Pencarian

Hujan Dan Teduh 1

Hujan Dan Teduh Karya Wulan Dewatra Bagian 1


PROLOG Samar-samar, dari balik jendela sebuah kamar di lantai empat asrama, salju yang telah membeku
membuat engsel-engsel jendela tak dapat dibuka. Butiran demi butiran salju terlihat berjatuhan di
atas pucuk cemara juga sudah memutih. Di dalam kamar tersebut, yang gelap karena sengaja
dimatikan lampunya, seorang perempuan ber-sweater tebal dengan hidung merah karena flu
tengah menyandarkan dahinya yang hangat di jendela. Setiap embusan napasnya yang bersuhu
lebih tinggi dari suhu ruangan berubah menjadi kabut di hadapannya. Sebagian lagi menjadi
titik-titik embun yang menempel di kaca jendela yang tengah disandarinya itu.
Di dadanya, sebuah berkas dibungkus amplop cokelat yang ujung-ujungnya terlipat, ia peluk
erat-erat. Berkas yang dari tadi siang diabaikan dan tidak dihiraukannya itu kini benar-benar
mengimpitnya, membuatnya sesak.
Dengan pandangan kosong, ditatapnya tempat tidur di seberang ranjang yang sedang di
dudukinya. Di sana, teman sekamarnya tengah terlelap tenang dengan dada naik turun seirama
napasnya yang teratur. Getaran handphone, yang entah berada di mana, di atas ranjangnya, menyadarkannya dari
lamunan. Sebuah SMS baru masuk. Dengan malas, dicarinya handphone itu.
Halaman yang menampilkan e-mail yang tengah dibukanya beberapa jam lalu dan tidak ia balas
terpampang di layar handphone.
From : nugraha.n@email.com Subject : ... Gimana flunya" Masih"
Di sini cuaca gak tentu...
Parah... Pulang tanggal berapa"
Orang-orang pada kangen...
(Gue khususnya... hehehe...)
Tanpa membaca ulang e-mail itu"apalagi membalasnya"si perempuan me-log-out akunnya
dan menutup beberapa aplikasi sebelum membuka pesan singkat baru yang diterimanya.
From : ibuku Geulis, gimana flunya"
Udah baikan" Jika saja pesan tersebut diterimanya 24 jam yang lalu, maka ia akan merasa sangat senang.
Namun kini, yang ia rasakan hanya setumpuk rasa bersalah dan penyesalan yang menjadi-jadi.
Betapa hati bisa dengan mudah berganti suasana karena sebuah peristiwa.
Sambil menyimpan handphone, ditariknya napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Dia
menyandarkan kepalanya yang berat ke dinding. Andai sebuah masalah bisa dihitung dalam
satuan massa, entah berapa ratus kilogram telah membebani kepalanya.
Sudah beberapa menit ia diam dalam posisi seperti itu. Mematung. Namun rasa bersalah, sedih,
dan sesal belum juga hilang. Seperti kacang hijau yang berkecambah, lama-lama kecambah itu
semakin besar dan merambah mencari ruang sampai ke dadanya. Setetes air keluar dari matanya,
meluncur bebas ke pipinya yang pucat.
Butiran air mata tersebut disusul oleh butiran-butiran lain yang tak bisa ditahannya. Dia
menggigit bibir bawah, berusaha menahan isakan-isakan kecil yang keluar dari mulutnya, takut
mengganggu tidur lelap teman sekamarnya.
She is Kaila Sebuah bus kota sarat penumpang berhenti di halte, di depan sebuah SMA. Halte sesak oleh
pelajar berseragam putih abu-abu yang sedang menunggu bus, plus yang sedang nongkrongnongkrong. Beberapa saat kemudian, bus pergi meninggalkan halte, meninggalkan asap hitam
pekat. Setelah asap menipis, yang tersisa di sana hanya segerombolan murid perempuan yang
sedang berceloteh seperti burung parkit; seorang murid laki-laki berkacamata tebal, seorang
murid perempuan berponi pagar dan seorang murid perempuan dengan rambut panjang terurai.
Si perempuan berambut panjang memperhatikan murid berponi itu yang duduk jauh di sebelah
kanan, dengan penuh minat dari ujung kepala sampai kaki. Ada yang menarik, entah apa.
Menyadari sedang diperhatikan, si perempuan berponi menatap perempuan berambut panjang
yang cepat-cepat memalingkan mukanya.
Si perempuan berambut panjang memandang jam tangannya, berharap orang yang sedang
ditunggunya segera datang dan membawanya pergi dari keadaan canggung tersebut. Tak lama
kemudian, sepeda motor merah yang dikendarai seorang laki-laki berseragam putih abu-abu
berhenti di depan halte tersebut. Bukan untuk menjemput si perempuan berambut panjang,
karena si laki-laki menyodorkan helm kepada si perempuan berponi yang bergegas
menghampirinya. Mereka pun pergi.
Si perempuan berambut panjang memperhatikan kepergian mereka dari sudut matanya. Ketika
mereka tidak terlihat lagi, ia mulai berkutat dengan lamunannya sampai sebuah Picanto berhenti
di depannya dan pengendaranya membunyikan klakson. Ia segera masuk dan duduk di kursi
depan, di sebelah perempuan setengah baya yang terlihat masih segar dan menarik.
"Maaf, Ibu telat," ujarnya dari balik kemudi. "Gimana rapornya?" lanjutnya sambil memajukan
mobil perlahan. "Bagus," ujar singkat si perempuan berambut panjang. Ia tidak suka membicarakan nilai.
Ibunya tersenyum dengan pandangan lurus ke depan. Hening sejenak. "Sekarang Ibu antar kamu
ke bengkel, setelah itu Ibu kembali lagi ke toko. Bintang, nggak apa-apa kan pulang sendiri?"
lanjut sang ibu. "Iya," ujarnya pelan, pikirannya sibuk mencari-cari bayangan perempuan berponi tadi.
****** Dua kotak kardus berada di pelukan Bintang. Ia berdiri di depan pintu, di sebelah deretan pintu
yang tertutup. Sebuah kardus terletak di sebelah kaki ibunya yang sedang memasukkan kunci.
Pintu terbuka. Bintang langsung masuk, disusul ibunya yang menyeret kardus. Dua kardus di
pelukan Bintang kini sudah terletak di lantai. Bintang sedang memijat-mijat lengannya yang
pegal ketika ibunya duduk di atas ranjang berukuran single di sebelahnya.
"Ini kosannya. Deket banget ke kampus kamu," ujar sang ibu sambil menghempaskan tubuhnya
di tempat tidur dan menghembuskan napas lega. Lega karena akhirnya sampai di tempat yang
dituju setelah lima jam mengemudi dengan penuh stres karena macet.
Bintang mengedarkan pandangannya di ruangan bercat putih tersebut. Sebuah ranjang berada di
sebelah jendela yang lumayan besar. Meja rias dan lemari berada di sisi dinding yang lain. Di
bagian lain ruangan itu terdapat juga sebuah sofa cokelat kecil, berhadap-hadapan langsung
dengan meja yang menempel ke dinding dengan TV di atasnya.
Terlalu mahal, pikir Bintang.
"Gimana, Bintang?" tanya ibunya.
"Bagus, Bu," ujarnya singkat.
Senyuman tergambar di wajah awet muda ibunya.
"Kalau gitu kita lihat kamar mandi dan pantry-nya." Sang ibu sambil menarik Bintang ke pintu
yang berada di ujung tempat tidur"tembus langsung ke ruang pantry.
"Biar bisa masak sendiri," lanjut Ibu sambil menyalakan keran di tempat cuci piring. Hanya
mengecek. Bintang, yang berdiri di depan pintu toilet, merasa kosannya terlalu mewah untuk ukuran
seorang mahasiswa. Terlalu berlebihan. Dia menatap ibunya ragu-ragu, sementara jarinya
mengggesek-gesek permukaan meja pantry yang mengilat. "Pasti kosan ini mahal sekali. Gimana
kalau cari yang lebih... murah aja?" tanyanya pelan.
Ibunya hanya tertawa. "Kamu mau pindah?"
"Nggak perlu mewah-mewah lah. Yang lebih kecil daripada ini juga nggak apa-apa," ujar
Bintang. "Kosan ini sudah dibayar." Bintang merasakan tangan ibunya menyentuh lembut bahunya,
seolah memberi tanda supaya dia tidak banyak membantah. "Lagi pula, repot kalau kita harus
ngangkat-ngangkat barang lagi." Ibunya tersenyum. "Yang penting, kamu tak boleh lupa pulang
ke Bandung." ***** Penerimaan anggota himpunan baru dibuka. Yang ingin ikut silakan terima tantangannya. Yang
tidak ingin ikut silakan jadi mahasiswa kupu-kupu, alias kuliah-pulang-kuliah-pulang. Bintang
tidak terlalu suka himpunan, tapi ia lebih tidak suka lagi menjadi bukan siapa-siapa. Jadilah ia
terdampar di sebuah perkemahan dalam acara penerimaan anggota baru tersebut.
Di salah satu petak perkemahan, empat perempuan sedang berkutat dengan sebuah tenda.
Mengira-ngira bagaimana mendirikannya. Seumur hidup, Bintang"salah satu dari empat
perempuan tersebut"belum pernah berkemah.
Berbeda dengan beberapa laki-laki yang berada tak jauh dari petak perkemahan mereka. Mereka
seperti tak menemui kesulitan mendirikan tenda dalam waktu singkat. Sekarang mereka
beristirahat di depan tenda kebanggaan yang suddah berdiri itu, mengawasi para perempuan yang
masih saja heboh sendiri dengan tenda yang tak kunjung jadi. Mereka tertawa-tawa.
Bintang, yang tadinya berdiri membelakangi mereka, akhirnya panas sendiri. Tanpa
sepengetahuan orang-orang itu, tangannya meraup segenggam lumpur, melemparkan asal ke arah
kelompok laki-laki. Kena laki-laki yang sedang memegang gitar, tepat di mukanya.
Baik teman-teman Bintang maupun teman laki-laki yang malang itu sama-sama terdiam.
"Jika kalian memang tak ada niat membantu, berhentilah tertawa," ujar Bintang angkuh.
"Lo lempar lumpur ke orang yang salah," ujar laki-laki itu dingin sambil membersihkan pipinya
yang terkena lumpur dengan tangan. "Buang-buang waktu saja buat ngetawain kalian."
Ucapannya tenggelam di suara tawa teman-temannya.
***** Bintang berlari di koridor sekolahnya yang sepi. Setiap entakan langkah kakinya yang memantul
di lantai terdengar ke kelas-kelas yang dilewatinya. Ini hari pertamanya masuk di tahun ajaran
baru, kelas tiga. Di depan pintu bercat hijau dengan tulisan '3 IPA 2' di atasnya, ia berhenti. Dibukanya pintu
berat itu. Sedikit gelisah akan omelan wali kelasnya yang baru, Bintang masuk ke kelas. Suara
ribut seketika menyergap telinganya ketika ia masuk. Anak-anak sedang berceloteh dan berjalan
ke sana-sini. Ternyata, belum ada guru yang masuk. Bintang bernapas lega. Tak ada yang
menyadari kehadirannya di kelas tersebut. Semuanya sibuk sendiri-sendiri.
Bintang mengedarkan pandangannya mencari bangku kosong. Sepertinya semua bangku sudah
terisi penuh. Dilihatnya sebuah meja di deretan ketiga dari kiri, kedua dari belakang, diduduki
oleh seorang perempuan. Kursi di sebelahnya kosong. Hati Bintang mencelos. Ia mengenali
orang itu. Diedarkan pandangannya sekali lagi. Berharap masih ada bangku yang kosong selain bangku
tersebut. Sayangnya tidak ada. Bintang melangkah menuju satu-satunya kursi yang masih kosong
itu dengan perasaan waswas yang tidak ia mengerti. Beberapa orang memandangnya dan
melemparkan senyum ketika ia lewat. Yang lainnya tidak peduli.
Akhirnya, setelah perjalanan empat meter yang terasa satu kilometer, Bintang sampai di depan
meja yang dituju, tempat seorang perempuan berponi pagar dengan rambut dikucir duduk
sendirian. Tak sepert anak-anak laindi kelas tersebut yang mulai bersosialisasi dengan penghuni
bangku tetangga, perempuan cantik berponi itu hanya duduk diam dan memandang yang lainnya
dengan bosan. "Sorry, kursi sebelahnya kosong?" tanya Bintang. Perempuan berponi pagar mengalihkan
pandangannya pada Bintang.
Angkuh seperti kucing, pikir Bintang.
"Kosong." Perempuan itu menjawab datar. "Aku belum punya teman sebangku," lanjutnya
sambil memiringkan badan agar Bintang bisa melewatinya untuk duduk di kursi sebelah. Bintang
melewatinya sambil sekilas melirik kursi yang diduduki seorang laki-laki jangkung bermata sipit.
Laki-laki itu yang sedang asyik menggambar anime.
"Thanks," jawab Bintang. Ia menaruh tas di atas meja yang baru dicat untuk menutupi jejak-jejak
vandalisme siswa yang terlalu kreatif. Si perempuan berponi hanya duduk diam, memperhatikan
orang-orang di sekelilingnya dengan pandangan bosan.
Sangat pendiam, pikir Bintang.
"Aku Bintang." Bintang mengulurkan tangannya.
"Kaila." Perempuan itu menjabat tangan Bintang. Desiran aneh melintasi dada Bintang, seolah
menyedot semua suara bising di sekitarnya. Bintang segera menarik tangannya dan mulai
menyibukkan diri dengan mengaduk-aduk isi tas. Kaila sepertinya tak merasakan apa pun; ia
hanya kembali memandangi sekitarnya dengan tatapan bosan.
***** Tengah hari, matahari tepat berada di atas ubun-ubun dan memaksa pori-pori untuk
mengeluarkan lebih banyak keringat. Bintang berjalan di koridor kampusnya dengan gitar
akustik di punggungnya. Gitar tersebut dipinjamnya dari Dewa untuk mengiringi presentasi
kelompoknya di salah satu mata kuliah tadi pagi.
Koridor yang Bintang lewati dipenuhi oleh mahasiswa yang memilih duduk-duduk bersandar ke
dinding. Mereka menunggu kelas siang itu dimulai sambil mengipas-ngipaskan kertas, berharap
angin menghampiri. Langkah-langkah Bintang yang cepat"karena ingin segera keluar dari
kampus dan bertemu Dewa untuk mengembalikan gitarnya"sedikit melambat ketika ia tiba di
depan sebuah kelas. Bintang melambatkan langkahnya, bukan karena terhalang laki-laki yang malang melintang di
depannya, tetapi karena salah satu mahasiswa yang duduk-duduk di sana adalah orang yang
pernah dilempari lumpur olehnya saat perkemahan, yang kemudian ia ketahui bernama Noval.
Sudah setahun berlalu sejak kejadian tersebut, tetapi perang dingin masih berlangsung di antara
mereka. Bintang sebenarnya malu karena merasa telah berbuat salah dan ingin minta maaf.
Namun, ego dan meminta maaf memang dua hal yang bertabrakan. Sampai sekarang, Bintang
selalu menghindari berpapasan dengan Noval selagi bisa.
Ketika Bintang menyadari bahwa ia harus berjalan melewati Noval, otaknya menyuruhnya untuk
berbalik arah. Sayang sekali, dari sudut matanya, ia melihat Noval sudah melihatnya datang.
Akan sangat memalukan jika Noval tahu ia menghindarinya. Akhirnya, Bintang memaksakan
diri untuk berjalan melewati Noval.
Kelegaan muncul setelah Bintang melewati Noval yang tak mengacuhkannya. Dengan segera,
Bintang kembali mempercepat langkahnya dan berbelok ke kantin tempat Dewa menunggunya.
Di kantin yang ramai karena saat itu jam makan siang, Bintang mencari-cari Dewa. Akhirnya,
sosok yang berkulit coklat eksotis dan terlihat seperti Marcell KW-2 itu terlihat sedang duduk
berhadapan dengan seorang perempuan berambut panjang terurai"seperti gadis-gadis di iklan
sampo"di meja pojok. Bintang segera menghampirinya.
"Hei, Wa," ujarnya saat tiba di meja Dewa.
"Eh, Bintang. Udah selesai?" Dewa menyapa seraya mengaduk batagor kuahnya.
"Udah," jawab Bintang sambil melepaskan gitar dari punggungnya.
"Kenalin, ini Marsha." Dewa memperkenalkan perempuan di hadapannya.
"Bintang." Bintang menjabat tangan Marsha. Sejenak Bintang mengagumi tangan lentik Marsha
yang halus. "Marsha." Perempuan tersebu memperkenalkan diri.
Saat itu, selain mengagumi tangan Marsha, Bintang juga mengagumi Marsha yang sanggup
membiarkan rambutnya terurai di udara sepanas itu. Rambutnya sendiri sudah digulung
sedemikian rupa agar tidak terasa gerah.
"Nih gitarnya. Presentasinya sukses." Bintang menyodorkan gitar pada Dewa, "Thanks, ya."
"Sip." Dewa menerima gitarnya dan menyimpannya di bangku panjang yang didudukinya.
"Makan dulu, yuk?"
"Nggak, ah. Hari ini Ibu dateng ke kosan." Bintang menyeka dahinya yang berkeringat. Tumbuh
di Bandung yang berudara dingin membuatnya tersiksa ketika harus beraktivitas di tengah hari
pada musim kemarau di Jakarta.
"Oh, lagi ada kunjungan." Dewa tertawa menyebalkan. Ia tahu Bintang akan kerepotan karena
harus menyembunyikan cadangan makanan instan yang ia stok di kosannya. Sang ibu sangat
memperhatikan kesehatan anaknya.
"Iya. Ya udah, pergi dulu ya. Udah telat." Bintang pamit pada keduanya.
"OK. Hati-hati," ujar Dewa. Marsha hanya melemparkan senyum manis.
"Thanks." Bintang segera pergi meninggalkan mereka berdua. Tidak tahan berlama-lama diam di
dalam ruangan yang bising, pengap, dan panas tersebut, walaupun ada bidadari di dalamnya.
***** Dua telur masuk ke teflon panas yang diletakkan di atas api, membentuk telur mata sapi setengah
matang. Setelah pinggirannya berwarna cokelat, masing-masing telur berpindah ke atas nasi di
atas piring putih yang dipegang Bintang. Dengan dua tangannya, ia membawa dua piring
tersebut keluar dari pantry.
"Ibu belum makan siang, ya" Cuma ada ini," ujar Bintang sambil memberikan satu piring ke
ibunya yang terlihat sangat lesu dan tegang. Bintang menduga-duga sesuatu sedang terjadi
karena sejak datang satu jam yang lalu ibunya diam saja. Bahkan ia tidak memeriksa lemari
tempatnya menyimpan mi instan, bubur instan, dan minuman serbuk instan.
Nasi dan telur mata sapi di piring Bintang sudah hampir habis, tetapi makanan di piring ibunya
belum tersentuh sama sekali.
"Kok, nggak dimakan?" tanya Bintang heran. Ibunya diam saja dan duduk dengan gelisah di
tempatnya. "Sebentar." Bintang beranjak ke pantry. Tak lama kemudian ia kembali dengan dua kotak jus,
meletakkan yang satu di meja dan memegang yang satunya.
"Ibu, ada apa?" tanya Bintang pada ibunya yang sedang menusukkan sedotan ke kotak jusnya.
"Toko kita kebakaran. Semuanya habis." Suara ibunya bergetar ketika mengatakannya. Bintang
tak percaya dengan apa yang di dengarnya. Untuk sesaat, jantungnya seakan berhenti berdetak.
"Toko kita diasuransiin, nggak?" tanyanya buru-buru. Ibunya menggeleng. Tubuh Bintang
langsung lemas. Satu-satunya sumber pendapatan keluarganya lenyap.
"Ibu sudah ambil semua tabungan untuk membangun toko kita." Ibunya berhenti sejenak. Ia
tampak lebih rileks setelah mengatakan keadaan yang sebenarnya. "Ibu juga sudah menjual
mobil untuk membeli barang, dan..." Ia terdengar ragu, "Mobil yang sekarang kamu pakai juga
mau Ibu jual buat nutupin kekurangannya. Bintang, sepertinya kamu harus pindah ke kosan yang
lebih murah karena beberapa bulan ini kita defisit. Nggak ada pemasukan sama sekali."
"Oke, nggak apa-apa. Nggak masalah," sahut Bintang, "tapi rumah kita nggak perlu dijual, kan?"
"Nggak. Tentu saja nggak," jawab ibunya. Bintang bernapas lega. Setidaknya dia masih memilki
rumah untuk pulang dan tak kehilangan tempat penuh kenangan bersama ayahnya ketika beliau
masih hidup. "Bu..." Bintang memandang ibunya. Ia baru sadar, ibunya terlihat kurus. Wanita itulah yang
menanggung tanggung jawab berat atas dirinya dan menghadapi semuanya sendirian. Bintang
meraih tangan ibunya. "Semuanya pasti akan baik-baik aja," ujarnya.
Ibu tersenyum. "Ayo makan dulu. Habis itu kita jalan-jalan sore. Siapa tahu Ibu dapet temen kencan buat
refreshing," ujar Bintang sambil tertawa.
"Halah. Kalau sekeren ayahmu bolehlah," balas ibunya yang sudah sedikit melepaskan
ketegangannya.

Hujan Dan Teduh Karya Wulan Dewatra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Es yang Meleleh Kantin kampus setelah jam makan siang terlihat lengang dan sepi. Beberapa menu sudah habis,
sisanya tidak begitu menggairahkan lagi. Dari banyaknya meja yang berjejer, hanya beberapa
meja yang ditempati, membuat para karyawan yang bekerja di sana bisa bersantai sejenak
sebelum mulai berberes untuk pulang.
Di salah satu meja dekat pintu, Bintang sedang menghamparkan koran pagi yang belum sempat
dibacanya. Kali ini, tidak seperti biasanya, Bintang meloncati berita dan langsung membaca
kolom ikan. Dengan cekatan, matanya tertuju ke kolom lowongan pekerjaan.
"Nyari lowongan, ya?" Mei yang baru datang dengan sepiring nasi dan gado-gado duduk di
hadapan Bintang. "Ya." Sejenak Bintang melirik Mei sebelum kembali ke korannya. "Gado-gado tuh nggak cocok
buat diet," lanjutnya tanpa memandang Mei. Ia heran, Mei yang sudah memiliki badan
proposional masih ingin menurunkan lagi berat badannya.
"Gue nggak jadi diet. Gue berencana jadi vegetarian aja." Mei menyuapkan sesendok sayuran
yang disiram kuah kacang penuh kolesterol tersebut ke mulutnya.
"Lo ngapain nyari kerja lagi" Kan udah dapet job ngajar. Nggak repot, tuh?" tanya Mei setelah
menelan gado-gadonya. "Nyari yang part-time lagi." Bintang menjawab singkat. Dengan jari ditelusurinya kolom
lowongan pekerjaan yang sebagian besar mencari penjahit partai dan kapster salon itu. Sayang
sekali, Bintang tidak berbakat di keduanya.
Iklan-iklan yang lain pun hanya berisi pekerjaan yang tak masuk akal dan terlalu mengada-ada,
seperti casting film atau iklan bertopeng lowongan pekerjaan yang sebenarnya hanya
memanfaatkan kekurangan informasi dari beberapa orang yang sedang gelisah mencari
peruntungan untuk meningkatkan pengunjung website-nya demi mendulang rupiah.
"Blogger tak profesional," gumamnya. Bintang tersenyum kecut dan kembali membaca iklan
yang lain. Setelah beberapa saat menelusuri iklan, akhirnya Bintang menghentikan jarinya ketika
menemukan iklan yang cukup pantas untuk dicoba. Iklan lowongan pekerjaan part-time untuk
sebuah franchise ayam goreng tepung yang tak terlalu jauh dari kosan barunya.
***** Bintang berjalan tergesa-gesa menuju gedung serbaguna. Ia hendak menghadiri seminar yang
diadakan UKM Fotografi dengan Dewa sebagai ketua pelaksananya. Fotografi sebenarnya bukan
hal yang terlalu menarik bagi Bintang. Namun, karena tidak ingin kesetiakawanannya
dipertanyakan, ia setuju untuk datang tanpa berdebat ketika Dewa menawarkan free pass dengan
menggebu-gebu. Saat hendak menuju meja penerimaan tamu, dari ujung matanya Bintang melihat Noval. Cowok
yang sedang memegang gitar itu berbicara serius dengan beberapa temannya, seperti membahas
sebuah masalah. Salah satu dari mereka sedang sibuk menelepon ketika Bintang tak sengaja
bertemu pandang dengan Noval yang cepat-cepat memalingkan muka dan kembali bicara pada
temannya. Dua perempuan berseragam kaus warna hitam dan pink menyambut Bintang dengan senyum
manis. Bintang menandatangani buku tamu. Ketika hendak beranjak dari meja tamu, ia
mendapati Noval sudah berdiri di sebelahnya.
"Bintang" Bisa ngomong sebentar?" tanya Noval. Bintang yang bertanya-tanya apa tujuan Noval
mengangguk saja dan mengikuti Noval menemui teman-temannya. Ia merasa canggung berada di
antara Noval dan teman-temannya.
"Bintang, ya?" tanya salah satu teman Noval yang bertubuh kurus dan tinggi yang berdiri di
sebelah temannya yang berbadan gemuk.
"Iya." Bintang menjawab singkat.
"Gini, Bintang, pemain drum kita kena musibah. Terus teman-teman yang lain lagi pada mudik,
kalaupun ada terlalu mepet buat dateng ke sini..." Ia berhenti sebentar. "Lo mau nggak bantuin
kita?" tanyanya. "Aku nggak bisa main drum," ujar Bintang cepat-cepat.
"Maksud gue, lo yang main gitar, Noval yang main drum. Dia bilang pernah liat lo main gitar.
Mau, nggak" Kita bawain lagu populer kok, bukan lagu band kita."
Bintang melirik Noval yang berdiri di sebelahnya.
'Kapan dia liat gue main gitar" Kalo liat bawa gitar sih iya,' batinnya.
"Oke, deh. Tapi dapet bagian, ya?" ujarnya setengah bercanda. Mereka semua terlihat lega walau
si laki-laki berbadan gemuk tampak ragu.
"Sip, lah," sahut mereka.
"Yuk, latihan." Noval mengajak Bintang mengikuti mereka ke ruang persiapan.
***** Gitar di tangan Bintang terasa licin karena keringat dingin, tanda demam panggung. Bintang
menatap ratusan penonton di hadapnnya. Seumur hidup ia tak pernah tampil di panggung
bersama sebuah band. Di ujung panggung, dilihatnya Dewa menatapnya sambil terheran-heran.
Alih-alih berada di deretan penonton, ia berada di stage bersama Noval dan teman-temannya
sambil memegang gitar. Bintang tersenyum kecil.
Teman Noval yang kurus dan ternyata vokalis band tersebut membuka penampilan mereka
dengan berbasa-basi. Pertunjukan pun dimulai. Bintang yang merasa berada di dunia lain mulai
memetik gitarnya. Tiga lagu dimainkan. Lagu pertama baik-baik saja. Lagu kedua terpeleset di
beberapa bagian, tapi tak ada yang menyadari. Lagu ketiga dibawakan dengan baik walau harus
berusaha keras mengingat kunci-kunci gitarnya karena lagu 'Life is a Rollercoaster' dari Ronan
Keating bukan lagu yang familier di telinganya.
Kelegaan yang hangat menjalar di badan Bintang setelah semuanya selesai dan mereka kembali
ke panggung. Semua berjalan baik walaupun permainan Bintang masih jauh dibandingkan
dengan permainan Noval. ***** Bintang menenggak cola sambil bersandar ke dinding di luar gedung serbaguna karena keadaan
di dalam terlalu panas dan sibuk. Membuatnya pusing. Noval berjalan cepat menghampiri
Bintang. "Kita semua nyariin kamu. Dikirain ke mana," ujar Noval.
"Oh, di dalem panas," jawab Bintang. Kecanggungan dan perang dingin yang dilancarkan sejak
PAB tahun lalu akhirnya mencair.
"Oh ya, Val." Bintang menatap Noval yang kini ikut bersandar santai ke dinding. "Inget kejadian
waktu kemping?" tanya Bintang malu-malu.
"Nggak mungkinlah gue lupa. Gue nggak pernah dilemparin lumpur." Noval tertawa mengingat
betapa kesalnya ia saat itu.
"Well, gue minta maaf, ya," Bintang menyampaikan apa yang sudah lama ingin dikatakannya
tapi terhambat gengsi. Noval hanya tersenyum.
"Hei, kalian." Laki-laki kutilang yang memperkenalkan diri sebagai Regi menghampiri mereka,
disusul dua anggota band lainnya, Rizky dan Tio.
"Makan, yuk," ajak Regi, yang kemudian ditolak Bintang secara halus karena ia akan mengikuti
seminar. Dewa pasti akan kecewa jika Bintang menelantarkan free pas yang diberikannya.
Bukan Sesuatu yang Wajar Guntingan kertas, pensil warna dan beberapa alat tulis lainnya terhampar di atas karpet tempat
Kaila berbaring menelungkup. Ia asyik menghiasi tugas portfolio Bahasa Inggris. Tak jauh
darinya, Bintang duduk menyandar ke tempat tidur dengan laptop di pangkuannya. Alih-alih
menghiasi portfolio-nya dengan cara manual seperti Kaila, ia menghiasinya dengan gambargambar yang sudah ada. Ia sangat bodoh dalam menggambar.
"Argh, kok nggak selesai-selesai, sih," keluh Kaila yang kini memijat-mijat tangannya yang
pegal. Bintang mengalihkan pandangannya dari laptop.
"Ya iyalah, ini kan tugas selama satu semester, Kai. Lagian kamu kerajinan amat ngehias pake
ngegambar," ujarnya kepada Kaila yang sepertinya sudah bosan mengerjakan tugasnya. Kaila
hanya tidur-tiduran dalam posisi menyamping sambil memainkan pensil warna yang bertebaran
di sisinya. Bintang ikut-ikutan berhenti mengerjakan tugasnya dan menghampiri Kaila.
Bintang memperhatikan lembaran-lembaran tugas yang sudah dikerjakan Kaila. Lembaranlembaran tersebut berisi tulisan rapi Kaila yang dihiasi anime buatannya yang halus. Dalam
menggambar, manusia di dunia ini terbagi dua, yang pandai menggambar dan yang tak pandai
menggambar. Jika Bintang tanpa ragu termasuk golongan kedua, maka Kaila jelas-jelas
termasuk golongan pertama.
"Gambar kamu bagus, Kai. Lebih halus dari gambar si Daniel," ujar Bintang yang masih
memperhatikan gambar-gambar di lembaran tugas Kaila. Sepertinya Kaila lebih serius
menggambari tugasnya daripada mengerjakan isi tugas itu sendiri.
"Masa, sih" Daniel mana?" Kaila ikut-ikutan memperhatikan lembaran tugasnya yang dipegang
Bintang. "Ya ampun Kai, Daniel yang jangkung, putih, sipit, duduk di belakang kita. Udah mau satu
semester masih belom hafal temen sekelas juga," ujar Bintang heran. Kadang sikap Kaila yang
tidak acuh dan tertutup membuat Bintang berpikir ia menderita austisme ringan atau setidaknya
apatis kronis. "Oh." Kaila merespons singkat. "Oiya kamu jadi nginep nggak?" tanya Kaila.
Bintang melihat jam berwarna biru di dinding kamar Kaila yang berwarna pink dan benarbenar seperti kamar Barbie.
"Jadi. Nanggung, udah pukul sepuluh malem," jawabnya. Ditaruhnya lembaran tugas Kaila dan
kembali ke laptop-nya. Handphone Bintang berbunyi. Sebuah SMS masuk. Ucapan selamat malam dari Kevin, orang
yang sudah hampir sembilan bulan menjadi pacarnya. Karena Bintang merasa SMS itu tidak
memerlukan balasan, ia menaruh kembali handphone-nya. Tanpa sengaja, ia melihat Kaila yang
duduk menatapnya aneh. "Dari pacar kamu, ya?" tanya Kaila dingin. Bintang mengangguk pelan sambil bertanya-tanya
apa salahnya. Kaila beringsut menjauh darinya dan kembali mengerjakan portfolionya dalam
diam. ***** Kamar bercat pink yang mirip kamar Barbie itu kini tak terlihat jelas warnanya karena
kekurangan cahaya. Cahaya hanya datang dari lampu kecil yang terletak di atas meja di pinggir
tempat tidur. Setelah mencuci muka dan mengganti baju dengan piyama milik Kaila, Bintang menutup pintu
kamar mandi di belakangnya. Dengan canggung ia naik ke tempat tidur yang berseprai pink
pucat dan merebahkan dirinya di sisi kanan ranjang. Sisi kiri ditempati Kaila yang masih diam
seribu bahasa dengan wajah menghadap dinding.
"Kai." Perlahan Bintang mengguncang bahu Kaila yang tak tertutup karena ia menggunakan
atasan tanktop biru tua. "Kamu marah, ya" Aku salah apa, Kai?" tanya Bintang pelan. Tak ada respons dari Kaila.
Bintang yang merasa tak enak kembali merebahkan badannya dan memandang punggung Kaila
yang naik turun seiring embusan napasnya. Tanpa diduga, Kaila membalikkan tubuh dan
menatap wajah Bintang yang tepat berada di depannya. Entah dari mana datangnya, desiran
yang Bintang rasakan saat pertama kali menjabat tangan Kaila kembali melintas.
"Bintang." Kaila menatap Bintang dengan sungguh-sungguh. Bintang diam saja. Selain ingin
mendengar apa yang akan dikatakan Kaila, ia juga sibuk mengamati mata Kaila yang terlihat
seperti buah zaitun yang melancip sempurna di ujungnya.
"Aku sayang kamu. Aku nggak pernah ngerasain ini sebelumnya. Ke cowok aku juga rasanya
nggak kayak gini," ujar Kaila lirih setelah pertarungan sengit antara kelaziman dan perasaan di
dalam dirinya dimenangi oleh kenyataan yang ia rasakan.
Bintang yang tak menyangka Kaila akan mengatakan itu terdiam sejenak sebelum euforia yang
bagaikan gebyar kembang api berpindah ke hatinya.
***** Saat itu pukul tiga sore. Sebuah restoran franchise ayam goreng tepung sarat pengunjung karena
pada jam-jam tersebut ada program paket hemat. Bintang yang bekerja paruh waktu di restoran
tersebut sedang sibuk di belakang counter, melayani pengunjung.
Seorang perempuan bercelana pendek memesan dua paket hemat. Di belakangnya mengantre
seorang laki-laki. "Noval" Mau pesen apa?" tanya Bintang saat melihat laki-laki yang akan memesan.
"Paket hemat aja, dua," jawab Noval yang tak menyangka akan bertemu Bintang di sana.
Karyawan yang lain mengambilkan pesanan sementara Noval mengeluarkan dua lembar uang
sepuluh ribuan. Setelah Noval dan temannya memperoleh pesanan mereka dan mendapatkan
kembalian, mereka berjalan menuju satu-satunya meja yang masih kosong. Baru beberapa
langkah beranjak dari counter, Noval kembali lagi, menghampiri Bintang.
"Tiap malam Kamis band gue main di Cafe Taman," ujar Noval. "Mau dateng?"
"Gue kerja sampai malam, Val. Sorry." Bintang memberikan kode dengan matanya bahwa di
belakang Noval ada orang yang ingin memesan.
"Oh, OK." Noval berjalan menuju meja yang sudah ditempati Regi.
***** Dua perempuan itu memiliki tinggi badan yang hampir sama dan sama-sama memakai baju
putih abu-abu. Yang satu dikucir kuda, yang satunya lagi menggerai rambutnya yang sedikit ikal
di bagian ujung. Keduanya bergandengan tangan. Bukan naluri persahabatan perempuan,
melainkan nafsu manusia yang ingin dekat dengan manusia lain yang cocok feromonnya.
Keduanya berjalan melewati pertokoan yang memajang banyak barang berkilauan, sesekali
menertawakan model pakaian yang aneh dan hanya cocok digunakan di atas catwalk, bukan di
dunia nyata. Perempuan yang dikucir kuda menarik lengan perempuan yang digandengnya, yang sedang
asyik membaca iklan salon yang diskon 50%, ke sebuah photo box.
***** Perempuan yang dikucir kuda dan berponi itu tengah memperhatikan foto-foto di tangannya.
Melihatnya dari berbagai sudut. Perempuan yang duduk di sebelahnya ikut memperhatikan fotofoto yang dipegangnya. Lagu 'Technicolor' dari Paloma Faith mengalun sayup dari tape sebuah
Swift ungu yang terparkir di basement mall.
"Bintang, yang ini bagus, nih."
Bintang, perempuan yang rambutnya tergerai, mencondongkan badan untuk melihat foto yang
dipegang perempuan berponi pagar.
"Iya, bagus. Kalau kamu mau, yang itu buat kamu aja, Kai," ujarnya pada Kaila, perempuan
yang berponi pagar. Kaila hanya tersenyum dan melihat foto-foto yang lain. Bintang tak terlalu
berminat memperhatikan foto secara detil.
***** Demam panggung adalah musuh utama yang sudah lama dapat Noval taklukkan meski kadang
masih hinggap dalam kadar rendah dan tidak mengganggu. Di stage kecil yang terletak di bagian
utara Cafe Taman, Noval duduk santai di kursi sambil memainkan gitarnya untuk mengiringi
sang vokalis. Di tengah lagu yang sedang ia mainkan, Noval melihat dua orang melangkah masuk. Salah satu
dari mereka membuat demam panggung yang sudah ia taklukkan sekian lama kembali menguat.
Bintang, yang malam itu memakai kaus putih bergambar Marylin Monroe dan cardigan hitam,
berjalan menuju sebuah meja kosong diikuti seorang perempuan yang dikenali Noval sebagai
teman Bintang. Sekilas, Noval bertemu pandang dengan Bintang yang menatapnya mantap dengan penuh
senyum. Noval cepat-cepat mengalihkan pandangan ke gitar yang dipegangnya. Sesekali
diliriknya Bintang yang tengah sibuk mengobrol dengan temannya. Jika Noval beruntung, ia
melihat Bintang sedang memperhatikan permainnya, tapi hal tersebut justru membuatnya salah
tingkah. Beberapa lagu dimainkan Noval dalam durasi biasa. Namun, pertunjukan yang hanya sekitar 15
menit malam itu dirasakannya sebagai pertunjukan terpanjang dalam hidupnya.
***** Ulang tahun ketujuh belas biasanya merupakan hari sakral bagi beberapa orang, sampai
mereka rela menghamburkan uang untuk merayakan sweet seventeen. Bintang tak pernah
mengerti itu. Baginya, ulang tahun ketujuh belas sama saja dengan ulang tahun lainnya. Lagi
pula, ia tak terlalu suka pesta meriah macam itu. Ia lebih suka pesta kecil dikelilingi orangorang terdekatnya. Namun sayangnya, saat ini, ia sedang terjebak di sebuah pesta sweet
seventeen yang tak diragukan lagi menghabiskan dana besar.
Bintang berdiri linglung di tengah-tengah orang yang menyita perhatian banyak perempuan
malam itu. Sepanjang malam tangannya digenggam erat oleh laki-laki tersebut dan ia berjalan
ke sana kemari untuk diperkenalkan kepada teman-teman si laki-laki,
Handphone Bintang bergetar, menandakan panggilan masuk. Sebenarnya handphone-nya tak
pernah diam sejak ia sampai di pesta. Kaila mengirim SMS secara berkala setiap sepuluh menit
sekali. Untuk memastikan Bintang tidak macam-macam dengan Kevin, laki-laki yang
mengajaknya ke pesta sekaligus yang diketahui orang-orang sebagai pacarnya.
"Kevin, sebentar ya," ujar Bintang sambil memberi kode akan mengangkat telepon di sudut yang
sepi. Ia tak mungkin menjawab telepon di tengah teman-teman Kevin yang sedang asyik
berkelakar."Siapa?" Kevin mengangkat alis. Bintang menunjukkan layar handphone-nya yang
menampilkan nama Kaila. "Oh, OK," ujar Kevin yang kembali asyik dengan teman-temannya sambil memberikan senyum
ke beberapa orang yang lewat.
Tebar pesona, pikir Bintang yang cepat-cepat pergi ke sudut, dekat meja makanan. Sejenak ia
miris melihat banyaknya makanan yang tersisa di sana.
"Halo," bisik Bintang.
"Lama banget ngangkatnya. Sekarang di mana?" Suara ketus Kaila langsung menusuk
telinganya. "Masih di pesta." Bintang menjawab singkat.
"Lama banget. Ini udah jam sebelas. Pokoknya cepet pulang. Jangan ngapa-ngapain sama si
Kevin," ujar Kaila dalam satu tarikan napas. Belum sempat Bintang menjawab, hubungan
telepon sudah diputuskan.
***** Suara penyiar radio memecah kesunyian malam di dalam Katana milik Kevin. Kevin yang
sedang menyetir memperhatikan Bintang yang sedang menyetir memperhatikan Bintang yang
sedang membalas SMS Kaila.
"Dari tadi SMS-an mulu. Sama siapa, sih?" tanya Kevin.
"Kaila," jawab Bintang.
"Kaila lagi" Kayaknya kalian sahabatan banget, ya." Komentar Kevin sambil meminggirkan
Katana-nya. Toko-toko yang sudah tutup karena malam semakin larut berjajar di sepanjang
jalan. Bintang hanya tersenyum simpul.
"Bintang..." Kevin yang sudah menghentikan mobilnya, menggeser duduknya agar lebih dekat ke
cewek itu. Bintang, yang baru memasukkan handphone-nya ke tas dan tak menyadari Kevin
menghentikan mobil, kaget karena wajah cowok itu begitu dekat dengan wajahnya. Spontan, ia
menjauh. Kevin kembali mendekatinya. Wajahnya sudah sangat dekat dengan wajah Bintang.
Hidung Bintang mendeteksi aroma yang aneh dari Kevin. Ia memalingkan muka.
"Gue nggak mau," tolak Bintang. "Lo minum bir tadi?" tanyanya kepada Kevin yang tampak
kesal. "Kita udah mau setahun. Masa gitu aja nggak boleh, sih?" ujar Kevin. Bintang diam saja. Kevin


Hujan Dan Teduh Karya Wulan Dewatra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kembali mendekati Bintang. Bintang mendorongnya sampai membentur pintu. Kevin merapikan
penampilannya dan menarik napas pelan, mencoba menenangkan diri.
"Keluar," ujarnya pelan. Bintang memandang Kevin, tak yakin dengan apa yang didengarnya.
"Gue bilang keluar," ulang cowok itu.
Bintang mengambil tasnya.
"Kita putus," kata Bintang sambil membanting pintu Katana yang kemudian melaju
meninggalkannya. Setelah kemarahannya reda, ketakutan mulai menghinggapi Bintang yang
berdiri seorang diri dengan gaun selutut tanpa lengan di pinggir jalan, di depan pertokoan yang
sudah tutup. Bingung bagaimana ia harus pulang.
***** Air menetes dari rambut Bintang yang basah ketika ia keluar dari kamar bilas yang terletak di
ruang ganti perempuan. Jejak kaki tercetak di sepanjang jalan yang dilewatinya menuju wastafel.
Kaus putihnya yang berlengan pendek sedikit kusut di bagian bawah, ujung celana jeans-nya pun
sedikit basah meski tidak terlalu kentara. Selain dua hal itu, penampilannya tidaklah buruk.
Setelah merasa dirinya rapi, Bintang menyandang tasnya dan keluar dari kamar ganti. Beberapa
kali ia menyapa teman-teman klub renangnya ketika mereka berpapasan di sepanjang jalan
menuju pintu keluar. "Bintang." Ia mendengar seseorang memanggilnya ketika ia sudah berjarak 1m dari pintu keluar.
Bintang menoleh. Noval yang sedang membeli karcis memanggilnya.
"Eh, Val." Bintang menghampiri Noval yang juga berjalan mendatanginya, masih memegang
karcis masuk dan uang kembalian.
"Mau berenang?" tanya Bintang, retoris.
"Iya," jawab Noval. "Lo sendiri habis berenang, ya?"
"Iya. Gue ikut klub renang," sahut Bintang.
"Wah, jago dong renangnya." Noval menanggapi sambil memasukkan karcis dan uang
kembalian dengan asal ke saku celananya.
"Biasa aja. Ya udah, gue balik duluan, ya," ujar Bintang dengan canggung.
"OK. Hati-hati," kata Noval sambil tersenyum, menampilkan deretan gigi yang rapi.
Noval langsung beranjak menuju kolam renang. Bintang melangkahkan kakinya ke pintu keluar
dengan ringan. Senyum Noval manis sekali, pikirnya.
***** Handphone di saku rok Bintang bergetar dua kali yang menandakan bahwa sebuah SMS baru
masuk. Di tengah beberapa karyawan berseragam merah yang sedang sibuk menggoreng ayam,
Bintang membuka handphone-nya. Ia bebas menerima SMS dan telepon karena waktu sudah
menujukkan pukul delapan malam, yang menandakan shift kerjanya sudah habis.
From : Val Mlm, Bintang, besok ada acara ga"
Bintang tersenyum sendiri membaca SMS tersebut. Sejak mereka bertemu di kolam renang
sekitar dua bulan lalu, Noval jadi sering menghubunginya hanya untuk saling bertukar cerita.
Dan ini membuat Bintang merasa nyaman.
Bintang membalas SMS dari Noval, laki-laki pertama yang bisa membuatnya terus menarikan
jari-jarinya di atas keypad handphone.
***** Dua orang wanita berpakaian stylish berjalan melewati Noval yang sedang bersandar ke tiang
yang berjarak beberapa meter dari basement gedung FPBS. Seorang wanita dan laki-laki yang
berpakaian serba hitam dengan pin merah di dada tersenyum ramah memberikan selembar kertas
kepada mereka. Noval yang mengenakan pakaian kebangsaannya, kaus dan jaket, melirik arloji
yang menunjukkan pukul 16:10.
"Udah telat sepuluh menit," gumamnya.
Beberapa orang kembali melewati Noval menuju basement. Tak satu pun dari mereka orang
yang ia tunggu. Beberapa menit kemudian, di belakang segerombolan orang yang berjalan
sambil memegang brosur, Noval melihat seorang perempuan berlari kecil, membuat rambutnya
yang diekor kuda bergerak-gerak.
"Lo telat, Bintang," ujar Noval ketika perempuan tersebut menghampirinya dengan napas tak
teratur. "Sorry, baru selesai ngajar," jawab Bintang sambil membetulkan kausnya.
"Nyantai aja. Yuk," ajak Noval yang merasa geli melihat rambut Bintang yang sedikit berantakan
dengan beberapa helai rambut mencuat dari ikatannya.
Bersebelahan, mereka berjalan menuju basement. Masing-masing mendapatkan selembar kertas
sebelum masuk, tempat pameran foto yang diadakan oleh UKM Fotografi. Kertas tersebut berisi
pertanyaan:'Karya apa yang paling Anda sukai" Alasannya"' Bintang memasukkan kertas
tersebut ke saku celananya.
Saat masuk ke ruangan itu, baik Noval maupun Bintang merasa seperti berada di kebun
ketimbang basement. Basement yang biasanya gelap dan kotor kini diberi penerangan di spotspot yang tepat dengan banyak sekali tanaman dan karya foto yang disusun apik.
Awalnya, Bintang dan Noval menikmati foto bersama-sama, tapi setelah beberapa saat akhirnya
mereka terpisah. Noval memilih foto seorang anak laki-laki yang sedang meloncat ke sungai
sebagai karya yang paling ia sukai, karena pasti sulit memotret objek bergerak dengan pose yang
tepat. Selesai mengisi kertasnya, Noval mulai merasa bosan karena sudah hampir semua foto ia lihat.
Akhirnya ia memutuskan mencari Bintang. Ia menyerahkan kertasnya pada panitia berpakaian
serbahitam yang berjaga di dekatnya. Dengan jantung berdebar mengingat hal yang akan ia
utarakan, Noval mencari Bintang.
Setelah beberapa saat mencari, akhirnya ia menemukan Bintang yang tengah berdiri
memperhatikan sebuah foto. Sepertinya Bintang begitu menikmati foto di hadapannya sampai
tidak menyadari Noval sudah berada tepat di belakangnya. Noval melihat foto yang sedang
ditatap perempuan itu. Foto tersebut menggambarkan dua orang mengenakan rok merah kotak-kotak hitam pendek.
Yang satu berjinjit dan yang satunya memeluk pinggang orang yang berjinjit. Di bagian bawah
foto tersebut tertulis, "May I?". Bintang mengeluarkan kertasnya dan menuliskan kode foto
tersebut sebagai foto yang paling ia sukai, tanpa mencantumkan alasan. Noval mengerutkan dahi,
merasa tak ada yang istimewa dari foto tersebut.
"Bintang," panggil Noval. Bintang buru-buru melipat kertas di tangannya seraya menoleh ke
arah Noval. "Udah selesai?" tanya Noval.
"Udah," ujar Bintang. "Mau kasihin ini dulu," lanjutnya sambil menunjukkan kertasnya yang
terlipat. Noval mengangguk. Dengan langkah cepat, Bintang menghampiri salah satu panitia
yang hanya berjarak sekitar 5m di depannya.
"Udah," ujar Bintang ketika ia kembali.
Noval yang masih diam di depan foto yang dipilih Bintang mulai gelisah di tempatnya berdiri,
memikirkan cara menyampaikan apa yang ingin ia katakan.
"Kok, lo suka foto yang ini?" Dalam hati, Noval merutuki dirinya sendiri. Sudah berkali-kali ia
berlatih untuk menyampaikan maksudnya sebelum pergi ke pameran fotografi, tetapi yang
terlontar dari mulutnya justru pertanyaan tersebut.
Bintang tersipu menyadari bahwa Noval tahu apa foto terbaik pilihannya.
"Nggak apa-apa. Aneh aja." Bintang menjawab sambil menatap sepatu tepleknya. Setelah itu, ia
sengaja diam, menunggu apa yang akan dikatakan Noval. Agaknya Bintang sudah tahu maksud
Noval mengajaknya ke pameran fotografi.
Keajaiban Sebuah Cutter Laboratorium Biologi tampak ramai dengan anak-anak yang sedang melakukan praktik uji
kandungan pada makanan. Percobaan sederhana yang biasanya dilakukan oleh anak kelas satu
kini dilakukan oleh anak kelas tiga untuk persiapan ujian praktik di akhir tahun. Tujuannya agar
para siswa tidak lupa"siapa tahu materi tersebut keluar dalam ujian.
Kertas folio Bintang yang terkena cipratan berbagai makanan berbau amis sudah lengkap terisi,
siap untuk di kumpulkan. Tabung-tabung uji dan peralatan lainnya sudah menunggu untuk
dicuci. Anak-anak lain pun sudah selesai dengan pekerjaan masing-masing, beberapa masih
mengoreksi kesimpulan mereka. Daniel yang bekerja di sebelah Bintang bahkan sudah
mengumpulkan kertasnya dan baru kembali ke mejanya dengan tabung-tabung uji yang sudah
dicuci. Diletakkannya tabung-tabung itu dengan hati-hati di rak.
Tak ingin berlama-lama, Bintang mengangkat gelas uji yang dipakainya untuk menguji amilum
dari atas kompor spiritus kecil berwarna biru bening yang masih menyala, kemudian
diletakannya di atas meja. Tanpa pikir panjang, Bintang meniup api pada sumbu di lampu
teplok. Betapa terkejutnya Bintang karena api tersebut malah membesar, hampir mengenai
wajahnya. "Bego," ujar Daniel yang berdiri di sebelahnya dengan dingin. Ia menutup sumbu kompor
spiritus dengan tutupnya. Api langsung padam. Sesederhana itu.
"Masa cara matiin ini aja nggak tahu," rutuk Daniel sambil melengos pergi, menaruh rak
tempat menyimpan tabung-tabung uji ke lemari. Bintang sendiri merutuki dirinya yang dengan
bodohnya lupa cara mematikan api dari kompor spiritus.
"Argh, moron," ujarnya dalam hati.
***** Sore itu udara begitu kering. Setiap semilir angin menerbangkan debu ke kulit-kulit yang lengket
karena keringat. Angin yang membawa debu menyentuh wajah Bintang. Tubuhnya berkeringat dingin. Kepalanya
pening. Jika saja ia berada di kamarnya, bukan tempat parkir, ingin sekali ia menghempaskan
badannya dan tidur untuk waktu yang lama.
"Nih." Noval menyodorkan helm ke arahnya. Bintang diam saja. Matanya berat sekali.
Sepertinya ia berada di ruangan hampa udara, karena ia tak bisa mendengar apapun. Bahkan
suara motor yang berlalu di belakangnya.
"Bintang?" Noval memperhatikan Bintang yang hanya diam mematung dengan wajah yang
pucat. "Bintang?" tanyanya lagi. Barulah saat itu Bintang menangkap suara Noval.
"Ya?" ujarnya bingung. Noval menyodorkan helmnya.
"Oh." Bintang mengambil helm yang disodorkan Noval dan memakainya. Noval terlihat
khawatir. "Nggak apa-apa, kok."
mempermasalahkannya. Bintang menenangkan dan meminta Noval untuk tak "Baik-baik aja, kan?" tanya Noval kepada Bintang yang kini duduk di belakangnya untuk
meyakinkan. "Baik-baik aja." Bintang menyahut pelan.
***** Bel sudah berbunyi. Kelas sudah usai. Semua orang bersemangat memasukkan buku kimianya ke
tas, lalu menyelempangkannya ke bahu.
"Kai, mau pulang bareng, nggak?" tanyanya sambil bersandar ke meja. Beberapa orang
melewati meja mereka yang berada dekat pintu. Kaila yang masih memasukkan barangbarangnya terlihat tidak enak."Ehm, aku pulang bareng Reno. Sorry." Kaila menyodorkan cutter
kepada Bintang. Benda itu tadi dipinjamnya untuk menajamkan pensil karena tak ada yang
membawa rautan. "Oh, OK." Bintang mengambil cutter tersebut, kemudian pergi meninggalkan Kaila yang
sebentar lagi akan dijemput oleh 'cowoknya'. Tak ingin melihat hal-hal yang membuatnya
merusak harinya, ia langsung menuju parkiran. Di belokan menuju tempat parkir, Bintang
menyenggol Daniel yang baru keluar dari sana sambil membawa sebuah bungkusan entah berisi
apa. "Sorry," ujarnya tanpa menoleh, kemudian buru-buru pergi. Daniel yang tak
mempersalahkannya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Bintang berjalan di antara
deretar motor yang terparkir. Suasana sangat sepi, tak satu orang pun tampak di sana. Ia
berhenti di depan sebuah motor merah"motor Reno"dan menendangnya dengan kesal.
Bintang diam sejenak, berpikir-pikir. Cahaya matahari memantul dari logam cutter yang
dipegangnya. Menari-nari indah di matanya.
***** Bintang membuka pintu mobilnya, masuk kemudian menyalakan AC. Dari spion ia melihat
Daniel kembali ke parkiran dengan membawa bungkusan lain. Untuk percobaan kimia
sepertinya, karena sebuah kompor spiritus mencuat dari kresek hitam tersebut.
Handphone Bintang berbunyi. Sebuah pesan baru masuk.
From : Kai Ia mau. Bentar ya. Ketika ada keinginan, pasti ada jalan. Itu memang benar, pikir Bintang. Senyum tersungging di
bibirnya. Menit demi menit berlalu. Pada menit kesepuluh akhirnya seorang perempuan berponi
berlari kecil menuju mobilnya. Membuka pintunya, lalu duduk di sebelahnya. Wajahnya
menyiratkan ada sesuatu yang baru terjadi. Bintang pura-pura tak menangkap ekspresi tersebut.
"Katanya mau bareng Reno," ujar Bintang kalem sambil menjalankan mobilnya untuk keluar
dari parkiran. "Aneh banget tau nggak, sih. Ban motor Reno kempes. Kayak disayat gtu. Kayaknya ada yang
jail, deh," ujar Kaila cepat-cepat sambil mencondongkan badannya ke arah Bintang saking
semangatnya. "Oh gitu." Bintang merespons santai sambil menjalankan mobilnya menyusuri kompleks yang
ditanami pepohonan rindang di kiri dan kanan.
Hari ini memuaskan, pikirnya.
***** Hujan menepati janjinya dengan datang di malam hari. Membasahi tanah kering yang berasap
saat tersentuh air. Membawa angin yang memberi rasa dingin. Menimbulkan dentingan di atapatap rumah yang didatanginya, terutama di asbes kosan petak Bintang yang sempit.
Di dalam kosan tersebut, Bintang meringkuk di bawah selimut. Badannya menggigil, bukan
hanya karena dingin yang dibawa malam dan hujan, tapi karena panas tubuhnya yang melonjak
tinggi. Suhu yang tidak terlalu dingin jadi terasa sangat dingin. Bintang yang sudah merebahkan
diri di tempat tidur sejak sampai di kosannya merasa badannya yang semula tidak enak menjadi
benar-benar sakit. Kepalanya terasa sangat pening. Badannya lemas.
Handphone yang sejak tadi menampung SMS-SMS yang masuk dibiarkan begitu saja sampai
sebuah panggilan masuk. Dalam keadaan setengah sadar, Bintang mengangkat handphone. Ia tak
pernah ingat benar kepada siapa ia bicara atau apa yang ia bicarakan.
***** "Halo, Bintang?" Noval yang sejak tadi mencoba menghubungi Bintang karena cemas dengan
keadaannya merasa lega ketika teleponnya diangkat. Kelegaan itu tidak bertahan lama karena
jawaban dari Bintang yang tidak jelas dan terbata-bata menunjukkan bahwa perempuan itu tidak
baik-baik saja. ***** Noval memarkir motornya di depan kosan Bintang. Membiarkannya terkena hujan. Dengan
terburu-buru, ia menuju kamar Bintang yang ternyata terkunci.
"Bintang." Noval mengetuk pintu dengan tidak sabar.
Sebuah taksi biru muda yang setengah jam lalu dipanggilnya untuk berjaga-jaga berhenti di
depan kosan Bintang. Noval memberikan kode dengan tangannya, meminta taksi itu menunggu.
Noval kembali memanggil-manggil Bintang, tapi tetap tak ada jawaban. Dengan terpaksa dan
diiringi perasaan was was, Noval mendobrak pintu rapuh di depannya.
Dalam keadaan basah dan bahu sakit, Noval masuk ke kosan Bintang dan menghampiri Bintang
yang tengah menggigil di atas kasur busa yang terletak di lantai.
"Bintang..." Noval membalikkan badan Bintang yang menghadap ke dinding. Bintang hanya
menggigil dengan mata tertutup. Noval bisa merasakan betapa tingginya suhu badan Bintang.
Tanpa menunggu lebih lama, ia memanggul badan Bintang yang kurus dan membawanya ke
taksi. Seorang perempuan dari kamar sebelah"yang sepertinya terbangun saat Noval mendobrak
pintu"melongok untuk mencari tahu apa yang terjadi. Noval yang tak punya waktu untuk
menjelaskan melewatinya begitu saja. Ia berusaha berlari menuju taksi. Sang sopir taksi segera
membukakan pintu ketika melihat Noval menggendong seorang perempuan yang jelas-jelas
harus segera di bawa ke rumah sakit.
***** Di depan rumah, Bintang menengadah ke langit yang berwarna abu-abu tua nyaris hitam. Di
angkasa pun semuanya tampak seperti film animasi. Di atas sana, seorang laki-laki kartun duduk
santai sambil memancing di atas bulan sabit yang juga digambar animasi. Logo 'Dreamlight' itu
tampak begitu nyata di hadapannya. Bintang bertanya-tanya, bagaimana caranya naik ke sana.
Ditatapnya bulan sabit dengan laki-laki yang sedang memancing itu lekat-lekat. Merasa di
perhatikan, si laki-laki pemancing menatap ke bawah, memandang dirinya. Tatapannya dingin.
Tak lama kemudian, bulan sabit dan laki-laki pemancing yang masih menatapnya terlihat
semakin jauh. Bintang melihat sekitarnya, semua benda tampak semakin jauh dan
mengecil."Argh."
Sesuatu di bawah kaki Bintang menariknya ke tanah. Semuanya lenyap sampai cahaya yang
begitu menyilaukan menyakiti matanya. Refleks, Bintang menutup mata. Dibukanya lagi
kelopak matanya. Cahaya itu sudah tidak ada, digantikan wajah samar-samar seseorang yang
menjauh dan berbicara pada orang lain yang berdiri di sebelahnya dengan suara yang samarsamar pula sebelum kemudian pergi.
Bintang mengerjapkan mata. Objek-objek di sekitarnya mulai tampak lebih jelas. Seorang
perempuan yang berdiri di sebelah tempat tidurnya mencondongkan badan ke arah Bintang.
"Selamat bangun kembali, Bintang," ujar perempuan itu sambil tersenyum meledek. Bintang
memicingkan matanya. "Mei?"Perempuan itu tertawa. "Iya, ini gue."
Bintang memperhatikan keadaan di sekitarnya yang serba putih. Di ruangan itu hanya ada Mei
yang sedang duduk di sebelah ranjangnya. Bintang berusaha menggerakan tubuh. Rasa linu dan
sakit di persendian langsung menyerangnya, berkonspirasi dengan rasa sakit di kepalanya.
Membuat deritanya berlipat-lipat.
"Gue kenapa, Mei?" tanyanya bingung sambil mengamati tangannya yang dijejali jarum infus.
Bau antibiotik yang bercampur obat lainnya memenuhi rongga hidung Bintang. Pengalamannya
menunggui orang sakit selama beberapa bulan sekitar lima tahun lalu membuatnya akrab dengan
berbagai aroma yang ada di rumah sakit. Namun tidak membuatnya terbiasa, apalagi suka.
"Demam berdarah. Semalem Noval bawa lo ke rumah sakit," Mei diam sebentar. "Keren banget
ya, dia," Mei menggoda Bintang yang tak begitu memperhatikan ucapannya karena rasa pening
dan nyeri belum juga meninggalkan dirinya.
"Terus sekarang dia ke mana?" tanya Bintang lemas.


Hujan Dan Teduh Karya Wulan Dewatra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lagi benerin pintu kosan lo," jawab Mei sambil menahan tawa. Bintang menatapnya heran
sambil memijat-mijat keningnya.
"Tanyain sendiri deh ntar ke orangnya," lanjut Mei yang kini benar-benar tertawa melihat
kebingungan di wajah Bintang.
"Oh, ya, nyokap lo udah dikabarin, kayaknya sebentar lagi dateng," sambung Mei.
Seorang perawat masuk untuk mengecek keadaan pasien sementara. Bintang sibuk
membayangkan sepanik apa ibunya jika melihat keadaannya nanti.
***** Ada banyak kecintaan yang dimiliki oleh makhluk hidup yang dianugerahi hati dan akal, di
antaranya adalah kecintaan terhadap minat. Kecintaan terhadap minat dan kecintaan terhadap
pasangan ada kalanya tarik-menarik. Membuat satu pihak merasa tidak dimengerti dan pihak
yang lain merasa diabaikan. Hal itu pula yang dirasakan Bintang saat ini.
Di atas kursi cokelat di kamarnya yang bercat putih tulang monoton dengan furniture yang
didominasi warna cokelat kusam, Bintang duduk memperhatikan Kaila yang menelungkup di
atas ranjangnya yang berseprai krem dengan laptop di hadapannya. Ia sedang asyik dengan
hobinya mengedit foto. Bintang, yang tidak ditanggapi sejak tadi, menyalakan komputernya
dengan kesal. Kesal karena ia harus berebut cinta dengan kegemaran Kaila akan fotografi.
Komputer menyala, menampilkan foto mereka berdua yang dijadikan Bintang sebagai
wallpaper. Diliriknya Kaila yang masih asyik mengedit foto. Bintang memperkirakan perempuan
itu akan mengabaikannya dalam waktu yang lama. Untuk menunggu Kaila kembali dari
dunianya, Bintang membuka game legendaris yang ada hampir di setiap komputer, Spider
Solitaire. Tak ada yang bicara, hanya suara 'klik' mouse saat Bintang memindahkan kartu yang terdengar.
Lima putaran Spider Solitaire sudah dimainkan Bintang, cukup untuk membuatnya jenuh.
"Udah selesai belum sih, Kai?" tanya Bintang sambil menutup Spider Solitaire.
"Iya, udah." Kaila menjawab singkat. Matanya masih tertuju pada layar laptop di hadapannya.
Bintang menghampiri Kaila dan ikut menelungkup di sampingnya.
"Liat, ya," ujar Kaila antusias.
Bintang melihat foto-foto hasil editan Kaila. Sama seperti penilaian-penilaian sebelumnya,
menurut Bintang semuanya bagus. Namun, ia tidak mengatakannya karena masih kesal pada
Kaila. Membuat Kaila yang mengharapkan komentar menahan kecewa. Satu per satu, foto-foto
tersebut dilihat Bintang. Mulai dari foto di sekolah, di kamar Kaila, di kebun teh, sampai foto
terakhir. Bintang terdiam melihat foto terakhir yang entah mengapa membuatnya terpaku. Permainan
warna dan cahaya serta sentuhan yang diberikan Kaila menghidupkan rasa yang ada pada dua
wanita di foto tersebut. "Aku minta softcopy-nya, ya," ujar Bintang akhirnya. Membentuk senyuman di bibir merah
jambu Kaila. "OK. Besok, ya. Aku masukkin yang lainnya juga," ujar Kaila.
Pengintip, Mata Buah Zaitun
Ujung rambut hitam panjang itu dimainkan oleh Bintang. Dipilin dan ditelusuri sampai hampir
ke tempatnya melekat, kulit kepala Kaila. Mereka berdua berbaring di atas lantai semen dingin
di lantai tiga rumah Bintang yang tidak beratap itu. Tempat yang siang harinya dijadikan
tempat menjemur pakaian. Kaila yang rambutnya dimainkan diam saja. Pandangannya tertuju ke langit di atasnya yang
malu tidak berbintang. Ia seperti sedang melamun, atau mungkin sedang mengamati sesuatu
yang tidak dapat dipahami Bintang maupun teman-temannya yang lain.
"Sayang, kamu baca shout-out aku, nggak?" Kaila mengalihkan perhatiannya dari langit gelap
tanpa bintang kepada Bintang yang berbaring di sebelahnya.
"Shout-out?" Bintang menghentikan kegiatannya memainkan ujung rambut Kaila yang wangi
sampo sambil mengerutkan keningnya. "Friendster, Kai?"
"Apa lagi," jawab Kaila datar. Kini pandangannya kembali tertuju ke langit yang gelap, tanpa
ekspresi. "Ya ampun, Kai. Orang-orang tuh udah pada hijrah ke Facebook," ujar Bintang setengah
tertawa. "Aku aja dah lupa kapan terakhir kali buka Friendster. Kamu bikin akun Facebook
kenapa?" lanjut Bintang. Kaila memang tidak memiliki akun Facebook walaupun sepertinya
semua siswa di dunia sudah memilikinya.
"Nggak, ah. Gue orang yang setia," jawabnya dingin tanpa memandang Bintang.
"Setia itu juga harus tau tempatnya, Kai. Kalo ada produk yang nge-provide fasilitas yang lebih
bagus, kenapa nggak?" Bintang ikut-ikutan memandangi langit. Ternyata kalau dipandang
berlama-lama indah juga. "Jadi kamu juga bakal ninggalin aku kalo ada orang yang nge-provide hal-hal yang lebih bagus
dari aku?" Kaila menatap Bintang tajam. Bintang cepat-cepat menoleh kepada Kaila sampai
sepertinya ada beberapa pembuluh darah yang salah jalur.
"Kamu bukan hal yang termasuk kategori 'produk' yang aku maksud, Kai," ujarnya menjelaskan.
"Kamu gak tergantikan."
Senyum malu-malu tersungging di bibir Kaila. Ia kembali menatap langit gelap. Namun, saat itu
ia tidak sedang benar-benar menatap langit gelap. Ia sedang bahagia mendengar kata-kata
Bintang. "Jam berapa?" tanyanya untuk menghadirkan pembicaraan. Padahal, diam tanpa kata-kata
sebenarnya hal yang menyenangkan jika berada di samping orang yang disayangi.
"11:55," Bintang mengecek jam di handphone-nya. Sejenak, wajahnya diterangi cahaya dari
LCD sampai akhirnya semua kembali menjadi gelap seiring meredupnya sinar LCD.
"Sebentar lagi," ucap Kaila pelan. Mereka berdua sama-sama diam. Mulut mereka yang diam.
Karena otak mereka berlari dengan pikiran masing-masing.
Sebuah kembang api meluncur ke langit gelap dari tempat yang jauh entah dari mana. Pecah
menjadi titik-titik cahaya warna-warni membentuk lingkaran indah. Kembang api pertama yang
disusul kembang api lainnya pada pukul 00:01 itu.
Happy New Year, Kaila. Welcome, 2008, ujar Bintang dalam hati. Tak satu pun dari mereka
berbicara. Pandangan mereka sama-sama tertuju pada langit gelap yang kini berwarna-warni
oleh percikan kembang api. Tangan Kaila yang dingin berada di genggamannya. Makin lama
makin hangat, seiring berpindahnya panas dari tubuh Bintang ke tangannya.
***** Sore itu, lapangan basket terbuka yang biasa dipakai anak-anak basket untuk berlatihh atau
dipakai futsal jam istirahat, disulap menjadi tempat pertunjukan drama. Pertunjukan drama
yang dilaksanakan selama seminggu ini sudah menjadi agenda rutin setiap tahun untuk tugas
akhir semester ganjil dalam pelajaran seni bagi anak-anak kelas tiga.
Ajang refreshing sebelum UAN ini selalu dinantikan oleh anak-anak, baik yang menjadi pemain
maupun yang hanya menonton. Bagian ujung utara lapangan dipasangi stage untuk band,
bagian depannya yang tanpa stage dijadikan tempat untuk menampilkan drama. Sisanya
dijadikan tempat untuk para penonton.
Di barisan kedua dari depan, Bintang duduk lesehan di lapangan basket yang dilapisi semen.
Semen itu terasa hangat karena beberapa jam yang lalu terpapar sinar matahari. Bintang
datang untuk menonton drama dari kelas 3 IPA 5 yang baru saja dimulai.
"Dance lo bagus," ujar suara di sebelahnya. Bintang menengok. Daniel duduk di sebelahnya
sambil memotret pertunjukan drama dengan kamera digital kecil di tangannya.
Bintang dan teman-teman sekelasnya, termasuk Daniel, baru saja menampilkan drama kelas
mereka tepat sebelum drama yang mereka tonton sekarang. Pada drama tersebut, Bintang
mendapatkan peran sebagai dancer dan memainkan beberapa peran kecil lain. Ia tidak begitu
pandai bermain peran. "Thanks," ujar Bintang yang masih heran karena Daniel tiba-tiba ada di sana.
"Lo suka fotografi, ya?" tanya Bintang pada Daniel yang masih memotret drama yang sedang
berlangsung. Dilihat dari setting-nya, drama tersebut berisi cerita kerajaan.
Cerita basi, pikir Bintang.
"Gue nggak terlalu suka fotografi," ujar Daniel yang sudah berhenti memotret dan kini duduk
santai di sebelahnya. "Terus, ngapain foto-foto?" tanya Bintang heran, memandang cowok yang masih memakai baju
sobek-sobek dan celana pendek dari drama kelas mereka, saat itu Daniel berperan sebagai
gelandangan. "Gue disuruh jadi seksi dokumentasi sama Pak Joni," jawabnya tanpa nada antusias. Pak Joni
adalah guru kesenian mereka. Daniel yang pandai menggambar dan bermain alat musik
menjadi semacam tangan kanannya.
"Oh, gitu. Kasihan banget ya lo," ujar Bintang tanpa rasa kasihan. Ia kembali memfokuskan
perhatian pada drama. Seorang putri, yang diperankan oleh teman SMP-nya, Marina, sedang
mencak-mencak pada seorang pengawal yang tidak ia kenali. Gaun pink berhias manik-manik
yang dipakai Marina terlihat berkilauan terkena sinar matahari sore.
Niat banget, pikir Bintang yang tahu bahwa menyewa gaun seperti itu tidaklah murah.
"Lu nyaman pake riasan tebel kayak gitu?" tanya Daniel. Bintang refleks memegang mukanya
yang dipoles make-up untuk tampil. Ia lupa menghapusnya.
Bintang menurunkan tangannya. "Nyaman-nyaman aja, sampe gue lupa buat ngehapus,"
ujarnya sambil tertawa. "Lo sendiri nyaman pake baju rombeng kayak gitu?" Bintang mengedikkan kepalanya ke arah
pakaian cowok itu. Daniel mengikuti pandangan Bintang dan menunjuk bajunya.
"Nyaman kok, adem," ujarnya. Namun Bintang seakan tak mendengar apa yang diucapkan
Daniel. Saat itu ia melihat Kaila dan Reno, 'cowoknya', sedang duduk-duduk sambil asyik
mengobrol di koridor kelas.
Selama sepersekian detik, ia beradu pandang dengan Kaila yang kemudian memalingkan
wajahnya. Daniel yang merasa tak didengarkan mengikuti arah pandang Bintang. Setelah
melihat apa yang kira-kira dilihat Bintang, Daniel mengangkat kamera digital-nya dan kembali
memotret. ***** "Bintang, liat sini," Noval melihat Bintang melalui LCD handycam-nya. Bintang yang sedang
membaca buku tebal yang entah apa judulnya tak menghiraukannya. Hal itu membuat Noval
tambah bersemangat mengganggunya.
"Hei, Bintang," ia berjalan mendekati Bintang yang masih asyik dengan bukunya sambil
selonjoran di lantai dengan punggung bersandar ke lemari Noval yang penuh stiker band-nya
sendiri. Noval men-zoom wajah serius Bintang.
"Baca apaan, sih?" Noval mengalihkan handycam ke buku di pangkuan Bintang. Dengan
tangannya ia sengaja membalik-balik halaman buku tersebut. Hanya untuk membuat Bintang
marah. Dan berhasil. "Arg! Val, apaan sih"! Ganggu mulu," Bintang menyingkirkan lengan cowok itu dari bukunya.
Noval hanya tertawa dan kembali menyorot wajah kesal si cewek.
"Ayo marah," ujarnya sambil tertawa. Bintang yang sudah tak berminat untuk membaca,
mengejar Noval dan berusaha merebut handycam dari tangannya. Noval mengangkatnya tinggitinggi, jauh di atas jangkauan Bintang, kemudian menarik Bintang ke pelukannya. Noval
mengarahkan handycam ke arah mereka berdua.
"Ini Noval." ia mengarahkan lensa kepada dirinya. "Ini Bintang." Ia mengalihkan lensanya
kepada Bintang. "Pendek ya dia?" ujarnya sambil melirik Bintang yang hanya setinggi bahunya.
Bintang pura-pura marah. "Tapi gue suka," ujar Noval. Diletakannya handycam-nya di atas meja kecil yang penuh
tumpukan buku dan barang lainnya. Ia tersenyum pada Bintang dan menyelipkan rambut panjang
Bintang yang terurai ke belakang telinganya.
Sebuah ciuman lembut mendarat di bibir Bintang. Dipejamkannya mata. Tiba-tiba, tanpa
diketahui apa sebabnya, seperti film lama yang diputar berulang-ulang, mata berbentuk buah
zaitun dengan ujung lancip sempurna melintas di benak Bintang. Menatapnya dingin.
Spontan Bintang menarik dirinya dari Noval dan menjauhinya.
"Sorry." Noval yang merasa bersalah karena mengira Bintang marah dengan apa yang ia lakukan
terlihat kikuk. "Tidak. Bukan, bukan karena lo." Bintang kembali menyibukkan diri dengan buku yang tadi
dibacanya untuk mengalihkan perhatian.
***** "Nggak pulang bareng Reno?" suara Bintang menimpa lagu 'Close To You' yang mengalun dari
radio di dalam mobilnya yang terparkir di sekolah. Pertunjukan drama hari itu sudah usai dan
akan dilanjutkan besok pagi dengan diakhiri acara penutupan. Orang-orang, yang menonton
maupun yang bermain hari ini, sebagian besar sudah pulang.
"Nggak, dia ada acara sama temen-temennya sampai malam," jawab Kaila yang duduk di
sebelahnya. "Oh," ujar Bintang pelan sambil memundurkan mobilnya untuk keluar dari parkiran yang sudah
kosong. Dari cerita-cerita Kaila, Bintang merasa bahwa Reno sering sekali berkumpul dengan temantemannya sampai malam, tapi ia memilih diam saja.
Beberapa siswa perempuan tengah berjalan sambil berceloteh ketika mereka keluar dari
gerbang. Matahari mulai terbenam dan suara adzan sayup-sayup terdengar. Bintang
mengecilkan volume radionya.
"Kamu suka Daniel, ya?" tanya Kaila tiba-tiba saat mobil melewati pasar yang sudah sepi
dengan sampah menggunung di bagian sudut. Bintang mengangkat alisnya.
"Maksudnya apa sih, Kai" Aku kan cintanya sama kamu aja," ujar Bintang.
"Tapi kamu asyik banget tadi ngobrol sama dia," Kaila menatap Bintang tajam.
Bintang kesal dengan sikap Kaila. Ia tahu Kaila cemburu, tetapi Kaila seolah tidak menyadari
bahwa ia juga cemburu ketika cewek itu berduaan dengan Reno dan selalu dielu-elukan oleh
teman-temannya sebagai pasangan ideal; si cantik dan si ganteng.
Bintang menarik napas berat. "Kamu juga asyik ngobrol sama Reno. Kamu suka sama Reno"
Nggak, kan" Ya gue juga sama aja," jawab Bintang ketus, membuat Kaila diam.
Kaila dulu merasa tenang ketika mengetahui bahwa Bintang putus dengan Kevin, tapi sepertinya
itu tak akan bertahan lama. Bintang pasti akan mencari orang baru untuk menghindari
kecurigaan orang-orang akan hubungan mereka, dan Daniel sepertinya mulai tertarik pada
Bintang. Ia tak tahan membayangkan Bintang berpacaran dengan orang yang satu sekolah
dengannya. "Oh ya, mana foto yang waktu itu, Kai?" tanya Bintang pada Kaila yang sepertinya sedang
ngambek karena dari tadi diam saja.
"Ada di flashdisk." Kaila menjawab datar. Tangannya mencari-cari sesuatu di dalam tas.
Namun, tiba-tiba ia berhenti. Wajahnya terlihat tegang. Dengan cepat, wajahnya berubah pucat.
"Kenapa, Kai?" tanya Bintang yang menyadari perubahan pada ekspresi Kaila.
"Flashdisk-nya dipinjem Reno."
***** Jam istirahat membuat kelas sepi. Anak-anak yang sudah penat dengan atmosfer kelas yang
berbau pelajaran lebih senang nongkrong di kantin atau di koridor. Seperti Bintang dulu.
Namun, kini Bintang lebih senang beristirahat di kelas yang kosong dan sepi bersama Kaila.
Kaila sedang pergi ke kantin membeli minuman. Bintang duduk bengong menatap papan tulis,
memikirkan artikel yang akan ditulisnya. Seolah akan muncul tulisan di papan tulis tersebut dan
memberinya ilham. Namun, ide itu tak kunjung datang. Papan tulisnya juga masih tetap kosong.
Sedang buntu-buntunya memikirkan ide tulisan, Daniel yang baru selesai bermain basket di
lapangan dengan seragam abu-abunya masuk membawa bau keringat dan matahari. Bintang
tahu bahwa Daniel yang duduk di belakangnya memiliki kebiasaan selama jam istirahat.
Biasanya ia bermain futsal atau basket sekitar 15 menit, kemudian masuk ke kelas dan 'bermain'
dengan kertas A4 dan pensil.
Benar saja, setelah duduk di bangkunya, Daniel langsung mengeluarkan pensil dan kertas A4.
Tertarik dengan kebiasaan Daniel, Bintang membalikkan tubuhnya. Merasa diperhatikan,
Daniel menghentikan goresan pensilnya. Gambar yang dibuat Daniel tertutup lembaran kertas
yang lain sehingga Bintang tak dapat melihatnya. Tiba-tiba sebuah ide muncul di benaknya.
"Niel, bisa ngelukis orang nggak?" tanya Bintang. Daniel diam sejenak.
"Bisa. Kenapa?" jawabnya sambil mengambil kertas baru dan mulai menggambar lagi.
"Lukis Kaila, ya," pinta Bintang, bersemangat membayangkan lukisan Kaila terbingkai frame
hitam polos dan dipasang di dinding kamarnya.
"Orangnya nggak ada," ujar Daniel tanpa memandang Bintang.
"Sebentar lagi juga dateng. Sekarang daripada gambar Om-om begitu, mending lukis gue dulu
aja," ujar Bintang ketika melihat Daniel mengggambar orang berambut kribo berbaju ketat
dengan celana ala Rhoma Irama.
Daniel menatap Bintang dengan heran. PD banget sih, nih anak, pikirnya.
"Ayo." Bintang sedikit memaksa. Akhirnya, Daniel menyingkirkan gambarnya yang belum
selesai dan mengambil kertas A4 yang lain dari tasnya. Bintangg bertanya-tanya, berapa banyak
kertas A4 yang dibawa Daniel setiap hari. Sebuah buku bergambar jamur menarik perhatian
Bintang ketika Daniel mengeluarkan selembar kertas A4.
"Buku itu tentang apa?" tanyanya. Daniel mengikuti arah pandang Bintang.
"Budidaya jamur," jawabnya singkat.
"Buat apa" Tertarik bisnis jamur?" ujar Bintang sambil berpikir-pikir, mungkin jamur bisa
dijadikan bahan tulisannya.
"Keluarga gue punya budidaya jamur. Jadi gue juga perlu nambah pengetahuan soal jamur,"
jawab Daniel. Bintang mengangguk-angguk.
"Wah, menarik juga. Kapan-kapan boleh main ke tempat budayanya, ya?" pinta Bintang serius.
"Gimana ntar. Jadi nggak mau dilukis?" tanya Daniel.
"Jadi, jadi," jawab Bintang cepat-cepat sambil membetulkan posisinya. Dalam posisi tidak
bergerak, Bintang bertanya-tanya kenapa Kaila begitu lama membeli minuman, padahal jam di
tangan Daniel menunjukkan bahwa sepuluh menit lagi mereka masuk.
Ketika punggungnya mulai pegal, Bintang melihat sesuatu yang membuatnya kesal. Dari sudut
matanya, melalui kaca, ia melihat Reno memandangnya dengan ekspresi mengejek sambil
menggandeng Kaila yang memalingkan wajah. Saking sebalnya, Bintang lupa bahwa ia tidak
boleh bergerak. Ia balas memandang Reno dengan galak. Daniel yang merasa terganggu oleh
gerakan Bintang berhenti menggambar dan mencari tahu apa yang mengalihkan perhatian
Bintang. "Masih mau dilukis lagi, nggak?" tanyanya ketika Reno dan Kaila sudah tak terlihat.
Handphone Bintang berbunyi ketika ia hendak kembali pada posisi semula. Sebuah pesan baru
masuk. From: 08xxxxxxxxx Jauhin ce gw! Bintang tersentak membaca SMS tersebut. Meskipun tak tahu itu nomor siapa, ia bisa menebak
siapa pengirimnya. Siapa lagi kalo bukan Reno.
Kok, Reno bisa tahu" batinnya. Rasa takut mulai menjalari dirinya. Namun, sebuah perasaan
baru muncul. Kesal. Siapa dia nyuruh-nyuruh gue jauhin Kaila, pikir Bintang. Diletakannya handphone-nya
kemudian kembali ke posisinya.
"Ayo terusin," ujarnya pada Daniel.


Hujan Dan Teduh Karya Wulan Dewatra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lama-lama lo kayak mandor." Daniel melengos dan mulai melukis Bintang yang wajahnya
masih menyiratkan kekesalan.
Dan Para Setan pun Bernyanyi
Dua bukit kecil yang jelas artifisial tetapi masih bisa mengobati kerinduan akan alam mengapit
jalan sebuah perumahan. Di sore hari, bukit yang dilapisi rumput yang terpangkas pendek dan
menawarkan kehangatan tersebut sering dijadikan tempat untuk berpacaran. Jalan di ujung bukit
yang ditutup dijadikan tempat untuk latihan skateboarding oleh anak-anak sekitar.
Di sore Jingga itu, Bintang yang selalu mencibir orang-orang yang berpacaran di sana terpaksa
mengutuki diri sendiri. Kali ini ia dan Noval menjadi salah satu dari mereka. Bintang duduk
sambil memicingkan mata melihat anak-anak yang terjatuh beberapa kali saat belajar
skateboarding. Noval terlentang di atas rumput kering di sebelahnya. Cowok itu terlihat begitu
lelah karena harus kuliah setelah semalaman mengisi acara pembukaan sebuah kafe. Namun, ia
lebih memilih beristirahat di udara terbuka ketimbang tidur di kosannya yang pengap.
Bosan memperhatikan anak-anak, Bintang mengalihkan perhatiannya pada Noval yang
memejamkan matanya. "Capek banget ya, Val?" tanyanya lembut.
Noval membuka matanya, menarik napas panjang, kemudian duduk di sebelah cewek itu. Ia
memandang Bintang dengan sayu sambil tersenyum.
"Banget," ujarnya. Ia memegang tangan Bintang dan memainkan jemarinya yang kurus.
"Halus banget. Uangnya diabisin buat luluran, ya?" canda Noval. Bintang hanya tersenyum. Ia
tak ingin mengatakan apa-apa, karena berada di dekat Noval saat itu sudah cukup b
aginya. Sekilas, ia melihat sebuah bekas jahitan yang selama ini tak disadarinya di telapak tangan kiri
cowok itu, dekat ibu jari.
"Ini kenapa?" tanya Bintang. Ternyata bekas jahitan yang melintang itu cukup lebar dan
mengganggu. "Ini?" Noval menunjukkan bekas lukanya. Bintang hanya mengangguk. "Ini nggak sengaja
kekait besi rangka komputer waktu benerin punya temen," jelas Noval.
"Baik banget mau benerin komputer temen," ujar Bintang tanpa menatap Noval. Jari telunjuknya
menyusuri bekas jahitan tersebut.
"Bayarannya lumayan." Noval tertawa pelan. "Tangannya jelek, ya?" lanjutnya karena melihat
Bintang masih mengamati tangannya.
"Hmm... justru ini tangan cantik, Val," komentar Bintang. "Cantik karena dipakai untuk
berusaha." ***** Uap muncul saat air panas dari dispenser meluncur masuk ke dalam gelas berisi kopi dan gula
yang dipegang oleh Bintang. Wangi khas kopi bercampur air panas tercium ketika Bintang
mengaduk kopi di gelas itu.
"Mau kopi juga nggak, Val?" tanya Bintang sambil menghampiri Noval yang sedang memegang
gitar dengan telinga menempel pada benda itu untuk memastikan suara gitarnya tidak sumbang.
"Nggak ah," sahut Noval.
Bintang menyeruput kopinya yang masih panas sedikit demi sedikit sambil duduk di sebelah
cowok itu. Aroma kopi dan keberadaan Noval di sisinya mampu mengusir penat Bintang. Ia baru
saja menghabiskan delapan jam, pada hari libur kuliah, di belakang counter untuk melayani
pembeli yang kebanyakan memasang wajah menyebalkan. Tubuhnya terasa pegal.
"Bintang, kok lo bisa main gitar, sih?" Noval berhenti memainkan gitarnya. Ditaruhnya gitar
akustik tersebut di sebelah kasur busanya.
"Ya belajar, lah. Kenapa gitu Val?"
"Nggak apa-apa, jarang aja ada cewek yang mau belajar gitar. Biasanya kan sukanya nyanyi."
Noval meminum kopi dari gelas Bintang. "Kenapa lo mau belajar gitar?"
"Buat bikin orang senang," Bintang menjawab spontan dengan mata menerawang, seperti
mengingat sesuatu yang sudah hampir terlupakan. Noval mengernyitkan dahi.
"Cowok, ya?" tanya Noval dengan nada yang terdengar seperti tuduhan.
"Hah" Bukan." Bintang sadar ia telah mengatakan sesuatu yang salah. "Bukan buat cowok, kok,"
sambungnya cepat. Noval memalingkan mukanya dan mendengus tak percaya.
Bintang meraih pipi Noval dan menatap matanya yang merah karena kurang tidur. Setelah
mengisi acara di pembukaan sebuah kafe baru sampai dini hari. Setelah itu ia hanya sempat tidur
beberapa jam karena ada kuliah pagi.
"Cemburu, ya?" tanya Bintang pelan. Tangan halusnya menyapa rambut Noval. "Lo satu-satunya
cowok yang pernah gue cinta, Val." Senyum tersungging dari bibir merah jambunya yang
meluncurkan pengakuan. Aroma kopi segar menyapa indra penciuman Noval saat ia mengecup Bintang yang kini berada
dalam rangkulannya. Bintang yang tenggelam dalam pelukan Noval bisa merasakan embusan
napasnya yang begitu dekat.
Jutaan saraf yang tersentuh oleh setiap kecupan menghantarkan aliran hangat. Setiap sentuhan
jari memberi euforia yang mengaburkan kesadaran. Membuat mereka sejenak amnesia akan
wilayah tabu di setiap desiran yang menuntut penyelesaian.
"Argh! Sakit, Val!" pekik Bintang yang menemukan kembali kesadarannya yang datang
terlambat. Sang penyusup telah menemukan celah. Mahkota sang putri berhasil dicuri. Dan para setan pun
bernyanyi, "Kerja kami tuntas sudah. Dua manusia bodoh terperangkap dalam jerat kami yang
'indah'." ***** Dalam balutan kaus bolong dan jeans hitam, Bintang duduk dengan kedua kaki ditekuk ke dada
di lantai kosan Noval yang berlapis karpet meteran abu-abu. Rambut basahanya meneteskan
titik-titik air ke kausnya. Membuat kaus tersebut menempel ke punggungnya. Perasaannya
campur aduk. Bintang mengutuki diri sendiri karena dengan mudahnya melanggar aturan.
Suara pintu yang dibuka ketika Noval keluar dari kamar mandi tidak didengar oleh Bintang yang
masih duduk dengan kaki ditekuk. Noval yang hanya memakai celana pendek dan kaus usang
menghampiri Bintang dengan canggung dan duduk di sebelahnya. Mendadak, Bintang merasa
risih berdekatan dengan Noval.
"Bintang," panggil Noval pelan. Bintang memalingkan mukanya. Tiba-tiba wajahnya terasa
panas ketika mendengar suara Noval. Melihat gelagat kekasihnya, Noval mengurungkan niat
untuk bicara. Ia hanya menggenggam tangan perempuan itu. Merasa bersalah karena tak bisa
menjaganya dengan baik. Perlahan, tanpa bisa dicegah, tetesan air bening merangsek ke luar dari sudut mata Bintang.
Setiap tetes yang meluncur disusul oleh tetesan-tetesan lain yang dengan cepat terbentuk.
Bintang hendak menyeka air matanya dengan punggung tangan, tapi ditahan oleh Noval yang
kini duduk di hadapannya. Noval memperhatikan wajah basah Bintang yang mati-matian
berusaha disembunyikannya.
Di tengah kegelisahannya, Bintang merasa gusar diperlakukan seperti itu. Apa maksud Noval
memandanginya seperti itu" Ingin melihatnya jelek di tengah linangan air mata dan mata
sembap" Sekuat tenaga ia mencoba menghentikan air mata, tapi yang terjadi malah sebaliknya.
Air mata yang keluar bertambah banyak, diikuti isakan kecil. Membuatnya malu.
"Lo nyesel, Bintang?" Noval bertanya dengan ekspresi datar walau ia tidak bermaksud begitu.
Direngkuhnya bahu Bintang. Puncak kepala Bintang menyentuh dagunya.
"Gue minta maaf," ujarnya pelan. Kemudian ia mengelus punggung Bintang yang berada dalam
pelukannya. Ia tak akan tahu cara menghadapi perempuan yang sedang menangis seandainya ia
tak pernah secara tak sengaja melihat ibunya melakukan hal yang sama terhadap adik
perempuannya ketika putus cinta.
"Gue takut lo ninggalin gue, Val," ucap Bintang di sela-sela tangisnya.
"Jangan bilang gitu. Gue nggak suka," ujar Noval sambil mengeratkan pelukannya. Ia dapat
merasakan kausnya basah oleh air mata Bintang. "Lo milik gue dan gue sayang sama lo."
Dikecupnya ubun-ubun Bintang.
***** Suara gesekan antara kertas dan pulpen memenuhi kelas yang hening. Semua kepala tertunduk
ke arah buku sambil sesekali memandang whiteboard. Para siswa berseragam putih abu sedang
sibuk mencatat soal latihan matematika yang tertera di sana. Bintang yang duduk di bangku
belakang mendongakkan kepala karena pandangannya terhalang oleh kepala Anita yang duduk
di depannya. "Nomor lima apa, sih" Nggak keliatan," tanyanya pada Kaila. Kaila diam saja, tak menjawab.
"Kai," ulang Bintang, yang mengira Kaila tak mendengarnya. Tetapi Kaila tetap diam. Jika
diingat-ingat, sejak beberapa hari lalu Kaila memang jarang sekali bicara. Bahkan terkesan
mendiamkannya. "Kai, kenapa sih" Marah?" tanya Bintang, kesal karena didiamkan. Ia sudah tidak berminat
mengerjakan soal matematika, yang disukainya. Kaila tetap bergeming.
"Kai?" Bintang mengeraskan suara, tetapi suara yang lebih keras terdengar di sampingnya.
"Bintang, coba kerjakan nomor lima."
Bintang menoleh, mencari sumber suara. Bu Titi, sang guru matematika tersenyum 'manis' di
sebelahnya. Dengan langkah sedikit sombong setelah mengerjakan latihan matematika dan menggagalkan
usaha sang guru untuk mempermalukannya, Bintang kembali ke tempat duduknya di sisi Kaila.
Kaila sepertinya tidak merasakan kehadiran Bintang"bisa dikatakan ia tidak merasakan
kehadiran siapa pun. Ia terus mencatat, rambut panjangnya yang berponi pagar menutupi
sebagian wajahnya. Hanya beberapa menit setelah Bintang kembali ke kursinya, bel istirahat berbunyi. Bak sebuah
robot, saat itu pula Kaila mengangkat wajahnya yang tanpa ekspresi, membereskan alat tulisnya
dan bangkit dari kursi tanpa memperhatikan sekitarnya untuk kemudian keluar dari kelas
sebelum Bintang sempat mengajaknya bicara.
***** Bintang mendapati sebuah tas selempang tergeletak di kursi Kaila. Dengan penasaran,
diamatinya tas tersebut. Dengan segenap usahanya, Bintang berusaha mengingat apakah Kaila
memiliki tas macam itu. Rasa-rasanya Kaila tidak pernah memakai tas putih. Tas baru" Tapi tas
putih tersebut tidak asing bagi Bintang, dan tidak tampak baru. Masih dengan pandangan
penasaran, ditaruhnya ransel cokelatnya di kursinya lalu duduk.
Tak lama kemudian, beberapa siswa masuk ke kelas. Daniel yang tinggi dengan tas selempang
di bahu bidangnya melewati meja Bintang dengan acuh sebelum duduk di kursinya. Di belakang
Daniel berjalan Rina yang mungil dan berkerudung, kemudian duduk di sebelah Bintang. Pantas
saja Bintang merasa pernah melihat tas tersebut, Rina memakainya setiap hari.
"Hai, Bintang. Kaila minta tukeran tempat duduk. Nggak apa-apa, kan?" tanya Rina yang kini
sedang membuka-buka tasnya.
"Oh, nggak apa-apa." Bintang cepat-cepat mengatupkan mulutnya, berusaha tidak menunjukkan
keheranannya akan pertukaran tempat duduk yang tidak terduga itu. Beberapa saat kemudian,
dilihatnya sosok Kaila yang baru datang berjalan masuk, menyimpan tasnya di kursi barisan
depan, di sebelah Arini, teman sebangku Rina sebelumnya. Setelah itu, Kaila hanya duduk diam
memandangi whiteboard tanpa sedikit pun menoleh pada Bintang.
Yang Maha Pencemburu Sebuah pick-up hitam dengan dempul di sana-sini yang sebenarnya sudah layak untuk
dipensiunkan menyusuri jalan bergelombang yang berlubang di banyak tempat. Puluhan plastik
berisi jamur segar tersusun dan terikat rapi di bagian belakang mobil tersebut. Berguncang naik
turun sesuai irama jalan yang dilewati.
Daniel yang berada di belakang kemudi tidak terganggu dengan keadaan jalan. Ia dengan
mudah menghindari lubang dan memilih bagian jalan yang tidak rusak. Pengetahuan Daniel
akan keadaan jalan tersebut tak dapat diragukan karena sudah menjadi rutinitasnya untuk
melewati jalan tersebut. Setiap hari Sabtu, ia menggantikan ayahnya mengantarkan jamur dari
tempat budidaya milik keluarga ke pasar-pasar tradisional.
Tugas mengantar jamur di hari Sabtu sudah dijalani oleh Daniel sejak tahun lalu, saat ia duduk
di kelas 2 SMA. Biasanya Daniel ditemani Toni, salah satu pegawai ayahnya. Namun, hari ini
berbeda. Ia ditemani oleh seorang perempuan yang duduknya kurang nyaman akibat goncangan
yang ditimbulkan jalan. Perempuan itu adalah Bintang.
Pagi itu, Bintang yang sebenarnya lebih suka berbaring di bawah selimut tebalnya memilih
untuk bangun dan ikut dengan Daniel mengantar jamur ke pasar. Daniel berjanji akan mengajak
Bintang berkeliling ke tempat budidaya jamur setelahnya. Bintang, yang tertarik dengan proses
budidaya jamur setelah mendengar cerita Daniel, menyetujuinya. Akibatnya, kini ia terdampar
di dalam kaleng bermesin alias pick-up yang dikendarai Daniel, di pagi buta yang dingin
dengan mata terkantuk-kantuk.
"Masih jauh, nggak?" tanya Bintang sambil merapatkan jaket cokelatnya.
"Sebentar lagi," jawab Daniel santai. Bintang berharap bahwa 'sebentar' itu benar-benar
sebentar, mengingat 15 menit yang lalu Daniel mengatakan hal yang sama.
Dalam usaha menghilangkan kantuk, Bintang memperhatikan keadaan jalan yang masih sepi
dan gelap di daerah pemukiman padat penduduk. Warung-warung yang terlewati masih tutup,
rumah-rumah masih menyalakan lampu.
Sebagian besar orang masih berada di alam mimpi, pikir Bintang.
Dipandangnya Daniel yang sedang mengemudikan kaleng bermesin dengan santainya. Bintang
merasakan kekaguman. Ketika anak-anak muda seusia mereka tengah asyik bersenang-senang
menghamburkan uang orang tua, membuat geng, bahkan merusak sarana umum, manusia sipit
di sebelahnya justru menanggalkan gengsi dengan pergi ke pasar mengantarkan jamur.
Terlahir di tengah keluarga yang memiliki banyak usaha dan penghasilan yang lebih dari cukup
tidak membuat Daniel manja. Ke sekolah pun ia masih memakai motor bebek keluaran lama.
Saat melihat mobil yang dikemudikan Daniel"padahal Bintang yakin mereka mampu membeli
pick-up kapsul keluaran baru"Bintang menyimpulkan bahwa keluarga Daniel memang
mendidiknya untuk hidup sederhana dan bekerja keras.
"Kenapa, Bintang?" tanya Daniel. Menangkap basah Bintang yang sedang memperhatikannya.
"Nggak apa-apa," jawab Bintang, cepat-cepat mengalihkan perhatian ke jalan di depannya.
Mereka sudah memasuki daerah pasar. Banyaknya orang yang lalu-lalang dengan pasar tumpah
yang mempersempit bahu jalan membuat Daniel harus memelankan laju kaleng bermesinnya.
"Udah nyampe. Jangan lupa bantuin ngangkut-ngangkut," ujar Daniel sambil mematikan mesin
pack-up. Bintang hanya tertawa dan keluar dari kaleng bermesin penuh dempul tersebut.
Mengira Daniel hanya bercanda.
"Bintang, tunggu apa lagi?" tanya Daniel yang telah selesai melepas ikatan-ikatan yang
mengamankan plastik berisi jamur dan kini tengah mengangkat dua plastik besar jamur. Bintang
bengong. ***** Bintang, Mei, dan Dewa sedang berdiri di depan poster film besar di sebuah bioskop. Jika
Bintang dan Dewa memusatkan perhatian mereka ke poster Ninja Assassin, Mei lebih
memusatkan pandangannya pada poster Twilight. Selalu begitu setiap kali mereka hendak
menonton. Mei memiliki selera film yang berbeda dengan Bintang dan Dewa.
"Jadi, mau nonton apa nih?" tanya Bintang.
"Twilight," jawab Mei. Bintang melirik Dewa, meminta jawaban.
"Ninja Assassin," jawab Dewa.
"Yah, gue juga mau nonton Ninja As..." Ucapan Bintang terpotong getaran handphone yang
tersimpan di kantong celana jeans-nya. Bintang mengambil handphone dan membaca pesan
singkat yang masuk. Seperti yang sudah diduganya, itu pesan dari Noval, menanyakan ia sedang
apa. "Noval, ya?" tanya Mei. Bintang hanya mengangguk karena sedang sibuk membalas SMS.
"Perhatian banget, dari tadi SMS melulu," komentar Mei sambil tertawa meledek.
Posesif dan berlebihan kayaknya lebih tepat, pikir Bintang yang hanya tersenyum simpul.
Setelah selesai membalas SMS, ia memasukkan handphone ke tas serutnya.
"Gini aja," ujar Bintang, "waktu kita nonton terakhir kali kan gue udah nemenin, sekarang lo
nonton Twilight sendirian nggak apa-apa?" tanyanya pada Mei.
"Ya udah, nggak apa-apa," ujar Mei dengan nada biasa, membuat Bintang merasa lega karena ia
tak perlu menonton film yang sudah ia baca bukunya itu.
***** "Gimana filmnya?" tanya Mei yang duduk di hadapan Bintang. Mereka makan di foodcourt yang
lumayan penuh walau bukan waktunya makan siang. Mereka memang sepakat untuk bertemu di
foodcourt setelah selesai menonton film.
"Bagus," jawab Dewa singkat. Tidak seperti biasanya, ia sibuk dengan handphone-nya.
"Iya, keren lho Mei," tambah Bintang.
"Wah" Twilight juga keren..." Mei mulai menceritakan film yang baru saja ditontonnya. Bintang
yang sudah bosan mendengarkan cerita Mei pura-pura mendengarkan sambil ikut-ikutan Dewa
mengecek handphone-nya. Sepuluh pesan baru masuk, sembilan di antaranya berasal dari Noval. Semuanya berisi pesan
yang serupa, menanyakan sudah selesai nonton atau belum, dengan siapa, ada di maan, dan
menyuruh Bintang segera membalas. Intonasi yang ditangkap Bintang dari satu pesan ke pesan
lainnya menunjukkan betapa kesalnya sang pengirim. Bintang cepat-cepat membalas.
Mav, ru lez. Ud slese ko, ni lg ma dewa n mei di fc.
Tak lama kemudian, SMS balasan masuk. Suara Mei masih terdengar saat Bintang membuka
SMS dari Noval. From: Val Lima menit aja gak punya waktu bwt blz"
Bintang sedang asyik mengetik pesan balasan untuk Noval ketika ia merasa seseorang menariknarik bagian bawah bajunya.
"Apa, sih?" tanya Bintang ketika menyadari ulah Dewa yang duduk di sampingnya. Dewa
memberi kode dengan matanya ke arah Mei yang ekspresinya sangat mirip dengan singa yang
siapa menerkam mangsa. "Kalian dengerin gue nggak, sih?"
***** Bintang meloncati dua anak tangga sekaligus untuk mempercepat geraknya menuju parkiran
tempat Noval menunggunya. Ia hampir jatuh ketika meloncati dua anak tangga terakhir.
Untungnya tak ada orang yang melihat, membuatnya terhindar dari rasa malu. Namun rona
merah jambu tipis tetap muncul di pipinya yang pucat.
Bintang melangkah cepat. Kulitnya terasa kering dan kencang karena tak sempat memakai lotion
setelah lama berkubang dalam air kaporit. Bintang berbelok menuju parkiran. Di sana ia melihat
Noval yang mengenakan kaus oblong hitam sedang bertengger di atas motornya, di antara
deretan motor-motor lain.
"Udah lama?" Bintang menghampiri Noval.
"Belum. Baru nyampe," jawab Noval, membuat Bintang bersyukur karena ia tak perlu melewati
hari ini dengan pertengkaran.
Bintang memakai helm yang disodorkan Noval, kemudian duduk di belakangnya dengan tenang.
Mereka akan makan siang bersama. Bintang sudah memikirkan menu yang akan dipesannya,


Hujan Dan Teduh Karya Wulan Dewatra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

namun Noval belum juga menjalankan motornya.
"Kenapa?" tanya Bintang yang mengira motor Noval bermasalah. Noval menatapnya tajam dari
spion. Membuat Bintang merasa serbasalah. Akhir-akhir ini, Noval sering sekali menatapnya
dengan pandangan yang membuatnya merasa seperti anak kecil yang ketahuan melanggar
peraturan. "Apa?" tanyanya lagi. Mulai kesal karena ia merasa tidak melakukan kesalahan apa pun hari itu.
Noval mengedikkan kepalanya ke arah paha Bintang yang tak sepenuhnya tertutup rok selutut
berwarna hitam. "Mau pamer?" sindir Noval. "Lain kali jangan pakai rok atau celana pendek lagi. Gue nggak
suka," lanjutnya. Bintang ingin membantah, tapi ia menelan kata-katanya, mengingat hal itu hanya akan membuat
Noval bertambah kesal. "Iya," jawab Bintang sebagai ganti dari penolakannya.
***** "Tutup pintunya," ujar Noval bersemangat sambil menyalakan lilin berbentuk angka satu yang
tertancap di atas kue black forest mini. Lilin itu tak kunjung menyala karena tertiup angin yang
masuk melalui celah pintu.
Bintang berlari kecil menuju pintu dan menutupnya. Setelah itu ia kembali duduk di hadapan
Noval. Lilin berbentuk angka satu tersebut kini dimahkotai api yang bergoyang-goyang tak
stabil. Setitik api menerangi ruangan yang temaram dan berantakan tersebut. Bintang dan Noval
beradu pandang sejenak dan tertawa kecil, mengingat lebih dari setahun yang lalu mereka masih
menjadi musuh terbesar bagi satu sama lain.
"Tiup bareng-bareng," ujar Bintang sambil merapikan blus putih berkancing dan berlengan
panjang yang dikenakannya. Noval tertawa melihat Bintang yang begitu antusias.
"Tiga... Dua... Satu." Noval menghitung mundur. Pada hitungan terakhir, mereka meniup dengan
penuh semangat. Pijar api pada lilin pergi dibawa angin. Asap kecil putih dari sumbu yang
terbakar menggantikannya dan melayang-layang di atasnya. Meliuk-liuk melewati dua pasang
mata yang penuh tawa sebelum mencapai langit-langit dan hilang dibawa angin.
***** Lilin merah berbentuk angka satu masih tertancap di atas black forest mini berbentuk bulat yang
tinggal setengah. Asap lilin tak lagi mengepul. Sumbu lilin menghitam, dingin karena sudah
lama ditinggalkan api. Dua piring kertas bertebaran di lantai.
Beberapa jengkal dari sana, sebuah blus dan kaus tergeletak tak terlipat, tak jauh dari kasur busa
yang tengah menopang berat badan dua orang.
"Setahun. Kita udah setahun," kata-kata tersebut diucapkan Bintang yang tengah berbaring. Ia
hanya mengenakan tanktop putih. Rambutnya tergerai. Noval yang berbaring di sebelahnya
hanya menanggapinya dengan gumaman tak jelas sambil memperhatikannya.
Dengan jarinya, Noval menelusuri tulang selangka Bintang yang menonjol di bawah lehernya.
"Belang," komentar Noval saat melihat perbedaan warna kulit yang mencolok di antara dada dan
leher Bintang. "Karena berenang. Ntar juga ilang sendiri." Bintang mengangkat jari Noval dari tulang selangka
yang sedang ditelusurinya dan memainkan jari-jari panjang tersebut. Pemilik jemarin yang
tengah dimainkan Bintang terdiam sejenak, seperti memikirkan sesuatu yang sudah lama ingin
diutarakan. "Bintang," ucap Noval ragu. "gimana kalo lo berhenti ikut klub renang?"
Bintang tersentak kaget mendengar ucapan Noval. Dengan cepat, dipalingkannya wajahnya
untuk menatap wajah Noval. Dahinya menabrak dagu Noval karena mereka berbaring sangat
dekat. "Maksudnya?" Bintang terheran-heran.
"Gue nggak suka lo pakai baju minim di depan orang."
Bintang tertawa tak percaya.
"Itu kan kolam renang, Val. Lagian, di klub renang cewek sama cowok dipisah."
"Tapi pelatihnya kan cowok, Bintang." Noval berujar cepat. Bintang menatapnya marah.
"Lo cemburu sama pelatih gue, Val?" Bintang mendengus kesal. Banyak sekali yang Noval
cemburui, mulai dari Dewa, Mei, buku, murid-muridnya, dan banyak lagi.
"Bintang, cowok normal mana sih yang nggak nafsu liat cewek pakai baju minim" Gue nggak
mau lo dijadiin objek onani pelatih lo."
Bintang yang marah mendengar kalimat terakhir Noval bangkit dari kasur dan menyambar blus
putihnya. Dengan cepat, dipakainya blus tersebut.
"Mau ke mana?" Noval ikut-ikutan memakai kausnya.
Yang ditanya tak menjawab, sibuk mengancingkan blus putihnya. Kancing terakhir di baju itu
terlepas dari lubangnya ketika Noval menarik tangan Bintang dengan keras.
"Mau ke mana" Ini jam 1 malem," ulang Noval.
"Val, gue nggak mau berantem. Gue mau pulang," Bintang melepaskan pegangan Noval pada
pergelangan tangannya. Tanpa diduga, Noval mencengkeram wajah Bintang dengan kedua tangannya. Wajah Noval yang
dibentuk oleh tulang-tulang bergurat tegas berubah kaku dan dingin, membuatnya tampak lebih
tegas dan mengembuskan rasa takut pada orang yang menatapnya. Baru kali ini ia melihat Noval
seperti itu, wajahnya mengingatkan Bintang pada gang-gang gelap yang dilewatinya ketika
pulang terlalu malam. Yang menimbulkan rasa was-was. Bintang berjalan mundur sampai
punggungnya menabrak dinding, tetapi Noval tidak melepaskannya.
"Lo marah?" Cowok itu bertanya sinis. Bintang berusaha menggelengkan kepala, tapi
cengkeraman cowok itu begitu kuat. Dirasakannya ujung-ujung jari Noval menekan kulit wajah
dan kepalanya. "Lo milik gue, Bintang," ujar Noval dingin. Cengkeramannya semakin kuat. Dengan kedua
tangannya yang jauh lebih kecil dari milik Noval, Bintang berusaha melepaskan cengkeraman.
Jauh di dalam hatinya, Bintang tidak suka dilabeli sebagai milik seseorang dan ingin membantah,
tapi rasa takut melihat wajah Noval yang tampak kejam membuatnya menelan kembali katakatanya.
"Milik gue. Dan gue nggak mau bagi-bagi sama orang," ujar Noval, layaknya membicarakan
permen. "Ngerti lo..." "Sakiiit..." Bintang meringis, memotong ucapan Noval ketika kuku-kuku Noval menembus
kulitnya dan meninggalkan jejak bebercak merah di permukaan wajah dan kulit kepalanya.
Lembayung untuk Senja, Siapa"
Bintang menatap pantulan wajahnya di cermin. Disentuhnya bekas kuku yang cukup dalam di
beberapa tempat di pipinya satu per satu. Bintang mengoleskan salep antiradang tipis-tipis,
berharap bekas-bekas itu cepat hilang.
Beberapa saat kemudian terdengar ketukan di pintu kosannya. Di depan pintu, Dewa, Mei, dan
Nindya berdiri menunggu. "Ada apa rame-rame dateng ke kosan gue?" tanya Bintang bingung. Ketiga temannya terlihat
lebih bingung. "Kita kan mau kerja kelompok," ujar Nindya.
"Oh, iya. Lupa." Bintang mempersilakan mereka masuk kemudian menutup pintu. Mereka duduk
melingkari meja persegi pendek berukuran 1x1 meter yang terletak di sebelah kasur busa.
Bintang mengambil air dari dispenser yang menempel ke dinding untuk disuguhkan kepada
teman-temannya, sementara mereka bertiga berkomunikasi dengan mata. Bertatap-tatapan
dengan heran. Bintang menaruh tiga gelas air putih di meja tersebut. Teman-temannya serentak terdiam.
"Mmm... Bintang, muka kamu kenapa?" Mei memberanikan diri untuk bertanya. Refleks,
Bintang menyentuh luka berbentuk lengkungan kuku di wajahnya. Ia lupa bahwa wajahnya
belum bisa dianggap baik-baik saja.
"Oh, ini. Bukan apa-apa, kok." Bintang tak ingin membahas hal tersebut lebih lanjut. Mereka
terdiam dalam kecanggungan yang ditimbulkan pertanyaan itu.
"Oh, ya udah." Dewa mengakhiri pembicaraan. Tahu bahwa Bintang tak mungkin bercerita di
depan mereka semua. ***** Satu per satu, anak tangga yang terbuat dari kayu tua yang berderit setiap kali dipijak itu
dinaiki oleh sepasang kaki pucat yang warnanya seperti kulit ayam broiler. Pemilik sepasang
kaki itu melangkah dengan tenang karena sudah mendapat izin dari nyonya rumah untuk
menemui anaknya di kamarnya yang terletak di lantai dua di bagian ujung rumah tersebut.
Ia sampai di depan pintu yang dituju. Seharusnya, dengan norma kesopanan yang berlaku, sang
pemilik kaki"yang juga pemilik sepasang tangan pucat"mengetuk pintu. Namun, ia tidak
menghiraukan aturan tersebut dan langsung membuka pintu di hadapannya.
Sebuah ruangan berwarna pink yang mirip kamar Barbie terpampang di hadapannya ketika
pintu terbuka. Yang pertama Bintang lihat adalah pandangan kaget dari seorang perempuan
berponi pagar yang sedang duduk di atas tempat tidurnya sambil melamun.
"Bintang" Ngapain ke sini?" tanya Kaila gugup. Bintang yang selama beberapa minggu terakhir
dihindarinya kini berdiri di hadapannya. Diliriknya pintu yang sudah tertutup sehingga
memungkinkan mereka berbicara dengan leluasa.
"Mau ketemu," jawab Bintang singkat. Masih berdiri di hadapan Kaila yang menghindari adu
pandang dengannya. "Kenapa mengindar terus" Ada apa?" Bintang bertanya dingin. Ia marah karena Kaila
membuat hatinya terkatung-katung sekian lama. Ia sudah tidak tahan untuk diam dan hanya
menonton, ia perlu mencari jawaban.
Kaila beberapa kali menelan ludah sebelum memandang Bintang dengan tajam.
"Karena kita sama-sama cewek," ucap Kaila dingin. Ia diam beberapa saat. "Hubungan kita
nggak wajar," lanjutnya sambil setengah tertawa, seperti orang gila.
"Oh, kenapa nggak bilang dari kemarin-kemarin?" ujar Bintang yang entah bagaimana dapat
berbicara begitu tenang dan santai. Mungkin amarahnya sudah melampaui batas sehingga tidak
terasa lagi. "Gue sayang lo, Kai, dan gue nggak akan mungkin maksain apa yang gue mau sama lo."
Bintang mendekati Kaila yang terlihat serbasalah. Dengan sebelah tangan, ia memeluk Kaila
yang tampak canggung. "Kalo itu mau lo, gue terima, kok," Bintang berbisik sebelum melepaskan pelukannya. Ia
berbalik dan melangkah pergi.
"Bintang." Terdengar suara Kaila yang tercekat ketika Bintang membuka pintu kamarnya untuk
keluar. Tiba-tiba Kaila berlari dan memeluknya erat sekali, membuat Bintang hampir
terjengkang. "Gue sayang lo, Bintang. Maafin gue," ujar Kaila. Ia sedikit tersedak. Bintang merasakan
bahunya yang terbalut seragam SMA perlahan basah. Air mata Kaila menghujani bahunya.
"Gue... gue pergi bukan mau gue," ujar Kaila dengan susah payah. "Apa pun yang gue lakuin,
inget... gue... selalu sayang sama lo... jangan tanya-tanya lagi... gue nggak akan bisa bilang..."
Dalam kebingungan akibat tindakan impulsif Kaila, Bintang membelai punggung Kaila yang
berguncang. "Gue sayang lo... sayang...," lanjut Kaila.
"Sekarang, tolong tinggalin gue sendiri." Kaila melepaskan diri dari pelukan Bintang dan cepatcepat berbalik. Tak ingin memperlihatkan wajahnya yang basah dan merah.
***** Handphone candybar tipis berwarna hitam dengan goresan di beberapa bagian bergetar di atas
ranjang yang sedang ditiduri Bintang. Setelah melihat siapa yang mencoba menghubunginya"
Noval, seperti dugaannya"Bintang meletakkan kembali handphone-nya.
Sudah hampir seminggu berlalu sejak Noval memberi tanda di wajah Bintang dengan kukukukunya. Bintang terpaksa diam beberapa hari di kosan sampai wajahnya kembali normal.
Selama itu pula handphone-nya selalu bergetar. Noval terus berusaha menghubunginya. Bintang
tak pernah menjawabnya, dibiarkannya handphone-nya terus bergetar. Noval pasti akan
kebanjiran pahala, karena ia yang begitu tidak sabaran mau tidak mau harus bersabar
menghadapi Bintang akibat kelakuannya sendiri.
Luka bekas kuku di wajah Bintang sudah hilang, tapi perasaan kecewa saat ia merasakan bekas
kuku-kuku Noval tertancap di mukanya yang masih jelas terlihat di wajahnya masih jelas terasa.
Alasan yang kuat untuk enggan berkomunikasi dengan Noval.
Getaran dari handphone Bintang akhirnya berhenti. Dengan tenang ia kembali membolak-balik
majalah yang sedang dibacanya, sebagian besar berisi referensi pakaian.
Terdengar suara ketukan di pintu. Bintang tak dapat menerka siapa yang malam-malam
berkunjung ke kosannya. Dengan gontai dan sedikit kesal ia berjalan menuju pintu. Gerimis di
luar membuatnya malas untuk beranjak dari tempat tidurnya yang hangat di malam minggu itu.
Seorang laki-laki berperawakan tinggi yang memakai kaus bertuliskan 'Djogja' di dalam jaket
tebalnya berdiri di hadapan Bintang ketika ia membuka pintu.
"Val?" Bintang terkejut melihat Noval yang berdiri di balik pintu. Berarti selama handphone-nya
bergetar, Noval berada beberapa meter darinya, hanya dipisahkan oleh pintu dan dinding.
Bintang hendak menolak kedatangan Noval, tapi ia merasa kasihan ketika melihat rambut Noval
yang basah, menunjukkan bahwa cowok itu berhujan-hujan untuk datang ke kosannya.
"Masuk, Val," putus Bintang setelah berpikir beberapa saat.
Noval membuka jaketnya yang basah dan menaruhnya di lengan sofa yang didudukinya. Bintang
sendiri duduk di sofa yang sama, tetapi di ujung yang berlawanan. Noval mendekati Bintang
yang diam saja. Tiba-tiba, ia meraih wajah Bintang dan menyingkapkan rambut yang terurai di
wajah itu. Diperhatikannya wajah Bintang dengan saksama, seperti mencari-cari sesuatu.
"Sudah hilang, tak berbekas," ujar Noval lega sambil mengelus pipi Bintang yang sempat
berhiaskan bekas kuku yang cukup dalam. Bintang, yang awalnya diam saja karena kaget, cepatcepat menyingkirkan tangan Noval dari wajahnya.
"Bintang, gue minta maaf," ujar Noval kepada Bintang yang tidak menanggapinya.
"Gue harus gimana lagi?" tanya Noval tidak sabar. "Gue bener-bener minta maaf."
Bintang masih diam. Noval tak dapat menebak apa yang sedang dipikirkan Bintang saat itu,
karena wajahnya tak menampakkan ekspresi apa pun.
"Mau minum apa, Val?" Bintang beranjak dari duduknya.
"Oh... apa aja, lah," sahut Noval bingung, tak menyangka dan tak mengerti maksud Bintang
menawarinya minuman. Dipandanginya punggung Bintang yang sedang mengambil sesuatu di
lemari kecil. "Nih." Bintang menyerahkan segelas susu putih pada Noval. "Aku tahu kamu nggak suka susu,
tapi yang ada di lemari cuma ini," lanjutnya karena Noval terlihat ragu meminumnya.
"Bintang, lo maafin gue, nggak?" tanya Noval, memastikan. Bintang tak menjawab. Ia
menghilang di balik pintu lemari dan sesaat kemudian kembali dengan selembar handuk putih.
"Iya, asal kukunya dipotong pendek." Bintang menyerahkan handuk tersebut pada Noval.
"Keringin dulu rambutnya, ntar masuk angin."
"Jangan lupa gantiin salep antiradang," lanjut Bintang pada Noval yang mulai mengeringkan
rambutnya. "Hah" Salep antiradang" Emang berapaan, sih?" tanya Noval. Rambutnya tampak jabrik dan
acak-acakan karena belum benar-benar kering.
"Aku bercanda kali, Val." Bintang menjawab dingin sambil menghabiskan susu yang hanya
diminum sepertiganya oleh Noval.
Noval tertawa hambar sambil memandang kotak kaca yang berisi hamster di sebelah lemari kecil
di hadapannya. Rasanya ia ingin sekali mencekik sepasang hamster peliharaan Bintang yang
sedang asyik berlari-lari bahagia di atas kincir di dalam kotak tersebut.
***** Noval bersandar dekat pintu toilet laki-laki yang menghadap pintu toilet perempuan di sebuah
mall sambil mengecek handphone-nya. Seorang perempuan yang mengenakan tanktop dengan
rambut dikucir kuda keluar dari toilet dan melewatinya. Noval memperhatikan sebuah gambar
kecil di tengkuk perempuan itu. Tato kupu-kupu.
Tak lama kemudian, Bintang keluar dari toilet perempuan. Ia mengenakan celana jeans panjang
dan kaus oblong berlengan panjang. Rambutnya tergerai.
"Lama amat," ujar Noval ketus.
"Masa?" tanya Bintang yang merasa dirinya hanya sekejap berada di toilet. "Maaf ya, thanks
udah nunggu." "Bintang," panggil Noval.
"Ya?" Bintang menjawab sambil memeriksa jadwal film yang akan mereka tonton di tiket yang
dipegangnya. "Gue pengin lo ditato. Disini." Noval memegang bahu kanan Bintang.
Senyum tersungging di wajah Noval. Ia tahu ia menang dan Bintang akan melakukan apa yang ia
mau. ***** Dari cermin, tampak sebuah jari kurus menyusuri gambar kupu-kupu mungil yang terukir di
bahu kiri. Gambar kupu-kupu mungil itu terlihat menari-nari. Jari-jari kurus tersebut berhenti
menyusuri gambar kupu-kupu dan kini tergantung lunglai di samping tubuh pemiliknya.
"Bisa-bisanya gue nurutin maunya tuh orang," rutuk Bintang. Ditariknya kaus longgar yang tadi
diturunkannya untuk melihat tato kupu-kupu di bahunya itu. Kini si kupu-kupu aman
tersembunyi di balik kaus.
"Kalo nggak cinta, mana mau gue," ujarnya berat.
***** Pukul 9 malam, sebuah toko yang terletak di kompleks ruko sebuah perumahan masih buka dan
melayani pembeli. Bintang yang berada di belakang etalase sedang membuat bon untuk seorang
perempuan setengah baya yang membeli kebutuhan sehari-hari ketika ibunya masuk membawa
dua kantung plastik berwarna hitam. Sang ibu menghampiri dua karyawan laki-laki yang sedang
membereskan barang. Ia memberikan sebuah kantung kepada salah satu dari mereka.
"Makasih ya, Bu," ujar Bintang ramah seraya memberikan kembalian kepada perempuan
setengah baya tersebut. Ibunya menghampirinya ketika perempuan tadi pergi dengan barang
belanjaannya. Ia mengeluarkan dua kotak nasi goreng dari dalam kantung plastik.
"Makan dulu, yuk," ajak ibunya sambil menyodorkan satu kotak nasi goreng kepada Bintang.
Bintang mengambil kotak tersebut dan duduk di kursi plastik di sebelah ibunya. Aroma nasi
goreng kambing menggelitik hidungnya, membuat perutnya yang lapar bertambah lapar.
"Bintang nggak capek bantuin ibu jaga toko sampai malem gini?"
"Nggak. Lagian besok libur, kok," jawab Bintang yang sedang berkonsentrasi melahap nasi
goreng kambing yang mengepulkan asap. Selama beberapa saat, yang terdengar hanya suara
kendaraan yang lewat dan bunyi gigitan kerupuk.
"Oh ya," ujar ibu Bintang. "Tadi ibunya Kaila telepon..."
Beliau berhenti sebentar untuk mengunyah makanannya. Bintang ikut berhenti makan, gelisah
menunggu apa yang akan dikatakan ibunya.
"...nanyain Kaila, bareng kamu atau nggak. Katanya akhir-akhir ini Kaila sering banget pulang
malem. Kamu tahu dia kenapa?" lanjut ibu.
"Nggak tahu, Bu," Bintang menjawab pendek dan kembali menyantap nasi goreng kambing yang
kini terlihat tidak begitu menggiurkan lagi.
Kamu kenapa sih, Kai" Bintang membatin.
Kupu - Kupu di Batu Pualam
Hari Jumat hanyalah hari biasa bagi sebagian besar orang. Namun, bagi Bintang, hari Jumat
adalah istimewa karena hari itu adalah hari pengganti weekend baginya. Satu-satunya hari libur


Hujan Dan Teduh Karya Wulan Dewatra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam seminggu. Tak ada jadwal kuliah, tak ada jadwal mengajar, dan kebetulan bertepatan
dengan hari liburnya dari pekerjaannya di salah satu franchise ayam goreng tepung yang
bertebaran di seantero Jakarta. Bagaimana dengan hari Sabtu dan Minggu" Pada kedua hari
tersebut ia harus bekerja dan mengajar anak SD yang hendak menghadapi Ujian Nasional. Jumat
pagi adalah waktu yang dijadwalkan Bintang untuk mencuci baju kotor yang sudah ditumpuknya
selama seminggu, memanjakan diri dan bermalas-malasan sepanjang hari dengan menonton TV,
memasak makanan kesukaan, luluran, bahkan tidur seperti bangkai. Seperti bangkai, karena ia
tak bergerak sama sekali, hanya napasnya yang naik turun pertanda ia masih hidup. Pagi itu,
karena belum menyelesaikan cuciannya yang menggunung, Bintang harus menunda acara malasmalasannya dan memaksakan diri untuk mencuci baju yang sudah direndamnya sejak dua puluh
menit yang lalu. Sedang asyik-asyiknya menuci di bagian belakang kosan petaknya, Gina, teman sekosan
Bintang, memberitahunya bahwa ibu Bintang datang dan sedang menunggu di depan pintu
kamarnya. Bintang segera mencuci tangannya yang penuh busa deterjen lalu menemui ibunya.
Ibunya tengah duduk di atas tembok rendah yang memisahkan kamar petak yang satu dengan
yang lain ketika ia datang.
"Kenapa nggak langsung masuk aja, Bu?" tanya Bintang setelah mencium tangan ibunya.
"Kamarnya dikunci, Ibu lupa bawa kunci serepnya," jawab sang ibu.
Bintang mengeluarkan kunci dari sakunya. Ia sengaja mengunci kamar sekalipun ia berada di
dalam karena kosannya yang berupa kamar petak rawan kecurian.
Bintang mempersilakan ibunya masuk ketika pintu terbuka. Ia mengikutinya. Dibiarkannya pintu
terbuka agar cahaya matahari dan udara pagi masuk ke dalam dan membunuh jamur-jamur yang
dibawa oleh udara lembap.
Seperti biasa, wajah ibunya langsung berubah iba ketika masuk ke kamar kos sempit dengan
kamar mandi dan dapur terpisah yang dipakai ramai-ramai. Padahal Bintang sendiri sudah
terbiasa tinggal di sana.
"Ada apa ibu dateng pagi-pagi banget?" tanya Bintang sambil memberikan segelas air pada
ibunya yang duduk bersandar ke dinding.
"Nggak apa-apa. Pengin aja," ujar ibunya. Bintang duduk di sebelahnya.
"Gimana toko, Bu?" tanyanya.
"Udah kayak biasa lagi. Cuma memang belum naik modal," jawab ibunya.
"Bintang, kamu udah bisa pindah ke kosan yang lama," lanjut beliau. Bintang memandang wajah
ibunya yang masih terlihat lelah tapi lebih segar dari terakhir kali mereka bertemu. Bintang
menatap ibunya dengan heran.
"Lho" Katanya belum balik modal. Kan kosan yang dulu mahal, Bu," ajarnya.
"Ya kalau buat bayarin kosan, kuliah dan jajan kamu sih masih cukup," sahut ibunya datar seraya
menyeruput air putih yang diberikan Bintang.
"Nggak usah, ah. Disini juga enak kok. Sayang uangnya. Mending ditabung aja." Bintang ngotot.
"Kosannya sudah Ibu bayar. Besok kamu bisa pindah," kilah sang ibu.
Bintang memandang ibunya dengan bingung. Sadar bahwa sifat keras kepala ibunya menurun
kepadanya. Namun, ia juga mengerti bahwa ibunya tak akan memikirkan anak satu-satunya yang
tidur di kosan petak yang kurang aman, dengan triplek sebagai pemisah kamar, serta selalu
disapa banjir jika hujan turun. Lagi pula kosan baru itu sudah dibayar. Jika saja belum, maka
Bintang akan terus mencoba bernegosiasi dengan ibunya.
"Ya sudah. Besok pindah. Hari ini beres-beres dulu." Dalam hati, Bintang mengucapkan selamat
tinggal pada hari memanjakan diri.
***** Kotak kardus besar diturunkan Noval di sebuah kamar yang terbilang luas dengan pantry dan
kamar mandi sendiri. Diamatinya kosan tersebut dan pikirannya mulai bekerja. Satu kata dalam
benaknya: mahal. "Bintang, kalau ibu kamu bisa bayarin kosan ini, kenapa kamu masih kerja?" Noval bertanya
heran. Selama ini ia pikir Bintang bekerja untuk menyambung kuliah karena ibunya yang
ditinggal mati ayahnya tidak mencukupi kebutuhannya.
Bintang yang sedang membuka kardus yang lain terdiam sejenak.
"Buat nambah biaya S2 nanti. Ya, seenggaknya short-course, lah," jawab Bintang sambil
mengeluarkan isi kardus yang sebagian besar berisi buku, peralatan makan, dan jam dinding.
Pakaian dan barang besar yang berat sudah dipindahkan sehari sebelumnya.
Noval memandang Bintang yang sibuk mengeluarkan isi kardus. Seorang pemimpi yang bangun
dan berupaya, pikirnya kagum.
"Kok diem aja?" tanya Bintang yang menyadari tengah diperhatikan.
"Nggak apa-apa," sahut Noval. Ia cepat-cepat membongkar isi kardus kedua. Suara SMS masuk
terdengar dari handphone Bintang. Bintang membuka dan membalasnya di bawah tatapan curiga
Noval. "Dari siapa?" tanya Noval.
"Dari Rian," jawabnya ringan. Rasa kagum yang tadi singgah di benak Noval segera terdepak
oleh rasa cemburu. "Sering banget di-SMS cowok?" tanyanya sinis. Bintang menatapnya dengan lelah.
"Ya ampun, cuma jarkom," jawab Bintang. Ia sudah malas ribut karena masalah SMS. Noval
mendengus sebal. "Ya udah, tukeran nomor aja kalo gitu," Bintang ingin segera mengakhiri masalah SMS yang
sudah berhari-hari hilang dan kini timbul tanpa diduga.
"Males." Noval menjawab ketus dan kembali membantu Bintang membongkar barang. Bintang
diam dengan kaku, berusaha sekuat tenaga untuk tidak melemparkan buku statistik tebal yang
sedang dipegangnya ke wajah Noval. Setelah menarik napas dan menenangkan diri, Bintang
mengeluarkan buku-buku yang lain. Ditariknya sebuah album foto. Sudah lama ia tak membuka
album tersebut. Seolah ada kekuatan magis yang menariknya untuk membuka album foto itu di
Memburu Iblis 9 Playboy Dari Nanking Karya Batara Dewi Karang Samudera 1
^