Pencarian

Lost Boy Salah Culik 3

Lupus The Lost Boy Salah Culik Bagian 3


"Ada apa, Ka" Lo patah hati"" tanya Mila agak-agak gelagapan.
"Lebih dari patah hati, Mil. Gue baru ikut psikotes. Gue nggak bisa. Gue emang nggak punya bakat apa-apa," jawab Mila sambil siap-siap mau nangis
Boim dan Gusur yang mendengar pembicaraan Inka dan Mila, langsung nimbrung.
"Ka, lagian ngapain lo ikut psikotes"" tanya Boim usil.
Inka memandang Boim tidak mengerti. "Lo mendingan tanya ke gue aja. Gue dari dulu tuh udah tau, kalo lo anak yang paling bolot di antara kita semua. Ya kan, Sur""
Gusur tertawa-tawa mendukung Boim, Inka bengong.
"Gue pikir hasil psikotes lo nggak akan jauh-jauh dari idiot. Siap-siap aja masuk SLB."
Mila melotot, lalu membentak, "Boim!"
Sementara Inka makin sedih dan putus asa. Tangisnya meledak. Mila dengan marah menyuruh Boim dan Gusur minggat meninggalkan Inka. Seperginya dua anak rese itu, Inka langsung menangis di bahu Mila. Mila berusaha menghiburnya mati-matian. Tapi rupanya Inka betul-betul sudah down. Usaha Mila untuk membangkitkan rasa percaya diri Inka sama sekali nggak mempan.
Bahkan dua hari setelah kejadian itu, saat Mila dan Lulu mau ngaj
ak Inka ke tempat fitness, Inka masih tetap putus asa. Diteleponin ke rumahnya Inka nggak mau nerima.
"Kata nyokapnya, sejak dia ikut psikotes kerjaannya cuma ngurung diri di kamar," jelas Lulu.
"Sampe separah itu"" tanya Mila penasaran. Lulu mengangguk. "Hm, ini semua gara-gara Boim," tukas Mila lagi
"Tu anak emang paling demen ngeledekin Inka, kayak kita...," respons Lulu polos.
Mila nyengir. "Jadi gimana nih"" tanya Lulu. "Yah, terpaksa gue nggak jadi ikut fitness. Gue nggak enak sama Inka," jawab Mila lemes.
"Tapi gimana soal Ade Rai" Rencana kita kan udah mateng banget."
"Mendingan kita temui Inka."
Lulu menatap Mila. Tapi tatapan menyerah. Karena akhirnya Lulu sepakat nggak jadi ke tempat fitness. Mereka pergi ke kafe.
Di kafe ternyata suasana udah ramai kayak pasar sapi. Baik penonton dan peserta pertandingan panco sudah ngumpul di arena. Boim sebagai ketua panitia, promotor, MC sekaligus wasit, keliatan paling sibuk. Mendaftar ulang para peserta yang mau ikut pertandingan. Sedang Lupus konsen banget menyiapkan Gusur yang bakal turun bertanding.
"Katanya mau fitness," tanya Lupus begitu Mila dan Lulu datang.
"Ada yang lebih penting, soal Inka. "
"Inka" Kenapa emangnya dia"" tanya Lupus penasaran.
"Kata maminya, sejak ikut psikotes, rasa percaya dirinya makin ilang. Malah sekarang Inka nggak mau ngapa-ngapain. Nggak mau makan, mandi terima telepon, ngaca, masak, yah, pokoknya nggak mau ngapa-ngapain deh," jelas Lulu.
Lupus terperanjat. Lulu sama Mila heran.
"Memangnya kenapa, Pus"" tanya Mila.
"Gue jadi nggak enak nih, Mil. Soalnya gue yang nyuruh dia ke psikolog. Terus sekarang mana Inka-nya"" tanya Lupus.
"Kata maminya sih dia lagi ngambil hasil psikotes...," jawab Lulu.
Lupus langsung mendesah. Raut wajahnya diselimuti rasa khawatir.
*** Informasi Lulu sama sekali nggak meleset. Karena saat itu Inka memang lagi berjalan menuju lobi gedung tempat psikolog itu praktek. Tapi begitu mau menekan tombol lift tiba-tiba Inka menghentikan langkahnya. Ia ragu-ragu untuk mengambil hasil tesnya. Sesaat kemudian, setelah menarik napas sebanyak tiga kali, Inka kembali melangkah hingga di depan lift. Inka lau memasuki lift bersama banyak orang. Tapi Inka cuma menunduk, dan sama sekali nggak memperhatikan keadaan sekeliling. Padahal saat itu Ade Rai masuk ke dalam lift. Tapi Inka sama sekali nggak melihat.
Lift terus bergerak. Dan berhenti di lantai-lantai tertentu yang dipilih penumpangnya. Lama-kelamaan di dalam lift tinggal Inka dan Ade Rai. Tapi sampai sejauh itu, Inka tetap belum menyadarinya.
Ade memperhatikan Inka. Sementara Inka-nya cuek bebek. Akhirnya Inka mengangkat wajahnya. Inka kaget banget, setelah ngeliat Ade Rai ngejogrok di depannya.
"A-Ade"" tanya Inka terbata-bata. Ade tersenyum dan mengangguk. Tiba-tiba aja setelah ngomong begitu, lampu lift mati, dan lift tersentak berhenti. Inka terhumbalang ke tubuh Ade. Ade menahannya. Mereka berdua terkesiap. Dan sampai beberapa saat mereka terkurung dalam lift. Rupanya listrik gedung mati. Lift jadi macet Tapi buat Inka, matinya listrik itu justru membawa hikmah. Inka jadi akrab sama Ade. Mereka bahkan duduk di lantai lift dengan posisi berhadapan. Ngobrol ngalor-ngidul, sesekali diselingi tawa berderai, sambil menunggu lift hidup kembali.
"Abis gue tuh nggak bisa apa-apa. Dan gue yakin banget, pasti hasil psikotes ini cuma ngebuktiin kebolotan gue," tukas Inka kemudian setelah mereka ngobrol banyak.
Ade tersenyum simpatik. "Pantes dari tadi gue liat lo manyun aja," Ade menukas.
Inka tersipu. Lalu Ade bicara lagi. "Tapi jangan bersikap begitu, Ka. Tau nggak, dulu juga gue pernah nggak pede kayak lo!"
Inka bengong. Matanya tak lepas dari wajah Ade.
"M-maksudnya lo juga pernah kayak gue"" tanya Inka setelah bisa menguasai perasaannya.
"Iya. Dulu gue juga merasa nggak bisa apa-apa. Minder. Rendah diri," jawab Ade lugas.
Inka ragu. "Ah, masa sih, De""
"Betul. Cuma bedanya, gue nggak mau nyerah. Gue coba terjun ke olahraga bulu tangkis. Ternyata prestasi gue gitu-gitu aja. Sampai akhirnya gue temuin bidang yang lebih pas, ya binaraga ini. D
i sinilah gue dapetin ke percayaan diri gue...."
"Lo sih lain, De. Kalau gue rasanya ngga ada harapan lagi. Gue pasti udah terlambat buat tau apa bakat gue."
"Jangan pesimis gitu dong. Ka! Mulai deh lo coba. Soalnya gue yakin banget, kalau kita mau bekerja keras, pasti nggak ada yang terlambat."
"Lalu... lalu gimana dengan hasil psikotes itu"" tanya Inka.
"Lupain. Karena maju-tidaknya seseorang nggak ditentuin hasil psikotes," jawab Ade datar.
Inka menatap Ade lekat-lekat. Matanya berbinar-binar.
Ade tersenyum. Senyum yang membangkitkan kepercayaan diri Inka
*** Mila baru menutup telepon. Rupanya mereka masih diselimuti topik tentang Inka.
"Gimana"" kejar Lulu.
Mila mendesah. "Kata maminya, Inka belon pulang juga. Tapi gue udah pesen, kalo pulang supaya secepatnya datang ke sini."
Sementara itu pertandingan panco sudah akan dimulai. Boim naik ke pentas, ia memperkenalkan Gusur sebagai juara bertahan.
"Sekarang saatnya kita tampilkan Guuusuuur...!"
Gusur muncul dari balik pentas, memakai ikat kepala. Lalu memberi hormat pada para penonton yang berteriak-teriak nyaring. Sepuluh menit kemudian, Gusur sudah melakukan pertandingannya yang pertama. Lawan Gusur lumayan kekar, tapi Gusur optimis. Betul saja, dengan sekali sentak, lawan yang kekar itu berhasil dijatuhkan Gusur. Penonton pun bersorak-sorak mengelu-elukan Gusur.
"Hidup Gusuuur! Hidup Gusur!"
"Ayo siapa lagi yang mau lawan daku"" teriak Gusur sambil tersenyum jumawa.
Bertandingan dilanjutkan. Sepuluh orang yang sudah terdaftar sebagai peserta, mau nggak mau harus bertanding melawan Gusur: Tapi semua memang bukan lawan Gusur yang berarti. Semua bisa dikalahkan dengan mudah oleh Gusur. Gusur pun makin jumawa.
"Mana lagi" Mana lagi musuh daku"" tantang Gusur.
Tak satu pun yang berani maju.
"Ah, payah kalian semua!" umpat Gusur sambil tertawa terbahak-bahak. Dan Boim sudah siap-siap menyematkan mahkota kejuaraan di kepala Gusur ketika Tiba-tiba Inka muncul. Mila, Lulu, dan Lupus terpekik senang.
"Inkaaaa...!" "Hai," sambut Inka dengan wajah ceria, lalu ia memanggil seseorang yang masih berada di balik pintu, "De, sini kenalin temen-temen gue."
Ade Rai muncul di pintu. Lengkap dengan senyum khasnya.
Lulu, Mila, Lupus kontan menjerit, "Ade Raiii!"
Boim dan Gusur berpandangan. Tiba-tiba Gusur melepaskan ikat kepalanya.
"Lho. kenapa, Sur"" tanya Boim heran.
"Sori, Im, kalau suruh lawan dia, daku lebih baik nyuri piring saja di dapur." jawab Gusur gugup.
Boim ketawa cekikikan. Sementara Lulu, Lu"pus, dan Mila justru punya ide sebaliknya. Gusur tetap disuruh adu panco lawan Ade Rai.
"Ini baru lawan yang sepadan buat lo, Sur" tukas Mila memanas-manasi. Gusur terbakar. Akhirnya dia mau adu panco lawan Ade Rai. Tapi Ade Rai memang bukan tandingan Gusur. Sambil tersenyum ke arah Inka, Ade Rai menjatuhkan tangan Gusur dengan mudahnya.
'Hiduuup Inkaaa...!" teriak Mila, Lulu, dan Lupus.
"Lho, kok saya"" tanya Inka heran. "Ya, kamulah pemenangnya, sebab udah berhasil bawa Ade Rai ke sini." jawab Mila.
Semuanya pun lalu tersenyum. Kecuali Gusur yang tangannya bengkak ketindih tangan Ade Rai.
"Ternyata kata lo-lo bener. Bakat terpendam gue adalah berkomunikasi dengan orang-orang keren...," ujar Inka sambil melirik ke Ade Rai.
Mila dan Lulu ketawa bareng.
6 SELAMAT DATANG, MAMI PAGI itu hari masih sangat dini. Masih pukul empat subuh. Semua makhluk hidup, yang oke maupun yang agak-agak kurang oke masih asyik terlelap di balik selimut tebal. Apalagi semilir angin dingin bertiup menusuk tulang. Semalam, hujan memang turun cukup deras. Meninggalkan genangan air di mana-mana. Maling ayam pun lebih memilih mendengkur di biliknya daripada gentayangan dari kandang ke kandang.
Dan di rumah Lupus, tanda-tanda kehidupan memang belum nampak. Pintu dan jendela masih tertutup rapat. Cuma ayam jago milik Lupus. yang dikasih nama Abdul Choir, yang rajin bangun pagi dan berkokok dengan lantangnya. Mengagetkan Kelik, yang lagi asyik mendengkur dengan irama jazz. Kelik mengucek-ucek mata, dan sayup-sayup dari ruang tengah terdengar dering telepon. Aduh siapa juga sih
yang menelepon sepagi ini"
Lulu yang lagi membenamkan kepalanya di ranjang di kamarnya, jelas merasa sangat terganggu mendengar dering telepon yang nyaring menusuk telinganya itu. Dia nggak sadar kalo teleponnya memang ada di kamarnya. Tepatnya, di kolong ranjang. Iya, soalnya semalam dia abis ngegosip sama Inka sampai mitnait. Dan kalo udah urusan gosip-menggosip begitu, Lulu memang ngebela-belain ngegotong telepon ke kamarnya. Katanya, biar acara ngegosipnya sakral. Tanpa gangguan Lupus. Soalnya si Lupus tuh doyan banget nguping pembicaraan orang. Ujung-ujungnya, gosipan Lulu itu udah dimuat jadi cerpen di majalah Wow. Usai ngegosip, Lulu malas mengembalikan telepon ke ruang tengah. Jadi dia umpetin aja tu telepon di kolong tempat tidur. Dan sekarang, tau rasa deh, telepon itu berdering nyaring!
Setengah mengigau Lulu berteriak sambil membalikkan badan. "Puuuus, telepon tuh! Angkat doooong! Berisik nih!"
Lupus yang setengah sadar di kamarnya, langsung menyahut, "Telepon nggak ada di kamar gue. Suruh Kelik angkat tuh!"
Lulu pun berteriak lagi. Kali ini makin nya"ring, "Keliiik Angkat telepoooon! Berisiiiiiik!!!"
Yang namanya pembantu, memang nggak punya kuasa menolak perintah majikan. Maka dengan mata sepet karena ngantuk, Kelik pun berjalan dari kamarnya menuju ruang tengah. Matanya baru terbuka setengah. "Aduuh, siapa sih yang nelepon pagi buta begini"" keluhnya lagi sambil menoleh ke meja telepon. Tapi meja itu kosong! Kelik kaget Lalu berteriak-teriak, "Maliiing! Maliiiing! Teleponnya diambil maliiing!"
Kelik panik sendiri, dan tergopoh-gopoh menyerbu kamar Lupus. Langsung membangunkan Lupus dengan paksa.
"Mas Lupus! Bangun. Teleponnya ilang, Mas Lupus jelas jengkel karena acara tidurnya terganggu. Ia pun membalik tubuhnya dan membentak, "Ilang gimana"! Na, itu bunyi apaan""
Kelik langsung mesem. Baru sadar akan kebodohannya sendiri. Soalnya telepon itu dari tadi memang masih terus berdering, karena belum diangkat-angkat.
"Oh, iya, ya" T-tapi itu apa bukan bunyi teleponnya tetangga"" tanya Kelik ragu.
Lupus mendengus. "Telepon sini, bego! Cepet angkat!"
Kelik mau berjalan keluar, tapi Lupus buru-buru menarik baju Kelik. "Eit, tunggu! Teleponnya ada di kamar Lulu. Biar Lulu aja yang angkat! Kamu dilarang masuk kamar perawan!" Lantas Lupus pun berteriak, "Luluuuu, telepon ada di kamar lo. Cepet angkaaaat!"
Lulu terkaget lagi dari tidurnya Dengan mata masih terpejam, tangannya mencari-cari telepon di kolong tempat tidurnya. Begitu ketemu, langsung diangkat. "Halo""
Terdengar suara operator, "Ada collect-call dari Ibu Anita di Jayapura mau bicara dengan Lupus atau Lulu...."
"Oh, iya. Ini Lulu!" sahut Lulu.
"Harap tunggu!"
Sesaat kemudian terdengar suara Mami yang langsung ngomel-ngomel, "Lulu" Gimana sih" Telepon kok nggak diangkat-angkat" Pada ke mana aja" Mami hampir putus asa!"
Lulu langsung kaget dan menjauhkan telepon dari telinganya, dan berteriak, "Puuuus! Mami telepon!" Lalu berbicara lagi ke telepon, "Mi, Mami ngapain aja di Irian""
"Ya, macem-macem. Masak, arisan belanja. Tapi belum sempat pergi ke mana-mana. Soalnya jauh. Kalo udah agak gelap sedikit Mami nggak berani keluar. Takut sih, Lu. GPK masih ada yang ngumpet di gunung-gunung!"
Lupus masuk kamar Lulu, dan langsung menyambar telepon di tangan Lulu. "Mami! Apa kabar" Kangen deh!"
"Eh, Lupus! Ternyata kamu ada juga! Kenapa tadi telepon nggak diangkat-angkat" Pasti pada ngandelin si Ketik, ya""
"Abis Mami nelepon kok pagi-pagi buta begini""
Mami kaget. "Pagi buta" Adduh, Lupus! Lulu! Kebiasaan deh, malas bangun pagi. Ayo, pada mandi sana! Apa nggak mau sekolah Telat nanti!"
"Mandi" Baru pukul empat pagi disuruh mandi" Yang bener aja, Mi!" ujar Lupus.
Mami berpikir sebentar, lalu ketawa. "Ya, ampun, Mami lupa! Mami nggak inget ada perbedaan waktu! Sori!"
Lulu merebut telepon. "Mi, Mami mau nanya pesenan oleh-oleh, ya""
"Bukan. Pokoknya intinya begini. Kontrak katering Mami di Freeport sudah habis. Hari ini Mami nginep di rumah kenalan di Jayapura. Besok Mami pulang! "
"Mami mau dijemput" Jam berapa pesawatnya" Nanti Lulu minta to
long Devon!" "Nggak usah. Mami naik taksi aja. Mami juga belum tau bakal datang jam berapa. Pesawatnya aja belum pasti mau berangkat apa nggak. Soalnya asap kiriman dari Australia masih tebal! Banyak penerbangan yang di cancel. Ya udah. Sampe ketemu!"
Lulu meletakkan telepon. Diliatnya Lupus sudah ngorok di atas ranjangnya. Meneruskan tidur. Pake bantal Lulu, sambil memeluk boneka kesayangan Lidu. Lulu kesal, ia terpaksa ngungsi ke karpet.
*** Paginya Lupus dan Lulu asli kesiangan bangun. Mereka pun tergopoh-gopoh mau pergi sekolah. Lulu cuma mandi koboi nggak lebih dari lima menit. Lupus lebih gawat lagi, nggak sempet mandi, cuma cuci muka dan gosok gigi. Tanpa sarapan, mereka langsung berlarian ke teras sambil celingukan dengan gelisah. Rambut Lupus dan LuIu kompak berantakan dan baju seragam mereka juga sama-sama lecek.
"Duh! Ke mana sih Devon" Katanya mo ngejemput, jam segini belon dateng. Devon nggak ke sini kali, Pus! Apa mungkin Devon telat bangun juga kayak kita, trus nggak sem"pet jemput gue""
Lupus menatap Lulu. "Jadi, menurut lo, si Mami tadi pagi juga telepon Devon""
"Ya, enggak, dong. Maksud gue bukan begitu!"
Saat itu Kelik muncul. Agak kaget dia melihat kedua bos kecilnya masih berdiri di teras, belum berangkat sekolah. Lulu langsung aja menyuruh Kelik, "Lik, tolong cegatin kendaraan umum deh. Mo ojeg, mo bajaj, terserah! Kayaknya Devon nggak bakal dateng nih!"
"Kalo taksi, gimana" Dipanggil juga"" tanya Kelik
Lulu mengangguk-angguk. Kelik langsung pergi.
"Lo punya uang, Lu"" selidik Lupus. Soalnya menjelang kedatangan Mami, duit mereka udah bener-bener cekak. Lulu malah senyam-senyum "Gaji Kelik bulan lalu mo gue sunat!"
"Hahh"" "Iya, waktu itu Kelik minta tolong gue. nyariin cincin bagus buat ngiket si Sriti, cewek warung di pangkalan ojeg. Gue bilang. cincin yang bagus harganya mahal, Ketik harus nabung. Trus Kelik nitipin sebagian gajinya buat gue tabung. Katanya, dia nggak bisa nyimpen uang lama-lama. Takut kepake!"
Lupus mendengus kesal. "Dan ternyata lo yang pake! Gue nggak mo tau, Lu, lo dosa banget sama Kelik."
"Tapi, gue kan cuma minjem! Ntar kalo udah punya uang, pasti gue balikin!"
Beberapa menit kemudian Kelik memasuki teras dengan wajah suntuk. "Bajaj, ojeg, semuanya bawa penumpang. Taksi juga penuh melulu Ada satu yang nganggur, sopirnya lagi sarapan di pangkalan ojeg."
"Ya udah, lo panggil aja dia! Masa rejeki ditolak" Sarapan kan bisa ditunda sebentar!" jawab Lulu dengan nada nggak sabar.
"Nggak usah, Lik, nggak usah!" cegah Lupus.
Kelik kebingungan menatap Lulu dan Lu"pus bergantian.
Lulu mengentakkan kakinya dengan galak, "Panggil, Lik!"
Kelik terbirit-birit pergi.
Lupus menatap Lulu, manyun. Lalu duduk berselonjor di kursi teras. Lulu memperhatikan Lupus dengan wajah cemberut.
"Gue nggak mo sekolah. Lo aja yang pergi," ujar Lupus ngambek.
"Sok suci lo, Pus. Biasanya lo yang paling licik kalo urusan sama uang. Kalo gue, niatnya kan minjem. Gue pasti bilang Kelik, kalo uangnya gue pake dulu. Asal lo tau, Pus, waktu nitipin ke gue, Kelik bilang, gue boleh pake asal dibalikin utuh!"
"Bukan cuma soal uang Kelik. Gue males masuk aja. Nggak pede kalo sekolah nggak pake acara mandi dan sarapan. Nggak pake baju yang disetrika. Apalagi Mami mo pulang...."
"Apa hubungannya sama Mami" Mami malah nyuruh kita sekolah!"
"Iya, tapi Mami nggak tau kayak apa berantakannya rumah sejak Mami ke Irian. Inget nggak, Lu" Mami kan paling cerewet kalo liat rumah berantakan."
Lulu tertegun. "Betul juga, ya" Kalo gitu, gue juga nggak mo sekolah ah. Mo beres-beres kamar. Ntar kalo Mami datang mendadak, gue udah siap. Nggak kena semprot!"
Saat itu sebuah taksi berhenti di depan rumah. Kelik turun dari taksi. Bersamaan dengan Devon yang juga tiba di depan rumah Lupus. Lulu dan Lupus saling tatap, panik.
"Von! Gue nggak sekolah, Mami mo dateng Gue mo beres-beres kamar!"
Lulu menyeret Lupus, masuk ke rumah.
Lupus menoleh ke jalanan, panik, "Von, taksinya tolong bayarin!"
Lupus terus menoleh ke jalan, sementara pintu rumah sudah ditutup Lulu. Lupus kejedot pintu, lalu nyengir jelek bange
t! Dengan cemberut Devon membayar sopir
taksi dengan uang sepuluh ribuan. Sopir taksi
buru-buru menyambar uang dari tangan De"von, takut Devon berubah pikiran ngasih uang
kecil. Devon langsung protes, "Kembalinya dong, Pak!"
"Kembali apa" Pagi begini belum ada kembalian, bah!" ujar sopir taksi.
Kelik langsung nyeletuk, "Alaaa, tadi kan situ saya panggil pas lagi nyarap. Emang bayarnya pake apa""
Sopir taksi langsung membentak Kelik, "Kau lagi, sudah mengganggu aku makan. komentar segala! Cerewet kali, kau!"
Si sopir langsung pergi sambil mengepretkan uang sepuluh ribuan dari Devon ke setir taksinya. Mulutnya yang masih bau jengkol bergumam, "Tak perlu narik penumpang, aku dapat uang, Memang rejeki si Ucok!"
Kelik dan Devon menatap dengan sebel ke arah taksi yang pergi menjauh.
*** Siang itu, berita bahwa Mami bakal pulang sampai ke telinga anak-anak. Bule, Inka, dan Mila langsung datang ke rumah Lupus buat bantu-bantu ngeberesin. Sedang Devon juga batal ke sekolah, karena nemenin Lulu beresin kamar. Cuma Gusur dan Boim yang nggak bisa ikut. gara-gara kena giliran ngejaga kafe-nya Mila. Akibatnya, gara-gara cuma kerja berdua, Gusur dan Boim jadi repot dan beberapa kali salah ngasih pesanan ke para pengunjung. Ketuker-tuker terus. Gusur dan Boim jadi kecapekan sekaligus stres, ngumpet jongkok di dalam bar. Sementara itu pengunjung yang memesan makanan menjadi ribut, berteriak-teriak memanggil pelayan. Tapi Gusur dan Boim tetap ngumpet.
Gusur nampak cemas. "Im, bilamana kita akhiri semua kengerian ini" Daku sudah tak sanggup lagi."
"Diem lo, Sur! Kalo bukan gara-gara Lupus sialan itu, kita nggak bakalan sengsara begini. Heran gue, ngebersihin rumah secuplik aja pake ngerahin orang se-erte," ujar Boim.
"Bagaimana jika kita pergi ke rumah Lupus aja, Im" Mungkin Lupus dan Lulu masih memerlukan bantuan kita," usul Gusur.
"Lo lagi! Kan tadi udah dipesenin Mila disuruh jaga kafe...."
Sebuah kulit pisang melayang dan mendarat tepat di atas kepala Boim. Dengan bersungut-sungut Boim melemparkan kulit pisang tersebut ke lantai. Gusur menatap Boim dengan wajah ngeri.
"Daku bayangkan seandainya yang mengenai kepala dikau sebuah granat. Aduh!
Saat ini daku pasti sudah kehilangan seorang
Boim." Boim mendengus kesal "Ya udah. Kita tutup aja kafe!"
Gusur langsung mengepalkan tangan, tanda setuju. Tapi sejurus kemudian Gusur jadi ragu. "Tapi, Im, bukankah para pengunjung bisa semakin liar jika kafe mendadak kita tutup""
"Bikin alasan dong! Sakit perut kek, air macet kek, apa neneknya Mila meninggal! Pokoknya yang sedih-sedih!"
"Tak disangka. ternyata dikau cerdas juga! Daku setuju alasan meninggal dunia. Tap jangan nenek si Mila. Nenek Mila kan masih ada. Kalo sampe kejadian beneran, bisa cilaka. Lagian siapa tau di antara pengunjung ada yang mengusut, nyari tau nenek Mila meninggal apa nggak! Jadi kita cari aja yang nggak ada. Biar nggak kualat! Bagaimana jika adiknya Mila""
"Bego! Si Mila kan nggak punya adik!"
"Justru itu! Kita cari yang memang nggak ada. Jadi kalo ada yang mengusut, dia tidak akan menemukan adik si Milo. Karena memang tidak ada. Bagaimana, Im""
"Aneh, tapi... boleh dicoba!"
Dari balik bar, Boim dan Gusur berdiri serentak dari posisi jongkoknya. Para mengunjung bar semakin ribut dan rame melemparkan segala benda yang ada ke muka Boim dan Gusur. Segala taplak meja, sebet makan, sendok dan garpu.
Boim lalu buka suara, "Perhatian, para pengunjung! Ada berita duka cita. Karena adik Saudari Mila, pemilik, pendiri, pengayom sekaligus pengelola kafe ini sedang meninggal dunia, maka untuk menghormati Saudari Mila, terpaksa kafe kami tutup satu hari. Esok, jika tak ada aral melintang, kafe akan buka seperti biasa. Selamat jalan dan terima kasih atas kebersamaan Anda."
Beberapa pengunjung dengan bersungut-sungut bangkit dari duduknya, keluar dari kafe. Beberapa yang masih penasaran, tetap duduk sambil ngomel-ngomel. Dan Gusur serta Boim langsung bergerak lincah, keluar dari bar. Mematikan lampu, AC, lalu bertepuk-tepuk tangan sambil nyanyi Gelang Sipatu Gelang.
Pas Boim dan Gusur sampe di rumah Lupus, ana
k-anak lagi pada sibuk ngejemur bantal, kasur, dan nyapu-nyapu di teras rumah. Mila yang cerewet langsung aja ngomel begitu melihat dua badut itu muncul. "Kok lo-lo pada ikut ke sini" Siapa yang jaga kafe" Nah, lo!"
"Tenang saja, Mil, tadi pengunjung sudah Boim beri penyuluhan," ujar Gusur.
Boim langsung menyambar, "He-eh, Mil, elo santai aja! Kita bilang adik lo meninggal. Pengunjung kafe langsung bubar. Beres, kan""
Mila jadi kesal. "Santai apa" Modal belum balik, elo-elo malah bikin gue rugi!"
Lupus yang ada di situ, langsung nanva ke Mila dengan nada polos, "Mil, kok lo nggak pernah bilang kalo punya adik""
"Adik" Emang gue nggak punya. Gimana sih lo"" Mila bersungut-sungut. Tapi tiba-tiba ia teringat sesuatu dan langsung panik "Ehh, tapi orangtua gue baru-baru ini punya anak asuh. Pus, pinjem telepon! Penting nih!"
"Telepon" Boleh, asal nemu aja. Tadi pagi sih di kolong tempat tidur Lulu, sekarang gue nggak tau lagi."
Mila langsung menjerit kuat-kuat, "Devooooon! Pinjem handphoneee."
Devon muncul dengan wajah heran. sambil menyodorkan handphone, "Minjem handphone aja histeris!"
Mila menyambar handphone, lalu terburu buru memijit nomor rumahnya. Gusur, Boim, dan Lupus memperhatikan Mila, penasaran.
"Mama! Ini Mila! Mama coba tanya ke sekolahnya Dik Tugino. Dik Tugino masuk apa nggak. Sakit apa sehat. Kalo udah, kabarin Mila di HP-nya Devon. Mama tau kan nomor-nya" Iya! Ntar aja Mila jelasin, pokoknya Mama tanya dulu. Bye""
Begitu Mila mengakhiri pembicaraan, Gusur langsung panik.
"Jadi, Mil jadi dikau mempunyai seorang adik asuh" Mengapa, Mi!a" Mengapa dikau merahasiakannya dari daku""
"Elo sih, Sur. pake ngusulin adiknya Mila meninggal segala. Kalo bener-bener kejadian, gimana"" cetus Boim, menyalahkan Gusur.
"Tetapi, bukankah awalnya dikau juga, Im, yang berencana demikian" Dikau bilang, perlu alasan sedih-sedih untuk menutup kafe. Dikau yang melontarkan usul, meninggal dunia."
"Iya, tapi lo langsung ngedukung, kan""
Devon melerai, "Udah, udah! Berantem melulu. Sekarang kita tenang aja dulu, tunggu kabar dari mamanya Mila."
Lupus, Mila, Devon, Boim, dan Gusur duduk di teras tanpa bicara. Lulu dan Inka ya nggak tau kalo lagi pada tegang, muncul di teras sambil cekikikan berdua. Mereka baru aja ngerjain Bule yang tertidur di kamar Lupus, jempol kaki Bule mereka bungkus pake plastik dan diiket pake karet. Tapi cekikikan mereka langsung berhenti ketika Lupus memelototi mereka dengan sadis Lulu dan lnka bengong, saling pandang.
Tak lama kemudian, handphone Devon tangan Mila berdering. Mila langsung bicant "Mama" Gimana, Ma" Apa" Dik Tugino berantem" Kaki-tangan lecet-lecet. kepala benjol"| Syukur deh. Ma!"
Mila dan anak-anak lainnya langsung pada jejingkrakan.
Lulu dan Inka makin nggak nyambung. Saling tatap dengan ekspresi bego. Bengong.
Jam menunjukkan pukul tujuh malam. Semua anak cowok yang kecapekan abis kerja bakti, pada ketiduran di kamar Lupus. Saling tumpuk. Sedang anak-anak cewek tiduran di kamar Lulu. Kelik. sang pembantu, dari tadi malah belum nampak batang idungnya. Biasanya sih pacaran di warung dekat pangkalan ojeg.
Saat itu, tak ada yang tau kalo Mami ternyata sudah sampai di depan rumahnya. Ia keluar dari taksi dengan terburu-buru, sambil berujar ke sopir, "Tunggu sebentar ya, Pak" Saya cuma ngecek rumah sebentar."
Sopir taksi mengangguk-angguk Mami bergegas menuju rumah.
Ya, jadwal kedatangan Mami emang dimajuin satu hari. Gara-garanya waktu itu Mami sempat nelepon kenalannya di Bandung, yang juga buka katering. Namanya Tante Euis. Maksud Mami nelepon, supaya ia dapet kerjaan lagi setelah usai kontrak kerja di Freeport. Dan ternyata Tante Euis memang punva tawaran menarik. Katanya dia dapet tender gede-gedean dan nggak bisa ngerjain sendirian. Butuh partner.
"Tender apa"" tanya Mami pada saat itu.
"Saya dapet proyek katering di PLTN. Tapi kamu harus buru-buru ke Bandung, Nit!" jawab Tante Euis.
Dan Mami langsung setuju. Makanya, begitu balik ke Jakarta, Mami langsung mau nyambung ke Bandung. Mami mau ngejar kereta ke Bandung.
Begitu masuk ke rumah, Mami langsung nyari telepo
n di ruang tengah. Tapi nggak ada. Mami langsung masuk ke kamar Lupus. Dan kaget begitu melihat anak-anak pada bergeletakan tak beraturan di lantai. Sambil berjalan melompati kaki Gusur yang melintang di depan pintu, Mami ngomong, "Telepon, di mana telepon""
Mata Mami menjelajahi seluruh ruang. "Katanya ditaro di kamar Lupus Mana ya" Ah, mungkin di kamar Lulu!"
Mami pergi ke kamar Lulu. Di sana juga banyak yang pada tidur, dan tak ada telepon. Mami kesel lalu balik lagi ke kamar Lupus, penasaran. Mami mengangkat kepala Lupus untuk mencari telepon. Nggak ada. Di balik punggung Boim, juga nggak ada. Lalu Mami menarik lengan Gusur ke atas, tapi Mami malah kebauan. Langsung aja lengan itu Mami jatuhkan lagi.
Mami mendesah, "Telepon segitu gedenya ilang! Aduh, Mami mesti buru-buru nih, ngejar kereta terakhir ke Bandung."
Mami lalu menatap ke arah Lupus yang masih tertidur dengan nyenyaknya. "Lupus, Mami ke Bandung dulu ya" Mami ditungguin Tante Euis."
Mami melempar sun jauh ke Lupus, lalu keluar kamar. Sebelum keluar, kaki Mami sempat tersandung kaki Gusur yang melintang, hingga Gusur terbangun. Samar-samar Gusur melihat sekelebat sosok Mami yang berjalan ke luar. Antara sadar dan tiada, Gusur mendekati tempat Lupus tidur, membangunkannya.
"Pus, bangun, Pus! Ada Mami, Pus."
Lupus menolak tangan Gusur. "Lo ngimpi, Sur...."
"Tapi tadi kaki daku terantuk sesuatu. Sepertinya, itu kaki Mami."
"Udah deh, Sur. lo tidur aja lagi. Mami pulangnya baru besok."
Lupus kembali meneruskan tidur. Gusur kembali ke tempat semula. Mengatur posisi tidur dengan kaki melintang. Nggak lama Gusur terbangun lagi, memijit-mijit kakinya yang tadi kesandung kaki Mami.
"Kalau cuma mimpi. mengapa bisa sakit betulan" Iya!!! Itu tadi si Mami!" Gusur langsung membangunkan Lupus lagi.
"Pus! Pus! Banguun! Tadi Mami udah dateng!"
Lupus mengucek-ucek mata Apa" Mana Mami""
"Udah pergi lagi...."
"Pergi lagi""
Lulu yang mendengar ribut-ribut muncul di pintu.
"Ada apa" Mami dateng""
Gusur mengangguk. "Iya... tadi Mami dateng sebentar trus pergi lagi."
"Pergi ke mana"" tanya Lulu.
"Nggak tau!" Lupus menggaruk-garuk kepala. "Pantesan gue mimpi Mami ngomong ke gue, "Lupus, Mami ke Bandung dulu ya" Mami ditungguin tante Euis gitu."
"Iya. Daku juga bermimpi Mami ngomong begitu ke dikau, Pus!"
Lulu dan Lupus saling berpandangan. "Berarti Mami tadi bener-bener datang!
"Dan mendapati rumah masih dalam keadaan berantakan!" ujar Gusur.
Lupus menepuk jidat. "Sia-sia dong usah kita mo beresin rumah sebelum Mami dateng. Kok Mami datengnya lebih cepet. ya""
7 LEBARAN DI KAMPUNG ORANG
"ASSALAMUALAIKUUUM!" sebuah salam mengagetkan Lupus di tengah hari bolong, waktu dia lagi nyantai baca komik sambil tiduran di ruang tamu.
"Waalaikumsalaaam!" jawab Lupus, sambil memicingkan matanya, buat meneliti siapa yang datang.
Ternyata Mila seorang, dengan bibir dipenuhi senyuman. Dan matanya yang sebulat bola pingpong berputar-putar seperti bola sedang diputar.
"Eh, elo, Mil. Ayo masuk!" tawar Lupus ramah. Mila mengangguk, lalu masuk, dan duduk. Tiga kegiatan itu dilakukan dalam waktu hampir bersamaan. Siang itu Mila betul-betul seperti robot yang baru diganti baterainya.
"Gini, Pus, gue dateng ke sini mau minta tolong," Mila mulai mengutarakan maksudnya setelah Lupus ikutan duduk di dekatnya
"Minta tolong apaan, Mil"" sambut Lupus cukup antusias. Maklumlah yang minta tolong Mila. Kalau Gusur dan Boim, mungkin Lupus langsung bilang nggak bisa. Sibuk. Tanpa tau dulu, apa yang mau dimintakan tolong.
"Pus, selama bulan puasa pemasukan kafe gue kan lumayan gede. Nah, itung-itung amal, rencananya Lebaran ini gue mau bikin acara ngundang anak-anak yatim ke kafe buat makan-makan bersama. Terus gue juga udah nyiapin bingkisan ala kadarnya bual mereka. Yah, acaranya selepas lohor deh. Setelah mereka pada silaturahmi sama pengurus panti dan temen-temennya...."
"Rencana yang bagus. Apalagi kalo gue juga diundang, terus dikasih bingkisan. Gini-gini gue kan anak yatim juga, Mil. Eh iya, lantas lo mau minta tolong apa ke gue""
Mila menarik napas beberapa kali dulu, sebelum
menjawab sambutan Lupus yang meriah itu.
"Anu, Pus, kamu kan tau Tante Merry. Yang belakangan ini jadi pemilik saham terbesar kafe gue...."
"Kenapa Tante Merry" Kesetrum"" tanya Lupus dengan mata terbelalak.
Mila melenguh. "Kalo begitu malah nggak apa-apa, Pus. Tapi ini, masalahnya dia nggak setuju sama rencana gue. Buang-buang biaya aja, katanya. Maklumlah, ini kan lagi zaman resesi, Pus. Kurs dolar aja udah enam ribu perak,..."
"Wah, pedit banget tu orang. Ini kan proyek amal. Jadi nggak bisa dikaitin sama depresiasi rupiah dong."
"Dan parahnya gue udah telanjur nyebar undangan ke beberapa panti asuhan...," ujar Mila lemes.
"Apa" Wah, repot dong, Mil."
"Tapi, sebetulnya jalan keluar bukan nggak ada. Nah, gue berharap, elo-lah yang jadi kunci buat jalan keluarnya...."


Lupus The Lost Boy Salah Culik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Gue"" tanya Lupus heran.
"Yah, Tante Merry kan ambisius banget pengen jadi selebritis, orang top. Cuma sampe sekarang belon nemuin jalan. Lantas gue bi"lang aja ke dia, kalo dia mau ngadain acara silaturahmi itu, dia pasti bakal diwawancarain sama elo. Terus profilnya bakal masuk majalah gede-gedean...."
Lupus terperanjat. "Ah, gile lo, kan nggak sembarangan orang bisa masuk majalah. Apalagi nulis tentang Tante Merry yang udah kisut begitu. Ingat, Mil, gue magang di majalah remaja, bukan majalah khusus tante-tante...," sungut Lupus.
"Maka itu gue nyari elo, Pus. Tolong deh! Soalnya cuma dengan cara begitu, tante Merry bersedia ngadain acara silaturahmi itu...."
Lupus mengucek-ucek rambutnya, bingung. Tapi mau nolak Mila, Lupus juga kasihan. Apalagi di sudut mata Mila sudah terbit dua butir air bening.
"Gue kayak disuruh nelen kulit duren aja Mil. Ditelen sakit. Nggak ditelen, sayang... Lupus bergumam sekenanya.
"Pus, kan lo bisa, misalnya, ngewawancarain Tante Merry bo'ong-bo'ongan. Terus hasilnya nggak perlu lo tulis," Mila coba-coba memberikan solusi. Pokoknya yang penting acara itu berjalan lancar."
"Terus kalo dia nanya gimana, Mil""
"Yah, bilang aja lagi naik cetak!"
"Ah, itu sama aja gue ngebo'ongin dia, Mil. Puasa gue bisa batal dong!"
"Yah, bo'ong dikit nggak apa deh, Pus. Demi kebaikan."
"Tapi kredibilitas gue sebagai wartawan bisa turun."
"Demi amal, apa salahnya" Pasti niat baik lo dapat balasan dari Tuhan...,'' Mila masih berusaha meyakinkan Lupus. Tapi Lupus tetap belum mantap. Saat itu tiba-tiba Lulu muncul dari kamarnya. Diliat dari dandanannya, kayaknya tu anak mau ke mal.
"Eh, ada Mila...," sapa Lulu berbasa-basi
"Mo ke mana lo, Lu"" tanya Mila.
"Mau nyari sesuatu yang bisa gue pake buat Lebaran besok. Soalnya gue mau Lebaran di Bandung sama Mami. Yah, terpaksa deh Lupus jaga rumah. Maklum, Kelik kan udah lama cabut ke Gunung Kidul."
"Aduh, sayang banget. Padahal gue pengen ngajak lo dateng ke kafe pas Lebaran," tukas Mila tanpa bisa menyembunyikan rasa kecewanya.
Lulu juga keliatan kecewa. Tapi setengah.
"Sori deh, Mil. Soalnya gue udah kangen berat nih sama Mami. Abis Mami baru abis kontrak di Irian, udah dapet proyek lagi di Bandung. Jadi kita jarang banget ketemu. Paling-paling lewat surat doang."
Selesai bicara, Lulu lalu siap-siap cabut. Tapi Lupus buru-buru menghadangnya.
"Eh, Lu, ke Bandung sih ke Bandung, tapi lo kudu ikutin aturan main dong! Kita kan udah sepakat bikin undian dulu. Nah, cuma yang menang undianlah yang bisa ke Bandung. Kenapa lo jadi potong kompas""
"Abis gue pikir, lo kan lagi ada proyek sama Mila. Nah, artinya lo pasti nggak akan bisa ke Bandung. Jadi otomatis gue dong yang ke Bandung...," tukas Lulu sembari ngikik lalu cabut meninggalkan Lupus dan Mila. Lupus bengong. Takjub sama kelicikan Lulu.
*** Ide Mila, walau dengan berat hati, akhirnya dijalankan juga oleh Lupus. Hari itu juga, Lupus dan Mila langsung menemui Tante Merry. Kedatangan Lupus dan Mila ternyata disambut dengan meriah. Tante Merry menyilakan Lupus duduk, sambil membetulkan sanggulnya yang mirip kukusan. Bicaranya juga dibuat-buat "Terus terang, ide silaturahmi. anak-anak yatim itu keluar dari Tante. Yah, sejak kecil Tante memang punya jiwa sosial yang tinggi. Jadi sampai sekarang pun gitu...," ujar tante Merry
berbohong. Lupus menyikut perut Mila.
"Sori, Pus, emang wataknya tante begitu...," bisik Mila.
"Bukan cuma itu, kiliatannya juga dia tau kalo gue bakal dateng. Dandanannya, cing.... Lupus balas berbisik.
"Sori. Pus, gue emang udah bilang duluan. Abis gue terpojok banget sih. Tapi gue betul-betul nggak nyangka tanggapannya bakal berlebihan banget..."
Selama Lupus dan Mila saling berbisik, Tante Merry terus ngoceh. Makanya Tante Merry sampe nggak sadar kalo Lupus sama Mila lagi bisik-bisikan.
"Nah, begitulah, Pus, jiwa sosial itu perlu kita bina sejak kecil. Manusia tanpa memiliki jiwa sosial adalah mati. Kita hidup ini kan harus tolong-menolong. Itu sudah komitmen Tante. Kalau kebetulan lagi di atas, yah, tolonglah mereka yang lagi di bawah. Oh iya, apa saya mau dipotret sekarang"" tanya Tante Merry setelah promosi gede-gedean. Lupus sendiri jadi kikuk, karena pertanyaan Tante, Merry lebih terkesan menodong.
"Ah, nggak, Tante, nggak... Nanti saja pas acara berlangsung. Lagian yang motret bukan saya, tapi temen saya, si Boim.... Saya nggak bawa tustel."
"Aduh, mubazir dong. Tadi Tante kira sekalian dipotret. Tante udah dandan abis-abisan. Wartawan lain biasanya wawancara sekaligus motret!" Tante Merry tampak kecewa
Lupus jadi makin kikuk. "Ya sudah, kali ini kamu Tante maafkan. Tapi betul ya, nanti kamu memotret Tante, lalu dimuat di majalah. Kalau nggak, saya nggak mau ngadain acara itu! Rugi dong!" kata Tante Merry lagi, bernada mengancam. Lupus bergidik. Bulu romanya sampai berdiri semua.
Besoknya, karena Lupus merasa ancaman Tante Merry nggak main-main, ia langsung mengejar Boim di rumahnya Boim yang lagi tidur sambil ngeringkuk di kamarnya yang sumpek dan sebagian udah dipenuhi kecoak itu langsung didorong tanpa perasaan oleh Lupus. Boim terjerembab. Mukanya ngusruk ke kaki ranjang.
"Keparat lo, Pus!" maki Boim setelah bangun. Tadinya ia mengira ketabrak truk tanah
"Sori, Im, gue lagi panik banget nih!" kata Lupus sambil berusaha memasang wajah memelas buat menenangkan Boim. Padahal Lupus-nya sendiri nggak tenang. Napasnya ngos-ngosan.
"Emangnya kenapa, Pus"" tanya Boim sembari menggulung sarungnya yang kedodoran, lalu duduk di tubir ranjang.
"Ada job. Lo tulung bantuin gue!"
Begitu denger kata job, mata Boim langsung berbinar-binar.
"Kebetulan. Gue emang belon megang duit buat Lebaran."
Tapi Lupus buru-buru menepis impian Boim.
"T-tapi ini kerja amal, Im. Jadi nggak ada duitnya."
Boim kontan lemes. Bola matanya pun langsung redup kayak bohlam 15 watt.
"Amal lagi, amal lagi.... Kapan ada duitnya"" umpat Boim.
Demi melihat gelagat Boim bakal menolak, Lupus dengan sigap buru-buru meraup tangan Boim, dan melekatkan ke dadanya sambil merengek. Persis adegan telenovela.
"Tolong, Im. tolong... atau gue bakal jadi bulan-bulanan Tante Merry...."
Dasar Boim jiwanya tulus, setelah dibujuk dengan paksa selama lebih dari tiga jam, akhirnya hati Boim luluh juga. Siang itu mereka langsung cabut ke majalah Wow! Majalah Wow ini majalah remaja baru, dan Lupus magang di situ. Kali ini yang jadi sasaran bakal dibujuk adalah Mas Sarendo. Mas Sarendo punya jabatan sebagai redaktur pelaksana di majalah Wow! Orangnya rada-rada nyentrik. Rambutnya gondrong, perutnya gendut Kalau ke kantor sukanya pakai sendal. Di meja kerjanya selalu ada cemilan.
Tapi nemuin Mas Sarendo nggak segampang nemuin jerami di tumpukan jarum. Karena setelah Lupus dan Boim menyerbu masuk ke ruangan Mas Sarendo, ruangan itu kosong melompong. Baru setelah kedua tokoh kita terbengong-bengong selama dua jam lebih, tau-tau Mas Sarendo keluar dari kolong meja dengan rambut awut-awutan dan mata merah serta sudut bibir yang basah. Rupanya tadi dia tidur di kolong meja.
"Lho, pada ngapain kalian ke sini"" tanya Mas Sarendo, pura-pura kaget.
"Anu, Mas," tukas Lupus bermaksud menjelaskan tujuannya nemuin Mas Sarendo. Tapi sebelum niatnya kesampaian, Mas Sarendo sudah bicara lagi.
"Ya sudah, kebetulan kamu ke sini, Pus. Saya ada tugas buat kamu, Pus."
"Tugas apaan, Mas"" tanya Lupus kaget.
"Coba kamu wawancarain itu anak-anak ABG yang pada pulang ka
mpung, lalu tulis buat edisi lebaran. Tanyai, ngapain mereka mau-maunya pulang kampung. Dan suka-dukanya. Tapi yang lucu, ya"" jelas Mas Sarendo sembari melihat jam tangannya yang segede jengkol. "Wah, sudah jam empat. Saya harus cepat-cepat pulang. Kalo nggak, bisa keabisan kolak pisang,"
"Tapi, Mas, saya ke sini sebetulnya mau..."
"Sudahlah. pokoknya saya minta hasil wawancaranya selesai dalam dua hari ini."
Lupus menelan ludahnya. Sementara begitu selesai bicara, Mas Sarendo langsung ngeloyor ke luar. Lupus berusaha memanggil, tapi Mas Sarendo sama sekali nggak peduli.
Lupus menendang kaleng susu yang tergeletak di aspal saking keselnya. Dan kaleng itu melayang jauh dan jatuh entah ke mana.
Boleh jadi Lupus kesel. Sebab gara-gara Mas Sarendo, terpaksa dia harus rela panas-panasan di terminal nyari sumber berita. Mana tenggorokkan kering karena puasa. Tapi yang bikin Lupus tambah kesel, rencana wawancaranya dengan Tante Merry, belum dapat kepastian boleh-nggaknya dari Mas Sarendo. Padahal tadi pagi Mila udah konfirmasi lagi ke Lupus bahwa rencana wawancara sama Tante Merry nggak boleh gagal. Kalau gagal berarti kiamat.
"Buju buneng, banyak amat orangnya, Pus...," tukas Boim yang bertugas nemenin Lupus sambil nenteng-nenteng kamera zaman dulu. Lupus tersadar dari kekeselannya. Dilihatnya di depan loket karcis, orang-orang yang pada mau pulang kampung berjubel kayak bebek digiring ke kandang.
Lupus mengelap keringat yang ngocor di jidatnya pakai saputangan yang udah basah.
"Gue jadi bingung mau ngewawancarain yang mana nih. Ya udah, mending lo foto-fotoin dulu deh, Im...," usul Lupus kemudian. Nadanya putus asa banget.
Boim yang memang udah gatel mau motret, langsung beraksi memainkan kameranya. Cepret sana cepret sini. Dan tiap kali cepret pasti ada nenek-nenek atau anak balita yang kontan stres, mengingat lampu blitz yang dipakai Boim cahayanya mirip sinar laser.
Tapi lagi asyik-asyiknya motret, tiba-tiba datang seorang calo yang menawarkan karcis bus ke Lupus dan Boim.
"Eh, masih ada dua karcis lagi, bah! Cepat, kalian ambil. Kalo nggak, nanti nggak kebagian lho. Kalian mau ke mana sih" Ke Jawa, kan" Kalau mau karcis terusan juga ada. Terus ke jurang...," tawar calo itu semangat, dan agak-agak maksa.
Lupus menepis tangan si calo yang menarik-narik tangannya.
"Eh, Bang, kita nggak mau pulang kam"pung. Kita..."
"Aaah, jangan putus asa. Masa baru melihat keadaan seperti ini saja kalian sudah batal pulang kampung" Bagaimana nanti dengan saudara-saudara kalian di kampung" Ayolah, mumpung murah nih karcisnya. Cuma sepuluh kali lipat harga resmi!"
Boim yang ikutan dipaksa jadi emosi.
"Eh, Ucok, temen gue kan udah bilang nggak mau mudik, kok dipaksa""
Dibentak begitu sama Boim, si calo bukannya takut, eh malah balik melotot.
"Lha, kalau nggak mau mudik, ngapain kalian nongkrong di terminal" Kalian copet, ya""
Balik dituduh begitu, jelas aja Lupus dan Boim jadi bingung. Ampir aja mereka digebukin orang satu terminal. Untung saat itu muncul Engkong sembari menggotong-gotong tas yang gedenya ngelebihin badannya. Lupus dan Boim jadi semangat, dan langsung nyamperin Engkong.
"Kooong, Engkong mau ke mana"" teriak Lupus. Engkong melirik Dia juga kaget demi ngeliat Lupus sama Boim ada di terminal.
"Lha, lo-lo pada ngapain di sini" Jadi calo, ya" Kebetulan! Tulungin deh cariin gue karcis yang ke Parung."
"Aduh, Kong, apes banget deh nasib aye hari ini. Tadi dikira copet, sekarang dikira tukang catut," keluh Boim sambil menggaruk-garuk palanya yang mendadak gatet.
"Iya, Kong, kita bukan calo. Masa tega sih orang keren-keren begini dikira calo," timpal Lupus.
"Bagus deh kalo lo bukan calo. Udah ya, gue cabut dulu...," putus Engkong sambil siap-siap mengejar sebuah bus butut. Tapi Lupus buru-buru mencegahnya.
"Kong, kalo Engkong mau mudik ke Parung, terus gimana nasib Gusur""
"Sebodo amat deh tu anak mo jadi apa. Emang gue pikirin," jawab Engkong ketus. Lalu buru-buru lari dengan kecepatan penuh, sampai Lupus nggak sempat lagi mencegahnya.
Seperginya Engkong. Lupus dan Boim duduk di trotoar yang terletak di lu
ar terminal. Boim sudah rapi motret. Dan Lupus sudah berhasil mewawancarai beberapa anak ABG. Siang sudah berubah jadi sore. Mereka tampak kehabisan tenaga. lapi Lupus masih butuh beberapa responden lagi.
"Im, sebentar lagi magrib. Terus malam takbiran," Lupus mendadak bicara seraya menatap Boim dengan serius.
"Lantas kenapa, Pus"" sambut Boim ogah-ogahan. Matanya udah ampir rapet ketiup angin terminal yang bau keringet dan debu.
"Emangnya lo nggak apa-apa. Malam Takbiran kerja" Biasanya kan lo muter-muter bareng anak-anak kampung lo"" jelas Lupus.
Boim menguap. "Ah, nggak apa-apa, Pus. Sekali-sekali Malam Takbiran ngejalanin tugas," tukas Boim sambil bangkit secara tiba-tiba. "Yuk, kita ke stasiun kereta. Jangan sampe pemudiknya udah pada minggat!"
"Yuk!" jawab Lupus ikut-ikutan bangkit. Keduanya lalu melangkah menuju stasiun
Di stasiun kereta ternyata suasananya lebih krodit lagi. Para calon penumpang berjubel, dan berdesak-desakan di depan loket. Anak-anak kecil pada nangis. Ibu-ibu ngomel melepas kekesalan. Sementara para calo karcis merajalela menikmati rejeki tahunan yang rada-rada kurang halal.
Lupus dan Boim menyelinap di antara jubelan manusia. Untung setelah berjuang sampai titik keringat penghabisan, Lupus berhasil mewawancarai dua cewek ABG yang badannya basah diguyur keringet.
"Kenapa sih Lebaran pake mudik segala" Kan bikin salahnya di Jakarta" Kenapa minta maafnya di kampung," tanya Lupus.
Cewek ABG yang bernama Leli Lestari itu mesem dulu sebelum menjawab, "Kita pulang kampung itu bukan soal minta maafnya. Kita kan kangen sama sodara-sodara. Pengen silaturahmi. Dan, ehem, di kampung kita juga bisa mamerin baju Lebaran yang baru kita beli di Jakarta...."
Pertanyaan berikut diajukan Lupus pada responden yang bernama asli Mutmainah. Tapi jangan salah ya walaupun namanya Mutmainah tapi penampilannya nggak kalah sama bintang sinetron.
"Emangnya nggak ngeri kalo keadaannya penuh sesak begini""
Mutmainah yang lagi kesakitan tergencet
karena naik keretanya maksa lewat jendela
menjawab sambil meringis.
"Aduh, ng-ngeri juga sih, aduh, t-tapi kan asyiiik... Aduh!"
Rapi mewawancarai Mutmainah, tiba-tiba Lupus ikutan masuk lewat jendela. Boim yang lagi sibuk motretin Mutmainah, jadi heran.
"Lho. mau ngapain, Pus""
"Udah deh, jangan banyak tanya. Ayo ikut!" jawab Lupus sambil menarik tangan Boim. Boim yang belum jelas apa maunya Lupus, terpaksa ikutan masuk lewat jendela. Di dalam kereta rupanya Lupus masih nafsu mewawancarai beberapa responden lagi.
Tapi lagi asyik-asyiknya wawancara, tiba-tiba petugas stasiun ngasih pengumuman lewat pengeras suara
"Perhatian, perhatian.... kereta api Senja Utama jurusan Yogya segera diberangkatkan. Nomor karcis tidak berlaku. Jadi bagi pemilik karcis, harap siap saling berebut kursinya masing-masing. Bagi sepuluh perebut kursi pertama, akan dapat hadiah senyuman manis dari masinis yang berkumis. Daaa...!"
"Wah, Mas, keretanya mau berangkat tuh," kata cewek yang diwawancarain Lupus mengingatkan. Tapi Lupus cuek. Soalnya cewek respondennya itu memang rada-rada imut imut kayak upil semut.
"Ah, biar aja. Lagian tanggung, wawancaranya baru dikit...."
Baru juga Lupus ngomong begitu, tiba-tiba kereta bergerak. Lupus dan Boim baru ngeh. Tapi terlambat untuk turun. Sebab jangankan turun, jalan aja susah saking penuh sesaknya itu kereta.
Akhirnya kereta pun melaju dengan mulusnya di atas rel, membawa Lupus dan Boim.
*** Lebaran berjalan dengan sukses. Semua orang bersalam-salaman. Saling memaafkan satu sama lain. Yang dosanya banyak. minta maaf sambil nangis sesenggukan.
Siang itu, setelah acara silaturahmi, anak-anak yatim yang diundang pada ngumpul di Kafe Mila. Selain anak-anak yatim, ada juga Gusur, dan undangan-undangan lain. Tapi di antara para manusia yang hadir di Kafe Mila, yang dandanannya paling menor tentu aja Tante Merry. Dia duduk di kursi kebesarannya, sambil sesekali matanya melirik ke arah pintu masuk.
Lebih dari sejam ditunggu, ternyata Lupus dan Boim belum nongol juga. Acara belum dimulai. Anak-anak yatim sudah mulai gelisah Mila juga ikut-ikutan g
elisah. Dengan tampang kacau balau ia mendekati Gusur.
"Sur, mana Lupus sama Boim" Kok belon nongol juga sih""
"Wah, daku mana tau, Mil" Daku sendiri sebetulnya sedang mencari-cari mereka...," jawab Gusur, bukannya menyelesaikan masalah, tapi malah nambahin masalah
Mila melirik ke tamu-tamu kecilnya yang udah lari-larian ke sana kemari sambil men-jerit-jerit saking bosen nunggu.
"Kasian anak-anak tuh. Mereka udah datang dari tadi," desis Mila sambil menelan ludah yang kering di tenggorokkan.
"Ya sudah, dimulai saja, Mil," usul Gusur.
"Tapi.. tapi Tante Merry nggak mau mulai sebelum ada tukang potret dan Lupus, Sur.... Gimana dong""
"Bilang saja ke Tante Merry, acaranya dimulai dulu, motretnya menyusul...."
Mila tampak ketakutan mendengar usul tersebut. "Aduh, Tante Merry maunya dipotret saat membuka acara amal ini. Tapi..." Tapi karena nggak ada jalan lain, apalagi beberapa anak-anak sudah mulai nangis, Mila terpaksa mendekati Tante Merry. Saat Mila mengutarakan niatnya, Tante Merry mencibir lalu menjawab cuek.
"Nggak sudi ya. Pokoknya kita tetap pada perjanjian awal Lupus motret Tante dulu, baru acara dimulai...."
Anak-anak nangis makin keras. Mila makin bingung, dan setengah mati berusaha menghibur anak-anak.
Sementara itu, Lupus dan Boim yang sedang ditunggu, ternyata kini berada jauh dari Jakarta, tepatnya di Stasiun Tugu, Yogyakarta. Di Yogyakarta" Idih, ngapain juga Lupus sampe ke Yogya" Ya ampun! Gara-gara Lupus dan Boim ngewawancarain anak-anak ABG yang pulang kampung, dia terjebak dan terbawa sampe ke Yogya. Dan saat ini Lupus dan Boim dengan wajah bingung sedang mondar-mandir di Stasiun Tugu. Bingung mau ke mana.
"Elo sih, Pus! Kita jadi kebawa ke sini!" ujar Boim.
"Lo sih enak, Im. Kampung lo kan emang di Gunung Kidul. Na gue" Mau Lebaran sama siapa" Lagian bukan salah gue. Lo kan tau, keretanya penuh banget. Pas kita naik langsung ke dorong sampe tengah. Nah, pas udah di tengah kita susah turun, Baru bisa turun ya pas di Yogia sini! Eh, Im, ngomong-ngomong gue belon Lebaran ama lo ye""
"Oh, iye!" Boim dan Lupus saling bersalaman, dan berpelukan.
"Im, kita nyusul nyak lo aja yuk ke Gunung Kidul""
"Oke! Sekalian ke rumah si Kelik, ya""
Lupus dan Boim baru mau pergi ketika tiba-tiba mereka melihat kru TV yang bikin siaran langsung seputar pemudik Lebaran. Salah seorang kru kemudian mewawancarai Boim dan Lupus.
"Apa alasan Anda untuk mudik Lebaran"" tanya reporter TV itu.
"Wih, saya nggak mudik. Saya kebawa kereta," jawab Boim.
"Iya, saya nggak sengaja mau ke sini," tambah Lupus.
Si reporter langsung tertarik. "Nggak sengaja gimana" Wah, menarik sekali nih."
Lupus dan Boim pun diwawancarai.
Saat yang sama, Gusur yang lagi manyun nungguin pesta dimulai di Kafe Mila sambil ngeliatin TV, tiba-tiba aja terpekik. Di layar TV, nampak Boim dan Lupus yang sedang diwawancarai.
"Mila! Mila! Liat tuh. Lupus dan Boim!"
Mila langsung melongok ke jendela penuh harap. "Mana""
"Itu di TV!" "Di TV"" Mila kaget.
Kontan semua orang langsung merubung TV dan melihat wawancara Lupus dan Boim. Termasuk Tante Merry. Begitu liat Lupus ada di Yogya, Tante Merry yang udah dandan abis-abisan, kontan pingsan. Mila bukannya panik langsung aja dengan girangnva menyuruh anak-anak yatim itu memulai pestanya. Anak-anak pun riang gembira.
Tante Merry yang pingsan, tak dipedulikan sama sekali.
Sementara itu di sebuah rumah di Bandung, Lulu yang masih make baju Lebaran dan lagi ngiris ketupat bareng Mami, terperanjat melihat Lupus diwawancara di TV.
"Mamiii!! Liat itu ada Lupus tipppiii!!"
Mami menoleh "Mana" Hah, siaran langsung dari Yogya" Ya ampun, jadi tu anak Lebaran di Yogya" Nah, rumah siapa yang nungguin, Lu""
LuIu memandang maminya dengan wajah pucat. "Wah, iya, Mi. Rumah nggak ada yang jaga dong! Kosong!"
"APA"""" Mami langsung pingsan.
Selesai tamat Di Gua Kelelawar 3 Suro Bodong 10 Jerit Di Pucuk Rembulan Munculnya Pendekar Bayangan 2
^