Pencarian

Mengurung Bidadari 1

Mengurung Bidadari Karya A Rita Bagian 1


MENGURUNG BIDADARI BAB 1 Scrapped Prince Erris sudah berdiri di depan rumah, dengan Honda Jazz putih yang parkir di depan pagar.
Menunggu dengan tidak sabar sambil menunjuk jam tangannya.
Sedangkan, Rory mengintip dari balik jendela ruang depan, berisyarat akan segera keluar dan
langsung mengakhiri pembicaraan di telpon dengan seorang "klien". Lalu bergegas masuk ke
kamar, menuju lemari mengambil pakaian, t-shirt dan celana jeans robek, serta jaket kulit
hitam. Rory menurunkan celana boxer-nya lalu melemparnya ke gundukan di sudut kamar yang
sudah berupa tumpukan baju kotor dan belum sempat dibawa ke laundry.
Setelah cukup lengkap, Rory berlari keluar, memakai sepatu hitam bergaris putih terbarunya.
Tapi, ups! Rory kembali ke kamar karena meninggalkan handphone, benda terpenting setelah
nyawa, sebelum uang. "Lama amat. Lo dandan ya?", cetus Erris, yang sudah duduk di belakang setir sambil mencakmencak.
"Ah, lo kali!", Rory mendecak kesal, buru-buru memakai sabuk pengaman, dan tanpa ragu Erris
langsung menginjak gas, melaju dengan kecepatan maksimum.
"Damar mana?", tanya Rory begitu melirik ke belakang, rupanya hanya ada mereka berdua di
dalam. Dan biasanya mobil ini selalu berisi tiga orang cowok kesepian yang sering melayap
tanpa tujuan. "Dia nggak mau ikut...", jawab Erris, lalu melirik jam tangannya lagi, "Kayaknya kita telat deh?"
"Suruh dia sabar sebentar kenapa sih?", celetuk Rory acuh tak acuh, dalam mobil yang melaju
lebih kencang di jalan tol menuju Bandara Soekarno-Hatta.
Rory bercermin pada kaca yang ada di depannya untuk merapikan rambut pirang buatan-nya
yang sudah gondrong dan ia merasa cukup ganteng dengan membiarkan sedikit ujung rambut
menutupi dahinya. Ia mengernyit, kenapa lama-lama model rambut ini terlihat menggelikan
sekarang" Ia lebih terlihat seperti
personel boyband Korea daripada preman -image-nya
selama ini, di kampus bahkan di keluarganya-.
--- "Brengsek! Telat satu jam tau!", sembur seorang gadis cewek yang memperhatikan mereka
dari kejauhan begitu Erris tiba di hadapannya.
Erris menghela nafas, "Setelah tiga tahun nggak ketemu malah bilang gue brengsek?",
celetuknya, mengernyit tapi ia tetap menghampiri cewek berpenampilan urakan itu untuk
memeluknya. Cewek itu malah nyengir, dengan wajah gembira ia membalas pelukan Erris sebentar, "Lo
tambah keren aja, Ris...", katanya.
Erris tidak berkomentar, seolah mati rasa dengan pujian macam apapun dari cewek macam
apapun. Apalagi Laras, sahabatnya sendiri.
"Damar sama Rory mana?", tanya Laras. Dia baru kembali dari Australia dan sama sekali belum
berubah dari segi berpakaian ataupun berbicara. Hanya rambutnya yang sudah terlalu panjang
yang membuatnya berbeda dari tiga tahun yang lalu.
"Damar sibuk...", jawab Erris ragu-ragu lalu menunjuk ke arah toilet di mana Rory menghilang
karena sesuatu yang tidak bisa ditunda. Mungkin karena bangun tidur dia tidak sempat ke toilet
atau melakukan apa-apa selain cuci muka dan gosok gigi.
Laras kembali menatap Erris dengan perubahan wajah yang begitu drastis, dari gembira
menjadi sedih. Seolah Erris baru saja mengatakan hal yang mengecewakan.
Erris memandangi gaya terbaik Laras setelah lama tidak bertemu. Celana jeans pendek yang
memperlihatkan kaki panjangnya yang mengenakan sepatu kets merah. Atasan kaos longgar
berwarna abu-abu serta aksesoris kalung etnik. Rambut merah burgundy-nya digulung ke atas
dan helaian-helaiannya yang terlepas menjuntai ke bawah. Serta sunglasess berwarna
kemerahan di atas kepala. Laras saat ini lebih terlihat seperti backpacker asing yang ingin jalanjalan daripada WNI yang pulang kampung.
Erris tertawa bersama Laras di tengah keramaian bandara yang menjadi hal yang sangat biasa
setiap hari. Di mana pertemuan menjadi suka cita tapi tidak sedikit pula yang membawa duka
cita dari tempat yang jauh dalam perjalanan dan itu ada di suatu tempat, di sisi yang lain dari
sini. Tidak jauh dari tempat Erris dan Laras mengobrol tentang perjalanan dan rencana demi
rencana ke depan. --- Rory mulai terlihat di antara orang-orang itu, mencari jalan untuk menghampiri mereka.
"Asshole!", suara itu menembus keramaian. Tak sedikit yang berlalu tapi banyak juga yang
melihat ke arah Rory yang terdiam, bingung, dan heran. Tapi hanya sebagian orang yang tahu
bahwa kata itu berarti "brengsek". Kata itu juga diiringi dengan cacian lain dalam bahasa asing
yang diartikan seperti "Aku bersumpah akan kuhancurkan hidupmu setelah mencampakan aku,
brengsek!" Siapa itu, yang memaki dengan keras, melengking dan terdengar begitu terluka"
Rory seketika menoleh ke belakang sebelum sempat menghampiri kedua temannya yang
sedang menunggu. Apa Rory telah menyakiti seorang cewek"
--Entah bagaimana, masalahnya cukup rumit.
Rory memelototinya, seketika cewek itu tersentak, membelalak membalas tatapannya.
Gadis ini seperti baru saja membangunkan semua saraf-sarafnya yang tertidur karena dia tidak
pernah dimaki karena mencampakan seorang gadis. Jangankan mencampakan, malah
sebaliknya. "Ada apa sih?", Laras menanyainya memecah kebisuan dalam keramaian bandara.
Rory tidak menjawab dan sudah memastikan bahwa dia sama sekali tidak mengenalnya.
Matanya tidak bisa lepas dari bidadari penuh amarah itu karena dia memiliki tatapan yang tidak
semua orang bisa membacanya. Sedih, putus asa dan kecewa. Semua perasaan yang terburuk
dan menyedihkan yang pernah ada di dunia ini, yang ingin ia tumpahkan andainya ia tidak salah
mengenali orang. Tapi, gadis itu tetap mengangkat kepalanya, tampak mempertahankan harga dirinya. Meskipun
salah tingkah, dan bingung. Sikap yang menjengkelkan untuk seseorang yang baru saja
tertangkap basah berbuat salah dalam sekejap tapi mencoba untuk tidak peduli. Gadis itu
malah pergi begitu saja, pura-pura tidak melakukan apa-apa!
Rory mengernyit, meski jengkel. Beberapa saat ia berusaha menerima bahwa tidak seorang pun
dari mereka yang menginginkan hal ini terjadi. "Cewek sinting...", gumamnya sambil
menggeleng-geleng. Cakep-cakep sinting...
"Lo yakin nggak ada hubungan apa-apa sama cewek itu?", Laras penasaran.
Rory tertawa kecil, "Apaan sih?", cetusnya jenaka, "Cewek model begitu, bisa kurus gue..."
Erris ikut tertawa, Rory hanya sedang sial.
Rory menghampiri Laras, "Gimana penerbangannya" Lo nggak jetlag kan?"
"Ya enggaklah! Nggak seru-seru amat sih...", jawab Laras sambil merangkulnya sebentar sambil
tersenyum, "Daripada cewek itu balik lagi mending kita cabut aja yuk"
Rory belum bisa melupakan kejadian barusan. Semua orang bisa saja salah mengenali orang.
Tapi, sejenak ia menoleh ke belakang tempat gadis itu menghilang di antara orang-orang yang
lewat. Ajaibnya Rory bisa dengan mudah menemukannya.
Seorang gadis, berambut kecoklatan, panjang dan ikal, bertubuh sedang, mengenakan gaun
putih. Ia duduk di salah satu kursi tunggu dengan sebuah koper pink, tampak mencari-cari
sesuatu di sekitarnya. Seperti sedang menunggu seseorang yang akan menjemputnya tapi tak
kunjung datang. Secara keseluruhan, cewek itu cantik. Sisanya, Rory berpikir, dia pasti tipe yang
nekat dibalik kelembutan seorang bidadari yang baru terhempas dari surga.
--"Laras baru datang, mungkin kita bisa ketemu nanti", Rory sibuk bicara di telpon.
Erris meliriknya dan mengernyit, seolah Rory tengah berurusan dengan seorang yang ngotot
tanpa peduli siang malam atau sesibuk apapun Rory dengan dirinya.
"Rory punya pacar sekarang?" tanya Laras yang duduk di belakang dengan santai.
"Boro-boro pacar...", jawab Erris pelan, meledek dan Rory di sampingnya mendengar dengan
jelas lalu memutar matanya.
Laras tertawa, "Masih nggak ada status sama Uki?", celetuknya.
Erris diam. Sedikit merengut saat melihat Rory sekilas sebelum perhatiannya kembali ke
jalanan. "Kamu sudah makan siang belum?", tanya Rory, suaranya mengisi setiap kekosongan di mobil
Erris yang melaju dengan kecepatan normal, "Aku masih di perjalanan ke tempatnya Damar"
Ya sih, bolos lagi,"oh ya"... mungkin nanti setelah selesai" aku ada kerjaan sedikit"oke, sampai
ketemu lagi?" Erris tidak berkomentar, di saat Rory seperti tidak menganggap ada orang lain di dekatnya.
Mendengar nada suaranya merendah bila bicara dengan gadis itu.
Meski tidak bisa diingkari, Rory tipe penyayang yang jarang ada, apa lagi kepada perempuan,
anehnya dia belum memacari siapapun dengan serius. Tapi, ia memiliki dunianya sendiri yang
tidak banyak diketahui orang. Selain menjadi berandal, pembuat masalah, dan ugal-ugalan Dia
juga punya segudang masalah. Masalah yang Rory tahu yang tidak ingin pergi dan terus
mengikutinya kemanapun ia pergi. Seperti memeluknya sampai akhir.
Rory berusaha menganggapnya tidak pernah ada. sekalipun tinggal sendirian sekarang, di
rumah kontrakan kecil yang hanya punya satu kamar dan perabotan seadanya. Belakangan ini
setiap pagi pula, Bu Endang datang untuk menagih uang sewa yang sudah menunggak dua
bulan. Rory sudah meyakinkannya bahwa dia akan melunasinya sebelum menjadi tiga bulan.
Uang semester kuliahnya juga yang harus dibayar sebelum ujian. Dia juga punya tagihan listrik,
air dan cicilan motor yang baru ia beli sekitar enam bulan lalu, saat semua fasilitasnya di-"tarik"
dan sang ayah "melempar"-nya ke dunianya yang seperti ini.
ooOoo BAB 2 Sang Bidadari Masalah yang paling berarti bagi Rory saat ini hanya satu, uang. Sejak ia pergi dari rumah
karena diusir ayahnya sebagai pelajaran untuk bisa menghargai apa yang dia punya sebelum
semuanya hilang. Rory menganggapnya sebagai tantangan, tidak akan menyerah, tidak akan
pulang. Karena ia mempunyai pekerjaan - yang jarang dilakukan oleh mahasiswa seperti dirinya-. Dia
tidak bertarung dan bertaruh, untuk menghasilkan jutaan dalam semalam dengan wajah babak
belur. Atau berjudi, walau ia berkali-kali menjadi amatir yang beruntung lalu menang banyak.
Tapi, dalam semalam pula semuanya habis dengan jalan yang sama seperti saat uang itu masuk
ke kantongnya, cepat tanpa permisi. Jadi, Rory berhenti bertaruh untuk hidupnya sejak
perjudian terakhir berakhir dengan perkelahian dan kantor polisi. Untunglah itu tidak
mengakhiri perjalanan untuk meraih gelar SE-nya juga.
Sekarang, ia duduk di sebuah klub malam, memeriksa gambar yang ada di SLR-nya. Kamera
hadiah dari Erris dan Damar setahun lalu saat ultah-nya yang ke 23. Sekarang, ini menjadi
benda berharga setelah handphone dan sama-sama menjadi sarana "bisnis"-nya.
Seorang wanita muda, -usia tiga puluhan mungkin-berambut panjang dan berombak
menghampirinya. Dia menarik perhatian beberapa pasang mata yang ia lewati demi sampai ke
tempat Rory yang sudah menunggunya sejak 10 menit lalu. Ia menyapa dengan senyuman dari
bibirnya yang merah tua, memperlihatkan gigi putih yang rapi, keseluruhannya" dia sangat
menggoda. Rory hanya memberi senyuman balasan seadanya, segera selesaikan ini supaya dia bisa pergi
secepatnya, ia berkata pada dirinya sendiri. Tempat ini membuatnya tidak nyaman, entah
mengapa. Wanita itu mengibaskan rambutnya yang dicat kemerahan, saat duduk berhadapan dengan
Rory. Ia menaruh tas mahal-nya di atas paha untuk kemudian membuka resleting-nya,
mengeluarkan sebuah amplop putih. "Ini hasil kerja kamu", katanya, sambil menaruh amplop
itu di meja setelah memastikan orang-orang tidak lagi memandang ke arah mereka.
Rory mengambilnya dan langsung menyembunyikannya di saku bagian dalam jaket kulitnya. Ia
mengamati wajah wanita itu berubah sedih kemudian setelah ia dengan se-percaya diri
mungkin melenggok dengan dengan anggun. Ia segera pergi sebelum ada yang menatap
mereka curiga. Hal seperti ini selalu akan terjadi. Sebagian besar "klien"-nya adalah wanita putus
asa dan pekerjaan yang ia lakukan untuk mereka selalu menambah kesedihan setelahnya. Tapi,
Rory memang tidak pernah terlibat secara emosional dengan mereka, walau sebuah
pengkhianatan juga pernah menghancurkan hidupnya
Tapi, sekarang dia merindukan suara riang Uki.
--Rory melirik jam tangan-nya, jam sembilan masih satu jam lagi. Dia bisa minum sebentar
sebelum mengebut dengan motor ke supermarket tempat Uki bekerja tiga bulan belakangan. Ia
pergi ke meja bartender dan meminta salah satu jenis minuman ringan.
Semua yang pernah datang ke sini sama, membawa keluh kesah atau kebahagiaan menggebugebu. Para cowok tidak bisa mengendalikan mata dan tangan mereka, sedangkan para cewek
terlalu sengaja memamerkan tubuh mereka sejelek apapun itu. Mereka yang di bawah sana
seperti orang gila, mereka yang ada di setiap sudut sudah tidak punya malu. Pemandangan
biasa, di bawah kerlap kerlip cahaya lampu warna warni berkilauan di dalam keremangan,
antara minuman dan tarian. Jual tawa dan kesedihan, orang-orang merasa hidup hanya untuk
malam di tempat ini saja. Padahal ia sering menikmati liarnya malam bersama kedua teman
single-nya untuk menggoda gadis, dan berjanji satu sama lain tidak membawa satu dari mereka
ke rumah. "Well, seseorang pasti kaya raya malam ini", seseorang mengajaknya bicara. Suara lemah
lembut dari seorang gadis yang duduk dengan jarak satu meter darinya.
Tempat ini masih sama seperti yang kemarin, ramai berisik dan tumpah ruah di Jumat malam.
Ada minuman gratis! Gadis itu membuat pandangannya pada malam ini menjadi berbeda. Seorang bidadari tampak
tersesat di perkumpulan iblis. Ini bukan tempatnya tapi ternyata ia memperhatikan transaksi
antara Rory dengan istri orang, dari sini. Ia duduk sendirian tanpa minuman keras di saat ia
menjadi pemandangan segar bagi kucing-kucing liar di sekitarnya.
Rory seperti mendapat kejutan malam ini. Dia tidak disapa oleh cewek, -yang melirik padanya
sambil berkelakar dengan temannya memelintir rambut, tersenyum dengan bibir yang dilumuri
lipstik, menggoda tapi tak menggoyahkan sedikitpun-.
Hanya seorang gadis yang justru malah membuat Rory teringat pada hari ini di bandara, saat
pertama kali melihatnya. Gadis yang memakai gaun putih.
Pikiran gadis itu tertebak saat ia menatap Rory dengan ekspresi melecehkan.
Tapi, Rory masih bisa tertawa. Ia memandang gadis itu dengan santai. "Mau ditraktir?", ia
menawarkan. "Buat merayakan kebetulan ini?"
Gadis itu beringsut dari kursinya, "Aku nggak minum air kencing kuda", jawabnya ketus, dan
berlalu bersama langkahnya yang teratur, mengabaikan sekitar dan menghilang di antara
pengunjung lain. Rory tersenyum, teringat pada kejadian hari itu.
--"Hubungan kita udah selesai, aku nggak tahan lagi sama kamu, Natha!", seorang lelaki
terdengar memaki pada seorang perempuan yang menangis. "Kamu cuma membuang-buang
waktu dengan mencari aku ke sini!"
"Apa yang harus aku lakukan supaya kamu berubah pikiran?", si perempuan terdengar
memohon. Rory mencari-cari asal suara itu, karena terdengar menjengkelkan. Di antara mobil yang
terparkir rapi di basement. Tidak terlihat seorang pun di antara mobil dan tiang-tiang besar di
sekitarnya. Sepi. Rory hanya punya setengah jam sebelum Uki naik bus kota dan pulang tanpanya, lagi. Tapi, ia
tidak suka kebetulan yang satu ini, ketika melihat si gaun putih kembali.
Gadis itu bertengkar dengan seorang lelaki di balik mobil sport hitam yang parkir tidak jauh dari
parkiran motor. "Nggak ada! aku nggak butuh!", seorang lelaki berstelan rapi memakinya, "Aku nggak akan
pernah kembali apapun yang mau kamu lakukan"
"Aku mohon, Vin, aku janji akan perbaiki semua kesalahan aku! Aku jauh-jauh datang ke sini
karena aku pikir kamu masih sayang sama aku!", cewek itu masih memohon, memegangi
tangan laki-laki itu, penuh harapan, "Kasih aku waktu..."
"Nggak akan ada seorang pun yang bisa membuat kamu berubah, Natha!", lelaki itu bersuara
lebih keras sambil mendorong gadis itu dari hadapannya. Dan ia menemukan kemarahan yang
luar biasa dari seseorang yang tidak dikenalnya begitu ingin naik ke mobil mahalnya.
Berikutnya ia terpental, cukup jauh. Shock, ia baru menyadari luka di sudut bibirnya setelah
rasa sakit merambat sangat cepat di wajahnya. Mengetahui orang lain telah ikut campur dalam
urusannya, ia melihat seorang berandal berdiri di depannya dengan tangan mengepal kuat.
Orang itu menyembunyikan Natha di belakang punggungnya. "Gue paling nggak suka sama
laki-laki yang kasar sama perempuan, banci!", teriaknya.
"Lo siapa"!", ada kemarahan dalam suaranya. Tinjunya mengepal, ia maju secepat yang dia bisa
untuk membalaskan pukulan yang ia terima tadi.
Rory menghindar, dengan lebih cepat ia meraih bahu lelaki itu dan menggunakan lututnya
menghantam perut lelaki itu sampai tersungkur di kakinya. Rory mundur beberapa langkah
setelah memastikan orang itu tidak bisa bangkit untuk membalasnya. Rory mengatur nafasnya
saat ia kembali menghampiri gadis itu.
"Masih mau kembali sama orang yang seperti ini?", ia bertanya.
Gadis itu hanya menangis, kebingungan. Ia menatap Rory dengan wajahnya yang kusut.
Matanya yang basah seketika menegang melihat sebuah tinju melayang di saat Rory tidak
menyadari pria itu sudah bangkit kembali.
"Jangan sok jadi pahlawan!",
Rory menyeka sudut bibirnya yang berdarah, lalu tersenyum. Laki-laki itu tentu tidak tahu
bahwa dia sangat menyukai kesempatan di mana ia merasa harus memukul di saat yang paling
dia inginkan. --- Rory duduk diam, tertunduk, bukan menyesal. Tapi, puas ada orang yang berani menantangnya
dan meladeninya sampai selesai. Dia hanya dapat satu pukulan di wajah, sedangkan Kevin,
menerima lebih dari sepuluh di tubuhnya. Kalau tidak ada yang melerai satu nyawa pasti sudah
melayang di tangannya. Dan syukur itu tidak terjadi.
Tapi, mereka berakhir di kantor polisi. Disiarkan oleh berita segmen kriminal secara nasional
besok pagi! Orang tua-nya belum tahu soal ini, dan hanya tinggal menunggu suasana menjadi
panas antara ia dan ayahnya.
Rory menoleh ke ruang riksa di mana gadis itu masih diinterogasi sebagai saksi untuk berita
acara. Dia pasti masih tertekan, pikirnya. Sayang dia tidak bisa terlihat karena pintu kayu coklat
itu menghalangi pandangannya, dan semua masih menunggu sampai lama sekali.
"Ngapain sih ngurus cewek yang nggak dikenal?", gerutu Erris yang mendampingi sejak Rory
dan Kevin diserahkan oleh keamanan klub ke polisi. Mereka dipisahkan di ruang yang berbeda.
Renatha Grishamm, adalah gadis itu. Ia baru saja keluar dari ruang riksa. Sudah tidak menangis,


Mengurung Bidadari Karya A Rita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terlihat tegar sekarang. Dia tidak punya pilihan lain selain menghampiri Rory dan Erris supaya
tidak terlihat bodoh sendirian, sementara polisi belum mengizinkannya pulang. Terlebih dia
bukan WNI. Wajahnya masih merengut, ia duduk tidak jauh dari mereka dengan
membungkukan badannya yang ditahan kedua sikunya di atas kedua pahanya. Ia tampak ingin
menangis lagi tapi berusaha untuk tetap kuat, dengan menyeka wajahnya yang berantakan
sambil menghirup nafas panjang. Namun tidak terdengar lega.
Suasana hening, kantor polisi hanya dijaga oleh petugas piket. Pagi hanya tinggal beberapa jam
lagi, tapi jarum jam seakan tidak berputar. Renatha sudah tertidur tanpa disadari di kursi
tunggu. Memeluk dirinya yang kedinginan oleh udara malam.
Rory melepas jaketnya untuk menutupi tubuh gadis itu. Membiarkannya tertidur sampai kantor
polisi menjadi ramai kembali, pagi hari, sementara ia tidak bisa tidur walau sepejampun.
Untung Erris masih menemaninya sampai kasusnya diproses.
--Semua kata-kata orang tuanya mengalir seperti musik keras yang tidak beraturan, masuk dari
telinga kanan keluar di telinga kiri. Karena selalu sama, selalu berulang-ulang, melelahkan dan
itu tidak bisa menyentuhnya sama sekali.
Christophe, adik laki-laki Rory satu-satunya datang, katanya untuk menjemput dan
membawanya pulang. Kenapa bisa", Rory heran. Chris tidak menjelaskan, karena terlalu rumit
dan pikiran Rory yang dangkal tidak akan mencernanya dengan cepat. Secara garis besar, uang
dan kekuasaan bekerja lebih efektif untuk menyelesaikan masalah.
"Gue bisa pulang naik motor", kata Rory pada adiknya.
Rory lepas, gadis itu juga, semua identitasnya dikembalikan dan dia diperbolehkan
meninggalkan kantor polisi di hari dibebaskannya Rory dengan bersyarat. Dia harus benarbenar menjauhkan diri dari masalah sampai benar-benar lepas dari hukuman.
Gadis itu menghampirinya sebelum Rory naik ke atas motornya. Seperti ingin berterima kasih
tapi ia terlalu enggan. Dia hanya mengembalikan jaket milik Rory. Tanpa pembukaan tanpa
penutupan. Tanpa maaf dan terima kasih.
Rory tidak mengharapkan ucapan terima kasih, melainkan supaya tidak bertemu lagi dengannya
di lain kesempatan. Karena setiap kali bertemu, hal yang tidak baik selalu terjadi padanya. Tapi,
sikapnya itu terasa mulai menjengkelkan. Rory menerima jaketnya, ia memakainya saat gadis
itu mulai melangkah meninggalkannya. Rory hanya memandanginya saja. Sebelum tiba-tiba
kakinya tergerak untuk mengejar gadis itu sebelum ia jauh.
Gadis ini harus membayar harga dari semua yang menimpanya, berkat dirinya yang terlalu
angkuh itu dan bahkan dia tidak berterima kasih apalagi meminta maaf.
ooOoo BAB 3 Patah Hati Jalanan padat merayap, pemandangan biasa dari halte bus, di mana berbagai macam orang
berdiri menunggu bus tujuan. Deru mesin dan klakson mobil bersahutan seperti musik tanpa
melodi. Udara dan cuaca panas tidak bersahabat. Beberapa waktu lalu hujan sempat
mengguyur dan banjir di mana-mana. Kita yang tinggal di sini jadi tidak punya pilihan yang lebih
bagus. Musim kering atau musim hujan, mereka membawa bencananya masing-masing.
Tapi, bagi Uki, Rory juga termasuk bencana kecil dalam hidupnya beberapa tahun ini. Meski
tidak pernah terluka karenanya, Rory seperti global warming, perlahan tapi pasti. Namun, saat
ini dia orang yang sangat memperhatikannya. Yang datang saat dibutuhkan dan pergi saat Uki
sedang mau sendiri. Karena itulah ini bisa bertahan sangat lama.
Trouble is Rory, istilah itu sudah lama ada sejak mereka masih berusia belasan. Rory tampak
tidak punya kekurangan, dia gagah, berbadan tegap dan atletis dengan tinggi 176 cm. kulit
kuning langsat, rambut lurus dengan model short spike dan sekarang dicat pirang gelap. Dia
punya banyak kelebihan dalam hal mengontrol emosi karena dia nyaris tidak bisa
melakukannya sama sekali. Mudah marah dan terpancing, nekat juga berani. Dia tidak pernah
terlihat tanpa jaket kulit dan sepatu kets, seperti identitas yang sama pentingnya dengan KTP
dan SIM. "Apa kamu bikin masalah lagi?", Uki mempertanyakan menghilanganya Rory selama seminggu,
tepatnya sebelum Rory bilang padanya mereka akan bertemu setelah Uki selesai menuntaskan
shift malamnya. Setelah itu Rory hanya sesekali menghubunginya.
"Ah, nggak kok", kata Rory. Ia duduk di samping Uki, tanpa maksud tertentu. Dia hanya tahu,
minggu ini Uki dapat shift pagi sehingga dia bisa pulang jam dua. Harusnya mereka
merencanakan untuk pergi ke suatu tempat. Tapi, yang mereka lakukan hanyalah nongkrong di
halte bus! "Setiap kamu bilang nggak artinya iya, beritanya keluar di TV ", Uki mengingatkan.
Rory cuma cengengesan, "Aku pikir, kamu nggak nonton", kilahnya.
Uki tertawa kecil. Dia manis saat sedang tertawa. Rambut pendeknya yang berponi rata, tertiup
angin berdebu saat panas makin menyengat kulit. Uki lebih terlihat seperti gadis berumur 18
tahun daripada 23 tahun. Tubuhnya hanya 158 cm, dan berkulit gelap. Uki mempunyai
sepasang mata besar yang hitam dan sayu. Dia berpakaian dan berdandan dengan sederhana.
Halte bus ini sudah reyot, atap bolong di mana-mana sehingga tidak nyaman lagi untuk
diduduki. "Kita pergi yuk", ajak Rory sambil mengulurkan tangannya setelah ia berdiri.
Uki tampak malu-malu padanya, tapi ia juga jengah, pada saat ini.
"Ke mana?", tanya Uki.
"Yah, ke mana aja", jawab Rory.
Uki berdiri tanpa meraih tangan Rory, dia akan mengatakan sesuatu yang penting, "Udahlah,
Rory?", ujarnya, "Aku nggak bisa boncengan naik motor sama kamu lagi"
--"Anak SMP juga tahu kalau itu namanya ditolak", kata Damar, yang duduk di sampingnya saat
mereka menghabiskan siang duduk di lantai paling atas gedung kampus. Membolos satu mata
kuliah sementara Erris dengan serius belajar satu setengah jam ke depan. "Udah bertahuntahun, begok masih aja dipelihara."
Rory menggeleng saat memandang layar handphone-nya. Dia tidak mendengarkan Damar dan
sibuk sendiri, membalas sebuah pesan.
"Ada yang baru?", tanya Damar lagi, ikut tersenyum, merasakan Rory masih bisa gembira
padahal ia baru saja selesai berurusan dengan polisi karena berkelahi lagi dan ditolak Uki entah
untuk yang ke berapa kalinya.
"Pastinya...", jawab Rory, sumringah, membayangkan pertemuannya nanti dengan gadis yang
marah-marah dalam SMS yang baru saja ia terima.
"Apa dia mirip Uki?", tanya Damar, mengejek, dan ia terlalu mahir membuat suasana hati Rory
menjadi keruh kembali. "Sama sekali nggak mirip Uki", jawabnya.
Rory menghisap rokoknya untuk terakhir kali sebelum membuang sisanya ke bawah, dan
memperhatikan benda kecil berasap itu jatuh di bawah kakinya. Dan tak terlihat lagi untuk
beberapa saat kemudian. Ia meniupkan asap keluar dari hidung dan mulutnya.
--"Apa lagi sekarang?", Natha duduk di depannya, menunggu dengan tidak sabar agar dia bisa
cepat pergi. Lebih tepatnya menghilang, kembali ke negara asalnya, hidup damai setelah semua
yang terjadi. Renatha, menyebut dirinya Natha, berkbangsaan Jerman, fasih berbahasa Indonesia dan
berwujud nona cantik. Bertubuh sedang dan kulit putih. Dia selalu bersikap seolah dia nona
bangsawan yang tinggi derajatnya. Saat duduk pun dia bahkan tetap mengangkat dagunya
seakan sedang menatap semut.
Kalau sikapnya begini, tentu cowok manapun tidak akan tahan dengannya. Walaupun bukan
urusannya tapi lelaki bernama Kevin itu sudah mengambil keputusan tepat dengan
meninggalkannya. Masalahnya, ini sudah melibatkannya sejak malam ia memukul seorang lelaki
yang hanya tidak sanggup berurusan dengan Natha. Sebelum itu, dia pernah dimaki tanpa
sebab di bandara karena Natha mengira Rory adalah Kevin, - dari belakang boleh disebut mirip,
tapi tampangnya sama sekali tidak.
Dan harus ada yang "menjinakan" Natha.
Semua tentang Uki, hilang dalam sekejap, dan Rory terkejut dengan hal ini.
"Kalau aku suruh datang ya datang", balas Rory acuh tak acuh, dengan slengek-an. Duduk
bersandar pada kursinya. Rory menyalakan rokoknya sambil tetap menatap ke arahnya.
"Kapan kamu mau balikin paspor-ku?", Natha semakin tidak sabar. Dia tidak ingin memesan
apapun untuk sekedar minum.
"Kamu pikir bisa pergi gitu aja?", balasnya, santai, mengepulkan asap di depan wajahnya.
"Aku nggak pernah ingin kamu ikut campur masalahku!", cetus Natha kasar. "Kenapa sekarang
aku harus berurusan dengan kamu"!"
"Wajahku masih sakit", kata Rory..
"Oh ya" Kayaknya kamu sudah biasa, lalu apa masalahnya?", Natha makin ketus.
"Masalahnya sekarang aku belum mau balikin", Rory menegaskan.
"Kenapa" Lalu aku harus apa supaya kamu mau balikin?", Natha menantang. "Tapi, terserah,
jika visa-nya habis, aku hanya tinggal menunggu dideportasi dan masalahnya selesai"
Rory kembali menyeringai, menatapnya tidak percaya bahwa gadis ini lebih keras kepala dari
yang dia pikir. Natha, berdiri dari kursinya, "Aku nggak percaya ini...", gumamnya.
"Ini jadi nggak seru lagi. Aku bakal balikin", kata Rory, dan Natha segera berbalik ke arahnya.
"Tapi, kembali ke Jerman dengan keadaan seperti itu, aku nggak yakin kamu masih hidup
seminggu ke depan" "Maksud kamu apa sih?", raut Natha berubah menjadi gusar setelah sesaat ia terlihat sangat
lega. "Aku nggak akan bunuh diri, itu konyol!"
Rory berdiri dari kursinya, "Jauh-jauh datang ke sini, tapi malah diperlakukan seperti itu sama
orang yang kamu cintai, kamu nggak punya harga diri?", ejeknya.
"Apa hubungannya sama harga diri?", Natha terdengar ketus.
"Dia brengsek, aku tahu dan harusnya kamu membalas", balas Rory.
Natha tersenyum, "Sayangnya itu sama sekali nggak ada hubungannya sama kamu", katanya,
"Dan kamu nggak tahu apa-apa soal aku!"
"Ya udah, good luck deh!" kata Rory, membiarkannya pergi.
Natha belum beranjak dari tempatnya, ia menarik nafas panjang lalu menghembuskannya,
sambil mengusap rambutnya dan kembali menatap Rory, "Apa sih yang kamu mau dari aku"!",
ia bertanya. "Sederhana, jangan menatap aku dengan cara seperti itu", jawab Rory tenang.
"Aku nggak ngerti", cetusnya. "Sinting!"
"Pertama, aku belum terima kamu maki aku di bandara, nggak minta maaf, dan juga nggak
bilang terima kasih, saat kamu nyaris diinjak-iinjak sama cowok itu", kata Rory. "Dan aku paling
nggak suka diperlakukan seperti ini, apalagi sama perempuan"
"Oh ya" Aku pikir kamu menghormati perempuan dari cara kamu membelaku, tapi ternyata aku
salah", "Nggak, kamu nggak salah soal itu. Aku pikir kamu pengecualian"
"Apa" Kamu mau apa?", Natha terdengar panik.
Rory bersiap untuk pergi setelah menaruh puntung rokok-nya yang masih menyala di asbak. Dia
melangkah, meninggalkan Natha yang belum beranjak. Rory kembali menyeringai padanya,
melewatinya. Terpaksa Natha, mengikutinya dan entah ke mana. "Tunggu!", serunya.
Rory terus melangkah, membuatnya tampak bodoh, mengikutinya. Lalu tersenyum, dan ini
akan segera menjadi seru, "mengurung" seorang bidadari yang terhempas dari surga.
Tapi, Natha menghentikan langkahnya, menatap punggung cowok itu menjauh, meninggalkannya di belakang. Lalu berpikir, cara apa yang bisa ia lakukan untuk membebaskan
diri dari berandal gila itu. Ia tahu tengah dipermainkan.
ooOoo BAB 4 Ancaman Rory "Aku kehabisan uang", jawab Natha, cuek sambil menengadahkan tangannya.
Rory mengerutkan dahinya, tidak percaya, "Kamu" Kehabisan uang?",
"Aku harus bayar hotel", jelasnya, membuang pandang, tidak mau tahu, "Ini nggak akan terjadi
kalau kamu nggak menyita paspor-ku"
"Kalau aku nggak punya?", tantang Rory
"Kamu menahan aku karena suatu alasan, dan demi alasan itu kamu harus tanggungjawab",
katanya, mendesak, "Uang!"
"Sayangnya aku memang nggak punya", jawab Rory sesantai sikapnya sambil berlalu pergi.
"Omong kosong!", Natha mengikuti langkahnya, "Kamu akan membayar semua yang kamu
lakukan hari ini! Mengikuti cowok gila seperti kamu...memalukan dan ini nggak pernah terjadi
dalam hidup aku sebelumnya!"
"Aku sudah bilang, aku nggak punya uang", Rory bersikeras sambil tetap berjalan.
"Lalu aku harus gimana?", tanya Natha, menyusul lebih cepat sampai langkah mereka sejalan.
"Kamu nggak bisa perlakukan aku seenaknya, aku akan lapor polisi!"
"Kamu tahu aku pernah berurusan sama polisi, urusan yang rumit seperti kemarin aja aku bisa
lepas dengan mudah, apa lagi hanya tuduhan yang nggak ada buktinya"
"Nggak ada buktinya" Kamu merampas tasku!",
"Lalu ada yang lihat aku melakukannya?"
Bibir Natha berkedut, "Kamu mau apa sih?", tuntutnya tetap membuntuti Rory yang sedang
menuju ke parkiran mengambil motornya, "Sampai kapan aku harus begini?"
"Sampai aku capek", jawabnya, menoleh sebentar setelah menemukan motornya di antara
barisan yang tampak rapat dan Natha kesulutan mencari jalan untuk menyusulnya.
Rory baru saja meloncati pagar pembatas.
Apa dia akan pergi" Meninggalkannya lagi seperti sampah di pinggir jalan"
"Aku harus check out hotel! Kamu pikir mau sampai kapan tinggal di hotel! Dan aku nggak kenal
siapa-siapa di tempat sial ini!", gerutunya sambil mencari jalan lain, "Kamu nggak akan dapat
apa-apa dari semua ini, cepat kembalikan paspor-ku dan aku akan menganggap ini nggak
pernah terjadi!" Rory tidak menjawab, dia memundurkan motor besarnya dari barisan lalu menyalakan mesin,
sedikit memutar gas sambil memandang ke arah Natha di seberang pagar pembatas yang
berusaha menyusul sebelum ia benar-benar pergi.
"Heh, tunggu!", panggil Natha saat Rory akhirnya mengebut, menuju keluar dari area parkir dan
usahanya kali ini gagal. --"Apa itu cara kamu menghadapi masalah?", tegur Rory, tiba-tiba ia dan motornya sudah ada di
samping Natha yang melotot padanya. "Menganggap nggak pernah terjadi apa-apa?"
Rory kembali, sambil cekikikan melihat ekspresi gusar Natha.
Tapi, Natha tidak terlihat lega, candaan Rory sama sekali tidak lucu! Sekarang hanya punya satu
pilihan, memaksa cowok ini mengembalikan passport-nya.
"Ayo naik", kata Rory padanya,.
"Apa?", semburnya sebal, menolak dengan tegas. Mempertahankan seluruh sisa harga dirinya.
Tidak akan berboncengan dengan berandal dan lagipula, gaun putih ini akan menyulitkannya.
Natha melanjutkan langkahnya, berpura-pura tidak peduli. Ia mantap keluar dari area parkiran
dengan caranya sendiri. Rory sudah ada di sampingnya lagi, bersama motor-nya, mengolah emosi Natha, "Kamu nggak
kenal siapa-siapa selain aku sekarang. Atau kamu mau menemui mantan pacar kamu lagi" Aku
sudah bilang, kalau kamu ikutin semua kemauanku, paspor-nya pasti aku kembalikan"
Natha menyipitkan mata, terbayang sudah apa yang sedang dipikirkan cowok ini terhadapnya.
"Aku lebih baik mati daripada naik motor kamu!"
"Banyak cewek yang mau duduk di sini, tau nggak sih?", sembur Rory lalu tertawa.
"Aku tetap akan lapor polisi! Aku akan bilang kalau kamu pemeras!"
"Memangnya kamu tahu betul siapa orang yang mau kamu laporkan" Kamu bahkan nggak tahu
aku ini siapa. Aku ragu kamu ingat namaku. Lagipula apa semudah itu kamu menuduh orang
memeras?", "Kamu merampas paspor-ku!"
"Kamu nggak punya bukti, aku sudah bilang!", Rory tertawa puas, melihat gadis ini bertambah
kesal, "Sekarang, kamu nggak punya pilihan lain, kamu ikut aku atau...melayap di jalanan yang
nggak kamu kenal dan jadi sasaran empuk preman lain"
Natha menghembuskan nafas lelah sambil memutar matanya, lalu menyapukan rambutnya ke
belakang dan bertolak pinggang, memandangi motor Rory yang terlalu tinggi untuknya dengan
sedikit ragu. Rory menggeleng-geleng, "Ya ampun...kamu punya baju yang modelnya begitu berapa banyak
sih?", gerutunya mengejek, memandangi Natha dari ujung kaki ke ujung kepala
Natha memakai sepatu hak rendah dan gaun putih tanpa lengan yang panjangnya selutut, dan
rambut panjangnya tergerai melewati punggung.
"Atau kamu memang nggak pernah ganti baju?"
Wajah Natha makin cemberut, setelah harus memikirkan cara naik motor ia masih harus
mendengar ocehan berandal ini lebih banyak. Ia bertahan, menelan ludah sementara cowok itu
kembali memperlihatkan seringainya yang penuh arti, bagai serigala jahat yang akan memangsa
si kerudung merah. "Duduk menyamping itu sama sekali nggak aman", kata Rory mengeluh setelah Natha duduk.
Natha menarik gaunnya ke bawah agar menutupi pahanya dan ia tidak ingin semua mata
memelototinya sepanjang jalan. Natha memang tidak pernah naik motor sebelumnya, juga
sama sekali tidak menyangka akan naik motor bersama seorang berandalan gila dan tidak
dikenal ini. Rory menggeleng lagi di balik helm-nya sebelum ia memutar gas sehingga Natha terkejut dan
berteriak, tanpa sadar berpegangan padanya daripada jatuh. "Aku sudah bilang, itu nggak
aman", katanya dengan sengaja memberi shock untuk sekedar membuat Natha tambah
cemberut padanya. Brengsek!, ucapnya dalam hati dan terpaksa mengalungkan tangan kanannya ke tubuh cowok
itu . --"Ini rumahku", kata Rory, setelah membukakan pintu untuknya dan mempersilahkan Natha
masuk lebih dulu, "Kamu masih punya pertanyaan?"
"Ini disebut rumah?", Natha kembali memperlihatkan ekspresi menjengkelkannya yang terlihat
seperti perasaan jijik. Rumah ini kecil, hanya ada 3 ruangan yang tidak terlalu besar. Terdiri dari ruang depan, kamar
tidur dan dapur. Sementara itu tidak ada perabotan lain selain TV kecil dan sebuah sofa
berwarna merah di atas karpet coklat yang agak lusuh di ruang depan.


Mengurung Bidadari Karya A Rita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya aku menyebutnya rumah, kalau kamu nggak keberatan", kata Rory, "Semuanya terserah
kamu. Kalau kamu mau aku tanggung jawab, cuma ini yang bisa aku lakukan"
"Aku nggak akan tinggal di tempat seperti ini", Natha memutuskan sambil melangkah keluar,
menyeret koper pink-nya. Ia baru membayangkan tinggal bersama orang tidak dikenal yang
belum jelas tujuannya apa terhadapnya.
"Terserah", Rory tampak tidak peduli. "Aku sama sekali nggak kekurangan cewek untuk
pacaran, kalau kamu pikir aku akan melakukan hal yang macam-macam"
"Bagaimana aku tahu kalau kamu bukan orang cabul"!", cetus Natha, berbalik memandangnya,
menantang dengan sisa keberaniannya.
"O...orang cabul" Kamu bilang aku orang cabul?", emosi Rory terpancing juga dan ini akan
menimbulkan perdebatan sengit seperti biasanya.
Natha membalas tatapannya, "Iya!", tegasnya, memandang Rory tanpa berkedip dengan marah
dan muka yang merah. "Aku hanya memastikan kalau aku aman di tempat ini sampai passporku kembali!"
Rory menahan nafas, mengendalikan emosinya dengan mundur selangkah, mengalihkan
tatapannya dari tatapan menusuk mata bulat Natha, "Oke, semuanya terserah", katanya
kemudian. "Maksud kamu terserah apa?", desak Natha.
"Terserah mau tinggal di sini, atau mau pergi ke mana pun, atau lapor polisi segala. Tapi,
paspor-nya nggak akan kembali kalau kamu nekat", katanya, menyudahi.
"Apa..." Jangan seenaknya..."
"Cukup, Renatha!", suara Rory terdengar lebih keras, "Take it, or leave it"
ooOoo BAB 5 Angel "Ya ampun, kamu benar-benar punya lebih dari satu lusin...", Rory menemukan Natha
menjemur cuciannya yang basah di halaman belakang pada tiang jemuran reyot yang tidak
pernah dipakai Rory. Rory bahkan tidak pernah tahu, tali-tali itu sudah melintang di sepanjang halaman belakang
yang tidak lebih besar dari dapurnya selama ini. Tapi halaman belakang mendapatkan sinar
matahari yang cukup untuk bisa mengeringkan pakaian.
Natha baru mulai menjemur semua gaun putih yang modelnya nyaris sama! Ia berusaha
mengabaikan Rory yang berdiri di ambang pintu mengamatinya, - mengenakan celana jeans
panjang tanpa atasan, memperlihatkan otot-ototnya yang berisi dan atletis-. Namun ia menoleh
ke belakang sekali karena cowok itu masih menertawainya.
Natha merinding, melihat tato triball yang melingkar dari pangkal ke pergelangan tangan
kirinya. Selain seorang berandal, dia juga gigolo dan sekarang dia bertato! Ini bencana!
"Kamu cuci pakai apa?", tanya Rory lagi karena dicuekin. "Baju putih gampang kotor, kalau
nggak dicuci bersih bekasnya nggak akan hilang"
"Kamu akan belikan aku yang baru kalau semuanya sudah nggak bisa dipakai", cetus Natha, "Itu
juga termasuk tanggung jawab kamu karena bikin aku begini"
Rory malah cekikikan, "Sayangnya, aku nggak akan membelikan apapun untuk cewek yang
nggak ada hubungan apa-apa sama aku",
"Oh ya" Aku pikir kamu akan bilang nggak punya uang lagi", tandas Natha, "Kamu
menghabiskan semua uang yang kamu dapat dari tente-tante itu buat minum-minum?"
"Ya, setidaknya itu bukan musibah bagi laki-laki seperti aku, Miss Broken Heart", balas Rory.
"Aku nggak terdampar di tempat yang nggak dikenal bersama cowok asing dan kamu nggak
pernah tahu apa yang akan terjadi nanti"
"Kamu!", hardik Natha membelalak khususnya karena julukan Miss Broken Heart dan dia baru
saja menyampaikan ancaman serius!
Rory memutar badannya, "Terima aja, udah", katanya, sambil masuk ke dalam rumah,
menghentikan perdebatan karena ia harus mandi dan berangkat kuliah. "Aku bisa bersikap baik,
kalau kamu juga bersikap baik"
Kelas akan dimulai kurang dari setengah jam lagi.
--Tempat ini menyebalkan, gerutunya sambil menendang keranjang pakaian yang sudah kosong
sekarang. Baju-baju sudah terjemur dengan susah payah di tiang jemuran.
Tanpa sadar Natha menguap, menderita kurang tidur semalaman dan pikiran kotor
merasukinya setiap detik. Mana bisa tidur di kasur bekas seorang cowok berandal gila dan
hanya Tuhan yang tahu apa saja yang pernah terjadi di sana! Natha terlalu gelisah memikirkan
cowok itu bisa saja menyelinap masuk tengah malam untuk melakukan hal yang jahat padanya.
Tapi, pintu itu tidak pernah terbuka sampai pagi. Natha malah menemukannya tertidur di sofa
dengan TV yang masih menyala.
Rory sudah pergi, dia tidak bilang pergi ke mana dan Natha juga tidak bertanya. Hari di sini akan
terasa sangat panjang saat ia tidak bisa melakukan apa-apa. Meski begitu, tempat ini begitu
hening. Natha sama sekali tidak membuang kesempatannya untuk mencari paspor-nya. Ia memeriksa
lemari pakaian yang isinya nyaris kosong, tapi tidak ada. Ruangan ini tidak lebih besar dari
ukuran 4x4 meter. Hanya ada kasur di bawah jendela yang ditutup gorden coklat di sudut yang
dekat ke kamar mandi Di sudut seberang ada meja dengan laptop dan printer di atasnya. Natha
menarik laci kecil di bawahnya, dia hanya menemukan botol-botol tinta yang sudah kosong dan
suntikan dengan noda tinta yang berlepotan. Lemari kecil di bawahnya hanya berisi kertas HVS.
Di bawah meja ada setumpuk buku-buku pelajaran Ekonomi. Natha menemukan kartu
mahasiswa-nya tercecer di antara kertas-kertas hasil foto kopian yang acak-acakan di lantai.
Entah bagaimana dia bisa dipanggil Rory sementara dia bernama asli Angel Florissa Wiradilaga.
Nama itu terdengar seperti nama perempuan. Tapi, seingat Natha temannya yang berkacamata
itu memanggilnya Rory. Hm... Rory terdaftar sebagai mahasiswa sebuah universitas swasta jurusan Ekonomi tingkat akhir.
Ekonomi sangat tidak cocok untuknya, Natha berani bertaruh bahwa ia melakukan itu karena
paksaan keluarganya. Semua selalu seperti itu di saat kita sudah memiliki kehidupan yang
mapan tapi orang tua masih menginginkan kita untuk menjadi lebih, bahkan di saat kita merasa
tidak sanggup. Makanya jaman sekarang banyak anak-anak yang membelot.
Natha mulai mencari di tempat lain. Memikirkan di mana biasanya cowok menaruh barangbarang berharga-nya. Tapi sepertinya yang satu ini memang tidak punya barang berharga di
rumahnya. Dia hanya punya sekeranjang sampah yang sudah sangat penuh dan tidak bisa
memuat bulatan kertas-kertas bekas di bawahnya. Juga ada setumpuk pakaian kotor di sudut
lain, satu-satunya kekacauan yang membuatnya jijik.
"Kamu lagi ngapain sih?", tegur Rory yang melihat Natha jongkok di sudut kamar sambil
memegang sesuatu. Natha terperanjat dan segera melepaskan apa ia pegang dengan perasaan jijik. Mukanya merah
padam dan ia segera berdiri, menemukan kegelian di wajah Rory yang membuatnya tampak
seperti maniak. "Ketemu jackpot?", ejeknya, menangkap basah Natha memegang sehelai celana dalam yang
jelas bukan milik perempuan. "Harusnya kamu nggak periksa barang-barang orang tanpa izin.
Itu melanggar privasi"
"Nggak ada istilah privasi lagi sekarang karena aku tinggal di kamar itu!", Natha mengklarifikasi
dengan sedikit emosi dan malu di matanya.
"Ya udah deh, terserah kamu aja. Aku nggak keberatan kamu pegang barang-barangku", balas
Rory acuh, sambil keluar dari kamar.
"Dasar cabul!", teriak Natha, "Aku hanya mau bilang harusnya kamu beresin barang-barang
pribadi kamu dari kamar itu supaya aku nggak lihat yang aneh-aneh lagi!"
Rory tidak menanggapinya sama sekali. Ia mengambil sesuatu di atas sofa untuk
memberikannya pada Natha, "Aku nggak tahu kamu suka atau nggak, tapi coba aja"
"Apa sih ini?", Natha kembali menggerutu, setelah memuntahkan makanan yang baru ia cecap
sedikit dengan perasaan tidak yakin, "Nggak enak!"
"Itu cuma nasi goreng", jawab Rory santai, "Aku nggak tahu apa yang kamu suka"
"Harusnya kamu tanya dulu! Aku mana bisa makan makanan seperti ini!", tuntut Natha,
meninggalkan makanannya dengan beringsut ke sudut ruangan, merajuk seperti anak kecil yang
manja. Rory tetap cuek, "Nggak ada istilah "harusnya" aku begini atau begitu", kata Rory, "Aku bukan
pacar kamu" Natha merengut lagi, menatap dengan wajah cemberut, "Kamu....memang nyebelin!",
teriaknya karena tidak ada lagi yang bisa dikatakan.
--"Apa lagi?", cetus Rory, yang jadi tidak bisa menghabiskan nasi-nya, kehilangan selera. Ia berdiri
dan melangkah ke dapur untuk minum dan menghilangkan rasa makanan yang masih tersisa di
mulutnya. "Memangnya kamu mau makan apa?"
Natha tidak menjawabnya. Rory kembali ke ruang depan dan sudah menemukan gadis itu gelisah memandangi kedua
tangannya, "Ada apa sih?", ia bertanya sambil menghampiri untuk melihat lebih dekat apa lagi
yang dia permasalahkan kali ini.
"Itu nasi apa sih?", gerutunya cemas, memandangi kedua lengannya yang memerah.
"Nasi goreng", jawabnya berusaha tenang, saat bengkak mulai terlihat di kedua siku Natha.
"Nasi goreng apa?", desaknya, memandang Rory tegang, seolah tubuhnya akan segera melepuh
hanya gara-gara salah makan.
"Ya nasi goreng", jawab Rory, apa lagi yang dia tahu selain nasi itu digoreng dengan sedikit cabe
dan bumbuan yang entah apa namanya. Rory tidak melihat bagaimana tukang masak
membuatnya, ia hanya menunggu dan bungkusan styrofoam itu sudah ada di dalam kantong
plastik dan membawanya pulang.
"Itu pasti ada dagingnya!", Natha semakin histeris.
"Kamu nggak bisa makan daging?", tanya Reno.
"Aku nggak pernah makan daging! Aku vegetarian!", serunya tambah cemas dan geli pada
tangannya yang membengkak.
Dia seperti ikan mas, kalau tidak ada yang memberinya makan atau mengganti airnya, pasti
mati. --"Kamu mau ke mana?", tanya Natha berpura-pura tidak mau tahu tapi dia penasaran saat
melihat Rory keluar bersama kantong plastik besar berisi pakaian kotor yang baru ia bereskan
dari kamar. "Laundry", jawabnya sambil menyeret kantong berwarna biru itu keluar.
"Kamu ke laundry setelah biarin aku nyuci dari pagi buta?"
Rory menghela nafas, "Kamu nggak bilang", jawabnya seraya melangkah keluar rumah.
Natha berlari keluar dari kamar, melihatnya menaikan kantong itu ke atas motor, mengaturnya
dengan baik supaya tidak terjatuh saat dia membawanya.
Rory juga tidak mengatakan apapun saat dia hendak meluncur bersama motornya ke laundry.
Dia selalu bersikap penuh tanda tanya. Seringainya kadang menakutkan, tapi di depannya,
Natha tidak merasa ada bahaya yang mengancam. Rory terlalu cuek. Dia datang, lalu tiduran di
sofa untuk nonton TV. Dia juga selalu mengetuk pintu saat masuk ke kamar untuk menumpang
mandi, dan dia juga tidak pernah mengunci pintu rumah saat keluar. Membiarkan Natha
melakukan sesukanya tapi memang tidak ada yang bisa dia lakukan selain melamun dan
mempertanyakan kenapa dia mau saja di sini sementara dia bisa kabur, mencari tempat tinggal
lain dan menemukan cara yang lebih mudah mendapatkan paspornya.
Natha memandang layar handphone-nya, berniat untuk menghubungi seseorang yang sudah
pasti akan membantu. Tapi, dia urung. Natha menaruh kembali benda itu di lantai, lalu ia
berbaring di sisi foto-foto kenangannya yang paling manis.
Dia tidak menyangka keputusan yang dia pikir tepat, meninggalkan Munich, mencari Kevin ke
negara asalnya karena berpikir Kevin berat mengakhirinya. Tapi, yang dia temukan tidaklah
segampang itu. Sekarang, dia berada di tempat asing. Terjebak dan tidak tahu harus bagaimana.
Pulang ke Jerman, atau tinggal di sini, bersama cowok gigolo ini, sama saja.
--Rory membuka pintu yang lagi-lagi tidak dikunci.
Suasana rumah selalu hening, sekalipun sudah ada orang lain selain dirinya saat ini. TV
dimatikan, pintu kamar terbuka sedikit, dan ini tidak biasanya. Dia jarang berada di rumah, tapi
sejak ada gadis itu, dia jadi ingin pulang, hanya untuk sekedar melihatnya tapi Rory
mendapatkan lebih karena mereka bertengkar setiap bertemu.
Rory menaruh belanjaannya di atas sofa. Apa yang sedang dilakukan Natha sekarang" Atau
jangan-jangan dia sudah kabur. Ia mendorong pintu dan menemukan bidadari itu berbaring di
lantai sambil memandangi sebuah foto. Rory kembali menangkap basah dia menangis lagi.
Natha kelabakan, foto-foto miliknya tercecer di lantai yang belum sempat ia kumpulkan.
"Sory!", ucap Rory segera berbalik, menutup pintu rapat-rapat. Lalu mendesah sambil
menyandar ke pintu. Dia menangis"
ooOoo BAB 6 Riding Rory menggeleng, "Itu banyak kerutannya", katanya berpendapat, memandangi gaun putih
yang dipakai Natha pagi ini.
Natha berkeras tetap memakainya, hari ini dia tidak berniat ke mana-mana seperti biasa. Ke
mana ia bisa pergi" Di Jerman biasanya ia memang lebih suka tinggal di rumah, tidak seperti
gadis lain yang sibuk ke salon dan membeli kebutuhan trend. Natha terlihat sangat alami
dengan gaun putih-nya yang seringkali membuat Rory merinding menemukannya dalam gelap.
Mengira rumah menyedihkan ini ada penghuninya.
Rory hanya lupa, sekarang ia harus berbagi tempat. Berbagi dapur dan kamar mandi. Tapi,
rumah ini menjadi sedikit lebih rapi karena Natha tampaknya ingin merasa nyaman dengan
suasana yang menurutnya tidak layak.
"Pakai ini", Rory menyodorkan pakaian miliknya, kaos T-shirt berwarna hitam dan celana
pendek yang dia pikir muat karena ukurannya agak kecil.
Rory sudah tahu dia akan memberi tatapan skeptis itu lagi, atau berkata "lebih baik mati
daripada memakai pakaian milik seorang berandal".
Kali ini, Natha menggeleng. Duduk di sofa tidak menatap ke arahnya sama sekali.
"Ini bersih", katanya meyakinkan, "Cuma sementara"
"Nggak!", teriaknya sambil berdiri masuk ke kamar, membanting pintu dan menguncinya dari
dalam. Rory tidak akan memaksa, itu bukan gayanya. Ia hanya bermaksud baik, membawa semua gaun
putih membosankan itu ke laundry untuk disetrika. Natha hanya mencuci bajunya dengan air
tanpa sabun, dan dia terlalu nekat untuk tidak meminta bantuan orang lain.
--"Aku nggak suka ungu!", teriaknya lalu kembali memanting pintu tepat di depan wajah Rory
yang nyaris tidak bisa menahan emosi.
Bagaimana mungkin gadis itu masih bersikap buruk padanya setelah dia melakukan apa yang
menurutnya dibutuhkan" Rory tidak pernah membelikan seorang gadis baju. Hari ini di toko,
dia seperti orang bodoh mencari baju ganti untuk Natha dan dia bersyukur saat ada seorang
penjaga toko yang memberi saran bagus.
"Baju-baju ngebosenin itu harus dibawa ke laundry! Itu tetap jorok walaupun kamu mencucinya
dari pagi buta! Aku cuma bilang pakai sementara bukan selamanya!", teriak Rory dari balik
pintu. "Apa kamu nggak tahu caranya menghargai orang"!"
"Pergi!", usirnya, kembali merajuk.
"Oke! Aku bisa pergi! Pulang ke rumahku dan itu urusan gampang!", balas Rory, "Lalu kamu
mau apa tanpa ada orang yang mengurus kamu!"
"Balikin pasporku, semuanya selesai!", teriaknya dengan jelas dan pasti berdiri di balik pintu.
"Nggak semudah itu!", kata Rory, dengan yakin dan sekarang pintu terbuka. "Seseorang harus
mengajarkan kamu arti terima kasih!"
Natha menatapnya tajam, penuh kebencian dan kemarahan, "Kamu mau apa sih"!", tanyanya
lelah berteriak di saat Rory membalas tatapan itu dengan santai.
Rory menyodorkan gaun ungu yang baru dia beli hanya untuknya, "Pakai", katanya, pelan dan
tajam "Aku sudah bilang semuanya akan jadi mudah kalau kamu dengar kata-kataku, Princess"
Natha kesal sekali saat mengambil gaun itu dengan terpaksa, kembali membanting pintu, di
depan wajah Rory! Harus ada yang membuatnya berhenti melakukan kebiasaan itu.
--"Aku nggak mau naik motor kamu lagi", Natha menggerutu memandangi Rory dan motornya
yang sudah siap mengebut. Dia sudah mengenakan gaun pembelian itu, dan modelnya agak
sedikit panjang supaya pahanya bsa tertutup dengan baik saat duduk di atas motor.
"Ini nggak mau, itu nggak mau, harusnya kamu tinggal di gunung supaya nggak perlu
menyesuaikan diri sama orang lain", kata Rory, mulai lelah dengan sikapnya.
"Mau kemana?", Natha terdengar ketus untuk kesekian kali.
Rory tersenyum, "Jalan-jalan", jawabnya, "Apa kamu nggak bosan dua hari nggak ke manamana"
"Lebih baik tinggal di rumah daripada ikut kamu, dan aku sama sekali nggak tahu apa yang
kamu pikirin!", cetusnya.
Rory kembali menarik nafas panjang, menyabarkan hati yang akan memanas lagi. "Kalau kamu
tahu apa yang aku pikirin, sedetik pun kamu nggak akan bisa nafas", katanya, menyodorkan
helm yang belum sukarela diterima Natha. "Bukannya kamu mau paspor kamu kembali"
Paspor, adalah kata kunci yang tepat untuk membuat Natha yang malas bergerak. Rory tahu ini
sedikit jahat, tapi demi kebaikan juga.
"Pegangan!", katanya sambil menarik tangan kanan Natha yang menegang untuk memeluknya,
"Aku bisa dapat masalah lebih banyak kalau kamu jatuh"
"Oh ya" Aku menunggu masalahnya datang", tandas Natha.
"Oke, silakan jatuh dari motor, aku cuma berakhir di kantor polisi, sedangkan kamu...aku nggak
tahu", balas Rory, mengingatkan tapi ini ancaman secara halus untuk ke sekian kali. Kantor
polisi adalah temannya, yang diartikan Natha sebagai kriminal kelas berat yang seringkali
beruntung karena koneksi keluarga.
Motor melaju dengan kecepatan penuh, dengan sengaja. Dia tidak pernah menikmati hubungan
seaneh ini sebelumnya. Dia juga tidak pernah mendapatkan apa yang paling dia suka dengan
mudah. Selalu ada tantangan untuk itu.
--Rory kemudian disibukan oleh hal ini.
"Di dapur nggak ada apa-apa, kamu mau aku kelaparan sepanjang hari menunggu kamu
pulang"!", Natha menjelaskan, suaranya ketus.
"Jadi kamu mulai berusaha untuk hidup normal sekarang?", Rory yang berdiri di belakangnya,
mengikuti dengan misterius saat Natha memasukan sebungkus roti gandum ukuran besar ke
dalam ke ranjang. "Usaha bertahan hidup", Natha menegaskan.
Rory kembali tersenyum memperlihatkan lesung pipinya yang dalam, yang seharusnya
membuat mental gadis manapun yang melihatnya menjadi goyah, seperti kerupuk disiram air.
Tapi, Natha tidak menunjukan reaksi itu sama sekali. Ia justru membuang pandang, dan
melihat-lihat apa lagi yang bisa ia kantongi dari supermarket. Seperti mentega, susu dan
seharusnya ia mengambil seikat salada juga tapi di rumah itu sama sekali tidak ada kulkas untuk


Mengurung Bidadari Karya A Rita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyimpannya. Dan Natha benci meses dan coklat. Tapi ia melihat pilihan yang lebih baik, yaitu
selai buah nanas dan strawberry.
"Ini apa?", tanpa sadar Natha bertanya menemukan selai berwarna hijau di antara pilihan yang
terlalu banyak dan membuatnya bingung di depannya.
"Selai sarikaya", jawab Rory, melihatnya sebentar dan ia baru sadar di Jerman selai sarikaya
tidak dijual. "Sarikaya?", Natha bahkan tidak tahu sarikaya itu buah yang seperti apa.
Rory tidak pernah melihatnya buahnya secara langsung, tapi "sarikaya" tertulis di labelnya. Lalu
mengangkat bahu, "Rasa tradisional mungkin", katanya, "Kalau nggak salah itu hanya ada di
Indonesia" Natha mengangguk sedikit dan masih ragu untuk mencobanya atau tidak, tapi Rory
mengambilnya dan memasukannya ke keranjang.
"Nggak ada salahnya dicoba", katanya sambil menarik Natha pergi dari rak khusus selai, untuk
melihat yang lain. Rory menuju rak yang dari ujung ke ujung adalah tempat khusus untuk mie instan. Si keriting
adalah makanan paling praktis bagi bujangan yang tinggal sendiri dan tidak bisa memasak,
apalagi saat hujan dan dingin yang nggak memungkinkan untuk mencari makanan lain di luar.
Tinggal siram air panas, tunggu tiga menit, dan jadi. Di rumah Rory tidak punya peralatan
masak, hanya beberapa piring dan gelas kaca pada sebuah keranjang kecil dan jarang dicuci jika
dia terkadang tidak pulang. Dalam sehari Rory bisa makan enam bungkus mie instan, tiga kali
sehari, dua sekali makan.
"Soto ayam, kari ayam, ayam bawang,", Rory menyebutkan satu persatu sambil memasukan
yang dimaksudnya ke dalam keranjang yang dibawa Natha.
"Hah?", Natha mengernyit saat jumlahnya melebihi dari kapasitas keranjang dan pastinya ini
makin berat, serius si gila ini mau makan mie tiap hari"
Natha diam-diam menaruhnya kembali di rak, selagi Rory sibuk mencari-cari pilihan rasa yang
lain. Dan ia tidak menyadari itu.
"Cukup!", kata Rory telah sangat yakin bahwa dia nggak akan kehabisan stok selama seminggu.
Tapi, dia terkejut melihat tidak ada satu pun mie instan ada di dalam keranjang Natha, "Kok?"
"Aku nggak suka mie instan", katanya dengan ekspresi menjengkelkan itu lagi.
"Aku nggak bilang itu untuk kamu", Rory kesal dan mengambil yang lainnya dan memasukannya
kembali ke keranjang, tidak peduli lagi itu rasa favoritnya atau bukan. Matanya menatap mata
Natha sekali lagi. Sementara tangannya memindahkan bungkusan-bungkusan itu ke keranjang.
"Harusnya kamu ambil keranjang sendiri", balas Natha, mengeluarkan kembali mie instannya
dan mereka tampak mengobrak-abrik tempat itu hingga memancing perhatian penjaga
supermarket yang tidak senang dengan kelakuan mereka. Mendengar suara gemerisik bungkus
mie yang terjatuh ke lantai, memperhatikan mereka keduanya dengan dahi.
Rory terpaksa memunguti kembali beberapa bungkus yang terjatuh ke lantai dan menaruhnya
di tempat semula. Ia jadi kehilangan selera untuk makan mie instan dan dia terpaksa mengikuti
Natha dan keranjangnya pergi ke konter buah-buahan.
--"Itu terlalu banyak", keluh Rory yang melihat Natha kerepotan dengan barang belanjaannya
saat naik ke atas motor. Selain berat, juga bagaimana cara Natha membawanya dua kantong belanjaan atas motor
dengan cara duduk yang feminin.
Natha baru sadar kebodohannya, memikirkan belanjaan yang ia bawa dengan susah payah
serta tidak menghiraukan bantuan Rory untuk membawa keduanya.
Rory ikut berpikir keras, saat mereka di parkiran dan harus segera pulang karena ini sudah
lewat dari jam delapan malam. Dan ia sedang memikirkan satu cara paling mudah supaya
mereka membawa pulang barang seberat ini, ketika Uki terlihat sedang melintas di tempat
parkir khusus mobil. Natha tidak bicara, dia cukup pintar untuk bisa menyatukannya menjadi satu kantong, dan dia
bisa menaruhnya di tengah saat di atas motor.
Tapi, Rory sudah tidak ada saat dia selesai merapikan belanjaannya. Tahu-tahu, cowok itu
sudah berada di seberang, berjalan di antara mobil-mobil yang tersusun rapi menghampiri dua
orang yang sama sekali tidak Natha kenali.
ooOoo BAB 7 Kandas "Gue ketemu Uki lagi semalam", kata Rory, murung.
Erris hampir tidak bereaksi, "Bukannya lo juga sering ketemu dia?", balasnya acuh tak acuh, lalu
menghisap sebatang rokok di sela jarinya.
Tidak ada kata yang keluar dari bibirnya
Hening. Erris tidak berkomentar, padangannya tertuju ke lapangan di bawah mereka, di mana hanya
ada sedikit orang yang melintas menuju kelas mereka masing-masing.
Rory terburu-buru menghabiskan sebatang rokok di tangannya setiap kali ia tidak bisa
menguasai dirinya atas situasi yang tidak dia harapkan atau tidak ingin dia ketahui. Ia makin
tidak tenang setelah satu batang habis, dan menyentil puntung yang masih menyala ke udara.
Puntung berasap itu jatuh di bawah kakinya. Rory mulai mencari satu lagi di dalam satu
jaketnya tapi itu batang terakhir yang dia punya, lalu Erris menyodorkan satu padanya. Rory
menyulutnya dengan tergesa-gesa, seperti orang yang gugup dan kedinginan.
"Dia jalan sama Chris" kata Rory, suaranya tercekat.
"Apa?", semburnya, menatap Rory tidak percaya. "Mereka kenal di mana?"
Rory membalas tatapannya itu, sedikit terguncang, "Ya, kemarin gue ketemu mereka", ia
meyakinkan Erris. Lalu mulai menceritakan suasana hatinya saat itu dan ia tidak sadar bahwa
Erris tidak benar-benar mendengarkannya, tampaknya Erris-lah merasa lebih terganggu dengan
kabar itu. Tubuhnya membeku saat Rory menceritakan pertemuan semalam dengan Uki, adik kelas
mereka di SMA dulu. --"Lo ngapain di sini?", itulah sapaan Chris ketika melihatnya datang menghampiri mereka yang
ingin segera meninggalkan mall.
Uki menutupi seragam kerjanya dengan cardigan hitamnya. Ia terkejut menemukan Rory sudah
ada di depan mereka sekarang
Chris adik laki-laki Rory satu-satunya. Meski Rory lebih tua dua tahun darinya, Chris sedikit lebih
tinggi darinya. Rory dan Chris tidak mirip. Chris hanya terlalu kurus dan putih, - kalau tidak mau
disebut pucat -. Rambutnya hitam dan berombak, wajah lebih tirus dan sepasang mata dengan
sorot dingin. Mereka berbeda secara fisik, tapi punya banyak kesamaan sekarang.
Mana Chris tahu mereka jauh dari sekedar kenal" Tapi, Chris lumayan menghormati Rory.
"Oh ya, ini Uki", Chris dengan bodohnya memperkenalkan gadis yang berdiri di sampingnya.
Rory terlalu terus terang, "Udah kenal", katanya, membuat Chris heran.
Uki terlihat bingung, setelah tadi begitu senang.
"Oh ya?", Chris berusaha mengendalikan keadaan. Tanpa mengalihkan tatapannya dari
kakaknya yang terpaku pada Uki. "Kapan?"
"Kita teman dari SMA", jawab Uki ragu-ragu dan ia berusaha mengangkat kepalanya, tapi
takut. "Oh ya?", Chris tercekat pada suaranya, ia memandang Uki lalu Rory. "Kebetulan kalau gitu"
"Ya?", Rory mulai menguasai dirinya, "Dulu Uki teman sekelas gue di SMA" Kita dekat?"
"Aku juga dekat sama Laras, Damar dan"Erris", sambung Uki, "Aku nggak tahu kalian saudara"
Rory masih berusaha untuk tersenyum, "Ya, Uki dekat sama setiap orang?", katanya. "Kalian
pacaran?" "Ng"Nggak kok!", kata Uki, alisnya ditarik ke atas, bibirnya tersenyum,
Tawa Rory mulai terdengar, "Pacaran, juga nggak apa-apa lagi", katanya.
Chris langsung mengerti, yang ingin ia lakukan adalah menjauhkan Uki dari tatapan menakutkan
Rory. Chris membukakan pintu mobil untuk Uki, sebelum ia berjalan mengitari mobil sedannya
dan mengawasi ke mana tatapan Rory tertuju.
"Kita selesaikan ini nanti", ia memperingatkan ketidaksukaannya pada suasana kikuk tadi, pada
Rory, seakan ia berani baku hantam untuk memperebutkan Uki, jika diperlukan. Chris yang
sudah menyiratkan arti dari suasana ini.
Tapi, kenapa harus Uki"
--- Rory mematikan TV yang berisik dengan remote-nya. Lalu membantingnya ke karpet yang
terbentang di depannya. Ia berusaha keras untuk tidur, mungkin dalam keheningan akan sedikit
membantu. Ia sudah mematikan semua lampu dan sekarang dirinya, dalam gelap tanpa suara,
berusaha memejamkan mata.
Tapi, kejadian lama seperti menghantuinya kembali, terpapar pada kegelapan, bagaikan
proyektor yang menerangkan bagaimana semuanya terjadi dari awal sampai akhir.
Chris menelpon berkali-kali sejak ia mencoba tertidur tapi belum mendapatkan kesempatan itu.
Ia mengajak berdebat dalam SMS-nya dan memberitahu Uki tidak mau lagi bicara ataupun
bertemu dengannya lagi. Rory tidak habis pikir, dalam beberapa hal Chris bisa sangat bodoh. Ia cukup maklum selama ini
dia hanya tahu stetoskop dan jarum suntik. Rory tidak menanggapi semua itu dan berusaha
menenangkan dirinya sendiri. Pantas Uki menolaknya lagi...
Setiap memikirkan Uki, ia tidak tenang. Setiap mengingat Uki, siksaan kembali datang. Rory
masih tersesat dan setiap kali ia berusaha mencari jalan keluar dari labirin itu, ia bertemu jalan
buntu. Uki meninggalkan pertanyaan yang tak pernah bisa terjawab olehnya.
Tapi, dalam keheningan, samar-samar Rory mendengar sesuatu. Ia baru sadar, ia tidak sendirian
di rumah ini. Ia bangkit dari sofa tidurnya, menatap ke pintu kamar satu-satunya di mana Natha
seharusnya sudah tidur jam segini. Ia melihat cahaya lampu membias dari celah pintu.
Natha belum tidur. Ia sadar akan hal itu saat memberanikan diri, membuka pintu itu dengan
sangat pelan untuk mengintip. Bidadari itu, duduk pinggir tempat tidur, membelakangi pintu
sehingga Rory tidak bisa melihat wajahnya.
Namun, punggungnya tampak gemetaran saat ia berulang kali menyeka wajahnya dengan
perasaan kesepian. Pasti menangis lagi, pikirnya. Lalu dengan pelan pula ia merapatkan pintu
dan membiarkannya. Sampai saat ini, gadis ini masih adalah sebuah misteri. Sudah tahu tidak suka di sini, dia masih
bertahan untuk menantangnya. Andaikan dia bisa sedikit berterima kasih padanya, semuanya
pasti akan lebih mudah. Tapi, jika Rory mengembalikan paspornya begitu saja, kejadiannya akan
lain. Dia tidak akan terlibat dalam urusan pribadi orang lain, semakin jauh. Karena Rory sudah
memikirkan cara untuk membalas Kevin. Sebuah rencana yang pasti akan membuat Natha
terkejut. Setelah itu, Rory akan melepaskannya...
--"Kita mau ke mana lagi sekarang?", Natha tidak pernah berkata dengan cara yang lebih baik
padanya. Selalu penuh dengan amukan seolah Rory memintanya melakukan hal yang paling
tidak masuk akal. - mengenakan setelan kaos hitam dan celana pendek milik Rory.
Rory mencela gaya berpakaiannya lagi.
"Kita mau naik motor", jawab Rory meletakan setelan itu di atas tempat tidur, "Kamu masih
ingat saat kamu hampir jatuh memakai baju konyol itu sambil menahan belanjaan di atas
motorku?" Natha memutar matanya, dia belum menyerah untuk mengikuti kemauan Rory sekali lagi
terhadapnya. Dia tidak akan membiarkan Rory memaksanya lagi, apalagi soal berpakaian.
Belakangan ini dia terlalu takut bila passpor-nya tidak pernah dikembalikan dan sadar passport
adalah password bagi Rory untuk membuka sistem kerjanya.
"Aku capek", kata Rory padanya setelah menghela nafas, "Begini aja, setelah ini aku balikin
paspornya, gimana?" Natha tidak langsung percaya, cowok ini licik dan tidak bisa dipercaya. Menginginkan dirinya di
sini, tapi malam itu dengan jelas dia tertarik pada cewek yang dia temui di parkiran mall
bersama cowok lain. Natha melihatnya kemarin. Sejak malam itu, Rory menjadi pendiam. Apa
untungnya bagi Rory menawan dirinya"
"Aku juga capek seperti kamu", Rory berkata dengan lebih tenang, "Aku janji setelah ini
paspornya aku balikin"
Natha mengernyit, "Kalau kamu ingkar janji?",
"Aku jadi anak anjing deh", katanya tersenyum dengan lesung pipinya.
Natha membuang pandang, betapa ingin ia tersenyum, karena semua ini akan segera berakhir.
Tapi, itu adalah kelemahan yang tidak boleh ia perlihatkan pada cowok yang pasti penuh
dengan akal bulus ini. --Natha tidak tahu ini di mana.
Rory memarkir motor di parkiran khusus motor dan sisanya mereka berjalan kaki melewati
komplek perumahan bergaya Mediteranian yang pastinya hanya dihuni oleh orang-orang yang
kelebihan uang dalam hidup mereka. Di mana mobil-mobil mewah terparkir rapi di garasi dan
Natha tidak terlalu antusias, dengan lingkungan yang asri beserta patung-patung dan air
mancur yang menjadi ikon real estate ini.
Akhirnya, mereka tiba di depan sebuah pintu.
"Jangan bilang kamu mau mengurung aku di sini sekarang", Natha mengernyit padanya saat
Rory mengeluarkan kunci untuk membuka pintunya.
Lalu masuklah keduanya dengan Natha terlebih dahulu, agar ia melihat apartemen ini bukan
miliknya, tapi milik orang lain dan entah dari mana dia mendapatkan kuncinya.
Natha terkagum melihat interior-nya yang sederhana dan klasik, ini mengingatkannya pada
seseorang. Kevin! Ini adalah rumah Kevin!
"Ini gila!", teriaknya pada Rory yang sudah mengantisipasi akan mendapat reaksi itu dari Natha
ketika mengetahui ia telah menemukan cara yang cocok untuk melampiaskan kekesalan.
"Lakukan apa yang mau kamu lakukan sekarang", kata Rory, mempersilahkan Natha untuk
merusak sesuatu lebih dulu.
ooOoo BAB 8 No Goodbye Natha hanya bisa tertawa saat dalam keadaan tidak sadar. Meski begitu ini seperti kejutan di
saat Rory mengira saat mabuk, Natha akan mengamuk lebih gila dari yang ia lakukan di rumah
mantan pacarnya. "Minum! Minum!", seru Natha padanya menyodorkan satu sloki tiket pembebasan dari semua
masalah di dunia, yaitu mabuk.
Rory menggeleng, "Nggak, sayang. Kalau aku mabuk, siapa yang mau bawa motor" Kamu mau
kita berakhir di neraka karena sama-sama teler?", jelasnya, menepiskan gelas itu dari
hadapannya. Rory cuma duduk menikmati dentuman musik keras di bawah cahaya warna-warni
yang mulai membuatnya pusing.
Natha seperti gadis kecil yang menemukan mainan baru dan tak ingin dia lepaskan. Memiliki
dunia sendiri seperti anak penderita autis, mana peduli semua mata cowok-cowok lapar
menelisiknya dari ujung kaki ke ujung rambut. Natha lebih dari sekedar menarik bagi mereka,
juga bagi Rory yang lebih suka melihatnya seperti ini, memakai kaos dan celana pendek.
"Ya Tuhan...", gumamnya membuang pandang dari Natha yang tersenyum riang padanya. Takut
tergoda pada pesona vulgar dari gadis cengeng, manja dan kasar itu. Dia kembali ke kerumunan
penari amatir gila, memandangi gaya mereka yang ajaib terlihat keren bagi satu sama lain.
Mereka akan melakukan ini sampai tengah malam. Tapi, ia dan Natha harus segera pergi saat
gadis ini masih ingin satu sloki lagi.
"Kamu stalker!", katanya menunjuk Rory tepat ke wajahnya, "Kamu stalker!"
"Ya, paling nggak itu lebih baik daripada kamu bilang aku gigolo, dan kamu tahu, aku bukan
gigolo?", kata Rory menenangkan sambil menarik pinggangnya untuk segera meninggalkan
meja mereka. Natha memiringkan wajahnya dan menatap Rory, sambil menepikan rambutnya ke belakang
telinga, dia pasti tidak sadar tengah bicara apa. Natha tertawa lagi, "Aku nggak pernah ketemu
orang gila seperti kamu", katanya bertahan di kursinya dan sepertinya betah menjadi sorotan
orang lain, yang berpikir mereka gila, saling tarik menarik.
"Kamu yang gila...", gumam Rory.
Usaha Rory gagal, dia membiarkan Natha menunjuk ke bartender untuk satu sloki lagi, "Aku
janji ini yang terakhir", katanya meyakinkan Rory dengan manja, mengedipkan sebelah mata
hingga cowok itu tidak berkutik, "Aku nggak pernah mabuk, kalau minum kebanyakan aku bisa
mati..." "Oh ya, bagus kalau kamu sadar...", Rory menggeleng sambil duduk di tempatnya kembali,
mengawasi mata siapa saja yang belum ditarik dari tubuh Natha. Dia tidak suka, atau inilah
resiko membawa seorang cewek cantik ke tempat maksiat. Seperti sepotong daging segar di
tengah gerombolan singa lapar.
"Kamu bilang mau balikin paspor-ku, aku harus menikmati saat-saat terakhir dan terhebat
ini...", katanya, "Terhebat apanya" Kamu mengobrak-abrik isi rumah orang lain seperti banteng Rodeo, kalau
dia menyadari itu, kita bisa jadi buronan kelas teri", tukas Rory, tertawa dengan lesung pipi
yang terlihat sangat jelas di mata Natha hanya ketika dia sedang mabuk.
Natha menatapnya dengan sedikit lebih tenang sambil Natha berusaha keras untuk tetap sadar,
dan antara tahu atau tidak Rory terpaku padanya saat Natha menyentuh lesung pipinya yang
dalam dengan ujung jarinya, "Kamu...cowok aneh...", katanya sebelum tangannya yang lemas
lunglai jatuh ke atas meja bersamaan dengan kepalanya yang pasti terasa seberat satu ton.
Rory menggeleng-geleng, tersenyum membuang pandang sekali lagi, lalu melirik Natha yang
benar-benar mabuk, sekarang. Tidak lama ia memanggil seorang bartender, meminta satu sloki.
Bartender kembali dengan permintaan sederhananya, Rory langsung menenggak sampai habis
dan mendengar tawa Natha melihatnya menyerah pada ajakan atau...godaan Natha yang
membuatnya merinding barusan.
Natha masih tertawa, melihatnya tampak bodoh, karena sentuhan itu. Rory jelas berusaha
mengabaikannya dengan satu sloki dan sloki berikutmya.
"Aku nggak mau kita berakhir di neraka...", Natha mengingatkan tapi tawanya seakan
mengatakan "terserahlah".
Tapi bagaimana mereka akan pulang dengan keadaan yang sangat sangat mabuk"
--Pagi menyadarkan Natha dari tidurnya yang nyenyak. Dia sudah terbiasa dengan aroma cowok
itu karena tidur di tempat tidurnya. Kepalanya sakit, dia bertahan dan berpikir untuk bisa tidur
sekitar lima menit lagi. Tapi, aroma cowok itu sangat pekat tercium oleh hidungnya. Ia tidak
melihat pintu kamar mandi, pemandangan pertama yang biasa ia lihat setiap bangun tidur.
Melainkan sebuah meja rias dengan kaca yang besar dan ada TV LCD besar di meja sebelahnya.
Ini bukan kamar Rory! Natha bangkit dari balik selimutnya dan melihat Rory masih tidur di
sebelahnya. Dia tidak mengenakan kaos-nya! Sontak ia mendorong Rory kuat-kuat, menjauh
darinya. Mabuk mereka berakhir di tempat tidur kamar hotel.
Rory jatuh ke lantai yang di alasi karpet. Ia tidak terbangun, walau tubuhnya menghempas
lantai dengan keras.

Mengurung Bidadari Karya A Rita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Natha menjerit "Kenapa kamu bawa aku ke sini"!",
"Berisik!", tandas Rory yang masih mengenakan jeans-nya, tidak mau membuka matanya. Tidak
masalah jika harus tidur di lantai asalkan dia tida
k mendengar Natha berteriak telah terjadi
sesuatu padanya. Natha terdiam, lalu memeriksa dirinya. Dia menemukan dirinya masih berpakaian, mengenakan
baju cowok itu. Dia memastikan dia tidak kekurangan sesuatu apa pun pagi ini. Kaos dan jaket
Rory tergantung rapi pada sandaran kursi meja rias.
Rory sudah tidur lagi. Ia tidak kembali ke atas tempat tidur. Ia meringkuk di atas karpet
membelakangi Natha yang masih duduk di atas tempat tidur besar itu.
Ya Tuhan, ini pasti sejarah paling memalukan. Mabuk dan dibawa oleh cowok berandal ke
hotel!, Natha menggerutu. Dia mencoba mengingat-ingat kejadian semalam dan kemudian
tidak sanggup. Hatinya menjerit, mencoba mengingkari kilas balik di otaknya yang sudah
normal kembali. Tapi, tidak bisa.
--"Kamu...pasti punya kepribadian yang aneh", kata Natha yang menemukan Rory di halaman
belakang rumahnya tengah mengganti plat motor.
Kemarin Rory memakai nomor plat palsu supaya tidak bisa dilacak. Pantas juga Rory
menyuruhnya memakai topi dan merubah penampilan supaya tidak ada yang mengenali
sosoknya. Rory cuma nyengir, apapun yang Natha katakan sama seperti omelan Mama-nya yang basi.
Masuk kiri keluar kanan. Setelah selesai, ia membuka jok motornya untuk mengambil sesuatu.
Sebuah buku kecil bersampul merah tua.
Passport Natha! Rupanya dia tidak pernah menyimpannya di dalam rumah!
"Aku tepati janjiku sekarang", katanya menyerahkan benda itu dengan baik tidak seperti saat ia
mengambilnya dari Natha. Natha termangu, pada paspor yang selalu diharapkannya dan menjadi pintu baginya untuk
keluar dari dunia Rory yang penuh "kejahatan". Ia kesal pada dirinya saat ia tidak tersenyum di
saat yang seharusnya. Natha menerimanya dan ia melihat Rory yang dengan senang hati
memberikannya. Dia baru saja diperlakukan seperti wahana Roller Coaster di taman ria, di
mana orang yang menaikinya turun dengan perasaan puas, setelah permainan berakhir.
Sayangnya, Natha kecewa karena tidak ingin dianggap seperti itu oleh cowok manapun. Ia
nyaris tidak bisa menyembunyikannya. Kemarin, mereka melakukan hal yang lebih dari sekedar
menyenangkan di apartemen Kevin, mabuk di klub sampai tengah malam, lalu pulang pagi-pagi
dari sebuah hotel seperti pasangan nekat. Tapi sekarang, Rory seolah menyuruhnya pergi. Apa
seperti itu sifat asli semua laki-laki" Mengusir di saat tidak membutuhkan gadis yang sama
untuk petualangan yang berbeda"
"Yah, itu maksud ku", kata Rory kemudian, Natha tegang, berpikir Rory sedang membenarkan
pikirannya saat ini. "Aku nggak mengharapkan kamu berterima kasih atau apalah karena
sepertinya kamu nggak akan pernah melakukannya. Aku cuma kesal, karena dia pukul aku
sekali, dan nggak pernah ada yang berani sebelum dia. Sekarang, aku nggak bisa bilang itu garagara kamu, yaah...aku hanya berniat menolong walau kamu nggak pernah butuh, tapi aku tahu
kamu udah lebih baik sekarang"
Mereka sama-sama dikagetkan dengan suara klakson mobil yang berhenti di depan rumah. Dia
sedang menebak-nebak siapa yang datang, adiknya yang sedang marah padanya, atau Mama
yang sangat over protektif.
"Masuk!", Rory berkata dengan cepat sambil menarik Natha ke dalam kamar. Kelabakan dan
panik! Sebelumnya tidak pernah ada yang datang ke sini selain Ibu Endang yang menagih sewa, tapi
dia segera diam saat Rory memberi apa yang dia inginkan. Lalu tidak pernah datang dengan
gedoran pagi-nya lagi. Kali ini Rory sepertinya memiliki tamu yang menakutkan!
"Aku nggak mau!", teriak Natha protes tidak ingin masuk ke lemari satu-satunya yang paling
memungkinkan untuk jadi tempat persembunyian.
"Ssst!" desis Rory tetap mendorongnya pelan masuk ke lemari, "Itu Mama-ku, aku nggak mau
kamu berurusan dengan dia, oke?"
Natha mengerutkan dahi, ia pasti ingat sosok Mama-nya yang di kantor polisi itu. Nyonya jetset
cantik yang mudah ketakutan dengan suara seperti paku yang digeruskan ke papan tulis.
Rory menaruh telunjuknya di bibir saat Natha sudah berada di dalam, tidak mempedulikan
wajahnya yang cemberut karena terlihat sangat bodoh karena ini. Rory menutup lemarinya, lalu
gelap. Yang tinggal hanyalah hawa dari pakaian-pakaian milik Rory yang bersih dan wangi dari
laundry. Dan ia pasti menduduki barang-barang pribadi cowok itu, terasa sangat menggelikan
dan juga"memabukan. Natha jadi ingat apa yang terjadi semalam. Mereka tidur di tempat yang sama, dan ketika
bangun dari tidurnya, ia tengah memeluk tubuh cowok itu. Hawa-nya persis dengan hawa yang
ada di dalam lemari ini. --"Kamu baik-baik aja, Rory?", tanya Wanita berambut berombak hitam legam itu. Sambil
mengawasi sekitarnya seperti biasa.
Ia menelisik ke dapur dan menemukan tidak ada apa-apa selain piring-piring yang tesusun rapi
dan bersih di tempatnya. "Kamu udah makan?", tanya dia, menoleh ke Rory sebentar sebelum matanya tertuju pada
pintu kamar yang tertutup. Dia harus selalu memastikan hal ini. Tidak ada perempuan di kamar
Rory, walau Rory tidak pernah membawa seorang gadis ke rumah, namun ia tidak bisa
menyerahkan Rory begitu saja pada pergaulan anak muda jaman sekarang.
"Udah, Ma", jawabnya tegang sambil menghampiri sang Mama, "Oh ya, semalam aku ketemu
sama Chris, dia jalan sama cewek"
Sang Mama segera berbalik, perhatiannya teralihkan sejenak, "Oh ya?", dia menyipitkan mata.
"Chris sama cewek?"
"Yaah, aku sih nggak tahu kalau itu pacarnya atau bukan?", jelas Rory.
Sorry, Chris", ucap Rory dalam hati di saat ia perlu membicarakan ini agar Mama-nya menjauh
dari pintu kamar. Rory ingat, ada koper Natha di sudut kamar dan juga barang-barangnya yang
lain. Dia tidak ingin Mama-nya menemukan semua itu.
"Gimana orangnya?", tanya sang Mama, antusias, benar-benar teralihkan. "Cantik?"
Tidak bisa juga dibilang begitu, Uki hanya sekedar menarik. Dia berkepribadian lurus,
menyenangkan, periang dan ramah. Tapi, bagi Mama ini belum cukup. Dia harus berasal dari
keluarga yang setara dengan mereka juga.
"Mama langsung tanya sama Chris aja", Rory terjebak pada kata-katanya sendiri.
Chris akan mendapat interogasi panjang dari Mama setelah ini, pasti!
"Tapi"kayaknya Chris aneh belakangan", katanya bercerita, "Jarang di rumah, tiap ditanya
cemberut terus. Kira-kira dia kenapa?"
Rory angkat bahu, ia tersenyum, lalu menunjuk jam tangannya, "Aku harus berangkat ke
kampus, Ma", katanya.
--"Aduh!", Rory menjerit kaget, bukan kesakitan, saat Natha menyeruak dari dalam lemari,
terlihat marah dan lebih marah dari yang pernah dilihatnya.
Natha baru menamparnya dengan keras. "Kenapa harus lemari"!", protesnya geram.
"Aku pikir Mama masuk ke sini dan memastikan aku nggak jorok!", jawab Rory cepat dan masuk
akal. "Kenapa main pukul sih?"
"Aku mau jadi orang kedua yang mukul kamu! Kenapa memangnya"!", Natha maju selangkah
dan Rory mundur selangkah.
"Aku baru tahu kalau kamu kasar...", gerutu Rory, memandangnya dengan dahi berkerut.
"Ya, tapi kamu lebih buruk dari itu!", cerca Natha lagi, tampaknya melampiaskan sisa
kekesalannya. Rory tergagap, melihatnya marah, setelah kemarin dia membuat suasana hatinya menjadi
hangat, sekarang dia mendinginkannya dalam sekejap!
"Aku" Aku memangnya ngapain"!", protes Rory, tidak ada kesalahan lain selain berusaha
membuatnya pandai berterima kasih dan menghargai orang.
Natha kembali beraksi dengan tangannya, memukul tubuh Rory, "Kamu jahat!", teriaknya
jengkel saat Rory berusaha menghindarinya. Natha mengejar sampai dapat, memukulnya lagi.
"Jahat kenapa"!", Rory masih protes, menghindarinya supaya tidak ada kontak fisik yang
berlebihan. Pukulan itu lumayan sakit, di punggung, pinggang, bahu dan lengannya. Gadis ini
mengamuk seperti kemarin saat di apartemen mantan pacarnya! "Aku nggak pernah mencium
kamu! Nggak pernah melakukan yang nggak pantas sama kamu!"
Natha makin mengamuk, karena ucapannya.
"Hari ini kamu suruh aku sembunyi di lemari kayak pelacur, besok apa lagi"!", ia merajuk
ternyata. "Oh ya"! Aku nggak keberatan jadi pejahat yang sengaja mecuri kunci rumah orang lain,
memakai topeng monyet untuk kamu seorang! Supaya kamu bisa ketawa!" teriak Rory
menghindari serangannya yang brutal dan ia diperlakukan seperti baru saja ketahuan mengintip
seorang gadis mandi. "Kamu pikir gampang"!"
"Aku nggak minta kamu lakuin itu, bodoh!", teriak Natha lagi, tertunduk, berhenti sudah karena
lelah, lalu menangis, "Aku nggak pernah minta?"
Rory heran padanya, sikapnya berubah terlalu mendadak, seperti berkepribadian ganda dan dia
konyol jika menangis seperti ini. "Aku memang berkelakuan nggak wajar, tapi nggak pernah di
depan kamu. Di saat mabuk, aku berusaha untuk normal di saat kamu kelihatan?", keraguan
tampak di bibirnya yang bicara terus terang tentang semalam. Dan ini cara yang keliru untuk
berterus terang pada seorang "Natha".
"Kelihatan apa"!", celetuk Natha kembali terlihat gusar.
Gadis ini sangat melelahkan, gerutu Rory yang memutar matanya dengan tarikan nafas panjang,
"Kelihatan mengajak melakukan "sesuatu"! Kamu mana ingat!", jawabnya lantang.
"Apa"!", sembur Natha kembali meringankan tangannya terhadap Rory.
Rory bersedekap, bertahan dari pukulan itu hingga akhirnya dia memegangi kedua tangan yang
berusaha menyakiti fisiknya. "Aku mabuk! Kamu lebih parah! Kita sama-sama hilang akal!
Ajaibnya nggak terjadi sesuatu di saat yang paling mungkin untuk?",
Natha tidak tahan membayangkan apa yang tidak bisa ia ingat dengan baik. Dia sudah berusaha
memblokir bayangan itu. Rory yang mabuk sambil menggendongnya, mereka masuk kamar
hotel menertawakan sesuatu. Natha bahkan juga ingat, Rory tersandung dan mereka samasama menghempas lantai beralas karpet, sebelum naik ranjang.
"Stop!!", jeritnya, hingga Rory terdiam, tercekik oleh suaranya yang melengking. Natha tidak
mau dengar lagi, sekalipun hatinya tidak bisa meragukan cowok itu benar. Dia hanya malu,
pada dirinya, juga Rory yang entah mengapa terkesan berbeda dari biasanya.
Rory melepaskan kedua tangannya, setelah mereka saling diam beberapa saat. "Kamu nggak
tahu aku jadi meragukan kenormalan aku sendiri sebagai cowok yang nggak terpancing di saat
seperti itu, dan kamu masih aja mengumpat", katanya tenang, "Dan harusnya kamu tahu itu
nggak gampang!" Kata-katanya terasa menusuk.
Rory terdengar menghela nafas lagi, sebelum meninggalkan kamar, "Kamu bebas sekarang!",
katanya membelakangi Natha sambil memijit kepalanya. Ia terkejut saat Natha menghampirinya dan mendekat.
"Plak!", satu tamparan keras lagi untuk Rory darinya.
"Aku nggak akan pergi ke manapun!", teriaknya ke telinga Rory, bergema ke setiap sudut
ruangan. ooOoo BAB 9 Mr. Stalker "Kenapa lagi sih?", tegur Damar yang akan menemaninya di sisa siang setelah semua kelas hari
ini selesai. Di tempat yang sama, di tempat mereka sering menjatuhkan puntung rokok, tanpa peduli
kepala siapa saja bisa tersengat olehnya, tidak terkecuali dosen killer. Untungnya belum pernah
ada kejadian seperti itu.
Hari ini bersama Damar, di saat Erris masih ada kelas.
Rory tersenyum simpul, menggeleng beberapa kali, mempercayai belakangan ia banyak
melakukan hal yang lebih gila. Rory tertawa misterius saat Damar membicarakan Hilda, pacar
barunya. Dia membayangkan, hari-hari ke depan pasti akan terasa sangat panjang.
"Sinting?", gumam Damar menggeleng-geleng melihat kelakuannya. "Jadi gimana dengan
cewek itu?" "Hah?", Rory menoleh padanya dengan senyum yang belum sirna dari bibirnya, "Apanya?"
"Cewek yang lo ceritain hari itu. Dia"lebih cantik, atau"lebih jelek dari Uki?", tanya Damar
penasaran sekali. "Lebih cantik dari Hilda", jawab Rory puas melihat raut Damar berubah.
"Ya deh?", katanya cemberut, "Terus?"
"Baru sekali ini ketemu cewek yang berusaha menghukum gue", jelasnya.
"Wow?", Damar tertawa, "Kalau gue pasti suka sama hukumannya?"
"Gue nggak suka dihukum"
"Nggak seru lo! Masa gue dapat ceritanya doang, kenalin dong"
"Ya, nanti gue kenalin?", kata Rory datar.
--Chris datang ke rumah malam-malam. Dengan banyak pertanyaan yang seperti benang kusut di
kepalanya. Hubungannya dengan Uki tidak berjalan baik, dia menyiratkan itu pada tatapannya.
Rory melihat raut wajahnya yang kusut, seperti kalah perang. Dia tidak seperti biasanya. Meski
selama ini Rory selalu terus terang padanya bahwa Chris terlalu angkuh, tapi pada saat ini Rory
tidak berani mengatakan adiknya itu 'kualat'. Kualat karena dia berpikir belum akan
membutuhkan perempuan dalam hidupnya.
Namun, Rory tidak banyak berkomentar. Karena yang menghukum adiknya adalah gadis yang
sama yang selalu mematahkan hatinya. Dan sekarang juga telah menghancurkan hatinya
menjadi kepingan. "Gue ditolak selama enam tahun", jelas Rory, mau tidak mau harus membicarakannya juga. Dan
memang tidak ada yang bisa ia komentari lagi selain, mengatakan apa yang pernah ia rasakan.
Meski itu sama sekali tidak membantu, "Kita saling kenal satu sama lain, tapi gue nggak pernah
tahu apa yang dia mau. Setahu gue dia nggak pernah punya pacar"
"Dia pernah, Ror", cetus Chris, duduk di teras berhadapan dengan Rory yang duduk di
motornya. "Sekali"
"Oh ya?", Rory jelas terkejut. Setahunya tidak pernah. Dia sudah menyantroni Uki sekian lama
dan memastikan tidak ada yang mendekat pada Uki. Kasarnya, dia menyingkirkan semua orang
yang berusaha mendekati Uki!
"Dia sendiri yang cerita", sambung Chris, "Dia pernah pacaran lalu putus."
"Dia pasti bohong", kata Rory, "Itu hanya alasan. Kalau benar, dia pasti juga pakai alasan yang
sama buat nolak gue"
Chris lebih percaya Uki daripada Rory, dia masih ingat raut wajah Uki saat berterus terang
padanya, "Dia nggak ingin disakiti",,
Rory menghela nafas, "Gue juga nggak tahu", katanya, dan ikut bingung. Kembali ke masa-masa
yang sudah dia anggap kekeliruan besar. Tanpa sadar waktu berjalan cepat dan dia tidak peduli
banyak hal yang ia lewatkan hanya untuk menunggu seseorang yang tidak akan pernah bisa
mencintai dirinya. Menyedihkan.
Tapi, Rory tetap menjadi dirinya yang biasa. Dia kuliah, bekerja, bertemu teman-teman dan
bersenang-senang. Sedangkan Chris, hanya punya dirinya seorang di saat ia tidak bisa
mengatasi kesepiannya. "Gue udah pikirin ini semalaman", kata Chris, "Gue merasa ada yang aneh, gue hanya"nggak
ngerti sama sikapnya Uki. Apa dia bakal menolak semua cowok yang mendekati dia sama alasan
itu?" Rory mengangkat bahunya. Dia ingin mengakui, dia tidak tahu apapun soal cewek. Dia tidak
tahu bagaimana cara mereka berpikir. Kalau Rory tahu, dia akan bisa "menjinakan" Natha
dengan mudah. "Lo pernah tahu alasan dia nggak pernah suka sama lo?", tanya Chris, wajahnya tampak putus
asa. "Dia cuma bilang itu nggak mungkin", jawab Rory malas-malasan. Apapun alasan Uki menolak
sudah ia buang jauh-jauh dari pikirannya, dan itu terjadi secara tidak sengaja. Dia tidak
menyimpan kenangan itu lagi di benaknya.
"Gue merasa"Uki menghindari kita, karena kita ada hubungan dengan sesuatu yang nggak dia
inginkan, Ror", Oke, Chris memang mempunyai analisa dan nalar yang tinggi, itu membedakan dia dengan
Rory. Masalahnya, perbedaan itu membuat Rory sama sekali tidak mengerti. Dia terlalu malas
berpikir. Chris gemetaran, Rory tahu itu. Dia tidak pernah uring-uringan, tidak pernah terlihat sekacau
ini. Dia bercerita dengan singkat, lalu pergi bersama mobilnya. Entah ke mana. Kemungkinan
besar dia tidak akan pulang ke rumah. Kemungkinan yang lebih besar lagi adalah dia akan tetap
memaksa Uki menerimanya. --"Aku juga punya adik cewek, untungnya kita beda jauh dan nggak pernah memperebutkan
cowok yang sama,", komentar Natha, saat Rory masuk ke dalam dengan wajah lesu. Ia sedang
makan roti selainya seperti balita. Dengan mengenakan pakaian kesukaannya. "Kakak beradik
yang ditolak oleh orang yang sama, itu kutukan!"
Rory melompat ke sofa empuknya dan berusaha untuk mengambil ketenangan dari suasana
hening di rumahnya. Natha mendengar semuanya dari dalam di saat ia harus sembunyi dari semua orang yang
datang. Namun, juga sudah terbiasa dengan suasana saat Rory pulang dalam keadaan lelah,
marah ataupun senang, dari menguntit atau dari mana saja dengan motor-nya berbunyi nyaring
dan mengganggu. "Aku nggak tahu itu", balas Rory yang menanggapinya dengan malas. Sambil bangkit kembali
untuk duduk, "Aku mau keluar, kamu ikut nggak?"
"Naik motor?", Natha mengernyit, "Kayaknya nggak"
Rory menghela nafas, sambil berdiri.
Natha meliriknya sambil menyeka selai berwarna merah yang melekat di bibirnya, "Jangan
bilang aku harus nurut sama kamu lagi", ucapnya, menantang.
Dunia ini selalu penuh dengan orang-orang yang menantangnya, pikir Rory tersenyum sendiri,
lalu melirik Natha yang menatapnya dengan pandangan melecehkan, "Harusnya, karena kamu
tinggal di rumahku", ia menegaskan, "Tapi, apa boleh buat, aku mengeluarkan energi dua kali
lipat hanya untuk bicara dengan kamu, belum lagi kalau ujung-ujungnya jadi ribut"sekarang


Mengurung Bidadari Karya A Rita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terserah kamu. Aku nggak mau capek"
Natha berusaha untuk tidak merengut, dia balas tersenyum, "Oh ya?"
Rory segera berlalu dari hadapan Natha menggenggam kunci motornya. "Bye, Princess?",
katanya sebelum menghilang di balik pintu.
--"Aku baik-baik aja"aku bukan anak kecil lagi?", itu terdengar seperti meyakinkan seseorang.
Gadis itu bisa juga berbicara dengan lebih lembut, tapi pada siapa" "Jangan berlebihan"iya iya,
aku tahu kok?" Rory berdiri di pintu kamar menunggunya selesai dan Natha terperanjat melihatnya.
Natha baru saja menghubungi seseorang dengan handphone yang langsung ia sembunyikan
begitu melihat Rory. "Jadi itu adik cewek yang kamu ceritain?", tegur Rory dengan santai-nya masuk tanpa izin
apalagi menguping pembicaraan, "Apa dia antik"dan nggak masuk akal seperti kamu?"
"Jangan mulai", tukas Natha berdiri merapikan pakaiannya dan berjalan melewati Rory menuju
dapur, "Aku lagi malas ngeladenin kamu"
"Tapi, kamu harus sering berurusan sama aku. Ingat, Renatha", Rory mengikutinya sampai ke
dapur, melihatnya mengambil roti untuk diolesi selai sebagai makan malam, "Serius, mau
makan itu tiap hari dari pagi sampai malam?"
"Enak makanan cuma sampai tenggorokan, kamu tahu?", tukasnya, membuka tutup selai
strawberry dan menyiapkan pisau untuk mengolesnya di atas roti gandum. "Yang penting nggak
mati kelaparan di tempat kayak gini"
"Oke! Oke!", Rory tertawa di sela kata-katanya, "Aku juga nggak mau kita berdebat lagi
sekarang" "Lalu?", Natha meliriknya sejenak sebelum menyelesaikan roti isinya.
"Kita keluar gimana?", ajak Rory dengan lebih bersahabat, dan ramah. "Hitung-hitung awal
yang baik karena sekarang kita tinggal serumah tanpa ikatan"
"Ada masalah dengan ikatan?"
"Ini bukan Jerman, atau negara barat lain yang menjadikan hal seperti ini biasa", Rory
menjelaskan saat Natha melangkah ke ruang depan lalu ke kamarnya. "Kamu nggak sadar kita
terlihat aneh"!"
"Nggak ada istilah "kita", Mr. Stalker", Natha balas mengingatkan sambil meraih gagang pintu
bersiap untuk menutupnya, "Ini konsekuensi atas apa yang kamu perbuat ke aku"
"Apa"!", Rory tertawa, dan pintu tertutup di depan wajahnya. "Aku nggak menghamili kamu!
Kenapa aku harus bertanggung jawab"! Jangankan tidur sama-sama, mendekat sedikit aja aku
langsung dilabrak!" "Aku nggak suka tato!", teriaknya
"Kamu juga alergi tato selain alergi daging"! Oke, itu jenis alergi yang paling aneh yang pernah
aku tahu!", Rory ikut berteriak di depan pintu.
"Aku nggak suka rokok! Aku nggak suka minuman!", balas Natha, "Aku nggak suka stalker,
karena itu pekerjaan paling bodoh dan aneh yang pernah aku lihat!"
"Lalu apa kamu mau menjadikan aku cowok abnormal yang disfungsional"!"
Tidak ada jawaban dari dalam.
Sialan, gerutu Rory. "Ini malam minggu! Harusnya kita kencan, ciuman, apapun supaya ini nggak
kelihatan aneh!", teriak Rory masih di depan pintu, "Ya ampun, aku jadi ikut-ikutan aneh sejak
ada cewek aneh yang dulu ingin pulang dan saat sekarang dia punya kesempatan, malah
kepikiran buat balas dendam sama orang yang dia nggak tahu persis seperti apa"!"
Pintu terbuka, ia mendongakan kepalanya keluar, "Yang aneh itu kamu, Mr. Stalker!",
tandasnya, dan hendak menutup pintunya kembali.
Rory menahannya segera, sebelum tertutup kembali. Mulai tarik menarik. Namun, Rory jauh
lebih kuat darinya. Natha langsung mundur beberapa langkah, sebelum pintu itu mengenainya.
Natha bersikeras tidak ingin ke mana pun. Wajahnya pasti tampak kesal dan matanya
tersembunyi di balik rambutnya yang terurai.
"Oke, Miss Broken Heart. Sekarang keluar dari kamar, kita pergi ke tempat yang lebih asyik",
ujar Rory yang tersenyum angkuh padanya. Menunjukan siapa yang berkuasa sebenarnya. "Aku
yang punya rumah aja nggak betah tinggal di sini seharian, apa lagi ikan mas kayak kamu?"
"Aku bukan ikan mas!", celetuk Natha menepiskan tangan Rory yang menarik tangannya.
"Oke, putri duyung.", Rory lebih sabar dari biasanya. "Ayo kita pergi sekarang"
Putri duyung yang na?f merengut, berteriak dalam hati, cowok sinting!
"Kenapa serius begitu sih" Aku cuma bercanda.", ujarnya membujuk.
--"Mr. Stalker apaan tuh?", tanya Laras, menatap Natha penuh tanda tanya di wajahnya.
Natha tersenyum singkat padanya, "Dia suka menguntit orang", jawabnya pelan dan berbisik
sambil mendongak ke Laras yang menyambutnya dengan tawa keras.
"Oke, Ladies! Ini dia!", Rory menyela sambil menaruh dua bir kalengan di antara mereka, lalu
duduk di samping Natha. "Kamu bercanda?", cetus Natha melirik minuman itu lalu Rory, ia menggeleng penuh
kesadaran. "Non-alkohol", jelas Rory, tersenyum pasti, "Tapi, ini juga nggak dibolehkan buat anak dibawah
umur" Natha memutar matanya di saat Laras tidak berhenti tertawa dan Erris bingung sejak Rory
memperkenalkan gadis itu pada mereka. Gadis yang mereka ingat betul seorang bomber yang
mengacaukan suasana beberapa saat di bandara. Serta membuat Rory nyaris dipenjara.
Seumur-umur mengenal Rory, baru sekali itu Rory berkelahi karena membela cewek.
Natha mengambil satu botol sambil menatap Rory tajam.
"Eit!", kata Rory merampasnya kembali dari tangan Natha dan menaruhnya di depan Erris,
mengisyaratkan kaleng itu bukan untuknya. Lalu mengambil satu lagi yang tersisa di depan
Laras. "Kalau mereka sih udah biasa dan nggak akan ribut pagi-pagi saat bangun di tempat asing
dalam keadaan telanjang"
Laras mendengus, gusar. Erris cuek, pura-pura tidak mendengar.
Itu jelas-jelas sindiran setelah mengatainya di bawah umur. Rory seolah memamerkan
keahliannya mempermainkan Natha di depan teman-temannya. Dia selalu tertawa, memancing
tatapan keterpesonaan dari gadis-gadis yang melihat lesung pipinya. Lalu ini akan mengganggu sejenak, saat seorang teman di kampus menghampiri untuk ikut
minum bersama. Cewek itu menghampiri Erris yang sedang memainkan rokok di tangannya dengan sedikit teler,
"Hei, Erris", sapanya disambut dengan alis Erris yang terangkat sedikit. Dia berhenti di Rory
yang daritadi memperhatikan gerak-geriknya, "Apa kabar?"
"Bagus", jawab Rory, tersenyum selagi Megi memperhatikan sosok yang tampak alim di
sampingnya. Perlahan senyum Megi tampak wajar, tapi dia mulai mengangkat dagunya dengan
senyumnya yang tersisa pada Natha, jadi Rory merangkulnya "Dia Little Mermaid"
Megi tertawa, "Oh ya?",
Natha sepenuhnya menolak, dia mendorongnya sekali, tapi cukup kuat. Hingga lengan Rory
terlepas dari bahunya, dan Rory kembali tertawa padanya.
"Dia adik kamu?", tanya Megi.
"Dia cewek, bukan cowok", jawab Rory berkelakar saat Natha merengut padanya karena sikap
itu, "Semua tahu aku cuma punya adik cowok"
Laras dan Erris, menahan tawa dan lama-lama makin cekikikan bersama alam bawah sadar
mereka yang ikut mabuk. Megi langsung sadar, kehadirannya tidak diinginkan dalam geng itu.
Dia selalu ingat mereka tidak pernah ingin menambah anggota baru. Jadi dia langsung pergi
setelah bilang teman-temannya memanggil. Padahal tidak sama sekali.
Mereka hanya menunggu satu orang lagi untuk bergabung. Seorang cowok berbadan tinggi
besar dan berisi, dengan ciri khas rambut spike Mohawk-nya dengan nuansa warna blue-black.
Damar tampak mencolok dengan model rambut barunya. Ia menerobos segerombolan orang
yang hendak turun ke lantai dansa untuk menghampiri mereka.
Damar datang sendiri tanpa sosok Hilda yang pernah ia elu-elukan belakangan ini, dan dia satusatunya yang belum berkenalan dengan Natha. Sejenak Damar jadi melupakan Hilda yang
cantik. Natha meliriknya, Damar tampak berbeda dari tiga orang menjengahkan ini. Lalu tersenyum
saat berjabat tangan dengannya.
ooOoo BAB 10 Heartbeat Natha tertawa, dia membicarakan Damar terlalu banyak. Seakan semua indra perasanya yang
sekian lama tertidur mengalami disfungsi, telah bangun begitu melihat Damar. Apa
istimewanya dia" Rory sedikit menggerutu, ada apa dengan dunia ini saat kebodohan Damar itu
menarik bagi cewek angkuh seperti Natha" Mereka berkenalan dan Damar melawak.
Natha sekarang terlihat seperti gadis 15 tahun bertemu cinta pertama-nya, atau Rory terlalu
berlebihan pada situasi di caf? tadi. Mereka tertawa. Damar mengajak Natha turun ke lantai
dansa, memegang tangannya dan menari bersama. Jika Rory tidak melarangnya, Natha akan
setuju untuk minum dan pulang dalam keadaan mabuk.
Sesungguhnya, hanya ingin menghindari situasi itu. Melihat Natha mabuk, satu kesempatan
bedebah akan mengambil alih dirinya dan dia akan menyesali itu selamanya. Akan terasa lebih
baik saat seorang gadis menyerahkan dirinya dalam keadaan sadar, meski itu juga bukan
perbuatan terhormat. Tapi, dalam kondisi tertentu, Natha seolah terlihat menginginkannya
namun bisa berubah dalam sesaat sehingga gadis itu pasti langsung menendangnya dari tempat
tidur. Aku akan mati, pikirnya sambil membaringkan tubuhnya yang lelah di atas sofa merahnya.
"Aku pikir kamu berteman sama tipe yang sama", komentar Natha saat ia berjalan menuju ke
kamarnya. "Tipe yang sama?", Rory mengernyit. Ia bangkit kembali, mengikuti Natha ke dalam dan mereka
perlu bicara soal sesuatu yang baru saja terlintas di pikirannya.
"Erris itu ngebosenin, Laras terlalu "cowok" untuk ukuran cewek, dan kamu"kamu Mr. Stalker",
jelasnya. "Jangan sering-sering dekat Damar, kamu nggak sadar Laras melototin seakan matanya mau
loncat dari rongganya?", ia memperingatkan dengan serius Natha yang akan masuk ke kamar
mandi. "Mereka nggak berhubungan kan?", Natha acuh tak acuh.
"Dulu mereka pacaran lalu putus,", ucap Rory. "Masalah itu masih terbawa sampai sekarang.
Aku sama Erris berusaha agar semuanya normal, dan kamu tahu akibatnya kalau masalah di
antara mereka panas lagi?"
"Dunia nggak akan kiamat kan, Mr. Stalker?", balasnya, sudah berada di balik pintu kamar
mandi dan hendak menutupnya.
"Dunia akan menangis karenanya, little mermaid?", kata Rory, "Percaya sama ucapanku"
"Separah apa sih kalau mereka ribut?"
"Lebih dari yang bisa terbayang oleh kepala cantik kamu itu, sayang", Rory meyakinkannya
sambil mendekat dan menahan pintu, ingin masuk. ?"aku pikir kita bisa memperbaiki
hubungan kita, walau cuma sedikit?"
Natha malah mencibir dan mendorong pintunya sampai tertutup rapat.
Udara menampar wajah Rory di depan pintu. Natha melakukannya lagi.
--"Leher gue sakit?", keluh Rory, sambil menggeliat, meregangkan semua otot dan persendian
yang belakangan mulai bermasalah.
Siapapun termasuk Erris tidak tahu, cewek yang semalam dia bawa ke perkumpulan mereka
tinggal serumah dengannya. Ia memang harus tidur di lantai karena sofa terlalu pendek untuk
tubuhnya. Tersiksa setiap malam demi seseorang yang menganggapnya penyakit menular.
Sekarang Natha selalu menghindari tatapan matanya.
"Lo nggak punya kerjaan baru?", tanya Erris, "Harusnya perabotan di rumah itu ditambah"
"Tunggakan bulan kemarin banyak. Sewa rumah, air, listrik, motor dan uang semester. Bayaran
terakhir gue habis?", jelas Rory sambil memijat lehernya sendiri, "Gue punya satu klien
sekarang" "Ibu-ibu yang suaminya selingkuh lagi?",
Rory menggeleng, lalu menggeliat lagi dengan mengangkat kedua tangannya ke atas. Memutar
pinggangnya ke kiri dan ke kanan sekali sentak.
"Terus?" "Bayarannya gede dan kerjaannya santai"
"Lo nggak nemenin tante-tante kesepian kan?"
"Sembarangan lo!", Rory sewot, meninju lengan Erris. "Gue juga nggak serendah itu kali"
Erris menunggu. Rory menarik nafas, "Natha tinggal di rumah gue sekarang. Dia bukan WNI, dan sebentar lagi
juga visa-nya habis", jelas Rory lesu.
"Lo sinting!", nada suara Erris meninggi, "Lo mau dituduh menculik WNA?"
"Dia yang minta untuk tinggal dan bilang mau membalas perbuatan gue", Rory tidak bisa
menahan tawanya teringat akan ekspresi Natha ketika mengancamnya, Natha bilang tidak akan
melepaskannya sampai sakit hatinya terbalas. Sakit hati karena apa" Rory bertanya padanya
tapi dia tidak menjawabnya dengan pasti. Dan satu-satunya alasan yang dia katakan adalah
karena pernah menyita passport-nya.
"Perbuatan apa?"
"Gue cuma pernah sita passport-nya Natha kira-kira seminggu", jelas Rory, "Sejak kejadian di
kantor polisi itu, gue hanya ingin kasih sedikit" pelajaran"
"Tinggal serumah, berantem macam kucing dan anjing, nggak pernah ngapa-ngapain, gue
nggak pernah tahu ada hubungan yang seperti itu. Lo nggak lagi menyiksa diri sendiri kan?"
"Gue bukan pelarian buat cewek yang kepribadiannya bermasalah."
--"So, kamu tahu dia seorang"stalker?", Natha menatap Erris datar tapi penuh kehati-hatian.
Erris tidak menjawab tapi tampak mengiyakan dengan anggukan pelan. Tidak sedikitpun
mengalihkan matanya dari sosok yang selalu memakai baju putih itu.
"Jadi"kamu juga orang pertama yang tahu kalau aku tinggal di sini?", tanya Natha lagi.
"Rory nggak pernah menyembunyikan apapun dari aku", jawab Erris datar.
"Kamu pacarnya?", tanya Natha, mengejek.
"Pulang sana ke Jerman", tandas Erris, suasana menjadi dingin tiba-tiba.
Natha membelalak padanya, "Siapa kamu berani ngusir aku?"
"Rory nggak akan sanggup melakukannya karena dia nggak pernah mengasari perempuan",
jelas Erris, dan Natha baru menemukan lawan seimbang yang sama ketus dengan dirinya, "Dia
sudah punya banyak masalah"
"Maaf ya, apapun itu nggak ada urusannya sama kamu,", Natha berdiri, jika perlu ia akan
mengusir Erris. "Aku tahu semua, Renatha", Erris menjelaskan, "Dia bukan pelarian atas sakit hati yang kamu
rasakan. Cari aja cowok lain untuk melampiaskan itu"
Natha terdiam, tidak percaya perkataannya yang sok tahu,
"Dia hanya ingin kamu berterima kasih atas apa yang sudah dia lakukan untuk kamu, tapi dia
sudah nggak membutuhkannya lagi sejak dia tahu kamu terlalu angkuh! Sekarang apa"
Harusnya kamu segera pergi sebelum bikin kacau!"
"Kamu nggak ngerti, betapa tersiksanya aku selama di sini gara-gara dia!"
"Tapi, kamu bahagia juga di saat bersamaan! Impas!", Erris bersuara lebih keras, "Pergi sebelum
Rory kembali dan menemukan kamu masih di sini"
"Dia pergi ke mana?"
"Bukan urusan kamu!"
--"Wow, wow, Rory nggak datang", kata Laras, terdengar seperti gerutuan, "Dia nggak sibuk
sama cewek itu kan?"
Erris mennjatuhkan puntung rokoknya dan menginjaknya sampai mati, asap terakhir mengepul
dibawah sepatunya, "Mereka nggak pacaran", jelasnya.
"Yang semalam itu apa?", tanya Laras,"Mereka romantis"
Erris hanya mengangkat bahu, lalu melirik Laras yang menyulut rokoknya, "Sejak kapan?"
"Apa?", jawab Laras setelah menyembulkan asap tebal dari mulutnya.
"Kalau Damar lihat dia nggak akan suka", kata Erris mengingatkan soal rokok yang terselip di
antara dua jari tangan Laras, yang dia nikmati dengan santai.
"Dia nggak peduli", kata Laras acuh, "Dia nggak akan berada di tempat yang sama dengan gue,
kemarin juga pasti terpaksa datang"
"Heran"kita bukan anak kecil lagi", keluh Erris padanya. "Tapi, masih mau terjebak sama masa
lalu" "Lo hanya nggak ngerti, Ris", tukas Laras, "Seperti apa itu jatuh cinta"
"Gue juga pernah putus pacaran. Nyakitin emang, lihat orang yang pernah kita cinta setengah
mati dekat sama orang lain", jelasnya.
Laras tersenyum, menoleh padanya, ingin tahu, "Hah" Masa sih" Kok kita nggak tahu lo pernah
pacaran?" "Ya"ada beberapa hal yang mungkin bakal bikin suasana kacau waktu itu?", jawabnya
mengambang antara benar dan tidak. Tapi, lebih mengacu pada kebenaran, Erris tidak pernah
berbohong. Dia hanya seorang penjaga rahasia yang baik. Dengan tidak mengatakannya bukan
berarti dia berbohong. Walau kelihatannya begitu.
Handphone Erris berbunyi. Ia segera melihat layar handphone dan nama Rory muncul. "Ya?",
dia mengabaikan Laras dengan melempar pandangan ke tempat yang ramai.
Laras masih menunggu dengan penasaran.
"Sama Laras, di tempat biasa, lo di mana"... sampai ke Bandung"...Ya, Natha udah gue usir"ya
karena lo nggak akan sanggup ngelakuinnya", Erris masih bicara di telpon, "Rory"...Rory?"
"Rory ke Bandung?", tanya Laras begitu Erris memastikan bahwa telpon terputus.
Erris tidak menelpon balik. Dia menyimpan kembali smartphone-nya dan duduk di tempat
semula. Entah mengapa dia tersenyum getir, sambil menunduk sambil mengusap leher
belakangnya, "Kalau Rory tahu, dia pasti bakal marah sama gue, Ras?", katanya, terdengar
mendekati putus asa dan"rasa bersalah.
--"Halo?", suara itu terdengar serak.
"Aku udah sampai", kata Rory, ada kecemasan yang begitu besar pada suaranya, "Kamu di
mana-nya?" "Aku"aku nggak tahu?", jawab Natha sambil menyeka air matanya dan melihat sekeliling
tempat ia menunggu selama lebih dari tiga jam. Natha sudah bilang dia berada di sekitar hotel
tempat mereka pernah menginap dulu.
"Tunggu di situ", kata Rory sebelum menutup telponnya.
Natha duduk termangu, ditemani travel bag-nya. Ia melipat kedua tangannya di dada, menahan
dingin yang menusuk. Mengabaikan tatapan orang-orang yang lewat di depannya. Dia kelihatan


Mengurung Bidadari Karya A Rita di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jelas tidak punya tujuan karena membiarkan bus lewat begitu saja. Dengan putus asa, ia
menengok ke layar handphone-nya.
Natha seperti gadis buta yang biasa berjalan dengan tongkat, ketika tongkat itu hilang entah ke
mana, dia tidak bisa berjalan sendiri. Kegelapan tampak menjadi lebih menakutkan. Dia hanya
bisa duduk, menunggu seseorang mengembalikan tongkatnya.
Rory belum menelpon lagi, malam akan larut di sini, dan dia tidak ingin tatapan mengawasi di
sekitarnya, seperti mata harimau di kegelapan. Natha memeluk dirinya yang gemetar, sedih dan
bingung. Air matanya seperti air mancur yang ada di depannya. Terus mengalir, membasahi
gaunnya. Cahaya lampu jalan seperti meredup di depannya. Ia seolah duduk di kegelapan sekarang. Lalu
Natha mengangkat kepalanya, bayangan seseorang telah membungkus tubuhnya yang dingin.
Menyadarkannya, dia selamat.
Natha langsung berdiri memastikan itu benar-benar Rory. Jalanan memudar dalam visinya.
Tubuhnya luntur bagai cat tersiram air, pada saat Rory menariknya ke dalam pelukannya dan
berkata mencemaskannya. Seperti itu juga Natha saat ini yang melupakan bahwa ia terlahir
lemah dan tekanan menjatuhkannya seperti ini. Rory tidak menemukan tongkatnya yang hilang,
dia bersedia untuk mengulurkan tangannya menuntunnya menemukan jalan pulang.
--Gadis ini diam hanya pada saat tidur. Dan suasana rumah kembali hening. Dia hanya pergi
setengah hari, namun Erris mengacaukan banyak hal selama itu. Cara Erris bukan cara yang baik
untuk mengakhiri dia dengan Natha.
Rory duduk di sisi tempat tidur, menatap wajah lemah itu dengan rasa bersalah yang tersangkut
di tenggorokannya. Sekaligus keraguan akan membelai rambutnya atau membiarkannya saja
sampai pagi. Dia selalu marah dan merajuk. Dia selalu ingin semua sesuai keinginannya. Dia
sangat keras kepala. Dia juga tidak menyukai Rory. Dia selalu mengeluh, saat Rory merokok di
sofanya. Dia juga pernah menyiram rokok Rory dengan air, lalu membuangnya ke tempat
sampah. Setiap kali melihatnya, betapa Rory ingin mengakhiri siksaan ini. Terlintas di pikirannya untuk
mencium Natha, agar dia mengerti bahwa sekarang mereka tidak bisa menjadi teman apalagi
musuh. Mereka tidak juga pernah menjadi keduanya. Mereka hanya bertemu untuk saling
melihat bahwa apapun bisa terjadi, untuk bercermin dan menyadari mereka punya kesamaan.
Rory menarik diri dari keinginan terbesarnya. Ini menggelikan saat berpikir, dia akan - hanya
mendapatkan Natha apabila gadis ini dalam keadaan tidak sadar-, sementara Rory tidak bisa
menaklukan Natha pada kenyataan sebenarnya. Akhirnya ia menjauh dari sisi tempat tidur.
Rory melangkah ke luar kamar untuk mengangkat handphone-nya yang berbunyi.
Ini sudah jam sembilan,dan Chris harusnya tahu dia butuh istirahat, apalagi setelah perjalanan
melelahkan tadi. Ia mengikuti targetnya sampai ke Bandung, begitu mendengar bahwa Erris
tanpa seizinnya mengusir Natha dari rumahnya. Rory tidak bisa berkonsentrasi lagi pada
targetnya. Dia menghubungi Natha dan gadis itu menangis saat mengangkat telponnya!
Yang disadari Rory kemudian adalah dia sudah berada di jalan menuju ke Jakarta. Natha tengah
menunggunya. Dia membayangkan preman-preman jalanan mungkin akan melihat Natha
sebagai sasaran empuk mereka. Sungguh, dia hampir menabrak orang, dan semakin frustasi
bertemu macet. Dia seperti bukan dirinya, sebelum melihat gadis itu. Takut dan frustasi lenyap
hanya dalam hitungan detik begitu melihatnya duduk seorang diri di depan hotel.
Natha sudah mengambil separuh dari dirinya. Jika Natha hilang, dia bukan dirinya lagi.
"Apa lagi sih?", tanya Rory kesal, sebelum ia mendengar suara Chris di seberang sana.
"Gue ada di luar!", katanya terdengar tidak tenang, "Ada urusan penting!"
Rory segera membuka pintu depan dan sudah melihat Chris berdiri di dekat mobilnya.
Menunggunya muncul untuk sesuatu yang entah apa lagi, namun Rory berniat mengusirnya
untuk kembali besok karena ia ingin tidur.
"Lo pasti nggak tahu soal ini, Ror", katanya memulai sambil menghampiri Rory dengan panik.
Mata melebar dan tegang, tidak pernah ia terlihat begitu tertekan seperti sekarang. Kulit-nya
yang putih tidak bisa menyembunyikan bahwa wajah Chris sebenarnya pucat.
"Apa?", tanya Rory ketus, berharap Chris menyelesaikan bicaranya dan tidak membuat ini
seperti drama seri yang ditayangkan oleh TV, "Apa ini soal gue dan Uki lagi?"
"Bukan, ini soal Erris!", jawabnya dengan lantang.
"Erris kenapa" Kenapa tiba-tiba ngomongin Erris?", tanya Rory heran dengan dahi berkerut.
Chris menatapnya, lalu menggeleng dengan tawa tidak jelas, "Dia sahabat lo, tapi lo nggak tahu
apa-apa soal dia, ya kan?"
"Maksud lo apa sih"!", Rory mulai geram, mengepal tangannya hendak memukul adiknya agar
bicara seperti lelaki, tegas dan jelas.
"Dia memacari Uki, lo nggak tahu"! Waktu SMA mereka pernah pacaran! Dia satu-satunya
orang yang harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi sama Uki sekarang!", jelas Chris,
tapi kalimatnya yang terakhir seolah ooOoo bergema di kepala Rory. BAB 11 Kacau Uki jadi buah bibir para cewek, karena kebodohannya. Dia tidak bisa matematika, tidak bisa
bahasa Inggris, bahkan untuk Bahasa Indonesia, dia malah dapat nilai enam. Walaupun begitu,
ia tetap disukai cowok-cowok karena manis dan pandai membawa diri, juga karena suaranya
yang jazzy dan merdu saat menyanyi. Dia sering dengan santai membalas candaan cowokcowok sambil lewat. Dia juga bukan tipe yang gampang terbujuk rayu.
Rory melihat kehati-hatian yang besar pada Uki terhadapnya. Dia tampak berusaha
menghindari masalah. Tapi, Rory selalu berusaha meyakinkan Uki bahwa dia bukan masalah.
Rory pernah mengumpulkan semua teman sekolahnya untuk membantu sebuah acara
penembakan di lapangan olahraga. Membentuk tulisan "I", gambar hati, "U" dan "Uki". Dengan
begitu Uki tidak akan punya alasan untuk menolak.
Tapi, dia keliru di saat bersamaan.
Uki minta maaf dan pergi. Sejak itu tidak pernah mau bicara dengannya lagi. Rory adalah cowok
paling keren di sekolah tapi juga adalah yang paling menggelikan sejak hari itu. Mereka
bertemu lagi setelah Uki lulus SMA. Uki bersikap normal kepadanya dan mereka berteman baik,
sampai sekarang. Sekarang, Rory mengerti arti dari penolakan itu. Uki tidak mau terlibat dengan segala sesuatu
yang berhubungan dengan Erris. Karena itu juga sekarang dia mematahkan hati Chris, seperti
Dewi Maut 15 Keris Pusaka Sang Megatantra Karya Kho Ping Hoo Sejengkal Tanah Sepercik Darah 10
^