, tetapi jumlah mereka sangat sedikit; ketika
kerumunan massa mendesak, barisan polisi mundur dan
tertahan. Tetapi, kekuatan yang lebih besar segera
didatangkan, dan suasana dengan segera menjadi lebih
berbahaya. Kopassus, pasukan khusus yang ditakuti, muncul dalam
truk-truk terbuka besar, membawa senapan otomatis. Polisi
khusus antihuru-hara - dikenal dengan sebutan Brimob -
tiba, mengenakan perisai badan berwama hitam, dan
membawa tabung-tabung gas air mata serta masker gas
dalam kantong hijau. Tiga panser dengan jendela-jendela
berjala dan meriam air terpasang di atap datang mendekat.
Dua pilihan tersisa bagi para demonstran: kembali ke
kampus, atau tetap di jalan, terkurung di antara dua baris
pasukan. Mahasiswa-mahasiswa tetap dijalan.
Juru kamera dan reporter berdatangan serta membentuk
kelompok-kelompok sambil saling menyapa. Setiap orang
memikirkan hal yang sama.
"Ini bisa berubah menjadi buruk."
"Kalau mereka mulai menembak, Soeharto tamat."
"Atau merekalah yang tamat."
Namun, tak pemah mudah untuk merasa takut pada
kesempatan seperti itu karena - meski di tengah kehadiran
begitu banyak senjata dan tameng: perisai, helm tentara,
tongkat, sangkur, sabuk peluru, peredam suara senapan,
kendaraan berlapis baja - setiap orang pada kedua sisi
barisan begitu rileks dan bergurau. Selain beberapa yang
serius - penyeru slogan dan pembawa spanduk di barisan
depan - para mahasiswa itu semua tersenyum, dan ketika
mereka tidak sedang tersenyum mereka tertawa keras-keras.
Melihat orang-orang asing, terutama para wartawan yang
berkeringat dan sibuk berteriak-teriak di ponsel mereka
membuat mahasiswa-mahasiswa demonstran itu tertawa.
Kamera juga membuat mereka tertawa, dan setiap ada
seseorang yang mengeluarkan kamera mereka akan
memanggil teman-teman serta berpose sambil saling
berangkulan gembira. Secara keseluruhan para tentara dan
polisi tampak menakutkan, tetapi secara individual mereka
akan balas tersenyum kalau disapa. Tak seorang pun
keberatan difotoj tak seorang pun melarang kami
menyeberang dari satu sisi garis polisi ke sisi lain.
Pada satu kesempatan saya coba melihat dari dekat
sebuah Tactica, salah satu panser hitam buatan Inggris yang
telah membubarkan begitu banyak demonstrasi di
Indonesia. Dulu penggunaan kendaraan ini pemah menjadi
skandal di London. Saya sedang berjongkok untuk
memotret ketika seorang polisi muncul dari balik monster
itu, merengut dan bertanya pada saya secara agresif dalam
bahasa Indonesia. Saya buka telapak tangan saya dan
tersenyum. "From Inggris/1 kata saya sambil menunjuk ke ken-daraan itu, dan kemudian ke
diri saya sendiri, "Me too: from Inggris."
Segera saja dia berhenti merengut.
"From Inggris" Good, good," katanya, dan dia menepuk sisi Tactica layaknya
menepuk punggung seekor kuda
gagah. Dia menjabat tangan saya dan kami berdiri sambil
tersenyum bersama, berbagi kebanggaan atas mesin brutal
dari negara asal saya, ribuan kilometer di seberang
samudra. SEBELUM SAYA tiba di Trisakti pagi tadi, para
mahasiswa telah m e n g a d a k a n d e m o m e n u n t u t p e n g u n d u r a
n d i ri Soeharto dan menyerukan reformasi
politik. Mereka m e n g i n g i n k a n presiden baru,
parlemen baru, dan hukum pemilu baru, serta pidato-pidato
yang menggariskan tuntutan ini berlangsung selama dua
jam. Ketika pidato-pidato selesai, mereka membakar patung
Soeharto. Ini tindakan berani walau bukan belum pemah
terjadi sebelumnya. Akan tetapi, mahasiswa-mahasiswa
Trisakti punya inovasi mereka sendiri: sebelum p e m b a k
a r a n n ya, w a j a h m a n e k i n Soeharto itu d i t a m b a h i kumis hitam
kecil. "Gantung Soeharto! Soeharto Hitler!" teriak para
mahasiswa saat nyala api membubung.
Yang paling berbahaya dari semuanya, mahasiswa-
mahasiswa itu merencanakan berbaris keluar dari kampus
mereka dan turun ke jalan untuk menyampaikan petisi di
gedung DPR/MPR. Pada pukul satu seperempat siang hari,
lebih dari lima ribu orang telah berkumpul di dalam
kampus, dan semakin banyak dari mereka yang tumpah ke
jalanan di luar. Polisi menolak untuk membiarkan mereka
lewat. Teriakan dan seruan slogan-slogan menjadi makin
riuh dan agresif. Para pemimpin dengan megafon berusaha
membujuk mahasiswa-maha-siswa untuk duduk. Setelah
perundingan panjang, para demonstran pada akhimya
setuju untuk mundur: ke tanah tak bertuan dua puluh meter
yang terletak antara mereka dan polisi.


Zaman Edan Karya Richard Llyod Parry di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pada pukul 13.27, saat saya merekamnya di buku
catatan, para mahasiswa duduk di jalan. Untuk pertama
kalinya saya melihat awan gelap, dekat di atas kepala.
Pada 13.28, tanpa peringatan apa pun, polisi bergerak ke
depan dan mengisi ruang yang telah ditinggalkan para
mahasiswa. Segera terdengar suara ribut: semua mahasiswa berdiri,
mengacungkan jari mereka dan bersorak. Mereka telah
memberi konsesi, dengan kepercayaan dan demi
menurunkan ketegangan, tetapi polisi memanfaat karinya.
Dari dalam kampus, tempat masih terdapat sejum-lah besar
orang yang menonton dari balik dinding, terdengar teriakan
mencemooh. Pada 13.29 siang, kemarahan para demonstran
menggelegak di tengah yel-yel dan acungan tinju. Barisan
polisi dan pasukan khusus bersiaga. Merasakan gelombang
ketegangan, para juru kamera dan fotografer bergegas maju.
Pada 13.30 siang, hujan turun. Semua orang berseru
gembira. Ini adalah jenis hujan tropis yang sangat lebat, dan
mengubah suasana secara keseluruhan. Dalam hujan
semacam itu; hanya ada dua pilihan: mencari tempat
berteduh terdekat, atau membiarkan diri basah sekuyup-
kuyupnya dalam pakaian lengkap, seperti habis melom-pat
ke kolam renang. Dalam beberapa menit, peman-dangari di
luar Trisakti berganti dari konfrontasi tegang menjadi
gelanggang main air. Beberapa m a h a s i s w a m e n c o b a m e n y a I a k a
n k e m b a I i kemarahan terhadap polisi; banyak orang lari
ke dalam atau menyerah terus pulang. Tetapi, sebagian
besar tetap di sana dan tertawa-tawa di bawah hujan,
sementara kemurkaan mereka terbasuh. Spanduk menjadi
berat dan layu. J u ru k a m e ra m e m b u n g k u s k a m e r a - k a m e ra m
e re k a dalam plastik pelindung. Orang-orang memayungkan koran, buku, dan
selendang ke atas kepala mereka. Dalam seluruh keramaian itu ada tak lebih
dari tiga payung, dan belasan orang berupaya berteduh di
bawah masing-masingnya - salah satunya, kuning terang,
bergambar telinga Mickey Mouse.
Setelah hujan berhenti saya naik ke jembatan penyeberangan orang yang membentang
di atas jalan. Jembatan itu ditutup polisi berbaju tameng hitam membawa
senapan dan tongkat. Saya katakan kepada mereka bahwa
saya ingin memotret pemandangan di bawah jalan sana,
dan mereka membiarkan saya memotret mereka juga,
tersenyum dengan jempol ke atas, berpose dengan senjata-
senjata mereka terselempang di dada.
Saya membawa donat dan jeruk serta memakannya
bersama mereka sambil berdiri di samping Tactica. Saat itu
hampir dua belas jam semenjak saya terbangun dalam
gelap. Saya merasa sangat lelah dan mendapati diri saya
sedang berpikir tentang perempuan yang tidak akan
menjadi istri saya serta yang barangkali tidak akan pemah
saya jumpai lagi. Sebagian besar wartawan asing mulai m e
n i n g g a I k a n t e m p a t s e k arang. Saya m e n o -1 a k t a w a r a n
tumpangan untuk kembali ke kota.
Para mahasiswa dan perwira polisi terus tawar-menawar
dan menjelang senja mereka sekali lagi mulai membuka
jarak di antara mereka. Konfrontasi telah terhindarkan;
demonstrasi mulai berakhir. Saya berjalan selama lima belas
menit sepanjang jalan yang tertutup dan mengambil taksi di
sebuah persimpangan yang ramai. Kamar hotel saya sangat
gerah, tetapi setelah melepaskan pakaian saya yang basah,
saya segera terlelap. Satu jam kemudian saya terbangun dengan suara-suara
keras di kepala saya, ingatan yang masih segar tentang
kekecewaan dan rasa terhina. Saya kira saya telah
mengenyahkan penderitaan pribadi saya, mengalihkannya
ke dalam drama publik yang lebih besar. Tetapi, temyata
drama itu masih kurang hebat. Saat itu tengah malam, jam
makan siang di Eropa, dan waktu bagi saya untuk mulai
menulis artikel tentang demon-strasi besar tapi disiplin oleh mahasiswa-
mahasiswa Indo-nesia yang berakhir dengan
damai. Saya nyalakan komputer dan masuk ke jaringan berita.
Setelah membaca beberapa baris, saya segera m e n y a I a k
a n p o n s e I u n t u k m e n g h u b u n g i t e m a n y a n g bekerja untuk
Reuters. Dia bilang berita itu benar: dalam
beberapa menit terakhir, polisi melepaskan temba-kan ke
arah para mahasiswa di Trisakti. Dia sedang berada di
dalam mobilnya, terjebak macet, dan menco-ba untuk bisa
sampai di rumah sakit. EMPAT MAHASISWA gugur dalam demonstrasi di
Trisakti. Saya melihat mereka malam itu di Rumah Sakit
Sumber Waras, beberapa ratus meter dari universitas itu.
Segera menjadi jelas bahwa sesuatu yang buruk telah
terjadi. Di pintu masuk rumah sakit, anak-anak muda lelaki
dan perempuan sedang berdiri berkerumun, berbicara
dengan suara pelan dalam kelompok-kelompok kecil. Di
antara mereka ada yang hidung dan sikunya berdarah
akibat pukulan tongkat polisi. Mereka tampak bengong dan
beberapa gadis menangis. Reporter berkerumun di sekeliling
seorang perempuan, saat dia membacakan daftar empat
nama, seluruhnya pria, ma-hasiswa Trisakti yang tertembak
mati dua jam yang lalu: Hendriawan, Hafidin Royan, Hery
Hartanto, Elang Mulya Les mana. Perempuan itu bicara
dengan suara berbisik dan kami pun bicara dengan suara
tertahan. Ngengat menabrak bola lampu dan perempuan itu
menangis. Saya menuliskan nama-nama itu di buku catatan
saya dengan perasaan jemih dan bersemangat.
Salah seorang mahasiswa menggiring saya menyusuri
koridor dan melewati bangsal-bangsal. Semakin jauh kami
masuk, semakin banyak orang menangis yang saya lihat.
Di sebuah ruang kosong kecil ada empat ranjang, dengan
tubuh mahasiswa yang tewas di atas setiap ran-jang itu.
Tubuh-tubuh itu ditutupi dengan kain dan kain itu
bemoda bercak darah. Pada setiap ranjang seseorang telah
menempatkan sepotong kertas bertuliskan nama mahasiswa
yang tewas itu, umur, dan fakultas di universitas tempatnya
berasal. Teman-teman korban berdiri di sekitar, menangis,
atau membacakan Alquran. Dua perempuan masuk ke dalam ruangan, dan kain
penutup diangkat dari wajah Hendriawan, mahasiswa
fakultas ekonomi. Matanya tertutup, dan bibimya
membuka. Dia mengenakan ikat kepala merah, dan di
belakang telinga kirinya ada perban yang basah oleh darah.
Satu di antara perempuan itu mengulurkan tangan untuk
menyentuh wajahnya, dan bergidik ketika merasakan
betapa dinginnya dia. Saya mengambil tiga foto saat dia
melakukan itu, saat dia menyentuh wajah beku temannya.
Mahasiswa yang lain membawa saya ke ranjang Hery
Hartanto dan menyingkapkan kain penutupnya. Matanya
setengah terbuka. Dia berambut keriting dan berkulit halus,
Hery Hartanto adalah mahasiswa fakultas teknik. Mereka
bilang dia ditembak di dada, tetapi dadanya dibiarkan
tertutup. Ada banyak darah di kain itu, tetapi wajahnya
tidak bemoda. Saya mengambil dua foto Hery Hartanto sebelum saya
digiring ke luar ruangan.
Di luar, semakin banyak orang datang untuk melihat
jasad anak-anak yang tewas itu. Saya melihat seorang
diplomat yang saya kenal. Dia membawa ponsel dan
melakukan beberapa kali panggilan ke ibu kotanya, "agar
M_" - menteri luar negerinya-"tahu apa yang harus
dikatakan." Dia baru saja berkeliling kampus universitas yang kini
sepi dan sunyi. Dia menunjukkan dua selongsong peluru di
tangannya. Yang satu berujung bundar dan biasa. Ini,
katanya, peluru karet. Polisi menggunakannya secara
terbuka, menembakkannya ke udara dan sesekali ke orang
banyak, ketika peluru kosong gagal membubarkan
demonstrasi. Peluru-peluru itu berkaliber kecil, dengan
ujung tumpul yang keras. Pada jarak dekat peluru itu
niscaya mematikan. Tetapi, mulut selongsong yang kedua
agak sedikit bergerigi. "Kamu lihat perbedaannya?" kata diplomat itu. "Yang satu
kosong - yang satu ini peluru
tajam. Ini bukti. Mereka menembakkan peluru tajam."
* * * PADA MALAM pembunuhan mahasiswa di Trisakti,
sesua-tu yang penting terjadi di kalangan wartawan
Indonesia yang berada di rumah sakit malam itu. Selama
enam bulan terakhir, surat kabar telah menjadi lebih berani,
kritikan mereka lebih tajam dan langsung - tetapi televisi,
sebagian besar, masih tertinggal di belakang. Akan tetapi,
pagi keesokan harinya, berita pagi TV memperlihatkan
semuanya: demonstrasi yang damai, hujan, penembakan
yang tiba-tiba, kawan-kawan yang menangis, dan
pemandangan dari rumah sakit. Koran-koran memuat foto
jarak dekat mahasiswa yang tewas di halaman depan.
Seluruh Indonesia melihat apa yang telah saya saksikan
malam sebelumnya dan setiap bendera di Jakarta
dikibarkan setengah tiang.
Ada upacara penghormatan di Universitas Trisakti.
Upacara itu dimulai dengan cepat: pada pukul delapan lebih
dari lima ribu orang berkumpul di kampus yang dipenuhi
karangan bunga. Semua anggota oposisi Indonesia yang
terkemuka dan terkenal hadir untuk memberi k a n pidato.
Pesan y a n g m e r e k a s a m p a i k a n s a m a: teruskan demonstrasi
kalian; pastikan demonstrasi itu berjalan
dengan damai; mereka mati tidak dengan sia-sia.
Para pembicara beranjak ke luar gerbang diiringi sorakan
riuh. Sebagian mahasiswa mengikuti mereka ke k u b u r a n
t e m p a t p e m a k a m a n a k a n d i I a n g s u n g k a n, tetapi sebagian
tetap di kampus. Ada beberapa lagu dan
pidato, meski tidak sebergairah hari sebelumnya. Para
mahasiswa sudah tidak bersemangat lagi, tetapi di luar
kampus terbentuk keramaian baru. Mereka adalah para
pemuda dari kampung, desa-desa urban miskin yang hidup
di sela gedung-gedung pencakar langit, pusat perbelanjaan,
dan universitas di tengah Jakarta. Pada saat upacara
pemakaman selesai, ada ratusan dari mereka mondar-
mandir di jalanan di depan kampus, dan memanggil para
mahasiswa untuk bergabung dengan mereka.
"Keluar!" teriak mereka. "Ayo kita balas dendam kepada polisi!"
Segera sekelompok pemuda menarik-narik palang besi
pembatas jalan dan menggunakannya untuk merintangi
jalan. Kemudian, pohon-pohon dicabut dengan tali dan
sekelompok pemuda mulai mengangkat pot-pot tanaman
hias dari trotoar serta memecahkannya. Seseorang m e n
dorong mobil sampah dan membawanya ke bawah jalan
layang. Re m aj a - r e m a j a p e m b a j a k i t u m e I o m p a t keluar dan
lari terbirit-birit, terbahak. Nyala oranye
terlihat di dalam kabin, dan tak lama kemudian seluruh truk
itu terbakar dengan mengepulkan asap hitam.
Dalam beberapa jam persimpangan jalan dekat
universitas itu dijejali oleh ribuan orang. Anehnya, agak
sulit menilai apa yang mereka rasakan. Ada kelompok-
kelompok keluarga yang terdiri atas perempuan dan anak-
anak kecil di sana sini dan penduduk kampung telah
berbaur dengan para pekerja kantor yang bersepatu rapi dan
berseragam perusahaan. Sebagian besar dari mereka hanya
berdiri menonton asap membubung dari truk dan
melambaikan tangan dengan gembira ke arah para
mahasiswa. Tetapi, beberapa kelompok besar pemuda
sedang memperturutkan nafsu untuk melakukan tindak
perusakan yang ambisius. Satu gerombolan menjarah dan
membakar pompa bensin. Semakin banyak asap hitam
membubung ke udara. Setelah itu, banyak orang membawa
bom minyak tanah di tangan mereka.
Suasana terasa s e m a k i n b e r b a h a y a. Ra m b u - r
a m b u jalan dan tiang lampu ditumbangkan: saya melihat
seorang pria menghancurkan seperangkat lampu lalu lintas
dengan memukulinya berkali-kali menggunakan rambu
Dilarang Parkir. Beberapa ratus polisi anti-kerusuhan dan
tentara marinir muncul tanpa ketahuan serta membentuk
barisan di sepanjang jalan, tetapi jumlah mereka sangat
sedikit dan tidak mengupayakan apa-apa untuk
membubarkan massa. Tapi, ada satu tempat yang dijaga
baik-baik - sebuah pusat perbelanjaan berwama merah
muda dan hotel di seberang universitas yang dimiliki oleh
keluarga seorang kroni Soeharto. Di sana polisi membentuk
barisan rapat dan menembakkan senjata ke udara ketika
massa terlalu mendekat. Di tempat-tempat lain mereka
tampak ketakutan dan tidak siap, seolah-olah tak ada
seorang pun yang mengatakan kepada mereka apa yang
harus dilakukan. Sebuah bank dilempari batu dan disergap. Terminal-
terminal komputer diseret ke jalan dan dibakar. Apa yang
dilakukan polisi" Di mana tentara" Kemarin sekelompok
mahasiswa yang berperilaku sopan ditindas tanpa ampun:
nasib apa yang menanti remaja-remaja nakal ini" Tetapi,
massa tampaknya mengerti bahwa polisi tidak siap.
Keadaan sangat tegang dan anehnya tidak menakutkan.
Terdengar raungan mesin, dan sebuah truk besar dengan
bak terbuka melaju kencang di jalan utama. Kaca depannya
sudah dipecahkan dan anak-anak muda yang mengenakan
ikat kepala wama-wami bersorak sambil bergantungan di
sisi luar truk. Satu per satu mereka melompat turun dan
truk tanpa pengemudi itu terus meluncur di jalan,
membuyarkan para perusuh dan barisan polisi. Lajunya
terhenti dan tak lama kemudian truk itu pun terbakar dalam
kobaran api. Sebuah tubuh tergeletak mengenaskan di jalan
tak jauh dari truk itu, seorang anak lelaki yang tergelincir
saat melompat turun dan kepalanya tergilas roda truk.
Hari mulai gelap. Saat truk dan pompa bensin masih
berkobar dan mengepulkan asap, kerumunan massa mulai
secara perlahan bubar dan pulang.
KETIKA JAKARTA mulai terbakar, Soeharto bahkan
sedang tidak berada di Indonesia. Dalam sikap yang m e n a
m p a k k a n k e p e r c a y a a n diri yang tinggi, S o e h a r t o terbang ke


Zaman Edan Karya Richard Llyod Parry di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

luar negeri akhir pekan lalu untuk menghadiri
konferensi para pemimpin Islam di Kairo. Betapapun orang
Indonesia m e m b e n c i n ya, S o e h a r t o m e m buat m
e r e k a merasa aman. Ketidakhadirannya membuat situasi
menakutkan ini semakin tidak pasti. Dua puluh empat jam
lalu, Jakarta adalah tempat kemarahan dan frustrasi, tetapi
tertib. Kini apa pun tampak mungkin. Pembasmian,
penyerobotan, pembantaian. Tank-tank di jalan, bom dari
laut, tembakan dari angkasa. Apa pun tidak mengejutkan
lagi. Keesokan paginya saya menumpang taksi bersama
sekelompok kolega dan pergi menuju Jakarta utara. Setiap
bangunan yang memiliki pintu teralis telah ditutup dan
digembok. Lapangan Merdeka, lapangan luas yang
menghadap ke istana presiden, kosong dari manusia,
kecuali beberapa orang polisi di sana sini. Di utara lapangan itu, sebuah jalan
bemama Gajah Mada menuju ke
permukiman orang-orang keturunan Cina dan pelabuhan.
Sopir taksi menolak untuk mengantarkan lebih jauh dari itu.
Penjarahan telah dimulai sejak pagi. Gajah Mada adalah
jalan yang panjang dan sangat lurus; saluran mirip kanal
mengalir di tengahnya dan ada kompleks toko serta
perkantoran di kedua sisinya. Langit mendung dan, saat
kami berjalan ke utara, beberapa bagian jalan samar
tersaput asap. Selama beberapa ratus meter, tak seorang pun
terlihat. Kemudian secara tiba-tiba, dari sebuah gang,
beberapa puluh orang berlarian sam-bil memekik, masing-
masing membawa sepasang sepatu baru. Mereka berteriak
semakin keras saat melihat kami, dan beri o m p a t a n s a
m b i I m e n g a y u n k a n sepatu-sepatu m e r e k a di
udara. Kemudian mereka lenyap ke dalam asap.
Kami terus berjalan saat asap menebal dan tersapu
bersih. Dua perempuan berjalan dari arah berlawanan
menjinjing potongan besar daging beku. Di belakang
mereka ada kerumunan manusia, barangkali lebih dari
seribu orang, dan di dekat mereka adalah sumber asap itu:
beberapa mobil terbakar, sebagian di antaranya dalam
posisi terguling ke samping. Kerumunan itu sedang berdiri
di depan sebuah bangunan tertutup dengan papan iklan
perlengkapan elektronik di bagian luamya. Beberapa
pemuda lari ke arah bangunan itu dan menendang pintu
teralisnya yang berderit. Kemudian, tiga di antara mereka
tertatih naik mengangkat rambu ja-lanan dari besi berat
yang mereka gunakan sebagai batang untuk menggempur.
Segala macam orang ada di sini, mulai dari anak-anak kecil
bercelana pendek hingga pria dan wanita lanjut usia. Para
penonton itu menghitung pukulan batang pembobol itu.
"Satu! Dua! Tiga! Empat!" Ketika pintu teralis mu-lai terbuka mereka sama-sama
bersorak. Dalam sekejap, dua dari tiga pemuda itu muncul
membawa kotak-kotak kardus dengan gambar televisi di
sisinya. Segera para penonton - pasangan muda dan anak-
anak sekolah serta ibu-ibu tua - memanjat masuk ke dalam,
dan terhuyung-huyung keluar lagi bersama apa saja yang
bisa mereka angkut. Sepanjang jalan terjadi hal yang sama. Di Holland Ba-
kery orang-orang berlari keluar masuk membawa kotak-
kotak kue dan roti. Sebuah toko makanan beku telah habis
dijarah, tempat asal potongan daging tadi. Dua bocah lelaki
sekitar tujuh tahunan berseragam sekolah berjalan masuk.
Seorang membawa sebuah buku tanda terima yang masih
kosong, lainnya sekantong plastik pisau cukur sekali
pakai. Tiba-tiba muncul keributan orang-orang berlarian
dan berteriak. "Marinir!" seru mereka. "Marinir!" Beberapa orang lari ketakutan ke jalan-jalan
di samping. Sebagian besar hanya
meletakkan hasil jarahan mereka dan berdiri pada jarak
aman darinya. Delapan marinir muda berjalan dengan senapan siaga.
Mereka bergerak perlahan, menyebar sepanjang jalan dalam
barisan yang lebar, serta melewati toko elektronik dan
kantor-kantor yang dihancurkan. Agak lebih jauh di sebuah
ruang pamer fumitur beberapa lelaki dan perempuan sedang
mengakali sebuah meja berberi t u k aneh. Mereka begitu
terserap dalam apa yang sedang mereka lakukan sehingga
tidak menyadari patroli yang datang m e n d e k a t. Saat m
e r e k a m e n d o r o n g m e j a itu keluar melewati pintu yang dirusak,
salah seorang perempuan tersandung dan
jatuh di kaki marinir. Melihat mereka, perempuan itu
berdiri dan berteriak, tetapi sang kapten berbicara dengan
lembut kepadanya dan m e n g a n g k a t tangan n y a u n t
u k m e n e n a n g k a n. P e r e m p u a n itu tersenyum dan tertawa, lalu
sang kapten menyalaminya. Kelihatan jelas
bahwa para marinir itu lebih gugup daripada kelompok
penjarah itu. Mereka terus berjalan dan sambil mereka
berjalan seseorang meneriakkan, "Hidup marinir!"
Semua orang ikut berseru, sambil mengacungkan tinju ke
udara. "Hidup marinir! Hidup marinir!"
Orang-orang berdatangan dan mulai menyalami mereka.
Marinir tampak senang dan malu, tapi sangat lega. S e k e I
o m p o k p e n j a r a h b e r s o r a k - s o r a i m e n g i ri n g i m e r e
k a sepanjang jalan. Di belakang mereka,
pembobolan pintu dan pemecahan kaca jendela kembali
berlanjut. KAMI BERADA di Glodok - tempat permukiman
orang-orang Cina itu - selama empat jam. Ketika hari mulai
siang, kami naik ojek motor untuk mengantarkan kami
melewati jalan-jalan kecil dan lebih jauh lagi ke utara
menuju pelabuhan. Pembakaran dan penjarahan melanda
seluruh Jakarta. Itu berlanjut terus sepanjang hari hingga
malamnya. Kekacauannya luar biasa. Kertas, kardus, kaca, logam,
plastik, kayu, kain, daun, dan makanan dihancurkan,
dipatahkan, terinjak-injak. Menjelang tengah hari, lebih
banyak lagi orang di jalanan, sebagian besar mereka
membawa sejenis barang jarahan. Sebagian orang telah m e
m b u k a k o t a k - k o t a k c u ri a n m e r e k a dan m e n g a d a k a n
pasar dadakan di trotoar. Tetapi, penjarahan
itu telah berubah menjadi perusakan. Saya melihat TV-TV
dengan layar yang pecah ditendang, tumpukan pemutar
CD, dan melihat seorang lelaki dengan hati-hati menyulut
api pada sebuah mesin penggosok ubin besar. Kebanyakan
orang-orang ini adalah pencuri-pencuri setengah hati: dalam
dua pekan setelah peristiwa itu, ribuan penjarah y a n g t e r u s i k bati n n
y a m e n g e m b a I i k a n ra m p a s a n m e re k a kepada pemilik toko-toko
yang dihancurkan. Bahkan pada hari itu pun, dorongan untuk mengumpulkan barang
dikalahkan oleh dorongan untuk merusak.
Sebuah pusat perbelanjaan besar perlahan-lahan terbakar
api. Untuk waktu yang lama hanya asap hitam tebal yang
membubung dari bangunan itu, kemudian sisi luamya
mulai hangus menghitam; akhimya, dinding sebelah dalam
dan partisi dari kayu dan bata runtuh, dan nyala api dapat
terlihat. Bangunan itu mengeluarkan bunyi yang tak terduga
saat terbakar: bunyi meretak yang dalam dan letupan
misterius. Api mulai menyala di McDonald di lantai dasar;
lengkungan plastik kuning logonya yang terkenal itu
meleleh dan melorot karena panas seperti salah satu jam
yang meleh dalam lukisan Salvador Dali.
Kami menarik perhatian besar di Jalan Gajah Mada.
Suasananya berbahaya dan mengejutkan; kerumunan massa
bisa tiba-tiba panik dan bergerak seperti gelombang. Saat
sebuah mobil terbakar sendiri atau sebuah toko
dikosongkan, terdengar pekikan dan ratusan orang
semuanya berlari ke satu arah, ke tempat tontonan baru
atau menjauh dari sebuah ancaman yang dibayangkan.
Terkadang tontonan itu adalah saya dan teman saya; orang-
orang berdiri melingkari kami, bertanya dan menunjukkan
barang yang barusan mereka jarah, kami didorong serta
disodok, dan kami terpaksa mendesak menembus lingkaran
itu, terus pasang wajah tersenyum, naik ke sepeda motor
yang menunggu, dan buru-buru pergi menjauh.
Sulit untuk mengetahui alasan mereka yang menja-rah
dengan aktif. Orang-orang akan menjelaskan tindakan
mereka dengan mengatakan bahwa mereka datang "untuk
mendukung para mahasiswa" dan "untuk menyuruh
Soeharto mengundurkan diri". Mereka membeo slogan-
slogan mahasiswa tentang reformasi serta kejahatan korupsi
dan nepotisme. Tetapi, banyak di antara pemuda itu yang
tampak tak waras, seakan-akan mereka sedang dalam
pengaruh obat-obatan. Sering kali ada percakapan semacam
ini. Wartawan: Mengapa Anda ke sini hari ini"
Perusuh: Soeharto bangsat! Soeharto bangsat bangsa
bangsat! Wartawan: Mengapa Anda menentang Soeharto"
Perusuh lain: Soeharto jahat. Soeharto orang jahat. Jahat,
orang jahat, Soeharto. Wartawan: Tapi, mengapa ... Hei! Itu kamera saya!
Beberapa kru televisi dirampok hari itu; banyak yang
nyaris celaka. Seorang kolega bercerita kepada saya ketika
dia berhadapan dengan tuntutan untuk menyerahkan pon
sel, kamera, dan semua uangnya, dia tiba-tiba dapat ide
cerdik untuk mengacungkan tinjunya keudara dan bersorak,
"Hidup Rakyat! Hidup Rakyat!"
"Hidup Rakyat!" sahut massa dengan gembira, membuat kesal si perampok, yang
secara moral terpaksa ikut
bersorak. "Hidup Rakyat," teriaknya berkali-kali dan kemudian, "Hidup wartawan!"
Dan, segera semua orang pun menyahuti sorakan ini sehingga kawan saya bisa
melenggang kembali ke mobilnya di depan kerumunan
massa yang tidak terlalu berbahaya dan meluncur pergi
dengan aman. SAYA MULAI merasa cemas di hotel kecil murah a n
saya, maka saya pindah ke Mandarin Oriental tempat
menginap sebagian besar pers asing. Dari jendela, pada
suatu sore, puluhan kepulan asap tampak di segala penjuru.
Polisi Jakarta pada akhimya merilis serangkaian angka y
a n g m e m b a n t u m e n g g a m b a r k a n k e ru s a k a n m a t e r i a
I. Menurut catatan resmi ini, kerusuhan itu
menghancurkan 2.547 ruko, 1.819 toko, 1.119 mobil, 1.026
rumah penduduk, 821 sepeda motor, 535 bank, 486 lampu
lalu lintas, 383 gedung perkantoran, 66 bus, 45 bengkel, 40
mal, 24 restoran, 15 pasar, 12 hotel, 11 kantor polisi, 9
pompa bensin, dan 2 gereja.
Sekitar 1.200 orang tewas di Jakarta saja, banyak di
antara mereka terjebak di dalam bangunan yang sedang
terbakar; 2.000 lainnya ditahan. Kerusuhan lebih kecil
namun tak kalah menegangkan terjadi di Surabaya,
M edan, Solo, P a I e m b a n g, P e k a n b a r u, Bandar
La m p u n g, Boyolali, Karanganyar, dan Sukoharjo.
Perusakan ditujukan pada objek-objek tertentu. Para
perusuh menyasar simbol-simbol penindasan dan
ketidakadilan: pusat perbelanjaan mewah penuh dengan
merek-merek impor yang tak terjangkau; ruang peraga
mobil-mobil dan sepeda motor; rumah-rumah para
pendukung Orde Baru. Gedung Kementerian Sosial, jabatan yang baru
diserahkan kepada Tutut, putri Soeharto, dibakar, begitu
pula tempat-tempat sepanjang jalan ke bandara tempat
perusahaan Tutut mengumpulkan uang tol. Tetapi, yang
paling menderita parah adalah keturunan Tionghoa
Indonesia. Rumah Liem Sioe Liong, salah satu sobat
Soeharto yang terlama dan terkaya, dirampok serta
dihanguskan. Tetapi, keturunan Tionghoa yang paling
menderita adalah para pedagang kecil dan penjaga toko.
CD, VCR, dan laptop yang dijarah di Gajah Mada adalah
milik mereka. Banyak di antara mereka tewas di rumah-
rumah mereka, ketika toko di bawahnya dibakar api. Ada
cerita-cerita yang terus bermunculan tetapi sulit dibuktikan, tentang sekelompok
pemuda yang mendobrak ke apartemen
lantai atas dan memerkosa penghuni-penghuni
perempuannya. Ini pemandangan luar biasa yang tak bisa diklasifikasi:
sebuah protes politik, penjarahan, dan pembunuh-an etnis
terencana. Pemahkah yang seperti ini terjadi pada masa
damai modem: sebuah ibu kota dijarah oleh warganya
sendiri" SEBAGIAN BESAR orang Indonesia berkeyakinan
bahwa kerusuhan Mei tidak spontan, tetapi direkayasa
secara sengaja untuk alasan-alasan politik. Ada beberapa
bukti untuk keyakinan ini. Sebagai awalnya, ada kelesuan
pasukan pengamanan, setelah intervensi mereka yang brutal
dan tanpa provokasi di Trisakti. Kemudian, menyebamya
kerusuhan ke berbagai bagian kota besar itu dengan
kecepatan mengerikan. Berkali-kali ada cerita tentang
munculnya agen-agen provokator yang datang pada dini
hari dan menghasut penduduk lokal untuk mulai menjarah
pusat-pusat perbelanjaan serta ruang-ruang pamer
kendaraan bermotor. Cerita-cerita ini menggambarkan
kedatangan truk militer membawa pemuda-pemuda
bertubuh tegap berpakaian sipil, tetapi dengan rambut cepak
gaya militer. Mereka membakar ban atau sampah di jalanan
untuk menarik perhatian orang, dan kemudian mulai
melemparkan batu serta memecah kaca jendela. Kemudian,
mereka mengeluarkan linggis dan k a I e n g - k a I e n g m i n y a k tanah
untuk m e m b o n g k a r pintu-pintu teralis
serta mulai membakar. Dan setelah penjarahan berjalan
lancar, mereka diam-diam menghilang.
Provokasi itu diduga dilakukan oleh satu dari dua faksi
yang bersaing. Yang satu dipimpin oleh menteri pertahanan
dan kepala angkatan bersenjata, Jenderal Wiranto, lainnya
oleh musuhnya, Letnan Jenderal Prabowo Subianto,
Panglima Kostrad. Wiranto adalah mantan ajudan
Soeharto; Prabowo adalah menantunya. Wiranto seorang
nasionalis sekuler; Prabowo dekat dengan Muslim garis
keras. Jenderal yang ini atau yang itu, bergantung pada
teori yang Anda yakini, memerintahkan pembunuhan di
Trisakti dan memicu kerusuhan. Barangkali tujuannya
sekadar untuk mempermalukan lawan pesaingnya. Atau,
barangkali untuk mendiskreditkan Soeharto dan


Zaman Edan Karya Richard Llyod Parry di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menciptakan siatusi ketika seorang kuat yang baru (Wiranto
atau Prabowo) akan dibutuhkan untuk
"memulihkan ketertiban". Orang Indonesia menyenangi konspirasi; ke mana pun
mereka memandang, mereka melihat dalang-dalang. Barangkali ini merupakan
konsekuensi alami dari puluhan tahun ketakberdayaan di
bawah kediktatoran yang korup. Tetapi, itu juga merupakan
bagian dari pemahaman orang Jawa tentang nasib,
keyakinan bahwa sejarah bergerak di jalan yang telah
ditentukan, tak dipengaruhi oleh manusia biasa.
Tentu saja, ada perseteruan di antara jenderal-jenderal,
dan barangkali banyak provokator yang bekerja pagi itu.
Tetapi, cerita-cerita tentang mereka selalu dari tangan
kedua dan baru beredar berhari-hari setelah kerusuhan.
Saya tidak melihat mereka, dan demikian pula setiap orang
yang saya ajak bicara selama tiga hari itu.
Penggasakan Jakarta itu sendiri sesungguhnya sangat
mudah dimengerti. Orang-orang Indonesia yang miskin
punya banyak alasan untuk merusak kota mereka; berbagai
alasan itu terakumulasi bertahun-tahun. Itulah sebabnya
saat kerusuhan semakin berlarut, semakin banyak di antara
para penjarah yang tidak lagi menunjukkan ekspresi kaget
seperti pada pagi harinya. Sebagai gantinya, mereka tampak
seperti orang yang sedang melakukan sesuatu yang cukup
alamiah dan bisa dimengerti, satu-satunya perilaku, dalam
keadaan seperti itu, yang dapat diharapkan dari mereka.
BERITA TENTANG pembunuhan di Trisakti dan
kerusuhan-kerusuhan itu sampai kepada Soeharto di Mesir,
tetapi baru pada hari kedua dia memutuskan untuk kembali.
Dalam sebuah pidato di Kairo, Soeharto mengatakan
bahwa dia "tidak ada masalah" untuk mengundurkan diri
"jika rakyat Indonesia tidak lagi memercayai saya lagi." "Saya tidak akan terus
bertahan dengan kekeras-an bersenjata/' katanya. "Tidak seperti itu. Saya akan
menjadi pandito, mendekatkan diri kepada Tuhan." Seorang pandito adalah orang
bijak dalam istilah Jawa, seseorang yang
meditasi dan ketenangannya m e m bawa k a n k e h a r m o
n i s a n spiritual k e p a d a k e r aj a a n. Dari waktu ke waktu, para
penguasa Jawa yang turun takhta kemudian
menjadi pandito. Dan kini, pada momen krisis ini, Soeharto
secara lugas menggunakan bahasa kerajaan dan mistisisme.
Dia mendarat di bandara militer pada pagi hari. Konvoi
ratusan mobil dan kendaraan berlapis baja m e n g antarkan
n y a kembali ke Jalan Cendana. Jalan menuju bandara sipil
sementara itu telah diduduki oleh para preman yang
menghentikan orang-orang yang pergi m e n u j u bandara,
m era m p o k m e r e k a dengan t o d o n g a n pisau, dan
mencuri kendaraan mereka. Penjarahan terjadi lagi pada
pagi berikutnya, tetapi atmosfer Jakarta telah berubah. Kini
ada tank-tank bertebaran di berbagai tempat, lebih banyak
daripada yang pemah saya lihat - di pojok-pojok jalan dan
di persimpangan besar, serta berputar-putar di bundaran di
depan hotel. Dua hari setelah penembakan di Trisakti, saya
membonceng sepeda motor ke arah timur Jakarta. Dari
sana kepulan asap masih bisa terlihat. Kami tiba di sebuah
pusat perbelanjaan yang telah habis terbakar sehari
sebelumnya. Pasukan angkatan udara dengan baret oranye
mengawal puing-puing bangunan itu, tetapi orang-orang
bebas keluar masuk. Mereka berkumpul di sekeliling sebuah
nampan yang sepertinya penuh dengan apa yang tampak
seperti potongan-potongan kayu hangus. Seorang lelaki
berjongkok di atas tumitnya, memegang potongan itu
untuk diperiksa. Dilihat dari dekat akan tampak bahwa
benda itu adalah potongan anggota tubuh yang nyaris tak
lagi dapat dikenali; pergelangan tangan, tulang siku, sesuatu yang barangkali
adalah paha atau pinggul, dan tangan
terkepal yang hangus terbakar. Di pergelangan tangan itu
ada jam tangan logam yang tidak begitu rusak sehingga bisa
terbaca menunjukkan waktu: 12.04.
Ratusan orang terpanggang mati di dalam pusat
perbelanjaan di seluruh kota. Sisa jasad mereka
dikumpulkan pagi itu dan mereka diangkut di dalam
karung-karung ke ruang mayat. Rumah Sakit Cipto M a n g
u n - k u s u m o m e n e ri m a r a t u s a n k a n t o n g m ayat y a n g
secara kasar disusuri kembali menjadi 239
tubuh. Hanya lima dalam keadaan dapat teridentifikasi.
Sisanya ditimbun dua hari kemudian di sebuah kuburan
massal.[] gi^^S Menjelang akhir pekan, kerusuhan mulai
mereda Y dan kesunyian yang aneh merayapi Jakarta.
Pada akhimya, seseorang telah memberikan perintah untuk
membanjiri kota dengan tank baja dan tentara. Tak ada lagi
penjarahan, tapi satu-satunya arus lalu lintas yang signifikan adalah ke arah
bandara. Di sana ribuan keluarga ekspatriat
mengantri untuk penerbangan ke Singapura. Di Mandarin
Oriental tercipta suasana yang antik.
Semua tamu normal telah pergi dan tempat mereka
diambil alih oleh para jumalis, masing-masing menghendaki
akses intemet, fasilitas faksimile, jalur telepon tambahan,
televisi satelit, dan layanan kamar. Dudukan kamera-
kamera telah dipasang di atap, dan akademisi serta politikus
Indonesia bisa ditemui di lobi dalam perjalanan mereka ke
atas untuk diwawancarai oleh para koresponden. Restoran
Italia yang elegan di hotel itu seberisik ruang kumpul
mahasiswa. Dengan jalanan yang begitu sunyi, satu-satunya yang
bisa dilakukan adalah duduk dekat telepon dan bicara
dengan orang-orang yang mungkin tahu apa yang sedang
terjadi. Tapi tak seorang pun tahu. Salah seorang mantan
menteri kabinet Soeharto memberi tahu saya bahwa
Soeharto akan mengumumkan pemberlakuan hukum
militer. Seorang ilmuwan terkemuka berpendapat bahwa
Soeharto aman untuk setidaknya beberapa bulan lagi. Ada
rumor bahwa anak-anak Soeharto telah melarikan diri ke
Inggris, Singapura, atau Australia. Setiap orang
memperkirakan perebutan kekuasaan yang hebat sedang
terjadi antara dua jenderal berseteru, Wiranto dan Prabowo.
Salah seorang dari mereka dikabarkan berencana
melakukan kudeta terhadap Soeharto; lainnya ingin
menyelamatkan orang tua itu dengan menekan para
mahasiswa secara brutal. Atau, kalau tidak, mereka
bersepakat menggabungkan kekuatan demi membela
Soeharto atau bersama-sama menjatuhkannya. Sedang
mengenai jenderal mana yang cenderung ke arah mana, tak
ada kesepakatan. Yang bisa kami lakukan adalah
mencermati tanda-tanda, dan berharap kami akan
mengenalinya saat tanda-tanda itu hadir.
Sebuah formasi tank-tank, bergerak dari satu markas
divisi ke markas divisi lain" Sebuah helikopter yang lepas
landas dari istana kepresidenan" Tubuh-tubuh yang
tergantung dari tiang lampu" Sepucuk surat, ditulis di atas
kertas berkop Mandarin Oriental, disorongkan ke bawah
pintu k amar-k amar tamu.
Bapak/Ibu yang terhormat,
Sembari kita semua bersiap menghadapi kemungkinan
eskalasi kerusuhan sosial, kami ingin menginformasikan
kepada Anda lokasi tempat berkumpul jika terjadi situasi
darurat. Tempat itu adalah Teras Pelangi, yang terletak di dek
kolam renang berlokasi di lantai lima hotel ini. Mohon
dicatat bahwa dalam kejadian seperti itu alarm kebakar-an
akan terus berbunyi, lift tidak bekerja, dan hanya tangga
darurat yang bisa digunakan. Kami sangat menghargai jika
Anda bisa mematikan lampu ketika meninggalkan ruangan
dan menutup gorden. Salam hangat, Jan D. Goessing General Manager
Mustahil bersikap tidak peduli atau bicara soal lain,
kecuali tentang kerusuhan, mahasiswa, dan Soeharto. Ada
suasana terancam, perasaan yang sangat kuat bahwa
sesuatu akan terjadi, dengan tiba-tiba dan dahsyat, serta
bahwa jika perhatian kita silap, sejenak saja pun, kita bisa-
bisa luput dari keseluruhannya.
DI RUMAHNYA di Cendana, Soeharto sedang
menerima kunjungan dari perwakilan parlemen, tentara,
dan masjid-masjid. Tamu-tamunya bertindak hati-hati dan
tak langsung. Mereka memilih untuk "menjelaskan aspirasi mahasiswa" daripada
secara terus terang meminta presiden untuk mundur. Sebagai tanggapannya,
Soeharto setuju untuk meninjau ulang kenaikan harga-harga dan mengocok
ulang kabinetnya. Saat itu sudah makin jelas bahwa dia harus mundur.
Selama dia bertahan, Indonesia takkan pulih. Dia bukan
lagi rintangan bagi pemecahan masalah; dia sudah menjadi masalah itu sendiri.
Tetapi, berbagai demonstrasi
dan kerusuhan itu tidak cukup untuk membujuk Soeharto
melakukan itu. Dia terus bercokol.
Amien Rais, profesor dan pemimpin oposisi dari
Yogyakarta mengumumkan akan mengadakan demonstrasi
massal pada Rabu depan, hari libur nasional yang
bertepatan dengan peringatan lahimya gerakan kebangkitan
nasional di Indonesia. Dia menjanjikan sejuta orang akan
berkumpul untuk berdoa dan berdemo dengan damai di
Lapangan Merdeka, di depan istana kepresidenan dan di
bawah bayang-bayang Monumen Nasional. Setelah kejutan
kerusuhan belum lama ini, muncul perasaan tentang nasib,
sejarah yang sedang membentuk, dan kekhawatiran. Orang-
orang mengatakan bahwa Hari Kebangkitan Nasional akan
menjadi momen bagi Kekuatan Rakyat, Revolusi Ungu,
atau Lapangan Tiananmen Indonesia.
PADA SENIN pagi banyak orang berkumpul di kampus
Universitas Indonesia di pusat Jakarta. Mahasiswa ingin
naik bus-bus dan truk-truk ke gedung parlemen Indonesia
serta masuk ke sana untuk menyampaikan keluhan mereka.
Saat demo berjalan, mereka membatalkan inisiatif tersebut.
Itu tindakan yang amat berani dan berbahaya.
Lagi pula, penembakan Trisakti baru saja terjadi kurang
dari sepekan lalu, serta dalam atmosfer yang jauh kurang
menegangkan dan tak pasti dibandingkan ini. Para
mahasiswa disertai oleh sekelompok pensiunan jenderal,
akademisi, penyair, dan politikus, banyak dari mereka
adalah anggota Orde Baru yang kini secara terbuka
menyerukan pengunduran diri Soeharto. Secara resmi
mereka tidak memberikan dukungan bagi junior-junior
mereka; secara aktual, mereka adalah tameng hidup yang
dimaksudkan untuk mengadang pasukan yang suka m e n e
m b a k k a n p e I u r u.
Saat itu terik luar biasa, udara lembap tak berangin. Para
mahasiswa menumpang bus, dengan jaket universitas
mereka yang berwama terang, spanduk dan poster
menggantung lemas di udara yang basah. Menyaksikan
mahasiswa-mahasiswa itu, jelas sekali betapa berbedanya
mereka dalam penampilan dari para perusuh sepekan
sebelumnya: wajah-wajah lembut, sehat, kulit segar. Saya
mengiringi konvoi itu di belakang sebuah sepeda motor dan
dan turun di jarak yang aman, kemudian berjalan kaki
mendekati gerbang parlemen. Ada kerumunan orang ramai
dengan jaket wama-wami dan seragam khaki serta biru,
tetapi mereka saling terpisah dengan garis yang jelas. Saat
saya semakin dekat, batas itu semakin jelas. Gerbang
parlemen terbuka. Polisi dan tentara membiarkan para
mahasiswa masuk. Mereka juga membiarkan wartawan masuk. Pada Maret,
ketika MPR bersidang di sini untuk memilih kembali
Soeharto, orang perlu dua macam kartu identitas untuk bisa
masuk. Hari ini kamera dan buku catatan sudah cukup.
Sudah ada ribuan mahasiswa di dalam, dan lebih banyak
lagi yang datang kemudian. Tak sedikit di antara mereka
temyata datang dengan truk yang disediakan tentara.
Potongan informasi yang terakhir ini perlu beberapa jenak
untuk dicema. Polisi dan tentara, yang telah menewaskan
mahasiswa demonstran di Trisakti pada Selasa lalu, kini
mengundang mereka ke dalam gedung parlemen untuk
mendesak lengsemya Soeharto.
Secara fisik, gedung parlemen itu terdiri atas dua bagian:
gedung kotak 1960-an yang ditempati oleh kantor-
kantor dan di sampingnya, barisan bangunan hijau kamar-
kamar parlementer. Atapnya berbentuk dua bidang seperti
kubah yang menyatu di ujungnya - bentuk yang sering
diperbandingkan dengan lekuk bra dan sepasang pinggul
hijau tengkurap. Sebaris tentara berdiri di puncak tangga
masuk, menutupi pintu masuk ke dalam pinggul itu. Di
tempat-tempat lain, para mahasiswa bebas melenggang.
Di depan gedung parlemen ada lapangan luas terbuka,
kolam, dan air mancur. Beberapa lelaki membawa megafon
m e n g g i ri n g para m a h a s i s w a b e r k u m pul d a I a m k e I o m p
o k -kelompok menurut universitas mereka:
jaket kuning di sini, jaket merah tua di sana. Yang
pemberani di antara mereka pergi memasuki kompleks
perkantoran parlemen d a n m u I a i m e n j e I aj a h. Saya m e n g i k u t i
m e r e k a ke d a I a m sebuah aula luas
terbuka dengan jenjang-jenjang dan lift. Beberapa anggota
parlemen keluar dari kantor mereka untuk melihat apa yang
sedang terjadi. Mereka lantas dikerubungi sekelompok
mahasiswa yang dengan sopan m e n y a m p a i k a n t u n t
u t a n m e r e k a. Setelah beberapa kali salah jalan, saya
tiba-tiba berada di dalam sebuah galeri yang mengarah ke
ruang-ruang tanpa jendela di ujungnya. Interiomya yang
remang-remang didominasi oleh sayap-sayap Garuda
keemasan raksasa lambang Republik Indonesia, diapit di
kedua sisinya oleh potret resmi Soeharto dan wakilnya,
Habibie. Ini adalah Ruang Komite Kedua DPR. Galeri itu
penuh dengan mahasiswa - mereka sedang diperbolehkan
berkeliling ke mana pun mereka suka. Di podium, seorang
lelaki berpeci hitam sedang berbicara di depan hadirin yang
terdiri atas beberapa anggota parlemen. Dia adalah Amien
Rais. Seorang mahasiswa berjaket kuning menerjemahkan
apa yang dikatakannya kepada saya.
Isinya adalah pesan-pesan yang biasa. Parlemen dan
pemilu harus direformasi. Penegak keadilan mesti


Zaman Edan Karya Richard Llyod Parry di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diperkuat. Politik harus dibukakan kembali dan patronase
harus dihapuskan. Tumpas KKN - korupsi, kolusi, dan
nepotisme - slogan para mahasiswa. "Dengan
menggunakan meritokrasi, dengan pertolongan Allah, kita
akan mampu menyelamatkan negeri ini," katanya. "Pada saat ini semuanya
tergantung pada presiden, dan kita tidak
bisa menundanya lagi." Satu-satunya yang luar biasa di sini adalah tempat
kejadiannya, di dalam perut gedung
parlemen boneka Soeharto. Para mahasiswa terus
berdatangan ke balkon. Masing-masing menyimak kata-kata
Amien Rais, memandang dari anggota parlemen ke
pembicara di podium, dari podium ke potret-potret di
dinding, wajah mereka menunjukkan ekspresi takjub atas
jukstaposisi ini: dia, menyampaikan itu, kepada mereka, di
sini. "Saya sudah bicara dengan para buruh, nelayan, ibu
rumah tangga, dan mahasiswa. Mereka semua punya satu
tuntutan," kata Dr. Rais. "Soeharto harus turun. Semua yang lain hanyalah
kosmetik. Kocok ulang kabinet hanya
kosmetik. Tak ada reformasi politik tanpa perubahan
kepemimpinan nasional. Waktu kita hampir habis." Dia
mengacungkan tangannya ke arah potret di dinding. "Dia
harus turun, dan lebih cepat lebih baik."
D A LA M H U K U M Indonesia, " m e n g h i n a
presiden" a d a I a h kejahatan yang bisa dihukum dengan
pemenjaraan. Tapi selama pekan itu, itu jadi kegemaran
nasional. Adegan di gedung parlemen itu seperti Kejuaraan
Menghina Presiden Seluruh Indonesia.
Ribuan mahasiswa telah datang sekarang dan mereka
bergerombol di halaman. Ada beberapa puluh tentara,
tetapi yang mereka lakukan hanyalah m e n o n t o n dan
dengan sopan menepis mawar merah yang diselipkan di
moncong senapan mereka. Setelah beberapa saat mereka
bahkan berhenti mencoba melindungi gedung berkubah
hijau itu, dan para mahasiswa pun merangsek ke arah
mereka. Setelah pekan-pekan demonstrasi yang melelahkan,
akhimya menjadi jelas bahwa kini tak ada lagi peraturan.
Setelah menembus gedung parlemen, pikir para mahasiswa
itu, tidak jadi masalah lagi apa yang mereka lakukan begitu
berada di dalam. Seorang seniman pantomim, hanya mengenakan cawat
dan kulit dicat merah putih seperti bendera kebangsaan,
memperagakan pergulatan Indonesia di jalan seputar air
mancur. Kelompok lain berpakaian seperti orang berkabung
memikul peti mati dari kardus berisi Soeharto simbolis di
bahu mereka. Patung presiden mengalami penistaan berat
di lapangan itu. Sketsa dan puisi serta lirik lagu ditampilkan diiringi irama
yang dihasilkan dari pukulan ribuan botol air
plastik kosong. Spanduk yang dipegang dengan tangan segera tampak
tak memadai untuk ruang luas yang kini diduduki para
mahasiswa dan sebuah tim dengan sigap bekerja
menggunakan cat serta lembaran-lembaran. Tak lama
kemudian poster-poster baru setinggi empat puluh kaki dan
bertuliskan seluruh manifesto politik menggantung dari
jendela-jendela serta sepanjang pipi hijau gedung parlemen.
Sambil duduk-duduk di rumput k e I o m p o k - k e I o m p
o k b e rj a k et saling menyanyi bersahut-sahutan di antara
mereka. Ada lagu populer "Gantung Soeharto", dan favorit baru, pantun anak-anak
yang diadaptasi untuk merujuk
kepada anak-anak presiden yang dikenal paling tamak
Bang, bang, tut! Bang, bang, tut! Akar guiang-gaiing!
Bambang dan Tutut! Bapaknya anjing!
Ada pula lagu tentang martir Trisakti. Bagian refrainnya
sebagai berikut: Telah gugur pahlawanku Tentara kecoak semua ...
Sejumlah kecil spanduk ditulis dalam bahasa Inggris,
termasuk satu yang secara ambisius menggabungkan nama
kecil Soeharto dan lagu tema film Titanic yang populer,
"My Heart Will Go On". "My Harto Will Go On ..." bagian awalnya ditulis dengan
huruf biasa yang kemudian berubah
menjadi huruf Gothik mengerikan seperti tetesan darah "...
To Hell!" Kartun yang menyertainya menggambarkan sang
presiden sedang dihinakan oleh iblis-iblis.
DELEGASI MAHASISWA serta tokoh oposan datang
dan pergi sepanjang pagi itu, menuju ke kantor Harmoko,
Ketua D P R/M P R. Harmoko adalah contoh seorang
kroni sejati. Setelah memimpin persatuan wartawan pencari
muka selama beberapa tahun, dia mendirikan surat kabar
pencari muka, kemudian masuk partai berkuasa sebelum
dipromosikan mula-mula sebagai menteri penerangan dan
kemudian ke jabatannya yang sekarang. Dia adalah
pemimpin kedua jenis parlemen: DPR, yang menyusun
undang-undang, dan MPR yang lebih besar, yang bertugas
memilih presiden. Secara konstitusional, pada saat itu dia adalah orang
ketiga dalam hierarki nasional, setelah Soeharto dan Wakil
Presiden Habibie; tidak heran jika rumahnya di Solo
dilempari batu, dijarah, dan dibakar. Tetapi, Harmoko amat
terpukul oleh kejadian itu, kata orang-orang. Barangkali itu
alasan atas apa yang dilakukannya di parlemen sore itu.
Tak lama selepas tengah hari, Harmoko masuk ke
ruangan pers parlemen disertai wakil-wakil juru
bicaranya - masing-masing adalah para bekas pencari muka
yang sejak dulu menjadi pengambil keuntungan atas
demokrasi Pancasila. Di antara mereka adalah ketua Faksi
ABRI, Letnan Jenderal Syarwan Hamid - orang yang
mengatur penyerangan markas kaum oposisi pada 27 Juli
1996 ketika para komando berpakaian sipil mendobrak
masuk dini hari dengan pisau mereka.
Pemyataan itu hanya perlu beberapa menit untuk
dibacakan. Setelah itu, salinannya menyebar di tengah
mahasiswa dan tentara membiarkan mereka naik ke puncak
salah satu tank untuk mengumumkannya keras-keras. Berita
itu menggema ke seluruh Jakarta; pada saat saya kembali ke
gedung parlemen, satu setengah jam kemudian, mahasiswa-
mahasiswa itu masih b e r g e m b i r a m era y a k a n n ya.
" P i m p i n a n dewa n, b a i k k e t u a maupun wakil-wakil ketua," begitu
awalnya, "mengharapkan demi
persatuan dan kesatuan bangsa agar Presiden Soeharto
secara arif dan bijaksana s e b a i k n y a m e n g u n d u r k a n d i ri."
Saat Ha r m o k o m e n g a k h i ri maklumat itu, kamera TV menunjukkan Letjen
Syarwan Hamid yang sedang nyengir mengepalkan tinjunya ke udara.
Banyak mahasiswa yang meninggalkan gedung parlemen
setelah itu. Mereka pikir perjuangan telah dimenangkan,
tetapi mereka keliru. Menyebar kabar tentang Jenderal
Wiranto yang akan mengeluarkan pemyataannya sendiri di
tempat lain, di Departemen Pertahanan di Lapangan
Merdeka. Acara itu berlangsung di ruangan yang juga tak
berjendela, tak berwama, penuh sesak dengan para jumalis
dan diplomat. Sejam setelah waktu yang saya duga
seharusnya dia hadir, masih belum ada tanda-tanda
kehadiran Wiranto. Seorang ajudan masuk dan meletakkan
kartu nama di depan kursi yang akan ditempati komandan
serta para jenderal senior. Letnan Jenderal Prabowo tidak
ada di antara mereka. Jelaslah bagi semua orang bahwa Wiranto akan
menyampaikan sebuah pengumum a n yang sangat penting.
Kemudahan para mahasiswa memasuki parlemen, tindakan
penyerahan diri Harmoko, penantian panjang kedatangan
sang jenderal (dikabarkan bahwa dia sedang berada di Jalan
Cendana, berbicara dengan Soeharto): jelas bahwa semua
ini berarti momen krisis telah tercapai. Wiranto tiba-tiba
masuk. Prabowo bersamanya.
Wiranto berwajah tampan dengan dahi berkerut,
jalannya tegap dan gagah. Prabowo gempal dan w a j a h n
y a b e r k e r i n g a t. W i ra n t o m e n y a m p a i k a n pemyataannya
dengan cepat, berdiri dan mengucapkan
terima kasih dengan sopan, kemudian berjalan keluar
diikuti oleh para stafnya. Selanjutnya terjadi kebingungan
selama lima belas menit saat mereka-mereka yang mengerti
bahasa Indonesia saling bertengkar tentang apa yang baru
disampaikan, dan mereka-mereka yang tidak mengerti
berdiri putus asa di sekitar mereka.
Tetapi, tampak jelas bahwa Wiranto tidak menawarkan
sesuatu yang baru atau menentukan. Dia memperingatkan
tentang demonstrasi besar yang sedang direncanakan
Amien Rais untuk memperingati Hari Kebangkitan
Nasional. Dia mencela para perusuh dan berjanji bahwa
angkatan b e r s e nj a t a a k a n m e m bela s e rt a m e m p e r t a h a n k
a n konstitusi dan stabilitas nasional. Dia
mengungkapkan dukungan bagi reshuffle kabinet Soeharto
dan "dewan reformasi" yang terdiri atas akademisi dan
kritikus. Dia tidak mencela Harmoko atau pemyataan
parlementemya, tetapi mengatakan bahwa, tanpa dukungan
penuh suara parlemen, itu hanyalah pendapat individu
semata dan tak berkekuatan hukum.
Kata-katanya lunak, kompromistis, dan tidak
meyakinkan. Tidak mengurangi ketegangan yang ada. Ini
akan menjadi pola sepanjang pekan itu: gelombang
kegairahan yang memuncak, kemudian reda menjadi riak-
riak lemah. INI SAAT yang mengasyikkan, dan seperti banyak orang
di Jakarta saya pun mengalami kegairahan yang
sepenuhnya saya sadari pada saat terjadinya semua itu.
Pertarungan antara sesuatu yang lama, berbahaya, dan
korup dengan sesuatu yang baru. Satu kekuatan sedang
sekarat; kekuatan lainnya sedang berjuang untuk dilahirkan.
Dalam sebuah abad penuh perubahan semacam itu di
berbagai negara di seluruh dunia, ini barangkali yang
terakhir. Peristiwa-peristiwa seperti ini menjadi penyanjung
bagi mereka yang menyaksikannya: orang merasa bahwa
sekadar ikut hadir di dalamnya merupakan p e rt anda k e b
e r a n i a n. Kata-kata yang sampai saat itu sekadar merupakan
abstraksi historis kini tampak secara nyata: pergolakan,
revolusi, Kekuatan Rakyat. Saya selalu membayangkan
drama-drama semacam itu berkembang menurut sebuah
struktur, dengan ritme teratur dan agung. Tetapi, tidak ada
ritme sama sekali dalam seluruh peristiwa ini. Ini mirip
pergerakan lalu lintas di kota-kota Dunia Ketiga. Ribut, m e
I e n g k i n g, m e n g a b a i k a n r a m b u - r a m bu. S e s e k a I i d i
j e d a oleh tabrakan dan jalan buntu. Membuat
orang tak bisa tidur di malam hari.
Keesokan paginya Soeharto muncul di istananya. Dia
bertemu dengan sembilan pemimpin Islam. Amien Rais
secara sengaja tidak diundang, demikian pula Megawati
Soekamoputri. Tetapi, semua yang hadir pada saat itu
menyarankan agar presiden mengundurkan diri.
Seusai itu, dia menyampaikan pidato yang disiarkan
secara langsung oleh saluran berita dalam negeri dan
intemasional. Siaran itu agak berari t akan dan lucu.
Kamera-kamera mulai merekam sebelum Soeharto
menyadarinya, sehingga selama beberapa menit penonton
di seluruh Indonesia dapat menyaksikan dia berdiri di
ruangan istana yang luas, wajah kelabu dan gempal,
menanti sambil tangannya dibenamkan di saku. Pada satu
kesempatan, Soeharto menekuk tangan kirinya untuk
melihat jam. Foto sikap ini digunakan oleh berbagai koran
dan majalah seluruh dunia pada hari-hari berikutnya:
diktator yang akan terguling, waktu telah habis.
Namun, saat dia akhimya menyampaikan
pemyataannya, dia melakukannya dengan sangat tenang
tanpa sedikit pun jejak pembelaan diri. "Sebagai presiden saya telah mengambil
keputusan untuk melaksanakan dan
memimpin reformasi nasional dengan segera/1 dia m e n g
u m u m k a n, s e o I a h - o I a h re f o r m a s i m e r u p a k a n s e b u
a h gagasan yang muncul di benaknya sendiri
pagi tadi di Jalan Cendana. Dia juga punya berita besar
tentang pemilihan presiden yang akan datang: "Saya tidak akan bersiap untuk
dipilih lagi." Presiden baru akan dipilih setelah pemilihan anggota parlemen.
Hal ini akan dilakukan secepat-cepatnya. Ketika hadirin bertanya kepada Soeharto, dia
mengatakan kepada mereka, "Dia sudah kapok menjadi
presiden" dan "bosan dengan jabatan presiden." Itu adalah gaya lama yang telah
dipertahankannya sebelum setiap
pemilu ketika delegasi dari parlemen perlu memohon
kepada Bapak Pembangunan yang enggan untuk
membiarkan dirinya diangkat sekali lagi. Merekalah yang
memintanya melakukan itu, demikian dikemukakan
Soeharto sekarang; dia sendiri tak pemah menginginkan
pekerjaan itu. Hanya rasa tanggung jawabnya yang besar
yang mendorongnya untuk memenuhi permohonan
rakyat - dan kini lihat apa yang dilakukan orang-orang yang
tak tahu berterima kasih itu! Bukankah dia sudah muak
dengan itu" Dia sudah ingin berhenti. Dia hanya tidak siap
untuk mengatakan kapan waktunya itu.
Bagi para mahasiswa yang menonton melalui televisi di
gedung parlemen, pidato Soeharto itu sangat
mengecewakan. Jumlah mereka sekarang sekitar 3 0.000
orang dan mereka telah menjadi lebih teratur serta lebih
tidak s a bara n. Sebuah kelompok bemama Suara Ibu
Peduli menyediakan paket-paket makanan dan minuman.
Setiap orang yang masuk sekarang diminta untuk
membuktikan identitasnya kepada penjaga yang skeptis dan
terkadang agresif. Sikap keras kepala Soeharto yang terus
berlanjut membuat kehadiran para mahasiswa itu di
parlemen tampak sebagai kebetulan yang sangat tepat. Ada
rumor bahwa preman-preman dari kelompok pemuda
pencari muka telah menyelusup ke tengah demonstran
untuk memancing kekerasan di antara mereka sebagai
alasan terselubung bagi tindakan represif. Orang-orang
merasa melihat kehadiran penembak jarak jauh di gedung-
gedung tinggi yang menghadap ke arah gedung parlemen,
atau setidaknya sinar laser merah tajam yang mereka
gunakan untuk membidik. Ketika helikop-ter tentara
terbang melintas dan menukik rendah membahayakan, para
mahasiswa berteriak serta memakinya dengan marah dan


Zaman Edan Karya Richard Llyod Parry di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kasar. Pekerjaan parlementer yang normal telah terhenti;
seluruh kompleks kini menjadi lapangan bermain bagi para
pengumpat Soeharto. Mereka tidur di rerumputan dan
membasuh diri di air mancur. Di ruang pertemuan
parlemen, mereka berdiri di podium berakting sebagai
Soeharto dan Harmoko. Tidak ada vandalisme, hanya sisa-
sisa makanan dari 3 0.000 orang - lipatan kertas berisi nasi
dingin dan ayam kenyal, serta beribu-ribu botol air plastik
kosong. Semua orang terfokus pada hari berikutnya, Hari
Kebangkitan Nasional, dan demonstrasi sejuta orang yang
dijanjikan Amien Rais. Sebagian mahasiswa tetap berada di
parlemen, tetapi sebagian besar memilih untuk berjalan
pagi-pagi sekali ke Lapangan Merdeka. Sekolah-sekolah,
toko-toko, dan perkantoran akan ditutup. Supermarket
penuh dengan pembeli yang panik. Menjelang malam, para
mahasiswa mencemaskan pelbagai hal - penyusupan,
serangan militer yang mematikan pada dini hari, kerusuhan
yang lebih besar yang dipicu oleh demo besok, konfrontasi
dengan polisi bersenjata. Profesor-profesor dan pengacara
terkemuka serta doktor-doktor datang ke parlemen
sepanjang wak-tu untuk memberi dukungan dan
menyemangati maha-siswa. Mereka berdiri di jok belakang
jip mengenakan ikat kepala, mengingatkan mereka tentang
Manila pada 1986 dan Seoul pada 1987, juga Timisoara,
Praha, dan Berlin. Kemudian mereka m e n u n d u k k a n
bada n, m e n g a c u n g k a n t i n j u udara, d a n pulang ke rumah malam
itu, meninggalkan para mahasiswa untuk
berpikir tentang demonstrasi esok hari dan tentang
pergolakan mahasiswa yang oleh para sponsor mereka
dengan hati-hati tidak disebut-sebut: pemberontakan
berdarah di Beijing pada 1989.
SEBELUM FAJAR, seorang jenderal yang menolak
untuk disebutkan namanya, menelepon Amien Rais dan
memperingatkannya tentang peristiwa serupa pembantaian
Lapangan Tiananmen yang akan terjadi di Jakarta jika
demonstrasi itu akan terus dilangsungkan. Pada pukul enam
pagi, Dr. Amien Rais muncul di televisi dan
mengumumkan bahwa demo itu dibatalkan. Dua puluh
ribu orang berdemo secara damai di Medan pada hari itu,
30.000 di Solo, 50.000 di Surabaya, 100.000 di Bandung,
sedangkan di Yogyakarta, Sultan sendiri memimpin barisan
yang terdiri atas lebih dari setengah juta orang. Tetapi, di
Jakarta, Lapangan Merdeka lengang.
Pada waktu sarapan pagi saya menumpang ojek
menyusuri jalanan utama yang sepi menuju Monumen
Nasional. Empat puluh ribu tentara telah disiagakan di
seluruh kota, bersama 160 tank. Semua jalan menuju
Lapangan Merdeka telah ditutup dengan kawat berduri.
Tidak ada kendaraan melintas kecuali tank-tank dan tidak
ada orang, kecuali tentara. Kesunyian dan kekosongan telah
mengubah tempat itu. Dari balik kawat perintang jalan,
saya memerhatikan untuk pertama kalinya bunga-bunga
kuning yang bermekaran di pepoho-nan di lapangan itu,
dan kicauan burung di cabang-cabangnya. Sejak zaman
kolonial Belanda, lapangan ini telah merupakan pusat kota,
nyaris merupakan pusat simbolis kepulauan nusantara,
dipenuhi selama dua puluh empat jam oleh orang-orang
Indonesia untuk makan-makan, minum-minum, tidur-
tiduran, berbelanja, berjualan, bercumbu, dan berkelahi.
Tak pemah dalam sejarah tempat ini bisa begitu sepi.
Tentara-tentara juga ada di gedung parlemen. Jalan di
depannya ditutup, dan perlu waktu satu jam memohon serta
membujuk untuk dapat masuk melewati gerbang. Lebih
banyak lagi delegasi dari berbagai universitas yang dikirim
ke Jakarta untuk berdemo. Setelah pembatalan itu, mereka
justru datang ke sini, dan tem-pat itu sangat penuh sehingga
sulit untuk bergerak. Massa yang tadinya begitu terfokus
dan disiplin kini telah berubah kacau dan agak menakutkan.
Bahkan, Suara Ibu Peduli tidak lagi dapat menyediakan
cukup makanan dan minuman. Ada cerita bahwa kantor-
kantor parlemen telah didobrak dan dokumen-dokumen
dibakar. Bayangan akan terjebak di dalam massa ini saat
mereka terlanda panik - setelah tembakan dilepaskan,
misalnya - sangatlah menakutkan.
Saya menemukan sepetak rumput kosong, di tengah
kelompok berjaket wama-wami yang telah ditebarkan para
mahasiswa di tanah. Mereka ingin sekali bicara, dan opini
mereka sudah bulat. Seperti yang disuarakan dalam
pamflet-pamflet terakhir: Soeharto, Pergi Ke Neraka
dengar: Rencanamu - Turun Sekarang.
Tidak Ada Reformasi Sebelum Soeharto Diganti
Jangan Tepedaya Dengan Muslihat Soeharto
Tujuan Soeharto adalah Menghindari Pengunduran Diri
Datang berita dari dalam ruang rapat bahwa DPR, badan
yang memilih presiden, akan bertemu pada hari Jumat
untuk pembicaraan khusus. Ancamannya dinyatakan secara
lugas oleh Harmoko sendiri: jika Soeharto masih belum
mundur pada saat itu, dia akan diberhentikan secara resmi.
Saya mulai bicara dengan para mahasiswa yang duduk di
dekat saya tentang takhayul Jawa itu - tentang cahaya
wahyu yang menerangi langit pada saat perpindahan
kekuasaan dari seorang raja kepada raja lainnya. Mereka
mengenakan jaket kuning Universitas Indonesia; sebagian
besar mereka adalah mahasiswa kedokteran. Mereka
tersenyum mendengar pertanyaan saya, tetapi saat kami
bicara, semua mereka bergantian mengeluarkan kisah-kisah
mistis mereka masing-masing. Seorang perempuan, yang
sedang magang anestesi, baru kemarin berbicara dengan
seorang penjual bakso yang pemah melihat kilas cahaya
wahyu saat krisis finansial memuncak tiga bulan silam.
Cahaya itu naik dari Jalan Cendana dan melesat ke selatan.
Dia menggambarkan-nya sebagai "ular terang".
"Gus Dur tinggal di arah sana," sahut teman sang
anestesis itu - itu adalah nama panggilan yang digunakan
setiap orang untuk pemimpin Muslim yang separuh buta
itu, Abdurrahman Wahid. "Megawati juga," kata seorang anak muda dengan kaus bertuliskan "Gantung
Soeharto". "Atau cahaya itu mungkin pergi ke Yogya," sahut
seseorang yang lain. "Ke Amien Rais."
"Tidak! Yogya terlalu jauh."
Semua mahasiswa itu masih tersenyum Kemudian
seorang anak lelaki berikat kepala berkata, "Anda tahu Jayabaya?"
"Ya, saya tahu."
"Anda tahu Sabdo Palon?" Sabdo Palem, jelasnya,
adalah peramal Jawa lainnya. Ramalannya yang terkenal
adalah bahwa lima ratus tahun setelah dikuasai oleh kaum
Muslim, kerajaan Hindu kuno Majapahit akan kembali.
"Kapan berakhimya Majapahit?" tanya saya.
"Lima ratus tahun yang lalu."
Kami semua tersenyum lagi.
Kemudian mahasiswi kedua bertanya, "Anda kenal
nama Moses Gatotkaca?"
Moses Gatotkaca adalah korban pertama kekerasan Mei
1998. Dia adalah aktivis berusia tiga puluh sembilan di
Yogya yang sedang makan bersama teman-temannya di
restoran pinggir jalan ketika demonstrasi besar lewat. Polisi datang, dia dan
teman-temannya tiba-tiba dikerubungi oleh
tongkat-tongkat terayun, dan Moses dipukuli hingga mati.
"Dan Anda tahu asal-usul namanya?"
Gatotkaca, jelas mereka, adalah salah satu tokoh
wayang, pahlawan keluarga Pandawa, pasukan kebaikan.
Dia seorang yang sangat setia dan patriotik - Soekamo
suatu kali mendeskripsikannya sebagai model Manusia
Indonesia Baru. Gatotkaca dibunuh oleh Adipati Kama
dalam perang maut antara Pandawa dan musuh-musuh
mereka, Kurawa. "Dan Moses Gatotkaca dibunuh oleh Soeharto," sahut
mahasiswi yang pertama. "Salah seorang mahasiswa yang
terbunuh di Trisakti adalah Elang Mulya Lesmana.
Lesmana" Anda tahu dia adalah tokoh wayang juga?"
"Soeharto m e n g e r t i perwayangan/1 sahut t e m a n n y a. "Dia sangat suka
wayang. Kadang ada pertunjukan
wayang khusus untuknya di istana. Dia tahu apa arti kisah-
kisah ini. Apa yang dia pikirkan, apa perasaannya, ketika
dia membaca di koran bahwa dia telah membu-nuh seorang
pria bemama Gatotkaca dan seorang anak bemama
Lesmana?" Saat itu dua belas hari sejak Moses Gatotkaca tewas di
Yogya. Tapi, rasanya sudah lama sekali. Saya teringat akan
istana Sultan, dan keputusan yang telah saya raih di sana
pada hari-hari yang lalu, dan tentang perempuan yang tidak
akan saya nikahi. Andai saya masih belum kehilangan nyali
dan meneleponnya pagi itu, andai saya telah terbang
kembali ke Eropa beberapa jam sebelum penembakan di
Trisakti, saya akan luput dari semua ini.
"Ketika Soeharto membaca itu di koran dia tahu bahwa
waktunya telah habis," jawab mahasiswa berka-us itu. "Dia tahu ini sudah
tamat."[] "p \> SOEHARTO MENGUNDURKAN diri tak lama
setelah * pukul sembilan pagi hari berikutnya, Kamis 21
Mei 1998. Saya terbangun saat fajar, seperti biasa. Hari itu
adalah Hari Kenaikan Isa Al-Masih, sebuah fakta lain yang
entah disadari atau tidak oleh Soeharto.
Hotel sudah penuh bisik-bisik rumor. Soeharto akan
menyampaikan maklumat lagi dan, setelah gagal merekrut
anggota untuk komite reformasinya, tak banyak lagi yang
tersisa untuk diumumkannya. Saya naik taksi bersama dua
orang teman dan meluncur ke istana untuk
menyaksikannya secara langsung. Tetapi, sopir taksi tidak
bisa menemukan jalan menembus rintangan-rintangan
jalan, dan penyiar di radio berbicara seolah-olah pemyataan
itu akan dimulai dalam beberapa saat. Kami turun di hotel
pertama yang kami jumpai setelah itu - sebuah hostel kecil
murahan, yang sudah ditinggalkan para backpacker - dan
menontonnya melalui perangkat televisi kabur di kafe.
Persis sebagaimana pidato nasional terakhir Soeharto,
ada penundaan. Gambar di TV terbelah antara ruang
kosong di istana dengan penyangga mikrofonnya dan
penyiar yang berapi-api di studio. Ketika mereka tak tahu
lagi apa yang akan dikatakan, serangkaian penggal ari video
diputarkan, menampilkan seorang musisi dangdut
menyanyi dengan suara tinggi. Ada pemain keyhoard muda
sedang tersenyum menampakkan gigi putihnya dan seorang
penyanyi balada populer dengan kumis berminyak. Salah
satu lagunya berjudul "Sepasang Mata Bola", kemudian
"Tiga Malam" . "Itu Lagu terkenal," ucap seseorang yang menafsirkannya untuk
saya. "Terkenal sejak zaman
Soekamo, dari 1960-an."
Mereka kembali ke istana, dan Soeharto sedang berjalan
masuk, berdiri di depan mikrofon. Para ulama Muslim dan
perwira militer dengan jalinan tali keemas-an pada seragam
mereka tampak di belakangnya. Ada Jenderal Wiranto, dan
Wakil Presiden Habibie - serta Tutut, sang putri sulung.
Soeharto mengenakan peci hitam dan baju safari berlengan
pendek. Dia tampak agak lelah di balik kacamatanya, tetapi
pidatonya seperti biasa datar tanpa nada; hanya sesekali dia
mendongak dari teksnya. Dia setenang dan se terkendali
biasanya. Dia tidak menampakkan kesan seperti sedang
dalam cengkeraman emosi yang kuat, atau seperti sedang
mencoba m e n y e m b u n y i k a n n y a.
Habibie, dengan mata melotot kaget, segera disumpah
sebagai Presiden. Petugas berwajah cemberut dari
Mahkamah Agung memegang Alquran di atas kepalanya
saat dia mengucapkan sumpah. Wiranto menyam-paikan
pidato, dan acara pun selesai.
BELAKANGAN, SAYA membaca akhir Orde Baru itu
digambarkan sebagai "seperti seks tanpa orgasme". Itu momen historis yang paling
tidak b e rm o m e n t u m yang
terbayangkan - alakadamya, anti-klimaks, dan tidak
meyakinkan. Soeharto memulai dengan bicara mengenai " p e m a h a
m a n n y a y a n g m e n d a I a m" t e n t a n g k e h e n d a k rakyat akan
perubahan, dan tentang "tanggapan tidak m e m adai" terhadap proposal k o m i t
e r e f o r m asin y a. Dia memohon maaf "jika ada kesalahan dan kekurangan" d a I a m k e p e m i m p i
n a n n y a. Dia m e n g u c a p k a n t e r i m a k a s i h kepada menteri-
menterinya yang mundur. "Semoga bangsa Indonesia tetap jaya bersama
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945," ujamya. Tak
sedikit pun dia mengungkapkan kesedihan atau penyesalan.
Kata-kata yang dipilih secara sangat ketat adalah yang
mengungkapkan tindakan pengunduran diri itu sendiri. Di
mulut Soeharto pelepasan jabatannya berubah dari momen
penistaan menjadi penegasan kekuasaan secara
meyakinkan. "Saya telah memutuskan/' katanya, di tengah
pidato singkat itu, "bahwa saya berhenti menjadi presiden Republik Indonesia
sejak saya membacakan ini pada hari
ini, Kamis, 21 Mei 1998."
Dia berhasil membuat kekalahan ini terdengar seperti
sebuah perintah untuk dilaksanakan secara tuntas. Alih-alih
dipaksa, dia justru melakukan lompatan yang berani. Ini
adalah kudeta terbalik: Soeharto, dengan dorongan
kehendak dan kepribadiannya, secara sepihak menyebut
dirinya mantan Presiden. "Penyampaiannya dilakukan sendiri dalam cara yang
mengingatkan tentang kekuasaan yang dilekatkan kepada
dewa-raja Jawa kuno," tulis ilmuwan politik Donald
Emmerson belakangan, "sehingga dengan sekadar
mengucapkan sesuatu saja, mereka dapat membuatnya
terjadi." Salah satu peribahasa Jawa favorit Soeharto adalah menang tanpa
merendahkan. Pengunduran dirinya telah
meraih yang sebaliknya: kekalahan yang merampas seluruh
rasa kemenangan dari musuh-musuhnya.
KAMI MENINGGALKAN hotel backpacker itu dan
meluncur ke gedung parlemen dalam diam membisu.
Banyak rintangan jalan yang masih dibiarkan di tempat dan


Zaman Edan Karya Richard Llyod Parry di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sopir kami mengambil rute tak langsung. Kami melewati
jalan tempat hewan-hewan hidup diperjualbelikan di
trotoar. Selama beberapa hari lalu tempat itu lengang, tapi
pagi ini para penjual sudah berdatangan lagi, duduk
mencangkung d a I a m k e I o m p o k - k e I o m p o k k e c i I, m e r o k o k
d a n m e n g o b r o I serta menyimak
radio. Mereka tentu telah mendengar berita itu, tetapi
mereka tidak menampakkan tanda-tanda kegembiraan.
Saya teringat memandang ke luar jendela taksi pada
kandang demi kandang kurungan anak anjing.
Para mahasiswa di parlemen telah menonton siaran itu,
dan menandainya dengan adegan perayaan yang biasa.
Sorak sorai, menari, melompat ramai-ramai ke air mancur.
Banyak yang sekadar berdoa; bendera yang tadinya
setengah tiang kini dikerek ke puncak lagi. Tetapi, euforia
itu tidak bertahan lama. Mahasiswa tidak suka Habibie.
Banyak di antara mereka yang membencinya. Apalagi dia
adalah salah satu kawan lama presiden. Inilah kelemahan
dalam kampanye mereka: berkonsentrasi pada
penumbangan Soeharto tanpa menetapkan konsensus apa
pun tentang siapa yang harus menggantikannya. Kandidat
yang lebih layak - Amien Rais, Megawati, Abdurrahman
Wahid - terbelah dalam persaingan dan saling tidak
percaya. Konstitusi mengatakan bahwa jika presiden
berhenti menjabat, wakil presiden yang harus meneruskan
sepanjang sisa masa jabatannya. Dan itulah yang terjadi.
Mahasiswa yang ada lebih sedikit daripada hari
sebelumnya, dan jumlah mereka baur dengan warga
Jakarta, penonton kelas menengah, yang mulai berdatangan
dalam kelompok-kelompok keluarga. Sebagian mahasiswa
bertekad untuk tetap di tempat mereka ber-ada dan
menduduki parlemen hingga Habibie, dan bah-kan
Wiranto, mengundurkan diri. Tetapi, sebagian besar
pulang. Tak lama kemudian tim-tim yang membawa
kantong sampah hitam bertebaran, merambah ke lautan
sampah botol plastik. Berkeliaran di antara mereka adalah
para pengunjung yang menyalami para mahasiswa, berpose
bersama mereka untuk mendapatkan potret-potret dan
menunjukkan kepada anak-anak mereka pemandangan
kejadian luar biasa yang sepertinya telah menyelusup ke
dalam sejarah. Pagi berikutnya, kelompok-kelompok besar organisasi
pemuda Muslim muncul di parlemen membawa poster pro-
Habibie. Ada pengejekan dan pelemparan batu; hampir saja
terjadi kerusuhan. Jelas bahwa ini bukan demo yang
spontan, melainkan telah direncanakan dengan baik-baik,
barangkali atas permintaan kepemimpinan yang baru.
Pada dini hari setelah itu, truk-truk tentara bersenjata
tiba dan memerintahkan para mahasiswa untuk segera
pergi. Mereka menunjukkan penolakan; ada sedikit
bentakan dan dorongan, tetapi tidak ada pukulan,
lemparan, atau tembakan. Para pendemo tampaknya tidak
kaget melihat tentara-tentara itu; sebagian mereka justru
tampak lega. Dan dalam sekitar satu jam, mereka berbaris,
naik ke dalam truk, dan meninggalkan parlemen tanpa
berkata apa-apa. SEHARI SETELAH pengunduran diri itu, saya mulai
merasa sangat mengantuk dan agak bingung. Kejemihan
pikiran dalam insomnia selama dua pekan silam kini
menjadi kabur. Apa sesungguhnya yang telah terjadi"
Soeharto telah digantikan oleh pengikutnya paling setia.
Habibie menjanjikan reformasi, tetapi ketika dia
mengangkat kabinet barunya, setengah dari menterinya,
dan semua pos senior, tidak berubah. Dalam pidato yang
disampaikannya segera setelah Habibie mengucapkan
sumpah, Wiranto telah berjanji untuk mendukung presiden
yang baru, melindungi bangsa, dan "menjaga keamanan
serta kehormatan" Soeharto dan keluarganya. Maka, lelaki yang disumpahi para
mahasiswa untuk digantung itu terus
hidup tanpa gangguan di Jalan Cendana.
Yang paling luar biasa adalah banyak hal yang tidak
terjadi. Tidak ada perusakan atau pembantaian. (Kalau
dilihat ke belakang, sikap diam militerlah yang paling
kentara.) Tidak ada perpecahan terbuka dalam tubuh militer
(terlepas dari apa pun yang telah direncanakan Jenderal
Prabowo, dia telah gagal; pada akhir pekan, dia dipecat dari
jabatan komandonya dan ditugaskan sebagai staf di sebuah
perguruan tinggi militer). Ini bukanlah kup atau penyerahan
diri, dan sulit pula menyebutnya sebagai revolusi, karena
Kucing Siluman 1 Gento Guyon 25 Gelombang Naga Sapu Jagad 1
^